Pencarian

Bintang Malam 2

Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam Bagian 2


bertambah. Kini sepasang matanya tertuju ke satu arah.
Seluruh bulu-bulu di tubuhnya tegak berdiri. Kemudian dengan tiba-tiba ia
berontak dan melompat dari pelukan majikannya.
"Eeeh, mau ke mana kau" Ayo, sini!" Reflek ia bangun dan bermaksud mengejar.
Tapi saat itu juga terdengar teriakan seseorang dari arah depan.
Ia terpaku di tempatnya. Mengarahkan pandangannya
lurus ke depan. Seorang pria, ia yakin begitu meski masih dalam jarak yang
berbentuk siluet, tubuhnya kurus dan lari sekencang-kencangnya, bahkan nyaris
beberapa kali terjatuh seperti dikejar-kejar setan.
"Tolong, tolong! Seseorang ingin membunuhku," teriak-nya dengan suara agak
serak. Dari jarak dekat terlihat di wajahnya ada bekas luka cakar yang masih
baru. Tubuhnya yang bertelanjang dada pun menampakkan luka-luka yang sama. Si
Gembel yang masih mematung di tempatnya
masih kelihatan bingung. Bahkan seperti tidak mempedulikan saat pria kurus itu,
terJerembab di dekatnya.
"To... tolong, Pak. Seseorang ingin membunuhku.
Tolong...."
"Siapa?" tanya si Gembel sambil celingak-celinguk memandang ke segala arah, dan
tidak melihat apa serta siapa pun di sekitar tempat itu selain mereka berdua.
"Tolong, Pak. Tolonglah aku. Dia betul-betul akan membunuhku." Pria kurus itu
meraih tangannya. Tubuhnya gemetar ketakutan.
"Aku tidak melihat siapa-siapa. Siapa yang ingin membunuhmu. Ah, sudahlah!
Jangan ngomong macam-macam."
Gembel itu menepisnya, kemudian mencari-cari kucingnya yang tadi kabur entah ke
mana. Pria tadi mendekatinya, masih dengan tubuh gemetar, berusaha meyakinkan si
Gembel. "Seseorang ingin membunuhku. Dia betul-betul ingin membunuhku.
Tolonglah."
"Sudahlah. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Lagipula kalau memang ada yang
mau membunuhmu, apa yang
bisa kubantu" Paling-paling aku kabur supaya orang itu tidak sekalian
membunuhku. Nah, itu pasti si Manis!"
Sepasang mata memancar tajam persis di dekat pohon asam. Hijau kebiru-biruan.
Persis mata kucing dalam kegelapan.
"Jangan ke sana! Makhluk Atu akan membunuhmu!"
cegah si pria itu seraya menarik tangannya.
"Aah, macam-macam saja! Pergilah sana. Pergi sejauh-jauhnya dari sini. Mana
mungkin si Manis akan mem-
bunuhmu. Paling-paling kalau sedang kesal mungkin saja dia mencakarmu. He, apa
tadi kau telah membuat si Manis kesal hingga dia mencakarmu?" Si Gembel tak
mempedulikan apakah pria itu akan menjawab pertanyaannya atau tidak. Perlahan
didekatinya pohon asam itu sambil memanggil-manggil si Manis.
Si Manis keluar dari persembunyian. Langkahnya
tenang, masih dengan sepasang mata yang memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan.
Dan itu membuat si Gembel terkejut setengah mati. Si Manis yang dilihatnya
sekarang bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang dibiarkan lepas begitu
saja. "Si... siapa kau"!" tanyanya dengan suara gagap ketakutan melihat si Manis
benar-benar berwujud seorang wanita muda yang berparas cukup manis.
Makhluk manis itu tidak memperdulikannya. Sorot
matanya yang mengerikan itu tertuju pada pria kurus yang berada di belakang si
Gembel. Tenang dan perlahan
dihampirinya pria itu yang cepat bangkit berdiri dan terus kabur. Sikap wanita
itu masih tenang, demikiah pula langkahnya. Namun si Gembel melihat sesuatu yang
aneh. Wanita itu saat ini seperti tidak menapak di atas tanah, dan tahu-tahu telah
melayang ke hadapan pria yang
sedang dikejarnya.
"Oh, tidak! Tidak...!" Pria kurus itu berteriak histeris kebingungan kemudian
berbalik arah. Tapi ke mana saja ia melangkah wanita itu selalu telah berada di
hadapannya. Sampai kemudian ia terpojok di batang pohon asam
tempat di mana wanita itu tadi pertama kali menampakkan diri.
"Tidak. Oh, Lestari, sadarlah aku ini Burhan. Masak kau tidak mengenaliku"
Lestari, sadarlah! Sadarlah. Aku Burhan, kekasihmu. Apakah kau lupa?"
Wanita yang dipanggil Lestari itu terus melangkah pelan.
Sorot matanya masih setajam tadi. Sama sekali tidak terlihat perubahan pada
mimik wajahnya mendengar kata-kata pria yang mengaku bernama Burhan itu.
"Lestari, bicaralah! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini"
Setan apa yang telah merasuki tubuhmu" Lestari, aku Burhan, kekasihmu. Apakah
kau tidak mengenaliku"
Sadarlah, jangan biarkan dirimu dipengaruhi iblis jahat!"
bujuk Burhan lagi dalain situasi yang tidak berdaya.
Lestari telah berada persis di hadapannya. Seperti semula, tidak terlihat
sedikit pun perubahan pada mimik wajahnya. Datar dan dingin. Hanya sorot matanya
yang berkilau menyiratkan nafsu membunuh. Perlahan diangkat-nya sebelah tangan,
dan Burhan jelas melihat kelima jari-jari wanita itu memiliki kuku-kuku yang
panjang dan tajam, siap dihunjamkah ke tubuhnya.
"Lestari, kau...." Kata-katanya terhenti, dan berubah menjadi jerit kesakitan
yang panjang saat kelima kuku-kuku jari wanita itu menghunjam tubuhnya, tepat di
arah jantung. Dan ketika lengan wanita itu ditarik kembali maka tampak di
telapak tangannya yang tergenggam jantung korban yang dipenuh darah.
Si Gembel yang menyaksikan peristiwa itu menggigil sekujur tubuhnya. Keinginan
untuk kabur secepatnya dari tempat itu kuat sekali, namun sepasang kakinya
seperti terpatri erat di atas tanah, dan tidak bisa digerakkan sedikit pun.
Dilihatnya wanita itu mengacungkan lengannya yang berlumuran darah ke atas, dan
pada saat yang bersamaan kembali terdengar lolongan anjing dari
kejauhan. Kemudian setelah itu ia melirik ke arahnya.
Jantung si Gembel seperti mau copot rasanya, dan
semangatnya terbang entah ke mana.
"Mati aku! Apakah aku akan mati sekarang" Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini. Aku
belum mau mati. Aku belum mau mati sekarang. Aku masih kepingin hidup. Tolonglah
hambaMu, ya Tuhan." Dengan perasaan takut yang memuncak ia berdo'a, sesuatu yang
selama ini tidak pernah dilakukannya. Ia berharap ada tangan-tangan sakti yang
entah dari mana datangnya, muncul menghalau
makhluk itu dan membawanya pergi sejauh mungkin.
Entah karena do'anya, atau mungkin punya alasan lain, tapi yang penting ternyata
do'anya terkabul. Ketika perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, makhluk itu
tidak ada di tempatnya. Raib entah ke mana! Si Gembel celingukan, mencari-cari
dengan pandangannya ke
sekeliling tempat itu, masih dengan perasaan khawatir kalau-kalau makhluk wanita
itu bersembunyi di suatu tempat yang sangat dekat lalu menerkamnya ketika ia
lengah. Tapi setelah yakin kalau dirinya selamat, ia berlari sekencang-
kencangnya meninggalkan tempat itu.
*** Siang harinya polisi telah hadir di tempat itu bersama beberapa wartawan cetak
maupun elektronik, juga tidak ketinggalan mobil ambulan yang akan membawa mayat
Burhan ke rumah sakit untuk diotopsi.
"Ini korban ketujuh, Pak. Apa komentar Anda atas kejadian ini, dan sejauh mana
usaha polisi untuk
mengatasinya?" tanya seorang wartawan cantik dengan pulpen dan notes di tangan..
Pria berusia sekitar tiga puluh empat tahun dan
berseragam polisi dengan pangkat letnan itu memandang wartawati itu sejenak,
kemudian pada wartawan lainnya yang siap mencatat dan merekam jawabannya.
"Ini tindakan kriminal murni, dan kami bersungguh-sungguh akan menangkap
pelakunya untuk diajukan ke pengadilan dan diproses, sesual dengan hukum yang
berlaku...."
"Apakah polisi sudah mendapatkan titik terang siapa kira-kira pelaku pembunuhan
itu?" tanya seorang wartawan.
"Kami akan berusaha sungguh-sungguh."
"Apakah itu artinya belum?" kejar wartawan yang lain.
"Jawaban itu tidak tepat. Kalau kami katakan sudah, itu tidak objektif sebab
kami sedang mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan keterlibatan
dan keterkaitannya, dan bila kami katakan belum itu menunjukkan bahwa kita dalam
mencurigai dan menuduh seseorang menggunakan prosedur yang telah ditetapkan
perangkat hukum. Dan tidak bisa main tunjuk seenaknya." Letnan polisi itu
mengakhiri jawabannya dan menghindar dari kerumunan para wartawan. Meski satu
atau dua wartawan masih menguntit dan mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan
yang usil, namun dengan lihai ia menolak.
Bersama beberapa rekannya ia memeriksa ke sekeliling tempat itu dengan teliti.
Dengan santai ia mengintruksikan pada bawahannya
agar para wartawan tidak mengganggu proses penyeiidikan yang tengah
dilakukannya. Namun ketika wartawati yang pertama kali mengajukan pertanyaan itu
mengikutinya, ia memberi isyarat pada dua anak buahnya yang coba
mencegah untuk membiarkannya saja.
"Pertanyaan apa itu" Kau memancing yang lainnya untuk menanyakan hal-hal yang
sulit untuk kujawab,"
katanya setelah wartawati itu mendekat.
"Lho, memangnya ada larangan untuk bertanya kepada petugas yang bertanggung
jawab dalam suatu masalah?"
Balik bertanya wartawati itu sambil tersenyum mengejek.
"Kita telah sepakat untuk sementara ini kasus jangan terlalu dibesar-besarkan."
"Itu akan menimbulkan ketakutan masyarakat. Mereka tidak mendapat informasi yang
jelas, dan selalu was-was kalau suatu saat jiwa merekalah yang akan melayang.
Ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik."
Letnan polisi itu menoleh. Sekilas memandang tajam pada si wartawati. "Saras,
kali ini aku bicara kepada seorang teman bukan kepada wartawati, oke?"
"Oke, baiklah. Sebagai seorang teman aku bertanya, sampai sejauh mana informasi
yang telah kau kumpulkan dalam kasus pembunuhan ini?"
"Banyak sekali. Meski tidak seluruhnya kuceritakan, tapi kita bisa melihatnya
dari poin-poin yang penting. Seperti kasus yang terdahulu, maka kecurigaanku
masih tetap kepada orang terdekat si korban. Hanya saja aku belum menemukan
motif, apa yang membuat mereka melakukan hal seperti itu."
Wartawati yang bernama Saras itu mengernyitkan dahi, kemudian matanya
memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu, sebelum kembali memandang tawan
bicaranya. "Apakah kau tidak memikirkan hal-hal aneh yang pernah kukatakan tempo hari?"
"Soal apa?"
"Keterlibatan makhluk gaib di balik kasus ini?"
Letnan polisi itu sudah mau tersenyum, namun
diurungkannya ketika melihat bola mata cewek itu
mendelik galak. Pada percakapan sebelumnya Saras menawarkan alternatif, kalau
pembunuhan itu ada
kaitannya dengan alam gaib, namun letnan polisi itu melecehkannya dan
menganggapnya irrasional sehingga membuat Saras kesal dan marah.
"Oke, baiklah. Lantas apa yang mendasari penilaianmu itu?"
"Situasi yang hampir sama. Coba perhatikan, korban pertama tewas di tebing
terjal, tidak jauh dari lokasi ada pohon asam, lalu ada gubuk tidak terurus...."
"Tapi korban kedua ternyata tewas mengambang di sungai, dan lokasi itu jauh dari
pohon asam," tukas letnan polisi itu.
"Kita tidak bisa memperkirakan di mana pertama kali dia tewas, kan" Dan sampai
sekarang belum terungkap,"
jawab Saras tangkas. "Lalu perhatikan korban ke tiga, keempat, kelima, bahkan
sampai korban yang sekarang.
Menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ada tebing, walaupun itu cuma
sekedar antara permukaan sungai dan permukaan tanah di atasnya pada ketinggian
dua atau tiga meter, lalu ada pohon asam, kemudian gubuk tidak
terurus. Apakah dengan ciri-ciri khas begitu kau tidak berusaha untuk memancing
si pelaku yang sebenarnya?"
"Memasang jebakan maksudmu?"
"Nah, ternyata kau mulai pintar dan ada kemajuan."
"Terima kasih. Aku justru melihat pembunuhan itu dari sisi yang lain."
"Apa maksudmu?"
"Ini bukanlah rangkaian pembunuhan yang
direncanakan, tapi tindak kriminal murni antara dua orang yang belum jelas
motifnya. Tapi itu tidak sulit, karena tidak lama pun akan terungkap."
"Dengan menangkap pelaku yang sementara ini
menunjukkan bukti-bukti kuat?"
"Ya. Itu alasan logis, dan dengan bukti yang dimiliki maka si pelaku sudah jelas
melakukan pembunuhan.
Apalagi yang mau dicari" Saras, kita tidak perlu berpikir yang macam-macam, dan
menarik garis terlalu jauh untuk mengusut pelaku pembunuhan. Polisi telah
dibekali ilmu khusus untuk mengusut masalah semacam ini."
"Dengan mengabaikan kebenaran yang hakiki?"
"Kebenaran hakiki yang bagaimana yang kau maksudkan" Setiap korban yang jatuh,
maka beberapa pihak dicurigai, kemudian terdapat salah seorang yang paling bisa
untuk dicurigai. Pengamatan dilakukan, kemudian bukti dikumpulkan, lalu semua
digabungkan dan fakta membuktikan kalau si pelaku memang terlibat dalam
pembunuhan. Lalu apa lagi yang mesti dicari-cari?"
"Kau mengabaikan banyak hal. Enam dari tersangka pelaku pembunuhan merasa yakin
kalau mereka tidak
merasa membunuh korban, dan tidak punya motif untuk membunuh. Mereka tidak
mengetahui dari mana bukti ter-kumpul sehingga mereka tersudut menjadi
tersangka...."
"Itu alasan klise tiap pembunuh. Mereka selalu menolak untuk didakwa sebagai
tersangka," tukas letnan polisi itu.
"Apakah kau tidak bisa menafsirkan tatapan mata mereka yang jujur" Tidak bisakah
kau melihat mereka melalui mata hati nuranimu bahwa mereka tidak
berdusta?"
"Saras, coba mengerti!" Letnan polisi itu menghela nafas, kemudian melirik anak
buahnya. Sebagian dari mereka agaknya coba menguping pembicaraan kedua
insan itu, tapi begitu atasannya melirik cepat-cepat mereka mengalihkan
perhatian. "Aku tahu!" tukas Saras cepat. "Kau ingin mengatakan kalau polisi harus selalu
mengandalkan bukti-bukti dalam segala tindakannya, dan mengenyampingkan hati
nurani, kan?"
"Syukurlah kalau kau telah mengerti...."
"Kalau begitu mengapa kalian tidak mencerna fakta-fakta serta bukti-bukti yang
ada" Fakta selalu terlihat kalau cara yang ditempuh si pelaku hampir sama, dan
korban pun tewas dengan cara yang sama. Kemudian ketika
korban mencapai angka seratus, maka seratus orang
pelaku pula yang ditangkap karena mereka melakukan pembunuhan dengan metoda yang
sama. Apakah ini tidak menunjukkan suatu bukti kalau mereka terorganisir"
Dengan begitu pasti ada seorang atau entah apa namanya yang mengomandani mereka.
Apakah kau cukup puas
dengan hanya menangkap anggota mereka, dan membiarkan anggota lainnya terus
berkeliaran mencari mangsa"
Bukankah secara logika akan lebih baik menangkap
dalangnya, sehingga dengan begitu mencabut akar permasalahan sampai tuntas
sehingga tidak ada lagi korban baru, atau paling tidak mengurangi frekwensinya?"
Kata-kata yang dilontarkan Saras berapi-api penuh semangat bercampur dengan
perasaan jengkel, sehingga nadanya agak tinggi, membuat anak buah letnan polisi
itu kembali melirik pada mereka.
Lama Letnan polisi itu terdiam. Entah merenungi alasan-alasan yang diungkapkan
Saras, atau memikirkan apa yang sedang dipikirkan anak buahnya tentang mereka
berdua. Seolah ia bisa merasakan kecurigaan dari tatapan mata anak buahnya tentang
hubungan mereka, bukan lagi
antara seorang wartawati yang sedang mewawancarai
seorang yang berwenang dalam berita yang sedang dikejarNya, dan sebaliknya. Tapi
hubungan itu seperti
berkembang ke arah lain.
Saraswati adalah seorang wartawati media cetak yang bertugas meliput berita-
berita kriminal. Dan dalam menjalankan tugasnya, tidak jarang ia berhubungan
dengan oknum-oknum polisi yang bertanggung jawab
terhadap kasus yang sedang diliputnya. Salah seorang oknum polisi itu adalah
Letnan Hendri, perwira polisi berusia tiga puluh empat tahun yang masih


Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berstatus bujangan. Pertemuan mereka memiliki frekwensi yang cukup tinggi, di
mana dan kapan saja dalam situasi yang berbeda. Sehingga hal itu membuat gosib
yang ramai diantara kolega-kolega kedua belah pihak bahwa diantara kedua insan
itu ada hubungan bilateral yang cukup intim.
Tak jarang bila mereka sedang berdua, maka
pembicaraan formil ditiadakan, dan keduanya
berkomunikasi sebagaimana layaknya kawan dekat,
sehingga emosi dan ungkapan perasaan terkadang ter-lontar begitu saja tanpa
sungkan-sungkan. Seperti
kejengkelan Saraswati terhadap sikap letnan polisi itu me-nanggapi masukan yang
dilemparkannya seputar masalah yang sedang mereka hadapi.
Lama baru terdengar hela nafas letnan polisi itu
sebelum ia melirik Saraswati dan berkata," Baiklah. Kalau begitu kita cari
tempat yang nyaman untuk membicarakan-nya. Dalam suasana yang tidak diliputi
ketegangan."
"Baik. Di mana?" sambut Saraswati antusias.
"Bagaimana kalau di restoran Dewata jam setengah delapan malam?"
Saras melihat Letnan Hendri tersenyum. Ia menggeleng geli.
"Apakah ini ajakan kencan?"
"Kau boleh menyebutnya apa saja." Letnan Hendri mengangkat bahu dengan kedua
telapak tangan terbuka.
"Baik. Aku menganggapnya ini bagian, dari tugasku."
"Oke. Terserahmu saja."
"Kalau begitu aku pulang dutu." Wanita itu memasukkan notes dan pulpen ke dalam
tas yang disandangnya. Tanpa banyak basa-basi lagi ia meninggalkan tempat itu
diiringi tatapan mata letnan polisi itu beberapa saat lamanya.
*** ADRIAN MAPALADKA
2 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI
NJAR baru saja akan memeriksa catatan-catatan
pembukuan yang tadi sore diberikan Kusno
A padanya. Hari ini kebetulan ia tidak pergi ke toko sehingga orang
kepercayaannya itu terpaksa datang ke rumahnya untuk menitipkan laporan.
Telepon di mejanya berdering. Ia sempat melirik jam di meja. Pukul sebelas
malam. "Halo. Betul. Saras?" Meski tidak melihat ia yakin kalau lawan bicaranya di seberang sana pasti mengangguk.
"Tadi jam sembilan aku telepon, tapi nggak ada yang angkat. Ke mana?" tanya
wanita itu. "He-euh. Aku dari bengkel. Ada sedikit kerusakan pada mesin mobil. Untung
ketahuan. Coba kalau dipakai untuk perjalanan jauh lalu mogok di jalan, kan
berabe. Eh, jadi nggak besok berangkat?" sahut Anjar.
"Aduuuuh, aku minta maaf yang sebesar-besarnya deh, Jar. Kali ini nggak bisa
lagi...." "Ini penting lho, Ras. Orangtuaku ingin betul kenal dengan kamu."
"Aku juga kepengen banget kenal sama beliau, tapi tugasku belum bisa
ditinggalkan. Kamu ngerti, kan?"
Anjar terdiam. "Jar?"
"Ya, ada apa?"
"Kamu nggak marah, kan" Aduh, tolong deh. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya.
Liputanku kali ini hampir mendekati sasarannya. Aku nggak bisa melepaskannya
begitu saja," Saraswati coba membeberkan alasan.
"Kamu masih meliput kasus pembunuhan itu?"
"He-euh!"
"Ras, aku merasa itu pekerjaan yang berbahaya bagi kamu...."
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," tukas wanita itu.
"Kamu do'akan saja mudah-mudahan aku selalu sehat dan selamat."
"Tentu saja. Bahkan setiap saat ada kesempatan. Hanya saja aku berpikir bahwa
pekerjaan itu terlalu, berbahaya bagi seorang wanita. Apakah tidak bisa kau
minta di-tempatkan pada liputan lain yang lebih feminim?"
"Maksud kamu di bagian masak-memasak begitu?"
Saraswati ketawa cekikikan.
Anjar tidak tahu, apakah ia mesti ikut merasa geli ataukah tidak. Pada dasarnya
ia mengetahui kalau Saraswati itu tomboi. Bukan berarti jiwanya kelelaki-
lelakian, tapi ia suka sekali melakukan hobi yang umumnya disukai lelaki. Kalau
kebetulan mereka nonton film, maka anak itu suka film action, yang berbau mesiu,
perkelahian, dan petualangan. Ia amat membenci film drama, apalagi kisah yang
kerap mencucurkan airmata. Saraswati pun dengan bangga menunjukkan foto-fotonya,
baik dalam seragam karate, atau ketika sedang panjat tebing, bahkan ketika
berarung jeram bersama kawan-kawan prianya.
Jadi kalau Anjar menghendakinya mengurus hal-hal yang feminim. Saras merasa hal
itu menggelikan buatnya. Ia merasa tidak suka, bukan berarti tidak bisa. Tapi ia
terlanjur menganggap bahwa feminim itu identik dengan kelemahan, sesuatu yang
tidak disukai, bahkan tidak pernah diajarkan ayahnya yang pensiunan tentara
kepada-nya. "Aku menelepon kamu jam delapan tadi," lanjut Anjar mengalihkan pembicaraan.
"Yang ngangkat Katmi. Dia bilang seseorang menjemputmu."
"Kenapa" Kamu mau jadi wartawan juga coba-coba ngorek aku?"
Anjar bisa membayangkan bola mata wanita itu
mendelik, dan bibirnya tersenyum mengejek. Tapi meski dalam mimik apapun, bahkan
dalam mimik yang terburuk pun ia menilai kalau face Saraswati tetap cantik.
Hidungnya yang kecil dan mancung, bola matanya agak menyipit mirip Claudia
Schiffer namun memiliki sorot yang tajam bila memandang lawan bicara, kemudian
sepasang alisnya
yang teba1 menunjukkan kemauannya yang kuat dan
keras. Belum lagi ditambah sepasang bibirnya yang sen-sual, dan selalu merah
merekah meski jarang disapu gincu.
"Aku mudah percaya pada orang lain, dan sifat itu tidak cocok untuk menjadi
wartawan." Didengarnya hela nafas Saraswati, halus sekali sebelum menjawab.
"Letnan Hendri. la menjemputku untuk membicarakan kasus yang sedang
ditanganinya," sahut Saiaswati singkat.
"Sejak kapan kamu menjadi konsultannya?"
"Aku menangkap kesan sinis, tapi okelah, tidak mengapa. Aku berusaha memaklumi
kecemburuanmu. Hubungan kami saling membutuhkan. Dia butuh masukan dariku dalam menjalankan
tugasnya, begitupun aku butuh komentarnya sebagai seorang yang bertanggung jawab
dalam kasus yang sedang kuliput. Hanya itu. Terasa ada tekanan dalam dua kata
terakhir yang diucapkannya, berharap Anjar mempercayainya.
"Kuharap memang begitu..."
"Jangan keterlaluan, Jar. Kau tahu aku wartawati, dan tiap saat berhubungan
dengan banyak orang, entah pria atau wanita bahkan banci sekali pun. Tidak ada
alasan untuk cemburu buta."
Anjar diam saja. Ia sudah sering mendengar alasan
seperti itu. Saraswati menjawabnya dengan sederhana.
Mungkin saja logikanya bisa menerima, tapi entah
mengapa hatinya tidak. Dan mengemukakan perasaan di depan Saraswati seperti
membenturkan kepala ke tembok.
"Jar, kamu masih mendengarkan?"
"Ya. Suaranya pelan, seperti menggumam.
"Kuharap aku tidak perlu lagi mengulang-ulang penjelasanku, bukan" Kau mesti
percaya padaku," tekan Saraswati.
Anjar kembali terdiam. Nun jauh di seberang telepon sana, Saraswati sedang
menduga-duga apa yang sedang dipikirkan Anjar. Perbedaan mereka cukup besar. Dia
tipe gadis independen dan cuek, sedang Anjar agak perasa, dan melakukan sesuatu
penuh pertimbangan dan pe-mikiran. Wajar saja kalau Saraswati harus menekankan
beberapa kali agar Anjar percaya dengan kata-katanya sebab menyadari mungkin
saja Anjar tidak mempercayainya. Minimal di dalam hati.
"Gimana kabar kamu" Sehat" Oke, sekali lagi aku minta maaf, ya" Mungkin lain
waktu kita bisa bersama-sama mengunjungi orangtuamu. Bye!"
Anjar meletakkan gagang telepon setelah mendengar
suara klik di seberang sana. Termangu beberapa saat, ber-gelut dengan
pikirannya. Pantaskah ia mencurigai Saraswati" Hubungan mereka telah berlangsung
tiga tahun, dan selama itu baik-baik saja. Ia bisa memahami tugas gadis itu, dan
menepiskan jauh-jauh kecemburuann dalam hatinya bila membayangkan Saraswati
berdekatan dengan
orang-orang yang menjadi sumber beritanya. Tapi dengan yang satu ini perasaannya
berbeda. Seperti ada sesuatu yang ganjil!
"Betul kamu melihatnya, No?" ulangnya ketika dua minggu yang lalu Kusno melihat
Saraswati dan seorang polisi bernama Hendri berada di sebuah restoran.
"Mereka sangat akrab, Bang. Mereka tertawa-tawa, dan polisi itu sempat memegang-
megang tangannya Mbak
Saras," tambah Kusno melengkapi laporannya. Dilihatnya wajah Anjar menjadi
keruh, seperti memendam kesal.
"Maaf, Bang. Saya tidak bermaksud memanas-manasi. Apa yang saya ceritakan ya
memang begitu. Tidak ditambah-tambahi," lanjutnya.
Itu laporan yang pertama, dan Anjar mati-matian
menepis rasa cemburu. Coba menentramkan hati dan
berdialog dengan perasaannya kalau itu merupakan bagian dari tugas Saraswati.
"Nggak ada apa-apa. Masak cuma pegang tangan saja lantas diartikan macam-macam"
Lagi pula toh dia belum jadi istri saya, kok berani-beraninya kesal" Kok berani-
beraninya cemburu" Apalagi kalau sampai nekat protes. Bisa-bisa. Saraswati akan
mendam-pratnya, kemudian mengatainya seperti remaja yang baru merasakan puber.
Lalu yang kedua, ketika Kusno mengantarkan ensik-
lopedi yang dipesan Saras pada Anjar tempo hari. Anjar tidak sempat mengantarkan
karena ketika toko tutup kebetulan, pamannya yang baru datang dari Padang muncul
di toko, padahal Saras minta ensiklopedi itu diantarkan hari ini. Sepulang dari
sana Kusno melaporkan kalau Letnan Hendri ada di rumah gadis itu. Padahal waktu
itu sudah jam sembilan malam. Untung saja Kusno hanya
melihat mereka berdua bercakap-cakap, sebab kalau lebih dari itu, entah
bagaimana perasaan Anjar.
Anjar menghela nafas. Diliriknya foto Saraswati yang selalu ada di meja
tugasnya, sedang tersenyum padanya.
Ia coba balas tersenyum, tapi entah kenapa senyumnya terasa tidak full.
Gadis itu duduk dengan gelisah sambil meremas handy-talky di tangannya.
Sementara cahaya bulan menerangi sebagian tubuhnya yang hanya mengenakan kaos T-
shirt putih dibalut sweater coklat. Sementara sepasang kakinya dibalut jeans
agak ketat dan telapak kakinya dibungkus sepatu kets putih. Rambutnya yang
panjang dan pirang, mungkin dicat pirang, dibiarkan lepas menutupi sebagian
punggungnya. Dari terpaan bias cahaya rembulan terlihat kalau wajah gadis
berusia sekitar dua puluh dua tahun itu cukup manis.
"Maya, kamu nggak apa-apa, kan?" Terdengar suara dari handy-talky di tangannya.
"Ya," Gadis itu menyahut pendek seraya menoleh ke belakang, di balik belukar
semak bambu yang tumbuh rimbun tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Cobalah berusaha tenang. Jangan khawatir, kami akan selalu melindungimu." Suara
di handy talky itu kembali terdengar. Gadis itu mengangguk.
Selang beberapa saat suara dari handy-talky itu kembali terdengar.
"Sekarang kamu berjalan. Melangkah pelan saja. Kami akan tetap mengikuti dan
menjagamu."
Gadis itu bangkit dari duduknya, kemudian menapaki ruas jalan berbatu selebar
dua meter menuju arah selatan dan membelakangi cahaya rembulan.
Suasana di tempat itu memang suram. Seandainya saja tak ada cahaya bulan,
mungkin akan menjadi tempat yang cukup menyeramkan. Dari tempat duduknya tadi
kira-kira lima puluh meter ke utara, terdapat sebuah gubuk tua yang kelihatannya
sudah tidak berpenghuni. Tapi kadang-kadang suka juga diisi oleh para
gelandangan yang datang dan keluar silih berganti. Dan di belakang gubuk itu,
sekitar dua puluh meter terlihat sebatang pohon asam yang besar.
Keadaan ini sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh Saraswati.
Mereka telah mencapai kata sepakat, dan Letnan
Hendri mulai mengatur siasat sesuai masukan yang di-perolehnya dari Saraswati.
Mereka akan menjebak pelaku utama pembunuhan sadis yang belakangan ini cukup
gencar mencari korban.
"Sukarelawan itu harus berusia muda. Minimal di bawah dua puluh tiga tahun.
Jangan tanya kenapa," kata Saraswati di sela-sela masukan yang diberikannya pada
letnan polisi itu. "Akupun telah mengukur jarak lokasi satu korban dengan korban
lainnya. Tidak ada yang lebih dari lima sampai tujuh kilometer....''
"Sampai seteliti itu kau mengukurnya," tukas Letnan Hendri, entah memuji atau
meledek. Saraswati tidak mempedulikannya. "Gubuk yang tidak terpakai, pohon asam, dan
tebing terjal, meski cuma tebing sungai," tambahnya, "Semua itu telah kucatat
dengan rapih. Kita harus berhasil menangkapnya!" lanjutnya optimis.
"Seyakin itukah perkiraanmu?" Sebelum gadis itu melotot marah karena merasa
disepelekan, letnan polisi itu buru-buru menambahkan. "Maksudku kau berpraduga
bahwa pelaku kejahatan ini makhluk halus. Lalu apakah kau sudah menyiapkan
sesuatu untuk menangkalnya"
Maksudku, untuk mengalahkannya dan sekaligus me-
ringkusnya?"
"Aku tidak mutlak mengatakan bahwa itu perbuatan makhluk gaib, karena aku tidak
percaya makhluk gaib bisa membunuh orang. Hanya saja aku masih bisa percaya bila
makhluk gaib ikut andil di dalamnya, dengan cara
mempengaruhi seseorang, dan seseorang itu kuyakin
makhluk kasar seperti kita, maka sudah barang tentu bisa kalian tangkap," tegas
Saraswati. Letnan Hendri tidak banyak bicara lagi. Sedikit banyak ia percaya dengan argumen
gadis itu, kalau tidak mana mungkin ia memberanikan diri mempertaruhkan nyawa
seorang anak buahnya untuk dijadikan umpan. Semula ia memilih pria, tapi
Saraswati menganjurkan agar umpan itu wanita saja, dengan pertimbangan dari
sekian banyak korban yang jatuh kebanyakan wanita.
Sementara itu waktu terus merambat pelan tapi pasti.
Makhluk yang mereka tunggu-tunggu belum juga terlihat batang hidungnya. Maya
mulai gelisah. Meskipun semula ia merasa tegar dan berani, namun dalam suasana
begini mau tidak mau rasa takut itu muncul juga perlahan
menusuk keberaniannya.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam ketika
terdengar lolongan anjing, yang entah dari mana
datangnya. Lokasi tempat ini boleh dikatakan di ujung kota, tapi bukan berarti
dekat dengan daerah hutan. Sehingga tidak tepat dikatakan kalau suara itu
lolorigan serigala, sebab dikatakan berirama panjang tidak, pendek juga bukan.
Hanya saja iramanya memang aneh.
Maya semakin bergidik ngeri. Matanya liar memandang ke sekeliling tempat saat
angin bertiup agak kencang.
Udara malam yang dingin terasa semakin dingin saja.
Ranting-ranting pepohonan bergerak-gerak seperti tangan-tangan makhluk aneh yang
hendak menggapainya. Ia
berjalan lambat, sambil sesekali melirik ke rerimbunan semak untuk meyakinkan
kalau keselamatannya terjamin oleh Letnan Hendri beserta anak buahnya.
Lolongan anjing kembali terdengar. Gadis itu tersirap darahnya saat seekor tikus
melintas cepat di depannya.
Nyaris ia menjerit ketakutan.
Gerak refleknya menghindar saat tikus tadi melintas diantisipasi oleh Letnan
Hendri. "Kamu di sini dulu. Aku mau mengambil jarak yang lebih dekat dengannya,"
perintahnya pada Saraswati tanpa meminta persetujuan cewek itu dan terus
bergerak cepat merunduk menyusuri semak dan merendengi langkah
Maya dalam jarak kurang lebih sebelas meter.
Maya menghentikan langkah ketika mendengar suara
langkah kaki dari arah sampingnya. Reflek ia menoleh.
"Apakah itu Anda, Letnan?" tanyanya melalui handy talky.
Tak ada sahutan. Gadis itu mengulangi pertanyaannya.
Untuk yang kedua kali tidak juga terdengar sahutan. Ia sedikit panik. Matanya
tajam mengawasi semak-semak di sebelah kirinya. Pada saat yang bersamaan
terlihat cahaya kilat membelah angkasa, diikuti oleh suara gemuruh yang merambat
perlahan. Lagi-lagi gadis itu kaget dibuatnya.
Hatinya sudah tidak tenang. Keberanian yang ada hanya tinggal seperempat.
Apalagi ketika ia sempat melihat bayangan hitam di balik pohon asam yang ada di
sebelah kirinya. Setahunya Letnan Hendri dan yang lain berada di sisi sebelah
kanannya. Lalu sosok siapakah itu" ltukah yang sedang mereka tunggu-tunggu"
"Letnan, Andakah yang berada di balik pohon asam itu?"
bisiknya pelan sekali lewat handy-talky. "Letnan, jawablah.
Andakah itu?" tanyanya sekali lagi setelah menunggu sesaat tidak juga ada


Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawaban. Sementara sosok yang sedang diperhatikannya seolah tanpa berkedip mulai
bergerak. Pelan mendekatinya.
Kedua kakinya meski menapak di atas permukaan tanah, tapi rasanya seperti
melayang. Bahkan Maya belum
sempat memutuskan, apakah ia mampu memberanikan
diri menghadapinya ataukah kabur saja ketika sosok itu telah berada di dekatnya
dalam jarak hanya tiga meter.
"Kau"!" seru Maya kaget, kemudian menghela nafas lega ketika bola matanya
menangkap jelas sosok tubuh di hadapannya. "Kukira siapa. Kenapa menakut-nakuti
begitu?" Pria bertubuh jangkung dengan potongan rambut
pendek serta badan yang atletis itu diam saja. Hanya sepasang matanya yang
memandang gadis itu dengan sorot aneh.
Perlahan pria itu semakin mendekat. Tiba-tiba per-
hatiannya tertuju pada handy-talky yang ada dalam geng-gaman Maya. Saat itu
terdengar suara Saraswati yang menanyakan keadaannya.
"Aku baik-baik saja..." Belum lagi selesai kalimatnya, pria itu mendadak
merampas handy-talky itu dengan kasar dan membuangnya jauh-jauh. Kemudian tangan
kirinya menampar sebelah pipi gadis itu membuat Maya terhuyung-huyung ke
samping, hampir jatuh. Tamparan itu keras sekali, membuat pipinya terasa perih
dan kepalanya pusing seketika. Ia merasa ada darah yang menetes di sudut
bibirnya. Belum lagi ia sempat menyadari situasi, pria itu tiba-tiba melompat dan mencekik
lehernya dengan sekuat tenaga.
"Kau harus mati. Pengkhianat sepertimu harus mati!"
Suaranya menggeram dan serak, dibarengi perasaan benci dan dendam serta nafsu
untuk membunuh.
Maya baru menyadari ada kelainan pada pria yang
dikenalnya dengan baik itu. Sepasang matanya berkilau mengeluarkan cahaya hijau
kebiru-biruan dan menakut-kan. Suara yang keluar dari tenggorokannya pun aneh.
Bukan suara yang dikenalnya, tapi suara orang lain yang mirip suara wanita!
Saraswati buru-buru bertindak setelah melihat kejadian itu ketika melihat kalau
Letnan Hendri yang entah di mana saat ini, belum juga memberikan pertolongan.
Pada saat yang bersamaan, lima anak buah Letnan Hendri pun
serentak mengepung tempat itu. Salah seorang dari
mereka melepaskan tembakan peringatan.
Makhluk itu terkejut. Matanya liar memandang ke
sekeliling. Tiga pria berada di belakang dan samping kanan kirinya. Sementara
dua pria lainnya beserta seorang wanita berada di depannya. Wanita yang tidak
lain dari Saraswati itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia yang sejak tadi
telah siap dengan tustelnya segera membidik makhluk itu.
"Aaargh...!" Makhluk yang berwujud manusia itu menggeram buas seraya menghalangi
wajahnya dengan
tangan dengan reflek dilepaskannya leher Maya yang sedang dicekik, dan lompat
menerjang Saraswati.
"Berhenti! Atau kami tembak"!" teriak salah seorang polisi. Namun makhluk itu
tidak menghiraukannya dan terus mencoba menyerang Saraswati. Merasa peringatan
itu diabaikan salah seorang polisi langsung melepaskan tembakan. Makhluk itu
meraung kesakitan ketika bahu kanannya diterjang timah panas. Matanya nyureng
memandang polisi yang tadi melepaskan, seolah hendak mengancam. Entah merasa
takut, atau karena posisinya tidak menguntungkan, tiba-tiba saja makhluk itu
melesat ke depan, melompati Saraswati kemudian menghilang di kegelapan malam
dengan gerakan yang amat cepat.
"Dua orang ikut saya, lainnya memberikan pertolongan pada Maya!" ajak sang
polisi yang tadi melepaskan tembakan, kemudian terus berlari mengejar makhluk
tadi diikuti oleh kedua kawannya.
Keadaan Maya agak kritis. Wajahnya agak membiru
karena kekurangan oksigen saat dicekik tadi. Bukan cuma itu, tapi dari lehernya
pun mengucurkan darah. Besar kemungkinarmya kuku-kuku makhluk tadi menghunjam
lehernya saat mencekik. Salah seorang polisi buru-buru menghubungi pihak rumah
sakit untuk mengirimkan
ambulan, sementara polisi yang seorang lagi memberikan pertolongan pertama
terhadap korban.
Lima belas menit kemudian ambulan muncul. Pada saat yang bersamaan, Letnan
Hendri muncul beserta tiga anak buahnya yang tadi mengejar makhluk itu. Setelah
memeriksa keadaan Maya sebelum diangkut oleh
ambulan, Saraswati mendekatinya dengan mata mendelik tajam.
"Seandainya aku tahu siapa Anda, aku tidak akan pernah mau dijadikan umpan,"
sindirnya sinis.
"Apa maksudmu?"
"Anda telah mengecewakan gadis itu dan membuatnya terluka. Mana tanggung jawab
Anda" ' Letnan polisi itu menghela nafas sesak seraya
mengangguk. "Yaaah, aku tahu. Tapi aku telah berusaha sebisanya...."
"Sebisanya?" dengus Saraswati sinis. "Gadis itu memanggil-manggil lewat handy-
talky, tapi aku tidak
mendengar jawaban Anda. Itukah yang Anda maksudkan berusaha sebisanya?" tuding
Saraswati, masih dengan nada sinis dan bersikap formil dengan menyebut Anda
kepada letnan polisi itu.
"Benarkah" Ah, aku sudah menduganya." Letnan Hendri gelengkan kepala menyesal.
"Waktu aku berusaha mendekatinya dalam jarak yang lebih dekat, handy-talky itu
terjatuh. Aku berusaha mencarinya, dan saat kutemukan terdengar letusan pistol.
Aku buru-buru menghampiri gadis itu, tapi sekilas kulihat sekelebatan bayangan
melewatiku, maka kuputuskan untuk mengejar orang itu yang kuyakin makhluk yang
sedang kita tunggu. Tapi sayang, aku
kehilangan jejaknya. Dan ketika kembali aku bertemu dengan tiga anak buahku,"
lanjutnya menjelaskan.
Saraswati memandangi pria itu sejurus lamanya, seolah hendak mencari kebenaran
lewat tatapan matanya,
kemudian perlahan ia berbalik. "Ya, sudahlah. Kalau begitu aku pulang lebih
dulu," katanya terus melangkah.
"Biar kuantar," sahut Letnan Hendri menawarkan diri seraya memburunya.
"Ng... kurasa tidak perlu aku lelah sekali," tolak Saraswati setelah berpikir
sebentar. Biasanya bila pria itu menawarkan diri untuk mengantarnya, ia tidak
bisa menolak saat pria itu mampir ke rumahnya. "Lagipula aku akan mencuci film
sebentar, sebab besok aku harus
mengirimkan laporan."
"Film?" Dahi letnan polisi itu berkerut. "Jadi kau berhasil mengambil
gambarnya?" Dan ketika dilihatnya wanita itu mengangguk, ia melanjutkan. "Kalau
begitu atas nama hukum aku minta kau menyerahkan film itu padaku."
"Tentu saja, tapi nanti setelah aku mencucinya. Kau tentu akan mendapatkan
beberapa lembar."
"Biar pihak kepolisian yang akan menanganinya. Serah-kan film itu padaku," kata
Letnan Hendri menegaskan.
"Apakah aku mendengar adanya paksaan?" sindir Saraswati. "Film dalam kameraku
belum habis dan aku mungkin saja memerlukan film-film sisanya untuk hal-hal
lain. Lagipula ini tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Ini hak milik
pribadi, dan kalau polisi memang menginginkan gambar makhluk itu mestinya dari
awal telah menyiapkan segala sesuatu dan kalaupun aku mau memberikan pada kalian
beberapa lembar hasil fotoku, itu karena kemurahan hatiku saja. Jadi, jangan
coba memaksakan kehendak dalam hal ini!" tegas Saraswati cepat dengan nada ketus
kemudian terus melangkah pergi.
ADRIAN MAPALADKA
3 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI
AMPIR dini hari Saras tiba di rumah. Tubuhnya letih sekali. Kalau saja tidak
ingat akan tugasnya, ingin H rasanya ia langsung ke ranjang dan tidur sepuasnya.
Tapi atasannya meminta ia agar selekasnya menyampaikan laporan tentang tugas
yang selama ini diembannya.
Dan foto yang tadi dijepretnya tentang makhluk itu pasti akan menjadi
spektakuler. Bukti otentik atas tulisan-tulisan yang selama ini dibuatnya
tentang pelaku pembunuhan berantai yang belakangan ini marak terjadi sehingga
menimbulkan keresahan masyarakat.
Setelah memproses negatif film di kamar gelap di salah satu sudut kamarnya,
Saraswati dikagetkan oleh suara kaleng yang ditendang keras dekat kamar itu. Ia
tertegun sejenak, coba mendengar dengan seksama. Tidak ada apa-apa. Tapi saat
mulai hendak memeriksa hasil foto yang masih direndam dalam larutan kimia,
kembali terdengar suara aneh. Kali ini ia mendengar suara beberapa buah kerikil
yang dibenturkan ke tembok. Merasa curiga, Saraswati keluar dari kamar itu
setelah menggantungkan beberapa lembar foto yang masih basah dan belum sempat
diamati hasilnya.
Ia memeriksa ruang depan, tapi tidak terlihat hal mencurigakan. Kemudian ke
belakang mengamati keadaan
dapur dan pintu belakang, juga tidak mendapati hal-hal yang aneh. Demikian pula
ruangan kamar tidurnya, masih tetap dalam keadaan sebelum ditinggalkannya. Tapi
ketika kembali ke depan, ia melihat kain hordeng jendela
melambai-lambai di tiup angin, dan jendela terbuka lebar.
Untuk beberapa saat ia tercekat kaget, dan jantungnya berdetak lebih kencang.
Perlahan gadis itu mundur dan mengambil pisau yang berada di laci meja tempat ia
biasa mengetik, kemudian dengan memberanikan diri ia
memeriksa keadaan jendela itu dengan seksama. Tidak terlihat hal-hal yang
mencurigakan. Perlahan ditutupnya jendela, lalu menguncinya. Mungkin saat
meninggalkan rumah ia lupa mengunci jendela-jendela itu.
Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika tiba-tiba saja lampu padam, dan saat
membalikkan tubuhnya terlihat sesosok tubuh berdiri persis dalam jarak kurang
lebih empat meter di hadapannya. Yang membuat gadis itu
bergidik ketakutan adalah sepasang mata yang menyorot tajam memancarkan cahaya
biru kehijau-hijauan, seperti mata seekor kucing dalam kegelapan.
"Si-siapa kau"! Apa yang kau lakukan di sini?" bentaknya coba memberanikan diri.
"Jangan coba-coba mendekat atau..."
Saraswati mengangkat sebelah tangan menunjukkan
pisau, tapi sesosok tubuh itu seperti tidak peduli dan melangkah pelan
mendekatinya. Wanita itu merapat ke jendela.
"Berhenti! Aku tidak main-main. Kalau kau coba-coba mendekat maka pisau ini akan
bicara!" gertaknya. Dan Saraswati benar-benar mengayunkan pisau di tangannya
ketika sosok itu terus mendekat, tak mempedulikan
ancamannya. Pergelangan tangannya kena ditangkap dan langsung dipelintir oleh
makhluk itu. Tenaganya kuat luar biasa, dan Saraswati tidak bisa membiarkan
begitu saja tulangnya patah. Dengan bekal ilmu bela diri karate yang pernah
dipelajarinya sewaktu masih di SMA, tubuhnya jumpalitan mengikuti arah lengannya
yang dipelintir dan masih sempat mengirimkan satu tendangan ke muka
makhluk itu. Ia merasa gerakannya cepat dan kuat, namun tidak
disangka-sangka ternyata makhluk itu mampu menangkap pergelangan kakinya, dan
sebelum gadis itu sempat
berbuat apa-apa, tubuhnya melayang deras menghajar sofa. Pisau di tangannya
terlepas, entah ke mana. Tulang belakangnya terasa sakit sekali. Dan sebelum ia
sempat bangun, makhluk itu telah berdiri di hadapannya, kedua tangannya mencekik
lehernya dengan kuat sampai gadis itu sulit untuk bernafas. Saraswati berusaha
melepaskan diri. Kedua kakinya menendang ke ulu hati makhluk itu dengan sekuat
tenaga. Tapi makhluk itu cuma bergeming sedikit. Tidak keluar keluh kesakitan
dari mulutnya. Saraswati jadi putus asa, dan merasa kali ini ajalnya pasti tiba. Mendadak saat
itu telepon berdering.
Makhluk itu terkejut. Reflek ia menoleh ke arah
datangnya suara, dan tanpa sadar cekikannya sedikit mengendor. Saraswati seperti
mendapat peluang. Dengan sekuat tenaga ia menepiskan kedua tangan makhluk itu
sambil kembali menendang dengan sekuat tenaga.
Makhluk itu terhuyung dua langkah ke belakang sambil mengeluarkan suara
menggeram marah. Merasa tidak
mampu menghadapi seorang diri Saraswati berteriak
sekuat-kuatnya dan berharap tetangga-tetangganya berdatangan memberikan
pertolongan. Ia berusaha bangkit dan berlari ke arah pintu. Tapi makhluk itu
tidak memberi kesempatan. Tangan kanannya melayang menampar
sebelah pipi gadis itu dan membuat Saraswati kembali terjungkal. Sebelum ia
sempat bangkit berdiri, makhluk itu telah menjambak rambutnya, dan kembali
menghempas-kannya ke jendela sehingga membuat kaca jendela pecah berantakan.
Saraswati tidak mampu lagi mengadakan perlawanan.
Seluruh tubuhnya terasa remuk. Pandangannya berkunang-kunang sebelum akhirnya
gelap. Ingatannya berangsur-angsur terbang entah ke mana. Hanya saja lapat-lapat
ia mendengar suara-suara ribut yang entah dari mana
datangnya sebelum akhirnya telinganya tidak mendengar suara apapun.
Yang pertama kali dilihatnya ketika siuman adalah
wajah Anjar. Pria itu tersenyum padanya. Ia merasakan usapan tangannya mengusap-
usap lengannya. Kepalanya masih terasa sakit, begitu juga dengan tubuhnya. Ada
selang infus yang dihubungkan dengan sebelah lengannya, sementara beberapa
perban menghiasi lehernya.
"Kau merasa lebih baik?" sapa Anjar.
"Yah, kukira begitu." Suaranya terdengar lemah, dan tenggorokannya terasa kering
dan sakit saat pita suaranya bergetar.
"Hampir lima belas jam kau tidak sadarkan diri. Apa yang terjadi" Tetanggamu
mengatakan seseorang masuk ke dalam rumah dan menyerangmu. Orang itu melarikan
diri setelah beberapa orang berdatangan ke rumahmu."
Saraswati terdiam. Ia coba mengingat kejadian itu, tapi kepalanya terasa sakit
sekali, dan entah mengapa
jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa ketakutan yang membayanginya saat
mengingat kejadian dini hari tadi. Sosok makhluk itu, dengan sepasang matanya
yang buas memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Itu jelas bukan maling, karena
yang diincar adalah dirinya. Apakah makhluk itu mengadakan pembalasan
terhadapnya karena Saraswati berhasil memotret dan mengambil gambarnya"
"Menurutku itu bukan pekerjaan seorang pencuri. Aku sempat memeriksa keadaan
rumahmu, dan rasanya tidak ada barang-barangmu yang hilang. Letnan Hendri pun
sempat melihat ke sana setelah kau dibawa ke rumah sakit. Kami ngobrol sebentar,
dan aku melihat wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Apakah kau punya musuh?"
Saraswati diam tak menjawab. Untuk saat ini rasanya ia tidak ingin membicarakan
tentang makhluk itu pada
siapapun. "Atau barangkali makhluk yang kau buru itu ingin memperkenalkan diri secara
langsung?"
Gadis itu memandang pria itu di hadapannya dengan
seksama. Entah apa yang dipikirkannya, mungkin juga ia tidak memikirkan apa-apa.
Cuma sedikit heran, mengapa Anjar punya kesimpulan seperti itu.
"Makhluk itu sudah terkenal buas, dan korban yang ditimbulkannya pun sudah cukup
banyak. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, oleh karena itu
hentikanlah memburunya. Tidak perlu ia diusik lagi," lanjut Anjar.
Saraswati tetap membisu. Ia masih merasakan sakit di tenggorokannya bila pita
suaranya bergetar, lagipula ia belum berminat mendiskusikan hal itu pada Anjar.
Dari awal pria itu memang sudah tidak setuju dengan apa yang diliputnya
belakangan ini. Tapi bagi Saraswati hal itu membuatnya semakin penasaran.
Semakin misterius suatu masalah, maka makin tertantang jiwa petualangannya.
Tidak peduli apakah hal itu akan membahayakan jiwanya.
"Aku bisa mengerti kalau kau merasa penasaran bila hal itu tidak dituntaskan,"
lanjut Anjar seperti biasa membaca apa yang sedang bergulat dalam pikiran gadis
itu. "Tapi ini menyangkut masalah yang bisa mencelakakanmu. Masih untung kau
bisa selamat, tapi entah bagaimana di lain waktu. Sepandai-pandainya tupai
melompat suatu saat pasti akan jatuh juga. Begitu juga denganmu meski kau
berusaha untuk menjaga diri darinya, tapi suatu saat naas itu akan menimpamu.
Dan terus-terang aku tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi padamu."
Saraswati memejamkan mata. Ia tidak ingin mendengar kata-kata pria itu lebih
lanjut. Bujukan yang berusaha menghalangi niatnya. Bukan kata-kata seperti itu
yang saat ini ingin didengarnya. Apapun dan siapa pun yang berusaha menghalangi
niatnya, sungguh ia tidak mau mendengarkan.
"Aku lelah sekali. Kalau tidak keberatan bolehkah aku tidur dulu...?" pintanya
dengan suara lemah.
Anjar menghela nafas, kemudian bangkit berdiri.
"Baiklah. Silahkan istirahat, dan tidur yang nyenyak,"


Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya seraya meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum ia membuka pintu, Anjar
membalikkan badan. "O, ya. Aku lupa. Tadi Letnan Hendri ke sini, tapi kau belum
siuman. Dia titip bunga mawar itu," tunjuknya pada rangkaian mawar yang ada di atas
kepala tempat tidur, dan di sebelah mawar itu terdapat sekuntum melati dalam vas
bening. "Dan melati itu dariku. Selamat beristirahat.
"Setelah itu ia menutup pintu tanpa menoleh lagi.
Saraswati bisa merasakan kekesalan, dan kekecewaan dalam sikap dan intonasi
kalimat Anjarr yang belakangan.
Dan ia bisa memakluminya. Anjar menyayanginya, dan kadang-kadang ia merasa rasa
sayangnya itu terlalu berlebihan. Sampai-sampai membatasi ruang geraknya dalam
melakukan banyak hal yang selama ini sudah
terbiasa dilakukannya. Dulu saat refreshing bersama koleganya yang kebanyakan
pria, dengan mengadakan
acara panjat tebing, Anjar berusaha melarangnya dengan alasan membahayakan
jiwanya. Pernah juga saat ia coba--
coba mengikuti olahraga arung jeram di Aceh, lagi-lagi Anjar berusaha mencegah
dengan alasan yang sama.
Bahkan saat ia hendak meliput berita tentang suasana terakhir di Timor Timur
yang sedang dilanda kemelut, Anjar mati-matian mencegahnya, dan minta agar ia
ditugaskan ke tempat lain saja.
Saraswati merasa tidak pernah menyembunyikan
identitas dirinya sejak pertama kali mereka bertemu di toko buku TEMPO, milik
Anjar. Waktu itu ia sedang mencari buku-buku yang berhubungan dengan dunia
mistik. Mereka berkenalan. Ia mengaku dirinya wartawan, dan buku-buku yang
dicarinya dibutuhkan sebagai pembanding, masukan, atau apalah namanya untuk
melengkapi laporan dan
sekaligus penyelidikannya tentang suatu kasus aneh yang sedang ditanganinya.
Sepintas saja Anjar mengetahui kalau gadis yang ber-wawasan luas itu tomboi.
Belakangan ketika mereka makin sering bertemu, ia mengetahui kalau aktifitas
gadis itu seabrek-abrek. Dari mulai bangun pagi lalu olahraga, termasuk
diantaranya mengangkat barbel, lalu pergi ke kantor mengendarai motor trail.
Selama dua kali dalam seminggu ia menyempatkan diri latihan karate, kemudian
sebulan dua kali tiap akhir pekan ia hiking di gunung, atau kalau tidak bermain-
main ke pantai. Lalu kalau ada cuti selama seminggu lebih, ia pergunakan untuk
berpetualang menjelajahi tempat-tempat yang telah masuk dalam daftar agendanya.
Sehingga boleh dikatakan, sedikit sekali waktu yang tersisa untuk Anjar, untuk
berdua-duaan. Dan dari semula Anjar sudah siap menerima konsekwensi itu.
Mereka telah sepakat untuk tidak saling mengganggu kesibukan masing-masing, oleh
karena itu sulit bagi Saraswati untuk bisa menerima perasaan sentimentil pria
itu tentang keselamatan jiwanya dalam menjalankan tugas yang disukai dan
diminatinya, meski dengan alasan kasih sayang sekalipun!
Hal sebaliknya pun dirasakan oleh Anjar. Meski
menyadari eksistensi gadis itu, dan semua keberadaan yang ada dalam dirinya,
tetap saja ia berharap suatu saat Saraswati akan berubah. Minimal lebih feminim
dan lebih romantis, hal yang teramat jarang sekali dilakukan gadis itu. Ia
sendiri tidak mengerti mengapa bisa mencintai gadis seperti itu, yang menjadikan
ia sebagai kekasih nomor dua setelah tugas-tugas dan aktifitas-aktifitas yang
dilakukan gadis itu.
Anjar menyayanginya, dan tidak ingin ia mem-
pertaruhkan nyawa demi menjalankan tugas, atau sekedar memenuhi hasrat
kepenasaran. Tapi percuma saja bila ketidakinginannya itu diungkapkan lewat
omongan atau larangan. Saraswati pasti menolak, seolah Anjar telah memveto
kebebasannya, terlalu mencampuri urusan
pribadi, dan lain sebagainya. Kalau cuma karena ketidak sesuaian pendapat
tentang beberapa masalah, bukan
berarti jalan keluarnya mereka harus putus. Anjar menyadari betul kalau hubungan
mereka bukan seperti ABG, oleh karena itu ia berpikir, bagaimana caranya
menyelesaikan persoalan itu.
"Saya cari jalan yang mudah saja, Bang. Kalau tidak putus, ya cari dukun pelet
yang ampuh," sahut Kusno ketika Anjar meminta pendapat padanya tentang bagaimana
caranya menundukkan pacar yang keras kepala.
"Dukun, memang kamu kira akan menyelesaikan
masalah?" semprot Anjar setelah ketawanya reda.
"Lho, hal seperti itu sering berhasil, Bang!" bela Kusno.
"Berhasil apanya" Kamu jarang baca koran dan majalah, sih. Banyak diantara dukun
jaman sekarang itu palsu.
Mereka cuma mengejar uang, dan hawa nafsu. Pernah
dengar tentang dukun cabul, nggak?"
"Ya, jangan dukun yang begituan, dong! Abang pasti lebih tahu. Lihat-lihat dulu
dukunnya. Eh, bicara tentang dukun saya jadi teringat teman abang yang punya
profesi itu. Dulu dia sering ke sini, kan" Saya pernah dikasih ajimat, lho dan
ternyata manjur!" Kusno terkekeh.
"Siapa" Danang?"
"Iya, betul!" Kemudian Kusno nyerocos tentang ajimat yang diberikan Danang, tapi
Anjar tidak begitu serius mendengarkan. Ia justru punya pikiran lain tentang
kawannya itu. Kenapa ia tidak teringat sebelumnya"
Sebenarnya Danang bukan seperti dukun kebanyakan.
Profesi utamanya adalah wiraswasta dan sekaligus
kolektor barang-barang antik, ia memiliki sebuah toko yang menjual barang-barang
antik. Disamping itu ia pun ahli kebatinan, dan sering mendapat pasien yang
berhubungan dengan hal-hal mistik.
Danang adalah kawannya ketika mereka masih di SD.
Dari kecil bakatnya memang sudah terlihat. Kalau kawan-kawan lain ngeri
mendatangi tempat-tempat yang angker, Danang malah sebaliknya. Ia betah
nongkrong berjam-jam di tempat-tempat yang sering disebut orang sebagai tempat
yang seram dan berhantu. Kalau ada kawannya yang terkilir, masuk angin, pusing,
dan sebagainya ia bisa menyembuhkannya dengan memijat-mijat bagian tertentu dari
tubuh kawannya itu, dan sembuh.
Danang baru saja melepaskan kepergian tamunya
ketika ia tiba di depan tokonya. Sobatnya itu menyambut kedatangannya dengan
gembira. "Aku sebenarnya harus menemui seorang langgananku, tapi karena kau yang datang
tentu mana bisa kutinggalkan begitu saja," katanya setelah mempersilahkan
sobatnya itu duduk. "Gimana" Ada kemajuan dalam usahamu?"
"Biasa saja. Sebenarnya aku ada keperluan sedikit padamu, dan sekaligus minta
bantuan, kalau tidak
keberatan."
"Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu?" tanya Danang seraya mengeluarkan air
es dari kulkas, dan menyediakan minuman untuk tamu dan dirinya.
Anjar menceritakan persoalan yang sedang diliput oleh Saraswati sampai kepada
kejadian yang menimpa gadis itu. "Aku datang kepadamu karena ada kecenderungan
yang sama seperti yang disimpulkan oleh Saraswati,"
tambahnya, "Bahwa peristiwa itu menyangkut sesuatu yang gaib, dan pelakunya
adalah makhluk gaib. Bagaimana menurutmu?"
Danang menyandarkan punggungnya di sofa sambil
menghela nafas. "Ya." Ia mengangguk pelan. "Akupun mengikuti perkembangan berita
itu, dan tidak menyalahkan kesimpulan Saraswati. Pelaku pembunuhan beruntun itu memang
didalangi makhluk halus."
"Jadi kau mengetahuinya juga?"
Danang mengangguk. "Ceritanya panjang, tapi
kusingkatkan saja. Menurut literatur yang pernah kubaca, juga dari legenda
masyarakat tempat asal cerita itu, bermula dari sebuah kerajaan yang berada
dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Sang Prabu mempunyai
seorang putri yang bernama Dayang Sari. Sang Putri mempunyai kekasih bernama
Wanara Bodas. Pada suatu hari, salah seorang panglima Sang Prabu yang bernama
Taji Saluyu agaknya terpikat oleh Putri Dayang Sari yang digambarkan cantik
jelita, maka dengan segala daya dan upaya ia berusaha merayu Sang Putri sampai
akhirnya terpikat. Putri Dayang Sari benar-benar kepincuk olehnya sampai
melupakan cinta Wanara Bodas yang tulus. Tapi agaknya Taji Saluyu ini seorang
playboy, sebab pada hari naasnya itu ia kepergok sedang main gila dengan salah
seorang selir Sang Prabu yang masih belia. Putri Dayang Sari benar-benar
terhenyak dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia betul-betul sakit hati
dan merasa dikhianati. Sebaliknya, Taji Saluyu entah karena merasa malu atau
takut aibnya terbongkar, dia tega membunuh kedua wanita itu, lalu menimpakan
kesalahan kepada Wanara Bodas..."
Anjar mengangguk-angguk mendengarkan cerita
sobatnya itu. "Lalu apa hubungannya cerita itu dengan peristiwa yang terjadi
belakang ini?"
"Kuat dugaanku kalau roh Dayang Sari bangkit dan melakukan balas dendam."
"Balas dendam" Kepada siapa" Keturunan Taji Saluyu?"
tebak Anjar. "Bukan." Danang gelengkan kepala. "Dayang Sari merasa alangkah sakitnya mereka
yang dikhianati. Seperti Wanara Bodas yang dikhianatinya, juga seperti ia
dikhianati Taji Saluyu. Ia membuat perhitUngan kepada pasangan-pasangan yang
suka berkhianat."
"Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"
"Sebab Dayang Sari sempat membuat peringatan
dengan darahnya sebelum ajalnya datang, bahwa ia benci dikhianati, dan ia akan
Pendekar Mata Keranjang 16 Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih Kisah Si Bangau Putih 4
^