Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16


Baru kemudian orang yang disebut Kakang Panji itu sadar, bahwa yang didengar itu benar-benar desir langkah seeorang. Dekat disebelahnya.
Tetapi sudah terlambat baginya untuk menghindar. Agaknya telah terjadi sesuatu diluar dugaannya. Menurut perhitungannya, tidak akan ada seorangpun yang akan dapat mengetahui, apa yang telah dilakukannya. Namun begitu cepat, ia dikejutkan oleh satu kenyataan sebelum la sampai ke pertahanan yang sebenarnya dari orang-orang Mataram.
Ketika orang yang disebut Kakang Panji itu bergeser, terdengar sapa lembut, "Selamat malam Ki Sanak."
"Anak Setan," geram orang yang disebut Kakang Panji.
"Apa yang kau lakukan disini?" bertanya suara itu.
"Apa pedulimu," sahut orang yang disebut Kakang Panji itu.
"Aku merasa aneh, bahwa seseorang telah dengan diam-diam melintasi Kali Opak di malam begini. Apakah Ki Sanak tidak sabar menunggu sampai esok." suara orang itu berat dan terputus-putus.
Orang yang disebut Kakang panji itu bergeser semakin dekat kepada suara itu. Namun dalam pada itu ia masih sempat menutup wajahnya dengan ikat kepalanya.
Sekali lagi orang itu terkejut. Tiba-tiba saja dihadap-annya telah berdiri seseorang yang mengenakan baju lurik ketan ireng, berkain panjang kelengan dan wajahnya disembunyikan di belakang ikat kepalanya.
"Gila," geram orang yang disebut Kakang Panji itu. "kau tentu seorang yang luar biasa, bahwa kau dapat mengetahui aku berada disini."
"Kaupun orang luar biasa. Kau dapat melalui beberapa orang pengawal prajurit Pajang tanpa di ketahui, sementara para pengawal Mataram yang nganglang tidak melihat bagaimana kau menyeberang." jawab orang yang menyapanya.
"Siapa kau sebenarnya ?" bertanya orang yang disebut Kakang panji.
"Kau aneh. Aku tidak tahu siapa kau. Kita sama-sama mempergunakan ikat kepala untuk menyembunyikan wajah. Dengan demikian, kita masing-masing tentu tidak akan mengaku, siapa kita masing-masing sebenarnya. Tetapi agaknya kita sama-sama orang Pajang. Aku tidak melihat seseorang melintas dari Barat Kali Opak. Yang aku lihat seseorang justru melintas ke Barat. Karena itu, kesimpulanku, kau adalah orang Pajang seperti aku," jawab orang yang datang dengan tiba-tiba itu.
Orang yang disebut Kakang Panji itu merasa heran. Ada juga orang Pajang yang dapat melihatnya. Orang yang tentu berkemampuan tinggi.
"Apakah orang ini Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu sendiri?" bertanya orang yang disebut Kakang Panji itu didalam hatinya. Namun dalam pada itu, iapun bertanya, "Ki Sanak. Jika kita memang sama-sama orang Pajang, maka biarkan saja aku melakukan tugas yang dibebankan kepadaku. Aku akan melihat kelemahan orang-orang Mataram."
"Ah, apakah benar kau mendapat tugas yang demikian" Aku justru mendapat tugas sebaliknya. Aku harus mengawasi setiap orang Pajang agar tidak terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Jika seorang telah melakukan sesuatu diluar rencana yang telah disepakati, maka mungkin sekali akan dapat menimbulkan persoalan baru yang tidak dikehendaki," jawab orang yang datang kemudian.
"Ah, kau keliru Ki Sanak," jawab orang yang disebut Kakang Panji, "mungkin prajurit kebanyakan akan dapat dengan mudah diketahui dan karena itu menimbulkan persoalan yang dapat berkembang menjadi peristiwa yang tidak kita kehendaki, tetapi aku adalah seorang petugas sandi yang sedang menjalankan tugas."
"Sudahlah," jawab orang yang menyusulnya, "marilah kita kembali. Kita akan mentaati setiap perintah untuk tidak berbuat sendiri-sendiri. Kita adalah prajurit-prajurit yang terikat kepada satu pangeran yang tidak dapat kita lawan."
Orang yang disebut Kakang Panji itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Silahkan Ki Sanak mendahului, aku akan segera menyusul."
"Ah, kenapa kita tidak bersama-sama saja" Kita hanya berdua. Aku kira, aku memerlukan seorang kawan untuk menyeberangi Kali Opak," jawab orang yang datang kemudian itu.
Orang yang disebut Kakang Panji itu termangu-mangu. Tetapi ia sadar sepenuhnya, bahwa orang yang berdiri dihadapannya itu tentu seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin tidak terlalu jauh dari ilmunya sendiri seandainya orang itu tidak dapat dianggap memiliki ilmu yang mengimbanginya.
Karena itu, ia harus berpikir ulang untuk menolak permintaannya. Apalagi jika kemudian timbul perselisihan antara mereka. Dalam keadaan yang demikian, mereka akan dapat kehilangan pengekangan diri sehingga perselisihan yang sebenarnya, hanya akan merusak keadaan.
Selagi orang yang disebut Kakang Panji itu merenung, maka orang yang datang kemudian itu berkata, "Marilah, sebelum ada orang lain yang mengetahuinya."
Orang yang disebut Kakang Panji itu menggeram. Dengan ketajaman penglihatannya dan ketajaman penggraitanya, ia mencoba mengenali orang yang berdiri di hadapannya. Menilik tubuhnya, orang itu tentu bukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Orang lain yang memiliki ilmu pinunjul adalah Pangeran Benawa. Tetapi apakah kemampuan Pangeran Benawa cukup tinggi untuk dapat melihatnya menyeberangi Kali Opak. Sementara tingkah laku orang itu nampaknya terlalu asing dan sama sekali tidak mirip dengan sikap dan tingkah laku Pangeran Benawa
Selagi orang yang disebut Kakang Panji itu merenungi lawan berbicaranya, sekaU lagi ia terkejut. Bukan saja orang yang disebut Kakang Panji. Tetapi juga orang yang datang kemudian itu terkejut ketika terdengar suara orang lain lagi, "Terlambat Ki Sanak. Orang lain itu sudah mengetahuinya."
"Siapa kau," geram orang yang disebut Kakang Panji.
Orang yang datang kemudian itupun bertanya pula kepada diri sendiri, "Siapa pula yang datang ini."
Orang yang ketiga itupun berdesis dengan suaranya yang tidak begitu jelas, "Kita memang sedang merahasiakan diri sendiri. Tetapi jika kalian menganggap bahwa kedatangan kalian belum diketahui orang lain itu keliru."
"Aku mengerti. Kau mengetahui kehadiran kami disini," jawab orang kedua.
"Bukan hanya aku," jawab orang ketiga itu, "lihatlah."
Orang ketiga itu menunjuk ke satuarah, sehingga dua orang yang terdahulu memandang ke arah itu pula.
Ternyata seseorang berdiri bersandar sebatang pohon yang besar. Hanya orang-orang yang mempunyai ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan sajalah yang dapat melihat orang yang bersandar itu, karena seperti orang-orang lain ditempat itu, iapun mengenakan pakaian dalam warna gelap, meskipun bukan lurik ketan ireng dan kain kelengan. Tetapi orang yang bersandar itu mengenakan pakaian hijau lumut yang gelap.
Tetapi orang ketiga itu masih juga berkata sambil menunjuk kearah yang lain pula, "Yang seorang berada di bayangan batu padas di tebing itu."
Ketika semua berpaling, mereka memang melihat dalam bayangan yang kelam, seseorang dalam pakaian yang gelap seperti orang-orang lain, berdiri dengan tangan bersilang didada.
Sejenak ketegangan telah mencengkam jantung orang-orang yang berdiri ditempat itu. Bukan hanya seorang, dua orang. Tetapi kemudian ternyata ada lima orang.
Dalam pada itu, orang yang ketiga hadir ditempat itu berkata, "Menurut pengamatanku, kalian berdua adalah orang-orang Pajang, sementara dua orang yang berdiri di bayangan batu padas dan bersandar pohon itu adalah orang Mataram. Agaknya kalian masing-masing telah salah hitung, seolah-olah tidak ada orang yang dapat menyamai kemampuan kalian masing-masing, termasuk aku sendiri. Aku mengira bahwa aku akan dapat dengan leluasa berkeliaran disebelah Timur dan sebelah Barat tebing. Tetapi ada juga dua orang Pajang dan dua orang Mataram yang memiliki ilmu kinacek. Ilmu yang melampaui ilmu Senapati yang paling baik. Aku merasa bahwa kehadiranku dapat dilihat oleh salah satu atau kedua orang yang tidak aku kenal itu, sementara kalian berdua baru sibuk berbicara tentang diri kalian."
Orang-orang yang berdiri didalam kegelapan dengan pakaian berwarna gelap itu menjadi tegang. Mereka masing-masing tidak dapat saling mengenal, meskipun mereka yakin, apabila mereka masing-masing membuka tutup wajah mereka, maka tentu akan terjadi sebaliknya. Apakah mereka itu orang Pajang atau orang Mataram, karena baik Pajang maupun Mataram tidak banyak memiliki orang yang memiliki kemampuan yang mumpuni dan hampir sempurna.
Karena itu, maka orang-orang yang berpakaian serba gelap itu saling mengekang diri. Mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil sikap, karena mereka harus menjaga kemungkinan bahwa persoalan yang timbul akan dapat berkembang semakin luas dan dapat membuat segala rencana yang telah disusun oleh kedua belah pihak akan menjadi berhamburan. Kedua belah pihak tidak mau menanggung akibat buruk yang dapat terjadi diluar perhitungan itu.
Dengan demikian, maka orang yang disebut Kakang Panji itupun berkata, "Bahwa kita berkumpul disini, adalah satu hal yang sama sekali tidak aku perhitungkan semula. Ternyata kita sama-sama salah hitung."
"Jika demikian, apakah itu berarti bahwa kau akan kembali ke tempatmu" " terdengar orang yang bersandar pohon itu bertanya.
"Ya," jawab orang yang disebut Kakang Panji, "aku akan kembali. Aku sadar, bahwa usahaku tidak akan berhasil kali ini. Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan kalian. Apakah kalian orang Pajang atau orang Mataram. Jangan halangi aku, karena dengan demikian, akan dapat timbul atau satu persoalan baru. Mungkin persoalan pribadi diantara kita."
"Silahkan Ki Sanak," desis orang yang bersandar pohon itu, "aku tidak akan menghalangi. Bahkan dengan demikian, kau telah memberi kesempatan aku untuk dapat tidur nyenyak, karena esok kita akan turun ke medan."
Orang yang disebut Kakang Panji itu menggerang. Bagaimanapun juga ia menjadi kecewa bahwa ia tidak dapat melakukan rencananya. Bukan saja kepada orang Mataram, tetapi orang Pajang sendiri telah menghalanginya. Bahkan orang yang ketiga hadir ditempat itu seolah-olah orang yang datang dari pihak lain. Bukan orang Pajang dan bukan pula orang Mataram.
Sejenak orang yang disebut Kakang Panji itu termenung. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengetahui, apakah orang-orang yang hadir itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi, atau justru hanya sekedar karena satu kebetulan. Jika ia tidak melihat dan mendengar kehadiran mereka, justru karena ia sedang terlibat dalam satu persoalan dengan orang pertama, yang mengaku juga orang Pajang. Tidak aneh, bahwa pembicaraannya dengan orang Pajang yang menyusulnya itu telah memanggil mereka untuk datang dengan diam."
Dalam keragu-raguan itu orang yang disebut Kakang Panji itu bergeser surut. Dipandanginya orang yang berdiri dengan kedua tangannya bersilang di bayangan batu padas.
"Aku akan membunuhnya," geram orang yang disebut Kakang Panji itu kepada diri sendiri, "orang Pajang itu dalam keadaan yang paling gawat tentu akan membantu aku, jika orang-orang Mataram itu benar-benar ingin menangkap aku. Tetapi jika ia tidak berbuat apa-apa, maka aku tentu akan dapat menghindarkan diri di medan yang rumit ini, asal aku memegang kesempatan pertama."
Karena orang yang disebut Kakang Panji itu masih belum menentukan satu sikap, maka orang yang bersandar pohon itu bertanya, "Apalagi yang kau pikirakn Ki Sanak. Silahkan meninggalkan tempat ini. Jika yang seorang itu juga orang Pajang, akupun ingin mempersilah-kannya untuk menyeberang. Kita besok mempunyai kesempatan yang cukup untuk menunjukkan kemampuan kita di medan Jika malam ini kita harus bertempur disini, maka pertempuran esok tentu tidak akan menarik, karena para prajurit dan pengawal akan lebih senang terilibat langsung malam ini juga."
Orang yang disebut Kakang Panji itupun bergeser pula melangkah surut. Dipandanginya orang yang datang menyusulnya dan mengaku juga sebagai orang Pajang. Namun orang itu sempat berkata kepada orang yang bersandar pohon, "Baiklah Ki Sanak. Aku akan menyeberang. Besok kita ketemu di medan, meskipun yang akan aku hadapi mungkin bukan kau."
"Bagus," sahut orang yang ketiga datang ditempat itu, "silahkan kalian kembali ketempat kalian masing-masing. Masih ada waktu untuk tidur nyenyak."
Orang itulah yang tiba-tiba telah meloncat meninggalkan tempat itu. Ternyata bahwa iapun telah menuruni tebing dan hilang di balik gerumbul-gerumbul liar di tepian.
Sesaat orang yang disebut Kakang Panji itu termangu-mangu. Dipandanginya sekali lagi orang yang berdiri di bayangan batu padas. Kemudian diamatinya tempat disekitarnya. Sebatang pohon raksasa, beberapa buah batu besar yang tersebar dan batu-batu padas yang beronggok di tepian.
"Satu keadaan yang menguntungkan," berkata orang itu didalam hatinya, "aku akan dapat lolos meskipun orang-orang itu akan mengejar aku. Mereka tentu tidak akan berani menyeberang. Seandainya orang yang mengaku orang Pajang itu kemudian terlambat bertindak dan menjadi sasaran kemarahan orang Mataram itu, adalah karena nasibnya yang sangat buruk. Bahkan karena satu kebodohan yang tidak termaafkan."
Menurut perhitungan orang yang disebut Kakang Panji itu, yang tinggal adalah dua orang Pajang dan dua orang Mataram, sehingga kekuatan mereka tentu seimbang. Setidak-tidaknya hampir seimbang sehingga banyak kemungkinan yang dapat ditempuh.
Oleh pikiran itu, maka iapun segera mempersiapkan diri. Sasaran yang lebih baik baginya adalah orang yang berdiri di bayangan batu padas itu. Ia tidak perlu bersikap jantan dan menantangnya bertempur beradu dada. Tetapi ia ingin langsung menyerang dan membunuhnya, tanpa peringatan apapun juga.
"Apa yang kau pikirkan?" bertanya orang yang bersandar pohon itu, "bukankah lebih baik kalian segera meninggalkan tempat ini."
"Baiklah," jawab orang yang disebut Kakang Panji, "aku akan kembali ke seberang Timur. Sampai bertemu esok di medan. Mungkin esok aku akan mendapat kesempatan membunuhmu dimedan, meskipun aku tidak tahu siapa kau sebenarnya sekarang ini. Tetapi aku dapat menduga, bahwa kau tentu salah seorang Senapati besar dari Mataram."
Orang yang bersandar pohon itu tidak menjawab. Diamatinya saja orang Pajang itu mulai bergeser, sementara yang lainpun telah melangkah pula ketebing.
Namun terjadilah hal yang tidak terduga-duga itu. Dengan satu gerak yang tidak kasat mata, maka orang itu telah menyerang orang yang berada di bayangan batu padas. Demikian cepatnya sehingga tidak seorangpun dapat mencegahnya. Apalagi serangan itu dilontarkan oleh seorang yang memiliki ilmu pinunjul.
Meskipun orang itu tidak menyentuhnya, tetapi dari kedau telapak tangan orang yang disebut Kakang Panji yang menghentak dengan lambaran ilmunya yang nggegirisi itu telah terlontar serangan yang sangat berbahaya. Dari kedua telapak tangan itu seakan-akan telah meluncur asap yang bercahaya dengan kecepatan tatit yang menyambar dilangit, menghantam orang yang masih berdiri sambil menyilangkan tangannya didada.
Sejenak kemudian terdengar suara gemuruh. Batu-batu padasnya telah berguguran, sementara tebing bagaikan bergetar.
Orang-orang yang menyaksikaln serangan itu terkejut. Orang yang bersandar pohon dan orang yang mengaku orang Pajang itupun bergeser setapak. Namun untuk sekejap mereka bagaikan memaku ditempatnya menyaksikan serangan yang tiba-tiba itu
Namun sejenak kemudian, semuanya sudah terlambat bertindak. Orang yang disebut Kakang Panji iiu telah hilang. Dengan cepat ia meluncur disela-sela batu padas dan hilang diantara bebatuan yang berserakkan.
Orang yang disebut orang Pajang itupun termangu-mangu Namun iapun kemudian mempersiapkan diri. Karena ia juga disebut orang Pajang, maka mungkin sekali orang-orang Mataram akan melimpahkan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang menghilang itu kepadanya.
Dalam pada itu, orang yang semula bersandar pohon itupun memandang orang Pajang itu dengan saksama. Seolah-olah ia memang menuntut tanggung jawab atas peristiwa itu kepadanya.
Namun sejenak kemudian, terdengar suara, "Luar biasa Orang Pajang itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Serangannya telah menggugurkan tebing dan melumatkan selapis batu padas."
Orang Pajang dan orang Mataram yang tinggal itupun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang yang berada di bayangan batu padas itu tidak menjadi debu oleh serangan orang Pajang yang menghilang itu. Ia ma-ub berdiri tegak di kegelapan.
"Siapakah orang yang telah melakukan itu?" bertanya orang yang semula bersandar pohon kepada orang Pajang yang tinggal.
Tetapi orang Pajang itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu. Aku melihat ia menyeberang. Dan aku menyusulnya karena aku tidak mau terjadi sesuatu sebelum pertempuran yang sebenarnya esok pagi."
Kedua orang Mataram itupun mengangguk-anggguk. Keduanya percaya, bahwa orang itu memang berbeda sikap dengan orang yang telah melarikan diri. Karena itu, orang yang semula bersandar pohon itu bertanya, "Nampaknya prajurit prajurit Pajang mempunyai sikapnya sendiri-sendiri."
"Aku tidak akan membantah. Kalian sudah melihatnya," jawab orang Pajang itu.
Namun dalam pada itu, orang yang mendapat serangan di bayangan batu padas itu bertanya, "Baiklah. Jika orang yang melarikan diri itu memang tidak dikenal, apakah aku boleh mengenalmu?"
"Tidak ada gunanya," jawab orang Pajang itu, "besok kita bertemu di medan."
"Sudahlah ngger," berkata orang yang semula berdiri bersendar pohon, "kami dapat mengenali angger. Semula memang tidak. Tetapi peristiwa yang tiba-tiba itu agaknya telah membuat angger lupa dengan peranan yang angger lakukan. Suara angger segera dapat kami kenali."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dilepaskan kain yang menutup wajahnya sambil berdesis, "Pamanpun dapat aku kenal. Sedangkan orang itupun tidak lagi dapat menyembunyikan dirinya. Tidak ada dua atau tiga orang yang memiliki ketangkasan seperti itu."
"Kau salah adimas," jawab orang yang berada di bayangan batu padas itu, "di Matram ada dua atau tiga orang. Sebagaimana juga diantara para prajurit Pajang."
Orang yang melepas tutup wajahnya itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin kakangmas benar. Ada dua atau tiga orang. Tetapi cara yang mereka lakukan tentu berbeda dengan cara yang kakangmas lakukan. Kakangmas dapat melemparkan diri tanpa berbuat sesuatu. Sedangkan orang lain akan meloncat menghindar meskipun ia juga akan berhasil mengelakkan diri dari serangan serupa."
Orang yang mendapat serangan itupun kemudian membuka ikat kepalanya yang menutupi sebagian dari wajahnya sementara orang yang semula bersandar pohon itupun telah berbuat serupa.
"Satu peristiwa yang tidak pernah aku mimpikan akan terjadi besok," berkata orang yang semula berdiri dibayangan batu padas itu.
"Ya kakangmas," jawab orang Pajang, "tetapi jika kakangmas Sutawijaya tidak segera bertindak, maka keadaan akan menjadi semakin berlarut-larut."
"Tetapi kadang-kadang aku masih juga dibayangi oleh satu kecemasan tentang diriku sendiri," jawab orang Mataram, "rasa-rasanya aku telah melakukan satu dosa yang besar."
"Yang diperhitungkan adalah hasil keseluruhan yang diharapkan," jawab orang Pajang itu, "jika kakangmas Sutawijaya kemudian berhasil menyusun satu pemerintahan sebagaimana di cita-citakan oleh ayahanda, maka kakangmas justru telah melaksanakan satu kewajiban yang sangat berat yang ternyata oleh ayahanda tidak dibebankan kepada orang lain kecuali kakangmas Sutawijaya."
"Adimas Benawa benar," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi akupun masih juga selalu bertanya sampai saat ini. Kenapa tidak adimas Pangeran Benawa."
"Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban," sahut Pangeran Benawa. Lalu, "Bukankah begitu paman juru."
"Kita memang mempunyai sikap yang kadang kadang sulit untuk di mengerti orang lain," jawab orang yang semula bersandar pohon, "tetapi yang penting, bahwa masa depan Mataram adalah kelanjutan cita-cita Pajang yang belum sempat di ujudkan. siapapun juga akan memegang pimpinan pemerintahan."
"Dalam hal ini adalah kakangmas Senapati Ing Ngalaga," desis Pangeran Benawa. Kemudian katanya, "Sudahlah kakangmas. Aku akan kembali ke pesanggrahan. Mungkin ayahanda memanggilku."
"Silahkan adimas. Besok pasukan Pajang dan Mataram akan benar-benar bertempur," jawab Sutawijaya.
"Hati-hatilah dengan ujung-ujung pasukan. Orang-orang yang tamak itu berada di sayap," berkata Pangeran Benawa.
"Siapa yang berada di induk pasukan?" bertanya Ki Juru.
"Ayahanda, aku dan Adipati Tuban. Dibelakang kami adalah adimas Adipati Demak. Tetapi semuanya akan terkendali. ayahanda masih mempunyai wibawa cukup untuk mengendalikan mereka," jawab Pangeran Benawa.
"Yang berada di sayap?" bertanya Sutawijaya.
"Seperti yang sudah aku katakan. Mereka adalah orang-orang tamak itu. Termasuk pasukan khusus Tumenggung Prabadaru" Tetapi bukankah Kakangmas mempunyai cukup pasukan untuk menghadapi mereka?"
Raden sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berusaha untuk mengimbangi kekuatan di sayap-sayap pasukan. Pasukanku yang hanya sedikit memang berada di sayap."
"Selamat malam," berkata Pangeran Benawa kemudian, "aku akan kembali."
Raden Sutawijaya mengangguk kecil Katanya, "Hati-hatilah. Mungkin akan dapat terjadi salah paham antara kau dengan orang yang telah menyerangku. Tetapi akupun tidak perlu cemas, karena adimas adalah seorang yang memiliki ilmu hampir sempurna."
"Apa yang aku ketahui, pasti kakangmas sudah mengetahuinya. Tetapi sebaliknya apa yang kakangmas ketahui belum tentu aku ketahui," jawab Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya kemudian, "Selamat malam. Akupun ingin beristirahat."
Pangeran Benawapun kemudian menutup lagi wajahnya dengan ikat kepalanya. Kemudian iapun meloncat kedalam gelap dan hilang di bayangan dedaunan.
Sementara itu. Raden Sutawijaya berdiri tegak mengamati langkah Pangeran Benawa sampai ia tidak dapat melihatnya lagi.
"Anak yang aneh," desis Raden Sutawijaya.
"Tidak seorangpun yang tahu, bagaimanakah sikap Pangeran itu sebenarnya," berkata Ki Juru, "tetapi bagaimanapun juga, ia adalah seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi."
"Aku menyadari paman," jawab Raden Sutawijaya. Kemudian, "Kekecewaan yang mencengkam jantungnya, ternyata tidak dapat di sembuhkannya meskipun ia sudah berusaha."
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, Tetapi yang seorang, yang telah menyerang Raden itupun tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia dapat menyerang Raden dari jarak yang tidak terlalu dekat. Seolah-olah dari telapak tangannya telah memancar cahaya yang dapat menggugurkan batu-batu padas."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk Katanya, "Tentu bukan orang kebanyakan. Menilik sikap adimas Benawa, orang itu tentu bukan kadang yang dekat atau orang yang mudah dikenal. Ternyata bahwa adimas Benawa tidak dapat mengenalinya."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin Pangeran Benawa memang tidak kenal. Tetapi mungkin ia memang tidak mau mengatakan, siapakah orang itu sebenarnya."
"Tetapi mereka saling tidak mengenal paman," jawab Raden Sutawijaya.
Ki Juru mengangguk-angguk. Bahkan katanya kemudian, "Yang seorang itupun tidak dapat dikenal pula. Nampaknya ia justru orang yang memiliki kelebihan yang paling tinggi. Orang itu langsung dapat mengetahui bahwa kami juga menunggui apa yang tengah terjadi antara kedua orang Pajang itu."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Adimas pun tidak menyebutnya sama sekali."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah kita beristirahat ngger. Kerja kita masih banyak."
Raden Sutawijaya mengangguk. Sambil melangkah ia berkata, "Marilah. Kita masih mempunyai waktu."
Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Dalam kegelapan mereka melihat sesosok bayangan yang berdiri termangu-mangu.
Sejenak Raden Sutawijaya dan Ki Juru berhenti mematung. Namun kemudian terdengar Raden Sutawijaya berdesis, "Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengangguk kecil sambil menjawab, "Maaf Raden, bahwa aku telah melihat apa yang terjadi. Bukan maksudku melakukan hal-hal yang bukan menjadi tugasku. Tetapi terdorong oleh satu keinginan untuk ikut mengamati keadaan, maka aku telah mendekati pertemuan antara beberapa orang yang semula aku lihat dari kejauhan. Justru karena aku tidak dapat melihat dengan pasti apa yang terjadi, maka aku telah berusaha untuk mendekat dan melihat lebih jelas lagi."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Luar biasa. Kau telah berhasil Agung Sedayu. Kehadiranmu tidak dapat kami ketahui."
"Jaraknya masih cukup jauh Raden. Dan aku memang berusaha untuk bersembunyi selagi perhatian Raden tertuju kepada orang-orang Pajang."
Raden Sutawijaya mengangguk angguk. Katanya, "Kenapa kau tidak mendekat saja Agung Sedayu, meskipun kau harus menutup wajahmu agar kau tidak dapat dikenal oleh orang-orang Pajang."
"Pangeran Benawa tidak akan dapat aku kelabui," jawab Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya," jadi kau tahu juga bahwa salah seorang diantara kedua orang Pajang itu adalah adimas Benawa?"
"Aku melihatnya Raden," jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, kau melihat juga yang seorang dari orang Pajang itu menyerangku?" bertanya Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, "Ya Raden. Aku melihat. Tetapi aku belum tahu, siapakah orang yang diserang itu. Baru kemudian aku tahu, bahwa ternyata orang itu adalah Raden. Sedangkan kedua orang yang lain adalah Ki Juru dan Pangeran Benawa. Sementara itu, mengingat kedudukanku, aku tidak berani bertindak apapun juga, karena dengan demikian jika terjadi salah langkah, maka aku telah melakukan satu langkah yang dapat menyeretku kedalam satu keadaan yang gawat."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian mereka dapat mengetahui, bahwa ternyata Agung Sedayu memiliki ilmu yang pantas diperhitungkan.
"Ternyata aku tidak salah hitung untuk menempatkannya di sayap yang berbeda dari kedudukanku sendiri, sehingga dengan demikian ia akan dapat mengimbangi sayap di sebelah lain," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Ki Jurupun kemudian berkata, "Baiklah, Marilah kita kembali ke tempat kita masing-masing. Kita masih mempunyai sedikit waktu untuk istirahat."
"Beristirahatlah Agung Sedayu," sambung Raden Sutawijaya," besok kita akan benar-benar mengerahkan begenap kemampuan dan tenaga. Kita akan benar-benar berada dalam satu pertempuran yang sengit."
"Kita tidak sekedar bermain-main Agung Sedayu," tambah Ki Juru.
Agung Sedayu menarik nafas. Ia sadar, bahwa esok pagi pasukan Pajang dan pasukan Mataram akan bertempur. Titik berat pertempuran akan berada di kedua sayap pasukan, karena jusru di induk pasukan Pajang Kangjeng Sultan Hadiwijaya akan tetap memegang kendali.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Baiklah. Aku mohon diri."
Sejenak kemudian maka Agung Sedayupun telah meninggalkan tempat itu. Seperti saat ia datang, maka ketika ia melangkah pergi, maka Raden Sutawijaya dan Ki Jurupun mengangguk-angguk kecil.
"Ia sudah dapat menguasai getaran dari dalam dirinya. Ia mampu meredam bunyi," bisik Raden Sutawijaya.
Ki Juru mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Agung Sedayu masih mengetrapkan ilmunya meredam suara yang timbul dari sentuhan tubuhnya dan pernafasannya. Bukan maksudnya untuk menyombongkan diri. Namun dalam ketegangan itu, ia tidak sempat mengamati dirinya sendiri, sehingga ilmunya itu masih ditrapkannya.
Baru kemudian, ketika ia menyadarinya, ia merasa menyesal sekali. Seolah-olah ia dengan sengaja telah memamerkan ilmunya itu kepada Raden Sutawijaya dan Ki Juru, yang sebenarnya, memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi.
"Aku lupa menanggalkan ilmu itu," katanya didalam hati.
Tetapi hal itu sudah terlanjur dilakukannya. Betapapun juga ia menyesal, maka yang sudah terjadi itu tidak akan dapat dihapusnya lagi.
"Mudah-mudahan Raden Sutawijaya dan Ki Juru tidak memperhatikannya, atau mereka mengerti, bahwa dalam ketegangan perasaan, aku lupa melepaskannya," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, untuk menenangkan hatinya yang gelisah.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya dan Ki Jurupun kemudian meninggalkan tempat itu. Sebelum berpisah, Raden Sutawijaya berkata, "Ternyata ada orang pinunjul di pasukan Pajang selain adimas Benawa. Orang itu tentu orang yang kasar dan licik. Ia telah menyerangku dengan tiba-tiba. Untunglah Agung Sedayu melihatnya, sehingga ia akan berhati-hati menghadapinya apabila orang itu esok berada di sayap yang akan berhadapan dengan sayap Agung Sedayu."
Ki Juru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Orang itu perlu diperhatikan. Tetapi sulit untuk menemukannya diantara para Senapati Pajang yang banyak jumlahnya."
Raden Sutawijaya tidak menjawab. Namun kemudian iapun memisahkan diri dari Ki Juru yang kembali ke induk pasukan Mataram.
Sementara itu. Pangeran Benawa yang dengan diam-diam telah berada di pesanggrahan kembali terkejut ketika seseorang mencarinya. Dengan kepala tunduk, orang itu berkata, "Pangeran. Kangjeng Sultan Hadiwijaya telah memanggil Pangeran."
"Sekarang?" bertanya Pangeran Benawa.
"Ya, sekarang Pangeran. Ayahanda Sultan agaknya tidak dapat beristirahat. Mungkin oleh kegelisahan. Tetapi mungkin oleh suasana yang tidak menguntungkan bagi kesehatan ayahanda Pangeran," jawab orang itu.
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, "Aku akan segera menghadap. Pergilah dahulu."
Orang itu mengangguk hormat. Kemudian iapun melangkah surut meninggalkan Pangeran Benawa yang termangu-mangu.
Tetapi ia tidak mau membuat ayahandanya bertambah gelisah. Jika kesehatannya menjadi semakin buruk, maka ayahanda Pangeran Benawa itu memerlukan perhatian khusus, justru pada saat pasukan Pajang dan Mataram sudah siap untuk bertempur. Jika ayahandanya tidak dapat mengekang kekuatan di induk pasukan, maka pasukan Mataram akan cepat menjadi hancur, terutama diinduk pasukannya.
Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera membenahi pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia telah menyusul orang yang telah diutus oleh ayahandanya untuk memanggilnya.
Ketika ia sampai di bilik pesanggrahan ayahandanya, maka dilihatnya ayahandanya duduk di bibir pembaringannya. Wajahnya nampak tidak terlalu suram, sehingga kesannya ayahandanya justru menjadi bertambah baik keadaan kesehatannya.
"Duduklah disini Benawa," panggil Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa ragu-ragu. Tetapi ayahandanya memintanya untuk duduk disebelahnya.
"Aku akan berbicara sedikit," desis Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa tidak dapat menolak. Iapun kemudian duduk disisi ayahandanya.
"Apakah kau gagal mengetahui siapa yang telah menyerang Senapati Ing Ngalaga?" bertanya Kangjeng Sultan.
Pertanyaan itu mengejutkan Pangeran Benawa. Dengan kerut di dahinya ia bertanya, "Darimana ayahanda mengetahuinya?"
Kangjeng Sultan sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia berkata, "Orang itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Ia berhasil lolos dari tiga orang yang mumpuni. Kau, Senapati Ing Ngalaga dan Ki Juru Martani. Tetapi soalnya, karena kalian terkejut melihat serangan yang tidak jantan sama sekali itu, sehingga orang itu sempat melarikan diri."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak perlu bertanya lagi. Dengan demikian jelas baginya, bahwa orang yang datang sesudahnya dan menunjukkan kedua orang Mataram yang ada disekitarnya tentu ayahandanya Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
Karena itu katanya, "Ayahanda, aku memang gagal mengetahui siapa orang itu. Tetapi apakah ayahanda dapat mengetahuinya?"
"Aku juga tidak berhasil, justru karena aku semula tidak begitu menaruh perhatian atasnya ketika ia menyatakan kesediaannya untuk kembali. Aku sadar, bahwa orang itupun tentu memiliki ilmu yang tinggi. Jika terjadi benturan kekerasan, meskipun seandainya kita berhasil menguasainya, namun keadaan itu tentu memancing keributan yang dapat mengacaukan semua rencana. Karena itu, aku memutuskan untuk menunda niatku untuk mengetahuinya," jawab Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Iapun mempunyai pertimbangan yang serupa. Namun orang itu benar-benar terlepas dari pengamatannya.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Sultanpun kemudian berkata, "Benawa. Peristiwa ini nampaknya dapat sedikit menyegarkan tubuhku. Tetapi agaknya aku telah memaksa diri sehingga tidak menguntungkan bagi kesehatanku. Namun aku berharap bahwa aku tidak akan mengalami kesulitan selama aku mengendalikan orang-orang Pajang, terutama yang berada di induk pasukan, termasuk Adipati Tuban dan Demak."
"Aku akan berusaha membantu ayahanda sejauh dapat aku lakukan," jawab Pangeran Benawa.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja pandangan matanya menjadi sayu. Dengan suara sendat ia berkata, "Benawa. Ada sesuatu yang melonjak didalam hatiku mendengar kesediaanmu. Aku gembira sekali, tetapi juga menyesal. Kenapa kau tidak mengatakan hal itu jauh sebelum peristiwa seperti ini terjadi. Jika demikian, mungkin perjalanan sejarah Demak yang kemudian beringsut ke Pajang akan menjadi berbeda."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Sudahlah," berkata Kangjeng Sultan, "kembalilah kepada pasukanmu. Kau adalah Senapati pengapit esok pagi Beristirahatlah. Aku kira orang yang menyeberang ke tebing Barat itu tidak akan mengulangi usahanya setelah ia mengetahui, bahwa di seberang ada juga orang-orang yang berkemampuan tinggi."
Diseberang, Agung Sedayu berjalan menyusuri tebing kembali ke tempatnya dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengganggu orang-orang yang sedang beristirahat. Namun langkahnya tertegun ketika ia melihat dua orang sedang menegurnya.
"Guru," desis Agung Sedayu yang melihat Kiai Gringsing dan Ki Waskita berdiri di dekat sebuah gerumbul.
"Aku melihat kau mendekati orang-orang yang sedang menyamar diri itu," berkata Kiai Gringsing.
"Aku hanya ingin tahu saja guru," jawab Agung Sedayu.
"Ketika aku melihat kau mendekat, aku justru menahan diri untuk tidak menyaksikan apa yang terjadi, agar tidak membuat suasana bertambah ribut," berkata Ki Waskita.
"Guru mengikuti aku?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak. Hanya secara kebetulan aku melihat kau mendekati mereka yang sedang berada di tebing. Aku tidak mendengar langkahmu dan juga tarikan nafasmu. Jika tidak secara kebetulan, aku kira aku tidak akan melihatmu," berkata Kiai Gringsing.
"Ah," desah Agung Sedayu, "tentu bukan begitu."
"Aku gurumu," jawab Kiai Gringsing, "jika aku mengatakannya, tentu bukan sekedar basa-basi. Kau tahu itu. Semuanya kami lihat secara kebetulan. Kami berdua memang berada di tebing waktu itu. Secara kebetulan kami melihat sesosok bayangan. Selanjutnya, kami berdua berusaha untuk mengikutinya. Tetapi kemudian kami telah mendengar suara orang bercakap-cakap. Tentu tidak hanya seorang, sehingga kami tidak berusaha untuk lebih dekat lagi sebelum kami tahu pasti apa yang terjadi. Sementara itu, kami bersembunyi didalam gerumbul di dalam semak-semak. Pada saat itulah, kami melihat kau lewat. Agaknya perhatianmu sepenuhnya kau tujukan kepada orang orang di tebing itu, sehingga kau tidak melihat kami berdua."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu saja aku tidak dapat melihat guru berdua dengan Ki Waskita. Tentu guru dan Ki Waskitapun mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari pengamatan orang yang tidak dikehendaki."
"Tetapi seperti gurumu, aku melihat ilmumu memang sudah semakin meningkat Agung Sedayu. Jika kami yang tua tua ini memuji, jangan kau sangka kami sekedar ingin memuji," berkata Ki Waskita.
"Sudah lama aku mengikuti, bahwa kau memiliki ilmu peredam bunyi. Tetapi ternyata bahwa ilmumu sudah terlalu jauh dari yang aku duga," tambah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih guru. Sekarang, perkenankanlah aku beristirahat."
"Kamipun ingin beristirahat pula sebelum ayam jantan berkokok yang terakhir kalinya. Karena pada saat itu, kami harus sudah bersiap di dalam barisan," sahut Kiai Gringsing.
Ketiganya kemudian pergi ke tempat masing-masing. Mereka masih ingin beristirahat barang sebentar, agar tubuh mereka menjadi semakin segar.
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin sepi. Yang terdengar adalah langkah-langkah beberapa orang prajurit yang meronda, mengamati lingkungan masing-masing. Namun sebenarnyalah mereka tidak mampu mengamati beberapa orang baik dari Pajang maupun dari Mataram yang dengan sengaja ingin menyusup diantara pengamatan mereka.
Tetapi orang yang disebut Kakang Panji itu mengumpat-umpat sambil berbaring disebelah seorang kepercayaannya, sehingga orang yang masih belum sempat tidur itu berkata, "Kakang Panji jangan mengumpati aku."
"Dungu. Aku tidak mengumpati kau. Aku mengumpati orang-orang yang berhasil melihat kedatanganku di sebelah Barat Kali Opak," geram orang yang disebut Kakang Panji.
"Sudahlah. Bukankah mereka tidak berhasil mengenali kakang?" bertanya kawannya.
"Tidak. Bahkan aku dapat menyerang seorang diantara orang-orang Mataram itu," jawab Kakang Panji.
"Orang itu berhasil kau bunuh?" bertanya kawannya.
"Menurut perhitunganku, orang itu akan mati. Aku menyerang tanpa peringatan dan tanpa ancang-ancang," jawab Kakang Panji, "jadi esok pagi akan kita lihat, apakah Sutawijaya atau Ki Juru Martani yang tidak hadir di peperangan. Karena menurut perhitunganku, dua orang Mataram itu tentu Sutawijaya dan Ki Juru. Tidak ada orang lain di Mataram yang memiliki kemampuan setinggi kedua orang itu, atau setidak-tidaknya mendekati."
Kepercayaannya yang berbaring disisinya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia ingin dapat tidur barang sekejap, sebelum esok pagi harus maju ke-medan.
Karena orang yang ada disebelahnya tidak menyahut lagi, maka orang yang disebut kakang Panji itupun kemudian terdiam, ia harus menelan satu kenyataan, bahwa ia bukan orang yang tidak ada duanya diseluruh jagad Pajang dan Mataram.
Sejenak kemudian, maka seberang menyeberang Kali Opak itupun menjadi kian sepi. Yang masih bertugas membuat perapian menjadi semakin besar karena dinginnya malam semakin menggigil tulang. Sementara dua diantara mereka harus nganglang mengamati tebing di daerah tugas masing-masing.
Ketika dedaunan menjadi basah oleh embun, maka beberapa orang petugas di kedua belah pihak telah bangun. Mereka adalah juru makanan yang harus mempersiapkan makan pada pemimpin di kedua belah pihak dan para prajurit dan pengawal yang jumlahnya cukup banyak. Karena itu, baik bagi Pajang maupun bagi Mataram, setiap kelompok telah ditunjuk petugasnya masing-masing, agar persiapannya dapat dilakukan lebih cepat.
Dengan tergesa-gesa para petugas itu lebih mempersiapkan minum dan makan pagi sebelum pertempuran akan pecah disaat matahari terbit. Para prajurit dan para pengawal harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya sebelum turun kemedan.
Dengan demikian, maka di kedua pesanggrahan itu, suasana sudah mulai terasa sibuk.
Pada saat yang demikian, maka para petugas yang merondapun sempat untuk tidur sejenak, kecuali beberapa orang yang telah sempat tidur di belahan pertama malam yang terasa terlalu gelisah itu.
Namun dalam pada itu, ketika bintang-bintang sudah mulai menjadi redup, maka pesanggrahan pasukan Pajangpun mulai digetarkan oleh suara sangkakala. Disusul oleh suara bende dan genderang yang menggegelar membelah sepinya sisa malam.
Para prajurit Pajang yang masih tidur nyenyak itupun segera terbangun. Dengan cepat mereka membenahi diri. Sebagaimana sepasukan prajurit terlatih, maka dalam waktu yang singkat, mereka telah siap untuk bertempur.
Tetapi merekapun menyadari, bahwa langit masih belum terang benar. Karena itu, maka merekapun masih mempunyai kesempatan menunggu sejenak, sementara para petugas mulai mengantar minuman dan makanan.
Para prajurit itupun kemudian makan sekenyang-kenyangnya. Mereka tidak tahu, apakah perang itu akan cepat dapat diselesaikan, atau sampai saatnya matahari terbenam mereka masih belum berhasil memecahkan pertahanan Mataram, sehingga di malam mendatang, mereka harus menarik diri kembah ke pasanggrahan dan turun lagi kemedan dihari berikutnya.
Dalam pada itu, suara sangkakala, genderang dan bende dari pasukan Pajang itupun telah membangunkan para pengawal, anak-anak muda dan orang-orang yang berada di pasukan Mataram. Bahkan beberapa orang diantara merekapun telah melepaskan panah-panah sendaren melambung keatas sehingga terdengar siulan nyaring diudara susul menyusul.
Tetapi panah-panah sendaren itu tidak saja terbang diatas pasukan Mataram dari ujung sayap kanan sampai ke ujung sayap kiri. Tetapi beberapa anak panah telah melesat jauh keluar dari pasukan dan sambung bersambung ke arah Utara.
Demikianlah, maka pasukan dikedua belah pihak itupun telah terbangun. Mereka telah mengisi perut mereka sebelum mereka akan turun kemedan. Sementara itu, para pemimpin kelompok telah mulai meneliti para prajurit dan pengawal yang menjadi tanggung jawabnya.
Di induk pasukan Kangjeng Sultan telah bersiap pula. Para pengawal pribadinya yang khususpun telah siap di muka rumah yang dipergunakan oleh Kangjeng Sultan sebagai pasanggrahan, sedang seorang srati telah mempersiapkan gajah yang akan dipergunakan Kangjeng Sultan maju kemedan.
Dengan jantung yang berdebar-debar kedua belah pihak telah menunggu matahari terbit di ujung Timur. Sementara mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat setelah mereka mengisi perut mereka dengan sekenyang-kenyangnya.
Namun dalam kegelisahan, orang-orang yang berada di pasukan kedua belah pihak itupun tidak lagi dapat berdiri diam. Tetapi rasa-rasanya kaki dan tangan mereka sudah siap untuk mulai dengan sebuah pertempuran yang besar dan menggetarkan.
Dalam pada itu, maka sekali lagi terdengar pekik sangkakala dan getar suara genderang. Satu pertanda bahwa saatnya telah tiba bagi padukan Pajang untuk mulai dengan sebuah pertempuran yang mendebarkan.
Dalam pada itu, maka Matarampun telah mengimbanginya pula. Suara genderangpun telah membelah suasana yang dicengkam oleh ketegangan.
Pasukan di kedua belah pihakpun telah bersiap Para Senapati yang akan memimpin pasukannya masing-masing menjadi sibuk mengatur barisannya menyesuaikan dengan tugas yang telah dibebankan kepada mereka masing-masing.
Sejenak kemudian, maka pasukan dikedua belah pihakpun telah bersiap. Di induk pasukan Pajang, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang telah bersiap dengan menyelipkan pusakanya yang tidak terpisah dari padanya. Sebilah keris yang disebutnya dengan Kangjeng Kiai Crubuk. Sementara Pangeran Benawapun telah bersiap pula sebelah menyebelah dengan Adipati Tuban, sementara di belakang pasukan pengawal khusus Adipati Demakpun telah bersiap pula dengan pasukannya.
Namun dalam pada itu, Kangjeng Sultan tidak segera naik kepunggung gajahnya. Dengan wajah yang berkerut dipandanginya tebing Kali Opak, sementara pasukan Mataram telah mulai bergerak mendekati tebing.
Kangjeng Sultan itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun pasukan induk Mataram di lengkapi dengan tanda-tanda kebesaran, namun ketajaman penglihatan batinnya dapat mengetahui, bahwa sebenarnyalah induk pasukan Mataram itu terlalu lemah untuk menghadapi induk pasukan Pajang, apabila kedua pasukan itu benar-benar akan berbenturan.
Namun Ki Jurupun tidak membiarkan kesan yang demikian itu dapat ditangkap oleh orang-orang Pajang. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk membuat kesan yang lain.
Karena itulah, maka orang-orang Pajang yang melihat pasukan Mataram yang segelar-sepapan, menjadi berdebar-debar juga. Ternyata Mataram juga mampu mengerahkan pasukan yang besar untuk mengimbangi para prajurit Pajang.
Tetapi para pengawal khusus Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan para Senapati yang ada di induk pasukan menjadi heran. Mereka melihat bahwa Kangjeng Sultan tidak segera memerintahkan pasukan Pajang untuk menggempur pasukan Mataram. Sedangkan pasukan Mataram telah berada beberapa langkah saja dari tebing sebelah Barat Kali Opak.
Namun dalam pada itu, para Panglima dan Senapati yang berada di sayap mempunyai sikap yang lain. Mereka memang tidak terlalu menghiraukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Meskipun dalam perhitungan mereka, Kangjeng Sultan itu harus membenturkan diri dan pasukan induknya melawan pasukan Mataram, sehingga keduanya akan menjadi hancur, tetapi ada dorongan yang lebih kuat dari perhitungan itu, untuk meninggalkan saja Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
"Pada saatnya hal itu akan terjadi," berkata Kakang Panji di dalam hatinya.
Karena itu, maka pasukan yang ada di sayap, agaknya tidak terlalu bersabar seperti pasukan Pajang yang berada di induk pasukan.
Oleh dorongan itulah, maka para Panglima dan Senapati yang berada di sayap pasukan Pajang, tanpa menunggu langkah pasukan induknya, telah mendahului menuruni tebing di sebelah Timur Kali Opak untuk langsung menyerang pertahanan pasukan Mataram.
Dalam pada itu, seorang Senapati di induk pasukan yang tidak sabar telah saling bertanya dengan kawan-kawannya, "Kenapa kita masih menunggu, sementara suara sangkakala dan genderang telah membelah langit."
Meskipun tidak seorangpun yang menyampaikan pertanyaan itu kepada Kangjeng Sultan, namun agaknya Kangjeng Sultan menyadari, bahwa para prajuritnya ingin mengetahui sikapnya itu.
Karena itu, maka katanya kepada seorang Senapati pengawal khususnya, "Beritahukan kepada para Senapati Pangapit, bahwa kita harus menunggu barang sejenak. Menurut pengamatanku, pasukan induk dari Mataram itu terlalu kuat. Mereka meletakkan kekuatannya pada pasukan induknya. Sehingga dengan demikian, maka sayap-sayap mereka menjadi lemah. Karena itu, aku membiarkan para Panglima dan Senapati di sayap pasukan ini mendahului bertindak. Tanpa perintahku, agaknya mereka menyadari dan telah melakukan satu langkah yang benar. Jika pasukan sayap Mataram mulai merasa terdesak dan menarik sebagian pasukan induk, maka barulah kita menyerang, agar kita tidak dihancurkan oleh pasukan Mataram pada saat kita memanjat tebing Kali Opak."
Para Senapati yang mendengar keterangan itu mengerutkan keningnya. Seorang diantara mereka berkata, "Kangjeng Sultan memang sudah terlalu tua untuk menjadi seorang Senapati. Ia terlalu hati-hati menghadapi medan."
Tetapi kawannya menjawab, "Tidak. Bukan terlalu tua. Justru Penglihatan Kanjeng Sultan yang melampaui ketajaman penglihatan kita. Kangjeng Sultan tidak mau memberikan korban tidak berarti bagi pasukan Pajang. Jika benar perhitungan Kanjeng Sultan, maka Mataram akan dihancurkan mulai dari sayap pasukan. Bukanlah sayap pasukan Pajang terlampau kuat. Pasukan khusus yang nggegirisi itu berada di sayap pula."
"Kau kagum atas pasukan khusus itu" Bagaimana dengan kemampuan pasukan khusus itu dengan pengawal khusus kita ini?" bertanya kawannya.
"Aku bangga akan pasukan kita ini. Tetapi aku tidak menutup kenyataan tentang pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru itu," jawab yang lain.
Keduanyapun kemudian terdiam. Mereka mulai melihat pasukan Pajang mendekati tebing di sebelah Barat, terutama sayap-sayap pasukan. Sebagaimana telah diperhitungkan oleh Kangjeng Sultan, bahwa mereka tidak akan menunggu sampai perintah dalam keseluruhan diberikan. Dan ternyata perhitungan itu tepat sekali.
Kangjeng Sultan memang menjadi berdebar-debar ketika melihat pasukan Pajang yang besar dan kuat itu meloncati bebatuan di Kali Opak. Arus airnya yang tidak terlalu besar, nampaknya tidak menjadi hambatan sama sekah bagi prajurit Pajang itu.
Dalam pada itu, pasukan Mataram telah menjadi semakin menepi. Mereka telah mempersiapkan segala macam senjata yang ada. Namun seperti yang telah mereka sepakati kemudian, maka mereka akan mempergunakan anak panah dan lembing untuk menghambat kemajuan pasukan Pajang yang akan memanjat tebing disebelah Barat Kali Opak.
Tetapi hal itu telah diperhitungkan pula oleh pasukan Pajang. Mereka telah menempatkan pasukan berperisai di bagian terdepan dari pasukan Pajang untuk melindungi pasukan itu dari patukan anak panah yang akan menghujani pasukan Pajang.
Namun dalam pada itu, panah sendaren yang melesat keluar dari daerah pertahanan Mataram telah menyebabkan isyarat bersambung. Panah sendaren yang jatuh di satu padukuhan telah disambung oleh beberapa orang petugas di padukuhan itu dengan melontarkan panah sendaren. Sambung bersambung.
Ternyata isyarat itu telah menggerakkan beberapa orang pengawal yang berada di dua buah bendungan yang terletak di jalur Kali Opak itu pada jarak yang tidak terlalu jauh. Dengan serta merta maka orang-orang itu telah memecahkan masing-masing sebuah bendungan yang telah membuat kedung dan waduk untuk menyimpan air bagi musim kering.
Dengan demikian, maka waduk dan kedung itupun telah melemparkan airnya ke Kali Opak, sehingga menumbuhkan banjir. Limpahan air kedung yang berada di bagian atas telah mendorong air di waduk yang berada di bagian bawah, sehingga ketika bendungan di bagian bawah itupun pecah, maka telah terjadi banjir.
Banjir itulah yang tidak diperhitungkan oleh pasukan Pajang.
Sementara itu, para prajurit Pajang telah merayap mendekati tebing sebelah Barat. Sedangkan pasukan Mataram telah mulai melontarkan anak panah dari busur-busur mereka, dan lembing-lembing yang mereka lontarkan dengan sepenuh tenaga.
Tetapi para prajurit Pajang telah mempersiapkan perisai untuk melawan anak panah dan lembing itu sehingga mereka masih tetap merangkak maju. Yang sudah sampai ketebing, telah berusaha untuk memanjat sambil melindungi diri mereka dengan perisainya.
Tetapi tidak mudah untuk menembus pertahanan orang-orang Mataram. Disebelah sayap terdapat Pasukan Khusus yang telah ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan disayap yang lain adalah para prajurit Pajang termasuk orang-orang terpilih yang dipimpin oleh Sabungsari.
Karena itu, ketika orang-orang Pajang berusaha merangkak naik, maka pertempuran sebenarnya telah mulai.
Namun dalam pada itu, para Sepapati dari kedua belah pihak masih belum melibatkan diri langsung dalam pertempuran itu. Mereka masih harus mengawasi keseluruhan dari pasukannya dalam hubungannya dengan pasukan yang sama-sama berdiri di satu pihak, maupun pasukan lawan.
Dalam pada itu, ketika pertempuran di bibir tebing sebelah Barat itu menjadi semakin sengit, maka terjadilah banjir yang tidak diduga sebelumnya. Ujung banjir yang bagaikan kepala seekor naga dengan ekornya yang berwarna coklat kehitam-hitaman menjalar dengan kecepatan yang mendebarkan.
Satu dua orang prajurit Pajang telah mulai mencapai tanggul. Beberapa orang kawan merekapun sempat menyusul, meloncat naik. Tetapi ada pula diantara mereka yang gagal karena ujung lembing lawan telah melemparkannya kembali ketepian, sementara kaki-kaki kawan sendiri tidak lagi sempat menghindari tubuhnya yang tergelincir jatuh.
Namun dalam pada itu, terdengarlah suara titir yang menggetarkan. Siiara titir itu juga tidak diperhitungkan oleh orang-orang Pajang.
Beberapa orang di bagian atas Kali Opak, yang tidak langsung melihat benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram, telah dikejutkan pula oleh banjir yang tiba-tiba. Satu hal yang sangat aneh menurut pengertian mereka. Tidak ada mendung yang tergantung dilangit. Diatas Prambanan, maupun diatas Gunung Merapi. Tidak ada hujan dan angin yang kencang. Namun tiba-tiba saja banjir yang besar telah datang melanda bebatuan.
Karena itulah, tanpa berpikir panjang mereka telah memukul kentongan dalam nada titir. Sambung bersambung. Meskipun suara titir itu tidak sampai ke padukuhan-padukuhan di Prambanan yang telah kosong, karena para penghuninya telah mengungsi, tetapi suaranya dikejauhan itu dapat didengar oleh beberapa orang prajurit Pajang yang sedang bertempur.
Agaknya suara titir itu telah menarik perhatian. Apalagi ketika seorang Senapati berusaha untuk meyakinkan pendengarannya dengan meloncat keatas sebongkah batu padas.
Buku 164 SUARA titir itu menjadi semakin jelas, sementara itu, dengan jantung yang berdebaran ia melihat air yang datang bergulung menyusuri Kali Opak.
Dengan tangkasnya ia meloncat turun. Kemudian dengan sekuat-kuatnya ia berteriak, "Banjir. Banjir itu datang."
Suaranya yang mula-mula tidak terdengar itu, ternyata telah disahut dan disambung oleh seorang Senapati yang lain, yang mendengar teriakan itu. Meskipun agak ragu, namun iapun berteriak pula, "Banjir, Banjir."
Suara mereka hampir tenggelam dalam hiruk pikuk pertempuran. Tetapi yang mendengar teriakan itu telah berteriak pula, "Banjir"
Tidak banyak waktu yang ada untuk meyakini teriakan-teriakan itu. Tetapi agaknya beberapa orang telah mendengar suara gemuruh yang mengumandang diantara Kali Opak.
Para Senapati yang tidak terlibat langsung dalam peperangan, karena tugas mereka, masih mempunyai kesempatan. Ketangkasan gerak dan kemampuan mereka telah berhasil melemparkan mereka kembali ke tebing sebelah Timur Kali Opak. Namun sebagian para prajurit yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya dalam benturan senjata di tebing sebelah Barat, sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan itu.
Hanya para prajurit yang masih belum terlibat langsung sajalah yang ternyata mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri dari banjir itu.
Sejenak kemudian, ketika gemuruh air itu menjadi semakin dekat, maka teriakan-teriakan peringatan sudah tidak banyak berarti. Para prajurit yang tidak sempat menghindarkan diri, ternyata tidak sempat berbuat banyak. Air itu telah mendorong mereka sehingga sebagian dari para prajurit Pajang yang telah berada di Kali Opak itu telah dihanyutkan. Hanya mereka yang memiliki kekuatan yang luar biasa, dan kemampuan berenang yang tinggi sajalah yang berhasil menyelamatkan diri menyusul kawan-kawan mereka yang telah lebih dahulu berloncatan ketebing sebelah Timur pada saat air itu datang.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila," geram seorang Senapati yang hanya oleh satu dua orang saya diketahui, bahwa orang itulah yang disebut Kakang Panji, "apakah artinya banjir ini."
Sementara Tumenggung Prabadaru yang hampir saja hanyut dan telah diselamatkan oleh sebatang pohon yang merunduk di pinggir Kali Opak itupun mengumpat sejadi-jadinya. Beberapa orang dari pasukan khususnya yang dibanggakannya, telah hanyut pula. Meskipun sebagian dari mereka berhasil menyelamatkan diri, kembali ke sebelah Timur Kali Opak dan yang lain, yang tidak sempat mencapai tebing, ada pula yang berhasil berenang menepi, meskipun nafasnya hampir terputus karenanya.
Yang bernasib buruk lainnya adalah mereka yang sudah berada di tebing sebelah Barat. Mereka tidak dapat melangkah surut. Sementara kawan-kawan mereka yang berada di belakang mereka telah dihanyutkan oleh banjir.
Karena itu, betapapun tinggi kemampuan mereka dan gigihnya perlawanan mereka, namun akhirnya merekapun terpaksa membiarkan diri mereka dikuasai oleh orang-orang Mataram, sehingga mereka menjadi tawanan yang terdahulu diantara kawan-kawannya.
Kangjeng Sultan Hadiwijaya memperhatikan banjir itu dengan hati yang berdebar-debar. Seorang, Senapati dari Tuban berdesis, "Untunglah, kita belum menyeberang Kali Opak. Agaknya ketajaman penglihatan batin Kangjeng Sultan telah mencegahnya untuk turun."
"Bagaimanapun juga, Kangjeng Sultan Hadiwijaya masih seorang yang mempunyai ilmu linuwih," sahut kawannya.
Dalam pada itu, beberapa orang Senapati sibuk mengatur barisannya yang telah dikacaukan oleh banjir di Kali Opak. Banjir yang datang tiba-tiba tanpa gejala dan tanda-tanda.
Kemarahan telah menghentak setiap dada orang Pajang, terutama pasukan-pasukan yang berada di sayap sebelah-menyebelah. Sebagian dari mereka telah larut. Sementara sebagian yang lain dengan pakaian basah kuyup berhasil menyelamatkan diri kembali ke tebing sebelah Timur.
Sejenak orang-orang Pajang itupun memperhatikan banjir yang terjadi di Kali Opak. Sangkrah, kekayuandan bahkan batu-batupun bergetar didorong oleh kekuatan air yang meluncur dengan derasnya.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" bertanya seorang Senapati kepada seorang kawannya dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
"Aneh sekali," sahut kawannya, "sebagian dari kawan-kawan kita tidak berhasil menyelamatkan diri dari amukan air yang melibat mereka."
"Gila. Agaknya Senapati Ing Ngalaga telah berhasil menghubungi para lelembut di Gunung Merapi sehingga mereka telah menurunkan banjir," berkata Senapati itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Banjir yang mencurigakan itu memang tidak berlangsung terlalu lama. Sebelum matahari sampai kepuncak langit, airpun telah mulai menjadi surut. Demikian cepatnya, seperti tiba-tiba saja air itu pulih kembali seperti sebelumnya.
Yang kemudian berkembang adalah dugaan, bahwa Senapati Ing Ngalaga telah mempergunakan kekuatan lelembut dan orang-orang halus di Gunung Merapi untuk menumpahkan air ke ujung Kali Opak, sehingga sungai itu menjadi banjir dan membunuh sebagian dari prajurit Pajang.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Sultanpun telah memanggil para Panglima untuk bertemu ketika banjir sudah reda. Dengan ragu-ragu Kangjeng Sultan bertanya, "Apakah hari ini ada gairah kalian untuk menyerang?"
Para Panglima tidak segera menjawab. Tetapi dari wajah mereka memancar keengganan. Rasa-rasanya mereka sedang berusaha untuk memperbaiki kekecewaan yang telah mencengkam jantung mereka.
Karena itu, maka Kangjeng Sultanpun berkata, "Nampaknya, waktu sudah menjadi terlalu pendek hari ini. Kita tunda pertempuran sampai esok."
Ternyata keputusan itu telah disepakati. Sementara itu para Panglima akan sempat menghitung pasukan mereka yang telah berkurang ditelan oleh banjir yang aneh itu, sementara yang lain tertawan
Namun dalam pada itu, kecuali kenyataan bahwa kekuatan Pajang telah berkurang, rasa-rasanya dalam hati para prajurit telah timbul satu persoalan tersendiri. Mereka menganggap bahwa Senapati Ing Ngalaga mempunyai satu kekuatan di luar kekuatannya sendiri, sehingga Kali Opakpun dapat dikuasainya.
Dengan demikian, maka kegarangan mereka, baik dari para prajurit kebanyakan, maupun dari mereka yang termasuk dalam pasukan khusus serta para pengikut orang-orang terpilih yang mendukung usaha untuk menumbuhkan kembali satu kekuasaan yang besar seperti masa kebesaran Majapahit, telah susut.
Namun dalam pada itu, orang-orang Pajang tidak berniat untuk menarik pasukannya. Dengan pasukan yang ada, yang ternyata menurut perhitungan para Panglima masih tetap cukup kuat untuk menghadapi orang-orang Mataram, esok akan mengulangi serangan mereka.
"Bagaimana jika esok Kali Opak itu banjir lagi?" bertanya seorang Senapati.
"Tidak," sahut Ki Tumenggung Prabadaru, "aku akan berada didepan. Biar akulah yang hanyut pertama kali atau dibantai oleh orang-orang Mataram jika aku sampai ketebing di seberang, sementara kawan-kawan kita dihanyutkan lagi oleh banjir."
Senapati itu tidak menjawab. Namun sesuatu masih terasa bergejolak didalam dadanya.
Tetapi hari itu. orang-orang Pajang lebih banyak merenungi kegagalan mereka karena banjir yang tiba-tiba datang. Mereka dengan penyesalan mengenang kawan-kawan kereka yang mati tenggelam. Satu kematian yang tidak diharapkan oleh seorang prajurit yang justru telah berada di medan perang.
Namun hal itu telah terjadi. Mereka tidak akan dapat menolak kenyataan yang telah terjadi. Dan merekapun tidak dapat mengingkari, bahwa kekuatan mereka telah susut.
Sementara itu, di seberang Barat Kali Opak, Senapati memperhatikan dengan saksama setiap gerakan orang-orang Pajang. Namun iapun mengerti, bahwa pasukan Pajang pada hari itu tidak akan mengulangi serangan mereka meskipun Kali Opak sudah tidak banjir lagi. Tetapi Senapati Ing Ngalagapun yakin, bahwa pasukan Pajang telah menjadi jauh berkurang. Selain mereka yang dihanyutkan oleh banjir, sebagian dari orang-orang Pajang itu telah berhasil ditawan, karena mereka yang sudah terlanjur menyeberang tidak didukung oleh kekuatan berikutnya, karena banjir itu juga.
Untara yang berdiri disamping Senapati Ing Ngalaga itupun memperhatikan orang-orang Pajang dengan saksama. Nampak kelesuan pada para prajurit Pajang. Mereka mundur dengan langkah yang berat, kembali ke pasanggrahan. Beberapa pucuk tunggul nampaknya sudah tidak tegak lagi seperti saat mereka mendekati tebing. Sedangkan genderang dan sangkakala tidak terdengar lagi mengiringi langkah para prajurit yang kembali ke pasanggrahan itu.
Beberapa lamanya keduanya memperhatikan orang-orang Pajang yang kembali ke Pasanggrahan mereka denggan lesu. Namun dengan nada dalam Senapati Ing Ngalaga berkata," besok mereka akan kembali dengan penuh dendam."
"Ya Raden," sahut Untara, "tetapi bagaimanapun juga, Raden sudah berhasil mengurangi kekuatan mereka."
Senapati Ing Ngalaga mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan ayahanda Sultan tetap berdada lapang melihat hari depan Pajang."
Untara mengangguk-angguk pula sebagaimana Senapati Ing Ngalaga. Sebenarnyalah bahwa Kangjeng Sultan Pajang masih tetap merupakan penentu dari keadaan yang akan terjadi di sebelah menyebelah Kali Opak itu. Jika Kangjeng Sultan menggerakkan induk pasukan Mataram akan mengalami kesulitan. Namun kehadiran Pangeran Benawa di induk pasukan itu, disamping Kangjeng Sultan sendiri, akan banyak memberikan harapan kepada Mataram.
Namun dalam pada itu, Senapati Ing Ngalagapun berkata, "Untara. Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati. Menurut pendapatku, sisa pasukan Pajang masih cukup kuat."
"Ya Raden. Tetapi ada semacam gangguan batin yang dapat memperlemah daya tempur mereka. Meskipun dendam akan semakin menyala, tetapi mereka agaknya sudah di sentuh oleh kekecewaan yang sulit untuk mereka abaikan, karena perasaan itu telah mencengkam jantung mereka," berkata Untara.
"Aku sependapat. Jika kita dapat memperbesar gangguan batin itu, maka kita akan lebih yakin bahwa mereka akan meninggalkan Kali Opak," berkata Raden Sutawijaya.
"Raden," berkata Untara, "kita dapat melakukannya. Esok pagi sangkakala, genderang dan bunyi-bunyian harus kita tingkatkan sebagai pertanda gejolak jiwa kita yang semakin membara. Mudah-mudahan bunyi-bunyian itu benar-benar akan dapat membantu para pengawal dan pasukan Mataram serta memperkecil gairah perjuangan orang-orang Pajang."
Ketika Raden Sutawijaya mendekatinya, maka Ki Juru itupun berkata, "satu pembunuhan mendebarkan."
"Hal itu terpaksa kita tempuh paman," sahut Raden sutawijaya, "Karena jika tidak demikian, maka pasukan kita sendirilah yang akan kehilangan gairah hari ini. Mungkin lebih banyak dari orang-orang Pajang yang hanyut di Kali Opak itu."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sementara Raden sutawijaya berkata, "tetapi bagaimana menurut pendapat paman" Apakah pasukan Pajang yang tersisa masih juga akan mampu mengalahkan pasukan Mataram?"
"Tidak seorangpun yang akan dapat meramalkan. Siapakah yang lebih kuat sekarang ini," jawab Ki Juru, "tetapi yang terjadi atas pasukan Pajang itu benar-benar telah mengguncangkan jantung mereka."
"Bagaimana menurut pendapat paman, jika gangguan batin itu kita usahakan untuk mempengaruhi gairah perjuangan mereka," berkata Raden Sutawijaya.
"Apa maksud angger?" berkata Ki Juru.
Raden sutawijayapun kemudian menyatakan rencananya. Menjelang benturan kekuatan antara pasukan Mataram dan Pajang di esok hari, Mataram akan membunyikan segala pertanda perang yang ada dengan sekeras-kerasnya. Sementara itu, maka Raden Sutawijaya akan membunyikan pula bende Kiai Bicak yang mempunyai nada yang khusus diantara semua bende. Kecuali nada yang mampu menggetarkan udara sampai jarak yang cukup jauh.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia bertanya, "Untuk apa semuanya itu akan kita lakukan ngger?"
"Paman," berkata Raden Sutawijaya, "jika kita berhasil mempengaruhi batin orang Pajang, maka pertempuran yang akan terjadi tentu tidak akan sedahsyat yang kita perhitungkan sebelumnya. Betapapun orang-orang Pajang mendendam, namun tentu ada semacam keragu-raguan didalam hati mereka untuk bertindak tanpa kendali sama sekali."
"Apakah Raden membayangkan arti dari keadaan itu?" bertanya Ki Juru pula.
"Maksud Ki Juru" " Raden Sutawijayalah yang kemudian bertanya.
"Bukankah dengan demikian orang-orang Mataram akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk membantai orang-orang Pajang yang sedang ragu-ragu, cemas dan kehilangan pegangan karena pengaruh gangguan batin mereka?"
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun katanya, "Paman. Aku masih berharap, bahwa orang-orang Mataram tidak akan berbuat demikian. Mereka aku harapkan masih tetap sadar, bahwa yang kita hadapi sebenarnya adalah saudara sendiri. Jika kita berperang, adalah karena kita tidak dapat menerima sikap dan pendirian mereka yang menurut pendapat kita telah menyimpang dari paugeran beberayan bagi Pajang. Sementara itu, aku mengemban keinginan ayahanda sultan untuk membangun hari esok Pajang sesuai dengan cita-cita dan keinginan ayahanda. Sebagai seorang murid, maka aku harus melakukannya. Apalagi aku adalah puteranya dan sekaligus seorang Senapati dibawah perintahnya."
Sesuatu bergetar dihati Ki Juru. Tetapi ia tidak dapat membantahnya meskipun didalam hati ia berkata, "Yang dilakukan Kangjeng Sultan adalah sikap yang terbaik yang dapat diambil pada saat terakhir. Jika angger bersikap lain sebelumnya, maka keadaanpun akan berbeda. Tetapi memang sikap itulah yang terbaik sekarang ini."
Dengan demikian, maka bagaimanapun juga Ki Juru tidak menolak rencana Raden Sutawijaya. Iapun sadar, bahwa tanpa berbuat demikian, maka kemungkinan akan terjadi sebaliknya. Orang-orang Pajanglah yang akan membantai orang-orang Mataram. Jika orang-orang Pajang itu adalah orang-orang yang berkuasa tanpa batas, maka akibatnya tentu akan lebih parah.
Karena itu, maka Ki Jurupun kemudian berkata, "Segalanya terserahlah kepada Raden. Namun dengan satu sikap, bahwa kita akan berbuat sebaik-baiknya menghadapi tahap akhir dari pertempuran ini."
Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Percayalah paman. Aku adalah putera angkat Kangjeng Sultan Pajang itu sendiri."
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan Ki Juru Martani. Kiai Bicak harus diambil ke Mataram.
"Siapa yang akan berangkat?" bertanya Untara.
"Tidak ada orang lain yang akan dapat memasuki Gedung Perbendaharaan Pusaka kecuali aku. Seandainya aku mempercayakannya kepada orang lain, maka juru Gedung itupun tentu akan menolak memberikan pusaka Kiai Bicak kepada orang itu."
"Jadi Raden akan pergi sendiri?" bertanya Untara.
"Ya. Aku akan pergi sendiri," jawab Raden Sutawijaya.
Untara termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya," jangan pergi tanpa pengawal yang dapat dipercaya dalam keadaan seperti ini."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku mengerti. Tetapi sebaliknya, jika aku pergi tanpa pengawal, maka tidak seorangpun yang akan menduga, bahwa aku, Senapati Ing Ngalagalah yang lewat."
Untara mengerutkan keningnya. Iapun pernah mendengar, bahwa Senapati Ing Ngalaga itu sering menempuh perjalanan seorang diri dalam pakaian orang kebanyakan. Namun dalam keadaan yang gawat itu, maka perjalanan yang demikian akan mengandung bahaya yang sungguh-sungguh.
Agaknya Senapati Ing Ngalaga itu mengerti perasaan Untara. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Untara. Aku akan pergi berdua bersama Agung Sedayu. Aku percaya kepada anak muda itu, bahwa ia memiliki keampuhan yang jarang ada bandingnya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di medan ini ketika kami berdua berada di perjalanan."
"Menilik sikap orang-orang Pajang, mereka tidak akan berbuat apa-apa hari ini dan malam nanti. Mereka menjadi lesu dan kehilangan gairah perjuangan mereka hari ini. Jika malam nanti para pemimpin melreka berhasil membangunkan lagi kemauan mereka untuk bertempur, maka baru besok mereka akan menyerang."
Dalam pada itu, maka Senapati Ing Ngalagapun telah memerintahkan seorang penghubung untuk memanggil Agung Sedayu. Dengan sedikit penjelasan, maka Agung Sedayupun segera mengerti, bahwa ia harus mengikuti Senapati Ing Ngalaga itu kembali ke Mataram untuk mengambil sebuah bende yang bernama Kiai Bicak.
Perjalanan kedua orang itu harus bersifat rahasia. Selain yang seorang diantaranya adalah Senapati Ing Ngalaga itu sendiri, maka yang akan mereka bawa adalah sebuah pusaka yang sangat bernilai bagi orang Mataram.
Demikianlah, setelah Agung Sedayu minta diri kepada isterinya, gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede, maka iapun segera meninggalkan pasanggrahan bersama Senapati Ing Ngalaga itu sendiri.
"Hati-hatilah Untara," berkata Senapati Ing Ngalaga, "jika kau melihat sesuatu yang pantas kau curigai, katakan kepada paman Juru agar paman Juru dapat mengambil satu keputusan."
"Baik Raden. Tetapi bagaimana dengan sayap yang lain?" bertanya Untara.
"Masih ada orang-orang tua yang pantas dipercaya. Tetapi kau wajib selalu membuat hubungan dengan mereka," berkata Senapati Ing Ngalaga.
Sejenak kemudian, maka Senapati Ing Ngalaga itupun telah meninggalkan pasanggrahan menuju langsung ke Mataram. Satu perjalanan yang tidak terlalu jauh. Namun dalam suasana perang, maka jalan itupun terasa sangat sepi.
Beberapa padukuhan disekitar Prambanan memang menjadi sangat lengang. Para penghuninya kebanyakan telah mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari Prambanan, karena mereka tahu pasukan Mataram telah membangunkan pertahanan di sepanjang Kali Opak.
Dalam pakaian orang kebanyakan, tidak seorangpun yang menduga bahwa yang berkuda berdua dengan tergesa-gesa itu adalah Senapati Ing Ngalaga dari Mataram. Mereka menyangka bahwa dua orang yang masih muda itu, adalah orang-orang yang terpaksa menempuh perjalanan karena satu kepentingan yang tidak dapat ditunda, meskipun baru dalam suasana perang.
Kedatangan Raden Sutawijaya ke rumahnya di Mataram telah mengejutkan para petugas yang berjaga-jaga. Seorang Senapati yang rambutnya sudah mulai memutih berlari-lari menyongsongnya dengan tatapan mata penuh kecemasan.
"Raden, apakah aku harus menyiapkan pasukan cadangan yang masih ada?" bertanya Senapati itu.
Tetapi Raden Sutawijaya berkata, "Tidak paman. Keadaan medan masih cukup baik. Hari ini tidak terjadi pertempuran. Mungkin besok pagi-pagi benar orang-orang Pajang akan mulai menyerang."
"O," Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun bertanya, "Agaknya karena itu Raden sempat kembali hari ini" " Tetapi apakah perjalanan Raden bukan merupakan perjalanan yang sangat berbahaya, apalagi hanya berdua saja."
"Tidak banyak orang dapat mengenali kami berdua dalam keadaan seperti ini," jawab Raden Sutawijaya, "baiklah paman. Ada sesuatu yang penting, kenapa aku kembali hari ini, dan malam nanti aku harus sudah berada di medan lagi."
"Tentu ada sesuatu yang penting sekali Raden," sahut Senapati itu.
Raden Sutawijaya mengangguk. Sekali lagi ia menepuk bahu orang itu sambil berkata, "Hati-hatilah mengamati bukan saja rumah ini. Tetapi seluruh kota Mataram."
"Baik Raden. Para pengawal yang tidak ikut serta kemedan, telah melakukan tugas mereka sebaik-baiknya," jawab pengawal itu.
Raden Sutawijaya dan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan Senapati itu. Setelah mengikat kuda mereka, maka keduanyapun telah naik kependapa dan langsung masuk keruang dalam.
"Marilah," ajak Senapati Ing Ngalaga ketika ia melihat keragu-raguan Agung Sedayu memasuki ruang dalam.
Agung Sedayu memang tidak mempunyai pilihan lain. Iapun kemudian mengikuti Raden Sutawijaya masuk keruang dalam. Bahkan langsung melalui pintu samping, melintasi serambi dan turun kelongkangan.
Senapati Ing Ngalaga tertegun ketika dilihatnya dua orang pengawal menundukkan tumbaknya. Namun ketika mereka kemudian mengenalinya sebagai Senapati Ing Ngalaga, maka keduanyapun telah membungkuk dengan hormatnya.
"Kita langsung ke Gedung Pusat," desis Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk kecil sambil mengikuti Raden Sutawijaya yang menuju kesebuah pintu yang kuat dan berat di belakang kedua pengawal yang berjaga-jaga.
"Dimana paman Hangga?" bertanya Raden Sutawijaya kepada pengawal yang termangu-mangu itu.
"Ada di ruang belakang Senapati," jawab salah seorang dari kedua pengawal itu.
"Panggil kemari," berkata Raden Sutawijaya selanjutnya.
Salah seorang dari kedua pengawal itupun dengan tergesa-gesa telah pergi ke ruang belakang untuk memanggil Hanggadipa, juru gedung yang bertanggung jawab atas pusaka-pusaka yang ada didalamnya.
Seperti para pengawal yang lain, maka Hanggadipa itupun tergopoh-gopoh menghadap Raden Sutawijaya sambil bertanya, "Apakah yang Raden kehendaki" Bukankah Raden hari ini berada di medan?"
"Ya paman. Aku telah meninggalkan medan sesaat untuk mengambil satu jenis pusaka yang aku perlukan," jawab Raden Sutawijaya.
Hanggadipa tidak merasa perlu untuk tanya, pusaka apa yang dikehendaki oleh Senapati Ing Ngalaga. Jika ia sudah menemukan pusaka itu dan membawanya, maka ia tentu akan memberi tahukan kepada juru gedung, agar ia tahu pasti, pusaka apakah yang sedang tidak berada di dalam Gedung Perbendaharaan Pusaka itu.
Sejenak kemudian, maka Hanggadipapun telah membuka pintu gedung itu. Sekilas bau yang harum telah menyentuh hidung.
Ketika Raden Sutawijaya kemudian memasuki ruang itu, maka Agung Sedayupun mengikutinya.
Disebelah pintu Agung Sedayu termangu-mangu. Ruang itu tidak terlalu terang, meskipun sebuah pelita minyak sedang menyala. Disudut ruang nampak langes bekas asap yang kehitam-hitaman, sementara sebuah anglo nampak berasap.
Ternyata pintu itu adalah satu-satunya lubang pada ruang pusaka yang pengap itu. Meskipun disiang hari, ruang itu tidak diterangi oleh cahaya matahari. Bahkan dengan pelitapun nampaknya ruang itu masih tetap remang-remang.
Diruang itu terdapat beberapa buah pusaka yang paling dihormati oleh Mataram. Beberapa pucuk tombak didalam selongsongnya. Bunga melati dalam untaian yang sudah menjadi layu membelit pada tangkai tombak itu. Sementara beberapa buah peti nampak tertutup rapat. Agaknya beberapa jenis pusaka ada didalamnya. Bahkan ada beberapa buah songsong yang agaknya bukan songsong kebanyakan.
Sejenak Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah mendekati sebuah peti yang tidak begitu besar. Sambil menyentuh peti itu ia berkata, "Disini disimpan sebuah bendera pusaka yang jarang sekali dikeluarkan."
Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu. Raden Sutawijaya kemudian mendekati sebuah peti yang lain. sambil berjongkok dan membuka tutupnya ia berkata, "Inilah bende itu. Kiai Bicak.
Raden Sutawijayapun kemudian menunduk hormat sebelum ia mengeluarkan sebuah bende yang masih berada didalam selongsong.
Agaknya bende itu cukup berat, sehingga katanya, "Marilah. Kita bawa bende ini keluar."
Ketika Agung Sedayu akan menerima benda itu, maka seperti yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya, maka iapun telah menunduk hormat. Kemudian diterima bende itu dari tangan Raden Sutawijaya.
Bende itu memang berat. Karena itu, maka Agung Sedayu dapat menduga, meskipun ia tidak melihat ujudnya karena bende itu terbuat dari logam yang tebal.
Sementara Raden Sutawijaya menutup kembali peti itu. Agung Sedayupun telah melangkah keluar. Tetapi langkahnya terhenti, ketika dimuka pintu berdiri Ki Hanggadipa.
"Aku yang menyerahkan kepadanya," berkata Raden Sutawijaya.
Ki Hanggadipa menarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian, barulah ia bergeser memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk melangkah keluar.
Sejenak kemudian, Raden Sutawijayapun melangkah keluar pula sambil berkata, "Kangjeng Kiai Bicak aku perlukan."
"Silahkan Raden," jawab Hanggadipa.
"Aku akan membawanya ke medan," sambung Raden Sutawijaya.
"Mudah-mudahan pusaka itu akan bermanfaat," jawab Hanggadipa pula.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Agung Sedayu, "Kita masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat. Kita akan pergi ke medan menjelang malam hari, agar tidak seorangpun yang melihat kita membawa bende itu."
"Terserah kepada Raden," jawab Agung Sedayu.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun kemudian telah dibawa oleh Raden Sutawijaya keruang tengah. Keduanya masih sempat menikmati hidangan yang dengan tergesa-gesa disiapkan.
Tetapi pada Raden Sutawijaya sendiri sama sekali tidak ada kesan ketergesa-gesaan itu. Dengan tenang Raden Sutawijaya duduk dan berbincang sambil menghirup minuman hangat dan menikmati beberapa potong makanan.
Baru ketika langit menjadi gelap. Raden Sutawijaya berkata, "Marilah. Kita kembali kemedan."
Keduanyapun kemudian bersiap. Agung Sedayu berkuda di belakang atas permintaan Raden Sutawijaya yang membawa pusaka bende itu sendiri.
"Kita harus berhati-hati," berkata Raden Sutawijaya, "mudah-mudahan pilihan kita atas waktu menguntungkan."
"Baiklah Raden," jawab Agung Sedayu.
Keduanyapun kemudian meninggalkan Mataram menuju ke Prambanan. Dalam kegelapan malam, tidak langsung dapat dilihat yang dibawa oleh Raden Sutawijaya yang telah membungkus selongsong bende yang putih itu dengan kain berwarna gelap.
Demikianlah keduanya berpacu dengan cepat. Yang mereka bawa adalah sebuah pusaka yang sangat berharga. Karena itu, maka mereka tidak dapat menghindarkan diri dari ketegangan selama dalam perjalanan.
Tetapi ternyata bahwa tidak ada hambatan apapun di perjalanan. Dalam keadaan yang gawat dan suasana perang, maka jalan menuju ke Prambanan benar-benar sepi. Sepanjang jalan dari Mataram sampai ke pinggir Kali Opak itu. Senapati Ing Ngelaga dan Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berjumpa dengan seorangpun kecuali mereka melihat satu dua orang yang berada di sawah mereka.
Kedatangan mereka di pasanggrahan telah disambut oleh Ki Juru Martani, para Senapati dan orang-orang tua yang berdiri di pihak Mataram. Merekapun kemudian bersepakat untuk mempergunakan cara yang telah mereka rencanakan. Ki Juru yang sangat berprihatin melihat kenyataan yang terjadi itupun menyetujui pula, bahwa benda itu akan di bunyikan esok pagi.
Demikianlah, setelah berbincang beberapa saat, para Senapati dan para pemimpin pasukan yang membentang dari ujung sayap sampai keujung yang lain itupun kembali ke pasukan masing-masing. Beberapa orang Senapati muda sempat memberikan dorongan kepada para pengawal dan pasukan yang berada di pihak Mataram untuk berbuat sebaik-baiknya.
"Kemenangan pertama telah kita dapat pada hari pertama," berkata seorang Senapati muda, "kita jangan kehilangan kesempatan di hari berikutnya. Prajurit Pajang telah berkurang jumlahnya. Dengan demikian maka selisih jumlah pasukan Pajang dan Matarampun menjadi jauh susut pula. Dengan demikian, maka tidak ada lagi alasan bagi kita untuk menjadi cemas menghadapi mereka."
Dengan demikian maka setiap orang dalam pasukan Mataram itupun merasa bahwa lawan mereka tidak lagi pasukan raksasa seperti yang mereka lihat di hari pertama saat kedua pasukan itu saling berhadapan.
Malam itu pasukan Mataram berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Mereka berusaha untuk dapat menghimpun tenaga sebaik-baiknya buat esok, karena mereka yakin, bahwa esok pertempuran benar-benar akan menyala. Bukan sekedar berdiri diatas tebing sambil bersorak-sorak melihat orang-orang Pajang di sapu oleh banjir.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa berdasarkan pengalaman di malam sebelumnya, para pemimpin tertinggi Mataram telah membagi waktu untuk mengamati keadaan. Jika orang-orang Pajang telah mengirimkan orang-orang terbaik mereka untuk mengamati pertahanan Mataram, maka mereka tidak boleh lengah. Jika pada malam sebelumnya, orang-orang Mataram bertindak sendiri-sendiri, maka pada malam itu mereka justru diatur oleh Ki Juru Martani meliputi daerah yang panjang. Tetapi Ki Juru menitik beratkan pengamatan itu justru di sayap-sayap pasukan, karena menurut pendapat Ki Juru, induk pasukan Pajang justru tidak akan melakukan satu tindakan yang dapat memperlemah kekuatan pasukan Mataram dengan cara yang tidak sewajarnya dan terbuka.
Seperti malam sebelumnya, maka para pengawas dari Mataram telah dengan sengaja membuat perapian-perapian di sepanjang tebing kali Opak. Beberapa orang duduk di tepi perapian. Namun beberapa orang yang lain bertugas mengawasi daerah pertahanan mereka sambil berkeliling menelusuri tebing dan mengamati ujung-ujung pasukan mereka dengan saksama. Namun waktu telah diatur sebaik-baiknya, sehingga setiap orang mendapat kesempatan cukup untuk beristirahat menjelang keesokan harinya yang mendebarkan.
Sebagaimana malam sebelumnya, menjelang dini hari, beberapa orang yang bertugas khusus menyiapkan makan dan minuman telah sibuk dengan tugas mereka di kedua belah pihak. Sebelum fajar, seluruh pasukan harus sudah selesai makan. Sehari-harian mereka akan bertempur. Karena itu, maka harus menyiapkan diri sepenuhnya menghadapi perang itu.
Sejenak kemudian, ketika langit menjadi merah, maka mulai terdengar suara sangkakala untuk membangunkan para prajurit dan pengawal yang sedang tertidur nyenyak. Mereka harus segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka harus membenahi diri lahir dan batin. Memeriksa senjata mereka agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena senjata itu. Mereka masih sempat membersihkan diri dan menunaikan kewajiban masing-masing sebagai titah Yang Maha Agung.
Namun ketika langit menjadi semakin cerah, maka setiap orangpun telah bersiap didalam pasukan masing-masing.
Sejenak kemudian, sangkakalapun telah bergema lagi. Kedua belah pihakpun benar-benar telah bersiap. Dengan tanda-tanda kebesaran pasukan masing-masing, maka kedua belah pihak telah mulai bergerak.
Yang terdengar kemudian, diantara suara sangkakala adalah suara genderang dan aba-aba. Perlahan-lahan dalam cahaya pagi yang cerah, pasukan Pajang mulai mendekati tebing.
Disebelah Barat Kali Opak, pasukan Matarampun telah bersiap. Seperti juga pasukan Pajang, untuk membesarkan hati pasukannya, maka para senopati Mataram juga memasang semua tanda-tanda kebesaran. Kelebet dengan tunggul-tunggulnya. Rontek dan panji-panji.
Ketika pasukan Pajang semakin mendekat, maka Mataram telah menempatkan pasukannya ditempat yang paling baik untuk melontarkan anak-anak panah dan lembing.
Seperti yang terjadi di hari sebelumnya, pasukan Pajang yang tidak susut, menempatkan para prajurit yang bersenjata perisai di paling depan untuk melawan lontaran anak-anak panah dan lembing sebagaimana mereka perhitungkan.
Namun dalam pada itu, beberapa orang dari prajurit Pajang telah mendapat tugas khusus untuk mengawasi air sungai yang menurut pendapat mereka dapat dengan tiba-tiba saja menjadi banjir. Dengan panah sendaren yang siap, prajurit Pajang itu telah berada ditempat yang agak jauh dari arena pertempuran. Jika banjir itu datang, maka dengan panah sendaren mereka akan sempat memberikan pertanda agar kawan-kawannya dengan cepat menepi.
Dalam pada itu perlahan-lahan pasukan Pajang maju terus. Tetapi para prajurit menjadi ragu-ragu ketika mereka harus menuruni tebing sungai.
Namun para pemimpin mereka telah meneriakkan aba-aba, sehingga betapapun kebimbangan bergejolak didalam jantung, para prajurit itu harus turun ke tepian dan siap menyeberangi sungai.
Ketika para prajurit Pajang baru mempersiapkan ancang-ancang, maka telah terdengar suara sangkakala yang dibunyikan oleh beberapa orang Pajang untuk mendorong kemantapan bertempur para prajuritnya. Kemudian disusul suara genderang yang menggetarkan tepian Kali Opak.
Tiba-tiba prajurit Pajang itupun telah bersorak bagaikan membelah langit. Merekapun kemudian meloncati bebatuan, menyeberangi Kali Opak dengan perisai didada, sementara pedang di tangan kanan terayun-ayun mendebarkan. Cahaya matahari pagi yang mulai memancar memantul pada helai-helai pedang, berkilat-kilat menyilaukan.
Sementara itu, induk pasukan Pajangpun telah bersiap pula. Tetapi Kangjeng Sultan masih belum naik kepunggung gajahnya.
Sementara itu Pangeran Benawa memperingatkannya, "Jangan tergesa-gesa ayahanda. Kita harus memperhatikan medan dengan saksama. Nampaknya orang Mataram telah memanfaatkan Kali Opak untuk melawan pasukan Pajang. Baru setelah pengawas yakin, bahwa banjir tidak akan datang, kami akan mempersilahkan ayahanda untuk menyeberang."
Kangjeng Sultan mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun bertanya kepada Adipati Tuban, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
Adipati Tuban itu termangu-mangu. Sebenarnya ia berpendapat lain. Ia ingin langsung saja menyeberang dan menyerang induk pastikan Mataram. Tetapi ia memang mempunyai perasaan segan terhadap Pangeran Benawa yang diketahuinya memiliki kelebihan dari setiap orang Senopati yang ada di pasukan Pajang.
Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, "Sebenarnyalah Kangjeng Sultan sebaiknya menunggu barang sejenak. Tetapi sudah barang tentu tidak terlalu lama. Pasukan di induk pasukan ini sudah mulai gelisah."
"Baiklah," berkata Kangjeng Sultan kemudian, "aku akan menunggu sejenak sebelum induk pasukan ini turun kemedan. Mudah-mudahan sayap-sayap pasukan ini akan segera dapat menguasai keadaan."
"Mereka sudah mulai menyerang," sahut Adipati Tuban, "sekarang mereka sedang menyeberangi sungai diiringi oleh suara sangkakala dan genderang, sementara para prajurit telah bersorak-sorak."
Kangjeng Siultan tidak menjawab. Ia tahu, bahwa pasukan Pajang cukup kuat. Bahkan di sayap kiri dan kanan telah diperkuat pula oleh pasukan yang sebenarnya tidak termasuk dalam jajaran keprajuritan Pajang, yang telah di pasang tanpa memberikan laporan sebelumnya kepada Kangjeng Sultan. Meskipun demikian akhirnya Kangjeng Sultan itupun mengetahuinya juga.
Tetapi bahwa sebagian dari pasukan itu telah hanyut oleh banjir yang datang dengan tiba-tiba itu, maka kekuatan sayap pasukan Pajang telah berkurang.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, benturan antara kedua pasukan itupun sudah mulai. Sorak orang-orang Pajang bagaikan meruntuhkan gunung.
Pasukan Mataram yang bertahap di sebelah Barat Kali Opakpun mulai menyambut pasukan lawan. Anak panahpun tiba-tiba saja telah meluncur bagaikan hujan.
Tetapi orang-orang Pajang telah berlindung dengan perisai-perisai mereka, meskipun ada juga satu dua batang anak panah menyusup diantara perisai-perisai itu dan menyentuh tubuh lawan. Meskipun demikian, anak panah yang bagaikan di sebar dari tebing itu tidak banyak menghambat pasukan Pajang. Bahkan lembing-lembing yang kemudian dilemparkanpun tidak banyak berarti. Pasukan Pajang yang berlindung dibalik perisai maju terus sambil mengacungkan pedang mereka, sehingga akhirnya orang yang pertamapun telah mencapai tebing sebelah Barat Kali Opak, diikuti oleh kawan-kawan mereka sambil bersorak-sorak gemuruh.
Namun dalam pada itu, pada saat yang menegangkan, saat orang-orang Pajang telah melupakan banjir yang dapat terjadi setiap saat, tiba-tiba terdengar sangkakala yang ditiup oleh orang-orang Mataram. Kemudian genderangpun telah membahana, jauh lebih riuh dari yang pernah terdengar disaat-saat perang itu baru mulai.
Tetapi orang-orang Pajang lidak menghiraukannya. Suara sangkakala dan genderang itu tidak ubahnya suara sangkakala dan genderang yang dibunyikan oleh orang-orang Pajang, yang masih juga terdengar diantara sorak sorai yang mengguntur dari para prajurit Pajang.
Namun justru pada saat-saat yang paling menegangkan, karena para prajurit Pajang mulai merayap naik tebing dengan lindungan kawan-kawan mereka yang berada di belakangnya dengan ujung-ujung tombak, tiba-tiba terdengar suara yang mula-mula terdengar sangat asing.
Suara itu melengking dengan nada tinggi memecah segala macam hiruk pikuk peperangan, menggetarkan tebing Kali Opak dari ujung sayap pasukan sampai ke ujung yang lain.
Suara itu semakin lama seolah-olah menjadi semakin keras dengan nada tunggal. Mendengung mengumandang.
"Suara bende," desis para prajurit Pajang didalam hatinya.
Suara bende sama sekali tidak menyentuh hati mereka. Kadang-kadang suara bende memang terdengar diantara suara sangkakala dan genderang. Tetapi suara bende yang satu ini agak lain. Suara bende yang satu itu seakan-akan mempunyai kekuatan yang menggoncang setiap jantung para prajurit Pajang yang mendengarnya.
Sebenarnyalah, pada saat itu, pasukan Mataram telah bersorak menggelepar. Diantara suara yang gemuruh itu terdengar kata-kata, "Kiai Bicak telah berbunyi. Kiai Bicak telah berbunyi."
Kata-kata itu telah menjalar dari ujung pasukan sampai ke ujung. Sehingga orang-orang Pajangpun mendengar, bahwa Kiai Bicak telah berhasil dibunyikan. Suaranya telah memenuhi medan.
Hampir setiap orang pernah mendengar tentang bende Kiai Becak. Pusaka yang disegani yang kemudian telah berada di Mataram. Para prajurit percaya, jika Kiai Bicak berhasil dipukul dan dibunyikan, maka itu adalah pertanda bahwa pasukan pihak Kiai Bicak itu akan menang.
Pengertian itulah yang kemudian mencengkam jantung setiap prajurit. Mereka yang mulai merayap naik tebing menjadi ragu-ragu. Sementara pasukan yang ada di belakangnya menjadi termangu-mangu.
Saat-saat itulah yang ditunggu oleh pasukan Mataram. Dengan pesan yang khusus dari Raden Sutawijaya, pada saat-saat yang demikian, maka pasukan Mataram tidak saja harus bertahan.
Hampir bersamaan, setiap pemimpin kelompok dari pasukan Mataram telah meneriakkan perintah kepada pasukannya untuk mempergunakan saat dimana para prajurit Pajang menjadi ragu-ragu.
Raden Sutawijaya sadar, bahwa saat yang demikian itu tidak akan terlalu lama. Karena itu, dengan pesan yang sungguh-sungguh, maka para Senapati Mataram jangan melewatkan saat yang sangat berharga itu.
Demikianlah, maka dalam keragu-raguan oleh suara bende Kiai Bicak itu, tiba-tiba saja pasukan Mataram telah melanda pasukan Pajang bagaikan banjir bandang. Bukan banjir sebenarnya banjir seperti yang terjadi di hari sebelumnya, tetapi pasukan Mataram itu seakan-akan telah meluncur turun dari tebing sebelah Barat menghantam pasukan Pajang yang gelisah oleh suara bende itu.
Saat yang pendek itu telah dipergunakan oleh pasukan Mataram dengan baik. Para pengawal dari Mataram dengan tangkasnya telah menusuk pasukan Pajang. Sebagaimana pasukan Pajang yang maju pada sayap sebelah menyebelah, maka pasukan Matarampun bergerak hanya pada sayapnya.
Benturan yang tidak terduga duga itu telah mengejutkan pasukan Pajang. Hampir tanpa disadari, maka orang-orang Mataram telah menyusup diantara para prajurit Pajang, sebagaimana ujung senjata mereka telah mematuk lawan.
Dengan demikian, maka untuk beberapa saat, para prajurit dan orang-orang yang berada didalam pasukan Pajang di sayap pasukan telah mengalami satu tekanan yang berat. Di hari pertama jumlah pasukan Pajang telah susut dengan cepat, maka di hari kedua, kejutan yang tidak di sangka-sangka itu telah menggoyahkan gelora perjuangan mereka.
Dalam pada itu, di induk pasukan, Kangjeng Sultan Hadiwijayapun telah terkejut pula mendengar suara bende itu. Iapun dengan segera dapat mengenali, bahwa suiaira itu adalah suara khusus dari bende Kiai Bicak.
"Bende itu," desis Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawapun menjadi tegang. Namun iapun segera berdesis, "Ya ayahanda. Kakangmas Senapati Ing Ngalaga ingin segera mengetahui akhir dari pertempuran ini, sehingga kakangmas telah memukul bende Kiai Bicak."
"Dan suara bende itu ternyata telah bergema disepanjang Kali Opak," berkata Kangjeng Sultan dengan nada datar.
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu. Adipati Tuban bertanya, "Ada apa dengan suara bende itu?"
"Satu pertanda," jawab Pangeran Benawa, "jika bende itu suaranya lantang dan bergetar sampai ke daerah lawan, maka pasukan di pihak bende Kiai Bicak itu akan menang."
Wajah Adipati Tuban itu menegang. Tiba-tiba saja ia bertanya, "apakah Kangjeng Sultan percaya akan hal itu?"
Pertanyaan itupun mengejutkan pula bagi Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Apalagi ketika Adipati Tuban itu berkata, "jatuhkan perintah. Aku akan menyeberangi Kali Opak. aku akan membuktikan bahwa suara bende itu sama sekali tidak berpengaruh."
Kangjeng Sultan Hadiwijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau dapat saja tidak percaya. Tetapi sebaiknya kita melihat, apa yang terjadi dengan pasukan pada sayap sebelah menyebelah. Kekuatan kita sebagian terbesar ada di sayap itu. Bahkan pasukan khusus yang mendapat latihan-latihan melampaui pasukan yang lain dibawah pimpinan Tumenggung Prabadaru itupun berada di sayap itu pula. Jika pasukan sayap itu berhasil naik ke tebing Barat, kita turun ke Sungai hari ini."
"Jika tidak?" bertanya Adipati Tuban.
"Kita akan membuat perhitungan lagi agar korban tidak terlalu banyak jatuh di pihak kita. Aku berharap, bagaimanapun juga keseimbangan kedua pasukan itu, pasukan induk Mataram tidak akan menyerang. Agaknya mereka memang dipersiapkan untuk sekedar bertahan," berkata Kangjeng Sultan.
Adipati Tuban menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak dapat membantah keputusan Kangjeng Sultan. Ia tahu, bahwa Kangjeng Sultan adalah orang yang memiliki kelebihan dan memiliki pengamatan yang sangat tajam. Apalagi nampaknya Pangeran Benawa sependapat dengan ayahanda Sultan itu.
Karena itu, maka betapapun jantung Adipati Tuban itu bergejolak, tetapi ia harus menahan diri. Ia harus menunggu, apakah yang akan terjadi atas pasukan Pajang pada kedua belah sayap yang sedang bertempur di tepian Kali Opak.
Adipati Tuban memang melihat, bahwa pasukan Pajang pada sayap sebelah menyebelah terlalu kuat. Karena itu, maka iapun mencoba untuk mengerti, bahwa Kangjeng Sultan akan mempergunakan ukuran kekuatan pada sayap itu atas kekuatan lawan.
Pangeran Benawa yang dengan tegang memperhatikan pertempuran itupun kemudian berkata, "Ayahanda. Jika kekuatan sayap pasukan Pajang itu dapat mendesak lawan, maka mereka tentu akan menekan induk pasukan Mataram yang kuat dari sebelah menyebelah. Dalam keadaan yang demikian, kita akan menyeberangi Kali Opak dan menyelesaikan perang ini dengan cepat."
"Ya. Jika pasukan pada sayap itu berhasil," berkata Kangjeng sultan.
"Tetapi suara bende itu memang menggetarkan jantung. Ternyata sayap pasukan Mataram tidak saja bertahan. Tetapi mereka telah turun ke tepian dan bertempur dibawah tebing," berkata Pangeran Benawa.
Kangjeng Sultan tidak menjawab. Dipandanginya arena yang panjang membujur disepanjang Kali Opak. Sementara itu, seorang serati sudah siap dengan seekor gajah. Apabila dikehendaki, maka setiap saat gajah itu dapat dipergunakan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Tetapi agaknya Kangjeng Sultan masih belum berniat untuk turun kemedan.
Dalam pada itu, pertempuran di kedua sayap pasukan Mataram dan Pajang itu menjadi semakin seru. Namun mulai terasa pada kedua belah pihak akibat banjir yang terjadi di hari sebelumnya. Pasukan Pajang yang jumlahnya telah susut itu, tidak lagi memiliki kekuatan yang dengan mudah dapat menguasai pasukan Mataram.
Dalam pertempuran itu, bukannya orang-orang Pajang yang berhasil memanjat tebing, tetapi justru orang-orang Mataramlah yang telah turun. Satu saat yang menentukan lelah terjadi. Seperti yang diharapkan oleh Raden Sutawijaya, maka suara bende itu benar-benar mempunyai pengaruh yang luar biasa.
Untuk beberapa saat lamanya, suara bende itu masih mengumandang. Sementara itu pasukan Mataramlah yang telah mendesak pasukan Pajang, sehingga pertempuran yang sengit telah terjadi diantara bebatuan Kali Opak.
Dalam pertempuran yang mendebarkan itu, para Senapati dari kedua belah pihak masih sibuk mengatur, orang-orangnya. Mereka sendiri masih belum terlibat didalam peperangan. Karena jika demikian, maka pasukannya akan kehilangan kendali, sehingga orang-orang yang ada didalam pasukan itu akan mengambil sikap sendiri-sendiri.
Di sayap pasukan Mataram sebelah menyebelah, para pemimpin yang datang bersama pasukannya dari beberapa daerah bertempur dengan mantap, termasuk orang-orang yang datang dari Tanah Pasantenan, dari Mangir, dari Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan Mataram sendiri yang tidak termasuk dalam lingkungan pasukan pengawal dan pasukan khusus yang telah mendapat latihan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Namun yang lebih menggetarkan lawan adalah anak-anak muda yang tergabung dalam pasukan khusus yang sudah ditempa di Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit Pajang di Jati Anom, termasuk kelompok terpilih dibawah pimpinan prajurit muda yang bernama Sabungsari.
Dengan perhitungan yang mapan, mereka berhasil memanfaatkan saat-saat yang sangat berarti bagi Mataram. Saat-saat orang-orang Pajang dikejutkan oleh suara bende Kiai Bicak.
Ketika matahari merayap semakin tinggi dilangit, maka orang-orang yang bertempur itu telah menjadi basah oleh keringat. Dengan demikian, maka merekapun menjadi semakin garang. Beberapa orang kawan mereka telah tersentuh oleh ujung senjata. Apalagi orang-orang Pajang. Pada saat mereka dikejutkan oleh suara bende Kiai Bicak, maka orang-orang Mataram bagaikan mendapat peluang untuk mengurangi jumlah lawan mereka sebanyak-banyaknya.
Dalam pertempuran yang sengit itu, seorang Senapati Pajang yang tidak banyak disebut namanya, bertempur diantara orang-orangnya. Ia bukan termasuk seorang Senapati yang menentukan, sehingga karena itu, maka ia berada diantara sekelompok kecil prajurit yang dipimpinnya, bertempur dengan garangnya. Bahkan ia telah mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya dihadapan anak buahnya yang tidak terlalu banyak.
"Ki Wastupada memang luar biasa," berkata beberapa orang anak buahnya didalam hati.
Sebenarnyalah orang yang disebut Wastupada itu bertempur dengan kemampuan yang menggetarkan lawan dan kawan. Bahkan kadang kadang ia telah berbuat diluar kemampuan nalar orang-orang untuk menilainya.
Namun orang-orang Mataram tidak membiarkannya berbuat sekehendak hatinya. Beberapa orang telah berusaha untuk melawannya bersama-sama, sehingga dengan demikian, maka orang itu tidak lagi dapat berbuat sekendak hatinya.
"Licik," geram Ki Wastupada, "kalian bukan prajurit-prajurit jantan."
Tetapi lima orang yang mengepungnya tidak menanggapinya. Mereka tetap berada dalam lingkaran untuk membatasi gerak orang yang luar biasa itu.
Dalam pada itu, ketika para prajurit dan pasukan dikedua belah pihak mulai merasakan terik matahari yang membakar, maka pertempuran mulai bergeser setapak demi setapak. Ternyata benturan pertama benar-benar telah menentukan kemungkinan selanjutnya. Pasukan Pajang perlahan-lahan mulai terdesak. Namun demikian, belum berarti bahwa orang-orang Mataram akan dengan cepat dapat memenangkan pertempuran itu.
Dalam keadaan yang gawat itu, maka para Senapati Pajang mulai mengambil sikap. Mereka tidak lagi dapat membiarkan keadaan yang tidak menguntungkan itu berkepanjangan.
Dengan demikian, maka para Senapati Pajang mulai melepaskan sebagian dari kekuatan cadangan yang membayangi pertempuran itu. Pasukan yang sebagian besar bukanlah prajurit-prajurit Pajang sendiri. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berada diantara para prajurit Pajang karena mereka adalah para pendukung dari usaha beberapa orang pemimpin Pajang untuk mengambil alih pimpinan pemerintahan.
Dengan garangnya mereka langsung melibatkan diri kedalam pertempuran sebagaimana sebagian kawan-kawan mereka yang telah terdahulu berada di medan. Justru mereka adalah orang-orang yang mempunyai cara tersendiri untuk bertempur. Mereka tidak terikat pada paugeran seorang prajurit di medan perang. Apa saja dapat mereka lakukan untuk mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.
Hadirnya kekuatan cadangan yang tidak terlalu banyak itu memang dapat mempengaruhi keadaan. Kemajuan pasukan Mataram memang mendapat hambatan, sehingga kekuatan kedua belah pihakpun rasa-rasanya menjadi seimbang.
Dalam pada itu, hadirnya kekuatan itu di arena, segera didengar oleh Pangeran Benawa. Namun karena keadaan masih belum membahayakan, maka Pangeran Benawa masih belum menanggapinya.
Meskipun demikian, Pangeran Benawa menaruh perhatian tersendiri. Jika keadaan memaksa, maka ia akan dapat mengambil satu sikap. Mungkin ia akan dapat mempengaruhi Adipati Tuban dan Adipati Demak yang berada di belakang induk pasukan, agar terhadap orang yang dapat dituduhnya mengambil kesempatan dalam pertempuran itu, dapat diambil satu sikap tersendiri.
Tetapi Pangeran Benawa tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa. Ia harus memperhitungkan saat dan keadaaan dengan tepat, sehingga ia tidak justru salah langkah.
Karena itu, selama keadaan tidak membahayakan rencana ayahandanya, maka ia masih saja berdiam diri menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dipeperangan.
Para pemimpin di Matarampun melihat kehadiran pasukan cadangan yang menurut penilaian mereka bukannya prajurit Pajang sebagaimana sebagian dari pasukan yang berada di sayap itu sebelah menyebelah. Tetapi orang-orang Mataram sudah mengetahuinya, bahwa baik orang-orang itu, maupun para Senapati Prajurit Pajang yang berada di Sayap, adalah orang-orang yang sudah menentukan sikap mereka sendiri, lepas dari sikap Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang sebenarnya.
Kaki Tiga Menjangan 39 Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? Lentera Maut 8
^