Pencarian

Manusia Titisan Dewa 1

Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa Bagian 1


MANUSIA TITISAN DEWA Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Manusia Titisan Dewa
128 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel SATU Senja baru saja turun. Bentangan langit se-
belah barat telah berubah warna menjadi merah
kekuningan. Bias panasnya sang mentari pelan-
pelan berganti udara dingin malam. Dan tak lama
kemudian, lengkung tipis sang rembulan tampak
menghias di tengah taburan gumintang yang
menghampar di angkasa.
Di depan sebuah gua batu seorang gadis
muda tampak duduk tercenung di atas sebuah
gundukan batu padas. Paras gadis ini cantik jelita, sepasang matanya bulat dan
tajam. Rambutnya
panjang sebahu, hidungnya mancung ditingkah
bibir yang membentuk bagus dan merah tanpa
polesan. Dia mengenakan pakaian warna coklat
bergaris-garis.
Meski malam telah menjelang, sang gadis
tampaknya enggan meninggalkan tempat di mana
dia berada. Malah berulang kali kedua tangannya
bergerak mengusap wajahnya, lalu kedua tangan-
nya ditopangkan pada dagu dengan siku bersite-
kan pada kedua pahanya. Sepasang matanya yang
bulat tajam memandang lurus ke depan menem-
bus suasana yang mulai gelap pekat. Napasnya
berhembus dalam dan panjang-panjang. Semua
gerak-gerik gadis ini memberi isyarat bahwa saat
ini dia sedang dilanda satu kegelisahan, atau paling tidak ada sesuatu yang
membuat hatinya ke-
cewa. Mungkin karena pegal dan kesemutan, ak-
hirnya gadis muda itu campakkan kedua tangan-
nya, lalu berdiri dan melangkah mondar-mandir di
depan gua. Sepasang matanya menekuri batu-
batuan padas di bawahnya yang telah tampak
berwarna kehitaman.
Bosan dengan apa yang dilakukannya, se-
raya bantingkan kedua kakinya, gadis ini lantas
melesat masuk ke dalam gua.
Pada sebuah batu agak besar, sang gadis
duduk seraya sandarkan punggungnya. Kedua
tangannya sedekap sejajar dada, sepasang ma-
tanya memejam rapat. Dia mulai pusatkan mata
batinnya. Namun agaknya mata batinnya tak bisa
terpusat, karena sesaat kemudian sepasang ma-
tanya terbuka kembali, dan napasnya berhembus
panjang hingga bahunya berguncang.
"Sialan benar!" maki sang gadis dalam hati seraya luruskan pandangannya pada
mulut gua. "Sekian lama berdiam diri di tempat ini tak sekali-pun aku bisa melupakannya!
Mungkinkah ini sya-
rat bahwa aku benar-benar menyintainya" Waktu
aku berhasil bertemu dengannya terakhir kali, dia tampaknya acuh tak acuh.
Adakah aku bertepuk
sebelah tangan?" kedua tangan sang gadis kembali bergerak mengusap wajahnya,
lalu rapikan rambutnya yang menghalangi pandangan matanya.
Kepalanya menggeleng perlahan, sementara na-
pasnya berhembus panjang-panjang.
"Hmm.... Penyelidikan tentang siapa pem-
bunuh Guru belum dapat kutuntaskan, kini aku
dilanda gelisahan tentang pemuda itu. Apakah be-
nar yang dikatakan Kakang Pandu bahwa pemuda
itulah yang membunuh mendiang Guru" Jelek be-
tul nasibku. Aku tak dapat melupakan pemuda
yang diduga Kakang Pandu sebagai pembunuh
Guru itu!" sang gadis terus berkata sendiri dalam hati. Wajahnya semakin
menunjukkan kegelisahan
dan kebimbangan.
"Kakang Pandu.... Aku heran sekaligus me-
nyesal melihat perubahan pada dirimu! Adakah
perubahan itu karena kau telah memiliki ilmu
tinggi atau hanya karena pelampiasan rasa cem-
burumu" Seandainya kau bukan kakak sepergu-
ruanku, mungkin aku masih bisa mempertim-
bangkan pernyataan cintamu. Dan...," sertamerta gadis ini hentikan kata hatinya.
Sepasang matanya membeliak besar dan memandang lurus ke mulut
gua, karena saat itu terdengar siuran angin dan
sesosok bayangan tampak berkelebat menuju mu-
lut gua. Sang gadis cepat berdiri, sesaat rasa tegang
tampak menyelimuti dirinya. "Siapa dia..." Sekian lama berada di sini baru kali
ini aku kedatangan
orang...," gumamnya sambil tak berkesiap.
Weeerrr! Angin deras berdesir, dan bersamaan den-
gan itu tahu-tahu sesosok bayangan telah berdiri
di hadapan sang gadis.
Si gadis cepat geser bahunya menghindari
sambaran angin kedatangan orang. Dan darahnya
tersirap saat matanya memperhatikan orang di
hadapannya. Namun dia tak memperlihatkan rasa
takut, meski orang di hadapannya memiliki tam-
pang angker dan menakutkan. Malah dengan mata
tak berkedip dia menegur.
"Orang tak dikenal! Sebutkan siapa kau
adanya! Dan jangan berani berniat jahat jika ma-
sih sayang nyawa!"
Yang ditegur tak segera menjawab, malah
sepasang matanya balas menatap dan memperha-
tikan sang gadis. Orang ini adalah seorang laki-
laki bertubuh kurus tinggi. Kalau saja tidak berusia lanjut yang membuat
tubuhnya bungkuk,
mungkin kepalanya akan menyentuh langit-langit
gua. Sepasang matanya besar dan masuk dalam
rongga yang amat cekung. Paras wajahnya hampir
tak bisa dikenali karena kulit wajahnya amat tipis, hingga yang terlihat
hanyalah tonjolan-tonjolan tulang wajah. Bibirnya amat tebal, sementara alis
kedua matanya tampak kaku dan lurus ke depan
serta panjang. Rambutnya amat jarang serta men-
julai ke atas dan kaku. Laki-laki ini mengenakan
jubah besar dan panjang berwarna biru gelap. Pa-
da kepalanya tampak caping lebar dari kulit ber-
warna hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka
hingga rambutnya yang kaku bagai ijuk dan amat
jarang itu terlihat jelas.
Selain tampangnya seram ada keanehan
pada laki-laki berjubah biru ini yang membuat si
gadis tersurut hingga dua tindak ke belakang den-
gan mata melotot. Ternyata meski berdiri agak terbungkuk, sepasang kaki laki-
laki ini tidak terpancak di atas lantai gua! Sepasang kakinya berada
sejengkal di atas lantai gua!
"Siapa laki-laki tua ini" Aku belum pernah
mendengar ciri-ciri orang seperti dia dalam rimba
persilatan. Tapi siapa pun dia, yang pasti dia berilmu sangat tinggi. Dia mampu
menahan tubuh- nya di atas udara tanpa kerahkan tenaga dalam!
Hmmm.... Aku harus tahu apa tujuannya ke sini!
Meski siapa pun juga boleh mendiami gua ini!"
Namun si gadis tak segera bertanya, dia
seakan menunggu jawaban. Tapi setelah ditunggu
lama laki-laki di hadapannya tidak juga berkata,
dia kembali buka mulut.
"Orang tua! Harap kau sudi mengatakan
siapa kau adanya! Dan apa tujuanmu ke sini!" na-da ucapan si gadis agak lunak,
karena dia sadar
jika laki-laki di hadapannya bukanlah orang sem-
barangan, lagi pula dia tak menginginkan terja-
dinya masalah. Malah setelah berkata dia angguk-
kan sedikit kepalanya.
Untuk beberapa saat lamanya laki-laki di
hadapan sang gadis masih belum buka suara. Ba-
ru setelah si gadis hendak menegur kembali, laki-
laki berjubah biru buka mulut dan berkata.
"Anak gadis! Soal siapa diriku agaknya tidak terlalu penting, dan mengapa aku ke
sini itu juga bukan masalah," si laki-laki sejenak hentikan ucapannya. Sepasang
matanya menatap gadis di ha-
dapannya seakan ingin melihat sikap sang gadis
mendengar jawabannya. Dan tatkala dilihatnya si
gadis kernyitkan dahi, dia lanjutkan ucapannya.
"Anak gadis! Aku maklum jika kau tidak
kenal padaku. Namun aku tahu siapa kau adanya!
Bukankah kau gadis yang bernama Sakawuni" Sa-
lah seorang murid tokoh rimba persilatan Ageng
Panangkaran" Kau sedang dilanda kecewa dan ge-
lisah, kau memikirkan seseorang"!"
Berubahlah paras wajah si gadis, hatinya
berdebar-debar mendengar kata-kata laki-laki tua
di hadapannya. "Heran. Dia mengetahui diriku dan gelisa-
han hatiku! Siapa dia sebenarnya...?"
Mungkin karena tak mau apa yang sedang
melanda hatinya diketahui orang lain, si gadis
yang bukan lain memang Sakawuni, salah seorang
murid Ageng Panangkaran sunggingkan senyum
dan berkata. "Perihal kecewa dan gelisah tidaklah patut
ditanyakan, lagi pula itu adalah bukan urusanmu!
Kalau tidak ada hal lain sebaiknya kau tinggalkan aku sendirian!"
Laki-laki berjubah biru keluarkan tawa pe-
lan. "Kau pandai menyembunyikan sesuatu
meski sebenarnya batinmu sedang diamuk kecewa
berat pada seorang manusia bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108 serta kebimbangan masalah
kematian gurumu," laki-laki berjubah biru sejenak hentikan ucapannya, lalu
alihkan pandangannya
pada mulut gua.
"Ah, betul juga katamu tadi, ini bukan uru-
sanku, dan memang sebaiknya aku menuruti ka-
ta-katamu untuk meninggalkan tempat ini...," habis berkata begitu, laki-laki
berjubah biru balikkan tubuh hendak pergi, namun gerakannya tertahan
tatkala Sakawuni berseru.
"Orang tua, tunggu!"
"Ada yang hendak kau utarakan"!" kata la-
ki-laki berjubah biru tatkala ditunggu beberapa
saat tidak ada suara terdengar dari mulut Saka-
wuni. "Orang ini tahu banyak tentang aku dan masalah yang kuhadapi, tentunya dia
tahu juga tentang mendiang Guru Tak ada salahnya aku
menanyakan tentang kematian Guru...."
"Hatimu lebih banyak bicara daripada mu-
lutmu. Itu pertanda kau menyimpan beban berat!
Hmm.... Kalau tidak ada yang ingin kau ucapkan,
aku akan pergi!"
"Orang tua!" kata Sakawuni seraya melangkah maju dua tindak. "Ucap mu benar, aku
memang sedang bimbang memikirkan kematian gu-
ruku Ageng Panangkaran. Kalau kau mengenal-
nya, adakah kau tahu tentang siapa pembunuh-
nya?" Laki-laki berjubah biru balikkan tubuhnya menghadap Sakawuni. Sepasang
matanya menyapu liar ke ruangan gua, dan ketika matanya mena-
tap Sakawuni laki-laki ini anggukkan kepalanya.
"Aku memang kenal dengan tokoh rimba
persilatan yang sekaligus gurumu itu! Dan aku
pun tahu siapa pembunuhnya! Malah aku tahu
banyak tentang orang yang bergelar Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 dari mulai kecil hingga kini!"
Sakawuni terkejut besar mendengar perka-
taan orang tua di hadapannya. Apalagi tatkala
orang tua itu mengatakan tahu tentang Pendekar
108, orang yang tidak bisa dihilangkan dari ha-
tinya. "Orang tua! Harap kau sudi mengatakan
siapa yang membunuh Guru!"
Laki-laki berjubah biru dongakkan kepa-
lanya, dari mulutnya terdengar tawanya. Puas
dengan tawanya, dia lalu berkata.
"Sakawuni! Sebelum aku mengatakan siapa
pembunuh gurumu, aku ingin tanya dulu. Apakah
kau benar-benar ingin membunuh orang yang
membunuh gurumu?"
Mendengar pertanyaan itu, sepasang mata
Sakawuni membeliak besar. Dagunya sedikit men-
gembung, pelipis kiri kanannya bergerak-gerak
tanda hatinya diamuk gejolak amarah.
Melihat perubahan pada paras gadis di ha-
dapannya, laki-laki berjubah biru tertawa lebar.
"Perubahan wajahmu memberi isyarat bahwa kau memang ingin membalas pada orang
yang membunuh gurumu. Bagus! Sekarang aku ingin tahu,
adakah kau masih menaruh harapan bahwa ma-
nusia bergelar Pendekar Mata Keranjang akan
membalas perasaan hatimu?"
Paras Sakawuni berubah lagi. Kini merah
mengelam dan cepat berpaling pada jurusan lain.
"Ke mana arah pembicaraan orang tua ini"
Aku belum mengerti apa yang dimaksud dengan
mempertanyakan tentang Pendekar 108 segala....


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana aku harus mengatakannya" Apakah
perasaanku harus ku utarakan juga?"
"Sakawuni, kau dengar pertanyaanku..."!"
tegur laki-laki berjubah biru saat yang ditanya tidak segera menjawab, bahkan
palingkan wajah.
Sakawuni menghela napas dalam-dalam.
"Orang tua! Apakah pertanyaanmu itu juga ada
kaitannya dengan kematian Ageng Panangkaran"!"
"Kau belum jawab pertanyaanku!" ujar laki-laki berjubah biru.
"Sialan betul! Sebenarnya tabu mengatakan
perasaan hati pada orang yang baru dikenal, tapi
apa hendak dikata. Aku punya dugaan bahwa
Pendekar Mata Keranjang ada kaitannya dengan
kematian guru jika orang tua ini menanyakan-
nya...," Sakawuni lantas berkata.
"Orang tua! Mengungkap perasaan hati pa-
da orang lain apalagi pada orang yang belum dike-
tahui siapa namanya sebenarnya sangat tidak bi-
jaksana. Namun jika hal itu ada hubungannya
dengan kematian guru, aku terpaksa harus men-
gatakannya!"
"Bagus! Berarti kau tidak mementingkan di-
ri sendiri, dan keinginanmu untuk mencari siapa
pembunuh gurumu memang sungguh-sungguh!
Sekarang katakan apa yang ada di benakmu ten-
tang Pendekar 108!"
Sejenak Sakawuni terdiam. Meski baru saja
mengatakan hendak mengutarakan perasaan ha-
tinya, namun gadis ini masih terlihat bimbang dan berat. Hal ini tampaknya bisa
dibaca oleh laki-laki tua di hadapannya.
"Sakawuni! Waktuku tidak banyak. Kalau
kau masih menimbang-nimbang aku tak bisa lagi
menunggu! Dan itu berarti kau harus bisa me-
nyingkap sendiri siapa pembunuh gurumu! Suatu
pekerjaan yang memerlukan perjalanan panjang
dan menguras tenaga!"
Sakawuni hadapkan wajahnya pada orang
tua di hadapannya, setelah menarik napas pan-
jang dia berkata.
"Orang tua! Aku memang menaruh hati pa-
da pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang
108. Tapi hanya sebatas itu, soal nanti kesam-
paian apa tidak aku tak pernah memikirkan hing-
ga sampai sejauh itu, karena semua itu ada yang
telah mengaturnya!"
Orang tua di hadapan Sakawuni anggukkan
kepalanya. Sepasang matanya memandang lekat-
lekat pada gadis di hadapannya.
"Orang tua! Aku telah jawab pertanyaanmu,
sekarang kau harus mengatakan siapa pembunuh
Ki Ageng Panangkaran!"
Laki-laki berjubah biru tertawa pendek. Ke-
palanya menggeleng perlahan, membuat Sakawuni
kernyitkan dahi dan melotot. Dia menduga orang
tua di hadapannya telah menipunya. Dalam hati
diam-diam dia berkata.
"Kalau dia menipuku dengan tak mau men-
gatakan siapa pembunuh Ki Ageng Panangkaran
aku tak akan tinggal diam, meski aku tahu dia
adalah seorang berkepandaian sangat tinggi...!"
"Sakawuni!" kata orang tua berjubah biru.
"Pertanyaan yang harus kau jawab tinggal satu la-gi. Dan kau jangan terbawa
perasaan. Aku akan
mengatakan siapa pembunuh Ageng Panangka-
ran!" "Orang tua!" kata Sakawuni dengan suara setengah berteriak. "Kau mengulur-
ulur waktu, apa kau sengaja mempermainkan diriku" Jangan
berharap bisa pergi dari sini sebelum kau menja-
wab pertanyaanku!"
"Hmm.... Anak ini tegar dan tak pandang
bulu! Aku menyukai sifatnya.... Anak demikian in-
ilah yang kucari untuk melaksanakan segala ren-
canaku!" diam-diam laki-laki berjubah biru berkata sendiri dalam hati. Lalu
berkata. "Sakawuni! Tadi sudah kukatakan, kau jan-
gan menuruti perasaan. Siapa pembunuh gurumu
pasti kukatakan padamu! Tapi jawab sekali lagi
pertanyaan terakhir ku!"
"Lekas katakan!" sahut Sakawuni seakan
tak sabar, meski dalam hati memaki habis-habisan
merasa dirinya diperas oleh pertanyaan yang sebe-
narnya tidak boleh diketahui orang lain.
"Apakah kau tetap akan melaksanakan
pembalasan atas kematian gurumu walau nan-
tinya hal itu bertentangan dengan hati nurani-
mu"!" berkata laki-laki berjubah biru seraya tengadahkan kepala.
Sakawuni beringsut mundur mendengar
pertanyaan orang tua. Hatinya berdegup kencang.
Dugaan bahwa Pendekar 108 ada kaitannya den-
gan kematian gurunya semakin besar. Namun hal
itu segera dibuangnya jauh-jauh. Dia berkesimpu-
lan tak mungkin Pendekar 108 membunuh gu-
runya, selain dia telah mengenal gurunya, dia juga tahu bahwa gurunya adalah
sahabat Eyang Selaksa dan Eyang Wong Agung, dan lebih-lebih tak ada
untungnya jika Pendekar 108 melakukan perbua-
tan keji itu! Untuk mencari kejelasan tentang arah uca-
pan laki-laki di hadapannya, Sakawuni ajukan
pertanyaan. "Orang tua! Aku belum mengerti apa mak-
sud ucapanmu!"
Laki-laki berjubah biru tertawa hingga tu-
buhnya naik turun mengikuti guncangan ba-
hunya. "Sakawuni! Perasaan cinta kadang-kadang membutakan mata dan hati, bahkan
bisa mengu-bah 'ya' menjadi 'tidak' dan sebaliknya! Perasaan cinta tak jarang
bisa menembus dinding setebal
apa pun, tapi tak jarang pula tidak bisa menang-
kap apa yang ada di depan matanya!" sejenak laki-laki itu hentikan kata-katanya,
lalu menyambung.
"Apakah kau mampu melakukan sesuatu yang
penghadangnya adalah perasaan cinta itu"!"
"Orang tua! Kau tak usah berpanjang lebar!
Katakan saja apa maksudmu sebenarnya!"
"Baik! Apakah kau akan tetap melakukan
pembalasan kematian gurumu jika nantinya si
pembunuh adalah orang yang kau cintai, setidak-
tidaknya kau mengharapkan dirinya"!"
Meski Sakawuni telah dapat menduga arah
pembicaraan orang, namun dahinya berkerut juga
saat mendengar perkataan orang di hadapannya.
Dan apa yang akan dikatakan laki-laki itu selan-
jutnya, Sakawuni telah dapat menebak. Namun ia
tak mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.
Dia pura-pura tidak tahu siapa orang yang hendak
dikatakan laki-laki berjubah biru. Dia luruskan
pandangan matanya dan berkata.
"Orang tua! Soal kematian Guru adalah sa-
tu masalah, sedangkan perasaan mengharapkan
seseorang adalah masalah lain. Meski aku belum
matang dalam hidup dan menjalani kehidupan,
namun aku bisa membedakan antara satu masa-
lah dengan masalah lainnya! Aku bisa memilah
mana kepentingan utama dan mana kepentingan
nomor dua! Kau mengerti maksudku bukan?" Sa-
kawuni balik bertanya.
"Begitu" Baik! Kuharap kau tidak hanya
bersilat lidah dan menepati apa yang kau
ucapkan!" "Lekas katakan siapa pembunuh guruku!"
ujar Sakawuni makin tak sabar.
Laki-laki berjubah biru anggukkan kepa-
lanya, lalu berkata.
"Kau tak usah terkejut, orang yang melepas
nyawa gurumu adalah manusia yang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108!"
Untuk kesekian kalinya, meski telah dapat
menduga siapa yang bakal dikatakan orang tua di
hadapannya, namun tak urung juga Sakawuni
membeliakkan sepasang matanya. Dadanya ber-
debar kencang. Dengan suara agak tinggi, dia be-
rucap. "Orang tua! Kau jangan menebar fitnah!
Mana mungkin orang yang gigih menegakkan ke-
benaran seperti dia melakukan perbuatan terku-
tuk membunuh orang yang telah dikenalnya, bah-
kan sahabat gurunya" Kau jangan mengada-ada
dengan menebar fitnah keji! "
Laki-laki berjubah biru tertawa bergelak-
gelak. "Sakawuni! Kata-kataku tadi menjadi ke-
nyataan bukan" Perasaan cinta kadang-kadang
membutakan mata dan hati! Bahkan tak bisa me-
nangkap sesuatu meski di depan matanya! Dan itu
berarti kau belum bisa menghitung mana yang
utama dan mana yang nomor dua!"
Di depan, Sakawuni terlihat buang muka,
dari hidungnya keluar dengusan keras. "Apakah mungkin Pendekar 108 melakukan hal
itu" Hm....
Orang ini belum kukenal bahkan namanya pun
belum kuketahui, apa aku bisa percaya pada
orang begitu" Tapi dia mengetahui banyak tentang
diriku. Meski aku belum percaya, mungkin orang
ini punya alasan tertentu dengan apa yang baru
dikatakannya."
"Orang tua! Kau belum menyebutkan siapa
dirimu, lantas apa seseorang bisa percaya begitu
saja pada omongan orang yang belum dikenal dan
diketahui namanya" Dan tentunya kau punya
bukti jika berani berkata Pendekar Mata Keranjang 108 adalah pembunuh Ki Ageng
Panangkaran!"
"Kau cerdik juga!" puji laki-laki berjubah bi-ru. "Kalau kau ingin tahu siapa
diriku, dengar baik-baik! Orang-orang rimba persilatan memang
jarang yang kenal diriku! Namun sebaliknya aku
hampir mengenal siapa-siapa tokoh rimba persila-
tan mulai Selaksa, Wong Agung, malah guru ke-
duanya, juga Dewi Kayangan, Dewi Bayang-
Bayang, Gongging Baladewa, Restu Canggir Ru-
mekso, Bawuk Raga Ginting, Dayang Naga Puspa,
Dadung Rantak, Ratu Pulau Merah sampai sauda-
ra seperguruanmu Pandu yang kini bergelar Gem-
bong Raja Muda, dan juga Pendekar Mata Keran-
jang 108!" laki-laki berjubah biru hentikan keterangannya sejenak, setelah
menarik napas dia me-
lanjutkan. "Orang rimba persilatan jarang yang men-
genal diriku, karena aku memang berusaha tak
memperkenalkan diri dan jarang keluar. Namun
hal itu kulakukan bukan karena aku takut meng-
hadapi orang. Justru aku memilih saat yang tepat
untuk muncul sekaligus membuat kegegeran!
Hanya kalau kau murid Ageng Panangkaran,
mungkin kau pernah dengar darinya tentang orang
yang bergelar Manusia Titisan Dewa! Hmm.... Itu-
lah aku!" Sakawuni serta-merta surutkan langkah se-
raya ternganga. Dia memang pernah mendengar
nama itu dari mendiang gurunya Ageng Panangka-
ran. Menurut yang didengar, orang yang bergelar
Manusia Titisan Dewa adalah seorang tokoh silat
berkepandaian sangat tinggi. Hanya beberapa
orang saja yang sanggup menyamai ketinggian il-
munya. Dia memang jarang muncul ke arena rim-
ba persilatan dan jalan pikirannya pun sulit untuk ditebak, karena kadang-kadang
berpihak pada orang-orang golongan putih namun tak jarang pula
berdiri di belakang orang-orang golongan hitam!
Bukan hanya jalan pikirannya yang sulit ditebak,
sifatnya pun sulit dimengerti, karena kadang-
kadang dia ringan tangan untuk membunuh meski
pada orang yang tidak membuat kesalahan, na-
mun sering juga membiarkan kepergian seseorang,
padahal orang tersebut nyata-nyata menginginkan
nyawanya! "Manusia Titisan Dewa! Aku memang per-
nah mendengar tentang dirimu dari mendiang
guru. Aku gembira sekali dapat bersua dengan to-
koh hebat sepertimu! Terimalah hormatku!" kata Sakawuni seraya tersenyum dan
anggukkan kepala.
Manusia Titisan Dewa tertawa melihat sikap
Sakawuni. "Bagus! Jadi aku tak perlu lagi menerang-
kan panjang lebar siapa diriku, cukup apa yang
kau dengar dari gurumu!"
Sakawuni gelengkan kepala perlahan. "Ma-
nusia Titisan Dewa! Apa yang kudengar dari men-
diang guru tak ada hubungannya dengan tudu-
hanmu terhadap Pendekar 108! Jadi bagaimana-
pun juga kau harus memberikan alasan atau bukti
hingga kau berani mengatakan bahwa pemuda itu-
lah yang membunuh Guru!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum agak si-
nis. Setelah keluarkan tawa pendek dia berkata.
"Menuduh tanpa alasan kuat bagiku lebih
kejam dari membunuh!"
"Hmm.... Jika demikian harap kau sudi
mengemukakan alasanmu!"
"Mendiang gurumu adalah seorang tokoh
rimba persilatan yang namanya sangat disegani.
Selain itu, mendiang gurumu adalah tokoh yang
banyak menyimpan rahasia! Kau tahu, karena
lembaran kulit dari gurumulah hingga kipas dan
kitab kedua ciptaan Empu Jaladara dapat ditemu-
kan. Dan masih banyak lagi rahasia yang disim-


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pannya yang dia tulis dalam sebuah buku."
"Lantas apa hubungannya dengan tudu-
hanmu"!" ujar Sakawuni sepertinya ingin langsung pada masalah.
"Karena gurumu banyak menyimpan raha-
sia, maka tak sedikit orang yang coba mencuri
bahkan membunuhnya demi bukunya itu. Dan di
antara orang-orang yang menginginkan adalah Se-
laksa dan Wong Agung! Mungkin karena dianggap
sebagai sahabat, gurumu memberikan lembaran
kulit itu, tapi bukunya tidak. Hal ini nampaknya
membuat mereka tidak puas. Entah mereka lantas
berniat melenyapkan Ageng Panangkaran, dan
mungkin karena sebagai sahabat, Selaksa dan
Wong Agung tidak berani melakukan sendiri. Me-
reka lalu memerintah muridnya si Pendekar 108
untuk melaksanakan niatan mereka!" Manusia Titisan Dewa batuk-batuk, lalu
melanjutkan kete-
rangannya. "Kau tentunya telah mendengar tentang ter-
sentaknya rimba persilatan dengan Arca Dewi
Bumi, benar?"
"Aku memang dengar tentang itu! Hmm....
Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Adakah kau juga telah dengar, bahwa arca
itu telah jatuh ke tangan si Pendekar Mata Keran-
jang?" Sakawuni terkejut. Ingatannya melayang pada pertemuan terakhirnya dengan
Pendekar 108. "Hmm.... Saat itu dia mengatakan sedang melaksanakan tugas berat. Bahkan
saat ku ajukan usul agar aku dijadikan teman dia menolak. Apa-
kah saat itu dia sedang memburu arca itu...?"
"Sakawuni! Kau tahu, rahasia tentang Arca
Dewi Bumi hanya diketahui oleh segelintir orang.
Kalau Pendekar Mata Keranjang 108 dapat menge-
tahui di mana beradanya serta berhasil menda-
patkan arca itu, kalau tidak dari buku tulisan gurumu dari mana lagi?"
Sakawuni sejenak terdiam dengan pikiran
menduga-duga. "Hmmm.... Apakah perubahan sikapnya ser-
ta penolakannya tatkala kuajak bersama-sama ka-
rena takut aku mengetahui perbuatannya...?" Jika ku hubung-hubungkan, apa yang
dikatakan Manusia Titisan Dewa ada juga benarnya...."
"Sakawuni!" kata Manusia Titisan Dewa
menyentak lamunan Sakawuni. "Alasan itu lebih kuat lagi setelah kudengar
Pendekar 108 kini bersekongkol dengan Dewi Kayangan dan Dewi
Bayang-Bayang!"
"Hmm.... Waktu terakhir bertemu, Pendekar
108 memang ditolong oleh Dewi Bayang-
Bayang...," kata Sakawuni dalam hati. Lalu berkata.
"Siapakah sebenarnya Dewi Kayangan dan
Dewi Bayang-Bayang itu"!"
"Mereka adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi
dari golongan orang sesat! Dan waktu muda dulu,
mereka adalah musuh besar mendiang gurumu
yang ada di jalur golongan putih!"
Sakawuni manggut-manggut. Namun paras
wajahnya jelas berubah. Air mukanya tampak me-
rah mengelam, sementara dagunya terangkat den-
gan pelipis bergerak-gerak mengisyaratkan kema-
rahan yang sedang melanda dadanya.
"Pendekar Mata Keranjang! Tak kusangka
jika kau manusia kejam durjana! Pertolonganmu
padaku mungkin hanya usahamu untuk menutupi
perbuatan kejimu! Jahanam keparat! Aku tak
akan tinggal diam, meski aku tahu kau adalah
manusia berilmu tinggi! Tunggulah!" hati Sakawuni telah dibakar rasa marah dan
kecewa. Di hadapannya, melihat perubahan pada di-
ri Sakawuni, Manusia Titisan Dewa tampak terse-
nyum. "Hmm.... Seorang perempuan jika telah dis-akiti akan berubah menjadi singa
lapar! Dan otak
warasnya tak mungkin bekerja dengan baik. Inilah
saatnya aku mulai melangkah....!"
DUA Manusia Titisan Dewa tengadahkan kepala,
sepasang matanya yang besar melirik pada Saka-
wuni yang masih tampak tercenung dengan piki-
rannya sendiri. Dengan suara perlahan dia lantas
berkata. "Sakawuni! Dari sepak-terjang Pendekar
108, apa masih terlintas keraguan di hatimu ten-
tang keterlibatan pemuda itu dalam kematian
Ageng Panangkaran?"
Sakawuni menarik napas dalam-dalam. Dia
ikut-ikutan tengadahkan kepala menatap langit-
langit gua, lalu dari mulutnya terdengar suara.
"Hal itu masih memerlukan penyelidikan le-
bih jauh, namun satu hal yang pasti, aku telah
memperoleh sebuah titik terang! Dan siapa pun
adanya orang yang membunuh guru, aku akan
membuat perhitungan dengannya!"
Manusia Titisan Dewa tertawa panjang,
hingga rambutnya yang kaku sesekali menyentuh
langit-langit gua. Hebatnya, begitu tersentuh rambut laki-laki ini, langit-
langit gua yang terdiri dari batu padas hitam itu sebagian rontok berguguran!
"Sakawuni! Sebagai sahabat dari mendiang
gurumu, aku sangat gembira sekali mendengar
ucapanmu namun juga merasa risau!"
Sakawuni kernyitkan kening. Kepalanya
bergerak lurus memandang lekat-lekat pada Ma-
nusia Titisan Dewa.
"Boleh aku tahu apa yang membuatmu ri-
sau,..?" Sakawuni ajukan pertanyaan.
"Kau mengatakan akan membuat perhitun-
gan dengan orang yang membunuh gurumu, lalu
apakah kau juga telah memperhitungkan kekua-
tan orang yang hendak kau hadapi" Ingat! Di bela-
kang orang yang membunuh gurumu, berdiri be-
berapa orang yang ilmunya tak bisa diperhitung-
kan!" Sakawuni tertawa perlahan. Pandangannya beralih pada mulut gua dan
menerobos kepekatan
malam di luarnya. Kedua tangannya terlihat men-
gepal sementara kedua matanya tajam berkilat-
kilat. "Manusia Titisan Dewa! Perjuangan memerlukan pengorbanan! Dan aku siap
untuk berkor- ban!" Tawa Manusia Titisan Dewa serta-merta meledak begitu mendengar ucapan
Sakawuni, membuat gadis berparas cantik ini palingkan wa-
jahnya dan berkata.
"Adakah yang lucu hingga kau tertawa begi-
tu rupa"!"
"Sakawuni! Ternyata kau masih terpenga-
ruh dengan kata-kata usang itu! Jika kau masih
berpendapat begitu, kau tak lebih hanya boneka
hidup yang memang pantas dijadikan tumbal tan-
pa berarti apa-apa! Sungguh malang nasib saha-
batku Ageng Panangkaran. Mempunyai murid
yang hanya bisa dan pantas dijadikan tumbal!
Tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi
mendiang gurunya!"
Paras wajah Sakawuni merah kelam, sepa-
sang matanya melotot besar menatap Manusia Ti-
tisan Dewa. Kedua telinganya laksana dibakar
mendengar kata-kata laki-laki tua di hadapannya.
"Manusia Titisan Dewa! Aku banyak ucap
terima kasih atas segala keterangan yang telah kau berikan, namun jangan sampai
hal itu lenyap begitu saja karena sinisnya kata-katamu!"
Manusia Titisan Dewa sunggingkan senyum
sinis. Tanpa lagi memandang pada Sakawuni dia
berkata. "Aku tak butuh ucapan terima kasih. Itu
semua kulakukan karena memandang mendiang
gurumu adalah sahabatku! Dan jika kau menilai
kata-kataku sinis, itu terserah padamu! Hanya sa-
tu hal yang perlu kau ketahui, semangat saja tidak
cukup untuk sebuah perjuangan! Apalagi perjuan-
gan pembalasan!"
Sakawuni terdiam. Ia coba mencerna kata-
kata yang baru saja diucapkan Manusia Titisan
Dewa. Dan diam-diam dalam hati dia membenar-
kan ucapan Manusia Titisan Dewa.
"Lantas apa yang harus kulakukan...?"
tanya Sakawuni pada akhirnya.
"Karena yang akan kau hadapi bukanlah
tokoh-tokoh sembarangan, maka jalan satu-
satunya adalah menambah ilmu! Aku tahu, kau
adalah gadis yang berilmu tidak cetek, namun
menghadapi tantangan di depanmu, kurasa ilmu-
mu masih tidak berarti apa-apa!"
Sakawuni gelengkan kepalanya, lalu berka-
ta dengan suara parau.
"Manusia Titisan Dewa! Dalam situasi di
mana rimba persilatan digemparkan dengan ber-
macam-macam hal yang membuat semua tokoh
ingin muncul, kurasa terlalu sulit untuk mencari
seorang guru. Atau.... Bagaimana kalau kau saja
yang kuangkat sebagai guruku?" kata Sakawuni memberanikan diri.
Manusia Titisan Dewa yang dipandangi Sa-
kawuni. Saat itulah tiba-tiba Sakawuni maju dua
tindak dan serta-merta berlutut di hadapan Manu-
sia Titisan Dewa. Dari mulutnya terdengar sua-
ranya yang mengharap.
"Demi sahabatmu Ageng Panangkaran, ku-
harap kau sudi mengangkat ku sebagai murid!"
Manusia Titisan Dewa terdiam hingga bebe-
rapa lama. Sepasang matanya mengawasi tubuh
Sakawuni yang kini berlutut dengan kepala ter-
tunduk. Bibirnya sunggingkan senyum.
"Sakawuni. Soal mengangkatmu sebagai
murid demi sahabat serta gurumu, itu soal gam-
pang. Yang sulit adalah apakah kau mampu men-
jadi muridku!"
"Yang kau maksud...?" tanya Sakawuni masih dengan wajah tertunduk.
"Aku tak mau kejadian yang menimpa mu-
ridku dahulu akan menimpamu pula! Ketahuilah,
aku dahulu pernah mempunyai seorang murid.
Namun pada akhirnya dia harus tewas di tangan-
ku sendiri, karena dia menolak perintahku! Apa-
kah kelak kau mampu menjalankan perintahku
meski perintah itu bertolak belakang dengan kein-
ginanmu" Karena aku tak mau mempunyai murid
yang menolak perintah gurunya!"
Mungkin karena merasa kecewa dan sakit
hati tentang Pendekar 108 maka tanpa pikir pan-
jang lagi Sakawuni langsung berkata.
"Hal yang menimpa muridmu, tak akan te-
rulang lagi padaku! Aku siap menjalankan segala
perintahmu! Dan siap pula mati jika menolak pe-
rintahmu!"
Manusia Titisan Dewa tertawa pelan men-
dengar ucapan Sakawuni.
"Mengucapkan memang lebih mudah dari-
pada melakukan, dan aku telah membuktikan hal
itu! Maka aku tidak akan lagi percaya pada uca-
pan! Kecuali disertai sumpah yang mengikat!"
Sakawuni kernyitkan keningnya. Diam-
diam dalam hati gadis cantik ini menggerutu pan-
jang pendek. Namun dia tak berani mengelua-
rkannya. "Baru Kali ini aku menemukan seorang
yang menyuruh angkat sumpah sebelum men-
gangkat seorang murid! Hmm.... Tapi apa hendak
dikata. Demi ketenangan Guru di alam baka sega-
lanya akan kulakukan...!" Sakawuni angkat kepalanya, lalu berkata.
"Manusia Titisan Dewa! Demi guruku Ageng
Panangkaran. Segala kemauanmu akan kuturuti!
Sekarang sumpah apa yang harus kulakukan, ka-
takan!" Manusia Titisan Dewa tersenyum, lalu berkata. "Angkat kedua tanganmu dan
buka meng- hadap ke depan!"
Meski masih dilanda tanda tanya, Sakawuni
mengikuti apa yang dikatakan Manusia Titisan
Dewa. Begitu tangannya telah diangkat, Manusia
Titisan Dewa ulurkan tangan kanannya. Tiba-tiba
tangan itu bergerak dan terdengar 'crasss' dua kali berturut-turut.
Sakawuni gigit bibirnya, karena telapak
tangannya terasa panas dan sepasang matanya
membeliak tatkala sesaat kemudian darah segar
terlihat menetes dari kedua telapak tangannya.
Begitu darah telah menetes, Manusia Titi-
san Dewa gerakkan jari telunjuknya di telapak
tangannya sendiri. Tahu-tahu telapak tangannya
telah pula mengeluarkan darah. Dan tiba-tiba tan-
gannya yang mengeluarkan darah ditakupkan pa-
da kedua tangan Sakawuni.
"Sakawuni! Mulai malam ini kau telah kua-
ngkat sebagai muridku! Kalau kau menolak segala
perintahku, darahmu akan ku alirkan dengan tan-
ganku sendiri!"
"Baik! Aku pun berjanji, jika aku menolak
perintahmu, aku rela mati di tanganmu!"
Untuk sekian lama kedua orang ini masih
saling takupkan tangan masing-masing, dan begi-
tu darah agak menyurut, Manusia Titisan Dewa
tarik tangannya dan berkata.
"Sakawuni! Tempat ini kurasa kurang aman
untuk mempelajari ilmu! Sekarang ikut aku!" habis berkata begitu, Manusia
Titisan Dewa balikkan tubuh dan berkelebat ke mulut gua.
Sakawuni buru-buru bangkit lalu menyusul
Manusia Titisan Dewa yang telah diangkatnya


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi guru. "Ayo!" kata Manusia Titisan Dewa begitu Sakawuni telah ada di belakangnya.
Manusia Titisan Dewa lantas berkelebat menembus kegelapan
malam yang kemudian disusul oleh Sakawuni di
belakangnya TIGA Sesosok bayangan terlihat berkelebat cepat
menuju sebuah bukit kecil yang sepi dan tampak
tak pernah dirambah manusia. Hal itu terlihat dari merangasnya ilalang serta
berserakannya ranting-ranting pohon yang telah membusuk dan bersatu
dengan tanah bebukitan.
Sampai pada sebuah gua yang lobangnya
hampir tak terlihat, karena tertutup ilalang tinggi-tinggi, bayangan tadi
hentikan larinya. Sepasang
matanya menebar berkeliling, kepalanya bergerak
ke sana kemari mengitari tempat itu. Merasa tidak ada orang lain selain dirinya,
sosok ini gerakkan tangannya mengusap keringat yang meleleh di
kening dan lehernya. Napasnya berhembus pan-
jang serta dalam-dalam.
"Hmm.... Inilah tempat yang ditunjuk Dewi
Kayangan. Dan kurasa memang tepat untuk mem-
pelajari sekaligus mendalami apa yang ada di Arca Dewi Bumi...," gumam sosok
ini. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan, mengenakan pa-
kaian warna hijau yang dilapis dengan pakaian da-
lam warna kuning lengan panjang. Rambutnya
panjang dan dikuncir ekor kuda.
Pemuda berjubah hijau yang bukan lain Aji
alias Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak terli-
hat mondar-mandir di mulut gua. Seraya melang-
kah sepasang matanya tak henti-hentinya me-
mandang liar ke setiap sudut di tempat itu. Murid Wong Agung ini rupanya sangat
hati-hati sekali,
bahkan untuk beberapa saat dia jongkok sambil
memperhatikan sela-sela ilalang di sekitarnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena
setelah mendapatkan
Arca Dewi Bumi bagaimanapun juga jiwanya diin-
car oleh siapa pun juga yang menginginkan arca
itu. Apalagi waktu mendapatkan arca itu para to-
koh-tokoh golongan hitam mengetahuinya. Sadar
akan hal itu, waktu menuju tempat di mana dia
sekarang berada, murid Wong Agung ini sengaja
mengambil jalan berputar dan menghindari kera-
maian. Setelah dirasa aman, Aji bangkit dan me-
langkah ke arah gua. Disibakkannya ilalang yang
menutupi mulut gua. Bias sang mentari menero-
bos ilalang dan menerangi bagian dalam gua. Sete-
lah dapat menyiasati keadaan di dalam, Aji segera melangkah masuk.
Ruang bagian dalam gua itu tidak begitu
besar, di sana-sini tampak sarang laba-laba yang
hampir menutupi langit-langit serta sudut gua.
Pada dinding sebelah dalam yang menghadap ke
mulut gua tampak sebuah batu. Aji melangkah
mendekati batu, karena di situ ada cahaya mentari yang menerobos masuk dari
lobang di atasnya.
"Dengan penerangan ini aku bisa membaca
dengan jelas."
Aji lalu duduk bersila di atas batu dengan
punggung bersandar pada dinding gua. Sejenak
sepasang matanya memandang lurus ke mulut
gua, lalu kepalanya tengadah memandang pada
lobang yang memberi penerangan. Lalu pelan-
pelan dengan tangan agak gemetar dan jantung
berdegup kencang dikeluarkannya sebuah bung-
kusan putih dari balik pakaiannya. Sesaat bung-
kusan putih itu dipandanginya, lalu pelan-pelan
pula dibukanya bungkusan itu.
Sebuah arca berbentuk seorang perempuan
kini terpampang di hadapannya. Arca itu berwarna
ungu kekuningan. Tangan kanannya tampak sedi-
kit terangkat dan menggenggam sebuah tongkat.
Sementara tangan kirinya sedekap sejajar dada.
Pada kepala arca tampak sebuah mahkota bersu-
sun tiga yang ditengahnya terdapat sebuah lobang
dan tampak menyembul sebuah gulungan kain
berwarna putih. Sedang pada dahinya tampak tiga
butir mutiara berwarna biru. Tinggi arca itu tak lebih dari satu setengah
jengkal telapak tangan.
Perlahan-lahan diangkatnya arca itu lalu
diusapnya beberapa kali. Sepasang matanya dile-
barkan. Dan dengan penerangan dari lobang di
atasnya Pendekar 108 segera memperhatikan Arca
Dewi Bumi. Perlahan-lahan diambilnya gulungan
kain yang ada di lobang di tengah-tengah mahko-
ta. Lalu dibentangkan.
Dengan tangan masih gemetar dan dada
berdegup keras, bibir Aji mulai berkemik membaca
tulisan pada bentangan kain.
Dunia dan isinya adalah sebuah malapetaka
Dunia dan isinya adalah sebuah kedamaian
Manusia adalah sang pengatur arah
Hanya manusia yang ditetesi embun Tuhan,
Dapat arahkan dunia pada kedamaian.
Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 108
terdiam seraya dalam hati mengulang-ulang kali-
mat itu. Kemudian matanya dilebarkan lagi mem-
baca kalimat-kalimat di bawahnya yang agak kecil-
kecil. "Hmm.... Ini petunjuk tentang jurus. Tangan kiri sejajar dada, jari
tengah dan telunjuk lurus ke atas, sedang jari lainnya menekuk. Tenaga
dalam dipusatkan pada tengah telapak tangan dan
didorong.... Sebuah jurus yang sederhana. Aneh-
nya, di sini tak ada petunjuk tentang gerakan pada telapak tangan kanan....
Bagaimana ini" Juga gerakan pada tangan kiri terlihat begitu sederhana
sekali. Apa dan di mana keistimewaannya...?"
Untuk sesaat lamanya murid Wong Agung
ini dibuncah oleh perasaan heran dan coba men-
cari-cari apa keistimewaan gerakan tadi. Bahkan
tangan kirinya pun tampak bergerak dan mempe-
ragakan seperti apa yang tertulis. Tenaga dalam-
nya dikerahkan pada tengah telapak tangan, lalu
didorong perlahan.
"Hmm.... Hanya serangan biasa.... Tak kuli-
hat ada hebatnya...," gumam Aji dalam hati seraya mengulangi gerakannya, namun
hasilnya seperti
semula. Hanya sambaran angin yang tampak me-
lesat tanpa ada kehebatan lain.
"Akan kulihat di belakangnya...," kata Aji, lalu balikkan lembaran kain di
tangannya. Di bagian belakang lembaran kain terdapat beberapa
gambar. Sejenak Pendekar 108 memperhatikan
dengan seksama gambar-gambar itu.
"Aneh. Di sini terlihat pancaran sinar pada
telapak tangan kiri, sementara pada tangan ka-
nan.... Astaga! Memegang sebuah kipas!"
'"Aku hampir paham...," kata Aji dalam hati sambil meletakkan lembaran kain di
pangkuannya dan mengeluarkan kipas miliknya dari balik pa-
kaiannya. Tangan kirinya lalu digerakkan dengan
jari tengah dan telunjuk ke atas, sementara tangan kanannya menebarkan kipas.
Weeerrr! Serangkum angin dahsyat menyambar ke-
luar. "Heran. Tidak juga ada istimewanya. Dan pancaran sinar juga tak terlihat
dari telapak tangan kiri meski aku telah kerahkan tenaga da-
lam...," Murid Wong Agung menghela napas dalam-dalam. Parasnya menunjukkan rasa
kecewa. Na- mun dia tak begitu saja menyerah. Di ulanginya
gerakan-gerakan menurut apa yang tertera dalam
gambar. Namun hasilnya tak juga ada kemajuan.
Saat itulah tiba-tiba penerangan dari lobang
di atasnya meredup, seakan ada sesuatu yang
menghalangi. Aji cepat dongakkan kepalanya. Dia
menarik napas lega, karena yang menghalangi ha-
nyalah awan putih tipis yang masuk melalui lo-
bang. Namun murid Wong Agung segera ker-
nyitkan kening.
"Tak mungkin ada asap tipis yang begitu sa-
ja masuk.... Pasti ada...," Aji cepat sambar arca di pangkuannya dan dimasukkan
ke balik pakaiannya. Sepasang matanya tak berkedip memandang
ke arah lobang di atasnya. Dan murid dari Karang
Langit ini semakin tak enak tatkala asap itu terus menerobos masuk tiada
hentinya. Anehnya, begitu
masuk ke dalam gua, asap itu bergerak merayapi
langit-langit gua dan membentuk uluran panjang.
"Hmm.... Pasti ada orang yang menggerak-
kannya! Kurang ajar! Bagaimana bisa tahu jika
aku di sini" Mengikuti perjalananku..." Tidak
mungkin! Aku telah mengambil jalan berputar
bahkan aku sering melakukan perjalanan malam
hari! Siapa dia..." Atau mungkin Dewi Kayan-
gan..." Hanya dia satu-satunya orang yang tahu ke mana aku pergi dan ke mana
tujuanku...."
Selagi murid Wong Agung ini menduga-
duga, tiba-tiba uluran panjang asap putih bergerak menggulung dan menggumpal
jadi satu. Aji mem-belalakkan sepasang matanya. Dan matanya ma-
kin melotot besar tatkala samar-samar terlihat sesosok bayangan muncul dari
gumpalan asap pu-
tih. Mulut Pendekar 108 yang sedari tadi telah
membuka hendak keluarkan teguran karena dis-
angkanya yang akan muncul dari kepulan asap
putih adalah Dewi Kayangan serta-merta menga-
tup. Karena yang muncul dari asap putih adalah
seorang laki-laki berusia amat lanjut. Pakaiannya compang-camping bahkan di
sana-sini telah tampak warna kehijau-hijauan seperti rambahan
rumput. Rambutnya hampir tak ada. Paras wajah-
nya serta tubuhnya hanya di-bungkus kulit tipis.
"Sahyang Resi Gopala...," gumam Aji begitu mengenali siapa adanya sosok laki-
laki tua yang keluar dari gumpalan asap putih. Serta-merta mu-
rid dari Karang Langit ini bergerak turun dari atas batu dan duduk seraya
menjura beberapa kali.
Sosok laki-laki tua yang bukan lain memang
Sahyang Resi Gopala membuka kelopak matanya
yang sedari tadi terpejam. Bibirnya bergerak mem-
buka. "Aji Saputra. Kau adalah manusia yang telah ditentukan untuk mendapatkan
apa yang ada pada Arca Dewi Bumi. Ketahuilah segala gerakan-
gerakan yang ada pada lukisan kain itu tidak ada
hebatnya jika kau belum terisi oleh tiga mutiara
biru yang ada pada dahi arca. Keluarkan arca itu
dan letakkan di hadapanmu! Lakukan gerakan pa-
da lukisan kain dan kerahkan jurus 'Pamungkas
Bayu Kencana'."
Dengan tangan masih gemetar dan jantung
berdegup makin keras, Aji menuruti perintah Sa-
hyang Resi Gopala. Arca diletakkan di hadapan-
nya, lalu tangan kirinya diangkat sejajar dada dengan jari tengah dan telunjuk
diluruskan ke atas,
jari-jari lainnya ditekuk. Lalu Aji kerahkan tenaga dalam pada telapak tangan
kirinya dan lakukan
jurus 'Pamungkas Bayu Kencana' dengan menarik
perlahan tangan kirinya.
Arca di hadapan Aji tampak bergoyang-
goyang dan bersamaan itu satu persatu mutiara
yang ada pada dahi arca melesat dan masuk ke te-
lapak tangan kiri Aji.
Pendekar Mata Keranjang merasa tangan-
nya dihantam batu besar, aliran darahnya seakan
tersumbat dan hawa sangat dingin merayapi seku-
jur tubuhnya. Pemandangannya berubah menjadi
biru dan sangat dingin! Dadanya berdetak ken-
cang, dan tubuhnya bergetar hebat!
Namun hal itu cuma sesaat. Begitu mutiara
telah masuk semua, keadaan Pendekar 108 nor-
mal kembali. Malah pandangannya makin terang
dan tubuhnya ringan. Belum sempat Pendekar 108
memikirkan apa yang telah dialami, Sahyang Resi
Gopala telah berkata kembali.
"Aji. Dalam dirimu telah tertanam tiga mu-
tiara biru. Itu adalah pangkal kekuatan dari jurus
yang ada pada lukisan kain. Jurus itu bernama
'Mutiara Biru'. Kau telah tahu bagaimana mempe-
ragakannya. Ingat! Karena jurus 'Mutiara Biru'
adalah sebuah pukulan yang maha hebat, maka
jangan sekali-kali kau gunakan jika tidak dalam
keadaan terdesak! Dan juga perlu kau camkan
baik-baik. Jika kau salah gunakan apa yang telah
kau dapat, maka Mutiara Biru akan menghantam
tubuhmu sendiri!"
"Segala petunjuk Eyang Resi akan kuingat!"
gumam Aji perlahan.
"Karena isi Arca Dewi Bumi telah masuk ke
dalam dirimu, maka arca itu telah tidak ada apa-
apanya lagi. Biarlah arca itu kusimpan kembali."
Habis berkata, Sahyang Resi Gopala gerakkan te-
lunjuknya. Arca di hadapan Aji melesat ke arah
Sahyang Resi Gopala.
"Saatnya bagiku untuk pergi...."
Pendekar Mata Keranjang 108 sebenarnya
hendak mengucapkan sesuatu, namun belum
sampai kata-katanya keluar, sosok Sahyang Resi
Gopala telah lenyap dari hadapannya dan asap pu-
tih tipis bergerak mengulur panjang ke arah mulut gua sebelum akhirnya lenyap.
EMPAT Satu purnama terlewati.... Seorang laki-laki
berusia lanjut tampak berdiri di depan sebuah ba-
tu karang besar yang membentuk sebuah bangu-
nan di tepi pesisir. Dia mengenakan jubah biru ge-
lap yang amat besar. Pada kepalanya tampak cap-
ing lebar berwarna hitam dari kulit yang atasnya
terbuka, hingga rambutnya yang jarang dan amat
kaku tampak jelas. Paras laki-laki ini tidak begitu jelas karena kulit wajahnya


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat tipis, hingga
hanya menampakkan tonjolan-tonjolan tulang wa-
jah. Sepasang matanya besar dan masuk ke dalam
rongga yang amat cekung. Sepasang alis matanya
tampak kaku dan menghadap ke depan, sementa-
ra bibirnya tebal.
Sepasang mata laki-laki ini yang bukan lain
adalah Manusia Titisan Dewa terlihat memandang
tak kesiap ke arah lautan bebas di hadapannya.
Sesaat kemudian, dia tampak melangkah terbung-
kuk-bungkuk ke arah hamparan batu karang yang
rata. Anehnya, meski tampak melangkah terbung-
kuk-bungkuk, sepasang kaki laki-laki ini tidak
menyentuh batu karang! Sepasang kakinya berada
satu jengkal di atas batu karang di bawahnya!
Begitu sampai pada hamparan batu karang
yang rata, Manusia Titisan Dewa hentikan lang-
kah. Sepasang matanya yang besar kembali liar
memandang lautan lepas. Saat itu sang mentari te-
lah hampir tenggelam di laut sebelah barat.
"Hmm.... Telah satu purnama Sakawuni
menjalankan perintahku untuk memperdalam il-
mu. Saatnya akan segera tiba dan rimba persilatan akan geger. Sakawuni akan
muncul sebagai tokoh
muda yang tak tertandingi.... Dan rencanaku akan
berjalan dengan lancar. Satu persatu tokoh golon-
gan putih akan kuambil dan kukumpulkan di sini!
Mereka akan kujadikan bangkai tanpa kubur! To-
koh golongan hitam pun akan kulenyapkan satu
persatu. Rimba persilatan akan gempar! Aku ingin
menciptakan kecemasan dan kegelisahan sepan-
jang masa pada setiap orang yang mengaku di-
rinya sebagai orang-orang persilatan. Ha ha ha...!"
Dari mulut Manusia Titisan Dewa meledak
suara tawa panjang berderai-derai hingga tubuh-
nya yang telah bungkuk makin melengkung. He-
batnya, bersamaan dengan ledakan suara ta-
wanya, batu karang di sekitar tempat itu bergerak-gerak dan bergetar, pertanda
bahwa suara tawa
Manusia Titisan Dewa bukanlah tawa biasa, me-
lainkan telah dialiri tenaga dalam tinggi!
Tiba-tiba Manusia Titisan Dewa hentikan
tawanya. Wajahnya diputar setengah lingkaran
menghadap ke samping kanan. Bibirnya yang tebal
tampak sunggingkan senyum.
"Dia sudah datang...," gumam Manusia Titisan Dewa tatkala sepasang matanya
menangkap kelebat sesosok bayangan yang menuju arahnya.
Baru saja selesai gumaman Manusia Titisan
Dewa, sesosok bayangan tampak telah berdiri di
hadapannya dan menjura hormat seraya berkata.
"Guru! Aku telah menjalankan apa yang
kau perintahkan!"
Manusia Titisan Dewa tertawa perlahan.
Kepalanya manggut-manggut. "Bagus! Dengan
modal kepandaianmu, memang tak sulit mempela-
jari apa yang kuperintahkan. Dan berarti ilmumu
sekarang telah bertambah! Dan aku yakin, hanya
beberapa orang yang dapat menandingi mu!"
"Terima kasih, Guru...!" sahut sosok di ha-
dapan Manusia Titisan Dewa. Dia adalah seorang
gadis muda berparas cantik jelita dan bukan lain
adalah Sakawuni, bekas murid Ageng Panangka-
ran yang kini telah diangkat murid oleh Manusia
Titisan Dewa. "Sakawuni! Bekalmu untuk menghadapi
tantangan kurasa telah cukup. Sekarang katakan
padaku, apa rencanamu!"
Sakawuni angkat kepalanya. Dipandanginya
lekat-lekat laki-laki tua di hadapannya.
"Guru. Kalau boleh memilih, aku ingin ter-
lebih dahulu membalas sekaligus menuntut darah
atas kematian mendiang Ageng Panangkaran!"
Manusia Titisan Dewa anggukkan kepa-
lanya. Sepasang matanya beralih pada jurusan
lain. Dia untuk beberapa lama tidak memberi
tanggapan atas ucapan muridnya. Karena sebe-
narnya dalam hati, laki-laki ini sedang berkata.
"Bagus! Itu memang yang kuharapkan.
Dengan tersingkirnya Pendekar Mata Keranjang
108, Selaksa serta Wong Agung, maka langkah se-
lanjutnya akan lebih mudah.... Dan aku pun akan
segera bergerak menjemput satu persatu tokoh go-
longan hitam untuk ku tanam di batu karang ini!
Hmm...." Melihat gurunya tidak memberi tanggapan
atas rencananya, Sakawuni buru-buru hendak
menyusuli kata-katanya. Namun sebelum ucapan-
nya keluar, Manusia Titisan Dewa telah berkata.
"Sakawuni. Sebenarnya aku punya rencana
lain. Namun demi untuk menghormati mendiang
gurumu Ageng Panangkaran yang juga adalah sa-
habatku, maka untuk sementara rencanaku
kuundurkan dahulu...."
"Terima kasih, Guru. Begitu urusan selesai,
aku akan segera kembali dan siap dengan segala
rencanamu!"
Manusia Titisan Dewa menarik napas da-
lam-dalam. Kepalanya mendongak melihat langit
yang samar-samar telah direngkuh oleh gelapnya
malam. Dari mulutnya lantas terdengar suaranya
bertanya. "Kau tentunya telah tahu siapa yang harus
kau temui sekaligus kau tuntut darahnya, bu-
kan...?" Sakawuni anggukkan kepalanya. Dan tiba-
tiba parasnya berubah. Sepasang matanya mem-
besar. Dagunya sedikit mengembang, sementara
pelipis kanan kirinya bergerak-gerak mengisya-
ratkan kemarahan yang memuncak di hatinya.
"Karena orang pertama yang bertanggung
jawab atas kematian Guru adalah Pendekar Mata
Keranjang, maka dialah orang yang bakal pertama
kali menemui ajal di tanganku! Setelah itu kedua
gurunya! Juga orang-orang yang bersekongkol
dengannya!"
Manusia Titisan Dewa tertawa dalam hati.
Lalu dia melangkah mendekat dan berkata.
"Sakawuni. Yang kau katakan betul! Aku
hanya bisa menanti kabar darimu dan kuharap
kau kembali dengan kabar gembira. Hanya satu
pesanku. Kau harus berhati-hati menghadapi me-
reka! Mereka adalah manusia-manusia kotor yang
menyelinap dalam golongan putih. Mereka adalah
kumpulan orang-orang licik! Maka dari itu, kau
pun harus menggunakan segala cara untuk dapat
menaklukkan mereka! Ingat! Meski kau berilmu
tinggi tanpa kelicikan maka akan sia-sialah ke-
tinggian ilmu itu! Kau dengar dan me-ngerti..."!"
Sakawuni anggukkan kepala.
"Segala petunjukmu akan kulaksanakan!
Muridmu mohon diri sekarang...."
Manusia Titisan Dewa anggukkan kepala.
Namun buru-buru laki-laki ini ulurkan tangan ka-
nannya pegang pundak muridnya dan berkata.
"Apakah kau telah mencoba hasil dari yang
telah kau pelajari selama ini?"
Sakawuni urungkan niatnya yang hendak
berkelebat. Tubuhnya di hadapkan kembali pada
Manusia Titisan Dewa.
"Sudah! Dan aku hampir tak percaya den-
gan penglihatanku sendiri! Terima kasih sekali la-gi. Kau telah mewariskan
ilmumu padaku!"
Manusia Titisan Dewa menyeringai. Lalu
tertawa lebar. "Sakawuni. Itu hanya sebagian. Setelah kau
selesai dengan urusan darah Ageng Panangkaran,
kau akan kuberi lagi ilmu yang lain.... Aku ingin menjadikan mu bukan saja
sebagai tokoh berilmu
tinggi yang disegani, tapi juga ku ingin menjadikan mu manusia yang tiada
tanding!" "Ah...!" Sakawuni keluarkan seruan seakan-akan terkejut meski bibirnya tampak
sunggingkan senyum. Dan kembali gadis cantik ini menjura dan
mengucapkan terima kasih.
"Hmm.... Sekarang berangkatlah!" Menden-
gar ucapan gurunya, Sakawuni bukannya segera
berangkat. Dia tampak terdiam untuk beberapa
lama, membuat Manusia Titisan Dewa kernyitkan
dahi dan berkata.
"Ada sesuatu yang hendak kau utarakan?"
Sakawuni luruskan kepala dan memandang, lekat-
lekat pada gurunya. Namun dari mulutnya tidak
terdengar sepatah kata pun. Gadis ini terlihat
bimbang. Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit.
Sambil arahkan pandangannya pada laut lepas
yang kini telah berwarna biru kehitaman, dia ber-
kata. "Sakawuni. Kau adalah muridku, bahkan telah kuanggap sebagai anakku....
Sakitmu adalah juga sakitku! Bahagia mu juga adalah bahagia ku!
Bebanmu adalah beban ku juga. Apakah dengan
hal itu kau masih menyembunyikan sesuatu pa-
daku?" Diam-diam trenyuh juga hati gadis ini mendengar kata Manusia Titisan
Dewa. Hingga tanpa
sadar sudut-sudut matanya telah merebak air ben-
ing. Setelah dapat menguasai diri, Sakawuni ber-
kata. Nada suaranya terdengar serak dan bergetar.
"Guru.... Selama ini memang hatiku dilanda
resah gelisah...," sejenak Sakawuni hentikan ucapannya. Napasnya berhembus
panjang-panjang.
Dia seakan ingin melepaskan rasa beban yang
menghimpit dadanya.
Manusia Titisan Dewa menunggu dengan
kening berkerut. Dan tatkala Sakawuni belum juga
lanjutkan ucapannya, dia berkata.
"Sakawuni, kuharap kau lanjutkan uca-
panmu...."
"Guru...," kata Sakawuni setelah agak lama terdiam. "Setelah kudengar dari
keteranganmu bahwa manusia bergelar Pendekar Mata Keranjang
108 telah berhasil mendapatkan Arca Dewi Bumi,
terus terang aku gelisah. Menurut kabar yang se-
lama ini tersiar, arca itu berisi jurus-jurus hebat.
Apa hal itu benar adanya...?"
Manusia Titisan Dewa sunggingkan senyum
seringai. Sepasang matanya melebar. Dari mulut-
nya terdengar suara tawa pendek bernada menge-
jek. "Muridku! Berita masih belum bisa ditentukan benar tidaknya! Demikian juga
tentang Arca Dewi Bumi. Orang-orang rimba persilatan memang
gencar membicarakannya. Bahkan kabarnya telah
banyak jatuh korban demi memperebutkan benda
usang itu. Meski arca itu telah jatuh ke tangan
Pendekar 108, namun sekali lagi kau harus ingat.
Hal-hal mengenai arca itu masih berita. Dan bi-
asanya, berita lebih besar dari kenyataannya!" Manusia Titisan Dewa hentikan
keterangannya. Sete-
lah memandangi paras muridnya, dia melan-
jutkan. "Kau tak usah khawatir! Ilmu yang telah kuturunkan padamu adalah sebuah
kenyataan. Se- dang hal mengenai arca itu masih berita! Dan ka-
lau pun nyata aku masih yakin kau dapat mene-
bus tetesan darah Ageng Panangkaran pada pe-
muda itu! Atau kau masih menyangsikan ilmu
yang kuturunkan padamu...?"
Sakawuni segera gelengkan kepalanya. "Ti-
dak, Guru! Dan maafkan atas segala rasa ke-
gelisahanku selama ini! Aku mohon diri seka-
rang...," habis berkata begitu, Sakawuni bungkuk-kan tubuh lalu berbalik dan
berkelebat meninggal-
kan gurunya yang terus mengawasi kelebatan mu-
ridnya dengan bibir tersungging senyum.
"Hmm.... Saatnya juga aku bergerak...,"
gumam Manusia Titisan Dewa begitu sosok Saka-
wuni lenyap ditelan kepekatan malam. Lalu ia sa-
pukan pandangannya sebentar pada bangunan ba-
tu karang tempat tinggalnya. Sesaat kemudian so-
soknya telah lenyap!
LIMA Sesosok bayangan tampak berkelebat cepat
menyusur celah-celah rimbunan semak belukar
serta deretan pohon-pohon besar. Begitu cepatnya
lesatan sosok ini hingga yang tampak hanyalah
suara desiran angin lalunya serta bergoyangnya
semak belukar yang terabas oleh sosoknya. Dan
melihat gerak-geriknya, selain berkepandaian ting-gi, sosok ini juga mempunyai
keperluan yang san-
gat penting, karena sengaja mengambil jalan pin-
tas dengan menerabas semak-belukar.
Namun mendadak saja sosok ini hentikan
larinya. Sepasang matanya menyapu liar berkelil-
ing. Kepalanya lantas berpaling pada kepala yang terkulai lemas di dadanya
sebelah kiri. "Hmm.... Dia pingsan...," gumamnya seraya
menarik jubahnya yang tertarik ke atas. Sejurus
dipandanginya kepala yang terkulai di dadanya. Di pundaknya memang terlihat
sesosok tubuh yang
kepalanya terkulai lemas. Demikian pula tubuh-
nya. Sosok yang terkulai itu tak jelas paras wajahnya. Yang jelas hanya
rambutnya yang jambrik


Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan dipotong pendek, sementara bagian samping-
nya panjang. Pakaian yang dikenakannya pun
tampak robek menganga di sana-sini.
Sementara sosok yang memanggul adalah
seorang pemuda bertubuh tegap. Wajahnya tam-
pan dengan sepasang mata tajam. Rambutnya
panjang dan dibiarkan berkibar-kibar ditiup angin.
Hidungnya agak mancung. Meski berparas tam-
pan. Air muka pemuda ini tak menggambarkan ra-
sa ramah sekali. Senyum seringai seringkali
menghias bibirnya.
Dia mengenakan jubah besar berwarna be-
lang merah dan hitam.
"Aku mendengar suara orang terisak...,"
gumam sang pemuda. Dia tegak termenung seraya
memastikan sumber suara isakan yang didengar-
nya. "Aneh, di tempat sesepi ini siapa gerangan yang terisak seperti orang
ditinggal mampus" Atau hantu laknat yang sengaja mengganggu orang lewat...?"
sang pemuda terdiam seraya meyakinkan.
Suara isakan itu makin lama makin keras bahkan
sesekali diseling dengan gumaman yang tak jelas.
Sang pemuda kernyitkan kening, lalu melangkah
perlahan ke arah sumber isakan tangis.
Sesaat kemudian, dari balik jajaran pohon-
pohon besar, sang pemuda melihat sebuah gun-
dukan tanah yang masih tampak merah pertanda
baru saja digali. Sepasang mata sang pemuda tiba-
tiba membeliak liar dan memandang tak kesiap.
Bukan pada gundukan tanah merah, melainkan
pada sosok seorang perempuan yang duduk ber-
simpuh di samping tanah gundukan. Sosok ini be-
rambut panjang dan dikepang dua. Mengenakan
pakaian warna hijau tipis. Mungkin karena baru
saja menggali atau karena guncangan jiwanya, se-
kujur sosok perempuan ini berkeringat, hingga pa-
kaiannya yang tipis tampak melekat memperli-
hatkan bentuk tubuhnya yang bagus.
"Hmm.... Bentuk tubuh bagian belakangnya
demikian bagus dan menggemaskan. Parasnya
tentu tak mengecewakan. Siapa yang baru saja
dimakamkan" Kekasihnya.... Atau kerabatnya"
Sialan! Kenapa aku memikirkan hal itu..." Bukan-
kah yang lebih penting adalah perempuan itu..."
Tapi.... Benarkah dia benar-benar manusia" Jaha-
nam! Kenapa aku terpengaruh dengan segala ma-
cam tahayul tentang hantu...!"
Merasa yakin bahwa di samping makam
adalah seorang anak manusia, sang pemuda me-
langkah ke samping kiri melewati beberapa pohon.
Dari tempat barunya kembali sepasang mata sang
pemuda memperhatikan ke arah perempuan yang
bersimpuh di samping makam dengan tetap teri-
sak. Kedua tangan sang perempuan tampak dita-
kupkan pada wajahnya. Begitu kedua tangannya
diturunkan, baru agak jelas paras sang perem-
puan. "Dugaanku tidak meleset. Dia berparas can-
tik.... Dan masih muda! Dadanya kencang menan-
tang.... Hmm...." Sang pemuda memperhatikan seraya membatin. Kepalanya lalu
berpaling pada so-
sok yang ada di pundaknya.
"Sialan! Jika saja tidak memandangnya se-
bagai orang yang telah menurunkan ilmu padaku,
niscaya akan kubiarkan dia jadi bangkai dengan
tubuh terlilit rotan.... Tapi untuk urusan perem-
puan, terpaksa dia akan kuturunkan dahulu, apa-
lagi telah lama aku tak merasakan nikmatnya tu-
buh perempuan...," perlahan-lahan lalu diturun-kannya sosok yang sejak tadi ada
di pundaknya. "Tunggulah.... Aku akan bersenang-senang
dahulu...," gumam sang pemuda pada sosok yang kini tampak lemas di atas tanah
dalam keadaan pingsan. Tak jauh dari tempatnya, isakan tangis sang
gadis terus terdengar malah semakin keras. Ba-
hunya terlihat berguncang demikian juga dadanya.
Sang pemuda yang kini telah berdiri kembali dan
memandangi, terlihat sunggingkan senyum aneh.
Namun pemuda ini belum juga beranjak untuk
melangkah mendekati. Dia terlihat ragu-ragu anta-
ra langsung mendatangi atau menunggu sampai si
gadis reda tangisnya. Dan ketika ditunggu hingga
kakinya pegal sang gadis belum juga reda tangis-
nya, maka dia memutuskan untuk melangkah
mendatangi. Beberapa tombak di belakang sang gadis,
sang pemuda hentikan langkahnya. Sebenarnya si
pemuda telah melangkah dengan agak keraskan
pijakan kakinya, memberi isyarat pada si gadis
akan kedatangannya. Namun karena sedang kalut
atau berbaur dengan suara isak tangisnya, maka
si gadis tak mendengarkan langkah-langkah orang
mendatangi. Melihat hal ini, sang pemuda batuk-batuk
kecil beberapa kali. Namun kepalanya sengaja di
hadapkan pada jurusan lain.
Bersamaan dengan terdengarnya suara ba-
tuk-batuk, isak tangis sang gadis sekonyong-
konyong sirap. Dan secepat sirapan suara isakan-
nya, secepat itu juga kepalanya berpaling.
Si gadis terlihat terkejut, namun wajahnya
tak menunjukkan rasa takut. Sepasang matanya
yang bulat dan sembab air mata membesar men-
gawasi sang pemuda yang tegak dengan pandan-
Pedang Berkarat Pena Beraksara 13 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10
^