Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


Karena itu, maka pengawal itu pun telah menyarungkan pedangnya kembali sambil bergeremang yang hanya dapat didengarnya sendiri.
Ternyata Pandan Wangi adalah seorang yang mampu berpikir cepat. Justru pada saat salah seorang lawannya itu menyarungkan pedangnya, maka dengan kecepatan yang mungkin dilakukannya, bahkan dengan mengungkapkan tenaga cadangannya serta kemampuannya untuk melepaskan kekuatannya mendahului ujud wadagnya, maka dengan sepenuhnya tenaga, Pandan Wangi telah menyerang lawannya yang seorang.
Serangan itu benar-benar mengejutkan. Rasa-rasanya selingkar angin pusaran datang menyambarnya.
Tidak ada kesempatan untuk apa-apa. Orang itu hanya dapat menyilangkan tangannya untuk menangkis serangan Pandan Wangi. Tetapi ternyata serangan Pandan: Wangi terlalu kuat bagi orang itu. Pukulan ganda telah menghantam tubuhnya sehingga rasa-rasanya tubuhnya bagaikan dilemparkan oleh kekuatan raksasa sehingga orang itu terbanting jatuh di tanah.
Pukulan Pandan Wangi yang dilambari oleh segenap kemampuannya itu telah menghantam lawannya berganda. Kekuatan ilmunya yang seakan-akan mendahului sentuhan tangannya telah menghantam orang itu disusul dengan hentakkan kekuatan wadagnya. Karena itu, maka orang itu tidak mampu bertahan sehingga terbanting jatuh.
Tetapi Pandan Wangi tidak sempat memburunya. Orang yang sedang memasukkan kembali pedang di dalam sarungnya itu melihat betapa kawannya terlempar. Karena itu, maka dengan serta merta ia pun telah meloncat menyerang.
Pandan Wangi bergeser ke samping. Sementara itu, kakinya pun segera terjulur.
Dengan tangkasnya orang itu menghindar. Tetapi ia menjadi terkejut bukan buatan. Ia merasa bahwa kesempatan untuk menghindar itu masih cukup terasa kaki lawannya telah menghantam lambungnya.
Orang itu terdorong surut. Namun kemudian ia bahkan meloncat beberapa langkah menjauhi Pandan Wangi. Dengan tajamnya dipandanginya perempuan itu sambil mengumpat "Anak iblis. Ilmu apakah yang kau miliki itu he?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Namun ia telah bersiap menghadapi pertempuran berikutnya.
Sementara itu, Ki Saudagar sendiri memperhatikan Pandan Wangi dengan kerut di kening. Baru kemudian ia menyadari bahwa perempuan itu memang memiliki kelebihan yang tidak dapat diabaikan. Ia pun melihat, bagai"mana seorang pengawalnya itu terlempar sebelum sempat berbuat banyak. Kemudian pengawalnya yang lain terdesak pula sehingga banyak mengalami kesulitan.
"Karena itulah agaknya maka ia berani menentang aku" berkata Ki Saudagar itu didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ternyata Pandan Wangi telah melenting lagi dengan cepatnya menyerang lawannya yang tinggal seorang. Pukulannya menyambar dengan dahsyatnya, melemparkan lawannya sebelum tangan itu benar-benar menyentuhnya. Bahkan ia sempat memburunya dan satu pukulan ganda yang dahsyat telah meng"hantam keningnya, sehingga lawannya itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.
Ki Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudi"an ia pun melangkah mendekat sambil berdesis "Luar biasa. Memang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa kau akan mampu berbuat demikian sehingga aku tidak segera turun sendiri ke gelanggang."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa orang yang disebut Ki Saudagar itu tentu orang yang memiliki kelebihan dari dua orang pengawalnya. Bahkan mungkin Ki Saudagar itu adalah seorang yang mumpuni.
Namun. Pandan Wangi tidak akan melangkah surut. Ia sudah mengambil keputusan untuk melawan sehingga apa pun yang terjadi, ia tidak akan mengingkari.
Sejenak ia sempat memperhatikan kedua lawannya yang telah dilumpuhkannya. Meskipun keduanya tidak pingsan, tetapi keduanya telah dicengkam oleh kesakitan yang sangat, sehingga agaknya keduanya tidak akan mampu membantu Ki Saudagar itu lagi.
Karena itu, maka perhatian Pandan Wangi pun kemudian telah dipusatkan kepada orang yang menyebut dirinya Ki Saudagar itu.
Perlahan-lahan Ki Saudagar melangkah mendekati Pandan Wangi. Ditatapnya perempuan itu dengan tajamnya. Namun kemudian terdengar ia berdesis "Agaknya memang sulit untuk menangkapmu tanpa menyakitimu. Tetapi apaboleh buat. Jika kulitmu merasa sakit dan tergores luka, maka itu adalah karena salahmu sendiri."
Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Ia sadar, bahwa pada akhirnya Ki Saudagar itu akan benar-benar bertempur dengan segenap kemampuannya. Bahkan mungkin dengan mempergunakan senjatanya.
Karena itu, maka Pandan Wangi kemudian telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sekilas ia melihat Wuni masih tetap berada di tempatnya. Tetapi Pandan Wangi yakin, bahwa pada satu saat anak itu akan meninggalkan tempatnya dan berlari ke padukuhan terdekat untuk menyampaikan persoalan yang terjadi itu kepada suaminya meskipun mungkin lewat anak-anak muda atau orang-orang lain yang dijumpainya.
Sementara itu, Ki Saudagar benar-benar sudah bersiap untuk menyerang. Tetapi nampaknya ia masih ingin menjajagi kemampuan Pandan Wangi. Ternyata bahwa Ki Saudagar itu belum menarik senjatanya.
Demikianlah, maka keduanya pun kemudian terlihat dalam satu perkelahian yang seru. Meskipun keduanya masih belum sempat ke puncak ilmu mereka, namun mereka telah mulai menambah ke tenaga cadangan mereka.
Pandan Wangi yang berusaha memperpanjang waktu, berusaha untuk menahan diri, agar perkelahian itu menjadi bertambah panjang sehingga memberi kesempatan kepada Wuni untuk berbuat sesuatu. Meskipun Pandan Wangi belum pasti, tetapi ia merasa agaknya sulit untuk dapat menangkap Ki Saudagar itu seorang diri.
Jika kemudian suaminya datang, maka agaknya akan lebih mudah baginya dan mungkin juga bagi suaminya untuk menangkap orang itu. Dengan demikian maka akan dapat diketahui, apakah orang itu benar-benar datang untuk kepentingannya sendiri, seperti yang dikatakan, atau masih ada orang lain yang terlibat atau bahkan berdiri di belakangnya.
"Jika masalahnya dengan semata-mata, maka agaknya akan lebih mudah diselesaikan. Tetapi jika ada latar belakang yang lain, maka persoalannya memang akan dapat berkepanjangan" berkata Pandan Wangi didalam hatinya.
Dalam-pada itu, kedua orang di tepian itu telah bertempur semakin lama menjadi semakin cepat. Meskipun demikian, Pandan Wangi masih saja berusaha untuk memperpanjang waktu, sehingga ia sama sekali belum menunjukkan ilmunya yang dapat memancing lawannya untuk bersungguh-sungguh.
Dalam keadaan yang demikian, agaknya Wuni dapat menanggapi keadaan. Dua orang pengawal Ki Saudagar itu masih belum sempat memperbaiki keadaannya. Yang seorang rasa-rasanya tubuhnya telah kehilangan urat dan nadinya, sementara yang lain, kepalanya serasa bagaikan pecah. Sementara itu, Ki Saudagar sendiri telah terlibat dalam perkelahian melawan Pandan Wangi.
Karena itu, maka perlahan-lahan Wuni itu pun telah beringsut. Setiap kali perhatian Ki Saudagar tertumpah sepenuhnya kepada Pandan Wangi, maka ia pun telah ber"geser menepi.
Akhirnya, ketika kesempatan yang terbaik itu datang, setelah Wuni berada di bawah tebing, tiba-tiba saja gadis itu telah meloncat memanjat tebing yang tidak terlalu tinggi.
Bagaimanapun juga Wuni dan Pandan Wangi berusaha, namun Ki Saudagar itu pun akhirnya melihatnya pula. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia mengalihkan perhatiannya kepada gadis itu, rasa-rasanya Pandan Wangi justru bergerak semakin cepat, menyerang ke bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya.
Karena itu, Ki Saudagar itu hanya dapat berteriak-teriak kepada kedua pengikutnya. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika seorang di antara mereka berusaha untuk bangkit, maka orang itu pun telah terjerembab kembali. Untunglah bahwa tanah memang mengandung pasir, sehingga bibir orang itu tidak sobek terbentur batu padas.
"Anak celaka," geram Ki Saudagar, "ia telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar. Tetapi yang akan mengalami akibatnya adalah kau, Pandan Wangi."
"Kenapa?" bertanya Pandan Wangi yang sengaja ingin mengajak lawannya untuk berbicara panjang.
Tetapi Ki Saudagar berbicara sambil bertempur terus. Katanya, "Agaknya kau memang telah mengaturnya Pandan Wangi. Baiklah. Sekarang tugasku adalah menangkapmu, mengancammu jika ada orang lain sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan dengan pisau di lehermu, aku akan dapat memak"sa suamimu dan gurumu untuk menyerah. Kecuali jika mereka sudah tidak memerlukan kau lagi."
Pandan Wangi sama sekali tidak menanggapinya. Tetapi ia pun bertempur terus sebagaimana Ki Saudagar, yang bertempur semakin keras, karena kepergian Wuni bagi Ki Saudagar adalah satu syarat, bahwa ia harus lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya. Setidak-tidaknya menangkap dan mempergunakan Pandan Wangi sebagai perisai.
Namun dalam pada itu, Pandan Wangi pun telah meningkatkan kemampuannya pula untuk tetap bertahan menghadapi ilmu lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran di pinggir sungai itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Saudagar tidak lagi bermain-main dengan lawannya. Sementara itu Pandan Wangi pun harus mempertahankan diri. Ia harus berusaha untuk tidak dikuasai oleh lawan"nya, sehingga akan dapat dijadikan perisai untuk memaksa Swandaru dan Kiai Gringsing menyerah.
Namun sebenarnyalah bahwa orang yang disebut Ki Saudagar itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Geraknya semakin lama menjadi semakin cepat. Sedangkan kekuatannya yang dilontarkan dengan dukungan tenaga cadangannya terasa berapa besarnya.
Tetapi Pandan Wangi pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Dengan tangkasnya ia mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Sementara itu, Pandan Wangi telah sampai kepada ilmunya yang mengejutkan. Dengan segenap nalar budinya, maka telah terungkat lewat unsur-unsur geraknya, kemampuan yang jarang ada duanya. Kemampuan mengenai sasarannya melampaui ujud wadagnya.
Mula-mula Ki Saudagar itu memang menjadi bingung menghadapi ilmu yang sudah jarang itu. Tetapi kemampuannya menilai lawannya telah menuntunnya pada satu penglihatan, bahwa Pandan Wangi memang mampu menyentuh sasarannya sebelum wadagnya menyentuhnya.
"Perempuan gila," geram orang itu, "itulah agaknya kedua orangku dapat kau kalahkan. Aku tidak mengira bahwa kau memiliki ilmu iblis itu, sehingga meskipun aku mengamati pertempuran antara kau dan orang-orangku, namun aku tidak mempercayai dugaanku pada waktu itu. Tetapi ternyata kau benar-benar mampu melakukannya dengan baik."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia menyerang terus dengan dahsyatnya.
Namun Ki Saudagar memang seorang yang luar biasa. Semakin lama tata geraknya menjadi semakin mapan menghadapi ilmu Pandan Wangi. Bahkan dengan perhitungan yang cermat, maka Ki Saudagar mampu mendahului serangan-serangan Pandan Wangi yang dahsyat itu, justru untuk menghindarkan diri dari kesulitan.
Pandan Wangi yang mengerahkan segenap kemam"puannya yang pada akhirnya sampai pula ke puncak ilmunya, harus mengakui bahwa lawannya memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Perlahan-lahan Pandan Wangi mulai terdesak. Bahkan rasa-rasanya keadaannya pun menjadi semakin gawat. Serangan lawannyalah yang datang membadai, sehingga rasa-rasanya sulit bagi Pandan Wangi untuk membalas menyerang. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, terasa kekuatan orang itu memang lebih besar dari kekuatan Pandan Wangi.
Namun demikian Ki Saudagar itu masih saja mengumpat-umpat. Ia tidak dapat dengan cepat menguasai perempuan itu. Setiap kali Pandan Wangi masih saja mempunyai cara untuk melepaskan diri dari libatan serangan lawannya. Bahkan dalam pertempuran yang semakin sengit, Pandan Wangi telah sampai pada satu pengalaman baru. Ia menyadari, bahwa kemampuannya menyentuh lawannya mendahului wadagnya itu adalah satu lontaran kekuatan pada saat ia menyerang dengan hentakkan ilmunya yang sudah ditrapkan pada serangannya itu.
Karena itu, maka Pandan Wangi mulai membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Ia tidak berusaha menghindar ketika sebuah serangan yang keras telah Dilontarkan lawannya mengarah ke lambungnya dengan putaran kaki mendatar.
Dengan segenap kekuatan yang ada padanya, dengan hentakkan ilmunya yang ditrapkan dengan mapan, maka ia telah menghantam kaki lawannya, sebagaimana ia menyerang, bukan hanya sekedar menangkis.
Ternyata akibatnya adalah jauh berbeda. Serangan kaki yang mendatar itu terasa oleh lawannya bagaikan menghantam perisai yang berlapis ganda. Serangan Pan"dan Wangi ternyata telah mengenai kaki lawannya itu pada serangan kekuatan ilmunya yang mendahului wadagnya, sedangkan kemudian kaki lawannya itu benar-benar telah menyentuh tangan Pandan Wangi yang menghantam kaki yang terjulur mendatar menyerang lambung itu.
Benturan itu benar-benar tidak terduga. Justru karena itu, maka lawannya telah terdorong selangkah surut. Bahkan kemudian seakan-akan Ki Saudagar itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga ia harus memusatkan perhatiannya untuk bertahan agar tidak jatuh.
Tetapi Pandan Wangi tidak memberi kesempatan kepadanya. Dengan garangnya Pandan Wangi memburunya dan dengan serangan kaki mendatar pada loncatan menyamping, Pandan Wangi menyerang dada orang itu.
Memang tidak ada kesempatan untuk mengelak.
Sementara itu kekuatan Pandan Wangi yang dilambari dengan tenaga cadangannya, bagaikan menjadi berlipat oleh sentuhan gandanya.
Orang yang disebut Ki Saudagar itu mengeluh tertahan. Sekali lagi ia justru terlempar dan tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya yang memang sudah goyah.
Karena itu, maka orang itu pun telah terdorong jatuh terlentang di atas pasir tepian.
Namun Pandan Wangi lah yang kemudian terkejut. Orang yang terbanting jatuh itu dalam sekejap telah melenting dan bangkit berdiri di atas kedua kakinya yang renggang.
"Bukan main" desis Pandan Wangi.
Sebenarnyalah Ki Saudagar itu memiliki kemampuan melenting dengan cepat dan mapan.
Bahkan dengan wajah yang merah oleh kemarahan yang menghentak di dadanya Ki Saudagar itu berkata "Kau memang tidak dapat di tundukkan dengan cara yang baik. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa akibatnya tentu akan menimpa dirimu sendiri."
Pandan Wangi tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, Ki Saudagar itu sudah menyerangnya lagi. Tetapi serangan-serangan berikutnya itu pun telah dilakukan dengan cara yang aneh, tetapi mendebarkan. Kaki Ki Saudagar kemudian bagaikan berubah menjadi kaki bilalang. Loncatan-loncatannya menjadi panjang dan sangat kuat.
Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun harus menyesuaikan diri dengan tata gerak lawannya. Dengan segenap kemampuan yang ada, maka Pandan Wangi berusaha untuk mengimbangi kecepatan gerak Ki Saudagar yang melenting-lenting, meloncat dan menyerang.
Dengan kemampuan pengamatannya, maka Pandan Wangi mengerti, bahwa ada satu kekuatan yang telah mendukung kemampuan dan kekuatan gerak pada kaki Ki Saudagar. Mungkin sebangsa ilmu yang membuat orang itu menjadi sangat cekatan.
Karena itu, Pandan Wangi menjadi ragu-ragu untuk membentur kekuatan lawannya, terutama pada serangan kakinya. Karena itu, yang dilakukan Pandan Wangi kemu"dian adalah justru lebih banyak mengelakkan diri. Namun demikian, Pandan Wangi justru mempergunakan setiap kesempatan untuk menyerang. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan lawannya yang mendebarkan itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat. Saling menyerang dan saling menghindar. Sekali-sekali Pandan Wangi terdesak beberapa langkah surut, namun kemudian Pandan Wangi-lah yang mendesak lawannya.
Tetapi semakin lama kemampuan lawannya yang bertumpu pada kakinya itu membuat Pandan Wangi semakin sulit. Ketika serangan kaki itu tidak lagi mampu dihindarinya, maka Pandan Wangi telah menghentakkan kekuatannya justru menghantam kaki itu, agar ia mampu melepaskan kekuatan gandanya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan kaki lawannya itu bagaikan berlipat pula, sehingga dalam setiap benturan, maka Pandan Wangi pun telah terdorong surut, sebagaimana lawannya. Bahkan semakin lama benturan-benturan itu menjadi semakin menyakitinya.
Dengan ilmunya yang aneh itu, Ki Saudagar benar-benar ingin mengalahkan dan menguasai lawannya. Ki Saudagar itu melenting dengan cepat dan menyerang dari segala arah. Mula-mula Ki Saudagar masih harus mengumpat karena Pandan Wangi masih mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Namun kemudian, Saudagar itu yakin, bahwa ia akan dapat menguasai perempuan yang luar biasa itu. Namun bagi Ki Saudagar, waktu yang diperlukan ternyata terlalu lama.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Saudagar itu mengumpat dengan kasarnya yang ditujukan kepada kedua pengawalnya, "He, pemalas, pengecut. Apakah kalian akan berbaring saja di tepian ini he?"
Suara itu mengejutkan kedua orang yang masih saja bermalas-malas. Bahkan rasa-rasanya mereka lebih senang memperhatikan pertempuran yang dahsyat itu daripada ikut mencampurinya.
Namun Ki Saudagar telah berteriak kepada mereka.
Karena itu, maka kedua orang itu pun berusaha untuk tegak kembali. Ternyata keadaan mereka menjadi lebih baik setelah mereka sempat beristirahat. Dengan demikian, maka setelah menggeliat, maka mereka pun mulai bergeser mendekati arena.
"Bantu aku menangkap perempuan ini" geram Ki Saudagar.
Pandan Wangi benar-benar menjadi berdebar-debar. Jika kedua orang itu telah mendapatkan tenaga mereka kembali, meskipun belum pulih sama sekali, rasa-rasanya Pandan Wangi akan mengalami kesulitan.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu pun agaknya benar-benar akan membantu Ki Saudagar. Mereka pun kemudian berpencar dan berdiri di arah lain dari Pandan Wangi, sehingga ketiga orang itu seakan-akan telah mengepungnya.
Meskipun kedua orang itu tidak memiliki kemampuan seperti Ki Saudagar, bahkan mereka telah kehilangan sebagian dari tenaga mereka, namun bersama-sama mereka masih tetap berbahaya bagi Pandan Wangi.
Dalam pada itu, Pandan Wangi masih tetap bertempur melawan Ki Saudagar yang memiliki kecepatan gerak yang luar biasa dengan kekuatan kaki yang luar biasa pula. Sekali-sekali Pandan Wangi masih saja terdesak dan bahkan kadang-kadang terlempar beberapa langkah surut, jika terpaksa terjadi benturan dengan serangan kaki Ki Saudagar itu.
Namun dalam pada itu, Pandan Wangi masih belum berputus-asa. Yang terjadi. itu justru merupakan pengalaman pengalaman yang memaksa Pandan Wangi melakukan semacam percobaan atas ilmunya.
Ketika serangan Ki Saudagar itu menjadi semakin mendesak, maka Pandan Wangi telah mengambil satu sikap yang tidak diduga pula oleh Ki Saudagar. Dalam serangan yang gawat Pandan Wangi telah terdesak. Namun ia berhasil meloncat menyusup di antara kedua orang pengawal Ki Saudagar. Dengan loncatan panjang Pandan Wangi berusaha untuk mengambil jarak.
Ki Saudagar tidak mau melepaskannya. Karena itu, maka ia pun siap untuk memburunya. Dengan kekuatan kaki yang luar biasa, seperti belalang Ki Saudagar itu meloncat dengan loncatan yang panjang.
Tetapi Pandan Wangi telah siap. Dengan mengerahkan nalar budinya dalam pemusatan ilmunya, maka Pandan Wangi telah melontarkan satu pukulan dari jarak beberapa langkah sebelum Ki Saudagar itu mampu berdiri tegak.
Serangan itu tidak diduga sama sekali oleh Ki Saudagar. Ia tidak menyangka bahwa pada jarak yang masih beberapa langkah itu, dadanya bagaikan dihantam oleh kekuatan yang sangat besar. Karena itu maka Ki Saudagar yang tidak sempat mengelak itu telah terdorong beberapa langkah surut, justru pada saat ia meloncat maju memburu Pandan Wangi.
Terasa dada Ki Saudagar itu bagaikan terhimpit oleh bukit padas. Nafasnya serasa tersumbat, sehingga menjadi sesak.
Pandan Wangi berusaha mempergunakan kesempatan itu sebaik baiknya. Sekali lagi ia berusaha menyerang Ki Saudagar. Dua langkah ia maju sambil mempersiapkan ilmunya.
Demikian Ki Saudagar berusaha memperbaiki keseim"bangannya, maka serangan Pandan Wangi berikutnya telah menghantamnya sekali lagi.
Ki Saudagar itu kembali terlempar beberapa langkah. Bahkan kemudian keseimbangannya bagaikan tidak lagi dapat dikuasainya, sehingga ia pun terhuyung-huyung seperti batang ilalang yang diputar oleh angin pusaran.
Tetapi ketika Pandan Wangi melontarkan serangannya sekali lagi, Ki Saudagar itu justru telah menjatuhkan dirinya, sehingga serangan itu tidak mengenainya.
Ternyata bahwa Ki Saudagar itu telah menemukan cara yang paling baik untuk melawan serangan Pandan Wangi. Ki Saudagar tidak boleh menunggu. Ia harus dengan cermat mengamati setiap gerak Pandan Wangi, agar dadanya tidak dihentak oleh serangan perempuan itu dari jarak beberapa langkah.
Sementara itu, maka Ki Saudagar pun harus berusaha agar ia melihat Pandan Wangi dalam pertempuran jarak pendek, sehingga Pandan Wangi tidak sempat melontarkan serangan berjarak.
Sebenarnyalah bahwa Ki Saudagar memang seorang yang memiliki kelebihan. Ia mempunyai daya tahan yang luar biasa. Serangan-serangan Pandan Wangi yang berhasil melemparkannya dan membuat nafasnya sesak, ternyata dalam sekejap seakan akan sudah tidak membekas lagi. Bahkan kemudian, serangan-serangannya pun telah melibat Pandan Wangi dengan garangnya. Kakinya yang memiliki kekuatan berlipat ganda itu jadi bahaya yang gawat bagi pertahanan Pandan Wangi.
Apalagi ketika kemudian dua orang pengawalnya yang keadaannya sudah menjadi semakin baik itu pun melibatkan diri langsung melawan perempuan itu.
Dengan demikian, betapa pun kemampuan Pandan Wangi dengan ilmunya, namun ia benar-benar telah terdesak. Ki Saudagar itu telah mengetahui kekuatannya, sehingga dengan kecepatan geraknya ia mampu mengatasinya, bahkan kemudian berusaha untuk menguasainya pada jarak yang pendek bersama dengan dua orang pengawalnya bersama-sama.
Pandan Wangi yang marah itu tidak akan dapat menuntut terlalu banyak dari lawannya. Ketika ia mengatakan, bahwa cara yang ditempuh lawannya itu adalah cara yang sangat licik, maka Ki Saudagar itu tertawa. Katanya "Aku bukan orang yang sedang mempertaruhkan harga diriku dalam satu perang tanding. Aku datang untuk menangkapmu dengan cara apa pun juga. Dengan cara yang paling licik pun tidak ada keberatannya. Apalagi yang mengatakan adalah kau, orang yang sedang mengalami kesulitan.
Pandan Wangi menggeram. Tetapi sebenarnyalah, keadaannya memang menjadi semakin sulit. Meskipun kedua orang pengawal itu tidak mempunyai kelebihan apa pun juga dibandingkan dengan Pandan Wangi, tetapi bersama-sama dengan Ki Saudagar, maka mereka terasa sangat banyak mengganggu pemusatan perlawanan Pandan Wangi.
Dalam pada itu, ternyata bahwa semakin lama, Pandan Wangi yang telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya itu pun menjadi semakin banyak menitikkan keringat, sehingga daya perlawanannya pun menjadi semakin surut. Meskipun kesulitan demi kesulitan masih dapat diatasi, tetapi kesulitan itu datang semakin sering.
Ketika kelelahan mulai menjamah Pandan Wangi yang terpaksa mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan tiga orang yang akan menangkapnya itu, maka perlawanannya pun mulai kehilangan banyak kesempatan. Serangan-serangan Ki Saudagar yang memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga kakinya seakan-akan telah terisi dengan kekuatan yang berlipat-lipat, semakin sering menyusup menembus pertahanannya, sedangkan Pandan Wangi sendiri tidak banyak mempunyai kesempatan untuk menyerang.
Dalam puncak kesulitannya, maka serangan kaki Ki Saudagar meluncur mengarah ke lambung Pandan Wangi. Dengan menghentakkan sisa kekuatannya, Pandan Wangi yang tidak sempat menghindar, justru telah memukul kaki lawannya. Satu kekuatan ganda telah menahan serangan kaki itu, sehingga kaki Ki Saudagar itu tergeser. Bahkan Ki Saudagar yang terdorong surut, segera meloncat untuk memperbaiki keseimbangannya. Namun Pandan Wangi tidak sempat menyerangnya dari tempatnya dengan serangannya yang berjarak karena kedua orang pengawal Ki Saudagar bersama-sama telah menyerangnya dari dua arah.
Pandan Wangi sempat menghindari serangan yang datang dari salah seorang pengawal itu, dan kemudian justru menghantam serangan pengawal yang lain, sehingga orang yang membentur kekuatan ganda itu telah terlem"par dan jatuh berguling. Namun pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi pun telah kehilangan kesempatan untuk menghindar mau pun menangkis serangan Ki Saudagar yang datang dengan kecepatan yang luar biasa menghantam lambungnya.
Pandan Wangi lah yang kemudian terlempar dan jatuh terguling di pasir tepian. Sambil menyeringai menahan sakit Pandan Wangi berusaha untuk melenting berdiri. Tetapi pada saat kakinya berpijak di atas pasir, pengawal Ki Saudagar yang seorang telah menghantamnya pula dengan serangan kaki menyamping mengenai dadanya. Pandan Wangi masih berusaha melindungi dadanya dengan tangannya, tetapi ia terlambat, sehingga serangan kaki itu telah menembus pertahanannya menghantam dadanya.
Pandan Wangi terguncang. Tetapi ia masih dapat bertahan atas keseimbangannya, sehingga Pandan Wangi masih tetap tegak. Namun serangan berikutnya adalah serangan kaki Saudagar sendiri langsung menghantam punggung.
Pandan Wangi jatuh terjerembab. Kaki Ki Saudagar yang mempunyai kekuatan yang luar biasa itu, telah membuat nafas Pandan Wangi menjadi sesak. Isi dadanya seakan akan telah dirontokkan oleh pukulan di punggungnya itu.
Namun Pandan Wangi masih berusaha untuk berguling. Tetapi ketika ia berusaha untuk bangkit, maka niat itu pun telah diurungkannya. Tiba-tiba saja ujung sebilah pedang telah melekat di dadanya, sementara Ki Saudagar berjongkok di sampingnya. "Pengecut", geram Pandan Wangi.
"Sudah aku katakan", jawab Ki Saudagar. "aku tidak sedang mempertaruhkan harga diriku. Apa pun yang kau sebut, aku tidak berkeberatan."
Pandan Wangi yang marah itu justru tidak dapat berkata apa pun juga. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Sementara itu ia melihat kedua pengawal Ki Saudagar itu berdiri dengan sangat letihnya di belakang Ki Saudagar yang sedang berjongkok.
"Kau sekarang berada dalam kekuasaanku," desis Ki Saudagar, "ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi perempuan binal."
Pandan Wangi tidak dapat berbuat apa-apa. Pedang Ki Saudagar telah melekat di dadanya. Seandainya yang memegang pedang itu bukan seorang yang berilmu tinggi, maka Pandan Wangi masih mempunyai kemungkinan untuk berbuat sesuatu. Tetapi Ki Saudagar itu pun seorang yang mumpuni sehingga jika ia mencoba untuk melakukan satu tindakan yang mencurigakan, maka pedang itu akan dapat menghunjam di dadanya.
Karena itu, Pandan Wangi berusaha untuk mengekang diri. Betapa pun kemarahan dan kebencian bergejolak di dalam dadanya, namun ia masih dapat mempergunakan akalnya. Ia harus tetap hidup sebelum terbuka satu kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun justru dengan lemahnya telah terbaring diam di tepian. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa perempuan itu akan menghentakkan diri untuk berusaha terlepas dari kekuasaan Ki Saudagar.
Tetapi ternyata Ki Saudagar itu tertawa sambil berdesis jangan berpura-pura anak manis. Kau kira, aku dapat menjadi lengah melihat sikapmu yang seakan-akan berputus asa itu" Aku mengerti, bahwa pada saat kau akan meloncat dan dengan pukulan gandamu kau akan membebaskan diri. Tetapi segala usahamu itu tidak ada gunanya.
"Aku tahu" jawab Pandan Wangi, "karena segala usahaku tidak akan ada gunanya, maka aku tidak akan berusaha berbuat apa-apa. Tetapi aku masih dapat menunggu kedatangan orang-orang Sangkal Putung bersama suamiku. Kau selanjutnya akan dicincang di tepian ini bersama kedua orang pengawalmu yang tidak mampu berbuat apa-apa itu, selain mengeluh."
"Jangan bermimpi. Suamimu tidak akan berani melangkah turun dari atas tebing itu. Selangkah ia turun, maka pedangku ini sudah menghunjam ke dadamu." geram Ki Saudagar.
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia memang merasa cemas, bahwa suaminya akan terpengaruh oleh sikap lawannya, yang mempergunakan dirinya sebagai perisainya.
"Sekarang bangkitlah," berkata Ki Saudagar, "perlahan-lahan. Kau harus segera berdiri dan berjalan menurut perintahku."
"Kau memang bodoh" berkata Pandan Wangi-kita akan menjadi tontonan.
"Apa salahnya?" sahut Saudagar itu.
"Pakaianku basah. Aku harus berganti pakaian" gumam Pandan Wangi kemudian.
"Jangan main-main perempuan cantik. Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau sedang mencari kesempatan," Ki Saudagar itu tertawa, "sekarang kau harus berjalan dalam pakaianmu yang basah dan kotor oleh pasir tepian. Tetapi itu adalah salahmu sendiri. Aku sudah memberi kesempatan sebelumnya. Tetapi kau menolak. Bahkan kau telah memberi kesempatan kepada gadis yang ingin aku bawa pula itu untuk lari dan memberikan laporan kepada suamimu.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ki Saudagar itu tidak mudah untuk dikelabuhinya. Ia cukup cerdik menangkap siratan niat Pandan Wangi.
Karena itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan ia pun bangkit berdiri. Sementara Ki Saudagar yang sudah berdiri pula, tetapi mengacungkan pedangnya ke dada Pandan Wangi.
"Sekarang kita berangkat berkata Ki Saudagar.
"Kemana?" bertanya Pandan Wangi.
"Menurut perintahku. Kita akan berjalan ke Utara-berkata Ki Saudagar.
Pandan Wangi termangu-mangu. Ki Saudagar yang kemudian berada di belakangnya, mengacukan ujung pedangnya ke punggung Pandan Wangi. Sambil menekankan ujung pedangnya ia berkata "Cepat. Mulailah melangkah."
Tetapi ketika Pandan Wangi mulai melangkah, maka mereka pun terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara di atas tebing "Tunggu."
Ketika orang-orang yang berada di tepian itu berpaling, maka mereka kelihatan Swandaru, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berdiri termangu-mangu. Kemudian disusul oleh beberapa orang pengawal Sangkal Putung.
"Tetaplah di situ" berkata Ki Saudagar, "selangkah kalian turun, maka pedang ini akan menusuk ke dalam punggung perempuan cantik ini."
"Tetapi kau tidak akan terlepas dari tangan kami" teriak Swandaru yang marah.
"Kau kira aku takut mati" Alangkah senangnya mati bersama sama perempuan cantik ini. Kami akan bersama-sama meniti pelangi yang berwarna warni naik ke surga yang paling indah." jawab Ki Saudagar.
Swandaru menggeram. Sementara itu Kiai Gringsing pun berdesis."Jangan tergesa-gesa Swandaru. Kita harus mencari jalan.
"Nah, jika demikian, maka silahkan. Siapakah yang akan turun dan melihat tubuh perempuan ini terkapar di tepian" Kemudian siapakah yang akan membunuh aku" Atau barangkali kalian ingin beramai-ramai melakukannya?" Ki Saudagar itu justru tertawa semakin keras.
Swandaru hampir tidak dapat menahan diri. Tetapi sekali lagi Kiai Gringsing bergumam "Hati-hati. Orang itu tidak sekedar bermain main. Ia akan dapat benar-benar membunuh Pandan Wangi."
"Lalu, apakah yang akan kita lakukan?" Swandaru menjadi tidak sabar.
"Kita harus mempergunakan otak kita," jawab Kiai Gringsing, "mudah mudahan kita menemukan suatu cara. Tetapi tidak dengan tergesa-gesa. Kita harus berusaha mempertahankan keadaan ini. Pandan Wangi harus tetap hidup."
Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih tetap berdiri di tempatnya. Tubuhnya justru menjadi gemetar oleh kemarahan yang mencengkam.
Tiba-tiba saja ia berteriak, "Jika kau laki-laki. Aku tantang kau berperang tanding. Jika aku kalah, perlakukan Pandan Wangi sesuai dengan rencanamu."
Tetapi jawaban Ki Saudagar memang menyakitkan hati. Dengan nada tinggi ia menjawab "Aku bukan seorang kesatria yang tahu akan harga diri. He, kau suami perempuan cantik ini bukan" Nah, jika demikian, dengarlah. Aku ingin membawa perempuan ini pergi. Jika kau akan mengikutinya, aku tidak keberatan. Tetapi ajak gurumu yang bernama Kiai Gringsing. Ia telah membunuh guruku. Aku harus membalas sakit hati dan penghinaan atas perguruanku. Aku tidak peduli cara apa yang dapat aku lakukan."
Swandaru menggeram. Tetapi Kiai Gringsing berkata "Sudahlah. Ia tidak akan dapat kau ajak berbicara. Baiklah kita ikuti saja kehendaknya.
"Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi ?" desis Swandaru.
"Kita akan berusaha. Mungkin masih ada kesempatan" jawab Kiai Gringsing.
Swandaru menjadi semakin tegang. Tetapi ternyata orang yang mengancam isterinya itu seakan-akan tidak memperhatikannya. Dengan ujung pedangnya ia mendo"rong Pandan Wangi sambil berkata "Marilah anak manis. Kita memang harus berjalan-jalan menyusur sungai ini. Jika terpaksa kita menjadi tontonan, apaboleh buat."
Pandan Wangi, menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menolak. Seperti Kiai Gringsing ia berpendapat, bahwa ia harus tetap hidup jika ia ingin mendapatkan kesempatan.
"Cepat sedikit" Ki Saudagar itu menekan punggung Pandan Wangi dengan pedangnya. Lalu katanya kepada orang-orang yang berada di atas tebing "Marilah. Siapa yang akan ikut bersamaku. Tetapi tidak lebih dari Swandaru dan gurunya."
Swandaru mengumpat didalam hati. Kemarahannya telah membuat tubuhnya gemetar. Tetapi ia benar-benar harus berusaha untuk menahan diri.
Dalam pada itu, maka Pandan Wangi pun mulai melangkah. Sementara itu Ki Saudagar pun berkata kepada kedua pengawalnya "Amati orang-orang di atas tebing itu. Jika di antara mereka ada yang mencurigakan, beri aku isyarat. punggung yang kuning ini akan segera berlubang oleh ujung pedangku. Beta pun sayangnya, tetapi apaboleh buat."
"Gila." geram Pandan Wangi.
Tetapi Ki Saudagar itu hanya tertawa saja. Bahkan Katanya, "Aku telah kehilangan Wuni. Kau akan menjadi gantinya setelah aku membunuh guru suamimu itu."
Meskipun dada Pandan Wangi bagaikan meledak, namun ia tidak berbuat apa-apa. Ia melangkah saja di tepian. Kemudian melangkah di antara bebatuan. Namun Pandan Wangi itu benar-benar berusaha untuk tidak melakukan satu perbuatan yang mencurigakan. Bagaimanapun juga pada suatu saat ia berharap untuk mendapatkan kesempatan.
Ki Saudagar itu berjalan di belakangnya. Ujung pedangnya masih selalu melekat di punggung Pandan Wangi. Sementara itu di atas tanggul, Swandaru, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berjalan mengikutinya.
"Satu perjalanan yang mungkin tidak menyenangkan." berkata Ki Saudagar. Namun ia pun kemudian berteriak "Suruh para pengawal itu kembali. Jika mereka masih saja mengikuti aku, maka aku tidak bertanggung jawab atas keselamatan Pandan Wangi."
"Anak setan" geram Swandaru.
Namun Kiai Gringsing lah yang kemudian berkata kepada para pengawal itu "Tinggallah. Biarlah hal ini kami selesaikan, demi keselamatan Pandan Wangi."
Para pengawal itu termangu-mangu. Tetapi ketika mereka melihat wajah Kiai Gringsing yang bersungguh-sungguh, maka mereka pun kemudian berhenti.
"Apa yang dapat kita lakukan?" desis salah seorang di antara para pengawal.
"Aku tidak tahu-sahut yang lain" mudah mudahan Kiai Gringsing dapat memecahkan kesulitan ini.
Dengan jantung yang berdegupan, maka para pengawal itu pun kemudian hanya dapat melihat Swandaru melangkah dengan tubuh gemetar oleh kemarahan yang memuncak, diikuti oleh Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.
Beberapa saat mereka berjalan. Tetapi akhirnya Swandaru mengalami kesulitan. Di atas tebing telah tumbuh gerumbul-gerumbul pandan, sehingga Swandaru tidak dapat lagi mengikutinya dari atas tebing. Karena itu, maka ia pun telah meluncur turun ke tepian.
"Orang itu meloncat turun" teriak salah seorang pengawal Ki Saudagar.
Tetapi Ki Saudagar tertawa. Katanya, "Biarlah mereka mengikut kita. Agaknya mereka tidak dapat berjalan di atas tanggul itu."
Jawaban itu membuat dada Swandaru semakin panas. Tetapi ia tidak dapat menuangkannya. Justru karena itu, maka rasa-rasanya dadanya itu akan retak karenanya.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga pun telah turun pula dan berjalan di tepian yang semakin sempit. Ketika sungai itu kemudian berkelok, maka mereka sudah harus berjalan menyusuri air sungai yang mengalir di antara batu-batu.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka sampai di tempat yang sulit dicapai oleh seseorang, maka Ki Saudagar itu pun berkata, "Pandan Wangi. Berhentilah."
Pandan Wangi berhenti dengan dada yang berdebaran. Kemudian Ki Saudagar itu telah berputar dari balik punggung Pandan Wangi ia berdiri menghadap kepada Swandaru dan kedua orang tua yang mengikutinya, yang berhenti beberapa langkah daripadanya.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat melubangi punggung Pandan Wangi" berkata Ki Saudagar jika terjadi sesuatu atas kulit perempuan yang halus ini, maka kalianlah yang bertanggung jawab.
Swandaru hanya dapat menggeretakkan giginya.
"Nah, Ki Sanak," berkata Ki Saudagar, "agaknya memang sudah sampai saatnya, dendamku akan dapat tertumpahkan. Kematian guruku telah menyiksaku siang dan malam. Karena itu, maka adalah kebetulan sekali aku bertemu dengan Pandan Wangi tanpa seorang pengawal pun di pinggir sungai ini, ketika ia sedang mencuci pakaiannya."
Jilid 178 TIDAK seorangpun yang menyahut. Semuanya terdiam dengan ketegangan yang menghimpit dada.
Dalam pada itu, maka terdengar suara Ki Sudagar"Nah, marilah. Aku minta orang yang telah membunuh guruku untuk maju beberapa langkah."
"Aku yang membunuh gurumu"geram Swandaru. Tetapi Ki Sudagar itu tertawa.
Katanya"Jangan mengigau. Guruku akan mampu memecahkan kepalamu dengan ujung jarinya. Kau sangka aku terlalu bodoh untuk mempercayai kata-katamu itu?"
Kiai Gringsing menggamit Swandaru yang hampir tidak mampu menahan diri.
Sementara itu, maka gurunya itupun melangkah mendekati sambil berkata"Baiklah. Aku tidak akan ingkar.. Jika benar gurumu terbunuh di peperangan, maka akulah yang telah membunuhnya."
"Bagus"desis Ki Sudagar"aku akan minta kau maju lagi beberapa langkah Kiai."
Kiai Gringsing tidak mau melakukan kesalahan yang akan dapat mencelakakan Pandan Wangi. Karena itu, maka iapun telah melangkah maju beberapa langkah mendekati Ki Sudagar. Tetapi Ki Sudagar justru menarik Pandan Wangi untuk mundur beberapa langkah sambil berkata"Berhenti disitu."
Kiai Gringsingpun berhenti di tempatnya. Dengan ragu-ragu ia memandang Ki Sudagar yang memegangi lengan Pandan Wangi sambil mengancam punggungnya dengan pedang.
"Apa maumu Ki Sanak?"bertanya Kiai Gringsing.
"Kiai"berkata Ki Sudagar"sayang, bahwa pertemuan kita kali ini bukannya satu pertemuan yang ramah. Tetapi aku akan mohon agar Kiai sudi menunduk sebentar. Aku ingin memenggal kepala Kiai dengan pedangku ini."
Wajah Kiai Gringsing dengan serta merta telah berubah. Bahkan Swandaru telah mengumpat sambil berkata"Kau sudah gila."
"Ya. Aku memang sudah gila. Sejak guruku meninggal, aku memang menjadi gila.
Tetapi setelah aku membunuh orang yang telah membunuh guruku, maka aku akan segera sembuh."jawab orang itu.
Swandaru menghentakkan tangannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika Ki Sudagar itu berkata"Jangan menyebabkan isterimu ini terbunuh disini."
Swandaru terdiam. Tetapi giginya gemeretak dan dadanya bagaikan meledak.
Tetapi Kiai Gringsing sendiri menarik nafas dalam-dalam sambil berkata"Kau aneh Ki Sanak, apakah kau kira seseorang akan dengan begitu mudahnya menyerahkan kepalanya?"
"Aku tahu Kiai. Tetapi terserahlah kepada Kiai. Jika Kiai berkeberatan, maka biarlah Pandan Wangi sajalah yang akan mati disini. Aku akan dapat membunuhnya, atau barangkali ada cara lain. Aku bawa saja Pandan Wangi kemana aku suka. Jika kalian menghalangi, maka apaboleh buat. Perempuan ini terpaksa mati ditepian ini.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Swandaru rasa-rasanya ingin meloncat menerkam orang yang telah mengancam Pandan Wangi dengan pedangnya itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing itupun berkata"Jika kau tidak memberikan pilihan lain, apaboleh buat Ki Sanak. Kau dapat membunuh aku. Tetapi jangan berbuat sesuatu atas Pandan Wangi."
"Jangan Kiai"Pandan Wangilah yang menjawab"biarkan saja aku dibunuh disini.
Tetapi Kiai jangan menyerah."
"Pandan Wangi"potong Swandaru yang dalam keseimbangan. Ia benar-benar menjadi bingung. Ia tidak ingin kehilangan gurunya atau Pandan Wangi. Tetapi orang yang mengancam Pandan Wangi itu tidak mau memberikan pilihan lain. Gurunya atau Pandan Wangi.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsinglah yang berkata"Biarlah orang itu membunuhnya. Aku tidak akan melawan."
"Jangan"geram Swandaru.
"Tidak ada pilihan lain Swandaru. Aku sudah tua. Aku sudah terlalu lama hidup dan makan pahit asamnya kehidupan. Sedangkan Pandan Wangi masih muda. Ia masih akan menikmati kehidupan yang panjang."berkata Kiai Gringsing.
"Jangan percaya kepada orang ini"berkata Pandan Wangi"seandainya ia membunuh Kiai, ia masih juga dapat berbuat curang."
"Tentu tidak Pandan wangi"berkata Kiai Gringsing"kita akan minta jaminannya. Ia akan melepaskan kau lebih dahulu sebelum ia memenggal leherku. Dengan demikian, maka keselamatanmu akan terjamin."
Tetapi Ki Sudagar itu tertawa. Katanya"Aku bukan anak yang dungu. Begitu aku melepaskan Pandan Wangi, maka begitu ia menyerangkan dengan tenaga gandanya.
Disusul dengan lontaran suaminya dan gurunya."
"Jadi bagaimana menurut kehendakmu?"bertanya Kiai Gringsing.
Tiba-tiba saja orang itu mengerutkan keningnya.
Sejenak ia merenung. Sementara itu Kiai Gringsing berkata"Apakah kau akan memerintahkan salah seorang pembantumu itu untuk memenggal leherku?"
"Tidak. Aku ingin membalas dendam dengan tanganku sendiri"jawab orang itu dengan serta merta.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya"Jadi kau akan melepaskan Pandan Wangi sebelum kau melakukannya?"
Ki Sudagar termangu-mangu. Namun kemudian katanya"Kedua orang pengawalku akan mengawasi Pandan Wangi. Akulah yang akan mememggal kepala Kiai Gringsing yang namanya menggetarkan bumi Pajang dan Mataram. Aku akan dapat berceritera kepada anak cucuku kelak, bahwa yang telah membunuh Kiai Gringsing adalah Ki Sudagar Branawangsa."
"Satu kelicikan yang paling gila"geram Swandaru.
"Jangan berbicara tentang kelicikan. Aku tidak akan ingkar jika kau mengatakan bahwa aku orang yang sangat licik, pengecut dan cacat apa lagi. Tetapi nyatanya, akulah, Ki Sudagar Branawangsa, yang telah membunuh gurumu."
Kemarahan yang memuncak rasa-rasanya justru telah menyumbat keorngkongannya. Swandaru rasa-rasanya tidak dapat berbicara apa-apa lagi, selain gemeretak giginya sajalah yang terdengar.
Namun sementara itu Kiai Gringsing berkata"Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak berkeberatan untuk menggantikan Pandan Wangi yang sekarang sudah kau kuasai. Tetapi aku memerlukan jaminan bahwa Pandan Wangi tidak akan mengalami kesulitan lagi sepeninggalanku."
"Aku akan memenggal lehermu. Kemudian, aku akan melepaskan Pandan Wangi"sahut Ki Sudagar.
"Tidak"Pandan Wangilah yang menyahut"jangan percaya. Sebaiknya Kiai jangan mengorbankan diri. Apapun yang terjadi, aku tidak akan dilepaskannya
"Diam kau" bentak Ki Sudagar sambil menekankan ujung"pedangnya."Jangan membuat aku semakin marah, sehingga aku akan dapat berbuat apa saja yang semakin menyulitkanmu."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketegangan menjadi semakin menekan.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsinglah yang berkata"Sudahlah. Biarlah aku terima keputusannya. Aku masih percaya bahwa orang itu masih mempunyai sedikit kejujuran didalam hatinya. Seandainya ia benar-benar memenggal leherku, maka ia tentu akan melepaskan Pandan Wangi."
"Tidak mungkin"teriak Swandaru"ia justru akan menuntut yang lain lagi. Ia tidak akan berani menyerahkan Pandan Wangi, karena aku masih akan dapat membunuhnya. Ia tentu masih akan mempergunakannya sebagai perisai."
"Nah, jika demikian terserah kepada kalian. Apa yang akan kalian lakukan" Sudah aku katakan, jika kalian tidak menurut perintahku, maka Pandan Wangi akan aku bunuh, meskipun aku sadar bahwa akibatnya akupun akan mati. Tetapi sudah aku katakan, mati bersama perempuan cantik adalah menyenangkan sekali."jawab saudagar itu.
"Tutup mulutmu"Swandaru berteriak semakin keras.
Tetapi saudagar itupun tertawa semakin keras"Kau dapat menjadi gila karenanya."
Swandaru benar-benar tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun sementara itu sekali lagi Kiai Gringsing berkata"Jika kita tetap pada sikap kita masing-masing, maka persoalan ini tidak akan berkesudahan. Karena itu, biarlah ia membunuh aku.
Mungkin dengan demikian akan dapat dicapai satu penyelesaian yang baik dengan sepeninggalku."
Swandaru masih akan menjawab. Tetapi Kiai Jaya-raga yang sejak semula hanya berdiri membeku saja, telah menggamit Swandaru sambil berkata"Memang tidak ada pilihan lain."
Swandaru memandang Kiai Jayaraga dengan sorot mata yang bagaikan membakar.
Sepercik perasaan yang asing telah melonjak didalam hatinya."Jangan-jangan Kiai
Jayaraga ini juga berharap agar Kiai Gringsing tersingkir. Dengan demikian tidak akan
ada lagi orang yang dapat mengalahkannya."
Tetapi Swandaru memang tidak, melihat kemungkinan lain yang dapat dilakukan.
Pandan Wangi benar-benar telah dikuasai oleh orang-orang yang dibakar oleh dendam
karena kematian guru Ki Sudagar itu.
Dalam keragu-raguan itu, maka sekali lagi Kiai Gringsing berkata"Silahkan Ki Sanak.
Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku akan menundukkan kepalaku dan pedangmu
akan dapat memenggalnya."
"Jangan"teriak Pandan Wangi. Namun ujung pedang Ki Sudagar justru menekannya.
Demikian tiba-tiba sehingga Ki Sudagar itu kurang dapat memperhitungkannya. Karena
itulah, maka ternyata bahwa punggung Pandan Wangi telah tergores oleh ujung pedang
itu, sehingga darahpun mulai mengalir.
Pandan Wangi mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia merasa punggungnya menjadi
pedih. Bahkan kemudian diluar sadarnya, tangannya meraba sesuatu yang hangat
meleleh dipunggungnya itu.
"Bukan salahku"geram Ki Sudagar"sudah aku katakan. Jangan.melakukan sesuatu
yang dapat menyakiti dirimu sendiri."
Betapapun kemarahan membakar setiap dada, tetapi mereka memang harus
menahan diri. Apalagi ketika mereka melihat, dari punggung Pandan Wangi benar-benar
telah meleleh darah. "Sekarang, jangan membuang waktu lagi p-berkata
Kiai Gringsing"siapa yang akan memenggal leherku, lakukan. Aku sudah tidak
mempunyai pertimbangan apa-apa lagi."
Ki Sudagar memandang Kiai Gringsing itu sejenak. Namun kemudian terdengar ia
tertawa"Alangkah senangnya jika guru melihat kebingungan orang tua yang putus-a&a
ini.Cepat, berjongkoklah."Iapun segera berjongkok sambil mengatupkan telapak
tangannya di|da danya. Ki Sudagar itupun kemudian berkata kepada kedua pembantunya"Cepat. Kemarilah.
Jaga perempuan ini baik-baik. Lekatkan ujung pedang kalian dipunggung perempuan
ini. Jika ia melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan, maka kalian dapat
menhehtikannya

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan ujung pedang kalian. Tetapi?"?"".
"Ki Sadagar itu menjadi ragu-agu. Lalu katanya"Jangan sampai perempuan itu mati.
Aku masih memerlukannya untuk menyelesaikan suaminya dan dengan demikian aku
akan selamat keluar dari lembahh ini."
"Licik, gila"Swandaru mengumpat-umpat.
Tetapi Ki Sudagar itu hanya tertawa saja. Bahkan ditariknya lengan Pandan Wangi
dan melekatkan pedangnya dileher perempuan itu"Aku dapat menyembelihnya seperti
ayam." Swandaru menggeram. Rasa-rasanya ia menjadi gila menghadapi persoalan itu.
Demikianlah, maka kedua orang pengawal Ki Sudagar itupun kemudian telah berdiri
di belakang Pandan Wangi. Keduanya telah mengacungkan ujung senjata mereka
melekat dipunggung Pandan Wangi sebagaimana dilakukan oleh Ki Sudagar sebelum Ki
Sudagar meletakkan tajam pedangnya di leher Pandan Wangi.
Dalam pada itu/maka Kiai Gringsingpun telah menem patkanl dirinya .pengan sikap
pasrah ia menunggu apa yang dilakukan oleh Ki Sudagar yang licik itu.
Dalam pada itu, maka Ki Sudagar itupun berkata kepada kedua
pengawalnya"Jagalah dengan hati-hati perempuan itu. Ia dapat menjadi binal jika kalian
lengah. Jika perempuan itu lepas dari tangan kalian, maka leher kalian aku penggal
seperti leher Kiai Gringsing yang sudah menjadi putus asa ini."
Kedua pengawalnya tidak menjawab. Tetapi mereka dengan sungguh-sungguh
memperhatikan pesan itu. Karena itu, maka ujung pedangnyapun sama sekali tidak
renggang dari tubuh Pandan Wangi.
Dalam pada itu, Ki Sudagarpun mulai melangkah mendekati Kiai Gringsing yang
sudah berjongkok. Sambil tertawa ia berkata"Nah, bukankah Ki Sudagar Branawangsa
benar-benar telah mampu melepaskan dendamnya atas kematian gurunya " Ternyata
yang membunuh Kiai Gringsing, orang bercambuk yang paling disegani di-seluruh
Pajang,adalah Ki Sudagar Branawangsa."
Tidak ada seorangpun yang menyahut, selain yang terdengar hanyalah gemertaknya
gigi.Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja panasnya udara oleh terik sinar matahari mulai
dibayangi oleh kabut yang turun perlahan-lahan. Adalah tidak terbiasa, bahwa
dipanasnya matahari kabut turun didaerah Sangkal Pu-tung. Namun pada saat itu, kabut
benar-benar turun. Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia melihat Kiai Gringsing
yang semula mengatupkan tangannya, ternyata tengah meraba pergelangan tangan
kirinya dengan tangan kanannya.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menunjukkan sikap apapun
juga, selain berdiri tegak.
Ki Sudagar memeperhatikan kabut yang turun diseki-tarnya itu sejenak. Namun
kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Diamatinya Kiai Gringsing yang berjongkok
itu sejenak. Kemudian ia masih sempat berpaling kepada Swandaru dan Kiai
Jayaraga"He, lihatlah. Gurumu akan mati"Lalu katanya kepada Kiai Jayaraga"
"He, apakah kau juga murid Kiai Gringsing atau saudara seperguruannya ?"
Kiai Jayaraga menggelang. Katanya"Bukan. Aku bukan apa-apanya. Aku tamu
dirumah angger Swandaru. Aku adalah pamannya."
"Bagus. Kau juga harus menyaksikan, bagaimana aku memenggal leher Kiai
Gringsing"Ki Sudagar itu tertawa.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya kabut disekitar-nya itu telah berputar
mengitarinya. Namun kabut itu-pun menjadi semakin tebal pula, sehingga jarak
pandangan mereka yang ada disungai itupun menjadi semakin terbatas.
Dalam keadaan itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing berdiri sambil berkata"Tunggu Ki
Sanak. Apakah aku boleh memberikan pesan terakhirku kepada muridku ?"
Ki Sudagar termangu-mangu sejenak. Kabut itu membuatnya heran. Tetapi ia masih
belum memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi karena kabut
itu. Semula ia menyangka, bahwa di Sangkal Putung, kabut memang sering turun,
meskipun diteriknya matahari.
Karena itu, maka iapun masih membentak"Cepat, katakan"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ternyata ia tidak mengatakan
apapun juga. "Gila. Kau masih akan mempermainkan aku " Cepat, berjongkok sebelum aku
memberikan aba-aba untuk memenggal leher Pandan Wangi."teriak Ki Sudagar.
Namun Kiai Gringsing kemudian tersenyum. Katanya"Kau tidak dapat melihat
Pandan Wangi lagi." Ki Sudagar itu terkejut. Sebenarnyalah ketika ia berpaling, kabut yang tebal telah
mengelilinginya. Bahkan Swandaru dan Kiai Jayaraga itupun rasa-rasanya telah lenyap
dari penglihatannya. "Yang ada didalam lingkaran ini hanyalah kau dan aku"desis Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, kedua orang yang melekatkan pedangnya dipunggung Panwan
Wangi menjadi heran. Kabut itu bukan kabut sewajarnya. Kabut itu kemudian bagaikan
putaran tirai yang membatasi mereka dengan Ki Sudagar yang berada dibelakang kabut
itu bersama Kiai Gringsing.
Sejenak mereka termangu-mangu. Sehingga mereka kehilangan waktu sekejap pada
tugas mereka mengamati Pandan Wangi.
Sebenarnyalah Pandan Wangi pernah melihat kabut seperti yang turun saat itu. Ia
pernah melihat Agung Sedayu yang sedang bertempur di lingkari oleh kabut seperti itu,
sehingga tidak seorangpun yang dapat melihat, apa yang terjadi didalamnya.
Karena itu, pada saat gawat itu Pandan Wangi mengerti, bahwa kabut itu turun atas
kemampuan ilmu Kiai Gringsing yang sangat tinggi.
Karena itu, maka Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi kedua
orang yang menjaganya itu termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Pandan Wangi telah
berguling dengan kecepatan yang tinggi.
Kedua orang itu terkejut. Tetapi ketika mereka menyadari keadaannya, Pandan
Wangi telah melenting berdiri diatas sebuah batu.
Terasa luka dipunggungnya itu menjadi sangat pedih. Tetapi ia tidak mau dibantai
oleh kedua pengawal Ki Sudagar itu, sehingga dengan demikian, maka iapun kemudian
sempat berloncatan menghindari serangan kedua orang yang menjadi ketakutan
kehilangan Pandan Wangi. Dengan demikian, maka loncatan-loncatan Pandan Wangi itu telah memancing
kedua orang pengawal itu mengitari lingkaran kabut itu, sehingga akhirnya terlihat oleh
Swandaru dan Kiai Jayaraga.
"Aku disini kakang"panggil Pandan Wangi.
Darah Swandaru bagaikan menghentak kekepala. Tanpa berpikir lagi maka iapun
telah meloncat memburu Pandan Wangi yang telah berhasil melepaskan diri dari
ancaman ujung pedang kedua pengawal Ki Sudagar itu. Namun oleh kemarahan yang
memang sudah membakar jantungnya, Swandaru tidak sempat mengekang dirinya.
Demikian ia turun kearena, maka cambuknyapun telah berada ditangannya.
Ketika cambuknya itu meledak, maka terdengar keluh tertahan. Salah seorang
pengawal Ki Sudagar itu sama sekali tidak sempat menghindarinya. Meskipun ia
berusaha menangkis dengan pedangnya, tetapi ujung cambuk itu sempat mengeliat dan
mengoyak kulit dagingnya.
Pengawal Ki Sudagar itu tidak menduga sama sekali, bahwa akibat sentuhan ujung
cambuk Swandaru itu akan dapat meninggalkan bekas luka yang dalam pada kulit
dilengannya. Namun dalam pada itu, maka pengawal yang lainpun telah meloncat pula. Dengan
garangnya ia mulai menyerang Swandaru. Sementara kawannya berusaha memperbaiki
keadaannya. Meskipun lengannya telah terluka, namun ia sama sekali tidak ingin
menyerahkan lehernya untuk dipenggal oleh Ki Sudagar, karena ia kehilangan Pandan
Wangi. Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Cambuk Swandaru itu meledak-ledak
dengan sangat dahsyatnya, sehingga rasa-rasanya kedua orang itu sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Dengan demikian maka kemarahan Swandaru yang tertumpah kepadanya, telah
membuat keduanya dalam keadaan yang sangat gawat.
Sementara itu kabut yang rapat telah menutupi Ki Sudagar yang ada didalamnya
bersama Kiai Gringsing. Tidak seorangpun yang melihat apa yang telah terjadi,
sementara diluar putaran kabut itu, Swandaru bertempur dengan garangnya.
Cambuknya meledak-ledak bagaikan petir yang menyambar-nyambar, sementara ujung
cambuknya berputaran dan menyambar dari segala arah.
Didalam lingkaran kabut, Kiai Gringsing berdiri sambil tersenyum memandang Ki
Sudagar yang kebingungan. Ia merasa seakan-akan terkurung dalam satu tempat yang
tertutup. Bahkan ketika ia menengadahkan wajahnya kelangit, seakan-akan langit itupun
telah tertutup pula oleh kabut.
"Kiai, apa yang telah terjadi?"bertanya Ki Sudagar yang gelisah.
"Kita telah berada didalam satu tempurung raksasa yang terbuat dari kabut yang
putih pekat seperti ini."jawab Kiai Gringsing.
"Jadi apa artinya ini?"bertanya Ki Sudagar.
"Tidak apa-apa."jawab Kiai Gringsing pula"sekarang lakukanlah apa yang akan kau
lakukan. Kita akan segera lenyap bersama kabut putih ini. Tempurung ini akan segera
berubah menjadi semacam gelembung kabut yang akan membawa kita terbang dan
hanyut oleh arus angin yang kuat. Mungkin kita akan sampai ke pesisir selatan, tetapi
mungkin arah angin akan membawa kita kelereng Gunung Merapi."Atau ketempattempat
lain yang tidak kita ketahui."
Wajah Ki sudagar itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya"Persetan. Aku tidak
peduli. Kabut ini akan segera lenyap. Karena itu, sekarang menunduklah. Aku akan
memenggal lehermu." Kiai Gringsing tertawa. Katanya"Kau sudah kehilangan kesempatan. Pandan Wangi
sudah tidak lagi dikuasai oleh kedua orang pengawaimu itu."
"Persetan. Mereka akan membunuh perempuan binal itu"Ki Sudagar hampir
berteriak. Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya"Dengarlah. Suara cambuk yang
terdengar itu adalah suara cambuk Swandaru. Karena itu, maka ia tentu baru bertempur
sekarang. Memang ada dua kemungkinan. Pandan Wangi sudah berhasil
membebaskan diri dari ancaman kedua orang pengawalmu itu, atau Pandan Wangi
sekarang sudah mati. Bagiku keduanya telah membawa akibat yang sama. Aku tidak
akan menundukkan kepalaku dan membiarkan kau membunuhku."
"Licik. Kau sudah membohongi aku" Kau sudah berjanji untuk bersedia mati."teriak Ki
Sudagar. Tetapi Kiai Gringsing masih saja tertawa. Katanya"Aku bersedia mati demi
keselamatan Pandan Wangi. Bagaimana jika Pandan Wangi sekarang sudah mati dan
dengan demikian maka suaminya menjadi sangat marah" Sebentar lagi kedua orang
pengawalmu itupun akan mati pula."
"Gila"geram Ki Sudagar"kau sangka aku tidak dapat membunuhmu."
"Jangan menjadi kehilangan akal"berkata Kiai Gringsing"gurumu tidak dapat
membunuh aku. Apalagi kau. Karena itu, menyerah sajalah."
"Aku bukan betina yang mudah berputus asa menghadapi orang setua kau sekarang
ini. Bagaimanapun juga tinggi ilmumu, tetapi ketuaanmu tidak akan mampu lagi
mendukung ilmumu." "Baiklah"berkata Kiai Gringsing"sekarang, sebaiknya kita melihat, apa yang telah
terjadi dengan Pandan Wangi."
Wajah Ki Sudagar itu menjadi tegang. Sementara itu Kiai Gringsing berkata"Kita tidak
usah keluar dari lingkaran kabut ini. Biarlah kabutnya saja yang menyingkir dari kita."
Ki Sudagar tidak begitu mengerti maksud kata-kata Kiai Gringsing. Namun sejenak
kemudian, ternyata kabut itu memang menjadi semakin tipis, sehingga perlahan-lahan
pandangan mata Ki Sudagar dapat menembus dan melihat apa yang terjadi diluar
putaran kabut itu. Yang nampak kemudian olehnya adalah, bahwa Pandan Wangi telah berdiri diatas
sebuah batu. Beberapa langkah daripadanya Kiai Jayaraga berdiri ter-mangu-mangu.
Ternyata luka Pandan Wangi telah mendapat pengobatan dari Kiai Jayaraga sehingga
telah menjadi pampat, sementara Swandaru masih bertempur dengan garangnya.
Namun kedua orang pengawal Ki Sudagar itu sama sekali sudah tidak mampu
berbuat apa-apa lagi. Keduanya ternyata telah terluka, sehingga tubuh mereka tidak
saja menjadi basah oleh keringat, tetapi juga oleh darah.
Agaknya kemarahan Swandaru benar-benar tidak tertahankan, sehingga kedua
orang yang bertempur melawannya itu tidak lagi mendapat kesempatan. Tubuh mereka
terluka silang melintang oleh ujung cambuk Swandaru yang meledak-ledak.
"Gila"geram Ki Sudagar"keduanya memang harus dipenggal kepalanya. Mereka telah
melepaskan Pandan Wangi."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara
Pandan Wangi"Kakang, sudahlah kakang. Keduanya akan mati jika kakang masih saja
menyakiti tubuhnya yang sudah menjadi arang kran-jang itu."
"Aku akan membunuh mereka"geram Swandaru.
"Mereka hanya melakukan perintah" teriak Pandan Wangi kemudian.
Swandaru tertegun. Diamatinya kedua orang yang tubuhnya telah menjadi merah
oleh darah. Bahkan keduanya seakan-akan sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk
dapat melawan, sehingga apabila Swandaru benar benar ingin membunuh, maka
keduanya tidak akan dapat mengelak lagi.
Namun dalam pada itu, sekali lagi Pandan Wangi berkata"Keduanya hanya orang
orang yang melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya."
Swandaru menggeram. Tiba:tiba saja ia berpaling. Dilihatnya Ki Sudagar yang sudah
tidak lagi tertutup oleh kabut berdiri termangu-mangu.
"Nah, apa katamu?"desis Kiai Gringsing kemudian.
Ki Sudagar itulah yang kemudian menggeram. Bahkan dengan garangnya ia telah
meloncat menyerang Kiai Gringsing.
Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Meskipun nampaknya
Kiai Gringsing tidak meloncat menghindar, tetapi dengan gerak yang sederhana ia telah
berhasil luput dari ujung pedang Ki Sudagar.
Ki Sudagar itu mengumpat. Tetapi tiba-tiba saja ia berpaling kepada Swandaru
sambil berkata"Swandaru, kau telah menuduh bahwa aku adalah seorang pengecut.
Tetapi sekarang bagaimana dengan kau sendiri. Kau telah menantang aku untuk
berperang tanding. Nah, jika kau benar benar laki-laki seperti yang kau katakan, maka
marilah, kita lanjutkan. Aku terima tantanganmu."
"Persetan"geram Swandaru"kau benar-benar tikus yang licik dan pengecut. Ketika
kau sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk melepaskan diri, maka kau mencoba
mencari kemungkinan dan harapan. Tetapi aku tidak berkeberatan. Aku tetap
menantangmu berperang tanding sebagaimana seorang laki-laki."
"Bagus"teriak Ki Sudagar"kesombonganmu akan membuatmu menyesal. Aku akan
membunuhmu. Membunuh gurumu, dan sekaligus orang tua yang menyebut dirinya
tamumu itu. Baru kemudian aku akan membawa Pandan Wangi ke rumahku."
Swandaru berdiri tegak dengan dada tengadah dianta-ra aliran air disela-sela
bebatuan. Ketika ia berpaling kearah dua orang yang baru saja dilepaskannya, maka
keduanya benar benar sudah tidak berdaya lagi. Dengan lemahnya keduanya"duduk
melekat tebing bersandar batu padas.
"Kau akan mengalami nasib seperti kedua orang itu"berkata Swandaru sambil
menunjukkan keduanya. "Persetan. Keduanya memang sudah sepantasnya mati. Aku tidak memerlukan
mereka lagi"geram Ki Sudagar.
Pandan Wangi yang berdiri diatas sebuah batu berkata"Ki Sudagar, menyerahlah.
Mungkin kau akan mendapat perlakuan yang lebih baik dari yang kau perkirakan."
"Persetan"geram Ki Sudagar"kalian tidak boleh curang. Kalian telah membenci sifat
licik dan pengecut. Karena itu, kalian tidak boleh menjadi licik dan pengecut. Aku dan
Swandaru akan bertempur sebagaimana dalam perang tanding."
"Sudah aku katakan, aku terima tantangan itu, meskipun kau ucapkan dalam
keadaan yang tidak kau kehendaki sendiri. Seandainya kau mempunyai kesempatan
lain, kau tidak akan melakukannya. Tetapi sekarang, marilah. Bersiaplah."jawab
Swandaru. Ki Sudagar itupun kemudian segera bersiap. Ia memang merasa tidak mempunyai
pilihan lain. Daripada ia mati dicekik oleh Kiai Gringsing dengan tanpa dapat melawan,
karena gurunyapun tidak mampu menghadapinya, maka lebih baik baginya untuk
menerima tantangan Swandaru berperang tanding. Dengan demikian maka ia masih
mempunyai harapan. Jika ia dapat mengalahkan Swandaru, maka ia akan keluar dari tempat itu dengan
aman, sebagaimana yang dijanjikan oleh Swandaru, bahkan bersama Pandan Wangi.
Kiai Gringsing tentu tidak akan melanggar perjanjian itu, menilik sifat-sifatnya sebagai
seorang yang berilmu tinggi.
"Tetapi entahlah dengan Pandan Wangi sendiri"berkata Ki Sudagar itu didalam
hatinya. Dalam pada itu, baik Swandaru maupun Ki Sudagar sudah mempersiapkan dirinya.
Ditangan Ki Sudagar tergenggam sebilah pedang, sementara Swandaru sudah bersiap
dengan cambuknya. Sejenak keduanya berdiri berhadapan, sementara Kiai Gringsing dan Pandan Wangi
justru bergeser menjauh. Mereka benar-benar tidak ingin mencampuri perang tanding itu
dengan cara apapun juga, meskipun mereka sadar, bahwa Ki Sudagar itu adalah orang
yang sangat licik. "Jika orang itu berbuat licik, barulah aku dapat turut campur"berkata Pandan Wangi
didalam hatinya. Demikianlah keduanya telah bersiap. Sekilas Ki Sudagar itu berpaling kepada kedua
orang pengawalnya. Namun saat itu, Ki Sudagar sudah tidak dapat mengharapkan apaapa
lagi daripadanya. Kedua orang itu tidak akan dapat dalam waktu singkat
memperbaiki keadaannya. Luka-luka mereka cukup parah, sehingga keduanya benarbenar
tidak dapat berbuat apa-apa lagi.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah"geram Ki Sudagar"akhirnya aku akan dapat juga berhadapan dengan murid
orang yang telah membunuh guruku, seorang suami dari perempuan yang sangat cantik
yang telah dipergunakannya sebagai taruhan. Jika aku menang, maka akan mendapat
imbalan yang mahal sekali. Seorang perempuan yang sangat cantik."
"Kau gila"potong Swandaru"kita akan bertempur."
"Ya. Kita memang akan bertempur"jawab Ki Sudagar. Lalu"Tetapi taruhannya cukup
menarik bagiku. Karena itu, bersiaplah. Kau akan segera mati."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mulai menggerakkan ujung cambuknya.
Sementara itu, Ki Sudagarpun telah memutar pedangnya pula.
Sejenak kemudian keduanya mulai bergeser. Ki Sudagar yang menyadari
kemampuan ilmu Swandaru dengan
melihat akibat pada kedua orang pengawalnya, menjadi sangat berhati-hati.
Ketika tiba-tiba saja cambuk Swandaru meledak, maka Ki Sudagar itu terkejut.
Suaranya bagaikan memecahkan selaput telinganya. Namun memang tidak ada pili-hen
yang lebih baik baginya daripada melawan cambuk itu.
Swandaru yang dibakar oleh kemarahan dan kebenciannya kepada Ki Sudagar itu
memang tidak mempunyai bayangan lain kecuali menghancurkannya sampai lumat.
Tetapi Ki Sudagar memang mempunyai kelebihan pada kekuatan kakinya. Dengan
mempergunakan tenaga cadangannya, maka Ki Sudagar mampu melenting seperti
bilalang. Bahkan jika serangan kakinya itu sempat menyentuh lawannya, maka
serangan itu merupakan serangan yang sangat berbahaya.
Pandan Wangi termangu mangu melihat keduanya mulai bertempur. Ia tidak sempat
memberitahukan kepada Swandaru tentang kemampuan kaki lawannya. Namun
kemudian Pandan Wangipun berharap, bahwa Swandaru yang memiliki ketajaman
pengamatan tentang lawannyapun akan dapat mengetahui dengan sendirinya.
Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang yang masing masing dilambari
dengan dendam dan kebencian itu telah terjadi dengan sengitnya disebuah sungai yang
tidak begitu besar. Keduanya berloncatan menyerang dan menghindar. Cambuk
Swandaru berputar dan meledak bagaikan petir diudara. Namun dalam pada itu,
lawannya ternyata memiliki kemampuan menghindar dengan kecepatan yang tidak
diduga oleh Swandaru. Namun sebagaimana diharapkan oleh Pandan Wangi, akhirnya Swandaru sempat
melihat kelebihan dari lawannya. Setiap kali lawannya mampu menyerang demikian
cepatnya namun kemudian menghindar demikian cepatnya pula. Ternyata lawannya itu
mampu melangkah dengan loncatan-loncatan yang sangat panjang. Berlipat dengan
kemampuan loncatan orang kebanyakan.
Karena itulah, maka Swandarupun harus menyesuaikan diri dengan kemampuan
lawannya, agar ujung cambuknya dapat menjangkau tubuh lawannya.
Tetapi lawannyapun bukannya tidak berperhitungan. Ketika ia menyadari, bahwa
Swandaru melihat kelebihannya, maka Ki Sudagar itupun menjadi semakin berhati-hati.
Namun dengan demikian, serangan-serangannya justru menjadi kian berbahaya. Tibatiba
saja ia melenting dengan pedang terjulur, namun demikian ujung cambuk Swandaru
meledak, maka Ki Sudagar itu dengan cermat memperhitungkan ledakkan ujung
cambuk lawannya. Demikian cambuk itu meledak, maka demikian cepatnya ia melenting
menyerang. Swandaru mula mula tidak menyangka bahwa lawannya akan mempergunakan
kesempatan yang demikian. Ketika ia mendapat serangan dengan ujung pedang,
Swandaru sempat merendahkan dirinya, justru sambil mengayunkan cambuknya
mendatar. Tetapi lawannya sempat pula melenting tinggi-tinggi. Swandaru tidak mau
kehilangan kesempatan. Ketika lawannya menjejakkan kakinya, Swandaru telah
menyerangnya pula. Tetapi ketika cambuknya meledak, lawannya telah meloncat
mundur. Swandaru yang marah itu berusaha untuk meloncat memburunya, tetapi yang
terjadi benar benar sangat mengejutkannya.
Demikian Swandaru meloncat, maka Ki Sudagar itupun telah melenting menyerang.
Dengan demikian maka keduanya seolah-olah telah berloncatan untuk saling
berbenturan. Swandaru melihat ujung pedang lawannya mengarah kedadanya selagi ia meloncat,
maka iapun harus dengan cepat berbuat sesuatu. Lawannya yang bagaikan terbang itu
meluncur dengan cepat dan dengan kekuatan yang luar biasa.
Yang diperhatikan oleh Swandaru adalah justru ujung pedang itu. Karena itu, maka
iapun telah memutar cambuknya dan berusaha untuk membelit ujung pedang lawannya
dengan pukulan sendai pancing.
Usahanya tidak seluruhnya berhasil. Tetapi sentuhan. ujung cambuknya berhasil
merubah arah pedang lawannya. Tetapi loncatan yang mendorong Ki Sudagar itu masih
tetap membentur Swandaru dengan kekuatan yang luar biasa.
Demikian besarnya kekuatan benturan itu, sehingga Swandaru ternyata telah
terlempar beberapa langkah surut. Demikian ia jatuh ditanah, maka iapun segera
berguling dan melenting berdiri. Namun rasa-rasanya kepalanya menjadi pening.
Untunglah, bahwa oleh benturan itu, Ki Sudagarpun telah terdorong selangkah surut.
Meskipun ia tidak terjatuh, namun Ki Sudagar itupun harus mempertahankan
keseimbangannya agar ia dapat tetap tegak berdiri.
Swandaru mengumpat didalam hatinya. Ia menjadi semakin yakin akan kekuatan kaki
lawannya. Sehingga karena itu, maka Swandarupun harus memperhatikannya dengan
sungguh-sungguh, setiap kemungkinan yang dapat terjadi karena kaki lawannya yang
luar biasa itu. Tetapi kemampuan mempergunakan cambuk bagi Swandaru telah benar benar
meyakinkan. Kemarahan yang menghentak-hentak didadanya telah membuatnya tidak
mengekang diri. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Swandarupun telah mulai
dengan serangan serangannya kembali.
Dalam puncak kekuatannya, cambuk Swandaru benar-benar membuat lawannya
menjadi berdebar-debar. Serangan Swandaru yang berhasil dihindari lawannya telah
mengenai tebing sungai. Akibatnya benar benar dahsyat. Batu-batu padas ditebing
sungai itu telah rontok berguguran.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kekuatan
Swandaru yang tersalur diujung cambuknya benar benar mendebarkan. Bukan saja
tebing sungai yang menjadi berguguran, tetapi batu-batu hitampun telah pecah terbelah
oleh ujung cambuk Swandaru yang berkarah baja.
Ki Sudagar yang melihat kemampuan cambuk Swandaru itu menjadi semakin
berdebaran. Meskipun ia mempunyai kemampuan melenting melampaui kecepatan
gerak Swandaru, tetapi ujung cambuk Swandaru itu bagaikan selalu memburunya.
Putaran ujung cambuk itu rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin mengerikan.
Beberapa saat kemudian, maka ruang gerak Ki Sudagar itupun seakan akan menjadi
semakin sempit. Dengan dahsyatnya ujung cambuk Swandaru itu memburunya
kemanapun Ki Sudagar berloncatan dengan kekuatan kakinya yang luar biasa. Namun
dalam pada itu, kemampuan Swandarupun benar-benar mengagumkan.
Meskipun Swandaru tidak mempunyai kemampuan sebagaimana dimiliki oleh
Pandan Wangi, dengan melontarkan pukulan dari jarak tertentu serta sentuhan
serangan mendahului ujung wadagnya, tetapi dengan cambuk di-tangan dan kekuatan
raksasa yang tersalur pada senjatanya, Swandaru benar-benar seorang yang sangat
berbahaya bagi lawannya. Sejenak kemudian, maka Ki Sudagar itupun merasa, bahwa tidak ada tempat lagi
baginya. Ia tidak dapat menyerang Swandaru dengan pedangnya yang lebih pendek
dari juntai cambuk Swandaru. Kemampuan kakinya yang sudah diketahui oleh
Swandaruu itupun ternyata telah diperhitungkan oleh lawannya dengan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka semakin lama maka Ki Sudagar itupun menjadi semakin terdesak.
Dalam keadaan yang sulit, maka tiba-tiba saja serangan Swandaru memburunya.
Meskipun ia berusaha melenting dengan kemampuan kakinya yang sangat besar,
namun Swandaru sempat meloncat mengejarnya dengan ujung cambuknya.
Bahkan dengan perhitungan yang cermat, Swandaru justru berhasil memotong
loncatan Ki Sudagar, sehingga seakan-akan justru ia meloncat membentur lecutan
cambuk Swandaru. "Gila"geram Ki Sudagar yang terkejut. Dengan pednagnya ia berusaha menangkis
serangan lawannya. Namun ternyata bahwa ujung cambuk Swandaru itu sempat
mengenainya pula, sehingga sebuah goresan telah mengoyak kulitnya."
Ki sudagar mengeluh tertahan. Kemarahannya menyala membakar jantungnya.
Namun darahnya ternyata telah mulai meleleh dari kukanya.
Swandaru melihat lawannya telah terluka. Dengan demikian ia justru menjadi
semakin garang. Sikap Ki sudagar terhadap Pandan Wangi benar-benar tidak dapat
dimanfaatkan lagi oleh Swandaru. Satu penghinaan yang bukan saja menyangkut
namanya sebagai seorang pemimpin pengawal, tetapi telah menyinggungnya sebagai
seorang suami. "Seandainya Pandan Wangi sendiri tidak memiliki kemampuan dalam olah
kanuragan, apa jadinya dengan perempuan itu"geram Swandaru didalam hatinya.
Lalu"Karena itu, maka orang itu benar-benar harus dihancurkan tanpa ampun lagi."
Dengan demikian maka Swandarut..pun menjadi semakin garang pula. Cambuknya
meledak-ledak bagaikan meretakkan tulang-tulang iga.
Ki Sudagar yang sudah terluka itu hatinya menjadi semakin kuncup. Kekuatan
kakinya tidak banyak bermanfaat lagi. Swandaru dengan ilmunya yang tinggi telah
mampu mengatasi segala macam kemampuan yang ada padanya.
Ki Sudagar itu telah berusaha mengerahkan segenap kemampuannya. Yang
kemudian diperhatikan adalah jalur-jalur yang mungkin dapat ditembus.
Namun Ki Sudagar itu mengumpat didalam hati.
Tiba-tiba saja orang-orang yang semula berdiri berdekatan itu telah memencar. Kiai Gringsing, orang yang mengaku tamu dirumah Swandaru dan Pandan wangi, telah berdiri ditempat yang berbeda arahnya.
Bahkan, sambil mengumpat-umpat, Ki Sudagar itu melihat beberapa orang pengawal telah merayap diatas tebing.
Sebenarnyalah para pengawal yang terpaksa tinggal itu, tidak membiarkan malapetaka terjadi atas para pemimpinnya. Beberapa orang yang dianggap terbaik diantara mereka telah merayap diatas tebing, di balik gerumbul-gerumbul, mengikuti arah kepergian Pandan Wangi yang dibawa oleh Ki Sudagar Branawangsa itu. Namun ketika mereka mendengar suara cambuk Swandaru meledak, maka merekapun tahu pasti bahwa telah terjadi satu pertempuran. Mungkin Pandan wangi berhasil melepaskan diri, tetapi mungkin Pandan Wangi justru telah terbunuh. Karena itu, maka merekapun dengan tergesa-gesa telah berada diatas tanggul di pinggir sungai.
Namun yang kemudian mereka lihat adalah pertempuran yang sengit antara Swandaru dan Ki Sudagar. Sementara itu, merekapun telah melihat bahwa darah telah mengalir dari tubuh Ki Sudagar.
Beberapa orang diantara mereka telah meluncur turun., Kemudian seperti Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Pandan Wangi, maka merekapun telah berpencar pula.
Ternyata tidak ada jalan lagi bagi Ki sudagar. Ia tidak melihat jalan untuk melepaskan diri. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah melakukan perlawanan sampai kemungkinan yang terakhir.
Swadarupun ternyata benar-benar dikuasai oleh kemarahan dan kebenciannya kepada orang yang menyebut Ki Sudagar, yang telah memaksa isterinya untukmengikutinya.
Yang telah mengancam Pandan Wangi dengan pedang dan bahkan telah melukai punggung Pandan Wangi pula.
Karena itu, maka serangan-serangan berikutnya bagaikan badai yang mengamuk, menerkam Ki sudagar. Betapapun ia berusaha menghindari, tetapi sekali lagi ujung cambuk yang berkarah baja itu telah mengoyak kulitnya.
Luka telah menganga di pahanya. Justru ketika ia melenting tinggi, Swandaru sempat memutar ujung cambuknya dan mengenai paha Ki Sudagar.
Karena luka-lukanya, serta darah yang sudah semakin banyak mengalir, maka perlawanan Ki Sudagar-pun semakin lama justru menjadi semakin lemah. Namun demikian, ia masih berusaha memperhatikan keadaan disekitarnya. Ia merasa mempunyai kemampuan melenting lebih baik dari setiap orang yang ada dipinggir sungai dan diatas tebing. Bahkan iapun merasa mempunyai kecepatan dan langkah yang lebih panjang dari Swandaru sendiri apabila ia benar-benar ingin melarikan diri.
"Tidak ada kemungkinan untuk bertahan"berkata Ki Sudagar didalam hatinya.
Namun rasa-rasanya segala macam cara untuk menyelamatkan diri sudah sulit untuk ditempuh. Arena itu sudah terkepung, sementara serangan Swandaru datang bagaikan badai yang mengamuk.
Karena itu, sekali lagi Ki Sudagar harus mencari kemungkinan yang paling baik.
Kemungkinan yang masih memungkinkan adanya harapan.
Dengan demikian, maka ternyata Ki Sudagar telah memilih untuk melarikan diri saja daripada menghadapi ujung cambuk Swandaru yang menggila itu. Meksipun seandainya ia tidak berhasil, tetapi agaknya harapannya masih lebih besar untuk menghindar daripada menjadi umpan ujung cambuk Swandaru.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Sudagar telah dengan cermat memperhitungkan kemungkinan. Dengan satu loncatan panjang Ki Sudagar menghindari ujung cambuk Swandaru. Namun dengan tiba-tiba saja ia meloncat menyerang. Tetapi ketika Swandaru memutar ujung cambuknya menyongsong serangan itu, maka Ki Sudagar itupun segera melenting dengan kemampuan puncaknya. Kakinya yang bagaikan kaki bilalang itu telah mendorong tubuhnya bagaikan terbang meloncat lewat diatas kepala orang-orang yang mengepungnya.
Beberapa orang telah terkejut menyaksikan kemampuan tenaga kala Ki Sudagar itu.
Ketika kemudian Ki Sudagar turun dibelakang orang-orang yang mengepungnya, maka sekali lagi ia telah melenting keatas tanggul.
"Gila"geram Swandaru"jangan licik pengecut. Tetapi Ki Sudagar tidak menghiraukannya. Bahkan
dengan suara tinggi ia masih berteriak"Marilah orang dungu. Jika kau dapat menangkap aku, maka kau akan mampu juga menangkap angin."
Tetapi Swandaru memang tidak mungkin dapat melenting sejauh Ki Sudagar itu.
Tetapi ia tidak ingin kehilangan orang yang telah menghinakannya itu.
"Jangankan hanya kau kerbau gemuk"teriak orang itu setelah bediri diatas tanggul."Semua orang yang ada, biarlah berusaha menangkapku."
"Curang, licik"Swandaru hanya dapat mengumpat-umpat saja.
Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang masih berdiri dibibir tanggul itu sama sekali tidak menjadi cemas, bahwa beberapa orang pengawal yang masih ada diatas tanggul akan dapat mengejar dan menangkapnya. Tetapi ketika ia akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja batu padas dibawah kakinya itu bagaikan meledak. Api dan uap air panas seakan telah berhembus dari dalam bumi, sehingga dengan demikian, maka batu-batu padas dibawah kakinya itu bagaikan berguguran.
Ternyata tebing itu memang runtuh. Ki Sudagar telah terseret turun kembali ke sungai yang tidak begitu besar itu.
Ki Sudagar itu mengumpat dengan kasarnya. Dengan serta merta ia melenting berdiri. Sekali lagi ia meloncat dengan kemampuan kakinya yang luar biasa keatas tebing. Namun sekali lagi batu-batu padas itupun ber guguran.
Api dan uap, bahkan batu-batu kerikil bagaikan meledak dan menyembur dari antara
batu-batu padas yang kemudian berguguran itu.
Sekali lagi Ki Sudagar terseret dan terbanting jatuh.
Yang kemudian terdengar adalah suara Kiai Jayaraga"Jangan melarikan diri begitu Ki Sanak. Kau harus bersikap jantan setelah kau tantang angger Swandaru melakukan perang tanding. Jika kau kalah, maka kau harus mengakui kekalahanmu. Kemudian kau akan diperlakukan sebagaimana seharusnya."
Ki Sudagar itu kemudian berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Namun wajah itu menjadi pucat ketika ia melihat Swandaru berlari kearahnya dengan ujung cambuk yang perputaran.
"Jika kau ingin menyerah, menyerahlah."berkata Kiai Jayaraga,"
Ki Sudagar tidak sempat berbuat banyak. Sejenak kemudian cambuk Swandaru telah terayun menghantam kearah lambungnya. Dengan sisa tenaganya Ki Sudagar iyi meloncat menghindar. Ternyata ia masih mampu menyelamatkan dirinya dari ujung cambuk Swandaru yang garang itu.
Karena ujung cambuk itu tidak mengenai sasarannya, maka batu-batu padas tebing yang terhantam ujung cambuk itulah yang pecah berserakan.
Tetapi Swandaru tidak mau melepaskan lawannya. Sekali lagi ia menyerang dengan garangnya. Dan sekali lagi Ki Sudagar terpaksa meloncat jauh-jauh.
Namun ketika sekali lagi Swandaru memburunya, maka tiba-tiba saja orang itu melemparkan pedangnya sambil berteriak"Aku menyerah."
Tetapi Swandaru tidak sempat mengekang cambuknya. Bahkan tidak sempat mengekang dirinya. Sekali lagi cambuknya meledak. Yang terdengar adalah jerit kesakitan Ki Sudagar. Cambuk Swandaru itu ternyata telah mengenai tubuhnya.
Membelit lengannya dan menghantam punggung.
"Swandaru"teriak Kiai Gringsing.
Namun kemarahan Swandaru sudah tidak terkekang lagi. Ketika ia menarik ujuung cambuknya dan melihat Ki Sudagar itu terjatuh diair sungai, maka ia masih juga mengangkat cambuknya siap untuk menghancurkan tubuh Ki sudagar yang sudah tidak berdaya.
"Swandaru"sekali lagi Kiai Gringsing berteriak dan hampir bersamaan Pandan Wangi telah memalingkan wajahnya.
Tetapi yang terjadi adalah lain. Swandaru itu justru terlempar beberapa langkah surut, ketika tanah sejengkal didepannyalah yang kemudian telah meledak, menyemburkan air dan batu-batu kerikil.
Swandaru terjatuh kedalam air, diantara bebatuan. Ketika ia kemudian bangkit berdiri, maka dilihatnya Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing hampir berbareng dari arah yang berbeda telah meloncat mendekatinya.
Ki Sudagar itu masih mengeliat. Lukanya yang terbenam kedalam air terasa betapa pedihnya.
Ternyata kemarahan Swandaru tidak dapat dikekangnya. Meskipun ia melihat Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah berdiri disebelah Ki Sudagar yang berbaring, namun Swandaru masih berkata"Guru, silahkan bergeser. Orang itu tidak pantas untuk dimaafkan dengan alasan apapun juga. Ia sudah menghinakan Pandan Wangi dan menghinakan aku pula. Bahkan ia sudah melukai Pandan Wangi dan berusaha dengan sungguh-sungguh membunuh aku dan terutama guru."
"Sudahlah"berkata Kiai Gringsing"kau harus berusaha untuk mengekang dirimu sendiri. Bukankah kita mencoba untuk menjunjung tinggi harga diri dan martabat kita sebagai pengawal yang baik" Dengan demikian, kita tidak akan berbuat apa-apa terhadap orang yang sudah tidak berdaya."
Swandaru menggertakkan giginya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat Kiai Jayaraga mengangkat tubuh yang terluka parah itu dan meletakkan dibawah tebing, ditepian berpasir yang sempit.
Kiai Gringsingpun kemudian mendekatinya pula, dan berjongkok di sisinya.
Ki Sudagar itu menggeram. Namun kemudian iapun berdesis menahan kesakitan yang sangat pada tubuhnya. Lengan dan punggungnya benar-benar telah terkoyak, sehingga tubuhnya telah menjadi merah oleh darah.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memahami tentang obat-obatan, maka iapun melihat kemungkinan yang tipis sekali untuk dapat berbuat sesuatu atas Ki sudagar. Lecutan cambuk Swandaru yang terakhir, yang dilambari dengan kemarahan yang membakar jantungnya, benar-benar telah berakibat; sangat gawat.
Namun demikian, Kiai Gringsing kemudian dengan tergesa-gesa telah berusaha meramu obat-obatan yang dibawanya. Ia telah mencarikan semacam serbuk yang berwarna kehitam-hitaman yang akan diusapkan pada luka-luka Ki Sudagar, disamping obat yang lain yang harus diminumkannya.
Tetapi demiikian ramuan obat itu siap, maka wajah Ki Sudagar itupun menjadi semakin pucat.
Meskipun demikian masih terdengar suaranya lambat"Katakan kepada Wuni, aku tidak dapat memenuhi janjiku."
"Siapa?"bertanya Kiai Jayaraga.
"Wuni. Aku berjanji untuk membawanya. Membeli rumah untuknya dan menjanjikannya isteriku yang ke lima"jawab Ki Sudagar itu.
"Baik Ki Sanak"jawab Kiai Jayaraga"aku akan mengatakannya."
Ki Sudagar itu berusaha untuk memandang orang-orang yang berada disekitarnya.
Kemudian dengan suaranya yang sempat ia berkata"Aku gagal Kiai. Aku tidak berhasil
membunuh Kiai Gringsing."
Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing itu tidak sempat memberikan obat yang sudah diramunya. Darah mengalir
bagaikan terperas dari tubuh Ki Sudagar. Lukanya benar-benar telah mengakibatkan
kematiannya, sebelum Ki Sudagar itu dapat melakukan niatnya, melepaskan
dendamnya kepada orang yang telah membunuh gurunya.
Kiai Jayaraga memandang tubuh yang terbujur itu dengan wajah yang bagaikan
membeku. Ada semacam penyesalan didalam hatinya, bahwa ia telah mencegah orang
itu melarikan diri. Namun iapun merasa kecewa atas sikap Swandaru yang tidak
terkendali. Meskipun demikian Kiai Jayaraga mencoba untuk mengerti, betapa darah Swandaru
telah mendidih melihat isterinya diperlakukan dengan semena-mena. Seandainya
Swandaru gagal menyelamatkan isterinya dalam perang tanding, maka rasa-rasanya Ki
Sudagar itupun benar-benar akan membawa Pandan Wangi dan bahkan Swandarupun
tentu akan terbunuh pula. Bahkan mungkin tuntutan-tuntutan yang lain yang harus
dipenuhinya. Sementara itu, Kiai Gringsingpun kemudian berpaling kepada dua orang pengikut Ki
Sudagar yang sudah tidak berdaya lagi. Wajah mereka membayangkan ketakutan yang
sangat. Bahkan nyeri ditubuh mereka rasa-rasanya bagaikan menggigit.
Sejenak Kiai Gringsing memandangi mereka. Namun kemudian katanya"Kemarilah."
Betapapun lemahnya tubuh kedua orang itu, namun merekapun kemudian bangkit
dan berusaha untuk mendekati Kiai Gringsing, yang masih memegang obat yang diramunya
dan dicairkannya dengan air belik di pinggir sungai itu.
Sambil memberi obat itu kepada kedua orang yang terluka ditubuhnya silang
melintang itu Kiai Gringsing berkata"Kalian dapat saling mengobati. Ini, sapukan kepada
luka-luka kalian. Kemudian cairkan pula obat ini dengan air belik itu. Kalian dapat
mengambil selembar daun pisang yang tumbuh dilereng itu.
Salah seorang dari merekapun telah menerima bumbung yang berisi cairan obat dari
Kiai Gringsing itu, sementara yang seorang lagi telah menerima sebungkus obat yang
lain, yang harus dicairkan pula untuk diminumnya.
"Keadaan kalian akan menjadi baik. Kemudian kalian dapat singgah di Sangkal
Putung barang satu dua hari. Kami ingin berbicara dengan kalian"berkata Kiai Gringsing
kemudian. Kedua orang itu justru menjadi termangu-mangu. Tetapi merekapun sadar bahwa
mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa selain menurut saja segala perintah bagi
mereka. Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian berkata kepada Swandaru"Swandaru,
kau dapat memerintahkan orang-orangmu untuk menyelenggarakan mayat orang yang
terbunuh itu, selanjutnya, biarlah yang lain membantu kedua orang yang terluka itu dan
membawanya ke Kademangan."
Swandaru juga tidak membantah. Iapun segera memerintahkan orang-orangnya yang ada di sekitar
arena pertempuran itu untuk mengurus mayat Ki Sudagar dan dua orang pengawalnya yang terluka parah itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang yang ada di arena yang menegangkan itu telah menyusuri sungai menuju kembali ke padukuhan induk. Kecuali Pandan Wangi yang masih akan mengambil beberapa helai pakaiannya yang ditinggalkannya sebelum sempat mencuci seluruhnya.
"Aku antar kau"desis Swandaru.
"Hanya mengambil pakaian"jawab Pandan Wangi.
"Siapa tahu, ada orang lain yang berniat buruk. Kau tidak membawa senjatamu" desis Swandaru.
Pandan Wangi tidak menjawab. Karena itu, maka bersama Swandaru mereka menyusuri sungai itu, sementara yang lainpun mulai memanjat tebing.
Namun demikian, masih ada beberapa orang pengawal yang tinggal, yang menyiapkan penyelenggarakan mayat Ki Sudagar yang kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya berhadapan dengan Swandaru. Sehingga dengan demikian, maka dendamnya telah dibawanya memasuki liang kuburnya.
Ketika Pandan Wangi menunggui beberapa lembar pakaiannya yang tertinggal, maka dari atas tebing terdengar seseorang memanggilnya, Ternyata orang itu adalah salah seorang pembantu di rumah Ki Demang yang kebetulan adalah ayah Wuni.
"Kenapa kau disitu?"bertanya Pandan Wangi. Orang itu berusaha untuk turun. Tetapi tiba-tiba saja
ia tergelincir dan terjatuh di tepian yang untungnya berpasir.
"Dimana orang-orang gila itu?"bertanya ayah
"Kau yang membawa mereka kemari"sahut Pandan Wangi.
"Aku tidak mengira, bahwa hal itu akan terjadi" jawab orang itu.
"Sementara ini kau berada dimana?"bertanya Pandan Wangi pula.
"Aku bagaikan menjadi lumpuh. Aku tidak tahu apa sebabnya. Tetapi perlahan-lahan
aku dapat bergerak kembali, meskipun rasa-rasanya tubuhku masih terlalu lemah,
sehingga aku tidak mampu turun dengan baik dari atas tebing."jawab orang itu.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi dan Swandaru segera mengerti, apa yang telah terjadi dengan orang
itu. Namun sementara itu Pandan Wangipun berkata"Sadar atau tidak sadar, kau sudah
membuat keributan ini. Lihat, punggungku telah terluka. Untunglah Kiai Jayaraga
sempat mengobatinya. "Aku tidak tahu bahwa persoalannya akan menjadi rumit."jawab orang itu.
"Tetapi seandainya tidak, kaupun telah melakukan satu kesalahan yang gawat bagi anak perempuanmu. Bukankah kau telah menjual Wuni kepada Ki Sudagar itu" Apakah kau tahuu bahwa Wuni akan dijadikan isterinya yang kelima ?"bertanya Pandan Wangi.
Ayah Wuni itu hanya menundukkan kepalanya saja.
"Jadi kau sudah tahu, he" Sudah tahu, bahwa Ki Sudagar itu sudah mempunyai ampat orang istri?"desak Pandan Wangi.
Ayah Wuni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab"Ki Sudagar berjanji akan menceraikan salah seorang dari isterinya."
"Kau benar-benar orang tua yang tamak. Apa pamrihmu he" Uang, perhiasan atau apa" Mungkin Ki Sudagar menjanjikan untuk memberimu rumah dan sawah. Tetapi kau paksa anak gadismu menderita seumur hidupnya"wajah Pandan Wangi menjadi merah.
Dalam pada itu, ternyata sikap Swandaru agak berbeda menghadapi ayah Wuni daripada Ki Sudagar. Didekatinya isterinya sambil berdesis"Sudahlah. Marilah kita pulang."
"Tetapi orang itu adalah orang tua yang tidak pantas dihormati. Ia telah menjual
anaknya. Akuu tidak mempersoalkan hal ini sehingga akan menyangkut aku dan bahkan
beberapa orang lain. Tetapi sikapnya terhadap anaknya itu benar-benar menyakiti hati
bukan saja anaknya. Tetapi hati perempuan."berkata Pandan Wangi yang kata-katanya
bagaikan mengalirnya air dari bendungan yang pecah.
Orang tua itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu sekali lagi Swandaru
berkata"marilah sebaiknya kau memakai rangkapan pakaian."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menghisap kejengkelannya kembali kedalam jantungnya.
Namun didesak oleh suaminya, maka Pandan Wangi-pun kemudian memungut kembali pakaian-pakaiannya dan mengenakan sebuah kain panjang diluar pakaian khususnya dan mengenakan baju panjang pula.
Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi dan Swada-rupun telah meninggalkan tepian. Selain pakaiannya sendiri, Pandan Wangi juga membawa pakaian Wuni yang tertinggal yang masih belum selesai dicucinya.
Demikian keduanya sampai di rumah, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah duduk di pendapa. Swandaru yang kemudian juga naik kependapa, membiarkan Pandan Wangi langsung pergi kesumur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Tetapi langkah Pandan Wangi tertegun ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Wuni.
"Wuni"desis Pandan Wangi sambil berpaling.
Gadis itupun kemudian berlari memeluknya sambil menangis. Katanya"Kata orang kau terluka?"
"Tidak apa-apa."jawab Pandan Wangi"sebagaimana kau lihat. Aku selamat."
Wuni melepaskan pelukannya. Dipandanginya Pandan Wangi yang masih berdiri tegak tanpa cidera. Namun Wuni tidak melihat, bahwa punggung Pandan Wangi memang tergores ujung pedang. Namun oleh obat Kiai Jayaraga, luka itu seakan-akan
telah sembuh. Meskipun Pandan Wangi masih harus berhati-hati.
"Marilah, berikan cucian itu kepadaku"minta Wuni kemudian.
Pandan wangi memandang gadis itu sejenak. Hatinya menjadi iba melihat ketulusan wajahnya. Tanpa bersalah, Wuni sudah dijebak kedalam satu keadaan yang sangat pahit.
Demikianlah, maka Pandan Wangipun kemudian telah memberikan cucian itu kepada Wuni, sementara Wuni masih juga bertanya"Bagaimana dengan ayah?"
"Aku kira ia menyadari kesalahannya"jawab Pandan Wangi. Lalu"Ki Sudagar itu tidak akan mengganggumu lagi."
Wuni menundukkan kepalanya. Titik-titik air matanya telah kembali meleleh dipipinya
yang kemerah-merahan. Katanya"Apakah aku yang menyebabkan kematiannya?"
"Tidak. Tidak Wuni. Bukan kau. Jika ia tidak ingin melepaskan dendamnya kepada
Kiai Gringsing, maka tidak akan mengalami nasib yang sangat buruk."sahut Pandan Wangi dengan serta merta.
"Dan aku akan menjadi isterinya"desis Wuni.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa sakit, perasaan gadis itu apapun yang terjadi. Agaknya ayahnya memang sudah disilaukan oleh janjijanji yang menarik.
"Sudahlah Wuni"berkata Pandan Wangi kemudian"jangan kau pikirkan lagi apa yang telah terjadi. Aku juga merasa terhina oleh peristiwa ini. Tetapi peristiwa itu sudah berlalu."
Wuni mengangguk. Kemudian iapun pergi: ke sumur untuk melanjutkan, mencuci pakaiannya dan pakaian Pandan Wangi.
Sementara itu, Pandan Wangipun telah memasuki biliknya. Ketika ia melihat sepasang pedangnya, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
Agak berbeda dengan senjata Swandaru yang dapat dibawanya kemana saja dan kapan saja tanpa menarik perhatian orang lain, karena cambuk itu dapat disembunyikan dibawah bajunya. Tetapi sepasang pedang itu harus tergantung dipinggang.
"Tidaklah wajar, jika untuk mencuci pakaian aku harus membawa sepasang
pedang"berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri.
Namun dengan demikian, maka telah berkembang didalam hati Pandan Wangi untuk
mendapatkan satu cara melindungi dirinya sendiri tanpa mempergunakan senjata.
Sambil berganti pakaian Pandan Wangi sempat merenung. Seperti dikatakan oleh
Kiai Jayaraga, bahwa ia akan dapat memanfaatkan kemampuannya untuk menjadi alas
perkembangan ilmunya lebih lanjut. Ia akan dapat mempelajari watak udara, air dan api.
Kemudian watak bumi yang menyimpan kekuatan tiada taranya.
"Aku tidak berguru kepada Kiai Jayaraga. Aku bukan saudara seperguruan Ki
Tumenggung Prabadaru. Tetapi udara, air, api dan bumi pada hakekatnya
diperuntukkan bagi semua orang. Persoalannya kemudian adalah, apakah kekuatan
yang mungkin dapat disadap itu diperuntukkan bagi kebaikan atau sebaliknya."berkata
Pandan Wangi didalam hatinya.
Namun Pandan Wangi tidak merenung terlalu lama. Iapun kemudian keluar dari
biliknya setelah berganti pakaian dan pergi ke dapur.
Dalam pada itu, di pendapa Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan kemudian Ki Demang
masih berbicara tentang dua orang yang telah mereka bawa. Dua orang pengawal Ki Sudagar yang terluka parah. Namun keadaan mereka telah menjadi semakin baik.
Swandaru ternyata tidak lama duduk bersama Kiai Gringsing di pendapa. Sementara itu Ki Demangpun kemudian juga meninggalkan mereka, karena satu tugas yang harus diselesaikannya.
Sehingga kemudian yang duduk di pendapa itu tinggallah Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Dengan nada dalam Kiai Jayaragapun berkata"Kedua muridmu memang mempunyai watak yang sangat berbeda."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya"Sudah aku sadari sejak semula.
Sementara aku masih berusaha untuk mendekatkan watak Swandaru kepada watak Agung Sedayu."
"Rasa-rasanya memang sulit"jawab Kiai Jayaraga"aku pernah berputus-asa karena sifat-sifat muridku."
"Betapapun sulitnya"berkata Kiai Gringsing"bukankah itu kewajiban seorang guru?"
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata"Bagaimana dengan dua orang yang terluka parah itu?"
"Untuk apa?"bertanya Kiai Gringsing.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata"Kau
masih bermimpi mendapatkan murid yang demikian."
Kiai Jayaraga termenung sejenak. Katanya"Tidak. Aku sudah mendapat petunjukmu.
Jika aku berkesempatan dan mendapat persetujuan Agung Sedayu dan Ki Gede
Menoreh, aku ingin membina Glagah Putih. Namun sayang sekali jika justru karena aku,
ia terperosok ke-dalam dunia yang kelam."
"Apa maksudmu?"bertanya Kiai Gringsing.
"Semua muridku telah tersesat"jawab Kiai Jayaraga"jika hal itu merupakan satu
ketentuan akan terjadi, maka sayang sekali dengan Glagah Putih. Ia adalah seorang
anak yang baik." "Jangan berpikir begitu"berkata Kiai Gringsing"yang salah adalah pada saat kau mengambil mereka menjadi muridmu."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mulai membayangkan, seorang anak muda akan menerima warisan ilmunya yang kemudian akan dapat berkembang dan tidak punah bersama tubuhnya yang pada satu saat akan turun keliang kubur.
"Kapan aku boleh ke Tanah Perdikan Menoreh?"bertanya Kiai Jayaraga tiba-tiba.
Kiai Gringsing memandangnya dengan heran. Dengan nada tinggi ia bertanya"Kenapa kau bertanya begitu" Apakah ada kemungkinan bahwa aku tidak memperbolehkan kau pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?"
"Bukankah kau membaWa aku kemari dengan prasangka?"bertanya Kiai Jayaraga.
Jangan seperti kanak-kanak"jawab Kiai Gringsing"jika aku masih tetap berprasangka,
maka kau akan aku masukkan kedalam satu bilik tertutup dipagari de-ngen kemampuan
ilmu yang tinggi., sehingga kau tidak akan dapat keluar."
Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata"Ya. Mungkin memang begitu. Namun tiba-tiba saja aku
ingin menemui Agung Sedayu untuk berbicara tentang Glagah Putih."
"Kau dapat mendahului aku ke Tanah Perdikan Menoreh"berkata Kiai Gringsing"aku
masih harus menunggui Swandaru untuk menyelesaikan waktu yang aku berikan
kepadanya beberapa saat lagi. Ilmunya memang nampak berkembang. Cambuknya
benar-benar berbahaya. Orang yang menyebut dirinya Ki Sudagar itu dengan tidak
banyak menemui kesulitan telah dihancurkannya."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah. Pada suatu saat aku akan
pergi. Tetapi apakah tidak lebih baik aku menunggumu sampai kau selesai?"
"Kiai"jawab Kiai Gringsing"jika demikian, maka aku akan menjadi tergesa-gesa. Dan
kau akan menganggap waktu berjalan terlalu lamban. Karena itu, per-gilah mendahului
aku. Ka takan kepada Agung Sedayu, bahwa.aku setuju jika Agung Sedayu tidak
berkeberatan, agar Glagah Putih mendapat ilmu dari kau pula. Tetapi jika Agung
Sedayu tidak setuju, kau jangan memaksa."
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya"Baiklah. Kapan-kapan aku akan
menentukan waktu yang paling baik untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia merasa, bahwa ada keseganan Kiai Jayaraga
untuk mendahului Kiai Gringsing pergi ke Tanah Perdikan, justru karena orang pernah
berprasangka kepadanya, seakan-akan iapun akan ikut membalas dendam pula
sebagaimana dilakukan oleh murid-muridnya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mengatakannya. Dibiarkannya Kiai Jayaraga mencari saat
yang paling baik menurut pertimbanoannya.
Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Swandaru masih tetap mempergunakan
kesempatannya sebaik-baiknya Kehadiran Ki Sudagar telah mendorongnya untuk
berbuat lebih banyak lagi. Kemungkinan yang demikian, masih akan dapat terjadi.
Orang-orang yang mendendam karena gurunya, sanak kadangnya atau orang tuanya
terbunuh dipeperangan. Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan Swandaru itupun berkata kepada
Kiai Gringsing"Guru, rasa-rasanya aku menjadi cemas. Bagaimana jika peristiwa seperti
yang baru saja terjadi atas Pandan Wangi itu terjadi pada Sekar Mirah. Mungkin karena
peristiwa yang baru saja terjadi itu justru mendorong orang-orang yang mendendam
untuk mengalihkan sasaran mereka. Jika mereka gagal melepaskan dendamnya
kepadaku, mereka akan mencobakannya pada kakang Agung Sedayu,"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya"Kakangmu tentu sudah sembuh
sepenuhnya." "Benar guru. Tetapi apakah ia akan dapat menghadapi berbagai macam ilmu yang
mungkin belum pernah dikenalnya sama sekali?"bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya"Di Tanah
Perdikan Menoreh ada ki Waskita dan Ki Gede. Seandainya Ki Waskita sedang pulang
kerumahnya. Maka Ki Gede akan dapat ikut membantu jika Agung Sedayu mengalami
kesulitan. Dan kau tahu, bahwa Sekar Mirahpun memiliki kemampuan yang cukup tinggi
untuk ikut mengatasi masalah masalah yang dapat timbul pada Agung Sedayu."
"Tetapi guru"berkata Swandaru"kakang Agung Sedayu terlalu berpijak pada harga
dirinya yang terlalu tinggi. Ia cepat merasa tersinggung jika ia ditantang untuk berperang
tanding. Padahal setiap kali ia berperang tanding, maka akibatnya dapat diramalkan.
Luka parah. Bahkan hampir saja nyawanya tidak tertolong lagi. Keadaan itu sangat
mendebarkan hati, guru. Apakah guru tidak merasafannya " Aku menyesal, bahwa
aulah yang lebih dahulu mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmuku, sementara
kakang Agung Sedayu baru kemudian. Dengan demikian, aku telah mencemaskan
keadaannya." "Swandaru"berkata Kiai Gringsing dengan nada berat"Agung Sedayu sudah cukup
dewasa. Bukan saja umurnya. Tetapi juga ilmunya. Ketika aku memutuskan untuk
menerima permintaanmu memberimu kesempatan lebih dahulu dari Agung Sedayu,
bukankah saat itu Agung Sedayu sedang dalam keadaan penyembuhan luka-luka yang
dideritanya" Tetapi sebenarnya kau tidak usah ter-laluberprihatin atas Agung Sedayu.
Seperti sudah aku katakan, disana ada Ki Waskita dan Ki Gede disamping Sekar Mirah
sendiri." Swandaru mengangguk angguk. Akhirnya ia bergumam"Mudah mudahan tidak ada
dendam yang tertuju kepadanya. Aku akan menampung segala perasaan dendam dan
mengatasinya disinLApalagi juka sudah selesai dengan batasan waktu yang diberikan
oleh guru." Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja terloncat dari
bibirnya, apa yang sebenarnya ada pada Agung Sedayu. Tetapi Kiai Gringsing menjadi
cemas, bahwa justru dengan demikian Swandaru sendiri ingin menjajagi kemampuan
Pelarian Runway 1 Animorphs - 23 Mengungkap Rahasia Tobias Seruling Perak Sepasang Walet 14
^