Pencarian

Gajah Kencana 10

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 10


tak diundang oleh rakryan Kuti dan mungkin tak diharap oleh
sekalian yang hadir di paseban ini, tak lain hanyalah hendak
membantu kepada bekel muda itu" tumenggung tua itu
menunjuk kepada bekel Dipa.
Ucapan tumenggung tua yang sudah mengundurkan diri
dari tugas pemerintahan itu, mulai menarik perhatian sekalian
orang. "Huru-hara yang terjadi di pura Wilwatikta malam itu,
berkumandang menggemuruh sampai ke ujung dan luar pura.
Akupun terjaga karena mendengar suara hiruk pikuk yang
gempar itu. Pada arah pura, kulihat langit membara cahaya ke
merah merahan. Timbul kekuatiran dalam hatiku, apakah yang
telah terjadi di pura kerajaan" Walaupun aku sudah tua dan
sudah mengundurkan diri dari pemerintahan, namun
pengabdianku kepada kerajaan Majapahit tak pernah lenyap
walaupun ragaku yang tua renta ini dibawa ke liang kubur.
Bergegas kuayunkan langkah menuju ke pura. Tetapi di
tengah jalan aku berjumpa dengan sri baginda yang diiringkan
oleh bekel muda itu beserta limabelas prajurit bhayangkara.
Baginda berkenan menceritakan tentang huru-hara yang
pecah di pura kerajaan. Huru hara itu telah mengancam
keraton sehingga terpaksa sri baginda lolos. Tetapi siapa
penggerak dari huru hara yang bertujuan untuk memberontak
itu, belum diketahui. Di hadapan sang nata, aku telah berjanji
untuk mencari biangkeladi itu dan dalam batas kemampuanku,
aku hendak mengembalikan keamanan pura"
Suasana di dalam dan di luar paseban hening tetapi
tegang. Hampir mereka tak sabar menunggu dan mendesak
supaya tumenggung tua itu lekas bercerita sampai selesai.
"Pada waktu timbul peristiwa Lumajang, akupun dititahkan
baginda untuk menyertai baginda yang memimpin pasukan
kerajaan untuk menggempur mahapatih Nimbi dan beberapa
mentri di Lumajang. Secara tak terduga duga aku telah
bertemu dengan rakryan Semi. Rakryan Semi ternyata ikut
serta dalam rombongan mahapatih Nambi ke Lumajang.
Tetapi demi melihat kedudukan mahapatih Nambi berbahaya,
buru2 ia lolos dari Lumajang dan hendak pulang ke pura.
Sebenarnya hendak kuhaturkan ra Semi ke hadapan baginda
tetapi rakryan Semi berjanji bahwa setiba di pura, dia takkan
melakukan suatu gerakan lagi yang merugikan kepentingan
negara. Rakryan Semi pun mengatakan bahwa ikut sertanya
dalam rombongan mahapatih Nambi ke Lumajang ini adalah
sepengetahuan Dharmaputera agar dapat mengamat amati
gerak gerik mahapatih Nambi. Jadi bukan bermaksud hendak
menggabungkan diri dengan mahapatih Nambi. Kuterima
keterangan rakryan Semi atas dasar syarat bahwa apabila
ternyata setelah berada di pura dia melakukan tindakan yang
merugikan kerajaan, tentu akan kulaporkan kepada baginda
tentang ikut sertanya dalam rombongan mahapatih di
Lumajang" Sejenak berhenti untuk mengambil napas, tumenggung
tua itu meneruskan pula. "Tetapi benarkah rakryan Semi memegang janjinya
kepadaku ?" serunya dalam nada bertanya "untuk menjawab
pertanyaan itu, ingin kupersembahkan seseorang yang akan
dapat membawa kesaksian penting. Inilah demang Arsanta!"
"Gusti Dharmaputera, gusti Panca ri Wilwatikta. para gusti
mentri, gusti senopati dan segenap yang hadir di paseban
Balai ksatryaan yang mulia" seru demang Arsanta "pertamatama hamba mohon ampun kepada gusti sekalian atas
tindakan hamba untuk menghaturkan suatu peristiwa seperti
yang telah hamba alami. Kedua, hamba menyadari, bahwa
hanya dengan tindakan ini, barulah hamba merasa dapat
menebus kedosaan yang hamba lakukan. Dan ketiga kalinya,
hamba merasa telah berhutang budi besar kepada gusti
tumenggung sepuh Jabung Tarewes karena telah menyelamatkan jiwa hamba ... "
"Arsanta!" di luar kesadaran, tiba2 rakryan Kuti berteriak.
"Rakryan Kuti" sahut tumenggung Jabung Tarewes
"sudilah tuan memberi kesempatan untuk demang Arsanta
berbicara" "Pada malam itu adalah hamba yang dititahkan untuk
mengantar tuak dan buah-buahan kepada gusti mentri Panca
ri Wilwatikta....." Seketika meluaplah seruan tertahan dari segenap yang
hadir dalam paseban. Di luar paseban lebih gemuruh lagi.
Rakyat berteriak-teriak mendesak supaya demang itu
memberitahukan siapakah yang menyuruhnya.
"Gasti rakryan yang mulia!" seru demang Arsanta.
Mendengar itu ra Kuti serempak bangkit dan berseru
"Prajurit, tangkaplah demang itu ...."
Tetapi pada saat itu juga, rakyat mendesak hendak masuk
ke dalam paseban. Para penjaga sibuk untuk mencegah dan
menghalau. "Jangan bertindak !" tiba2 tumenggung Nala berbangkit
dan menghardik prajurit yang hendak menangkap demang
Arsanta "jika kamu berani main tangkap, tentu akan
kutangkap sendiri" Kemudian tumenggung itu berpaling ke arah Dharmaputera, serunya "Rakryan Dharmaputera, sidang
paseban ini adalah untuk bermusyawarah dan mengadili.
Dalam peradilan, setiap yang tertuduh diberi kesempatan
untuk membersihkan diri. Dan seperti ucapan tuan, hukum
harus dijatuhkan kepada siapapun yang bersalah, tanpa
pandang bulu. Tetapi mengapa tuan hendak menggunakan
kekuasaan untuk menangkap demang Arsanta ?"
Berpaling ke arah demang itu, tumenggung Nala berseru
"Demang Arsanta, engkau harus dapat membuktikan bahwa
engkaulah yang dititahkan gusti rakryan Dharmaputera untuk
mengantar hidangan tuak itu kepada mentri2 Panca ri
Wilwatikta?" "Gusti tumenggung Nala" sahut demang Arsanta "adakah
tuan lupa akan hamba yang pada malam itu menghadap gusti
untuk mempersembahkan tuak dan buah-buahan dari sri
baginda?" Sejenak tumenggung Nala memandangnya lekat2 lalu
mengerut dahi seperti orang mengingat-ingat "O, benar,
benar, memang engkaulah demang, yang mengantar tuak itu
kepadaku" sesaat kemudian akhirnya tumenggung Nala
berseru. "Tidak" tiba2 ra Kuti berseru bengis "aku dan
Dharmaputera lainnya, tak merasa menitahkan demang
Arsanta" "Setelah selesai melakukan titah itu, malam itu juga
hamba dengan seorang pengalasan, dititahkan gusti rakryan
Kuti untuk mengantar tuak ke tempat kediaman tumenggung
Jabung Tarewes. Di tengah jalan tiba-tiba pengalasan itu
bersungut-sungut dan mengatakan hendak mencicipi tuak itu.
Sebelum aku sempat menolak, ia sudah mengambil piala tuak
lalu dituang ke dalam cawan dan diberikan kepada hamba" Ki
demang," katanya "orang lain yang makan nangkanya
masakan kita yang disuruh membersihkan getahnya."
Para mentri Panca ri Wilwatikta diberi tuak, bahkan
tumenggung Jabung Tarewes yang sudah mengundurkan diri
dari pemerintahan masih dihadiahi tuak. Sedangkan kita,
hanya disuruh mengantarkan saja. Lebih baik kita juga ikut
mencicipi barang secawan saja"
"Ia mengangsurkan cawan dan memaksa hamba supaya
meminumnya. Setelah itu baru ia akan minum juga. Karena
dipaksa akhirnya hamba teguk juga. Kulihat diapun menuang
lagi ke dalam cawan dan siap hendak minum sendiri. Beberapa
saat kemudian, perut hamba terasa sakit sekali, mata serasa
gelap, kepala berat dan rubuhlah hamba ke tanah. Ketika
tersadar dan membuka mata, hamba lihat tumenggung
Jabung Tarewes sudah berdiri di hadapan hamba.
Tumenggung mengatakan bahwa hamba tentu mati sekira
tumenggungitu tak kebetulan lalu di tempat situ. Tumenggung
mengatakan bahwa hamba telah minum arak beracun. Bukan
kepalang kejut hamba saat itu. Jelas gusti rakryan Kuti hendak
membunuh jiwa hamba karena hendak melenyapkan jejak.
Kalau hamba mati, tentu tak seorangpun yang tahu tentang
pengantaran tuak kepada mentri Panca ri Wilwatikta itu"
Baru sekalian yang hadir dalam paseban maupun rakyat
yang bergerak-gerak mendepak hendak masuk ke dalam
paseban, hendak berteriak tiba2 bekel Dipa dengan suara
lantang sudah mendahului dan menindas kebingaran mereka.
"Tenang!" teriaknya dengan nyaring. Senyaring halilintar
meletus sehingga suara2 yang hiruk pikuk itupun sirap
seketika. Ada suatu pengaruh yang mengherankan dalam
nada teriakan bekel muda itu sehingga beribu-ribu rakyat
itupun terpukau. "Sidang paseban ini adalah sidang yang maha penting.
Sidang yang akan menentukan nasib kerajaan Majapahit.
Sidang yang akan mengadili mereka yang bersalah. Oleh
karena itu hamba mohon, ketertiban dijaga" cepat bekel itu
berseru pula kepada demung Samaya, "Gusti demung, hamba
mohon supaya penjaga2 di dalam paseban, gusti titahkan
berjaga di luar; Mereka dilarang bergerak tanpa mendapat
titah gusti" Tanpa mendapat penyahutan demung Samaya, bekel
muda itupun berpaling pula ke arah tumenggung Nala, "Gusti
tumenggung, hamba mohon menyerahkan keamanan dalam
paseban ini ke hadapan gusti"
Sukar untuk dipercaya bahwa seorang bekel yang masih
muda belia dapat memerintah kepada seorang demung kepala
pasukan kerajaan dan seorang tumenggung amancanagara
yang bertugas sebagai wali kota. Namun dalam pandangan
kedua mentri agung itu, bukan bekel Dipa yang memerintah,
melainkan seorang utusan nata. Nada dan wibawa Dipa saat
itu memancar-mancar menebarkan pesona dan rasa patuh
pada segenap yang hadir. Ada suatu perasaan gaib yang menghinggapi sanubari
bekel Dipa pada saat itu. Perasaan yang pernah membertik
dan merekah dalam dadanya ketika ia mengangkat patung
dewa Ganesya dahulu. Kini perasaan itu bertebaran
menguasai dirinya. Dengan pengamatan dan naluri yang tajam, bekel muda
itu dapat mengetahui bahwa keadaan saat itu memang sudah
masak untuk bertindak. Prajurit2 bersenjata yang berada
dalam paseban sudah diperintahkan keluar. Demung Samaya
dan tumenggung Nala sudah mengambil alih kekuasaan dalam
paseban. Tibalah saatnya ia akan menyalakan suatu ledakan
yang menggemparkan. "Para gusti rakryan Dharmaputera, gusti mentri, gusti
senopati dan seluruh bendara yang hamba muliakan. Segenap
kawula Majapahit yang gagah perkasa. Perkenankanlah hamba
bekel Dipa yang hina akan menyelesaikan tugas hamba
sebagai bentara sang prabu Jayanagara. Dengarkanlah, para
kawula Majapahit. Junjungan kita, menyampaikan dua firman
kepada seluruh kawula Majapahit. Bahwa apabila kamu benar2
masih setya kepada sri nata dan kerajaan Majapahit, maka
camkan dan laksanakan firman sri baginda ini!"
Suasana dalam dan luar paseban serempak sunyi.
"Pertama, Jayanagara sang nata binatara dari kerajaan
Wilwatikta yang besar dan jaya, belum wafat. Kedua,
biangkeladi dari huru hara pemberontakan itu bukanlah gusti
patih Aluyuda, tetapi gusti rakryan Kuti dan Dharmaputera ...."
Dalam mencanangkan firman bahwa baginda ternyata
masih hidup, bekel Dipa sengaja mempercepat melanjutkan
firman yang kedua agar para narapraja dan kawula tak sempat
untuk melakukan sesuatu tanggapan.
Bagaikan gunung roboh, paseban Balai Ksatryan hampir
berguncang rubuh ketika ribuan rakat menyerbu ke dalam
paseban dan menggelegarkan pekik teriakan yang dahsyat.
"Bunuh ra. Kuti! Bunuh Dharmaputera!"
"Basmi kaum penghianat!"
Dan rakyatpun menjadi hakim.
0o-dw.kz-mch-o0 JILID 34 I YASA WIRYA DONIRA SUKANINGRAT KININKINNIRA, yasa
atau keahlian kerohanian dan wirya, keahlian keduniaan,
dicapainya untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia.
Demikian dalih ajaran yang dianut sang Arjuna, ksatrya
ketiga dari Pandawa Lima yang termasyhur.
Segala harta benda atau kekayaan dunia itu dipandang
bukan kepunyaan sendiri, semua itu adalah kepunyaan
masyarakat bangsanya. Segala keahlian ilmu yang dicapainya,
adalah untuk diabdikan bagi keselamatan dan kebahagiaan
umat manusia. Demikian wejangan yang paling berkesan dalam hati Dipa.
Wejangan yang diterimanya dari brahmana muda Anuraga.
Dan bertanyalah hati kecil Dipa. Apabila seorang dari
keturunan yang berderajat setinggi Anuraga, dapat melakukan
tapa-brata sthula-suksma atau jasmani dan rohani sama2
dipentingkan. Mengapa ia tidak mampu bahkan lebih harus
mampu melaksanakan hal itu "
Keinginan ibarat mata air yang tak pernah kering. Selalu
mengalirkan air. Untuk menyumbat atau menghentikan
pancaran air itu, memang tak mudah. Memerlukan suatu
usaha yang benar2 besar. Usaha yang memerlukan
pengorbanan tenaga, pikiran dan penderitaan. Hanya sedikit
jumlah orang yang mampu, sebagaimana besarnya jumlah
orang yang tak mampu menghentikan keinginan. Apabila tak
mampu menghentikan hal itu, baiklah jangan dipaksa atau
mengadakan pemaksaan yang melewati batas kemampuan
kita. Yang penting, bagaimana cara untuk menyalurkan mata
air itu sehingga dapat memberi manfaat dan kebahagiaan
pada manusia dan alam kehidupan.
Keinginanpun demikian hendaknya. Harus disalurkan ke
arah jalan yang baik dalam arti kata membangun


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesejahteraan dan menciptakan kebahagiaan bagi umat
manusia, negara dan bangsa. Bentuk penyaluran yang baik,
yalah berupa dana. Dana adalah pemberian tetapi dalam arti
yang lebih luas suatu pengabdian. Memberi, menyerahkan dan
atau mengabdikan keinginan kita itu keselamatan dan
kesejahteraan manusia, negara dan bangsa.
Mahatidana merupakan ciri dari seorang ksatrya, seorang
pahlawan, yang rela mengorbankan jiwa dan raga tanpa
menginginkan sesuatu kecuali demi keselamatan negara dan
bangsanya. Dunia dan manusia.
Dipa telah meresapi ajaran2 dari brahmana Anuraga
tentang sumber Keinginan dan cara2 penyalurannya. Dan kini
Dipa pun ingin melaksanakan ajaran itu. Ia tahu bahwa dalam
sidang paseban yang diselenggarakan rakryan Kuti dan
Dharmaputera, akan dibicarakan tentang nasib baginda
Jayanagara dan pemerintahan Majapahit. Ia pun menyadari
pula, bahwa dalam sidang itu, telah disiapkan orang2
kepercayaan Dharmaputera. Baik yang akan memberi
ketentuan dalam Persetujuan suara, maupun mereka yang
telah diperlengkapi dengan senjata untuk menjaga keamanan
dan menindak orang2 yang akan menentang Dharmaputera.
Memang setelah pulang dari gedung tumenggung Nala,
malam itu Dipa berkumpul pula dengan brahmana Anuraga,
Parandiman dan Hesthidono di rumah bekel Asadha. Masing2
telah memberi laporan tentang hasil penyelidikannya malam
itu. Anuraga mengatakan bahwa memang tampak kesibukankesibukan yang menonjol di gedung kediaman ra Kuti. Tetapi
sukar untuk memasukinya. Penjagaan dilakukan teramat
kuatnya. Demikian pula dengan laporan Hesthidono. Gedung
kademungan sukar di dekati. Hanya Dipa yang berhasil
menghadap tumenggung Nala.
"Jika demikian" kata Hesthidoao "kita harus cepat
bergerak. Keadaan sudah mencapai titik yang paling gawat.
Bukankah demikian kakang Anuraga?"
Pandang Hesthidono, Paranditnan, bekel Asadha dan Dipa
mencurah ke arah brahmana Anuraga. Tetapi harapan mereka
hampir meredup ketika brahmana muda itu hanya menjawab
singkat, "Ya" Merekapun segera menyadari bahwa Anuraga sedang
menggali pemikiran yang belum bersua pada penemuannya.
Mereka melepaskan brahmana itu untuk melanjutkan
pemikirannya dan merekapun bertukar pikiran sendiri.
"Kakang Parandiman, bagaimana pendapat kakang?" tanya
Hesthidono. Parandiman menghela napas, "Hanya ada sebuah jalan.
Kita kerahkan seluruh warga Gajah Kencana untuk menyerbu
gedung Dharmaputera dan membunuh mereka. Atau kita
harus rela melihat Dharmaputera menguasai kerajaan"
Ada suatu pemikiran dalam hati Dipa. Tetapi bekel muda
itu masih ragu2 karena kuatir adakah ia mampu untuk
melaksanakan rencana itu. Ia merasa dirinya terlalu kecil
untuk melakukan pekerjaan yang sebesar itu. Ia menyadari
hal itu sebagai suatu kemungkinan yang tak mungkin. Ia
terlanda oleh rasa rendah diri.
"Tidak, kakang Parandiman" seru Hesthidono, "lebih baik
kita lenyap daripada melihat kerajaan dikuasai Dharmaputera
ra Kuti" "Maksud adi?" "Kita kerahkan seluruh kawan2 dan menyerbu gedung ra
Kuti!" sahut Hesthidono "kemudian kita serahkan kekuasaan
kepada demung Sumaya dan tumenggung Nala untuk
mengatasi keadaan yang akan timbul dari peristiwa itu. Kita
mohon agar kekuasaan dikembalikan pula kepada Dewan
Mahkota" Parandiman mengangguk sarat. Ia memang menganggap
bahwa keadaan sudah sangat genting. Hanya suatu tindakan
yang tegas dan berani akan mampu menyelamatkan negara.
Sungguhpun demikian, ia tetap menghormati Anuraga sebagai
pimpinannya. "Kakang Anuraga, harap memberi petunjuk"
katanya. Brahmana Anuraga mengangkat muka, "Ya, aku setuju
dengan pendapat adi berdua" katanya "tetapi adakah adi yakin
bahwa tindakan kita itu akan berhasil ?"
Parandiman dan Hesthidono terkesiap.
"Kakang Anuraga" seru Hesthidono sesaat kemudian
"didalam perjuangan, bukanlah hasil atau gagal yang kita
bayangkan tetapi berjuang dan hanya berjuang. Bukankah
kepada para warga Gajah Kencana telah ditanamkan
pengertian bahwa perjuangan itu suatu mahatidana. Suatu
penyerahan jiwa raga yang ikhlas dan tulus tanpa
mengharapkan suatu pamrih dari perjuangan yang kita
perjuangkan itu" "Adi Hesthidono" sahut brahmana Anuraga, "apa yang adi
ungkapkan, memang benar. Warga Gajah Kencana hanya
mengenal berjuang demi menegakkan kelangsungan dan
kejayaan kerajaan Majapahit yang kita cintai. Tidak tidak
mengenal pamrih, tidak pula mengharap imbalan dalam
bentuk apapun jua. Perjuangan suci harus berlandaskan suatu
tekad dan cita-cita yang luhur dengan berbekal utama
mahatidana" Brahmana Anuraga berhenti sejenak untuk meneguk
napas, kemudian melanjutkan, "Tetapi ketahuilah adi. Tujuan
perjuangan adalah untuk menang. Untuk memenangkan cita2
dan tujuan yang kita perjuangkan. Hakekat daripada setiap
perjuangan, entah dengan cita2 ataupun tujuan apa saja,
adalah demikian. Begitu pula perjuangan kita, warga Gajah
Kencana. Kita hendak menegakkan, melindungi dan menjaga
kelangsungan dan kewibawaaan kerajaan Majapahit. Dan kita
harus berusaha untuk memenangkan perjuangan itu. Jadi
perjuangan itu membekai harapan menang. Kemenangan
harus menggunakan sarana rencana dan siasat. Berjuang asal
berjuang, hanya menghamburkan korban jiwa, memberantakkan cita dan tujuan perjuangan belaka.
Mahatidana harus ditafsirkan, bukan berkorban asal
berkorban, berjuang asal berjuang akan mengaburkan arti
daripada Mahatidana. Memang perjuangan berlandas
Mahatidana, tidak mengharapkan pamrih, tidak pula
memikirkan hasil apapun dari perjuangan itu, kalah atau
menang. Tatapi Mahatidana tidak membenarkan suatu
perjuangan yang jelas2 akan menghancurkan perjuangan itu
sendiri. Mahatidana adalah bekal tekad, siasat dan
perhitungan rencana adalah syarat2 yang diperlukan dalam
setiap perjuangan" "Ingatlah, adi" brahmana Anuraga menambahkan pula
"bahwa perjuangan warga Gajah Kencana itu adalah demi
menyelamatkan negara dan rakyat Majapahit. Jika berjuang
secara ngawur, tidakkah hal itu akan mengecewakan harapan
negara dan rakyat Majapahit ?"
"O, jadi kita harus memakai
brahmana?" tanya Hesthidono.
perhitungan, kakang "Tentu adi Hesthidono" sahut brahmana Anuraga "sebagai
layaknya kita berjalan harus meniti langkah, demikian pula
perjuangan harus mengatur rencana, memiliki perhitungan.
Hendaknya jangan mengaburkan arti daripada perhitungan
untuk memenangkan perjuangan dan perhitungan yang
didasarkan pamrih. Setelah mantap perhitungan kita, setelah
masak rencana kita, barulah kita bertindak dengan
mengorbankan seluruh jiwa raga secara tulus dan ihklas.
Mahatidana adalah tekad dan pcrhitungan serta pertimbangan
adalah sarana untuk mewujudkan tekad itu"
"Adakah kakang brahmana belum menganggap bahwa
saat ini sudah tiba waktunya kita harus berjuang dengan
segala pengorbanan apapun juga?" tanya Hesthidono pula.
"Benar, adi, memang saat ini kegentingan sudah
memuncak. Nasib kerajaan Majapahit akan ditentukan dalam
rapat paseban besok pagi. Kita harus bertindak" sahut
Anuraga serempak "tetapi ketahuilah adi Hesthidono.
Kekuasaan pemerintahan saat ini sudah berada di tangan ra
Kuti dan Dharmaputera. Jika kita bergerak menyerang gedung
ra Kuti, ada dua kesulitan yang harus kita hadapi"
Brahmana Anuraga berhenti sejenak untuk mengemasi
duduknya. "Pertama" katanya "kekuatan pasukan yang besar
jumlahnya. Dan kedua, senjata lidah ra Kuti yang tajam pasti
akan mengatakan bahwa kita ini sisa gerombolan perusuh
yang mengadakan huru hara malam itu. Sukar untuk memberi
penjelasan kepada rakyat apalagi seluruh narapraja kerajaan.
Kitalah yang akan menjadi sasaran tumpuan kemarahan
seluruh pasukan dan rakyat pura Majapahit. Bukankah
pengorbanan itu akan sia2 belaka?"
Parandiman, Hesthidono, bekel Asadha bahkan bekel Dipa
pun terkesiap mendengar uraian Anuraga. Memang hampir
saja pikiran Dipa terjerat untuk mendukung saran Hesthidoao.
Diam2 ia malu dalam hati setelah mendengar ungkapan
brahmana Anuraga. "Lalu bagaimanakah langkah yang akan kita ambil menurut
kakang brahmana?" akhirnya Hesthidono mengendap dalam
pengajuan bertanya. "Ada suatu pemikiran" kata brahmana muda itu "yang
telah menghayati benakku. Namun hal itu masih belum
icmpurna. Tetapi baiklah, adi sekalian. Akan kujelaskan
pemikiranku itu, mudah-mudahan adi dapat memberi
tanggapan yang lebih lempurna"
Berhenti sebentar Anuraga mulai menjelaskan
"Untuk menyerbu ke gedung ra Kuti, terlalu berbahaya dan
dapat dituduh sebagai sisa kaum pemberontak. Lebih baik kita
kerahkan segenap kawan2 untuk menyusup pada para kawula
yang akan mendengarkan rapat paseban itu. Kita harus
mengadakan pengacauan dalam arti membangkitkan
kesadaran para kawula bahwa tindakan Dharmaputera itu
tidak benar. Seharusnya kerajaan mengirim rombongan
pcngalasan ataupun pasukan untuk mencari baginda sehingga
sampai ketemu. Bukan menyelenggarakan rapat untuk
memilih siapa yang layak mengambil pimpinan pemerintahan"
"Bagus, kakang brahmana" seru Parandiman, "suatu
rencana yang baik sekali. Pada saat itu kita harus bergerak
untuk menggagalkan rapat itu dan menciptakan kemungkinan
untuk menggulingkan kekuasaan Dharmaputera"
"Tetapi kakang Parandiman" sambut Hesthidono "atas
dasar apakah maka kita akan mendapat kepercayaan dari
segenap mentri dan senopati yang hadir dalam rapat itu?"
"Dasar perjuangan yang suci dan luhur, adi" sahut
Parandiman "mereka pasti akan percaya kepada kita"
Hesthidono gelengkan kepala.
"Aku dapat menerima penuh uraian kakang brahmana
tentang hakekat perjuangan tadi. Dalam rangka itu, kakang
Parandiman, janganlah kita memperhitungkan sesuatu
menurut anggapan kita sendiri. Artinya, kita harus
memperhitungkan segala sesuatu berdasarkan kenyataan.
Bahwa dasar yang kakang kemukakan, suci dan luhur itu,
bukan suatu alasan yang dapat kita paksakan pada mereka."
"Kakang" kata Hesthidono pula setelah berhenti sejenak
"setiap hidung tentu mengatakan bahwa tujuannya baik.
Setiap pejuang tentu menyebut bahwa dasar perjuangannya
luhur. Jadi masing2 menganggap langkah dan tujuan
perjuangannya baik menurut anggapannya sendiri. Kita
mengatakan bahwa dasar perjuangan Gajah Kencana itu suci
dan luhur, itu suatu alasan yang latah. Sukar dapat mereka
terima begitu saja. Dan akan tertumbuk pula kita kepada
suatu kesulitan manakala mereka bertanya, dan siapakah
Gajah Kencana itu" Apabila kita menguraikan kesemuanya,
bukan saja memakan waktu dan mengundang kepertanyaan
yang memakan waktu amat lama, pun sifat2 pendirian Gajah
Kencana yang hanya bekerja secara tak tampak itu, akan
terbongkar. Selanjutnya sulitlah bagi langkah2 kita pada
masa2 yang mendatang. Pada hal perjuangan Gajah Kencana
akan menyertai timbul sampai tenggelamnya kerajaan
Majapahit. Tidakkah hal itu menyulitkan kedudukan kita?"
"Tepat, adi Hesthidono" tiba2 brahmana Anuraga berseru,
"biarlah sifat kerahasiaan dari perhimpunan Gajah Kencana itu
tetap terlindung sepanjang masa. Dan untuk menghadapi
peristiwa yang akan terjadi di rapat paseban besok, cukup kita
menempatkan diri dalam kedudukan sebagai rakyat Majapahit
yang menuntut keadilan serta kebenaran"
Hesthidono mengangguk, "Jika demikian, aku dapat
menyetujui, kakang brahmana"
"Tetapi ada sesuatu yang kurasakan masih kurang
sempurna" kata Anuraga "yalah orang yang ...
Tiba-tiba brahmana itu hentikan kata-katanya dan beralih
memandang bekel Dipa, "Bekel Dipa," serunya "ya, sekarang
aku ingat. Rasanya engkau belum sempat memberi tahu
kepada kami tentang keadaan baginda"
Bekel Dipa tertegun. Memang sejak bertemu dengan
paman Anuraga dan Parandiman serta Hesthidono, ia belum
menuturkan tentang keadaan baginda yang sebenarnya. Dan
memang sesungguhnya ia mengharap agar hal itu jangan
diketahui dulu. Tetapi kini setelah menghadapi memuncaknya
kegawatan, menyadari pula akan tanggung jawab para warga
Gajah Kencana, ia merasa bahwa sikapnya untuk
menyembunyikan rahasia diri baginda, tidaklah benar. Ia
harus mengajak kawan2 dari Gajah Kencana untuk
menghadapi keadaan yang gawat itu, bahkan sudah
membahayakan kerajaan. Ia tak boleh mengukuhi
pendiriannya sendiri. Diam2 iapun malu dalam hati mengapa
hampir ia terjerumus dalam suatu keinginan bahwa
kesemuanya itu harus ia kerjakan sendiri. Pada hal
keselamatan baginda dan kerajaan adalah menjadi tanggung
jawab seluruh bhayangkara negara, termasuk himpunan Gajah
Kencana. "Paman brahmana, paman bekel dan kakang Parandiman
serta kakang Hesthidono, baginda masih selamat tak kurang
suatu apa dan saat ini sedang merahasiakan diri di sebuah
desa dan dilindungi oleh buyut serta seluruh rakyat desa itu"
bekel Dipa mulai memberi penuturan. Ia menceritakan tentang


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tugas yang dititahkan baginda dan usaha2 yang dilakukan
selama ini. Anuraga dan ketiga kawannya mendengarkan penuturan
Dipa dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian tampak wajah
brahmana muda itu memercik sinar kecerahan, walaupun
masih seperti sinar surya di ambang fajar.
"Bekel Dipa" kata brahmana itu kemudian "berbahagialah
engkau karena engkau mendapat kesempatan untuk ikut serta
berkecimpung dalam peristiwa besar yang menentukan
sejarah Majapahit. Tetapi hendaknya terimalah kebahagiaan
itu. Sebagai suatu kewajiban yang penuh tanggung jawab.
Sebagai suatu pengabdianmu terhadap raja, negara dan
rakyat." Bekel Dipa berlinang haru dan mengucapkan kata-kata
merendah diri. "Tetapi bekel muda" kata brahmana Anuraga pula
"kewajiban itu tetap sebagai suatu hiasan bibir yang kosong,
kebahagiaan itu tetap suatu impian harapan belaka, apabila
tiada kita isi dengan kenyataan. Seperti sekuntum bunga yang
indah tetapi tak harum baunya. Demikian kewajiban dan
kebahagiaan yang tiada berisi kenyataan. Dan pengisian itu
tak lain hanyalah langkah dan tindakan kita untuk mewujutkan
kewajiban dan kebahagiaan itu."
Berhenti sejenak brahmana muda itu melanjutkan pula,
"Semisal hakekat perjuangan yang telah kukatakan kepada adi
Hesthidono tadi, pun dalam menjalankan tugas kewajibanmu
itu, engkau sedang menghadapi suatu perjuangan. Suatu
perjuangan yang berat, penuh bahaya namun harus engkau
menangkan. Apabila engkau bertindak ceroboh, sebagaimana
kukatakan kepada adi Hesthidono tadi, bukan saja engkau
hanya mengorbankan jiwamu dengan sia-sia tetapi engkau
pun menghancurkan kewajiban yang telah dipercayakan
baginda kepadamu. Engkau berdosa terhadap raja, negara
dan rakyat. Sudahkah engkau mencamkan hal itu?"
Tergopoh-gopoh bekel Dipa menghaturkan hormat sebagai
tanda mengiakan pertanyaan sang brahmana.
"Tahu adalah baik. Tetapi lebih baik dari tahu adalah
menyadari. Dan lebih baik lagi dari menyadari adalah
menghayati. Yang paling baik dari ketiganya adalah
melaksanakan. Sekarang engkai sudah berhadapn dengan
tingkat melaksanakan, tingkat yang paling baik dari segala
kesadaran dan penghayatan akan tugas yang engkau pikul itu.
Dalam rangka itu, bekel Dipa, adakah engkau sudah
merancangkan suatu rencana untuk menunaikan titah baginda
itu?" Memang sejak mendengarkan pembicaraan Parandiman
dengan Hesthidono. kemudian Hesthidono dengan brahmana
Anuraga tadi, Dipa sudah siap dengan suatu rencana. Bahkan
rencana itu sudah terbayang ketika selesai ia menghadap
tumenggung Nala. Maka dapat ia menyambut pertanyaan
brahmana Anuraga dengan serentak.
"Paman brahmana" katanya "hamba telah siap dengan
suatu rencana. Dan kebetulan pula tadi pamanpun telah
menguraikan rencana paman dalam menghadapi peristiwa
besok di paseban Ksatryan. Rasanya kedua rencana itu dapat
berjalan dengan serasi"
"O, cobalah engkau katakan bekel"
"Hamba merencanakan akan menghadap ke tengah sidang
dan mengabarkan tentang keadaan baginda kepada segenap
gusti mentri senopati yang hadir..."
"O, berbahaya sekali, bekel muda" tiba2 bekel Asadha
berseru, kejut "dalam sidang itu penuh dengan orang2
kepercayaan Dharmaputera dan dijaga dengan keras oleh
pasukan yang telah dikuasa rakryan Kuti"
"Terima kasih, paman bekel" sahut Dipa "tetapi kurasa
saat ini kita tiada mempunyai rencana lain yang lebih baik dari
itu. Bukankah paman brahmana telah memutuskan untuk
mengerahkan kawan2 kita menyelundup dalam kerumum
rakyat yang ikut mendengarkan rapat itu " Dengan demikian,
akan terbentuklah suatu kerja-sama yang senada. Aku akan
mempengaruhi para gusti dalam ruang sidang dan paman
brahmana akan mempengaruhi rakyat di sekeliling paseban
itu" "Tetapi betapalah berbahayanya, bekel muda" seru bekel
Asadha penuh cemas. Bekel Dipa mengangguk. "Dalam hal ini memang kita harus berani menghadapi
bahaya atau bahaya itu akan menimpa kita apabila kita
menghindar. Apabila rencana Dharmaputera berhasil,
bukankah lebih membahayakan keselamatan negara dan kita
semua?" "Rencanmu memang tepat, bekel Dipa," tiba-tiba pula
brahmana Anuraga memberi tangapan "hampir sama seperti
yang terkandung dalam pikiranku. Aku memang membutuhkan
suatu tenaga untuk mengacau persidangan itu. Sedapat
mungkin untuk mempengaruhi pikiran sekalian mentri senopati
yang hadir agar mereka menolak rencana ra Kuti. Tetapi ...."
brahmana itu hentikan kata-katanya, beralih memandang
bekel Asadha "engkau benar, kakang Asadha, memang
persidangan itu tentu sudah dikuasai oleh rakryan Kuti. Amat
berbahaya sekali apabila bekel Dipa hendak mengabarkan
titah baginda di hadapan sidang besar itu. Ra Kuti seorang
yang cerdik dan licin. Mudah sekali ia mencari alasan untuk
menangkap bekel Dipa"
"Jika dalam keadaan begitu, kita serbu saja persidangan
itu !" seru Hesthidono yang tak kuasa membendung
perasaannya pula, "bukankah begitu kakang Parandiman?" ia
berusaha untuk mencari dukungan.
"Jika memang keadaan sudah seburuk dalam keadaan
yang paling buruk" sahut Parandiman "kita-pun harus
bertindak demikian" "Bekel Dipa" tiba2 Anuraga berseru "dapatkah engkau
memberi gambaran tentang rencanamu berbicara dalam
sidang itu ?" "Hamba akan mengabarkan bahwa baginda telali wafat
karena hamba ingin mengetahui bagaimana suasana
sambutan para gusti mentri dan senopati mendengar berita
itu. Dari kesan2 itu, hamba akan bertindak pula menurut
perkembangan keadaan lebih lanjut. Pendek kata, hamba
mempertaruhkan jiwa hamba untuk apapun yang akan terjadi"
"Bagus, bekel Dipa, kesetyaanmu tiada meragukan,
keberanianmupun telah teruji" seru A nuraga "tetapi dalam soal
yang kita hadapi, kesetyaan memang diperlukan, keberanian
lebih diperlukan tetapi yang paling diperlukan dari segalagalanya adalah berhasil dan menang. Kegagalan akan
menghanyutkan kesetyaanmu, mencampakkan semua keberanian dan tekad ke lembah derita kekecewaan yang sia2.
Memang kita tak mengharap suatu pamrih, tiada pula
menghiraukan apa pun akibat yang akan kita derita dalam
perjuangan itu. Kita tak memperhitungkan untung rugi dalam
perjuangan tetapi harus memperhitungkan hasil atau gagalnya
perjuangan itu. Dan perhitungan itu bukan didasarkan atas
ketidak relaan kita berkorban, melainkan atas sarana dan
rencana2 yang kita buat. Bahwa setiap kegagalan harus
ditinjau dari rencana2 dan sarananya yang masih kurang
sempurna. Dan perjuangan untuk menyelamatkan baginda,
bukan melainkan soal untung rugi pengorbanan yang kita
lakukan tetapi suatu tugas yang berat tetapi penting dan harus
berhasil. Rencana dan siasat, sarana dan pelaksanaannya
menentukan hasil itu. Pengorbanan jiwaraga hanya termasuk
dalam landasan sarana itu. Dapatkah engkau mencamkan
kata-kataku ini, bekel Dipa?"
"Sudah, paman brahmana" akhirnya bekel Dipa harus
mengakui ketajaman dan ketepatan ulasan brahmana itu.
Kemudian ia meminta petunjuk bagaimanakah cara2 yang
harus ditempuhnya. "Kabarkanlah berita tentang baginda itu kepada sidang"
kata Anuraga "apabila engkau hendak mencari kesan dari
kesetyaan para mentri dan senopati, engkau dapat
mengabarkan bahwa baginda sudah mangkat. Cara itu
memang baik. Tetapi ingat, bekel Dipa, engkau harus
memperhatikan suatu hal yang penting. Jagalah dan tindaslah
sesuatu kata yang dapat membangkitkan kemarahan ra Kuti.
Jangan engkau melantangkan ucapan2 yang menentang
Dharmaputera. Tetapi berbuatlah sedapat mungkin seolah
engkau mendukungnya. Ibarat, jangan engkau coba
membendung arus bengawan tetapi turutkanlah arus itu
kemudian bawalah aliran itu ke saluran yang engkau tentukan"
"Baik, paman" kata bekel Dipa dengan penuh kerendahan
hati. Ia memiliki suatu rasa hormat dan mengindahkan kepada
paman brahmana itu dan iapun berusaha untuk menempatkan
diri dalam kedudukan sebagai seorang muda terhadap
orangtua, seorang murid terhadap guru.
"Aku tak menyukai sesuatu yang serba gesa dan berbau
paksaan" kata Anuraga "maka baiklah kita beristirahat dulu
untuk mengendapkan pikiran. Kesegaran tubuh mempengaruhi kejernihan pikiran. Dan camkanlah, besok kita
akan menghadapi suatu peristiwa besar yang akan merobah
sejarah kerajaan Majapahit. Kita akan bertindak dan harus
menang" Parandiman, Hesthidono, bekel Asadha dan bekel Dipa
sendiri agak tercengang ketika melihat brahmana Anuraga
segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah masuk
ke dalam ruang peristirahatannya. Mereka pun mengikuti
masuk ke dalam ruang tidur masing2.
Sesungguhnya saat itu sudah lewat tengah malam. Dipa
memang menyadari bahwa dalam menghadapi peristiwa
segenting besok hari, ia harus memiliki suatu semangat dan
pikiran yang tajam. Dan untuk mencapai hal itu, haruslah ia
memelihara kesegaran badannya. Tidur atau beristirahat
merupakan cara untuk mengembalikan keegaran tubuh dan
semangat. Tetapi ia terlalu tegang sehingga sampai lama
belum juga matanya mau dibawa tidur. Sekalipun kelopak
mata mengatup tetapi pikiran masih berkeliaran menjelajahi
segala kemungkinan yang akan menjadi persiapannya besok,
Ia segera duduk bersila melakukan Prana atau pernapasan
sebagaimana yang pernah diajarkan oleh brahmana Anuraga
dahulu. Kemudian ia berusaha untuk mengendapkan pikiran,
menghampakannya. Tetapi gagal. Ia merasa heran mengapa
kali ini ia tak mampu untuk melenyapkan gerak pikirannya
sama sekali. Ia merasa seolah tak dapat melarikan diri dari
berbagai suatu persoalan yang menghimpit dadanya. Dan
akhirnya ia harus menyerahkan diri pada keadaan nanti. Ia tak
akan lari menghindar, ia akan menghadapinya. Serentak ia
turun dari balai2 dan terus melangkah ke luar menuju ke
belakang rumah. Bagian belakang rumah bekel Asadha
merupakan sebuah kebun yang cukup luas.
Saat itu hampir jam tiga malam. Sekeliling penjuru sunyi
bagai kuburan. Kebun dikelilingi pagar bermacam pohon.
Rumput tumbuh subur. Di sana sini mereka membentuk
gerumbul semak. Sebuah kebun yang tak terawat, pikir Dipa.
Tetapi justeru ia hendak mencari tempat semacam itu. Tempat
yang masih bebas dari sentuhan tangan manusia. Tempat di
mana pohon dan semak2 belukar masih bebas berkembang
biak. Bekel muda itu duduk di bawah sebatang pohon
brahmasana yang rindang. Ia ingin mencari tempat yang
sunyi. Ia ingin mengheningkan cipta, menyatukan pikiran. Ia
ingin memperoleh suatu ilham untuk mendapatkan langkah
yang tepat dalam menghadapi rapat paseban besok hari. Ia
ingin dapat memenangkan perjuangan tugas yang berat itu. Ia
ingin menggagalkan rencana Dharmaputera. Ia ingin
mengembalikan kekuasaan kepada mentri Panca ri Wilwatikta.
Ingin menyongsong baginda kembali ke pura. Ia ingin, ingin
dan ingin. Seribu satu macam ingin ....
Air beriak tanda tak dalam., Demikian tamsil yang diambil
untuk sesuatu yang terlalu bergejolak, sebagai-manapun
Keinginan itu. Makin memanjakan, makin meluap-luap tiada
berkeputusanlah Keinginan itu. Makin meluap, makin meluas
alam keinginan itu sehingga penuh sesak, sukar untuk
menampung. Demikian pula perasaan bekel Dipa yang sedang
dilanda oleh gelombang Keinginan itu. Dan keinginan itu
seolah berlomba desak mendesak untuk mencapai penyaluran
atau pemecahan dari soal2 yang sedang dihadapinya. Sesuatu
yang meluap dan mendesak tentu mengandung sifat paksa.
Dan setiap sifat paksa itu tentu membuahkan sesuatu yang
dipaksakan menurut bentuk keinginannya. Keinginan yang
diciptakan, keinginan angannya. ditegakkan itu sendiri. sekedar berbentuk menurut ciptaannya. Tidaklah
itu dapat melepaskan diri dari cipta anganPada hal setiap persoalan itu, harus dapat
dalam wadahnya sesuai dengan bentuk persoalan
Makin didesak Keinginan, makin bingung Dipa menghindarkan diri dari kegelisahan. Ingin lekas mendapat
pemecahan, kebalikannya malah kebingungan yang ditemukan. "Ah" akhirnya ia menghela napas untuk melonggarkan
kesesakan napas yaag menghimpit rongga dadanya "pikiranku
serasa buntu." Bekel Dipa makin gelisah. Ia tak tahu bagaimana harus
mempersiapkan diri dalam rapat paseban itu. Pada hal
disadarinya bahwa rapat itu penting sekali artinya. Namun
betapapun ia hendak memaksa benaknya untuk menelurkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemikiran2 yang tepat, tetap tak dapat. Benaknya seolah
tumpul, seolah terselubung kegelapan. Dan akhirnya
ketegangan2 itu telah melemaskan urat2 kepala. Ia melentuk
merundukkan kepala, melemparkan diri ke dalam kehampaan,
seolah sebuah benda yang menyerah dihanyut hempaskan
oleh gelombang. Lama juga pikirannya dibawa gelombang
lamunan yang tiada menentu, lama pula ia harus
menyerahkan diri dalam keadaan yang terombang ambing itu
sebelum ia melihat tepi yang memancar sepercik sinar terang.
Tiba2 sebelum ia melihat suatu tepi berlabuh, terdengarlah
suara bunyi yang keras berkumandang memecah kesunyian.
Serentak iapun terhenyak dari kepukauan dan serentak itu
pula ia menyadari bahwa bunyi kumandang keras itu ternyata
bunyi seekor tokek yang bersarang di atas dahan pohon
brahmastana tempat ia duduk.
Tokek berbunyi di matam hari, bukanlah suatu hal yang
luar biasa. Dahulu ketika masih di desa, sering bekel Dipa
mendengar bunyi binatang itu di malam hari. Memang
sementara orang di desanya, mengaitkan bunyi tokek dengan
sesuatu lambang. Bahwa dari jumlah bunyi binatang itu dapat
diketahui apakah tujuannya akan berhasil atau gagal, nasibnya
buruk atau baik dan lain2 menurut apa yang dikehendaki
orang itu. Tetapi bekel muda itu lebih cenderung untuk mengetahui
mengapa binatang tokek suka berbunyi di malam hari. Untuk
apakah binatang itu melantangkan suaranya yang nyaring"
Sejak kecil hidup di alam pedesaan dan sering menjelajah
hutan, ia banyak mengenal akan segala jenis binatang dengan
ciri masing2. Ular dengan gigitannya yang berbisa. Harimau
dengan aum dan kukunya. Babi hutan dengan calingnya,
kerbau dan sejenisnya dengan tanduk. Ia memperhatikan
bahwa setiap khewan tentu memiliki alat untuk melindungi
diri. Bahkan sampai binatang yang paling lemah juga memiliki
alat2 pelindung diri, antara lain kelinci dengan geraknya yang
lincah, cacing dengan keistimewaannya untuk menyusup ke
dalam bumi. Namun belum pernah ia sempat memikirkan binatang
tokek. Lebih2 pada malam itu, perhatiannya makin tertumpah
pada tokek yang berbunyi lantang. Apakah senjata pelindung
tokek itu" Adakah suaranya yang lantang itu, merupakan
senjata pelindung dirinya" Teringat ia akan harimau. Harimau
memiliki aum yang dahsyat. Aum itu dapat meruntuhkan nyali
dan semangat lawan. Adakan tokek juga demikian" Adakah
binatang2 lain juga merasa gentar mendengar bunyi tokek"
Dipa geleng2 kepala dan tersenyum ewah dalam hati.
Tetapi pada lain saat, pikirannya membantah sendiri. "Ah, aku
bukan binatang ataupun serangga, tentu tak dapat kuselami
perasaan mereka di kala mendengar suara tokek yang keras
itu ....." Tanpa disadari, pikiran Dipa makin terhanyut dalam
memikirkan persoalan binatang tokek itu. Ia mendapat kesan,
betapa garang binatang itu berbunyi melantangkan suaranya.
Dan ia percaya tentu suara itu mempunyai daya guna,
berpengaruh terhadap lain binatang.
Pikiran Dipa berkelanjutan untuk menyelami beberapa
binatang yang memiliki suara sebagai senjata. Dan
cenderunglah pikirannya pada harimau. Jelas aum binatang itu
sangat dahsyat, seakan mampu mencabik semangat perasaan
lawan. Kemudian iapun tiba pada suatu kesimpulan, bahwa
ternyata suara itu dapat merupakan senjata yang ampuh
apabila benar2 dapat digunakan. Jika demikian mengapa
manusia tak dapat mengembangkan daya guna suaranya
sebagai alat untuk mencapai apa yang dikehendaki.
"Benar" serentak dihentakkanlah pikiran bekel Dipa pada
sesuatu penemuan, "untuk menghadapi rapat paseban besok
pagi, hanya suaralah yang dapat kujadikan satu satunya
senjata. Aku harus dapat membawakan pemberitaan tentang
diri baginda sedemikian rupa sehingga semua yang hadir akan
terpesona dan terpengaruh. Aku harus dapat memanfaatkan
karunia Hyang Widdhi kepadaku dan setiap insan untuk
kepentingan yang berguna. Aku harus dapat membentuk
suaraku dalam alun rangkaian kata yang dapat membangkit
perasaan mereka, menggugah kesadaran mereka dan
menggelorakan rasa kesetyaan mereka kepada baginda. Jika
harimau mampu menggetarkan nyali lawannya, mengapa tak
kucoba mengusahakan hal itu kepada diriku ?"
Tiba2 ia berhenti karena benaknya tertumbuk pada suatu
bayang2 karang. Karang kesulitan yang menggunduk dalam
rapat paseban itu. "Ra Kuti telah mempesiapkan segala
sesuatu dalam rapat paseban itu. Penjagaan tentu ketat dan
kuat. Apabila aku salah bicara, tentu akan ditangkap. Aku
harus menggunakan cara bicara yang sedemikian rupa hingga
dia tak tersinggung dan tak dapat marah"
Demikian sisa-sisa masa peralihan dari malam ke pagi hari
itu, dihabiskan Dipa dalam merenung dan mempersiapkan
kata2 yang akan diucapkan dalam rapat paseban besok pagi.
Pikirannya tak merana lagi. Dia tak mempunyai banyak
keinginan lagi kecuali hanya satu, bagaimana dengan ucapan2
kata, ia dapat mempengaruhi segenap mentri dan senopati
yang hadir dalam rapat. Entah berselang berapa lama ia duduk bersila pejamkan
mata di bawah pohon brahmastana, tiba2 ia terkejut
mendergar suara orang menegurnya, "Bekel Dipa ..."
Bekel itu cepat membuka mata dan "Paman brahmana"
cepat2 ia mengorak silang kakinya menyongsong ke muka
brahmana Anuraga. "Jangan engkau menyiksa diri sedemikian rupa" kata
brahmana itu "yang penting engkau harus mengarahkan
pemusatan pikiranmu untuk mencari cara2 yang akan engkau
lakukan besok di rapat paseban"
Bekel Dipa agak tersipu merah karena teringat
pengalaman yarg dideritanya menjelang dinihari tadi.
"Sudahkah engkau menemukan sesuatu persemedhianmu, bekel ?" tegur brahmana Anuraga.
dalam "Berkat restu paduka, paman brahmana, hamba telah
menemukan persiapan2 itu"
"O, bagus bekel" seru Anuraga "marilah kita tanamkan
kesadaran dan kepercayaan dalam hati. Bahwa hari ini, akan
merupakan hari yang bersejarah dalam kehidupan kerajaan
Majapahit. Marilah kita bulatkan tekad dan hayatkan keyakinan
bahwa kita akan memenangkan perjuangan kita pada hari ini.
Engkau sudah siap untuk mengantarkan uraian yang dapat
merubah suasana rapat dengan membangkitkan kesetyaan
para mentri dan senopati kepada baginda dan kerajaan
Majapahit, bukan?" "Semoga hamba berhasil, paman"
"Berhasil atau tidak tergantung semata dari usahamu,
Dipa" sahut Anuraga, "baiklah, mari kita membagi tugas. Aku
dan para kawan2 Gajah Kencana akan berusaha untuk
menggerakkan para kawula yang berada di sekeliling paseban.
Engkau yang menghadapi para mentri, senopati, terutama
Dharmaputera dalam ruang paseban"
"Akan hamba usahakan sekuat tenaga hamba untuk
melaksanakan petunjuk paman" kata bekel Dipa.
Brahmana Anuraga mengangguk. Ditatapnya wajah bekel
muda itu dengan pandang tajam. Ada sesuatu percikan sinar
yang memancar dari mata brahmana itu. Sinar yang penuh
dengan berbagai curahan hati, cemas, sayang, bangga dan
gembira. Ia mencemaskan diri bekel Dipa karena maha
beratlah tugas yang akan dihadapi anak itu. Ia sayang akan
bekel itu, sejak kecil mula sehingga kini setelah menjadi bekel
pasukan bhayangkara dalam istana. Ia bangga karena anak
yang dapat dikatakan menjadi anak-didik, kini telah mendapat
kesempatan yang jarang dialami oleh rakyat Majapahit bahkan
tidak pula seorang mentri, senopati maupun narapraja. Ia
gembira bahwa anakmuda ini akan membawakan peran yang
sangat penting dalam lembaran sejarah kerajaan Majapahit.
Bahwa anak dari desa Mada yang dahulu amat menderita
dalam hidupnya, kini telah menjenjangkan kakinya ke tangga
yang akan membawa namanya menjulang ke angkasa. Akan
menjadikan dia seorang pahlawan negara karena telah
menyelamatkan baginda raja. Akan menjadikan dia buah bibir
para kawula Majapahit karena dapat mengembalikan
ketenteraman dan keselamatan negara. Oleh Hyang
Jagadnata, anakmuda itu telah dipilih sebagai insan
mangsakala yang akan menanggulangi segala kemelut
kesulitan dan kekacauan yang mengawan di langit kerajaan
Wilwatikta. Kelak dia akan tampil dalam gelanggang
percaturan pemerintahan Majapahit, sebagai seorang yang
menegakkan kewibawaan dan membawa kerajaan Majapahit
kearah puncak kejayaan. Bekel Dipa tersipu-sipu menunduk.
"Bekel Dipa" tiba2 brahmana Aruraga berkata dalam nada
yang berwibawa "ingin aku membekali engkau dengan
sesuatu. Semoga engkau dapat lebih mantap dan lebih
menghayati keyakinan. Bekal itu bukan berupa senjata pusaka
ataupun mantra. Tidak pula berupa azimat kekebalan dan
lain2 benda bertuah. Melainkan hanya sebuah cerita, sebuah
dongeng yang akan kuambilkan dari kitab Bhagawad Gita"
Dipa bergegas mengemasi diri untuk mendengarkan
sesuatu dari brahmana muda itu. Sesuatu yang ia percaya
tentu akan membawa manfaat.
"Cerita ini menuturkan tentang kegelisahan Arjuna ketika
berhadapan dengan pasukan kaum Kurawa, ia bimbang dan
turun semangatnya pada waktu melihat bahwa pasukan
Kurawa itu dipimpin oleh pandita Druna, resi Bhisma, adipati
Karna, Kripa, Aswatama, Wikarna dan lain2. Keluluhan hati
Arjuna itu disebabkan karena ia harus berhadapan dengan
guru peribadinya, pandita Druna dan para Kurawa yang masih
sanak keluarganya sendiri. Ia tak sanggup untuk membunuh
guru dan sanak keluarganya sendiri. Ia rela takkan melawan
dan binasa. Arjuna, harapan dari kaum Pendawa, jago dari
para dewa2, menjatuhkan diri di bangku kereta perangnya
yang saat itu dikemudikan oleh sang Ajusta atau Sri Kresna
sendiri sebagai sais. Arjuna melontarkan busur dan anakpanahnya. Ia terhantar lemah lunglai dalam kecemasan dan
kesedihan" Maka berkatalah Sri Kresnha, "Walaupun kata-katamu itu
benar, namun engkau berduka untuk yang tak perlu engkau
sedihkan. Ketahuilah, hai Arjuna putera dari Pritha, orang2
yang hidup dan yang mati. Janganlah engkau menuruti
kelemahan hatimu. Itulah tak selayaknya. Enyahkanlah segala
keluh- kesahmu dan bangkitlah, hai, ksatrya yang gagah
berani! "Jika engkau ingat akan tugasmu, engkau tak boleh ragu2
dalam menjalankan dharma itu. Karena untuk ksatrya, tak ada
kemuliaan yang lebih agung daripada menjalankan
kewajibannya dalam medan perang"
"Berbahagialah ksatrya2 yang mendapat kesempatan
untuk menunaikan dharmanya karena untuk mereka seolah
olah pintu gerbang sorga telah terbuka"
"Jika engkau tak melaksanakan tugasmu sebagai ksatrya
maka selain engkau membuang-buang kemasyhuranmu, pun
engkau berdosa" "Segala orang akan menghinamu selama-lamanya dan
bagi seorang yang terhormat, noda itu lebih hebat daripada
kematian dalam medan perang. Juga lawan-lawanmu akan
menganggap engkau pengecut pada saat engkau mengundurkan diri dari medan pertempuran. Mereka yang
tadinya menaruh penghargaan tinggi pada dirimu akan
berbalik memandang hina kepadamu. Dan mereka yang
memang membencimu akan melontarkan banyak ejekan dan
mengurangi pahalamu. Hal manakah yang lebih menyedihkan
daripada engkau menarik diri dari medan perang?"
"Apabila kelak engkau gugur di medan perang, engkau
akan menerima sorga. Jikalau engkau menang perang engkau
akan menikmati kekuasaan di atas bumi. Maka bangkitlah,
putera Kunti dan segera berkemaslah diri. Pandanglah sama
saja segala kesenangan dan kesedihan, keuntungan dan
kerugian, kemenangan dan kekalahan. Hanya dengan berbuat demikian engkau akan terluput dari dosa"
"Demikian bekel Dipa"
brahmana Anmaga mengakhiri ceritanya "wejangan dari Sri Bathara
Kreshna tentang ilmu pelajaran Sankhya atau keseimbangan dalam segala
hal. Kemudian Sri Bathara
Kreshna pun memberi petunjuk tentang Yoga atau
peraturan untuk mengendalikan diri sendiri.
Bahwa hanya ada satu tekad
yalah kebulatan keputusan. Jangan bimbang karena
kebimbangan itu penuh dengan tekad yang bercabang-cabang
tak terhitung banyaknya hingga bersimpang siur.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebimbangan merupakan pantulan dari jiwa yang belum bebas
dan bersih. Masih diliputi oleh noda2 kemilikan atau pamrih,
masih terbenam dalam kancah pertentangan batin, masih
belum menghayati percikan sinar dari Kebenaran sejati"
Bagaikan seorang yang minum tuak, Dipa serasa terbuai
pikirannya dalam suatu alam yang teduh dan terang. Serasa ia
berada dalam sebuah alam yang tak pernah dialaminya.
"Paman brahmana, gamblang rasanya hati hamba
bagaikan sinar surya memancar dihari pagi" kata bekel muda
itu "tetapi masih ada setitik hal yang hamba belum jelas,
sudilah paman brahmana memberi petunjuk. Yalah tentang
kata2 yang menyebutkan bahwa orang2 yang arif bijaksana
takkan merasa sedih atas orang yang hidup dan yang mati"
"O, pertanyaan yang baik sekali, bekel, walaupun usiamu
sekarang ini mungkin engkau belum dapat menghayati. Tetapi
akan kuterangkan juga" kata brahmana Anuraga.
"Ketahuilah bahwa Roh atau Atma itu kekal. Yang tak
kekal adalah raga kita. Siapa yang menganggap Atma
membunuh atau terbunuh, dia sesungguhnya belum mengerti
sejatinya Kebenaran. Seperti manusia menanggalkan pakaian
tua dan mengenakan pakaian yang baru, demikian pun
pendukung raga atau roh, melepaskan raga yang usang dan
beralih ke raga yang baru. Roh itu kekal, tak dapat dibakar,
tak dapat di basahi, tak dapat dikeringkan. Senantiasa abadi,
ada dimana-mana, tak berobah sifatnya, tetap tegak kokoh
kuat. Tak dapat dilihat, tak dapat dipikirkan, tak berobah sifat.
Apabila engkau sudah mengenal Dia, engkau pasti takkan
bersedih hati kepada siapapun. Akan tetapi jikalau engkau
menganggap bahwa Dia kembali dilahirkan dan kembali mati,
dalam hal demikian, juga tak perlu engkau merasa berduka.
Tiap2 kelahiran akan menemui ajal dan tiap kematian berarti
akan kelahiran baru. Maka terhadap yang tak dapat dihindari,
mengapa kita harus bersedih ?"
Brahmana Anuraga berhenti sejenak, memandang bekel
Dipa. "Bekel muda, dapatkah engkau menyelami keteranganku
ini ?" "Hamba seperti melihat langit. Dapat hamba lihat
warnanya yang biru tetapi hamba tak tahu betapa-lah
tingginya langit itu. Demikian seperti yang hamba rasakan
setelah mendengar uraian paman brahmana" sahut bekel
Dipa. "Segala pengetahuan dan pengertian, tidaklah dipaksakan"
kata brahmana Anuraga "karena pengertian
yang sesungguhnya adalah penghayatan dan penghayatan itu
memerlukan waktu yang lama untuk mencapainya. Dan, ah,
bekel Dipa, belumlah waktunya engkau memikirkan hal itu.
Yang penting adalah tugas yang engkau hadapi sekarang.
Janganlah engkau memikirkan suatu pahala surga untuk
seorang ksatrya, jangan pula engkau membayangkan pahala
duniawi untuk jasa2 yang engkau lakukan. Lepaskan dirimu
dari segala pamrih apapun tetapi satukanlah jiwa dan
pikiranmu untuk menunaikan tugasmu hari ini. Karena apa
yang engkau lakukan hari ini, akan membawa sesuatu pada
hari esok" "Terima kasih, paman" sambut Dipa "hamba makin merasa
kuat dan kokoh setelah menerima petuah paman. Hamba
berjanji kepada paman, akan berusaha sekuat tenaga hamba
untuk melakukan tugas itu"
Brahmana Anuraga tertawa kecil.
"Dari segala macam janji, berjanji pada dirimu sendiri
adalah yang paling berat dan paling luhur. Karena engkau
dapat mengingkari segala janji kecuali pada dirimu sendiri.
Bekel, hari sudah menjelang fajar, mari kita berkemas-kemas"
Pagi itu, Anuraga, Parandiman dan Hesthidono sibuk
menghubungi kawan2 yang tinggal di pura.
0o-dwkz-mch-o0 II Ada sesuatu yang dirasakan bekel Dipa bahwa ia harus
berhati-hati mengucapkan pidatonya. Ia menyadari bahwa
paseban Ksatryan itu sudah dikepung oleh orang2
Dharmaputera. Jika ia langsung mengabarkan tentang diri
baginda tentulah Dharmaputera akan bertindak. Entah
mencegah, entah memerintahkan perangkapan, entah
menyuruhnya menghadap ke keraton, entah apa lagi agar dia
tak dapat melanjutkan pembicaraannya.
Maka ia harus berhati-hati untuk mencapai tujuannya.
Supaya dapat melangsungkan pidatonya dan supaya jangan
sampai menimbulkan kemarahan Dharmaputera.
Sejak menjadi bhayangkara di Kahuripan sehingga menjadi
bekel bhayangkara di keraton Tikta Sripala, dia dapat
mengetahui tata kehidupan dalam keuton, adat istiadat
pergaulan kaum priagung. Ia mendapat kesan bahwa para
priagung itu amat berpegang teguh pada adat tata susila.
Dengan bekal pengetahuan itu ia menyusun pidatonya
sedemikian rupa sehingga Dharmaputera dan ra Kuti
khususnya tidak marah atau sekurang-kurangnya tak
mempunyai alasan untuk marah ataupun menghentikan
pembicaraannya. Iapun telah mempelajari sifat2 manusia. Bahwa setiap
orang itu tentu senang disanjung, gemar dipuji. Maka dalam
merangkai kata2, tak lupa ia selalu mengakhiri dengan kata
sanjungan untuk ra Kuti dan Dharmaputera.
Namun tidaklah serata itu jalan yang harus ditempuhnya.
Perobahan2 telah membawa perkembangan baru dalam
suasana di paseban. Untunglah ia dapat menyesuaikan diri.
Entah bagaimana, pada saat itu ia merasa pikirannya amat
terang sekali, hatinya kokoh, tekadnya bulat. Bahwa ia harus
memenangkan perjuangan dalam paseban itu. Ia menurutkan
angin yang meniup, namun tidaklah ia rebah karena ditiup
angin itu. Selekas angin berlalu, kembali ia tegak pula.
Walaupun ia sudah mendapat janji dari brahmana Anuraga
yang akan membantu untuk mengerahkan rakyat di luar
paseban, namun ia berusaha untuk tidak dipengaruhi oleh
bantuan itu, Sedapat mungkin ia hendak berusaha
menganggap bahwa kala itu hanya dia seorang diri. Ibarat
orang yang sudah terdampar di tengah laut, walaupun di
sepanjang pantai terdapat orang2 yang sibuk memberi
pertolongan, namun ia harus berusaha mendiri untuk
merenangi ombak yang mengancam jiwanya.
"Dipa, segala apa hanya tergantung pada dirimu peribadi"
demikian terngiang pesan brahmana Anuraga.
Akhirnya berhasillah Dipa meledakkan halilintar dalam
rapat paseban itu. Rakyat marah dan ra Kuti serta
Dharmaputera menjadi tumpuan kemarahan mereka.
Beberapa pengawai berusaha untuk menyelamatkan rakryan2
Dharmaputera itu tetapi gagal. Mereka dilanda oleh ratusan
orang, yang walaupun tidak menggunakan senjata tajam.
tetapi cukup untuk membuat para pengawal itu pontang
panting dan dilemparkan ke luar.
Tetapi ra Kuti bukanlah seorang yang lemah. Pada masa
mudanya, ia pernah memasuki sayembara pemilihan senopati
di Singasari. Dia dapat mengalahkan semua lawan kecuali
raden Wijaya. Bahkan andaikata tiada penghianatan dari
Bandupaya yang memberitahukan kelemahan tubuhnya pada
raden Wijaya, niscaya ia tentu dapat mengalahkan raden
Wijaya juga. Peristiwa itu terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika
ia masih muda belia. Kini raden Wijaya yang kemudian
menjadi raja pertama dari Majapahit telah wafat. Dan ra Kuti
pun sudah tua. Tidaklah ia segagah dahulu lagi. Namun
sekalipun demikian, kesaktiannya memang masih menggiriskan nyali orang.
Ra Kuti cepat mencabut keris yang diselipkan dalam baju
dan meraunglah ia laksana harimau kelaparan "Majulah, siapa
yang ingin mati!" Terdengar jeritan ngeri dari dua orang yang menyerbu
kepala Dharmaputera itu ketika dada mereka disambar ujung
keris. Dan sekali mengucurkan darah, keris ra Kuti makin
mengganas. Sekawan orang yang paling dekat padanya,
diamuk sehingga mereka menjerit dan melolong bermandi
darah. Ra Semi, Pangsa, Banyak, Weleng dan ra Yuyu pun
serentak mencabut senjata masing2. Rupanya para rakryan
Dharmaputera itu sudah bersiap siap mengadakan penjagaan
sebelumnya. Mereka menitahkan supaya paseban dijaga oleh
pengawal2 bersenjata, setiap yang hadir tak boleh membekal
senjata dan lain2 pengamanan. Namun masih belum lepas hati
mereka dari bayang2 kekuatiran akan sesuatu yang di luar
dugaan. Mereka menyadari bahwa rapat paseban itu terlalu
besar arti dan akibatnya. Karena dari rapat paseban itulah
nasib kerajaan Majapahit akan berobah wajahnya. Oleh karena
itu, secara tersembunyi para Dharmaputera itu telah
membawa senjata yang disembunyikan dalam baju. Oleh
karena pedang terlalu besar maka mereka hanya dapat
menyembunyikan keris. Amukan keenam Dharmaputera itu telah menyebabkan
jatuhnya beberapa korban di kalangan rakyat. Mereka tak
pernah membayangkan bahwa para rakryan Dharmaputera itu
ternyata membekal keris. Melihat peristiwa berdarah itu, bekel Dipa mulai marah.
Darah harus dicegah jangan sampai mengalir terlalu banyak.
Rakyat harus diselamatkan dari keganasan Dharmaputera. Ia
menyadari bahwa saat itu sudahlah tiba waktunya ia harus
melakukan sesuatu. Bagai bangsa harimau, apabila aum sudah
tak mempan maka haruslah bertindak dengan kekuatannya.
Dipapun merasa demikian juga.
"Rakryan Kuti, jangan membunuh rakyat yang tak
berdosa" serunya seraya mendesak ke muka, menyiak
kerumun rakyat yang memenuhi jalan "saudara2, berilah aku
jalan!" Rakyat yang berkerumun di sekeliling tempat itu segera
mendesak-desak menyisih ke samping dan secepat itu pula
bekel Dipa pun sudah berhadapan dengan ra Kuti.
"Keparat !" teriak ra Kuti "tangkap bekel hianat ini !"
Tetapi para prajurit dan pengawal yang menjaga
keamanan paseban sudah dihalau dan dilempar ke luar oleh
rakyat. Yang ada dalam paseban itu adalah mentri2 dan
senopati yang masih bersikap ragu2. Lainnya adalah rakyat
yang menyerbu masuk ke dalam paseban.
"Rakryan Dharmaputera" kata Dipa, "sia-sia lah tuan
memberi perintah. Lihatlah, yang memenuhi ruang paseban ini
adalah para mentri, senopati dan kawula Majapahit yang
masih setya kepada rajanya. Baginda telah menurunkan
firman untuk menangkap tuan, adakah tuan masih hendak
melawan?" "Bekel hina dina, apa pangkatmu berani mengaku-aku
sebagai pembawa firman raja. Akulah Dharmaputera, orang
kepercayaan baginda !"
Bekel Dipa tertawa. "Tuan tentu dapat memaklumi mengapa baginda lebih
mempercayai seorang bekel hina daripada Dharmaputera yang
menjadi orang kepercayaannya itu, bukan " Semisal tuan
tentu memaklumi bahwa walaupun warnanya sama, tetapi
bedalah emas dengan loyang. Tuan2 Dharmaputera, tuan2
harus menyerah agar dapat hamba serahkan kepada
baginda!" Ra Kuti tertawa hina. "Bekel hina, engkaulah yang harus menyerah!" seru ra Kuti
dengan murka bahwa terus loncat menusuk Dipa.
Para Dharmaputera yang lainpun serempak hendak ikut
menyerang Dipa. Mereka amat membenci bekel itu. Tetapi
tiba2 dari rombongan rakyat yang masih berkerumun
memenuhi paseban itu, muncul beberapa orang yang
langsung menyongsong kelima Dharmaputera itu.
Dipa tak sempat untuk melontar pandang, siapakah yang
muncul untuk menghadang para Dharmaputera, karena saat
itu ia sedang menghadapi sambaran keris ra Kuti yang hendak
merobek dadanya. Terpaksa ia loacat mundur. Tetapi
alangkah kejutnya karena tempat terlalu sempit sekali. Di
belakangnya penuh sesak dengan rakyat yang masih
memenuhi ruang. Ia merasa tentu tak leluasa untuk
menyambut serangan ra Kuti dengan menghindar ke samping
atau menyurut mundur. Tempat benar2 tak mengidinkan. Ia
harus cepat menyelesaikan pertempuran itu untuk mencegah
perobahan suasana, mengalirnya darah dari rakyat yang akan
menjadi korban dan lain2 hal yang tak diharapkan. Dan untuk
menyelesaikan pertempuran itu, tiada lain jalan kecuali harus
menggunakan Gada Intan senjata pusaka yang diketemukannya di tempat pekuburan empu Barada yang lalu.
Memang sejak dalam perenungannya malam tadi, iapun
sudah memikirkan hal2 yang seperti dialaminya saat itu. Iapun
telah memutuskan untuk menyembunyikan pusaka Gada Intan
dalam celananya. Saat itu ra Kuti pun sudah mulai menyerang lagi.
Wajah kepala Dharmaputera itu tampak memberingat
amat bengis. Merah padam penuh dendam kesumat. Sikapnya
tak ubah seperti seekor harimau lapar yang melihat seekor
anak kambing. Hanya bedanya apabila harimau itu karena
hendak mengisi perutnya yang lapar, adalah ra Kuti karena
hendak mempertahankan kedudukannya, menghapus kesalahannya. Dalam saat itu bekel Dipa tak mempunyai kesempatan
untuk menimang banyak pertimbangan lagi. Jika ia tak cepat
bertindak, tentu akan matilah ia karena keris ra Kuti. Ia pun
tak sempat pula mempertimbangkan bahwa membunuh
seorang meatri yang setinggi kedudukannya seperti


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dharmaputera itu tentu akan menerima hukuman yang berat.
Tidak pula ia menyadari garis perbedaan antara seorang bekel
prajurit dengan seorang mentri utama. Yang ada dalam
pandangannya saat itu hanya seorang lawan yang hendak
merenggut jiwanya, seorang penghianat yang hendak
menutupi kesalahannya, seorang angkara murka yang hendak
membunuh siapa yang berani menentangnya. Dan terakhir
seorang pemberontak kerajaan. yang hendak merebut kekuasan Dipa telah mendapat pesan dari pandita Padapaduka
bahwa Gada Inten itu amat bertuah hanya apabila digunakan
terhadap seseorang yang berdosa. Musuh sekalipun apabila
seorang yang baik budi dan suci, gada itu takkan
mengunjukkan kesaktiannya. Tetapi apabila musuh itu jahat,
betapapun saktinya, pasti hancur lebur karena pusaka itu.
Tring..... Dalam suatu gerak yang amat cepat, bekel Dipa pun sudah
mencabut gada pusaka yang berukuran pandak dan
dihantamkan ke ujung keris ra Kuti. Keris ra Kuti kutung dan
gemetarlah tubuh kepala Dharmaputera itu seolah hilang
tenaganya. Urat bayu, tulang susumnya seolah lumpuh.
Kepala Dharmaputera itu tegak gemetar seperti orang
kedinginan. Melihat itu rakyat pun segera menyerbunya. Mereka
benar2 marah sekali kepada kepala Dharmaputera itu.
"Jangan...... !" teriak bekel Dipa mencegah. Tetapi
terlambat. Rakiyan Kuti, kepala Dharmaputra, telah menjadi
tumpuan kemarahan rakyat. Rakyat marah karena mengetahui
bahwa kepala Dharmapatera itulah yang menyulut
pemberontakan di pura kerajaan. Lebih marah pula rakyat
ketika melihat kepala Dharmaputera itu telah membunuh
beberapa rakyat. Dan dendampun meletus, sukar ditahan lagi.
Ra Kuti, yang dalam beberapa saat yang lalu, merupakan
manusia, yang paling berkuasa di pura Majapahit, yang
memimpikan untuk memegang tampuk pimpinan kerajaan,
saat itu harus melepaskan semua cita2 impian, kedudukan dan
kekuasaaanya. Bahkan harapan yang paling wajar dari setiap
manusia untuk mati secara wajar, di kubur ataupun dibakar
menurut adat upacara yang wajar, diiring sanak kerabat,
handai taulan ke tempat penyempurnaan yang terakhir, pun
tak tercapai. Ra Kuti seolah mati tak berkubur.
"Berhenti!" akhirnya bekel Dipa tak kuasa menahan
ketegangan hatinya. Ia menghamburkan suatu gemboran
yang dilambari dengan pemusatan hawa dalam Cakram
Manipura. Sedemikian dahsyat smra itu sehingga tersiraplah
suara hiruk pikuk yang memekakkan telinga. Berpuluh puluh
rakyat yang tengah melampiaskan dendam kemarahan kepada
ra Kuti, berhenti dengan serentak. Mereka serasa mendengar
halilintar meledak dalam ruang paseban itu.
"Rakryan Kuti sudah meninggal, jangan menyiksanya berkelanjutan!" seru bekel Dipa.
kalian Entah bagaimana timbullah suatu rasa mengindahkan dan
taat dari rakyat yang berada di sekeliling paseban itu terhadap
diri bekel Dipa. Mereka tahu bahwa bekel itulah yang berjasa
mengawal seri baginda Jayanagara lolos dari bahaya
pemberontakan. Bahwa bekel muda itulah yang dipilih sang
nata sebagai duta untuk mengabarkan kepada para kawnla di
pura kerajaan Majapahit, tidak mereka ragukan lagi.
Merekapun melihat, menyaksikan dan mendengar betapa
bekel muda itu dengan pidatonya yang berapi-api telah dapat
menggagalkan rencana ra Kuti dalam rapat di paseban itu.
Bahkan tidak hanya menggagalkan, pun dapat pula
menyingkap tabir pemberontakan yang selama itu masih gelap
bagi rakyat, membuka kedok ra Kuti dan Dharmaputera
sebagai biangkeladi dari pemberontakan itu. Dan paling akhir
bekel muda itulah yang berjasa pula untuk menyelamatkan
rakyat dari amukan ra Kuti. Tidaklah berlebih-lebihan kiranya
apabila rakyat tunduk dan patuh kepada bekel muda itu.
Bekel Dipa pun termangu heran. Heran karena bukan saja
hiruk pikuk dari rakyat yang sedang menghajar ra Kuti itu
berhenti, pun seluruh ruang paseban serentak hening lelap.
Sesungguhnya bekel Dipa pun sudah mengetahui bahwa
kecuali ra Kuti, pun kelima Dharmaputera yang lain telah
diserbu rakyat. Namun bekel itu tak sempat untuk mencegah
mereka Ia harus mengatasi kelompok rakyat yang menyerang
ra Kuti lebih dahulu. Ketika melontarkan pandang ternyata
kelima Dharmaputera pun terkapar di lantai dengan
berlumuran darah. Sekonyong-konyong seorang lelaki menyelimpat ke luar
dari kerumun rakyat dan terus tampil ke tengah gelanggang
"Terima kasih, bekel muda" serunya "engkau berjasa besar
dapat mengembalikan keamanan dan kewibawaan kerajaan"
Bekel Dipa cepat memandang dan cepat pula dapat
mengetahui bahwa orang itu bukan lain adalah mahapatih
Aluyuda. Hampir bekel Dipa terpesona menghadapi
kewibawaan mahapatih itu. Serasa terbayanglah betapa
pengaruh dan wibawa mahapatih itu semasa masih berada
dalam keraton. Kesan2 itu memang sukar dihapus seketika
dari benak bekel Dipa. "Aluyuda, penghianat ...." tiba-tiba terdengar suara
bernada parau-parau lemah. Ketika sekalian orang
memandang ke arah suara itu, tampak sesosok tubuh yang
terkapar di lantai bergerak- gerak bangkit dan menuding
Aluyuda. "Bedebah, engkau masih hidup Semi!" teriak Aluyuda
seraya lari menghampiri ke tempat orang itu. Ia hendak
mengirim sebuah tendangan untuk menghabisi jiwa ra Semi.
"Aluyuda, matilah engkau ....... !" ra Semi melontarkan
kerisnya ke arah Aluyuda. Ia kerahkan seluruh sita tenaganya,
sehembus napasnya yang masih tersisa untuk melontarkan
keris ke dada Aluyuda. Sesungguhnya ra Semi sudah
meregang jiwa. Tetapi demi mendengar suara Aluyuda hendak
mempengaruhi sidang, timbullah dendam kemarahau yang
menyala-nyala dan membakar pula semangat serta jiwanya
yang sudah hampir padam itu. Sedemikian besar kuasa nafsu
dendam terhadap diri seseorang.
Namun keadaan Dharmaputera itu sudah amat payah
sekali. Ibarat pelita dia sudah kehabisan minyak dan nyala
terang itu hanya yang terakhir kali. Terang sekejab dan
padamlah pelita itu selama-lamanya. Demikian pula dengan
keadaan ra Semi. Betapa sang nafsu masih ingin membalas
dendam, namun tenaganya sudah tak mengidinkan. Lontaran
keris itu hanya setengah jalan terhenti dan jatuh di tanah. Dan
serempak pula kaki Aluyuda pun berayun ke arah kepalanya.
Tetapi karena ra Semi sudah melentuk dan terkulai ke tanah,
tendangan Aluyuda itupun mengenai angin. Mahapatih itu
maih belum puas. Dengan geram ia hendak menginjak kepala
ra Semi tetapi sekolong konyong sebuah tangan yang kuat
mencengkeram bahunya dan menyentakkan ke belakang.
Aluyuda pun terhuyung huyung beberapa langkah.
"Kurang ajar, engkau berani melemparkan aku?" teriak
Aluyuda dengan gusar. Sikapnya sudah kembali sebagai
seorang mahapatih yang berkuasa.
Orang itu tegak dengan sikap tenang. Seorang lelaki yang
masih muda dalam pakaian bersahaja.
"Kami rakyat hanya tunduk pada ki bekel muda itu. Dialah
yang menyelamatkan baginda dan para kawula dari kaum
pemberontak. Bukan tuan!"
"Bedebah!" teriak Aluyuda makin kalap "aku adalah
mahapatih kerajaan Majapahit. Aku yang diserahi baginda
untuk memimpin pemerintahan kerajaan Majapahit ...."
"Tetapi yang berkuasa tetap seri baginda Jaya-nagara,
bukan tuan!" "Seri baginda tiada hadir di sini, akulah yang wajib
mewakili baginda !" "Tidak! Kami menolak tuan sebagai wakil seri baginda.
Karena seri baginda telah mengangkat bekel muda itu sebagai
duta. Dia adalah utusan sang nata yang resmi, segala
kekuasaan harus berada di tangannya"
"Keparat!" teriak Aluyuda makin keras "aku ini mahapatih
Aluyuda!" "Itu nanti baginda yang akan memutuskan adakah tuan
tetap menjadi mahapatih atau harus diadili. Tetapi sekarang
yang berkuasa penuh harus bekel muda itu karena dia adalah
utusan sang nata, bahkan utusan peribadi seri baginda"
Terdengar sorak sorai gegap gempita menyambut dan
mendukung pernyataan Ielaki muda itu. Beibu-ribu rakyat
yang berada di dalam dan di luar paseban setuju akan ucapan
lelaki muda itu . Merah padam wajah Aluyuda. Seketika ia berpaling kearah
deretan nayaka dan senopati. "Hai, para senopaii dan nayaka,
tangkap orang liar ini!"
Tetapi beberapa senopati dan nayaka yang mendengar
perintah mahapatih itu, hanya mengangguk-anggukan kepala
tetapi tiada seorangpun yang bergerak.
"Ki patih Aluyuda" tiba2 terdengar suara yang lantang
"memang sudah selayaknya kita menghormati dan mematuhi
utusan sang nata" Aluyuda berpaling dan cepat berseru,
tumenggung Nala" Tidakkah aku salah dengar?"
"Engkau "Tidak ki Aluyuda, tuan tak salah dengar walaupun tuan
tentu takkan pernah menyangka, tuan akan terlepas dari
bahaya kematian" sahut tumenggung Nala.
"Jadi ki tumenggung rela tunduk pada seorang bekel ?"
seru A luyuda. "Bukan seorang bekel melainkan seorang narpati, seorang
duta sang nata !" sahut tumenggung Nala pula dengan tak
ragu2. "Ki demung Samaya" seru Aluyuda pula "kuminta supaya
tuan segera memerintahkan para prajurit untuk mengeyahkan
rakyat yang berkerumun dalam paseban ini. Bukankah
persidangan ini suatu sidang agung yang memutuskan soal
kerajaan" Mengapa tempat ini dijadikan semacam lapangan
yang boleh diinjak-injak sekehendak hati oleh para kawula"
Segera, ki demung" Demung Samaya tertawa. "Ki Aluyuda" sahutnya dengan tenang dan mantap
"rupanya tuan masih bermimpi walaupun hari sudah siang.
Tuan masih menganggap bahwa hari ini adalah hari2 yang
kemarin. Pada hal kemarin sudah berlalu dan. yang kita hadapi
saat ini adalah hari ini ....."
"Ki demung, engkau juga ...."
"Juga melihat kenyataan, ki Aluyuda" cepat demung itu
menyambut, "sejak timbul pemberontakan yang didalangi
Dharmaputera, tuan sebagai mahapatih telah lenyap bahkan
seri baginda sendiri pun terpaksa harus lolos dari keraton.
Kerajaan dikuasai oleh ra Kuti dan Dharmaputera"
"Engkau sendiri juga tak berdaya, bukan?" tukas Aluyuda
dengan tajam. "Benar, ki patih" sahut demung Samaya "aku pun
mengakui hal itu. Oleh karena itu aku harus merasa malu
untuk menepuk dada, bahwa aku harus menganggap diriku
yang berkuasa. Perbuatan itu, tak ubah seperti merebut
pahala orang. Pada hal jelas, ibarat orang mati, kita
dihidupkan lagi oleh bekel muda itu. Demikian keadaan tuan
sendiri. Tuan sebenarnya sudah mati tetapi dapat hidup
kembali berkat di tolong bekel muda itu. Sekarang setelah
hidup, tuan terus bercekak pinggang dan mengagulkan bahwa
tuanlah yang paling berkuasa. Bahkan bukan saja tuan tidak
menerima kasih kepada penolong tuan tetapi hendak
melemparkan dia ke bawah kekuasaan tuan lagi. Padahal pula,
dia walau seorang bekel rendah pun, adalah seorang utusan
seri baginda. Jika seri baginda peribadi begitu percaya penuh
kepada bekel itu sehingga baginda berkenan menyerahkan
lencana Minadwiya, adakah kami segenap mentri, senopati
dan narapraja serta kawula pura Majapahit tidak menaruh
kepercayaan. Termasuk diri tuan sendiri, adakah tuan lebih
berkuasa daripada seri baginda" Atau memang tuan
bermaksud hendak menghapus kekuasan seri baginda yang
dilimpahkan pada diri bekel itu. Jika demikian, saat ini juga,
kami segenap mentri dan senopati, akan bangkit untuk
menindak tuan!" Keras dan lantang suara yang diucapkan demung itu
terhadap patih Aluyuda. Memang sejak lama demung itu
sudah mendendam rasa tak puas terhadap patih Aluyuda.
Namun semasa masih berkuasa patih Aluyuda sangat cerdik
dan licin sekali untuk menguasai segenap mentri narapraja
dalam kerajaan. Bahkan baginda sendiri tak lepas dari jerat
pengaruhnya. "Demung Samaya!" teriak Aluyuda makin keras "berani
benar engkau bicara sedemikian tak mengarah kepada diriku.
Ketahuilah, bahwa aku adalah mahapatih kerajaan Majapahit,
bahwa aku telah dipercaya penuh oleh baginda untuk
memimpin pemerintahan. Memang karena siasat Dharmaputera yang licik, aku telah disergap dan hampir saja
dibunuh. Baginda tentu belum mengetahui jelas bagaimana
keadaan dalam pura kerajaan setelah baginda lolos. Bahwa
baginda telah mengutus bekel itu untuk membawa firman
baginda kepada para narapraja dan kawula di pura kerajaan.
Jelas tujuan bagiada adalah untuk mengharap sekalian mentri
senopati dan narapraja serta seluruh kawula Majapahit untuk
membebaskan pura Majapahit dari cengkeraman kaum
pemberontak. Jelas pula bahwa maksud seri baginda adalah
untuk menyelamatkan para mentri, senopati dan narapraja
yang tertindas di bawah kekuasaan kaum pemberontak.
Baginda tak tahu keadaan dalam pura, andaikata baginda
maklum dan mengetahui tentang diriku, pastilah baginda akan
menitahkan bekel muda itu supaya berusaha untuk


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan diriku. Agar aku segera dapat mengerahkan
segenap kekuatan untuk menumpas kaum pemberontak"
Demung Samaya cepat beralih pertanyaan kepada bekel
Dipa. "Benarkah seri baginda menurunkan amanat supaya
menyelamatkan ki patih A luyuda, bekel muda?"
"Baginda mengamanatkan hamba supaya menyelamatkan
kerajaan, para mentri dan kawula pura Majapahit" sahut bekel
Dipa. "Dan aku adalah mahamentri !" cepat patih Aluyuda
menanggapi "sudahkah engkau mendengar jelas, ki demung
dan ki tumenggung serta para mentri dan senopati sekalian?"
Para yang ditanya itu tiada menyahut.
"Dalam titah baginda, telah ditegaskan bahwa hamba
hanya diperkenankan untuk menyelamatkan mentri dan
senopati yang setya kepada raja. Dalam hal ini, hamba tak
berani menilai sendiri mana mentri dan senopati yang setya,
mana yang curang dan merugikan kepentingan kerajaan....."
"Jelas mentri yang jahat Dharmaputera, telah tertumpas.
Dan senopati yang membangkang perintah, itulah yang dapat
dianggap merugikan kerajaan" seru patih Aluyuda serentak.
"Baginda menitahkan kepada hamba" kata bekel Dipa pula
"bahwa apabila hamba tak tahu, penilaian itu supaya
diserahkan kepada para gusti mentri, gusti senopati dan para
kawula" "Dhirgahayu seri baginda Jayanagara yang mulia dan
bijaksana!" seketika terdengarlah gemuruh sorak para kawula
yang berada dalam paseban itu.
Merah wajah mahapatih Aluyuda mendengar sorak yang
gegap gempita itu. Ia merasa saat itu sudah bebas dari
bahaya maut. Iapun merasa bahwa dirinya masih seorang
mahapatih yang berkuasa dan berwibawa sebagaimana ia
menikmati pada hari2 yang telah lalu. Ia merasa bahwa
kekalahannya dari Dharmaputera hanyalah karena kurang
cepat bertindak. Tetapi selama itu, ia merasa dapat menguasai
Dharmaputera. Apabila Dharmaputera yang terdiri dari tujuh
mentri2 tua yang ulung dan cerdik, dapat ia hadapi. Masakan
hanya berhadapan dengan seorang bekel muda yang tak
ternama ia harus kalah. Tidak, tidak! Demikian hatinya
meronta, keangkuhannya melantang.
"Bekel muda, jangan engkau berkelanjutan bersikap
kurang tata terhadap seorang maha mentri. Aku adalah
mahapatih kerajaan Majapahit dan engkau hanya seorang
bekel bhayangkara. Engkau hendak menilai para mentri dan
senopati yang hadir di sini" Engkau hendak menilai diriku
pula" Setan, akan kumintakan hukuman mati ke hadapan seri
baginda atas perbuatanmu yang menghina para gusti mentri
itu !" Bekel Dipa tak gentar karena ancaman mahapatih itu. Ia
tertawa. "Gusti mahapatih, seri baginda junjungan seluruh
kawula Majapahit adalah yang paling berkuasa. Seri baginda
telah berkenan menitahkan diri hamba sebagai utusan bahkan
dipateri kepercayaan seri baginda dengan suatu pengukuhan
lencana Minadwiya. Dengan demikian seri baginda telah
berkenan menyerahkan hak dan kekuasaan
untuk mengembalikan kekuasaan dan keamanan pura Majapahit
kepada hamba. Selama lencana agung Minadwiya masih
berada dalam tangan hamba, berarti kepercayaan seri baginda
masih berlimpah kepada diri hamba"
"Aku tunduk kepada seri baginda tetapi tidak padamu
seorang bekel prajurit" patih A luyuda tetap bersitegang.
Tiba2 lelaki berpakaian sederhana yang menyentakkan
bahu patih Aluyuda tadi, berseru pula "Ki bekel, sekarang
bukan saat aku mengaku hak kekuasaan, bukan pula saat
menghamburkan waktu untuk beradu lidah yang tak berguna.
Kami para kawula yang berada di sekeliling paseban sini,
mendukung dan menganggap tuanlah yang menjadi utusan
sang nata. Utusan itu tak ubah seperti seorang wakil. Oleh
karena itu kami para kawula hanya tunduk pada tuan"
Gegap gempita rakyat yang mengerumun di sekeliling
paseban itu bersorak menggemuruh "Dhirgahayti sang prabu
Jayanagara!" Mahapatih Aluyuda terkesiap. Belum sempat ia membuka
mulut, sekonyong-konyong pula seorang lelaki tua berambut
dan janggut putih, menerobos dari kerumun rakyat dan tampil
ke tengah gelanggang, "Bekel utusan sang nata, bolehkah aku
berbicara?" Bekel Dipa terperangah demikian pula sekalian orang yang
berada dalam paseban itu. Lelaki tua berambut putih tak lain
adalah tumenggung Jabung Tarewes. Tumenggung yang
sudah mengundurkan diri dari gelanggang percaturan
pemerintahan tetapi tetap mengabdikan diri untuk kerajaan.
"Silahkan, menyambut. gusti tumenggung" tersipu-sipu Dipa "Sudah jelas dan tegas, bahwa seluruh gusti mentri,
senopati, nayaka dan narapraja serta kawula pura Majapahit
telah bersatu mentaati perintahmu. Siapa yang membantah,
harus ditindak!" kata tumenggung tua itu dengan nada berapi
api. "Benar, gusti tumenggung" sahut bekel Dipa.
"Ki bekel telah diutus seri baginda untuk mengabarkan
berita tentang diri seri baginda dan mengembalikan keamanan
dalam pura Majapahit. Sekarang karena biangkeladi
pemberontakan sudah terbunuh, rasanya ki bekel harus
segera menyambut baginda ke pura kerajaan. Dan untuk
merayakan penyambutan serta menghaturkan syukur yang tak
terhingga kepada para dewata yang telah melimpahkan
berkah sehingga kerajaan Majapahit terhindar dari suatu
musibah besar, seyogyanya ki bekel memerintahkan kepada
para mentri supaya mengatur persiapan yang perlu ...."
Belum bekel Dipa menjawab, sekonyong-konyong
mahapatih Aluyuda menghambur tawa keras dan memanjang.
Nadanya macam orang menumpah rasa geram, kecewa dan
mencemoh. "Ki tumenggung Jabung Tarewes" serunya sesaat berhenti
tertawa "tuan sudah tua, sudah mengundurkan diri dari
pemerintahan pula. Dan memang orang yang seusia tuan ini,
selayaknyalah kalau hidup tenang untuk menghabiskan sisa2
hari tua dengan tentram. Tetapi rupanya tuan masih penuh
nafsu dan cita2. Masih ingin mencampuri urusau negara.
Adakah tuan menyesal karena telah mengundurkan diri ?"
"Mahapatih Aluyuda" seru tumenggung Jabung Tarewes
dengan suara melantang walaupun sudah mengerontang
parau karena kerongkongannya yang sudah mengatup lekat
"sejak Jabung Tarewes mengabdi kepada rahyang ramuhun
Kertarajasa semasa masih sebagai kelana raden Wijaya,
Jabung Tarewes hanya mempunyai- satu tujuan, demi negara
dan rakyat Majapahit. Bukan pangkat atau kedudukan, bukan
pula kekuasaan dan keagungan, melainkan hanya satu yakni
pengabdian. Engkau, mahapatih Aluyuda, mengarahkan
pengabdianmu kepada kedudukan, pangkat dan kekuasaan.
Untuk mencapai cita2 itu, tak segan2 engkau mengorbankan
beberapa rekan mentri dan senopati tua, bahkan seorang
mahapatih sebagai rakryan Nambi. Engkau berhasil meraih
kedudukan mahapatih di atas jenazah rakryan Nambi dan
beberapa mentri tua. Tetapi berapa lamakah engkau mampu
menikmati kekuasaan dan kedudukan itu" Bukankah hanya tak
lebih lama dari usiamu, ki patih?"
Patih Aluyuda tertawa mengejak.
"Sukar bagi burung pipit untuk menilai seekor burung
garuda yang melayang-layang mengarungi angkasa dengan
keperkasaannya. Ukuran burung pipit hanya terbang setinggi
bukit, makan bulir2 padi di sawah. Bagaimana dia dapat
mengetahui arah dan cita2 burung garuda" Demikian pula
dengan engkau tumenggung. Janganlah engkau ukur dan
menilai orang seukuran dirimu. Setiap manusia mempunyai
cita2 sendiri" "Benar, benar, ki patih" sambut Jabung Tarewes, "tetapi
ingatlah, bahwa alam ini mempunyai hukum kodrat yang satu.
Yang jahat pasti tumpas, yang suci pasti mukti. Engkau bebas
untuk mengejar cita2 keinginanmu tetapi asal jangan
merugikan orang lain, jangan menfitnah, jangan mencelakai
bahkan jangan membunuh. Karena setiap pembunuhan tentu
harus diganti dengan jiwa si pembunuh itu. Secara tak
langsung dan langsung, engkau telah membunuh rakryan
Nambi dan beberapa mentri utama. Tanganmu telah
berlumuran darah dan harus engkau cuci dengan darah pula,
darahmu sendiri. Ini sudah kodrat karma dan ..."
"Jangan banyak mulut, Jabung Tarewes!" bentak Aluyuda
tak kuasa menahan luap amarahnya, "enyah engkau dari sini
...." Jarak kedua mentri itu tak lebih dari dua tiga langkah.
Mereka berhadap-hadapan di tengah kerumun rakyat.
Walaupun bekel Dipa sudah berhasil menguasai keadaan
sehingga tak sampai timbul kekacauan, namun rakyat yang
sudah terlanjur masuk ke dalam ruang paseban, sukar untuk
dihalau ke luar. Mereka hanya menyisih ke belakang tempat
duduk para mentri dan senopati.
Pada waktu memberi kesaksian pada ra Kuti, tumenggung
Jabung Tarewes telah membawa kesaksian demang Arsantha
sehingga ra Kuti dan Dharmaputera tak dapat menyangkal
kesalahannya lagi sebagai penggerak pemberontakan di pura
Wilwatikta. Dan jatuhlah ra Kuti dengan Dharmaputera. Tetapi
kini tumenggung sepuh Jabung Tarewes pun tampil untuk
menyingkap perbuatan mahapatih Aluyuda dalam hubungannya dengan peristiwa di Lumajang. Patih Aluyuda
amat tajam nalurinya. Peristiwa yang menimpa ra Kuti dan
Dharmaputera cukup memberinya pelajaran dan peringatan
supaya jangan sampai terulang kepada dirinya. Tumenggung
tua itu harus lekas dihalau agar jangan sempat melancarkan
serangan lidahnya yang amat tajam.
Mahapatih Aluyuda melangkah maju lalu tiba2 ia
soagsongkan kedua tangan, mendorong tubuh tumenggung
Jabung Tarewes dengan sekuat tenaga. Tumenggung sepuh
itu terkejut melihat tindakan Aluyuda yang tak diduga-duga
itu. Tetapi walaupun sudah berusia lanjut, dia adalah bekas
seorang hulubalang perang. Tubuhnya masih gagah. Ia masih
sempat ayunkan tongkatnya memukul. Walaupun kedua
bahunya telah tercengkeram oleh kedua tangan Aluyuda
sehingga hantaman tongkat sudah berkurang kekuatannya,
namun A luyuda merasa sakit juga ketika kepalanya terhunjam
ujung tongkat tumenggung tua itu. Rasa terhina sebagai
seorang mahapatih telah dipukul tongkat, rasa malu karena
peristiwa itu disaksikan oleh beribu mata dan rasa keangkuhan
sebagai seorang yang amat berkuasa, telah meledakkan
kemarahan patih A luyuda.
Lupa merupakan suatu gejala dari sesuatu yang kurang
baik pada keadaan ingatan kita. Lupa dianggap sesuatu yang
umum, sesuatu yang tak berarti dalam kehidupan manusia.
Lupa tidak dipandang sebagai suatu gejala yang berbahaya.
Walaupun sering terjadi peristiwa kecil akibat lupa telah
menyebabkan malapetaka yang menimbulkan korban jiwa dan
harta benda. Di antara jenis lupa, lupa-diri atau lupa daratan
merupakan gejala lupa yang paling buruk bahkan ada kalanya
paling berbahaya. Demikian seperti yang terjadi pada diri patih Aluyuda saat
itu. Ia benar2 lupa diri. Lupa bahwa pada beberapa saat yang
lalu, dia masih seorang tawanan Dharmaputera yang telah
diadilli dan dijatuhi hukuman. Iapun lupa bahwa peradilan atas
dirinya tadi, masih memancar segar dalam benak sekalian
orang yang berada dalam paseban, dari para mentri yang
berkedudukan tinggi sampai pada para kawula biasa. Mereka
tahu bahwa ternyata mahapatih Aluyudapun memang
bersalah. Bukan melainkan tahu pun merasakan bahwa selama
patih Aluyuda tampil dalam pemerintahan, pemerintahan
selalu berkemelut dengan peristiwa2. Dan yang terakhir telah
kehilangan seorang mahapatih yang telah mengabdi dengan
penuh kesetyaan selama berpuluh puluh tahun kepada
kerajaan. Mahapatih Aluyuda benar2 lupa diri, lupa tempat
dan lupa suasana. Lupa pula bahwa sesungguhnya kekuasaan
yang dilambari dengan cara2 yang licik dan mencelakai orang,
takkan kekal. Hantaman ujung tongkat tumenggung Jabung Tarewes itu,
serentak menyalakan api kemarahan patih Aluyuda. Dengan
menggembor keras, ia mencampakkan tubuh tumenggung tua
itu sekuat kuatnya. Tumenggung Jabung Tarewes terhuyunghuyung dan malang baginya karena dalam terhuyung
kebelakang itu kakinya terselimpat dan rubuhlah tumenggung
itu ke lantai sebelum beberapa mentri dan senopati sempat
menyanggapinya. Melihat itu dengan sigap sekali bekel Dipa loncat menolong
tumenggung Jabung Tarewes. Tumenggung tua itu pejamkan
mata, wajahnya pucat lesi. Rupanya ia jatuh terbanting
menjerembab ke belakang, kepalanya menghantam lantai.
Seketika tumenggung tua itu tak sadarkan diri.
"Bunuh patih Aluyuda ! Gantung hianat Aluyuda !"
Para mentri, senopati dan narapraja dalam ruang paseban
terkejut ketika mendengar para kawula di sekeliling paseban
bersorak gegap gempita dan bahkan mulai berdesak desak
hendak menyerbu ke dalam ruang lagi. Melihat itu demung
Samaya dan tumenggung Nala segera bertindak memberi
perintah kepada para perwira dan prajurit untuk mencegah
mereka. Tetapi keadaan amat berbahaya. Rakyat bagai air bah
yang meluap luap. Di beberapa tempat, para penjaga sudah
kewalahan. Patih Aluyuda tersentak dari kabut kemarahannya. Ia
menyadari apa yang telah dilakukan dan apa yang dihadapinya
saat itu. Dan apabila gejala Lupa itu memiliki berlapis lapis
kabut kelupaan, demikian pula dengan Kesadaran. Setelah
menyadari beberapa hal, meningkat pula kesadaran patih
Aluyuda keadaan dirinya. Bahwa ia tentu masih akan dituntut
oleh sidang peradilan di paseban situ dan bahwasanya ia


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih mempunyai beberapa kesalahan sebagaimana yang
telah dibuktikan dalam peradilan yang dilakukan oleh ra Kuti
tadi. Rasa sadar makin berkembang dan makin meluas. Makin
ngerilah mahapatih Aluyuda membayangkan akan pertanggungan jawab dan akibat-akibatnya.
Kesalahan memang merupakan bayang2 yang selalu
membayangi manusia. Laksana matahari memancarkan
sinarnya ke seluruh bumi secara merata tanpa perbedaan,
demikian pula dengan kesalahan. Kesalahan pun memercikkan
sinar yang mengerikan hati kepada siapa yang merasa
bersalah, merata dan menyeluruh tanpa membedakan adakah
dia seorang raja, mentri, senopati ataupun dia seorang rakyat
kecil. Berbagai macam cara orang untuk menanggapi
kesalahannya. Sebagian besar menolak, kukuh, bersitegang
untuk menyangkal. Hanya sedikit sekali manusia-yang berani
mengakui kesalahan. Rasa tinggi hati, sifat angkuh, jumawa,
tekebur dan lain2 yang teramu dalam rasa ke-Aku-an,
menyebabkan orang tak mau, tak suka dan ataupun malu
untuk mengakui kesalahan. Hanya orang yang memiliki rasa
rendah hati, luhur budi dan berjiwa ksatrya, berani mengakui
setiap kesalahan yang dilakukan. Karena dengan sadar akan
kesalahan itu, ia dapat memperbaiki dan menghindar dari
kesalahan itu pula. Pada hakekatnya, pengakuan itu suatu
kesadaran dan kesadaran merupakan suatu langkah pertama
menuju ke jalan yang benar.
Ada pula cara yang seperti dilakukan patih Aluyuda yalah
menghindar dari kesalahan. Karena menyadari bahwa
kesalahannya itu menumpuk bukit, bahwa dosanya sudah tak
berampun maka Aluyuda berusaha untuk menyelamatkan jiwa.
Ancaman dari ratusan rakyat yang sedang berdesak-desak
maju hendak menyerang, mendorong patih itu untuk secepat
mungkin mengambil langkah lebih dahulu. Segera ia lari,
menyelinap ke luar. Tetapi patih yang telah diangkat menjadi mahapatih itu,
telah mengalami hari yang naas. Hanya didorong oleh
keinginan untuk menyelamatkan diri sampai2 seorang yang
secerdik dan selicin dia, lupa memperhitungkan bahwa tempat
dan suasana yang dihadapinya saat itu, jauh dari
menguntungkan dirinya. Balai Prajurit atau Ksatryan telah
dikepung oleh beratus ratus rakyat. Walaupun dengan susah
payah patih Aluyuda berhasil juga untuk menyelimpat ke luar
dari paseban, tetapi ketika muncul di halaman ia telah
disambut oleh beratus bahkan beribu rakyat yang marah.
Ra Kuti dan Dharmaputera telah binasa karena diserbu
rakyat. Tetapi berkat tindakan bekel Dipa yang cekat, dapatlah
jenazah para Dharmaputera itu diselamatkan dari kehancuran.
Tetapi tidak demikian dengan patih Aluyuda. Bekel Dipa
tengah menolong tumenggung Jabung Tarewes dan para
mentri senopati masih berada dalam ruang paseban. Apa yang
dilakukan rakyat terhadap patih itu, sukar dikendalikan lagi.
Aluyuda, patih Majapahit yang termasyhur cerdik, licin dan
pandai mengambil hati baginda Jayanagara sehingga
kemudian dinaikkan pangkat menjadi mahapatih, saat itu telah
mati dibunuh rakyat. Mati
dibunuh masih belum mengerikan. Ada suatu kematian yang lebih ngeri
dari hanya mati ditusuk atau
ditabas. Mahapatih itu mati
dicincang atau tepatnya dijuwing-juwing. Dan yang
lebih tepat pula adalah cineleng-neleng. Dijuwingjuwing sama dengan dicabikcabikkan.
Cineleng-neleng yalah di tarik sana, di terik
sini. Jika makan daging yang
alot, maka daging itupun cineleng-neleng atau ditariktarik supaya lolos dari urat2 perekatnya.
Mahapatih Aluyuda laksana seekor kambing yang
dikerumuni oleh kawanan harimau lapar. Tubuhnya ditarik ke
sana sini sehingga tulang2 lepas dari persendian dan
dagingpun bertebaran bagaikan
berhamburan tertiup angin.
kelopak bunga yang Demikian keakhiran hidup dari seorang yang mendambakan hidupnya pada maya dan nafsu. Aluyuda
mencita-citakan kedudukan yang paling tinggi dari kerajaan
Majapahit. Untuk mencapai tujuan, ia telah membangun jalan
yang penuh kerikil tajam, penuh lumpur darah. Ia mendirikan
menara cita citanya di atas tumpukan kerangka manusia.
Tetapi akhirnya ia tak dapat lama menikmati kedudukan yang
dicita-citakan itu. Dan iapun harus mati dalam suatu kematian
yang jauh lebih mengerikan daripada mereka2 yang menjadi
korbannya. Pemberontakan Dharmaputera merupakan lembaran hitam
dalam sejarah kerajaan Majapahit. Tetapi prahara itu telah
menyapu kawanan penghianat, membersihkan tubuh kerajaan
dari segala kutu2 busuk dan musuh2 dalam selimut.
0o-dwkz-mch-o0 III Hari itu pura Wilwatikta benar2 mengalami suatu peristiwa
yang bersejarah. Peristiwa besar yang akibatnya besar bagi
kehidupan kerajaan Majapahit pada masa2 yang mendatang.
Peristiwa itu ditandai dengan gugurnya enam orang
Dharmaputera dan seorang mahapatih. Sejak baginda
Jayanagara mengangkat ra Kuti dan keenam kawannya
sebagai Dharmaputera, maka nama Dharmaputera menduduki
tempat yang penting; dalam tata kehidupan dan susunan
pemerintahan Majapahit. Dalam pada itu, pengangkatan patih
Aluyuda menggantikan kedudukan mahapatih Nambi,
memegang peran penting dalam percaturan tata pemerintahan
Majapahit. Kini kedua tokoh penting dalam kerajaan Majapahit, telah
binasa. Dharmaputera binasa karena ulahnya menyalahgunakan kepercayaan yang dilimpahkan secara penuh oleh
baginda Jayanagara. Kepercayaan dari baginda itu
dipergunakan untuk menggulingkan baginda dari singgasana.
Aluyuda binasa pun karena ulahnya sendiri. Dia gemar
memfitnah, mencelakai dan mengadu domba di samping
gemar pula untuk mengambil muka sang prabu dengan
sanjung pujian, wanita dan bermacam perangkap halus.
Kedua-duanya, tidak bersih. Kotor. Dan kedua-duanyapun
binasa secara tidak bersih. Kotor pula. Bersih atau kotor, baik
atau buruk, tergantung pada peribadi masing2 yang
membentuk dan menentukan. Hyang Batara Agung memberi
kebebasan seluas luasnya kepada insannya untuk melakukan
apa yang dikehendakinya. Karena apapun akibatnya, insan itu
sendirilah yang akan mengenyamnya.
Gugurnya Dharmaputera dan mahapatih Aluyuda
menampilkan seorang bekel yang masih muda belia ke tengah
gelanggang pusat pemerintahan di pura kerajaan Majapahit.
Cepat sekali bekel muda itu telah dapat merebut perhatian
dan hati para mentri, senopati, narapraja dan para kawula
pura Majapahit. Pemberontakan yang dipimpin Dharmaputera
telah mengajukan ketampilan bekel muda itu ke hadapan seri
baginda Jayanagara. Suatu hal yang tak pernah diduga oleh
bekel Dipa bahwa dalam waktu yang singkat selama berdiam
di pura kerajaan, ia bakal menjadi orang yang paling
mendapat perhatian, baik dari seri baginda maupun dari
segenap mentri senopati dan seluruh kawula pura Majapahit.
Bagi bekel Dipa sendiri, keberhasilan itu, dirasakan sebagai
sesuatu tugas yang dapat diselesaikannya. Kalau ada sepercik
rasa gembira dan bangga, maka rasa gembira dan bangga itu
hanyalah terasa sebagai getar2 luapan dari seseorang yarg
telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dan untuk tugas
itu, tidaklah ada setitik harapan atau keinginan untuk
mendapat suatu pahala. Ia menganggap tugas itu suatu
kewajiban. Bahwa jika berhasil menyelesaikan tugas,
merupakan suatu hal yang wajar karena setiap tugas dan
kewajiban itu memang harus diselesaikan.
Bekel Dipa pun masih terasa terngiang oleh wejangan dari
brahmana Anuraga pada malam kemarin, bahwa janganlah
sekali kali mengharap sesuatu dalam menunaikan tugas.
Tugas itu merupakan suatu kewajiban. Sesuatu yang wajib
adalah wajar. Tiada kegembiraan yang berkelebihan, tiada
kekecewaan yang berkelarutan. Karena kalau ia merasa bahwa
ia telah mendapat kemenangan, maka iapun mungkin akan
merasa kalah. Kalau ia merasa gembira tentu iapun akan
dapat merasa sedih juga. Menang kalah, gembira sedih,
bahagia kecewa, susah senang bahkan mati hidup, merupakan
pasangan unsur kehidupan ini.
Tiap pasang unsur yang berlawanan dan atau bersisihan,
memang Ada tetapi dapat juga Tiada. Kalau kita mengadakan
yang satu maka akan muncul yang satunya atau pasangannya.
Tetapi apabila kita tak mengadakan, artinya tidak merasakan
ke-Ada-annya, kedua unsur pasangan itupun tak ada. Jika tak
mengadakan Kemenangan itu suatu kemenangan, kitapun tak
pernah menganggap Kekalahan itu suatu kekalahan,
kesedihan itu suatu kesedihan.
Memang sesungguhnya dalam hati nurani bekel Dipa yang
masih muda usia itu, belumlah ia dapat menghayati benar2
apa yang diwejangkan oleh brahmana Anuraga mengenai
ajaran percakapan Sri Kreshna dengan Arjuna dalam kitab
Bhagawad Gita. Dipa gembira karena ia melihat segenap
mentri, senopati dan prajurit gembira atas kesudahan
peristiwa dalam paseban Balai Ksatryan2 itu. Bekel Dipa
senang karena melihat para kawula bersorak sorai amat
gembira sekali. Makin menggores dalam lubuk hati bekel itu
bahwa para narapraja dan kawula pura kerajaan ternyata
masih setya kepada seri baginda Jayanagara.
Hampir bekel itu tak kuasa menahan butir-butir airmata
yang lepas dari untaian alas kelopak matanya demi melihat
kegembiraan para kawula mendengar berita bahwa baginda
masih sehat tak kurang suatu apa. Mereka menari-nari dan
menyanyi. Bekel Dipa segera menyerahkan kekuasaan sidang
paseban kepada mentri Panca ri Wilwatikta yani Kanuruhan
empu Anekakan, demung Samaya, rangga Jalu dan
tumenggung Nala yang merangkap sebagai mentri
amancanagara atau walikota pura Majapahit. Dengan
hilangnya mahapatih Aluyuda maka Panca ri Wilwatikta hanya
tinggal empat orang mentri.
Panca ra Wilwatikta meminta agar kanuruhan Anekakan
memimpin sidang guna membicarakan tentang persiapan
untuk mengatur penyambutan seri baginda pulang kembali ke
pura Majapahit. Segenap mentri, senopati, dan narapraja yang hadir dalam
paseban itu setuju untuk mengadakan penyambutan secara
meriah. "Hal itu supaya memberi kesan kepada seri baginda
betapa seluruh narapraja dan kawula pura kerajaan tetap
setya dan bhakti kepada junjungannya" kata tumenggung
Samaya. Telah diputuskan pula bahwa ratha kencana titihan sang
prabu Jayanagara akan diikutkan ke desa Bedander untuk
menjemput sang nata. Demung Samaya sebagai mentri
angkatan perang kerajaan Majapahit dan rangga Jalu akan
mengepalai pasukan kerajaan menuju ke Bedander. Sedang
kanuruhan Anekakan sebagai werda mentri dan tumenggung
Nala Sebagai mentri mancanagara akan bertindak sebagai
pimpinan pasukan kehormatan yang akan menunggu
kehadiran baginda di pura Majapahit. Seluruh rakyat pura
kerajaan akan berjajar memenuhi sepanjang jalan yang dilalui
oleh ratha sang nata. Pura akan dihias dengan umbul2, panji2
dan petaka kebesaran. "Bagaimana kelanjutan dari penghormatan yang akan kita
adakan, baiklah kita serahkan kepada sang prabu sendiri"
demung Anekakan mengakhiri penjelasannya.
Rencana itu disetujui bulat oleh rapat.
"Bekel Kerta Dipa" akhirnya kanuruhan Anekakan berseru
"walaupun rencana persiapan untuk menyambut kehadiran
baginda kembali di pura kerajaan telah disetujui oleh segenap
mentri, senopati dan seluruh narapraja kerajaan, namun kami
pun ingin juga mendengar pendapatmu tentang hal itu.
Mungkin engkau masih mempunyai usul2 atau pendapat lain"
Bekel muda itu menghaturkan sembah.
"Terima kasih gusti atas kepercayaan yang gusti limpahkan
pada diri hamba bekel Dipa. Memang sesungguhnya hamba
mengandung suatu pandangan lain tetapi hambapun
mempunyai lain pertimbangan. Antara pandangan dan
pertimbangan ternyata tak bertemu. Hamba agak bingung
memikirkan, gusti" "O" seru kanuruhan Anekakan "jika demikian cobalah
engkau utarakan agar kami dapat ikut membantu
memecahkannya, bekel"
"Baik gusti" sembah bekel Dipa "sesungguhnya" ia
memulai pembicaraannya "menurut pandangan hamba yang
picik, kemungkinan seri baginda tak berkenan menerima
penyambutan yang semeriah itu. Selama beberapa hari
melayani baginda dari dekat, hamba mendapat kesan bahwa
dalam peristiwa pemberontakan kali ini, seri baginda merasa
malu dalam hati. Malu karena sebagai seorang raja, baginda
harus melarikan diri dari pura. Malu pula karena sebagai
seorang junjungan, baginda telah dihianati oleh rakyatnya


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri" Bekel Dipa berhenti sejenak untuk meniti kesan.
Didapatinya bahwa para Panca ri Wilwatikta dan segenap
mentri senopati yang hadir dalam paseban itu amat
mendengarkan pembicaraannya. Mereka tampak menaruh
perhatian besar. "Diam-diam hamba merasa bersyukur dan bahagia dalam
hati atas perubahan yang terjadi pada diri seri baginda.
Hamba menafsirkan, rasa malu yang diderita seri baginda itu
menunjuldan kebesaran hati junjungan kita. Rasa malu
menunjukkan pula harga diri dari nilai seorang raja utama.
Rasa malu pula merupakan langkah dari suatu mula
kesadaran. Dan timbulnya kesadaran itu akan lebih
memantapkan langkah kebijaksanaan baginda dalam
memegang tampuk pimpinan kerajaan"
Kembali bekel muda itu berhenti sejenak.
"Apabila para gusti dan bendara akan menyambutnya
dengan kehormatan besar, tidakkah seri baginda akan lebih
tersinggung perasaannya" Tidakkah hal itu akan
memperbesar rasa malu dalam hati seri baginda ?"
lebih "O" terdengar desuh menggemuruh dari para mentri dan
senopati. Merekapun dapat menyelami apa yang diutarakan
bekel muda itu. "Baik bekel muda" seru kanuruhan Anekakan "tetapi
engkau mengatakan mempunyai pertimbangan lain. Cobalah
engkau sampaikan pertimbangan itu"
"Pertimbangan hamba, gusti" sembah bekel Dipa "tak lain
hanya hamba landaskan dari sikap dan keadaan para kawula.
Hamba amat terpesona melihat betapa menggelora rasa
kesetyaan para kawula terhadap seri baginda Jayanagara.
Mereka bersorak-sorak, menari nari dan menyanyi-nyanyi di
sepanjang jalan. Haruskah kita padamkan api kegembiraan
yang tengah berkecamuk dalam sanubari mereka" Ah, tidak,
gusti dan para bendara yang hamba muliakan. Hamba benar2
terharu dan sedih apabila kita harus menumpas kegembiraan
mereka. Hamba lebih suka mewajibkan diri hamba untuk
mohon menghadap ke bawah duli seri baginda untuk
menghaturkan laporan apa yang telah terjadi dalam pura
kerajaan dewasa ini. Semoga baginda berkenan melimpahkan
titah bahwa penyambutan secara meriah itu dapat
dilangsungkan" Para mentri dan senopati tertegun mendengar ucapan
bekel muda itu. Tak pernah mereka menyangka bahwa bekel
yang semuda itu ternyata mampu memiliki suatu pandangan
yang jauh. "Jika demikian" beberapa saat kemudian kanuruhan
Anekakan berkata "baiklah ki bekel segera berangkat
menghadap seri bagiada lebih dahulu agar baginda tak sampai
cemas mengharap kedatanganmu. Soal penyambutan tetap
berjalan sebagai yang telah kita putuskan tadi"
Bekel Dipa mengerut dahi.
"Bilakah gusti dan bendara sekalian akan menyambut
baginda?" tanya bekel Dipa pula.
"Saat ini sudah lewat tengah hari. Walaupun segera akan
kuperintahkan untuk melakukan persiapan2 penyambutan,
tetapi besok pagi barulah persiapan2 itu selesai" kata
kanuruhan Anekakan "maka kurasa dua hari kemudian baru
dapat menyambut ke Bedander"
Bekel Dipa menghela napas.
"Adakah engkau mempunyai usul, bekel?" tegur kanuruhan
sepuh itu. "Hamba akan menghaturkan sebuah pandangan ke
hadapan paduka, gusti" sembah bekel muda itu "menurut
perasaan hamba, walaupun Dharmaputera telah terbunuh dan
patih Aluyuda pun telah meninggal, tetapi sisa2 pengikutnya
masih belum terkikis habis. Di samping itu, mungkin masih
terdapat golongan lain yang menentang baginda. Keadaan
masih belum pulih seperti sediakala. Ibarat tenang di
permukaan sungai, belum dapat kita jajagi apakah sungai itu
dalam atau dangkal. Selama seri baginda masih belum kembali
ke pura kerajaan, masih perlu kita meningkatkan
kewaspadaan dan kesiap-siagaan"
Kanuruhan Anekakan mengiakan.
"Oleh karena itu" kata bekel Dipa lebih lanjut "hendaknya
penyambutan seri baginda itu lebih cepat kita lakukan, lebih
baik" "Lalu maksudmu ?" tanya kanuruhan Anekakan.
"Apabila mungkin, besok supaya diusahakan agar
penyambutan itu sudah tiba di Bedarader. Soal upacara
penyambutan dan persiapan2 penyambutan dalam pura,
apabila belum selesai, kiranya tak perlu harus lengkap. Apabila
seri baginda sudah tiba di pura, barulah ditetapkan lagi pesta
yang meriah" Kanuruhan Anekakan menganggap pendapat bekel itu
memang beralasan. Ia setuju juga. Tetapi sebelum ia memberi
pernyataan, tiba2 demung Samaya sudah mendahului.
"Bekel" serunya "telah kami dengar beberapa pandangan
dan usulmu yang baik. Mengenai kemungkinan2 hal2 yang
berkenan pada seri baginda atas penyambutan yang meriah
itu, memang benar. Aku peribadi dan kiranya seluruh mentri
dan narapraja yang berada dalam paseban ini, dapat
memaklumi perasaan seri baginda. Tetapi di lain fihak,
kamipun mempunyai perasaan semacam itu pula, bahkan
harus lebih. Aku demung Samaya, merasa malu sekali karena
sebagai seorang kepala tentara, ternyata tak mampu
melindungi sri baginda dari huru-hara pemberontakan.
Naga Sakti Sungai Kuning 13 Shugyosa Samurai Pengembara 10 Tapak Tapak Jejak Gajahmada 4
^