Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 27

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27


Karena itu, maka Glagah Putihpun masih ingin meyakinkan mereka. Katanya, "Ki Sanak. Seharusnya kau dapat menilik sikap dan tingkah laku seseorang. Apakah menurut pendapat Ki Sanak, aku pantas untuk kau anggap sebagai salah seorang yang sedang kau cari itu?"
Pemimpin pengawal itu tersenyum. Jawabnya, "Memang sulit untuk menilai seseorang hanya dari ujudnya saja. Karena itu, marilah. Kita akan berbicara. Dibarak itu ada seorang Senapati yang akan dapat menilai apakah kau boleh meneruskan perjalanan atau kau harus tinggal untuk satu dua saat."
Jantung Glagah Putih menjadi berdentangan. Rasa-rasanya ia ingin menguak sekelompok pengawal yang berhenti dihadapannya. Tetapi agaknya Glagah Putih masih harus memperhitungkan beberapa hal yang mungkin akan dapat membuat kedudukannya semakin sulit.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal itupun berkata pula, "Marilah anak muda. Nampaknya kau merasa segan untuk melakukannya. Tetapi kau memang tidak mempunyai pilihan lain sekarang ini kecuali mengikuti kami pergi ke barak."
"Dengar Ki Sanak," berkata Glagah Putih masih membela diri, "Aku harus segera menemui Kiai Gringsing sekarang ini. Ada persoalan yang sangat penting yang akan dapat mengancam keselamatan Agung Sedayu karena kelicikan seseorang."
Tetapi pemimpin pengawal itu tersenyum. Katanya, "Kau jangan berceritera ngaya wara anak muda. Seolah-olah kami belum mengenal Agung Sedayu. Ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya. Bagaimana mungkin ia merasa terancam jiwanya oleh seseorang. Apalagi bukankah di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Gede Menoreh, ada pasukan khusus dan ada orang-orang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Kenapa kau harus mencari Kiai Gringsing ke Sangkal Putung " Aku tahu, bahwa Kiai Gringsing memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun untuk melawan orang yang kau katakan itu Agung Sedayu tidak memerlukan pertolongan."
Jantung Glagah Putih rasa-rasanbya bagaikan meledak. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Kalian tentu pengawal-pengawal Mataram yang tidak ikut dalam pertempuran di Prambanan. Jika kalian ikut dalam pertempuran itu, kalian tentu akan mengenal aku dan tidak akan berbuat seperti itu. Karena aku berada di medan itu pula."
"Aku memang tidak ikut dalam pertempuran di Prambanan itu anak muda. Tetapi jangan menganggap bahwa kami yang tidak ikut bertempur di Prambanan itu tidak mempunyai arti sama sekali."
"Bukan begitu Ki Sanak. Maksudku, bahwa kalian tidak mengenal aku," jawab Glagah Putih dengan serta merta.
"Ya. Kami memang tidak mengenalmu Ki Sanak. Karena itu, marilah, jangan terlalu banyak alasan sehingga dapat membuat kami pusing," jawab pemimpin pengawal itu.
Akhirnya Glagah Putih tidak dapat menolak lagi. Ada keinginannya untuk melawan dan melepaskan diri dari para pengawal. Tetapi niat itupun kemudian diurungkannya. Jika demikian, mungkin kesulitan akan semakin bertaMbah-taMbah.
Tanpa dapat mengelak lagi, maka Glagah Putihpun kemudian mengikuti pemimpin pengawal itu. Di belakangnya beberapa orang pengawal berkuda mengiringnya dengan penuh kewaspadaan.
"Apa yang telah terjadi disini?" bertanya Glagah Puth.
"Kerusuhan anak muda," jawab pemimpin pengawal itu, "ada sekelompok orang yang membuat kerusuhan di padukuhan-padukuhan terpencil. Mereka merampok dan merampas. Bahkan menyamun di bulak-bulak panjang. Kerusuhan itu telah merupakan alasan yang cukup bagi kita untuk mencurigai orang-orang yang tidak kami kenal. Orang-orang yang nampak asing dan menarik perhatian. Justru karena itu maka kami telah mencurigai kau anak muda."
"Bagaimana aku dapat membuktikan, bahwa aku bukan salah seorang dari mereka," bertanya Glagah Putih.
"Kita akan berbicara. Seorang Senapati yang mahir mengenali watak dan sifat seseorang, akan dapat mengambil kesimpulan, apakah kau termasuk diantara mereka atau tidak." jawab pemimpin pengawal itu.
Glagah Putih mengumpat didalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat membantah. Betapapun kegelisahan bergejolak didalam hatinya, tetapi ia harus mengikuti pemimpin pengawal itu.
"Jika aku tidak dapat kembali malam ini, mungkin persoalan di Tanah Perdikan Menoreh akan berkembang semakin buruk," gumam Glagah Putih didalam hatinya.
Tetapi katanya kemudian kepada diri sendiri, "Mudah-mudahan bajak laut itu berbuat seperti yang dikatakannya. Ia tidak terlalu tergesa-gesa."
Namun bagaimanapun juga, Glagah Putih benar-benar telah dicengkam oleh kegelisahan.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah melaporkan apa yang terjadi dirumahnya kepada Ki Gede. Agung Sedayupun melaporkan, bahwa Glagah Putih telah pergi ke Sangkal Putung untuk memberitahukan hal itu kepada Kiai Gringsing.
"Kiai Gringsing akan dapat menjadi saksi yang baik," berkata Agung Sedayu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Apakah Glagah Putih hanya seorang diri saja?"
"Ya Ki Gede. Glagah Putih hanya seorang diri," jawab Agung Sedayu.
"Kenapa tidak seorangpun yang menemaninya " Mungkin untuk kawan berbincang di sepanjang jalan," bertanya Ki Gede pula.
Agung Sedayu merenung sejenak. Namun jawabnya kemudian, "Nampaknya anak itu akan tidak menarik perhatian jika ia pergi seorang diri. Tetapi jika ia pergi dengan sekelompok kecil, maka kelompok itu akan sempat menarik perhatian orang lain."
Ki Gede mengangguk-angguk. Memang kadang-kadang bepergian seorang diri itu akan dapat menjadi lebih cekatan tanpa harus menunggu dan bahkan kadang-kadang tergantung yang satu dengan yang lain. Tetapi seorang diri kadang-kadang juga dapat mengalami kesulitan tanpa dapat membicarakannya dengan orang lain.
Agung Sedayu yang melihat keragu-raguan Ki Gede berkata, "Glagah Putih sudah terlalu sering menempuh perjalanan ke Sangkal Putung."
"Ya. Ya, ngger. Tetapi kadang-kadang perjalanan itu terhambat oleh sekelompok orang atau oleh seseorang yang berniat buruk," gumam Ki Gede. Tetapi katanya lebih lanjut, "Namun mudah-mudahan angger Glagah Putih tidak mengalaminya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah didalam hatinya ada juga rasa cemas sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede Menoreh.
Meskipun demikian, Agung sedayu masih juga berkata kepada diri sendiri, "Glagah Putih sudah cukup dewasa untuk melakukan tugas-tugas yang penting seperti ini."
Dalam pada itu, Ki Gedepun kemudian bertanya, "Apakah kau juga akan melaporkannya ke barak pasukan khusus?"
Agung Sedayu berpaling kepada Ki Waskita yang menyertainya. Ternyata Ki Waskitapun mengangguk kecil sambil berkata, "Tidak ada salahnya ngger. Jika terjadi perang tanding itu, maka tidak akan mengejutkan orang-orang yang tinggal di barak itu. Bahkan mungkin beberapa orang Senapati akan dapat menjadi saksi juga agar perang tanding itu terjadi benar-benar tanpa kecurangan dan kelicikan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, "Mungkin Ki Lurah Branjangan sajalah yang akan dapat hadir sebagai saksi."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Mungkin cukup dengan Ki Lurah Branjangan saja."
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian telah menghubungi barak pasukan khusus. Mereka telah memberitahukan persoalan yang dihadapi oleh Agung Sedayu kepada Ki Lurah, agar jika terjadi sesuatu, seisi barak tidak terkejut dan menganggap bahwa yang terjadi itu merupakan persoalan yang menyangkut langsung seisi Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa Ki Lurah Branjangan telah menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap persoalan yang dihadapi oleh Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun telah bertanya, "Apakah kau benar-benar ingin menghadapi ketiga orang itu dalam satu arena perang tanding yang jujur?"
"Ya Ki Lurah. Menilik sikapnya, maka orang-orang yang menyebut dirinya bajak laut itu memang ingin melakukan perang tanding. Mereka memberi kesempatan kepadaku untuk memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi lawanku. Agaknya aku memang tidak akan dapat menghindar lagi."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba katanya, "Agung Sedayu. Sudah terbukti bahwa mereka telah melakukan kejahatan. Mereka telah merampok dan merampas hak seorang penduduk Tanah Perdikan ini. Apakah dengan demikian, sudah cukup alasan untuk menangkap mereka tanpa kesempatan untuk berperang tanding?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak dapat berbuat demikian Ki Lurah. Mereka menganggap bahwa aku telah membunuh saudara seperguruannya. Dan karena itu mereka datang untuk membuat perhitungan dengan aku. Tidak dengan orang lain."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Jika kau sudah berketetapan hati, maka baiklah aku menjadi saksi. Kecuali jika orang-orang itu kelak melanggar pangeran perang tanding, maka kau dan kita semuanya sudah tidak terikat lagi. Kita dapat berbuat apa saja yang kita anggap paling baik. Dan aku, pemimpin pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh dapat pula mengambil sikap tertentu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika hal yang demikian terjadi, terserahlah kepada Ki Lurah. Dan barangkali Ki Gede dan Ki Waskita juga akan dapat mengambil sikap."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan datang sendiri melihat dan menjadi saksi. Jika saatnya datang, aku minta kau sempat memberitahukan kepadaku."
"Baik Ki Lurah. Sementara itu Glagah Putih telah pergi ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan malam nanti ia dapat datang dengan Kiai Gringsing. Aku mohon Kiai Gringsing dapat menjadi saksi yang baik menghadapi ketiga orang bajak laut itu. Kamipun telah memperhitungkan seandainya bajak laut itu mengambil langkah yang melampaui paugeran perang tanding."
"O," Ki Lurah mengangguk-angguk, "jadi kau mengundang Kiai Gringsing?"
"Ya Ki Lurah," jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, bagi Agung Sedayu, Kiai Gringsing adalah gurunya. Anak muda itu tentu merasa dirinya bagian dari gurunya dalam olah kanuragan. Seandainya terjadi sesuatu, maka biarlah gurunya menyaksikannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu itupun telah minta diri bersama Ki Waskita untuk kembali. Ia masih harus mempersiapkan dirinya didalam sanggar. Mungkin ada sesuatu yang penting yang harus dipersiapkannya menghadapi bajak laut yang belum diketahuinya tingkat kemampuannya.
Namun, ketika ia memasuki halaman rumahnya. Agung Sedayu itu terkejut. Dilihat seorang tamu duduk dipendapa rumahnya seorang diri. Sekar Mirah tidak menemuinya sebagaimana seorang tamu yang datang kerumahnya jika ia tidak ada.
Tetapi ia lebih terkejut lagi ketika ia kemudian melihat, bahwa orang itu adalah salah seorang dari tiga orang bajak laut yang sedang mencarinya.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun iapun kemudian langsung naik kependapa menemui tamunya yang mendebarkan itu.
Bajak Laut yang duduk dipendapa itu berpaling ketika ia mendengar gemerisik langkah memasuki regol halaman. Karena itu, maka iapun kemudian berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu dan Ki Waskita tertegun dihalaman dan bahkan kemudian langsung naik kependapa.
Sambil tersenyum bajak laut itu bergeser. Sementara itu Agung Sedayupun bertanya, "Kau sudah lama Ki Sanak?"
"Ya, belum," jawab bajak laut itu, "tetapi aku memang sengaja menunggumu."
"Ada sesuatu yang penting?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Ada yang penting yang ingin aku sampaikan kepadamu," jawab bajak laut itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sementara itu diruang dalam, Sekar Mirah yang telah siap dengan pakaian khususnya dan menggenggam tongkat baja putihnya berdiri tegak dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu, iapun mendengar suara suaminya di pendapa. Karena itu maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika iapun kemudian mendengar suara Ki Waskita pula.
"Nampaknya kau tidak sabar menunggu malam nanti," desis Ki Waskita.
"Ya Ki Sanak," jawab bajak laut itu, "kami memang harus segera mengambil sikap. Ternyata bahwa ada sesuatu yang memaksa kami mengambil tindakan yang cepat."
"Apa maksudmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Agung Sedayu," berkata bajak laut itu, "kali ini aku datang seorang diri karena aku tidak ingin menarik perhatian jika aku datang bertiga. Tetapi yang akan aku katakan kepadamu adalah keputusan kami bertiga tentang rencana yang sudah pernah kami sampaikan kepadamu. Kita akan mengukur kemampuan kita. Kau yang telah berbangga membunuh kakang Tumenggung Prabadaru, dan kami, saudara-saudara seperguruannya."
"Ya. Aku mengerti," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi agaknya kau telah mengambil satu kesempatan yang mungkin akan merusak perjanjian kita itu." berkata bajak laut itu.
"Apa yang kau maksud?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Kau telah mengirimkan anak muda yang semalam hampir melanggar kami di belakang regol halaman ini. Kami melihat menjelang fajar anak itu meninggalkan padukuhan induk ini. Kami tidak tahu kemana anak itu pergi. Tetapi menilik ketergesa-gesaannya, maka aku yakin bahwa kepergiannya itu tentu ada hubungannya dengan rencana perang tanding yang akan kita selenggarakan. Mungkin anak itu melaporkannya ke Mataram. Atau mungkin memanggil satu dua orang yang akan dengan licik membantumu dalam perang tanding," jawab bajak laut itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, "Kau melihat anak itu pergi?"
"Ya. Kami bertiga telah melihatnya," jawab bajak laut itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar Ki Sanak. Tetapi sama sekali bukan untuk satu rencana yang licik. Anak itu pergi untuk memanggil seorang saksi yang paling baik yang dapat aku pilih untuk melihat perang tanding itu."
Bajak laut itu tersenyum. Katanya, "Kau dapat menyebut apa saja Ki Sanak. Tetapi kau akan dapat berbuat licik pada saat perang tanding itu sedang berlangsung."
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "seandainya aku ingin berbuat licik, maka aku tidak perlu mengundang siapapun juga, karena disini ada barak pasukan khusus yang cukup kuat untuk menangkap kalian bertiga."
"Kau pikir bahwa pasukan khusus itu benar-benar dapat menangkap kami meskipun mereka mengerahkan lebih dari seratus orang termasuk Senapatinya?" bertanya bajak laut itu, "seandainya kami tidak dapat melawan seratus orang pasukan khusus termasuk Senapatinya, namun aku yakin bahwa mereka tidak akan dapat menangkap aku."
"Jika demikian, apa yang Ki Sanak cemaskan dengan kepergian Glagah Putih, anak muda yang kau lihat meninggalkan padukuhan induk ini?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu banyak hal yang dapat membuat kami cemas Agung Sedayu," jawab bajak laut itu, "mungkin mereka menghubungi orang-orang yang kau anggap memiliki kemampuan yang akan dapat menolongmu dari bencana yang dapat timbul karena kehadiran kami sepeninggal kakang Tumenggung Prabadaru."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Sanak. Apapun yang dilakukan oleh anak itu, namun yang kami harapkan dari orang yang akan datang ke Tanah Perdikan ini adalah sekedar untuk menjadi saksi. Aku sama sekali tidak ingin berbuat licik seperti yang kau cemaskan. Seandainya aku tidak bersedia melakukan perang tanding maka aku akan mengatakan dengan jujur, bahwa aku menolak perang tanding. Tetapi kali ini, aku tidak akan dapat mengelak. Jika kau menuntut karena kematian saudara seperguruanmu atas orang yang telah membunuhnya dengan melakukan perang tanding, maka aku sudah menjawab, bahwa aku akan melakukannya. Tetapi aku memerlukan saksi, karena terus terang, akupun menyangsikan kejujuran Ki Sanak."
"Nah, bukankah kita mempunyai anggapan yang sama atas kita masing-masing. Karena itu, kedatanganku sekarang ini sesuai dengan keputusan kami bertiga, bahkan kami tidak menunggu lebih dari hari ini. Jika kau tetap seorang laki-laki sebagaimana kau berhadapan dengan kakang Tumenggung, maka kami menghendaki perang tanding dilakukan tidak lebih dari hari ini juga."
"Kecuali jika kau telah berubah menjadi seorang perempuan atau pada saat kau bertempur melawan kakang Tumenggung, kau sudah berbuat licik dan membiarkan orang lain membantumu dengan diam-diam."
Wajah Agung Sedayu menegang. Tetapi ia menyadari, bahwa tantangan itu harus diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Apalagi ketika bajak laut itu berkata, "Tetapi Ki Sanak. Jika kau menolak dengan alasan apapun juga atas perang tanding ini, maka kamipun akan bebas menentukan sikap dan cara yang akan kami ambil untuk membuat perhitungan atas kematian kakang Tumenggung. Mungkin kami memilih untuk menukar nyawa kakang Tumenggung dengan lima puluh nyawa anak-anak muda Tanah Perdikan, atau dengan cara lain yang dapat menyenangkan dan memberi kepuasan hati kami."
Jantung Agung Sedayu rasa-rasanya berdebar semakin cepat. Ketika ia menatap wajah bajak laut itu, ia melihat seakan-akan wajah itu telah berubah. Selama ini ia melihat bahwa ketiga bajak laut itu mempunyai sikap dan tingkah laku yang wajar, sebagaimana orang kebanyakan. Tetapi saat itu wajah bajak laut itu menjadi seakan-akan berubah. Wajah itu menjadi buas dan liar!
Dengan nada berat Agung Sedayu menjawab, "Yang terlibat dalam persoalan ini adalah aku dan kalian yang mengaku saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru. Karena itu jangan menyangkut orang lain. Karena dengan demikian kau sudah membuka medan melawan seisi Tanah Perdikan Menoreh. Jangan kau sangka bahwa ancamanmu itu akan dapat menakut-nakuti anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang akan dapat bekerja sama dengan para pengawal khusus di barak itu. Apa kau kira bahwa kalian bertiga memiliki kemampuan iblis yang tidak ada batasnya."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Kau memang dungu Agung Sedayu. Kau tidak mengetahui cara yang dapat aku tempuh. Aku dapat muncul disembarang saat dan disembarang tempat untuk membunuh. Mungkin untuk mengambil sesuatu yang kami ingini. Bahkan mungkin kami menginginkan gadis-gadis cantik di Tanah Perdikan ini."
"Gila," geram Agung Sedayu, "itu tingkah laku orang yang tidak berkeadaban."
Tetapi bajak laut itu masih saja tertawa. Katanya, "Aku memang termasuk orang yang tidak berkeadaban. Kami bertiga adalah orang-orang yang tidak terikat paugeran yang manapun juga, karena kami adalah bajak laut yang hidup bebas menurut kehendak hati kami sendiri. Tidak ada hukum apapun yang dapat mengikat kami. Tidak ada sandaran tata cara dan unggah-ungguh yang manapun yang kami pergunakan untuk menilai tingkah laku kami."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Namun dengan demikian, ia sudah melihat wajah yang sebenarnya dari bajak laut yang selama ini telah berbuat seakan-akan orang-orang yang berhati jantan dan berpijak pada harga diri seorang yang berperadaban. Namun ternyata bahwa mereka adalah iblis-iblis yang sangat berbahaya bukan saja bagi Agung Sedayu, tetapi juga bagi banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh.
Disaat-saat Agung Sedayu dan Ki Waskita merenungi sikap bajak laut itu, maka terdengar orang itu berkata, "Sudahlah. Aku tidak akan terlalu banyak berbicara sekarang ini. Aku hanya diminta untuk mengatakan, bahwa perang tanding itu akan terjadi hari ini. Malam nanti, demikian hari menjadi gelap, kami bertiga menunggu kehadiranmu di lereng bukit. Orang-orang di Tanah Perdikan ini menyebut tempat itu Watu Lawang. Nah, kita akan bertemu di Watu Lawang. Jika kau ingin membawa saksi, kau dapat membawa saksi yang kau anggap paling baik itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, "Aku akan datang. Aku akan melakukan perang tanding dengan paugeran yang maton. Aku bukan termasuk orang yang tidak terikat oleh hukum dan paugeran. Karena itu, maka aku akan memasuki arena sebagai seorang laki-laki yang mempunyai harga diri."
Bajak laut itu mengerutkan heningnya. Namun iapun kemudian berkata, "Apakah paugeran perang tanding itu" Bukankah hanya ada satu batasan" Membunuh atau dibunuh ?"
"Jika itu batasannya, aku tidak berkeberatan. Tetapi tidak ada orang lain yang akan mencampuri perang tanding itu. Kita hanya memerlukan saksi-saksi. Tetapi saksi-saksi itu harus bertindak jujur. Apakah kalian juga memiliki kejujuran itu?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
Bajak laut itu tertawa. Jawabnya, "Demi kebesaran nama perguruan kami. Dalam perang tanding itu kami akan menempatkan diri pada ikatan yang pantas bagi perang tanding itu."
"Baik," jawab Agung Sedayu yang tidak mempunyai pilihan lain. Lalu katanya, "Setelah matahari terbenam, aku akan berada di Watu Lawang. Dengan beberapa orang saksi. Tetapi jangan takut bahwa kami akan bertindak curang."
Bajak laut itu masih saja menunjukkan keliarannya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia mengangguk hormat sambil berkata, "Aku mohon diri. Sampai bertemu nanti malam di Watu Lawang. Satu pertemuan yang tentu sangat menarik. Karena dengan demikian kita akan mengetahui, apakah saat kau membunuh kakang Tumenggung Prabadaru kau benar-benar berlaku jujur sebagaimana perang tanding yang dibatasi dengan paugeran-paugeran seperti yang kau maksudkan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi jantungnya serasa hampir meledak. Sikap orang itu benar-benar menyakiti hatinya.
Sejenak kemudian maka orang itupun telah meninggalkan pendapa kecil rumah Agung Sedayu. Sementara itu. Sekar Mirahpun segera muncul dari balik pintu sambil menggeram, "Aku ingin memecahkan kepalanya dengan tongkatku ini."
"Kita harus mengekang diri Mirah," sahut Agung Sedayu.
"Ya," sambung Ki Waskita, "nampaknya orang bajak laut itu memang berbahaya. Mula-mula mereka nampaknya sebagai orang-orang terhormat. Tetapi semakin lama semakin jelas ujud jiwani mereka yang liar. Sementara itu mereka agaknya memiliki ilmu yang tinggi."
"Tetapi aku tidak biasa membiarkan diri disakiti perasaannya seperti itu," jawab Sekar Mirah.
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku harus mempersiapkan diri. Bagaimanapun juga, aku akan menghadapi tugas yang berat. Segalanya terserah kepada Ki Waskita, siapakah yang baik untuk menjadi saksi malam nanti. Jika Kiai Gringsing belum datang, maka sebaiknya ada orang lain yang akan dapat mencegah kecurangan yang mungkin dilakukan oleh bajak laut itu, karena mereka agaknya benar-benar merasa diri mereka tidak terikat oleh paugeran yang manapun juga. Sementara ini aku akan berada didalam sanggar untuk membenahi diri sebaik-baiknya."
Wajah Sekar Mirah tiba-tiba menjadi buram. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan diri dari kecemasan.
NAMUN ia tidak dapat mencegah perang tanding yang akan terjadi. Iapun mengerti, jika Agung Sedayu menghindar, maka namanya tentu akan dihinakan. Sekar Mirah sendiri tentu tidak menghendaki hal seperti itu terjadi. Tetapi dalam pada itu, iapun menyadari bahwa agaknya orang-orang yang mengaku dirinya bajak laut itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Sementara itu, maka Agung Sedayupun telah pergi ke Sanggar untuk mempersiapkan dirinya lahir dan batin. Seperti biasa ia tidak selalu berbangga atas segala macam ilmu dan kemampuan yang dimilikinya. Agung Sedayu cenderung untuk mohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahwa persoalan yang dihadapinya itu tidak lagi dapat dihindarinya, karena dengan demikian, maka akibatnya akan sangat gawat bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sama sekali tidak bersalah.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu berada didalam sanggarnya untuk bersiap lahir dan batin menghadapi bajak laut yang mengaku saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru, Glagah Putih masih duduk dengan gelisah disebuah rumah yang tidak terlalu besar, yang dipergunakan sebagai barak para prajurit yang mengawasi keadaan didaerah yang dianggap gawat disisi sebelah Utara dari Mataram. Daerah yangg pada saat-saat terakhir sering diganggu oleh kejahatan yang kadang-kadang dapat mengguncangkan keberanian penduduk, sehingga para pengawal Kademangan terpaksa memohon bantuan Mataram.
"Sampai kapan aku harus menunggu," geram Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat bertanya kepada para pengawal, kapan ia dapat meninggalkan tempat itu.
"Kau harus menunggu Ki Sanak," berkata pemimpin pengawal yang telah membawanya ketempat itu. Lalu, "Senapati yang akan memeriksa Ki Sanak baru pergi ke Mataram. Ia akan segera kembali dan semuanya akan diselesaikannya."
"Jika Senapati itu tidak kembali?" bertanya Glagah Putih.
"Ia pasti kembali," jawab pengawal itu, "Tetapi jika hari ini Senapati tidak juga kembali, maka kau memang harus menunggu sampai esok."
"Aku mempunyai keperluan yang penting sekali. Hari ini aku harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh." berkata Glagah Putih.
"Apaboleh buat," jawab pengawal itu.
"Mungkin kau dapat mengatakan seperti itu," berkata Glagah Putih, "tetapi sikap Ki Sanak akan dapat menimbulkan bencana di Tanah Perdikan Menoreh."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum. Katanya, "Aku mengenal Tanah Perdikan Menoreh dengan baik anak muda. Ki Gede Menoreh yang bernama Ki Argapati itu adalah orang yang luar biasa. Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh ada pula sepasukan yang menjadi kebanggaan Mataram. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan. Kenapa kau mencemaskannya?"
Jantung Glagah Putih rasa-rasanya hampir meledak. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengatakan, apa yang tengah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Jika ia mengatakan tentang kehadiran tiga orang bajak laut itu, apakah pengawal itu akan percaya.
Justru karena keragu-raguan itulah, maka Glagah Putih akhirnya mengambil keputusan untuk tidak mengatakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, karena Glagah Putih menduga, pengawal itu akan tidak mempercayainya. Seandainya mereka percaya, maka mereka akan menunjuk pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh untuk menyelesaikannya.
Betapapun kegelisahan mencengkam jantungnya, namun ia memang harus tinggal ditempat itu sesuai dengan perintah pengawal yang membawanya.
Buku 173 DALAM pada itu, pengawal itupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Sudah ada tiga orang yang sekarang menunggu disini seperti juga Ki Sanak. Mereka masing-masing juga mengatakan bahwa mereka nempunyai kepentingan yang mendesak seperti Ki Sanak. Tetapi kamipun mengatakan kepada mereka bahwa mereka terpaksa harus tinggal sampai saatnya mereka diijinkan untuk meneruskan perjalanan, atau mereka akan ditahan."
Glagah Putih hanya dapat mengumpat didalam hati. Tetapi ia harus tetap tinggal. Ia tak dapat melawan para pengawal, sebab dengan demikian akan dapat menimbulkan kesan yang buruk terhadap bukan saja dirinya, tetapi juga Tanah Perdikan Menoreh dan Agung Sedayu.
Ketika matahari kemudian turun disisi langit sebelah Barat, maka Glagah Putih merasa, bahwa ia tidak akan dapat melakukkan tugas itu dengan baik. Tetapi ia dibenturkan pada suatu keadaan yang memang tidak dapat diatasinya. Seandainya yang menghentikannya bukan para pengawal dari Mataram, maka ia tentu akan melawan atau berusaha untuk melepaskan diri untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya terhadap para pengawal dari Mataram, karena hubungan antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Baru di sore hari, setelah tubuh dan pakaian Glagah Putih basah oleh keringat dingin, sekelompok kecil pengawal telah memasuki halaman rumah itu. Orang yang berkuda di paling depan itu adalah Senapati yang sedang ditunggu.
Demikian Senapati itu naik ke pendapa setelah menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal, maka pengawal yang mengawasi Glagah Putih diserambi gandok itupun berkata, "Nah, orang itulah yang kau tunggu itu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat Senapati itu dengan jelas. Namun ia sudah tidak mempunyai harapan untuk dapat memenuhi tugasnya dengan baik. Ia hanya dapat berharap, bahwa bajak laut itu akan menunggu untuk satu dua hari. Sehingga dengan demikian Kiai Gringsing masih akan dapat menjadi saksi dan mengamati perang tanding itu untuk mencegah kecurangan yang dapat saja dilakukan oleh bajak laut itu meskipun ia datang terlambat dari rencana.
Dalam kegelisahannya Glagah Putih masih harus menunggu. Karena ia orang terakhir yang datang untuk diperiksa, maka agaknya pemeriksaan itupun akan dilakukan yang terakhir atasnya.
Ternyata bahwa pemeriksaan itu tidak berlangsung dengan cepat. Ketiga orang yang terdahulu itu telah dipanggil bersama-sama. Meskipun demikian, agaknya pemeriksaan itu tidak berjalan serancak yang dikehendaki oleh Glagah Putih yang ingin segera dapat melanjutkan perjalanan.
Bahkan ia menjadi berdebar-debar ketika iapun justru telah dipanggil pula.
"Kau juga anak muda," berkata pengawal yang memanggilnya.
"Aku?" Glagah Putih menjadi heran.
"Nampaknya ketiganya mempunyai sangkut paut. Mereka tidak dapat ingkar, bahwa mereka terlibat dalam beberapa kali tindak kekerasan. Senapati yang memeriksa ketiga orang itu curiga, bahwa kaupun terlibat pula. Karena itu, kau akan dihadapkan ketiga orang itu selelah mereka memberikan beberapa keterangan tentang kawan-kawannya," berkata pengawal itu.
"Gila," geram Glagah Putih, "apakah ketiga orang itu menyebut bahwa aku juga kawan mereka?"
"Aku kurang jelas. Tetapi Senapati memanggilmu. Lebih baik kau berterus terang saja tentang dirimu seperti ketiga orang yang terdahulu itu, agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan cepat," berkata pengawal itu.
"Aku juga akan berterus terang," jawab Glagah Putih.
"Jadi kau memang kawan ketiga orang itu?" bertanya pengawal itu.
"Siapa bilang?" jawab Glagah Putih dengjin serta merta, "aku hanya mengatakan bahwa aku akan berterus terang tentang, diriku sebagaimana sudah aku katakan."
Pengawal itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Katanya, "Baiklah apapun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Kau dapat langsung berbicara dengan Senapati."
Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke pringgitan. Karena ia tahu, bahwa Senapati itu memeriksa tawanan-tawanannya di pringgitan.
Diantar oleh seorang pengawal, Glagah Putihpun memasuki pringgitan. Justru pemimpin pengawal yang telah menangkapnya.
Namun demikian ia memasuki pringgitan dan melihat Senapati yang sedang memeriksa ketiga orang tawanan itu, langkah Glagah Putih tertegun. Apalagi ketika tiba-tiba saja Senapati itu menyapanya, "Glagah Putih."
"Ya, Aku Glagah Putih," jawab Glagah Putih dengan dahi yang berkerut.
"Kenapa kau disini?" bertanya Senapati itu pula.
"Kenapa aku disini?" Glagah Putih menjadi heran. Namun kemudian katanya, "Bertanyalah kepada pengawal ini."
Pengawal itu menjadi termangu-mangu. Dipandanginya Senapati yang nampak heran itu. Bahkan tiba-tiba saja Senapati itupun bangkit sambil berkata, "Awasi ketiga orang ini. Aku akan berbicara dengan Glagah Putih."
Senapati itupun kemudian justru menggandeng Glagah Putih dan dibawanya keluar pringgitan. Sejenak kemudian merekapun telah duduk dipendapa.
"Apakah kau juga ditangkap" " bertanya Senapati itu.
"Pengawal itulah yang harus bertanggung jawab," jawab Glagah Putih cukup keras, sehingga pengawal yang berdiri dibelakang pintu pringgitan itu mendengarnya.
"Kenapa?" bertanya Senapati itu lagi.
"Senapati dapat bertanya kepada pengawal itu," jawab Glagah Putih. Lalu katanya, "Padahal aku sedang mengemban tugas yang sangat penting."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku minta maaf. Pengawal itu berusaha melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Ia tidak mengenalmu."
"Baik Senapati," jawab Glagah Putih. Lalu, "Tetapi dengar, apa yang sedang aku lakukan sekarang ini."
Glagah Putihpun kemudian menceriterakan apa yang sedang dilakukan kepada Senapati yang kebetulan telah dikenal dan telah mengenalnya itu. Mereka bersama-sama berada di Prambanan ketika perang besar antara Pajang dan Mataram terjadi di Kali Opak.
"O," Senapati itupun menjadi gelisah pula jika demikian silahkan melanjutkan perjalanan. Mungkin masih ada waktu."
"Tidak ada gunanya aku tergesa-gesa. Aku tidak akan dapat menyelesaikan tugasku pada saat yang aku janjikan. Aku telah gagal dalam ujian. Kakang Agung Sedayu menganggap bahwa aku telah dewasa dan dapat melakukan tugas sebaik-baiknya. Tetapi ternyata tidak. Dan aku tidak dapat mengatasi ketika beberapa orang pengawal menahanku. Seandainya mereka bukan penna wal dari Mataram, aku tentu berusaha untuk melawan dan membebaskan diri. Tetapi aku tidak mau melakukannya terhadap para pengawal dari Mataram."
"Sekali lagi aku minta maaf. Para pengawal itu berusaha untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Hanya itu. Karena keadaan memang sedang gawat dan agaknya pengawal itu belum mengenalmu." ulang Sepapati itu. Lalu katanya, "Tetapi, seandainya kau sangat memerlukannya, apakah kau kembali saja ke Tanah Perdikan dan berhubungan dengan kesatuan khusus yang ada disana. Mungkin mereka akan dapat membantu."
"Tidak," jawab Glagah Putih, "kakang Agung Sedayu akan menghadapi bajak laut yang mengaku saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru dalam perang tanding. Ia memerlukan seorang saksi yang baik. Bukan saja menjadi saksi, tetapi jika bajak laut yang lain berbuat curang, maka Kiai Gringsing akan dapat mencegahnya."
"Pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu dapat juga berbuat seperti yang harus dilakukan oleh Kiai Gringsing itu," berkata Senapati itu pula.
"Tetapi dengan pasukan segelar sepapan. Hal itu akan dapat menimbulkan kesan yang kurang baik, seolah-olah kakang Agung Sedayulah yang akan berbuat curang dengan pasukan khusus itu." jawab Glagah Putih.
Senapati itu mengangguk-angguk. Ia mengerti, betapa kesalnya perasaan Glagah Puth bahwa tugasnya telah terhambat oleh seorang pengawal yang tidak mengenalnya. Tetapi Senapati itu juga tidak dapat menyalahkan pengawal yang menghentikan Glagah Putih, karena pengawal itu sedang melakukan tugasnya.
Karena itu, maka Senapati itupun bertanya, "jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku akan melanjutkan perjalanan. Kapanpun aku sampai di Sangkal Putung, maka aku akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh," jawab Glagah Putih. Lalu, "Mudah-mudahan Kiai Gringsing tidak terlambat."
"Mudah-mudahan," ulang Senapati itu, "sampaikan kepada Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Aku minta maaf, karena tugas para pengawal itu termasuk tugas dan tanggung jawabku."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Senapati itu sudah minta maaf kepadanya.
Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Baiklah. Aku sudah terlalu lama menunggu disini. Sekarang aku minta diri."
Senapati itu mengangguk angguk. Lalu katanya, "Silahkan anak muda. Sekali lagi, aku minta maaf kepada segala pihak."
Glagah Putihpun kemudian minta diri. Sementara itu pemimpin pengawal yang menahannya ternyata sempat juga mendekatinya ketika ia sudah berada dipunggung kuda, "Aku minta maaf anak muda."
Glagah Putih memandang wajah pengawal itu. Tetapi nampaknya ia menyatakan perasaannya dengan jujur. Karena itu, maka Glagah Putihpun menjawab, "Sudahlah. Lupakan. Bukankah kau bertugas mengawasi ketiga orang itu ?"
"Kawanku sudah menggantikannya," jawab pengawal itu.
Sejenak kemudian Glagah Putihpun telah berpacu diatas punggung kudanya. Tetapi langit itu sudah menjadi semakin buram. Bahkan terbersit kecemasan dihati Glagah Putih, bahwa ia akan bertemu lagi sekelompok peronda yang akan menghentikannya dan membawanya kembali ke barak pengawasan itu.
Namun untunglah, bahwa hal itu tidak terjadi. Meskipun demikian memang terasa oleh Glagah Pulih bahwa padukuhan-padukuhan terasa sepi meskipun hari belum gelap. Tetapi pintu-pintu regol sudah tertutup. Namun Glagah Putih sempat melihat, hampir disetiap rumah terdapat kentongan di luar dan barangkali juga didalam rumah. Bahkan diregol-regol.
Tetapi Glagah Putih tidak melihat anak-anak muda berada di gardu-gardu.
"Mungkin masih terlalu awal untuk datang kegardu," berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun berpacu semakin cepat. Ia ingin segera sampai ke Sangkal Putung. Namun terasa bahwa Sangkal Putung menjadi sangat jauh. Lebih jauh dari jarak yang terbiasa ditempuh sebelumnya.
Meskipun kemudian malam turun, namun Glagah Putih berpacu terus. Ia tidak ingin menjadi semakin terlambat. Namun demikian, ia tidak dapat memaksa kudanya untuk berlari terus tanpa beristirahat. Karena betapapun jantungnya bergejolak oleh desakan keinginan untuk secepatnya sampai ke Sangkal Putung, maka pada jarak-jarak tertentu Glagah Putih harus beristirahat.
Dalam pada itu, ketika Glagah Putih masih berpacu menuju ke Sangkal Putung, maka di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah berada diluar sanggarnya. Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Agung Sedayu itu mandi dan keramas. Rasa-rasanya sikap Agung Sedayu memberikan kesan yang lain dari tingkah lakunya sehari-hari.
"Paman," desis Sekar Mirah ketika ia berbicara dengan Ki Waskita di serambi, "aku menjadi sangat gelisah."
"Aku mengerti Sekar Mirah," jawab Ki Waskita, "tetapi jangan menambah ketegangan hatinya. Bagaimanapun juga, ada semacam ketegangan yang mencengkam perasaannya. Bukan karena Agung Sedayu menjadi ketakutan. Tetapi sebenarnyalah Agung Sedayu bukan orang yang terbiasa bermain dengan maut. Agung Sedayu adalah orang yang sebenarnya ingin berdiri sejauh-jauhnya dari tindakan kekerasan. Tetapi setiap saat ia berada dalam satu keadaan tanpa pilihan. Seperti yang terjadi atasnya sekarang ini sehingga perasaannya menjadi tegang."
"Tetapi ia harus menyadari, jika ia enggan membunuh, maka ia sendiri akan dibunuh?" desis Sekar Mirah.
"Ia memang sampai pada satu sikap sewajarnya sebagai manusia yang cenderung untuk mempertahankan hidupnya. Dalam keadaan tanpa pilihan itu, maka Agung Sedayu akan bertempur mempertahankan hidupnya pula betapapun ia tidak suka melakukan kekerasan." sahut Ki Waskita.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia mengerti sifat dan watak suaminya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi tidak sabar melihat sikap Agung Sedayu.
Namun melihat Agung Sedayu berkemas, mandi dan keramas, maka hatinya menjadi berdebar-debar.
Demikianlah, maka ketika Agung Sedayu sudah selesai berbenah, maka iapun kemudian berkata kepada Ki Waskita yang berada diserambi, "Saatnya sudah datang Ki Waskita."
Ki Waskita mengangguk. Jawabnya, "Marilah. Kita akan pergi ke rumah Ki Gede lebih dahulu. Kita akan bersama-sama ke Watu Lawang. Sementara itu, Ki Lurah Branjangan akan datang pula menyaksikan perang tanding itu."
"Jadi Ki lurah juga akan datang?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku menerima utusannya ketika kau berada di sanggar," jawab Ki Waskita. "Aku sudah mengatakan segalanya dan utusan itupun nampaknya dapat menentukan satu keputusan yang akan dapat dilaksanakan oleh Ki Lurah. Sebab jika ada perubahan, maka ia akan memberitahukan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, ia memang menjadi cemas. Ki Waskita, Ki Gede Menoreh, Sekar Mirah, Ki Lurah Branjangan, akan menjadi saksi.
Sebenarnyalah, bahwa Agung Sedayu tidak mencemaskan dirinya sendiri. Ia sudah siap untuk mempertahankan hidupnya dalam perang tanding. Tetapi jika terjadi kecurangan oleh bajak-bajak laut itu, maka keaadan saksi-saksi itulah yang justru terancam.
Agung Sedayu tahu pasti, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Tetapi Ki Waskita tentu tidak akan dapat berbuat sesuatu jika bajak laut yang lain mengarahkan sasaran kecurangannya kepada Ki Gede yang sudah menjadi cacat kaki. Sekar Mirah dan Ki Lurah Branjangan. Apalagi jika ketiga bajak laut itu benar-benar orang mumpuni dan memiliki ilmu melampaui Ki Tumenggung Prabadaru.
Agung Sedayu tidak berani menilai dirinya melampau Ki Waskita. Tetapi Agung Sedayupun tidak dapat menyingkirkan kecemasannya, bahwa Ki Waskita akan mengalami kesulitan melawan orang yang memiliki ilmu melampaui Ki Tumenggung Prabadaru.
Tetapi Agung Sedayu tidak akan dapat mengusulkan agar seisi barak kesatuan khusus di Tanah Perdikan itu datang beramai-ramai untuk menyaksikan perang tanding itu. Jika demikian, maka hal itu akan dapat mengundang persoalan tersendiri, karena Agung Sedayupun yakin, bahwa ketiga orang bajak laut itu tentu akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Meskipun barangkali perang tanding itu menjadi batal karena ketiga bajak laut itu menjadi curiga, namun akibatnya akan sangat pahit bagi Tanah Perdikan Menoreh, karena ketiganya akan dapat berbuat apa saja untuk melepaskan dendam mereka seperti yang mereka katakan, bahwa mereka tidak merasa terikat oleh paugeran, karena mereka merasa tidak satu kekuasaanpun yang memerintah atas mereka.
Karena itu, dalam kebimbangan, Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari yang akan dilakukannya. Datang ke Watu Lawang untuk berperang tanding, sementara beberapa orang akan menjadi saksi dari perang tanding itu.
Tetapi akhirnya Agung Sedayupun menjadi pasrah. Jika terjadi kecurangan, maka ada satu keyakinan, bahwa akan datang perlindungan atas mereka yang tidak bersalah.
Demikianlah, maka kemudian sebuah iring-iringan kecil telah menuju ke Watu Lawang. Ternyata Ki Lurah Branjanganpun menepati sebagaimana ditentukan lewat utusan yang datang ke rumah Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu singgah dirumah Ki Gede, maka Ki Lurah Branjangan sudah ada dirumah Ki Gede itu pula.
Agung Sedayu dan sekelompok kecil itu, sama sekali sudah tidak lagi dapat mengharap kehadiran Kiai Gringsing. Menurut pengertian Glagah Putih, maka perang tanding itu tidak akan dilakukan malam itu juga. Karena itu, memang besar kemungkinannya, bahwa ia baru akan datang esok pagi bersama Kiai Gringsing.
Tetapi ternyata bahwa malam itu juga. Agung Sedayu harus turun di medan di Watu Lawang.
Dalam pada itu, ketika mereka memasuki satu lingkungan yang disebut Watu Lawang, maka mereka segera melihat, tiga orang berdiri tegak diantara dua buah batu besar. Kedua batu yang seakan-akan merupakan sebuah gerbang itulah yang menjadikan tempat itu di sebut Watu Lawang.
Agung Sedayu yang berjalan disamping Ki Waskita tertegun. Dengan tegang dipandanginya tiga orang bajak laut yang berdiri dengan tenangnya menunggu kedatangan orang yang akan menjadi lawan dalam perang tanding yang akan terjadi.
"Berhati-hatilah kakang," desis Sekar Mirah yang berjalan dibelakang Agung Sedayu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika orang-orang yang akan menjadi saksi terhenti, maka Agung Sedayu masih melangkah beberapa langkah maju.
"Ternyata kau menepati janjimu Agung Sedayu," berkata salah seorang dari ketiga bajak laut itu.
"Aku selalu berusaha untuk menepati semua yang pernah aku janjikan," jawab Agung Sedayu, "kecuali jika ada satu hal yang tidak mungkin aku atasi."
Bajak laut itu tertawa. Katanya, "Kau memang seorang laki-laki yang mengagumkan. Namun demikian, aku masih memberi kesempatan kepadamu, jika kau merasa cemas menghadapi salah seorang dari kami bertiga."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berusaha untuk tetap selalu dapat menguasai perasaannya. Karena itu, maka iapun menjawab, "Jika aku merasa cemas atau bahkan takut menghadapi perang tanding ini, maka aku akan minta Ki Lurah Branjangan mengerahkan semua pengawal dalam kesatuan khusus yang mendebarkan itu untuk mengepungmu. Betapapun tinggi ilmu kalian bertiga, tetapi kalian tidak akan dapat terlepas jika pasukan khusus itu sengaja mengepung kalian."
"Ah," hampir berbareng ketiga orang bajak laut itu tertawa. Salah seorang diantara merekapun kemudian berkata, "Kau mulai mengigau. Nampaknya kau terlalu sulit untuk mengatasi ketegangan dihatimu. Karena itu, aku ingin memperingatkanmu sekali lagi, jika kau ingin membatalkan perang tanding ini, maka kau masih mempunyai kesempatan. Tentu saja dengan sedikit imbalan."
Terasa sentuhan yang menyakitkan dihati Agung Sedayu. Tetapi ia masih tetap menyadari keadaannya sepenuhnya. Karena itu, maka iapun menjawab, "Apakah kau kira ada imbalan yang nilainya cukup untuk menukar harga diriku?"
Wajah ketiga orang bajak laut itu berkerut. Seorang diantara mereka berkata, "Kau terlalu sombong anak muda. Agaknya kau memang belum mengenal siapakah yang sedang kau hadapi. Kau kira, jika kau berhasil membunuh kakang Tumenggung kau sudah dapat disebut orang yang tidak terkalahkan?"
"Aku tidak mengatakan demikian," jawab Agung Sedayu, "aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai harga diri yang tidak akan dapat kau injak-injak dengan cara apapun juga. Nah, sekarang katakan siapa diantara kalian yang akan melawan aku dalam perang tanding ini?"
Ketiga orang bajak laut itu tertegun. Ternyata mereka masih belum menunjuk, siapakah diantara mereka yang akan melawan Agung Sedayu. Namun seperti yang pernah mereka bicarakan, akhirnya orang yang tertua diantara bajak laut itu berkata, "Baiklah. Sudah barang tentu, bahwa kita tidak akan melawan bertiga. Tetapi karena kita tidak dapat menentukan siapakah diantara kita yang akan turun ke arena, maka sebaiknya kau sajalah yang memilih seorang diantara kami."
Agung Sedayu terdiam sejenak. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Meskipun malam menjadi semakin gelap, tetapi ternyata bara pandangan Agung Sedayu yang tajam, seakan-akan dapat menembus sampai kejantung orang-orang itu.
Meskipun demikian Agung Sedayu menjawab, "Aku tidak akan memilih. Siapapun yang akan mewakili kalian, bagiku sama saja. Aku masih belum mengetahui tingkat kemampuan kalian seorang demi seorang. Mungkin yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain. Tetapi mungkin juga kekurangan. Karena itu, siapapun yang akan kalian pilih, maka aku tidak akan berkeberatan."
Ketiga orang itu menjadi termangu-mangu. Sesaat mereka saling berpandangan. Namun yang seorang diantara mereka berkata, "Agung Sedayu. Meskipun kau belum mengetahui siapakah diantara kita yang terbaik, atau justru yang paling buruk, tetapi kau akan dapat melihat ujud lahiriah kami. Ketajaman penglihatanmu atas ilmu seseorang akan dapat sedikit memberikan petunjuk kepadamu, siapakah yang paling lemah diantara kami, karena aku kira, kau tentu akan mencari siapakah yang paling lemah diantara kami bertiga." Penghinaan itu sungguh menyakitkan hati. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan perasaannya mencengkam jantungnya sehingga ia akan dapat kehilangan penalaran.
Karena itu, justru ia menjawab, "Pilihan yang demikian adalah pilihan yang paling masuk akal. Sementara dua orang diantara kalian akan menjadi saksi bersama-sama dengan beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh yang datang bersama kami."
Wajah bajak laut itu menegang. Lalu jawabnya, "Memang pantas sekali bagi seorang pengecut. Nah, pilihlah seperti yang kau kehendaki."
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu, "ada bedanya antara pengecut dan orang yang berperhitungan. Agaknya aku memilih istilah kedua."
"Anak setan," bajak laut yang tertua itupun menggeram. Lalu katanya, "Kau memang pantas untuk dicincang. He, Agung Sedayu. Ketahuilah, bahwa tidak ada diantara kami yang paling lemah atau paling kuat. Kami adalah saudara seperguruan yang memiliki dasar dan landasan ilmu yang sama, sebagaimana juga kakang Tumenggung Prabadaru. Namun didalam perantauan kami sekitar tiga tahun dilautan, serta pengalaman kami yang jauh lebih luas dari kakang Tumenggung Prabadaru, dan bermacam-macam ilmu yang berhasil kami sadap dari beberapa orang yang berilmu tinggi, maka kami adalah orang-orang yang memiliki ilmu jauh lebih baik dari kakang Tumenggung Prabadaru sendiri, meskipun kakang Tumenggung adalah saudara seperguruan kami yang menurut jenjang perguruan lebih tua dari kami bertiga."
"Terima kasih atas keteranganmu Ki Sanak," sahut Agung Sedayu, "Tetapi yang penting bagi kami bukan keterangan tentang kemampuan kalian, tetapi siapakah diantara kalian yang akan turun ke arena malam ini."
Terdengar bajak laut itu menggeram. bahkan seorang diantara mereka telah mengumpat kasar. Namun nampaknya Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengarnya, karena ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.
Namun sebenarnyalah Agung Sedayu berusaha untuk tetap menyadari keadaan sepenuhnya. Ia tidak boleh terseret arus perasaannya, karena ketiga orang bajak laut itu agaknya benar-benar orang yang memiliki ilmu lebih baik dari Ki Tumenggung Prabadaru.
Dalam gejolak perasaan yang hampir tidak terkendali, maka orang tertua diantara ketiga bajak laut itupun kemudian menggeram, "Biarlah aku saja yang akan melumatkan kepalamu."
Namun yang seorang kemudian memotong, "Aku ingin mendapat kesempatan ini."
"Tidak," jawab orang tertua itu, "aku ingin mendapat kesempatatn yang paling baik sekarang ini untuk melumatkan kesombongan anak iblis ini. Ia mengira bahwa ia dapat mempermainkan perasaanku sekehendak hatinya saja." Bajak laut itupun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, "bersiaplah. Mungkin kau memerlukan waktu untuk menikmati hidupmu yang sudah hampir berakhir. Atau barangkali kau akan memberikan beberapa pesan kepada isterimu atau kepada Ki Gede atau orang-orang lain yang datang bersamamu."
Tetapi Agung Sedayu tetap menjawab dengan tenang, "Aku sudah memberikan semua pesan sebelum aku berangkat. Aku sudah tidak mempunyai pesan apapun lagi yang dapat aku berikan sekarang."
"Bagus," bajak laut itu hampir berteriak, "jika demikian, biarlah kita segera mulai. Biarlah saksi yang kau bawa memperhatikan dengan saksama, apa yang terjadi. Sementara itu, kedua saudarakupun akan memperhatikan perang tanding ini dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi kecurangan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih juga berpaling kearah isterinya sekilas.
Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Seperti Agung Sedayu dan orang-orang yang datang bersamanya, maka merekapun menyadari, bahwa bajak laut itu memang orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Sekar Mirahpun merasa sangat cemas menghadapi keadaan yang bakal terjadi sebentar lagi. Meskipun Sekar Mirahpun yakin bahwa Agung Sedayu adalah orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi pula, karena itu telah dapat membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Namun ketiga bajak laut itu mengaku memiliki kemampuan melampaui Ki Tumenggung Prabadaru itu.
Demikian, maka sejenak kemudian kedua orang itupun telah bersiap. Kedua bajak laut yang lain, yang merasa lebih muda dari bajak laut yang kemudian menghadapi Agung Sedayu, tidak berani lagi mengganggu kakak seperguruannya itu. Mereka mengerti watak dan sifat kakak seperguruannya itu. Jika ia sudah mengambil satu keputusan, maka keputusan itu akan sulit untuk dapat dirubah lagi. Demikian pula keputusannya untuk memasuki arena perang tanding melawan Agung Sedayu.
Agung Sedayupun maju beberapa langkah ketika bajak laut yang tertua itupun maju pula beberapa langkah. Keduanyapun kemudian saling berhadapan.
Sementara itu, Ki Waskita telah bergeser menjauhi Ki Gede yang berdiri tegak disamping Sekar Mirah. Sedangkan Ki Lurah Branjangan masih saja tetap ditempatnya, dua langkah disebelah Ki Gede berseberangan dengan Sekar Mirah.
Sementara itu, kedua saudara seperguruan bajak laut yang akan menjadi saksi itupun telah saling menjauhi pula. Mereka agaknya akan menyaksikan perang tanding itu dari arah yang berbeda.
"Bersiaplah untuk mati," geram bajak laut itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap sepenuhnya. Bahkan ia sudah mempersiapkan lahir dan batinnya disanggar sehari-harian. Karena itu, ketika ia hadir di Watu Lawang, maka sepenuhnya ia dapat menguasai perasaannya dan memelihara keseimbangan dengan nalarnya.
Ketika bajak laut itu bergeser, maka Agung Sedayupun bergeser pula. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa bajak laut itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya.
Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa bajak laut itu tentu baru akan mulai dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh Agung Sedayu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian bajak laut itupun telah meloncat menyerang dengan tangannya mengarah kedada. Namun seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, bajak laut itu tentu belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras mendahului tangan bajak laut yang terjulur itu.
Agung Sedayupun bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Agung Sedayu tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun jika serangan lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi, maka serangan itu akan dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu.
Namun demikian, ilmu itu ternyata memiliki kekuatan yang jarang sekali dapat ditembus oleh kekuatan lawan meskipun lawannya berilmu cukup tinggi pula.
Dalam pada itu, maka pertempuran itupun benar-benar telah dimulai. Keduanya ternyata masih saling mencari landasan untuk bertempur selanjutnya, sementara mereka berusaha untuk mengetahui langkah dan watak ilmu lawannya.
Sementara itu, ketika pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat, maka Glagah Putihpun berpacu semakin cepat pula. Ternyata ia tidak mengalami hambatan lagi diperjalanan, sehingga beberapa saat lewat saat sepi uwong, Glagah Putih sudah mendekati Sangkal Putung.
Kuda Glagah Putih nampaknya sudah menjadi lelah. Tetapi jarak yang semakin pendek itupun akhirnya diselesaikannya juga.
Ketika Glagah Putih memasuki padukuhan pertama, maka ia telah dihentikan oleh beberapa orang anak muda yang berada di gardu. Nampaknya anak anak muda Sangkal Putung masih tetap pada kebiasaan mereka Menjaga padukuhan mereka sebaik-baiknya.
Tetapi ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah Glagah Putih maka merekapun sesaat menjadi gembira, tetapi sesaat kemudian mereka menjadi cemas. Salah seorang dari merekapun bertanya, "He, apakah kau hanya seorang diri?"
"Ya," jawab Glagah Putih.
"Nampaknya perjalananmu membawa kabar yang sangat penting. Apakah yang sudah terjadi?" bertanya anak-anak muda itu.
Glagah Putih itupun menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Memang ada. Tetapi tidak begitu penting untuk kalian ketahui sekarang. Karena itu, aku minta maaf bahwa aku akan segera melanjutkan perjalanan Besok kalian akan mengetahuinya."
Anak anak muda itu mengerti bahwa agaknya ada masalah yang harus segera disampaikan kepada Kiai Gringsing atau Swandaru. Karena itu maka salah seorang anak muda itu berkata, "Baiklah Silahkan."
"Terima kasih. Ternyata kalian masih tetap melakukan tugas kalian sebaik-baiknya," berkata Glagah Putih.
"Ah bukankah ini sudah menjadi kewajiban kami. Dan bukankah disetiap padukuhan hal seperti ini juga dilakukan?" jawab anak muda itu.
Tidak disemua padukuhan. Sementara ada juga anak anak muda meskipun berada di gardu, tetapi sama sekali tidak menyapa orang-orang lewat meskipun sudah lewat saatnya orang bepergian." jawab Glagah Putih. "Tetapi mungkin ada padukuhan yang terlampaui oleh pengamatanku. Aku lebih senang berpacu lewat bulak-bulak untuk mengurangi hambatan diperjalanan. Bahkan kadang-kadang aku sengaja untuk tidak berhenti di depan gardu-gardu meskipun ada beberapa orang penjaganya. Sebenarnyalah aku memang ingin cepat sampai ke Sangkal Putung."
Anak-anak muda itu mengangguk angguk, sementara Glagah Putihpun kemudian telah mohon diri pula.
"Silahkan," jawab anak anak muda itu hampir berbareng.
Glagah Putihpun mulai berpacu lagi. Ia tidak lagi berusaha menghindari gardu-gardu dan bahkan padukuhan-padukuhan.
Meskipun ia harus berhenti beberapa kali, namun Glagah Putih tidak menjadi cemas bahwa ia ditahan lagi seperti waktu ia melintasi pinggiran kota Mataram. Namun setiap kali Glagah Putih telah menghindari pembicaraan yang berkepanjangan, karena iapun ingin segera dapat bertemu dengan Kiai Gringsing di rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Demikianlah, akhirnya Glagah Putihpun memasuki padukuhan induk yang sudah menjadi sepi. Di ujung lorong, di belakang pintu gerbang, anak-anak muda berada di gardu seperti juga di padukuhan-padukuhan lain.
Ketika Glagah Putih memasuki pintu gerbang, maka iapun telah dihentikan oleh anak-anak muda itu. Namun seperti didepan gardu-gardu yang lain, maka Glagah Putihpun menghindari pembicaraan yang panjang dengan mereka, agar ia dapat segera menyelesaikan perjalanannya yang tinggal beberapa puluh tonggak.
Akhirnya, Glagah Putihpun telah memasuki regol kademangan. Empat orang peronda yang berada digardu diregol halaman Ki Demang itupun terkejut. Glagah Putih yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu datang pada saat yang tidak sewajarnya.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang ada keperluan yang mendesak," jawab Glagah Putih, "tetapi seharusnya aku datang lebih awal."
"Silahkan. Marilah naik kependapa. Biarlah anak-anak berusaha membangunkan Swandaru atau Ki Demang sendiri," berkata anak muda yang tertua diantara mereka yang meronda malam itu.
Glagah Putihpun kemudian duduk dipendapa dengan gelisah. Sementara itu, maka digardu terdengar suara kenthongan dalam nada dara muluk, menjelang tengah malam.
Seorang anak mudapun kemudian pergi ke serambi kanan rumah Ki Demang Sangkal Putung. Perlahan lahan ia mengetuk dinding sebagaimana di pesan oleh Swandaru apabila para peronda memerlukannya.
Sejenak kemudian, maka Swandarupun telah terbangun. Dari dalam biliknya ia bertanya, "Siapa ?"
"Aku Swandaru," jawab peronda itu yang suaranya sudah dikenal oleh Swandaru.
"Ada apa?" bertanya Swandaru pula.
"Ada tamu. Glagah Putih," jawab peronda itu.
Swandarupun terkejut pula. Dengan serta merta iapun segera meloncat dari pembaringannya, sementara Pandan Wangipun telah terbangun pula.
"Glagah Putih ada disini," berkata Swandaru kepada isterinya.
"Nampaknya ada sesuatu yang penting," desis Pandan Wangi.
Setelah membenahi dirinya, maka Swandarupun dengan tergesa-gesa telah keluar dan pergi kependapa mendapatkan Glagah Putih bersama Pandan Wangi.
Dengan singkat Glagah Putih telah memberitahukan apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka aku ingin bertemu dengan Kiai Gringsing untuk menyampaikan permintaan Agung Sedayu, agar Kiai Gringsing bersedia menjadi saksi parang tanding yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu itu.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, iapun menjadi gelisah. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, "Kalau saja aku dapat ikut menyaksikannya. Bajak laut itu agaknya memerlukan sedikit kekerasan tanggapan."
"Kakang Agung Sedayupun telah menerima tantangan itu. Ia hanya memerlukan saksi. Agaknya baik kakang Agung Sedayu, maupun Ki Waskita agak kurang yakin, bahwa pada saatnya ketiga bajak laut itu tidak melakukan kecurangan," berkata Glagah Putih.
Swandaru mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Aku akan membangunkan guru. Mungkin guru akan dapat mengambil sikap. Tetapi bukankah perang tanding itu tidak akan dilakukan segera. Maksudku hari ini."
"Mungkin tidak. Bajak laut itu menunggu jawaban kakang Agung Sedayu sampai akhir pekan ini," jawab Glagah Putih. Tetapi katanya lebih lanjut, "Namun demikian, aku tidak tahu, apakah yang dikatakan oleh ketiga orang bajak laut itu akan ditepati."
"Baiklah," berkata Swandaru, "aku akan membangunkan guru sekarang."
Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, "Tetapi rasa-rasanya aku gelisah oleh sikap bajak laut itu. Jika Kiai Gringsing bersedia aku akan mohon malam ini juga, untuk pergi ke Tanah Perdikan."
"Malam ini?" bertanya Swandaru, "bukankah kau dapat berangkat secepatnya besok pagi?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, "Semuanya terserah kepada Kiai Gringsing."
Swandarupun mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berdiri dan pergi kegandok untuk membangunkan Kiai Gringsing, sementara Glagah Putihpun menunggu di pendapa bersama Pandan Wangi.
"Apakah bajak laut itu nampaknya kurang dapat dipercaya menilik sikapnya ?" bertanya Pandan Wangi yang juga menjadi cemas.
"Aku kira demikian," jawab Glagah Putih.
"Mudah-mudahan Kiai Gringsing tidak berkeberatan," desis Pandan Wangi.
Glagah Putih tidak menjawab. Namun sambil mengangguk-angguk kecil ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya yang gelisah.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, di Watu Lawang, Agung Sedayu tengah bertempur menghadapi bajak laut yang tertua diantara mereka. Semakin lama ilmu merekapun menjadi semakin meningkat. Dengan cermat masing-masing berusaha untuk mengetahui kelemahan lawannya, sehingga pada satu saat, akan dapat mengambil langkah tertentu untuk mengalahkan lawannya. Namun Agung Sedayupun menyadari, bahwa kalah menurut bajak laut itu tentu berarti mati.
Serba sedikit Agung Sedayu dapat mengenali kembali, ilmu yang pernah dijumpainya pada Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga Agung Sedayupun percaya, bahwa bajak laut itu adalah saudara seperguruannya. Namun karena itu. Agung Sedayupun yakin, bahwa pada saatnya nanti bajak laut itupun akan mempergunakan ilmu yang dahsyat sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru.
Bahkan sesuai dengan pengakuan ketiga bajak laut itu, mereka telah menyadap pula ilmu dari beberapa orang mumpuni selain guru mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun harus memperhitungkan, bahwa mungkin sekali bajak laut itu justru memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru sebagaimana yang mereka katakan.
Karena itu. Agung Sedayu harus sangat berhati-hati. Setiap saat akan dapat terjadi perubahan sikap dan watak ilmu lawannya. Sekali serangannya datang membadai seperti angin prahara, namun kemudian melanda seperti deru gelombang diguncang taufan. Sementara pada saat lain serangan itu akan dapat melibatnya seperti jilatan lidah api yang sangat panas. Bahkan seperti yang pernah dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru, kekuatan angin, air dan api akan dapat bergabung dan sekaligus melandanya dengan dahsyatnya.
Demikianlah perang tanding antara Agung Sedayu dan bajak laut yang tertua itu semakin lama menjadi semakin seru. Meskipun keduanya masih belum menunjukkan ilmu mereka yang nggegirisi, namun lontaran serangan wadag mereka rasa-rasanya telah menggetarkan jantung.
Ki Lurah Branjangan menjadi berdebar-debar. Seperti di Prambanan, maka ia melihat betapa tingginya ilmu Agung Sedayu. Apalagi ia yakin bahwa dalam perang tanding itu, ilmu mereka akan menjadi semakin meningkat, sehingga akhirnya, mereka akan sampai ke ilmu puncak mereka.
Tetapi baik Agung Sedayu maupun bajak laut itu tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat kelebihan lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu, sehingga mereka tidak membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam kesulitan yang gawat.
Serangan-serangan bajak laut itu semakin cepat menyambar nyambar Agung Sedayu dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan bajak laut itu meloncat menyambar dan sekali sekali mematuk lawannya.
Tetapi Agung Sedayu benar-benar sudah mapan. Ia sama sekali tidak dapat digelisahkan oleh kecepatan gerak lawannya. Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa ilmu lawannya akan segera berkembang. Serangan-serangan itu seolah olah hanya sekedar ancang-ancang saja untuk sampai pada satu tataran yang menentukan.
Ketika pertempuran di Tanah Perdikan itu meningkat semakin seru, maka Glagah Putih masih saja duduk dipendapa. Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putungpun kemudian telah ikut pula menemuinya.
"Apakah menurut pendapatmu, sebaiknya kita berangkat sekarang?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya Kiai," jawab Glagah Putih, "sebenarnya aku harus kembali sebelum malam, atau permulaan dari malam ini. Aku sudah berjanji. Tetapi para pengawal dari Mataram itu telah menghambat perjalananku."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Jika hatimu mantap, maka baiklah. Kita akan berangkat sekarang."
"Bukankah Glagah Putih tidak terlalu tergesa-gesa?" bertanya Swandaru, "bagaimana jika guru berangkat besok pagi-pagi saja" Bukankah hanya selisih beberapa saat saja?"
"Tetapi jika kita sudah mantap untuk berangkat sekarang, sebaiknya kita berangkat sekarang, agar jika terjadi sesuatu kita tidak menyesal."
"Apa yang terjadi?" bertanya Swandaru.
"Kita belum mengetahuinya," jawab Kiai Gringsing, "tetapi seandainya terjadi, pada saat-saat seharusnya kita sudah sampai di Tanah Perdikan jika kita berangkat sekarang, namun ternyata kita menunda keberangkatan kita, maka kita akan selalu menyesalinya, bahwa kita sudah mengundur keberangkatan kita."
Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah guru. Aku juga akan berangkat bersama guru. Bajak laut itu ada tiga orang. Jika mereka berbuat licik, maka mungkin sekali akupun harus melibatkan diri."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jika benar seperti yang diceriterakan oleh Glagah Putih, bahwa ketiga bajak laut itu mengaku memiliki kemampuan seperti Ki Tumenggung Prabadaru, maka agaknya Swandaru masih belum dapat mengimbanginya, seandainya ia harus menghadapi salah seorang diantaranya. Tetapi Swandaru tidak melihat apa yang terjadi di Prambanan antara Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga Swandaru masih belum dapat membayangkan, betapa tinggi ilmu bajak laut itu.
Tetapi sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak dapat menolaknya. Apalagi Swandaru merasa, bahwa pada saat-saat terakhir, di dalam kesibukannya menekuni ilmu dari kitab gurunya yang diberikan kesempatan kepadanya untuk menekuni lebih dahulu dari Agung Sedayu, ilmunya telah semakin meningkat.
Beberapa saat lamanya Kiai Gringsing merenungi pernyataan Swandaru itu. Baru sejenak kemudian ia berkata, "Baiklah. Kita akan berangkat."
"Tetapi bagaimana dengan aku?" bertanya Pandan Wangi, "rasa-rasanya aku juga sudah rindu kepada ayah dan Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah sekaligus aku akan dapat ikut bersama kakang Swandaru " Seandainya aku tidak dapat berbuat apapun juga atas bajak laut itu, setidak-tidaknya aku akan dapat membantu Sekar Mirah mengurangi ketegangan di hatinya."
Swandarulah yang kemudian termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ki Demang sejenak. Namun agaknya Ki Demang tidak dapat memberikan isyarat apapun juga kepadanya. Sehingga akhirnya Swandaru itupun harus mengambil sikap. Katanya, "Baiklah Pandan Wangi. Tetapi kita tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika persoalan kakang Agung Sedayu sudah selesai, maka kita akan segera kembali."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Jika Swandaru tidak berkeberatan, maka yang lainpun tentu tidak berkeberatan pula. Karena itu, maka katanya, "Terima kasih kakang. Rasa-rasanya keadaan di Sangkal Putung sudah berangsur baik. Apalagi setelah ada keputusan, siapa yang akan menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan kelak."
Ki Demanglah yang kemudian berkata, "Jika demikian, maka sebelum kalian berangkat, sebaiknya kalian memberikan pesan kepada para pengawal. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu sepeninggal kalian."
Namun dalam pada itu, Glagah Putihlah yang berkata, "Ki Demang. Keadaan memang menjadi berangsur baik. Tetapi disisi Utara Mataram ternyata telah tumbuh kerusuhan baru. Bukan karena pertentangan antara Mataram dan Pajang. Tetapi akibat dari penyelesaian yang justru telah dicapai oleh Pajang dan Mataram. Beberapa kelompok orang yang kecewa terhadap keadaan ternyata telah melakukan tindakan tercela. Tentu saja hanya orang-orang yang putus asa dan tidak mempunyai pegangan hidup yang lain. Bukan orang-orang yang sudah memiliki nama. Namun demikian, agaknya Sangkal Putung perlu berhati-hati. Jika orang-orang itu kemudian bergeser ke Timur mereka menyentuh Kademangan Sangkal Putung."
"Mungkin," jawab Swandaru. Namun katanya, "Tetapi di Prambanan orang-orang itu akan dihancurkan oleh pasukan kakang Untara yang sebagian masih berada disana."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sendiri tidak bertemu dengan para peronda dari Prambanan ketika ia dengan tergesa-gesa menuju ke Sangkal Putung.
Meskipun demikian, katanya kemudian, "Tetapi baiklah aku akan segera menghubungi para pemimpin pengawal. Aku memang harus memberikan pesan-pesan kepada mereka. Sementara itu, guru dan Pandan Wangi dapat berkemas lebih dahulu jika kita memang akan segera berangkat dan tidak menunggu sampai esok pagi."
Demikianlah, maka Swandarupun kemudian justru meninggalkan Kademangan. Dua orang peronda telah diperintahkannya untuk memanggil beberapa orang pemimpin pengawal untuk datang ke Banjar, sementara Swandaru sendiri juga pergi ke Banjar.
Di Kademangan, Pandan Wangi dan Kiai Gringsing segera berkemas. Sedangkan di dapur, beberapa orang perempuan menjadi sibuk untuk menyediakan makan dan minum bagi Glagah Putih yang baru datang dan yang kemudian akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam kesempatan itu Glagah Putih telah mandi dan kemudian minum minuman panas dan makan nasi yang masih hangat sebelum ia berangkat lagi meninggalkan Sangkal Putung.
"Beristirahatlah barang sejenak," berkata Kiai Gringsing, "Swandaru masih berada di banjar."
"Nanti aku justru tertidur," jawab Glagah Putih.
"Tidak apa. Nanti aku akan membangunkanmu," jawab Kiai Gringsing.
Tenapi Glagah Putih tidak ingin tertidur agar ia tidak justru menjadi malas untuk bangun melanjutkan perjalanan.
Untunglah bahwa Glagah Putih telah terbiasa melakukan latihan-latihan yang keras, sehingga meskipun ia telah menempuh perjalanan yang panjang, namun ia masih cukup kuat untuk menempuh perjalanan yang sama ke arah yang berlawanan.
Dalam pada itu, selagi mereka yang berada di Sangkal Putung berbenah dan Swandaru menemui para pemimpin pengawal, di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu telah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Agung Sedayu mulai merasakan, permulaan dari kekuatan ilmu lawannya yang nggegirisi. Terasa angin mulai menampar tubuhnya, sementara pukulan lawannya dari waktu ke waktu semakin dahsyat. Bajak laut itu kemudian tidak lagi merasa perlu untuk meloncat dan menjangkau Agung Sedayu untuk menyentuhnya pada serangan-serangannya yang dahsyat, tetapi kekuatan yang dahsyat telah menderanya meskipun pukulan lawannya masih berjarak dari tubuhnya. Kekuatan yang bagaikan taufan menghantam tebing-tebing pantai yang tegak dengan melontarkan gelombang-gelombang yang dahsyat beruntun susul menyusul. Sementara tamparan serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih menyengat tubuhnya.
Namun Agung Sedayupun telah mempertebal lapis-lapis ilmu kebal pada tubuhnya, sehingga serangan-serangan itu tidak terlalu berpengaruh atas kulit wadagnya. Meskipun demikian. Agung Sedayu tidak dapat lengah menghadapi lawannya yang semakin lama menjadi semakin garang.
Disamping ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu lebih banyak memperlihatkan kecepatan geraknya. Dengan tangkasnya ia berloncatan menghindari setiap serangan. Baik dengan sentuhan tubuh maupun dengan pukulan-pukulan berjarak.
Karena itu, yang mula-mula berkesan di jantung lawannya, bukan ilmu kebal yang melapisi wadag Agung Sedayu, tetatpi justru kecepatannya bergerak.
"Anak muda itu memiliki kemampuan bergerak melampaui kemampuan orang kebanyakan, dan bahkan ilmu yang pernah aku kenal pada lawan-lawan yang pernah aku hadapi," berkata bajak laut itu didalam hatinya, sebagaimana kedua bajak laut yang lain, yang menyaksikan pertempuran itu.
Namun bajak laut itu masih belum tergetar oleh kecepatan gerak Agung Sedayu. Bajak laut itupun masih belum sampai kepuncaknya. Ia masih akan mampu meningkatkan ilmunya jauh lebih baik dan lebih dahsyat lagi. Ia akan mampu membakar lawannya sehingga menjadi hangus atau menderanya dan melemparkannya sehingga lawannya akan membentur batu raksasa yang berjajar dua sehingga disebut Watu Lawang itu.
Tetapi bajak laut itu tidak ingin segera mengakhiri pertempuran. Memang ada niatnya untuk mempermainkan Agung Sedayu, agar sebelum orang itu dibunuhnya, Agung Sedayu lebih dahulu meyakini bahwa bajak laut itu memang memiliki ilmu yang lebih baik dari Ki Tumenggung Prabadaru.
Karena itu, maka dengan sengaja bajak laut itu meningkatkan ilmunya sedikit demi sedikit. Iapun sadar, bahwa Agung Sedayu masih juga mampu mengimbangi ilmunya pada tataran tertentu. Namun bajak laut itu yakin, bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu akan sampai pada batas kemampuannya, sehingga ia harus mengakui kelebihan lawannya menjelang saat-saat kematiannya.
"Kasihan," desis bajak laut itu didalam hatinya, "anak ini terlalu bangga kepada kemampuannya bergerak dengan cepat. Dengan demikian, maka ia berpendapat, bahwa ia akan dapat menghindari setiap serangan. Namun jika hanya itu yang merupakan puncak kemampuan nya, maka ia tentu tidak akan dapat membunuh kakang Tumenggung Prabadaru. Namun bagaimanapun juga, pada suatu saat ia akan mengagumi ilmuku pada saat saat kematian mulai mencekiknya.
Setingkat demi setingkat bajak laut itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin yang melanda Agung Sedayu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian angin itu mulai berputar, Agung Sedayu mulai merasa dirinya dihisap oleh pusaran. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya kedasar bumi. Sedangkan udara panas semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya.
Namun Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmu kebalnya. Dengan demikian, maka ia telah terlindung dari serangan panas dan tamparan angin ditubuhnya. Sementara itu, dengan kekuatannya dan kemampuannya mengatasi bobot tubuhnya, maka Agung Sedayu setiap saat dapat melenting melepaskan diri dari hisapan pusaran yang serasa akan melumpuhkannya.
Bajak laut itu tersenyum melihat Agung Sedayu berloncatan seperti kijang kepanasan. Bajak laut itu menganggap bahwa kekuatan utama Agung Sedayu adalah pada kecepatannya bergerak, sehingga ia dapat menghindarkan diri dari serangan-serangannya.
"Sampai seberapa jauh ia mampu menghindar," berkata bajak laut itu didalam hatinya betapapun tinggi kecepatan geraknya, tetapi seranganku akan dalang lebih cepat. Pada saatnya ia akan terkapar, memandang mataku dengan penuh penyesalan sehingga kematian yang akan menelannya telah diwarnai dengan perasaan paling pahit dihatinya.
Dengan demikian, maka bajak laut itu lelah meningkatkan serangan-serangannya. Sementara Agung Sedayupun bergerak lebih cepat. Namun pada satu batas tertentu. Agung Sedayu telah menentukan satu sikap, bahwa ia bukan sekedar sasaran coba kemampuan ilmu bajak laut itu.
Karena itulah, maka dengan memanfaatkan kecepatan geraknya, Agung Sedayu berusaha untuk dapat mendekati lawannya. Meskipun bajak laut itu mampu menyerangnya pada jarak tertentu, namun ternyata Agung Sedayu berhasil menyusup diantara serangan-serangan bajak laut itu. Yang mula-mula membuat lawannya heran dan hampir tidak percaya adalah loncatan-loncatan Agung Sedayu yang semakin cepat dan mulai membingungkan. Seolah-olah Agung Sedayu tiba tiba saja berada ditempat yang tidak mungkin dijangkaunya.
Dalam pada itu. sebenarnyalah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya yang dapat membuatnya melenting dan meloncat melampaui kemampuan orang kebanyakan telah ditingkatkannya pula. Tubuh Agung Sedayu menjadi semakin ringan. Loncatan loncatannya menjadi semakin panjang, tinggi dan cepat. Bahkan kadang-kadang terlepas dari kemampuan pengamatan lawannya.
Bajak laut itu mulai menjadi berdebar debar. Ia mulai melihat satu kelebihan pada lawannya. Meskipun ia mampu menyerang dari jarak tertentu, namun sasarannya ternyata bukan kayu atau batu yang beku. Ternyata sasaran serangannya mampu bergerak semakin lama semakin cepat melampaui kecepatan pengamatannya, apalagi kecepatan serangannya.
Karena itu, maka bajak laut itupun menjadi semakin marah menghadapi lawannya. Jika semula ia masih dapat tersenyum melihat Agung Sedayu berloncatan menghindari serangannya, namun kemudian ia mulai menilai lawannya itu. Ternyata kemampuan geraknya bukannya kemampuan sewajarnya betapapun banyaknya ia mempergunakan waktu untuk melatih diri. Bajak laut itupun kemudian melihat, bahwa kemampuan melenting, meloncat dan menghindar lawannya itu tentu didorong oleh sejenis ilmu yang tinggi.
Sebenarnyalah akhirnya bajak laut itupun menyadari, bahwa Agung Sedayu tentu sudah berhasil melepaskan diri dari hambatan bobot tubuhnya, atau kemampuan mempergunakan tenaga cadangan yang sangat tinggi untuk mengatasi bobot tubuhnya itu.
"Aku tidak boleh terlalu lamban," berkata bajak laut itu kepeda diri sendiri, "dan akupun tidak boleh menganggapnya terlalu ringan. Aku harus selalu ingat, bahwa orang ini telah berhasil membunuh kakang Tumenggung Prabadaru." Namun kemudian katanya pula didalam hati, "Tetapi aku memiliki kelebihan dari kakang Tumenggung Prabadaru."
Untuk beberapa saat lamanya, bajak laut itu masih tetap dengan ilmunya yang didapatkannya sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru. Namun pengalamannya yang panjang dan penuh dengan tantangan di lautan, telah membuat bajak laut itu lebih garang dari Ki Tumenggung. Geraknya lebih cepat dan lebih kuat. Sementara itu, kekasaran lingkungannya telah mempengaruhinya pula.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Agung Sedayu bukan saja sekedar berloncatan menghindar, tetapi iapun mulai menyerang lawannya. Dengan kemampuannya bergerak melampaui kemampuan gerak lawannya, maka Agung Sedayu berhasil menyusup diantara kekuatan serangan lawannya dan mulai menyentuh tubuh bajak laut itu.
Sentuhan tangan Agung Sedayu adalah sentuhan tangan orang berilmu. Karena itu, sentuhan itu terasa pedih dikulit bajak laut yang merasa memiliki kemampuan mumpuni itu.
"Gila," geram bajak laut itu, "justru anak itu yang telah berhasil mengenai tubuhku."
Namun daya tahan bajak laut itupun luar biasa. Perasaan pedih oleh sentuhan tangan Agung Sedayu itupun segera dapat diatasi, bahkan kemarahannya yang semakin meningkat telah membuatnya menjadi semakin garang pula.
Tetapi Agung Sedayu masih tetap tenang. Kemarahan lawannya bukan sesuatu yang menakutkan. Bahkan Agung Sedayu sendiri selalu menyadari, bahwa ia tidak boleh terbenam kedalam arus kemarahan yang tidak terkendali. Karena dengan demikian akan dapat membuat penalarannya menjadi buram.
Demikianlah, pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin cepat. Orang-orang yang menjadi saksi dari pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar pula. Jika semula mereka berdebar-debar untuk menilai kemampuan kedua orang itu, kemudian mereka menjadi berdebar-debar karena ilmu mereka yang semakin meningkat serta benturan-benturan yang nampaknya menjadi semakin gawat.
Agung Sedayu masih tetap beralaskan pada kecepatan geraknya. Ia berusaha untuk mendahului setiap gerak bajak laut yang garang itu. Dengan demikian, maka iapun berhasil memotong langkah-langkahnya dan bahkan serangan-serangannya.
Tetapi bajak laut itu mampu melakukan serangan yang sulit diperhitungkan. Seolah-olah demikian tiba-tiba dan dengan jangkauan jarak tertentu. Karena itu, maka sekali-sekali serangan bajak laut itupun telah mengenai sasarannya pula.
Meskipun tamparan angin prahara yang keras tidak melukai kulit Agung Sedayu, namun kadang-kadang iapun telah terlempar beberapa langkah surut. Tetapi demikian kakinya berhasil menyentuh tanah, maka tubuhnya segera melenting. Jauh melampaui perhitungan lawannya dan kearah yang tidak terduga-duga. Dengan demikian, maka untuk melontarkan serangan selanjutnya, bajak laut itu masih harus berpikir dan membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Dalam keadaan yang demikian, maka kadang-kadang, Agung Sedayulah yang telah menyerang mendahului serangan lawannya langsung menghantam wadag lawannya.
Sekali-sekali terdengar bajak laut itu mengumpat kasar. Namun bajak laut itu masih belum memperhitungkan ilmu kebal Agung Sedayu. Ia masih saja terpancang kepada kemampuan gerak Agung Sedayu yang sangat cepat dan sulit untuk diperhitungkan.
Dalam kemarahan yang semakin menyala, maka tubuh bajak laut itu seakan-akan telah menjadi semakin panas pula memanasi udara disekitarnya. Bahkan dengan kemampuan serangannya, maka arus panas itu seakan-akan telah mengalir dengan derasnya menyapu seluruh arena. Bahkan orang-orang yang berdiri diluar arenapun merasakan, betapa tubuh mereka tersengat oleh panasnya udara.
Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar, bahwa lawannya telah membakar udara sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Sekar Mirahpun telah menghibur hatinya sendiri dengan satu keyakinan, bahwa Agung Sedayu akan dapat mengatasi udara panas itu, sebagaimana telah terjadi saat ia bertempur dengan Ki Tumenggung Prabadaru.
Sementara itu Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang melihat sesuatu yang berbahaya pada bajak laut itu. Nampaknya ia mampu mempergunakan kekuatan sapuan anginnya dan kekuatan apinya yang mampu memanasi kekuatan air didalam dirinya. Karena itu, maka mata batin Ki Waskita melihat lembaran-lembaran kabut panas dari uap air yang mendidih dihembus oleh arus yang kuat mendera Agung Sedayu.
Tetapi sebagaimana Ki Waskita dapat melihat dengan mata batinnya, ternyata Agung Sedayupun dapat melihatnya pula. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar. Nampaknya lembaran-lembaran kabut uap air yang sangat panas itu merupakan salah satu kelebihan dari bajak laut itu dari Ki Tumenggung Prabadaru.
Dengan penglihatannya yang sangat tajam itu. Agung Sedayu berhasil setiap kali menghindari sambaran-sambaran kabut panas yang tidak kasat mata itu.
"Gila," geram bajak laut itu, "ia berhasil menghindari serangan-seranganku yang berbahaya. Seakan-akan ia melihat sergapan kabut panas itu."
Tetapi bajak laut itu belum yakin akan penglihatan Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu hanya memperhitungkan berdasarkan sikapnya saja. Namun demikian, bajak laut itupun menjadi semakin menyadari, bahwa lawannya memang orang luar biasa.
"Pantaslah, bahwa ia mampu membunuh kakang Tumenggung Prabadaru. Ia mampu menghindari serangan-serangan yang tidak dilakukan oleh Ki Tumenggung," berkata bajak laut itu didalam hatinya.
Namun demikian bajak laut itu masih mempunyai beberapa kelebihan yang masih akan mampu meningkatkan ilmunya. Kegarangannyalah yang kemudian menjadi semakin nampak pada sikapnya, melampaui kegarangan Ki Tumenggung Prabadaru.
Dengan demikian, maka serangan-serangan bajak laut itu menjadi semakin lama semakin cepat. Tetapi Agung Sedayupun semakin sering menyentuh lawannya. Namun ketahanan tubuh bajak laut itu menjadi semakin meningkat pula, sejalan dengan meningkatnya ilmunya yang nggegirisi.
Udarapun rasa-rasanya menjadi semakin panas. Praharapun bertiup semakin keres menerpa tubuh Agung Sedayu, sementara pusaran yang seakan-akan menghisapnya kejantung bumipun menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, lembaran-lembaran kabut panaspun seakan-akan menjadi semakin sering mengalir menjilat Agung Sedayu. Namun setiap kali Agung Sedayu masih tetap mampu menghindari.
Namun ternyata bahwa pada saat-saat tertentu serangan bajak laut itupun berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu. Bahkan telah menggetarkan jantung Agung Sedayu pula. Lembaran-lembaran kabut panas yang dilontarkan dengan kemarahan yang semakin meluap itu, ternyata berhasil menyusup perisai ilmu kebalnya. Panas yang semakin tinggi itu rasa-rasanya benar-benar membakar kulitnya.
"Apa jadinya jika aku tidak mendapat kurnia ilmu kebal ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya dengan ucapan sukur.
Namun dengan demikian Agung Sedayu merasa, bahwa ia memang harus lebih berhati-hati menghindari lawannya yang garang itu.
Sementara itu, kedua orang bajak laut yang lain, yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi tegang pula sebagaimana saksi-saksi lainnya.
Kedua bajak laut itu melihat, bahwa saudara seperguruannya yang bertempur melawan Agung Sedayu itu telah mulai dengan ilmunya yang nggegirisi. Kabut panas itu telah mulai dihembuskan kearah Agung Sedayu. Tetapi kedua bajak laut itupun kemudian melihat bahwa kabut itu tidak mampu melumpuhkannya. Dengan penglihatannya yang tajam, maka kedua bajak laut itu dapat lebih jelas melihat dari saudara seperguruannya yang justru sedang berperang tanding.
"Sekali-sekali kabut itu telah menyentuhnya," berkata salah seorang dari bajak laut itu didalam dirinya.
Selangkah demi selangkah ia bergeser mendekati yang lain. Namun ternyata saudara seperguruannya itupun berdesis, "Aku melihat sesuatu yang mendebarkan pada anak itu."
"Sentuhan kabut panas itu?" bertanya yang lain.
Bajak laut itupun mengangguk. Katanya, "Seharusnya panas itu dapat mempengaruhinya. Tetapi anak itu seakan-akan tidak merasakan sesuatu. Atau seandainya terasa juga olehnya, namun daya tahan tubuhnya memang sangat luar biasa."
Bajak laut yang lain menarik nafas. Tetapi kekesalan nampak bergejolak diwajahnya.
"Agaknya penglihatan anak itu cukup tajam. Ia melihat sergapan kabut panas itu. Ia memiliki kecepatan gerak yang memungkinkan untuk menghindarkan diri," berkata yang seorang.
Tetapi yang lain menyahut, "Tetapi ia tidak berhasil menghindar sepenuhnya. Ujung kabut itu menjilatnya."
Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Iapun melihatnya hal yang tidak dapat dilihat oleh saudara seperguruannya yang sedang bertempur.
"Memang luar biasa," desis bajak laut yang menyaksikan pertempuran itu, "ternyata ada juga orang yang tidak hangus oleh jilatan ilmu kita yang tidak ada bandingnya ini."
Tetapi yang lain tersenyum. Katanya, "Kita belum melepaskan seluruh kemampuan kita. Apa yang dapat dilakukan oleh anak itu jika kita mempergunakan ilmu yang kita sadap dari pendeta di pulau kecil di laut Kuning."
"Yang kita sebut Gelap Ngampar itu bukan ilmu yang asing bagi kita disini. Karena itu tidak mustahil anak itupun telah mengenalnya," jawab yang lain.
Bajak laut itu mengerutkan keningnya. Agaknya Agung Sedayu memang seorang yang luar biasa.
Namun tiba-tiba salah seorang bajak laut itu berkata, "He, apakah ia memiliki ilmu Tameng Waja seperti Kangjeng Sultan Trenggana yang tumurun kepada menantunya Jaka Tingkir yang bergelar Kangjeng Sultan Hadiwijaya?"
"Seandainya ilmu itu diwarisi oleh Sultan Hadiwijaya, apakah akan sampai juga kepada Agung Sedayu"," desis yang lain.
Yang lain tidak menjawab. Tetapi keduanya menjadi tegang karena saudara seperguruannya telah menghentakkan kemampuannya untuk menyerang Agung Sedayu.
Serangan itu demikian cepatnya menampar kearah Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu memang mempunyai kemampuan bergerak melebihi kecepatan serangan lawannya.
Tetapi lawannya yang menyadari kecepatan gerak Agung Sedayu telah memperhitungkannya. Karena itu, maka tiupan prahara berikutnya dengan serta merta telah menyongsong arah loncatan Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut. Ia menggeliat sehingga arah loncatannyapun berubah. Namun agaknya ia tidak dapat melepaskan diri seutuhnya dari serangan itu.
Karena itu, maka serangan bajak laut itu telah menghantam pundaknya, sehingga Agung Sedayupun telah terdorong oleh kekuatan yang demikian kerasnya dan kabut yang panasnya tidak terkatakan.
Tubuh Agung Sedayu masih dilindungi oleh ilmu kebalnya, sehingga dorongan prahara yang membawa kabut panas itu tidak membakar tubuhnya. Tetapi tubuh itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan tubuh Agung Sedayu telah terpilin oleh sebuah pusaran yang bagaikan menghisapnya kedalam pusat bumi disertai oleh sengatan panas yang luar biasa.
Agung Sedayu tidak mampu mempertahankan keseimbangan oleh serangan itu. Karena itulah, maka Agung Sedayu yang terpilin itu jatuh terbanting. Namun kemampuannya yang tinggi telah berhasil melepaskan dirinya dari perasaan terhisap oleh pusaran air yang sangat deras. Dengan satu hentakkan yang kuat, Agung Sedayu justru telah melenting, sementara perasaan panas yang menyengat tubuhnya dapat diatasinya oleh ilmu kebal dan daya tahan tubuhnya.
Namun hentakan kekuatan yang tergesa-gesa itu, agaknya telah melepaskan Agung Sedayu dari perhitungan yang cermat. Karena itu, maka loncatannya yang dilontarkan oleh kekuatan yang sangat besar itu telah membuat orang-orang yang menyaksikan tercengang karenanya. Ternyata bahwa Agung Sedayu telah meloncat jauh melampaui kemampuan loncat sewaj"u-nya. Tubuhnya seakan-akan memang tidak berbobot, sementara daya dorong kakinya seakan-akan tidak terbatas kuatnya.
"Gila," geram lawannya.
Keheranannya membuatnya termangu sejenak. Namun yang sejenak itu ternyata telah memberi kesempatan Agung Sedayu untuk berdiri tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Anak iblis," geram bajak laut, "pantas kau mampu membunuh kakang Tumenggung Prabadaru. Tetapi aku kira hanya sampai disini batas kemampuan kakang Tumenggung, sementara aku masih akan menunjukkan kepadamu, berbagai macam ilmu yang lebih mapan dari ilmu kakang Tumenggung, apalagi ilmu yang pernah aku sadap selama petualanganku dilautan dan yang tidak pernah dikenal oleh kakang Tumenggung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa lawannya masih akan meningkatkan ilmunya, meskipun dugaan bajak laut itupun salah, karena Ki Tumenggung memiliki kematangan ilmu melampaui ilmu yang sudah dilontarkan oleh bajak laut itu.
Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang itupun telah bersiap-siap sepenuhnya untuk memulai lagi pertempuran yang lebih dahsyat dalam lambaran ilmu yang semakin meningkat. Agung Sedayupun kemudian telah sampai pada batas penjajagannya. Ia sudah yakin akan kemampuan ilmu lawannya yang memang benar-benar menggetarkan. Karena itu, maka iapun harus mempersiapkan diri memasuki satu pertempuran yang akan mengerahkan segenap ilmu yang ada pada dirinya. Jika semua yang dimiliki sudah ditumpahkannya, namvm masih belum juga mampu mengimbangi kemampuan lawannya, itu berarti perlawanannya akan patah dan ia tidak akan dapat lagi keluar dari arena pertempuran itu.
Sebenarnyalah pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin meningkat. Betapapun masing-masing menjadi berdebar-debar menilai kemampuan lawannya.
Ternyata kedua orang yang bertempur itu melihat bahwa yang dimiliki lawannya lebih baik dari yang mereka duga sebelumnya.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan bajak laut yang bertempur di Tanah Perdikan Menoreh itu menuju kepuncak ilmu masing-masing di Sangkal Putung, beberapa orang tengah bersiap-siap untuk berangkat.
Beberapa orang pemimpin pengawal Sangkal Putung telah mengantar mereka sampai ke mulut lorong padukuhan induk. Sementara kuda-kuda yang membawa mereka berpacu menembus gelapnya malam yang pekat.
Baru ketika kuda-kuda itu hilang di dalam kegelapan, maka para pemimpin pengawal di Sangkal Putung itupun kembali ke Kademangan. Tanpa Swandaru dan Pandan Wangi, maka para pengawal di Sangkal Putung benar-benar harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi Glagah Putih telah mengatakan kepada anak-anak Sangkal Putung, bahwa daerah yang dilalui ternyata agak terganggu oleh kerusuhan-kerusuhan yang memaksa para pengawal dari Mataram harus bekerja keras.
Dalam pada itu, Swandaru yang meninggalkan Kademangannya bersama dengan isterinya mengikuti Kiai Gringsing, telah memberikan banyak pesan kepada para pengawal.
Namun agaknya Kiai Gringsing tidak ingin mengalami peristiwa seperti yang terjadi pada Glagah Putih, sehingga akan dapat menghambat perjalanan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing telah mengajak iring-iringan kecil itu menempuh jalan yang agak lebih jauh lagi dari Mataram, agar mereka lebih cepat sampai di Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka tidak harus berhenti di gardu-gardu pengawal Mataram.
"Para peronda Mataram tidak akan sampai pada jarak yang sejauh itu. Jika daerah itu memang memerlukan perlindungan, maka tentu ada sekelompok yang lebih besar yang ada di sana, sehingga mungkin sekali ada orang yang telah mengenal kita diantara mereka," berkata Kiai Gringsing.
Demikianlah iring-iringan itu berpacu terus. Glagah Putih tidak mempergunakan kuda yang dipakainya dari Tanah Perdikan Menoreh untuk mendapatkan kuda yang segar. Kudanya telah ditinggalkan di Sangkal Putung, dan ia telah mempergunakan kuda dari Sangkal Putung.
Demikianlah, dalam malam yang gelap, sekelompok orang telah melintasi bulak-bulak panjang. Namun agar perjalanan itu tidak mengejutkan, maka mereka tidak beriringan dalam satu kelompok. Dalam jarak beberapa puluh langkah, Swandaru dan Pandan Wangi berkuda di depan, sementara Kiai Gringsing dan Glagah Putih di belakang.
Sejauh mungkin mereka menghindari gardu-gardu di padukuhan-padukuhan agar mereka tidak harus selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak muda yang meronda.
Namun ternyata tidak setiap padukuhan masih cukup bersiap dengan peronda-peronda di gardu. Bahkan pengaruh penyelesaian yang sudah dicapai antara Mataram dan Pajang menjadiakn anak-anak muda segan untuk berada digardu-gardu, sebagaimana masih tetap dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung.
Perjalanan itu merupakan perjalanan yang cukup melelahkan bagi Glagah Putih. Tetapi ternyata bahwa anak muda itu memiliki ketahanan tubuh yang tinggi, karena pengaruh latihan-latihan yang berat yang selalu dilakukannya.
Meskipun Glagah Putih sama sekali tidak memejamkan matanya sementara itu perjalanan di atas punggung kuda itu cukup panjang, namun Glagah Putih tidak terpengaruh karenanya. Ia masih tetap tangkas dan segar. Ada juga terasa keletihan pada tubuhnya, tetapi perasaan itu dapat diatasinya.
Sebenarnyalah perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan Menoreh bukannya perjalanan yang pendek. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu yang cukup panjang. Apalagi untuk menjaga agar kuda mereka tidak terlalu letih, sekali-sekali mereka harus juga beristirahat.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih rasa-rasanya menjadi sangat gelisah. Ada sesuatu yang bergejolak didalam hatinya. Rasa-rasanya ia melihat Agung Sedayu sudah terlibat kedalam perang tanding yang berat.
"Aku hanya diganggu oleh kegelisahanku sendiri," berkata Glagah Putih didalam hatinya. Karena itu, ia justru berusaha untuk melupakan kegelisahannya itu.
Tetapi ketika iring iringan itu beristirahat untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk sekedar minum di pinggir Kali Opak, maka diluar sadarnya, Glagah Putih yang duduk bersandar sebatang pohon, telah tertidur sekejap. Namun yang sekejap itu benar-benar membuat jantungnya bagaikan retak. Bahkan tiba-tiba saja ia telah terloncat berdiri sambil menggeram.
"Glagah Putih, "Kiai Gringsing cepat-cepat menggapainya, "ada apa, he?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengatakan kepada Kiai Gringsing, bahwa seolah-olah ia melihat Agung Sedayu terdesak dalam satu perang tanding melawan bajak laut itu.
Tetapi Kiai Gringsing justru tersenyum. Katanya dengan sareh, "Kau terlalu memikirkan keadaan kakakmu ngger. Tetapi bukankah menurut perhitunganmu, bajak laut itu belum akan mengajaknya berperang tanding malam ini?"
"Nampaknya begitu Kiai. Tetapi aku selalu merasa cemas, bahwa bajak laut itu telah berbuat licik dan merubah tantangannya," jawab Glagah Putih.
"Baiklah," jawab Kiai Gringsing, "kita akan secepatnya mencapai Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kita tidak dapat memaksa kuda-kuda ini untuk berlari tanpa beristirahat."
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah meneruskan perjalanan. Sementara itu Glagah Putih seakan-akan tidak dapat menunggu kawan-kawan seperjalanannya yang terlalu lamban. Namun iapun tidak dapat menolak jika pada saat mereka harus beristirahat karena kuda-kuda mereka yang lelah.
Prambanan masih cukup jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka baru mencapai kira-kira seperempat perjalanan. Karena itu, maka mereka tidak akan dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh sebelum pagi.
"Akupun merasa cemas guru," desis Swandaru yang kemudian berkuda disebelah Kiai Gringsing, sementara Pandan Wangi berkuda dibelakang Glagah Putih dihadapan mereka.
"Apakah kau juga menganggap bahwa bajak laut itu akan berbuat curang?" bertanya Kiai Gringsing.
"Nampaknya dapat juga demikian guru," jawab Swandaru, "tetapi seandainya kakang Agung Sedayu harus berperang tanding, maka iapun akan mengalami kesulitan. Ketika ia bertempur melawan Ki Tumenggung Prabadaru, kakang Agung Sedayu menjadi pingsan. Kemampuannya tidak jauh diatas kemampuan Ki Tumenggung. Sementara itu. menurut pendapatku memang mungkin bahwa bajak laut itu memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru. Apalagi kakang Agung Sedayu baru saja sembuh dari kesulitan karena luka-luka bagian dalam tubuhnya dalam pertempuran di Prambanan itu."
"Tetapi nampaknya Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain," jawab Kiai Gringsing.
Sementara itu Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Tetapi Swandaru merasa ragu-ragu.
Namun keragu-raguannya itu dapat ditangkap oleh Kiai Gringsing. Karena itu, katanya, "Swandaru. Agaknya kau mempunyai satu pendapat. Katakan. Mungkin pendapatmu itu bermanfaat."
Swandaru masih saja ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia pun berkata, "Guru. Adalah satu kebetulan, bahwa akulah yang lebih dahulu mendapat kesempatan untuk mempelajari kitab yang guru pinjamkan itu. Seandainya kakang Agung Sedayulah yang mendapat kesempatan itu, mungkin meskipun baru selapis tipis, namun ilmunya sudah meningkat. Dengan demikian, rasa-rasanya ada juga tambahan bekalnya untuk menghadapi bajak laut yang menurut pengakuannya memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Kita akan selalu berdoa. Mudah-mudahan Agung Sedayu mendapat perlindungan, sehingga kali inipun Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan kewajibannya dengan baik."
Swandarupun mengangguk-angguk sambil berdesis, "Mudah-mudahan. Tetapi bagaimana jika kita mendasarkan kemungkinan yang lain berdasarkan perhitungan?"
"Maksudmu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Guru," berkata Swandaru kemudian, "bukan maksudku untuk memperkecil arti kakang Agung Sedayu, karena kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruanku. Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa aku telah mendapat kesempatan pertama untuk mempelajari isi kitab yang guru pinjamkan itu. Satu susunan pengetahuan tentang perguruan Windujati serta ilmu-ilmu yang diturunkannya. Karena itu, aku telah mendapat kesempatan pertama kalinya untuk meningkatkan ilmu yang pernah kami terima bersama dari guru."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ia masih menunggu Swandaru meneruskan, "Karena itu guru. Seandainya segala pihak menyetujui, biarlah aku saja yang mewakili kakang Agung Sedayu. Kita dapat memberikan alasan, bahwa keadaan kakang Agung Sedayu masih belum pulih kembali. Sehingga ada dua kemungkinan yang dapat dipilih oleh bajak laut itu. Menunggu sampai keadaan kakang Agung Sedayu pulih kembali, yang berarti mereka harus menunggu untuk waktu yang tidak terbatas, atau perang tanding itu dapat diwakili oleh adik seperguruan kakang Agung Sedayu."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ada sesuatu yang bergetar didalam hatinya. Perasaan bersalah masih saja terasa menggelitik hatinya. Seharusnya ia mampu memberikan gambaran dari satu kenyataan tentang kemampuan Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga Swandaru tidak selalu salah menilai kemampuan Agung Sedayu dan kemampuannya sendiri. Tetapi Kiai Gringsing masih belum sampai hati untuk mengatakannya. Ia ingin menjelaskan keadaan itu, setelah kedua muridnya selesai dengan waktu tiga bulan yang diberikannya. Namun sebelum waktu itu lampau. Agung Sedayu sudah harus menghadapi satu tantangan yang berat. Tantangan dari saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru.
Menurut penilaian Kiai Gringsing, Swandaru masih belum dapat dilhadapkan pada Ki Tumenggung yang memiliki kemampuan yang nggegirisi. Apalagi jika benar bajak laut itu memiliki kelebihan karena pengalaman perantauannya menjelajahi samodra dan benua. Memang tidak mustahil hubungannya dengan orang-orang berilmu dibe-nua lain akan dapat memberikan kesempurnaan dari ilmu yang mereka terima bersama Ki Tumenggung Prabadaru dari perguruan mereka.
Untuk sejenak Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Kuda mereka masih berpacu di bulak panjang dalam gelapnya malam. Dipaling depan berpacu Glagah Putih. Dibelakangnya Pandan Wangi mengiringinya. Kemudian Kiai Gringsing dan Swandaru berpacu bersama-sama sambil berbincang.
Karena Kiai Gringsing tidak segera menjawab, maka Swandarupun bertanya, "Bagaimana pendapat guru?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Angin malam yang menyentuh wajah mereka terasa betapa sejuknya. Namun jantung Kiai Gringsing masih saja berdebaran.
Meskipun dengan ragu-ragu Kiai Gringsingpun kemudian menjawab, "Swandaru. Dalam hal ini dendam bajak laut itu ditujukan kepada orang yang telah membunuh saudara seperguruannya. Ia tidak mempunyai persoalan dengan Agung Sedayu dan perguruannya secara langsung. Tetapi bajak laut itu ingin membalas dendam kepada Agung Sedayu. Tidak kepada orang lain."
Topeng Hitam Kelam 1 Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo Kaki Tiga Menjangan 31
^