Dosa Yang Tersembunyi 1
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi Bagian 1
BASTIAN TITO TIGA DALAM SATU
DOSA YANG TERSEMBUNYI
Sumber: BASTIAN TITO
Scan : syauqy_arr
Editing : fujidenkikagawa
Convert to PDF : syauqy_arr
WIRO SABLENG 1 DOSA YANG TERSEMBUNYI
SI PINCANG MANTILO
ELELAWAR Pemancung Roh menggeledah semua
kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah.
K Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu
memeriksa tempat-tempat lain yang diduganya bisa
dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang paling disayanginya dan
tengah hamil itu tidak ditemukan.
Istri paksaan lainnya yang berjumlah sebelas orang tidak satupun mengetahui
dimana beradanya atau kemana
perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas
perempuan itu sama bersepakat, jika ada kesempatan mereka juga akan melarikan
diri. Kelelawar Pemancung Roh tidak bodoh.
"Kalau mereka punya anggapan Bintang Malam kabur melarikan diri, pasti dalam
benak sebelas perempuan ini juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung
Roh memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masing-masing. Lalu pintu
dikuncinya dari luar. Di depan pintu yang terakhir dikuncinya Kelelawar
Pemancung Roh berpikir. "Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh
kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar biasa yang menjaga
kawasan Teluk. Kalau perempuan itu memang melarikan diri, puluhan kelelawar
pasti akan mencegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang Malam belum
meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti bersembunyi di satu tempat. Dimana...?"
Kelelawar Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang ada kolam dan kursi besar.
Duduk sendirian di kursi batu di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat
itu ingat pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi memberitahu
padanya bahwa atas perintah Tuyul Orok si nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan
ke dalam Goa Air Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti dia
harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari bahwa Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Sinto Gendeng masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar
Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu membunuh Wiro baru
kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto Gendeng dulu menyusul muridnya
"Pendekar 212 membunuh dua puluh kelelawar kepala bayi, membunuh anak-anakku.
Jahanam itu juga
menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia pasti masih
berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau
sang guru" Apakah dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku
menyelesaikan dendam hari ini?"
Kelelawar Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya
sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah akibat tendangan Wiro namun saat itu
dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan dia percaya dengan ilmu kesaktian yang
dimilikinya dua tulang yang cidera itu telah bertaut kembali. Inilah kehebatan
makhluk aneh penguasa Teluk Akhirat itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan
ikat kepala sutera hitam berbatu yang berhasil di rampasnya waktu berkelahi
dengan Wiro. "Ini bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang bisa dijadikan senjata luar
biasa ampuh! Cahayanya bisa membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu makhluk
gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa.
Hampir aku ditelannya. Setahuku Pendekar 212 Wiro
Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau ini memang miiiknya, agaknya
senjata akan makan tuan. Aku bisa membunuhnya dengan benda ini!" Sambil
menyeringai Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain sutera hitam itu di kepalanya.
Lalu kembali dia menimbang-nimbang.
"Membunuh nenek keparat yang dalam keadaan tak
berdaya itu jauh lebih mudah dari pada menghadapi
Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan menunggu kematiannya.
Biar dendengkotnya aku habisi lebih dulu."
Kelelawar Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil melangkah tinggalkan
tempat itu dia memaki dirinya sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak
kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam.
Biar dibantai Ikan Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak karuan begini rupa.
HANYA terpaut selisih waktu sedikit saja, tak berapa lama setelah Kelelawar
Pemancung Roh meninggalkan
ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia bersandar di dinding,
pegangi dadanya yang sakit lalu menyeka darah yang setengah mengering di
dagunya. Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat.
Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu segera ditelannya. Lalu
dia tegak bersandar ke dinding.
Memperhatikan seputar ruangan.
"Kursi batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar Pemancung Roh untuk masuk dan
keluar ke pantai.
Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik turunkan kursi batu
begini berat...." Wiro palingkan pandangannya ke arah kolam batu yang tertutup
gelagar kayu. Airnya bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa menembus sampai ke dasar. Apa
isi kolam ini" Mengapa di-tutup begini rupa" Kolam tempat mandi Kelelawar
Pemancung Roh?"
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut matanya menangkap gerakan
seseorang di sampingnya.
Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di balik dinding. Dari
sosoknya yang kecil jelas dia bukan Kelelawar Pemancung Roh. Wiro cepat
mengejar. Dia hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu bagian dinding lorong batu
tergantung sebuah lukisan.
Lukisan beberapa gadis cantik bertelinga seperti kelelawar dalam keadaan bugil.
Wiro berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah menikmatinya. Namun
sebenarnya saat itu dia tengah me-masang telinga. Dia mendengar suara nafas
orang. Wiro tersenyum. Garuk-garuk kepalanya.
"Gadis-gadis bugil di dalam lukisan ini, walau seolah hidup dan tersenyum padaku
jelas tak bisa bernafas." Ucap sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan
turunkan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba dari balik
lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di balik lukisan itu ada satu ruangan
kosong sedikit lebih kecil dari ukuran sebuah lemari.
"Hai! Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro.
Diteriaki seperti itu pemuda yang lari dengan terpincang-pincang malah
mempercepat larinya. Tapi dia jadi terkejut pucat ketika entah bagaimana
kejadiannya tahu-tahu Wiro sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda
pincang ini cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan.
Wiro segera mengejar. Begitu terkejar dia puntir telinga pemuda ini.
"Ampun! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda itu berteriak kesakitan
sambil berusaha menarik tangan Wiro.
"Siapa mau membunuhmu"!" Wiro masih belum lepas-
kan jewerannya.
"Kau... kau membunuh puluhan kelelawar kepala bayi.
Pasti kau juga mau membunuhku..."
"Aku membunuh mereka karena mereka mau mem-
bunuhku! Apakah kau juga mau membunuhku?"
"Ti... tidak. Aduh, ampun..."
"Pincang, siapa namamu" Apa tugasmu di tempat ini?"
Tanya Wiro dan perlahan-lahan lepaskan jewerannya.
Si pemuda perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki.
Wajahnya masih menunjukkan rasa takut. Setelah agak yakin Wiro tidak bermaksud
jahat padanya baru dia mau menjawab.
"Saya Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang Pemimpin."
"Berarti kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau aku bertanya jangan
sekali berani berdusta! Katakan di mana Sang Pemimpinmu berada".
"Saya tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini.
Sudah kabur..."
"Kalau dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana perginya. Jangan coba
berdusta. Bisa-bisa kubetot dua telingamu, kujadikan seperti telinga
kelelawar...."
"Saya benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin hanya bersamadi di Teluk.
Atau pergi ke Bukit Jati."
"Saat ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada di sini. Berarti dia
pergi ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan ke sana."
"Demi Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan jalan ke Bukit Jati itu. Sang
Pemimpin akan membunuhku seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi.
Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku jauh lebih tidak berharga
baginya dibanding dengan kelelawar bayi itu."
"Kau boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang belum tentu kejadiannya, atau
mati di tanganku saat ini juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak meng-
gebuk kepala Mantilo.
Si pincang ketakutan setengah mati.
"Tidak... Jangan. Saya akan tunjukkan...."
"Tunggu, ada apa di Bukit Jati itu" Kenapa makhluk kampret itu suka pergi ke
sana." "Disitu ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek bernama Ki Sepuh Tumbal
Buwono..."
Keterangan pemuda pincang terputus karena di ujung lorong terdengar suara
teriakan-teriakan perempuan disertai suara pintu digedor.
"Suara jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran pintu. Siapa mereka" Apa
yang terjadi?" tanya Wiro.
"Mereka para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin membunuh anak-anak mereka lalu
mengunci mereka di
dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada
dalam ketakutan. Ingin keluar dari kamar."
"Pasti ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu."
"Salah seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istri-istri lainnya tidak
tahu kemana perginya...."
"Bintang Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama Bintang Malam." pikir
Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke Goa Air Biru."
"Saya akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang Pemimpin itu tidak perlu
ditolong lebih dulu. Saya mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak
menemui istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu tidak memberitahu dimana
beradanya istrinya yang satu itu maka semua mereka akan diceburkan ke dalam
kolam Ikan Dajal."
"Hem.... Hatimu baik juga masih mau mengingatkan menolong orang lain. Pasti
mereka perempuan-perempuan cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum.
Mantilo juga ingin tersenyum tapi tidak berani. "Tadi kau menyebut kolam Ikan
Dajal. Kolam apa itu." Eh, tadi aku melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu
hitam. Letaknya di depan kursi batu di ruangan sana...
"Betul, itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan Dajal adalah kolam maut. Jika
seseorang diceburkan ke sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap
habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja orang itu hanya akan
tinggal tulang belulang. Sebelumnya ada seorang nenek aneh hendak diceburkan
Sang Pemimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda.
Ketika Sang Pemimpin kembali si nenek sudah lenyap entah ke mana."
Wiro terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo.
"Kau tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke dalam kolam Ikan Sundal?"
"Ikan Dajal, bukan Ikan Sundal..."
"Dajal sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu
diributkan!" bentak Who. "Jawab pertanyaanku. Kau yakin nenek itu tidak
dicemplungkan ke dalam kolam?"
"Saya yakin. Karena setiap ada orang atau binatang suguhan yang diceburkan ke
dalam kolam, saya yang
selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang teman. Namanya Habili. Saya
tidak tahu dia berada di mana sekarang."
Wiro garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang bernama Mantilo itu mungkin
benar. Tapi mungkin pula
Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si nenek ke dalam kolam maut
lalu menyurun Habili mem-bersihkan kolam.
Ada sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro.
Keterangan Pelangi Indah. Dipadu dengan keterangan Bintang Malam, Kelelawar
Pemancung Roh memiliki nyawa pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang
tidak pernah menginjakkan kaki di tanah. Ikan adalah makhluk yang seumur hidup
selalu berada dalam air dan tidak punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah.
"Pecah sekarang rahasia kematian makhluk jahanam itu!" Wiro kepalkan tinju.
"Mantilo. Sebelum kita menolong sebelas perempuan itu, aku harus lebih dulu
memusnahkan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba lari!"
*** WIRO SABLENG 2 DOSA YANG TERSEMBUNYI
MIMPI DUA GADIS CANTIK
EJAK Pendekar 212 meninggalkan puncak timur
Gunung Merapi yang menjadi tempat kediaman
S Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama
Rembulan korap kali kedapatan oleh teman-temannya
sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah diketahui oleh Pelangi Indah. Ketua
Kelompok Bumi Hitam.
Pagi itu kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan
tengah duduk bermenung diri dekat pancuran besar
tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci pakaian sambil
bercengkerama. Ketika rombongan teman-temannya pergi Rembulan sengaja mencari
tempat duduk yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar wajahnya
terlipat di atas pangkuan.
Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk termenung di tepi pancuran itu ketika
tiba-tiba dia nendengar ada langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah
tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan
cadar hitamnya dan bangkit berdiri. Ternyata yang datang bukan siapa-siapa
melainkan Pelangi Indah, sahabat dan Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak
mengenakan cadar. Rembulan buka kembali cadar yang barusan di-kenakannya.
"Benar rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk menyendiri, termenung di
tempat ini. Sudah lama kau berkelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang
ada di dalam pikiran dan hatimu?"
Rembulan tersipu.
"Duduklah aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada yang hendak kau jelaskan
padaku." Rembulan kembali duduk ke atas batu besar dekat
pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya.
"Apa yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan.
"Mengapa kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, termenung seperti memikirkan
sesuatu?" "Tidak ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung diri. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" tanya Pelangi Indah.
"Udara di puncak Merapi belakangan ini terasa agak panas. Tempat ini, agaknya
satu-satunya tempat yang paling tepat untuk duduk menyejukkan diri."
"Menyepi seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?"
Ujar Pelangi Indah.
"Kalau semua para sahabat anggota Kelompok Bumi Hitam berada di tempat ini,
lantas siapa yang menjaga tempat kediaman kita?"
Pelangi Indah tertawa.
"Rembulan, kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi harap mau berterus-terang
padaku. Jika ada kegelisahan atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa
menolong."
Rembulan terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita Pelangi indah.
"Sang Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu besar terhadapku. Sebenarnya
ini hanya satu hal kecil saja.
Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau menceritakan pada Ketua."
"Rembulan, kau lupa pada semua pelajaran yang ada dalam kitab pegangan kita.
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Antara Hitam Dan Putih. Di situ ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah
kecil. Begitu banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil, bahkan melupakannya.
Manusia lupa bahwa mereka ter-antuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil,
bukan batu besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku Ketuamu?"
Rembulan pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam sejenak dia berkata.
"Tadi malam..."
"Tadi malam kenapa" Ada apa?" tanya Pelangi Indah ketika dilihatnya Rembulan
ragu-ragu meneruskan ucapan.
"Aku bermimpi."
"Aahh.... Apa mimpimu" Suatu yang bagus" Suatu yang indah?"
"Ketua masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng yang beberapa waktu lalu
berada di sini?"
Pelangi Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya yang halus dan bagus
memotes selembar daun pepohonan di dekatnya, lalu kembali duduk di samping
Rembulan. "Tentu saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan orang yang telah menolong
kita begitu besar. Jadi kau bermimpi tentang dirinya?"
"Benar Ketua."
"Bagaimana mimpimu itu?"
"Aku melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di tangan kanannya dia
memegang ikat kepala kain sutera hitam berbatu yang menurut Ketua telah
diberikan padanya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang berubah kelam.
Lalu ada satu makhluk besar bercahaya
seperti seekor burung raksasa menukik dari langit, menembus kegelapan dan
menyambar pemuda itu. Wiro pergunakan ikat kepala kain sutera untuk membentengi
diri dan memukul makhluk yang menyerang. Makhluk itu
menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat kepala kain sutera lalu
terbang dan lenyap di langit gelap.
Wiro sendiri terpelanting dari puncak bukit batu, jatuh terguling ke dalam
sebuah jurang. Suara jeritannya yang keras dan panjang terasa seolah masih
bergaung di telinga...."
Rembulan berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah me-
mandang ke arah pancuran. Dari raut wajahnya sang Ketua seperti tengah
memikirkan sesuatu.
"Ketua, apakah kau mendengar apa yang barusan saya tuturkan?" Bertanya Rembulan.
"Aneh..." Ucap Pelangi Indah.
"Mimpiku aneh menurut Ketua?"
"Mimpimu dan mimpiku."
"Rupanya Ketua juga bermimpi?"
Pelangi Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama dengan mimpimu."
Bagaimana bisa terjadi?" uiar Rembulan.
"Justru itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku bermimpi dua malam yang
lalu dan kau baru tadi malam."
Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras Rembulan dan dalam hatinya
Ketua Kelompok Bumi Hitam ini berkata. "Mimpimu adalah sebagian saja dari apa
yang membuat dirimu sering termenung dan memencilkan diri.
Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan kau ber-keadaan seperti ini."
"Ketua...."
"Hemmm?"
"Mungkinkah pemuda itu tengah berada dalam
bahaya"'"
"Bukan itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi memberitahu bahwa ikat kepala kain
sutra yang ditempeli batu Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari
tangan Wiro."
"Wiro adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu musuh mengalahkan lalu
merampas ikat kepala kain
sutera hitam?" Ujar Rembulan pula.
"Setiap ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada yang lebih tinggi. Ujar-
ujar mengatakan Di atas lagit masih ada langit. Ini membuat seseorang berilmu
tinggi tidak boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu, bersikap
rendah diri sambil terus menjaga kewaspadaan."
"Pendekar 212 memiliki dan melakukan semua itu.
Mengapa dia masih dapat dikalahkan?" Kata Rembulan pula.
Pelangi Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu berada satu langkah di
depan kebenaran. Harap camkan itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu
memperlakukan kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?"
Rembulan angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu ingat ucapan dan nasihat
Ketua." Pelangi Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah mendekati pancuran, membasahi
dua tangannya lalu
mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang cantik itu tampak segar
dan lebih cantik. Kemudian Pelangi Indah balikkan badan ke arah Rembulan.
"Rembulan sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu bahwa dia dan gurunya akan
menuju Teluk Akhirat.
Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan musuh yang dihadapinya pasti
bukan lain Kelelawar
Pemancung Roh."
Mendadak saja Rembulan sudah menduga apa yang
ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. Maka dia cepat berkata.
"Ketua, kita masih berhutang budi pada Pendekar 212.
Sampai kapanpun dan apapun yang kita lakukan untuknya rasanya semua budi
besarnya itu tidak akan terbalas.
Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku akan ke Teluk Akhirat
untuk melihat keadaannya. Jika memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha
menolong."
Pelangi Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata.
"Sebenarnya perihal diri pemuda itulah yang setiap hari menjadi lamunannya. Kini
dia hendak bertindak mendahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan
menjadi perasaannya pula. Ah, apakah aku harus berterus terang padanya agar
tidak kedahuluan?"
"Rembulan, hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi orang. Wiro telah berjasa
besar bagi Kelompok Bumi Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang
paling berhutang besar padanya. Kalau dia tidak menyerahkan Kalung Srigala Perak
itu seumur hidup aku akan tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial TDS
sebelumnya berjudul "Srigala Perak")
"Jadi Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju Teluk Akhirat" Kalau begitu
aku mohon restumu."
"Tidak Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat wajah Rembulan berubah karena
putus harapan. "Aku
sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat."
"Ketua bisa mewakilkan padaku."
"Tanggung jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam ada padaku. Jadi aku harus
turun tangan sendiri. Selama aku pergi kau menjadi wakilku di sini."
Rembulan terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya terdengar perlahan ketika
berucap. "Aku menurut apa kata Ketua."
Pelangi Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu berkata. "Rembulan, perasaan
kita bisa saja sama. Namun sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku
Ketua. Kuharap kau bisa mengerti..."
Di balik rimbunan semak belukar seorang bermata
bagus dan sejak tadi mengintip serta mendengar percakapan Pelangi Indah,
perlahan-lahan menggeser kakinya.
Dalam hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului Ketua. Jika kemudian hari
Ketua menghukumku karena telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak
bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asal-kan dapat bertemu dengan
dia, apa lagi bisa menolongnya.
Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat. Dua hari lebih cepat dari jalan
biasa." Sebelum Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan
tempat itu, orang dibalik scmak belukar telah lebih dulu berkelebat pergi.
*** WIRO SABLENG 3 DOSA YANG TERSEMBUNYI
MUSNAHNYA IKAN DAJAL
ENDEKAR 212 Wiro Sableng dan pemuda pincang
Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi batu dan
P kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia tidak melihat benda
apapun di dalam kolam walau airnya jernih bening.
"Aneh, tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku tidak melihat apa-apa." Kata
murid Sinto Gendeng sambil menatap Mantilo.
"Memang begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa
menembus sampai ke dasar kolam. Percaya pada saya, ikan maut itu ada di dalam
kolam batu ini."
"Perlu aku buktikan dulu," kata Wiro. Dia melangkah mendekati kolam. Ketika
dilihatnya Mantilo berjalan ke arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau
berbuat apa?"
"Saya tahu bagaimana caranya menggeser kayu
penutup kolam." jawab Mantilo.
"Kalau begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani me-nipu!"
Mantilo memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu jarinya dia menekan kuat-
kuat sebuah tombol di lengan kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu
penutup kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari atas kursi batu.
"Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam.
Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam, membuat
sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pemimpin menutup bagian atas
kolam." Tanpa perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah
maju. Dia berdiri dua langkah di tepi kolam.
"Pelangi Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pemancung Roh ada pada satu makhluk
yang tidak pernah menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah
tempat dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan Ikan Dajal ini. Kelelawar
Pemancung Roh pasti amblas kekuatannya."
Baru saja Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak ter-duga dan dalam kecepatan
luar biasa, satu makhluk putih besar sekali melisat keluar kolam.
"Wuttt"
Dalam kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana golok besar menebas,
membeset di atas kepalanya.
Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan melompat ke belakang. Dia
sampai terjengkang di lantai batu dalam usaha menyelamatkan kepala. Tak urung
ada bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepalanya kena disambar dan
dibabat putus! Dinginlah tengkuk sang pendekar. Wajahnya sesaat pucat tak
berdarah. Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha menjauhkan Wiro dari tepi kolam.
"Gila! Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro garuk-garuk kepala lalu
bangkit berdiri. Mantilo kembali memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi
pemuda pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro mengangkat
tangannya ke atas dan perlahan-lahan sebatas siku ke bawah tangan itu berubah
menjadi seperti perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu mendadak
terasa panas sekali.
Tiba-tiba Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam
kolam. "Wusss!"
Satu sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana di-terangi kilatan petir. Udara
panas luar biasa membuat Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu
"Byaaarrr!"
Air kolam batu seperti mendidih dan muncrat ke atas.
Kembaii Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit
lengannya yang kecipratan air kolam melepuh seolah di-guyur air panas.
Di dalam kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang menggergaji tidak
berkeputusan. Lalu suara itu lenyap. Berganti dengan suara seperti belasan
kerbau melenguh bersamaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau daging
terpanggang. Lalu, dengan mata mendelik Wiro melihat bagaimana dari dalam kolam
perlahan-lahan meng-apung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan
kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa besarnya. Hampir seluruh
tubuh ikan ini yang tadinya ber-warna putih kini menggembung merah terkelupas
dan mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal merupakan rongga kosong
hangus. Mulut ikan ini terbuka lebar, memperlihatkan barisan gigi dan taring
besar setajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam mengucur tiada henti
dari mulut makhluk ini.
"Ikan Dajal..." desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang bernama Ikan Dajal. Mudah
mudahan Eyang Sinto belum
menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah dilahapnya, kualat aku
seumur-umur."
Wiro palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo
berada. Tapi ternyata pemuda pincang itu ak ada lagi di tempat itu.
"Sialan!" maki Wiro.
Dia segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu mau menuju kemana.
Sementara itu di kejauhan kembali terdengar suara teriakan-teriakan serta
gedoran pintu. Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih terus berusaha keluar dari
dalam kamar yang dikunci.
Di depan Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikir-pikir apakah akan menolong
perempuan itu lebih dulu baru mencari jalan ke Goa Air Biru.
"Perempuan-perempuan, walau dikunci dalam kamar
paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan
aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin
keselamatannya?" Wiro garuk kepala. Akhirnya dia kembali ke lorong yang ada
lukisan. Menyusuri lorong ini sejauh dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya
terang di depannya. Ketika dia sampai di ujung lorong dan menyeruak di antara
semak belukar yang menutupi. Wiro dapatkan diri di satu tempat. jauh dari
pantai. Wiro memandang berkeliling. "Bukit Jati... Goa Air Biru.
Dimana letaknya?"
Selagi dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara menguik riuh
di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh
kelelawar beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal ini Wiro
segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sesaat lagi binatang sisa makhluk peliharaan Kelelawar Pemancung Roh itu pasti
akan menyerbunya dengan
ganas. Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama
kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang.
"Aneh, mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku sambil menguik. Apa artinya
ini?" pikir murid Sinto Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar itu
berputar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah
terbang ke arah timur. Wiro terus memperhatikan tapi tetap tak bergerak di
tempatnya. Di depan sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro.
berputar beberapa kali, melayang rendah dan kembali terbang ke arah timur.
Demikian sampai tiga kali. Wiro menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud
binatang-binatang itu berkelakuan seperti itu. Kali keempat kelelawar melakukan
hal yang sama. Wiro rasa-rasa mulai tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia
berlari mengikuti arah terbangnya kelelawar menuju timur.
Tak berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai ber-kurang, berganti dengan
pohon-pohon lain. Di satu tempat kelelawar yang terbang di udara kembali membuat
gerakan berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit kecil membentang
dari barat ke arah timur. Bukit ini tertutup oleh pohon-pohon jati yang dari
besar serta bentuknya telah berumur puluhan tahun.
"Bukit Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke bukit ini. Sekarang di
mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu bagaimana aku harus berterima kasih pada
binatang-binatang itu?"
Di atas sana kelelawar yang terbang berputar perlahan-lahan turun merendah
melewati sebuah pohon kelapa yang putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi
satu kelelawar itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu keluar
lagi. Kemudian kembali menukik memasuki semak belukar, sesaat setelah itu keluar
kembali. Wiro kini maklum. Binatang-binatang itu berusaha memberitahu bahwa Wiro harus
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk ke balik semak belukar itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua
puluh kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya Wiro segera
mendatangi, menguak semak belukar dan
terkejut melihat sebuah goa batu berwama biru.
"Aku benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap Wiro sambil memandang ke
udara. Dia hanya bisa
melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap ber-sahabat denganku, tidak
akan aku membunuh kawan-
kawan kalian." Wiro lambaikan tangannya sekali lagi.
Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik panjang lalu melesat lenyap ke
arah utara. *** WIRO SABLENG 4 DOSA YANG TERSEMBUNYI
WULANDAYU ATU sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air
Biru. Dia berhenti di depan telaga, memandang
S berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki
Sepun Tumbal Buwono yang duduk tak bergerak dalam
cegukan batu, sepasang mata terpejam.
"Tidak ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu.
sepuluh kelelawar kepala bayi memberitahu mereka telah membawa Sinto Gendeng ke
tempat ini. Mungkin anak-anak jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto
Gendeng memang sudah ke sini, lalu ada yang memindah-kannya ke tempat lain."
Kelelawar Pemancung Roh mengelilingi telaga satu kali, lalu masuh ke dalam
cegukan batu. "Ki Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau juga tidak sedang tidur.
Buka dua matamu dan jawab pertanyaanku!" Suara keras Kelelawar Pemancung Roh
meng-gaung dalam cegukan batu.
Perlahan-lahan orang tua yang kepalanya dimasukkan dalam kerangkeng besi membuka
dua matanya. Dua bola mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar
Pemancung Roh. "Ada kain sutera hitam berbatu melingkari keningnya.
Batu itu agaknya bukan batu sembarangan. Dari mana agaknya murid murtad ini
mendapatkannya?" Ki Sepuh berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan.
"Damar Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir kali kau datang ke sini.
Hari ini kau muncul. Katakan apa penyebabnya."
"Tua bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan!
Jangan kau pernah berani menyebut nama itu! Aku adalah Kelelawar Pemancung Roh
penguasa Teluk Akhirat! Bukan Damar Soka!"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut pada namamu sendiri. Kau
takut pada baying-bayangmu sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu
selalu mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa melupakan masa
silam. Apa lagi dengan selangit dosa seperti dirimu."
"Ki Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang mulut, saat ini juga akan
kutarik ke dua kakimu sampai lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam
kerangkeng besi celaka itu!"
Kembali Ki Sepuh tertawa perlahan.
"Aku mencari dua orang yang kabur dari bangunan kediamanku. Pertama seorang
nenek bernama Sinto
Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala bayi membawa nenek itu ke
dalam goa ini..."
"Lalu apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?"
tanya Ki Sepuh pula. "Siapa orang kedua yang tengah kau cari"'
"Istriku. Bintang Malam."
"Hemmm.... Apakah kau juga melihat perempuan itu di sini?"
Sepasang mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang
aslinya bernama Damar Soka itu mendelik. Mulutnya ber-gumam beberapa kali.
"Aku memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang itu pernah berada di tempat
ini. Lekas kau beri tahu ke mana keduanya dipindahkan" Siapa yang memindahkan?"
"Dua orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat ini."
"Kau berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung Roh menggelegar. Dia
melangkah ke hadapan Ki Sepuh, memegang rantai besi yang menjulai dari langit-
langit batu ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali kutendang
tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu akan putus. Apa itu yang kau
inginkan?"
"Aku sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu.
Lima tahun mendekam di tempat ini aku tidak pernah tidur. Kematian akan
membuatku tidur nyenyak. Ha... ha...
ha..." Saking geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang
rantai besi hingga kerangkeng di kepala Ki Sepuh ikut bergerak. Bagian berbentuk
mata gergaji taiam yang melingkar di leher si kakek menggores kulit dan daging
lehernya. Untuk kesekian kalinya darah mengucur. Walau rasa sakit bukan alang
kepalang tapi dengan menggigit bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak
sampai berteriak.
Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada
rantai besi lalu melangkah mengitari tubuh Ki Sepuh Tumbal Buwono yang
mengenakan jubah biru besar
gombrong. Di belakang tubuh si kakek dia berhenti agak lama. Memandang ke
langit-langit cegukan, memperhatikan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki
Sepuh pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk beberapa kali agar
Kelelawar Pemancung Roh tidak mendengar suara hembusan nafas dua orang yang
mendekam di dalam jubah gombrongnya.
Di dalam jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya
berusaha menahan nafas, si nenek Sinto Gendeng
setengah mati menahan air kencingnya agar tidak ter-pancar.
Kelelawar Pemancung Roh keluar dari cegukan batu.
"Ki Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa di tempat ini. Tapi aku tahu
kau berdusta! Kalau aku bisa membuktikan aku akan kembali untuk memutus
lehermu!" "Lebih cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku akan mengucapkan terima
kasih adamu. Damar Soka."
Karena kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar Pemancung Roh melompat ke
hadapan Ki Sepuh. Tangan kanannya diulurkan.
"Srett!"
Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah
menjadi cakar besi bergelimang darah!
"Kau ingin mengorek jantungku, atau mau membusai perutku, silahkan. Makin cepat
kau membunuhku lebih enak rasanya."
"Tua bangka jahanam!"
Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar
berkeretakan. Tapi tangan itu tidak bergerak. Makhluk tinggi besar ini tidak
melakukan apa-apa.
Ki Sepuh Tumbal Buwono menyeringai.
Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai batu hingga tempat itu
bergetar, air telaga bergoyang ber-gemericik. Dengan rahang menggembung penguasa
Teluk Akhirat berkata.
"Jika aku kembali menemuimu, mungkin itulah batas
terakhir kehidupanmu!"
"Ancamanmu sungguh enak didengar, Damar Soka. Di dalam arwah, aku pasti akan
bertemu dengan Wulandayu, ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan
pesan, pasti akan kusampaikan padanya."
Kelelawar Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak keras mendengar disebutnya
nama Wulandayu oleh si
kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya sendiri lalu sambil tiada
hentinya merutuk dia tinggalkan Goa Air Biru.
Di dalam jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan suara.
"Kek, Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya boleh keluar sekarang?"
"Aku juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa mati pengap aku di dalam
sini." Sinto Gendeng ikut bicara.
"Kalian berdua tetap di dalam jubah sampai aku memberitahu bahwa kalian boleh
keluar." Bintang Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki panjang pendek.
"Nek, kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu masih belum pergi jauh dari
tempat ini."
"Kalau kelewat lama berada di sini, mulut atas memang bisa aku kancing. Tapi aku
tidak menjamin bisa
mengancing mulut sebelah bawah! Hik... hik... hik!"
Ki Sepuh terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto Gendeng itu. Dia berkata.
"Kalau tadi aku tidak menceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan
tidak berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing, Kelelawar Pemancung Roh
pasti dapat mencium bau
kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di
dalam jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh menceburkan dirimu dalam
telaga. " Sinto Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata.
"Ya sudah. Sekarang mulutku atas bawah akan kukancing rapat-rapat!"
"Kek, aku ada satu pertanyaan," Bintang Malam bersuara.
"Kau lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka mulut. Apa yang kau ingin
tanyakan?"
"Tadi kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh yang bernama Wulandayu itu mati
dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh sendiri."
Benar. Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama ini selalu berusaha
disembunyikan oleh murid murtad itu.
Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang
mengetahui kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal dunia. Tewas secara
aneh. Mungkin dibunuh oleh
Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan mungkin akan segera
menemui ajal pula. Orang itu adalah diriku sendiri!"
"Bagaimana setega itu dia membunuh ibunya sendiri."
Ujar Bintang Malam pula.
"Peristiwanya sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di minta Ki Sepuh Buwono
lalu bercerita. "Semasa mudanya Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan
orang-orang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi, mengganggu anak
istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya
berulang kali menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya
tidak bisa dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari akhirnya dia aku
usir dari pertapaan. Suatu malam dia kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan
mabuk berat dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke dalam dirinya,
dia melihat ibunya yang sedang tidur pulas bukan seperti ibunya. Tapi seolah-
olah perempuan itu adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan luar
biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan ibunya. Ketika ibu dan anak
sadar apa yang terjadi Damar Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan
nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka
menjatuhkan sumpah dan kutuk terhadap anaknya. Akibat sumpah dan kutuk itu sosok
Damar Soka berubah seperti ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan
menemui kematian dan sepanjang hidupnya dia akan
mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu
makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu.
Sampai saat ini tidak satu orangpun mengetahui makhluk apa itu adanya. Setelah
peristiwa itu Damar Soka
melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika dia kembali menemuiku
kelihatannya dia sudah menjadi orang baik-baik. Aku menerimanya kembaii sebagai
murid. Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta beberapa ilmu terlarang
padaku. Aku hanya nemberikan satu ilmu Yaitu Ilmu Seribu Hawa Kematian. Setelah
ilmu itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu lainnya. Aku menolak. Diriku lalu
diperlakukannya seperti yang kau saksikan saat ini. Seluruh tenaga dalam dan
kesaktianku disedotnya. Aku lalu dikerangkeng seperti ini."
Bintang Malam merasa dingin kuduknya mendengar
cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto Gendeng terdiam bungkam namun hatinya
nenyumpah habis-habisan.
"Kek, bagaimana kalau...."
"Ki Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang Malam lalu berbisik.
"Ada orang datang...."
*** WIRO SABLENG 5 DOSA YANG TERSEMBUNYI
KEPALA-KEPALA YANG MENGGELINDING
UGAAN Ki Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluar-
nya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar Pemancung
D Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan saja dia berusaha
mengingat-ingat semua percakapan dengan si kakek yang membuatnya marah setengah
mati, tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan batu. Ada sesuatu
yang semula tidak mencurigakan, yang setelah berada di luar goa membuat dia
berpikir dua kali.
"Aku ingat aku melihat ada alur air setengah mengering antara telaga dan cegukan
tempat tua bangka keparat itu duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada
makhluk apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda sepertinya ada satu
benda besar dikeluarkan dari dalam telaga, lalu diseret sampai ke lantai batu
cegukan dinding."
Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit. "Aneh, tidak seekor kelelawarpun
kelihatan berkeliaran. Mereka tidak menemui ajal semua. Apa yang terjadi" Di
mana kelelawar penjaga Teluk Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar Pemancung Roh
terbagi. Namun kemudian kembali
ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga.
"Aku yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam.
Lalu dimana Bintang Malam?" Makhluk tinggi besar ini kepalkan dua junya. Lalu
dengan cepat dia balikkan badan, bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru.
Di dalam ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono merasa tercekat ketika
melihat kemunculan Kelelawar Pemancung Roh untuk kedua kalinya.
"Agaknya ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia tahu..."
Kelelawar Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air yang mulai mengering di
lantai batu masih kentara. Dia ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh.
"Orang tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang
bakal kau terima. Kau menyembunyikan orang di tempat ini!"
"Damar Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum buta. Apa kau lihat ada
orang lain di tempat ini"!"
"Ada!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia melangkah ke belakang si kakek
dan menarik ke atas jubah biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya
memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok Sinto Gendeng dan Bintang
Malam. Dengan amarah meluap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek, jambak
rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua orang ini di hadapan Ki Sepuh.
Sinto Gendeng terkapar, memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah
keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan wajah pucat.
Dalam hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk sudah datang. Tadi tak ada
kecurigaan dalam dirinya.
Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang yang kusembunyikan dalam
jubahku" Aku tidak takut mati.
Tapi bagaimana nasib dua orang ini?"
"Damar Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika aku melepas nyawa, kutukku
akan bersatu dengan kutuk ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan
menemui ajal dalam seribu sengsara!"
"Makhluk jahanam ini pasti juga akan membunuh kami berdua! Hai! Aku tidak takut
kau bunuh. Aku berjanji tidak akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau
membebaskan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari dalam goa sekarang
juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.
"Nenek celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini tidak ada harganya bagiku,
apa lagi nyawa kalian berdua!
Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku
menghabisi tua bangka tak berguna ini!"
Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh
tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng berteriak marah.
Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi
lagi-lagi gagal.
"Dukkk!"
Tendangan Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono. Tendangan yang
memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja membuat hancur dan melesak
dada si kakek, tapi juga membuat tubuhnya mencelat mental ke dinding batu
sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah menyembur mengerikan. Bintang
Malam terpekik tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Sinto Gendeng kembali
berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habis-
habisan. Sewaktu Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki
Sepuh hingga tubuh kakek ini terpental, kepalanya tak ikut mencelat karena
tertahan oleh kerangkeng besi. Bagian bawah kerangkeng yang berbentuk mata
gergaji besar dan tajam dan menjirat lehernya langsung menghunjam leher itu
hingga putus! Apa yang terjadi sungguh mengerikan.
Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang menyembur dari leher yang
tcrsisa membasahi lantai batu!
Kelelawar Pemancung Roh dengan beringas mencekal
leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam.
"Bagi kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling enak. Kalian akan
kuceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal!"
Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah. Bintang Malam menjerit tiada
henti. Setengah berlari Kelelawar Pemancung Roh segera keluar dari dalam Goa Air
Biru. Namun makhluk tinggi besar ini serta merta keluarkan suara menggembor dan
hentikan langkah ketika di depan sana, di mulut goa seorang pemuda berpakaian
serba putih, rambut gondrong setengah terbabat, tegak meng-hadang. Di tangan
kanan pemuda ini memegang sebilah kapak bermata dua memancarkan cahaya
menyilaukan. Sementara tangan kiri yang diangkat ke atas memancarkan warna seputih perak. Di
luar goa saat itu udara mulai redup karena sang surya sebentar lagi akan
tenggelam. "Keparat kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh.
"Makhluk laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan padaku ikat kepala kain
sutera hitam yang melingkar di keningmu!" Pemuda di mulut goa membentak lalu
melangkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh.
Kelelawar Pemancung Roh memandang dengan mata
dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa bergelak.
"Kalau aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan tidak mau menyerahkan ikat
kepala kain sutera, kau mau berbuat apa"! Ha... ha... ha!"
"Aku bersumpah membantaimu saat ini juga!"
Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, keluarkan
suara mendengus.
"Pendekar 212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa!
Silahkan kau melepas pukulan Sinar Matahari. Silahkan kau pergunakan Kapak Maut
Naga Geni 212 untuk
menyerangku. Dua manusia tak berguna ini akan aku jadikan tameng menghadapi
semua seranganmu! Ha... ha...
ha... ha!"
Pemuda gondrong di mulut goa yang memang adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya tersentak kaget dan memaki dalam hati. Dia
terpaksa berhenti empat langkah di hadapan Kelelawar Pemancung Roh.
"Keluar dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala gurumu dan perempuan
celaka ini satu sama lain!"
"Bangsat! Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi merutuk. Keadaannya tidak
menguntungkan. Ketika
dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah
mulut goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu hal luar biasa.
Tubuh tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang terkapar di lantai batu secara
aneh tiba-tiba bergerak ke atas.
Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh itu melesat ke arah Kelelawar
Pemancung Roh yang tegak membelakangi sambil mencekal Sinto Gendeng dan
Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih
mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar
Pemancung Roh mendengar suara bersiur di belakangnya Dia menoleh. Terlambat!
"Dukkk!"
Dua kaki mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk
keras punggung Kelelawar Pemancung Roh lalu sosok
tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi besar terpelanting
ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang Malam terlepas dari cekalannya. Selagi dia
terhuyunq-huyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro melompat ke depan.
Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan tangan kanan babatkan kapak sakti. Dua
sinar putih menyilaukan berkiblat disertai hawa panas luar biasa. Goa Air Biru
laksana neraka.
"Wuuutt!"
"Craass!"
"Wusss!"
Tubuh Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke
dalam goa, menghantam dinding batu, terbanting jatuh ke lantai dalam keadaan
hangus mengepulkan asap. Kepalanya tak ada lagi di lehernya, menggelinding di
lantai hitam hangus kepulkan asap, lalu jatuh masuk ke dalam telaga.
Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu Mustika Mata Srigala masih melingkar
di keningnya dan kelihatan merah membara. Batu ini mengeluarkan suara cesss
ketika ber-sentuhan dengan air telaga.
*** WIRO SABLENG 6 DOSA YANG TERSEMBUNYI
ORANG DI ATAS BIDUK
IRO selipkan kapak saktinya di balik pinggang
pakaian lalu cepat memanggul Sinto Gendeng dan
W Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke
mulut goa. Ketika muncul di pantai, sang surya telah tenggelam. Udara mulai
kelam. Wiro mencari tempat yang baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya.
Sementara Bintang Malam masih tercekat diam dan
pucat Sinto Gendeng menegur sang murid. Tentu saja dimulai dengan makian.
"Anak Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia kematian makhluk jahanam
itu" Kalau makhluk yang menjadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi
kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam
itu." "Kira-kira begitu Eyang." Jawab Pendekar 212. "Di tempat kediamannya aku
menemukan seekor ikan raksasa bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang
tidak pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah.
Makhluk itu sudah kubinasakan."
"Aku hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu oleh Kelelawar Pemancung
Roh." Ucap Sinto Gendeng.
"Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku"
Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas dengan ilmu totokan bernama
Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Menurut Ki
Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan celaka ini. Lekas kau
pergunakan kapak saktimu..."
Ucapan Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang Malam berucap dengan
wajah memperlihatkan rasa kaget dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk
ke pantai. "Lihat...!"
Sinto Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 palingkan kepala.
"Edan!" rutuk si nenek
"Gila bagaimana mungkin!" ujar Wiro.
"Luar biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa dibunuh!"
"Berarti..." Wiro menggaruk kepala. "Ikan Dajal itu bukan makhluk yang
meminjamkan nyawa pada Kelelawar
Pemancung Roh!"
Dalam udara Teluk Akhirat yang mulai remang
menggelap kelihatan sosok tanpa kepala Kelelawar
Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyung-
huyung menuju pantai. Di tangan kanannya dia menenteng kepalanya sendiri Wiro
memperhatikan. "Astaga!" Pendekar 212 keluarkan seruan pendek.
"Apa yang ada di benakmu Anak Setan"!" tanya Sinto Gendeng.
"Nek, kau lihat kain hitam hangus dari sutera yang me-lilit di kutungan kepala
Kelelawar Pemancung Roh?"
Sinto Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum buta."
"Benda itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn itu...."
"Pasti batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya" Kau curi?"
"Tidak Nek, seseorang memberikan padaku."
"Katamu kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang perempuan yang memberikan
padamu. Cantik?"
"Nanti saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera mengambil benda itu."
"Jangan bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku mencium ada bahaya di sekitar
sini. Lihat saja apa yang akan terjadi..."
"Tapi batu sakti itu Nek."
"Nanti bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji kambing yang mengkilap!"
Wiro menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak ke arah Kelelawar Pemancung
Roh. Tapi Sinto Gendeng kembali mempenngatkan.
"Anak Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!"
Saat itu Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju
ke arah laut. Di satu tempat dia berhenti. Kutungan kepalanya diletakkan di atas
leher. Lalu sambil menekan kepala itu dia lanjutkan langkah.
"Dia menuju ke laut. Ada apa" Apa yang hendak di-lakukannya''' ujar Wiro. Lalu
dia ingat keterangan Mentari Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air.
Di depan sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh
mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul pahanya. Setelah tubuhnya masuk
sebatas dada di kejauhan terdengar suara aneh berulang kali.
"Kukukkk.. kukuuukkk... kukuuk..."
"Suara apa itu" Sinto Gendeng membuka mulut sambil memutar bola mata. Wiro dan
Bintang Malam memandang berkeliling.
Di dalam laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan
pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar suara tawa
bergelak. Suara tawa ini baru berakhir ketika keseluruhan kepala Kelelawar
Pemancung Roh tenggelam ke bawah air laut.
"Nek, apakah... apakah Kelelawar Pemancung Roh benar-benar hidup kembaii?"
Bintang Malam bertanya.
"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut Sinto Gendeng.
"Lihat!" Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut.
Dalam udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar
Pemancung Roh kelihatan muncul dan permukaan air. Dari mulutnya berulang kali
dia menyemburkan air laut. Tiba-tiba dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di
atasnya duduk seorang berikat kepala kain merah, mengenakan pakaian serba hitam.
Orang di atas biduk tidak mengayuh, malah rangkapkan dua tangan di depan dada.
Tapi biduk itu meluncur pesat dengan sendirinya ke arah tersembul-nya kepala
Kelelawar Pemancung Roh. Di antara
hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar suara riak air laut memecah
dipapas biduk. Dia palingkan kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh
memperhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk, tiba-tiba salah
satu tangan yang mendekap di dada bergerak dan sreeet! Kain sutera hitam berbatu
sakti yang melingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas.
Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
biduk telah berputar lalu melesat ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala
Kelelawar Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari permukaan laut. Semua
kejadian itu disaksikan oleh Wiro.
Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan terheran-heran.
"Anak Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas biduk itu?" Sinto Gendeng
bertanya. "Sulit kuduga Nek...." jawab sang murid. Lalu Wiro berusaha membebaskan totokan
di tubuh Sinto Gendeng. Dia bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu
tak bisa dimusnahkan.
Sinto Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan, agaknya kau harus mencari
Kalajengking Putih...."
"Kalajengking Putih" Buat apa Eyang?"
"Menurut Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang bisa memusnahkan totokan
di tubuhku."
Wiro garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh.
"Tambah celaka nasibku. Bakalan patah pinggangku! Dulu dia masih bisa kudukung
di atas bahu. Kini dalam keadaan lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku
harus meng-gendongnya. Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana aku akan
mencarinya"'
Sebelum meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama
Bintang Malam terlebih dulu membebaskan sebelas
perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh.
Lalu Wiro juga mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal Buwono. Kerangkeng besi
dihancurkan dengan kapak
sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu di-kubur di tepi pantai.
Yang lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti
sebelas perempuan lainnya. Bintang Malam tidak mau di antar pulang ke desanya.
Perempuan yang tengah hamil muda ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto
Gendeng pergi. "Anak Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya.
"Perempuan satu ini memang jauh lebih cantik dari yang lain-lain. Ada apa dia
ingin ikut bersamamu..."
"Aku tidak tahu Eyang..." jawab Wiro sambil menggaruk kepala.
"Pasti ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah melihat orang bunting
secantik dia, bukan" Jangan-jangan kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya
hingga dia kecantel padamu" Apapun yang terjadi dengan Kelelawar Pemancung Roh,
perempuan itu sudah bisa disebut
sebagai seorang janda."
"Aku tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata Wiro pula.
"Anak Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar belum bisa menerima ilmu
Sepasang Sinar Inti Roh itu.
Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda. Aku tahu ini pengalaman baru
bagimu. Hik... hik... hik!"
"Sumpah Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan perempuan itu." kata Wiro
mengulang sumpah.
Sang guru hanya ganda tertawa.
TAMAT Ikuti Petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng
selanjutnya dalam : MUSTIKA MATA SRIGALA
ADRIAN MAPALADKA
1 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
erawakannya pendek tapi tubuhnya bulat dengan
perut gendut. Kumisnya tebal, dan sepasang bibirnya P agak dower. Apalagi ketika
ia berkomat-kamit
merapal mantera-mantera di hadapan pendupaan.
Sepasang matanya yang bulat terpejam rapat, dan
wajahnya terlihat khusuk.
Sementara Letnan Hendri yang duduk di belakangnya
pada jarak sekitar tiga meter nemperhatikan dengan seksama. Ia mengenal Mbah
Sarijo dari seorang
kenalannya. Menurut informasi, dukun ini terkenal hebat, dan sering berhasil
menolong pasien-pasiennya. Ada yang minta naik angkat secepatnya, perjodohan,
rizki yang banyak sampai meneluh seseorang. Semua order yang
masuk diterima tanpa pandang bulu. Begitu juga order dari letnan polisi itu kali
ini. Mbah Sarijo langsung menyang-gupinya tanpa ragu sedikit pun.
Ia hanya minta sedikit contoh rambut Saraswati, yang katanya untuk mengadakan
kontak batin antara dirinya dengan makhluk yang telah mencelakai gadis itu. Dan
bagi Letnan Hendri itu bukan masalah sulit.
Lima menit telah berlalu. Belum terlihat tanda-tanda kalau orang tua itu akan
menyudahi kekhusukannya. Entah apa yang akan terjadi. Letnan Hendri tidak bisa
me-mastikannya. Ia hanya minta pada Mbah Sarijo agar
makhluk yang mengganggu Saraswati tidak mengulangi perbuatannya, juga kalau
memang ia pelaku pembunuhan beruntun belakangan ini, maka ia juga minta agar
makhluk itu menghentikan aksinya.
Kalaupun Mbah Sarijo diam membisu dengan tubuh
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegak bagaikan patung, sebenarnya ia sedang mencari-cari kontak batin. Sukmanya
melayang-layang meninggalkan raganya, dan mengendus-endus ke mana-mana seperti
anjing pelacak. Ia pun telah berpesan pada letnan polisi itu agar tidak
mengganggunya dalam bentuk apapun selama ia dalam keadaan demikian.
Sukmanya yang tengah melayang-layang itu mem-
bawanya ke sebuah tempat yang mirip seperti istana. Indah gemerlapan. Semua
penjaga istana terdiri dari wanita-wanita berpakaian keraton jaman dahulu kala.
Rahasia Mo-kau Kaucu 4 Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Lencana Pembunuh Naga 9
BASTIAN TITO TIGA DALAM SATU
DOSA YANG TERSEMBUNYI
Sumber: BASTIAN TITO
Scan : syauqy_arr
Editing : fujidenkikagawa
Convert to PDF : syauqy_arr
WIRO SABLENG 1 DOSA YANG TERSEMBUNYI
SI PINCANG MANTILO
ELELAWAR Pemancung Roh menggeledah semua
kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah.
K Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu
memeriksa tempat-tempat lain yang diduganya bisa
dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang paling disayanginya dan
tengah hamil itu tidak ditemukan.
Istri paksaan lainnya yang berjumlah sebelas orang tidak satupun mengetahui
dimana beradanya atau kemana
perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas
perempuan itu sama bersepakat, jika ada kesempatan mereka juga akan melarikan
diri. Kelelawar Pemancung Roh tidak bodoh.
"Kalau mereka punya anggapan Bintang Malam kabur melarikan diri, pasti dalam
benak sebelas perempuan ini juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung
Roh memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masing-masing. Lalu pintu
dikuncinya dari luar. Di depan pintu yang terakhir dikuncinya Kelelawar
Pemancung Roh berpikir. "Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh
kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar biasa yang menjaga
kawasan Teluk. Kalau perempuan itu memang melarikan diri, puluhan kelelawar
pasti akan mencegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang Malam belum
meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti bersembunyi di satu tempat. Dimana...?"
Kelelawar Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang ada kolam dan kursi besar.
Duduk sendirian di kursi batu di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat
itu ingat pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi memberitahu
padanya bahwa atas perintah Tuyul Orok si nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan
ke dalam Goa Air Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti dia
harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari bahwa Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Sinto Gendeng masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar
Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu membunuh Wiro baru
kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto Gendeng dulu menyusul muridnya
"Pendekar 212 membunuh dua puluh kelelawar kepala bayi, membunuh anak-anakku.
Jahanam itu juga
menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia pasti masih
berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau
sang guru" Apakah dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku
menyelesaikan dendam hari ini?"
Kelelawar Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya
sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah akibat tendangan Wiro namun saat itu
dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan dia percaya dengan ilmu kesaktian yang
dimilikinya dua tulang yang cidera itu telah bertaut kembali. Inilah kehebatan
makhluk aneh penguasa Teluk Akhirat itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan
ikat kepala sutera hitam berbatu yang berhasil di rampasnya waktu berkelahi
dengan Wiro. "Ini bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang bisa dijadikan senjata luar
biasa ampuh! Cahayanya bisa membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu makhluk
gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa.
Hampir aku ditelannya. Setahuku Pendekar 212 Wiro
Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau ini memang miiiknya, agaknya
senjata akan makan tuan. Aku bisa membunuhnya dengan benda ini!" Sambil
menyeringai Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain sutera hitam itu di kepalanya.
Lalu kembali dia menimbang-nimbang.
"Membunuh nenek keparat yang dalam keadaan tak
berdaya itu jauh lebih mudah dari pada menghadapi
Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan menunggu kematiannya.
Biar dendengkotnya aku habisi lebih dulu."
Kelelawar Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil melangkah tinggalkan
tempat itu dia memaki dirinya sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak
kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam.
Biar dibantai Ikan Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak karuan begini rupa.
HANYA terpaut selisih waktu sedikit saja, tak berapa lama setelah Kelelawar
Pemancung Roh meninggalkan
ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia bersandar di dinding,
pegangi dadanya yang sakit lalu menyeka darah yang setengah mengering di
dagunya. Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat.
Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu segera ditelannya. Lalu
dia tegak bersandar ke dinding.
Memperhatikan seputar ruangan.
"Kursi batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar Pemancung Roh untuk masuk dan
keluar ke pantai.
Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik turunkan kursi batu
begini berat...." Wiro palingkan pandangannya ke arah kolam batu yang tertutup
gelagar kayu. Airnya bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa menembus sampai ke dasar. Apa
isi kolam ini" Mengapa di-tutup begini rupa" Kolam tempat mandi Kelelawar
Pemancung Roh?"
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut matanya menangkap gerakan
seseorang di sampingnya.
Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di balik dinding. Dari
sosoknya yang kecil jelas dia bukan Kelelawar Pemancung Roh. Wiro cepat
mengejar. Dia hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu bagian dinding lorong batu
tergantung sebuah lukisan.
Lukisan beberapa gadis cantik bertelinga seperti kelelawar dalam keadaan bugil.
Wiro berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah menikmatinya. Namun
sebenarnya saat itu dia tengah me-masang telinga. Dia mendengar suara nafas
orang. Wiro tersenyum. Garuk-garuk kepalanya.
"Gadis-gadis bugil di dalam lukisan ini, walau seolah hidup dan tersenyum padaku
jelas tak bisa bernafas." Ucap sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan
turunkan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba dari balik
lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di balik lukisan itu ada satu ruangan
kosong sedikit lebih kecil dari ukuran sebuah lemari.
"Hai! Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro.
Diteriaki seperti itu pemuda yang lari dengan terpincang-pincang malah
mempercepat larinya. Tapi dia jadi terkejut pucat ketika entah bagaimana
kejadiannya tahu-tahu Wiro sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda
pincang ini cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan.
Wiro segera mengejar. Begitu terkejar dia puntir telinga pemuda ini.
"Ampun! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda itu berteriak kesakitan
sambil berusaha menarik tangan Wiro.
"Siapa mau membunuhmu"!" Wiro masih belum lepas-
kan jewerannya.
"Kau... kau membunuh puluhan kelelawar kepala bayi.
Pasti kau juga mau membunuhku..."
"Aku membunuh mereka karena mereka mau mem-
bunuhku! Apakah kau juga mau membunuhku?"
"Ti... tidak. Aduh, ampun..."
"Pincang, siapa namamu" Apa tugasmu di tempat ini?"
Tanya Wiro dan perlahan-lahan lepaskan jewerannya.
Si pemuda perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki.
Wajahnya masih menunjukkan rasa takut. Setelah agak yakin Wiro tidak bermaksud
jahat padanya baru dia mau menjawab.
"Saya Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang Pemimpin."
"Berarti kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau aku bertanya jangan
sekali berani berdusta! Katakan di mana Sang Pemimpinmu berada".
"Saya tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini.
Sudah kabur..."
"Kalau dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana perginya. Jangan coba
berdusta. Bisa-bisa kubetot dua telingamu, kujadikan seperti telinga
kelelawar...."
"Saya benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin hanya bersamadi di Teluk.
Atau pergi ke Bukit Jati."
"Saat ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada di sini. Berarti dia
pergi ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan ke sana."
"Demi Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan jalan ke Bukit Jati itu. Sang
Pemimpin akan membunuhku seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi.
Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku jauh lebih tidak berharga
baginya dibanding dengan kelelawar bayi itu."
"Kau boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang belum tentu kejadiannya, atau
mati di tanganku saat ini juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak meng-
gebuk kepala Mantilo.
Si pincang ketakutan setengah mati.
"Tidak... Jangan. Saya akan tunjukkan...."
"Tunggu, ada apa di Bukit Jati itu" Kenapa makhluk kampret itu suka pergi ke
sana." "Disitu ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek bernama Ki Sepuh Tumbal
Buwono..."
Keterangan pemuda pincang terputus karena di ujung lorong terdengar suara
teriakan-teriakan perempuan disertai suara pintu digedor.
"Suara jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran pintu. Siapa mereka" Apa
yang terjadi?" tanya Wiro.
"Mereka para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin membunuh anak-anak mereka lalu
mengunci mereka di
dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada
dalam ketakutan. Ingin keluar dari kamar."
"Pasti ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu."
"Salah seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istri-istri lainnya tidak
tahu kemana perginya...."
"Bintang Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama Bintang Malam." pikir
Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke Goa Air Biru."
"Saya akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang Pemimpin itu tidak perlu
ditolong lebih dulu. Saya mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak
menemui istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu tidak memberitahu dimana
beradanya istrinya yang satu itu maka semua mereka akan diceburkan ke dalam
kolam Ikan Dajal."
"Hem.... Hatimu baik juga masih mau mengingatkan menolong orang lain. Pasti
mereka perempuan-perempuan cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum.
Mantilo juga ingin tersenyum tapi tidak berani. "Tadi kau menyebut kolam Ikan
Dajal. Kolam apa itu." Eh, tadi aku melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu
hitam. Letaknya di depan kursi batu di ruangan sana...
"Betul, itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan Dajal adalah kolam maut. Jika
seseorang diceburkan ke sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap
habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja orang itu hanya akan
tinggal tulang belulang. Sebelumnya ada seorang nenek aneh hendak diceburkan
Sang Pemimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda.
Ketika Sang Pemimpin kembali si nenek sudah lenyap entah ke mana."
Wiro terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo.
"Kau tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke dalam kolam Ikan Sundal?"
"Ikan Dajal, bukan Ikan Sundal..."
"Dajal sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu
diributkan!" bentak Who. "Jawab pertanyaanku. Kau yakin nenek itu tidak
dicemplungkan ke dalam kolam?"
"Saya yakin. Karena setiap ada orang atau binatang suguhan yang diceburkan ke
dalam kolam, saya yang
selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang teman. Namanya Habili. Saya
tidak tahu dia berada di mana sekarang."
Wiro garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang bernama Mantilo itu mungkin
benar. Tapi mungkin pula
Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si nenek ke dalam kolam maut
lalu menyurun Habili mem-bersihkan kolam.
Ada sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro.
Keterangan Pelangi Indah. Dipadu dengan keterangan Bintang Malam, Kelelawar
Pemancung Roh memiliki nyawa pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang
tidak pernah menginjakkan kaki di tanah. Ikan adalah makhluk yang seumur hidup
selalu berada dalam air dan tidak punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah.
"Pecah sekarang rahasia kematian makhluk jahanam itu!" Wiro kepalkan tinju.
"Mantilo. Sebelum kita menolong sebelas perempuan itu, aku harus lebih dulu
memusnahkan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba lari!"
*** WIRO SABLENG 2 DOSA YANG TERSEMBUNYI
MIMPI DUA GADIS CANTIK
EJAK Pendekar 212 meninggalkan puncak timur
Gunung Merapi yang menjadi tempat kediaman
S Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama
Rembulan korap kali kedapatan oleh teman-temannya
sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah diketahui oleh Pelangi Indah. Ketua
Kelompok Bumi Hitam.
Pagi itu kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan
tengah duduk bermenung diri dekat pancuran besar
tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci pakaian sambil
bercengkerama. Ketika rombongan teman-temannya pergi Rembulan sengaja mencari
tempat duduk yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar wajahnya
terlipat di atas pangkuan.
Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk termenung di tepi pancuran itu ketika
tiba-tiba dia nendengar ada langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah
tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan
cadar hitamnya dan bangkit berdiri. Ternyata yang datang bukan siapa-siapa
melainkan Pelangi Indah, sahabat dan Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak
mengenakan cadar. Rembulan buka kembali cadar yang barusan di-kenakannya.
"Benar rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk menyendiri, termenung di
tempat ini. Sudah lama kau berkelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang
ada di dalam pikiran dan hatimu?"
Rembulan tersipu.
"Duduklah aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada yang hendak kau jelaskan
padaku." Rembulan kembali duduk ke atas batu besar dekat
pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya.
"Apa yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan.
"Mengapa kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, termenung seperti memikirkan
sesuatu?" "Tidak ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung diri. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" tanya Pelangi Indah.
"Udara di puncak Merapi belakangan ini terasa agak panas. Tempat ini, agaknya
satu-satunya tempat yang paling tepat untuk duduk menyejukkan diri."
"Menyepi seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?"
Ujar Pelangi Indah.
"Kalau semua para sahabat anggota Kelompok Bumi Hitam berada di tempat ini,
lantas siapa yang menjaga tempat kediaman kita?"
Pelangi Indah tertawa.
"Rembulan, kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi harap mau berterus-terang
padaku. Jika ada kegelisahan atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa
menolong."
Rembulan terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita Pelangi indah.
"Sang Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu besar terhadapku. Sebenarnya
ini hanya satu hal kecil saja.
Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau menceritakan pada Ketua."
"Rembulan, kau lupa pada semua pelajaran yang ada dalam kitab pegangan kita.
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Antara Hitam Dan Putih. Di situ ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah
kecil. Begitu banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil, bahkan melupakannya.
Manusia lupa bahwa mereka ter-antuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil,
bukan batu besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku Ketuamu?"
Rembulan pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam sejenak dia berkata.
"Tadi malam..."
"Tadi malam kenapa" Ada apa?" tanya Pelangi Indah ketika dilihatnya Rembulan
ragu-ragu meneruskan ucapan.
"Aku bermimpi."
"Aahh.... Apa mimpimu" Suatu yang bagus" Suatu yang indah?"
"Ketua masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng yang beberapa waktu lalu
berada di sini?"
Pelangi Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya yang halus dan bagus
memotes selembar daun pepohonan di dekatnya, lalu kembali duduk di samping
Rembulan. "Tentu saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan orang yang telah menolong
kita begitu besar. Jadi kau bermimpi tentang dirinya?"
"Benar Ketua."
"Bagaimana mimpimu itu?"
"Aku melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di tangan kanannya dia
memegang ikat kepala kain sutera hitam berbatu yang menurut Ketua telah
diberikan padanya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang berubah kelam.
Lalu ada satu makhluk besar bercahaya
seperti seekor burung raksasa menukik dari langit, menembus kegelapan dan
menyambar pemuda itu. Wiro pergunakan ikat kepala kain sutera untuk membentengi
diri dan memukul makhluk yang menyerang. Makhluk itu
menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat kepala kain sutera lalu
terbang dan lenyap di langit gelap.
Wiro sendiri terpelanting dari puncak bukit batu, jatuh terguling ke dalam
sebuah jurang. Suara jeritannya yang keras dan panjang terasa seolah masih
bergaung di telinga...."
Rembulan berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah me-
mandang ke arah pancuran. Dari raut wajahnya sang Ketua seperti tengah
memikirkan sesuatu.
"Ketua, apakah kau mendengar apa yang barusan saya tuturkan?" Bertanya Rembulan.
"Aneh..." Ucap Pelangi Indah.
"Mimpiku aneh menurut Ketua?"
"Mimpimu dan mimpiku."
"Rupanya Ketua juga bermimpi?"
Pelangi Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama dengan mimpimu."
Bagaimana bisa terjadi?" uiar Rembulan.
"Justru itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku bermimpi dua malam yang
lalu dan kau baru tadi malam."
Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras Rembulan dan dalam hatinya
Ketua Kelompok Bumi Hitam ini berkata. "Mimpimu adalah sebagian saja dari apa
yang membuat dirimu sering termenung dan memencilkan diri.
Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan kau ber-keadaan seperti ini."
"Ketua...."
"Hemmm?"
"Mungkinkah pemuda itu tengah berada dalam
bahaya"'"
"Bukan itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi memberitahu bahwa ikat kepala kain
sutra yang ditempeli batu Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari
tangan Wiro."
"Wiro adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu musuh mengalahkan lalu
merampas ikat kepala kain
sutera hitam?" Ujar Rembulan pula.
"Setiap ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada yang lebih tinggi. Ujar-
ujar mengatakan Di atas lagit masih ada langit. Ini membuat seseorang berilmu
tinggi tidak boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu, bersikap
rendah diri sambil terus menjaga kewaspadaan."
"Pendekar 212 memiliki dan melakukan semua itu.
Mengapa dia masih dapat dikalahkan?" Kata Rembulan pula.
Pelangi Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu berada satu langkah di
depan kebenaran. Harap camkan itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu
memperlakukan kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?"
Rembulan angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu ingat ucapan dan nasihat
Ketua." Pelangi Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah mendekati pancuran, membasahi
dua tangannya lalu
mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang cantik itu tampak segar
dan lebih cantik. Kemudian Pelangi Indah balikkan badan ke arah Rembulan.
"Rembulan sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu bahwa dia dan gurunya akan
menuju Teluk Akhirat.
Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan musuh yang dihadapinya pasti
bukan lain Kelelawar
Pemancung Roh."
Mendadak saja Rembulan sudah menduga apa yang
ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. Maka dia cepat berkata.
"Ketua, kita masih berhutang budi pada Pendekar 212.
Sampai kapanpun dan apapun yang kita lakukan untuknya rasanya semua budi
besarnya itu tidak akan terbalas.
Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku akan ke Teluk Akhirat
untuk melihat keadaannya. Jika memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha
menolong."
Pelangi Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata.
"Sebenarnya perihal diri pemuda itulah yang setiap hari menjadi lamunannya. Kini
dia hendak bertindak mendahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan
menjadi perasaannya pula. Ah, apakah aku harus berterus terang padanya agar
tidak kedahuluan?"
"Rembulan, hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi orang. Wiro telah berjasa
besar bagi Kelompok Bumi Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang
paling berhutang besar padanya. Kalau dia tidak menyerahkan Kalung Srigala Perak
itu seumur hidup aku akan tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial TDS
sebelumnya berjudul "Srigala Perak")
"Jadi Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju Teluk Akhirat" Kalau begitu
aku mohon restumu."
"Tidak Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat wajah Rembulan berubah karena
putus harapan. "Aku
sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat."
"Ketua bisa mewakilkan padaku."
"Tanggung jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam ada padaku. Jadi aku harus
turun tangan sendiri. Selama aku pergi kau menjadi wakilku di sini."
Rembulan terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya terdengar perlahan ketika
berucap. "Aku menurut apa kata Ketua."
Pelangi Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu berkata. "Rembulan, perasaan
kita bisa saja sama. Namun sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku
Ketua. Kuharap kau bisa mengerti..."
Di balik rimbunan semak belukar seorang bermata
bagus dan sejak tadi mengintip serta mendengar percakapan Pelangi Indah,
perlahan-lahan menggeser kakinya.
Dalam hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului Ketua. Jika kemudian hari
Ketua menghukumku karena telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak
bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asal-kan dapat bertemu dengan
dia, apa lagi bisa menolongnya.
Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat. Dua hari lebih cepat dari jalan
biasa." Sebelum Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan
tempat itu, orang dibalik scmak belukar telah lebih dulu berkelebat pergi.
*** WIRO SABLENG 3 DOSA YANG TERSEMBUNYI
MUSNAHNYA IKAN DAJAL
ENDEKAR 212 Wiro Sableng dan pemuda pincang
Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi batu dan
P kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia tidak melihat benda
apapun di dalam kolam walau airnya jernih bening.
"Aneh, tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku tidak melihat apa-apa." Kata
murid Sinto Gendeng sambil menatap Mantilo.
"Memang begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa
menembus sampai ke dasar kolam. Percaya pada saya, ikan maut itu ada di dalam
kolam batu ini."
"Perlu aku buktikan dulu," kata Wiro. Dia melangkah mendekati kolam. Ketika
dilihatnya Mantilo berjalan ke arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau
berbuat apa?"
"Saya tahu bagaimana caranya menggeser kayu
penutup kolam." jawab Mantilo.
"Kalau begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani me-nipu!"
Mantilo memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu jarinya dia menekan kuat-
kuat sebuah tombol di lengan kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu
penutup kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari atas kursi batu.
"Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam.
Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam, membuat
sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pemimpin menutup bagian atas
kolam." Tanpa perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah
maju. Dia berdiri dua langkah di tepi kolam.
"Pelangi Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pemancung Roh ada pada satu makhluk
yang tidak pernah menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah
tempat dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan Ikan Dajal ini. Kelelawar
Pemancung Roh pasti amblas kekuatannya."
Baru saja Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak ter-duga dan dalam kecepatan
luar biasa, satu makhluk putih besar sekali melisat keluar kolam.
"Wuttt"
Dalam kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana golok besar menebas,
membeset di atas kepalanya.
Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan melompat ke belakang. Dia
sampai terjengkang di lantai batu dalam usaha menyelamatkan kepala. Tak urung
ada bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepalanya kena disambar dan
dibabat putus! Dinginlah tengkuk sang pendekar. Wajahnya sesaat pucat tak
berdarah. Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha menjauhkan Wiro dari tepi kolam.
"Gila! Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro garuk-garuk kepala lalu
bangkit berdiri. Mantilo kembali memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi
pemuda pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro mengangkat
tangannya ke atas dan perlahan-lahan sebatas siku ke bawah tangan itu berubah
menjadi seperti perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu mendadak
terasa panas sekali.
Tiba-tiba Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam
kolam. "Wusss!"
Satu sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana di-terangi kilatan petir. Udara
panas luar biasa membuat Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu
"Byaaarrr!"
Air kolam batu seperti mendidih dan muncrat ke atas.
Kembaii Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit
lengannya yang kecipratan air kolam melepuh seolah di-guyur air panas.
Di dalam kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang menggergaji tidak
berkeputusan. Lalu suara itu lenyap. Berganti dengan suara seperti belasan
kerbau melenguh bersamaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau daging
terpanggang. Lalu, dengan mata mendelik Wiro melihat bagaimana dari dalam kolam
perlahan-lahan meng-apung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan
kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa besarnya. Hampir seluruh
tubuh ikan ini yang tadinya ber-warna putih kini menggembung merah terkelupas
dan mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal merupakan rongga kosong
hangus. Mulut ikan ini terbuka lebar, memperlihatkan barisan gigi dan taring
besar setajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam mengucur tiada henti
dari mulut makhluk ini.
"Ikan Dajal..." desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang bernama Ikan Dajal. Mudah
mudahan Eyang Sinto belum
menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah dilahapnya, kualat aku
seumur-umur."
Wiro palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo
berada. Tapi ternyata pemuda pincang itu ak ada lagi di tempat itu.
"Sialan!" maki Wiro.
Dia segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu mau menuju kemana.
Sementara itu di kejauhan kembali terdengar suara teriakan-teriakan serta
gedoran pintu. Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih terus berusaha keluar dari
dalam kamar yang dikunci.
Di depan Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikir-pikir apakah akan menolong
perempuan itu lebih dulu baru mencari jalan ke Goa Air Biru.
"Perempuan-perempuan, walau dikunci dalam kamar
paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan
aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin
keselamatannya?" Wiro garuk kepala. Akhirnya dia kembali ke lorong yang ada
lukisan. Menyusuri lorong ini sejauh dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya
terang di depannya. Ketika dia sampai di ujung lorong dan menyeruak di antara
semak belukar yang menutupi. Wiro dapatkan diri di satu tempat. jauh dari
pantai. Wiro memandang berkeliling. "Bukit Jati... Goa Air Biru.
Dimana letaknya?"
Selagi dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara menguik riuh
di atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh
kelelawar beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal ini Wiro
segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sesaat lagi binatang sisa makhluk peliharaan Kelelawar Pemancung Roh itu pasti
akan menyerbunya dengan
ganas. Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama
kelelawar-kelelawar itu tidak menyerang.
"Aneh, mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku sambil menguik. Apa artinya
ini?" pikir murid Sinto Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar itu
berputar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah
terbang ke arah timur. Wiro terus memperhatikan tapi tetap tak bergerak di
tempatnya. Di depan sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro.
berputar beberapa kali, melayang rendah dan kembali terbang ke arah timur.
Demikian sampai tiga kali. Wiro menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud
binatang-binatang itu berkelakuan seperti itu. Kali keempat kelelawar melakukan
hal yang sama. Wiro rasa-rasa mulai tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia
berlari mengikuti arah terbangnya kelelawar menuju timur.
Tak berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai ber-kurang, berganti dengan
pohon-pohon lain. Di satu tempat kelelawar yang terbang di udara kembali membuat
gerakan berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit kecil membentang
dari barat ke arah timur. Bukit ini tertutup oleh pohon-pohon jati yang dari
besar serta bentuknya telah berumur puluhan tahun.
"Bukit Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke bukit ini. Sekarang di
mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu bagaimana aku harus berterima kasih pada
binatang-binatang itu?"
Di atas sana kelelawar yang terbang berputar perlahan-lahan turun merendah
melewati sebuah pohon kelapa yang putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi
satu kelelawar itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu keluar
lagi. Kemudian kembali menukik memasuki semak belukar, sesaat setelah itu keluar
kembali. Wiro kini maklum. Binatang-binatang itu berusaha memberitahu bahwa Wiro harus
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk ke balik semak belukar itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua
puluh kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya Wiro segera
mendatangi, menguak semak belukar dan
terkejut melihat sebuah goa batu berwama biru.
"Aku benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap Wiro sambil memandang ke
udara. Dia hanya bisa
melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap ber-sahabat denganku, tidak
akan aku membunuh kawan-
kawan kalian." Wiro lambaikan tangannya sekali lagi.
Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik panjang lalu melesat lenyap ke
arah utara. *** WIRO SABLENG 4 DOSA YANG TERSEMBUNYI
WULANDAYU ATU sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air
Biru. Dia berhenti di depan telaga, memandang
S berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki
Sepun Tumbal Buwono yang duduk tak bergerak dalam
cegukan batu, sepasang mata terpejam.
"Tidak ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu.
sepuluh kelelawar kepala bayi memberitahu mereka telah membawa Sinto Gendeng ke
tempat ini. Mungkin anak-anak jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto
Gendeng memang sudah ke sini, lalu ada yang memindah-kannya ke tempat lain."
Kelelawar Pemancung Roh mengelilingi telaga satu kali, lalu masuh ke dalam
cegukan batu. "Ki Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau juga tidak sedang tidur.
Buka dua matamu dan jawab pertanyaanku!" Suara keras Kelelawar Pemancung Roh
meng-gaung dalam cegukan batu.
Perlahan-lahan orang tua yang kepalanya dimasukkan dalam kerangkeng besi membuka
dua matanya. Dua bola mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar
Pemancung Roh. "Ada kain sutera hitam berbatu melingkari keningnya.
Batu itu agaknya bukan batu sembarangan. Dari mana agaknya murid murtad ini
mendapatkannya?" Ki Sepuh berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan.
"Damar Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir kali kau datang ke sini.
Hari ini kau muncul. Katakan apa penyebabnya."
"Tua bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan!
Jangan kau pernah berani menyebut nama itu! Aku adalah Kelelawar Pemancung Roh
penguasa Teluk Akhirat! Bukan Damar Soka!"
Ki Sepuh Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut pada namamu sendiri. Kau
takut pada baying-bayangmu sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu
selalu mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa melupakan masa
silam. Apa lagi dengan selangit dosa seperti dirimu."
"Ki Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang mulut, saat ini juga akan
kutarik ke dua kakimu sampai lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam
kerangkeng besi celaka itu!"
Kembali Ki Sepuh tertawa perlahan.
"Aku mencari dua orang yang kabur dari bangunan kediamanku. Pertama seorang
nenek bernama Sinto
Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala bayi membawa nenek itu ke
dalam goa ini..."
"Lalu apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?"
tanya Ki Sepuh pula. "Siapa orang kedua yang tengah kau cari"'
"Istriku. Bintang Malam."
"Hemmm.... Apakah kau juga melihat perempuan itu di sini?"
Sepasang mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang
aslinya bernama Damar Soka itu mendelik. Mulutnya ber-gumam beberapa kali.
"Aku memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang itu pernah berada di tempat
ini. Lekas kau beri tahu ke mana keduanya dipindahkan" Siapa yang memindahkan?"
"Dua orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat ini."
"Kau berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung Roh menggelegar. Dia
melangkah ke hadapan Ki Sepuh, memegang rantai besi yang menjulai dari langit-
langit batu ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali kutendang
tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu akan putus. Apa itu yang kau
inginkan?"
"Aku sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu.
Lima tahun mendekam di tempat ini aku tidak pernah tidur. Kematian akan
membuatku tidur nyenyak. Ha... ha...
ha..." Saking geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang
rantai besi hingga kerangkeng di kepala Ki Sepuh ikut bergerak. Bagian berbentuk
mata gergaji taiam yang melingkar di leher si kakek menggores kulit dan daging
lehernya. Untuk kesekian kalinya darah mengucur. Walau rasa sakit bukan alang
kepalang tapi dengan menggigit bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak
sampai berteriak.
Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada
rantai besi lalu melangkah mengitari tubuh Ki Sepuh Tumbal Buwono yang
mengenakan jubah biru besar
gombrong. Di belakang tubuh si kakek dia berhenti agak lama. Memandang ke
langit-langit cegukan, memperhatikan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki
Sepuh pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk beberapa kali agar
Kelelawar Pemancung Roh tidak mendengar suara hembusan nafas dua orang yang
mendekam di dalam jubah gombrongnya.
Di dalam jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya
berusaha menahan nafas, si nenek Sinto Gendeng
setengah mati menahan air kencingnya agar tidak ter-pancar.
Kelelawar Pemancung Roh keluar dari cegukan batu.
"Ki Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa di tempat ini. Tapi aku tahu
kau berdusta! Kalau aku bisa membuktikan aku akan kembali untuk memutus
lehermu!" "Lebih cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku akan mengucapkan terima
kasih adamu. Damar Soka."
Karena kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar Pemancung Roh melompat ke
hadapan Ki Sepuh. Tangan kanannya diulurkan.
"Srett!"
Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah
menjadi cakar besi bergelimang darah!
"Kau ingin mengorek jantungku, atau mau membusai perutku, silahkan. Makin cepat
kau membunuhku lebih enak rasanya."
"Tua bangka jahanam!"
Lima jari tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar
berkeretakan. Tapi tangan itu tidak bergerak. Makhluk tinggi besar ini tidak
melakukan apa-apa.
Ki Sepuh Tumbal Buwono menyeringai.
Kelelawar Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai batu hingga tempat itu
bergetar, air telaga bergoyang ber-gemericik. Dengan rahang menggembung penguasa
Teluk Akhirat berkata.
"Jika aku kembali menemuimu, mungkin itulah batas
terakhir kehidupanmu!"
"Ancamanmu sungguh enak didengar, Damar Soka. Di dalam arwah, aku pasti akan
bertemu dengan Wulandayu, ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan
pesan, pasti akan kusampaikan padanya."
Kelelawar Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak keras mendengar disebutnya
nama Wulandayu oleh si
kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya sendiri lalu sambil tiada
hentinya merutuk dia tinggalkan Goa Air Biru.
Di dalam jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan suara.
"Kek, Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya boleh keluar sekarang?"
"Aku juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa mati pengap aku di dalam
sini." Sinto Gendeng ikut bicara.
"Kalian berdua tetap di dalam jubah sampai aku memberitahu bahwa kalian boleh
keluar." Bintang Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki panjang pendek.
"Nek, kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu masih belum pergi jauh dari
tempat ini."
"Kalau kelewat lama berada di sini, mulut atas memang bisa aku kancing. Tapi aku
tidak menjamin bisa
mengancing mulut sebelah bawah! Hik... hik... hik!"
Ki Sepuh terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto Gendeng itu. Dia berkata.
"Kalau tadi aku tidak menceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan
tidak berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing, Kelelawar Pemancung Roh
pasti dapat mencium bau
kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di
dalam jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh menceburkan dirimu dalam
telaga. " Sinto Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata.
"Ya sudah. Sekarang mulutku atas bawah akan kukancing rapat-rapat!"
"Kek, aku ada satu pertanyaan," Bintang Malam bersuara.
"Kau lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka mulut. Apa yang kau ingin
tanyakan?"
"Tadi kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh yang bernama Wulandayu itu mati
dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh sendiri."
Benar. Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama ini selalu berusaha
disembunyikan oleh murid murtad itu.
Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang
mengetahui kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal dunia. Tewas secara
aneh. Mungkin dibunuh oleh
Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan mungkin akan segera
menemui ajal pula. Orang itu adalah diriku sendiri!"
"Bagaimana setega itu dia membunuh ibunya sendiri."
Ujar Bintang Malam pula.
"Peristiwanya sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di minta Ki Sepuh Buwono
lalu bercerita. "Semasa mudanya Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan
orang-orang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi, mengganggu anak
istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya
berulang kali menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya
tidak bisa dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari akhirnya dia aku
usir dari pertapaan. Suatu malam dia kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan
mabuk berat dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke dalam dirinya,
dia melihat ibunya yang sedang tidur pulas bukan seperti ibunya. Tapi seolah-
olah perempuan itu adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan luar
biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan ibunya. Ketika ibu dan anak
sadar apa yang terjadi Damar Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan
nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka
menjatuhkan sumpah dan kutuk terhadap anaknya. Akibat sumpah dan kutuk itu sosok
Damar Soka berubah seperti ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan
menemui kematian dan sepanjang hidupnya dia akan
mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu
makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu.
Sampai saat ini tidak satu orangpun mengetahui makhluk apa itu adanya. Setelah
peristiwa itu Damar Soka
melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika dia kembali menemuiku
kelihatannya dia sudah menjadi orang baik-baik. Aku menerimanya kembaii sebagai
murid. Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta beberapa ilmu terlarang
padaku. Aku hanya nemberikan satu ilmu Yaitu Ilmu Seribu Hawa Kematian. Setelah
ilmu itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu lainnya. Aku menolak. Diriku lalu
diperlakukannya seperti yang kau saksikan saat ini. Seluruh tenaga dalam dan
kesaktianku disedotnya. Aku lalu dikerangkeng seperti ini."
Bintang Malam merasa dingin kuduknya mendengar
cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto Gendeng terdiam bungkam namun hatinya
nenyumpah habis-habisan.
"Kek, bagaimana kalau...."
"Ki Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang Malam lalu berbisik.
"Ada orang datang...."
*** WIRO SABLENG 5 DOSA YANG TERSEMBUNYI
KEPALA-KEPALA YANG MENGGELINDING
UGAAN Ki Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluar-
nya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar Pemancung
D Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan saja dia berusaha
mengingat-ingat semua percakapan dengan si kakek yang membuatnya marah setengah
mati, tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan batu. Ada sesuatu
yang semula tidak mencurigakan, yang setelah berada di luar goa membuat dia
berpikir dua kali.
"Aku ingat aku melihat ada alur air setengah mengering antara telaga dan cegukan
tempat tua bangka keparat itu duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada
makhluk apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda sepertinya ada satu
benda besar dikeluarkan dari dalam telaga, lalu diseret sampai ke lantai batu
cegukan dinding."
Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit. "Aneh, tidak seekor kelelawarpun
kelihatan berkeliaran. Mereka tidak menemui ajal semua. Apa yang terjadi" Di
mana kelelawar penjaga Teluk Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar Pemancung Roh
terbagi. Namun kemudian kembali
ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga.
"Aku yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam.
Lalu dimana Bintang Malam?" Makhluk tinggi besar ini kepalkan dua junya. Lalu
dengan cepat dia balikkan badan, bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru.
Di dalam ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono merasa tercekat ketika
melihat kemunculan Kelelawar Pemancung Roh untuk kedua kalinya.
"Agaknya ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia tahu..."
Kelelawar Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air yang mulai mengering di
lantai batu masih kentara. Dia ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh.
"Orang tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang
bakal kau terima. Kau menyembunyikan orang di tempat ini!"
"Damar Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum buta. Apa kau lihat ada
orang lain di tempat ini"!"
"Ada!" teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia melangkah ke belakang si kakek
dan menarik ke atas jubah biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya
memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok Sinto Gendeng dan Bintang
Malam. Dengan amarah meluap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek, jambak
rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua orang ini di hadapan Ki Sepuh.
Sinto Gendeng terkapar, memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah
keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan wajah pucat.
Dalam hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk sudah datang. Tadi tak ada
kecurigaan dalam dirinya.
Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang yang kusembunyikan dalam
jubahku" Aku tidak takut mati.
Tapi bagaimana nasib dua orang ini?"
"Damar Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika aku melepas nyawa, kutukku
akan bersatu dengan kutuk ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan
menemui ajal dalam seribu sengsara!"
"Makhluk jahanam ini pasti juga akan membunuh kami berdua! Hai! Aku tidak takut
kau bunuh. Aku berjanji tidak akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau
membebaskan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari dalam goa sekarang
juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.
"Nenek celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini tidak ada harganya bagiku,
apa lagi nyawa kalian berdua!
Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku
menghabisi tua bangka tak berguna ini!"
Habis berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh
tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng berteriak marah.
Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi
lagi-lagi gagal.
"Dukkk!"
Tendangan Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono. Tendangan yang
memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja membuat hancur dan melesak
dada si kakek, tapi juga membuat tubuhnya mencelat mental ke dinding batu
sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah menyembur mengerikan. Bintang
Malam terpekik tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Sinto Gendeng kembali
berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habis-
habisan. Sewaktu Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki
Sepuh hingga tubuh kakek ini terpental, kepalanya tak ikut mencelat karena
tertahan oleh kerangkeng besi. Bagian bawah kerangkeng yang berbentuk mata
gergaji besar dan tajam dan menjirat lehernya langsung menghunjam leher itu
hingga putus! Apa yang terjadi sungguh mengerikan.
Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang menyembur dari leher yang
tcrsisa membasahi lantai batu!
Kelelawar Pemancung Roh dengan beringas mencekal
leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam.
"Bagi kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling enak. Kalian akan
kuceburkan ke dalam kolam Ikan Dajal!"
Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah. Bintang Malam menjerit tiada
henti. Setengah berlari Kelelawar Pemancung Roh segera keluar dari dalam Goa Air
Biru. Namun makhluk tinggi besar ini serta merta keluarkan suara menggembor dan
hentikan langkah ketika di depan sana, di mulut goa seorang pemuda berpakaian
serba putih, rambut gondrong setengah terbabat, tegak meng-hadang. Di tangan
kanan pemuda ini memegang sebilah kapak bermata dua memancarkan cahaya
menyilaukan. Sementara tangan kiri yang diangkat ke atas memancarkan warna seputih perak. Di
luar goa saat itu udara mulai redup karena sang surya sebentar lagi akan
tenggelam. "Keparat kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh.
"Makhluk laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan padaku ikat kepala kain
sutera hitam yang melingkar di keningmu!" Pemuda di mulut goa membentak lalu
melangkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh.
Kelelawar Pemancung Roh memandang dengan mata
dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa bergelak.
"Kalau aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan tidak mau menyerahkan ikat
kepala kain sutera, kau mau berbuat apa"! Ha... ha... ha!"
"Aku bersumpah membantaimu saat ini juga!"
Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, keluarkan
suara mendengus.
"Pendekar 212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa!
Silahkan kau melepas pukulan Sinar Matahari. Silahkan kau pergunakan Kapak Maut
Naga Geni 212 untuk
menyerangku. Dua manusia tak berguna ini akan aku jadikan tameng menghadapi
semua seranganmu! Ha... ha...
ha... ha!"
Pemuda gondrong di mulut goa yang memang adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya tersentak kaget dan memaki dalam hati. Dia
terpaksa berhenti empat langkah di hadapan Kelelawar Pemancung Roh.
"Keluar dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala gurumu dan perempuan
celaka ini satu sama lain!"
"Bangsat! Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi merutuk. Keadaannya tidak
menguntungkan. Ketika
dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah
mulut goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu hal luar biasa.
Tubuh tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang terkapar di lantai batu secara
aneh tiba-tiba bergerak ke atas.
Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh itu melesat ke arah Kelelawar
Pemancung Roh yang tegak membelakangi sambil mencekal Sinto Gendeng dan
Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih
mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar
Pemancung Roh mendengar suara bersiur di belakangnya Dia menoleh. Terlambat!
"Dukkk!"
Dua kaki mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk
keras punggung Kelelawar Pemancung Roh lalu sosok
tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi besar terpelanting
ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang Malam terlepas dari cekalannya. Selagi dia
terhuyunq-huyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro melompat ke depan.
Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan tangan kanan babatkan kapak sakti. Dua
sinar putih menyilaukan berkiblat disertai hawa panas luar biasa. Goa Air Biru
laksana neraka.
"Wuuutt!"
"Craass!"
"Wusss!"
Tubuh Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke
dalam goa, menghantam dinding batu, terbanting jatuh ke lantai dalam keadaan
hangus mengepulkan asap. Kepalanya tak ada lagi di lehernya, menggelinding di
lantai hitam hangus kepulkan asap, lalu jatuh masuk ke dalam telaga.
Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu Mustika Mata Srigala masih melingkar
di keningnya dan kelihatan merah membara. Batu ini mengeluarkan suara cesss
ketika ber-sentuhan dengan air telaga.
*** WIRO SABLENG 6 DOSA YANG TERSEMBUNYI
ORANG DI ATAS BIDUK
IRO selipkan kapak saktinya di balik pinggang
pakaian lalu cepat memanggul Sinto Gendeng dan
W Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke
mulut goa. Ketika muncul di pantai, sang surya telah tenggelam. Udara mulai
kelam. Wiro mencari tempat yang baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya.
Sementara Bintang Malam masih tercekat diam dan
pucat Sinto Gendeng menegur sang murid. Tentu saja dimulai dengan makian.
"Anak Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia kematian makhluk jahanam
itu" Kalau makhluk yang menjadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi
kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam
itu." "Kira-kira begitu Eyang." Jawab Pendekar 212. "Di tempat kediamannya aku
menemukan seekor ikan raksasa bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang
tidak pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah.
Makhluk itu sudah kubinasakan."
"Aku hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu oleh Kelelawar Pemancung
Roh." Ucap Sinto Gendeng.
"Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku"
Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas dengan ilmu totokan bernama
Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Menurut Ki
Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan celaka ini. Lekas kau
pergunakan kapak saktimu..."
Ucapan Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang Malam berucap dengan
wajah memperlihatkan rasa kaget dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk
ke pantai. "Lihat...!"
Sinto Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 palingkan kepala.
"Edan!" rutuk si nenek
"Gila bagaimana mungkin!" ujar Wiro.
"Luar biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa dibunuh!"
"Berarti..." Wiro menggaruk kepala. "Ikan Dajal itu bukan makhluk yang
meminjamkan nyawa pada Kelelawar
Pemancung Roh!"
Dalam udara Teluk Akhirat yang mulai remang
menggelap kelihatan sosok tanpa kepala Kelelawar
Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyung-
huyung menuju pantai. Di tangan kanannya dia menenteng kepalanya sendiri Wiro
memperhatikan. "Astaga!" Pendekar 212 keluarkan seruan pendek.
"Apa yang ada di benakmu Anak Setan"!" tanya Sinto Gendeng.
"Nek, kau lihat kain hitam hangus dari sutera yang me-lilit di kutungan kepala
Kelelawar Pemancung Roh?"
Sinto Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum buta."
"Benda itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn itu...."
"Pasti batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya" Kau curi?"
"Tidak Nek, seseorang memberikan padaku."
"Katamu kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang perempuan yang memberikan
padamu. Cantik?"
"Nanti saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera mengambil benda itu."
"Jangan bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku mencium ada bahaya di sekitar
sini. Lihat saja apa yang akan terjadi..."
"Tapi batu sakti itu Nek."
"Nanti bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji kambing yang mengkilap!"
Wiro menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak ke arah Kelelawar Pemancung
Roh. Tapi Sinto Gendeng kembali mempenngatkan.
"Anak Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!"
Saat itu Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju
ke arah laut. Di satu tempat dia berhenti. Kutungan kepalanya diletakkan di atas
leher. Lalu sambil menekan kepala itu dia lanjutkan langkah.
"Dia menuju ke laut. Ada apa" Apa yang hendak di-lakukannya''' ujar Wiro. Lalu
dia ingat keterangan Mentari Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air.
Di depan sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh
mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul pahanya. Setelah tubuhnya masuk
sebatas dada di kejauhan terdengar suara aneh berulang kali.
"Kukukkk.. kukuuukkk... kukuuk..."
"Suara apa itu" Sinto Gendeng membuka mulut sambil memutar bola mata. Wiro dan
Bintang Malam memandang berkeliling.
Di dalam laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan
pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar suara tawa
bergelak. Suara tawa ini baru berakhir ketika keseluruhan kepala Kelelawar
Pemancung Roh tenggelam ke bawah air laut.
"Nek, apakah... apakah Kelelawar Pemancung Roh benar-benar hidup kembaii?"
Bintang Malam bertanya.
"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut Sinto Gendeng.
"Lihat!" Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut.
Dalam udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar
Pemancung Roh kelihatan muncul dan permukaan air. Dari mulutnya berulang kali
dia menyemburkan air laut. Tiba-tiba dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di
atasnya duduk seorang berikat kepala kain merah, mengenakan pakaian serba hitam.
Orang di atas biduk tidak mengayuh, malah rangkapkan dua tangan di depan dada.
Tapi biduk itu meluncur pesat dengan sendirinya ke arah tersembul-nya kepala
Kelelawar Pemancung Roh. Di antara
hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar suara riak air laut memecah
dipapas biduk. Dia palingkan kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh
memperhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk, tiba-tiba salah
satu tangan yang mendekap di dada bergerak dan sreeet! Kain sutera hitam berbatu
sakti yang melingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas.
Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
biduk telah berputar lalu melesat ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala
Kelelawar Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari permukaan laut. Semua
kejadian itu disaksikan oleh Wiro.
Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan terheran-heran.
"Anak Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas biduk itu?" Sinto Gendeng
bertanya. "Sulit kuduga Nek...." jawab sang murid. Lalu Wiro berusaha membebaskan totokan
di tubuh Sinto Gendeng. Dia bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu
tak bisa dimusnahkan.
Sinto Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan, agaknya kau harus mencari
Kalajengking Putih...."
"Kalajengking Putih" Buat apa Eyang?"
"Menurut Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang bisa memusnahkan totokan
di tubuhku."
Wiro garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh.
"Tambah celaka nasibku. Bakalan patah pinggangku! Dulu dia masih bisa kudukung
di atas bahu. Kini dalam keadaan lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku
harus meng-gendongnya. Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana aku akan
mencarinya"'
Sebelum meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama
Bintang Malam terlebih dulu membebaskan sebelas
perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh.
Lalu Wiro juga mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal Buwono. Kerangkeng besi
dihancurkan dengan kapak
sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu di-kubur di tepi pantai.
Yang lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti
sebelas perempuan lainnya. Bintang Malam tidak mau di antar pulang ke desanya.
Perempuan yang tengah hamil muda ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto
Gendeng pergi. "Anak Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya.
"Perempuan satu ini memang jauh lebih cantik dari yang lain-lain. Ada apa dia
ingin ikut bersamamu..."
"Aku tidak tahu Eyang..." jawab Wiro sambil menggaruk kepala.
"Pasti ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah melihat orang bunting
secantik dia, bukan" Jangan-jangan kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya
hingga dia kecantel padamu" Apapun yang terjadi dengan Kelelawar Pemancung Roh,
perempuan itu sudah bisa disebut
sebagai seorang janda."
"Aku tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata Wiro pula.
"Anak Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar belum bisa menerima ilmu
Sepasang Sinar Inti Roh itu.
Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda. Aku tahu ini pengalaman baru
bagimu. Hik... hik... hik!"
"Sumpah Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan perempuan itu." kata Wiro
mengulang sumpah.
Sang guru hanya ganda tertawa.
TAMAT Ikuti Petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng
selanjutnya dalam : MUSTIKA MATA SRIGALA
ADRIAN MAPALADKA
1 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
erawakannya pendek tapi tubuhnya bulat dengan
perut gendut. Kumisnya tebal, dan sepasang bibirnya P agak dower. Apalagi ketika
ia berkomat-kamit
merapal mantera-mantera di hadapan pendupaan.
Sepasang matanya yang bulat terpejam rapat, dan
wajahnya terlihat khusuk.
Sementara Letnan Hendri yang duduk di belakangnya
pada jarak sekitar tiga meter nemperhatikan dengan seksama. Ia mengenal Mbah
Sarijo dari seorang
kenalannya. Menurut informasi, dukun ini terkenal hebat, dan sering berhasil
menolong pasien-pasiennya. Ada yang minta naik angkat secepatnya, perjodohan,
rizki yang banyak sampai meneluh seseorang. Semua order yang
masuk diterima tanpa pandang bulu. Begitu juga order dari letnan polisi itu kali
ini. Mbah Sarijo langsung menyang-gupinya tanpa ragu sedikit pun.
Ia hanya minta sedikit contoh rambut Saraswati, yang katanya untuk mengadakan
kontak batin antara dirinya dengan makhluk yang telah mencelakai gadis itu. Dan
bagi Letnan Hendri itu bukan masalah sulit.
Lima menit telah berlalu. Belum terlihat tanda-tanda kalau orang tua itu akan
menyudahi kekhusukannya. Entah apa yang akan terjadi. Letnan Hendri tidak bisa
me-mastikannya. Ia hanya minta pada Mbah Sarijo agar
makhluk yang mengganggu Saraswati tidak mengulangi perbuatannya, juga kalau
memang ia pelaku pembunuhan beruntun belakangan ini, maka ia juga minta agar
makhluk itu menghentikan aksinya.
Kalaupun Mbah Sarijo diam membisu dengan tubuh
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tegak bagaikan patung, sebenarnya ia sedang mencari-cari kontak batin. Sukmanya
melayang-layang meninggalkan raganya, dan mengendus-endus ke mana-mana seperti
anjing pelacak. Ia pun telah berpesan pada letnan polisi itu agar tidak
mengganggunya dalam bentuk apapun selama ia dalam keadaan demikian.
Sukmanya yang tengah melayang-layang itu mem-
bawanya ke sebuah tempat yang mirip seperti istana. Indah gemerlapan. Semua
penjaga istana terdiri dari wanita-wanita berpakaian keraton jaman dahulu kala.
Rahasia Mo-kau Kaucu 4 Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Lencana Pembunuh Naga 9