Pencarian

Seruling Kematian 1

Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian Bagian 1


SERULING KEMATIAN Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Seruling Kematian
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.0191.50.12
1 PENDEKAR Maha Pedang tersentak ke belakang, ka-
rena kaki kiri Ludiro menendangnya dengan tendangan
samping tanpa melompat. Sekali pun sedikit terhuyung-huyung, namun Pendekar Maha
Pedang berhasil me-
nangkis pukulan Ludiro berikutnya. Tangan kanan Lu-
diro menyusul ke arah wajah Pendekar Maha Pedang.
Genggaman tangan itu ditangkap oleh telapak tangan
Pendekar Maha Pedang. Kuat dan kokoh, sehingga Lu-
diro sukar menarik tangannya kembali.
"Jangan memusuhi aku, Paman Ludiro. Nanti salah satu dari kita ada yang celaka."
"Sebab itu, kau jangan menentang aku, Ekayana.
Kalau kau masih menentangku, kau sendiri yang akan
celaka di tanganku. Hiiaat...!" Ludiro segera mengibaskan kakinya dalam
tendangan memutar. Tangan
Ekayana yang menangkap genggaman tangan Ludiro
terlepas karena bergerak ke kiri untuk menangkis tendangan putar itu. Begitu
kaki Ludiro yang kiri membentur lengan Pendekar Maha Pedang, kaki kanannya sege-
ra memutar ke kanan dan mengenai pundak lawan.
Ekayana, atau Pendekar Maha Pedang terlempar ke
samping. Tubuhnya membentur pohon dan nyaris me-
nerjang Yin Yin yang berdiri dengan cemas di samping pohon tersebut.
Ludiro berhenti menyerang. Mengatur pernafasan,
membiarkan Ekayana berdiri tegak memandang Mahani
yang ada di belakang Ludiro.
"Ekayana...! Sekali lagi ku tegaskan, atas perintah Pendekar Pusar Bumi, kakakmu
itu, nona Yin Yin, ke-kasihmu, harus diserahkan kembali kepada ayahnya,
Laksamana Chou, sebagai penukaran Cambuk Naga
yang dicurinya!"
"Tidak!" seru Yin Yin seraya memegangi lengan Ekayana. "Aku tidak mau kembali
kepada ayahku! Aku tidak mau!"
"Sabar, Yin Yin. Tenang saja...." bisik Ekayana.
"Ini perintah dari kakakmu, Ekayana!" kata Ludiro.
"Perintah itu sangat berat, Paman. Aku mencintai Yin Yin, dan Yin Yin pun tak
bisa dipisahkan dari diriku...."
"Tapi, Laksamana Chou membabi buta akibat anak-
nya kau larikan, Ekayana. Cambuk Naga dicurinya se-
bagai sandera."
"Itu tidak ada hubungannya dengan kami, Paman,"
bantah Ekayana yang mempunyai wajah serta potongan
tubuh sama persis dengan Lanangseta, si Pendekar Pu-
sar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti.
"Bagaimana bisa kau katakan tidak ada hubungan-
nya dengan kalian" Bukankah kemarahan Laksamana
Chou itu akibat perbuatanmu; melarikan anak gadisnya sampai sekarang" Dan dia
ingin anak gadisnya kau
kembalikan, Eka. Jika Yin Yin tidak dikembalikan ke-
pada ayahnya, maka Cambuk Naga warisan bekas ke-
kasih Lanangseta itu tidak akan kembali di tanganku.
Dan... terus terang saja, Eka... bahwa Cambuk Naga
merupakan pusaka dalam tanggung-jawabku dan La-
nangseta. Jadi, Lanang pun merasa bertanggung-jawab
jika sampai Cambuk Naga hilang dan dikuasai orang
lain. Sebab itu, pulangkan Yin Yin pada orang tuanya, Ekayana. Jangan memaksa
Lanangseta marah kepadamu. Justru ia memerintahkan agar kamu juga ikut be-
rupaya merebut kembali Cambuk Naga dari tangan
Laksamana Chou...!"
"Kalau aku mempertahankan Yin Yin, bagaimana?"
kata Ekayana sambil merangkul Yin Yin, menampakkan
kesetiaannya. "Aku berhak memaksamu, Ekayana. Dan mungkin
juga kakakmu, Lanangseta itu, akan datang mengha-
jarmu." Yin Yin menyahut: "Biarkan dia datang! Biarkan Lanangseta menemui kami. Aku
ingin tahu seberapa tinggi ilmunya itu" Apakah ia bisa menandingi Ekayana, ka-
sihku ini" Huhh...! Dia belum tahu kesaktian Ekayana yang baru! Bisa-bisa ia
akan lari terbirit-birit kalau Ekayana sudah menggunakan jurus pemberianku,
jurus Pukulan Tangan Setan...! Hemm...!" Yin Yin menci-bir. Pada saat itu,
Mahani menggeram, merasa benci
mendengar kata-kata Yin Yin yang sombong, apalagi
bersifat mengecilkan dan meremehkan Lanangseta,
uuh... Mahani menjadi benci sekali. Ia meludah terang-terangan seraya memandang
sinis kepada Yin Yin. Ga-
dis Cina itu melototkan matanya, menahan kemarahan
kepada Mahani. Ludiro segera berkata kepada Ekayana, "Ekayana, jangan salahkan aku kalau kau
sampai terluka oleh
tanganku, jika Yin Yin tidak kau kembalikan kepada
Laksamana Chou!"
"Paman, demi cinta, aku akan mempertahankan Yin Yin dari tangan siapa pun yang
akan merebutnya...!"
"Baiklah...." Ludiro memasang kuda-kuda dengan meregangkan kaki dan merendahkan
badan, tangan kanannya mengepal di depan pelipisnya dan tangan kiri berada terjulur ke depan,
siap memukul. "Akan kulumpuhkan kau, Ekayana, supaya kau tahu betapa pentingnya Cambuk Naga
bagiku dan bagi Lanangseta!"
"Dan akan ku pertahankan Yin Yin supaya Paman dan Lanang tahu bahwa aku sangat
mencintainya...!"
ujar Ekayana seraya bersiap menghadapi serangan Lu-
diro. Ludiro berlari menerjang Ekayana, "Ciaaaaat...!"
Ekayana menangkis pukulan tangan kanan Ludiro
dengan kibasan tangan kirinya ke samping, lalu tangan
kanannya ganti menangkis pukulan Ludiro berikutnya.
Agaknya Ludiro mempercepat gerakan tangannya untuk
menyerang, dan Ekayana dengan tenang bagai tanpa
emosi marah dapat menangkis setiap pukulan Ludiro
secepat apa pun.
"Huup... huup...! Heeahh...!"
"Uuh...! Hiaaat...! Hiiiat...! Mampus kau, Ekayana!"
Sukar sekali bagi Ludiro untuk menghantam dada, pe-
rut maupun wajah Ekayana. Gerakan tangan Ekayana
dalam mengimbangi pukulan Ludiro sungguh cepat.
Keduanya seakan sedang mengadu kekuatan tangan
dan lengan mereka dengan kecepatan yang tinggi.
Sementara itu, mereka berdua tidak tahu bahwa Yin
Yin yang merasa dongkol itu mendekati Mahani dengan
pandangan mata sipitnya yang menajam bagai kucing
betina. Mahani mundur beberapa langkah, lalu men-
gambil sebatang kayu berujung runcing. Nafasnya te-
rengah karena dilanda benci.
"Kau memang Babi busuk...!" geram Yin Yin dengan mata mendelik.
"Kau perempuan yang tidak punya kehormatan sama sekali!" balas Mahani. Sekali
pun ia tidak mempunyai ilmu silat, tetapi ia mempunyai keberanian yang bersifat
nekad. Ia bahkan berani meludahi wajah Yin Yin setelah berkata: "Berani
mendekatiku, kuhantam kau dengan kayu ini, Bangkai busuk! Cuuihh...!"
Darah Yin Yin seperti mendidih seketika setelah Ma-
hani terang-terangan meludahi wajahnya. Gaun biru
yang dikenakannya dipakai untuk mengusap ludah
Mahani, dan kini ia menyerang Mahani dengan satu
tendangan kaki kanannya.
Mahani tidak tahu, kapan ia harus menghindar dan
kapan saatnya untuk memukul. Yang ia tahu, begitu
kaki Yin Yin maju menendangnya, ia pun menghantam-
kan kayu sebesar betisnya ke telapak kaki Yin Yin itu.
Namun, Yin Yin mempunyai kekuatan yang terlatih, se-
hingga benturan kaki dengan kayu itu justru membuat
Mahani tersentak mundur. Ia limbung dan hampir ja-
tuh. Yin Yin segera memanfaatkan keadaan itu untuk
memukul wajah Mahani keras-keras.
"Aaauuww...!" Mahani menjerit kesakitan.
"Matilah kau, Betina jalang...! Ciiaaat...!"
Yin Yin menendang payudara Mahani dengan keras.
Mahani menjerit kesakitan, lalu sukar bernafas. Namun ia masih berusaha
memegangi kayu itu untuk menunggu saat yang baik. Tapi sayang, kali ini Yin Yin
menendangnya lebih keras lagi, sampai-sampai ia terpental dan kepalanya
terbentur akar pohon yang besar. Pandangan Mahani menjadi gelap dan berkunang-
kunang. Yin Yin mengangkat sebuah batu besar, dan hendak
menjatuhkan ke kepala Mahani, tapi Mahani mempu-
nyai sedikit kesadaran. Ia menghantamkan kayunya ke
lutut Yin Yin. "Aaauuhh...!" Yin Yin mengaduh, dan batunya terlepas menjatuhi dada Mahani
sehingga Mahani pun men-
delik seketika. Nafasnya sukar dihela. Tubuhnya berkelojot, mulut ternganga
tanpa bisa berkata sedikit pun.
Dengan kegemasan dan kemarahan yang makin me-
luap, Yin Yin menginjak leher Mahani sekuat-kuatnya.
Sangat kuat, sehingga tubuh Mahani pun terkulai le-
mas dengan lidah terjulur ke luar bercampur darah segar dari mulutnya.
Ekayana dan Ludiro tidak tahu apa yang dilakukan
Mahani dan Yin Yin. Mereka sibuk bertarung sendiri.
Ekayana repot menangkis dan bertahan dari serangan
Ludiro. Ia memang sejak tadi hanya bertahan, belum
memberikan serangan balasan. Sedangkan Ludiro,
sempat merasa heran, karena sejak tadi hanya bebera-
pa kali saja ia berhasil memukul dan menendang
Ekayana. Itu pun tendangan dan pukulan yang boleh
dikata tidak berarti. Pendekar Maha Pedang ini memang cukup ulet. Ludiro
mengakuinya. Namun demikian ia
tetap berusaha menyerang dan menyerang terus sampai
suatu saat nanti Ekayana merasa terpojok dan menye-
rahkan Yin Yin sebagai alat penebus Cambuk Naga. Ta-
pi sampai kapan Ludiro harus menunggu dan mencari
kesempatan itu"
Sedangkan jauh di seberang sana dari tempat mere-
ka bertarung, ada sepasang insan yang asyik melaku-
kan pembicaraan dalam kemesraan. Sepasang insan itu
adalah Indra Mada dengan Nyai Katri.
Seperti telah dikisahkan dalam cerita sebelumnya
(ISTANA LANGIT PERAK), bahwa Nyai Katri, Penguasa
Pulau Kramat itu telah kehilangan seluruh kesaktian-
nya bersama Andini, karena mereka terbius oleh ilmu
Asmara Pasak Dewa yang dimiliki Jaka Bego. Kedua pe-
rempuan sakti berilmu tinggi itu telah menjadi perempuan biasa tanpa tenaga
dalam dan ilmu silat sedikit pun, semenjak mereka melakukan hubungan badan
dengan Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Namun
sebenarnya Jaka Bego adalah putra dewa. Ia mengaku
bernama Indra Mada, mempunyai jabatan sebagai Dewa
Seribu Mimpi. Jaka Bego yang kurus kerempeng dan
dekil itu telah merubah diri sejak ia diberi minuman madu dan ramuan khusus dari
Nyai Katri. Maksudnya
hanya untuk mengembalikan tenaga dan kejantanan
Jaka Bego, sebab sejak saat itu Nyai Katri dan Andini syarafnya telah bernaluri
birahi tiada henti. Itu pun ju-ga akibat ilmu Pasak Dewa dari Jaka Bego. Dan
ketika Jaka Bego telah berubah menjadi pemuda tampan, kekar dan berkulit bersih
lembut itu, maka Nyai Katri pun semakin terpikat. Dan akhirnya ia membujuk agar
Indra Mada mau mengembalikan kekuatan Nyai seperti
dulu. Nyai Katri menjanjikan suatu hadiah yang luar
biasa jika Indra Mada mau mengembalikan kesaktian
dan kekuatan Nyai seperti semula. Hadiah tersebut adalah setumpuk harta karun
hasil bajakannya dulu, di
mana ketika itu Nyai Katri menjadi ratu bajak laut yang paling ditakuti. Harta
karun yang berlimpah-limpah dan menjadi incaran Laksamana Chou tersebut berada
di sebuah tempat yang bernama Istana Langit Perak.
Indra Mada ingin membuktikan Istana Langit Perak
beserta timbunan harta karunnya. Sebab itu, Nyai Katri pun membawa Indra Mada ke
suatu tempat, jauh di kedalaman air laut, di sebuah goa yang ternyata dalamnya
berisi sebuah bangunan raksasa terbuat dari emas,
permata dan logam berharga lainnya. Langit-langit
atapnya terbuat dari lempengan perak berhiaskan batu-batu jamrud maupun topaz.
Pada waktu itu sebenarnya mereka dikejar oleh La-
nangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bermaksud mem-
bebaskan Jaka Bego dari tawanan Nyai Katri. Lanangse-ta belum mengetahui bahwa
Jaka Bego telah berubah
menjadi diri sebenarnya, yaitu Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi. Tetapi dalam
pengejaran di kedalaman air itu, Lanangseta tertinggal oleh mereka, sehingga
Indra Mada dan Nyai Katri dapat masuk ke dalam goa dan bersembunyi di dalam
Istana Langit Perak yang berlimpah
emas permata di dalamnya.
Untuk mengembalikan kesaktian Nyai Katri yang su-
dah terlanjur diserap oleh kekuatan ilmu Asmara Pasak Dewa, ia harus melakukan
Semadi Serap bersama Jaka
Bego atau yang telah merubah diri menjadi Indra Mada itu. Semadi Serap adalah
suatu kegiatan bertapa yang unik. Dalam bertapa itu, Nyai Katri harus mau mera-
patkan badannya ke tubuh Indra Mada dalam keadaan
berhubungan tanpa gerak. Hal itu, dikatakan oleh Indra Mada, harus dilakukan
selama 40 hari. Nyai Katri sanggup, bahkan kegirangan, sebab naluri sexnya sudah
ter- lanjur meracuni jiwa. Tetapi Indra Mada sendiri mem-
punyai pertimbangan lain.
"Waktu empat puluh hari cukup lama, Nyai...."
"Tapi apa. Aku sanggup, sekali pun harus melakukannya selama seratus hari,"
ujarnya seraya tersenyum-senyum dengan tangan mulai meraba ke daerah terten-
tu pada tubuh Indra Mada.
"Aku yang tak sanggup selama itu," ujar Indra Mada.
"Kau tak sanggup" Ah, bohong!"
"Aku perlu waktu. Aku harus segera menemui La-
nangseta dam menanyakan di mana ayahku, Dewa Bi-
rawa Mada. Sebab seperti yang pernah kukatakan, aku
mencium bau darah Dewa jika berdekatan dengannya."
Nyai Katri berwajah sendu, "Jadi kau tidak akan melakukannya, Jaka?"
"Aku harus mempertimbangkan lebih masak lagi,
Nyai...." kata Indra Mada yang masih dipanggil Jaka oleh Nyai Katri.
Indra Mada melangkah menyusuri ruangan berlantai


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emas batangan, mendekati tumpukan harta perhiasan
yang ada di salah satu kamar. Perhiasan itu menggu-
nung, hampir menyentuh langit-langit kamar. Menyi-
laukan sekali. Nyai Katri, yang bertubuh sekal, tidak gemuk namun
padat dan menggiurkan itu masih saja mengikuti ke
mana Indra Mada berjalan. Nyai Katri yang bergaun tipis sekali itu seakan tak
ingin berpisah dengan Indra Mada. Sebab dalam diri Indra Mada itulah ia
menemukan puncak kebahagiaan yang luar biasa dan mem-
buatnya terbius dalam birahi menggila. Saat ini ia sedikit cemas, takut kalau-
kalau Indra Mada tidak mau
membantunya melakukan Semadi Serap.
"Jaka... aku ingin sekali menjadi orang seperti dulu, sebelum kesaktianku dan
kekuatanku kau serap dengan ilmu Pasak Dewa mu. Tolonglah, Jaka. Bukankah
aku sudah berjanji untuk memberikan semua harta
yang ada di sini, jika kau mau mengembalikan ilmu dan kekuatanku itu" Aku
berkata dengan sungguh, Jaka.
Aku tidak bohong!"
Indra Mada tersenyum. Wajahnya yang tampan den-
gan rambut ikal bergelombang dan mata kebiru-biruan
itu membuat Nyai Katri sesekali mengecup lengan, atau punggung atau apa saja
yang ada pada tubuh lelaki
menawan itu. Tetapi Indra Mada seperti sedang mem-
permainkan asmara Nyai Katri. Ia tetap tenang, meneliti beberapa perhiasan,
kalung, gelang, mahkota, kancing emas dan lain sebagainya yang tertumpuk di
beberapa kamar. Sepatu dan piring emas pun ada.
"Sangat mengagumkan barang-barang ini," kata Indra Mada seraya mengambil
beberapa batang dan di-
amatinya. "Ini kukumpulkan beberapa puluh tahun la-
manya...?"
"Hasil suatu bajakan?"
"Hasil beberapa ratus kali bajakan." Nyai setengah meralat kata-kata Indra.
Indra Mada menggumam dan menggeleng pelan.
"Apakah selama ini tak ada orang yang dapat meng-gagalkan perampokan mu, Nyai?"
"Tak satu pun ada yang bisa mengalahkan aku, Ja-ka. Aku punya banyak ilmu dan
kesaktianku pun tiada
taranya. Maka dengan mudah ku bantai mereka untuk
kuambil hartanya, lalu kusimpan di sini. Suatu persia-pan untuk membangun negara
yang kokoh dari keturu-
nan ku yang akan berujud manusia luar biasa nan-
tinya." Nyai Katri menerangkan apa adanya.
Indra Mada memandang Nyai yang bergelayutan di
pundak dan sesekali mengecup pundaknya.
"Satu kebrutalan yang kejam, Nyai. Apakah selama ini kau tidak menyadari bahwa
tindakanmu itu lebih
dari pada kebengisan iblis?"
Indra Mada semakin sendu dan murung. Indra Mada
membiarkan Nyai tidak menjawab. Ia berjalan ke kamar yang lain dan Nyai masih
menempel di lengannya terus kendati ada perasaan tak senang mendapat kecaman
seperti itu. "Berapa juta nyawa yang melayang ditikam keke-
jianmu" Berapa banyak darah yang membanjir dari ge-
rakan tanganmu" Dan berapa ratus ribu anak yang ter-
lantar karena orang tuanya mati oleh kekejamanmu,
Nyai?" "Jaka... sudahlah, itu masa lalu ku."
"Ya. Itu memang masa lalu mu, Nyai. Tetapi maukah kau merenungkan bagaimana jika
turunan mereka saat
ini datang kepadamu dan menuntut atas kematian ke-
luarganya?"
"Satu dari mereka sudah cukup untuk membunuhku
saat ini. Tak perlu semua. Kuakui, aku sudah menjadi sampah di bumi ini. Dan,
aku berjanji akan memper-baiki hidupku yang selama ini sesat jika ilmuku yang
hilang kudapatkan lagi...." ucapan itu lirih, namun membuat Indra berpaling
memandang dengan serius.
"Kau punya niat begitu"!" Indra sangsi dalam kekage-tannya. Nyai Katri
mengangguk, bagai sedang dihunjam selaksa penyesalan yang amat dalam.
"Kehadiranmu membuat hati sanubari ku berkata, bahwa ternyata masih ada orang
yang lebih tinggi ilmunya dari ilmu yang kumiliki. Bahwa di dunia ini tidak ada
orang yang mempunyai kekuatan paling un-
ggul. Dari yang paling unggul, ternyata ada yang te-
runggul lagi. Dari yang terunggul, toh masih ada yang paling terunggul dan
begitu seterusnya. Selama ini aku belum pernah berpikir begitu, Jaka. Sehingga,
aku percaya, bahwa aku akan bisa berjalan dengan lurus, tan-pa tersesat,
sekalipun aku mempunyai kesaktian seperti
dulu." "Kenapa kau berpendapat begitu?"
"Karena... karena kau akan mampu menuntun ku,
bukan?" Indra Mada menghela nafas. "Apakah kau yakin aku akan selalu dekat denganmu?"
"Apakah kau akan meninggalkan aku?"
"Aku dewa. Tempatku bukan di sini, di Suralaya."
"Dan kau akan kembali lagi ke sana tanpa memba-
waku serta, Jaka" Kau tega meninggalkan aku di sini?"
Nyai Katri memandangnya. Mata yang bulat bening itu
bagai menyerukan keluhan serta ratapan hati Nyai yang memilukan. Hati Nyai Katri
terharu. "Nyai.... Kalau toh aku harus mendampingimu, aku tak bisa hadir di setiap saat.
Setelah aku menemukan ayahku, aku harus kembali ke Suralaya sebagai Dewa
Pengatur Mimpi."
"Dan kau bisa hadir dalam mimpi ku setiap malam, bukan?"
Indra Mada tersenyum.
"Kau bisa, kan?" desak Nyai.
"Hadir dalam mimpi, itu suatu pekerjaan yang mudah, Nyai. Tetapi kau akan bosan
jika aku harus hadir dalam mimpi terus-menerus."
"Jadi, bagaimana kalau aku rindu" Dan bagaimana kalau kau merindukan aku?"
"Kau bisa tanyakan kepada rembulan...."
"Kepada rembulan..."!"
Jaka Bego yang sudah ganteng itu mengangguk. Se-
nyumnya mekar bersama tatapan mata kebiruan yang
teduh itu. "Mungkin aku akan datang selama tujuh hari menjelang dan sesudah bulan purnama
tiba. Di sana rindu
kita dapat terpadu dengan tuntas, Nyai."
"Oh... Jaka...." Nyai Katri memeluk Indra Mada, me-
nyusupkan wajahnya ke dada Indra Mada. Keringat de-
wa itu sungguh menyebarkan aroma harum yang khas,
yang tak ada di bumi ini dari sekian banyak bunga.
Aroma itu sungguh melenakan sukma dan membang-
kitkan gairah seorang wanita. Itulah yang membuat
Nyai Katri sangat tergila-gila kepada, Indra Mada.
"Di ujung bibirmu, aku tunduk kepada semua perin-tahmu, Jaka. Sekali pun aku
mempunyai ilmu tinggi la-gi, percuma saja aku melakukan kekejian seperti yang
sudah-sudah, toh engkau dapat menundukkan aku
dengan senyum dan pagutan bibirmu. Percayalah, Ja-
ka.... Aku hanya ingin memiliki kekuatanku yang dulu, dan setelah itu aku akan
tunduk di bawah telapak ka-kimu. Aku hanya butuh perisai untuk hidupku, agar
tak sembarang lelaki bisa menjamah ku, kecuali kau,
Jaka...." Indra Mada tertawa pendek tanpa suara. Ia mencium
rambut Nyai Katri yang tergerai lepas sepanjang pantat.
"Kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu...." kata Indra Mada.
"Melakukan apa?"
"Menolongmu menjalankan Semadi Serap. Tapi tidak selama empat puluh hari, karena
itu sangat menyita
waktu bagiku."
"Jadi..."!"
"Cukup tiga hari."
"Tiga hari"!" Nyai Katri terpekik girang.
"Tapi tubuh kita berdua harus terkubur dalam tanah sambil melakukan...
melakukan...."
"Aku tahu... aku tahu...!" Nyai tak sabar dan hatinya sudah dikuasai kegembiraan
yang meluap-luap.
"Tapi dari mana kau akan bisa bernapas selama tiga hari jika tubuhku terkubur
dalam pelukan tubuhmu?"
"Hiruplah udara dari dalam mulutku. Jadi, mau tak mau selama itu mulut kita pun
harus tetap saling mele-
kat supaya kau dapat menghirup dan bernafas...."
"Oohh.... Jaka, aku senang sekali...! Senang sekali...!
Ini suatu semadi yang sangat aneh dan... aku akan betah melakukannya...! Ooh...
oh...!" Nyai Katri memeluk dan menciumi Jaka Bego di depan tumpukan harta karun
itu. "Tunggu, tunggu...." Indra Mada menepiskan Nyai.
Matanya memandang salah satu benda yang ada di an-
tara tumpukan perhiasan harta karun lainnya. Nyai Katri heran. Ia membiarkan
Indra Mada memungut sesua-
tu dari tumpukan perhiasan itu. Oh, ternyata sebuah
seruling. Indra Mada memperhatikan seruling emas berhias
batu merah delima pada bagian ujung atasnya. Nyai ju-ga ikut memperhatikannya
dengan perasaan heran. Se-
ruling itu sedikit besar, terbuat dari emas yang berukir gambar naga melilit.
Kepala naga berada tepat di lobang suling yang dipakai untuk meniup.
"Kau menyimpan benda ini juga rupanya?" kata Indra Mada.
"Semua harta rampokan dan bajakan memang ada di sini semua, Jaka. Kenapa sih?"
"Kau tahu ini apa?"
"Seruling emas?" jawab Nyai dengan polos.
"Iya. Tapi ini sebuah pusaka, Nyai."
"Pusaka..."!"
"Ini pasti milik seorang biksu dari daerah Tiongkok.
Hanya dia yang memiliki Seruling Surga, sebab hanya
dia satu-satunya biksu yang berhasil mencapai nirwana dan bisa hidup di alam
Suralaya."
"Ooh...?" Nyai Katri tak berkedip memandangi suling tersebut. "Dulu aku memang
sering merampok kapal Tiongkok, dan... dan aku pernah membunuh seorang
biksu yang tak pernah melawan jika diapa-apakan.
Bahkan ketika ia kubunuh pun ia tidak melakukan per-
lawanan apa-apa."
Indra Mada mengangguk-angguk. "Dan semua ba-
rang dari kapal itu kau angkut ke mari?"
"Ya. Tapi... tapi aku tidak tahu kalau ada seruling ini, Jaka. Dan... dan
sebenarnya apa kehebatan seruling ini...?"
"Namanya, Seruling Surga. Ia dapat membunuh la-
wan yang sedang kita hadapi jika ditiup sekali pun tanpa irama."
"Dapat membunuh...?" gumam Nyai Katri bagai berbisik pada dirinya sendiri.
"Kekuatan ilmu apa pun dapat ditembus dengan suara seruling ini. Dan... tubuh
lawan yang mendengarnya akan menjadi pecah berkeping-keping...."
"Setiap orang yang mendengarnya?"
"Bukan. Tapi hanya orang yang kita tuju dalam batin kita saja. Tahukah kau,
bahwa Seruling Surga ini dapat menuruti kehendak batin kita, asal mata kita
melihat lawan yang kita tuju. Dan... ini sangat berbahaya jika sampai jatuh ke
tangan orang yang tidak bertanggung-jawab."
"Kalau begitu, kita simpan saja selama kita melakukan Semadi Serap dalam kubur.
Jangan ditinggal di si-ni. Aku takut Lanangseta menemukan tempat ini dan
mengambil seruling ini. Sebaiknya, mari kita kembali ke Pulau Kramat, dan
meminta bantuan Andini untuk
menguburkan kita selama semadi, dan dia juga yang
membongkar kuburan kita selama tiga hari nanti...."
Indra Mada masih memandangi seruling itu. Ia bagai
sedang mengamati keindahan seruling tersebut yang
sungguh mengagumkan, di mana sisik pada gambar
naga itu terbuat dari lapisan-lapisan batu pirus yang tipis sekali. Memang indah
dipandang dan sangat men-
gagumkan. Ketika mereka kembali naik ke darat, di Pulau Kra-
mat Andini pun terkagum-kagum melihat bentuk Serul-
ing Surga. Memang sebelumnya Andini sempat mengge-
rutu dan ngomel-ngomel karena ia merasa ditinggal
pergi secara diam-diam oleh Indra Mada dan Nyai Katri, sebab sewaktu Indra pergi
dengan Nyai, Andini masih
tertidur pulas. Tapi untunglah sikap manjanya itu dapat terhibur dengan berita
pemulihan ilmu yang akan diperoleh Nyai Katri dengan melakukan Semadi Serap itu.
"Ah, aku pun mau kalau begitu!" kata Andini.
"Itu soal nanti, Andini. Itu gampang," kata Nyai. "Ta-pi, yang penting sekarang,
bantulah kami. Kuburkan
kami dan bongkarlah kuburan kami setelah tiga hari."
"Tapi berjanjilah bahwa kalian juga akan membantuku untuk memperoleh ilmuku yang
telah hilang itu," ka-ta Andini.
"Bagaimana, Jaka" Andini meminta imbalan."
Jawab Indra Mada, "Asal kau menggunakan ilmumu
untuk kebaikan, aku tak akan keberatan. Kau pun
akan kukembalikan kekuatanmu, Andini. Tapi janji, untuk kebaikan!"
*** 2 KALAU saja Lanangseta mengetahui bahwa Nyai Ka-
tri sudah berada di darat, sudah tentu ia akan menyerang Nyai Katri, musuh
lamanya. Tetapi, agaknya La-
nangseta mengalami hal lain di dalam air, terutama sejak ia kehilangan jejak
dalam pengejaran Nyai Katri. Lanangseta yang bisa tahan berada di dalam air
tanpa bernapas beberapa lama itu, menjadi kebingungan keti-ka Nyai dan Indra Mada
menghilang dari balik tikungan karang-karang tajam. Gerakannya menjadi lambat
dan hati-hati, sebab dikhawatirkan musuhnya bersembunyi
di suatu sela karang, dan akan menyerangnya secara
tiba-tiba. Tapi sampai beberapa lama ia bolak-balik, tak ada
bayangan Nyai Katri dan Indra Mada, yang dianggap
oleh Lanang sebagai pengawal Nyai Katri. Kalau saja
Lanangseta mencari terus ke arah menghilangnya Nyai
dan Indra Mada, mungkin ia akan menemukan goa,
tempat Istana Langit Perak berada di dalamnya. Tetapi, agaknya Lanangseta
mempunyai perhatian lain.
Dalam kebeningan air laut, Lanangseta sempat meli-
hat bayangan lain yang sedang berusaha naik ke per-
mukaan air. Lanangseta menjadi sangat tertarik untuk mengejarnya, sebab ia
melihat Cambuk Naga terselip di pinggang orang itu.
"Tak salah lagi," katanya dalam hati. "Benda yang seperti ular itu jelas Cambuk
Naga...! Hemmm, siapa
orang itu, ya" Apakah dia Laksamana Chou" Jika benar dia Laksamana Chou, lantas
apa perlunya ia berada di dalam laut" Apakah ia termasuk salah satu kaki tangan
Nyai Katri?"
Pendekar Pusar Bumi itu memang tidak tahu apa
yang telah terjadi pada diri Nyai Katri. Ia masih mengira bahwa Nyai Katri
mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang mampu berubah menjadi bayangan seperti
saat ia lawan dalam peristiwa Sendang Bangkai dulu. Lanang-
seta belum tahu, bahwa Nyai Katri sudah menjadi pe-


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rempuan cantik yang wajar, yang biasa-biasa saja, tan-pa kekuatan dan ilmu
seperti dulu. Terlepas dari masalah kesaktian Nyai Katri, Lanang-
seta lebih tertarik untuk merebut Cambuk Naga lebih
dulu. Cambuk itu adalah pusaka warisan dari Putri Ayu Sekar Pamikat, bekas
kekasihnya yang telah menjadi
orang suci di dalam Goa Malaikat, di kawasan Bukit
Badai, tempat leluhur Kirana, istri Lanang, berada.
Memang Cambuk Naga bukan diwariskan kepadanya,
melainkan kepada Ludiro, tapi karena tugas Ludiro adalah menjaga Lanang, maka
Lanang pun merasa ber-
tanggung-jawab jika Cambuk Naga jatuh ke tangan
orang lain. Dengan gerakan kaki menjadi cepat, Lanangseta
memburu sosok tubuh yang sedang berusaha keluar
dari kedalaman air laut. Laksamana Chou yang sebe-
narnya sengaja menenggelamkan diri karena ingin
menghilangkan api (sebab waktu itu ia terbakar tubuhnya pada saat bertarung
melawan Indra Mada), ia mera-sa lega karena api yang membakar tubuhnya sudah
berhasil padam. Ia harus segera keluar dari dalam air.
Tapi tiba-tiba ia merasa ada sepasang tangan yang memegangi kakinya dan berusaha
menariknya ke dalam.
Menyadari ia dalam bahaya, Laksamana Chou segera
menjejakkan kaki kirinya yang masih bebas itu ke arah kepala lawannya. Dan
jejakan kaki itu mengakibatkan
Lanangseta terpental beberapa hasta. Laksamana Chou
buru-buru berenang naik ke permukaan air laut. Gera-
kannya begitu cepat. Lanang sempat melihat tubuh itu melesat pada saat tertentu.
Melihat kecepatannya yang menimbulkan air bergelombang besar, jelas Laksamana
Chou menggunakan tenaga dalam untuk melesat dari
sela kedalaman air menuju ke atas. Lanangseta pun tak mau kalah, ia segera
menghentakkan kakinya dan melesat ke atas sehingga air laut jadi bergelombang.
Lanangseta sengaja menggunakan ilmu peringan tu-
buh untuk menghadang lawannya. Ia berdiri di atas air seperti berdiri di daratan
biasa. Tapi rupanya Laksamana Chou pun juga berdiri di atas air dengan mudah.
Laksamana Chou sendiri tidak menduga kalau orang
yang dihadapinya mampu berdiri di atas air tanpa tenggelam seperti dirinya.
Sehingga, pada saat mereka berdua sama-sama muncul dari kedalaman air, sama-sama
berdiri tegak di atas permukaan air laut, mereka juga
sama-sama tertegun dan saling pandang.
"O, kamu rupanya yang kejar-kejar aku, ya?" kata Laksamana Chou begitu melihat
Lanangseta. Ia mengira, Lanangseta itulah yang melarikan putrinya: Yin Yin.
"Hei, Babi kampung...! Mana anak gadisku, hah?"
"Aku tidak mengenal anak gadismu! Kembalikan
Cambuk Naga kalau kau ingin pulang ke negeri Cina
dengan selamat!"
Laksamana Chou berjalan ke samping, melirik La-
nang dan tersenyum sinis. Ia pun bicara dengan ang-
kuh. "Kalau kau ingin tetap hidup di bumi mu ini, kau harus serahkan Yin Yin
kepadaku! Itu anakku! Aku sudah jodohkan dia dengan keponakan Kaisar. Tak pantas
ia menjadi istri seorang pribumi semiskin kamu!"
Lanangseta juga berjalan, melirik, bagai sedang men-
cari kelengahan lawan. Ia sempat menggulung rambut-
nya yang panjang dan basah itu, supaya pedang anda-
lannya yang selalu bertengger di punggung gampang di-raih. Sedangkan Laksamana
Chou yang bertubuh ting-
gi, tegap, sedikit lebih gemuk dari Lanangseta, juga hanya berjalan berkeliling
bagai mencari kesempatan
untuk menyerang. Baju Hitam yang dilapisi rompi me-
rah berajut benang emas tahan senjata itu terlihat lekat dengan tubuh karena
basah. Tapi sabuknya yang terbuat bagai dari kain, berbentuk bulat seperti tali
dua li-litan itu agaknya bukan sabuk sembarangan. Sabuk be-
rujung mata tombak kecil itu tidak basah sama sekali.
Namun kali ini, pasti sabuk itu tidak akan dipakainya sebagai senjata, sebab
Cambuk Naga curiannya masih
terselip di antara sabuk dan kulit pinggangnya.
"Kamu yang bernama Laksamana Chou, bukan?"
"Ya. Dan kamu siapa" Aku lebih suka membunuh
lawan yang sudah kuketahui namanya."
"Aku Lanangseta...!"
Laksamana Chou tertawa. Kumisnya yang panjang
dan melilit di bawah sampai di dagu itu bergerak-gerak karena basah dan menempel
pada kulit wajahnya.
"Bohong! Aku sebenarnya sudah tahu siapa nama-
mu, Babi kampung! Kamu bukan Lanangseta, tapi
Ekayana! Hah...! Mau berlagak menipu perhatianku,
ya?" "Laksamana... ku ingatkan kepadamu, bahwa selama ini kau salah anggapan. Yang
melarikan anak gadismu
bukan aku. Tapi Ekayana! Dan Ekayana bukan aku.
Aku Lanangseta, yang...!"
"Phuiih...!" Laksamana meludah. Ia masih bergerak, dan mereka memang saling
bergerak searah, memutar,
menunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Persetanlah dengan anggapanmu," kata Lanang.
"Yang penting, aku menemuimu untuk merebut kembali Cambuk Naga! Kalau kau sayang
nyawamu, kembalikan
cambuk itu!"
"Kalau kau datang dengan Yin Yin, kuizinkan kau merebut cambuk ini. Tapi
sekarang kau datang tanpa
Yin Yin, dan aku tidak akan melayanimu. Selamat tinggal...!"
Laksamana Chou melesat, melompat tinggi dan me-
ninggalkan Lanangseta.
"Biadab kau...!" Lanang berseru seraya menyusul lompatan Laksamana Chou. Ketika
kaki Laksamana menapak di permukaan air, Lanangseta telah berdiri di depannya. Langsung Lanang
menggerakkan kakinya ke
depan dengan hentakan keras. Laksamana Chou cukup
sigap. Tendangan Lanangseta ditangkis dengan tangan
kanan. Ia segera bersalto ke belakang untuk memper-
jauh jarak. Lanang belum sempat bergerak, pada saat
Laksamana Chou melesat lagi, melarikan diri.
"Percuma aku melayani kamu, Babi kampung...!"
ucap Laksamana.
Lanangseta menjadi geram. Chou seakan tak mau
berhadapan dengan Lanangseta. Dan Lanang bertam-
bah marah kepada Laksamana Chou. Ia segera menyu-
sul dengan tiga kali salto di udara. Pada putaran terakhir dari saltonya, kedua
kaki Lanang tepat berada beberapa jengkal dari punggung Laksamana. Langsung saja
ia menarik kaki kirinya, dan meluruskan kaki kanannya dengan cepat. Kaki itu
mengenai punggung Laksamana
Chou sehingga lawan terjerembab di air. Kulit punggung Laksamana yang terbakar
dan tanpa kain lagi itu menjadi semakin terkelupas karena tendangan Lanang. Tapi
agaknya hal itu tidak dihiraukan oleh Laksamana Chou.
"Serahkan Cambuk Naga atau kau mati sekarang ju-ga"!" hardik Lanangseta.
Laksamana Chou segera membaringkan tubuh, ia
bagai telentang di atas permukaan tanah.
"Terimalah dulu pukulan Paruh Rajawali ku,
heeaat...!"
Tubuh yang telentang itu mampu melejit ke atas da-
lam posisi tetap telentang. Tangan kanan Laksamana
Chou mencakar bagai kaki bangau dengan masing-
masing tangan menyerang menggunakan kedua jari,
yaitu jari tengah dan telunjuk. Lanangseta menarik kakinya yang hendak menginjak
dada Laksamana Chou.
Ia ikut melayang sehingga posisinya tetap di atas tubuh Laksamana. Namun ia
nyaris terlambat menarik kakinya. Pukulan jari besi Laksamana mengenai tumit
Lanangseta. Hanya sedikit. Bagai menyerempet, namun
sudah membuat mata kaki Lanangseta menjadi linu se-
kali. "Gila...! Jurus dan pukulanmu cukup hebat juga, Laksamana tolol!" Lanang
melengkungkan badan ke depan dan bersalto. Begitu ia selesai bersalto, kakinya
menyepak bagai kuda jantan yang perkasa. Lengan
Laksamana terkena tendangan belakang itu sehingga
tubuhnya terlempar dan jatuh dalam posisi tercebur ke air. Ia segera
mengendalikan ilmu peringan tubuhnya, dan mampu berdiri di atas permukaan air
laut lagi. Lanangseta siap menyerang. Namun mendadak ia terpak-
sa menjaga jarak karena Laksamana menggunakan ju-
rus lain. Kedua tangannya terentang cepat, lalu mengatup antara kedua telapak
tangan itu, ditarik ke dada dan dihentakkan kuat-kuat.
"Weess...!"
Segumpal api keluar dari telapak tangan Laksamana.
Itulah pukulan Api Laut yang pernah membakar dirinya sendiri ketika berhadapan
dengan Indra Mada. Kalau
dulu, ia menjadi kewalahan karena Indra Mada meniup
api itu, dan gulungan api tersebut menghantam balik
dan membakarnya. Tapi sekarang ia sedikit lega, karena Lanangseta hanya melompat
ke atas ketika gulungan
api menghampirinya.
Lanangseta mempunyai perkiraan yang tepat. Ia ti-
dak mau turun di tempat semula sekalipun api telah
melesat ke tempat kosong. Ia menduga bahwa Laksa-
mana akan melancarkan pukulan apinya kembali di
tempat Lanang semula, karena itu Lanang melakukan
gerakan tipuan. Ia meluruskan kaki, seolah-olah hen-
dak turun di tempat semula. Namun sebenarnya ia se-
gera melengkungkan badan, bersalto dua kali dan ka-
kinya menghantam tepat di pelipis Laksamana Chou.
Sedangkan Laksamana Chou sudah terlanjur melan-
carkan pukulan Api Lautnya ke tempat Lanang semula.
Sehingga, pukulan itu melesat untuk kedua kalinya
menemui tempat kosong, dan keseimbangan tubuh
Laksamana pun goyah. Ia jatuh tercebur di perairan.
Lanangseta berdiri tegap siap menendang kepala
Laksamana jika sewaktu-waktu ia muncul. Tapi Lanang
sedikit terkecoh. Ternyata Laksamana Chou bagai men-
dobrak genangan air laut. Tubuhnya melesat di tempat agak jauh dari Lanangseta.
Terpaksa Lanangseta segera mengejarnya dan berseru dengan suara keras:
"Jangan lari kau, Monyet sipit...! Hiaaatt...!"
Lanangseta menyelam dengan cepat. Ia bergerak ba-
gai ikan pesut meluncur di kedalaman air. Begitu ia
menerobos keluar dari kedalaman air, ia berada tepat di depan Laksamana Chou.
Sudah tentu hal itu membuat
Laksamana Chou menggeragap kaget. Ia berhenti. Ka-
kinya menapak di atas permukaan air. Lanangseta siap menyerang dengan pukulan
Wiwaha Moksa, tapi ia ra-gu-ragu. Takut kalau Cambuk Naga ikut hilang menjadi
serbuk jika tubuh Laksamana Chou kena pukulan Wiwaha Moksanya.
Dalam keadaan ragu itulah, tahu-tahu kaki Laksa-
mana terayun ke depan, ke arah mulut Lanangseta. La-
nangseta masih sempat merunduk ke samping. Namun
ia terjatuh juga karena kibasan tendangan kaki Laksamana mempunyai angin
berkekuatan tenaga dalam
yang cukup tinggi. Hempasan angin itu bagai mendo-
rong Lanang hingga terjerembab masuk ke air. Keseim-
bangannya goyah. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Laksamana Chou. Segera ia
mengirimkan pukulan Rajawali Murka Kedua tangan Laksamana megar bagai ca-
kar rajawali, dan menghentak bersamaan. Lalu dari kedua telapak tangan itu
keluar sinar seperti anak panah kecil-kecil berwarna merah.
Mata Lanangseta sempat menangkap gerakan sinar
merah kecil-kecil, hatinya mengatakan, itu bahaya. Sebab itu, secepat kilat dia
menghentakkan kedua tan-
gannya seakan bertumpu di atas tanah. Seketika itu tubuhnya melesat ke atas dan
segera bersalto balik. Pukulan Laksamana itu mengenai air dan air di situ
bergolak dan menyembur ke atas bagaikan mendapat semburan
dari bawah. Ada beberapa ekor ikan yang meloncat ke-
luar dalam keadaan tinggal tulangnya saja.
"Gila...! Pukulan macam apa itu" Ikan saja tinggal tulangnya..."!" pikir
Lanangseta seraya berkelit lagi ke belakang untuk menghindari pukulan dari
Laksamana berikutnya. "Mati kau sekarang juga, Babi kampung...!" geram Laksamana seraya melancarkan
pukulan Rajawali Murka berulang kali, bahwa membabi buta. Anak panah
warna merah meluncur ke mana-mana, Lanangseta
sempat berguling kian ke mari dan bersalto bolak-balik, melompat-lompat bagai
katak kepanasan. Air laut bergolak karena terkena pukulan Rajawali Murka itu.
Air laut menyembur bagai hutan-hutan bening yang lama-lama mengacaukan
pemandangan. Lanangseta tak mau mati konyol. Ia segera mencabut
pedang Wisa Kobranya yang disebut Pedang Malaikat
oleh para tokoh persilatan. Pedang itu berpijar merah bagai bara api yang panas
sekali. "Heaaaatt...!" Lanangseta menebaskan pedangnya kian ke mari di sela-sela air
laut yang menyembur ke atas dan mengacaukan pemandangan itu.
"Blegaar...! Blaaar...!"
Ledakan berdentum berulangkali setiap pedang Wisa
Kobra di tebaskan ke kiri dan ke kanan, dan hal itu
membuat laut semakin bergolak. Airnya tersembur ke
atas semua, bahkan semakin sulit bagi Lanangseta un-
tuk melihat sosok lawannya berdiri.
"Berhentiii...!" teriak Lanangseta dengan berdiri di pucuk sebuah batu karang
yang runcing dan pedangnya ditusukkan ke dalam air. Maka, seketika itu laut
menjadi tenang kembali. Sepi dan hening.
Air laut mengalun. Bagai ombak menina-bobok. Tak
ada semburan gelombang samudra lagi. Tenang sekali.
Mata Lanangseta memandang dengan liar. Kepalanya
clingak-clinguk kian ke mari.
"Brengsek...!" makinya dengan geram setelah ia tahu, bahwa sebenarnya sejak tadi
ia telah ditinggal kabur oleh Laksamana Chou. Tadi, pada saat laut bergolak
dan percikan airnya mengganggu pemandangan, sebe-
narnya pada saat itulah Laksamana Chou lari mening-
galkan Lanangseta.
Ke mana arahnya" Kurang jelas. Tetapi daratan yang
terdekat pada saat itu adalah Pulau Kramat. Dari tempat Lanang berdiri, pulau
itu terlihat kecil. Tak ada satu titik yang bergerak, yang bisa meyakinkan diri
bahwa Laksamana Chou lari ke sana.
Sambil menyarungkan pedangnya lagi, Lanangseta
menggumam lirih:
"Tak mungkin ia lari ke sana. Pasti ke tempat lain, atau... atau barangkali ia
menyelam dan bersembunyi di balik karang?"
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya
Lanangseta kembali menyelam di kedalaman air laut.
Gerakannya cukup lamban, karena banyak karang
menjulang di kedalaman air itu. Lanang harus hati-hati kalau tidak ingin
lehernya robek oleh ujung-ujung batu karang yang bagai mata tombak menanti
mangsa. Sebenarnya kalau Lanangseta ke sana, ke Pulau
Kramat, ia juga akan menemukan kesia-siaan. Di Pulau Kramat tak ada orang
kecuali Andini yang sendirian


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu saat membongkar kuburan. Indra Mada dan
Nyai Katri sedang melakukan Semadi Serap di dalam
kubur. Tubuh mereka yang tanpa selembar benang pun
saling merapat, dan saling berhubungan. Kemudian tu-
buh yang merapat dengan mulut saling lekat itu ditimbun oleh tanah, dipadatkan
sepadat mungkin. Hal ini
dimaksudkan agar pada saat Semadi Serap dilakukan,
tubuh mereka tidak akan terkena cahaya mata hari se-
dikit pun. Tugas Andini selain menimbun juga mem-
bongkar kuburan mereka. Jika lebih dari tiga hari tidak
dibongkar, maka resikonya tubuh Nyai Katri akan
membusuk. Sebab itu, Andini benar-benar menjaga makam itu
dan berusaha untuk mengingat-ingat harinya. Maka,
setelah genap tiga hari ia mengubur Nyai Katri dan Indra Mada, ia pun segera
membongkar kuburan itu seo-
rang diri. Ketika itu, hujan turun cukup deras. Andini mengga-
li makam tersebut dengan sekop sederhana. Curahan
hujan tak dihiraukannya. Rasa letih tak dirasakannya.
Sebenarnya hati Andini sudah tak sabar menunggu giliran melakukan Semadi Serap.
Selama tiga hari ia ter-
siksa oleh penantiannya. Karena, bukan hanya ingin
memperoleh kekuatannya kembali yang menggoda ha-
tinya, namun cara bersemadi yang unik itu juga yang
menggoda birahi Andini. Betapa pun juga, Andini masih ingat ketika dirinya
melambung tinggi di awang-awang manakala Indra Mada mendayung perahunya ke
samudra kebahagiaan bersamanya. Otak Andini yang sudah
diracuni gairah bercinta itu benar-benar dapat mem-
buatnya gila jika tidak terlaksana.
Sebab itu, pada hari ketiga sejak dikuburkannya
Nyai dan Indra Mada, semangatnya sangat membara.
Hujan yang mengguyur tubuhnya dianggap sepi. Ia
menggali dan menggali terus. Sampai akhirnya ia me-
nemukan belahan kayu yang ditata rapi untuk menutup
bagian atas Nyai dan Jaka Bego. Lalu ia membongkar
penutup kayu itu, dan ia menemukan tubuh Indra Ma-
da yang masih segar itu memangku tubuh Nyai Katri.
Air hujan mengguyur tubuh kedua insan tanpa se-
lembar benang itu. Kemudian Andini menolong Nyai Ka-
tri untuk naik dari lobang kubur, tetapi Nyai menolak.
"Akan ku coba apa yang terjadi pada diriku setelah melakukan Semadi Serap.
Minggirlah, Andini...."
Andini menyisih. Nyai Katri menghentakkan kakinya
dalam suatu teriakan: "Hiaaaattt...!"
Tubuh tanpa busana itu melayang tinggi, keluar dari
lobang kubur dan hinggap pada dahan pohon yang
tinggi. Nyai Katri tertawa lepas dan keras. Ia sangat kegirangan.
"Aku telah pulih kembali...! Pulih kembali, Andini...!"
"Selamat, Nyaii...!" teriak Andini.
Nyai Katri bagai lupa diri. Ia bersalto dari dahan satu ke dahan yang lain. Ia
bahkan mencoba beberapa pukulan tenaga dalamnya yang dulu pernah ada, lalu
hilang, dan sekarang dimiliki kembali. Pukulan itu menghan-curkan beberapa
pohon, menumbangkan dan meme-
cahkan batang-batang pohon besar serta batu-batu be-
sar. "Yihuiii...!" Nyai Katri berseru girang. Andini hanya menertawakan dari tepi
liang kubur. Ia sempat berseru:
"Nyai... ingat tubuhmu masih polos... tutupilah ke-banggaan mu itu, nanti Jaka
Bego tidak menyukai buah yang dingin, Nyai...!"
Nyai Katri yang wajahnya begitu segar dan tubuhnya
semakin sexy karena guyuran air hujan itu tertawa berulang-ulang. Indra Mada,
atau Jaka Bego yang sudah
menjadi ganteng segera mendekati Nyai Katri. Tiba-tiba Jaka Bego melancarkan
pukulan tenaga dalamnya dengan gerakan jari telunjuk bagai menyentil udara. Nyai
Katri melesat ke samping dan bersalto ke belakang.
Sentilan Indra Mada itu berkekuatan tenaga dalam yang mampu membuat dahan pohon
patah seketika. Untung
Nyai segera menghindar. Namun demikian Indra Mada
segera melayang dan menyerang Nyai Katri dengan se-
buah tendangan. Dengan tangkas tangan Nyai Katri
menangkis kaki Indra Mada, lalu tangan satunya lagi
menghantam perut Indra Mada. Tapi Indra Mada me-
nyongsong pukulan Nyai dengan genggaman tangannya,
sehingga kedua pukulan itu beradu.
Nyai terpental ke belakang. Tubuhnya terhuyung.
Andini cemas dan kebingungan; mengapa Indra Mada
tiba-tiba menyerang Nyai Katri"
Sepasang mata Nyai Katri memandang tajam. Lalu
dari matanya itu keluar sinar kuning menuju ke dada
Indra Mada. Itulah ilmu Candra Geni yang mampu me-
leburkan benda apa pun yang dipandangnya. Tetapi
saat ini, Indra Mada juga mengeluarkan sinar ungu dari sepasang matanya. Sinar
itu yang menyongsong sinar
kuning dari mata Nyai.
"Blegaar...!"
Tanah berguncang bagai terjadi gempa setempat. Be-
berapa ranting dan daun dari beberapa pohon menjadi
rontok begitu dentuman terdengar. Tubuh Nyai Katri
terhempas membentur dinding rumah. Namun ia masih
tetap dalam keadaan berdiri.
"Apa maksudmu tahu-tahu menyerangku, Jaka"!"
seru Nyai di sela deru hujan. Mereka masih sama-sama telanjang, kecuali Andini
yang terlempar beberapa langkah karena guncangan kedua sinar beradu tadi.
Indra Mada tetap tenang. Ia menendang batu kerikil,
dan batu itu pun melesat cepat ke arah kepala Nyai Katri. Tapi Nyai Katri segera
menahannya dengan telapak tangan yang dihentakkan lurus ke depan. Batu itu
berhenti di udara, namun tiba-tiba pecah dengan menim-
bulkan sebuah ledakan yang membahana: "Glegaaar...!"
Nyai Katri terpelanting dan jatuh ke tanah dengan
pundak membentur batu. Ia memekik kesakitan. Indra
Mada segera menghampirinya dan menarik tangan Nyai
Katri. Nyai mengira akan ditolong, tapi justru dilemparkan begitu saja, seperti
Indra melemparkan sebatang
gedebog pisang.
"Aaauuww...!" Nyai menjerit karena tubuhnya melayang dan nyaris membentur
potongan dahan yang
meruncing. Untung ia segera menguasai keseimbangan
tubuh. Ia melompat dalam gerakan salto sehingga dapat mendarat ke tanah dengan
kaki sempurna. Geramnya hati berubah menjadi kemarahan yang
meluap. Tak peduli hujan tak peduli telanjang. Nyai Katri segera menggerakkan
kedua tangannya ke samping
dan memutarnya ke depan wajah beberapa kali, kemu-
dian ia menghentakkan kedua telapak tangan itu ke depan dan meluncurlah sinar
warna biru tua. Itulah pu-
kulan Inti Petir yang pernah menewaskan Penghulu Ba-
dra. Pukulan itu cukup membahayakan. Tapi Indra Ma-
da bahkan menangkapnya dengan tangan telanjang. Si-
nar biru itu menggumpal dalam kedua tangan Indra
Mada, dan hendak dilemparkan ke tubuh Nyai Katri.
Seketika itu Nyai menjerit, "Jangaaan...!" Dan ia berlari melesat ke atas pohon.
Lalu Indra Mada melemparkan
ke udara. Sinar biru itu seperti bola kristal biru melayang. Ketika sinar itu
hendak turun, Indra Mada meloncat dengan salah satu kakinya terentang kaku, dan
menendang bola biru tersebut. Akibatnya, sekali lagi mereka diguncang oleh
ledakan yang mampu mengha-dirkan hentakan halus pada tanah serta alam sekitar-
nya. Sekali lagi, Andini terpental oleh bunyi ledakan itu hingga ia jatuh
terduduk. Gaunnya basah dan kotor.
Indra Mada tertawa menyaksikan Andini jatuh ter-
duduk. Kemudian Nyai Katri memberanikan diri turun
dari atas. Ia meluncur bagai burung merak. Kendati
tanpa busana, namun rambutnya yang panjang itu sea-
kan ekor merak yang sedang meriap terbuai angin dan
hujan. "Jaka..."! Kenapa kau menyerangku, hah"!"
Indra Mada mengusap wajahnya yang basah oleh air
hujan. Ia berjalan biasa mendekati Nyai Katri. Nyai sudah pasang kuda-kuda, siap
menghindar atau menang-
kis serangan. "Aku hanya ingin membuktikan dua hal. Pertama,
kubuktikan bahwa ilmu dan kekuatanmu sudah kem-
bali seperti semula. Betulkan?"
Nyai Katri menghempas lega. Sikap kuda-kudanya
dibatalkan. Kini ia mengangguk seraya mengusap wa-
jahnya yang juga basah oleh hujan.
"Kedua..." sambung Indra Mada. "Aku hanya ingin membuktikan, bahwa kau tidak
boleh takabur dengan
ilmu dan kekuatanmu itu. Ingat, kalau orang lain tak bisa mengalahkan
kesombongan ilmumu, aku bisa! Kalau ku mau, tadi aku sudah bisa membunuhmu."
"Kenapa tidak kau lakukan"!" ketus Nyai Katri dengan wajah cemberut jengkel.
"Karena aku tahu kau masih membutuhkan aku. Ka-
lau kau kubunuh, maka kau tidak membutuhkan aku
lagi, tapi membutuhkan penggali kubur." Indra Mada mendekati Katri dan meraih
dagunya. "Semua kulaku-kan supaya kau tidak celaka, baik oleh orang lain maupun
oleh keangkuhan ilmumu sendiri."
Nyai Katri tersenyum, akhirnya ia memeluk Indra
Mada dalam keharuan yang membanggakan. Saat itu,
Andini mendekat, lalu mencolek punggung Indra Mada
dan berkata: "Aku bagaimana" Kalian kan sudah janji."
Indra Mada dan Nyai Katri tertawa, Andini semakin
bersungut-sungut. Cemberut.
*** 3 LANANGSETA tidak menyadari kalau dirinya sudah
beberapa hari terperangkap dalam sebuah goa di dasar laut. Bukan goa tempat
Istana Langit Perak berada, melainkan goa lain yang terhitung cukup lebar serta
da- lam. Ia tak sengaja masuk ke dalam goa itu. Dalam
pencariannya untuk menemukan Laksamana Chou,
Lanangseta tersapu badai air laut.
Tiga kali Lanangseta terhempas oleh pusaran gelom-
bang air laut yang begitu dahsyat, bagai terkena getaran gunung berapi yang
meletus. Pertama, ia tergores batu karang pada lengannya. Kedua, ia hampir saja
membentur karang runcing, dan ketiga ia terhempas masuk ke lobang besar, yang
ternyata sebuah goa di dasar laut.
Dalam goa tersebut ada bagian yang tidak digenangi
air. Berlumut, dan lumut yang ada di situ memantulkan cahaya kehijau-hijauan.
Lanangseta berlaku hati-hati sekali dan selalu berwaspada, sebab takut bertemu
binatang atau mahluk lain yang sangat membahayakan.
Ia mendaki gundukan tanah cadas yang licin. Sejenak ia berpikir tentang lumut
bercahaya itu, sebab ia ingat bahwa dulu Ludiro pernah memakan lumut bercahaya,
kemudian tubuhnya menjadi kebal. Apakah lumut se-
macam ini yang dimakan Ludiro dulu"
Namun tiba-tiba mata Lanangseta menemukan jejak
kaki manusia yang juga memanjat cadas licin itu. Me-
mang tak seberapa tinggi, namun permukaan cadas itu-
lah yang menjadi tempat datar dari dalam goa tersebut.
Melihat jejak yang ada, berarti di dalam goa itu ia tidak sendirian. Pasti ada
manusia lain yang ada di dalam goa tersebut.
Ternyata di atas gundukan tanah cadas itu pun ba-
nyak terdapat tanaman lumut bercahaya. Tempatnya
menjadi terang dan lapang. Memang ada beberapa gun-
duk batu di sana-sini, namun tempat itu menyerupai
sebuah padang rumput yang tandus. Satu hal yang
sangat menguntungkan Lanangseta ialah, di balik salah satu gundukan batu itu, ia
melihat sosok lengan manusia yang sedang duduk bersandar membelakanginya.
Lanangseta tersenyum. Ia tahu yang ada di sana adalah
orang yang sedang dikejarnya: Laksamana Chou.
"Selamat berjumpa lagi, Laksamana...!"
Orang yang duduk beristirahat itu berjingkat bangkit dan matanya yang kecil
memandang melebar. Ia sangat
terkejut melihat Lanangseta sudah berada di depannya dalam jarak kurang dari
sepuluh langkah.
Suatu kemenangan pertama bagi Lanang ialah kegu-
gupan dan kekagetan Laksamana Chou yang pasti akan
mempengaruhi jiwa orang itu. Lanangseta tetap tenang, meremat-remat kepalan
tangannya sendiri seakan sudah siap membunuh Laksamana Chou saat itu juga. Te-
tapi, agaknya Laksamana Chou masih berusaha me-
nampakkan sikap tegarnya sekali pun hal itu kelihatan kalau dipaksakan.
"Babi kampung...! Masih beraninya kau datang me-nemuiku di tempat yang sulit
ini, hah"!" gertak Laksamana Chou.
"Tidak ada tempat yang sulit bagiku untuk membunuh lalat busuk seperti kamu,
Laksamana. Serahkan
cambuk itu dan aku akan pergi tak mau menemuimu
lagi," kata Lanang dengan tenang sekali.
"Kamu benar-benar mencari mati di sini, Babi busuk!"
Mata Laksamana Chou memandang batu sebesar
genggaman tangan. Lalu batu itu melayang cepat ke
arah pelipis Lanang. Hampir saja Lanang terkena lem-
paran batu tersebut yang digerakkan dengan pandan-
gan mata. Untung ia segera berkelit ke depan dan
menghantam batu tersebut hingga hancur menjadi be-
berapa keping. Namun, agaknya saat itulah kesempatan bagi Laksamana untuk
menggunakan kekuatan matanya dalam menerbangkan batu-batu kecil. Lanangseta
meloncat, menghindar, melayang dan memukul setiap
lembar yang nyaris bersamaan menyerbunya dari ber-
bagai arah. Hebatnya, tak satu pun batu yang berhasil
mengenainya. Dalam satu kesempatan, Lanangseta sengaja sema-
kin mendekati Laksamana, dan ia berhasil menendang
salah satu batu yang melayang ke arah wajahnya. Batu itu ditendang sambil ia
bersalto ke belakang. Dan batu itu berbalik arah, lalu mengenai dada kiri
Laksamana Chou.
"Bangsat...!" caci Laksamana Chou. Ia baru saja hendak melancarkan serangan
jurus Api Lautnya, namun tiba-tiba Lanangseta berputar dalam gerakan sal-
tonya, dan berhasil membuat Laksamana merundukkan
kepala. Andai ia tidak merunduk, maka ia akan terkena tendangan kaki Lanang
dengan keras dan berbahaya.
Pada saat kepala dan tubuh Laksamana merunduk
ke bawah, kaki Lanang segera hinggap di punggung la-
wannya, kemudian ia mencabut ujung Cambuk Naga
yang terselip di pinggang belakang dari tubuh Laksa-
mana. "Breet...!" Ia pun segera melompat menjauhi Laksamana Chou dengan cambuk
sudah tergenggam di
tangan. "Ahai... berhasil juga aku...." kata Lanangseta sambil tersenyum bangga,
menunjukkan Cambuk Naga di depan Laksamana Chou.
"Babi kurap...! Babi kampung...!" geram Laksamana melihat Cambuk Naga sudah di


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan Lanangseta, sedangkan ia belum memperoleh penggantinya, yaitu Yin
Yin. Lanangseta menggulung cambuk itu menjadi sebuah
lingkaran, dan segera diselipkan di pinggang belakang.
Ia masih tersenyum bangga seraya memperhatikan ke-
geraman dan kemarahan Laksamana Chou.
"Sudah saatnya saya harus membunuh..." kata Laksamana seperti dia bicara pada
diri sendiri. Kemudian ia segera melepas ikat pinggangnya yang berbentuk tali
dari bahan kain. Pada ujung tali itu terdapat dua mata
tombak berukuran kecil, runcing dan berkilat.
"Hei, Babi.... Sekarang sudah saatnya kau berhadapan dengan senjata Liongsai-ku
ini, hiiatt...!"
Laksamana memudarkan tali itu satu kali, dan tiba-
tiba tali tersebut dapat berjulur jauh. Ujungnya menghantam batu yang ada di
samping Lanangseta. Lalu ba-
tu itu pun hancur berkeping-keping. Lanangseta sempat terkesima sejenak.
Liongsai berputar-putar di atas kepala Laksamana.
Benda itu tidak begitu panjang, namun pada saat di-
lemparkan, benda itu bisa menjadi panjang sekali, se-pertinya terbuat dari karet
atau per yang dapat elastis.
Dan sudah tentu setiap ujungnya berfungsi untuk
membunuh. Buktinya batu besar saja hancur terkena
salah satu ujung tali itu.
"Hiaaat...!" Laksamana melayang dengan salah satu kaki terjulur ke depan hendak
menendang Lanangseta.
Tapi Lanangseta segera melompat ke samping kanan.
Rupanya itu adalah gerak tipuan Laksamana. Sebab
pada saat Lanang bergerak ke samping, tahu-tahu tali berujung mata tombak itu
menyerangnya dengan cepat.
Bahkan kini tali itu bagai terbelah menjadi dua. Satu ujung melesat ke kiri dan
satunya lagi ke dada Lanangseta. Bagian tengah tali itu ada dalam genggaman
Laksamana Chou.
"Huupp...!" Lanang menghindar ke kanan dengan memiringkan badannya dan setelah
itu segera berdiri
tegak. Tangannya mengibas ke samping kiri, menjaga
kalau-kalau benda berujung tajam itu melesat ke pun-
dak kirinya. Lalu ia segera berguling ke tanah, dan begitu berdiri ia telah
menggenggam pedang Wisa Kobra.
Pedang itu langsung ditebaskan ke arah kaki Laksama-
na, seakan ia sedang membabat rumput kering. Laksa-
mana melompat ke atas dengan kedua kaki terangkat,
lalu salah satu kakinya menendang Lanang dengan satu
teriakan kuat, "Hiiaat...!"
Tendangan itu mengenai tempat kosong. Sementara
itu Lanangseta segera bersalto ke depan, mengatur jarak dengan Laksamana Chou.
Tapi gerakan Laksamana
Chou begitu cepat. Ia melemparkan Liongsainya. Benda itu melayang-layang bagai
seekor ular terbang. Kedua ujungnya bergesrekan dan menimbulkan percikan bunga
api. Lanangseta siap menghadang Liongsai, lalu menebaskan pedangnya dengan
gerakan cepat. Liongsai itu pun putus menjadi dua bagian, namun masing-masing
ujung tetap melesat dan menancap pada bebatuan. Ba-
tuan itu rontok keduanya. Sedangkan Lanangseta terus berguling ke tanah, dan
melentik bagai belalang. Ia melayang sambil mengibaskan pedangnya. Ia berhasil
me- lampaui atas kepala Laksamana dan bersalto beberapa
kali. Kemudian mendaratkan kakinya dengan tegap.
"Biadab kau...!" bentak Laksamana Chou. "Kau telah memutuskan Liongsai, pusaka
dari nenekku, hah" Kau
harus mati sekarang juga, Babi kampung...!"
"Tunggu! Kurasa bukan hanya senjata Liongsai-mu saja yang kuputuskan. Tapi salah
satu hal lagi yang
sempat kubabat dengan pedangku ini, Laksamana...?"
Lelaki bertubuh sedikit gemuk dari Lanang itu berke-
rut dahi. Ia memandang Liongsai yang telah putus menjadi dua bagian dan kini
kedua ujungnya menancap pa-
da sisa pecahan batu. Ia berpikir, apa lagi yang diputuskan Lanang" Ia memeriksa
bagian tubuhnya, ah...
tak ada yang putus. Tali kolor, tali sepatu, bajunya, semuanya tak ada yang
putus. Kemudian dengan mata
sipitnya Laksamana Chou memandang dan tersenyum
kepada Lanangseta.
"Jangan bangga dengan gerakan semudah itu, Babi kampung! Kau hanya bisa
memutuskan senjata Liongsai-ku saja!"
"O, begitu, ya! Tapi... bagaimana dengan salah satu
kumismu, hah!" kata Lanangseta.
Laksamana Chou terkejut. Ia segera memegang ku-
misnya yang panjang dan melengkung ke bawah sampai
di dagu. "Babi bunting kau...!" teriak Laksamana. Kini ia tahu bahwa kumisnya yang
sebelah kanan telah tercukur
habis dengan pedang Lanangseta. Tentunya hal itu di-
lakukan oleh Lanang ketika ia bersalto beberapa kali di atas kepala Laksamana.
Semakin geram dan benci Laksamana kepada La-
nangseta. Ia merasa terhina, karena kumisnya bisa tercukur sebelah. Kini tinggal
satu bagian kumis yang masih ada, yakni kumis bagian kirinya.
"Heaaaattt...!" Laksamana menjerit dan menerjang Lanangseta dengan satu pukulan
yang menerjang cepat.
Lanang bergerak ke belakang beberapa langkah, lalu
menangkis pukulan tangan Laksamana dengan tendan-
gan kaki kirinya. Tangan Laksamana bagai disempal ke atas. Ia pun limbung
sebentar. Lalu Lanangseta bergerak cepat memutari tubuh Laksamana. Sambil memba-
wa pedangnya. Kemudian buru-buru melayang, bersalto
dan menjauhi Laksamana.
"Kurasa sudah tak ada waktu lagi untuk bermain-
main denganmu, Laksamana...." kata Lanangseta. Ia tersenyum tipis.
Laksamana Chou ingin mengatakan sesuatu, namun
ia jadi terhenti setelah melihat bahwa rompi kebal sen-jatanya terputus pada
bagian salah satu pundaknya,
dan bagian lainnya bagai disayat-sayat binatang buas.
Ia cukup terbengong melihat nasib dirinya. Namun ke-
dongkolannya pun semakin bertambah. Karena itu, ia
segera menggerakkan kedua tangan, jari-jarinya menja-di kaku, dan ia segera
mengibaskan kedua tangan ke
depan, bersilang-silang dengan cepat. Makin lama se-
makin cepat sehingga gerakan itu membuatnya seperti
bertangan seribu.
Semakin lama gerakan itu semakin cepat dan sukar
diperhatikan tangan mana yang akan menyerang. Yang
jelas, Laksamana Chou pun segera melesat bagaikan
anak panah menuju ke arah Lanangseta. Lanang me-
rendahkan kaki kirinya sehingga lurus ke belakang, dan kaki kanannya ditekuk
sebatas lutut, lalu ia menebaskan pedang Wisa Kobra ke arah tangan-tangan yang
bersimpang siur itu.
"Wees...! Wees...! Wesss...!"
Tiba-tiba gerakan tubuh Laksamana berguling bagai
baling-baling ke arah samping dan tebasan pedang itu meleset. Sebaliknya, justru
kali ini pinggang Lanangseta terkena pukulan yang membuat tulang-tulangnya bagai
patah semua. "Aaaghh...!" Lanang terpekik tertahan, sukar bernafas. Tubuhnya jatuh terkulai
pada saat Laksamana se-
gera melancarkan tendangan Bulu Angsa yang digabung
dengan jurus Cakar Angsa. Gabungan kedua jurus itu
dinamakan Serangan Tangan Setan.
Lutut Lanangseta bagai mau copot dari engselnya. Ia
meringis kesakitan. Kemudian ia bersandar karena persis di belakang ada batu
yang lumayan besarnya. Saat itu Laksamana Chou tertawa terbahak-bahak. Lanang
tak perduli. Ia segera melonjorkan kaki, dan mengatur pernafasan untuk
menghilangkan rasa sakitnya.
"Itulah pukulan Tangan Setan yang tak pernah ada yang dapat menahannya!" kata
Laksamana Chou dengan bangga. "Tak lama lagi semua tulang-tulangmu akan patah
dan, tentunya kau tetap hidup sampai beberapa saat. He, he, eh...!"
Lanang tidak bicara sepat ah kata pun, ia masih
memusatkan konsentrasinya pada tulang-tulang selu-
ruh tubuhnya yang terasa ngilu sekali itu. Ia punya cara sendiri untuk
menyembuhkan luka dengan permainan
tarikan dan tekanan nafas. Si Tongkat Besi gurunya itulah yang mengajarkan cara
pengobatan lewat pernafa-
san. "Sekarang juga, aku bisa membunuhmu, Babi. Ta-
pi... agaknya ada masalah lain yang harus kita rem-
buk." Lanangseta masih membiarkan Chou berceloteh te-
rus. Dan kesempatan itu akan digunakan untuk mela-
kukan penyembuhan dengan nafas murninya.
Laksamana Chou berkata, "Kalau kau mau bekerja-
sama denganku, kurasa kau tidak akan cepat mati."
Di atas sebuah batu setinggi batas betis, Laksamana
duduk dengan gagah, seakan ia sedang menghadapi
anak buahnya dan menerangkan rencananya.
"Dengar, Babi.... Aku punya rencana tersendiri dalam kedatanganku ke negeri ini.
Bukan sekedar berdagang, tapi aku akan mencari harta karun yang sudah beberapa
puluh tahun tak pernah dihebohkan lagi. Harta itu adalah sekumpulan barang
bajakan, hasil rampokan
dari seorang tokoh persilatan zaman dulu, yaitu Ratu Bajak Laut yang bernama
Areswara...!"
Lanangseta mengerutkan kening, terperanjat sedikit.
"Aku pernah mendengar nama itu," kata Lanang.
"Tentu. Aku percaya, sebab nama perempuan Ares-
wara itu cukup terkenal, bahkan sampai ke negeri
Tiongkok dan sampai di ujung Tibet. Salah satu lelu-
hurku pernah menjadi kekasihnya, dan mati karena ke-
kejamannya juga. Aku menemukan catatan dari lelu-
hurku itu, bahwa ratu bajak laut itu menyimpan semua hartanya pada sebuah istana
yang diberi nama atau
yang terkenal dengan nama: Istana Langit Perak. Nah, di mana istana itu" Hanya
dia yang tahu. Karenanya, ji-ka kau dan aku mau bekerja sama menemukan istana
itu, melawan Areswara serta antek-anteknya, maka ku-
janjikan separoh dari harta itu adalah milikmu."
Lanang ingat cerita Rama Sabdawana mertuanya,
bahwa Nyai Katri itu nama aslinya Areswara. Dulu be-
kas bajak laut. Bahkan pimpinan bajak laut yang mera-jai lautan Selatan. Tapi
tentang Istana Langit Perak, ba-ru sekarang ia mendengar ceritanya.
"Nah, Babi kampung...." kata Laksamana seenaknya jika memanggil Lanangseta.
"Sekarang kau tinggal pilih, mau membantuku mencari Istana Langit Perak, atau
mau mati di sini" Aku cukup bijaksana, bukan" Aku
hanya memberikan dua pilihan untukmu."
"Aku tidak sudi memburu harta seperti itu. Aku sendiri sudah cukup kaya."
Laksamana Chou tertawa. "Kamu belum tahu...! Belum tahu, bahwa Istana Langit
Perak itu berisi harta kekayaan seluruh bangsawan dunia. Bahkan mahkota
seorang ratu dari negeri Barat pun ada di sana. Ratu itu mati di tangan
Areswara, dan harta kekayaannya, per-hiasannya, semua diangkut ke Istana Langit
Perak." Lanangseta sudah merasa sedikit ringan. Tidak terla-
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 2 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Anak Rajawali 10
^