Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 14

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14


"Yang sering kami lihat justru Glagah Putih" berkata seorang perwira yang lain" ia sering berada di antara anak-anak muda di sekitar barak itu."
"la mewakili aku" sahut Agung Sedayu. Dengan demikian maka merekapun sempat berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan Menoreh pada saat-saat terakhir.
Namun kemudian Agung Sedayu pun sampai kepada pokok persoalannya bahwa ia datang menemui Ki Lurah Branjangan.
Dengan singkat Agung Sedayu bercerita tentang anak muda yang masih agak lebih muda dari Glagah Putih, namun memiliki ilmu yang luar hiasa. Anak itu mengaku salah seorang tunas dari bunga yang di petik di Taman Kangjeng Ratu Kalinyamat.
"Apakah Ki Lurah mengenalnya?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Mungkin aku pernah mendengarnya seorang anak muda yang sebelumnya jarang berada di Mataram. Ibundanya pun jarang sekali nampak di Mataram. Mungkin yang dimaksudkan adalah salah seorang dari Kemanakan Kangjeng Ratu Kalinyamat, yang berputera seorang anak laki-laki dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, yang kini bergelar Panembahan Senopati."
"Apakah Ki Lurah mengenal anak itu" Kiai Jayaraga adalah seorang tua yang selalu kecewa terhadap murid-muridnya. Ia tidak ingin hal yang serupa terulang lagi. Karena itu, ia ingin meyakinkan dirinya bahwa anak laki-laki muda itu tidak akan berpengaruh buruk terhadap sifat dan watak Glagah Putih" sahut Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia sedang merenungi kata-kata Agung Sedayu. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku belum dapat mengatakan apa-apa tentang anak muda itu. Aku belum mengenalnya. Tetapi aku bersedia untuk membantumu. Jika aku menghadap ke Mataram, maka aku akan berusaha untuk mengetahui siapakah anak muda yang kau maksudkan."
"Terima kasih Ki Lurah. Aku memang memerlukan keterangan itu. Bukan sekedar namanya. Tetapi juga sesuatu yang dapat menjadi ciri-cirinya." Berkata Agung Sedayu kemudian, "aku berkepentingan untuk meyakinkan diriku sendiri dan terutama Kiai Jayaraga bahwa kehadirannya tidak akan berpengaruh buruk terhadap Glagah Putih."
"Dalam waktu dekat aku memang merencanakan untuk pergi ke Mataram. Aku akan memerlukan untuk memenuhi keinginanmu itu" jawab Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah, Agung Sedayu benar-benar mengharap agar Ki Lurah Branjangan mendapatkan satu keterangan yang dapat memberikan satu kepastian, apakah Glagah Putih dapat bermain-main terus dengan anak muda itu, atau sebaliknya.
Namun sementara itu, ternyata di hari-hari berikutnya anak muda itu lebih sering lagi berada di tempat Glagah Putih berlatih. Glagah Putih pun kemudian juga tidak pernah mengkosongkan hari-harinya untuk menelusuri sungai itu, dan kemudian berlatih bersama dengan anak muda yang aneh, namun yang masih belum mau menyebut namanya.
Meskipun sekali-sekali anak muda itu menyebut satu nama, tetapi Glagah Putih yakin bahwa nama itu tentu bukan namanya, karena setiap kali ia mengucapkan nama yang berbeda.
Tetapi itu tidak penting bagi Glagah Putih. Latihan-latihan yang dilakukan bersama dengan anak muda itu telah memberikan banyak kemajuan bagi ilmunya. Bahkan latihan dalam hujan yang lebat di gelapnya malam yang terulang dua tiga kali, benar-benar memberikan satu pengalaman yang sangat berarti.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah Branjangan pun berusaha untuk memenuhi permintaan Agung Sedayu. Tetapi agaknya tidak mudah baginya untuk mendapatkan keterangan tentang seorang anak muda yang mengaku keturunan gadis dari Kalinyamat itu.
Ki Lurah tidak dapat dengan serta merta bertanya tentang anak muda itu agar tidak menarik perhatian, dan justru dapat menumbuhkan pertanyaan batik, kenapa ia mencari keterangan tentang anak muda itu.
Karena itu, maka usaha Ki Luraha tidak segera dapat diselesaikannya. Tetapi Ki Lurah menyadari, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa. Dan ia pun mengerti bahwa Agung Sedayu akan memahami kesulitan yang dialaminya.
Dengan demikian, maka ketika ia kembali ke Tanah Perdikan dan belum berhasil mengetahui dengan pasti tentang anak muda itu, Agung Sedayu pun memakluminya.
"Tetapi menurut pendengaranku, memang ada seorang anak muda di dalam istana Panembahan Senapati yang sebelumnya jarang nampak di istana itu" berkata Ki Lurah Branjangan. "Mungkin ia adalah salah seorang putera Panembahan Senapati di antara putera-puteranya yang lain yang belum lama berada di Mataram."
"Kami sudah memperkirakannya demikian" berkata Agung Sedayu.
Namun hal itu justru mendorong Agung Sedayu untuk lebih cepat mengetahui siapakah anak muda itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata kepada Ki Lurah Branjangan, "Ki Lurah. Jika pada kesempatan yang pendek Ki Lurah akan pergi ke Mataram, Apakah aku boleh ikut serta?"
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia tidak berkeberatan untuk membawa Agung Sedayu. Tetapi agar kehadiran Agung Sedayu di Mataram bukan hanya sekedar seperti orang yang melihat-lihat keadaan, maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Agung Sedayu. Aku setuju dengan rencanamu. Tetapi coba, pikirkan apa yang akan kau lakukan di Mataram, agar kehadiranmu di Mataram mempunyai alasan yang kuat."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la mengerti maksud Ki Lurah Branjangan. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Ki Lurah. Mungkin tidak pantas bagiku jika aku datang ke Mataram sekedar untuk menengok keselamatan Panembahan Senapati. Bahkan mungkin akan terasa bahwa sikapku sangat deksura, karena Panembahan Senapati sekrang berbeda dengan Raden Sutawijaya beberapa saat yang lampau, bahkan saat ini masih bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Tetapi aku kira Panembahan Senapati tidak bermaksud demikian" berkata Ki Lurah Branjangan.
"Aku mengerti, bahwa Panembahan Senapati masih tetap sebagaimana nampak pada Senapati Ing Ngalaga waktu itu" berkata Agung Sedayu, "tetapi soalnya adalah bahwa kedudukannya telah menempatkannya pada tempat yang khusus sekarang ini."
Ki Lurah mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu pun berkata, "Ki Lurah. Dalam kesempatan yang akan datang, aku akan pergi bersama Ki Lurah, karena aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk menemui guru atau Swandaru jika guru berada di Jatianom."
Ki Lurah mengangguk-anggukkan. Katanya, "Baik. Kau sekedar singgah dan barangkali bermalam satu malam di Mataram."
Dengan demikian, maka Agung Sedayu harus menunggu lagi beberapa lama. Sementara itu anak muda yang aneh itu telah hadir beberapa kali di tempat Glagah Putih berlatih.
Namun perkembangan ilmu Glagah Putih selalu diamati oleh gurunya. Disaat-saat tertentu, Glagah Putih harus berlatih dengan gurunya. Bukan saja untuk meningkatkan ilmunya dan menambah dasar-dasar ilmu yang masih belum disadapnya, tetapi dengan demikian Kiai Jayaraga dapat mengamati gerak ilmu muridnya setelah ia terlibat dalam latihan-latihan bersama dengan anak muda yang aneh itu.
Menurut pengamatan Kiai Jayaraga, Glagah Putih sama sekali tidak mendapat sisipan unsur ilmu apapun juga. Yang terjadi padanya adalah pengembangan ilmu Glagah Putih sendiri sesuai dengan keadaan dan waktu latihan yang diadakan di pinggir kali yang kadang-kadang dalam keadaan hujan yang sangat lebat dan angin yang kencang.
Dengan demikian maka Kiai Jayaraga menjadi semakin yakin, bahwa kehadiran anak muda itu tidak berpengaruh buruk terhadap ilmu Glagah Putih serta tidak akan mengganggu perkembangan dan pertumbuhan wadagnya.
Namun demikian Kiai Jayaraga tidak tahu, apakah dalam pergaulan itu tidak akan terjadi pengaruh yang buruk terhadap kejiwaan Glagah Putih, karena Kiai Jayaraga tidak mengetahui dengan pasti sifat dan watak anak muda itu, meskipun sampai saat terakhir, masih tidak nampak gejala-gejala pengaruh buruk itu.
Sementara itu, ketika Ki Lurah Branjangan memberitahukan untuk pergi ke Mataram, maka Agung Sedayu pun telah bersiap siap pula. Meskipun ia tidak berniat untuk pergi ke Sangkal Putung, maka ia pun telah merencanakan untuk pergi pula. la ingin berbicara dengan Kiai Gringsing tentang perkembangan Glagah Putih. Terutama dengan ayah anak muda itu, Ki Widura.
bersambung ke bagian 2 Balas " On 17 Agustus 2009 at 23:25 Ajar Gurawa Said:
Bagian 2 Demikianlah, maka Agung Sedayu pun pada saatnya telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. ia sengaja tidak pergi bersama Sekar Mirah atau Kiai Jayaraga, agar ia mendapat lebih banyak kesempatan untuk bergerak di Mataram, sehingga memungkinkannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda yang aneh itu.
Perjalanan ke Mataram memang bukan pcrjalanan yang panjang. Ketika mereka menyeberangi Kali Praga, maka air Kali Praga itu masih juga berwarna lumpur, meskipun sudah tidak lagi mengalir terlalu besar. Agaknya Kali Praga itu baru saja banjir meskipun tidak terlalu besar.
Di Mataram, Agung Sedayu berniat untuk bermalam semalam jika keadaan memungkinkan, karena ia masih belum tahu, bagaimanakah tanggapan orang-orang Mataram terutama Panembahan Senapati sendiri.
Ternyata sambutan orang Mataram cukup baik terhadap Agung Sedayu. Mereka menyadari, apa saja yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu bagi Mataram, sehingga dengan demikian maka bagi Mataram Agung Sedayu adalah termasuk orang yang telah memberikan jasa-jasanya sehingga Mataram kemudian menjadi kokoh setelah Pajang kehilangan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan, karena Pajang kemudian adalah satu wilayah yang diperintah oleh seorang Adipati yang berada di bawah pemerintahan Mataram.
Bahkan Panembahan Senapati yang kemudian mendapat laporan tentang kehadiran Agung Sedayu yang singgah hanya semalam dalam perjalanannya telah memanggilnya untuk menghadap dan berbincang-bincang tentang kemajuan Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam kesempatan itulah, maka Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan melihat seorang anak muda yang sekedar lewat sebelum keduanya memasuki ruang dalam, ruang yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati untuk menerima Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan.
Bagaimanapun juga telah terjadi perubahan pada Panembahan senapati. Sikapnya, kata-katanya dan bahkan batasan-batasan yang tidak dapat diabaikan sebagaimana seseorang yang menghadap seorang pemimpin pemerintahan tertinggi. Meskipun Panembahan Senapati tidak menyebut dirinya sebagai seorang Raja, tetapi kedudukannya adalah kedudukan seorang Raja yang memerintah satu daerah luas.
Namun ternyata bahwa Panembahan Senapati sendiri sebagai pribadi tidak banyak berubah. la masih berbicara dengan lancar dan menyebut berbagai peristiwa yang pernah dialami. Bahkan Panembahan Senapati masih juga mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu tentang jasa-jasanya yang pernah diberikannya kepada Mataram.
"Tanpa kau, pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan terbentuk sebagaimana yang kita lihat di Prambanan" berkata Panembahan Senapati.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Panembahan Senapati berkata selanjutnya, "Juga kepada isterimu Agung Sedayu, aku mengucapkan terima kasih. Kepada Swandaru dan Pandan Wangi. Terutama kepada Kiai Gringsing. Ternyata Kiai Gringsing adalah salah seorang yang masih memiliki ilmu yang jarang ada duanya sekarang ini, karena Kiai Gringsing adalah kekuatan yang masih tinggal dari masa kejayaan Majapahit, meskipun berjarak tataran."
"Semuanya adalah kewajiban yang harus hamba lakukan" berkata Agung Sedayu, "sebagaimana yang harus dilakukan oleh isteri, saudara-saudara hamba dan juga guru hamba itu."
Panembahan Senapati tersenyum. Katanya kemudian, "Sampaikan salamku kepada isterimu, saudara seperguruanmu suami isteri, gurumu dan sanak kadang semuanya."
"Hamba Panembahan" jawab Agung Sedayu.
Ternyata masih banyak yang dibicarakan oleh Panembahan Senapati tentang masa-masa yang paling berat bagi Mataram. Namun kemudian katanya, "Tetapi tugas kita sekarang tidak kalah beratnya. Kita harus membangun Mataram. Mengatasi segala masalah yang tumbuh kemudian dan tetap berpijak pada azas yang mendasar dari perjuangan kita."
Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang terasa ada jarak antara dirinya dengan Panembahan Senapati. Bagaimanapun juga, di kehendaki atau tidak di kehendaki.
Ternyata Agung Sedayu tidak dapat lama menghadap, karena Panembahan Senapati sudah ditunggu oleh tugas yang lain, yang harus diselesaikannya juga.
Namun Agung Sedayu sudah melihat anak muda yang di kehendakinya itu berada di Mataram.
Ketika Agung Sedayu keluar dari ruang penghadapan, maka sekali lagi ia melihat anak muda itu. Tidak sekedar lewat.
Tetapi anak muda itu telah melihatnya pula, sehingga anak muda itu terhenti sejenak.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Mungkin kedatangannya tidak di kehendaki oleh anak muda itu, karena anak muda itu dapat saja menyangka, bahwa kedatangannya sengaja untuk melaporkan tingkah-lakunya.
Tetapi ternyata anak muda itu sama sekali tidak berkeberatan atas kehadirannya. Bahkan ketika anak muda itu metihatnya, maka ia pun mendekatinya sambil berdesis, "Bukankah kita pernah berkenalan?"
"Ya" jawab Agung Sedayu, "kita memang pernah berkenalan."
"Selamat datang" berkata anak muda itu selanjutnya, "aku belum sempat mengucapkannya sebelumnya, karena baru sekarang aku melihatmu."
"Aku sudah melihatmu tadi" berkata Agung Sedayu, "tetapi agaknya kau tidak memperhatikanku."
"Ya. Mungkin sekali. Silahkan. Apakah kau mempunyai kepentingan dengan Panembahan Senapati atau dengan aku?" bertanya anak muda itu.
"Aku baru saja menghadap Panembahan Senapati" jawab Agung Sedayu.
"O" anak muda itu mengangguk-angguk, "jadi persoalanmu datang ke Mataram sudah selesai?"
"Ya. Aku hanya sekedar singgah dalam perjalananku ke Sangkal Putung" jawab Agung Sedayu. "Singgah untuk apa" Atau barangkali karena Ki Lurah akan membuat laporan tentang pasukan khususnya dan kau membuat laporan tentang yang lain?" bertanya anak muda itu.
"Aku tidak melaporkan apa-apa. Aku hanya singgah saja. Sudah lama aku tidak menghadap Panembahan Senapati" berkata Agung Sedayu.
"Hanya menghadap tanpa maksud apa-apa" He, apakah Panembahan Senapati mempunyai waktu untuk menerimamu jika kedatanganmu sekedar untuk singgah" " bertanya anak muda itu pula.
"Ya. Ternyata Panembahan Senapati berkenan menerima aku" jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Kau tentu orang penting. Aku memang sudah menduga. Jika tidak, tidak akan mungkin kau dapat di terima secara khusus."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu memang belum terlalu lama berada di Mataram, sehingga ia masih belum banyak mengenal orang-orang yang telah lama berhubungan dengan Panembahan Senapati.
Namun dalam pada itu, pembicaraan yang disaksikan oleh beberapa orang Mataram itu merupakan kesempatan baik bagi Agung Sedayu untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu. Karena ketika anak muda itu kemudian meninggalkannya, Agung Sedayu sempat bertanya kepada beberapa orang tentang anak muda itu.
Tetapi sebagaimana dengan sikap Ki Lurah, maka Agung Sedayu pun tidak melakukannya dengan serta merta. Untuk beberapa saat ia sempat berbincang dengan beberapa orang perwira yang sudah dikenalnya baik-baik. Para perwira yang pernah berada bersama dalam satu medan pertempuran.
Namun akhirnya Agung Sedayu pun mendapatkan kesempatan pula untuk mempertanyakan seorang anak muda yang belum cukup lama berada di Mataram.
Tanpa menarik perhatian secara khusus, maka Agung Sedayu sempat bertanya kepada seorang perwira yang pernah dikenalnya dengan baik, "Aku belum pernah melihat anak, muda itu sebelumnya. Tetapi nampaknya anak itu ramah sekali."
Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, "la belum lama berada di istana. Sebelumnya ia berada di Kalinyamat. Pernah tinggal untuk beberapa lama di Pajang. Namun akhirnya ia berada di istana ayahandanya."
"la benar putera Panembahan Senapati dari gadis Kalinyamat itu" " bertanya Agung Sedayu."
"Ya. Salah seorang kemanakan Ratu Kalinyamat. Puteri Semangkin yang mempunyai ceritera berbelit-belit dalam hubungannya dengan keluarga istana Pajang dan kemudian dengan Raden Sutawijaya yang waktu itu bergelar Mas gabehi Loring Pasar" jawab perwira itu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia berkata selanjutnya, "Tetapi aku tidak tahu kebenaran dari ceritera yang berloncatan dari mulut kemulut. Jangan anggap bahwa yang aku katakan itu adalah satu kebenaran tau kau anggap bahwa aku telah mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan salah paham."
"Aku mengerti" jawab Agung Sedayu mungkin ceritera itu benar tetapi mungkin pula tidak. Tetapi bukankah yang penting anak muda itu sekarang telah di terima dan berada di istana ayahandanya di Mataram" " sahut Agung Sedayu.
"Ya." jawab perwira itu, "apapun ceritera yang pernah kita dengar sebelumnya, namun kita akan melihat apa yang kita saksikan sekarang ini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Seakan-akan tanpa disengaja ia bertanya, "Siapakah nama putera Panembahan Senapati itu?"
Perwira itu memang tidak menaruh curiga. Dengan ringan ia menjawab, "Raden Rangga."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia mengulang, "Raden Rangga. Nama yang pantas untuk anak muda yang perkasa itu."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kau tahu bahwa anak muda itu adalah anak muda yang perkasa?"
Agung Sedayu menegang sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, "Aku hanya mendengar dari beberapa orang, bahwa anak muda yang baru saja berada di istana ini, Putera Panembahan Senapati dari puteri Kalinyamat adalah seorang anak muda yang perkasa."
"Kau benar" jawab perwira itu, "tetapi nakalnya bukan main. Kau pernah mendengar ceritera tentang Jaka Tingkir di masa mudanya" Yang mampu memukul kepala seekor kerbau yang sedang mengamuk dan tidak dapat dikuasai sekelompok prajurit yang sedang berburu di hutan?"
"Ya, aku memang pernah mendengarnya" jawab Agung Sedayu, "anak muda yang kemudian menjadi Sultan di Pajang itu telah memukul kepala kerbau yang sedang mengamuk itu sehing pecah."
Perwira itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Anak itu juga telah melakukannya. Ketika anak muda itu berada di sebuah padukuhan, seekor kerbau yang lepas dari ikatannya, sesaat sebelum disembelih telah mengamuk. Tidak seorang pun yang berani menangkap kerbau yang sedang mengamuk itu. Tetapi, ternyata Raden Rangga dengan tenang telah menyongsong kerbau yang mengamuk itu. Ketika kerbau itu menyerangnya dengan tanduknya yang runcing, maka dengan kedua tangannya, sepasang tanduk itu telah ditangkapnya. Kepala kerbau itu dipuntirnya dan dengan sekali pukul, kerbau itu telah jatuh terguling di tanah. Mati."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. la sama sekali tidak menyangkal. Melihat latihan yang dilakukan oleh anak muda itu bersama dengan Glagah Putih, maka hal seperti yang dikatakan oleh perwira itu memang mungkin sekali terjadi.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa keterangan tentang anak muda itu. Perwira itu pun mengatakan, bahwa Raden Rangga bukan termasuk anak muda yang bertabiat buruk.
"Tetapi anak muda itu terlalu mudah menuruti perasaannya" berkata perwira itu, "ia kadang-kadang tanpa berpikir panjang, telah melakukan sesuatu yang ingin dilakukan. la tidak mau membuat pertimbangan yang cukup apalagi minta pendapat orang lain.` Dengan demikian maka kadang-kadang tingkah lakunya telah mengejutkan orang lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, "Agaknya demikian sifat anak-anak muda. Apalagi anak itu masih terlalu muda."
"Tetapi sifat itu agak berlebihan" berkata perwira itu.
"Jika umurnya bertambah, maka pertimbangannya pun akan bertambah pula" berkata Agung Sedayu.
"Mudah-mudahan" jawab perwira itu "tetapi dalam waktu yang pendek selama ia berada di Mataram, sifatnya telah membuat ayahandanya beberapa kali marah. Selain membunuh seekor kerbau, maka anak itu telah membunuh pula seseorang gembong perampok yang tidak terkalahkan di tlatah Kepandak.
"Kepandak di Daerah Mangir?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Dan hat itu telah menyebabkan Kiai Ageng Mangir agak kecewa. Kiai Ageng Mangir merasa dikecilkan, seolah-olah Kiai Ageng Mangir tidak dapat mengatasinya sendiri Padahal kita tahu, bahwa Kiai Ageng Mangir adalah seorang yang mumpuni" berkata perwira itu.
"Lalu?" bertanya Agung Sedayu.
"Untunglah bahwa Panembahan Senapati dapat memaksa Raden Rangga untuk menemui Kiai Agen Mangir untuk menjelaskan kenapa ia telah membunuh gembong perampok di daerah Kepandak itu" berkata perwira itu, "Dan ternyata alasan Raden Rangga yang muda itu dapat dimengerti oleh Ki Ageng Mangir."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mempunyai gambaran yang semakin jelas tentang anak muda itu.
Ternyata bahwa sesuai dengan cerita-cerita yang didengarnya tentang Raden Rangga, tidak ada persoalan yang dapat dianggap bahwa Raden Rangga mempunyai tabiat yang kurang baik. Namun satu hat yang harus diperhatikan, Raden Rangga terlalu menuruti kehendaknya sendiri. Sulit sekali bagi keluarganya untuk mengaturnya, apalagi dengan ikatan-ikatan yang ketat sebagaimana seharusnya bagi seorang putera pemimpin tertinggi dari satu pemerintahan yang besar, meskipun tidak disebut sebagai seorang Raja.
"Glagah Putih harus mengetahui sifat-sifat Raden Rangga" berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, "supaya ia tidak terseret ke dalam arus perasaannya saja sebagaimana Raden Rangga itu sendiri. Mungkin tingkah lakunya tidak menimbulkan persoalan, tetapi sebaliknya akan mungkin memerlukan satu perhatian yang khusus.
Tetapi untuk sementara ia dapat membiarkan Glagah Putih bergaul dengan anak muda itu, karena latihan-Iatihan yang mereka adakan memberikan manfaat bagi Glagah Putih.
Ketika Agung Sedayu sudah merasa cukup berada di Mataram, meskipun hanya semalam, maka ia pun mohon diri. Sebagaimana dikatakan, meskipun tidak penting sekali, maka ia pun melanjutkan perjalanannya ke Sangkal Putung.
Sambil tersenyum Ki Lurah Branjangan berkata, "Jadi kau terpaksa menempuh perjalanan itu."
"Ya" Agung Sedayu pun tersenyum "tetapi bukan perjalanan yang terlalu panjang. Jarak Sangkal Putung adalah jarak yang pendek. Apalagi keadaan sekarang sudah tenang, sehingga perjalanan ini akan dapat aku tempuh sambil duduk terkantuk-kantuk di punggung kuda."
"Tetapi trapkan ilmu kebalmu di sepanjang perjalanan" berkata Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Kenapa?"
"Apakah kau dapat mengetrapkan ilmumu sambil mengantuk" Tetapi aku kira hat itu perlu sekali. Jika kau terjatuh dari kudamu karena mengantuk, kau tidak akan terluka" jawab Ki Lurah.
Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian jawahnya, "Baiklah aku akan mencobanya."
Demikianlah, setelah minta diri kepada Panembahan Senapati, maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan Mataram. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia memang pergi ke Sangkal Putung. Tidak ada maksud yang khusus, kecuali sekedar melihat keselamatan keluarga Sangkal Putung dan keterlanjurannya mengatakan hat itu kepada orang-orang Mataram.
Perjalanan ke Sangkal Putung ternyata benar-benar merupakan perjalanan yang tenang. Di sepanjang jalan Agung Sedayu bertemu dengan beberapa pedati yang memuat bahan-bahan makanan hasil sawah yang akan dibawa ke kota. Beberapa orang pejalan kaki yang hilir mudik dan beberapa orang yang melintasi jalan-jalan di atas punggung kuda seperti dirinya sendiri.
Warung-warung di pinggir jalan pun nampaknya banyak dikunjungi orang, sehingga suasana di sepanjang jalan nampak betapa Mataram menjadi semakin subur.
Ketika Agung Sedayu menjadi semakin jauh dari Kota Raja, maka ia melihat hijaunya sawah yang terbentang seakan-akan tidak bertepi. Padukuhan-padukuhan yang nampak di tengah-tengah lautan batang padi muncul bagaikan pulau-pulau yang hijau kehitaman.
Hembusan angin yang menyentuh daun padi telah mengguncang bagaikan ombak yang lembut mengalir dari ujung sampai ke ujung.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika Mataram dapat mempertahankan keadaan yang tenang dan damai itu untuk waktu yang lama, maka rakyatnya akan mendapat kesempatan untuk menikmati suburnya Tanah ini.
Sejak Majapahit yang diperintah oleh Rajanya yang terakhir jatuh, maka setiap kali di atas Tanah ini telah timbul peperangan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Demak yang menggantikan Majapahit, telah dihancurkan oleh perang saudara. Kemudian Pajang bahkan hanya diperintah oleh satu tataran, sementara pemerintahan berikutnya telah berpindah ke Mataram.
"Apakah Mataram juga akan mengalami nasib seperti Pajang?" pertanyaan itu telah mengusik hati Agung Sedayu.
Tetapi ia tidak ingin tenggelam dalam angan-angannya. Maka yang diperhatikan oleh Agung Sedayu kemudian adalah kilatan cahaya Matahari yang jatuh di dedaunan yang bergerak di sentuh angin.
Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Namun Agung Sedayu harus berhenti untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat. Seperti yang biasa dilakukannya, maka Agung Sedayu telah berhenti di pinggir Kali Opak. ia sempat duduk bersandar sebatang pohon yang rindang, sambil membiarkan kudanya makan rerumputan segar dipinggir sungai dan minum sepuas-puasnya.
Namun selagi Agung Sedayu merenung, maka tiba-tiba saja ia teringat pada perang besar yang telah terjadi di pinggir Kali Opak itu. Dua kekuatan yang besar bersiap-siap diseberang menyeberang sungai. Dua kekuatan dari satu keluarga yang besar yang saling bermusuhan.
"Air itu mengalirkan darah" berkata Agung Sedayu. Bahkan terbayang di angan-angannya, bagaimana sebagian dari prajurit Pajang menjadi bingung dan putus asa ketika orang-orang Mataram memecah bendungan di beberapa tataran sehingga banjir yang besar tidak tercegah lagi. Para prajurit Pajang yang kehilangan kesempatan untuk menghindari banjir itu telah hanyut sambil berteriak tinggi. Tangannya yang semula menggenggam senjata, telah menggapai-gapai. Tetapi tangan itu tidak menangkap pegangan apapun yang dapat menyelamatkan nyawanya.
Agung Sedayu tersadar ketika ia mendengar beberapa orang anak-anak kecil yang saling bekerjaran dan berteriak-teriak nyaring. Merekapun kemudian dengan serta merta telah melepaskan pakaiannya dan terjun ke bagian yang dangkal dari Kali Opak.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Masa kecilnya pun sebagaimana anak-anak itu, ia juga sering mandi di sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi bertebing tinggi, berbatu-batu besar dan bahkan kemudian ternyata bahwa di tebing sungai itu terdapat sebuah goa yang memuat tuntunan ilmu keturunan Ki Sadewa.
Agung Sedayu itu pun kemudian justru bangkit. Kudanya sudah cukup lama beristirahat, sehingga ia pun siap untuk meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung.
Karena Kali Opak yang kebetulan tidak sedang banjir, maka Agung Sedayu tidak memerlukan sebuah rakit untuk menyeberang, bahkan orang yang berjalan kaki pun dapat menyeberang tanpa membahayakan dirinya.
Perjalanan berikutnya adalah perjalanan yang tenang meskipun matahari bagaikan menyengat kepala. Panasnya bukan main. Tetapi rasa-rasanya perjalanan Agung Sedayu adalah perjalanan tamasya yang segar. Pepohonan yang rindang tumbuh di sebelah menyebelah jalan. Daunnya tumelung keatas jalan yang dilaluinya, sehingga melindunginya dari panas matahari yang semakin tajam.
Sebuah hutan kecil telah dilaluinya. Kemudian beberapa sungai kecil di seberangi, sehingga akhirnya maka Agung Sedayu pun telah memasuki Sangkal Putung tanpa hambatan, meskipun lehernya merasa sangat haus.
Kedatangannya di Sangkal Putung memang mengejutkan. Tetapi wajahnya yang cerah dan sikapnya yang wajar, telah membuat orang-orang Sangkal Putung menjadi tenang.
Dengan serta merta Demang dan Swandaru suami isteri yang kebetulan berada di rumah telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa.
Setelah mengucapkan selamat dan berita keselamatan dari Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu pun kemudian bertanya tentang gurunya, "Apakah guru berada di sini?"
Swandaru menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Sudah lama guru berada di Jati Anom. Hanya kadang"kadang saja guru datang. Tetapi hanya sejenak. Kemudian kembali lagi ke padepokan kecilnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. la memang sudah mengira bahwa gurunya memang berada di padepokan kecilnya.
Sementara hidangan di persiapkan, maka mereka yang berada di pendapa telah terlibat dalam pembicaraan yang riuh. Sekali-sekali terdengar Swandaru tertawa. Namun kemudian ia menjadi agak bersungguh-sungguh ketika Agung Sedayu mulai menceriterakan kehadiran pasukan Purbarana.
Ceritera itu memang sangat menarik, Namun sekali lagi Swandaru membuat gambaran yang salah tentang kemampuan Agung Sedayu. Baginya lawan Agung Sedayu itu tidak lebih dari berandal-berandal yang membuat sarangnya seperti padepokan-padepokan. Karena itu, maka kemampuan merekapun tidak lebih dari kemampuan seorang gegedug brandal.
Agung Sedayu pun merasakan tanggapan Swandaru itu. Tetapi Agung Sedayu tidak mempersoalkannya. Bahkan ia tidak menyebut-nyebut lagi apa yang telah dilakukan di peperangan itu.
"Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah sekarang?" bertanya Ki Demang.
"Sekar Mirah sudah baik" jawab Agung Sedayu, "ia sudah sering berada di sanggar lagi untuk mcningkatkan ilmunya."
"Syukurlah" desis Ki Demang. Lalu, "Tetapi kenapa kau tidak memberitahukan kepada kami pada saat itu, atau kepada gurumu agar dapat diberikan pengobatan yang lebih baik."
"Persoalan tidak terlalu gawat" jawab Agung Sedayu, "dan semuanya sudah dapat di atasi dengan baik."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya kerinduannya kepada anak perempuannya telah menggelitik hatinya. Meskipun demikian Ki Demang tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
Agung Sedayu yang ingin segera bertemu dengan gurunya, terpaksa bermalam di Sangkal Putung semalam atas permintaan Ki Demang. Baru di pagi hari berikutnya Agung Sedayu pergi ke Jati Anom.
"Aku juga ingin bertemu dengan Ki Widura" berkata Agung Sedayu, "aku ingin menyampaikan kesan tentang anak laki-lakinya yang nakal itu."
Seperti waktu Agung Sedayu datang di Sangkal Putung, maka ia pun pergi ke Jati Anom seorang diri untuk menemui gurunya. Meskipun tidak ada hal yang memaksa untuk menemuinya, tetapi ia perlu berbicara tentang beberapa hal. Juga tentang Glagah Putih.
Kedatangan Agung Sedayu membuat gurunya menjadi gembira sekali. Rasa-rasanya sudah lama sekali Kiai Gringsing tidak bertemu dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka kedatangannya benar-benar sesuatu yang sangat diharapkan. Apalagi ketika kemudian Kiai Gringsing mengetahur bahwa kedatangan Agung Sedayu tidak membawa persoalan apapun juga kecuali sekedar menengok keselamatan keluarga di Sangkal Putung dan gurunya di Jati Anom serta keluarga Ki Widura di Banyu Asri.
"Kau Tidak menemui kakakmu?" bertanya Kiai Gringsing
"Kakang Untara masih tetap pada kedudukannya yang lama sebagai mana masa pengabdiannya kepada Pajang?"
"Ya. Tetapi dalam kedudukan yang sebaliknya" jawab gurunya.
"Aku kurang tahu maksud guru" berkata Agung Sedayu.
"Sekarang Untara bukan lagi prajurit Pajang yang menghadap ke Mataram. Tetapi prajurit Mataram yang menghadap ke Pajang" jawab Kiai Gringsing pula.
"Maksud guru, kakang Untara dihadapkan kepada Adipati Wirabumi di Pajang" Apakah benar sebagaimana desas-desus yang pernah aku dengar, ada sedikit mendung di atas Pajang" Justru pada saat kita memandang langit di atas Madiun dengan buram." desak Agung Sedayu.
Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Para cantrik telah menyiapkan hidangan. Marilah. Minumlah selagi masih hangat. Sebaiknya kau menemui kakangmu Untara. Anaknya kini sudah pintar berkelahi."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia teringat bahwa anak Untara memang harus sudah lahir, dan bahkan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, sudah pintar berkelahi.
Karena itu, maka tiba-tiba saja telah timbul keinginannya untuk segera mengunjungi kakaknya.
Namun Agung Sedayu tidak mengecewakan para cantrik yang tidak seberapa jumlahnya, yang telah menyediakan hidangan baginya, Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meneguk minuman hangat dan beberapa potong makanan.
"Apakah kau ingin makan?" bertanya Kiai Gringsing. "Tidak guru. Terima kasih. Aku masih kenyang." jawab Agung Sedayu.
"Jika kau ingin makan, aku kira para cantrik baru saja membuat belubus daun lumbu. Mereka baru membersihkan pinggir belumbang dan menebasi pohon lumbu itu" berkata Kiai Gringsing.
"Nanti siang aku akan makan nasi hangat dengan belubus daun lumbu itu guru. Aku memang gemar sekali belubus lumbu asal tidak kebetulan daun lumbu yang menggatalkan leher" jawab Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, setelah minuman dan makan makanan beberapa potong, maka Agung Sedayu pun berkata, "Guru, sebenarnya aku tidak mempunyai rencana khusus untuk menemui kakang Untara, meskipun aku memang akan sekedar singgah. Tetapi guru mengatakan, bahwa anak kakang Untara sudah pandai berkelahi, maka rasa-rasanya aku ingin datang Iebih cepat.
"Pergilah" berkata Kiai Gringsing, "bukankah kau tidak mempunyai persoalan yang khusus dan penting sekali dengan aku?"
"Tidak guru. Hanya ada beberapa ceritera yang mungkin lebih mapan jika aku ceritakan sesudah makam malam nanti, menjelang tidur" berkata Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka Agung pun telah minta diri untuk pergi ke rumah kakaknya. Agaknya Agung Sedayu tidak ingin mempergunakan kudanya, sehingga ditinggalkannya kudanya di padepokan kecil itu. la lebih senang berjalan sambil mengenali jalan-jalan yang hampir setiap hari dilaluinya di masa kanak-kanaknya.
Dengan berjalan kaki, Agung Sedayu menuju kerumah kakaknya. Rasa-rasanya masih belum ada perubahan sebagaimana Untara masih menjadi prajurit Pajang. Rumah kakaknya itu masih juga untuk kepentingan keprajuritan, sehingga seakan-akan memang tidak terjadi perubahan apapun secara wadag di Jati Anom.
Namun seperti kata gurunya, Untara tidak lagi prajurit Pajang yang menghadap ke Mataram, tetapi prajurit Mataram yang menghadap ke Pajang.
Ketika ia memasuki padukuhan induk, maka beberapa orang yang sudah pernah mengenalnya, segera menyapanya. Kawan-kawan di masa kanak-kanak telah mengguncang tubuhnya dengan penuh kegembiraan.
Meskipun sebelumnya Agung Sedayu sudah sering datang ke padukuhan itu, tetapi setelah perang berakhir, rasa-rasanya mereka belum mendapat kesempatan untuk bertemu.
Beberapa kali Agung Sedayu terpaksa berhenti untuk saling berbincang dengan kawan-kawan lamanya. Sebagaimana dari mereka memang pernah mendengar tentang kebesaran nama Agung Sedayu. Tetapi ketika mereka bertemu dengan orangnya, maka orangnya masih saja seperti di saat-saat namanya belum disebut oleh setiap prajurit. Agung Sedayu masih sama saja seperti dahulu. Bahkan rasa-rasanya masih belum berubah seperti Agung Sedayu yang penakut selain kerut umurnya yang bertambah semakin tua.
"Aku sudah lama tidak bertemu dengan kakang Untara" berkata Agung Sedayu.
"Kakangmu ada di rumah. la tidak terlalu sibuk seperti menjelang perang. Prajurit-prajuritnya pun kini mempunyai lebih banyak waktu sehingga mereka dapat bekerja bersama para petani di sawah, membuat jalan-jalan dan memperbaiki bendungan" berkata seorang kawannya.
Agung Sedayu tersenyum, Katanya kemudian, "Menurut pendengaranku, anak kakang Untara sudah tumbuh semakin besar."
"0, ya" jawab kawannya, "anak itu memang sudah menjadi besar. la sudah sering bermain-main dengan naik kuda.
"Naik kuda" He, apa aku tidak salah dengar?" bertanya Agung Sedayu.
"Memang, naik kuda kepang. Anak itu senang bermain kuda kepang." jawab kawannya.
Agung Sedayu tertawa. Kawannya itu pun tertawa.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah memasuki regol rumah kakaknya yang dijaga oleh seorang prajurit. Tetapi karena prajurit itu sudah mengenal Agung Sedayu, maka sambil mengangguk hormat ia mempersilahkan Agung Sedayu masuk.
Kedatangan Agung Sedayu diterima oleh kakaknya suami isteri dengan gembira. Dipersilahkannya Agung Sedayu masuk keserambi samping, karena bagian dalam rumahnya masih dipergunakan untuk kepentingan para prajurit.
"Kau sudah lama sekali tidak berkunjung kemari" berkata isteri Untara "kau sekarang benar-benar seorang laki-laki
"Beberapa waktu yang lalu, kau rasa-rasanya masih seorang anak yang sedang tumbuh."
Agung Sedayu tersenyum. la ingat benar, bahwa mbokayunya itu terlalu memanjakannya. Melampaui Untara sendiri, yang bahkan lebih banyak marah kepadanya.
Namun dalam pada itu Untara menyahut, "Aku tidak berani lagi memarahinya sekarang, meskipun aku masih saja kecewa terhadapnya."
"Ah kau" desis isterinya.
Tetapi Untara tersenyum. Katanya, "la masih anak malas. Tanyakan kepadanya, apa kerjanya sekarang" Bukankah ia masih seorang penganggur meskipun ia memiliki nama besar."
"Jangan begitu" potong isterinya, "ia orang penting di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah begitu?" "Ah, tidak mbokayu" sahut Agung Sedayu sambil menunduk.
Namun dalam pada itu, meskipun Agung Sedayu mengerti bahwa kakaknya hanya sekedar bergurau saja tentang kedudukannya, tetapi tentu bukannya tanpa maksud. Sejak semula kakaknya ingin Agung Sedayu mempunyai kedudukan yang jelas. Sedangkan di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu tidak lebih dari sekedar orang yang mendapat kepercayaan dari Swandaru, isteri Pandan Wangi. Pandan Wangilah yang sebenarnya berhak untuk memerintah Tanah Perdikan Menoreh pada saat-saat Ki Gede Menoreh berhalangan, atau suaminya. Tetapi karena Swandaru tidak dapat melakukannya, maka ia telah mempercayakan tugas-tugas itu kepada Agung Sedayu, adik iparnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau memikirkannya terlalu lama. la masih mempunyai kesempatan untuk menilai dirinya sendiri dan tugas-tugas yang harus dilakukannya.
Sementara itu, hidangan pun mulai disuguhkan. Tetapi Agung Sedayu masih belum melihat kemanakannya, anak Untara.
Karena itu, maka akhirnya Agung Sedayu pun bertanya, "Kakang, di mana anak kakang" He siapakah namanya" Bukankah anak itu sudah pandai berkelahi sekarang?"
"O" isteri Untara tersenyum. Kemudian katanya, "la baru bermain-main. Siapa yang mengatakan bahwa anak itu sudah pandai berkelahi?"
"Ya. Bahkan sudah pandai naik kuda" jawab Agung Sedayu.
Isteri Untara tertawa berkepanjangan, sementara sambil tersenyum Untara berkata, "Sudah berapa tahun kau tidak datang kemari?"
Menjelang perang di Prambanan barangkali" Kau sibuk dengan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dan persoalan di Sangkal Putung. Tetapi sudah tentu bahwa waktu yang sekian itu tidak dengan serta merta membuat anakku dapat bermain dengan kuda."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la memang sudah lama tidak datang ke rumah kakaknya. Setiap kali ia bertemu dengan Untara, maka ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertanya tentang isteri Untara dan apalagi anak yang dilahirkannya.
Namun demikian akhirnya Agung Sedayu tersenyum pula sambil menjawab " Anak yang tinggal di sebelah simpang empat itu mengatakan, anak kakang Untara sudah pandai naik kuda. Tetapi kuda kepang."
Akhirnya Untarapun tertawa.
Sementara itu, isterinya telah bangkit dan pergi ke belakang. Sejenak kemudian, ia pun telah kembali sambil menggendong seorang bayi laki-laki yang gemuk dan sehat. Bayi yang sudah tumbuh dan mampu berdiri dan berjalan tertatih-tatih."
"0 manisnya" Agung Sedayu dengan serta merta telah meraih anak itu dari tangan ibunya.
Anak itu memandanginya sejenak, sementara Agung Sedayu bertanya dengan kata-kata lembut, "Siapa namamu anak manis" He, siapa?"
Anak itu diam saja. Namun tiba-tiba saja tangannya menggapai wajah Agung Sedayu dan meremas kupingnya.
"O. Jangan nakal" ibunya melarangnya.
"Tidak apa-apa" potong Untara "bukankah Agung Sedayu sendiri mengatakan, bahwa anak itu sudah pandai berkelahi" ia tahu, bahwa pamannya mempunyai ilmu kebal."
"Ah" desah Agung Sedayu " namun kemudian dipangkunya anak itu dan dibawanya duduk di amben.
Tetapi ternyata bahwa anak itu bukan anak yang betah untuk duduk dan berbincang-bincang. Ternyata anak itu lebih senang meluncur turun dan berlari terhuyung-huyung menghambur ke luar.
"Putut, Putut" panggil ibunya yang menyusulnya berlari keluar pula.
Agung Sedayu memandang sambil tersenyum. Sementara itu Untara berkata, "Namanya Putut Pratama."
"Nama yang bagus" desis Agung Sedayu.
"Pada saatnya kau akan mempunyai anak pula. Mungkin juga seorang laki-laki. Tetapi mungkin seorang perempuan." Berkata Untara.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jika ia melihat seorang anak yang masih bersih, rasa-rasanya hidup itu penuh dengan kedamaian. Namun jika anak itu mulai tumbuh menjadi remaja, maka seperti Glagah Putih, ia akan dijamah oleh kemungkinan-kemungkinan yang lain, yang sulit untuk dihindari dalam geseran kehidupan ini.
Di luar sadarnya, Agung Sedayu teringat kepada anak Ki Waskita. Seorang anak muda yang berusaha untuk berdiri di satu sisi yang lain dari kemungkinan-kemungkinan kehidupan kewadagan ini.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia seakan-akan terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Untara berkata, "Anak bagi sebuah keluarga merupakan mustika yang tidak ternilai harganya."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya, "Mudah-mudahan aku pun akan segera mendapatkan karunia itu."
Untara tersenyum. Katanya, "Tentu. Tetapi bagaimana dengan Swandaru?"
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Entahlah. Tetapi nampaknya keduanya masih lebih banyak tenggelam di dalam sanggar mereka."
"Demikian juga kau berdua" sahut Untara.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun tersenyum pula.
Hari itu Agung Sedayu menghabiskan waktunya dengan kemenakannya yang memang nakal sekali. Tetapi bagi Agung Sedayu, kenakalan anak itu memberikan gambaran sikap dan tingkah lakunya kemudian. Menurut ceritera yang pernah didengarnya, dirinya sendiri bukanlah anak yang nakal. la lebih banyak diam, termenung, berpegangan baju Untara dan merengek ketakutan. Hanya karena karunia yang ajaib sajalah yang, dapat merubahnya menjadi seorang laki-laki yang pantas seperti keadaannya saat itu.
Namun di saat menjelang sore hari, Agung Sedayu telah minta diri untuk pergi ke Banyu Asri, mengunjungi pamannya Widura untuk memberi tahukan perkembangan keadaan Glagah Putih.
"Kapan kau kembali ke Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Untara.
"Mungkin besok" jawab Agung Sedayu.
"Begitu tergesa-gesa" Bukankah tidak ada persoalan yang harus cepat kau tangani?" bertanya Untara pula.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian ia pun menjawab, "Memang tidak ada persoalan khusus yang harus aku selesaikan disini. Tetapi aku ingin melaporkan perkembangan Glagah Putih kepada paman Widura."
"Apakah kau melihat satu perkembangan yang lain dari satu perkembangan yang wajar?" bertanya Untara pula.
"Tidak. la memang berkembang dengan wajar. Tetapi pesat. Mungkin paman Widura akan berbangga dengan anak laki-lakinya itu." Berkata Agung Sedayu kemudian. Lalu, "Namun aku pun perlu melaporkan bahwa ia telah berhubungan dengan putera Panembahan Senopati yang bernama Raden Rangga. Seorang anak muda yang luar biasa. Yang barangkali dapat disebut melampaui kewajaran seorang anak muda."
Agung Sedayu sempat berceritera serba sedikit tentang niatnya pergi ke Mataram, namun akhirnya terdorong sampai ke Sangkal Putung.
"Tetapi kebetulan sekali, bahwa aku sempat melihat Putut yang benar-benar sudah pandai berkelahi." berkata Agung Sedayu.
Untara tertawa. Katanya, "Apakah kelak kau akan mengajarinya juga untuk benar-benar berkelahi?" bertanya Untara.
Agung Sedayu lah yang kemudian tertawa.
Demikianlah , maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan Jati Anom dan pergi ke Banyu Asri untuk menemui pamannya. Waktu Agung Sedayu memang tidak terlalu banyak, karena menjelang makan malam ia harus sudah kembali ke padepokannya dan berceritera tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Glagah Putih serta perjalanannya dari Tanah Perdikan Menoreh sampai di Padepokan kecilnya dan singgah sebentar di Mataram.
Di Banyu Asri Agung Sedayu memang tidak terlalu lama. Tetapi laporannya kepada pamannya telah membuat pamannya menjadi gembira. la sangat berterima kasih kepada Agung Sedayu, bahwa dengan tuntunannya Glagah Putih berkesempatan untuk mempelajari berbagai macam ilmu.
Tentang Kiai Jayaraga Ki Widura berkata, "Segala sesuatunya terserah kepada pertimbanganmu. Jika menurut pendapatmu, hal itu akan bermanfaat bagi Glagah Putih, maka aku sama sekali tidak berkeberatan. Demikian juga kehadiran putera Panembahan Senopati yang bernama Raden Rangga itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. la merasa bahwa dengan demikian tanggung jawabnya menjadi bertambah ringan. la telah memberikan laporan tentang Glagah Putih kepada ayah anak muda itu, sehingga dalam beberapa hal ia tidak akan dipersalahkan jika terjadi sesuatu yang kurang baik kelak.
Menjelang malam, Agung Sedayu pun telah minta diri kepada pamannya dan kembali ke padepokannya, meskipun pamannya menahannya. Tetapi malam itu Agung Sedayu ingin berada di padepokan kecilnya yang sudah lama ditinggalkannya bersama gurunya. Bukan saja karena keinginannya untuk berada di lingkungan padepokan yang pernah menjadi tempat menempa diri, tetapi ia memang ingin banyak berbicara dengan gurunya.
Demikianlah, setelah makan malam, maka Agung Sedayu pun telah duduk di ruang dalam bersama gurunya. Seperti yang di inginkan, maka Agung Sedayu pun dapat menceriterakan banyak masalah tentang Tanah Perdikan Menoreh, tentang Jayaraga yang dengan sungguh-sungguh telah berusaha membentuk Glagah Putih menjadi seorang yang linuwih. Tentang Raden Rangga dan tentang sepasukan orang-orang yang tidak puas dan menumpahkan ketidak puasannya kepada Tanah Perdikan Menoreh.
Kiai Gringsih mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia merasa gembira, bahwa orang-orang yang dikenalnya sejak masa kanak-kanak temurun sampai ke Glagah Putih telah mampu berkembang dengan baik.
Dalam kesempatan itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan jiwani. Pesan yang sangat penting bagi hidup Agung Sedayu kelak.
"Hidupmu tidak hanya bertumpu kepada kekuatan jasmanimu, tetapi juga pada keteguhan jiwamu berpegang pada dasar keyakinanmu sebagai hamha dari Yang Maha Agung" berkata gurunya.
Agung Sedayu sudah sering mendengar berbagai pesan gurunya. Tetapi ia tidak pernah merasa jemu. Bahkan apa yang pernah dikatakan gurunya terdahulu dan diulanginya sampai dua tiga kali, rasa-rasanya masih merupakan sesuatu yang baru dan segar ditelinganya, karena Agung Sedayu sadar bahwa jiwanya pun selalu memerlukan makanan sebagaimana tubuhnya untuk kesegaran keyakinannya. Itulah maka setiap kali ia sengaja mendengarkan pesan-pesan apa saja yang bermanfaat baginya. Sudah atau belum pernah didengarnya sebelumnya.
Terhadap perkembangan tubuh dan jiwa Glagah Putih, Kiai Gringsing pun menganggap masih dalam batas kewajaran. Katanya, "Aku tidak melihat sendiri Agung Sedayu. Tetapi ceriteramu rasa-rasanya telah memberikan gambaran yang lengkap, seakan"akan aku telah melihatnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Setiap kata gurunya terasa telah memantapkan sikap dan keyakinannya, sehingga karena itu maka katanya, "Mudah-mudahan aku dapat mengemban semua tugas dengan sewajarnya. Kehadiranku di Tanah Perdikan Menoreh semoga tidak sia-sia. Meskipun Tanah Perdikan Menoreh masih belum dapat menyamai perkembangan Sangkal Putung, tetapi rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh menjadi bertambah maju. Memang perang yang terjadi karena kegilaan Purbarana itu berpengaruh atas tata kehidupan Tanah Perdikan Menoreh karena telah terjadi beberapa kematian, kerusakan pada pategalan dan jalan-jalan. Namun akibat itu dapat segera diatasi.
"Kau memang harus bekerja keras. Semakin lama semakin keras. tetapi agaknya Glagah Putih telah membantumu dengan cara yang pernah kau letakkan di atas Tanah Perdikan itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Glagah Putih memang, telah melakukan sebagaimana dilakukan. Akan itu adalah anak yang rajin, trampil dan rendah hati. Memang ada beberapa persamaan dengan Agung Sedayu sendiri. Tetapi terdapat pula beberapa perbedaan. Glagah Putih berdiri di atas pribadinya sendiri. Ia bukan bayangan dari Agung Sedayu. Apalagi setelah ia berguru pula kepada Kiai Jayaraga. Maka ilmu yang diserapnya dari Agung Sedayu dan dari Kiai Jayaraga telah mempertegas ujud pribadinya. Semakin tinggi umurnya, maka semakin jelas bahwa Glagah Putih, adalah Glagah Putih itu sendiri.
Dengan demikian maka pertemuannya dengan gurunya telah membekalinya dengan beberapa pesan. Karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu menjadi semakin jelas melihat ke masa depan yang lebih cerah.
Kedua orang guru dan murid itu rasa-rasanya tidak menyadari waktu lagi. Pembicaraan mereka terlalu mengikat kedua belah pihak, sehingga tiba-tiba mereka telah mendengar ayam jantan berkokok. Bukan di tengah malam, tetapi menjelang fajar.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Agung Sedayu. Masih ada waktu untuk sedikit beristirahat. Kau dapat mempergunakannya. Besok, kau tidak perlu berangkat terlalu pagi."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya "Ya guru. Besok aku masih akan minta diri ke rumah Kakang Untara dan Paman Widura setelah meninggalkan padepokan ini."
"Kau masih singgah di Sangkal Putung?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya guru. Mungkin hanya sekedar minta diri. Tetapi mungkin aku harus bermalam lagi di Kademangan itu" jawab Agung Sedayu.
Dengan wajah yang sejuk Kiai Gringsing kemudian memberi kesempatan Agung Sedayu untuk pergi ke biliknya dengan pesan lembut. "Kau masih sempat tidur Agung Sedayu. Atau barangkali kau masih dapat merenung barang sekejap. Merenungi hari-harimu yang penuh dengan kurnia sejahtera."
"Ya guru" berkata Agung Sedayu "mungkin aku perlu mengucapkan terima kasih secara khusus."
"Tingkah lakumu dapat menjadi ungkapan pernyataan terima kasihmu itu Agung Sedayu" berkata gurunya, "justru lebih tulus dari cara yang manapun."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la mengerti maksud gurunya.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah berada di dalam biliknya. Seperti kata gurunya ia masih sempat merenungi keadaan dirinya, lingkungannya dan terutama kurnia yang pernah diterimanya. Baru kemudian Agung Sedayu sempat memejamkan matanya, beristirahat pada malam yang masih tersisa.
Meskipun Agung Sedayu baru tertidur sesaat menjelang fajar, tetapi ia tidak dapat meninggalkan, kebiasaannya untuk bangun pagi-pagi benar. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada gurunya untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kau masih singgah di rumah kakakmu dan pamanmu?" bertanya gurunya.
"Ya guru" jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Meskipun kita hanya bertemu semalam saja, tetapi agaknya cukup banyak pesan-pesanku kepadamu. Tika aku masih memberinya lebih banyak lagi, mungkin kau akan merasa jenuh." berkata gurunya.
"Aku akan berusaha untuk setiap kali dapat bertemu" berkata Agung Sedayu.
"Jika kau tidak mempunyai kesempatan, maka biarlah aku yang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh" berkata Kiai Gringsing.
Demikianlah maka Agung Sedayu pun meninggalkan padepokan kecilnya. la singgah sejenak di rumah Untara dan Ki Widura, sekedar untuk minta diri. Namun kemudian ia masih akan singgah di Sangkal Putung. Jika tidak ada sesuatu yang memaksanya, maka Agung Sedayu tidak lagi berniat untuk bermalam.
Karena itulah, maka ketika kemudian setelah ia minta diri kepada kakaknya dan pamannya, serta singgah di Sangkal Putung, ia mengelak ketika Ki Demang memintanya untuk bermalam lagi.
Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah menempuh perjalanannya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya, karena kepentingannya yang sebenarnya, ia sekedar ingin berada di Mataram barang satu malam.
Dalam perjalanan kembali Agung Sedayu sama sekali tidak menemui hambatan apapun juga sebagaimana ketika ia berangkat. Jalan-jalan telah menjadi semakin ramai. Dan para petani yang bekerja di sawahpun merasa tidak terganggu sama sekali oleh gejolak kekerasan yang kurang mereka mengerti maknanya.
Dengan keterangan yang kemudian di bawa oleh Agung Sedayu tentang Raden Rangga, maka orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin tenang menghadapi anak muda yang semula tidak banyak mereka kenal itu.
Sehingga dengan demikian, maka Kiai Jayaraga pun telah memberikan banyak kesempatan kepada Glagah Putih untuk dapat berlatih bersama anak muda itu.
Meskipun demikian baik Agung Sedayu maupun Kiai Jayaraga tidak melepaskannya sepenuhnya. Kadang-kadang keduanya telah mengamati dengan saksama perkembangan ilmu Glagah Putih. Pengaruh yang di dapatkannya dari anak muda yang bernama Raden Rangga itu.
Agung Sedayu yang banyak bergaul dengan Raden Sutawijaya sebelum berkedudukan di Mataram sebagai Senapati Ing Ngalaga, sempat melihat beberapa unsur dari ilmunya. Namun ketika ia melihat unsur-unsur yang terdapat pada anak muda yang disebut Raden Rangga itu, ia melihat beberapa perbedaan yang agak jauh. Nampaknya ilmu anak muda itu bukanlah tetesan dari ilmu ayahandanya, Panembahan Senapati.
Tetapi tidak seorang pun yang akan dapat mengatakan, dari mana Raden Rangga itu menyadap ilmu. Bahkan ada beberapa unsur ilmu yang sangat mengejutkan. Pada saat-saat Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menyaksikan latihan di antara kedua orang anak muda itu, maka tiba-tiba saja keduanya melihat sesuatu yang mendebarkan jantung.
Dalam latihan yang keras dan berat, pada saat-saat Glagah Putih mengerahkan segenap kemampuannya, hampir di luar sadarnya Glagah Putih telah melepaskan unsur ilmunya yang masih harus dipelajari perkembangannya serta kemungkinan-kemungkinannya. Dalam pemusatan kekuatannya, maka seakan-akan ada getaran dari pusat kekuatan Glagah Putih yang mcngalir lewat jaringan tubuhnya, bahkan mampu merambat Iewat jenis-jenis senjata yang di genggam tangannya. Getaran itu mula-mula telah menyusup dan menusuk langsung ke bagian dalam tubuh lawannya, sehingga lawannya merasakan serangan kekuatan yang menghentaknya langsung di bagian dalam tubuhnya, lewat segala jenis sentuhan. Juga lewat benturan senjata apabila hat itu terjadi. Apalagi benturan kekuatan dengan sentuhan bagian tubuh masing-masing, maka kekuatan itu akan dengan serta merta menyusup lewat sentuhan itu.
Kekuatan Glagah Putih yang masih belum jelas ujudnya itu, telah membuat Raden Rangga terkejut. Ketika ia menangkis serangan Glagah Putih dengan kakinya yang, mengarah lambung, maka terasa sesuatu menyusup lewat benturan tubuhnya. Rasa-rasanya sebuah getaran menelusuri jaringan darahnya mengguncang isi jantungnya.
Untunglah, bahwa Raden Rangga adalah anak muda yang perkasa, sehingga daya tahan tubuhnya dengan serta merta telah mampu mengatasi perasaan sakit itu.
Namun Glagah Putih tidak melepaskannya. lapun segera memburu lawannya dengan serangan-serangan beruntun.
Raden Rangga yang memiliki kemampuan yang mengherankan itu, tiba-tiba saja tertawa. la menjadi gembira sekali mendapat kawan yang dapat memaksanya untuk mengerahkan kemampuannya. Tanpa kawan berlatih yang demikian, maka latihan-latihan yang dilakukannya tidak akan banyak berarti. Serangan-serangan Glagah Putih itu memaksa Raden Rangga untuk meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan terasa ilmu lawannya yang semakin garang itu telah menyakitinya.
"Menyenangkan sekali" teriak Raden Rangga, "kau ternyata memang luar biasa. Tetapi kemampuanmu ini masih belum kau sadari sepenuhnya. He, bagaimana dengan gurumu keduanya itu" Apakah mereka tidak mampu mengurai gejala yang ada pada muridnya, karena sebenarnyalah yang hadir di dalam dirimu adalah hasil latihan-latihanmu berlandaskan kedua jenis ilmu yang kau terima dari gurumu itu."
Glagah Putih tidak menjawab. Tiba-tiba gairahnya semakin meningkat. la berhasil mendesak Raden Rangga yang luar biasa itu.
Sementara itu Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga memperhatikan latihan itu dengan saksama. Jantung mereka tersentuh oleh kata-kata Raden Rangga yang muda itu. Memang keduanya masih belum berusaha mengurai gejala kemampuan yang nampak pada Glagah Putih, meskipun keduanya sering mengamatinya. Tetapi pengamatan mereka lebih banyak ditujukan untuk melihat pengaruh ilmu Raden Rangga itu, sehingga gejala ilmu yang tumbuh di dalam diri Glagah Putih sendiri sebagai akibat luluhnya berbagai ilmu di dalam dirinya, belum mendapat perhatian mereka.
Namun sementara itu, latihan antara kedua orang anak muda itu berlangsung semakin keras. Glagah Putih memang lebih besar dan lebih tua dari Raden Rangga, tetapi nampaknya Raden Rangga memiliki kemantapan yang lebih berat dari Glagah Putih.
Meskipun demikian dalam puncak kemampuannya, ternyata bahwa Glagah Putih mampu mendesak Raden Rangga. Meskipun Raden Rangga justru menjadi sangat gembira karenanya, namun ternyata bahwa Raden Ranggapun telah berusaha dengan sepenuh hati untuk membebaskan diri dari kemungkinan yang lebih buruk. Jika getaran di dalam diri Glagah Putih itu selalu menusuk jaringan urat darahnya, maka semakin lama kemampuannya pun akan menjadi semakin susut.
Karena itu, maka Raden Rangga pun kemudian berusaha untuk tidak membenturkan bahkan tidak bersentuhan dengan tubuh Glagah Putih. Dengan kemampuan kecepatan geraknya, maka Raden Rangga selalu menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya.
Tetapi ternyata getaran di dalam tubuh Glagah Putih seakan-akan mampu pula berpengaruh atas sentuhan wadagnya dengan bumi. Rasa-rasanya tubuhnya dapat dilemparkannya lebih jauh dari kemampuan wajarnya. sehingga kecepatan geraknyapun seakan-akan telah meningkat.
"O" teriak Raden Rangga, "kau memang luar biasa. Kau mampu mengimbangi kecepatan gerakku, he?"
Glagah Putih tidak menjawab. la tidak mau kehilangan pegangan pada jenis kekuatan yang sudah dirambahnya. Bahkan dengan kesadaran yang tinggi, ia menghayati kemampuannya itu.
Dengan demikian maka Glagah Putih telah memanfaatkan kemampuannya itu dengan mendesak Raden Rangga. Jika ia mampu mengimbangi anak muda yang aneh itu, maka ia pun akan mampu berbuat lebih banyak lagi di masa depannya.
Perkelahian di antara dua orang anak muda yang sedang berlatih itu menjadi semakin cepat dan keras. Keduanya masih muda dan gelora darah mereka masih mampu memanasi isi dada mereka.
Karena itulah, maka latihan diantara keduanyapun rasa-rasanya tidak akan kunjung berakhir, justru semakin lama menjadi semakin meningkat.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi berdebar-debar justru ketika mereka melihat Raden Rangga agak terdesak oleh kemampuan Glagah Putih yang masih harus mereka urai lebih jauh, karena yang nampak dalam latihan itu bukanlah sepenuhnya yang dirasakan dalam latihan itu bukanlah sepenuhnya yang dirasakan oleh Raden Rangga di setiap sentuhan, meskipun gejala yang aneh itu dapat ditangkappya pula serba sedikit.
Pada saat kedua orang itu menjadi semakin berdebar-debar, ternyata Raden Rangga yang terdesak itu masih sempat tertawa. Sambil berloncatan menghindar ia berkata, "Ayo, sentuh aku. Daya sentuhanmu bagaikan meruntuhkan kekuatan lawan. Ini baru sebuah ilmu yang nggegirisi, yang masih belum terungkap oleh gurumu sekalipun."
Glagah Putih tidak menjawab. la memburu terus. la ingin melepaskan kemampuan yang masih belum mapan itu sampai kepuncak, untuk menjajagi kemampuan diri sendiri.
Raden Rangga benar-benar telah terdesak. Beberapa kali ia harus berloncatan surut.
Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga masih mempunyai ilmu yang lain. Ilmu yang sangat mengejutkan itu. Seakan-akan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tidak dapat mempercayainya, bahwa ia telah melihat Raden Rangga melepaskan sejenis ilmu yang mengagumkan.
Pada saat Raden Rangga semakin terdesak, maka tiba-tiba saja, perlahan-lahan telah mengepul, seolah-olah dari dirinya, kabut yang tipis. Semakin lama semakin tebal, sehingga akhirnya kabut itu telah menyelimuti dirinya dan sekaligus lawannya. Karena latihan yang sering mereka adakan adalah di malam hari, maka rasa-rasanya malampun menjadi semakin gelap bagi Glagah Putih, sebagaimana malam yang gelap dalam hujan yang lebat. Bahkan semakin lama menjadi semakin gelap.
Dalam keadaan yang demikian, maka Glagah Putih agak menjadi bingung. la sudah berlatih untuk mempergunakan bukan saja penglihatannya, tetapi dalam latihan-latihan di hujan yang lebat ia telah berhasil mempertajam pendengarannya.
Karena itu, di dalam gelapnya kabut di malam hari itu, Glagah Putih pun telah mempergunakan indera pendengarannya lebih banyak dari indera penglihatannya.
Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga bagaikan membeku menyaksikan permainan anak muda yang bernama Raden Rangga itu. Meskipun Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengerti bahwa ilmu itu masih belum mapan, tetapi sudah nampak betapa tingginya kemampuan anak muda itu.
Diluar sadarnya, Agung Sedayu telah teringat kepada gurunya, Kiai Gringsing dan kepada kitab yang pernah dibacanya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu yang ada di masa lampau dan sempat berkembang. Tetapi karena laku yang harus ditempuh ternyata terlalu berat untuk menguasainya, maka ilmu itu semakin lama menjadi semakin susut.
Meskipun demikian, ternyata bahwa Raden Rangga, anak yang masih sangat muda itupun ternyata telah memilikinya meskipun masih kasar dan belum mapan.
Untuk beberapa saat kedua anak muda itu masih berkelahi. Glagah Putih yang telah melatih pendengarannya, mampu mengamati arah lawannya, sehingga dengan demikian, maka Raden Rangga tidak dapat dengan sekehendak hatinya menyerangnya dari arah yang manapun juga.
Tetapi anak muda yang nakal itu memang banyak akal disamping kemampuan ilmunya. Dengan cerdik anak muda itu telah melepaskan ilmunya yang lain, semacam ilmu Gelap Ngampar. Meskipun sebagaimana ilmunya yang terdahulu, masih nampak baru dalam tataran permulaan, tetapi bagi Glagah Putih, Gelap Ngampar itu telah dapat membuatnya kebingungan.
Demikianlah, Raden Rangga itu telah tertawa berkepanjangan. Suara tertawanya bagaikan melingkar-lingkar di lereng-lereng perbukitan. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih pun menjadi bingung. Pendengarannya yang sudah terlatih itu, masih sulit untuk mengatasi getaran suara ilmu Gelap Ngampar yang melingkar-lingkar seakan-akan datang dari segala penjuru.
Karena itulah, maka Glagah Putih pun kemudian menjadi bingung. Penglihatannya telah dikaburkan oleh kabut yang seakan-akan menjadi semakin pekat, meskipun kadang-kadang bagaikan hanyut oleh angin dan menguak di luar kehendak Raden Rangga. Tetapi pengaruhnya bagi Glagah Putih cukup membingungkan. Sedangkan kemudian pendengarannya pun telah dikacaukan oleh semacam ilmu yang disebut Gelap Ngampar, yang dapat membaurkan arah suara dan bahkan mampu mengetuk langsung kedalam isi dada.
Glagah Putih benar-benar menjadi bingung. la tidak tahu, kearah mana ia harus menghadap dan menyerang. Karena itu, maka ialah yang kemudian berkali-kali telah dikenai oleh serangan Raden Rangga, justru diiringi oleh suara tertawanya yang berkepanjangan.
Bagaimanapun juga Glagah Putih mengerahkan ilmunya, tetapi ia benar-benar tidak mampu mengimbangi kemampuan yang dimiliki oleh anak yang masih lebih muda dari dirinya, meskipun ilmu itu belum mapan.
"Luar biasa" desis Agung Sedayu.
"Dari mana anak itu memperoleh ilmu yang dahsyat itu. ilmu yang dikenal oleh satu masa yang telah lewat. Yang barangkali tidak dikenal oleh ayahandanya sendiri, atau seandainya ayahandanya mengenalinya, namun tentu masih belum diturunkannya kenapa anak yang masih sangat muda itu. Karena bagaimanapun juga, ilmu itu akan sangat berbahaya. Anak yang semuda Raden Rangga dengan ilmu yang demikian tinggi, akan dapat mendorongnya melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Yang mungkin sama sekali tidak bermaksud buruk, tetapi terdorong oleh jiwa kekanakannya, maka ilmu itu akan dapat menjadi berbahaya." berkata Kiai Jayaraga.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun suara Raden Rangga itu semakin lama menjadi semakin perlahan-lahan dan terdengar semakin jauh seolah-olah dilontarkan dari punggung-punggung bukit yang memanjang di Tanah Perdikan Menoreh.
Sejenak kemudian, mereka baru menyadari, bahwa ternyata Raden Rangga telah menghentikan latihannya. Bahkan anak muda itu telah meninggalkan Glagah Putih dalam kebingungan dan kesakitan, karena serangan-serangannya yang mengenai tubuh anak muda itu tanpa dapat menghindar dan membalas sama sekali.
"Anak itu telah pergi" desis Kiai Jayaraga
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, "Anak itu memang anak yang luar biasa. Aku perlu menyampaikannya kepada guru."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. la melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali anak muda itu masih menyeringai menahan sakit-sakit di tubuhnya.
"Angger Agung Sedayu" berkata Kiai Jayaraga, "apakah yang dapat kau katakan tentang Raden Rangga" Maksudku jenis ilmunya?"
"Sungguh luar biasa" berkata Agung Sedayu, "aku sependapat dengan Kiai, bahwa ilmu itu akan dapat berbahava di dalam dirinya. Melihat kabut yang seolah-olah mengepul dari tubuh Raden Rangga, meskipun masih kasar dan kadang-kadang menguak dengan sendirinya atau hanyut oleh angin, maka aku teringat kepada jenis ilmu yang dikuasai oleh guru dan yang tersebut di dalam kitabnya."
"Aku sependapat" jawab Kiai Jayaraga, "ilmu itu adalah sejenis ilmu yang jarang sekali kita jumpai sekarang. Tiba-tiba kita melihat seorang kanak-kanak mampu mengungkapkannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku harus melaporkannya kepada guru. Bagaimanapun juga, guru adalah salah seorang dari pemilik ilmu di masa lampau itu, karena guru adalah keturunan langsung dari penguasa Majapahit yang dengan sengaja menyisihkan diri.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Memang ada haiknya kau temui gurumu sekali lagi. Mungkin gurumu mendapat kcsempatan untuk melihat sendiri, seandainya anak itu masih mau bermain-main dengan Glagah Putih."
Agung Sedayu tidak menjawab. la melihat Glagah Putih tertatih tatih mendekatinya.
"Anak itu memang luar biasa" desis Glagah Putih ketika ia .udah berada di antara kedua orang yang menjadi gurunya itu. "Ya" jawab Agung Sedayu, "ia memiliki sesuatu yang sulit dicari imbangannya pada saat ini."
"Aku tidak mengerti bagaimana mengarasi ilmunya" berkata Glagah Putih, "ketika kabut itu membuat malam semakin gelap, aku berusaha mempergunakan indera pendengaranku. Tetapi aku gagal. Anak itu mampu melepaskan semacam ilmu yang mengacaukan indera pendengaranku sehingga aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan, kecuali menyeringai menahan sakit, karena serangan-serangannya tidak dapat aku hindari."
"Ilmumu memang masih jauh ketinggalan" berkata Kiai Jayaraga, "betapapun kau mengerahkan segenap kemampuanmu, tetapi kau tidak akan dapat mengimbanginya. Tetapi latihan-latihan seperti itu penting sekali bagimu Glagah Putih. Kau dapat menilai kemampuanmu dibandingkan dengan ilmu yang lain. Namun demikian, kau harus selalu membatasi diri dalam hubunganmu dengan anak itu ia berada dalam tataran derajat yang jauh berbeda dengan kita. Anak itu adalah putera Panembahan Senapati, sehingga seandainya ia melakukan sesuatu, maka ia tidak dianggap melakukan satu kesalahan meskipun bagi orang kebanyakan yang dilakukan itu sudah dapat menyeretnya kebilik tahanan."
Glagah Putih mengangguk kecil. Jawabnya, "Aku mengerti guru"
"Tetapi bukan berarti bahwa kau harus menolak kesempatan seperti ini" berkata gurunya kemudian.
Glagah Putih mengangguk-angguk. la dapat mengerti membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat diperolehnya dengan latihan-latihan seperti itu. Tetapi segalanya masih tergantung sekali kepada Raden Rangga. Mungkin suatu ketika ia membiarkan dirinya terdesak dan tidak memberikan perlawanan dengan ilmu yang aneh seperti yang telah ditunjukkannya.
Demikianlah, maka malam itu Glagah Putih telah mendapatkan satu pengalaman baru, sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun telah mengenal Raden Rangga lebih banyak lagi. Seorang anak yang masih sangat muda, tetapi yang memiliki kemampuan diluar batas jangkauan kewajaran menurut umurnya.
Di hari-hari berikutnya, ternyata kesempatan seperti itu datang beberapa kali pada Glagah Putih. Tidak terlalu sering. Namun cukup memberikan pengaruh kepadanya untuk lebih memanfaatkan segala macam inderanya. Bukan saja penglihatannya tetapi juga pendengarannya. bahkan dengan latihan-latihan seperti itu, Glagah Putih telah mampu meningkatkan ketajaman panggraitanya, sehingga seakan-akan telah mulai tumbuh di dalam diri Glagah Putih kemampuan menangkap keadaan di sekitarnya dengan tanggapan inderanya yang lain dari kelima inderanya, untuk mengenali sasmita yang tidak dapat dijelaskannya.
Glagah Putih tidak terlalu banyak bergaul dengan Ki Waskita. Bahkan pada saat terakhir, Ki Waskita lebih banyak berada di rumahnya. Namun pengenalannya atas sasmita yang meskipun masih harus diurai, kadang-kadang memberikan penglihatan batin melampaui kemampuan jangkau kelima inderanya.
Demikianlah, dengan tekun dan bersungguh-sungguh Glagah Putih telah menempa diri. Anak muda itu berlatih dengan tidak mengenal lelah sama sekali. Namun demikian, ia masih jaga sempat berada diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan berada diantara tambak-tambak pliridannya bersama pembantunya.
Ketika hari-hari berlalu, bahkan bulan demi bulan, maka perubahan-perubahan pun telah terjadi. Agaknya semuanya telah meningkat menjadi semakin baik. Tanah Perdikan Menoreh nampak menjadi semakin subur. Parit-parit menjadi semakin banyak menyelusuri tanah yang mula-mula hanya menunggu curahnya air hujan untuk dapat bertanam padi. Namun kemudian, dengan parit-parit yang mengalir tanpa henti, tanah itu menjadi subur dan dapat ditanami padi dua kali dalam setahun.
Namun dalam pada itu, maka pribadi-pribadi pun telah menjadi semakin berkembang pula. Ternyata bahwa ktiab Kiai Gringsing relah beralih tangan pula. Swandaru telah mendapat kesempatan lagi untuk mendalami isinya, sementara Agung Sedayu telah melaporkan apa yang dilihatnya pada Raden Rangga. Ilmu yang mirip sekali dengan ilmu Kiai Gringsing yang mampu melingkari arena dengan semacam kabut yang tebal yang sama sekali tidak dapat ditembus oleh penglihatan indera wadag betapapun tajamnya.
Keterangan Agung Sedayu itu semakin mendesak Kiai Gringsing untuk pada satu saat melihat ilmu Raden Rangga itu. Memang sangat menarik baginya bahwa seorang yang masih terlalu muda, mampu melepaskan ilmu sebagaimana dikenal oleh Kiai Gringsing pada waktu mudanya pula. la memerlukan satu masa yang panjang dan laku yang berat untuk menguasai ilmu yang kini sudah menjadi sangat jarang dikenal.
Karena itu, maka ketika Kiai Gringsing mempunyai sedikit kesempatan disaat lewat musim tanam padi, maka ia berkata kepada para cantrik di padepokannya untuk meninggalkan mereka dalam waktu satu dua pekan.
"Aku ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh" berkata Kiai Gringsing.
"Sendiri atau dengan Ki Swandaru?" bertanya salah seorang cantriknya.
"Sendiri" jawab Kiai Gringsing, "Swandaru sedang sibuk menghadapi tugasnya."
Cantrik itu mengangguk-angguk. Namun Kiai Gringsing tidak mengatakan kepada para cantrik. bahwa Swandaru sedang tekun tenggelam dalam masa menempa diri yang berat selagi kitab gurunya ada padanya.
Namun Kiai Gringsing tidak langsung saja pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. ia telah menghubungi Untara dan mengatakan maksudnya. Sementara ia juga pergi ke Banyu Asri untuk mengatakan niatnya itu kepada Widura.
Berbeda dengan Untara yang hanya menyampaikan beberapa saja bagi adiknya. maka Widura dengan serta merta telah menyatakan keinginannya untuk ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
ADBM Jilid 186 "Menarik sekali," berkata Kiai Gringsing, "dengan demikian aku tidak hanya pergi seorang diri. Ada kawan berbincang diperjalanan. Karena perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh harus ditempuh dalam waktu agak panjang."
"Bagaimana dengan Swandaru?" bertanya Widura.
"Swandaru masih sibuk dengan latihan-latihannya. Ia berusaha untuk memahami satu lagi dari sekian segi yang dijumpainya dalam kitab yang aku berikan kepadanya,"berkata Kiai Gringsing, "agaknya ia lebih senang berada dirumah."
"Ilmunya dengan cepat meningkat," berkata Ki Widura.
"Tetapi gelembung niat di dalam diri Swandaru kadang-kadang berkembang terlalu besar, sehingga aku justru menjadi cemas, bahwa apabila gelembung itu tidak mampu di kendalikannya, maka pada suatu saat justru akan pecah,"berkata Kiai Gringsing
"namun aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Pada saat-saat aku memberikan petunjuk tentang ilmu yang sedang dipelajarinya, aku selalu menekankan agar nalar budinya menjadi lebih mengendap menghadapi dunia di sekitarnya."
Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan Ki Widura berniat untuk singgah di Sangkal Putung dan memberitahukan kepergiannya kepada Swandaru, agar Swandaru mengetahui bahwa Kiai Gringsing tidak berada di padepokan, Dengan demikian, maka pada satu saat Swandaru tidak kecewa jika ia datang ke padepokan tanpa dapat menemui gurunya yang sedang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa setahunya.
Ketika keduanya berada di Sangkal Putung, maka Swandaru pun berkata, "Sayang sekali aku tidak dapat ikut guru. Sebenarnya aku sudah terlalu lama tidak melihat Tanah Perdikan itu. Demikian pula Pandan Wangi. Tetapi di hari-hari ini aku sedang memanfaalkan waktu yang hanya sedikit yang diberikan guru kepadaku, untuk mendalami isi kitab guru."
"Kamipun tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh, "berkata Kiai Gringsing, "kepentingan kami justru untuk melihat perkembangan Glagah Putih."
"Tentunya juga kakang Agung Sedayu," sahut Swandaru.
"Ya. Kami ingin juga melihat perkembangan ilmu Agung Sedayu," jawab Kiai Gringsing.
"Mudah-mudahan kakang Agung Sedayu berminat dengan kitab guru yang mungkin bagi kakang Agung Sedayu dianggap menjemukan," berkata Swandaru kemudian.
"la mempelajarinya dengan tekun. Ketika anak itu datang kepadaku yang terakhir, maka aku telah melihat apakah ada sesuatu yang baru pada kakangmu," berkata Kiai Gringsing.
"Dan guru menemukannya?" bertanya Swandaru.
"Ya. Aku menemukannya. Ada perkembangan yang menggembirakan. Seperti juga padamu," jawab Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia tidak yakin, bahwa Agung Sedayu akan sempat mencapai puncak kemampuan ilmu yang pernah dimiliki oleh gurunya. Apalagi Agung Sedayu yang menurut Swandaru masih harus tekun berlatih itu telah membagi waktunya bagi Glagah Putih.
"Kakang sendiri masih harus menghisap ilmu dari seorang guru. Bukan ia sudah merasa dirinya cukup mampu untuk menuangkan ilmu sebagai seorang guru," berkata Swandaru didalam dirinya. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada gurunya.
Dalam kesempatan yang pendek, karena Kiai Gringsing hanya bermalam semalam di Sangkal Putung, di sempatkannya unluk menilai kemajuan ilmu Swandaru. Namun di samping itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing juga memperhatikan kemajuan ilmu Pandan Wangi. Dengan caranya sendiri vang justru sebagian besar adalah karena petunjuk Kiai Gringsing juga, Pandan Wangi telah memasuki latihan yang berat untuk mengenal lebih dalam terhadap gejala yang timbul pada dirinya. Semakin lama menjadi semakin akrab, sehingga akhirnya, ilmu itu telah menjadi bagian dari seluruh kemampuannya.
Pandan Wangi semakin memahami kemampuan dirinya, dengan lontaran ilmu mendahului ujud wadagnya, bahkan senjatanya, yang berkembang menjadi kemampuan untuk menyerang dari jarak tertentu dengan gerak wadagnya, sebagaimana ia menyerang langsung dengan benturan wadagnya itu.
Meskipun Pandan Wangi tidak mendapat kesempatan untuk mempelajari isi Kitab Kiai Grigsing, namun dari Kiai Gringsing ia telah mendapat petunjuk langsung, berdasarkan atas gejala yang terdapat dalam perkembangan ilmunya. Dengan demikian, maka jika ilmu Swandaru berkembang, maka ilmu Pandan Wangipun telah berkembang pula.
Tetapi agaknya keduanya terlalu tekun pada perkembangan ilmunya masing-masing sehingga yang satu kurang memperhatikan yang lain, sementara Pandan Wangi yang kadang-kadang dibawa untuk latihan bersama suaminya, lebih banyak menyesuaikan dirinya. Ia tidak mau mengejutkan dan apalagi menunjukkan satu kelebihan ilmu dari suaminya meskipun di sudut yang lain suaminya juga mempunyai banyak kelebihan dari padanya. Terutama didalam pengembangan kekuatan tenaga cadangan. Sementara Pandan Wangi lebih melihat ilmunya kekedalamannya.
Yang semalam di Sangkal Putung itu ternyata telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Swandaru maupun Pandan Wangi. Dihari berikutnya, maka Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun mereka tidak ingin singgah di Mataram, tetapi tidak seperti beberapa saat yang lampau bahwa mereka harus memilih jalan yang agak jauh, agar mereka tidak dikenali oleh para pengawal yang dapat memaksa mereka untuk singgah,
Kini Mataram sudah menjadi besar. Jika keduanya lewat, maka keduanya tidak lebih sebagaimana orang-orang lain yang lewat. Tidak akan banyak dikenal dan tidak akan ada yang memaksa untuk singgah seandainya mereka bertemu dengan prajurit yang sudah mengenal mereka, justru karena perubahan kedudukan Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati.
Tetapi ketika mereka melewati Mataram, ternyata mereka tidak bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya di kota yang berkembang pesat itu. Mereka melihat daerah yang semakin pepat dan ramai. Kota yang kemudian dilengkapi dengan semua unsur yang diperlukan. Pasar yang tidak hanya terdapat disatu tempat. Pande besi yang tersebar disudut-sudut kota. Kerajinan tangan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari didalam lingkungan rumah tangga.
Ketika kedua orang tua itu berada di pinggir kota, justru pada saat mereka akan keluar menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, maka keduanya telah singgah disebuah warung. Keduanya sama sekali tidak didorong oleh satu keinginan untuk makan dan minum, tetapi keduanya justru tertarik tnelihat pada saat dua orang berkuda berhenti didepan warung itu dan meloncat lurun, maka tiba-tiba saja beberapa orang yang sudah berada didalamnya seakan-akan telah dipaksa untuk menghambur keluar.
" Ada yang aneh," desis Kiai Gringsing.
Ki Widurapun kemudian meloncat turun. Kepada salah seorang yang diketahuinya keluar dengan tergesa-gesa dari warung itu dan kebetulan berjalan kearahnya, ia bertanya, "Ada apa " Kenapa orang-orang yang ada didalam warung itu berhamburan keluar?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia berpaling dan melihat dua orang itu telah berada didalam warung maka iapun berkata, "Dua orang gegedug yang besar kepala."
"Apa saja yang dilakukan disini?" bertanya Kiai Gringsing kemudian.
"Mereka belum lama berada disini. Baru tiga ampat hari. Tetapi keduanya telah menakut-nakuti orang," jawab orang itu.
"Bagaimana dengan prajurit Mataram " Apakah mereka tidak bertindak?" bertanya Ki Widura,
"Nampaknya mereka belum bertemu dengan para prajurit. Justru karena keadaan yang sudah terasa aman, maka jarang sekali kami lihat prajurit yang meronda," jawab orang itu
"Tidak ada yang melaporkannya?" bertanya Ki Widura pula
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin kami berharap bahwa kedua orang itu segera meninggalkan tempat ini sehingga kami tidak perlu membuat laporan tentang kehadiran mereka. Namun ternyata juga karena sebab lain. Kami takut untuk melaporkan mereka, karena beberapa orang telah diancamnya, siapa yang berani melaporkan kehadirannya, orang itu akan dibunuh sampai ke anak cucu."
"Orang itu selalu mengatakan bahwa ia mempunyai sanak kadang dilingkungan para perwira, sehingga mungkin laporan itu akan jatuh kepada sanak kadangnya." Jawab orang itu.
Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Kemudian Ki Widurapun berkata, "Aku mengucapkan banyak terima kasih atas keteranganmu. Dengan demikian aku dapat menyesuaikan diri."
Orang itupun termangu-mangu sejenak. Sekali ia berpaling, kemudian dengan tergesa-gesa iapun telah meninggalkan Ki Widura yang kemudian meloncat kembali keatas punggung kudanya.
Perlahan-lahan keduanya maju justru mendekati warung itu. Dan karena dorongan keinginan mereka untuk mengetahui kedua orang yang berada di warung itulah maka keduanyapun telah singgah.
Ketika Kiai Gringsing dan Ki Widura turun dari kuda mereka, dan berjalan memasuki warung itu, maka dua orang yang sudah ada di dalam sama sekali tidak mengacuhkan mereka. Keduanya adalah orang-orang yang bertubuh tinggi tegap dan kekar.
Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah mengambil tempat di-sudut warung itu. Ketika keduanya kemudian memperhatikan pemilik warung itu ternyata orang itu duduk dengan wajah yang pucat. Sementara seorang pembantunya telah menyiapkan dua mangkuk minuman untuk kedua orang itu.
Baru sejenak kemudian salah seorang dari kedua orang itu berpaling dan memandang kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Sambil mengerutkan keningnya salah seorang dari kedua orang itu berkata seolah-olah kepada diri sendiri, "Kedua orang ini agaknya orang asing disini."
Kiai Gringsing dan Ki Widura sama sekali tidak menanggapinya. Orang itu tidak bertanya kepada mereka. Karena itu, maka merekapun seolah-olah sama sekali tidak mendengarnya.
Bahkan Ki Widura berkata kepada pemilik warung yang duduk dengan wajah pucat, "Ki Sanak. Kami berdua memerlukan minuman hangat. Apakah Ki Sanak dapat membuat dua mangkuk wedang jae buat kami berdua."
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan sudut matanya ia memandang kepada kedua orang yang sudah berada di dalam warung itu. Kemudian sambil menarik nafas dalam dalam ia berkata, "Baiklah Ki Sanak."
Tetapi sebelum orang itu beringsut, maka salah seorang dari kedua orang yang sudah berada di warung itu berkata, "Kami memerlukan makan. Layani kami. Jangan hiraukan orang lain. Jika kau masih melayani orang lain, maka kepalamu akan aku pecahkan disini. He, kau mendengar?"
Pemilik warung itu menjadi gemetar. namun ia tidak berani serbuat sesuatu. lapun tidak dapat mengatakan apa-apa kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Tetapi ia terpaksa berdiri untuk menyediakan makan sebagaimana dikehendaki oleh kedua orang itu.
"Berikan daging ayam yang lunak. Jika kau menyakiti gigiku lagi dengan daging ayammu, maka warung ini akan aku bakar," geram salah seorang dari keduanya.
Pemilik warung itu tidak menjawab. Tetapi dengan tangan gemetar ia menyediakan makan dua mangkuk. Kemudian pembantunyalah yang menghidangkan makan itu kepada kedua orang tamunya.
Kiai Gringsing dan Widurapun segera mengetahui siapakah kedua orang itu. Tentu kedua orang itu sudah sering membuat onar. Karena itu, maka pemilik warung itu menjadi sangat ketakutan.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing dan Ki Widura tidak mau membuat pemilik warung itu menjadi semakin bingung. Karena itu keduanyapun untuk beberapa saat hanya berdiam diri saja menunggu sampai kedua orang ilu menyelesaikan kepentingan mereka dan meninggalkan warung itu.
Tetapi tiba-tiba saja selagi mereka masih sibuk makan nasi dengan daging ayam, salah seorang diantara mereka berkata, "He, suruh salah seorang dari kedua orang asing itu nanti membayar makanan dan minuman yang kami makan dan minum. Jika keduanya atau salah seorang dari keduanya berkeberatan, katakan kepadaku. Aku akan memilin lehernya sampai patah."
Pemilik warung itu termangu-mangu. Sementara Kiai Gringsing dan Ki Widura saling berpandangan. Meskipun keduanya tidak saling mengucapkan, namun agaknya keduanya terpaksa tidak berkeberatan untuk membayarnya, karena jika terjadi sesuatu maka yang akan mengalami kerugian, justru pemilik warung yang tidak bersalah itu.
Karena itu, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura hanya berdiam diri saja, meskipun didalam hati keduanya bertanya-tanya, "Apakah tingkah laku yang demikian itu harus dibiarkan saja, Hari ini mereka merampas tidak lebih dari harga makanan. Tetapi pada kesempatan lain, keduanya akan dapat berbuat lebih banyak lagi."
Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Ki Widura tidak mengatakan sesuatu. Sementara itu kedua orang itu makan terus dengan lahapnya. Keduanya seakan-akan benar-benar sedang kelaparan.
Sedangkan diluar, jika ada orang yang ingin singgah ke warung itu ternyata mereka mengurungkan niat mereka jika mereka melihat kedua orang itu ada didalam. Dengan demikian maka Kki Gringsing dan Ki Widura mendapat kesan, bahwa kedua orang itu benar-benar telah berhasil menakut-nakuti banyak orang.
Tetapi Kiai Gringsing tidak ingin berbuat dengan tergesa-gesa. Mungkin memang ada langkah-langkah yang perlu diambil. Jika orang-orang disekitar tempat itu tidak berani melaporkannya kepada para prajurit, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura akan dapat melakukannya sehingga dengan demikian, maka para prajurit akan dapat menghentikan tingkah laku kedua orang itu,
Namun dalam pada itu selagi Kiai Gringsing dan Ki Widura menunggu mereka sempat mendengar kedua orang itu berbincang. Ternyata bahwa yang dibicarakan cukup menarik.
"Pusaka-pusaka itu harus dipertahankan," berkata yang seorang, "Panembahan Senopati merebut kekuasaan dengan kekerasan, meskipun kemudian para sesepuh merestuinya memegang pimpinan pemerintahan dengan memakai gelar Panembahan. Bukan Sultan."
"Tetapi agaknya Adipati Wirabumi juga akan mempertahankan pusaka-pusaka yang masih berada di Pajang. la masih waras, dan nalarnya masih utuh, sehingga ia tidak akan menyembah kepada anak angkat Sultan itu sementara ada orang
lain yang sebenarnya lebih berhak," berkata yang lain.
"Kita harus menakut-nakuti orang-orang Mataram. Mereka harus mengerti, bahwa bukan hanya orang orang Mataram saja yang memiliki ilmu yang sangat tinggi," desis yang lain. Namun tiba-tiba ia berpaling kepada Kiai Gringsing dan bertanya," He, apakah kalian petugas sandi dari Mataram?"
Dengan serta mena Kiai Gringsing menyahut, "Tidak Ki Sanak. Kami tidak mempunyai sangkul paut."
"O, orang itu mengangguk-angguk, jika kalian petugas sandi dari Mataram, maka biarlah kami selesaikan saja kalian disini."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja seorang yang lain dari kedua orang itu telah mengaduh sambil membanting mangkuknya, "Gila. Daging ayammu lelah membuat gigiku sakit lagi. He, apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada menyakiti aku sejak kemarin."
Pemilik warung itu terkejut. Kiai Gringsing dan Ki Widurapun terkejut. Namun pemilik warung itulah yang menjadi ketakutan.
"Sudah aku katakan, jika sekali lagi kau menyakiti gigiku, maka aku akan membakar warungmu ini he, "geram orang itu.
"Jangan Ki Sanak, "minta pemilik warung yang ketakutan itu, "Bukan maksudku." Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian berdiri sambil mendorong lincak bambunya dan dengan demikian maka ia mulai menghamburkan makanan yang dijajakan.
Pemilik warung itu menjadi semakin pucat. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya, karena ia tahu, akibat yang akan dapat menitnpa dirinya. Jika ia berani menentang kedua orang itu, maka akibatnya akan dapat menyentuh nyawanya.
Karena itu, pemilik warung yang pucat itu hanya dapat menyaksikan tingkah kedua orang itu dengan jantung yang hampir terlepas dari tangkainya, karena kawan orang yang giginya sakit itupun telah ikut pula merusakkan barang-barangnya.
Ketika kekisruhan itu terjadi, maka Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah bangkit berdiri. Sejenak mereka memandangi tingkah laku kedua orang itu. Namun hati mereka mulai tergelitik untuk berbuat sesuatu.
Apalagi ketika orang yang giginya sakit itu benar-benar ingin membakar warung itu. Dengan loncatan panjang orang itu menggapai api yang menyala diperapian. Dengan lantang ia berkata, "Aku ingin membakar warungmu ini untuk memuaskan hatiku dan sekedar mengurangi rasa sakit yang bagaikan memecahkan kepalaku."
"Tetapi jangan tuan, jangan," pemilik warung itu memohon.
Namun orang itu tidak menghiraukannya. Ketika pemilik warung itu mendekatinya dan berjongkok dihadapan orang yang telah memegang segenggam kayu bakar yang menyala dan siap menyulut dinding, maka pemilik warung itu telah didorong dengan kakinya dan jatuh tertentang.
Sementara pembantunya berdiri dengan tubuh yang menggigil tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Kita tidak dapat tinggal diam," berkata Ki Widura.
Kiai Gringsing mengangguk. Katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, "Satu hal yang tidak kita duga sebelumnya. Tetapi kita harus berbuat dengan cepat dan dengan cepat pula meninggalkan temat ini. Kita hanya akan mencegah orang itu membakar warung itu. Selebihnya kita akan melaporkan kepada prajurit Mataram."
Ki Widura mengangguk. Keduanyapun kemudian bersiap-siap untuk berbuat sesuatu. Mencegah agar warung itu tidak terbakar habis.
Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa diluar. Suara tertawa yang berkepanjangan. Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang anak yang masih sangat muda berdiri bertolak pinggang.
"Jadi benar ceritera yang pernah aku dengar," berkata anak muda itu.
Orang yang sudah siap membakar warung itupun termangu-mangu. Sejenak ia justru berdiri mematung memandang anak muda yang berdiri diluar sambil bertolak pinggang itu.
"He cucurut kerdil," berkata anak muda itu, "marilah."
"Sebaiknya kita membuat perhitungan sebagaimana setiap laki-laki agaknya kalian bukan hanya berdua tetapi berempat. Meskipun demikian aku tidak berkeberatan. Jika kalian mengacaukan Mataram yang baru mulai tenang ini, rnaka sudah sewajarnya jika kalian harus ditangkap."
Orang yang sudah siap membakar warung itu menjadi semakin heran menghadapi anak muda itu. Namun kemudian didorong oleh kekalutan pikirannya oleh perasaan sakit giginya yang semakin menggigit, iapun melangkah keluar dari warung yang berserakan itu. Dipandanginya anak muda yang berdiri diluar warung sambil bertolak pinggang.
"He, apakah kau orang gila?" bertanya orang yang sakit giginya itu
"Kalaian lah yang gila. Buat apa kalian menakut-nakuti rakyat kecil yang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap orang-orang seperti kalian ini" Marilah. Keluarlah semuanya, Aku ingin membuat perhitungan dengan kalian. Jangan seorang demi seorang. Sekaligus kalian berempat, " berkata anak muda itu.
Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah berdiri diluar warung itu pula. Dengan nada berat Ki Widura berkata, "Kami bukan kawan-kawan mereka anak muda."
"O." anak muda itu mengerutkan keningnya, "jadi siapakah kalian?"
"Kami adalah orang-orang lewat yang sekedar singgah diwarung ini. Tetapi ternyata telah terjadi sesuatu yang mendebarkan disini. Namun kami agaknya telah terjebak dalam satu keadaan yang sulit untuk kami hindari. Kami tidak mendapat
kesempatan untuk menyingkir," jawab Ki Widura.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sebelum anak muda itu berkata lebih Ianjut orang yang sakit giginya itu telah membentaknya, "Anak gila. Apakah kau ingin aku remukkan kepalamu. Jangan ganggu aku. Gigiku sedang sakit, sementara pemilik warung yang ceroboh ini telah membuat gigiku semakin sakit. Aku ingin membakar warungnya. Jika ia keberatan, biarlah ia terbakar bersama warungnya ini."
Tetapi anak muda itu tertawa saja. Katanya, "Jadi aku berhadapan dengan dua pihak yang berlainan. Baiklah. Jika kalian berdua bukan kawan orang-orang gila ini, menyingkirlah."
Kiai Gringsing dan Ki Widura termangu-mangu. Anak itu masih terlalu muda. Tetapi sikapnya sangat meyakinkan. Anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun juga ketika ia melihat kedua orang yang bertubuh tinggi kekar itu melangkah mendekatinya. Orang yang membawa segenggam kayu yang menyala itu sudah dilemparkannya. Sementara dengan sorot mata yang kemerahan ia mendekati anak muda yang masih saja bertolak pinggang.
"He, siapa kau anak gila?" geram orang yang sakit gigi itu.
"Buat apa kau bertanya tentang aku "jawab anak muda itu, "yang penting, acungkan kedua tanganmu. Aku akan mengikatnya dan membawamu bersama kawanmu menghadap para prajurit Mataram, karena kalian ternyata telah membuat daerah ini menjadi kacau."
"Jangan mengigau," geram orang yang sakit gigi itu "agaknya kau benar-benar gila. Kau masih terlalu muda untuk mengidap penyakit itu. Tetapi agaknya kau mendapat penyakit keturunan. "
Anak muda itu justru tertawa berkepanjangan. Kata-kata orang yang sakit gigi itu seakan-akan sangat menyenangkannya. Bahkan katanya "Kau memang lucu sekali. Agaknya orang-orang yang sedang sakit gigi memang menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan. Orang yang sakit gigi hanya dapat mengumpat-umpat tanpa arti. "
"Diam," teriak orang yang sakit gigi itu. Namun kawannya-pun kemudian berkata lantang "Anak ini memang perlu dibungkam."
Lalu katanya kepada kawannya yang sakit gigi "Jika kau ingin membakar warung itu lakukan. Biarlah aku mengurus anak gila ini. "
Kawannya tidak segera menjawab, tetapi ia sempat melihat orang bertubuh tinggi kekar yang lain mendekati anak muda yang masih saja berdiri bertolak pinggang sambil tertawa.
"Jika kau memang gila, maka kau berhak untuk diampuni. Tetapi jika tidak, maka kau akan menjadi korban sikanmu yang kegila-gilaan itu. Agaknya kau terlalu muda menuntut ilmu sehingga dengan demikian maka kau tidak mampu lagi mengendalikan dirimu ketika kau sudah menguasai setitik ilmu yang tidak berarti apa-apa," berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
Anak muda itu berhenti tertawa. Namun ia justru menjawab "Kau ternyata terlalu banyak mulut. He, apakah kau tidak dapat berbuat apa-apa selain berteriak-teriak" "
Orang bertubuh tinggi itu benar-benar merasa tersinggung. Ia sama sekali tidak menjawab lagi. Tetapi tiba-tiba saja tangannya melayang menampar pipi anak muda yang dianggapnya tidak tahu diri itu.
Anak itu tidak mengelak sama sekali. Tangan orang itu benar-benar telah mengenai pipinya, sehingga suaranya bagaikan ledakan cambuk.
Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar membuat jantung orang-orang yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Jika semula Kiai Gringsing dan Ki Widura menjadi cemas atas nasib anak muda itu, namun kemudian mereka benar-benar telah dicengkam oleh keheranan.
Anak muda itu masih tetap berdiri tegak. Bahkan kemudian terdengar ia tertawa lagi. Justru lebih keras. Tidak ada bekas apapun juga dari pukuian orang yang bertubuh tinggi kekar itu, meskipun pukulan itu terlalu keras. Bagi orang kebanyakan, maka anak muda itu tentu sudah terlempar dan jatuh terbanting ditanah, pingsan. Bahkan mungkin mati karena tulang kepalanya menjadi retak atau tuli atau bisu.
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Bahkan dengan lantang ia kemudian berkata "Ah, jangan seperti perempuan cengeng begitu. Jika kau ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Akupun ingin berkelahi jika kalian tidak mau menyerah dan aku bawa kepada para prajurir Mataram "
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi cemas. kawannya yang sakit gigi itupun menjadi tegang pula. sehingga sakit giginya rasa-rasanya justru sembuh dengan sendirinya.
Namun sikap anak muda itu benar-benar tidak lagi dapat dibiarkan saja. Orang yang bertubuh kekar itupun kemudian menggeram, "Jika kau mati karena pokalmu sendiri, maka tidak akan ada orang yang akan menyesalimu. "
Anak muda itu masih tertawa. Tetapi iapun kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, karena ia melihat bahwa orang yang menamparnya itu benar-benar akan menyerangnya bukan sekedar berusaha untuk memaksanya berhenti berbicara, tetapi orang itu benar-benar akan membunuhnya.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian orang yang menampar pipi anak muda itu berteriak lantang "Bersiaplah untuk mati.
Anak muda itu segera bersiap. Sebenarnyalah orang itu telah meloncat menyerangnya dengan sekuat tenaganya. Berbeda dengan saat orang itu menampar pipinya, maka serangan itu tidak dapat diabaikan oleh anak muda itu. Karena itu, maka anak muda itupun dengan tangkasnya pula telah mengelak, Bahkan kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, anak muda itu telah menyerang lawannya pula.
Ternyata bahwa anak muda itu mampu bergerak lebih cepat dari lawannya. Karena itu, maka serangannya itupun tidak mampu dielakkannya. Yang dapat diakukan oleh orang yang bertubuh tinggi kekar itu adalah berusaha untuk menangkis serangan anak muda itu. Sehingga dengan demikian telah terjadi satu benturan yang kuat antara kedua orang yang sedang berkeiahi itu.
Akibatnya benar-benar mengejutkan. Anak muda itu memang terdorong selangkah surut. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak diatas kedua kakinya. Sementara itu, lawannya telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling ditanah,
Orang bertubuh tinggi kekar itu berusaha untuk dapat segera bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat memulihkan keseimbangannya dengan cepat. Hampir saja ia terjatuh kembali. Untunglah bahwa dengan susah payah ia dapat berdiri tegak. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Demikian ia tegak maka serangan anak muda itu telah menyambarnya langsung mengenai dada. Sekali lagi orang itu terlempar dan jatuh berguling. Bahkan ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia sudah berada dihadapan kawannya yang sakit gigi.
Dengan serta merta kawannya yang sakit gigi itupun telah berusaha untuk membantu kawannya. Ketika orang itu sudah berdiri, maka nampak ia menyeringai kesakitan.
Sementara itu anak yang masih sangat muda itu tertawa. Katanya, "Sudah aku katakan, jangan maju seorang demi seorang. Tetapi majulah bersama-sama. Bahkan aku kira kalian tadi datang berempat di warung ini. "
Kedua orang itu bersama-sama menggeram. Anak muda itu benar-benar telah menghina mereka. Namun setelah salah seorang diantara mereka bertempur, maka ternyata bahwa anak itu memang bukan anak muda kebanyakan yang apalagi anak muda yang berpenyakit gila.
Dengan demikian maka kedua orang itupun segera mempersiapkan diri. Pada saat waras kedua orang itu sudah bersikap kasar. Apalagi pada saat orang itu sakit gigi.
Sejenak kemudian, tanpa malu-malu lagi, meskipun lawan mereka masih sangat muda, namun keduanya telah bertempur berpasangan. Kedua orang itu mengambil jarak yang satu dari yang lain. Kemudian selangkah demi selangkah keduanya maju mendekat.
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum gembira. Katanya "Bagus. Aku akan mendapat kawan berlatih yang bagus sekali. Sayang, wajah kalian nampak gelap seperti langit yang mendung. Namun demikian, agaknya kalian berdua akan dapat memberi kegembiraan kepadaku. "
Kedua orang itu mengumpat hampir berbareng. Namun ternyata bahwa keduanya tidak lagi berusaha mengekang diri. Anak muda itu sudah sangat menyakiti hati mereka, sehingga karena itu, maka anak itu memang harus dihukum.
"Jika kau mati anak gila "geram salah seorang dari kedua orang bertubuh tinggi kekar itu "maka seisi Mataram akan menyorakimu. Kau teryata terlalu sombong melampaui orang yang pernah aku bunuh beberapa hari yang lain. "
Anak itu tertawa. Katanya "Agaknya sudah menjadi caramu. Bertempur sambil omong tanpa ada habis-habisnya. "
Orang yang sakit gigi itu benar-benar tersinggung. Dengan serta merta ia pun telah meloncat menyerang,
Anak muda itu dengan cepat menghindar. Bahkan dengan cepat pula ia sudah siap untuk menyerang kembali. Tetapi sebelum ia sempat meakukannya, maka serangan yang lainpun telah datang pula sehingga ia harus dengan cepat menghindar,
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ternyata melawan kedua orang itu memerlukan kecepatan gerak yang luar biasa. Apalagi untuk seterusnya keduanya telah menyerangnya berganti-ganti dari arah yang berbeda.
"Uh "anak muda itu menghindar. Hampir saja keningnya tersentuh serangan lawan. Namun ternyata dengan memiringkan kepalanya, ia masih sempat menghindarkan diri,
Dengan demikian perkelahian antara anak muda itu melawan dua orang yang bertubuh tinggi kekar, semakin lama menjadi semakin cepat. Anak muda itu tidak dapat lagi tertawa berkepanjangan, karena dua orang lawannya benar-benar telah mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun serangan-serangan keduanya tidak banyak berarti bagi anak muda itu, tetapi berdua mereka merupakan lawan yang cukup berat. Sebenarnyalah kedua orang itu memang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Karena itu, maka semakin cepat mereka bergerak, maka mereka semakin menekan anak muda yang aneh itu.
Asmara Si Pedang Tumpul 2 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Patung Emas 23
^