Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


" Aku mewakilinya " jawab pemimpin sekelompok utusan itu " aku adalah Ki Tumenggung Windubaya. "
Jantung perwira Pajang itu berdenyut semakin cepat. Karena itu ia justru menjadi sulit untuk berbicara, karena ia harus menahan diri untuk tidak menunjukkan sikap yang tidak pantas terhadap para utusan dari Mataram itu.
Namun dalam pada itu iapun berkata " Sebaiknya aku persilahkan kalian menunggu. Segala sesuatunya tergan"tung kepada Kangjeng Adipati.
Ki Tumenggung Windubaya tidak menjawab. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada prajurit Pajang yang membantu mereka menambatkan kuda-kuda mereka, maka para utusan dari Mataram itupun dipersilahkan duduk disebuah amben depan gandok, sebelah kanan.
Sementara itu, maka perwira yang bertugas itupun melalui seorang. Pelayan Dalam berusaha untuk menghu"bungi Kangjeng Adipati Pajang.
" Ada apa" " bertanya Adipati Pajang.
" Beberapa orang utusan dari Mataram " jawab per"wira itu " mohon menghadap Kangjeng Adipati. Tetapi sikap mereka terlalu sombong sehingga menimbulkan kesan, bahwa mereka datang sebagai seorang penguasa ter"tinggi. "
Kangjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun ia masih bertanya " Bagaimana menurut pertimbanganmu" Apakah aku harus menerima mereka" "
" Sebaiknya Kangjeng Adipati memanggil Ki Tumenggung Wiladipa " berkata perwira itu.
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang tidak dapat ingkar. Karena itu, maka kemudian katanya " Panggil Wiladipa. Baru aku akan menerima utusan dari Mandaraka itu. "
Perwira itupun kemudian meninggalkan Kangjeng Adi"pati dan kembali ke gardu tugasnya. Diperintahkannya se"orang prajurit untuk memanggil Ki Tumenggung Wiladipa. Karena kehadiran para tamu utusan dari Mataram yang memang sudah diperhitungkan sebelumnya.
Sementara itu perwira itupun kemudian menemui Ki Tumenggung Windubaya yang atas nama Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka memimpin sekelompok utusan dari Mataram.
Jadi kami harus menunggu" " bertanya Ki Tumenggung Windubaya.
" Ya. Kangjeng Adipati baru bersiap-siap untuk mene"rima kalian di paseban dalam " jawab perwira itu.
Ki Tumenggung Windubaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab " Apaboleh buat, jika Kangjeng Adipati baru bersiap-siap. "
" Pada saatnya kami akan memberitahukan bahwa Kangjeng Adipati sudah siap menerima kalian " berkata perwira itu pula.
Ki Tumenggung Windubaya mengangguk kecil sambil menjawab " Baiklah. Asal saja Kangjeng Adipati menge"tahui, kehadiran kami membawa pertanda kuasa Panem"bahan Senapati berujud tunggul dan sebuah kelebet. "
" Ya. Aku sudah melihatnya " jawab perwira itu. Demikianlah, maka Ki Tumenggung Windubaya dan
kelompoknya terpaksa menunggu untuk beberapa saat di se"rambi. Namun merekapun menyadari, bahwa mereka me"mang tidak dapat memaksa untuk memasuki paseban dalam.
Sejenak kemudian, lewat pintu butulan, Ki Tumeng"gung Wiladipa bersama beberapa orang telah datang ke istana. Mereka langsung dipersilahkan menemui Kangjeng Adipati di ruang dalam.
Beberapa saat mereka sempat berbincang. Menurut perhitungan mereka, utusan dari Mataram itu tentu akan menuntut pusaka-pusaka yang masih ada di Pajang, dan sekaligus mempersilahkan tingkah laku Ki Tumenggung Wiladipa. tetapi bagi Ki Tumenggung, persoalan tentang dirinya itu tentu akan dapat diingkarinya, karena tidak ada bukti dan saksi. Mereka memang menganggap Untara dan Sabungsari terlalu bodoh, karena mereka tidak menangkap orang-orang yang tersisa hidup dalam pertempuran itu. Jika demikian, maka Ki Tumenggung akan sulit untuk in-kar merekapun kemungkinan itu tetap ada dengan meno"lak kesaksian orang-orang itu.
" Bagaimana pendapatmu Wiladipa" " bertanya Kangjeng Adipati.
" Seperti saat-saat sebelumnya. Pusaka itu jangan dipindahkan dari gedung pusaka istana Pajang- jawab Ki Tumenggung " jika Mataram berkeras, Pajang sudah siap untuk melawan. Kekuatan dari Demak cukup besar, untuk menghadapi pasukan Mataram yang bersusun ganda itu. Apalagi pada susunan yang kedua, sebagian terbesar mere"ka tidak lebih dari para pengawal Kademangan dan Tanah Perdikan Menoreh.
Kangjeng Adipati mengangguk-anggu Namun nampak keragu-raguan diwajahnya. Karena sebenarnyalah telah terjadi benturan-benturan di perasaannya
Sementara itu Ki Wiladipapun berkata " Kangjeng, ternyata Mataram telah salah menghitung kekuatan Pa"jang Yang berada dibaris kedua, tidak lebih dari pasukan pengawal hanya dari Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung, Tidak lebih. Mataram menganggap bahwa kekuatan itu cukup. Mereka tidak berhubungan dengan Mangir atau Pasantenan, kekuatan yang besar yang dapat membantu Mataram, karena putera Ki Ageng Pasantenan yang memiliki kemampuan yang pilih tanding. "
Kangjeng Adipati Pajang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya " Bagaimana jika Mataram yang kali ini dapat kita usir akan datang kembali dengan kekuatan yang lebih besar, termasuk kekuatan dari Pasantenan dan Mangir" "
" Jangan cemas Kangjeng. Hamba yakin bahwa Jipang tidak akan tinggal diam. Pangeran Benawa tentu akan membantu Kangjeng, karena ia merasa kedudukannya terdesak oleh Panembahan Senapati, bukankah yang seharusnya menggantikan kedudukan Sultan di Pajang adalah Pangeran Benawa" Hambapun akan dapat mengam"bil kekuatan yang lebih besar dari Demak. Para pengikut Ratu Kalinyamat atau keturunannya yang kini sudah bergabung dengan pengikut Arya Penangsang yang ter"sisih merupakan kekuatan yang cukup besar. Meskipun Jepara dan Jipang pada mulanya saling bermusuhan, tetapi kehadiran Benawa di Jipang telah mendesak sebagian dari para pengikut Arya Penangsang untuk bergabung dengan para pengikut Ratu Kalinyamat yang kecewa atas tingkah laku Panembahan Senapati. " jawab Wiladipa.
Kangjeng Adipati Pajang termangu-mangu. Ia seakan-akan melihat satu permainan yang berbelit-belit. Yang semual lawan dapat saling mengadakan pendekatan. Yang semula kawan telah terjebak kedalam sikap permusuhan. Bahkan saudara yang semula merasakan segarnya susu dari ibu yang sama, pada suatu saat akan dapat menjadi musuh bebuyutan.
Ki Wiladipa yang melihat Kangjeng Adipati masih dibayangi oleh keragu-raguan berkata " Kangjeng, silahkan ambil keputusan. Hamba tidak akan mening"galkan Kangjeng dalam keadaan ragu. Beberapa orang Senapati sekarang sudah berada di hadapan Kangjeng un"tuk menunggu perintah. "
Kangjeng Adipati memandang berkeliling. Beberapa orang Senapati memang sudah siap untuk menjalankan segala perintahnya. Karena itu maka rasa-rasanya hatinyapun telah mengembang.
Baiklah. Siapkah prajurit Aku akan menolak permin"taan Mataram meskipun akibatnya adalah perang. "
" Itu adalah keputusan jantan. Hamba yakin bahwa para Adipati Bang Wetan akan lebih dekat dengan Kang"jeng daripada dengan Panembahan Senapati. Dengan demikian, maka jika Mataram masih berniat memaksakan kehendaknya atas Pajang, maka Mataram sendiri akan mengalami kesulitan, bahkan kehancuran. Dengan demikian maka terbuka satu kemungkinan, bahwa tahta Tanah ini akan kembali ke Pajang. "
"- Bagaimana kesanmu terhadap Jipang sekarang" -bertanya Kangjeng Adipati.
Hamba memang telah menghubungi Jipang. Tetapi Jipang belum memberikan tanggapan apapun juga. " jawab Wiladipa.- tetapi Kangjeng jangan cemas. Keadaan masih belum menjadi gawat. "
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Lalu katanya " Sekarang biarlah utusan dari Mataram itu menghadap.
" Baik Kangjeng. Tetapi biarlah sebagian dari para Senapati meninggalkan tempat ini. " sahut Ki Tumeng"gung Wiladipa.
Beberapa orang Senapatipun kemudian-mohon diri. Namun tiga orang diantara mereka masih tetap berada di paseban dalam Sementara kepada yang lain Ki Wiladipa memerintahkan untuk bersiaga sepenuhnya.
Sejenak kemudian, maka seorang Pelayan Dalam telah memberitahukan kepada para petugas, bahwa utusan dari Mataram sudah diperkenankan masuk.
Sekelompok utusan dari Mataram itupun kemudian telah memasuki istana Pajang dan langsung ke paseban dalam. Mereka diterima oleh Kangjeng Adipati, beberapa orang pemimpin pemerintahan dan Senapati perang, ter"masuk Ki Tumenggung Wiladipa.
Melihat sekilas Ki Tumenggung Windubaya segera mengenalinya kembali Ki Wiladipa yang memang pernah dikenalnya. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar debar. Mungkin akan terjadi perselisihan dalam pem"bicaraan mendatang, bahkan hampir dapat dipastikan.
Setelah Kangjeng Adipati menanyakan keselamatan perjalanan Ki Tumenggung Windubaya yang juga pernah dilihatnya, maka iapun kemudian bertanya " Apakah kau mengemban perintah dari kakangmas Panembahan Senapati" "
" Hamba Kangjeng Adipati. " Jawab Ki Tumenggung Windubaya.
" Apa pertanda bahwa kau adalah utusan Kangjeng Panembahan Senapati" " bertanya Kangjeng Adipati.
Ki Tumenggung Windubayapun kemudian menunjuk dengan ibu jarinya tunggul dan kelebet yang merupakan pertanda kuasa yang dilimpahkan kepada kelompok utusan itu.
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Iapun kemu"dian bertanya " Perintah apakah yang kalian bawa dan akan kalian sampaikan kepadaku" "
Ki Tumenggung itupun kemudian menjawab " Hamba Kangjeng Adipati. Yang pertama adalah salam taklim Panembahan Senapati bagi Kangjeng Adipati di Pajang. "
Kangjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab " Terimakasih. Jika kelak kau semat menghadap, sampaikan baktiku kepada kakangmas Panem"bahan Senapati di Mataram. Bakti seorang saudara muda kepada saudara tuanya. "
Ki Tumenggung Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Kangjeng Adipati Pajang menyadari sepenuhnya akan kedudukannya, sehingga ia tidak mau menyatakan kesetiaan seorang Adipati kepada Panembahan Senapati di Mataram yang memimpin pemerintahan. Jika demikian maka Adipati Pajang itu mengakui sepenuhnya kekuasaan Mataram atas Pajang. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun menjawab " Ampun Kangjeng Adipati. Hamba datang sebagai utusan Panembahan Senapati yang memim"pin pemerintahan di Mataram dan atas segala daerah yang menyatu dalam lingkungan keluarga besar. Karena itu, maka segala sesuatunya adalah dalam hubungan pemerin"tahan Mataram dan Pajang. Bukan dalam hubungan kakak beradik. "
Wajah Adipati Pajang menjadi merah. Dengan suara bergetar ia berkata " Baiklah. Jika demikian, kau tidak perlu menyampaikan baktiku itu kepada kakangmas Panembahan Senapati. "
Ki Tumenggung menyadari bahwa Adipati Pajang mulai tersinggung. Tetapi Ki Tumenggung memang sudah bertekad untuk melakukan tugasnya dengan baik apapun yang akan terjadi.
Dengan demikian maka katanya " Lalu apakah yang harus aku sampaikan kepada Panembahan Senapati. "
" Katakan, bahwa salam taklimnya telah aku terima. Itu saja. " geram Adipati Pajang.
" Hamba Kangjeng Adipati. Hamba akan menyam"paikannya " desis Ki Tumenggung Windubaya.
Sementara itu, Kangjeng Adipati yang telah tersing"gung itupun segera bertanya " Lalu, apakah keperluanmu datang kemari" Apakah sekedar menyampaikan salam taklim itu saja" Atau kau masih juga membawa suara lama yang menjemukan itu, bahwa kakangmas Panembahan Senapati akan mengambil pusaka-pusaka yang ada di Pa"jang seolah-olah kakangmas Panembahan Senapati berhak berbuat demikian terhadap Pajang" "
Ki Tumenggung Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Pembicaraan itu sudah diwarnai dengan goncangan-goncangan perasaan justru pada permulaannya. Namun Ki Tumenggung sudah bersiap menghadapi keadaan yang demikian.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun dengan tatag menjawab " Ampun Kangjeng Adipati. Bukan berarti bahwa Panembahan Senapati mengurungkan niatnya un"tuk mengambil pusaka-pusaka yang dikehendaki. Bukan sa"ja dari Pajang, tetapi dari Demak dan Jipangpun akan diambilnya jika diperlukan. "
" O " potong Kangjeng Adipati " kau mulai sesorah. Aku tidak memerlukan sesorahmu. "
" Ampun Kangjeng Adipati " sahut Ki Tumenggung Windubaya " hamba baru mulai dengan memberikan sedikit keterangan tentang tugas hamba. "
Ki Tumenggung Wiladipa yang akan didalam ruang itupun seolah-olah tidak dapat menahan diri lagi. Diluar sadarnya iapun telah beringsut maju. Tetapi ia masih berusaha untuk berdiam diri.
Sementara itu Ki Tumenggung Windubaya melan"jutkan " Kangjeng Adipati. Sebenarnyalah bahwa hamba datang ke Pajang dengan membawa perintah Panembahan Senapati untuk disampaikan kepada Kangjeng Adipati. Menurut laporan yang diterima oleh Panembahan Senapati, Pajang telah melanggar paugeran hubungan yang seharusnya ada antara Pajang dan Mataram. Bahkan sean"dainya Pajang tidak mengakui kekuasaan Mataram sekalipun, maka yang terjadi itu seharusnya tidak dilakukan oleh Pajang. Hubungan antara dua negara yang setingkatpun menghargai dan menjunjung tinggi perlin"dungan terhadap utusan dari kedua belah pihak. Apalagi utusan Mataram yang datang ke Pajang. "
" Apa yang kau katakan itu" " bertanya Adipati Pa"jang " aku sama sekali tidak mengerti. "
Ki Tumenggung windubaya justru berpaling ke arah Ki Tumenggung Wiladipa. Sekilas ia melihat wajah Ki Tumenggung Wiladipa yang menegang.
" Kangjeng Adipati " berkata Ki Tumenggung Win"dubaya " baiklah hamba menyebut peristiwanya dengan jelas dan langsung. Peristiwa yang menimpa Ki Untara sebagai utusan Panembahan Senapati yang datang lebih dahulu dari hamba. "
" Apa yang telah terjadi dengan Untara" " bertanya Kangjeng Adipati.
Ki Windubayapun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi atas Untara. Menurut pengakuan orang-orang yang berusaha membunuhnya itu, mereka telah mendapat perintah dari Ki Tumenggung Wiladipa.
Wajah Ki Tumenggung Wiladipa menjadi merah padam. Ia tidak dapat berdiam diri lagi. Dengan suara lan"tang ia berkata " Itu fitnah. Fitnah yang sangat licik dan tidak masuk akal. "
" Tetapi hal itu sudah terjadi " jawab Ki Tumenggung Windubaya.
" Apakah Untara dapat membuktikannya" " bertanya Ki Tumenggung Wiladipa.
" Untara menganggap hal itu tidak perlu. Untara hanya ingin melihat sifat kesatriamu. Apakah kau berani bertanggung jawab atas segala tingkah lakumu, atau kau akan mengingkarinya dengan licik. " jawab Ki Tumeng"gung Windubaya- seandainya Untara menghadapkan dua atau tiga saksi, maka kau dapat saja ingkar dengan menuduh mereka sebagai saksi palsu. Nah, sekarang Ki Tumenggung Wiladipa. Apakah kau berani mengakui per"buatanmu atau tidak. "
" Cukup " Kangjeng Adipatilah yang membentak " ditempat ini ada aku. Kau, orang Mataram, tidak dapat ber"buat menurut kehendakmu sendiri. Kau harus menghormati aku Ampun Kangjeng Adipati " jawab Ki Tumenggung Windubaya " orang inilah yang lebih dahulu meninggalkan suba sita, sehingga hambapun telah terseret pula ke dalam sikap serupa. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Tumeng"gung Wiladipa telah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap Mataram. Ia sudah berusaha membunuh utusan Panembahan Senapati. Karena itu, kedatangan hama kali ini mengemban perintah bagi Kangjeng Adipati untuk menangkap Wiladipa dan menyerahkannya kepada hamba. "
Wajah Kangjeng Adipati Pajang menjadi merah padam. Sementara itu jantung Wiladipa sendiri bagaikan meledak. Demikian kemarahan menghentak didadanya, se"hingga justru untuk beberapa saat ia bagaikan ter"bungkam. Bibirnyalah yang menjadi gemetar seolah-olah ia telah menggigit segenggam cabe rawit.
Sementara itu Ki Tumenggung Windubaya masih saja bersikap tenang. Bahkan ia masih berkata selanjutnya " Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati. Bagi Panembahan Senapati, asal Ki Tumenggung Wiladipa sudah diserahkan, maka semua persoalan dianggap selesai, karena Panembahan Senapatipun menyadari, bahwa apa yang dilakukan oleh Wiladipa itu bukannya atas perintah Kangjeng Adipati. Tetapi atas kehendak Ki Tumenggung Wiladipa sendiri yang memang ingin menyalakan api permusuhan antara Pajang dan Mataram. Sementara itu Panembahan Senapati menyadari, bahwa Pajang dan Mata"ram selain mempunyai hubungan pemerintah, maka peme"gang kekuasaan yang ada dikedua tempat itu adalah ber"saudara. "
Sejenak ruang itu telah dicengkam oleh ketegangan. Rasa-rasanya dada Adipati Pajang menjadi pepat. Semen"tara itu, Ki Tumenggung Wiladipa berusaha untuk dapat menguasai dirinya sendiri dan berkata " Omong kosong. Semua kata-katamu itu benar-benar fitnah yang melampaui batas. Jika kau mengaku utusan Panembahan Senapati, maka kau haruslah seorang kesatria. Tetapi sikapmu sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang kesatria. "
" Kenapa aku kau anggap tidak bersikap kesatria" " bertanya Windubaya.
" Kau memfitnah dengan licik " jawab Ki Tumeng"gung Wiladipa.
" Apakah kau tidak melakukan tindakan yang lebih licik lagi dari yang aku lakukan" Memfitnah, merampok dan membunuh meskipun ternyata gagal. Dan sekarang kau ing kari " geram Ki Tumenggung Windubaya " bukankah kau telah melakukan tindakan yang licik berlipat ganda" "
Wajah Ki Tumenggung Wiladipa bagaikan telah membara.
Telinganya bagaikan telah dipanggang diatas bara api mereka. Dengan suara garang ia berkata " Ampun Kang"jeng Adipati. Kenapa Kangjeng Adipati tidak memerintah"kan saja kepada para prajurit untuk menangkapnya. Bahkan menangkap mereka semuanya. "
" Nah " desis Ki Tumenggung Windubaya " bukan"kah ini ciri tingkah lakumu" Kami adalah utusan Panem"bahan Senapati. Kami mengemban perintah. Kalian tidak dapat menangkap kami. Segala sesuatunya kembali kepada Panembahan Senapati. Apalagi Panembahan Senapati ada"lah pemimpin dari Tanah ini yang diakui oleh para Adipati.
" Persetan " geram Ki Tumenggung Wiladipa." Lalu " Kami sudah menentukan sikap. Kasar atau halus kami tidak akan gentar menghadapi Mataram. Karena itu, jika Mataram marah karena kalian kami tangkap disini, maka Pajang sudah siap untuk mempertahankan diri.
" Sikap itu pula agaknya yang telah mendorong kalian untuk mencegat Untara dan berusaha membunuhnya. Tetapi kalian telah gagal. " sahut Ki Tumenggung Windu"baya " dan sekarang, kalian akan melakukan hal yang sama atas kami. Tidak lagi bersembunyi-sembunyi tetapi dengan terang-terangan dihadapan Kangjeng Adipati Pajang yang tentu masih akan berdiri tegak sebagai kesatria Pajang yang dihormati. "
" Persetan " geram Ki Tumenggung Wiladipa " aku dapat memerintahkan para prajurit mergepung paseban dan menangkap kalian semuanya. "
Tetapi Ki Tumenggung Windubaya justru tertawa. Katanya " Ki Wiladipa yang kini menjabat sebagai se"orang Tumenggung. Apakah Ki Tumenggung lupa bahwa kami adalah prajurit. Apakah Ki Tumenggung menganggap bahwa kami akan berjongkok sambi" menyerahkan leher kami untuk dipenggal" Nah, jika Ki Wiladipa mencoba menjatuhkan perintah kepada para prajurit Pajang un"tuk menangkap kami, maka kita akan mati bersama. Seisi ruangan ini, termasuk Kangjeng Adipati akan mati, betapa"pun tinggi ilmu kita masing-masing. Kau, aku, para penga-
walku dan Kangjeng Adipati, termasuk Senapati-Senapati-mu itu.
Wajah Ki Wiladipa menjadi semakin tegang. Semen"tara itu, maka Ki Tumenggung Windubaya itupun berkata
" Kecuali jika kau akan melakukannya setelah aku keluar dari istana. Mungkin dihalaman istana atau diluar regol halaman istana ini. Meskipun demikian, maka kami akan bertahan sampai akhir hidup kami, dan setiap orang dise-luruh Tanah ini, setiap Adipati. Setiap Senapati dari selu"ruh Kadipaten dan orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa seorang kesatria akan berbicara tentang Ki Tumeng"gung Wiladipa dari Pajang. "
" Aku tidak peduli " Ki Tumenggung Wiladipa ham"pir berteriak.
Namun Adipati Pajanglah yang benar-benar berteriak
" Diam. Semuanya diam. Kalian tidak menghargai keha"diranku disini. Akulah Adipati Pajang. Bukan orang lain. "
Ki Tumenggung Wiladipa terdiam. Namun bibirnya masih saja gemetar oleh perasaannya yang bergejolak.
Sementara itu, Kangjeng Adipatipun diluar sadarnya telah bangkit dari tempat duduk sambil menghentakkan kakinya oleh kemarahan yang tidak tertahankan. Katanya dengan suara lantang " Pergi kau orang Mataram. Aku tidak akan melakukan perintah Kakangmas Panembahan Senapati. Orang-orangku tidak akan berbuat selicik itu.
Tuduhan itu sama sekali tidak berdasar. Tidak ada bukti dan tidak ada saksi. Karena itu sebelum kemarahanku tidak dapat aku kendalikan, tinggalkan tempat itu. " Kangjeng Adipati itupun kemudian berpaling kepada Wiladipa Wiladipa, jangan kau usik utusan kakangmas Panembahan Senapati. Kita bukan pengecut yang akan melakukan tin"dakan-tindakan licik seperti itu. Karena itu, biarlah Windu"baya pergi dan melaporkan hasil perjalanannya kepada Panembahan Senapati.
Wajah Ki Tumenggung Wiladipa menjadi merah padam Sementara itu Ki Tumenggung Windubayapun ber"kata " Baiklah Kangjeng Adipati. Hamba masih tetap menghormati Kangjeng Adipati. Kami akan kembali ke
Mataram, melaporkan perjalanan kami. Tetapi satu hal yang perlu aku sampaikan. Mataram tetap akan menang"kap Wiladipa. "
Kemarahan Kangjeng Adipati Pajang benar-benar telah memuncak. Selangkah ia maju mendekati Windubaya yang duduk sambil menundukkan kepalanya " Windubaya, kau menantang aku. "
" Tidak Kangjeng Adipati " jawab Windubaya " hamba adalah utusan Panembahan Senapati. Hamba menyampaikan perintah Panembahan Senapati. Jika hal itu Kangjeng Adipati artikan sebagai satu tantangan, maka tantangan itu datangnya dari Panembahan Senapati. "
" Cukup, cukup " Kangjeng Adipati benar-benar ber"teriak " pergi kau sekarang juga sebelum aku menjadi mata gelap. "
Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemu"dian katanya " Baiklah Kangjeng. Hamba dan kawan-kawan hamba mohon diri. "
" Kau tidak usah banyak berbicara lagi. Kau adalah sekedar utusan. Jika jawabanmu sudah kau sampaikan kepada orang yang mengutusimu maka tugasmu sudah selesai. " bentak Kangjeng Adipati Pajang.
Windubaya tidak menjawab lagi. Tetapi bersama-sama utusan yang lain ia bergeser mundur. Namun sebelum Ki Windubaya itu meninggalkan ruang itu, ia masih juga ber"kata " Ampun Kangjeng Adipati. Hamba memang sekedar utusan. Hamba akan menyampaikan jawab Kangjeng Adi"pati yang dengan tidak langsung telah menolak perintah Panembahan Senapati, untuk menyerahkan Ki Tumeng"gung Wiladipa. "
Kemarahan Kangjeng Adipati benar-benar tidak dapat dikendalikan lagi. Dengan kakinya Kangjeng Adipati telah menendang sebuah bokor kuningan yang berada disamping batu gilang yang dipergunakannya sebagai tempat duduk"nya. Hampir saja bokor itu menyambar kepala Ki Tumeng"gung Windubaya. Untunglah bokor itu menyentuhpun
tidak. Namun bokor yang terlempar itu telah menghantam dinding sehingga pecah berserakan, sementara bokor itu masih melenting jatuh di serambi menghantam sebuah ajug-ajug yang berada disudut ruangan.
Ki Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia meraba keningnya. Keringat dingin telah mengalir didahinya menetes jatuh dilantai paseban dalam.
Ki Tumenggung tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Iapun kemudian beringsut dan meninggalkan tempat itu.
Ketika mereka keluar dari halaman istana sambil menuntun kuda-kuda mereka, maka Ki Windubaya berdesis " Untunglah, bokor itu tidak mengenai kepalaku. "
" Jika mengenai bagaimana Ki Tumenggung" " ber"tanya seorang pengawalnya.
" Bagaimanapun juga aku akan tetap berada dalam kesulitan. Jika aku membiarkan bokor itu meretakkan tulang kepalaku, maka aku tidak akan dapat keluar lagi dari istana ini. Tetapi jika aku pukul bokor itu sehingga pecah, maka Kangjeng Adipati tentu akan menjadi semakin ma"rah. Mungkin aku benar-benar dibunuhnya di paseban. " jawab Ki Tumenggung.
" Dan Ki Tumenggung tidak melawan" " bertanya pengawalnya.
" Aku sudah mengatakan, bahwa yang berada di pase"ban dalam itu akan mati semuanya. Termasuk Kangjeng Adipati, tetapi juga aku dan kau. " jawab Ki Tumenggung.
Pengawalnya menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya,-jika terjadi demikian, atau terjadi usaha penangkapan, maka Ki Windubaya akan bertempur sampai mati tanpa beranjak dari paseban itu.
Demikianlah, maka Ki Windubayapun telah mening"galkan istana. Tetapi, sebagaimanapun sudah mereka sepa"kati, maka Ki Windubaya harus menyampaikan hasil pembicaraan mereka dengan Kangjeng Adipati kepada Un"tara, yang akan segera mengatur kesiagaan para prajurit Pajang telah menyatakan diri akan berpihak kepada Mata-
ram jika terjadi benturan kekerasan.
Namun untuk tidak menarik perhatian, maka yang kemudian berdiri dipinggir jalan Kota Pajang adalah Agung Sedayu dalam pakaian penyamarannya.
Ketika Ki Tumenggung melihat seseorang dalam pakaian yang kusut berdiri dipinggir jalan sambil mengge"rakkan capingnya berputar kekiri, maka iapun memerin"tahkan kepada seorang pengawalnya untuk membisikkan kepada orang itu, bahwa pembicaraan gagal. Akan terjadi pertempuran jika Kangjeng Adipati tidak merubah kepu-tusannya.
Pengawal itupun telah melakukan perintah itu dengan baik. Ketika pengawal itu lewat dimuka Agung Sedayu, maka sesuatu telah jatuh dari tangannya, sehingga pengawalnya itu telah meloncat turun. Sambil memungut barangnya yang terjatuh didekat Agung Sedayu, maka pengawal itu telah mengatakan pesan itu kepada Agung Se"dayu.
Demikian iring-iringan itu menjauh, maka Agung Se-dayupun segera pergi kerumah sahabat Untara untuk dapat bertemu langsung dengan Untara.
"Jadi pembicaraan itu sudah gagal " berkata Untara.
" Ya. Sementara ini pasukan Mataram yang berlapis dua sudah siap untuk mengepung Pajang. " berkata Agung Sedayu.
Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya " Baiklah. Sampaikan kepada para Senapati dari pasukan itu, agar mereka segera siap. "
" Ki Lurah Branjangan maksud kakang" " bertanya Agung Sedayu .
" Ya. Bukankah Senapati pasukan Mataram itu Ki Lurah Branjangan" " bertanya Untara.
" Baiklah kakang. Aku akan menemui Ki Lurah meski"pun agaknya Ki Tumenggung Windubaya akan singgah pula menemui Ki Lurah.
" Sampaikan kepada Ki Lurah, bahwa pasukan ber"kuda Pajang sudah siap untuk menyatukan diri dengan pasukan Mataram jika pertempuran itu terjadi. Meskipun demikian, Mataram harus tetap berhati-hati. Ki Lurah harus bersiap dan mampu bergerak cepat. Jika kesediaan pasukan berkuda ini bocor oleh pengkhianatan, dan pasukan Ki Wiladipa mengambil tindakan, maka pasukan Mataram harus cepat membantu mereka. " berkata Un"tara.
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Iapun kemu"dian minta diri untuk segera menemui Ki Lurah Bran"jangan.
Sementara itu, maka di Pajangpun telah terjadi per"siapan-persiapan. Kangjeng Adipati menyadari, bahwa tin"dakannya itu akan mengundang kemarahan Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah bahwa bagaimanapun juga Adipati Pa"jang merasa cemas. Ia tahu sifat dan watak Panembahan Senapati. Dan iapun tahu kekuatan apakah yang tersimpan didalam diri Panembahan Senapati itu.
Namun ia tidak dapat menolak desakan-desakan, Namun ia tidak dapat menolak desakan-desakan orang disekitarnya, terutama Ki Tumenggung Wiladipa, bahwa seharusnya Pajanglah yang memimpin pemerintahnya bagi Tanah ini. Bukan Mataram, karena Panembahan Senapati bukannya putera Kangjeng Sultan di Pajang yang telah me"ninggal. Bahkan diselubungi dengan pengertian apapun, Panembahan Senapati itu dapat disebut telah memberontak terhadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang.
" Semua orang tentu akan menerima Kangjeng Adi"pati sebagai orang yang lebih berhak daripada Panembahan Senapati. " berkata Ki Tumenggung Wiladipa " kecuali jika Pangeran Benawa bersedia menerima kedudukan itu. Karena Pangeran Benawa telah menolaknya, maka Kang"jeng Adipatilah orang yang paling berhak untuk duduk di atas tahta Pajang. Dan Mataramlah yang harus tunduk kepada Pajang. Bukan sebaliknya. "
Namun ketika pertentangan itu menjadi semakin jelas menuju ke arah benturan kekuatan, maka Adipati Pajang itupun telah dibayangi oleh keragu-raguan.
Tetapi Ki Wiladipa telah berbuat semakin jauh. Pasukan Pajang telah siap menghadapi Mataram.
Sementara itu, seorang utusan yang telah menghadap Pangeran Benawa telah kembali ke Pajang dengan dengan membawa pesan yang sebaliknya dari yang diharapkan.
" Pangeran Benawa justru memperingatkan Kangjeng Adipati Pajang untuk tidak menentang Panembahan Sena"pati. Pajang harus tunduk kepada Mataram sebagaimana dilakukan oleh Jipang " berkata Pangeran Benawa itu.
" Orang yang lemah hati " desis Ki Tumenggung Wiladipa. Lalu katanya kepada Kangjeng Adipati " tetapi hal itu tentu sudah dapat kita duga sebelumnya. Pangeran Benawa adalah seorang laki-laki yang tidak bersikap. Ia lebih senang menggantungkan diri kepada orang lain dari"pada tegak diatas kakinya sendiri. Tetapi biarlah ia berada dalam keadaannya. Pajang harus bersikap lain. Pajang harus mampu menunjukkan bahwa bukan Panembahan Senapatilah yang berhak atas tahta Pajang yang sebe"narnya. Pada saatnya, Pangeran Benawa akan mengerti, apa yang sebenarnya harus terjadi di Pajang dan seluruh daerah kuasanya. Dan iapun harus menyadari, bahwa ia telah bersikap salah dan lemah. "
Buku 194 DENGAN demikian, maka memang tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan oleh Adipati Pajang itu. Sehingga akhirnya batas antara Pajang dan Mataram itu menjadi semakin tebal. Bahkan, agaknya yang akan terjadi adalah benturan kekerasan.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Windubaya yang telah meninggalkan Pajang menuju ke Mataram, sebagaimana diduga oleh Agung Sedayu telah singgah di pesanggrahan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan. '
Dengan singkat Ki Tumenggung Windubaya telah memaparkan hasil pembicaraannya dengan Kangjeng Adipati Pajang. Sehingga menurut pendapatnya, tidak ada jalan lain kecuali mengambil Wiladipa dengan kekerasan, sekaligus pusaka-pusaka yang diperlukan oleh Mataram yang masih ada di Pajang. Dengan demikian, maka Mataram akan melakukan dua langkah sekaligus.
" Baiklah " berkata Ki Lurah Branjangan " jika demikian, maka aku akan mempersiapkan pasukanku. Sesuai dengan perhitungan agar Ki Tumenggung Wiladipa tidak dapat melarikan diri dari Pajang, maka Pajang harus dikepung rapat. Kita tidak akan menyerang dari satu sisi. Namun dengan demikian diperlukan pasukan yang besar dan berjumlah banyak. "
" Benar Ki Lurah " berkata Ki Tumenggung " kau harus mempersiapkan pasukan itu sebaik-baiknya. Kita tidak boleh gagal. "
" Apakah ada kemungkinan bantuan dari tempat lain " Dari Jipang misalnya, selain prajurit. Demak yang dibawa oleh Wiladipa itu" "
" Ki Lurah akan mendapat laporan dari para petugas sandi " jawab Ki Tumenggung " akupun akan menunggu laporan itu. Tetapi aku akan melaporkan segala sesuatunya kepada Panembahan Senapati. "
" Kami menunggu segala perintah dari Panembahan Senapati " berkata Ki Lurah kemudian.
Ki Tumenggung itupun telah melanjutkan perjalanan ketika Agung Sedayu sampai ke pesanggrahan Ki Lurah. Selain mempersoalkan hasil pembicaraan Ki Tumenggung Windubaya dengan Kangjeng Adipati, maka Agung Se-dayupun memberikan keterangan bahwa pasukan berkuda yang ada didalam kota Pajang telah siap membantu pasukan Mataram yang bakal datang memasuki Pajang.
Tetapi seperti pesan Untara, maka Agung Sedayupun berkata " Tetapi setiap saat Ki Lurahpun diharapkan akan dapat membantu pasukan berkuda itu jika kesediaannya itu dapat didengar oleh Ki Tumenggung Wiladipa. "
" Kami sudah siap sepenuhnya " berkata Ki Lurah " tetapi kami pertama-tama akan menempatkan diri dalam tujuan utama kita, yaitu menangkap Ki Wiladipa. "
" Kami mengerti " jawab Agung Sedayu karena itu, maka biarlah kekuatan yang ada diluar dan didalam selalu dapat berhubungan untuk mengatur langkah-langkah yang akan datang. "
" Kami hanya tinggal menunggu perintah Panem"bahan Senapati. Jika hari ini Ki Tumenggung Windubaya menghadap Panembahan Senapati dun melaporkan hasil pembicaraannya dengan Kangjeng Adipati, maka besok kita akan mendapat perintah itu. Namun setelah perintah jatuh, kita masih harus menyatukan langkah langkah ber"ikutnya, sehingga dalam dua tiga hari lagi, kitu baru akan dapat bertindak.
" Kami memerlukan langkah-langkah yang cepat " berkata Agung Sedayu " karena Ki Wiladipa agaknya sudah menyusun kekuatannya pula. Jika ia berhasil mem"bujuk kekuatan dari luar Pajang, maka persoalannya akan menjadi bertambah sulit. "
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia me"ngerti sepenuhnya maksud Agung Sedayu sebagaimana dipesankan oleh Untara dan sebagaimana diperhitungkan"nya. Karena itu, maka katanya " Kita akan berusaha untuk bertindak secepatnya. "
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah masuk kembali kedalam kota dan menyampaikan kabar dari Ki Lurah, tentang pasukannya yang telah siap.
" Namun diperlukan pasukan yang cukup banyak un"tuk mengepung kota ini dari segala penjuru agar tidak ada kesempatan bagi Ki Tumenggung Wiladipa untuk mela"rikan diri. " berkata Agung Sedayu.
" Ki Lurah harus berusaha melengkapi pasukannya " berkata Untara.
" Panembahan Senapati tidak sependapat jika Mata"ram mengambil pasukan dari lingkungan yang luas karena Mataram ingin membatasi persoalan. Biarlah persoalannya hanya didengar oleh Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung. Jika kemudian daerah-daerah lain mengetahuinya, namun mereka tidak perlu terlibat kedalamnya. Dengan demikian, maka seandainya Pajang juga menghubungi beberapa daerah lain, pertentangan tidak akan menjadi sangat luas. " jawab Agung Sedayu.
" Tetapi Mataram juga bertanggung jawab bahwa ren"cana ini tidak akan gagal. Seandainya Ki Tumenggung Wiladipa yang lolos masih ada waktu untuk mencarinya dimanapun juga di Tanah ini. Tetapi jika pusaka-pusaka itu sempat disembunyikan atau bahkan dihancurkan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi Mataram " berkata Un"tara.
" Hal itu memang harus diperhitungkan " berkata Agung Sedayu " tetapi agaknya menurut Ki Lurah Bran"jangan, pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung disamping prajurit Mataram yang ditarik dari daerah yang tersebar, cukup banyak untuk melakukan tugas itu, tentu saja dibantu oleh prajurit berkuda Pajang yang telah bersedia untuk bertempur bersama pasukan Mataram.
Untara mengangguk-angguk. Katanya " Pada satu saat, aku akan memberikan perincian kekuatan Pajang. Mudah-mudahan Ki Lurah tanggap dan mampu memperhi"tungkan kekuatan yang diperlukan untuk mengepung Pa"jang jika benar perang meletus. Kepungan itu harus kuat disegala arah, agar pasukan Pajang tidak dapat meme"cahkan kepungan dengan memusatkan segala kekuatan pada satu titik kepungan. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata " Ki Lurah memerlukan sekali perincian itu. "
" Aku akan berusaha dari para pemimpin pasukan ber"kuda, meskipun tidak tepat benar tetapi tentu mendekati kekuatan yang nyata ada. Tetapi yang aku tidak mengerti, apakah mereka juga mengetahui dengan tepat, kekuatan yang dibawa oleh Wiladipa dari Demak yang jumlahnya cukup banyak. " jawab Untara.
" Mudah-mudahan jumlah itu dapat dibaca dari kesi"bukan mereka atau jika perlu berusaha untuk mengetahui kebutuhan belanja dari barak-barak yang diperlukan oleh prajurit Demak yang ada ditempat itu untuk memper"kirakan jumlah orang yang ada. " berkata Agung Sedayu.
Untara mengangguk-angguk. Memang masuk akal, un"tuk menghitung penghuni barak dari jumlah kebutuhannya untuk makan meskipun tidak tepat benar
Dengan demikian, maka suasana di Pajangpun menjadi kian menghangat. Sementara itu, Ki Tumenggung Windu-baya telah menghadap Panembahan Senapati di Mataram untuk menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Kang"jeng Adipati Pajang.
" Kemarahan Kangjeng Adipati tidak dapat dike"kangnya. Panembahan " berkata Ki Tumenggung " ham"pir saja kepala hamba disambar oleh bokor yang ditendang oleh Kangjeng Adipati. "
Panembahan Senapati mendengarkan laporan itu dengan wajah yang merah. Bahwa orang-orang Pajang telah menghinakan utusannya, adalah pertanda bahwa Pa"jang benar-benar telah menantang Mataram. Untara ham"pir saja terbunuh oleh orang-orang yang dipasang Ki Tu"menggung Wiladipa. Meskipun dengan diam-diam. Kemu"dian Kangjeng Adipati Pajang sendiri telah melemparkan bokor kepada utusannya yang akan dapat membunuhnya apabila bokor itu mengenainya.
Karena itu dengan suara gemetar Panembahan Sena"pati itu berkata " Aku sendiri akan pergi ke Pajang. " Orang-orang yang ada di bilik penghadapan itupun terke"jut. Namun Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka itupun berkata " Ampun angger Panembahan. Angger sudah bukan lagi seorang anak muda yang menelusuri Tanah ini dari ujung sampai keujung. Bukan lagi seseorang yang tidur diranting-ranting pepohonan atau menempuh laku merendam diri di pusaran air. Angger sekarang adalah Panembahan Senapati di Mataram. "
Jadi bagaimana menurut paman" " Apakah kita akan membiarkan Adimas Adipati Pajang itu menghina aku" " bertanya Panembahan Senapati.
" Tentu tidak " jawab Ki Juru " kita memang sudah memutuskan untuk mengambil sikap. "
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Se"jak semula memang sudah direncanakan jika pembicaraan gagal, maka pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Bran-jangan akan bergerak.
Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun berkata " Paman, tingkah laku Adimas Adipati memang sudah melampaui batas. Kesabarankupun telah melampaui batas pula. Karena itu, maka aku akan melengkapi rencana yang terdahulu dengan menempatkan diriku sendiri dalam pasukan itu. "
Tetapi Ki Juru menggeleng. Katanya " Tidak perlu ngger Selama masih dapat diatasi dengan cara lain, maka angger Panembahan tidak perlu turun langsung ke medan.
Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian suaranya merendah " Aku akan melihat apa yang akan terjadi. Tetapi jika perlu, aku akan turun langsung kemedan"
" Jika perlu memang sudah sewajarnya angger turun tangan. Tetapi biarlah angger mempercayakannya lebih dahulu kepada Ki Lurah Branjangan. Sementara itu, di Pa"jang ada pula Untara dan Agung Sedayu. "
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Un"tunglah bahwa ia masih dapat menahan hatinya, sehingga Pa"nembahan Senapati sendiri tidak turun kegelanggang untuk menghukum Panjang.
Namun dalam pada itu, maka Panembahan Senapatipun telah menjatuhkan perintah, bahwa pasukan Mataram dapat mulai bergerak untuk menangkap seseorang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.
Kepada Ki Tumenggung Windubaya Panembahan Senapati berkata " Ki Tumenggung. Pergilah ke pesanggrahan Ki Lurah Branjangan. Jatuhkan perintahku, tangkap orang yang berna"ma Ki Tumenggung Wiladipa. Siapapun yang berusaha untuk melindunginya, maka ia dianggap ikut bersalah, dan dapat ditangkap pula, meskipun orang itu adalah Adipati Pajang."
" Hamba Panembahan " Ki Tumenggung mengangguk hormat " apakah hamba dapat berangkat sekarang?"
" Kau dapat beristirahat sebentar. Tetapi kemudian harus berangkat. Dan besok pasukan Mataram harus sudah berge"rak. " berkata Panembahan Senapati.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia-pun mohon diri untuk singgah dan minta kepada isterinya, bah"wa ia akan berangkat lagi ke Pajang.
Tetapi sebagai seorang Senapati yang mengemban tugas"nya, maka ia masih belum mengatakan kepada isterinya, bahwa ia harus menyampaikan perintah kepada Ki Lurah Branjangan untuk bergerak besok pagi. Ia hanya minta diri untuk bertugas ke Pajang menghubungi Ki Lurah Branjangan.
Nyi Tumenggungpun tidak pernah memaksa suaminya un"tuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya, karena ia sadar, bahwa sebagai seorang Senapati, kadang-kadang su"aminya harus menyimpan rahasia bagi kepentingan jabatannya.
Malam itu,Ki Tumenggung sudah kembali berpacu dengan beberapa orang pengawal kembali ke Pajang untuk menemui Ki Lurah Branjangan. Pada lapisan kedua Ki Tumenggung hanya mengatakan bahwa ia harus menemui Ki Lurah Branjangan.
" Sebaiknya kalian bersiap." berkata Ki Tumenggung " aku ingin berbicara dengan Ki Lurah. Segala sesuatunya akan ditentukan oleh Ki Lurah."
Para pemimpin pasukan di lapisan kedua itu sudah merasa meskipun belum jatuh perintah bahwa pertempuran tidak akan dapat dihindarkan lagi.
Demikianlah, maka Ki Tumenggung itupun langsung menu"ju ke pasanggrahan Ki Lurah Branjangan dan menyampaikan perintah Panembahan Senapati.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia sudah menduga, bahwa perintah itu akan cepat datang. Tetapi tidak secepat itu.
" Panembahan Senapati menjadi sangat marah " berkata Ki Tumenggung Windubaya " Jika tidak dicegah oleh Ki Juru, maka Panembahan Senapati akan langsung turun kegelanggang memimpin sendiri pasukan Pajang."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar, bahwa dengan demikian, maka ia harus mengemban tugas itu dengan menumpahkan segenap kemungkinan yang dapat dila"kukannya. Ia tidak boleh mengecewakan Panembahan Senapati yang sudah siap untuk turun sendiri ke gelanggang.
Karena itu maka katanya " Baiklah Ki Tumenggung. Aku akan melakukannya sejauh kemampuan yang ada padaku, Mu"dah-mudahan dapat memenuhi keinginan Panembahan Senapa"ti."
Dalam pada itu, malam itu juga Ki Lurah memerintahkan petugas sandinya untuk mencari hubungan dengan Agung Seda"yu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka garis"kan. Petugas sandi itu harus menyampaikan perintah Ki Lurah, Bahwa pasukan yang ada didalam kota harus menyesuaikan diri.
" Panembahan Senapati ternyata bertindak lebih cepat da"ri yang kita duga, sehingga dengan demikian maka kita harus berusaha menyesuaikan diri. " berkata petugas sandi yang te"lah berhasil menemui Agung Sedayu yang sedang berada dida"lam kota.
" Baiklah. Kita akan berbicara dengan kakang Untara " sahut Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka malam itu, perintah Panembahan Senapati telah sampai kesemua unsur dari pasukan Mataram. Pasukan yang berada pada lapisan pertama, lapisan kedua dan pasukan yang ada didalam kota pasukan berkuda Pajang yang telah menyatakan berada di pihak Mataram.
Dengan demikian, maka sebenarnyalah, ketika matahari terbit, pasukan Mataram telah mulai bergerak. Tetapi mereka tidak langsung menyerbu memecahkan gerbang kota.
Tetapi mereka telah mengepung dan menempatkan pasu"kan Mataram pada jalur-jalur jalan yang penting, sehingga ti"dak memungkinkan seorangpun yang lolos dari kota, termasuk Ki Tumenggung Wiladipa.
Langkah yang diambil pasukan Mataram itu telah menggemparkan kota Pajang. Rakyat yang berangkat kepasar didalam kota, tidak dapat melanjutkan perjalanan mereka. Ja lan-jalan telah tertutup oleh para prajurit Mataram dalam kesi-agaan tertinggi.
Tetapi para prajurit itu tidak mengusik mereka, meskipun mereka tidak diijinkan untuk berjalan terus.
" Kembali sajalah"perintah para prajurit " jika kalian memasuki kota, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi. Mungkin untuk sehari, tetapi mungkin untuk sepekan atau le"bih."
Dengan demikian maka orang-orang itupun telah kembali ke padukuhan masing-masing dengan jantung yang berdebar-debar. Tetapi mereka mengerti, bahwa Pajang berada dipintu gerbang peperangan.
Dalam pada itu, maka Pajangpun semua prajurit sudah di"persiapkan. Ki Tumenggung Wiladipa telah memerintahkan pa"ra Senapati untuk menempatkan diri. Orang-orang Pajang telah mendapatkan sedikit gambaran tentang kekuatan Mataram. Se"hingga dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wiladipa tidak menjadi begitu cemas.
Untaralah yang berdesis " Aku belum sempat memberikan keterangan tentang kekuatan Pajang.
Agung Sedayu mengangguk ungguk. tetapi iapun kemudian berkata " Tetapi Ki Lurah tentu Sudah mendapat laporan dari petugas sandinya. Namun jika kakang dapat memberikan keterangan itu, akan dapat dipakai sebagai bahan perbandi"ngan."
Ki Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya " Malam nanti aku akan mengusahakannya "
Dalam pada itu, Untara benar-benar telah berusaha untuk mendapatkan sedikit keterangan tentang prajurit yang ada di dalam kota Pajang, khususnya didalam lingkungan pengaruh kuat Ki Tumenggung Wiladipa dan prajurit yang datang dari Demak dan memperkuat kedudukan Kangjeng Adipati Pajang.
Lewat Agung Sedayu, maka Untara telah mengirimkan ke"terangan itu sebagai bahan pertimbangan Ki Lurah Branjangan untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.
" Terimakasih " berkata Ki Lurah " tetapi kau sendiri harus berhati-hati jika kau keluar masuk kota. Apalagi setelah kami mengepung kota. Setiap orang yang lewat akan dicurigai oleh para petugas baik dari Pajang maupun dari Mataram."
" Aku sudah mempunyai jalan tersendiri " jawab Agung Sedayu " meskipun aku harus memanjat dan meloncat dinding. Sebatang pohon yang rimbun seakan-akan telah disediakan un"tuk jalanku masuk keluar kota."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia tahu benar, bah"wa Agung Sedayu memang seorang yang mempunyai ilmu yang luar biasa.
Dengan keterangan Untara lewat Agung Sedayu, Ki Lurah dapat mempunyai gambaran tentang kekuatan yang dihadapiya. Keterangan itu dapat diperbandingkan dengan keterangan para petugas sandinya. Namun para petugas sandinya tidak dapat mengatakan, berapa bagian dari kekuatan itu yang telah me"nyatakan kesediaannya untuk berpihak kepada Mataram.
" Kekuatan itu tidak begitu besar dibandingkan kekuatan prajurit Pajang dalam keseluruhannya " berkata Ki Lurah ke"pada diri sendiri " tetapi cukup mengejutkan dan mampu mengguncang ketahanan batin para prajurit pajang sendiri. Bahkan karena pasukan ini tidak diduga duga oleh para pemim"pin di Pajang, maka agaknya akan mempunyai pengaruh yang cukup besar."
Demikianlah, sudah sehari pasukan Mataram mengepung
Pajang. Namun Mataram masih belum dengan kekuatan itu mendekati kekuatan pasukan Pajang. Yang dilakukan pasukan Mataram sekedar menutup hubungan antara kota Pajang de"ngan lingkungan disekitarnya. Kemudian dengan tegas Mata"ram menunjukkan kesiagaannya untuk benar-benar pada satu saat menggempur Pajang.
Namun demikian, sekali lagi Mataram masih memberi pe"ringatan. Tiga orang berkuda, diantara mereka adalah Ki Tu"menggung Windubaya sendiri, mendekati gerbang kota Pajang dan bertemu dengan perwira yang bertugas dipintu gerbang. Katanya " Mataram masih memberi kesempatan bagi Ki Tu"menggung Wiladipa untuk menyerah. Dengan demikian maka akan dapat dihindari korban puluhan bahkan ratusan orang yang tidak bersalah."
" Omong kosong " geram perwira dipintu gerbang itu.
" Aku tidak perlu menghadap Kangjeng Adipati sendiri. Tetapi sampaikan kepada Kangjeng Adipati agar kau tidak di"hukum gantung kelak jika ternyata hal ini kau potong di tengah, diantara pesan ini dan Kangjeng Adipati."
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Pergilah. Kau membuat aku muak."
" Jangan terlalu kasar Ki Sanak. Aku memang akan pergi. Tetapi sekali lagi sampaikan pesan ini kepada Kangjeng Adi"pati. Sebab pada suatu saat Panembahan Senapati akan berte"mu dengan Kangjeng Adipati. Sebab pada suatu Panembahan Senapati akan bertemu dengan Kangjeng Adipati. Jika hal ini ditanyakan, maka kau akan menjadi sasaran. Kau, perwira yang bertugas di regol dinding kota saat ini, hari ini dan waktu ini."
" Persetan " geram perwira itu " kau kira aku takut mendengar ancaman seperti itu?"
" Tidak. Aku tidak menuduhmu takut, tetapi bukankah kita berpegang kepada sumber kekuatan yang sama bagi seorang prajurit?" bertanya Ki Tumenggung Windubaya.
" Apa maksudmu?" bertanya perwira itu.
" Kita harus mengemban kewajiban sebaik-baiknya. Jika kau berani memotong sesuatu yang pantas disampaikan Kang"jeng Adipati, apalagi dari Panembahan Senapati, maka kau adalah seorang prajurit yang kurang baik. " berkata Ki Tu"menggung Windubaya.
Prajurit itu tidak segera menjawab. Tetapi hatinya memang berdebar-debar juga. Meskipun demikian, ia masih juga kemu"dian berkata " Pergilah. Apakah aku akan meneruskannya ke"pada Kangjeng Adipati atau tidak, itu adalah persoalanku, kau tidak akan dapat mencampurinya.
" Sekarang memang tidak. Tetapi jika pasukan Mataram ini telah memecahkan dinding pertahananmu, maka baru kau tahu, siapakah kami, prajurit-prajurit Mataram ini. Dan apa"kah kami, berhak untuk mencampuri persoalanmu atau tidak. " berkata Ki Windubaya.
" Kalian hanya mengantarkan nyawa kalian " geram per"wira itu.
" Jangan begitu " jawab Ki Tumenggung Windubaya " yang akan mati bukan hanya dari pihak Mataram. Tetapi juga dari pihak Pajang, karena seperti yang sudah aku katakan, bah"wa sebagian dari antara kita akan mati. Mungkin aku mungkin kau dan mungkin prajurit-prajuritmu. Hal itu hanya dapat di"hindari jika Ki Wiladipa hanya satu orang diserahkan kepada Mataram karena telah bersalah, berupaya untuk membunuh utusan Panembahan Senapati.
" Persetan " geram perwira itu semakin marah " pergi atau aku perintahkan pasukanku menangkapmu.
Ki Windubaya justru tersenyum. Katanya " Terserah ke"padamu, apakah kau akan memberitahukan hal itu kepada Kangjeng Adipati, atau biarkan orang-orang Pajang dan Mata"ram saling berbunuhan disini" Tempat ini akan menjadi seperti Kuru Setra dalam cerita Mahabarata.
Wajah perwira itu menjadi merah padam. Untuk sesaat ia justru tidak dapat mengatakan sesuatu oleh kemarahan yang menghentak didalam dadanya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Windubaya tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian meninggalkan para prajurit Pajang yang bertugas dipintu gerbang. Namun ia yakin, bahwa perwira yang memimpin para prajurit yang bertugas itu akan menyampaikan pesan yang dikatakannya pesan Panembahan Senapati itu.
Sebenarnyalah perwira itu telah berusaha menghadap Kangjeng Adipati. Dengan ragu-ragu ia telah menyam"paikan pesan yang dibawa oleh Ki Tumenggung Windubaya itu sebagai pesan Panembahan Senapati.
Wajah Kangjeng Adipati menjadi tegang. Diluar sadar"nya ia memandang Ki Tumenggung Wiladipa dengan tegangnya.
Ki Wiladipa melihat keragu-raguan diwajah Kangjeng Adipati. Terasa jantungnya bergejolak. Bagaimanapun juga keragu-raguan itu menjadi ukuran penilaian Kangjeng Adipati atas dirinya. Keragu-raguan itu menunjukkan bahwa Kangjeng Adipati masih belum dengan sepenuh hati mempercayakan hari depan Pajang kepadanya. Betapapun kecilnya, tetapi masih ada sepercik keragu-raguan dan bahkan sepercik pikiran yang memungkinkannya untuk mempertimbangkan penyerahan Ki Tumenggung itu kepada orang-orang Mataram.
Ternyata halitu sangat menyakitkan hati Ki Tumeng"gung. Meskipun demikian ia masih juga berkata " Ampun Kangjeng Adipati. Sebenarnyalah segala sesuatunya ter"serah kepada Kangjeng Adipati. Jika menurut pertim"bangan Kangjeng Adipati, hamba harus diserahkan untuk menebus jiwa puluhan bahkan ratusan orang sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Windubaya, maka hamba tidak akan makar. Justru ada kebanggaan dihati hamba, bahwa nyawa hamba ternyata mempunyai nilai yang sama dengan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus nyawa " Ki Tumenggung berhenti sejenak, lalu " tetapi jika Kangjeng Adipati berdiri diatas satu sikap dan harga diri, serta meng"hendaki Pajang menjadi pusar dan kiblat dari kesetiaan rakyat Tanah ini, maka Kangjeng Adipati tentu akan ber"sikap lain. Yang hamba lakukan semata-mata adalah bagi kebesaran nama Pajang yang telah menjadi tempat sema"cam wahyu keraton setelah Demak. Tentu Pajang harus mempertahankannya dan tidak akan melepaskananya meskipun kepada Mataram.
Kangjeng Adipati termangu-mangu; Sementara Ki Tumenggung Wiladipa berkata " Jika untuk itu harus jatuh korban, maka hal itu wajar. Untuk menegakkan satu sikap, maka memang harus diberikan pengorbanan. Jika Pajang menilai korban akan terlalu besar, maka hal itu dise"babkan karena pengaruh pendapat orang Mataram yang justru menjadi cemas dan ketakutan, bahwa akhirnya orang Mataram yang terakhir akan terbunuh disini
Kangjeng Adipati tidak segera menjawab. Sebenarnya"lah hatinya dicengkam oleh kebimbangan. Dan kebim"bangan itu membuat jantung Ki Tumenggung bergelora. Ia sangat membenci keragu-raguan itu yang akan dapat menggoyahkan kedudukannya.
Namun akhirnya Kangjeng Adipati itupun berkata " Kita akan melawan kekuatan Mataram apapun yang akan terjadi. "
Ki Tumenggung Wiladipa menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kangjeng Adipati, persoalannya bukan sekedar keselamatan hamba. Tetapi semata-mata untuk mene"gakkan keadilan. "
Kangjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian " Apapun alasannya, kita melawan Mataram. "
Dahi Ki Tumenggung berkerut. Namun kemudian kata"nya " Terima kasih Kangjeng. Hamba mohon diri untuk mempersiapkan semua kekuatan yang ada di Pajang. Agak"nya besok Mataram akan mulai bergerak dan menyerang dinding kota Pajang yang memang tidak terlalu kuat. Tetapi hamba yakin, bahwa kekuatan hati para prajurit jauh melampaui kekuatan dinding kota yang justru sudah mulai rapuh itu. Sehingga dengan demikian, maka Mataram tentu tidak akan mampu menembus ketahanan kekuatan para prajurit Pajang meskipun seandainya Mataram mam"pu merobohkan dinding kota. "
Kangjeng Adipati mengangguk sambil menjawab " Baiklah. Besok aku sendiri ingin melihat kesiagaan para prajurit Pajang dan mungkin pertempuran yang akan ter"jadi jika Mataram benar-benar menyerang "
Ki Tumenggung kemudian meninggalkan pertemuan itu. Sementara perwira yang memimpin para prajurit dipin"tu gerbang itupun telah mohon diri pula untuk kembali ke tugasnya.
Namun ketika perwira itu melintasi halaman dan melewati sudut gandok, tiba-tiba saja ia terkejut. Dengan sigap"nya ia berpaling, dan hampir saja tangannya menarik kerisnya.
Namun niatnya itupun diurungkan meskipun wajahnya
masih saja terasa panas. " Penjilat " geram Ki Tumenggung Wiladipa.
Perwira itu mengusap bajunya dengan ujung kainnya. Dengan nada tertahan ia berkata " Tetapi tidak sepan"tasnya Ki Tumenggung meludahi pakaianku. Itu satu penghinaan yang tidak ada taranya. "
" Kau memang pantas dihinakan " jawab Ki Tumenggung Wiladipa " kenapa kau menyampaikan pesan itu kepada Kangjeng Adipati" Seandainya benar pesan itu adalah pesan Panembahan Senapati, maka persetan dengan Panembahan Senapati. "
" Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya menyam"paikan sebuah pesan " desis perwira itu.
" Sekali lagi kau menjawab, aku koyak mulutmu disini. Kau tahu bahwa aku dapat melakukannya tanpa menyentuh kulitmu" " bentak Ki Tumenggung Wiladipa " sekarang pergi kau. Kembali ke tempatmu. Aku masih ber-baik hati tidak meludahi wajahmu dihadapan anak buahmu.
Perwira itu tidak menjawab. Namun sambil melangkah pergi ia berkata kepada dirinya sendiri " Tumenggung itu kasar, kotor dan gila. Sungguh bukan perbuatan seorang pembesar di istana Adipati Pajang. Sikapnya mirip sikap bajak laut terhadap para pengikutnya.
Ternyata bahwa sikap Ki Tumenggung Wiladipa itu berkesan mendalam didalam hati perwira itu. Sudah lama ia mengenal Ki Tumenggung. Bahkan ia benar-benar telah berada dibawah pengaruhnya. Perwira itu sudah menem"patkan diri kedalam kesetiaan terhadap Kangjeng Adipati yang dalam banyak hal mengikuti petunjuk Ki Tumeng"gung. Tetapi tiba-tiba ia melihat dan justru dikenal sikap yang terlalu kasar dan bukan sikap seorang Tumenggung.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Apakah Tumenggung itu atau akulah yang telah menjadi gila dalam keadaan seperti ini. "
Namun perwira itu kembali pula ketugasnya di gerbang kota. Ia sama sekali tidak mengatakan kepada siapa pun juga, perlakuan Ki Tumenggung atas dirinya yang kurang dapat dimengerti. Bahkan ia akan malu sekali jika ada orang lain yang mengetahuinya.
" Jika hal ini dilakukan dihadapan anak buahku, aku akan menantangnya berperang tanding sampai mati " geramnya " lebih baik aku mati sebagai laki-laki daripada dihinakan seperti itu. "
Dalam pada itu, maka Pajangpun benar-benar bersiap sepenuhnya. Ketika Pajang diselimuti oleh gelapnya malam, maka iring-iringan pasukan dalam kelompok-kelom"pok telah menempatkan diri. Namun pasukan Pajang tidak keluar dari gerbang kota. Mereka siap menyambut keda"tangan lawan apabila pasukan Mataram itu menyerang masuk kedalam kota. Sementara itu, pasukan yang khusus telah berjaga-jaga di halaman istana. Mereka adalah kesa"tuan yang paling dipercaya Ki Tumenggung Wiladipa di"antara pasukan yang dibawanya dari Demak.
Sementara itu, Ki Tumenggung memerintahkan agar pasukan berkuda tetap berada dibaraknya. Pasukan itu akan mendapat perintah untuk dengan cepat menuju ketempat yang paling rawan jika pasukan Mataram memang akan menyerbu.
Dalam pada itu, Ki Pranawangsa sempat berbicara dengan Untara dan Agung Sedayu yang ternyata sampai saat terakhir masih belum diketahui berada didalam kota oleh para petugas sandi Pajang.
" Kebetulan sekali " berkata Untara " kau berada dibelakang garis pertahanan. Jika saatnya tiba, maka kau akan dapat menyerang dari belakang dan berusaha menghentikan perlawanan mereka.
" Kita harus mematangkan pertanda yang harus kita berikan menurut kebutuhan karena mungkin kita akan segera dibatasi oleh jarak sehingga kita tidak akan dapat menyampaikan pesan secara langsung " berkata Ki Prana-wangsa.
Agung Sedayulah yang kemudian harus menyampaikan persetujuan itu agar Ki Lurah Branjangan tidak salah mem"berikan dan menangkap isyarat. Mereka akan memper"gunakan panah sendaren pada saat-saat yang paling gawat dan menentukan.
Pada saat pasukan Pajang sudah bersiaga penuh, maka sulitlah bagi Agung Sedayu untuk keluar dan masuk din"ding kota. Namun karena kesigapannya, maka akhirnya iapun dapat melakukannya. Kemampuan melenting sangat berguna baginya untuk meloncati dinding. Namun Agung Sedayu harus menemukan satu tempat yang lepas dari pengawasan prajurit Pajang.
Namun akhirnya Agung Sedayupun mampu melakukan tugasnya. Ternyata ia dapat bertemu dengan Ki Lurah Branjangan dan menyampaikan semua pembicaraan dengan pasukan berkuda yang masih tetap berada di barak"nya namun dalam kesiagaan penuh.
" Baiklah " berkata Ki Lurah " besok kami akan mulai menyerang meskipun kami masih belum berniat untuk memecah gerbang itu besok. Jika masih ada perubahan sikap Kangjeng Adipati Pajang dan mau menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa dan pusaka-pusaka yang dike"hendaki oleh Panembahan Senapati, maka kita tidak perlu bertempur memberikan korban lebih banyak lagi.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Tetapi nampaknya orang-orang Demak di Pajang sangat menentukan. Meskipun demikian Ki Lurah dapat menco"banya. "
Malam itu juga Agung Sedayu telah berada kembali di"antara pasukan berkuda yang telah bersiaga sepenuhnya didalam barak. Mereka yang tinggal diluar barak, terutama para perwiranya, telah ditarik dan harus berada dibarak itu pula setiap saat.
Ketika fajar mulai membayang diujung Timur, maka pasukan Mataram yang mengepung Pajangpun telah ber"siap. Tetapi yang mendapat perintah untuk bergerak pada hari yang akan segera datang adalah pasukan yang berada didepan gerbang kota. Meskipun demikian, maka seluruh pasukanpun telah diperintahkan untuk bergerak maju. Tetapi mereka hanya sekedar memancing pasukan Pajang untuk bersiaga ditempat masing-masing, agar tidak ber"gerak kepintu gerbang. Karena jika demikian, maka berda"sarkan keputusan yang diambil dengan cepat, mungkin justru para prajurit Pajanglah yang menyerang pasukan Mataram, karena menurut perhitungan mereka kekuatan Mataram yang terbagi melingkari Pajang itu hanya dalam lapisan yang tipis.
Matahari yang kemudian terbit telah disambut oleh suara bende dan sorak gemuruh. Suara senjata yang berden-tangan serta hiruk pikuk para prajurit yang mulai bergerak. Rontek, kelebet dan tunggul pertanda kebesaran pasukan Mataram telah bergerak maju menuju kepintu gerbang. Sementara itu, para prajurit Mataram diseputar dinding kotapun telah bergerak pula mendekat.
Namun yang terjadi, Mataram belum menyerang ger"bang itu dengan sungguh-sungguh. Ketika mereka men"dekati pintu gerbang itu, maka para prajurit Pajang yang berada di dinding kota telah menyerang mereka dengan anak panah dan lembing. Namun karena pasukan Mataram telah memperhitungkannya, maka pasukan yang berpe-risaipun telah berusaha melindungi kawan-kawan mereka, sementara itu, selapis prajurit Mataram membalas serangan-serangan itu dengan meluncurkan anak-anak panah pula.
Para Senapati Pajang yang berada dipintu gerbang itu pun segera mengetahui, bahwa pasukan Mataram memang tidak ingin merebut pintu gerbang itu.
Karena itu, maka para Senapati Pajangpun tidak ber"tindak lebih jauh. Mereka hanya memerintahkan para prajuritnya untuk melontarkan anak panah dan lembing kearah para prajurit Mataram yang berada di depan pintu gerbang.
Para prajurit Matarampun telah membalas lontaran anak panah dan lembing dengan anak panah pula. Semakin lama semakin banyak, sementara prajurit Mataram dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putungpun telah mendekati dinding kota dan pintu-pintu gerbang samping di sisi lain untuk mengikat, agar para pra"jurit Pajang tetap berjaga-jaga ditempatnya.
Merekapun telah meluncurkan anak panah sebagai"mana terjadi di pintu gerbang induk. Tetapi yang mereka lakukan memang belum bersungguh-sungguh.
Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Windubaya memang masih memberikan waktu kepada Kangjeng Adi"pati untuk memikirkan kemungkinan yang paling baik. Sebagaimana dikatakannya, maka Kangjeng Adipati sen"diri akan melihat apa yang terjadi di pintu gerbang.
Namun ketika Kangjeng Adipati benar-benar hadir diatas pintu gerbang induk, dilihatnya bahwa pasukan Mataram agaknya tidak bersungguh-sungguh untuk meme"cahkan gerbang dan memasuki kota.
Untuk beberapa saat lamanya Kangjeng Adipati menilai pertempuran yang tidak bersungguh-sungguh itu. Namun demikian ia melihat kebesaran pasukan Mataram yang diperkuat para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung. Meskipun Mataram tidak berhubungan dengan daerah-daerah lain yang sebenarnya dapat membantunya, namun pasukannya nampaknya sudah cukup kuat dan besar.
" Jika perang benar-benar terjadi, maka seperti yang dipesankan oleh Kakangmas Panembahan Senapati, bahwa korban tentu akan berjatuhan. Memang tidak hanya puluh"an, tetapi ratusan " desis Kangjeng Adipati.
" Tetapi bukankah itu sudah wajar terjadi " berkata Ki Tumenggung Wiladipa " dimanapun dalam pergeseran sikap dan penilaian atas yang benar dan yang salah, tentu timbul pertentangan. Tetapi apa kata orang jika Pajang membiarkan ketidak adilan berlaku tanpa penolakan, sementara kita mempunyai kekuatan. Jika dalam mene"gakkan kebenaran dan keadilan itu harus jatuh korban, bukankah itu juga wajar sekali. Tetapi satu hal yang harus Kangjeng Adipati perhatikan, bahwa kita jangan menjadi sasaran kutukan anak cucu karena kelemahan kita. Apa yang terjadi sekarang, akan mempunyai akibat yang luas dihari esok. Karena itu, kita harus mampu menilai dan mengambil langkah sekarang ini agar kita bukan meru"pakan orang-orang yang bersalah bagi hari esok. "
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Dili"hatnya para prajurit Mataram melemparkan anak panah ke-arah para prajurit Pajang yang berada di atas dinding dise-kitar pintu gerbang utama. Namun yang dilakukan oleh orang-orang Mataram tidak lebih dari satu permainan. Sementara itu, dengan geram para prajurit pajang telah menghujani para prajurit Mataram itu dengan anak panah dan lembing.
Dalam pada itu, Kangjeng Adipati yang kemudian berada dibelakang pintu gerbang induk itu tiba-tiba saja telah memanggil beberapa orang Senapati terpenting.
Ki Tumenggung Wiladipa memang menjadi berdebar-debar. Jika pendirian para Senapati itu nanti menggeliat dan sebagaimana keraguan yang mencengkam Kangjeng Adipati itu mempengaruhi sikap mereka, maka Ki Tumeng"gung Wiladipa menjadi korban, karena ia adalah orang yang dituntut oleh para prajurit dari Mataram.
Namun ternyata Kangjeng Adipati tidak bertanya tentang sikap mereka. Tetapi Kangjeng Adipati justru ber"tanya tentang sikap mereka masing-masing.
" Kenapa pasukanmu belum kau tempatkan di pintu-pintu gerbang" " bertanya Kangjeng Adipati kepada Pranawangsa.
" Ampun Kangjeng Adipati " jawab Pranawangsa-" hamba mendapat perintah untuk tetap berada di barak. Setiap saat pasukan hamba dapat bergerak kemanapun yang memerlukannya, karena pasukan hamba dilengkapi dengan alat gerak cepat itu. "
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Iapun me"ngerti bahwa Pranawangsa adalah Senapati dan pasukan berkuda yang meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mempunyai kekuatan yang besar serta mempunyai kemampuan untuk bergerak cepat.
Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipatipun berkata kepada para Senapati itu " Berhati-hatilah. Aku sudah naik keatas dinding dan melihat kekuatan pasukan Mata"ram yang berada didepan pintu gerbang utama ini. Nampaknya kekuatan itu sangat meyakinkan, sehingga jika kita tidak berbuat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada, maka kita tentu akan dihan"curkannya. "
" Ampun Kangjeng Adipati " Ki Tumenggung Wila"dipa memotong " jangan cemas. Kekuatan kita cukup besar. Diantara pasukan Pajang dan Demak yang berada di Pasuruhan, maka kita mempunyai orang-orang yang dapat kita surukkan kedalam api peperangan dengan tanpa me"rasa kehilangan namun mempunyai akibat yang akan dapat menggelisahkan lawan. "
" Apa maksudmu" " bertanya Kangjeng Adipati.
" Budak-budak dan tawanan-tawanan yang sudah tak"luk dan dikuasai oleh orang-orang Pajang dan orang-orang Demak di Pajang sudah disiapkan pula " jawab Ki Tumenggung Wiladipa.
" Apa pula yang kau maksud dengan budak-budak" " desak Kangjeng Adipati.
" Orang-orang yang tidak berharga yang tidak lebih dari budak-budak dan hamba sahaya serta para tawanan itu akan menjadi bebanten dalam perang ini. Tetapi mereka dapat janji, siapa yang berhasil keluar hidup dari pepe"rangan ini, maka mereka akan mendapat kedudukan.
Sedangkan mereka yang dapat membunuh lawan, maka mereka akan mendapat bukan saja kedudukan, tetapi juga upah yang besar bagi setiap kepala orang Mataram " jawab Ki Tumenggung. " Maksudmu selain budak dan hamba sahaya juga orang-orang yang sedang menjalani hukuman karena merampok misalnya" "
Ki Tumenggung Wiladipa mengangguk sambil tersenyum. Dengan nada datar ia justru bertanya " Bukankah mereka orang-orang yang tidak berguna sehingga seandainya mereka mati, maka kita tidak akan merasa kehilangan?"
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya " Ada beberapa persoalan. Hamba dan budak-budak itu adalah manusia juga seperti kita. Kematiannya sama dengan kematian kita. Sedangkan orang-orang yang sedang menjalani hukuman itu mempunyai persoalannya tersendiri. Apakah mereka dapat dipercaya, sehingga mereka tidak akan justru melarikan diri" Atau jika kelak benar-benar dapat keluar hidup dari pertempuran ini dan mendapat kedudukan apakah hal itu tidak akan merusakkan tatakehidupan?"
Ki Wiladipa masih saja tersenyum. Katanya " Kepada orang-orang seperti itu bukankah kita tidak terikat untuk mene"pati janji kita" Sedangkan mereka yang mencoba untuk melari"kan diri, akan langsung dibunuh dipeperangan oleh para praju"rit yang akan bertempur bersama mereka."
Kangjeng Adipati memandang wajah Ki Tumenggung Wila"dipa dengan tajamnya. Wajah itu nampak menjadi aneh dida"lam pandangan Kangjeng Adipati. Tetapi segala sesuatunya su"dah terlanjur. Pasukan Pajang sudah berada didalam kepungan pasukan Mataram. Justru karena itu, Kangjeng Adipati justru mencoba untuk mengerti pendapat Ki Tumenggung Wiladipa.
Tetapi Kangjeng Adipati tidak ingin berbincang lebih lama lagi. Sejenak kemudian maka katanya." Aku akan kembali. Aku menginginkan laporan perkembangan keadaan setiap saat. Dalam keadaan yang memaksa aku akan turun sendiri ke medan melawan orang-orang Mataram. Aku berharap Panembahan Senapati juga secara jantan memasuki medan.
Ki Wiladipa menjawab " Baiklah Kangjeng Adipati. Teta"pi lebih baik Kangjeng Adipati tetap berada di istana. Hanya ji"ka Panembahan Senapati sendiri memasuki arena peperangan, maka sepantasnya Kangjeng Adipati turun menghadapinya. Tetapi jika yang memimpin pasukan Mataram hanyalah para Senapatinya, apalagi hanya didukung oleh para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung, maka biarlah kami-kami inilah yang akan menahan mereka dan bahkan jika mereka berani benar-benar berusaha memecahkan pintu gerbang kota, Maka kita akan menghancurkannya."
" Tetapi kau harus tahu, bahwa Mataram, Tanah Perdi"kan Menoreh dan Sangkal Putung mempunyai Senapati-senapa-ti yang pilih tanding. Kekuatan Panjang yang dipimpin oleh ayahanda Sultan Hadiwijaya sendiri dapat dipatahkan oleh orang-orang Mataram."
Tetapi Ki Wiladipa menjawab " Ampun Kangjeng Adipa"ti. Sebagaimana Kangjeng Adipati mengetahui, apakah ayahan"da Sultan tidak benar-benar berniat menghancurkan Mataram pada waktu itu" Apalagi pengkhianatan pasukan Pajang yang berada di Jati Anom telah memperkuat pasukan Mataram pula."
" Tetapi orang yang menyebut dirinya kakang Panji, yang membayangi kekuasaan Pajang pada waktu itu, terbunuh oleh Kiai Gringsing. Dan kita tahu bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu selalu berada hanya didua tempat. Jika tidak bera"da di Sangkal Putung, ia berada di Tanah Perdikan Menoreh."
" Ya Kangjeng Adipati " jawab Ki Tumenggung Wiladipa
" seandainya ia sekarang berada diantara para pengawal Ta"nah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung, maka Kangjeng Adipati tidak usah cemas. Ada beberapa orang dari Demak yang akan mampu menghadapinya, meskipun seandainya tidak seorang melawan seorang. Tetapi dua atau tiga orang yang me"miliki kemampuan yang tinggi menghadapinya, maka aku kira, Kiai Gringsing tidak akan dapat berbuat sesuka hatinya."
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya " Terse"rah kepadamu, mudah-mudahan kau tidak sekedar bermimpi buruk."
" Hamba akan mencoba menjunjung kepercayaan Kang"jeng Adipati. "berkata Ki Tumenggung Wiladipa.
Demikianlah Kangjeng Adipatipun segera kembali keista-na. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melepaskan kegelisahan"nya tentang pertempuran yang pada suatu saat tentu akan mem"bakar Pajang, karena ia tidak mau menyerahkan Ki Tumeng"gung Wiladipa. Tetapi sebenarnyalah Kangjeng Adipati Pajang juga merasa, bahwa tujuan Mataram tentu tidak sekedar Ki Tu"menggung, karena sejak sebelumnya Mataram sudah beberapa kali menghendaki pusaka-pusaka yang ada di Pajang untuk dibawa ke Mataram.
Dalam pada itu, pertempuran yang masih belum bersung"guh-sungguh itu masih berlangsung kedua belah pihak telah me"lontarkan beribu anak panah dan lembing.
Meskipun pertempuran itu nampaknya masih belum ber"sungguh-sungguh, namun ada juga satu dua diantara prajurit Pajang dan Mataram yang terluka oleh anak panah dan lembing karena kelengahannya.
Pertempuran itu benar-benar sangat menjemukan bagi para prajurit dikedua belah pihak. Tetapi perintah yang mereka teri"ma adalah belum perintah untuk benar-benar memasuki ger"bang. Karena itu, maka pasukan Mataram itu masih belum membawa alat-alat yang benar-benar diperlukan. Mereka tidak membawa tangga dan alat-alat memanjat yang lain, Mereka juga tidak membawa sebatang kayu gelondong yang besar dan pan"jang, yang akan dapat mereka pergunakan untuk memecahkan pintu.
Meskipun demikian, pertempuran itu berlangsung cukup lama juga. Pada saat matahari turun di Barat, barulah orang-orang Mataram memberikan isyarat, agar pasukannya ditarik mundur.
Beberapa orang Senapati Pajang mengumpat-umpat. Yang dilakukan oleh orang-orang Mataram itu sama sekali tidak berarti. Mereka hanya sekedar memancing kegelisahan karena mereka telah memamerkan kekuatan mereka.
Namun orang-orang Pajang itu sudah memperhitungkan, bahwa esok paginya orang-orang Mataram tentu tidak sekedar bermain-main. Karena para perwira yakin, bahwa Wiladipa ti"dak akan diserahkan oleh Kangjeng Adipati."
Ketika malam turun, maka para Senapati dari Mataram te"lah berkumpul. Diantara mereka terdapat para pemimpin pasu"kan pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Meno"reh. Bahkan karena diantara mereka ternyata terdapat Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsingpun telah diminta untuk ikut da"lam pertemuan itu pula.
" Aku hanya sekedar melihat apa yang terjadi " berkata Kiai Gringsing.
" Meskipun demikian, mungkin pendapat Kiai Gringsing sangat kami perlukan " jawab Ki Lurah Branjangan.
" Kiai Gringsing tidak mengelak. Bahkan ia hadir bersama Ki Widura disamping Ki Gede sendiri. Sementara dari Sangkal Putung telah hadir pula Ki Demang dan Swandaru.
Sementara itu. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang juga berada didalam pasukan itu, tidak ikut dalam pembicaraan itu.
Karena itu maka mereka sempat untuk bertemu dengan berbin"cang sendiri bersama Glagah Putih.
Dalam pada itu, para Senapati dari Mataram sudah cukup yakin bahwa Kangjeng Adipati tidak akan menyerahkan Ki Tu"menggung Wiladipa dan pusaka-pusaka yang diperlukan oleh Mataram. Karena itu, maka Ki Lurah Branjanganpun mengam"bil keputusan, bahwa mereka besok benar-benar akan menye"rang dan memasuki Pajang.
" Tetapi jangan salah hitung. Memasuki Pajang bukan sa"tu perjuangan yang mudah. Kita tahu, bahwa pasukan Pajang yang diperkuat dengan pasukan dari Demak ternyata cukup be"sar. Bahkan laporan terakhir dari dalam kota mengatakan, bah"wa Pajang akan mempergunakan hamba dan budak-budak didalam pasukan mereka. Namun itu tidak akan mengganggu kita karena mereka tidak banyak memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Bahkan jika mereka terasa mengganggu justru cara kita menghindari pembunuhan yang sewenang-wenang. Tetapi yang harus kita perhitungkan adalah, bahwa Pajang akan mempergunakan orang-orang hukuman didalam pasukan"nya. Perampok, penyamun, bajak laut dan merompak serta penjahat-penjahat yang lain. Mereka mendapatkan janji kebe"basan dan bahkan kedudukan jika mereka dapat menunjukkan satu sikap dan perbuatan yang menguntungkan dipeperangan.
" berkata Ki Lurah Branjangan.
Para Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sungguh satu langkah yang kasar yang tidak mereka duga sebelumnya. Menu"rut perhitungan para Senapati Mataram. Maka langkah yang diambil itu tentu atas dasar pertimbangan Ki Tumenggung Wila"dipa yang memang sudah diragukan kebersihannya.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan berkata selanjutnya
" Karena itu, maka kalian harus mempersiapkan diri mengha"dapi kemungkinan-kemungkinan itu. Kalian tidak boleh mem"bantai dengan sewenang-wenang jika kalian bertemu dengan bu"dak dan hamba sahaya yang tidak pernah berlatih dalam olah kanuragan. Mereka maju ke medan karena tidak ada pilihan lain. Mati atau mati. Mati dibunuh oleh lawan atau dibunuh oleh tuan sendiri. Namun kalianpun tidak boleh menjadi gentar jika kalian bertemu bekas perompak dan bajak laut. Mungkin penjahat-penjahat yang tidak terkendali dan barangkali juga orang-orang yang separo gila."
Para senapati itu mengangguk-angguk. Mereka mencoba
untuk membayangkan calon lawan yang akan mereka jumpai di medan. Mungkin budak-budak yang tidak akan mampu mela"wan sama sekali. Mungkin para prajurit Pajang atau Demak. Tetapi mungkin juga para perampok dan penjahat-penjahat yang tidak berjantung.
Tetapi sebagai prajurit dan pengawal, maka mereka tidak akan memilih lawan.
Meskipun demikian, Ki Lurah Branjangan telah menem"patkan pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdi"kan Menoreh beserta para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom untuk bersama-sama memasuki Pajang lewat pintu ger"bang yang akan mereka pecahkan. Kemudian mereka akan me"ngalir keseluruh kota dan membuka pintu-pintu gerbang sam"ping dan butulan agar para pengawal yang mengepung seluruh kota dapat bergerak masuk tanpa memberi kesempatan kepada seorangpun untuk dapat lolos.
" Ki Tumenggung Wiladipa harus dapat ditangkap." ber"kata Ki Lurah Branjangan " kita mengharapkan langkah-lang"kah yang diambil oleh Untara, Sabungsari dan Agung Sedayu yang berada didalam kota bersama pasukan yang dijanjikan"nya. Pasukan itu hendaknya yang akan mampu dengan lang"sung menangkap Ki Tumenggung Wiladipa."
Para Senapati mencoba untuk mencerna setiap pesan yang diberikan oleh Ki Lurah Branjangan, yang telah ditunjuk untuk memimpin pasukan Mataram yang datang ke Pajang untuk me"nangkap Ki Tumenggung Wiladipa.
Demikianlah, maka malam itu Ki Lurah sudah memberikan perintah-perintah, pesan-pesan dan pertimbangan-pertimba"ngan agar para Senapati dapat menyesuaikan diri dengan kea daan yang mereka hadapi, karena mungkin pasukan yang satu akan menghadapi keadaan yang berbeda sekali dengan pasukan yang lain.
Sementara itu, para pemimpin Pajangpun telah bertemu pula malam itu. Mereka membicarakan dan membagi tugas un"tuk menghadapi orang-orang Mataram esok pagi. Sementara itu, maka Ki Tumenggung Wiladipapun telah menunjuk bebera"pa kelompok prajurit yang akan mengendalikan orang-orang yang akan disurukkan kedalam api pertempuran. Mereka tidak banyak mencemaskan para budak dan hamba sahaya. Tetapi para perwira dari Pajang telah menunjuk kelompok-kelompok khusus yang akan mengamati para penjahat yang akan diper"senjatai dengan janji yang dapat mendebarkan jantung mereka. Namun para prajurit khusus yang berkemampuan tinggi itu mendapat perintah tegas. Bunuh mereka yang berusaha untuk melarikan diri atau mereka yang dengan sengaja berkhianat.
Demikian, kedua belah pihak telah melakukan persiapan setinggi-tingginya. Orang-orang Mataram telah menyiapkan tangga dan alat-alat yang lain. Tali, jangkar dan gelondong kayu yang dapat dipergunakan untuk memecahkan pintu.
Namun pada sisa malam, kedua belah pihakpun meman"faatkannya untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya.
Sementara kedua belah pihak bersiap-siap dengan ren"cana masing-masing, maka Untarapun telah bersiap dengan rencananya sendiri. Bersama Ki Pranawangsa ia telah menyiapkan langkah-langkah yang akan diambilnya. Pasukan berkuda itu akan bergerak pada saat yang memungkinkan, sehingga justru bukan pasukan berkuda itulah yang akan dihancurkan lebih dahulu didalam ling"kungan dinding kota karena pasukan Mataram belum dapat memasuki pintu gerbang, karena itu, pasukan berkuda itu akan bergerak setelah pasukan Mataram benar-benar ber"siap untuk memasuki pintu gerbang.
" Penjagaan yang paling kuat tentu berada dipintu gerbang induk " berkata Untara.
" Jadi bagaimana dengan pertimbanganmu" " ber"tanya Ki Pranawangsa " apakah pasukan berkuda ini akan menerebos memecahkan penjagaan di gerbang induk se"hingga memungkinkan pasukan berkuda ini membuka pin"tu gerbang" "
" Aku akan membuat hubungan dengan Ki Lurah Branjangan " berkata Untara " bagaimana jika pasu"kannya memasuki kota tidak lewat gerbang induk. "
" Maksudmu" " bertanya Ki Pranawangsa.
" Kita membuka pintu gerbang samping. Biarlah pasukan Mataram menerobos masuk lewat pintu gerbang samping. Kemudian pasukan yang telah memasuki kota bersama-sama dengan kita berusaha untuk melemahkan pertahanan di pintu gerbang induk. Sehingga pasukan in"duk Mataram akan dapat memecahkaan pintu itu dari luar
dengan perlawanan yang tidak terlampau berat " berkata Untara.
Ki Pranawangsa mengangguk-angguk. Iapun kemudian menentukan bersama Untara. pintu gerbang yang manakah yang akan dibuka lebih dahulu.
Akhirnya, Agung Sedayulah yang harus menyam"paikan pesan itu kepada Kj Lurah Branjangan. Agung Sedayupun harus segera kembali dan menyampaikan tang"gapan Ki Lurah atas rencana itu.
Betapapun sulitnya, ternyata Agung Sedayu masih mampu menembus pengawasan prajurit Pajang dan melon"cat keluar dinding kota untuk menghubungi Ki Lurah Bran"jangan.
Ki Lurah yang telah membaringkan dirinya untuk seke"dar beristirahat telah terbangun lagi. Pesan yang dibawa Agung Sedayu telah membuat persoalan baru bagi pasu"kannya.
Namun Ki Lurah dapat menyesuaikan rencananya dengan pesan Untara itu. Iapun segera memanggil Ki Gede Menoreh. Dengan singkat ia berbicara tentang rencana Un"tara. Karena itu, maka iapun kemudian berkata " pasukan Ki Gedelah yang menghadap pintu gerbang yang di maksud oleh Untara. Karena itu, maka apakah Ki Gede dapat menggerakkan pasukan tanah Perdikan sebagaimana diren"canakan oleh Untara.
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya kepada Agung Sedayu " Kau tahu kekuat"an pasukan Tanah Perdikan. Bagaimana pendapatmu" "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab " Pasukan itu akan bergabung dengan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Ki Prana"wangsa. Satu kekuatan yang harus diperhitungkan baik-baik oleh Pajang. Karena itu, jika pasukan Tanah Perdikan dalam keadaan utuh sebagaimana aku kenal, maka aku kira kita akan berhasil mencapai pintu gerbang induk dan mem"buka pintu gerbang itu. Meskipun harus diperhitungkan, bahwa dengan demikian pasukan Tanah Perdikan akan benar-benar bertempur diujung kekuatan Mataram selu"ruhnya. "
" Dengan pengertian lain, korban akan lebih banyak jatuh " berkata Ki Gede. Namun kemudian katanya " Tetapi jika dituntut demikian, maka kami siap untuk mela"kukannya. "
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian kata"nya " Satu kelompok pasukan khusus akan aku kirimkan untuk membantu kalian. Tetapi pasukan induk dari pasukan khusus itu tetap berada di gerbang Utama. "
" Terima kasih " berkata Ki Gede " kami akan mela"kukan perintah ini. Aku mohon pasukan Sangkal Putung mendapat pemberitahuan, sehingga tidak terkejut kare"nanya. "
Dengan demikian, maka dalam waktu yang tersisa, yang seharusnya dipergunakan untuk beristirahat sebaik-baiknya. Ki Lurah justru telah bekerja keras untuk menye"suaikan susunan, rencananya dengan pesan Untara, meski"pun ia tidak harus membuat terlalu banyak perubahan. Per"ubahan utama dipercayakannya atas pasukan Tanah Per"dikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Gede sen"diri. Namun yang didalam pasukan itu terdapat Sekar Mirah dan Glagah Putih. Sementara Agung Sedayu sendiri sudah berada didalam kota, sehingga ia akan dapat ber"gabung dengan pasukan Tanah Perdikan.
Kesediaan itu telah disampaikan kepada Untara oleh Agung Sedayu yang kembali memasuki kota. Sehingga dengan demikian, maka semua rencana rasa-rasanya telah tersusun dengan cermat, sehingga pada saatnya akan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka semua pihak tinggal me"nunggu fajar menyingsing di ujung Timur.
Sementara itu, suasana terasa menjadi semakin senyap. Yang terdengar adalah suara cengkerik yang ngelangut. Sekali-sekali terdengar suara burung hantu dikejauhan.
Kedua belah pihak selain mereka yang bertugas masih sempat mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk ber"istirahat. Jika fajar membayang, maka kedua belah pihak akan segera mempersiapkan diri untuk menghadapi satu pertempuran yang benar-benar akan membakar Pajang. Bukan sekedar bermain-main dengan anak-anak panah dan lembing sebagaimana terjadi sebelumnya.
Tetapi pertempuran yang akan terjadi, adalah pertem"puran antara hidup dan mati untuk memperebutkan pintu-pintu gerbang dan selanjutnya, pertempuran-pertempuran akan menjalar dijalan-jalan kota, apabila pintu-pintu ger"bang berhasil dipecahkan.
Namun sebelum fajar menyingsing, ternyata dikedua belah pihak telah terjadi kesibukan. Mereka yang bertugas didapur telah sibuk menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit yang akan turun medan perang.
Demikianlah ketika saatnya tiba, maka pasukan kedua belah pihakpun telah dipersiapkan. Ternyata yang ter"dengar lebih dahulu adalah justru isarat bagi pasukan Pa"jang. Sebelum matahari terbit telah terdengar suara benda yang melengking, mengumandang diseluruh kota. Dengan demikian, maka semua prajurit yang ada didalam kotapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Pasukan yang kuat telah bergerak menuju ke pintu gerbang utama. Sebagian dari mereka telah bersiap-siap diatas dinding. Mereka telah menyediakan anak panah dan lembing yang tidak terhitung jumlahnya.
Sementara itu disetiap pintu gerbang yang lainpun telah bersiap pula prajurit Pajang yang akan memper"tahankan setiap jengkal tanah yang mungkin akan direbut oleh orang-orang Mataram. Namun demikian, beberapa orang diantara mereka ada juga yang bergumam didalam hatinya " Apakah Ki Tumenggung Wiladipa termasuk orang yang demikian pentingnya sehingga kami semua harus siap mati untuk mempertahankannya" "
Namun tidak seorangpun yang berani mengatakannya, kecuali para prajurit dari pasukan berkuda. Itupun mereka bicarakan diantara kawan-kawan mereka sendiri.
Menjelang matahari terbit, seluruh kekuatan pasukan berkudapun telah bersiap. Tetapi mereka masih belum ber"gerak. Mereka masih mempertahankan rahasia mereka dengan bersikap sebagaimana diperintahkan. Bahwa mereka harus tetap berada di barak untuk menunggu perin"tah kemana mereka harus bergerak.
Ketika langit menjadi terang, maka pasukan Mataram-pun mulai bergerak pula. Sebagaimana dilakukan dihari sebelumnya, pasukan Mataram telah memasang semua tan"da kebesarannya. Dengan pertanda dan kelengkapan semua pasukan yang ikut dalam persiapan perebutan kota itu, pasukan Mataram maju mendekati pintu gerbang. Bukan saja pintu gerbang utama, tetapi semua pintu gerbang. Kepungan pasukan Matarampun menyempit dan pasukan itu telah bersusah untuk mengamati setiap jengkal, agar tidak seorangpun dari para prajurit Pajang yang akan dapat melarikan diri keluar dari kepungan.
Setiap orang dikedua pihak menjadi tegang. Senjata-senjatapun telah bergetar ditangan. Sebentar lagi, tanah akan basah oleh darah yang bertumpah.
Diluar pengamatan pasukan Pajang, maka sekelompok prajurit dari pasukan khusus Mataram telah bergeser mem"perkuat kedudukan pasukan Tanah Perdikan yang akan menjadi ujung serangan pasukan Matataram seluruhnya bersama pasukan berkuda yang berada didalam kota.
Demikianlah, ketika matahari kemudian terbit diujung timur, maka isyarat untuk bertempur dari kedua belah pihakpun mulai terdengar. Pasukan dikedua belah pihak pada isyarat yang pertama, telah menempatkan diri ditem-pat yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing. Para pemimpin kelompok meneliti setiap orang didalam pasukannya serta semua kelengkapan yang akan diper"gunakan.
Pada isyarat yang kedua, semua pastikan telah siap un"tuk bertempur. Senjata mereka telah teracu. Setiap busur telah menyandang anak panah yang pertama yang akan dilepaskan segera jika pasukan kedua belah pihak sudah berbenturan.
Dan pada isyarat yang ketiga, maka pasukan Mataram yang telah mempersempit kepungannya itupun mulai melancarkan serangannya. Beberapa orang diantara mereka membawa tangga yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding. Sementara itu, beberapa puluh orang telah mengusung sebatang balok yang besar dan pan"jang. Sedangkan beberapa orang kawannya berusaha melin"dungi mereka dari hujan anak panah yang kemudian melun"cur dari setiap busur prajurit Pajang yang ada diatas pintu gerbang. Lembingpun kemudian dilontarkan pula dengan sepenuh tenaga. Namun beberapa puluh perisai menjadi payung yang rapat diatas kepala orang-orang Mataram.
Pertempuran di gerbang utamapun segera menjadi sengit. Anak panah meluncur dari dua arah. Dari bawah yang dilontarkan oleh selapis prajurit Mataram dan dari atas dinding, yang diluncurkan oleh para prajurit Pajang di"sertai dengan lembing dan bahkan batu sebesar kepalan tangan yang dilontarkan dengan bandil.
Di tempat-tempat lain pertempuran telah terjadi. Tetapi tidak seseru pertempuran yang terjadi di gerbang in"duk. Disatu sisi pasukan Sangkal Putung telah menyerang sebuah pintu gerbang samping. Para pengawal Sangkal Putung telah mengerahkan segenap kemampuannya. Swan-daru sudah mendapat pemberitahuan bahwa dipintu ger"bang yang lain, pasukan berkuda akan membuka dari bagian dalam setelah mereka menembus pasukan Pajang yang bertugas mempertahankan pintu gerbang itu.
Namun ada niat didalam hati Swandaru, meskipun pasukannya tidak mendapat bantuan dari dalam , tetapi ia ingin mendahului pasukan Tanah Perdikan Menoreh mema"suki kota Pajang. Pasukan Sangkal Putung akan menjadi pasukan yang pertama merebut jengkal-jengkal tanah kota Pajang dengan kekuatan sendiri.
Tetapi rencana itu tidak terlalu mudah dilakukan. Pasukan Pajang yang ada diatas pintu gerbang dan dise-belah menyebelah ternyata cukup kuat untuk setiap kali menghalau usaha Swandaru untuk memecahkan pintu ger"bang dengan sepotong kayu gelondong. Meskipun para pengawal dilindungi oleh. berpuluh perisai, namun anak panah dan lembing yang jumlahnya tidak terhitung itu mampu menghambat gerak pasukan pengawal dari Sangkal Putung itu.
Dibagian lain pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang kuat dan diperkuat pula oleh sekelompok prajurit dari pasu"kan khusus telah berjuang pula untuk merebut salah satu dari pintu gerbang kota. Namun usaha merekapun tidak segera dapat berhasil.
Ternyata bahwa pasukan Pajang dan Demak telah berju"ang mati-matian untuk mempertahankan setiap pintu gerbang. Mereka telah memuntahkan anak panah dan lembing tanpa hi"tungan. Para perwira dari Pajang dan Demak mengawasi mere"ka dengan wajah-wajah yang keras. Setiap kali terdengar teri"akan aba-aba dengan suara yang telah menjadi serak.
Para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang diper"kuat oleh sekelompok pasukan khusus telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Dibawah hujan anak panah dan lembing mereka berusaha memecahkan pintu gerbang dengan cara yang hampir selalu dipakai oleh pasukan-pasukan yang berusaha memecahkan pintu gerbang. Mereka membawa balok yang besar dan panjang. Mereka setiap kali mengambil ancang-ancang untuk menyurukkan balok yang besar itu menggempur pintu gerbang.
Namun hal itu tidak mudah dilakukan. Setiap kali usaha itu terhambat karena satu dua orang menjadi terluka oleh anak pa"nah dan lembing lawan. Satu dua orang yang terluka dan terja"tuh diantara mereka, telah membuat ancang-ancang mereka ter"ganggu dan terhenti sama sekali.
Sementara itu, usaha lain untuk memanjat dindingpun te"lah dilakukan Para pengawal telah menyandarkan tangga pada dinding kota. Tetapi para prajurit Pajang dan Demak telah mendorong tangga itu sehingga roboh pada saat-saat beberapa orang prajurit sedang memanjat.
Namun demikian, pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak tinggal diam dalam kegagalan itu. Mereka berusaha terus. Se"lain dilindungi oleh perisai, merekapun dilindungi oleh selapis pasukan yang menyerang para prajurit Pajang dan Demak juga dengan anak panah. Mereka melemparkan anak panah dalam jumlah yang tidak kalah derasnya dengan anak panah yang me"luncur dari atas.
Namun dalam pada itu, ketika matahari mulai memanjat langit, maka pasukan berkuda Pajang yang masih tetap berada didalam baraknyapun telah bersiap sepenuhnya.
Tidak ada yang menaruh kecurigaan sama sekali. Pasukan itu seakan-akan siap menunggu perintah. Agaknya kepintu ger"bang yang pertamakah pecah pasukan itu akan diperbantukan dengan cepat.
Namun ternyata bahwa Panglima pasukan berkuda itu me"ngambil kebijaksanaan lain. Pranawangsa tidak menunggu pe"rintah dari pimpinan tertinggi pasukan Pajang dan Demak yang atas kehendak sendiri telah dipegang oleh Ki Tumenggung Wila"dipa.
Sejenak kemudian, maka perintah Ki Pranawangsapun te"lah jatuh. Pasukan berkuda itu tiba-tiba telah bergerak. Dian"tara para prajurit berkuda itu ternyata terdapat Untara, Sa-bungsari dan Agung Sedayu. Sesaat kemudian, maka pasukan berkuda itu sudah turun kejalan. Derap kaki kudanya bagaikan meruntuhkan dinding-dinding halaman disebelah-menyebelah jalan yang dilaluinya.
Sementara itu, orang-orang yang tinggal didalam lingku"ngan dinding kota telah dicengkam oleh perasaan ngeri karena mereka menyadari bahwa peperangan telah terjadi. Jika pintu gerbang kota pecah pasukan dari Mataram akan menghambur masuk kedalam kota dan pertempuranpun akan terjadi disepan-jang jalan.
Diantara mereka yang dicengkam kegelisahan itu, ternyata telah dikejutkan oleh derap kaki pasukan berkuda yang meng"hambur berlari dijalan utama kota. Satu iring-iringan prajurit yang memberikan kebanggaan dihati mereka. Bahkan seorang diantara mereka yang sempat melihat pasukan berkuda itu le"wat, berkata kepada diri sendiri " Mereka akan menyapu pasu"kan Mataram sampai orang yang terakhir."
Tetapi dugaan orang itu ternyata keliru. Pasukan berkuda itu langsung berderap menuju kepintu gerbang samping.
Dua perwira penghubung yang melihat pasukan berkuda itu lewat, menjadi berdebar-debar. Mereka belum mendengar perintah untuk menggerakkan pasukan berkuda itu. Namun de"mikian mereka merasa ragu. Mungkin perintah itu datang lewat perwira penghubung yang lain karena keadaan menjadi gawat.
Karena itu maka kedua orang perwira itupun telah memacu kudanya pula menuju kepusat pimpinan dan pengendalian pasu"kan-pasukan Pajang dan Demak. Keduanya langsung menanya"kan apakah memang sudah ada perintah kepada pasukan berku"da untuk bergerak.
" Perintah apa" " Ki Tumenggung Wiladipa yang masih berada di tempat itu menjadi tegang.
" Kami justru bertanya kemari " sahut salah seorang per"wira itu.
Ketegangan telah mencekam para perwira dan pimpinan prajurit Pajang dan Demak. Namun Ki Tumenggung ternyata telah bergerak dengan cepat. Diperintahkannya para perwira yang yakin dipercayainya untuk segera meninggalkan tempat itu menuju ke pintu-pintu gerbang. Sedangkan Ki Wiladipa sendiri akan melihat pintu gerbang searah dengan tujuan pasukan ber"kuda itu.
Sejenak kemudian para perwira itupun telah menghambur kedalam tugas masing-masing, selain dua perwira yang tinggal bersama sekelompok pengawal dan beberapa orang penghubung berkuda.
Sementara itu, maka para perwira itupun segera mencapai pemusatan-pemusatan pasukan yang terdapat dipintu-pintu ger bang. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Pasukan Pa"jang dan Demak masih bertempur dengan gigihnya. Sementara itu pasukan yang kuat bersiap dibalik pintu gerbang. Jika pintu gerbang benar-benar pecah maka mereka tidak akan menunggu pasukan Mataram memasuki pintu gerbang. Tetapi merekalah yang akan mendesak keluar dan bertempur diluar dinding. Bu"dak-budak dan hamba sahaya yang dianggap tidak berharga te"lah dipersenjatainya pula. Mereka mendapat petunjuk ringkas dan janji-janji. Namun diantara pasukan Pajang dan Demak itu terdapat kelompok-kelompok yang mendebarkan jantung. Mereka adalah penjahat-penjahat, perampok, bajak laut dan pe-nyamun-penyamun yang ikut dalam pasukan itu.
Namun dalam pada itu, di pintu gerbang yang menjadi tujuan Ki Tumenggung Wiladipa telah terjadi kekacauan. Ketika para prajurit Pajang dan Demak sedang dengan gigih mempertahankan pintu gerang itu dari sebuah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi bagian dari pasukan Mataram, mereka telah melihat pasukan berkuda yang datang kearah mereka.
Pasukan yang bersiap-siap dibelakang pintu gerbang menyambut pasukan itu dengan gembira, karena mereka berharap bahwa pasukan berkuda itu akan memperkuat kedudukan mereka jika pintu itu benar-benar mampu dipe"cahkan oleh pasukan Mataram.
Tetapi ternyata sikap pasukan berkuda itu berlawanan dengan harapan mereka. Ketika pasukan berkuda itu mendekati pintu gerbang, maka merekapun telah berpen"car.
Ki Pranawangsa, Senapati yang memimpin pasukan berkuda itu tiba-tiba saja telah memberikan perintah kepada pasukan Pajang dan Demak untuk menyerah dan melepaskan senjata mereka.
" Apa arti perintah ini" " bertanya perwira yang me"mimpin pasukan Pajang dan Demak di pintu gerbang itu.
" Kalian harus menyerah dan membuka pintu gerbang itu " perintah Ki Pranawangsa.
" Menyerah kepada siapa" " bertanya perwira itu.
" Menyerah kepada kami, karena kami merupakan bagian dari pasukan Mataram " jawab Ki Pranawangsa.
" Pengkhianat " geram perwira itu " jadi kalian telah berkhianat dan berpihak kepada Mataram" "
" Kami tidak berkhianat " jawab Pranawangsa " kami adalah pasukan yang justru berusaha untuk menem"patkan Pajang pada keadaan yang seharusnya. Pajang merupakan bagian dari Mataram. Sekarang Pajang yang berada dibawah pengaruh Ki Tumenggung Wiladipa telah memberontak melawan Mataram. "
" Persetan " teriak perwira itu " hancurkan pasukan berkuda yang berkhianat itu. "
" Kami berusaha untuk tegak pada kebenaran " Ki Pranawangsa berteriak pula " kami tidak mau dijadikan korban pengkhianatan Tumenggung Wiladipa. Nyawanya tidak lebih berharga dari nyawa kami sehingga kami tidak mau dijadikan tebusan dan mati tanpa arti. "
" Lalu kalian mau mati sebagai apa" " bertanya per"wira yang marah itu.
" Kami ingin mati sebagai prajurit yang setia kepada kedudukannya, karena, Pajang merupakan bagian dari Mataram " jawab Pranawangsa.
Perwira itu tidak bertanya lebih lanjut. Sekali lagi ia meneriakkan perintah kepada para prajurit Pajang dan Demak yang bersiap-siap dibelakang pintu gerbang.
Dengan demikian maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara pasukan yang mempertahankan pintu gerbang itu melawan pasukan berkuda yang kuat. Per"tempuran yang segera menjadi pertempuran yang sengit.
Namun dengan demikian, maka pasukan Pajang dan Demak itu telah melawan dua kekuatan yang besar yang berada diluar dan didalam arah pintu gerbang. Karena itu, maka kekuatan mereka seakan-akan telah terbagi.
Sementara itu, Ki Tumenggung Wiladipa dengan dua orang pengawal telah sampai ketempat itu. Dengan jantung yang hampir meledak ia melihat satu kenyataan, bahwa pasukan berkuda Pajang telah berkhianat kepadanya.
Dengan demikian maka dengan suara gemetar ia telah memerintahkan pengawalnya untuk langsung menuju ke barak pasukan cadangan.
" Perintahkan atas namaku, agar mereka dengan cepat menuju kemari " perintahnya.
Seorang dari kedua pengawalnya telah berpacu menuju ke barak pasukan cadangan yang dipersiapkan seba"gaimana pasukan berkuda yang dapat ditarik kesegala arah. Dengan sangat tergesa-agesa pengawal itu telah menyampaikan perintah Ki Tumenggung Wiladipa untuk segera menggerakkan pasukan cadangan.
Pasukan cadangan itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang sigap. Karena itu, maka dengan cepat mereka menyiapkan diri dan dalam kesatuan yang utuh mereka ber"lari menuju kepintu gerbang yang dimaksud.
Sementara itu Ki Tumenggung Wiladipa masih belum melibatkan diri. Ia masih berusaha untuk memelihara jarak dengan pertempuran.
Namun pasukan berkuda itu berusaha dengan cepat menembus pertahanan pasukan Pajang dan Demak. Mereka berusaha untuk mencapai pintu gerbang dan meng"angkat selaraknya yang besar dan berat untuk mem"bukanya.
Tetapi orang-orang Pajang dan Demak memper"tahankan pintu gerbang itu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Mereka tidak lagi mengingat untuk apa mereka bertempur. Sebagai seorang prajurit Pajang dan Demak mereka mempunyai naluri untuk memper"tahankannya.
Ki Tumenggung Wiladipa masih berusaha untuk me"nunggu pasukan cadangan yang dengan cepat bergerak. Tetapi ketika keadaan menjadi semakin mendesak maka Ki Tumenggung Wiladipa tidak dapat berpangku tangan. Dengan diam-diam ia berusaha mendekati arena dan dengan tidak menyatakan dirinya sebagai seorang yang memegang perintah seluruh pasukan Pajang dan Demak, maka ia menyelinap kemedan bersama seorang pengawal"nya.
Dengan garangnya Ki Tumenggung Wiladipa telah menyapu setiap prajurit berkuda yang mendekatinya. Kemampuannya ternyata sangat mengagumkan. Meskipun tidak seorangpun diantara prajurit dari pasukan berkuda yang ragu-ragu, namun kehadiran seorang yang tidak ter"lalu banyak dikenal itu, telah menggetarkan pasukan itu.
Tetapi ternyata di bagian lain dari pertempuran itu. dari antara para prajurit dari pasukan berkuda itupun bebe"rapa orang telah bertempur dengan kemampuan yang tidak tertahankan. Kemampuannya yang luar biasa telah mem"bawanya mendesak dan menerobos pasukan yang sedang bertahan mati-matian.
Sekelompok kecil prajurit berkuda telah berusaha mematahkan setiap penghambatnya untuk dapat mencapai pintu gerbang. Dengan kemampuan ilmunya, maka setapak demi setapak jarak itu akan dapat dijangkaunya.
Namun dalam pada itu, telah terdengar sorak yang bagaikan merobohkan gerbang. Pasukan cadangan yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wiladipa ternyata telah datang.
Perwira dari pasukan cadangan yang memimpin pasukan itupun segera meneriakkan aba-aba. Pasukan cadangan itu diperintahkannya untuk menghancurkan pasukan berkuda yang telah berkhianat.
" Kita harus cepat mencapai pintu gerbang itu jika pasukan ini tidak ingin dihancurkan disini " berkata Ki Pranawangsa.
Seruling Kematian 1 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Imbauan Pendekar 7
^