Pencarian

Gajah Kencana 1

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 1


MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
JILID 26 PEMBERONTAKAN KUTI. I Malam kelam. Bulanpun enggan
ke luar dari peraduan, walaupun di
mahligai lazuardi, telah siap
menanti beribu bintang kemintang.
Suasana cakrawala malam itu
tampak memperlihatkan suatu
keanehan. Beribu bintang memercikkan sinar lebih keras dan
lebih merapat pada kerumun
bintang Bima-sakti. Apabila bintang2 itu dapat
berbicara, tentulah cakrawala akan membahanakan arus
gelombang gema suara. Dan apabila rakyat di pura Majapahit
mengerti akan bahasa bintang mereka tentu akan lebih
perihatin pula. Mungkin akan timbul suatu keinginan dalam
hati para rakyat itu untuk ikut serta memohon kepada bintang
Bima-sakti agar dapat menjelma sebagai sang Bima.
Memang pada waktu2 terakhir ini terjadi suatu kesibukan
dalam kehidupan rakyat pura kerajaan.
Kesibukan yang mencengkam hati, kemudian mengembangkan suatu rasa gelisah dan mcnghantukan rasa
cemas. Suatu peristiwa aneh yang jarang tampak telah terjadi. Di
langit telah muncul sebuah bintang yang bersinar terang dan
meluncur melintas ke selatan. Bintang itu sebesar sapu dan
dikala meluncur, menghamburkan percikan api.
Telah menjadi naluri hidup rakyat Majapahit bahwa setiap
pemunculan bintang yang aneh, tentu lekas bersambut
dengan berbagai tafsiran.
Gempa bumi, gerhana, bintang kemukus, teluh braja dan
lain2 perobahan alam yang aneh dan jarang tampak, tentu
cepat mendapat tempat yang subur dalam percaturan pikiran
rakyat. '"Akan timbul gegebluk" kata salah seorang penduduk
kepada kawan bicaranya. Dan kawan2 yang berkerumun untuk memperbincangkan
bintang berekor itu, mengangguk dan mengia-kan.
"Karena arahnya ke selatan, tentulah musibah itu akan
menimpah daerah selatan" kata pula yang seorang.
"Ah, memang benar" sambut pula lain orang, "bukankah di
Lumajang telah terjadi peperangan besar yang mengakibatkan
gugurnya mahapatih Nambi dan beberapa orang mentri,
senopati kerajaan?" "St, jangan keras2 bicara" tiba2 orang yang pertama bicara
tadi mencegah "ingat, baginda sedang memperketat
pengawasan dan melakukan pembersihan besar-besaran di
kalangan narapraja kerajaan. Lebih baik kita jangan
menyinggung-nyinggung soal peperangan Lumajang itu"
Orang yang di beri peringatan itupun mengangguk
"Benar, suasana dalam pura sedang hangat. Tembok dan
pohon tumbuh telinga. Cumi-cumi pun tumbuh laksana
cendawan di musim hujan. Banyak orang memanfaatkan
kesempatan untuk memancing di air keruh"
"Nah, begitulah" kata orang yang bicara pertama tadi "dan
pula setelah peperangan Lumajang selesai baru bintang
kemukus timbul. Rasanya bukan itu lah yang menjadi sasaran
penampilan bintang itu"
"Kurasa" kata seorang lain "akan timbul gegebluk. Entah
paceklik besar, entah pertumpahan darah, entah wabah
penyakit apa yang bersimaharajalela"
Demikian setiap pembicaraan yang dilakukan apabila orang
berkerumun di halaman rumah, bertamu bahkan minum2 di
kedai. Juga di kalangan atas atau masyarakat kasta Waesa,
Ksatiya dan Brahmana, tiada lain bahan pembicaraan yang
terhidang kecuali soal munculnya bintang kemukus. Hampir
setiap mulut, setiap bibir mengecapkan hal itu.
Dan menjadi pula naluri hidup rakyat Majapahit, setiap
perlambang alam akan segera disambut dengan langkah untuk
menanggulangi. Dan cara yang dilakukannya yalah
menggencarkan doa sembahyang menurut agama masing2.
Memohon kepada Hyang Maha Kuasa agar mengampuni dosa
mereka dan melindungi jiwa mereka dari malapetaka
kemurkaan Batara Kala. Malam di pura kerajaan, berlangsung dengan tenang penuh
keperihatinan. Malam yang penuh dengan bau harum dari
pedupaan yang mengelutkan asap setanggi dan sesaji. Malam
yang bernapaskan doa2 puji mantra.
Pada malam itu, tampak tiga sosok tubuh berjalan melintas
lorong2 gelap dari lingkungan keraton Tikta-Sripala.
Seorang pandita tua, seorang prajurit keraton dan seorang
anak muda. Demikanlah ketiga sosok bayangan itu.
"Ki prajurit" tiba2 resi tua itu membuka suara, "rasanya
engkau tentu orang baru"
"Benar, maharesi" sahut prajurit taruna yang bertubuh
padat agak pendek perawakannya.
"Siapakah namamu?" tanya pula sang resi.
"Dipa atau tuan boleh menyebut Gajah" Resi tua itu
tertegun. Diteropongnya kegelapan malam untuk menandang
wajah prajurit yang mengaku bernama Gajah Dipa itu. Sejenak
ia terhening. Sejak ke luar dari keraton menghadap baginda Jayanagara,
ia bersama puteranya diiring oleh prajurit Gajah Dipa itu,
pulang ke tempat kediamannya yang terletak di sebelah
selatan benteng. Entah bagaimana, tiba2 tersekat perhatiannya ketika
mendengar nada suara prajurit bertubuh gempal padat itu.
Dan ketika memandang wajahnya, timbullah kesan yang
mencengkam hatinya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Nalurinya yang tajam dan halus sebagai seorang
pujangga maharesi Kabudan, getar2 yang terhimpun dalam
pematangan semedhinya, telah mengirim bentara gaib agar ia
menaruh perhatian terhadap prajurit taruna itu.
Dan pandang yang dilontarkan ke arah wajah prajurit itu,
cepat pula menimbulkan kesan yang makin meneguhkan.
"Berapakah usiamu, Dipa?" tanya resi tua itu sambil
menatap kening Dipa. "Maaf, maharesi" kata prajurit muda itu, "hamba tak tahu
betul berapa umur hamba. Hanya kalau menurut keterangan
mendiang nenek, sekarang hamba berumur lebih kurang
enambelas tahun" "Enambelas tahun ?" ulang sang resi. Dipa mengangguk.
"Aneh" kata resi tua "tampaknya engkau lebih tua dari
umurmu" Dipa hanya mengiakan. Atas pertanyaan resi tua itu maka Dipa pun menerangkan
bahwa semula ia menjadi prajurit pengawal keraton
Kahuripan. Kemudian dipindah ke puri Maja-pahit, menjadi
prajurit bhayangkara. Makin tertarik perhatian resi tua itu akan tutur bahasa dan
perakitan kata2 dari Dipa. Pun nada suara prajurit taruna itu,
membangkit suatu selera menyenangkan. "Aku senang
berkenalan dengan engkau Dipa" katanya.
"Terima kasih tuan" jawab Dipa.
"Dipa" kata resi tua itu pula "tahukah engkau siapa aku ini?"
"Maharesi, tuan" kata Dipa.
Resi tua itu tertawa ringan "Benar, memang aku seorang
maharesi, namaku Samenaka"
"Terima kasih, maharesi" kata Dipa "bukankah raden ini
putera maharesi?" Maharesi puteraku" Samenaka mengangguk "Benar, dia adalah "Siapakah nama putera maharesi itu?"
Resi Samenaka tersenyum "Ah, anak itu memang aneh.
Dahulu telah kuberi nama tetapi setelah besar dia memilih
nama sendiri, nama seorang pujangga yang dikaguminya
yalah empu Winada" "O, putera tuan tentulah gemar akan sastra dan memiliki
darah kepujanggaan" "Ah, janganlah kakang menyanjung demikian tinggi. Justeru
aku memilih nama Winada karena nama itu memiliki arti yang
sesuai dengan seleraku"
"Apakah artinya?" Dipa agak tertarik.
"Winada berarti cinala atau dicela, dihina"
Dipa terkesiap "Mengapa tuan memilih nama itu?"
"Kakang Dipa" sahut Winada dengan tenang "hidup ini
suatu derita, suatu samsara dari pada kelahiran atma yang
penuh dengan klesa atau dosa. Tidak layakkah kalau aku
menamakan diriku sebagai winada yang dicela itu?"
Dipa termangu mendengar jawab anakmuda putera
maharesi Samenaka. Masih sedemikian muda belia namun
ucapannya penuh mengandung arti dalam pengetahuan
filsafah Buddha. "Nama hanya suatu tanda, bukan nilai sang jiwa. Semisal
bunga teratai, walaupun hidup dalam air berlumpur tetapi
bunganya tetap putih bersih. Walaupun disebut dengan nama
lain, tidaklah kuasa untuk merobah bentuk bunga itu dan
menghapus sifat2 keadaannya"
Dipa makin terkesiap. Belum sempat ia membuka mulut,
maharesi Samenaka sudah mendahului, "Ah, janganlah
engkau memaksakan pikiranmu kepada lain orang."
"Rama, dalam hal apakah rama mengatakan aku hendak
memaksakan pikiranku kepada lain orang?" tanya anakmuda
itu. Maharesi Samenaka tertawa "Dengan menyebutkan
penamsilan bunga teratai itu, bukankah engkau hendak
mengemukakan lambang kesucian dalam agama Buddha?"
"Ah, hanya suatu tamsil belaka, rama"
"Tamsil yang mengandung tamsil bahwa hendaknya
janganlah kita sembarang mengemukakan soal bunga teratai
lambang kesucian itu. Bunga teratai melambangkan Upekkha.
Upekkha berarti terbebaskan pikiran kita dari sifat2 yang
saling bertentangan dan terbebasnya kita dari batas antara
Waktu dan Ruang hingga dengan demikian berarti tercapainya
pembebasan atau Nirwana. Berat nian tamsil yang engkau
gunakan itu, puteraku. Karena Upekkha atau tataran
pembebasan itu sudah tak menghiraukan pala soal2 laba,
balas jasa, kata2 sanjung maupun celah. Karena engkau masih
mengutamakan sifat2 winada atau dicelah, engkau tentu akan
bersua dengan bayang2 Sanjung. Ada jasa ada durhaka, ada
cela, pun tentu ada sanjungan"
Wajah anak muda itu bertebar merah.
"Dan manakala engkau masih peka akan ucapan yang
menyanjung atau mencelah dirimu, jelas engkau masih jauh
dari pencapaian Upekkha itu, puteraku. Camkanlah" seru
maharesi Samenaka. "Baiklah, rama?" akhirnya anakmuda itu menerima dalam
kerelaan. Makin heran Dipa mendengar percakapan antara ayah dan
puteranya. Ia masih belum mencapai pengertian tentang hal2
yang diungkap oleh kedua ayah dan putera itu. Diam2 timbul
suatu rasa kekaguman terhadap anakmuda itu. Namun tak
pernah kekaguman itu mencapai jangkau dugaan bahwa kelak
putera resi Samenaka itu akan menjadi Prapanca, pujangga
yang lebih masyhur dari ayahnya.
Saat itu mereka sudah melintas ke luar dari lingkungan
benteng dan ayunkan langkah menuju ke selatan. Tak berapa
lama kemudian, tiba2 maharesi Samenaka menunjuk kepada
segunduk bangunan tak berapa jauh di sebelah muka "Itulah
rumah kediamanku, ki prajurit"
Memandang ke arah yang ditunjuk maka Dipapun terbeliak
"O, bukankah gedung itu tempat kediaman Danghyang
Dharmmadyaksa Kasogatan?"
Resi Samenaka mengiakan. "Jika demikian, maharesi ini Danghyang Dharmmadyaksa
Kasogatan sendiri?" Dipa terkejut.
"Ah, apakah artinya hal itu, ki prajurit" maharesi Samenaka
tersenyum "Dharmmadyaksa Kasogatan hanyalah sebuah
jabatan dalam kerajaan untuk mengepalai urusan agama
Buddha. Tetapi peribadi Samenaka adalah tetap Samenaka.
Janganlah engkau terpengaruh oleh pembawaan lahiryiah dari
seseorang" Agak tergetar perasaan hati Dipa dikala mengetahui bahwa
ia sedang berhadapan dengan seorang kepala urusan agama
Buddha kerajaan Majapahit. "Terima kasih, tuan. Karena
sudah tiba di gedung kediaman tuan, hamba akan segera
minta mohon diri kembali ke keraton."
"Ah, mengapa terburu-buru, Dipa ?" seru sang pujangga
Samenaka "bila tiada tugas yang penting, aku senang
bercakap-cakap dengan engkau"
Dipa terkesiap. Samenaka adalah seorang pujangga yang
menjabat sebagai Dharmadyaksa urusan agama Buddha di
Majapahit. Seorang yang luhur kedudukan dan putus akan
ilmu pengetahuan agama. Apakah yang hendak dipercakapkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya" Dapatkah seorang prajurit yang rendah
kedudukan dan dangkal ilmu pengetahuannya seperti dirinya,
melayani percakapan seorang pujangga keraton"
Dipa bersangsi mengambil keputusan. Tiba2 ia memperhatikan bahwa Winada, putera sang maharesi itu
berpaling memandang kepadanya. Cepat iapun mengalihkan
pandang, menyambut. Dilihatnya putera sang resi itu
tersenyum dan menganggukkan kepala. Suatu isyarat agar
Dipa suka menerima ajakan resi Samenaka.
Diam2 memang Winada agak heran juga mengapa, di luar
dari kebiasaannya, sang ayah begitu menaruh perhatian pada
seseorarg seperti yang dilakukannya terhadap prajurit keraton
itu. Ia tahu bahwa ayahnya itu jarang sekali bersikap begitu
terhadap orang. Maka diam2 timbullah pula keinginan tahu
apa yang hendak dibicarakan ayahnya dengan Dipa.
Dipa pun cepat dapat menerima isyarat putera pujangga
itu. Oleh karena malam itu giliran jaganya jatuh pada
angkatan kedua yaitu lewat tengah malam maka iapun takkan
terlambat datang apabila hanya membuang beberapa waktu,
bercakap-cakap atau lebih tepat mendengarkan percakapan
pujangga tua itu. "Baiklah, sang resi" katanya sembari ayunkan langkah
mengikuti pujangga Samenaka dan puteranya naik ke titian
pendapa gedung kediaman Dharmmadyaksa Kasogatan.
Kembali Winada agak terkesiap heran ketika melihat
ayahnya membawa Dipa masuk ke dalam ruang yang biasa
digunakan untuk menerima tetamu penting.
Dipa tak mengerti bahwa ruang tempat ia duduk itu, ruang
tetamu yang berkedudukan penting. Ia hanya mendapat kesan
bahwa ruang itu amat sederhana, tiada dilengkapi dengan
meja kursi ataupun lain2 hiasan. Melainkan hanya sebuah
perasapan, tempat suruh dan sehelai permadani merah yang
menutup lantai. Perasapan itu masih mengepulkan asap yang
harum. Dalam kesederhanaan itu, bahkan Dipa merasakan
suatu rasa kesahduan yang tenang. Suasana yang hening
tenteram, penuh kedamaian. Dan ketika ia duduk bersila
berhadapan dengan sang pujangga serasa timbullah suatu
perasaan bahwa ia seolah berhadapan dengan seorang
manusia yang memiliki kewibawaan kasih, bukan kewibawaan
kekuasaan. "Dipa" pujangga Samenaka mulai membuka percakapan
"tidakkah ada sesuatu keinginanmu untuk mengetahui apa
maksud baginda menitahkan aku menghadap pada malam
ini?" Dipa tertegun. Bagaimana mungkin ia dapat mengetahui
pembicaraan yang berlangsung di dalam keraton itu " Hampir
ia menyerahkan pertanyaan itu kepada penanya, atau tiba2
terlintas suatu pemikiran dalam benaknya. Adakah pujangga
itu hendak menguji ketajaman pikirannya"
Lintasan duga itu berkelanjutan pula, menumbuhkan reka.
Apabila benar demikian maksud sang pujangga yang
disisipkan dalam pertanyaannya, maka tiadalah halangan
untuk menjawab. Menghadapi seorang guru besar semacam
maharesi Samenaka, tiadalah tempatnya ia harus berkecil hati
ataupun malu apabila memberi jawaban salah.
"Ah, bagaimana hamba dapat
maharesi" katanya masih meragu.
mengetahui hal itu, Pujangga Samenaka tertawa "Jika engkau tahu, itu bukan
menduga lagi. Mengetahui dan menduga, berbeda.
Mengetahui, sudah jelas. Tetapi menduga, memerlukan
perangkaian2 pikiran yang berkait dengan perhatian akan hal2
yang terjadi, kemarin, sekarang dan mendatang. Cobalah
engkau terka, prajurit muda"
Karena sudah siap merenungkan hal itu maka Dipa pun
cepat dapat menjawab "Baiklah, maharesi, akan hamba coba.
Maharesi, tuan adalah ketua Dharmadyaksa ring Kasogatan
kerajaan Majapahit dan tuan pula seorang pujangga
termashyur. Hanya ada dua kemungkinan tentang hal yang
baginda perbincangkan dengan tuan. Baginda tentu akan
menitahkan tuan menghaturkan laporan tentang perkembangan agama Buddha selama ini. Dan segala
peristiwa yang bertali dengan urusan ke-dharmadyaksaan"
Pujangga Semenaka tersenyum "Sudah!"
"Kemungkinan kedua, apabila yang hamba katakan itu tidak
benar maka tentulah baginda menitahkan suatu urusan
penting yang menyangkut keselamatan kerajaan dan
kepentingan rakyat" "Coba sebutkan apakah kira2 hal itu?" kata pujangga
Samenaka. Dipa bergirang dalam hati. Karena dengan ucapan itu, jelas
secara tak disadari, pujangga Samenaka membenarkan
dugaannya yang kedua. Kini mulailah Dipa merangkai tentang
urusan penting yang terjadi pada waktu2 terakhir ini. Dia
merenung dan memenung. Merenungkan hal2 dan peristiwa
yang penting selama ini dan memenungkan setiap peristiwa
itu dengan kaitannya pada kepentingan kerajaan dan rakyat.
Akhirnya bersualah ia. "Hamba kira tentulah mengenai kemunculan bintang aneh
di langit pada waktu akhir2 ini maharesi"
"Dengan dasar apakah maka ulasanmu tertuju pada hal
itu?" tanya maharesi Samenaka.
"Hamba hanya memperhatikan tentang kesibukan dalam
alam kehidupan rakyat dan para narapraja pura Majapahit
dalam menanggapi peristiwa bintang aneh itu, maharesi"
Pujangga Samenaka tertawa "Bagus, Dipa, jika demikian
engkau tentu mengerti dasar2 daripada ilmu Semedhi itu,
bukan ?" Agak sukar Dipa memberi jawaban. Ia tak tahu apa yang
dimaksud oleh pujangga keraton itu "Hamba mengerti sedikit
tentang ilmu Semedhi, kata brahmana yang mengajarkan
kepada hamba, ilmu itu adalah untuk memulihkan tenaga,
menjaga keseimbangan badan, pikiran dan kesehatan diri"
Pujangga Samenaka mengangguk "Pada taraf permulaan,
memang demikian. Dan memang seharusnya demikian.
Karena bila gurumu itu mengajarkan engkau bahwa dalam
ilmu Semedhi itu tersembunyi suatu mustika yang amat
berharga, tentulah engkau buru2 ingin mencarinya"
"Mustika apakah itu, maharesi ?"
Pujangga Samenaka tersenyum "Mustika hidup manusia.
Bukan berupa benda permata yang bernilai uang kekayaan.
Melainkan mustika pikiran dan jiwa manusia, yaitu Penerangan
jiwa. Penerangan itu, prajurit muda, tidak datang melalui
seorang pemimpin atau guru, tetapi melalui Pengertian dari
apa yang ada dalam dirimu sendiri. Pengertian itu akan
menimbulkan suatu Kewaspadaan akan apa yang terjadi
dalam dirimu dan di sekelilingmu"
Dipa termenung. "Tetapi Penerangan itu tidak dapat dicari atau dikejar
secara paksa. Tetapi harus timbul secara wajar, sukacita"
lanjut pula pujangga itu.
"Apakah hubungan ilmu Semedhi dengan apa yang hamba
unjukkan sebagai dugaan hamba tadi, sang resi ?"
"Secara tak engkau sadari, engkau telah mengenyam sinar
dari Penerangan itu. Tanpa engkau cari, engkau buru dan
engkau paksakan. Engkau telah menuju ke arah pemilikan
Kewaspadaan terhadap dunia batinmu dan lingkungan
sekelilingmu. Jelaskah engkau, prajurit muda?"
Dipa masih belum dapat mengunyah apa yang dikatakan
oleh maharesi itu "Mohon tuan memberikan penjelasan
kepada hamba" "Dugaanmu yang kedua tadi, memang benar" kata
pujangga Sameraka "baginda telah berkenan menitahkan aku
menghadap untuk membahas suatu masalah yang akhir2 ini
menggelisahkan para kawula"
"O" Dipa mendesuh tertahan. Ia hendak melanjutkan
pertanyaan tetapi tiba2 ia merasa hal itu tentu merupakan
suatu sikap yang kurang layak. Maka ia menelan kembali kata
katanya. "Benar, prajurit muda" kata Samenaka "memang masalah
yang ditanyakan baginda kepadaku tak lain berkisar pada
kemunculan bintang kemukus itu. Baginda hendak minta
penjelasan tentang bintang itu, lambang dan arti serta
pengaruhnya terhadap kerajaan Majapahit"
Dipa masih tak berani menegas lebih lanjut. Ia melainkan
berkata "Tentulah baginda berkenan hati setelah mendengar
penjelasan maharesi"
Pujangga Samenaka menghela napas "Rupanya masih
kurang puas. Karena baginda sebelumnya telah menitahkan
Dang Acarya Agraya, Syaiwadyaksa atau Dharmadyaksa ring
Kasyiwan, untuk menghadap. Untuk dipadu dengan
keteranganku. Dan tampaknya baginda lebih cenderung
kepada Dang A carya Agraya"
"O" desuh Dipa pula.
"Bahkan baginda pun telah menitahkan kepada Mentri
Herhayi untuk menghadapkan Wiku Ciwabud-dharsi Dewadanda, seorang pertapa yang sidik untuk memberi
keterangan" "Ah, sampai sedemikian bersungguh-sungguh baginda
mencurahkan minatnya akan hal itu"
"Baginda mengatakan bahwa sebagai seorang raja, beliau
harus perihatin dan selalu memikirkan kesejahteraan negara
dan kawula. Timbulnya bintang aneh itu tentu merupakan
suatu perlambang alam akan terjadinya sesuatu di negara
Majapahit" "Emu maharesi" kata Dipa terlanjur memberanikan diri
"bagaimanakah keterangan2 dari Syaiwa-dhyaksa, empu
Agraya, Syaiwabuddharsi sang wiku Dewadanda dan tuan
sendiri di hadapan baginda?"
"Syaiwabuddharsi empu Dewadanda telah mempersembahkan keterangan bahwa bintang kemukus itu
memang akan membawa bencana kepada kerajaan Majapahit.
Demikian pula yang dipersembahkan Syaiwa-dyaksa empu
Agraya. Mereka adalah para resi dan wiku yang telah
mencapai tataran tinggi dalam mewaspadakan perobahan
alam menurut hasil yang terlihat dalam persemedhiannya"
Dipa hendak mengeluarkan pertanyaan bagaimana dengan
buah pendapat pujangga itu sendiri. Namun ia tak berani
maka bibirnya yang sudah mulai bergerak-gerak itu hanya
menghamburkan hembus angin.
"Agak sedikit lain uraian yang kuhaturkan kehadapan sang
prabu" kata maharesi Samenaka "dan rupanya baginda kurang
puas kepadaku" "Adakah berbeda pendapat empu maharesi dengan kedua
empu itu?" akhirnya Dipa tak kuasa menahan diri untuk diam
saja. "Pada hakekatnya sejalan" kata maharesi "namun ada
sesuatu yang mencegah aku untuk menguraikannya dengan
terus terang. Maka kuselimuti keteranganku itu dengan suatu
permohonan agar baginda tak perlu kuatir dan tenang2 dalam
kewaspadaan. Dalam kitab Kalama Sutta, antara lain disebut
bahwa : Jangan percaya apa yang dikatakan orang lain.
Jangan percaya apa yang menurut dugaan saja. Tetapi harus
diselidiki kebenarannya"
Berhenti sejenak pujangga tua itu berkata pula, "Sebagai
halnya angkasa yang amat suci bersih tidak tercemar dengan
sesuatu apa, sifatnya tidak tertentukan dan tiada orang yang
mengetahui segala gerak kerjanya dan tahu akan bentuk
ujutnya. Tiada seorang pun yang berkuasa memerintah atau
menunjuknya. Tiada terkatakan besar atau kecilnya, tiada
berwarna hitam ataupun putih. Menggaib dan menyebar
menemui seluruh penjuru alam buana. Demikian apabila jiwa
manusia sudah suci bersih. Ia tak merasa besar atau kecil,
tidak pula merasa bercorak warna yang tertentu. Tidak merasa
kaya atau miskin, tidak merasa berani atau takut. Ia telah
bebas dari pengaruh gangguan riak gelombang suka duka laut
kehidupan dunia ...."
"Baginda" kataku kepada sang prabu "kemunculan sebuah
bintang aneh ataupun perobahan bentuk rembulan maupun
matahari dan lain2, hanyalah pencemaran dari sesuatu benda
di angkasa. Hendaknya hal itu tidak mempengaruhi kebesaran
jiwa baginda dalam naungan Sangyang Adi Buddha.
Kemunculan bintang berekor itu hanyalah suatu perkisaran
dalam alam kehidupan tata-surya belaka. Hamba mohon
hendak paduka jangan terjerumus dalam dugaan yang tiada
tentu kebenarannya" "Jika demikian, paman maharesi menganggap kemunculan
bintang berekor itu tiada pengaruh apa2 pada kerajaan dan
kawula kami?" tanya prabu Jayanagara.
"Jangan percaya apa yang menurut dugaan saja. Tetapi
selidiki kebenarannya. Kalau yakin bahwa sesuatu tidak
berguna, salah dan tidak baik, janganlah dilakukan jua hal itu.
Kebalikannya apabila yakin bahwa hal itu berguna dan baik,
terimalah dan lakukanlah hal itu. Demikian salah sebuah
ajaran dalam kitab Kalama Sutta, baginda" jawabku "hamba
mohon janganlah paduka risau akan bintang itu tetapi lebih
seyogya paduka membesarkan usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan kerajaan dan kawula paduka"
"Demikianlah yang kuhaturkan kepada baginda dan baginda
tampak tak berkenan hati" maharesi Samenaka mengakhiri
penuturannya dan kemungkinan akan terjadi suatu perobahan
dalam kedharmadyaksaan Kasogatan ini
Ucapan maharesi itu berlantang dalam nada yang jernih
tiada sedikitpun memancarkan nada kegelisahan. Kemudian ia


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerling ke arah puteranya "Bagaimana pendapatmu,
puteraku?" Putera sang pujangga, Jaka Winada itupun tenang pula
menyahut "Rama, sebelum menjawab pertanyaan rama,
idinkanlah aku mengajukan barang sepatah dua pertanyaan ke
hadapan rama" "Silahkan" "Sesungguhnya adakah sesuatu yang rama sembunyikan
dalam keterangan rama di hadapan baginda ?" tanya Winada.
Samenaka mengangguk pelan "Prakitri alam tiadalah dapat
diubah manusia, puteraku. Kita manusia hanya kuasa
berusaha, tiada kuasa memutuskan"
"Rama maksudkan akan terjadi sesuatu pada diri baginda?"
cepat putera sang pujangga itu menanggapi.
"Aku tak kuasa mengatakan begitu" sahut maharesi
Samenaka "karena kebenaran itu hanya dapat dibuktikan
apabila telah terjadi peristiwanya"
"Ah, jika demikian tentu mempunyai sangkut paut penting
dengan diri baginda" agak gugup Winada berkata lalu
mengerling ke arah Dipa "jika demikian, tidakkah rama ...."
Maharesi empu Samenaka menukas tertawa "Prajurit ini,
akan selalu hadir dekat dalam peristiwa2 di hari2 mendatang.
Kurasa tiada halangan baginya untuk mendengarkan
pembicaraan kita" Dipa terkejut. Ia tak pernah menyangka bahwa malam itu ia
akan menjumpai suatu peristiwa besar yang akan
membukakan rahasia dari kemunculan bintang berekor di
langit Majapahit. Walaupun maharesi empu Samenaka sudah
meluluskan ia tetap hadir di situ, namun sebagai seorang tahu
akan susila, Dipa segera berkata "Empu, hamba mohon
supaya diperkenankan kembali ke keraton"
Empu Samenaka tertawa "Ah, janganlah engkau memakai
banyak peradatan. Jangan pula engkau merasa gelisah karena
ikut mendengarkan uraianku ini. Karena apa yang engkau
dengar saat ini, akan hapus semua dalam ingatanmu setelah
engkau ke luar dari rumah ini. Demikian pula engkau empu
Samenaka" berpaling ke arah puteranya "engkaupun akan tak
ingat semua apa yang kukatakan kepadamu"
Apabila Winada hanya tertawa adalah Dipa diam2 terkejut.
Ia hampir tak mempercayai ucapan maharesi itu. Betapapun ia
tentu akan dapat mengingat pembicaraan resi itu tentang
nasib kerajaan. Namun ia tak enak untuk menyatakan sesuatu.
"Lepas dari pandangan Kasogatan" empu Samenaka mulai
menutur "menurut pengawakanku dalam ilmu Perbintangan,
kemunculan sebuah bintang berekor itu akan meimbulkan
suatu bencana. Malam itu sengaja aku berjaga sampai larut
untuk menyaksikan bintang itu. Ternyata hampir mendekati
fajar barulah bintang itu menampakkan diri, muncul dari
selelah barat dan lenyap ke timur. Dan kuwawas pula
hamburan sinar yang dipercikkan bintang itu berwarna putih
kehijau-hijauan" "O, adakah pertanda yang dilambangkan dalam warna
cahaya bintang itu kepada kita ?" tanya Winada.
"Pranitiwakya atau surat Jangka Jayabaya yang ditulis oleh
ramuhun rahyang Jayabaya, berkata kepada puteranya raden
Jaya Amijaya. Kelak pada jaman akhir, janganlah sampai
terkabur oleh yang bukan cahaya Hyang. Jangan terkabur oleh
cahaya Hitam, cahaya itu cahaya dajal (pusar). Jangan
terpikat oleh cahaya merah karena itu cahaya dari kala abang.
Jangan terkabur oleh cahaya kuning, cahaya Naga. Jangan
terkecoh oleh cahaya Putih, cahaya raksasa. Dan jangan
sekali-kali terpikat oleh cahaya Hijau karena itulah cahaya titah
yang murtad" Berhenti sejenak maharesi Samenaka melanjutkan pula
"Cahaya yang dipercikkan bintang berekor itu berwarna putih
kehijau-hijauan. Perlambang dari nafsu ke-angkara-murkaan
dan kemurtadan. Bintang berekor disebut pula Bintang
Kemukus atau Bintang Sapu. Dia akan menyapu segala
keangkara murkaan dan kemurtadan yang terjadi pada titah
manusia" "Engkau tentu mengetahui betapa keruh dan gelisah
keadaan dalam pura Majapahit selama ini" sambung resi
Samenaka pula "sedemikian keruh sehingga seorang
mahapatih seperti rakryan Narnbi dan beberapa mentri tua
dari kerajaan serta senopati2 setya, telah hancur dibinasakan
di Lumajang. Angkara murka seperti seorang raksasa yang
dilambangkan sinar putih itu, telah mencengkam nafas
kehidupan kerajaan Majapahit. Kemurtadan yang mengisi
sikap hidup orang dengan perabaan jahat, iri, dengki, fitnah,
telah menyubur dalam hati orang. Inilah, puteraku, yang akan
dibinasakan oleh alat penumpas yang timbul dari pantulan
karma mereka sendiri ..."
"Adakah dalam hal itu peribadi baginda
tersangkut?" tanya sang putera.
juga akan "Karma itu milik setiap peribadi, baik dia itu raja, brahmana,
waesya ataupun kaum sudra. Dan buah yang dikenyam,
adalah hasil dari yang ditanam sendiri"
"Tetapi rama" kata Winada pula "bukankah sesuatu yang
menyangkut diri seorang raja itu akan merupakan suatu
peristiwa besar" Dan oleh karenanya bukankah tentu akan
timbul sesuatu keanehan yang memperlambangkannya?"
"Telah kukatakan bahwa karma itu akan berlaku pada
setiap insan, tanpa memandang siapakah dia. Raja sebagai
lambang kerajaan dan sesembahan para kawula. Timbullah
sesuatu pada kerajaan, tentu akan menyangkut peribadi raja
itu juga" "Oh" desuh Winada "rama hendak mengata ......"
"Kodrat Prakitri tak dapat dielakkan.
mendapat kesulitan dan halangan"
Baginda akan "Rama" seru Winada "rama telah tahu akan hal itu tetapi
mengapa rama tak mengatakan kepada baginda?"
"Puteraku" jawab maharesi tenang "telah kukatakan bahwa
kodrat itu tak dapat dielakkan. Memberitahu hal itu, berarti
membuka rahasia Prakitri. Suatu hal yang berat imbalannya.
Dan andaikata dengan memberitahukan itu, dapat merobah
kehendak kodrat, itupun masih tak mengapa. Tetapi karena
sifatnya yang tak dapat dihindari, maka sia2 belaka usaha
untuk memberitahukan hal itu kepada baginda"
"Tetapi rama" masih Winada menyanggah "tidakkah rama
berusaha untuk menyelamatkan bencana itu ?"
Empu pujangga Samenaka menghela napas "Setiap usaha
dari fihak luar, hanya akan menambah kekeruhan belaka.
Usaha itu harus timbul dari dalam, dari batin sang prabu
sendiri. Itulah sebabnya kepada baginda, kuseyogyakan agar
lebih besar berusaha memperkembangkan amal perbuatan
dan langkah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan
terutama supaya lebih tekun dan giat membangun,
memelihara dan membersihkan pikiran dan mensucikan batin"
"Walaupun rama tak mengatakan pemecahan dari bintang
berekor itu, tidakkah baginda sudah memiliki pengetahuan
dari persembahan kata Syaiwadyaksa Syaiwabudarsi empu Dewadanda ?"
dan empu "Kemungkinan demikian" jawab empu Samenaka "tetapi
kemungkinanpun tidak. Menilik bahwa kedua beliau itu wiku2
yang utama" Kemudian pujangga itu berpaling ke arah Dipa "Prajurit
muda, engkau telah digariskan oleh Prakitri hidupmu untuk
menghadiri peristiwa itu. Apabila engkau dapat membajakan
batin dan tindakanmu dengan ketulusan dan keseiyaan, kelak
engkau tentu akan teranugerah dengan kehidupan yang
gemilang" Dipa tersipu-sipu. "Ah, hamba hanya seorang prajurit
rendah, Bagaimana mungkin akan memimpikan hal2 yang tak
hamba sadari" "Asal engkau mau mengingat dan mencamkan" kata
maharesi Samenaka "bahwa segala apa itu hanya tergantung
pada diri peribadimu sendiri. Engkaulah guru peribadimu,
engkaulah murid peribadimu dan engkau pulalah kekuatan diri
peribadimu." Sebelum Dipa sempat mengucap kata, maharesi itu sudah
beralih kepada puteranya "Puteraku, hidup ini tiada kekal
sifatnya. Janganlah engkau menyesal karena menderita tetapi
janganlah engkau gembira karena bahagia. Terimalah segala
yang engkau alami dengan penuh kesadaran dan kerelaan
yang tulus" Winada terkesiap. Ia tak mengerti mengapa secara tiba2
ramanya telah memberi pesan yang sedemikian. Namun
sebelum ia sempat membuka mulut, empu Samenaka sudah
mendahului "Engkau, puteraku, bersiap-siaplah menyambut
hari2 yang penuh peristiwa. Kelak engkau pun, bersama
prajurit muda itu, akan mengalami peristiwa2 besar.
Namamu berdua akan menjulang di kelak kemudian hari tetapi nasibmu berdua pun akan tenggelam dalam percaturan
kehidupan yang ganas."
Pemuda itu termenung. Beberapa saat kemudian, empu Samenaka berseru "Dipa, hari sudah menjelang
tengah malam. Silahkan sekarang engkau kembali pada tugasmu di dalam keraton. Tetapi hendaknya,
janganlah engkau mengingat lagi apa yang telah kubicarakan
di sini. Bersediakah engkau, Dipa?"
"Baik, empu" sahut Dipa. Singkat dan tertahan karena pada
saat itu juga benaknya seraya memercikkan kilap sinar yang
terang lalu sekejab pula hilang.
"Dan engkau juga, puteraku, engkau tentu bersedia untuk
tak mengingat lagi semua pembicaraanku tadi bukan?" kata
maharesi Samenaka kepada puteranya. Dan puteranya itupun
mengangguk. Dipapun bergegas pulang ke puri keraton. Bintang2 makin
cemerlang sinarnya, langit makin kelam. Suasana menjelang
tengah malam makin menebarkan keheningan yang lelap.
Dipa berjalan dengan langkah yang lapang. Selapang dada
dan hatinya karena telah merasa menunaikan sebuah tugas.
Mengawal kepala Dharmadyaksa Kasogatan pujangga empu
Samenaka ke gedung kediamannya. Tiada lain perasaan yang
menghuni dalam hatinya kecuali rasa lapang pikiran karena
telah menunaikan tugas. Apa yang didengar pada saat diajak
bercakap-cakap oleh empu Samenaka, tidaklah teringat lagi
dalam benaknya. Dan tampaknya iapun tak merasa resah
karena tak teringat hal itu. Betapa ia akan resah karena sama
sekali ia tak teringat suatu apa" Ia merasa hanya mengantar
lalu pulang, tak pernah merasa diajak masuk ke dalam dan
bercakap-cakap oleh pujangga tua itu.
Sekonyong-konyong ketika hendak melintas jalan yang
membatasi lingkungan benteng, ia mendengar derap langkah
kaki orang berjalan cepat. Cepat ia menyurut ke balik
sebatang pohon besar. Hanya dalam beberapa kejab saja, derap kaki itu segera
membawakan kemunculan dua orang lelaki berpakaian
sebagai pengalasan. Sejak berada dalam puri kerajaan, banyaklah hal2 yang
mendapat perhatian Dipa. Bahkan ia sempat pula
memperhatikan tiap pakaian dari para abdi, dayang, sampai
pada golongan pengalasan dari setiap narapraja. Dilihatnya
kedua orang itu memang menyerupai pengalasan. Tetapi ia
tak tahu pengalasan mentri yang mana.
"Ah, bagaimana kalau gedung kediaman rakryan Kuti sudah
tutup, kakang?" kata salah seorang.
"Gusti patih telah menitahkan kita untuk menyampaikan
surat kepada rakryan Kuti. Menilik surat itu harus disampaikan
pada waktu tengah malam begini, tentulah surat itu amat
penting dan rahasia. Betapapun, kita harus mengusahakan
agar surat itu dapat diterima rakryan Kuti" jawab yang
seorang. Dipa terkejut. Gusti patih yang disebut orang itu, menurut
dugaannya, tentulah patih Aluyuda. Jika demikian kedua orang
itu tentulah pengalasan dari kepatihan. Mengapa patih
Aluyuda hendak menyampaikan surat pada waktu tengah
malam " Adakah telah terjadi sesuatu yang penting dan
gawat" Sebagai seorang prajurit bhayangkara yang baru, Dipa tak
banyak mengetahui tentang liku2 hubungan antara seorang
mentri dengan lain mentri, senopati dengan senopati.
Demikian pula antara ki patih A luyuda dengan rakryan Kuti. Ia
tahu bahwa rakyan Kuti itu kepala dari Dharmaputera yang
menjadi kepercayaan baginda. Dan iapun tahu pula bahwa
sejak mahapatih Nambi binasa maka baginda Jayanagara telah
menyerahkan pekerjaan mahapatih kepada patih Aluyuda.
Tetapi ia tak tahu hubungan apakah yang terjalin di antara
rakryan Kuti dengan patih Aluyuda.
Seketika timbul keinginan untuk mengikuti jejak kedua
pengalasan itu. Tetapi sesaat itu juga ia mendengar suara
kentung bertalu memanjang.
"Ah, sudah tengah malam. Regu penjaga pertama segera
turun dari sasana puri" katanya seorang diri. Terpaksa ia
batalkan rencana untuk mengikuti jejak kedua orang yang
hendak menuju gedung Dharmaputera itu.
Namun pemikiran untuk mengungkap apa yang hendak
dilakukan kedua pengalasan itu di tempat kediaman ra Kuti,


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tetap dibawanya serta pada saat ia melakukan tugas
penjagaan dalam puri keraton.
"Mengapa patih Aluyuda mengutus pengalasan menghadap
rakryan Kuti pada waktu tengah malam buta " Pentingkah
berita itu" demikian pertanyaan yang menjadi lawan jaga
malam itu. Ketika pagi itu turun dari tugas penjagaan, Dipa pulang ke
asrama, lepaskan pakaian keprajuritan lalu mengenakan
pakaian biasa dan terus ke luar berjalan-jalan.
Ada sesuatu yang menghuni dalam pikirannya. Ia tak tahu
apa dan bagaimana hendak membentuk wajah dari soal yang
berada dalam benaknya itu. Namun ia merasa bahwa memang
ada sesuatu. Ia merasa tetapi tak tahu apa yang dirasakan
dan bagaimana harus merasakannya.
Sejak berada di pura Majapahit, Dipa mengenyam
kehidupan baru. Ia hidup di tengah2 lingkungan masyarakat
tinggi di mana tiap hari ia selalu melihat, berjumpa dan
mendengarkan para mentri, senopati dan narapraja sibuk
menghadap baginda dalam rangka tugas kewajiban mereka
masing2. Sebagai seorang prajurit bhayangkara keraton, ia
mempunyai kebebasan dari pengamatan dan kecurigaan.
Bahkan tiada seorangpun di antara dayang perwara, hamba
sahaya dalam keraton, maupun para mentri senopati dan para
priagung, yang menaruh perhatian kepadanya. Dalam
pandangan mereka puri keraton dengan prajurit bhayangkara
adalah ibarat bunga mawar dengan durinya. Sesuatu yang
agung, yang indah, tentu ada pelindungnya.
Namun bagi Dipa, kebebasan itu bukanlah kebebasan yang
mutlak atau tanpa batas. Melainkan kebebasan yang terikat
akan peraturan dan tata tertib keprajuritan. Dan sebagai
prajurit, lebih pula seorang bhayangkara keraton yang
mendapat tugas istimewa untuk melindungi keselamatan raja,
peraturan dan tata tertib itu harus lebih ditaati.
Walaupun semasa di keraton Kahuripan, Dipa sudah pernah
mengenyam kehidupan semacam itu, namun beda juga
keadaannya dengan di puri keraton Majapahit. Dalam hal itu
Dipa pun cepat dapat menyesuaikan diri. Ia menyadari bahwa
setiap prajurit atau bhayangkara itu diangkat untuk melayani
tugas, bukan tugas yang diadakan untuk melayani prajurit.
Bukan pekerjaan yang melayani orang tetapi orang yang harus
melayani pekerjaan. Bukan jabatan diadakan untuk seseorang
tetapi orang diangkat untuk menduduki jabatan. Tugas,
pekerjaan dan jabatan adalah garis2 rencana yang telah
ditentukan. Siapapun dapat diangkat untuk menjabat
kedudukan itu. Dengan kesadaran itu, beruntunglah Dipa dapat
menghindarkan diri dari rasa tinggi hati, angkuh, sombong dan
sikap hadigung, sikap yang merasa dirinya paling berkuasa.
Ia tahu bahwa dalam kedudukannya sebagai seorang
prajurit bhayangkara keraton Majapahit, rakyat tentu akan
menaruh keseganan dan perindahan terhadap dirinya. Tetapi
ia tak menghendaki hal itu. Andaikata ia mendapat perlakuan
semacam itu, biarlah hal itu tumbuh dari hati nurani mereka
terhadap kemurnian peribadinya. Dipa seorang manusia yang
baik, bukan Dipa seorang prajurit bhayangkara istana yang
mempunyai kekuasaan. Oleh karena itulah maka Dipa memerlukan berganti pakaian
orang biasa dulu, di kala ia hendak ke luar melihat-lihat
keadaan dalam pura kerajaan. Dan dalam dandanan sebagai
orang biasa itu, timbullah rasa tenteram dalam hatinya.
Hari itu masih pagi namun kehidupan dalam pura kerajaan
sudah mulai menampakkan kesibukan. Yang paling menyolok
pandangan yalah kesibukan orang berjual beli di pasar. Dan
kebetulan pula hari itu adalah hari pasara. Makin ramailah
pasar dengan barang dagangan yang melimpah ruah.
Rempah2, hasil bumi, sayur mayur, kain2, bahan pakaian
beraneka warna warni, berbagai barang2 balapecah juga
diperdagangkan oleh saudagar2 dari pelabuhan Canggu.
Bahkan barang2 perhiasan emas permata sampaipun ukirukiran dari kayu, tanduk dan keramik.
Sejenak pikiran Dipa terhanyut dalam buaian pandang
mata. Betapa jauh bedanya antara pekan pasara di desa
Madan-Teda dahulu dengan pekan pasara di pura Kahuripan.
Bahkan makin amat jauh lagi keadaannya dengan pekan
pasara di pura kerajaan Majapahit.
Keadaan pekan pada waktu pasara, samalah yang dilihat
oleh orang dengan yang dilihat Dipa. Tetapi mungkin dalam
perasaan melihat itu, akan berbeda kesan dan kesimpulan
masing2 orang. Entah bagaimana kesan dan perasaan orang,
tetapi bagi Dipa, peningkatan melihat ke arah kesan dan
perasaan itu, mempunyai warna tersendiri.
Ia tidak merasakan keramaian pekan pasara itu sebagai
suatu pekan yang ramai, jauh lebih meriah dari hari2 biasa.
Melainkan dari dua sudut pandangan.
Pertama, keramaian pekan pasara itu dapat mempertandakan kemakmuran kehidupan rakyat. Banyaknya
jenis perdagangan merupakan luasnya lingkungan mata
pencaharian rakyat. Jelas rakyat Majapahit pada masa itu,
rajin mengolah bumi, menanam sawah. Pandai membuat
barang2 kerajinan tangan, perhiasan dan seni ukir-ukiran.
Tinggi rendahnya martabat negara, dapat diukur dari
kemajuan tingkat kehidupan rakyatnya. Dipa memiliki
keyakinan bahwa negara Majapahit akan tumbuh besar karena
mempunyai rakyat yang sudah berkembang tingkat
kehidupannya. Kedua, setelah memiliki kesan dan menumbuhkan
keyakinannya, Dipa maju setapak pula. Dengan cara dan
usaha bagaimanakah dapat lebih memajukan kehidupan
rakyat itu" Bukankah pekan pasara akan jauh lebih semarak
apabila terdapat barang2 dagangan yang iebih banyak
jumlahnya dan lebih banyak pula jenis coraknya" Bukankah
barang2 yang diperdagangkan saat itu hanya berasal dari
telatah sekitar pura Majapahit atau paling jauh berasal dari
para saudagar atas angin yang datang di bandar Tuban dan
Canggu" Serentak ia teringat bahwa walaupun desa Madan-Teda itu
merupakan daerah tandus, tetapi banyak menghasilkan ternak
kambing dan buah pala. Mengapa barang hasil desa itu tak
tampak di pekan pura Majapahit"
"Ah" tiba2 Dipa mendesuh seorang diri "tentulah karena
perjalanannya jauh dan jalannyapun bencah2, sukar dilalui
orang. Hm, jika jalan sebagai sarana hubungan antar daerah
dengan daerah, desa dengan kota, sudah diperbaiki, tentulah
lalu lintas perdagangan akan bertambah lebih ramai dari
sekarang" "Dan setelah perhubungan darat tercapai, perahu2 untuk
menghubungkan pulau dengan pulau, negara dengan negara,
perlu juga diadakan. Apabila hal itu terlaksana, betapalah
melimpah ruah dagangan2 yang akan membanjiri pekan ini"
Dipa berkelanjutan menurutkan layang pikirannya.
Terbayang dalam pelupuknya sebuah pura kerajaan yang
ramai indah, di mana pekan2 penuh melimpah ruah dengan
berbagai jenis hasil bumi dan barang dagangan. Di mana
jalan2 bersih dan lebar, di mana rakyat selalu tampak berseriseri gembira, dimana anak2 bermain main di halaman rumah
dan taman dan di mana2 suasana tampak tenteram dan
sejahtera. "Dipa ...." Sekonyong konyong Dipa tersentak dari lamunan ketika
bahu kanannya terasa ditepuk pelahan dari belakang oleh
seseorang. Dipa pun cepat beranjak dan berpaling ke
belakang. "Ah, engkau kakang Kebo" serunya ketika
mengetahui siapa yang berada di belakangnya.
"Terkejut?" ulang orang yang disebut dengan nama Kebo,
lengkapnya Kebo Lanang. Dipa mengangguk "Sedikit"
"Maaf, Dipa" orang itu tersenyum "jika aku mengganggu
kesenanganmu" "Kesenanganku" Apa maksud kakang Kebo?"
Kebo Lanang tersenyum "Ah, tak usah malu2. Dipa. Aku
lelaki engkaupun lelaki. Pandanganmu, pandanganku juga"
Dipa terbelalak. "Ah, masih pura2 engkau, Dipa?" Kebo Lanang tersenyum
"bukankah engkau sedang memusatkan pandang kepada
wanita penjual bunga itu?"
"Ah, yang mana?" Dipa makin gugup.
"Itulah, wanita berbaju merah seperti warna bunga yang
dijualnya itu" kata Kebo Lanang "ah, tajam benar pandang
matamu, Dipa. Dia memang cantik"
Dipa tersipu merah "Ah, engkau salah faham, kakang Kebo.
Aku tidak ..." "Sudahlah, Dipa" tukas Kebo Lanang "sudah jamak apabila
seorang lelaki dan terlebih-lebih pula seorang prajurit bermain
main dengan wanita. Bukankah demikian, Dipa?"
"Mungkin begitu" jawab Dipa "tetapi engkau salah duga.
Aku bukan sedang memperhatikan wanita penjual bunga itu"
"O, tetapi mengapa engkau tegak terlongong-longong
mengarahkan pandang kepadanya ?"
Dipa menghela napas "Aku sedang melamun, kakang ...."
"Melamun?" Kebo Lanang tertawa "masa hari masih sepagi
ini engkau sudah melamun " Melamunkan wanita cantik
manakah, engkau Dipa?"
Dipa agak mengkal tetapi ia paksakan tersenyum "Mengapa
setiap patah kata yang engkau ucapkan tentu berkait dengan
wanita" Adakah tiada lain soal penting yang engkau pikirkan
selain wanita itu, kakang Kebo Lanang ?"
Kebo Lanang tertawa "Banyak tetapi yang paling
menyenangkan adalah tentang wanita. Eh, Dipa apakah
engkau lupa?" ia mendekati telinga Dipa dan berbisik
"bukankah baginda Jayanagara junjungan kita itu juga gemar
sekali akan wanita ?"
Dipa mengangguk "Ya, mungkin engkau benar juga. Tetapi
kurasa disamping wanita, masih banyak sekali soal2 penting
yang harus kita pikirkan. Kebesaran negara Majapahit dan
kesejahteraan rakyat, memerlukan segenap pikiran, tenaga
dan pengabdian kita"
Kebo Lanang mendesuh "Uh, mengapa engkau sibuk
memikirkan urusan negara dan rakyat" Bukankah engkau
hanya seorang prajurit" Tidakkah urusan negara dan rakyat itu
menjadi tanggungjawab para gusti menteri dan senopati
kerajaan " Ah, engkau benar2 bodoh sekali, Dipa. Memikirkan
hal yang bukan menjadi tanggungjawabmu"
"Tidak kakang Kebo Lanang, tanggapanmu salah" sanggah
Dipa "kejayaan negara dan kesejahteraan rakyat, bukan
semata-mata menjadi tanggung jawab para gusti mentri dan
gusti senopati. Tetapi kita semua rakyat, mempunyai
tanggung jawab!" Kebo Lanang terbelalak tetapi sesaat kemudian ia tertawa
"Mungkin engkau masih melamun, Dipa. Bagaimana urusan
negara, kita rakyat yaag disuruh bertanggung jawab"
Bukankah kerajaan Majapahit ini milik baginda Jayanagara?"
Saat itu orang makin ramai memenuhi pekan. Ada yang
sudah selesai membeli-beli atau jualannya habis lalu pulang.
Ada pula yang baru datang. Melihat suasana itu Dipa tak enak
dalam hati. Berbicara soal negara dan pemerintahan, bukanlah
di pekan tempatnya. Maka ia segera ayunkan langkah
mengajak Kebo Lanang "Kakang, mari kita pergi ke lain
tempat" Kebo Lanang terpaksa mengikuti langkah Dipa. Keduanya
menyusup ke luar dari kerumun rakyat yang berada dalam
pekan. Setelah memakan waktu beberapa saat, akhirnya
kedua orang itu ke luar dari lingkungan pekan dan berjalan
menyusur sebuah jalan. Kebo Lanang juga seorang prajurit yang bertugas menjaga
keamanan puri keraton. Ia kenal baik pada Dipa dan suka
pada anakmuda itu. Ia pun hendak membeli sebuah ikat
pinggang baru di pekan itu. Secara tak terduga, ia melihat
Dipa sedang tegak terlongong-longong memandang ke arah
seorang wanita penjual bunga. Kebo Lanang bertubuh tegap,
bertenaga kuat. Walaupun umurnya sudah hampir tigapuluh
tahun, tetapi ia tak mau beristeri. Ia tak mau menghapus
kegemarannya akan paras cantik dengan beban kewajiban
rumah tangga. Dan sudah bukan rahasia lagi di dalam
lingkungan keraton bahwa Kebo Lanang itu disayang baginda
karena rajin melayani selera baginda terhadap wanita2 cantik.
"Kakang Kebo Lanang" tiba2 Dipa berkata pula "ingin
kujelaskan pembicaraan kita tadi. Bahwa kita rakyat semua,
mempunyai tanggung jawab terhadap negara Majapahit"
"Hm, engkau masih bersitegang kepala, Dipa"
"Kakang Kebo Lanang" cepat Dipa menyambut "milik
siapakah kerajaan Majapahit itu?"
"Sudah tentu milik baginda"
"Baiklah" kata Dipa "lalu membawahi atau memerintahkan
siapakah baginda itu?"
"Seluruh kawula Majapahit"
"Dengan demikian raja harus mempunyai kawula, bukan?"
kata Dipa "andaikata, ya, ini hanya pengandaian saja, kakang
Kebo Lanang, negara Majapahit ini kosong tiada kawulanya,
apakah baginda dapat menjadi raja?"
"Ha?" Kebo Lanang ternganga "sudah tentu dia tak dapat
menjalankan pemerintahan"
"Apakah yang disebut pemerintahan itu" Tahukah kakang
Kebo Lanang akan maknanya?" tanya Dipa.
Kebo Lanang nyalangkan mata "Jangan mengajukan
pertanyaan yang bukan2. Anak kecilpun tahu bahwa
pemerintahan itu yalah baginda dibantu oleh segenap mentri
dan senopati" Dipa gelengkan kepala "Kurang tepat, kakang. Pemerintahan itu yalah yang mengatur dan yang diatur. Yang
mengatur pemerintahan itu raja dibantu narapraja dan yang
diatur itu para kawula. Dengan terbentuknya yang mengatur


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan yang diatur maka tercipta-lah sebuah pemerintahan atau
kerajaan dalam wadah sebuah negara. Oleh karena itu, maju
mundur atau rusak jayanya negara tergantung pada
pemerintahnya. Dan pemerintah itu bukan lain yalah raja dan
kawula. Dengan demikian jelas, kita seluruh rakyat
mempunyai tanggung jawab terhadap negara Majapahit"
"Sudahlah, Dipa, pekak telingaku mendengar uraianmu itu"
teriak Kebo Lanang seraya mendekap telinga dengan kedua
tangan "mari kita bicara saja tentang lain soal"
Dipa tertawa "Baik, kakang Kebo Lanang. Tetapi perlu
kutandaskan kepadamu, kemana saja engkau hendak
melarikan diri dan menghindar namun tetap engkau akan
berhadapan dengan kenyataan bahwa engkau ini Kebo
Lanang, seorang prajurit yang mempunyai tanggung jawab
terhadapan keselamatan raja dan negara Majapahit"
"Huh, tanpa engkau tandaskan, karena aku merasa
menerima upah dan nafkah, sudah akan kulakukan tugas
pekerjaanku sebaik-baiknya"
Dipa gelengkan kepala "Ah, kakang Kebo Lanang, mudahmudahan engkau mendapat kesadaran bahwa pekerjaan yang
engkau lakukan saat ini bukan semata karena soal nafkah
tetapipun mengandung rasa kesadaran bertanggung jawab
terhadap keselamatan negara"
Kebo Lanang mengkal. Ia hendak memberantas agar Dipa
jangan membicaraan soal itu lagi. Tetapi baru ia hendak
membuka mjlut, tiba2 terdengar suara orang bersorak-sorak
riuh rendah. "Apakah itu, kakang Kebo Lanang?" tanya Dipa.
Kebo Lanang merenung sejenak lalu balas bertanya "Bugus,
Dipa, bukankah hari ini pekan pasara" Hayo, kita ke sana"
prajurit itu terus menarik tangan Dipa diajak berjalan.
"Ke mana kakang?" Dipa heran.
"Ke lapangan di sebelah selatan"
"Mengapa?" "Melihat orang menyabung ayam" jawab Kebo Lanang
"ramai benar permainan itu. Apalagi pada tiap pekan pasara
seperti hari ini" "Apa engkau hendak turut menyambung ayam?"
"Tak perlu" jawab Kebo Lanang "kita cukup menonton saja.
Kalau berminat, kita boleh ikut bertaruh uang. Pada pekan
pasara, biasanya besar sekali uang yang dipertaruhkan itu"
Dipa tak memberi tanggapan melainkan mengikuti langkah
Kebo Lanang menuju ke gelanggang sabung ayam. Tampak di
sebuah tanah lapaig yang sekelilingnya ditumbuhi pohon
anjiluang dan maja, penuh dengan orang. Sepanjang tepi
jalan yang menuju ke tanah lapang itu terdapat beberapa
pedagang minuman, sirih dan makanan. Demikian pula
penjaja beberapa jenis buah buahan.
Kedatangan Dipa bersama Kebo Lanang cepat mendapat
sambutan hangat dari para pedagang minuman yang
menjajakan dagangannya. Namun Kebo Lanang hanya
menggelengkan kepala dan lanjutkan langkah masuk ke dalam
gelanggang. Suasana dalam gelanggang saat itu tampak ramai sekali.
Tak seorangpun mengacuhkan kedatangan Dipa dan Kebo
Lanang. Pehatian orang tertumpah seluruhnya ke tengah
gelanggang di mana dua ekor ayam sabung tengah berlaga
seru. Seekor ayam jago bulu hijau hitam sedang bertarung
lawan seekor ayam jago berbulu merah hitam.
"Hayo, Loncang, hancurkan kepalanya !" teriak beberapa
lelaki seraya mengacungkan tinju dan menggenggamnya
kencang2. Adalah saat itu ayam jago bulu merah sedang mematuk
cengger lawan lalu beranjak menerpa muka lawan dengan
tajinya yang tajam. Muka ayam jago bulu hijau itupun
mengucur darah tetapi rupanya ayam itu tahan sakit. Ia tetap
bertahan diri, berusaha untuk menggeliatkan kepala
menghindari patukan paruh lawan.
Berulang kali terdengar orang yang berfihak pada ayam
merah itu bersorak dan ikut melagakan tangannya mengikuti
gerak terjangan ayam bulu merah itu. Bahkan karena
terhanyut dalam luap perasaan yang tegang, sesekali
terdengar jerit kesakitan dan sumpah serapah dari mulut
seseorang "Aduh, kepalaku ...."
Sesaat orang itu berputar tubuh dan balas meninju perut
orang yang berada di belakangnya. Yang ditinju pun
mengaduh lalu balas memukul. Suasana gaduh. Untung orang
cepat2 dapat melerainya. Adalah karena terangsang rasa
tegang ketika ayam bulu merah beranjak menghunjamkan
kukunya yang tajam ke muka lawan, orang itupun segera
ayunkan tinju menghantam. Tanpa disadari, tinjunya memukul
kepala orang yang berada di mukanya.
Karena kegaduhan kecil itu dan karena sudah tiba waktunya
maka kedua ayam jago itupun diambil oleh pawang masing2,
yalah orang yang bertugas untuk memberi minum, membasuh
dan membersihkan luka2 ayam yang disabung.
Waktu istirahat beberapa saat itu dipergunakan oleh
penyabung ayam untuk mencari pertaruhan lagi
"Jika ada yang berani menambah uang taruhan, akan
kupertaruhkan rumahku berikut seluruh isinya untuk si
Loncang" Orang itu terkenal sebagai tukang sabung ayam yang paling
berani bertaruh. Sidanta namanya. Seorang blantik atau
pedagang sapi yang kaya. Tiada seorangpun yang berani menjawab tantangan
Sidanta. Pertama karena tak sanggup menyediakan taruhan
yang sedemikian besar. Dan kedua karena setiap orang tahu
bahwa kekuatan Loicing ayam bulu merah itu memang lebih
unggul dari lawannya. Menerima tawaran Sidanta sama
dengan menderita kekalahan.
"Hayo, kuturunkan taruhanku. Kalau Loncang kalah, aku
bersedia menyerahkan rumahku dengan seluruh isinya tetapi
kalau menang, aku cukup menerima sepaoh dari nilai rumah
dengan isinya itu" seru Sidanta pula setelah beberapa saat
tiada yang menanggapi tantangannya.
Masih tiada orang yang berani menyambut tawaran Sidanta
itu. Karena betapapun, setiap orang telah tahu bahwa ayam
bulu merah itu tentu akan menang.
"Sepuluh ekor sapi yang hendak kujual di pekan, akan
kupertaruhkan untuk ayam bulu hijau itu" tiba2 terdengar
sebuah suara menyambut tantangan Sidanta.
Diikuti oleh pandang mata sekalian orang maka Sidanta pun
berpaling memandang orang yang membuka suara itu.
Seorang lelaki berpakaian seperti orang Madura, memelihara
kumis lebat dan tangannya mengenakan gelang akar bahar
"Baik, ki sanak, kuterima" seru Sidanta.
Kedua ayam sabung itupun dilepas pula di tengah
gelanggang, Loncang segera menguasai lawan dan
melancarkan terjangan kaki berulang-ulang. Ayam bulu hijau
hanya bertahan. Tampaknya tak mampu balas menyerang.
Melihat itu Sidanta tertawa-tawa. Sekalian penonton
mengerling pandang ke arah orang Madura itu. Tetapi orang
Madura itu tenang2 saja. Setelah beberapa saat berlaga maka kedua ayam itupun
dilerai dan dibasuh lagi. Sampai dua kali turun dibasuh
keadaan ayam bulu hijau itu makin payah. Mukanya
berlumuran darah. Tetapi ayam itu benar2 keras kepala.
Walaupun selalu diserang lawan tetapi setiap kali dibasuh dan
dilepaskan, dia tetap berani maju lagi.
Tiba2 penonton bersorak gemuruh ketika Loncang berhasil
mendaratkan tajinya ke muka lawan dan ayam bulu hijau itu
lari berkotek-kotek, diburu oleh Loncang. Ayam bulu hijau itu
melawan lagi walaupun perlawanannya itu hanya suatu
penyerahan diri kepada lawan.
"Kakang, akulah yang akan membasuh ayam itu" kata
orang Madura itu kepada pawang ketika ayam bulu hijau
dibawa ke tepi gelanggang. Tukang pembasuh itupun
menyerahkan ayam kepada orang Madura.
Maka dilepas pula ayam itu ke tengah gelanggang. Dan
begitu berhadapan, Loncang terus menyerang muka lawan
dan berulang kali menghajar dengan tajinya. Ayam bulu hijau
menyelundup lari, diburu oleh Loncang. Seluruh penonton
sudah menyangka bahwa kali ini si bulu hijau pasti akan kalah.
Loncang dengan merentang kedua sayapnya mengejar lawan.
Sekonyong-konyong ayam bulu hijau menggeliatkan kepala
menghindari patukan Loncang dan terus balas mematuk muka
lawan dan sekali loncat, ia menghunjam muka Loncang
dengan cakarnya. Bruk .....
Suatu peristiwa yang luar biasa telah terjadi dalam
gelanggang sabung ayam. Tidak seorangpun pernah
menyangka bahwa Loncang, ayam yang dianggap pasti dapat
menang, tiba2 jatuh karena pembalasan yang dilakukan oleh
ayam bulu hijau yang tampaknya sudah kehabisan tenaga itu.
Rupanya ayam bulu hijau itu tak mau memberi ampun lagi.
Sebelum Loncang sempat berdiri, lawan sudah beranjak
menerjangkan tajinya lagi. Loncang terhuyung dan berkuakkuak. Tetapi ayam bulu hijau terus menerus menghajarnya.
Sekalian orang terkejut dan heran. Mengapa secara tiba2
Loncang seperti kehilangan tenaga dan bingung, membiarkan
mukanya habis dihujani patukan lawan. Bruk, bruk .... dua kali
ayam bulu hijau menghunjamkan kakinya, maka menggeleparlah Loncang ke tanah.
Sidanta terkejut seperti disambar petir. Cepat ia melangkah
ke tengah gelanggang dan mengambil Loncang. "Mati ...."
teriaknya "ayam ini mati"
Gemparlah sekalian orang mendengar kata2 Sidanta.
Selama mengikuti sabung ayam di gelanggang itu, belum
pernah mereka menyaksikan peristiwa yang seaneh itu.
"Tuan Sidanta, ayammu kalah" tiba-tiba orang Madura itu
menghampiri ke tengah gelanggang "mari kita pulang ke
rumah tuan" Sidanta tak menyahut. Bahkan berkisar mukapun tidak. Ia
tetap memandang dan memandang Loncang, ayam
sabungnya yang mati. "Tuan" kata orang Madura itu pula "ayam tuan sudah kalah
dan persabungan inipun sudah selesai. Kuharap tuan dapat
membawa aku ke rumah tuan"
"Penipu engkau, orang Madura!" tiba2 Sidanta berkisar
tubuh dan menuding muka orang Madura "engkau telah
melumuri racun pada kaki ayam bulu hijau itu. Lihat, muka
ayam merah ini berwarna biru"
Orang Madura itu tenang2 menjawab "Ah, harap tuan
jangan berolok-olok. Kuharap tuan segera menetapi
pertaruhan tuan itu"
"Tidak!" hardik Sidanta "engkau curang!"
"Curang?" ulang orang Madura itu "bukankah semua orang
menyaksikan sendiri, betapa ayam tuan telah dihajar oleh
ayam hijau itu" "Karena racun pada kaki ayam bulu hijau itu maka ayamku
hilang daya perlawanannya"
Orang Madura tertawa "Ah, dapatkah tuan membuktikan
kalau aku melumuri racun pada kaki ayam hijau itu?"
"Lihatlah" Sidanta menjemput bangkai Loncang lalu
disongsongkan ke muka orang Madura "mukanya biru dan
badannya begini kaku"
"Kemungkinan ayam hijau itu memang bertuah tajinya"
bantah orang Madura "sehingga ayam tuan mati seketika.
Tetapi aku tak bertindak curang melumuri racun"
"Hm, engkau masih menyangkal?" seru Sidanta.
"Ah, janganlah tuan main2 dengan orang Madura" kata
orang itu. "Akan buktikan kecuranganmu" tiba2 Sidanta loncat
menerkam orang Madura itu. Ia hendak menangkap dan
menggeledah pakaiannya. Orang Madura itu menghindar ke samping "Jangan mencari
alasan untuk mengingkari janji! Engkau mau membayar atau
tidak?" "Akan kubuktikan kecuranganmu" Sidanta loncat menerkam
pula. Gerakannya sedemikian cepat dan tenaganya pun amat
kuat sekali sehingga orang Madura itu tak sempat menghindar
lagi. Lehernya tercekik oleh tangan Sidanta yang terus hendak
merebahkan ke tanah. Kemudian akan menggeledah
pakaiannya. "Orang Majapahit, engkau curang!" tiba2 orang Madura itu
berteriak dan dengan sekuat tenaga ia meronta, mencabut
belati dan menusuk perut Sidanta.
Sidanta menjerit keras, mendekap perut dan tertatih-tatih
menyurut ke belakang lalu rubuh bersimbah darah.
"Pembunuhan ...." teriak sekalian orang yang menyaksikan
peristiwa itu. Beberapa kawan Sidanta cepat menerjang orang
Madura itu dan menghujaninya dengan pukulan. Suasana
amat gaduh dan kacau. Dipa pun menyaksikan peristiwa itu. Segera ia hendak
menghampiri ke tempat perkelahian itu. Tetapi Kebo Lanang,
mencegahnya "Jangan, Dipa"
"Mengapa ?" Dipa heran.
"Ingat, mereka adalah rakyat yang sedang marah. Dan kita
mengenakan pakaian orang biasa, tentu mereka takkan
mengacuhkan" "Tidak, kakang" bantah Dipa "kita adalah seorang prajurit,
baik mengenakan pakaian keprajuritan atau tidak. Tugas
prajurit itu melindungi keselamatan negara dan rakyat.
Pembunuhan harus kita tindak"
Tanpa menghiraukan Kebo Lanang, Dipa terus maju
menghampiri ke tempat keributan itu. "Berhenti" teriaknya
kuat kuat. Berpuluh puluh orang yang tengah main hakim sendiri
mengerubuti orang Madura, terkejut ketika mendengar suara
teriakan yang menghalilintar. Dan nadanya mengandung
perbawa yang mengundang rasa patuh orang. Mereka pun
serempak berhenti dan berpaling ke belakang. Tampaknya
mereka agak kecewa karena persangkaannya keliru. Seorang
yang memiliki nada suara yang sedahsyat halilintar tentu
seorang tinggi besar gagah perkasa. Tetapi nyatanya mereka
hanya melihat seorang anakmuda yang agak pendek.
"Setan, engkau kawan orang Madura ini?" teriak salah


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang lelaki seraya tegak menggagah di muka Dipa.
Beberapa orangpun segera mengerumuni Dipa dengan sikap
marah. "Mengapa kalian main hakim sendiri?" seru Dipa tak
menghiraukan pandang dan sikap mereka yang penuh ancam.
"Dia telah membunuh Sidanta" seru salah seorang "hutang
jiwa bayar jiwa. Apakah engkau hendak membela orang
Madura itu?" "Aku tak kenal siapa Sidanta siapa orang Madura itu" sahut
Dipa "tetapi kutahu perbuatan kalian menghakimi seorang
pembunuh itu tidak benar"
"Uh, garang benar kata-katamu, kawan" Siapakah engkau
ini ?" "Dia tentu kawan dari orang Madura itu, hayo, kita susulkan
saja dia kepada, oang Madura itu" seru seorang lain pula.
"Jangan ikut2, kawan. Akulah yang akan menghajarnya
sendiri" seorang lelaki bertubuh besar segera maju
menghampiri Dipa dan terus langsung memukul.
Tenang2 Dipa menanti serangan orang. Selekas tinju
hampir mengenai dadanya barulah ia berkisar ke samping lalu
dengan sebuah gerak yang cepat, ia menerkam pergelangan
tangan orang, memutarnya ke belakang punggung orang itu
lalu mendorongnya, uh ....... orang yang bertubuh besar
itupun jatuh menyusur tanah.
Terkejut orang2 yang menyaksikan peristiwa itu. Kemudian
mereka marah dan menyerbu Dipa "Bunuh orang Madura kecil
itu" teriak mereka hiruk pikuk.
Dalam keadaan seperti itu, tiada lain jalan bagi Dipa kecuali
harus melayani mereka. Untuk memberi penjelasan, hanya
ibarat orang berteriak di padang pasir. Gelombang kemarahan
mereka tak mungkin diredakan dengan kata2 penjelasan.
"Berhenti" sekonyong konyong terdengar sebuah teriakan
yang nyaring. Walaupun nadanya tidak sedahsyat dan
seperbawa Dipa, namun orang2 itupun berhenti juga. Mereka
kuatir kawan orang Madura yang lain lagi.
Dan tidaklah perasaan mereka kecewa seperti tadi,
manakala diketahuinya bahwa yang berteriak itu seorang lelaki
gagah perkasa, berperawakan seperti seorang prajurit.
"Hai, mengapa kamu makin liar" Hendak membunuh orang
lagi?" teriak lelaki itu dengan marah.
"Siapa engkau?" balas mereka.
"Aku Kebo Lanang, prajurit bhayangkara keraton Majapahit
dan yang kamu keroyok itu adalah kawanku juga prajurit
bhayangkara keraton!"
Mendengar itu gemparlah sekalian orang. Mereka menyurut
mundur, bagaikan anjing bercawat ekor. Dan tiba2 salah
seorang menyelinap loncat, terus melarikan diri. Perbuatan itu
segera ditiru oleh yang lain sehingga dalam sekejab mata,
bersihlah gelanggang adu ayam itu dari orang.
Dipa menghampiri lelaki tinggi besar yang didorong jatuh
tadi. Saat itu dia sudah bangun.
"Jangan ikut lari seperti mereka" kata Dipa laporkan pada
petugas keamanan tentang peristiwa yang terjadi di sini"
Demikian Dipa dan Kebo Lanang lalu tinggalkan tempat itu,
pulang ke asrama. Di tengah jalan, Dipa agak menyesali Kebo
Lanang "Mengapa kakang memberitahukan diri kita kepada
mereka?" tegurnya. "Untuk menghentikan pertumpahan
berguna" jawab Kebo Lanang.
darah yang tak "Bukankah kita dapat melakukan hal itu tanpa harus
membawa-bawa kedudukan kita" Ah, kurasa kurang layak
apabila dalam setiap persoalan dengan orang, harus
menunjukkan kedudukan kita"
Kebo Lanang nyalangkan mata "Hm, Dipa, janganlah
engkau terus menerus hendak menggurui aku. Apa engkau
kira dengan kata2 penjelasan mereka mau mendengarkan"
Tidak mungkin, Dipa. Engkau hanya memandang persoalan
dari segi2 yang lurus, pada hal dalam kenyataan yang hidup di
masyarakat itu, banyak sekali hal2 yang bengkok"
"Jika kita ikut bengkok, bukankah masyarakat akan bengkok
seluruhnya?" sanggah Dipa.
Kebo Lanang tertawa hambar "Dipa, dapatkah engkau
bercakap-cakap dengan kerbau dalam bahasa manusia "."
Dipa gelengkan kepala. "Nah, itulah" kata Kebo Lanang "untuk menyampaikan
maksud kita, terpaksa kita harus menggunakan bahasa yang
dikenal mereka. Kenyataan rakyat masih gentar dan
mengindahkan terhadap orang2 yang berpangkat, terutama
dari kalangan prajurit. Kenyataan itu terpaksa kumanfaatkan
untuk mencegah pertumpahan darah. Bukan karena aku
gemar menggertak, melainkan aku harus bicara dengan
bahasa jang mereka kenal"
"O" akhirnya Dipa menerima juga "jika demikian, engkau
benar, kakang. Asal janganlah hal itu akan menjadi suatu
kebiasaan yang mengikat kita untuk
setiap kali membanggakan kedudukan dan pangkat agar orang takut"
"Hidup ini suatu kenyataan, Dipa" kata Kebo Lanang "jika
engkau hidup, janganlah menutup mata pada kenyataan
hidup" "Tetapi kakang" bantah Dipa "justeru karena kita berani
melihat kenyataan, maka kita harus berani pula melihatnya"
"Ho, engkau hendak menggurui aku" Memang begitulah
yang kukatakan kepadamu. Masakan engkau hendak
mengajarkan kepadaku lagi ?"
"Karena berbeda, kakang" kata Dipa "antara melihat
kenyataan menurut pandanganmu dengan melihat kenyataan
menurut pandanganku. Sama2 melihat, tetapi berbeda"
"Hah ?" Kebo Lanang membelalakkan mata.
"Engkau melihat kenyataan bahwa terhadap rakyat harus
menggunakan cara menggertak dan melantangkan kedudukan
kita. Agar mereka takut. Engkau merasakan hal itu sebagai
suatu kenyataan yang engkau lihat di alam kehidupan rakyat.
Tetapi lain pula aku melihat kenyataan itu. Bukanlah
mengagulkan pangkat kedudukan itu sebagai satu satunya
cara untuk menundukkan rakyat. Masih ada jalan lain yang
lebih baik dan lebih menjadikan mereka tunduk dan patuh.
Kebijaksanaan dan alasan2 yang sesuai, merupakan salah satu
cara . ...." "Hm, mana rakyat mau mendengar ocehan macam begitu?"
tukas Kebo Lanang. "Jika mereka tak mau mendengar, bukanlah salah mereka
tetapi salah kita yang tak mampu mendapatkan cara untuk
menjelaskan maksud. Semisal, bukan seluruhnya menjadi
kesalahan murid yang bodoh, melainkan gurunyapun bersalah
karena gagal untuk mendapat cara meresapkan pelajaran itu
kepada sang murid." "Sudahlah, jangan banyak cakap, muak aku mendengarnya"
habis berkata Kebo Lanang terus menyimpang ke kiri dan
tinggalkan Dipa di ambang halaman asrama.
Dipa tertegun, geleng2 kepala lalu ayunkan langkah masuk
ke dalam pondok asrama. Sesiang itu ia tetap memikirkan
peristiwa pertumpahan darah di gelanggang sabung ayam.
Sejak tinggal di pura kerajaan, baru sekali itu ia
meluangkan waktu untuk berjalan jalan melihat keadaan alam
kehidupan kawula pura Majapahit. Memang ia sudah
mengetahui bahwa bersabung ayam merupakan permainan
yang digemari rakyat. Tetapi ia mempunyai kesan bahwa
permainan sabung ayam tadi, benar2 besar sekali.
Pengunjungnya datang dari luar daerah dan uang yang
dipertaruhkan juga amat besar.
Tidakkah para narapraja terutama patih pura Majapahit
yang mempunyai wewenang untuk mengatur kehidupan
rakyat dalam pura, mengambil langkah untuk melarang
permainan itu" Ah, ia mendapat kesan bahwa memang dari
fihak penguasa seolah-olah dibiarkan kalau tidak boleh dikata,
bahkan menganjurkan dan memberi kesempatan untuk
meluaskan permainan itu. "Apakah penguasa setempat memungut cukai untuk
permainan itu?" pikirnya "atau apakah memang ada udang di
balik batu" Jika tidak, lalu apakah maksudnya permainan itu
dibiarkan meluas sedemikian rupa" Bukankah hal itu akan
menimbulkan bermacam akibat yang mencelakai rakyat"
Hancurnya rumah tangga karena menderita kalah bertaruh,
timbulnya perkelahian bahkan pembunuhan. Dan yang
berbahaya, mereka tidak lagi memikirkan pekerjaan, tidak
ingat pula akan tugas kewajibannya dan tidak menghiraukan
lagi keadaan negara ......"
Tertumbuk akan renungan itu, seketika Dipa mengucurkan
keringat dingin. Gejala berbahaya, pikirnya. Rakyat adalah
tubuh, raja itu kepala dan negara itu orangnya. Apabila tubuh
sakit, bagaimana orang itu dapat sehat pikiran dan sehat
jiwanya" Demikian renung yang direka dalam alam pikiran Dipa
menurut batas2 yang mampu dicapainya. Kemudian teringat
pula ia akan Kebo Lanang "Ah, kenyataan yang dilihat kakang
Kebo Lanang itu memang beda dengan kenyataan yang
kurasakan ...." Malam itu Dipa berkemas hendak menunaikan tugas di
keraton. Tetapi ketika ia bertemu dengan salah seorang
kawan, kawan itu menertawakannya "Ah, engkau sungguh
pelupa benar, Dipa. Bukankah hari ini giliranmu yang bebas
dari jaga?" "Ah, benar" kata Dipa. Ia teringat bahwa dalam waktu
sebulan, setiap prajurit mendapat libur sehari. Dan hari itu
iapun mendapat giliran libur. Tiba2 timbul hasratnya untuk
berjalan2 melihat kehidupan malam di pura kerajaan. Siang
tadi ia sudah mengetahui tentang gelanggang sabung ayam
dan pekan pasara. Mungkin malam itu ia akan bertambah
pengetahuannya tentang kehidupan malam rakyat pura
Majapahit. Dan seperti siang tadi, maka bergegaslah ia kembali ke
pondok untuk ganti pakaian. Ia lebih senang mengenakan
pakaian rakyat biasa, agar lebih bebas lingkup geraknya.
Malam itu tanggal satu kresnapaksa, bulan Bhadra, jatuh
saptawara hari Buddha cemengan atau Rebo wage. Menurut
kepercayaan rakyat yang beragama Syiwa, pada hari itu
dewa2 akan bermusyawarah untuk menentukan siapa yang
akan mengatur pemerintahan mereka.
Dipa membekal pengetahuan bahwa pada hari2 seperti
malam itu, biasanya candi2 dan vihara2 penuh dengan
pengunjung yang akan mempersembahkan sesaji dan doa
permohonan agar dewa yang terpilih untuk mengatur
pemerintahan itu, akan melimpahkan berkah kepadanya. Maka
iapun ayunkan langkah untuk melihat-lihat keadaan di rumah2
suci itu. Beberapa candi dan vihara telah di datanginya. Ia
mendapat kesan bahwa candi2 Syiwa penuh dengan
pengunjung. Sedangkan candi2 Buddha, jauh berkurang.
Diam2 timbul pertanyaan dalam hati. Apakah yang
menyebabkan keadaan itu"
Sambil berjalan dijalan yang melingkari benteng pura, ia
merenungkan kesan2 yang dilihatnya tadi. Memang sudah
menjadi adat kebiasaannya, apabila menghadapi suatu
persoalan tentu akan ditelaah sampai jauh hingga akhirnya ia
dapat bertemu dengan jawaban2 yang dirasakan memadai
perasaannya. Baik dari paman brahmana Anuraga, maupun dari pandita
Padapaduka dan lain2 pinisepuh yang pernah dijumpai, ia
mendapat kesempatan untuk mendengarkan uraian mereka
tentang alam kehidupan agama di kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit menganut agama Tripaksa atau tiga aliran
yani Syiwa, Buddha dan Brahmana.
Orang brahmana tidak seberapa banyaknya dan golongan
ini meliputi orang2 bertapa dan yang hidup lepas menurut
Mahzhabnya. Agama Syiwa dan Buddha-lah yang umum dalam
kerajaan dan kedua aliran itu terbagi atas beberapa mahzhab
besar dan kecil. Yang beragama Wisnu rupanya juga tak
berapa jumlahnya, sedangkan Wisnu disembah juga oleh
orang Syiwa dan Brahmana sebagai salah seorang dewa.
Aliran Syiwa dan Buddha itu sejak jaman pemerintahan
baginda Kertarajasa Jayawardana atau Raden Wijaya, telah
dipadukan dalam sebutan Tantrayana. Perpaduan agama itu
hanyalah pada dasarnya belaka. Menurut ibadat yang
dijalankan sehari-hari maka dalam negara didirikan dua jenis
candi, agar masing2 dapat menjalankan ibadahnya dalam
suasana yang layak. Kedua sayap agama itu dinamai Kasyaiwan atau Ke-Syiwaan. Dan Kesogatan, dari asal kata Saugata yang artinya
Buddha. Masing2 dikepalai oleh kepala agama yang disebut
Dharmadhyaksa ring Kasyaiwan untuk agama Syiwa dan
Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk agama Baddha.
Sedangkan urusan aliran Brahmana dan orang2 pertapaan,
dikepalai oleh Mantri Her-hayi.
Sejak berada di pura kerajaan, banyak nian hal2 mengenai
ketataprajaan dan susunan badan2 kerajaan yang diketahui
Dipa. Dipa makin tertarik perhatiannya untuk mengetahui lebih
banyak. Luasnya lingkungan dan alam kehidupan pemerintahan Majapahit, membuat Dipa serasa memasuki
suatu dunia baru yang belum pernah dikenalnya. Dan sifat
suka belajar, makin menghisap waktu dan pikiran Dipa.
Sedikit demi sedikit terkumpul juga kesan2 mengenai hal2
yang didengar, disaksikan dan dirasakan melalui keterangan
orang dan kenyataannya. Itulah sebabnya maka tahu jnga
Dipa akan susunan2 agama. Ia mendengar keterangan dari
beberapa narapraja ataupun dari brahmana dan pandita yang
mempunyai tugas dalam ke-dharmadyaksaan bahwa di
samping kepala dharmadyaksa Syiwa dan Baddha itu, masih
pula terdapat tujuh orang hakim agama yang disebut
saptopati. Lima orang hakim atau upapati dari aliran Syiwa
dan dua orang upapati dari aliran Buddha.
Mendengar dan merasakan perkembangan agama itu,


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapatlah kesan pada Dipa bahwa sesungguhnya pengaruh
agama Syiwa jauh lebih besar dari agama Buddha. Melihat
susunan badan urusan agama dan kenyataan yang dilihatnya,
kerajaan Majapahit lebih mengutamakan aliran Syiwa. Baik
rahyang ramuhun Kertarajasa maupun baginda Jayanagara
yang sekarang tampak cenderung memeluk agama Syiwa.
Jenazah rahyang ramuhun Kertarajasa Jayawardaua dimakamkan di dalam pura yang disebut Antahpura. Sebagai
peringatan didirikan arca Jina di dalam pura candi itu dan arca
Syiwa di Simping. Baik ketika masih di desa maupun setelah berkelana dan
menetap di Kahuripan, Dipa merasakan suatu kerukunan di
antara rakyat yang memeluk aliran Syiwa dan Buddha
demikian pula Brahmana. Walaupun beda dalam melakukan
upacara2 pemujaan namun tidaklah pemisahan itu berarti
suatu pemecahan di kalangan pemeluknya. Bahkan mereka
diperbolehkan memuja dan sembahyang di kedua pura.
Tetapi apa yang dilihat dan dirasakan pada kenyataan
malam itu, amatlah menyedu pandang mata Dipa. Betapa
banyak pengunjung pada pura2 agama Syiwa dan betapa
berkurang sekali yang berkunjung ke pura candi Buddha.
Timbul suatu pertanyaan dalam hati Dipa. Apakah yang
menyebabkan hal itu. Maka iapun segera ayunkan kaki menuju
ke sebuah kuil Syiwa yang didirikan di tepi pura kerajaan.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Penuh kuil itu dengan rakyat yang berkunjung.
Saat itu sedang dilakukan sesaji korban kepada batara
Syiwa yang dipuja dalam kuil itu. Selesai upacara maka wipra
pun segera berbicara menganjur kepada rakyat dan para
penganut aliran itu, agar lebih mempertebal kepercayaannya
kepada batara Syiwa. Dihubungkannya pula kemunculan
bintang sapu sebagai tanda dari akan tibanya amarah batara
Syiwa untuk memusnakan mereka yang menentang agama
itu. Demi keselamatan, kepada para penganut dan
pengunjung kuil itu dibagi-bagikan sebuah pertandaan Syiwa.
Barangsiapa yang memiliki pertandaan itu, akan selamat dari
amarah Syiwa. Diperhatikan pula oleh Dipa bahwa upacara sesaji di kuil itu
amat meriah sekali. Bahkan kepada para pengunjung
diberikan juga minuman dan makanan.
Kemudian Dipa pun memerlukan untuk berkunjung ke candi
Buddha. Tidak banyak pengunjungnya.
Dalam kesempatan bertemu dengan pandita kepala candi
itu Dipa menanyakan sebab2 kemunduran dan berkurangnya
perhatian rakyat terhadap aliran Buddha.
Pandita itu menghela napas. "Kami mengajarkan ajaran
sang Buddha. Bahwa perjalanan hidup manusia itu tergantung
pada karma hidupnya sendiri. Pada batin, pikiran dan dharma
masing2. Bukan pada kekuasaan dewa2 ataupun benda2 yang
dianggap keramat" "Tidakkah ki pandita memiliki kesan bahwa tampaknya
kerajaan Majapahit lebih cenderung mengutamakan aliran
Syiwa daripada Buddha?" tanya Dipa.
Pandita itu terkesiap. Ditatapnya wajah Dipa tajam2.
Sejenak kemudian sinar matanya yang berkilat-kilat meredup
pula, ujarnya, "Ah, maaf, ki sanak, aku bukan seorang ahli
negara melainkan hanya seorang pandita. Yang dapat
kukatakan kepadamu hanyalah sedikit keterangan ini. Aliran
Hindu-Syiwa itu memiliki ajaran tentang kasta, sedang aliran
Buddha tidak mengadakan perbedaan terhadap manusia"
"O, ki pandita hendak maksudkan ..."
"Maaf, ajaran Buddha tak membenarkan untuk berbicara
hal2 yang jelek tentang lain golongan maupun orang"
Dalam perjalanan menyusur lorong yang menuju ke dalam
pura kerajaan, masih pikiran Dipa merenungkan pembicaraannya dengan pandita itu. Walaupun tidak memberi
penjelasan namun kata2 pandita itu dapat juga dijadikan
petunjuk untuk mengungkap hal2 yang ditanyakan kepada
pandita itu. Kerajaan lebih mengutamakan aliran Syiwa dan
aliran agama itu memiliki ajaran kasta. Kasta membagi
manusia dalam empat goloagan yakni Berahmana, Ksatrya,
Waesya dan Sudra. "Tidakkah baginda, para priagung, mentri dan narapraja
yang berpangkat tinggi itu, kebanyakan memeluk agama
Syiwa?" Dipa berkelanjutan dalam penimangan. Dan kesan2
menurut yang dibayangkan, memberi tambahan bahan
pengetahuan dan pengalaman padanya.
Ia tak berani menduga sebelum melihat kenyataannya. Ia
hanya membayangkan suatu tafsiran tentang persoalan itu.
Mengapa kaum yang tergolong kasta brahmana dan ksatrya,
hendak mempertahankan dan mengembangkan aliran Syiwa.
Saat itu ia berada di daerah pasar yang didatangi siang tadi.
Ada beberapa kedai minum sekitar tempat itu. Dilihatnya
kedai2 minum itu penuh dengan tetamu dan mereka tampak
gembira sekali. Bicara keras dan tertawa gelak2. Kadang
bahkan terdengar suara memaki-maki dan kata2 yang kotor.
Dipa mendapat keterangan dari seorang yang sedang
duduk di serambi rumahnya dekat pasar, bahwa kedai2 minum
itu memang buka semalam suntuk. Suara ramai2 itu adalah
tetamu2 yang minum tuak dan bermabuk-mabukan.
"Tiap malam rakyat bermabuk-mabukan tuak dan berjudi"
kata orang itu. Dipa terkejut "Tetapi bukankah seharusnya
perihatin akan munculnya bintang sapu itu ?"
mereka "Itulah alasannya" kata orang itu "agar dapat berjaga
sepanjang malam mereka minum tuak dan berjudi"
"Tidakkah hal itu dilarang?"
"Dilarang" O, tidak" kata orang itu "bahkan menurut kabar,
baginda berkenan menitahkan para kawula untuk bersenangsenang
karena baginda telah berhasil menumpas pemberontakan di Lumajang"
Bahan renungan baru bagi Dipa untuk mengiring
langkahnya menyusur sepanjang lorong-lorong yang menghias
dalam pura kerajaan. Ia heran mengapa baginda menurunkan
titah sedemikian. Pada hal dalam kedudukan sebagai seorang
prajurit bhayangkara, belum pernah ia mendengar tentang
titah baginda itu. Tiba2 ia mendengar teriakan melengking tinggi dari seorang
wanita. Cepat ia berputar tubuh dan lari menuju ke arah suara
itu. Ah, tertegunlah ia seketika sesaat melihat sebuah
pemandangan yang memuakkan. Dua orang prajurit tengah
menangkap seorang wanita. Salah seorang dari prajurit itu
bahkan memeluk dan mendekap tubuh wanita itu erat2.
Wanita itu menjerit-jerit dan meronta-ronta.
Tiba2 seorang lelaki berlari-lari mendatangi hendak
menolong wanita itu. Tetapi ia segera disambut oleh prajurit
yang seorang. Sebuah cengkeraman yang dilakukan prajurit
itu pada bahu lalu dilanjutkan dengan gerak menyentakkan ke
belakang, membuat lelaki itu terlempar beberapa tombak
jauhnya dan rubuh membentur sebatang pohon.
Menyaksikan hal itu, meluaplah kemarahan Dipa. Cepat ia
loncat dan berlari menghampiri kedua prajurit itu. Rupanya
prajurit yang seorang tadi tahu akan kedatangan Dipa
"Ho, engkau juga ingin dihajar"
Tinju prajurit itu cepat dilayangkan untuk menyambut
kedatangan Dipa. Tetapi alangkah kejutnya ketika orang yang
diserang itu menyelinap kesamping dan menerpa lengannya
"Aduh" prajurit itu menjerit
kesakitan. Sebelum ia sempat memperbaiki sikap,
tengkuknya terasa dicengkeram keras sekali dan sesaat kemudian tabuhnya terasa terangkat
lalu melayang di udara, bum
....... terbanting ke tanah
dan lelaplah pandang matanya dari apa yang terjadi di sekelilingnya. Prajurit itu pingsan. "Uh....." teriak prajurit
yang tengah mendekap tubuh wanita itu ketika rasakan kedua bahunya sakit
seperti dijepit dengan sepit baja. Seketika ia rasakan
persendian tulang bahunya linu lunglai. Kemudian ia
merasakan tubuhnya terangkat ke atas lalu melayang ke udara
dan akhirnya membentur sebatang pohon. Pandang matanya
gelap, kepala berat dan tak tahulah ia apa yang terjadi
selanjutnya. "Terima kasih, gusti" wanita itu serta merta berjongkok dan
menyembah kaki Dipa. Dipa tersipu-sipu menyuruhnya bangun
"Bangunlah, aku bukan seorang gusti, melainkan seorang
rakyat biasa yang kebetulan lewat di jalan ini dan
menyaksikan ulah kedua orang itu terhadap dirimu"
Wanita itu segera menghampiri lelaki yang disentakkan
rubuh oleh prajurit tadi. Setelah ditolong, lelaki itupun sadar.
"Kakang, engkau harus menghaturkan terima kasih kepada
tuan penolong itu" Tetapi Dipa mencegah, "Tak usah, kakang berterima kasih.
Tetapi mengapa kakang berkelahi dengan kedua prajurit itu?"
Orang itu menutur. Dia dan wanita muda itu sepasang
temanten baru. Malam itu hendak pulang dari berkunjung ke
rumah mentuanya. Di tengah jalan telah berpapasan dengan
dua orang prajurit yang mengganggu isterinya. Terjadi
perkelahian. Dia dipukul rubuh dan isterinya dibawa lari.
Setelah bangun, ia berusaha untuk mengejar lagi tetapi kali ini
bahkan dilempar sampai pingsan.
"Adakah sering terjadi peristiwa semacam itu?" tanya Dipa.
Orang itu membenarkan. Pada waktu akhir2 ini, keadaan
pura kerajaan memang sering terganggu dengan peristiwa
perkelahian, pemaksaan terhadap wanita dan pemukulan2.
"Sebenarnya, ayah mertuaku melarang aku pulang dan suruh
bermalam di rumahnya tetapi aku tak percaya. Akhirnya apa
yang dikuatirkan ayah memang benar"
Makin bertambah penuh renungan Dipa dikala ia
melanjutkan ayunkan kakinya untuk melihat-lihat kehidupan
malam di kalangan rakyat pura.
Di sebuah tempat lain ia melihat peristiwa pemukulan dan
penganiayaan yang dilakukan oleh beberapa prajurit terhadap
rakyat. Dalam waktu hanya setengah malam, ia sudah melihat
beberapa peristiwa. Suburnya perjudian, meluasnya minuman
tuak, gangguan terhadap wanita dan perkelahian2.
"Ah, mengapa dalam peristiwa2 itu selalu kaum prajurit
tersangkut ?" tanyanya dalam hati. Untuk memperoleh
jawaban, ia mencoba menanyakan pendapat seorang dua
orang penduduk. "Ah, memang sejak baginda kembali dari Lumajang,
banyaklah ulah dari para prajurit yang sering menimbulkan
gangguan pada rakyat"
"Adakah paman tak melaporkan hal itu kepada yang
berwenang?" tanya Dipa.
"Sudahlah, jangan mengatakan hal itu" kata orang itu
"mereka seolah mendengarkan dan memperhatikan laporan
kami tetapi peristiwa2 itu tetap berjalan berkelanjutan"
"Jika demikian tentulah rakyat gelisah dan tak senang
kepada pengganggu2 itu"
"Rakyat menyanjung dan menghargai kaum prajurit sebagai
pelindung negara dan rakyat. Tetapi apabila mereka itu
bahkan mengganggu ketenteraman rakyat, tidakkah layak
rakyat akan merasa gelisah dan membenci mereka ?"
Menjelang tengah malam tiba di pondok asrama, Dipa tak
dapat pejamkan mata. Ia masih membayangkan dan
merenungkan apa yang dialaminya tadi.
"Benarkah baginda telah mengidinkan kebebasan sedemikian rupa kepada para prajurit ?" ia bertanya dalam
hati. "ah, mungkin baginda hendak menghibur prajurit2 yang
telah berjasa dalam peperangan di Lumajang"
Sesaat kemudian ia membantah kesimpulan itu sendiri. "Ah,
tetapi mungkin janggal rasanya apabila baginda memperkenankan hal itu. Bukankah untuk membalas jasa
prajurit itu, dapat diberikan imbalan lain seperti menaikkan
pangkat, menghadiahi uang dan pakaian ataupun lencana2.
Tidakkah cara menghibur prajurit seperti yang terjadi waktu
itu, akan mengganggu ketenangan dan merugikan
kepentingan rakyat?"
Tiba pada kesimpulan itu meragulah hati Dipa.
"Ah, baiklah kuselidiki hal itu lebih lanjut untuk mencari
kebenarannya"

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian pikiran Dipa beralih melayang kepada keadaan
yang dilihatnya di candi2. Teringat pula ia akan kata pandita
dari candi Buddha bahwa aliran Hindu Syiwa itu mempunyai
ajaran tentang kasta "Dengan kasta itu, rakyat akan terbagi menjadi empat
golongan. Para brahmana, pertapa, resi dan pandita, termasuk
kasta kesatu yakni Brahmana. Sedangkan raja2, para
priagung, mentri2 dan senopati2 termasuk kasta ksatrya.
Pedagang2 termasuk kasta ketiga dan rakyat kasta keempat"
"Kuatnya pengaruh aliran Hindu, akan memperkuat
kedudukan kasta2 itu" akhirnya ia merangkai kesan.
Kemudian ia merenungkan pula tentang keadaan dalam
pura kerajaan. Walaupun tidak secara terang-terangan tetapi
terasa suatu persaingan telah berlangsung antara aliran Syiwa
dengan aliran Buddha. Terasa pula suatu gejala gangguan2 keamanan yang dapat
membangkitkan kegelisahan dan kebencian rakyat terhadap
prajurit kerajaan. Kemudian terasa juga gejala kemerosotan
akhlak rakyat karena minuman tuak. makin meluasnya perjudian dan Ada sesuatu yang dirasakan Dipa bahwa rangkaian gejala2
itu mempunyai suatu tujuan tertentu dan seolah-olah sengaja
digerakkan oleh fihak tertentu. Dan hal itu sesuai dengan apa
yang dirasakan tetapi tak diketahui Dipa.
=o-dwkz-mch-o= II Lorong senyap di malam gelap, mengumandangkan derap
langkah gemuruh dari tiga belas orang berpakaian
keprajuritan. Kepala kelompok prajurit itu, bertubuh kekar,
berkumis lebat dan berwajah seram.
Tiada sepatahpun yang ke luar dari mulut kedua belas
prajurit dan kepala prajurit itu, ketika mereka ke luar dari
tembok pura sebelah barat. Kepala prajurit pun berkisar
langkah ke utara. Prajurit2 itu bersenjata lengkap. Wajah mereka tampak
sarat dan bersungguh. Entah karena takut akan kepala prajurit
atau karena menghadapi tugas yang akan dilakukannya.
Kepala prajurit itu mengangkat tangan memberi isyarat
berhenti kepada anakbuahnya ketika tiba disebuah gedung
yang termasuk daerah kediaman narapraja yang berpangkat
mentri. Dua orang penjaga pintu gedung itupun beranjak dari
tempat penjagaan dan segera tampil menyongsong.
"Kami hendak menghadap gusti rakryan Kuti" kata Bhoga,
kepala prajurit itu. Penjaga pintu tak cepat mempercayai. Ia menatap Bhoga
dan keduabelas anakbuahnya, "Bagaimana aku harus
melaporkan kepada gusti rakryan ?"
"Utusan gusti demung Samaya" kata Bhoga.
"Keperluan ?" Bhoga nyalangkan mata, "Menyampaikan pesan dari gusti
demung Samaya" Penjaga itu membisiki kawannya lalu berkata kepada
Bhoga, "Tunggu, akan kulaporkan gusti rakryan"
Bhoga mengantar penjaga itu dengan pandang agak geram.
Kemudian ia bertanya kepada penjaga yang seorang, "Adakah
gusti rakryan Kuti berada di kediamannya ?"
"Tunggu saja" sahut penjaga itu singkat.
Bhoga tak puas juga terhadap penjaga yang seorang itu
"Apakah demikian ini peraturan gedung kediaman gusti
rakryan?" "Melihat keadaan"
"Melihat keadaan" Apa maksudmu?" tanya Bhoga.
"Beda pada siang hari dengan malam" kata penjaga itu
"waktu siang hari dapat kami layani cepat. Tetapi pada malam
hari, terlebih pula pada waktu hampir tengah malam begini,
bukanlah saatnya menerima pengunjung."
"O, adakah demikian titah gusti rakryan?"
"Gusti kami tak pernah memberi titah tetapi kami sebagai
penjaga sendiri yang harus bertanggung jawab melindungi
keselamatan gedung ini"
"Apakah pernah terjadi ataukah memang sering terjadi hal2
yang mengganggu keamanan gustimu ?" tanya Bhoga pula.
"Engkau tentu tahu bagaimana suasana di pura kerajaan
dewasa ini" penjaga itu mengembalikan pertanyaan orang.
Bhoga hendak membuka mulut tetapi saat itu penjaga yang
melapor ke dalam tadi, pun muncul ke luar. "Gusti rakryan
bersedia menerima kedatangan kalian tetapi dengan syarat"
Bhoga terkesiap "Syarat apa?"
"Kalian tak boleh masuk dengan membekal senjata tajam.
Berikan senjata kalian kepada kami!"
"Ho, apakah engkau tak percaya bahwa kami ini prajurit
dari kademungan ?" "Peraturan pada tetamu di malam hari, sama semua
terhadap siapapun" sahut penjaga itu. Seorang yang tegap
dan tegas bicara. "Ah, masakan kepada prajurit2 utusan demung Samaya,
senopati yang membawahi tentara Majapahit, kalian tak
percaya" "Ini bukan soal percaya atau tak percaya. Ataupun terhadap
gusti demung dan lain2 orang. Tetapi peraturan ini adalah hak
dari gusti rakryan penguasa gedung ini"
Bhoga terkesiap. Sesaat ia memandang ke arah
anakbuahnya. Tampak keduabelas prajurit itu tegang
wajahnya. Mereka tak puas akan kata2 penjaga itu, "Baiklah,
aku menurut peraturan gusti rakryan" kemudian ia berpaling
kepada anakbuahnya, "Hayo, kalian lepas senjata dan
serahkan kepada penjaga di sini"
Dalam berkata-kata itu ia
kesempatan untuk memberi anakbuahnya. berhasil menyelinapkan isyarat mata kepada Kedua belas prajurit itupun segera melepaskan pedang,
kemudian diserahkan kepada kedua penjaga. Tetapi pada saat
kedua penjaga itu menyambuti, sekonyong-konyong Bhoga
menerkamnya. Penjaga itu tak menduga-duga akan terjadi hal
sedemikian. Ia tak sempat lagi menolak tangan Bhoga yang
mencekik lehernya. Kawannya yang seorang terkejut. Cepat ia mencabut
pedang dan terus segera menyabat Bhoga. Tetapi secepat itu
pula, punggungnya telah dihunjam dari belakang oleh dua
orang anakbuah Bhoga. Seketika penjaga itupun rubuh
menyusur tanah. Dan Bhoga pun menyerempaki menghempaskan penjaga yang dicekiknya itu kearah penjaga
yang rubuh itu. Kedua penjaga itu timpah menimpah.
Beberapa prajurit menambahi pula dengan sepakan dan
injakan. "Singkirkan ke samping" perintah Bhoga seraya melangkah
masuk. Sebelumnya ia mengambil pedang dan disembunyikan
dalam celana. Perbuatan kepala prajurit itupun diturut oleh
kedua belas anakbuahnya. Langsung mereka menuju ke pendapa lalu masuk ke dalam.
Seorang lelaki setengah tua tampak duduk di sebuah kursi
besar, berukir dan beralas kain hijau. Tiada yang luar biasa
pada wajah orang itu kecuali sepasang bola matanya yang
bersinar sinar tajam. Setiba di hadapan orang itu. Bhoga dan kedua belas
anakbuahnya serempak memberi hormat.
"Benarkah kalian diutus oleh ki demung Samaya?" tegur
orang itu. "Benar gusti" sahut Bhoga.
"Mengapa harus pada waktu malam begini" Pentingkah hal
itu?" "Hamba hanya seorang pengalasan. Mohon gusti sudi
memaafkan" Orang itu mengangguk. "Hm, baiklah lekas serahkan surat
dari ki demung itu" "Maaf, gusti Kuti" kata Bhoga, "gusti hamba menyerahkan
surat tetapi bukan untuk paduka"
Lelaki itu memang rakryan Kuti, kepala Dharmaputera yang
berpengaruh. Ia terkejut mendengar jawaban kepala prajurit
kademungan itu "Untuk siapakah surat itu?"
"Untuk gusti Semi"
Rakryan Kuti kerutkan dahi. "Tidakkah engkau tahu bahwa
rumah ini kediaman Kuti?"
"Lebih dari tahu, gusti" sahut Bhoga "oleh sebab itu maka
hamba perlu malam ini juga menghadap paduka"
"Lurah prajurit, berbicaralah yang jelas" akhirnya Kuti
berseru. "Hamba telah menuju ke gedung kediaman ra Semi tetapi
tak berjumpa, maka hamba segera menghadap paduka"
"Tidakkah engkau dapat menerimakannya esok hari?"
"Sia-sia, gusti"
Rakryan Kuti kerutkan dahi pula "Mengapa?"
"Karena rakryan Semi tiada di tempat kediamannya. Kata
bujang di gedung itu, rakryan Semi memang tak pernah
pulang" Seketika berobahlah wajah ra Kuti mendengar kata2 itu.
"Dan engkau terus datang ke mari?"
"Demikian, gusti"
"Karena engkau sangka ra Semi tentu berada di sini ?"
"Hamba tak berani mengandung persangkaan demikian,
gusti" "Lalu mengapa engkau ke mari?"
"Karena menjunjung titah gusti hamba demung Samaya"
Ra Kuti nyalangkan-mata. Kerut dahinya mengeriput
dalam2. Sesaat kemudian cahaya mukanya tenang kembali,
"Apa titah gustimu?"
"Gusti hamba menitahkan apabila gusti ra Semi tiada di
rumah harus lekas2 mencari ke gedung kediaman gusti
rakryan Kuti" Menggigil tubuh ra Kuti karena marah. Tetapi ia berusaha
sekuat mungkin untuk menekan perasaannya. "Mengapa
gustimu memberi titah sedemikian?"
"Hamba hanya dibenarkan untuk menerima titah tidak
dibenarkan bertanya keterangan lain" kata kepala prajurit
Bhoga. "Hm, baiklah" kata ra Kuti "sekarang kuberitahu kepadamu.
Rakryan Semi tidak berada di sini!"
Bhoga menghatur sembah, "Terima kasih, gusti. Hamba
mohon gusti suka melimpahkan bantuan lebih lanjut agar
dapat melaksanakan tugas hamba sampai selesai"
"Katakanlah" "Mohon paduka memperkenankan hamba untuk mencari
gusti rakryan Semi di gedung kediaman gusti"
Kuti membelalak lebar2. Hampir ia tak percaya apa yang
didengarnya "Apa katamu, prajurit?"
"Sudilah kiranya gusti memperkenankan keleluasaan
kepada hamba untuk mencari gusti Semi di gedung ini"
"Apa?" teriak ra Kuti "engkau hendak menggeledah
rumahku ini " Beranikah engkau mengucap kata2 itu, prajurit!"
"Mohon diampunkan kesalahan hamba" kata Bhoga
berdatang sembah pula "bukankah kehendak hamba untuk
melakukan hal itu tetapi hamba hanya melakukan titah gusti
hamba. Bukankah berat hukumannya apabila seorang prajurit
tak mau melakukan titah atasannya "
"Demung Samaya menitahkan begitu ?" teriak ra Kuti
"tidakkah dia tahu ....... eh, prajurit, tahukah engkau dengan
siapa saat ini berhadapan ?"
"Tahu, gusti" sahut Bhoga "hamba sedang menghadap
gusti rakryan Kuti, kepala Dharmaputera kerajaan Majapahit"
"Hm, kiranya engkau sudah tahu" desuh ra Kuti "demung
Samaya hanya mentri yang membawahi pasukan kerajaan.
Sedang aku adalah kepala Dharmaputera, orang kepercayaan
baginda. Beranikah demung Samaya bertindak tak senonoh itu
kepada tempat kediamanku?"
"Dalam hal itu hamba kurang
melaksanakan titah gusti hamba"
tahu. Hamba hanya "Katakan rakryan Semi tiada di sini. Jika tak percaya,
silahkan gustimu berkunjung ke mari" seru ra Kuti.
"Hamba takut, gusti. Apabila pulang belum melaksanakan
perintah, hamba tentu akan di hukum"
"Sedemikian takut engkau kepada gustimu. Adakah tiada
sedikitpun terpercik rasa takutmu kepadaku?" seru ra Kuti
makin tegang. "Hamba takut kepada gusti demung karena beliau adalah
atasan hamba. Hamba takut pula kepada gusti Kuti karena
gusti adalah Dharmaputera kerajaan. Tetapi yang paling
hamba takuti yalah sebagai seorang prajurit tak mau
melakukan perintah atasannya"
Merah wajah ra Kuti, serunya "Ho, pandai juga engkau
berputar lidah, prajurit. Adakah engkau tetap hendak
melaksanakan titah gustimu itu?"
"Mohon gusti berkenan melimpahkan kemurahan kepada
hamba" Ra Kuti tertawa hina, "Sesungguhnya aku dapat
menghargai pendirianmu sebagai seorang prajurit yang setya
melakukan perintah. Terhadap seorang prajurit begitu, aku
senang sekali memberi bantuan. Tetapi sayang aku terpaksa
harus menghormati kedudukan Dharmaputera. Jika disuruh
memilih mana yang harus kuhargai, sudah tentu aku wajib
dan harus menghargai kewibawaan seorang kepala
Dharmaputera daripada seorang prajurit yang gelap
pikirannya" "Jika demikian, gusti" kata Bhoga dengan nada sarat


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"hamba pun terpaksa akan melakukan tugas hamba"
"Boleh, boleh" sambut ra Kuti "asalkan engkau yakin bahwa
engkau memiliki nyawa rangkap tujuh. Karena untuk melalui
penjagaan lapis tujuh dalam gedung kediaman kepala
Dharmaputera itu, dibutuhkan orang yang mempunyai tujuh
nyawa" "Baik, gusti, akan hamba coba" kata Bhoga.
Bhoga tahu bahwa jika ia bersikap dan bernada kasar, tentu
mudahlah sekali mengundang kemarahan rakryan Kuti.
Betapapun ia menyadari juga bahwa rakryan Kuti itu adalah
kepala Dharmaputera yang berpengaruh dan besar
kekuasaannya. Maka ia harus menggunakan rangkaian kata2
yang merendah. Bhoga berhasil menembus rintangan pertama. Dia tak
dihalau tetapi dipersilahkan menghadapi penjagaan dinding
gedung kepala Dharmaputera itu.
Baru Bhoga melangkah tiga tindak, dari samping kanan
ruang itu telah muncul sepuluh lelaki bersenjata pedang.
Sesungguhnya Bhoga sudah menduga akan hal itu. Namun ia
masih harus mengerut alis ketika melihat kemunculan penjaga
bersenjata pedang itu. Segera ia memberi isyarat kepada anakbuahnya untuk
bersiap siap menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi. Keduabelas anakbuah Bhoga pun mencabut senjata.
Ra Kuti terkejut, "Ah, prajurit2 kademungan, kalian berani
melanggar peraturan gedung Dharmaputera?"
"Maaf, gusti" Bhoga memberi sembah "terpaksa hamba
harus melindungi diri"
Di luar dugaan rakryan Kuti tertawa "Ho, adakah engkau
anggap senjatamu itu cukup dapat diandalkan untuk
melindungi jiwamu?" "Mohon gusti berkenan memberi kemurahan kepada hamba
sekalian" sahut Bhoga. Saat itu barisan penjaga bersenjata
pedang menghampiri maju dan berhenti lima langkah dari
tempat anakbuah Bhoga. Bhoga dan anakbuahnya pun sudah
bersiap siap. Tiba2 dari arah belakang terdengar derap kaki menggetar
lantai. Bhoga seperti mendapat firasat buruk. Cepat ia
berpaling ke belakang dan terbeliaklah dirangsang kejut.
Sekelompok lelaki bersenjata tombak, jumlahnya juga
sepuluh orang, muncul dengan sikap yang bengis. Setelah tiba
pada jarak lima langkah dari tempat anak buah Bhoga, barisan
tombak itupun berhenti, mengacungkan tombak ke muka.
Bhoga cepat membuat penilaian. Jumlah fihaknya tiga belas
orang. Terdiri dari prajurit2 pilih tanding. Walaupun
keduapuluh penjaga gedung rakryan Kuti itu tentu dipilih juga
dari prajurit2 yang perkasa, namun ia masih dapat
menghadapi mereka. Cepat iapun memecah anakbuahnya
menjadi dua kelompok. Menghadapi barisan pedang dan
barisan tombak. Tiba2 pula dari arah pintu luar, terdengar derap langkah
orang meningkah lantai dan pada lain kejab masuk pula
sekelompok barisan bersenjata trisula. Pun setelah tiba pada
jarak lima langkah dari tempat anak-buah Bhoga mereka
berhenti lalu bersiap dengan trisula menyongsong ke muka.
Kini dari tiga arah, kanan kiri dan belakang, anak buah
Bhoga telah diancam oleh tiga puluh prajurit penjaga gedung
ra Kuti. Bhoga makin cemas. Ia memerintahkan agar empat
orang anakbuahnya menghadapi kelompok bersenjata trisula
itu. Tepat pada saat keempat anak prajurit Bhoga itu
mengambil tempat menghadap ke arah barisan trisula, Bhoga
dikejutkan pula oleh kemunculan sekelompok penjaga yang
membawa busur. Lima langkah dari tempat Bhoga mereka
berhenti lalu memasang anakpanah pada tali busur dan
menujukan ke arah anakbuah Bhoga.
Setitikpun tak pernah terlintas dalam pikiran Bhoga bahwa
dalam gedung kediaman rakryan Kuti yang tampaknya sunyi
sepi, ternyata penuh dengan penjaga2 rahasia yang pada
setiap saat diperlakukan akan bermunculan dalam susunan
yang teratur. Bhoga dapat memperhitungkan apa yang akan dihadapinya.
Betapa pun perkasa anakbuahnya, namun dalam menghadapi
lawan yang lebih besar jumlahnya, tak mungkin ia dapat
mengatasi. Bahkan untuk menyelamatkan diri dan anakbuah
dari bencana kehancuran saja, kiranya cukup sukar. Barisan
panah itulah yang paling menyulitkan. Beberapa saat ia tegak
berdiam diri. "Bagaimana prajurit" tiba2 rakryan Kuti berseru, "mengapa
tak engkau teruskan kehendakmu mengotori lantai gedung
kediaman Dharmaputera?"
Melihat kekuatan yang ada pada rakryan Kuti, Bhoga segera
menyadari. Apabila ia nekad melanjutkan pertempuran, tak
boleh tidak dia dan keduabelas anakbuahnya pasti hancur
binasa. Masih tak mengapa apabila kematiannya itu dapat
diketahui oleh gustinya sehingga orang atasannya itu dapat
mengambil tindakan terhadap ra Kuti. Tetapi bagaimana
apabila rakryan Kuti melenyapkan mayatnya dan mayat
anakbuahnya itu dengan jalan mengubur atau membakarnya.
Bukankah kematiannya itu akan hilang lenyap tiada berbekas"
Namun cepat ia tersenyum dalam hati. Gustinya telah
membekali petunjuk2 lengkap kepadanya bagaimana jika
menghadapi setiap perobahan keadaan. Termasuk apa yang
terjadi pada saat itu, gustinyapun sudah memberikan
petunjuk. Diam2 ia menaruh hormat dan kagum makin besar
terhadap gustinya. "Gusti" serunya seraya menghaturkan sembah "apabila
gusti menghendaki jiwa kami, dengan serta merta kami akan
menyerahkannya" "Kata-katamu itu seharusnya engkau ucapkan sejak tadi,
bukan pada saat setelah engkau tak berdaya seperti sekarang
ini" seru ra Kuti. "Telah hamba katakan, gusti" kata Bhoga, "bahwa hamba
hanya seorang prajurit yang terpaksa harus melaksanakan
titah gusti hamba" "Bukankah sekarang kuberi kesempatan kepadamu untuk
melaksanakan tugasmu?"
"Lebih baik gusti bunuh hamba daripada memaksa hamba
harus mengadu jiwa yang sia2 belaka"
Kuti tertawa ejek "Tidakkah engkau takut akan hukuman
gustimu?" "Hukuman betapapun beratnya masih akan menghidupi jiwa
hamba dan anak isteri yang menjadi tanggung jawab hamba.
Tetapi kematian yang hamba akan derita di sini, tentu akan
membuat sengsara hidup anak isteri hamba. Mohon gusti
berkenan mengampuni jiwa hamba dan sekalian anakbuah
hamba" "Apa janjimu apabila kuberikan kebebasan itu?" seru
rakryan Kuti. "Hamba dan anakbuah hamba akan segera kembali ke
kademungan" kata Bhoga.
Ra Kuti tertawa "Ah, terlampau ringan" Bhoga terbeliak
"Lalu bagaimanakah titah gusti?"
"Dua hal yang akan kuminta. Cukup ringan sebagai imbalan
dari tindakanmu terhadap seorang rakryan kepala
Dharmaputera." "Mohon gusti memberi titah"
"Pertama, serahkan surat ki demung Samaya kepada
rakryan Semi itu. Haturkan keterangan kepada ki demung
bahwa surat itu kuterima dan akan kuberikan kepada rakryan
Semi" "Baik, gusti" Bhoga tergopoh mengambil sepucuk sampul
lalu dihaturkan kepada ra Kuti.
"Dan yang kedua" kata ra Kuti "engkau dan kedua belas
anakbuahmu harus meninggalkan tanda mata di sini"
"Oh" Bhoga terkejut. Ia dapat menyadari bahwa yang
dimaksud dengan tanda mata itu tentulah salah sebuah
anggauta badannya "tetapi gusti, bukankah gedung paduka
sudah penuh dengan benda2 yang berharga?"
"Masih belum lengkap" sahut ra Kuti "aku menginginkan
sebuah hiasan yang jarang terdapat di manapun juga. Bahkan
tidak di dalam keraton Majapahit"
"Ah, tentulah sebuah pusaka yang amat bertuah ataupun
sebuah benda yang tak ternilai harganya, gusti" kata Bhoga.
"Disebut pusaka, bukan pusaka. Dikata berharga pun tidak
berharga" Bhoga kerutkan dahi "Mohon gusti segera mengabarkan
kepada hamba. Apabila hamba dapat menyediakan, tentu
dengan segala senang hati akan hamba haturkan"
"Sudah tentu engkau dapat melakukan hal itu, prajurit" seru
ra Kuti. Bhoga makin heran "Gusti, mohon gusti memberi titah"
"Baiklah" kata rakryan Kuti "yang kuhendaki tak lain yalah
sebuah daun telinga milik kalian masing2"
"Gusti!" Bhoga berteriak kejut.
"Engkau mengatakan apabila dapat tentu akan menghaturkannya, bukan" Tidaklah berat permintaanku itu
karena memberikan sebuah daun telinga takkan membahayakan jiwa kalian semua"
"Mengapa gusti menghendaki hal yang sedemikian aneh
itu?" "Prajurit, suasana dalam pura kerajaan dewasa ini memang
memerlukan kewaspadaan dan kesiap-siagaan. Untuk
keperluan itu maka hendak kuperlengkapi gedung ini dengan
telinga manusia agar setiap gerak-gerik yang mengancam
keselamatan gedung ini akan cepat dapat terdengar"
"Gusti ...." "Kehilangan sebuah daun telinga bagi seorang lelaki,
apapula yang sudah beristeri, bukanlah suatu halangan
daripada harus kehilangan nyawa"
"Hari sudah larut malam, aku tiada waktu lagi untuk berjaga
di sini. Engkau hendak mengiris sendiri atau perlu harus
kusuruh orangku untuk memotong!"
Jauh dari persangkaan Bhoga bahwa tugas yang
dilakukannya malam itu harus mengorbankan beaya sebuah
telinga. Pada hal semua rencana yang telah digariskan oleh
gustinya telah berjalan dengan lancar. Pada saat ia akan
angkat kaki, tiba2 timbullah permintaan yang aneh dari ra
Kuti. Pikirnya, dalam keadaan seperti saat itu, ia tak
mempunyai lain pilihan lagi. Melawan mati, menyerah hanya
kehilangan sebuah daun telinga.
"Baiklah, gusti" kata Bhoga lalu memberi isyarat kepada
anakbuahnya. Ia sendiri terus mencabut pedang dan mengiris
daun telinganya yang kiri.
Terdengar beberapa erang tertahan dari keduabelas
anakbuahnya yang juga menyayat sebuah daun telinganya.
"Bagus, prajurit. Dengan ciri yang ada pada kalian itu,
selanjutnya akan cepat dapat kuketahui bahwa kalian pernah
berkunjung ke rumah kepala Dharmaputera" seru rakryan Kuti
lalu bertepuk tangan. "Pulanglah !"
Kelompok penjaga yang bersenjata trisula segera menyisih
ke samping memberi jalan kepada Bhoga dan anakbuahnya.
Sesaat Bhoga membawa anakbuahnya ke luar, rakryan
Kutipun segera memanggil seorang penjaga bersenjata panah.
Dia membisiki beberapa patah kata kepada penjaga itu.
Penjaga itu mengangguk lalu memberi isyarat kepada kawankawannya, meninggalkan gedung.
Pada saat itu, Bhoga mengajak anakbuahnya beristirahat di
tepi jalan. Waktu masih berada dalam gedung kediaman ra
Kuti, mereka menahan rasa kesakitan dan bersikap gagah.
Tetapi setelah lepas dari rasa pemaksaan diri itu, mulailah rasa
sakit itu berdenting-denting memalu kepala mereka.
"Aduh ..." teriak seorang prajurit yang segera disusul pula
Lingkaran Rantai Setan 2 Pendekar Gagak Rimang 3 Menumpas Angkara Murka Pendekar Sakti 10
^