Api Di Bukit Menoreh 21
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 21
"Lalu apa yang akan Kangjeng Sultan lakukan?" bertanya Kiai Singatama.
"Rasa-rasanya tugasku telah selesai. Aku memang tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Tetapi aku kini sudah mempunyai satu keyakinan yang teguh, bahwa ada orang yang akan dapat melanjutkannya dimasa mendatang. Aku sudah meletakkan dasar-dasar dan alas dari seluruh bangunan yang akan berdiri. Meskipun aku tidak dapat mewujudkan bangunan itu secara lahiriah, tetapi aku sudah meletakkan jiwa dari bangunan itu pada seseorang yang dapat aku percaya, pada suatu saat bangunan itu akan terwujud dengan jiwa yang tidak berubah, meskipun mungkin ujud lahiriahnya agak berbeda," berkata Kangjeng Sultan kemudian.
Kiai Singatama mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga bertanya, "Siapakah yang Kangjeng Sultan maksudkan?"
"Kau sudah tahu," jawab Kangjeng Sultan.
Kiai Singatama memandang wajah Kangjeng Sultan yang nampak terlalu cekung. Kangjeng Sultan nampak kurus dan pucat. Penyakitnya akan sulit untuk diatasinya. Bahkan rasa-rasanya menjadi semakin menggigit tubuhnya. Dan sakit itu tidak dapat dilawan dengan segala macam ilmu yang bertumpuk didalam dirinya. Segala macam obat dan segala macam usaha.
"Kangjeng Sultan," berkata Kiai Singatama, "hamba tahu, bahwa yang tuanku maksud tentu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Tetapi menurut penglihatan orang banyak, kini Raden Sutawijaya itu justru telah berdiri berhadapan dengan Kangjeng Sultan sendiri. Ia sudah melawan Kangjeng Sultan, sebagai sesembahannya, sebagai gurunya dan bahkan sebagai ayahnya."
"Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya," berkata Kangjeng Sultan, "dan aku tidak berkeberatan."
"Tetapi sikap Kangjeng Sultan tidak banyak dimengerti. Mungkin ada orang yang terlalu setia kepada tuanku dan masih akan tetap melawan Raden Sutawijaya sampai saat terakhir hidupnya," jawab Kiai Singatama.
"Mudah-mudahan Sutawijaya dapat menempuh jalan yang tepat, sehingga perlahan-lahan tetapi meyakinkan, ia akan dapat membuktikan, bahwa ia bukan musuh secara jiwani. Bahkan apa yang dilakukannya itu adalah usaha pencapaian cita-cita yang pernah aku letakkan diatas Tanah tercinta ini, tetapi tidak sempat aku selesaikan, karena beberapa pihak yang nampaknya adalah kawan-kawanku, tetapi mereka telah membayangi kekuasaanku."
Kiai Singatama mengangguk-angguk. Ternyata Kangjeng Sultan tahu segala-galanya.
"Paman," berkata Kangjeng Sultan kemudian, "kita sudah sama sama tua. Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan. Kita memang wajib menyerahkannya kepada yang muda, meskipun dengan cara yang berbeda yang kadang-kadang kurang kita ketahui. Namun aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Sutawijaya akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Meskipun ia ditempa dalam nafas keprajuritan, tetapi aku melihat kemampuannya untuk melihat segi-segi yang lain yang akan berhasil dilakukannya."
"Hamba mengerti Kangjeng Sultan. Tetapi apakah yang akan Kangjeng Sultan lakukan sekarang. Besok atau kapan saja di medan peperangan seperti ini?" bertanya Kiai Singatama, "apakah mungkin Kangjeng Sultan akan menyerah?"
"Tidak paman. Aku tidak akan menyerah. Aku akan turun kemedan besok. Tetapi tidak untuk mengobarkan api peperangan ini. Aku justru ingin menghentikannya, karena korban telah terlalu banyak. Hari ini Tumenggung Prabadaru mati. Beberapa orang Senapati terluka parah. Dan para prajurit dan pengawal dari kedua belah pihak-pun terbunuh di peperangan," jawab Kangjeng Sultan.
Prajurit tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menatap kekejauhan ia membayangkan, apa yang telah terjadi. Pembunuhan, dendam, kebencian dan pengkhianatan. Orang-orang yang bermimpi untuk menegakkan satu kekuasaan yang besar telah membuat Perang menjadi landasan ketamakan mereka.
Namun dalam pada itu. Kiai Singatama itupun bertanya, "Kangjeng Sultan. Hamba masih belum dapat menangkap niat tuanku. Seandainya hamba mengerti, cara apakah yang akan tuanku tempuh?"
"Besok aku akan turun kemedan," berkata Kangjeng Sultan, namun kemudian wajahnya menunduk dalam-dalam. Ada sepercik gejolak perasaan didalam dadanya.
Kiai Singatama menunggu kelanjutan kalimat Kangjeng Sultan itu. Tetapi ternyata Kangjeng Sultan tidak mengatakan sesuatu. Karena itu, maka Kiai Singatamalah yang berkata, "Ampun tuanku. Bukankah keadaan tuanku tidak memungkinkan. Tuanku berada dalam keadaan yang sangat lemah sekarang ini."
"Aku sudah berada di pasanggrahan pada satu medan perang yang besar. Tentu aku sudah siap untuk turun kegelanggang," jawab Kangjeng Sultan.
Kiai Singatama mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa yang akan dilakukan Kangjeng Sultan itu tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi maksud itulah yang belum dapat ditangkapnya.
"Kiai," berkata Kangjeng Sultan itu kemudian, "Apapun yang akan aku lakukan tidak akan berarti apa-apa. Tugas hidupku sudah selesai. Seperti yang sudah aku katakan, ada orang yang akan melanjutkan apa yang belum aku capai sekarang."
"Kangjeng Sultan," wajah Kiai Singatama menjadi tegang. Tetapi ia hanya dapat menarik nafas dalam. Kiai Singatama tidak berani menyatakan perasaannya.
Dalam pada itu, justru Kangjeng Sultan yang bertanya, "Dimana Benawa?"
"Pangeran Benawa ada di seberang Kali Opak, tuanku. Pangeran yang melihat pertempuran yang seru, antara Ki Tumenggung Prabadaru melawan Agung Sedayu."
"Perang tanding itu sudah selesai. Dan akupun sudah mendapat laporan bahwa Ki Tumenggung Prabadaru sudah mati seperti yang sudah aku katakan. Sementara Agung Sedayu mulai sadar kembali," berkata Kangjeng Sultan.
"Benar tuanku. Tetapi Pangeran Benawa belum kembali," berkata Kiai Singatama.
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Panggil seorang prajurit sandi kepercayaanku Kiai."
Kiai Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipanggilnya seorang kepercayaan Kangjeng Sultan untuk menghadap.
"Pergilah mendapatkan Benawa," berkata Kangjeng Sultan itu, "kalakan kepadanya, bahwa aku memerintahkan kepada Pangeran Benawa untuk bersiap. Besok aku akan turun kemedan. Aku akan memimpin sendiri pasukan Pajang menghadapi Mataram."
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun Kangjeng Sultan meyakinkannya, "Katakan dimanapun kau bertemu dengan Pangeran Benawa. Aku tidak berkeberatan jika orang-orang Mataram mendengar rencanaku ini. Bahkan akan lebih baik jika mereka mengerti sebelumnya."
Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah hamba harus mencari Pangeran diseberang Kali Opak?"
"Ya. Pergilah. Katakan secepatnya." perintah Kangjeng Sultan.
Petugas sandi itupun kemudian meninggalkan pasanggrahan Kangjeng Sultan menuju keseberang Kali Opak.
Ketika ia menuruni tebing, maka tidak seorangpun yang dijumpainya. Para petugas yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang sakit dan yang terbunuh dimedan telah selesai melakukan tugas mereka. Sementara itu. tidak ada lagi hiruk pikuk perang tanding antara Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu. Bahkan diseberang Kali Opak itu keadaannya sudah berubah sama sekali. Tidak ada lagi seorangpun yang tinggal.
Petugas sandi itu termangu-mangu. Menurut pendapatnya. Agung Sedayu tentu sudah dibawa ke pasanggrahan orang-orang Mataram. Mungkin sekali Pangeran Benawa ikut bersama Raden Sutawijaya. Jika demikian, maka ia harus memasuki Pasanggrahan orang-orang Mataram.
"Aku harus menembus penjagaan orang-orang Mataram," berkata orang itu kepada diri sendiri. Lalu, "Tetapi lebih baik aku berterus terang. Jika aku memasukinya dengan diam-diam, justru aku akan terjebak oleh pengamatan orang-orang berilmu yang sulit ditembus."
Karena itu. maka petugas sandi itu sama sekali tidak berusaha untuk berlindung kedalam gerumbul-gerumbul yang banyak terdapat ditebing Kali Opak, Ia berjalan saja seolah-olah tidak melintasi medan yang disiang hari merupakan ajang pembunuhan.
Sebenarnyalah, ketika peronda dari Mataram melihatnya, maka merekapun langsung menyapanya sambil mengacukan ujung tombak mereka. Namun degan tenang petugas sandi itu menjawab, "Aku adalah utusan Kangjeng Sultan Hadiwijaya untuk menemui Pangeran Benawa."
Para peronda itu termangu-mangu sesaat. Namun yang seorang kemudian berkata, "Aku memang melihat Pangeran Benawa di pasanggrahan, mengikuti Agung Sedayu yang terluka itu."
"Tetapi, apakah benar ia utusan Kangjeng Sultan?" desis yang lain.
Utusan itulah yang menyahut, "Antar aku sampai kepada Pangeran Benawa. Kalian akan melihat, apakah Pangeran Benawa benar-benar mengenaliku."
Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Namun yang tertua diantara mereka berkata, "Marilah. Kita bawa orang ini menghadap Pangeran Benawa."
Yang lain tidak berkeberatan. Sehingga merekapun kemudian mengantar orang itu ke pasanggrahan untuk menemui Pangeran Benawa.
Dalam pada itu Pangeran Benawa memang sudah berada di pasanggrahan. Bersama beberapa orang yang lain, ia ikut mengantar Agung Sedayu yang dibawa diatas usungan yang diangkat oleh ampat orang, karena Agung Sedayu masih belum dapat berjalan sendiri. Sementara itu, Kiai Gringsingpun masih nampak terlalu letih, berjalan di belakangnya.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Swandaru terkejut melihat keadaan Agung Sedayu. Dan Pandan Wangi merekapun segera mendapat penjelasan apa yang telah terjadi atasnya.
"Untunglah, bahwa Tuhan masih memperkenankan Kiai Gringsing menjadi lantaran untuk menolong jiwanya." berkata Pandan Wangi kemudian.
Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan suara dalam ia berdesis, "Tuhan memang Maha Agung. Sebenarnyalah Agung Sedayu seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain."
Namun dalam pada itu, Swandaru yang kemudian menyaksikan keadaan saudara seperguruannya itu berkata, "Kakang Agung Sedayu memang masih selalu mencemaskan. Adalah sangat berbahaya bahwa ia telah menghadapkan diri melawan Ki Tumenggung. Untunglah bahwa pemimpin pasukan khusus dari Pajang itu bukan orang yang ilmunya mumpuni sehingga meskipun keadaan kakang Agung Sedayu sendiri menjadi parah, ia masih juga dapat melumpuhkan lawannya."
"Pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang nggegirisi. Benturan ilmu yang belum pernah aku lihat," desis Sekar Mirah.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Sekar Mirah sekilas. Kemudian katanya, "Kau selalu terlalu bangga atas suamimu. Bukan apa-apa. Akupun menganggap sikapmu itu wajar sebagai seorang isteri. Tetapi yang aku cemaskan, dengan demikian kalian berdua akan keliru menilai ilmu diri sendiri. Ilmu kalian masing-masing. Jika kalian cepat merasa diri mumpuni, maka kalian tidak akan berusaha lebih keras lagi."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, "Bukan aku saja yang mengatakannya kakang, tetapi semua orang yang melihat pertempuran itu. Coba, bertanyalah kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, atau kepada Pangeran Benawa. Dua orang yang kita anggap memiliki ilmu yang hampir sempurna."
"Mereka adalah orang-orang yang terlalu baik Mirah, sehingga mereka tidak akan mengecewakan orang lain. Mereka tentu akan berusaha membuat hati kita berbangga," jawab Swandaru. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Katakan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi, namun bukan saja Agung Sedayu, tetapi kita semua masih harus meningkatkan ilmu kita. Aku sendiri mengalami luka-luka ketika lawanku dengan licik bertempur bersama-sama sebagaimana dialami oleh Ki Gede Menoreh."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia mulai sadar, bahwa kakaknya memang menganggap kemampuan Agung Sedayu masih belum cukup berkembang, sebagaimana ia sendiri pernah beranggapan demikian. Namun, akhirnya ia melihat satu kenyataan tentang suaminya yang bernama Agung Sedayu itu sebagai seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Dalam pada itu, selagi beberapa orang menunggui Agung Sedayu dengan saling berbincang, maka seorang pengawal telah datang untuk memberitahukan kepada Raden Sutawijaya, bahwa seorang petugas dari Pajang ingin menemui Pangeran Benawa.
"Siapa?" bertanya Pangeran Benawa langsung kepada orang itu.
"Aku kurang tahu Pangeran. Tetapi orang itu mengaku utusan Kangjeng Sultan," jawab pengawal itu.
"Bawa ia kemari," berkata Pangeran Benawa.
Demikianlah, maka orang itupun segera dibawa menghadap langsung diantara orang-orang yang menunggui Agung Sedayu.
"Apakah ada perintah ayahanda?" bertanya Pangeran Benawa.
"Ya Pangeran," jawab petugas itu. "Ayahanda memerintahkan agar Pangeran segera kembali. Tetapi ayahanda juga memerintahkan agar aku mengatakan dihadapan Pangeran dan orang-orang Mataram, bahwa besok ayahanda Pangeran sendirilah yang akan memimpin pasukan Pajang memasuki arena."
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Dengan suara dalam ia bertanya, "Kau yakin?"
"Ya Pangeran. Kangjeng Sultan mengatakannya dengan sungguh-sungguh," jawab petugas itu.
Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejenak. Lalu katanya, "Kakangmas, ini tentu satu tantangan resmi ayahanda bagi kekuatan Mataram. Siapakah besok yang akan tampil memimpin pasukan Mataram untuk menghadapi ayahanda?"
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia berpaling kearah Ki Juru Martani. Katanya, "Tidak ada orang yang akan berani menghadapi ayahanda Kangjeng Sultan secara pribadi. Tidak ada orang yang memiliki ilmu yang dapat mengimbanginya. Namun biarlah salah seorang diantara kami, orang-orang Mataram akan tampil di medan menerima segala kemurkaannya. Seandainya ayahanda Sultan menganggap sepantasnya kami dihukum dan dibinasakan, maka akan terjadi juga agaknya besok pagi."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita sudah terlanjur berada di medan. Pasukan Pajang dan pasukan Mataram sudah berhadap-hadapan. Sulit untuk mengetahui apa yang akan terjadi besok. Aku tidak memahami dengan pasti sikap ayahanda."
"Ya." jawab Raden Sutawijaya, "kita sudah berada di medan perang."
Demikianlah, maka Pangeran Benawapun segera minta diri. Dengan tergesa-gesa ia menuju ke pasanggrahannya, diikuti oleh petugas sandi yang dikirim oleh ayahandanya.
"Ketika kau memasuki bilik ayahanda, apakah ayahanda seorang diri?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak." jawab petugas itu, "dengan Ki Singatama."
"Ki Singatama," ulang Pangeran Benawa, "jadi tidak dengan para Adipati."
Petugas sandi itu berlari-lari kecil di belakang Pangeran Benawa. Dengan tersendat-sendat ia menjawab, "Tidak ada orang lain Pangeran. Tidak ada para Adipati, dan tidak ada para Senapati."
Pangeran Benawa tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia mengerti bahwa ayahanda dalam keragu-raguan yang sangat. Ki Singatama adalah orang yang banyak memberikan pertimbangan, dan jalan pikirannya memang agak sesuai dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Ki Singatama bukan seseorang yang mempunyai kedudukan resmi sebagai pemimpin tataran tertinggi di Pajang. Hubungannya dengan Kangjeng Sultan lebih banyak bresifat sebagai seorang sahabat. Orang yang sama-sama telah meningkat ke usia tua. Orang yang memiliki pandangan hidup yang bersamaan pula.
Dalam pada itu, di pasanggrahan orang-orang Mataram, Agung Sedayu sudah membuka matanya. Ia melihat dengan jelas, orang-orang yang mengerumuninya.
"Kakang," terdengar suara Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika terasa kehangatan tangan isterinya meraba keningnya.
"Bagaimana dengan keadaanmu kakang?" desis Sekar Mirah.
Agung Sedayu mencoba tersenyum. Katanya, "Aku dalam keadaan baik Mirah."
"Kau terluka didalam," berkata Sekar Mirah, "tetapi Kiai Gringsing cepat menanganimu."
Agung Sedayu masih tersenyum. Katanya perlahan-lahan, "Aku mengucapkan terima kasih kepada semua pihak. Ternyata aku masih tetap hidup."
"Kau masih tetap hidup Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "kau wajib mengucap sukur kepada Tuhan."
"Ya. Aku mengucap sukur bahwa aku masih diperkenankan untuk tetap hidup sekarang ini." sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing yang kemudian meraba dahi Agung Sedayu berkata, "Suhu badanmu memang agak naik. Tetapi mudah-mudahan tidak akan meningkat terus. Aku sudah menyiapkan obat untukmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi memang terasa badannya masih belum sepenuhnya dapat dikuasainya. Rasa-rasanya kakinya masih belum dapat bergerak dengan wajar. Namun demikian, terasa pernafasannya sudah menjadi semakin lancar. Darahnyapun telah menghangati seluruh tubuhnya.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Agung Sedayu tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan kembali membayang didalam hatinya, peristiwa-peristiwa ditepi Kali Opak yang hampir saja merenggut jiwanya.
Hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Bagaimana dengan Ki Tumenggung Prabadaru?"
"Keadaannya tidak berbeda dengan keadaanmu Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing sambil memandangi Raden Sutawijaya yang termenung.
"Bahkan lebih parah lagi," sambung Sekar Mirah, "aku melihatnya sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya pula, "Bagaimana dengan peperangan ini?"
Kiai Gringsing kembali menatap Raden Sutawijaya yang kemudian beringsut maju. Sambil duduk disebelah Agung Sedayu yang terbaring Raden Sutawijaya berkata, "Jangan pikirkan hal itu Agung Sedayu. Kau harus beristirahat. Segalanya akan berjalan dengan baik. Jika kau banyak beristirahat lahir dan batin, maka kau akan cepat menjadi baik. Keadaanmu akan segera pulih kembali."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Apakah aku dapat berbuat demikian" Tetapi bagaimana dengan besok. Apakah aku bermimpi, atau masih dalam dunia ketidak sadaranku, bahwa aku mendengar Kangjeng Sultan sendiri akan turun kemedan besok?"
"Lupakan pertempuran ini," ulang Raden Sutawijaya, "kami akan mengaturnya sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun Untara yang juga mendekatinya berkata, "Segalanya akan berlangsung dengan baik Agung Sedayu. Beristirahatlah. Tidurlah kau akan cepat sembuh."
Agung Sedayu memandang kakaknya sekilas. Terasa ketenangan menyiram perasaannya. Seakan-akan telah menjadi naluri bagi hidupnya, bahwa kakaknya itu akan selalu melindunginya. Sejak ia masih kanak-kanak maka Untara baginya bagaikan bayang-bayang pepohonan yang teduh dalam teriknya matahari.
Karena itu. ketika ia melihat sorot mata Untara, rasa-rasanya ia berada didalam perlindungan yang tenteram, meskipun nalarnya menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan ilmunya sendiri telah melampaui kemampuan ilmu Untara. Bahkan tataran penguasaan ilmu dari perguruan Ki Sadewapun telah melampaui tataran penguasaan ilmu oleh Untara.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk menenangkan dirinya. Semuanya sudah lengkap berada didekatnya. Isterinya, gurunya, saudaranya, saudara seperguruannya dan orang-orang yang telah berjuang bersamanya.
Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu telah menjadi tenang, maka Raden Sutawijayapun telah beringsut dari ruang itu. Ia ingin berbicara dengan beberapa orang penting yang akan dapat ikut menanggapi rencana bahwa Kangjeng Sultan sendiri akan turun kemedan.
"Segalanya masih belum jelas," berkata Raden Sutawijaya, "namun kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun aku yakin bahwa ayahanda tidak akan menghancurkan kita, tetapi mungkin orang lain memiliki sikap tersendiri dan memanfaatkan keadaan ini."
"Aku sependapat dengan Raden," berkata Untara, "aku pernah menghadap langsung Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, akupun yakin bahwa Kangjeng Sultan tidak menghancurkan kita. Meskipun demikian, kita tidak tahu, apa yang akan terjadi besok."
Raden Sutawijaya termangu-mangu. Dipandanginya nyala lampu minyak yang bergetar disentuh angin.
Sementara itu, malampun menjadi semakin jauh melampaui pusatnya. Para prajurit kebanyakan telah lama lelap dalam tidurnya. Para Senapati yang semula memperhatikan pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadarupun telah tertidur dengan nyenyaknya pula, karena mereka sadar, besok mereka harus turun lagi kemedan. Mungkin medan akan menjadi semakin berat, justru setelah Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru tidak dapat tampil lagi kemedan.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kita harus mencegah pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan sikap ayahanda yang kurang jelas itu. Karena itu, semua kesatuan besok harus benar-benar siap untuk bertempur. Ki Lurah Branjangan tetap bersama pasukan khusus itu. Pajangpun telah tidak akan dipimpin lagi oleh Ki Tumenggung Prabadaru meskipun besok Agung Sedayu tidak akan mungkin tampil di medan."
Demikianlah, maka Mataram telah benar-benar mempersiapkan diri. Beberapa orang Senapati terpenting telah mendapatkan perintahnya masing-masing. Ki Juru Martani besok akan berada di pusat pertahanan pasukan Mataram. Namun, Raden Sutawijayapun tidak akan mengingkari tanggung jawab. Ia akan meninggalkan sayap kanan dan berada pula di pusat gelar. Ia akan menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan oleh ayahandanya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Meskipun kedua ayah dan anak angkat itu yang bertemu dipeperangan, namun Raden Sutawijaya tidak akan dapat melawannya. Kecuali ia adalah putera angkat, murid sekaligus hamba istana Pajang, juga karna ilmu yang dimiliki Kangjeng Sultan itu rasa-rasanya tidak terbatas.
Perintah itupun segera tersebar. Dengan jantung yang berdebaran para Senapati Mataram menunggu apa yang akan terjadi esok pagi. Namun demikian, merekapun masih sempat beristirahat meskipun hanya sebentar.
Selagi orang-orang Mataram diguncang oleh kegelisahan, Pangeran Benawa duduk disamping Ki Singatama dihadapan ayahandanya yang duduk di bibir amben pembariangannya. Dengan wajah pucat Kangjeng Sultan itupun berkata, "Kau besok adalah Senapati pengapitku."
"Hamba ayahanda. Tetapi hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan menghadapi kakangmas Sutawijaya," jawab Pangeran Benawa.
"Apa kata Senapati Ing Ngalaga" Bukankah ia memang menantang aku berperang tanding" Atau bertempur dalam gelar antara pasukan Pajang dan Mataram. Aku tahu, bahwa Mataram memiliki Untara yang mempuni dalam pasang gelar. Mataram memiliki agung Sedayu yang ternyata mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru," berkata Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Sementara itu, Ki Singatamapun menunduk pula. Hanya sekali-sekali terdengar nafasnya berdesah.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultanpun berkata pula, "Benawa. Akupun tahu, bahwa di Mataram ada orang yang memiliki ilmu yang jarang sekali terdapat sekarang ini. Orang yang mampu menebarkan kabut untuk membatasi penglihatan."
Pangeran Benawa memandang ayahandanya sejenak. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya kembali. Meskipun demikian ia masih juga bergumam, "Ilmu itu sekedar untuk mengimbangi kemampuan seseorang yang juga tidak diketahui diantara orang-orang Pajang, yang mampu menyerang Agung Sedayu lewat indera penciumannya seperti yang pernah hamba katakan kepada ayahanda."
Kangjeng Sultan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Benawa, ternyata pada jaman ini masih ada orang yang memiliki ilmu seperti itu. Ilmu yang pada masa mudaku sangat dikagumi dan jarang dikenal. Karena itu, maka perang kali ini benar-benar perang yang menentukan, sehingga dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagiku daripada turun sendiri langsung kemedan perang."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Ayahanda. Ketika petugas sandi itu menemui aku dan menyampaikan pesan ayahanda, maka kakang mas Sutawijayapun mendengarnya pula. Bahkan kakang mas Sutawijaya telah mengambil satu sikap, bahwa besok pasukan Mataram akan menyongsong kehadiran pasukan Pajang. Kakang Sutawijaya akan menerima segala hukuman yang akan ayahanda trapkan kepada kakangmas Sutawijaya dan kepada Mataram. Karena sebenarnyalah apa yang ayahanda kehendaki, akan dapat terjadi."
Wajah Kangjeng Sultan menegang. Terdengar ia menggeretakkan gigi sambil menggeram, "Pengecut Sutawijaya. Ia harus turun kemedan dan bertempur melawan aku."
"Tidak ada gunanya," jawab Pangeran Benawa, "bukankah hal itu hanya akan menambah korban saja di peperangan " Jika perang itu masih berkelanjutan dan akhir dari peperangan itu sudah menentu, apa pula gunanya perang itu sendiri " Apakah artinya kematian-kematian yang tidak dapat dihitung jumlahnya itu jika kematian itu sama sekali tidak mempengaruhi pertempuran itu sendiri ?"
"Aku tidak tahu maksudmu," jawab Kangjeng Sultan.
"Tidak ada gunanya kakangmas Sutawijaya bertempur melawan ayahanda karena akhir dari peperangan itu memang sudah diketahuinya," jawab Pangeran Benawa, lalu, "dan aku sependapat dengan kakangmas Sutawijaya."
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Justru ia kemudian berkata, "Benawa. Pergilah beristirahat. Besok kau adalah Senapati Pengapitku. Perang akan terjadi sebagaimana seharusnya. Perang memang merupakan ajang pembantaian. Ajang dari segala macam kebencian, kebengisan dan tidak berperi kemanusiaan. Kita semuanya sudah tahu. Kita semuanya sering menyebutnya. Tetapi kita semuanya setiap kali akan sampai kepada kemungkinan itu. Perang.
Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat mengerti, apakah yang akan terjadi. Tetapi ia tidak dapat menolak perintah ayahanda Sultan Hadiwijaya.
Dalam pada itu, Ki Singatamapun menjadi bingung. Namun seperti Pangeran Benawa, Ki Singatama tidak berani menanyakan maksud Kangjeng Sultan yang sebenarnya, meskipun Ki Singatama itu dapat merabanya di balik tirai sikap Kangjeng Sultan yang keras itu.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawapun telah minta diri untuk beristirahat. Meskipun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat melakukannya sepenuhnya.
Sepeninggal Pangeran Benawa, maka Kangjeng Sultanpun berkata kepada Kiai Singatama, "Sudahlah Ki Singatama. Jangan kau pikirkan lagi apa yang akan terjadi. Segalanya akan terjadi sebagaimana seharusnya terjadi."
"Hamba Kangjeng Sultan. Hamba akan bersiap-siap. Besok hambapun akan turun kemedan, meskipun tenaga hamba tidak lagi berarti di medan perang," jawab Ki Singatama.
"Ya. Kita semuanya akan turun kemedan. Besok aku akan berada dipunggung kendaraan khususku," berkata Kangjeng Sultan pula.
Ki Singatama menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia memberanikan diri untuk berkata, "Tetapi tuanku sangat lemah."
Kangjeng Sultan Hadiwijaya tersenyum. Katanya, "Apa bedanya Ki Singatama. Bukankah segala tugasku telah selesai. Sebagian besar sudah aku tunaikan semasa mudaku. Selebihnya di sisa hidupku yang ternyata tidak terlalu dapat dibanggakan."
"Sikap tuanku sangat mengesankan hamba," desis Ki Singatama.
Tetapi Kangjeng Sultan masih saja tersenyum, bahkan kemudian katanya, "Ki Singatama. Apakah Ki Singatama sudah akan beristirahat."
"Apakah masih ada yang harus hamba lakukan?" bertanya Ki Singatama.
"Masih ada Ki Singatama," jawab Kangjeng Sultan, "jika kau tidak terlalu letih."
"Hamba sama sekali tidak letih tuanku. Hamba tidak berbuat apa-apa selain duduk menghadap tuanku," jawab Ki Singatama.
"Baiklah Ki Singatama. Jika kau tidak berkeberatan, tolong, perintahkan untuk menyiapkan tiga ikat merang." berkata Kangjeng Sultan kemudian.
"Tiga ikat merang," ulang Ki Singatama, Wajahnya menjadi tegang. Dengan suara patah-patah ia bertanya, "Apa artinya tuanku."
"Aku akan mandi," jawab Kangjeng Sultan.
"Ya. Hamba tahu. Tiga ikat merang. Tuanku akan mandi keramas," suara Ki Singatama menjadi gemetar. Lalu, "Itulah yang hamba tanyakan. Apakah maksud tuanku untuk siram jamas. Apalagi di malam hari begini. Hamba menghubungkannya dengan niat tuanku turun kemedan dan keterangan tuanku tentang tugas tuanku yang telah selesai."
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Tidak ada apa-apa. Besok aku akan turun kemedan dengan membawa pusaka Pajang, Kiai Cerubuk. Karena itu aku akan mandi dan keramas."
Ki Singatama termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya dengan suara yang semakin gemetar, "Tuanku. Hambapun sudah tua. Hambapun merasa, bahwa tugas hamba juga sudah selesai. Tetapi hamba masih berbangga hati, bahwa hamba mendapat kesempatan untuk menyediakan air abu merang yang akan tuanku untuk jamas. Hamba akan mendapat sisanya dan hambapun akan keramas pula sebagaimana akan tuanku lakukan. Hambapun tahu, bahwa tuanku akan memerintahkan hamba untuk menyediakan kelebet kecil putih yang kemarin tuanku amati setiap sudutnya. Dan hambapun mengerti, apa yang kira-kira akan terjadi."
"Jangan menduga-duga Ki Singatama," jawab Kangjeng Sultan, "sudahlah. Tolong, carikan tiga ikat merang. Jangan lupa, tiga ikat merang."
Ki Singatamapun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Diluar sadarnya ia telah mengusap setitik air di matanya.
Namun Ki Singatamapun kemudian bergeser surut. Ketika ia sudah berada diluar, maka iapun menghisap udara malam yang semakin dingin seolah-olah udara malam itupun akan dihirupnya sampai kering.
"Siram jamas," desisnya.
Dengan langkah yang berat, maka Ki Singatamapun kemudian memerintah seseorang untuk mendapatkan tiga ikat merang.
Malam itu, bahkan sudah lewat tengah malam, Kangjeng Sultan yang tidak tidur sekejappun itu, telah mandi sambil membersihkan rambutnya yang panjang terurai.
Dalam pada itu, Ki Singatama telah melayaninya dengan tekun. Ia tidak memerintahkan orang lain menyiapkannya. Kecuali untuk mendapatkan tiga ikat merang, segalanya dilakukannya sendiri. Dan akhirnya sisa air merang yang dibakar untuk keramas itupun telah dipergunakannya pula. Ki Singatamapun telah adus keramas.
Malam itu, Kangjeng Sultan berusaha mengeringkan rambutnya. Kemudian, dengan cunduk jungkat dan rambut terurai, Kangjeng Sultan duduk diatas amben bambu dengan tangan bersilang didadanya.
Ki Singatama yang juga mengurai rambutnya yang basah, duduk di lantai dihadapan Kangjeng Sultan dengan kepala tunduk dan tangan bersilang didadanya pula.
Keduanya bagaikan terbangun dari sebuah renungan yang sangat dalam, ketika mereka mendengar ayam jantan berkokok bersahutan untuk yang terakhir kalinya. Sementara itu, para petugas didapur telah sibuk menyiapkan makan dan minuman bagi para prajurit yang akan turun kemedan disaat matahari terbit.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultanpun kemudian turun dari pembaringannya sambil berkata, "Ki Singatama, bantu aku mengenakan pakaian keprajuritan. Aku akan menjadi Senapati Agung pagi ini. Perintah itu tentu sudah sampai ketelinga semua Senapati dan mereka akan mendengarkan perintahku."
Ki Singatamapun menyahut dengan sendat, "Hamba tuanku. Apa perintah tuanku akan hamba laksanakan."
Demikian Ki Singatamapun telah membantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengenakan pakaian keprajuritan. Mengenakan kelengkapan seorang Senapati Agung yang akan turun kemedan perang.
"Apakah tuanku juga akan mengenakan untaian kembang melati sebagai pertanda ke Senapatian tuanku," bertanya Ki Singatama dengan sendat.
Tetapi Kangjeng Sultan menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak Ki Singatama. Aku akan mengenakan selempang sebuah kelebet kecil. Kiai Burus."
Ki Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Kangjeng Sultan kemudian mengenakan selempang sehelai kelebet berwarna putih.
Sambil menyisipkan sebilah pusaka kerisnya yang disebut Kiai Cerubuk, maka Kangjeng Sultanpun kemudian berkata, "Aku sudah siap Ki Singatama."
Ki Singatama itupun kemudian berlutut di hadapannya. Sambil memegangi kedua lutut Kangjeng Sultan, Ki Singatama berkata tersendat-sendat, "Tuanku. Apakah tidak ada pilihan lain yang dapat tuanku lakukan."
"Sudahlah," berkata Kangjeng Sultan, "aku adalah seorang Senapati Agung. Aku akan bertempur diatas seekor gajah, pertanda kebesaran Pajang."
"Tuanku, terasa tubuh tuanku gemetar. Keadaan tuanku benar-benar tidak memungkinkan untuk turun kemedan, apalagi diatas punggung seekor gajah." seMbah Ki Singatama.
Buku 168 KANGJENG Sultan itupun kemudian menepuk pundak Ki Singatama sambil berkata, "Cepat. Berpakaianlah. Kaupun seorang prajurit yang akan turun pula kemedan. Sementara aku menunggumu, beri aku minuman panas dengan gula kelapa. Sesuap nasi tanpa lauk tanpa sayur."
"Hamba tuanku," desis Ki Singatama.
Sejenak kemudian, Ki Singatamapun telah memerintahkan untuk menyediakan minuman panas dengan gula kelapa dan segenggam nasi tanpa lauk. Bukan saja bagi Kangjeng Sultan, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
"Kangjeng Sultan, hamba mohon untuk diperkenankan ikut bersama tuanku, makan serta minum didalam bilik ini," mohon Ki Singatama.
"Silahkan Ki Singatama, aku senang sekali kau bersedia mengawani aku," jawab Kangjeng Sultan, "ternyata dalam keadaan yang paling pahit ini, masih ada juga orang yang bersedia mengawani aku."
"Hamba akan tetap setia kepada tuanku," jawab Singatama, "dalam keadaan apapun."
Demikianlah, keduanyapun telah makan sesuap nasi dan minum seteguk minuman dengan gula kelapa. Alangkah segarnya.
"Nah," berkata Kangjeng Sultan kemudian, "aku sudah siap. Siapkan titihanku. Aku akan pergi kemedan. Bukankah langit telah menjadi terang."
"Hamba tuanku. Sebentar lagi, tentu akan terdengar suara sangkakala. Dan pertempuranpun akan segera dimulai."
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mempersiapkan pasukan Pajang sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Ki Singatamapun telah memerintahkan untuk memanggil srati gajah yang akan dipergunakan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dengan wajah pucat srati itupun kemudian berkata kepada Ki Singatama, "Apakah artinya semuanya ini. Malam tadi, aku melihat Kangjeng Sultan telah mandi keramas dengan air abu merang. Sekarang, sebagai pertanda ke Senapatian, Kangjeng Sultan telah mengenakan selempang kelebet berwarna putih. Bukankah yang dipergunakan oleh Kangjeng Sultan itu bukan seharusnya, karena kelebet memang bukan selempang ?"
Ki Singatama menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Semuanya atas kehendak Kangjeng Sultan sendiri. Aku tidak tahu menahu, apa yang dimaksudkannya."
Srati itupun kemudian menyahut, "Rasa-rasanya hati ini telah membeku. Tetapi baiklah. Aku akan memberikan pakaian yang paling baik bagi gajah titihan Kangjeng Sultan itu."
Sejenak kemudian, Srati itu telah menyiapkan gajah titihan Kangjeng Sultan yang akan dipergunakan maju kemedan perang. Dikenakannya pakaian yang paling baik dan yang paling baru yang dimiliki oleh gajah itu. Dihiasinya dahi, kening dan telinganya sebagaimana akan diarak dalam upacara besar di alun-alun.
Namun dalam pada itu, hati srati gajah itu telah menjadi sangat gelisah karena sikap Kangjeng Sultan. Bahkan hampir diluar sadarnya, maka gajah itupun lebih banyak mengenakan pakaiannya yang paling baik dalam warna keputih-putihan.
Dalam pada itu, Matarampun telah mulai mempersiapkan diri. Raden Sutawijaya yang kurang mengerti maksud ayahandanya itupun telah menyiapkan pasukan yang paling baik melekat pada induk pasukan, sehingga setiap pasukan itu dapat ditarik memasuki induk pasukan. Sebagian dari pasukan khusus telah diperintahkan untuk bersiap bertempur diinduk pasukan, sementara pasukan terbaik dari pasukan Pajang di Sangkal Putung, yang berpihak kepada Mataram, sebagian telah dipersiapkan pula. Pasukan yang dipimpin oleh Senapati muda, Sabungsari.
Raden Sutawijaya sendiri, juga telah mempersiapkan diri di induk pasukannya, meskipun tidak langsung memegang pimpinan yang tetap berada di bawah pimpinan Ki Juru Martani.
Namun demikian. Raden Sutawijaya sudah berpesan kepada setiap senapati, bahwa segala sesuatunya akan dapat terjadi. Karena itu, maka mereka harus memperhatikan segala perintah dengan saksama dengan sungguh-sungguh.
"Kita harus benar-benar dapat menyesuaikan diri dan mengambil keputusan dengan cepat," berkata Raden Sutawijaya yang memang cemas menghadapi keadaan.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terjadi satu gejolak yang dahsyat didalam jantung Raden Sutawijaya. Seandainya ayahandanya benar-benar menyerang induk pasukan Mataram, apakah ia akan dapat menjatuhkan perintah kepada pasukan-pasukan yang sudah dipersiapkan untuk melawannya" Apakah Ki Juru Martani akan benar-benar berdiri berhadapan dengan ayahanda angkatnya itu di medan dengan mengadu ilmu dan kemampuan"
"Tidak ada yang mampu mengimbangi ilmu ayahanda Sultan," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya. Kemudian, "Tetapi paman Juru Martani juga menyimpan ilmu yang hampir sempurna. Dalam keadaan yang lemah karena sakit, ayahanda tidak akan mampu mengetrapkan ilmunya sampai kepuncak. Dan dalam keadaan yang demikian, Ki Juru Martani akan dapat mengimbanginya."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, hatinyapun bergejolak, "Apakah aku akan dapat melihat salah seorang dari keduanya dikalahkan dalam peperangan. Apakah itu ayahanda Sultan atau paman Juru Martani. Tetapi lebih daripada itu, apakah aku akan benar-benar melawan ayahanda Sultan dengan tangan paman Juru Martani?"
Raden Sutawijaya tidak menemukan jawabnya didalam dirinya. Karena itu, maka iapun telah menemui Ki Juru Martani untuk mendapatkan pertimbangannya.
"Kita berdiri diantara api dan banjir bandang. Sulit untuk memilih, apa yang akan kita lakukan," berkata Ki Juru Martani. Lalu, "Apalagi kita telah melihat, diantara orang-orang Pajang dan Mataram terdapat ilmu yang tersembunyi, yang sebenarnya merupakan dua unsur yang memang saling bertentangan. Yang berhadapan di medan ini bukan saja kekuatan Pajang melawan Mataram sebagaimana kita lihat dalam gelar. Tetapi benturan ilmu semalam telah menunjukkan, ada unsur lain yang ikut serta beradu di medan ini."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku telah tersudut kedalam satu keadaan yang sangat sulit. Tetapi baiklah paman. Kita akan melihat apa yang terjadi."
"Baiklah Raden," jawab Ki Juru, "kita akan selalu berhubungan. Pada satu saat yang paling sulit, kita harus dapat mengambil satu keputusan. Aku mohon Raden juga selalu berhubungan dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sementara itu, nampaknya Ki Gede masih harus beristirahat karena luka-lukanya bersama Swandaru selain Agung Sedayu sendiri."
"Ya paman," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi kedua perempuan dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu berada di medan hari ini."
Ki Juru mengangguk-angguk. Seperti Raden Sutawijaya, iapun menghadapi satu keadaan yang sangat pelik.
Dalam pada itu. maka langitpun telah menjadi semakin merah oleh cahaya pagi. Kedua pasukan yang masih berada di pesanggrahan masing-masingpun telah bersiaga sepenuhnya. Mereka tinggal menunggu perintah untuk tampil kemedan.
Dalam pada itu, atas petunjuk Kiai Gringsing, maka Swandaru dan Ki Gede Menorehpun tidak turun kemedan pada hari itu. Luka-luka mereka perlu mendapat perawatan sebaik-baiknya. Jika mereka memaksa turun kemedan, mungkin keadaan luka itu akan menjadi sangat buruk. Jika pendarahan tidak dapat dicegah lagi, maka kemungkinan yang pahit akan terjadi.
Apalagi Agung Sedayu yang masih harus berbaring di pembaringan, dibawah pengawasan khusus. Namun hari itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi akan berada di medan bersama Ki Waskita dan Kiai Gringsing disamping Glagah Putih dan para pemimpin pasukan khusus dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.
"Aku titipkan Pandan Wangi dan Sekar Mirah kepada guru," berkata Swandaru.
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengamatinya, Swandaru. Tetapi mereka berdua akan turun kemedan perang dengan segala kemungkinannya," jawab Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Iapun menyadari, akibat yang dapat terjadi atas keduanya. Namun Swandarupun mengerti, bahwa baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah memiliki bekal yang cukup untuk turun kemedan.
Meskipun demikian Swandarupun berpesan kepada keduanya, "Jika lawan bertempur berpasangan, lakukanlah seperti apa yang mereka lakukan, karena mereka sama sekali tidak mempunyai harga diri lagi. Aku dan Ki Gede Menoreh mengalami kesulitan yang sama. Mereka telah menyerang kami bersama-sama."
"Baik kakang," jawab Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir bersamaan.
Demikianlah, ketika langit menjadi semakin terang, terdengarlah suara sangkakala yang membelah sepinya langit di pagi hari. Suaranya bergetar, mengumandang menyusur tebing Kali Opak.
Namun ditelinga beberapa orang Pajang dan Mataram, yang telah dibelit oleh persoalan didalam dirinya, suara sangkakala itu tidak lagi menggelorakan darah mereka sehingga bagaikan mendidih. Namun yang terdengar adalah rintihan yang menyeruak dari dasar perasaan yang paling dalam.
Yang terjadi itu sama sekali bukan yang dikehendaki.
Sementara itu, Kangjeng Sultan Hadiwijayapun telah siap dalam pakaian kebesaran Senapati Agung yang akan turun kemedan. Namun yang tidak dimengerti oleh para pengiringnya kemudian adalah, selempang yang dipakainya.
Atas perintah Sultan Pajang, maka Ki Singatama diperkenankan mendampinginya disebelah para Senapati pengapit, bersama srati gajah yang akan menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Dengan pertanda kebesaran Senapati Agung yang langsung di tangan Kangjeng Sultan sendiri, maka iring-iringan pasukan Pajang mulai bergerak meninggalkan pasanggrahan. Dibawah pengaruh sratinya, maka gajah itupun telah merunduk dan membiarkan Kangjeng Sultan naik kepunggungnya, serta membawanya maju kemedan.
Sejenak kemudian kedua pasukan dalam gelarnya masing-masing telah mendekati Kali Opak dari arah yang berlawanan. Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, pasukan Mataram akan tetap berada di sebelah Barat Kali Opak dan menunggu pasukan Pajang menyerang.
Dalam pada itu, seorang Senapati Pajang yang tidak begitu dikenal diantara kekuatan Pajang sendiri, mengikuti sikap Kangjeng Sultan dengan saksama. Bahkan dengan ketajaman perhitungannya, ia justru menganggap bahwa sikap Kangjeng Sultan itu akan dapat mengacaukan rencananya.
Karena itu, maka iapun telah memerintahkan semua orang yang berada dibawah pengaruhnya untuk selalu mendengarkan perintahnya. Termasuk pasukan khusus yang kehilangan Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Senapati-senapati bawahannya, ternyata memiliki sikap dan langkah yang sama dengan Ki Tumenggung Prabadaru. Bahkan nampaknya mereka telah dibumbui pula oleh dendam atas kematian pemimpin mereka.
Seorang Senapati muda yang mendapat perintah dari Kangjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Ki Tumenggung Prabadaru, nampaknya tidak begitu disukai oleh Kakang Panji. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan seorang Senapati yang dekat dengan Ki Tumenggung Prabadaru, untuk membayanginya. Sementara itu, Senapati-senapati yang lain nampaknya cenderung untuk mematuhi perintah Kakang Panji daripada perintah yang dijatuhkan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya, meskipun mereka tidak dengan terus terang membantahnya.
Dengan demikian, maka orang-orang yang langsung berada dibawah pengaruh Kakang Panji telah mengadakan kesiagaan khusus. Mereka menganggap bahwa saat yang menentukan telah tiba. Mereka tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Menurut perhitungan Kakang Panji, Kangjeng Sultan sengaja mengulur waktu dengan membekukan pasukan diinduk gelar dari seluruh kekuatan Pajang. Dengan demikian, maka pasukan Mataram mendapat kesempatan untuk menempatkan seluruh pasukannya pada sayap-sayap kekuatan mereka.
Demikianlah, semakin langit menjadi terang, kedua pasukan itupun menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan gajah yang menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan itupun maju mendekati tebing sungai.
Raden Sutawijaya yang berada di induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani benar-benar menjadi berdebar-debar. Dipandanginya segala macam tanda kebesaran Kerajaan Pajang. Umbul-umbul, rontek, panji-panji dan kelebet beraneka warna melekat pada tunggul-tunggul yang menggetarkan. Tunggul-tunggul yang berbentuk cakra, trisula, nanggala, bajra dan ujud-ujud binatang yang perkasa. Turangga, sardula, wanara dan ujud-ujud yang lain.
Dalam pada itu, dari arah samping, Kiai Gringsing-pun menjadi gelisah. Ki Waskita termangu-mangu memandang pertanda kebesaran itu. Sementara Untara menjadi berdebar-debar.
Namun kedua pasukan besar itu telah berhadapan. Pasukan Mataram telah berhenti di sebelah Barat tebing, sementara pasukan Pajang telah bersiap-siap untuk menyeberangi Kali Opak.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya benar-benar menjadi gelisah. Kangjeng Sultan sebentar lagi akan menyeberangi sungai dan naik ketebing di sebelah Barat.
Dalam kegelisahan yang memuncak. Raden Sutawijaya itupun telah bergeser mendekati Ki Juru Martani sambil bertanya, "Apa yang harus aku lakukan sekarang paman. Sebentar lagi, ayahanda Sultan akan turun kesungai dan menyeberanginya. Jika ayahanda naik ketebing disebelah Barat, lalu apa yang harus aku lakukan ?"
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa iapun menjadi gelisah. Dengan nada dalam ia berkata, "Sungguh satu keadaan yang paling sulit yang kita hadapi. Sebenarnya aku tidak pernah merasa gentar menghadapi siapapun juga, apalagi dalam peperangan. Tetapi ketika dihadapanku telah siap Kangjeng Sultan Hadiwijaya, aku menjadi berdebar-debar."
"Bagaimana sikap paman dalam keadaan seperti ini?" bertanya Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, putera Ki Gede Pasantenanpun telah mendekati Raden Sutawijaya sambil berdesis, "Apa yang akan kita lakukan?"
Wajah Ki Juru menjadi tegang. Sementara itu, gajah yang menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan telah mulai menuruni tebing.
Namun dalam pada itu, beberapa orang menjadi cemas. Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang dalam keadaan sakit itu tiba-tiba berdesis sambil memegangi keningnya.
"Ayahanda," Pangeran Benawa menjadi cemas melihat keadaan ayahandanya yang berada dipunggung gajah, justru pada saat gajah itu menuruni tebing.
"Aku tidak apa-apa," jawab Kangjeng Sultan. "Aku siap untuk bertempur. Bagaimana dengan para Senapati di sayap pasukan?"
"Semuanya sudah siap," jawab Pangeran Benawa.
"Bunyikan sangkakala. Aku akan segera menyerang," perintah Kangjeng Sultan, "semua Senapatipun harus memberikan perintah kepada prajurit-prajuritnya."
Pangeran Benawa termamangu-mangu sejenak. Namun sekali lagi terdengar perintah Kangjeng Sultan, "Perintahkan untuk membunyikan sangkakala."
Bagaimanapun juga, Pangeran Benawa tidak dapat membantah. Iapun segera memerintahkan meniup sangkakala. Perintah yang dijatuhkan oleh Kangjeng Sultan selaku Panglima Agung dalam perang itu, bahwa semua orang didalam pasukan siap untuk menyerang.
Ketika suara Sangkakala itu bergema, maka jantung setiap prajurit Pajang menjadi berdebar-debar.
"Nampaknya Kangjeng Sultan benar-benar menyerbu," desis Raden Sutawijaya.
"Ya, sementara itu kita belum dapat mengambil sikap," gumam putera Ki Gede Pasantenan.
Dalam kegelisahannya, maka tiba-tiba Ki Juru berkata, "Bunyikan bende Kiai Bancak. Sekarang."
Raden Sutawijaya terkejut. Dengan demikian, Ki Juru benar-benar telah bersikap dalam perang itu. Menang atau kalah.
Namun keragu-raguan yang sangat telah mencengkamnya, sehingga Raden Sutawijaya tidak dapat mencegah seorang pengawal yang kemudian berlari-lari ketempat bende Kiai Bancak itu disimpan.
Dalam pada itu, ketika Kangjeng Sultan yang berada di atas punggung yang menuruni tebing perlahan-lahan itu, terkejut pula ketika tiba-tiba saja mendengar gema suara bende Kiai Bancak yang bagaikan melengking membentur ujung-ujung candi yang menjulang tinggi dan kemudian menghantam lereng Gunung Baka yang membujur ke arah Timur.
Sejenak Kangjeng Sultan menengadahkan kepalanya. Suara itu bergema pula didalam hatinya. Menurut pengertiannya, jika bende itu berbunyi nyaring, maka pemilik pusaka bende itu akan menang dalam satu peperangan.
Tetapi Kangjeng Sultan ternyata tidak menghiraukan suara bende itu. Perlahan-lahan gajahnya maju terus. Ketika gajah itu sudah turun sampai ketepian, maka mulailah raksasa itu melangkah dengan kakinya yang berat menyeberangi Kali Opak.
Orang-orang yang berada di sebelah Barat Kali Opak menjadi semakin berdebar-debar. Jika sekali lagi Kangjeng Sultan memerintahkan membunyikan sangkakala, maka pasukan Pajang segelar sepapan dengan sayap-sayapnya yang kuat itu akan segera menyerang.
Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Pajang telah menuruni tebing. Mereka telah bersiap. Dihari sebelumnya, maka perintah menyerangpun segera datang. Mereka akan berlari ke tebing Barat untuk mengambil ancang-ancang dengan pasukan perisai di paling depan, karena pasukan Mataram akan menerima mereka dengan lontaran anak panah dan lembing yang berujung tajam.
Tetapi ternyata sangkakala masih belum terdengar. Ketika satu-satu langkah yang berat kendaraan perang Kangjeng Sultan itu melangkahi bebatuan, memasuki arus Kali Opak yang tidak begitu deras, pasukan Pajang justru menjadi gelisah, karena mereka masih belum menerima perintah untuk menyerang.
"Kita tidak dapat bertempur tanpa ancang-ancang melawan pasukan Mataram yang siap untuk menghujani kita dengan anak panah dan lembing," desis seorang Senapati.
Sebenarnyalah, orang-orang Mataram telah memasang anak panah pada busur-busurnya, sementara yang lain telah mengayun-ayunkan lembing, siap untuk dilontarkan.
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba gajah, yang merupakan kendaraan perang Kangjeng Sultan itupun berhenti. Ketika kakinya melangkah menginjak sebuah batu, rasa-rasanya gajah itu terkejut dan bergeser selangkah surut.
Orang-orang yang berada disekitar gajah itupun terkejut pula. Bahkan srati gajah itupun telah melangkah mendekati dan mencoba untuk menenangkan gajahnya dan membawanya maju kemedan perang.
Sejenak, gajah itu berdiri membeku. Namun atas perintah dan pengaruh sratinya, maka gajah itupun telah melangkah lagi maju setapak demi setapak.
Pangeran Benawa yang berada disisi gajah itupun menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada Ki Singatama, maka nampak wajah Ki Singatama itu membayangkan kegelisahan.
"Kenapa?" bertanya Pangeran Benawa kepada srati gajah itu.
Namun Pangeran Benawa tidak sempat mendapat jawabannya. Tiba-tiba sekali lagi gajah itu seolah-olah terkejut dan bergeser surut sehingga sratipun menjadi cemas. Gajah yang jinak itu tidak pernah menunjukkan sikap yang demikian. Biasanya gajah itu mudah dikuasai dengan sentuhan-sentuhan dan tarikan-tarikan pada telinganya, gajah itu mengerti, apa yang dikehendaki oleh sratinya. Namun dalam pada itu, gajah itu menunjukkan sikap yang gelisah.
Sementara itu, suara bende Kiai Bancak masih saja melengking dengan nyaringnya, seakan-akan telah mengguncang pepohonan di seluruh medan diseberang-menyeberang Kali Opak.
Dalam pada itu, gajah itupun menjadi semakin gelisah. Beberapa langkah gajah itu bergeser surut. Kemudian dengan sikap yang kurang dimengerti oleh sratinya gajah itu seolah-olah meloncat maju.
Kangjeng Sultan yang berada dipunggung gajah itu bagaikan diguncang-guncang. Dalam keadaannya yang lemah, maka Kangjeng Sultan mengalami kesulitan untuk tetap duduk diatas punggung gajah yang gelisah itu.
"Tenangkan gajah itu," perintah Pangeran Benawa, "kita berhenti disini. Sebelum gajah itu tenang, kita tidak akan bergerak lagi."
Pasukan Pajang memang berhenti. Seorang Senapati lelah meneriakkan perintah itu yang kemudian sambung bersambung sampai keujung sayap.
Tetapi agaknya gajah itu sulit sekali untuk ditenangkan. Ketika sratinya mempergunakan cis, maka gajah itu menjadi semakin gelisah. Belalainya mulai terayun-ayun dan terangkat keatas. Ketika kegelisahan gajah itu memuncak, maka terdengar gajah itupun melengking tinggi.
Raden Sutawijaya melihat gajah yang tiba-tiba sulit dikuasai itu. Dengan tegang ia mengamati kesulitan yang mulai dialami oleh ayahanda angkatnya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang dalam keadaannya yang sangat lemah.
Dalam keadaan yang demikian, maka hampir diluar sadarnya, Raden Sutawijaya meneriakkan perintah, "Hentikan bunyi Kiai Bancak. Suara itu membuat gajah ayahanda menjadi gelisah."
Ki Juru Martani sama sekali tidak mencegahnya. Seorang Senapati Mataram telah berlari-lari, untuk menyampaikan perintah menghentikan suara Kiai Bancak yang melengking tinggi memecahkan keheningan langit pagi yang digoyang oleh angin yang lembut.
Sementara itu, kegelisahan gajah titihan Kangjeng Sultan itu menjadi semakin sulit untuk dikuasai. Bahkan kemudian, gajah itu mulai melonjak seakan-akan ketakutan menghadapi pasukan Mataram yang sudah siap di tebing sebelah Barat.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang menjadi kebingungan. Srati gajah itu sudah berjuang dengan segenap kemampuannya untuk menenangkan gajah yang gelisah itu. Tetapi nampaknya ia tidak berhasil.
Tidak ada yang dapat menahan apa yang bakal terjadi jika gajah itu benar-benar mengamuk. Namun yang paling menggelisahkan adalah justru karena Kangjeng Sultan ada dipunggung gajah itu.
Dalam pada itu. Senapati Mataram yang berlari-lari telah mencapai tempat Kiai Bancak yang dibunyikan dengan nyaring. Dengan nafas terengah-engah Senapati itu berkata, "Hentikan. Atas perintah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Senapati yang memukul bende Kiai Bancak itu merasa heran atas perintah itu. Sehingga ia masih juga bertanya, sementara tangannya masih juga memukul Kiai Becak. "Kenapa Senapati Ing Ngalaga memerintahkan menghentikan bunyi bende ini."
"Hentikan. Gajah Kangjeng Sultan tidak tahan mendengar lengking suara bende ini, sehingga gajah itu hampir mengamuk karenanya, sementara Kangjeng Sultan ada di punggung gajah itu," jawab Senapati yang membawa perintah Senapati Ing Ngalaga.
Perintah itu masih juga meragukan. Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah Panglima Agung pasukan lawan. Apa sebabnya, maka Raden Sutawijaya justru menjadi cemas karena gajah yang menjadi kendaraan perang Panglima Agung pasukan lawan itu kehilangan kendali.
Namun dalam keragu-raguan itu, ia mendengar Senapati yang membawa perintah Senapati Ing Ngalaga itu mengulangi, "dengar. Atas perintah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, hentikan bunyi bende Kiai Bancak."
Perintah itu memang cukup meyakinkan. Karena itu, maka Senapati itupun menarik nafas dalam-dalam sambil menghentikan ayunan tangannya, sehingga suara bende itupun telah terhenti pula.
Namun Senapati itu terlambat. Gajah yang menjadi kendaraan perang Sultan Hadiwijaya yang gelisah itu telah melonjak sekali lagi. Lebih keras, sehingga yang tidak diinginkan itu telah terjadi. Kangjeng Sultan Pajang yang dalam keadaan lemah oleh sakitnya yang parah, telah terlempar dari punggung gajah yang tidak dapat dikendalikannya itu.
Tubuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu terbanting di atas bebatuan Kali Opak. Tanpa berbuat sesuatu, tubuh itu telah menghantam sebuah batu hitam sebesar kerbau yang banyak bertebaran di Kali Opak.
Memang luar biasa. Benturan yang terjadi antara tubuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan batu hitam itu telah mengejutkan orang-orang yang menyaksikannya. Batu hitam itu tiba-tiba telah terbelah menjadi beberapa bongkah yang pecah berserakan. Namun dalam pada itu, tubuh Kangjeng Sultan yang sedang sakit itupun kemudian terbaring dengan lemahnya diantara pecahan-pecahan batu hitam itu.
Pangeran Benawa dan beberapa orang Senapati termasuk para Adipati telah berlari-lari mendekatinya. Dengan serta merta Pangeran Benawa telah mengangkat tubuh ayahandanya dan meletakkan diatas pasir tepian, diantara bebatuan yang berserakan.
"Ayahanda," desis Pangeran Benawa.
Ternyata Kangjeng Sultan benar benar menjadi sangat lemah. Namun Kangjeng Sultan masih tersenyum sambil berkata, "Aku tidak berhasil bertahan duduk diatas punggung gajah. Bagaimana dengan gajah itu sekarang ?"
Pangeran Benawa berpaling kearah gajah yang menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan. Sratinya yang telah berjuang dengan segenap kecakapannya menguasai gajah itu, akhirnya berhasil menenangkankannya. Sementara itu suara bende Kiai Bancak telah tidak lagi terdengar.
Tiba-tiba saja tangan Pangeran Benawa menjadi bergetar. Kemarahannya melonjak sampai keujung ubun-ubunnya. Gajah itu telah melemparkan ayahandanya yang sedang sakit itu menimpa sebuah batu. Meskipun ayahandanya ternyata masih juga seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang luar biasa, sehingga batu itu telah pecah, namun keadaan ayahandanya menjadi semakin buruk.
Ketika Pangeran Benawa kemudian berdiri, terdengar suara ayahandanya, "Benawa, apa yang akan kau lakukan."
"Gajah keparat," geramnya.
Tetapi Kangjeng Sultan yang lemah itu justru tertawa. Namun betapa lemahnya suara tertawa itu. Katanya disela-sela tertawanya, "Akan kau apakan gajah itu. Aku percaya bahwa dengan tanganmu kau akan dapat membunuhnya. Tetapi gajah itu tidak lebih dari seekor binatang. Ia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia sama sekali tidak sengaja dan berniat untuk mencelakai aku."
Jantung Pangeran Benawa yang menggelegar oleh kemarahannya, justru telah tersentuh oleh kata-kata ayahandanya. Gajah itu tidak lebih dari seekor binatang.
Karena itu, maka Pangeran Benawapun telah menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, kecelakaan yang terjadi itu telah menghentikan segala gerak pasukan Pajang. Semua Senapati telah memerintahkan pasukan Pajang untuk tetap berada ditempat. Meskipun mereka tidak boleh meninggalkan kewaspadaan, namun merekapun menjadi berdebar-debar melihat satu kenyataan, bahwa Kangjeng Sultan Hadiwijaya telah jatuh dari punggung gajahnya.
Pada saat yang demikian. Raden Sutawijaya hampir saja meloncat berlari kearah ayahandanya yang terjatuh dari punggung gajahnya. Namun dengan cepat Ki Juru lelah memegang lengannya sambil berkata, "Kau akan kemana ngger?"
Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namunn kemudian sambil menarik nafas ia berkata, "Ayahanda Sultan jatuh dari punggung gajah itu, paman."
"Ya. Tetapi yang berada disekitar ayahanda angger Senapati Ing Ngalaga adalah para Senapati Pajang. Sedangkan angger adalah Panglima pasukan Mataram yang sedang berperang melawan Pajang," berkata Ki Juru Martani.
Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia adalah Panglima pasukan Mataram yang sedang berperang melawan Pajang. Namun di bawah tebing, di Kali Opak, ayahandanya terbaring dalam keadaan yang sulit.
Dalam kebimbangan itu, Ki Juru Martani berkata pula, "Angger Sutawijaya, jika dalam keadaan yang demikian terjadi sesuatu atas angger, atau justru karena angger mempertahankan diri telah melakukan sesuatu atas orang Pajang, maka ayahanda angger yang dalam keadaan yang parah itu akan menjadi semakin kecewa."
Raden Sutawijaya memandang orang-orang Pajang yang mengerumuni ayahandanya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya dengan jantung yang berdegupan. Bahkan dengan suara sendat ia berkata, "Aku yakin, bahwa ayahanda tidak jatuh dari punggung gajah itu."
"Apa yang terjadi menurut penglihatan angger?" bertanya Ki Juru Martani.
"Ayahanda membiarkan dirinya terjatuh dari punggung gajah itu," jawab Raden Sutawijaya, "kemudian membiarkan dirinya berada dalam keadaan yang parah."
"Kenapa angger berpendapat demikian?" bertanya Ki Juru pula.
"Jika ayahanda menghendaki, ayahanda akan dapat menghentikan kegelisahan gajah itu. Jika terpaksa, ayahanda akan dapat menghentikannya dengan kekerasan," jawab Raden Sutawijaya pula. Lalu, "Tetapi ayahanda membiarkan gajah itu dalam keadaan gelisah dan membiarkan dirinya terjatuh dari punggung gajah itu."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian iapun mengangguk-angguk kecil. Memang Kangjeng Sultan dapat memukul kepala gajah itu sehingga gajah itu akan mati, seandainya gajah itu benar-benar tidak dapat ditenangkan. Bahkan Ki Juru itupun kemudian bertanya didalam dirinya, "Bagaimana mungkin Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bernama Mas Karebet di masa mudanya itu dapat jatuh dari punggung gajah seperti sepotong balok kayu, meskipun masih juga sempat membuat orang yang melihatnya menjadi tergetar, karena sebongkah batu hitam yang ditimpanya telah pecah."
Justru karena itu, maka Ki Juru itupun mulai memperhitungkan keadaan perang itu dalam keseluruhan sebagaimana dihadapinya saat itu, setelah Kangjeng Sultan terjatuh dari punggung gajah.
Untuk beberapa saat kedua pasukan sama sekali tidak bergerak. Pasukan Pajang telah membeku ditempatnya, sementara pasukan Matarampun berhenti menunggu, meskipun kedua belah pihak tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni Kangjeng Sultan menjadi cemas. Mereka melihat keadaan Sultan Hadiwijaya semakin memburuk. Nafasnya menjadi sesak dan terengah-engah.
"Ayahanda," berkata Pangeran Benawa kemudian, "ijinkanlah hamba membawa ayahanda kembali ke pasanggrahan."
Kangjeng Sultan memandang Pangeran Benawa sekilas. Kemudian memandang beberapa orang Senapati yang berjongkok pula disekitarnya. Baru sejenak kemudian, Kangjeng Sultan itu berkata dengan nada yang dalam, "Baiklah Benawa. Aku akan beristirahat barang sejenak di pasanggrahan."
Namun dalam pada itu, seorang Senapati telah berkata, "Sementara itu Kangjeng Sultan, perkenankanlah Kangjeng Sultan memerintahkan pasukan Pajang untuk menggempur Mataram."
Jawaban Kangjeng Sultan memang mengecewakan Senapati itu. Katanya, "Aku tidak dapat memimpin sendiri pasukan Pajang hari ini. Perintahkan mereka mundur. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut."
Namun ketika beberapa orang termangu-mangu. Pangeran Benawa menegaskan perintah itu, "Kalian telah mendengar. Dan atas nama ayahanda, aku perintahkan semua pasukan Pajang mengundurkan diri dari medan hari ini. Kita akan berada di pasanggrahan dan menunggu perintah lebih lanjut."
Tidak ada yang membantah perintah itu. Betapapun perasaan kecewa menusuk jantung para prajurit Pajang yang sudah dengan sepenuh hati turun kemedan dibawah pimpinan Kangjeng Sultan sendiri, namun perintah itu harus mereka lakukan.
Namun dalam pada itu, seorang Senapati yang dikenal oleh beberapa orang bernama Kakang Panji berkata dengan wajah membara menahan perasaannya, "Aku memang sudah menduga, akan terjadi permainan seperti ini."
"Bagaimana jika Kangjeng Sultan memerintahkan pasukan Pajang nanti atau besok menarik diri dari medan?" bertanya seorang kepercayaannya.
"Apaboleh buat. Beberapa bagian dari pasukan Pajang tentu akan tinggal. Pasukan khusus itu akan tetap kita kuasai. Selain pasukan yang berada di induk gelar, maka semuanya akan tetap berada di tempatnya masing-masing," jawab Kakang Panji. Bahkan katanya kemudian, "Agaknya lebih baik bagi kita untuk tidak menunggu perintah. Besok, kita akan turun ke medan tanpa menunggu perintah Kangjeng Sultan yang sudah tidak mampu menjaga dirinya sendiri itu."
"Apakah kepercayaan Kangjeng Sultan tidak akan mencegahnya?" bertanya kepercayaannya.
"Kita akan bergerak cepat. Kita akan turun lebih pagi tanpa tanda dan isyarat apapun. Kita langsung menyerbu pasukan Mataram seandainya mereka belum bersiaga sekalipun. Tidak ada aturan yang dapat mengikat kita dalam keadaan yang gawat seperti ini. Seandainya mereka menganggap bahwa kita telah melanggar paugeran perang, maka mereka tidak akan dapat menghukum kita. Karena kita memang sudah berada dalam keadaan perang," berkata Kakang Panji kemudian.
Kepercayaannya itupun mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa tidak ada pilihan lain. Bahkan setelah Mataram hancur, kemungkinan lain dapat terjadi. Mungkin pasukan Kakang Panji itu harus juga menggempur pasukan Pajang itu sendiri.
Demikianlah, pada hari itu, akhirnya pasukan Pajang telah bersiap-siap untuk menarik diri. Betapapun mereka digigit oleh perasaan kecewa, tetapi mereka harus mematuhi perintah itu.
Dalam pada itu, pasukan Mataram yang termangu-mangu masih berada ditempatnya. Di kedua sayap pasukan itu, para Senapati mengamati keadaan dengan jantung yang berdebaran. Untara yang berada diujung pasukannya, menahan gejolak perasaannya yang bagaikan menghentak-hentak didadanya. Ia pernah menghadap Kangjeng Sultan itu dengan cara yang khusus, sehingga iapun sedikit atau banyak, dapat meraba apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menyaksikan semua peristiwa itu dengan tegang. Namun kedua orang tua itupun berusaha untuk menilai peristiwa itu bukan saja menilik dari penglihatan mata wadagnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang Pajang itu telah menyiapkan sebuah usungan. Mereka membawa Kangjeng Sultan Hadiwijaya kembali ke pesanggrahan, sementara itu Pangeran Benawa telah memerintahkan semua orang didalam pasukan Pajang untuk menarik diri.
Yang terdengar kemudian adalah suara sangkakala. Nadanya terdengar jauh berbeda dengan suara sangkakala disaat pasukan Pajang itu berangkat meninggalkan pesanggrahan. Yang terdengar kemudian bagaikan suara keluh kesah yang ngelangut.
Perlahan-lahan pasukan Pajang menarik diri dari garis perang. Mereka melangkah surut, meskipun mereka tetap dalam kewaspadaan yang tertinggi.
Orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itupun mengumpat dengan kasar. Dua orang kepercayaannya mengikutinya dengan perasaan gelisah.
"Kalian harus menghubungi semua orang yang telah sepakat untuk bekerja bersama kita," geramnya, "agaknya Kangjeng Sultan masih berusaha untuk memenangkan permainan yang terakhir. Dengan demikian maka kita tidak akan dapat berharap, bahwa Pajang dan Mataram akan menghancurkan diri mereka sendiri, sementara itu kita akan dapat menari diatas bangkai mereka."
Kedua orang kepercayaan kakang Panji itu mengangguk-angguk. Agaknya Kangjeng Sultan memang berusaha untuk memenangkan permainan terakhir seperti yang dikatakan oleh Kakang Panji itu, sehingga dengan demikian, Kangjeng Sultan itu berhasil mencegah pertempuran yang lebih besar lagi yang dapat terjadi sebenarnya antara pasukan Pajang dan Mataram. Dengan ketajaman penglihatan batinnya, bahwa Kangjeng Sultan telah mengetahui apa yang terjadi, sebagaimana direncanakan oleh seseorang yang telah membayangi kekuasaannya yang menjadi semakin surut.
Di tebing sebelah Barat Kali Opak, Raden Sutawijaya benar-benar menjadi cemas. Tetapi seperti yang dinasehatkan oleh Ki Juru Martani, maka ia telah menahan diri untuk tidak turun ke tepian Kali Opak untuk mendapatkan ayahandanya yang terbaring diantara para Senapati Pajang.
Demikianlah, maka tubuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang menjadi semakin lemah itupun telah dibawa ke pesanggrahan. Tabib yang terbaik masih selalu mendampinginya. Namun tabib itu tidak dapat berbuat banyak.
Sementara Kangjeng Sultan sendiri agaknya tidak membantu lagi kepada tabib yang sedang mengobatinya.
"Aku sangat berterima kasih kepadamu," berkata Kangjeng Sultan kepada tabib itu, "tetapi yang kau kerjakan itu tidak akan membawa hasil yang kau harapkan. Rasa-rasanya keadaanku sudah demikian parahnya. Meskipun demikian, aku tidak akan menolak kau berusaha, karena itu memang kewajibanmu."
Tabib itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa tabib itupun merasa sangat cemas melihat perkembangan keadaan Kangjeng Sultan. Apalagi kadang-kadang Kangjeng Sultan itu merasa dadanya menjadi sangat sesak. Seakan-akan seseorang telah menindih dadanya dengan beban yang sangat berat.
Seorang prajurit yang sedang bertugas, yang dengar keadaan Kangjeng Sultan itupun berbisik ketelinga kawannya, "Ada yang tidak wajar telah terjadi."
"Apa?" bertanya kawannya.
"Tentu ada kekuatan yang tidak kasat mata telah membantu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga," berkata prajurit itu.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya kawannya.
"Pernafasan Kangjeng Sultan seolah-olah telah tersumbat. Dadanya menjadi sesak," jawab prajurit itu. Lalu, "Hal itu tidak mungkin terjadi, jika tidak ada pihak-pihak yang tidak kasat mata yang telah membantunya. Mungkin dengan mengganggu pernafasan Kangjeng Sultan atau dengan menindih dadanya dengan beban yang berat atau sesuatu yang juga dapat menyebabkan jatuh dari punggung gajah."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Gajah yang jinak itu tiba tiba saja telah menjadi liar."
Namun kawannya yang lain berkata, "Suara bende Kiai Bancak itu sangat mengganggu telinga gajah itu."
"Ah," jawab prajurit yang pertama, "suara bende itu hanya sekedar isyarat kemenangan. Tetapi tentu ada sebab lain untuk mencapai kemenangan itu bagi orang-orang Mataram."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Namun ternyata ceritera prajurit yang dengar, keadaan Kangjeng Sultan itu telah merambat dari telinga ke telinga, sehingga para prajurit Pajangpun kemudian seakan-akan telah mendapatkan satu penjelasan resmi, bahwa sesuatu yang tidak kasat mata telah terjadi atas Kangjeng Sultan. Dadanya bagaikan dibebani oleh kekuatan yang sangat besar.
"Bahkan mungkin dada Kangjeng Sultan telah dihantam oleh kekuatan yang tidak terlawan oleh perisai ilmu Kangjeng Sultan yang tidak ada duanya itu." berkata seseorang yang kemudian telah mengembangkan ceritera itu semakin lama semakin besar.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah, bahwa keadaan Kangjeng Sultan memang menjadi semakin sulit. Dengan jantung yang berdebaran Pangeran Benawa menunggui ayahandanya tanpa beringsut. Sementara ia memerintahkan pengawasan yang sangat ketat disekitar pesanggrahan.
Pangeran Benawa sama sekali tidak mencemaskan bahwa pasukan Mataram akan mempergunakan saat yang sulit itu dengan menyerang dan mendesak pasukan Pajang mundur. Tetapi Pangeran Benawa justru cemas, bahwa ada pihak-pihak dari Pajang sendiri yang tidak puas melihat keadaan itu dan mengambil sikap yang bertentangan dengan sikap Kangjeng Sultan itu sendiri, justru dalam keadaan yang sulit.
Karena Pangeran Benawapun telah melihat kemungkinan yang demikian, maka ia telah memerintahkan pasukan khusus pengawal raja untuk bertindak tegas terhadap siapapun juga yang mengambil sikap sendiri.
Dalam pada itu, para Adipati yang menyertai Kangjeng Sultan menjadi sangat cemas melihat keadaan Kangjeng Sultan itu. Sementara itu Pangeran Benawa sedikit demi sedikit berusaha untuk memberikan penjelasan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
"Kita semua akan tetap melakukan segala perintah ayahanda," berkata Pangeran Benawa.
Ternyata bahwa para Adipati itupun tidak mengecewakannya. Mereka memang hanya tunduk kepada segala perintah Kangjeng Sultan, meskipun sebenarnya merekapun merasa kecewa bahwa mereka tidak melanjutkan rencana mereka pada hari itu, untuk turun kemedan.
Namun dengan penjelasan Pangeran Benawa yang memberikan gambaran tentang seluruh keadaan di medan perang itu, serta sikap Kangjeng Sultan sendiri, maka merekapun berusaha untuk menyesuaikan sikap mereka masing-masing.
Tetapi sementara itu, di tempat lain di pesanggrahan pasukan Pajang, Kakang Panji tengah membuat rencananya sendiri dengan orang-orang kepercayaannya. Mereka bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataran tanpa induk pasukan.
"Selama ini, kekuatan kita tidak terlalu lemah," berkata kakang Panji. Lalu, "bukankah selama ini induk pasukan itu juga tidak berbuat apa-apa" Jika besok kita turun tanpa menunggu kesiapan pasukan Mataram, maka kita akan dapat mematahkan perlawanan mereka dengan memanfaatkan kejutan pada benturan pertama."
"Aku akan memberikan perintah itu," berkata kepercayaannya.
"Bodoh kau," geram Kakang Panji, "jika kau berikan perintah itu sekarang, maka orang-orang Mataram akan mendengarnya. Mungkin ada satu dua orang diantara kita yang berkhianat atau mereka memang petugas-petugas sandi dari Mataram."
"Jadi?" bertanya kepercayaannya.
"Besok pagi-pagi sebelum fajar. Tidak ada waktu bagi mereka untuk menyampaikan laporan kepada orang-orang Mataram," jawab kakang Panji.
Kepercayaannya itu mengangguk angguk. Katanya, "Baiklah. Dengan demikian, sehari ini kita akan beristirahat."
"Sehari-semalam," jawab kakang Panji. Tetapi kemudian katanya, "Namun besok pagi-pagi kita akan bekerja sangat berat. Kau tahu, bahwa di Mataram ada orang yang mampu mengganggu ilmuku pada saat aku berusaha membantu Ki Tumenggung Prabadaru. Aku tidak yakin bahwa hal itu dilakukan oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Sehingga karena itu, maka ada paling sedikit dua orang yang harus diperhitungkan dengan cermat. Jika besok aku berhadapan dengan Raden Sutawijaya, maka orang itu harus mendapat pengamatan yang ketat. Harus ada orang lain yang untuk sementara menghadapinya sebelum aku menyelesaikan Raden Sutawijaya."
"Maksud Kakang Panji, apakah satu atau dua orang harus berusaha menemukan dan mencegah orang yang telah mengganggu ilmu Kakang Panji itu untuk mengulanginya lagi?" bertanya kepercayaannya.
"Ya. Mungkin lebih dari dua orang yang harus menghadapinya," jawab Kakang Panji, "menilik ilmunya, maka kau memerlukan paling sedikit tiga orang untuk mengurungnya dalam putaran pertempuran. Tiga orang yang memiliki ilmu yang matang yang berbeda jenisnya, sehingga ketiganya akan dapat melengkapi menghadapi orang yang jarang ada duanya sekarang ini. Karena sebenarnyalah orang itu benar-benar orang yang sangat berbahaya. Orang yang tentu mempunyai sangkut paut dengan jalur perguruanku sendiri."
"Jadi siapakah yang akan ditunjuk?" bertanya kepercayaannya.
"Kita mempunyai waktu satu hari satu malam untuk memikirkannya. Besok menjelang dini hari, kita akan berbincang lagi," jawab Kakang Panji.
Kepercayaannya itu tidak mendesaknya lagi. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Sekarang aku akan melihat-lihat keadaan. Ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang mapan di medan ini sekarang. Seorang diantara mereka masih belum turun langsung ke medan selama ini."
"Gila. Masih juga yang bermalas-malasan" Jika ia turun kemarin, mungkin ia akan dapat merubah keadaan. Mungkin bukan hanya Ki Gede Menoreh, Swandaru saja yang dapat dilukai. Tetapi juga orang-orang lain. Mungkin orang yang disebut Kiai Gringsing atau yang bernama Ki Waskita. Mungkin kedua perempuan yang memiliki ilmu yang mendebarkan itu pula, yang mampu mengimbangi para Senapati pilihan dari Pajang," geram kakang Panji.
"Ia baru datang menjelang pagi. Tetapi ia sengaja tidak turut campur ketika ia tahu, bahwa Kangjeng Sultan akan turun kemedan hari ini," jawab kepercayaannya.
Kakang Panji memandang kepercayaannya itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, "Apakah yang kau maksud Ki Ajar Jatisrana?"
"Ya," jawab kepercayaannya.
"Kaulah yang gila," gumam Kakang Panji, "aku memanggilnya secara khusus. Karena itu, maka baru menjelang pagi hari ini ia datang. Aku mempunyai pembicara tersendiri."
"Tetapi apakah ia tidak dapat menghadapi orang yang Kakang Panji maksudkan itu?" bertanya kepercayaannya.
"Aku akan berbicara dengan orang itu," jawab kakang Panji, "mungkin ia akan dapat membantu. Tetapi orang itu tidak akan dapat berdiri sendiri menghadapi orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu, karena tingkat kemampuannya memang masih berada dibawahi kemampuan Senapati Ing Ngalaga."
Kepercayaannya itupun mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian meninggalkan orang yang disebut Kakang Panji itu. Ditelusurinya pasanggrahan orang-orang Pajang yang pada hari itu ternyata tidak perlu turun kemedan. Mereka seakan-akan telah mendapatkan waktu untuk beristirahat. Hari itu mereka hanya akan makan dan tidur saja sepanjang hari.
Namun demikian, membayang ketegangan yang mencengkam di induk pasukan. Keadaan Kangjeng Sultan memang menjadi gawat. Sementara itu para pengawal khusus telah berjaga-jaga dengan cermatnya. Setiap orang yang memasuki lingkungan pasanggrahan Kangjeng Sultan mendapat pengamatan yang ketat. Tidak setiap orang, meskipun prajurit Pajang sendiri, diperkenankan memasuki lingkungan pasanggrahan Kangjeng Sultan.
Dalam pada itu, selagi para Senapati tertinggi Pajang menunggui tabib yang berusaha mengobati Kangjeng Sultan, maka Kakang Panji telah melakukan kegiatannya sendiri. Dengan orang-orang yang paling dipercaya saja, Kakang Panji menentukan rencananya. Dengan tidak banyak diketahui orang, maka ia sudah berbicara dengan orang-orang terpenting yang berdiri dipihaknya, termasuk beberapa Senapati terpenting dari pasukan khusus yang telah terlepas dari kendali para Senapati Pajang sendiri.
Demikianlah, seperti yang diinginkan Kakang Panji, maka mereka sepakat untuk dihari berikutnya, turun ke medan pagi-pagi benar justru sebelum orang-orang Mataram bersiap sepenuhnya. Mereka tidak perlu terlalu setia kepada paugeran peperangan, karena tidak akan ada kekuatan yang akan dapat menghukum mereka.
"Jika kita berhasil memanfaatkan benturan pertama dengan pasukan yang tidak siap itu, maka untuk selanjutnya kita akan dengan mudah dapat menghancurkan mereka. Kita tidak akan mengganggu pasukan induk mereka yang tentu tidak akan segera dapat menyesuaikan diri. Kita akan menyerang dan menyekat batas antara sayap-sayap dengan induk pasukan, sehingga kita akan menutup setiap kemungkinan hubungan antara sayap-sayap pasukan mereka dengan induk pasukan," berkata Kakang Panji.
"Bukan pekerjaan yang mudah. Kau sangka kekuatan di sayap pasukan itu tidak akan dapat memecahkan sekat itu, apalagi bersama-sama dengan kekuatan diinduk pasukan itu sendiri," jawab salah seorang Senapati.
"Maksudku hanya pada saat-saat benturan pertama itu terjadi. Setelah pada benturan pertama itu kita menghancurkan sebagian besar kekuatan mereka, maka kita tidak berkeberatan, seandainya induk pasukan Mataram itu ikut bertempur pula," berkata Kakang Panji. Lalu, "Tetapi ingat. Ada kekuatan yang harus diperhatikan. Aku tidak dapat berbuat sendiri menghadapi Raden Sutawijaya dan kekuatan yang dapat menumbuhkan kabut itu. Meskipun mungkin orang yang memiliki kemampuan itu, tidak memiliki ilmu kanuragan yang memadai."
"Apakah mungkin orang yang dapat menumbuhkan kabut itu Ki Juru Martani sendiri ?" bertanya salah seorang diantara para pengikut Kakang Panji itu.
"Bukan. Bukan Ki Juru. Pada saat kabut itu melingkari arena pertempuran, seorang diantara kita melihat, Ki Juru sama sekali tidak sedang dalam keadaan yang pantas untuk diduga sedang dalam pemusatan nalar budi, melepaskan ilmu yang dahsyat itu," jawab Kakang Panji.
"Jadi siapa?" bertanya yang lain.
"Kita belum tahu. Kita akan mencari dan menemukannya," jawab Kakang Panji, "karena itu, maka kita harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan itu. Aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan Raden Sutawijaya seandainya ia turun kemedan. Dua orang harus menghadapi Ki Juru Martani. Telapi yang penting kita harus menyiapkan sekelompok kecil orang untuk melawan orang yang memiliki ilmu yang menggetarkan itu. Yang mampu menumbuhkan kabut dan membuat lingkaran yang tidak tembus penglihatan itu."
"Jangan terlalu ketakutan," jawab orang yang bernama Ajar Jatisrana, "bukankah kau sendiri sudah mengatakan, bahwa mungkin orang itu justru tidak memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Jika kita dapat memecahkan dinding itu dan menemukan orangnya, maka kita akan dapat membunuhnya."
Kakang Panji mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi kita jangan menganggap persoalannya terlalu mudah. Kita harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan."
"Aku setuju," berkata Ajar Jatisrana, "kita memang harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi jangan terlalu ketakutan seperti itu. Aku setuju dengan rencanamu untuk menyerang pasukan Mataram dengan tiba-tiba. Aku setuju untuk menghancurkan pasukan Mataram dalam benturan pertama. Namun kemudian aku kurang sependapat, bahwa kau terpaksa harus menganjurkan agar kami membentuk kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi Ki Juru Martani, menghadapi orang yang mampu menumbuhkan kabut atau orang yang manapun juga, seolah-olah kami adalah anak-anak yang belum dapat melihat kenyataan tentang olah kanuragan."
"Aku hanya ingin berhati-hati," sahut Kakang Panji, "mungkin kalian masih belum mengetahui dengan pasti, kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Aku tahu," jawab Ajar Jatisrana, "karena itu, kami sependapat bahwa kau akan menghadapinya. Tetapi yang lain tidak akan memiliki ilmu seperti Raden Sutawijaya."
"Sudah aku sebut. Ki Juru Martani harus diperhitungkan. Tetapi terlebih-lebih lagi orang yang telah menggagalkan usahaku membantu Ki Tumenggung Prabadaru dalam perang tanding melawan Agung Sedayu dengan serangan pada indera penciumannya. Tetapi seseorang mengetahui kelemahan ilmuku, sehingga orang itu dengan sengaja telah menutup penglihatanku atas Agung Sedayu dengan kabut." Jawab Kakang Panji, "aku tidak mau usahaku, kali ini gagal seperti yang sudah berulang kali terjadi. Justru karena kita terlalu menyombongkan diri."
Para pengikut dan orang-orang yang berpihak kepada Kakang Panji itu tidak menjawab lagi. Mereka mengerti maksud Kakang Panji, meskipun rasa-rasanya Kakang Panji menganggap mereka masih bersifat kekanak-kanakan di medan. Tetapi kegagalan-kegagalan yang pernah dialamainya telah membuatnya terlalu berhati-hati.
Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan Kakang Panji telah mengakhiri pertemuan itu dengan mengemukakan harapan-harapannya. Katanya, "Kali ini adalah kesempatan yang paling memungkinkan kita mencapai tujuan kita. Jika kali ini gagal, maka kesempatan yang lain akan menjadi semakin buruk. Mataram mungkin akan mendapat kesempatan untuk lebih memperkuat kedudukannya, sehingga kita akan mengalami kesulitan untuk dapat berbuat sesuatu yang berarti."
Akhirnya pertemuan yang khusus itupun memberikan beberapa kemungkinan di hari berikutnya. Kakang Panji telah menentukan beberapa langkah yang akan mereka ambil dan merekapun telah menentukan beberapa jenis isyarat pada saat-saat mereka akan bertindak.
Dengan penuh kesungguhan Kakang Panji berpesan, bahwa yang mereka bicarakan adalah satu rahasia yang sangat besar. Orang-orang Mataram sama sekali tidak boleh mendengar, karena dengan demikian maka Mataram akan sempat bersiap-siap menghadapi benturan yang diharapkan akan dapat menentukan kemungkinan selanjutnya dari pertempuran itu.
Para pengikut dan orang-orang yang berpihak kepada Kakang Panji itupun mengerti pula. Dan mereka ingin rencana mereka berhasil, sehingga merekapun memegang rahasia itu dengan sepenuh hati. Bukan saja bagi orang orang yang jelas berada dipihak Mataram, tetapi juga bagi orang-orang Pajang sendiri yang tidak jelas, berdiri di pihak Kakang Panji.
Sebenarnyalah dalam pada itu, rencana itu sama sekali tidak diketahui oleh para pemimpin pasukan Pajang yang berada di induk pasukan. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa sebagian dari pasukan Pajang itu telah mempersiapkan diri, untuk menyerang Mataram di esok hari mendahului perintah Kangjeng Sultan atau orang yang dikuasakannya justru karena Kangjeng Sultan itu menderita sakit.
Juga orang-orang Mataram yang meskipun bersiaga sepenuhnya, tetapi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa di pihak pasukan Pajang telah tumbuh satu niat untuk menyerang Mataram dengan tidak menghiraukan paugeran yang berlaku.
Karena itu, maka Mataram sama sekali tidak memikirkan kemungkinan bahwa satu kecurangan akan terjadi.
Usaha orang-orang Mataram pada hari itu adalah menangkap sejauh-jauhnya berita tentang keadaan Kangjeng Sultan. Bahkan Ki Juru Martani terpaksa beberapa kali memperingatkan Raden Sutawijaya agar ia menjaga perasaannya. Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah ayah angkatnya yang mengasihinya. Tetapi keadaan perang antara Pajang dan Mataram harus diperhitungkannya sebaik-baiknya.
"Apakah aku dapat mengirimkan satu dua orang petugas untuk menanyakan hal itu kepada Pangeran Benawa?" bertanya RJaden Sutawijaya.
Ki Juru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah ngger. Kau dapat memerintahkan dua orang dengari resmi menghadap Pangeran Benawa. Dalam kedudukannya maka orang itu tidak akan diganggu oleh orang-orang Pajang. Hanya persoalannya, apakah Pangeran Benawa bersedia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu atau tidak."
"Baiklah paman," berkata Raden Sutawijaya, aku akan mencoba."
Dengan persetujuan Ki Juru Martani, maka Raden Sutawijaya telah memerintahkan dua orang petugas untuk menyeberangi Kali Opak dengan pertanda resmi utusan dari pasukan Mataram, dengan tugas menghadap Pangeran Benawa untuk menanyakan keadaan Kangjeng sultan Hadiwijaya.
Kedua orang itu memang tidak mendapat gangguan apapun juga. Mereka berhasil menghadap Pangeran Benawa untuk menanyakan kesehatan Kangjeng Sultan, sebagaimana perintah Senapati Ing Ngalaga.
Pangeran Benawa yang menerima kedua orang utusan itu berusaha untuk tidak terlalu menggelisahkan Raden Sutawijaya. Meskipun demikian Pangeran Benawapun tidak dapat menyembunyikan keadaan ayahandanya, bahwa kesehatannya semakin lama memang menjadi semakin menurun.
"Kami berusaha untuk dapat mengatasi kesulitan ini," berkata Pangeran Benawa kepada kedua orang utusan itu.
Dalam pada itu, ketika kedua orang utusan itu kembali ke seberang Kali Opak, maka beberapa pasang mata telah mengamatinya dari kejauhan.
"Pangeran Benawa adalah orang yang paling lemah yang pernah aku kenal," geram Kakang Panji yang dengan sungguh-sungguh mengamati kedua orang petugas dari Matatam. Bahkan seorang kepercayaannya telah diperintahkannya untuk mengetahui, apa yang dikatakan oleh Pangeran Benawa kepada kedua orang itu.
"Hubungi orang-orang kita yang ada dilingkungan pasanggrahan Kangjeng Sultan itu." perintah Kakang Panji ketika ia mendapat laporan tentang hadirnya dua orang petugas dari Mataram.
Namun laporan yang kemudian diterima oleh Kakang Panji menyebutkan, bahwa Pangeran Benawa hanya menerima orang itu dalam waktu yang sangat pendek, dan sama sekali tidak dalam pertemuan yang khusus.
"Pangeran Benawa menemui kedua orang itu diantara para Senapati Pajang, sehingga apa yang dikatakannya didengar oleh banyak orang yang ada pada saat itu," berkata seorang pengikutnya.
Kakang Panji mengangguk-angguk. Namun ia dan dua orang kepercayaannya memerlukan untuk mengamati kedua orang utusan itu dari kejauhan, sehingga apabila keduanya melakukan hal-hal yang mencurigakan, maka Kakang Panji akan dapat mengambil sikap tertentu.
Tetapi kedua orang petugas itu memang tidak berbuat sesuatu selain menjalankan tugasnya sebagaimana diperintahkan oleh Raden Sutawijaya.
Dengan demikian, maka orang yang disebut kakang Panji itu tetap menganggap bahwa orang-orang Mataram tidak mengetahui, bahwa mereka akan mengalami serangan yang tiba-tiba dikeesokan harinya.
Dalam pada itu, maka dengan sangat rahasia kakang Panji dan orang-orang kepercayaannya telah menyiapkan segala rencana yang akan mereka lakukan. Namun mereka sama sekali masih belum memberitahukan rencana itu kepada para prajurit dan orang-orang yang berada didalam pasukan masing-masing. Mereka hanya memerintahkan, agar orang-orang didalam pasukan mereka beristirahat sebaik-baiknya karena besok mereka akan mengalami pertempuran yang menentukan.
"Tetapi menurut pendengaran kami, keadaan Kangjeng Sultan menjadi semakin buruk," bertanya salah seorang pemimpin kelompok.
"Ya. Itulah sebabnya besok kita harus dapat menentukan segala-galanya agar segala sesuatunya masih dapat disaksikan oleh Kangjeng Sultan," jawab Senapatinya.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Jawaban itu memang sesuai menurut penalarannya. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu tidak bertanya lagi.
Demikianlah, maka hari itu telah diawali dengan ketegangan yang mencengkam. Terutama bagi kakang Panji dan para pengikutnya yang terpenting, yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun yang sedikit itu adalah orang-orang yang akan mampu menggerakkan kekuatan yang berada didalam pasukan Pajang, yang bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataram sampai lumat.
Ketika kemudian malam turun, maka Kali Opak itupun diliputi oleh suasana yang lain dari beberapa malam sebelumnya. Malam itu tidak ada orang yang membawa obor hilir mudik di tebing Kali Opak untuk mencari kawan-kawan mereka yang terluka atau terbunuh dipeperangan. Tidak ada kesibukan bagi mereka yang bertugas merawat dan mengobati para prajurit dan pengawal yang terluka.
Yang terdengar malam itu, adalah gemericik aliran Kali Opak yang tidak terlalu deras, menyusup diantara desir angin yang lembut didedaunan. dilangit bintang gemintang bergayutan berkerdipan memandang bumi yang diam.
Orang-orang Pajang benar-benar mempergunakan hari itu untuk beristirahat. Mereka ingin memulihkan kekuatan mereka, agar besok mereka dapat benar-benar hadir dipeperangan dan memenuhi keinginan para pemimpin mereka. Mataram harus dihancurkan, justru pada saat Kangjeng Sultan Hadiwijaya masih akan dapat menyaksikan kemenangan itu.
Dalam pada itu, orang-orang Matarampun berusaha untuk beristirahat pula sebaik-baiknya. Mereka memang telah memperhitungkan bahwa pada hari itu, tidak akan terjadi sesuatu. Namun orang-orang tidak tahu, apa yang akan terjadi besok, mendahului isyarat dan tanda-tanda bahwa pertempuran akan dimulai.
Namun demikian, para pemimpin Matarampun selalu memperingatkan, agar para pengawal tidak menjadi lengah.
Karena itu, maka pengawalan di pesangghrahan orang-orang Mataram itupun sama sekali tidak diabaikan. Para peronda hilir mudik mengamati keadaan disekitar lingkungan mereka. Satu dua diantara mereka sempat singgah didapur dan memungut apa saja yang masih tersisa untuk mencegah kantuk.
"Jika pemimpin kelompokmu melihat kau meronda sambil mengunyah makanan, maka kau akan mendapat hukuman," seorang petugas di dapur memperingatkan.
Namun peronda itu tertawa sambil berkata, "Jika besok aku mendapat hukuman karena akan makan sambil meronda, maka kaulah yang telah melaporkannya."
"Anak setan," geram petugas didapur itu.
Tetapi para peronda itu tertawa di dapur yang sebagian besar telah tertidur nyenyak. Mereka adalah petugas-petugas yang harus bangun lebih dahulu dari para pengawal yang akan bertempur, karena mereka harus menyiapkan makanan dan minuman bagi para pengawal sebelum mereka berangkat ke medan.
Namun dalam pada itu, bukan saja para pengawal yang selalu mengamati lingkungan masing-masing, para pemimpin dari kedua belah pihakpun berusaha untuk dapat melihat langsung apa yang terjadi di pasanggrahan mereka.
Di pasanggrahan pasukan Mataram, Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga sendirilah yang keluar dari pasanggrahan dan mengamati keadaan bersama dengan dua orang Senapatinya. Mereka melintasi halaman demi halaman dari rumh-rumah yang dipergunakan untuk berteduh pasukan Mataram dari titik-titik embun di malam hari.
Langkah Raden Sutawijaya tertegun ketika ia justru telah bertemu dengan Untara dan Sabungsari yang juga tengah mengamati keadaan. Namun akhirnya merekapun berpisah dan mengambil arah mereka masing-masing.
Dalam pada itu, di sayap yang lain, Ki Lurah Branjanganpun berada di jalan sempit disebuah padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Mataram. Ki Waskita dan Kiai Gringsing berbincang sesaat di tikungan. Namun Ki Waskita dan Kiai Gringsing itupun kemudian meninggalkan Ki Lurah dan dua orang pengawalnya termangu-mangu ditikungan itu. Agaknya mereka tidak segera akan meninggalkan tempatnya.
Ketika tiga orang peronda lewat di tikungan itu, maka Ki Lurahpun berpesan, "Hati-hatilah. Jangan lengah. Aku akan beristirahat sejenak."
"Silahkan Ki Lurah," jawab salah seorang peronda itu, "kami akan berbuat sebaik-baiknya."
"Jika datang giliran kalian beristirahat, kalian harus benar-benar beristirahat. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi besok," berkata Ki Lurah.
Ketiga orang itupun kemudian melanjutkan tugasnya, sementara Ki Lurahpun kembali ke pondok yang dipergunakannya.
Sementara itu, di sebuah pondok yang lain, Sekar Mirah masih juga terbangun menunggui Agung Sedayu yang menjadi berangsur baik. Pernafasannya menjadi lancar dan darahnyapun mengalir dengan wajar. Meskipun tubuhnya masih sangat lemah, tetapi tidak lagi sangat mencemaskan.
Dibagian lain, Swandaru yang juga terluka duduk bersandar dinding. Pandan Wangi ternyata masih belum tidur juga. Sekali-sekali Pandan Wangi pergi melihat keadaan ayahnya yang juga sudah bertaMbah baik. Bahkan Ki Gede nampaknya sudah merasa tidak terganggu lagi oleh luka-lukanya. Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih menasehatkan, agar Ki Gede jangan turun dahulu kemedan. Meskipun rasa-rasanya Ki Gede sudah sembuh, tetapi jika ia turun kemedan pertempuran, maka lukanya akan dapat terbuka kembali. Darah akan mengalir lagi.
Ki Lurah Branjangan yang singgah sejenak, menjenguk mereka yang terlukapun sempat berkata kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, "Sebaiknya kalian beristirahat. Tidurlah, agar kalian tidak menjadi sangat letih. Jika besok kalian akan turun kemedan, maka kekuatan kalian masih utuh. Tetapi jika kalian kurang beristirahat malam ini, maka besok tenaga kalian sudah akan susut sejak kalian mulai."
"Baiklah Ki Lurah," jawab Sekar Mirah, "tetapi rasa-rasanya aku tidak mengantuk."
"Cobalah untuk tidur," berkata Ki Lurah pula.
Sepeninggal Ki Lurah, maka Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah mencoba untuk berbaring. Mereka sependapat dengan Ki Lurah. Jika mereka tidak tidur sama sekali, maka tenaga mereka akan susut sejak mereka mulai ke medan. Sedangkan perang akan berlangsung tanpa mengingat keadaan seseorang. Ujung senjata yang tidak pernah memilih korbannya tidak menghiraukan sama sekali, apakah seseorang sudah kehilangan kemampuan untuk melawan atau tidak. Dan mautpun dengan bengis akan menghampiri siapa saja yang tidak mampu lagi menolaknya.
Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Gedepun telah menganjurkan pula kepada kedua perempuan itu, untuk tidur sejauh dapat dilakukan malam itu.
Demikianlah, ketika kedua pasanggrahan disebelah menyebelah Kali Opak itu menjadi lengang, maka ketegangan menjadi semakin memuncak pada beberapa orang diantara orang-orang yang berada didalam lingkungan pasukan Pajang. Mereka menunggu untuk mengambil satu langkah yang tidak menghiraukan lagi hadirnya Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang terluka bersama pasukan yang hanya tunduk kepada perintahnya.
Beberapa orang Senapati yang mendapat kepercayaan dari Kakang Panji untuk mengetahui rencananya-pun telah mulai bersiap-siap. Pada saat yang tepat ia harus memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk bersiap dan kemudian menyerang sebelum waktu yang seharusnya.
Sampai lewat tengah malam, kakang Panji yakin bahwa rahasia yang dipercayakan hanya kepada beberapa orang itu dapat disimpan sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun yakin, bahwa sampai saatnya, orang-orang Mataram akan mengalami satu kejutan yang tidak akan teratasi. Malapetaka akan menimpa mereka dan pasukannyapun akan terkoyak dan hancur berkeping-keping.
Karena itu, maka kakang Paujipun merasa perlu untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi ia masih juga berpesan dengan sungguh-sungguh, agar beberapa orang kepercayaannya selalu mengawasi keadaan. Tidak seorangpun boleh menyeberang Kali Opak. Siapapun mereka. Jika perlu, maka kepercayaannya itu harus melaporkannya kepada kakang Panji, jika mereka tidak dapat mengatasinya sendiri. Namun usaha menyusupkan rahasia itu ke pasukan Mataram harus benar-benar dicegah.
Dengan demikian maka kepercayaan kakang Panji itupun telah berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki itu.
Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga rapatnya kakang Panji menyimpan rahasianya, namun ada juga seseorang diantara mereka yang mendapat kesempatan untuk mendengar rencananya itu adalah orang yang tetap setia kepada Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Seorang yang atas ijin Pangeran Benawa selalu berusaha untuk mendapat keterangan sejauh-jauhnya tentang orang-orang yang telah membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Adalah satu kesempatan yang tidak diduganya, ketika ia termasuk salah seorang yang sedikit jumlahnya dari antara para Senapati pasukan khusus yang diminta untuk ikut mendengarkan dan berbicara bersama seseorang yang bernama Kakang Panji. Bahkan selama kekuasaan pasukan khusus itu berada di tangan Ki Tumenggung Prabadaru, ia sama sekali belum pernah mendapat kesempatan seperti itu. Namun sejak pimpinan pasukan khusus itu berada pada Ki Tumenggung Prabadaru, ia sudah menjalankan perintah Pangeran Benawa, karena sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa tidak mempercayai Ki Tumenggung itu sepenuhnya. Namun Senapati itu tidak terlalu banyak mendapat kesempatan untuk mengetahui rahasia Ki Tumenggung. Hanya disaat-saat terakhir orang itu berusaha untuk nampak semakin setia kepada Ki Tumenggung. Bahkan ketika mereka berada di medan. Senapati itu seolah-olah tidak memperhitungkan dirinya sendiri karena pengabdiannya kepada Ki Tumenggung. Ketika Ki Tumenggung Prabadaru terbunuh di peperangan oleh Agung Sedayu. orang itulah yang nampaknya paling bersedih, dan bahkan Senapati itu telah mengucapkan sumpah untuk membalaskan dendam kematian Ki Tumenggung Prabadaru.
Ternyata justru setelah Ki Tumenggung terbunuh, ia mendapat kesempatan untuk mengetahui serba sedikit rahasia tentang Ki Tumenggung dengan pasukannya.
Namun demikian. Senapati itu merasa mendapat kesulitan yang sulit untuk diatasinya, bagaimana ia dapat menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa.
Tetapi Senapati itu tidak menyerah kepada keadaan. Ia sudah mendengar rencana yang curang dari orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Selama masa Ki Tumenggung memegang kekuasaan atas pasukan khusus, maka ia lebih banyak melaksanakan tugas yang kadang-kadang kurang dimengerti maksudnya. Bahkan kadang-kadang bertentangan dengan penalarannya. Namun sebagai seorang prajurit dari pasukan khusus maka ketaatan merupakan nilai utama disamping kemampuannya. Tetapi kini tiba-tiba ia tidak sekedar melakukan perintah. Tetapi ia mendengar satu rahasia yang akan dilaksanakan dengan perintah yang harus diberikan kepada para prajurit dari pasukan khusus.
Dengan demikian maka Senapati itu bertekad untuk menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa. Terserah apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa. Namun Senapati itu tahu pasti sikap Pangeran Benawa terhadap Mataram. Dan bahkan sikap Kangjeng Sultan sendiri terhadap Mataram. Bahkan dengan yakin Senapati itu berpegang pada sikap Kangjeng Sultan yang pernah dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa Mataram akan sanggup meneruskan cita-cita Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang belum dapat di capainya bagi kepentingan Pajang, tanpa menghiraukan apakah pencapaian cita-cita itu akan dikendalikan dari Pajang atau dari Mataram. Namun yang penting, rakyat Pajang harus merasakan, betapa negerinya adalah negeri yang gemah ripah lohjinawi, dalam kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Karena itulah, maka malam itu Senapati itu sama sekali tidak bermaksud untuk beristirahat. Bahkan iapun kemudian membawa dua orang pengawalnya yang paling dipercaya untuk meronda.
Untuk beberapa saat. Senapati itu sekedar hilir mudik saja disekitar pasanggrahan pasukan khususnya. Namun kemudian Senapati itu mulai mengamati daerah yang lebih luas. Bahkan kemudian ia berjalan mendekati tebing Kali Opak.
Namun langkahnya terhenti, ketika ia melihat dua orang yang sedang mengawasi medan. Bukan dari pasukan khusus yang sedang bertugas, tetapi mereka adalah orang-orang yang terlibat kedalam benturan kekuatan itu atas permintaan beberapa orang pemimpin Pajang yang ternyata telah terpengaruh oleh Ki Tumenggung Prabadaru atas nama kakang Panji, dengan mendapatkan beberapa janji dan kesanggupan.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa dalam barisan Pajang terdapat pasukan yang bukan prajurit Pajang yang jumlahnya cukup besar. Beberapa orang pemimpin pasukan Pajang menyatakan bahwa mereka adalah rakyat Pajang yang dengan suka rela mengabdikan diri untuk menumpas pemberontakan di Mataram. Namun sebenarnya mereka adalah unsur kekuatan kakang Panji.
"Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Pangeran Benawa," berkata Senapati itu didalam hatinya. Lalu, "Bahkan tidak mustahil jika Kangjeng Sultan sendiri sudah mengetahuinya. Bukan mustahil pula, bahwa keadaan Kangjeng Sultan yang gawat itu merupakan ujud dari keprihatinan yang sangat, meratapi keadaan yang sedang berlaku."
Namun akhirnya Senapati itu berkata, "Aku harus bertemu dengan Pangeran Benawa. Jika Pangeran Benawa memerintahkan aku tetap memegang rahasia itu agar tidak didengar orang Mataram, aku akan menggenggamnya dengan taruhan nyawaku. Tetapi jika Pangeran Benawa bersikap lain dan memerintahkan aku menyampaikan rahasia ini kepada orang Mataram, maka aku akan menyampaikannya, apapun yang dapat terjadi."
Tetapi Senapati itu tidak dengan serta meria melangkah kembali untuk menghindarkan kecurigaan. Tetapi ia justru mendekati dua orang itu dan bertanya, "He, apakah tugas kalian disim?"
Dua orang kepercayaan kakang Panji itu mengenal Senapati itu. Senapati yang termasuk orang-orang yang mendapat kepercayaan pula dari kakang Panji yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 16 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Pahlawan Dan Kaisar 5
"Lalu apa yang akan Kangjeng Sultan lakukan?" bertanya Kiai Singatama.
"Rasa-rasanya tugasku telah selesai. Aku memang tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Tetapi aku kini sudah mempunyai satu keyakinan yang teguh, bahwa ada orang yang akan dapat melanjutkannya dimasa mendatang. Aku sudah meletakkan dasar-dasar dan alas dari seluruh bangunan yang akan berdiri. Meskipun aku tidak dapat mewujudkan bangunan itu secara lahiriah, tetapi aku sudah meletakkan jiwa dari bangunan itu pada seseorang yang dapat aku percaya, pada suatu saat bangunan itu akan terwujud dengan jiwa yang tidak berubah, meskipun mungkin ujud lahiriahnya agak berbeda," berkata Kangjeng Sultan kemudian.
Kiai Singatama mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga bertanya, "Siapakah yang Kangjeng Sultan maksudkan?"
"Kau sudah tahu," jawab Kangjeng Sultan.
Kiai Singatama memandang wajah Kangjeng Sultan yang nampak terlalu cekung. Kangjeng Sultan nampak kurus dan pucat. Penyakitnya akan sulit untuk diatasinya. Bahkan rasa-rasanya menjadi semakin menggigit tubuhnya. Dan sakit itu tidak dapat dilawan dengan segala macam ilmu yang bertumpuk didalam dirinya. Segala macam obat dan segala macam usaha.
"Kangjeng Sultan," berkata Kiai Singatama, "hamba tahu, bahwa yang tuanku maksud tentu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Tetapi menurut penglihatan orang banyak, kini Raden Sutawijaya itu justru telah berdiri berhadapan dengan Kangjeng Sultan sendiri. Ia sudah melawan Kangjeng Sultan, sebagai sesembahannya, sebagai gurunya dan bahkan sebagai ayahnya."
"Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya," berkata Kangjeng Sultan, "dan aku tidak berkeberatan."
"Tetapi sikap Kangjeng Sultan tidak banyak dimengerti. Mungkin ada orang yang terlalu setia kepada tuanku dan masih akan tetap melawan Raden Sutawijaya sampai saat terakhir hidupnya," jawab Kiai Singatama.
"Mudah-mudahan Sutawijaya dapat menempuh jalan yang tepat, sehingga perlahan-lahan tetapi meyakinkan, ia akan dapat membuktikan, bahwa ia bukan musuh secara jiwani. Bahkan apa yang dilakukannya itu adalah usaha pencapaian cita-cita yang pernah aku letakkan diatas Tanah tercinta ini, tetapi tidak sempat aku selesaikan, karena beberapa pihak yang nampaknya adalah kawan-kawanku, tetapi mereka telah membayangi kekuasaanku."
Kiai Singatama mengangguk-angguk. Ternyata Kangjeng Sultan tahu segala-galanya.
"Paman," berkata Kangjeng Sultan kemudian, "kita sudah sama sama tua. Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan. Kita memang wajib menyerahkannya kepada yang muda, meskipun dengan cara yang berbeda yang kadang-kadang kurang kita ketahui. Namun aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Sutawijaya akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Meskipun ia ditempa dalam nafas keprajuritan, tetapi aku melihat kemampuannya untuk melihat segi-segi yang lain yang akan berhasil dilakukannya."
"Hamba mengerti Kangjeng Sultan. Tetapi apakah yang akan Kangjeng Sultan lakukan sekarang. Besok atau kapan saja di medan peperangan seperti ini?" bertanya Kiai Singatama, "apakah mungkin Kangjeng Sultan akan menyerah?"
"Tidak paman. Aku tidak akan menyerah. Aku akan turun kemedan besok. Tetapi tidak untuk mengobarkan api peperangan ini. Aku justru ingin menghentikannya, karena korban telah terlalu banyak. Hari ini Tumenggung Prabadaru mati. Beberapa orang Senapati terluka parah. Dan para prajurit dan pengawal dari kedua belah pihak-pun terbunuh di peperangan," jawab Kangjeng Sultan.
Prajurit tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menatap kekejauhan ia membayangkan, apa yang telah terjadi. Pembunuhan, dendam, kebencian dan pengkhianatan. Orang-orang yang bermimpi untuk menegakkan satu kekuasaan yang besar telah membuat Perang menjadi landasan ketamakan mereka.
Namun dalam pada itu. Kiai Singatama itupun bertanya, "Kangjeng Sultan. Hamba masih belum dapat menangkap niat tuanku. Seandainya hamba mengerti, cara apakah yang akan tuanku tempuh?"
"Besok aku akan turun kemedan," berkata Kangjeng Sultan, namun kemudian wajahnya menunduk dalam-dalam. Ada sepercik gejolak perasaan didalam dadanya.
Kiai Singatama menunggu kelanjutan kalimat Kangjeng Sultan itu. Tetapi ternyata Kangjeng Sultan tidak mengatakan sesuatu. Karena itu, maka Kiai Singatamalah yang berkata, "Ampun tuanku. Bukankah keadaan tuanku tidak memungkinkan. Tuanku berada dalam keadaan yang sangat lemah sekarang ini."
"Aku sudah berada di pasanggrahan pada satu medan perang yang besar. Tentu aku sudah siap untuk turun kegelanggang," jawab Kangjeng Sultan.
Kiai Singatama mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa yang akan dilakukan Kangjeng Sultan itu tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi maksud itulah yang belum dapat ditangkapnya.
"Kiai," berkata Kangjeng Sultan itu kemudian, "Apapun yang akan aku lakukan tidak akan berarti apa-apa. Tugas hidupku sudah selesai. Seperti yang sudah aku katakan, ada orang yang akan melanjutkan apa yang belum aku capai sekarang."
"Kangjeng Sultan," wajah Kiai Singatama menjadi tegang. Tetapi ia hanya dapat menarik nafas dalam. Kiai Singatama tidak berani menyatakan perasaannya.
Dalam pada itu, justru Kangjeng Sultan yang bertanya, "Dimana Benawa?"
"Pangeran Benawa ada di seberang Kali Opak, tuanku. Pangeran yang melihat pertempuran yang seru, antara Ki Tumenggung Prabadaru melawan Agung Sedayu."
"Perang tanding itu sudah selesai. Dan akupun sudah mendapat laporan bahwa Ki Tumenggung Prabadaru sudah mati seperti yang sudah aku katakan. Sementara Agung Sedayu mulai sadar kembali," berkata Kangjeng Sultan.
"Benar tuanku. Tetapi Pangeran Benawa belum kembali," berkata Kiai Singatama.
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Panggil seorang prajurit sandi kepercayaanku Kiai."
Kiai Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipanggilnya seorang kepercayaan Kangjeng Sultan untuk menghadap.
"Pergilah mendapatkan Benawa," berkata Kangjeng Sultan itu, "kalakan kepadanya, bahwa aku memerintahkan kepada Pangeran Benawa untuk bersiap. Besok aku akan turun kemedan. Aku akan memimpin sendiri pasukan Pajang menghadapi Mataram."
Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun Kangjeng Sultan meyakinkannya, "Katakan dimanapun kau bertemu dengan Pangeran Benawa. Aku tidak berkeberatan jika orang-orang Mataram mendengar rencanaku ini. Bahkan akan lebih baik jika mereka mengerti sebelumnya."
Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah hamba harus mencari Pangeran diseberang Kali Opak?"
"Ya. Pergilah. Katakan secepatnya." perintah Kangjeng Sultan.
Petugas sandi itupun kemudian meninggalkan pasanggrahan Kangjeng Sultan menuju keseberang Kali Opak.
Ketika ia menuruni tebing, maka tidak seorangpun yang dijumpainya. Para petugas yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang sakit dan yang terbunuh dimedan telah selesai melakukan tugas mereka. Sementara itu. tidak ada lagi hiruk pikuk perang tanding antara Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu. Bahkan diseberang Kali Opak itu keadaannya sudah berubah sama sekali. Tidak ada lagi seorangpun yang tinggal.
Petugas sandi itu termangu-mangu. Menurut pendapatnya. Agung Sedayu tentu sudah dibawa ke pasanggrahan orang-orang Mataram. Mungkin sekali Pangeran Benawa ikut bersama Raden Sutawijaya. Jika demikian, maka ia harus memasuki Pasanggrahan orang-orang Mataram.
"Aku harus menembus penjagaan orang-orang Mataram," berkata orang itu kepada diri sendiri. Lalu, "Tetapi lebih baik aku berterus terang. Jika aku memasukinya dengan diam-diam, justru aku akan terjebak oleh pengamatan orang-orang berilmu yang sulit ditembus."
Karena itu. maka petugas sandi itu sama sekali tidak berusaha untuk berlindung kedalam gerumbul-gerumbul yang banyak terdapat ditebing Kali Opak, Ia berjalan saja seolah-olah tidak melintasi medan yang disiang hari merupakan ajang pembunuhan.
Sebenarnyalah, ketika peronda dari Mataram melihatnya, maka merekapun langsung menyapanya sambil mengacukan ujung tombak mereka. Namun degan tenang petugas sandi itu menjawab, "Aku adalah utusan Kangjeng Sultan Hadiwijaya untuk menemui Pangeran Benawa."
Para peronda itu termangu-mangu sesaat. Namun yang seorang kemudian berkata, "Aku memang melihat Pangeran Benawa di pasanggrahan, mengikuti Agung Sedayu yang terluka itu."
"Tetapi, apakah benar ia utusan Kangjeng Sultan?" desis yang lain.
Utusan itulah yang menyahut, "Antar aku sampai kepada Pangeran Benawa. Kalian akan melihat, apakah Pangeran Benawa benar-benar mengenaliku."
Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Namun yang tertua diantara mereka berkata, "Marilah. Kita bawa orang ini menghadap Pangeran Benawa."
Yang lain tidak berkeberatan. Sehingga merekapun kemudian mengantar orang itu ke pasanggrahan untuk menemui Pangeran Benawa.
Dalam pada itu Pangeran Benawa memang sudah berada di pasanggrahan. Bersama beberapa orang yang lain, ia ikut mengantar Agung Sedayu yang dibawa diatas usungan yang diangkat oleh ampat orang, karena Agung Sedayu masih belum dapat berjalan sendiri. Sementara itu, Kiai Gringsingpun masih nampak terlalu letih, berjalan di belakangnya.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Swandaru terkejut melihat keadaan Agung Sedayu. Dan Pandan Wangi merekapun segera mendapat penjelasan apa yang telah terjadi atasnya.
"Untunglah, bahwa Tuhan masih memperkenankan Kiai Gringsing menjadi lantaran untuk menolong jiwanya." berkata Pandan Wangi kemudian.
Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan suara dalam ia berdesis, "Tuhan memang Maha Agung. Sebenarnyalah Agung Sedayu seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain."
Namun dalam pada itu, Swandaru yang kemudian menyaksikan keadaan saudara seperguruannya itu berkata, "Kakang Agung Sedayu memang masih selalu mencemaskan. Adalah sangat berbahaya bahwa ia telah menghadapkan diri melawan Ki Tumenggung. Untunglah bahwa pemimpin pasukan khusus dari Pajang itu bukan orang yang ilmunya mumpuni sehingga meskipun keadaan kakang Agung Sedayu sendiri menjadi parah, ia masih juga dapat melumpuhkan lawannya."
"Pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang nggegirisi. Benturan ilmu yang belum pernah aku lihat," desis Sekar Mirah.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Sekar Mirah sekilas. Kemudian katanya, "Kau selalu terlalu bangga atas suamimu. Bukan apa-apa. Akupun menganggap sikapmu itu wajar sebagai seorang isteri. Tetapi yang aku cemaskan, dengan demikian kalian berdua akan keliru menilai ilmu diri sendiri. Ilmu kalian masing-masing. Jika kalian cepat merasa diri mumpuni, maka kalian tidak akan berusaha lebih keras lagi."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, "Bukan aku saja yang mengatakannya kakang, tetapi semua orang yang melihat pertempuran itu. Coba, bertanyalah kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, atau kepada Pangeran Benawa. Dua orang yang kita anggap memiliki ilmu yang hampir sempurna."
"Mereka adalah orang-orang yang terlalu baik Mirah, sehingga mereka tidak akan mengecewakan orang lain. Mereka tentu akan berusaha membuat hati kita berbangga," jawab Swandaru. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Katakan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi, namun bukan saja Agung Sedayu, tetapi kita semua masih harus meningkatkan ilmu kita. Aku sendiri mengalami luka-luka ketika lawanku dengan licik bertempur bersama-sama sebagaimana dialami oleh Ki Gede Menoreh."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia mulai sadar, bahwa kakaknya memang menganggap kemampuan Agung Sedayu masih belum cukup berkembang, sebagaimana ia sendiri pernah beranggapan demikian. Namun, akhirnya ia melihat satu kenyataan tentang suaminya yang bernama Agung Sedayu itu sebagai seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa.
Dalam pada itu, selagi beberapa orang menunggui Agung Sedayu dengan saling berbincang, maka seorang pengawal telah datang untuk memberitahukan kepada Raden Sutawijaya, bahwa seorang petugas dari Pajang ingin menemui Pangeran Benawa.
"Siapa?" bertanya Pangeran Benawa langsung kepada orang itu.
"Aku kurang tahu Pangeran. Tetapi orang itu mengaku utusan Kangjeng Sultan," jawab pengawal itu.
"Bawa ia kemari," berkata Pangeran Benawa.
Demikianlah, maka orang itupun segera dibawa menghadap langsung diantara orang-orang yang menunggui Agung Sedayu.
"Apakah ada perintah ayahanda?" bertanya Pangeran Benawa.
"Ya Pangeran," jawab petugas itu. "Ayahanda memerintahkan agar Pangeran segera kembali. Tetapi ayahanda juga memerintahkan agar aku mengatakan dihadapan Pangeran dan orang-orang Mataram, bahwa besok ayahanda Pangeran sendirilah yang akan memimpin pasukan Pajang memasuki arena."
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Dengan suara dalam ia bertanya, "Kau yakin?"
"Ya Pangeran. Kangjeng Sultan mengatakannya dengan sungguh-sungguh," jawab petugas itu.
Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejenak. Lalu katanya, "Kakangmas, ini tentu satu tantangan resmi ayahanda bagi kekuatan Mataram. Siapakah besok yang akan tampil memimpin pasukan Mataram untuk menghadapi ayahanda?"
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia berpaling kearah Ki Juru Martani. Katanya, "Tidak ada orang yang akan berani menghadapi ayahanda Kangjeng Sultan secara pribadi. Tidak ada orang yang memiliki ilmu yang dapat mengimbanginya. Namun biarlah salah seorang diantara kami, orang-orang Mataram akan tampil di medan menerima segala kemurkaannya. Seandainya ayahanda Sultan menganggap sepantasnya kami dihukum dan dibinasakan, maka akan terjadi juga agaknya besok pagi."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita sudah terlanjur berada di medan. Pasukan Pajang dan pasukan Mataram sudah berhadap-hadapan. Sulit untuk mengetahui apa yang akan terjadi besok. Aku tidak memahami dengan pasti sikap ayahanda."
"Ya." jawab Raden Sutawijaya, "kita sudah berada di medan perang."
Demikianlah, maka Pangeran Benawapun segera minta diri. Dengan tergesa-gesa ia menuju ke pasanggrahannya, diikuti oleh petugas sandi yang dikirim oleh ayahandanya.
"Ketika kau memasuki bilik ayahanda, apakah ayahanda seorang diri?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak." jawab petugas itu, "dengan Ki Singatama."
"Ki Singatama," ulang Pangeran Benawa, "jadi tidak dengan para Adipati."
Petugas sandi itu berlari-lari kecil di belakang Pangeran Benawa. Dengan tersendat-sendat ia menjawab, "Tidak ada orang lain Pangeran. Tidak ada para Adipati, dan tidak ada para Senapati."
Pangeran Benawa tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia mengerti bahwa ayahanda dalam keragu-raguan yang sangat. Ki Singatama adalah orang yang banyak memberikan pertimbangan, dan jalan pikirannya memang agak sesuai dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Ki Singatama bukan seseorang yang mempunyai kedudukan resmi sebagai pemimpin tataran tertinggi di Pajang. Hubungannya dengan Kangjeng Sultan lebih banyak bresifat sebagai seorang sahabat. Orang yang sama-sama telah meningkat ke usia tua. Orang yang memiliki pandangan hidup yang bersamaan pula.
Dalam pada itu, di pasanggrahan orang-orang Mataram, Agung Sedayu sudah membuka matanya. Ia melihat dengan jelas, orang-orang yang mengerumuninya.
"Kakang," terdengar suara Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika terasa kehangatan tangan isterinya meraba keningnya.
"Bagaimana dengan keadaanmu kakang?" desis Sekar Mirah.
Agung Sedayu mencoba tersenyum. Katanya, "Aku dalam keadaan baik Mirah."
"Kau terluka didalam," berkata Sekar Mirah, "tetapi Kiai Gringsing cepat menanganimu."
Agung Sedayu masih tersenyum. Katanya perlahan-lahan, "Aku mengucapkan terima kasih kepada semua pihak. Ternyata aku masih tetap hidup."
"Kau masih tetap hidup Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "kau wajib mengucap sukur kepada Tuhan."
"Ya. Aku mengucap sukur bahwa aku masih diperkenankan untuk tetap hidup sekarang ini." sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing yang kemudian meraba dahi Agung Sedayu berkata, "Suhu badanmu memang agak naik. Tetapi mudah-mudahan tidak akan meningkat terus. Aku sudah menyiapkan obat untukmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi memang terasa badannya masih belum sepenuhnya dapat dikuasainya. Rasa-rasanya kakinya masih belum dapat bergerak dengan wajar. Namun demikian, terasa pernafasannya sudah menjadi semakin lancar. Darahnyapun telah menghangati seluruh tubuhnya.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Agung Sedayu tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan kembali membayang didalam hatinya, peristiwa-peristiwa ditepi Kali Opak yang hampir saja merenggut jiwanya.
Hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Bagaimana dengan Ki Tumenggung Prabadaru?"
"Keadaannya tidak berbeda dengan keadaanmu Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing sambil memandangi Raden Sutawijaya yang termenung.
"Bahkan lebih parah lagi," sambung Sekar Mirah, "aku melihatnya sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya pula, "Bagaimana dengan peperangan ini?"
Kiai Gringsing kembali menatap Raden Sutawijaya yang kemudian beringsut maju. Sambil duduk disebelah Agung Sedayu yang terbaring Raden Sutawijaya berkata, "Jangan pikirkan hal itu Agung Sedayu. Kau harus beristirahat. Segalanya akan berjalan dengan baik. Jika kau banyak beristirahat lahir dan batin, maka kau akan cepat menjadi baik. Keadaanmu akan segera pulih kembali."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Apakah aku dapat berbuat demikian" Tetapi bagaimana dengan besok. Apakah aku bermimpi, atau masih dalam dunia ketidak sadaranku, bahwa aku mendengar Kangjeng Sultan sendiri akan turun kemedan besok?"
"Lupakan pertempuran ini," ulang Raden Sutawijaya, "kami akan mengaturnya sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun Untara yang juga mendekatinya berkata, "Segalanya akan berlangsung dengan baik Agung Sedayu. Beristirahatlah. Tidurlah kau akan cepat sembuh."
Agung Sedayu memandang kakaknya sekilas. Terasa ketenangan menyiram perasaannya. Seakan-akan telah menjadi naluri bagi hidupnya, bahwa kakaknya itu akan selalu melindunginya. Sejak ia masih kanak-kanak maka Untara baginya bagaikan bayang-bayang pepohonan yang teduh dalam teriknya matahari.
Karena itu. ketika ia melihat sorot mata Untara, rasa-rasanya ia berada didalam perlindungan yang tenteram, meskipun nalarnya menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan ilmunya sendiri telah melampaui kemampuan ilmu Untara. Bahkan tataran penguasaan ilmu dari perguruan Ki Sadewapun telah melampaui tataran penguasaan ilmu oleh Untara.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk menenangkan dirinya. Semuanya sudah lengkap berada didekatnya. Isterinya, gurunya, saudaranya, saudara seperguruannya dan orang-orang yang telah berjuang bersamanya.
Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu telah menjadi tenang, maka Raden Sutawijayapun telah beringsut dari ruang itu. Ia ingin berbicara dengan beberapa orang penting yang akan dapat ikut menanggapi rencana bahwa Kangjeng Sultan sendiri akan turun kemedan.
"Segalanya masih belum jelas," berkata Raden Sutawijaya, "namun kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun aku yakin bahwa ayahanda tidak akan menghancurkan kita, tetapi mungkin orang lain memiliki sikap tersendiri dan memanfaatkan keadaan ini."
"Aku sependapat dengan Raden," berkata Untara, "aku pernah menghadap langsung Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, akupun yakin bahwa Kangjeng Sultan tidak menghancurkan kita. Meskipun demikian, kita tidak tahu, apa yang akan terjadi besok."
Raden Sutawijaya termangu-mangu. Dipandanginya nyala lampu minyak yang bergetar disentuh angin.
Sementara itu, malampun menjadi semakin jauh melampaui pusatnya. Para prajurit kebanyakan telah lama lelap dalam tidurnya. Para Senapati yang semula memperhatikan pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadarupun telah tertidur dengan nyenyaknya pula, karena mereka sadar, besok mereka harus turun lagi kemedan. Mungkin medan akan menjadi semakin berat, justru setelah Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru tidak dapat tampil lagi kemedan.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kita harus mencegah pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan sikap ayahanda yang kurang jelas itu. Karena itu, semua kesatuan besok harus benar-benar siap untuk bertempur. Ki Lurah Branjangan tetap bersama pasukan khusus itu. Pajangpun telah tidak akan dipimpin lagi oleh Ki Tumenggung Prabadaru meskipun besok Agung Sedayu tidak akan mungkin tampil di medan."
Demikianlah, maka Mataram telah benar-benar mempersiapkan diri. Beberapa orang Senapati terpenting telah mendapatkan perintahnya masing-masing. Ki Juru Martani besok akan berada di pusat pertahanan pasukan Mataram. Namun, Raden Sutawijayapun tidak akan mengingkari tanggung jawab. Ia akan meninggalkan sayap kanan dan berada pula di pusat gelar. Ia akan menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan oleh ayahandanya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Meskipun kedua ayah dan anak angkat itu yang bertemu dipeperangan, namun Raden Sutawijaya tidak akan dapat melawannya. Kecuali ia adalah putera angkat, murid sekaligus hamba istana Pajang, juga karna ilmu yang dimiliki Kangjeng Sultan itu rasa-rasanya tidak terbatas.
Perintah itupun segera tersebar. Dengan jantung yang berdebaran para Senapati Mataram menunggu apa yang akan terjadi esok pagi. Namun demikian, merekapun masih sempat beristirahat meskipun hanya sebentar.
Selagi orang-orang Mataram diguncang oleh kegelisahan, Pangeran Benawa duduk disamping Ki Singatama dihadapan ayahandanya yang duduk di bibir amben pembariangannya. Dengan wajah pucat Kangjeng Sultan itupun berkata, "Kau besok adalah Senapati pengapitku."
"Hamba ayahanda. Tetapi hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan menghadapi kakangmas Sutawijaya," jawab Pangeran Benawa.
"Apa kata Senapati Ing Ngalaga" Bukankah ia memang menantang aku berperang tanding" Atau bertempur dalam gelar antara pasukan Pajang dan Mataram. Aku tahu, bahwa Mataram memiliki Untara yang mempuni dalam pasang gelar. Mataram memiliki agung Sedayu yang ternyata mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru," berkata Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Sementara itu, Ki Singatamapun menunduk pula. Hanya sekali-sekali terdengar nafasnya berdesah.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultanpun berkata pula, "Benawa. Akupun tahu, bahwa di Mataram ada orang yang memiliki ilmu yang jarang sekali terdapat sekarang ini. Orang yang mampu menebarkan kabut untuk membatasi penglihatan."
Pangeran Benawa memandang ayahandanya sejenak. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya kembali. Meskipun demikian ia masih juga bergumam, "Ilmu itu sekedar untuk mengimbangi kemampuan seseorang yang juga tidak diketahui diantara orang-orang Pajang, yang mampu menyerang Agung Sedayu lewat indera penciumannya seperti yang pernah hamba katakan kepada ayahanda."
Kangjeng Sultan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Benawa, ternyata pada jaman ini masih ada orang yang memiliki ilmu seperti itu. Ilmu yang pada masa mudaku sangat dikagumi dan jarang dikenal. Karena itu, maka perang kali ini benar-benar perang yang menentukan, sehingga dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagiku daripada turun sendiri langsung kemedan perang."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Ayahanda. Ketika petugas sandi itu menemui aku dan menyampaikan pesan ayahanda, maka kakang mas Sutawijayapun mendengarnya pula. Bahkan kakang mas Sutawijaya telah mengambil satu sikap, bahwa besok pasukan Mataram akan menyongsong kehadiran pasukan Pajang. Kakang Sutawijaya akan menerima segala hukuman yang akan ayahanda trapkan kepada kakangmas Sutawijaya dan kepada Mataram. Karena sebenarnyalah apa yang ayahanda kehendaki, akan dapat terjadi."
Wajah Kangjeng Sultan menegang. Terdengar ia menggeretakkan gigi sambil menggeram, "Pengecut Sutawijaya. Ia harus turun kemedan dan bertempur melawan aku."
"Tidak ada gunanya," jawab Pangeran Benawa, "bukankah hal itu hanya akan menambah korban saja di peperangan " Jika perang itu masih berkelanjutan dan akhir dari peperangan itu sudah menentu, apa pula gunanya perang itu sendiri " Apakah artinya kematian-kematian yang tidak dapat dihitung jumlahnya itu jika kematian itu sama sekali tidak mempengaruhi pertempuran itu sendiri ?"
"Aku tidak tahu maksudmu," jawab Kangjeng Sultan.
"Tidak ada gunanya kakangmas Sutawijaya bertempur melawan ayahanda karena akhir dari peperangan itu memang sudah diketahuinya," jawab Pangeran Benawa, lalu, "dan aku sependapat dengan kakangmas Sutawijaya."
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Justru ia kemudian berkata, "Benawa. Pergilah beristirahat. Besok kau adalah Senapati Pengapitku. Perang akan terjadi sebagaimana seharusnya. Perang memang merupakan ajang pembantaian. Ajang dari segala macam kebencian, kebengisan dan tidak berperi kemanusiaan. Kita semuanya sudah tahu. Kita semuanya sering menyebutnya. Tetapi kita semuanya setiap kali akan sampai kepada kemungkinan itu. Perang.
Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat mengerti, apakah yang akan terjadi. Tetapi ia tidak dapat menolak perintah ayahanda Sultan Hadiwijaya.
Dalam pada itu, Ki Singatamapun menjadi bingung. Namun seperti Pangeran Benawa, Ki Singatama tidak berani menanyakan maksud Kangjeng Sultan yang sebenarnya, meskipun Ki Singatama itu dapat merabanya di balik tirai sikap Kangjeng Sultan yang keras itu.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawapun telah minta diri untuk beristirahat. Meskipun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat melakukannya sepenuhnya.
Sepeninggal Pangeran Benawa, maka Kangjeng Sultanpun berkata kepada Kiai Singatama, "Sudahlah Ki Singatama. Jangan kau pikirkan lagi apa yang akan terjadi. Segalanya akan terjadi sebagaimana seharusnya terjadi."
"Hamba Kangjeng Sultan. Hamba akan bersiap-siap. Besok hambapun akan turun kemedan, meskipun tenaga hamba tidak lagi berarti di medan perang," jawab Ki Singatama.
"Ya. Kita semuanya akan turun kemedan. Besok aku akan berada dipunggung kendaraan khususku," berkata Kangjeng Sultan pula.
Ki Singatama menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia memberanikan diri untuk berkata, "Tetapi tuanku sangat lemah."
Kangjeng Sultan Hadiwijaya tersenyum. Katanya, "Apa bedanya Ki Singatama. Bukankah segala tugasku telah selesai. Sebagian besar sudah aku tunaikan semasa mudaku. Selebihnya di sisa hidupku yang ternyata tidak terlalu dapat dibanggakan."
"Sikap tuanku sangat mengesankan hamba," desis Ki Singatama.
Tetapi Kangjeng Sultan masih saja tersenyum, bahkan kemudian katanya, "Ki Singatama. Apakah Ki Singatama sudah akan beristirahat."
"Apakah masih ada yang harus hamba lakukan?" bertanya Ki Singatama.
"Masih ada Ki Singatama," jawab Kangjeng Sultan, "jika kau tidak terlalu letih."
"Hamba sama sekali tidak letih tuanku. Hamba tidak berbuat apa-apa selain duduk menghadap tuanku," jawab Ki Singatama.
"Baiklah Ki Singatama. Jika kau tidak berkeberatan, tolong, perintahkan untuk menyiapkan tiga ikat merang." berkata Kangjeng Sultan kemudian.
"Tiga ikat merang," ulang Ki Singatama, Wajahnya menjadi tegang. Dengan suara patah-patah ia bertanya, "Apa artinya tuanku."
"Aku akan mandi," jawab Kangjeng Sultan.
"Ya. Hamba tahu. Tiga ikat merang. Tuanku akan mandi keramas," suara Ki Singatama menjadi gemetar. Lalu, "Itulah yang hamba tanyakan. Apakah maksud tuanku untuk siram jamas. Apalagi di malam hari begini. Hamba menghubungkannya dengan niat tuanku turun kemedan dan keterangan tuanku tentang tugas tuanku yang telah selesai."
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Tidak ada apa-apa. Besok aku akan turun kemedan dengan membawa pusaka Pajang, Kiai Cerubuk. Karena itu aku akan mandi dan keramas."
Ki Singatama termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya dengan suara yang semakin gemetar, "Tuanku. Hambapun sudah tua. Hambapun merasa, bahwa tugas hamba juga sudah selesai. Tetapi hamba masih berbangga hati, bahwa hamba mendapat kesempatan untuk menyediakan air abu merang yang akan tuanku untuk jamas. Hamba akan mendapat sisanya dan hambapun akan keramas pula sebagaimana akan tuanku lakukan. Hambapun tahu, bahwa tuanku akan memerintahkan hamba untuk menyediakan kelebet kecil putih yang kemarin tuanku amati setiap sudutnya. Dan hambapun mengerti, apa yang kira-kira akan terjadi."
"Jangan menduga-duga Ki Singatama," jawab Kangjeng Sultan, "sudahlah. Tolong, carikan tiga ikat merang. Jangan lupa, tiga ikat merang."
Ki Singatamapun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Diluar sadarnya ia telah mengusap setitik air di matanya.
Namun Ki Singatamapun kemudian bergeser surut. Ketika ia sudah berada diluar, maka iapun menghisap udara malam yang semakin dingin seolah-olah udara malam itupun akan dihirupnya sampai kering.
"Siram jamas," desisnya.
Dengan langkah yang berat, maka Ki Singatamapun kemudian memerintah seseorang untuk mendapatkan tiga ikat merang.
Malam itu, bahkan sudah lewat tengah malam, Kangjeng Sultan yang tidak tidur sekejappun itu, telah mandi sambil membersihkan rambutnya yang panjang terurai.
Dalam pada itu, Ki Singatama telah melayaninya dengan tekun. Ia tidak memerintahkan orang lain menyiapkannya. Kecuali untuk mendapatkan tiga ikat merang, segalanya dilakukannya sendiri. Dan akhirnya sisa air merang yang dibakar untuk keramas itupun telah dipergunakannya pula. Ki Singatamapun telah adus keramas.
Malam itu, Kangjeng Sultan berusaha mengeringkan rambutnya. Kemudian, dengan cunduk jungkat dan rambut terurai, Kangjeng Sultan duduk diatas amben bambu dengan tangan bersilang didadanya.
Ki Singatama yang juga mengurai rambutnya yang basah, duduk di lantai dihadapan Kangjeng Sultan dengan kepala tunduk dan tangan bersilang didadanya pula.
Keduanya bagaikan terbangun dari sebuah renungan yang sangat dalam, ketika mereka mendengar ayam jantan berkokok bersahutan untuk yang terakhir kalinya. Sementara itu, para petugas didapur telah sibuk menyiapkan makan dan minuman bagi para prajurit yang akan turun kemedan disaat matahari terbit.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultanpun kemudian turun dari pembaringannya sambil berkata, "Ki Singatama, bantu aku mengenakan pakaian keprajuritan. Aku akan menjadi Senapati Agung pagi ini. Perintah itu tentu sudah sampai ketelinga semua Senapati dan mereka akan mendengarkan perintahku."
Ki Singatamapun menyahut dengan sendat, "Hamba tuanku. Apa perintah tuanku akan hamba laksanakan."
Demikian Ki Singatamapun telah membantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengenakan pakaian keprajuritan. Mengenakan kelengkapan seorang Senapati Agung yang akan turun kemedan perang.
"Apakah tuanku juga akan mengenakan untaian kembang melati sebagai pertanda ke Senapatian tuanku," bertanya Ki Singatama dengan sendat.
Tetapi Kangjeng Sultan menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak Ki Singatama. Aku akan mengenakan selempang sebuah kelebet kecil. Kiai Burus."
Ki Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Kangjeng Sultan kemudian mengenakan selempang sehelai kelebet berwarna putih.
Sambil menyisipkan sebilah pusaka kerisnya yang disebut Kiai Cerubuk, maka Kangjeng Sultanpun kemudian berkata, "Aku sudah siap Ki Singatama."
Ki Singatama itupun kemudian berlutut di hadapannya. Sambil memegangi kedua lutut Kangjeng Sultan, Ki Singatama berkata tersendat-sendat, "Tuanku. Apakah tidak ada pilihan lain yang dapat tuanku lakukan."
"Sudahlah," berkata Kangjeng Sultan, "aku adalah seorang Senapati Agung. Aku akan bertempur diatas seekor gajah, pertanda kebesaran Pajang."
"Tuanku, terasa tubuh tuanku gemetar. Keadaan tuanku benar-benar tidak memungkinkan untuk turun kemedan, apalagi diatas punggung seekor gajah." seMbah Ki Singatama.
Buku 168 KANGJENG Sultan itupun kemudian menepuk pundak Ki Singatama sambil berkata, "Cepat. Berpakaianlah. Kaupun seorang prajurit yang akan turun pula kemedan. Sementara aku menunggumu, beri aku minuman panas dengan gula kelapa. Sesuap nasi tanpa lauk tanpa sayur."
"Hamba tuanku," desis Ki Singatama.
Sejenak kemudian, Ki Singatamapun telah memerintahkan untuk menyediakan minuman panas dengan gula kelapa dan segenggam nasi tanpa lauk. Bukan saja bagi Kangjeng Sultan, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
"Kangjeng Sultan, hamba mohon untuk diperkenankan ikut bersama tuanku, makan serta minum didalam bilik ini," mohon Ki Singatama.
"Silahkan Ki Singatama, aku senang sekali kau bersedia mengawani aku," jawab Kangjeng Sultan, "ternyata dalam keadaan yang paling pahit ini, masih ada juga orang yang bersedia mengawani aku."
"Hamba akan tetap setia kepada tuanku," jawab Singatama, "dalam keadaan apapun."
Demikianlah, keduanyapun telah makan sesuap nasi dan minum seteguk minuman dengan gula kelapa. Alangkah segarnya.
"Nah," berkata Kangjeng Sultan kemudian, "aku sudah siap. Siapkan titihanku. Aku akan pergi kemedan. Bukankah langit telah menjadi terang."
"Hamba tuanku. Sebentar lagi, tentu akan terdengar suara sangkakala. Dan pertempuranpun akan segera dimulai."
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mempersiapkan pasukan Pajang sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Ki Singatamapun telah memerintahkan untuk memanggil srati gajah yang akan dipergunakan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dengan wajah pucat srati itupun kemudian berkata kepada Ki Singatama, "Apakah artinya semuanya ini. Malam tadi, aku melihat Kangjeng Sultan telah mandi keramas dengan air abu merang. Sekarang, sebagai pertanda ke Senapatian, Kangjeng Sultan telah mengenakan selempang kelebet berwarna putih. Bukankah yang dipergunakan oleh Kangjeng Sultan itu bukan seharusnya, karena kelebet memang bukan selempang ?"
Ki Singatama menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Semuanya atas kehendak Kangjeng Sultan sendiri. Aku tidak tahu menahu, apa yang dimaksudkannya."
Srati itupun kemudian menyahut, "Rasa-rasanya hati ini telah membeku. Tetapi baiklah. Aku akan memberikan pakaian yang paling baik bagi gajah titihan Kangjeng Sultan itu."
Sejenak kemudian, Srati itu telah menyiapkan gajah titihan Kangjeng Sultan yang akan dipergunakan maju kemedan perang. Dikenakannya pakaian yang paling baik dan yang paling baru yang dimiliki oleh gajah itu. Dihiasinya dahi, kening dan telinganya sebagaimana akan diarak dalam upacara besar di alun-alun.
Namun dalam pada itu, hati srati gajah itu telah menjadi sangat gelisah karena sikap Kangjeng Sultan. Bahkan hampir diluar sadarnya, maka gajah itupun lebih banyak mengenakan pakaiannya yang paling baik dalam warna keputih-putihan.
Dalam pada itu, Matarampun telah mulai mempersiapkan diri. Raden Sutawijaya yang kurang mengerti maksud ayahandanya itupun telah menyiapkan pasukan yang paling baik melekat pada induk pasukan, sehingga setiap pasukan itu dapat ditarik memasuki induk pasukan. Sebagian dari pasukan khusus telah diperintahkan untuk bersiap bertempur diinduk pasukan, sementara pasukan terbaik dari pasukan Pajang di Sangkal Putung, yang berpihak kepada Mataram, sebagian telah dipersiapkan pula. Pasukan yang dipimpin oleh Senapati muda, Sabungsari.
Raden Sutawijaya sendiri, juga telah mempersiapkan diri di induk pasukannya, meskipun tidak langsung memegang pimpinan yang tetap berada di bawah pimpinan Ki Juru Martani.
Namun demikian. Raden Sutawijaya sudah berpesan kepada setiap senapati, bahwa segala sesuatunya akan dapat terjadi. Karena itu, maka mereka harus memperhatikan segala perintah dengan saksama dengan sungguh-sungguh.
"Kita harus benar-benar dapat menyesuaikan diri dan mengambil keputusan dengan cepat," berkata Raden Sutawijaya yang memang cemas menghadapi keadaan.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terjadi satu gejolak yang dahsyat didalam jantung Raden Sutawijaya. Seandainya ayahandanya benar-benar menyerang induk pasukan Mataram, apakah ia akan dapat menjatuhkan perintah kepada pasukan-pasukan yang sudah dipersiapkan untuk melawannya" Apakah Ki Juru Martani akan benar-benar berdiri berhadapan dengan ayahanda angkatnya itu di medan dengan mengadu ilmu dan kemampuan"
"Tidak ada yang mampu mengimbangi ilmu ayahanda Sultan," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya. Kemudian, "Tetapi paman Juru Martani juga menyimpan ilmu yang hampir sempurna. Dalam keadaan yang lemah karena sakit, ayahanda tidak akan mampu mengetrapkan ilmunya sampai kepuncak. Dan dalam keadaan yang demikian, Ki Juru Martani akan dapat mengimbanginya."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, hatinyapun bergejolak, "Apakah aku akan dapat melihat salah seorang dari keduanya dikalahkan dalam peperangan. Apakah itu ayahanda Sultan atau paman Juru Martani. Tetapi lebih daripada itu, apakah aku akan benar-benar melawan ayahanda Sultan dengan tangan paman Juru Martani?"
Raden Sutawijaya tidak menemukan jawabnya didalam dirinya. Karena itu, maka iapun telah menemui Ki Juru Martani untuk mendapatkan pertimbangannya.
"Kita berdiri diantara api dan banjir bandang. Sulit untuk memilih, apa yang akan kita lakukan," berkata Ki Juru Martani. Lalu, "Apalagi kita telah melihat, diantara orang-orang Pajang dan Mataram terdapat ilmu yang tersembunyi, yang sebenarnya merupakan dua unsur yang memang saling bertentangan. Yang berhadapan di medan ini bukan saja kekuatan Pajang melawan Mataram sebagaimana kita lihat dalam gelar. Tetapi benturan ilmu semalam telah menunjukkan, ada unsur lain yang ikut serta beradu di medan ini."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku telah tersudut kedalam satu keadaan yang sangat sulit. Tetapi baiklah paman. Kita akan melihat apa yang terjadi."
"Baiklah Raden," jawab Ki Juru, "kita akan selalu berhubungan. Pada satu saat yang paling sulit, kita harus dapat mengambil satu keputusan. Aku mohon Raden juga selalu berhubungan dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sementara itu, nampaknya Ki Gede masih harus beristirahat karena luka-lukanya bersama Swandaru selain Agung Sedayu sendiri."
"Ya paman," jawab Raden Sutawijaya, "tetapi kedua perempuan dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu berada di medan hari ini."
Ki Juru mengangguk-angguk. Seperti Raden Sutawijaya, iapun menghadapi satu keadaan yang sangat pelik.
Dalam pada itu. maka langitpun telah menjadi semakin merah oleh cahaya pagi. Kedua pasukan yang masih berada di pesanggrahan masing-masingpun telah bersiaga sepenuhnya. Mereka tinggal menunggu perintah untuk tampil kemedan.
Dalam pada itu, atas petunjuk Kiai Gringsing, maka Swandaru dan Ki Gede Menorehpun tidak turun kemedan pada hari itu. Luka-luka mereka perlu mendapat perawatan sebaik-baiknya. Jika mereka memaksa turun kemedan, mungkin keadaan luka itu akan menjadi sangat buruk. Jika pendarahan tidak dapat dicegah lagi, maka kemungkinan yang pahit akan terjadi.
Apalagi Agung Sedayu yang masih harus berbaring di pembaringan, dibawah pengawasan khusus. Namun hari itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi akan berada di medan bersama Ki Waskita dan Kiai Gringsing disamping Glagah Putih dan para pemimpin pasukan khusus dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.
"Aku titipkan Pandan Wangi dan Sekar Mirah kepada guru," berkata Swandaru.
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengamatinya, Swandaru. Tetapi mereka berdua akan turun kemedan perang dengan segala kemungkinannya," jawab Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Iapun menyadari, akibat yang dapat terjadi atas keduanya. Namun Swandarupun mengerti, bahwa baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah memiliki bekal yang cukup untuk turun kemedan.
Meskipun demikian Swandarupun berpesan kepada keduanya, "Jika lawan bertempur berpasangan, lakukanlah seperti apa yang mereka lakukan, karena mereka sama sekali tidak mempunyai harga diri lagi. Aku dan Ki Gede Menoreh mengalami kesulitan yang sama. Mereka telah menyerang kami bersama-sama."
"Baik kakang," jawab Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir bersamaan.
Demikianlah, ketika langit menjadi semakin terang, terdengarlah suara sangkakala yang membelah sepinya langit di pagi hari. Suaranya bergetar, mengumandang menyusur tebing Kali Opak.
Namun ditelinga beberapa orang Pajang dan Mataram, yang telah dibelit oleh persoalan didalam dirinya, suara sangkakala itu tidak lagi menggelorakan darah mereka sehingga bagaikan mendidih. Namun yang terdengar adalah rintihan yang menyeruak dari dasar perasaan yang paling dalam.
Yang terjadi itu sama sekali bukan yang dikehendaki.
Sementara itu, Kangjeng Sultan Hadiwijayapun telah siap dalam pakaian kebesaran Senapati Agung yang akan turun kemedan. Namun yang tidak dimengerti oleh para pengiringnya kemudian adalah, selempang yang dipakainya.
Atas perintah Sultan Pajang, maka Ki Singatama diperkenankan mendampinginya disebelah para Senapati pengapit, bersama srati gajah yang akan menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Dengan pertanda kebesaran Senapati Agung yang langsung di tangan Kangjeng Sultan sendiri, maka iring-iringan pasukan Pajang mulai bergerak meninggalkan pasanggrahan. Dibawah pengaruh sratinya, maka gajah itupun telah merunduk dan membiarkan Kangjeng Sultan naik kepunggungnya, serta membawanya maju kemedan.
Sejenak kemudian kedua pasukan dalam gelarnya masing-masing telah mendekati Kali Opak dari arah yang berlawanan. Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, pasukan Mataram akan tetap berada di sebelah Barat Kali Opak dan menunggu pasukan Pajang menyerang.
Dalam pada itu, seorang Senapati Pajang yang tidak begitu dikenal diantara kekuatan Pajang sendiri, mengikuti sikap Kangjeng Sultan dengan saksama. Bahkan dengan ketajaman perhitungannya, ia justru menganggap bahwa sikap Kangjeng Sultan itu akan dapat mengacaukan rencananya.
Karena itu, maka iapun telah memerintahkan semua orang yang berada dibawah pengaruhnya untuk selalu mendengarkan perintahnya. Termasuk pasukan khusus yang kehilangan Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Senapati-senapati bawahannya, ternyata memiliki sikap dan langkah yang sama dengan Ki Tumenggung Prabadaru. Bahkan nampaknya mereka telah dibumbui pula oleh dendam atas kematian pemimpin mereka.
Seorang Senapati muda yang mendapat perintah dari Kangjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Ki Tumenggung Prabadaru, nampaknya tidak begitu disukai oleh Kakang Panji. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan seorang Senapati yang dekat dengan Ki Tumenggung Prabadaru, untuk membayanginya. Sementara itu, Senapati-senapati yang lain nampaknya cenderung untuk mematuhi perintah Kakang Panji daripada perintah yang dijatuhkan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya, meskipun mereka tidak dengan terus terang membantahnya.
Dengan demikian, maka orang-orang yang langsung berada dibawah pengaruh Kakang Panji telah mengadakan kesiagaan khusus. Mereka menganggap bahwa saat yang menentukan telah tiba. Mereka tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Menurut perhitungan Kakang Panji, Kangjeng Sultan sengaja mengulur waktu dengan membekukan pasukan diinduk gelar dari seluruh kekuatan Pajang. Dengan demikian, maka pasukan Mataram mendapat kesempatan untuk menempatkan seluruh pasukannya pada sayap-sayap kekuatan mereka.
Demikianlah, semakin langit menjadi terang, kedua pasukan itupun menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan gajah yang menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan itupun maju mendekati tebing sungai.
Raden Sutawijaya yang berada di induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani benar-benar menjadi berdebar-debar. Dipandanginya segala macam tanda kebesaran Kerajaan Pajang. Umbul-umbul, rontek, panji-panji dan kelebet beraneka warna melekat pada tunggul-tunggul yang menggetarkan. Tunggul-tunggul yang berbentuk cakra, trisula, nanggala, bajra dan ujud-ujud binatang yang perkasa. Turangga, sardula, wanara dan ujud-ujud yang lain.
Dalam pada itu, dari arah samping, Kiai Gringsing-pun menjadi gelisah. Ki Waskita termangu-mangu memandang pertanda kebesaran itu. Sementara Untara menjadi berdebar-debar.
Namun kedua pasukan besar itu telah berhadapan. Pasukan Mataram telah berhenti di sebelah Barat tebing, sementara pasukan Pajang telah bersiap-siap untuk menyeberangi Kali Opak.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya benar-benar menjadi gelisah. Kangjeng Sultan sebentar lagi akan menyeberangi sungai dan naik ketebing di sebelah Barat.
Dalam kegelisahan yang memuncak. Raden Sutawijaya itupun telah bergeser mendekati Ki Juru Martani sambil bertanya, "Apa yang harus aku lakukan sekarang paman. Sebentar lagi, ayahanda Sultan akan turun kesungai dan menyeberanginya. Jika ayahanda naik ketebing disebelah Barat, lalu apa yang harus aku lakukan ?"
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa iapun menjadi gelisah. Dengan nada dalam ia berkata, "Sungguh satu keadaan yang paling sulit yang kita hadapi. Sebenarnya aku tidak pernah merasa gentar menghadapi siapapun juga, apalagi dalam peperangan. Tetapi ketika dihadapanku telah siap Kangjeng Sultan Hadiwijaya, aku menjadi berdebar-debar."
"Bagaimana sikap paman dalam keadaan seperti ini?" bertanya Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, putera Ki Gede Pasantenanpun telah mendekati Raden Sutawijaya sambil berdesis, "Apa yang akan kita lakukan?"
Wajah Ki Juru menjadi tegang. Sementara itu, gajah yang menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan telah mulai menuruni tebing.
Namun dalam pada itu, beberapa orang menjadi cemas. Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang dalam keadaan sakit itu tiba-tiba berdesis sambil memegangi keningnya.
"Ayahanda," Pangeran Benawa menjadi cemas melihat keadaan ayahandanya yang berada dipunggung gajah, justru pada saat gajah itu menuruni tebing.
"Aku tidak apa-apa," jawab Kangjeng Sultan. "Aku siap untuk bertempur. Bagaimana dengan para Senapati di sayap pasukan?"
"Semuanya sudah siap," jawab Pangeran Benawa.
"Bunyikan sangkakala. Aku akan segera menyerang," perintah Kangjeng Sultan, "semua Senapatipun harus memberikan perintah kepada prajurit-prajuritnya."
Pangeran Benawa termamangu-mangu sejenak. Namun sekali lagi terdengar perintah Kangjeng Sultan, "Perintahkan untuk membunyikan sangkakala."
Bagaimanapun juga, Pangeran Benawa tidak dapat membantah. Iapun segera memerintahkan meniup sangkakala. Perintah yang dijatuhkan oleh Kangjeng Sultan selaku Panglima Agung dalam perang itu, bahwa semua orang didalam pasukan siap untuk menyerang.
Ketika suara Sangkakala itu bergema, maka jantung setiap prajurit Pajang menjadi berdebar-debar.
"Nampaknya Kangjeng Sultan benar-benar menyerbu," desis Raden Sutawijaya.
"Ya, sementara itu kita belum dapat mengambil sikap," gumam putera Ki Gede Pasantenan.
Dalam kegelisahannya, maka tiba-tiba Ki Juru berkata, "Bunyikan bende Kiai Bancak. Sekarang."
Raden Sutawijaya terkejut. Dengan demikian, Ki Juru benar-benar telah bersikap dalam perang itu. Menang atau kalah.
Namun keragu-raguan yang sangat telah mencengkamnya, sehingga Raden Sutawijaya tidak dapat mencegah seorang pengawal yang kemudian berlari-lari ketempat bende Kiai Bancak itu disimpan.
Dalam pada itu, ketika Kangjeng Sultan yang berada di atas punggung yang menuruni tebing perlahan-lahan itu, terkejut pula ketika tiba-tiba saja mendengar gema suara bende Kiai Bancak yang bagaikan melengking membentur ujung-ujung candi yang menjulang tinggi dan kemudian menghantam lereng Gunung Baka yang membujur ke arah Timur.
Sejenak Kangjeng Sultan menengadahkan kepalanya. Suara itu bergema pula didalam hatinya. Menurut pengertiannya, jika bende itu berbunyi nyaring, maka pemilik pusaka bende itu akan menang dalam satu peperangan.
Tetapi Kangjeng Sultan ternyata tidak menghiraukan suara bende itu. Perlahan-lahan gajahnya maju terus. Ketika gajah itu sudah turun sampai ketepian, maka mulailah raksasa itu melangkah dengan kakinya yang berat menyeberangi Kali Opak.
Orang-orang yang berada di sebelah Barat Kali Opak menjadi semakin berdebar-debar. Jika sekali lagi Kangjeng Sultan memerintahkan membunyikan sangkakala, maka pasukan Pajang segelar sepapan dengan sayap-sayapnya yang kuat itu akan segera menyerang.
Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Pajang telah menuruni tebing. Mereka telah bersiap. Dihari sebelumnya, maka perintah menyerangpun segera datang. Mereka akan berlari ke tebing Barat untuk mengambil ancang-ancang dengan pasukan perisai di paling depan, karena pasukan Mataram akan menerima mereka dengan lontaran anak panah dan lembing yang berujung tajam.
Tetapi ternyata sangkakala masih belum terdengar. Ketika satu-satu langkah yang berat kendaraan perang Kangjeng Sultan itu melangkahi bebatuan, memasuki arus Kali Opak yang tidak begitu deras, pasukan Pajang justru menjadi gelisah, karena mereka masih belum menerima perintah untuk menyerang.
"Kita tidak dapat bertempur tanpa ancang-ancang melawan pasukan Mataram yang siap untuk menghujani kita dengan anak panah dan lembing," desis seorang Senapati.
Sebenarnyalah, orang-orang Mataram telah memasang anak panah pada busur-busurnya, sementara yang lain telah mengayun-ayunkan lembing, siap untuk dilontarkan.
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba gajah, yang merupakan kendaraan perang Kangjeng Sultan itupun berhenti. Ketika kakinya melangkah menginjak sebuah batu, rasa-rasanya gajah itu terkejut dan bergeser selangkah surut.
Orang-orang yang berada disekitar gajah itupun terkejut pula. Bahkan srati gajah itupun telah melangkah mendekati dan mencoba untuk menenangkan gajahnya dan membawanya maju kemedan perang.
Sejenak, gajah itu berdiri membeku. Namun atas perintah dan pengaruh sratinya, maka gajah itupun telah melangkah lagi maju setapak demi setapak.
Pangeran Benawa yang berada disisi gajah itupun menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada Ki Singatama, maka nampak wajah Ki Singatama itu membayangkan kegelisahan.
"Kenapa?" bertanya Pangeran Benawa kepada srati gajah itu.
Namun Pangeran Benawa tidak sempat mendapat jawabannya. Tiba-tiba sekali lagi gajah itu seolah-olah terkejut dan bergeser surut sehingga sratipun menjadi cemas. Gajah yang jinak itu tidak pernah menunjukkan sikap yang demikian. Biasanya gajah itu mudah dikuasai dengan sentuhan-sentuhan dan tarikan-tarikan pada telinganya, gajah itu mengerti, apa yang dikehendaki oleh sratinya. Namun dalam pada itu, gajah itu menunjukkan sikap yang gelisah.
Sementara itu, suara bende Kiai Bancak masih saja melengking dengan nyaringnya, seakan-akan telah mengguncang pepohonan di seluruh medan diseberang-menyeberang Kali Opak.
Dalam pada itu, gajah itupun menjadi semakin gelisah. Beberapa langkah gajah itu bergeser surut. Kemudian dengan sikap yang kurang dimengerti oleh sratinya gajah itu seolah-olah meloncat maju.
Kangjeng Sultan yang berada dipunggung gajah itu bagaikan diguncang-guncang. Dalam keadaannya yang lemah, maka Kangjeng Sultan mengalami kesulitan untuk tetap duduk diatas punggung gajah yang gelisah itu.
"Tenangkan gajah itu," perintah Pangeran Benawa, "kita berhenti disini. Sebelum gajah itu tenang, kita tidak akan bergerak lagi."
Pasukan Pajang memang berhenti. Seorang Senapati lelah meneriakkan perintah itu yang kemudian sambung bersambung sampai keujung sayap.
Tetapi agaknya gajah itu sulit sekali untuk ditenangkan. Ketika sratinya mempergunakan cis, maka gajah itu menjadi semakin gelisah. Belalainya mulai terayun-ayun dan terangkat keatas. Ketika kegelisahan gajah itu memuncak, maka terdengar gajah itupun melengking tinggi.
Raden Sutawijaya melihat gajah yang tiba-tiba sulit dikuasai itu. Dengan tegang ia mengamati kesulitan yang mulai dialami oleh ayahanda angkatnya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang dalam keadaannya yang sangat lemah.
Dalam keadaan yang demikian, maka hampir diluar sadarnya, Raden Sutawijaya meneriakkan perintah, "Hentikan bunyi Kiai Bancak. Suara itu membuat gajah ayahanda menjadi gelisah."
Ki Juru Martani sama sekali tidak mencegahnya. Seorang Senapati Mataram telah berlari-lari, untuk menyampaikan perintah menghentikan suara Kiai Bancak yang melengking tinggi memecahkan keheningan langit pagi yang digoyang oleh angin yang lembut.
Sementara itu, kegelisahan gajah titihan Kangjeng Sultan itu menjadi semakin sulit untuk dikuasai. Bahkan kemudian, gajah itu mulai melonjak seakan-akan ketakutan menghadapi pasukan Mataram yang sudah siap di tebing sebelah Barat.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang menjadi kebingungan. Srati gajah itu sudah berjuang dengan segenap kemampuannya untuk menenangkan gajah yang gelisah itu. Tetapi nampaknya ia tidak berhasil.
Tidak ada yang dapat menahan apa yang bakal terjadi jika gajah itu benar-benar mengamuk. Namun yang paling menggelisahkan adalah justru karena Kangjeng Sultan ada dipunggung gajah itu.
Dalam pada itu. Senapati Mataram yang berlari-lari telah mencapai tempat Kiai Bancak yang dibunyikan dengan nyaring. Dengan nafas terengah-engah Senapati itu berkata, "Hentikan. Atas perintah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Senapati yang memukul bende Kiai Bancak itu merasa heran atas perintah itu. Sehingga ia masih juga bertanya, sementara tangannya masih juga memukul Kiai Becak. "Kenapa Senapati Ing Ngalaga memerintahkan menghentikan bunyi bende ini."
"Hentikan. Gajah Kangjeng Sultan tidak tahan mendengar lengking suara bende ini, sehingga gajah itu hampir mengamuk karenanya, sementara Kangjeng Sultan ada di punggung gajah itu," jawab Senapati yang membawa perintah Senapati Ing Ngalaga.
Perintah itu masih juga meragukan. Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah Panglima Agung pasukan lawan. Apa sebabnya, maka Raden Sutawijaya justru menjadi cemas karena gajah yang menjadi kendaraan perang Panglima Agung pasukan lawan itu kehilangan kendali.
Namun dalam keragu-raguan itu, ia mendengar Senapati yang membawa perintah Senapati Ing Ngalaga itu mengulangi, "dengar. Atas perintah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, hentikan bunyi bende Kiai Bancak."
Perintah itu memang cukup meyakinkan. Karena itu, maka Senapati itupun menarik nafas dalam-dalam sambil menghentikan ayunan tangannya, sehingga suara bende itupun telah terhenti pula.
Namun Senapati itu terlambat. Gajah yang menjadi kendaraan perang Sultan Hadiwijaya yang gelisah itu telah melonjak sekali lagi. Lebih keras, sehingga yang tidak diinginkan itu telah terjadi. Kangjeng Sultan Pajang yang dalam keadaan lemah oleh sakitnya yang parah, telah terlempar dari punggung gajah yang tidak dapat dikendalikannya itu.
Tubuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu terbanting di atas bebatuan Kali Opak. Tanpa berbuat sesuatu, tubuh itu telah menghantam sebuah batu hitam sebesar kerbau yang banyak bertebaran di Kali Opak.
Memang luar biasa. Benturan yang terjadi antara tubuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan batu hitam itu telah mengejutkan orang-orang yang menyaksikannya. Batu hitam itu tiba-tiba telah terbelah menjadi beberapa bongkah yang pecah berserakan. Namun dalam pada itu, tubuh Kangjeng Sultan yang sedang sakit itupun kemudian terbaring dengan lemahnya diantara pecahan-pecahan batu hitam itu.
Pangeran Benawa dan beberapa orang Senapati termasuk para Adipati telah berlari-lari mendekatinya. Dengan serta merta Pangeran Benawa telah mengangkat tubuh ayahandanya dan meletakkan diatas pasir tepian, diantara bebatuan yang berserakan.
"Ayahanda," desis Pangeran Benawa.
Ternyata Kangjeng Sultan benar benar menjadi sangat lemah. Namun Kangjeng Sultan masih tersenyum sambil berkata, "Aku tidak berhasil bertahan duduk diatas punggung gajah. Bagaimana dengan gajah itu sekarang ?"
Pangeran Benawa berpaling kearah gajah yang menjadi kendaraan perang Kangjeng Sultan. Sratinya yang telah berjuang dengan segenap kecakapannya menguasai gajah itu, akhirnya berhasil menenangkankannya. Sementara itu suara bende Kiai Bancak telah tidak lagi terdengar.
Tiba-tiba saja tangan Pangeran Benawa menjadi bergetar. Kemarahannya melonjak sampai keujung ubun-ubunnya. Gajah itu telah melemparkan ayahandanya yang sedang sakit itu menimpa sebuah batu. Meskipun ayahandanya ternyata masih juga seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang luar biasa, sehingga batu itu telah pecah, namun keadaan ayahandanya menjadi semakin buruk.
Ketika Pangeran Benawa kemudian berdiri, terdengar suara ayahandanya, "Benawa, apa yang akan kau lakukan."
"Gajah keparat," geramnya.
Tetapi Kangjeng Sultan yang lemah itu justru tertawa. Namun betapa lemahnya suara tertawa itu. Katanya disela-sela tertawanya, "Akan kau apakan gajah itu. Aku percaya bahwa dengan tanganmu kau akan dapat membunuhnya. Tetapi gajah itu tidak lebih dari seekor binatang. Ia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia sama sekali tidak sengaja dan berniat untuk mencelakai aku."
Jantung Pangeran Benawa yang menggelegar oleh kemarahannya, justru telah tersentuh oleh kata-kata ayahandanya. Gajah itu tidak lebih dari seekor binatang.
Karena itu, maka Pangeran Benawapun telah menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, kecelakaan yang terjadi itu telah menghentikan segala gerak pasukan Pajang. Semua Senapati telah memerintahkan pasukan Pajang untuk tetap berada ditempat. Meskipun mereka tidak boleh meninggalkan kewaspadaan, namun merekapun menjadi berdebar-debar melihat satu kenyataan, bahwa Kangjeng Sultan Hadiwijaya telah jatuh dari punggung gajahnya.
Pada saat yang demikian. Raden Sutawijaya hampir saja meloncat berlari kearah ayahandanya yang terjatuh dari punggung gajahnya. Namun dengan cepat Ki Juru lelah memegang lengannya sambil berkata, "Kau akan kemana ngger?"
Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namunn kemudian sambil menarik nafas ia berkata, "Ayahanda Sultan jatuh dari punggung gajah itu, paman."
"Ya. Tetapi yang berada disekitar ayahanda angger Senapati Ing Ngalaga adalah para Senapati Pajang. Sedangkan angger adalah Panglima pasukan Mataram yang sedang berperang melawan Pajang," berkata Ki Juru Martani.
Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia adalah Panglima pasukan Mataram yang sedang berperang melawan Pajang. Namun di bawah tebing, di Kali Opak, ayahandanya terbaring dalam keadaan yang sulit.
Dalam kebimbangan itu, Ki Juru Martani berkata pula, "Angger Sutawijaya, jika dalam keadaan yang demikian terjadi sesuatu atas angger, atau justru karena angger mempertahankan diri telah melakukan sesuatu atas orang Pajang, maka ayahanda angger yang dalam keadaan yang parah itu akan menjadi semakin kecewa."
Raden Sutawijaya memandang orang-orang Pajang yang mengerumuni ayahandanya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya dengan jantung yang berdegupan. Bahkan dengan suara sendat ia berkata, "Aku yakin, bahwa ayahanda tidak jatuh dari punggung gajah itu."
"Apa yang terjadi menurut penglihatan angger?" bertanya Ki Juru Martani.
"Ayahanda membiarkan dirinya terjatuh dari punggung gajah itu," jawab Raden Sutawijaya, "kemudian membiarkan dirinya berada dalam keadaan yang parah."
"Kenapa angger berpendapat demikian?" bertanya Ki Juru pula.
"Jika ayahanda menghendaki, ayahanda akan dapat menghentikan kegelisahan gajah itu. Jika terpaksa, ayahanda akan dapat menghentikannya dengan kekerasan," jawab Raden Sutawijaya pula. Lalu, "Tetapi ayahanda membiarkan gajah itu dalam keadaan gelisah dan membiarkan dirinya terjatuh dari punggung gajah itu."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian iapun mengangguk-angguk kecil. Memang Kangjeng Sultan dapat memukul kepala gajah itu sehingga gajah itu akan mati, seandainya gajah itu benar-benar tidak dapat ditenangkan. Bahkan Ki Juru itupun kemudian bertanya didalam dirinya, "Bagaimana mungkin Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bernama Mas Karebet di masa mudanya itu dapat jatuh dari punggung gajah seperti sepotong balok kayu, meskipun masih juga sempat membuat orang yang melihatnya menjadi tergetar, karena sebongkah batu hitam yang ditimpanya telah pecah."
Justru karena itu, maka Ki Juru itupun mulai memperhitungkan keadaan perang itu dalam keseluruhan sebagaimana dihadapinya saat itu, setelah Kangjeng Sultan terjatuh dari punggung gajah.
Untuk beberapa saat kedua pasukan sama sekali tidak bergerak. Pasukan Pajang telah membeku ditempatnya, sementara pasukan Matarampun berhenti menunggu, meskipun kedua belah pihak tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni Kangjeng Sultan menjadi cemas. Mereka melihat keadaan Sultan Hadiwijaya semakin memburuk. Nafasnya menjadi sesak dan terengah-engah.
"Ayahanda," berkata Pangeran Benawa kemudian, "ijinkanlah hamba membawa ayahanda kembali ke pasanggrahan."
Kangjeng Sultan memandang Pangeran Benawa sekilas. Kemudian memandang beberapa orang Senapati yang berjongkok pula disekitarnya. Baru sejenak kemudian, Kangjeng Sultan itu berkata dengan nada yang dalam, "Baiklah Benawa. Aku akan beristirahat barang sejenak di pasanggrahan."
Namun dalam pada itu, seorang Senapati telah berkata, "Sementara itu Kangjeng Sultan, perkenankanlah Kangjeng Sultan memerintahkan pasukan Pajang untuk menggempur Mataram."
Jawaban Kangjeng Sultan memang mengecewakan Senapati itu. Katanya, "Aku tidak dapat memimpin sendiri pasukan Pajang hari ini. Perintahkan mereka mundur. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut."
Namun ketika beberapa orang termangu-mangu. Pangeran Benawa menegaskan perintah itu, "Kalian telah mendengar. Dan atas nama ayahanda, aku perintahkan semua pasukan Pajang mengundurkan diri dari medan hari ini. Kita akan berada di pasanggrahan dan menunggu perintah lebih lanjut."
Tidak ada yang membantah perintah itu. Betapapun perasaan kecewa menusuk jantung para prajurit Pajang yang sudah dengan sepenuh hati turun kemedan dibawah pimpinan Kangjeng Sultan sendiri, namun perintah itu harus mereka lakukan.
Namun dalam pada itu, seorang Senapati yang dikenal oleh beberapa orang bernama Kakang Panji berkata dengan wajah membara menahan perasaannya, "Aku memang sudah menduga, akan terjadi permainan seperti ini."
"Bagaimana jika Kangjeng Sultan memerintahkan pasukan Pajang nanti atau besok menarik diri dari medan?" bertanya seorang kepercayaannya.
"Apaboleh buat. Beberapa bagian dari pasukan Pajang tentu akan tinggal. Pasukan khusus itu akan tetap kita kuasai. Selain pasukan yang berada di induk gelar, maka semuanya akan tetap berada di tempatnya masing-masing," jawab Kakang Panji. Bahkan katanya kemudian, "Agaknya lebih baik bagi kita untuk tidak menunggu perintah. Besok, kita akan turun ke medan tanpa menunggu perintah Kangjeng Sultan yang sudah tidak mampu menjaga dirinya sendiri itu."
"Apakah kepercayaan Kangjeng Sultan tidak akan mencegahnya?" bertanya kepercayaannya.
"Kita akan bergerak cepat. Kita akan turun lebih pagi tanpa tanda dan isyarat apapun. Kita langsung menyerbu pasukan Mataram seandainya mereka belum bersiaga sekalipun. Tidak ada aturan yang dapat mengikat kita dalam keadaan yang gawat seperti ini. Seandainya mereka menganggap bahwa kita telah melanggar paugeran perang, maka mereka tidak akan dapat menghukum kita. Karena kita memang sudah berada dalam keadaan perang," berkata Kakang Panji kemudian.
Kepercayaannya itupun mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa tidak ada pilihan lain. Bahkan setelah Mataram hancur, kemungkinan lain dapat terjadi. Mungkin pasukan Kakang Panji itu harus juga menggempur pasukan Pajang itu sendiri.
Demikianlah, pada hari itu, akhirnya pasukan Pajang telah bersiap-siap untuk menarik diri. Betapapun mereka digigit oleh perasaan kecewa, tetapi mereka harus mematuhi perintah itu.
Dalam pada itu, pasukan Mataram yang termangu-mangu masih berada ditempatnya. Di kedua sayap pasukan itu, para Senapati mengamati keadaan dengan jantung yang berdebaran. Untara yang berada diujung pasukannya, menahan gejolak perasaannya yang bagaikan menghentak-hentak didadanya. Ia pernah menghadap Kangjeng Sultan itu dengan cara yang khusus, sehingga iapun sedikit atau banyak, dapat meraba apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menyaksikan semua peristiwa itu dengan tegang. Namun kedua orang tua itupun berusaha untuk menilai peristiwa itu bukan saja menilik dari penglihatan mata wadagnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang Pajang itu telah menyiapkan sebuah usungan. Mereka membawa Kangjeng Sultan Hadiwijaya kembali ke pesanggrahan, sementara itu Pangeran Benawa telah memerintahkan semua orang didalam pasukan Pajang untuk menarik diri.
Yang terdengar kemudian adalah suara sangkakala. Nadanya terdengar jauh berbeda dengan suara sangkakala disaat pasukan Pajang itu berangkat meninggalkan pesanggrahan. Yang terdengar kemudian bagaikan suara keluh kesah yang ngelangut.
Perlahan-lahan pasukan Pajang menarik diri dari garis perang. Mereka melangkah surut, meskipun mereka tetap dalam kewaspadaan yang tertinggi.
Orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itupun mengumpat dengan kasar. Dua orang kepercayaannya mengikutinya dengan perasaan gelisah.
"Kalian harus menghubungi semua orang yang telah sepakat untuk bekerja bersama kita," geramnya, "agaknya Kangjeng Sultan masih berusaha untuk memenangkan permainan yang terakhir. Dengan demikian maka kita tidak akan dapat berharap, bahwa Pajang dan Mataram akan menghancurkan diri mereka sendiri, sementara itu kita akan dapat menari diatas bangkai mereka."
Kedua orang kepercayaan kakang Panji itu mengangguk-angguk. Agaknya Kangjeng Sultan memang berusaha untuk memenangkan permainan terakhir seperti yang dikatakan oleh Kakang Panji itu, sehingga dengan demikian, Kangjeng Sultan itu berhasil mencegah pertempuran yang lebih besar lagi yang dapat terjadi sebenarnya antara pasukan Pajang dan Mataram. Dengan ketajaman penglihatan batinnya, bahwa Kangjeng Sultan telah mengetahui apa yang terjadi, sebagaimana direncanakan oleh seseorang yang telah membayangi kekuasaannya yang menjadi semakin surut.
Di tebing sebelah Barat Kali Opak, Raden Sutawijaya benar-benar menjadi cemas. Tetapi seperti yang dinasehatkan oleh Ki Juru Martani, maka ia telah menahan diri untuk tidak turun ke tepian Kali Opak untuk mendapatkan ayahandanya yang terbaring diantara para Senapati Pajang.
Demikianlah, maka tubuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang menjadi semakin lemah itupun telah dibawa ke pesanggrahan. Tabib yang terbaik masih selalu mendampinginya. Namun tabib itu tidak dapat berbuat banyak.
Sementara Kangjeng Sultan sendiri agaknya tidak membantu lagi kepada tabib yang sedang mengobatinya.
"Aku sangat berterima kasih kepadamu," berkata Kangjeng Sultan kepada tabib itu, "tetapi yang kau kerjakan itu tidak akan membawa hasil yang kau harapkan. Rasa-rasanya keadaanku sudah demikian parahnya. Meskipun demikian, aku tidak akan menolak kau berusaha, karena itu memang kewajibanmu."
Tabib itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa tabib itupun merasa sangat cemas melihat perkembangan keadaan Kangjeng Sultan. Apalagi kadang-kadang Kangjeng Sultan itu merasa dadanya menjadi sangat sesak. Seakan-akan seseorang telah menindih dadanya dengan beban yang sangat berat.
Seorang prajurit yang sedang bertugas, yang dengar keadaan Kangjeng Sultan itupun berbisik ketelinga kawannya, "Ada yang tidak wajar telah terjadi."
"Apa?" bertanya kawannya.
"Tentu ada kekuatan yang tidak kasat mata telah membantu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga," berkata prajurit itu.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya kawannya.
"Pernafasan Kangjeng Sultan seolah-olah telah tersumbat. Dadanya menjadi sesak," jawab prajurit itu. Lalu, "Hal itu tidak mungkin terjadi, jika tidak ada pihak-pihak yang tidak kasat mata yang telah membantunya. Mungkin dengan mengganggu pernafasan Kangjeng Sultan atau dengan menindih dadanya dengan beban yang berat atau sesuatu yang juga dapat menyebabkan jatuh dari punggung gajah."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sekali. Gajah yang jinak itu tiba tiba saja telah menjadi liar."
Namun kawannya yang lain berkata, "Suara bende Kiai Bancak itu sangat mengganggu telinga gajah itu."
"Ah," jawab prajurit yang pertama, "suara bende itu hanya sekedar isyarat kemenangan. Tetapi tentu ada sebab lain untuk mencapai kemenangan itu bagi orang-orang Mataram."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Namun ternyata ceritera prajurit yang dengar, keadaan Kangjeng Sultan itu telah merambat dari telinga ke telinga, sehingga para prajurit Pajangpun kemudian seakan-akan telah mendapatkan satu penjelasan resmi, bahwa sesuatu yang tidak kasat mata telah terjadi atas Kangjeng Sultan. Dadanya bagaikan dibebani oleh kekuatan yang sangat besar.
"Bahkan mungkin dada Kangjeng Sultan telah dihantam oleh kekuatan yang tidak terlawan oleh perisai ilmu Kangjeng Sultan yang tidak ada duanya itu." berkata seseorang yang kemudian telah mengembangkan ceritera itu semakin lama semakin besar.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah, bahwa keadaan Kangjeng Sultan memang menjadi semakin sulit. Dengan jantung yang berdebaran Pangeran Benawa menunggui ayahandanya tanpa beringsut. Sementara ia memerintahkan pengawasan yang sangat ketat disekitar pesanggrahan.
Pangeran Benawa sama sekali tidak mencemaskan bahwa pasukan Mataram akan mempergunakan saat yang sulit itu dengan menyerang dan mendesak pasukan Pajang mundur. Tetapi Pangeran Benawa justru cemas, bahwa ada pihak-pihak dari Pajang sendiri yang tidak puas melihat keadaan itu dan mengambil sikap yang bertentangan dengan sikap Kangjeng Sultan itu sendiri, justru dalam keadaan yang sulit.
Karena Pangeran Benawapun telah melihat kemungkinan yang demikian, maka ia telah memerintahkan pasukan khusus pengawal raja untuk bertindak tegas terhadap siapapun juga yang mengambil sikap sendiri.
Dalam pada itu, para Adipati yang menyertai Kangjeng Sultan menjadi sangat cemas melihat keadaan Kangjeng Sultan itu. Sementara itu Pangeran Benawa sedikit demi sedikit berusaha untuk memberikan penjelasan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
"Kita semua akan tetap melakukan segala perintah ayahanda," berkata Pangeran Benawa.
Ternyata bahwa para Adipati itupun tidak mengecewakannya. Mereka memang hanya tunduk kepada segala perintah Kangjeng Sultan, meskipun sebenarnya merekapun merasa kecewa bahwa mereka tidak melanjutkan rencana mereka pada hari itu, untuk turun kemedan.
Namun dengan penjelasan Pangeran Benawa yang memberikan gambaran tentang seluruh keadaan di medan perang itu, serta sikap Kangjeng Sultan sendiri, maka merekapun berusaha untuk menyesuaikan sikap mereka masing-masing.
Tetapi sementara itu, di tempat lain di pesanggrahan pasukan Pajang, Kakang Panji tengah membuat rencananya sendiri dengan orang-orang kepercayaannya. Mereka bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataran tanpa induk pasukan.
"Selama ini, kekuatan kita tidak terlalu lemah," berkata kakang Panji. Lalu, "bukankah selama ini induk pasukan itu juga tidak berbuat apa-apa" Jika besok kita turun tanpa menunggu kesiapan pasukan Mataram, maka kita akan dapat mematahkan perlawanan mereka dengan memanfaatkan kejutan pada benturan pertama."
"Aku akan memberikan perintah itu," berkata kepercayaannya.
"Bodoh kau," geram Kakang Panji, "jika kau berikan perintah itu sekarang, maka orang-orang Mataram akan mendengarnya. Mungkin ada satu dua orang diantara kita yang berkhianat atau mereka memang petugas-petugas sandi dari Mataram."
"Jadi?" bertanya kepercayaannya.
"Besok pagi-pagi sebelum fajar. Tidak ada waktu bagi mereka untuk menyampaikan laporan kepada orang-orang Mataram," jawab kakang Panji.
Kepercayaannya itu mengangguk angguk. Katanya, "Baiklah. Dengan demikian, sehari ini kita akan beristirahat."
"Sehari-semalam," jawab kakang Panji. Tetapi kemudian katanya, "Namun besok pagi-pagi kita akan bekerja sangat berat. Kau tahu, bahwa di Mataram ada orang yang mampu mengganggu ilmuku pada saat aku berusaha membantu Ki Tumenggung Prabadaru. Aku tidak yakin bahwa hal itu dilakukan oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Sehingga karena itu, maka ada paling sedikit dua orang yang harus diperhitungkan dengan cermat. Jika besok aku berhadapan dengan Raden Sutawijaya, maka orang itu harus mendapat pengamatan yang ketat. Harus ada orang lain yang untuk sementara menghadapinya sebelum aku menyelesaikan Raden Sutawijaya."
"Maksud Kakang Panji, apakah satu atau dua orang harus berusaha menemukan dan mencegah orang yang telah mengganggu ilmu Kakang Panji itu untuk mengulanginya lagi?" bertanya kepercayaannya.
"Ya. Mungkin lebih dari dua orang yang harus menghadapinya," jawab Kakang Panji, "menilik ilmunya, maka kau memerlukan paling sedikit tiga orang untuk mengurungnya dalam putaran pertempuran. Tiga orang yang memiliki ilmu yang matang yang berbeda jenisnya, sehingga ketiganya akan dapat melengkapi menghadapi orang yang jarang ada duanya sekarang ini. Karena sebenarnyalah orang itu benar-benar orang yang sangat berbahaya. Orang yang tentu mempunyai sangkut paut dengan jalur perguruanku sendiri."
"Jadi siapakah yang akan ditunjuk?" bertanya kepercayaannya.
"Kita mempunyai waktu satu hari satu malam untuk memikirkannya. Besok menjelang dini hari, kita akan berbincang lagi," jawab Kakang Panji.
Kepercayaannya itu tidak mendesaknya lagi. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Sekarang aku akan melihat-lihat keadaan. Ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang mapan di medan ini sekarang. Seorang diantara mereka masih belum turun langsung ke medan selama ini."
"Gila. Masih juga yang bermalas-malasan" Jika ia turun kemarin, mungkin ia akan dapat merubah keadaan. Mungkin bukan hanya Ki Gede Menoreh, Swandaru saja yang dapat dilukai. Tetapi juga orang-orang lain. Mungkin orang yang disebut Kiai Gringsing atau yang bernama Ki Waskita. Mungkin kedua perempuan yang memiliki ilmu yang mendebarkan itu pula, yang mampu mengimbangi para Senapati pilihan dari Pajang," geram kakang Panji.
"Ia baru datang menjelang pagi. Tetapi ia sengaja tidak turut campur ketika ia tahu, bahwa Kangjeng Sultan akan turun kemedan hari ini," jawab kepercayaannya.
Kakang Panji memandang kepercayaannya itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, "Apakah yang kau maksud Ki Ajar Jatisrana?"
"Ya," jawab kepercayaannya.
"Kaulah yang gila," gumam Kakang Panji, "aku memanggilnya secara khusus. Karena itu, maka baru menjelang pagi hari ini ia datang. Aku mempunyai pembicara tersendiri."
"Tetapi apakah ia tidak dapat menghadapi orang yang Kakang Panji maksudkan itu?" bertanya kepercayaannya.
"Aku akan berbicara dengan orang itu," jawab kakang Panji, "mungkin ia akan dapat membantu. Tetapi orang itu tidak akan dapat berdiri sendiri menghadapi orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu, karena tingkat kemampuannya memang masih berada dibawahi kemampuan Senapati Ing Ngalaga."
Kepercayaannya itupun mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian meninggalkan orang yang disebut Kakang Panji itu. Ditelusurinya pasanggrahan orang-orang Pajang yang pada hari itu ternyata tidak perlu turun kemedan. Mereka seakan-akan telah mendapatkan waktu untuk beristirahat. Hari itu mereka hanya akan makan dan tidur saja sepanjang hari.
Namun demikian, membayang ketegangan yang mencengkam di induk pasukan. Keadaan Kangjeng Sultan memang menjadi gawat. Sementara itu para pengawal khusus telah berjaga-jaga dengan cermatnya. Setiap orang yang memasuki lingkungan pasanggrahan Kangjeng Sultan mendapat pengamatan yang ketat. Tidak setiap orang, meskipun prajurit Pajang sendiri, diperkenankan memasuki lingkungan pasanggrahan Kangjeng Sultan.
Dalam pada itu, selagi para Senapati tertinggi Pajang menunggui tabib yang berusaha mengobati Kangjeng Sultan, maka Kakang Panji telah melakukan kegiatannya sendiri. Dengan orang-orang yang paling dipercaya saja, Kakang Panji menentukan rencananya. Dengan tidak banyak diketahui orang, maka ia sudah berbicara dengan orang-orang terpenting yang berdiri dipihaknya, termasuk beberapa Senapati terpenting dari pasukan khusus yang telah terlepas dari kendali para Senapati Pajang sendiri.
Demikianlah, seperti yang diinginkan Kakang Panji, maka mereka sepakat untuk dihari berikutnya, turun ke medan pagi-pagi benar justru sebelum orang-orang Mataram bersiap sepenuhnya. Mereka tidak perlu terlalu setia kepada paugeran peperangan, karena tidak akan ada kekuatan yang akan dapat menghukum mereka.
"Jika kita berhasil memanfaatkan benturan pertama dengan pasukan yang tidak siap itu, maka untuk selanjutnya kita akan dengan mudah dapat menghancurkan mereka. Kita tidak akan mengganggu pasukan induk mereka yang tentu tidak akan segera dapat menyesuaikan diri. Kita akan menyerang dan menyekat batas antara sayap-sayap dengan induk pasukan, sehingga kita akan menutup setiap kemungkinan hubungan antara sayap-sayap pasukan mereka dengan induk pasukan," berkata Kakang Panji.
"Bukan pekerjaan yang mudah. Kau sangka kekuatan di sayap pasukan itu tidak akan dapat memecahkan sekat itu, apalagi bersama-sama dengan kekuatan diinduk pasukan itu sendiri," jawab salah seorang Senapati.
"Maksudku hanya pada saat-saat benturan pertama itu terjadi. Setelah pada benturan pertama itu kita menghancurkan sebagian besar kekuatan mereka, maka kita tidak berkeberatan, seandainya induk pasukan Mataram itu ikut bertempur pula," berkata Kakang Panji. Lalu, "Tetapi ingat. Ada kekuatan yang harus diperhatikan. Aku tidak dapat berbuat sendiri menghadapi Raden Sutawijaya dan kekuatan yang dapat menumbuhkan kabut itu. Meskipun mungkin orang yang memiliki kemampuan itu, tidak memiliki ilmu kanuragan yang memadai."
"Apakah mungkin orang yang dapat menumbuhkan kabut itu Ki Juru Martani sendiri ?" bertanya salah seorang diantara para pengikut Kakang Panji itu.
"Bukan. Bukan Ki Juru. Pada saat kabut itu melingkari arena pertempuran, seorang diantara kita melihat, Ki Juru sama sekali tidak sedang dalam keadaan yang pantas untuk diduga sedang dalam pemusatan nalar budi, melepaskan ilmu yang dahsyat itu," jawab Kakang Panji.
"Jadi siapa?" bertanya yang lain.
"Kita belum tahu. Kita akan mencari dan menemukannya," jawab Kakang Panji, "karena itu, maka kita harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan itu. Aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan Raden Sutawijaya seandainya ia turun kemedan. Dua orang harus menghadapi Ki Juru Martani. Telapi yang penting kita harus menyiapkan sekelompok kecil orang untuk melawan orang yang memiliki ilmu yang menggetarkan itu. Yang mampu menumbuhkan kabut dan membuat lingkaran yang tidak tembus penglihatan itu."
"Jangan terlalu ketakutan," jawab orang yang bernama Ajar Jatisrana, "bukankah kau sendiri sudah mengatakan, bahwa mungkin orang itu justru tidak memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Jika kita dapat memecahkan dinding itu dan menemukan orangnya, maka kita akan dapat membunuhnya."
Kakang Panji mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi kita jangan menganggap persoalannya terlalu mudah. Kita harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan."
"Aku setuju," berkata Ajar Jatisrana, "kita memang harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi jangan terlalu ketakutan seperti itu. Aku setuju dengan rencanamu untuk menyerang pasukan Mataram dengan tiba-tiba. Aku setuju untuk menghancurkan pasukan Mataram dalam benturan pertama. Namun kemudian aku kurang sependapat, bahwa kau terpaksa harus menganjurkan agar kami membentuk kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi Ki Juru Martani, menghadapi orang yang mampu menumbuhkan kabut atau orang yang manapun juga, seolah-olah kami adalah anak-anak yang belum dapat melihat kenyataan tentang olah kanuragan."
"Aku hanya ingin berhati-hati," sahut Kakang Panji, "mungkin kalian masih belum mengetahui dengan pasti, kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Aku tahu," jawab Ajar Jatisrana, "karena itu, kami sependapat bahwa kau akan menghadapinya. Tetapi yang lain tidak akan memiliki ilmu seperti Raden Sutawijaya."
"Sudah aku sebut. Ki Juru Martani harus diperhitungkan. Tetapi terlebih-lebih lagi orang yang telah menggagalkan usahaku membantu Ki Tumenggung Prabadaru dalam perang tanding melawan Agung Sedayu dengan serangan pada indera penciumannya. Tetapi seseorang mengetahui kelemahan ilmuku, sehingga orang itu dengan sengaja telah menutup penglihatanku atas Agung Sedayu dengan kabut." Jawab Kakang Panji, "aku tidak mau usahaku, kali ini gagal seperti yang sudah berulang kali terjadi. Justru karena kita terlalu menyombongkan diri."
Para pengikut dan orang-orang yang berpihak kepada Kakang Panji itu tidak menjawab lagi. Mereka mengerti maksud Kakang Panji, meskipun rasa-rasanya Kakang Panji menganggap mereka masih bersifat kekanak-kanakan di medan. Tetapi kegagalan-kegagalan yang pernah dialamainya telah membuatnya terlalu berhati-hati.
Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan Kakang Panji telah mengakhiri pertemuan itu dengan mengemukakan harapan-harapannya. Katanya, "Kali ini adalah kesempatan yang paling memungkinkan kita mencapai tujuan kita. Jika kali ini gagal, maka kesempatan yang lain akan menjadi semakin buruk. Mataram mungkin akan mendapat kesempatan untuk lebih memperkuat kedudukannya, sehingga kita akan mengalami kesulitan untuk dapat berbuat sesuatu yang berarti."
Akhirnya pertemuan yang khusus itupun memberikan beberapa kemungkinan di hari berikutnya. Kakang Panji telah menentukan beberapa langkah yang akan mereka ambil dan merekapun telah menentukan beberapa jenis isyarat pada saat-saat mereka akan bertindak.
Dengan penuh kesungguhan Kakang Panji berpesan, bahwa yang mereka bicarakan adalah satu rahasia yang sangat besar. Orang-orang Mataram sama sekali tidak boleh mendengar, karena dengan demikian maka Mataram akan sempat bersiap-siap menghadapi benturan yang diharapkan akan dapat menentukan kemungkinan selanjutnya dari pertempuran itu.
Para pengikut dan orang-orang yang berpihak kepada Kakang Panji itupun mengerti pula. Dan mereka ingin rencana mereka berhasil, sehingga merekapun memegang rahasia itu dengan sepenuh hati. Bukan saja bagi orang orang yang jelas berada dipihak Mataram, tetapi juga bagi orang-orang Pajang sendiri yang tidak jelas, berdiri di pihak Kakang Panji.
Sebenarnyalah dalam pada itu, rencana itu sama sekali tidak diketahui oleh para pemimpin pasukan Pajang yang berada di induk pasukan. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa sebagian dari pasukan Pajang itu telah mempersiapkan diri, untuk menyerang Mataram di esok hari mendahului perintah Kangjeng Sultan atau orang yang dikuasakannya justru karena Kangjeng Sultan itu menderita sakit.
Juga orang-orang Mataram yang meskipun bersiaga sepenuhnya, tetapi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa di pihak pasukan Pajang telah tumbuh satu niat untuk menyerang Mataram dengan tidak menghiraukan paugeran yang berlaku.
Karena itu, maka Mataram sama sekali tidak memikirkan kemungkinan bahwa satu kecurangan akan terjadi.
Usaha orang-orang Mataram pada hari itu adalah menangkap sejauh-jauhnya berita tentang keadaan Kangjeng Sultan. Bahkan Ki Juru Martani terpaksa beberapa kali memperingatkan Raden Sutawijaya agar ia menjaga perasaannya. Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah ayah angkatnya yang mengasihinya. Tetapi keadaan perang antara Pajang dan Mataram harus diperhitungkannya sebaik-baiknya.
"Apakah aku dapat mengirimkan satu dua orang petugas untuk menanyakan hal itu kepada Pangeran Benawa?" bertanya RJaden Sutawijaya.
Ki Juru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah ngger. Kau dapat memerintahkan dua orang dengari resmi menghadap Pangeran Benawa. Dalam kedudukannya maka orang itu tidak akan diganggu oleh orang-orang Pajang. Hanya persoalannya, apakah Pangeran Benawa bersedia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu atau tidak."
"Baiklah paman," berkata Raden Sutawijaya, aku akan mencoba."
Dengan persetujuan Ki Juru Martani, maka Raden Sutawijaya telah memerintahkan dua orang petugas untuk menyeberangi Kali Opak dengan pertanda resmi utusan dari pasukan Mataram, dengan tugas menghadap Pangeran Benawa untuk menanyakan keadaan Kangjeng sultan Hadiwijaya.
Kedua orang itu memang tidak mendapat gangguan apapun juga. Mereka berhasil menghadap Pangeran Benawa untuk menanyakan kesehatan Kangjeng Sultan, sebagaimana perintah Senapati Ing Ngalaga.
Pangeran Benawa yang menerima kedua orang utusan itu berusaha untuk tidak terlalu menggelisahkan Raden Sutawijaya. Meskipun demikian Pangeran Benawapun tidak dapat menyembunyikan keadaan ayahandanya, bahwa kesehatannya semakin lama memang menjadi semakin menurun.
"Kami berusaha untuk dapat mengatasi kesulitan ini," berkata Pangeran Benawa kepada kedua orang utusan itu.
Dalam pada itu, ketika kedua orang utusan itu kembali ke seberang Kali Opak, maka beberapa pasang mata telah mengamatinya dari kejauhan.
"Pangeran Benawa adalah orang yang paling lemah yang pernah aku kenal," geram Kakang Panji yang dengan sungguh-sungguh mengamati kedua orang petugas dari Matatam. Bahkan seorang kepercayaannya telah diperintahkannya untuk mengetahui, apa yang dikatakan oleh Pangeran Benawa kepada kedua orang itu.
"Hubungi orang-orang kita yang ada dilingkungan pasanggrahan Kangjeng Sultan itu." perintah Kakang Panji ketika ia mendapat laporan tentang hadirnya dua orang petugas dari Mataram.
Namun laporan yang kemudian diterima oleh Kakang Panji menyebutkan, bahwa Pangeran Benawa hanya menerima orang itu dalam waktu yang sangat pendek, dan sama sekali tidak dalam pertemuan yang khusus.
"Pangeran Benawa menemui kedua orang itu diantara para Senapati Pajang, sehingga apa yang dikatakannya didengar oleh banyak orang yang ada pada saat itu," berkata seorang pengikutnya.
Kakang Panji mengangguk-angguk. Namun ia dan dua orang kepercayaannya memerlukan untuk mengamati kedua orang utusan itu dari kejauhan, sehingga apabila keduanya melakukan hal-hal yang mencurigakan, maka Kakang Panji akan dapat mengambil sikap tertentu.
Tetapi kedua orang petugas itu memang tidak berbuat sesuatu selain menjalankan tugasnya sebagaimana diperintahkan oleh Raden Sutawijaya.
Dengan demikian, maka orang yang disebut kakang Panji itu tetap menganggap bahwa orang-orang Mataram tidak mengetahui, bahwa mereka akan mengalami serangan yang tiba-tiba dikeesokan harinya.
Dalam pada itu, maka dengan sangat rahasia kakang Panji dan orang-orang kepercayaannya telah menyiapkan segala rencana yang akan mereka lakukan. Namun mereka sama sekali masih belum memberitahukan rencana itu kepada para prajurit dan orang-orang yang berada didalam pasukan masing-masing. Mereka hanya memerintahkan, agar orang-orang didalam pasukan mereka beristirahat sebaik-baiknya karena besok mereka akan mengalami pertempuran yang menentukan.
"Tetapi menurut pendengaran kami, keadaan Kangjeng Sultan menjadi semakin buruk," bertanya salah seorang pemimpin kelompok.
"Ya. Itulah sebabnya besok kita harus dapat menentukan segala-galanya agar segala sesuatunya masih dapat disaksikan oleh Kangjeng Sultan," jawab Senapatinya.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Jawaban itu memang sesuai menurut penalarannya. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu tidak bertanya lagi.
Demikianlah, maka hari itu telah diawali dengan ketegangan yang mencengkam. Terutama bagi kakang Panji dan para pengikutnya yang terpenting, yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun yang sedikit itu adalah orang-orang yang akan mampu menggerakkan kekuatan yang berada didalam pasukan Pajang, yang bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataram sampai lumat.
Ketika kemudian malam turun, maka Kali Opak itupun diliputi oleh suasana yang lain dari beberapa malam sebelumnya. Malam itu tidak ada orang yang membawa obor hilir mudik di tebing Kali Opak untuk mencari kawan-kawan mereka yang terluka atau terbunuh dipeperangan. Tidak ada kesibukan bagi mereka yang bertugas merawat dan mengobati para prajurit dan pengawal yang terluka.
Yang terdengar malam itu, adalah gemericik aliran Kali Opak yang tidak terlalu deras, menyusup diantara desir angin yang lembut didedaunan. dilangit bintang gemintang bergayutan berkerdipan memandang bumi yang diam.
Orang-orang Pajang benar-benar mempergunakan hari itu untuk beristirahat. Mereka ingin memulihkan kekuatan mereka, agar besok mereka dapat benar-benar hadir dipeperangan dan memenuhi keinginan para pemimpin mereka. Mataram harus dihancurkan, justru pada saat Kangjeng Sultan Hadiwijaya masih akan dapat menyaksikan kemenangan itu.
Dalam pada itu, orang-orang Matarampun berusaha untuk beristirahat pula sebaik-baiknya. Mereka memang telah memperhitungkan bahwa pada hari itu, tidak akan terjadi sesuatu. Namun orang-orang tidak tahu, apa yang akan terjadi besok, mendahului isyarat dan tanda-tanda bahwa pertempuran akan dimulai.
Namun demikian, para pemimpin Matarampun selalu memperingatkan, agar para pengawal tidak menjadi lengah.
Karena itu, maka pengawalan di pesangghrahan orang-orang Mataram itupun sama sekali tidak diabaikan. Para peronda hilir mudik mengamati keadaan disekitar lingkungan mereka. Satu dua diantara mereka sempat singgah didapur dan memungut apa saja yang masih tersisa untuk mencegah kantuk.
"Jika pemimpin kelompokmu melihat kau meronda sambil mengunyah makanan, maka kau akan mendapat hukuman," seorang petugas di dapur memperingatkan.
Namun peronda itu tertawa sambil berkata, "Jika besok aku mendapat hukuman karena akan makan sambil meronda, maka kaulah yang telah melaporkannya."
"Anak setan," geram petugas didapur itu.
Tetapi para peronda itu tertawa di dapur yang sebagian besar telah tertidur nyenyak. Mereka adalah petugas-petugas yang harus bangun lebih dahulu dari para pengawal yang akan bertempur, karena mereka harus menyiapkan makanan dan minuman bagi para pengawal sebelum mereka berangkat ke medan.
Namun dalam pada itu, bukan saja para pengawal yang selalu mengamati lingkungan masing-masing, para pemimpin dari kedua belah pihakpun berusaha untuk dapat melihat langsung apa yang terjadi di pasanggrahan mereka.
Di pasanggrahan pasukan Mataram, Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga sendirilah yang keluar dari pasanggrahan dan mengamati keadaan bersama dengan dua orang Senapatinya. Mereka melintasi halaman demi halaman dari rumh-rumah yang dipergunakan untuk berteduh pasukan Mataram dari titik-titik embun di malam hari.
Langkah Raden Sutawijaya tertegun ketika ia justru telah bertemu dengan Untara dan Sabungsari yang juga tengah mengamati keadaan. Namun akhirnya merekapun berpisah dan mengambil arah mereka masing-masing.
Dalam pada itu, di sayap yang lain, Ki Lurah Branjanganpun berada di jalan sempit disebuah padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Mataram. Ki Waskita dan Kiai Gringsing berbincang sesaat di tikungan. Namun Ki Waskita dan Kiai Gringsing itupun kemudian meninggalkan Ki Lurah dan dua orang pengawalnya termangu-mangu ditikungan itu. Agaknya mereka tidak segera akan meninggalkan tempatnya.
Ketika tiga orang peronda lewat di tikungan itu, maka Ki Lurahpun berpesan, "Hati-hatilah. Jangan lengah. Aku akan beristirahat sejenak."
"Silahkan Ki Lurah," jawab salah seorang peronda itu, "kami akan berbuat sebaik-baiknya."
"Jika datang giliran kalian beristirahat, kalian harus benar-benar beristirahat. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi besok," berkata Ki Lurah.
Ketiga orang itupun kemudian melanjutkan tugasnya, sementara Ki Lurahpun kembali ke pondok yang dipergunakannya.
Sementara itu, di sebuah pondok yang lain, Sekar Mirah masih juga terbangun menunggui Agung Sedayu yang menjadi berangsur baik. Pernafasannya menjadi lancar dan darahnyapun mengalir dengan wajar. Meskipun tubuhnya masih sangat lemah, tetapi tidak lagi sangat mencemaskan.
Dibagian lain, Swandaru yang juga terluka duduk bersandar dinding. Pandan Wangi ternyata masih belum tidur juga. Sekali-sekali Pandan Wangi pergi melihat keadaan ayahnya yang juga sudah bertaMbah baik. Bahkan Ki Gede nampaknya sudah merasa tidak terganggu lagi oleh luka-lukanya. Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih menasehatkan, agar Ki Gede jangan turun dahulu kemedan. Meskipun rasa-rasanya Ki Gede sudah sembuh, tetapi jika ia turun kemedan pertempuran, maka lukanya akan dapat terbuka kembali. Darah akan mengalir lagi.
Ki Lurah Branjangan yang singgah sejenak, menjenguk mereka yang terlukapun sempat berkata kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, "Sebaiknya kalian beristirahat. Tidurlah, agar kalian tidak menjadi sangat letih. Jika besok kalian akan turun kemedan, maka kekuatan kalian masih utuh. Tetapi jika kalian kurang beristirahat malam ini, maka besok tenaga kalian sudah akan susut sejak kalian mulai."
"Baiklah Ki Lurah," jawab Sekar Mirah, "tetapi rasa-rasanya aku tidak mengantuk."
"Cobalah untuk tidur," berkata Ki Lurah pula.
Sepeninggal Ki Lurah, maka Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah mencoba untuk berbaring. Mereka sependapat dengan Ki Lurah. Jika mereka tidak tidur sama sekali, maka tenaga mereka akan susut sejak mereka mulai ke medan. Sedangkan perang akan berlangsung tanpa mengingat keadaan seseorang. Ujung senjata yang tidak pernah memilih korbannya tidak menghiraukan sama sekali, apakah seseorang sudah kehilangan kemampuan untuk melawan atau tidak. Dan mautpun dengan bengis akan menghampiri siapa saja yang tidak mampu lagi menolaknya.
Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Gedepun telah menganjurkan pula kepada kedua perempuan itu, untuk tidur sejauh dapat dilakukan malam itu.
Demikianlah, ketika kedua pasanggrahan disebelah menyebelah Kali Opak itu menjadi lengang, maka ketegangan menjadi semakin memuncak pada beberapa orang diantara orang-orang yang berada didalam lingkungan pasukan Pajang. Mereka menunggu untuk mengambil satu langkah yang tidak menghiraukan lagi hadirnya Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang terluka bersama pasukan yang hanya tunduk kepada perintahnya.
Beberapa orang Senapati yang mendapat kepercayaan dari Kakang Panji untuk mengetahui rencananya-pun telah mulai bersiap-siap. Pada saat yang tepat ia harus memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk bersiap dan kemudian menyerang sebelum waktu yang seharusnya.
Sampai lewat tengah malam, kakang Panji yakin bahwa rahasia yang dipercayakan hanya kepada beberapa orang itu dapat disimpan sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun yakin, bahwa sampai saatnya, orang-orang Mataram akan mengalami satu kejutan yang tidak akan teratasi. Malapetaka akan menimpa mereka dan pasukannyapun akan terkoyak dan hancur berkeping-keping.
Karena itu, maka kakang Paujipun merasa perlu untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi ia masih juga berpesan dengan sungguh-sungguh, agar beberapa orang kepercayaannya selalu mengawasi keadaan. Tidak seorangpun boleh menyeberang Kali Opak. Siapapun mereka. Jika perlu, maka kepercayaannya itu harus melaporkannya kepada kakang Panji, jika mereka tidak dapat mengatasinya sendiri. Namun usaha menyusupkan rahasia itu ke pasukan Mataram harus benar-benar dicegah.
Dengan demikian maka kepercayaan kakang Panji itupun telah berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki itu.
Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga rapatnya kakang Panji menyimpan rahasianya, namun ada juga seseorang diantara mereka yang mendapat kesempatan untuk mendengar rencananya itu adalah orang yang tetap setia kepada Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Seorang yang atas ijin Pangeran Benawa selalu berusaha untuk mendapat keterangan sejauh-jauhnya tentang orang-orang yang telah membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Adalah satu kesempatan yang tidak diduganya, ketika ia termasuk salah seorang yang sedikit jumlahnya dari antara para Senapati pasukan khusus yang diminta untuk ikut mendengarkan dan berbicara bersama seseorang yang bernama Kakang Panji. Bahkan selama kekuasaan pasukan khusus itu berada di tangan Ki Tumenggung Prabadaru, ia sama sekali belum pernah mendapat kesempatan seperti itu. Namun sejak pimpinan pasukan khusus itu berada pada Ki Tumenggung Prabadaru, ia sudah menjalankan perintah Pangeran Benawa, karena sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa tidak mempercayai Ki Tumenggung itu sepenuhnya. Namun Senapati itu tidak terlalu banyak mendapat kesempatan untuk mengetahui rahasia Ki Tumenggung. Hanya disaat-saat terakhir orang itu berusaha untuk nampak semakin setia kepada Ki Tumenggung. Bahkan ketika mereka berada di medan. Senapati itu seolah-olah tidak memperhitungkan dirinya sendiri karena pengabdiannya kepada Ki Tumenggung. Ketika Ki Tumenggung Prabadaru terbunuh di peperangan oleh Agung Sedayu. orang itulah yang nampaknya paling bersedih, dan bahkan Senapati itu telah mengucapkan sumpah untuk membalaskan dendam kematian Ki Tumenggung Prabadaru.
Ternyata justru setelah Ki Tumenggung terbunuh, ia mendapat kesempatan untuk mengetahui serba sedikit rahasia tentang Ki Tumenggung dengan pasukannya.
Namun demikian. Senapati itu merasa mendapat kesulitan yang sulit untuk diatasinya, bagaimana ia dapat menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa.
Tetapi Senapati itu tidak menyerah kepada keadaan. Ia sudah mendengar rencana yang curang dari orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Selama masa Ki Tumenggung memegang kekuasaan atas pasukan khusus, maka ia lebih banyak melaksanakan tugas yang kadang-kadang kurang dimengerti maksudnya. Bahkan kadang-kadang bertentangan dengan penalarannya. Namun sebagai seorang prajurit dari pasukan khusus maka ketaatan merupakan nilai utama disamping kemampuannya. Tetapi kini tiba-tiba ia tidak sekedar melakukan perintah. Tetapi ia mendengar satu rahasia yang akan dilaksanakan dengan perintah yang harus diberikan kepada para prajurit dari pasukan khusus.
Dengan demikian maka Senapati itu bertekad untuk menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa. Terserah apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa. Namun Senapati itu tahu pasti sikap Pangeran Benawa terhadap Mataram. Dan bahkan sikap Kangjeng Sultan sendiri terhadap Mataram. Bahkan dengan yakin Senapati itu berpegang pada sikap Kangjeng Sultan yang pernah dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa Mataram akan sanggup meneruskan cita-cita Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang belum dapat di capainya bagi kepentingan Pajang, tanpa menghiraukan apakah pencapaian cita-cita itu akan dikendalikan dari Pajang atau dari Mataram. Namun yang penting, rakyat Pajang harus merasakan, betapa negerinya adalah negeri yang gemah ripah lohjinawi, dalam kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Karena itulah, maka malam itu Senapati itu sama sekali tidak bermaksud untuk beristirahat. Bahkan iapun kemudian membawa dua orang pengawalnya yang paling dipercaya untuk meronda.
Untuk beberapa saat. Senapati itu sekedar hilir mudik saja disekitar pasanggrahan pasukan khususnya. Namun kemudian Senapati itu mulai mengamati daerah yang lebih luas. Bahkan kemudian ia berjalan mendekati tebing Kali Opak.
Namun langkahnya terhenti, ketika ia melihat dua orang yang sedang mengawasi medan. Bukan dari pasukan khusus yang sedang bertugas, tetapi mereka adalah orang-orang yang terlibat kedalam benturan kekuatan itu atas permintaan beberapa orang pemimpin Pajang yang ternyata telah terpengaruh oleh Ki Tumenggung Prabadaru atas nama kakang Panji, dengan mendapatkan beberapa janji dan kesanggupan.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa dalam barisan Pajang terdapat pasukan yang bukan prajurit Pajang yang jumlahnya cukup besar. Beberapa orang pemimpin pasukan Pajang menyatakan bahwa mereka adalah rakyat Pajang yang dengan suka rela mengabdikan diri untuk menumpas pemberontakan di Mataram. Namun sebenarnya mereka adalah unsur kekuatan kakang Panji.
"Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Pangeran Benawa," berkata Senapati itu didalam hatinya. Lalu, "Bahkan tidak mustahil jika Kangjeng Sultan sendiri sudah mengetahuinya. Bukan mustahil pula, bahwa keadaan Kangjeng Sultan yang gawat itu merupakan ujud dari keprihatinan yang sangat, meratapi keadaan yang sedang berlaku."
Namun akhirnya Senapati itu berkata, "Aku harus bertemu dengan Pangeran Benawa. Jika Pangeran Benawa memerintahkan aku tetap memegang rahasia itu agar tidak didengar orang Mataram, aku akan menggenggamnya dengan taruhan nyawaku. Tetapi jika Pangeran Benawa bersikap lain dan memerintahkan aku menyampaikan rahasia ini kepada orang Mataram, maka aku akan menyampaikannya, apapun yang dapat terjadi."
Tetapi Senapati itu tidak dengan serta meria melangkah kembali untuk menghindarkan kecurigaan. Tetapi ia justru mendekati dua orang itu dan bertanya, "He, apakah tugas kalian disim?"
Dua orang kepercayaan kakang Panji itu mengenal Senapati itu. Senapati yang termasuk orang-orang yang mendapat kepercayaan pula dari kakang Panji yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 16 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Pahlawan Dan Kaisar 5