Pencarian

Gajah Kencana 17

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 17


Anuraga tak pernah berkunjung Tetapi beberapa hari yang lalu
Hesthidono dan Parandiman singgah ke rumahnya.
"O, bagaimanakah mereka, kakang Asadha?" tanya patih
Dipa. "Mereka mengatakan akan menuju ke Canggu"
Keterangan bekel Asadha itu menarik perhatian patih Dipa.
Serentak ia bertanya pula, "Apakah tujuan mereka ke
Canggu?" Tiba-tiba bekel itu berbangkit lalu melangkah keluar dan
tak berapa lama masuk kembali. "Mereka hendak menyelidiki
keadaan prajurit Sriwijaya yang masih berlabuh di bandar
Canggu" kata bekel itu dengan pelahan. Rupanya ia sangat
hati-hati sekali memberi keterangan itu. Sebelumnya lebih dulu
ia ke luar rumah untuk memastikan bahwa tiada orang dan
sesuatu yang mencurigakan di sekeliling rumahnya.
"O" desus palih Dipa "adakah mereka sudah mendengar
tentang kedatangan pasukan dari Sriwijaya itu?"
Bekel Asaddha mengiakan. "Setiap hal yang terjadi di pura
kerajaan, besar atau kecil, penting atau tak penting, tak
pernah lolos dari pengamatan mereka"
Patih Dipa mengangguk. Diam ia memuji kesiagaan dan
ketajaman langkah orang2 Gajah Kencana. Me reka
merupakan adika bhayangkara kerajaan Majapahit yang tak
tampak dan tak resmi. Mereka tak mau mengikat diri pada
suatu jabatan pemerintahan. Tetapi mereka selalu bertindak di
mana harus bertindak. Bukan kedudukan, bukan pangkat,
bukan pula tugas jabatan yang mengharuskan mereka
bertindak. Tetapi rasa kewajiban dari suatu pengabdian
kepada negara. Rupanya panggilan pengabdian itu jauh lebih
kokoh daripada panggilan lain2 kewajiban.
"Ah, betapa bebas dan betapa luas mereka bergerak.
Bebas karena mereka tak terikat akan suatu pamrih, jasa dan
pangkat. Luas karena mereka dapat bergerak menyerap ke
seluruh lapisan peristiwa dalam pemerintahan kerajaan. Andai
aku tidak menjabat kedudukan sebagai narapraja dalam
kerajaan, alangkah gembira hatiku ikut serta dalam
perjuangan kawan2 Gajah Kencana itu" sekilas memerciklah
suatu kesan dalam hati patih Dipa. Tetapi pada lain kilas ia
teringat akan ucapan paman brahmana Anuraga, bahwa
perjuangan itu harus dilakukan dengan berbagai cara dan
sarana. Masuk dalam pemerintahan kerajaan juga merupakan
salah satu sarana perjuangan. Bahkan tidak menjabat suatu
kedudukan dalam pemerintahan atau menjadi rakyat biasa,
pun memiliki landasan sarana untuk berjuang. Berjuang
membela kepentingan negara, bukan hanya kewajiban dari
golongan narapraja golongan prajurit dan mereka yang
bekerja pada kerajaan. Tetapi seluruh kawula memiliki wajib
dan tanggung jawab yang sama terhadap negara.
"Paman Asadha" kata patih Dipa sesaat menemukan
kembali sesuatu dalam dirinya yang dirasa lebih rendah
nilainya dari perjuangan Gajah Kencana tetapi yang akhirnya
tidak. seperti yang dibayangkan, "bagaimana tanggapan dan
keadaan di kalangan prajurit pura kerajaan?"
Patih Dipa merasa perlu untuk menyusupkan peninjauannya ke lapisan bawah untuk melengkapi
pengetahuan dari lapisan atas yang telah diperolehnya dari
beberapa mentri tadi. Hanya mendengar keterangan dari
lapisan atas, dirasakannya masih belum sempurna. Karena
sering terjadi bahwa apa yang diberikan oleh kalangan atas itu
hanya merupakan pandangannya sendiri. Kesimpulannya
sering tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Bekel Asadha memberikan keterangan menurut kenyataan
yang diketahuinya dalam lingkung kalangannya, para bekel
dan prajurit2 bawahannya.
"Telah tertanam dalam sanubari para prajurit, bahwa
mereka adalah bhayangkara negara. Hidup mereka, alam
pikiran, tindakan dan ucapan mereka hanyalah satu dan
seragam. Bahwa mereka adalah pengawal, pelindung dan
penegak negara. Oleh karena itu mereka tetap tenang dan
waspada. Mereka tak merasa terombang-ambing oleh
suasana karena mereka sudah memiliki satu bahasa dan satu
pendirian" kata bekel Asadha.
Patih Dipa memuji ketegasan bekel itu. Ia mengharapkan
agar bekel itu dapat menyadarkan kawan2 dan anakbuahnya
kearah pendirian seperti yang diuraikannya itu.
Dalam perjalanan pulang patih Dipa membawa kesan
bahwa dalam menghadapi sesuatu, memang diperlukan
ketenangan. Ketenangan itu hanya diperoleh apabila sudah
memiliki suatu pendirian. Dan pendirian itu timbul dari suatu
kesadaran yang diresapi dengan penuh penghayatan.
0o0dw-mch0o0 II AKHIRNYA turunlah titah baginda. Patih Daha dipanggil
patih mangkubumi Arya Tadah ke pura, lalu dibawa
menghadap baginda. "Patih Dipa" titah baginda setelah menerima sembah patih
Dipa yang duduk bersimpuh dihadapannya, "engkau tahu apa
sebab kutitahkan engkau menghadap ke keraton?"
Patih Dipa terkesiap. Dalam hati ia merasa agak heran
mendengar titah baginda itu. Namun ia harus mempersembahkan jawaban juga. "Hamba hanya menanti
apapun yang paduka titahkan, gusti"
"Hm, patih Dipa" titah baginda pula "jangan engkau
bergirang hati karena kutitahkan menghadap ke mari. Karena
aku takkan memberimu anugerah bahkan kebalikannya akan
melimpahkan tugas berat kepadamu, patih Dipa"
Kembali patih Dipa menghaturkan sembah dan pernyataan
akan melakukan apa saja yang dititahkan baginda.
"Pertama, engkau harus menjawab pertanyaanku, patih"
ujar baginda "bagaimana keadaan negeri Daha selama
engkau menjabat patih di sana?"
"Sampai saat ini, gusti, suasana negeri Daha aman dan
tenteram" kata patih Dipa "namun apabila gusti merasa ada
suatu kekurangan pada diri hamba, sudilah paduka
melimpahkan petunjuk"
"Hm" desuh bagi nda "karena engkau menganggap telah
melakukan tugas dengan baik, karena suasana Daha engkau
anggap aman, maka engkau telah melepaskan suatu hal yang
wajib menjadi pengawasanmu"
Patih Dipa terkejut. Ia benar2 tak tahu apa yang
dimaksudkan baginda. Maka dengan tersipu-sipu ia segera
menghaturkan sembah dan memohon petunjuk bagi nda akan
kelalaian yang dilakukannya itu.
"Patih Dipa" titah baginda dengan nada agak keras
"mengapa engkau biarkan beberapa pemuda berdatangan
mengunjungi Daha. Apa maksud mereka?"
Patih Dipa seperti disengat kala kejutnya. Tak pernah
terlintas setitikpun dalam benaknya, bahwa baginda akan
mengemukakan hal itu. Memang hal itu benar terjadi.
Beberapa pemuda, terutama dari golongan putera orang
berpangkat dan bahkan putera raja, datang ke Daha. Tetapi
untuk mengetahui lebih lanjut, siapa yang dimaksud baginda
sehingga sampai menimbulkan rasa kurang senang pada
baginda itu, patih Dipa memberanikan diri untuk mohon
keterangan. "Bukankah ada seorang pangeran dari Wengker yang
pernah datang ke Daha?" ujar baginda.
Patih Dipa terkesiap, sembahnya, "Benar, gusti, memang
raden Kuda Amreta dari Wengker pernah berkunjung ke Daha"
"Apa maksudnya?"
"Raden Kuda Amreta hanya ingin meluaskan pandangan
dan melihat-Iihat keindahan Daha, gusti"
"Hai, apakah dia tak berkunjung ke keraton?"
"Berkunjung, gusti" kata patih Dipa "gusti rani menitahkan
supaya raden Kuda Amreta menghadap ke keraton"
Merah wajah baginda seketika, "Itulah, patih, kesalahanmu. Mengapa engkau biarkan seorang pemuda
menghadap rani?" Patih Dipa tak dapat menyelami di balik maksud yang
tersalip dalam kemurkaan baginda. Ia hendak mengatakan
bahwa hal itu atas titah Rani Haji Dewi, sudah tentu ia tak
berani membantah. Namun sekilas terlintas dalam benaknya,
bahwa sebagai patih, pimpinan utama di bawah rani, ia harus
bertanggung jawab seluruhnya atas pemerintahan Daha. Ia
tak mau melibatkan Rani dan mengakui kesalahannya. "Gusti
junjungan hamba, memang hambalah yang bersalah dalam
hal Itu. Tetapi hambapun menghadiri pertemuan itu untuk
menjaga keluhuran nama gusti Rani"
"Patih" ujar baginda pula "ketahuilah bahwa Rani Haji Dewi
itu masih seorang puteri, harus dijaga keluhurannya, jangan
sampai menimbulkan cemar. Kutitahkan kepadamu, jangan
diidinkan anak muda siapa dan darimanapun, menghadap ke
keraton Daha apabila tiada seidinku"
"Baik, gusti" "Apabila aku menerima laporan tentang masih terjadinya
hal itu, engkaulah yang akan kupersalah-kan"
Kembali patih Dipa menghaturkan kesediaannya akan
mematuhi titah baginda. "Yang kedua, patih" ujar baginda beberapa saat kemudian
"ada suatu tugas yang akan kubebankan kepadamu. Dan
tugas itu cukup berat"
"Telah hamba persembahkan jiwa raga hamba untuk
mengabdi kepada kerajaan paduka. Mana2 tugas yang
paduka limpahkan, berat atau ringan, sudah menjadi
kewajiban hamba untuk melaksanakan, gusti"
Baginda sudah tahu dan percaya akan kesetyaan patih itu
maka segera ia menurunkan suatu perintah.
"Dari utusan yang kutitahkan ke Bedulu di Bali, jelas
bahwa raja Bedulu Pasung Rigih tak mau menghadap ke pura
kerajaan. Alasannya, masih sibuk mengatur pemerintahannya
yang sedang dilanda musim paceklik. Tetapi jelas, menurut
wawasan utusan itu, memang raja Pasung Rigih mengunjuk
sikap yang tak mau tunduk lagi kepada Majapahit. Oleh
karena itu maka kutitahkan engkau membawa duaribu prajurit
untuk meminta penegasan dari raja Bedulu itu. Ajaklah raja itu
bersama menghadap ke Majapahit. Jika menolak, gempurlah
kerajaan Bedulu" Walaupun sebelumnya sudah mendapat pengetahuan dari
patih mangkubumi tentang rencana tindakan baginda atas
sikap raja Bedulu, namun patih Dipa merasa terkejut juga demi
mendengar titah baginda yang bernada keras itu.
"Di samping itu akan kukirim juga pasukan Sriwijaya yang
dipimpin oleh Arya Lembang dan Arya Damar. Engkau patih
Dipa, mendarat dari pantai Gianyar di sebelah selatan dan
pasukan Sriwijaya itu akan mendarat dari sebelah utara.
Rundingkan dengan paman demung Samaya prajurit2 yang
akan engkau bawa dan setelah itu segeralah engkau
berangkat" Bergegas patih Dipa menghaturkan sembah menerima
titah itu. Tetapi pada saat ia hendak mohon diri dari hadapan
baginda, tiba2 baginda bertitah pula, "Ada sebuah hal yang
wajib engkau perhatikan, patih Dipa. Maksud pengiriman
pasukan Majapahit ke Bedulu itu hanya sekedar untuk
menghukum raja Pasung Rigih, agar menjadi contoh bagi
semua raja2 di Bali dan para adipati pesisir bahwa kerajaan
Majapahit masih memiliki kewibawaan dan kekuatan untuk
membasmi setiap mereka yang hendak memberontak.
Bawalah raja Pasung Rigih ke pura Majapahit, jangan
dibunuh. Karena pembunuhan itu akan dapat menimbulkan
kegelisahan dan ketidak-puasan para adipati pesisir"
Seundurnya dari keraton, patih Dipa masih membawa titah
baginda itu dalam ruang pemikirannya. Ia merenungkan
pelahan-lahan tindakan dan ucapan baginda. Mengapa
baginda murka karena Rani Daha menerima kunjungan raden
Kuda Amreta atau raden Wijaya rajasa, putera raja Wengker.
Mengapa baginda tiba2 memutuskan mengirim pasukan untuk
menghukum raja Bedulu. Samar2 ia mencoba untuk
menembus kabut dibalik maksud yang tersembunyi pada titah
dan keputusan raja. Namun kesimpulan dari penemuannya itu
masih semu, masih belum meyakinkan. Sepanjang menuruni
titian pendapa muka dari keraton Tikta Sripala, langkahnya
terasa sarat. Sesungguhnya tiada sesuatu yang harus direnungkan lagi.
Raja telah menurunkan titah dan sebagai patih ia harus
menerima dan melaksanakan titah itu. Tetapi tidaklah
demikian dengan pemikiran patih Dipa. Sebagai seorang patih
yang melaksanakan titah raja, justeru ia harus mengetahui dan
menghayati maksud dari titah itu. Mengenai titah baginda
supaya ia melarang setiap pangeran muda, priagung muda
berkunjung ke keraton Daha, memang tampaknya mudah.
Tetapi sesungguhnya hal itu amat berat dilaksanakan.
Bukankah ia akan berhadapan dengan titah gusti Rani, apabila
dalam hal itu gusti Rani berkenan memerintahkan supaya
membawa orang itu menghadap ke keraton" Tidakkah dalam
hal itu akan menimbulkan kemurkaan gusti Rani apabila ia
menggunakan hak yang telah dilimpahkan baginda untuk
melarang priagung muda yang datang ke Daha itu"
"Ah" renungannya hanya tertumbuk pada tumpuan karang.
Sejenak pikirannya menghayut turun seperti ombak menyurut
setelah mendampar karang. Tiba2 sepelonggar dadanya dari
kesesakan napas yang diluapkan oleh pikirannya yang buntu,
terkilas percikan sinar terang dalam angan angannya.
"Tidakkah hal itu lebih baik apabila kuhaturkan kepada gusti


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rani, apa yang telah dititahkan baginda kepadaku tadi?"
Hampir ia mengarahkan keputusannya ke jalan itu, namun
tiba-tiba terpancar pula suatu lintasan kilat menyambar
benaknya, "Ah, tindakan itu hanya suatu langkah untuk
menghindari tanggung jawab" Bebaslah diriku dari kemurkaan
baginda maupun gusti rani dan berhadapanlah secara
langsung baginda dan gusti rani"
Demikian kesimpulan patih Dipa. "Tanggung jawab adalah
nilai dari setiap jabatan dan kedudukan. Jika aku lari dari
tanggung jawab itu, layakkah aku menjadi seorang patih" Ah,
tidak. Lebih baik aku mengundurkan diri menjadi rakyat biasa
daripada harus melarikan diri dari tanggung jawab. Aku harus
berani menghadapi hal itu. Akan kupertimbangkan, layakkah
priagung muda itu menghadap gusti rani. Jika layak, akulah
yang bertanggung jawab terhadap kemurkaan bagi nda. Jika
tidak layak, akan kutolak pemuda itu walaupun dia putera raja
yang manapun juga. Aku akan menerima dengan sepenuh
keihklasan hati kemurkaan gusti rani"
Demikian keputusan patih Dipa tepat dikala kakinya
menginjak tanah alun-alun yang terbentang di muka keraton
Tikta-Sripala. Baginya, tanggung jawab itu merupakan suatu
martabat ahklak. Hanya orang yang tinggi ahklaknya, yang
bernilai martabatnya, mampu memiliki rasa tanggung jawab.
Orang yang takut, yang lari, yang menghindar dan yang
menyangkal akan rasa tanggung jawab atas sesuatu tugas
yang menjadi beban kewajibannya, adalah orang yang tidak
berahklak, yang rendah martabatnya.
"Ki Dipa" tiba2 terdengar suara seseorang memanggilnya.
Patih Dipa terkejut, terjaga serentak dari lamunannya. Cepat ia
berpaling ke belakang dan dilihatnya seorang tumenggung.
"Ah, gusti tumenggung Damar, maafkan" iapun hentikan
langkah. "Sejak turun dari paseban, sampai berjalan di lapangan
alun-alun, aku berada di belakangmu, ki Dipa" kata
tumenggung itu yang tak lain adalah Arya Damar "tetapi
rasanya engkau tak merasa. Rupanya engkau tengah
melamunkan suatu persoalan yang berat, ki Dipa?"
Patih Dipa tersipu-sipu merah mukanya "Ah, maafkan,
gusti tumenggung, aku sedang memikirkan sesuatu sehingga
tak tahu kalau tuan mengikuti dibelakangku"
"Tentulah tentang titah baginda itu" kata tumenggung Arya
Damar. "Benar" sahut patih Dipa.
"Ya, memang berat nian tugas yang terbebankan di atas
bahumu, ki Dipa" kata tumenggung Arya Damar pula "orang
Bali sangat pemberani dan katanya raja Pasang Rigih itu sakti
mandraguna" Patih Dipa terkesiap, "Bukan soal itu yang menjadi
pemikiranku. Tetapi soal pemerintahan di Daha yang akan
kutinggalkan itu" "Ah, mengapa Daha" Bukankah suasana disana sudah
tenang. Apa yang engkau pikirkan lagi ki Dipa?"
"Menang di luar tampak tenang, tetapi aku masih
mencemaskan bara yang belum padam itu, setiap kali angin
berhembus, tentu akan menyala pula"
"Apa yang enghau maksudkan, ki Dipa?" seru tumenggung
Damar meminta penegasan. Dengan singkat patih Dipa menuturkan tentang keamanan
di keranian Daha dan gerakan para putera mentri senopati
Daha-Jayakatwang dahulu yang tergabung dalam himpunan
Wukir Polaman. Mereka merencanakan untuk membangun
kembali kerajaan Daha dan membalas dendam kepada
Majapahit. "Itulah gusti tumenggung, yang kupikirkan"
Arya Damar tersenyum, "Ya, memang benar, Tetapi
tidakkah hal itu dapat engkau wakilkan kepada salah seorang
mentri Daha untuk memperhatikan keamanan Daha yang
sudah berangsur baik itu?"
Patih Dipa menghela napas kecil. "Ya, memang terpaksa
harus kuatur begitu. Tetapi aku masih belum bisa melepaskan
kecemasan hatiku. Keamanan keranian Daha terutama
tergantung pada gerakan Wukir Polaman. Untuk menghadapi
Wukir Polaman, memerlukan cara tersendiri, bukan hanya
menggunakan kekerasan saja"
Arya Damar memandang tajam wajah patih Daha itu lalu
berkata, "jika demikian, tampaknya hanya engkau yang dapat
menguasai keamanan di Daha"
"Bukan demikian yang kumaksudkan, gusti tumenggung"
cepat patih Dipa memberi tanggapan, "tetapi setiap orang baru
yang akari menangani keamanan itu tentu akan memerlukan
suatu pengamatan dan kebijaksanaan langkah. Salah langkah
hanya akan menimbulkan kekacauan lagi"
Arya Damar mengangguk. "Ah, jika demikian halnya,
memang tenagamu sangat dibutuhkan di Daha. Ada pepatah
orang Malayu yang mengatakan: 'Harapkan guruh di langit, air
di tempayan ditumpahkan'. Artinya, karena mengharapkan
keuntungan besar yang belum tentu dapat, keuntungan kecil
yang sudah di tangan, dilepaskan. Tidakkah hal itu serupa
dengan tindakan baginda" Kerajaan Bedulu yang jauh di pulau
Bali hendak diraih, sedang Daha yang menjadi bagian dari
kerajaan Majapahit, ditelantarkan sehingga kacau dan
membahayakan kedudukan Majapahit"
Patih Dipa terkesiap. Namun sebelum ia sempat memberi
tanggapan, Arya Damar sudah berkala pula, "Ki Dipa, kurasa
Daha itu tempat yang penting sekali. Apabila diganti dengan
orang baru, tidaklah hal itu akan membawa kebaikan.
Sedangkan sesungguhnya, pemanggilan raja Bedulu ke
Majapahit itu, cukuplah diserahkan kepadaku saja. Dengan
membawa puluhan ribu prajurit Sriwijaya, tidakkah hal itu
cukup berwibawa untuk memaksa raja Bedulu menghadap ke
Majapahit?" Patih Dipa tak memberi sambutan apa2, namun dalam hati
ia memiliki suatu rasa kejut. Mengapa Arya Damar mempunyai
pemikiran begitu" "Ki Dipa" seru tumenggung Damar, "bagaimana apabila
kuhaturkan keberatanmu itu ke hadapan baginda"
Patih Dipa seperti disengat kala, "Jangan, gusti
tumenggung" serunya serentak, "aku tak merasakan suatu
keberatan dalam mengemban titah baginda. Aku seorang
narapraja, seorang prajurit, apapun titah raja, tentu harus
kulaksanakan" "Hai" desuh Arya Damar "baginda juga seorang manusia,
ki Dipa. Dewa sekalipun juga dapat membuat kesalahan. Dan
terutama dalam urusan negara, kita harus berani
mengemukakan pendirian yang mengarah kepada kepentingan negara" Patih Dipa mengangguk. Bukan berarti ia setuju akan
tawaran tumenggung Arya Damar untuk mengajukan
keberatan pada keputusan baginda, melainkan menyetujui
ucapan tumenggung itu dalam membahas soal pendirian
seorang narapraja dalam kedudukannya sebagai abdi
kerajaan. "Adakah engkau takut akan menerima
baginda, ki Dipa?" Arya Damar mendesak.
kemurkaan "Bukan takut, gusti tumenggung" sahut patih Dipa "hanya
dalam hal itu, baginda telah melimpahkan kepercayaan
kepada diriku. Bagaimana aku akan menolak kepercayaan
itu?" "Hm" desuh tumenggung Arya Damar. Dahinya tampak
mengeriput jalur2 lipatan yang memanjang. Sesaat kemudian
ia berkata pula "Baiklah, ki Dipa. Aku takkan memaksa engkau
...." Saat itu mereka tiba di gapura barat. Arya Damar pun
hentikan langkah. "Ki patih, apabila tuan luang waktu, marilah
singgah di kediamanku."
Patih Dipa menyatakan bahwa ia masih perlu mengemasi
keperluan2 lain. Ia menyatakan terima kasih dan berjanji lain
waktu tentu akan berkunjung ke rumah kediaman tumenggung
itu. Arya Damar tak memaksa. Ia mengambil jalan ke arah
kanan, menuju keruman kediamannya. Sementara patih Dipa
melanjutkan perjalanan. Tujuannya hendak menghadap
demung Samaya. Demung Samaya juga mengutarakan keluhan dan
cenderung akan pendapat patih Dipa bahwa keamanan dalam
negeri lebi h penting daripada bertindak melangkah jauh.
Namun iapun cenderung mendukung pendirian patih Dipa
bahwa seorang narapraja, seorang prajurit harus tunduk pada
perintah. Kemudaan setelah merundingkan tentang prajurit2 yang
akan dipilih ikut dalam pasukan ke Bali, patih Dipa
menyerahkan kepada Demung Samaya. Dalam hal itu patih
Dipa hanya mengajukan saran, sebaiknya prajurit itu dipilih
yang masih muda dan patuh. Agar mereka mendapat
pengalaman berperang. Demikian setelah tiada yang perlu dibicarakan patih
Dipapun minta diri. Tiba2 datanglah seorang juru pengalasan
yang meminta patih Dipa supaya ke gedung kediaman patih
mangkubumi Arya Tadah. Hari itu sudah menjelang petang.
Untuk pulang ke Daha, kurang leluasa. Ia memutuskan malam
itu akan bermalam di pura Majapahit.
Patih Dipa dijamu oleh patih mangkubumi dan diminta
malam itu supaya bermalam di situ. Selesai makan, maka
kedua mentri itupun duduk bercakap-cakap di pendapa.
"Bagaimana pendapat ki patih atas titah baginda tadi" patih
mangkubumi membuka pembicaraan.
Oleh karena menganggap bahwa patih mangkubumi
sepuh itu sebagai orang yang membimbingnya maka patih
Dipa pun segera mengutarakan isi hatinya. Kemudian iapun
meminta pandangan patih mangkubumi.
Setelah mengemasi diri, berkatalah patih mangkubumi
dengan tenang, "Baginda belum berkenan untuk melimpahkan
keterangan kepadaku. Tetapi apabila tafsiranku ini benar,
kemungkinan baginda mempunyai suatu tujuan tertentu dalam
mengamanatkan titah itu kepadamu, ki patih"
"O, mohon paman patih mangkubumi sudi memberi
penjelasan kepada hamba" kata patih Dipa.
"Apa sebab baginda berkenan menunjuk engkau untuk
memimpin pasukan ke Bedulu itu, adalah karena baginda
hendak memberi kesempatan kepadamu membangunkan jasa
lagi sehingga baginda dapat mengangkat engkau masuk ke
pura Majapahit" kata patih mangkubumi.
Patih Dipa mengangguk. Diam2 ia membenarkan juga
penilaian patih mangkubumi itu.
"Kedua, bukan tiada sebabnya, mengapa baginda
berkenan juga mengikut sertakan Arya Damar membawa
pasukan dari Sriwijaya itu ke Bedulu. Dapatkah engkau
menjangkau tujuan baginda, ki patih?"
Patih Dipa terkesiap dan merenung. Samar2 ia dapat
merabah apa yang tersimpul dalam keputusan baginda itu.
Namun lebi h baik sebagai seorang muda, ia menyerahkan
penilaian itu kepada patih mangkubumi sepuh. "Kemungkinan,
baginda hendak menyatakan kepada seluruh raja dan adipati
yang tersebar di telatah kekuasaan Majapahit, bahwa
Majapahit masih mempunyai kewibawaan untuk menguasai
mereka" "Ya" sahut patih mangkubumi "di antaranya memang
demikian tujuan baginda. Engkau tentu tahu tentang sejarah
hubungan antara Majapahit dengan kerajaan di Bali itu, ki
patih?" Betapapun patih Dipa harus mengakui bahwa pengetahuannya tentang sejarah kerajaan Majapahit hanya
terbatas dari apa yang diketahui. Dan ia merasa tentu masih
jauh dari lengkap. Maka dengan serta merta ia menyatakan
belum sangat jelas dan mohon petunjuk pada patih
mangkubumi. "Baiklah, ki patih" kata patih mangkubumi "malam ini aku
merasa sangat gembira karena engkau mau bermalam di sini.
Akan kuberitakan sekelumit sejarah hubungan antara
Majapahit dengan kerajaan Bali"
"Dahulu Bali diperintah oleh raja Warmadewa. Raja itu
termasyhur sebagai yang paling berwibawa dan berpengaruh
di antara raja-raja lainnya. Putera dari ratu Campa,
Dharmadayana atau Udayana, diambil putera oleh raja
Warmadewa dan kemudian hari menikah dengan puteri
Mahendradata, puteri dari prabu Dharmawangsa. Dari
pernikahan Dharmadayana dan puteri Mahendradata itu
lahirlah Erlangga yang kemudian menjadi raja di kerajaan
Panjalu. Setelah raja Erlangga mangkat dan kerajaan Panjalu
dibagi dua, maka salah seorang putera raja Erlangga
mengutus empu Bharada ke Bali, menuntut supaya Bali
diserahkan kepada salah seorang putera keturunan baginda
Erlangga. Karena Erlangga sebagai putera dari prabu
Dharmadayana, berhak mewarisi tahta kerajaan Bali. Dan
setelah baginda Erlangga wafat, maka puteranya pun berhak
untuk menuntut mahkota kerajaan itu.
Tetapi menteri kerajaan Bali yakni empu Kuturan, menolak
tuntutan itu dan sebaliknya malah adik dari raja Erlangga yang
bernama Anak Wungsu, diangkat sebagai raja Bali. Tigapuluh
tahun lamanya raja Anak Wungsu memerintah di Bali dengan
sejahtera. Oleh karena setelah kerajaan Panjalu dibagi dua yakni
Jenggala dan Daha selalu timbul peperangan, maka mereka
tak sempat pula untuk menaruh perhatian pada
perkembangan kerajaan di Bali. Kemudian naiklah baginda sri
Rajasa sang Amurwabhumi sebagai raja Singasari,
mempersatukan Jenggala dan Daha menjadi satu. Namun
sejak baginda wafat, di keraton Singasari selalu timbul
peristiwa bunuh membunuh antara keturunan Ken Arok
dengan keturunan Tunggul Ametung, maka mereka tak
sempat mengalihkan perhatian ke lain daerah. Baru setelah
raja Kertanagara naik tahta, maka baginda mulai meluaskan
kekuasaannya. Bali tak luput dari rencana peluasan itu. Tetapi


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singasari pun akhirnya hancur karena diserang prabu
Jayakatwang dari Daha. Lalu raden Wijaya menghancurkan
Daha dan mendirikan kerajaan Majapahit, bergelar raja
Kertarajasa. Setelah baginda wafat, maka baginda
Jayanagara yang sekarang ini menggantikan naik tahta."
Patih mangkubumi Arya Tadah berhenti sebentar untuk
memulangkan napas. Ia mengajak patih Dipa menikmati
minuman untuk penyegar kerongkongan. Sesaat kemudian,
patih mangkubumi itupun melanjutkan pula.
"Apabila sekarang baginda Jayanagara memutuskan untuk
mengirim pasukan ke Bedulu, rupanya baginda memang
berusaha hendak membangun kewibawaan Majapahit.
Terutama baginda tahu bahwa orang Bali tak senang melihat
baginda naik tahta, karena menganggap bahwa baginda
bukan keturunan murni dari raja dan puteri Singasari.
"Pernah baginda mengirim utusan Dharmadhyaksa ring
Kasyiwan ke Bali untuk menyatakan rasa gembira kerajaan
Majapahit bahwa kerajaan Bali selama ini selalu berjalan
dengan tenang dan damai. Sebagai tanda sukacita, baginda
telah menitahkan utusan kerajaan Majapahit itu untuk
membangun sebuah pura yang diberi nama Tatagatapura
Gerhastadra, agar agama Syiwa dan Buddha lebi h dapat
berkembang. "Tetapi rupanya orang Bali tak dapat diendapkan. Mereka
masih tak senang terhadap baginda Jayanagara. Apalagi
setelah terjadi tindakan bagi nda terhadap mahapatih Nambi
dan beberapa mentri senopati di Lumajang, timbulnya
pemberontakan Dharmaputera dan lain2 peristiwa di pura
Majapahit. Mereka lebi h merasa bebas dari ikatan dengan
Majapahit. Mereka menganggap bahwa kerajaan Bali lebih tua
dari kerajaan Majapahit. Dalam menghadapi sikap raja Bedulu
yang sedemikian, rasanya tiada lain jalan bagi baginda kecuali
harus bertindak dengan keras"
Patih Dipa mengangguk-angguk. Diam2 ia gembira sekali
karena mendapat pengetahuan tentang sejarah hubungan
Majapahit-Bali. "Maka kukatakan bahwa penilaianmu itu, termasuk salah
satu dari rangkaian landasan dalam keputusan baginda kali
ini" kata patih mangkubumi pula.
"Lalu apalah alasan lain yang penting kecuali itu, paman
patih mangkubumi?" tanya patih Dipa.
"Prajurit Sriwijaya!" tiba2 patih mangkubumi menggetar
penyahutan. "Prajurit Sriwijaya?" patih Dipa terkesiap.
"Ya" sahut patih mangkubumi "seperti telah kukatakan,
sesungguhnya baginda tak senang dengan sanak ibunda ratu
dari Sriwijaya itu. Terutama setelah Sriwijaya mengirim
pasukan untuk membantu kesibukan pemerintahan kerajaan
Majapahit. Kalau tak salah penilaianku, ki patih," sampai di sini
suara patih mangkubumi agak rendah seperti orang berbisik
"baginda hendak mengenyahkan mereka ke Bali, agar mereka
mendapat perlawanan yang keras dari orang Bali"
Patih Dipa terkesiap pula.
"Sebagaimana engkau tahu" kata patih mangkubumi masih
dalam nada lirih "orang Bali tak senang kepada baginda
karena menganggap baginda keturunan dari puteri Malayu.
Jelas mereka tak suka pada orang Malayu. Apabila sekarang
pasukan Sriwijaya hendak menginjakkan kaki ke pulau itu,
mereka tentu akan menyambut dengan serangan yang
dahsyat" "O" patih Dipa mendesuh "tetapi mengapa baginda masih
perlu menitahkan hamba memimpin pasukan kerajaan ke
Bali" Tidakkah hal itu cukup ditangani pasukan Sriwijaya?"
Patih mangkubumi gelengkan kepala, "Tidak dapat, ki
patih, tak mungkin baginda akan membiarkan kewibawaan
Majapahit terhapus oleh orang Sriwijaya. Penyerangan ke Bali
tetap atas nama kerajaan Majapahit. Oleh karena itu maka
baginda menitahkan engkau yang memimpin pasukan utama.
Di samping itu baginda pun mengharapkan jasamu agar dapat
mengangkat masuk ke pura"
Patih Dipa diam merenungkan uraian patih mangkubumi.
"Bukankah kepadamu baginda telah menurunkan titah
bahwa pasukan Majapahit tak bo!eh membunuh raja Pasung
Rigih. Tetapi titah itu tak pernah baginda berikan kepada
pimpinan pasukan Sriwijaya. Dengan demikian orang Bali
pasti akan membenci orang-orang Sawijaya itu. Apabila
pasukan Sriwijaya menderita kesalahan dan kerusakan besar,
dengan mudah baginda dapat menyuruh mereka pulang ke
Sriwijaya. Bukankah hal itu merupakan suatu tamparan halus
bagi raja Sriwijaya agar jangan meremehkan kekuatan
Majapahit?" Patih Dipa terkejut mendengar keterangan terakhir dari
patih mangkubumi itu. Walaupun hal itu baru bersifat penilaian
secara peribadi, tetapi memang mendekati kemungkinan. Ia
tahu sifat dan peribadi Jayanagara yang keras dan mudah
tersinggung. Kemudian serentak ia teringat akan pembicaraannya dengan tumenggung Arya Damar dalam
perjalanan di alun-alun tadi. Terasa dan makin dirasa, bahwa
ada sesuatu yang tersembunyi dibalik percakapan
tumenggung itu. Namun ia belum dapat menemukan dan
mengungkap apa sesungguhnya yang dirasa sesuatu itu.
"Paman patih mangkubumi" akhirnya ia meluapkan juga
perasaan hatinya dalam bentuk pertanyaan kepada Arya
Tadah "bagaimana pendapat paman patih terhadap
tumenggung Arya Damar?"
"Dia seorang pangeran dari Pamelekehan yang cerdik,
licin dan bercita-cita besar untuk menduduki jabatan penting di
Majapahit. Dia merupakan orang kepercayaan dari gusti ratu
Indreswari. Salah seorang pemuka dari golongan Sriwijaya
yang berkeinginan menduduki jabatan penting di Majapahit"
menerangkan patih mangkubumi "mengapa engkau tanyakan
tumenggung itu, ki patih?"
Patih Dipa lalu menceritakan percakapannya dengan
tumenggung Arya Damar ketika di alun-alun tadi.
"Hm, tidak selesai sampai disitu saja kiranya kelanjutan
yang akan direncanakan tumenggung itu. Dia sangat bernafsu
sekali untuk membangun jasa besar" kata patih mangkubumi.
"Sesungguhnya keinginannya itu baik" patih Dipa memberi
tanggapan "tetapi sayang mengandung nafsu"
"Dan apabila nafsu itu hanya terbatas pada kedudukan,
itupun masih ringan" sambung patih mangkubumi "tetapi
kemungkinan ada suatu kekuasaan yang mendorong ia
melakukan hal itu" --dwkz0o0mch-- Patih Dipa terkejut ketika menerima seorang utusan dari
pura Majapahit yang menitahkan patih Dipa menghadap ke
keraton. Bertanya-tanyalah dalam hati patih itu selama dalam
perjalanan ke pura kerajaan. Apa gerangan baginda
menitahkannya segera menghadap" Adakah keputusan
pengiriman pasukan ke Bedulu itu dicabut" Ataukah
pemberangkatan pasukan itu dipercepat dari rencana semula"
Atau apakah ada kaitannya dengan percakapannya bersama
tumenggung Arya Damar"
Belum juga ia dapat menemukan jawaban yang
memuaskan ketika saat itu ia sudah tiba di pendapa keraton
lalu bergegas masuk menghadap baginda. Serentak ia bersila
menghaturkan sembah ke hadapan baginda yang duduk di
singgasana dengan bermuram durja.
"Patih Dipa" ujar bagi nda dalam ledakan nada yang keras
"benarkah engkau enggan untuk memimpin pasukan
Majapahit ke Bedulu?"
Patih Dipa tersengat kejut dan bergegas menghatur
sembah, "Tidak gusti. Hamba seorang prajurit yang telah
bersumpah untuk setya kepada raja, negara dan perintah"
"Benar?" baginda menegas.
"Semoga Batara Agung menumpas jiwa raga Dipa apabila
hamba menghianati sumpah itu"
"Adakah engkau menguatirkan keamanan Daha akan
terganggu apabila engkau melakukan tugas yang kutitahkan
itu ?" tanya baginda pula.
"Itu hanya merupakan kekuatiran yang tercetus dalam rasa
tanggung jawab hamba sebagai seorang patih"
"Hm, dan bagaimana perasaanmu sesungguhnya?"
"Telah hamba haturkan kebawah duli paduka, bahwa
hamba adalah seorang prajurit. Mana titah paduka tentu akan
hamba laksanakan. Bahwa hamba mencetuskan kekuatiran
tentang keamanan Daha itu adalah dari rasa tanggung jawab
hamba sebagai seorang patih. Namun apabila hamba
melaksanakan titah paduka, sudah tentu akan hamba persiap
dan rundingkan dengan beberapa mentri Daha, cara2 untuk
memelihara keamanan yang sudah baik itu"
"Patih Dipa" masih nada baginda terdengar keras
"bagaimana pendapatmu apabila pengiriman pasukan ke
Bedulu itu kupercayakan kepada prajurit2 Sriwijaya dan
dipimpin oleh Arya Damar saja?"
"Hamba tidak setuju, gusti" sahut patih Dipa dengan tegas.
"Bukankah kerajaan dapat menghemat tenaga dengan
hasil yang diharapkan, raja Bedulu akan datang menghaturkan
sembah ke pura Majapahit?" baginda masih mendesak.
"Kemungkinan memang demikian, gusti. Tetapi perkenankanlah hamba menghaturkan pendapat hamba yang
tak menyetujui hal itu"
"Mengapa ?" "Bukan soal menghemat kekuatan, bukan pula soal hasil
yang hamba arahkan dan utamakan. Tetapi kerajaan Bedulu
dan raja2 di sekitar pulau Bali, adalah termasuk dalam
kekuasaan kerajaan paduka. Haruslah pasukan Majapahit
yang menenteramkan daerah2 kerajaan itu, bukan prajurit
Malayu atau lain2 negara. Bantuan atau campur tangan fihak
negara lain, akan mengurangi kewibawaan dan keluhuran
kerajaan Majapahit" "Hai" desuh baginda.
"Dan tidakkah paduka merasa bahwa Majapahit sudah
tiada senopati yang mampu untuk mengemban titah paduka
itu" Gusti" patih Dipa menghatur sembah pula "hamba mohon
menghaturkan sebuah persembahan kata dari lubuk hati
hamba" "Katakan" titah baginda.
"Gusti junjungan yang hamba muliakan" kata patih Dipa
"mohon kiranya paduka melimpahkan ampun apabila dalam
mempersembahkan kata2 hamba ini terdapat kata2 yang tak
berkenan dalam hati paduka. Dalam pengiriman pasukan
kerajaan Majapahit ke Bedulu ini, apabila paduka
menganggap hamba tak cakap dan tak tepat memegang
pimpinan, dengan setulus hati hamba akan menerima
keputusan paduka. Siapapun yang paduka titahkan untuk
mengepalai pasukan Majapahit itu, akan hamba laksanakan.
Asal pasukan kerajaan Majapahit tetap paduka titahkan ke
Bedulu untuk melakukan tugas yang menjadi wewenang
kekuasaan Majapahit. Tetapi apabila paduka menghapus
pengiriman pasukan Majapahit dikarenakan pertimbangan
bahwa pasukan Sriwijaya sudah cukup untuk menyelesaikan
soal itu, maka hamba mohon dipecat dari jabatan
pemerintahan dan mohon gusti suka melimpahkan hukuman
kepada diri hamba" Baginda Jayanagara permohonanmu?" terkesiap "Lalu bagaimana "Hamba mohon pengiriman pasukan kerajaan Majapahit
itu tetap paduka titahkan. Dan bahwasanya pasukan kerajaan
Majapahit yang paduka serahi sebagai perutusan utama dan
pasukan Sriwijaya itu hanya sebagai pembantu"
"Hai" desah baginda "lalu apa lagi?"
"Apabila paduka berkenan melimpahkan perkenan atas
permohonan hamba itu, akan hamba serahkan seluruh
pengabdian jiwa raga kebawah duli paduka"
Diam2 giranglah hati baginda mendengar persembahan
kata patih Dipa itu. Wajahnya yang muram, saat itu mulai
berangsur-angsur tenang. Kepercayaannya terhadap patih
muda itu kembali pula seperti dikala berada di desa Bedander.
"Baik, Dipa, aku tak meragukan kesetyaanmu lagi. Engkau
tetap kutitahkan memimpin pasukan Majapahit. Dan
kukabulkan permohonanmu pula bahwa pasukan utama
adalah pasukan Majapahir, pasukan Sriwijaya hanyalah
sebagai pembantu. Dan engkau sebagai pimpinan utama yang
bertanggung jawab penuh atas seluruh perutusan pasukan
Majapahit ke Bedulu"
Bergopoh patih Dipa menghaturkan sembah sebagai tanda
menerima kasih atas keputusan baginda itu "Gusti, hamba
mohon ampun apabila hamba masih hendak mempersembahkan permohonan lagi kehadapan paduka"
"O, katakan" ujar baginda.
"Pertama, hamba mohon mempersembahkan pertanyaan,
bagaimanakah kedudukan gusti tumenggung Arya Damar dan
Arya Lembang. Kedua, hamba mohon supaya diperkenankan
memilih beberapa perwira sebagai susunan pembantu hamba"
Titah baginda pula, "Arya Damar dan Arya Lembang
mengepalai pasukan dari Sriwijaya, tetapi tunduk dibawah
kekuasaanmu. Dan permohonanmu yang kedua itupun dapat
kululuskan, patih. Lalu apakah engkau sudah mempunyai
rencana bagaimana akan menghadapi raja Bedulu?"
"Pertanyaan yang hamba haturkan ke bawah duli paduka
tentang kedudukan kedua tumenggung itu termasuk dalam
rencana yang sudah hamba miliki, gusti. Dalam menunaikan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tugas yang paduka titahkan, hamba akan menghindari suatu
tindak kekerasan yang mengakibatkan pertumpahan darah.
Darah yang membasahi bumi akan tumbuh menjadi buah
dendam kesumat. Orang2 Bali akan makin memusuhi kita
walaupun mereka kalah. Maka pertama hamba akan bertindak
dengan kebijaksanaan dan membawa kedamaian. Apabila
segala kebijaksanaan yang hamba tempuh ternyata
mengalami kegagalan, baru hamba akan bertindak keras,
menggempur Bedulu" Baginda Jayanagara mengangguk
rencanamu itu. Laksanakanlah"
"Ya, baik sekali "Maka pertama-tama pasukan Majapahit dan pasukan
Sriwijaya akan mendarat di Gianyar, kemudian hamba akan
mengirim utusan untuk mengabarkan kepada raja Badulu.
Mudah-mudahan setelah melihat kekuatan besar dari pasukan
Majapahit itu, raja Bedulu mau menurut kebijaksanaan hamba
dan menghadap paduka"
"Ha, ha" baginda Jayanagafa tertawa gembira "itu siasat
harimau namanya. Sebelumnya harimau tentu akan
memperdengarkan raung yang dahsyat agar lawan rontok
nyalinya. Apabila masih belum berhasil, barulah harimau itu
menyerang" Demikian percakapan yang berlangsung di keraton TiktaSripala. Antara baginda Jayanagara dengan bekas bekel
bhayangkara yang pernah melindunginya lolos dari pura
dahulu. Di antara patih dan raja itu sudah saling mengenal
peribadi masing masing sehingga dalam suasana penuh
kepercayaan, setiap perundingan tentu berjalan cepat dan
memuaskan. Patih Dipa segera bergegas kembali ke Daha. Langsung ia
menuju ke Pakis untuk menemui empu Kapakisan, seorang
empu yang mempunyai pengaruh dikalangan kawula Daha.
Setelah bertahun tahun menjabat patih di Daha, patih Daha
yang sering keluar menyamar untuk mendengarkan berita dan
keadaan para kawula, mengetahui bahwa empu Kapakisan
merupakan seorang empu yang sangat diindahkan oleh
kawula desa Pakis. Kecuali seorang empu yang pandai
membuat senjata keris pusaka, pun empu Kapakisan itu
seorang yang luas pengetahuan ilmu keagamaan, falsafah
dan ilmu kanuragan. Dalam pertemuan pertama dengan empu itu, patih Dipa
telah mengemukakan pandangan dan pendiriannya tentang
hubungan Daha dan Majapahit, tentang keamanan, kehidupan
dan kesejahteraan rakyat, tentang pentingnya kesatuan dan
persatuan dan tentang penting-nya arti kerajaan Majapahit
dalam perkembangannya di nusvvantara.
Empu Kapakisan tertarik dengan uraian dari patih yang
dianggapnya masih muda itu. Dan sebagai seorang empu
yang sidik, nalurinya cepat dapat merasakan suatu sifat2 yang
luar biasa pada diri patih itu, kebesaran pada jiwa dan
peribadinya. Sebagai empu yang mendapat tempat
perindahan di kalangan kawula Daha, tak lepas pula dia
merupakan sumur penimba nasihat dari orang2 Wukir
Polaman. Redanya kegiatan orang Wukir Polaman, antara lain
juga disebabkan nasihat dari empu Kapakisan.
Hubungan antara empu Kapakisan dengan patih Dipa
amat akrab sehingga pada suatu hari empu itu telah
menghadiahkan sebuah keris pusaka yang diberi nama ki
Lobar. Menurut empu Kapakisan, keris ki Lobar itu mempunyai
daya khasiat untuk menenteramkan hati pemiliknya di kala
menghadapi ancaman bahaya yang betapa besarnya pun.
Sesaat terkejutlah empu Kapakisan menerima kunjungan
sahabatnya. Setelah mempersilahkan masuk dan duduk
berhadapan maka bertanyalah empu itu akan maksud
kedatangan patih Dipa. Patih Dipa mengatakan bahwa kedatangannya itu tak lain
hanya akan mohon diri karena dua hari lagi ia segera akan
berangkat membawa pasukan Majapahit ke Bedulu. Kemudian
ia menceritakan tentang tugas yang dilimpahkan baginda
kepadanya. Kemudian secara halus ia mengajukan
pertanyaan bagaimana pandangan empu itu terhadap sikap
raja Bali. Berkatalah empu Kapakisan "Sejak jaman prabu
Kertanagara dari kerajaan Singasari, memang Bali tunduk dan
mengakui kekuasaan Singasari. Walaupun sekarang kerajaan
Singasari sudah diganti dengan Majapahit, namun karena
rahyang ramuhun Kertarajasa itu adalah putera menantu dari
prabu Kertanagara, maka tuntutan Majapahit untuk
memulihkan hubungan dengan kerajaan Bedulu itu memang
beralasan juga" Patih Dipa menghaturkan terima kasih.
"Ki Patih" kata empu Kapakisan "berbicara tentang Bedulu,
engkau telah mengingatkan akan kepedihan luka yang pernah
singgah dalam perjalanan hidupku ...."
Patih Dipa terkejut dan cepat memandang empu itu. Ia
makin terkejut ketika memperhatikan wajah empu itu berkabut
rawan, terlongong dalam kepukauan. Seperti mengenangkan
sesuatu dalam kissah hidupnya yang lampau. "Empu,
maafkan, adakah sesuatu ucapanku yang menyentuh
perasaan empu ?" patih Dipa bertanya cemas.
Empu Kapakisan menghela napas, "Tidak, ki patih. Tiada
hubungan suatu apa dengan keteranganmu tadi. Memang
Bedulu sendiri itu pernah menempati sekelumit kissah dalam
kehidupanku" "Empu ...." "Baiklah, ki patih, tiada suatu rahasia yang tak
kuberitahukan kepadamu. Begitu pula dalam soal ini, aku akan
menceritakan kepadamu" cepat empu Kapakisan menukas.
Dan patih Dipa pun mengiakan.
"Pada waktu aku masih jejaka, aku masuk menjadi prajurit
Singasari ...." "Empu, bukankah tuan seorang kawula Daha yang masa
itu diperintah oleh prabu Jayakatwang ?"
"Benar, ki patih" empu Kapakisan mengangguk "tetapi
pada masa itu hubungan antara Singasari dan Daha masih
baik, bahkan pangeran Ardaraja putera dari prabu
Jayakatwang pun diambil menantu oleh baginda Kertanagara.
Saat itu aku belum mempunyai pemikiran seperti yang dimiliki
anak2 muda Wukir Polaman sekarang. Aku diterima menjadi
prajurit Singasari dan pada suatu saat prabu Kertanagara
hendak menundukkan Bali, akupun diikut sertakan dalam
pasukan Singasari. Singasari menang. Untuk menguasai
keamanan di Bali, maka sebagian pasukan Si ngasari
diperintahkan untuk menetap di Bali, termasuk aku juga
terkena perintah itu"
Empu Kapakisan berhenti sejenak untuk menggali ingatan
yang telah terbenam berpuluh-puluh tahun lampau. Kemudian
ia melanjutkan "Sebagai seorang prajurit yang masih jejaka,
tak lepaslah diriku dari libatan asmara. Aku berkenalan
dengan seorang gadis bernama nyi Kutri, puteri empu Panulis.
Aku menjadi murid dari empu Panulis yang mengajarkan aku
membuat keris. Empu Panulis pun memberi restu atas
perjodohanku dengan Kutri. Kami mendapat seorang putera
dan aku merasa bahagia hidup di Bedulu. Aku tak mau pulang
lagi ke Singasari dan menjadi penduduk Bali"
Empu Kapakisan berhenti sejenak, menengadah seolah
membayangkan pula masa2 yang bahagia dalam hidupnya.
Patih Dipa tak mau mengusik.
"Tetapi hanya dua tahun kukenyam kebahagiaan itu lalu
timbul huru hara. Singasari diserang Daha dan hal itu
mendorong golongan orang Bali-Aga atau orang Bali asli,
bangkit dan berontak. Mereka dipimpin oleh Linggah Siring,
seorang ksatrya sakti dari orang Bali-Aga. Banyak prajurit2
Singasari yang dibunuh. Pokoknya, orang Singasari yang
tinggal di Bali akan dibunuh semua. Empu Panulis
menganjurkan supaya aku segera membawa anak isteriku
meninggalkan Bedulu. Akupun menurut, tetapi ketika hampir
mencapai pantai, anakbuah Linggah Siring berhasil mengejar.
Linggah Siring memimpin sendiri anakbuahnya. Dalam
pertarungan, aku kalah dan menderita luka. Linggah Siring
amat benci sekali kepadaku. Aku tidak dibunuh tetapi bersama
puteraku, aku ditaruh dalam sebuah perahu dan dihanyutkan
ke laut. Rupanya dewata belum menggariskan aku mati.
Secara ajaib aku telah dibawa ombak mendarat di pantai
Belambangan. Aku dan puteraku ditolong seorang pencari
ikan sehingga selamatlah jiwa kami berdua ."
"Tetapi bagaimana dengan isteri empu?" patih Dipa
bertanya. "Waktu anakbuahnya mengeroyok aku, Linggah Siring
telah melarikan Kutri, ah, dendam memang berhamba
manusia ..." empu Kapakisan menghela napas.
Patih Dipa terkejut "Adakah Linggah Siring mendendam
kepada empu?". "Hal itu baru kusimpulkan setelah kurangkai dengan
peristiwa yang lalu" kata empu Kapakisan "kala itu sering
Linggah Siring datang kepada empu Panulisan untuk
memesan keris dan lama kelamaan ia menaruh perhatian
kepada nyi Kutri. Bahkan pernah mengajukan pinangan tetapi
tak disetujui Kutri. Dalam huru hara, Linggah Siring paling
menonjol dan giat membunuh-bunuhi orang dan prajurit2
Singasari yang berada di Bali. Kemudian ia memimpin sendiri
anak-buahnya untuk mencari aku. Setelah dapat mengejar, dia
terus merampas Kutri dan memerintahkan anak-buahnya
untuk menghajar dan menghanyutkan aku ke laut. "Sertakan
juga anak itu bersama bapaknya. Jangan terdapat manusia
keturunan darah orang Singasari yang hidup di bumi Bali"
demikian perintahnya"
"Sepuluh tahun kemudian, secara menyamar, aku menuju
ke Bali untuk mencari berita tentang Kutri. Di pantai Gianyar
aku memperoleh keterangan dari seorang penduduk bahwa
Linggah Siring telah diangkat sebagai senopati kerajaan
Bedulu. Secara tak langsung aku menanyakan lebi h lanjut
tentang kehidupan keluarga senopati itu. Orang itu dapat
memberi keterangan dengan jelas. Linggah Siring menikah
dengan nyi Kutri, anak dari empu Panulis dan sekarang telah
mempunyai seorang putera yang bernama Kebo Warung"
Patih Dipa ikut bersedih mendengar kissah yang malang
dalam kehidupan empu Kapakisan.
"Aku kembali ke Daha. Aku tak mau mengganggu
kebahagiaan Kutri yang sudah menjadi isteri seorang
senopati. Aku hidup bersama puteraku. Tetapi rupanya
kemalangan masih tiada hentinya dilimpahkan dewata kepada
diriku. Puteraku karena menderita sakit telah meninggal masih
muda dan meninggalkan tiga orang anak laki dan seorang
anak perempuan" Demikian empu Kapakisan mengakhiri kissah hidupnya
dengan sebuah helaan napas yang longgar. Seolah ia telah
menyadari bahwa apa yang dideritanya itu memang sudah
garis yang ditentukan dewata. Sebagai seorang yang sudah
mencapai kesadaran, ia menerima segala coba dan derita itu
dengan hati yang lapang dan pikiran tenang.
Setelah melepaskan beberapa rangkaian kata penghibur
lara, patih Dipa lalu mengutarakan maksud kedatangannya.
"Empu, maksud kedatanganku kemari memang membawa
suatu tujuan tertentu. Ketiga cucu empu itu, sudah dewasa
dan merupakan pemuda2 yang telah putus dalam tempaan
ilmu. Apabila empu meluluskan, maka ingin sekali kubawa
mereka bersama ke Bedulu. Pertama, apabila tetap tinggal di
pertapaan ini, tentulah mereka tak dapat mengembangkan
bakat dan kemampuannya. Kedua, semoga mereka nanti akan
menjumpai sesuatu yang mempunyai hubungan dengan
keluarga, terutama dengan eyang puteri mereka"
Empu Kapakisan terbeliak, termangu lalu pejamkan mata.
Rupanya dia tengah menimang apa yang dikatakan patih
Dipa. Gukup lama juga kiranya empu itu merenung namun
patih Dipa tetap bersabar menanti.
Akhirnya berkata juga empu Kapakisan itu. "Ki patih, apa
yang engkau katakan itu memang benar. Betapapun berat
hatiku sebagai seorang kakek terhadap cucu, namun tak dapat
kuberatkan pertimbangan itu demi kepentinganku. Yang
benar, harus kuarahkan kepada kepentingan cucuku. Mereka
masih perjaka muda, mereka harus ke luar melihat bumi luas
yang bersinar matahari gemilang. Mereka harus hidup lebih
berarti daripada ayah dan eyangnya ini. Aku setuju
permohonanmu, ki patih, atas dasar demi kepentingan hari
depan cucu-cucuku. Soal bagaimana nanti mereka mungkin
akan berjumpa dengan eyang puterinya, setitikpun aku tak
mengharap" Dengan gembira patih Dipa segera membawa ketiga cucu
empu Kapakisan yang bernama Banyak Kawekas, Banyak
Wukir dan Banyak Ladrang, ke pura Majapahit. Demikian pula
ia mengajak Gajah Para dalam pasukannya. Gajah Para
seorang nayaka yang berpangkat tumenggung dalam pasukan
Majapahit. Demikian setelah segala persiapan selesai, patih Dipa
memerlukan berkunjung kepada Arya Damar.
Ketika patih Dipa memberitahukan tentang rencana2nya
untuk membawa seluruh pasukan Majapahit dan Sriwijaya
menuju ke pantai selatan pulau Bali, walaupun wajahnya
menampilkan rasa kurang senang, tetapi Arya Damar menurut
juga. Memang Arya Damar telah dipanggil menghadap baginda
dan diberitahukan tentang kedudukannya dalam pasukan yang
akan menuju ke Bedulu itu. Pimpinan diserahkan kepada patih
Dipa dan seluruh pasukan harus tunduk pada perintah patih
Dipa. Keberangkatan pasukan dilakukan secara sederhana
tanpa suatu upacara dan keramaian. Kesemuanya itu atas
permintaan patih Dipa. Ia tak menghendaki suatu upacara
pelepasan secara meriah, sebelum tugas yang dilaksanakan
itu berhasil. Pasukan yang dipimpin patih Dipa berangkat ke bandar
Canggu kemudian berlayar mengarungi laut menuju ke
selatan. Tujuannya akan berlabuh di Gianyar setelah itu baru
menuju ke Bedulu. 0o-dwkz-mch-o0 JILID 40 I

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

WAJAR bahwa setiap peristiwa baru akan menimbulkan kesan baru dari
pengalaman baru pula. Sedemikian hal yang dialami
patih Dipa. Sepanjang hidup
baru pertama kali itu ia mengarungi laut, walaupun
hanya selat yang membelah
daerah bang wetan dengan pulau Bali. Dan ada pula hal yang dirasakan amat berat bagi
patih itu, yalah kedudukannya
sebagai panglima pasukan kerajaan Majapahit, masih
pula harus membawahi prajurit dari Sriwijaya yang berjumlah
duapuluh ribu orang. Suatu jumlah yang cukup besar.
Dalam hati kecil patih Dipa, timbul suatu rasa waswas
yang mencetuskan berbagai pertanyaan kepada dirinya
sendiri. Adakah ia mampu untuk memimpin sekian banyak
pasukan. Adakah ia sanggup untuk menanamkan wibawa
pengaruh kepemimpinannya kepada prajurit2 Palembang itu.
Adakah ia dapat menunaikan tugas kerajaan untuk
menyelesaikan persoalan raja Sedulu. Seribu macam 'adakah'
telah menyusup, membayang dan menghuni dalam benaknya,
menantang permecahan. Walaupun brahmana Anuraga yang mengetahui akan
bakat terpendam dalam diri Dipa tetapi pun yang menyadari
akan latar belakang kehidupan anak itu, tak henti-henti dan tak
jemu2 dalam setiap kesempatan, selalu menanamkan
kesadaran akan pentingnya memiliki kepercayaan pada diri
sendiri, namun sumber dan lingkungan hidup yang melingkupi
pertumbuhan hidup Dipa, memang sukar untuk sekali gus
dikikis habis. Tetapi harus melalui suatu perjalanan waktu
yang cukup panjang. Kepercayaan pada diri sendiri, merupakan suatu
pemantapan dalam melaksanakan sesuatu. Suatu landasan
kokoh bagi perkembangan jiwa dalam pembentukan
keperibadian. Kehilangan kepercayaan diri, sama dengan
tidak percaya kepada dirinya sendiri, merupakan luka yang
paling parah dalam perkembangan jiwa seseorang.
Dalam menumbuh, mengembang dan memperibadikan
kepercayaan diri sendiri, seyogyanya diselaraskan pada suatu
tataran tertentu. Melampaui tataran itu akan cenderung
menuju kearah kesombongan diri, tiba pada puncak ke Aku-an
yang menonjol. Lupa bahwa percaya pada diri sendiri itu
bukan berarti kemutlakan diri sendiri dan lain orang tiada. Pun
kurang daripada tataran itu akan menjurus ke arah rendah diri.
Rendah diri dalam arti harfiah, sesungguhnya yalah hilang
kepercayaan pada diri sendiri.
Sesungguhnya setelah menanjak dalam tangga kedudukan yang sedemikian tinggi, patih Dipa harus sudah
bebas dari bayang2 rasa rendah diri atau tak percaya kepada
diri sendiri. Bahkan kalau lain orang, tentulah cepat sekali rasa
tak percaya pada diri sendiri itu berganti dengan rasa tinggi
diri, apabila dia menempati kedudukan seperti patih Dipa.
Mengapa patih Dipa dalam kedudukan yang sekarang, masih
terselubung oleh rasa rendah diri, suatu percikan dari rasa tak
percaya pada diri sendiri, adalah karena ia kuatir atau waswas kalau tak dapat melakukan tugas ini. Peresapan dan
penghayatan daripada wejangan-wejangan para pinisepuh
yang diterimanya selama ini telah melahirkan suatu sikap
hidup patih Dipa yakni sarjjawopasama, tingkah laku yang
memperlihatkan kerendahan hati, ramah, tulus ikhlas dan lurus
sabar. Apabila masih memiliki bayang-bayang was-was, salah
satu sifat dari tidak percaya pada diri sendiri, yang masih
sering menghinggapinya itu tak lain hanya karena ia
mempunyai landasan sikap hidup matang-gwan , selalu
mendapat, menjaga dan memelihara kepercayaan yang telah
dilimpahkan negara kepadanya. Rasa tanggung jawab untuk
melaksanakan kepercayaan itulah yang sering membuatnya
was-was, kuatir kalau tak mampu mengerjakannya.
Patih Dipa selalu menjaga kepercayaan lebih dari pada
menjaga dirinya. Peristiwa Bedander makin menghayati sikap
hidupnya. Tugas itu suatu kepercayaan dan kepercayaan itu
harus dijaga. Dalam landasan sikap hidup itulah maka patih Dipa
termangu-mangu di atas geladak perahu yang membawa ke
pulau Bali. Baru pertama kali itu ia berada di tengah laut.
Banyak kesan2 yang merekah dalam benaknya selama
mengarungi laut itu. Ia melihat daratan bagaikan gunduk
karang yang bersalut warna hijau. Ia melihat sekeliling penjuru
alam lepas banglas dalam suatu warna biru kegelap-gelapan,
hampir sukar membedakan mana laut dan mana cakrawala.
Berada di tengah laut merupakan suatu alam dunia tersendiri.
Dan ketika malam tiba, segenap alam seolah terbungkus oleh
selubung hitam. Penerangan satu-satunya hanyalah bintang
kemintang yang berkelap kelip di langit.
Tegak diatas haluan kapal menikmati alam pemandangan
laut di malam hari, merupakan suatu perasaan yang tersendiri.
Sejenak patih Dipa terpukau dalam suatu alam dimana ia
merasakan dirinya amat kecil, bahkan terlampau kecil
menghadapi kebesaran alam ciptaan Hyang Widdhi Agung.
Hening hampa penjuru alam. Tiada terdengar keramaian
kehidupan kota, kesibukan pagi hari di pedesaan. Tiada orang
diburu oleh tugas dan pekerjaan, kebutuhan dan kepentingan.
Tugas, pekerjaan, kebutuhan dan kepentingan yang
menimbulkan berbagai gejolak dalam kehidupan manusia.
Yang terdengar hanyalah deru ombak memecah gelombang,
riak alun beriring-iring, bagaikan berlaksa pasukan kuda
berderap di medan perang.
Sekonyong-konyong terasa suatu benturan keras dan
perahupun bergoncang keras sekali. Beberapa awak kapal
menjerit dan kehilangan keseimbangan diri, terhuyung kian
kemari, tergelincir dan saling berbentur. Patih Dipa pun
terlempar ke belakang, membentur seorang awak perahu yang
berada ditepi geladak. Awak perahu itupun hilang
keseimbangan badan dan terlempar ke dalam laut. Kejut patih
Dipa bukan kepalang. "Tenang !" tiba2 ia menggelegarkan teriak keras kepada
awak kapal dan prajurit2 yang hiruk pikuk. Seketika siraplah
suara mereka. "Seorang awak perahu terjatuh kedalam laut,
lekas tolong" Seorang lelaki bertubuh kekar segera tampil dan memberi
perintah kepada beberapa awak perahu untuk mengambil
tambang. Mereka mengiring patih Dipa menuju ke haluan
perahu. Dalam keremangan sinar bulan remang dan bintang,
tampak sesosok tubuh bergeliatan menggerakkan kedua
tangannya. Tali segera dilemparkan ke arah orang itu.
Rupanya awak perahu itu sudah biasa berlayar pada malam
hari. Mereka tidak menghiraukan lagi keadaan saat itu. Dan
kebetulan pula, perahunya sudah tenang kembali. Tak berapa
lama, mereka mulai menarik tali itu. Sesaat kemudian tampak
awak perahu yang terlempar ke dalam laut itu dapat diangkat
naik keatas geladak pula.
"Engkau terluka?" tegur patih Dipa.
"Tidak gusti patih" sahut awak perahu itu.
"Maafkan" kata patih Dipa "karena terlempar oleh
goncangan perahu, aku telah membentur tubuhmu hingga
terlempar kedalarn laut"
Awak perahu itu tersipu-sipu memberi hormat dan
mengatakan bahwa hal itu suatu keadaan yang menimpa
dengan tiba2 dan sukar dihindari. Berpuluh awak perahu dan
prajurit yang mendengar pembicaraan itu, terkesiap dan
terkesan. Belum pernah selama ini, baik sebagai awak kapal
maupun sebagai prajurit, mereka mendengar seorang patih
yang memegang pimpinan tertinggi dari sebuah pasukan,
meminta maaf kepada seorang bawahannya, seorang awak
perahu biasa. "Gusti patih" lelaki bertubuh kekar yang ternyata menjadi
nakhoda kapal itu berkata, "peristiwa ini memang suatu hal
yang terjadi diluar persangkaan. Hamba rasa gusti tak perlu
meminta maaf kepada awak perahu kami"
Patih Dipa memandang nakhoda itu, "Hm, engkau salah.
Perbuatan membentur orang hingga orang itu terlempar ke
laut, adakah hal itu karena sesuatu yang tak terduga-duga
atau perbuatan yang tak sengaja maupun sengaja, tetapi
layaklah kalau aku minta maaf. Adakah engkau menganggap
bahwa orang yang lebih tinggi pangkatnya, tak layak meminta
maaf kepada orang sebawahannya walaupun dia berbuat
salah ?" Nakhoda perahu tergopoh menghaturkan kata, "Bukan
maksud hamba mengatakan begitu, gusti. Tetapi kita semua
telah menderita goncangan dahsyat sehingga kapal itu sampai
miring. Apa yang terjadi adalah diluar kehendak dan
kekuasaan kita semua"
Patih Dipa mengangguk. "Benar, engkau memang benar,
tapi tidak seluruhnya benar. Misalnya, engkau sedang berburu
di hutan, melihat seekor rusa lalu engkau lepaskan anakpanah
atau tombak. Rusa terkejut lari tetapi dari balik gerumbul
terdengar suara orang menjerit. Ternyata diluar pengetahuanmu, dibalik gerumbul itu terdapat seseorang yang
tengah mencari kayu. Engkau tak sengaja, bukan" Tetapi
adakah engkau bebas dari hukuman atas dalih tidak sengaja
atau lalai itu?" Nakhoda itu tertegun diam.
"Karena tak sengaja maka hukuman pun lain. Tetapi
tidaklah merobah sifat kesalahan itu. Apalagi dalam soal jiwa.
Demikian pula dengan perbuatanku tadi, hampir saja membuat
jiwanya melayang. Adakah suatu pernyataan maaf, engkau
anggap masih terlampau berat?"
Sekalian awak kapal dan prajurit tersentuh hatinya. Diam2
pula mereka menaruh rasa hormat dan kagum kepada patih
muda itu. "Tetapi apakah yang menyebabkan goncangan dahsyat
tadi?" tiba2 patih Dipa mengajukan pertanyaan kepada
nakhoda. Nakhoda itu menerangkan bahwa sekonyong konyong
didekat kapal mereka telah timbul seekor binatang besar yang
dengan kecepatan luar biasa hendak menerjang kapal.
Untunglah tidak mengenai, namun cukup membuat kapal
hampir terbalik. Kemungkinan seekor ikan raksasa, gusti
patih," nakhoda itu mengakhiri keterangannya.
Patih Dipa mengangguk dan meminta sekalian awak kapal
kembali ke tempat masing2. Kemudian ia sendiri tetap berjalan
memeriksa keadaan kapal. Tidak banyak kerusakan yang
diderita kapal itu, pun tak ada korban yang jatuh.
"Ternyata bukan melainkan di darat, pun di laut dan
dimana saja, bahaya itu selalu mungkin mengancam," kembali
patih Dipa melepaskan diri dalam renungan dikala ia duduk di
haluan kapal. "Terutama bahaya yang mengancam di lautan
itu, menyempit kesempatan untuk usaha penyelamatan. Di
darat, orang masih dapat lari bersembunyi. Tetapi di laut, tiada
lagi tempat untuk menghindar dari bahaya itu."
Renungan patih Dipa berkelanjutan lebih jauh dan tiba tiba
tersentaklah ia ketika terlintas suatu kenangan pada saat ia
mendengar wejangan paman brahmana Anuraga. "Dalam
perjuangan hidup ataupun memperjuangkan sesuatu cita2
hidup, mengemban tugas dan melaksanakan kewajiban,
bekalnya hanya kemauan dan senjatanya tekad Semisal
engkau diluncurkan ke laut dalam sebuah perahu, jangan
engkau mengandalkan harapan untuk mendapat pertolongan
tetapi lebih bermanfaat engkau pergunakan waktu, pikiran dan
tenagamu untuk berusaha mendayung perahu itu sampai ke
pantai" Ia teringat akan nasehat itu karena tepat saat itu ia berada
di tengah laut. Walaupun segala perlengkapan tersedia
lengkap, bukan sebagai seorang diri yang dinaikkan dalam
sebuah perahu tanpa suatu kelengkapan apa2, namun
keadaannya sama. Sama di tengah laut, sama harus berjuang
melintasi ombak. Apabila sama hakekat keadaannya, tentulah
harus sama pula sifat juangnya. *
"Tugas telah diturunkan baginda, harus kulaksanakan
dengan cara juang 'tiada ujung kembali". Tak boleh aku
kembali ke Majapahit, mengharap bantuan, lebih tidak boleh
menghaturkan kekalahan" patih Dipa merenung, "pemilihan
baginda atas diriku merupakan suatu kepercayaan.
Kepercayaan itu suatu kehormatan yang berisi tanggung
jawab. Kehormatanku adalah jiwa, tanggung jawabkupun jiwa.
Hilang kepercayaan, hilang jiwa. Lebih baik hilang jiwa
daripada bilang kepercayaan"
Dalam melaksanakan kesemuanya itu, tiada yang dapat
dan harus diandalkan kecuali kekuatan diri sendiri. "Mengapa
aku harus was-was?" serentak ia tersentak menerima
pertanyaan dalam renungannya, "ibarat sudah berada dalam
sebuah perahu di tengah samudera, mengapa aku harus
cemas dan gelisah. Bukan waswas atau cemas yang dapat
menyelesaikan kesukaran, tetapi hanya kepercayaan pada
kekuatan diri sendiri untuk berusaha dan berjuang, akan dapat
menundukkan keganasan gelombang dan membawa perahu
itu ke pantai tujuan."
Percikan renung itu telah membangkitkan kepercayaan
pada kekuatan diri sendiri. Selekas kepercayaan timbul,
hilanglah rasa was-was dan cemas dalam hati patih Dipa.
Setelah lama terbenam dalam renungan, ia terkejut ketika
melihat cakrawala sebelah timur merekah terang. "Ah,
matahari menjelang terbit" katanya. Dan iapun ayunkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah menuju ke ruang peristirahatannya. Sebelum
menuruni tangga, sejenak ia lepaskan pandang ke arah sinar
merekah dibelah timur. Tiba2 ia terhentak. Ada sesuatu yang
cepat menghuni dalam benaknya. Jauh diujung kaki cakrawala
tampak membujur gunduk2 benda hitam yang rangkai
berangkai, bagaikan rangkaian ratna mutu manikam diatas
alas permadani biru. Sesaat patih Dipa hentikan langkah dan memanggil
seorang awak perahu yang berjaga di dekat. "Apakah gunduk2
hitam itu?" "Pulau2, gusti patih" kata awak perahu, "dan setelah itu
akan terlihat gunduk pulau yang besar"
"Pulau Bali?" tanya patih Dipa. Dan awak perahu itu
mengiakan. Keterangan itu menimbulkan sesuatu dalam
benak pauh Dipa. Ia tak langsung turun ke bawah melainkan
berputar tubuh dan menghampiri ke buritan perahu. Tegak
berdiri memegang tiang pasak yang berada di depan, kepala
patih itu meregang tegak, pandang matanya melontar jauh
seolah menelungkupi penjuru laut yang luas. Terpercik dalam
hati patih itu, bahwa sesungguhnya nuswantara itu suatu
daerah yang amat luas, bukan melainkan Jawa-dwipa, pun
terdiri dari berpuluh, mungkin beribu, gugusan pulau besar
kecil. Seketika timbul kegairahannya untuk menjelajah lautan,
meninjau dan mengetahui betapa luas nuswantara itu.
Sudah sering patih Dipa, baik sejak masih seorang
pemuda kelana, maupun setelah masuk menjadi prajurit, bekel
bhayangkara dan terakhir patih, meluapkan cita2 hidupnya
untuk mempersatukan nuswantara dalam suatu wadah negara
Majapahit. Saat itu ia belum tahu betapakah luas nuswantara
yang dibayangkan itu. Kini setelah pertama memimpin armada
kerajaan melintasi lautan, melihat dan mengetahui keadaan
nuswantara dengan gugusan2 pulau, makin bersemilah gelora
semangatnya untuk menumbuhkan benih cita citanya itu.
Semalam suntuk patih Dipa hanya tidur dalam renungan.
Ia memerintahkan supaya iring-iringan kapal berlayar
menyusur pantai Bali karena ia ingin tahu letak dan keadaan
pulau Bali. Melalui jawaban dari pertanyaan yang diajukan
kepada anak kapal, dapatlah ia mempelajari letak kerajaan
Bedulu dan beberapa bandar disepanjang pulau Bali sebelah
selatan. Dipelajarinya letak2 tempat itu dengan seksama.
Kemudian ia mengambil keputusan untuk mendarat di dua
tempat. "Usahakan supaya fajar esok kita sudah mendarat di Kuta"
ia segera memberi perintah kepada nakhoda kapal.
Pada saat fajar menyingsing, lima buah perahu besar
berlabuh di pantai Kuta. Sebelum turun kedarat, maka
diundangnyalah Arya Damar sebagai pimpinan prajurit
Sriwijaya ke kapal panglima.
"Raden" kata patih Dipa setelah berhadapan dengan Arya
Damar, "kita pecah pasukan kita di dua tempat. Raden
bersama pasukan Sriwijaya mendarat di Kuta dan aku akan
membawa pasukan Majapahit ke Gianyar"
Arya Damar kerutkan dahi. "Mengapa ki patih
merencanakan demikian " Bukankah pasukan kita akan
terpecah belah kekuatannya?"
"Titah narpati adalah untuk mengundang raja Bedulu
menghaturkan sembah ke pura Majapahit" menerangkan patih
Dipa "dan pada tujuan utama, hanyalah untuk membangun
kembali kekuasaan Majapahit di kerajaan Bali. Oleh karena
itu, langkah pertama kita harus datang dengan membawa
kedamaian dan sikap bersahabat. Namun apabila raja Bedulu
tetap berkeras kepala, barulah kita bertindak keras juga"
"Tetapi sudah jelas bahwa raja Bedulu itu telah
menunjukkan sikap tak mau tunduk pada kekuasaan
Majapahit. Mengapa tidak sekaligus kita genangi dan banjiri
tanah-tanah kerajaan mereka dengan pasukan yang besar?"
kata Arya Damar. Patih Dipa menjawab, "Untuk bertindak keras, adalah
mudah karena kita memang sudah dibekali dengan pasukan
yang kuat. Tetapi dalam peperangan, baik yang menang
maupun yang kalah, tentu akan menderita korban jiwa.
Mengalahkan kerajaan Bedulu, belum tentu dapat menjamin
dapat menundukkan hati mereka. Adalah suatu siasat yang
paling indah, apabila kita dapat memenangkan peperangan
tanpa menumpahkan darah, merebut hati raja Bedulu tanpa
melukai hati rakyat Bedulu. Ngluruk tanpa prajurit, menang
tanpa perang" "Cita2 yang muluk, ki patih" kata Arya Damar setengah
mengejek, "tetapi sukar dalam pelaksanaannya"
"Justeru sukar itulah letak nilainya, raden Damar," kata
patih Dipa, "sebelum kita mencobanya, tentulah kita belum
dapat mengatakan apa dan betapa yang disebut sukar itu."
"Apakah rencana itu sudah menjadi keputusan ki patih?"
"Ya" sahut patih Dipa tanpa ragu2.
"Lalu bagaimana rencana ki patih selanjutnya?"" tanya
Arya Damar pula. Patih Dipa menguraikan rencananya. "Baiklah raden
bersama pasukan mendarat di Kuta. Kirimlah pengalasan
untuk mengadakan hubungan dengan pasukan kita di Gianyar.
Apabila aku sudah berhasil memberi penerangan kepada raja
Bedulu hingga raja mau kita ajak menghadap baginda di pura
Mijapahit, aku akan singgah di Kuta dan kita berlayar pulang.
Tetapi andaikata gagal dan peperangan tak dapat ditolak lagi,
maka raden boleh menggerakkan pasukan untuk menyerang
Bedulu" Arya Damar mengangguk. "Ada sedikit hal yang perlu kuhaturkan kepada raden"
pada saat mengantar Arya Damar kembali ke perahunya, patih
Dipa memberi pesan, "apabila sampai terjadi pertempuran,
sedapat mungkin hindarkan korban jiwa"
Arya Damar terkesiap. Memandang patih Dipa tetapi tak
berkata apa-apa lalu lanjutkan langkah menuju kembali ke
perahunya. Tiba di perahunya ia masih membawa kumandang
kata kata patih Dipa. Kemudian memantulkan pertanyaan.
"Aneh, mengapa dia mencegah aku supaya jangan
menimbulkan banyak korban" Tak mungkin dalam
peperangan takkan jatuh korban yang banyak, kecuali ada
salah satu fihak yang menyerah. Hm ...."
Ada sesuatu yang memercik dalam ingatannya. Ketika
mendengar berita tentang kedatangan prajurit dari Sriwijaya
yang dipimpin Arya Lembang, Arya Damar segera bergegas
menuju ke tempat kediaman Arya Kembar. Ternyata di situ
Arya Warak pun sudah hadir. Memang mereka merupakan
tiga serangkai pangeran dari Pamelekehan atau tanah Malayu
yang mendapat kedudukan tinggi dalam keraton Majapahit.
Dan seolah terikat oleh suatu naluri sekampung halaman,
mereka selalu bersekutu, berunding untuk mengambil
kesatuan langkah. Demikian mengenai kedatangan prajurit
Sriwijaya di Majapahit itu.
Arya Kembar, Arya Damar dan Arya Warak mengupas
tujuan pasukan Sriwijaya itu kemudian menentukan sikap
terhadap mereka. Setelah menguraikan tujuan pasukan
Sriwijaya ke Majapahit sebagaimana yang dihaturkan Arya
Lembang dihadapan baginda Jayanagara, maka berkatalah
Arya Kembar, "Sesungguhnya mudah sekali menimbulkan
kesan mengejutkan pada baginda dan seluruh narapraja
Majapahit. Pun alasan yang dikemukakan perutusan pasukan
Sriwijaya itu, mudah menyinggung kewibawaan baginda dan
kerajaan Majapahit."
Arya Damar mengiakan, "Benar, kakang Kembar, tetapi
kemungkinan eyang Demang Lebar Daun mempunyai
penilaian lain" Arya Kembar membeliak, bertanya melalui curahan sinar
matanya. Dan Arya Damar dapat menangkap. "Menurut
hematku, eyang Demang Lebar Daun telah menanam
kepercayaan kepada para putera Sriwijaya yang telah
menetap di pura Majapahit. Bahwa setelah bibi ratu Indreswari
diangkat sebagai sri tinuheng pura, kemudian puteranya
baginda Jayanagara yang sekarang ini diangkat sebagai
pewaris mahkota kerajaan Majapahit, maka iklim kekuasaan
sudah berobah." "O" desah Arya Kembar setelah dapat merabah apa yang
tersembul dalam ucapan Arya Damar.
"Di samping itu pula," lanjut Arya Damar, "adalah para
putera2 Sriwijaya yang berada di Majapahit itu, termasuk salah
satu dari tonggak harapan eyang Demang Lebar Daun."
"O" Arya Kembar mendesuh pula.
"Oleh karena itu maka beliau telah berani memperhitungkan untuk mengirim prajurit ke pura Majapahit"
"Adi Kembar" sanggah Arya Warak "beliau hanya
membuat perhitungan atas dasar bayangan. Tetapi beliau
belum meresapi kenyataannya. Dan pula pengiriman itu
seperti yang dikatakan kakang Arya Kembar tadi, mudah
menimbulkan rasa tak puas pada baginda dan seluruh kawula
Majapahit. Bukankah hal itu lebih banyak bahayanya daripada
manfaatnya?" Arya Damar mengangguk. "Benar. Tetapi apabila kita mau
merenungkan secara dalam, apabila perhitungan eyang
Demang Lebar Daun itu salah, maka kesalahannya terletak
pada penilaiannya terhadap diri kita. Eyang Demang Lebar
Daun telah menilai diri kita pada suatu tataran seperti yang
dibayangkan, tetapi ternyata kita dibawah tataran itu atau lebih
jelas kita tak dapat memenuhi harapan eyang Demang. Atau
lebih tandas pula, kita mengecewakan. Nah, disinilah kiranya
letak persoalan itu. Eyang Demang Lebar Daun yang salah
menilai kita atau kita yang salah mengecewakan harapan
eyang Demang." Arya Kembar dan Arya Warak terkesiap. Ulasan Arya
Damar itu dirasakan amat tajam sekali, sehingga dapat
mengupas isi yang tersembunyi daripada pengiriman pasukan
Sriwijaya ke Majapahit. Sesaat keduanya saling bersua
pandang. Kemudian pandang mata ketiga Arya itu saling bertemu
pula. Dan Arya Damar pun merasa harus memberi saluran
akan luapan kata2 yang diucapkannya tadi. "Oleh karena itu,
kakang Kembar dan kakang Warak, betapapun kedudukan
kita ini memang sudah mempunyai warna. Oleh narapraja dan
kawula para Majapahit, warna kita ini adalah warna Sriwijaya.
Betapa pun kita hendak mengatakan bahwa kita akan setya
kepada kerajaan Majapahit, mereka sudah tak mempunyai
kepercayaan terhadap diri kita. Dipihak eyang Demung Lebar
Daun kitapun sudah diberi warna hijau. Artinya warna dari
benih yang telah bersemi. Dengan demikian kita telah
mempunyai dua warna yang diberi oleh dua fihak. Dan
diantara kedua warna itu, yang satu jelas menganggap kita
sebagai warna yang menyilaukan pandang mata, menusuk
bola mata. Sedang yang lain merupakan warna yang
menyejukkan mata, menumbuhkan harapan ....."
"Pandai benar engkau merangkai kata kiasan, adi Damar"
cepat Arya Kembar menukas, "ya, kiranya aku sudah jelas apa
yang engkau kehendaki. Demikian kiranya adi Warak,
bakankah begitu, adi?"
Arya Warak mengiakan. "Yang penting sekarang kita harus
menentukan langkah bersama untuk menghadapi persoalan
pasukan Sriwijaya itu"
"Adi Damar" sambut pula Arya Kembar "dalam hal itu
bagaimana kiranya pendapatmu?"
Sebelum mulai bicara, Arya Damar mendeham, rupanya
kerongkongannya terekat oleh lidah yang mengering "Jika
diharuskan memilih, ingin menjadi gunduk karang yang dibenci
atau menjadi tumpu harapan, maka aku memilih menjadi
tumpu harapan. Dan sesungguhnya, betapa pun baik bekal
hati kita namun kehadiran kita di pura Majapahit itu memang
tak disukai oleh para narapraja kawula. Lebih2 kita mendapat
kedudukan penting dalam keraton. Dan berbicara soal
pengabdian, sudah tentu kita lebih harus mengabdi kepada
kerajaan dan tanah air kita daripada di rantau orang. Ini sudah
umum." "Tetapi adi Damar" tiba2 Arya Warak membantah "raden
Adityawarman tidaklah menampakkan sikap dan tindakan
seperti itu. Dia sangat setya dalam pengabdiannya kepada
Majapahit" "Hm, dia memang lain, kakang Warak" sahut Arya Damar
"dalam hal dirinya, aku memang kurang jelas. Kemungkinan
kakang Kembar tahu akan hal itu"
Kedua arya itu segera mencurah pandang ke arah Arya
Kembar. Arya Kembar meregang kepala. "Mengenai diri raden
Adityawarman, memang sukar kita nilai. Tetapi menurut
peadapatku, sekurang-kurangnya ada dua hal yang
membuatnya bersikap demikian"
Ia hentikan kata katanya untuk memperhatikan kesan dari
kedua kawannya. Tampak Arya Damar dan Arya Warak
mencurah perhatian. "Raden Adityawarman mempunyai latar
kehidupan yang berlainan dari kita. Dia masih mempunyai
hubungan darah dengan gusti ratu Indreswari atau masih
keluarga dekat dengan baginda Jayanagara. Karena baginda
Jayanagara tidak berputera, maka menurut adat, dialah putera
yang terdekat dan diangkat sebagai pengganti raja Majapahit.
Namun apabila tidak menjadi raja Majapahit, pun apabila ia
kembali ke tanah Malayu, ia akan menggantikan tahta
kerajaan ayahandanya di Darmasraya. Jatuh keatas, demikian
garis hidup raden Adityawarman. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bahwa dia dapat mengambil sikap dan
pendirian tersendiri dalam pengabdiannya terhadap kerajaan
Majapahit" Memang dalam kelompok yang disebut arya tanah
seberang itu, Adityawarman tidak ikut serta dan memang
takkan disertakan. "Kakang Kembar dan kakang Warak" kata Arya Damar
selanjutnya "rupanya persoalan ini telah menjadi persoalan
kita. Karena di luar kehendak dan rencana kita, kita sudah
dilibatkan dalam peristiwa kedatangan pasukan Sriwijaya itu.
Dan mau tak mau, kita harus menghadapi persoalan itu. "Arya
Kembar dan Arya Warak mengangguk. Ya" gumam Arya


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembar "sudah terlanjur basah, mengapa kita tak mandi
sekali. Rupanya baginda juga tak menyukai kedatangan
pasukan Sriwijaya itu maka baginda segera mengalihkan
mereka ke pulau Bali. Padahal, adi tentu tahu, bahwa para
adipati dipesisir tenggara, raja2 Bali, mulai mengunjuk sikap
tak puas kepada kerajaan Majapahit karena kehadiran kita
ditengah pusat pemerintahan. Dengan begitu jelas mereka
tentu tak suka dengan orang Sriwijaya. Tidakkah dapat kita
tafsirkan bahwa tindakan bagi nda itu tak lain hanya suatu
siasat untuk meminjam tangan orang Bali belaka?"
"Benar, kakang Kembar" sambut Arya Damar "tetapi
apabila hal itu benar merupakan siasat yang telah disiapkan
baginda, maka kitapun dapat menggunakan siasat itu untuk
menyiasati baginda" Arya Kembar dan Arya Warak terbeliak. "Apa maksud, adi
Damar?" tegur Arya Kembar.
"Kita misalkan, baginda memang mempunyai tujuan untuk
menghapus pasukan Sriwijaya dengan meminjam tangan
orang Bali. Baiklah, "kata Arya Damar, "itu memang suatu hal
yang amat menguntungkan pasukan Sriwijaya. Karena apabila
tiada suatu pahala, tentu sukar pasukan Sriwijaya itu dapat
menanam pengaruh di bumi Majapahit. Dengan memperoleh
pahala, tentulah tiada alasan lagi bagi baginda maupun
kerajaan Majapahit untuk menolak kehadiran pasukan
Sriwijaya di Majapahit. Kemenangan atas raja Bedulu, akan.
menempatkan pasukan Sriwijaya pada kedudukan yang
kokoh. Dan hal itu kakang Kembar dan kakang Warak, akan
merupakan sandaran yang kuat untuk menjelang kenaikan
kedudukan kita di pemerintahan Majapahit"
"O, engkau maksudkan, baginda telah khilaf dalam
perhitungannya?" ulang Arya Warak.
"Sudah tentu baginda akan menyangkal" kata A'ya Damar
"tetapi bagi kita, rencana baginda itu merupakan suatu
peluang besar" "Tetapi adi Damar" masih Arya Warak meragu,
"bagaimana apabila pasukan Sriwijaya sampai menderita
kekalahan?" Arya Damar tertawa, "Ah, jangan kakang Warak
mencemaskan hal itu. Percayalah, eyang Demang Lebar itu
seorang ahli negara dan senopati yang pandai, tak mungkin
beliau akan mengirim pasukan yang beranggautakan prajurit2
tak berguna. Dan dalam hal itu, agar apa yang kita harap tak
gagal, maka aku ingin mendapat kesempatan untuk memimpin
pasukan ke Bali itu"
Tiba2 Arya Warak terkesiap. "Kudengar baginda hendak
menunjuk patih Dipa dari Daha menjadi pimpinan pasukan ke
Bali itu" "Ya, memang benar" kata Arya Kembar "dalam hal itu,
tentulah ada sesuatu yang hendak dilakukan baginda.
Bukankah hal itu berarti baginda masih tak berkenan
melimpahkan kepercayaan penuh kepada kita?"
"Dan mengapa pula lurus mengangkat patih dari Daha
itu?" Arya Warak menyelutuk pula "bukankah patih itu dulu
bekas bekel bhayangkara keraton Majapahit ?"
Arya Kembar mengiakan. "Hm, jika demikian" kata Arya Warak pula "jelas baginda
lebih terpengaruh oleh kekuatiran akan meningkatnya
kekuasaan kita dalam pemerintahan, daripada soal keturunan
kasta. Bukankah patih Dipa itu berasal dari rakyat biasa"
Mengapa baginda mencurahkan kepercayaan sebesar itu
sehingga pimpinan pasukan kerajaan tidak diserahkan kepada
kita atau lain senopati di pura kerajaan, tetapi kepada patih
Dipa?" "Di situ makin tampak kecenderungan untuk menduga
bahwa bagi nda memang mempunyai maksud tertentu dalam
mengirimkan pasukan Sriwijaya ke Bali itu" sambut Arya
Damar. "Harus dicegah," seru Arya Kembar "tampaknya patih Dipa
itu makin lama makin menjulang kedudukannya. Apabila dia
naik pada puncak kekuasaan, kita tentu akan disingkirkan.
Oleh karera itu, jangan kita lepaskan kekuasaan kita dalam
pengiriman pasukan kerajaan ke Bali itu. Kita harus berusaha
untuk merebut pimpinan pasukan itu. Salah seorang dtantara
kita, atau adi Damar atau adi Warak"
Arya Warak mengangguk. "Bagaimana kalau kakang
Kembar sendiri ?" Arya Kembar menggeleng kepala, "Kali ini, aku akan tetap
berada di pura saja. Mengingat hubunganku yang dekat
dengan bibi ratu Indreswaii maka aku akan berusaha agar bibi
ratu dapat melimpahkan pengaruhnya, mencegah apabila
baginda hendak bertindak yaug tak menguntungkan pasukan
Sriwijaya" "Jika demikian baiklah adi Damar saja," seru Arya Warak
pula. Dan Arya Kembar pun mendukung. Dalam soal
berperang, Arya Damar memang mempunyai selera yang
besar. Selain ilmu kanuragan, iapun mempelajari juga tentang
gelar2 atau susunan ilmu mengatur barisan. "Jika kakang
berdua merestui akupun sanggup untuk menerima beban itu"
kata Arya Damar. Melalui Arya Kembar yang memohon kepada ratu
Indreswari, soal pimpinan pasukan kerajaan Majapahit yang
akan diberangkatkan ke Bedulu itu, telah dibicarakan ratu
Indreswari dengan baginda. Namun tidak seluruhnya berhasil.
Baginda meluluskan Arya Damar hanya sebagai pimpinan
pasukan Sriwijaya. Sedang pimpinan pasukan Majapahit tetap
diserahkan kepada patih Dipa.
Ratu Indreswari tahu akan perangai puteranya. Sebagai
seorang ibu, ia amat kasih sayang terhadap puteranya. Tetapi
sebagai seorang ibusuri, ia menghormati puteranya sebagai
seorang raja binatara. Ia seorang puteri yang pandai dan
bijaksana, tahu menempatkan diri. Itulah sebabnya maka
walaupun yang terakhir sendiri sebagai permaisuri, namun ia
dapat merebut kasih rahyang ramuhun Kertarajasa sehingga
kemudian diangkat sebagai sri tinuheng pura atau permaisuri
yang tertua. Baginda Jayanagara pun cukup bijaksana. Ia menempatkan kewajiban seorang putera terhadap seorang
ibu, sehingga ia menempatkan kedudukan seorang raja
dengan keluarga, urusan negara dengan urusan peribadi.
Dalam rangka pembicaraan dengan Arya Kembar dan
Arya Warak itulah maka Arya Damar merenung di perahunya
setelah ia kembali memenuhi undangan patih Dipa, "apabila
sampai pecah pertempuran, sedapat mungkin hindarilah
korban jiwa ...." mulutnya berbisik-bisik mengulang kata2 patih
Dipa. Hampir ia menerima pesan itu dalam hati tetapi tiba2
terpancarlah suatu percik sinar yang menyambar benaknya,
"ah, bagaimana mungkin dalam pertempuran akan
menghindari jatuhnya korban?"
Setiap hal yang terbentur dengan ketidak sesuaian pada
pikiran orang, tentu mudah menghamburkan sanggahan lebih
lanjut. Setelah mempunyai syak wasangka akan pesan patih
Dipa, maka berkelanjutan pula prasangka Arya Damar
mencurah, "tidakkah hal itu suatu maksud untuk
mempersempit ruang gerakku, untuk memperkecil hasil
pasukan Sriwijaya?" Arya Damar meluapkan desuh manakala
penilaiannya tiba pada hal itu, "hm, patih itu memang
mempunyai nafsu besar untuk meraih ke puncak
pemerintahan. Ia tentu bernafsu sekali untuk memperoleh
pahala besar pengiriman pasukan kerajaan ke Bali ini agar ia
dapat masuk ke pura"
Makin menilai, makin meluaslah prasangka Arya Damar
terhadap diri patih Dipa. "Hm, apabila ia memiliki nafsu untuk
meraih kedudukan tinggi, memang dapat dimengerti. Setiap
orang tentu memiliki cita-cita sedemikian. Tetapi apabila dalam
melaksanakan cita-citanya itu dia merugikan kepentingan lain
orang, tentulah orang itu akan menentangnya. Kiranya tiada
lain tujuan yang tersembunyi dalam pesannya itu kecuali
hendak mempersulit kedudukanku sehingga apabila tugas
menundukkan raja Bedulu itu selesai, maka dialah yang
mendapat pahala besar sedang aku akan dipaksa menggigit
jari melihat prajurit2 Sriwijaya dititahkan angkat kaki dari
Majapahit" Setiap pikiran yang sudah dikuasai prasangka buruk, tentu
akan menimbulkan suatu rasa tidak puas dan melahirkan
sikap yang menentang. Demikian dengan Arya Damar. Ia tak
puas dengan ucapan patih Dipa dan diam2 timbul dalam
pikirannya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
garis perintah panglima pasukan. Ia akan bertindak menurut
keadaan. Ia akan berjuang demi kepentingan pasukan
Sriwjaya. Arya Lembang diundang datang. Keduanya
berunding mengenai langkah2 yang akan diambil manakala
mereka sudah mendarat di Kuta.
Keesokan pada hari kedua setelah peristiwa itu, maka
berlabuhlah iring-iringan armada Majapahit di bandar Kuta.
Bandar itu termasuk telatah kekuasaan kerajaan Bedulu. Raja
Bedulu telah menempatkan seorang nayaka bernama Sugriwa
sebagai penguasa bandar Kuta.
Kedatangan pasukan Majapahit telah menimbulkan
kegemparan di Kuta. Tetapi berkat kebijaksanaan patih Dipa
dapatlah lurah Sugriwa menerima dengan sikap bersahabat.
"Kedatangan kami, ki lurah," kata patih Dipa "tiada bermaksud
lain kecuali hendak membawa amanat keselamatan dari
baginda Majapahit kepada seluruh rakyat Bali. Karena
sesungguhnya hubungan antara kerajaan Bali dengan
kerajaan kami sudah berlangsung sejak jaman kerajaan
Panjalu" "O, semoja demikianlah yang akan direstukan dewata,
gusti patih" kata lurah Sugriwa. Kemudian ia menyatakan
bahwa dirinya hanya sebagai orang bawahan raja Bedulu
yang ditugaskan menjaga keamanan bandar Kuta, "dalam hal
yang gusti patih titahkan itu, hendaknya gusti patih
menghadap baginda raja kami"
Patih Dipa mengatakan bahwa memang tujuannya hendak
menghadap baginda di Bedulu akan tetapi karena menderita
kerusakan perahu maka terpaksalah sebagian dari rombongan
kami akan singgah di sini dan sebagian akan melanjutkan
berlayar ke Gianyar untuk menghadap baginda di Bedulu."
Lurah Sugriwa terkesiap, mengangguk dalam keraguan.
"Gusti patih" katanya "suatu kehormatan bagi bandar Kuta
untuk menerima kunjungan dari perutusan kerajaan Majapahit.
Tetapi terpaksa hamba harus minta maaf kehadapan gusti
patih karena hamba merasa telah lalai mempersiapkan
penyambutan sehingga dalam waktu yang sesingkat ini,
hamba tak mampu menyediakan tempat peristirahatan bagi
rombongan gusti patih"
Patih Dipa merenung. Memang benar kata lurah itu.
Kedatangannya di Kuta, tanpa memberitahukan lebih dulu.
Padahal jumlah prajurit Sriwijaya yang ikut dalam perjalanan
ke Bali itu tak kurang dari dua puluh ribu orang. Untuk
memberi tempat pada sekian banyak orang, tentu harus
membangun suatu perumahan yang besar.
"Gusti patih" cepat lurah Sugriwa menyusuli kata2 "bukan
maksud hamba hendak mengatakan bahwa hamba tak
sanggup menerima kunjungan prajurit2 rombongan gusti patih.
Tetapi hamba maksudkan tak dapat menyediakan tempat
yang layak bagi rombongan gusti patih. Namun hamba akan
berusaha untuk memindahkan para penduduk ke sebuah
tempat penampungan sementara, kalau perlu ke candi2 dan
rumah suci, agar rumah2 mereka dapat ditempati prajurit2
tuan" Patih Dipa terkejut. Ia tak mengharapkan hal itu. Ia tak
ingin mengganggu kemenangan para penduduk karena hal itu
akan menimbulkan kesan tak baik Dan ia memang mengakui
bahwa lurah itu tak bersalah. Maka buru2 ia berkata, "Ki lurah,
sungguh mengharukan sekali kesungguhan ki lurah untuk
menyambut kedatangan kami. Dalam hal ini, memang kamilah
yang bersalah karena sebelumnya tak memberitahu lebih
dahulu kepada ki lurah. Oleh karena sifatnya hanya sementara
waktu, maka biarlah pada malam hari mereka tidur di dalam
perahu." Lurah Sugriwa terkejut dan berkeras meminta agar
prajurit2 Majapahit itu beristirahat di daratan. Tetapi patih Dipa
pun tetap menolak karena tak mau mengganggu ketenangan
penduduk. Akhirnya diputuskan, bahwa beberapa orang
pimpinan pasukan supaya menginap di tempat lurah Sugriwa.
Sedang anakbuahnya tidur di perahu.
Demikian setelah menginap semalam, patih Dipa
membawa pasukan Majapahit melanjutkan berlayar ke
Gianyar. Iring-iringan perahu pasukan Majapahit berlabuh di
muara sungai Pakerisan, kemudian rombongan patih Dipa
menuja ke Gianyar. Tak beda dengan lurah Kuta, pun lurah Gianyar terkejut
mendengar warta kedatangan pasukan dari Majapahit itu.
Segera ia mempersiapkan seluruh rakyat Gianyar untuk
bersiap menyambut. Kedatangan patih Dipa diterima dalam upacara adat
yang meriah. Lurah Gianyar
hendak menghormati perutusan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang patih. Kesan pertama yang dirasakan patih Dipa adalah
bahwa penyambutan yang penuh kehormatan itu juga
mengandung suatu pernyataan bahwa rakyat Gianyar benar2 bersatu dan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taat akan lurah pimpinan mereka. Dan bahwasanya segala
upacara adat yang diperlengkapi dengan barisan bersenjata
tombak dan keris, merupakan suatu pernyataan betapa kokoh
kekuatan mereka untuk mempertahankan keselamatan tempat
kediamannya. Namun patih Dipa bukan orang yang gemar berprasangka
buruk. Ia menganggap hal itu sudah menjadi hak dan
kewajiban mereka yang layak dalam setiap menerima
kunjungan utusan mancanagara.
Dengan sikap yang penuh bersahabat, patih Dipa
menjelaskan tentang kunjungannya ke Gianyar. Rupanya
lurah Gianyar tertarik akan peribadi patih itu. Selain terkejut
karena patih yang ditugaskan kerajaan Majapahit itu ternyata
seorang yang masih muda, pun lurah itu amat terkesan atas
rangkaian kata yang diucapkan dengan lancar dan tegas oleh
patih itu. Rombongan patih Dipa dijamu dengan penuh kehormatan
oleh lurah Gianyar. Sesungguhnya ada sesuatu yang
dirasakan aneh oleh lurah itu. Dalam hati kecil, ia tak
menyukai akan maksud kunjungan perutusan Majapahit itu ke
Bedulu. Namun ia tak kuasa untuk menahan rasa kagum dan
perindahannya terhadap peribadi patih Majapahit itu.
Betapapun ia tak dapat meluapkan sesuatu yang mengendap
dalam hati kecilnya itu. Patih Dipa pun pandai menghormati tuan rumah. Dia tidak
menganggap bahwa lurah Gianyar itu lebih rendah
pangkatnya, melainkan didudukkannya sebagai tuan rumah
yang wajib dihormati. Lurah Gianyar terkejut setelah terlibat
dalam percakapan sehabis perjamuan, bahwa patih yang
semuda itu ternyata memiliki berbagai pengetahuan yang
cukup mengesankan. Bahkan dalam membicarakan soal
perkembangan agama Syiwa dan Budha di pulau Bali,
dapatlah patih Dipa memberikan pengarahan yang sesuai.
Pengetahuan tentang agama itu, pun membuat lurah Gianyar
yang sudah setengah baya umurnya, tak habis memuji dalam
hati. Adalah karena mendapat penampung percakapan yang
mencocoki hati, lupalah lurah itu akan menyelidiki maksud
yang sebenarnya dari kunjungan perutusan Majapahit. Ia lebih
banyak melibatkan tetamunya dalam percakapan, mengenai
agama Syiwa dan Buddha. Tiada disadarinya bahwa malam
sudah kian larut. Malam itu lurah Gianyar meminta rombongan
patih Dipa menginap di tempat kediamannya.
Memang patih Dipa tidak berapa banyak membawa
rombongannya. Ia hanya membawa ketiga cucu dari empu
Kapakisan yakni Banyak Kawekas, Banyak Wukir dan Banyak
Ladrang, beserta empatpuluh prajurit pilihan. Gajah Para
diperintahkan supaya tinggal di perahu.
"Ki tumenggung" pesan patih Dipa "apabila dalam tiga hari
aku tak kembali, segeralah siapkan pasukan untuk menyusul
ke Bedulu." 0odw-mcho0 Apabila patih Dipa dan rombongan yang berada di Gianyar
bersiap-siap hendak melanjutkan perjalanan menghadap raja
di Bedulu, adalah di bandar Kuta telah terjadi peristiwa yang
menegangkan suasana. Arya Damar, Arya Lembang dan beberapa perwira serta
prajurit pengirirg berjumlah duapuluh orang menginap di
rumah lurah Sugriwa. Sedang prajurit2 yang lainnya, tinggal di
perahu. Walaupun kurang senang dalam hati, ketika menerima
pesan dari patih Dipa, bahwa hendaknya yang tinggal
didaratan hanya beberapa puluh orang saja sedang induk
pasukan supaya tetap berada di perahu, namun Arya Damar
harus mengakui bahwa petunjuk yang diberikan patih Dipa itu
memang tepat "Raden Damar" kata patih Dipa waktu itu, "usahakanlah
untuk menghilangkan kecurigaan orang Bali. Bersikaplah
ramah dan bersahabat dergan lurah Sugriwa. Rupanya dia
mempunyai pengaruh besar di kota ini. Jika diminta tinggal di
rumah lurah itu, raden cukup bersiap dengan dua tiga puluh
prajurit pilihan. Sisanya supaya tetap tinggal di perahu.
Penjagaan perahu kita supaya dijaga ketat jangan sampai
terjadi sesuatu yang tak diharapkan"
"Sudah tentu, ki patih" sahut Arya Damar dengan nada
agak tinggi, "prajurit2 Sriwijaya sudah terlatih baik untuk
menjaga armadanya. Dan kecuali bersikap sahabat dengan
lurah Sugriwa, akupun akan mengadakan penyelidikan
tentang keadaan mereka, baik kekuatan mereka maupun
tempat2 yang penting di bandar ini"
"Bagus raden" patih Dipa memuji sejujurnya, "tetapi yang
penting janganlah menimbulkan hal2 yang dapat mengganggu
suasana. Keluarkanlah titah untuk memberi peringatan keras
kepada prajurit raden, agar jangan bertindak di luar garis adat
penduduk sehingga dapat menimbulkan keonaran"
"Aku cukup tahu bagaimana harus menguasai anak
prajurit, ki patih" sahut Arya Damar dengan nada bangga.
Diam2 ia mencemoh patih Dipa. "Setelah mendengar betapa
luas dan tepat langkah yang hendak kuambil untuk menyelidiki
keadaan orang2 Kuta, barulah patih ini gugup dan bergegas
mengeluarkan perintah baru lagi, hm ....." ia mendengus dalam
hati. Demikian prasangka yang telah mencengkeram pikiran
Arya Damar sehingga ucap dan tindakan patih Dipa selalu
ditafsirkan menurut bayang prasangkanya.
Sekalipun begitu, Arya Damar mau juga melakukan pesan
patih Dipa karena diam2 ia mengakui bahwa hal itu memang
tepat. Ia menyadari betapapun kedatangan pasukan Majapahit
dan Sriwijaya itu adalah bermaksud hendak memanggil raja
Bedulu menghadap ke Majapahit. Sudah tentu mengandung
kemungkinan bahwa raja Bedulu akan menolak dan tindakan
paksa-pun tak dapat dihindari. Oleh karena itu inti kekuatan
pasukan dan perahu2 Sriwijaya harus dijaga keutuhannya.
Itulah sebabnya maka Arya Damar hanya menyertakan
duapuluh prajurit, untuk bermalam di rumah lurah Sugriwa.
Lurah Sugriwa mempunyai tiga orang putera. Yang sulung,
putera lelaki bernama Gede Puja, yang kedua juga lelaki
bernama Made Teja dan yang bungsu seorang anak
perempuan bernama ni Tari. Gede Puja mewakili ayahnya
mengerjakan pengawasan di bandar yang penuh dengan
perahu penangkap ikan. Made Teja, tak mau bekerja.
Kegemarannya hanya mengembara, mencari ilmu. Saat itu
diapun sedang berguru pada seorang resi dipura Ulu Atu,
sebuah kuil yang indah di atas sebuah bukit karang, terletak di
jasirah selatan dari bandar Kuta.
Ni Tari, bukan saja merupakan puspa kebanggaan
keluarga lurah Sugriwa, pun merupakan bunga sanjungan
rakyat Kuta, Kecantikannya yang cemerlang bagai burung
merpati terbang di siang hari, dilengkapi pula oleh berbagai
ilmu kepandaian kewanitaan. Dia mahir menguasai pekerjaan
rumah tangga, diapun pandai sekali dalam seni tari. Adatnya
tiada yang tercela, ramah dan halus tutur sapanya kepada
orang. Ramainya bandar Kuta dikunjungi orang, antara lain
karena keharuman bunga Tari yang mekar dan menyiarkan
keharuman sampai ke seluruh telatah Bedulu.
Secara kebetulan, pada hari kedua setelah pasukan
Sriwijaya datang maka berlangsunglah upacara Molis atau
upacara pemandian suci. Upacara itu diadakan di dua buah
tempat yakni di Kuta dan Sanur. Beribu rakyat dari luar dan
dalam kota Kuta, berbondong-bondong mandi di laut. Tua
muda, laki perempuan, besar kecil semua ikut serta dalam
upacara Molis itu. Hari itu Kuta benar2 tenggelam dalam keramaian.
Sesungguhnya, lurah Sugriwa amat prihatin dengan upacara
Molis kali itu karena di banda Kuta, tengah berlabuh beberapa
armada perahu Sriwijaya. Rupanya ia membicarakan juga hal
itu dengan Arya Damar dan panglima pasukan Sriwijaya itu
memberi kesanggupan untuk menyingkirkan perahu2 mereka
agar perayaan itu dapat berlangsung sebagaimana mestinya.
Memang Arya Damar telah menepati janji. Tetapi prajurit2
Sriwijaya itu sukar untuk dikuasai ketegangan hatinya. Mereka
adalah prajurit2 yang sudah lama meninggalkan kampung
negerinya. Sudah lama pula tidak turun ke darat. Mereka
adalah lelaki2 yang masih muda, bertenaga kuat. Melihat
gadis2 mandi di pantai laut, darah mereka mendebur keras.
Terutama apabila yang mandi itu adalah kelompok gadis dari
pedalaman dimana menurut adat kebanyakan masih berbuka
dada, prajurit2 itu seperti kehilangan semangat. Mata
merentang lebar2, terlongong-longong menganga.
Sudah lasim dalam suasana dimana orang berkelompok
dalam jumlah besar, terutama di kalangan anak muda, tentu
akan timbul sesuatu yang disebut iseng. Sesuatu yang
sesungguhnya tidak mempunyai arti lain daripada suatu luap
pernyataan keberanian atau kepahlawanan. Keberanian atau
kepahlawanan yang diada adakan menurut selera, lingkungan
hidup dan alam pikirannya.
Demikian pula dengan prajurit2 Sriwijaya itu. Di antara
mereka, terutama yang masih muda, timbul juga rasa ingin
mengunjukkan keberanian agar dipuji oleh kawan-kawannya.
"Tuan nayaka Sidempu" tiba2 seorang prajurit berpangkat
pratyaya atau perwira berkata kepada seorang lelaki muda
yang tengah tegak di buritan perahu memandang penuh
pesona akan pemandangan di tepi pantai dimana upacara
Molis sedang berlangsung. Rupanya pratyaya itu sempat
memperhatikan bahwa pandang mata atasannya tertuju
kearah sekelompok gadis2 yang sedang memandikan tubuh di
laut. Nayak'a, demikian pangkat dalam keprajuritan Sriwijaya
yang berada dibawah seorang senapati, yang bernama
Sidempu itu terkejut, "Engkau, pratyaya prajurit Sebuku" cepat
nayaka Sidempu berpaling "mengapa ?"
"Tuan" kata pratyaya Sebuku agak tersipu "ramai benar
upacara mandi di laut itu"
"Rupanya rakyat Bali memang masih taat akan upacara
adat agama Syiwa Buddha. Mereka mandi di laut untuk
membersihkan dosa2 yang melekat pada dirinya"
"Mereka masih lugu, tuan2," kata pratyaya Sebuku.
Nayaka Sidempu mengangguk, "Benar. Sungguh indah sekali
alam kehidupan di pulau ini ..."
"Tetapi kaum wanitanya lebih indah lagi, tuan," sambut
pratyaya Sebuku dengan cepat "sesungguhnya mereka
merupakan keindahan dari kewajaran ciptaan Hyang Widdhi,
tetapi ah ..." pratyaya itu menghela napas dan menelan air liur
di kerongkongannya. "Mengapa Sebuku ?" tegur nayaka Sidempu.
"Anakbuah tuan adalah prajurit2 perang. Tiap hari mereka
hanya berlatih baris, jarang mendapat kesempatan
menyaksikan peristiwa seperti itu, tuan."
"Lalu ?" nayaka Sidempu kerutkan kening.
"Tuan tentu dapat membayangkan sendiri, betapa deras
darah mereka mengalir" ia menunjuk pada prajurit2 yang tegak
berjajar di sepanjang geladak perahu "berbahaya sekali tuan
apabila membiarkan mereka menikmati pemandangan itu."
Nayaka Sidempu mengerut dahi. "Lalu, apakah aku harus
mengenyahkan mereka masuk ke bawah ruang perahu ?"
Pratyaya Sebuku gelengkan kepala, "Bukan, tuan, bukan
demikian yang kumaksudkan. Jika sebelumnya berlangsung
upacara itu, memang amat bijaksana apabila menitahkan
mereka bersembunyi dalam perahu. Tetapi kini sudah
terlanjur. Mereka sudah menikmati pemandangan yang
mempesonakan itu. Apabila mereka dilarang tentu akan timbul
peristiwa yang tak diinginkan. Dalam keadaan seperti mereka
saat ini, dimana darah kelakiannya merangsang, tentu mereka
akan nekad untuk mencari penyaluran. Dan selama hal itu
belum terpenuhi, pikiran dan semangat mereka tentu akan
merana tak keruan. Justetu pada saat ini pikiran dan
semangat mereka dibutuhkan untuk menghadapi kemungkinan pecahnya pertempuran manakala raja Bedulu
menolak titah raja Majapahit"
"Hm" desuh nayaka Sidempu. Ia tak mengatakan apa2 dan
hal itu ditafsirkan oleh pratyaya Sebuku sebagai suatu
persetujuan. "Oleh karena itu, baiklah tuan mengambil kebijaksaan,
bagaimana suasana yang bergejolak dalam hati prajurit2 kita
itu dapat teratasi" segera Sidempu menyusuli kata-katanya.
Memang nayaka Sidempu juga tak terluput dari keadaan
itu. Ia bagai terkena pesona dikala menyaksikan gadis2 yang
masih perawan, sama berbuka baju, menyunting bunga dan
mengurai rambut yang hitam legam, membenam diri dalam air.
Dada mereka yang padat berisi bagai buah yaug masih
ranum, betis yang menguning padi, merupakan daya tarik
yang seolah mencopotkan jantung para prajurit prajurit itu,
mereka terdiri dari lelaki2 muda dan kasar.
"Lalu bagaimana pendapatmu, Sebuku ?" Sidempu balas
bertanya. "Tuan" kata Sebuku yang rupanya memang pandai bicara
"dalam soal ini baiklah tuan lepaskan tangan. Artinya, jangan
tuan ikut campur agar tidak mendapat teguran dari senapati
Arya Lembang. Baiklah hal itu dialihkan akan diri mereka,
tanggung jawab mereka sendiri"
Nayaka Sidempu mencurah pandang kepada orang
bawahannya. Dan Sebuku pun cepat menjelaskan
"Begini, tuan. Baiklah tuan masuk kedalam ruang perahu
dan aku lah yang akan menghadapi mereka. Dengan suatu
cara untuk berlomba, dapatlah kusuruh mereka melakukan
sesuatu yang kurasa dapat memuaskan selera mereka"
Sidempu tiada mengutarakan keberatan. Dan memang
demikianlah setiap kali pratyaya Sebuku mengajukan
persoalan. Tentu telah diatur sedemikian rupa sehingga orang
atasannya itu menerima. Setelah Sidempu masuk maka pratyaya Sebuku segera
menghampiri kawanan prajurit yang sedang berkerumun di
geladak perahu. "Hai, prajurit2, apa yang kalian lihat sampai
sedemikian rupa itu ?"
Prajurit Rakata yang bertubuh kekar, menyahut, "Apalagi
kalau tidak sedang menikmati anak ayam mandi di kali"
Kawan-kawannya tertawa. Mereka tahu Rakata itu gemar
akan wanita. Setiap kali perahu berlabuh, dia tentu turun ke


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daratan untuk mencari wanita. Pandai pula ia menciptakan
istilah untuk mengiaskan seorang wanita, yang cantik maupun
yang jelek diberi istilah yang menarik, kadang lucu.
"Apa engkau tak pernah melihat orang mandi?" tegur
Sidempu pula. "Tiap hari" sahut prajurit Rakata "tetapi tidaklah seperti
yang ini. Aduh, rela umurku dikurangi setahun dua, asal dapat
ikut mandi dengan mereka"
"Mereka lebih suka mandi bergembira ria daripada harus
mengurangi umurmu dan mengidinkan engkau bersama
mereka" "Ho, anak ayam tak perlu ditanya. Mereka harus
ditangkap" sahut Rakata. Kembali kawan-kawannya tertawa
dan membenarkan. "Jangan main2 dengan ayam Bali" seru pratyaya Sebuku,
"jago2 Bali terkenal dengan tajinya yang tajam, Rakata"
"Ah, apa jago Bali " Mana mampu melawan jago
Palembang ?" "Rakata" kata Sebuku,
menginginkan gadis2 Bali itu ?"
"apakah engkau benar2 "Tiada seorang lelaki sehat yang mengatakan tidak ingin,
pratyaya" sahut Rakata "tidakkah engkau demikian juga. ki
Sebuku ?" "Aku sudah mempunyai anak isteri, Rakata"
"Uh, jangan memakai alasan anak isteri. Di rumah engkau
mempunyai anak isteri, tetapi disini, bukankah engkau,
seorang bujangan ?" "Ya" pratyaya Sebuku mengangkat bahu "tetapi aku dapat
menahan napsu, tidak seperti anak muda"
Rakata tertawa. "Menahan itu mengandung arti memaksa
diri, menyiksa pikiran. Mengapa harus berbuat begitu pratyaya
" Bukankah kita prajurit2 yang telah dikirim jauh ke tanah
Majapahit dan Bali " Bukankah setiap saat kita harus
menyabung nyawa" Bukankah kita tak tahu apakah kelak kita
dapat pulang kembali ke rumah dengan masih selamat " Nah,
dalam keadaan hidup yang tak menentu itu, mengapa kita
harus menyiksa diri" Kita harus bersenang- senarg hari ini.
esok, lusa, jangan kita pikirkan. Karena apabila jiwapun sukar
diketahui masih menghuni dalam raga kita mengapa lain2 soal
harus kita risaukan sekarang ?"
"Benar, benar" seru beberapa prajurit yang lain.
Sebuku tertawa. Ia tak mau membantah setiap hal yang
telah menjadi pendiran orang banyak. "Baik lah" katanya
kemudian "lalu bagaimana maksudmu?"
"Andaikata tak takut melanggar peraturan" kata Rakata
"ingin saat ini aku loncat ke dalam laut dan berenang
menghampiri ke tempat bidadari2 itu"
"Kalau engkau dibebaskan dari peraturan, apakah engkau
mampu menghampiri mereka ?"
"Tentu" sahut Rakata seraya tegakkan kepala.
"Dan membawa kemari ?" Sebuku menambahkan.
"Sanggup" seru Rakata.
"Tidak begitu sederhana, kawan" kata pratyaya Sebuku
pula "engkau tahu saat ini di siang hari, apabila engkau
renangkan gadis itu kemari, jelas dia akan menjerit-jerit minta
tolong" "Lalu bagaimana maksudmu ?"
Sebuku tak lekas menjawab melainkan mendeham
sebentar. Setelah itu baru ia berkata, "Hai, kalian prajurit
Rakata, Borong dan Sijunjung. Dengarkan. Aku mempunyai
usul yang bagus. Jika kalian setuju, segera lakukan, jika tidak
setuju, hapuskan saja."
Beberapa prajurit segera beringsut mengerumuni pratyaya
Sebuku. Kata Sebuku, "Ambillah beberapa gadis Bali itu ke
perahu ini. Tetapi jangan sampai menimbulkan keributan.
Artinya jangan sampai diketahui orang. Nanti yang seorang,
kita berikan kepada nayaka Sidempu. Kita tentu akan
mendapat hadiah" "Tetapi apakah nayaka setuju atas tindakan itu?" tanya
prajurit Borong. "Ah, Borong" desuh Sebuku "jika kita minta idin, sudah
tentu dia menolak. Tetapi kita lakukan hal ini secara diam2.
Dan akulah yang bertanggung jawab. Nah, siapa diantara
kalian yang sanggup, boleh maju. Tetapi ingat, apabila gagal
sehingga menimbulkan keributan, berarti kalian tak dapat
memenuhi syarat dan akibatnya harus ditanggung sendiri"
Luapan rasa gembira mendengar kata2 pratyaya itu
segera menyusut ketika mendengar keterangan yang terakhir.
Beberapa prajurit yang sedianya hendak ajukan diri, terpaksa
harus mengekang napsu. Hanya beberapa prajurit saja yang
sanggup, yakni Rakata, Borong dan Sijunjung.
Ketiga prajurit itu segera diturunkan ke laut. Mereka
berenang menyelam sehingga tak tampak orangnya. Pelahanlahan mereka menghampiri ke tempat gadis mandi itu.
Hari Molis merupakan hari pemandian yang ramai sekali.
Beratus bahkan beribu orang datang ke Kuta untuk mandi di
laut, upacara mandi itu berlangsung sampai petang hari. Bagi
kaum tua, merupakan hari yang keramat dimana menjelang
masa keakhiran hidup, mereka sudah bersiap-siap
membersihkan diri dari lumpur kedosaan. Bagi yang setengah
tua, merupakan titik tolak dari suatu kehidupan baru yang
penuh harap akan menuju ke jalan yang suci dan terang.
Manusia Titisan Dewa 1 Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Pendekar Jembel 6
^