Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 28

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 28


"Tetapi aku juga saudara seperguruan Agung Sedayu," jawab Swandaru, "bukankah akupun berhak menuntut balas sebagaimana mereka lakukan atas kakang Agung Sedayu."
"Tetapi Agung Sedayu wajib mencobanya dahulu. Agaknya Agung Sedayupun mempunyai harga diri pula sehingga ia tidak akan menolaknya," berkata Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya, "Sebenarnya seseorang tidak perlu terikat kepada harga diri. Jika seseorang menyadari kekurangannya, maka ia tidak perlu membunuh diri hanya karena harga diri saja."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Sekali lagi perasaan bersalah tergetar dijantungnya. Namun dalam pada itu, ia berkata : "Biarlah Swandaru menyaksikan langsung, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Mudah-mudahan ia tidak menyalahkan aku, seolah-olah aku telah memberikan lebih banyak kepadanya. Seharusnya Swandaru melihat, hasil perkembangan ilmu Agung Sedayu dan ilmu-ilmu lain yang didapatkannya diluar ajaran yang pernah aku berikan, meskipun setiap kali ia telah memberikan laporan kepadaku tentang perkembangannya."
Demikianlah untuk beberapa saat lamanya, mereka tidak lagi berbincang. Swandaru tidak akan dapat menggantikan Agung Sedayu menghadapi bajak laut itu. Namun telah menyala tekad dihati Swandaru. Jika terjadi sesuatu atas Agung Sedayu, maka iapun berhak menuntut balas kepada bajak laut itu sebagaimana telah dilakukannya atas Agung Sedayu karena kematian saudara seperguruannya, Ki Tumenggung Prabadaru.
Dalam kediaman itu, kuda-kuda merekapun telah berpacu. Mereka tidak menempuh jalan yang dilalui Glagah Putih ketika ia berangkat. Sekali-sekali mereka memang melalui padukuhan-padukuhan. Mereka laju saja dihadapan gardu-gardu yang diterangi oleh obor-obor minyak. Beberapa anak muda yang berada digardu tercengang-cengang melihat mereka lewat. Bahkan ada diantara anak-anak muda yang berada digardu-gardu justru menjadi ketakutan dan sama sekali tidak berniat untuk menghentikan kuda-kuda yang berpacu itu.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu dan bajak laut yang berperang tanding di Watu Lawang telah meningkat semakin dahsyat. Mereka telah memasuki tataran ilmu mereka yang paling tinggi. Air kabut panas telah meliputi seluruh arena, sehingga Agung Sedayu harus berterbangan kian kemari. Namun sekah-sekah kecepatan geraknya telah berhasil menyusup pertahanan bajak laut itu. Setiap sentuhan tangan Agung Sedayu yang dilambari ilmunya yang tinggi, rasa-rasanya seperti tersentuh bara api.
"Orang ini benar-benar berilmu iblis," geram bajak laut itu. Namun ia masih belum sampai kepuncak ilmunya.
Karena itu, maka bajak laut itupun kemudian telah memutuskan untuk meningkatkan ilmunya sampai kepuncak. Udara yang dibakar oleh panasnya api serta uap air yang bagaikan mendidih, rasa-rasanya benar-benar telah meliputi seluruh arena. Bajak laut itu telah benar-benar ingin mengakhiri pertempuran dengan memanggang Agung Sedayu pada panasnya uap yang tidak ada bandingnya.
Udara yang panas itupun terasa pula dari luar arena. Sahkan mereka yang menyaksikan pertempuran itu harus bergeser mundur beberapa langkah. Rasa-rasanya merekapun telah terpanggang oleh arus udara yang mengandung uap air yang mendidih.
Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas. Bahkan Ki Gedepun merasa cemas juga sebagaimana Ki Lurah Branjangan dan Ki Waskita.
Tetapi Agung Sedayu sendiri masih mampu mengatasi panasnya udara yang mengandung uap yang mendidih itu dengan ilmu kebalnya. Meskipun panas itu berhasil menyusup, tetapi sebagian terbesar dari serangan itu telah tertahan oleh perisai ilmu kebal Agung Sedayu.
Bahkan seperti yang pernah terjadi, ketika Agung Sedayu sampai kepada puncak ilmu kebalnya, maka terasa dari tubuhnya juga memancar udara yang panas memanasi sekitarnya.
Bajak laut itupun kemudian terkejut karenanya. Ilmunya dapat membakar lawannya, tetapi tidak memanasi dirinya sendiri. Namun tiba-tiba ia merasa udara disekitarnya menjadi panas pula.
"Anak iblis ini mampu melontarkan ilmu seperti aku pula?" pertanyaan itu telah bergejolak didalam hatinya. Sejalan dengan itu kegelisahannya mulai merayapi jantung bajak laut itu. Serangan-serangannya ternyata mampu dielakkan oleh Agung Sedayu dan bahkan kemudian Agung Sedayu mampu pula memancarkan panas dari dalam dirinya.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari bajak laut itu kecuali benar-benar memasuki kemampuan yang masih belum dapat dicapai oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tiba-tiba saja terdengar suara menggelegar ketika bajak laut itu tertawa. Suaranya seolah-olah mengguncang-guncang seisi Tanah Perdikan Menoreh.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa lawannya telah melontarkan kekuatan lewat suaranya. Namun serangan itu sama sekali tidak menggetarkan Agung Sedayu. Dengan kemampuannya memusatkan nalar budinya, maka Agung Sedayu seakan-akan mampu menutup indera pendengarannya, sehingga suara Aji Gelap Ngampar itu tidak menghantam isi dada Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayupun berhasil menutup pendengaran batinnya yang menjadi sasaran serangan Gelap Ngampar.
Tetapi ternyata bagi bajak laut yang marah itupun. Gelap Ngampar bukan serangan utama yang dimaksudkan untuk melumpuhkan Agung Sedayu. Dengan Gelap Ngampar ia sekedar membelokkan perhatian Agung Sedayu dari serangan ilmunya yang sebenarnya.
Dalam pada itu, perhatian Agung Sedayu memang sebagian terbesar ditujukan untuk melawan Aji Gelap Ngampar yang mengetuk pendengaran batinnya.
Gemuruh seperti guntur dilangit. Menghentak-hentak tidak henti-hentinya. Namun Agung Sedayu berhasil melawan Aji Gelap Ngampar itu dengan baik, sehingga jantungnya tidak dapat dirontokkan karenanya.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu bertahan dari serangan Gelap Ngampar, tiba-tiba saja bajak laut itu telah dengan kecepatan yang sangat tinggi, memungut sesuatu dari ikat pinggangnya. Demikian cepat, beruntun, beberapa batang pisau-pisau berbisa. Tetapi pisau yang disentuh oleh kekuatan ilmu yang menggetarkan, sehingga pisau-pisau itu bagaikan membara dalam warna kemerah-merahan yang menyilaukan.
Agung Sedayu terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba dan tanpa diduga itu. Serangan pisau-pisau kecil itu seakan-akan telah melontarkan segenap kekuatan ilmu yang ada dalam diri bajak laut itu. Pisau-pisau kecil yang bercahaya dalam warna kemerah-merahan itu seakan-akan diselubungi oleh asap yang keputih-putihan namun menghimpun kekuatan yang tiada taranya.
Dalam keadaan yang sangat tergesa-gesa. Agung Sedayu telah berusaha mengelak. Tetapi pisau-pisau kecil itu datang terlampau cepat. Meskipun Agung Sedayu mampu berggerak lebih cepat dari pisau-pisau kecil itu. Tetapi Agung Sedayu telah terlambat bergerak. Karena itu, maka sebuah diantara pisau-pisau kecil itu telah menyambar pundaknya.
Sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Pisau itu mampu menembus ilmu kebalnya.
"Agaknya bajak laut itu sudah memperhitungkan, bahwa aku memiliki ilmu kebal," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah bajak laut yang curiga karena Agung Sedayu seakan-akan tidak terkena akibat kabut panasnya telah menduga, bahwa Agung Sedayu memihki perisai yang dapat melindungi dirinya. Karena itu, maka iapun telah menghentakkan segenap ilmunya dengan melontarkan pisau-pisau kecilnya. Pisau yang didorong oleh ilmunya yang nggegirisi, sehingga pisau-pisau itu seakan-akan telah menyala dalam warna kemerah-merahan yang silam diselubungi oleh kabut putih yang panasnya melampaui panasnya bara api.
Perasaan pedih panasnya telah menyengat pundak Agung Sedayu yang terluka. Bahkan rasa-rasanya pundaknya telah tertembus oleh panasnya ujung baja yang tengah membara.
Namun luka itu merupakan peringatan bagi Agung Sedayu. Bahwa serangan-serangan yang demikian ternyata sangat berbahaya bagi dirinya.
Agung Sedayu tidak sempat mencabut pisau kecil yang panas dipundaknya itu, karena serangan-serangan yang serupa telah datang susul menyusul. Karena itu, maka Agung Sedayupun harus berloncatan menghindarinya. Serangan itu ternyata lebih berbahaya dari kabut-kabut putih yang menyentuhnya. Karena kabut-kabut putih yang panas itu memang tidak dapat dihindarinya seluruhnya. Tetapi kabut itu hanya mampu menyusup ilmu kebalnya. Sebagian besar dari serangan kabut itu telah membentur perisai ilmu kebalnya dan dengan demikian maka serangan-serangan itu tidak terlalu berbahaya baginya.
Tetapi pisau-pisau kecil yang membara dan bercahaya kemerah-merahan itu benar-benar berhasil memecahkan ilmu kebalnya dan mengenai tubuhnya. Benar-benar melukainya dan bahkan menancap dipundaknya.
Karena itu, maka Agung Sedayu benar-benar harus mengerahkan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk mengelakkan serangan-serangan itu.
Namun demikian. Agung Sedayupun telah sampai pula pada batas pengamatannya atas kemampuan lawannya. Namun Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan puncak ilmunya yang dapat dipancarkannya lewat sorot matanya. Serangan pisau-pisau itu benar-benar menggetarkan karena kemampuannya menembus ilmu kebalnya.
Karena itulah, maka Agung Sedayu telah mempergunakan cara yang lain. Tidak dengan sorot matanya, tetapi ketika pisau-pisau itu masih saja menyambarnya dan bahkan mampu mendesaknya, maka Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk mengurai senjatanya. Cambuk.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian cambuk Agung Sedayupun telah meledak. Tidak terlalu keras, tetapi getarannya telah mengguncang udara Watu Lawang.
Ki Waskita, Ki Gede, Ki Lurah dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sadar, bahwa agaknya Agung Sedayu masih belum sempat mempergunakan sorot matanya karena serangan-serangan pisau yang nampaknya mampu menembus ilmu kebalnya.
"Jika Agung Sedayu berhenti sejenak saja untuk membangkitkan ilmunya lewat sorot matanya, maka berpuluh pisau tentu sudah menancap ditubuhnya," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Meskipun tidak dikatakannya, namun ternyata yang lainpun telah berpikir serupa.
Karena itulah, maka Agung Sedayu telah memilih cara lain untuk melawan bajak laut yang perkasa itu.
Cambuk itu membuat lawannya menjadi gelisah pula. Bajak laut itu sadar, bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan bergerak melampaui kemampuannya. Karena itu, dengan cambuk ditangan, Agung Sedayu akan benar-benar menjadi sangat berbahaya.
Sebenarnyalah Agung Sedayu yang sudah terluka dipundaknya itu telah memutuskan untuk melumpuhkan lawannya, jika ia sendiri tidak ingin kehilangan kesempatan keluar dari arena itu.
Sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah berputar seperti baling-baling. Perisai ilmu kebalnya yang tidak dapat menahan kekuatan ilmu bajak laut yang tersalur pada lontaran pisau-pisau kecilnya itu telah diatasinya dengan ujung cambuknya. Ternyata ilmu Agung Sedayu yang tinggi, mampu menggerakkan cambuknya sehingga seakan-akan tidak ada lubang yang sekecil manapun yang dapat ditelusupi oleh pisau-pisau lawannya. Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu mampu melemparkan pisau-pisau kecil yang membara itu beberapa puluh langkah dari arena pertempuran.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin tegang. Ki Waskita, Ki Gede, Ki Lurah Branjangan dan Sekar Mirah melihat, bahwa dengan senjata ditangannya ternyata Agung Sedayu mampu menguasai keadaan.
Kemampuannya mempergunakan cambuknya, di landasi dengan kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang tidak ada bandingnya serta perisai ilmu kebalnya, membuat Agung Sedayu menjadi seorang yang benar-benar menggetarkan hati bajak laut yang merasa dirinya memiliki kemampuan lebih baik dari Ki Tumenggung Prabadaru itu.
Karena itu, maka bajak laut itupun mulai membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pisau-pisaunya ternyata dapat diatasi dengan cambuk Agung Sedayu yang berputaran.
Bahkan Agung Sedayu kemudian tidak sekedar melindungi dirinya dengan putaran ujung cambuknya saja, tetapi ujung cambuk itu mulai mematuk lawannya.
Bajak laut itupun mencoba untuk mengelak. Tetapi kecepatan geraknya tidak dapat mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu. Itulah sebabnya, maka ujung cambuk Agung Sedayu itu mulai meraba tubuhnya.
Bajak laut itu menggeram. Karena sentuhan-sentuhan itu, maka iapun mulai membuat perhitungan-perhitungan baru. Dengan saksama ia memperhatikan gerak cambuk Agung Sedayu. Tepat pada saat ujung cambuk itu mematuknya, maka bajak laut itu tidak menghindarinya. Tetapi ia justru melontarkan pisaunya kearah Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut. Ujung cambuknya berhasil mengenai lawannya. Ia mendengar lawannya itu mengeluh tertahan. Ketika ujung cambuk itu mengenai lengannya, maka bajak laut itu merasa tubuhnya terdorong oleh kekuatan raksasa.
Bajak laut itu tidak melawan kekuatan raksasa itu. Ia sadar, bahwa melawan kekuatan itu mungkin akan dapat membuat bagian tubuhnya justru terluka. Karena itu, maka demikian pisau kecilnya lepas dari tangannya, maka iapun telah menjatuhkan dirinya searah dengan dorongan kekuatan yang tidak terlawan itu.
Namun dengan demikian bajak laut itu telah terbanting jatuh. Bukan sekedar berguling ditanah. Tetapi kekuatan yang besar itu memang telah membantingnya, sehingga terasa tulang-tulangnya menjadi retak.
Namun, ketahanan tubuh bajak laut itu memang mengagumkan. Meskipun tulang-tulangnya serasa menjadi retak, namun ia masih juga sempat melenting berdiri. Namun ternyata bahwa dengan susah payah ia harus menguasai keseimbangannya. Hampir saja ia roboh kembali karena perasaan sakit yang tidak terkatakan diselu-ruh tubuhnya. Apalagi ketika iapun kemudian menyadari, bahwa lengannya yang tersentuh langsung ujung cambuk Agung Sedayu ternyata telah terkoyak. Sehingga lukapun telah mengganggu dilengannya. Dan darahpun telah mulai meleleh dari luka itu.
Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, Agung Sedayupun telah meloncat selangkah surut. Terasa perasaan pedih telah menggigit lambungnya. Belum lagi ia sempat mencabut pisau dipundaknya, maka sebilah pisau lagi telah menembus ilmu kebalnya dan melukai lambungnya.
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Pisau-pisau itu membuatnya menjadi kesakitan. Bukan saja bagian dalam tubuhnya, tetapi kuhtnya benar-benar telah terluka, karena ilmu bajak laut itu ternyata berhasil menerobos perisai ilmu kebalnya.
Seperti bajak laut yang terluka, maka Agung Sedayupun telah menitikkan darah. Dari pundaknya dan kemudian dari lambungnya. Darah itu akan mengalir terus. Jika darah itu terperas semakin banyak, maka tubuhnya akan menjadi lemah.
"Siapakah yang akan lebih dahulu kehilangan kemampuan untuk bertempur," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu, ia tidak mempunyai pilihan lain. Ketika ia melihat kesempatan itu, maka iapun harus mempergunakannya dengan tepat.
Justru pada saat lawannya sedang berusaha memperbaiki keseimbangannya, maka tanpa menghiraukan pisau yang tertancap pada tubuhnya, Agung Sedayu telah menyilangkan tangannya. Dalam pada itu, tatapan matanya yang tajam mulai memancarkan ilmu pamungkasnya langsung mencengkam dada bajak laut yang sudah terluka itu.
Cengkaman sorot mata Agung Sedayu itu mengejutkan lawannya. Terasa sesuatu menyusup kedalam dadanya, kemudian seakan-akan telah meremas jantungnya.
Dalam sekejap bajak laut itu menyadari. Ia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu raksasa. Karena itulah, maka lawannya itu bukan saja telah berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, tetapi ia memang memiliki kelebihan dari saudara seperguruannya itu.
Karena itu, ia harus bertindak cepat. Bajak laut itu menyadari bahwa lawannya yang memiliki ilmu kebal itu memiliki kemampuan pula menyerang dari jarak jauh. Sementara itu, maka lontaran-lontaran pisau belatinya mampu menembus ilmu kebal lawannya yang tidak dapat dipecahkannya seluruhnya dengan kabut-kabut panasnya.
Dengan kesadaran itulah, maka pada saat-saat yang menentukan itu, ia tidak mau didahului oleh Agung Sedayu, sehingga isi dadanya akan diremukkannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, dengan mengatasi cengkaman pada jantungnya, maka bajak laut itu telah berusaha menghancurkan Agung Sedayu.
Itulah sebabnya, maka sesaat kemudian, pisau-pisaunya yang membara, yang bercahaya kemerah-merahan telah berterbangan menyambar Agung Sedayu yang berdiri tegak dengan tangan bersilang.
Jika serangan-serangannya itu berhasil mengenai Agung Sedayu, maka betapapun kuatnya daya tahan tubuhnya, namun ia akan terpengaruh juga, sehingga kemampuannya melontarkan ilmu yang dahsyat dari kedua matanya itu akan terpengaruh pula karenanya. Dengan demikian, maka cengkaman pada jantung didalam dadanya itupun perlahan-lahan akhirnya tentu akan terlepas juga. Bahkan dengan demikian, maka Agung Sedayu itu akan kehilangan segenap kesempatan untuk dapat melawannya karena luka-lukanya.
Benturan ilmu antara kedua orang yang berilmu tinggi itu benar-benar telah menggemparkan setiap dada orang yang menyaksikannya. Tidak berbeda dengan saat Agung Sedayu bertempur dengan Ajar Tal Pitu yang disaksikan oleh beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Menoreh meskipun dari kejauhan. Namun pertempuran yang terjadi di Watu Walang itu hanya disaksikan oleh beberapa orang saja.
Jantung Sekar Mirah benar-benar bagaikan meledak. Ia melihat Agung Sedayu yang berdiri tegak dengan tangan bersilang. Iapun melihat bajak laut itu siap untuk melontarkan pisau-pisaunya. Bahkan pisau-pisau itu sedang meluncur ketubuh Agung Sedayu yang berdiri mematung. Sementara itu. Sekar Mirah menyadari, bahwa lontaran pisau-pisau yang seakan-akan menyala itu mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga pisau-pisau itu akan dapat melukainya.
Dalam pada itu, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Lurah Branjanganpun menjadi tidak kalah tegangnya. Mereka menunggu dengan jantung yang berdegupan. Apa yang akan terjadi kemudian.
Di pihak lain, kedua orang bajak laut, saudara seperguruan dari bajak laut yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itupun menjadi tidak kalah tegangnya.
Pada saat terakhir, merekapun melihat satu serangan dari jarak jauh yang dilontarkan oleh Agung Sedayu lewat sorot matanya. Meskipun ia tidak melihat serangan itu menyambar dada saudara seperguruannya, tetapi menilik sikap keduanya, maka kedua bajak laut itu dapat mengambil satu kesimpulan, bahwa sorot mata Agung Sedayu telah mencengkam isi dada lawannya.
Tetapi perhitungan yang mapan dari bajak laut itu memberikan sedikit harapan kepada kedua orang saudara seperguruannya yang berada diluar arena. Keduanya berharap sebagaimana diharapkan oleh saudara seperguruannya yang berada di gelanggang, bahwa pisau-pisau itu akan sangat berpengaruh atas kemampuan Agung Sedayu untuk melontarkan ilmunya untuk selanjutnya.
Meskipun demikian, kedua orang bajak laut yang menyaksikan pertempuran itu, benar-benar telah dicengkam oleh ketegangan sehingga rasa-rasanya darah mereka telah berhenti mengalir.
Dalam ketegangan yang memuncak itu, Swandaru yang sedang diperjalanan, telah mengisyaratkan Kiai Gringsing untuk berhenti. Ia merasakan bahwa kudanya telah menjadi lelah.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun telah memanggil Glagah Putih yang berkuda dipaling depan untuk berhenti pula barang sejenak.
Glagah Putih menjadi sangat gelisah. Rasa-rasanya ia ingin sekali meloncat, untuk segera mencapai Tanah Perdikan Menoreh. Namun Tanah Perdikan Menoreh masih jauh. Ia baru berada disebelah Utara arah Mataram. Sementara itu, malampun menjadi semakin dalam. Kiai Gringsing yang melihat kegelisahan itupun berkata, "Duduklah Glagah Putih. Kau coba menenangkan hatimu. Tidak ada apa-apa di Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya," sahut Swandaru, "pertempuran itu tidak akan terjadi segera. Yakinilah. Dan kau tidak akan menjadi gelisah karenanya. Dengan demikian, kita akan dapat berjalan dengan tenang dan beristirahat tanpa kegelisahan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Menurut pendengarannya, bajak laut itu memberi waktu sampai akhir pekan kepada Agung Sedayu.
Meskipun demikian rasa-rasanya sesuatu memang sudah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika Glagah Putih kemudian duduk bersandar batu dengan jantung yang berdegupan, Pandan Wangi mendekatinya dan duduk disebelahnya. Dengan lembut Pandan Wangi berkata, "Glagah Putih. Kau harus mempunyai dua keyakinan. Pertama, seperti kau katakan sendiri, bahwa masih ada waktu buat kakang Agung Sedayu. Kedua, bukankah kakang Agung Sedayu bukannya anak kemarin siang yang masih belum hilang pupuk lempuyangnya " Bukankah kakang Agung Sedayu mempunyai pengalaman yang sangat luas dimedan perang dan dalam perang tanding " Ingat, terakhir kakang Agung Sedayu dapat membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Panglima dari pasukan khusus Pajang yang memiliki puluhan Senapati mumpuni. Sebelumnya ia sudah membunuh orang yang bernama Ajar Tal Pitu. Nah, bukankah kau dapat menceriterakan kembali, apa yang terjadi dibawah sebatang pohon randu alas itu " Aku dapat membayangkannya, bagaimana keduanya telah melepaskan ilmu yang tinggi sekali, sehingga akhirnya pohon randu alas itu menjadi kering dan mati, terbakar oleh panasnya udara di saat kedua orang berilmu tinggi itu bertempur."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang sangat mengagumi Agung Sedayu. Bukan saja sebagai saudara sepupunya, tetapi juga sebagai orang yang dianggapnya sebagai gurunya.
"Kau akan mencobanya?" bertanya Pandan Wangi kemudian, "dengan demikian, maka hatimu akan menjadi tenang. Kau tidak akan dicengkam satu kegelisahan yang tidak akan dapat kau lenyapkan dari hatimu tanpa keyakinan-keyakinan itu, karena kita baru akan sampai ke Tanah Perdikan besok setelah matahari membayang dilangit. Selama itu kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kegelisahanmu jika bukan kau sendiri yang melawannya."
"Aku mengerti," Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu, Swandaru sekali-sekali memandanginya. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut. Ia tidak berkeberatan atas keterangan isterinya, karena menurut pendapatnya. Pandan Wangi hanya sekedar menghibur agar Glagah Putih tidak selalu gehsah. Tetapi justru Swandaru sendirilah yang sebenarnya gelisah, apabila ia mulai menilai kemungkinan kemampuan Agung Sedayu diperbandingkan dengan bajak laut yang sudah pernah mengarungi lautan dan menjelajahi benua itu.
"Tetapi perang tanding itu tentu belum terjadi sebelum guru sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Jika kakang Agung Sedayu memanggil guru, tentu bukannya tanpa maksud," berkata Swandaru didalam hatinya.
Dalam pada itu, Swandaru mempunyai dugaan, bahwa Agung Sedayu masih merasa dirinya perlu ditunggui oleh gurunya dalam keadaan yang paling gawat. Bahkan dalam keadaan yang khusus, gurunya akan dapat memberikan jalan untuk menyelamatkannya.
Sementara itu, Glagah Putih berusaha meyakinkan dirinya sebagaimana dikatakan oleh Pandan Wangi. Agung Sedayu tentu masih mempunyai waktu. Tetapi jika ia terdesak untuk mengadakan perang tanding, maka Agung Sedayu memiliki bekal yang cukup. Apalagi di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Waskita, ada Ki Gede Menoreh dan Sekar Mirah. Bahkan sepasukan yang kuat dari pasukan khusus Mataram yang sebagian besar masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh setelah perang berakhir.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan diluar sadarnya ia mengangguk-angguk.
"Kenapa?" bertanya Pandan Wangi yang melihat Glagah Putih itu menarik nafas sambil mengangguk-angguk.
Glagah Putih terkejut. Namun kemudian iapun menjawab, "Memang masih ada kesempatan bagi kakang Agung Sedayu. Selebihnya ada beberapa orang yang dapat mendampinginya jika ia terpaksa memasuki arena. Bahkan ada Ki Lurah Branjangan dengan pasukan segelar sepapan dari pasukan khusus yang kuat."
"Nah," Pandan Wangi menyahut, "bukanlah kau tidak perlu mencemaskannya?"
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi masih terbersit didalam hatinya, bahwa bukan watak Agung Sedayu untuk menyandarkan keselamatannya kepada orang-orang disekitarnya. Selain paugeran perang tanding yang harus ditaatinya, maka Agung Sedayu tidak akan mengorbankan harga dirinya. Kecuali jika bajak laut yang tiga orang itu telah melakuakn kecurangan lebih dahulu.
"Selain karena sikapnya yang jujur menghadapi paugeran perang tanding, kakang Agung Sedayu hanya pasrah kepada Tuhan Yang Maha Agung," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Sebenarnyalah, di Watu Lawang telah terjadi peritiwa yang menegangkan itu. Pada saat Agung Sedayu berkesempatan untuk melepaskan kemampuan yang tersimpan didalam dirinya lewat sorot matanya dan langsung mencengkam isi dada lawannya, maka pada saat itu bajak laut yang garang itupun telah berhasil melontarkan beberapa buah pisaunya yang membara dan bercahaya kemerah-merahan. Pisau-pisau yang langsung mengarah ketubuh Agung Sedayu. Sementara itu orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu menyadari sepenuhnya, bahwa pisau-pisau itu telah mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Jika pisau-pisau itu dibiarkan saja meluncur kesasaran, maka pada tubuh Agung Sedayu akan tertancap beberapa pisau yang mematuknya beruntun.
Meskipun setelah melontarkan pisau-pisau itu bajak laut yang garang itu rasa-rasanya tidak lagi mampu bertahan, namun ia masih tetap berpengharapan, bahwa pisau-pisaunya akan membinasakan lawannya yang luar biasa itu.
Namun ternyata seperti lawannya, bahwa dalam keadaan yang paling gawat itu. Agung Sedayu tetap mempergunakan akalnya. Pada saat-saat terakhir. Agung Sedayu telah mengambil satu pilihan yang harus dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya, justru pada saat ia melontarkan ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan dirinya menjadi luka arang kranjang oleh pisau-pisau lawannya yang akan mampu menembus ilmu kebalnya.
Karena itu, maka ia harus mengambil satu keputusan. Dilepaskannya kesempatannya untuk meremas jantung lawannya dengan sorot matanya. Dengan kecepatan yang mendahului pisau-pisau kecil itu, maka Agung Sedayupun telah meloncat menghindar.
Namun demikian ia melepaskan serangannya, maka rasa-rasanya dada lawannyapun menjadi lapang. Bajak laut itu sadar, bahwa Agung Sedayu tentu sedang berusaha menghindar. Namun karena itu, maka baja laut itupun ingin mempergunakan setiap kesempatan untuk menyelesaikan perang tanding itu.
Dengan demikian, ketika terasa cengkaman kekuatan ilmu Agung Sedayu mengendor dan bahkan terlepas sama sekali, maka dengan dada tengadah bajak laut itupun telah bersiap untuk melepaskan pisau-pisaunya kemana Agung Sedayu menghindar. Ia tidak boleh terlambat dan ia tidak boleh kehilangan setiap kesempatan sehingga akhirnya pisau-pisaunya yang banyak itu akan habis terlemparkan seluruhnya, tanpa dapat menjatuhkan lawannya.
Namun ternyata jantung bajak laut itu bagaikan berhenti berdetak. Dalam kesiagaannya untuk melepaskan serangannya dengan hati-hati dan penuh perhitungan, tiba-tiba saja ia melihat Agung Sedayu itu berdiri ditiga tempat.
"Apakah aku sudah gila," geram bajak laut itu kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah ia melihat Agung Sedayu yang meloncat menghindar itu telah berada ditiga tempat. Dalam ujud yang sama dan sikap yang sama. Ketiganya berdiri bersilang tangan. Dan pada ketiganya juga terlihat pisau yang menancap dan darah yang meleleh.
"Gila," bajak laut itupun mengumpat-umpat.
Namun ia tidak mempunyai waktu untuk kebingungan. Ia harus menyerang sebelum jantungnya diremukkan oleh ilmu lawannya yang sangat dahsyat itu.
Namun dalam pada itu, selagi bajak laut itu diceng kam oleh kecemasan, maka dua orang saudara seperguruannya telah terguncang pula melihat keadaan itu. Agung Sedayu seolah-olah telah menjadi tiga orang. Sehingga dengan demikian, maka bajak laut yang berada di arena itu, harus melawan tiga orang pula sekaligus.
Selebihnya, bajak laut yang dua orang itu telah mencemaskan nasib saudara seperguruan. Jika ia dibiarkan bertempur sendiri melawan Agung Sedayu, maka akibatnya akan menjadi sangat pahit baginya.
Karena itu, tidak ada pilihan lain. Kedua orang bajak laut itu kemudian bersepakat untuk turun ke arena.
"Persetan dengan perang tanding," geram mereka.
Untuk beberapa saat bajak laut itu masih mengamati keadaan. Ia melihat saudara seperguruannya sudah siap dengan pisau-pisaunya. Tetapi nampaknya bajak laut itu sedang membuat perhitungan sebaik-baiknya, yang manakah yang harus diserangnya lebih dahulu.
Ternyata bajak laut itu tidak mau kehilangan kesempat"n. Tiba-tiba saja ia telah mengambil satu sikap. Dalam sekejap telah meluncur tiga buah pisau belati yang bercahaya itu kearah tiga ujud Agung Sedayu yang berdiri bersilang tangan.
Tetapi ternyata ujud lawan-lawannya itu terlalu tangkas. Mereka dengan cepat pula sempat meloncat menghindar.
"Satu pancingan yang gila," geram bajak laut itu, "jika cara ini yang dipergunakan, maka pisau-pisauku akan habis sebelum aku dapat membunuhnya."
Karena itu, maka bajak laut itu tidak lagi menyerang dengan pisau-pisaunya. Tetapi ia kembali mempergunakan kabut-kabut panasnya dan dengan ilmu Gelap Ngamparnya.
"Aku harus memperhitungkan saat sebaik-baiknya agar aku tidak kehabisan senjata pamungkasku," geram bajak laut itu.
Namun ternyata bahwa kabut-kabut panasnya dan bahkan Gelap Ngamparnya tidak terlalu banyak berpengaruh meskipun panas yang terpancar dari kabutnya itu meskipun hanya sedikit mampu juga menembus perisai kebal Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Ketiganya kemudian kembali bersilang dan siap menghancurkan lawannya dengan sorot matanya.
Bajak laut itu menjadi berdebar-debar. Namun ia harus tetap melawan. Ia adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas di lautan dan benua diseberang samodra.
Karena itu, maka ia sudah memperhitungkan, jika terasa ilmu lawannya mulai menyentuh dadanya, maka ia harus mengorbankan tiga pisaunya lagi. Sementara itu, ia harus mulai berusaha untuk bertempur pada jarak yang lebih dekat dari ketiganya.
"Tetapi mereka bergerak terlalu cepat," bajak laut itu mulai mengeluh.
Namun pada saat yang demikian, maka dua orang saudara seperguruannya telah memasuki arena. Dengan tenang salah seorang dari mereka berkata, "Satu perang tanding yang tidak adil."
Agung Sedayu termangu-mangu melihat kehadiran mereka. Salah seorang dari ujud Agung Sedayu itu bertanya, "Apa yang tidak adil?"
Bajak laut itu berpaling. Timbul pertanyaan didalam diri mereka, bahwa yang berbicara itu adalah ujud yang sebenarnya. Tetapi ternyata yang lain menyambung, "Aku menghadapinya sebagaimana paugeran perang tanding."
"Kau berujud tiga," jawab bajak laut yang memasuki arena itu, "adalah kebetulan bahwa kami juga bertiga. Kami akan menghadapi ujudmu seorang demi seorang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun jika hal itu dilakukan juga, maka ialah yang akan mengalami kesulitan. Ketiga bajak laut itu tentu memiliki kemampuan yang sama atau hampir sama, sementara itu dirinya hanya dapat mengadakan ujudnya saja. Sementara itu, ilmu yang terpancar dari dalam dirinya, bukan berarti dapat berlipat tiga. Tidak ketiganya akan dapat melontarkan serangan lewat sorot matanya dalam kekuatan yang sebenarnya. Sebagaimana pernah terjadi atas orang-orang lain yang memiliki ilmu serupa.
Serangan-serangan yang hanya terasa akibatnya karena bantuan angan-angan lawannya sendiri. Tetapi tidak yang sebenarnya. Sehingga jika ia harus melawan tiga orang, maka akibatnya akan menjadi berbeda.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat merengek minta belas kasihan. Apapun yang terjadi harus dihadapinya. Ia harus dapat mempergunakan cara apapun untuk melawan ketiga bajak laut yang akan memasuki arena bersama-sama itu.
Namun dalam pada itu, ada saksi lainnya yang berdiri diluar arena. Ketika ketiga bajak laut itu berdiri berjajar, maka ketegangan telah mencengkam saksi-saksi yang lain itu.
"Kami tidak mempunyai pilihan lain," geram salah seorang bajak laut itu, "kami akan membinasakan orang yang telah membunuh kakang Tumenggung Prabadaru."
Agung Sedayupun telah merapatkan ketiga ujudnya. Seolah-olah ketiganya telah bersiap untuk menghadapi lawannya seorang demi seorang.
"Kau sudah terluka Agung Sedayu," berkata salah seorang diantara bajak laut itu, "kau tidak akan dapat berbuat banyak melawan kami bertiga, karena kami bertiga memiliki tataran ilmu yang sama."
"Seorang diantara kalianpun telah terluka," jawab salah seorang dari ujud Agung Sedayu itu. Kemudian yang lain melanjutkan, "ternyata bahwa yang akan kalian lakukan bukan satu sikap jantan. Kalian tidak menghormati paugeran perang tanding. Namun demikian, aku tidak akan ingkar. Jika kalian akan bertempur bertiga, maka akupun akan menghadapi kalian."
"Bagus," teriak bajak laut yang paling muda, "aku akan membantaimu disini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dalam ketiga ujudnya, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang menjadi saksi dari perang tanding itupun tidak tinggal diam. Sekar Mirah yang pertama kali meloncat dari tempatnya. Namun cepat Ki Waskita menahannya sambil berdesis, "berhati-hatilah Sekar Mirah. Mereka benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa."
"Tetapi mereka telah berbuat curang. Apakah kita akan membiarkan kakang Agung Sedayu melawan ketiga"," sahut Sekar Mirah.
"Tidak. Tetapi biarlah kita mempergunakan nalar kita sebaik-baiknya. Kau tetap akan menjadi saksi. Biarlah aku hadir dalam pertempuran itu. Meskipun barangkali kemampuanku meragukan untuk menghadapi bajak laut itu, tetapi mungkin kehadiranku akan dapat membantu Agung Sedayu," berkata Ki Waskita.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia mengakui bahwa ketiga bajak laut itu memiliki ilmu yang luar biasa, yang hanya dapat diimbangi oleh Agung Sedayu dan orang-orang yang memiliki ilmu setingkat. Tetapi ia tidak sampai hati membiarkan Agung Sedayu itu mengalami kesulitan, dan bahkan kemungkinan yang paling parah akan dapat terjadi.
"Jika kakang Agung Sedayu tidak dapat keluar dari arena ini, maka biarlah namaku sajalah yang akan kembali ke Sangkal Putung," berkata Sekar Mirah didalam hatinya. Sementara itu, ia menggenggam tongkat baja putihnya semakin erat.
Tetapi ia tidak dapat mengabaikan peringatan Ki Waskita. Apalagi Ki Waskita sudah menyatakan kesediaannya untuk memasuki arena.
Namun dalam pada itu, Ki Gedepun berkata, "Kita akan memasuki arena bersama-sama, Ki Waskita."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ada keseganan untuk memberikan jawaban. Tetapi akhirnya ia berkata, "Bukan maksudku memperkecil arti Ki Gede. Aku tahu kemampuan Ki Gede sejak muda. Bukankah kita sudah sangat lama bergaul dalam suka dan dalam duka. Namun kini Ki Gede mengalami satu keadaan yang khusus. Apalagi menghadapi kemampuan bajak laut itu. Kaki Ki Gede kadang-kadang dapat mengganggu, sementara itu, kabut panas yang dilontarkan oleh bajak laut itu sangat berbahaya."
"Aku mengerti Ki Waskita. Tetapi bagaimanapun juga, kehadiranku akan memberikan arti bagi Agung Sedayu," jawab Ki Gede.
"Baiklah. Tetapi aku mohon Ki Gede bersedia menunggu sejenak, untuk melihat perkembangan keadaan setelah aku turun ke medan."
Ki Gede tidak membantah. Sebab jika mereka masih saja berbantah, keadaan Agung Sedayu justru menjadi semakin gawat.
Karena itu, maka akhirnya, pada saat-saat ketiga bajak laut itu siap untuk menyerang, Ki Waskita telah turun ke arena. Yang mula-mula terdengar adalah suaranya sebelum ketiga bajak laut itu melihatnya melangkah mendekat.
"Kecurangan bukan adat yang baik bagi seorang laki-laki," berkata Ki Waskita.
Ketiga bajak laut itu terkejut.Merekapun segera berpaling. Dilihatnya seseorang memasuki arena.
"He, apakah artinya ini?" bertanya salah seorang bajak laut itu, "apakah kau juga ingin menempatkan dirimu dalam pertempuran ini" "
"Apa boleh buat," jawab Ki Waskita, "sebenarnya aku tidak merasa pantas untuk turun ke arena. Tetapi kehadiranku sekedar menyatakan, betapa liciknya kalian bertiga."
"Jadi kau ingin membunuh dirimu?" bertanya bajak laut itu.
"Apapun namanya, tetapi aku tidak dapat melihat kelicikan seperti ini terjadi. Agung Sedayu berharap untuk dapat berperang tanding dengan jantan. Tetapi kalian berbuat lain," jawab Ki Waskita.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayulah yang menjadi berdebar debar. Tetapi Ki Waskita juga bukan orang kebanyakan. Ia juga memiliki kelebihan yang sulit dicari bandingnya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mencegah kehadirannya. Menurut perhitungannya, maka bagaimanapun juga Ki Waskita akan dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama, sementara ia harus dapat berbuat lebih cepat lagi atas dua orang diantara lawannya.
Namun sekali-sekali terasa luka ditubuhnya menjadi pedfh. Keringat yang membasahi luka-luka itu membuat lukanya semakin terasa sakit.
Tetapi Agung Sedayu harus berbuat sesuatu untuk melawan ketiga orang bajak laut yang memiliki ilmu yang dahsyat itu. Namun seorang diantara mereka telah terluka. Bukan saja oleh cambuknya, tetapi sesaat ia sudah dapat mencengkam isi dada bajak laut itu. Dalam pada itu, maka seorang diantara bajak laut itupun kemudian telah menghadapi Ki Waskita sambil berkata, "Baikalh. Aku akan membunuhmu lebih dahulu, sebelum kami akan membantai Agung Sedayu."
Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia tidak ingin dihancurkan pada benturan pertama. Karena itu, maka dengan wajah yang tegang ia mulai membuka ikat kepalanya dan membalutkannya pada pergelangan tangannya. Ia sadar, pisau-pisau itu memiliki daya dan kekuatan yang luar biasa, sehingga mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ia dapat mencoba melindungi dirinya. Ia harus berusaha menangkis setiap serangan tidak dengan benturan langsung, tetapi ia harus dapat menyentuh menyamping sekedar untuk membelokkan arah.
Sementara itu, iapun telah mengurai ikat pinggangnya yang akan dapat dipergunakan sebagai senjata yang tidak kalah tajamnya dari mata pedang.
"O," desis bajak laut, "kau mempergunakan peralatan seperti akan merampok macan. Baiklah, kita akan melihat apakah peralatanmu itu akan bermanfaat."
Ki Waskita masih belum menjawab. Namun ia mulai bergeser mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, kedua bajak laut yang lain telah mulai pula bersiap-siap. Agaknya mereka benar-benar ingin menyelesaikan pertempuran itu secepatnya, karena luka di tubuh bajak laut yang seorang terasa semakin menggigit.
Karena itu, maka keduanya telah bergeser merenggang. Sementara itu Agung Sedayu yang merasa masih mempunyai kelebihan satu ujud, akan dapat dipergunakannya untuk membingungkan kedua bajak laut itu agar mereka tidak dapat menyerang langsung kearah Agung Sedayu yang sebenarnya.
Namun kedua bajak laut itu tidak mau diperdayakan oleh Agung Sedayu. Tanpa berjanji mereka berniat untuk menyerang ketiga ujud itu dengan pisau-pisau mereka, sementara keduanya berusaha untuk dapat mendekat dan dengan demikian, maka serangan-serangan pisau mereka akan dapat lebih terarah.
Sedangkan bajak laut yang seorangpun telah mulai bersiap menghadapi Ki Waskita. Dengan hati-hati bajak laut itu bergeser mendekat. Ia sadar, bahwa orang yang memasuki arena itu telah melihat, apa yang dapat dilakukan oleh saudara seperguruannya. Karena itu, jika ia masih juga berani memasuki arena, tentu iapun membawa bekal perhitungan yang mapan.
Dengan hati-hati Ki Waskita memperhatikan setiap gerak bajak laut yang menempatkan diri menjadi lawannya. Ia telah dapat mengukur kemampuannya, sebagaimana dilihatnya pada lawan Agung Sedayu. Meskipun lawan Agung Sedayu itu telah dapat dilukai oleh Agung Sedayu, namun Agung Sedayu sendiri telah dapat dilukainya pula.
Ketika Ki Waskita bergeser mendekat, maka debar jantungnya menjadi semakin cepat. Ia mulai melihat lawannya menyerang.
Hanya lewat setapak saja, kabut panas menyambar Ki Waskita yang meloncat kesamping. Jika kabut itu menyentuhnya, maka ia tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana dimiliki oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka ia harus berusaha untuk menghindarkan diri dari sentuhan kabut itu.
Namun Ki Waskita telah membuat perhitungan tersendiri. Ia harus berusaha untuk bertempur pada jarak pendek, agar lawannya tidak sempat melontarakn serangan-serangan kabut panas yang berbahaya itu. Apalagi serangan pisau-pisaunya yang sangat berbahaya.
Karena itu, demikian Ki Waskita menghindar, maka iapun telah berusaha untuk semakin mendekati lawannya. Ia mencoba untuk menumpukkan kemampuannya menghadapi bajak laut itu pada kecepatan gerak, meskipun ia tidak memiliki kemampuan bergerak secepat Agung Sedayu.
Mula-mula bajak laut itu tidak mengira bahwa Ki Waskita justru akan berusaha mendekatinya dan bertempur pada jarak pendek. Namun akhirnya ia menyadari ketika tiba-tiba saja Ki Waskita itu telah menyerangnya dengan putaran ikat pinggangnya.
Desing ikat pinggang itu mendebarkan hati bajak laut yang melawannya. Bahkan bajak laut itu mengumpat didalam hatinya, "Ikat pinggang ini tentu akan sangat berbahaya."
Dengan demikian, maka bajak laut itupun menjadi semakin berhati-hati pula. Ia menyadarai, bahwa sentuhan ikat pinggang itu akan sangat berbahaya.
Dalam pada itu, kedua orang bajak laut yang melawan Agung Sedayupun telah bersiap-siap pula untuk menundukkan lawannya yang sangat berbahaya itu. Namun ujud yang tiga dari Agung Sedayu itu masih juga meragukan mereka.
Namun agaknya Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan tangkasnya ketiga ujud itu merenggang. Kemudian menyerang dengan cepat mengarah ke kedua bajak laut itu. Yang seorang menyerang yang terluka, sementara dua ujud yang lain telah menyerang bajak laut yang baru saja turun kearena.
Namun serangan itu telah disambut dengan serangan-serangan yang dahsyat pula. Bajak laut itu tidak mau kehilangan setiap kesempatan. Karena itu, maka pisau-pisau merekapun telah meluncur menyambar.
Tetapi untunglah bagi Agung Sedayu. Agaknya kedua bajak laut itu tidak mau menghambur-hamburkan senjatanya, sehingra pisau-pisau itu tidak datang beruntun bagaikan hujan. Tetapi ada kesempatan pada sela-sela lontaran pisau-pisau itu untuk mempertimbangkan cara untuk menghindarkan diri.
Namun dengan demikian ketiga ujud Agung Sedayu itu tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menghindar dan menghindar saja. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan serangannya dengan ilmu pamungkasnya, lewat sorot matanya.
Untuk mengurangi tekanan lawannya, maka ketiga ujud Agung Sedayu itu dalam saat-saat tertentu seolah-olah telah berbaur dan berpindah-pindah pasangan. Yang mula-mula menghadapi satu ujud, tiba-tiba saja harus menghadapi kedua ujud Agung Sedayu. Namun kemudian ujud-ujud itu telah saling bertukar tempat dan berbaur sambil menyerang.
Buku 174 TETAPI lawannya adalah orang-orang yang berpengalaman. Karena itu, maka pada saat-saat tertentu, merekapun berhasil mengambil sikap. Bahkan tiba-tiba ketika pisau-pisau meluncur kearah tiga ujud yang dilontarkan oleh kedua bajak laut itu, terdengar desis perlahan. Sebuah pisau berhasil menyusup ilmu kebal Agung Sedayu dan mengenai sekaligus mengoyak lengannya.
Keteganganpun menjadi semakin memuncak. Agung Sedayu telah mempergunakan cambuknya dan berusaha memperpendek jarak. Namun ternyata bahwa melawan dua orang bajak laut dengan ilmu mereka yang tinggi itu. Agung Sedayu benar-benar mengalami kesulitan. Bahkan kemudian Agung Sedayu yang sudah terluka itu, seakan-akan tidak mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Sekali-kali bajak laut itu meluncurkan kabut-kabut panasnya yang ternyata mempengaruhi ketahanan perlawanan Agung Sedayu pula. Namun tiba-tiba Agung Sedayu harus bertahan atas serangan rangkap dengan ilmu Gelap Ngampar. Ternyata serangan rangkap itu mulai mempengaruhi isi dadanya, sedangkan pada saat-saat lain, pisau-pisau yang mampu menembus ilmu kebalnya itupun berterbangan.
Sedangkan dibagian lain, Ki Waskitapun segera mengalami tekanan yang berat pula. Sekali-sekali lawannya mulai melontarkan pisau mautnya. Bara yang menyilaukan itu benar-benar telah mendebarkan jantung Ki Waskita. Ketika ia terpaksa menangkis pisau-pisau itu dengan ikat kepalanya yang membalut pergelangan tangannya, rasa-rasanya tangannya humpir retak karenanya, meskipun ia sudah berusaha untuk tidak membentur langsung serangan itu.
Namun ia menarik nafas panjang, ketika ternyata ikat kepalanya tidak terkoyak karenanya, meskipun pisau lawannya yang membara itu terasa panasnya bukan main. Bukan saja pada pergelangan tangannya yang hampir retak, tetapi juga seakan-akan telah memanasi udara yang menerpa tubuhnya pada desing sambaran senjata lawannya itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, serangan-serangan bajak laut itu dengan kabut panasnya dan pisau-pisaunya yang membara, membuat Ki Waskita menjadi semakin terdesak.
Demikian juga, telah terjadi pada Agung Sedayu. Kedua orang bajak laut yang kadang-kadang berhasil dibingungkan oleh ketiga ujud Agung Sedayu yang membaur, yang menyerang bergantian dan saling bertukar tempat itu, kadang-kadang dapat juga menguasai keadaan dan menyerang dengan dahsyatnya, sehingga menyentuh tubuh Agung Sedayu.
Dipinggir arena Ki Gede Menoreh, Ki Lurah Branjangan dan Sekar Mirah menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya mereka tidak lagi pantas untuk tetap berdiam diri di pinggir arena, justru pada saat Agung Sedayu dan Ki Waskita mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Swandaru dan Sekar Mirah masih berada diperjalanan mengikuti Glagah Putih yang tergesa-gesa. Tetapi perjalanan mereka masih cukup jauh, sehingga sebagaimana dikatakan oleh Pandan Wangi, menjelang pagi atau bahkan pada saat matahari terbit, mereka baru akan sampai. Swandaru sama sekali tidak menunjukkan sikap ketergesa-gesaannya, karena ia mengira bahwa segala sesuatunya tidak akan segera terjadi, sebagaimana dikatakan pula oleh Glagah Putih sendiri.
Karena itu, maka hanya karena Glagah Putih yang berpacu secepatnya sajalah, maka yang lainpun mempercepat perjalanan mereka. Dalam gelapnya malam, maka merekapun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Kali Praga.
Sebagaimana diperhitungkan oleh Kiai Gringsing, maka perjalanan mereka tidak dihambat oleh peronda-peronda dari Mataram, sehingga mereka tidak terpaksa harus berada di barak-barak penjagaan untuk waktu yang lama.
Namun sementara itu, keadaan medan sudah menjadi semakin parah. Ki Waskita masih berusaha untuk bertahan. Ia berharap bahwa ia akan dapat bertahan sampai saatnya Agung Sedayu mengurangi tekanan lawannya. Tetapi yang terjadi atas Agung Sedayu tidak berbeda dari yang terjadi pada Ki Waskita.
Dalam keadaan yang demikian, Sekar Mirah sudah tidak telaten lagi. Dengan suara bergetar ia berkata kepada Ki Gede, "Aku tidak dapat membiarkan suamiku mengalami kesulitan yang gawat dihadapanku tanpa berbuat apa-apa. Jika dalam arena ini, kami berdua harus mati, biarlah kami mati bersama-sama."
"Tunggu," Ki Gede menahannya, "aku adalah orang yang paling pantas untuk turun ke arena setelah Ki Waskita."
"Aku adalah isterinya, Ki Gede. Apalagi Ki Gede mempunyai satu kelemahan, justru pada kaki Ki Gede," jawab Sekar Mirah.
"Aku sudah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan kakiku yang kadang-kadang memang sering mengganggu," jawab Ki Gede.
Namun dalam pada itu, ketika Sekar Mirah kemudian memaksa untuk memasuki arena, terdengar suara perlahan di sebelah mereka, "jangan tergesa-gesa. Bukankah Ki Waskita sudah berpesan kepada kalian?"
Orang-orang itu berpaling. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seseorang berdiri dalam kegelapan dengan tangan bersilang didada. Sementara itu sebuah caping bambu yang lebar menutupi kepalanya.
"Siapa kau," desis Sekar Mirah.
Orang itu tidak menjawab. Namun iapun kemudian melepaskan capingnya yang besar sambil melangkah maju. Katanya, "Kalian bukan lawan bajak laut itu. Jika kalian tampil, apalagi Sekar Mirah, maka tugas Agung Sedayu akan menjadi semakin berat, karena ia dibebani pula oleh kegelisahan."
"Kegelisahan apa?" bertanya Sekar Mirah.
"Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasmu," jawab orang itu.
"Kau menghina aku. Siapa kau" Apakah kau kawan dari bajak laut itu pula?" bertanya Sekar Mirah.
"Tidak," orang itu masih bergeser setapak demi setapak maju mendekati arena. Lalu katanya, "Tenanglah. Aku akan mencoba mempengaruhi medan itu. Mudah-mudahan aku berhasil menarik perhatian bajak laut yang melawan Agung Sedayu berdua."
"Apakah kau merasa memiliki kemampuan melampaui aku dan bahkan Ki Gede Menoreh"," desak Sekar Mirah.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia jusru berkata, "Mereka bukan lawan kalian. Yakinilah. Aku tidak ingin menghina kalian. Tetapi dalam keadaan seperti ini sebaiknya aku berkata berterus terang agar kalian tidak terjerumus kedalam kesulitan."
Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak berhasil mengetahui dengan pasti, siapakah orang yang datang itu.
Namun dalam pada itu, Ki Gedelah yang menjadi ragu-ragu. Ia tidak menahan orang itu dan tidak membantahnya. Rasa-rasanya ia sudah dapat mengenali orang itu. Namun karena keragu-raguannya, Ki Gede tidak menyebutnya.
Tetapi ia berkata kepada Sekar Mirah, "Kita menunggu apa yang bakal terjadi."
"Jika orang itu curang dan bahkan salah seorang dari bajak laut yang licik itu, maka keadaan kakang Agung Sedayu akan menjadi semakin parah," jawab Sekar Mirah.
Namun ternyata Ki Lurahpun merasa bahwa ia sudah mengenal orang itu pula, meskipun seperti juga Ki Gede, ia merasa ragu-ragu. Dan karena itu, maka iapun merasa lebih baik untuk tidak menyebutnya.
Dalam pada itu, orang yang dalam pakaian kelam dikegelapan itu semakin lama semakin mendekati mereka yang sedang bertempur. Iapun kemudian memasuki arena yang terasa menjadi semakin panas oleh ilmu bajak laut yang garang itu. Tetapi orang itu tidak berhenti.
Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayu telah menjadi semakin sulit. Ia memang berhasil mengenai tubuh bajak laut yang sudah terluka dengan cambuknya. Tetapi tubuhnya telah terkoyak pula oleh pisau-pisau yang berterbangan. menyambar ketiga ujud Agung Sedayu yang berloncatan dengan cepatnya.
Orang yang memasuki arena itu menarik nafas dalam-dalam. Didalam hatinya ia berkata, "Beruntunglah, bahwa Agung Sedayu sudah berhasil menguasai ilmu yang pelik itu. Lebih tajam dari sekedar ujud semu yang dapat ditrapkan oleh Ki Waskita, yang tentu tidak akan banyak pengaruhnya apabila ujud-ujud semu itu di trapkan untuk melawan bajak laut yang berilmu tinggi itu, karena ia dengan mudah akan segera dapat mengenali ujud yang sebenarnya dari ujud-ujud semu itu."
Dalam pada itu, maka orang itupun tidak ingin membiarkan keadaan menjadi semakin parah. Dengan terbatuk-batuk kecil itu melangkah semakin dekat.
Suaranya telah menarik perhatian orang-orang yang sedang bertempur itu. Baik Agung Sedayu, maupun kedua bajak laut yang bertempur melawannya telah berpaling sekilas. Demikian pula Ki Waskita dan lawannya.
Dalam kegelapan mereka melihat seseorang berjalan dengan tenangnya mendekati arena pertempuran yang panas dibakar oleh ilmu yang sedang berbenturan itu. Namun orang itu tidak menghiraukannya. Bahkan semakin lama iapun semakin mendekati Agung Sedayu.
Kedatangannya memang sangat menarik perhatian. Pertempuran antara Agung Sedayu melawan kedua orang bajak laut itu menjadi mengendor untuk sesaat, sementara orang itu menjadi semakin dekat.
"Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur," berkata orang itu, "tetapi sebagai seorang laki-laki aku merasa tersinggung melihat sikap bajak laut yang garang, yang menurut pengakuannya saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru dan bahkan memiliki ilmu yang lebih baik daripadanya."
Kedua bajak laut yang bertempur melawan Agung Sedayu itu justru telah berhenti bertempur sesaat. Seorang di antara mereka bertanya, "Siapakah kau he" Dan apa maksudmu memasuki arena?"
"Aku ingin memperingatkan, bahwa yang semula terjadi adalah perang tanding. Biarlah perang tanding itu selesai. Baru kemudian kau atau salah seorang dari kahan berdua, boleh ikut," jawab orang yang memasuki arena itu.
"Apa pedulimu. Kami ingin membantainya dan membawa kepalanya untuk kami awetkan dan kami alumkan sehingga sebesar kepalan tanganku ini. Kepala orang yang berilmu tinggi akan dapat memberikan pengaruh baik bagi bajak laut yang setiap hari mengarungi samodra dan berjuang melawan deru gelombang," jawab bajak laut itu.
"Aku tidak berkeberatan kalian melakukannya. Tetapi setelah salah seorang diantara kalian memenangkan perang tanding," berkata orang yang datang itu pula., "tetapi kalian telah mencemarkan nama kalian sendiri. Bukan selayaknya seorang yang memiliki pengalaman di samodra dan benua itu berbuat licik."
"Persetan," geram salah seorang bajak laut itu, "jika kau ingin mati, marilah. Masih ada kesempatan untuk membunuh diri. Sekaligus kami akan membawa kepalamu pula bersama kepala orang tua yang ikut-ikutan bertempur itu pula."
Orang itu menebarkan pandangannya. Diamatinya Ki Waskita yang bertempur melawan salah seorang dari ketiga bajak laut itu. Namun kemudian katanya, "Marilah. Aku akan ikut serta. Aku akan melawan salah seorang dari bajak laut yang bertempur melawan Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu juga sudah terluka, bahkan nampaknya luka itu agak parah, maka aku memilih lawan yang masih belum terluka. Biarlah bajak laut yang terluka itu melawan dan diselesaikan oleh Agung Sedayu. Sementara yang seorang akan aku selesaikan."
"Gila," bajak laut itu menjadi semakin marah. Dengan lantang tiba-tiba iapun bertanya, "He, siapakah kau sebenarnya " Apakah kau memang sudah jemu hidup " Agung Sedayu yang katanya dapat membunuh kakang Tumenggung Prabadaru itupun telah terluka cukup parah. Apalagi kau."
"Agung Sedayu terluka parah karena kecurangan kalian. Tetapi seandainya ia tetap dalam keadaan perang tanding, maka ia tentu sudah dapat menguasai lawanya, meskipun iapun terluka. Aku menyaksikan pertempuran ini sejak semula," jawab orang itu.
"Tetapi kau belum menjawab, siapa kau he ?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Aku adalah putera Pajang yang bergelar Pangeran Benawa."
"Pangeran Benawa," bajak laut itu mengulang.
Namun Pangeran itu pernah didengarnya sejak ia masih berada di Pajang. Nama itu memang menggetarkan.
Bukan saja bajak laut itu yang terkejut. Telapi Sekar Mirah yang berada diluar arenapun terkejut pula. Diluar sadarnya ia bergeser mendekati Ki Gede sambil berdesis, "Apakah benar orang itu Pangeran Benawa ?"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Ki Lurah Branjangan, Ki Lurah itupun memandanginya pula sambil berdesis, "Aku memang sudah mengira. Tetapi dalam kegelapan dan pada jarak yang tidak terlalu dekat, aku merasa ragu-ragu untuk menyebutnya."
"Ya. Orang itu adalah Pangeran Benawa." desis Ki Gede.
Dalam pada itu Pangeran Benawapun berkata, "Ki Sanak. Kedatangan kalian ke Pajang memang sangat menarik perhatian. Ketika kau masih berada di Pajang, aku berusaha untuk memperhatikan kalian dengan sungguh-sungguh. Aku menaruh hormat pada sikap kalian, karena kalian tidak membuat onar dan tidak melakukan satu tindakan yang dapat mengganggu tata kehidupan. Meskipun kedatangan kalian menarik perhatian beberapa kalangan, diantaranya aku sendiri. Tetapi ternyata ketika kau berada disini, dalam perang tanding sikap kalian berubah."
"Berubah apa?" bertanya salah seorang bajak laut itu.
"Kalian ternyata bukan seorang yang benar-benar jantan, yang menghargai dirinya sendiri sebagaimana nyawanya," jawab Pangeran Benawa. Lalu, "Agaknya kecurigaanku memang terjadi. Meskipun aku menaruh hormat kepada kalian, namun ada juga sedikit kecurigaan, bahwa pada satu saat, kau akan melakukan satu kecurangan. Karena itu aku memerlukan datang ke Tanah Perdikan ini, mengamatimu dan kebetulan malam ini aku sempat melihat perang tanding yang tidak serasi ini."
"Persetan," geram bajak laut itu, "ternyata kecurangan Agung Sedayu kini terbukti. Kepergian anak muda itu agaknya telah menyusulmu."
"Anak muda siapa?" bertanya Pangeran Benawa.
"Tanpa mendapat pemberitahuan, kau tidak akan mengetahui apa yang terjadi. Kau seorang Pangeran yang lebih banyak tinggal di istana dengan isteri-isterimu daripada berada di medan seperti ini," geram bajak laut itu.
Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sekali lagi ia bertanya, "siapa yang kau maksud dengan anak muda yang memberitahukan persoalan ini kepadaku?"
"Bertanyalah kepada Agung Sedayu. Aku tidak tahu siapakah nama anak muda itu," jawab bajak laut itu.
Agung Sedayu menyadari, bahwa yang dimaksud oleh bajak laut itu tentu Glagah Putih yang telah dilihat oleh bajak laut itu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sama sekali tidak memberitahukan persoalan itu kepada Pangeran Benawa.
Karena itu, maka Agung Sedayupun menyahut, "Kau salah Ki Sanak. Glagah Putih tidak pergi ke Pajang dan memberitahukan kehadiran kalian kepada Pangeran Benawa. Agaknya Pangeran Benawa telah mengamati kalian sejak kalian berada di Pajang."
"Ya," jawab Pangean Benawa, "aku mengamati kalian sejak kalian masih berada di Pajang. Sekali-sekali kalian menunjukkan kelebihan kalian. Namun tingkah laku kalian masih belum sampai pada satu batas untuk diambil satu tindakan. Apalagi saat itu, kami di Pajang sedang disibukkan oleh pembicaraan-pembicaraan tentang pengganti ayahanda Sultan yang akan memerintah Pajang. Apakah ia akan berkedudukan di Pajang atau bukan, itu bukan persoalan." Pangeran Benawa berhenti sejenak. Seolah-olah ia terhisap oleh satu kenangan tentang ayahandanya. Tetapi hanya sesaat. Karena iapun segera melanjutkan, "Dalam keadaan yang demikian itu aku telah memerintahkan beberapa orang petugas sandi untuk mengamatimu. Tetapi ketika kalian meninggalkan Pajang, maka aku sendiri telah pergi mengamati kalian beserta dua orang kepercayaanku, yang sekarang ada juga disini. Tetapi mereka tidak perlu hadir, karena mereka tidak aku perlukan dalam arena ini. Ternyata kalian bertiga telah kami hadapi bertiga pula. Agung Sedayu sendiri, Ki Waskita dan kemudian aku."
"Persetan dengan sesorahmu," geram salah seorang bajak laut itu, "jadi kaupun telah ikut melibatkan diri Jangan kau kira bahwa meskipun kau bernama Pangeran Benawa, putera Sultan Hadiwijaya yang terkenal itu akan dapat menggetarkan jantungku."
"Siapa bilang bahwa aku ingin menakut-nakutimu?" bertanya Pangeran Benawa, "bukankah aku hanya sekedar ingin menjadi orang ketiga yang akan menghadapi kalian bertiga" Tidak lebih dan tidak kurang. Apakah aku nanti akan menang atau kalah itu bukan persoalan" Bukaikah kita tidak lagi terikat kepada pangeran perang tanding" Mungkin kita masing-masing bertiga akan bertempur berpasangan. Mungkin dua diantara kami. Mungkin seorang menghadapi seorang."
Bajak laut itupun menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja, tanpa memberikan isyarat apapun, bajak laut itu telah menyerangnya dengan garangnya. Selembar kabut yang panas telah menyambar Pangeran Benawa yang berdiri di lingkaran pertempuran itu.
Tetapi Pangeran Benawa yang memasuki arena itu sudah bersiaga sepenuhnya. Seperti Agung Sedayu, maka Pangeran Benawapun dapat melihat kabut yang panasnya melampaui bara api itu.
Karena itu, maka dengan tangkasnya Pangeran Benawa itupun telah meloncat kesamping menghindarkan diri dari sambaran kabut itu. Namun, yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan. Ternyata Pangeran Benawa tidak ingin berada dibawah bayangan kemampuan lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Pangeran Benawa-pun telah menyerangnya. Dengan gerakan tangan yang pendek, maka seakan-akan lidah api telah menyambar lawannya dengan dahsyatnya. Hampir seperti pisau-pisau yang dilontarkan oleh bajak laut itu. Tetapi yang meluncur hanyalah cahaya yang menyala bagaikan bara api.
Bajak laut itu terkejut. Dengan tergesa-gesa ia telah meloncat menghindar pula sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Benawa. Namun sekali lagi bajak laut itu terkejut. Ketika lidah api yang menyambar itu tidak menyentuh tubuh bajak laut yang garang itu dan kemudian mematuk tanah, maka seolah-olah telah terjadi ledakan api yang menggetarkan bumi Watu Lawang.
Bukan saja bajak laut itu yang terkejut. Tetapi semua orang yang menyaksikan itu telah tergetar pula hatinya. Bahkan Agung Sedayupun tergetar pula hatinya. Ia pernah melihat ilmu yang mirip seperti yang dapat dilakukan oleh Pangeran Benawa itu. Ilmu yang dilontarkan oleh seseorang yang namanya membayangi Pajang untuk beberapa saat lamanya. Kakang Panji.
Dalam pada itu, ternyata orang-orang itu tidak sempat lagi untuk berbicara. Mereka telah mendapatkan lawannya masing-masing. Ki Waskita, Pangeran Benawa dan Agung Sedayu masing-masing melawan seorang diantara bajak laut-bajak laut itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun menjadi semakin dahsyat. Namun dalam pada itu, kesempatan mulai terbuka bagi Agung Sedayu. Meskipun tubuhnya telah terluka parah, namun lawannyapun telah terluka pula.
Sernentara itu. Pangeran Benawa agaknya telah memilih cara yang sesuai untuk menghadapi lawannya. Cara yang jarang dipergukannya. Namun melawan bajak laut yang memiliki ilmu yang tinggi itu ternyata Pangeran Benawa telah bertempur dengan keras, sebagaimana dilakukan oleh lawannya.
Dengan demikian, maka Pangeran Benawa telah berhasil mendesak lawannya, memisahkan diri, sehingga kemudian telah terjadi tiga arena pertempuran yang dahsyat pula. Masing-masing memiliki kelebihan yang dapat menggetarkan jantung.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam suasana yang demikian, maka Ki Waskita seolah-olah telah mendapat dorongan jiwani untuk menghadapi lawannya. Meskipun lawannyapun bertempur semakin garang, tetapi Ki Waskita seakan-akan merasa tubuhnya menjadi semakin ringan.
Karena itu, maka sejenak kemudian, ikat pinggangnyapun telah berputaran seperti baling-baling. Suaranya berdesing-desing seperti puluhan ribu kumbang yang berterbangan. Bahkan sekali-sekali ujung ikat pinggangnya itu telah menyambar lawannya dengan dahsyatnya. Meskipun ujung ikat pinggang itu tidak menyentuh kulit lawannya yang menghindar, namun terasa tamparan angin pada kulit bajak laut itu membuatnya berdebar-debar.
"Gila, apakah orang ini sudah kerasukan iblis Watu Lawang?"
Namun sebenarnyalah bahwa Ki Waskita telah bertempur semakin mantap. Ia tidak lagi diganggu oleh kegelisahan tentang Agung Sedayu yang semula masih harus menghadapi dua orang bajak laut. Kini Agung Sedayu tinggal menghadapi seorang diantara bajak laut-bajak laut yang garang itu. Meskipun Agung Sedayu sendiri telah terluka, maka lawannyapun telah terluka pula. Keduanya sama-sama parah, sehingga masih ada kesempatan bagi Agung Sedayu untuk memenangkan pertempuran itu. Sementara di lingkaran pertempuran yang lain. Pangeran Benawa segera dapat mengimbangi kemampuan lawannya. Dengan keras ia membalas setiap serangan dengan serangan berjarak sebagaimana dilakukan oleh lawannya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa keadaan Agung Sedayu sudah menjadi semakin sulit. Luka-lukanya terlalu banyak mengeluarkan darah, sementara ia tidak sempat mengobatinya. Tetapi luka-luka lawannyapun mengeluarkan darah terlalu banyak pula.
Diluar arena, Sekar Mirah masih dicengkam oleh ketegangan. Nafasnya menjadi agak lega ketika ia melihat Pangeran Benawa memasuki arena. Agung Sedayu yang semula harus menghadapi dua orang, lawannya telah berkurang karena yang seorang harus menghadapi Pangeran Benawa.
Namun menilik sikapnya, nampak perubahan yang mencemaskan dalam sikap dan langkah Agung Sedayu yang menjadi semakin lemah itu.
"Keadaannya nampaknya sangat gawat Ki Gede," desis Sekar Mirah.
Sebenarnyalah bahwa Ki Gede juga mencemaskannya. Tetapi ia masih sempat berkata, "Kita menunggu apa yang akan terjadi Sekar Mirah. Bersukurlah, bahwa Pangeran Benawa telah mengurangi seorang lawannya. Dengan demikian, maka kita dapat berharap bahwa Agung Sedayu akan dapat mengalahkan lawannya."
Dalam pada itu, pertempuran antara Pangeran Benawa melawan bajak laut yang seorang itupun menjadi semakin garang. Bajak laut itu telah melontarkan tiga macam serangan berjaraknya. Kabut-kabut putih yang panasnya melampaui bara api. Aji Gelap Ngampar yang dapat merontokkan isi dada, dan pisau-pisau yang seakan-akan bercahaya kemerah-merahan yang meluncur dengan dorongan kekuatan yang luar biasa. Yang mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu.
Tetapi Pangeran Benawapun telah melawannya dengan cara yang keras pula. Serangannya yang terlontar dari telapak tangannya menyambar-nyambar tidak henti-hentinya. Memang agak berbeda dengan serangan pisau lawannya. Jumlah pisau itu terbatas meskipun cukup banyak. Namun serangan yang meluncur dari tangan Pangeran Benawa itu dapat dilakukan dalam jumlah yang tidak terhitung.
Meskipun demikian, sambaran-sambaran kabut putih itu tidak kalah dahsyatnya. Namun agaknya seperti Agung Sedayu, Pangeran Benawa memiliki perisai yang dapat menangkis serangan kabut panas itu, meskipun panasnya mempunyai pengaruh pula serba sedikit. Namun warisan ilmu Tameng Waja itu cukup dapat dipercaya menghadapi serangan-serangan yang demikian.
Juga serangan ilmu Gelap Ngampar tidak banyak berpengaruh atas Pangeran Benawa. Meskipun isi dada Pangeran Benawa merasa juga terguncang, tetapi keadaan itu tidak berbahaya sama sekali baginya, sehingga justru karena itu, maka serangan-serangan Pangeran Benawa itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Pada saat orang-orang di Watu Lawang itu berjuang dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka, maka yang berada di perjalanan semakin lama menjadi semakin mendekati Kali Praga. Dengan keterangan-keterangan yang membuat hatinya agak tenang, maka Glagah Putih justru menjadi tidak lagi terlalu tergesa-gesa. Ia tidak lagi berpacu dengan kecepatan penuh. Meskipun kudanya masih saja berlari kencang, tetapi tidak berpacu seperti diarena balapan kuda.
Bahkan ketika langit menjadi merah, Glagah Putih sempat berhenti sejenak sambil memandang udara yang mulai meremang.
"Sebentar lagi fajar akan menyingsing," desis Glagah Putih.
"Ya. Sebentar lagi kita akan menyeberang Kali Praga. Kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh." sahut Pandan Wangi.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun Pandan Wangipun tiba-tiba saja telah berkuda semakin cepat. Bukan karena Agung Sedayu. Tetapi kerinduannya kepada Tanah itu dengan tidak sadar telah menyusup dihatinya. Rasa-rasanya Pandan Wangi ingin segera menyeberang. Jika matahari kemudian akun menyingsing, maka ia akan menyambut cahaya pagi itu diatas Tanah kelahirannya.
Ketika mereka sampai ketepi Kali Praga, ternyata sudah ada satu dua rakit yang siap untuk membawa orang-orang yang akan menyeberang. Beberapa tukang satang dengan berkerudung kain panjang, duduk diatas rakit yang bergoyang-goyang.
"Airnya tidak begitu besar," gumam Glagah Putih.
"Ya. Tetapi kita tetap memerlukan rakit," jawab Pandan Wangi.
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi iring-iringan kecil itupun kemudian turun ketepian berpasir.
Beberapa orang tukang satang telah berdiri. Ketika orang-orang berkuda itu mendekatinya, maka tukang-tukang satang itu telah mempersilahkan mereka naik keatas rakit.
Meskipun demikian, seorang diantara tukang satang itu sempat juga bertanya, "Masih terlalu pagi untuk bepergian Ki Sanak."
"Ya," jawab Kiai Gringsing, "tetapi kami memang agak tergesa-gesa."
"Kenapa" " bertanya tukang satang itu.
"Ada seseorang sanak kami yang sakit," jawab Kiai Gringsing tanpa maksud apapun juga.
Namun jawaban itu membuat jantung Glagah Putih berdebar semakin cepat. Seolah-olah ia telah diperingatkan kembali tentang Agung Sedayu. Seolah olah Kiai Gringsing memang tergesa-gesa karena Agung Sedayu sedang sakit.
Sebenarnyalah pada waktu itu, Agung Sedayu sudah menjadi semakin lemah karena darah yang mengucur dari lukanya.
Namun dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah bertekad untuk dengan segera menyelesaikan pertempuran itu selagi ia masih dapat melakukannya.
Karena itulah, maka dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka Agung Sedayupun telah membuat dirinya dalam ujud rangkapnya. Tiga ujud Agung Sedayu telah mengepung bajak laut yang telah terluka itu pula.
Agaknya bajak laut itu menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya. Lawannya tentu akan mempergunakan ilmu puncaknya untuk menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka bajak laut itupun tidak ingin membiarkan dirinya dihancurkan oleh Agung Sedayu tanpa berbuat apa-apa.
Karena itu, ketika ia melihat Agung Sedayu dalam ketiga ujudnya itu bersilang tangan didada, maka iapun telah mempergunakan kesempatan yang seingat sempit itu untuk melontarkan pisau-pisaunya.
Agung Sedayu sebenarnya masih juga berdebar-debar ketika ia melihat bajak laut itu mengangkat tangannya. Tetapi ketika sasaran yang pertama yang dipilihnya bukanlah ujud Agung Sedayu yang sebenarnya, maka kesempatan itupun telah dipergunakan sebaik-baiknya. Demikian pisau yang pertama meluncur, maka terasa betapa kekuatan yang dahsyat telah menyusup kedalam dada bajak laut itu. Jantungnya serasa telah diremas oleh kekuatan yang tidak terlawan. Namun bajak laut itu tidak menyerah. Sambil menekan dadanya, maka sekali lagi tangannya terayun. Satu lontaran pisau yang bercahaya itu benar-benar telah mengarah kepada Agung Sedayu meskipun bajak laut itu tidak dapat memilih.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Pisau itu meluncur demikian cepat dan derasnya. Namun pada saat yang bersamaan Agung Sedayupun telah menghentakkan segenap kemampuannya untuk mencengkam dan meremas isi dada bajak laut itu.
Tetapi pisau itu memerlukan perhatian Agung Sedayu, karena pisau itu memang mengarah kedadanya. Dengan sadar Agung Sedayu mengerti akibat dari tusukan pisau itu. Namun Agung Sedayu tidak ingin melepaskan saat-saat yang menentukan itu atas lawannya yang sudah sampai pada batas kemampuannya untuk bertahan.
Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak berubah dari sikapnya. Dengan sorot matanya ia ingin benar-benar mengakhiri pertempuran itu. Namun demikian, hampir diluar sadarnya ia telah mengangkat tangannya yang masih tetap bersilang itu sedikit.
Yang terjadi kemudian adalah satu hentakan ilmu yang luar biasa atas tubuh Agung Sedayu. Lontaran pisau dengan sisa tenaga bajak laut itu telah mengenai tangan Agung Sedayu yang bersilang. Namun ternyata daya dorong yang dihentakkan oleh pisau itu benar-benar luar biasa. Selain pisau itu menancap pada tangan Agung Sedayu, maka seolah-olah Agung Sedayu itu telah didorong oleh kekuatan yang sangat besar, sehingga tubuh Agung Sedayu itupun telah terguncang.
Hampir saja Agung Sedayu kehilangan keseimbangannya dan jatuh menelentang.
Namun untunglah meskipun dengan terhuyung-huyung Agung Sedayu masih dapat bertahan.
Tetapi dengan demikian, maka untuk sesaat Agung Sedayu harus melepaskan serangannya. Karena itu, maka dengan cepat Agung Sedayu memperbaiki keadaannya. Jika keadaannya itu membuat lawannya dapat mengenalinya sehingga sasaran serangannya akan mengarah kepada dirinya yang sebenarnya, maka ia harus berusaha untuk membaurkan dirinya lagi. Mengulangi kedudukannya dan membuat lawannya kehilangan sasaran.
Namun untuk melakukan hal itu diperlukan waktu dan tenaga. Sementara itu, tenaganya menjadi semakin susut dan bahkan seolah-olah benar-benar telah terkuras habis.
"Tetapi aku tidak boleh mati dalam keadaan seperti ini. Aku harus berusaha dengan sisa tenaga yang ada padaku," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Karena itu, maka iapun segera bersiap untuk menunggu perkembangan berikutnya. Ia sudah menyilangkan tangannya lagi didadanya. Ia sudah bersiap untuk melontarkan serangan ilmu puncaknya dengan sisa tenaga yang ada padanya. Namun ia benar-benar harus memperhitungkan kemungkinan pisau-pisau bajak laut itu.
Tetapi untuk sesaat ia melihat bajak laut itu berdiri tegak. Ia memang melihat tangan bajak laut itu bergerak. Namun tidak secepat yang dapat dilakukan sebelumnya. Bahkan ternyata Agung Sedayu telah sempat mendahuluinya. Meskipun tenaga Agung Sedayu sudah jauh sekali susut, namun ia masih mampu melontarkan serangan dengan sorot matanya, meskipun sudah menjadi terlalu lemah.
Meskipun demikian, cengkaman kekuatan yang sudah lemah itu, ternyata menentukan akhir dari pertempuran antara Agung Sedayu dan bajak laut itu. Betapapun lemahnya serangan Agung Sedayu, namun ketahanan tubuh bajak laut itupun sudah menjadi sangat lemah pula sehingga bajak laut itu tidak berhasil bertahan mengatasi cengkaman kekuatan ilmu Agung Sedayu.
Yang terdengar kemudian adalah umpatan yang sangat kasar. Namun kemudian bajak laut itu bagaikan melolong panjang. Tetapi sesaat kemudian suaranya itupun lenyap dan yang terdengar kemudian adalah suara tubuhnya yang jatuh terjerembab di tanah.
Sejenak keadaan Watu Lawang itupun menjadi hening. Orang-orang yang sedang bertempur itupun telah tertarik untuk berpaling sesaat. Mereka masih sempat menyaksikan tubuh bajak laut itu jatuh menelungkup.
Namun sesaat kemudian, Agung Sedayupun tidak lagi mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri pada kedua kakinya. Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang. Tenaganya yang tersisa itupun rasa-rasanya susut dalam sekejap. Sehingga akhirnya tubuh Agung Sedayu itupun perlahan-lahan telah terjatuh pula dan kemudian terbaring ditanah.
Yang terdengar kemudian adalah pekik Sekar Mirah. Tanpa menghiraukan apapun juga, maka iapun telah berlari kearah Agung Sedayu.
Ki Gede tidak sempat mencegahnya. Namun justru iapun kemudian ikut berlari pula mendekati Agung Sedayu yang terbaring diam itu.
Tetapi langkah yang tergesa-gesa itu telah menarik perhatian bajak laut yang sedang bertempur melawan Pangeran Benawa. Justru karena Pangeran Benawa sedang memperhatikan Agung Sedayu yang terbaring itu, maka bajak laut itupun mendapat satu kesempatan untuk melakukan satu perbuatan yang keji.
Ketika bajak laut itu melihat Sekar Mirah berlari mendekati Agung Sedayu, maka dengan ganasnya bajak laut itu telah menarik sebuah pisau belatinya dan langsung dilontarkan kepada Sekar Mirah yang sama sekali tidak menyangkanya.
Pisau yang bercahaya kemerahan itu telah meluncur dengan derasnya. Pisau yang didorong dengan kekuatan yang sangat besar sehingga pisau itu bagaikan menyala dan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
Pisau bercahaya yang meluncur kearah Sekar Mirah itu telah mengejutkan orang-orang yang melihatnya. Sekar Mirah sendiri tentu tidak akan sempat mengelak. Apalagi perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Agung Sedayu. Jika pisau itu sempat menyentuh perempuan itu, maka tentu tidak akan ada harapan lagi bagi Sekar Mirah untuk dapat keluar dari daerah Watu Lawang.
Pangeran Benawa yang memperhatikan cahaya yang meluncur itupun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu. Namun ia tidak sempat meloncat mendorong Sekar Mirah yang berdiri agak jauh dari padanya.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Pangeran Benawa telah mengejutkan pula. Bahkan bajak laut yang melontarkan pisau itupun terkejut pula.
Dengan gerak tangan yang pendek Pangeran Benawa telah melepaskan kekuatan ilmunya menyambar pisau yang bercahaya memuat kekuatan ilmu dari bajak laut itu. Dengan kecepatan yang mengimbangi kecepatan pisau yang meluncur itu, maka serangan Pangeran Benawa telah menyambar pisau yang meluncur kearah Sekar Mirah itu.
Dalam sekejap kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat dari kekuatan dua jenis ilmu. Pisau yang bercahaya itu seakan-akan telah meledak. Cahaya yang merah membara terpercik diudara, menerangi daerah Watu Lawang.
Ledakan itu sekali lagi mengejutkan orang-orang yang berada disekitar arena pertempuran itu. Ketika mereka berpaling, sesaat mereka masih melihat bunga api yang berhamburan. Namun pisau kecil yang dilontarkan oleh bajak laut itu ternyata telah berubah arah.
Sekar Mirah yang kemudian menyadari keadaannya, menarik nafas dalam-dalam. Pisau itu agaknya memang diarahkan kepadanya.
Dari jarak yang cukup panjang. Sekar Mirah masih sempat berteriak, "Terima kasih Pangeran."
Pangean Benawa tidak sempat menyahut. Ketika Sekar Mirah kemudian meneruskan langkahnya mendekati Agung Sedayu, maka kemarahan bajak laut yang gagal membunuh Sekar Mirah yang dikenalnya sebagai isteri Agung Sedayu itu ditumpahkannya kepada Pangeran Benawa.
Pada saat-saat perhatian Pangeran Benawa masih tertuju kepada pisau kecil yang berubah arah itu, maka bajak laut itupun telah melemparkan pisaunya pula. Langsung mengarah kedada Pangeran Benawa.
Pisau itu meluncur dengan derasnya. Sementara itu Pangeran Benawa tidak sempat berbuat banyak untuk menghindar. Namun Pangeran Benawa masih berusaha untuk mempertebal ilmu Tameng Wajanya.
Namun ternyata kekuatan ilmu yang mendorong pisau itu demikian tingginya. Selain pisau itu mampu memancarkan cahaya yang kemerah-merahan, ternyata bahwa pisau itupun mampu menembus perisai ilmu Pangeran Benawa yang ngedab-edabi itu.
Pangeran Benawa terkejut ketika ia merasakan sentuhan pisau itu pada tubuhnya. Meskipun kekuatan lontar pisau itu telah menjadi jauh susut setelah menerobos ilmu Tameng Waja. namun pisau itu masih mampu melukainya.
"Gila," geram Pangeran Benawa. Pisau itu tidak menancap di tubuhnya. Tetapi pisau itu menggores kulitnya dan melukainya. Sehingga dari luka itu telah mengalir darah merahnya.
Kemarahan yang sangat telah menghentak jantung Pangeran Benawa. Pangeran yang lebih banyak hidup diluar istana dan menyusuri jalan-jalan sepi itu.
Namun justru karena itu, maka Pangeran Benawapun kemudian tidak lagi membuat terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan. Ia sadar bahwa lawannya benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Jika kabut panasnya hanya mampu mempengaruhinya tanpa menimbulkan akibat yang gawat bagi tubuhnya, maka pisau-pisau itu benar-benar telah melukainya.
Sebelumnya, meskipun Pangeran Benawa lelah bertempur dengan garangnya, namun rasa-rasanya ia masih juga mempunyai beberapa pertimbangan. Bahkan ada keinginannya untuk menjajagi jenis-jenis ilmu yang ada pada bajak laut itu. Tetapi ternyata bahwa bajak laut itu bukannya sekedar sasaran untuk dijajagi ilmunya, tetapi benar-benar lawan yang sangat tangguh.
Demikianlah, pertempuran antara bajak laut itu dengan Pangeran Benawa menjadi semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan kemampuan mereka, sehingga benturan-benturan ilmu yang tinggi membuat orang-orang yang ada disekitar arena pertempuran itu menjadi berdebar-debar.
Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Ki Gede telah berjongkok disisi Agung Sedayu, sementara Ki Lurah Branjangan masih tetap mengamati pertempuran itu dengan saksama, ia masih curiga bahwa bajak laut itu masih akal dapat membuat kecurangan-kecurangan yang lain yang dapat meMbahayakan Pangeran Benawa atau orang-orang lain di hngkungan arena itu.
Sementara itu, kegelisahan Sekar Mirah telah memuncak. Namun ternyata bahwa ia masih berpengharapan atas Agung Sedayu.
Dalam keremangan sisa ujung malam. Sekar Mirah menyaksikan Agung Sedayu itu berdesah sambil menggeliat. Perasaan sakit benar-benar telah menyengat seluruh tubuhnya. Bukan saja ditempat-tempat tubuh itu terluka. Tetapi rasa-rasanya perasaan sakit itu menjalar dari bulu-bulunya yang satu ke bulu-bulunya yang lain.
Tetapi ketika Agung Sedayu melihat bayangan Sekar Mirah yang kabur, beserta Ki Gede berjongkok disisinya, maka Agung Sedayu itu mencoba mengatasi perasaan sakitnya. Betapapun sulitnya, maka Agung Sedayu itu mencoba tersenyum.
"Kakang," desis Sekar Mirah yang melihat bahwa ternyata Agung Sedayu tidak pingsan.
Nafas Agung Sedayu menjadi terengah-engah. Namun terdengar suaranya perlahan, "Bagaimana dengan bajak laut itu ?"
Sekar Mirah berpaling kearah bajak laut yang terbujur diam. Sementara itu Ki Gede menjawab, "Ia terbaring diam. Aku belum dapat meyakini, apakah ia masih hidup atau tidak."
Agung Sedayu mencoba menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya isi dadanya telah menjadi retak-retak.
"Tenanglah ngger," berkata Ki Gede, "jika angger sependapat, biarlah aku mencoba untuk mengobati luka-luka angger untuk sementara. Agaknya besok aku harus menyuruh orang menyusul Kiai Gringsing."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan suara bergetar ia bertanya, "Apakah Glagah Putih belum datang?"
Sekar Mirah menggeleng. Jawabnya, "belum kakang."
Tiba-tiba saja Agung Sedayu menggeram. Katanya, "Apakah iblis-iblis itu telah mengganggunya?"
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi iapun menjadi berdebar-debar, karena hal itupun mungkin dilakukan menilik kelicikan sikap bajak laut yang garang itu.
Dalam pada itu, sekali lagi Ki Gede bertanya, "Apakah kau tidak berkeberatan ngger, agaknya obatku akan dapat membantu untuk sementara."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Silahkan Ki Gede. Luka-luka itu pedihnya bukan main. Bahkan seluruh tubuhku terasa betapa sakitnya."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun Sekar Mirah-pun diluar sadarnya bertanya, "Bagaimana dengan ujudmu yang lain" Tiba-tiba saja keduanya telah lenyap."
Agung Sedayu berdesis menahan pedih yang menggigit. Sementara Ki Gedelah yang menjawab, "Ujud itu akan hilang dengan sendirinya, jika sumbernya tidak lagi mampu mempertahankan kehadirannya. Itulah sebabnya kita langsung dapat mengerti, bahwa kita telah berhadapan dengan angger Agung Sedayu yang sebenarnya tanpa kita sadari."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Disamping perasaan cemasnya, ia benar-benar bangga terhadap suaminya. Ternyata usahanya yang dilakukan didalam sanggar beberapa saat terakhir telah melengkapi sederet jenis ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Namun keadaan yang dihadapinya itu benar-benar membuatnya cemas.
Dalam pada itu, untuk mengatasi keadaan Agung Sedayu yang parah itu, Ki Gede berusaha dengan pengetahuan yang ada padanya, sekedar mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan yang dapat terjafi atas Agung Sedayu. Dengan obat yang ada padanya, Ki Gede akan dapat mengurangi arus darah dari luka-luka Agung Sedayu yang menganga dibeberapa tempat ditubuhnya, sebelum membawa Agung Sedayu itu meninggalkan Watu Lawang.
Yang dilakukan oleh Ki Gede mula-mula adalah mencabut pisau-pisau yang masih tertancap ditubun Agung Sedayu. Ternyata untuk melakukannya diperlukan ketabahan. Bukan saja ketabahan pada Agung Sedayu yang kesakitan, tetapi juga pada Ki Gede yang harus mencabut pisau-pisau itu dari tubuh Agung Sedayu.
Ternyata pisau-pisau yang kemudian dicabut dari tubuh Agung Sedayu itu tidak lagi bercahaya kemerah-merahan seperti saat-saat pisau itu terlepas dari tangan pemiliknya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Gedepun dapat menjajagi, betapa tinggi ilmu bajak laut yang telah bertempur melawan Agung Sedayu itu. Dan yang dua orang diantara mereka kini tengah bertempur melawan Pangeran Benawa dan Ki Waskita.
Dalam pada itu. Agung Sedayu benar-benar telah berusaha menahan kesakitan kesakitan yang dideritanya. Ia tidak ingin membuat hati Sekar Mirah semakin gelisah. Namun meskipun demikian, masih juga terdengar Agung Sedayu mengeluh tertahan.
Namun obat-obat yang kemudian ditaburkan oleh Ki Gede pada luka-luka Agung Sedayu, telah membantu mengurangi arus darah yang mengalir dari luka-luka itu, meskipun perasaan sakit masih saja menghentak-hentak diseluruh tubuhnya.
Sementara itu, baik Ki Gede maupun Sekar Mirah bersepakat bahwa bajak laut yang menelungkup itu benar-benar telah tidak akan mampu bertahan. Bajak laut itu sama sekali sudah tidak bergerak. Meskipun Sekar Mirah dan Ki Gede Menoreh masih membatasi diri untuk tidak mendekati orang itu.
Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah dan Ki Gede sibuk dengan Agung Sedayu, Pangeran Benawa yang marah dan telah terluka itu tidak lagi mengekang dirinya. Ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengakhiri pertempuran yang dahsyat itu. Namun demikian, lawannya adalah benar-benar seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sebagaimana lawan Agung Sedayu, ternyata bahwa bajak laut yang bertempur melawan Pangeran Benawa itu mampu melukai lawannya.
Segores demi segores luka telah mewarnai tubuh Pangeran Benawa, meskipun luka-luka itu tidak terlalu dalam. Agaknya bajak laut yang melawannya itupun telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya yang dikatakannya melampaui kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru.
Namun dalam pada itu. Pangeran Benawa benar-benar memiliki ilmu yang luar biasa. Di saat-saat menjelang fajar, maka serangan-serangan Pangeran Benawapun menjadi semakin dahsyat, sehingga bajak laut yang berilmu tinggi itupun menjadi semakin terdesak karenanya.
Meskipun demikian bajak laut itupun memiliki ilmu yang memang mampu menggetarkan kulit Pangeran Benawa, bahkan menumbuhkan luka-luka oleh sentuhan pisau-pisaunya.
Namun kemarahan Pangeran Benawa telah mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu. Dengan mengerahkan segenap kemampuan Pangeran Benawa yang jarang ada bandingnya, maka serangan-serangannya telah mendesak bajak laut itu sehingga akhirnya ia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih lama menghadapi kekuatan ilmu Pangeran Benawa itu.
Perlahan-lahan tetapi pasti, maka bajak laut itu menjadi semakin lemah. Pukulan-pukulan Pangeran Benawa yang terlontar dari tangannya sebagaimana pisau-pisau yang dilemparkan oleh bajak laut itu semakin sering menyentuh tubuh bajak laut itu betapa ia mencoba menghindar. Meskipun Pangeran Benawa juga telah terluka, tetapi kekuatan ilmunya seakan-akan sama sekali masih belum susut.
Dengan demikian, maka pada akhirnya, bajak laut itu harus melihat satu kenyataan tentang dirinya. Ketika ia terlambat menghindar, dan pukulan berjarak yang dilontarkan oleh Pangeran Benawa itu sepenuhnya menggempur dadanya, maka nafasnya menjadi sesak. Ia masih sempat bergeser sambil mempersiapkan pisaunya. Ia masih sempat membuat satu perhitungan yang mapan.
Agaknya perhitungannya itupun mendekati kebenaran. Pangeran Benawa sekali lagi melontarkan pukulannya yang dahsyat kearah bajak laut itu. Namun bajak laut itu tidak lagi berusaha menghindarkan diri. Tetapi iapun telah melontarkan dua pisaunya beruntun oleh kedua tangannya mengarah ketubuh Pangeran Benawa.
Sejenak kemudian, terdengar bajak laut itu mengaduh. Namun kedua pisaunya ternyata berhasil menyusup seranganpangan Benawa dan tidak saling berbenturan. Tetapi hanya sebuah saja dari kedua pisaunya itu yang berhasil mengenai pundak Pangeran Benawa, menembus kekuatan ilmu Tameng Waja dan langsung mengoyak kulit dan dagingnya.
"Gila," geram Pangeran Benawa yang terdorong surut. Pisau itu telah dihentakkan dengan seluruh kekuatan dan kemampuan yang ada pada bajak laut itu, sehingga akibatnyapun terasa oleh Pangeran Benawa. Tidak seperti pisau-pisau sebelumnya yang hanya menyentuh, menimbulkan luka kemudian terjatuh ditanah. Tetapi pisau yang sebuah itu telah menancap di pundaknya yang terkoyak.
Namun dalam pada itu, pukulan Pangeran Benawa itupun telah menumbuhkan akibat yang menentukan pada lawannya yang memang tidak menghindarkan diri. Dadanya yang sudah sesak itu seakan-akan telah ditindih oleh seonggok bukit, langsung menghentikan pernafasannya yang memang sudah tersumbat.
Sejenak kemudian maka bajak laut itupun telah terhuyung-huyung. Namun sejenak kemudian ia telah kehilangan keseimbangannya dan betapapun ia berusaha, namun akhirnya bajak laut itupun telah terguling jatuh. Ia masih sempat mengumpat oleh nafasnya yang tersumbat. Namun kemudian ia menggeliat sambil berdesah. Seterusnya tubuh itupun telah terdiam.
Pangeran Benawa menggeram. Perasaan sakit telah menjalari seluruh tubuhnya pula. Namun ketika ia menyadari bahwa sebilah pisau bajak laut itu berhasil menembus kulit dan melukainya, maka kemarahannya-pun bagaikan membakar jantungnya.
Dengan serta merta maka iapun telah menghentakkan pisau itu dan mencabutnya. Terasa betapa sakitnya. Tetapi Pangeran Benawa tidak menghiraukannya, meskipun ia harus mengatupkan giginya rapat-rapat.
Karena lawannya telah terbujur diam, maka iapun kemudian berpaling kearah bajak laut yang masih bertempur melawan Ki Waskita. Ternyata Ki Waskita berhasil menempatkan dirinya pada tataran yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi terjepit dan mengalami terlalu banyak kesulitan. Sebagaimana seseorang yang memiliki pengalaman yang dahsyat dan pernah mengalahkan orang-orang sakti dan beberapa orang berilmu lainnya, maka iapun telah berhasil menempatkan dirinya.
Tetapi seperti Agung Sedayu dan Pangeran Benawa maka Ki Waskitapun tidak terhindar dari sentuhan senjata lawannya. Ketika pergelangan tangannya sudah menjadi bagaikan patah, maka yang dilakukan adalah lebih banyak menghindari serangan lawannya. Kemudian berusaha bertempur dalam jarak yang dekat dan mempergunakan ikat pinggangnya untuk menyerang.
Namun demikian, ada kekurangan dari Ki Waskita dibandingkan dengan Pangeran Benawa dan Agung Sedayu. Ki Waskita tidak memiliki ilmu kebal atau ilmu lainnya yang dapat melindungi dirinya. Karena itu, maka ketika pertempuran antara Ki Waskita dan bajak laut itu menjadi semakin seru, maka saat-saat yang mendebarkan itu telah terjadi. Pisau yang dilontarkan oleh bajak laut yang terlepas dari tangkisan tangan Ki Waskita dan tidak mampu dihindarinya, benar-benar merupakan serangan yang sangat gawat.
Karena itulah, maka ketidak mampuan tangannya yang dibalut dengan ikat kepalanya itu menjadi semakin susut oleh hentakan-hentakan yang sangat kuat dilambari dengan ilmu yang tinggi, maka keadaannya menjadi bertaMbah gawat.
Namun dengan ikat pinggangnya dan usaha untuk bertempur pada jarak pendek telah memberikan beberapa peluang padanya.
Meskipun demikian, ternyata bahwa akhirnya bajak laut itu menyadari, bahwa bertempur pada jarak yang pendek seperti dikehendaki oleh lawannya tidak menguntungkannya. Karena itu, maka iapun berusaha untuk tidak terpancing oleh lawannya dan dengan loncatan-loncatan panjang, bajak laut itu mempunyai kesempatan lebih baik dari lawannya.
Tetapi pada saat yang demikian. Pangeran Benawa yang marah telah melangkah mendekati arena itu. Dengan jantung yang berdentangan ia menempatkan dirinya didalam lingkaran pertempuran.
"Aku akan menyelesaikannya," geram Pangeran Benawa.
Bajak laut itu tertegun. Ia sadar, bahwa dua kawannya telah tidak ada lagi. Meskipun ia tidak tahu pasti, apakah kedtuanya mati atau tidak, tetapi ia tinggal seorang diri bertempur melawan orang yang menjadi semakin lemah itu.
Sementara itu Ki Waskita menjadi termangu-mangu juga. Meskipun iapun telah terluka pula, tetapi ia masih mempunyai kesempatan untuk bertahan dan sekali-sekali menyerang.
Tetapi Pengeran Benawa yang marah itu melangkah semakin dekat sambil berkata, "Bajak laut yang seorang ini dapat memilih. Menyerah atau mati seperti kedua lawannya."
"Pengecut," geram bajak laut itu, "aku kira Pangeran dari Pajang ini adalah seorang laki-laki. Tetapi jika kalian akan bertempur berpasangan, aku tidak akan berkeberatan. Bahkan orang-orang yang lain itupun ikut serta bertempur. Aku akan membunuh kalian seorang demi seorang."
"Jangan mengigau," bentak Pangeran Benawa, "kau tahu, kedua orang kawanmu telah mati. Apa yang dapat kau lakukan" Apalagi kau dan aku tidak terikat dalam perjanjian perang tanding. Aku tidak terikat untuk bertempur seorang melawan seorang. Juga Ki Waskita. Tidak ada salahnya jika kami, semua orang yang ada disini beramai-ramai mengepungmu dan mencincangmu tanpa ampun. Sedangkan kawanmu yang bertempur melawan Agung Sedayu dalam perang tanding itupun dapat berbuat curang. Kalian bertiga telah bertempur bersama sehingga kalian telah melukai Agung Sedayu. Bahkan menjadi parah, meskipun ia masih sempat dapat membunuh lawannya."
"Persetan," geram bajak laut itu, "marilah. Aku sudah siap."
"Baik," jawab Pangeran Benawa diluar dugaan, "kami memang akan bertempur berpasangan. Bahkan orang-orang yang sedang menunggui Agung Sedayu itupun akan ikut pula. Tetapi Pangeran Benawa benar-benar telah berteriak, "He, Ki Gede, Sekar Mirah dan Ki Lurah Branjangan. Mumpung matahari belum terbit, marilah kita selesaikan bajak laut yang seorang ini. Ia harus mengalami perlakuan yang lebih buruk dari saudara-saudara seperguruannya."
"Gila," bajak laut itu berteriak, "kalian benar-benar licik, pengecut dan tidak tahu diri."
"Jangan mengumpat-umpat. Seandainya kami benar-benar licik, pengecut atau tidak tahu diri, maka tidak akan ada orang yang akan dapat menjadi saksi dan tidak akan ada orang yang dapat mengatakannya kepada orang lain, karena kau satu-satunya orang yang melihat dan menganggap demikian, akan segera kami selesaikan disini dengan tanpa ampun." jawab Pangeran Benawa.
Ki Waskita termangu-mangu. Bahkan Sekar Mirah dan Ki Gedepun telah berpaling pula. Sementara Ki Lurah Branjangan menjadi ragu-ragu.
Sikap Pangeran Benawa yang nampaknya tidak ragu-ragu itu membuat bajak laut itu menjadi gelisah. Ia harus mengakui, bahwa jika Pangeran Benawa benar-benar akan turun kemedan bersama Ki Waskita, maka tanpa orang lain, bajak laut itu tidak akan dapat mengimbangi mereka. Seorang saudara seperguruannya telah terbunuh oleh Pangeran Benawa. Apalagi Pangeran Benawa bertempur berpasangan dengan Ki Waskita.
Dalam pada itu, Ki Waskita sendiri menjadi bingung. Apakah ia harus membiarkan Pangeran Benawa mencampuri pertempuran itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa tidak pernah ada perjanjian perang tanding, selain Agung Sedayu dengan salah seorang dari bajak laut itu. Dan itupun telah dilanggar dan tidak lagi dilakukan dengan jujur oleh bajak laut-bajak laut itu.
Ketika bajak laut itu sedang termangu-mangu sebagaimana juga Ki Waskita, Pangeran Benawa ternyata tidak membuang waktu. Tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu menggeram, "bersiaplah. Aku akan benar-benar membunuh."
Bajak laut itu terkejut. Namun sebenarnyalah Pangeran Benawa telah menyerang bajak laut itu dengan hentakkan tangannya yang melontarkan pukulan berjarak.
Bajak laut itu terkejut. Pangeran Benawa benar-benar telah menyerangnya.
Dengan tergesa-gesa bajak laut itu harus meloncat menghindar. Jika ia terlambat, maka serangan itu akan benar-benar dapat melukainya. Jika bukan kulitnya, maka bagian dalam dadanyalah yang akan rontok karenanya.
Tetapi serangan Pangeran Benawa tidak berhenti. Ketika bajak laut itu berhasil menghindari serangan itu, maka serangan berikutnya telah menyusulnya.
Terdengar bajak laut itu mengumpat kasar. Namun sementara itu terdengar Pangeran Benawa menyahut, "Karena itu menyerahlah. Masih ada kesempatan. Jika tidak, aku benar-benar akan memanggil semua orang yang ada ditempat ini. Dan tubuhmu akan terkapar seperti kedua orang saudara seperguruanmu itu dalam keadaan yang jauh lebih buruk."
Bajak laut itu benar-benar menjadi bingung. Sementara itu, Ki Waskita agaknya telah berhasil mengikuti jalan pikiran Pangeran Benawa. Pangeran itu hanya ingin memaksa bajak laut itu menyerah. Serangan-serangan Pangeran Benawapun agaknya hanya sekedar untuk menekankan ancamannya, karena agaknya Pangeran Benawa tidak benar-benar berhasrat membunuh bajak laut itu.
Karena itu, maka Ki Waskita yang juga telah terluka itupun melangkah mendekat sambil berkata, "Baiklah Pangeran. Aku akan bertempur bersama Pangeran. Aku akan melibatnya dalam jarak pendek. Jika bajak laut itu berusaha menjauhkan diri.adalah menjadi tugas Pangeran untuk melumatkan tubuhnya dengan serangan-serangan Pangeran itu.
"Bagus," jawab Pangeran Benawa, "lakukan. Aku akan memanggil Ki gede. Seorang yang memiliki kemampuan bermain tombak tanpa tanding. Juga Sekar Mirah yang memiliki tongkat baja putih sebagai pertanda murid terpercaya dari Ki Sumangkar. Dan satu lagi, Ki Lurah Branjangan yang memiliki ilmu prahara."
Yang terdengar adalah umpatan kasar. Tetapi bajak laut itu benar-benar mencemaskan dirinya.
Selagi bajak laut itu dicengkam oleh perasaan cemas, gelisah dan kebingungan, Pangeran Benawa membentaknya, "Cepat, ambil keputusan. Menyerah, atau mati."
Namun ternyata bajak laut itupun bukan orang yang mudah menyerah. Bentakan Pangeran Benawa itu justru telah membuatnya bagaikan gila. Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Tetapi tiba-tiba saja pisaunyalah yang telah menyambar dengan cepatnya kearah Ki Waskita.
Ki Waskita terkejut. Pisau itu meluncur demikian cepatnya sehingga ia tidak sempat untuk mengelak. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian adalah menangkis serangan itu dengan tangannya yang dibalut oleh ikat kepalanya.
Namun pisau itu meluncur terlalu cepat. Sementara itu Ki Waskita memang agak terlambat. Namun demikian tangannya sempat juga menyentuh pisau itu.
Terasa panas pisau itu bagaikan membakar tangannya yang memang terasa hampir patah. Sementara itu pisau yang meluncur itu tidak sempat untuk dicegah sepenuhnya. Karena itu, maka pisau yang hanya berkisar sedikit arahnya itupun masih juga mengenai tubuh Ki Waskita.
Pisau itu ternyata telah memperbanyak luka ditubuh Ki Waskita. Tetapi pisau terakhir ini menghunjam agak dalam di pundaknya, sehingga tubuh Ki Waskita itu bagaikan terdorong dengan kerasnya. Untunglah bahwa Ki Waskita masih sempat menjaga dirinya, sehingga ia tidak jatuh terbanting ditanah, meskipun akhirnya iapun terhuyung-huyung dan terduduk bertelekan tangannya.
Pangeran Benawa yang menyaksikan serangan itu, menjadi semakin marah. Hampir diluar sadar, maka tiba-tiba saja iapun telah menyerang bajak laut itu. Bukan sekedar menekan agar bajak laut itu menyerah. Tetapi serangan itu benar-benar diarahkan kedada bajak laut itu.
Yang terdengar adalah keluhan dan umpatan kasar. Serangan Pangeran Benawa itu bagaikan meledak didadanya. Demikian dahsyatnya, sehingga dada bajak laut itu rasa-rasanya bagaikan akan pecah.
Sesaat bajak laut itu masih tegak berdiri. Namun kemudian ia telah kehilangan kesadarannya, sehingga tubuh itupun kemudian jatuh terguling ditanah.
Sejenak arena itu menjadi hening. Namun sejenak kemudian, maka Ki Lurah Branjanganlah yang berlari-lari mendapatkan Ki Waskita yang sudah berbaring di tanah.
"Pangeran," desis Ki Lurah Branjangan.
Pangeran Benawa yang sedang marah itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Lurah berjongkok disebelah Ki Waskita.
Dengan tergesa-gesa Pangeran Benawapun mendekatinya. Agaknya Ki Waskita telah terluka cukup parah pula sebagaimana Agung Sedayu.
"Ki Gede," berkata Ki Lurah kemudian, "bukankah Ki Gede membawa obat yang dapat untuk sementara memampatkan darah?"
"Ya," jawab Ki Gede dari tempatnya.
"Ki Waskita juga terluka parah," sambung Ki Lurah.
Ki Gedepun kemudian berdesis, "Tunggulah untuk sementara. Aku akan menengoknya Mirah."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menjawab, "Silahkan Ki Gede."
Ki Gedepun kemudian bangkit dan meninggalkan Agung Sedayu yang masih terbaring. Tetapi ternyata Agung Sedayu itu betapapun lemahnya sempat bertanya, "Siapa yang terluka lagi Mirah."
Sekar Mirah bergeser mendekat. Jawabnya, "Ki Waskita kakang."
"O," Agung Sedayu berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan apapun lagi. Namun untunglah bahwa obat yang dibawa oleh Ki Gede itu mampu menahan arus darahnya yang mengalir dari luka-lukanya.
Demikian Ki Gede berjongkok disisi Ki Waskita, maka iapun segera melihat bahwa Ki Waskitapun telah terluka parah pula.
Ki Waskita yang kemudian juga terbaring itu, menahan perasaan sakit yang menjalar diseluruh tubuhnya. Luka-lukanya terasa pedih dan panas, seolah-olah masih dilekati oleh bara api.
Ketika Ki Gede kemudian mencabut pisau yang menghunjam ditubuhnya, maka terdengar Ki Waskita itu berdesah. Apalagi ketika obat yang masih ada tersisa pada Ki Gede itu ditaburkan diatas luka-lukanya, maka rasa-rasanya luka-luka itu bagaikan dibakar dengan bara api baja.
Tetapi Ki Waskita mengerti, bahwa perasaan sakit itu hanya melonjak untuk sementara. Sebentar lagi arus darahnya akan segera berkurang, sehingga ia tidak akan kehabisan darah karenanya.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka atas permintaan Pangeran Benawa, maka tubuh Ki Waskita dan Agung Sedayu itupun telah diangkat dan dibaringkan ditempat yang terbuka disebelah Watu Lawang. Sementara itu, iangitpun menjadi semakin cerah oleh cahaya pagi yang sebentar lagi akan merekah.
Misteri Mata Berapi 1 Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Pesanggrahan Keramat 1
^