Pencarian

Pedang Kerak Neraka 1

Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka Bagian 1


PEDANG KERAK NERAKA
Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
CetakanPertama Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisahPedang Kerak Neraka
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.503
1 Suro Bodong melompat kian ke mari menghindari serangan benda kecil mengkilat.
Desing benda itu cukup mendirikan bulu roma. Dari ujung batu ke ujung batu yang
lain kaki Suro Bodong menjejak dan menapak. Lompatannya sudah mulai tak
beraturan ketika serangan gelap itu semakin gencar.
"Bangsaaaat.. ! keluar kau dari persembunyianmu!" teriak Suro Bodong ketika ia
berhasil bersembunyi di antara celah bebatuan. Tetapi, tiba-tiba dari arah
kirinya melesat sebuah benda yang memantulkan cahaya matahari. Benda itu
menjurus ke arah Suro Bodong, sedangkan Suro Bodong tidak punya kesempatan untuk
keluar dari celah batu itu.
Ia bermaksud meloloskan diri dari celah sebelah kiri, namun karena badannya yang
agak gemuk dan perutnya yang sedikit membuncit berpusar menonjol itu, maka celah
itu justru seperti menjepit tubuhnya. Lalu, benda berdesing dari arah kanannya
tak sempat dielakkan lagi.
"Aaaaauuuuhhh. .!!" pekik Suro Bodong ketika senjata berbentuk bintang segi
empat itu menancap di lengan kanannya. Darah mengucur dari daging lengan yang
tertancap senjata bintang empat. Suro Bodong meringis. Batu itu sepertinya
menjepit tubuh dari depan dan belakang. Dan yang membuat Suro Bodong semakin
panik, ternyata batu itu bergerak merapat. Tubuh Suro Bodong bagai tergencet.
Padahal batu itu cukup besar, tak mungkin didorong oleh sepuluh orang depan
belakang. Pasti ada tenaga dalam yang begitu besar dan mampu menggerakkan batu tersebut
sehingga merapat.
"Huuuugh.... ! Huuuhg!" Suro Bodong mencoba menahan gerakan kedua batu yang
merapat. Tetapi tenaganya seperti sia-sia saja. Kedua batu itu masih terus makin
menggencet tubuh Suro Bodong.
"Jahanaaaaaammm. .!! Siapa yang bermaksud membunuhku dengan cara sekeji
ini. . !" Suro Bodong berseru dengan suara tertahan. "Uuuuh. Betapa sengsaranya
menjadi orang yang benar-benar tergencet.. !" gerutu Suro Bodong sambil berusaha
melonggarkan pernafasan. Posisi kakinya terenggang rendah, dan kedua tangannya
memegangi batu yang menggencet bagian depan. Batu-batu itu semakin merapat,
gerakannya lamban tapi pasti. Suro Bodong sendiri sejak tadi tidak melihat siapa
orang yang menyerangnya dengan sembunyi-sembunyi itu. Sedangkan senjata bintang
bersudut empat itu telah menancap di lengannya dan saat ini terasa sangat sakit.
Tetapi bagaimanapun juga Suro Bodong segan untuk mati tergencet. Sungguh
memalukan jika ia mati dalam keadaan tergencet dua batu besar itu.
Secepatnya Suro Bodong meludahi kedua telapak tangannya. Masing-masing telapak
tangan diludahi tujuh kali.
"Kuremukkan orang itu jika tertangkap. . .!" geramnya. Kemudian ia memusatkan
pikiran dengan menahan nafas beberapa saat. Tubuhnya sedikit mengempis sehingga
cukup ruang untuk menggerakkan tangannya ke depan leher. Mepet dengan dagu.
Dengan susah payah Suro Bodong menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Lalu,
dengan gerakan lamban namun penuh tenaga kedua telapak tangan Suro Bodong
ditempelkan pada batu yang ada di depannya. Ia menghentak dengan teriakan yang
tertahan. "Huuuuaaaahhh.. !!"
Pada saat itu terdengar suara ledakan yang cukup menggetarkan tanah. Batu di
depan Suro Bodong pecah menjadi beberapa puluh bagian. Diantara pecahan batu itu
ada yang menghantam kening Suro Bodong hingga kening itu berdarah. Juga ada yang
merobek pipi Suro Bodong, hingga pipi itu pun terluka menganga. Ada lagi pecahan
batu yang menghantam tulang di ujung leher bawah, hingga tulang itu terasa
patah. Suro Bodong merasa pusing, lalu jatuh lemas tak sadarkan diri.
Bagi Suro Bodong, hal itu lebih baik daripada dia mati tergencet dua batu besar.
Memang, ilmu 'Salam Tempel' yang digunakan tadi telah mampu membuat batu di depannya itu
hancur menjadi beberapa puluh bagian. Dan beberapa batu menghantam wajah Suro
sehingga ia menjadi pingsan.
Tetapi, bukankah lebih baik pingsan daripada mati tergencet dua batu besar"
Tetapi ketika ia siuman, ia menjadi kebingungan melihat keadaan dirinya. Ia
berada dalam satu ruangan selebar delapan langkah ke depan dan lima langkah ke
samping. Ruangan itu kosong. Hanya ada satu bangku panjang dan tikar. Itu pun
tikar rombeng. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah tiang saka. Pada tiang saka
itu tubuh Suro Bodong terikat. Tali melingkar di bagian perut dan kaki yang
rapat dengan tiang, sedangkan tangan keduanya terikat dengan rantai ke belakang.
Ia seperti memeluk tiang jati dari belakang. Dari perut sampai kaki dililit tali
kuat yang membuat ia bisa berdiri dalam keadaan pingsan tadi. Sedangkan sebuah
rantai lebih kecil menjerat lehernya, hingga leher Suro mau tak mau harus
merapat pada tiang tersebut. Jika ia bergerak maju, maka ia akan tercekik oleh
rantai tersebut.
"Bangsat.. !" geramnya setelah menyadari keadaan dirinya. "Siapa yang melakukan
begini"! Salah apa aku kepadanya" Dan.. di mana aku sekarang ini"!"
Suro Bodong memandang sekeliling. Kamar itu lega, tapi mempunyai kelembaban yang
dingin. Lantainya hanya dari plestersemen sederhana. Ada yang gompal bagian sudutnya.
Tembok kamar bagai terbuat dari batu-batu kali yang hitam dan berbentuk pipih.
Di depan Suro Bodong ada pintu kamar yang terbuat dari besi. Kokoh, dan berwarna
hitam. Agaknya pintu itu tertutup rapat dansulit dibongkar paksa. Baut dan paku-
pakunya menonjol pada setiap tepian pintu.
Suro Bodong mencoba meronta. Oh, ikatan pada tubuhnya sangat kuat dan alot. Otot
dikeraskan dan tangan mencoba merenggang, tapi rantai itu tak dapat putus. Gemas
dan jengkel sekali Suro Bodong dengan keadaan seperti itu. Ia telah menjadi
seorang tawanan. Tapi tawanan bagi siapa" Dan apa salahnya sehingga ia ditawan
sebegitu kasarnya"
Mata Suro Bodong terpejam menahan rasa perih pada lengan. Senjata bintang
bersudut empat telah dicabut paksa oleh seseorang yang menawannya. Ada bekas
luka yang masih ternganga pada lengan, sedikit mendekati pundak. Luka itu telah
mengering darahnya. Berarti Suro Bodong sudah lama tak sadarkan diri di dalam
kamar itu. Setidaknya ia telah pingsan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Suara kunci gemerincing. Pintu kamar itu ada yang hendak membukanya. Mata Suro
Bodong segera membelalak, ingin mengetahui, seperti apa ujud orang yang menawannya. Dan
mata itu hanya memandang bagai orang terbengong, karena saat pintu terbuka,
ternyata muncul seorang perempuan berwajah manis. Perempuan itu hanya mengenakan
kain pembalut tubuh dari batas dada sampai ke betis. Rambutnya meriap tak
beraturan. Kulitnya hitam manis, lehernya jenjang, sesuai dengan bentuk tubuhnya
yang kurus, namun bukan kerempeng.
Perempuan inikah yang telah menangkapnya dan mengikat Suro Bodong" Perempuan
inikah yang melemparkan senjata rahasia dari tempat persembunyiannya" Suro Bodong
memperhatikan dengan mata memancarkan kemarahan yang terpendam. Perempuan itu
tak mau memandang Suro Bodong, setelah sekali ia memandang Suro ketika masuk
tadi. Perempuan berkain warna merah, seperti baju jubah yang dikenakan Suro
Bodong, hanya membisu dan meletakkan semangkok sayur bening serta secangkir air
putih. Ia meletakkan barang-barang itu di bangku panjang.
"Kenapa aku diikat begini"!" geram Suro Bodong. Perempuan itu tidak menjawab.
Suro membentak "Kenapa aku diserang dan ditawan seperti ini, hah"!"
Perempuan itu hendak pergi meninggalkaan Suro Bodong tanpa jawaban atau gerak
mata apa pun. Suro Bodong merasa disepelekan. Ia semakin berteriak:
"Jahanaaam.. ! Jawab pertanyaanku! Kenapa aku dibuat sengsara seperti ini, hah"!
Apa salahku!"
Apa.. ."! Hei, jawab pertanyaanku!!"
Lalu perempuan itu berhenti melangkah, dan berpaling memandang Suro Bodong.
Matanya yang kecil namun mempunyai manik mata yang hitam bening menyipit sedikit, ia pun
berkata dengan ketus: "Kau tidakberhak membentak-bentakaku,keparat!"
Suro Bodong melonggarkan nafas, memandang kemanisan wajah perempuan itu. Mulut
perempuan tersebut yang memiliki bibir mungil seperti kuncup mawar itu berkata
lagi: "Jangan merasa dirimu berkuasa atas diriku! Kalau kau merasa berkuasa dan hebat,
coba.. lepaskan dirimu dari ikatan itu! Lepaskan dirimu dan larilah kalau kau bisa! Itu
baru kuakui kehebatanmu!"
"Aku bertanya dan kau tidak menjawab. Maka aku membentak, karena kukira kau
tuli!" kata Suro Bodong masih dengan kasar.
"Aku tidak tuli!" ketus perempuan itu.
"Tapi mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku yang pertama" Mengapa"!"
"Karena aku tidak ingin bicara kepada siapa pun di sini. Aku enggan mengeluh,
menjawab, mengadu dansebagainya!"
Ada kecurigaan yang muncul di hati Suro Bodong. Kata-kata itu seakan mempunyai
arti sendiri dan membuat Suro Bodong sedikit mengendorkan ketegangannya.
"Mungkin kepadaku kau mau bicara?"
"Tidak kepada siapa pun, termasuk kepadamu, aku tidak mau bicara!" ketus
perempuan itu sambil mendekat dan menyipitkan mata pertanda menyimpan dendam.
"Tapi nyatanya kau sudah bicara padakusaat ini, bukan?"
Perempuan itu tertegun sejenak. Ia mengakui, bahwa tanpa disadari bukankah ia
telah bicara sejak tadi" Ia segera buang muka, dan berkata lagi:
"Mulai sekarang, kita tak perlu bicara lagi."
"Boleh asal kau jelaskan mengapa aku terikat dan ditawan seperti ini"!" sahut
Suro Bodong secepatnya.
"Aku tidak tahu!"jawab perempuan itu tetap buang muka.
"Apakah bukan kau yang melakukannya"!"
"Aku tak pernah mengikat seorang lelaki! Aku bukan golongan perempuan yang
membatasi kebebasan lelaki!"
"Jadi. . jadi apa kerjamu di sini"!"
Perempuan itu berpaling dengan sinar kedendaman di matanya, ia berkata sambil
menggeram. "Kau ingin tahu"!"
Setelah Suro Bodong menggumam, perempuan itu melanjutkan kata, "Aku menjadi
pemuas nafsu mereka!" Ia menelan ludah, menahan kepedihan. "Aku lebih menderita
daripada kau, tahu"!"
Perempuan itu hendak keluar, Suro Bodong buru-buru mencegah. "Tunggu...!" Ketika
perempuan itu berhenti dan berpaling, Suro Bodong segera berkata:
"Jadi, kau tawanan juga di sini?"
Sorot mata perempuan itu masih memancarkan dendam yang meletup-letup. Ia berkata
dengan tandas, bagai menggeram:
"Memang. Tapi lebih buruk aku daripada kau!"
"Tidak ada tawanan yang tidak buruk nasibnya. Semua tawanan pasti buruk
nasibnya. Kalau nasibnya tidak buruk dia tidak akan menjadi tawanan, tapi jadi
menawan!" Suro Bodong melemparkan senyum tipis. Perempuan itu masih diam menatap
dalam bayangan dendam.
"Laluapa maksudmu, heh?"
"Mungkin kita bisa bekerja sama untuk lolos dari sini."
Perempuan berleher jenjang dan berkulit hitam manis itu mendekat seakan bergerak
di luar kesadaran. Ia memperhatikan Suro Bodong seperti sedang menyelidik,
memandang dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Lolos dari sini" Lari"!" Ia menampakkan kesangsiannya.
Senyum tipis kembali tersembunyi di balik kumis Suro Bodong yang lebat itu. Ia
berkata dengan tenang:
"Namaku Suro Bodong. Kau siapa?"
Setelah sekali lagi memandang dari ujung kaki ke ujung rambut, perempuan itu
menjawab lirih, ketus: "Sulastri..!"
"Sulastri. .?" ulang Suro pelan sekali, juga sambil memandang dari ujung kaki
sampai ujung rambut perempuan itu.
"Kamu termasuk orang sombong!" kata Sulastri dengan menyipitkan matanya.
"Sombong" Maksudmu sombong bagaimana?"
"Dalam keadaan terikat begitu kau masih berlagak sanggup melarikan diri. Mana
mungkin" Kau sendiri tak bisa lepas dari ikatan itu,bagaimana mau melarikan
diri?" Suro Bodong menghela nafas. Sesak
"Sulastri. . kalau kau mau bekerja sama denganku, kita akan bisa melarikan diri
dari sini. Bukakan rantai dan tali pengikatku. Lalu kita lari bersama-sama!"
"Hem.. !" Sulastri mencibir. "Mereka terlalu kuat dan tak mungkin akan bisa kau
tembus penjagaannya."
Suro Bodong ingin bicara, namun terhenti seketika karena kemunculan seorang
lelaki dari balik pintu. Lelaki itu berkepala gundul. Polos. Tubuhnya lebih
besar dari Suro Bodong. Ia mengenakan celana dari kain tebal warna hitam, tanpa
baju. Pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit ular warna hitam keputih-
putihan. Hidungnya tergolong hidung yang besar, dengan mata belo dan kumis tebal
melengkung ke atas pada setiap ujung sisinya. Sungguh menyeramkan wajah itu,
terutama bagi seorang perempuan seperti Sulastri.
"Keluar.. !" geram lelaki gundul kepada Sulastri.
Sulastri memandang penuh dendam dan kebencian. Lelaki itu mendelik dengan
melontarkan bentakan yang kasar:
"Keluar kau!!" Karena Sulastri jalannya lamban, maka dia segera diseret oleh
lelaki gundul. Punggung Sulastri didorong dengan kasar sehingga Sulastri terpelanting membentur
dinding. Untung wajahnya tidak beradu dengan di dinding batu.
"Binatang kau, Sargulo!" bentak Sulastri dengan berani.
"Perempuan kotor. .!!" Sargulo menampar wajah Sulastri. Tangan berjari besar itu
mengakibatkan bibir Sulastri pecah bagian sudutnya, lalu berdarah. Sulastri
memekik dalam tangis, kemudian segera meludahi Sargulo. Ludah menyembur mengenai
dagu Sargulo. Semakin marah lelaki gundul itu. Ia segera mengambil cambuk dari
pinggangnya. Cambuk sepanjang satu hasta itu hendak dilecutkan, tetapi tiba-tiba
Suro Bodong berkata dalam kesinisan:
"Tentu saja kau menang, Sargulo.. Dia perempuan! Tapi jika menghadapi aku,
kujamin kau akan malas bernafas!"
Cambuk itu tetap melecut, namun tubuh Sargulo berputar sehingga lecutan cambuk
sengaja dikenai tubuh Suro Bodong. Saat itu, Suro Bodong terpekik tertahan, dan
Sulastri buru-buru lari keluar dari kamar itu.
"Kau perlu mengenalku lebih dekat, Kambing. .! "
"Taar.. ! Taaaar.. ! Taaarr. .!"
Sargulo mencambuk tiga kali dengan kasar dan dengan sabetan yang kuat. Suro
Bodong berkelejotan tiga kali dengan mulut ternganga menahan sakit.
"Itulah aku: Sargulo, yang tidak bisa dibuat mainan dan disepelekan oleh siapa
pun!" ujar lelaki gundul seraya menggenggam cambuk hitamnya yang besar.
Mata Suro Bodong sedikit berkunang-kunang. Ia menatap Sargulo dengan menyipit
dan memancarkan dendam. Ia merasa belum pernah bertemu dengan Sargulo. Ia tahu
namanya juga dari suara Sulastri tadi. Suro Bodong sangat heran, mengapa ia
tahu-tahu berurusan dengan orang yang belum pernah dikenalnya" Ada apa
sebenarnya"
"Kau orang perguruan Merak Senggol, bukan"!"
Suro Bodong sedikit berkerut dahi. Suara Sargulo cukup jelas, karena lelaki itu
bicara di dekat telinga Suro Bodong. Kata-kata itu cukup aneh, sehingga Suro
Bodong membiarkan saja, karena dianggap kata-kata dari orang gila.
Tetapi dengan kasar Sargulo menjambak rambut Suro Bodong dan menariknya ke
belakang sedikit miring ke kiri, sehingga Suro Bodong mendongak dengan meringis menahan
sakit. "Jawab.. ! Apa tugasmu memata-matai daerah kami, hah"!" Sargulo semakin kasar,
semakin keras menarik rambut Suro Bodong yang panjang dan tidak teratur itu.
Ikat kepala berwarna merah darah hampir terlepas karena sentakan Sargulo yang


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasar itu. "Jawab. .! Atas perintah siapa kau memata-matai kami, hah"!"
Dengansuara mengggeram, Suro Bodong berkata:
"Aku bukan mata-mata!"
"Bohong.. !" seraya pukulan keras dengan siku yang besar itu menghantam rahang
Suro Bodong. Gigi geraham Suro Bodong terasa mau copot rasanya. Ia hanya menyeringai
kesakitan. "Kau pasti orang andalan dariTimur. Iya, kan"!"
"Bukan!"
"Bohong.. !" Sargulo menghantam dagu Suro Bodong dengan keras. Dagu itu berdarah
karena terkena cincin hitam yang melingkar di tangan kanan Sargulo.
"Berapa orang temanmu yang menyusup ke mari" Jawab!"
"Lebih baik kau pukul saja aku sekali lagi, sebab jawabanku pasti akan kau kira
bohong!" kata Suro Bodong yang merasa dongkol sekali karena jawabannya selalu
disangkal. Tapi, justru Suro Bodong tidak mendapat tamparan atau pukulan dari
Sargulo. Lelaki itu menyeringai memuakkan,
menampakkan giginya yang besar-besar mengerikan
"Setiap mata-mata yang menyusup ke mari, pasti akan mati. Kau adalah contoh
mata-mata yang pertama."
"Dan kau adalah korbanku yang keseribu kali lebih!" Suro Bodong tak mau kalah
gertak. Karena gertakannya itu, ia mendapat hadiah ditendang mulutnya oleh kaki
besar Sargulo yang berbulu jarang itu. Bibir Suro Bodong retak dan berdarah.
Suro Bodongmenggeram manahansakit. Ia masih berani bicara:
"Pamitlah kepada teman dan kerabatmu, Sargulo. Sebab sebentar lagi kau akan mati
dan malas hidup kembali!"
Sargulo tertawa lebar, keras. Suro Bodong semakin muak dengan lagak lelaki
berhidung besar itu.
"Kau tak perlu menggertak aku, Babi. Kau tak bisa menghindari kematianmu
sendiri. Tetapi jika kau mau mengaku, dan mau bekerja sama dengan kami, kau akan
selamat. Sekarang juga akan kusuruh Sulastri membawakan nasi dan ikan ayam yang
sangat lezat. Kalau memang kau orang kuat, bisa kuusulkan untuk mengangkat kau
sebagai orang pilihan kami."
"Aku seperti bermimpi mendengar kata-katamu. Kau sendiri apakah yakin kalau aku
tidak sedang bermimpi saat ini?"
Suro Bodong memandang tanpa kedip. Sargulo meludah seenaknya, lalu mendekat
persis di depan wajah Suro Bodong.
"Ini bukan impian, Bangsat! Kau memang patut kami siksa. Tinggal tunggu perintah
dari pimpinan, kalau beliau perintahkan aku untuk segera membunuhmu, maka dalam
tempo tak kurang dari tiga hitungan, kepalamu akan terpisah dari leher. Kau
mati!" kata-kata terakhir ditegaskan. Suro Bodong tidak memberi reaksi takut
ataupun gentar. Ia mencoba untuk tenang. Sargulo berkata lagi dengan suara
serak, seperti sedang berbisik:
"Kami memang masih membuka kesempatan untuk siapa saja yang mau menjadi pengikut
kami! Kami akan membentuk satu pasukan khusus. Pasukan pengawalan yang terpilih.
Karenanya, perintah dari pimpinanagar aku menawarkan lowongan itu kepadamu,
sekali punaku bebas menyiksamusesuka hatiku, mengerti"!" Sargulo menjauh, dan
katanya lagi: "Jika kamu mau bergabung menjadi anggota kami, segala kebutuhan hidupmu akan
kami jamin. Kita akan menjadi orang-orang pilihan yang hidupnya harus terjamin, makmur. Dan.
. menjadi penguasa setiap wilayah bertambang emas di dunia."
"Aku jadi mengantuk mendengar dongengmu itu, Kakek!"
Tiba-tiba kaki kiri Sargulo berkelebat menendang mulut Suro Bodong. Sargulo
menggeram marah mendengar kata-kata Suro tadi yang bersifat menyepelekan ucapannya.
"Sekali lagi kau menyepelekan kami, kuusulkan kepada pimpinan agar kau
dikuliti!" ancam Sargulo, tapi Suro Bodong hanya meludah. Darah yang diludahkan,
dan Sargulo tersenyum puas melihatnya.
"Kau betul-betul tangguh," kata Sargulo. "Kau punya keberanian yang kami
butuhkan. Sebab itu, menyerahlah. Jadilah anggota kami. Terimalah kesempatan
ini, sebelum aku hilang kesabaran dan berbuat seenak perutku!"
"Sargulo.. kusarankan, carilah tanah yang enak untuk menanam mayatmu nanti.. !"
"Plak. .!Plok.. !
Sargulo menampar dengan cepat dan kuat. Kedua pipi Suro Bodong memerah.
Sebenarnya hati Suro Bodong mengalami kepanikan. Namun ia masih bisa mengerahkan
pikirannya untuk bertindak tenang, menyembunyikan kepanikan itu. Jika sampai
kepanikan itu meningkat dan menguasai jiwanya, maka seperti biasanya, ia tidak
bisa berbuat apa pun. Ia selalu bingung jika kepanikan mencekam jiwanya mutlak.
"Kau benar-benar mengecilkan kami, hah"!" Sargulo menggeram. "Kau anggap kami
ini apa"! Kau anggapakuanak kecil yang tidak bisa memaksamu bertekuk lutut"!"
"Kau siksa aku sampai mati, tak sekali pun kau akan melihat tanda-tanda aku akan
tunduk kepadamu!"
"Bangsat kau.. !" bentak Sargulo dengan menendang dada Suro Bodong, sehingga
nafas Suro Bodong tersendat sesaat. Tulang rusuknya terasa ngilu. Namun ia tetap
berkata: "Siksaanmu seperti nyamuk hinggap di ujung kuku. Kau belum pantas menjadi
algojo. Kau harus belajar lagi untuk menjadi El Maut yang siap menyiksa lawan
sampai berhasil. Belajarlah lebih sadis lagi denganaku, Sargulo!"
Dengan jengkel, Sargulo segera mencambuk Suro Bodong berulangkali. Kibasan
cambuknya sangat membabi buta. Suro Bodong mengeraskan semua otot, sampai pada otot dan
urat yang ada di wajah serta leher. Dengan begitu, tubuhnya menjadi kaku seperti
besi yang tak mempan tergores cambuk. Hanya bilur-bilur merah tipis saja yang
terlihat di tubuhnya.
Sargulo ngos-ngosan karena gerakan cambuknya diiringi nafsu amarah yang cukup
besar. Sedangkan Suro Bodong juga terengah-engah karena menahan nafas beberapa saat,
mengeraskan semua otot atau urat dalam tubuhnya. Tetapi ketika Sargulo berhenti
mencambuk, Suro Bodong masih bisa tersenyum kendati pun tubuhnya terasa perih
semua. Namun tak ada yang terluka.
"Siksaan kelas teri itu, Sargulo. Kubilang tadi, belajarlah menyiksa dari aku,
kau akan menjadi penyiksa teladan. Aku dulu pernah mendapat julukan penyiksa
tersohor. Namun hal itu kulupakan, dan sekarang aku ingin menjadi orang baik-
baik." Sargulo menggeram.Dongkol sekali. Matanya memandang bengis kepada tawanannya.
Tapi tawanannya masih kelihatan segar dan berani berkata seenaknya:
"Sargulo, ambillah besi dan bakarlah sampai memerah, lalu tusukkan besi itu ke
tubuhku berkali-kali. Itu cara menyiksa tingkat dasar. Dan kalau kau lakukan itu
kepadaku, maka aku akan tertawa. Sebab itu adalah penemuanku!"
Sargulo menggeram sambil mengepalkan tinjunya. Suro Bodong sengaja bicara lagi:
"Atau, ambil pisau tajam dan beset-besetlah kulitku, lalu cari air jeruk dan
siramkan ke tubuhku.
Dan.. sekali lagi aku pasti akan tertawa, karena dulu aku paling menyukai adegan
itu. Bahkan pernah temanku kusuruh melukai bagian alat kejantananku lalu kusuruh
menyiramnya dengan arak Tiongkok.
Aku menjerit senang, sebab. . sebenarnya aku paling menyukaisiksaan seperti
itu." Wajah Sargulo berpaling. Rupanya ia bergidik sendiri mendengar penuturan Suro
Bodong yang bohong semata itu.
"Ayo cari cara yang lebih menyakitkan.. ! Aku siap menunggu dan akan
berterimakasih kepadamu kalau kau bisa menyiksaku dengan sangat sakit. Kalau
hanya seperti tadi, yaaah. . keci il. .! "
Suro Bodong mencibirkan bibir. "Hei, ambil pecahan beling dan goreskan pada
mataku, lalu ambil jeruk dan peraskan di mataku, nah. . itu siksaan baru yang
ingin kurasakan kenikmatannya.. "
Sekali lagi, Sargulo sendiri tak dapat menahan diri. Ia bergidik. Merinding.
Merasa ngeri membayangkan hal itu. Suro Bodong mengetahui perasaan Sargulo,
sebab itu ia merasa lega, karena ucapannya dapat mempengaruhi jiwa lawan
Tiba-tiba Sulastri muncul dan berkata kepada Sargulo, "Hito memanggilmu!"
Sargulo diam, memandang Sulastri. Dan Sulastri muak dipandang lelaki gundul
berhidung besar. Ia pergi. Tapi dengan cepat ia meraih tangan Sulastri. Lalu menyeretnya
hingga berada di depan Suro Bodong
"Lepaskan aku.. ! Lepaskan! Aku benci padamu.. .!" Sulastri meronta-ronta. Suro
Bodong terperangah. Hal itu diketahui Sargulo, karenanya Sargulo semakin
menggila. Ia menampar mulut Sulastri dengan keras. Mulut itu berdarah. Ia segera
memandang Suro Bodong dan berkata:
"Lihat, aku punya permainan baru untukmu, Babi.. .!!"
Sargulo merampas kain pembalut tubuh Sulastri. Perempuan itu bertahan sambil
meronta-ronta dan berteriak-teriak menyedihkan. Sargulo semakin gila. Ia
berhasil melepaskan kain pembungkus tubuh Sulastri dengan kasar. Kemudian ia
menggeluti tubuh dengan brutal, seperti binatang dilanda birahi.
"Tidak. .! Aku tidak mau. .! Aku masih sakit, Sargulo! Ooooh. . aku masih saki
it.. !" Sulastri menangis. Tetapi Sargulo malahan tertawa sambil melepas
celananya sendiri. Sargulo menindih tubuh Sulastri yang sudah tanpa penutup ala
kadarnya itu. Sulastri meronta. Sargulo mencengkeram rambut Sulastri dan
menghentakkan kepala perempuan itu ke lantai. Tentu saja Sulastri menjerit
kesakitan. Tubuhnya yang polos tanpa rahasia lagi itu dibentangkan bagai tikar, dan Sargulo
berusaha menjamah kehormatan Sulastri dengan ujung kebanggaan seorang lelaki.
Sulastri meronta terus sambil meratap menyedihkan. Mata Suro Bodong terpejam,
menjadi panik, namun sesekali mengintip sedikit. Tak tega juga ia membiarkan
tubuh Sulastri dipakai ajang kebrutalan nafsu Sargulo yang mempunyai anggota
tubuh serba besar itu.
"Hentikan. .!" teriak Suro Bodong. "Hentikan caramu itu, Sargulo.. !" Suro
Bodong terengahengah sendiri. Sargulo merasa memperoleh angin kemenangan. Ia
tetap menghimpit tubuh Sulastri sambil berkata:
"Apakah kauakan mengakui kemenanganku, Babi. ."!"
Suro Bodong menghela nafas, dan mengangguk. Ia tak tahan melihat perempuan
disiksa seperti itu. Namun ia berkata lain, " Aku tidak tahan.. ! Itu
kelemahanku, sebenarnya. Baiklah. Aku akan bergabung denganmu, tapi. . izinkan
aku mencicipi gadis itu juga.. setuju"!"
2 SENYUM Sargulo menyerupai seringai iblis. Suro Bodong menahan emosi dan
menenangkan diri. Ia tetap memperlihatkan senyum yang aneh, lebih mirip senyum pemburu
nafsu. Sargulo menghentikan semua kegiatannya, tapi tangannya masih menekan dada
Sulastri. Sedangkan, Suro Bodong, sejak tadi memperhatikan matanya yang
berbinar-binar, jalang. Jakun di lehernya terlihat naik turun, bagaimanapun juga
kemarahannya, ia harus bisa berlagak bernafsu melihat tubuh Sulastri. Hal itu
tidak diketahui oleh Sulastri, sehingga Sulastri menyangka bahwa Suro Bodong
benar-benar serakus Sargulo.
"Kelihatannya memang kau punya selera yang sama denganku," kata Sargulo seraya
berdiri, dan memegangi tangan Sulastri. "Aku tak keberatan dengan gayamu yang
sama-sama sejalang aku," Sargulo tertawa bangga.
"Kalau keadaanmu di sini selalu berpesta perempuan, aku tidak akan menolak
menjadi temanmu, Sargulo. Lepaskan aku dan biarkan aku berpesta diatas tubuhnya
beberapa saat."
Sekali lagi Sargulo tertawa lebar. Kemudian tawanya berhenti, berganti
keganasan. Ia memandang Sulastri. Sambil meraih pipi Sulastri dan meremasnya
dengan tangan kanan sampai mulut Sulastri menyong, ia berkata pelan, tapi tegas
dan kasar: "Ambil lauk di dapur, aku akan berpesta dengan dia di sini. Setelah itu,
mandilah yang bersih dan bersiaplah menjadi bahan giliran kami. Mengerti"
Hah.. "!"
"Cuih.. !" Sulastri sempat meludahi wajah Sargulo. Suro Bodong menampakkan
kebrutalannya dengan tertawa keras, seakan menyukai adegan tersebut. Sargulo
hanya mendorong tubuh Sulastri dengan geram. Perempuan itu segera pergi.
Wajah Suro Bodong yang beringas membuat Sargulo menjadi yakin. Dalam hati Suro
Bodong hanya menertawakan kebodohan Sargulo yang tanpa ragu mempercayai kata-katanya.
"Perempuan memang bisa membuat sesuatu yang kaku menjadi lunak. Betul, kan?"
kata Sargulo sambil tertawa. Dan Suro Bodong pun tertawa kasar, seakan-akan ia
benar-benar orang bengis dalam hal perempuan.
Rantai yang mengikat tangannya dilepas oleh Sargulo. Kesabaran Suro Bodong sudah
tidak bisa ditampung lagi. Dendam Suro Bodong sudah tak bisa diendapkan lagi.
Ketika Sargulo hendak melepaskan tali pengikat dari perut ke kaki, ia segera
menghantam kepala Sargulo yang gundul.
"Hiaaat. .!!"
"Aaaaahhh.. !!" Sargulo memekik. Tangannya memegangi kepala di mana darah telah
mengalir dari lobang telinga.
"Bangsat seperti kau memang tak patut mendapat peluang lebih lama, Sargulo."
Pada saat Sargulo menggeliat kesakitan di depan jangkauan Suro Bodong, sekali
lagi Suro Bodong menghantam pelipis Sargulo dengan keras dan dengan tenaga
tercurah. Ia bernafsu untuk melepaskan dendam, bersemangat untuk menghancurkan
kepala Sargulo.
Sudah tentu Sargulo semakin berteriak dengan suara tertahan. Ia jatuh tersungkur
dan Suro Bodong buru-buru melepaskan pengikat lehernya supaya ia lebih leluasa
bergerak. Tapi, ternyata pengikat leher itu tidak mudah dibetot begitu saja. Ia
mengerahkan tenaganya untuk melakukan hal itu dengan buru-buru.
Pada saat itu, Sargulo bertahan. Darah mengucur dari telinganya. Ia berdiri dan
segera menyerang Suro Bodong dengan tendangan yang mantap. Kaki kanan Sargulo
melesat menghantam dada Suro Bodong, tetapi Suro Bodong menangkis dengan satu
gerakan tangan, membuang kaki yang menendangnya. Ia tak dapat membungkuk, sebab
lehernya masih terikat dengan tiang. Ia semakin panik.
Pengikat leher sangat kuat. Gerakan jari dan tangan menjadi menggeragap. Sargulo
melampiaskan kemarahannya yang tak tertahan lagi. Pukulannya sengaja
dipermainkan di depan mata Suro Bodong dan tiba-tiba menghantam telak di wajah
Suro Bodong. "Kau memang babi yang patut dicincang.. ! Hiaaat. .!"
Sekali lagi Suro Bodong kewalahan menangkis serangan kaki Sargulo karena panik
dengan pengikat lehernya. Dadanya bagai kejatuhan martil raksasa ketika kaki kiri
Sargulo menendangnya dua kali dalam kecepatan tinggi. Suro Bodong menyeringai
kesakitan. Tangan kanan Sargulo menghantam perut, tetapi kali ini Suro Bodong
dapat menangkisnya dengan satu pukulan kuat pada pergelangan tangan Sargulo.
Begitu tangan memukul ke bawah, lalu segera melesat ke depan, ke atas, dan
kening Sargulo menjadi sasaran telak. Pukulan itu membuat kening Sargulo
berdarah. Tubuhnya terpental ke belakang, membentur dinding batu.
"Sargulo.. !" Suro Bodong menyebut nama itu di dalam hati. Kemudian ia bersiul
mendendangkan tembang Maskumambang. Itulah ilmu 'Siulan Celeng'. Getaran suara
yang dialiri kekuatan tenaga dalam itu sungguh hebat. Terlihat Sargulo yang
hendak berdiri jadi terjatuh lagi. Ia menutup kedua telinganya. Ia menjerit dan
berkelejot di lantai.
"Aaaaoooww.. !! Sakiiiittt. .! "
Suro Bodong tetap bersiul sambil berusaha melepaskan pengikat leher. Matanya
memandang ke arah Sargulo yang menggeliat kejang dengan mulut ternganga-nganga
menahan sakit. Suara siulan semakin melengking, darah keluar dari telinga,
hidung, mulut dan mata Sargulo. Kian lama kian berasap tipis, kemudian tubuh itu
mengejang tak teratur. Siulan Suro Bodong tambah melengking dan meliuk-liuk.
Sargulo semakin mengejang, dan kulit kepalanya mulai mengeluarkan darah, robek
di beberapa tempat, dan akhirnya retak dalam keadaan mengerikan. Kemudian Suro
Bodong menghentikan siulannya, setelah ia melihat tubuh Sargulo berhenti
mengejang, dan tak bergerak lagi dalam keadaan mulut ternganga lebar. Kepala itu
retak dan berdarah yang melumuri wajahnya.
"Kau pantas menerima hadiah 'Siulan Celeng'-ku.. !" geram Suro Bodong. Ia
berusaha melepas, pengikat leher dengan kekuatan kedua tangannya. Tetapi ia tak
berhasil. Cukup alot dan sulit mengerjakan hal itu. Untung Sulastri segera
datang dan terbelalak, nyaris terpekik melihat tubuh Sargulo terkapar
bermandikan darah wajahnya. Gundul Sargulo kelihatan retak, dan sangat
mengerikan. "Apa yang telah kau lakukan?" ucap Sulastri dengan gemetar.
"Berusaha untuk lolos, seperti kataku tadi."
Sulastri memandang Suro Bodong dengan mata nanar, penuh ketakutan.
"Tolong buka sabuknya, siapa tahuada pisauatau.. "
"Aku juga membawanya," kata Sulastri. Ia mengeluarkan pisau dapur dari bawah


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa potong ikan ayam yang baru saja dibawanya ke ruangan itu. Rupanya ia
sudah punya rencana sendiri untuk berbuat nekad dengan pisau itu.
Suro Bodong sendiri terkejut waktu melihat Sulastri menyembunyikan pisau dapur
yang kecil. Namun, agaknya Sulastri mulai tanggap terhadap situasi saat itu. Ia dapat
memahami rencana Suro Bodong yang sebenarnya. Ia percaya, Suro Bodong bukan
orang jahat, seperti yang dilihatnya tadi. Suro Bodong seorang tawanan yang
mampu berpura-pura menyerah, mampu berpura-pura memihak lawan, namun sebenarnya
mencari peluang untuk menyerang.
"Kau tahu jalan ke luar dari sini, kan?" tanya Suro Bodong sewaktu tubuhnya
telah lepas dari semua ikatan. Sulastri hanya mengangguk. Ia kelihatan bimbang.
"Kau hapal jalan menuju tempat yang aman?" Suro menegaskan.
"Ya. Tapi tak ada jalan lain kecuali kau lewat pintu samping. Dari sini belok ke
kiri, lalu menyeberangi tempat berlatih bagi mereka, dan belok ke kiri. Di sana
ada pintu samping yang hanya dijaga dua orang. Jika kau bisa lewat pintu samping
itu, maka kau akan sampai di tepian sungai. Jangan menyeberang, sebab sungai itu
sengaja mereka pakai untuk berkeliling tiap malam. Tapi hati-hati juga, sebab
sesekali kau akan menjumpai petugas di luar pagar yang berjaga-jaga sekeliling
pondok ini. Kalau ada pohon melengkung ke sungai, itulah tanda daerah bebas
buaya. Kau bisa menyeberang dan larilah secepat mungkin."
"Kau sendiri?"
Sulastri kelihatan bersedih. "Aku tak akan mampu. Biarlahaku disini, menunggu
saatku mati."
"Bodoh! Kau pikir siapa aku" Kau kira aku tak bisa menjamin nyawamu dalam
pelarian nanti"
Ayo, ikut!"
Suro Bodong dan Sulastri terbelalak. Di pintu muncul seorang berpakaian serba
hitam dengan wajah hanya terlihat bagian matanya saja. Bahkan tangan dan kakinya
terbalut kain hitam yang rapat.
Sebilah pedang panjang terselip di pinggang kirinya.
"Sargulo.. "!" panggil orang itu seraya memandang lebar kepada mayat Sargulo.
Sulastri bersembunyi di belakang Suro Bodong.
"Jahanam.. kau telah membunuh Sargulo, hah"!" geram orang itu. Sulastri sangat
ketakutan, tetapi Suro Bodong tenang-tenang saja.
Sulastri berbisik, "Hati-hati, dia termasuk ninja paling ganas."
"Ninja"!" Suro Bodong merasa aneh dengan istilah itu.
"Mereka menyebut diri mereka: ninja, atau ronin. Mereka berasal dari seberang;
negeri Matahari Terbit.. ."Suro Bodongtaksempat berbicara lagi,karena lelaki
yangdisebutninja itusegera menyerangnya dengan pedang panjang. Pedang itu
mengibas bagai hendak membelah tubuh Suro Bodong dari kepala sampai ke kaki.
Tetapi Suro Bodong segera berguling ke lantai. Tepat ia hendak bangkit, kaki
ninja telah mendepak punggungnya hingga Suro terjerembab mencium lantai. Hidung
Suro berdarah. Ninja berpakaian hitam itu menyerang bagai tak memberi peluang
sedikitpun kepada Suro Bodong.
Pedangnya ditusukkan ke arah leher Suro Bodong yang tengah berdiri dengan
salahsatu lututnya.
Tak ada cara lam untuk menghindar kecuali segera berguling ke samping kiri. Lalu
dengan gesit ia melompat melalui hentakkan punggung. Ia berdiri dan segera
mengibaskan kakinya ke samping belakang. Kaki Suro ditangkis oleh tangan ninja.
Hampir saja pedang panjang itu membabat betis Suro Bodong. Untung Suro Bodong
segera menarik kakinya untuk menapak lagi, dan bergantian dengan kaki yang satu
menyerang dalam tendangan putar. Wajah ninja itu terkena tendangan Suro Bodong.
Ia terhuyung ke belakang dengan tangan keduanya terentang karena mau jatuh. Dada
yang terbuka memberi peluang bagi kaki Suro untuk menendangnya dengan telak.
'Jurus Tendangan Ayam Kawin' beraksi. Kaki kanan Suro Bodong menendang cepat
tujuh kali beruntun. Tidak bisa dilihat oleh mata karena kecepatannya. Kemudian
kaki kiri juga menendang beruntun tujuh kali dengan cepat, mengenai dada ninja
juga. Sekali lagi Suro Bodong melakukan tendangan beruntun tujuh kali, kemudian
keduanya melompat dan menendang keras dada orang itu.
Tak ada suara yang keluar dari mulut ninja. Kain hitam yang membungkus kepala
menjadi basah pada bagian mulut. Merah kehitam-hitaman warna cairan itu. Sementara tubuh
yang terbungkus kain hitam itu duduk tersandar pada sudut dinding dengan
lunglai. Pedang panjangnya terlepas dari genggaman. Mata terpejam layu, dengan
sesekali terbeliak dalamsatu gerakan mengejang.
"Ayo, lekas lari darisini. .!"
Sulastri mengibaskan tangannya yang hendak digeret Suro Bodong.
"Tidak. Aku tidak mau. .!"
"Sulastri. ."! Ini kesempatan bagi kita untuk meloloskan diri!" bujukSuro
Bodong. "Aku takut.. " Sulastri sangat cemas dan sesekali memandang ninja yang tak
berkutik itu."
Mereka.. . yang ada di luar, jumlahnya ada lebih dari sepuluh orang. Mereka
kuat-kuat, dan.. ."
"Awas. .!" teriak Suro Bodong seraya menarik tangan Sulastri supaya merunduk.
Tetapi gerakannya terlambat. Kilatan senjata rahasia yang melayang cepat itu
telah menancap di leher Sulastri.
Senjata itu melesat dari tangan ninja yang ternyata masih dalam sekarat dan
berpura-pura mati. Tapi setelah ia melepaskan senjata rahasianya yang berupa
bintang bersudut empat, maka gerakan tangannya melemas dan ia menghembuskan
nafas panjang. Lalu diam.
"Bangsaaat.. .!!" geram Suro Bodong. Ia menggeletakkan tubuh Sulastri yang masih
sempat tersengal-sengal dalam erangan. Ia buru-buru mendekati ninja itu, dan
memutar kepalanya sampai terdengar bunyi: "Kraak. .!" Walau sebenarnya ia telah
mati setelah melempar senjata ke punggung Sulastri, namun belum puas Suro jika
belum memutar tulang lehernya sampai patah seperti itu.
Sedangkan Sulastri sendiri segera menghembuskan nafas terakhir setelah Suro
Bodong bermaksud mengangkatnya dan membawanya lari.
Gemas dan dongkol tak tersalurkan. Suro Bodong menggeram-geram sendiri. Hatinya
sedih melihat kematian Sulastri akibat senjata rahasia yang serupa dengan yang pernah
merobek lengan Suro itu. Padahal Suro Bodong yakin, jika bersama Sulastri, ia
akan tahu lebih cepat tentang situasi yang ada di pondok tempat para ninja itu.
"Perempuan bodoh!" geramnya. "Disuruh bebas malah memilih mati. Hahh. .!" Suro
Bodong menepak kepala mayat Sulastri seenaknya di luar kesadaran. Kemudian ia
segera bangkit meninggalkan mayat yang sempat menggemaskan hatinya itu. Ia
melangkah dengan hati-hati mendekati pintu keluar.
Rupanya ruangan itu terpisah dari ruang induk yang menyerupai asrama. Ruangan
itu berada tepat di depan ruang induk. Di depan ruangan penjara itu terdapat
tanah lapang dengan satu pohon besar yang rindang daunnya.
Di bangunan induk, ternyata bukan hanya ada kamar-kamar saja, melainkan juga
terdapat ruang lebar yang menyerupai pendopo. Suro Bodong mengintainya dari
balik pintu beberapa saat. Matanya menyipit, mencoba menembus penglihatan ke
arah ruangan yang menyerupai pendopo itu. Ada beberapa orang berpakaian serba
hitam di sana. Mereka para ninja bersenjatakan pedang panjang.
Samurai. Sedangkan di beberapa kamar, juga terlihat kesibukan para ninja dengan
urusannya masing-masing. Namunada juga lima orang yang sedang melakukan latihan
di lapangan depan penjara. Mereka berlari-lari, berguling, meniti dinding yang
terbuat dari balok- balok kayu setinggi lebih dari lima meter.
Menerobos lingkaran kawat berduri. Ada pula yang berlatih gerak-gerak jurus yang
masih asing bagi Suro Bodong.
Otak Suro Bodong berputar sejenak. Ia ingat arah yang ditunjukkan Sulastri
menuju pintu samping, tetapi ia harus melewati beberapa ninja yang sedang
berlatih. Jelas ia akan terlihat sekali pun berlari secepat kilat. Yang
dipikirkannya adalah, bagaimana caranya mencapai pintu samping tanpa diketahui
para ninja itu.
Pintu segera ditutup kembali oleh Suro Bodong. Ia merenung sebentar. Kemudian
matanya menatap mayat ninja yang dipelintir kepalanya. Lalu timbul gagasan untuk
menelanjangi mayat ninja tersebut, dan ia akan menyarusebagai ninja agar bisa
mencapai pintu keluar lewalsamping.
Wajah para ninja tertutup semua. Hanya mata mereka yang kelihatan. Tampak di
ruang lebar yang menyerupai pendopo itu ada seorang ninja berpakaian merah, lain
dari ninja-ninja yang ada di situ.
Ninja merah sedang terlibat pembicaraan dengan beberapa ninja hitam. Tak jelas
apa yang dibicarakan, tetapi Suro Bodong yang telah mengenakan pakaian ninja itu
berjalan dengan tenang seraya memegangi tangkai samurainya. Ia berjalan ke arah
pintu samping, sesuai dengan keterangan Sulastri sebelum mati.
Tak ada kesulitan melewati tanah lapang tempat latihan. Pintu samping yang
dimaksud Sulastri kelihatan. Dijaga dua orang ninja berpakaian serba kuning.
Suro Bodong masih berjalan dengan tenang.
Ia berhenti di depan kedua ninja kuning yang menjaga pintu kecil. Pintu samping.
Kedua ninja kuning memperhatikan Suro Bodong. Berdebar hati Suro Bodong ketika
itu, takut dicurigai. Untuk menjaga agar tidak menimbulkan kecurigaan, Suro
Bodong menepuk pundak salah satu ninja kuning.
"Bagaimana" Aman-aman saja"!"
Tiba-tiba tangan ninja kuning yang ditepuk pundaknya itu menghantam wajah Suro
Bodong dengan pukulan beruntun. Salah satu pukulan bisa ditangkis Suro, tapi satu
pukulan berikutnya hanya mampu ditangkis dengan pipi Suro, sehingga ia
menggeloyor ke samping hendak jatuh.
"Kita kan saudara.. " Apa-apaan kau ini"!" seru Suro Bodong dengan berlagak
sudah saling mengenal.
Salah seorang ninja kuning yang tadi memukulnya berkata dengan geram,
"Tingkatanmu di bawah tingkatan kami! Seenaknya kau memperlakukan kami, hah"
Bukannya memberi hormat, malah menepak punggung. Kau pikiraku sama tingkatnya
dengan kamu"!"
Ninja yang satu menendang perut Suro Bodong seperti ia menendang perut anjing.
"Beri hormat!"Suro Bodongmeringis, berlagak perutnya mules, padahal ia berpikir;
bagaimana cara memberi hormat kepada ninja yang tingkatannya lebih tinggi" Ia
belum pernah melihatnya. Dengan untung-untuhgan, Suro Bodong segera memberi
hormat. Ia berjongkok dengan kaki kiri dan kanan merapat, lalu menyembah
dengansedikit menunduk.
"Hei.. ! Hormat cara mana itu" Siapa kau, hah?"
Dalam hati Suro hanya berkata, "Celaka. Salah hormatnya!"
"Kita telah kemasukan mata-mata yang menyamar menjadi anggota!" seru salah
seorang ninja kuning. Kemudian, temannya segera menendangSuro
Bodongdengansepakan yangcukupkuat.Tetapi menyadari penyamarannya telah ketahuan,
Suro Bodong segera menggerakkan kedua tangannya ke depan, menghadang gerakan
kaki yang menendang. Ninja yang tadi berseru itu segera mencabut samurainya. Ia
memegang samurai dengan kedua tangan, lalu mengibaskan ke depan dengan arah
menyamping. Kibasan samurai itu bertujuan untuk merobek perut Suro Bodong.
Tetapi, Suro Bodong meloncat mundur. Ninja yang satunya juga segera mencabut
samurai dan berteriak, "Hiaaat.. !!" dalam suara yang teredam penutup wajah.
Suro Bodong menghindar ke kiri karena tusukan samurai. Tetapi pinggangnya segera
disongsong oleh kaki ninja yang satunya lagi
"Huugh...!" Suro Bodong mengaduh dengan nafas tertahan. Ia menggeloyor dalam
posisi bertahan agar tidak jatuh. Salah seorang ninja kuning mengibaskan
samurainya dengan tubuh melompat dan menyerang Suro Bodong. Tak ada kesempatan
lain untuk menghindar kecuali dengan cara berguling ke tanah. Namun tubuhnya
segera disambut oleh tikaman pedang samurai dari ninja yang satunya lagi.
Suro Bodong melejit bagai ulat bulu, dan samurai pun menancap dalam di tanah
samping dadanya.
Tubuh ninja yang membungkuk itu segera menjadi sasaran tendangan Suro Bpdong
yang cukup kuat.
Ninja itu tersentak ke belakang ketika dadanya ditendang Suro Bodong. Tubuh yang
tersentak itu membentur pintu samping hingga berderak. Segera Suro Bodong
melompat dengan kaki kanan lurus dan menghentak lagi di wajah ninja yang
terhentak tadi. Ia semakin lemah setelah mendapat tendangan Suro yang kedua.
Temannya segera menyerang Suro Bodong. Kedua tangan yang memegangi gagang
samurai itu bergerak cepat ke depan, menusuk. Tetapi tubuh Suro dengan cepat
menghindar dalam kelitan. Akibatnya, samurai itu menembus di perut ninja yang
membentur pintu itu. Kedua mata ninja yang tertusuk temannya sendiri itu
mendelik seraya tangannya hendak memegangi samurai yang menusuknya. Namun ia
segera lemas dan melorot bersandar pada pintu.
Kesempatan itu digunakan oleh Suro Bodong untuk memukul rahang ninja yang salah
tusuk. Dua pukulan ganda membuat ninja itu sempoyongan dan rubuh dengan keadaan
mengaduh tertahan.
Suro tak mau membuang kesempatan dan waktu, ia segera menendang dagu ninja
tersebut dengan keras seperti ia menendang bola. Wajah ninja itu mendongak dalam
sentakan kuat, kemudian tubuhnya telentang dengan nafas kelihatan sukar dihela.
Suro Bodong berhasil ke luar melalui pintu samping itu. Ia melirik ke
sekeliling, keadaan cukup sepi. Di depannya terlihat sungai membentang dengan
airnya yang keruh. Suro ingat kata-kata Sulastri sebelum perempuan itu
meninggal, bahwa sungai tersebut jangan dilewati, karena di situ terdapat
peternakan buaya yang sengaja menjadi jebakan bagi musuh-musuh para ninja. Suro
Bodong segera menyusuri tanggul pendek di sepanjang tepian tembok pagar Pondok
ninja. Ia berlari dan berlari terus, ketika di dengar suara ribut di balik
tembok, larinya semakin cepat. Suro Bodong dapat memastikan, bahwa para ninja
pasti meributkan soal kedua ninja kuning yang roboh berlumur darah di depan
pintu samping. Suro juga sadar, bahwa dirinya dalam bahaya. Tingkat
kewaspadaannya semakin tinggi.
Bahkan ketika seorang ninja hitam berkelebat melompati pagar tembok dari dalam
keluar, Suro Bodong dengan cepat merapatkan tubuh ke dinding tembok tersebut.
Gerakan orang yang melompat itu sangat gesit dan lincah. Ketika kakinya menapak
ke tanah ia segera berdiri dengan lutut rapat dan agak merendah. Sementara itu,
kedua tangannya memegangi gagang samurai yang berdiri tegak di depan dada
kanannya. Ia siap menebas apa saja yang melintas di sekitarnya. Suro Bodong
tidak langsung menyerang, sebab ninja itu juga tidak bergerak. Hanya kepalanya
yang perlahan memutar dengan pandangan matanya yang tajam menyelidik sekeliling.
Suro tak dapat melanjutkan pelariannya, karena ninja itu ada di jalan yang akan
dilaluinya. Untung tak jauh dari Suro Bodong ada tanaman semak yang rimbun,
bahkan daunnya ada yang sebagian menjalar ke tembok. Suro memanfaatkan tanaman
itu sebagai tempat persembunyiannya.
Dari arah depan, muncul lagi seorang ninja hitam yang melangkah dengan pelan dan
kepalanya bergerak ke sana sini, memeriksa keadaan. Suro ingat kata-kata
almarhumah Sulastri, bahwa di luar tembok sering ada satu atau dua ninja yang
melakukan penjagaan keliling. Mungkin ninja yang baru muncul itu salah satu
petugas penjaga keliling yang selalu mengitari pondok ninja dari luar tembok.
Tetapi agaknya kehadiran penjaga keliling itu menimbulkan kecurigaan dari ninja
yang tadi melompati pagar tembok.
Melihat temannya seolah-olah menghadang jalan seraya menyiapkan samurai, ninja
yang baru datang itu juga mencabut samurai. Mungkin ia yakin ada bahaya yang
mengancam. Tetapi ternyata dugaan ninja yang tadi melompati pagar, temannya itu
adalah musuh yang sedang dicari. Karuan saja ia segera melesat dengan gerakan
seperti bangau terbang, samurainya menebas leher temannya. Tetapi ditangkis oleh
samurai yang diserang. Duel samurai terjadi sesaat, sementara itu Suro Bodong
hanya mengintai dari celah dedaunan semak. Mata Suro Bodong menjadi terbelalak
sedikit, lalu ia menghempaskan nafas, ketika itu ia melihat sendiri begitu cepat
samurai itu berkelebat dan merobek punggung ninja yang diduga sebagai petugas
penjaga keliling. Ninja yang tadi melompati pagar tembok meresa lega setelah
mengetahui lawannya mati. Ia segera menelentangkan lawannya dan membuka kain
penutup wajah. Kemudian ia sendiri terkejut dengan mata membelalak setelah tahu
bahwa yang dibunuh baru saja adalah teman sendiri. Kegeraman terpancar dari
gerak tangan yang menggenggam kuat. Penyesalan berubah menjadi nyala kemarahan
yang membara. Ia segera melesat lari setelah ia menyadari kesalahannya. Ia lari
menuju pintu samping di mana beberapa ninja sedang melangkah cepat
menghampirinya.
"Aku salah duga.. !"serunya sewaktu melintas di depan persembunyian Suro Bodong.
Pada saat ninja itu telah melintas beberapa saat, Suro Bodong pun keluar dari
persembunyian dan lari menjauhi rombongan ninja yang muncul dari pintu samping
itu. Salah seorang ada yang berteriak:"Itu...!Itu orangnya.Tubuhnya memangagak
gemuk!" "Kejaaar. .!" seru ninja kuning yang agaknya bukan ninja yang dihajar Suro
Bodong tadi. Ada sekitar tujuh ninja hitam dan satu ninja serba kuning yang berlarian
mengejar Suro Bodong.
Bahkan ada yang mengejarnya dengan cara melompat dari dahan pohon satu ke pohon
yang lain. Ada pula yang berlari meniti bagian atas tembok pagar pondok dengan


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan ringan dan cepat.
"Aku harus bisa menjauhi mereka. . !" gumam Suro Bodong sambil melarikan diri.
"Belum saatnya aku bertindak! Aku harus tahu, siapa mereka dan mengapa aku
dituduhnya sebagai mata-mata. ." Gerakan Suro Bodong begitu cepat, menyerupai
hembusan angin badai yang tak mampu ditangkap oleh penglihatan. Ketika ia tiba
di sebuah pohon yang melengkung ke sungai, ia segera meniti batang pohon itu,
kemudian dengan gerakan ringan ia melesat, melompat seperti seekor garuda
melintasi sungai. Ia tiba di seberang sungai dengan selamat. Tetapi ninja-ninja
masih mengejarnya dengan cara seperti yang dilakukan Suro Bodong, melompat dari
batang pohon yang melengkung ke sungai. Tak ada waktu bagi Suro Bodong untuk
berlari, dan berlari terus. Ia masih tahan memperpanjang nafasnya. Ia masih
mampu menyelinap dengan cepat dari semak ke semak, dari batang pohon ke cabang
lainnya. Semua gerakannya sangat cepat dan tidak menimbulkan getaran pada daun
yang dilaluinya. Suro menggunakan jurus melarikan diri yang disertai gerakan
peringan tubuh cukup sempurna.
Sudah jauh ia dari pondok para ninja. Sudah tak terdengar gerakan para
pengejarnya. Namun Suro Bodong tetap berlari terus. Sampai akhirnya ia menemukan
perkampungan pada senja hari. Ia berhenti berlari, dan duduk di sebuah batu
besar yang menjadi batas wilayah perkampungan itu. Di situ, renungannya
mengembara ke mana-mana dalam upaya menenangkan pernafasannya yang ngos-ngosan.
Gemerisik rumpun bambu yang ada di belakangnya seperti sedang menaungi tubuh
Suro Bodong dan mengipasi pikirannya saat itu.
Suro Bodong sendiri masih belum mengerti, mengapa mereka, para ninja itu
menganggap dirinya sebagai mata-mata suruhan orang" Padahal Suro melintasi daerah cadas
gersang itu untuk menuju ke sebuah desa. Desa Tandang Cinde. Sebab ia mendengar
dari Saga, anak petani yang ditolongnya (dalam kisah PEDANG URAT PETIR), bahwa
Saga pernah mendengar nama Ratna Prawesti yang dibicarakan oleh para pedagang
kain tenun dari desa Tandang Cinde itu. Sedangkan tujuan pengembaraan Suro
Bodong adalah mencari Ratna Prawesti, kekasihnya yang hilang sejak penyerbuan
orang-orang bertopeng di Kabupaten Jangga. Sebagai anak bupati, Ratna Prawesti
sudah tentu tumbuh menjadi gadis yang cantik dan mempesona. Tak heran jika
Gerombolan Topeng Setan yang membumi hanguskan kabupaten Jangga itu menculik
Ratna Prawesti. Namun, itu pun belum tentu, sebab menurut beberapa dugaan orang
yang sempat ditemui Suro Bodong, bisa saja Ratna Prawesti melarikan diri dan
bersembunyi di suatu tempat untuk menghindari pembantaian yang akan dilakukan
Gerombolan Topeng Setan. Hal itu membuat Suro Bodong serba bingung; ke mana ia
harus mencari kekasihnya.
Tetapi sedikit berita yang ia peroleh dari Saga membuat Suro Bodong sedikit
lega. Setitik harapan bagai membentang di setiap langkahnya. Ia harus pergi ke
desa Tandang Cinde, tempat di mana Suro akan bertanya kepada penduduk desa
tersebut mengenai Ratna Prawesti. Tetapi, dalam perjalanan menuju desa Tandang
Cinde, ia tiba-tiba diserang ketika melewati daerah gersang. Ia nyaris mati
dihimpit dua batu besar yang dipakainya bersembunyi. Lalu ia akhirnya pingsan
dan ditawan oleh para ninja denganalasan dituduh sebagai mata-mata.
"Bah.. ! Memuakkansekali! Orang lain yang punya urusan, mengapa aku yang menjadi
korban"!"
gemtu Suro Bodong dengan tanpa menyadari bahwa senja semakin temeram.
"Kepung dia.. .!!"
Tiba-tiba terdengar seruan seseorang dari arah belakang Suro Bodong. Kemudian,
keterkejutan Suro menjadi semakin membengongkan mulutnya ketika tahu-tahu
beberapa orang bersenjata tombak, pedang dan lain-lain mengepungnya dengan
rapat. Mereka menodongkan senjata masing-masing.
Mereka menampakkan wajah-wajah tak ramah dengan geram kemarahan yang ditahannya
dalam hati. Suro Bodong masih terpukau oleh kejadian tersebut. Ia belum bisa bicara kecuali
terbengong dan memandang orang-orang yang mengelilinginya dengan pandangan penuh
keheranan. Saat itu, seorang lelaki yang lebih terhormat berbadan tinggi, tegap,
segera berkata:
"Menyerahlah! Demi keutuhan nyawamu, jangan melawan! Kau harus kami tangkap,
hidup maupun mati!"
"Hei, siapa kalian ini" Dan. . dan apa salahku?" Suro bingung.
3 PERGURUAN MerakSenggol terletak di kaki bukit Sendu. Pintu gerbangnya yang
bergambar burung merak jantan itu terbuka, dan gambar merak tersebut terbelah menjadi dua
bagian. Suro Bodong menggerutu dalam hati, tetapi sesungguhnya hatinya itu
menjadi penasaran: Mengapa ia tahu-tahu ditawan"Seoranglelakiberbadan
kurus,jangkung, duduk disebuahkursi kayu berukirsederhana. Lelaki berjenggot
putih sampai di bawah leher itu memandang Suro Bodong dengan tatapan mata penuh
kecurigaan. Mata lelaki tua yang cekung itu kelihatan seperti mata elang yang
tajam. Ia mengenakan jubah putih kusam dengan pakaian dalamnya berwarna ungu
tua. Suro Bodong memandang orang-orang yang mengelilingi tempat pertemuan bertiang
empat dan berlantai plesteran semen biasa. Gerakan mata Suro Bodong menampakkan
kebingungan yang terpendam. Ketika itu, lelaki tua berjubah putih kusam berkata
dengan suara yang penuh wibawa:
"Setiap pencuri, tidak akan mampu bersembunyi secara abadi. Sekali pun kau mampu
melarikan diri tanpa diketahui siapa pun, namun sesungguhnya rumput
mengetahuinya."
Suro Bodong garuk-garuk kumisnya yang lebat dengan telunjuk. Ia kemudian berkata
dalam keadaan tetap berdiri:
"Apakah kau sedang bicara dengan seorang pencuri?"
"Apakah kau tidak merasa menjadi maling?" balas lelaki tua itu dengan suara yang
tenang, pelan. Matanya menyipit.
Hati Suro Bodong yang bergemuruh karena dongkol dicoba untuk diredakan. Ia hanya
berkata dengan suara pelan, seperti menyepelekan keadaan dan orang-orang di
situ. "Banyak orang yang buruk rupa, yang tampangnya seperti penjahat, yang punya
kumis seperti perampok, tapi belum tentu hatinya seburuk wajah."
Lelaki tua berjubah putih dengan rambut botak bagian tengahnya itu tersenyum
sinis. Ada seorang lelaki lain yang berdiri di sampingnya. Lalu ada seorang
perempuan cantik berbadan tegap menyandang golok di punggung, berdiri di samping
lelaki lain. Kemudian ada beberapa orang yang berjajar mengelilingi tempat
tersebut dengan senjata di tangan masing-masing. Sedangkan lelaki yang tadi
menangkap Suro itu ada di samping lain dari lelaki tua itu. Suro Bodong
memandang hampir semua wajah, satu-persatu, sepertinya sedang mengingat-ingat
wajah mereka. Dan Suro Bodong yakin, bahwa ia belum pernah berjumpa dengan satu
wajah pun sebelum kejadian tersebut.
"Siapa kaliansebenarnya?" Suro Bodong bertanya setelah garuk-garuk kumis.
Ada senyum sinis yang mekar di bibir beberapa orang, terutama di mulut lelaki
tua berjenggot putih. Namun Suro Bodong membiarkan kesinisan itu berkembang
sesuka mereka. Dalam hati Suro Bodong berkata, bahwa ia pun mampu tersenyum
sesinis mereka, tapienggan memamerkansaat itu.
"Kau hanya pura-pura," kata lelaki tua. "Tapi biarlah kau puas dengan kepura-
puraanmu. Kurasa kau perlu mengetahui dan mendengar sendiri dari mulutku, bahwa
akulah yang bernama Resi Padma, ketua Perguruan Merak Senggol ini.. " Resi Padma
diam, memperhatikan reaksi Suro Bodong yang menjadi tawanannya itu sebenarnya
menyembunyikan keheranan demi mendengar namanya, maka Resi Padma pun melanjutkan
bicara. Ia sendiri, melangkah lebih mendekati Suro Bodong.
"Namamusiapa?"
"Suro Bodong.". Suro menjawab tegas dengan mata keduanya menatap mata Resi
Padma. "Kau benar-benar manusia berani mati, Suro."
"Dari mana kau tahu?" tanya Suro tanpa gemetar.
"Kau pencuri yang nekad dan. . cukup trampil."
Suro Bodong agak terkejut, walau cepat menyembunyikan perasaan itu sehingga
kelihatan tetap tenang. Namun sedikit kedipan mata Suro Bodong telah diketahui
Resi Padma, dan ia tahu kalau Suro Bodong kaget ketika itu.
"Kau menuduhku, atau memaksaku untuk terlibat dalam urusanmu, Resi Padma?" tanya
Suro Bodong setelah garuk-garuk kumisnya.
"Kau mau mengelak, atau mau berlagak tidak tahu, Suro Bodong?" ResiPadma ganti
bertanya. "Aku memang tidak tahu apa-apa. Bahkan aku tidak tahu mengapa kau dan murid-
muridmu menahan aku. Tolong jelaskan sebelumaku marah. Sebentar lagi aku akan
marah, tapi kalau belum tahu duduk perkaranya, aku ragu untuk marah." Suro
Bodong sengaja menampakkan keberaniannya bicara seenaknya di depan orang-orang
Merak Senggol. "Kau kami tuduh sebagai pencuri biadab!" geram Resi Padma.
"Pencuri" Pencuriapa?"
"Pedang Kerak Neraka. .!"
"Pedang... " Pedang apa?"
"Pedang Kerak Neraka. Itu pusaka kami. Pedang itu milik kami, Perguruan Merak
Senggol. Dan kau telah mencurinya dengan satu tujuan danentahatas perintah
siapa." Kepala Suro Bodong manggut-manggut. "Jelas di sinilah letak kekeliruan ini,"
katanya dalam hati.
"Resi Padma. . Kau percaya atau tidak, aku tetap akan mengatakan bahwa aku bukan
pencuri yang kau maksud. Bukan! Kurasa kausalah tangkap. Permisi.. !"
Suro Bodong hendak pergi nyelonong begitu saja, namun dengan cepat dan sigap
tujuh orang bersenjata tombak dan golok segera merapat di depan Suro Bodong,
membuat sebaris pagar penghalang langkah Suro Bodong.
"Kau tidak dapat pergi begitu saja, Suro Bodong. Kau tidak dapat mengelak dari
tuduhan ini,"
kata seorang lelaki berbadan tinggi, tegap yang tadi menangkapnya dan membawanya
ke perguruan tersebut. Suro Bodong membalikkan badan kembali. Memandang lelaki
itu sebentar, kemudian menatap ResiPadma yang masih tenang-tenang saja.
"Dia bernama Lohan," kata Resi Padma, yang dimaksud ialah lelaki berbadan
tinggi, tegap yang tadi menangkap Suro di batas desa.
Sekali lagi Suro Bodong melirik Lohan. Lelaki itu usianya masih di bawah Suro
Bodong. Ia mengenakan baju hijau dan celana hitam. Potongannya rapi. Pada ikat
pinggangnya yang berwarna coklat tua itu terselip sepasang trisula tajam di
kanan kiri. Bajunya yang berlengan buntung memperlihatkan bentuk lengan yang
kokoh dan berurat kuat.
"Kau tak akan mampu mengalahkan jurus 'Merak Trisula'nya yang cukup mengerikan
itu, Suro Bodong," tutur Resi Padma. Kemudian ia berjalan mendekati lelaki lain
yang tadi berdiri di sampingnya sewaktu ia duduk
"Dan ini adik seperguruannya. Namanya Wangon. .!"
Suro Bodong memandang lelaki yang diperkenalkan dengan nama, Wangon. Tubuhnya
agak pendek dari Lohan. Berikat kepala putih dengan bintik-bintik biru. Ia mengenakan
rompi coklat tanah dengan celana sebatas bawah lutut berwarna merah. Merah tua.
Sabuknya yang lebar berwarna hitam itu menyelipkan sebuah senjata berupa tombak
pendek, panjangnya menyerupai sebilah pedang. Ujungnya adalah ujung tombak yang
tajam dengan tangkai dari kayu mahoni hitam. Lelaki yang bernama Wangon itu
mempunyai cambang tebal, namun bukan menjadi brewok. Kumisnya tipis, teratur.
Usianya diperkirakan sejajar dengan usia gadis di sampingnya. Agaknya lebih muda
dari Lohan. Pandangan matanya cukup tajam dan berbentuk bulat lebar.
Resi Padma tersenyum bangga dan berkata, "Tak seorang pun pernah lolos dari
senjatanya yang bernama Nenggolo Kubur. Kurasa kau pun tak akan bisa lolos
dariancaman Nenggolo Kubur itu, Suro."
Tak sedikit pun Suro Bodong memberi komentar. Ia hanya memandang dengan tenang,
sesekali garuk-garuk kumisnya yang lebat tak terawat itu.
"Nah, yang ini adalah murid tertuaku. ." kata Padma seraya mendekati seorang
gadis berbadan tegap dan gempal. "Dia bernama Ajeng Wasti. Murid tertua dari
sekian murid yang ada di sini. Aku mendidiknya sejak ia remaja.. !"
"Ajeng Wasti.. " Suro Bodong bergumam dalam hati. Tangan kirinya bertolak
pinggang dengan santai, dan tangan kanannya sesekali garuk-garuk kumisnya dengan
jari telunjuk. Matanya memperhatikan Ajeng Wasti dengan teliti. Ia menyukai
bentuk bibir Ajeng Wasti yang mungil merekah bak kuncup melati. Ajeng memelihara
kuku pada kedua pasang jari tangannya. Tapi bentuk kuku dan jarinya sungguh
indah, sesuai dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat. Ia mengenakan baju
longgar berlengan panjang warna biru. Sedangkan celananya yang sebatas bawah
lutut juga longgar berwarna hitam halus. Ia juga mengenakan ikat pinggang dari
kain berwarna kuning tua. Ia tampak tegap.
Rambutnya yang sepanjang pundak diikat menjadi satu kucir, sehingga lehernya
menampakkan kulit yang mulus tanpa kalung, tanpa cacad sedikit pun. Ia
menyandang pedang di punggungnya bergagang putih gading. Matanya yang kecil tapi
bukan sipit itu sesekali membuat Suro Bodong menggumam dan mengagumi dalam hati
atas kebeningan dan keindahan sepasang mata Ajeng Wasti itu. Ketajaman matanya
sempat menimbulkan kesan judes dan galak, namun cukup membuat hati lelaki
menyalak-nyalak
"Pedang Merak Kencananya sering memburu lawan tanpa ampun. Kurasa kau punakan
menjadi buruan pedang itu, jika kau tidak mengembalikan pusaka kami, Suro
Bodong." Suro tersenyum tipis. "Kalian tak pantas menuduhku segegabah itu. Kau, Padma.. .
Sebagai ketua berpangkat Resi, kau tidak jeli memilih lawan dan menentukan
tawanan. Aku bukan orang yang kau cari! Aku tidak pernah tertarik oleh pusaka
orang lain yang sudah pasti tidak lebih unggul dari pusakaku sendiri!"
Resi Padma menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar murid-muridnya tidak
bergerak menyerang Suro Bodong.
"Suro, kami memang tidak melihat saat kau mencuri pusaka Pedang Kerak Neraka
dari kamar pusaka itu, tetapi seorang penduduk yang biasa mengarit rumput di
sekitar sini melihat kau. Tepatnya melihat sosok orang berpakaian serba hitam
sampai di wajahnya, dan menyandang sebilah pedang panjang di pinggang. Aku tahu,
itu senjata samurai. Persis seperti yang ada pada dirimu! Jelas, bukan"!"
Suro Bodong kelihatan jelas kaget. Ia baru menyadari bahwa ia pada saat itu
masih mengenakan baju ninja yang dipakainya menyamar untuk keluar dari pondok
para ninja. Ia juga masih menyelipkan sebuah samurai di pinggangnya. Dengan
pakaian serba hitam membungkus tubuhnya. Hanya saja bagian wajah telah dilepas,
sehingga semua wajahnya kelihatan. O, ya.. ternyata inilah yang menyebabkan ia
dicurigai, bahkan dituduh terang-terangan sebagai pencuri pusaka Pedang Kerak
Neraka. "Brengsek.. ! Gara-gara pakaian ini aku jadi mendapat kesukaran yang memuakkan
begini," gerutu Suro dalam hati. Tapi betapapun juga, kini legalah hati Suro Bodong,
bahwa sebenarnya semua ini hanya kesalahpahaman yang harus segera diluruskan. Ia
bahkan tersenyum geli sewaktu membayangkan, betapa bodoh dan akan kecelenya
mereka jika mereka tahu, bahwa Suro Bodong adalah manusia biasa yang tak pernah
mencuri pusaka dan bukan anggota ninja. Hati Suro pun lega, karena kini ia tahu
bahwa pencuri pusaka Pedang Kerak Neraka adalah seorang anggota ninja, dan Suro
tahu di mana markas mereka.
Sebab itu, Suro Bodong lalu segera berkata dengan sedikit senyum geli
tersungging di bibirnya:
"Lucu. ."
"Apanya yang lucu"!" hardik Wangon dengan melangkah maju. Hanya dia yang sejak
tadi tampak tak sabar memendam kemarahannya.
"Sabar. ."sergah Suro Bodong. "Ini suatu kekeliruan. Percayalah, ini
kesalahpahaman saja. Jangan ada yang menjadi korban karena masalah ini. Akan
kujelaskan bahwa.. "
"Terlalu banyak bicara kau, hiaaat.. !!"
Wangon benar-benar tak sabar. Ia menyerbu Suro Bodong dengan melompat dan hendak
menerkam Suro. Tetapi Suro Bodong tak mau melukai Wangon. Ia sebenarnya bisa
saja menggerakkan kakinya ke depan atas, dan dada atau leher Wangon akan terkena
tendangannya. Tetapi Suro ternyata hanya berkelit ke samping dan membiarkan
Wangon menyerusuk ke lantai belakang dengan sedikit senggolan siku Suro.
Kemudian ia mendekati Resi Padma dan berbicara dengan tenang. Santai sekali,
seakan tidak terjadiapa-apa.
"Resi Padma, coba dengar dulu penjelasanku. ."
"Mengakulah dan kembalikan pedang itu sebelumWangon memukulmu dari belakang. .!"
"Ah, dengarlah. Aku bukan. .!"
Kaki Wangon melayang lurus dan hendak menerjang punggung Suro Bodong. Terpaksa
Suro Bodong merunduk sedikit dan mengibaskan kaki kanannya ke belakang seraya
berkata: ".. aku bukananak kecil yang tak bisa melawan.. !"
Kaki Suro Bodong menghentak dan mengenai paha Wangon. Wangon limbung, namun
sempat meluncurkan pukulan tangan kirinya ke wajah Suro Bodong hingga Suro terjengkang


Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke belakang. Suro menggeragap karena mau jatuh. Tiba-tiba kaki Lohan yang berada
tak jauh dari Suro menendang pinggang Suro dalam satu teriakan pelampiasan
amarah. Hentakannya begitu kuat, membuat Suro mengaduh dan semakin limbung. Ia
menggeloyor ke kanan seraya tangannya menggeragap, ingin memegang sesuatu untuk
bertahan agar jangan sampai jatuh. Tetapi keadaan itu justru disambut oleh Ajeng
Wasti dengan satu pukulan kuat di pelipis Suro Bodong.
"Aaaauuuww. .! " Suro Bodong berteriak. Pandangan matanya jadi berkunang-kunang.
Ketika itu, ia sempat melihat sekelebat sosok Resi Padma duduk di kursinya,
seakan membiarkan murid-muridnya bertindak main hakim sendiri.
"Hiaaat. .!!" teriak Wangon dengan melompat dan bersalto satu kali menuju Suro
Bodong. Suro sempat mengibaskan kepala untuk mengusir kunang-kunang dalam
pandangan matanya. Dan ia segera berguling ke lantai beberapa kali, sehingga
seranganWangon tidak mengenai sasaran.
"Kau harus mampus kalau kau tak mau mengaku dan menyerahkan pusaka Pedang Kerak
Neraka. Hiaaat. .!!" teriak Lohan sambil meloncat dengan jurus tendangannya.
Tetapi tiba-tiba ia jatuh sendiri sebelum menyentuh Suro Bodong. Kejadian itu
sempat membuat Suro Bodong heran. Siapa yang telah memukul Lohan"
Suara Resi Padma terdengar cukup jelas, "Serahkan kepada Wangon. Kau sudah
menunaikan tugas dengan baik, Lohan. Kau telah berhasil menangkap pencurinya,
kini giliran Wangon yang bertugas memaksa pencuri ini agar mengembalikan pusaka
kita! Jangan turut campur urusan Wangon. Kecoa ini pasti mudah dijatuhkan
olehWangon.. !"
Lohan dan Ajeng Wasti mundur. Tempat menjadi lega, seakan sengaja disediakan
untuk suatu pertarungan. Suro Bodong sadar akan bahaya yang tak mudah ditawar
untuk berdamai. Maka, ia segera bangkit dan berjaga-jaga menyambut
seranganWangon.
Wangon membuka jurus, menggerakkan kedua tangannya ke atas kepala dengan gerakan
bagai hendak membanting sesuatu dari punggungnya. Kakinya renggang dan merendah,
matanya tak berkedip memandang Suro penuh dendam.
"Hiaaaat. .!!" teriaknya sambil melompat untuk menendang dengan kaki kiri.
Suro merundukkan badan, ternyata kaki kanannya yang dipakai menendang Suro.
Tentu saja Suro Bodong kelabakan. Untung dengan cepat tangan Suro berkelebat
menangkis tendangan tersebut.
Dan tanpa ragu-ragu lagi ia memukul pinggang belakang Wangon dengan pukulan yang
keras. Wangon terdengar mengaduh tertahan.
Ketika kaki Wangon menginjak lantai, kaki kanan Suro Bodong telah bergerak
setengah lingkaran dan mengenai punggung Wangon dengan telak. Akibatnya, tubuh Wangon
terhempas ke depan dan nyungsep mencium lantai. Bibirnya ada yang terluka dan
berdarah. Wangon tidak peduli. Ia segera bangkit dengan nafas ngos-ngosan.
"Biadab! Kau pencuri biadab.. ! Kembalikan pusaka itu, atausekarang juga aku
membunuhmu"!"
"Hei, kalau membunuh, silakan. Mumpung di depan gurumu. Siapa tahu kau mendapat
pujian tujuh turunan!" kata Suro Bodong seenaknya. Ia garuk-garuk kumis sekali,
lalu bersiap menghadapi Wangon.Senjata Nenggolo Kubur dicabut. Tangan Wangon
menggenggam erat gagang senjata yang panjangnya antara dua jengkal. Ia
memainkannya sebentar di depan wajah, mengibas kanan kiri dan memutarnya dengan
jari jemari, lalu menggenggamnya lagi seraya melesat menyerang Suro Bodong.
"Mampus kau, Maliiii nng! Hiaat.. !" Suro Bodong memiringkan tubuh ke kiri.
Senjata yang mirip tombak pendek itu hampir saja menusuk lehernya. Tangan
pemegangnya ditepiskan oleh tangan kanan Suro Bodong. Sekalian tangan kiri Suro
menghantam ketiak Wangon, namun tangan kiri Wangon berhasil menangkisnya dengan
telapak tangan.
Suro Bodong segera berguling lagi di lantai ketika senjata Nenggolo Kubur itu
melesat ke belakang, hampir mengenai kepala Suro Bodong. Pada saat tubuhnya
berguling di lantai, kedua kaki Suro menendang cepat bergantian. Tendangan itu
berhasil dielakkan dengan cara tubuh Wangon melompat dan bersalto ke depan. Suro
Bodong sendiri segera bangkit dengan menghentakkan kedua tangannya ke lantai,
tubuhnya melesat di udara tanpa bersalto.
Kakinya menapak di lantai itu dengan sedikit merendah. Dan Wangon memanfaatkan
keadaan Suro yang kurang siap itu dengan melancarkan jurus Nenggolo Kuburnya.
Ujung senjata yang merupakan mata tombak itu ternyata bisa melesat tanpa rantai
atau tali dari tangkainya. Senjata itu seperti peluru yang mampu melesat dengan
kecepatan tinggi. Suro Bodong terbelalak melihatnya.
Untung ia segera melompat ke kiri, dan mata tombak yang melayang cepat tanpa
pengikat itu menancap pada tiang yang ada di belakang Suro Bodong. Tiang kayu
Suka Suka Cinta 2 Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Rahasia Mo-kau Kaucu 3
^