Pencarian

Gajah Kencana 18

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 18


menghina seorang patih" Dan engkau seorang brahmana,
mengapa pula engkau membicarakan seorang wanita "
Apakah hubungan dengan wanita itu ?"
"Hm, betapa lah tinggi kedudukan seorang patih bagi
seorang brahmana " Bukan tinggi rendah kedudukan maka
seseorang mendapat hinaan tetapi dari tingkah perbuatannya.
Dan bagai seorang brahaman, pantang lah mengatakan yang
Hitam itu Putih, Aluyuda itu seorang manusia baik !"
Merah lah wajah Aluyuda menerima dampratan bertubi2
dari brahmana itu. Keagungannya sebagai seorang patih
kerajaan tersinggung dan serentak menghambur cerca.
"Engkau seorang brahmana cabul, gemar pada wanita cantik!"
"GAJAH KENCANA membela kebenaran bukan orangnya!"
Kejut patih Aluyuda seperti digigit ular "Engkau warga
Gajah Kencana ... ... !"
"Setiap manusia, ksatrya dan insan yang merasa dirinya
sebagai putera Majapahit adalah warga Gajah Kencana!"
"Aku juga rakyat Majapahit! " seru Aluyuda.
"Benar, memang seorang pengkhianat pun rakyat Majapahit
tetapi bukan seorang putera utama negara, bukan pula warga
Gajah Kencana." "Persetan Gajah Kencana ! Tangkap brahmana gila itu!"
teriak patih Aluyuda memberi perintah dan keempat prajurit
pengawalnya pun serempak menyerang. Seorang prajurit yang
menyerang paling dulu cepat disambut dengan penghindaran
yang targkas dan dengan sebuah gerakan yang tak didugaduga, brahmana itu dapat menebas tangan prajurit,
mendorongnya ke belakang dan merebut tombaknya. Ketiga
prajurit yang hendak menolong kawannya, pun mendapat
sambutan hangat dari brahmana itu. Ketiga prajurit itu
menderita tangannya terpukul batang tombak sehingga
senjata mereka terlepas. Anehnya brahmana itu tak mau
melukai, cukup hanya memukul jatuh senjata ketiga lawannya.
"Aluyuda, jangan lari engkau!" brahmana itu cepat berputar
tubuh demi melihat patih Aluyuda memutar kuda dan
melarikannya. Brahmana lompat memburu.
"Jangan mengumbar keganasan brahmana! " tumenggung
Ikal-ikalan Bang cepat loncat menghadang "patih Aluyuda
adalah utusan raja. Berani mengganggunya sama dengan
menghina baginda!" "Aku tak perlu menghormat raja yang tidak benar! Bersiap
lah kalau engkau hendak membelanya."
Ikal-ikalan Bang mendengus "sejak tadi aku memang sudah
siap untuk melucuti kedok seorang Gajah kencana palsu!"
"Palsu" " brahmana mengerut kening.
"Warga Gajah Kencana yang aseli pantang memakai
senjata".." Tring ........ . kata Ikal-ikalan Bang itu segera
bersambut. Brahmana lontarkan tombak ke udara dan
meluncur masuk ke dalam gerumbul pohon "Benar, senjata
warga Gajah Kencana bukan pedang atau tombak tapi jiwa
raganya. Hayo, maju lah sekarang!"
Ikal-ikalan Bang membuka serangan dengan cepat dan
deras. Ia tak memberi kesempatan lagi lawan berpapas.
Meninju, menebas, menampar, menyepak, mengait dan
menyapu dengan kaki, susul menyusul dilancarkan dengan
gerak serba deras dan keras. Dalam hal berkelahi dengan
tangan kosong, tumenggung itu memang amat mahir sekali.
Tampak brahmana itu terkejut, agak bingung dan terus
menerus menghindar mundur sehingga pada akhirnya jalan
pengundurannya itu terhalang oleh segunduk batu besar.
Dalam keadaan yang tak memungkinkan mundur lagi,
sekonyong-konyong brahmana itu menjulurkan tangan kiri ke
muka mengangkat kepal tangan kanan ke atas kepala dan
diantar sebuah gemboran keras, tangan kanannya diayunkan
ke arah lawan. "Rajah Kalacakra ! " tiba2 Ikal-ikalan Bang berteriak kaget
seraya silangkan kedua tangan melindungi dada. Dess .....
tumenggung itu terlempar beberapa langkah ke belakang,
membentur pohon dan rubuh.
Brahmana tak menghiraukan bagaimana keadaan Ikalikalan Bang dan Jabung Tarewes yang masih duduk di tanah
pejamkan mata. Ia berputar tubuh ke arah Jaran Bangkal.
Melihat bagaimana brahmana itu merubuhkan tumenggung
Ikal-ikalan Bang, keenam prajurit yang mengepung Jaran
Bangkal itu pun serempak berhamburan melarikan diri
menyusul patih Aluyuda. Brahmana tak mau mempedulikan
mereka. Langsung is berhenti di hadapan Jaran Bangkal yang
saat itu sudah membuka mata "Terima kasih ki brahmana.
Mohon tanya siapakah nama tuan yang mulia" "
Sejenak bersangsi, brahmana itu menjawab "Anuraga"
Setelah mengucap terima kasih pula, Jaran Bangkal berkata
"Bagaimana dengan kedua tumenggung itu?"
"Biarkan saja," sahut Anuraga ringkas.
"Tidakkah tuan bunuh mereka ?"
"Yang kukehendaki Aluyuda.
menjalankan kewajibannya."
Mereka hanya alat Karena menerima pertolongan dan tertarik akan peribadi
brahmana muda itu, Jaran Bangkal mengundangnya ke
Lumajang Rakryan mahapatih Nambi tentu akan gembira
sekali menerima kunjungan tuan."
Tiba2 wajah brahmana itu menyuram, "Siapa" Mahapatih
Nambi?" "Benar, gusti mahapatih berada di Lumajang."
"Engkau orang sebawahannya?" tanya brahmana Anuraga
dan ketika Jaran Bangkal mengiakan, tiba2 brahmana itu
menghardiknya "Enyah engkau!"
Jaran Bangkal terbeliak "Ki brahmana"..," baru mengucap
dua patah kata, brahmana pun membentaknya "Engkau
dengar tidak, enyah lah dari sini!"
"Tetapi ki brahmana ".."
Tiba2 brahmana itu menghantam Jaran Bangkal "Enyah lah
engkau .... !" 0ooodwooo0 Bersambung Jilid 15 JILID 14 I SOSOK2 hitam yang memagar gedung kediaman ra Kuti,
kepala Dharmaputera itu, bukan lain yalah pengawal2 yang
bersenjata lengkap. Sebagai kepala dari Dharmaputera, tujuh
orang kepercayaan baginda yang langsung diangkat oleh raja
sebagai penasehat, ra Kuti diperkenankan untuk mendapat
pengawalan dari prajurit-prajurit kerajaan. Prajurit2 itu
bertugas menjaga kesdamatan para Dharmaputera.
Di samping beberapa bekas prajurit bhayangkara itu, ra Kuti
peribadi pun memiliki sekelompok pengawal istimewa.
Kelompok pengawal itu berpakaian seperti abdi biasa. Ketika
penjaga pintu masuk menghatur laporan tentang kunjungan
patih A luyuda, diam2 ra Kuti memberi perintah rahasia kepada
kelompok pengawal pribadinya supaya menjaga ketat gedung
kediamannya. Selama tiada perintahnya, jangan dibiarkan
patih A luyuda dan rombongannya ke luar dari gedung itu. Dan
ternyata Aluyuda hanya datang seorang diri.
Cepat pula Aluyuda dapat mengetahui apa gerangan sosok2
tubuh bersenjata itu. Dan cepat lah menyadari kedudukannya
saat itu. Dalam berbagai sifat perangainya, hanya sebuah sifat
dari Aluyuda yang dapat digolongkan aneh tetapi baik.
Terhadap lawan yang dapat menyiasati dirinya, ia bahkan
kagum dan memuji. Demikian pun terhadap ra Kuti. Berlalunya
badai kemarahan segera timbul kecerahan pada wajahnya.
Dan kecerahan itu pun segera dilengkapi dengan senyum
merekah. "Ah, ra Kuti terlalu memanjakan kehormatan bagiku," kata
patih itu "adakah layak Aluyuda mendapat kehormatan
pengawal yang begitu ketat ?"
Ra Kuti tersenyum lebar. Ia tahu bahwa patih itu telah
terpojok dalam kedudukan yang sulit. Namun disadarinya pula
bahwa lawan yang sudah tersudut, tak boleh didesak. Karena
tindakan itu tentu akan menimbulkan kenekadan lawan. Ra
Kuti mengimbangi kelepasan sikap patih itu, "Tidak, tidak
berkelebihan, ki patih. Tuan layak mendapat pengawalan yang
sedemikian. Keselamatan jiwa tuan amat penting sekali oleh
karenanya telah kuperintahkan kepada pengawal2 itu, tanpa
seijinku, jangan lah dibiarkan orang masuk keluar dari gedung
ini." Patih Aluyuda tertawa cerah. Nadanya mengerontang
laksana bulir2 padi diayun dalam penampi. Setitik pun patih itu
tak mengunjukkan sikap gentar atau gelisah.
"Setan, mengapa ia masih ketawa senyaring burung
kutillang?" diam2 ra Kuti heran melihat tingkah patih itu
mustahil dia tak tahu arah jatuhnya perkataanku !"
"Ah, maafkan, ra Kuti," tiba2 patih Aluyuda hentikan tawa
dan berkata, "andaikata aku tahu akan perhatian tuan
kepadaku, tentu lah tak perlu aku meninggalkan pesan."
"Meninggalkan pesan" Kepada siapa ?" ra Kuti menegas.
Patih Aluyuda tersenyum "Telah kupesan kepada lurah
prajurit pengawal kepatihan, apabila sampai Surya turun ke
balik gunung, aku tetap belum puling, supaya mereka
menjemput aku kemari."
Ra Kati terkesiap. Tampak patih Aluyuda masih membekasi
mulutnya dengan senyum penuh kepercayaan pada dirinya. Ra
Kuti cepat mendapat rangkaian kata2 "Ki patih, tetapi saat ini
sang Surya masih menjenjang di puncak gunung. Untuk
membenam diri di dasar gunung, paling tidak harus
memerlukan waktu sepengunyah sirih lamanya. Dan engkau
tentu sependapat dengan aku bahwa waktu sepengunyah sirih
itu cukup lah untuk menyelesaikan sesuatu."
Diam2 patih Aluyuda terkejut lagi. Memang diakuinya
bahwa waktu sepengunyah sirih itu cukup sudah untuk
melakukan pembunuhan atau yang disebut ra Kuti dengan
istilah halus menyelesaikan sesuatu. "Aku seorang diri dan
pengawal2 itu berjumlah banyak serta bersenjata lengkap.
Seorang berhati serigala seperti ra Kuti tentu sampai hati juga
untuk membuktikan ancamannya. Hm, baik lah aku mengalah
saja?"" Setelah mendapat kebulatan dalam penimangannya,
berkata lah patih Aluyuda. "Tetapi ra Kuti, kurasa tuan tentu
takkan bertindak apa2. Bukankah kita ini sudah bertahuntahun bersahabat dan sama2 meagabdi kepada kerajaan" Kita
masing2 mempunyai cita2 dan cara sendiri. Rasanya tak perlu
harus saling memaksakan kehendak kepada lain orang. Yang
penting kita tak saling merugikan. Bukankah demikian, ra
Kuti?" "Hm, sebuah rayuan harimau," dengus ra Kuti dalam hati.
Kemudian ia menjawab dengan sebuah penegasan "ki patih
setuju menjadi Mahesa Cempaka dan aku Rangga Wuni"
"Sudahlah, ra Kuti," kata patih Aluyuda dalam nada ramah
"tak usah kita ulangi pembicaraan itu pula."
"Maksud ki patih membatalkan hal itu"
"Kurasa lebih baik begitu daripada timbul keretakan di
antara kita dengan kita sendiri."
Ra Kuti tertawa datar, "Ah, hapus lah kecemasan ki patih
dalam soal itu. Retak atau utuh, adalah kita sendiri yang
membuat. bila kita menginginkan damai, bersekutu dan
bersatu, mengapa tak mungkin" Jika kita menghendaki
perpecahan dan permusuhan, juga amat mudah. Baik buruk,
buruk baik tergantung pada diri kita sendiri."
"Memang benar," sambut patih Aluyuda "tetapi lebih benar
lagi kalau kita hapus saja persoaian tadi dan kita tetap
bersahabat seperti sediakala."
"Apakah engkau percaya?"
"Maksucl tuan, percaya pada apa ?" tanya patih Aluyuda.
"Bahwa rencanamu itu dapat lenyap dari ingatanku setelah
engkau batalkan soal itu ?"
"Ah, kalau sudah kucabut, rencana itu berarti sudah hapus."
"Memang rencana hapus tetapi kesan bahwa ki patih
mempunyai rencana untuk menjatuhkan mahapatih Nambi,
tentu masih melekat di benakku," kata ra Kuti "bukankah
demikian?" "Tuan maksudkan tuan telah mengetahui rahasia hatiku
semisal aku mengetahui rahasia kehadiran ra Semi di
Lumajang itu?" "Tepat ki patih," seru ra Kuti tertawa "kini kita masing2
memegang rahasia. Ki patih tahu rahasia tentang ra Semi dan
aku tentang rencana ki patih hendak menjatuhkan rakryan
Nambi." "Apa yang tuan kehendaki" " seru patih Aluyuda secara
langsung. "Jika ki patih setuju, kita dapat mengadakan tukar menukar
janji." Patih Aluyuda cepat dapat menanggapi. "Tuan berjanji
takkan membocorkan rahasiaku dan aku pun berjanji takkan
menyiarkan rahasia ra Semi itu, bukan ?"
"Tepat sekali," sambut ra Kuti "itu pun kalau ki patih setuju.
Kalau tidak, kita pun bebas bertindak menurut sekehendak
hati kita masing2." Sejenak merenung, patih Aluyuda segera ulurkan tangan,
"Aku setuju, tuan ra Kuti. Mari lah kita perteguh janji itu
dengan berjabat tangan."
"0, mengapa ki patih bersikap begitu resmi" Bukankah
cukup kita pateri janji itu dengan ikrar perkataan saja. Yang
panting bukan soal peneguhan janji secara resmi tetapi
kesetyaan hati kita terhadap janji itu?" namun karena tangan
Aluyuda sudah menyongsong kehadapannya, ra Kuti terpaksa
menyambuti dan berjabatan tangan.
"Eh, ki patih," seru ra Kuti pula "bagaimana hukumnya fihak
yang melanggar janji itu?"
"Di bunuh !" seru patih Aluyuda menggelora.
"Bagus, aku setuju " sambut ra Kuti tersenyum puas
sehingga membua Aluyuda tertegun dalam hati. Patih itu
seorang yang penuh akan kecurigaan. Senyum ra Kuti pun
ditafsirkan mengandung sesuatu. Ia menjelajah dalam lubuk
hatinya untuk mencari-cari sesuatu yang mungkin terdapat
pada diri ra Kuti. Tiba2 ia melihat sesuatu namun belum
sempat ia menyatakan, ra Kuti sudah melanjutkan kata
katanya pula "oleh karena ki patih begitu bersungguh minat
dalam hal itu, aku pun akan mengamankan perjanjian itu
secara resmi. Harap tunggu sebentar," ra Kuti terus masuk ke
dalam dan tak lama keluar pula dengan membawa kertas dan
alat tulis. "Ki patih mari lah kita masing2 menulis sehelai surat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernyataan tentang apa yang kita sepakatkan tadi."
"0, mengapa tuan sekarang berbalik begitu bersungguh2
sekali ?" tanya Aluyuda. Tetapi ra Kuti tak menyahut
melainkan mulai menulis pada sehelai kertas.
Setelah selesai dan dibubuhi tanda tangan lalu diserahkan
kepada Aluyuda "harap ki patih juga memberikan surat
pernyataan semacam ini kepadaku."
Patih Aluyuda membaca surat itu. Bunyinya menyatakan
bahwa ra Kuti akan menyimpan rahasia patih Aluyuda dan
patih Aluyuda akan meuyimpan rahasia ra Kuti. Barangsiapa
yang melanggar, akan dibunuh. Terpaksa Aluyuda menulis
surat pernyataan sedemikian untuk ra Kuti.
"Nah, persoalan ini sudah selesai. Untuk menghindari
kecemasan para pengawal kepatihan, apabila ki patih ?"
belum selesai ra Kuti mengucap, Aluyuda sudah menukas
"maaf. ra Kuti, masih ada sedikit hal yang perlu kujelaskan
kepada tuan." Ra Kuti kerutkan ails " 0, katakanlah."
"Perjanjian kita ini mengikat pernyataan kita untuk tak
membocorkan rahasia masing2" patih Aluyuda berhenti
sejenak. Setelah melihat, ra Kuti mengangguk, ia berkata pula
"tetapi tidak mengikat kita untuk menghentikan kegiatan
masing2." "0 " desuh ra Kuti "termasuk apa yang terpampang dalam
rahasia itu?" "Demikianlah, ra Kuti," sambut patih Aluyuda, "kita tak
saling membocorkan rahasia masing2 dan tak mengganggu
apa yang dilakukan oleh salah satu fihak."
Ra Kuti terdiam. Beberapa jenak kemudian ia tertawa,
"Balk, baik lah ki patih. Aku setuju dengan pernyataanmu itu.
Hanya ada sedikit tambahan yalah asal kegiatan fihak yang
satu tidak merugikan kepentingan fihak yang lain."
Demikian pembicaraan yang dilakukan antara patih Aluyuda
dengan ra Kuti di petang hari itu. Walaupun Aluyuda
mengalami kegagalan untuk menekan fihak ra Kuti karena
salah seorang anggauta Dharmaputera yani ra Semi berada di
Lumajang, tetapi sekurang-kurangnya patih Aluyuda dapat
menyisihkan golongan Dharmaputera itu supaya tak ikut
campur dalam masalah pendongkelan mahapatih Nambi yang
direncanakan itu. Setelah mengantar patih Aluyuda, ra Kuti pun masuk ke
dalam pula. Tiba2 ia tertawa "Ha, ha, ha, lucu benar si
Aluyuda itu. Dia hendak menelan aku tetapi akhirnya dia
sendiri yang harus makan getahnya. Huh, persetan dengan
perjaajian itu! Ha, ha, ha?" ia tertawa gembira "Semi di
Lumajang itu suatu rahasia" Ha, ha, ha ........ biarlah dia
mengadu kepada baginda, tak mungkin baginda sudi
mempercayainya. Karena beradanya Semi di Lumajang itu
memang kutugaskan untuk memata-matai gerak gerik Nambi
dan kawan- kawannya. Apabila kulaporkan hal itu, baginda
tentu akan berkenan menyetujui. Ha, ha, kebalikannya rahasia
Aluyuda hendak menjatuhkan Nambi sudah berada dalam
tanganku. Apabila tiba saatnya dan suasana yang tepat, tentu
akan kuhaturkan hal itu kepada baginda. Bila perlu, akan
kuadu domba patih itu dengan rakryan Nambi. Aku tinggal
turun tangan membantu fihak mana yang lebih kuat, ha, ha,
ha .... " Pada suatu hari patih Aluyuda menghadap baginda untuk
menghaturkan laporan bahwa waktu yang diperkenankan
baginda kepada mahapatih Nambi melawat sakitnya rakryan
Pranaraja di Lumajang telah habis. "Hm, apabila dalam satu
dua hari, paman mahapatih tak pulang, akan kutitahkan orang
untuk memanggilnya gumam baginda apabila dia tak menurut
titah?"" Tersipu-sipu patih Aluyuda berdatang sembah "Ampun
tuanku, mohon paduka suka melimpahkan kemurahan pada
rakryan mahapatih yang sedang bingung memikirkan gering
ayahnya itu. Dapat dimaklumi betapa resah hati rakryan
mahapatih saat ini sehingga seorang mentri wreddha yang
sudah berpuluh tahun menjalankan tugas pemerintahan,
sampai lupa pada tugasnya."
"Hm, adakah masih kurang cukup lama waktu yang
kuberikan kepadanya" kalau ayahnya sampai barbulan-bulan
belum ada ketentuannya, adakah paman mahapatih juga tetap
menungguinya?" Diam2 Aluyuda girang karena baginda sudah mulai merasa
kesal terhadap rakryan mahapatih Nambi. Namun cepat patih
yang licin itu mengabut perasaan hatinya dengan sebuah
helaan napas, "Ah, mengenai diri rakryan mahapatih masih
dapat dimaklumi keadaannya. Tetapi yang aneh, mengapa
beberapa narapraja dan senopati yang ikut dalam rombongan
rakryan mahapatih itu belum kembali ke pura kerajaan "
Bukankah yang berkepentingan itu rakryan mahapatih, bukan
mereka. Mengapa mereka tak mau pulang lebih dahulu ?"
"Murtad!" Jayanagara mendamprat "tak perduli siapa,
mereka akan kupecat!"
Patih Aluyuda terkejut, "Gusti junjungan yang hamba
muliakan," ia menghatur sembah "hamba mohon menghaturkan pandangan ke bawah duli tuanku."
"Hm, apa yang hendak engkau katakan lagi, paman
Aluyuda ?" dengus baginda.
Setelah mengunjuk sembah pula maka mengalun lah
rangkai demi rangkai kata-kata dari mulut patih Aluyuda,
"Titah paduka, selalu bersemayam di atas ubun2 kepala
hamba, gusti. Memang para narapraja dan senapati itu pantas
dihukum karena telah melalaikan kewajiban. Tetapi hendaknya
paduka menggunakan kebijaksanaan dalam melaksanakan
hukuman itu." "Apa sebab"," baginda menegas.
"Sudah hampir secandra mereka berkumpul di Lumajang.
Merekapun berjumlah banyak, berkedudukan tinggi dan sakti.
Apabila amanat paduka tiba di Lumajang, apakah tidak
mungkin akan timbul tanggapan yang tak diharap."
"Mungkinkah hal itu, paman?"
"Acapkali rasa takut menimbulkan kenekadan. Belum tentu
seorang yang mengamuk itu karena terdorong oleh
keberanian, gusti. pun karena terdesak oleh rasa takut, dapat
pula orang bertindak keras. Demikian hamba cemaskan pada
mereka. Mereka adalah senopati2 yang terlanjur bermanjakan
kemenangan di medan laga, bertaburkan jasa2 dan
bermandikan sanjung pujian. Apabila sekaligus mereka
menerima hukuman, dilorot kedudukan dan bahkan dihukum,
bukankah mereka akan terkejut dan tersentuh perasaannya"
Bukan mustahil gusti, rasa nekad dan kalap itu timbul dari
gejolak hati yang menderita tekanan itu."
"Hm " baginda Jayanagara mendesuh dan berdiam diri.
Rupanya termakan juga kata2 patih itu dalam hatinya.
Melihat sikap baginda, patih Aluyuda, menyusuli kata2 pula
"Menurut pengawasan hamba, memang sejak peristiwa
Mandana, suasana dalam pura kerajaan masih dicengkam oleh
rasa kegelisahan dan kecemasan yang tiada menentu. Hawa
dalam pura kerajaan masih penuh dengan nafas2 dendam
campur deru pertentangan. Apabila senopati2 di Lumajang itu
sampai nekad menentang paduka, bukankah mudah menjalar
ke pura kerajaan, gusti?"
"Hm, lalu apakah aku harus membiarkan saja senopati2 itu
berbuat sekehendak hati mereka ?"
"Tidak, gusti. Paduka harus tetap menguasai kewibawaan
dan kekuasaan," cepat Aluyuda memberi tanggapan, "yang
hamba maksudkan hanya pelaksanaannya. Apabila kita
menangkap ular, hendaknya jangan terburu menyiak rumput
sehingga ular itu terkejut dan melarikan diri. Demikian pun
dengan para senopati di Lumajang itu."
"Lalu bagaimana perhatian. caranya?" baginda mulai menaruh Sejenak patih Aluyuda mengatur napas, kemudian
berdatang sembah "Menurut hemat hamba, apabila kita
hendak mematahkan sapu lidi, jangan lah sapu lidi itu masih
merupakan ikatan tetapi harus diorak dan dipatahkan satu
demi satu. Tentu mudah dan cepat. Demikian pun dengan
kelompok senopati di Lumajang itu. Mereka harus dicerai
beraikan dulu ditangkap dan dihukum. Dalam hal itu mohon
baginda suka memanggil mereka seorang atau dua tiga
menyusul dua tiga orang lagi hingga keseluruhannya
berdatangan di pura kerajaan dan ditangkap."
"Benar," sambut baginda
Jayanagara "dan cara penangkapan serta hukuman itu harus dilakukan sedemikian
rapa hingga tak menimbulkan kegoncangan para mentri
narapraja kerajaan."
Pada saat pembicaraan itu berlangsung, tiba2 bekel
bhayangkara yang menjaga keraton masuk menghadap dan
melaporkan tentang kedatangan ra Jangkung salah seorang
senopati yang ikut dalam rombongan mahapatih Nambi ke
Lumajang. Baginda menitahkan supaya ra Jangkung masuk.
"Gusti, rencana yang telah paduka berkenan menyetujui tadi,
hendaknya dapat dimulai atas diri ra Jangkung," dengan lincah
patih Aluyuda cepat mengunjuk kata.
Ra Jangkung menghadap dengan menghatur sembah di
bawah duli baginda, "Gusti junjungan hamba yang mulia,
mohon paduka berkenan memberi ampun atas kelancangan
hamba menghadap pada petang hari ini."
"Hm " baginda hanya mendesuh.
"Hamba diutus rakryan mahapatih untuk mengunjukkan
warta duka dari gusti mahapatih bahwa ayahnya telah
meninggal dunia?"." ra Teguh berhenti untuk memperhatikan tanggapan baginda. Ternyata dingin saja
tampaknya baginda Jayanagara mendengar berita kematian
itu. "Hm, jamak lah kalau seorang yang sudah lanjut usia
seperti rakryan Pranaraja itu harus kembali kepada asalnya.
Apalagi dia menderita sakit parah," sahut baginda.
Ra Jangkung cepat mengunjuk sembah pula "Benar, gusti.
Dan rakryan mahapatih Nambi menghaturkan sembah syukur
yang tak terhingga alas kemurahan hati yang tuanku
limpahkan selama ini. Di samping berita duka itu, gusti
mahapatih pun ingin ?"."
Rupanya naluri patih Aluyuda yang tajam cepat dapat
mencium bau yang tak menguntungkan baginya. Serentak ia
mendahului "Jangan kuatir ra Jangkung, baginda tentu
berkenan mengirim utusan untuk melayat ke Lumajang."
"Bukan demikian, ki patih," ra Jangkung terkesiap kejut.
"Eh, masakan ra Jangkung hendak membicarakan lain2 soal
di tempat dan saat seperti sekarang ini" Bahwa baginda sudah
berkenan menerima tuan pada saat ini, sudah lah suatu
kemurahan besar. Jangan lah tuan melampaui batas. Baginda
akan menitahkan suatu kebijaksanaan kepada diri tuan, ra
Jangkung ! " Perkataan patih Aluyuda itu dimalsud untuk mengingatkan
baginda akan apa yang telah disetujui tadi. Rupanya baginda
yang masih muda itu cepat terangsang oleh kemurkaan
"Senopati Jangkung," titah baginda "laporan sudah kuterima.
Dan sekarang dengarkanlah keputusanku kepadamu !"
"Keputusan, gusti ?" ra Jangkung terperanjat.
"Siapakah yang mengidinkan engkau ikut paman mahapatih
ke Lumajang" Dan mengapa sampai secandra lamanya engkau
tak mau kembali ice pura kerajaan" " tegur baginda tajam.
Ra Jangkung terkejut sekali. Bagaikan tersambar petir,
tubuhnya menggigil keras. Benar2 ia tak pernah menyangka
akan menerima teguran yang sedemikian tajam dari baginda
"Hai, Jangkung, apakah engkau tak dapat bicara! " baginda
menghardik murka. Ra Jangkung makin terbeliak dan tergugu "Ampun beribu
ampun, gusti " tersipu- sipu ia menyembah "memang bermula
hamba dan kawan2 hendak mengantar rakryan mahapatih
Nambi, menjenguk ayahnya yang sakit keras itu. Maksud
kami, dua tiga hari kemudian akan kembali ke pura. Tetapi
patih ki Aluyuda datang ke Lumajang dan memberitahukan
bahwa paduka telah berkenan mengidinkan kami untuk
menetap beberapa waktu di Lumajang menjaga sakitnya
paman rakryan Pranaraja."
"Benarkah itu, A luyuda" " tegur baginda.
"Gusti," Aluyuda pun cepat menyertakan sembah
hormatnya "sama sekali hamba tak pernah mengatakan
demikian. Yang hamba katakan itu hanya lah kepada rakryan
mahapatih Nambi, bukan hamba tujukan kepada para senopati
dan narapraja lainnya. Karena senaif-naif hamba, mata hamba
masih nyalang bahwa para senopati dan mentri2 yang ikut
dalam rombongan rakryan mahapatih itu sesungguhnya belum
mendapat idin dari baginda. Sebesar2 rasa setiakawan hamba
kepada mereka, namun hamba tetap tak dapat mengabaikan
kepentingan negara. Demikian lah keadaannya, gusti."
"Tetapi bukankah ki patih juga menganjurkan kami para
narapraja dan senopati untuk menemani rakryan mahapatih?"
sanggah ra Jangkung. "Ra Jangkung" balas patih Aluyuda dengan nada sarat
"jangan lah tuan bersikeras menuduh hamba melakukan hal2
yang menyalahi peraturan negara. Tuan dan sekalian senopati
seharusnya sudah menyadari bagaimana kewajiban seorang
narapraja kerajaan itu. Tetapi tuan tak mengakui kelalaian itu
kebalikannya malah melontar fitnah kepada hamba. Ra,
Jangkung, junjungan kita seorang raja yang bijak bestari.
Jangan lah tuan bersitegang kata di hadapan baginda yang
mulia. Kita harus memelihara tata santun dan mari lah kita
serahkan persoalan ini kepada keputusan baginda."


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ra Jangkung seorang senopati yang jujur dan berani.
Tetapi ia tak fasih bicara, terutama dalam soal perbantahan.
Bagi seorang prajurit, perbantahan itu bukan dengan mulut
tetapi dengan ujung tombak. Kerongkongan ra Jangkung
serasa tersumbat sehingga wajahnya merah padam. Belum
sempat simpanan kata2 melintas kemacetan kerongkongannya, tiba2 baginda memukulkan palu kearah
sebuah gong kecil yang terletak di sampingnya. Serentak
dengan gemuruh kumandang talu gong, dua belas prajurit
pengawal keraton berduyun masuk.
"Tangkap si Jangkung ini!" teriak baginda. Keduabelas
prajurit bhayangkara itu tertegun mendengar titah baginda. Mereka kenal ra Jangkung sabagai salah seorang dari senopati pasukan kerajaan. "Hai, dengar tidak !
Tangkap si Jangkung ini dan penjarakan ! " baginda
mengulang titahnya dengan murka karena prajurit2 itu tertegun diam.
Kini mereka tersentak dan
cepat mengepung ra Jangkung dengan pagar pedang dan tombak. Ra Jangkung pucat lesi. Ia bergulat keras dalam batin. Ia merasa tak bersalah, namun
kalau ia melawan, tentu akan dipersalahkan menentang titah
raja. "Hm, rupanya baginda termakan hasutan Aluyuda. Jika
saat ini aku menyongsong dengan kekerasan, aku terjeblos
dalam perangkap patih itu. Baiklah. Aku akan menyerah dulu,
kawan2 di Lumajang tentu akan berusaha untuk
membebaskan diriku," akhirnya menetapkan keputusan.
Setelah ra Jangkung dibawa pergi maka baginda berkata
pula kepada patih Aluyuda "Engkau benar, paman Aluyuda.
Menangkap senopati lebih sukar dari menangkap seekor
harimau. Perhatikan lah tadi bagaimana sikap Jangkung yang
matanya berkilat kilat memancarkan kemarahan. Tak
mengherankan kiranya kalau di medan peperangan dia selalu
ditakuti musuh !" "Ah, betapa pun kegagahan ra Jangkung namun tentu.
pudar terpancar oleh kewibawaan paduka yang agung, gusti,"
Aluyuda menyongsong sanjung.
"Itu baru seorang senopati, apabila hendak menangkap
sekelompok senopati, tentu sukar sekali. Maka aku setuju
akan pendapatmu tadi, paman. Supaya penangkapan mereka
itu dilakukan satu demi satu agar kekuatan mereka terpecah."
"Terima kasih, gusti," Aluyuda mengunjuk sembah.
"Tetapi paman, benarkah engkau mengarjurkan kepada
paman Nambi supaya menetap di Lumajang merawat ayahnya
sampai sembuh?" tegur baginda.
"Benar gusti " jawab patih Aluyuda "itu pun sekedar untuk
menyemarakkan keagungan paduka yang telah melimpahkan
keputusan memberi cuti kepada rakryan mahapatih. Tetapi
rakryan mahapatih adalah seorang narapraja perdana,
seorang mentri tua yang luas pengalaman putus pengertian.
Seharusnya beliau menolak anjuran hamba itu apabila
menyadari tugasnya sebagai seorang patih amangkubumi.
Bukankah anjuran hamba itu tidak bersifat mengikat ?"
Jayanagara mengangguk "Benar, dia harus menyadari hal
itu Dengan menerima anjuranmu itu jelas dia lebih
mengutamakan sakit ayahnya dari pada tugas negara."
Aluyuda tertawa dalam hati karena rencananya secara tak
disadari, telah disetujui baginda. Namun ia cukup cerdik untuk
mengekang diri, katanya pula "Gusti, kini ayahanda rakryan
mahapatih telah meninggal dunia. Kiranya paduka berkenan
menitahkan keputusan dalam hal itu."
"Bagaimana pendapatmu, paman ?"
"Menurut hemat hamba, baik lah gusti menitahkan utusan
untuk melayat ke Lumajang sekalian untuk mengawasi gerak
gerik rakryan mahapatih dan para senopati itu."
Jayanagara mengangguk "Hm, baiklah. Kutitahkan engkau
sebagai utusan kerajaan untuk melayat upacara pemakaman
rakryan Pranaraja itu."
0odwo0 II PATIH ALUYUDA berangkat ke Lumajang bersama dua
orang senopati berpangkat tumenggung yakni tumenggung
Ikal ikalan Bang dan tumenggung Jabung Tarewes dan diiring
sepasukan kecil prajurit bersenjata lengkap. Kedatangan patih
itu adalah sebagai utusan baginda Jayanagara untuk
menghadiri pemakaman rakryan Pranaraja.
Sebagai yang terdahulu, pun yang ditugaskan patih A luyuda
untuk menjaga keselamatan kepatihan yalah Kebo Taruna.
Pada hari kedua dari keberangkatan patih Aluyuda, Kebo
Taruna ingat bahwa pelana kudanya Jalak Ireng telah putus
ketika habis pulang dari Kedungpeluk dahulu. Maka ia
menyempatkan waktu keluar untuk memesan pada tukang
pelana. Hari masih siang, Kebo Taruna ingin berjalan-jalan
mencari angin. Sudah lama ia tak mengunjungi beberapa
kenalan yang menjadi langganan tempat ia berbelanja.
"Ah, raden Taruna," tiba2 ia dikejutkan oleh suara
seseorang memanggil namanya, "sudah lama benar raden tak
jumpa, mari raden, silahkan singgah. Kebetulan sekali aku
mempunyai barang bagus."
Ketika Kebo Taruna berpaling ternyata yang menyapanya
itu pak Kardu, seorang limus galuh atau pandai emas yang
menjadi langganannya. Ia pun singgah.
"Ini lah raden, cunduk permata yang istimewa, ciptaanku
yang terbaru. Dipura kerajaan, belum ada, orang yang
memiliki cunduk bentuk begini."
Kebo Taruna agak terkesiap melihat sebuah cunduk yang
dipertunjukkan oleh limus galuh itu. Diatas persada emas,
sebuah lingkaran permata sebesar biji jagung yang kemilau
cahayanya. Sekeliling permata itu dilingkungi oleh jalur2
permata kecil2. Seketika melayang lah benak Taruna kedalam gedung
kepatihan. Apabila cunduk itu dipakai oleh Damayanti, aduhai
?". betapa lah eloknya. "Apakah nama cunduk ini?" perhatian
Kebo Taruna mulai terpikat.
"Cunduk ini kuberi nama Wulan-dadari, raden. Sesuai
dengan bentuknya seperti rembulan tengah memancarkan
sinarnya yang gilang gemilang," limus galuh Kardu tersen)um
bangga. "Berapa harganya ?"
"Tidak mahal, raden. Hanya patang laksa."
"Patang laksa" Engkau gila, Kardu!" Kebo Taruna tersentak
kaget "mana aku mempunyai uang sekian banyak?"
Limus galuh Kardu tertawa "Ah, mana raden tak beruang"
Coba lah raden hitung berapa banyak perhiasan yang raden
beli dari aku itu ?"
"Tetapi yang berharga sekian tinggi, baru kali ini."
"Barang ini ciptaan yang terbaru dan di seluruh kerajaan,
baru raden yang memiliki. Isteri raden pasti menjadi wanita
yang paling bangga karena merupakan orang pertama yang
memiliki cunduk corak terbaru."
"Jangan berolok-olok, engkau Kardu. Aku belum beristeri!"
"0, kalau bukan isteri pasti kekasih raden akan makin
mencintai raden karena pemberian. perhiasan semacam ini.
Masakan raden tak kenal akan sifat-sifat wanita. Ada pepatah
mengatakan begini 'Mati semut karena gula, wanita karena
permata'. Cobalah. raden renungkan. Apakah harga cunduk
patang laksa itu kalau dibanding dengan belaian kasih dari
seorang dara jelita ..... " kata Kardu seraya mengicupkan ekor
mata ke arah Kebo Taruna. Rupanya limus galuh itu seorang
yang pandai membujuk. Kata2 limus galuh itu tepat sekali mengena hati Kebo
Taruna. Saat itu juga Kebo Taruna membayangkan betapa
cantik Damayanti apabila memakai cunduk Surya-dadari "Ah,
jangan semahal itu, Kardu. Kurangi lah harganya."
Akhirnya setelah tawar menawar, cunduk itu pun pulus
dengan harga tiga laksa. Setelah menyimpan cunduk, Kebo
Taruna lalu melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah jalan ia
membeli pula sehelai kain cinde ikat pinggang wanita warna
hijau muda. Pada saat Kebo Taruna menginjak titian lantai gedung
kepatihan, sang surya pun sudah terbenam. Ruang pendapa
muka kepatihan, terang benderang cahaya lampu yang
bergemerlapan. Ia terkejut ketika seorang penjaga
menyongsong dengan tubuh gemetar "Raden, gedung
kepatihan telah menerima kunjungan baginda .......... "
"Apa?" Kebo Taruna menyurut melangkah
Jayanagara berkunjung ke mari" Seorang diri?"
"baginda Penjaga itu mengiakan. Kebo Taruna cepat ayunkan
langkah bergegas masuk. Setelah pendapa muka, ia
melangkah ke dalam, menuju ke ruang keputren tempat nyi
patih. Baru tiba di muka pintu ruang itu, seorang gadis
menyongsongnya "0, kakang Taruna, ke mana engkau sore
tadi, kakang" "
Gadis itu puteri patih Aluyuda yang bernama Dhyani. Baru
berusia tujuh belas tahun. Walau pun tidak teramat cantik
tetapi cukup sedap dipandang. Kulitnya kuning langsat, tubuh
semampai dan memiliki gundu mata yang tajam. Boleh dikata,
tiada yang tercela pada diri Dhyani. Hanya sayang sedikit,
perangainya suka cemburu dan dengki.
"Kubelikan kudaku sebuah pelana baru," sahut Kebo Taruna
singkat, lalu balas bertanya "benarkah baginda berkunjung ke
mari" Di manakah beliau sekarang?"
Dipandangnya gadis remaja itu dengan tatapan mata
mendesak jawaban. Namun Dhyani hanya merekah senyum
"Kakang Taruna, engkau menanyakan baginda atau
mencemaskan Damayanti ........ ."
"Ah, Dhyani, jangan bergurau."
"Kerut wajahmu, sinar matamu, kakang, yang mengajak
aku bergurau. Jangan cemas, kakang Taruna, kedua-duanya
aman." Kebo Taruna makin menyalangkan pelapuk matanya. Ia tak
dapat menafsirkan kata2 puteri patih itu. Aman" Apakah yang
aman" "Kakang Taruna," Dhyani mendahului bicara sebelum Kebo
Taruna sempat membuka mulut "engkau tak adil, kakang.
Sangat membeda-bedakan sekali !"
Kobo Taruna terlongong "Tidak adil " Dalam hal apa aku
bersikap tak adil, Dhyani !"
"Ih" desuh puteri patih itu "masakan engkau tak merasa?"
Kebo Taruna kerutkan kening lalu garuk2 kepala. "Ah,
benar2 aku tak mengerti maksudmu."
"Hm," wajah gadis puteri patih itu makin mengabut
cemberut "pertama masuk ke dalam gedung kepatihan, yang
engkau tanyakan bukan keselamatan ibu dan diriku tetapi
langsung pada diri baginda. Itu pun tak mengapa, bilamana
dalam hatimu engkau benar memikirkan keselamatan diri
baginda ... ." "Dhyani ..... "
"Tetapi jelas di balik pertanyaanmu terhadap baginda itu,
tersembunyi suatu kekuatiran atas keamanan diri Damayanti,"
cepat Dhyani menukas! "Ah, sekali-kali tidak, Dhyani."
"Seseorang dapat menipu pada lain orang tetapi tidak dapat
berbohong kepada bathinnya sendiri, kakang Taruna ! Betapa
kuperhatikan sikapmu terhadap Damayanti dan terhadap
diriku. Renungkan lah sendiri, engkau pasti merasakannya."
"Dhyani, jangan mengada-ada."
"Tidak mengada-ada, kakang. Dhyani hanya melihat dan
merasakan sesuatu keadaan yang ada. Kakang, mengapa
engkau bersikap demikian kepadaku ?"
Kebo Taruna makin gelisah. Pikirannya melayang pada
baginda Jayanagara yang berada di dalam gedung kepatihan
dan si dara Damayanti, "Dhyani, dalam perasaanku, tiada lah
sikap yang berbeda terhadap engkau dan Damayanti.
Sudahlah, Dhyani, nanti kita bicara lagi. Sekarang tolong
tunjukkan di manakah baginda berada " "
"Tidak, kakang. Engkau harus memberi jawab soal itu
sekarang juga baru nanti kutunjukkan tempat baginda
berada." Kebo Taruna makin kacau hatinya. Pikirnya, jika tak lekas2
terhindar dari pengusikan Dhyani, tentu ia akan terlambat
melindungi Damayanti. Akhirnya ia memutuskan "Baik, Dhyani.
Coba lah engkau terangkan dalam soal apa aku lebih
membedakan Damayanti dari dirimu ?"
"Setiap dayang dan bujang di gedung kepatihan tahu akan
sikapmu terhadap Damayanti. Apalagi aku. Betapa mesra dan
telaten benar engkau memperhatikan kepentingan Damayanti.
Tiap dayang, tiap bujang yang engkau jumpai, tentu engkau
tanyai keterangan tentang diri Damayanti. Tetapi sekalipun
belum pernah engkau meminta keterangan tentang diriku."
"Ah, mengapa engkau cemburu,
Damayanti itu adik sepupumu sendiri ?"
Dhyani" Bukankah Dhyani tertawa tawar "Adik sepupu " Siapa
mengatakan kalau Damayanti itu adik sepupuku?"
"Paman patih Aluyuda sendiri."
yang Dhyani tertawa pula "Dan engkau percaya, bukan" Itu lah
letak pengaruh dari seorang dara jelita terhadap pikiran pria


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dibuai asmara."
"Salahkah keterangan paman patih itu ?" Kebo Taruna
menegas. "Sampai dewasa seperti saat ini, Dhyani belum pernah
merasa mempunyai adik sepupu."
"Lalu mengapa paman patih mengatakan demikian ?" desak
Kebo Taruna. Dhyani mengerut kening lalu menjawab "Ah, tentu ada
maksud tertentu mengapa rama patih mengaku Damayanti
sebagai puteri kemanakannya. Pada hal".."
"Pada hal bagaimana ?"
"Pada hal Damayanti itu hanya anak .......lurah desa yang
diaku sebagai kemanakan oleh rama. Dan aku adalah puteri
kesayangan dari patih rama Aluyuda yang berpengaruh.
Aneh... benar2 aneh "."
Kebo Taruna dapat menanggapi apa yang dinyatakan aneh
oleh puteri patih itu. Namun ia diam saja tak memberi
tanggapan suatu apa. "Hm, memang aneh pandang mata orang itu," Dhyani
melanjutkan sungut penasarannya "emas disangka loyang,
loyang disangka emas ........ . hm, orang mengatakan bahwa
orang buta itu matanya rusak dan tak dapat melihat. Tetapi
ternyata ada pula orang yang matanya masih utuh tetapi lebih
buta dari sibuta".."
Anak telinga Kebo Taruna seperti tertusuk duri, namun ia
berusaha keras untuk memadamkan nyala geramannya dan
cepat beralih pada pertanyaan "Dhyani, di manakah baginda "
Paman patih telah menyerahkan tanggung jawab keselamatan
kepatihan kepadaku. Apabila baginda berkunjung ke mari, aku
lah yang bertanggung jawab pengamanannya."
"Apakah Dhyani itu bukan keluarga patih Aluyuda "
Mengapa engkau tak sepatah pun menyinggung keselamatan
diriku ?" puteri patih itu makin melantang.
"Tetapi engkau tak kurang suatu apa!"
"Siapa bilang. Aku merasa terancam saat ini."
Kebo Taruna membelalak "Terancam " Terancam apakah
engkau, Dhyani ?" "Aku merasa keselamatanku terancam."
"Keselamatan dirimu". Siapa yang mengancam?"
"Bukan diriku tetapi hatiku," sahut Dhyani "dan siapa yang
mengancam, engkau pasti dapat mengetahui sendiri, kakang
Taruna." "Ah, Dhyani ?".." Kebo Taruna menghela napas panjang.
Diam2 ia menggeleng-geleng dalam hati. Bukan ia tak tahu,
bahwa sudah sejak lama puteri patih Aluyuda itu menaruh hati
kepadanya. Bukan pula ia menutup mata akan kenyataan
bahwa Dhyani itu cukup cantik dan puteri kesayangan patih
Aluyuda yang berpengaruh. Tetapi sang hati berkata lain dari
mata. Seindah-indah mata memandang, masih lah indah sang
hati merasa. Dan rasa atau perasaan itu adalah suatu getaran
yang lebih halus dari rambut pinara sewu atau rambut dibelah
seribu ..... Yang menghuni di lubuk hati Kebo Taruna yalah wajah
sidara ayu Damayanti. Damayanti itu sumber kehidupannya
maka bulat lah sudah tekadnya, walau patih Aluyuda akan
ingkar tetap ia hendak merebut dara itu. Jika perlu
membawanya lari dari pura kerajaan. Juga tadi keterangan
Dhyani bahwa Damayanti itu hanya anak seorang lurah desa
yang rendah pangkat tak mengurangkan cinta Kebo Taruna
kepada dara itu. Dunia ini memang penuh keanehan. Yang diharap tak
menyambut, yang mengejar ditinggalkan. Dhyani mencintai
Kebo Taruna tetapi pemuda itu tak membalas cintanya karena
mencintai Damayanti. Pada hal apabila Kebo Taruna menerima
ciata puteri patih itu, jelas ia bakal memperoleh pangkat dan
kedudulan yang tinggi. Pada hal pula, Damayanti yang
dicintainya, belum tentu mau membalas cintanya. Kebo
Taruna dikejar tak kena, mengejar pun luput ?".
"Kebo Taruna, silahkan masuk. Pergi lah engkau mengurus
mereka!" tiba2 Dhyani berseru keras dan menyisih ke
samping. Mendengar itu hati Kebo Taruna seperti tersayat. Betapa
pun juga Dhyani itu amat baik kepadanya. Dan gadis itu pun
tak bersalah kalau berputus asa berpatah arang karena
cintanya tiada bersambut. Sesunguhnya ia tak dapat
menemukan barang suatu cacad atau kelemahan pada diri
Dhyani. Sesunggahnya ia marah kepada dirinya sendiri
mengapa tak menerima kehadiran Dhyani dalam hatinya.
Namun ia sendiri pun tak tahu apa sebab ia menyiak perhatian
Dhyani, menyongsong kasih Damayanti. Sesungguhnya apa
yang diucapkan Dhyani itu memang tepat. Sayang yang tepat
itu tidak tepat pada perasaan hatinya.
Ia keraskan hati dan hendak melangkah kedalam. Tetapi
sebelum kaki bergerak, hatinya pun sudah bargetar. Mengapa
ia harus membuat Dhyani sakit. "Dhyani," akhirnya ia tak jadi
melangkah, "ah, jangan merajuk, nini ayu ........ "
Wanita paling bahagia kalau dipuji dirinya cantik. Demikian
halnya Dhyani. Namun gadis itu pandai bertahan sikap. Walau
pun dalam hati gembira tetapi wajah tetap berkabut muram
"Ah, jangan pura2 kakang Taruna! Jangan membohongi
hatimu. Yang cantik bukan Dhyani tetapi Damayanti ... "
"Ah, Dhyani" Kebo Taruna mengelus dada "setiap pria tentu
akan mengatakan bahwa Dhyani puteri kepatihan itu seorang
puteri yang jelita."
"Kecuali Kebo Taruna," tukas Dhyani.
Kebo Taruna geleng2 kepala "Tidak, Kebo Taruna pun
menganggap engkau seorang puteri nan cantik. Aku tak
membohongi bathinku."
"Sungguh" " Dhyani menegas.
"Sungguh " jawab Kebo Taruna.
"Mana lebih Damayanti" " cantik bagimu, kakang. Dhyani atau Pertanyaan itu tak pernah diduga oleh Kebo Taruna
sehingga sesaat ia terpukau tak dapat menjawab "Hah,
engkau tentu tak dapat menjawab, bukan?" serunya Dhyani
pula. "Bukan tak dapat menjawab, nini, melainkan aku sedang
mencari istilah yang tepat untuk memperlambangkan kalian
berdua. Ya .... Dhyani, Damayanti ibarat bunga Mawar dan
Melati. Masing2 mempunyai corak keindahan dan kecantikan
sendiri. Tergantung bagaimana selera orang untuk memilih."
"Dan engkau memilih bunga mawar, bukan ?"
"Jangan terlampau mendesak padaku, Dhyani. Aku masih
bimbang. Tetapi hendaknya engkau dapat mengetahui
pengertian yang menjadi fahamku tentang kecantikan seorang
wanita itu." "Eh, bilakah engkau belajar ilmu rahasia kecantikan wanita
itu, kakang ?" Dhyani mengolok.
Kebo Taruna hanya tersenyum hambar "Dengarkanlah,
Dhyani. Wanita cantik itu menurut fahamku, bukan lah
sekedar hanya cantik wajahnya tetapi pun harus cantik
hatinya, elok budi pekerti, sedap ulah tingkahnya dan yang
mencintai aku ........ ."
"Ah ........ " Dhyani mendesah gesa. Diam2 ia girang dalam
hati karena syarat2 itu hampir terpenuhi olehnya.
"Tetapi pun yang kucintai. Karena cinta itu harus bersambut
berdua, tak boleh seperti orang bertepuk sebelah tangan."
"Ah".." Dhyani mendesah pula. Hanya saja
mengeluh rintihan. hatinya Kebo Taruna dapat menduga apa yang bercamuk dalam
hati puteri kepatihan itu. Maka cepat ia menyusuli-kata2 "Cinta
itu ibarat benih yang akan tumbuh, bersemi dan berkembang.
Pertumbuhan benih itu harus secara wajar, tak dapat
dipaksakan agar cepat bertumbuh. Oleh karena itu Dhyani,
kumohon kesabaranmu serta kelapangan hatimu semoga
benih itu akan tumbuh dan bersemi dalam hati kita?"."
"Kalau memang kita tanam, pagi sore kita sirami, masakan
benih itu takkan bersemi ?"
"Belum tentu, Dhyani," bantah Kebo Taruna "kemungkinan
karena terlalu banyak disirami, pula karena tanahnya tak
cocok atau karena dimakan ular, benih itu pun takkan tumbuh
".." Tiba-tiba mata Dhyani menyala "Benar, kakang, benih pasti
mati kalau dimakan ulat. Maka ulat itu harus dibasmi agar
jangan mengganggu!" Kebo Taruna terkejut dalam hati. Ia tahu apa dan siapa
yang dituju sebagai ulat oleh Dhyani. Berbahaya, pjkirnya. Ia
menyadari, tiada dendam kesumat yang lebih ganas dari pada
dendam seorang wanita yang patah hati. Ia harus
menjernihkan kegelapan pikiran puteri kepatihan itu. Tetapi
belum sempat membuka mulut, Dhyani sudah mendahului
"Kakang, berbicara tentang bunga Melati dan Mawar yang
engkau tamsilkan tadi, aku pun hendak menyumbangkan
pendapat agar menjadi bahan pertimbanganmu."
"Bagus, Dhyani. Katakanlah."
"Bunga Melati itu lambang dari wanita yang agung derajat.
Tidak memancarkan kecantikan yang gemilang namun baunya
mengikat suksma. Sedangkan bunga Mawar memang cantik
menyilaukan mata, memancarkan bau yang keras wanginya.
Tetapi waspada lah kakang, bahwa mawar itu berduri. Tak
mudah engkau dapat memetiknya!"
"Ah .... " kali ini Kebo Taruna yang mendesah, "bagi yang
memuja bunga itu, duri bukan halangan."
"Tetapi duri bukan sembarang duri, kakang. Bukan saja
tanganmu yang akan tercocok tetapi jiwamu pun akan
melayang apabila engkau menginginkan bunga itu."
"Dhyani, berteriak. apa maksudmu ?" Kebo Taruna setengah "Engkau menamsilkan Damayanti itu dalam lambang bunga
Mawar. Kukatakan mawar Damayanti itu berduri. Dan
kutandaskan pula bahwa duri yang melingkungi mawar;
Damayanti itu amat tajam sekali karena ....... karena ....."
"Karena apa ?" desak Kebo Taruna.
"Karena duri itu tak lain dari orang yang paling berkuasa di
negara Majapahit... "
"Baginda " "
Dhyani mengangguk "Benar, baginda Jayanagara juga
menaruh minat pada Damayanti. Menghasratkan Damayanti
berarti berhadapan dengan baginda!"
"Ah?" sebenarnya Kebo Taruna hendak mengatakan bahwa
patih Aluyuda sudah menjanjikan Damayanti akan diberikan
kepadanya. Tetapi cepat ia dapat menyadari bahwa kalau hal
itu ia katakan, kepada Dhyani, tentu lah urusan makin berlarut
panjang. Maka ia hanya membatasi diri dengan sebuah
helaan, napas yang sukar diduga maksudnya oleh Dhyani
"Dhyani, terima kasih atas keteranganmu itu. Oleh karena aku
diserahi paman patih menjaga keselamatan kepatihan ini maka
aku harus menemui baginda. Maukah engkau memberi tahu
dimanakah baginda saat ini?" ia alihkan persoalan.
Dhyani teisenyum puas dalam hati. Menilik perobahan rona
dan nada Kebo Taruna, ia duga tentu ada perobahan dalam
hati pemuda itu. Setidak-tidaknya pemuda itu tentu akan
mempertimbangkan lagi "Kuberi tahu padamu, kakang, tetapi
aku minta upah, ya" " serunya dengan berkemanjaan.
"Upah" Upah apa?"
"Itu kakang, bunkusan yang menonjol di saku bajumu itu.
Berikanlah kepadaku, apa pun benda itu adanya tentu
kuterima dengan gembira."
"Ah, ini ".." Kebo Taruna memandang kearah saku
bajunya. Ternyata bungkusan cinde ikat pinggang wanita yang
dibelinya tadi, memang tampak menonjol. Sedianya hendak ia
berikan cinde itu kepada Damayanti tetapi ah, karena kurang
hati2 menyimpan dalam saku baju, akhirnya dilihat juga oleh
Dhyani. Ia mengkal tetapi terpaksa harus menyerahkannya
agar puteri patih itu jangan mendendam kecurigaan lebih
lanjut "ini hanya sehelai cinde ikat pinggang".."
"Cinde ikat pinggang wanita" Eh, hendak engkau berikan
kepada siapa, kakang?"
"Anu, Dhyani ......" Keba Taruna tersekat, "aku tertarik
dengan warna cinde itu dan kubelinya. Akan kusimpan saja.
Entah kelak kuberikan siapa."
"Berikan lah kepadaku, kakang, bolehkah ?"
Walau pun sudah menduga akan menerima permintaan
semacam itu namun dalam hati Kebo Taruna tetap tergetar
dan menggeram. Karena sudah terlanjur mengatakan,
terpaksa Kebo Taruna meluluskan juga. Ia angsurkan
bungkusan berisi cinde itu kepada Dhyani tetapi gadis itu tak
menyambuti melainkan memasang sikap, merentang kedua
tangan "Kakang Taruna, jangan kepalang tanggung. Salutkan
lah pada pinggangku! "
Kebo Taruna terkesiap, menyurut langkah "Bagaimana
mungkin ........" "Aku yang meminta sendiri, mengapa tak mungkin " Dan
.... dan bukankah tiada orang yang hadir di sini ?" Dhyani
mendesak. Karena ingin lekas2 terhindar dari puteri patih itu maka
tanpa banyak bicara pula, Kebo Taruna melingkarkan sabuk
cinde itu ke pinggang Dhyani. Tetapi lain hal yang tak
terduganya, kembali timbul pula. Pada seat Kebo Taruna
menundukkan kepala karena melingkarkan sabuk cinde itu,
sekonyong konyong tangan Dhyani menjulur dan mencabut
keluar saputangan yang berada dalam sakunya "Kakang, indah
benar saputanganmu ini ........ ih ........ " serentak meluncur
lah sebentuk Benda kemilau berhamburan jatuh ke lantai Kebo
Taruna serasa terbang semangatriya. Yang jatuh ke lantai itu
bukan lain cunduk Wulan dadari yang bertatahkan untaian
permata. Cunduk yang dibelinya dari limus galuh Kardu dan
hendak dipersembahkan kepada sidara ayu Damayanti. Sesaat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersadar, bergegas lah ia hendak menjemput cunduk permata
itu. Tetapi ah, ternyata Dhyani telah mendahuluinya.
"Aduhai, indah benar cunduk permata ini !" teriak puteri
patih itu terkejut "milik siapakah cunduk ini, kakang" Dari
mana engkau memperolchnya ?"
"Kubeli dari limus Galuh langgananku " sahut Kebo Taruna
makin gugup. "Untuk apa engkau membelinya?"
"Ah, sekedar untuk kusimpan. Aku aku
mengumpulkan benda2 yang luar biasa indahnya."
senang "Berikan saja kepadaku, kakang" rengek Dhyani pula.
"Dhyani, masakan engkau masih kekurangan perhiasan
yang bagus2. Cunduk itu tak berapa harganya, tidak pantas
dipakai seorang puteri patih kerajaan Majapahit ..."
"Biarlah, kakang" Dhyani tetap bersikeras "aku tak
menghiraukan harganya tetapi aku senang dengan corak
cunduk ini. Apa pula dari pemberianmu."
Karena dilanda rasa geram yang meluap-luap, sesaat Kebo
Taruna tak dapat berkata-kata. Melihat itu Dhyani berseru pula
"Jika kakang hendak menyimpan benda2 yang berharga, akan
kuganti dengan perlengkapanku sebuah gelang bertabur
permata." Kebo Taruna tergagap "Ah, bukan aku menuntut pengganti,
Dhyani ........" "Lalu, apakah engkau tak rela memberikan cunduk ini
kepadaku?" "Anu ........ ya, sudah tentu rela ........ " sahut Kebo Taruna
tergagu. "Terima kasih kakang. Besok akan kuberikan benda yang
jauh lebih berharga sebagai pengganti cunduk ini."
"Ah, tak usah, Dhyani," Kebo Taruna menolak
"Dhyani, jangan lah berkepanjangan kita bercakap di sini.
Tunjukkan lah dimana baginda berada."
"Baik lah " Dhyani tertawa "mari kubawa engkau ke sana.
Ia melangkah menaju ke bagian belakang dan Kebo Taruna
pun mengikutinya. Ternyata Dhyani menuju ke taman di
belakang "Nah, itu lah baginda sedang bercakap.cakap dengan
Damayanti!" Memandang ke arah taman, tampak seorang lelaki muda
berpakaian gemilang tengah berhadapan dengan seorang dara
yang duduk bersila di bawah sebatang pohon nagasari.
Baginda Jayanagara dan Dhamayanti, demikian tersirap lah
darah Kebo Taruna ?". mata menyalang lebar2 ".
Karena tercengkam oleh rasa tegang yang mangejang
seluruh urat2 tubuhnya, langkah kaki Kebo Taruna pun makin
sarat sehingga terdengar oleh baginda dan Damayanti "Hai,
engkau siapa .... ! " tegur baginda.
Walau pun dilanda oleh rasa dendam, namun Kebo Taruna
masih dapat menyadari bahwa yang berada dihadapannya
saat itu yalah baginda Jayanagara, raja yang berkuasa di
kerajaan Majapahit. Serta merta iapun berlutut, duduk bersila
dan menyongsong sembah "Ampun, gusti junjungan hamba.
Hamba adalah Kebo Taruna."
"0, Kebo Taruna putera paman Kebo Anabrang itu ?"
baginda menegas "mengapa engkau berani datang kemari
tanpa kutitahkan ?" Kebo Taruna mangunjuk sembah pula "Ampun beribu
ampun gusti. Hamba memang diserahi paman patih Aluyuda
untuk menjaga keselamatan gedung kepatihan ini. Adalah
karena mendengar bahwa paduka berkenan mengunjungi
kepatihan hamba tergopoh-goroh menghadap agar hamba
dapat menjaga keselamatan paduka yang malia."
"Hm," baginda mendesuh "aku tak kurang suatu apa dan
tak perlu engkau jaga. Keluar lah menjaga di luar gcdung
kepatihan saja." Tiada lain jalan bagi Kebo Taruna kecuali menurut titah
raja. Tetapi ketika ia bersama Dhyani hendak ayunkan langkah
tiba2 Damayanti berseru "mbakyu Dhyani dan kakang Taruna,
aku ikut ........" ia terus berbangkit berdiri dan hendak
menghampiri kedua pemuda itu.
"Eh, nanti dulu, cah ayu," baginda Jayanagara lintangkan
tangan mencegah "biar lah mereka menjaga di luar dan aku
dapat mangajakmu ber-cakap2 dengan leluasa."
Damayanti, dara yang menjenjang usia empat belas tahun
itu, menyurut selangkah "Ampun, gusti. hamba mohon
diperkenankan ikut mbakyu Dhyani. "
"Mengapa?" tanya baginda.
"Hamba ...... hamba takut, gusti."
Jayanagara tertawa "Takut" Mengapa takut" Bukankah aku
berada disini" Siapakah yang berani mengganggu tempat ini?"
Kebo Taruna merah padam. Ingin ia membantah. tetapi
terpaksa ia harus mengekang.
"Gusti, paduka seorang pria dan hamba ini seorang
perawan. Menurut ajaran tata susila yang hamba terima, pria
dan wanita itu tak boleh bergaul rapat, tak boleh bicara
berdua saja ditempat yang gelap dan. Sunyi."
Ucapan Damayanti itu masih berbau kekanak-kanakan.
Wajar tetapi benar. Baginda tak marah, kebalikannya bahkan
tertawa riang "Benar, umpama saja engkau bicara berdua
dengan Kebo Taruna ditempat yang sepi dan gelap, memang
suatu larangan. Suatu pelanggaran susila yang dapat
dikenakan hukuman. Tetapi ketahui lah cah ayu, aku ini
Jayanagara yang dipertuan disaluruh Majapahit. Siapakah
yang berani menyalahkan diriku apabila aku berkenan bicara
dengan engkau?" "0, demikian, gusti" kata Damayanti mulai gelisah "tetapi
hamba benar2 takut, gusti. Hamba mohon diperkenankan ikut
mbakyu Dhyani. Apabila paduka tak meluluskan, hamba
mohon agar mbakyu Dhyani dan kakang Taruna itu
diperkenankan berada disini menemani hamba."
"Ah, Damayanti, Damayanti" Jayanagara geleng2 kepala
menghela napas "mengapa engkau begitu bodoh minta
kawan. Bukankah lebih nikmat apabila engkau mau malayani
aku bercakap-cakap seorang diri?"
"Duh, gusti ........ " Damayanti merintih pelahan. Bagaikan
seekor domba yang lemah, ia hanya tundukkan kepala tak
berani membantah. Ia tak berdaya kecuali menitikkan airmata.
Kecantikan dan air mata adalah milik wanita yang paling
keramat terhadap kaum pria. Rincingnya tombak, tajamnya
pedang tidak lah sedahsyat kecantikan dan airmata sang
juwita terhadap seorang ksatrya. Damayanti hanya lah
seorang dara yang ibarat bunga, masih kuncup, masih amat
bersahaja. Ia mengucurkan air mata karena gelisah dan cemas
berada seorang diri dengan baginda. Dan airmatanya itu
adalah airmata yang wajar, bukan airmata rayuan. Namun
bagi raja Jayanagara yang sudah terpesona akan kecantikan
dara itu, cepat dapat memperhatikan keadaan Damayanti dan
dapat pula memahami kehendaknya.
Jayanagara seorang raja yang keras. Ia melaksanakan
kemudi pemerintahan dengan cara 'gitik pentung" barangsiapa
salah tanpa pandang bulu tentu akan dihukum. Yang berjasa
akan diberi hadiah. Tetapi raja yang keras itu, kini bagaikan
lilin terbakar api, apabila berhadapan dengan seorang jelita.
Dahulu dengan Rara Sindura, sekarang dengan Damayanti.
Airmata dara Damayanti, telah melalap hanyut kekerasan hati
raja yang masih muda itu. "Baiklah, Damayanti, akan
kukabulkan permohonanmu. Kebo Taruna dan Dhyani
kuperkenankan hadir disini menemani engkau."
"Terima kasih, gusti ........"
mengunjuk sembah syukurnya.
tersipu-sipu Damayanti Jayanagara tertawa girang karena dapat membuat gembira
hati Damayanti "Damayanti, apakah yang engkau mohon lagi
?" Damayanti berdebar menjawab "Hamba tak mohon apa2
lagi, gusti ...." "Ah, jangan takut, Damayanti" seru baginda renyah
"katakanlah, apakah engkau hendak minta subang, kalung
atau gelang permata " Aku senang sekali menganugerahkan
kepadamu, Damayanti."
Selama berlangsung percakapan antara baginda dengan
Damayanti itu, keadaan Kebo Taruna seperti duduk diatas alas
duri. Duduknya tak tenang selalu beringsut-ingsut kian kemari.
Setiap kali melirik ke arah Dhyani, tampak puteri patih itu
tersenyum.senyum "Hm, engkau girang, ya ?" gumam Kebo Taruna, dalam hati
"tetapi ketahuilah. Andai lah, bahwa apabila Damayanti dapat
dimiliki baginda, Kebo Taruna pun akan menjalankan
kehidupan Brahmacarya, takkan menikah seumur hidup ........"
Sesaat pembicaraan baginda meningkat pada soal hendak
memikat Damayanti dengan timbunan hadiah perhiasan
permata, Kebo Taruna tak dapat menahan luapan
perasaannya lagi. Ia batuk2 -seperti orang yang ketulangan
..... Sejenak baginda pun berpaling ke arah Kebo Taruna, lalu
tak menghiraukan dan memandang ke muka pula dengan
pandang menuntut jawaban Damayanti. Dara itu memberi
sembah pula "Duh, gusti, hamba tak ingin memohon suatu
apa lagi ....... " Ibarat buah, Damayanti itu masih ranum, belum masak.
Maka pikirannya pun amat sederhana sesuai dengan asal
kelahirannya sebagai seorang anak lurah desa. Dan, ia pun
tahu bahwa Dhyani puteri patih Aluyuda itu seorang gadis
yang pengiri. Damayanti tahu kenal keadaan.
"Ah, Damayanti," baginda tertawa pula "walau pun engkau
tak berani memohon tetapi aku senang untuk menghadiahi
sesuatu kepadamu. Besok akan kutitahkan nyi lurah dayang
keraton untuk mengantar seperangkat busana dan perhiasan
lengkap kepadamu." Damayanti gemetar mendengar hal itu. Ia benar2 tak
mengharap dan tak berani mengharap akan anugerah
semacam itu dari baginda. Namun ia tak tahu bagaimana
harus menghaturkan kata untuk menolak anugerah baginda
itu. Setelah guncang hatinya mereda, dipaksakan juga untuk
menghaturkan sembah kepada raja, "Duh, baginda yang
mulia, hamba tak biasa mengenakan busana indah dan
perhiasan kemilau. Hamba lebih senang hidup bersahaja, gusti
......." "Damayanti, mengapa engkau menolak anugerah raja "
Tahu kah engkau apa arti penolakanmu itu. Ketahuilah,
Damayanti, menolak anugerah raja sama halnya menghina
kepada baginda." Damayanti termangu dengan gertakan baginda itu. Serta
merta ia menyembah dan berkata dengan gemetar, "Duh,
gusti, ampuni lah kesalahan hamba.... hamba merasa tak
layak." "Siapa mengatakan tak layak kalau raja melimpahkan
anugerah" Sudahlah, Damayanti, jangan berbanyak hati !"
Kebo Taruna gemetar, keringat berderai-derai menghambur
ke luar, membasahi dahi dan kepalanya. Semula dia lah yang
lebih dahulu hendak memberi hadiah kepada dara itu tapi
hadiah2 itu telah dirampas Dhyani. Dan kini baginda dengan
secara paksa pun hendak memberi anugerah busana dan
perhiasan kepada Damayanti.
"Hamba ........ hamba mohon ........ . agar mbakyu Dhyani
juga paduka anugerahi seperti hamba." Damayanti dengan
susah payah mengerahkan keberanian untuk bicara. Tetapi
secepat itu Dhyani sudah berseru, "Damayanti, jangan kurang
tata! jangan memaksa baginda ....." kemudian ia menyembah
kepada raja "Ampuni lah kesalahan adik hamba itu, Dia masih
seperti kanak2. Sama sekali hamba tak memohon suatu apa
dan tak pernah menganjurkan adik hamba untuk
memohonkan ........"
"Sudahlah, Dhyani, nanti kalian berdua akan kuanugerahi
busana dan perhiasan kembar. Apa pun yang dimohon
Damayanti, tentu akan kukabulkan" baginda tertawa cerah.
Tiba2 ia melirik ke arah Kebo Tanana "Eh, Kebo Taruna,
mengapa mukamu semerah itu ?" tiba2 baginda menegur.
Kebo Taruna tak menyangka akan mendapat teguran
demikian. Ia gelagapan dan tersipu menyembah, "Ampun,
gusti, tadi seorang kawan telah menjamu hamba dengan
minuman tuak ......... hamba sebenarnya kurang biasa
minum?".." "0, bagus, Kebo Taruna," di luar persangkaan baginda
berseru memuji "engkau ternyata seorang penggemar
minuman juga. Bagus, bagus, seorang peminum itu pada
umumnya tentu seorang yang suka melamun, seorang pemuja
citarasa keindahan dan pengagung kecantikan wanita ?""
"Mohon diampunkan kesalahan hamba, gusti. Hamba
seorang pemuda yang dungu ......."
"Aku gembira sekali engkau berada disini, Kebo Taruna,"
seru baginda tanpa mempedulikan sembah "kata orang
engkau seorang peminum, seorang pemuja seni keindahan
dan pengagung kecantikan wanita."
Kebo Taruna makin tergagap tetapi baginda tak
memberinya kesempatan bicara "Kebo Taruna, cobalah
engkau jawab pertanyaanku ini. Bukankah Damayanti itu amat
cantik, Kebo Taruna?"
"Can .... tik ..." Kebo Taruna tergagap.
"Kebo Taruna," kata baginda lalu memandang kearah
Dhyani "dan engkau nini Dhyani ........ coba lah kalian cari
istilah atau benda yang dapat menamsilkan kecantikan
Damayanti." Kebo Taruna dan Dhyani terbeliak kejut.
"Apabila kalian dapat menemukan tamsil itu dengan tepat,
akan kuhadiahi uang sepuluh laksa," titah baginda pula "nah,
hayo engkau yang mengatakan lebih dahulu Kebo Taruna."
Kebo Taruna benar2 seperti orang yang terserang penyakit
demam panas. Tubuhnya menggigil sehingga geraham pun
ikut bergemerutukan tetapi hatinya seperti dibakar bara.
Namun ia tak berani membantah titah raja maka terpaksa ia
berkata "Duh gusti, sebelumnya hamba mohon diampunkan
apabila hamba tak mampu memenuhi titah gusti. Biasanya
wanita itu ditamsilkan sebagai bunga ....."
"Eh, mengapa begitu, Kebo Taruna?" tukas baginda.
"Karena keduanya memiliki persamaan sifat dan corak.
Bunga dipuja karena cantik dan dibuang setelah layu.
Demikian pun wanita. Keduanya tak luput dari hukum alam,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik dan layu, gusti "
"Eh, hebat benar uraianmu, Kebo Taruna. Itukah ilmu yang
engkau teguk dari tuak" " baginda tertawa riang "baiklah,
Kebo Taruna,, sekarang coba ingin kudengar, dengan bunga
apakah engkau tamsilkan kecantikan Damayanti itu?"
Kebo Taruna menjelang sembah "Mohon diampuni apabila
patik salah tamsil, gusti. Menurut hemat patik, Damayanti itu
patik ibaratkan sebagai bunga mawar hutan."
"Bagus, Kebo Taruna, bunga mawar memang cantik
gemilang, eh ......... . " tiba2 baginda menyela kata, "tetapi
mengapa mawar hutan dan tidak mawar saja ?"
Memang Kebo Taruna sudah fasih akan mengolah kata2.
Karena nyalinya berhadapan dengan baginda sudah makin
tumbuh, maka ia pun makin tambah bicara. "Mawar hutan
adalah mawar yang memekarkan kecantikannya di dalam alam
pegunungan yang bebas. Ia hidup dalam kebebasan dan
kewajaran. Apabila di tanam oleh manusia dalam rumah
gedung nan indah, bunga itu takkan tumbuh subur."
"0, engkau maksudkan Damayanti itu tak senang hidup
mukti dalam keraton?"
Kebo Taruna berdebar menerima pertanyaan demikian. Ia
menyadari, salah ucap, baginda tentu murka "Menilik asal
kelahiran dan kecantikannya, maka hamba ibaratkan
Damayanti itu bagaikan sekuntum bunga mawar hutan.
Hamba katakan bunga itu akan tak subur apabila ditanam di
rumah gedung yang indah. Namun kalau ditanam di dalam
keraton, lain lah halnya, gusti. Tergantung dari dan
perawatannya." "Hm, benar, benar," baginda menggangguk
"Kebo Taruna, tidakkah engkau pandang amat sesuai
apabila bunga mawar hutan itu kutanam dalam keraton TiktaSripala?"
"Gusti" Kebo Taruna makin mantap nadanya, "tidakkah
taman sari keraton Tikta-Sripala merasa tersinggung apabila
ditanami dengan bunga mawar hutan" Bukankah banyak
sekali jenis bunga yang indah permai menyemarakkan taman
sari paduka" "Ha, ha," baginda tertawa "tidak Kebo Taruna, taman sari
Tikta-Sripala takkan merasa terhina menerima kehadiran
mawar hutan itu. Karena mawar itu tidak layak lagi disebut
mawar hutan tetapi mawar keraton Majapahit, ha, ha, ha ..'
Tawa baginda itu menggerincing bagai beribu batang jarum
yang menusuk uluhati Kebo Taruna. Andai Jayanagara itu
bukan seorang raja, tentu lah Kebo Taruna sudah mencekik
dan melemparkannya keluar taman".
"Dhyanti" tiba2 baginda beralih kepada puteri
"sekarang coba lah engkau yang memberi ulasan."
patih Setelah menghatur scmbah Dhyani pun berkata, "Hamba
kurang setuju akan tamsil perumpamaan yang dikemukakan
kakang Kebo Taruna bahwa wanita itu adalah ibarat bunga.
Cantik dipuja, layu dibuang. Apabila demikian maka kaum pria
lah yang bertanggung jawab. Untuk siapakah bunga itu
mekar" Tentu lah untuk sang Kumbang. Untuk siapakah
kecantikan wanita itu, tentu lah untuk kaum pria. Sctelah
habis mengisap sari madunya, sang Kumbang terus
meninggalkan bunga. Adakah kalau sudah tak cantik, kaum
lelaki pun akan meninggalkan wanita itu" Jika demikian, apa
pula beda seorang manusia jenis pria dengan seekor serangga
jenis kumbang" Bukankah manusia itu makhluk yang memiliki
perasaan halus yang tinggi?"
"Eh, eh, Dhyani, Dhyani " baginda Jayanagara mendecakdecak mulut "tiada kira tiada nyana bahwa gadis semuda belia
engkau, dapat menguraikan soal yang sedemikian itu. Soal
yang dianggap benar oleh orang, ternyata dapat engkau kupas
dengan tepat. Dhyani, walau aku termasuk kaum pria, tetapi
aku dapat menyetujui buah pikiranmu itu. Lalu dengan apakah
engkau hendak menamsilkan diri Damayanti itu, nini?"
"Gusti " seru pula puteri patih itu makin melantang "wanita
bukan lah bunga dan pria bukan lah kumbang. Wanita dan
pria, merupakan genapnva kodrat Alam. agar mahluk manusia
itu dapat berkembangbiak dan tak lenyap dari permukaan
bumi. Oleh karena itu, hamba lebih cenderung untuk
menamsilkan kecantikan Damayanti itu sebagai Dewi Ratih,
isteri dari Batara Kamajaya, gusti."
"Dewi Ratih" Ah, tepat sekali, Dhyani," seru baginda riang
"tetapi mengapa engkau menamsilkan demikian?"
"Dewi Ratih itu isteri dari Batara Kamajaya. Mereka hidup
rukun. Dewa dan dewi ini selalu menjaga keamanan umat
manusia yang terangkap suami isteri. Hamba umpamakan
Damayanti sebagai dewi Ratih karena kecantikannya dan
harapan hamba agar Damayanti menjadi wanita utama, bhakti
kepada guru lakinya dan menjadi lambang dari arti seorang
wanita yang menjadi sumber agung kelangsungan manusia di
mayapada." "Cek, cek, cek " kembali baginda mendecak "tak kukira
kalau seorang gadis seperti engkau dapat mengungkap nilai
sejati dari kaum wanita. Adakah ayahmu yang mengajarkan
hal itu kepadamu?" "Tidak gusti, rama hamba terlampau sibuk dengan
pekerjaanya. Kesemuanya itu hanya lah terbit dari pancaran
naluri hamba sebagai seorang wanita."
Baginda mengangguk-angguk kepala "Tamsil yang engkau
kemukakan itu, memang tepat dan benar. Tetapi sayang tidak
mengena sekali dalam hatiku."
Dhyani heran dan memberanikan tanya, "Gusti, adakah
keutamaan yang lebih utama dan kecantikan yang lebih cantik
daripada sang Dewi Ratih itu?"
"Tidak ada, Dhyani," ujar baginda "tetapi dalam
penilaianku, kecantikan Damayanti itu bukankah seperti bunga
mawar, bukan pula laksana sang Dewi Ratih, melainkan
menyerupai titisan Sindura. Pernahkah engkau mendengar
tentang diri Sindura?"
"Pernah, gusti," sembah Dhyani.
"Itu lah apa sebab aku mencurahkan perhatianku kepada
Damayanti., Ya, karena Damayanti memang bak pinang
dibelah dua dengan Rara Sindura, gadis yang mencuri hatiku."
"Oh" Dhyani mendesuh penuh pengertian. Tetapi Kebo
Taruna menggigil penuh kegeraman. Jelas dengan ucapan itu
baginda telah menetapkan keputusan untuk mempersunting
Damayanti. Rupanya keadaan pemuda itu tak lepas dari pengawasan
Dhyani. Diam2 puteri patih itu gembira hati. Kalau Damayanti
dikehendaki baginda, bukankah Kebo Taruna akan menggigit
jari" Dan apabila ia tampil mengisi kckosongan hati pemuda
itu, bukankah Kebo Taruna akan terpaksa menyambutnya"
Puteri patih Aluyuda itu mewarisi bakat ayahnya dalam hal
kecerdikan dan mengatur rencana. Maka cepat sekali ia dapat
menanggapi keadaan saat itu.
"Gusti" serunya "bagaikan kejatuhan rembulan kiranya
Damayanti itu apabila paduka berkenan memboyongnya
kedalam keraton. Tetapi gusti, hamba takut, demikian pun
adik hamba itu." "Takut" Takut apa Dhyani?"
"Damayanti adik hamba itu adalah seorang gadis kasta
Waisya, bagaimana mungkin gusti, paduka hendak
menempatkan diatas dampar kencana singgasana kerajaan"
Bukankah hal itu akan memudarkan kewibawaan paduka,
merosotkan pamor kerajaan?"
Baginda membeliak "Dhyani serunya menggelegar "Raja
berkuasa menghitam putihkan kawulanya. Yang pokok,
Damayanti itu dari keluarga kawulaku yang baik. Ayahnya
bukan penjahat, bukan pencuri, bukan pula pemberontak. Soal
kasta, dapat lah ayahnya kunaikkan pangkat sehingga
tergolong dalam kasta ksatrya. Apakah sukarnya hal itu,
Dhyani" Yang penting pada diri Damayanti kutemukan titisan
dari Rara Sindura. Siapa yang menentang kehendakku tentu
akan kutumpas! " Menggigil tubuh Kebo Taruna mendengar ucapan baginda
Jayanagara, sri nata kerajaan Majapahit! Kebalikannya Dhyani
makin meluap kegirangannya, serunya pula "Gusti, hamba
hanya menghaturkan hal2 yang menyangkut kepentingan
paduka junjungan seluruh kawula dan kepentingan negara
Majapahit. Apa pun titah paduka, sudah tentu akan hamba
junjung diatas kepala."
"Ha, ha, tak kecewa engkau menjadi puteri patih Aluyuda.
Bapaknya pandai bicara, puterinya pun wasis wawancara" seru
baginda." eh, Dhyani, sesuaikah Damayanti itu menjadi
pemaisuriku?" Gemetar hati Dhyani mendapat pertanyaan itu. Menurut
nalurinya sebagai wanita, ia merasa iri keberuntungan yang
luar biasa dari Damayanti. Namun menurut suara hatinya, ia
gembira karena dapat menyingkir sebuah "duri dalam daging'
yang menghalang harapannya kepada Kebo Taruna. Akhirnya
ia harus memberi jawaban kepada raja "Sesuai gusti. Tetapi
yang penting adalah keputusan paduka".."
"Cukup, Dhyani," cepat baginda mengerat lalu menatap ke
arah Kebo Taruna "Taruna, bagaimana pandanganmu apabila
Damayanti kujenjang di atas mahligai kerajaan?"
Saat itu Kebo Taruna seperti dilanda gempa bumi yang
hebat. Serasa benda di sekelilingnya berputar-putar deras,
mata berbinar-binar, mulut terkancing dan wajah pun pucat
lesi ..... "Eh, mengapa engkau diam saja Taruna?" tegur baginda
pula karena Kebo Taruna tak kedengaran menjawab "apakah
engkau sakit" Mengapa
engkau tampak begitu pucat?" Kebo Taruna terbelalak kejut. Teguran baginda itu
telah menyengat kelimbungan pikirannya dan sadar lah ia akan keadaan yang dihadapi saat itu. Ia harus mengambil keputusan cepat. Menuruti didih darah
mudanya yang membara, ingin ia loncat menikam raja itu. Namun apabila ia
melakukan hal itu, ia sendiri pun pasti akan mati. Mati baginya bukan soal karena kematiannya itu demi
membela seorang wanita yang amat dicintainya. Tetapi
kematiannya itu pun akan mengakibatkan kehancuran patih
Aluyuda dan seluruh keluarganya. Betapa pun ia tak mau lain
orang ikut menderita karena perbuatannya. Akhirnya ia
menemukan pan keluar. Ya, ia harus mendapat waktu untuk
mengulur terlaksananya kehendak raja terhadap Damayanti.
Dan dalam perpanjangan waktu itulah ia nanti akan bertindak
untuk mclarikan Damayanti sesuai dengan anjuran ra Tanca.
"Gusti" serunya dengan nada yang terkekang "hamba
hanya seorang kawula. Apa pun titah dan kehendak paduka,
pasti akan terlaksana. Namun hamba mohon perkenan untuk
menghaturkan sembah."
"Katakanlah, Taruna."
"Ibarat bunga Damayanti itu masih kuntum, belum mekar.
Alangkah seyogyanya bila paduka berkenan merelakan dia
mekar dahulu baru lah dipindah ke dalam tamansari keraton.
Karena hamba kuatir, gusti, apabila kuntum itu dipaksa
dipetik, dia akan layu sebelum mekar. Siapa yang akan
kehilangan gusti, kecuali paduka sendiri ?"
"Hm," baginda Jayanagara terdiam. Pandang matanya
mencurah ke arah Damayanti yang selama dijadikan buah
pembicaraan itu hanya menundukkan kepala "Damayanti "."
pada lain saat kedengaran baginda berseru. Dara itu pun
terkejut dan mengangkat muka. Baginda termangu, menghela
napas "Dalam pancaran gundu matamu, kujumpai sinar mata
Sindura ........ " gumamnya pelahan lalu berseru "Damayanti,
mengapa engkau bermuram durja " Senyumlah, Damayanti,
senyum lah ......" Damayanti gemetar ketakutan. Kebo Taruna menggigil
geram. Dhyani tertawa riang "Damayanti, engkau harus taat
akan titah baginda. Hayo, nini, senyum lah ... "
Mendengar itu, Kebo Taruna hampir meledak dadanya.
Cepat2 ia mendekap dada dengan sebelah tangan agar tak
terlanjur lah amarah itu meluncur ke luar. Damayanti pun
terpaksa melakukan titah mengulum senyum ..... baginda. Ia merekah bibir, "Aduh, Sindura, mengapa engkau hendak mencabut
suksmaku ......." baginda mengeluh dan tiba2 berbangkit
menghampiri Damayanti hendak mendekapnya. Dalam
pandangannya, saat itu Damayanti benar2 berobah menjadi
Rara Sindura. Adegan di taman sari dengan Sindura dahulu,
hidup kembali dalam kalbunya. Ia lupa akan kehadiran Dhyani,
ia tak menghiraukan Kebo Taruna.
Kebo Taruna terkesiap, mata menyalang lebar hidung
berkembang kempis menahan lahar kemarahan. Demi melihat
baginda mendekap Damayanti, hampir saja Kebo Taruna
beranjak dari duduknya dan hendak menyentakkan tubuh
baginda. Syukur lah gerak gerik yang berbahaya dari pemuda
itu diperhatikan Dhyani. Puteri patih itu mendahului bangun
dan berjongkok di dekat Damayanti "Duh, gusti janjungan
hamba," sembahnya, "mohon gusti sudi melimpahkan
kemurahan yang yang sebesar besarnya atas Damayanti adik
hamba itu. Adakah paduka tak kasihan akan Damayanti yang
menangis karena ketakutan itu, gusti?"
Memang pada saat tangan baginda mendekap bahunya,
Damayanti gemetar ketakutan. Karena tak tahu bagaimana
harus bertindak., Damayanti pun menangis terisak-isak.
Maklumlah, dara yang masih suci belum pernah dijamah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan pria. "0, mengapa engkau menangis Damayanti" " tegur baginda
Jayanagara. "Damayanti tentu terkejut dan ketakutan gusti" cepat
Dhyani menjawab. "Mengapa takut" Aku bukan pemakan manusia."
"Ah, gusti " Dhyani menyertai sembah "hamba mohon
paduka dapat menyelami perasaan hati seorang dara scperti
adik hamba itu. Tepat seperti yang dihaturkan kakang Taruna
tadi bahwa Damayanti seperti kuntum yang belum mekar. Dia
masih baru menjenjang kedewasaan. Seorang dara yang
masih penuh tercengkam rasa malu, mudah tersinggung naluri
kegadisannya. Hamba mohon paduka suka bcrsabar. Sekarang
kepunyaan siapa dan besok pun milik siapa. Hamba sering
mendengar kata orang gusti, bahwa 'witing tresna jalaran saka
kulina'. Eratnya bergaul akan menumbuhkan rasa asmara.
Sambil menanti mekarnya kuntum itu, apabila paduka sering
berkunjung dan berbicara dengannya, tentu lah akan hilang
rasa takut dan canggung dari adik hamba itu "
Baginda Jayanagara lepaskan tangannya dan menghela
napas "Hm, benar juga kata-katamu itu, Dhyani. Rupanya
engkau sudah masak dalam soal asmara, ya?" baginda
mengoloknya. Dhyani tersipu-sipu merah wajahnya. Ia tundukkan kepala
tak menyahut. Rupanya baginda petang itu amat berkenan
dalam hati. Melihat puteri patih itu kemalu-maluan, baginda
pun melanjutkan pula selorohnya. "Hai, Taruna, engkau
seorang pemuda yang gagah tampan, putera dari mendiang
paman Kebo Anabrang senopati kerajaan yang termasyhur.
Dan Dhyani, putri patih Aluyuda, cantik, cerdas serta tangkas
bicara. Hm, hm ...... " baginda berhenti sejenak sambil batuk2
"dengarkan lah kalian berdua hai Kebo Taruna dan Dhyani.
Apabila kamu berdua membantu aku untuk menjaga
keselamatan Damayanti dan memberi bimbingan agar kelak
Damayanti mau menyerahkan diri kepadaku, jangan kuatir.
Akan kumintakan kepada paman Aluyuda agar kalian dapat
terangkap jodoh .... "
Wajah Dhyani makin merah. Tetapi bukan karena malu
melainkan karena rasa kagirangan yang meluap-luap bagai air
bah. Di lain pihak Kebo Taruna seperti disambar petir
kejutnya. Membantu agar Damayanti dara yang telah
menambat hatinya itu, mau menjadi permaisuri baginda
Jayanagara" Oh . baginya, lebih balk baginda menitahkan ia
minum racun dan pada melakukan hal itu! Dan pula, ia
dititahkan supaya menikah dengan Dhyani, aduh . makin
puyeng lah rasa kepala Kebo Taruna saat itu. Cepat2 Kebo
Taruna pejamkan mata agar urat syarafnya yang tegang
regang itu mengendor. "Gusti," akhirnya setelah agak tenang ia memberanikan diri
"beribu terima kasih hamba sanjungkan ke bawah duli paduka,
atas kemurahan hati paduka terhadap diri hamba. Namun
hamba pun wajib menghaturkan beribu ampun atas kesalahan
hamba "Apa maksudmu ",
"Ampuni lah diri hamba yang rendah ini gusti. Sekali-kali
bukan hamba bermaksud menolak budi keluhuran paduka.
Melainkan hamba masih jauh dari pemikiran untuk memangku
seorang wanita. Hamba masih muda, masih banyak cita2 yang
hendak hamba raih, masih tinggi titian harapan yang hendak
hamba jenjang, masih jauh pingalaman yang kurang pada
hamba, masih berat tugas negara yang menantang
pengabdian hamba, gusti ".."
"Bagus, Taruna, engkau benar2 seorang pcmuda yang
berpambek tinggi " puji baginda aku senang dengan tenaga2
muda yang bercita-cita seperti engkau. Tidak seperti mentri2
tua yang masih duduk dalam pemerintahan kerajaan sekarang
ini. Baiklah, Taruna, andai sckarang engkau belum memiliki
pikiran untuk berumah tangga, tak apa. Tetapi kelak tentu
akan kukatakan kepada paman Aluyuda agar engkau
dijodohkan pada nini Dhyani," berpaling kepada Dhyani
baginda berseru "Bagaimana Dhani, bukankah engkau setuju
dengan Kebo Taruna" Wajah puteri patih itu bertebar warna merah. Ia malu
menjawab tetapi harus menjawab "Gusti, hamba seorang anak
perempuan. Apa pun perintah orangtua tentu hamba tak
berani melanggar." "Ha, ha, ha ... " baginda tartawa riang "suatu pengian yang
berselubung " lalu raja menatap Kebo Taruna "dan engkau
Taruna, bukankah engkau setuju pada Dhyani?"
Kebo Taruna mengeluh dalam hati. Tadi ia sudah berputarputar kata untuk menghindari pertanyaan raja, tetapi kini
ternyata masih didesak lagi dengan pertanyaan yang lebih
menyudutkan. Bingung lah ia untuk menjawab. Mengiakan,
menyalahi suara hati dan pasti didengar Damayanti. Namun
Kebo Taruna tak kekurangan akal, sahutnya, "Semoga
demikian apabila sudah menjadi suratan takdir "
Untunglah jawaban yang bernada semu itu dapat diterima
baginda Jayanagara "Baiklah, karena sudah malam, aku
hendak kembali ke keraton. Kutitahkan kalian harus pandai
menjaga dan melayani Damayanti. Apa pun permintaannya
harus kalian turuti."
Dhyani dan Kebo Taruna mengiakan dan baginda pun
tinggalkan tamaa kepatihan.
0odwo0 III Jenazah rakryan mentri Pranaraja telah dikubur dengan
upacara yang megah. Terutama dengan hadirnya patih
Aluyuda, tumenggung Ikal-ikalan Bang dan tumenggung
Jabung Tarewes sebagai wakil resmi dari kerajaan Majapahit,
maka upacara pemakaman itu berlangsung dengan khidmat.
Malam harinya patih Aluyuda dan kedua tumenggung
dijamu oleh mahapatih Nambi. Dalam perjamuan yang dihadiri
juga oleh para mentri dan senopati yang ikut dalam
rombongan mahapatih Nambi, mereka berkesempatan untuk
bercakap cakap. "Adi Aluyuda" mahapatih Nambi membuka pembicaraan,
"apabila engkau kembali ke pura kerajaan, tolong lah haturkan
sembah bhakti dan rasa terima kasihku yang sebesar-besarnya
ke hadapan baginda."
"Baiklah, rakryan " patih Aluyuda menyanggupi "tetapi
adalah rakryan mahapatih belum menganggap perlu untuk
kembali ke pura kerajaan ?"
Mahapatih Nambi menghela napas "Ah, betapa ingin sekali
saat ini aku sudah berada kembali di pura kerajaan, ki patih.
Tetapi kurasa masih ada beberapa soal yang perlu
kuselesaikan di sini."
Atas pertanyaan Aluyuda, mahapatih Nambi berkata pula
"Mendiang ramaku adalah mentri pakirakiran dalam
pemerintahan rahyang ramuhun prabu Kertarajasa. Atas jasajasanya, baginda telah menghadiahi tanah Lumajang ini
kepada ramaku. Sehubungan dengan meninggalnya rama dan
aku pun berada di pura kerajaan, maka pikirku hendak kuatur
dulu orang2 yang dapat kupercayai untuk mengurus tanah
ini." "Ah .... " tiba2 patih Aluyuda menghela napas "memang
tepat sekali tindakan rakryan mahapatih Aku peribadi
mendukungnya. Tetapi ah ........ aku masih kuatir ......... ah,
tak apalah, nanti tentu akan kubantu rakryan."
Rakryan Nambi agak heran mendengar ucapan Aluyuda
yang tersendat dan mengandung apa2 itu. Maka bertanya lah
ia, "Tetapi apakah yang hendak engkau katakan itu " "
Aluyuda tampak termenung sejenak lalu berkata, "Begini,
rakryan. Walau pun dengan berat namun terpaksa pula
kukatakan dengan terus terang. Sepulang dari kunjunganku
kemari tempo hari, telah kupersembahkan laporan kepada
baginda tentang keadaan gering rakryan Pranaraja dan
kesibukan rakryan mahapatih merawatnya. Tetapi ternyata
baginda menolak untuk memberi cuti lebih panjang dari
setengah candra. Dengan sudah payah, aku berhasil
mengendapkan kemurkaan baginda. Sebenarnya baginda
sudah amat murka dan hendak mengirim utusan untuk
memanggil pulang rakryan mahapatih dengan paksa. Apabila
rakryan mahapatih tak mau, baginda pun sudah menitahkan
untuk menangkap .... "
Mahapatih Nambi dan sekalian hadirin terbeliak mendengar
keterangan patih Aluyuda, "Mengapa baginda berbalik muka "
Bukankah menurut katamu baginda berkenan meluluskan aku
berada di sini untuk beberapa lama?"
"Ah, rakryan mahapatih tentu faham akan perangai
baginda. Keras tetapi mudah diombang-ambingkan oleh
ucapan orang. Kepadaku memang baginda menitahkan
demikian tetapi beberapa waktu kemudian setelah mendengar
kata2 para Dharmaputra, baginda pun berpaling haluan dan
cepat2 mencabut idin cuti rakryan mahapatih. Kini baginda
pun menitahkan kepadaku agar besok segera pulang bersama
rakryan mahapatih." "Besok pagi " Ah, bagaimana mungkin, Aluyuda,"
mahapatih Nambi mendecak decak "baru hari ini rama
dikebumikan, masakan besok pagi aku harus berangkat.
Cobalah engkau timbang, ki patih, adakah hal itu bijaksana
bagiku bila besok pagi aku harus berangkat ?"
Aluyuda geleng2 kepala "Ah, memang kurang kurang
bijaksana. Tetapi apa daya kita " Baginda sudah mendahar
omongan para Dharmaputera itu dan kini sudah menurunkan
titah. Sebenarnya titah baginda itu sudah sepuluh hari yang
lalu harus dilaksanakan tetapi harena aku dapat menyelami
keadaan rakryan mahapatih saat ini, maka aku pura2 sakit.
Kemudian setelah genap sepuluh hari, aku pun sembuh. Dan
tepat pada saat baginda hendak mengutus aku ke Lumajang,
datang lah ra Jangkung menghaturkan laporan tentang
wafatnya rakryan Pranaraja. Namun hal itu tak mematrangi
kemurkaan baginda. Walau pun baginda telah menitahkan aku
dan tumenggung Ikal-ikalan Bang serta Jabung Tarewes, tetap
pun disertakan juga titah untuk memanggil pulang rakryan
mahapatih. Maafkanlah rakryan, atas kegagalanku mengusahakan perpanjangan cuti untuk tuan .... "
"Ah, kiranya baginda tentu dapat memaklumi tindakan
rakryan mahapatih kali ini. Maka kurasa kalau rakryan
mahapatih menunda kepulangannya ke pura kerajaan sampai
beberapa hari ini, tentu lah tak sampai menimbulkan
kemurkaan baginda," tiba2 Panjiwiranagari menyelutuk.
Patih Aluyuda tertawa mencemoh "Tentu lah ki Panji
Wiranagari mempunyai pendapat sedemikian pada diri tuan
sendiri, mengapa ikut dalam rombongan mahapatih dan
menetap di Lumajang sampai hampir secandra lamanya. Ki
Panji tentu menduga baginda tak murka, bukan ?"
Panji Wiranagari terkesiap "Maksud ki Patih hendak
mengatakan bahwa baginda murka atas kehadiran kami di
Lumajang ini?" "Narapraja dan senopati yang pergi tanpa idin sampai
sekian lama meninggalkan tugas pekerjaannya, dianggap
melalaikan kewajiban. Baginda menitahkan supaya mereka itu
dipecat dan dihukum."
Bukan kepalang kejut sekalian rombongan senopati yang
ikut pada mahapatih Nambi "Ki patih, sungguh mengejutkan
bagai halilintar meletus ditengah hari cerah, apabila baginda
murka kepada kita. Adakah ki patih tidak sekalian melaporkan
peristiwa diri kami ikut melawat ke Lumajang dengan rakryan
mahapatih?" "Masakan tidak" " sahut patih Aluyuda tenang "memang
saat itu tampakaya baginda berkenan meluluskan. Tetapi
entah apa sebabnya, beberapa hari kemudian baginda
merobah keputusan, mempersalahkan tuan2 sekalian
meninggalkan tugas tanpa idin."
"Satan," Jaran Bangkal menyelutuk geram "siapa kiranya
yang menghasut baginda untuk memfitnah kami sekalian" "
Patih Aluyuda tersenyum kecil "Telah kukatakan bahwa
selama rakryan mahapatih berada di Lumajang, tampuk
kerajaan dipegang oleh baginda sendiri dengan dibantu
ketujuh Dharmaputera. Aku tak mau menuduh orang namun
ra Bangkal dan tuan2 sekalian kiranya tentu dapat
menemukan biangkeladi yang memfitnah tuan itu."
Mendengar itu pandang mata sekalian senopati tercurah
kepada ra Semi, salah seorang anggauta Dharmaputera yang
saat itu berada di Lumajang. Ra Semi pun cepat dapat
menanggapi keadaan saat itu dan menyadari pula siapakah
senopati- senopati yang hadir pada perjamuan saat itu "Tuantuan sekalian," cepat ia memberi pernyataan "sesungguhnya
hubungan baginda dengan Dharmaputera itu, bukan lah hanya
terjadi sekarang dikala rakryan mahapatih berada di
Lumajang, tetapi kiranya sudah terjalin jauh beberapa waktu
yang lampau. Pengangkatan Dlaarmaputera oleh baginda
seudiri, sudah merupakan kenyataan yang berbicara betapa
besar kepercayaan baginda kepada Dharmaputera. Benarkah
yang memfitnah tuan2 sekalian ini Dharmaputera, kiranya
masih harus dikaji lebih dulu"." ra Semi berhenti sejenak
pada waktu mendengar keberangkatan rombongan mahapatih
beserta beberapa senopati, ra Kuti dan ra Tanca mengirim aku
untuk menyusul dan memberikan obat penawar racun kepada
rakryan mahapatih. Adakah orang yang mendendam
kebencian, mau memberi obat kepada orang yang dibencinya
itu" Mustahil" Sejenak ra Semi memperhatikan kerut wajah sekalian
senopati lalu melanjutkan pula, "Andai terjadi perobahan
pandangan Dharmaputera terhadap rombongan senopati yang
ikut pada rakryan mahapatih, aku pun tak mengetahui karena
sejak itu aku menetap di sini juga. Tetapi rasanya, hal itu tipis
kemungkinan akan terjadi. Dalam peristiwa kapergian rakryan
mahapatih beserta rombongan senopati ke Lumajang kali ini,
rupanya yang dekat dan mendapat kepercayaan bagiada,
bukanlah Dharmaputera, melainkan ki patih Aluyuda sendiri.
Buktinya, sudah dua kali ini baginda mengutus ki patih
berkunjung ke mari "
"Hm, memang ada suatu keanehan di balik keterangan ki
patih tadi tiba2 Panji Anengah buka suara," dahulu ki patih lah
yang ngotot menganjurkan kami supaya jangan tergesa-gesa
kembali ke pura kerajaan. Tetapi sekarang ki patih
mengatakan bahwa baginda murka kepada kami dan hendak
memecat kami?"

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, benar, kita jangan mudah percaya sesuatu keterangan
sebelam kita membuktikan kebenarannya." seru Jaran
Bangkal. Pernyataan Jaran Bangkal itu mendapat dukungan dari
sekalian senopati. Mereka masih kurang percaya akan
keterangan patih Aluyuda. Aluyuda bagaikan seorang tertuduh
yang terjepit di pojok. Namun patih tak sedikit pun
menampilkan kecemasan. Ia tertawa tertahan "Memang
karena warnanya serupa, loyang itu dianggap sama dengan
emas. Hanya seorang pandai emas yang ahli, dapat
membedakan emas dengan loyang. Demikian pula ucapan.
Lidah sama merahnya, kata2 sama manisnya tetapi hanya
mereka yang mempunyai kesadaran dapat membedakan mana
yang culas dan mana yang jujur. Sesungguhnya aku segan
mengusik diri ra Semi. Tetapi karena diriku dijerumuskan
dalam jurang tuduhan, wajib lah aku membela diri."
Patih Aluyuda keliarkan pandang mata meneliti kesan para
hadirin lalu melanjutkan pula "Kehadiran ra Semi di Lumajang,
menimbulkan dua macam tafsiran. Sebagai salah seorarg
anggauta Dharmaputera, tidak pada tempatnya bilamana ra
Semi menyusul ke Lumajang. Pada hal tenaga dan pikiran
Dharmaputera amat dibutuhkan sekali untuk membantu
baginda memegang tampuk pimpinan kerajaan selama rakryan
mahapatih berada di Lumajang. Kejanggalan itu menimbulkan
dua macam kemungkinan. Ra Semi pergi tanpa diketahui
baginda atau Ra Semi memang ditugaskan oleh Dharmaputera
untuk ... untuk mengawasi gerak gerik para narapraja dan
senopati selama di Lumajang ini."
"Lancung!" teriak ra Semi seketika seraya melonjak dari
tempat duduk dan menuding Aluyuda. Kemudian ia berseru
lantang "rakryan mahapatih dan ki tumenggung sekalian, saat
ini juga akan kubuka sebuah rahasia dari ki patih Aluyuda!
Mengapa aku ditugaskan kakang ra Kuti dan ra Tanca untuk
menyerahkan obat penawar bisa itu" Tak lain karena kakang
ra Kuti telah mendapat keterangan bahwa ada suatu usaha
untuk meracuni rombongan rakryan mahapatih di desa
Kedungpeluk ........"
"Hai, benarkah itu " " teriak Panji Wiranagari lalu siapakah
yang merencanakan perbuatan terkutuk itu" "
"Hah, suatu perbuatan yang melampaui batas dan harus
ditindak keras," sambut sekalian senopati. Dan serentak
mereka mengarahkan pandang mata kepada rakryan
mahapatih. Tampak rakryan mahapatih Nambi tetap tenang.
Rupanya mahapatih mempunyai wibawa yang menyebabkan
orang tak berani membuka suara.
"Lalu siapakah kiranya yang tuan curigai berbuat hal itu " "
akhirnya pernyataan yang ditunggu oleh sekalian senopati,
keluar juga dari mulut mahapatih Nambi.
"Patih Aluyuda!"
Pernyataan ra Semi itu bagaikan halilintar meletus di siang
hari. Serentak terdengar hiruk pikuk yang menggemuruh dari
mulut sekalian hadirin. "Bohong!" Aluyuda pun serempak melonjak bangun dan
mendamprat "Semi, jangan engkau menghambur fitnah sekeji
itu kepadaku..........."
Ra Semi pun marah "Walau pun berselimut bulu domba,
macan itu tetap bersuara macan! Aku tidak memfitnah tetapi
mengatakan hal yang sebenarnya."
Aluyuda makin merah padam "Setan engkau, ra Semi ! Bila
engkau benar seorang jantan, mari kita ke luar dan selesaikan
persoalan ini secara ksatrya," patih itu terus menghunus keris
dan memandang ra Semi dengan penuh dendam kesumat.
Suasana ricuh. Sekalian hadirin terpukau
dalam kebingungan bagaimana harus bertindak. Kembali mereka
menyerahkan tanggung jawab kepada rakryan mahapatih.
Dan rakryan. Nambi pun menyadari hal itu.
"Ki patih Aluyuda dan ra Semi, duduklah kembali. Kita
sedang menghadapi perjamuan untuk menghormat utusan
raja, bukan berhadapan dengan maut ...."
Patih Aluyuda menutupi kegirangan hatinya dengan
menyeringai seolah-olah terpaksa menurut karena menghormati tuan rumah. Kebalikannya ra Semi menghela
napas sesal "Ah, mengapa rakryan tak mau mendahar
keteranganku ........."
"Kebaikan ra Semi mengantarkan obat penawat tempo hari,
amat kuhargai sekali," kata mahapatih, namun obat itu masih
kusimpan dan belum sempat kugunakan karena waktu berada
di Kedungpeluk, aku merasa tak mengalami sesuatu yang
membahayakan jiwa." "Ah " ra Semi mengeluh tertahan "memang hal itu sungguh
aneh sekali." "Hm " dengus patih A luyuda mendapat angin "memang bagi
orang yang mengada-ada, peristiwa itu aneh. Tetapi bagi
orang yang wajar pikiran, tentu lah tiada yang aneh. Jika
benar ada rencana pembunuhan dengan meracuni rombongan
rakryan mahapatih, tentu saat itu sudah terjadi. Tetapi
nyatanya rakryan mahapatih dan sekalian senopati, selamat
tak kurang suatu apa...."
"Nanti dulu, ki patih," tiba2 Panji Wiranagari menyelutuk,
"tetapi mengapa ulah buyut Kedungpeluk pada malam itu
aneh sekali?" Dengan tersenyum ramah, Aluyuda menjawab "Maaf, ki
Panji Wiranagari, aku bukan buyut Kedungpeluk. Silahkan tuan
bertanya kepadanya sendiri. Lagi pula aku tak menyaksikan
peristiwa itu." "Ra Semi " buru2 mahapatih Nambi menyusuli kata agar
anggauta Dharmaputra itu tak menderita malu "memang
kuakui bahwa ada beberapa fihak dan golongan yang tak suka
kepadaku. Sudah tentu mereka akan berusaha untuk
mencelakakan. Tetapi setiap tuduhan itu harus berdasarkan
bukti, bila tidak, kita pun tak dapat berbuat suatu apa."
"Dan dapat digolongkan sebagai fitnah!" seru Aluyuda
menanggapi. Suasana yang tegang pun mulai mengendap tenang. Awan
kecurigaan yang mengabut dalam pikiran para hadirin
terhadap diri Aluyuda, mulai menipis. Maka berkata pula
mahapatih Nambi "Baik lah kita sisihkan rasa curiga
mencurigai dan mari lah kita membicarakan pula soal
kemurkaan baginda. Memang aku pun merasa telah cukup
lama meninggalkan tugas kewajiban maka dalam beberapa
hari lagi setelah urusan di sini selesai, aku segera kembali ke
pura kerajaan. Dalam hal ini kupaserahkan kepada ki patih
bagaimana hendaknya supaya baginda berkenan hati."
Aluyuda tak lekas menjawab. Beberapa saat baru ia
membuka suara dengan sarat "Baiklah, rakryan, hamba tentu
akan berusaha sekuat mungkin untuk mencairkan kemurkaan
baginda. Betapa pun rakryan mahapatih adalah pinisepuh
kerajaan Majapahit, kiranya baginda tentu dapat mempertimbangkan. Tetapi andai baginda tak dapat hamba
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
endapkan, terpaksa hamba harus mohon maaf sebesarbesarnya pada rakryan mahapatih ......."
"Tetapi menurut pandangan ki patih, bagaimanakah kiranya
keputusan baginda nanti" " tanya Pamandana yang
berpangkat demung. Sejak tadi ia belum ikut buka suara.
Aluyuda menghela napas "Ah, persoalan ini memang gawat
karena tampaknya baginda benar2 amat murka ....."
"Aneh, mengapa baginda sedemikian murka ?" gumam
Pamandana. "Oleh karena baginda telah mendengar laporan bahwa para
senopati yang ikut ke Lumajang ini, telah mengumpulkan dan
melatih pasukan perang ..."
"Hai! " serentak menggemuruh lah ruang pandapa karena
beberapa senopati serempak berbangkit dan memekik kejut
"Jangan main2 dengan ucapanmu, ki patih," teriak
tumenggung Jaran Bangkal, senopati yang beradat
berangasan. "Ya, ki patih, perkara itu bukan olah2 hebatnya,
menyangkut beribu-ribu jiwa prajurit dan senopati," teriak ra
Teguh. Demikian menyusul Panji Wiranagari, Panji Anengah,
Panji Samara dan Mahisa Pawagal, pun menegur patih
Aluyuda supaya mempertanggung jawabkan kata-katanya itu
"bukankah jelas pada kunjungan ki patih yang pertama kali ke
Lumajang itu, ki patih sendiri yang menganjurkan supaya kami
mengumpulkan para muda dan melatihnya menjadi prajurit
perang ?" tegur mereka dengan nada tajam.
Untuk yang kedua kalinya selama hadir dalam perjamuan
makan itu, ki patih Aluyuda dijadikan sasaran kemarahan.
Namun rupanya patih itu sudah biasa menghadapi hal
semacam itu, sahutnya "Aluyuda takkan lari dari-perbuatan
mengajurkan tuan2 itu. Namun aku lalai memperhitungkan
akan kemurkaan baginda akibat tuan2 pergi ke Lumajang
tanpa idin itu. Itu lah yang menjadi pangkal tolak kemurkaan
baginda. Bahwa tindakan yang sebenarnya berguna untuk
membantu rencana kerajaan membentuk angkatan perang
yang kuat, hilang lenyap dilanda kemurkaan baginda. Baginda
tak mau menerima kenyataan itu dan menuduh bahwa tuan2
hendak mempersiapkan pemberontakan ... "
Sekonyong konyong sesosok tubuh loncat ke hadapan patih
Aluyuda dan sebelum patih itu sempat mengetahui apa yang
akan terjadi, tiba2 leher bajunya telah dicengkeram orang itu
"Keparat engkau Aluyuda. Hayo katakan lagi bahwa baginda
menuduh kami hendak berontak .... ! " hardik orang itu seraya
acungkan tinjunya keatas.
Sekalian hadirin terkejut bukan kepalang ketika niengetahui
bahwa yang loncat mencekik leher baju putih Aluyuda itu
adalah tumenggung Jaran Bangkal, tumenggung yang terkenal
keras dan berangasan. Dan yang paling terkejat sendiri yalah
patih Aluyuda. Serasa napasnya sesak ketika kerongkongannya tercengkeram kencang oleh tangan Jaran
Bangkal yang amat kuat "Auh ........ uh ........ engkau ........
engkau ........ berani ........ " ia berusaha meronta dan menyiak
tangan Jaran Bangkal tetapi hal itu bahkan seperti mendorong
senapati itu untuk mencekiknya makin kencang sehingga ia
tak dapat bicara. "Lepaskan! " sekonyong konyong pula, tumenggung Ikal
ikalan Bang loncat dari tempat duduk dan mencengkeram
bahu Jaran Bangkal lalu menyentakkan ke belakang. Karena
sedang menumpahkan perhatian dan tenaganya kepada patih
Aluyuda, Jaran Bangkal agak lengah. Sentakan yang tak
diduga-duga dari tumenggung Ikal-ikalan Bang itu telah
membuat tubuh tumenggung Jaran Bangkal terdampar
mundur dua langkah. Kesempatan itu segera dimanfaatkan
oleh patih Aluyuda untuk mengirim sebuah tendangan ke
bawah perut Jaran Bangkal. Jaran Bangkal terpaksa
menghindar mundur selangkah pula. Namun patih Aluyuda
amat merasa terhina. Cepat ia mencabut keris lalu hendak
menikam Jaran Bangkal. "Jangan bertindak membunuh orang! " baru patih Aluyuda
maju setapak, bahunya dicengkeram orang dan ditarik
mundur. Aluyuda berpaling dan menghardik marah, "Engkau
ra Teguh ......... berani menghina Aluyuda!"
"Sabar ki patih ........."
"Aku bukan patih, tetapi utusan baginda Jayanagara!" kerat
Aluyuda dengan mata memberingas.
Ra Teguh menyeringai "Lalu apakah sebutan yang harus
kupakai kepadamu ?" Aluyuda tetap menyalangkan bola matanya "Bukan sebutan
yang kupersoalkan. Pangkatku memang patih tetapi saat ini
aku datang sebagai duta sang Nata Majapahit. Walaupun
rakryan mahapatih pun menghormat kepadaku, jangankan
seorang tumenggung atau senopati ........ "
Sesungguhnya tindakan ra Teguh hanya lah untuk
mencegah pertumpahan darah. Namun demi mendengar
ucapan Aluyuda yang sedemikian temberang, bangkitlah
keangkuhan peribadi ra Teguh "Benar, memang seorang duta
sang Nata harus mendapat perindahan yang tinggi, semisal
seorang tetamu pun wajib mengindahkan tuan rumah,
bukan?" "Siapa yang tak meagindahkan rakryan mahapatih sebagai
tuan rumah ?" bentak patih Aluyuda, "bukankah kawanmu
Jaran Bangkal itu yang bertindak kurang tata berani mencekik
seorang utusan raja" "
"Dan ki patih lalu bertindak menjadi hakim sendiri hendak
membunuhnya ?" sambut ra Teguh.
Aluyuda tertawa menyeringai "Jangan lah hanya membunuh
seorang Jaran Bangkal, bahkan membunuh semua senopati
yang bersalah pergi tanpa idin itu, aku telah diberi kekuasaan
oleh raja! " Sebenarnya walau pun tak puas akan keterangan patih
Aluyuda perihal kemurkaan
baginda, namun mereka bersikap menahan diri terhadap patih itu. Demi mendengar ucapan yang semakin melambung tinggi dari patih itu, timbul lah
kemarahan juga dalam hati
sekalian senopati itu Ki patih, adakah engkau membawa Yajna dari sang prabu ?" seru

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji Samara. Patih Aluyuda agak terkesiap, namun cepat menyahut "Yajna" Perlu
apa aku harus membawa surat perintah baginda" Tanyakan lah pada tumenggung Ikal
ikalan Bang dan tumenggung Jabung Tarewes, adakah
kedatanganku ke Lumajang ini sebagai patih Aluyuda peribadi
atau sebagai duta sang Nata?"
"Tak perlu kutanya, karena jawabannya tentu sebagai
utusan raja " balas Panji Samara.
"Maka cukup lah baginda memberi titah secara lisan dan tak
perlu membuat Yajna," sahut Aluyuda.
Panji Samara tertawa datar "Secara lisan tempo hari ki patih
telah menganjurkan kami untuk membentuk calon2 prajurit.
Secara lisan pula ki patih hendak melaporkan kegiatan kami itu
kepada baginda. Kemudian secara lisan lah sekarang ki patih
mengatakan bahwa bagitada murka kepada kami, hendak
menangkap, memecat dan menghukum kami yang ikut pada
rombongan rakryan mahapatih ke Lumajang. A dakah kesemua
cara lisan itu dapat dipercaya ?"
"Betapa tidak, ki Samara!" seru A luyuda.
"Bagus, ki patih," sambut Panji Samara apabila secara lisan
ki patih mengatakan bahwa baginda murka kepada kami,
maka secara lisan pula saat ini kami mengatakan bahwa kami
tak percaya akan segala keterangan ki patih tadi! Karena
sejauh pengetahuan dan pengalamanku sebagai narapraja
selama berpuluh tahun, dalam peristiwa yang segawat macam
saat ini, tak mungkin baginda tak memberi surat kepercayaan
kepada ki patih ! " Aluyada agak gugup menghadapi pernyataan ki Panji
Samara yang tajam itu. Memang dalam hal itu, ia agak lalai
untuk memohon surat kekuasaan kepada baginda. Namun
patih yang licin bagai belut itu tak pernah kekeringan akal. Ia
tertawa mencemooh. "Seorang duta sang Nata tak dipercaya,
dihina, dicekik oleh sekelompok senopati yang sedang
terancam hukuman baginda. Amboi, betapakah murka baginda
apabila mendengar peristiwa ini."
"Patih Aluyuda, jangan menepuk dada bagaikan hanya
engkau seorang yang menjadi mentri kerajaan dan orang
kepercayaan baginda," teriak Panji Wiranagari, "bukankah di
sini masih hadir rakryan mahapatih Nambi, orang kedua yang
kekuasaannya hanya di bawah baginda " A dakah baginda mau
menelan mentah2 semua keteranganmu dan menghapus
begitu saja keterangan dari rakryan mahapatih" Hm, ki patih,
kami seluruh senopati yang sedang berada di Lumajang pasti
akan berdiri di belakang rakryan mahapatih untuk memberi
kesaksian yang sesungguhnya."
Patih Aluyuda tertawa mengejek "Kiranya walau pun masih
muda tetapi baginda sudah cukup dewasa untuk memegang
tampuk kerajaan. Mungkinkah baginda yang sedang murka itu
mau mendengar kesaksian dari para senopati yang
dianggapnya telah melalaikan tugas" Mungkinkah itu, ki Panji
Wiraragari" " "Mungkin atau tidak mungkin, bukan hak ki patih untuk
mengancam kami. Kami akan menghadap baginda!" seru ki
Panji Wiranagari. Aluyuda tertawa makin menggerincing. "Bagai anai2
menyerbu api atau ular menghampiri gebuk, ki Panji. Tahukah
tuan bagaimana nasib ra Jangkung yang diutus rakryan
mahapatih menghadap baginda itu?"
Sekalian senopati termasuk mahapatih Nambi terbeliak
"Bagaimana, ki patih?" seru mahapatih penuh cemas.
Patih Aluyuda mengisar tubuh menghadap mahapatih.
Dengan nada mulai tenang ia menjawab "Sesungguhnya
peristiwa ini merupakan rahasia. Namun mengingat rakryan
mahapatih yang menghendaki tahu, aku pun terpaksa harus
memberi keterargan. Ra Jangkung telah ditangkap dan
dijebluskan dalam penjara oleh baginda ........"
"Astaga! Apakah kesalahannya !" mahapatih makin kejut.
"Melalaikan kewajiban dan mempersiapkan pemberontakan," kata patih Aluyuda tenang dan secepat itu
pun siap siaga apabila akan terulang tindakan semacam yang
dilakukan Jaran Bangkal tadi. Dan apa yang dikuatirkannya
memang benar. Tumenggung Jaran Bangkal serentak hendak
loncat menerkam patih itu pula tetapi secepat itu tumenggung
Ikal ikalan Bang melintangkan tangan "Jangan bertindak
kurang tata terhadap utusan nata!"
Jaran Bangkal terhenti, menyalang pandang "Engkau
hendak membelanya, kakang Ikal-ikalan ?"
"Tidak, adi " sahut Ikal-ikalan Bang "aku hanya melakukan
tagas untuk melindungi duta sang Nata."
"Hm, kalau demikian kakang juga akan membantu tugasnya
untuk menangkap kami" "
"Hal itu tergantung pada keadaan nanti. Tetapi yang
penting aku harus melindungi keselamatan beliau," Ikal-ikalan
Bang memberi penegasan. "Hm " Jaran Bangkal hanya mendesuh. Ia berkawan baik
dengan tumenggung Ikal-ikalan Bang dan tahu pula akan
perangainya. Seorang senopati yang jujur dan taat pada
perintah. Ia pun dapat inenyadari sikap orang yang
menjalankan tugas. Akhirnya mahapatih Nambi berkata, "Lalu bagaimana
tindakan ki patih sekarang" Hendak menangkap para senopati
yang ikut aku ke mari" "
Patih Aluyuda tersipu menjawab "Akan kulaksanakan
perintah rakryan agar baginda jangan bermanja kemurkaan.
Demikian pun soal para senopati itu. Akan hamba serahkan
saja kepada baginda."
Ucapan patih itu membawa angin keredaan namun tak
mengurangkan kegelisahan hati para senopati. Dalam hati
masing2 memang merasa telah melalaikan tugas dan
peraturan. Tetapi mereka pun merasa bahwa ada fihak
tertentu yang hendak memancing di air, keruh. Dan fihak itu,
kemungkinan hanya dua yakni patih Aluyuda atau
Dharmaputera. Demikian malam itu setelah mempersilahkan patih Aluyuda
dan kedua tumenggung pengiringnya beristirahat, para
senopati pun berkumpul untuk merundingkan persoalan yang
mereka hadapi. Mereka menganggap keadaan amat gawat.
Salah langkah akan menjerumuskan mereka kearah
kebinasaan. Setelah lama berbincang-bincang, akhirnya
mereka memutuskan, apa dan bagaimana pun perkembangan
yang akan dihadapi, mereka tetap bersama sama. Terutama
apabila kepada rakryan mahapatih akan dijatuhkan suatu
hukuman yang tidak adil, mereka pun akan berdiri di belakang
mahapatih. Untuk menjernihkan tuduhan yang berbahaya itu,
mereka harus secepat mungkin membekuk biangkeladinya, si
culas yang mendalangi persoalan itu.
"Bagaimana kalau sebagian kita ikut pulang bersama
rombongan patih Aluyuda itu ?" tanya Panji Anengah.
"Jangan," cegah Mahisa Pengawal "jika kita terpisah pisah
Gerbang Siluman 1 Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15
^