Api Di Bukit Menoreh 22
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 22
Karena itu, maka iapun menjawab, "Aku mengamati tebing Kali Opak. Tidak seorangpun boleh menyeberang."
"Aku tahu," jawab Senapati itu, "tetapi orang yang ingin menyeberang dapat memilih jalan lain yang berada diluar pengawasanmu."
"Bukan hanya kami berdua yang mengawasi tebing." jawab orang itu.
Senapati itu mengangguk-angguk. Bahkan katanya kemudian, "Kalian adalah orang-orang yang mengemban tugas yang sangat menentukan. Jika kalian gagal melakukan tugas kalian, maka gagal pulalah semua impian dan harapan yang pernah kita bangun didalam angan-angan kita. Bukan saja yang tumbuh dalam satu dua hari ini. Tetapi merupakan harapan bagiseluruh rakyat Pajang yang terpahat didalam nurani mereka, karena selama ini mereka memang merindukan satu masa sebagaimana pernah hadir diatas bumi kita ini."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang menjawab dengan sungguh-sungguh, "Karena itulah, maka aku telah mempertaruhkan apa saja yang ada padaku. Termasuk jiwa dan ragaku."
Senapati itu menepuk bahu orang itu sambil berkata, "Lakukan tugasmu sebaik-baiknya. Mataram hanya sempat bernafas di sisa malam ini. Besok, pagi-pagi benar, kita akan mengkoyak-koyak mereka menjadi sayatan-sayatan sampah yang tidak berarti."
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka melihat Senapati itu kemudian melangkah meninggalkan mereka.
"Orang-orang sedungu kerbau itu justru merupakan orang-orang yang berbahaya," gumam Senapati itu.
Kedua orang pengawal terpercayanya tidak menyahut. Tetapi merekapun sependapat dengan Senapatinya.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun telah menyusuri tebing Kali Opak. Tetapi ia sama sekali tidak ingin menyeberang. Hanya akan melaporkan kepada Pangeran Benawa. Keputusan terakhir, apakah rahasia itu akan disampaikan kepada orang-orang Mataram atau tidak, tergantung sekah kepada Pangeran Benawa sendiri.
Dengan demikian, maka langkah Senapati itupun kemudian menuju ke Pasanggrahan di induk pasukan. Ketika ia merasa tidak lagi diawasi oleh kepercayaan kakang Panji, maka iapun telah menyelinap dan hilang di gerumbul-gerumbul yang pekat.
"Perhatian orang-orang itu tertuju kepada jalur Kali Opak," berkata Senapati itu, "karena itu, maka kita tentu tidak terlalu banyak mendapat perhatian mereka. Dan memang tidak akan menyeberang."
Para pengawalnyapun sependapat pula. Dan merekapun dengan hati-hati mengikuti Senapatinya mendekati pasanggrahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa.
Namun ternyata pasanggrahan itu telah dijaga dengan rapatnya. Senapati itupun akan menemui kesulitan untuk memasuki pasanggrahan tanpa dilihat oleh para pengawal.
"Tidak ada jalan," berkata salah seorang kepercayaannya yang dari kejauhan menyadari adanya penjagaan yang rapat. Dibawah obor-obor yang terang disekitar pasanggrahan itu, nampak para petugas yang sedang berjaga-jaga dan yang sedang nganglang mengelilingi pasanggrahan itu.
"Sulit menurut pertimbanganmu?" bertanya Senapati itu kepada pengawalnya.
"Sulit untuk ditembus tanpa mereka ketahui," jawab salah seorang diantara mereka.
Sementara yang lain berkata, "Bagaimana jika kita berterus terang kepada para pengawal, bahwa kita akan pergi menghadap Pangeran Benawa" "
"Mungkin kita akan berhasil," jawab Senapati itu, "kita akan dapat bertemu dengan Pangeran Benawa. Tetapi apakah kau yakin bahwa diantara para pengawal tidak terdapat orang-orang kakang Panji" Orang-orang yang akan dapat melaporkan tentang usaha kita menyampaikan hal ini kepada Pangeran Benawa?"
Kedua pengawalnya mengangguk-angguk. Hal itu bukan hal yang mustahil. Jika salah seorang diantara para pengawal pasanggrahan itu berpihak kepada kakang Panji dan melaporkan kehadiran mereka, mungkin kakang Panji akan cepat bertindak. Bukan saja hal itu akan dapat membahayakan jiwa Senapati itu, tetapi juga rencananya mungkin akan berubah sehingga sulit untuk diketahui."
Karena itu, maka Senapati itu termangu-mangu sejenak. Apa yang sebaiknya dilakukan, agar usahanya untuk menyampaikan rahasia itu tidak diketahui oleh siapapun juga.
Dalam pada itu. Senapati dan kedua pengawalnya itu masih saja berusaha agar kehadirannya tidak diketahui oleh siapapun juga. Mereka masih berada di gerumbul-gerumbul liar, sementara mereka sibuk untuk mencari jalan keluar. Apakah yang sebaiknya dikerjakan.
Namun akhirnya salah seorang kepercayaannya itupun berkata, "Biarlah aku saja yang menghadap. Silahkan kembali kepasukan. Aku tidak akan kembali kepasukan khusus. Seandainya ada orang yang melihat aku dan melaporkannya kepada kakang Panji, biarlah aku yang menjadi sasaran kemarahannya sehingga tidak mengganggu rencana keberangkatan pasukan khusus dalam keseluruhan."
Senapati itu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah kau sudah tahu, apa yang akan aku sampaikan?"
"Sudah. Rencana pasukan Pajang menyerang pasukan Mataram mendahului isyarat yang akan diberikan," jawab pengawal itu, "bukankah Senapati tadi mengatakan hal itu?"
"Ya. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Tetapi apakah Pangeran Benawa mempercayaimu," gumam Senapati itu.
"Biarlah aku mencoba meyakinkannya," jawab pengawalnya itu, "memang mungkin akhirnya Pangeran Benawa tidak percaya. Tetapi kita sudah berusaha. Mungkin sekali rencana Kakang Panji itu jika terlaksana benar-benar membahayakan pasukan Mataram, sementara kita tahu sikap Pangeran Benawa dan mungkin Kangjeng Sultan sendiri."
Senapati itu mengangguk-angguk. Pengawal itu memang benar-benar seorang yang dapat dipercayanya. Sehingga karena itu, maka Senapati itupun berkata, "Baiklah. Pergilah ke barak itu. Kau dapat berterus terang kepada para pengawal, bahwa kau akan menghadap Pangeran Benawa untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting, yang hanya boleh diketahui oleh Pangeran Benawa sendiri. Sementara itu, kau sendiri adalah prajurit Pajang, sehingga kau akan mendapat kesempatan yang cukup."
"Baiklah," jawab pengawal itu, "silahkan kembali ke pasianggrahan agar jika setiap saat kakang Panji itu menghubungi pasukan kita, Senapati sudah ada ditempat."
Senapati itu mengangguk. Namun ketika ia melihat bintang dilangit yang sudah bergeser semakin jauh, serta memperhatikan lintang Gubug Penceng di ujung Selatan, maka iapun menjadi berdebar-debar. Waktunya semakin mendesak, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, pasukan Mataram akan segera tergilas oleh pasukan Pajang yang datang mendahului saat- saat yang diperhitungkan oleh pasukan Mataram.
"Berhati-hatilah," berkata Senapati itu, "tugasmu sangat berat. Kau akan dapat mempengaruhi peristiwa yang bakal datang sesaat lagi. Namun segalanya tergantung kepada Pangeran Benawa," berkata Senapatinya, "aku akan kembali kepasukanku agar tidak timbul kecurigaan apapun terhadap seluruh pasukan khusus itu."
"Silahkan," jawab pengawal itu sambil memendangi obor-obor disekitar pasanggrahan itu, "aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan cara apapun juga dengan Pangeran Benawa."
Namun dalam pada itu, selagi pengawal itu mempersiapkan diri, terdengar desir lembut dibelakang mereka. Bahkan kemudian terdengar suara orang mendeham perlahan.
Senapati dan para pengawalnya terkejut. Tiba-tiba saja mereka berloncatan dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Sesaat mereka tercenung. Mereka melihat sesosok dalam bayangan dedaunan gerumbul yang rimbun berdiri tegak dengan kaki renggang.
"Siapa kau?" bertanya Senapati itu.
Bayangan itu tidak segera menjawab. Namun Senapati itu mendengar orang itu tertawa pendek.
Senapati itupun bergeser maju setapak mendekati bayangan itu diikuti oleh kedua pengawalnya. Dengan nada dalam Senapati itu mengulangi pertanyaannya, "Siapa kau he?"
Suara tertawa itupun lenyap. Namun jawaban orang itu telah mengejutkan Senapati itu sekali lagi, "Apakah kau tidak mengenal aku?"
Senapati itu termangu-mangu. Namun bayangan itulah yang kemudian mendekat.
Senapati itu menarik nafas dalam dalam. Katanya, "Pangeran sangat mengejutkan aku."
Pangeran Benawa tertawa. Sambil mendekat ia menyahut, "Aku melihat kehadiranmu. Dan aku mendengar semua percakapanmu."
"Jadi Pangeran sudah tahu apa yang ingin kami sampaikan kepada Pangeran?" bertanya Senapati itu.
"Seperti yang kau tanyakan kepada pengawalmu yang akan memasuki pasanggrahan. Dan pengawalmu itu menjawab bahwa pasukan Pajang besok akan menyerang Mataram mendahului isyarat." jawab Pangeran Benawa.
"Demikianlah Pangeran," berkata Senapati itu, "nampaknya kakang Panji telah bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk yang akan terjadi. Setelah Mataram, maka mereka tentu akan menghancurkan prajurit Pajang."
"Bagaimana dengan pasukan khusus," bertanya Pangeran Benawa.
"Pasukan itu benar-benar telah dikuasai oleh Ki Tumenggung Prabadaru berpihak kepada kakang Panji. Sekarang, semua orang didalam pasukan itu masih tetap melakukan semua perintah kakang Panji," jawab Senapati.
"Itu tergantung kepada para Senapatinya. Bahkan Senapati tertentu, karena mungkin yang lain tidak tahu arti dari gerakan mereka. Mereka hanya menjalankan perintah yang mereka terima dari atasannya, seperti yang kau lakukan pada saat Ki Tumenggung masih memegang pimpinan. Tetapi kau tidak tahu, apa yang sebenarnya bergejolak di balik semua perintah-perintahnya itu," berkata Pangeran Benawa.
"Ya Pangeran. Tetapi pada umumnya para Senapatinya telah terpengaruh. Dan aku tidak berani menentang arus tanpa mengetahui dengan pasti, siapa saja kawan-kawanku didalam lingkungan pasukan khusus itu."
"Baiklah. Kau memang harus sangat berhati-hati, agar kau sendiri tidak ditelan oleh pasukan khusus itu." berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, "Tetapi pokok laporanmu telah aku dengar dari percakapan kalian. Lalu apakah yang penting akan kau laporkan lagi?"
"Satu-satunya laporanku kali ini Pangeran," jawab Senapati itu, "sebab yang satu itu akan menentukan segala-galanya. Aku tidak tahu, apakah Pangeran akan memberitahukannya kepada orang-orang Mataram atau justru akan mempergunakan saat itu pula untuk menghancurkan Mataram dan sekaligus pasukan Kakang Panji " "
Pangeran Benawa menarik nafas dalam dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Apakah kau tahu, sikap sebenarnya dari ayahanda Sultan terhadap kakangmas Sutawijaya?"
Senapati itu termangu-mangu. Tetapi kemudian jawabnya, "Belum Pangeran. Tetapi ada satu keheranan yang selama ini menggelitik jantung. Kenapa Kangjeng Sultan tidak segera turun kemedan. Semula kami menganggap bahwa hal itu disebabkan karena kesehatan Kangjeng Sultan. Namun pertanyaan Pangeran tentang sikap Kangjeng Sultan telah menumbuhkan satu dugaan lain."
"Baiklah," berkata Pangeran Benawa kemudian, "kau sudah menunjukkan kesetiaanmu. Karena itu. tidak ada salahnya jika aku mengatakannya kepadamu."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Sementara Pangeran Benawa berkata selanjutnya, "Ketahuilah, bahwa ayahanda sudah tidak berpengharapan lagi atas Pajang, Harapannya satu-satunya bagi kelanjutan cita-citanya adalah justru Mataram."
Senapati itu termangu-mangu. Kemudian katanya, "Keterangan Pangeran sudah jelas. Agaknya Pangeran condong untuk menyampaikan berita kepada Mataram. Tetapi segalanya terserah kepada Pangeran."
"Ya. Aku akan menyampaikan berita ini kepada kakangmas Sutawijaya." jawab Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran, sepanjang Kali Opak, malam ini telah dijaga dan diawasi oleh kepercayaan orang yang menyebut dirinya kakang Panji, orang yang telah membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan. Orang yang mempunyai kuasa lebih besar dari Ki Tumenggung Prabadaru."
"Bahkan yang telah menggerakkan Ki Tumenggung," sahut Pangeran Benawa.
"Ya," jawab Senapati itu, "aku telah mendapat kesempatan diluar dugaanku untuk berbicara dengan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang. Hanya beberapa orang-orang kepercayaannya menganggap bahwa aku adalah orang yang paling setia kepada Ki Tumenggung Prabadaru."
"Bagus," jawab Pangeran Benawa, "ternyata kau tidak hanya membawa kabar penting tentang serangan yang mendahului isyarat itu. Tetapi kau juga membawa keterangan tentang seorang yang selama ini tersembunyi. Namun tentu kau belum tahu, siapa orang itu sebenarnya."
"Ampun Pangeran," jawab Senapati itu, "aku belum dapat mengenalnya lebih dalam."
"Baiklah. Sekali lagi aku berterima kasih kepadamu. Kau telah membawa berita yang sangat berarti," jawab Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran, waktunya terlalu sempit. Sementara itu, sulit bagi kita untuk menyampaikan berita ke pasukan Mataram, seperti yang sudah aku katakan. Kali Opak diawasi dari ujung sampai keujung sayap oleh orang orang kakang Panji itu," berkata Senapati itu.
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Memang sulit untuk menembus pengawasan itu. Seandainya kita dapat mengalahkan kepercayaan kakang Panji yang akan menghalangi kita, namun dengan demikian, mungkin sekali mereka akan mengambil langkah lain."
Senapati yang masih tetap setia kepada Pangeran Benawa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Benawa menjelaskan, "Jika seorang saja diantara kepercayaan kakang Panji itu terdapat terbunuh, maka kakang Panji tentu menyadari, bahwa rencananya tentu sudah sampai ketelinga orang-orang Mataram, sehingga ia akan mengambil kebijaksanaan lain. Mungkin ia akan mengurungkan serangannya atau bahkan menarik seluruh kekuatannya. Jika demikian, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan, sementara itu mereka ternyata memang mempunyai kekuatan yang akan dapat mempengaruhi keadaan."
"Jadi, apa yang terbaik menurut Pangeran?" bertanya Senapati itu. Lalu, "Apakah Pangeran akan menugaskan satu dua orang berusaha menembus pengawasan orang-orang Kakang Panji dengan diam-diam" Atau membiarkan orang-orang Mataram dan para pengikut kakang Panji itu hancur bersama-sama."
"Sudah aku katakan," jawab Pangeran Benawa, "sebenarnyalah bahwa ayahanda mengharap Mataram akan dapat melanjutkan cita-cita Pajang yang belum dapal diujudkannya sampai saat ayahanda tidak lagi mampu mengendalikan rakyat Pajang."
"Jika demikian, lalu bagaimana sikap Pangeran" Menembus pengawasan itu?" desak Senapatinya yang menjadi bingung.
"Menurut pendapatmu, apakah mungkin?" Pangeran Benawa justru bertanya.
"Sulit Pangeran. Pengawasan itu terlalu ketat. Dan kini, waktu menjadi semakin sempit," berkata Senapati itu, "sebentar lagi, aku tentu sudah mendapat perintah untuk bersiap dan kami akan menyebrang dengan diam-diam sebelum matahari terbit langsung menyeberang orang-orang Mataram yang mungkin baru bersiap-siap, sementara yang lain masih berbaring dipembaringannya sambil terkantuk-kantuk."
"Baiklah," berkata Pangeran Benawa, "segeralah kembali ke pasukanmu. Setiap saat kau akan menjalankan perintah itu. Jika kau terlambat dan apalagi diketahui menemui aku disini, maka kau akan dicurigai. Dan kau akan tahu akibat dari kecurigaan itu."
"Lalu, bagaimana Pangeran akan menyampaikan berita ini ke seberang Kali Opak" " Senapati itu masih bertanya.
"Aku akan memikirkannya," jawab Pangeran Benawa.
"Pangeran masih akan memikirkannya?" bertanya Senapati itu, "sementara malam semakin tipis?"
"Tentu aku tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa," jawab Pangeran Benawa, "sudahlah. Serahkan kepadaku. Aku berusaha sejauh dapat aku lakukan. Namun sudah pasti, aku tidak akan berdiam diri."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bergumam, "Kapan Pangeran akan bertindak. Tetapi baiklah Pangeran. Aku akan kembali ke pasukanku. Segalanya terserah kepada Pangeran."
"Aku akan berusaha. Entah, apa yang dapat aku lakukan. Tetapi hal ini memang harus didengar oleh orang-orang Mataram." jawab Pangeran Benawa.
Senapati itu tidak mempersoalkannya lagi. Iapun segera minta diri dan kembali ke pasukannya. Pasukan khusus yang sejak dibentuknya dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Sepeninggal Senapati itu. Pangeran Benawa duduk termangu-mangu. Ia sependapat, bahwa hal itu sangat penting bagi pasukan Mataram dapat disergap dengan cara yang licik itu, maka pasukan Mataram tentu akan benar-benar hancur. Bahkan mungkin bukan saja pasukan yang ada di kedua sayapnya, tetapi juga yang berada diinduk pasukan. Sementara Agung Sedayu masih terbaring karena lukanya, Ki Gede Menoreh dan Swandaru yang juga terluka tidak akan dapat berbuat banyak. Jika orang-orang terpenting dari Mataram dapat disergapnya pula, maka kekuatan Mataram benar-benar akan runtuh. Betapapun juga orang-orang yang memihki ilmu yang tinggi berjuang bagi Mataram, mereka tidak akan dapat melawan orang-orang Pajang dalam jumlah yang besar, setelah mereka membantai seluruh pasukan.
Dalam kecemasan Pangeran Benawa mengendap-endap kembali ke pesanggrahannya. Baru setelah ia berada beberapa langkah dari para penjaga, ia berjalan dengan tenang ke regol halaman.
Beberapa orang penjaga merundukkan tombak mereka. Tetapi ketika mereka melihat Pangeran Benawa, maka merekapun justru telah menyibak.
Selagi Pangeran Benawa mencari jalan untuk memberitahukan bencana serangan yang licik itu kepada orang-orang Mataram, maka kakang Panjipun telah memberikan isyarat agar orang-orangnya bersiap-siap. Mereka harus mulai membangunkan setiap pemimpin kelompok dan memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan. Tidak ada keterangan yang perlu mereka berikan kepada para pemimpin kelompok, apalagi para prajurit. Pada saatnya mereka harus berangkat menyerang orang-orang Mataram. Penjelasan yang perlu diberikan adalah bahwa orang-orang Mataram harus dihancurkan. Itu saja.
Namun dalam pada itu, orang-orang terpenting dari Pajang dan para pengikut kakang panji yang lain telah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi.
Karena itu, sebelum waktu yang wajar untuk bersiap, pasukan yang kuat telah bersiap. Para pemimpin kelompok dan orang-orangnya sama sekali tidak mengerti, apa yang akan terjadi. Namun mereka telah mendapat makan pagi mereka lebih pagi dan kemudian mendapat perintah untuk berangkat kemedan tanpa menunggu isyarat sebagaimana biasa.
Tidak banyak orang yang mengerti. Tetapi mereka berangkat pula dengan hati yang bertanya-tanya. Namun kemudian para pemimpin kelompokpun mendengar juga alasan yang disampaikan kepada mereka, "Untuk mencegah perbuatan licik orang-orang Mataram yang selalu mempengaruhi pertempuran dengan suara bende Kiai Bancak. Karena itu maka tugas mereka yang pertama, sepasukan kecil yang khusus akan menyerang langsung dan merebut Kiai Bancak, sementara yang lain harus dengan cepat, memasuki setiap pasanggrahan dan membinasakan semua isinya. Siap atau tidak siap."
Dalam pada itu, ketegangan telah memuncak. Orang-orang Pajang memperhitungkan bahwa Mataram benar-benar belum siap untuk melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba. Karena itu, sesuai dengan perintah yang mereka terima, maka mereka harus bergerak cepat. Mereka harus dengan segera melintasi Kali Opak dan mendaki tebing. Selanjutnya, berlari cepat menuju kepesanggrahan orang-orang Mataram, langsung memasuki setiap rumah dan membunuh orang-orang yang ada didalamnya. Namun mereka tidak boleh lepas dari keterikatan. Jika terdengar isyarat-isyarat tertentu, maka mereka harus berusaha menempatkan diri dalam satu kesatuan gelar. Namun menurut perhitungan, maka lawan mereka sudah tidak akan mampu lagi untuk mencegah pasukan Pajang itu menghancurkan mereka.
"Kali ini tidak boleh gagal," geram kakang Panji yang ada diantara pasukan itu, "bantai setiap orang yang kalian temukan didalam pesanggrahan diregol atau dimana saja."
Pasukan yang menyerang itu memang menganggap bahwa perlawanan orang-orang Mataram tidak akan berarti apa-apa, karena mereka tidak siap.
Sebenarnyalah, ketika pasukan Pajang itu mendekati pasanggrahan orang-orang Mataram, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa orang-orang Mataram telah mempersiapkan diri untuk melawan mereka. Pasanggrahan mereka nampak sepi. Tidak ada isyarat bunyi dan tidak ada pasukan yang datang menyongsong.
Dalam pada itu, gerakan pasukan Pajang dibawah pengaruh kakang Panji itu telah didengar pula oleh Kangjeng Sultan. Ternyata bahwa seorang pengawalnya yang mengamati keadaan melihat keberangkatan orang-orang Pajang terutama dari kedua belah sayap pasukannya.
Kangjeng Sultan yang menjadi semakin lemah itu telah memanggil Pangeran Benawa. Dengan tanpa didengar orang lain, Kangjeng Sultan telah berbincang dengan Pangeran Benawa tentang berita yang didengarnya.
"Sebenarnyalah yang ayahanda dengar itu telah terjadi," jawab Pangeran Benawa.
"Jika demikian," nafas Kangjeng Sultan terasa sesak, "pasukan Mataram akan dihancurkan pagi ini."
Pangeran Benawa merenung sejenak. Namun katanya kemudian, "Mudah-mudahan kakangmas Sutawijaya dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan pasukannya."
"Apakah kakangmasmu mengetahui?" bertanya Kangjeng Sultan.
"Hamba telah berusaha menghubunginya," Jawab Pangeran Benawa.
"Kau menyeberang?" bertanya Kangjeng Sultan pula.
"Tidak ayahanda," jawab Pangeran Benawa.
"Orang lain?" desak ayahandanya.
"Juga tidak," jawab Pangeran Benawa pula.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun tidak bertanya lagi. Namun ia bergumam, "Mudah-mudahan Mataram akan dapat menolong dirinya sendiri, bangkit dan menjadi tumpuan harapan bagi masa datang."
Pada saat yang demikian, ketika Pangeran Benawa sedang menghadap ayahandanya Kangjeng Sultan Hadiwijaya, maka pasukan Pajang dibawah pengaruh kakang Panji itu benar-benar telah mencapai pasanggrahan tanpa mendapat perlawanan. Dengan serta merta merekapun telah memasuki setiap regol rumah yang dipergunakan sebagai pasanggrahan oleh orang-orang Mataram.
Dengan pedang terhunus, tombak merunduk dan senjata-senjata lain yang siap terayun memenggal leher orang-orang Mataram yang masih tertidur dipembaringan, maka mereka telah memecahkan pintu dan menghambur keruang dalam.
Namun tidak seorangpun diantara mereka yang memperhatikan, bahwa diregol-regol padukuhan yang dipergunakan sebagai pasanggrahan pasukan Mataram itu. tidak ada seorangpun pengawal yang berjaga-jaga.
Demikian pula, ketika pasukan Pajang itu memasuki setiap pintu dan menghambur kedalam, maka merekapun telah terkejut melihat satu kenyataan bahwa tidak ada seorangpun yang mereka jumpai.
Yang terdengar kemudian adalah umpatan-umpatan kasar. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mereka telah memecahkan semua pintu. Mencari seseorang disegala sudut, bahkan sampai kekolong amben di sentong-sentong.
"Gila," geram seseorang, "apakah orang-orang Mataram terdiri dari hantu-hantu?"
Ternyata pertanyaan itu telah berkembang dihati orang-orang Pajang. Seseorang yang semula sama sekali tidak berpikir tentang hantu, tiba-tiba saja bergumam bagi dirinya sendiri, "Ya. Ternyata pasukan Mataram terdiri dari hantu-hantu Alas Mentaok yang bergabung dengan hantu-hantu dari Lautan Kidul."
Sementara yang lainpun berkata kepada diri sendiri, "Apakah orang-orang Mataram dapat merubah dirinya menjadi asap, atau terhisap ke dalam tanah, atau mereka mempunyai kemampuan melenyapkan diri dengan ilmu Panglimunan, atau mereka keluarga lelembut dari Alas Mentaok."
Para prajurit dan orang-orang Pajang menjadi sangat tegang. Berbagai dugaan telah berputar-putar dibenak mereka, sehingga seorang yang bagaikan kehilangan akal telah duduk bersandar tiang sambil memukul-mukul kepalanya, "Apakah aku sudah gila?"
Seorang yang agak tenang telah melihat sebuah mangkuk diatas geledeg. Namun jantungnyapun berdebaran ketika ia diluar sadarnya telah meraba mangkuk itu. Terpekik ia berkata, "Mangkuk ini masih hangat."
"Gila," teriak seorang Senapati muda, "kau lihat beberapa potong pondoh beras itu" Masih ada beberapa potong yang belum sempat termakan."
Kegelisahan benar-benar telah mencengkam hati orang-orang Pajang itu. Mereka membuat penafsiran sendiri-sendiri tentang kenyataan yang mereka hadapi. Semua rumah yang dipergunakan oleh orang-orang Mataram telah kosong.
Beberapa orang Senapati Pajang dengan tergesa-gesa telah berusaha untuk bertemu dan membicarakan persoalan yang mereka hadapi. Kakang Panji dengan marah telah menghentak-hentak sambil menghancurkan perabot rumah yang dimasukinya.
"Orang-orang Mataram lenyap seperti asap," geram kakang Panji, "tetapi itu terjadi baru beberapa saat sebelum kita sampai disini. Mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini."
"Tetapi tidak seorangpun yang tertinggal," berkata seorang Senapati, "mereka yang sakit dan bahkan yang hampir mati sekalipun."
Kakang Panji yang marah itupun kemudian berteriak memberikan aba-aba agar para pemimpin segera berkumpul. Hanya orang-orang tertentu. Namun mereka memegang perintah atas pasukan dikedua sayap pasukan Pajang.
"Menurut pengamatan, orang-orang Mataram telah sempat meninggalkan pasanggrahan ini," berkata kakang Panji, "kita jangan kehilangan kesempatan. Meskipun kita tidak dapat menghancurkan mereka selagi mereka masih dipembaringan, namun kita akan mengejar mereka, dan menghancurkan mereka, saat-saat mereka melarikan diri," berkata kakang Panji.
Para pemimpin yang lainpun sependapat, bahwa orang-orang Mataram sempat melarikan diri hanya pada saat-saat terakhir. Betapapun mereka mengumpat-umpat, namun orang-orang Pajang itu harus mengakui kecepatan gerak orang-orang Mataram. Meskipun di dapur masih banyak terdapat makanan dan minuman panas yang belum sempat termakan, namun orang-orang Mataram itu sempat membebaskan diri dari pembantaian di pembaringan mereka.
Kakang Panjipun dengan cepat telah mengatur pasukan yang telah kehilangan sasaran itu. Kemarahan yang menghentak-hentak didadanya dan di dada para Senapati itu agaknya telah membuat mereka kurang cermat menilai keadaan. Mereka menganggap bahwa orang-orang Mataram telah berlari bercerai berai sehingga seandainya mereka berusaha menghimpun diri, maka kedudukan mereka tidak akan lagi sekuat saat-saat mereka siap di tebing Kali Opak.
Karena itu, maka perintah yang kemudian dijatuhkan oleh kakang Panji kepada orang-orang tertentu itu adalah, kejar orang-orang Mataram dalam gelar yang utuh.
Demikianlah, maka orang-orang Pajang itupun telah berhimpun dalam gelar. Mereka telah mempersiapkan diri untuk bertempur dan menghancurkan pasukan Mataram yang sedang berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan pasanggrahan mereka.
Demikianlah, pasukan itupun dengan segera bergerak. Mereka tidak mau terlambat. Selagi matahari masih belum terbit, maka mereka akan dapat mempergunakan hari itu sebaik-baiknya dan tidak memberi kesempatan orang-orang Mataram menghimpun diri.
Perintah itu diterima dengan hati yang bergejolak. Para Senapati dan pemimpin-pemimpin kelompok dari pasukan Pajang telah mendapat perintah. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak tahu dengan pasti, siapakah sebenarnya yang memegang perintah itu, karena Kangjeng Sultan tentu tidak ada didalam pasukan itu. Bahkan mereka juga tidak melihat Pangeran Benawa bersama mereka.
Namun karena Senapati langsung diatas mereka telah menjatuhkan perintah, maka mereka tidak sempat dan segan untuk memikirkannya lebih lama lagi. Yang mereka hadapi kemudian adalah satu tugas untuk mengejar dan menghancurkan pasukan Mataram.
Namun demikian, ternyata ada juga bekas keraguan dihati beberapa golongan dari pasukan Pajang itu. Sadar atau tidak sadar, mereka masih juga berbicara tentang lelembut dan hantu dari Alas Mentaok.
Tetapi bagaimanapun juga, pasukan Pajang itu telah maju terus. Dengan cepat mereka berusaha untuk mengejar pasukan Mataram yang menurut perhitungan beberapa orang pemimpin Pajang, telah menarik diri dengan tergesa-gesa.
Dalam gelar yang lengkap, pasukan Pajang itu maju terus. Mereka tidak menghiraukan sawah dan pategalan. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi yang tumbuh dengan suburnya. Mereka juga tidak menghiraukan lumpur dan parit yang melintas gelar mereka. Pagar dan lanjaran tanaman merambat telah mereka terjang dan mereka robohkan.
Menjelang beberapa padukuhan dihadapan mereka, maka para pemimpin Pajang telah memperingatkan, mungkin ada sisa-sisa orang-orang Mataram di padukuhan itu, karena orang-orang yang sakit dan terluka tentu tidak akan dapat mereka bawa sampai jarak yang lebih jauh dengan cepat sebagaimana mereka melarikan diri.
Dalam pada itu, maka langitpun menjadi semakin terang. Pedut pagi yang keputihan telah mulai menipis. Sawah dan ladang nampak semakin jelas dan padukuhan-padukuhan dihadapan mereka, diseberang bulakpun nampak semakin terang menunggu dihadapan mereka.
Tetapi rasa-rasanya padukuhan-padukuhan itu masih tidur. Mungkin padukuhan-padukuhan di deret pertama dari sebuah medan yang besar itu memang tidak dihuni orang lagi. Mereka telah mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang lebih jauh.
Meskipun demikian, orang-orang Pajang itu tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, maka setiap Senapatipun kemudian telah menjatuhkan aba-aba, agar setiap orang didalam gelar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Atas perintah kakang Panji, maka gelar yang utuh itupun telah bergeser. Mereka menyesuaikan diri dengan beberapa pedukuhan yang ada dilintasan gelar mereka. Kelompok demi kelompok telah menempatkan diri dalam satu kesatuan memasuki padukuhan-padukuhan yang ada dihadapan mereka, sementara yang tidak melintasi padukuhan harus mengatur diri. sewaktu-waktu mereka akan dapat terhisap dalam pertempuran melawan orang-orang Mataram seandainya mereka berada didalam padukuhan-padukuhan itu.
Semakin dekat dengan beberapa padukuhan-padukuhan yang seakan-akan sengaja diatur menghadapi kedatangan pasukan Pajang itu maka pasukan itupun menjadi semakin bersiaga. Pertempuran itu dapat terjadi setiap saat. Orang-orang Mataram mungkin bersembunyi di balik dinding padukuhan-padukuhan itu.
Dengan demikian maka orang-orang Pajang itu telah mengurangi laju pasukan mereka. Kelompok-kelompok yang disiapkan untuk memasuki padukuhan-padukuhanpun telah mulai menuju kesasaran.
Dengan hati-hati pasukan itu bagaikan merunduk. Yang dipaling depan dari pasukan yang terbagi itu, terdiri dari mereka yang membawa perisai. Mereka memperhitungkan, bahwa jika benar orang-orang Mataram itu berada di balik dinding-dinding padukuhan, maka mereka tentu akan menyongsong pasukan Pajang itu dengan lontaran-lontaran anak panah, sebagaimana mereka lakukan di tebing Kali Opak.
Tetapi ternyata orang-orang Pajang itu telah menjadi kecewa lagi. Ternyata padukuhan-padukuhan itupun kosong sama sekali. Mereka tidak menjumpai seorangpun. Apakah orang itu termasuk dalam pasukan Mataram, atau penghuni padukuhan itu sendiri.
Kemarahan orang-orang Pajang itu tidak tertahankan lagi. Kakang Panji yang tidak dapat mengekang gejolak perasaannya, tiba-tiba saja bagaikan minyak yang tersentuh api ketika ia mendengar salah seorang kepercayaannya berkata, "Kita hancurkan padukuhan ini."
"Maksudmu?" bertanya kakang Panji.
"Kita bakar rumah-rumah yang kosong itu. Biarlah orang-orang Mataram melihat asap yang mengepul dari dalam padukuhan-padukuhan yang mereka tinggalkan," berkata kepercayaannya itu.
Wajah kakang Panji menegang. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, "Bakar seisi padukuhan ini. Orang-orang yang memasuki padukuhan yang lain tentu akan melakukannya juga."
Para pengikut kakang Panji itu bagaikan mendapatkan permainan. Sejenak kemudian, maka rumah yang pertama telah mengepul. Lidah api mulai menjilat dinding dan atap. Kemudian api yang menyala itupun bagaikan menggapai langit.
Api yang membakar rumah yang pertama itu disusul dengan kobaran api yang menyala membakar rumah yang kedua, ketiga dan rumah-rumah lain di padukuhan itu. Sementara para pengikut kakang Panji di padukuhan-padukuhan lain yang mereka temuhipun telah melakukan hal yang sama.
Namun dalam pada itu. Senapati yang memimpin pasukan khusus itupun menjadi tegang. Denggin lantang ia berkata, "Jangan lakukan kebiadaban itu. Penghuni padukuhan ini tidak tahu menahu tentang perang yang terjadi antara Pajang dan Mataram."
"Tetapi mereka telah melindungi orang-orang Mataram," jawab salah seorang pengikut kakang Panji.
"Tetapi mungkin justru orang-orang Mataram telah mengancam mereka ketika pasukan Mataram menduduki tempat ini," jawab Senapati itu.
Karena itu, maka para prajurit dari pasukan khusus tidak melakukan hal yang serupa. Meskipun ada diantara mereka yang tangannya menjadi gatal, tetapi mereka harus menahan diri.
Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah menjadi lautan api. Meskipun hari menjadi semakin terang, namun api itu masih nampak memerah diatas onggokan hijaunya pepohonan di padukuhan yang kemudian menjadi layu oleh panasnya api.
Padukuhan-padukuhan yang terbakar itu telah melontarkan asap menjulang menyentuh langit.
Asap itu benar-benar telah mengejutkan. Orang-orang yang menyaksikan asap itu tidak menduga sama sekali, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, maka mereka yang menelan beberapa pedukuhan itu benar-benar telah mengguncangkan hati beberapa pihak.
Ternyata api itu telah terlihat pula oleh orang-orang Pajang yang masih berada di pasanggrahan. Beberapa orang telah dengan cemas menyaksikan asap yang naik keudara. Sementara itu. Pangeran Benawa sendiri memperhatikan kebakaran itu dengan jantung yang bergejolak.
Ternyata kebakaran itu telah sampai pula kepada Kangjeng Sultan yang dengan tergesa-gesa memanggil Pangeran Benawa.
"Apa yang terjadi?" bertanya Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa tidak dapat lagi mengingkari penglihatannya yang agaknya telah dilaporkannya pula kepada Kangjeng Sultan.
Kemarahan bagaikan meledakkan dada Kangjeng Sultan yang sedang dalam keadaan sakit itu. Kejutan yang sangat bagaikan telah mencekiknya. Nafasnya menjadi sesak, dan pandangannya berkunang-kunang.
"Ini perbuatan gila yang tidak dapat di maafkan," geram Kangjeng Sultan diantara desah nafasnya yang sesak.
Orang-orang yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Tabib yang merawatnya menjadi sibuk. Apalagi ketika tiba-tiba saja Kangjeng Sultan itu menjadi pingsan oleh gejolak yang tidak terkendali.
Namun sesaat kemudian Kangjeng Sultan itupun telah sadarkan diri. Dengan suara lirih Kangjeng Sultan berkata, "benawa aku kembali ke Pajang. Aku tidak akan menunggui perbuatan-perbuatan gila yang tidak lagi mengenal perikemanusiaan. Betapa garangnya perang, namun masih juga ada batas-batas yang tetap harus di junjung tinggi."
Pangeran Benawa menjadi gelisah. Jika ia harus meninggalkan medan sebelum mengetahui apa yang terjadi atas orang-orang Mataram, rasa-rasanya masih ada sesuatu yang terasa membebaninya.
Namun perintah Kangjeng Sultan itu tidak dapat ditunda. Para Adipati dan Senapatinya segera menjadi sibuk. Mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan selain mentaati perintah Kangjeng Sultan. Sebagian besar dari merekapun telah menjadi kecewa terhadap sikap beberapa pihak yang ada di medan. Mereka menyadari bahwa ada kekuatan lain yang mengambil keuntungan dari pertentangan antara Mataram dan Pajang, sehingga karena itu, maka merekapun mulai mengerti sikap Kangjeng Sultan yang selama itu mereka anggap terlalu lamban.
Dengan demikian maka para Adipati dan Senapatipun telah sepakat untuk meninggalkan Prambanan. Namun dalam pada itu. Pangeran Benawa ternyata telah memberanikan diri untuk minta ijin kepada ayahandanya, "Hamba akan tinggal ayahanda, untuk beberapa saat, sampai hamba mendapat laporan, apakah yang terjadi dengan orang-orang Mataram."
Kangjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah kau sudah memperhitungkan segala kemungkinan?"
"Ya ayahanda," jawab Pangeran Benawa, "hamba juga sudah memperhitungkan kemungkinan seandainya pasukan Pajang itu kembali lagi ke pasanggrahan ini?"
Kangjeng Sultan tidak segera menjawab. Dengan wajah yang pucat dan jantung yang berdegupan oleh gejolak perasaannya, serta nafas yang menyesak, Kangjeng Sultan mencoba menilai keadaan. Sementara itu, maka iapun kemudian bertanya, "Apakah kau memerlukan sepasukan pengawal untuk tinggal bersamamu?"
"Tidak ayahanda," jawab Pangeran Benawa, "hamba akan tinggal' sendiri. Dengan demikian, maka hamba akan lebih mudah untuk berusaha menghubungi kakangmas Raden Sutawijaya tanpa dicurigainya, karena hamba hanya seorang diri."
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi jika keperluanmu telah selesai, kau harus segera menyusul kami kembali ke Pajang. Pekerjaan kami masih banyak, apalagi rasa-rasanya keadaanku justru menjadi semakin memburuk."
"Para tabib akan selalu berusaha," desis Pangeran Benawa.
Tetapi Kangjeng Sultan itu tersenyum sambil berkata, "para tabib tidak akan mampu melawan kehendak-Nya."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia melihat bahwa ayahandanya justru telah pasrah. Kangjeng Sultan sama sekali tidak merasa gelisah seandainya saat itu memang hendak menjemputnya. Namun demikian ternyata ia masih juga berpesan, "Beri aku laporan, apa yang terjadi dengan orang-orang Mataram itu."
"Harnba ayahanda," jawab Pangeran Benawa.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itupun segera bersiap-siap. Dengan sebuah tandu, Kangjeng Sultan telah diusung kembali ke Pajang. Sementara itu keadaannya menjadi semakin lemah. Nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.
Dalam pada itu ceritera tentang lelembutpun menjadi semakin keras menyentuh telinga orang-orang Pajang. Pada saat Kangjeng Sultan terkejut mendengar laporan tentang api yang memusnahkan beberapa padukuhan sehingga pingsan karena kelemahan tubuhnya, ada juga orang yang berbisik, "Raden Sutawijaya telah sampai hati menyerang ayahandanya dengan tangan para lelembut. Nampaknya para lelembut langsung melakukan pembalasan terhadap Kangjeng Sultan, sehingga menjadi pingsan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berdesis, "Ya. Tanpa kekuatan halus, tidak seorangpun yang akan dapat melawan Kangjeng Sultan. Apalagi membuatnya pingsan tanpa menyentuhnya dengan wadagnya sendiri."
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka iring-iringan pasukan Pajang yang ada di induk pasukan itu telah meninggalkan Prambanan. Sedangkan Pangeran Benawa atas ijin Kangjeng Sultan tetap tinggal untuk mencari keterangan tentang orang-orang Mataram.
Pada saat iring-iringan pasukan Pajang diinduk pasukan itu bergerak kembali ke Pajang, kakang Panji dan para pengikutnya telah menghancurkan padukuhan-padukuhan yang mereka lewati dalam usaha mereka mencari sisa-sisa pasukan Mataram yang mereka anggap melarikan diri.
Kemarahan yang menghentak-hentak jantung mereka, terlontar dalam ujud yang sangat tercela. Padukuhan yang tidak bersalah, telah menjadi neraka yang panasnya menggapai langit.
Api yang menelan beberapa padukuhan itu ternyata sempat dilihat pula oleh Raden Sutawijaya. Dengan wajah yang tegang Raden Sutawijaya itu tidak begitu percaya kepada penglihatannya. Tetapi yang dihadapinya adalah satu kenyataan. Orang-orang Pajang yang berusaha memburunya telah menjadi gila dan membakar beberapa Padukuhan.
Karena itu, maka kemarahan telah meledak didadanya. Sebenarnyalah bahwa pasukan Mataram sama sekali tidak pecah dan lari bercerai berai. Dengan ketangkasan prajurit, maka pasukan Mataram memang menarik diri. Mereka tidak sempat menyusun perlawanan menghadap orang-orang Pajang yang dengan licik merunduk mereka.
Sejenak Raden Sutawijaya mengenang apa yang telah terjadi. Pada saat yang tepat. Pangeran Benawa, selain keduanya telah dipersaudarakan, karena Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya, keduanya adalah saudara seperguruan, serta keduanya adalah murid Kangjeng Sultan itu sendiri selain keduanya telah berhasil mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang aneh, ternyata telah berbuat sesuatu yang telah menyelamatkan pasukan Mataram.
Dengan semacam aji Pameling, maka Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya dalam jarak yang cukup jauh. Seorang diseberang Timur Kali Opak yang lain diseberang Barat Kali Opak. Dengan aji Pameling itu. Pangeran Benawa telah memberitahukan bahwa telah terjadi kecurangan sehingga dengan licik sebagian dari pasukan Pajang yang kuat akan menyerang pasukan Mataram.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa, namun dengan ketrampilan tinggi, pasukan Mataram memperhitungkan untuk lebih baik menghindar sambil mempersiapkan diri. Namun orang orang Mataram tidak menarik diri surut. Tetapi mereka telah menebar sebelah menyebelah, kecuali induk pasukan.
Dengan demikian, ketika Raden Sutawijaya melihat akibat kebengisan para pengikut orang yang telah membayangi kuasa Kangjeng Sultan itu, maka ia tidak dapat mengekang diri lagi.
Sejenak kemudian, maka beberapa batang anak panah sendaren telah meraung di udara. Anak panah yang memberikan isyarat kepada pasukan Mataram untuk segera bertindak. Sementara itu beberapa ekor kuda telah melintas melintang, dari Selatan ke Utara. Demikian kuda itu sampai dibekas pesanggrahan orang-orang Mataram, maka penunggangnya telah melontar panah sendaren pula kearah utara.
Demikianlah pasukan Mataram yang bagaikan menyibak saat pasukan Pajang lewat, telah mendapat perintah untuk bertindak.
Dalam pada itu, ternyata pasukan Mataram yang tidak menyongsong pasukan Pajang disaat mereka menyerang, telah berhasil menyusun diri sebaik-baiknya. Sambil bergeser dari pesanggrahan, pasukan Mataram telah menyusun diri. Mereka yang terluka dan cacat telah disingkirkan sejauh-jauhnya. Sementara yang lain dengan cepat telah menempatkan diri kedalam kelompok masing-masing yang siap untuk melakukan perintah.
Ketika panah sendaren terdengar meraung di udara, maka para pemimpin dan Senapatipun telah memberikan aba-aba. Para pemimpin kelompokpun telah melanjutkan aba-aba itu kepada pasukan masing-masing.
Dengan demikian pasukan Mataram itu tidak menunggu lagi. Pasukan yang menyibak itu telah bergerak bagaikan pintu gerbang raksasa yang terbuka, perlahan-lahan telah menutup kembali.
Anak panah sendaren yang meraung diudara itu ternyata telah didengar pula oleh orang-orang Pajang meskipun lamat-lamat. Telinga merekapun segera dapat menterjemahkan arti raungan anak panah sendaren itu. Merekapun segera menebak, bahwa sesuatu akan terjadi. Pasukan Mataram yang mereka kira lenyap bagaikan terhisap bumi itu tentu akan mulai bergerak.
Karena itu, maka para Senapati dari Pasukan Pajangpun segera memberikan aba-aba kepada pasukannya. Mereka yang masih sibuk dengan permainan api mereka, berlari-lari kembali kedalam kelompok masing-masing.
"Sisa pasukan Mataram itu nampaknya akan membunuh diri," berkata kakang Panji.
"Ya," sahut kepercayaannya, "ternyata api itu telah memancing mereka. Jika semula mereka merasa lebih baik tetap bersembunyi, ternyata mereka masih saja merasa diri mereka pahlawan yang wajib melindungi rakyatnya."
Kakang Panji tertawa. Katanya, "Biarlah mereka melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi atas mereka. Pasukan yang bercerai berai itu tentu tidak akan mampu mengumpulkan separo dari kekuatannya. Sayang, mereka merasa diri mereka kesatria Mataram yang perkasa, sehingga mereka terpaksa keluar dari persembunyian mereka. Namun kali ini tentu sekedar untuk membunuh diri."
Namun dalam pada itu, pasukan Mataram yang telah bertaut itu dengan gemuruh telah bergerak kearah orang-orang Pajang yang berada justru dibelakang garis perang. Pasukan Mataram yang bertaut itu justru telah menghadap ke arah Barat, kearah padukuhan-padukuhan yang menjadi lautan api."
Sementara itu, matahari telah mulai memanjat langit. Merahnya api menjadi suram oleh cahaya matahari yang cerah. Namun asap yang hitam kelabu mengepul semakin tinggi di udara.
Pasukan Mataram yang bergerak itu ternyata tidak sempat membawa tanda-tanda kebesaran pasukan masing-masing. Mereka tidak membawa panji-panji, umbul-umbul dan rontek serta kelebet. Yang ada di tangan mereka tidak lebih dari senjata masing-masing.
Karena itu, maka pasukan Mataram itu tidak segera terlihat oleh orang-orang Pajang yang tidak tahu pasti arah kedatangan orang-orang Mataram yang mendapat isyarat dengan anak panah sendaren yang dilontarkan ke udara. Karena itu, maka para Senapati Pajangpun segera memerintahkan para pengamat untuk mengawasi arah. Pasukan Mataram yang mundur itu akan dapat datang dari segala arah.
Kakang Panji mengerutkan keningnya, ketika justru para pengawas yang mengawasi arah Kali Opaklah yang melihat kehadiran sebuah pasukan. Pasukan tanpa perlanda apapun juga, sehingga pasukan Mataram itu tidak nampak sebagai satu pasukan yang cukup besar untuk menghadapi pasukan Pajang.
Sebenarnyalah pasukan Mataram memang tidak ingin memperlihatkan kebesaran mereka. Tidak ingin diketahui bahwa pasukan Mataram itu masih tetap utuh dan dengan tanpa cacat sama sekali, hadir di medan sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Dengan demikian, maka kakang Panji yang kemudian memperhatikan kehadiran pasukan itupun menganggap bahwa pasukan Mataram memang sudah terpecah, sehingga dengan susah payah, para Senapatinya mampu menghimpun sisa-sisa pasukan mereka. Dengan sombong sisa-sisa pasukan yang merasa dirinya kesatria itu telah maju kemedan untuk membela rakyat yang rumahnya menjadi karang abang.
"Untunglah, bahwa kita telah memancing mereka keluar dari persembunyian mereka dengan cara yang paling baik," berkata kakang Panji.
"Tidak dengan sengaja," jawab kepercayaannya, "yang kita lakukan tidak lebih dari luapan kemarahan. Namun akhirnya kita berhasil menjawab teka-teki tentang lenyapnya pasukan Mataram. Ternyata mereka memang berlari cerai-berai meninggalkan pasanggrahan mereka."
"Tetapi kita wajib mengagumi kecepatan gerak mereka," berkata kakang Panji, "demikian pengawas mereka melihat kedatangan kita, maka dalam waktu yang sekejap, mereka telah lenyap tanpa meninggalkan seorangpun diantara mereka yang sakit dan terluka."
"Permainan kanak-kanak," jawab kepercayaannya, "setiap orang dapat lari dengan cepat meninggalkan tempat. Siapapun dapat."
"Tidak," jawab kakang Panji, "jika bukan prajurit pilihan tentu banyak diantara mereka yang terluka parah akan tertinggal."
Kepercayaannya tidak menjawab. Sementara itu, mereka melihat pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat. Ujung-ujung senjata nampak mencuat diantara tanaman yang hijau disawah dan pategalan.
Namun pasukan Mataram bergerak dalam lapisan yang tebal, sehingga tebaran pasukan itu nampaknya tidak terlalu lebar. Dengan demikian, orang-orang Mataram memang dengan sengaja ingin memberikan kesan, behwa pasukan mereka tidak sebesar pasukan Mataram seutuhnya.
Dalam pada itu, kakang Panjipun tersenyum sambil berkata, "Kita sambut kedatangan mereka. Dengan demikian kita akan berbalik. Berikan perintah. Kita akan keluar dari neraka ini, dan bertempur ditempat terbuka."
Seperti yang dikehendaki oleh kakang Panji, maka perintah telah menjalar dari kelompok ke kelompok. Para Senapati didalam pasukan Pajang itupun lelah mendengar perintah, bahwa mereka akan menyongsong pasukan Mataram yang datang justru dari arah Timur itu.
Dalam pada itu Matahari telah menjadi semakin tinggi. Orang-orang Pajanglah yang kemudian menjadi silau karena mereka harus menghadap ke arah Timur. Meskipun hal itu tidak diperhitungkan sejak semula oleh orang-orang Mataram, namun ternyata bahwa silaunya cahaya matahari itu dapat membantu menyelubungi ujud keseluruhan pasukan Mataram, sehingga sampai saat terakhir, orang-orang Pajang tetap menganggap bahwa pasukan Mataram bukan pasukan yang utuh sebagaimana mereka hadapi di tebing Kali Opak.
Dengan dada tengadah pasukan Pajang itupun kemudian meninggalkan padukuhan-padukuhan yang telah mereka jadikan karang abang. Padukuhan yang telah menjadi abu dan berserakkan dihembus angin pagi.
Dalam pada itu, kedua pasukanpun menjadi semakin dekat. Pasukan Mataram yang datang dari arah Timur, sempat melihat dengan jelas lawan yang menyongsong mereka, sementara pasukan Pajang masih saja di bayangi oleh cahaya yang menyilaukan, yang memantul pada sisa embun di pagi hari yang menyangkut didedaunan.
Namun yang kemudian mengejutkan dan membuat orang-orang Pajang bagaikan tertusuk duri pada pusat jantungnya ketika tiba-tiba saja, diantara derap suara pasukan yang menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah terdengar suara mengaum bende Kiai Bancak.
"Gila," teriak kakang Panji, "suara itu sangat menjemukan. Susun satu pasukan pilihan. Cari tempat bende itu disembunyikan. Hancurkan sama sekali bende itu, sehingga tidak lagi sempat menyakiti telinga."
Sebenarnyalah, seorang Senapati terpilih telah menyusun satu pasukan kecil yang terdiri dari prajurit-prajurit terpilih yang terpercaya yang bertugas untuk mencari bende Kiai Bancak yang bunyinya terasa sangat mengganggu itu.
Kakang Panji sadar sepenuhnya bahwa bagaimanapun juga suara bende itu memang sangat berpengaruh. Semacam kepercayaan telah mencengkam hati para prajurit, bahwa pihak yang memiliki bende itu, dan jika bende itu dapat ditabuh dan melontarkan bunyi yang nyaring, maka pihak itu akan menang.
Karena itu, kakang Panji telah bertekad untuk membungkam bende itu sebagaimana direncanakan sejak semula saat mereka ingin menghancurkan pasukan Mataram dikubunya. Namun yang ternyata pasukan Mataram itu sempat meloloskan diri, tanpa setahu kakang Panji bahwa Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dengan ilmu yang jarang dimiliki oleh orang lain. Aji Pameling.
Namun dalam pada itu, sadar akan nilai bende yang memberikan pengaruh yang kuat bagi para prajurit Mataram untuk bertempur dan bertekad untuk menang itu. Raden Sutawijayapun telah memerintahkan sekelompok prajurit pilihan untuk mengawalnya.
Demikianlah, sejenak kemudian kedua pasukan yang besar itu telah saling berhadapan. Keduanya dalam keadaan yang sama. Keduanya bergerak maju untuk menyongsong lawan.
Sikap prajurit Mataram agak berbeda dengan sikap mereka, saat-saat mereka menunggu di tebing Kali Opak. Saat pasukan Pajang menyeberang dan menyerang mereka dalam kedudukan yang mantap.
Ketika jarak menjadi semakin dekat, maka terdengar sangkakala yang tiba-tiba saja meraung memecah ketegangan. Orang-orang Mataram sempat membuat orang-orang Pajang terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa perintah untuk menyerang masih juga dilontarkan lewat bunyi sangkakala.
Namun seakan-akan suara sangkakala itu berlaku bagi kedua pasukan yang telah berhadapan itu. Bukan saja pasukan Mataram yang kemudian dengan senjata merunduk menyergap lawan. Tetapi pasukan Pajangpun telah dengan sigap menyerang pula. Bahkan mereka yang tidak terikat dalam kesatuan pasukan prajurit Pajang, telah menyerang menurut selera mereka masing-masing, seolah-olah tanpa ada keterikatan, meskipun mereka tetap berada dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan, dibawah pimpinan mereka masing-masing. Diantara mereka terdapat para pemimpin padepokan yang telah dihubungi oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan kakang Panji.
Buku 169 SEJENAK kemudian, maka kedua pasukan itupun telah berbenturan. Senjata-senjata yang merundukpun mulai berdentangan. Kedua belah pihak telah menempatkan orang-orang terbaik digaris pertama dari kedua pasukan itu.
Namun ternyata bahwa sejak benturan pertama, orang-orang Pajang mulai menyadari, bahwa pasukan Mataram bukannya pasukan yang dengan tergesa-gesa disusun setelah pecah bercerai berai. Namun pasukan Mataram yang mereka hadapi, masih juga pasukan yang mereka hadapi di tebing Kali Opak. Masih tersusun dalam gelar yang utuh. Masih pula kekuatan yang terdapat pada sayap kiri dan kanan dari pasukan Mataram.
Pertempuran yang dahsyat segera mulai membakar bulak-bulak persawahan dan pategalan. Orang-orang Pajang yang semula berkerut karena mereka menganggap bahwa pasukan Mataram tidak lagi sebanyak pasukan di Kali Opak, terpaksa berusaha untuk menebar lagi, sebagaimana dilakukan oleh pasukan Mataram. Setelah benturan terjadi, maka ternyata pasukan Mataram yang berlapis itu berusaha untuk melebar dan menguasai sisi dari medan sebelah menyebelah.
Namun sementara itu, sepasukan khusus yang kuat meskipun hanya sekelompok kecil dari kekuatan orang Pajang telah melingkari ujung ujung pertempuran. Mereka ingin menyelinap kebelakang garis pertempuran dari orang-orang Mataram untuk menemukan letak bende Kiai Becak. Mereka harus menghancurkan bende itu meskipun mereka harus bertaruh nyawa. Jika mereka berhasil, maka suara yang menjemukan itu tidak akan mempengaruhi medan lagi, sehingga orang-orang Mataram tentu akan berasa kecut. Perasaan yang demikian akan sangat berpengaruh bagi seorang prajurit di medan perang.
Pasukan khusus terpilih itu, meskipun harus menempuh jarak yang terasa panjang, namun berhasil menyusup melingkari pasukan Mataram. Suara bende itu sendiri telah menuntun mereka untuk menemukan tempatnya. Meskipun suara angin kadang-kadang membuat suara bende itu seolah-olah berubah tempatnya. Namun akhirnya pemimpin pasukan khusus itu akhirnya menunjuk dengan pasti, "Bende itu berada di bawah pohon Mahoni yang besar itu."
Para prajurit dari pasukan khusus terpilih itupun segera mempersiapkan diri. Senjata mereka telah terhunus dan bergetar didalam genggaman.
Perlahan-lahan kelompok kecil itu maju. Mereka berusaha untuk dapat menyergap dengan tiba-tiba, sehingga mempersempit kesempatan para pengawal bende itu untuk mempersiapkan diri, menghadapi mereka.
"Tetapi kitapun harus menyadari, bahwa bende yang dikeramatkan itu tentu mendapat pengawal yang baik," berkata Senapati yang memimpin sekelompok pasukan khusus terpilih itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun bagi mereka, tidak ada lagi yang dapat menggetarkan jantung mereka. Mereka sudah menyerahkan hidup mati mereka kepada tugas yang harus mereka lakukan. Dengan kesetiaan seorang prajurit dari pasukan khusus, maka mereka tidak akan mundur sebelum tugas mereka selesai. Atau, jika mereka gagal, maka hanya nama mereka sajalah yang akan kembali ke pasukan induk mereka.
Dengan wajah yang tegang, sekelompok prajurit dari pasukan khusus yang terpilih itu merayap semakin dekat. Mereka pun kemudian yakin, bahwa bende itu memang berada dibawah pohon Mahoni yang besar.
Semakin dekat, maka merekapun mulai melihat beberapa orang yang mengawal bende itu. Tidak terlalu banyak, sehingga Senapati itu berdesis, "Jumlah kita ternyata terlalu banyak untuk memusnakan orang-orang Mataram yang bodoh itu."
"Tetapi tempat ini tidak terpisah terlalu jauh dari medan. Mereka akan dapat mengharap bantuan dari para prajurit Mataram yang berada di medan. Dengan isyarat mereka dapat memanggil beberapa orang prajurit untuk membantu mereka," sahut seorang kawannya.
"Namun sementara itu, mereka sudah musna terbantai dibawah pohon Mahoni itu. Bende itupun telah kita hancurkan dan tidak mungkin dapat berbunyi lagi," jawab Senapatinya.
"Ternyata ceritera tentang bende itu benar-benar ngaya wara. Ada yang mengatakan, bahwa sumber suara itu dapat berubah-ubah tempat. Namun ternyata kita langsung dapat menemukannya, "desis seorang prajurit.
"Kebohongan besar yang mentertawakan," sahut Senapati yang memimpin pasukan itu, "memang pengaruh angin kadang-kadang dapat menyesatkan pendengaran kita. Tetapi telinga yang baik tidak akan dapat ditipu lagi." Senapati itu berhenti sejenak, lalu, "cepat. Kita sudah siap."
Pasukan kecil itu telah bersiap-siap. Sejenak kemudian, maka jatuhlah perintah. Merekapun segera berloncatan dan berlari menuju kesebatang Mahoni tua yang tumbuh di tengah-tengah bulak diantara semak-semak yang tumbuh disebuah bukit kecil.
Kedatangan prajurit khusus itu benar-benar mengejutkan. Sekelompok pengawal yang tidak siap, tiba-tiba saja telah berloncatan berlari meninggalkan sebuah bende yang tergantung pada sebuah goyor kecil yang sudah terlalu tua.
Sikap para pengawal bende itu justru sangat mengejutkan. Beberapa orang prajurit Pajang sudah siap mengejar mereka yang berlari kearah medan. Namun Senapatinya segera mencegahnya. Katanya, "Jangan terpancing masuk kedalam api. Kita selesaikan tugas pokok kita. Bende ini kita hancurkan."
Prajurit-prajurit Pajang itu mengurungkan niatnya mengejar beberapa orang pengawal yang berlari kearah medan. Nampaknya orang-orang Mataram itu ingin mencari perlindungan diantara para prajurit di medan
Karena itu, maka yang mereka lakukan kemudian adalah menghancurkan bentle itu. Bende tua yang tergantung pada sebuah gayor yang tua pula. Yang sebagian dari ukirannya sudah rusak dan sunggingnyapun telah hampir hilang.
Ketika beberapa orang diantara mereka ragu-ragu. pemimpin kelompok kecil itu berkata, "Bende ini sama sekali tidak bertuah. Jangan takut. Tidak akan ada akibat apapun juga."
Dengan pedang mereka telah menghancurkan gayor tempat bende itu tergantung. Kemudian dengan bindi dan batu-batu besar, mereka memecahkan bende kecil yang sudah tua itu, sehingga hancur sama sekali.
"Kita sudah melaksanakan tugas kita dengan baik," berkata Senapati itu, "bawa bende yang rusak itu sebagai bukti, bahwa kita sudah melakukannya."
"Lalu, apakah yang akan kita lakukan?" bertanya salah seorang diantara mereka.
"Kita kembali keinduk pasukan," jawab Senapati itu, "jangan sia-siakan waktu. Ternyata tugas kita jauh lebih mudah dari yang kita duga. Yang kita presiapkan ternyata tidak dapat kita pergunakan. Orang-orang Mataram terlalu licik dan pengecut. Aku kira, sebuah bende yang dikeramatkan itu, tentu dijaga oleh pasukan yang terpilih, sebagaimana kita terpilih untuk melakukan tugas ini."
Pasukan kecil itupun tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka sempat melihat dari kejauhan, bahwa pertempuran telah membakar bulak dan pategalan. Sorak sorai mulai menggetar dan menyentuh langit.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah pasukan kecil itupun segera melingkar, kembali ke induk pasukan. Sementara itu, suara bende yang menjemukan itupun telah tidak terdengar lagi. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu. Sorak suara prajurit dan kadang-kadang teriakan para Senapati yang memberikan aba-aba kepada pasukannya yang disambut dengan suara gemuruh dan gegap gempita.
Dalam pada itu, api yang memusnakan beberapa padukuhanpun menjadi semakin surut. Tetapi asapnya masih mengepul kehitam-hitaman. Pepohonanlah yang kemudian mulai terbakar diantara debu yang menghambur.
Tetapi api tidak dapat membakar pepohonan semudah membakar rumah yang berdinding bambu dan berangka kayu. Apalagi yang beratap ilalang atau ijuk. Karena itu, yang nampak kemudian dari kejauhan bukan lagi lidah api yang menjilat awan, tetapi asap kehitaman yang mengepul tinggi. Ketika angin kemudian bertiup, maka asap itupun terguncang dan pecah berserakan.
Dalam pada itu, sekelompok prajurit pilihan yang menghancurkan bende yang suaranya sangat mengganggu itu telah sampai keinduk pasukannya. Senapati yang memimpin sekelompok prajurit itupun segera menghadap salah seorang kepercayaan kakang Panji yang telah memberikan perintah kepadanya untuk menghancurkan bende itu.
"Bagus," gumam kepercayaan kakang Panji itu, "ternyata bende itu bukan bende yang bertuah. Dengan mudah kau menghancurkannya tanpa akibat apapun juga."
"Sejak semula aku sudah tidak percaya, bahwa bende itu memiliki kekuatan yang dapat berpengaruh atas seseorang," jawab Senapati itu seandainya ada juga orang yang dapat dipengaruhinya, orang itu tentu bukannya aku."
"Bagus," jawab kepercayaan kakang Panji, "aku tidak memerlukan bangkai bende itu. Aku akan melaporkan hasil tugasmu."
Kepercayaan kakang Panji itupun kemudian mencari kakang Panji di medan. Ternyata kakang Panji masih berada di lapisan belakang. Ia masih belum turun langsung ke tengah-tengah arena.
"Bende itu sudah dihancurkan. Bangkainya dibawa kembali oleh kelompok yang aku tugaskan menghancurkannya. Dan sekarang, suara bende itu sudah tidak terdengar lagi."
"Bagus. Aku sekarang dapat memusatkan perhatianku kepada orang-orang yang aku perlukan. Aku akan berhubungan dengan Ajar Jatisrana agar tugas-tugasku cepat selesai," berkata kakang Panji.
Dalam pada itu, kepercayaan kakang Panji itupun kemudian menarik diri. Ia memang menempatkan dirinya sebagai penghubung antara kakang Panji dengan orang-orang yang diperlukannya.
Namun dalam pada itu, selagi Senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan itu sedang menikmati kemenangannya sebelum mereka memasuki medan, ternyata mereka telah dikejutkan oleh bunyi yang tiba-tiba saja melengking memecah hiruk pikuk pertempuran. Bunyi bende yang meraung raung. Justru lebih keras dari suara bende yang telah dihancurkannya.
"Gila," geram Senapati itu, "permainan apa lagi yang dilakukan oleh orang-orang Mataram."
Suara bende itu benar-benar mengejutkan bukan saja kepercayaan kakang Panji dan seluruh prajurit dalam kelompok kecil yang telah menghancurkan bende itu. Tetapi juga kakang Panji. Bahkan dengan garang kakang Panji itu menggeram, "gila. Orang-orang itu mencoba mempermainkan aku."
Namun akhirnya kakang Panjipun menyadari, bahwa orang-orang Mataram bukan orang-orang dungu. Bahkan mereka justru telah mengelabui orang-orangnya.
"Ternyata yang dibunyikan itu bukan sebenarnya bende Kiai Becak, meskipun bende yang disebut Kiai Becak itu tentu juga berada dimedan," geram kakang Panji.
Karena itu, kakang Panji tidak menghiraukan lagi bunyi bende yang seakan-akan justru menjadi semakin keras dan seolah-olah nada yang terlontar mengandung ejekan atas kebodohan beberapa orang prajurit Pajang. Namun telinga kakang Panji rasa-rasanya telah menjadi kebal.
"Aku tidak peduli meskipun bunyi bende itu akan memecahkan langit sekalipun," geramnya.
Tetapi berbeda dengan kepercayaan kakang Panji itu. Ia telah menemui Senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan dan merasa telah berhasil memecahkan bende itu.
"Apa katamu sekarang?" bertanya kepercayaan kakang Panji.
"Orang-orang Mataram memang licik," jawab Senapati itu, "aku akan sekali lagi pergi ke belakang pasukan Mataram."
"Kau sangka bende yang dibunyikan itu bende Kiai Becak yang sebenarnya?" bertanya kepercayaan kakang Panji.
"Meskipun bukan, tetapi aku akan berusaha menangkap satu atau dua orang diantara mereka. Dari mulut mereka, aku ingin mendengar, dimana bende yang sebenarnya itu disimpan," jawab Senapati itu.
Kepercayaan kakang Panji itu mengangguk angguk. Katanya, "Lakukan. Tetapi jangan hancurkan bende itu. Bawa bende itu kemari. Utuh. Kitalah yang kemudian akan membunyikannya. Tetapi ingat, jangan tertipu lagi."
Senapati itu mengangguk. Namun iapun kemudian menggeram sambil berkata, "Aku akan menangkap orang-orang gila itu. Aku akan memeras darah mereka sampai kering jika mereka tidak mau menunjukkan letak bende yang sebenarnya."
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didada. Senapati itu telah memimpin kelompoknya kembali melingkari medan sebagaimana pernah dilakukan. Kemarahan mewarnai kelompok itu, sehingga setiap orang didalam kelompok itu menjadi semakin garang. Bahkan mereka seakan-akan menjadi buas dan tidak mempunyai niat lain. kecuali membantai korban mereka. Kecuali satu dua orang yang akan mereka paksa untuk mengatakan dimana letak bende yang mereka cari, meskipun akhirnya orang-orang itupun akan mereka bunuh juga.
Dalam pada itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Pajang itupun berlangsung semakin sengit. Orang-orang Pajang harus melihat kenyataan bahwa orang-orang yang mereka anggap memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan telah mendapat lawan mereka masing-masing. Tidak seorangpun diantara mereka yang dapat lolos dan sebagaimana mereka inginkan, membantai sebanyak-banyaknya. Karena di dalam pasukan Matarampun terdapat banyak orang yang memiliki kelebihan itu.
Dengan demikian maka pertempuran itupun merupakan pertempuran yang semakin sengit. Masing-masing sudah sampai kepuncak usaha untuk menghancurkan lawan. Orang-orang Pajang yang kehilangan sasaran di tebing Kali Opak itu, dengan darah yang mendidih didalam jantungnya, berusaha untuk menghancurkan orang-orang Mataram tanpa ampun. Namun orang-orang Mataram yang mengetahui kelicikan orang-orang Pajang, apalagi setelah mereka membakar pedukuhan-pedukuhan, maka merekapun menjadi sangat marah, sebagaimana para pemimpin dari Mataram.
Namun sementara itu, Raden Sutawijaya masih tetap berada di belakang medan. Dengan cermat ia mengamati pasukannya. Bukan saja dari satu sayap. Tetapi kedua sayap yang kemudian bertemu, karena induk pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Juru tidak berada di garis pertempuran itu. Mereka menarik diri surut ke Barat. Mereka harus menahan pasukan Pajang, apabila pasukan Pajang itu akan langsung menuju ke Mataram. Sementara pasukan Raden Sutawijaya akan mengikuti pasukan Pajang itu dari belakang. Tetapi Raden Sutawijaya ternyata tidak dapat menahan diri ketika ia melihat api yang membakar padukuhan-padukuhan kecil dilintasan pasukan Pajang.
Yang bertempur di medan semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil sehingga merekapun telah bersorak-sorak bagaikan membelah langit. Namun disamping kemenangan-kemenangan kecil merekapun mengalami kesulitan-kesulitan yang harus mereka atasi.
Orang-orang terpilih dari Pajang harus menghadapi kenyataan, hadirnya orang-orang Mataram seperti Ki Waskita, Kiai Gringsing dan seorang anak yang memiliki kecepatan gerak bagaikan sikatan menyambar bilalang. Glagah Putih yang bagaikan anak kijang lepas di padang rumput, telah mempergunakan kesempatan itu untuk benar-benar menilai dirinya. Sementara disayap lain, seorang Senapati muda yang bernama Sabungsari memiliki kemampuan melampaui Senapati-senapati lawannya. Bahkan putera Ki Gede Pasantenan mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Bahwa ia adalah putera Ki Gede yang memiliki sumber perguruan sama dengan Ki Gede Pemanahan.
Yang saat itu tidak nampak di medan justru Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Oleh Raden Sutawijaya keduanya mendapat tugas tersendiri yang tidak kalah gawatnya dengan mereka yang berada dimedan pertempuran. Sementara itu beberapa Senapati pilihan yang lain, mempunyai tugas khusus mengawal orang-orang yang terluka di padukuhan yang tidak terlalu jauh dari medan. Sementara itu, Ki Gede Menoreh dan Swandaru sudah menjadi semakin baik, sementara Agung Sedayu masih harus tetap berbaring dipembaringan, meskipun keadaannya sudah menjadi semakin baik pula.
Dalam pada itu, sekelompok pasukan khusus yang terpilih, benar-benar telah melingkari medan menuju kebelakang garis pertempuran pasukan Mataram. Mereka dengan marah berusaha untuk dapat menangkap satu atau dua orang yang menunggu bende yang sedang berbunyi itu. Karena merekapun yakin bahwa bende itu bukan bende Kiai Becak yang sebenarnya.
Sementara itu, di belakang garis pertempuran pasukan Mataram, Untara sedang sibuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah bersama beberapa orang pasukan khusus yang terpilih pula.
Dari orang-orang yang sengaja melarikan diri ketika pasukan khusus Pajang menyergap para pengawal bende yang mereka sangka Kiai Becak, Untara mendapat gambaran jumlah dan kekuatan pasukan itu. Karena itu, maka ia telah mengatur junnlah orang yang menurut perhitungannya akan dapat mengimbangi pasukan khusus dari Pajang itu. Sementara Untara telah menyediakan sebuah bende yang lain, yang sama sekali bukan Kiai Becak.
"Menurut perhitunganku, mereka akan kembali," berkata Untara, "karena itu, maka Senapati Ing Ngalaga telah memerintahkan untuk menjebak mereka."
"Apakah kami harus membinasakan mereka?" bertanya Sekar Mirah.
"Kalian harus mengalahkan mereka, tetapi tidak harus membunuhnya, "jawab Untara. Lalu dengan nada menurun ia meneruskan, "kecuali jika memang tidak ada jalan lain bagi keselamatan kalian sendiri."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Ia mengerti tugas yang harus dilaksanakannya. Sementara itu, seorang pengawal terpilih masih saja sibuk membunyikan bende yang agak lebih besar dari bende yang telah dirusakkan oleh orang-orang Pajang. Karena itu suaranya terdengar semakin keras dan nyaring.
Setelah memberikan beberapa perintah yang lain atas nama Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, maka Untarapun telah meninggalkan bende itu, yang dibunyikan dibawah sebatang pohon gayam yang tidak terlalu besar, tetapi disekitarnya tumbuh semak-semak yang agak rimbun. Dalam semak semak itulah beberapa orang telah mengamati keadaan. Setiap saat orang-orang Pajang akan datang merunduk mereka seperti yang telah terjadi.
Namun saat itu, mereka tidak mendapat perintah untuk melarikan diri sebagaimana beberapa orang pengawal yang terdahulu.
Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi telah bersiap pula sebelah menyebelah bende itu, sementara beberapa orang pengawal terpilih berada disekitarnya. Dengan jumlah yang telah diperhitungkan, maka mereka berharap bahwa mereka akan dapat mengalahkan orang-orang Pajang yang menurut Untara tentu akan datang lagi.
"Permainan yang mengasyikkan," desis Pandan Wangi didalam hatinya. Dalam keadaan yang gawat itu, Untara masih juga sempat bermain-main.
Dalam api pertempuran yang semakin menyala, maka sekelompok pasukan khusus Pajang menjadi semakin dekat dengan bunyi bende di bawah pohon gayam itu. Dengan hati-hati Senapati yang memimpin kelompok itu berkata, "jangan kehilangan buruan lagi. Kita harus berpencar. Sebagian dari kita akan memotong mereka yang melarikan diri kearah medan. Satu atau dua orang harus tertangkap hidup-hidup. Jika semuanya terbunuh, maka kitapun akan kehilangan sumber keterangan."
Seperti yang telah mereka lakukan, maka merekapun dengan sangat berhati-hati mendekati sasaran. Suara bende itu telah pienuntun mereka pula sebagaimana yang terdahulu. Namun Senapati itu masih sempat memperingatkan, "Hati-hatilah. Mungkin mereka sekarang akan menyambut kedatangan kita. Mereka agaknya memperhitungkan pula beberapa kemungkinan. Mungkin mereka sudah memperhitungkan pula bahwa kita akan kembali."
Para prajurit itu menjadi semakin berhati-hati. Senjata mereka telah siap ditangan. Setiap saat senjata itu akan terayun dan mematuk kearah lawan Senapati yang marah itu ternyata tidak kehilangan perhitungan. Iapun menduga, bahwa orang-orang Mataram sengaja mempermainkan mereka. Karena itu. maka Senapati itupun menjadi semakin waspada menghadapi orang-orang yang mengawal bende itu.
Namun dalam pada itu, para pengawas yang menunggu disebelah menyebelah bende itu telah melihat kedatangan orang-orang Pajang yang merunduk-runduk diantara gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman-tanaman di sawah. Karena itu, maka merekapun telah menggerakkan tali yang terentang antara mereka dan Pandan Wangi serta Sekar Mirah.
Isyarat tali itu telah diteruskan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah kepada para pengawal di sekitarnya. Dengan demikian maka merekapun segera mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan.
Orang-orang Pajang perlahan-lahan merayap mendekati bunyi bende dibawah sebatang pohon gayam yang tidak terlalu besar itu. Meskipun nampaknya tempat itu sepi-sepi saja selain bunyi bende yang melengking bagaikan memecahkan selaput telinga, tetapi Senapati itu sadar bahwa yang dihadapannya adalah ujung senjata.
Dengan isyarat ia memerintahkan para prajuritnya untuk menebar. Kemudian, dengan tiba-tiba saja ia meloncat dan berteriak lantang memerintahkan prajurit-prajurit untuk menyerang.
Perintah itu memang mengejutkan orang-orang Mataram, meskipun mereka sudah mengetahui bahwa prajurit prajurit Pajang telah datang. Namun bahwa seorang Senapati telah meloncat bangkit berdiri dengan mengangkat pedangnya sambil berteriak tidak terpikirkan oleh mereka. Yang mereka duga adalah bahwa orang-orang Pajang itu akan merunduk semakin dekat dan dengan tiba-tiba menyerang orang-orang Mataram tanpa melepaskan bunyi apapun juga.
Prajurit-prajurit Pajang memang mampu bergerak cepat. Demikian aba-aba itu dilontarkan, maka seakan-akan mereka telah berada dihidung orang-orang Mataram, karena prajurit-prajurit Pajang itu tidak mau kehilangan.
Sebagaimana telah diduga oleh Senapati Pajang yang memimpin sekelompok prajurit pilihan itu, maka orang-orang Mataram yang mengawal bende itu tidak lagi terbirit-birit menuju kemedan dan berlindung didalam kekalutan pertempuran. Tetapi orang-orang Mataram yang mengawal bende itu, telah berloncatan pula dengan senjata ditangan.
"Bagus," geram Senapati pajang, "kalian tidak melarikan diri seperti kawan-kawan kalian."
Ternyata yang berdiri dihadapan orang itu adalah Pandan Wangi. Sambil menyilangkan sepasang pedang tipisnya ia menjawab, "Kami memang sudah menunggu kedatangan kalian."
"Satu permainan gila. Apa maksud kalian dengan tipu yang licik itu?" bertanya Senapati Pajang.
Pandan Wangi tersenyum. Katanya, "dengan demikian kami dapat mengetahui, berapa banyak orang yang kalian pergunakan untuk mengurusi suara bende ini. Atas dasar kekuatan itu, kami menyiapkan orang-orang kami yang akan menghadapi kalian. Tidak perlu terlalu besar, karena tenaga kami yang lain kami pergunakan di medan yang sengit itu."
"Satu perpaduan antara kesombongan dan kelicikan." geram Senapati Pajang, "sekarang yang aku hadapi adalah seorang perempuan. Kami memang sudah mendengar bahwa diantara orang-orang Sangkal Putung yang berpihak kepada Mataram, terdapat dua orang pengawal perempuan."
"Itulah kami berdua," berkata Pandan Wangi sambil menunjuk Sekar Mirah.
"Dan sekarang kalian dengan sombong menghadapi aku dan prajurit-prajuritku," berkata Senapati itu. Lalu, "Sebaiknya kalian tidak usah terlalu banyak membuang tenaga. Menyerahlah. Aku sama sekali tidak memerlukan bende itu, karena aku tahu, bahwa bende itu ialah bende palsu. Sama sekali bukan bende Kiai Becak yang keramat itu. Namun yang aku perlukan adalah keterangan tentang Kiai Becak yang sebenarnya. Dimanakah bende keramat itu disimpan."
"Aku tidak tahu. Tetapi tugasku adalah melindungi bende ini. Keramat atau tidak keramat." jawab Pandan Wangi.
Wajah Senapati Pajang itu menjadi merah. Dengan tegas ia berkata, "Sekarang dengar perintahku. Menyerahlah. Dan katakan kepadaku, dimana bende Kiai Becak yang sebenarnya disembunyikan. Dengan demikian maka kalian akan selamat."
Namun dalam pada itu, seorang prajurit Pajang yang sudah tidak sabar lagi berkata, "Kita lakukan seperti yang kita rencanakan. Tidak ada yang pantas hidup diantara mereka, kecuali diisi orang atau satu orang saja yang kita anggap akan dapat menunjukkan dimana bende kiai Becak disembunyikan."
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati Sekar Mirah, sehingga dengan serta merta ia menjawab, "Baiklah. Kitapun telah mendapat perintah untuk mempertahankan bende ini, tidak untuk membunuh. Tetapi jika hal itu tidak dapat dihindari, maka apaboleh buat."
"Perempuan yang tidak tahu diri," geram prajurit itu, "seandainya kau mampu menguasai ilmu sampai lapis ketujuh, tetapi seorang perempuan dikodratkan untuk menjadi mahluk yang lemah. Karena itu, jangan banyak tingkah. Jika nasibmu baik, dan kau mau menyerah, maka kau berdualah yang akan tetap hidup diantara para pengawal bende itu."
"Ki Sanak," sahut Pandan Wangi mendahului Sekar Mirah, "pimpinan kami telah mengukur kekuatan kami yang pantas untuk melawan sekelompok prajurit Pajang yang menyusup kebelakang garis pasukan Mataram. Karena itu, bukan tugas kami untuk menyerahkan diri."
Jawaban Pandan Wangi cukup tegas, sehingga Senapati dari Pajang itupun tidak mau membuang waktu lagi. Dengan wajah yang tegang ia bergeser maju sambil berkata, "Jika demikian, maka aku harus mengambil jalan lain. Ternyata kau adalah salah seorang yang keras kepala sehingga agaknya aku akan memilih orang lain yang pantas aku hidupi untuk menjadi sumber keterangan tentang bende Kiai Becak yang sebenarnya."
Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Tetapi sepasang pedang tipisnya yang bersilang telah tergetar. Dengan demikian maka Pandan Wangi telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sekejap kemudian, maka Senapati itupun telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya. Mereka harus dengan cepat menghancurkan lawan mereka dan mensisakan satu atau dua orang yang akan mereka tangkap hidup-hidup.
Para prajurit Pajang itupun segera berloncatan menyerang. Sementara Senapati yang memimpin kelompok itupun telah menyerang Pandan Wangi pula dengan garangnya.
Pandan Wangi telah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan Senapati itu dapat dielakkannya. Bahkan serangan berikut yang menyusul dengan cepatpun dapat dielakkannya pula.
Dibagian lain, seorang prajurit itu mengayunkan pedangnya. Namun Sekar Mirah yang marah itu dengan serta merta telah menangkis langsung senjata lawannya dengan tongkat baja putihnya.
Benturan yang keras tidak dapat dielakkan. Prajurit yang membentur langsung tongkat baja putih Sekar Mirah itu sama sekali tidak menyangka, bahwa perempuan yang dihadapinya itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Karena itu pada benturan yang pertama, senjata prajurit itu telah terloncat dari tangannya.
Prajurit itu terkejut bukan buatan. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sekar Mirah memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi untung baginya, ketika tongkat baja Sekar Mirah mulai bergerak, seorang kawannya telah meloncat menyerang perempuan itu, sehingga Sekar Mirah harus berkisar menghadapinya.
Tetapi prajurit yang menyerang kemudian itu menyadari apa yang telah terjadi dengan kawannya. Karena itu, maka ia telah membuat hitungan yang cermat. Ketika Sekar Mirah menangkis pula dengan tongkat baja putihnya, prajurit itu tidak membiarkan pedangnya berbenturan dengan tongkat baja putih itu. Dengan cepat prajurit itu menarik serangannya, memutar pedangnya dan menyerang dengan ayunan mendatar.
Geraknya cukup cepat, sehingga Sekar Mirah harus bergeser setapak untuk menghindarinya sementara ia mengayunkan tongkatnya menyilang didepan dadanya untuk menunggu serangan berikutnya.
Namun dalam pada itu, prajurit lawan yang kehilangan senjatanya langsung pada benturan pertama itu telah berhasil memungut pedangnya. Kemarahan yang tiada taranya telah membakar dadanya. Perempuan itu telah menyinggung harga dirinya. Bukan saja sebagai seorang prajurit, tetapi juga sebagai seorang laki-laki. Karena itu dengan sorot mata membara prajurit itu telah mendekati Sekar Mirah sambil berkata, "Lepaskan perempuan itu. Aku akan menyincangnya sampai lumat."
Tetapi kawannya tidak segera melepaskannya. Namun jelas bagi prajurit yang baru saja kehilangan senjatanya itu, bahwa kawannya itupun telah terdesak. Pada langkah-langkah pertama. Sekar Mirah benar-benar ingin menunjukkan, bahwa orang-orang Mataram bukan orang-orang yang hanya mampu menyerah di medan perang.
Prajurit dari pasukan khusus yang terpilih di Pajang itu menjadi heran. Perempuan Sangkal Putung itu mampu mengimbangi kekuatan dan bahkan langsung mendesak kawannya.
Namun sebenarnyalah prajurit Pajang itu tidak tahu, bahwa perempuan yang namanya Sekar Mirah itu adalah salah seorang dari mereka yang mempunyai wewenang melatih pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata prajurit itu tidak mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka ia tidak berusaha menyingkirkan kawannya dan bertempur seorang diri. Bahkan ia pun kemudian menempatkan dirinya bersama dengan kawannya melawan Sekar Mirah.
Tetapi kedua prajurit itupun menjadi benar-benar keheranan. Meskipun keduanya bertempur berpasangan, namun Sekar Mirah mampu mengimbangi kemampuan mereka berdua. Meskipun dengan demikian Sekar Mirah harus bekerja keras Tongkat baja putihnya yang berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu berputar semakin lama semakin cepat.
Dalam pada itu, Pandan Wangi bertempur seorang melawan seorang menghadapi Senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan dari Pajang yang menyusup kebelakang garis pertempuran pasukan Mataram. Namun iapun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya. Ternyata perempuan dari Sangkal Putung itu memiliki kemampuan yang mendebarkan jantungnya.
Sementara kelompok kecil itu bertempur melawan para pengawal, seorang diantara orang-orang Mataram itu masih saja dengan tenang membunyikan bendenya. Jika semula ia sudah bersiap-siap untuk terjun kemedan pertempuran melawan orang-orang Pajang, maka ia telah mengurungkan niatnya ketika ia melihat, bahwa orang-orang Mataram masih mampu menjaga keseimbangan kekuatan meskipun ia sendiri masih belum ikut serta.
Suara bende itu benar-benar menjemukan. Namun Senapati Pajang yang memimpin sekelompok pasukan kecil itu, agaknya dengan sengaja membiarkannya. Ia sama sekali tidak berusaha atau memerintahkan orang-orangnya untuk membungkam bende itu.
"Biar saja, agar orang-orang Mataram tidak mengetahui bahwa disini telah terjadi pertempuran. Jika bende itu masih saja berbunyi, mereka yang ada di medan akan mengira bahwa bende itu masih belum terganggu."
Namun Pandan Wangi memang tidak merasa perlu untuk memberitahukan kedatangan orang-orang Pajang itu kepada induk pasukan. Mereka telah mempercayakan orang-orang Pajang itu kepada Pandan Wangi, Sekar-Mirah dan kawan-kawannya. Sehingga karena itu, maka Pandan Wangipun akan berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu bersama kelompoknya saja.
Demikianlah pertempuran dua kelomok kecil itu terjadi disekitar pohon gayam yang tidak begitu besar itu. Beberapa orang prajurit pilihan dari pasukan khusus di Pajang bertempur melawan beberapa orang dari pasukan khusus dari Mataram. Keduanya adalah orang-orang yang terlatih dengan baik dan memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga karena itu, maka pertempuran itupun segera meningkat menjadi semakin sengit.
Ternyata pertempuran kecil itu merupakan gambaran dari pertempuran yang besar induk pasukan. Kedua belah pihak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga kedua pihak menjadi saling mendesak.
Senapati yang memimpin sekelompok kecil pasukan khusus itu ternyata benar-benar seorang Senapati yang tangguh. Dengan tangkasnya ia melawan pedang rangkap Pandan Wangi. Dengan loncatan-loncatan pendek ia berhasil menghindari setiap serangan. Bahkan kadang-kadang dengan kecepatan yang mengejutkan ia telah meloncat, menusuk dengan senjatanya disela-sela putaran sepasang pedang lawannya.
Namun Pandan Wangipun cukup cepat menanggapi serangan-serangannya, sehingga dengan demikian, maka Senapati itu tidak berhasil menyentuh lawannya dengan ujung senjatanya.
"Perempuan celaka," ia menggeram.
Sebenarnyalah bahwa perempuan yang pernah didengarnya berasal dari Sangkal Putung itu memiliki kelebihan. Bukan saja dari perempuan kebanyakan, tetapi para prajurit dari pasukan khususnya tentu tidak akan dapat mengimbanginya.
Sementara itu jika sekilas ia sempat melihat dua orang prajuritnya bertempur melawan Sekar Mirah, maka hatinya memang menjadi berdebar-debar. Adalah satu hal yang sangat menarik, dua orang prajurit dari pasukan khususnya yang terpilih itu tidak segera dapat mengakhiri pertempuran melawan seorang perempuan saja.
Tetapi dalam pada itu, kedua lawan Sekar Mirah itupun menjadi sangat marah ketika usaha mereka untuk mengatasi perempuan itu tidak segera berhasil. Keduanya merasa dirinya telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus.
Karena itu, maka keduanyapun telah berusaha sampai kepuncak ilmu mereka. Dengan cepatnya mereka menyerang berpasangan. Ujung senjata mereka bagaikan arus banjir bandang yang menyerang tanpa ada henti-hentinya.
Tetapi Sekar Mirahpun lincah seperti seekor burung sikatan. Kakinya seolah-olah tidak menyentuh tanah. Berloncatan melemparkan tubuhnya yang seakan-akan tanpa bobot.
Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka kedua orang lawannya telah memencar. Mereka berusaha untuk melawan Sekar Mirah dari dua arah. Dengan demikian, mereka merasa bahwa mereka dapat memecah pemusatan perhatian perempuan itu. Tetapi Sekar Mirah memang terlalu garang bagi keduanya. Tongkat baja putihnya berputaran semakin cepat. Bagaikan segumpal awan putih tongkat baja itu melibat kedua lawannya. Kadang-kadang sinar kekuning-kuningan memancar bagaikan cahaya lidah api yang menyambar kedua lawannya berganti-ganti.
Namun kedua lawannya itupun masih mampu mengelakkan serangan Sekar Mirah. Keduanya mampu bekerja bersama dengan baiknya. Jika serangan seorang diantara mereka dapat dielakkan oleh Sekar Mirah, maka ujung senjata yang lain telah menyerangnya pula. Berurutan, seakan-akan tidak memberikan kesempatan kepada Sekar Mirah untuk melawan serangan-serangan itu.
Tetapi serangan-serangan itu tidak pernah berhasil menyentuh tubuh Sekar Mirah. Bahkan loncatan-loncatan Sekar Mirah yang menjadi semakin cepat dan panjang, kadang-kadang membuat lawannya bagaikan kehilangan sasaran. Namun dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja sebuah serangan telah menyambar salah seorang dari mereka sehingga dengan tergesa-gesa prajurit itu harus menghindar, sementara kawannya harus dengan cepat membantunya, agar orang yang menjadi sasaran serangan Sekar Mirah itu tidak mengalami kesulitan selanjutnya.
Hanya dengan kerja sama yang baik, ternyata kedua orang prajurit pilihan itu mampu memperpanjang perlawanannya terhadap Sekar Mirah. Meskipun demikian, semakin lama Sekar Mirah rasa-rasanya menjadi semakin cepat bergerak. Ketika Sekar Mirah meningkatkan penggunaan tenaga cadangannya, maka kakinyapun menjadi semakin cepat bergerak, sementara tongkatnya berputaran semakin cepat. Dalam sentuhan dan benturan senjata yang kemudian terjadi, maka terasa kekuatan Sekar Mirah menjadi semakin meningkat.
"Anak iblis," seorang diantara keduanya menggeram. "Ada semacam kengerian yang mencengkam hati. Keduanya masih belum melihat satu kesempatan untuk dapat mengalahkan perempuan dari Sangkal Putung itu. Bahkan rasa-rasanya keduanya ketinggalan semakin lama semakin jauh."
Sekali-sekali Sekar Mirahpun sempat melihat Pandan Wangi yang bertempur melawan seorang Senapati yang bertugas memimpin sekelompok pasukan khusus itu. Namun, dalam kesibukannya sendiri. Sekar Mirah tidak sempat menilai, apa yang dapat terjadi atas Pandan Wangi itu. Namun Sekar Mirah masih belum mencemaskan, karena rasa-rasanya keadaannya masih belum sampai kepada tingkat yang berbahaya.
Namun dalam pada itu, yang terjadi disekitar kedua perempuan itu memang agak berbeda. Dalam benturan puncak kemampuannya, maka prajurit dari pasukan khusus Pajang masih mempunyai harapan yang lebih besar. Meskipun orang-orang Mataram itupun adalah orang-orang pilihan, namun ternyata bahwa mereka mengakui, bahwa prajurit Pajang, memiliki pengalaman yang lebih luas dari mereka.
Dalam pada itu, agaknya orang-orang Mataram terlalu percaya kepada pasukan khususnya, sehingga Mataram tidak memberitahukan jumlah yang lebih besar dari jumlah orang-orang yang mereka perkirakan akan datang kembali setelah mereka berhasil merampas bende yang pertama, kecuali seorang yang masih dengan tenangnya memukul bendenya dan seorang lagi yang menungguinya.
Sementara seorang yang lain berdiri dibelakang orang yang sedang memukul bende itu untuk melindunginya. Selebihnya telah terlibat dalam pertempuran seorang melawan seorang dengan para prajurit dari Pajang, kecuali Sekar Mirah yang bertempur melawan dua orang lawan.
Nampaknya kekurangan pada orang-orang Mataram itu dapat dilihat oleh Sekar Mirah. Namun sementara itu, ia masih harus menghadapi dua orang lawan yang mampu bekerja bersama dengan sebaik-baiknya.
Meskipun demikian, Sekar Mirah adalah salah seorang yang ikut menempa pasukan khusus dari Mataram. Ia adalah satu-satunya murid Sumangkar. Dan ia adalah orang yang menerima senjata dari Sumangkar yang memiliki ilmu yang bersumber dari perguruan yang sama dengan Patih Mantahun yang namanya menggetarkan Pajang pada waktu itu. Sehingga banyak orang yang menganggap bahwa orang yang memiliki tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu mempunyai nyawa rangkap.
Namun dalam pada itu, prajurit-prajurit dari pasukan khusus Pajang perlahan-lahan dapat mendesak pasukan khusus Mataram yang lebih banyak bertahan. Satu-satu kemudian ternyata bahwa orang-orang Pajang itu memiliki ragam permainan senjata yang lebih banyak, sehingga kadang-kadang orang-orang Mataram menjadi agak kebingungan.
Tetapi orang-orang Mataram itu adalah para pengawal yang mengalami latihan-latihan yang sangat berat. Karena itu, desakan orang-orang Pajang yang memiliki beberapa kelebihan itu tidak dengan segera dapat mematahkan perlawanan orang-orang Mataram. Dengan sepenuh kemampuan dan ilmu yang ada, maka para pengawal dari Mataram itu memberikan perlawanan yang sengit atas lawan-lawan mereka.
Pandan Wangipun melihat kekurangan orang-orangnya. Sementara itu ia masih melihat tiga orang yang belum turun ke medan. Mereka merasa bahwa mereka sudah tidak mempunyai lawan lagi, karena jumlah mereka lebih banyak, sehingga seorang diantara mereka masih saja membunyikan bende yang melengking-lengking.
Justru karena itu, maka Pandan Wangipun harus membuat perhitungan yang cermat. Jika tiga orang yang berada disekitar bende itu kemudian turun pula ke medan, maka keadaannya tentu akan berbeda. Jika semula dua orang diantara mereka sudah siap untuk bertempur, namun akhirnya mereka kembali berada disebelah menyebelah bende yang masih saja dibunyikan itu, setelah mereka tidak melihat lagi lawan yang berdiri bebas.
Tetapi Pandan Wangi tidak mau memberikan perintah. Ia membiarkan saja apakah pengawal itu akhirnya akan menyadari keadaan. Kemudian turun kemedan pertempuran. Atau mereka terlalu percaya kepada kawan-kawannya tanpa memperhatikan keadaan disekitarnya.
Tetapi agaknya pengawal yang berdiri di belakang orang yang sedang memukul bende itupun mengerutkan keningnya. Ia melihat kawan-kawanya mengalami kesulitan. Meskipun mereka masih tetap melawan dengan gigihnya, tetapi setapak demi setapak mereka mulai terdesak surut. Bahkan ada diantara pengawal Mataram yang harus meloncat jauh, jauh menghindari serangan-serangan yang datang beruntun.
"Ternyata kami harus mengakui kelebihan pasukan khusus Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Menilik pakaiannya, maka orang-orang ini adalah prajurit prajurit dari pasukan khusus itu." gumam pengawal itu.
Sekali ia berpaling. Ia memang sedang melindungi pemukul bende itu, jika tiba-tiba saja seorang lawannya meloncat menusuknya dari belakang.
Namun dalam pada itu ia berbicara dengan kawannya yang lain, yang asyik menunggui Pengawal yang memukul bende itu, katanya, "Kau lihat keseimbangan pertempuran ini?"
"Ya," jawab kawannya meskipun harus melawan dua orang, tetapi Sekar Mirah ternyata dapat mengatasinya."
"Kau hanya melihat Sekar Mirah saja?" bertanya kawannya.
Yang berada didepan pemukul bende itu mengerutkan keningnya. Dengan jujur ia menjawab, "Ya. Aku kurang memperhatikan yang lain."
"Lihatlah dengan saksama," berkata kawannya yang berdiri.
Kawannya mulai memperhatikan seluruh arena pertempuran. Kemudian keningnya mulai berkerut. Jawabnya, "aku melihatnya. Ternyata kita masih terlalu lemah menghadapi prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya."
"Apakah kita akan turun?" bertanya yang berdiri.
"Kita tidak mempunyai lawan," jawab yang lain.
"Aku akan mengambil lawan Sekar Mirah yang seorang," berkata yang berdiri.
"Kau akan mengalami kesulitan seperti yang lain-lain," jawab kawannya.
"Tetapi aku segan bertempur berpasangan untuk melawan seorang. Karena itu, aku akan melawan salah seorang lawan Sekar Mirah," geram yang berdiri, "meskipun aku akan mengalami kesulitan seperti yang lain-lain, tetapi Sekar Mirah akan segera menyelesaikan yang seorang lagi. Dengan demikian, beruntun ia akan mengurangi jumlah lawan."
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kau atau aku."
"Aku. Kau awasi pemukul bende yang sibuk ini," jawab yang berdiri, "aku akan pergi sekarang."
Pengawal itupun kemudian mengacukan senjatanya. Dengan langkah panjang ia mendekati arena pertempuran antara Sekar Mirah dan dua orang lawannya.
Namun keragu-raguan telah tumbuh dihatinya, apakah Sekar Mirah akan melepaskan lawannya.
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah tengah bertempur dengan sengitnya. Perlahan-lahan Sekar Mirah mendesak lawannya meskipun ia harus melawan dua orang laki-laki. Dua orang prajurit dari pasukan khusus Pajang.
Dalam kesulitan itu salah seorang dari kedua orang prajurit itu telah menggeram, "Perempuan celaka. Aku habisi nyawamu dengan cara seorang prajurit khusus."
Sekar Mirah mendengar geram itu. Namun hampir saja ia tidak berkesempatan untuk menghindar ketika dua buah pisau belati kecil menyambarnya.
Untunglah bahwa ia masih cukup tangkas. Karena itu, kedua pisau itu meluncur tanpa menyentuhnya.
"Inikah prajurit-prajurit dari pasukan khusus?" bertanya Sekar Mirah dengan nada tinggi.
Suaranya benar-benar menyakitkan hati. Apalagi setelah dua buah pisau belati yang meluncur dengan tiba-tiba itu tidak mengenai sasarannya.
Dalam pada itu, pengawal yang bebas itupun telah mendekatinya. Dengan suara lantang ia berkata, "Aku melihat perkelahian yang tidak adil disini. Namun akupun melihat, bahwa dua orang prajurit dari pasukan khusus Pajang ini tidak banyak dapat berbuat, melawan Sekar Mirah. Karena itu, daripada kalian mati sebagai dua orang prajurit yang licik, sebaiknya kalian mati sebagai prajurit yang jantan. Marilah, aku memberi kesempatan kalian mati dengan sebutan seorang prajurit laki-laki yang tangguh."
Sekar Mirah memandang pengawal itu sejenak. Namun iapun ternyata dapat mengerti. Para pengawal Mataram yang lain mengalami kesulitan. Dengan terlepasnya seorang lawannya, maka ia harus bertindak lebih luas daripada bertempur dalam keterikatan seperti itu.
Karena itu. Sekar Mirah tidak mencegahnya ketika pengawal itu berdiri semakin dekat. Bahkan kemudian ia mulai mengganggu salah seorang lawan Sekar Mirah.
"Lihat, aku tidak mempunyai lawan," berkata pengawal itu, "tetapi aku segan bertempur berpasangan. Aku tidak mau bertempur berdua melawan seorang prajurit Pajang. Karena itu, satu-satunya kemungkinan bagiku adalah mengambil salah seorang diantara kalian untuk bertempur, agar kehadiranku disini tidak sia-sia."
Kedua orang prajurit Pajang itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Namun merekapun melihat bahwa kawan-kawannya nampaknya mempunyai kesempatan lebih baik dari para pengawal dari Mataram itu.
Namun bagaimanapun juga pengawal itu telah berhasil menyentuh harga diri prajurit-prajurit Pajang, sementara merekapun melihat kemungkinan yang sebaliknya dari yang diperhitungkan oleh pengawal dari Mataram itu.
"Jika satu atau dua orang prajurit mempunyai kesempatan menyelesaikan lawannya lebih cepat dari Sekar Mirah, maka kesempatan bagi Pajang akan menjadi semakin baik." berkata prajurit itu.
Karena itu, ketika pengawal dari Mataram itu menjadi semakin dekat, maka seorang dari kedua prajurit yang bertempur melawan Sekar Mirah itupun dengan cepat meloncat keluar dari arena. Namun secepat itu pula, prajurit itu telah melemparkan pisau kecilnya kearah pengawal dari Mataram yang mendekatinya.
Yang dilakukan itu demikian cepatnya, sehingga pengawal dari Mataram itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Ia melihat pisau itu meluncur. Namun demikian tiba-tiba.
Meskipun demikian ia tidak menyerahkan dirinya bulat-bulat menjadi sasaran pisau itu. Dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk berkisar dari arah sambaran pisau lawannya.
Namun pisau itu masih sempat menyambar pundaknya. Pisau itu tidak menghunjam. Namun pisau itu telah menggores mengoyak kulitnya.
Pengawal itu menggeram. Tetapi adalah satu kenyataan bahwa pundaknya telah terluka.
Tetapi dengan demikian, kemarahan telah membakar jantung pengawal itu. Dengan tangkasnya ia meloncat mendesak maju. Ia tidak mau menjadi sasaran serangan serupa. Karena itu, maka ia justru harus bertempur dalam jarak yang lebih pendek.
Namun dalam pada itu, justru karena ia mengerahkan kemampuannya, maka darah dipundaknya bagaikan terperas. Semakin lama menjadi semakin cepat mengalir lewat mulut lukanya.
Dalam pada itu, prajurit Pajang itupun tertawa. Katanya, "Kau memang bernasib buruk. Kau mengantarkan nyawamu. Betapa mudahnya membunuhmu sekarang."
Tetapi pengawal itupun menggeram. Ia tidak mau menyerah. Karena itu maka ia justru meloncat menyerang dengan senjata teracu. Namun dengan demikian, darahpun menjadi semakin banyak mengalir. Bagaimanapun juga, selain perasaan pedih yang menggigit, terasa kekuatan pengawal itupun menjadi susut.
Namun dalam pada itu, ia masih sempat melihat prajurit Pajang itu sekali lagi memungut pisau kecil pada ikat pinggangnya justru dengan tangan kirinya. Pengawal itu masih sempat meloncat menghindari sambaran pisau kedua yang hampir saja melubangi dadanya.
"Kau masih tangkas juga menghindar," geram prajurit Pajang.
Kata-katanya terputus, karena pengawal yang terluka itu meloncat maju sambil menjulurkan senjatanya kearah mulutnya.
Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Arena yang kecil itu ternyata menggambarkan betapa serunya pertempuran antara orang-orang Pajang dan Mataram. Di medan perang yang besar, pasukan Mataram telah menahan gerak pasukan Pajang yang kuat dan marah. Para Senapati Pajangpun tidak banyak dapat berbuat, karena para Senapati dari Mataram mampu mengimbanginya.
Diarena kecil, dekat sumber suara bende yang masih saja mengaum itu. Pandan Wangi bertempur melawan seorang Senapati terpilih dari pasukan khusus Pajang. Namun betapapun tinggi kemampuan Senapati itu, akhirnya menjadi bingung menghadapi Pandan Wangi yang mulai mengembangkan ilmunya yang semula kurang dikenalnya. Dalam puncak benturan ilmu, maka ilmu itupun telah terungkap kembali.
Perlahan lahan Pandan Wangi yang mulai mengenal kemampuan diri itu dengan sadar telah mengetrapkan ilmunya itu. Dengan demikian maka ujung sepasang pedangnya, seolah-olah mampu bergerak lebih cepat dari geraknya yang sebenarnya.
Senapati pasukan khusus Pajang itu tidak segera menyadari apa yang sedang dihadapinya. Ketika pedang Pandan Wangi terjulur, maka dengan tangkasnya ia telah menangkisnya. Namun, meskipun ia berhasil mengibaskan arah serangan pedang Pandan Wangi, namun terasa ujung pedang itu telah menggores kulitnya.
Senapati itu meloncat surut. Dengan tegang ia mengamati senjata Pandan Wangi yang dengan langkah satu-satu dan pedang bersilang didadanya, mendekati Senapati yang termangu-mangu.
"Anak iblis," geram Senapati yang mulai menitikkan darah dari tubuhnya itu, meskipun lukanya tidak dalam.
Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Tetapi kemudian sekali lagi ia dengan sengaja melontarkan kemampuannya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya.
Senapati itu tidak menangkis serengan Pandan Wangi. Tetapi dengan cepat ia bergeser selangkah kesamping. Menurut perhitungannya ia telah keluar dari garis serengan lawannya.
Namun sekali lagi ia terkejut. Terasa ujung pedang Pandan Wangi yang masih berjarak sejengkal dari tubuhnya itu telah mengenainya. Sebuah goresan tajam telah mengoyak kulit lengannya.
"Gila," geramnya, "aku telah berhadapan dengan ilmu iblis."
Namun dalam pada itu. Senapati itupun mulai yakin, bahwa ujung pedang Pandan Wangi mempunyai kemam puan melampaui kecepatan gerak pedang itu sendiri.
Ternyata Senapati itu telah mengenal jenis ilmu seperti itu. Ia mengenal kemampuan serangan berjarak seperti yang dilakukan oleh Pandan Wangi, dan bahkan perkembangannya selanjutnya. Sebagaimana telah dimulai oleh Pandan Wangi bahwa ia mampu pula menyerang lawannya dari jarak beberapa langkah dengan tangannya yang seolah-olah melontarkan kekuatan. Namun kekuatan yang dapat dilontarkan oleh serangan Pandan Wangi dengan cara yang demikian masih belum memadai untuk melawan orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yang tinggi.
Karena itu, maka serangan Pandan Wangi diberatkan pada kemampuannya mempergunakan senjata yang seakan-akan mampu mendahului gerak wadagnya dan benar-benar mampu melukai lawannya.
Dengan demikian maka Senapati Pajang itu telah mengerahkan segenap ilmunya pula. Ia mempergunakan segenap tenaganya untuk mendorong kecepatan geraknya, sehingga dengan kecepatannya itu ia mampu mengatasi kecepatan gerak serangan-serangan Pandan Wangi.
Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa Senapati pilihan dari Pajang itu meskipun sudah terluka, namun masih mampu mengimbangi ilmu Pandan Wangi.
Cakar Harimau 2 Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi Durjana Pemenggal Kepala 1
Karena itu, maka iapun menjawab, "Aku mengamati tebing Kali Opak. Tidak seorangpun boleh menyeberang."
"Aku tahu," jawab Senapati itu, "tetapi orang yang ingin menyeberang dapat memilih jalan lain yang berada diluar pengawasanmu."
"Bukan hanya kami berdua yang mengawasi tebing." jawab orang itu.
Senapati itu mengangguk-angguk. Bahkan katanya kemudian, "Kalian adalah orang-orang yang mengemban tugas yang sangat menentukan. Jika kalian gagal melakukan tugas kalian, maka gagal pulalah semua impian dan harapan yang pernah kita bangun didalam angan-angan kita. Bukan saja yang tumbuh dalam satu dua hari ini. Tetapi merupakan harapan bagiseluruh rakyat Pajang yang terpahat didalam nurani mereka, karena selama ini mereka memang merindukan satu masa sebagaimana pernah hadir diatas bumi kita ini."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang menjawab dengan sungguh-sungguh, "Karena itulah, maka aku telah mempertaruhkan apa saja yang ada padaku. Termasuk jiwa dan ragaku."
Senapati itu menepuk bahu orang itu sambil berkata, "Lakukan tugasmu sebaik-baiknya. Mataram hanya sempat bernafas di sisa malam ini. Besok, pagi-pagi benar, kita akan mengkoyak-koyak mereka menjadi sayatan-sayatan sampah yang tidak berarti."
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka melihat Senapati itu kemudian melangkah meninggalkan mereka.
"Orang-orang sedungu kerbau itu justru merupakan orang-orang yang berbahaya," gumam Senapati itu.
Kedua orang pengawal terpercayanya tidak menyahut. Tetapi merekapun sependapat dengan Senapatinya.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun telah menyusuri tebing Kali Opak. Tetapi ia sama sekali tidak ingin menyeberang. Hanya akan melaporkan kepada Pangeran Benawa. Keputusan terakhir, apakah rahasia itu akan disampaikan kepada orang-orang Mataram atau tidak, tergantung sekah kepada Pangeran Benawa sendiri.
Dengan demikian, maka langkah Senapati itupun kemudian menuju ke Pasanggrahan di induk pasukan. Ketika ia merasa tidak lagi diawasi oleh kepercayaan kakang Panji, maka iapun telah menyelinap dan hilang di gerumbul-gerumbul yang pekat.
"Perhatian orang-orang itu tertuju kepada jalur Kali Opak," berkata Senapati itu, "karena itu, maka kita tentu tidak terlalu banyak mendapat perhatian mereka. Dan memang tidak akan menyeberang."
Para pengawalnyapun sependapat pula. Dan merekapun dengan hati-hati mengikuti Senapatinya mendekati pasanggrahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa.
Namun ternyata pasanggrahan itu telah dijaga dengan rapatnya. Senapati itupun akan menemui kesulitan untuk memasuki pasanggrahan tanpa dilihat oleh para pengawal.
"Tidak ada jalan," berkata salah seorang kepercayaannya yang dari kejauhan menyadari adanya penjagaan yang rapat. Dibawah obor-obor yang terang disekitar pasanggrahan itu, nampak para petugas yang sedang berjaga-jaga dan yang sedang nganglang mengelilingi pasanggrahan itu.
"Sulit menurut pertimbanganmu?" bertanya Senapati itu kepada pengawalnya.
"Sulit untuk ditembus tanpa mereka ketahui," jawab salah seorang diantara mereka.
Sementara yang lain berkata, "Bagaimana jika kita berterus terang kepada para pengawal, bahwa kita akan pergi menghadap Pangeran Benawa" "
"Mungkin kita akan berhasil," jawab Senapati itu, "kita akan dapat bertemu dengan Pangeran Benawa. Tetapi apakah kau yakin bahwa diantara para pengawal tidak terdapat orang-orang kakang Panji" Orang-orang yang akan dapat melaporkan tentang usaha kita menyampaikan hal ini kepada Pangeran Benawa?"
Kedua pengawalnya mengangguk-angguk. Hal itu bukan hal yang mustahil. Jika salah seorang diantara para pengawal pasanggrahan itu berpihak kepada kakang Panji dan melaporkan kehadiran mereka, mungkin kakang Panji akan cepat bertindak. Bukan saja hal itu akan dapat membahayakan jiwa Senapati itu, tetapi juga rencananya mungkin akan berubah sehingga sulit untuk diketahui."
Karena itu, maka Senapati itu termangu-mangu sejenak. Apa yang sebaiknya dilakukan, agar usahanya untuk menyampaikan rahasia itu tidak diketahui oleh siapapun juga.
Dalam pada itu. Senapati dan kedua pengawalnya itu masih saja berusaha agar kehadirannya tidak diketahui oleh siapapun juga. Mereka masih berada di gerumbul-gerumbul liar, sementara mereka sibuk untuk mencari jalan keluar. Apakah yang sebaiknya dikerjakan.
Namun akhirnya salah seorang kepercayaannya itupun berkata, "Biarlah aku saja yang menghadap. Silahkan kembali kepasukan. Aku tidak akan kembali kepasukan khusus. Seandainya ada orang yang melihat aku dan melaporkannya kepada kakang Panji, biarlah aku yang menjadi sasaran kemarahannya sehingga tidak mengganggu rencana keberangkatan pasukan khusus dalam keseluruhan."
Senapati itu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah kau sudah tahu, apa yang akan aku sampaikan?"
"Sudah. Rencana pasukan Pajang menyerang pasukan Mataram mendahului isyarat yang akan diberikan," jawab pengawal itu, "bukankah Senapati tadi mengatakan hal itu?"
"Ya. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Tetapi apakah Pangeran Benawa mempercayaimu," gumam Senapati itu.
"Biarlah aku mencoba meyakinkannya," jawab pengawalnya itu, "memang mungkin akhirnya Pangeran Benawa tidak percaya. Tetapi kita sudah berusaha. Mungkin sekali rencana Kakang Panji itu jika terlaksana benar-benar membahayakan pasukan Mataram, sementara kita tahu sikap Pangeran Benawa dan mungkin Kangjeng Sultan sendiri."
Senapati itu mengangguk-angguk. Pengawal itu memang benar-benar seorang yang dapat dipercayanya. Sehingga karena itu, maka Senapati itupun berkata, "Baiklah. Pergilah ke barak itu. Kau dapat berterus terang kepada para pengawal, bahwa kau akan menghadap Pangeran Benawa untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting, yang hanya boleh diketahui oleh Pangeran Benawa sendiri. Sementara itu, kau sendiri adalah prajurit Pajang, sehingga kau akan mendapat kesempatan yang cukup."
"Baiklah," jawab pengawal itu, "silahkan kembali ke pasianggrahan agar jika setiap saat kakang Panji itu menghubungi pasukan kita, Senapati sudah ada ditempat."
Senapati itu mengangguk. Namun ketika ia melihat bintang dilangit yang sudah bergeser semakin jauh, serta memperhatikan lintang Gubug Penceng di ujung Selatan, maka iapun menjadi berdebar-debar. Waktunya semakin mendesak, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, pasukan Mataram akan segera tergilas oleh pasukan Pajang yang datang mendahului saat- saat yang diperhitungkan oleh pasukan Mataram.
"Berhati-hatilah," berkata Senapati itu, "tugasmu sangat berat. Kau akan dapat mempengaruhi peristiwa yang bakal datang sesaat lagi. Namun segalanya tergantung kepada Pangeran Benawa," berkata Senapatinya, "aku akan kembali kepasukanku agar tidak timbul kecurigaan apapun terhadap seluruh pasukan khusus itu."
"Silahkan," jawab pengawal itu sambil memendangi obor-obor disekitar pasanggrahan itu, "aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan cara apapun juga dengan Pangeran Benawa."
Namun dalam pada itu, selagi pengawal itu mempersiapkan diri, terdengar desir lembut dibelakang mereka. Bahkan kemudian terdengar suara orang mendeham perlahan.
Senapati dan para pengawalnya terkejut. Tiba-tiba saja mereka berloncatan dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Sesaat mereka tercenung. Mereka melihat sesosok dalam bayangan dedaunan gerumbul yang rimbun berdiri tegak dengan kaki renggang.
"Siapa kau?" bertanya Senapati itu.
Bayangan itu tidak segera menjawab. Namun Senapati itu mendengar orang itu tertawa pendek.
Senapati itupun bergeser maju setapak mendekati bayangan itu diikuti oleh kedua pengawalnya. Dengan nada dalam Senapati itu mengulangi pertanyaannya, "Siapa kau he?"
Suara tertawa itupun lenyap. Namun jawaban orang itu telah mengejutkan Senapati itu sekali lagi, "Apakah kau tidak mengenal aku?"
Senapati itu termangu-mangu. Namun bayangan itulah yang kemudian mendekat.
Senapati itu menarik nafas dalam dalam. Katanya, "Pangeran sangat mengejutkan aku."
Pangeran Benawa tertawa. Sambil mendekat ia menyahut, "Aku melihat kehadiranmu. Dan aku mendengar semua percakapanmu."
"Jadi Pangeran sudah tahu apa yang ingin kami sampaikan kepada Pangeran?" bertanya Senapati itu.
"Seperti yang kau tanyakan kepada pengawalmu yang akan memasuki pasanggrahan. Dan pengawalmu itu menjawab bahwa pasukan Pajang besok akan menyerang Mataram mendahului isyarat." jawab Pangeran Benawa.
"Demikianlah Pangeran," berkata Senapati itu, "nampaknya kakang Panji telah bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk yang akan terjadi. Setelah Mataram, maka mereka tentu akan menghancurkan prajurit Pajang."
"Bagaimana dengan pasukan khusus," bertanya Pangeran Benawa.
"Pasukan itu benar-benar telah dikuasai oleh Ki Tumenggung Prabadaru berpihak kepada kakang Panji. Sekarang, semua orang didalam pasukan itu masih tetap melakukan semua perintah kakang Panji," jawab Senapati.
"Itu tergantung kepada para Senapatinya. Bahkan Senapati tertentu, karena mungkin yang lain tidak tahu arti dari gerakan mereka. Mereka hanya menjalankan perintah yang mereka terima dari atasannya, seperti yang kau lakukan pada saat Ki Tumenggung masih memegang pimpinan. Tetapi kau tidak tahu, apa yang sebenarnya bergejolak di balik semua perintah-perintahnya itu," berkata Pangeran Benawa.
"Ya Pangeran. Tetapi pada umumnya para Senapatinya telah terpengaruh. Dan aku tidak berani menentang arus tanpa mengetahui dengan pasti, siapa saja kawan-kawanku didalam lingkungan pasukan khusus itu."
"Baiklah. Kau memang harus sangat berhati-hati, agar kau sendiri tidak ditelan oleh pasukan khusus itu." berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, "Tetapi pokok laporanmu telah aku dengar dari percakapan kalian. Lalu apakah yang penting akan kau laporkan lagi?"
"Satu-satunya laporanku kali ini Pangeran," jawab Senapati itu, "sebab yang satu itu akan menentukan segala-galanya. Aku tidak tahu, apakah Pangeran akan memberitahukannya kepada orang-orang Mataram atau justru akan mempergunakan saat itu pula untuk menghancurkan Mataram dan sekaligus pasukan Kakang Panji " "
Pangeran Benawa menarik nafas dalam dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Apakah kau tahu, sikap sebenarnya dari ayahanda Sultan terhadap kakangmas Sutawijaya?"
Senapati itu termangu-mangu. Tetapi kemudian jawabnya, "Belum Pangeran. Tetapi ada satu keheranan yang selama ini menggelitik jantung. Kenapa Kangjeng Sultan tidak segera turun kemedan. Semula kami menganggap bahwa hal itu disebabkan karena kesehatan Kangjeng Sultan. Namun pertanyaan Pangeran tentang sikap Kangjeng Sultan telah menumbuhkan satu dugaan lain."
"Baiklah," berkata Pangeran Benawa kemudian, "kau sudah menunjukkan kesetiaanmu. Karena itu. tidak ada salahnya jika aku mengatakannya kepadamu."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Sementara Pangeran Benawa berkata selanjutnya, "Ketahuilah, bahwa ayahanda sudah tidak berpengharapan lagi atas Pajang, Harapannya satu-satunya bagi kelanjutan cita-citanya adalah justru Mataram."
Senapati itu termangu-mangu. Kemudian katanya, "Keterangan Pangeran sudah jelas. Agaknya Pangeran condong untuk menyampaikan berita kepada Mataram. Tetapi segalanya terserah kepada Pangeran."
"Ya. Aku akan menyampaikan berita ini kepada kakangmas Sutawijaya." jawab Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran, sepanjang Kali Opak, malam ini telah dijaga dan diawasi oleh kepercayaan orang yang menyebut dirinya kakang Panji, orang yang telah membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan. Orang yang mempunyai kuasa lebih besar dari Ki Tumenggung Prabadaru."
"Bahkan yang telah menggerakkan Ki Tumenggung," sahut Pangeran Benawa.
"Ya," jawab Senapati itu, "aku telah mendapat kesempatan diluar dugaanku untuk berbicara dengan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang. Hanya beberapa orang-orang kepercayaannya menganggap bahwa aku adalah orang yang paling setia kepada Ki Tumenggung Prabadaru."
"Bagus," jawab Pangeran Benawa, "ternyata kau tidak hanya membawa kabar penting tentang serangan yang mendahului isyarat itu. Tetapi kau juga membawa keterangan tentang seorang yang selama ini tersembunyi. Namun tentu kau belum tahu, siapa orang itu sebenarnya."
"Ampun Pangeran," jawab Senapati itu, "aku belum dapat mengenalnya lebih dalam."
"Baiklah. Sekali lagi aku berterima kasih kepadamu. Kau telah membawa berita yang sangat berarti," jawab Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran, waktunya terlalu sempit. Sementara itu, sulit bagi kita untuk menyampaikan berita ke pasukan Mataram, seperti yang sudah aku katakan. Kali Opak diawasi dari ujung sampai keujung sayap oleh orang orang kakang Panji itu," berkata Senapati itu.
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Memang sulit untuk menembus pengawasan itu. Seandainya kita dapat mengalahkan kepercayaan kakang Panji yang akan menghalangi kita, namun dengan demikian, mungkin sekali mereka akan mengambil langkah lain."
Senapati yang masih tetap setia kepada Pangeran Benawa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Benawa menjelaskan, "Jika seorang saja diantara kepercayaan kakang Panji itu terdapat terbunuh, maka kakang Panji tentu menyadari, bahwa rencananya tentu sudah sampai ketelinga orang-orang Mataram, sehingga ia akan mengambil kebijaksanaan lain. Mungkin ia akan mengurungkan serangannya atau bahkan menarik seluruh kekuatannya. Jika demikian, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan, sementara itu mereka ternyata memang mempunyai kekuatan yang akan dapat mempengaruhi keadaan."
"Jadi, apa yang terbaik menurut Pangeran?" bertanya Senapati itu. Lalu, "Apakah Pangeran akan menugaskan satu dua orang berusaha menembus pengawasan orang-orang Kakang Panji dengan diam-diam" Atau membiarkan orang-orang Mataram dan para pengikut kakang Panji itu hancur bersama-sama."
"Sudah aku katakan," jawab Pangeran Benawa, "sebenarnyalah bahwa ayahanda mengharap Mataram akan dapat melanjutkan cita-cita Pajang yang belum dapal diujudkannya sampai saat ayahanda tidak lagi mampu mengendalikan rakyat Pajang."
"Jika demikian, lalu bagaimana sikap Pangeran" Menembus pengawasan itu?" desak Senapatinya yang menjadi bingung.
"Menurut pendapatmu, apakah mungkin?" Pangeran Benawa justru bertanya.
"Sulit Pangeran. Pengawasan itu terlalu ketat. Dan kini, waktu menjadi semakin sempit," berkata Senapati itu, "sebentar lagi, aku tentu sudah mendapat perintah untuk bersiap dan kami akan menyebrang dengan diam-diam sebelum matahari terbit langsung menyeberang orang-orang Mataram yang mungkin baru bersiap-siap, sementara yang lain masih berbaring dipembaringannya sambil terkantuk-kantuk."
"Baiklah," berkata Pangeran Benawa, "segeralah kembali ke pasukanmu. Setiap saat kau akan menjalankan perintah itu. Jika kau terlambat dan apalagi diketahui menemui aku disini, maka kau akan dicurigai. Dan kau akan tahu akibat dari kecurigaan itu."
"Lalu, bagaimana Pangeran akan menyampaikan berita ini ke seberang Kali Opak" " Senapati itu masih bertanya.
"Aku akan memikirkannya," jawab Pangeran Benawa.
"Pangeran masih akan memikirkannya?" bertanya Senapati itu, "sementara malam semakin tipis?"
"Tentu aku tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa," jawab Pangeran Benawa, "sudahlah. Serahkan kepadaku. Aku berusaha sejauh dapat aku lakukan. Namun sudah pasti, aku tidak akan berdiam diri."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bergumam, "Kapan Pangeran akan bertindak. Tetapi baiklah Pangeran. Aku akan kembali ke pasukanku. Segalanya terserah kepada Pangeran."
"Aku akan berusaha. Entah, apa yang dapat aku lakukan. Tetapi hal ini memang harus didengar oleh orang-orang Mataram." jawab Pangeran Benawa.
Senapati itu tidak mempersoalkannya lagi. Iapun segera minta diri dan kembali ke pasukannya. Pasukan khusus yang sejak dibentuknya dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Sepeninggal Senapati itu. Pangeran Benawa duduk termangu-mangu. Ia sependapat, bahwa hal itu sangat penting bagi pasukan Mataram dapat disergap dengan cara yang licik itu, maka pasukan Mataram tentu akan benar-benar hancur. Bahkan mungkin bukan saja pasukan yang ada di kedua sayapnya, tetapi juga yang berada diinduk pasukan. Sementara Agung Sedayu masih terbaring karena lukanya, Ki Gede Menoreh dan Swandaru yang juga terluka tidak akan dapat berbuat banyak. Jika orang-orang terpenting dari Mataram dapat disergapnya pula, maka kekuatan Mataram benar-benar akan runtuh. Betapapun juga orang-orang yang memihki ilmu yang tinggi berjuang bagi Mataram, mereka tidak akan dapat melawan orang-orang Pajang dalam jumlah yang besar, setelah mereka membantai seluruh pasukan.
Dalam kecemasan Pangeran Benawa mengendap-endap kembali ke pesanggrahannya. Baru setelah ia berada beberapa langkah dari para penjaga, ia berjalan dengan tenang ke regol halaman.
Beberapa orang penjaga merundukkan tombak mereka. Tetapi ketika mereka melihat Pangeran Benawa, maka merekapun justru telah menyibak.
Selagi Pangeran Benawa mencari jalan untuk memberitahukan bencana serangan yang licik itu kepada orang-orang Mataram, maka kakang Panjipun telah memberikan isyarat agar orang-orangnya bersiap-siap. Mereka harus mulai membangunkan setiap pemimpin kelompok dan memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan. Tidak ada keterangan yang perlu mereka berikan kepada para pemimpin kelompok, apalagi para prajurit. Pada saatnya mereka harus berangkat menyerang orang-orang Mataram. Penjelasan yang perlu diberikan adalah bahwa orang-orang Mataram harus dihancurkan. Itu saja.
Namun dalam pada itu, orang-orang terpenting dari Pajang dan para pengikut kakang panji yang lain telah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi.
Karena itu, sebelum waktu yang wajar untuk bersiap, pasukan yang kuat telah bersiap. Para pemimpin kelompok dan orang-orangnya sama sekali tidak mengerti, apa yang akan terjadi. Namun mereka telah mendapat makan pagi mereka lebih pagi dan kemudian mendapat perintah untuk berangkat kemedan tanpa menunggu isyarat sebagaimana biasa.
Tidak banyak orang yang mengerti. Tetapi mereka berangkat pula dengan hati yang bertanya-tanya. Namun kemudian para pemimpin kelompokpun mendengar juga alasan yang disampaikan kepada mereka, "Untuk mencegah perbuatan licik orang-orang Mataram yang selalu mempengaruhi pertempuran dengan suara bende Kiai Bancak. Karena itu maka tugas mereka yang pertama, sepasukan kecil yang khusus akan menyerang langsung dan merebut Kiai Bancak, sementara yang lain harus dengan cepat, memasuki setiap pasanggrahan dan membinasakan semua isinya. Siap atau tidak siap."
Dalam pada itu, ketegangan telah memuncak. Orang-orang Pajang memperhitungkan bahwa Mataram benar-benar belum siap untuk melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba. Karena itu, sesuai dengan perintah yang mereka terima, maka mereka harus bergerak cepat. Mereka harus dengan segera melintasi Kali Opak dan mendaki tebing. Selanjutnya, berlari cepat menuju kepesanggrahan orang-orang Mataram, langsung memasuki setiap rumah dan membunuh orang-orang yang ada didalamnya. Namun mereka tidak boleh lepas dari keterikatan. Jika terdengar isyarat-isyarat tertentu, maka mereka harus berusaha menempatkan diri dalam satu kesatuan gelar. Namun menurut perhitungan, maka lawan mereka sudah tidak akan mampu lagi untuk mencegah pasukan Pajang itu menghancurkan mereka.
"Kali ini tidak boleh gagal," geram kakang Panji yang ada diantara pasukan itu, "bantai setiap orang yang kalian temukan didalam pesanggrahan diregol atau dimana saja."
Pasukan yang menyerang itu memang menganggap bahwa perlawanan orang-orang Mataram tidak akan berarti apa-apa, karena mereka tidak siap.
Sebenarnyalah, ketika pasukan Pajang itu mendekati pasanggrahan orang-orang Mataram, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa orang-orang Mataram telah mempersiapkan diri untuk melawan mereka. Pasanggrahan mereka nampak sepi. Tidak ada isyarat bunyi dan tidak ada pasukan yang datang menyongsong.
Dalam pada itu, gerakan pasukan Pajang dibawah pengaruh kakang Panji itu telah didengar pula oleh Kangjeng Sultan. Ternyata bahwa seorang pengawalnya yang mengamati keadaan melihat keberangkatan orang-orang Pajang terutama dari kedua belah sayap pasukannya.
Kangjeng Sultan yang menjadi semakin lemah itu telah memanggil Pangeran Benawa. Dengan tanpa didengar orang lain, Kangjeng Sultan telah berbincang dengan Pangeran Benawa tentang berita yang didengarnya.
"Sebenarnyalah yang ayahanda dengar itu telah terjadi," jawab Pangeran Benawa.
"Jika demikian," nafas Kangjeng Sultan terasa sesak, "pasukan Mataram akan dihancurkan pagi ini."
Pangeran Benawa merenung sejenak. Namun katanya kemudian, "Mudah-mudahan kakangmas Sutawijaya dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan pasukannya."
"Apakah kakangmasmu mengetahui?" bertanya Kangjeng Sultan.
"Hamba telah berusaha menghubunginya," Jawab Pangeran Benawa.
"Kau menyeberang?" bertanya Kangjeng Sultan pula.
"Tidak ayahanda," jawab Pangeran Benawa.
"Orang lain?" desak ayahandanya.
"Juga tidak," jawab Pangeran Benawa pula.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun tidak bertanya lagi. Namun ia bergumam, "Mudah-mudahan Mataram akan dapat menolong dirinya sendiri, bangkit dan menjadi tumpuan harapan bagi masa datang."
Pada saat yang demikian, ketika Pangeran Benawa sedang menghadap ayahandanya Kangjeng Sultan Hadiwijaya, maka pasukan Pajang dibawah pengaruh kakang Panji itu benar-benar telah mencapai pasanggrahan tanpa mendapat perlawanan. Dengan serta merta merekapun telah memasuki setiap regol rumah yang dipergunakan sebagai pasanggrahan oleh orang-orang Mataram.
Dengan pedang terhunus, tombak merunduk dan senjata-senjata lain yang siap terayun memenggal leher orang-orang Mataram yang masih tertidur dipembaringan, maka mereka telah memecahkan pintu dan menghambur keruang dalam.
Namun tidak seorangpun diantara mereka yang memperhatikan, bahwa diregol-regol padukuhan yang dipergunakan sebagai pasanggrahan pasukan Mataram itu. tidak ada seorangpun pengawal yang berjaga-jaga.
Demikian pula, ketika pasukan Pajang itu memasuki setiap pintu dan menghambur kedalam, maka merekapun telah terkejut melihat satu kenyataan bahwa tidak ada seorangpun yang mereka jumpai.
Yang terdengar kemudian adalah umpatan-umpatan kasar. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mereka telah memecahkan semua pintu. Mencari seseorang disegala sudut, bahkan sampai kekolong amben di sentong-sentong.
"Gila," geram seseorang, "apakah orang-orang Mataram terdiri dari hantu-hantu?"
Ternyata pertanyaan itu telah berkembang dihati orang-orang Pajang. Seseorang yang semula sama sekali tidak berpikir tentang hantu, tiba-tiba saja bergumam bagi dirinya sendiri, "Ya. Ternyata pasukan Mataram terdiri dari hantu-hantu Alas Mentaok yang bergabung dengan hantu-hantu dari Lautan Kidul."
Sementara yang lainpun berkata kepada diri sendiri, "Apakah orang-orang Mataram dapat merubah dirinya menjadi asap, atau terhisap ke dalam tanah, atau mereka mempunyai kemampuan melenyapkan diri dengan ilmu Panglimunan, atau mereka keluarga lelembut dari Alas Mentaok."
Para prajurit dan orang-orang Pajang menjadi sangat tegang. Berbagai dugaan telah berputar-putar dibenak mereka, sehingga seorang yang bagaikan kehilangan akal telah duduk bersandar tiang sambil memukul-mukul kepalanya, "Apakah aku sudah gila?"
Seorang yang agak tenang telah melihat sebuah mangkuk diatas geledeg. Namun jantungnyapun berdebaran ketika ia diluar sadarnya telah meraba mangkuk itu. Terpekik ia berkata, "Mangkuk ini masih hangat."
"Gila," teriak seorang Senapati muda, "kau lihat beberapa potong pondoh beras itu" Masih ada beberapa potong yang belum sempat termakan."
Kegelisahan benar-benar telah mencengkam hati orang-orang Pajang itu. Mereka membuat penafsiran sendiri-sendiri tentang kenyataan yang mereka hadapi. Semua rumah yang dipergunakan oleh orang-orang Mataram telah kosong.
Beberapa orang Senapati Pajang dengan tergesa-gesa telah berusaha untuk bertemu dan membicarakan persoalan yang mereka hadapi. Kakang Panji dengan marah telah menghentak-hentak sambil menghancurkan perabot rumah yang dimasukinya.
"Orang-orang Mataram lenyap seperti asap," geram kakang Panji, "tetapi itu terjadi baru beberapa saat sebelum kita sampai disini. Mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini."
"Tetapi tidak seorangpun yang tertinggal," berkata seorang Senapati, "mereka yang sakit dan bahkan yang hampir mati sekalipun."
Kakang Panji yang marah itupun kemudian berteriak memberikan aba-aba agar para pemimpin segera berkumpul. Hanya orang-orang tertentu. Namun mereka memegang perintah atas pasukan dikedua sayap pasukan Pajang.
"Menurut pengamatan, orang-orang Mataram telah sempat meninggalkan pasanggrahan ini," berkata kakang Panji, "kita jangan kehilangan kesempatan. Meskipun kita tidak dapat menghancurkan mereka selagi mereka masih dipembaringan, namun kita akan mengejar mereka, dan menghancurkan mereka, saat-saat mereka melarikan diri," berkata kakang Panji.
Para pemimpin yang lainpun sependapat, bahwa orang-orang Mataram sempat melarikan diri hanya pada saat-saat terakhir. Betapapun mereka mengumpat-umpat, namun orang-orang Pajang itu harus mengakui kecepatan gerak orang-orang Mataram. Meskipun di dapur masih banyak terdapat makanan dan minuman panas yang belum sempat termakan, namun orang-orang Mataram itu sempat membebaskan diri dari pembantaian di pembaringan mereka.
Kakang Panjipun dengan cepat telah mengatur pasukan yang telah kehilangan sasaran itu. Kemarahan yang menghentak-hentak didadanya dan di dada para Senapati itu agaknya telah membuat mereka kurang cermat menilai keadaan. Mereka menganggap bahwa orang-orang Mataram telah berlari bercerai berai sehingga seandainya mereka berusaha menghimpun diri, maka kedudukan mereka tidak akan lagi sekuat saat-saat mereka siap di tebing Kali Opak.
Karena itu, maka perintah yang kemudian dijatuhkan oleh kakang Panji kepada orang-orang tertentu itu adalah, kejar orang-orang Mataram dalam gelar yang utuh.
Demikianlah, maka orang-orang Pajang itupun telah berhimpun dalam gelar. Mereka telah mempersiapkan diri untuk bertempur dan menghancurkan pasukan Mataram yang sedang berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan pasanggrahan mereka.
Demikianlah, pasukan itupun dengan segera bergerak. Mereka tidak mau terlambat. Selagi matahari masih belum terbit, maka mereka akan dapat mempergunakan hari itu sebaik-baiknya dan tidak memberi kesempatan orang-orang Mataram menghimpun diri.
Perintah itu diterima dengan hati yang bergejolak. Para Senapati dan pemimpin-pemimpin kelompok dari pasukan Pajang telah mendapat perintah. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak tahu dengan pasti, siapakah sebenarnya yang memegang perintah itu, karena Kangjeng Sultan tentu tidak ada didalam pasukan itu. Bahkan mereka juga tidak melihat Pangeran Benawa bersama mereka.
Namun karena Senapati langsung diatas mereka telah menjatuhkan perintah, maka mereka tidak sempat dan segan untuk memikirkannya lebih lama lagi. Yang mereka hadapi kemudian adalah satu tugas untuk mengejar dan menghancurkan pasukan Mataram.
Namun demikian, ternyata ada juga bekas keraguan dihati beberapa golongan dari pasukan Pajang itu. Sadar atau tidak sadar, mereka masih juga berbicara tentang lelembut dan hantu dari Alas Mentaok.
Tetapi bagaimanapun juga, pasukan Pajang itu telah maju terus. Dengan cepat mereka berusaha untuk mengejar pasukan Mataram yang menurut perhitungan beberapa orang pemimpin Pajang, telah menarik diri dengan tergesa-gesa.
Dalam gelar yang lengkap, pasukan Pajang itu maju terus. Mereka tidak menghiraukan sawah dan pategalan. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi yang tumbuh dengan suburnya. Mereka juga tidak menghiraukan lumpur dan parit yang melintas gelar mereka. Pagar dan lanjaran tanaman merambat telah mereka terjang dan mereka robohkan.
Menjelang beberapa padukuhan dihadapan mereka, maka para pemimpin Pajang telah memperingatkan, mungkin ada sisa-sisa orang-orang Mataram di padukuhan itu, karena orang-orang yang sakit dan terluka tentu tidak akan dapat mereka bawa sampai jarak yang lebih jauh dengan cepat sebagaimana mereka melarikan diri.
Dalam pada itu, maka langitpun menjadi semakin terang. Pedut pagi yang keputihan telah mulai menipis. Sawah dan ladang nampak semakin jelas dan padukuhan-padukuhan dihadapan mereka, diseberang bulakpun nampak semakin terang menunggu dihadapan mereka.
Tetapi rasa-rasanya padukuhan-padukuhan itu masih tidur. Mungkin padukuhan-padukuhan di deret pertama dari sebuah medan yang besar itu memang tidak dihuni orang lagi. Mereka telah mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang lebih jauh.
Meskipun demikian, orang-orang Pajang itu tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, maka setiap Senapatipun kemudian telah menjatuhkan aba-aba, agar setiap orang didalam gelar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Atas perintah kakang Panji, maka gelar yang utuh itupun telah bergeser. Mereka menyesuaikan diri dengan beberapa pedukuhan yang ada dilintasan gelar mereka. Kelompok demi kelompok telah menempatkan diri dalam satu kesatuan memasuki padukuhan-padukuhan yang ada dihadapan mereka, sementara yang tidak melintasi padukuhan harus mengatur diri. sewaktu-waktu mereka akan dapat terhisap dalam pertempuran melawan orang-orang Mataram seandainya mereka berada didalam padukuhan-padukuhan itu.
Semakin dekat dengan beberapa padukuhan-padukuhan yang seakan-akan sengaja diatur menghadapi kedatangan pasukan Pajang itu maka pasukan itupun menjadi semakin bersiaga. Pertempuran itu dapat terjadi setiap saat. Orang-orang Mataram mungkin bersembunyi di balik dinding padukuhan-padukuhan itu.
Dengan demikian maka orang-orang Pajang itu telah mengurangi laju pasukan mereka. Kelompok-kelompok yang disiapkan untuk memasuki padukuhan-padukuhanpun telah mulai menuju kesasaran.
Dengan hati-hati pasukan itu bagaikan merunduk. Yang dipaling depan dari pasukan yang terbagi itu, terdiri dari mereka yang membawa perisai. Mereka memperhitungkan, bahwa jika benar orang-orang Mataram itu berada di balik dinding-dinding padukuhan, maka mereka tentu akan menyongsong pasukan Pajang itu dengan lontaran-lontaran anak panah, sebagaimana mereka lakukan di tebing Kali Opak.
Tetapi ternyata orang-orang Pajang itu telah menjadi kecewa lagi. Ternyata padukuhan-padukuhan itupun kosong sama sekali. Mereka tidak menjumpai seorangpun. Apakah orang itu termasuk dalam pasukan Mataram, atau penghuni padukuhan itu sendiri.
Kemarahan orang-orang Pajang itu tidak tertahankan lagi. Kakang Panji yang tidak dapat mengekang gejolak perasaannya, tiba-tiba saja bagaikan minyak yang tersentuh api ketika ia mendengar salah seorang kepercayaannya berkata, "Kita hancurkan padukuhan ini."
"Maksudmu?" bertanya kakang Panji.
"Kita bakar rumah-rumah yang kosong itu. Biarlah orang-orang Mataram melihat asap yang mengepul dari dalam padukuhan-padukuhan yang mereka tinggalkan," berkata kepercayaannya itu.
Wajah kakang Panji menegang. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, "Bakar seisi padukuhan ini. Orang-orang yang memasuki padukuhan yang lain tentu akan melakukannya juga."
Para pengikut kakang Panji itu bagaikan mendapatkan permainan. Sejenak kemudian, maka rumah yang pertama telah mengepul. Lidah api mulai menjilat dinding dan atap. Kemudian api yang menyala itupun bagaikan menggapai langit.
Api yang membakar rumah yang pertama itu disusul dengan kobaran api yang menyala membakar rumah yang kedua, ketiga dan rumah-rumah lain di padukuhan itu. Sementara para pengikut kakang Panji di padukuhan-padukuhan lain yang mereka temuhipun telah melakukan hal yang sama.
Namun dalam pada itu. Senapati yang memimpin pasukan khusus itupun menjadi tegang. Denggin lantang ia berkata, "Jangan lakukan kebiadaban itu. Penghuni padukuhan ini tidak tahu menahu tentang perang yang terjadi antara Pajang dan Mataram."
"Tetapi mereka telah melindungi orang-orang Mataram," jawab salah seorang pengikut kakang Panji.
"Tetapi mungkin justru orang-orang Mataram telah mengancam mereka ketika pasukan Mataram menduduki tempat ini," jawab Senapati itu.
Karena itu, maka para prajurit dari pasukan khusus tidak melakukan hal yang serupa. Meskipun ada diantara mereka yang tangannya menjadi gatal, tetapi mereka harus menahan diri.
Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah menjadi lautan api. Meskipun hari menjadi semakin terang, namun api itu masih nampak memerah diatas onggokan hijaunya pepohonan di padukuhan yang kemudian menjadi layu oleh panasnya api.
Padukuhan-padukuhan yang terbakar itu telah melontarkan asap menjulang menyentuh langit.
Asap itu benar-benar telah mengejutkan. Orang-orang yang menyaksikan asap itu tidak menduga sama sekali, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, maka mereka yang menelan beberapa pedukuhan itu benar-benar telah mengguncangkan hati beberapa pihak.
Ternyata api itu telah terlihat pula oleh orang-orang Pajang yang masih berada di pasanggrahan. Beberapa orang telah dengan cemas menyaksikan asap yang naik keudara. Sementara itu. Pangeran Benawa sendiri memperhatikan kebakaran itu dengan jantung yang bergejolak.
Ternyata kebakaran itu telah sampai pula kepada Kangjeng Sultan yang dengan tergesa-gesa memanggil Pangeran Benawa.
"Apa yang terjadi?" bertanya Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa tidak dapat lagi mengingkari penglihatannya yang agaknya telah dilaporkannya pula kepada Kangjeng Sultan.
Kemarahan bagaikan meledakkan dada Kangjeng Sultan yang sedang dalam keadaan sakit itu. Kejutan yang sangat bagaikan telah mencekiknya. Nafasnya menjadi sesak, dan pandangannya berkunang-kunang.
"Ini perbuatan gila yang tidak dapat di maafkan," geram Kangjeng Sultan diantara desah nafasnya yang sesak.
Orang-orang yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Tabib yang merawatnya menjadi sibuk. Apalagi ketika tiba-tiba saja Kangjeng Sultan itu menjadi pingsan oleh gejolak yang tidak terkendali.
Namun sesaat kemudian Kangjeng Sultan itupun telah sadarkan diri. Dengan suara lirih Kangjeng Sultan berkata, "benawa aku kembali ke Pajang. Aku tidak akan menunggui perbuatan-perbuatan gila yang tidak lagi mengenal perikemanusiaan. Betapa garangnya perang, namun masih juga ada batas-batas yang tetap harus di junjung tinggi."
Pangeran Benawa menjadi gelisah. Jika ia harus meninggalkan medan sebelum mengetahui apa yang terjadi atas orang-orang Mataram, rasa-rasanya masih ada sesuatu yang terasa membebaninya.
Namun perintah Kangjeng Sultan itu tidak dapat ditunda. Para Adipati dan Senapatinya segera menjadi sibuk. Mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan selain mentaati perintah Kangjeng Sultan. Sebagian besar dari merekapun telah menjadi kecewa terhadap sikap beberapa pihak yang ada di medan. Mereka menyadari bahwa ada kekuatan lain yang mengambil keuntungan dari pertentangan antara Mataram dan Pajang, sehingga karena itu, maka merekapun mulai mengerti sikap Kangjeng Sultan yang selama itu mereka anggap terlalu lamban.
Dengan demikian maka para Adipati dan Senapatipun telah sepakat untuk meninggalkan Prambanan. Namun dalam pada itu. Pangeran Benawa ternyata telah memberanikan diri untuk minta ijin kepada ayahandanya, "Hamba akan tinggal ayahanda, untuk beberapa saat, sampai hamba mendapat laporan, apakah yang terjadi dengan orang-orang Mataram."
Kangjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah kau sudah memperhitungkan segala kemungkinan?"
"Ya ayahanda," jawab Pangeran Benawa, "hamba juga sudah memperhitungkan kemungkinan seandainya pasukan Pajang itu kembali lagi ke pasanggrahan ini?"
Kangjeng Sultan tidak segera menjawab. Dengan wajah yang pucat dan jantung yang berdegupan oleh gejolak perasaannya, serta nafas yang menyesak, Kangjeng Sultan mencoba menilai keadaan. Sementara itu, maka iapun kemudian bertanya, "Apakah kau memerlukan sepasukan pengawal untuk tinggal bersamamu?"
"Tidak ayahanda," jawab Pangeran Benawa, "hamba akan tinggal' sendiri. Dengan demikian, maka hamba akan lebih mudah untuk berusaha menghubungi kakangmas Raden Sutawijaya tanpa dicurigainya, karena hamba hanya seorang diri."
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi jika keperluanmu telah selesai, kau harus segera menyusul kami kembali ke Pajang. Pekerjaan kami masih banyak, apalagi rasa-rasanya keadaanku justru menjadi semakin memburuk."
"Para tabib akan selalu berusaha," desis Pangeran Benawa.
Tetapi Kangjeng Sultan itu tersenyum sambil berkata, "para tabib tidak akan mampu melawan kehendak-Nya."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia melihat bahwa ayahandanya justru telah pasrah. Kangjeng Sultan sama sekali tidak merasa gelisah seandainya saat itu memang hendak menjemputnya. Namun demikian ternyata ia masih juga berpesan, "Beri aku laporan, apa yang terjadi dengan orang-orang Mataram itu."
"Harnba ayahanda," jawab Pangeran Benawa.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itupun segera bersiap-siap. Dengan sebuah tandu, Kangjeng Sultan telah diusung kembali ke Pajang. Sementara itu keadaannya menjadi semakin lemah. Nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.
Dalam pada itu ceritera tentang lelembutpun menjadi semakin keras menyentuh telinga orang-orang Pajang. Pada saat Kangjeng Sultan terkejut mendengar laporan tentang api yang memusnahkan beberapa padukuhan sehingga pingsan karena kelemahan tubuhnya, ada juga orang yang berbisik, "Raden Sutawijaya telah sampai hati menyerang ayahandanya dengan tangan para lelembut. Nampaknya para lelembut langsung melakukan pembalasan terhadap Kangjeng Sultan, sehingga menjadi pingsan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berdesis, "Ya. Tanpa kekuatan halus, tidak seorangpun yang akan dapat melawan Kangjeng Sultan. Apalagi membuatnya pingsan tanpa menyentuhnya dengan wadagnya sendiri."
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka iring-iringan pasukan Pajang yang ada di induk pasukan itu telah meninggalkan Prambanan. Sedangkan Pangeran Benawa atas ijin Kangjeng Sultan tetap tinggal untuk mencari keterangan tentang orang-orang Mataram.
Pada saat iring-iringan pasukan Pajang diinduk pasukan itu bergerak kembali ke Pajang, kakang Panji dan para pengikutnya telah menghancurkan padukuhan-padukuhan yang mereka lewati dalam usaha mereka mencari sisa-sisa pasukan Mataram yang mereka anggap melarikan diri.
Kemarahan yang menghentak-hentak jantung mereka, terlontar dalam ujud yang sangat tercela. Padukuhan yang tidak bersalah, telah menjadi neraka yang panasnya menggapai langit.
Api yang menelan beberapa padukuhan itu ternyata sempat dilihat pula oleh Raden Sutawijaya. Dengan wajah yang tegang Raden Sutawijaya itu tidak begitu percaya kepada penglihatannya. Tetapi yang dihadapinya adalah satu kenyataan. Orang-orang Pajang yang berusaha memburunya telah menjadi gila dan membakar beberapa Padukuhan.
Karena itu, maka kemarahan telah meledak didadanya. Sebenarnyalah bahwa pasukan Mataram sama sekali tidak pecah dan lari bercerai berai. Dengan ketangkasan prajurit, maka pasukan Mataram memang menarik diri. Mereka tidak sempat menyusun perlawanan menghadap orang-orang Pajang yang dengan licik merunduk mereka.
Sejenak Raden Sutawijaya mengenang apa yang telah terjadi. Pada saat yang tepat. Pangeran Benawa, selain keduanya telah dipersaudarakan, karena Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya, keduanya adalah saudara seperguruan, serta keduanya adalah murid Kangjeng Sultan itu sendiri selain keduanya telah berhasil mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang aneh, ternyata telah berbuat sesuatu yang telah menyelamatkan pasukan Mataram.
Dengan semacam aji Pameling, maka Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya dalam jarak yang cukup jauh. Seorang diseberang Timur Kali Opak yang lain diseberang Barat Kali Opak. Dengan aji Pameling itu. Pangeran Benawa telah memberitahukan bahwa telah terjadi kecurangan sehingga dengan licik sebagian dari pasukan Pajang yang kuat akan menyerang pasukan Mataram.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa, namun dengan ketrampilan tinggi, pasukan Mataram memperhitungkan untuk lebih baik menghindar sambil mempersiapkan diri. Namun orang orang Mataram tidak menarik diri surut. Tetapi mereka telah menebar sebelah menyebelah, kecuali induk pasukan.
Dengan demikian, ketika Raden Sutawijaya melihat akibat kebengisan para pengikut orang yang telah membayangi kuasa Kangjeng Sultan itu, maka ia tidak dapat mengekang diri lagi.
Sejenak kemudian, maka beberapa batang anak panah sendaren telah meraung di udara. Anak panah yang memberikan isyarat kepada pasukan Mataram untuk segera bertindak. Sementara itu beberapa ekor kuda telah melintas melintang, dari Selatan ke Utara. Demikian kuda itu sampai dibekas pesanggrahan orang-orang Mataram, maka penunggangnya telah melontar panah sendaren pula kearah utara.
Demikianlah pasukan Mataram yang bagaikan menyibak saat pasukan Pajang lewat, telah mendapat perintah untuk bertindak.
Dalam pada itu, ternyata pasukan Mataram yang tidak menyongsong pasukan Pajang disaat mereka menyerang, telah berhasil menyusun diri sebaik-baiknya. Sambil bergeser dari pesanggrahan, pasukan Mataram telah menyusun diri. Mereka yang terluka dan cacat telah disingkirkan sejauh-jauhnya. Sementara yang lain dengan cepat telah menempatkan diri kedalam kelompok masing-masing yang siap untuk melakukan perintah.
Ketika panah sendaren terdengar meraung di udara, maka para pemimpin dan Senapatipun telah memberikan aba-aba. Para pemimpin kelompokpun telah melanjutkan aba-aba itu kepada pasukan masing-masing.
Dengan demikian pasukan Mataram itu tidak menunggu lagi. Pasukan yang menyibak itu telah bergerak bagaikan pintu gerbang raksasa yang terbuka, perlahan-lahan telah menutup kembali.
Anak panah sendaren yang meraung diudara itu ternyata telah didengar pula oleh orang-orang Pajang meskipun lamat-lamat. Telinga merekapun segera dapat menterjemahkan arti raungan anak panah sendaren itu. Merekapun segera menebak, bahwa sesuatu akan terjadi. Pasukan Mataram yang mereka kira lenyap bagaikan terhisap bumi itu tentu akan mulai bergerak.
Karena itu, maka para Senapati dari Pasukan Pajangpun segera memberikan aba-aba kepada pasukannya. Mereka yang masih sibuk dengan permainan api mereka, berlari-lari kembali kedalam kelompok masing-masing.
"Sisa pasukan Mataram itu nampaknya akan membunuh diri," berkata kakang Panji.
"Ya," sahut kepercayaannya, "ternyata api itu telah memancing mereka. Jika semula mereka merasa lebih baik tetap bersembunyi, ternyata mereka masih saja merasa diri mereka pahlawan yang wajib melindungi rakyatnya."
Kakang Panji tertawa. Katanya, "Biarlah mereka melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi atas mereka. Pasukan yang bercerai berai itu tentu tidak akan mampu mengumpulkan separo dari kekuatannya. Sayang, mereka merasa diri mereka kesatria Mataram yang perkasa, sehingga mereka terpaksa keluar dari persembunyian mereka. Namun kali ini tentu sekedar untuk membunuh diri."
Namun dalam pada itu, pasukan Mataram yang telah bertaut itu dengan gemuruh telah bergerak kearah orang-orang Pajang yang berada justru dibelakang garis perang. Pasukan Mataram yang bertaut itu justru telah menghadap ke arah Barat, kearah padukuhan-padukuhan yang menjadi lautan api."
Sementara itu, matahari telah mulai memanjat langit. Merahnya api menjadi suram oleh cahaya matahari yang cerah. Namun asap yang hitam kelabu mengepul semakin tinggi di udara.
Pasukan Mataram yang bergerak itu ternyata tidak sempat membawa tanda-tanda kebesaran pasukan masing-masing. Mereka tidak membawa panji-panji, umbul-umbul dan rontek serta kelebet. Yang ada di tangan mereka tidak lebih dari senjata masing-masing.
Karena itu, maka pasukan Mataram itu tidak segera terlihat oleh orang-orang Pajang yang tidak tahu pasti arah kedatangan orang-orang Mataram yang mendapat isyarat dengan anak panah sendaren yang dilontarkan ke udara. Karena itu, maka para Senapati Pajangpun segera memerintahkan para pengamat untuk mengawasi arah. Pasukan Mataram yang mundur itu akan dapat datang dari segala arah.
Kakang Panji mengerutkan keningnya, ketika justru para pengawas yang mengawasi arah Kali Opaklah yang melihat kehadiran sebuah pasukan. Pasukan tanpa perlanda apapun juga, sehingga pasukan Mataram itu tidak nampak sebagai satu pasukan yang cukup besar untuk menghadapi pasukan Pajang.
Sebenarnyalah pasukan Mataram memang tidak ingin memperlihatkan kebesaran mereka. Tidak ingin diketahui bahwa pasukan Mataram itu masih tetap utuh dan dengan tanpa cacat sama sekali, hadir di medan sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Dengan demikian, maka kakang Panji yang kemudian memperhatikan kehadiran pasukan itupun menganggap bahwa pasukan Mataram memang sudah terpecah, sehingga dengan susah payah, para Senapatinya mampu menghimpun sisa-sisa pasukan mereka. Dengan sombong sisa-sisa pasukan yang merasa dirinya kesatria itu telah maju kemedan untuk membela rakyat yang rumahnya menjadi karang abang.
"Untunglah, bahwa kita telah memancing mereka keluar dari persembunyian mereka dengan cara yang paling baik," berkata kakang Panji.
"Tidak dengan sengaja," jawab kepercayaannya, "yang kita lakukan tidak lebih dari luapan kemarahan. Namun akhirnya kita berhasil menjawab teka-teki tentang lenyapnya pasukan Mataram. Ternyata mereka memang berlari cerai-berai meninggalkan pasanggrahan mereka."
"Tetapi kita wajib mengagumi kecepatan gerak mereka," berkata kakang Panji, "demikian pengawas mereka melihat kedatangan kita, maka dalam waktu yang sekejap, mereka telah lenyap tanpa meninggalkan seorangpun diantara mereka yang sakit dan terluka."
"Permainan kanak-kanak," jawab kepercayaannya, "setiap orang dapat lari dengan cepat meninggalkan tempat. Siapapun dapat."
"Tidak," jawab kakang Panji, "jika bukan prajurit pilihan tentu banyak diantara mereka yang terluka parah akan tertinggal."
Kepercayaannya tidak menjawab. Sementara itu, mereka melihat pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat. Ujung-ujung senjata nampak mencuat diantara tanaman yang hijau disawah dan pategalan.
Namun pasukan Mataram bergerak dalam lapisan yang tebal, sehingga tebaran pasukan itu nampaknya tidak terlalu lebar. Dengan demikian, orang-orang Mataram memang dengan sengaja ingin memberikan kesan, behwa pasukan mereka tidak sebesar pasukan Mataram seutuhnya.
Dalam pada itu, kakang Panjipun tersenyum sambil berkata, "Kita sambut kedatangan mereka. Dengan demikian kita akan berbalik. Berikan perintah. Kita akan keluar dari neraka ini, dan bertempur ditempat terbuka."
Seperti yang dikehendaki oleh kakang Panji, maka perintah telah menjalar dari kelompok ke kelompok. Para Senapati didalam pasukan Pajang itupun lelah mendengar perintah, bahwa mereka akan menyongsong pasukan Mataram yang datang justru dari arah Timur itu.
Dalam pada itu Matahari telah menjadi semakin tinggi. Orang-orang Pajanglah yang kemudian menjadi silau karena mereka harus menghadap ke arah Timur. Meskipun hal itu tidak diperhitungkan sejak semula oleh orang-orang Mataram, namun ternyata bahwa silaunya cahaya matahari itu dapat membantu menyelubungi ujud keseluruhan pasukan Mataram, sehingga sampai saat terakhir, orang-orang Pajang tetap menganggap bahwa pasukan Mataram bukan pasukan yang utuh sebagaimana mereka hadapi di tebing Kali Opak.
Dengan dada tengadah pasukan Pajang itupun kemudian meninggalkan padukuhan-padukuhan yang telah mereka jadikan karang abang. Padukuhan yang telah menjadi abu dan berserakkan dihembus angin pagi.
Dalam pada itu, kedua pasukanpun menjadi semakin dekat. Pasukan Mataram yang datang dari arah Timur, sempat melihat dengan jelas lawan yang menyongsong mereka, sementara pasukan Pajang masih saja di bayangi oleh cahaya yang menyilaukan, yang memantul pada sisa embun di pagi hari yang menyangkut didedaunan.
Namun yang kemudian mengejutkan dan membuat orang-orang Pajang bagaikan tertusuk duri pada pusat jantungnya ketika tiba-tiba saja, diantara derap suara pasukan yang menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah terdengar suara mengaum bende Kiai Bancak.
"Gila," teriak kakang Panji, "suara itu sangat menjemukan. Susun satu pasukan pilihan. Cari tempat bende itu disembunyikan. Hancurkan sama sekali bende itu, sehingga tidak lagi sempat menyakiti telinga."
Sebenarnyalah, seorang Senapati terpilih telah menyusun satu pasukan kecil yang terdiri dari prajurit-prajurit terpilih yang terpercaya yang bertugas untuk mencari bende Kiai Bancak yang bunyinya terasa sangat mengganggu itu.
Kakang Panji sadar sepenuhnya bahwa bagaimanapun juga suara bende itu memang sangat berpengaruh. Semacam kepercayaan telah mencengkam hati para prajurit, bahwa pihak yang memiliki bende itu, dan jika bende itu dapat ditabuh dan melontarkan bunyi yang nyaring, maka pihak itu akan menang.
Karena itu, kakang Panji telah bertekad untuk membungkam bende itu sebagaimana direncanakan sejak semula saat mereka ingin menghancurkan pasukan Mataram dikubunya. Namun yang ternyata pasukan Mataram itu sempat meloloskan diri, tanpa setahu kakang Panji bahwa Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dengan ilmu yang jarang dimiliki oleh orang lain. Aji Pameling.
Namun dalam pada itu, sadar akan nilai bende yang memberikan pengaruh yang kuat bagi para prajurit Mataram untuk bertempur dan bertekad untuk menang itu. Raden Sutawijayapun telah memerintahkan sekelompok prajurit pilihan untuk mengawalnya.
Demikianlah, sejenak kemudian kedua pasukan yang besar itu telah saling berhadapan. Keduanya dalam keadaan yang sama. Keduanya bergerak maju untuk menyongsong lawan.
Sikap prajurit Mataram agak berbeda dengan sikap mereka, saat-saat mereka menunggu di tebing Kali Opak. Saat pasukan Pajang menyeberang dan menyerang mereka dalam kedudukan yang mantap.
Ketika jarak menjadi semakin dekat, maka terdengar sangkakala yang tiba-tiba saja meraung memecah ketegangan. Orang-orang Mataram sempat membuat orang-orang Pajang terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa perintah untuk menyerang masih juga dilontarkan lewat bunyi sangkakala.
Namun seakan-akan suara sangkakala itu berlaku bagi kedua pasukan yang telah berhadapan itu. Bukan saja pasukan Mataram yang kemudian dengan senjata merunduk menyergap lawan. Tetapi pasukan Pajangpun telah dengan sigap menyerang pula. Bahkan mereka yang tidak terikat dalam kesatuan pasukan prajurit Pajang, telah menyerang menurut selera mereka masing-masing, seolah-olah tanpa ada keterikatan, meskipun mereka tetap berada dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan, dibawah pimpinan mereka masing-masing. Diantara mereka terdapat para pemimpin padepokan yang telah dihubungi oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan kakang Panji.
Buku 169 SEJENAK kemudian, maka kedua pasukan itupun telah berbenturan. Senjata-senjata yang merundukpun mulai berdentangan. Kedua belah pihak telah menempatkan orang-orang terbaik digaris pertama dari kedua pasukan itu.
Namun ternyata bahwa sejak benturan pertama, orang-orang Pajang mulai menyadari, bahwa pasukan Mataram bukannya pasukan yang dengan tergesa-gesa disusun setelah pecah bercerai berai. Namun pasukan Mataram yang mereka hadapi, masih juga pasukan yang mereka hadapi di tebing Kali Opak. Masih tersusun dalam gelar yang utuh. Masih pula kekuatan yang terdapat pada sayap kiri dan kanan dari pasukan Mataram.
Pertempuran yang dahsyat segera mulai membakar bulak-bulak persawahan dan pategalan. Orang-orang Pajang yang semula berkerut karena mereka menganggap bahwa pasukan Mataram tidak lagi sebanyak pasukan di Kali Opak, terpaksa berusaha untuk menebar lagi, sebagaimana dilakukan oleh pasukan Mataram. Setelah benturan terjadi, maka ternyata pasukan Mataram yang berlapis itu berusaha untuk melebar dan menguasai sisi dari medan sebelah menyebelah.
Namun sementara itu, sepasukan khusus yang kuat meskipun hanya sekelompok kecil dari kekuatan orang Pajang telah melingkari ujung ujung pertempuran. Mereka ingin menyelinap kebelakang garis pertempuran dari orang-orang Mataram untuk menemukan letak bende Kiai Becak. Mereka harus menghancurkan bende itu meskipun mereka harus bertaruh nyawa. Jika mereka berhasil, maka suara yang menjemukan itu tidak akan mempengaruhi medan lagi, sehingga orang-orang Mataram tentu akan berasa kecut. Perasaan yang demikian akan sangat berpengaruh bagi seorang prajurit di medan perang.
Pasukan khusus terpilih itu, meskipun harus menempuh jarak yang terasa panjang, namun berhasil menyusup melingkari pasukan Mataram. Suara bende itu sendiri telah menuntun mereka untuk menemukan tempatnya. Meskipun suara angin kadang-kadang membuat suara bende itu seolah-olah berubah tempatnya. Namun akhirnya pemimpin pasukan khusus itu akhirnya menunjuk dengan pasti, "Bende itu berada di bawah pohon Mahoni yang besar itu."
Para prajurit dari pasukan khusus terpilih itupun segera mempersiapkan diri. Senjata mereka telah terhunus dan bergetar didalam genggaman.
Perlahan-lahan kelompok kecil itu maju. Mereka berusaha untuk dapat menyergap dengan tiba-tiba, sehingga mempersempit kesempatan para pengawal bende itu untuk mempersiapkan diri, menghadapi mereka.
"Tetapi kitapun harus menyadari, bahwa bende yang dikeramatkan itu tentu mendapat pengawal yang baik," berkata Senapati yang memimpin sekelompok pasukan khusus terpilih itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun bagi mereka, tidak ada lagi yang dapat menggetarkan jantung mereka. Mereka sudah menyerahkan hidup mati mereka kepada tugas yang harus mereka lakukan. Dengan kesetiaan seorang prajurit dari pasukan khusus, maka mereka tidak akan mundur sebelum tugas mereka selesai. Atau, jika mereka gagal, maka hanya nama mereka sajalah yang akan kembali ke pasukan induk mereka.
Dengan wajah yang tegang, sekelompok prajurit dari pasukan khusus yang terpilih itu merayap semakin dekat. Mereka pun kemudian yakin, bahwa bende itu memang berada dibawah pohon Mahoni yang besar.
Semakin dekat, maka merekapun mulai melihat beberapa orang yang mengawal bende itu. Tidak terlalu banyak, sehingga Senapati itu berdesis, "Jumlah kita ternyata terlalu banyak untuk memusnakan orang-orang Mataram yang bodoh itu."
"Tetapi tempat ini tidak terpisah terlalu jauh dari medan. Mereka akan dapat mengharap bantuan dari para prajurit Mataram yang berada di medan. Dengan isyarat mereka dapat memanggil beberapa orang prajurit untuk membantu mereka," sahut seorang kawannya.
"Namun sementara itu, mereka sudah musna terbantai dibawah pohon Mahoni itu. Bende itupun telah kita hancurkan dan tidak mungkin dapat berbunyi lagi," jawab Senapatinya.
"Ternyata ceritera tentang bende itu benar-benar ngaya wara. Ada yang mengatakan, bahwa sumber suara itu dapat berubah-ubah tempat. Namun ternyata kita langsung dapat menemukannya, "desis seorang prajurit.
"Kebohongan besar yang mentertawakan," sahut Senapati yang memimpin pasukan itu, "memang pengaruh angin kadang-kadang dapat menyesatkan pendengaran kita. Tetapi telinga yang baik tidak akan dapat ditipu lagi." Senapati itu berhenti sejenak, lalu, "cepat. Kita sudah siap."
Pasukan kecil itu telah bersiap-siap. Sejenak kemudian, maka jatuhlah perintah. Merekapun segera berloncatan dan berlari menuju kesebatang Mahoni tua yang tumbuh di tengah-tengah bulak diantara semak-semak yang tumbuh disebuah bukit kecil.
Kedatangan prajurit khusus itu benar-benar mengejutkan. Sekelompok pengawal yang tidak siap, tiba-tiba saja telah berloncatan berlari meninggalkan sebuah bende yang tergantung pada sebuah goyor kecil yang sudah terlalu tua.
Sikap para pengawal bende itu justru sangat mengejutkan. Beberapa orang prajurit Pajang sudah siap mengejar mereka yang berlari kearah medan. Namun Senapatinya segera mencegahnya. Katanya, "Jangan terpancing masuk kedalam api. Kita selesaikan tugas pokok kita. Bende ini kita hancurkan."
Prajurit-prajurit Pajang itu mengurungkan niatnya mengejar beberapa orang pengawal yang berlari kearah medan. Nampaknya orang-orang Mataram itu ingin mencari perlindungan diantara para prajurit di medan
Karena itu, maka yang mereka lakukan kemudian adalah menghancurkan bentle itu. Bende tua yang tergantung pada sebuah gayor yang tua pula. Yang sebagian dari ukirannya sudah rusak dan sunggingnyapun telah hampir hilang.
Ketika beberapa orang diantara mereka ragu-ragu. pemimpin kelompok kecil itu berkata, "Bende ini sama sekali tidak bertuah. Jangan takut. Tidak akan ada akibat apapun juga."
Dengan pedang mereka telah menghancurkan gayor tempat bende itu tergantung. Kemudian dengan bindi dan batu-batu besar, mereka memecahkan bende kecil yang sudah tua itu, sehingga hancur sama sekali.
"Kita sudah melaksanakan tugas kita dengan baik," berkata Senapati itu, "bawa bende yang rusak itu sebagai bukti, bahwa kita sudah melakukannya."
"Lalu, apakah yang akan kita lakukan?" bertanya salah seorang diantara mereka.
"Kita kembali keinduk pasukan," jawab Senapati itu, "jangan sia-siakan waktu. Ternyata tugas kita jauh lebih mudah dari yang kita duga. Yang kita presiapkan ternyata tidak dapat kita pergunakan. Orang-orang Mataram terlalu licik dan pengecut. Aku kira, sebuah bende yang dikeramatkan itu, tentu dijaga oleh pasukan yang terpilih, sebagaimana kita terpilih untuk melakukan tugas ini."
Pasukan kecil itupun tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka sempat melihat dari kejauhan, bahwa pertempuran telah membakar bulak dan pategalan. Sorak sorai mulai menggetar dan menyentuh langit.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah pasukan kecil itupun segera melingkar, kembali ke induk pasukan. Sementara itu, suara bende yang menjemukan itupun telah tidak terdengar lagi. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu. Sorak suara prajurit dan kadang-kadang teriakan para Senapati yang memberikan aba-aba kepada pasukannya yang disambut dengan suara gemuruh dan gegap gempita.
Dalam pada itu, api yang memusnakan beberapa padukuhanpun menjadi semakin surut. Tetapi asapnya masih mengepul kehitam-hitaman. Pepohonanlah yang kemudian mulai terbakar diantara debu yang menghambur.
Tetapi api tidak dapat membakar pepohonan semudah membakar rumah yang berdinding bambu dan berangka kayu. Apalagi yang beratap ilalang atau ijuk. Karena itu, yang nampak kemudian dari kejauhan bukan lagi lidah api yang menjilat awan, tetapi asap kehitaman yang mengepul tinggi. Ketika angin kemudian bertiup, maka asap itupun terguncang dan pecah berserakan.
Dalam pada itu, sekelompok prajurit pilihan yang menghancurkan bende yang suaranya sangat mengganggu itu telah sampai keinduk pasukannya. Senapati yang memimpin sekelompok prajurit itupun segera menghadap salah seorang kepercayaan kakang Panji yang telah memberikan perintah kepadanya untuk menghancurkan bende itu.
"Bagus," gumam kepercayaan kakang Panji itu, "ternyata bende itu bukan bende yang bertuah. Dengan mudah kau menghancurkannya tanpa akibat apapun juga."
"Sejak semula aku sudah tidak percaya, bahwa bende itu memiliki kekuatan yang dapat berpengaruh atas seseorang," jawab Senapati itu seandainya ada juga orang yang dapat dipengaruhinya, orang itu tentu bukannya aku."
"Bagus," jawab kepercayaan kakang Panji, "aku tidak memerlukan bangkai bende itu. Aku akan melaporkan hasil tugasmu."
Kepercayaan kakang Panji itupun kemudian mencari kakang Panji di medan. Ternyata kakang Panji masih berada di lapisan belakang. Ia masih belum turun langsung ke tengah-tengah arena.
"Bende itu sudah dihancurkan. Bangkainya dibawa kembali oleh kelompok yang aku tugaskan menghancurkannya. Dan sekarang, suara bende itu sudah tidak terdengar lagi."
"Bagus. Aku sekarang dapat memusatkan perhatianku kepada orang-orang yang aku perlukan. Aku akan berhubungan dengan Ajar Jatisrana agar tugas-tugasku cepat selesai," berkata kakang Panji.
Dalam pada itu, kepercayaan kakang Panji itupun kemudian menarik diri. Ia memang menempatkan dirinya sebagai penghubung antara kakang Panji dengan orang-orang yang diperlukannya.
Namun dalam pada itu, selagi Senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan itu sedang menikmati kemenangannya sebelum mereka memasuki medan, ternyata mereka telah dikejutkan oleh bunyi yang tiba-tiba saja melengking memecah hiruk pikuk pertempuran. Bunyi bende yang meraung raung. Justru lebih keras dari suara bende yang telah dihancurkannya.
"Gila," geram Senapati itu, "permainan apa lagi yang dilakukan oleh orang-orang Mataram."
Suara bende itu benar-benar mengejutkan bukan saja kepercayaan kakang Panji dan seluruh prajurit dalam kelompok kecil yang telah menghancurkan bende itu. Tetapi juga kakang Panji. Bahkan dengan garang kakang Panji itu menggeram, "gila. Orang-orang itu mencoba mempermainkan aku."
Namun akhirnya kakang Panjipun menyadari, bahwa orang-orang Mataram bukan orang-orang dungu. Bahkan mereka justru telah mengelabui orang-orangnya.
"Ternyata yang dibunyikan itu bukan sebenarnya bende Kiai Becak, meskipun bende yang disebut Kiai Becak itu tentu juga berada dimedan," geram kakang Panji.
Karena itu, kakang Panji tidak menghiraukan lagi bunyi bende yang seakan-akan justru menjadi semakin keras dan seolah-olah nada yang terlontar mengandung ejekan atas kebodohan beberapa orang prajurit Pajang. Namun telinga kakang Panji rasa-rasanya telah menjadi kebal.
"Aku tidak peduli meskipun bunyi bende itu akan memecahkan langit sekalipun," geramnya.
Tetapi berbeda dengan kepercayaan kakang Panji itu. Ia telah menemui Senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan dan merasa telah berhasil memecahkan bende itu.
"Apa katamu sekarang?" bertanya kepercayaan kakang Panji.
"Orang-orang Mataram memang licik," jawab Senapati itu, "aku akan sekali lagi pergi ke belakang pasukan Mataram."
"Kau sangka bende yang dibunyikan itu bende Kiai Becak yang sebenarnya?" bertanya kepercayaan kakang Panji.
"Meskipun bukan, tetapi aku akan berusaha menangkap satu atau dua orang diantara mereka. Dari mulut mereka, aku ingin mendengar, dimana bende yang sebenarnya itu disimpan," jawab Senapati itu.
Kepercayaan kakang Panji itu mengangguk angguk. Katanya, "Lakukan. Tetapi jangan hancurkan bende itu. Bawa bende itu kemari. Utuh. Kitalah yang kemudian akan membunyikannya. Tetapi ingat, jangan tertipu lagi."
Senapati itu mengangguk. Namun iapun kemudian menggeram sambil berkata, "Aku akan menangkap orang-orang gila itu. Aku akan memeras darah mereka sampai kering jika mereka tidak mau menunjukkan letak bende yang sebenarnya."
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didada. Senapati itu telah memimpin kelompoknya kembali melingkari medan sebagaimana pernah dilakukan. Kemarahan mewarnai kelompok itu, sehingga setiap orang didalam kelompok itu menjadi semakin garang. Bahkan mereka seakan-akan menjadi buas dan tidak mempunyai niat lain. kecuali membantai korban mereka. Kecuali satu dua orang yang akan mereka paksa untuk mengatakan dimana letak bende yang mereka cari, meskipun akhirnya orang-orang itupun akan mereka bunuh juga.
Dalam pada itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Pajang itupun berlangsung semakin sengit. Orang-orang Pajang harus melihat kenyataan bahwa orang-orang yang mereka anggap memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan telah mendapat lawan mereka masing-masing. Tidak seorangpun diantara mereka yang dapat lolos dan sebagaimana mereka inginkan, membantai sebanyak-banyaknya. Karena di dalam pasukan Matarampun terdapat banyak orang yang memiliki kelebihan itu.
Dengan demikian maka pertempuran itupun merupakan pertempuran yang semakin sengit. Masing-masing sudah sampai kepuncak usaha untuk menghancurkan lawan. Orang-orang Pajang yang kehilangan sasaran di tebing Kali Opak itu, dengan darah yang mendidih didalam jantungnya, berusaha untuk menghancurkan orang-orang Mataram tanpa ampun. Namun orang-orang Mataram yang mengetahui kelicikan orang-orang Pajang, apalagi setelah mereka membakar pedukuhan-pedukuhan, maka merekapun menjadi sangat marah, sebagaimana para pemimpin dari Mataram.
Namun sementara itu, Raden Sutawijaya masih tetap berada di belakang medan. Dengan cermat ia mengamati pasukannya. Bukan saja dari satu sayap. Tetapi kedua sayap yang kemudian bertemu, karena induk pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Juru tidak berada di garis pertempuran itu. Mereka menarik diri surut ke Barat. Mereka harus menahan pasukan Pajang, apabila pasukan Pajang itu akan langsung menuju ke Mataram. Sementara pasukan Raden Sutawijaya akan mengikuti pasukan Pajang itu dari belakang. Tetapi Raden Sutawijaya ternyata tidak dapat menahan diri ketika ia melihat api yang membakar padukuhan-padukuhan kecil dilintasan pasukan Pajang.
Yang bertempur di medan semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil sehingga merekapun telah bersorak-sorak bagaikan membelah langit. Namun disamping kemenangan-kemenangan kecil merekapun mengalami kesulitan-kesulitan yang harus mereka atasi.
Orang-orang terpilih dari Pajang harus menghadapi kenyataan, hadirnya orang-orang Mataram seperti Ki Waskita, Kiai Gringsing dan seorang anak yang memiliki kecepatan gerak bagaikan sikatan menyambar bilalang. Glagah Putih yang bagaikan anak kijang lepas di padang rumput, telah mempergunakan kesempatan itu untuk benar-benar menilai dirinya. Sementara disayap lain, seorang Senapati muda yang bernama Sabungsari memiliki kemampuan melampaui Senapati-senapati lawannya. Bahkan putera Ki Gede Pasantenan mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Bahwa ia adalah putera Ki Gede yang memiliki sumber perguruan sama dengan Ki Gede Pemanahan.
Yang saat itu tidak nampak di medan justru Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Oleh Raden Sutawijaya keduanya mendapat tugas tersendiri yang tidak kalah gawatnya dengan mereka yang berada dimedan pertempuran. Sementara itu beberapa Senapati pilihan yang lain, mempunyai tugas khusus mengawal orang-orang yang terluka di padukuhan yang tidak terlalu jauh dari medan. Sementara itu, Ki Gede Menoreh dan Swandaru sudah menjadi semakin baik, sementara Agung Sedayu masih harus tetap berbaring dipembaringan, meskipun keadaannya sudah menjadi semakin baik pula.
Dalam pada itu, sekelompok pasukan khusus yang terpilih, benar-benar telah melingkari medan menuju kebelakang garis pertempuran pasukan Mataram. Mereka dengan marah berusaha untuk dapat menangkap satu atau dua orang yang menunggu bende yang sedang berbunyi itu. Karena merekapun yakin bahwa bende itu bukan bende Kiai Becak yang sebenarnya.
Sementara itu, di belakang garis pertempuran pasukan Mataram, Untara sedang sibuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah bersama beberapa orang pasukan khusus yang terpilih pula.
Dari orang-orang yang sengaja melarikan diri ketika pasukan khusus Pajang menyergap para pengawal bende yang mereka sangka Kiai Becak, Untara mendapat gambaran jumlah dan kekuatan pasukan itu. Karena itu, maka ia telah mengatur junnlah orang yang menurut perhitungannya akan dapat mengimbangi pasukan khusus dari Pajang itu. Sementara Untara telah menyediakan sebuah bende yang lain, yang sama sekali bukan Kiai Becak.
"Menurut perhitunganku, mereka akan kembali," berkata Untara, "karena itu, maka Senapati Ing Ngalaga telah memerintahkan untuk menjebak mereka."
"Apakah kami harus membinasakan mereka?" bertanya Sekar Mirah.
"Kalian harus mengalahkan mereka, tetapi tidak harus membunuhnya, "jawab Untara. Lalu dengan nada menurun ia meneruskan, "kecuali jika memang tidak ada jalan lain bagi keselamatan kalian sendiri."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Ia mengerti tugas yang harus dilaksanakannya. Sementara itu, seorang pengawal terpilih masih saja sibuk membunyikan bende yang agak lebih besar dari bende yang telah dirusakkan oleh orang-orang Pajang. Karena itu suaranya terdengar semakin keras dan nyaring.
Setelah memberikan beberapa perintah yang lain atas nama Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, maka Untarapun telah meninggalkan bende itu, yang dibunyikan dibawah sebatang pohon gayam yang tidak terlalu besar, tetapi disekitarnya tumbuh semak-semak yang agak rimbun. Dalam semak semak itulah beberapa orang telah mengamati keadaan. Setiap saat orang-orang Pajang akan datang merunduk mereka seperti yang telah terjadi.
Namun saat itu, mereka tidak mendapat perintah untuk melarikan diri sebagaimana beberapa orang pengawal yang terdahulu.
Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi telah bersiap pula sebelah menyebelah bende itu, sementara beberapa orang pengawal terpilih berada disekitarnya. Dengan jumlah yang telah diperhitungkan, maka mereka berharap bahwa mereka akan dapat mengalahkan orang-orang Pajang yang menurut Untara tentu akan datang lagi.
"Permainan yang mengasyikkan," desis Pandan Wangi didalam hatinya. Dalam keadaan yang gawat itu, Untara masih juga sempat bermain-main.
Dalam api pertempuran yang semakin menyala, maka sekelompok pasukan khusus Pajang menjadi semakin dekat dengan bunyi bende di bawah pohon gayam itu. Dengan hati-hati Senapati yang memimpin kelompok itu berkata, "jangan kehilangan buruan lagi. Kita harus berpencar. Sebagian dari kita akan memotong mereka yang melarikan diri kearah medan. Satu atau dua orang harus tertangkap hidup-hidup. Jika semuanya terbunuh, maka kitapun akan kehilangan sumber keterangan."
Seperti yang telah mereka lakukan, maka merekapun dengan sangat berhati-hati mendekati sasaran. Suara bende itu telah pienuntun mereka pula sebagaimana yang terdahulu. Namun Senapati itu masih sempat memperingatkan, "Hati-hatilah. Mungkin mereka sekarang akan menyambut kedatangan kita. Mereka agaknya memperhitungkan pula beberapa kemungkinan. Mungkin mereka sudah memperhitungkan pula bahwa kita akan kembali."
Para prajurit itu menjadi semakin berhati-hati. Senjata mereka telah siap ditangan. Setiap saat senjata itu akan terayun dan mematuk kearah lawan Senapati yang marah itu ternyata tidak kehilangan perhitungan. Iapun menduga, bahwa orang-orang Mataram sengaja mempermainkan mereka. Karena itu. maka Senapati itupun menjadi semakin waspada menghadapi orang-orang yang mengawal bende itu.
Namun dalam pada itu, para pengawas yang menunggu disebelah menyebelah bende itu telah melihat kedatangan orang-orang Pajang yang merunduk-runduk diantara gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman-tanaman di sawah. Karena itu, maka merekapun telah menggerakkan tali yang terentang antara mereka dan Pandan Wangi serta Sekar Mirah.
Isyarat tali itu telah diteruskan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah kepada para pengawal di sekitarnya. Dengan demikian maka merekapun segera mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan.
Orang-orang Pajang perlahan-lahan merayap mendekati bunyi bende dibawah sebatang pohon gayam yang tidak terlalu besar itu. Meskipun nampaknya tempat itu sepi-sepi saja selain bunyi bende yang melengking bagaikan memecahkan selaput telinga, tetapi Senapati itu sadar bahwa yang dihadapannya adalah ujung senjata.
Dengan isyarat ia memerintahkan para prajuritnya untuk menebar. Kemudian, dengan tiba-tiba saja ia meloncat dan berteriak lantang memerintahkan prajurit-prajurit untuk menyerang.
Perintah itu memang mengejutkan orang-orang Mataram, meskipun mereka sudah mengetahui bahwa prajurit prajurit Pajang telah datang. Namun bahwa seorang Senapati telah meloncat bangkit berdiri dengan mengangkat pedangnya sambil berteriak tidak terpikirkan oleh mereka. Yang mereka duga adalah bahwa orang-orang Pajang itu akan merunduk semakin dekat dan dengan tiba-tiba menyerang orang-orang Mataram tanpa melepaskan bunyi apapun juga.
Prajurit-prajurit Pajang memang mampu bergerak cepat. Demikian aba-aba itu dilontarkan, maka seakan-akan mereka telah berada dihidung orang-orang Mataram, karena prajurit-prajurit Pajang itu tidak mau kehilangan.
Sebagaimana telah diduga oleh Senapati Pajang yang memimpin sekelompok prajurit pilihan itu, maka orang-orang Mataram yang mengawal bende itu tidak lagi terbirit-birit menuju kemedan dan berlindung didalam kekalutan pertempuran. Tetapi orang-orang Mataram yang mengawal bende itu, telah berloncatan pula dengan senjata ditangan.
"Bagus," geram Senapati pajang, "kalian tidak melarikan diri seperti kawan-kawan kalian."
Ternyata yang berdiri dihadapan orang itu adalah Pandan Wangi. Sambil menyilangkan sepasang pedang tipisnya ia menjawab, "Kami memang sudah menunggu kedatangan kalian."
"Satu permainan gila. Apa maksud kalian dengan tipu yang licik itu?" bertanya Senapati Pajang.
Pandan Wangi tersenyum. Katanya, "dengan demikian kami dapat mengetahui, berapa banyak orang yang kalian pergunakan untuk mengurusi suara bende ini. Atas dasar kekuatan itu, kami menyiapkan orang-orang kami yang akan menghadapi kalian. Tidak perlu terlalu besar, karena tenaga kami yang lain kami pergunakan di medan yang sengit itu."
"Satu perpaduan antara kesombongan dan kelicikan." geram Senapati Pajang, "sekarang yang aku hadapi adalah seorang perempuan. Kami memang sudah mendengar bahwa diantara orang-orang Sangkal Putung yang berpihak kepada Mataram, terdapat dua orang pengawal perempuan."
"Itulah kami berdua," berkata Pandan Wangi sambil menunjuk Sekar Mirah.
"Dan sekarang kalian dengan sombong menghadapi aku dan prajurit-prajuritku," berkata Senapati itu. Lalu, "Sebaiknya kalian tidak usah terlalu banyak membuang tenaga. Menyerahlah. Aku sama sekali tidak memerlukan bende itu, karena aku tahu, bahwa bende itu ialah bende palsu. Sama sekali bukan bende Kiai Becak yang keramat itu. Namun yang aku perlukan adalah keterangan tentang Kiai Becak yang sebenarnya. Dimanakah bende keramat itu disimpan."
"Aku tidak tahu. Tetapi tugasku adalah melindungi bende ini. Keramat atau tidak keramat." jawab Pandan Wangi.
Wajah Senapati Pajang itu menjadi merah. Dengan tegas ia berkata, "Sekarang dengar perintahku. Menyerahlah. Dan katakan kepadaku, dimana bende Kiai Becak yang sebenarnya disembunyikan. Dengan demikian maka kalian akan selamat."
Namun dalam pada itu, seorang prajurit Pajang yang sudah tidak sabar lagi berkata, "Kita lakukan seperti yang kita rencanakan. Tidak ada yang pantas hidup diantara mereka, kecuali diisi orang atau satu orang saja yang kita anggap akan dapat menunjukkan dimana bende kiai Becak disembunyikan."
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati Sekar Mirah, sehingga dengan serta merta ia menjawab, "Baiklah. Kitapun telah mendapat perintah untuk mempertahankan bende ini, tidak untuk membunuh. Tetapi jika hal itu tidak dapat dihindari, maka apaboleh buat."
"Perempuan yang tidak tahu diri," geram prajurit itu, "seandainya kau mampu menguasai ilmu sampai lapis ketujuh, tetapi seorang perempuan dikodratkan untuk menjadi mahluk yang lemah. Karena itu, jangan banyak tingkah. Jika nasibmu baik, dan kau mau menyerah, maka kau berdualah yang akan tetap hidup diantara para pengawal bende itu."
"Ki Sanak," sahut Pandan Wangi mendahului Sekar Mirah, "pimpinan kami telah mengukur kekuatan kami yang pantas untuk melawan sekelompok prajurit Pajang yang menyusup kebelakang garis pasukan Mataram. Karena itu, bukan tugas kami untuk menyerahkan diri."
Jawaban Pandan Wangi cukup tegas, sehingga Senapati dari Pajang itupun tidak mau membuang waktu lagi. Dengan wajah yang tegang ia bergeser maju sambil berkata, "Jika demikian, maka aku harus mengambil jalan lain. Ternyata kau adalah salah seorang yang keras kepala sehingga agaknya aku akan memilih orang lain yang pantas aku hidupi untuk menjadi sumber keterangan tentang bende Kiai Becak yang sebenarnya."
Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Tetapi sepasang pedang tipisnya yang bersilang telah tergetar. Dengan demikian maka Pandan Wangi telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sekejap kemudian, maka Senapati itupun telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya. Mereka harus dengan cepat menghancurkan lawan mereka dan mensisakan satu atau dua orang yang akan mereka tangkap hidup-hidup.
Para prajurit Pajang itupun segera berloncatan menyerang. Sementara Senapati yang memimpin kelompok itupun telah menyerang Pandan Wangi pula dengan garangnya.
Pandan Wangi telah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan Senapati itu dapat dielakkannya. Bahkan serangan berikut yang menyusul dengan cepatpun dapat dielakkannya pula.
Dibagian lain, seorang prajurit itu mengayunkan pedangnya. Namun Sekar Mirah yang marah itu dengan serta merta telah menangkis langsung senjata lawannya dengan tongkat baja putihnya.
Benturan yang keras tidak dapat dielakkan. Prajurit yang membentur langsung tongkat baja putih Sekar Mirah itu sama sekali tidak menyangka, bahwa perempuan yang dihadapinya itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Karena itu pada benturan yang pertama, senjata prajurit itu telah terloncat dari tangannya.
Prajurit itu terkejut bukan buatan. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sekar Mirah memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi untung baginya, ketika tongkat baja Sekar Mirah mulai bergerak, seorang kawannya telah meloncat menyerang perempuan itu, sehingga Sekar Mirah harus berkisar menghadapinya.
Tetapi prajurit yang menyerang kemudian itu menyadari apa yang telah terjadi dengan kawannya. Karena itu, maka ia telah membuat hitungan yang cermat. Ketika Sekar Mirah menangkis pula dengan tongkat baja putihnya, prajurit itu tidak membiarkan pedangnya berbenturan dengan tongkat baja putih itu. Dengan cepat prajurit itu menarik serangannya, memutar pedangnya dan menyerang dengan ayunan mendatar.
Geraknya cukup cepat, sehingga Sekar Mirah harus bergeser setapak untuk menghindarinya sementara ia mengayunkan tongkatnya menyilang didepan dadanya untuk menunggu serangan berikutnya.
Namun dalam pada itu, prajurit lawan yang kehilangan senjatanya langsung pada benturan pertama itu telah berhasil memungut pedangnya. Kemarahan yang tiada taranya telah membakar dadanya. Perempuan itu telah menyinggung harga dirinya. Bukan saja sebagai seorang prajurit, tetapi juga sebagai seorang laki-laki. Karena itu dengan sorot mata membara prajurit itu telah mendekati Sekar Mirah sambil berkata, "Lepaskan perempuan itu. Aku akan menyincangnya sampai lumat."
Tetapi kawannya tidak segera melepaskannya. Namun jelas bagi prajurit yang baru saja kehilangan senjatanya itu, bahwa kawannya itupun telah terdesak. Pada langkah-langkah pertama. Sekar Mirah benar-benar ingin menunjukkan, bahwa orang-orang Mataram bukan orang-orang yang hanya mampu menyerah di medan perang.
Prajurit dari pasukan khusus yang terpilih di Pajang itu menjadi heran. Perempuan Sangkal Putung itu mampu mengimbangi kekuatan dan bahkan langsung mendesak kawannya.
Namun sebenarnyalah prajurit Pajang itu tidak tahu, bahwa perempuan yang namanya Sekar Mirah itu adalah salah seorang dari mereka yang mempunyai wewenang melatih pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata prajurit itu tidak mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka ia tidak berusaha menyingkirkan kawannya dan bertempur seorang diri. Bahkan ia pun kemudian menempatkan dirinya bersama dengan kawannya melawan Sekar Mirah.
Tetapi kedua prajurit itupun menjadi benar-benar keheranan. Meskipun keduanya bertempur berpasangan, namun Sekar Mirah mampu mengimbangi kemampuan mereka berdua. Meskipun dengan demikian Sekar Mirah harus bekerja keras Tongkat baja putihnya yang berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu berputar semakin lama semakin cepat.
Dalam pada itu, Pandan Wangi bertempur seorang melawan seorang menghadapi Senapati yang memimpin sekelompok prajurit pilihan dari Pajang yang menyusup kebelakang garis pertempuran pasukan Mataram. Namun iapun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya. Ternyata perempuan dari Sangkal Putung itu memiliki kemampuan yang mendebarkan jantungnya.
Sementara kelompok kecil itu bertempur melawan para pengawal, seorang diantara orang-orang Mataram itu masih saja dengan tenang membunyikan bendenya. Jika semula ia sudah bersiap-siap untuk terjun kemedan pertempuran melawan orang-orang Pajang, maka ia telah mengurungkan niatnya ketika ia melihat, bahwa orang-orang Mataram masih mampu menjaga keseimbangan kekuatan meskipun ia sendiri masih belum ikut serta.
Suara bende itu benar-benar menjemukan. Namun Senapati Pajang yang memimpin sekelompok pasukan kecil itu, agaknya dengan sengaja membiarkannya. Ia sama sekali tidak berusaha atau memerintahkan orang-orangnya untuk membungkam bende itu.
"Biar saja, agar orang-orang Mataram tidak mengetahui bahwa disini telah terjadi pertempuran. Jika bende itu masih saja berbunyi, mereka yang ada di medan akan mengira bahwa bende itu masih belum terganggu."
Namun Pandan Wangi memang tidak merasa perlu untuk memberitahukan kedatangan orang-orang Pajang itu kepada induk pasukan. Mereka telah mempercayakan orang-orang Pajang itu kepada Pandan Wangi, Sekar-Mirah dan kawan-kawannya. Sehingga karena itu, maka Pandan Wangipun akan berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu bersama kelompoknya saja.
Demikianlah pertempuran dua kelomok kecil itu terjadi disekitar pohon gayam yang tidak begitu besar itu. Beberapa orang prajurit pilihan dari pasukan khusus di Pajang bertempur melawan beberapa orang dari pasukan khusus dari Mataram. Keduanya adalah orang-orang yang terlatih dengan baik dan memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga karena itu, maka pertempuran itupun segera meningkat menjadi semakin sengit.
Ternyata pertempuran kecil itu merupakan gambaran dari pertempuran yang besar induk pasukan. Kedua belah pihak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga kedua pihak menjadi saling mendesak.
Senapati yang memimpin sekelompok kecil pasukan khusus itu ternyata benar-benar seorang Senapati yang tangguh. Dengan tangkasnya ia melawan pedang rangkap Pandan Wangi. Dengan loncatan-loncatan pendek ia berhasil menghindari setiap serangan. Bahkan kadang-kadang dengan kecepatan yang mengejutkan ia telah meloncat, menusuk dengan senjatanya disela-sela putaran sepasang pedang lawannya.
Namun Pandan Wangipun cukup cepat menanggapi serangan-serangannya, sehingga dengan demikian, maka Senapati itu tidak berhasil menyentuh lawannya dengan ujung senjatanya.
"Perempuan celaka," ia menggeram.
Sebenarnyalah bahwa perempuan yang pernah didengarnya berasal dari Sangkal Putung itu memiliki kelebihan. Bukan saja dari perempuan kebanyakan, tetapi para prajurit dari pasukan khususnya tentu tidak akan dapat mengimbanginya.
Sementara itu jika sekilas ia sempat melihat dua orang prajuritnya bertempur melawan Sekar Mirah, maka hatinya memang menjadi berdebar-debar. Adalah satu hal yang sangat menarik, dua orang prajurit dari pasukan khususnya yang terpilih itu tidak segera dapat mengakhiri pertempuran melawan seorang perempuan saja.
Tetapi dalam pada itu, kedua lawan Sekar Mirah itupun menjadi sangat marah ketika usaha mereka untuk mengatasi perempuan itu tidak segera berhasil. Keduanya merasa dirinya telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus.
Karena itu, maka keduanyapun telah berusaha sampai kepuncak ilmu mereka. Dengan cepatnya mereka menyerang berpasangan. Ujung senjata mereka bagaikan arus banjir bandang yang menyerang tanpa ada henti-hentinya.
Tetapi Sekar Mirahpun lincah seperti seekor burung sikatan. Kakinya seolah-olah tidak menyentuh tanah. Berloncatan melemparkan tubuhnya yang seakan-akan tanpa bobot.
Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka kedua orang lawannya telah memencar. Mereka berusaha untuk melawan Sekar Mirah dari dua arah. Dengan demikian, mereka merasa bahwa mereka dapat memecah pemusatan perhatian perempuan itu. Tetapi Sekar Mirah memang terlalu garang bagi keduanya. Tongkat baja putihnya berputaran semakin cepat. Bagaikan segumpal awan putih tongkat baja itu melibat kedua lawannya. Kadang-kadang sinar kekuning-kuningan memancar bagaikan cahaya lidah api yang menyambar kedua lawannya berganti-ganti.
Namun kedua lawannya itupun masih mampu mengelakkan serangan Sekar Mirah. Keduanya mampu bekerja bersama dengan baiknya. Jika serangan seorang diantara mereka dapat dielakkan oleh Sekar Mirah, maka ujung senjata yang lain telah menyerangnya pula. Berurutan, seakan-akan tidak memberikan kesempatan kepada Sekar Mirah untuk melawan serangan-serangan itu.
Tetapi serangan-serangan itu tidak pernah berhasil menyentuh tubuh Sekar Mirah. Bahkan loncatan-loncatan Sekar Mirah yang menjadi semakin cepat dan panjang, kadang-kadang membuat lawannya bagaikan kehilangan sasaran. Namun dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja sebuah serangan telah menyambar salah seorang dari mereka sehingga dengan tergesa-gesa prajurit itu harus menghindar, sementara kawannya harus dengan cepat membantunya, agar orang yang menjadi sasaran serangan Sekar Mirah itu tidak mengalami kesulitan selanjutnya.
Hanya dengan kerja sama yang baik, ternyata kedua orang prajurit pilihan itu mampu memperpanjang perlawanannya terhadap Sekar Mirah. Meskipun demikian, semakin lama Sekar Mirah rasa-rasanya menjadi semakin cepat bergerak. Ketika Sekar Mirah meningkatkan penggunaan tenaga cadangannya, maka kakinyapun menjadi semakin cepat bergerak, sementara tongkatnya berputaran semakin cepat. Dalam sentuhan dan benturan senjata yang kemudian terjadi, maka terasa kekuatan Sekar Mirah menjadi semakin meningkat.
"Anak iblis," seorang diantara keduanya menggeram. "Ada semacam kengerian yang mencengkam hati. Keduanya masih belum melihat satu kesempatan untuk dapat mengalahkan perempuan dari Sangkal Putung itu. Bahkan rasa-rasanya keduanya ketinggalan semakin lama semakin jauh."
Sekali-sekali Sekar Mirahpun sempat melihat Pandan Wangi yang bertempur melawan seorang Senapati yang bertugas memimpin sekelompok pasukan khusus itu. Namun, dalam kesibukannya sendiri. Sekar Mirah tidak sempat menilai, apa yang dapat terjadi atas Pandan Wangi itu. Namun Sekar Mirah masih belum mencemaskan, karena rasa-rasanya keadaannya masih belum sampai kepada tingkat yang berbahaya.
Namun dalam pada itu, yang terjadi disekitar kedua perempuan itu memang agak berbeda. Dalam benturan puncak kemampuannya, maka prajurit dari pasukan khusus Pajang masih mempunyai harapan yang lebih besar. Meskipun orang-orang Mataram itupun adalah orang-orang pilihan, namun ternyata bahwa mereka mengakui, bahwa prajurit Pajang, memiliki pengalaman yang lebih luas dari mereka.
Dalam pada itu, agaknya orang-orang Mataram terlalu percaya kepada pasukan khususnya, sehingga Mataram tidak memberitahukan jumlah yang lebih besar dari jumlah orang-orang yang mereka perkirakan akan datang kembali setelah mereka berhasil merampas bende yang pertama, kecuali seorang yang masih dengan tenangnya memukul bendenya dan seorang lagi yang menungguinya.
Sementara seorang yang lain berdiri dibelakang orang yang sedang memukul bende itu untuk melindunginya. Selebihnya telah terlibat dalam pertempuran seorang melawan seorang dengan para prajurit dari Pajang, kecuali Sekar Mirah yang bertempur melawan dua orang lawan.
Nampaknya kekurangan pada orang-orang Mataram itu dapat dilihat oleh Sekar Mirah. Namun sementara itu, ia masih harus menghadapi dua orang lawan yang mampu bekerja bersama dengan sebaik-baiknya.
Meskipun demikian, Sekar Mirah adalah salah seorang yang ikut menempa pasukan khusus dari Mataram. Ia adalah satu-satunya murid Sumangkar. Dan ia adalah orang yang menerima senjata dari Sumangkar yang memiliki ilmu yang bersumber dari perguruan yang sama dengan Patih Mantahun yang namanya menggetarkan Pajang pada waktu itu. Sehingga banyak orang yang menganggap bahwa orang yang memiliki tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu mempunyai nyawa rangkap.
Namun dalam pada itu, prajurit-prajurit dari pasukan khusus Pajang perlahan-lahan dapat mendesak pasukan khusus Mataram yang lebih banyak bertahan. Satu-satu kemudian ternyata bahwa orang-orang Pajang itu memiliki ragam permainan senjata yang lebih banyak, sehingga kadang-kadang orang-orang Mataram menjadi agak kebingungan.
Tetapi orang-orang Mataram itu adalah para pengawal yang mengalami latihan-latihan yang sangat berat. Karena itu, desakan orang-orang Pajang yang memiliki beberapa kelebihan itu tidak dengan segera dapat mematahkan perlawanan orang-orang Mataram. Dengan sepenuh kemampuan dan ilmu yang ada, maka para pengawal dari Mataram itu memberikan perlawanan yang sengit atas lawan-lawan mereka.
Pandan Wangipun melihat kekurangan orang-orangnya. Sementara itu ia masih melihat tiga orang yang belum turun ke medan. Mereka merasa bahwa mereka sudah tidak mempunyai lawan lagi, karena jumlah mereka lebih banyak, sehingga seorang diantara mereka masih saja membunyikan bende yang melengking-lengking.
Justru karena itu, maka Pandan Wangipun harus membuat perhitungan yang cermat. Jika tiga orang yang berada disekitar bende itu kemudian turun pula ke medan, maka keadaannya tentu akan berbeda. Jika semula dua orang diantara mereka sudah siap untuk bertempur, namun akhirnya mereka kembali berada disebelah menyebelah bende yang masih saja dibunyikan itu, setelah mereka tidak melihat lagi lawan yang berdiri bebas.
Tetapi Pandan Wangi tidak mau memberikan perintah. Ia membiarkan saja apakah pengawal itu akhirnya akan menyadari keadaan. Kemudian turun kemedan pertempuran. Atau mereka terlalu percaya kepada kawan-kawannya tanpa memperhatikan keadaan disekitarnya.
Tetapi agaknya pengawal yang berdiri di belakang orang yang sedang memukul bende itupun mengerutkan keningnya. Ia melihat kawan-kawanya mengalami kesulitan. Meskipun mereka masih tetap melawan dengan gigihnya, tetapi setapak demi setapak mereka mulai terdesak surut. Bahkan ada diantara pengawal Mataram yang harus meloncat jauh, jauh menghindari serangan-serangan yang datang beruntun.
"Ternyata kami harus mengakui kelebihan pasukan khusus Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Menilik pakaiannya, maka orang-orang ini adalah prajurit prajurit dari pasukan khusus itu." gumam pengawal itu.
Sekali ia berpaling. Ia memang sedang melindungi pemukul bende itu, jika tiba-tiba saja seorang lawannya meloncat menusuknya dari belakang.
Namun dalam pada itu ia berbicara dengan kawannya yang lain, yang asyik menunggui Pengawal yang memukul bende itu, katanya, "Kau lihat keseimbangan pertempuran ini?"
"Ya," jawab kawannya meskipun harus melawan dua orang, tetapi Sekar Mirah ternyata dapat mengatasinya."
"Kau hanya melihat Sekar Mirah saja?" bertanya kawannya.
Yang berada didepan pemukul bende itu mengerutkan keningnya. Dengan jujur ia menjawab, "Ya. Aku kurang memperhatikan yang lain."
"Lihatlah dengan saksama," berkata kawannya yang berdiri.
Kawannya mulai memperhatikan seluruh arena pertempuran. Kemudian keningnya mulai berkerut. Jawabnya, "aku melihatnya. Ternyata kita masih terlalu lemah menghadapi prajurit-prajurit Pajang yang sebenarnya."
"Apakah kita akan turun?" bertanya yang berdiri.
"Kita tidak mempunyai lawan," jawab yang lain.
"Aku akan mengambil lawan Sekar Mirah yang seorang," berkata yang berdiri.
"Kau akan mengalami kesulitan seperti yang lain-lain," jawab kawannya.
"Tetapi aku segan bertempur berpasangan untuk melawan seorang. Karena itu, aku akan melawan salah seorang lawan Sekar Mirah," geram yang berdiri, "meskipun aku akan mengalami kesulitan seperti yang lain-lain, tetapi Sekar Mirah akan segera menyelesaikan yang seorang lagi. Dengan demikian, beruntun ia akan mengurangi jumlah lawan."
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kau atau aku."
"Aku. Kau awasi pemukul bende yang sibuk ini," jawab yang berdiri, "aku akan pergi sekarang."
Pengawal itupun kemudian mengacukan senjatanya. Dengan langkah panjang ia mendekati arena pertempuran antara Sekar Mirah dan dua orang lawannya.
Namun keragu-raguan telah tumbuh dihatinya, apakah Sekar Mirah akan melepaskan lawannya.
Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah tengah bertempur dengan sengitnya. Perlahan-lahan Sekar Mirah mendesak lawannya meskipun ia harus melawan dua orang laki-laki. Dua orang prajurit dari pasukan khusus Pajang.
Dalam kesulitan itu salah seorang dari kedua orang prajurit itu telah menggeram, "Perempuan celaka. Aku habisi nyawamu dengan cara seorang prajurit khusus."
Sekar Mirah mendengar geram itu. Namun hampir saja ia tidak berkesempatan untuk menghindar ketika dua buah pisau belati kecil menyambarnya.
Untunglah bahwa ia masih cukup tangkas. Karena itu, kedua pisau itu meluncur tanpa menyentuhnya.
"Inikah prajurit-prajurit dari pasukan khusus?" bertanya Sekar Mirah dengan nada tinggi.
Suaranya benar-benar menyakitkan hati. Apalagi setelah dua buah pisau belati yang meluncur dengan tiba-tiba itu tidak mengenai sasarannya.
Dalam pada itu, pengawal yang bebas itupun telah mendekatinya. Dengan suara lantang ia berkata, "Aku melihat perkelahian yang tidak adil disini. Namun akupun melihat, bahwa dua orang prajurit dari pasukan khusus Pajang ini tidak banyak dapat berbuat, melawan Sekar Mirah. Karena itu, daripada kalian mati sebagai dua orang prajurit yang licik, sebaiknya kalian mati sebagai prajurit yang jantan. Marilah, aku memberi kesempatan kalian mati dengan sebutan seorang prajurit laki-laki yang tangguh."
Sekar Mirah memandang pengawal itu sejenak. Namun iapun ternyata dapat mengerti. Para pengawal Mataram yang lain mengalami kesulitan. Dengan terlepasnya seorang lawannya, maka ia harus bertindak lebih luas daripada bertempur dalam keterikatan seperti itu.
Karena itu. Sekar Mirah tidak mencegahnya ketika pengawal itu berdiri semakin dekat. Bahkan kemudian ia mulai mengganggu salah seorang lawan Sekar Mirah.
"Lihat, aku tidak mempunyai lawan," berkata pengawal itu, "tetapi aku segan bertempur berpasangan. Aku tidak mau bertempur berdua melawan seorang prajurit Pajang. Karena itu, satu-satunya kemungkinan bagiku adalah mengambil salah seorang diantara kalian untuk bertempur, agar kehadiranku disini tidak sia-sia."
Kedua orang prajurit Pajang itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Namun merekapun melihat bahwa kawan-kawannya nampaknya mempunyai kesempatan lebih baik dari para pengawal dari Mataram itu.
Namun bagaimanapun juga pengawal itu telah berhasil menyentuh harga diri prajurit-prajurit Pajang, sementara merekapun melihat kemungkinan yang sebaliknya dari yang diperhitungkan oleh pengawal dari Mataram itu.
"Jika satu atau dua orang prajurit mempunyai kesempatan menyelesaikan lawannya lebih cepat dari Sekar Mirah, maka kesempatan bagi Pajang akan menjadi semakin baik." berkata prajurit itu.
Karena itu, ketika pengawal dari Mataram itu menjadi semakin dekat, maka seorang dari kedua prajurit yang bertempur melawan Sekar Mirah itupun dengan cepat meloncat keluar dari arena. Namun secepat itu pula, prajurit itu telah melemparkan pisau kecilnya kearah pengawal dari Mataram yang mendekatinya.
Yang dilakukan itu demikian cepatnya, sehingga pengawal dari Mataram itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Ia melihat pisau itu meluncur. Namun demikian tiba-tiba.
Meskipun demikian ia tidak menyerahkan dirinya bulat-bulat menjadi sasaran pisau itu. Dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk berkisar dari arah sambaran pisau lawannya.
Namun pisau itu masih sempat menyambar pundaknya. Pisau itu tidak menghunjam. Namun pisau itu telah menggores mengoyak kulitnya.
Pengawal itu menggeram. Tetapi adalah satu kenyataan bahwa pundaknya telah terluka.
Tetapi dengan demikian, kemarahan telah membakar jantung pengawal itu. Dengan tangkasnya ia meloncat mendesak maju. Ia tidak mau menjadi sasaran serangan serupa. Karena itu, maka ia justru harus bertempur dalam jarak yang lebih pendek.
Namun dalam pada itu, justru karena ia mengerahkan kemampuannya, maka darah dipundaknya bagaikan terperas. Semakin lama menjadi semakin cepat mengalir lewat mulut lukanya.
Dalam pada itu, prajurit Pajang itupun tertawa. Katanya, "Kau memang bernasib buruk. Kau mengantarkan nyawamu. Betapa mudahnya membunuhmu sekarang."
Tetapi pengawal itupun menggeram. Ia tidak mau menyerah. Karena itu maka ia justru meloncat menyerang dengan senjata teracu. Namun dengan demikian, darahpun menjadi semakin banyak mengalir. Bagaimanapun juga, selain perasaan pedih yang menggigit, terasa kekuatan pengawal itupun menjadi susut.
Namun dalam pada itu, ia masih sempat melihat prajurit Pajang itu sekali lagi memungut pisau kecil pada ikat pinggangnya justru dengan tangan kirinya. Pengawal itu masih sempat meloncat menghindari sambaran pisau kedua yang hampir saja melubangi dadanya.
"Kau masih tangkas juga menghindar," geram prajurit Pajang.
Kata-katanya terputus, karena pengawal yang terluka itu meloncat maju sambil menjulurkan senjatanya kearah mulutnya.
Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Arena yang kecil itu ternyata menggambarkan betapa serunya pertempuran antara orang-orang Pajang dan Mataram. Di medan perang yang besar, pasukan Mataram telah menahan gerak pasukan Pajang yang kuat dan marah. Para Senapati Pajangpun tidak banyak dapat berbuat, karena para Senapati dari Mataram mampu mengimbanginya.
Diarena kecil, dekat sumber suara bende yang masih saja mengaum itu. Pandan Wangi bertempur melawan seorang Senapati terpilih dari pasukan khusus Pajang. Namun betapapun tinggi kemampuan Senapati itu, akhirnya menjadi bingung menghadapi Pandan Wangi yang mulai mengembangkan ilmunya yang semula kurang dikenalnya. Dalam puncak benturan ilmu, maka ilmu itupun telah terungkap kembali.
Perlahan lahan Pandan Wangi yang mulai mengenal kemampuan diri itu dengan sadar telah mengetrapkan ilmunya itu. Dengan demikian maka ujung sepasang pedangnya, seolah-olah mampu bergerak lebih cepat dari geraknya yang sebenarnya.
Senapati pasukan khusus Pajang itu tidak segera menyadari apa yang sedang dihadapinya. Ketika pedang Pandan Wangi terjulur, maka dengan tangkasnya ia telah menangkisnya. Namun, meskipun ia berhasil mengibaskan arah serangan pedang Pandan Wangi, namun terasa ujung pedang itu telah menggores kulitnya.
Senapati itu meloncat surut. Dengan tegang ia mengamati senjata Pandan Wangi yang dengan langkah satu-satu dan pedang bersilang didadanya, mendekati Senapati yang termangu-mangu.
"Anak iblis," geram Senapati yang mulai menitikkan darah dari tubuhnya itu, meskipun lukanya tidak dalam.
Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Tetapi kemudian sekali lagi ia dengan sengaja melontarkan kemampuannya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya.
Senapati itu tidak menangkis serengan Pandan Wangi. Tetapi dengan cepat ia bergeser selangkah kesamping. Menurut perhitungannya ia telah keluar dari garis serengan lawannya.
Namun sekali lagi ia terkejut. Terasa ujung pedang Pandan Wangi yang masih berjarak sejengkal dari tubuhnya itu telah mengenainya. Sebuah goresan tajam telah mengoyak kulit lengannya.
"Gila," geramnya, "aku telah berhadapan dengan ilmu iblis."
Namun dalam pada itu. Senapati itupun mulai yakin, bahwa ujung pedang Pandan Wangi mempunyai kemam puan melampaui kecepatan gerak pedang itu sendiri.
Ternyata Senapati itu telah mengenal jenis ilmu seperti itu. Ia mengenal kemampuan serangan berjarak seperti yang dilakukan oleh Pandan Wangi, dan bahkan perkembangannya selanjutnya. Sebagaimana telah dimulai oleh Pandan Wangi bahwa ia mampu pula menyerang lawannya dari jarak beberapa langkah dengan tangannya yang seolah-olah melontarkan kekuatan. Namun kekuatan yang dapat dilontarkan oleh serangan Pandan Wangi dengan cara yang demikian masih belum memadai untuk melawan orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yang tinggi.
Karena itu, maka serangan Pandan Wangi diberatkan pada kemampuannya mempergunakan senjata yang seakan-akan mampu mendahului gerak wadagnya dan benar-benar mampu melukai lawannya.
Dengan demikian maka Senapati Pajang itu telah mengerahkan segenap ilmunya pula. Ia mempergunakan segenap tenaganya untuk mendorong kecepatan geraknya, sehingga dengan kecepatannya itu ia mampu mengatasi kecepatan gerak serangan-serangan Pandan Wangi.
Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa Senapati pilihan dari Pajang itu meskipun sudah terluka, namun masih mampu mengimbangi ilmu Pandan Wangi.
Cakar Harimau 2 Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi Durjana Pemenggal Kepala 1