Pencarian

Gajah Kencana 19

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 19


tentu lemah. Ingat nasib ra Jangkung. Baiklah kalau kita pergi
bersama dan kembali kepura kerajaan pun bersama."
"Dihukum bersama, bebas bersama!" seru Panji Wiranagari.
"Hidup bersama, mati bersama" sambut Jaran Bangkal
bersemangat. Demikian keputusan telah diambil dan bubar lah mereka
kembali ketempat peristirahatan masing2. Pada saat Jaran
Bangkal hampir terlelap tidur, tiba2 ia dikejutkan oleh deburan
pintu pelahan. Setelah pintu dibukakan ternyata Panji
Wiranagari yang muncul. Jaran Bangkal mempersilahkannya
masuk. "Adi Bangkal " bisik Panji Wiranagari "aku mempunyai kesan
bahwa kedatangan patih Aluyuda ini tentu akan membawa
akibat yang tak baik bagi kita. Kurasa dalam persoalan
baginda murka ini, aku cenderung menduga tentu patih itu
yang menjadi cumi2..."
"Benar, memang aku tak mempunyai kesan baik terhadap
patih itu, ki Panji " sahut Jaran Bangkal "lalu apakah yang
harus kita lakukan " "
Panji Wiranagari membisiki beberapa patah kata dan
tampak tumenggung Jaran Bangkal mengangguk-anggukkan
kepala. Setelah itu Panji Wiranagari pun minta diri.
Keesokan hari ketika mengantar keberangkatan utusan raja
pulang, patih Aluyuda sempat memperhatikan bahwa di antara
narapraja dan senopati yang melepas keberangkatan mereka,
hanya seorang yang tak tampak yakni tumenggung Jaran
Bangkal. Namun patih itu hanya mencatat di dalam hati.
Ternyata patih Aluyuda tidak langsung menuju ke utara
tetapi membiluk ke timur "Ki tumenggung sekalian, mari kita
meninjau Pejarakan. Kelompok senopati itu telah melatih
pasukan di Pajarakan. Dapat kita lihat nanti, bagaimana gerak
gerik mereka dan kita persembahkan laporan kepada
baginda." Tumenggung Ikal ikalan Bang dan tumenggung Jabung
Tarewes hanya menurut saja. Mereka dititahkan baginda
untuk mengawal keselamatan utusan raja mau ke mana pun
patih Aluyuda, mereka hanya menurut.
Pajarakan merupakan sebuah desa yang memiliki alam
yang cukup bagus untuk sebuah markas. Sekeliling penjuru
dilindungi oleh hutan dan hanya sebuah jalan yang menuju ke
desa itu. Di tengah desa, terdapat sebuah lapangan tanah
datar yang cukup luas. Ketika hampir masuk ke mulut desa,
mereka harus melalui sebuah gardu penjagaan.
"Hurdah !" teriak seorang dari dua orang lelaki yang
menjaga gardu itu "ke manakah tuan2 hendak pergi ?"
Melihat penjaga itu tak membekal senjata dan hanya
sebatang tongkat bambu, patih Aluyuda membentaknya "Hai,
jangan kurangtata ! Tahukah engkau siapa aku?"
"Setiap orang yang hendak masuk ke desa Pajarakan harus
dapat menunjukkan keterangan yang jelas !" sahut penjaga itu
tanpa mendengarkan ucapan patih Aluyuda.
"Mengapa" " tanya Aluyuda.
"Pajarakan adalah tempat penggemblengan calon prajurit
kerajaan. Tiada sembarang orang dapat masuk."
"Termasuk aku, patih A luyuda yang menjadi utusan baginda
untuk meninjau. Lumajang dan Pajarakan ini " " patih Aluyuda
menggeram. Penjaga itu terbeliak. Dipandangnya patih Aluyuda dan
kedua tumenggung lalu kelompok prajurit pengiring mereka.
Agak meragu tampaknya penjaga itu. Cepat ia berpaling
memandang kepada kawannya yang masih berada di dalam
gardu. Ia memberi isyarat anggukan kepala agar kawannya itu
ke luar "Rombongan utusan baginda berkunjung ke mari"
katanya setelah kawannya datang "apakah kita idinkan gusti
patih masuk ke markas ?"
Mendengar keterangan itu, kawannya seorang Idaki
bertubuh tinggi laesar, muka brewok dan dada berbulu lebat,
memandang ke arah rombongan patih Aluyuda. Kemudian
berkata kepada kawannya "Menilik pakaian kebesaran dan
romboagan prajurit pengiring, rombongan tetamu ini memang
para priagung. Tetapi mengapa ki tumenggung Panji
Wiranagari tak memberi perintah kepada kita akan tibanya
rombongan priagung ini ?"
Kawannya yang bertubuh lebih pendek, mengangguk.
"Benar, lalu bagaimana tindakan kita " "
"Ingat, Dhawala, betapa kerasnya ki tumenggung
memegang peraturan. Apabila kita melanggar, celaka lah
tentu," kata lelaki tinggi besar.
"Lalu " " tanya Dhawala.
"Baik, aku mempunyai akal sahut penjaga tinggi besar lalu
menghadap patih Aluyuda "Maaf, gusti patih, seharusnya
hamba persilahkan gusti masuk ke dalam desa. Tetapi hamba
takut akan peraturan yang diberikan ki tumenggung Panji
Wiranagari. Kami tentu dihukum berat apabila melanggar.
Oleh karena itu hamba mohon gusti patih suka menanti
sebentar. Hamba akan melaporkan kepada ki Panji di
Lumajang ..... " "Berhenti" hardik
Ikal-ikalan Bang seraya maju menghampiri "engkau buta, engkau tuli! Kami adalah
rombongan utusan baginda! Jangankan hanya masuk ke desa
ini, membakarnya kami pun mempunyai wewenang! "
Penjaga tinggi besar itu berhenti "Aku hanya mentaati
perintah. Tetap harus kulaporkan dulu," belum sempat ia
menyelesaikan kata-katanya, Ikal-ikalan Bang ajukan kuda dan
menghajar dengan cambuk, tar, tar ..... karena, tak
menyangka dan gerakan tumenggung Ikal ikalan Bang itu
dilakukan amat cepat sekali, tubuh penjaga tinggi besar itu
terdera campuk. Ia menjerit kesakitan dan berguling-guling di
tanah. Melihat itu kawannya hendak menolong, tetapi Ikal-ikalan
Bang pun menghantamnya dengan cambuk. Orang itu
menjerit lalu lari terbirit-birit ke dalam markas. Tak berapa
lama muncul lah beberapa belas lelaki muda menghunus
senjata. "Mengapa tuan2 melukai penjaga kami " seru seorang
yang mencekal sebatang pedang.
"Ho, lagakmu !" Ikal-ikalan Bang terjangkan kudanya
kearah mereka, mengayun cambuk, menghajar kian kemari.
Walau pun hanya bersenjata cambuk namun tumenggung
Ikal-ikalan Bang dapat menghajar mereka tercerai berai.
Tumenggung Ikal-ikalan Bang terlampau kuat bagi mereka,
walau pun mereka bersenjata tajam dan tumenggung itu
hanya bercambuk. Ada seorang dua orang yang lolos, cepat
memanggil bala bantuan. Kini tumenggung Ikal-ikalan Bang dikepung oleh dua tiga
puluh orang yang bersenjata tombak dan pedang. Masing2
diperlengkapi perisai untuk penjaga diri. Mereka tak sempat
bertanya siapa Ikal-ikalan Bang dan rombongannya itu. Yang
diketahui, rombongan tetamu itu menghajar kawan2 mereka
dan mereka hendak menghajar tetamu itu.
Patih Aluyuda dan tumenggung Jabung Tarawa, terkejut
ketika menyaksikan penyerang2 Ikal-ikalan Bang itu dapat
bergerak cepat dan rapi, tak ubah seperti sebuah barisan
prajurit yang terlatih. Patih Aluyuda cepat meminta tumenggung Jabung Tarewes
untuk memerintahkan prajurit2 pengiringnya membantu
kesibukan tumenggung Ikal-ikalan Bang. Pertempuran segera
terjadi antara orang2 Pajarakan lawan prajurit2 pengiring
utusan raja. Mereka saling menggunakau senjata sehingga
jatuh lah beberapa korban, terutama di fihak orang2
Pajarakan. Dua orang telah mati tertikam tombak dan
beberapa yang menderita luka parah.
Tiba2 terdengar derap kuda mencongklang pesat. Beberapa
kejab kemudian, kuda itu pun tiba dan penunggangnya
berayun tubuh loncat ke hadapan Ikal-ikalan Bang dan Jabung
Tarewes, "berhenti!" lebih dahulu ia membentak anakbuah
dari Pajarakan yang karena takut segera mengundurkan diri
"kakang Ikal-ikalan dan Jabung Tarewes, mengapa hal ini
terjadi ?" Ikal- ikalan Bang menghardik "Prajurit2 anakbuahmu berani
menghina utusan raja! Apakah itu perintahmu, Jaran Bangkal
?" Pendatang itu memang tumenggung Jaran Bangkal.
Mukanya kemerah merahan mendengar ucapan Ikal ikalan
Bang. Ia minta keterangan tentang duduk perkaranya.
"Gusti patih A luyuda hendak masuk ke dalam desa ini tetapi
penjaga gardu tak mengidinkan. Apakah itu bukan suatu
penghinaan kepada utusan raja" " seru Ikal-ikalan Bang.
"Bukan!" di luar persangkaan, Jaran Bangkal memberi
penegasan "mereka hanya menjalankan perintah. Bahwa
siapapun, apabila tak mendapat idin, dilarang masuk ke desa
Pajarakan ini." Ikal ikalan Bang mendesis "Ho, jadi engkau lah yang
memerintahkan mereka."
"Pajarakan bukan lagi sebuah desa biasa melainkan sudah
berganti seperti sebuah benteng pusat latihan prajurit yang
hendak kami persembahkan pada baginda."
Patih Aluyuda tertawa "Ah, bagaimana mungkin baginda
mau menerima persembahan prajurit semacam itu" Lihatlah,
dalam sekejab pertempuran saja mereka sudah rebah di
tanah. Beberapa belas anakbuahmu yang bersenjata lengkap,
dihajar rebah bangun oleh tumenggung Ikal-ikalan Bang
seorang diri." Jaran Bangkal melirik kearah dua orang anakbuah
Pajarakan yang binasa. Cepat ia alihkan pandang mata kepada
Ikal-ikalan Bang. "Kakang Ikal-ikalan, adakah engkau yang
membunuh mereka ?" Ikal-ikalan Bang mengiakan. Jaran Bangkal mendesuh
geram "Sayang, sayang seka!i ......"
"Mengapa" " tegur Ikal-ikalan Bang.
"Bila berhadapan dengan musuh dari luar, memang
kegagahan kakang itu, harus mendapat pujianku. Tetapi
mereka bukan lah lawan malainkan prajurit2 yang hendak
kucalonkan untuk memperkuat pasukan kerajaan. Apakah
tidak lebih dari pantas apabila kusayangkan tindakan kakang
tumenggung tadi?" "Aku tak membutuhkan engkau menyayangkan orang lain!"
seru tumenggung Ikal-ikalan Bang.
"Butuh atau tidak butuh, aku tetap menyayangkan
perbuatan kakang tadi. Pertama, kakang bermusuhan dengan
calon2 prajurit kerajaan sendiri. Kedua, sebagai seorang
senopati angkatan perang Majapahit, mengapa kakang tak
segan untuk bermusuhan dengan prajurit2 yang rendah !"
"Simpan dan tujukan lah rasa sesalmu kepada anak
buahmu sendiri mengapa begitu kurang tata terhadap utusan
nata " "Mereka kurang tata karena dipaksa oleh keadaan yang
engkau lakukan. Sekali pun mereka kurang tata, pun ada
hukumnya sendiri, tangkap dan adili. Adakah tindakan
rombongan kakang yang main menjadi hakim sendiri itu
benar" Kalau benar, bukan mereka yang layak menjadi lawan
kakang tetapi akulah !"
"Eh, Jaran Bangkal, jangan engkau menepuk
membanggakan bahwa dirimu yang paling jantan!"
dada "Aku minta tanggung jawabmu tentang kematian kedua
orang calon prajurit itu" seru Jaran Bangkal.
"Justeru engkau yang harus mempertanggung jawabkan
perbuatanmu!" balas Ikal-ikalan Bang.
"Engkau hendak menangkap aku, kakang Ikal-ikalan?"
Jaran Bangkal menatapnya tajam.
"Jaran Bangkal, secara peribadi kita bersahabat. Tetapi saat
ini aku menjalankan perintah. Jika engkau mau memandang
ikatan persahabatan kita, baik lah engkau menurut saja "
bujuk Ikal ikalan Bang. "Kakang Ikal-ikalan" sahut Jaran Bangkal "aku takkan
menyesalkan sikapmu sebagai seorang prajurit yang mentaati
perintah. Tetapi hendaknya kakang pun jangan sesalkan diriku
yang membela kebenaran dan mempertahankan hak
kebebasanku. Aku tak mau ikut dengan rombongan ki patih
tetapi aku bersama rombongan senopati yang berada di
Lumajang akan bersama-sama menghadap baginda."
Ikal-ikalan Bang tak dapat mengambil keputusan sendiri. Ia
berpaling kearah patih Aluyuda dengan pandang meminta
jawaban. Patih Aluyuda tetap pada pendiriannya. Saat itulah
yang terbaik untuk menangkap Jaran Bangkal karena
tumenggung itu hanya seorang diri. Aluyuda masih belum
dapat melupakan tindakan kasar dari Jaran Bangkal yang telah
mencekik leher bajunya kemarin. "Ki tumenggung, tangkap lah
dia. Aku yang akan mempertanggung jawabkan segala
sesuatu kepada baginda !"
Ikal ikalan Bang seorang senopati yang amat patuh pada
perintah atasannya. Salah atau benar, ia tak mau
menghiraukan, pokok ia menjalankan tugas "Jaran Bangkal,
karena engkau menolak, terpaksa aku harus menindakmu.
Bersiap lah !" Jaran Bangkal menimang. Ikal-ikalan Bang seorang senopati
yang digdaya tetapi tak berotak, menurut perintah dengan
membabi buta. Jabung Tarewes seorang yang tak suka
bergaul, lebih banyak mementingkan diri sendiri. Apabila satu
lawan satu, ia masih mampu melawan, Tetapi apabila kedua
tumenggung itu maju mengeroyok, mungkin sukar
menghadapi mereka, Satu satunya jalan untuk mengatasi
suasana saat itu hanya lah apabila ia dapat menangkap patih
Aluyuda dan memaksa kedua tumenggung itu pergi. Kemudian
ia bersama-sama para senopati di Lumajang dapat mengiring
patih itu kembali ke pura kerajaan menghadap baginda.
Setelah menemukan keputusan, cepat pula Jaran Bangkal
melaksanakannya. Sebelum Jabung Tarewes sempat
melakukan suatu gerakan, Jaran Bangkal sudah melompat ke
tempat patih Aluyuda dan secepat kilat menerkamnya. Saat itu
patih Aluyuda masih berada di atas kuda. Gerakan Jaran
Bangkal itu tak pernah diduganya sama sekali. Untung lah ia
seorang patih yang cerdik licin. Dan karena sifatnya suka
mencelakai orang maka ia pun amat berhati-hati menjaga diri,
takut dicelakai orang. Pengalaman pahit dicekik leher bajunya
di pendapa Lumajang, membuatnya lebih waspada terhadap


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaran Bangkal. Selama berlangsung perbantahan tadi, ia pun
sudah siapkan sebatang pedang. Maka walau pun gugup
menghadapi sergapan Jaran Bangkal namun ia masih sempat
berpikir dan mengayunkan pedangnya menabas tangan
tumenggung itu "Matilah ! "
Karena menumpahkan seluruh pikiran dan tenaga untuk
menangkap Aluyuda, Jaran Bangkal amat terkejut sekali ketika
mengetahui sambutan yang ganas dari patih itu. Kedua
tangannya yang menyongsong ke muka itu tak boleh tidak
tentu akan kutung. Untung ia seorang senopati prajurit yang
kenyang berkecimpung dalam medan laga. Dalam menghadapi
bahaya itu, ia masih dapat mencari jalan menyelamatkan diri.
Cepat ia mengendap diri jongkok ke bawah. Ketika berdiri pula
ternyata kuda Aluyuda sudah membawa tuannya bergerak
maju beberapa depa jauhnya.
Jaran Bangkal menggeram. Ia tak boleh melepaskan
kesempatan saat itu atau ia sendiri yang akan menderita
ditangkap lawan. Setelah mengumpulkan tenaga maka
berayun lah tubuhnya malayang ke arah kuda. Ia hendak
hinggap di belakang patih itu dan meringkusnya. Tetapi
alangkah kejutnya ketika dua sosok tubuh dari arah kanan dan
kiri serempak menerjangnya. Terpaksa ia gerakkan kedua
tangan untuk menangkis pukulan mereka, krak krak ... Jaran
Bangkal menyeringai menahan rasa sakit pada tulang
tangannya akibat dari adu benturan pukulan itu.
"Engkau membela patih Aluyuda?" teriaknya menggeram
pandang ke arah kedua penghadang yang tak lain
tumenggung Ikal-ikalan Bang dan tumenggung Jabung
Tarewes. "Aku menjalankan tugas!" sahut Ikal-ikalan Bang. Dan
Jabung Tarewes pun berseru menyuruh Jaran Bangkal
menyerah. Tumenggung Jaran Bangkal tertawa mengerontang. "Aneh,
mengapa kakang berdua tak kenal watak Jaran Bangkal" Aku
hanya menyerah apabila sudah menjadi mayat !"
"Tumenggung Ikal-ikalan Bang dan tumenggung Jabung
Tarewes, harap membuang waktu dan serempak saja saudara
berdua meringkus tumenggung pemberontak itu! " tiba2 patih
Aluyuda berseru. Dia sudah mengamankan diri di tengah
prajurit2 pengiring yang menghunus senjata.
"Hm, terpaksa aku harus bertindak, Jaran Bangkal gumam
Ikal-ikalan Bang seraya mengambil sikap. Demikian pun
Jabung Tarewes. "Silahkan" sambut Jaran Bangkal mengimbangi sikap orang.
Serangan pertama dibuka oleh tumenggung Ikal-ikalan Bang
dengan mendaratkan tinju ke dada orang. Sementara
tumenggung Jabung Tarewes pun menerkam dari samping.
Rupanya ia hendak mencengkam tubuh Jaran Bangkal. Tetapi
senopati itu cukup waspada. Terhadap Ikal-ikalan ia masih
agak sungkan karena bersahabat. Tetapi kepada Jabung
Tarewes, ia bersikap lebih galak. Menyurut setengah langkah
menghindari pukulan Ikal-ikalan, Jaran Bangkal berputar diri
kebelakang Jabung Tarewes lalu cepat menghunjamkan
pukulan ke punggung lawan itu.
"Hm " Jabung Tarewes mendengus seraya loncat ke muka
sehingga pukulan Jaran Bangkal hanya menimpa angin.
Sebelum sempat ia menarik pukulannya, Ikal-ikalan Bang pun
sudah menerjang. Pada saat Jaran Bangkal dapat menyingkir,
tumenggung Jabung Tarewes pun sudah menyambut dengan
tendangan kearah lambung.
Demikian pertempuran berlangsung amat seru. Ketiganya
sederajat, baik usia, pangkat, jabatan dan ilmu
kepandaiannya. Menghadapi dua orang lawan, walau pun tak
dapat mengalahkan tetapi Jaran Bangkal pun sukar
ditundukkan. Sampai beberapa waktu, belum juga
pertempuran itu selesai. Melihat itu timbul lah rasa curiga
dalam hati patih Aluyuda, jangan2 kedua tumenggung
pengawalnya itu main gila dengan lawan "prajurit2, hayo,
bantu lah menangkap pemberontak itu! "
Enam orang prajurit bertubuh kekar, serentak maju
mengepung Jaran Bangkal. Mereka membatasi gerak
tumenggung itu dengan pagar pedang dan tombak teracung
ke muka. Dalam keadaan seperti itu, betapa pun gagah Jaran
Bangkal namun karena hanya seorang diri akhirnya ia
kewalahan. Keringat mencurah sederas hujan sehingga
tenaganya pun makin lama makin habis. Melihat pimpinannya
terkepung, beberapa anakbuah Pajarakan maju menyerbu
tetapi mereka cepat dihadang oleh sisa prajurit yang tak ikut
menyerang Jaran Bangkal. Dering gemerincing dari senjata tajam seling berdetak,
dengan hardik, erang rintihan kesakitan yang tertahan,
menjadikan suasana tempat itu benar2 menyerupai sebuah
medan peperangan kecil. Hanya karena prajurit2 Majapahit
pengiring patih Aluyuda itu jauh lebih terlatih dan
berpengalaman maka dalam beberapa jenak, rombongan
orang Pajarakan terdesak dan tercerai berai dalam keadaan
pontang panting. Demikian pula dengan tumenggung Jaran
Bangkal yang tampak sudah kehabisan tenaga. Namun
senopati itu benar2 seorang berwatak keras. Baginya, lebih
baik mati daripada menyerah. Dalam sebuah kesempatan,
karena mengira Jaran Bangkal sudah kehabisan tenaga maka
tumenggung Jabung Tarewes maju hendak menerkamnya.
Krak, dub ........ tiba2 Jaran Bangkal menyiak tangan
tumenggung itu dan dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya
ia menyodokkan kedua tangannya ke dada Jabung Tarewes.
Sodokan itu tepat mengenai dada sehingga Jabung Tarewes
terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang dan rubuh
ketanah. Tetapi sementara itu Jaran Bangkal pun tegak
berdiam. Kedua matanya memejam. "Menyerah lah," tiba2
keenam prajurit itu maju menyongsongkan ujung tombak dan
pedang ketubuh Jaran Bangkal dan tampaknya senopati itu
tak memberi perlawanan. "Ikat kencang2! " teriak patih Aluyuda seolah-olah merasa
gentar berhadapan dengan seekor harimau. Seorang prajurit
segera maju hendak mengikat tubuh Jaran Bangkal,
"Tahan !" sekonyoug konyong terdengar suara teriakan
yang melantang dan serempak muncul lah seorang lelaki. dari
balik gerumbul ditepi jalan. Patih Aluyuda dan rombongannya
tersentak kaget, Mereka mendapatkan pendatang itu seorang
lelaki muda berwajah tampan dan mengenakan pakaian
brahmana yang sudah kotor dan kumal.
"Siapa engkau," tegur tumenggung Ikal - ikalan Bang,
Namun brahmana muda itu tak mengacuhkan.
"Hayo, kalian monyingkir, jangan mengganggu orang itu !"
serunya kepada keenam prajurit yang memagar senjata pada
tubuh Jaran Bangkal. Dan karena melihat keenam prajurit itu
tak cepat mengindahkan perintahnya, brahmana muda itu pun
maju menghampiri, "Berhenti" bentak tumenggung Ikal-ikalan Bang dengan
marah karena merasa tak dipandang mata oleh brahmana
muda itu. Ia rentang kedua tangan untuk menghadang jalan
brahmana muda, Namun tanpa menjawab, brahmana muda
itu menyelinap kesamping dan tetap hendak menghampiri
ketempat Jaran Bangkal. Ikal-ikalan Bang makin marah.
Loncat pula kehadapan brahmana dan lintangkan kedua
tangannya. Brahmana muda itu tetap tak mengacuhkan.
Kakinya tetap melangkah maju dan tiba2 ia ulurkan tangan
kanan mencekal siku lengan Ikal-ikalan Bang lalu didorongkan
kesamping. Sekalian prajurit terbelalak dan benar2 merasa heran
mengapa semudah itu sampai mereka didorong kesamping
oleh brahmana muda. Bahkan tampak pula betapa kerut
wajah Ikal-ikalan Bang menahan kesakitan. Memang yang
mengalami lebih jelas daripada yang melihat. Ketika suatu
lengannya dicengkeram brahmana seketika Ikal-ikalan Bang
merasa tulang lengannya seperti patah, tenaganya lemas
lunglai. Ia tak kuasa mempertahankan keseimbangan tubuh
ketika didorong brahmana aneh itu. Bahkan sesaat brahmana
itu maju mendekati keenam prajurit, Ikal-ikalan Bang pun
masih tertegun. Serempak empat orang prajurit berputar
tubuh menghadap ke arah brahmana itu sedang yang dua
masih tetap menjaga Jaran Bangkal.
Sambil menyongsongkan tombak dan pedang, keempat
prajurit itu memerintahkan brahmana berhenti tetapi
brahmana itu bahkan membentak mereka "Menyingkir lah !"
"Siapa engkau brahmana !" seru salah seorang prajurit
dengan hati gentar. Sikap brahmana yang sedemikian tenang
dan dapat mendorong tumenggung Ikal-ikalan Bang
kesamping, membuat hati mereka berdebar2 keras.
"Menyingkir!" seru
pertanyaan orang. brahmana itu tanpa menyahut "Mengapa ?" masih prajurit itu mengulur kesabaran tetapi
pada hakekatnya hendak memperpanjang waktu agar
tumenggung Ikal-ikalan Bang
Tarewes sempat datang. atau tumenggung Jabung "Aku tak suka melihat kecurangan!" kali ini brahmana mau
bicara agak panjang. Prajurit kerutkan dahi "Curang" Siapakah yang kau anggap
curang ?" "Engkau dan seseorang !" keempat belas kawanmu, mengerubut "Dia seorang pemberontak dan kami adalah rombongan
prajurit yang mengiring gusti patih Aluyuda ke Lumajang! "
Tiba2 brahmana itu meregang dahi, merentang kelopak
mata dan menyalang bola mata "Patih Aluyuda " Mana patih
itu ?" "Itulah, yang dikawal empat prajurit ! "
Brahmana itu menurutkan arah yang ditunjuk prajurit lalu
mendesis, "Hm, patih Aluyuda Aluyuda ...." Setelah tegak
merenung, sejenak kemudian ia ayunkan
langkah menghampiri patih Aluyuda. Aluyuda cepat memerintahkan
keempat pengawalnya bersiap, sedang ia sendiri pun
mencekal tangkai pedangnya. "Siapakah tuan brahmana ini ?"
tegur A luyuda dengan nada seramah mungkin.
"Engkau Aluyuda, patih
menjawab dengan pertanyaan.
Majapahit itu?" brahmana "Benar " patih A luyuda mengangguk.
Brahmana itu mendesuh "Hm, kenalkan engkau akan Rara
Sindura ?" "0, wanita cantik dari daerah Mandana yang melarikan diri
dari keraton sehingga baginda murka dan memberi hukuman
pada orang2 Mandana ?"
"Hm, jelas memang si Aluyuda," guman brahmana itu,
"bukankah engkau yang menganjurkan raja supaya memikat
wanita itu ?" "Baginda bukan anak kecil. Wanita cantik memang menjadi
kegemarannya." "Wanita itu sudah bersuami. Dengan tipu siasat hina,
engkau mengajarkan baginda bagaimana cara untuk
menceraikan wanita itu dari suaminya. Untuk wanita itu setya,
lebih baik mati daripada menuruti kehendak raja. Puaskah
engkau sekarang hai, manusia berhati serigala ?"
Patih Aluyuda terkesiap lalu membelalakkan mata,
"Siapakah engkau hai, brahmana" Berani berani benar engkau
menghina seorang patih" Dan engkau seorang brahmana,
mengapa pula engkau membicarakan seorang wanita "
Apakah hubungan dengan wanita itu ?"
"Hm, betapa lah tinggi kedudukan seorang patih bagi
seorang brahmana " Bukan tinggi rendah kedudukan maka
seseorang mendapat hinaan tetapi dari tingkah perbuatannya.
Dan bagai seorang brahaman, pantang lah mengatakan yang
Hitam itu Putih, Aluyuda itu seorang manusia baik !"
Merah lah wajah Aluyuda menerima dampratan bertubi2
dari brahmana itu. Keagungannya sebagai seorang patih
kerajaan tersinggung dan serentak menghambur cerca.
"Engkau seorang brahmana cabul, gemar pada wanita cantik!"
"GAJAH KENCANA membela kebenaran bukan orangnya!"
Kejut patih Aluyuda seperti digigit ular "Engkau warga
Gajah Kencana ... ... !"
"Setiap manusia, ksatrya dan insan yang merasa dirinya
sebagai putera Majapahit adalah warga Gajah Kencana!"
"Aku juga rakyat Majapahit! " seru Aluyuda.
"Benar, memang seorang pengkhianat pun rakyat Majapahit
tetapi bukan seorang putera utama negara, bukan pula warga
Gajah Kencana." "Persetan Gajah Kencana ! Tangkap brahmana gila itu!"
teriak patih Aluyuda memberi perintah dan keempat prajurit
pengawalnya pun serempak menyerang. Seorang prajurit yang
menyerang paling dulu cepat disambut dengan penghindaran
yang targkas dan dengan sebuah gerakan yang tak didugaduga, brahmana itu dapat menebas tangan prajurit,
mendorongnya ke belakang dan merebut tombaknya. Ketiga
prajurit yang hendak menolong kawannya, pun mendapat
sambutan hangat dari brahmana itu. Ketiga prajurit itu
menderita tangannya terpukul batang tombak sehingga
senjata mereka terlepas. Anehnya brahmana itu tak mau
melukai, cukup hanya memukul jatuh senjata ketiga lawannya.
"Aluyuda, jangan lari engkau!" brahmana itu cepat berputar
tubuh demi melihat patih Aluyuda memutar kuda dan
melarikannya. Brahmana lompat memburu.
"Jangan mengumbar keganasan brahmana! " tumenggung
Ikal-ikalan Bang cepat loncat menghadang "patih Aluyuda
adalah utusan raja. Berani mengganggunya sama dengan
menghina baginda!"

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak perlu menghormat raja yang tidak benar! Bersiap
lah kalau engkau hendak membelanya."
Ikal-ikalan Bang mendengus "sejak tadi aku memang sudah
siap untuk melucuti kedok seorang Gajah kencana palsu!"
"Palsu" " brahmana mengerut kening.
"Warga Gajah Kencana yang aseli pantang memakai
senjata".." Tring ........ . kata Ikal-ikalan Bang itu segera
bersambut. Brahmana lontarkan tombak ke udara dan
meluncur masuk ke dalam gerumbul pohon "Benar, senjata
warga Gajah Kencana bukan pedang atau tombak tapi jiwa
raganya. Hayo, maju lah sekarang!"
Ikal-ikalan Bang membuka serangan dengan cepat dan
deras. Ia tak memberi kesempatan lagi lawan berpapas.
Meninju, menebas, menampar, menyepak, mengait dan
menyapu dengan kaki, susul menyusul dilancarkan dengan
gerak serba deras dan keras. Dalam hal berkelahi dengan
tangan kosong, tumenggung itu memang amat mahir sekali.
Tampak brahmana itu terkejut, agak bingung dan terus
menerus menghindar mundur sehingga pada akhirnya jalan
pengundurannya itu terhalang oleh segunduk batu besar.
Dalam keadaan yang tak memungkinkan mundur lagi,
sekonyong-konyong brahmana itu menjulurkan tangan kiri ke
muka mengangkat kepal tangan kanan ke atas kepala dan
diantar sebuah gemboran keras, tangan kanannya diayunkan
ke arah lawan. "Rajah Kalacakra ! " tiba2 Ikal-ikalan Bang berteriak kaget
seraya silangkan kedua tangan melindungi dada. Dess .....
tumenggung itu terlempar beberapa langkah ke belakang,
membentur pohon dan rubuh.
Brahmana tak menghiraukan bagaimana keadaan Ikalikalan Bang dan Jabung Tarewes yang masih duduk di tanah
pejamkan mata. Ia berputar tubuh ke arah Jaran Bangkal.
Melihat bagaimana brahmana itu merubuhkan tumenggung
Ikal-ikalan Bang, keenam prajurit yang mengepung Jaran
Bangkal itu pun serempak berhamburan melarikan diri
menyusul patih Aluyuda. Brahmana tak mau mempedulikan
mereka. Langsung is berhenti di hadapan Jaran Bangkal yang
saat itu sudah membuka mata "Terima kasih ki brahmana.
Mohon tanya siapakah nama tuan yang mulia" "
Sejenak bersangsi, brahmana itu menjawab "Anuraga"
Setelah mengucap terima kasih pula, Jaran Bangkal berkata
"Bagaimana dengan kedua tumenggung itu?"
"Biarkan saja," sahut Anuraga ringkas.
"Tidakkah tuan bunuh mereka ?"
"Yang kukehendaki Aluyuda.
menjalankan kewajibannya."
Mereka hanya alat Karena menerima pertolongan dan tertarik akan peribadi
brahmana muda itu, Jaran Bangkal mengundangnya ke
Lumajang Rakryan mahapatih Nambi tentu akan gembira
sekali menerima kunjungan tuan."
Tiba2 wajah brahmana itu menyuram, "Siapa" Mahapatih
Nambi?" "Benar, gusti mahapatih berada di Lumajang."
"Engkau orang sebawahannya?" tanya brahmana Anuraga
dan ketika Jaran Bangkal mengiakan, tiba2 brahmana itu
menghardiknya "Enyah engkau!"
Jaran Bangkal terbeliak "Ki brahmana"..," baru mengucap
dua patah kata, brahmana pun membentaknya "Engkau
dengar tidak, enyah lah dari sini!"
"Tetapi ki brahmana ".."
Tiba2 brahmana itu menghantam Jaran Bangkal "Enyah lah
engkau .... !" 0ooodwooo0 JILID 15 I JARAN BANGKAL terperanjat. Ia hendak menghindar tetapi
merasa tiada berkesempatan lagi. Ia merasa telah ditolong
brahmana itu dari kerubutan prajurit-prajurit pengiring patih
Aluyudi. Namun iapun menyadari akan kesaktian brahmana
muda yang dengan mudah merubuhkan Ikal-ikalan Bang,
seorang senopati yang terkenal digdaya.
Jaran Bangkal tak dapat memikir berkepanjangan lagi
karena saat itu tinju brahmana sudah melayang ke mukanya.
Akhirnya ia memutuskan, membela diri dahulu dari bahaya
kemudian baru ia memberi penjelasan, bila perlu meminta
maaf. Krak ..... Ketika Jaran Bangkal mengangkat tangan kanan melindungi
mukanya, terjadilah benturan keras dengan pukulan
brahmana. Tumenggung Jaran Bangkal terkejut sekali ketika
menerima pukulan. Serasa ia menerima sebuah hantaman
palu besi yang bukan melainkan membuat tulang tangan
serasa patah, pun kekuatan pukulan itu teramat dahsyatnya
sehingga tumenggung Jaran Bangkal tergempur keseimbangan tubuhnya dan terdorong mundur selangkah.
Beberapa anakbuah Pajarakan serentak loncat kemuka
untuk membantu pimpinannya tetapi secepat itu dicegah Jaran
Bangkal "Jangan! Dia
mengalah ..." telah menolong aku, kita wajib "Aneh, tadi dia menolong tuan, mengapa sekarang
menyerang?" seorang anakbuah Pajarakan menyatakan
keheranannya. "Entah, aku sendiri juga heran," jawab Jaran Bangkal
setengah bersungut. Dipandangnya brahmana muda pula,
serunya, "Ki brahmana ".."
"Kalau engkau masih tak mau enyah dari hadapanku,
engkau tentu menderita lebih parah," brahmana itu menukas
dan mengangkat tangan ke atas dan dikepalkan.
Jaran Bangkal tak berdaya menghadapi brahmana itu.
Sikapnya yang aneh dan kesaktiannya yang menonjol,
menyebabkan Jaran Bangkal kehilangan akal untuk
menghadapinya. Akhirnya terpaksa ia menurut, mengajak
anakbuah Pajarakan masuk ke dalam markas.
"Hm, Nambi, manusia yang telah menyebabkan ayahku
gugur di medan pertempuran" brahmana itu menyeringai,
"apabila aku masih tetap sebagai Kuda Anjampiani, bukan
sebagai Anuraga, mereka tentu sudah kuhajar?"?"
Sajenak menenangkan diri untuk menguasai nafsu amarah
yang bergolak dalam batinnya, brahmana muda itupun
ayunkan langkah. Pada saat melalui di sisi tumenggung Ikalikalan Bang, ia berhenti dan memandang sejenak.
"Engkau hendak membunuh aku?" tiba-tiba tumenggang
Ikal ikalan Bang menegur "silahkan."
Anuraga mendesuh, seorang pembunuh!" "aku seorang brahmana, "Lalu apa maksudmu?" tanya Ikal-ikalan Bang.
bukan "Tidak banyak" kata brahmana Anuraga, "cukup engkau
sampaikan pada patih Aluyuda bahwa apabila dia tak lekas
kembali ke jalan yang terang, dia pasti akan mengalami
kematian yang mengerikan."
"Engkau hendak membunuhnya?" seru Ikal-ikalan Bang
pula. "Brahma yang mencipta, Wisma memelihara dan Syiwa
yang memusnahkan. Kehidupan itu sudah sempurna. Dan
setiap insan akan mendapat bagian menurut amal dharma dan
tingkah ulahnya!" sambil berkata brahmana itu ayunkan
langkah melanjutkan perjalanan.
"Brahmana ....... !" teriak tumenggung Ikal-ikalan Bang. Ia
tertarik akan ucap dan sikap brahmana muda itu. Masih ingin
ia bercakap dengannya namun sampai berulang kali
meneriaki, brahmana itu tetap tak mengacuhkan dan
beberapa saat kemudian lenyap di antara bayangan gerumbul
pohon. Brahmana Anuraga mengembara dari desa ke desa,
melintasi hutan belantara, menjelajah gunung dan lembah
untuk mencari titisan Rara Sindura. Ia membiarkan dirinya
terbawa oleh ayun langkahnya dan keinginan sang mata.
Apabila malam tiba, iapun beristitahat di tempat manapun jua
ia berada. Di bawah pohon, dalam candi, di guha atau di alam
terbuka beralas permadani rumput hijau dan berselambu
langit biru dengan lampu alam sang rembulan yang kadang
terang kadang suram. Dalam alunan dendang tonggeret dan
cengkerik, hatinya merana jauh di alam renungan dan
kenangan, impian dan kenyataan. Di dalam kesepian dan
kesunyian itulah apabila ia selesai bercengkerama dalam
taman impian, maka ia teringat untuk menjalankan ilmu
semedhi. Dengan demikian makin meningkatlah tata semedhi
yang dimiliki sehingga ia dapat memgendalikan, menyalurkan
hawa dan tenaga-murni ke arah bagian tubuh yang
dikehendakinya. Itulah sebabnya maka tumenggung Ikalikalan Bang tak kuat beradu kekuatan tangan dengannya. Ilmu
pukulan Rajah Kalacakra, makin dahsyat.
Mengembara tanpa suatu tujuan, telah menyatukan diri
brahmana itu dengan kehidupan alam dan membajakan
jasmaninya dengan ketahanan yang kokoh terhadap ganguan
unsur-unsur alam. 0odwo0 Suasana dalam pendapa gedung milik mendiang rakryan
Pranataja, malam itu terasa amat tenang. 0rang orang yang
tengah berkumpul dan bermusyawarah dalam pendapa itu
terasa panas seperti dijerang bara walaupun pendapa itu
cukup luas dan terbuka dan kala itupun sudah menginjak
muslin penghujan di bulan Bhadrapada.
Rakryan mahapatih Nambi yang duduk di sebuah kursi
bersalut cat emas, tampak mengerut dahi dalam-dalam.
"Sungguh aneh di balik aneh," gumamnya "mengapa
kunjunganku ke Lumajang untuk merawat ayahku yang sakit
ini, telah menimbulkan peristiwa yang begini gawat dan
berbahaya?" "Hm, siapa lagi kalau bukan ulah tingkah Aluyuda yang
menebarkan fitnah kepada baginda" seru tumengguug Jaran
Bangkal. "Karena engkau cekik leher bajunya di hadapan banyak
orang maka patih Aluyuda tentu sangat marah dan
mendendam kepada kita," seru rakryan Pamandana setengah
menyesali tindakan senopati yang berangasan itu.
Jaran Bangkal cepat membela diri, "Jika tak mendengar
ucapannya yang kegila-gilaan itu akupun takkan bertindak
begitu. Tetapi kucekik atau tidak, sama halnya. Patih itu tetap
akan melaksanakan rencananya yang jahat untuk memfitnah
kita." "Bukan kita tetapi rakyan mahapatih lah yang menjadi
tujuan utama," tiba-tiba terdengar ra Semi membuka suara
sehingga sekalian hadirin curahkan pandang ke arahnya. Dan
mahapatih Nambi pun bertanya, "Berdasarkan hal apakah
maka ra Semi mengatakan demikian?"
Ra Semi tertawa datar, "Ah, kiranya bukan suatu rahasia
lagi bahwa dalam pura kerajaan terdapat beberapa golongan,
masing-masing mempunyai tujuan serta kepentingan. Sejak
baginda Jayanagara naik tahta, suasana dalam pura kerajaan
bak sekam dalam api, di luar tampak tenang, di dalam
membara. Bara yang bersumber nafsu manusiawi, gila
pangkat temaha kekayaan, tamak kekuasaan."
Anggauta Dharmaputera itu berhenti sejenak untuk
mengatur kata, "Apabila kita renungkan pada serentetan
peristiwa yang telah lampau dimana para kadehan rahyang
ramuhun baginda Kertarajasa telah berontak, kemudian kita
hubungkan dengan peristiwa yang kita hadapi saat ini,
tentulah kita akan menemukan suatu mata rantai. Dan apabila
kita menyusur ke hulu, akan bertemulah kita pada tangan
yang, merangkai rantai itu"..."
"Aluyuda!" serentak berteriaklah senopati Jaran Bangkal
memberi pernyataan. Sejenak ra Semi mengeliarkan sudut mata kepada senopati
itu, kemudian berkata pula, "Menilai sesuatu atau seseorang,
hendaknya jangan terpengaruh oleh benda atau orang itu
tetapi pada keadaan nilai benda itu atau amal perbuatan orang
itu. Mengapa ki Bangkal cepat memastikan bahwa pembentuk
mata rantai itu patih A luyuda" Mengapa andika tidak menuduh
Dharmaputera dari fihak ra Kuti, atau dari fihak rakryan
mahapatih Nambi atau dari fihak mereka yang menyebut
dirinya Gajah Kencana atau dari baginda sendiri?"
Bahwa pertanyaan yang dilontarkan ra Semi tentang
Dharmaputera, tidaklah menarik perhatian sekalian orang.
Tidak pula fihak rakryan Nambi karena jelas bahwa saat itu
golongan rakryan mahapatih sedang teracam bahaya. Tetapi
pernyataan ra Semi tentang rombongan Gajah Kencana,
terlebih pula baginda Jayanagara sendiri, itulah yang
menyengat perhatian sekalian narapraja dan senopati yang
sedang bermusyawarah saat itu.
"Siapakah yang tuan maksudkan dengan persekutuan Gajah
Kencana itu ?" tanya Panji Wiranagari.
Jawab ra Semi, "Naiflah kiranya kalau tuan tak pernah
mendengar tentang persekutuan Gajah Kencana itu. Mereka
adalah putera-putera dari para senopati dan mentri-mentri
yang pernah ikut berjuang bersama raden Wijaya mendirikan
kerajaan Majapahit" "Misalnya seperti Kebo Taruna putera dari Kebo Anabrang
itu?" seru Jaran Bangkal.
"Bukan" sahut ra Semi, "orang hanya dapat meraba-raba
tetapi tak tahu jelas siapa dan berapakah gerangan anggautaanggauta Gajah Kencana itu. Mereka menyebut dirinya
sebagai manggala atau gajah yang dibawa perang dari
Majapahit. Mereka tak diketahui tetapi terasa pengaruhnya
dalam membela kepentingan kerajaan Majapahit."
"Tentulah mereka memusuhi patih Aluyuda juga," kata
Jaran Bangkal pula. "Setiap orang yang merugikan kepentingan kerajaan adalah
musuh mereka. Entah dia berpangkat patih, mentri, entah
pangeran bahkan raja sendiripun akan ditentang apabila
merugikan kerajaan Majapahit."


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu mengapa tuan menyebut pula diri baginda?" kali ini
Panji Anengah yang meminta keterangan.
"Seperti tuan-tuan tentu ingat bagaimana pernyataan
baginda Jayanagara pada saat dinobatkan sebagai raja
Majapahit kala itu. Baginda dengan tegas menyatakan bahwa
dalam memegang tampuk pimpinan kerajaan Majapahit, beliau
akan bertindak lain dengan rahyang ramuhun ayahanda
baginda. Jika rahyang ramuhun raja Kertarajasa dalam
menjalankan pimpinan negara menggunakan cara gitik rasa,
adalah baginda Jayanagara akan menggunakan cara gitik
pentung. Baginda akan bertindak dengan tangan besi
terhadap mereka yang menentang dan bersalah. Nah, dari titik
inilah mari pemikiran kita mulai bertolak. Walaupun masih
muda tetapi baginda cerdas dan tegas. Tentulah baginda
merasa bahwa di dalam pura Wilwa tikta terdapat beberapa
golongan yang tak menyukai diri baginda. Dan tentu pula
baginda dapat menilai bahwa golongan-golongan penentang
itu kebanyakan adalah mentri-mentri tua dan senopatisenopati bekas kadehan rahyan ramuhun ayahandanya. Oleh
karena itu bukan mustahil apabila baginda menggunakan
siasat untuk mencari kesalahan pada mentri-mentri tua dan
senopati-senopati itu agar mempunyai alasan untuk
membersihkan mereka."
Terdengar desah desuh dari sekalian hadirin mendengar
kupasan ra Semi. Suatu hal yang baru tentu menimbulkan
berbagai tanggapan. Bagai orang yang berwatak seperti Jaran
Bangkal, tentu hal itu cepat bersemayam dalam hati. Ucapan
ra Semi itu tentu segera mendapat tempat dalam ruang hati
mereka. Tetapi bagi mentri-mentri tua seperti mahapatih
Nambi, Pamandana, belum dapat menelannya bulat- bulat.
"Mungkinkah baginda akan bertindak sedemikian terhadap
para kadehan dari ramuhun baginda Kertarajasa?"demikian
keraguan mereka. "Ra Semi," akhirnya rakryan Pamandana meluperasaan
hatinya, "Rangga Lawe memberontak karena mempunyai
alasan tak puas atas pengangkatan rakryan Nambi sebagai
mahapatih. Lembu Sora memberontak karena didesak dalam
keadaan terpaksa dengan tuduhan telah membunuh Kebo
Anabrang. Juru Demung, Gajah Biru memberontak karena
dianggap hendak membela Lembu Sora. Tetapi dengan alasan
apakah baginda hendak menempatkan rakryan mahapatih
Nambi dalam tuduhan memberontak itu?"
Ra Semi tak gugup menerima pertanyaan itu. Rupanya ia
sudah sedia jawaban. "Rakryan Pamandana mengapa tuan
lupa akan peristiwa Mandana yang belum berselang lama itu"
Dan mengapa pula tuan tak tahu akan kegemaran baginda
Jayanagara" Walaupun kegagalan baginda untuk mempersunting jelita Rara Sindura telah ditumpahkan pada
rakyat Mandana, namun baginda masih mendendam rasa tak
puas terhadap rakryan mahapatih Nambi."
"Bagaimana tuan tahu hal itu, ra Semi ?" tanya Pamandana.
"Ah, rakryan Pamandana," ra Semi tersenyum, "mengapa
pelupa benar tuan ini " Bukankah aku ini salah seorang dari
Dharmaputera, tempat penampung curahan isi hati baginda
Jayanagara " Anehkah kalau aku tahu akan perasaan hati
baginda terhadap rakryan mahapatih Nambi ?"
Yang bertanya rakryan Pamandana tetapi yang menghela
napas rakryan mahapatih Nambi. Helaan napas dari berbagai
macam perasaan seorang mentri tua yang merasa sudah
berpuluh tahun mengabdi kepada kerajaan tetapi akhirnya
harus mengalami nasib seperti saat itu, "Ah, apabila hal itu
benar, Nambi hanya paserah kepada ketentuan Hyang
Jagadnata." "Rakryan mahapatih, mengapa tuan cepat berputus asa
lekas menyerah nasib ?" tegur Panji Wiranagari yang serupa
wataknya dengan Jaran Bangkal.
"Adi Wiranagari, Nambi hanya seorang kawula. Hitam sabda
baginda, tak mungkin Nambi membantah putih."
"Tetapi Kebenaran dan Keadilan tak mengenal kawula dan
gusti" seru Panji Wiranagari.
"Benar, gusti mahapatih. Runtuh sekalipun langit yang
menaungi kita, namun Keadilan harus tetap ditegakkan," seru
Jaran Bangkal dengan suara melantang.
"Seperti yang ra Semi ucapkan tadi, menilai seseorang
janganlah terpengaruh oleh orang itu tetapi oleh amal
perbuatannya. Maka janganlah kita menilai bahwa yang kita
hadapi itu baginda Jayanagara, raja Majapahit tetapi
tindakannya yang kurang adil itu." Panji Anengah yang
biasanya selalu tenang, saat itu meluap juga isi hatinya.
Mahapatih Nambi memberi isyarat tangan agar sekalian
orang tenang. "Soal ini soal yang maha gawat. Hati boleh
panas tetapi kepala harus tetap dingin. Sekali salah langkah
hapuslah nama kita dari sejarah pembentukan negara
Majapahit." Suasana diam seketika namun hati para mentri nayaka yang
berada di pendapa, berdetak detak bagai alu2 lonceng. Betapa
tidak. Mereka saat itu sedang menghadapi suatu keadaan
yang maha gawat. Menurut laporan yang diterima oleh
mahapatih Nambi, baginda Jayanagara telah mengirim sebuah
pasukan untuk menggempur Lumajang dan menangkap
mahapatih serta para mentri senopati dengan tuduhan
memberontak. "Siapakah di antara adi sekalian yang mengetahui gerakan
pasukan kerajaan itu ?" tanya mahapatih Nambi.
"Menurut laporan anakbuah kita, pasukan kerajaan dipecah
menjadi tiga untuk menyerang Pajarakan, Ganding dan
Lumajang. Tentang siapa yang memimpin barisan itu,
anakbuah kita tak mengenal namanya." Panji Wiranagari
raemberi keterangan. Mahapatih Nambi terkesiap lalu termenung diam. Pikirannya
masih tercengkam dalam keheranan, keraguan dan
kegelisahan. Heran mengapa baginda sampai bertindak
sedemikian rupa untuk mengirim pasukan. Ragu karena
sebagai seorang mentri yang berkedudukan tinggi sebagai
amangkubhumi, kesetyaannya mengalami ujian yang berat.
Dan gelisah pula, karena peristiwa yang dthadapinya saat itu,
apabila salah urus, tentu akan menimbulkan malapttaka yang
hebat. Karena sampai sekian lama belum juga mahapatih Nambi
mengeluarkan pernyataan, maka rakryan Pamandana terpaksa
membuka suara, "Rakryan mahapatih dan sekalian kawan2
mentri senopati. Betapa pahit dan menjengkelkan namun
peristiwa yang kita hadapi saat ini adalah suatu kenyataan.
Dan kenyataan itu meminta tanggapan kita untuk bertindak.
Hanya dua jalan yang dapat kita tempuh. Pertama, menyerah
dan kedua membela diri."
Pernyataan rakryan Pamandana sebagai seorang mentri tua
itu cepat berkesan di bilik hati setiap orang. Maka berserulah
ra Semi lebih dahulu, "Menyerah jelas menuju ke arah
kebinasaan. Karena dengan tindakan mengirim pasukan ke
Lumajang ini, jelaslah bahwa baginda sudah percaya penuh
pada hasutan patih Aluyuda. Jalan yang terbaik hanyalah cara
kedua." "Melawan?" rakryan Pamandana menegas. Bukan, sekedar
membela diri mempertahankan hidup," sahut ra Semi.
"Ra Semi," tiba-tiba Mahisa Pawagal membuka suara, "tuan
adalah anggauta Dharmaputera yang menjadi kepercayaan
baginda. Bukankah kehadiran tuan ke mari ini diketahui oleh
Dharmaputera" Mengapa mereka tak bertindak untuk
melindungi tuan?" "Itulah apa sebabnya maka kukatakan bahwa baginda
benar2 sudah terbius oleh mulut manis si Aluyuda. Oleh
karena itu aku setuju akan cara kedua."
Senopati Jaran Bangkal pun segera memberi dukungan,
"Setuju! Jikalau menyerah kita pasti dibunuh. Bukan karena
aku takut mati, tetapi mati karena menderita fitnah, adalah
mati penasaran." "Apakah tiada dapat ditempuh jalan ketiga?" tiba-tiba patih
Emban yang selama ini tak pernah menyatakan apa2, saat itu
ikut berbicara. "Jalan ketiga bagaimana yang ki patih maksudkan?" rakryan
Pamandana mengalih Pandang ke arah patih itu.
"Berunding baginda." secara damai dan mohon keadilan pada "Usang!" teriak ra Semi. "tak mungkin baginda berkenan
memberi keadilan lagi. Tindakan mengirim pasukan kerajaan
itu harus dianggap sebagai pelaksana dari keputusan baginda
untuk menghukum kita."
Mahapatih Nambi diam2 terkejut dan memperhatikan sikap
ra Semi. Timbul pertanyaan dalam hati mahapatih mengapa
sekeras itu sikap ra Semi" Mengapa pula sedemikian
bersitegangnya ra Semi hendak melawan pasukan kerajaan"
Ia faham siapa dan betapa sepak terjang golongan
Dharmaputera itu. Tak mungkin ra Semi bertindak tanpa
tujuan. Bahkan kehadirannya di Lumajang itu sesungguhnya
sudah menimbulkan pertanyaan. Hanya karena dalam
kedudukan sebagai tuan rumah maka mahapatih tetap
bersikap ramah kepadanya. Tetapi apakah sesungguhnya
dibalik pernyataan ra Semi itu " Demikian mahapatih Nambi
mulai bertanya-tanya dalam hati.
Tiba-tiba Pamandana menghadap ke arahnya. "Kakang
patih," serunya agak sarat, "sekalian mentri narapraja dan
senopati yang berada di Lumajang, telah bulat pada pendirian
bahwa dalam menghadapi pasukan Majapahit itu, kita
terpaksa harus membela diri. Namun keputusan terakhir, kami
serahkan kepada kakang mahapatih."
Mahapatih Nambi mengatur napas, kemudian berkata,
"Peristiwa itu memang amat menyedihkan. Menurut
wawasanku, peristiwa ini tidak berdiri sendiri melainkan
digerakkan oleh suatu golongan yang hendak menjatuhkan
mentri-mentri dan senopati-senopati tua, terutama diriku. Oleh
karena itu, pandangan kita janganlah tercurah pada peristiwa
ini melainkan pada sebab musababnya, pada biang-keladinya.
Antara penyebab dan biangkeladi itu tentu dari seseorang atau
segolongan. Baginda Jayanagara yang masih muda itu,
hanyalah sebagai pelaksana dari usaha mereka. Oleh
karenanya yang kita hadapi itu bukan bukan baginda
melainkan orang yang bersembunyi di balik kekuasaan
baginda. Yang jelas, orang itu adalah patih Aluyuda. Dia
bernafiu sekali untuk merebut kedudukanku. Tetapi di
samping dia, tak boleh diabaikan adanya lain2 golongan yang
bertujuan serupa." Mahapatih Nambi berhenti sejenak lalu melanjutkan pula
"Apabila sudah menjadi pendirian sekalian saudara yang
berada disini, untuk mempertahan diri, aku pun tak keberatan.
Tetapi saudara2 harus mentaati permintaanku."
Sekalian hadirin terkesiap. Serempak mereka memberi
pernyataan sanggup mentaati.
"Pertama, tanamkan kesadaran di dalam hati saudara,
bahwa pasukan Majapahit yang kita hadapi itu bukan musuh
tetapi kawan sebangsa dan setanah air. Hindarilah
pertumpahan darah dan perlakukanlah mereka sebagai kawan
apabila mereka tertangkap dan tertawan. Kedua, yang kita
hadapi bukanlah baginda Jayanagara tetapi patih Aluyuda oleh
karena itu bhakti pengabdian kita sebagai narapraja terhadap
raja harus tetap terpelihara penuh. Adakah saudara2 dapat
melterima ini?" Sekalian hadirin serempak memberi persetujuan. "Sekali
lagi kutegaskan, bahwa perlawanan kita ini bukan suatu
kraman tetapi hanya sebagai membela diri. Apabila kita
berhenti menangkap biang keladinya, kita akan menghadap ke
bawah duli baginda dan mohon keputusan," demikian terakhir
kalinya mahapatih Nambi memberi nada tekanan pada
keputusannya. Atas pertnintaan sekalian hadirin maka tampuk pimpinan
barisan diserahkan kepada mahapatih Nambi sendiri.
"Kita pecah juga barisan kita menjadi tiga kelompok," kata
mahapatih Nambi "kelompok pertama, bertahan di Lumajang
di bawah pimpinanku, Mahisa Pawagat, ra Semi dan ra Teguh.
Kelompok kedua bertahan di Pajarakan, dipimpin rakryan
Pamandana dan senopati Panji Anengah, Panji Wiranagari,
patih Emban. Kelompok ketika menjaga Ganding, dipimpin
Panji Samara dan senopati Jaran Bangkal, Lasem. Jangan
bertindak grusa.grusu tetapi turutilah perintah pimpinan.
Hindari pertumpahan darah."
Demikian setelah membagi pasukan dan tugas, berangkatlah para narapraja dan senopati itu ke tempat yang
telah ditunjuk mahapatih.
Ganding merupakan pos terdepan dari Lumajang. Dengan
mengerahkan kaum muda yang sedia membela daerahnya
maka disusunlah sebuah pertahanan yang cukup ketat.
Pasukan Majapahit yang menyerang Ganding itu ternyata
dipimpin oleh senopati Jaran Lejong. Seorang senopati yang
bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, kumis lebat, alis tebal
dan sepasang mata yang besar bundar menyeruyai mata
harimau. Dia benar-benar merupakan suatu lambang
keperkasaan dari seorang prajurit tetapi kurang memahami
ilmu gelar barisan. Dalam menyerang Ganding itu, langsung
saja ia memimpin barisannya untuk berhadapan secara
terang-terangan. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia
mendapatkan desa itu kosong. Tak seorangpun yang
dijumpainya, Dalam keadaan seperti saat itu, kesadaran
pikirannyapun mulai timbul dan serentak ia berseru kepada
seorang lurah prajurit yang menjadi tangan kanannya,
"Celaka, Talang Brabala, rupanya kita terjebak dalam
perangkap musuh." Bekel Talang Brahala agaknya pun menyadari keadaan yang
dihadapinya. "Benar, ki Tumenggung, kita terkurung musuh."
Tepat pada saat bekel Talang Brahala berkata, dari empat
penjuru terdengar bunyi kentungan dipukul riuh rendah bagai
gemuruh ribuan ekor kuda berpacu dalam medan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran. Mendengar itu tumenggung Jaran Lejong pun
segera perintah anak barisannya untuk bersiap-siap.
"Hai, kaum pemberontak, keluarlah untuk menyerah. Bila
kalian membangkang, desa ini akan kujadikan karang abang"
teriak Jaran Lejong mengguntur.
Sebagai jawaban terdengarlah sebuah suara tertawa
nyaring dari arah timur. "Ki tumenggung Jaran Lejong,
selamat datang kedesa Ganding !" serentak muncullah Jaran
Bangkal diiring berpuluh lasykar bersenjata tombak.
"0, engkau tumenggung Jaran Bangkal" seru Jaran Lejong
seraya berputar diri kesebelah timur.
"Dan akupun menghaturkan selamat, datang juga
kepadamu, senopati Majapahit !" tiba-tiba dari arah barat
terdengar seseorang berseru lantang.
Jaran Lejong terperanjat dan berputar pula kebarat. "Ah, ki
patih Lasem, engkau juga menggabung diri pada pemberontak
?" "Jaran Lejong, engkau hendak menangkap kami?"
sekonyong-konyong pula dari arah jalan masuk ke desa
terdengar seorang lelaki muncul bersama berpuluh-puluh
lasykar bersenjata anakpanah.
"Ki Panji Samara!" seraya berputararah, Jaran Lejong
berteriak agak kejut. "Engkau juga .......?"
"Ki Lejong, pasukanmu sudah terkurung dari tiga penjuru.
Apabila engkau tetap tak mau berdamai, silahkan engkau
berjalan terus ke muka. Tetapi jalanan di muka merupakan
sebuah lembah yang curam," tukas Panji Samara.
"Senopati Majapahit tak kenal menyerah kecuali sudah
menjadi bangkai!" sahut Jaran Lejong dengan angkuh.
"Bodoh!" teriak Parji Samara, "seorang senopati yang
sesungguhnya, bukan hanya mengandal kegagahan dan
keberanian semata-mata tetapi harus mengerti akan ilmu
barisan. Barisan yang mengurung engkau ini disebut gelar
Supit Urang. Pada umumnya, Supit Urang tentu akan
menghancurkan musuh yang sudah terjepit di tengah
kepungannya." Jaran Lejong terkejut tetapi sebelum sempat ia bicara, patih
Lasem pun mendahului, "Ki tumenggung, mengapa engkau
tak mau menyerah" Menyerah bukan dalam arti kata engkau
kalah kepada musuh tetapi berdamai kepada kawan sendiri."
"Memang benar, Jaran Lejong," seru Panji Samara pula,
"kita adalah kawan sendiri, mengapa harus saling bunuh
membunuh?" "Aku menjalankan titah narpati untuk membasmi kaum
pemberontak," seru Jaran Lejong.
Kali ini Jaran Bangkal yang bicara, "Jaran Lejong, engkau
anggap kami ini pemberontak" Sudahkah engkau jelas akan
persoalannya?" "Aku dititahkan baginda untuk menangkap kalau perlu
untuk lenyapkan kaum pemberontak. Bukan untuk berunding
atau mendengarkan penjelasan kalian."
"Hm, engkau keras kepala, Jaran Lejong," seru Panji
Samara. "Jaran Lejong, rupanya engkau menganggap dirimu itu
paling digdaya?" teriak Jaran Bangkal.
"Bahasa seorang prajurit kepada musuh hanyalah
membunuh atau dibunuh," sambut Jaran Lejong. Jaran
Bangkal merah mukanya, "jika demikian mari lah kita bicara
dengan bahasa yang engkau mengerti itu."
"Bagus, ki Bangkal, apa yang kudengar kata orang bahwa
engkau seorang senopati yang beiwatak jujur, ternyata
memang benar. Marilah, ki Bangkal, kita adu kerasnya pukulan
atau tajamnya senjata. Kalau ternyata engkau lebih sakti, aku
tentu akan menyerah dengan rela."
Demikian kedua senopati itu segera terlibat dalam baku
hantam yang seru. Mereka tak menggunakan senjata
melainkan dengan pukulan tangan. Keduanya sama digdaya
dan berimbang. Hanya bagi Jaran Bangkal, memang terasa
lebih berat. Ia harus mentaati pesan mahapatih Nambi agar
menghindari pertumpahan darah. Tetapi karena terpancang
oleh larangan itu, ia tak leluasa mengembangkan pukulannya
sehingga berbalik terdesak oleh lawan.
Jaran Bangkal sibuk berpikir mencari daya. Tanpa
menggunakan pukulan keras, tak mungkin ia dapat
menjatuhkan lawan. Akhirnya ia menemukan juga akal itu,
serunya, "Ki Jaran Lejong, berhentilah dulu sebentar" iapun
terus loncat mundur. "Apa kehendakmu?" tegur Jaran Lejong.
"Bertempur dengan adu kerasnya pukulan, rupanya takkan
memberi hasil. Bagaimana kalau kita bertempur dengan
menggunakan senjata di atas kuda?"
"Bagus!" sahut Jaran Lejong
seraya melangkah menghampiri kudanya dan loncat ke punggung kuda. Ia
mencabut pedang kangkam yang terselip pada pelana kuda.
Dalam pada itu Jaran Bangkal pun sudah siap berada di
atas seekor kuda hitam dan menghunus sebatang tombak.
Jaran Lejong ajukan kudanya untuk menyerang. Tetapi Jaran
Bangkal tak mau menyambut melainkan kisarkan kudanya
menghindar ke samping. Jaran Lejong makin bernafsu. Ia
kejarkan kudanya dan ayunkan pedang ke kepala lawan.
Tring, kali ini Jaran Bangkal songsongkan ujung tombak
menusuk mata pedang lawan. Benturan itu amat keras
sehingga pedang tergetar menyibak hampir condong ke
bawah dan tangan Jaran Lejong pun terasa lunglai karena
tenaganya merana. Ia menahan napas, kerahkan sisa tenaga
untuk menjaga jangan sampai pedang jatuh ke tanah.
Pada saat senopati Majapahit itu berjuang untuk
mempertahankan kehormatannya, tiba-tiba kudanya meringkik
keras, meronta dan melonjak kuat2. Kedua kaki depannya
ditekuk dan mencakar-cakar ke udara se-olah2 hendak
mendaki langit. Hampir Jaran Lejong terperosok ke belakang
pantat kuda apabila ia tak cepat mengencangkan kedua
kakinya menjepit perut kuda dan tangan kirinya menekan
kuat2 kendali. Dengan tindakan itu barhasillah ia
mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Cret ".. tiba-tiba terdengar ujung senjata menusuk daging
dan serempak pada saat itu, kuda jaran Lejong meringkik
nyaring. Kedua kaki depan yang diangkat tinggi2 ke ataspun
tak sempat diturunkan lagi tetapi terus menghunjam ke muka
membawa penunggangnya melompat sampai beberapa
tombak jatuhnya. Suatu lompatan yang luar biasa sehingga
rombongan anakbuah pimpinan Panji Samara terperanjat
menghindar kesamping. Bahkan Jaran Lejong sendiripun baru
pertama kali itu melihat kemampuan luar biasa dari kudanya.
"Jangan mengejar !" teriak Jaran Bangkal demi melihat
rombongan anakbuah Panji Samara hendak bergerak. Panji
Samara pun dapat menanggapi maksud tumenggung Jaran
Bangkal membiarkan lawannya itu. Kini Panji Samara
memimpin anakbuahnya maju menghampiri barisan prajurit
Majapahit. Ia memberi isyarat agar anakbuahnya bersiap
dengan merentang busur. Demikian pula dengan rombongan
anakbuah patih Lasem yang berpacak baris dengan tombak
diangkat. Jaran Bangkal dengan barisan tombak pun menutup
mata rantai pengepungan barisan Majapahit.
Bekel prajurit Talang Brahala mencabut pedang. Tindakan
itu diikuti oleh segenap anak barisan Majapahit. Rupanya bekel
prajurit Majapahit siap hendak melakukan pertempuran
berdarah. Perawakan yang tegap dengan dada berhias bulu
rambut lebat, melambangkan parwujutan dari seorang
prajurit. yang keras dan perkasa.
"Talang Brahala, engkau lupa kepadaku?" tegur Panji
Samara dengan nada bersahabat.
"Tidak ki Panji, mataku belum rabun, ingatanku belum
tumpul," sahut Talang Brahala.
"Engkau bermaksud hendak bertempur?"
"Ki Panji, aku seorang prajurit yang menjalankan titah raja."
Panji Samara mengangguk. "Benar, memang demikian
seorang prajurit. Tetapi tahukah engkau, mengapa dititahkan
menyerang kami ?" "Menangkap kaum pemberontak."
"Dan engkau percaya kalau aku dan kawan2 yang
menyertai rombongan rakryan mahapatih Nambi ke Lumajang
itu hendak memberontak?"
"Ki Panji, telah kukatakan tadi, aku seorang prajurit yang
hanya dibenarkan untuk melaksanakan perintah negara dan
tak berwewenang menganut kepercayaan peribadi."
Panji Samara tertawa "Engkau sekeras kepala senopatimu
Jaran Lejong. Namun senopatimu sudah terpukul dan lari,
adakah engkau masih bermaksud hendak melawan?"
"Kalah menang dalam peperangan, sudah jamak. Senopati
Jaran Lejong kabur, masih ada Talang Brahala. Talang Brahala
gugur masih ada prajurit yang akan menggantikan sampai
prajarit yang terakhir."
"Talang Brahala, engkau lebih sombong dari senopatimu,"
teriak tumenggung Jaran Bangkal yang sudah tak dapat
menahan kesabarannya lagi. Panji Samara berpaling
memandangnya, memberi isyarat supaya Jaran Bangkal
jangan bertindak dulu. Kemudian ia berpaling pula ke arah
Talang Brahala, "Talang Brahala, rupanya engkau tentu
mempunyai lambaran yang hebat untuk menopang
keangkuhanmu. Dan menilik perawakanmu yang tegap
perkasa, engkau tentu memiliki tenaga yang amat kuat. Mari
ki bakel, kita main2 sekedar untuk menguji tenaga kita."
Bekel prajurit Brahala terkesiap. Sebelum ia sempat
menduga apa yang dikehendaki lawan, Panji Samarapun
meminta sebatang busur dan anakpanah kepada anakbuahnya. Setelah anakpanah direntang pada busur,
berkatalah ia, "Talang Brahala, lihatlah pada puncak pohon
rasamala itu, sebuah sarang semut. Mau kupanah ujung
sarang yang menggelantung pada tangkai pohon ....." ia
menutup ucapannya dengan melepas tali busur. Anakpanah
membubung ke atas puncak pohon dan tepat menyambar
tangkai penggantung sarang. Sarangpun melayang jatuh ke
bawah. Kemudian Panji Samara meminta sebatang anakpanah dari
anakbuahnya lalu busur berikut anakpanah itu dilontarkan
kehadapan Talang Brahala, "Ki bekel, cobalah ingin kami
saksikan kepandaianmu dalam ilmu memanah. Pilihlah mana
sasaran yang engkau kehendaki."
Sejenak Talang Brahala memandang busur dan anakpanah
lalu mengangkat muka kearah PanjiSamara pula, "Ki Panji,
maaf, aku tak biasa menggunakan anakpanah ....."
"Ho, rupanya engkau mengagulkan tenagamu yang kuat
bukan ?" tegur tumenggung Jaran Bangkal serentak dengan
tiba-tiba. Ia menyambar sebatang tombak dari anakbuahnya
lalu dilontarkan ke muka Talang Brahala, serunya, "Talang
Brahala, berikanlah aku sebatang tombak"
Talang Brahala tak mengerti tujuan orang namun dilakukan juga permintaan itu. Setelah menyambuti tombak maka Jaran Bangkal lalu tegak berdiam diri. Diam2 ia kerahkan tenaga lalu, mulai
menekuk ujung tombak dengan kedua tangannya. Setelah ujung tombak melingkar, ia menekuknya bagian tengah dari batang
tombak lalu pada tangkai.
Dengan disaksikan berpuluh
puluh pasang mata dari prajurit Majapahit dan anakbuah lasykar Pajarakan,
tumenggung Jaran Bangkal telah menekuk-nekuk tombak sehingga dari bentuk lurus
menjadi besi yang melingkar naik turun macam ular melingkar.
"Talang Brahala, terimalah tombakmu ini dan kembalikanlah
seperti bentuknya semula. Atau tekuklah tombakku itu juga,"
serunya seraya melemparkan tombak yang sudah ditekuktekuk itu ke hadapan bekek Brahala.
Bekel prajurit Majapahit itu merah padam mukanya. Ia
mengaku bahwa tak mungkin mampu menandingi kekuatan
tumenggung itu. Namun wajahnya tetap membesi,
memancarkan tekad yang keras untuk pantang menyerah.
Rupanya keadaan bekel itu dapat diketahui Panji Samara. "Ki
bekel, engkau harus mau menyadari keadaanmu. Pertama
barisanmu kalah besar jumlahnya dengan anakbuah Ganding.
Kedua, anakbuah rombonganku ini juru panah yang hebat
semua. Ketiga, tumenggung Jaran Bangkal memiliki tenaga
sekuat banteng, adakah engkau sanggup membendung
amukannya" Maka dengarlah anjuranku, ki bekel. Engkau
harus menyerah kepada kami ......."
Talang Brahala tertawa meloroh, "Menyerah " Ho,
bukankah pertempuran belum dimulai " Mengapa aku harus
menyerah?" Paiji Samara menjawab tenang, "Ketahuilah ki bekel, ini
bukan suatu pertempuran bukan pula peperangan. Menyerah
bukan berarti engkau dan barisanmu menjadi orang tawanan.
Tidak, ki bekel. Menyerah hanyalah untuk menghentikan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertumpahan darah yang tak berguna. Peristiwa ini terjadi
karena salah faham. Kami tak sekali-kali berniat hendak
memberontak pada baginda."
"Hm, aku hanya manjalankan tugas," desuh bekel Brahala
pula. Panji Samara tertawa datar, "Baiklah kalau engkau malu
menyerah, silahkan engkau bawa anak buahmu tinggalkan
desa ini. Jangan kuatir, kami takkan mengganggumu," seru
Panji Samara demi melihat bekel ini rentangkan kedua
matanya. Sekalipun sudah mendapat jaminan namun tampak Talang
Brahala masih bersangsi. "Talang Brahala, engkau dengar atau
tidak ucapan ki Panji Samara tadi?" Jaran Bangkal berteriak
menggeram. "terus terang kami tak ada selera untuk
bertempur melawan anak barisan. Lekas bawa mereka pergi!"
Talang Brahala menghargai sikap jujur dari kedua
tumenggung yang dikenalnya itu. Memang diam2 ia mengakui
bahwa yang dinyatakan Panji Samara itu benar. Yang penting
ia harus menyelamatkan jiwa anakbuahnya untuk menggabung diri dengan senopati Jaran Lejong lagi. Lain hal,
baik ia serahkan pada senopati yang mengambil keputusan.
"Baiklah ki Panji, sampai jumpa pula dan mudah-mudahan aku
dapat membalas kebaikan tuan."
Panji Samara, Jaran Bangkal dan patih Lasem serta segenap
lasykar Ganding, mengantar kepergian pasukan Majapahit itu
dengan pandang mata yang bersih dari dendam permusuhan.
Desa Ganding selamat dari pertumpahan darah. Mereka
masuk ke dalam desa untuk mengatur dan memperkuat
ponjagaan lagi. Karena mereka percaya kerajaan tentu takkan
sudah dengan kegagalan kali itu.
Apa yang terjadi di desa Ganding, tidaklah terlaksana di
Pajarakan. Pasukan Majapahit yang menyerang desa itu
dipimpin oleh tumenggung Ikal ikalan Bang dengan
membawahi dua orang senopati perkasa, demang Kuda
Kunengkung dan Kebo Segara. Ikal-ikalan Bang pandai
mengatur barisan, mahir merencanakan siasat. Setelah
memberi pesan rahasia kepada kedua pembantunya itu, ia lalu
memimpin sebuah barisan menuju ke mulut desa. Agak
terkejut ia dibuatnya ketika mendapatkan keadaan desa itu
sunyi tenang tiada, menampakkan suatu persiapan apa2. Dan
sebagai dahulu ia pernah mengalami, ketika sampai di gardu
penjagaan, dua orang lelaki penjaga gardu muncul
menyambut kedatangannya. "Wahai, tuan kembali ke desa ini
lagi" Adakah tuan sudah sembuh dari luka tempo hari?"
Ikal ikalan Bang merah mukanya, "Tutup mulutmu,
pemberontak!" bentaknya menggeram, "lekas laporkan kepada
pemimpinmu supaya ke luar menyerah kepadaku. Kalau berani
membangkang, desa ini akan kuratakan dengan tanah!"
Penjaga gardu itu mengiakan dan lari ke dalam desa. Tak
berapa lama muncul pula, "Tuan dipersilahkan masuk. Kami
yang diperintah membawa tuan dan rombongan para tetamu
masuk ke dalam." Tumenggung Ikal ikalan Bang kerutkan dahi. Timbul rasa
keheranan hatinya. Tak mungkin orang Pajarakan tak
mengetahui tentang kedatangan pasukan Majapahit. Apabila
mereka tak mengadakan persiapan bukan berarti mereka
benar2 menyerah. Tentu ada sesuatu di balik penyambutan
yang dingin itu. "Apakah mereka hendak menyiasati aku?"pikir
Ikal ikalan Bang lebih lanjut, "siasat atau bukan, yang penting
aku harus berlaku hati-hati. Bila aku tak berani masuk, mereka
tentu menertawakan. Hm, baiklah, ingin juga kuketahui
siapakah yang bertahan di Pajarakan ini."
Ikal-ikalan Bang menyusun barisannya serapi mungkin lalu
ikut pada penjaga gardu masuk ke dalam desa. Ia terkejut
ketika melihat keadaan dalam desa itu. Sebuah bangunan
beratap rumbia yang mirip dengan pesanggrahan telah
didirikan di tepi sebuah lapangan. Dalam bangsal
pesanggrahan itu terdapat beberapa buah kursi. Tiga
diantaranya terisi tiga orang lelaki yang duduk menghadap
sebuah meja. Tumenggung Ikal-ikalan terkejut pula. Ia cepat
mengenali ketiga orang itu sebagai rakryan Pamandana yang
sudah tua, Panji Anengah dan Panji Wiranagari. Tetapi
mengapa mereka hanya bertiga" Kemanakah gerangan orang2
mereka yang telah dilatih sebagai prajurit itu"
"Hm, tentu ada udang dibalik batu" gumam Ikal-ikalan Bang
dalam hati pada saat ia tiba dimuka bangsal pesanggrahan itu.
"0, selamat datang ki tumenggung Ikal-ikalan Bang" serempak
rakryan Pamandana dan Panji Anengah serta Panji Wiranagari
berbangkit menyambut. "Mari, silahkan duduk."
Ikal-ikalan Bang tertegun sejenak lalu menyahut, "Adakah
rakryan Pamandana dan ki Panji berdua maklum akan maksud
kedatangan kami?" "Bukankah ki tumenggung hendak meninjau keadaan
Pajarakan sini ?" sahut rakryan Pamandana tenang.
Sejenak Ikal-ikalan Bang menatap rakryan tua itu tajam2
lalu berkata, "Rakryan Pamandana, kedatangan kami ke
Pajarakan adalah untuk membawa tuan-tuan ke pura kerajaan
....." "0, akan menangkap kami?" walaupun bernada heran tetapi
wajah rakryan Pamandana tak menampilkan kerut keheranan.
"Siapakah yang memberi perintah, baginda atau ki patih
Aluyuda ?" "Titah raja!" "Apa sebab kami hendak ditangkap?"
"Memberontak ?"
"Amboi ! Fitnah yang keji. Kalau berniat memberontak,
mengapa tak kami lakukan pada jaman adipati Rangga Lawe
memberontak, tidak pula ketika rakryan demung Lembu Sora,
Juru Demung dan gajah biru"."
Penyahutan rakryan Pamandana itu menyumbat mulut Ikalikalan bang sehingga tak dapat menjawab kecuali mendesuh
dan menampilkan dalih. "Hm, soal itu kelak rakryan dapat
menghaturkan kehadapan diri baginda. Bukankah rakryan
bersedia ikut aku ke pura kerajaan?"
Pamandana bertanya, "Sebelum kunyatakan bersedia atau
tidak, lebih dahulu ingin kuminta penegasan darimu, ki
tumenggung." "Dalam soal apa ?"
"Engkau hendak membawa kami ke pura kerajaan itu dalam
kedudukan sebagai apa " Sebagai tawanan atau orang
tangkapan atau sebagai narapraja yang bebas dari segala
tuduhan ?" Ikal-ikalan Bang tak cepat menjawab. Ia menimang dalam
hati. Ia tahu rakrvan tua dan kedua panji itu tentu menolak
dibawa sebagai tawanan maupun orang tangkapan. Akhirnya
ia ingin menjajagi kehendak orang, "Andai rakryan dan ki panji
berdua sebagai narapraja yang bebas, bersediakan tuan kami
bawa pulang ke pura kerajaan ?"
Pamandana tertawa kecil. Ia dapat menyelami apa yang
terselinap dibalik ucapan tumenggung itu. "Kami bersedia
tetapi ki tumenggung harus dapat memberi jaminan akan
kebebasan kedudukan kami itu."
"Bagaimana cara jaminan yang rakryan kehendaki?"
"Ki Tumenggung terpaksa akan kami minta menetap di sini.
Apa yang akan kami terima di pura kerajaan, akan ki
tumenggung alami juga di sini."
"Apabila tuan dihukum mati?"
"Engkaupun akan dihukum mati oleh rakyat Pajarakan,"
sahut Pamandana. "Hm" desuh Ikal-ikalan Bang, "bagaimana kalau kubawa
rakryan dalam kedudukan sebagai tawanan atau orang
tangkapan" Bukankah rakryan akan menolak"."
"Engkau sudah dapat menjawab sendiri, ki tumenggung,"
kata Pamandana "tawanan adalah mereka yang dikalahkan
dalam peperangan. Pada hal kami merasa tak berperang
kepada kerajaan yang kami abdi hampir setengah umur kami.
Dan orang tangkapan adalah mereka yang melakukan
kejahatan. Pada hal kami tak merasa melakukan kejahatan
suatu apa." Ikal-ikalan Bang memberontak!" cepat menukas, "Tuan dianggap "Siapa yang menganggap begitu?"
"Baginda, raja Jayanagara."
"Bukan baginda, karena baginda tak tahu jelas akan
persoalannya, tetapi patih Aluyuda."
"Maka ikutlah kami ke pura kerajaan dan rakryan dapat
mengadukan hal itu ke hadapan duli baginda," bujuk Ikal
ikalan Bang. "Baik" sahut Pamandana, "asal ki tumenggung mau tinggal
di Pajarakan sini." Karena pembicaraan itu pergi datang akhirnya menemui
jalan buntu, akhirnya tumenggung Ikal-ikalan Bang berseru
nyaring, "Sudahlah, kita tutup pembicaraan itu sampai di sini.
Aku dititahkan kemari untuk menangkap tuan-tuan, bukan
antuk berunding. Nah, sekarang silahkan tuan-tuan pilih.
Menyerah atau melawan!"
"Menyerah enggan, melawanpun pantang" tiba-tiba Panji
Anengah ikut buka suara. "Lalu bagaimana yang ki Panji kehendaki?"
"Apabila ki tumenggung memaksa, terpaksa kami pun
hendak membela diri," sahut Panji Anengah.
"Hanya tuan bertiga ini?" Ikal ikalan Bang memancing
keterangan, "mungkinkah itu?"
"Tumenggung Ikal-ikalan Bang," tiba-tiba Panji Wiranagari
pun menyelutuk, "engkau menghendaki penyelesaian dengan
cara bagaimana" Bertempur keseluruhan barisan atau hanya
senopati saja yang bertanding lawan senopati" Dua duanya
kami bersedia." "Hm, andaikata aku menghendaki pertempuran secara
serempak, mampukah engkau menghadapi ?"
"Ha, ha," Panji Wiranagari tertawa. "Betapa tidak?" Ia
memandang kearah hutan yang terletak di Ujung lapangan,
"nah, cobalah engkau lihat apa yang bergerak ke lapangan
itu?" Menurut arah yang ditunjuk pandang mata Panji
Wiranagari, Ikal ikalan Bang melihat sebuah barisan
bersenjata lengkap muncul dari hutan, "ho, memang telah
kuduga, engkau tentu menyembunyikan barisan pendam ....."
"Salah!" seru Panji Wiranagari "mereka bukan barisan
pendam dari Pajarakan melainkan barisan lasykar Pajarakan
yang habis menghadapi barisan Majapahit. Bukankah engkau
telah memerintahkan sebagian dari barisanmu untuk
menyerang dari belakang desa ?"
Ikal-ikalan Bang tersengat kejut "Benar," sahutnya berterus
terang karena rencananya telah diketahui "dalam pertempuran, siasat apapun dihalalkan."
"Sayang, kami dapat menggagalkan. siasatmu, ki
tumenggung," ejek Panji Wiranagari, "dan lihatlah di sekeliling
desa ini. Bukankah penuh dengan sosok tubuh yang bergerakgerak di antara batang pohon. Itulah barisan lasykar
Pajarakan juga. Maka jika engkau menghendaki pertempuran
secara serempak, mungkin barisanmu kalah besar jumlahnya.
Dan lagi, pertempuran semacam itu akan menumpahkan
darah dan meminta banyak korban. Pada hal kita dengan kita,
bukan musuh." Ikal ikalan Bang diam-diam terperanjat. Ia tak menduga
bahwa siasatnya untuk menyergap musuh dari belakang telah
diketahui dan digagalkan. Teringat akan kegagalannya ketika
mengiring patih Aluyuda meninjau desa itu tempo hari, apabila
kali ini ia menderita kegagalan pula, betapalah malunya.
Sebagti senopati perang, ia memiliki harga diri. Seketika
marahlah ia mendengar kata2 Panji Wiranagari. "Ki Panji,
memang aku dengan ki Panji tiada bermusuhan, demikianpun
dengan ki Panji Anengah dan rakyan Pamandana. Tetapi pada
saat dan tempat sekarang ini, kedudukan kita berlainan
bahkan berlawanan. Aku tetap hendak menjalankan tugas
baginda untuk menangkap tuan-tuan sekalian."
"Dan kami terpaksa membela," tukas Panji Wiranagari.
"Oleh karena itu marilah kita tentukan saja penyelesaiannya
dan sagera mulai," balas tumenggung Ikal-ikalan Bang.
"Sebagai tuan rumah kami harus mengindahkan tetamu
apalagi tetamu utusan kerajaan. Maka silahkan ki tumenggung
memilih cara penyelesaiannya. Bertempur keseluruhan barisan
atau antara senopati dengan senopati," seru Panji Wiranagari.
"Bagaimana menurut ki panji " Karena kedua cara itu kami
sanggup melakukan," sahut Ikal-ikalan Bang.
Panji Wiranagari tetap teringat akan pesan mahapatih
Nambi. Maka walaupun hati panas tetapi ia harus berkepala
dingin, serunya, "Ki tumenggung, berdasar tiada permusuhan
diantara kita dan kita pun kawan seperjuangan, maka
hendaknya pertempuran itu dapat menghindari pertumpahan
darah dan korban yang tak perlu. Bagaimana kalau kita
tempuh penyelesaian secara kakek moyang kita dahulu yalah
senopati lawan senopati yang bertempur. Siapa kalah, seluruh
barisannyapun harus menyerah ?"
Tumenggung Ikal-ikalan Bang menyambut usul itu dengan
gembira. Ia memperhitungkan bahwa dirinya mempunyai
kemampuan untuk mengalahkan salah seorang lawan.
"Baiklah ki Panji, mari kita segera mulai saja," katanya seraya
berbangkit dan menuju ke tanah lapang.
"Tunggu ki Ikal-ikalan Bang," tiba-tiba Panji Wiranagari
berseru. Dan ketika senopati Majapahit itu berhenti
memalingkan muka, berkata pulah Panji Wiranagari, "engkau
belum menentukan siapa yang engkau kehendaki menjadi
lawanmu. Dan kami beri kebebasan penuh, terserah siapa
yang engkau kehendaki menjadi lawanmu."
Ikal ikalan Bang merenung. Rakryan Pamandana sudah tua.
Apabila ia memilih rakryan itu, kemungkinan besar ia tentu
mempetoleh kemenangan tetapi ia malu sendiri. Menang
dengan seorang tua, mudah mengundang ejek tawa orang .....
"Ki tumenggung, jangan ragu2, jatuhkan pilihanmu. Dan
siapapun yang akan engkau pilih diantara kami bertiga, adalah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wakil dari Pajarakan. Apabila kalah, Pajarakan engkau duduki,"
belum Ikal ikalan Bang menentukan pilihannya, terdengar pula
Panji Wiranagari laerseru lantang.
Sesungguhnya hampirlah tertarik hati Ikal-ikalan Bang akan
ucapan rakryan Pamandana tentang peristiwa di Pajakran itu.
Namun ketika mendengar suara Panji Wiranagari yang
bernada angkuh, bangkitlah darah kesatryaan Ikal-ikalan
Bang. Tanpa berbanyak hati lagi segera ia berseru
menjatuhkan pilihannya, "Engkaulah ki Panji yang ingin
kuminta mengeluarkan kesaktianmu disini."
"Bagus, ki tumenggung, memang tumenggung Jaran
Bangkal pernah menceritakan tentang perkelahian di
Pejarakan sini ketika engkau mengiring patih Aluyuda hendak
mengintai keadaan desa itu. Betapa ingin saat itu aku
berhadapan muka dengan engkau. Memang selama ini karena
kita bersahabat, maka masing2 tak mengetahui betapa
kesaktian kita masing2 yang sesungguhnya. Namun
pengangkatanmu sebagai senopati yang memimpin pasukan
Majapahit ini, jelas menunjukan sampai dimana pimpinan bala
tentara Majapahit mempercayai kedigdayaanmu."
Tumenggung Ikal-ikalan Bang bersiap diri dengan
pemusatan napas lalu mengembangkan inti tenaga dalam
pusat perut, melancarkan ke seluruh anggauta tubuh.
Tumenggung itu telah membajakan diri dalam lingkupan
kekebalan dan kekokohan. Dalam keadaan siap tempur itulah
ia meruntuhkan pandang mata kepada lawan. Ia terkejut.
Tampak tumenggung Panji Wiranagari pun sedang mengemasi
diri. Wajahnya tampak tenang tetapi cahayanya berwarna
kemerah-merahan. Seketika teringatlah ketika dahulu pada
masa mudanya belajar pada seorang pertapa sakti di
pegunungan, gurunya itu pernah mengatakan bahwa ilmu
kedigdayaan yang tersebar di Jawadwipa itu, berpuluh puluh
macam jenisnya. Ilmu gaib yang bersumber pada tapabrata
memohon anugerah Hyang Jagadnata. Dan ilmu kesaktian
yang bersumber pada pengembangan melatih diri yang pada
dasarnya bersumber pada menjalankan ilmu semedhi, ilmu
prana dan ilmu memancarkan tenaga dalam.
Ikal-ikalan Bang teringat bahwa diantara jenis ilmu
kedigdayaan itu terdapat apa yang disebut aji Kumbala-geni,
aji itu memancarkan tenaga panas sehingga apabila
tercengkeram oleh tangan yang telah dilambari aji Kumbalageni itu. orang tentu merasa kesakitan seperti diselomot api.
Pun pukulan dari aji itu, membaurkan angin panas. Cepat Ikalikalan Bang menyadari akan keampuhan lawan. Diam2 iapun
mengembangkan aji Nagabanda, ilmu sambaran dengan
cengkeraman tangan. Naga yalah ular besar dan banda,
pengikat, Gerak dari sambaran aji Nagabanda itu lincah
bagaikan seekor naga dan lawan yang tersambar tangannya
tentu akan terikat kencang tak dapat melepaskan diri lagi.
Demikian pertarungan antara kedua penindih-yuda yang
sama2 berpangkat tumenggung itu, segera berlangsung. Dua
orang yang semula bersahabat, saat itu terlihat memenuhi
panggilan kewajiban. Yang satu memenuhi perintah narpati.
Yang satu memenuhi panggilan keadilan, membela diri sebab
merasa tak bersalah. Pertarungan antara kedua pemuka prajurit itu cepat
mengikat perhatian kedua belah fihak. Baik fihak Majapahit
maupun Pajarakan. mereka adalah insan yang berdarah
prajurit, gemar tata- raga dan ilmu keprajuritan. Namun
selama ini latihan yang mereka terima hanyalah terbatas pada
ilmu pacak baris dan beberapa ilmu yang lazim digunakan
dalam medan laga yalah tusuk menusuk dengan tombak,
tikam menikam dengan parang, tabas menabas dengan
pedang, hantam mengantam dengan gada atau bindi, tangkis
menangkis dengan perisai dan beberapa macam tatagerak
apabila terpaksa harus taruug dengan tangan kosong, antara
lain cengkam mencengkam, banting membanting. Bahwa
pertempuran yang menggunakan ilmu tingkat tinggi macam
yang dilakukan tumenggung Ikal-ikalan Bang dengan
tumenggung Panji Wiranagari sangat jarang benar mereka
menyaksikan. Tidaklah mengherankan apabila suasana
menjadi sunyi dilelap rasa ketegangan. Sepintas pandang
terasalah suatu kesan bahwa para prajurit Majapahit dan
lasykar Pejarakan itu lupa bahwa saat itu mereka sedang
berada dalam suasana pertempuran. Perhatian mereka telah
dihanyut oleh keasyikan seperti menonton suatu pertandingan
sabung ayam dimana masing2 menumpahkan harapannya
kepada jagonya. Tidaklah demikian dengan kedua tumenggung yang sedang
menumpahkan kepandaian masing2 itu. Mereka makin jauh
dari rasa enggan dan sungkan sebagai kawan baik. Yang
mereka rasakan hanyalah keinginan untuk menjatuhkan
lawan. Dan keinginan itulah yang menghanyutkan mereka
kedalam gelombang nafsu dan angkara dari samudra (ke-Akuan) yang berifat hadigang hadigung.
Lontaran pukulan yang dilepas tumenggung Panji
Wiranagari laksana petir menyambar- nyambar diatas
dirgantara. Sedangkan gerak tangan tumenggung lkal-ikalan
Bang tak ubah srperti seekor naga yang menerkam dan melilit,
selalu mencari kelengahan dan kesempatan untuk membekuk
tubuh lawan. Tetapi karena pukulan aji Kumbalageni itu
menerbarkan hawa panas yang makin lama makin terasa
meranggas tubuh sehingga Ikal-ikalan hang seperti orang
mandi keringat. "Hm, jika tak segera dapat kutangkap tangannya, aku tentu
kehabisan tenaga karena terlalu banyak mengeluarkan peluh.
Begitu pula napasku tentu makin menyesak." Ikal-ikalan Bang
menimang dan mencari akal untuk melaksanakan rencananya.
Akhirnya ia memutuskan. Tiada lain jalan kecuali harus
berkorban agar mendapat korban.
Dalam sebuah kesempatan, ia sengaja bergerak lamban,
namun diulasnya gerak lamban itu sedemikian rupa sehingga
menimbulkan kesan pada lawan bahwa ia sudah kehabisan
tenaga. Dan tipu daya tumenggung pimpinan prajurit
Majapahit itu berhasil. Tumenggung Panji Wiranagari tak
melihat suatu alasan lain bahwa gerak keterlambatan lawan
itu suatu siasat, melainkan benar2 dikarenakan sudah
kehabisan tenaga. Dan segeralah dimanfaatkan peluang itu
sebaik-baiknya. Dess ..... pukulan melayang dan terhantamlah bahu kiri
tumenggung Ikal-ikalan Bang. Untunglah sebelumnya
tumenggung itu sudah melambari bahunya dengan daya
ketahanan yang kokoh sehingga walaupun sakit tetapi tak
sampai pukulan itu mematahkan tulang. Tumenggung Ikalikalan Bang memang sudah siap menerima pukulan itu tetapi
sungguhpun demikian tetap ia terkejut akan kehebatan dari
pukulan aji Kumbala geni lawan. la membayangkan, apabila
orang terkena pukulan itu pada dadanya, tentulah urat2
jantungnya akan putus karena hamburan hawa yang panas.
Panji Wiranagari tahu bahwa lawan sedang memasang
perangkap maka diam2 iapun terperanjat karena lawan
mampu menahan pukulan aji Kumbala geni yang dihunjamkan
pada bahunya. Namun rasa kejut itu makin membesar tatkala
lawan dengan gerak secepat kilat sudah berputar diri ke arah
belakangnya dan sebelum ia tahu apa yang akan terjadi, siku
lengannya terasa dicengkeram oleh sebuah tangan yang kuat.
Serentak menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya, Panji
Wiranagari kerahkan tenaga meronta sekuat-kuatnya,
diserempaki pula dengan ayunkan tubuh loncat ke muka. Brett
....... Ikal-ikalan Bang tegak terlongong sambil tangan kanan
menggenggam secabik lengan baju. Ia kecewa karena
gerakannya yang sudah berhasil mencengkeram siku lengan
lawan ternyata hanya memperoleh robekan lengan baju.
Namun sebagai seorang ksatrya, ia merasa kagum juga akan
kebolehan lawan untuk menghindarkan diri.
Panji Wiranagari tegak beberapa langkah dari hadapan Ikalikalan Bang. Ia tertegun kesima. Ketika kepalanya merunduk
dan pandang mata meruntuh ke arah lengan baju, merahlah
wajah tumenggung itu. Bagi seorang ksatrya, baju tak ubah
seperli kulit daging. Baju tercabik sama artinya seperti ia
menderita luka. "Ikal-ikalan Bang, sebagai persembahan rasa kagumku
terhadap dirimu, aku bersumpah. Selama aku belum berhasil
mengoyak-ngoyak bajumu, aku pantang memakai baju ...." ia
melolos baju dan dilontarkan ke udara. Ketika baju itu
melayang turun, iapun menyerempaki dengan sebuah pukulan
berlambar aji Kumbalageni, desss ...... baju berhamburan
bagai bunga2 yang bertebaran di atas makam.
"Ho, ki Panji, belum pula lecet sekelumit kulit dagingmu,
mengapa engkau sudah naik pitam sedemikian rupa?" seru
tumenggung Ikal-ikalan Bang.
"Ikal-ikalan Bang, pertarungan dengan pukulan tangan,
sudah cukup kita lakukan. Engkau tentu sependapat dengan
pikiranku bahwa apabila pertarungan semacam itu dilanjutkan,
hasilnya hanya menghabiskan waktu saja. Dan lihatlah, surya
sudah mulai menurun ke barat!"
"Benar," sahut Ikal-ikalan Bang, "lalu bagaimana maksudmu
?" "Ganti permainan."
"Maksudmu dengan memakai senjata?"
"Ya" sahut Panji Wiranagiri singkat, namun cukup
mengejutkan rakryan Pamandana dan Panji Anengah.
Bertarung dengan seujata tentu akan menumpahkan darah,
merenggut nyawa. "Ki Panji, lupakah engkau akan pesan
rakryan mahapatih ?" seru Pamandana bergegas membari
peringatan. Panji Wiranagari terkesiap. Bukan sengaja ia melupakan
tetapi benar2 terlupakan oleh rangsang nafsu kemarahannya.
Namun kata telah dikecapkan, pantang ia menjilatnya kembali.
Sejenak ia menyelinap kesempatan untuk berpaling dan
memberi anggukan kepala ke arah rakryan Pamandana. Dan
kesanggupannya untuk melaksanakan pesan mahapatih,
dilaksanakan juga. Biasanya senjata yang digunakan yalah
sebatang tombak trisula tetapi kali itu ia mencabut pedang.
Tujuannya pun hanya akan membalas hinaan, merobek baju
lawan. Sementara itu tumenggung Ikal-ikalan Bang tampak
melolos senjatanya. Sebuah senjata yang membuat orang2
Pajarakan terkejut heran. Semacam tombak pandak sepanjang
hanya dua depa, tangkainya berlekuk-lekuk macam eluk keris,
bagian atas ujungnya runcing seperti tombak biasa. Setelah
membolang balingkan sejenak untuk membuat gerak
pemanasan tangan ia segera memandang ke muka Ki Panji,
"sebelum kita langsungkan pertempuran, untuk yang terakhir
kalinya, ingin kusampaikan isi hatiku. Beasediakah andika
mendengarkan?" "Silahkan, aku selalu bersedia mendengarkan tetapi belum
tentu senantiasa menyetujuinya."
"Ki Panji, betapa kita harus saling membunuh" Bukankah
suatu kebijaksanaan yang tepat apabila ki Panji bersedia ikut
kami menghadap baginda?"
"Sia-sia belaka," sahut Panji Wiranagari, "di hadapan
baginda, aku dan kawan2 tentu akan menderita seperti
keadaan seorang gagu yang ketulangan. Menderita tetapi
sukar menyatakan sehingga tak dihiraukan."
"Tidak, ki panji," seru tumenggung Ikal-ikalan Bang, "di
pura kerajaan masih banyak mentri-mentri nara- praja, para
dharmadyaksa, dan upapati yang akan memberi pertimbangan2 kepada baginda. Tetapi apabila tuan tetap
membangkang maka tentulah tuan tetap dianggap
memberonrak." Panji Wiranagari tertawa hambar. "Lain kata lain kenyataan.
Apakah tindakan baginda mengirim pasukan ini tidak melalui
pertimbangan dengan para mentri-mentri?"
"Mungkin ..... sudah," Ikal-ikalan Bang targagap karena
memang ia tak jelas akan soal itu.
"Prajurit tak kenal kata mungkin. Jelas engkau tak tahu
persoalannya," Panji Wiranagari mendengus, "baik sudah
melalui persidangan dewan pertimbangan para mentri maupun
tindakan baginda sendiri, yang jelas baginda telah dikuasai
oleh mulut berbisa dari A luyuda. Dengan demikian kami hanya
mengantar jiwa saja ke pura kerajaan, ibarat anai2 menjelang
api." "Ki panji, kematian sebagai anai2 manyerbu pelita, tidaklah
mati sia2 karena diketahui orang. Apabila ki panji dan sekalian
senopati mati dihukum baginda selulun mentri nalapraja dan
rakyat Majapahit tetap akan mengetahui dan memperingati
kematian tuan sebagai korban fitnah. Dan kematian itu lebih
utama dari mati sebagai pemberontak."
"Kusangkal keras," tangkis Panji Wiranagari, "bahwa
tindakan kami ini sebagai tindak berontak. Tetapi suatu tindak
untuk membela pendirian dan mencari keadilan. Mati membela
pendirian dan keadilan lebih utama daripada mati anai2
menyerbu api." Rupanya tiada titik pertemuan lagi yang dapat merangkai
suatu perundingan maka tumenggung Ikal ikalan Bangpun
melepaskan harapannya dan mempersilahkan Panji Wiranagari
melanjutkan kemauannya. Demikian pertarungan antara kedua tumenggung itu
berlangsung pula bahkan meningkat pada penggunaan senjata
tajam. Dimana senjata sudah ikut bicara maka segera Batara
Yamadipati dewa pencabut nyawa itu turun dari kahyangan
untuk menyaksikan dan setiap saat membawa korban yang
jatuh menjadi penghuni neraka.
Laksana banteng ketaton demikian gerak tandang
tumenggung Panji Wiranagari. Hatinya terluka karena lengan
bajunya tercabik oleh lawan. Bagaikan macan mencium darah,
demikian ulah tumenggung Ikal-ikalan Bang menghadapi
serangan lawan yang menggebu-gebu itu. Dan mematung
terpesona adalah keadaan para prajurit kedua belah fihak,
menyaksikan persabungan nyawa itu.
Sesungguhnya dalam lima, bermain senjata, Panji
Wiranagari lebih unggul. Tetapi karena ia mengganti trisula
dengan pedang, daya permainannyapun agak berkurang,
dengan demikian pertarungan itu berimbang dan memakan
waktu berkepanjangan. Tumenggung Ikal ikalan Bang diam2
terkejut menyaksikan permainan senjata

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya. Senjatanya tombak berkeluk yang khusus untuk menggaet
senjata lawan, kali ini seolah-olah kehilangan kemampuannya.
Demikian setelah berlangsung hampir sepengunyah sirih
lamanya, tampak keduanya sama2 bersimbah peluh dan
terengah-engah pula. "Hm, aku harus lekas2 menyudahi perkelahian ini. Surya
sudah mulai membenam diri," pikir Wiranagari. Tetapi Ikal
ikalan Bang pun mempunyai pemikiran sedemikian. Bahkan ia
lebih kuatir hari keburu tersergap malam, amatlah
membahayakan kedudukannya. Pajarakan mempunyai anakbuah yang lebih besar jumlahnya, apabila mereka
serempak menyerbu, tentulah prajurit-prajurit Majapahit akan
menderita kekalahan. Apapula kalau orang2 Pajarakan
menggunakan anakpanah, tentu akan hancur binasalah
prajurit-prajurit Majapahit.
Keinginan untuk mempercepat pertempuran itu, secara tak
disadari, sama2 dimiliki oleh kedua jago yang sedang
bertarung itu. Dan secara kebetulan pula, mereka sama2
memiliki rencana yang serupa. Panji Wiranagari ayunkan
pedangnya menabas dan Ikal-ikalan Bang pun gerakkan
tombak lengkungnya dengan keras. Tring ....... terdengar
bunyi letupan yang dahsyat disusul dengan keras disusul
dengan hamburan letikan bunga api ketika kedua senopati itu
saling beradu senjata. Sepercik benda berkilat terbang
melayang ke udara dan menyusup ke dalam hutan. Itulah
ujung tombak sehingga karena kerasnya benturan, Ikal ikalan
Bang tersurut mundur dua tiga langkah. Sedang Panji
Wiranagari pun tergetar selangkah ke belakang. Setelah rasa
linu pada lengannya berkurang ia memandang memeriksa
pedangnya. Alisnya tampak menjungkat mengantar kerut
dahinya. Ternyata mata pedanguya pun rompal. Ia pejamkan
mata untuk mengembalikan semangat. Karena tabasan yang
dilancarkan tadi, menggunakan segenap kekuatannya.
Tumenggung Ikal- ikalan Bang pun tegak mematung. Mata
berbinar-binar, kepala serasa berputar di seputar peristiwa
yang dialaminya saat itu. Tombak berkeluk rupakan senjata
yang diandaikan. Dengan tombak itu entah sudah berapa
banyak lawan yang harus menunduk ke tanah, menggelepar
meregang jiwa dan merintih-rintih mengucurkan luka
berdarah. Dengan tombak berkeluk, ia termasyhur sebagai
senopati ikal-ikalan atau ?" senjata musuh untuk kemudian
ditariknya. ".. kemasyhuran itu lenyap bagai panas setahun
lenyap oleh hujan sehari. Malu, geram mencengkam sanubari
tumenggung itu hingga seri wajahnya tampak berobah sesaat
pucat, sesaat pula merah padam.
Tring ..... tiba-tiba tumenggung penindih prajurit Majapahit
itu taburkan tombaknya yang kutung ke tanah. Tombak
melesek terbenam sampai hampir mencapai tangkainya.
Kemudian ia mencabut keris Panji Wiranagari, "mari kita
lanjutkau pertarungan ini."
Panji Wiranagaripun sudah berhasil memulangkan
tenaganya. Ia membuka mata dan berseru, "Bagus,
tumenggung, aku gembira sekali mendapat seorang lawan
yang jantan ....." sring, iapun lontarkan pedangnya yang
rompal ke arah sebatang pohon di tepi lapangan. Pedang
hinggap dan menyusup masuk ke dalam batang pohon.
Setelah itu ia mencabut keris juga, siap hendak menerjang.
Pada saat kedua harimau itu hendak saling menyerang tibatiba dari arah luar desa terdengar sorak sorai gegap gempita.
Terpaksa kedua senopati itu hentikan gerakannya. Belum
sekalian orang dapat menduga apa yang terjadi, tiba-tiba
cuaca remang dirembang petang memancar sinar benderang
pula. Tetapi jelas bukan benderang sinar surya di senja kala.
Sesaat kemudian terdengar kentung bertalu riuh rendah
pertanda bahaya kebakaran. "Api ! Api !" dari empat penjuru
terdengar teriakan gempar. Samar2 diseling dengan bentak
teriakan dan pekik jeritan dari orang bertempur. Dalam
keadaan yang masih belum diketahui jelas itu, baik prajurit
anakbuah tumenggung Ikal-ikalan Bang maupun lasykar
Pajarakan sama2 bingung, sama2 mencirigai bahwa
kemungkinan yang melakukan sergapan dan pembakaran desa
itu tentulah bala bantuan fihak lawan.
Rupanya ketegangan itu lebih cepat mempengaruhi pikiran
tumenggung Ikal-ikalan Bang karena ia merasa anakbuahnya
kalah banyak dengan lawan, apa pula telah masuk ke tengah
desa. Sedang barisan yang diperintahkan untuk menyerang
dari belakang markas musuh ternyata telah digagalkan.
Baginya memang sudah watak. seorang prajurit yang
menyabung nyawa di medan laga, mati atau menang. Tetapi
dalam kedudukan sebagai seorang senopati, ia harus
memikirkan keselamatan seluruh anak barisannya. Maka
setelah menaik turunkan pertimbangan, akhirnya ia
memutuskan untuk menyelamatkan barisannya dulu, lolos dari
kepungan musuh baru nanti mencari upaya untuk melakukan
serangan balasan. Di fihak Pajarakan pun ternyata tak kalah kegelisahannya.
Terutama Pamandana, rakryan tua yang kenyang pengalaman
di medan pertempuran itu. Dengan nalurinya yang tajam cepat
ia merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres dalam markas
Pajarakan. la merasa tidak pernah memberi perintah untuk
melepas api dan ia yakin tanpa mendapat perintahnya tak
mungkin anakbuahnya berani bertindak sendiri. Kemudian
jangkauan dugaannya makin melanjut bahwa tentulah fihak
Majapahit yang melepas api itu. Pada saat pikirannya tiba
pada dugaan itu, serasa darahnya pun tersirap. Pertama-tama
yang dicemaskan yalah lumbung persediaan bahan makanan.
Peperangan bukan semata-mata tergantung pada persediaan
prajurit, kelengkapan senjata, pun juga di antara lain2
persediaan yalah persediaan bahan makanan. Sebagai seorang
narapraja tua, tahulah Pamandana akan hal itu. Namun ketika
ia hendak bergerak memeriksa lumbung yang terletak di
belakang markas, tiba-tiba pandang matanya tertumbuk akan
tumenggung Ikal ikalan Bang tegak di muka barisan prajurit
Majapahit. Pamandana tertegun, merenung. Apabila ia
tinggalkan gelanggang, dikuatirkan hal itu akan diketahui Ikalikalan Bang dan lalu menyerang. Maka terpaksa ia bertahan
diri, mengambil sikap tenang dan mecekahkan cahaya pada
ronanya. Rupanya sikap yang dipasang Pamandana itu berhasil
menyibukkan hati Ikal-ikalan Bang. Melihat pimpinan
Pajakaran sedemikian tenang, makin gelisah resahlah hati Ikal
ikalan Bang. Akhirnya ia mengambil keputusan. Daripada mati
konyol, lebih baik ia bertindak meloloskan diri lebih dulu. Serta
melambaikan tangan memberi isyarat kepada anak
barisannya, Ikal-ikalan Bang lari menuju ke tempat kudanya
dan sekali ayun tubuh ia sudah berada di atas pelana terus
mencongklangkannya ke mulut goha. Barisan prajurit
Majapahit serentak berhamburan mengikuti di belakang
senopatinya. "Ah ..... " rakryan Pamandana menghela napas longgar,
kemudian cepat berseru, "Hayo, kita periksa kebakaran itu
....." Ketika tiba beberapa ratus depa dari lumbung persediaan
makanan, Pamandana dan kawan2 terhenti. Apa yang
dikuatirkan ternyata menjadi kenyataan. Lumbung telah
dimakan api. Memandang ke markas, pun ruang bagian
belakang sudah berkobar-kobar merah, demikian pun dengan
pondok2 tempat asrama prajurit. Dan samar2 di bawah
cahaya api yang makin membesar itu tampak sosok2 tubuh
manusia berhamburan menghampiri, dipimpin oleh dua orang
bertubuh tinggi besar. "Hai, itulah tumenggung Jaran Lejong dan bekel Talang
Brahala dengan membawa anak prajurit yang cukup banyak
seru Pamandana dengan nada terkejut. Kedua Panji Anengah
dan Wiranagaripun melihat kedua orang itu, "Hm, ke manakah
gerangan patih Emban?" gumam Panji Wiranagari. Patih
Emban diperintah rakryan Pamandana membawa sepasukan
kecil lasykar Pajarakan untuk menyergap barisan Majapahit
yang menurut laporan anakbuah Pajarakan, sedang berusaha
untuk menyerang desa itu dari sebelah selatan. Memang
benar pasukan Majapahit itu tak pernah muncul, suatu hal
yang memberi kesan bahwa patih Emban tentu berhasil
menunaikan tugas. Tetapi sungguh mengherankan sekali
mengapa sampai saat itu patih Emban belum juga
menampakkan diri. Tiba-tiba pula dari mulut desa terdengar sorak sorai
bergemuruh dan tak berapa lama Pamandana dan kedua
senopati Pajarakan melihat tumenggung Ikal-ikalan Bang
mengendarai kuda, diiring oleh kedua lurah prajurit Kuda
Kanengkung dan Kebo Segara memimpin pasukannya untuk
menyerbu ke dalam desa lagi.
Keadaan makin gawat dan makin memburuk. Pamandana
yang bertanggung jawab akan pertahanan benteng Pajarakan
cepat menyadari hal itu. Ia cepat mencegah sikap Panji
Anengah dan Panji Wiranagari yang hendak menempur
musuh. "Jangan, ki panji berdua. Pertempuran bukan
ditentukan oleh soal keberanian dan kenekadan tetapi harus
memakai perhitungan. Benteng Pajarakan telah dibakar musuh
dan anakbuah kita tercerai berai. Mengapa kita harus buru2
mati sekarang apabila besok masih ada hari untuk merebut
kemenangan?" "Lalu bagaimana rencana rakryan?" tanya Panji A nengah.
"Meloloskan diri dan bergabung dengan rakryan mahapatih
untuk memperkuat pertahanan Lumajang!" kata rakryan
Pamandana, "dan hendaknya ki panji berdua dapat
mencamkan. Bahwa menyerang dan berhasil mengalahkan
musuh itu suatu seni dalam ilmu peperangan. Tetapi
membawa mundur pasukan dengan kerusakan kecil dan induk
kekuatan pasukan masih terpelihara, pun juga suatu seni ilmu
perang yang hebat. Kedudukan kita sebagai yang diserang,
kita harus menyelamatkan anakbuah kita dengan melakukan
pengunduran yang baik."
Rupanya penjelasan rakyan tua itu termakan di hati Panji
Anengah dan Panji Wiranagari. Keduanya mengangguk setuju.
"Musuh menggunakan api, kita pun membalas dengan api
juga," kata rakryan Pamandana lalu memerintahkan
anakbuahnya, "dalam keadaan segenting ini kita harus
bertindak cepat. Jangan kalian berkelompok karena mudah
menarik perhatian musuh. Berpencarlah ke segenap penjuru,
buatlah api unggun di mana-mana tempat agar desa ini
terbungkus asap dan musuh teraling mengejar kita. Kita nanti
berjumpa pula di tanah pekuburan selatan desa."
"Rakryan," tiba-tiba Panji Anengah menyela, "mengapa
tidak kita bakar saja desa ini supaya musuh tiada tempat
meneduh ?" "Jangan" jawab rakryan Pamandana, "apabila desa ini
terbakar habis, mereka tentu akan menggabung pada kawankawannya di Lumajang atau Ganding. Biarlah mereka menjaga
tempat ini dan menanam pasukannya untuk menghadapi
serangan kita diwaktu malam."
"0, benar," Panji Anengah mengangguk. Kemudian ia
bersama Panji Wiranagari mengawal rakryan itu menerobos
keluar benteng Pajarakan.
Malam pun tiba tetapi desa Pejarakan seolah-olah berada
dalam suasana dinihari yang penuh dengan kabut tebal.
Sayup2 terdengar hiruk pikuk prajurit-prajurit Majapahit
memadamkan kebakaran dan mengatur barisan. Yang
menyerang Pajarakan dengan api itu adalah tumenggung
Jaran Lejong. Setelah gagal menyerang Ganding. mereka
menuju ke Pajarakan. Kedatangan mereka tepat sekali.
Mereka menyerang pasukan patih Emban yang sedang
menghalau kelompok pasukan Majapahit yang menyerang
Pajarakan dari arah selatan. Anakbuah patih Emban dapat
dihancurkan dan tercerai berai. Namun tumenggung Jaran
Lejong masih belum puas. Untuk menumpahkan dendam
kemarahannya atas kegagalan di Ganding, ia perintahkan anak
barisannya mambakar desa Pajarakan.
Ketika mengetahui yang datang itu pasukan tumenggung
Jaran Lejong, tumenggung Ikal-ikalan Bang yang saat itu
sudah berada di luar desa, menyerang kembali tetapi karena
hari petang dan desa terbungkus asap tebal seolah-olah
seperti menjadi lautan api, mereka terpaksa tak berani
bertindak gegabah. Dengan demikian selamatlah rakryan
Pamandana membawa anak buahnya meloloskan diri.
Sambil menunggu sampai anakbuah Pajarakan lengkap
berkumpul di tanah kuburan selatan desa, rakryan Pamandana
mengatur rencana lebih lanjut. "Pajarakan terletak di tengah
Ganding dan Lumajang. Dengan jatuhnya desa itu, musuh
dapat memutuskan hubungan Ganding dengan Lumajang,"
katanya. "Kalau begitu, kita rebut saja Pajarakan," kata Panji
Wiranagari. "Tidak perlu," jawab rakryan Pamandana, "justeru kita
harus memaksa menanam mereka di Pajarakan. Tiap malam
kita lakukan serangan pada desa itu supaya mereka tak dapat
beristirahat. Kemudian apabila keadaan mengidinkan,
Lumajang dan Ganding harus bergerak untuk menjepit
Pajarakan." Panji Anengah dan Panji Wiranagari tak mengerti apa yang
direncanakan rakryan tua itu. Mereka mencurah pandang
bertanya kepada rakryan itu.
"Rencanaku begini" menjelaskan Pemandana, "kita pecah
diri menjadi tiga. Ki Panji Anengah ke Lumajang, meninjau
keadaan di sana dan memberi laporan kepada mahapatih. Aku
berada disini memimpin anakbuah melakukan pengacauan
pada malam hari ke Pajarakan. Sedang Ki Panji Wiranagari ke
Ganding untuk meninjau desa itu. Apabila sudah timbul
kemungkinan, Lumajang dan Ganding supaya mengirim
pasukan untuk menjepit Pajarakan yang pada saat itu tentu
sudah lelah karena tiap malam kukacau."
"Bagaimana ki Emban?" Panji Wiranagari bertanya cemas.
Tetapi rakryan Pamandana manghiburnya. "Ki patih tentu
sudah menggabung ke Lumajang atau ke Ganding.
Setelah banyak lasykar Pajarakan yang berkumpul, rakryan
Pamandana segera melaksanakan rencana. Panji Anengah
dengan membawa duapuluh anakbuah, menuju ke Lumajang.
Panji Wiranagari dengan membawa lasykar yang sama
jumlahnya, menuju ke Ganding. Sedang sisanya berada di
hutan di luar desa Pajarakan bersama rakryan Pamandana.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pamandana hendak mengadakan serbuan ke Pajarakan setiap
malam agar orang2 Mejapahit gelisah.
Kedatangan Panji Anengah disambut gembira oleh
mahapatih Nambi dan kawan2. Dengan keahlian dan
pengalaman yang ulung, mahapatih Nambi berhasil menjebak
pasukan Majapahit pimpinan tumenggung Lembu Petang dan
memukulnya mundur dengan membawa kerusakan.
Panji Anengah amat gembira mendengar keterangan itu, Ia
pun melaporkan tentang keadaan benteng Pajarakan yang
telah diduduki pasukan Majapahit. "Saat ini rakryan
Pamandana masih berada di hutan di luar desa untuk
mengacau kedudukan musuh di Pajarakan. Menurut pesan
rakryan Pamandana, supaya rakryan mahapatih mengirim
pasukan untuk menggempur Pajarakan. Begitu pula Panji
Wiranagari yang menuju ke Ganding, akan minta supaya
pasukan kita di Ganding menyerang Pajarakan. Dengan
demikian kita dapat menjepit kedukan musuh di Pajarakan."
Mahapatih Nambi termenung menung. Suatu hal yang
memaksa Panji Anengah mangemukakan partanyaan,
"Rakryan mahapatih, bukankah kita wajib bergembira atas
kemenangan yang kita peroleh " Mengapa rakryan tampak
berawan wajah ?" Mahapatih Nambi menghela napas. "Ah. betapa hal itu tak
menggelisahkan hatiku, ki Panji " Dengan kekalahan yang
diderita itu, baginda tentu akan lebih murka dan tentu akan
mengerahkan pasukan yang lebih kuat untuk mengempur
kita" Aku membayangkan saat2 yang akan terjadi itu, Apabila
terjadi perang campuh, bukankah korban2 akan berguguran "
Bukankah bumi kita akan ikut menangis menerima cucuran
darah dari putera-puteranya sendiri ?"
Panji Anengah dan sekalian senopati tertegun.
"Dan lagi," sambung mahapatih Nambi lanjut, "siapakah
yang sesungguhnya mendapat kemenangan dalam pertempuran ini " Tidak ada. ki Panji, tidak ada diantara kita
yang menang. Jika pasukan Majapahit yang kalah, tentu
banyak perajurit prajuritnya yang mati. Kalau kita yang kalah,
Majapahit pun akan kehilangan sejumlah narapraja dan
senopatinya. Hanya penghianat tamak macam Aluyuda lah
yang akan gembira karena peperangan ini ....."
"Lalu bagaimana tindakan kita, rakryan mahapatih ?" tanya
Panji Anengah. Tetapi sebelum terjawab, Mahisa Pawagalpun
sudah buka suara, "Rakryan mahapatih, peperangan itu
memang kejam, ganas dan jahat. Medan pertempuran tak
beriklim peri kemanusiaan. Yang ada hanya angin prahara
yang membangkit nafsu pembunuhan untuk mencapai tujuan
masing2. Sudah tentu fihak yang berperang itu menganggap
tujuannya benar. Demikian dengan keadaan kita. Baginda
tentu menganggap tak salah mengirim pasukan ke Lumajang
dengan tujuan untuk membasmi kita yang dianggap
memberontak. Sedang kita pun menganggap benar kalau
melawan dengan tujuan membela diri. Dimana tujuan dua
fihak tak dapat menemukan titik persamaan, perang pun
berbicara. Yang menang, tentu dianggap benar ....."
Mahisa Pawagal berhenti sejenak untuk meninjau kesana.
Kemudian ia melanjutkan lagi. "Dalam kitab Bharatayuda telah
dipaparkan bagaimana Arjuna merasa bimbang dikala
menghadapi sanak kadangnya sendiri kaum, Kurawa. Hampir
lemas semangat Arjuna untuk berperang. Untunglah pada saat
itu Sri Batara Krishna dapat membangkit pula semangat sang
Arjuna dengan menandaskan bahwa yang dihadapi Arjuna itu
bukan kaum Kurawa sebagai sanak keluarga, tetapi kaum
Kurawa sebagai manusia2 jahat. Perang Bharatayuda itu
bukan untuk menumpas kaum Kurawa melainkan untuk
membasmi perbuatan2 jahat dan lalim kaum itu. Demikian
rakryan mahapatih, apa yang kita alami dan wajib merasakan
saat ini. Bukan kerajaan Majapahit, bukan pula peribadi
baginda Jayanagara yang kita lawan, melainkan perbuatan
jahat dan laknat dari patih Aluyuda itulah yang akan kita
basmi. Maka gusti mahapatih, Mahesa Pawagal mohon agar
tuan jangan lemas semangat karena tuan lah yang menjadi
penggerak dan pendorong jiwa kami sekalian."
Kata2 Mahesa Pawagal itu mendapat dukungan luas dari
para narapraja dan senopati yang berada di Lumajang.
Serempak mereka menyatakan kesetyaan kepada mahapatih
Serigala Siluman 1 Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Pendekar Satu Jurus 2
^