Pencarian

Bintang Malam 3

Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam Bagian 3


menuntut balas kepada si
pengkhianat sepanjang masa. Dalam literature diceritakan bahwa korban pertamanya
adalah Taji Saluyu," jelas Danang.
"Lalu..." Anjar diam sejenak.
"Apa" Kau ingin tanya mengapa Dayang Sari sampai mencelakakan Saraswati?"
Anjar diam tak menjawab. Ia khawatir bila dugaan
Danang benar. Motif pembunuhan itu adalah seperti
hukuman. Hukuman bagi salah seorang pasangan yang
mengkhianati pasangannya. Dan kalau Saraswati sampai terancam jiwanya oleh
makhluk itu berarti....
"Curiga boleh saja, tapi sebaiknya diselidiki lebih dulu,"
kata Danang seperti biasa membaca pikiran sobatnya itu.
"Itukan baru dugaanku saja. Apakah kau mencurigai orang ketiga dalam hubungan
kalian?" "Entahlah, apakah aku pantas curiga atau tidak. Tapi sepertinya Saraswati akrab
dengan seorang polisi yang sering bertemu dengannya."
"Ada baiknya juga bila kau selidiki hubungan mereka."
"Memata-matai?" Anjar gelengkan kepala. "Aku tidak bisa melakukannya. Itu
seperti perbuatan remaja yang baru pertama mengenal cinta dan takut kehilangan
kekasihnya."
"Setidaknya kau boleh mencari bukti."
Anjar terdiam beberapa saat lamanya, kemudian
memandangi sobatnya itu sejurus lamanya. "Bukti bagaimana maksudmu?"
"Ya, apa saja. Surat, tulisan, hadiah kalau memang ada.
Banyak, kan" Apalagi saat ini Saraswati sedang berada di rumah sakit, kau bisa
masuk ke rumahnya. Eh, jangan salah! Aku bukan mengajarimu untuk jadi maling."
Saran Danang rasanya bisa diterima. Kebetulan ketika mereka sedang kasmaran
tempo hari, Saraswati pernah memberikan sebuah kunci rumahnya dengan harapan
Anjar bisa bebas keluar masuk rumahnya. Dan kunci itu masih disimpannya sampai
saat ini meski belum pernah sekalipun digunakannya.
*** DRIAN MAPALADKA
4 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI
IGA hari setelah pertemuannya dengan Danang, Anjar menjenguk Saraswati di rumah
sakit. Menurut T keterangan dokter, sore hari nanti gadis itu sudah boleh keluar dari rumah
sakit. Letnan Hendri telah berada di ruangan itu saat Anjar masuk. Mereka kelihatan
ngobrol serius ketika sebelumnya Anjar mengintip lewat jendela kaca dan ia tidak
ingin langsung mengganggu. Baru setelah letnan polisi itu berdiri dan memandang
keluar lewat jendela yang lain ia
memberanikan diri masuk.
"Sudah lama?" sapanya.
Letnan Hendri melihat arlojinya. "Kira-kira lima belas menit. Dokter mengatakan
kalau Saraswati diperbolehkan pulang sore ini."
"Ya, saya telah diberitahu tadi." Anjar meletakkan bungkusan berisi buah-buahan
di meja dekat tempat tidur sebelum menghampiri gadis itu.
"Bagaimana keadaanmu" Sudah agak mendingan?"
"Yaah," sahut Saraswati pendek, kelihatan tidak begitu bersemangat.
Anjar melirik sekilas pada letnan polisi itu, dan yang dilirik agaknya mengerti
kemudian segera angkat kaki.
"Sebaiknya kau harus banyak istirahat, bahkan kalau perlu mintalah cuti,"
katanya sebelum menutup pintu.
Saraswati cuma tersenyum. Matanya masih melirik ke arah pintu meskipun sudah
tertutup. "Letnan Hendri menaruh perhatian besar padamu...."
Saraswati mengalihkan perhatian pada Anjar yang mem-belakanginya, mengambil
sebuah apel kemudian me-
ngupaskannya kecil-kecil untuk disuapkan pada gadis itu.
"Aku masih kenyang, nanti saja."
"Baiklah." Dengan perasaan kecewa Anjar meletakkan apel itu kembali ke meja,
lalu melangkah ke jendela yang mengarah keluar. Keduanya terdiam sesaat lamanya
sebelum pria itu kembali bicara.
"Langit agak gelap, mungkin siang nanti akan turun hujan," katanya seperti
bicara pada diri sendiri, lalu menoleh pada gadis itu. "Kau ingat ketika
pertemuan kita yang pertama kali" Waktu itu hari sedang hujan dan kau masuk ke
dalam tokoku...."
"Maaf, Anjar. Aku sedang tidak berselera untuk ber-nostalgia," tukas gadis itu.
Pria itu tersenyum, perlahan menghampiri gadis itu setelah menyeret sebuah kursi
dan duduk persis di bibir ranjang. "Baiklah, apa yang saat ini kau suka"
Pembicaraan tentang persoalan yang sedang kau liput, atau tentang Letnan
Hendri?" Sepasang bola mata gadis itu agak melebar ketika
wajahnya menyiratkan kegarangan.
"Oke, oke! Jangan marah dulu. Aku toh datang ke sini untuk menjenguk dan
sekaligus menghiburmu. Dulu ketika aku sakit nenek sering menghiburku dengan
menceritakan dongeng-dongeng. Eit, jangan potong dulu!" tukas Anjar ketika gadis
itu hendak menyela. "Nah, kali ini aku akan mendongeng untukmu tentang seorang
putri raja bernama Dayang Sari. Tersebutlah kisah Putri Dayang Sari mempunyai
seorang kekasih yang amat mencintainya dengan setulus hati. Pria itu bernama
Wanara Bodas. Ia seorang pria biasa-biasa saja, juga sikapnya terhadap wanita.
Berbeda dengan Taji Saluyu, salah seorang pembantu dekat Sang Raja. Ia seorang
pria perayu dan amat
romantis, sehingga Dayang Sari kepincut padanya dan me-remehkan Wanara Bodas.
Tapi suatu hari ia menemukan Taji Saluyu sedang main gila dengan salah seorang
selir Sang Raja. Putri. Dayang Sari geram bukan main. Ia merasa dikhianati.
Sebaliknya Taji Saluyu merasa khawatir perbuatannya itu dilaporkan kepada Sang
Raja, maka iapun membunuh kedua wanita itu untuk menghilangkan jejak....."
"Cukup! Tidak perlu diteruskan!" teriak Saraswati.
Anjar langsung terdiam. Dipandanginya gadis itu untuk-beberapa saat larnanya.
Saraswati sendiri merasa kalau ia agak keterlaluan.
Selama ini belum pernah ia membentak begitu lantang kepada Anjar. Perlahan ia
memalingkan wajahnya.
"Kenapa, Saras" Ada apa denganmu?"
"Tidak ada apa-apa. Aku cuma tidak ingin kau
memperlakukanku seperti anak kecil," sahutnya tanpa menoleh.
"Bukan itu yang ingin kutanyakan, tapi mengapa aku mencium bau pengkhianatan
dalam hatimu."
Gadis itu kembali bepaling, dan kini sepasang matanya memandang tajam pada pria
itu. "Apa yang kau
maksudkan?"'
"Bau pengkhianatan," tegas Anjar seraya bangkit dari duduk dan membelakangi
gadis itu saat melangkah tenang ke jendela. "Sabtu, 2 Juni: Kujemput kau di
restoran. 5 Juni: Aku senang kau mau datang ke rumahku dan berkenalan dengan kedua orang
tuaku. 10 Juni: tidak apa kalau kau belum bisa memutuskan, tapi ketahuilah aku
mencintaimu. 17 Juni: Aku senang kau mau menerima
ajakanku untuk nonton." Anjar menghela nafas sesaat.
"Aku tidak tahu tulisan siapa itu, yang jelas aku tidak pernah melihat tulisanmu
seperti itu."
"K...Kau...!"
"Sepanjang bulan Juni banyak sekali catatan-catatan,"
tukas Anjar tak peduli apa yang hendak diucapkan gadis itu. "Demikian pula pada
bulan Juli, Agustus, dan September. Kemudian aku melihat banyak sekali hadiah
yang disembunyikan dalam lemari. Tak perlu disebutkan hadiah-hadiahnya, tapi aku
tertarik pada tulisan yang menempel di hadiah itu, seperti: My Dear, Saras.
Untuk Sarasku. Mudah-mudahan Sayangku senang, dan lain
sebagainya. Dan diakhir kalimat selalu tertulis: H-e-n-d-r-i,"
lanjut Anjar mengeja kata terakhir yang diucapkannya.
"Cukup! Kau sungguh keterlaluan!" semprot Saraswati garang. "Lancang sekali kau
membuka-buka buku diary dan lemariku. Tidak kusangka kau akan melakukan
perbuatan rendah itu," cibirnya sinis.
Anjar membalikkan tubuh. Wajahnya datar, seolah tak mempedulikan kejengkelan
gadis itu. "Perbuatan rendah"
Kau seorang wartawati, pasti bisa mendefinisikan dua kata itu dan apa saja yang
termasuk katagorinya. Apakah seorang wanita yang telah mempunyai kekasih
kemudian berselingkuh dengan pria lain termasuk dalam katagori dua kata itu?"
Hela nafas gadis itu terasa panas, seolah hendak
membakar tubuh Anjar hidup-hidup. Untuk sesaat ia tak tahu apa yang harus
dikatakannya selain mendelik garang pada pria itu.
"Saras, tenanglah. Kita bukan kanak-kanak lagi. Kalau ada persoalan mestinya kan
bisa dibicarakan...."
"Apakah sebaiknya nasehat untuk dirimu saja" Tidak ada angin tidak ada hujan,
kau masuk ke rumahku
kemudian membongkar privacy ku, ada apa denganmu?"
"Ada apa" Apakah kau kira aku ini makhluk bernyawa yang tidak memiliki perasaan"
Atau barangkali kau berharap perasaanku memang tidak ada" Apakah kau
mengira aku tidak merasakan perubahan sikapmu ter-
hadapku belakangan ini, atau tepatnya sejak bulan Juni?"
"Cukup! Kau mengada-ada dan mengarang suatu
pembelaan untuk melegalisir apa yang telah kau perbuat atas hak privacy ku.
Sekarang pergilah. Diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Kau bebas tidak
perlu khawatir dan was-was memikirkanku, sebaliknya akupun bebas
melakukan apa saja yang sudah biasa kulakukan sebelum bertemu denganmu!" tegas
Saraswati. Anjar tersenyum. "Aku benar, jadi sebenarnya memang keputusan seperti itu yang
kau inginkan. Baiklah, diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Tapi sebelum
aku pergi dari kamar ini, juga pergi dari hatimu, ingatlah: dongeng yang
kuceritakan tadi suatu legenda yang ada kaitannya dengan liputanmu tentang
makhluk gaib itu. Dan satu hal terpenting, kau harus pandai jaga diri, sebab
kali ini giliranmu! Waspadalah terhadap orang terdekatmu."
"Bila benar itu pasti kau!" tuduhnya enteng.
"Mungkin saja," angguk Anjar seenteng tuduhan gadis itu, kemudian angkat bahu.
"Tapi apakah aku mempunyai wajah pembunuh" Lalu apa motifnya" Karena cemburu"
Hm, itu terlalu sepele. Aku yakin sepenuhnya Anjar bukanlah tipe pria seperti
itu. Aku bukanlah seorang idealis dalam bercinta, tapi realis. Bila seorang
wanita sudah tidak menyukaiku, maka aku akan mencari wanita yang
menyukaiku, sebab aku yakin dunia ini masih banyak makhluk dari jenis wanita.
Yang cantik banyak, yang baik tersedia, dan yang setia pun ada. Mungkin ini agak
menyimpang dari hukum kebiasaan manusia tentang
percintaan karena mereka beranggapan cinta adalah milik mutlak perasaan. Tapi
bagiku soal cinta adalah
keseimbangan antara perasaan dan akal," lanjut Anjar mengakhiri kalimatnya dan
langsung menutup pintu tanpa mempedulikan jawaban gadis itu.
Betapapun, dan apapun yang diucapkannya kepada
Saraswati tetap saja Anjar tidak bisa membohongi diri sendiri. Ia memang
mencintai gadis itu, dan keputusan yang telah mereka jatuhkan bersama tentang
hubungan yang selama ini dibina teramat menyakitkan. Meski begitu ia berusaha
untuk konsekwen dengan apa yang telah
diucapkannya, sebab terlalu mengikuti perasaan bisa mencelakakan diri sendiri.
"Aku sudah bisa menduganya," komentar Danang ketika mereka kembali bertemu sore
ini. Anjar merasa enggan pulang ke rumah, juga enggan ke toko, dan entah mengapa
kakinya begitu kuat mengajaknya ke tempat sahabatnya itu. "Apa kau merasa
menyesal telah bertemu denganku sehingga kau mengambil keputusan seperti itu
yang kemudian berakibat fatal dengan berakhirnya hubungan kalian?"
Anjar tidak langsung menjawab. Perlahan disulutnya sebatang rokok, kemudian
mempermainkan asapnya.
"Apakah kau yakin ia akan menjadi korban?" tanyanya sambil memandang sobatnya
itu seolah tidak mempedulikan pertanyaan Danang tadi.
"Kenapa" Kau khawatir?"
"Entahlah. Aku cuma tidak ingin dia menjadi korban..."
sahut Anjar agak gelisah. "Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk
mencegahnya."
Danang terdiam, menarik nafas agak panjang sebelum bicara. "Apakah itu berarti
kau masih mencintainya" Atau kau ingin menolong sekedar rasa kemanusiaan?"
"Aku teringat ceritamu. Menurutmu seandainya Wanara Bodas mengetahui kalau Taji
Saluyu akan membunuhnya apakah ia mau menolong?"
"Sayang sekali. Menurutku Wanara Bodas tidak berpikir ke arah itu. Logikanya
mengatakan kalau Taji Saluyu akan mencintai dan melindungi Dayang Sari. Dan
menurutkupun itu masuk di akal".
"Memang. Tapi saat ini situasinya sedikit berbeda.
Akupun percaya kalau Letnan Hendri tidak akan
membunuh Saraswati. Tapi bila roh Dayang Sari menyusup ke dalam raganya, apakah
ia mampu menahannya" Ironis sekali kan" Dan aku tidak sanggup membayangkannya."
"Mengapa kau begitu yakin kalau roh Dayang Sari akan menyusup ke dalam raga
Letnan polisi itu?"
"Pada liputannya yang terakhir, Saraswati berhasil memotret wajah makhluk itu.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk mencuci film dari jepretan kameranya. Dan saat
aku menggeledah rumahnya, aku sempat masuk ke kamar
gelapnya, kemudian melihat hasil fotonya...."
"Jadi..."!" tukas Danang kaget seperti telah mengetahui kelanjutan kalimat
sobatnya itu. "Betul! Foto yang dijepret Saraswati adalah letnan polisi itu," sahut Anjar
menjelaskan. Danang tercenung seperti memikirkan sesuatu.
Kemudian setelah itu dipandanginya wajah Anjar sejurus lamanya. "Apakah... kau
menyimpan foto itu?"
Anjar mengangguk. "Aku tidak mempunyai maksud apa-apa. Entahlah apakah yang
kulakukan itu salah atau benar.
Mungkin saja Saraswati mencintai letnan polisi itu, dan bila ia sempat
mengetahui, atau memang sudah melihatnya, ia tentu akan sangat kecewa. Aku cuma
tidak ingin ia kecewa...."Danang tersenyum sambil gelengkan kepala.
"Kadang-kadang sulit bagiku untuk mengerti cara berpikirmu. Di jaman sekarang
ini orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, dan bila ada lawan
menghadang, ia akan berusaha menjegalnya mati-matian.
Tapi yang kau lakukan justru menutupi kelemahan lawan untuk melanggengkan
hubungan lawanmu dengan
kekasihmu...."
"Mantan," tukas Anjar meralat.
"Apapun nama yang kau berikan aku yakin Saraswati masih tetap berada di hatimu."
"Setidaknya aku tidak berada lagi di hatinya."
Keduanya terdiam untuk beberapa saat lamanya
sebelum Anjar kembali bicara.
"Bagaimana menurutmu" Apakah tidak berlebihan bila aku berniat membantunya?"
"Itu terserahmu. Sebagai teman aku berusaha
mendukung dan membantumu sekuat kemampuanku."
Danang angkat bahu. "Hanya saja kuperingatkan, jangan berharap terlalu banyak
kalau kau mampu mengatasi
persoalan ini."
"Aku berhadapan dengan dunia yang berbeda, dan oleh karena kutahu kau mengerti
lebih banyak dariku soal-soal seperti itu maka aku minta dukunganmu."
"Seperti yang telah kukatakan, aku akan mendukung dan membantumu sekuat
kemampuanku."
"Terima kasih, Nang. Sekarang apakah kau punya ide langkah apa yang pertama kali
harus kita lakukan?"
Danang bangkit berdiri kemudian memberi isyarat pada sobatnya itu untuk
mengikutinya ke sebuah kamar.
Danang duduk bersila di atas hamparan permadani kecil dan menghadap ke salah
satu tembok pada jarak sekitar dua meter. Sementara Anjar duduk di belakangnya
agar menyerong sadikit ke kanan. Suasana ruangan begitu temaram dan hanya
diterangi cahaya lampu lima watt warna biru.
Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh
sahabatnya itu, sebab hal seperti ini belum pernah dilihatnya. Hanya saja Anjar
pernah membaca dan
mendengar bila suasana seperti ini maka seseorang akan berhubungan dengan
makhluk dari dunia yang berbeda, dari dimensi lain. Apakah itu artinya Danang


Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajaknya untuk berhubungan dengan makhluk halus" Atau lebih tepatnya dengan
Dayang Sari" Apakah ia punya kekuatan untuk melakukan hal itu"
Ruangan itu hanya memiliki ventilasi kecil yang ditutupi oleh kawat nyamuk
sehingga udara terasa pengap dan sedikit panas. Kalau saja Danang sampai
membakar kemenyan mungkin ia tidak akan tahan berlama-lama di sini. Tapi syukur saja
kawannya itu tidak melakukannya.
Suasana masih terasa hening. Ia tidak berani mengganggu Danang meski untuk suatu
pertanyaan seperti, apa yang sedang dilakukannya" Tapi perlahan terasa ruangan
itu dipenuhi hawa magis. Ia sulit menjelaskannya dengan kata-kata, ataukah
mungkin itu cuma perasaannya saja"
Atau barangkali ilusi mata" Yang jelas ia melihat ada semacam kabut yang datang
dari arah ventilasi memenuhi isi ruangan. Tidak menyesakkan nafas, juga tidak-
memerihkan mata. Kabut itu bergulung di lantai
membentuk ketinggian sekitar dua jengkal. Tak lama kemudian terdengar suara koor
yang sayup-sayup
terdengar, seperti datang dari kejauhan, ditingkahi suara gending yang mengalun
lambat. Kabut yang menggumpal di lantai bergoyang-goyang seperti riak ombak.
Suasana seperti itu berlangsung kurang lebih sepuluh menit, sebelum ia
dikagetkan oleh sebuah sinar kecil yang melesat cepat ke dalam ruangan melewati
ventilasi. Berputar-putar di atas kepala mereka kemudian menggantung di hadapan Danang.
Anjar bisa memastikan kalau sinar yang memancarkan cahaya biru kehijau-hijauan
itu cuma sebesar kelereng yang paling besar.
Tidak terdengar olehnya percakapan, kalaupun sinar itu bisa bicara. Yang jelas
tidak berapa lama kemudian sinar itu bergulung-gulung sebelum akhirnya kembali
melesat keluar.
Keluarnya sinar itu melewati ventilasi diikuti oleh kabut yang tadi menggenangi
lantai ruangan. Dan bersamaan dengan itu suara koor dan gending yang tadi sempat
terdengar perlahan-lahan menjauh sampai akhirnya
kembali tidak terdengar.
Ruangan itu kembali sepi seperti semula. Anjar masih belum mengerti apa yang
telah terjadi ketika Danang membalikkan badan dan berhadap-hadapan dengannya
masih tetap dalam posisi duduk menyila.
"Kau telah melihatnya tadi, kan" Roh Dayang Sari telah datang menemui kita."
"Roh Dayang Sari?" Dahi Anjar berkerut. Apakah sinar hijau kebiru-biruan itu
yang dimaksudkan Danang" Apakah wujud roh memang begitu" Hal itu masih tanda
tanya besar di benaknya. Tapi Anjar tak bermaksud mengusik kalimat berikut yang
dilontarkan sahabatnya itu.
"Itu telah menjadi komitmennya, dan bagaimanapun ia akan melakukannya. Sumpahnya
tak bisa dicabut, dan rasa sakit hatinya belum lagi terobati entah sampai
kapan." Anjar masih membisu, tenggelam dalam prasangka-
prasangka yang ada dalam benaknya.
"Siapa pun yang menyeleweng dan mengkhianati
pasangannya, maka orang itu akan menjadi korbannya.
Tak peduli halangan apa yang akan dihadapinya. Dia menyarankan agar kita tidak
ikut campur dalam urusan-nya."
"Apakah itu suatu peringatan atau ancaman?" tanya Anjar akhirnya.
"Bisa kedua-duanya."
"Jadi... kau sungguh-sungguh berkomunikasi dengannya?"
Danang mengangguk.
"Sumpah itu keluar dari mulutnya sendiri. Apa halangan-nya untuk mencabut
sumpahnya sendiri, sebab ia tidak bersumpah kepada siapapun sehingga apabila
sumpah itu dicabut, tidak ada yang merasa kecewa dan dirugikan?"
"Kau tidak mengerti. Sumpah seperti itu disaksikan langit dan bumi, dan seluruh
makhluk yang ada di
dalamnya. Kepada merekalah ia bersumpah. Selagi dunia ini masih ada, maka
sumpahnya masih tetap akan berlaku.
Lagipula, tidak ada gunanya mendebatkan soal itu sebab bagaimanapun ia akan
tetap melaksanakan apa yang telah menjadi keputusannya."
Anjar kembali terdiam. Diam-diam ia bergidik ngeri membayangkan nasib yang akan
menimpa Saraswati kalau benar ia menjadi incaran roh Dayang Sari. Lalu apa yang
bisa dilakukannya untuk mencegah hal itu terjadi" Minta bantuan pada Danang"
"Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mencegahnya,"
kata Danang angkat bahu seperti mengerti jalan pikiran sahabatnya itu.
"Apakah... bila kau memaksakan diri akan... membahayakan jiwamu?" tanya Anjar
ragu. "Bisa saja terjadi."
Anjar mengeluh dalam hati. Apa yang kini harus
diperbuatnya" Di satu sisi ia tak ingin Saraswati celaka, tapi di sisi yang lain
ia pun tidak menghendaki Danang celaka karena terpaksa harus membantunya.
Lagipula ia tidak punya hak untuk memaksa sahabatnya itu membantu persoalannya.
"Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan Saraswati, Nang?"
"Entahlah. Jika saja ia tidak melanjutkan
penyelewengannya, mungkin saja tidak akan terjadi. Tapi jangan salah,
kemungkinan itu tetap sebuah kemungkinan yang berarti bisa salah, bisa juga
benar. Seandainyapun setelah itu ia kembali lagi padamu juga bukan merupakan
jaminan kalau ia akan selamat."
"Suatu pilihan yang sulit," desah Anjar menghela nafas berat. Apa yang mesti
dilakukannya" Menguntit ke mana langkah Saraswati sehingga sebisa mungkin
menyelamat-kannya, atau membiarkan segala sesuatu terjadi dengan sendirinya.
Kalaupun ia hidup ataupun tewas sebagai korban, toh nanti takdir yang akan
bicara. *** ADRIAN MAPALADKA
5 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI
AKTU telah menunjukkan pukul sepuluh malam
ketika ia tiba di rumah. Di halaman depan tengah
W terparkir sebuah motor trail. Ia tahu betul, itu adalah motor Saraswati.Tapi
ada apa gadis itu malam-malam ke rumahnya"
Tiba di ambang pintu dilihatnya gadis itu sedang ngobrol dengan Kusno. Sambil
texsenyum ia duduk di hadapan gadis itu.
"Sudah lama?"
"Kurang lebih dua jam yang lalu," sahut Saraswati tanpa ekspresi.
"Seharusnya kamu istirahat di rumah." Anjar melihat kalau leher gadis itu masih
dibalut perban meskipun ada syal dari rajutan wol yang melilit di situ.
"Mestinya begitu, tapi karena keperluannya mendesak aku memaksakan diri ke
sini," sahut gadis itu masih dengan nada datar sambil melirik pada Kusno.
Yang dilirik seperti mengerti dan langsung, angkat kaki ke belakang.
"Saya permisi dulu, Bang. Tadi sedang membetulkan saluran air di kamar mandi.
Belum kelar. Mari, Mbak."
Anjar mengangguk kecil, sedang Saraswati diam saja tak bereaksi.
"Tidak perlu setegang itu. Ada apa" Katakan saja."
"Aku minta foto-foto yang kau ambil dari rumahku dikembalikan. Tidak ada gunanya
bagimu!" tandasnya dengan sorot mata tajam perwujudan rasa sinis di hatinya.
"Foto yang mana?" Anjar pura-pura tidak mengerti.
"Foto-foto yang sedang kukeringkan di kamar gelap!"
"O, itu" Ya, aku mengerti. Tapi mengapa kau begitu yakin kalau aku yang
mengambil foto-foto itu?"
"Tidak usah berbelit-belit! Kembalikan saja dan aku segera angkat kaki dari
sini." "Bagaimana mungkin kau meminta sesuatu dari
seseorang yang kau sendiri tidak mempunyai bukti kalau orang itu telah
mengambilnya dari tempatmu?"
"Anjar, jangan bermain-main! Aku memerlukan foto-foto itu. Siapa lagi yang
mengambilnya kalau bukan kau?"
Anjar menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin seorang wartawati sepertimu menulis
sebuah berita tanpa mengadakan investigasi yang teliti, kemudian mencap kalau
berita yang ditulisnya adalah benar. Dimana letak tanggung jawabmu terhadap
pembaca?" "Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan foto-foto itu.
Lekas, berikan saja foto-foto itu atau...."
"Atau apa" Kau ingin melaporkannya ke Pak Polisi?"
Nada bicara Anjar agak sinis ketika mengucapkan dua kata terakhir.
"Kau masuk ke rumahku tanpa ijin, dan dengan seenaknya membongkar-bongkar arsip-
arsip rahasia yang menyangkut masalah privacy. Itu suatu pelanggaran serius."
Anjar tertawa kecil "Kau belum paham juga kalau aku amat teliti dalam bekerja"
Siapa yang akan mempercayai ceritamu itu" Barang-barang masih berada di
tempatnya kecuali foto-foto itu, dan jangan katakan kalau aku yang mengambilnya,
sebab kau akan kecewa karena tidak bisa membuktikannya. Ingat, orang lain bisa
masuk ke tempatmu dan mengancam keselamatanmu. Padahal ia tidak
punya kunci rumahmu. Sedangkan aku masuk ke rumah-
mu dengan kunci yang langsung diberikan olehmu. Apakah kau hendak membuat
pernyataan bahwa aku telah merampas kunci rumahmu" Silahkan laporkan kepada
polisi!" Saraswati memandang pria itu dengan sorot mata yang tajam sekali. Entah
mengandung kebencian ataukah
dendam. Atau mungkin kedua-duanya.
"Kita telah sepakat bahwa diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa
lagi...." "Apakah di dalamnya termasuk persahabatan?" tukas Anjar. "Berarti dengan kata
lain kau hendak menjadikan aku sebagai musuh, minimal orang asing yang tidak
dikenal?" "Aku tidak mengatakan begitu." Suara Saraswati agak melunak. "Mengingat hubungan
kita yang pernah ada, maka aku mohon kau kembalikan foto-foto itu kepadaku."
"Mengingat juga hubungan kita yang pernah ada, aku melakukan sesuatu yang
terbaik untukmu. Jangan ber-prasangka buruk terhadapku, dan jangan pernah
menuduh aku membencimu. Semua yang pernah dan akan kulakukan untukmu adalah demi
kebaikanmu sendiri."
"Aku tidak ingin berbelit-belit, Anjar. Tolong kembalikan saja foto-foto itu
kepadaku."
"Saras, coba dengarkan aku!" Nada bicara Anjar terdengar lebih serius. "Kau
sedang menghadapi sesuatu yang bisa mengancam jiwamu. Biarkan aku
menolongmu...."
"Kau akan sangat menolong bila mengembalikan fotofoto itu padaku."
"Foto-foto itu tidak akan menolongmu, tapi malah akan membuatmu panik."
"Dari mana kau tahu" Kau bukan Tuhan yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi
nanti." "Memang betul. Tapi apakah kau belum melihat isi fotofoto itu?"
"Yang kutahu aku amat membutuhkannya!?" tegas gadis itu. "Meskipun kau belum
mengetahui isi foto itu?"
"Sudahlah, Jar. Aku tidak mau terus berdebat denganmu. Kembalikan foto-foto itu.
Tidak ada gunanya bagimu.
Kau akan sangat menolongku bila mengembalikan fotofoto itu," ulang Saraswati.
Anjar terdiam. Ia jadi ragu apakah Saraswati mengetahui isi foto itu atau tidak.
Kalau memang ia mengetahuinya, berarti ia bermaksud menyembunyikan seseorang
yang berada datam foto-foto itu. Tapi kalau ia tidak mengetahuinya, Anjar bisa
membayangkan kalau gadis itu akan sangat panik nantinya.
"Foto itu tidak ada padaku. Kau sia-sia datang ke sini kalau cuma karena itu!"
tegasnya. Ia telah mengambil keputusan tidak akan menyerahkan fotofoto itu pada
Saraswati. "Jadi kau tidak mau mengembalikannya"!"
"Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apakah
pendengaranmu juga ikut terganggu akibat makhluk itu?"
Saraswati mendengus sinis seraya bangkit berdiri.
"Baiklah. Kalau kau tidak mau menyerahkannya secara baik-baik maka aku akan
memperkarakan masalah ini.
Selamat tinggal." Gadis itu terus berlalu keluar. Dan tak berapa lama terdengar
raungan motornya meninggalkan halaman rumah.
Dengan membawa perasaan jengkel yang memuncak
sampai ke ubun-ubunnya, Saraswati melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia
betul-betul sebal melihat tingkah Anjar. Meskipun tak ada bukti, tapi ia merasa
yakin kalau Anjar yang telah mengambil foto-foto itu dari rumahnya. Kalau bukan,
lalu siapa?" Anjar telah membongkar lemari rahasia yang menyimpan arsip-arsip
hubungannya dengan Letnan Hendri. Dan bukan tidak mungkin pria itu telah
menggeledah seluruh isi rumahnya termasuk kamar gelap di mana foto-foto itu
sedang dikeringkannya sebelum makhluk terkutuk itu datang dan menganiayanya.
Seekor kelelawar terbang cepat melintas di depan persis dekat wajahnya.
Saraswati kaget bukan main dan reflek memalingkan muka sambil memejamkan mata.
"Binatang keparat!" gerutunya geram. Tapi belum lagi habis rasa kagetnya,
mendadak melintas seekor kucing yang menyeberangi jalan. Ia yang sudah begitu
kesal, tidak mempedulikannya dan langsung menabrak hewan itu. Tapi ajaib, kucing
itu tiba-tiba saja menghilang. Raib entah ke mana.
Gadis itu merasa heran, dan melambatkan laju
motornya sebelum berhenti sama sekali. Ia yakin betul dengan pandangan matanya
kalau kucing tadi persis
berada di depan ban, dan menurut perhitungan, hewan tadi pasti tergilas. Tapi
aneh, karena ia sama sekali tidak melihat bangkai kucing itu.
Ketika melirik jam tangannya waktu menunjukkan pukul sebelas lewat beberapa
menit. Ia tidak sedang berada di tengah hutan, tapi sebaliknya bpeada di tengah
kota. Namun suasana sepi tempat itu persis seperti kota mati.
Tak satupun sejak tadi ia berpapasan dengan pengendara motor lain ataupun mobil.
Ini sungguh aneh! Karena meski larut malam sekalipun daerah ini tetap ramai. Ia
mengingat-ingat, malam apa sekarang" Benar, malam
Jum'at. Entah Kliwon, Legi, atau Pahing, ia tidak tahu. Tapi apakah ada
hubungannya"
Suara anjing terdengar melolong dari kejauhan. Entah mengapa bulu kuduknya
merinding. Ada perasaan ngeri yang tiba-tiba saja merayap ke tubuhnya. Saraswati
menstarter motor. Tak menyala! Ia mencoba sekali lagi, tapi tetap tidak ada
tanda-tanda kalau motornya mau bergerak. Ia berusaha mendorongnya, tapi entah
mengapa motor itu terasa berat sekali. Seolah tidak mau bergeser sedikit pun
dari tempatnya.
"Brengsek! Ada apa dengan motor ini?" umpatnya geram setelah memeriksa busi,
platina dan lain sebagainya.
Bahkan bensinnya pun terisi penuh. Rem berfungsi baik.
Lalu apa yang menjadi masalah"
Belum lagi ia menemukan jawaban, mendadak ter-
dengar suara gending dari kejauhan, yang perlahan-lahan mendekat. Ini
mengherankannya, karena ia tidak melihat ada tanda-tanda orang yang sedang
hajatan di sekitar situ.
Dari mana datangnya suara itu"
Bulu kuduknya semakin tegak berdiri, dan rasa takut semakin menjadi-jadi
menyelimuti hatinya. Pertanda apa ini" Atau barangkali ia sedang bermimpi"
Tapi... ah, tidak.
Ini kenyataan. Pada saat itu terlihat cahaya terang dari depan, perlahan
mendekatinya, membuatnya silau. Reflek ia memejamkan mata. Tapi ketika ia hendak
membukanya lagi, cahaya itu te!ah berada di dekatnya, berputar-putar
mengelilingi sambil menimbulkan suara bising yang
memekakkan telinga. Di antara suara bising itu terdengar lapat-lapat satu suara
yang memanggilnya berulang-ulang.
"Saraswati... Saraswati...!"
"Siapa itu" Siapa yang memanggilku"!" teriak gadis itu berputar-putar mencari
arah datangnya suara.
"Saraswati.... Kau penghianat. Kau pengkhianat...!"
"Siapa kau sebenarnya" Apa yang kau inginkan?"
"Saraswati... pengkhianat. Pengkhianat harus mati!
Pengkhianat harus mati!" Jantungnya seperti berhenti berdetak, dan tubuhnya
terasa melayang dengan ringan ketika cahaya yang mengelilinginya dengan cepat
semakin mendekat. Terasa udara panas yang menyengat kulit, dan paru-parunya
sesak untuk bernafas. Dan dengan satu sentakan keras, terasa sesuatu mencekik
lehernya dengan kuat sekali. Meski gadis itu mati-matian mempertahankan diri,
tapi tetap saja ia tidak mampu berbuat satu apapun untuk menghindar dari sesuatu
yang mencekiknya.
Lapat-lapat sebelum kesadarannya hilang sama sekali terdengar olehnya suara
teriakan yang mengguntur.
"Jangaaan...!!"


Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak mengetahui berapa lama berada di sini. Namun ketika terjaga, suasananya
berubah total. Seluruh ruangan terlihat putih bersih. Ketika melirik ke samping,
terlihat seraut wajah yang dibencinya. Seketika itu juga ia memalingkan muka.
"Syukurlah kau te!ah sadar," ucap Anjar lega. "Hampir dua puluh empat jam kau
tidak sadarkan diri. Tidak perlu banyak bicara, karena ada sedikit kerusakan
pada tenggorokanmu. Dokter mengatakan bahwa kau masih
perlu dirawat agak lama di sini. Akupun menganjurkan begitu. Aku sudah
menghubungi pimpinan redaksimu.
Siang tadi beliau datang ke sini menjengukmu, tapi kau belum siuman."
Saraswati diam saja. Dia melirik lengannya yang dihubungkan dengan tabung infus.
Seandainya pun ia
leluasa berbicara, rasanya enggan untuk menimpali
ocehan pria ini.
"Sepulangnya kau dari rumahku," sambung Anjar, "Aku merasa tidak enak. Seperti
ada sesuatu yang akan terjadi padamu, maka secepatnya kau kuikuti. Ternyata
benar saja. Aku bersyukur bisa datang tepat pada waktunya."
Gadis itu kembali memalingkan muka, menatap pria itu seolah hendak minta
penjelasan apa yang telah terjadi pada dirinya. Tapi dilihatnya pria itu
bukannya memberikan jawaban, malah bangkit berdiri memunggunginya.
"Aku tahu kau tidak menginginkan kehadiranku di sini.
Tidak apa. Aku permisi dulu." katanya melangkah tenang menuju pintu. Tapi
sebelum keluar ia sempat menoleh."
Barangkali kau membutuhkan kehadiran Letnan Hendri untuk menghiburmu. Aku telah
menghubunginya sejak jam delapan tadi pagi. Tapi tidak bertemu langsung
dengannya. Seseorang yang mengangkat telepon mengatakan kalau ia sedang pergi, maka aku
titip berita saja bahwa kau berada di sini. Mudah-mudahan dia mau datang
menjengukmu. Selamat malam. Selamat istirahat." Setelah itu ia terus berlalu, tak peduli
ketika Saraswati berusaha mengangkat sebelah lengannya sebagai isyarat untuk
menahannya sesaat.
Saraswati hanya bisa memandangi punggung pria itu
sebelum pintu tertutup. Ia menghela nafas berat.
Pikirannya berkecamuk ditambah lagi kepalanya agak sakit seperti terkena
benturan keras. Berdenyut-denyut. Apa yang telah terjadi padanya malam itu" Ia
merasa maut telah begitu dekat dengannya, sebelum teriakan keras itu membuyarkan
segalanya. Siapa yang berteriak itu"
Anjarkah" Apakah ia sengaja datang untuk menolongnya"
Untuk apa" Setelah mengetahui perselingkuhannya
dengan Letnan Hendri, apa pedulinya lagi terhadap dirinya"
Anjar pasti merasa sakit hati, lalu apa gunanya dia menolong"
Ia tidak tahu apakah hubungannya dengan letnan polisi itu pantas disebut
perselingkuhan" Mereka tidak melakukan hal-hal yang diluar batas, tapi memang,
ia merasa tertarik dengan pria itu. Letnan Hendri terlihat lebih gagah dan
berwibawa. Dan kebersamaan mereka selama ini
membuat kedua hati semakin terpaut erat. Tetapi bukan berarti ia melupakan
Anjar. Semula ia tidak membenci pria itu, sampai ketika dianggapnya Anjar
terlalu lancang meng-acak-acak rahasia pribadinya. Dan menurutnya hal itu sudah
melewati batas, dan menumbuhkan kebencian. Tapi benarkah ia begitu benci pada
pria yang pernah dicintai-nya" Pernah" Kalau ada perkataan itu berarti
definisinya saat ini ia tidak lagi mencintainya, kemudian yang menjadi
pertanyaan mendasar di lubuk hatinya: apakah ia tidak lagi mencintai Anjar"
Pertanyaan itu belum terjawab olehnya ketika pintu di-ketuk. Seorang pria
berseragam polisi masuk ke dalam.
Dalam kecemasan raut wajahnya tersungging senyum
manis begitu wajah mereka berpapasan.
"Bagaimana keadaanmu" Kau tidak apa-apa, bukan?"
tanyanya cemas sambil meremas-remas jari-jemari gadis itu. Saraswati tersenyum
kecil, dan berusaha menggeleng lemah. Ia memberi isyarat lewat telunjuk ke arah
tenggorokannya yang masih diperban.
"Kenapa" Kau mengalami peristiwa mengerikan itu lagi?"
Gadis itu hendak bicara, tapi tenggorokannya terasa sakit sekali. Pita suaranya
seperti tak mau bergetar.
"Ya, ya. Kau tidak perlu bicara. Dokter telah mem-beritahukan kondisimu padaku.
Aku menyesal sekali tak ada saat kejadian itu menimpamu."
Saraswati diam saja. Diperhatikannya wajah pria itu yang muram. Ada bias dendam
dan kebencian yang menyelimuti parasnya. Disamping itu tampak pula lukisan
kekecewaan serta penyesalan karena merasa ia tidak
mampu menolong gadis itu.
"Masalah ini semakin membuatku bingung," ujarnya setelah beberapa saat membisu.
"Pagi tadi aku mengurus korban baru. Kejadiannya mungkin selisih beberapa jam
setelah kejadian yang menimpamu. Metoda yang
dilakukannya sama seperti sebelumnya."
Saraswati mendengarkan dengan seksama dan penuh
minat. Terlihat pada raut wajahnya, kalau kasus itu sama sekali tidak
menyurutkan tekadnya untuk menyelidiki permasalahan sampai tuntas, meski ia
sendiri hampir saja menjadi korban.
"Kau akan kaget kalau kuberitahu siapa korban itu..."
lanjut letnan polisi itu murung. "Dia adalah Maya...."
Bola mata Saraswati mendelik lebar mendengar kata
terakhir yang diucapkan Letnan Hendri. Maya" Bukankah itu gadis yang mereka
jadikan umpan untuk menjebak pelaku pembunuhan itu"
"Nasibnya memang tragis. Padahal kondisinya belum lagi membaik. Aku sungguh
menyesal tidak menjaganya dengan baik, dan merasa berdosa melibatkan ia dalam
permasalahan ini."
Berdosa" Bukan cuma pria ini saja yang merasakannya, tapi Saraswati pun
merasakan hal yang sama. Bukankah ide itu berasal darinya" Hanya saja memang
bukan ia yang memilih Maya, dan kalaupun nama itu muncul dan ber-sedia menjadi
umpan, ia tidak tahu apa kriteria Letnan Hendri sampai memilihnya.
"Aku tetah mencari paranormal handal untuk membantu kita dalam menuntaskan
masalah ini," lanjut letnan polisi itu setelah kembali terdiam sejurus lamanya.
"Bagaimanapun pelakunya harus dibekuk!"
Saraswati tersenyum kecil, seolah hendak meng-
godanya. Dan letnan polisi itu mengerti apa yang ada di benak gadis itu.
"Ya, paling tidak dimusnahkan," sambung pria itu.
Pada saat itu muncul seraut wajah cantik di ambang pintu. Saraswati mengerutkan
dahi. Ia sama sekali belum pernah melihat wajah itu sebelumnya.
"Oh, maaf! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian,"
kata Letnan Hendri ketika mengikuti arah pandangan Saraswati, kemudian memberi
isyarat pada si gadis yang berada di ambang pintu itu untuk masuk ke dalam.
"Kami datang berdua ke sini. Ini Christine, sepupuku. Pagi tadi ia baru datang
dari Amerika. Christine kuliah pada jurusan Anthropologi, dan khususnya pada
budaya bangsa-bangsa Timur."
Letnan Hendri memperkenalkan keduanya.
Saraswati merasakan jabatan tangan gadis itu yang
hangat dan erat, penuh persahabatan. Diamatinya sekilas.
Wajahnya mirip bintang film kenamaan: Paramitha Rusady, tapi Christine memiliki
kelebihan pada tinggi badannya.
"Mas Hendri banyak cerita tentang Anda pada saya, dan menurut saya tidak
berlebihan bila ia mengatakan Anda cantik. Kenyataannya memang demikian," puji
gadis itu. "Ia juga cerita tentang masalah yang ditanganinya belakangan ini,
yang dalam hal ini Anda pun meliputnya. Dan terus terang, saya ikut tertarik
mengamati perkembangannya."
Saraswati curna bisa tersenyum.
Saraswati baru pertama kali kenal dengan gadis itu, pun namanya. Karena selama
ini Letnan Hendri sama sekali tidak pernah menyinggungnya. Pria itu pun jarang
bercerita tentang saudara-saudaranya. Jadi pengetahuan Saraswati tentang
keluarganya sangat minim. Ia sendiri tidak tahu apakah mesti percaya atau tidak
kalau Christine ini betul sepupunya Letnan Hendri. Dan ia merasa hal itu belum
perlu, sebab ia sendiri tidak tahu apakah di hatinya ada perasaan cemburu atau
tidak melihat kehadiran Christine.
TAMAT SEGERA TERBIT :
MISTERI DENDAM PUTRIDAYANG
SARI II QT BEGOAH 1 SERIAL JONI KUCAI
JONI CARI PENGALAMAN II
on!" Joni tersentak dari lamunan, ketika mendengar suara yang memanggil dirinya.
J "He, Dun!" kata Joni. Ternyata yang memanggil dirinya itu adalah teman
baiknya, Midun.
"Kamu sedang apa, Jon ?" tanya Midun.
"Aku sedang melamun."
"He, apa yang kamu lamunkan?"
"Rahasia. Aku nggak bisa kasih tahu kamu, soalnya aku khawatir nanti kamu ikut-
ikutan." "Ikut-ikutan apa?"
"Melamun. Soalnya aku sedang melamun ingin jadi orang kaya."
"Ah, kamu Jon. Kukira apa" Masa cuma melamun aja aku iri."
"He, siapa tahu."
"Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong kenapa rumahmu sepi" Ke mana emakmu?"
"Emakku sedang pulang kampung."
"Kamu nggak diajak?"
"Kamu ini bagaimana sih, Dun" Kalau aku diajak sama Emakku, mana mungkin kau
bisa bicara sama aku saat ini?"
"Oh, iya ya. Sorry. Jadi kamu sendirian dong?"
"Ya, begitulah."
"Wah, kamu asyik dong bisa bebas."
"Seharusnya begitu."
"Kok seharusnya?"
"Ya seharusnya aku bisa bebas, tapi karena aku saat ini nggak punya uang, mana
mungkin bisa. Kau kan sendiri tahu, segala sesuatu di Jakarta ini harus memakai
uang." "Sudah pasti."
"Nah, sayangnya aku nggak punya uang. Mana mungkin aku bisa melakukan sesuatu."
"Tapi, memangnya emak kamu nggak ngasih uang?"
"Ngasih. Lima juta."
"Lima juta?"
"Ya, lima juta. Tapi nolnya menggelinding."
"Maksudmu?"
"Aku cuma diberi uang lima ribu perak."
"Untuk berapa hari?"
"Katanya sih untuk beberapa hari."
"Aku rasa cukup Jon. Uang lima ribu perak tidak bakal membuat kamu kelaparan."
"Memang, tapi nyatanya sekarang ini baru dua hari
Emak pergi aku sudah nggak punya uang."
"Astaga, Joni! Mungkin akibat kamu tertalu boros sih!
Kamu belikan apa saja uang sangumu itu?"
"Aku pake buat nonton, beli bakso dan jajan es!"
"Salahmu sendiri. Lalu sekarang ini bagaimana?"
"Ya, begini ini seperti apa yang kamu lihat tadi, aku sedang melamun, bagaimana
caranya jadi orang kaya?"
"Dan lamunanmu itu berhasil?"
Joni menggelengkan kepalanya. Sementara wajahnya
semakin nampak murung.
"Aku punya saran,"
Joni memandang sahabatnya itu.
"Apa saranmu?"
"Sebaiknya kau menyusul emakmu saja."
"Ke kampung" Gila! Mana mungkin. Apa aku harus jalan kaki kesana?"
"Terserah. Jalan kaki boleh, merangkak juga boleh."
Joni menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak! Nggak mungkin! Dari pada aku menyusul Emak.
Lebih baik aku. Ke rumah pamanku aja."
"Di mana tempat tinggal pamanmu itu" Apa kau tahu alamatnya?"
"Tahu."
"Kalau begitu, sebelum kau mati kelaparan di sini, sebaiknya kau lekas pergi ke
tempat tinggal pamanmu!"
"Tapi bagaimana kalau Emakku pulang" Past! Emak bakal mencari-cariku?"
"Itu soal gampang nanti aku yang akan memberitahu emakmu, bahwa kau pergi ke
rumah pamanmu."
"Saranmu bagus juga yah, baiklah kalau begitu. Terima kasih. Tapi....?""
"Tapi apa lagi?"
"Bagaimana dengan rumahku ini, siapa yang akan menjaganya" Aku khawatir nanti
ada barang-barang
berharga milik Emakku yang hilang. Jika itu sampai terjadi, pasti Emak bakal
marah sekali!"
"Barang berharga" Memangnya emakmu banyak
memiliki barang berharga" Setahuku di dalam rumahmu nggak ada apa-apa kecuali
cuma tempat tidur reotmu itu!"
"Jangan menghina! Biar begitu-begitu, Emakku banyak memiliki barang simpanan
yang harganya tak ternilai.
Kekayaan milik orang tuamu nggak ada seujung kuku
dibanding dengan kekayaan milik Emakku!"
"Ah, yang benar Jon. Apa diam-diam emakmu itu masih keturunan raja minyak dari
Arab?" "Hus, sudahlah. Pokoknya sebenarnya Emakku itu orang kaya cuma pura-pura
miskin." "Pura-pura apa miskin beneran?"
"Pura-pura. Kalau Emakku mau, rumahmu itu bisa dibelinya buat kandang ayam,
tahu. Kamu nggak percaya"
Pertamina dan gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta itu punya siapa?"
"Punya Emakmu?"
"Gila! Punya Pemerintah, goblok!"
"Oh, aku kira punya emakmu."
"Ah, sudahlah. Kau mau percaya atau nggak terserah.
Yang jelas biar bagaimanapun juga aku nggak bisa
meninggalkan rumahku ini, khawatir Emakku marah."
"Ck... Ck... Ck... aku nggak menyangka ternyata diam-diam emakmu banyak memiliki
harta simpanan Jon."
"Ya, begitulah. Tapi, ssst. Kau jangan sampai bilang-bilang sama orang lain lagi
ya, nanti bisa bahaya. Rumahku bisa dirampok orang dan aku bisa dibuatnya
celaka!" "Nggak Jon. Buat apa aku bilang-bilang sama orang lain."
"Bagus. Soalnya yang tahu soal kekayaan Emakku itu cuma kamu aja! Lain orang
nggak ada yang tahu. Mereka cuma tahu aku dan Emakku itu orang miskin, orang
nggak punya."
"Nggak tahunya Kong Melarat."
"Hus, Konglomerat!"
Madun mengangguk-anggukkan kepalanya antara per-
caya dan tidak percaya. Apa benar emak si Joni banyak memiliki kekayaan" Setahu
Madun, selama ini emak si Joni adalah seorang tukang pembuat kue yang hidupnya
miskin dan banyak dikasihani orang. Sesampai di rumahnya
Madun masih saja tetap diam melamun memikirkan
semua yang telah diucapkan Joni. Berbeda dengan Joni sendiri, sepulang temannya
itu Joni tertawa terbahak-bahak. Sambil menjatuhkan tubuhnya yang tinggal tulang
itu ke atas tempat tidur miliknya yang terbuat dari kayu sudah reot, sehingga
menimbulkan suara cukup gaduh.
"Hahahahaha.... si Madun kena aku kibuli. Madun percaya kalau Emak punya
simpanan berharga dalam
rumah ini, padahal sih ... Emak nggak punya apa-apa, selain punya diriku dan
gubuk reot ini!"
*** QT BEGOAH 2 SERIAL JONI KUCAI
JONI CARI PENGALAMAN II
ONI masih berbaring di tempat tidurnya. Meskipun


Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya terasa mengantuk, tapi matanya sulit untuk di-J pejamkan. Itu sebabnya
sedari tadi Joni cuma ter-lentang saja di atas tempat tidur sambil matanya
memandang ke atas, menatap langit-langit kamar yang tidak berlapis. Menyebabkan
genteng rumahnya yang banyak berlobang-lobang terlihat jelas. Pantas saja kalau
hujan rumahnya bocor. Ternyata genteng rumahnya banyak yang telah pecah dan
rengat. Melihat semua itu Joni menghela napas panjang. Hatinya sedih. Dari mana ia bisa
memperoleh uang untuk memperbaiki rumahnya yang sudah banyak rusak itu"
"Oh, Tuhan..." tiba-tiba Joni berdoa, "Berikan Emak saya rejeki yang banyak.
Jangan cuma pas-pasan untuk makan aja, kasihan Emak saya. Wajahnya semakin tua
gara-gara pusing memikirkan cari duit. Kalau bisa, Tuhan. Biar semua orang
sedunia memesan kue sama Emak, pasti deh Emak bakal senang betul hatinya. Karena
dengan begitu Emak pasti bakal dapat duit banyak. Tuhan, tolonglah rubah nasib
Emak dan diri saya!"
Joni terus berdoa meminta pertolongan Tuhan sampai telinganya mendengar suara
ketokan. "Siapa?" tanya Joni sambil melompat bangun. Berlari ke arah pintu.
"Saya!" terdengar suara jawaban dari balik pintu. Hati Joni curiga. Ia tidak
segera membuka pintu rumahnya, karena suara yang didengarnya itu tidak
dikenalnya. Suara seorang lelaki.
"Ya, saya tahu. Tapi katakan dulu, siapa dirimu?"
"Saya!"
"Saya siapa?"
"Saya rampok. Lekas buka! Kalau tidak pintu rumahmu ini saya dobrak!"
"Oh, jangan! Pintu rumah saya jangan dirusak, nanti Emak saya marah!"
"Biar saja. Saya tidak perduli. Paling kamu yang dimarahi sama emakrnu, saya sih
tidak" "Kalau begitu, baik, baik. Pintunya akan saya buka.
Jangan kamu rusak," lalu Joni membuka pintu rumahnya.
Saat di buka, mata Joni terbelalak kaget. Karena di hadapannya berdiri seorang
lelaki bertubuh besar
bertampang sangar, memandang Joni sambil umbar
tawanya. "Hehehehe... terima kasih Joni!" kata lelaki itu. Tanpa dipersilahkan langsung
menerobos masuk dan duduk.
Joni bengong seperti sapi ompong.
"Kok, rumahmu sepi, Jon?" tanya lelaki itu yang mengaku seorang rampok.
"Ya, rumah saya memang sepi. Emak lagi pulang kampung!"
"Maksud saya, bukan sepi orangnya. Tapi sepi
barangnya. Rumah kok seperti lapangan bola, nggak ada perabotnya."
"Ya, maklum aja. Namanya juga rumah orang miskin."
"Rumah orang miskin" Ah, kamu bohong, Jon. Saya tidak percaya. Soalnya di
Jakarta ini banyak sekali orang kaya yang pura-pura miskin."
"Memang. Tapi kalau keadaan saya memang benar-benar miskin. Sungguh saya nggak
bohong dan nggak pura-pura."
"Jadi sungguh kamu miskin beneran?"
"Ya "
"Kasihan."
"Ya, memang kasihan. Orang lain juga banyak yang kasihan sama diri saya dan Emak
saya." "Begitu?"
"Ya, begitu."
"Kalau begitu, mereka itu semua tolol!"
"Kok, kamu bisa bilang begitu?"
"Karena mereka mau saja dibodohi, gampang dibohongi sama kamu yang pura-pura
miskin!" "Ah, nggak kok. Saya memang miskin. Sungguh."
"Terhadap orang lain kamu bisa pura-pura. Tapi terhadap diri saya, jangan coba-
coba. Nanti rambutmu yang kucai itu saya bikin plontos baru tahu rasa! Sekarang
lekas katakana, di mana tempat simpanan emakmu itu?"
"Tempat simpanan apa" Setahu saya Emak nggak punya simpanan. Sungguh, ada juga
Emak saya suka menyimpan di Wc....!"
"Jangan main-main sama Saya. Kalau simpanan itu semua oranq juga punya."
"Jadi...?"
"Jadi katakan, di mana simpanan barang berharga milik emakmu itu. Saya kasih
waktu lima menit. Lewat dari lima menit, nyawamu melayang."
"Idih lucu! Nyawa orang dibikin kayak layang pake melayang segala."
"He, saya tidak mau diajak bergurau. Ayo lekas katakan!"
"Tunggu dulu, jangan kan dikasih waktu lima menit, di kasih waktu sepuluh taun
juga saya nggak bisa
mengatakan di mana simpanan Ernak. Soalnya saya tahu Emak nggak punya simpanan
apa-apa pasti kamu salah alamat. Lha, orang miskin kok di rampok."
"Jadi benar kamu orang miskin" Emakmu tidak punya simpanan barang berharga?"
"Kalau nggak percaya, cari sendiri deh. Biar kamu nggak penasaran. Paling-paling
yang kamu temukan cuma
kecoa!" "Brengsek!"
"Ah, kamu ini sebenarnya rampok macam apa sih"
Kalau mau merampok mbokya lihat-lihat dulu mana orang kaya mana orang miskin.
Jangan main sikat aja. Untung belum jatuh kroban nyawa."
''Iya ya saya salah. Saya terlalu napsu sih pingin lekas kaya."
"Kalau pingin lekas kaya sih bukan cuma kamu aja, saya juga pingin."
"Kamu juga pingin kaya?"
Joni menganggukkan kepala,
"Wah, kalau begitu kita sama dong."
"Ya, nggak sama. Kamu rampok saya bukan."
"Betul juga. Sudah deh, karena kamu ternyata tidak punya simpanan apa-apa, saya
permisi." "He, tunggu dulu. Kamu mau ke mana?"
"Pulang."
"Pulang" Kok buru-buru" Ngak minum teh dulu?"
"Terimakasih."
"Terima kasih kembali!" kata Joni. Si lelaki yang mengaku rampok itu bergegas
pergi, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi menghampiri diri Joni.
"Saya lupa. Nih kartu nama saya. Kalau kapan-kapan emakmu punya simpanan yang
berharga kasih tahu saya ya!"
"Beres. He, nggak. Enak aja!"
Si rampok tersenyum, lalu pergi. Meninggalkan Joni yang menatapnya sambil
geleng-geleng kepala.
"Uu, dasar manusia kadal! Nggak boleh dengar orang punya duit, langsung main
samperin!" gerutu Joni dengan hati yang cemas. Karena merasa dirinya mulai tidak
aman. Keselamatannya mulai terancam bahaya, maka biar
bagaimanapun juga Joni harus mengambil keputusan. Jika tidak ingin dirinya mati
konyol. Didorong oleh rasa takutnya, akhirnya diam-diam Joni pergi meninggalkan
rumah. Pergi ke rumah pamannya, tapi yang namanya Joni justeru sebenarnya dia
tidak tahu di mana tempat tinggal pamannya itu. Cuma yang diingat Joni, kalau
tidak salah pamannya itu tempat tinggalnya di pinggir sebuah jalan raya, tak
jauh dari kantor polisi, di sebelah kanannya ada lampu merah, sedang disebelah
kirinya yang Joni ingat ada toko!
Joni tidak tahu pasti alamat tempat tinggal pamannya secara tepat, apakah
pamannya itu tinggal di Bandung, di Surabaya atau di Bogor, Joni sama sekali
tidak tahu. Namun, Joni tetap nekad. Ia tetap pergi mencari tempat tinggal pamannya itu.
"Waktu diajak sama Emak, pertama-tama aku naik bus, Jadi sekarang ini aku harus
naik bus!" kata Joni dalam hati.
Tanpa peduli bus ke arah mana yang harus ia naik" Ketika ada sebuah bus yang
lewat Joni mempehatikan dengan hati ragu.
"Senen! Senen! Ayo, naik! Masih kosong!" teriak kondektur bus. Padahal penumpang
yang ada di dalam bus itu sudah penuh berjejal seperti ikan sarden.
"Ayo, Dik naik! Lekas! Di dalam-masih kosong!" teriak si kondektur lagi memaksa
Joni naik. Tapi Joni menolak sambil mengelengkan kepala.
"Mau ke mana Dik" Senen!" tanya si kondektur sama Joni setengah memaksa.
Joni menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku mau ke Madangkara!" sahut Joni bikin si kondektur matanya melotot.
"Dari pada ke Madangkara lebih baik ke neraka, Dik!"
"Masa bodoh! Terserah gua!" kata Joni tidak peduli si kondektur marah-marah.
Bus berikutnya muncul lagi, berhenti didepan Joni. Kali ini busnya tidak begitu
padat dengan penumpang.
"Grogol, Dik! Grogol!" teriak si kondektur pada Joni.
"Grogol lewat Bogor ya, Bang?" tanya Joni.
"Oh, tidak, Dik. Grogol itu lewat Mexico!" jawab si kondektur sewot. Joni
tersenyum, diapun lalu naik bus itu.
Ternyata Joni tidak kebagian tempat duduk, terpaksa Joni harus berdiri sambil
menggelantungan seperti Tarzan.
Tidak berapa lama setelah bus berjalan.
Kondektur datang menghampiri Joni seperti biasa
menagih ongkos.
"Ongkos.... ?" kata si Kondektur.
"Ongkos?" tanya Joni sambil tersenyum.
"Ya, ongkos," jawab si Kondektur bus garang.
"Wah, sayang gak punya uang Oom." kata Joni.
Membuat mata si Kondektur terbelalak.
"Nggak punya uang" Jadi...?"
"Numpang Oom. Dekat aja kok."
"Betul dekat?"
"Ya, Oom."
"Kalau dekat buat apa naik bus, lebih baik jalan kaki.
Ayo, turun!" bentak si Kondektur galak. Tubuh Joni didorong hampir saja Joni
jatuh. Sebenarnya Joni mau marah tapi karena melihat badan si Kondektur yang
cukup besar dan tampangnya seram, hati Joni jadi ciut.
"Hu, sombongnya! Numpang aja nggak boleh!" gerutu Joni setelah diturunkan dari
bus. Tapi percuma, makian Joni tidak didengar oleh si Kondektur, karena setelah
menurunkan Joni bus itu langsung tancap gas dibarengi terlakan si Kondektur.
"Tarik, Pirrrrrrrrrrr...!!"
TAMAT Pedang Medali Naga 7 Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Pendekar Pemetik Harpa 28
^