Pencarian

Pelarian Runway 1

Fear Street - Pelarian Runway Bagian 1


Chapter 1 SELAMAT DATANG DI SHADYSIDE, sambutan tersebut
tertulis pada papan di hadapannya.
Kegelapan telah menyelimuti sore saat Felicia Fletcher melihat
papan tersebut. Awan pekat tergantung rendah di langit, mengancam
akan membuatnya basah kuyup sekali lagi.
"Shadyside," bisiknya. Nama yang asing di telinganya.
Ia menyapukan tangan ke celana jeans-nya, tapi tidak banyak
membantu. Ia basah kuyup dari ujung rambut ke ujung kaki. Celana
jeansnya terasa berat dibebani air hujan. Sepatu sneaker-nya terasa lunak dan
berair. Ekor kudanya yang cokelat meneteskan air sedingin es ke punggungnya.
Felicia berusaha memandang ke balik papan SELAMAT
DATANG tersebut. Ia melihat sebuah jembatan, membentang di atas
sungai yang mengalir deras, menyapu dedaunan dan patahan cabang
pohon. Felicia memindahkan ransel merahnya yang berat di bahunya.
Ia menarik topi pet biru laut lebih rendah menutupi matanya yang juga biru.
Shadyside. Felicia menyukai nama itu. Mungkin aku akan aman di sini, pikirnya.
Mungkin aku bisa membuka lembaran baru di
Shadyside. Ia merasa bagai ada yang mengganjal di tenggorokannya. Ia
tidak ingin memulai hidup baru. Ia ingin pulang. Pulang ke rumah
tempat teman-teman dan orang-orang yang menyayanginya.
Tapi tidak bisa. Ia tidak akan pernah bisa pulang. Tidak setelah
apa yang sudah dilakukannya.
Jangan menangis lagi, Felicia, perintahnya sendiri. Kau sudah
telanjur basah. Ia berbalik dan menatap ke arah yang berlawanan. Apa Shadyside
layak dicoba - atau sebaiknya ia meneruskan perjalanan"
Felicia berharap bisa melupakan apa yang telah terjadi.
Melupakan segalanya dan semua orang dari masa lalunya. Memulai
dari awal lagi. Tapi kenangan tidak akan pernah lenyap. Laboratoriumnya.
Kabel-kabelnya. Para dokternya.
Terutana Dr. Shanks. Janggut ubanannya yang berminyak dan suaranya yang keras.
Felicia teringat saat pertama kali mereka bertemu. Mereka
membimbingnya masuk ke dalam laboratorium. Lampu-lampu neon
yang terang benderang menyakiti matanya. Mereka mendudukkannya
di sebuah kursi kayu bersandaran tegak. Kursi paling tidak nyaman
yang pernah didudukinya. Mereka mengerumuninya. Bekerja, bekerja, dan bekerja.
Seorang pria kurus berkacamata menempelkan elektroda-elektroda
berperekat di keningnya. Kabel-kabel hijau, hitam, merah, biru, dan kuning
menghubungkan elektroda-elektroda tersebut dengan sebuah
terminal komputer besar. Para asisten meneriakkan perintah terus-
menerus. "Uji coba modul empat," kata seorang wanita beruban yang mengenakan mantel
putih. "Modul empat laksanakan," jawab pria kurus berkacamata. Ia menceklek sebuah
sakelar, dan salah satu mesin pun mengeluarkan
bunyi "bip" yang keras dan berirama. "Denyut tujuh puluh sembilan, tekanan darah
satu-dua puluh." "Apa itu bagus?" tanya Felicia.
Tidak ada yang menjawab. Selalu begitu. Mereka selalu tidak
mengacuhkan pertanyaannya.
Pria kurus berkacamata tersebut meletakkan sebuah meja di
depan Felicia. Asisten yang lain mendorong kursinya.
"Beritahu Dr. Shanks, subjek telah siap," kata wanita beruban tersebut.
"Namaku Felicia," katanya mengingatkan mereka. "Kenapa kalian tidak pernah mau
menyebut namaku?" Wanita beruban tersebut tidak memedulikannya, tidak
mengatakan apa-apa. Ia meraih sebuah clipboard dan mulai mencatat.
"Ejaannya F-E-L-I-C-I-A," kata Felicia dengan nada
menggerutu. Wanita beruban tersebut berhenti mencatat dan menatapnya.
"Apa aku terlalu cepat?" ejek Felicia.
Wanita tersebut meletakkan pensil dan clipboard lalu
meninggalkan ruangan. Beberapa detik kemudian, seorang pria botak berjanggut tebal
berderap masuk ke dalam ruang periksa, mantel putihnya melambai-
lambai seiring setiap langkahnya. Tingginya lebih dari 180 cm dan
berperut besar. Hidungnya panjang dan bengkok. Matanya dalam.
Mata yang marah, pikir Felicia. Tidak ada tawa di sana. Cuma
kehampaan besar, dingin, dan gelap.
"Felicia," kata pria tersebut, melipat lengan di dada.
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
"Baik." "Bagus. Namaku Dr. Shanks. Aku yang menjalankan percobaan
tahap ini. Tidak seperti Dr. Cooper, aku tidak akan mentoleransi
kesinisan apa pun. Kau harus mengerti, Felicia. Kau datang kemari
bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk mengajar. Kami perlu
belajar darimu. Jadi kau harus mengosongkan pikiranmu dan
berkonsentrasi. Kalau kau menolak untuk mematuhi satu peraturan
sederhana itu, kau akan diusir dari Ridgely College ini. Jelas?"
Kemarahan meledak dalam diri Felicia. Memangnya orang ini
siapa" Mereka yang lebih memerlukan aku daripada aku memerlukan
mereka. Felicia menatap lurus ke mata cekung Dr. Shanks. Pria tersebut
tidak bergerak. Ia balas menatap Felicia. "Kau harus belajar
mengendalikan bakatmu. Kalau tidak, kau bisa membahayakan jiwa
orang lain dan dirimu sendiri."
Felicia menggigil. "Aku mengerti," jawabnya kemudian.
"Bagus. Mari kita mulai." Dr. Shanks mencabut sebatang pensil dari saku
mantelnya dan meletakkannya di atas meja di depan Felicia.
"Coba geser pensil ini."
"Apa?" "Geser pensil ini," ulang Dr. Shanks.
"A - aku tidak yakin kalau bisa," kata Felicia. Ia mendengar bunyi "bip" dari
mesinnya meningkat seiring dengan kecepatan jantungnya. Telapak tangannya mulai
berkeringat. "Itu tidak masuk akal," jawab Dr. Shanks. "Geser pensil ini!"
"Aku tidak bisa, tahu!"
Dr. Shanks menggebrak meja. "Apa yang baru saja kukatakan
padamu" Ini bukan permainan. Ini bahkan bukan uji coba. Ini
hidupmu, Non!" "Jangan membentakku!" jeritnya. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa! Aku bukan salah
satu mesin bodohmu itu! Kau tidak bisa
menghidupkan atau mematikanku seenakmu! Pergi kau!"
Dr. Shanks menghela napas dalam. Ia membungkuk di atas
meja, memegang kedua tepi meja. Ia membungkuk begitu dekat
hingga Felicia bisa merasakan napas pria tersebut mengembus
wajahnya. Baunya campuran antara bawang putih dan permen.
"Nona kecil, entah kau tahu atau tidak, kau dikaruniai salah satu bakat paling
luar biasa di muka bumi ini. Sebaiknya kau bekerja sama dan memusatkan
perhatian. Kalau tidak, sudah menunggu orang-orang
yang akan melakukan uji coba yang jauh lebih sakit daripada ini.
Jelas?" Felicia ingin mencabuti elektroda-elektroda dari keningnya,
yang menyebabkan kulitnya terasa gatal, dan melarikan diri dari
laboratorium. Tidak, katanya sendiri. Aku harus kuat. Aku harus
mencobanya. Karena ia tahu Dr. Shanks tidak berbohong. Ayahnya telah
mengatakan hal yang sama - sederet panjang dokter telah menunggu
untuk menguji bakat anehnya. Shanks bukanlah yang paling buruk.
Ia menatap pensil di meja.
"Konsentrasi," kata Dr. Shanks memerintah.
Felicia memusatkan perhatian pada pensil tersebut. Pada
penghapus merah mudanya. Warna kuning pensil itu. Ujungnya yang
tajam dan hitam. Di latar belakang, bunyi "bip" terdengar semakin cepat. Jantung Felicia berdebur
dalam dadanya. Penuh kemarahan. Penuh ketakutan.
Lakukan, katanya sendiri. Lakukan saja.
"Kau tidak memusatkan perhatianmu!" bisik Dr. Shanks.
Tapi justru itu yang sedang dilakukannya. Felicia melontarkan
seluruh energinya ke pensil tersebut. Dan ia merasakan sesuatu.
Sesuatu yang bertumbuh dalam dirinya. Menggembung
perlahan-lahan, seperti sebuah balon.
"Konsentrasi," ulang Dr. Shanks. Suara pria tersebut menancap jauh ke dalam
otaknya. Kekuatannya bertambah besar.
Ia berusaha makin keras. Sementara bunyi "bip" pada mesin semakin cepat dan semakin cepat. Felicia
merasakan darah mengalir deras dalam pembuluhnya.
"Detak jantung satu-sepuluh," terdengar suara seseorang, entah dari mana.
"Tekanan darah satu-delapan
Kuku-kuku Felicia menancap ke dalam tangannya sendiri. Lalu
tangannya terasa lembap, mungkin keringat - atau darah.
"Konsentrasi," ia mendengar suara itu lagi. Suara dokter itu.
Suara musuh. Bunuh musuh itu. Kekuatan tersebut bagai meledak dalam benak Felicia. Seketika
pensil tersebut menjadi bagian dari kehendaknya. Dan ia tahu persis apa yang
ingin dilakukan dengan pensil itu.
Pensil tersebut bergerak-gerak. Perlahan-lahan berputar di meja,
ujungnya mengarah ke Dr. Shanks.
Dalam benaknya, Felicia mencengkeram pensil tersebut sekuat
tenaga. Pensil itu tidak lagi bergoyang-goyang, tapi terangkat
beberapa inci dari meja, melayang, seakan menunggu perintah.
Sekarang, pikirnya. Lakukan!
Ia yang menyebabkannya. Ia memaksa seluruh kemarahannya,
ketakutannya, dan frustasinya ke dalam batang pensil itu. Ia tahu kalau
perbuatannya salah. Tapi tidak bisa menahan diri.
Felicia mengincar satu-satunya sasaran yang bisa dilihatnya -
dan melontarkan pensil tersebut sekuat tenaga.
Felicia menjerit seiring dengan usahanya. Rasanya seperti
melontarkan sebatang tombak raksasa. Berhasil! pikirnya. Ya!
Lalu ia mengawasi pensil tersebut melesat ke seberang
ruangan - ke arah mata kiri Dr. Shanks.
Chapter 2 FELICIA merasa bagai dicekik. Ia memejamkan matanya, tidak
tega untuk menyaksikan. Tidak mampu melihat bagaimana pensil
tersebut menembus bola mata Dr. Shanks.
"Felicia!" ia mendengar Dr. Shanks melolong.
Felicia menggeleng-geleng, matanya masih tetap terpejam
rapat. "Felicia!" panggil Dr. Shanks sekali lagi. Felicia merasa seseorang mencengkeram
bahunya, menahannya agar tetap duduk.
"Tidak!" jeritnya. "Aku tidak sengaja! Tidak sengaja!"
"Aku tahu!" seru Dr. Shanks. "Hebat, bukan?"
Apa katanya" pikir Felicia.
"Buka matamu, Felicia," desak dokter tersebut, suaranya
terdengar penuh semangat.
Apa yang terjadi" Kenapa ia tidak kesakitan"
Perlahan-lahan, Felicia membuka matanya.
Dr. Shanks berdiri di hadapannya - menyeringai. Matanya baik-
baik saja. Tidak ada pensil yang tertancap di sana. Tidak ada darah dan cairan
yang mengalir di wajahnya.
"Lihat perbuatanmu!" perintah Dr. Shanks. Ia menunjuk ke pensil yang tertancap
di papan pengumuman di belakangnya.
"Apa...?" Felicia hampir-hampir tidak mampu berbicara.
"Kau hampir saja membunuhku!" seru Dr. Shanks. "Cuma meleset satu inci! Hebat,
bukan?" Gelombang kelegaan menyapu Felicia. Ia tidak membunuhnya.
Ia tidak membunuhnya. Tapi tadi aku ingin membunuhnya, pikir Felicia. Aku ingin
pensil itu merobek matanya.
Perutnya terasa melilit karena pikiran tersebut. Tidak! Itu tidak
benar. Ia bukan seorang pembunuh! Pasti kekuatannya. Kekuatannya
yang menimbulkan keinginan untuk menyakiti dan merusak.
Kekuatannya benar-benar jahat.
"Kau lihat seberapa dekat kau hampir menusukku?" tanya Dr.
Shanks. Rasa antusias Dr. Shanks membuat Felicia muak. Ia hampir saja
membunuh dokter itu - dan dokter itu justru merasa gembira!
"Aku tahu kalau kau bisa melakukannya. Aku sudah tahu!
Bayangkan apa yang bisa kaulakukan kalau kau belajar
mengendalikan kemampuanmu dalam melakukan telekinesis.
Bayangkan!" Telekinesis. Felicia gemetar mendengar kata itu.
Kedengarannya seperti penyakit, bukan kekuatan untuk
menggerakkan benda-benda dengan pikirannya. Itu tidak indah,
apalagi berkat. Ayahnya telah membuktikannya. Kekuatan tersebut
cuma menimbulkan kesengsaraan....
*************** Felicia menggeleng. Jangan pikirkan lagi, katanya sendiri.
Laboratorium di Ridgely College sekarang sudah sangat jauh.
Dan itulah yang ia inginkan. Tidak ada lagi percobaan. Tidak
ada lagi elektroda. Tidak ada lagi Dr. Shanks.
Sekarang cuma ada Shadyside, dan masa depan. Ia cuma perlu
menyeberangi jembatan di depannya.
Sebuah mobil mengklakson dari belakangnya. Felicia berputar,
matanya terbelalak. Cahaya lampu depan yang terang benderang bagai meledak di
depan matanya. Ia mendengar gemeretak roda menginjak kerikil.
Felicia menjerit. Mobil tersebut melesat tepat ke arahnya!
Ia menyadari kalau tidak punya kesempatan menghindar.
Tidak sempat bergerak! Chapter 3 MOBIL tersebut meraung-raung ke arahnya, roda-rodanya
terkunci karena selip. "Berhenti!" teriak Felicia.
Tapi mobil tersebut terus mendekat. Gelombang kerikil
berhamburan ke atas tergencet roda-rodanya.
Mobil tersebut berhenti hanya beberapa inci darinya. Felicia
diam terpaku di tempatnya, seluruh tubuhnya gemetar.
Ia menatap mobil tersebut, sulit untuk percaya mobil itu tidak
menabraknya. Mobil tersebut mengilat bahkan dalam keremangan saat itu.
Warnanya merah cherry. Dan besar. Sebuah GTO. Mesinnya
menderum keras. Marah. Kaca jendela sisi penumpang bergerak turun. Felicia beringsut
maju, dan mengintip ke dalam.
"Caramu bunuh diri hebat juga," kata seseorang dengan suara berat dari dalam
mobil. Mula-mula Felicia tidak bisa melihat
pengemudinya. Lalu orang tersebut membungkuk ke jendela. Rambut
pria tersebut merah, dan panjangnya melewati bahu. Ia memiliki
janggut kambing yang lebat dan berwarna sama. Sewaktu tersenyum,
tampak gigi-giginya yang telah rusak semua.
"Dua atau tiga inci lagi kau pasti mampus," katanya.


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ma - maaf," kata Felicia. Jantungnya masih berdebar kencang.
"Aku tidak mendengar kedatanganmu."
Pria tersebut menaikkan salah satu alis matanya dan
menderumkan mesin mobilnya.
"Kau tidak mendengar mesin ini?" tanya pria tersebut dengan nada ragu-ragu.
Felicia mengangkat bahu. "Kurasa aku sedang melamun."
Tatapan pria tersebut menyusurinya dari kepala hingga kaki.
"Kau perlu tumpangan." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Hawa dingin merayapi tulang punggung Felicia. Apa ia
memerlukan tumpangan" Tentu aja. Ia membeku. Apa ia mau
menumpang pria ini" Ia tidak yakin.
"Naiklah," kata pria tersebut.
"Aku tidak tahu...."
"Kalau kau tidak mau naik, aku tidak akan meminta maaf
karena hampir menabrakmu. Bye."
Pria tersebut memasukkan gigi persneling.
"Tunggu!" Pria tersebut berpaling, ekspresi wajahnya mengatakan kalau ia
telah menduga tindakan Felicia.
Well... udaranya memang benar-benar dingin, pikir Felicia.
"Oke," katanya kemudian. "Permintaan maaf diterima."
"Hebat," gumam pria tersebut. "Masuk saja."
Felicia pun masuk ke dalam mobil, meletakkan ranselnya di
sela kakinya di lantai. Pengemudi mobil tersebut menginjak pedal gasnya dalam-
dalam, dan mobil melompat masuk ke jembatan dengan ban berdecit.
Ia mempercepat laju kendaraan sewaktu mereka tiba di jalanan
beraspal di sisi seberang jembatan.
Felicia bergegas mengenakan sabuk pengaman.
"Kau punya nama?" tanya pria tersebut.
"Felicia," jawabnya. Ia mengamati pria tersebut dengan teliti sementara pria itu
mengemudi. Pipi pria tersebut bopeng akibat
jerawat. Matanya dalam. Lengan-lengannya besar berotot. Tato
berbentuk kawat berduri melingkari lengannya dari pergelangan
hingga ke siku, dengan tetesan-tetesan darah mengalir dari luka palsu.
Ini bisa jadi kesalahan besar, pikir Felicia. "Namaku Lloyd,"
gumam pria tersebut. "Teman-temanku memanggilku Homicide." Ia meringis. "Tapi kau tidak perlu. Belum
perlu." Felicia balas tersenyum. Sulit dipercaya aku berada satu mobil
dengan pria bernama "Pembunuhan" (Homicide), pikirnya. Sebaiknya aku tidak
membangkitkan kemarahannya. "Hebat juga. Kenapa
mereka memanggilmu begitu?"
Tawa Lloyd meledak. "Karena aku seorang pembunuh!"
Felicia membeku. "Apa?" tanyanya pelan.
"Cuma bergurau," gumam Lloyd.
Felicia tersenyum gugup. Ia tidak yakin kalau pria tersebut
hanya sekadar bergurau. "Eh, Lloyd?" Felicia menelan ludah. "Bisa aku turun di sini saja?"
Ia sulit percaya suaranya bisa terdengar setenang itu. Ia merasa
ketakutan setengah mati. Lloyd memelototinya. "Ada apa?" katanya.
"Well... kurasa hujan sudah berhenti. Aku ingin berjalan kaki."
"Tunggu sebentar." Lloyd merapikan janggutnya hingga
membentuk ujung yang lancip. "Aku cuma ingin memperjelas ini
sejelas-jelasnya. Kau meminta bantuanku, memaksaku
menawarkannya, bersikap seakan-akan kau layak mendapatkannya,
dan sekarang inikah balasanmu" 'Berhenti, Lloyd, aku sudah tidak
memerlukan dirimu lagi'?" Lloyd mencibir dan Felicia menyurut ke pintu mobil.
"Maafkan aku, Lloyd," kata Felicia. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku tidak
memintamu berhenti - "
"Bohong. Kau memaksaku menghentikan mobil!" Lloyd
menjejalkan tangan ke bawah kursi mobilnya dan mengeluarkan
sebatang pisau lipat otomatis. Klik! Mata pisau sepanjang enam inci pun
terlontar keluar. "Lloyd!" jerit Felicia. "Letakkan pisaumu! Kumohon letakkan!"
"Sekarang kau mengerti dari mana asalku," jawab Lloyd.
"Benar, bukan?"
Felicia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pisau lipat
itu. Tangannya merayap ke tombol pintu, tapi mobil tersebut melesat semakin
cepat. Terlalu cepat. Aku tidak bisa meloncat keluar dengan kecepatan
seperti ini! Tapi ia harus melarikan diri. Harus bertindak. Apa pun.
Oh tidak... Aku berjanji tidak akan menumpang lagi. Tidak
akan pernah selamanya! Jantung Felicia bagai menggedor-gedor tulang rusuknya.
Napasnya tertahan di dada.
"Lloyd?" bisiknya. Suaranya terdengar gemetar. "Kenapa kau punya pisau?"
Lloyd mencibir dan menginjak pedal gas semakin dalam. Mobil
pun melesat semakin cepat.
"Lloyd - hentikan!" jerit Felicia. "Apa-apaan kau?"
"Aku sudah memberimu tumpangan," kata Lloyd kepadanya.
"Sekarang kau harus membayarnya."
Chapter 4 "KAU ini ngomong apa?" tanya Felicia. Ia merasa bagai
dicekik. Lloyd mencibir. "Kau bisa turun, Felicia," katanya. "Tapi tinggalkan dompetmu."
Felicia menatapnya keheranan. "Ta - tapi aku tidak punya
uang," katanya. "Well, memalukan," kata Lloyd. "Tapi, kalau begitu, kurasa aku tidak harus
mengizinkanmu turun." Ia menarik lengannya, mengayun-ayunkan pisaunya dengan
sikap mengancam. Felicia merasa ada yang terusik dalam dirinya.
Sesuatu yang bertambah besar... kekuatannya. Menggelembung
seperti sebuah balon. Siap untuk meledak.
Kuku-kuku jemarinya menancap ke dalam lapisan kain mobil
dan ia melesak makin lama makin masuk ke dalam kursi. Ia tidak
boleh melepaskan kekuatan itu. Tidak di sini. Bukan sekarang. Siapa yang tahu
apa yang akan terjadi"
Kekuatan tersebut terus bertambah besar. Ia tidak mampu
mengendalikannya lebih lama lagi.
Tidak! pikirnya dengan perasaan putus asa. Paksa kembali!
Tapi sebuah bayangan tergambar dalam benaknya. Begitu jelas
dan kuat. Bayangan pisau lipat otomatis di tangan Lloyd melayang ke kursi
belakang. Bayangan telapak tangan Lloyd kembali memegang
kemudi, dan mencengkeramnya kuat-kuat. Menyentaknya ke kiri.
Bayangan Llyod mengemudikan mobil memasuki jalur lain.
Tidak! Jangan biarkan terjadi! Kau akan mati!
Tapi ia membayangkan semuanya: pisau melayang, mobil
meliuk tajam, logam melesak di sana-sini, kaca pecah berantakan,
darah di mana-mana. Kejadiannya berlangsung begitu cepat.
Dengan kilasan cahaya baja yang mengilat, pisau tersebut
melesat lepas dari tangan Lloyd. Felicia mendengar Lloyd
menggerung terkejut. Ia menyentakkan kemudi ke kiri. Mobil tersebut pun melesat
melintasi garis kuning. Felicia melihat sebatang pohon mendekat dengan cepat,
semakin besar, dan semakin besar.
Tidak! Kami akan mati! Kami berdua akan mati. Terlambat.
Mobil tersebut menghantam pohon dengan kecepatan penuh!
Felicia terlontar ke depan, sabuk pengamannya menekan
perutnya. Terdengar suara logam membentur.
Kaca depan pecah. Kepala Felicia menghantam kembali ke kursi. Darah yang
hangat dan asin terasa memenuhi mulutnya. Lidahku, pikirnya. Aku
sudah menggigit lidahku sendiri tanpa sengaja.
Felicia bisa mendengar penghapus kaca berayun-ayun menyapu
secara teratur. Tidak terdengar suara lain lagi. Tidak juga dari pria di
sebelahnya. Perlahan-lahan, ia membuka mata.
Ia menatap ke balik kaca depan, ke kap mesin mobil yang
ringsek di depan batang pohon. Bagian depannya robek. Uap berdesis keluar dari
radiator. Felicia berpaling memandang Lloyd. Cowok tersebut
menyandar lemas ke kemudi, darah nengalir dari luka yang dalam di
dahinya, melewati hidung dan dagunya, turun ke kemudi. Lengannya
terjuntai lemas. Tato kawat berduri di pergelangannya tampak lebih nyata lagi
karena darah segar yang membasahinya.
Felicia menggigil. Apa ia masih hidup" Dengan hati-hati ia
mengulurkan tangan dan menyodok tulang rusuk Lloyd. Seluruh otot
di tubuhnya menegang. Ia mengira Lloyd akan meraung bangkit dan
mencekiknya. Tapi Lloyd tidak bergerak.
Felicia membungkuk lebih dekat.
Itu dia - ia melihat dada Lloyd bergerak naik. Ia masih
bernapas, pikir Felicia. Ia masih hidup.
Aku tidak membunuhnya. Tapi tadi kau ingin membunuhnya, bisik suara hatinya. Kau
sudah pernah membunuh - di Ridgely. Sekarang terasa mudah. Kau
tahu betapa mudahnya untuk membunuh seseorang.
Kau tadi ingin Lloyd melayang menerobos kaca depan dan
menghantamkan kepalanya ke batang pohon itu, dan kau hampir saja
membuatnya terjadi. Benar, bukan"
Tidak penting, kata Felicia pada dirinya. Kalau tidak
kuhentikan, ia pasti akan menusukku.
Lloyd mengerang. Felicia harus keluar dari sana. Sekarang.
Ia menanggalkan sabuk pengamannya dan menarik tangkai
pintu. Pintunya tidak bergerak.
"Oh tidak," bisiknya. "Ayo."
Ia menghantamkan bahunya ke pintu. Tidak terjadi apa-apa. Ia
mencoba lagi, lebih kuat. Tetap tidak terjadi apa-apa.
Lalu ia teringat pada jendelanya. Kacanya meluncur turun
dengan mudah. Felicia menyambar ranselnya dari lantai, menarik topi baseball-
nya lebih rendah di kepala, dan merangkak keluar. Ia mengamati
kerusakan mobil dan menggigil.
Deruman mobil menarik perhatian Felicia. Ia berbalik ke jalan
dan melihat kilasan cahaya sekitar setengah mil jauhnya dan mendekat dengan
cepat. Lampu depan mobil!
Ia melesat ke tepi jalan dan melambai-lambaikan tangan sekuat
tenaga. "Berhenti! Kumohon, berhenti!"
Ia mendengar erangan dari dalam mobil.
"Ooooh, apa yang sudah kaulakukan?" kata Lloyd. "Apa yang sudah kaulakukan?"
"Tolong!" jerit Felicia. Ia melambai-lambaikan tangannya lebih cepat. "Tolong!"
Sorotan lampu depan mobil semakin dekat.
Erangan Lloyd terdengar semakin keras.
Felicia mendengar suara memukul-mukul dari mobil. Lloyd
ingin keluar, ia tahu. Lloyd ingin keluar dan mengejarnya. Kalau
mobil itu tidak mau berhenti...
Ia melangkah ke jalan, ke jalur mobil tersebut. "Tolong aku!
Berhenti! Berhenti!"
"Kau merusak mobilku!" erang Lloyd. "Mobilku yang bagus.
Akan kubunuh kau!" Kepanikan mencengkeram Felicia.
Mobil di depannya mulai mengurangi kecepatan.
"Terima kasih," bisik Felicia. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih."
"Akan kubalas kau, Felicia," teriak Lloyd, terdengar sedikit lebih kuat.
Felicia melirik ke mobil Lloyd. Pemiliknya tengah berjuang
keluar melalui jendela. Ia akan bebas dalam beberapa detik lagi.
Mobil yang lain berhenti. Felicia melesat ke sisi penumpang
dan menarik tangkai pintunya. Terkunci.
"Buka!" lolongnya.
"Tunggu," kata pengemudinya, seorang cowok yang kurang-
lebih sebaya dengan Felicia "Ada apa" Kau butuh ambulans?"
Ia menatap cowok tersebut dengan pandangan tidak percaya. Ia
tidak punya waktu untuk tanya-jawab! Lloyd sudah separo keluar dari jendela
mobilnya. "Kumohon. Bu-ka-pin-tu-nya."
Cowok tersebut bergeming. "Orang itu butuh pertolongan,"
jawabnya. "Dengarkan aku!" teriak Felicia. "Aku menumpang padanya dan ia mencoba
menusukku!" "Kau merusak mobilku! Akan kubunuh kau!" jerit Lloyd.
Felicia berusaha untuk tetap tenang. Ia menatap lurus ke mata
cokelat cowok di belakan kemudi tersebut. "Ia mencoba untuk
merampas uangku. Aku cuma menyambar kemudinya dan
menariknya," katanya menjelaskan. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi! Kau
harus menolongku. Ia akan membunuhku!"
"Oke, oke," jawab cowok tersebut. "Naiklah. Kita pergi dari sini."
Ia membukakan pintu dan Felicia bergegas masuk. Ban-bannya
mencicit di aspal basah saat mereka melesat pergi.
Felicia berbalik di kursinya dan melihat Lloyd dari kaca
belakang. Wajah Lloyd mengerut marah, berteriak-teriak sambil
mengejarnya. "Kau baik-baik saja?" tanya cowok di sampingnya.
"Yeah," jawab Felicia. "Sekarang aku baik-baik saja."
Ia berbalik kembali menghadap ke depan dan mengamati cowok
tersebut dengan teliti untuk pertama kalinya. Cowok itu memiliki mata cokelat
yang lembut dan rahang yang kokoh. Sudah satu atau dua hari ia tidak bercukur.
"Apa yang terjadi tadi?" tanya cowok tersebut.
"Sudah kukatakan," jawab Felicia. Ia tidak bisa menghentikan tangannya yang
gemetar. Jadi ia mengepalkannya.
"Kau menumpang pada orang itu?"
"Hei, di luar sangat dingin," sergahnya. "Aku basah kuyup. Aku tidak punya
banyak pilihan." "Menumpang itu perbuatan yang bodoh," jawab cowok
tersebut. "Tidak peduli seberapa kedinginan dirimu."
"Menurutmu begitu?"
"Lihat apa yang terjadi padamu," katanya. "Kau tidak tahu kalau, seandainya ia
seorang psikopat." "Ia mengaku bernama Homicide - Pembunuhan," kata Felicia
sambil menggeleng. "Tidak mungkin!" jawab cowok tersebut. "Pembunuhan?"
"Yeah. Waktu itulah aku tahu kalau sudah terlibat masalah."
"Well, sekarang kau tidak apa-apa," kata cowok tersebut.
"Namaku Nick. Cuma Nick."
Felicia tersenyum. "Apa itu nick-name - nama panggilan -
mu?" Nick tergelak. Felicia mengulurkan tangan. "Aku Felicia."
"Senang berkenalan denganmu, Felicia." Nick menyalaminya, genggamannya hangat
dan mantap. "Kurasa ini bukan hari baikmu."
"Kurasa ini bukan tahun baikku," gumam Felicia.
Nick tampak terkejut. "Seburuk itu?"
"Aku tidak ingin membicarakannya, oke?"
Nick mengangkat tangannya. "Oke, oke. Sorry."


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Felicia merasa tidak enak. Ia tidak bermaksud membentak Nick.
Nick membuatnya merasa nyaman. Ia ingin menceritakan dirinya pada
Nick. Tapi tidak bisa. Tidak kalau ia ingin tetap aman.
Felicia tidak bisa menceritakan tentang kekuatannya pada siapa
pun. Atau kejadian di hari yang mengerikan di Ridgely.
"Kau mau ke polisi?" tanya Nick saat mereka melaju di
sepanjang River Road menuju ke Shadyside.
"Tidak!" semburnya, jauh lebih keras dari pada yang
diinginkannya. Jangan membuatnya curiga.
"Tapi orang itu sudah menyerangmu," kata Nick.
"Yeah, tapi aku baik-baik saja. Ia sudah mendapat pelajaran."
"Oke," kata Nick dengan enggan. "Itu urusanmu."
"Trims." Felicia melirik Nick sekali lagi. Ia berharap
seandainya dirinya seorang anak sekolah biasa. Pulang ke rumah
setelah kencan dengan Nick.
Astaga. Dari mana ia bisa berpikiran seperti itu"
Well, Nick memang benar-benar menggemaskan, pikirnya. Dan
ia sudah menyelamatkan diriku dari orang gila itu.
Tapi ia tidak bisa mempercayai cowok itu. Ia tidak bisa
mempercayai siapa pun. Lolongan sirene membuyarkan lamunan Felicia. Ia berputar di
kursinya. Lampu merah, putih, dan biru berkilau-kilau bergantian di belakang
mereka. Jantungnya bagai melonjak ke tenggorokan.
Polisi! Mereka sudah menemukan dirinya!
Chapter 5 "WOW! Mereka benar-benar tergesa-gesa," komentar Nick
mengatasi lolongan sirene.
Tubuh Felicia menegang. Mustahil mereka mengejarku secepat
ini. Tidak mungkin! Kecuali...
Kecuali fotonya sudah tersebar di komputer kepolisian seluruh
negeri! Cahaya yang berputar-putar tersebut tampak semakin besar di
kaca belakang, sirenenya menjerit-jerit.
"Aku tidak ngebut!" Nick menggeram. "Mau apa mereka?"
"Kau bisa meloloskan diri dari mereka?" pinta Felicia.
"Kau sinting" Aku mau berhenti." Nick menepikan mobilnya, dan mobil polisi
tersebut mendekat. Sekarang saatnya, pikir Felicia. Aku akan masuk penjara.
Mereka tahu semuanya tentang mayat-mayat tersebut, dan mereka
berhasil menangkapku. Mobil polisi tersebut meraung melewati mereka. Di tikungan
berikutnya mobil tersebut berbelok ke kanan. Sirenenya terdengar
semakin pelan. "Ha!" Nick tersenyum. "Aku tahu kalau aku tidak bersalah,"
katanya sambil memutar kemudi ke kiri.
Felicia mendesah. Dugaannya meleset.
Nick membawa mobilnya ke jalan lagi dan mereka melanjutkan
perjalanan. Felicia mencoba mengenali jalan yang mereka lalui,
mencari-cari tanda-tanda jalan atau apa pun yang bisa memberinya
informasi - yang kelak mungkin ada gunanya.
Ia selalu memikirkan jauh ke depan. Berusaha untuk
mempersiapkan diri kalau harus berusaha membebaskan diri dari
situasi yang rumit. Terkadang ia membenci dirinya sendiri karena
berbohong. Tapi justru karena itu ia tidak dipenjara, bukan"
"Kota ini seperti apa, Nick?"
Nick mengangkat bahu. "Entahlah. Seperti kota-kota lainnya
kurasa. Terlalu kecil."
Felicia mengangguk. "Eh, Felicia?" "Yeah?" "Aku tahu kalau ini mungkin bukan urusa-ku...." Nick tampak ragu-ragu. "Apa kau
punya keluarga di sekitar sini?"
Felicia menegang. Ia teringat pada ayahnya. Pada Bibi
Margaret. Pada masa-masa yang indah. Yang sekarang terasa begitu
jauh. "Kau benar, Nick," jawabnya dingin. "Itu bukan urusanmu."
"Hei, maaf," gumam cowok itu. "Tapi kalau kau memang sedang terlibat masalah..."
"Apa maksudmu?"
"Ayolah, Felicia. Kau menumpang di tengah hujan. Kau tidak
bersedia membicarakan keluargamu. Dan kau hampir saja mendapat
serangan jantung sewaktu para polisi tadi melewati kita." Mata Nick menyipit.
"Kau seorang pelarian."
"Kau tidak tahu apa-apa," sergah Felicia.
"Katakan kalau aku salah," tantang Nick.
"Sudahlah." "Aku ingin membantu, oke?"
Cowok yang manis, pikir Felicia. Tapi ia tidak bisa membiarkan
Nick mendekatinya. "Trims tapi kau sudah membantu terlalu banyak,"
jawabnya. "Baik," kata Nick.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam kesunyian hingga
beberapa blok. Felicia sadar kalau telah menyinggung perasaan Nick. Ia harus
mengatakan sesuatu. "Nick, aku bersungguh-sungguh. Kau sudah banyak
membantuku," katanya lembut. "Aku tidak akan pernah bisa membalas budimu. Tapi
kalau kau benar-benar ingin membantu, kau
harus melupakan kalau kita pernah bertemu. Itu penting."
Ia melihat sebuah rumah makan kecil di sebelah kanan jalan.
Donut Hole. "Tolong turunkan aku di sini," katanya.
"Felicia - " "Tidak. Sungguh. Tolong turunkan aku, Nick."
"Oke, oke." Nick menepikan mobilnya. "Lihat, aku tidak peduli alasanmu melarikan
diri, kan. Kalau ada yang kauperlukan - "
"Tidak, Nick," sela Felicia. "Percayalah, aku baik-baik saja." Ia tersenyum pada
cowok tersebut. Kalau saja kami bertemu di saat yang lain, pikirnya. Tempat
yang lain. Kehidupan yang lain...
Felicia tidak bisa menahan diri. Ia membungkuk dan mengecup
bibir Nick sekilas. "Trims."
Nick mengedipkan mata terkejut. "Sama-sama."
Felicia meringis, lalu senyumnya memudar. "Ingat, yang paling baik bagi kita
berdua yang bisa kaulakukan adalah melupakan diriku sama sekali."
Ia meraih ranselnya dan membuka pintu.
"Bagaimana caranya melupakan dirimu sesudah kau
menciumku?" kata Nick dengan nada menggerutu.
"Kau tampaknya cukup cerdas, Nick," jawab Felicia. "Kau pasti tahu caranya."
Sebelum Nick sempat mengatakan apa-apa lagi, Felicia telah
menutup pintu, berbalik, dan masuk ke Donut Hole.
Felicia tidak berpaling. Felicia langsung menuju ke kamar mandi. Ia mengganti
pakaiannya dengan yang kering. Saat menyisir rambutnya yang kusut, ia berharap
seandainya membawa pengering rambut. Lalu ia kembali
mengekor kuda rambutnya dan mengenakan topi baseball-nya.
Pakaian kering terasa nyaman di tubuhnya. Ia kembali ke ruang
makan dan memesan kue bagel panggang dan kopi. Ia membawa
hidangannya ke meja paling jauh dari pintu - dan para pembeli
lainnya. Ia menarik topinya hingga lebih banyak menutupi wajahnya.
Tidak ada yang memperhatikan dirinya.
Sempurna. Sekarang, setelah ia punya waktu, Felicia ingin memikirkan
tindakan selanjutnya. Ia tidak punya tempat untuk menginap. Dan
beberapa dolar uang di sakunya tidak cukup untuk menghidupinya
dalam waktu yang lama. Intinya, ia memerlukan pekerjaan. Dari mana harus memulai" Ia
mendesah dan menggigit kuenya.
Lalu Felicia tidak sengaja mendengar percakapan dua remaja di
meja sebelah. "Sulit dipercaya kalau aku mau melakukannya. Ini akan
merusak seluruh liburan kita," kata salah satu cowok. "Aku benar-benar lupa."
"Kau benar-benar idiot, Bobby," kata cowok kedua. "Sudah berapa lama kita
merencanakan perjalanan ini" Bagaimana kau bisa
melupakannya?" "Aku perlu uangnya. Dr. Jones memberiku uang muka seratus
dolar. Bagaimana aku bisa menolak?"
"Kalau menurutku, kau sengaja menawarkan diri untuk menjaga
rumahnya di Fear Street dan merawat kucingnya demi nilai
pelajaranmu," kata cowok kedua dengan nada menuduh. "Kaupikir ia akan memberimu
nilai B-plus, bukan B-minus, untuk itu."
Bobby tergelak. "Well, mungkin saja."
"Sulit dipercaya," lanjut cowok kedua. "Apa kau tidak bisa mencari orang
pengganti untuk menjaga kucingnya?"
Felicia tersenyum sendiri. Sudah saatnya hidupnya berjalan
dengan benar, pikirnya. Aku bisa mendapatkan apa yang kuperlukan
dari cowok-cowok ini. Bisa dilakukan - tapi sebaiknya sikapmu meyakinkan, pikirnya
memperingatkan diri. Felicia menghela napas dalam. Sekarang atau
tidak sama sekali. Ia berbalik dan membungkuk ke meja mereka.
Chapter 6 "MAAF," sela Felicia. "Apakah Dr. Jones yang kalian Maksud itu Dr. Jones si
profesor pengajar itu, kan?"
"Yeah," jawab cowok yang bernama Bobby. Dagunya dipenuhi janggut-janggut yang
tampaknya baru tiga hari tumbuh. Topi baseballnya dikenakan terbalik. "Memangnya
kenapa?" "Aku mengenalnya," kata Felicia dengan nada ceria. "Ayahku teman baiknya. Kalau
mau, aku bisa menggantikanmu menjaga
rumahnya." "Sungguh?" cowok kedua menyela. Rambut cowok tersebut
diatur berdiri bagai paku di kepalanya. T-shirt-nya bertuliskan huruf Yunani.
"Terima saja, Bobby, dan kita bisa pergi."
Tunggu dulu, jawab Bobby. "Aku tidak mau memberikan kunci
rumah Dr. Jones begitu saja. Dari mana aku tahu kalau kau mengenal Dr. Jones?"
"Karena aku memang mengenalnya," jawab Felicia.
Cowok kedua menyeringai. "Aku suka padanya, Bobby.
Berikan saja kuncinya."
Mata Bobby menyipit. "Kau tahu di mana rumahnya?"
"Di Fear Street, bukan?"
"Yeah, nomor enam ratus tujuh puluh dua."
"Ayo, Bobby," desak cowok kedua.
"Tunggu sebentar!" sergah Bobby. Ia memelototi Felicia. "Dr.
Jones pergi paling tidak selama sebulan. Ia ikut safari atau semacam itu. Ia
memintaku memeriksa rumahnya setiap hari, memberi makan
kucingnya, dan menyirami tanaman. Kau bisa menanganinya?"
"Yeah." Felicia memutar bola matanya. "Kurasa bisa
kutangani." Bobby merogoh sakunya dan melontarkan sebatang kunci
padanya. "Jangan mengacau," katanya memperingatkan.
"Aku tahu, aku tahu," jawab Felicia. "Nilai B-plus yang menjadi taruhan."
"Sudahlah!" teriak cowok kedua. "Ayo berangkat! Ayo!"
Mereka menyelinap keluar dan melangkah ke pintu.
Felicia berdeham dengan suara keras. "Bobby?"
Bobby berhenti dan memelototinya. "Sekarang apa lagi?"
"Well, kalau tidak salah tadi kau mengatakan Dr. Jones
memberimu seratus dolar di muka sebelum pergi?"
Bobby mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"
"Berikan lima puluh padaku, dan kau tidak perlu khawatir lagi.
Kucing itu tidak akan kelaparan."
"Lima puluh?" "Kalau mahasiswa cerdas sepertimu bernilai seratus, kurasa
gadis SMU sepertiku nilainya lima puluh bukan?"
"Kau pasti bergurau!" protes Bobby.
"Berikan saja uangnya," desak temannya. "Cepat!"
"Coba pikir, Bobby," kata Felicia. "Kau masih mendapat lima puluh dolar tanpa
melakukan apa-apa." Bobby menggeleng. Tapi ia merogoh sakunya dan mengambil
beberapa lembar uang yang telah kusut. Ia menjatuhkannya di meja di depan
Felicia. "Aku akan kembali dalam dua minggu," kata cowok tersebut.
"Tinggalkan kuncinya di kotak surat biar bisa kuambil." Ia berbalik hendak
pergi, lalu berhenti. "Omong-omong, namamu siapa?"
"Felicia," katanya dengan cepat. "Felicia Smith."
"Uh-huh," jawab cowok tersebut. "Trims, Felicia Smith. Aku berutang padamu."
"Lupakan saja. Kau sudah membayarku."
Bobby mengangguk, dan kedua cowok tersebut meninggalkan
Donut Hole. Felicia menyelinap kembali ke mejanya dan tersenyum. Aku
benar-benar pandai, pikirnya.
****************** Felicia tidak menemui kesulitan untuk menemukan rumah Dr.
Jones. Rumah megah kelabu bergaya Victoria tersebut berdiri jauh
dari jalan. Ia menaiki tangga ke serambi depan dan mengintip melalui jendela
depan. Tidak banyak yang bisa dilihatnya.
Felicia menyelipkan anak kunci ke lubangnya dan membuka
pintu depan. Engsel-engselnya menjerit saat pintu terayun membuka.
Perlahan-lahan ia melangkah masuk.
Seekor kucing kelabu besar mengeong menyambutnya. Felicia
meraihnya dan memeriksa kalung pengenalnya. "Miss Quiz," katanya keras-keras.
Nama yang aneh untuk seekor kucing.
Kucing itu beratnya paling sedikit tujuh kilo, pikir Felicia.
Berani taruhan hewan itu pasti membawa pulang bangkai-bangkai
hewan pengerat besar di mulutnya dan meninggalkannya di serambi
belakang sebagai kejutan.
Miss Quiz mengendus-endus Felicia dan mendengkur lembut.
Felicia meletakkannya kembali di lantai. Ia mengunci pintu depan dan memeriksa
semua pintu yang lain. Lalu memeriksa jendela dan
menurunkan gorden-gordennya.
Setelah yakin kalau rumah tersebut telah aman, ia kembali ke
ruang duduk. Ia merosot di kursi baca Dr. Jones dan tersenyum
kepada Miss Quiz yang duduk di seberang ruangan. "Aku akan aman bersamamu,
benar, pus?" Miss Quiz balas menatapnya, mata kuningnya tidak berkedip.
Felicia menggigil. Bagaimana mungkin ia bisa merasa aman di
tempat bernama Fear Street"
********************** Felicia muncul di Shadyside High keesokan harinya pagi-pagi.
Ia masuk ke kantor dengan percaya diri, dan mengungkapkan
kebohongan terbesarnya untuk saat itu.
Sekretaris sekolah mendaftarkan dirinya sambil tersenyum. Ia
bahkan tidak menanyakan apa pun sewaktu Felicia menjelaskan kalau
transkrip nilainya dari sekolahnya yang dulu "sedang dalam
perjalanan". Dalam sejam Felicia telah mendapat setumpuk buku dan jadwal
pelajaran yang penuh sesak. Felicia berhasil membuka kunci
kombinasi lokernya pada usahanya yang pertama. Ia menyimpan
buku-buku yang tidak diperlukannya sampai setelah makan siang.
Lalu ia mengeluarkan foto kusut seorang pria dari dalam ranselnya. Ia tersenyum.
Dad. Ia menempelkan foto tersebut di balik pintu loker, lalu menutup


Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintunya. Ia pun menuju ke kelas pelajaran pertamanya.
Rasanya begitu nyaman untuk kembali ke kehidupan normal
lagi. Menjadi bagian dari keramaian. Hanya seorang anak sekolah
biasa. Felicia mencintai setiap detik hari pertamanya.
Setelah pelajaran terakhirnya selesai, Felicia menyimpan buku-
bukunya dalam loker dan menuju ke pintu depan. Ia sempat melihat
seorang cowok mengamatinya dari lorong.
Jantungnya berdetak lebih kencang. Oh tidak. Kenapa cowok
itu menatap dirinya" Apa ia tahu siapa aku"
Chapter 7 FELICIA kembali melirik cowok tersebut. Rambut hitam, mata
cokelat. Nick! Felicia mengembuskan napasnya dengan suara keras sewaktu
cowok tersebut bergegas mendekatinya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" kata cowok tersebut.
Ia bahkan lebih menggemaskan daripada yang kuingat, kata
Felicia dalam hati. "Aku... well, aku sekarang bersekolah di sini,"
jawabnya dengan susah payah. "Apa itu salah?"
"Tidak mungkin!" seru Nick. "Malah, itu berita terbaik yang kudengar sepanjang
hari ini. Kurasa itu berarti segalanya beres
bagimu. Maksudku, tentang kejadian kemarin dan segalanya."
Felicia mengangguk. "Aku berhasil membereskan beberapa hal.
Shadyside adalah rumahku untuk saat ini."
"Untuk saat ini," ulang Nick.
Keduanya membisu untuk waktu yang lama. Felicia tidak bisa
mengalihkan pandangannya dari tatapan Nick. "Berhentilah
memandangiku. Apa kau tidak tahu kalau itu tidak sopan?" godanya.
"Kau yang memulai."
"Hei, aku tidak menatapmu, aku melihat jam dinding di
belakangmu," kata Felicia menjelaskan. "Aku ingin tahu jam berapa sekarang."
"Yang benar?" Felicia menunjuk ke dinding di belakang Nick. Nick menoleh
dari balik bahunya - dan melihat jam itu. "Hm," gumamnya.
Tawa Felicia meledak. "Oke, terima kasih," Nick menggeram. "Kurasa sebaiknya aku pergi."
"Oh, jangan bersikap seperti anak kecil," kata Felicia saat mereka berjalan
keluar. "Kau ke arah mana?" tanya cowok tersebut. "Fear Street."
Ekspresi Nick berubah aneh.
"Kenapa?" tanya Felicia.
"Tidak apa-apa," jawab cowok itu cepat, tidak berani membalas tatapannya.
Felicia tidak mempercayainya. "Ada apa?" ulangnya.
"Banyak terjadi kejadian di sana. Kejadian yang mengerikan."
Berani taruhan aku bisa menangani semuanya, pikir Felicia.
"Sesuai dengan nama jalannya, ya," katanya.
"Kurasa begitu," gumam Nick. "Hei, bagaimana kalau kutraktir hamburger?"
"Senang sekali," jawab Felicia. Tapi jangan biarkan cowok ini terlalu dekat,
katanya mengingatkan dirinya. Kau tidak bisa
mencurahkan isi hatimu sembarangan - tidak peduli betapa baiknya
orang asing itu. "Akan kumasakkan untukmu," kata Nick berjanji.
"Kau bisa masak?" goda Felicia.
"Yeah. Aku bekerja paro waktu di Burger Basket."
"Hebat." Dalam perjalanan, Felicia menanyai Nick tentang sekolah
mereka. Ia memastikan percakapan mereka tidak menyinggung hal-hal
yang terlalu pribadi. Sewaktu mereka tiba di Burger Basket, Nick mengajak Felicia
ke belakang meja dan memasuki dapur. Seorang cowok berambut
pirang yang tengah mengisi botol saus dan mustar meringis kepada
Nick. "Kusisakan mayonesnya biar kau yang mengerjakan," katanya.
"Aku benci benda itu."
Seorang pria jangkung, kurus, dengan rambut pendek,
mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, muncul dari ruang
belakang. "Hei, Nick!" bentaknya. "Yang benar saja. Sudah jam berapa ini" Kau
terlambat!" "Maaf, Barry," jawab Nick. "Aku terhambat."
"Aku tahu," balas Barry. "Siapkan dua lusin burger untuk makan malam. Kerjakan
sekarang." "Beres." Nick menurunkan ranselnya dan memberi isyarat ke arah Felicia. "Ini
Felicia." "Ah, Felicia." Barry mengangguk. "Tukang menumpang yang terlibat masalah."
"Jadi Nick membanggakan diri kalau jadi pahlawan?" tebak Felicia.
"Yeah, ia menceritakan semuanya padaku sewaktu mampir
untuk sarapan tadi pagi," jawab Barry. "Katanya ia menghadapi empat orang untuk
menyelamatkan dirimu."
"Hah, empat orang?" kata Felicia. "Itu cuma khayalannya."
"Empat orang, Barry. Aku serius," kata Nick sambil tersenyum.
"Hentikan selagi masih bisa," kata Barry memperingatkan.
"Dan pakai seragammu. Burgernya harus siap tepat pada waktunya."
Nick menuju ke kamar kecil. Oke, pikir Felicia. Sekarang
kesempatanku. "Ada lowongan?" tanyanya kepada Barry.
Barry melipat lengan di depan dadanya. Ia mengamati Felicia
dengan teliti. Tidak menjawab sepatah kata pun.
"Aku butuh uang," tambah Felicia.
Barry menggosok-gosok dagunya yang kurus. "Pernah kerja di
tempat seperti ini?"
"Yeah, di Hamburger Hut," jawab Felicia. Kebohongan besar lain, pikirnya. Tapi
apa sulitnya" Aku cuma perlu meniru apa yang
dilakukan karyawan lainnya.
"Begini saja," kata Barry, "mampirlah kau besok. Kucoba untuk menyelipkan dirimu
mulai minggu ini. Kau mau bekerja malam?"
Felicia perlu bekerja sebanyak mungkin agar bisa menyewa
tempat tinggal sesudah perjanjian pengawasan rumah berakhir. "Di mana pun, kapan
pun," jawabnya. "Dan aku tidak akan terlambat seperti Nick."
"Hei, aku mendengar lho," keluh Nick. Ia mendekati mereka, dengan seragam
oranye-cokelatnya. "Aku akan bekerja di sini," kata Felicia padanya. "Jadi kau bisa menemaniku
kemari besok - kalau-kalau empat orang itu muncul
lagi!" "Kedengarannya bagus," gumam Nick. Ia mengenakan topi pet oranye.
"Yeah," Barry tergelak. "Zan pasti menyukai persahabatan kalian."
Nick memelototi bosnya. "Siapa Zan?" tanya Felicia.
"Aku," kata seseorang dengan nada dingin dari belakang
Felicia. Felicia berbalik. Seorang cewek langsing berambut hitam
panjang dan bermata biru cerah berdiri di ambang pintu. Ia memegang seikat
selada di satu tangan dan pisau potong besar di tangan yang lain.
Oh-oh, pikir ielicia. Ini pasti cewek Nick. Berani taruhan ia
pasti anak orang kaya. "Zan," kata Nick cepat-cepat. "Ini Felicia. Yang kuceritakan waktu itu."
"Oh, yeah," Zan mengangguk. "Tukang menumpang itu.
Namaku Zan. Kependekan dari Alexandria." Zan tersenyum. "Aku senang kau baik-
baik saja. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi
kalau Nick tidak kebetulan lewat."
"Aku tahu," jawab Felicia kikuk.
"Felicia juga akan bekerja di sini," kata Barry. Lalu ia menunjuk Nick. "Burger.
Dan suruh Kevin istirahat sekarang. Aku ingin ia sudah ada di sini sebelum jam
sibuk dimulai." Nick bergegas menuju ke mesin pemanggang. Sesaat kemudian
seorang cowok pirang melintas. Ia menuang soda untuk dirinya sendiri dan menuju
ke pintu belakang. "Hei, Barry," kata bocah di tempat kasir. "Aku keliru menghitung."
Barry mengeluarkan kunci dari sakunya dan bergegas ke kasir.
Meninggalkan Zan dan Felicia berdua saja.
Felicia berusaha menemukan bahan pembicaraan. "Eh, sudah
berapa lama kau bekerja di sini?" tanyanya.
Zan tidak menjawab. Ia mengamati Felicia dengan teliti.
Felicia merasa bulu kuduknya berdiri. Ia berharap Zan berhenti
menatapnya seperti itu. Mata birunya yang sedingin es menyebabkan
Felicia merinding. Zan mendekatinya, mengangkat pisau jagal di tangannya.
Menudingkannya ke dada Felicia.
Felicia tersentak. Ia terhuyung-huyung mundur, pandangannya
terpaku pada mata pisau yang mengilat tersebut.
Chapter 8 ZAN mendekat. "Kau mungkin berutang nyawa pada Nick,"
kata Zan, suaranya datar dan dingin. "Tapi ia masih tetap pacarku.
Ingat itu." Felicia merasa kekuatannya menggumpal dalam dirinya. Jangan
biarkan keluar sekarang. Tidak di sini. Ia mundur selangkah lagi - dan menabrak
dinding. Zan mengayunkan pisaunya ke arah Felicia.
"Wow!" jerit Nick.
Zan tertawa dan menurunkan pisau ke samping tubuhnya. "Hei,
Felicia. Cuma bergurau," katanya. "Aku harus memotong-motong daun selada." Ia
melambaikan tangan, dengan pisau masih di sana.
Felicia tidak bisa berbicara. Ia harus memusatkan seluruh
perhatiannya untuk mengendalikan kekuatannya. Ia menutup indranya
dari suara-suara di restoran. Menghalangi suara-suara percakapan
Nick dan Zan. Ia memaksa kekuatannya untuk menyusut kembali.
Tapi kekuatannya terus membesar. Sebentar lagi meledak, pikir
Felicia. Kekuatannya menyembur keluar. Felicia memaksa kekuatannya
menjauhi dirinya. Menjauhi Zan, Nick, dan Barry. Jauh dari semua
orang dalam gedung. Minyak untuk menggoreng kentang mulai memunculkan
gelembung dan berdesis-desis, kemudian tersembur ke lantai.
Setumpuk baki basah jatuh dari meja. Lampu-lampu berkedip-kedip.
"Ada apa?" teriak Barry.
Felicia menghela napas panjang saat tetes terakhir kekuatannya
melayang keluar. Tidak apa-apa, katanya sendiri. Sudah selesai - dan kau tidak
melukai siapa pun. "Aneh," jerit Nick. "Rasanya ada sekring yang putus. Kita perlu mengganti
beberapa sekring," katanya mengingatkan Barry.
"Seharusnya kita menggunakan ukuran yang pas."
"Nanti kubeli," kata Barry berjanji. "Sekarang kembali bekerja."
Zan berpaling memandang Felicia. "Maaf tadi aku menakut-
nakutimu. Aku benar-benar cuma bergurau."
"Tidak apa-apa," jawab Felicia. "Tapi aku sangat tidak menyukai pisau."
"Oh, aku lupa!" erang Zan. "Keparat di mobil itu
mengancammu dengan pisau, bukan?"
"Ya," sergah Nick.
"Maafkan aku," ulang Zan. "Sungguh."
Felicia tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Ayolah," kata Barry. "Sudah selesai bersenang-senangnya, Felicia" Kutunggu
kedatanganmu besok pagi."
"Trims, Barry," kata Felicia.
Nick menyiapkan burger untuk dibawa Felicia.
"Sampai bertemu besok," seru Felicia sambil melangkah keluar.
Hampir saja, pikir Felicia dalam perjalanan pulang. Kekuatanku
hampir saja tersembur keluar. Bisa terjadi hal-hal yang mengerikan.
Seperti di Ridgely dulu. ********************* "Hei, Felicia! Duduk di sini saja."
Felicia melihat Zan melambai padanya dari meja di bagian
belakang ruang makan. Nick duduk di sampingnya.
Felicia membawa bakinya ke sana dan duduk di hadapan
mereka. "Enak, makan burger yang dimasak orang lain?" tanya Nick.
"Sangat." Felicia menyemprotkan saus ke hamburgernya. "Aku sudah tidur jam
sembilan semalam." "Aku senang kau muncul pada waktu itu," kata Zan. "Kami selalu kekurangan orang
kalau akhir pekan." Felicia bekerja hanya hari Sabtu dan Minggu di Burger Basket.
Pekerjaan di ruang yang panas dan kotor, tapi ia tidak peduli. Barry dan Nick
selalu membuatnya tertawa, dan Zan ternyata cukup
menyenangkan juga. "Apa Burger Basket berbeda jauh dengan Hamburger Hut?"
tanya Nick. Ia menusuk-nusuk chicken potpie-nya dengan garpu,
menyebabkan makanannya menjadi sebuah genangan cokelat
kehijauan. "Eh, tidak juga," jawab Felicia. Ia mengerutkan hidung melihat Nick terus
mempermainkan makanannya. "Apa kau benar-benar mau menyantap makananmu?"
"Sebentar lagi," kata Nick padanya. "Belum siap."
"Nick mau menyantapnya sampai yakin kalau makanannya
benar-benar sudah mati," bisik Zan pada Felicia. Mereka berdua tertawa.
"Kelihatannya seperti sudah disantap sejam yang lalu.
Bukannya baru mau disantap!" gurau Zan.
Nick mencincang santapannya semakin kencng.
"Tidak seburuk perlakuannya terhadap sisa salad kemarin," kata Zan sambil
menggelengkan kepala. Dalam bekerja, Nick menggunakan hidangan yang ada untuk
menyusun berbagai macam lelucon yang menjijikkan. Felicia
menyukai selera humornya yang tidak biasa.
"Sulit dipercaya Barry begitu mempercayaimu," tambah Zan.
"Apa yang bisa kukatakan" Aku pemanggang burger
kesayangannya." "Dan Felicia pemula minggu ini," kata Zan.
"Sepenuhnya," kata Nick menyetujui. Ia mengacungkan Cokenya tinggi-tinggi.
"Jangan menuangkannya ke makananku!" jerit Zan.
Felicia menutupi burgernya dengan dua tangan.
"Kita bersulang," kata Nick menjelaskan. "Untuk Felicia, anggota terbaru regu
hamburger." Zan bertepuk tangan, dan mereka menenggak soda masing-
masing. "Terima kasih, terima kasih!" seru Felicia seakan-akan
menerima Academy Award. Rasanya begitu menyenangkan memiliki teman-teman lagi,
dengan siapa kita bisa berkumpul. Sepanjang ia menjaga agar mereka tidak terlalu
dekat. Selama ia tidak menyakiti mereka.
********************* Setelah kelas terakhirnya, Felicia mampir ke lokernya dan
menyimpan buku-bukunya. Ia telah menyelesaikan pekerjaan
rumahnya di ruang belajar, jadi tidak perlu melakukan apa-apa lagi di rumah.
Bagus, pikirnya. Tidak ada pekerjaan rumah. Tidak ada
pekerjaan apa pun. Aku akan mencari film lama di TV dan membuat
semangkuk besar popcorn. Malam yang sempurna.
Well, hampir sempurna, akunya sendiri. Nick tidak akan ada di
sana. Berhentilah menyiksa diri, pikirnya. Ia tidak mungkin
mendapatkan Nick. Nick pacar temannya. Dan itu kenyataannya.
Ia mau menutup pintu loker sewaktu melihat sebuah amplop
yang ditempelkan di bagian dalam pintu. Tepat di samping foto
ayahnya.

Fear Street - Pelarian Runway di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mencabutnya. Tidak ada tulisan apa pun di sana.
Aneh, pikirnya. Ia merobek amplop tersebut dan mengeluarkan
sehelai kertas terlipat. Sebagian dari kertas tersebut tampak seperti telah
dibakar. Serpihan abu mengotori bagian dasar amplop.
Felicia membuka lipatan kertas tersebut - dan tersentak.
Ada yang menulis pesan dengan spidol oranye:
AKU TAHU SEGALANYA TENTANG DIRIMU! Felicia merasa mual. Ia menyandar ke lokernya.
Ini tidak mungkin terjadi.
Di bawah pesan tersebut terdapat fotokopi SIM Felicia yang
sangat jelas. Dengan nama aslinya. Dan alamatnya di Ridgely.
Kerongkongan Felicia terasa panas dan pahit saat menatap foto
di SIM tersebut. Wajahnya....
Ada yang telah membakar bagian wajahnya.
Chapter 9 TANGAN Felicia mulai gemetar. Seseorang tahu tentang
diriku. Seseorang tahu kalau nama belakangku Fletcher, bukan Smith.
Seseorang tahu kalau aku berasal dari Ridgely.
Tapi siapa" Siapa" Felicia merasakan semburan energi mulai menumpuk di dalam
dirinya. Kekuatannya! Ia bisa merasakan kekuatannya bertambah
besar. Tidak! Katanya sendiri. Harus kauhentikan. Kau tidak bisa
membiarkan kekuatanmu keluar lagi.
Tapi ia tidak bisa mengendalikannya. Kekuatannya tumbuh
terlalu cepat. Deretan loker di depannya mulai bergetar. Pintu-pintu
logamnya berderum dan berdentang-dentang menghantam kuncinya.
Tang! Tang! Tang! Buku-buku terdengar menghantam pintu-
pintu loker. Pintu loker Felicia terbanting-banting sendiri! Membuka dan
menutup, membuka dan menutup, membuka dan menutup.
Felicia menahannya dengan tubuh dan memaksanya menutup.
Ia bisa merasakan pelat logam tersebut memberontak.
Ia menjejakkan kakinya ke lantai. Berjuang agar pintunya tetap
tertutup. Blang! Pintunya membuka. Felicia jatuh berlutut. Ia meringkuk di lantai sambil menutupi
kedua telinganya. Berusaha menghalangi suara dentangan dan
dentuman yang mengerikan tersebut.
Kemarahan menyapu dalam dirinya. Ia beranjak bangkit.
"Hentikan!" jeritnya. "Hentikan! Aku yang mengendalikanmu. Bukan kau yang
mengendalikanku!" Beberapa detik kemudian, loker-loker tersebut kembali diam.
Aula kembali sunyi. Felicia mengamati sekeliling aula. Apa ada yang melihat
kejadian barusan" Tidak. Tidak ada seorang pun di sana.
Untung aku tidak langsung pulang setelah pelajaran selesai,
pikir Felicia. Jadi yang lainnya sempat pulang lebih dulu.
Felicia menutup pintu lokernya. Ia mengunci pintunya dan
memutar kenopnya. Lalu ia menjejalkan pesan yang mengerikan tersebut ke dalam
ranselnya dan melesat keluar melalui pintu depan.
Felicia memperlambat larinya begitu tiba di jalan. Apa mungkin
ada yang membuntutinya"
Apa orang yang mengirim surat tersebut tahu kalau aku tinggal
di Fear Street" Mereka tahu yang mana lokerku.
Ia memaksa agar tetap bersikap normal. Berkeliaran di kota,
berpura-pura melihat-lihat barang di etalase toko-toko. Di setiap blok ia
melirik ke belakangnya. Berusaha menemukan orang yang terus
mengikutinya. Tidak ada. Sewaktu Felicia tiba di Donut Hole, ia memutuskan untuk
masuk ke dalam. Ia memesan soda dan membawanya ke kursi dekat
jendela. Tidak ada orang di sini yang tahu kebenarannya, kata Felicia
pada diri sendiri sambil menatap ke luar jendela. Sekalipun ada yang mengetahui
nama aslinya, itu tidak berarti mereka tahu segalanya
tentang masa lalunya. Itu tidak berarti mereka tahu alasan
kepergiannya dari Ridgely.
Apa yang harus dilakukannya sekarang" Apa sebaiknya ia
melarikan diri lagi" Pindah ke kota lain" Atau sebaiknya mengambil risiko tetap
tinggal di Shadyside di mana ia punya pekerjaan dan
tempat tinggal" Dan Nick, pikirnya. Tapi aku tidak benar-benar memilikinya,
bukan" Felicia berharap bisa membicarakan segalanya dengan
seseorang. Benar-benar berbicara. Dan ia hanya tahu satu orang yang ia percaya
akan bersedia untuk mendengarkan.
Aku bisa meneleponnya, pikir Felicia. Aku bisa menelepon
Nick. Bukan masalah. Itu bukan berusaha mencuri pacar Zan.
Felicia bergegas ke telepon umum dan memutar nomor Burger
Basket. Barry yang menerima dan memanggilkan Nick tanpa
menanyakan apa pun. "Hei, ada apa?" tanya Nick penuh semangat. Felicia bisa
mendengar ada yang meneriakkan pesanan dari loket drive-thru di
latar belakang. "Eh, tidak apa-apa...." Bagus, Felicia, guraunya sendiri. Tapi rasanya
membicarakan tentang dirinya lebih sulit daripada dugaannya semula - bahkan kepada
Nick. "Kedengarannya tidak begitu." Nick diam sejenak. "Ada apa?"
"Apa Zan ada?" tanya Felicia.
"Tidak," jawab Nick. "Hari ini ia libur."
"Oh." Mungkin ini gagasan yang bodoh, pikir Felicia. Lebih aman untuk tidak
berbicara dengannya. Lebih aman bagiku... dan bagi Nick.
"Felicia, apa pun masalahnya, kau bisa membicarakannya
denganku, kau tahu." Nick terdengar khawatir.
Felicia mendesah. "Kurasa itu sebabnya aku menelepon."
"Sekarang agak sepi pengunjung. Aku akan meminta izin pada
Barry untuk mengambil istirahat lebih awal," jawab Nick. "Kau ada di mana?"
Felicia ragu-ragu sejenak. "Donut Hole," jawabnya.
"Nick, kau sedang libur atau sedang apa?" Felicia mendengar Barry berteriak di
latar belakang. "Barry sedang mudah naik darah. Aku harus pergi, tapi aku
akan ke tempatmu secepatnya." Nick menutup teleponnya.
Felicia kembali ke kursinya. Sekitar lima belas menit kemudian
Nick melangkah masuk. Felicia melihat kalau cowok tersebut bahkan
tidak mengganti seragamnya.
Nick merosot di kursi di depannya. "Ada apa?" tanyanya tanpa membuang-buang
waktu. "Sebenarnya tidak ada apa-apa... Maksudku, kurasa aku cuma
ketakutan." "Terhadap?" Felicia ingin menceritakan segalanya kepada Nick. Tapi ia tidak
berani menanggung risikonya.
Kuceritakan sedikit saja, pikirnya mengambil keputusan. Hanya
sedikit. Ia menghela napas dalam, lalu mulai. "Kau dan Zan teman-teman pertama
yang kudapat selama beberapa waktu ini," katanya mengakui. "Keadaanku di
Shadyside benar-benar baik, dan aku..."
"Apa?" desak Nick lembut.
"Aku takut kalau akan kehilangan segalanya," jawabnya pelan.
"Rasanya aku harus pergi."
"Kenapa" Kau baru saja tiba," protes Nick.
"Aku tidak bisa menolaknya, Nick!" Felicia berusaha agar suaranya tetap pelan.
Ia tidak bisa membiarkan emosinya lepas
kontrol. "Aku pelarian, dan itu yang kulakukan. Aku berlari!"
Nick menyambar tangannya dan meremasnya.
"Kalau begitu, berhentilah berlari," katanya. "Aku tidak tahu apa yang
mengejarmu. Entah kau mau menceritakannya atau tidak.
Tapi itu tidak penting. Aku masih tetap temanmu. Begitu juga Zan.
Kami tidak ingin kau pergi."
Felicia menunduk menatap meja. Nick tidak akan berkata
begitu, pikirnya, kalau ia tahu perbuatanku dulu.
"Aku tidak ingin pergi," bisiknya. Ia menatap lurus ke mata Nick. "Aku senang
tinggal di sini." "Kalau begitu, jangan pergi," jawab Nick. "Apa pun
masalahmu, aku akan membantumu. Aku berjanji."
Felicia tersenyum. "Kenapa kau begitu baik padaku, Nick" Kau
tidak tahu apa-apa tentang diriku."
Cowok tersebut mengangkat bahu. "Entahlah."
"Jawaban yang bagus," gumam Felicia. Mereka tertawa. Felicia tidak menceritakan
banyak hal, tapi ia merasa lebih baik.
Mungkin aku bisa tetap tinggal, pikirnya. Tapi aku harus tahu
siapa yang mengirim surat itu. Aku harus tahu seberapa banyak yang mereka
ketahui. "Sudah larut," kata Nick. "Aku harus kembali atau Barry akan meledak. Kau baik-
baik saja?" Felicia mengangguk. "Trims kau mau datang, Nick. Ini sangat
berarti bagiku." Nick bangkit berdiri. "Kau mau menumpang... terserah ke
mana," Nick menawarkan. "Barry bisa menunggu beberapa menit lagi."
"Tidak," kata Felicia cepat-cepat. "Aku mau di sini dulu."
"Oke," jawab cowok tersebut. "Mungkin suatu hari nanti aku mampir ke rumahmu."
Memburu Yeerk Kembar 2 Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari Dewi Penyebar Maut I I I 2
^