Pencarian

Dosa Yang Tersembunyi 2

Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi Bagian 2


Setelah berbasa-basi dengan salah seorang penjaga, ia menanyakan siapa gerangan
pemilik istana itu.
"Putri Dayang Sari... " sahut penjaga yang ditanya.
"Beliau telah mengetahui kedatangan juga maksudmu ke sini. Oleh sebab itu Beliau
memerintahkan agar kau selekasnya pulang. Tidak perlu mencampuri urusan
Beliau." "Apa maksud perkataannya itu?"
"Tidak usah banyak tanya. Pergilah sebelum Beliau murka!" bentak penjaga
berwajah cantik itu galak.
"Aku tidak akan pergi sebelum Beliau menjelaskan, ada persoalan apa sebenarnya,
dan menjaga ia keluyuran mengganggu manusia. Sebaiknya kalianlah yang
menyingkir. Beri aku jalan!" sentak Mbah Sarijo tak kalah galak.
Ia bermaksud menerjang penjaga itu dan hendak me-
nerobos masuk ke dalam, tapi tiba-tiba saja terasa angin kencang yang bergulung-
gulung datang dari dalam istana menerjang sukma orang tua itu dengan hebatnya.
Meskipun sukma Mbah Sarijo berusaha melawan dan melepaskan diri, tetap saja ia
terhempas jauh sekali. Bersamaan dengan itu lapat-lapat terdengar satu suara
yang meng-iringi kepergiannya.
"Jangan campuri urusanku, atau kau akan celaka. Ini peringatan buatmu. Lain kali
kau akan celaka."
"Aaaa...!"
Letnan Hendri terkejut ketika melihat tubuh Mbah Sarijo terhempas ke belakang,
hampir menabraknya. Nafas orang tua itu terengah-engah dan sepasang matanya
melotot lebar. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa sakit sekali.
"Ada apa. Mbah" Apa yang terjadi?" tanya letnan polisi itu sambil membantu si
orang tua duduk.
Mbah Sarijo tidak langsung menjawab. Ia mengatur
nafasnya yang masih terengah-engah. Kemudian perlahan-lahan dipandanginya pria
itu sambil menggeleng lemah.
"Maafkan Bapak. Nak. Bapak tidak bisa menolong kalian. Kekuatan wanita itu
dahsyat sekali." ucapnya pelan.
"Wanita" Wanita yang mana Bapak maksudkan?"
"Makhluk yang telah mengganggu gadis itu..."
"Jadi makhluk siluman itu wanita?"
Mbah Sarijo mengangguk. "Namanya Putri Dayang Sari."
lanjutnya. "Putri Dayang Sari?" ulang Letnan Hendri seraya mendesis. "Ada apa sebenarnya"
Apa yang dia inginkan dari Saraswati?"
Mbah Sarijo menggeleng pelan. "Bapak tidak sempat
mengetahuinya. Hanya saja sepertinya ia mempunyai
masalah pnbadi. Orang tua itu kembali terdiam sejurus lamanya sebelum kembali
bicara. "Percayalah Nak.
Makhluk ini sangat kuat, dan tidak sembarang orang yang mampu menghadapinya.
Hati-hati. Bapak tidak bisa melindungi kekasihmu itu."
"Sebentar, Pak. Tadi Bapak katakan tidak sembarang orang mampu menghadapinya
kan" Itu berarti bukan tidak ada yang mampu menghadapinya. Menurut Bapak siapa
kira-kira orang yang mampu menghadapinya?"
Mbah Sarijo menggeleng lemah "Entahlah Bapak tidak tahu."
Jawaban itu sama sekali tidak ingin didengarnya.
Semula ia begitu antusias saat bertanya, seolah
menemukan secercah harapan untuk menerobos masuk
ke penyelesaian masalah. Tapi kini menjadi mentah
kembali. Lalu apa yang kini bisa diperbuatnya untuk menyelamatkan Saraswati"
*** "Putri Dayang Sari?" Itu bukan pertanyaan yang
membutuhkan jawaban. Setidaknya ketika melihat wajah gadis itu berkerut seperti
inengingat-ingat sesuatu ketika Letnan Hendri baru saja menceritakan
pertemuannya dengan Mbah Sarijo.
"Kenapa" Apakah kau pernah mendengar tentang nama itu sebelumnya?" tanya letnan
polisi itu acuh tak acuh.
"Sepertinya begitu tapi... Ah. iya!" serunya. "Aku pernah mendengar sekilas
tentang riwayat nama tu. Waktu itu kami sedang KKN di sekitar Wilayah
Tasikmalaya, sebelum kepergianku ke Amerika. Kami mengunjungi seseorang yang
ahli soal sejarah Pasundan. Kalau tidak salah namanya Pak Kartasasmita. Menurut
beliau Putri Dayang Sari adalah putri seorang raja yang sejaman dengan Kerajaan
Galuh di daerah Ciamis. Tapi kami tidak bertanya panjang lebar soal keberadaan
dan sejarah hidup Putri itu."
sambung Christine.
"Bisakah kau mengantarkanku ke tempat beliau?"
"Bisa saja. Kapan?"
"Sekarang juga boleh!" sambut Letnan Hendri antusias.
Gadis itu tersenyum. "Antusias sekali. Aku mau nanya satu hal, yaitu seandainya
yang terancam nyawanya saat ini adalah orang lain, apakah Mas Hendri akan
secemas ini?"
"Menolong orang adalah kewajiban kita bersama, dan disamping itu masalah ini
menjadi tanggung jawabku."
sahut Hendri diplomatis.
"Begitukah" Apakah tidak ada pendorong lainnya. Misalnya karena Mbak Saras itu
kekasih Mas?"
"Kamu ini jangan suka macam-macam."
Christine tersenyum. "Aku sempat tanya sama tante, apa Mas sudah punya pacar
belum. Beliau menunjuk pada
Mbak Saras. Gagal sudah niat orang tua kita untuk men-jodohkan kita," lanjutnya
terkikik kecil.
"Itu karena kau tidak menyukaiku," sahut Hendri asal jadi.
"Kata siapa?"
"Lho, memang begitu, kan?"
"Itu tidak benar. Sebagai seorang abang, aku menyukai-mu, tapi sebagai seorang
pria, aku tidak menyintaimu,"
sahut Christine blak-blakan.
Hendri tidak perlu menimpali pernyataan itu, karena ia pun mempunyai perasaan
yang sama, yaitu cuma menganggap Christine sebagai adiknya.
"Bagaimana" Kau bisa mengantarkanku ke tempat orang itu?"
"Bisa saja tapi tidak sekarang atau besok. Hm, mungkin lusa. Soalnya besok aku
harus bertemu dengan seseorang."
"Apakah penting sekali?" desak Hendri.
"Seandainya kau sudah janji bertemu dengan Mbak Saras, apakah kau ingin
diganggu?"
"O, pacar?"
"Ah pokoknya no comment!" elak Christine. "Jangan
coba-coba menginvestigasi aku, ya."
Letnan Hendri tersenyum tipis. Ia tidak tertarik sama sekali untuk mencampuri
urusan adik sepupunya itu. Yang ada di dalam benaknya adalah bagaimana
menyelamatkan Saras dari incaran makhluk yang hendak merenggut jiwa-nya dan ia
ingin menuntaskan persoalan itu secepatnya, sebab lebih cepat suatu persoalan
diselesaikan akan lebih baik. Dan sayangnya Christine tidak bisa diajak
kompromi, karena bagaimanapun gadis itu bisa mengelak bahwa ia juga punya urusan
pribadi yang tidak boleh diganggu. Itu masalah privacy, yang membuat Hendri jadi
uring-uringan sendiri.
Tapi apakah memang begitu sikap Christine terhadap persoalan yang dihadapi
saudara sepupunya itu" Sebenarnya tidak. Minatnya bahkan cukup besar untuk
nimbrung dalam masalah yang dang dihadapi Hendri hanya saja dalam hal ini ia
punya cara tersendiri, dan tak ingin caranya itu campurtangani oleh abang
sepupunya itu. Sepulang Hendri dari rumahnya, ia menelepon salah
seorang kawan dekatnya dan berjanji untuk bertemu di suatu tempat.
*** Waktu pada jam tangannya menunjukkan pukul enam
sore lewat beberapa menit. Wajahnya masih biasa saja, sebab kesepakatan mereka
adalah jam enam lewat lima belass menit. Ia rnelirik ke kiri dan kanan, masih
belum terlihat orang yang sedang dinanti. Kemudian coba me-longok ke dalam
melalui kaca tembus pandang, dimana dua orang pria sedang ngobrol dengan santai
di antara sekian banyak barang-barang antik yang dipajang.
Tak berapa lama sebuah sedan putih memasuki tempat parkir di depan toko itu, dan
seraut wajah cantik dengan tubuh langsing keluar dari pintunya.
Mereka berpelukan sambil mencium pipi kanan kiri
sesaat, sebelum gadis yang baru datang itu membaca tulisan di atas toko yang
terpampang agak besar.
"DAN - ANG, toko barang-barang antik. Well, kenapa kau mengajakku bertemu di
tempat seperti ini" Apakah sekalian akan membeli barang-barang antik?"
"Bukankah kau butuh referensi tentang kejadian heboh belakangan ini" Nah, aku
akan mengenalkanmu pada
pemilik toko ini," jelas gadis yang tadi menunggu.
"Pinky, apakah yang kau maksudkan pemilik toko ini seorang paranormal?"
"Entahlah, tapi ia tidak suka disebut begitu. Eh, ingat waktu dulu kita pernah
KKN di daerah Tasikmalaya" Kita mampir ke rumah seseorang. Pemiliknya bernama
Kartasasmita" Nah, pemilik toko ini adalah putranya."
"Benarkah?" Bola mata Christine bersinar cerah.
"Kebetulan sekali!"
"Nah, tunggu apa lagi" Ayo, mari kuperkenalkan kau padanya." ajak Pinky.
Sebenarnya ketika pertama kali mendengar cerrita
Hendri tentang persoalan yang sedang dihadapinya.
Christine sudah mulai mereka-reka dan menghubung-
hubungkan masalah itu dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ini masalah alam gaib
dan ia menyukainya. Kebetulan sahabat dekatnya pun memiliki kesenangan yang
sama, sehingga Pinky langsung mengajaknya bertemu di tempat ini saat Christine
mendiskusikan masalah yang sedang dihadapi saudara sepupunya itu.
Pinky sendiri kebetulan adalah salah seorang kolektor benda benda antik, dan
sekaligus langganan setia pemilik toko ini. Ia juga mengetahui kelebihan pemilik
toko ini tentang sejarah masa lalu dan pengetahuannya tentang ilmu gaib. Jadi
klop sudah, dan ia tidak perlu pusing memikirkan bagaimana caranya membantu
Christine. "Kenalkan ini Anjar kawan lamaku," kata Danang
setelah Pinky memperkenalkan sahabatnya. "Oke, Pinky, apa kira-kira yang bisa
kubantu untukmu saat ini"
Pinky menjelaskan kalau sebenarnya Christine ingin menanyakan beberapa hal yang
bersangkutan dengan
persoalan alam gaib yang ada hubungannya dengan
kejadian yang belakangan ini terjadi. Sebenarnya Christine berusaha untuk tidak
berterus-terang bahwa persoalan itu sebenarnya menyangkut tugas yang sedang
diemban abang sepupunya, karena ia sendiri beranggapan kalau itu termasuk juga masalah
yang sedang dihadapinya, tapi Pinky keburu melanjutkan keterangannya.
"Kebetulan masalah ini sedang ditangani abang sepupunya yang bertugas di
kepolisian, jadi kalau kita bisa membantu rasanya akan lebih baik."
Danang dan Anjai saling berpandangan. Mereka sama-
sama mengetahui satu nama polisi yang menjadi pimpinan dalam menguak misteri
pembunuhan itu.
"Siapa nama abang sepupu Anda itu?" tanya Danang.
"Hendri."
"Letnan Hendri?"'
"Betul. Apakah Anda pernah mengenalnya?" sahut Christine balik bertanya.
Danang melirik sekilas pada Anjar sebelum menggeleng pelan sekali. "Ah, tidak.
Hanya saja namanya sering dimuat di koran dan kebetulan aku sering mengikuti
berita pembunuhan yang sedang usutnya itu. Baiklah, kita kembali pada
pembicaraan sebelumnya. Masalah apa yang Anda ingin ketahui" Kalau sekiranya
bisa saya bantu, maka akan saya bantu."
"Abang sepupu saya itu pernah mendatangi seorang
paranormal untuk menyelidiki kasus itu dari sisi yang lain, dan hanya menemukan
jejak berupa sebuah nama yaitu Putri Dayang Sari. Kemudian saya teringat, dulu
pernah mendengar nama itu dari cerita ayah Anda waktu kami masih KKN. Yang jadi
masalah, mengapa atau barangkali lebih tepatnya, apakah nama itu dan cerita ayah
Anda berkaitan dengan peristiwa pembunuhan itu" Kalau
memang benar, lalu apa motivasmya, dan bagaimana cara efektif untuk menuntaskan
masalah ini?"
Danang menghela nafas sejenak sebelum mengangguk.
Menurutku kisah itu memang berhubungan dengan
peristiwa pembunuhan yang sedang diusut abang sepupu Anda, dan motifnya pun
jelas, yaitu balas dendam. Atau tepatnya dendam pribadi atas kesalahan yang
telah diperbuat Putri Dayang Sari.'' Kemudian Danang menjelaskan secara smgkat dan
jelas kronologis permasalahan yang diyakininya kuat sebagai alasan mengapa
peristiwa pembunuhan itu bisa terjadi.
Christine mengangguk-angguk. "Ya, walaupun rasanya sulit diterima akal, tapi
saya mempercayai kalau alam gaib memang sulit diterima akal. Tapi selang waktu
antara jamannya dengan saat ini cukup jauh, lalu kalau memang itu balas dendam,
kenapa mesti dilakukan saat ini"
Kenapa tidak dari dulu?"
"Balas dendam itu telah dilakukanya dari dulu.
Kebetulan kami berdua telah menelitinya. Kira-kira dua ratus tahun lalu, ada
legenda tentang pembantaian
berturut-turut yang terjadi di daerah Tasikmalaya bagian selatan, tepatnya di
daerah pesisir. Lalu seratus tahun lalu, juga ada legenda yang sama di daerah
Bogor bagian Timur.
Dan cerita legenda itu menunjuk pada satu nama, yaitu Putri Dayang Sari. Itu dua
legenda yang kami dengar, lainnya belum. Dan agaknya peristiwa itu berlangsung
setiap masa seratus tahun. Kemudian aku mulai meng-hitung, sejak masa legenda
itu terjadi di daerah Bogor sampai sekarang maka telah memasuki masa seratus
tahun." jelas Danang.
Christine kembali mengangguk-angguk. "Apakah tidak ada cara yang efektif untuk
menghentikannya?"
Menurut legenda kejadian itu akan terus berlangsung, dan tak pernah terhenti
kecuali..."
"Kecuali apa" kejar Christine.
"Hanya keturunan Wanara Bodas yang mampu
menghentikannya," sahut Danang. "Yang jadi nasalah, kita tidak tahu siapa dan di
mana keturunan Wanara Bodas saat ini."
Keempatnya saling membisu, tapi berkutat dalam
pikirannya masing-masing. Tiba-tiba Christine seperti menyadari salah satu
keterangan Danang yang luput dari perhatiannya.
"Soal korbannya" katanya kemudian. "Kalau benar itu perbuatan Putri Dayang Sari,
mestinya ia tak sembarangan memilih. Hanya mereka yang berkhianat saja kepada
kekasihnya?" lanjutnya seperti ingin menegaskan statemen itu. Danang mengangguk.
"Betul dan sangat kebetulan sekali karena abang sepupu Anda menangani kasus ini,
coba teliti dan amati diantara daftar nama-nama korban, telusuri kisah
asmaranya. Barangkali ini hal yang luput dari perhatian."
"Hendri pernah merjelaskan kalau pelaku pembunuhan itu adalah orang-orang
terdekat korban," sahut Christine.
Secara hokum, mungkin saja jasad mereka yang
melakukan, tapi sebenarnya hasrat dan dorongan untuk membunuh itu telah
menguasai seluruh jiwa raga pelaku pembunuhan yang telah tertangkap itu."
"Jadi maksud Anda metode yang digunakan Putri Dayang Sari adalah menggunakan
orang terdekat korban untuk melakukan pembunuhan?"
'"Tepat sekali!"
"Lantas kriteria orang terdekat mana yang perlu dicurigai, mengingat setiap
korban tidak hanya memiliki satu orang terdekat?"
"Kita ambil contoh begini: Si A memiliki kekasih yang setia, namanya si B, tapi
karena suatu sebab akhirnya si A nyeleweng pada si C. Dalam hal ini kemungkinan
korban yang dipilih adalah si A, maka Putri Dayang Sari akan merasuk ke dalam
jasad si C untuk membunuh si A."
Christine mengangguk-angguk mengerti. Seandainya ia mempcrcayai keterangan
Danang, maka ia mulai
mengaitkan praduga itu kepada kejadian yang menimpa Saraswati. Gadis itu kini
tengah menjadi incaran Putri Dayang Sari, dalam hal ini ia menjadi si A, dan
Hendri menjadi si B, lalu siapakah yang menjadi si C" Apakah Saraswati
mengkhianati cinta Hendri"
*** ADRIAN MAPALADKA


Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

2 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
epulang Christine dan Pinky. Anjar tidak langsung
pulang dari situ bahkan Danang memmtanya untuk
S mengintip di tokonya. Ada sesuatu yang hendak
dibicarakannya dengan sobatnya itu, dan untuk itulah ia minta agar Anjar datang
ke sini. "Apa yang hendak kau bicaraikan?" tanya Anjar.
"Kau masih ingin menyelamatkan Saraswati?"
"Tentu saja. Hanya aku bingung karena tidak tahu bagaimana caranya," sahut Anjar
lesu. " Barangkali aku bisa sedikit membantu."
"Benarkah?" tanya Anjar seperti tak percaya dengan pendengarannya, sebab kata
itulah yang ingin didengarnya dari mulut Danang.
Danang mengangguk "Tapi tentu saja kau harus mau bekerja sama."
"Tentu. Tentu saja. Tapi bagaimana caranya" Bukankah kau katakan bahwa niat
Putri Dayang Sari tidak bisa di-halangi oleh apa dan siapa pun?"
"Benar. Tapi kaupun dengar tadi perkataanku, yaitu ada pengecualian."
"Maksudmu?"
"Keturunan Wanara Bodas mampu menghalangi
niatnya!" jelas Danang.
Anjar mengangguk, tapi wajahnya bukan gembira me-
lainkan kelihatan lesu. "Tapi... di mana kita bisa menemukan keturunannya?"
"Kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?"
Ketika dilihatnya sobatnya itu menggelengkan kepala.
Danang melanjutkan "Itu karena ceritamu via telepon. Kau mengatakan melihat
Saraswati dikelilingi cahaya yang berputar-putar melingkarinya, dan lenyap
meninggalkan gadis itu ketika kau hadir di sana."
Anjar mengangguk. "Betul. Dan aku sendiri bingung, padahal kulihat sepertinya
Saraswati sedang diancam sesuatu."
"Ya, dan aku yakin itu adalah Putri Dayang Sari yang datang untuk membunuhnya.
Dan tahukah kau mengapa
dia kabur begitu melihat kehadiranmu?"
"Mana aku tahu. Aku tidak melakukan apapun kecuali berteriak mencegahnya,"
"Nah, itu dia! Putri Dayang Sari tidak takut pada siapa pun, dan siapa pun yang
berusaha mencegah niatnya akan dibunuhnya. Mestinya dia pun membunuhmu saat
itu." Anjar melongo. Semula ia tidak memikirkannya, tapi setelah Danang memaparkannya,
ia bisa hanyut dalam pikiran sobatnya itu. Kenapa hal itu tidak diamatinya"
Kalau mau, tentu Putri Dayang Sari bisa menghabisi nyawa Saraswati saat itu. Ia
toh tidak punya kekuatan gaib untuk membantu gadis itu selain berteriak. Apa
Putri Dayang Sari kaget dengan teriakannya lalu kabur"
"Ada sesuatu yang ditakutinya dari dirimu," kata Danang akhirnya menyimpulkan.
"Takut" Katamu dia takut padaku" Yang benar saja.
Nang. Memangnya aku punya ilmu apa?"
Entahlah. Cuma ada dua factor, pertama: kau
mempunyai sesuatu yang ditakutinya, dan yang kedua: ada kemungkinan kau
keturunan Wanara Bodas."
"Ini lebih lucu. Bapakku seorang pedagang, dan kakekku dari pihak bapak cuma
petani. Ibuku cuma orang biasa, dan begitu pula kedua orangtuanya."
"Apa kau kira Wanara Bodas itu keturunan ningrat"
Ingat, ia cuma orang biasa yang lugu lagi jujur. Lagipula ber abad-abad telah
berlalu dan keturunannyapun telah
beranak-pinak. Mungkin agak sulit menelusurinya, tapi yang jelas hanya ada dua
ktor yang membuat Putri Dayang Sari cuma takut ada dua hal, seperti yang
kukatakan tadi."
Anjar kembali termangu. Dia tidak punya ilmu gaib atau yang semacam itu. Tidak
punya senjata pusaka, bahkan sepengetahuannya, tidak memiliki saudara yang
pandai soal ilmu-ilmu gaib. Jadi, apakah ia termasuk faktor yang kedua, seperti
yang dikatakan Danang, yaitu keturunan Wanara Bodas"
"Begini saja. Bagaimana kalau sekali lagi kita buktikan?"
"Buktikan bagaimana?"
Danang membisikkan sesuatu ke telinga sobatnya itu.
dan terlihat Anjar langsung mengangguk setuju.
*** Ia sudah janji pada Saraswati untuk menjenguknya
malam ini, padahal masih ada tugas yang mesti
dikerjakannya. Tapi entah mengapa, sejak hubungannya makin akrab dengan gadis
itu rasanya tugas menjadi nomor dua dibanding kepentingannya terhadap gadis itu.
Ini mengherankan, sebab selumnya ia termasuk orang yag gila kerja. Bahkan rela
mengorbankan waktu santai demi menuntaskan pekerjaan. Apakah itu berarti cinta
lebih dominan atas segalanya dalam hidupnya" Apakah ia betul-betul mencintai
gadis itu"
Sejauh ini memang terlihat adanya lampu hijau dari Saraswati terhadap dirinya.
Kalaupun ada yang membuatnya belum merasa puas, karena gadis itu belum menyata-
kan persetujuannya lewat kata-kata kalau ia pun menyintai pria itu.
Tapi Hendri berusaha untuk sabar. Ia yakin, jawaban itu hanya tinggal menunggu
waktu saja, karena ketika ditanya apakah Saraswati sudah punya kekasih atau
belum, gadis itu tidak mau menjawabnya. Dan saat ajakan kencannya diterima. ia
coba meyakinkan dirinya kalau gadis itu masih sendiri. Kemudian ketika melihat
kehadiran Anjar di rumah sakit menungguinya. Saraswati mengatakan kalau pria itu
cuma salah seorang kawannya. Dan hal yang membuat
Hendri tidak curiga adalah karena sikap keduanya yang biasa-biasa saja saat
bertemu, persis seperti layaknya teman.
Mobil jipnya berhenti di tempat parkir di sudut kanan halaman depan rumah sakit
itu. Dan ketika keluar dari pintu mobil, udara dingin langsung menyambarnya.
Hendri merapatkan jaket kulitnya, kemudian diam sejenak memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Di ruang gawat darurat dilihatnya banyak orang berkumpul dan
sebuah mobil ambulan terlihat masih dipakir dan lampu kap-nya masih menyala.
Perlahan ia melangkahkan kaki ke sana.
"Korban pembunuhan." sahut salah seorang menjelaskan ketika ia coba bertanya.
"Mengerikan sekali! Lehernya robek. dan dada kirinya bolong."
"Kapan terjadinya peristiwa itu?" tanya Hendri mulai curiga.
Orang itu gelengkan kepala.
Hendri masuk ke dalam. Ia memperlihatkan kartu
identitasnya ketika seorang pcrawat melarangnya masuk.
Setelah melihat kondisi korban, ia memastikan, seperti juga dokter jaga yang
menangani korban: bahwa orang itu sudah mati! Tak ada yang bisa dilakukan untuk
menolongnya. Tidak ada yang mungetahui apa penyebab kematian
korban yang jelas ia terbunuh, entah oleh seseorang atau sesuatu. Tapi Hendri
mempunyai dugaan kuat kalau itu adalah korban yang kesekian dari kasus
pembunuhan yang sedang ditanganinya.
Ketika keluar dan Unit Gawat Darurat itu ia berpapasan dengan seorang gadis yang
memandangnya dengan tajam.
Hendri sempat bergidik ngeri saat kedua pasang mata mereka bertemu. Gadis itu
bertubuh sedang dengan tinggi sekitar 170-an centimeter dan mengenakan jeans
ketat serta sweater putih. Rambutnya panjang sepunggung dan dikuncir sederhana.
Wajahnya manis dengan sepasang mata bulat serta hidung yang agak mancung.
Bibirnya agak lebar dan sedikit tebal dibalut gincu merah menyala.
Cuma sekitar setengah menit sebelum gadis itu berbalik dan berjalan santai
meninggalkan pria itu. Hendri merasa ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga
reflek saja ia mengikuti langkah gadis itu dari belakang.
Gadis yang belum pernah dilihat apalagi dikenalnya itu terus melangkah menyusuri
koridor, kemudian me-nyeberangi selokan kecil menuju ke bawah dua batang pohon
rindang yang saling berdekatan. Di bawah kedua pohon itu terdapat dua buah
tempat duduk yang terbuat dari semen. Hendri menduga gadis itu akan berteduh di
bawahnya, namun dugaannya keliru karena gadis itu
ternyata menyelinap ke balik salah satu batang pohon seperti sedang bersembunyi
dalam permainan petak
umpet. Kecurigaan Hendri semakin menjadi. Dihampirinya gadis itu, namun ketika di sana
tidak dilihatnya siapa pun. Gadis itu menghilang seperti ditelan bumi.
"Mustahil!" keluhnya tak percaya. Di dekat pohon itu ada tembok setinggi dua
meter, dan kalau gadis itu melompat, ia pasti melihat. Sedangkan bila gadis itu
keluar dari persembunyiannya, ia pun yakin bisa melihatnya karena sejak tadi ia
tidak berpaling sedikit pun dari memperhatikan gadis itu. "Ke mana dia?"
Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding ketika mem-
bayangkan yang bukan-bukan tentang gadis itu. Setankah"
Kuntilanak" Atau barangkali siluman wanita" Bagaimana caranya dia bisa raib
begitu saja tanpa diketahui"
Pusing memikirkan gadis itu dan tak menemukan
jawaban. Hendri berbalik dan melanjutkan niatnya semula untuk menjenguk
Saraswati. Tapi baru saja bergerak satu langkah, pundak kanannya ditepuk
seseorang dari belakang. Tepukan itu bukan saja mengejutkan, tapi juga menggoncangkan
pikirannya." Seperti ada aliran listrik yang mengalir ke tubuhnya dan membuatnya
merinding. Tak lama berselang ia merasa aneh sendiri karena
pikirannya melayang entah ke mana dan tubuhnya terasa ringan saat kakinya
melangkah tanpa diniatkannya.
Tatapannya kosong, meski begitu ia bisa melihat dengan jelas apa yang berada di
sekelilingnya. "Gadis itu sedang tertidur lelap," kata seorang perawat yang mengenalinya ketika
Hendri telah berada di ambang pintu kamar di mana Saraswati ditempatkan.
Ia tidak mempedulikannya. Tidak mengeluar sepatah
katapun, bahkan tersenyumpun tidak. Perawat itu merasa tidak enak hati, dan
dengan bingung ia berlalu. Hendri melirik sekilas padanya, kemudian menutup
pintu perlahan-lahan. Ia berdiri mematung sambil memperhatikan Saraswati yang seedang
tertidur pulas. Kemudian perlahan tangannya meraih stop kontak lampu, lalu...
klik! Lampu ruangan itu seketika padam. Tapi bersamaan
dengan itu tiba-tiba saja dua sosok tubuh membuka pintu dan ikut masuk ke dalam.
Pria itu cepat menoleh, dan kini terlihat sepasang matanya berkilau mengeluarkan
cahaya biru kehijau-hijauan.
"Hm, kalian rupanya," desis Hendri dengan suara parau, mirip suara perempuan.
"Pergilah dan jangan mencampuri urusanku."
Kedua sosok yang ikut menyelinap ke dalam kamar itu tidak lain dari Danang dan
Anjar. Danang terlihat biasa saja, tapi Anjar agak terkejut melihat sorot mata
Hendri, juga dengan vokal suaranya yang aneh.
"Kami tidak akan pergi sebelum kau pun pergi," sahut Danang tenang.
"Aku peringatkan sekali lagi, ini bukan urusan kalian.
Kalau tidak mau celaka, pergilah!"
"Bagaimana pun kami tidak akan pergi dan membiarkan kau melakukan aksi kejimu.
Ini harus dihentikan karena sudah keterlaluan." sahut Danang berani.
Hendri tidak langsung menjawab. Pandangannya dialihkan pada Anjar, membuat pria
itu bergidik ngeri. Jarak mereka cuma sekitar dua meter. Kalau makhluk itu
macam-macam, ia sulit untuk mengelak dari ancamannya.
"Kau!" kata Hendri pada Anjar. "Apa urusanmu ikut campur" Tidakkah kau merasa
benci terhadap gadis ini karena dia telah mengkhianatimu?"
Anjar merasa tidak tahu harus menjawab apa.
Ketakutan masih mengisi hatinya Dia terdiam sejurus lamanya.
"Kau tidak bisa menjawabnya bukan" Kalau begitu jangan campuri urusanku.
Pergilah dan ajak temanmu itu."
Dia tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau pergi!"
tukas Danang. "Diam kau! Ini tidak ada urusannya dcnganmu." Begitu selesai ucapannya. Hendri
melesat cepat menyerang
Danang. Kelima jari tangannya mengembang lebar dan dari telapak tangannya itu
menderu angin kuat berhawa panas.
Danang yang sejak tadi telah bersiap, ragu-ragu untuk menangkis. Dia tidak yakin
kekuatannya mampu
mengimbangi sosok makhluk gaib yang menyusup ke
tubuh Hendri. Tapi selang waktunya cuma sepersekian detik, dan ia langsung
memutuskan untuk mengelak
dengan menundukkan kepala. Telapak tangan kirinya
bertumpu di lantai dan kaki kanannya melayang ke perut Hendri. Tapi yang terjadi
kemudian diluar perkiraannya karena telapak tangan Hendri langsung menampar
kakinya setelah itu tubuhnya melenting ke atas, dan bersamaan dengan itu sebelah
kakinya menghajar punggung Danang membuat pria itu menjerit kesakitan dan
tubuhnya terdorong maju serta kepalanya membentur tembok.
Anjar terkejut melihat gerakan sekilas itu. Dilihatnya Danang merintih
kesakitan, sementara Hendri berdiri tegak di dekat pintu, masih dengan orot
matanya yang berkilauan. "Kuperingatkan sekali lagi, pergilah dan jangan campuri urusanku." kata Hendri
mengancam. Anjar yang sedang membantu kawannya itu untuk ber-
diri menjadi geram. Meskipun ia tidak memiliki kemampuan batin seperti Danang,
tapi mendengar ancaman Hendri yang sepertinya meremehkan mereka maka mau tidak
mau keberaniannya bangkit. Dibalasnya pandangan mata letnan polisi itu dengan
tajam. "Jangan lawan pandangan matanya!" ingat Danang, tapi Anjar tidak
mempedulikannya.
"Siapa kau sebenarnya" Apakah benar kau Putri Dayang Sari?"
"Bagus. Kau sudah mengetahuinya, bukan" Nah,
sekarang pergilah!"
"Tidak semudah itu kau mengusir kami." Anjar diam sebentar. Ada sesuatu yang
sedang dipikirkannya saat ini, meskipun ragu-ragu akhirnya diungkapkannya juga.
"Tidakkah kau merasa malu melakukan kejahatan di depan
keturunan Wanara Bodas?"
Cahaya dalam sepasang mata Hendri seolah sedikit
membesar ketika mendengar kata-kata Anjar tadi. Tapi belum lagi sempat ia bicara
terdengar suara Saraswati yang baru saja bangun dan tidurnya.
"Ada apa" Mengapa ruangan menjadi gelap" Siapa kalian ini?"
Ketiga pria itu diam membisu. Tapi Danang dan Anjar tidak lagi melihat cahaya
hijau kebiru-biruan dalam sepasang mata Hendri, maka dengan sedikit keberanian
ia menghampiri stop kontak, sesaat kemudian lampu
ruangan menyala.
Yang pertama dilihat Saraswati adalah Danang, yang berdiri di dekatnya. Ia agak
lupa, meski merasa pernah melihat wajah pria itu. Kemudian beralih pada Anjar
dan wajahnya seketika ditekuk.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sinis.
"Aku..." Anjar melirik pada Hendri, dan pria itu masih diam membisu. Aku dan
Danang cuma ingin menjengukmu." lanjutnya.
"Terima kasih. Tapi malam pasti sudah larut dan aku ingin istirahat." sahut
Saraswati sambil membuang muka.
Anjar kembali melirik pada Hendri, dan pria itu masih tetap belum bereaksi.
Sementara perlahan Danang meng-hampirinya, dan memberi isyarat padanya untuk
keluar dari ruangan itu. Meskipun ragu-ragu toh akhirnya ia mengikuti langkah
sahabatnya itu.
"Aku tidak ingin pulang selama siluman itu masih berkeliaran di sini." kata
Anjar bersikeras saat mereka telah berada di luar.
Danang mengangguk. "Tapi tidak ada lagi yang bisa kita kerjakan di sini." Entah
mengapa, justru ia yang merasa kesal melihat sikap Saraswati terhadap sahabatnya
itu. "Apa maksudmu tidak ada lagi" Siluman itu masih bercokol di sana, dan tiap saat
nyawa Saraswati terancam bahaya!" Suara Anjar agak keras, dan wajahnya tiba-tiba
berubah tegang.
Tapi dia telah pergi, dan yang kini kita lihat adalah Hendri yang aslinya,"
jelas Danang. "Aku tetap tidak peduli!" tukas Anjar. Aku memang tidak bisa menghalangimu untuk
pergi tapi aku tetap akan berada di sini mengawasi mereka." lanjutnya berkeras.
Danang menghela nafas sambil angkat bahu. "Yaah,
kalau begitu maumu apa boleh buat." katanya pasrah.
"Tapi aku tidak mengerti, mengapa kau begitu mati-matian membela gadis itu
padahal sikapnya terhadapmu sungguh menyakitkan. Gadis seperti itu tidak layak
mendapatkan cintamu, dan juga tidak layak dipertahankan."


Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anjar tidak menjawab Kalau menuruti akalnya apa yang dikatakan sobatnya itu
memang benar. Tapi dalam hal ini perasaannya tidak menyetujui. Boleh-boleh saja
ia mengatakan kalau falsafah cinta yang dianutnya adalah keseimbangan antara akal
dan perasaan, tapi seperti juga kebanyakan orang bicara itu lebih mudah daripada
melakukannya. Karena dalam kenyataannya, ia tidak
begitu mudah melupakan Saraswati dalam ingatan dan hatinya.
Tengah keduanya duduk sambil membisu mendadak
seorang gadis menghampiri dari arah belakang.
ADRIAN MAPALADKA
3 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
anang yang lebih dulu reflek menoleh ke belakang
sebelum Anjar mengikuti. Posisi mereka langsung
D bersiap untuk menghadapi serangan, membuat
gadis yang baru muncul itu bingung tidak mengerti.
"Lho, ada apa" Aku melihat kalian berdua dari belakang dan coba meyakinkan kaLau
kalian memang orang yang kuduga. Apakah tidak mengenaliku lagi" Aku Christine,
yang kemarin bertemu dengan kalian."
Anjar menghela nalas lega karena mengira gadis itu adalah Putri Dayang Sari yang
akan menyerang mereka dari belakang. Sebaliknya Danang tidak langsung percaya.
Diamatinya gadis itu dengan seksama, dan setelah merasa yakin kalau gadis itu
memang Christine, barulah ia menghela nafas lega sambil tersenyum.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
"Kami... sedang menjenguk teman." sahut Anjar. "Kau sendiri?"
"Aku mau menjenguk Mbak Saras. Tadinya mau
bersama Mas Hendri, tapi kebetulan beliau telah lebih dulu pergi." jelas
Christine. "Mbak Saras?" Dahi Anjar berkernyit, pura-pura tidak mengenal nama itu meskipun
ia sudah menduga siapa
yang dimaksud Christine. "Siapa dia?"
"Beliau adalah kekasih Mas Hendri, sahut Christine polos. "Aku tidak
menceritakan sepenuhnya ketika kita bertemu. Sebenarnya Mbak Saras itu mendapat
teror dari makhluk yang menamakan dirinya Putri Dayang Sari."
"Mengapa kau yakin kalau teror itu dilakukan Putri Dayang Sari?" Kali ini Danang
yang bertanya. "Seperti yang pernah kujelaskan. Mas Hendri pernah menanyakan hal ilu pada
seorang paranormal, dan
jawaban yang diterima cuma satu nama tadi yang telah kusebutkan."
Danang mengangguk, pura-pura mengerti. Memangnya
ada persoalan apa sehingga gadis bernama Saras itu sampai menjadi incaran Putri
Dayang Sari?"
"Justru itu yang membuatku bingung. Kalau meng-konfirmasikan keterangan Anda
dengan situasi mereka, mestinya ada diantara mereka yang berkhianat, dan bila
kebenaran cerita Anda itu terbukti sehingga Mbak Saras yang menjadi incaran
Putri Dayang Sari, berarti dia yang mengkhianati cinta Mas Hendri." papar
Christine. Anjar merasa miris hatinya mendengar kesimpulan yang diuraikan gadis itu, karena
terus-terang, sebagian uraian itu benar meski ujung kesimpulannya, sama sekali
tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Lantas menurutmu apakah benar Saras itu berkhianat, dan kalau benar, apakah kau
sudah menyelidikinya?" tanya Danang terus bersandiwara untuk mengorek keterangan
dari gadis itu.
"Itu yang hendak kubicarakan dengan Mas Hendri malam ini." sahut Christine.
"Tapi aku telah berusaha mengorek keterangan dari koleganya Mbak Saras, dan
ternyata salah seorang diantara mereka membenarkan.
Hanya saja aku tidak mendapatkan keterangan tentang namanya, tapi yang jelas
bukan Mas Hendri."
"Menurutmu sendiri bagaimana" Percayakah dengan cerita itu?"
"Entahlah, tapi sepertinya meyakinkan sekali. Aku menelepon media massa tempat
Mbak Saras bekerja dan pura-pura menanyakan tentang dirinya. Ketika yang
menjawab teleponku mengatakan bahwa Mbak Saras
berada di rumah sakit, iscng-iseng aku bertanya apakah orangtua atau kekasihnya
sudah diberitahu" Orang itu mengatakan kalau mereka tidak bisa menghubungi orang
tuanya tapi kekasihnya telah diberitahu. Aku bertanya lebih lanjut, kekasihnya
yang mana" Yang di kepolisian atau yang mana" Orang itu cuma tertawa dan
mengatakan kalau kekasih Mbak Saras itu orang sipil dan seorang pengusaha. Aku tidak bisa
bertanya lebih lanjut karena orang itu memutuskan pembicaraan sebab ada telepon
masuk katanya," jelas Christine secara rinci.
Danang mcngangguk-angguk, sementara Anjar diam
membisu. "O, ya! Mengapa kalian tidak ikut saja denganku agar kita bisa bicara panjang
lebar dengan mereka," ajak Christine.
"Kukira itu bukan ide yang bagus." sahut Danang. "Kita tidak ingin Saras
tersinggung, bukan?" sahut Danang.
"Ah, iya. Aku mengerti." Christine mengangguk.
"Oke, malam sepertinya terus merambat." kata Danang seraya melirik arlojinya,
kemudian memberi syarat pada Anjar. "Kami mesti kembaii. Kapan-kapan kita
ngobrol lagi panjang lebar. Mari."
"Ng, tunggu sebentar!" tahan Christine. "Menurut Anda.
Bagaimana kira-kira nasib yang akan menimpa Mbak
Saras" Apakah tidak ada cara lain untuk melindunginya dari ancaman makhluk itu?"
Danang tidak langsung menjawab. tapi memperhatikan gadis itu beberapa saat.
"Menurutmu perlukah
mengasihani seseorang yang berhati dua seperti Saras itu?"
"Ng, aku...entahlah. Tapi aku cenderung memandangnya dari segi kemanusiaan."
Danang mengangguk kemudian angkat bahu
"Sementara ini aku belum mendapatkan jawabannya. Tapi bila sudah kutemukan kau
pasti kuberitahu. Mari." sahut Danang seraya mengajak Anjar untuk segera angkat
kaki. Christine mengangguk. "Terima kasih." katanya masih belum beranjak dari
tempatnya dan memperhatikan
langkah-langkah kedua pria itu.
Baru ketika dilihatnya kedua pria itu telah agak jauh, ia beranjak dan tempat
itu. Adapun Anjar sepertinya enggan untuk meninggalkan
rumati sakit itu, dan bersikeras untuk tetap berada di sini mengawasi Saraswati.
Baru setelah Danang menjelaskan kalau mereka cuma pura-pura pergi agar Christine
tidak mencurigai dan setelah itu kembali lagi ke dalam serta bersembunyi di
tempat yang aman. Anjar agak tenang.
*** Selama berada di ruangan itu, tak banyak yang
bicarakan Christine mengenai diri Saraswati. Tentu saja ia menjaga perasaan
gadis itu agar tidak tersinggung. Tapi ketika pulang dari rumah sakit, saat
mereka berada dalam satu mobil. Christine coba mengorek keterangan.
"Apakah Mas yakin kalau Mbak Saraswati mencintai Mas?" tanyanya setelah
diajaknya Hendri ngobrol berputar-putar soal diri Saraswati.
"Kenapa tidak?"
"Mas yakin?"
"Dia memang tidak, atau katakanlah belum
mengucapkan kata itu. tapi sebagai orang yang telah sama-sama dewasa persoalan
cinta kan tidak selalu harus diucapkan. Ungkapan lewat sikap itu lebih utama."
"Mas sudah menyelidiki latar belakangnya?"
"Latar belakang bagaimana maksud kamu?"
"Yaaah, keluarganya, masa lalunya atau apakah dia sudah punya pacar atau belum
setelah ketemu Mas."
Hendri tersenyum. Sejak kecil dia memang sudah akrab dengan Christine, dan
sampai mereka dewasa pun
keakraban itu belum sirna. Keduanya memang selalu
terbuka terhadap masalah masing-masing dan tidak ada yang dirahasiakan.
"Kamu ini macam-macam saja. Aku memang polisi, tapi bukan berarti setiap orang
yang dekat denganku harus kuselidiki keadaannya sampai ke tai kukunya."
"E, maksudku bukan begitu lho, Mas. Ini ada kaitannya dengan beliau."
"Kaitan bagaimana?"
"Gini, nih!" Christine menceritakan secara singkat dan jelas percakapannya
dengan Danang soal siapa saja yang menjadi incaran korban Putri Dayang Sari.
"Coba deh Mas ingat-ingat keadaan korban. Barangkali hal itu bisa membantu."
ujar Christine mengakhiri ceritanya.
Hendri terdiam beberapa saat lamanya. Dahinya
berkerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat keadaan korbannya satu persatu.
"Kalau Mas belum menemukan data itu, ada baiknya
diselidiki untuk membuktikan kebenarannya," tambah Christine.
"Siapa Danang yang kau sebut itu?" tanya Hendri setelah diam beberapa saat
lamanya. "Mas ingat tempo hari aku mau ngajak keTasikmalaya untuk menemui seseorang" Nah.
Danang itu adalah putra beliau. Kebetulan sekali salah seorang temanku kenal
dengannya, dan sekalian saja aku bertemu dengannya."
jelas Christine.
"Kau yakin dengan dugaannya itu?"
"Sejauh ini entah mengapa, aku merasa yakin."
Jawaban Christine itu kembali membuat Hendri terdiam.
Agaknya ia berusaha mengaitkan keterangan sepupunya itu dengan data-data tentang
korban yang ada dalam benaknya.
"Maya." desisnya. Belakangan aku mengetahui, maksudku kami menemukan bukti-bukt
kuat kalau Boy yang membunulnya."
"Boy itu siapa"
Hendri tidak langsung menjawab. Dipandanginya
sepupunya itu sesaat sebelum memfokuskan perhatian pada jalan di depan mereka.
Mobil berbelok ke kiri dan melewati jalan yang agak kecil Hendri memang sengaja
mengambil jalan pintas untuk lebih cepat tiba di rumah.
"Mas belum menjawab pertanyaanku" Apakah ada yang dirahasiakan?" tanya
Christine. "Maya itu tadinya pacarku..." jawab Hendri beberapa saat kemudian. "Tapi setelah
aku memergoki mereka sedang berduaan tanpa mereka nengetahuinya, aku mulai
mengatur jarak."
Christine mengangguk.
Aku mengira Maya adalah tipe gadis setia, tapi nyatanya bukan sekali dua kali
aku memergoki mereka sedang berduaan, dan itu membuatku kecewa..."
"Maaf ya, Mas. Aku kok jadi terpikir begini: saat Mas memintanya untuk jadi
umpan, apakah..." Christine tidak meneruskan ucapannya karena dilihatnya sorot
mata Hendri ketika menatapnya menunjukkan api amarah.
"Sori," ucapnya pendek. "Ada baiknya Mas memang memeriksa data pribadi korban
yang lain, plus kalau perlu memeriksa data Mbak Saras. Minimal Mas tidak perlu
kecewa lagi untuk kesekian kalinya."
Apa yang dikatakan Christine memang masuk di akal-
nya, dan Hendri berencana dalam hatinya untuk me-
nyelidiki hal itu.
Sementara Hendri kemudian menyelidiki hal itu.
Christine sendiri melakukan penyelidikan tentang keberadaan Saras. Hendri
mengatakan bahwa Saras pernah membawanya ke tempat orangtuanya, dan Christine
mulai melakukan penyelidikan ke tempat itu, baru kemudian ia mendekati kolega-
kolega Saraswati di kantornya, dan hasil dari penyelidikannya itu membawa
langkah kakinya ke sebuah toko buku.
"Selamat sore. Bisa saya bertemu dengan pemilik toko ini?" tanyanya pada seorang
pria yang sedang melayani dua orang pembeli.
"Ya, ada perlu apa kira-kira?" sahut Kusno balik bertanya.
Ada keperluan pribadi. Saya Christine, mungkin beliau pernah mendengarnya."
"Sebentar, ya." Kusno melayani kedua pembeli itu, baru kemudian masuk ke dalam,
dan tak berapa lama Anjar keluar dari ruangan yang tadi dimasuki Kusno. Wajahnya
tidak begitu kaget ketika melihat kehadiran gadis itu.
"Hai!" sapa Christine. Anda pasti tidak lupa dengan saya, bukan?"
Anjar tersenyum sambil menggeleng. "Tentu saja. Ada sesuatu yang bisa saya
bantu?" "Kelihatannya begitu, tapi... saya ingin membicarakan sesuatu yang sifatnya
empat mata." sahut gadis itu sambil mengerling ke arah Kusno.
"O. begitu. Baiklah. Mari ikut saya ke dalam." ajak Anjar, membawa tamunya ke
sebuah ruangan kecil. Di situ cuma ada sebuah meja berikut kursinya serta dua
buah kursi di depan meja itu. Dan yang lainnya adalah lemari arsip serta kulkas
kecil. "Silahkan duduk." kata Anjar seraya membuka isi kulkas dan mengeluarkan dua
gelas kecil air mineral dan meletak-kannya di atas meja, sementara ia sendiri
duduk di belakang meja itu. "Sambil diminum, apa kira-kira yang bisa saya
bantu?" "Terima kasih." Christine menyeruput sedikit air mineral, dan sekilas memandang
pria di hadapannya itu. Sepasang matanya agak sipit dan dahinya lebar menandakan
kalau pria ini pintar. Secara keseluruhan wajahnya tidak mengecewakan. Postumya
pun tidak tinggi tapi bukan berarti pendek. Untuk ukuran rata-rata orang kita
dia termasuk golongan sedang.
"Saya ingin menanyakan hal yang barangkali sifatnya pribadi, kalau Anda tidak
keberatan..."
"Soal yang mana?"
"Apakah Anda mengenal Saraswati?"
"Saraswati yang wartawati itu?"
"Betul."
"Ng, ya tentu saja. Kami teman baik."
"Sekedar teman"'
Anjar tersenyum. "Ya, sekedar teman. Apakah ada sesuatu yang aneh?"
"Memang, sebab Mbak Saras mengatakan kalau anda
pernah menjadi kekasihnya.
"Benarkah?" Anjar pura-pura kaget.
"Hubungan kami belakangan ini akrab sekali, dan kami suka cerita hal-hal yang
sifatnya pribadi." lanjut Christine.
"O, jadi Saraswati berkata begitu kepada Anda" Hm, kalau memang benar begitu
saya termasuk orang yang beruntung. Yang jadi masalah, mengapa ia tidak
berterus-terang pada saya waktu dulu bahwa ia menganggap saya sebagai
kekasihnya" kata Anjar pura-pura bingung.
"Mengapa Anda berpura-pura begitu?"
"Pura-pura" Mengapa saya tidak boleh mengikuti seandainya lawan bicara saya pun
berpura-pura mengetahui sesuatu yang dia sendiri tidak yakin akan kebenarannya?"
"Anda menuduh saya berpura-pura" Dalam soal apa?"
"Nona, ketahuilah. Saraswati tidak akan pernah bercerita pada siapa pun soal
rahasia pribadinya. Saya kenal betul wataknya. Dan dia tidak akan pernah mau
terbuka pada orang yang baru dikenalnya. Berapa lama Anda mengenalnya" Belum ada
satu tahun. Itu melebihi waktu per-kenalan saya dengannya, dan sejauh itu
sedikit sekali ia mau menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada saya."
Christine agak gelagapan mendengar tuduhan itu, tapi sebisa-bisanya ia menjawab.
"Anda tidak bisa meyakini hal itu sebab sifat seseorang bisa saja berubah karena
suatu sebab. Mungkin selama ini dia tidak mempercayai Anda seratus persen."
"Kalau Anda menyangka kami pernah berhubungan cinta, lalu apakah ada orang
mencintai lawan jenisnya tanpa ada saling percaya?"
Christine kembaii gelagapan. Untuk beberapa saat ia tidak tahu harus bicara apa.
"Baiklah. Aku hargai usaha anda, dan tidak perlu berbelit-belit segala. Apa
sebenarnya yang Anda ingin ketahui?" tanya Anjar.
Christine menghela nafas. "Aku cuma tidak ingin persoalan ini berlarut-larut.
Secepatnya dicari titik terangnya maka akan lebih baik."
"Lantas apa yang Anda inginkan?"
"Pembunuh itu." sahut Christine tegas. "Aku mempercayai cerita legenda yang
diceritakan teman Anda.
Kalau benar Putri Dayang Sari membunuh korbannya melalui orang keliga, maka
perlu kita ketahui, siapa gerangan orang ketiga yang akan dijadikan alat untuk
membunuh Mbak Saraswati."
"Anda sungguh-sungguh ingin tahu orangnya?"
"Tentu saja!"
Anjar tersenyum. "Anda orang yang polos, dan saya khawatir bila diceritakan maka
akan sampai pada orang ketiga itu."
"Saya berjanji unluk tutup mulut sahut." Christine sambil mengangkat dua
jarinya. Anjar menghela nafas sesaat. "Ya, Saraswati memang mantan kekasih saya..."


Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahutnya berat. "'Saya tahu per-selingkuhannya dengan Hendri sebelum dia
mengeluarkan pernyataan bahwa hubungan kami bubar."
"Jadi... jadi, dengan kata lain, bila apa yang diceritakan teman Anda itu benar
maka Putri Dayang Sari akan menggunakan Mas Hendri untuk membunuh Mbak Saras?"
tanya Christine kaget.
"Kalau Anda mempercayainya, maka berhati-hatilah.
Dalam keadaan telah dimasuki roh Putri Dayang Sari maka ia akan membunuh siapa
saja yang menghalangi niatnya."
Christine diam sejenak, sebelum memandangi wajah
pria itu dalam-dalam "Apakah Anda pun merasa yakin dengan kebenaran cerita itu?"
tanyanya ragu. Anjar tersenyum. "Yakin" Tentu saja. Kenapa tidak"
Kami telah melihatnya sendiri."
"Ka... kalian, maksud Anda bersama teman Anda itu?"
Anjar mengangguk.
"Mengapa kalian tidak menceritakan hal ini ketika di pertemuan pertama kita?"
"Kami merasa orang Timur, dan tidak layak menceritakan sesuatu kepada seseorang
yang punya hubungan baik dengan orang yang hendak diceritakan." jelas Anjar.
"Lagipula pada saat itu kami belum merasa yakin apakah Anda percaya atau tidak
dengan cerita itu. Salah-salah nantinya kami akan dituduh memfitnah."
Christine kembali terdiam, masih sulit mempercayai cerita itu, meski di sisi
yang lain ia bisa membenarkannya.
"Anda katakan kalian pernah melihatnya sendiri, di mana?"
"Ingatkah Anda ketika kita bertemu di rumah sakit?" Dan ketika dilihatnya gadis
itu mengangguk. Anjar melanjutkan
"Di situ kami betul-betul melihat sepupumu itu hendak membunuh Saraswati. Aku
tidak bisa membiarkannya, sehingga kami coba menghalangi."
Christine bergidik ngeri. "Lalu?"
"Saraswati keburu sadar, lalu lampu kunyalakan, dan setelah itu Saraswati
mengusir kami keluar, dan akhirnya bertemu dengan Anda."
"Jadi waktu itu alasannya bohong?"
Anjar tersenyum mengangguk.
"Ya, aku bisa mengerti." Christine ikut mengangguk. "Kini persoalannya semakin
terang, meski tetap saja bingung apa yang mesti dilakukan untuk mencegah Hendri
membunuh Saraswati."
"Kami akan berusaha terus mengawasinya."
"Mengawasi siapa?"
"Saraswati."
Christine kembali memandang wajah pria itu lekat-lekat.
"Apakah Anda masih mencintainya?" tanyanya tiba-tiba, karena pikiran itupun
datangnya tiba-tiba.
Anjar tersenyum, dan tidak langsung menjawab. Ia
menyeruput air mineral, lalu diam seperti berpikir sebelum balas memandang gadis
itu. "Sedikit sekali yang kuketahui tentang cinta. Kalau kukatakan masih cinta,
mungkin ber-tentangan dengan akalku yang selalu mengingatkanku bahwa hubungan
kami sudah putus, dan tidak perlu
cengeng mengharapkan dicintai atau ngotot mencintai, sebab itu tiada guna dan
hanya melemahkan perasaan."
"Lalu mengapa kelihatannya Anda menaruh perhatian besar terhadap keselamatan
Saraswati?"
"Itulah susahnya. Aku masih saja merasa kalau kami teman dekat, dan sebagai
teman dekat aku seperti punya kewajiban untuk membantunya."
"Anda tidak jujur dengan perasaan Anda." tuduh Christine sambil tersenyum.
"Tidak jujur, ya?" ulang Anjar tersenyum geli.
"Seandainya benar, maka ketidakjujuranku itu tidak akan membawa kemujuran
buatku, dan seandainya aku dianggap bicara jujur maka dunia mentertawakanku. Hm,
pilihan sulit. bukan?"
Christine tidak tahu harus menjawab apa, hanya saja ia bisa merasakan kalau
Anjar sedang nenghadapi dilema.
Mungkin perasaan kecewa akibat penyelewengan kekasihnya masih belum sirna dalam
hatinya, dan menurutnya itu wajar saja, karena toh pria itu bukan robot. Ia
manusia normal yang memiliki hati nurani, perasaan, dan memori akal. Sehingga
bila melintas wajah gadis itu dalam benaknya, memori segera bekerja mengenang
kisah-kisah mereka, tapi berakhir dengan "sad ending" karena menyadari cerita
telah berlalu. *** Anjar membuatnya bergidik saat berdekatan dengan
Hendri. Baginya sepupunya itu seperti bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Atau jangan-jangan ia bisa
melenceng dari target, sehingga orang lain yang menjadi korban.
"Kamu kenapa?" tanya Hendri ketika malam ini mereka sedang dalam perjalanan
menuju rumah sakit di mana Saraswati dirawat.
"Nggak kenapa-kenapa?"
"Kok dari tadi diam saja?"
Gadis itu tersenyum.
"Ada yang dipikirkan?"
"Setiap manusia yang masih bernyawa tentu saja ada yang dipikirkan."
"Maksudku ada yang serius sehingga menyita begitu
banyak perhatian."
Christine kembaii tersenyum.
"Ada apa" Ceritakanlah. Atau ada sesuatu yang dirahasiakan?"
"Nggaaak. Aku cuma memikirkan nasib Mbak Saras. Apa Mas kira-kira punya
penyelesaian tentang masalah yang dihadapinya?"
"Sementara ini aku cuma bisa menjaganya dari segala kemungkinan yang terburuk."
"Menjaga?" gumam Christine dalam hati. Mana mungkin, sebab justru dia yang perlu
dijaga untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan. Tapi...ah, bagaimana
caranya untuk memberi peringatan pada sepupunya ini"
Sejauh ini ia belum punya cara yang tepat untuk
mengungkapkannya.
"Eh, tahun ini Mas sudah ambil cuti belum?"
"Belum, dan rasanya tidak sempat."
"Mas sudah bekerja kelewat ekstra, dan ada baiknya mengambil cuti. Aku punya
brosur tentang wisata ke Selandia Baru. Kayaknya suasana di sana menyenangkan
deh." "Hendri tersenyum. Kamu ini ada-ada saja. Memangnya ke sana cukup naik becak
atau bis kota. Lagipula ngapain kita menghambur-hamburkanu ang ke negeri orang
sementara di negeri sendiri pun masih banyak obyek wsata yang tidak kalah
indahnya."
"Ya, boleh saja. Mas kan belum pernah ke Danau Toba.
Bagaimana kalau kita pergi ke sana?"
"Menarik juga, tapi aku tidak sempat. Dan sampai detik ini belum terpikirkan
untuk minta cuti," sahut Hendri menegaskan, dan sekaligus mengecewakan lawan
bicaranya. Christine kembali terdiam. Entah apa yang mesti
ditawarkannya untuk menjauhkan Hendri dari Saraswati"
"Mas..."
"Hm. Ada apa?"
"Mas mencintai Mbak Saras?"
"Mengapa hal itu kau tanya kan lagi?"
"Sekedar ingin tahu saja."
Hendri tidak menjawab. Entah apa yang dipikirkannya.
Mestikah pertanyaan seperti itu dijawabnya" Apakah itu bukan pertanyaan yang
kanak-kanakan" Melihat
perhatiannya yang begitu besar terhadap Saraswati
mestinya Christine bisa menduga apakah ia mencintai Saiaswati atau tidak.
"Anggap saja benar." akhirnya Christine sendiri yang menjawab pertanyaannya.
"Ini seandainya, ya!' lanjutnya menekankan, takut sepupunya itu tersinggung.
"Seandainya Mbak Saras itu sudah punya kekasih sebelum berhubungan dengan Mas,
bagaimana?"
"Kenapa kamu berpikir begiitu?"
"Hanya ingin tahu reaksi Mas saja," sahut gadis itu enteng. "Jaman sekarang ini
sulit lho mencari gadis yang baik, eh maksudku gadis yang betul-betul setia dan
jujur." '"Setahuku Saraswati tidak pernah menyinggung soal itu, dan gelagatnya pun
menunjukkan kalau dia belum punya kekasih."
"Mas jangan salah, lho! Wanita bisa menyembunyikan rahasianya dengan rapih."
"Kenapa" Kamu menduga dia sudah punya kekasih?"
"Aku tidak menduga begitu, hanya mencari hubungan antara rahasia pribadi Mbak
Saras dengan ancaman yang sedang dihadapinya. Eh, Mas sudah mencari informasi
tentang korban-korban yang lain belum?"
"Sudah." sahut Hendri lesu.
"Bagaimana hasilnya?" kejar Christine antusias.
"Dugaanmu memang benar."
"Jadi memang ada hubungannya dengan cinta segitiga?"
Hendri mengangguk.
"Semuanya?"
"Semuanya." sahut pria itu menegaskan.
"Nah, apa Mas tidak mencari tahu tentang rahasia pribadi Mbak Saras" Kalau
memang teori itu benar, dan kini Mbak Saras mendapat ancaman, mestinya ada cinta
segitiga diantara kalian. Dan yang menjadi korban adalah dia yang diperebutkan
sedangkan yang menjadi ancaman adalah pihak yang terakhir menjalin hubungan."
"Menurutmu siapa orang itu?"
Christine angkat bahu. Ia sengaja tidak mau berterus-terang. Selain janji dengan
Anjar, juga menjaga perasaan sepupunya ini.
Sebenarnya Christine takut juga bila apa yang dikatakan Anjar itu benar terjadi
saat mereka berada di kamar Saraswati. Bagaimana bila tiba-tiba roh Putri Dayang
Sari datang dan menyusup ke dalam tubuh Hendri, maka dia akan langsung membunuh
Saraswati tanpa siapa pun bisa menghalangi. Kalau Christine coba-coba menolong,
bukan tidak mungkin ia juga akan ikut menjadi korban benkutnya.
Tapi untunglah hal itu tidak terjadi sampai mereka pulang dari rumah sakit itu
bertiga. Sebenarnya sore tadi pun Saraswati sudah diperbolehkan pulang, hanya
saja Hendri memintanya untuk menunggu sampai malam,
karena begitu tugasnya di kantor selesai, ia akan
menjemput gadis itu. Dan Saraswati hanya menurut saja.
"Mbak sungguh-sungguh sudah merasa lebih baik?"
tanya Christine yang duduk di jok belakang mobil kijang yang dikemudikan Hendri.
Saraswati melirik sekilas, kemudian mengangguk.
"Gimana" Nggak ada rencana untuk istirahat dulu, atau mau langsung bekerja?"
"Dalam soal kerja, prestasi Saraswati hanya bisa ditandingi oleh orang-orang
Jepang. Dia itu gila kerja." kata Hendri memberi komentar. "Baginya tiada waktu
yang terbuang selain diisi dengan kerja."
"Itu tidak benar," tangkis Saraswati. "Jangan dengarkan pendapat ngawur itu. Aku
toh manusia biasa yang butuh makan, tidur, istirahat serta rekreasi."
Christine tertawa kecil. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti ketika mendengar
suara mendesis Hendri.
"Ada sebuah jip yang mengikuti kita sejak keluar dari rumah sakit."
Kedua gadis itu reflek menoleh ke belakang, dan
ternyata apa yang dikatakan Hendri memang benar.
Sebuah jip dalam jarak kurang lebih seratus meter
mengikuti mereka. Tapi benarkah jip itu mengikuti mereka"
Jangan-jangan hanya searah saja dengan jalan yang
mereka tempuh sebab selain mobil jip itu masih ada beberapa mobil serta motor
yang berada di belakang mereka.
"Kenapa kau yakin jip itu mengikuti kita?"
"Aku mengenalinya sejak diparkir di rumah sakit." sahut Hendri tetap bersikap
tenang. "Begitu kita keluar, maka jip itupun ikut keluar dan aku terus
mengamatinya lewat kaca spion. Jip itu memang mengikuti kita." sambungnya yakin.
"Siapa kira-kira, ya?" tanya Saraswati.
Saraswati masih terus menoleh dan mengamati jip di belakang mereka dengan
seksama. "Sepertinya aku kenal..." ujarnya ragu-ragu.
"Aku memang pernah mengenalnya. Jip itu milik
temanmu." tukas Hendri.
"Temanku?"
"Ya, yang bernama.... Anjar, kalau tidak salah," sahut Hendri. "Aku pernah
melihatnya memakai jip itu saat datang ke rumah sakit menjengukmu, dan aku hapal
betul mobil itu."
"Brengsek!" umpat Saraswati. "Mau apa dia mengikuti kita" Coba hentikan mobil
ini, kita tunggu dia dan biar kutanyakan apa maunya?" dengusnya geram.
"Jangan sekarang. Nanti saja bila sudah berada di tempat yang lalu lintasnya
agak sepi." sahut Hendri mengingatkan
Sebagai seorang polisi tentu saja dia merasa curiga.
Bukan saja soal mengapa mereka dikuntit jip itu, tapi soal keberadaan Anjar yang
oleh Saraswati dikatakan
temannya. Sesungguhnya Hendri tidak percaya begitu saja.
Hanya dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu.
Kalau memang Saraswati mcngataikan pria itu adalah temannya, Hendri tidak mau
rewel untuk membantahnya.
Baginya itu tidak perlu.
Dua puluh menit kemudian mereka telah tiba di tempat yang suasana lalu lintasnya
sepi. Namun jip itu tidak terlihat di belakang mereka. Saraswati gondok bukan
main. "Coba tolong berhenti. Kita tunggu sebentar di sini."
katanya. Hendri mengikuti apa yang diinginkan gadis itu. Begitu mobil berhenti. Saraswati
langsung keluar, diikuti oleh Christine. Sementara Hendri tetap berada di
belakang kemudi.
"Memangnya siapa, Mbak?" tanya Christine pura-pura tidak mengerti.
"Cuma seorang teman."
"Kok kayaknya Mbak begitu sewot?"
"Teman yang menjengkelkan." lanjut Saraswati.
"Apa dia memang sering mengganggu?"
Saraswati diam tak menjawab.
Christine mengangguk sendiri. "Terkadang memang ada teman yang sangat
menjengkelkan, dan saya pun pernah mengalaminya. Tapi biasanya mereka punya
alasan. Entah sekedar mempermainkan, bercanda, atau punya motif
tertentu yang alasannya cukup kuat, misalnya dia naksir pada kita, lalu merasa
cemburu melihat kita berdua dengan pria lain..." Ia tidak melanjutkan ucapannya
ketika Saraswati memandangnya dengan sorot mata tajam.
"Menurut kamu bagaimana?" tanya Saraswati dengan nada datar. Pertanyaan itu
sebenarnya tidak mengharapkan jawaban, hanya sekedar ingin mengetahui apa yang
ada di benak Christine soal ucapannya tadi. Tapi agaknya Christine cukup cerdik,
karena ia langsung melihat kalau itu suatu peluang baik untuk melanjutkan
sesuatu yang ingin diketahuinya tentang wartawati ini.
"Melihat profil Mbak, rasanya tidak mungkin dia mau bercanda."
"Jadi?"
"Jadi, ya dia pasti punya alasan tertentu. Dan jangan tanya padaku alasan apa,
yang jelas pasti Mbak yang lebih tahu."
Saraswati tidak bereaksi.
"Saya pernah punya sahabat, cantik dan menarik, juga cerdas. Dia punya seorang
kekasih dengan pekerjaan, eh usaha yang telah mapan. Orangnya tampan, dan...
menurut saya menarik. Suatu ketika teman saya itu bertemu pria lain, dan entah
mengapa tiba-tiba saja dia merasa tertarik dengan pria itu. Mungkin juga karena
mereka sering bersama-sama, mungkin pula ada urusan yang membuat
mereka sering bertemu. Teman saya itu meninggalkan kekasihnya yang lama, yang
saya tahu mencintainya
dengan tulus. Saya tidak mengerti, mengapa teman saya itu meninggalkannya, sebab
kalau melihat ketampanan maka kekasihnya tidak kalah tampan, melihat kekayaan,
justru kekasihnya lebih kaya, melihat kepribadian kekasihnya itu bukan termasuk
pria buruk. Heran, bukan"
Saya sendiri sebagai seorang wanita tidak mengerti, kriteria apa yang dibuat
teman saya itu sehingga meninggalkan kekasihnya" Apakah itu yang disebut cinta"
Lalu kalau benar, apa gunanya cinta tanpa kesetiaan?"
Christine tidak peduli ketika bercerita itu Saraswati memandangnya kembali
dengan sorot mata tajam. Dia malah sengaja terus bercerita untuk membangkitkan
emosi Saraswati. "Siapa teman kamu itu?" tanya Saraswati curiga.
Bende Mataram 28 Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah Kemelut Di Majapahit 3
^