Pencarian

Pedang Kerak Neraka 2

Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka Bagian 2


itu ditembusnya seperti jarum menembus batang pisang. Kemudian mata tombak itu
bergerak mundur, menerobos lobang pada tiang itu, lalu melesat mundur sampai
menempel pada tangkainya seperti semula. Jelas suatu serangan senjata tajam yang
digerakkan dengan ilmu khusus yang ada pada Wangon. Itulah kelebihannya senjata
Nenggolo Kubur. Menyadarihal itu,Suro Bodongjadi lebih hati-hati.Ia segera
mencabutsamuraisekalian dengan sarungnya. Wangon semakin sigap. Ia perlu hati-
hati dengan samurai itu. Namun ternyata Suro Bodong bukannya mencabut samurai
dari sarungnya, melainkan membuangnya begitu saja, dan ia siap menghadapi
serangan Wangon dengan tangan kosong. Rupanya Suro Bodong merasa kurang bebas
bergerak jika menyelipkan senjata di pinggangnya, sebab ia membuang samurai
tersebut. "Hiaat. .!!"
Suro melompat dan meluncur ke arah Wangon dengan jurus tendangan samping. Tetapi
Wangon segera melancarkan balasan dengan membuat mata tombak itu melesat lagi
dari ujung tangkainya. Saat itu, Suro Bodong meludah dengan cepat sebanyak tujuh
kali ke telapak tangannya. Dan ketika senjata itu meluncur ke dadanya, Suro
segera menangkap dan menggenggamnya erat-erat.
Tubuh Suro Bodong yang sedikit gemuk itu berdiri dengan tegap seraya tersenyum.
Tangannya yang mengepal terangkat ke atas, persis di depan wajahnya. Semua mata
yang menyaksikan hal itu sama membelalaknya. Mereka heran dan kagum melihat
ujung senjata Nenggolo Kubur mampu digenggam erat oleh Suro Bodong, padahal tak
satu orang pun pernah berhasil menghindari senjata itu, apalagi memegangnya
seperti menangkap seekor lalat.
"Coba tebak, apa yang kugenggam" Nyamuk atau gajah"!" kata Suro kepada Wangon
seraya tersenyum sinis. Wangon kelihatan mengggeragap. Ia segera mengacungkan
tangkai senjata itu. Tangan kirinya kaku, semua jarinya terbuka dan berada di
depan telinga. Ia menggeram dengan otot-otot tangan mengeras. Bahkan tangannya
gemetar karena tenaganya dipakai untuk menyedot kembali ujung senjata Nenggolo
Kubur yang digenggam Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong yakin bahwa Wangon tak akan
berhasil mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyedot ujung senjata Nenggolo.
Suro Bodong seperti tidak menghiraukan erangan Wangon yang sampai mengucurkan
keringat. Ia bahkan berbalik, berjalan mendekati Resi Padma, dan berkata:
"Bisa kautebak" Apa yang kugenggam" Semut atau kuda"!"
Resi Padma membentangkan tangannya karena Lohan dan Ajeng Wasti hendak mencabut
senjata masing-masing. Ia tak mau kedua murid kesayangannya itu menyerang Suro
Bodong. Resi Padma hanya berkata kepada Suro:
"Aku tahu, kau menahan rasa sakit dalam menggenggamsenjata itu. Telapak tanganmu
terbakar dan kau mati-matian menahannya, bukan?"
Suro Bodong hanya tertawa pendek, menggaruk kumisnya satu kali kemudian baru
berkata: "Kaupikir ini senjata ampuh, ya?"
Suro Bodong menggeleng dengan tersenyum menjengkelkan Resi Padma. Sambungnya
lagi, "Tidak. Senjata ini tidak berarti di tanganku! Kalau aku mau, bisa kuremas
sampai hancur jadi serbuk besi. Tapi kalau kau mau mendengar penjelasanku, akan
kukembalikan kepada tangkainya. .!"
Wajah-wajah orang perguruan Merak Senggol menjadi tegang. Wangon sendiri masih
berbekah bekuh menguras tenaga dalamnya untuk menarik kembali ujung senjatanya.
Resi Padma merasa kasihan kepada Wangon. Ia hanya menghela nafas, lalu berkata
dengansuara pelan:
"Jelaskanlah. .! Tapiaku tidak menjamin untuk mempercayai penjelasanmu, ya?"
Suro Bodong tertawa agak keras. Ia melemparkan mata tombak ke lantai.
"Klinting.. !" Wangon menjadi lega, kemudian tanpa banyak menguras tenaga, mata
tombak itu melesat kembali ke tempat, pada ujung tangkainya. Suro Bodong
mengibas-ngibaskan tangannya dengan cara menepukkan ke telapak kiri beberapa
kali, sepertinya ia sedang menghilangkan debu pada telapak tangannya. Ia sangat
santai, melirik Wangon dengan senyum kemenangan. Dan Wangon hanya diam, bagai
tak tahu harus berbuat apa."Apa penjelasanmu, Suro Bodong?" Suro memandang Resi Padma, "Kalian semua salah
duga. Entah pura-pura salah, atau sengaja cari sasaran. Yang jelas bukan aku yang
mencuri pedangmu itu, Resi Padma."
"Orang yang melihat pencuri itu menyebutkan ciri-ciri yang ada padamu: pakaian
serba hitam sampai menutup kepala, menyelipkan pedang panjang, dan.. "
"Dan ini bukan pakaianku!"sahut Suro Bodong. "Itu juga bukan pedangku. Bukan
samuraiku."
Karena Resi Padma sangsi, maka Suro Bodong segera melepaskan ninjanya. Di balik
pakaian serba hitam itu, ia masih mengenakan pakaian yang sebenarnya, yaitu
celana biru tua dan baju merah.
Keduanya sudah tercabik-cabik akibat cambukan Sargulo sewaktu ia ditawan. Suro
kelihatan berlengan luka. Darah kering di sekitar luka menampakkan hal itu
terjadi sudah beberapa waktu. Semua mata tertuju pada Suro Bodong yang kini
kelihatan berambut panjang tak teratur dan berikat kepala merah darah. Bajunya
yang tak pernah dikancingkan itu menampakkan betul pusernya yang bodong keluar.
Ia berkata, "Inilahakusebenarnya!"
ResiPadma berdiri. "Kenapa lenganmu itu?"
"Seseorang telah menyerangku. Lalu aku ditawan dan disiksa. Dituduh sebagai
mata-mata musuh mereka. Kemudian aku menyamar sebagai ninja dengan pakaian ini.
Jika memang pencuri pusakamuadalah orang berpakaian serba hitam maka aku berani
memastikan, orang itu adalah ninja!"
4 PERGURUAN Merak Senggol menyadari kekeliruannya selama ini. Suro Bodong dijamu
sebagai tamu. Resi Padma yang arif, tak segan-segan meminta maaf berulang kali,
bahkan ia berkata kepada Suro: "Aku akanberterimakasihbanyak-banyak,seandainya
kaumau membantukami, SuroBodong."
"Aku malas membantumu, Resi Padma. Karena aku punya urusan sendiri," jawab Suro
Bodong seenaknya, lalu ia garuk-garuk kumisnya yang tebal.
"Bagaimana kalau kami membantu menyelesaikan urusanmu?" cetus Ajeng Wasti yang
sejak tadi duduk di samping Resi Padma memperhatikan Suro Bodong.
"Benar," sahut Lohan. "Kami tidak segan-segan membantumu, jika kami pun kaubantu
dalam masalah pencurian Pedang Kerak Neraka ini."
"Apa di antara kalian ada yang sanggup membantu menyelesaikan urusanku?" Suro
Bodong menampakkan kesangsiannya.
Mereka duduk bersila di sebuah kamar. Tak ada murid lain yang ada di situ
kecuali Lohan, Wangon dan Ajeng. Pembicaraan tersebut, sudah menjadi pembicaraan
penting yang agaknya bersifat rahasia.
"Apa sebenarnya urusanmu itu, Suro. Katakanlah kepada kami. Barangkali kami,
orang-orang perguruan Merak Senggol bisa menjadi pihak yang kamu harapkan selama
ini." Resi Padma bicara dengan pelan namun berwibawa. Sesekali mereka saling
meneguk secangkir teh manis kental yang dihidangkan di depan mereka masing-
masing. "Aku mencari kekasihku. Namanya Ratna Prawesti. ." ujar Suro Bodong sambil duduk
bersila dan merenung. Kini ia bahkan duduk dengan bersandar pada dinding, salah
satu kakinya ditekuk sehingga lututnya dekat dengan dagu.
Resi Padma dan ketiga muridnya saling pandang dan menggumamkan nama kekasih
Suro. Kening mereka saling berkerut. Mereka saling bertanya-tanya dalam hati, siapa
Ratna Prawesti dan di mana kira-kira mereka pernah mendengar nama tersebut. Suro
Bodong melanjutkan bicaranya dengan kedua tangan tertumpang pada lutut kaki yang
berdiri itu. "Rahia Prawesti bertubuh lencir. Cantik. Kulitnya kuning langsat. Matanya bulat
bening. Indah sekali. Aku paling suka memperhatikan kebeningan matanya ketimbang
harus memandang bulan di waktu malam. Apalagi bibirnya yang semerah delima
merekah, ah. . sering kali membuatku sesak nafas dan terengah-engah. Dan membuat
aku suka mabok darat, adalah jika aku melihat ia tersenyum." Suro memandang
Lohan. "Kau tahu, bagaimana senyuman yang memabokkan dari seorang perempuan?"
Lohan menjawab setelah berfikir sejenak, "Meringis. .!"
"Ah, itu senyum kuntilanak. .!" Suro Bodong bersungut-sungut, dan mereka
tersenyum geli. Suro Bodong menegaskan pendapatnya, menuturkan kata seakan
membanggakan kecantikan kekasihnya.
"Kalau dia tersenyum, ada lesung pipi di kedua pipinya, itulah yang sering
membuat aku mabok tanpa tuak. Seimbang sekali dengan hidungnya yang kecil,
bangir dan rasa-rasanya enak untuk digigit ujungnya."
Lohan dan yang lain sempat tertawa pendek. Geli. Bahkan Resi Padma tersenyum-
senyum seraya memperhatikan kesungguhan Suro dalam bercerita.
"Ada ciri-ciri lainnya?" tanya Ajeng Wasti.
"Dia. . dia memakai gelang kaki perak bermata batu merah delima. Itu gelang kaki
lambang kebangsawanan keluarganya. Sayang.. semua keluarganya telah menjadi
arang. Dibakar habis oleh orang-orang dari Kelompok Topeng Setan. Aku terlambat
datang ke rumahnya. Aku tidak menemukan mayat Ratna kalau memang ia ikut
terbakar. Tapi, kurasa ia tidak ikut terbakar. Orang-orang Topeng Setan sangat
bodoh kalau membakar perempuan secantik dia. ."
Hening tercipta di antara mereka berlima. Resi Padma diam termenung, seperti
halnya Suro Bodong yang bagai sedang menerawang, mengingat-ingat keindahan
bersama Rama Prawesti.
"Kamiakan membantumu untuk mencari perempuan itu," kata ResiPadma. "Tetapi,
sebelumnya kami minta bantuanjuga kepadamu untuk merebut kembali pedang pusaka
kami itu, Suro. Pedang itu. ."
Ucapan Resi Padama itu terhenti. Mereka mendengar suara gaduh di luar kamar.
Lohan diperintahkan ke luar untuk melihat apa gerangan yang membuat kegaduhan itu.
Resi Padma meneruskan ucapannya tadi.
"Pedang itu sangat berbahaya jika jatuh di tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Dunia bisa hancur kalau pedang itu dalam kekuasaan Sang Angkaramurka. Karena
itu, aku harus berusaha merebut kembali pusaka Pedang Kerak Neraka peninggalan
kakek buyut guru kami, ini demi menyelamatkan dunia yang kita huni untuk
kerurunan kita di kelak kemudian hari. Dan.. . aku melihat ada kunci pada
dirimu, Suro Bodong. Selain kau mempunyai ilmu yang. . kamiakui cukup tangguh,
juga karena kau pernah menjadi tawanan kelompok ninja itu. Paling tidak kamu
tahu di mana letak sarang mereka."
"Ah, malas aku, Resi. Aku segan ikut campur urusanmu. Aku mau istirahat malam di
sini, dan besok aku mau pergi mencari Rama Prawestiku." Suro mendekatkan wajah
dan berkata dalam bisikan,
"Aku sudah tak tahan ingin menciumnya dan menggigit bibirnya yang segar itu.. "
Resi Padma tersenyum tipis, tetapi Ajeng dan Wangon tertawa kecil. Pada saat
itu, wajah-wajah mereka menjadi tegang, karena Lohan muncul dan membawa seorang
murid yang dalam keadaan terluka dadanya, dekat dengan pundak.
"Kenapa dia"!" Ajeng menyambut dan ikut menolong orang yang terluka. Mereka
membawanya kepada ResiPadma yang masih duduk dengan tenang di tempatnya sekali
pun yang lain berdiri.
"Ia diserang orang berkerudung hitam di pos perbatasan wilayah," tutur Lohan.
Orang itu mengerang lemas. Suro Bodong membelalakkan mata, karena melihat luka
di dada atas itu sama dengan luka yang pernah dialami pada lengannya. Bahkan
pada luka itu masih tertancap senjata rahasia; bintang bersudutempat, persis
dengan senjata yang melukai Suro.
"Entah apa maksud orang yang melukainya, tapi aku tahu pasti bahwa orang itu
adalah ninja! Dulu lenganku ini juga terkena senjata rahasia seperti yang menancap di dada
orang ini," ujar Suro Bodong yang ikut memeriksa.
Resi Padmi manggut-manggut. "Aku juga tahu. Aku tahu persis siapa itu ninja! Aku
tahu jelas, bagaimana gerakan mereka. ."
"Senjata ini beracun ganas. Dulu hampir saja aku mati kerena racun kalau saja
aku tidak menyalurkan hawa mumi dari dalam lobang lukaku.. " kata Suro Bodong
seraya berusaha mencabut bintang bersudut empat yang menancap pada dada orang
itu. "Bawa dia ke kamarku.. " perintah Resi Padma, lalu Lohan danWangon menggotong
orang yang terluka dan yang sudah pucat pasi, nyaris tak dapat bemafas lagi.
Suro Bodong melangkah ke luar diiringi Ajeng Wasti. Suro mendengar Ajeng bicara,
sepertinya ditujukan pada diri sendiri. Waktu itu, Suro Bodong sedang garuk-
garuk kumisnya dan memandang langkah kakinya sendiri.
"Sebuah tantangan yang datang tidak tanggung-tanggung. Kurasa sudah saatnya kami
bergerak."
Suro Bodong berhenti dan duduk di sebuah lantai tangga dari ruang yang mirip
pendopo itu. Ajeng berjalan terus. Namun begitu ia mengetahui Suro Bodong duduk, ia pun
membalik dan ikut duduk di samping Suro, namun berada pada lantai tangga
atasnya. Ruang yang mirip pendopo itu mempunyai lantai bertangga empat baris
dari halaman. "Tolong berikan arah tempat sarang mereka," pinta Ajeng.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan"!"
"Biar kami datang sendiri ke sana dan membuat perhitungan dengan para ninja. Aku
sanggup membasmi mereka dengan sepuluh anak buah pilihanku." Ajeng berkata
dengan tegas dan penuh semangat.
Suro Bodong garuk-garuk kumis lagi sambil menggumam.
"Mereka tidak seganas singa lapar. Mereka melebihi singa lapar yang sedang sakit
gigi. Ganas sekali dan punya berbekalan ilmu yang cukup tinggi."
"Jangan menganggap remeh keadaanku. Apapun jadinya, Pedang Kerak Neraka harus
diselamatkan dari tangan-tangan iblis berwajah manusia. Aku tak takut mati demi
merebut pusaka leluhur perguruan Merak Senggol ini. .!"
Suro Bodong memperhatikan kecantikan Ajeng Wasti dalam dadanya menjadi
bergemuruh. Wajah cantik yang cemberut itu semakin menggugah kejantanannya. Tetapi Suro
Bodong dapat bertahan diri. Pandangan matanya bertabrakan dengan lirikan mata
Ajeng Wasti. Umumnya, orang akan segera menghindari tatapan mata seperti itu,
karena ketahuan kalau ia telah mencuri pandang dengan nakal.
Tetapi, Suro Bodong tidak demikian. Suro Bodong tidak buru-buru mengalihkan
pandangan matanya, melainkan semakin lekat ia memandang. Semakin berani ia
tersenyum kendati senyumannya tidak cukup dijadikan modal rayuan.
"Kenapa memandangku begitu?" ketus Ajeng.
"Aku suka melihat matamu."
"Tapi kenapa sesekali melirik ke dada?"
"Aku suka melihat belahan dadamu di balik baju yang terkuak sedikit. Kalau
terbuka semua malah tidak sedap."
Ajeng marah. Ia hendak menampar wajah Suro Bodong, tapi Suro Bodong dengan
tangkas memegang tangan Ajeng Wasti
"Kau buaya!" geram Ajeng.
"Ah, sekali tempo jadi buaya tak apa. Masa selamanya aku harus menjadi kadal?"
Suro Bodong tertawa pelan. Ajeng Wasti menarik tangannya dan mendengus kesal.
"Aku pengagum perempuan cantik," kata Suro. "Tapi sebaliknya, aku dianggap racun
bagi wanita cantik. Banyak wanita cantik membenciku. Tapi aku tidak pernah
peduli. Kalau aku senang, ia akan kupandang. Kalauaku tak senang, ia akan
kutendang. Itu pedoman hidupku."
Ajeng Wasti pergi, membiarkan Suro Bodong duduk di lantai tangga sendirian. Suro
Bodong semakin tertawa kendati tetap pelan.
Suro Bodong malas untuk mengejar atau mengikuti Ajeng. Ia lebih tertarik ngobrol
dengan beberapa murid Resi Padma yang masih tergolong murid-murid tanggung.
Mereka bergerombol di bawah pohon, mendengarkan beberapa kisah petualangan Suro
Bodong yang dituturkan dengan lucu.
Namun, beberapa saat mereka bubar karena Resi keluar bersama Lohan dan Wangon.
Mereka tertegun melihat Lohan danWangon menggotong orang yang tadi terluka.
Orang itu telah menjadi mayat.
Suro Bodong mendekati Resi Padma yang murung. Resi Padma hanya menghela nafas,
kemudian berkata pelan:
"Aku gagal menyelamatkan dia. Racun itu sangat ganas! Cepat sekali kerjanya."
Suro Bodong memperhatikan Lohan dan Wangon yang disambut beberapa murid lainnya.
Mereka menampakkan kemurungan dalam duka atas kematian temanseperguruan mereka
itu. "Bodoh kau!" kata Suro Bodong tanpa basa basi lagi. Resi Padma tak mau
menyangkal sedikit pun. Suro Bodong bahkan berkata lebih berani lagi, tanpa
memikirkan apakah ucapannya menyinggung hati Resi Padma atau tidak.
"Hanya mengobati murid yang terluka seperti itu saja kamu tidak mampu. Sebaiknya
jangan jadi guru. Jangan jadi Resi. Memalukan jabatan para Resi lainnya."
Resi Padma diam. Tangannya saling lipat di dada. Ia memandang dengan haru mayat
orang itu yang dibawa ramai-ramai ke belakang bangunan utama.
"Kalau tahu begitu, tadi aku saja yang menanganinya!" gerutu Suro Bodong yang
merasa jengkel melihat kenyataan itu. Resi Padma tidak melirik sedikit pun, tapi


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berkata: "Apa kausanggup menyelamatkan muridku tadi?"
"Kenapa tidak"! Itu pekerjaan ringan. Aku memang bukan dukun bayi yang bertugas
menyelamatkan nyawa orang dari kelahiran, tetapiakusering mengobati orang
terluka." "Kenapa tadi tidak langsung kautangani"!"
"Lho, aku kan bukan gurunya. Yang menjadi gurunya kan kamu. Tentu saja aku tidak
ingin menghalangi kemauan seorang guru untuk memperlihatkan kasih sayangnya
kepada muridnya. Tapi kalau kenyataannya begini, aah.. kau memalukan jabatan
para guru Iainnya! Jadi guru itu harus pandai, jangan lebih pandai dari
muridnya. Jangan hanya bisa memberi hukuman kepada muridnya, tetapi harus bisa
memberi penyelamatan bagi langkah-langkah muridnya. Uhh. .! Payah! Kamu belum
pantas jadi guru! Jadi juru kunci sajalah. .!"
"Hei, kenapa kau jadi marah padaku, Suro"!" hardik Resi Padma yang agaknya tak
tahan lagi mendengar omelan Suro.
"Itu lebih baik. Kata-kataku itu akan berguna buat kamu, supaya kelemahanmu yang
selama ini belum kausadari, menjadi terbuka dan kau bisa segera memperbaiki
dirimu! Kalau aku menyanjung kamu terus, kamuakan lelap dalamangan-angan dan
lupa pada kelemahan!"
Ketika malam menjadi makin gelap, Suro Bodong masih asyik bertukar pendapat
dengan Resi Padma. Waktu itu Resi Padma telah menugaskan Wangon untuk memanggil
Ajeng Wasti. Tetapi beberapa saat kemudian, Wangon datang menghadap.
"Ajeng tidak ada, Guru."
"Ke mana dia?"
"Pergi."
"Pergi ke mana"!" hardik ResiPadma.
"Menurut keterangan para murid lainnya, Ajeng pergi bersama sepuluh orang kita.
Konon, mereka hendak menyerang pondok para ninja untuk merebut pusaka kita,
Guru." "Gawat.. !" Suro Bodong yang tegang. Resi tetap tenang. "Dia perlu disusul, Resi
Padma! Dia dan orang-orang pilihannya dalam bahaya. Mereka tak akan mampu
melawan para ninja yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi serta banyak tipuan
yang mampu merenggut nyawa lawan.
Lohan muncul dengan tergesa-gesa. "Rupanya Ajeng telah pergi bersama kesepuluh
orang pilihan, Guru. Mereka menyerbu ke pondok para ninja. Aku perlu menyusulnya
dan. .!" "Tidak perlu," tukas Resi Padma. "Aku percaya, ia akan selamat. Aku membekali
dia banyak ilmu sejak ia masih sangat remaja. Aku tahu, ia mampu membantai semua
para ninja sekali pun musuhnya itu sebenarnya memang ulet dan sadis. Kejam! Para
ninja itu memang dicetak untuk menjadi orang kejam. Pembunuh bayaran yang
berdarah dingin!"
Suro Bodong melanjutkan memakan jagung bakar, sebab ia tadi minta dibuatkan
jagung bakar oleh kepala pelayan di Perguman Merak Senggol itu. Kini ia sesekali
menikmati jagung bakar kesukaannya seraya mendengarkan kata-kata ResiPadma.
"Guru kelihatannya mengenal betul tentang ninja," ucap Wangon dengan hati-hati.
Resi Padma mengangguk. Tangannya asyik membelai-belaijenggot putih yang panjang
sampai di bawah leher.
"Guruku seorang paderi Budha," tutur Resi Padma. "Selain menyebarkan agama,
beliau juga mengajarkan ilmu kanuragan. Sebenarnya ia berasal dari Himalaya,
sebuah pegunungan dingin yang jauh dari tanah Jawa. Tetapi dalam perjalanan
lautnya, kapalnya pecah dan ia terdampar di tanah Jawa ini.. !" "Apa hubungannya
dengan para ninja itu?" tanya Wangon. Suro Bodong diam saja, tangannya asyik
memetik-metik biji jagung dan melemparkan ke dalam mulutnya. Tetapi ia tak
mengalihkan perhatiansedikit pun. Semua kata-kata ResiPadma disimaknya baik-
baik. "Pada umumnya, setiap paderi menguasai ilmu bela diri yang sama. Mereka
menyebarkannya dari pegunungan Himalaya, ke gurun Gobi, kemudian ke dataran
Cina, lalu ke negeri Matahari Terbit.
Dalam petualangannya itu, guruku mempunyai seorang murid berasal dari Tibet.
Pada suatu hari, ketika guru mengangkat aku sebagai murid, orang Tibet itu pergi
dengan menumpang kapal dagang milik saudagar Cina. Ia pulang ke negerinya tanpa
pamit, sebab ia tidak setuju jika guru mengangkat aku menjadi murid. Dan orang
itulah yang telah menguasai ilmu warisan guru. Beberapa puluh tahun kemudian,
kami mendengar kabar dari para pelaut Sriwijaya, bahwa orang yang menjadi bekas
muridku itu telah mendirikan suatu perguruan sendiri di negeri Matahari Terbit.
Mereka menamakan diri sebagai ronin, atau jago samurai yang hidup sebagai
pengawal sewaan, pembunuh bayaran,bagi siapa saja yang membayarnya. Guruku
menyebutnya : ninja! Ajaran-ajarannya keras. Sudah tidak mengenai belas kasihan
sedikit pun. Sudah tentu bekas murid guruku itu mengetahui adanya pusaka Pedang
Kerak Neraka. Dan mungkin ia yakin betul bahwa pedang itu ada di tanganku.
Karena itu, entah dia sendiri atau muridnya, berusaha keras untuk memperoleh
pedang pusaka tersebut. Padahal guruku wanti-wanti, agar Pedang Kerak Neraka itu
jangan sampai jatuh di tangan orang lain. Sebab jika disalahgunakan, sangat
besar bahaya yang akan timbul dan melanda di seluruh dunia."
"Kalau begitu,"sela Lohan, "Guru juga mempunyai jurus-jurus ninja?"
"Sebagian, dari ilmu yang kuajarkan di Perguruan Merak Senggol ini memang
berdasarkan ilmu para paderi. Hanya saja aku telah merubah dan mengembangkannya
menjadi satu rangkaian ilmu yang hanya ada di Perguruan Merak Senggol ini,"
tutur Resi Padma. "Tapi terlepas dari masalah itu, yang terpenting saat ini
adalah memperoleh kembali Pedang Kerak Neraka, supaya tidak menjadi sumber
penyakit bagi kehidupan di seluruh jagad raya ini."
Suro Bodong termenung di bawah siraman cahaya purnama. Kalau memang Pedang Kerak
Nerak itu adalah sangat berbahaya jika disalahgunakan, maka sudah selayaknya ia
ikut campur menyelamatkan pedang tersebut. Bukan pedang sebenarnya yang
diselamatkan, melainkan
kelanggengan hidup di jagad raya ini yang sebenarnya diselamatkan.
Tetapi apakah benar begitu keadaan pedang tersebut" Apakah semua yang dikatakan
Resi Padma bukan sekedar suatu pancingan, agar jiwa Suro tergugah dan mau ikut
membantu menemukan kembali pedang pusaka tersebut" Apakah bukan suatu tipuan
yang dikatakan Resi Padma itu" Bisa saja Resi Padma berkata demikian, karena ia
ingin Suro Bodong ikut terlibat dalam usaha merebut kembali pedang pusaka yang
sebenarnya tidak mempunyai keistimewaan sedahsyat apa yang diceritakan Resi
Padma. Sebenarnya Suro Bodong rela berjuang merebut pedang pusaka itu. Tetapi ia hams
mempertimbangkan sedalam mungkin. Jangansampai ia terjebak dan terbelit untuk
urusan yang bersifat pribadi. Untuk apa ia memperjuangkan kembalinya Pedang
Kerak Neraka, kalau ternyata pedang itu hanya sebagai simbol atau lambang
martabat dan kejayaan perguruan Merak Senggol. Dia tidak mau menjadi orang
upahan. Dia tidak mau bekerja tanpa arti yang besar bagi keselamatan umat
manusia. Lebih-lebih ia tidak mau membantu golongan yang lemah dengan cara dijebak atau
dipengaruhi lewat cerita-cerita bohong, seperti yang dituturkan lelaki
berjenggot putih itu.
Pagi harinya, setelah melalui berbagai pertimbangan, Suro Bodong bertekad untuk
pergi dari perguruan Merak Senggol. Ia merasa tidak perlu ikut campur urusan
perguruan itu. Ia harus segera menuju desa Tandang Cinde untuk mencari Ratna
Prawesti kekasihnya.
Tetapi niat itu pun akhirnya tertunda, sebab pada pagi itu, sebelum Suro
berpamit kepada Resi Padma, tahu-tahu Ajeng Wasti muncul dalam keadaan pakaian
sudah copang camping. Rusak tak karuan. Juga rambutnya yang acak-acakan
menandakan ia baru saja menemui malapetaka yang cukup keji. Hanya saja, ia masih
bisa bertahan dan segera kembali ke perguruannya.
"Apa yang terjadi Ajeng"!" tanya Resi Padma ketika Ajeng bersimpuh di bawah kaki
Resi Padma. Ia menitikkan air mata, kendati tidak terdengar senggukan tangisnya. Lohan dan
Wangon berdiri di samping Ajeng Wasti seraya memperlihatkan kegelisahan
amarahnya. Beberapa murid memperhatikan dari halaman, depan ruang yang mirip
pendopo itu. Sedangkan Suro Bodong masih berdiri tegak, sedikit jauh dari
belakang ResiPadma, namun ia mendengar jelas apa yang dilaporkan Ajeng Wasti.
"Mereka. . mereka menangkapku dan memperkosaku, Guru!" tutur Ajeng Wasti dengan
terbata-bata. Wajahnya menunduk dan mencerminkan rasa malu bercampur penyesalan.
"Mereka siapa"!"
"Para ninja itu.. ! Aku telah berhasil menemukan sarang mereka. Kami tertangkap.
Sepuluh orang yang menyertaiku dibunuh dalam waktu yang sangat singkat. Mereka
benar-benar kejam dan tak kenal ampun. Guru. Aku diseret ke pondok dan
diperkosanya secara bergantian. . ."
Ajeng kali ini terdengar isak tangisnya. Wangon menggeram, sama seperti Lohan,
ia mengepalkan tinjunya kuat-kuat dengan darah bagai mendidih dan nafas terhela
berat. Resi Padma sendiri menghempaskan nafas, membuang kemarahan. Ia mencoba
untuk bersabar diri dan tetap tenang.
"Kurasa. . kurasa kita tidak ada yang sanggup melawan mereka, Guru. Mereka
sangat tangguh dan tak segan-segan membunuh. Banyak ilmu yang menjadikan aku
terjebak berulangkali, dan banyak jurus yang mereka mainkan dengan kecepatan
melebihi hembusan angin. Terutama jurus samurainya yang tak pernah terlihat oleh
mata jika menembus tubuh lawan. Mengerikan sekali, Guru. .!" Ajeng Wasti mencoba
menjelaskan apa saja yang sempat dilihatnya. Tetapi Resi Padma semakin
menggeletukkan gigi, menahan dendam.
"Aku sendiri yang akan ke sana.. !" geram Resi Padma yang membuat murid-muridnya
tercengang. "Tidak!" bantah Wangon dengan tegas. "Kalau kami semua sudah mati di tangan
mereka, boleh Guru pergi menghadapi iblis-iblis keparat itu. Tapi semasa kami
masih hidup. Guru kami larang untuk pergi ke sana. Biar kami yang menghadapi
mereka, sekalipun harus kehilangan nyawa!"
"Benar, Guru. Biar kami yang membantai mereka!" tukas Lohan, sedangkan Ajeng
Wasti berkata: "Kuminta, pertimbangkan baik-baik jika kita ingin bergerak. Jangan sampai salah
langkah dan menjadi bencana bagi kita bersama!"
"Hanya ada satu pertimbangan," kata Lohan. "Mati, atau merebut pusaka Pedang
Kerak Neraka.. !"
"Benar!" Wangon menambahkan kata. "Hanya itu yang perlu kita perhitungkan.
Pedang atau mati!"
"Guru," kata Lohan. "Izinkan saya berangkat bersama beberapa murid untuk
menyerang mereka."
Setelah diam sebentar, ResiPadma pun mengangguk dan berkata tegas:
"Berangkatlah sekarang juga!"
"Aku ikut!" tukas Ajeng Wasti. "Aku ingin ikut membalas sakit hatiku, Guru!"
Sekali lagi Padma mengangguk. "Pergilah. Tapi kau harus lebih hati-hati, Ajeng."
"Mari, Ajeng. .! Jangan membuang waktu!" kata Lohan bersemangat. Kemudian Lohan
dan Ajeng pergi dari hadapan Resi Padma. Sedangkan Wangon dicegah ketika ia
hendak ikut. Resi Padma hanya berkata kepada Wangon:
"Kalau dua prajurit sudah cukup menggempur benteng, mengapa harus mengajukan
tiga atau empat prajurit. Bukankah kita di sini juga perlu prajurit, Wangon"!"
Semula Wangon ingin mendesak agar diizinkan berangkat bersama Lohan dan para
murid lainnya, tetapi setelah mendapat penjelasan seperti itu, ia menurut. Ia sadar
bahwa perguruannya sendiri tak luput dari incaran para ninja. Mungkin ada
sesuatu yang masih perlu diperoleh oleh para ninja itu.
Pusaka lain, misalnya. Atau. . tempat inisendiri yang akan dijadikan pusat
pertahanan mereka.
Suro Bodong termenung di belakang dapur, duduk pada bangku yang terbuat dari
kayu yang belum dipotong menjadi papan. Sesekali ia memetik biji jagung bakar
sisa semalam, dan mengunyahnya dengan pelan-pelan. Pandangan matanya lurus ke
tanah, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.
Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya, yang jelas ia tergerak kaget sewaktu
Resi Padma menegurnya.
"Apa yang kau lamunkan dari tadi, Suro" Mengapa harus duduk di sini?"
Teguran itu memang mengejutkan, tapi tidak membuat Suro Bodong bersikap seperti
biasanya. Ia tetap bagai orang sedang melamun. Duduknya santai, bersandar pada batang
pohon yang rindang.
Angin berhembus semilir, melenakan manusia untuk tidur siang. Suro Bodong hanya
menggumam pelan sewaktu mendengar teguran Resi Padma yang sejak keberangkatan
Lohan dan murid-muridnya itu, ia mengunci diri di dalam kamar. Entah apa yang
dilakukannya. "Kau tidak buru-buru ingin pergi, bukan?" tanya Padma.
"Seharusnya begitu. Tetapi, aku mencium ada suatu keganjilan dalam pencurian
Pedang Kerak Neraka itu." Suro Bodong bicara tanpa memandang Resi Padma. Ia
merubah posisi duduknya, dari menekuk satu kaki, kini menjadi melonjorkan
keduanya. Badannya semakin merebah bersandar dengan santai. Sesekali mulutnya
menganga menerima lemparan biji jagung bakar dari tangan kanannya.
Sesekali ia menggaruk-garuk kumisnya kendati sebenarnya tidak gatal. Dalam
keadaan seperti itu, perutnya semakin kelihatan membuncit dan pusernya melotot
keluar. Bodong. Ia masih mengenakan baju merah dan celana biru tua yang robek di
beberapa bagianakibat cambukan Sargulo dalam tahanan.
ResiPadma berdiri di sampingnya, memandang keadaan sekeliling seraya berkata:
"Aku tahu, kau ragu terhadap Pedang Kerak Neraka itu, bukan?" Suro Bodong tidak
menjawab, karena itu ResiPadma melanjutkan bicaranya.
"Sebenarnya bukan terletak pada pedang keampuhan yang dahsyat itu tetapi
terletak pada sarung pedang itu."
Sekarang, Suro Bodong menoleh memandang Resi Padma. Tapi ia tidak bertanya apa-
apa. Ia diam saja. Sedangkan ResiPadma tanpa diminta sudah menjelaskansendiri
maksud kata-katanya itu.
"Sarung pedang itu terbuat dariemas murni. ."
"Jadi emas itulah yang perlu kaurebutkan"! Uh, sialan! Kupikir karena keampuhan
pusaka itu yang menjadi. ."
"Tunggu dulu, aku belum selesai bicara," sambut Resi Padma memotong pembicaraan
Suro Bodong yang tadi juga memotong kata-katanya. Suro diam, dan ResiPadma
melanjutkan penjelasannya:
"Di antara lapisan emas pada sarung pedang itu, terdapat gulungan kitab yang
terbuat dari kulit lontar. Guruku menulis beberapa jurus yang tak boleh
digunakan dalam gulungan lontar yang amat tipis tersebut."
"Jurus apa"!" Suro Bodong semakin tertarik.
"Beberapa tingkatan pada ilmu Pedang Kerak Neraka. Ilmu itu mempunyai tiga
tingkatan. Pertama, ilmu Sabda Titah. Apabila seseorang menguasai ilmu Sabda Titah yang
berisi mantra-mantra sakti, maka setiap ucapannya akan menjadi kenyataan. Kalau
aku mengatakan kau jadi kambing, maka kau benar-banar jadi kambing!"
"Ah, mana" Nyatanya aku masih jadi orang ganteng begini?" Suro Bodong
menyepelekan. "Itu misalnya. Untung aku tidak mempelajari ilmu Sabda Titah, sehingga kau tetap
menjadi orang sejelek ini."
Suro Bodong bersungut-sungut sebentar. Ia melemparkan biji jagung yang telah
dipetiknya dari sebatang jagung bakar, kemudian mengunyahnya sambil bersandar
kembali. "Yang kedua?"
"Tingkatan kedua dalam serat kitab itu ialah ilmu yang bernama Asmaragama."
"Ilmu apa itu"!" Seraya Suro Bodong mengunyah jagung.
"Jurus-jurus pernafasan yang mempunyai kehebatan bercinta dengan lawan jenisnya.
Orang yang sudah menguasai jurus Asmaragama, ia dapat menundukkan lawan jenisnya
dengan satu kali saja hembusan nafas. Lawan jenis akan menurut dan repotnya lagi
akan menjadi ketagihan jika sudah bergelut mesra dengan pemilik ilmu tersebut.
Lawan jenisnya akan menjadi kurus dan layu, karena setiap saat tak mau berhenti
dari pergumulan. Dan itu dapat membuat lawan jenisnya menjadi mati kehabisan
darah putih. Seorang ratu pun akan bertekuk lutut jika terkena hembusan nafas
pemilik ilmu Asmaragama."
"Wah, boleh juga itu.. " ucap Suro Bodong sambil menyeringai. "Tapi, sayang aku
sudah punya ilmu sendiri yang lebih hebat dari itu. Hem.. lalu tingkatan yang
ketiga apa?"
"Tingkatan yang ketiga dalam serat Pedang Kerak Nereka itu adalah: ilmu Galih
Racun." Suro Bodong berkerut dahi. "Ilmu macamapa itu?"
"Jurus-jurus pedang yang setiap gerakannya menebarkan racun berbahaya ke arah
musuh. Jurus pedang itu sangat berbahaya. Dengan dikibaskan tanpa menyetuh
lawan, tahu-tahu lawan sudah terkena racun ganas pada lobang-lobang kulitnya.
Dan racun itu dapat membekukan darah, menghancurkan jantung dan paru-paru.
Bahkan jika terkena mata, kedua biji mata dapat busuk dalam waktu singkat.
Gerakan pedang dicabut dari sarungnya pun bisa mengakibatkan tersebarnya racun
ke tubuh lawan.
Dan lagi, tidak harus menggunakan pedang bersarung emas itu, melainkan dengan
pedang lain pun ilmu Galih Racun dapat disalurkan ke dalamnya. Ketiga ilmu
berbahaya itu, sengaja oleh guru dibekukan. Konon, aku hanya boleh


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempelajarinya jika manusia-manusia di bumi ini sudah rusak sama sekali
moralnya. Jika bumi menjadi negeri berpenghuni iblis semua, jurus itu baru boleh
dipergunakan."
"Dan karena itulah ketiga tingkatan ilmu itu dinamakan, Kerak Neraka, begitu?"
"Ya, kesimpulanmu tepat. Kurasa kau sendiri bisa membayangkan, andai ketiga ilmu
tersebut dikuasai oleh orang jahat, apa jadinya hidup di permukaan bumi ini" Kau
pasti tahu, apa akibatnya jika ketiga ilmu itu disalahgunakan olehseseorang yang
tidak bertanggungjawab"!"
"Hancur! Bumi ini akan hancur! Gunung meletus, lautan bergolak mengerikan, tanah
berekah dan lahar panas akan memancar dari dasar bumi. Itulah kiamat!" tegas
Suro. Resi Padma menghempaskan nafas. Ia menyimpan kecemasan sejak kemarin, dan hal
itu diketahui Suro Bodong. Hanya saja Suro Bodong tak mau membicarakan soal
kecemasan itu. Setelah mendengar penuturan resi Padma, Suro Bodong hanya berkata
dengan nada pelan:
"Kalau memang benarapa katamu, sudahselayaknya aku turut campur dalam hal ini."
"Akan kubuktikan di depan matamu. Kubuka lapisan emas pada sarung pedang itu,
dan kutunjukan kebenarannya."
Suro manggut-manggut. Garuk-garuk kumis sebentar, lalu berkata tegar: "Demi
keselamatan umat manusia, akan kurebut pedang itu. Lalu. . kuserahkan padamu
untuk dibakar! Setuju"!"
Setelah diam beberapa lama, Resi Padma mengangguk. Tapi apakah Suro Bodong akan
berhasil menghadapi para ninja"
5 AJENG WASTI kembali pada keesokan harinya. Ada goresan luka di lengan dan di
betis. Goresan luka itu tidak seberapa hanya saja masih mengeluarkan darah segar,
kendati hanya meleleh ke mana-mana. Tetapi mata kirinya terlihat membiru dan
dada kirinya tampak merah bagai habis terpukul oleh telapak tangan lawan.
Ajeng Wasti sempoyongan. Roboh di pintu gerbang dalam keadaan lemas lunglai. Ia
segera dibawa oleh beberapa murid ke hadapan Resi Padma.
"Ajeng..."!" pekik Wangon dengan kaget. Darahnya mendidih melihat keadaan Ajeng
seperti itu. Ia segera mengamhil alih tubuh Ajeng dari tangan murid lainnya, kemudian
dibaringkan pada sebuah dipan tak berkasur. Resi Padma kelihatan gelisah dan
sedih melihat keadaan muridnya seperti itu. Ketika Suro Bodong muncul, ia hanya
diam saja memperhatikan keadaan Ajeng Wasti.
"Ajeng, di mana yang lainnya" Mana Lohan dan teman-teman kita?" tanya Wangon
dengan tangan gemetar.
Susah sekali Ajeng bicara, tetapi ia berusaha untuk menjawab pertanyaan itu
sebagai bahan laporan.
"Lohan.. Lohan. . tewas.. "
"Lohan tewas. ."!" Wangon memekik dengan mata memerah.
"Se.. semua.. ma. . mati. .!"
"Gila!"seru Wangon bagai dibakar hidup-hidup.
Resi Padma menghela nafas dalam-dalam, mengokohkan hati sendiri. Ia harus tetap
tegar menerima kenyataan itu. la sempat bertanya dengan nada lemah dan gemetar:
"Tak ada yang selamat, Ajeng?"
Ajeng Wasfi, perempuan yang punya paras cantik itu, kini menggeleng sambil
menyeringai kesakitan. Ia bicara dengan suara nyaris tidak terdengar:
"Pim. . pimpinan nin.. ja, uuh.. pimpinan ninja, turun tangan. Ka. . kami
dibantai. . habis.
Dalam. . waktu singkat.. ia membantai.. Lohan dan kawan.. kawan. ."
"Jahanam.. !" geram Wangon bagai ingin meledak dadanya.
"Ak... aku. . aku larii.. setelah. . setelah berhasil membunuh dua.. dua orang..
ohh, Guru. . mereka sangat kuat. Ninja biru, pimpinan mereka. . benar-benar
malaikat pencabut.. nyawa. Mengerikan seka.. li. Oh, ak.. aku tak kuat.. !"
"Guru, Ajeng perlu dirawat selekasnya. .!" Wangon panik, Resi Padma hanya
tertegun dirundung kesedihan yang amat dalam. Semua murid menunduk, menahan
gejolak amarah.
"Lekas, Guru.. ! lakukan penyembuhan," mumpung Ajeng masih bisa bernafas.. !
Lekas, Guru!"
Wangon tak sabar dansangatmengkhawatirkan keadaan Ajeng.
Resi Padma maju dengan langkah lunglai. Ia meraba leher Ajeng Wasti. Namun tiba-
tiba terdengar suara dari belakangnya:
"Apa kausanggup menyembuhkannya" Nanti jangan-jangan malah mati lagi. .!"
Suro Bodong bicara bagai tidak mengenai perasaan. Dari sekian banyak orang,
hanya Suro Bodong yang tidak menampakkan kesedihan sedikit pun. Ia sangat
santai. Sesekali garuk-garuk kumisnya, dan menggumam lirih.
"Apa yang akan kau lakukan, Suro Bodong"!" Resi Padma tersinggung dengan kata-
kata Suro tadi. Namun ia berusaha tetap tenang, tidak menampakkan kegusarannya.
Sedang Suro Bodong kelihatan lebih tenang dan lebih santai menghadapi hal itu.
"Tentu saja ia santai-santai saja, sebab dia bukan keluarga Perguruan Merak
Senggol," ujar seorang murid yang berada di belakang kerumunan itu.
Suro Bodong berkata kepada Resi Padma dan Wangon:
"Tinggalkanaku disini.. ! Biar kutangani Ajeng Wasti!"
"Kau sanggup memulihkan keadaan Ajeng Wasti"!" tanya Wangon yang bernada sangsi.
Suro menjawab seenaknya:
"Akan kupertimbangkan nanti, apakah dia perlu hidupatau lebih baik mati! Lihat
saja nanti.. !"
"Kutuntut kau kalau sampai Ajeng mati!" geramWangon
"Pergi semua.. !" hardik Resi Padma seraya ia sendiri pergi dan menutup pintu
kamar itu dari luar.
Di luar, terjadi perdebatan antara Resi Padma dan Wangon. Beberapa murid
mendengarkan perdebatan itu secara tidak terang-terangan. Wangon mengatakan:
"Mengapa guru menyerahkan Ajeng kepada Suro Bodong! Dia belum tentu bisa
menyelamatkan dirinya sendiri, apalagi menyelamatkan orang lain."
"Wangon, sabar dan redakan amarahmu," tutur ResiPadma dengansuara kesabarannya.
"Sudah banyak murid-murid perguruan ini yang mati di sana, bagaimana aku bisa
meredakan kemarahanku, Guru! Belum lagi kita melihat sendiri bagaimana
penderitaan Ajeng yang menyedihkan itu. Huuh. .!" Wangon memukul tiang kayu. Ia
gemas dan jengkelsendiri.
"Wangon," kata Resi Padma pelan. "Kita memang akan menuntut balas kepada para
ninja itu, tapi sekarang harus dengan perhitungan yang matang. Benar apa kata
Ajeng waktu dia datang dalam belum terluka, kecuali diperkosa. Pada dasarnya,
semua rencana harus disusun secara matang dan diperhitungkan, supaya tidak
terjadi hal-hal yang lebih parah dari kematian Lohan."
"Baik! Aku menurut apa kata Guru. Tetapi ingat, aku sendiri yang akan ke sana
dan mengobrak-abrik sarang mereka!"
"Itu soal nanti. Kita perlu berunding. Berunding memperhitungkan cara yang lebih
tepat. Ingat, para ninja mempunyai kelicikan dan tipuan yang sungguh hebat!
Setiap gerakan menghadirkan kejutan dan keheranan yang tak pernah terpikirkan
oleh orang lain. Ninja mempunyai cara bertempur sendiri.
Berbeda dengan kita. Kalau kita hati-hati dan penuh perhitungan matang, maka
kita tak akan terkecoh oleh tipuan. Kita dapat menghancurkan mereka!"
"Kalau begitu, apa saran guru sekarang. Lekaslah, beri perintah padaku, dan aku
akan menjalankan sekarang juga!" Wangon menampakkan ketidaksabarannya. Matanya
sejak tadi memandang nanar, seperti harimau menunggu mangsa.
"Aku akan bicarakan dengan Suro Bodong," kata Resi Padma.
"Alaaaah. . Suro Bodong lagi! Dia kan bukan orang kita. Untuk apa mengandalkan
dia"! Dia tidak merasa memiliki perguruan ini, dan tidak mempunyai rasa
persaudaraan yang dalam di antara kita. Kenapa harus berunding dengannya"!"
"Tapi dia merasa memiliki bumi ini, sehingga ia merasa bertanggung jawab
memelihara isinya,"
tutur ResiPadma.
Wangon mengeluh dan gemas sendiri. Ia serba salah rasanya. Ia ingin nekad pergi
sendiri, tetapi ke mana arahnya, ia tidak tahu. Ini pun membuat Wangon semakin
jengkel. Rasa penasarannya berkobar-kobar dan menyulutkan api dendam yang
membara. Suro Bodong keluar dari kamar. Semua mata tertuju kepadanya. Gayanya tetap
santai, tenang, tak ada rasa sesal atau kesedihan sedikit pun. Ia garuk-garuk
kumis sebentar ketika Wangon dan Resi Padma mendekati.
"Bagaimana" Apa dia bisa tertolong"!" tanya ResiPadma.
"Kenapa tidak"! Lihat saja. .!" Suro Bodong mempersilakan Wangon masuk dan
memeriksa Ajeng. Ia menambahkan kata, "Hati-hati. jangan bangunkan dia. Dia
sedang tidur."
Suro Bodong pergi ke dapur, membiarkan Resi Padma dan beberapa murid masuk,
memeriksa keadaan Ajeng. Di dapur Suro Bodong mencarisesuatu dalam bakul besar.
"Cariapa, Kang?" tanya kepala pelayan di situ.
"Jagung! Aku kemarin masih menyimpan jagung di sini!"
Kepala pelayan tersenyum. Lalu ia membuka tempat makanan dan berkata,
"Sudah kubakarkan. Ini lho. .!"
Suro Bodong tersenyum tipis. Hatinya girang. Ia menerima pemberian jagung bakar
seraya berkata:
"Terima kasih! Kamu ternyata sudah hapal dengan kesukaanku, Pak."
"Tentu saja, sebab aku juga suka jagung bakar."
Suro Bodong membelalak, lalu tertawa girang. Ia mulai menggeragoti jagung bakar
yang sudah dingin. Tak jadi soal dengan kedinginannya, yang penting jagung bakar
bagi Suro. Tanpa jagung bakar, sepertinya ia tidak bisa berpikir apa-apa lagi.
Umumnya orang akan kecanduan tembakau atau madat, tapi Suro Bodong Iain. Ia
kecanduan jagung bakar.
Sambil memetik-metik biji jagung, lalu melemparkan ke mulutnya, ia melangkah ke
kamar Ajeng dirawat. Wangon kelihatan sedikit tenang sewaktu mendekat Suro
Bodong, ia berkata dengan suara pelan, bagai menyesali kata-katanya tadi.
"Terima kasih, Suro. ,! Maafkan kata-kataku tadi."
"Kata-kata yang mana" Seingatku sejak tadi kau tidak mengajak bicara denganku.
Kalau setan, aku memang mendengar kata-katanya, tapi kalau kau. . aku tidak
dengar." "Kuakui kehebatanmu. Luka Ajeng bisa hilang tanpa bekas, dan memar membiru di
matanya, juga memar merah di atas dadanya itu pun lenyap sama sekali. Aku yakin,
kau mempunyai ilmu tenaga dalam yang cukup tinggi."
"O, itu sudah lama! Hanya orang bodoh ya tidak bisa melihat kehebatanku," Suro
sengaja nyombongkan diri di depanWangon.
Wangon manggut-manggut, "Ya, kau memang hebat! Hebat sekali!"
"Dugaanmu meleset," kata Suro, pada waktu itu Resi Padma mendekat. Suro masih
bicara pada Wangon, "Dugaanmu meleset, Wangon."
"Meleset bagaimana" Aku mengakui, benar benar mengakui kehebatanmu, Suro."
"Iya, tapi yang kau bayangkan itu meleset jauh. Sebenarnya, aku jauh lebih hebat
dari kehebatan yang kau banggakan."
Wangon terbengong. Suro Bodong melemparkan biji jagung yang dipetik-petik dengan
jempol tangannya ke mulut. Kemudian ia meraih tangan Resi Padma dan mengajaknya
berjalan. Resi Padma terbengong, menurut saja. Ketika di tempat sepi, di bawah
pohon rindang, Suro Bodong berkata dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Masalah ini tidak akan tuntas kalau bukan aku yang turun tangan."
"Suro, kau kuanggap tamu di sini."
"Ya. Tapi kau tidak bisa mengerahkan semua muridmu maju menyerbu para ninja itu,
bukan"! Kalau itu kau lakukan, kauakan kehilangansemua muridmu!"
"Aku sendiri bingung sebenarnya. Ajeng adalah murid andalanku yang sudah
dinobatkan sebagai Pendekar Merak Maut. Tetapi, ternyata ia dipermainkan oleh
para ninja. Padahal dia adalah murid tertinggi ilmunya di antara semua muridku.
Jika Ajeng saja diperlakukan seperti hewan oleh para ninja, apalagi Wangon, dan
murid-murid lainnya" Atau.. mungkinkah aku harus turun tangan lagi" Ah, akusudah
tak ingin membunuh dan bertarung lagi, Suro!"
"Aku tak menganjurkan kau turun tangan, Resi Padma. Memang ada baiknya kalau kau
turun tangan, dan kita berdua akan menumpas para ninja itu. Tapi. ."
"Aku ikut!" seru Wangon dari arah lain. Ternyata ia tadi mencuri dengar
pembicaraan Suro dan Resi Padma, sehingga ia merasa tidak rela jika dirinya
tidak diikutsertakan dalam penyerangan ke pondok para ninja.
"Guru, aku akan keluar dari Perguruan Merak Senggol kalau aku tidak kau ajak
menyerang mereka! Janganakui lagi aku muridmu!" ancamWangon dengan ucapan yang
tegas. ResiPadma diam beberapa saat lamanya. Suro Bodong tak sabar menunggu keputusan
Resi Pad-ma, kemudian ia sendiri yang menentukan:
"Baik. Wangon ikut. Kita bertiga menyerang para ninja! Tapi ada syarat khusus
yang harus dilakukan."
"Syarat apa"!" tanya Wangon, Resi Padma hanya memandang Suro Bodong sebagai
ganti pertanyaan serupa dengan Wangon.
"Tutup pintu kamar Ajeng. Pantek dengan kayu-kayu yang kuat. Juga jendela kamar
itu, pantek dengan kayu. Usahakan yang rapat dan kokoh sekali. Kemudian suruh
semua muridmu memusatkan perhatian ke kamar itu. Jaga dengan ketat, jangan boleh
ada yang masuk maupun keluar dari kamar itu!"
"Hei, he. . nanti dulu! Kau punya rencana gila apa sebenarnya, hah?"Wangon
curiga. "Lakukan rencana ini kalau kau mau berhasil! Kurung Ajeng serapat dan seketat
mungkin!" Resi manggut-manggut. Wangon membantah:
"Guru, jangan lakukan begitu. Apa-apaan sebenarnya"!"
ResiPadma berkata pelan, "Mungkin maksud Suro, agar tak ada seorang pun yang
menculik dan membawa lari Ajeng. Sebab, Ajeng telah lari dari pemerkosaan para
ninja. Tak aneh ada beberapa ninja yang penasaran, terutama yang belum kebagian
nafsu bercinta dengan Ajeng. Betapa pun juga sukarnya, para ninja akan selalu
berusaha dengan berbagai cara untuk menuruti keinginannya. Mereka pasti berusaha
keras untuk merasakan tubuh Ajeng. Sebab itu, jika pintu dan jendela ditutup
rapat-rapat dan dijaga ketat, maka mereka tak akan berhasil mengambil Ajeng
sebagai pemuas nafsu. Itulah maksud Suro Bodong. Bukankah begitu, Suro.. "!"
Suro Bodong ragu ingin menjawab, namun akhirnya ia mengangguk juga. Bahkan
kelihatan bersemangat mengiyakan penjelasan Resi Padma itu.
Resi Padma mengambil tongkatnya sebelum mereka berangkat. Dengan langkah penuh
semangat, mereka bertiga menuju pondok para ninja, tempat Suro Bodong dulu
pernah ditawan oleh mereka. Rupanya, waktu itu Suro Bodong disangka mata-mata
dari Perguman Merak Senggol, yang datang menyusup untuk merebut Pedang Kerak
Neraka. Sekarang Suro tahu, apa sebab mereka menawan dan menuduhnya sebagai
mata-mata. Tetapi persoalannya sekarang sudah lain, ia dan Resi Padma didampingi
Wangon bergerak maju ke pondok para ninja. Mereka bertekad menghancurkan musuh
dengan kekuatan tiga orang itu.
"Hati-hati.. kita sebentar lagi mencapai tepian sungai. Itu sudah wilayah
mereka. Tapi, jangan ada yang terjun ke sungai. Di sana mereka beternak buaya
lapar! Sengaja sebagai jebakan musuh," tutur Suro Bodong seraya berlari cepat
dalam keadaan sejajar dengan gerakan Resi Padma dan Wangon.
Di luar dugaan, tiba-tiba langkah mereka terhenti, karena seorang berpakaian
serba hitam keluar dari dalam tanah, sepertinya muncul dari dasar bumi. Bukan
hanya satu orang, ternyata di samping kanan kiri juga muncul manusia dari dasar
bumi: para ninja yang siaga menunggu lawan dengan bersembunyi di dalam tanah.
Mereka mempunyai cara khusus untuk bisa bertahan di dalam tanah.
Waktu mereka muncul, tanah bagai tersembur dari dasarnya dan mereka langsung
berteriak: "Hiaat. .!!" seraya samurai mereka siap di tangan.
"Jangan beri kesempatan sedikit pun pada mereka," bisik Suro Bodong yang
tubuhnya sudah merapat, saling bertolak belakang dengan Wangon dan Resi Padma.
Wangon segera mencabut senjata Nenggolo Kubur, sedangkan Resi Padma menggenggam
tongkat berkepala burung merak dengan kedua tangan. Mereka telah dikepung. Empat
ninja mulai bergerak berkeliling dengan cepat. Samurai mereka dipegang dengan
kedua tangan, dalam posisi berdiri disamping dada.
"Mana senjatamu, Suro. .?" bisik Wangon.
"Tenang. Jangan pikirkan senjataku, tapi pikirkan senjata musuh: bagaimana
caranya supaya senjata mereka tidak mencincang lehermu!"
"Hiaat. .!!" Para ninja bergerak mengayunkan samurainya ke arah Suro dan kedua
orang perguruan merak Senggol itu. Suro Bodong cepat berguling ke tanah ketika
Samurai menebas ke arah-kepala.
Ia menjejakkan kaki ke arah kemaluan seorang ninja. Jejakannya yang keras itu
tepat mengenai sasaran.
Ninja itu menjerit sekuat tenaga dan berguling-guling. Sedangkan seorang ninja
lagi sedang berusaha menusukan samurainya ke arah Suro Bodong. Segera Suro


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bodong meletik dan melayang menghindari tusukan itu. Pada saat samurai ninja
menancap di tanah, Suro Bodong mengibaskan kakinya ke tengkuk kepala ninja
dengan kuat dan keras. Ninja itu tak sempat berteriak, karena darah segar keluar
dari mulutnya. Dan pukulan mematikan segera dilancarkan Suro Bodong ke arah
pelipis serta otak belakang musuhnya. Maka, ninja itu pun tergeletak mati.
Sedangkan yang terkena tendangan maut pada kemaluannya masih berkelojotan
menahan sakit dengan suara tak terdengar lagi. Suro Bodong segera mengambil
samurai milik ninja yang telah mati. Ia segera menancapkan samurai itu ke perut
ninja yang kelojotan itu hingga samurai menembus ke belakang, menancap pada
tanah. Resi Padma sendiri dengan cepat menangkis serangan samurai ninja dengan
menggunakan tongkatnya. Ia sempat menendang perut ninja dan membuat lawannya sempoyongan ke
belakang. Resi Padma tidak memberi kesempatan sedikit pun. Ia segera menotokkan
tongkatnya yang penuh aliran tenaga dalam ke dahi lawan. Seketika itu, kepala
lawan menjadi retak, dan darah mengucur dari beberapa tempat. Sekali lagi Resi
Padma mengibaskan tongkatnya ke kanan. Keras dan kuat sekali, sehingga musuhnya
yang telah parah itu terhempas bersama kepala yang remuk total.
Sementara itu, Wangon ternyata sudah istirahat sejak tadi, karena begitu ia
ditebas perutnya dengan samurai, ia berhasil melompat ke atas dan bersalto. Pada
saat itu ia melepaskan Nenggolo Kuburnya tepat mengenai ubun-ubun sang ninja.
Mata tombak yang mampu melesat sendiriseperti anak panah itu kembali ke
tempatnya setelah merenggut nyawa lawannya. Wangon bekerja lebih cepat daripada
Suro Bodong maupun ResiPadma.
"Cepat kita bergerak ke pondok mereka!" kata Suro Bodong. Lalu mereka melesat
bersama-sama dengan menggunakan tenaga peringan tubuh. Ketika tiba di tepi
sungai, Suro Bodong membentangkan tangannya, pertanda agar mereka berhenti
sejenak. "Kita lewat sebelah sana, yang ada pohon melengkung itu! Di sana daerah sungai
yang bebas buaya! Di sini kita bisa mati dicium buaya.. !"
Baru saja berkata begitu, tahu-tahu dari arah belakang Wangon merayap buaya
gemuk dengan gigi yang menyeramkan. Wangon segera menjerit kaget dan melompat
tinggi. Saat itu kaki Resi Padma ganti menjadi sasarannya. Tetapi lelaki kurus
berjenggot putih itu mampu mengendalikan ketenangannya. Ia melompat ke atas,
namun tongkatnya segera disodokkan ke bawah, tepat mengenai kepala buaya. Buaya
itu menggelepar dalam keadaan kepalanya pecah. Ekornya mengibas ke depan, tapi
Resi Padma segera menyambut dengan tebasan tongkatnya. Ekor buaya itu patah
menjadi dua bagian.
ResiPadma berdiri dengan kedua kaki merendah, lalu sekali lagi ia menyalurkan
tenaga dalamnya pada tongkat berkepala burung merak kecil lengkap dengan
jambulnya. Tongkat itu menyodok kepala buaya lagi, dan kini kepala itu bagai
terkena ledakan dahsyat, pecah menjadi berkeping-keping. Suro Bodong
mengacungkan ibu jarinya.
"Hebat gerakanmu, Resi! Ayo, kita lekas bergerak. .! Hati-hati kalau-kalau
masihada buaya yang mendarat.. !"
Mereka tiba di tepi sungai yang ada pohon lengkungnya. Suro Bodong merentangkan
tangan, pertanda meminta kedua temannya berhenti dulu. Mata mereka melirik ke
sekitar dengan teliti. Suro Bodong berbisik kepada ResiPadma,
"Di dalamair itu aku yakin ada ninja yang bersembunyi disana. ."
Resi Padma hanya menggumam dan mengangguk, lalu tiba-tiba ia memutar tongkatnya
di sela-sela jemarinya. Putaran berhenti seketika, kemudian ujung tongkat
dicelupkan ke dalamair.
"Uuuuuaaaaww. . .! " Dua kali teriakan lengking membahana. Dua tubuh ninja
terlonjak dari dalam air, melayang ke atas dalam keadaan berdarah. Kemudian ia
jatuh ke permukaan air tanpa berkutik lagi. Agaknya sebuah tenaga dalam yang
cukup dahsyat telah disalurkan ke tongkat itu oleh Resi Padma dan membuat kedua
ninja yang bersembunyi di dalam air bagai terkena strom bertegangan tinggi.
"Kita menyebrang..!"Suro memberiaba-aba. Ia melompat ke batangpohon
yangmelengkungdi atas sungai. Kemudian Wangon dan Resi Padma mengikutinya.
Mereka tiba di tepi sungai, sudah dekat dengan pagar tembok pondok para ninja.
"Kita masuk lewat tembok itu saja.. !" bisik Suro Bodong. "Jika kita melompati
tembok itu, maka kita akansampai disamping kamar tahanan tempat ku dulu di
tawan!" "Baik," jawab Resi Padma. "Aku dan Wangon akan menghadapi para cecunguk, dan kau
masuklah ke tengah, cari kamar yang sekiranya dijaga ketat. Di situlah pasti
tersimpan Pedang Kerak Neraka!?"Awaaas..!" pekikWangon yangsegera
mendorongSurodan gurunya.Dua buahsenjata rahasia melesat ke arah mereka. Wangon
melayangkan tubuh dengan hentakkan kaki ke tanah, kemudian mengibaskan senjata
Nenggolo Kubur dengan cepat sehingga terdengar bunyi, Tri iing.. tiing.. !!
Senjata rahasia itu berhasil dihalau oleh Wangon. Ia segera berguling ke tanah,
demikian juga Suro Bodong dan Resi Padma. Lalu sekilas bayangan terlihat oleh
Wangon dari atas pohon. Segera ia melancarkan jurus Nenggolo Kuburnya. Ujung
senjata yang menyerupai mata tombak itu melesat ke arah lawan dengan cepat.
"Aaaahk.. !!" pekik tertahan terdengar dari atas pohon. Lalu tubuh berpakaian
serba hitam pun roboh ke tanah, pada saat itu ujung Nenggolo Kubur kembali ke
tempatnya semula. Wangon segera berdiri sigap. Matanya bergerak liar mencari-
cari kemungkinan lain. Tapi rasa-rasanya untuk sejenak mereka aman.
"Suro, melompatlah dulu ke dalam tembok itu, akuakan menjaga kemungkinan di luar
tembok," usul Wangon. "Segera menyusul kalau keadaan di luar sudah aman, ya?" kata Resi Padma kepada
Wangon. "Baik, Guru.. !"
Resi Padma baru saja hendak melompat masuk, tiba-tiba seorang ninja datang dari
arah samping. Ia melemparkan senjata rahasianya. Wangon segera menangkis, melindungi
gurunya seraya berseru dalam bisik, "Cepat naik, Guru. Susul Suro Bodong. Biar
aku yang menghadapi mereka disini. .!"
ResiPadma melesat ke atas tembok dengan bersalto dua kali. Ternyata bukan satu
ninja yang mendekati Wangon tapi dua orang ninja dari arah yang berbeda.
Wangon melompat dan bersalto ke arah ninja yang paling dekat dengannya. Sebuah
tebasan samurai berkelebat ke arah pundakriya. Wangon meliukkan tubuh seraya
menangkis dengan senjatanya.
Hampir saja pundaknya terbelah oleh tebasan samurai itu. Ketika ia berhasil
menahan samurai dengan Nenggolo Kubur, segera ia melancarkan pukulan ke arah
wajah ninja itu. Lawan memiringkan badan ke kiri, disambut oleh lutut Wangon
dengan keras. Ninja itu menggeliat kesakitan, lalu segera Wangon kibaskan
senjatanya yang runcing ke arah dada lawannya. "Sreeet..!" Senjata itu melukai
dada ninja. Lawan masih bertahan dan hendak mengayunkan samurai ke arah wajah Wangon. Tapi
dengan gerak merunduk dan menghunjamkan senjata Nenggolo Kubur, ia berhasil
menusuk ulu hati lawannya.
"Mampus kau. .! Ini pembalasan untuk Lohan. .!!" teriak Wangon seraya sekali
lagi menusuk tubuh itu dengan senjata Nenggolo Kubur.
"Aaaah. .!" Wangon tiba-tiba menjerit, ketika ia melihat kemilau logam melayang
ke arahnya, dari ia menghindar ke kiri, tapi terlambat. Senjata rahasia itu
menancap di punggungnya, dekat dengan pundak.
Wangon segera melesat ke atas, bersalto beberapa kali untuk menjauhi ninja yang
dari arah lain itu. Ia masih mampu berdiri dengan kaki tegap. Segera ia mencabut
senjata rahasia berbintang empat itu dari punggungnya.
"Aaaaauuuuh. .!" Wangon memekik karena ia telah berhasil mencabut senjata
rahasia yang menancap di punggung. Pada saat itu, lawannya menyerusuk masuk ke
depan dengan samurai tertuju ke depan, dipegangi dengan kedua tangan. Ujung
samurai itu sudah dekat dengan perut Wangon. Tepat pada saat itu Nenggolo Kubur
dikibaskan ke arah kiri. Samurai miring ke samping sekali pun berhasil
ditusukkan. Tapi kaki ninja itu segera bertindak, menendang dengan tendangan
miring beruntun kearah wajah Wangon. Ia berhasil membuat Wangonjatuh telentang
dalam keadaan sakit.
Dengan sigap dan penuh semangat membunuh, ninja itu mengangkat samurainya,
hendak menancapkan ujung samurai ke perut Wangon. Tetapi ketika ia mengangkat kedua
tangannya untuk mengayunkan samurai, tiba-tiba ujung Nenggolo Kubur telah
melesat lebih dulu dari tangkainya. Mata tombak itu menembus ke leher ninja,
melesat tembus, dan kembali lagi melalui leher itu, kemudian melekat di ujung
tangkai Nenggolo Kubur.
Sejenak Wangon berdiam diri, menyalurkan tenaga murninya untuk melawan racun
akibat senjata rahasia yang melukai punggungnya. Pada saat itu, ia tak tahu apa yang
dilakukan Suro Bodong dan Resi Padma di dalam tembok kokoh itu. Ia tak tahu
kalau Resi Padma dan Suro Bodong saling berbisik di samping kamar tahanan:
"Kalau kau punya jurus penghancur, gunakanlah itu. Kita tak akan sanggup
menghadapi para ninja sebanyak ini dengansatu persatu!" kata Resi Padma.
"Itu gagasan yang bagus. Ledakkan mereka, ledakkan gedung-gedungnya, supaya
sekali serang bukan hanya satu dua ninja yang mati. Ah, aku senang dengan
gagasan seperti itu. Pasti bakalan ramai ini, ya. ." Mari.. !"
Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya dengan cepat. Tahu-tahu ia telah
menggenggam sebilah pedang bercahaya ungu dan indah sekali. Resi Padma tertegun
heran beberapa saat. "Itu.. itu senjatamu?"
"Ya. Inilah yang namanya Pedang Urat Petir. .! Hei, jangan bengong, itu ada dua
orang ninja kuning mendekati kita, kau lawan dia dan aku akan meledakkan
beberapa gedung dan bangunan.
Selamat. .!"
Suro Bodong melesat meninggalkan Resi Padma, waktu itu Resi Padma pun segera
menyongsong kedua ninja kuning. Suro Bodong terkejut sejenak begitu mendengar
suara dentuman kecil di belakangnya. Oh, Resi Padma sedang menghentakkan
tongkatnya ke arah kedua ninja dan menimbulkan ledakan kecil yang membuat tubuh
kedua ninja terkapar tanpa nyawa. Suro tersenyum. Ia segera mengacungkan
pedangnya ke langit dengan tangan kokohnya. Pedang itu diputar-putarkan sampai
tujuh kali, kemudian diacungkan ke arah banguanan utama di mana ada beberapa
ninja yang berhamburan menuju suara ledakan dari Resi Padma tadi. Pada saat
pedang diatungkan, keluar nyala api seperti kilatan petir berwarna biru bening.
Nyala api itu menghantam bangunan tersebut, dan ledakan amat dahsyat terjadi
mengguncangkan bumi. Bangunan itu hancur, beberapa ninja melayang tinggi dalam
keadaan tak lengkap anggota badannya; ada yang tanpa tangan lagi, ada yang
kepalanya hilang, ada pula yang kehilangan kedua kakinya. Itulah kedahsyatan
jurus 'Pedang Lidah Petir', yang jarang digunakan Suro Bodong.
Suara ledakan terdengar cukup keras juga di sebelah sana. Oh, rupanya Resi Padma
menghancurkan sekawanan ninja kuning yang berlarian di tengah tanah lapang
tempat berlatih mereka.
Suro Bodong tak mau kalah hebat, sekali lagi ia menggunakan jurus 'Pedang Lidah
Petir', dan beberapa bangunan meledak kembali. Menewaskan beberapa penghuninya.
Api berkobar dan para ninja menjadi panik. Resi Padma meledakkan para ninja
dengan tongkat saktinya yang mampu mengeluarkan nyala api merah membara bagai
menyembur dari ujung tongkat itu.
Mayat bergelimpangan. Darah berceceran di mana-mana. Teriakan mereka menjadi
teriakan dari dalam neraka. Tak satu pun para ninja yang berhasil mendekati Suro
Bodong atau pun Resi Padma.
Bahkan ninja merah, yang kelasnya lebih tinggi, juga tak berhasil melarikan diri
dari semburan ujung tongkat Resi Padma. Ledakan demi ledakan saling bersahutan,
sehingga bumi terasa samakin oleng ke kanan kiri. Sampai akhirnya, semua
bangunan rata dengan tanah, dan para ninja saling bertumpuk tanpa nyawa.
Namun tiba-tiba, muncullah ninja berpakaian serba biru. Ia bukan hanya
menyelipkan sebuah samurai di punggungnya, melainkan juga menyelipkan pedang
bersarung emas di pinggang kirinya.
Suro Bodong hendak menyerang dengan jurus 'Pedang Lidah Petir'. Tetapi Resi
Padma berseru, "Tunggu!!"
Suro Bodong berpaling ke arah Resi Padma, tahu-tahu ia diserang dengan senjata
rahasia yang berdesing cukup tinggi. Dan tanpa disadari ia bersalto tujuh kali
di udara. Ia telah menggunakan jurus Luing Ayan-7. Di mana setiap ia bersalto
tujuh kali di udara, tanpa menyentuh tanah, maka ia akan berubah menjadi seorang
pendekar tampan, berbadan tegap, berotot dan berambut panjang halus. Ia
mengenakan ikat kepala dari emas bermata merah, mengenakan rompi kuning emas dan
celana kuning emas pula. Ninja biru yang kononadalah ketua ninja di situ menjadi
tertegun sejenak.
Keadaan ninja itu dimanfaatkan oleh Suro Bodong yang telah berubah menjadi Panji
Bagus untuk menyerangnya. Ia melayang sambil menggerakkan pedangnya lurus ke
samping. Namun ketika itu ninja biru mencabut samurainya dan menangkis pedang
sinar ungu yang memancarkan sinar indah itu.
Samurai itu tiba-tiba patah sebelum bersentuhan dengan pedang Urat Petir. Hal
itu digunakan oleh Panji Bagus untuk menebas lengan ninja biru. Lengan itu
berkelit sehingga tebasannya menjadi meleset. Tetapi pukulan tangan kiri Panji
Bagus segera mengenai rahang lawannya. Ninja biru bertahan, kini ia menggerakkan
kakinya, dan menghentak di pinggang Panji Bagus. Tangan Panji Bagus merapatkan
siku, sehingga hanya sikunya yang terkena tendangan lawan. Maka, seketika itu
ninja biru melesat ke atas, berdiri di dahan pohon. Panji Bagus menyusulnya. Ia
menggunakan ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna, sehingga ia mampu berdiri
di atas selembar daun. Kemudian dengan cepat ia menebaskan pedangnya dan
berhasil merobek punggung ninja biru. Ninja biru bersalto turun ke tanah. Panji
Bagus tidak mau memberi kesempatan sedikit pun, ia segera mengejar ke bawah.
Belum sampai kakinya menginjak tanah, ia telah berhasil melemparkan Pedang Urat
Petir. Pedang itu tepat menancap di jantung ninja biru, sehingga orang itu
mengerang pelan, kemudian rubuh ke tanah. Mati.
Bagian yang tertancap pedang Urat Petir mengepulkan asap dan menjadi hangus
seketika itu. Resi Padma tersenyum lega. Ia segera menghampiri Panji Bagus. Pada saat itu,
Wangon juga melesat dari luar tembok, kemudian bergabung dengan gurunya.
"Siapa orang ini, Guru"!" tanya Wangon. Ia heran melihat perubahan Suro Bodong
yang begitu tampan dan bermata bening, teduh.
Resi Padma menjawab dengan senyum, "Suro Bodong memang bukan orang sembarangan,
Wangon." "O, ya" Tapi di mana dia sekarang?"
"Di depanmu," jawab Resi Padma. Wangon terbengong, matanya membelalak lebar tak
berkedip memandang Panji Bagus. LaluPanji Bagus tersenyum dengan mengerlingkan
mata pada Resi Padma.
"Seharusnya, jangan membuat muridmu menjadi seperti patung kodok begitu, Resi
Padma. Lihat, dia bisa tahan tidak kencing seminggu jika melihatku dengan cara begitu.
Hei, Wangon.. !
Sudahlah, jangan memandangku begitu! Nanti kau lama-lama jatuh cinta padaku,
repot!" "Suro Bodong. ."!"Wangon mendesah keheranan.
"Dalam keadaan seperti ini, namaku bukan Suro Bodong, tapi: Panji Bagus!"
"Gila. .! Ilmu apa yang kau miliki sebenarnya?" gumam Wangon seraya berputar
memandangi Panji Bagus.
"Aku bisa berubah ujud tujuh kali. Tergantung berapa kali aku bersalto di udara.
Tapi.. sudahlah, lupakan keadaanku ini.. "
Kemudian Panji Bagus mencari tempat lega. Ia melompat ke udara dan bersalto satu
kali. Tahu-tahu tubuhnya berubah, bukan menjadi Panji Bagus lagi, melainkan
menjadi Suro Bodong yang suka garuk-garuk kumis. Pedang Urat Petir masih
digenggamnya di tangan kanan. Wangon semakin terkagum-kagum, demikian pula Resi
Padma, namun Resi Padma bisa menyembunyikan rasa
kagumnya. "Nah, kalau keadaan begini lebih enak, kan?" kata Suro Bodong, kemudian mencabut
sebilah pedang bersarung emas.
"Inikah Pedang Kerak Neraka"!"
"Benar. .!" kata ResiPadma. "Mari kubuktikan kata-kataku kemarin..."
ResiPadma membuka bagian dari sarung pedang emas itu, dan di antara lapisan
sarung tersebut memang terdapat sehelai gulungan lontar tipis yang berisikan
catatan-catatan tentang ketiga tingkatan ilmu: Sabda Titah dengan mantera-
mantera, Asmaragama, dan Galih Racun. Benar. Resi tidak bohong.
"Dan kau tahu siapa pencuri sebenarnya?"tanya Suro.
"Pimpinan ninja tentunya, orang yang mati ini, kan?" jawab Wangon.
"Sekarang, akan kubuka pembalut yang menutupi wajahnya ini, lalu
perhatiakansiapa dia.. !"
Ketika Suro Bodong membuka kain yang menutup sekujur tubuh mayat ninja biru,
Resi Padma terpekik bersama denganWangon. Matanya membelalak dengan mulut
ternganga kaku. "Ajeng.."! Ajeng Wasti. "!"
"Ya. Ajeng Wasti," jawab Suro. "Aku sudah lama mencurigai dia, terutama sejak


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepergiannya yang pertama. Aku tidak menyebutkan arah pondok ninja ini, tapi ia
katanya berhasil sampai si sini dan diperkosa. Padahal murid-murid yang
dibawanya itu justru dibantai olehnya sendiri, termasuk Lohan!"
Wangon dan Resi Padma tertegun lemas. Tak ada kata yang terucap. Bisu dan beku.
Dan Suro Bodong pun mulai melangkah menyusuri hatinya yang kelabu, mencari
kekasihnya: Rama Prawesti.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Petualang Asmara 23 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Darah Perempuan Iblis 1
^