Pencarian

Gajah Kencana 22

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 22


dan tertikam. Kedua lengan Kebo Yuwo yang panjang, cukup
mengacaukan perhitungan patih Dipa.
Melihat ulah Kebo Yuwo yang mengingkari janji bahkan
menyerang dengan kalap, marahlah Banyak Ladrang. Ia
mencabut keris dan hendak menerjang manusia raksasa itu.
Tetapi ia terpagut kejut hebat ketika saat itu patih Dipa
terancam bahaya. Kebo Yuwo menggunakan siasat yang
cerdik sekali sehingga patih Dipa terkecoh. Sambaran tangan
kiri kearah kepala patih Dipa itu hanya suatu gerak tipu,
karena selekas patih Dipa miringkan tubuh ke samping
selekas itu pula tangan kanan Kebo Yuwo sudah meninju
lambung. Banyak Ladrang cepat ayunkan tubuh melayang ke muka
dan hendak menikam Kebo Yuwo. Tetapi pada saat tubuh
terangkat dari tanah, tiba2 ia melihat suatu pemandangan
yang mengejutkan. Kebo Yuwo mengaduh kesakitan dan
terhuyung-huyung dengan tubuh terseok-seok, kemudian jatuh
terduduk. Tangan kiri mendekap tangan kanannya,
memandang patih Dipa dengan pandang ketakutan.
Patih Dipa menghampiri, "Ki Yuwo, mengapa engkau" Aku
tak membunuhmu. Dan mengapa tangan kananmu itu?"
tegurnya. Kebo Yuwo pejamkan mata. Tampak urat2 pada dahinya
yang melingkar lingkar itu mulai mengendor dan wajahnya pun
makin tenang. "Mengapa dia, paman patih?" kata Banyak Ladrang serta
menghampiri patih Dipa. "Apa yang engkau saksikan tadi?" patih Dipa balas
bertanya. "Dia memukul lambung paman tetapi entah bagaimana
tiba2 ia terhuyung-huyung dan terseok-seok mundur" kata
Banyak Ladrang. Patih Dipa terkejut dalam hati. Ia menyadari apa yang
telah terjadi. Secara tak sengaja pukulan Kebo Yuwo telah
mengenai pusaka Gada Inten yang tersimpan dalam pinggang
bajunya. Namun tak mau ia mengatakan hal itu kepada
Banyak Ladrang. "Maafkan, ki Yuwo" seru patih Dipa "engkau terlalu keras
memukul." Kebo Yuwo membuka mata, menatap wajah patih Dipa, "Ki
patih, jangan engkau berbohong. Apakah namamu bukan
Gajah?" Patih Dipa tersentak. Ia merasa heran mengapa sejak tadi
Kebo Yuwo selalu bertanyakan namanya dengan menyebutnyebut nama Gajah. "O, benar ki Yuwo" akhirnya patih Dipa
mengiakan karena ingin tahu apakah di balik pertanyaan aneh
dari manusia raksasa itu, "itu namaku pada waktu kanak2.
Menurut kawan-kawanku, potongan tubuh dan raut wajahku
menyerupai gajah maka mereka pun memberi gelar Gajah
kepadaku. Sejak itu aku lebih terkenal dengan nama Gajah
dari pada Dipa." "O, maafkan aku ksatrya" tiba2 Kebo Yuwo memberi
sembah "mengapa engkau tak mengatakan sejak tadi
sehingga tulang tanganku patah?"
Patih Dipa tak mengerti tujuan kata2 Kebo Yuwo. Ia
segera meminta keterangan.
"Beberapa waktu yang lalu aku bermimpi" Kebo Yuwo
mulai memberi penjelasan "dalam mimpi itu aku menerima
kedatangan seorang ksatrya muda yang membawa sebutir
buah maja. Dia mengatakan kepadaku, buah maja itu berisi
senjata pusaka pemberian dewa. Barang siapa mendapatkannya, kelak tentu akan menjadi manusia yang
termasyhur. Entah bagaimana seketika itu timbullah nafsu
keinginanku untuk memperoleh buah maja itu. Segera kuajak
ksatrya itu berkelahi. Dalam pergumulan yang seru, tiba2
ksatrya itu lenyap dan berobah dalam perwujutan seekor gajah
yang perkasa. Remuk serasa tulang-tulangku ketika dibelit dan
diangkat kemudian hendak dibanting ke sebuah batu besar.
Aku segera berteriak-teriak minta ampun. Aku pun segera
diletakkan ditanah, "Engkau kuampuni tetapi ingat. Jangan
engkau berani kepada seorang ksatrya Gajah. Tiba2 ia
menghilang." Patih Dipa terkejut tetapi ia tertawa juga, "Ah, jangan
percaya akan impian, ki Yuwo."
"Engkau boleh mengatakan begitu, ki patih" sahut Kebo
Yuwo, "akan tetapi aku tetap percaya penuh. Aku tak pernah
bermimpi tetapi setiap bermimpi tentu bermakna suatu
wangsit. Dan aku selalu melaksanakan. Misalnya,
pembangunan pura ini juga berasal dari wangsit yang
kuperoleh dalam impian. Pura itu untuk penangkal bahaya
agar kerajaan Bedulu tidak dilanda malapetaka."
Patih Dipa hanya menyerahkan kepada kehendak orang
itu sendiri. Kemudian ia bertanya, "Lalu bagaimana maksud ki
Yuwo sekarang ?" "Akan kutepati semua janjiku" kata Kebo Yuwo "silahkan ki
patih membawa anak prajurit ki patih yang kupekerjakan di
sini" Patih Dipa merenung. Beberapa saat kemudian ia
meminta keterangan, berapa lama lagikah pura itu akan
selesai dibangun. "Yang penting apabila bangunan pura sudah selesai. Soal
pengisiannya, patung dan arca, aku dapat mengerjakannya
sendiri. Hal itu pun tergantung jumlah pekerjanya, makin
banyak tentu makin cepat selesai" kata Kebo Yuwo.
"Baik" kata patih Dipa "aku tak menarik pulang
anakbuahku bahkan akan kukirim lagi seratus prajurit
Majapahit untuk membantu pekerjaanmu. Apakah masih
kurang ?" Kata2 itu mengejutkan Banyak Ladrang, prajurit Majapahit
dan Kebo Yuwo sendiri. "Ki patih, jangan melakukan hal itu,"
seru Kebo Yuwo. "Mengapa?" "Pura ini untuk kepentingan kerajaan dan rakyat Bedulu,
bagaimana aku menerima bantuan dari prajurit-prajurit
Majapahit. Tidak, ki patih"
"Hm, jangan keras kepala, ki Yuwo?" seru patih Dipa,
"bukankah engkau telah menawan secara paksa beberapa
prajurit Majapahit" "Ya" sahut Kebo Yuwo "tetapi hal itu bukan suatu paksaan
melainkan telah disetujui dalam perjanjian adu kekuatan.
Mereka telah memberi imbalan atas kekalahannya."
"Sekarang engkau pun telah memberi imbalan kepadaku"
jawab patih Dipa "dan engkau wajib menerima bantuan tenaga
itu. Ingatlah, ki Yuwo, bukankah dalam pura itu akan dipuja
dewa2 Trimurti" Dewa2 Trimurti itu bukanlah hanya milik
orang Bedulu tetapi milik juga orang2 Majapahit dan mereka
yang mempercayai. Agama Syiwa. Buda dan Brahma, menjadi
pujaan rakyat Majapahit. Baginda pun menaruh minat besar
akan perkembangan agama2 itu. Maka atas nama kerajaan
Majapahit aku akan menyediakan tenaga2 untuk membantu
menyelesaikan pembangunan pura ini"
"Ah." Kebo Yuwo tak dapat membantah dan memang ia
merasa sukar untuk membantah kepada ucapan patih itu. Ia
heran tetapi tak mengerti apa sebab ia selalu merasakan
suatu daya perbawa dari patih itu, yang sukar dilawannya.
Adakah ksatrya gajah dalam mimpinya itu benar2 seorang
yang sakti" Sukar dan tiada jawaban bagi nya kecuali hanya
bersandar kearah makna impian itu sebagaimana yang
dibayangkan dalam pikirannya.
"Besok seratus prajurit itu
janganlah ki Yuwo mengikat
Demikian pula dengan orang2
itu" kata patih Dipa. Kebo Yuwo
akan datang. Tetapi kuminta
kaki mereka dengan rantai.
yang sedang bekerja di sana
pun menurut. Setelah tiba kembali ke Sanur, patih Dipa mengajak
tumenggung Gajah Para dan seribu prajurit menuju ke pura
Bedulu menemui raja Pasung Rigih. Mereka ikut dalam
upacara pembakaran jenasah patih Kebo Warung dan
prajurit2 Bedulu yang gugur dalam pertempuran.
Dengan sikap yang rendah hati dan tingkah laku yang
ramah, dapatlah patih Dipa dan rombongan prajurit menawan
hati para narapraja. senopati dan kawula Bedulu. Dengan
tandas, patih Dipa telah memberi peringatan kepada
rombongan prajurit2 pengiringnya bahwa jangan sekali-kali
membawa sikap sebagai seorang pemenang. Perang takkan
menimbulkan kemenangan secara sempurna karena yang
kalah tentu masih mendendam dan takkan menyerah
sungguh2. Hanya kedamaian dan, rasa kemanusiawian yang
dapat mendatangkan kesejahteraan dan penyerahan tulus.
Patih Dipa tetap bersikap menghormat kepada Pasung
Rigih sebagai raja yang dipertuan dari kerajaan Bedulu. Raja
Pasung Rigih sangat terkesan atas sikap dan peribadi patih
Majapahit yang masih muda itu, Raja itu menjamu dan
membawa rombongan perutusan Majapahit itu untuk
mengunjungi beberapa tempat yang indah. Tirta Emphul,
Tampak siring, Klungkung dari lain2 tempat. Demikian pula
beberapa pura telah dikunjungi oleh patih Dipa dan
rombongannya. Patih Dipa juga teramat berkesan akan seni
bangunan dari rakyat Bali yang telah mencapai tingkat yang
tak dibawah seni bangunan di Majapahit. Pesiar itu makan
waktu beberapa hari. Tiba kembali di pura Bedulu, patih Dipa terkejut karena
mendapatkan raja Pasung Rigih bermuram durja. Adakah raja
Bedulu itu teringat pula akan peristiwa kematian patih, perwira
dan prajurit2 dalam pertempuran dengan pasukan Majapahit"
Adakah raja akan berbalik haluan" Demikian dugaan yang
direka dalam hati patih Dipa. Namun dugaan itu tak benar.
"Aku telah menerima surat dari raja Dedela Nata di
Sumbawa yang isinya sangat menghina" kata raja Pasung
Rigih. Patih Dipa terkejut dan meminta penjelasan.
"Raja Dedela Nata meminta supaya kerajaan Bedulu
tunduk kepadanya. Raja Sumbawa itu hendak membentuk
suatu kerajaan besar guna menyerang Majapahit."
"O" patih Dipa terkejut tetapi cepat ia menindas pula
perasaannya. "Apabila Bedulu menolak, maka sebelum rembulan
berbentuk bundar, pasukan raja Dedela Nata akan menyerang
Bedulu," raja Pasung Rigih menambahkan pula.
Patih Dipa mengangguk-angguk kepala. Kemudian dengan
nada tenang ia menjajagi hati raja itu. "Raja Dedela Nata
berhak mengajukan permintaan itu namun keputusan adalah
pada paduka." "Jika Bedulu bernaung dalam persahabatan yang dipimpin
kerajaan Majapahit, itu masih dapat dimengerti. Karena
Majapahit sebuah kerajaan yang besar dan luas daerahnya.
Tetapi apabila Sumbawa yang tak lebih besar dari Bedulu
hendak memaksakan kehendaknya kepada Bedulu, jelas
Bedulu takkan menerimanya" kata raja Pasung Rigih.
"Jika demikian kehendak paduka, gusti, kami dari
Majapahit bersedia untuk membantu tindakan paduka" kata
patih Dipa. Raja Pasung Rigih mengangguk. "Terima kasih ki patih.
Tetapi Dedela Nata menghina Bedulu maka sebagai yang
dipertuan dari kerajaan Bedulu aku harus menanggulangi
sendiri soal itu." "Paduka hendak memimpi n pasukan Bedulu sendiri,
gusti?" patih Dipa terkejut.
"Ya" sahut raja Pasung Rigih "sejak patih Kebo Warung
tiada, akulah yang wajib memimpin pasukan Bedulu."
"Gusti" kata patih Dipa pula, "memang demikian laku
seorang nata yang utama. Dulu ketika di Majapahit terjadi
pemberontakan di tanah Lumajang maka baginda Jayanagara
sendiri pun turun memimpi n pasukan kerajaan untuk menindas
peristiwa itu. Hanya berbeda sedikit keadaan negara
Majapahit dengan peperangan ini, gusti."
Raja pasung Rigih meminta penjelasan apa
dimaksudkan pauh Dipa. yang "Peristiwa Lumajang itu terjadi dalam telatah kerajaan
Majapahit maka baginda Majapahit pun segera mengerahkan
pasukan darat untuk memadamkan. Tetapi yang paduka
hadapi saat ini adalah raja Dedela Nata dari Sumbawa. Musuh
dari luar yang terpisah dengan lautan dari kerajaan paduka.
Maka dengan segala kerendahan hati, hamba mohon
diperkenankan untuk mempersembahkan perahu2 untuk
mengangkut pasukan paduka."
"Kupikir lebih baik menyambut mereka daripada
memerangi ke kerajaan Sumbawa," kata raja Pasung Rigih.
"Gusti, perkenankanlah hamba menghaturkan seulas
pendapat hamba yang picik."
"Katakanlah" titah raja Pasung Rigih.
"Pertama-tama, hamba memikirkan kehidupan para
kawula paduka. Baru beberapa hari yang lalu, mereka telah
mengalami keguncangan dan kekacauan akibat pertempuran.
Saat ini para kawula paduka sedang membangun kerusakan2
yang mereka derita dan kehidupan mereka baru saja mulai
akan lancar kembali. Apabila terjadi peperangan pula di
kerajaan paduka, tidakkah para kawula itu akan lebih kacau
dan kebingungan?" Raja Pasung Rigih diam. "Kedua kali" patih Dipa melanjutkan pula, "ada suatu siasat
yang berlaku dalam ilmu perang. Bahwa pertahanan terbaik
adalah menyerang. Disamping itu, gusti, apabila paduka
menyerang ke Sumbawa, martabat pasukan Bedulu akan lebih
bangkit, demikian pula dengan kewibawaan paduka. Karena
tindakan itu berarti padukalah yang menghukum raja Dedela
Nata karena berani lancang menghina keluhuran paduka,
gusti. Dengan beberapa pertimbangan itu, kiranya menyerang
ke Sumbawa lebih tepat daripada menanti kedatangan mereka
di bumi kerajaan paduka."
Raja Pasung Rigih mengangguk. "Ya. Pandanganmu itu


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang berkenan dalam hatiku, ki patih. Besok akan
kutitahkan supaya pasukan Bedulu bersiap dan lusa aku akan
berangkat ke Sumbawa untuk menghukum Dedela Nata."
Patih Dipa mengulangi pula pernyataannya bahwa
perahu2 armada Majapahit yang berlabuh di laut selatan
Gianyar, setiap saat selalu sedia membantu baginda.
Raja Pasung Rigih pun menerima bantuan itu. Ia minta
supaya patih Dipa ikut mengawasi keamanan Bedulu.
0o-dwkz-mch-ismo-o0 IV Patih Dipa mengirim pengalasan untuk menghaturkan
laporan kehadapan baginda Jayanagara di Majapahit. Tentang
segala sesuatu yang telah dilaksanakan dan terjadi di kerajaan
Bedulu. Dipilihlah Banyak Ladrang sebagai pengalasan itu. Setelah
selesai menghadap baginda di pura Wilwatikta, Banyak
Ladrang diperkenankan menjenguk keluarganya di Kapakisan.
Salam keselamatan patih Dipa agar disampaikan kepada
empu Kapakisan. Belum lagi Banyak Ladrang berangkat menunaikan
perintah patih Dipa, tiba2 rakyat Bedulu digemparkan oleh
kedatangan beberapa prajurit dari Sumbawa. Prajurit-prajurit
itu, rombongan pasukan dari raja Pasung Rigih yang
berperang ke Sumbawa. "Gusti patih, baginda Pasung Rigih tewas di medan
peperangan" prajurit2 Bedulu itu memberi laporan kepada
patih Dipa. Patih Dipar amat terkejut. Segera ia minta keterangan
tentang peperangan di Sumbawa.
Prajurit itu menerangkan bahwa pasukan Bedulu telah
berhasil mendarat di Sumbawa. Pertempuran besar
berlangsung seru. "Akhirnya baginda junjungan kami
berhadapan dengan raja Dedela Nata. Keduanya sama2 sakti
dan sama2 tewas pula."
"Siapa yang menjadi pimpinan pasukan Bedulu saat ini ?"
"Tumenggung Sukanda, gusti patih" jawab prajurit itu yang
lebih lanjut menerangkan bahwa ia dikirim pulang ke Bedulu
untuk meminta bala bantuan dari patih Dipa.
Patih Dipa segera mengatur persiapan. Dia sendiri yang
akan memimpin armada Majapahit ke Sumbawa. Tumenggung
Gajah Para tetap menjaga keamanan Bedulu, Arya Damar dan
Arya Lembang pun tetap menjaga keamanan di Sanur.
Patih Dipa pun membayangkan akan keadaan Bedulu
setelah raja Pasung Rigih tewas. Siapakah yang harus
menduduki tahta kerajaan Bedulu "
"Banyak Ladrang" katanya kepada pemuda itu "cobalah
engkau rundingkan dengan eyangmu empu Kapakisan tentang
rencanaku untuk meminta bantuan rakyat Kapakisan."
"Bantuan apakah yang paman patih perlukan dari
penduduk Kapakisan itu?" tanya Banyak Ladrang.
"Untuk memindahkan mereka ke Bedulu. Penduduk
Kapakisan pandai bercocok tanam dan membuat ukir-ukiran.
Mereka dapat membantu rakyat disini dalam pembangunan,
dengan demikian akan terjalin hubungan yang erat antara
Bedulu dengan Majapahit."
Banyak Ladrang menyatakan kesediaannya untuk
membicarakan hal itu kepada eyangnya. Memang walau pun
bukan lurah atau buyut, tetapi empu Kapakisan sangat
diindahkan dan mempunyai pengaruh besar pada penduduk.
Demikian patih Dipa segera membawa armada menuju ke
Sumbawa, Ia berhasil menundukkan pasukan Sumbawa.
Kemudian mengangkat putera dari raja Dedela Nata yang
bernama Sukanya menjadi raja di Sumbawa.
Apabila patih Dipa berhasil mengamankan kerajaan
Sumbawa, tidaklah demikian dengan keadaan di Bedulu.
Ketika mendengar baginda Pasung Rigih tewas maka
saudaranya yang bernama Pasung Giri marah. Pasung Giri
tinggal di pedalaman dan mempunyai pengaruh besar kepada
penduduk Bali-Aga atau penduduk peribumi. Kemarahan
pemimpin Bali-Aga itu meluap-luap ketika menerima laporan
tentang kekejaman pasukan Sriwijaya yang bermarkas di
Sanur. "Jelas sudah maksud kerajaan Majapahit yang hendak
menduduki bumi kita," kata Pasung Giri kepada rakyat BaliAga, "baginda Pasung Rigih telah dipaksa untuk memerangi
prabu Dedela Nata di Sumbawa sehingga kedua raja itu
akhirnya sama2 tewas. Kini orang2 Majapahit mulai
menduduki dan menguasai kerajaan Sumbawa."
"Terutama orang2 Sriwijaya itu congkak dan kejam," seru
seorang pemuda Bali-Aga, "merekalah yang membunuh
tumenggung Ardadali dan tumenggung Kebo Puring. Selama
berada di Sanur, mereka banyak menimbulkan gangguan
kepada para penduduk."
Seluruh rakyat Bali-Aga marah. Dibawah pimpinan Pasung
Giri mereka segera berontak menyerang Bedulu. Orang2 BaliAga lebih kukuh dan lebih keras hatinya. Dengan semangat
yang menyala-nyala dan persatuan yang kokoh, Pasung Giri
berhasil menghalau pasukan Majapahit yang menjaga
keamanan Bedulu dari pura.
Timbulnya perlawanan dari rakyat Bali-Aga itu
membangkitkan semangat rakyat Bedulu juga. Segera
timbullah pemberontakan dimana-mana terhadap kekuasaan
pasukan Majapahit di Bedulu.
Terutama yang menjadi sasaran mereka adalah pasukan
Sriwijaya di Sanur. Sanur telah dikepung dari segala penjuru
dan diputuskan hubungannya dengan Bedulu. Rakyat mulai
membantu perjuangan Pasung Giri. Mereka tak mau
menyediakan bahan makanan kepada pasukan Sriwijaya.
Cepat sekali pemberontakan itu membesar sehingga
ketika armada patih Dipa kembali ke Bedulu ia terkejut melihat
perobahan suasana yang begitu mengejutkan. Kekuatan
Pasung Giri besar sekali bahkan lebih besar dari kekuatan
pasukan raja Pasung Rigih. Dan yang mencemaskan hati
patih Dipa, Pasung Giri ternyata seorang pemimpin yang
ditaati oleh rakyat Bali-Aga. Kini pasukan Majapahit harus
berhadapan dengan rakyat Bali-Aga. Bagi patih Dipa hal itu
dirasakan berat sekali. Ia lebih, senang berhadapan dengan
pasukan betapa pun besar kekuatannya, daripada dengan
rakyat. Perutusan yang dibawanya ke Bedulu itu adalah
membawa amanat baginda Jayanagara untuk melanjutkan
hubungan antara Bedulu dengan Majapahit yang dulu telah
terjalin erat semenjak kerajaan Panjalu kemudian pada
kerajaan Singasari dibawah pemerintahan baginda Kertanagara. Walau pun baginda telah menyerahkan kepercayaan
penuh kepada patih Dipa untuk bertindak sesuai dengan
keadaan, tetapi patih Dipa berusaha keras untuk
melaksanakan tugasnya dengan cara damai dan bersahabat.
Namun kini ia dihadapkan dengan kenyataan lain.
Kerajaan Bedulu kacau karena raja Pasung Rigih tewas.
Sebelum patih Dipa sempat bertindak untuk mengangkat
junjungan baru dan menenteramkan keadaan Bedulu, Pasung
Giri sudah mengangkat senjata.
Ia segera memerintahkan Gajah Para supaya menarik
mundur pasukannya ke pantai. Ia membawa armadanya
menuju ke Sanur. "Raden Arya Damar" kata patih Dipa setelah bertemu
dengan Arya Damar dan Arya Lembang di Sanur, "keadaan
makin gawat. Orang2 Bali-Aga yang dipimpin Pasung Giri
telah menyerang kita. Rupanya pasukan dan rakyat Bedulu
pun mendukung mereka. Kematian raja Pasung Rigih
dijadikan alasan utama untuk membangkitkan kebencian
rakyat Bedulu kepada kita" patih Dipa berhenti sejenak
kemudian mengakhiri kata-katanya "dan juga kepada diri tuan"
Pada saat mendengar orang2 Bedulu membenci pasukan
Majapahit, diam2 Arya Damar dan Arya Lembang tersenyum
dingin dalam hati. Tetapi dikala mendengar kata2 susulan dari
patih Dipa, mereka seperti disengat kala. "Kepada diriku ?" ia
merentang mata menegas. "Ya" sahut patih Dipa "karena tuan telah membunuh dua
orang tumenggung Bedulu, tumenggung Ardadali dan
tumenggung Kebo Puring."
Pucat wajah Arya Damar. "Sekarang kita menghadapi pertempuran yang lebih berat.
Orang2 Bali-Aga dan rakyat Bedulu memusuhi kita."
"Ki patih" tampak cahaya wajah Arya Damar bertebar
merah, "peperangan adalah pertumpahan darah. Musuh harus
dipaksa melihat darah mengalir agar jeri dan menyerah.
Mereka membenci kita, kita hancurkan habis-habisan."
"Tuanlah yang merusak jembatan yang hampir berhasil
kubangun antara Majapahit dan Bedulu !" tiba2 patih Dipa
melantangkan tuduhan, "sejak mula telah kuperintahkan
kepada seluruh pasukan supaya sedapat mungkin
menghindari pertumpahan darah."
Cahaya muka Arya Damar dan Arya Lembang berobahrobah beberapa saat. "Tujuan dari titah baginda Majapahit
adalah untuk menguasai kerajaan Bedulu. Pertumpahan
darah, akibat yang wajar. Rasanya baginda pun telah
memperkenankan hal itu terbukti perutusan Majapahit itu telah
disertai pasukan armada yang besar."
"Benar" kata patih Dipa, "tetapi kekuatan itu hanya untuk
memperlengkapi kewibawaan Majapahit, bukan mutlak untuk
menghancurkan Bedulu. "Tujuan Majapahit bukan hendak menghancurkan tetapi
mempersatukan. Sebagai negara besar yang menjadi
pimpinan kesatuan, Majapahit harus berlapang dada, bersifat
ngemong, membina dan mengayomi sebagaimana layak
seorang pemimpin. Bukan menindas, bukan memperbudak"
Arya Damar diam. "Ki patih" tiba2 Arya Lembang berkata, "bagaimana
tindakan ki patih menghadapi keadaan saat ini ?"
"Dua macam tindakan," kata patih Dipa, "mempersilahkan
raden membawa pasukan Sriwijaya kembali ke Majapahit. Dan
menghukum Pasung Giri."
Mendengar itu kejut Arya Damar seperti mendengar petir
berbunyi. "Ki patih, keadaan di Bali lebih gawat daripada waktu
kita datang. Mengapa ki patih hendak menyuruh kami
pulang?" kata Arya Damar.
"Ki patih tak berhak bertindak begitu." Arya Lembang pun
ikut bicara. "Bukan maksudku untuk membanggakan diri melainkan
hendak mengatakan hal yang sebenarnya?" sahut patih Dipa,
"baginda Jayanagara telah menyerahkan pimpinan perutusan
ke Bali ini kepadaku dengan hak dan tanggung jawab penuh
sebagai kepala perutusan. Sebagai seorang pimpinan
pasukan, tentulah raden Arya Lembang cukup memahami
akan kekuasaan seorang senopati pasukan itu, bukan?"
"Tetapi baginda tentu tak menginginkan hal itu?" masih
Arya Lembang membantah. "Aku yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
kemurkaan baginda" jawab patih Dipa.
Melihat sikap keras dari patih Dipa, getarlah hati Arya
Damar. "Ki patih, dalam menghadapi suasana segawat ini,
ingin kami mengabdi kepada Majapahit. Karena kami merasa
mendapat kepercayaan dari baginda Jayanagara."
Kerut wajah patih Dipa yang sarat mulai bertebaran cerah.
"Aku dapat menerima bantuan raden, diatas sebuah syarat."
"O" Arya kehendaki?" Damar terkesiap "apakah yang ki patih "Ditegakkannya kewibawaan tata tertib dalam pasukan.
Setiap anak pasukan, dari prajurit sampai pada perwira dan
senopati, harus tunduk pada pimpinan pasukan. Jika raden
dapat menerima hal itu, aku pun akan menerima pengabdian
raden," kata patih Dipa.
Arya Damar terkejut dalam hati. Ia tak puas dengan sikap
patih Dipa. Namun apabila ia pulang ke Majapahit, semua jasa
akan diborong patih itu. Setelah mempertimbangkan sejenak
akhirnya ia menerima syarat dari patih Dipa. "Baiklah, ki patih.
Memang hal itu sudah seharusnya berlaku dalam kalangan
prajurit dan pasukan. Kami cukup memahami."
Patih Dipa tak mau memperpanjang percakapan itu. Ia
segera membagi perintah. "Raden Arya, pertempuran kali ini
mungkin akan memakan waktu panjang. Kekuatan Pasung
Giri lebih besar dari raja Pasung Rigih karena Pasung Giri
dapat menghasut rakyat Bali-Aga dan Bedulu untuk membalas
dendam kepada kita ?"
Arya Damar mengangguk. "Akan kupecah pasukan kita menjadi tiga. Dengan
demikian kekuatan mereka pun dapat tercerai berai" kata patih
Dipa. "Pasukan pertama tetap berkedudukan di Sanur,
dibawah pimpinan tumenggung Gajah Para. Pasukan kedua,
akan kupimpin sendiri untuk berusaha mengadakan
pendaratan dipantai selatan Gianyar. Dan pasukan ketiga,
dibawah pimpinan raden Arya Damar, mengadakan
pendaratan di pantai utara. Aku dan tumenggung Gajah Para
akan bergerak ke pedalaman tengah dan raden dari utara
menyerang ke selatan. Kita nanti bertemu di Bedulu."
"Baik, ki patih" sahut Arya Damar.
"Tetapi ingin kuminta perhatian raden ?" patih Dipa
menyusuli kata, "bahwa dalam pertempuran itu sedapat
mungkin hindarilah pertumpahan darah yang tak berguna.
Pasung Giri harus ditangkap hidup untuk kita bawa ke
Majapahit." Arya Damar mengiakan walau pun dalam
tersenyum. hati ia Demikian setelah membagi tugas, patih Dipa lalu membagi
pasukan Majapahit. Separoh berada di Sanur dibawah
pimpinan tumenggung Gajah Para. Separoh dibawanya
menuju ke pantai Gianyar. Demikian pula Arya Damar yang
segera bertolak dari Sanur menuju utara pulau Bali.
Di tengah perjalanan, armada Arya Damar bertemu


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan perutusan baginda Jayanagara. Utusan itu
menyerahkan sepucuk surat kepada Arya Damar. Pucat wajah
Arya Damar selesai membaca.
"Mengapa kakang Damar?" tanya Arya Lembang.
"Baginda murka kepadaku. Tentu patih Dipa yang
melaporkan tentang kematian tumenggung Ardadali dan Kebo
Puring kepada baginda. Sekarang baginda menitahkan
supaya Pasung Giri tak boleh dibunuh tetapi harus ditangkap
hidup dan dibawa ke Majapahit ?"
"Itu serupa dengan kata2 patih Dipa" seru Arya Lembang
"hm, rupanya baginda Jayanagara menaruh kepercayaan
besar kepada patih Dipa. Segala laporannya diterima dengan
penuh kepercayaan." "Mungkin jasa patih Dipa waktu mengawal bagi nda lolos
dari keraton ketika terjadi pemberontakan ra Kuti, tak pernah
dilupakan baginda." "Ah" Arya Lembang mendesah, "itu hanya kebetulan saja.
Andaikata kakang atau aku yang menjadi bhayangkara
keraton Majapahit pada saat itu, tentulah kita juga dapat
mengawal bagi nda lolos dari bahaya."
Arya Damar tahu bahwa Arya Lembang yang masih muda
itu masih berdarah panas. "Untuk mendapat kepercayaan
seorang Nata, haruslah dengan pengabdian yang nyata.
Mungkin memakan waktu lama. Untuk mendesak pengaruh
patih Dipa terhadap baginda, tiada lain jalan kecuali kita harus
pandai mengambil hati baginda. Dan cara untuk mengambil
hati itu tak lain hanya mematuhi titahnya. Dan saat ini kita
harus mulai menunjukkan kepatuhan itu agar kelak, di pura
Majapahit kita dapat memperoleh kepercayaan baginda."
Utusan baginda kembali ke Majapahit dan Arya Damar pun
melanjutkan perjalanan ke pantai utara. Ia mendarat di Ularan
yang terletak di pantai utara pulau Bali.
Ternyata Pasung Giri sudah siap. Ia mendapat laporan
dari mata2 bahwa pasukan Sriwijaya telah meninggalkan
Sanur. Tak mungkin orang2 Sriwijaya itu kembali ke Majapahit
atau ke Sriwijaya. Mungkin mereka akan mendarat di pantai
utara. Rupanya mereka hendak menjepit dari utara dan
selatan. Pikir Pasung Giri. Dan bersiaplah ia mengadakan
penjagaan di sepanjang pesisir utara.
Dugaan Pasung Giri memang tepat. Hari itu ia mendapat
laporan dari seorang penjaga pesisir bahwa sebuah iringiringan kapal besar telah menampakkan diri di perairan pantai
Ularan. "Perintahkan pasukan kita untuk bersiap di Ularan. Jangan
memberi kesempatan mereka mendarat?" kata Pasung Giri.
Pasukan yang dibawa dalam armada Sriwijaya terdiri dari
duapuluh ribu orang. Arya Damar terkejut ketika pantai telah
dijaga oleh anakbuah Pasung Giri. Arya Damar
memerintahkan supaya memecah armadanya menjadi tiga
dan berpencaran mendarat di pantai.
Dengan siasat itu dapatlah armada Sriwijaya melakukan
pendaratan. Pasung Giri seorang senopati yang tajam melihat
suasana dan cepat bertindak. Ia segera memerintahkan
anakbuahnya mundur ke sebuah hutan. Malam hari mereka
mengadakan serangan kepada kubu2 pasukan Sriwijaya.
Banyak prajurit2 Sriwijaya yang tewas.
Pasung Giri menggunakan siasat yang cerdik. Penyerbuan
malam hari itu hanya menggunakan sekelompok kecil
anakbuahnya. Mereka disuruh melepaskan anakpanah api
untuk membakar kubu2 orang Sriwijaya. Serangan itu harus
dilakukan terus menerus hingga pagi.
Serangan panah api pun berhenti ketika fajar menyingsing.
Tetapi sebelum orang-orang Sriwijaya sempat beristirahat,
pasukan Pasung Giri ganti menyerang. Pertempuran
berlangsung seru. Banyak prajurit2 Sriwijaya yang tewas.
Mereka kurang tidur, kurang makan. Pasung Giri tak memberi
kesempatan mereka memejamkan mata walau sekejab pun.
Begitu pula mereka tak sempat makan.
Sampai surya tenggelam, baru pasukan Pasung Giri
mundur ke dalam hutan. Tetapi selekas malam tiba,
kelompok2 kecil anakbuah Pasung Giri segera mengadakan
pengacauan, pembakaran dan serangan sampai semalam
suntuk. Malam kedua itu, prajurit2 Sriwijaya tak sempat tidur
lagi. Keesokan harinya, pasukan Pasung Giri mengadakan
serangan besar-besaran. Dalam keadaan dua hari dua malam
tak tidur dan kurang makan, semangat prajurit-prajurit
Sriwijaya itu pun lunglai. Mereka tak berdaya menghadapi
serbuan musuh. Mayat2 prajurit Sriwijaya berserak-serak
memenuhi jalan. Tanah pun berobah merah.
Sebenarnya Arya Damar harus menarik pasukannya ke
kapal lagi. Tetapi rupanya dia malu dan marah. Korban anak
pasukannya sudah terlalu besar. Betapa malu apabila ia harus
menderita kekalahan. Dimanakah ia harus menyembunyikan
muka apabila berhadapan dengan patih Dipa" Dan
bagaimanakah ia nanti harus mempersembahkan laporan
dihadapan baginda Majapahit" Apabila baginda Jayanagara
mengirim pasukan Arya Damar itu pulang ke Sriwijaya,
bagaimanakah ia harus bertanggung jawab kepada patih
Demang Daun Lebar atas kekalahan itu "
"Lebih baik aku mati ditanah Bali daripada menanggung
aib senista itu" katanya dalam hati.
Ia segera memberi perintah kepada sisa anak pasukannya
untuk berjuang kemati-matian. "Hai, prajurit2, tunjukkan
keperwiraanmu sebagai prajurit Sriwijaya" dinyatakannya pula
semangat anak pasukannya yang lunglai itu.
Ia segera tampil ke muka dan mengamuk. Demikianlah
pula Arya Lembang. Kedua-arya itu memang gagah dan
digdaya. Bobollah pasukan Pasung Giri diterjang amukan
kedua arya itu. Melihat kegagahan kedua pemimpinnya, bangkitlah
semangat prajurit2 Sriwijaya pula. Mereka menyerang hebat.
Akhirnya pasukan Pasung Giri terpaksa mundur dengan
membawa kekalahan. Korban difihak orang Bali-Aga pun
cukup besar. Setelah dapat mengundurkan musuh, Arya Damar
memerintahkan supaya pasukannya beristirahat. Ia menyusun
pasukannya untuk mengetahui berapa besar kerusakan yang
diderita. Pucat seketika wajah Arya Damar ketika mendapat
laporan dari anakbuah yang ditugaskan untuk menghitung
jumlah sisa anak pasukan Sriwijaya. "Berapa sisa pasukan kita
itu ?" ia menegas karena tak percaya pada pendengarannya.
"Hanya tinggal tiga ribu prajurit, raden."
"Enyah !" tiba2 Arya Damar memekik sekuat-kuatnya
seraya mendorong tubuh prajurit itu hingga terpelanting keluar
dari kubu. Ia mencabut parangnya dan dibelahkan pada papan
kayu yang diperuntukkan sebagai meja dalam kubu itu, "aku
bersumpah akan membelah kepala Pasung Giri seperti papan
kayu ini...." "Kakang Damar" tiba2 Arya Lembang menerobos masuk.
"Diam !" bentak Arya Damar. Arya Lembang tersurut
mundur selangkah karena terkejut melihat wajah yang merah
padam dan mata yang berkilat-kilat memancarkan api dari
Arya Damar. "Lembang, jika engkau tak mampu membunuh
setiap orang Bali-Aga, engkau akan kubunuh sendiri."
"Kakang Damar, sabarlah."
"Tidak! Kesabaranku sudah habis," teriak Arya Damar
"engkau tahu Lembang, berapa anak prajurit kita yang mati?"
"Banyak sekali"
"Berapa!" bentak Arya Damar pula.
"Aku belum menghitung yang tepat, kakang" jawab Arya
Lembang agak gemetar. "Tujuh belas ribu" teriak Arya Damar "dengarkan lagi, tujuh
belas ribu prajurit kita telah mati dibunuh orang2 Bali-Aga.
Engkau dengar, Lembang?"
Pucat seketika cahaya muka Arya Lembang. Ia menggigil.
Ngeri, sedih dan akhirnya membara kemarahan. Sesaat ia
termangu-mangu tak dapat berkata apa2.
"Lembang !" teriak Arya Damar.
Arya Lembang gelagapan, "Tetapi musuh juga menderita
tak sedikit korban, kakang Damar."
"Masih belum memadai dengan korban anakbuah kita
yang sedemikian besar," seru Arya Damar dengan mata
berkilat-kilat. Ia menggeram dan mengepal-ngepal tinju.
Gerahamnya bergemerutukan saling bergosok. "Lembang"
tiba2 ia berteriak "engkau prajurit Sriwijaya atau bukan ?"
Arya Lembang makin gemetar hatinya. Baru pertama kali
itu ia menyaksikan kemarahan Arya Damar yang meletus
seperti gunung berapi. "Ya, kakang Damar, aku seorang
prajurit Sriwijaya. "Masihkah engkau mempunyai muka mengaku sebagai
prajurit Sriwijaya dikala engkau menyaksikan mayat2 prajurit
Sriwijaya menganak bukit mengalirkan sumber sungai darah?"
Tubuh Arya Lembang gemetar. "Akan kuhancurkan
pasukan musuh untuk membalas dendam kematian anakbuah kita."
"Belum cukup !" teriak Arya Damar.
Arya Lembang ternganga memandang Arya Damar.
"Bukan hanya pasukan mereka tetapi bunuhlah setiap
orang Bali-Aga, tua muda, besar kecil, laki perempuan, jangan
ada yang diberi hidup. Tetapi ingat, Lembang, jangan engkau
bunuh Pasung Giri." Arya Lembang terkejut. Serentak ia teringat akan utusan
dari Majapahit yang bertemu di tengah perjalanan, "Hm,
kakang Damar hendak mentaati titah baginda Jayanagara?"
serunya agak mencemoh. Ia tak puas akan ucapan Arya
Damar tadi. "Ha, engkau tahu apa sebab kuminta Pasung Giri jangan
dibunuh?" "Supaya kakang dapat membawanya ke pura Majapahit."
"Lancung mulutmu" bentak Arya Damar tiba2 marah sekali.
"Pasung Giri harus ditangkap hidup karena dengan tanganku
ini, aku hendak mencukil kedua biji matanya dan membelah
dadanya. Akan kumakan hati manusia yang telah membunuh
tujuhbelas ribu prajuritku itu!"
"Kakang Damar ...."
"Lekas siapkan barisan dan segera kita berangkat
membasmi orang2 Bali-Aga dan menangkap Pasung Giri si
keparat laknat itu !" teriak Arya Damar.
Ngeri Arya Lembang mendengar perintah itu. Hidungnya
serasa membau hawa anyir yang terbaur dari mulut Arya
Damar yang haus darah. 0o0-dwkz-mch-ismo-o0o JILID 44 I menghadapi SETIAP pertumpahan darah, peristiwa pemberontakan ra
Kuti di pura Majapahit dulu
dan pertempuran di Bedulu
sekarang, selalu timbul keresahan dalam hati Dipa.
Pemberontakan ra Kuti dulu, merupakan batu ujian,
yang pertama dan yang terberat bagi Dipa. Betapa
tidak! Saat itu dia baru berpangkat sebagai bekel bhayangkara. Tiada pengalaman sama sekali dalam menghadapi peristiwa
huru hara semacam itu. Sedahsyat pergolakan yang
menggoncangkan suasana saat itu, sedahsyat itu pula
pergolakan yang menggempa dalam hati Dipa.
Dia merasa rendah diri karena pangkatnya yang rendah.
Diapun merasa was-was karena tiada pengalaman. Sedang
yang dihadapi nya adalah para rakryan. Dharmaputera yang
besar kekuasaan kuat pengaruh. Hampir pudarlah rasa
kepercayaan diri Dipa disilau kemilau kekuatan mereka.
Hampir Dipa putus asa manakala saat itu brahmana
Anuraga tak muncul. Bayangankah brahmana itu" Mengapa
setiap kali Dipa mengalami keresahan, Anuraga selalu
menampakkan diri disaat yang amat diperlukan "
Tidak. Anuraga tetap seorang brahmana yang menjalankan laku lelana-brata. Tak cukup rasanya hanya
meneguk pengetahuan dari sumber2 veda dan kitab suci, ia
ingin menggali dan menimba pengetahuan dari sumber
pengalaman hidup. Hidup yang disenyawai dengan ilmu yang
menjadi pendirian dan ajaran agama yang melandasi falsafah
hidupnya. Walaupun dia seorang brahmana yang memiliki dasar2
agama Syiwa, namun ia menghayati pula ajaran Buddha.
Karena menurut penilaiannya kedua aliran bahkan tiga aliran
agama yang disebut Trimurti itu, saling isi mengisi menurut
sumber dan asalnya. Hubungan dengan Dipa, tidak terbatas dari rasa kasih
sayang secara lahiriyah, pun telah meresap dan tumbuh suatu
jalinan batin. Ia suka akan bakat besar yang terpendam dalam
diri pemuda itu. Iapun berkenan hati akan sifat dan peribadi
anak itu. Dalam naluri kewaskitaannya, ia menganggap Dipa
itu ibarat sebuah permata intan yang masih tergenggam dalam
gumpalan batu. Harus digosok dan digosok sehingga permata
itu akan memancarkan sinar yang gemilang.
Dipa memuja brahmana Anuraga sebagai seorang
brahmana yang sidik atau tajam pandangan. Menghormatinya
sebagai seorang guru yang layak diindahkan dan
mencintainya sebagai seorang paman.
Demikianlah dimana rasa bertemu rasa maka menunggallah rasa itu dalam suatu jalinan batin. Dan serabut2
halus pada jalinan batin itulah yang menggetarkan kehadiran
brahmana Anuraga pada saat2 Dipa menderita keresahan dan
kegelisahan hati. Kehadiran brahmana Anuraga adalah pada saat Dipa


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang duduk dibawah pohon dalam rangka melakukan jaga
malam di desa Bedander. Ia terkejut sedang brahmana itu
hanya tersenyum. Kemudian dengan terus terang Dipa pun
menumpahkan isi hatinya. Ia gelisah resah memikirkan
tanggung jawabnya yang sedemikian besar. Menjaga
keselamatan baginda Jayanagara dan merebut kembali pura
Majapahit dari tangan pemberontak.
"Resah dan gelisah timbul dari sumber rasa samar atau
takut. Samar atau takut, bertolak dari kehilangan diri atau tidak
percaya pada diri sendiri. Kehilangan itu merupakan
kehilangan yang paling parah" kata brahmana Anuraga.
"Kehilangan harta atau sesuatu milik kita yang berharga,"
brahmana itu melanjutkan pula, "masih dapat kita cari
penggantinya lagi. Lai n kata kalau kehilangan nyawa, memang
sukar dicari gantinya. Tetapi hal itu berarti suatu penyelesaian
dari tugas kita dalam kehidupan sekarang. Hal itu bukan
kehilangan, melainkan suatu penyelesaian dari suatu tahap
perjalanan yang masih belum selesai keseluruhannya."
Setiap mendengarkan paman brahmana meningkatkan
pembicaraannya kearah ajaran2 falsafah hidup, Dipa selalu
merasa seperti terbang kesuatu alam yang lain. Demikian saat
itu. Ia termangu-mangu mendengarkan pembicaraan paman
brahmana Anuraga itu. "Yang hendak kusingguag adalah soal kehilangan," kata
brahmara Anuraga melanjut, "tiada kehilangan yang lebih
parah dan menderita daripada kehilangan diri sendiri.
Menghilangkan diri sama halnya dengan mematikan diri.
Betapa kejam dan nista kita mematikan diri kita yang masih
hidup ini. Kita masih hidup dan hidup itu adalah suatu
kepercayaan. Kepercayaan kepada Hyang Suksma Kawekas,
kepercayaan pada kodrat prakitri dan kepercayaan pada hidup
atau diri kita peribadi. Tanpa kepercayaan itu, apakah arti
hidup kita" Hidup dalam mati, mati dalam hidup." Brahmana
itu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan Dipa
merenung dan meresapi kata2 itu.
"Setelah engkau tahu akan letak daripada rasa cemas,
resah dan gelisah itu maka tiadalah guna engkau harus tetap
memeluknya. Lepaskan dan cerahkan kegelapan hatimu.
Pandanglah apa yang sedang berkecamuk di pura Majapahit
saat ini. Segera engkau akan melihat bahwa di pura kerajaan
saat ini para rakryan Dharmaputera sedang sibuk mengatur
kekuasaannya. Para, kawula sedang gelisah diselubungi
suasana pergolakan yang gelap bagi mereka. Jika sudah
terang akan hal itu mengapa engkau masih gelap pikiran?"
"Paman brahmana," akhirnya Dipa mulai bicara, "memang
keadaan di pura kerajaan tepat seperti yang paman
gambarkan itu. Bukan karena aku ikut terlelap dalam
kegelapan pikiran tetapi karena aku merasa cemas
menghadapi kekuasaan para rakryan Dharmaputera dan
senopati2 yang tergabung dalam pengaruh mereka."
Brahmana Anuraga mengangguk.
"Kutahu bahwa kecemasanmu itu tak lain karena
bersumber pada rasa takut. Takut pada dirimu sendiri, takut
menghadapi golongan Dharmaputera dan senopati kerajaan
yang besar kekuasaannya. Tetapi ketahuilah Dipa. Dalam
menghadapi peperangan, janganlah hatimu terisi oleh
keadaan musuh dan keadaan dirimu sendiri. Jangan engkau
menganggap fihak lawanmu itu Dharmaputera dan mentri
senopati yang tinggi kedudukan dan besar kekuasaannya dan
engkau hanya seorang bekel bhayangkara yang rendah
kedudukannya. Jangan pula engkau membayangkan bahwa
lawan tentu memiliki kekuatan yang lebih besar dari dirimu.
Tidak, Dipa. Anggaplah mereka itu lawan yang yang harus
engkau tanggulangi. Bukan Dharmaputera, bukan mentri,
bukan pula senopati kerajaan yang pada waktu-waktu biasa
sangat engkau hormati. Tetapi anggaplah mereka sederajat
dan setingkat dengan engkau. Bahkan engkau harus
menganggap dirimu lebih unggul, karena mereka adalah
lawan2 yang harus engkau hadapi."
"Tetapi paman, mereka adalah gusti2 ...."
"Dipa," tukas brahmana Anuraga. "saat ini pura Majapahit
sedang terancam bahaya besar. Yang ada hanya wajib
berpijak pada rasa adil dan benar. Bukan Kebenaran yang
kukuh dan keras kepala melainkan Kebenaran yang berdasar
tata-praja, kesusilaan serta bersumber pada ajaran veda dan
agama yang luhur. Jangan engkau memandang bahwa
rakryan Kuti dan para rakryan serta senopati2 itu sebagai
seorang gusti pratanda yang tinggi pangkat dan besar
kekuasaan. Dalam peristiwa ini tak ada rakryan gusti, gusti
senopati dan gusti2 lainnya, tetapi hanya musuh belaka.
Dalam peperangan yang ada hanyalah prajurit dan senopati.
Mereka senopati dari golongan yang hendak merebut
kerajaan, dan engkau Dipa, juga senopati. Senopati dari
amanat sang nata yang menitahkan engkau untuk merebut
kembali pura Majapahit dari tangan kaum pemberontak.
Mereka Dharmaputera, engkau pun duta sang nata!"
"Dipa," tiba2 brahmana Anuraga berkata pula dengan nada
yang lain dari tadi. Suatu nada yang penuh wibawa
kebrahmanaan. Demikian pula tampak brahmana muda itu
memancarkan cahaya pada wajahnya yang cakap. Ketika
Dipa mengangkat muka memandangnya ia terkejut. Belum
pernah selama ini ia melihat wajah paman brahmana itu
sedemikian agung seperti saat itu, "ketahuilah. Terpaksa aku
harus memberitahu kepadamu apa yang telah terpancar
dalam keheningan cipta-rasaku. Sesungguhnya huru hara
merebut kekuasaan di pura kerajaan itu hanyalah suatu
Akibat. Tentang sebabnya telah tergaris dalam kodrat Prakitri,
jauh sebelum aku dan engkau menjelma sebagai manusia di
dunia ini. Maka buanglah rasa kesamaran hatimu, kikislah
rasa tak percaya pada dirimu itu."
Dengan penempaan jiwa itu; akhirnya berhasil lah bekel
Dipa menunaikan tugas yang dipercayakan baginda
kepadanya. Ia dapat membasmi gerakan Dharmaputera dan
mengiring baginda kembali ke pura Majapahit pula.
Wejangan brahmana Anuraga tak pernah terlupakan bekel
Dipa sehingga dia sampai diangkat sebagai patih bahkan
dipercayakan baginda untuk mengepalai pasukan Majapahit
yang akan melangsungkan pula hubungan Bedulu dengan
Majapahit. Juga sesaat menerima jabatan sebagai senopati pimpinan
armada Majapahit yang ke Bedulu itu, hampir pula patih Dipa
mengalami hal2 yang serupa sepeiti ketika di Bedander. Ia
merasa, walaupun kini kedudukannya sudah sebagai seorang
patih Daha, belum mempunyai pengalaman sama sekali
dalam memimpi n sebuah armada yang sedemikian besar,
belum pernah pula ia berperang ke lain negara.
Adalah menjadi kebiasaannya pada saat2 pikiran goyah
hati resah, ia segera menuju ke sebuah tempat sepi untuk
bersemedhi mengheningkan cipta. Tetapi setiap keheningan
tiba, tiba pulalah bayang2 wajah paman brahmana Anuraga
kemudian serasa terngiang apa yang pernah diucapkan oleh
brahmana itu kepadanya .......
Dalam silih kumandang halus yang hanya terasa dalam
kalbu Dipa, ia merasa mendengar pula kata2 paman
brahmana pada saat sedang menguraikah tentang sifat2
seorang ksatrya .... "Ksatrya itu wajib memiliki tridharma utama. Pertama,
menjaga dan setya pada bumi kelahiran dan negara. Yang
berarti pula mengayomi serta kasih sayang kepada segenap
kawula negara, termasuk para brahmana, resi, pandhita, dan
umat beragama. Kedua, setia pada janji, menetapi kata dan
kesediaan yang telah diikrarkan. Ketiga, bertindak benar dan
menjunjung keadilan. Untuk melaksanakan tridharma itu
haruslah dilaksanakan dengan tindak :
Pertama, Sudira yang berarti berani bertindak dengan
tatag- titis-tanggon atau berani, tepat dan pantang mundur
menghadapi rintangan dan bahaya sekalipun untuk itu harus
mengorbankan jiwa dan raga.
Kedua, Susila. Artinya, dapat menyesuaikan diri di tempat
dan keadaan apapun juga tanpa merugikan kepentingan lain
orang. Ketiga, Anuraga. Artinya, taat dan ingat akan Sangkanparaning-raga atau Asal mula dan Akhir tujuan dari tubuh,
yang diciptakan oleh Hyang Suksma Kawekas dengan bahan
dari empat unsur yaitu Bumi, api, angin, air. Kesemuanya itu
hanya bersifat ganjaran atau anugerah. Oleh karena itu
memiliki yang disebut Daya dan Naas. Demikianlah
hendaknya agar kita manusia jangan mempunyai perasaan
"sapa sira, sapa ingsun ', adigang, adigung, adiguna.
Dan keempat, Sambegana artinya. Bijaksana, dapat
menghayati perobahan keadaan mangsa-kala sesuai dengan
tingkat kedewasaan pikiran dan pengetahuannya.
"Untuk mengatur, menjaga dan mempertepat tindakantindakan dalam melaksanakan dharma2 itu, wajiblah kita
selalu mengutamakan guna. Artinya, selalu meningkatkan budi
pekerti dan kecerdasan untuk meneguk pengetahuan tentang
tatakrama, ajaran2 suci dari veda2 dan agama yang luhur ..."
Memang sampai saat Dipa menjadi patih dan dipercaya
baginda untuk memimpin utusan kerajaan Majapahit ke
Bedulu, setiap mengheningkan cipta dalam kehampaan
renungan, ia selalu teringat akan wejangan paman brahmana
Anuraga. Walaupun dengan terus terang, ia mengakui, bahwa
ia merasa masih gelap dan belum terang benar akan intisari
dari kata2 mutiara itu. Namun iapun telah berusaha untuk
mendekatkan diri, baik tindak ulah, sikap dan ucap, akan
petuah yang berharga itu.
Ia menyadari bahwa sifat ganjaran dari Hyang Suksma
Kawekas itu tak luput dari Daya dan Naas. Hal itu telah
dialaminya sendiri ketika ia masih seorang kanak2. Betapa
gelap jalan hidupnya kala itu. Kemudian setelah menginjak
dewasa, pelahan-lahan mencuatlah sinar terang dalam
perjalanan hidupnya sampai kini ia diangkat sebagai patih
Daha. Kesadaran merupakan suatu pengendapan dari penghayatan. Dan kesadaran itupun lalu melahirkan suatu tata
sikap. Dia menjauhi sikap adigang, adigung, adiguna. Diapun
menolak bersikap 'sapa sira, sapa ingsun', suatu sikap angkuh
dan tinggi hati terhadap orang yang lebi h rendah derajat dan
pangkatnya, keturunan dan kasta. Ia menganggap keturunan
dan kasta itu bukan dari keadaan yang kita peroleh sekarang,
melainkan dari Karma atau Sebab dan Akibat daripada apa
yang telah kita lakukan yang lalu.
Membayangkan akan tugas berat yang tengah
dilaksanakan ke Bedulu itu, teringatlah patih Dipa akan
bagian2 dari wejangan paman brahmana Anuraga mengenai
sifat seorang ksatrya. Bahwa seorang ksatrya itu harus
menetapi janji. Ia telah berjanji dihadapan baginda Jayanagara
untuk melaksanakan tugas yang telah dititahkan baginda.
Adakah ia harus kembali lagi ke Majapahit dan menyerahkan
kembali kekuasaan pimpinan utusan Majapahit kebawah duli
baginda" Tidak! Lebih baik ia mati di Bedulu daripada harus
melakukan hal senista itu.
Dan keputusan yang dipateri oleh kebulatan tekad itu,
menjadi pendorong baginya untuk melaksanakan tugas
memimpin rombongan perutusan Majapahit ke Bedulu.
Ternyata ia telah memperoleh hasil yang menyenangkan.
Raja Pasung Rigih dari kerajaan Bedulu telah mengerti dan
menerima angsuran baginda Jayanagara untuk selalu
melanjutkan pula hubungan dengan kerajaan Majapahit.
Tetapi belum sempat ia melaporkan hasil itu kehadapan
baginda terjadi peristiwa perubahan yang tak terduga. Raja
Pasung Rigih tewas dalam peperangan melawan raja Dedela
Nata di Sumbawa. Pasung Giri memberontak dan menyerang
pasukan Majapahit. Patih Dipa merasa bertanggung jawab atas kekacauan di
Bedulu. Ia harus membalas itikad baik dari mendiang raja
Pasung Rigih yang menyatakan menerima baik maksud
utusan Majapahit untuk melangsungkan pula hubungan
Bedulu dengan Majapahit. Ia pun harus membuktikan kepada
rakyat Bedulu bahwa kedatangan utusan kerajaan Majapahit
itu bukanlah untuk memerangi kerajaan Bedulu melainkan
hendak bersahabat dan mengajak kerajaan Bedulu kedalam
lingkungan keluarga besar Nuswantara. Raja Pasung Rigih
dapat mengerti dan menerima maksud utusan Majapahit.
Sayang raja itu keburu meninggal. Lebih sayang pula karena
mangkatnya raja itu mengakibatkan rakyat dan kerajaan
Bedulu dilanda oleh pemberontakan yang dipimpin oleh
adinda baginda, Pasung Giri.
Disamping bertanggung jawab kepada baginda Jayanagara, pun patih Dipa merasa bertanggung jawab
kepada kerajaan Bedulu. Bukankah dharma seorang ksatrya
itu wajib mengayomi para kawula, termasuk para brahmana,
resi, pandita dan umat beragama. Agama Syiwa dan Buddha
telah meresap di kalangan rakyat Bedulu demikian pula
mendiang raja Pasung Rigih pun seorang raja yang taat dan
mencurahkan perhatian besar untuk membangun rumah2
sudharmma untuk mengembangkan dan memajukan agama.
Atas landasan dan pertimbangan2 itu. maka patih Dipa
segera mengambil kebijaksanaan. Dalam menghadapi
serangan orang2 Bali-Aga di Sanur, bila tidak terpaksa dan tak
dapat dihindari lagi, maka anak buah pasukan Majapahit
dilarang membunuh mereka. Sedapat mungkin mereka dapat
ditawan hidup. Dan tawanan2 itu harus diperlakukan dengan
baik. "Maksud kedatangan kita ke Bedulu bukan untuk
menindas atau membunuh rakyat Bedulu tetapi untuk
melangsungkan hubungan kita yang terhambat. Majapahit
jauh lebih besar dari Bedulu maka kitapun harus menunjukkan
jiwa lebih besar dari mereka."
Pasukan Majapahit di bawah pimpinan tumenggung Gajah
Para yang bertahan di Sanur supaya tetap berlahan. "Tunggu
setelah semangat tempur mereka menurun barulah kita
bergerak untuk mengadakan gerakan," pesan patih Dipa.
Juga kepada pasukan Sriwijaya pimpinan Arya Damar dan
Arya Lembang yang diperintahkan supaya mendarat di Bali
utara, dipesan supaya jangan melakukan pembunuhan yang


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berguna. Sedang patih Dipa sendiri memimpi n pasukan
lain untuk mendarat di pantai Gianyar.
Dalam merencanakan pendaratan itu, patih Dipa telah
memperhitungkan bahwa tak mungkin seluruh pantai selatan
akan dijaga oleh musuh. Mereka tentu hanya menjaga di kota2
pantai yang penting, misalnya Gianyar. Maka patih Dipa
segera mengatur siasat. Ia membawa tiga perahu besar.
Segera tiga perahu itu dipecah tiga. Perahu ke satu
dipercayakan kepada bekel Boma untuk mendarat di pantai
sebelah barat Gianyar. Perahu kedua, dipimpin patih Dipa
sendiri yang akan menampakkan diri di perairan Gianyar,
untuk memikat perhatian lawan. Perahu ketiga diserahkan
kepada bekel Pininjar untuk mendarat di Kesambe, sebelah
timur dari Gianyar. "Aku akan menampakkan diri dan mendekat ke pantai
Gianyar. Dengan begitu mereka tentu mengerahkan
anakbuahnya untuk menjaga pantai disitu. Kalian tentu lolos
dari perhatian mereka. Selekas dapat mendarat kalian harus
segera bersama-sama memutuskan hubungan Gianyar
dengan pasukan mereka di sebelah utara. Pada saat itu baru
aku melakukan pendaratan untuk menjepit mereka. Tetapi
ingat, jangan mengadakan pertumpahan yang kurang perlu.
Usahakan sedapat mungkin agar mereka menyerah hidup."
Demikian dengan siasat yang telah diatur itu, pasukan
yang dipimpin patih Dipa berhasil menduduki Gianyar. Berkat
kebijaksanaan perintah patih Dipa, maka tidaklah banyak
korban yang jatuh. Mereka yang menyerah dan ditawan,
diperlakukan dengan baik, bahkan patih Dipa menitahkan
supaya mereka dibebaskan.
"Gusti patih" seru bekel Pininjar terkejut, "tidakkah sia2
belaka kita menangkap mereka apabila gusti hendak
melepaskan lagi?" "Kakang Pininjar," kata patih Dipa, "dari segala macam
jenis pemberian, yang paling luhur adalah memberi kebaikan
budi. Mereka bukan musuh kita."
"Tetapi gusti patih," bekel itu masih menyanggah pula,
"bukankah mereka mau menyerah karena terpaksa ?"
"Mau menyerah itu sudah menunjukkan bahwa mereka
sesungguhnya tiada bermaksud sungguh untuk memusuhi
kita. Jika kakang bekel mengatakan bahwa mereka mau
menyerah karena terpaksa, bukankah kakang bekel juga
harus mengatakan bahwa mereka mau melawan karena
terpaksa ?" tanya patih Dipa.
"Tetapi anak pasukan kita juga menderita korban yang
gugur ?" masih bekel Pininjar membantah.
"Tidakkah di fihak mereka juga?" sahut patih Dipa, "dalam
pertempuran manakah dapat terhindar sama sekali dari
korban yang gugur ?"
Bekel Pininjar terkesiap.
"Kakang bekel," kata patih Dipa pula, "sebenarnya masih
baiklah kalau mereka mau menyerah. Terpaksa atau dengan
sukarela. Karena apabila mereka benar2 kukuh dan keras
kepala, tentu mereka akan memilih mati daripada menyerah."
Bekel Pininjar terkejut. "Memang ada beberapa orang di
fihak musuh yang bersikap begitu, gusti patih."
"Jika tak salah menilai," kata patih Dipa, "mereka yang
berbuat begitu tentulah orang2 dari Bali-Aga. Dan yang
menyerah itu kebanyakan tentu rakyat atau prajurit Bedulu"
Bekel Pininjar terbeliak. "Benar, gusti patih. Tetapi
bagaimana gusti patih dapat mengetahui hal itu."
"Rakyat dan prajurit Bedulu telah mengetahui bahwa raja
mereka, baginda Pasung Rigih almarhum, telah menyetujui
maksud utusan Majapahit. Sebagai prajurit dan rakyat Bedulu
mereka patuh akan sikap rajanya. Lain hal dengan orang BaliAga. Mereka dipimpin oleh Pasung Giri yang dengan
mengemukakan peristiwa2 sejak kedatangan kita di Bedulu,
terutama raja Pasung Rigih sampai tewas, telah berhasil
membakar hati rakyat Bali-Aga untuk memusuhi orang
Majapahit." Bekel Pininjar mengangguk-angguk. Dalam hati ia memuji
ketajaman pandangan patih yang masih muda itu. Tawanan2
yang tertangkap atau menyerah di Gianyar telah diperlakukan
dengan baik dan dilepaskan. Mereka heran atas pelepasan itu.
"Saudara2 prajurit dan rakyat Bedulu. Kita tidak
bermusuhan. Kedatangan kami dari Majapahit tak lain hendak
membangun pula jembatan hubungan antara. Majapahit dan
Bedulu yang pernah terbentuk pada jaman Singasari. Baginda
Pasung Rigih pun telah berkenan menyetujui maksud
kedatangan kami. Maka silahkan sudara kembali ke tempat
saudara masing2 ataukah saudara hendak bergabung pula
dengan orang2 Bali Aga yang memusuhi kami itu," demikian
kata2 patih Dipa menjelang pelepasan para tawanan itu.
Ternyata orang2 Bedulu terpikat oleh sikap dan perlakuan
yang ditunjukkan pihak Majapahit terutama patih Dipa. Banyak
diantara mereka yang tak mau lagi bergabung dengan
pasukan Pasung Giri. Namun orang2 Bali-Aga yang dipimpin Pasung Giri itu
tetap gigih berjuang untuk menghalau orang Majapahit dari
bumi Bedulu Bali. Hal itu tak mempengaruhi keputusan patih
Dipa. Dari Gianyar ia memimpin pasukan untuk menuju ke
pura Bedulu. Apabila di Bali selatan, pasukan Majapahit dibawah
pimpinan patih Dipa berhasil menduduki Gianyar dan mulai
bergerak menuju ke utara, tidaklah selancar itu pendaratan
pasukan Sriwijaya yang dipimpin Arya Damar dan Arya
Lembang hampir mengalami kegagalan. Walaupun karena
mengandalkan jumlah kekuatannya yang besar akhirnya
pasukan Sriwijaya itu dapat juga mendarat di Ularan tetapi
mereka harus menderita kerugian yang amat besar sekali.
Melihat keadaan anak pasukannya yang hampir
berantakan itu, amarah Arya Damar tak dapat ditahan lagi.
Dengan sisa anak pasukan yang hanya berjumlah lebih
kurang tiga ribu, ia nekad hendak melakukan serangan
balasan kepada pasukan Pasung Giri.
Memang kedua arya dari Sriwijaya itu digdaya gagah
perkasa. Orang2 Bali Aga getar menyaksikan tandang kedua
arya muda itu. Banyak yang harus rubuh menelungkup! bumi,
banyak pula yang harus lari pontang panting membawa luka
parah serta yang telentang mengerang-erang bersimbah
darah. Pasung Giri memang seorang pemimpin yang pandai dan
penuh tanggung jawab. Dengan secara gemilang ia berhasil
memporak-porandakan pasukan Sriwijaya di Ularan. Siasat
yang digunakan untuk melelahkan semangat dan tenaga
musuh, membuahkan hasil kemenangan besar. Kepercayaan
orang Bali-Aga terhadap pemimpinnya itu, makin menumpah
ruah. Menurut ukuran alam pikiran Pasung Giri, kekalahan besar
yang diderita pasukan Sriwijaya itu pasti akan meruntuhkan
semangat mereka. Orang2 Sriwijaya tentu akan lari terbirit-birit
kembali ke atas perahu. Tetapi ternyata tidaklah seperti yang
diperhitungkan. Pasukan Sriwijaya tetap nekad melancarkan
serangan balasan, bahkan semangat mereka makin meluapluap. Kedua senopati pasukan Sriwijaya itu mengamuk
laksana banteng ketaton. Setiap kedua arya muda itu
menerjang, tentulah disitu tanah bertimbunan sosok tubuh
orang Bali-Aga yang sudah tak bernyawa dalam genangan
darah. Orang2 Bali-Aga menggigil melihat keperkasaan kedua
arya itu. Sesungguhnya Pasung Giri seorang senopati perang yang
pandai. Terbukti dalam menyambut pendaratan pasukan
Sriwijaya di Ularan, ia berhasil menyapu mereka. Tetapi
diapun seorang pemimpin yang penuh tanggung jawab dan
tinggi hati. Seperti halnya Arya Damar, diapun marah, sedih
dan kasihan kepada anak buahnya yang banyak menjadi
korban keganasan kedua arya itu. Kemudian meluaplah rasa
tinggi hati bahwa ia sebagai seorang pemimpin orang BaliAga, tak mampu menandingi kedigdayaan kedua arya dari
Sriwijaya itu. Dia seorang ksatrya Bali-Aga pula.
Apabila Pasung Giri tak dikuasai oleh nafsu2 kemarahan
dan ketinggian hati, tentulah ia akan menggunakan siasat
yang lebi h tepat dan bermanfaat untuk menghadapi orang2
Sriwijaya. Dengan kepandaiannya dalam hal siasat
pertempuran dan penguasaannya dalam hal tempat, tentulah
dia dapat mengatur siasat yang dapat menghancurkan musuh.
Tetapi dia marah karena melihat anakbuahnya banyak yang
mati. Dan kemarahan itulah yang melucuti segala
pemikirannya tentang siasat. Yang ada padanya hanyalah
ingin berhadapan dengan kedua arya. Apabila dapat
membunuh kedua arya itu pastilah ia akan dapat mengangkat
derajat ksatrya Bali, disamping akan dapat pula memulihkan
kepercayaan anakbuahnya. "Mari kita songsong kedua senopati Sriwijaya itu" serunya
seraya melangkah keluar dari candi setelah habis melakukan
doa sesaji memohon berkah kepada dewa.
Beberapa pemuda Bali-Aga yang menjadi pengawal
segera mengiringkan langkah Pasung Giri. Mereka menunggu
kedatangan orang Sriwijaya di sebuah lapangan.
Tak lama kemudian Arya Damar dan Arya Lembang tiba
dengan pasukannya. Melihat seorang lelaki tinggi besar gagah
perkasa, tegak menggagah di muka sekelompok pemuda2
yang bersenjata. Kedua belah senopati segera saling
menduga satu sama lain. "Hai, orang Sriwijaya" ternyata Pasung Giri berseru lebi h
dulu, "siapakah pemimpin kalian" Siapakah yang bernama
Arya Damar itu " Jika ada, unjukkanlah diri."
"Apakah engkau yang bernama Pasung Giri?" seru Arya
Damar ketika melangkah maju, "akulah Arya Damar."
Pasung Giri tak mau cepat2 menjawab melainkan
memandang arya itu dengan tajam. Beberapa saat kemudian
baru ia berkata, "Ya. Akulah Pasung Giri. Apa maksudmu ?"
"Menangkap engkau," seru Arya Damar dengan nada
garang. "Menangkap aku ?" teriak Pasung Giri, "sayang ..."
"Sayang" Mengapa?"
"Karena akupun hendak menangkap engkau" seru Pasung
Giri, "engkau membawa serigala2 yang hendak mencemarkan
kesucian tanah Bali. Engkau telah membunuh raja Pasung
Rigih, merampas harta benda keraton Bedulu dan membunuh
beberapa ribu rakyat yang tak berdosa."
"Jangan memutar balikkan keadaan," hardik Arya Damar,"
berpuluh ribu anak pasukanku telah engkau bunuh. Aku telah
bersumpah di hadapan mayat mereka akan mengorek hatimu
untuk sesaji mereka."
"Laknat iblis. Jika aku tak dapat merobek-robek tubuhmu,
aku bersumpah tak mau hidup, lebi h baik aku terjun dalam
api." Arya Damar tak mau adu lidah lebih lanjut. "Pasung Giri,
engkau seorang senopati dan akupun demikian juga. Mari kita
selesaikan persoalan ini dengan cara ksatrya."
"Baik" cepat Pasung Giri menanggapi, "mari kita mulai"
Dengan kata2 itu ia segera melayangkan tinju ke dada
lawan tetapi Arya Damar pun sudah siap. Dia memang ingin
menghancurkan Pasung Giri secara tegas dan ganas. Tak
mau ia menggunakan cara dan siasat apa2, tetapi langsung
menyongsong dengan tinju. Krak ......... ketika dua kerat tulang
saling beradu keras, tampaklah bagaimana bobot kedigdayaan
mereka masiug2. Pasung Giri tergetar lengannya dan
mendesuh menahan kejut. Arya Damar tersurut setengah
langkah ke belakang mendesuh menahan kejut dan sakit.
Menurut penilaian, dalam hal pukulan Pasung Giri lebih
unggul. Pasung Giri tahu akan kelebihannya itu dan ia pun segera
memanfaatkannya. Maju selangkah ia melayangkan pula
sebuah pukulan tangan kanan yang mengarah ke dada.
Pukulan itu dilambari dengan tenaga yang keras.
Kali ini Arya Damar mau menggunakan pikiran dari pada
kemarahan. Ia tahu bahwa tenaga lawan lebih kuat dari
dirinya. Apabila nekad menyongsongnya hanya kesakitan
yang akan dideritanya. Dan kesakitan akibat patah tulang akan
membawa akibat pula kekalahan yang memalukan. Kini ia
menyerempaki layang tangan lawan dengan gerak
mengisarkan tubuh ke samping. Selekas tinju Pasung Giri
melayang di sisinya, secepat itu pula ia menyodok lambung
lawan sekeras-kerasnya. "Uh ..." ia mendesuh kejut ketika lambung Pasung Giri
tiba2 mengisar mundur lalu ayunkan kakinya menendang
perut. Arya Damar benar2 tak mengira bahwa lawan memiliki
ilmu kanuragan yang menakjubkan. Dalam keadaan seperti
saat itu, Arya Damar tak dapat berbuat apa2 kecuali loncat
menghindar. Plok ..... ia dapat menyelamatkan perut tetapi
pantat pahanya termakan juga oleh ujung kaki dari Pasung
Giri. Arya Damar harus terhuyung-huyung dulu dua tiga
langkah sebelum dapat berdiri tegak.
Serentak menggelegarlah sorak sorai dari para pengikut
Pasung Giri menyambut kemenangan pemimpinnya. Tanah
lapang seolah bergetar diguncang gema pekik sorak orang2
Bali-Aga itu. Melihat itu merah padamlah wajah Arya Lembang.
Serentak ia lari dan terus menyerang Pasung Giri.
"Lembang, berhenti," sesaat melihat Arya Lembang
menyerbu musuh, Arya Damar pun terkejut dan meneriakinya.
Arya Lembang lebih muda dan lebih berdarah panas dari
Arya Damar. Walaupun tahu bagaimana Arya Damar harus
menahan kesakitan ketika beradu pukulan dengan Pasung
Giri, namun arya muda dari Sriwijaya itu tetap nekad
menghantam. Krak ..... ketika Pasung Giri menangkis, Arya
Lembang terseok-seok mundur. Kemudian diiring sorak gegap
gempita dari orang2 Bali-Aga, Pasung Giri mengayunkan
sebuah tendangan. "Lembang ...." Arya Damar memekik dasi loncat ke muka.
Tetapi ia terkejut dan hentikan gerak loncatannya ketika
melihat Arya Lembang masih dapat menghindar. Ia terlepas
dari tendangan maut yang mengarah pada bawah perutnya
tetapi ia tetap termakan kaki Pasung Giri yang menyentuh
pangkal pahanya. Arya Lembang tak kuasa mempertahankan
keseimbangan diri lagi. Ia terpelanting jatuh tetapi tak sampai
menderita luka parah. Sorak serai yang membahana riuh rendah mengandung
pula gelak tawa mencemoh. Hal itu membuat muka Arya
Damar merah membara. Serentak ia maju menghampiri ke
hadapan Pasung Giri, mencabut keris dan menghardik,
"Pasung Giri, mari kita selesaikan pertempuran ini dengan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung keris." Pasung Giri tertawa mencemoh, "Belum lagi lecet kulitmu,
senopati Sriwijaya, mengapa engkau sudah menghunus
senjata?" "Agar mempercepat perjalananmu menghadap batara
Yamadipati," seru Arya Damar, "sudahlah, jangan banyak
mulut, lekas engkau hunus senjatamu !"
Pasung Giri seorang yang tinggi hati juga. Bahwa dalam
pertarungan tadi ia dapat mengalahkan kedua arya itu,
timbullah kebanggaan dalam hatinya. Ia tak mau mencabut
keris melainkan hendak menghadapi Arya Damar dengan
tangan kosong. Ia merasa mampu mengalahkan arya itu.
Dengan demikian akan semakin naiklah pamornya dimata
orang Bali-Aga. Begitu pula pengikut-pengikutnya tentu akan
bertambah besar semangatnya atas kemenangan pemimpinnya itu. "Sebelum engkau dapat membuktikan bahwa kulitku
terlecet ataupun pakaianku tergurat robek oleh kerismu, aku
takkan mencabut keris untuk menghadapimu," serunya,
dengan nada congkak. Arya Damar makin marah. Namun ia berusaha untuk
mengekangnya. Ia tahu bahwa Pasung Giri memang gagah
perkasa dan digdaya. Harus dilawan dengan sungguh2.
Kemarahan hanya menimbulkan darah meluap, mengaburkan
pikiran terang. Pada hal pertempuran itu merupakan
pertarungan mati hidup. Harus dilakukan dengan pikiran yang
dingin, bukan dengan kepala yang panas.
"Baik, Pasung Giri," seru Arya Damar, "aku telah
menawarkan kepadamu supaya menggunakan senjata. Bukan
salahku apabila engkau menolak sehingga isi perutmu akan
berhamburan keluar."
Pasung Giri tertawa gelak2. "Apabila engkau mampu
menghamburkan isi perutku, pertanda gunung Batur akan
meletus." "Sebelum gunung Batur meletus, bumi Bali sudah akan
kuratakan dengan tanah." Arya Damar menutup kata-katanya
dengan membuka sebuah serangan, menusuk ke dada lawan.
Dengan menghambur tawa cemoh, Pasung Giri berkisar
langkah kesamping lalu menebas tangan Arya Damar. Arya itu
terkejut dan menyurut munduf tetapi Pasung Giri pun sudah
menyusuli pula dengan sebuah pukulan dan tendangan. Arya
Damar tampak gugup dan mundur lagi.
Demikian berlangsunglah pertarungan yang seru antara
Pasung Giri yang tak menggunakan senjata dengan Arya
Damar yang memakai keris. Walaupun hanya dengan kedua
tangan, tetapi Pasung Giri tetap lebih perkasa dan lebih dapat
melancarkan serangan2 yang memaksa lawan sibuk
menghindar dan menyurut mundur.
Pada saat itu Arya Lembang pun sudah berdiri. Ia
mengikuti pertarungan itu dengan penuh perhatian. Diam-diam
tangannya menjamah tangkai kerisnya. Bilamana Arya Damar
menderita bahaya, ia akan loncat untuk memberi bantuan. Ia
merasa cemas melihat Arya Damar sibuk menghadapi
serangan2 lawan. Diam2 iapun heran juga mengapa Arya
Damar sedemikian lamban dan lemah permainan kerisnya.
Pada hal ia tahu bahwa Arya Damar itu paling sakti apabila
bertempur dengan menggunakan senjata keris.
Orang2 Bali-Aga pengikut Pasung Giri tampak riang
gembira mengikuti jalannya pertarungan itu. Mereka percaya
bahwa pemimpin mereka tentu dapat mengalahkan lawan.
Tiba2 suatu perobahan yang tak terduga-duga telah
terjadi. Arya Damar yang tampaknya tak berdaya lagi
menghadapi sebuah pukulan yang dilancarkan Pasung Giri,
diluar dugaan telah menyelinap ke bawah, selekas pukulan
melayang lewat di atas kepalanya, dengan suatu gerakan
yang cepat dan tak terduga-duga, ia sarangkan kerisnya ke
perut Pasung Giri. Pasung Giri terkejut. Namun ia sudah tak
sempat menghindar lagi. Dalam keadaan yang amat terpaksa,
ia tamparkan tangan kirinya pada keris Arya Damar. Cret.....
tiba-tiba pula Arya Damar hentikan tusukannya ke perut, dan
berganti menyongsong kan ujung keris ke telapak tangan
lawan. "Uh ...." Pasung Giri mengerang ketika telapak tangannya
tertembus ujung keris. Cepat ia loncat mundur lalu hendak
mencabut keris juga. Tetapi kali ini Arya Damar tak mau memberi kesempatan
lagi. Sebelum lawan dapat bersiap, ia loncat mengancamkan
kerisnya ke dada. Saat itu tangan Pasung Giri sudah
menjamah tangkai keris yang segera dicabutnya. Saat itu ia
tak menghiraukan lagi telapak tangannya yang terluka dan
berdarah. Dengan sekuat tenaga, ia segera menusukkan
kerisnya ke tenggorokan Arya Damar.
Arya Damar memang sudah siap menghadapi gerakan
lawan semacam itu. Sebenarnya tusukan kedada lawan itu
hanya suatu gerak tipu untuk memancing agar lawan balas
menyerang atau menangkis. Maka ketika Pasung Giri
menusuk lehernya, sekonyong-konyong Arya Damar
mengendapkan tubuh ke bawah sehingga keris lawan
melayang diatas kepala dan menusuk angin. Saat itulah yang
dinantikan Arya Damar. Sebelum lawan sempat menarik
kembali kerisnya, dengan kecepatan yang luar biasa, Arya
Damar beranjak bangun dan cret ..."
"Ih" Pasung Giri mendesuh keras ketika ujung keris Arya
Damar terbenam kedalam perutnya. "Auhhuih" ia menjerit
ngeri ketika Arya Damar mengungkitkan keris keatas dan lalu
membelahkam ke bawah lagi sehingga usus berhamburan
menumpati keluar. Wajah Pasung Giri tampak pucat lesi tetapi sesaat
kemudian merah membara. Dia memang seorang yang amat
kuat sekali. Walaupun usus sudah berhamburan keluar dari
perut, namun ia masih kuat berdiri tegak bahkan ketika melihat
Arya Damar tegak kesima menyaksikan keadaan lawan yang
mangerikan itu, sekonyong-konyong Pasung Giri loncat
menubrukkan tubuh dan keris kepada Arya Damar.
Melihat tindakan yang nekad dari Pasung Giri, menjeritlah
Arya Lembang serta sekalian prajurit Sriwijaya. Dalam sejarah
pengalaman mereka bertempur baik melawan perorangan
maupun di medan perang, belum pernah mereka menyaksikan
seorang manusia yang seperkasa dan sekalap Pasung Giri.
Kejut Arya Damar sendiripun lebi h dari disambar petir. Dalam jarak
yang sedemikian dekat dan
terkaman lawan yang tak terduga-duga dan sedemikian cepat, ia tak sempat berbuat suatu apa lagi. Apabila ia songsongkan
keris, Pasung Giri tentu mati
tetapi ia sendiripun tentu
tertikam juga. Padahal tanpa
ia harus menusuk lagi, Pasung Giri tentu akan mati
juga karena perutnya robek.
Oleh karena itu tak mau ia
menusuk karena hal itu hanya merugikan dirinya, menguntungkan lawan. Namun untuk melepaskan diri dari terkaman lawan tiada lain jalan kecuali melakukan benturan senjata. Setelah memutuskan bahwa
yang penting harus menggempur keris lawan maka iapun
segera menghantamkan keris kearah keris Pasung Giri.
Menjeritlah prajurit2 Sriwijaya ketika melihat Arya Damar
terlempar ke belakang dan rubuh ke tanah. Arya Lembang
cepat lari menghampiri dan memeluknya. "Kakang Damar" ia
berteriak gemetar ketika melihat dada Arya Damar berlumur
darah, "apakah ....."
Arya Damar menggeliat duduk sambil mendekap tangan
kanannya yang berlumur darah. "Bagaimana Pasung Giri ?"
Saat itu Arya Lembang legah hatinya. Arya Damar hanya
tertusuk tangannya. Darah yang melumuri pakaiannya
hanyalah berasal dari luka tangannya itu. Serentak mendengar
pertanyaan Arya Damar, Arya Lembang pun cepat
melontarkan pandang mata kearah Pasung Giri. Tetapi yang
tampak di tengah lapangan saat itu adalah berpuluh orang
Bali-Aga sedang berkerumun dalam sebuah lingkaran ketat.
Entah apa yang dihirukkan tetapi tak lama kemudian
merekapun segera bergerak meninggalkan tempat itu.
Tubuh Pasung Giri pun sudah tak ada, Tentulah dibawa
oleh para pengikutnya. Rupanya karena masih terpesona oleh
apa yang disaksikan tadi maka baik Arya Damar maupun Arya
Lembang hanya terlongong-longong memandang mereka.
Prajurit2 Sriwijaya karena tak mendapat perintah dari
senopatinya, pun tak berani bergerak. Apalagi rombongan
orang Bali-Aga itu mengawal dengan ketat jenazah Pasung
Giri. Arya Damar menghela napas. Ia berangkat mencari balas
pada Pasung Giri dengan amarah yang menyala-nyala. Tetapi
setelah bertemu, bertempur dan membunuhnya, ia
tercengang-cengang seperti kehilangan semangat.
Saat itu surya hampir rebah ke peraduan. Cuaca mulai
menampakkan keusaian. Tiba2 seorang lurah prajurit
menghadap, "Raden" katanya "anak pasukan raden siap
menunggu perintah." Arya Damar bangun. Ia telah membalut tangannya yang
terluka ujung keris Pasung Giri. Sebelum ia sempat menjawab,
Arya Lembang sudah mendahului, "Tunggulah! Adakah kalian
tak melihat tangan kakang Damar yang terluka itu ?"
"Maafkan, raden" seru lurah prajurit itu seraya memberi
hormat. Namun ia tak mengundurkan diri, "tetapi raden"
katanya pula, "hari sudah menjelang petang. Tidakkah
sebaiknya kita mencari tempat untuk meneduh malam ini ?"
"Kukatakan" kata Arya Lembang, "tunggu saja sebentar
setelah kakang Damar memberi perintah"
Lurah itu menghela napas.
"Tembalang, mengapa engkau menghela napas?" tegur
Arya Lembang. "Ah, tidak apa2, raden. Kecuali hanya merasa sayang."
"Apa yang engkau sayangkan?"
"Kita telah melewatkan suatu kesempatan yang baik untuk
menyudahi peperangan ini."
Arya Lembang merentang mata memandang lurah prajurit
itu. "Maksudmu?"
"Misalnya kami menerima titah raden, agar setelah
senopati Pasung Giri binasa, kita serang mereka, tentulah kita
dapat menghancurkan mereka."
Arya Lembang terbeliak. Memang apa yang dikatakan
lurah Tembalang itu benar. Pada saat Pasung Giri rubuh,
semangat orang2 Bali-Agapun tentu ikut runtuh. Apabila saat
itu mereka diserang, tentu mudah untuk menghancurkan
mereka. Diam2 ia menyesal mengapa tak menurunkan
perintah kepada prajuritnya. Ia pun malu mengapa ia hanya
tercengkam oleh kepukauan suasana saat itu.
"Hm" tiba2 Arya Damar mendengus, "mungkin engkau
benar, Tembalang." Lurah prajurit yang bernama Tembalang itu terkejut dan
menghadap kearah Arya Damar. Diam2 ia merasa bangga
dalam hati karena pendapatnya itu disetujui oleh senopati.
"Tetapi mungkin engkau salah," sebelum rasa bangga itu
bertebaran meluas dalam hati dan pikiran lurah, Arya
Damarpun sudah menyusuli kata2.
Lurah Tembalang terbeliak. Matanya menyalang pandang
bertanya kepada Arya Damar.
"Tidakkah engkau memperhatikan sikap dan pandang
mata orang2 Bali-Aga ketika melihat pemimpinnya rubuh itu,
Tembalang?" "Tidak, raden" sahut Tembalang tergagap.
"Sayang," kata Arya Damar, "andaikata engkau
memperhatikan mereka tentulah akan tahu betapa merah kilat
sinar mata mereka, tentulah engkau mempunyai pertimbangan
lain dari hal2 yang engkau merasa sayang tadi."
"Raden" kata lurah Tembalang, "hamba percaya sepenuh
apa yang hamba wajib percaya. Itulah perasaan yang harus
dan wajar timbul dalam hati mereka."
"Hm" desuh Arya Damar yang tahu apa yang dimaksud
lurah prajurit itu. "Tembalang, andaikata aku yang binasa,
bagaimanakah sikapmu dan prajurit2 Sriwijaya?"
"Hamba dan sekalian anakbuah hamba akan menyerang
mereka, raden." "Untuk belapati kepada senopatimu dan agar seluruh
pasukan Sriwijaya ludas dibumi Bali ini?"
Lurah Tembalang terbeliak.
"Tidak, raden. Hamba akan menuntut balas untuk paduka."
"Walaupun engkau mengetahui
bahwa kekuatan anakbuahmu kalah besar jumlahnya dengan musuh?"
Tembalang tak dapat menyahut.
"Kesetyaanmu patut dipuji, Tembalang," kata Arya Damar,
"tetapi kesetyaan tanpa dasar hanya suatu kesetyaan buta,
kesetyaan yang tidak memenuhi kesetyaan. Engkau setya
kepadaku, tetapi akhirnya engkau membawa anakbuah
pasukanmu hancur semua. Pada hal, kesetyaan yang kutuntut
yalah kesetyaan dapat melanjutkan tugas dengan berhasil.
Aku mati, tetapi tugas belum selesai. Jika karena tindakanmu
itu mengakibatkan kehancuran pasukan kita sehingga tak
dapat melanjutkan tugas, adakah engkau menganggap
tindakan itu setya kepadaku?"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lurah Tembalang terdiam. "Orang2 Bali-Aga marah sekali karena pemimpin mereka
Pasung Giri kubunuh. Seperti dengan sikapmu merekapun
ingin menumpas kita. Tetapi hanya dalam sikap mereka sama
dengan engkau, dalam hal pertimbangan mereka berbeda.
Mereka tak mau melakukan serangan itu karena menyadari
bahwa kekuatan mereka saat tadi, tak mungkin dapat
mengalahkan kita." Masih lurah Tembalang tertegun.
"Tembalang" kata Arya Damar pula "semut itu binatang
kecil, bukan" Tetapi cobalah engkau pijak, dia tentu akan
menggigitmu. Bukan karena semut itu berani melawanmu
melainkan karena terpaksa harus melawanmu. Demikian pula
dengan orang2 Bali-Aga tadi. Apabila kita serang, mereka
tentu akan nekad dan melawan kita dengan kalap."
"Raden" kali ini baru Tembalang membuka mulut, "dalam
peperangan hanya membunuh atau dibunuh."
"Dalam ilmu peperangan pun terdapat pepali bahwa
musuh yang sudah terdesak, baik jangan di tekan karena
mungkin mereka akan melakukan perlawanan nekad
sebagaimana laku semut yang dipijak itu. Dan ...." tiba2 Arya
Damar terhenti, "lurah Tembalang, tarik mundur pasukan kita
ke atas dataran tinggi di luar desa ini."
"Raden ...." "Lakukan perintahku!" hardik Arya Damar sehingga lurah
prajurit itu menyurut nyalinya dan segera mengundurkan diri
kembali ke dalam pasukannya.
Dataran tinggi yang dipilih Arya Damar untuk perkemahan
pasukannya itu memang letaknya bagus sekali. Sebuah
daerah yang penuh dengan batu2 besar. Dari atas batu,
dapatlah memandang ke sekeliling penjuru sehingga apabila
orang2 Bali-Aga melakukan sergapan, mudahlah dengan
cepat diketahuinya. Pun batu2 yang tersedia ditempai itu,
dapat juga digunakan sebagai senjata. Dengan menggelindingkan batu2 itu ke bawah, gerakan musuh tentu
dapat dihancurkan. "Lembang" kata Arya Damar sesaat malam itu keduanya
duduk bercakap-cakap, "apa yang engkau perhatikan pada
diriku?" "Kakang Damar tampak bermuram
bersemangat" kata Arya Lembang.
durja dan tak "Ya" jawab Arya Damar "tentulah engkau dan anakbuah
kita heran melihat perobahan sikapku secara tiba2 itu"
Arya Lembang mengiakan. "Benar, kakang Damar. Aku
dan kukira tentu anak pasukan kita, diam2 merasa heran
mengapa kakang membawa sikap yang jauh bedanya dengan
saat kakang berangkat memimpi n pasukan
untuk menggempur Pasung Giri."
"Lembang" kata Arya Damar "apa yang dikemukakan lurah
Tembalang itu memang benar. Seharusnya aku segera
memberi perintah kepada anak pasukan kita supaya
membasmi orang2 Bali-Aga. Kutahu hal itu tetapi tak
kulakukannya. Tahukah engkau apa sebabnya?"
"Kakang telah menguraikan hal itu kepada Tembalang,"
kata Arya Lembang. Arya Damar gelengkan kepala. "Bukan, Lembang. Apa
yang kukatakan kepada Tembalang tadi, hanyalah suatu
pembelaan dari tindakan yang telah terlanjur kulakukan.
Tembalang lebi h benar. Sebenarnya akupun akan mengambil
tindakan seperti yang diharapkan Tembalang itu tetapi ada
sesuatu yang mengingatkan aku."
Arya Lembang terkesiap lalu mencurah pandang bertanya
kepada Arya Damar. "Lembang" kata Arya Damar "masih ingatkah engkau akan
utusan Majapahit yang bertemu kita di laut itu ?"
Arya Lembang mengangguk, serunya, "O, adakah hal itu
yang menjadi landasan dan pemikiran kakang Damar?"
"Benar" jawab Arya Damar" betapapun aku telah
melanggar titah baginda Majapahit dan akupun merasa akan
menerima pidana dari baginda"
"Kakang Damar" kata Arya Lembang dengan nada kurang
puas," memang baginda Majapahit berhak dan wajib pula
menjatuhkan pidana kepada kita karena kita telah membunuh
Pasung Giri. Tetapi baginda tentu akan bertindak bijaksana
manakala telah kita laporkan tentang keadaan pasukan kita
yang dibunuh oleh pasukan Pasung Giri."
Arya Damar tertawa hambar. "Adakah engkau yakin
bahwa baginda Jayanagara akan bertindak seperti yang
engkau bayangkan itu?"
"Aku tak berani memastikan, kakang Damar," sahut Arya
Lembang, "andai baginda tetap menjatuhkan pidana, kita tentu
tak dapat berbuat apa2. Itu hak dan wewenang baginda.
Tetapi kita pun berhak dan wajib memegang pendirian kita,
kakang. Adakah jiwa seorang Pasung Giri lebih berharga dari
tujuhbelas ribu prajurit Sriwijaya ?"
"Benar, Lembang," kata Arya Damar, "lalu bagaimana
tindakan kita apabila baginda Jayanagara benar2 tetap
menjatuhkan hukuman kepada kita?"
Arya Lembang termangu tak dapat menjawab.
"Bukankah engkau hendak mengatakan supaya kita
pulang saja ke Sriwijaya?" Arya Damar memberi saluran apa
yang terkandung dalam hati Arya Lembang.
"Benar, kakang Damar," kata Arya Lembang, "kita telah
membantu Majapahit tetapi bukan jasa atau penyambutan
manis yang kita terima melainkan pidana."
Arya Damar mengangguk. "Ya. Benar, Lembang. Kita
kembali ke Sriwijaya, menghadap eyang patih Daun Lebar dan
melaporkan bahwa kita telah kehilangan tujuhbelas ribu
prajurit, bahkan kita telah menerima murka baginda
Jayanagara dan bahwa kita pulang dengan membawa
kekalahan yang menyerupai suatu aib petaka."
Arya Lembang terkesiap. "Dan apa kata eyang Demang, Lembang " Tentulah eyang
Demang akan memuji-muji tindakan kita sebagai utusan
Sriwijaya yang memalukan Sriwijaya, kehilangan sekian
banyak prajurit dan memecah kepercayaan Majapahit.
Tidakkah demikian, Lembang?"
Pucat seketika cahaya muka Arya Lembang mendengar
uraian Arya Damar yang bernada sedap tetapi berisi
dampratan yang tajam. Ia terlongong tak mampu bicara.
"Lembang," kata Arya Damar, "ketahuilah bahwa dalam
percaturan hidup, di masyarakat ataupun di pemerintahan,
memang orang harus tahu, kenal dan menghayati warna dan
liku-likunya. Terutama di kalangan pemerintahan, kita harus
pandai mawas diri, menyesuaikan keadaan dan bertindak
hati2. Disamping kerugian2 yang akan kita derita apabila kita
kecewa lalu pulang ke Sriwijaya itu, pun masih terdapat pula
suatu hal yang merugikan kita."
"O, apakah itu, kakang Damar?"
"Apabila kita kembali ke Sriwijaya, siapakah yang akan
mendapat manfaat besar?" tanya Arya Damar.
"Patih Dipa," seru Arya Lembang serentak.
"Ah, kiranya engkau sudah tahu, Lembang. Hal itulah yang
wajib kita perhitungkan. Apabila kita pulang ke Sriwijaya,
kedudukan patih Dipa akan makin meningkat dan dengan
demikian kita pun akan menjerumuskan kakang Arya Kembar
ke arah kedudukan yang lebi h merosot. Tidakkah tindakan kita
itu akan mengakibatkan bermacam kerugian dan pengaruh
buruk pada beberapa fihak?"
Akhirnya Arya Lembang menyerah dalam kepaserahan. Ia
mengakui bahwa Arya Damar itu memang mempunyai
pengetahuan dan pandangan lebih luas.
"Besok kita kembali ke Ularan," jawab Arya Damar atas
pertanyaan Arya Lembang mengenai langkah yang akan
diambil. "Engkau Lembang, kuserahi untuk memimpin
pasukan kita. Pertahankanlah kedudukan kita, jangan
dirangsang nafsu untuk menyerang. Tunggu setelah aku
kembali lagi ke sini."
"Kakang Damar hendak kemana?" Arya Lembang terkejut
mendengar kata2 Arya Damar.
"Kita harus menunjukkan pada baginda Jayanagara dan
para mentri senopati kerajaan Majapahit bahwa ksatrya
Sriwijaya itu juga bernilai luhur, memiliki martabat keksatryaan
yang perwira. Aku akan menghadap baginda di pura Majapahit
untuk menerima pidana apapun yang hendak baginda
jatuhkan pada diriku. Andaikata aku mendapat pidana, maka
yang menderita hanyalah aku seorang. Semua peristiwa di
Bali termasuk kematian Pasung Giri adalah tanggung jawabku.
Arya Damar boleh lenyap dalam percaturan pemerintahan,
tetapi arya2 dari Sriwijaya, Arya Kembar, Arya Wurak, Arya
Lembang dan lain2, masih tetap mendapat kepercayaan
penuh dari baginda dan tak sampai kehilangan muka dalam
penempatan diri di pura Majapahit."
"Kakang Damar!" teriak Arya Lembang.
"Apa yang hendak engkau katakan, Lembang?" tegur Arya
Damar. "Kakang Damar" seru Arya Lembang, "idinkanlah aku yang
menghadap baginda di Majapahit. Arya Lembang picik
pengetahuan, dangkal pengalaman. Hilang seorang Lembang
tidaklah akan mempengaruhi tujuan kita bersama di Majapahit.
Tetapi apabila kakang Damar yang hilang, kita akan menderita
kerugian besar." "Lembang ...." "Kakang Damar," cepat Arya Lembang merebut
pembicaraan, "aku berbicara dengan rasa kesadaran
tanggung jawab sepenuhnya terhadap gerak tujuan kita para
arya di pura Majapahit. Jauh dari maksudku hendak
menyelimutkan sifat keksatryaan dengan tindakan supaya
dipuji sebagai seorang ksatrya. Lepas pula maksud hatiku
untuk berkorban asal berkorban. Tetapi memang dengan
keyakinan sepenuhnya, aku mengajukan permintaan ini.
Sudilah kakang Damar meluluskannya."
Serta merta Arya Damar memeluk Arya Lembang.
Dikecupnya ubun2 kepala arya yang lebih muda usia dari
dirinya itu. "Lembang, aku gembira sekali mendengar
pernyataanmu itu. Kini jelas sudah, bahwa engkau memiliki
rasa tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi. Hal itu makin
menghapus kecemasanku. Dengan hati lapang aku akan
menghadap baginda Jayanagara. Bukan aku hendak menolak
karena meremehkan dirimu. Tetapi kebalikannya, seluruh
kepercayaanku telah tertumpah kepadamu. Engkau tentu
dapat melanjutkan tujuan kita dengan berhasil. Engkau harus
percaya, Lembang. Bahwa apabila kululuskan permintaanmu,
memang mudah sekali. Engkau akan dijatuhi pidana mungkin
juga engkau akan disingkirkan dan dikirim kembali ke
Sriwijaya. Tetapi apabila kutolak keinginanmu itu, berarti
engkau akan memikul beban kewajiban yang lebi h berat. Dan
kupercaya, ksatrya Sriwijaya tentu takkan lari dari beban
kewajiban, betapa besar dan berat tanggung jawab yang
harus dihadapinya." Akhirnya setelah melalui penjelasan dan uraian panjang
lebar, Arya Lembang menerima juga untuk mewakili Arya
Damar memimpin pasukan Sriwijaya di Ularan. Arya Damar
berangkat ke Majapahit. O0o-dwkz-mch-ismo-o0O II Baginda Jayanagara murka sekali karena Arya Damar
melanggar titah. Telah dititahkan agar Pasung Giri ditangkap
hidup dan dibawa ke Majapahit tetapi ternyata Arya Damar
telah membunuhnya. Arya Damar mengemukakan alasan2 mengapa ia sampai
membunuh Pasung Giri. Bukan karena sengaja tak mentaati
titah baginda, melainkan karena dirangsang oleh nafsu
kemarahan akibat tujuhbelas ribu prajurit Sriwijaya telah mati
diserang orang2 Bali-Aga yang dipimpin Pasung Giri.
Baginda Jayanagara tertawa mencemoh.
"Arya Damar" titah baginda, "engkau sebagai seorang
senopati dari sebuah pasukan yang sedemikian besar,
ternyata masih belum dapat memisahkan antara titah raja
dengan kepentingan peribadimu. Titah raja harus ditaati
sepenuh jiwa raga. Demikian tata kehidupan undang2 dalam
kerajaan Majapahit, maupun sifat ksatrya Majapahit"
"Walaupun dalam hal kepentingan peribadi yang engkau
utamakan itu berlandaskan rasa kemarahan dan tanggung
jawabmu sebagai seorang senopati yang telah kehilangan
sekian banyak prajurit tetapi hal itu tetap suatu tindak dan
sikap yang tidak mentaati titah raja?" ujar bagi nda pula,
"apabila engkau mau merenungkan lebih dalam, sesungguhnya kekalahan yang engkau derita itu, bukanlah
salah kerajaan Majapahit yang mengikut sertakan engkau
dalam rombongan utusan Majapahit ke Bali. Dan sama sekali
tiada kaitannya dengan titah raja yang lelah disampaikan
utusanku itu. Sebagai seorang senopati engkau harus berani
dan mau mengakui bahwa kekalahan itu adalah atas
kesalahanmu sendiri dalam memimpi n pasukan. Tepatkah
kesalahan yang engkau lakukan sendiri itu engkau carikan
sasaran penampung kemarahanmu dengan membunuh
Pasung Giri" Dengan melanggar titah raja?"
Dampratan yang tajam dari baginda Jayanagara itu telah
membuat Arya Damar gemetar dan tak dapat menjawab. Serta
merta ia memberi sembah serta memohon ampun kebawah
duli bagi nda. Dalam hati baginda Jayanagara mentertawakannya. Ia
memandang hina pada sifat Arya Damar, yang bukan bersedia
menerima pidana atas kesalahan yang dilakukannya


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melainkan memohon ampun. Baginda lebih menghargai
apabila dia menyatakan menyerahkan diri atas keputusan
apapun yang hendak dijatuhkan kepada dirinya.
Setelah mengalami berbagai peristiwa dalam kerajaan, kini
baginda Jayanagara makin masak pikiran dan makin
bertambah pengalamannya. Andaikata yang melakukan
kesalahan itu seorang senopati Majapahit, tentu saat itu
baginda akan segera menjatuhkan hukuman pidana yang
berat. Mungkin dihukum mati atau paling tidak tentu akan
dicopot kedudukannya. Tetapi karena yang bersalah itu seorang arya dari
Sriwijaya, bagindapun tak mau tergesa-gesa menjatuhkan
keputusan karena hal itu tentu akan menyangkut nama baik
Sriwijaya. Bukan karena takut kepada Sriwijaya tetapi karena
ada lain hal yang harus diperhitungkan yakni ibunda ratu
Indreswari. Ibunda ratu Indreswari tentu tak gembira
mendengar berita itu. Baginda tak mau mengecewakan hati
ibunda ratu untuk hal2 yang kurang penting.
Akhirnya bagi nda memutuskan, menitahkan Arya Damar
kembali lagi ke Bali untuk melanjutkan tanggung jawabnya
sebagai pimpinan pasukan Sriwijaya. Baginda menitahkan
bahwa beliau hanya mau menerima Arya Damar menghadap
lagi apabila peperangan di Bali itu sudah selesai dan keadaan
Bali pun sudah tenteram. Demikian Arya Damar kembali pula ke Ularan dan
memimpin pasukannya. Walaupun selama dalam berlayar ke
Ularan ia merenung dan memikir apa gerangan maksud yang
tersembunyi dalam titah baginda Jayanagara yang berkenan
memberi ampun dan memerintahkan supaya dia kembali ke
Ularan lagi, namun sampai tiba di tempat tujuan nusih belum
juga ia berhasil mengungkap hal itu. "Ah, mungkin baginda
memang bersungguh hati melimpahkan pengampunan kepada
diriku," akhirnya ia menarik kesimpulan.
"Lembang," kata Arya Damar setelah berkumpul kembali
dengan pasukannya di Ularan, "kali ini kita berada di ujung
perjalanan yang tak mungkin kembali lagi. Apabila kita gagal
menyelesaikan Bali, arwahku yang kembali ke Sriwijaya,
mayatku akan berkubur di bumi ini."
Arya Lembang pun menyadari akan perasaan Arya Damar,
menyadari pula akan tanggung jawab yang dihadapi di medan
pertempuran. Kemudian ia bertanya bagaimana langkah yang
hendak diambil Arya Damar.
"Kekuatan pasukan kita yang tinggal tiga ribu orang itu
terlampau sedikit sekali. Kita harus menambah jumlahnya,"
kata Arya Damar. "Lalu bagaimana cara kita menambah jumlah prajurit itu,
kakang Damar ?" "Dalam hal ini terpaksa kita harus berpaling kepada pesan
patih Dipa," kata Arya Damar, "bahwa dalam penyerangan ini
kita harus berlaku bijaksana untuk memikat hati orang2 Bali."
"Tetapi kakang Damar," kata Arya Lembang "jika orang
Bali-Aga jelas tentu tak mau menyerah pada kita. Kita hanya
dapat memakai bantuan orang2 bukan Bali-Aga"
Arya Damar mengangguk. "Dan jalan yang terbaik untuk mendapat bantuan mereka
kita harus membeli hati mereka dengan barang2 hadiah dan
benda2 berharga" kata Arya Lembang pula.
Demikian tercapailah kesepakatan kedua arya itu untuk
melaksanakan rencananya. Dan mereka berhasil mendapat
tenaga2 yang mau masuk menjadi prajurit. Dari sisa yang
hanya tinggal tiga ribu prajurit, beberapa bulan kemudian
dapatlah jumlah itu bertambah menjadi tigapuluh ribu,
Dengan jumlah pasukan yang kian besar itu dapatlah Arya
Damar dan Arya Lembang mencapai kemajuan pesat dalam
penyerangannya ke daerah pedalaman. Tujuan mereka akan
menembus ke selatan dan bergabung dengan pasukan patih
Dipa yang akan menyerang ke utara.
Peperangan itu makan waktu cukup lama juga. Hampir
tujuh bulan pasukan Sriwijaya tertahan di Kali. Karena kedua
arya itu mendapat pengalaman bahwa bukan kecepatan
menduduki suatu daerah yang penting tetapi daerah2 yang
diduduki itu dapat diamankan dari serangan musuh, kehidupan
rakyat dapat dipulihkan pula dan pemerintahan setempat
dapat berjalan lancar. Ternyata terjadi salah faham antara pimpinan pasukan
Majapahit dengan pimpinan pasukan Sriwijaya. Patih Dipa
belum memulai gerakan menyerang ke utara sedang Arya
Damar pun tidak mendapat kabar suatu apa dari patih Dipa.
Kemudian mereka sama2 bergerak. Yang satu menuju ke
utara dan yang dari utara menuju ke selatan.
Tiba2 datanglah seorang utusan dari Majapahit,
Tumenggung Kuda Pengasih, demikian nama kepala utusan
nata itu, datang ke Bali untuk membawa amanat dari baginda,
bahwa kedua panglima itu di titahkan pulang ke pura kerajaan.
Tumenggung Kuda Pengasih tidak menempuh perjalanan
ke selatan melainkan ke utara. Dia mendarat di pantai Ularan
pula dan bertemu dengan Arya Damar dan Arya Lembang.
Kedua arya itu menyambut utusan sang nata dengan penuh
kehormatan. Ketika mendengar keterangan dari tumenggung Kuda
Pengasih tentang titah baginda memanggil pulang kedua
panglima di Bali, diam2 timbullah suatu rencana dalam hati
Arya Damar, la merasa dalam peperangan di Bali ini, jasa
yang besar tentu akan diraih patih Dipa. Bukan saja patih itu
dipercayakan sebagai pimpinan seluruh armada Majapahit dan
Sriwijaya, pun selama dalam peperangan ini berhasil
menundukkan kerajaan Bedulu dan mengamankan kerajaan
itu. Jelas patih itu bersih dari kesalahan. Kebalikannya dia,
Arya Damar, pernah melanggar titah raja karena membunuh
Pasung Giri. Betapapun dia tentu takkan mendapat ganjaran
besar. Mungkin jasa yang diperolehnya dalam menyelesaikan
peperangan itu hanya uutuk penebus kesalahan membunuh
Pasung Giri itu. Dengan hormat sekali Arya Damar sendiri yang melayani
perjamuan untuk tumenggung Kuda Pengasih. Dititahkannya
rombongan penari untuk menghibur utusan nata itu.
Setelah memperhatikan tumenggung Kuda Pengasih yang
masih berusia muda itu mulai mabuk tuak, maka sambil
tertawa riang berkatalah Arya Damar, "Ki Tumenggung, pulau
Bali ternyata sebuah negara yang indah. Alam pemandangan
dan rakyatnya yang mencintai kedamaian, ketenangan dan
patuh memuja dewa2, terutama kebudayaan dan kesenian
rakyat Bali, sungguh mengagumkan sekali. Hidup di daerah ini
rasanya seperti di Sorgaloka. Bukankah demikian, ki
Tumenggung?" Tumenggung Kuda Pengasih terlelap dari pengaruh tuak.
Tuak Bali memang sedap dan lezat. Tetapi Arya Damar
sengaja menghidangkan yang keras tetapi lambat jalannya.
Bermula tentu hanya merasa sedap enak sehingga berani
minum melampaui ukuran. Dan setelah daya tuak itu mulai
bekerja, barulah tumenggung itu kehilangan kesadarannya.
"Ya" sahutnya, "memang bagaikan hidup di Indraloka.
Candi2 menebarkan kemelut asap dupa yang wangi, nyanyian
doa puji berkumandang memenuhi penjuru dan wanita2......"
"Cantik, langsing dan lemah gemulai" tukas Arya Damar
tertawa gelak2 "mereka pandai menari dalam berbagai tarian.
Mereka ramah dan halus budi bahasa. Sifat2 itu tampak dalam
gerak tarian yang mereka bawakan. Silahkan ki tumenggung
memperhatikan beberapa gadis yang tengah mempertunjukkan kemahirannya menari di hadapan ki
tumenggung itu. Bukankah jarang kita mendapatkan
pemandangan sedemikian di pura kerajaan Majapahit?"
Tumenggung yang sudah setengah mabuk itu mengangguk. "Benar. Disini kehidupan berjalan tenang dan
tenteram. Penuh kedamaian dan keindahan. Beda dengan
kehidupan di pura kerajaan Majapahit yang megah tetapi
penuh kesibukan2 yang menegangkan."
"Ah, kiranya ki tumenggung seorang pemuja ke-indahan
hidup yang memiliki selera tinggi." Arya Damar memuji,
"akupun sependapat juga dengan ki tumenggung! Di Sriwijaya
jarang aku menjumpai gadis yang secantik rombongan gadis
penari itu. Apabila baginda berkenan, aku merasa amat
bahagia sekali apabila di tetapkan sebagai adipati atau
apapun juga. Kedudukan dan pangkat tak penting, asal aku
tetap berada di negara ini."
Saat itu Arya Damar sempat memperhatikan bahwa
sepasang bola mata tumenggung Kuda Pengasih mulai
membara. Diam2 ia girang dan menduga bahwa bahan
campuran yang diramukan kedalam tuak rupanya sudah mulai
bekerja. Mata berapi-api, wajah merah dan napas memburu
keras, pertanda dari bangkitnya nafsu kejantanan.
Dan ketika Arya Damar memperhatikan bahwa pandang
mata tumenggung itu melekat pada salah seorang gadis
penari yang masih dara remaja dan paling cantik dalam
rombongannya, segera ia memanfaatkan kesempatan itu. "Ki
tumenggung, mereka telah rela mengabdi kepada kita karena
tahu bahwa kerajaan Majapahit itu sebuah kerajaan besar
yang mampu mengayomi kerajaan Bali. Merekapun tertarik
akan orang2 kita yang lebih susila dan ramah dari kaum lelaki
Bali. Apabila ki tumenggung berkenan menginginkan salah
seorang dari gadis2 penari itu. dengan segala kerendahan hati
akan kami haturkan kepada ki tumenggung. Bagi kami, hal itu
merupakan suatu kebahagiaan dan kehormatan besar."
Tumenggung Kuda Pengasih terbeliak. Terjadi bentrokan
antara pengaruh tuak yang membangkitkan nafsu kejantanannya dengan kesadaran pikirannya yang walaupun
pudar tetapi masih belum lenyap sama sekali.
"Kurasa, dara remaja
yang menari di tengah kawannya itu adalah yang paling cantik sendiri. Dia
bernama ni Saraswati, baru
seorang dara yang tengah mekar dalam keranumannya ...." Mata tumenggung Kuda Pengasih berkilat-kilat dan
wajahnya makin merah, napas memburu makin keras. Namun dia tak memberi jawaban apa2. Tetapi bagi Arya Damar hal itu bukan suatu kegagalan. Ia tahu bahwa tumenggung itu rupanya tak
biasa bergaul dengan wanita2 cantik. Rasa malu
masih tebal menghinggapinya. Demikian setelah minum dan
bercakap-cakap sampai puas, perjamuan itupun segera
dibubarkan. Atya Damar mengantar sendiri tumenggung Kuda
Pengasih ketempat yang khusus disediakan untuk utusan nata
itu. Sebuah bilik yang bersih dan dihias indah. Asap wangi
bertebaran mengemelut dari sebuah tempat pedupaan.
Berbaring disebuah tempat tidur yang beralas beludru lunak,
perasaan tumenggung Kuda Pengasih bagaikan melayanglayang di lain alam yang penuh keindahan dan keteduhan.
Pikiran yang telah kabur dilelap daya tuak serentak
membayang sesuatu yang sesuai dengan keinginan nafsunya.
Nafsu sebagai seorang pria yang masih muda. Ia
menginginkan seorang puteri cantik dapat mendampingi untuk
bersama-sama melayari lautan sari madu, menuju ke
Cakrakembang tempat sang Batara Kamajaya bersemayam..... Lamunan yang tercipta dari angan2 keinginan dan
terangsang oleh getar2 nafsu jasmaniah, melahirkan suatu
bentuk perwujudan dari puteri jelita yang dikhayalkannya itu.
Ah ..... terbayanglah wajah gadis penari yang cantik ni
Saraswati. Ia gembira karena menemukan kebahagiaan rasa
dalam bentuk wajah puteri lamunannya itu. Ia tak tahu
mengapa ia merasa bahagia. Pada hal sebagaimana hal
dengan mimpi, sesungguhnya mimpi itu pada umumnya,
hanyalah merupakan suatu getar pantulan dari sesuatu yang
berkesan dan mengendap dalam sanubari. Karena orang
masih terjaga, bekerja dan lain2 hal, kesan itu tercemar oleh
kekaburan perasaan. Ibarat apabila kita cemplungkan batu
kedalam kolam maka endapan lumpur didasar kolam itu akan
berhamburan mencemarkan kejernihan air. Tetapi selekas
cemar2 lumpur itu mengendap lagi kebawah maka tampaklah
letak batu itu. Demikian pula pada saat orang tidur, semua
kegiatan dan kesibukan pikirannya pun berhenti dan
mengendap. Pada saat itulah kesan yang tersimpan dalam
sanubarinya itu akan memantul pula, menimbulkan bayang2
yang melukiskan peristiwa itu dan keinginan2 hati kita dalam
hubungan dengan peristiwa tersebut.
Demikian terciptalah mimpi. Buruk atau baik.
Apa yang dialami tumenggung Kuda Pengasih demikian
juga. Diam2 ia amat berkesan sekali pada dara ayu ni
Saraswati. Kesan itu tak diutarakan dengan mulut tetapi
tersimpan dalam hati. Dalam saat2 kesadaran pikirannya


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhanyut, pada saat2 darah kemudaannya menggelora, maka
memancarlah kesan2 terhadap wajah dara ayu ni Saraswati
.... Seketika wajah tumenggung itu tampak meriah dan
merekahlah sebuah senyum gembira. Ah, dara ayu ni
Saraswati dalam cipta renungannya itu, pun membalas
senyum dan bahkan menghampiri lalu duduk bersila di muka
tempat tidur, memberi sembah dan menundukkan kepala.
"Nini" seru tumenggung Kuda Pengasih, "apakah namamu
ni Saraswati ?" Dara itu tanpa mengangkat muka menjawab, "Benar gusti"
Berdebar jantung tumenggung Kuda Pengasih mendengar
nada suara dara itu. Ia segera menggeliat bangun dan turun
dari pembaringan, mendekati dara itu. Segulung hawa harum
menebar dari tubuh dara itu, menyusup ke dalam hidung
tumenggung Kuda Pengasih dan menerbangkan semangatnya
makin mengawang ke angkasa. "Nini ..... benarkah engkau
datang di hadapanku ?"
"Adakah paduka menyangsikan kehadiran hamba, gusti?"
dara itu berkata dengan pelahan. Masih menunduk.
"Tetapi mengapa engkau dapat datang kemari, nini ?"
"Hamba sendiripun tak tahu, gusti. Tiba2 saja hamba
sudah berada disini. Hamba tak tahu daya apa yang
membawa hamba kemari"
"Ah" tumenggung Kuda Pengasih mendesah, "itulah dayagaib yang kupancarkan kepadamu, nini"
"O" ni Saraswati agak terkejut, "padukakah yang
memancarkan daya-sakti untuk menarik diri hamba kemari ini
?" "Tidakkah engkau merasakan nini, betapa gerak tarianmu
yang lemah gemulai itu selalu berayun-ayun di bulu mataku "
Tidakkah engkau merasa nini, daya cipta yang kupancarkan
kepadamu itu mendebur pintu hatimu ?"
Dara Saraswati makin menunduk lebih ke bawah. Melihat
itu seperti diluar kekuasaan pikirannya, tangan tumenggung
Kuda Pengasih menjulur ke muka, mendekap bahu dara itu,
kemudian tangan kanannya menjamah dagu Saraswati dan
mengangkatnya keatas. Darah tumenggung muda itu serasa
memancar keras sehingga jantung serasa berhenti, ketika
berhadapan dengan wajah yang sedemikian ayu. Dahinya
yang sempit makin menyempit dinaungi rambut sinom yang
rimbun, sepasang bibir merekah merah mengulum sari madu.
Sepasang alis yang melengkung bagai busur direntang,
menaungi kelopak mata berpagar bulu alis yang meregang
tegak. Bola matanya .... tiba2 berhentilah tamasya
tumenggung Kuda Pengasih menelusuri kecantikan wajah
dara itu. Karena kelopak mata ni Saraswati terkatup sehingga
bola matanya tak tampak. "Nini, mengapa engkau mengatupkan mata " Janganlah
engkau takut kepadaku nini. Pandanglah aku ...." bisik
tumenggung itu dengan nada gemetar.
Pelahan-lahan kedua tangannya meniti kedua pipi dara itu
lalu naik dan terus naik mencapai tepi daun kelopak yang
halus. Dengan lembut jarinya menyingkap kelopak itu dan
terpancarlah sepasang bola mata yang menyerupai permata
berkilau-kilauan memancarkan sinar yang bening teduh.
Menghadapi wajah ni Saraswati yang paserah, tak kuasa lagi
tumenggung Kuda Pengasih menahan diri. Ia ajukan mukanya
ke depan dan makin merapat wajah si dara dan pada lain saat
bibir pun merapat pada bibir, makin rapat. Melumatnya dengan
penuh gairah, seolah seekor kumbang tarnak yang tengah
menghisap sari madu sang bunga ....
Tumenggung Kuda Pengasih benar-benar lupa diri.
Baginya alam pada malam itu hanya terisi ia dan ni Saraswati.
Tak ada lagi tumenggung Kuda Pengasih seorang duta sang
nata Majapahit dan ni Saraswati seorang gadis penari. Yang
ada hanyalah, dia seorang pria dan ni Saraswati seorang
wanita. Sepasang insan yang dicipta Hyang Jagidnata,
dengan, segala kekurangan dan kelebihan. Sebagai pengisi
jagad yang dititahkan untuk menyejahterakan kehidupan alam
dunia. Sepasang manusia yang terdiri dari dua jenis bentuk
dan sifat tetapi saling isi mengisi dalam kesatuan yang
disatukan oleh kodrat alam.
"Nini ...." "Ki tumenggung"
"Ah, janganlah engkau menyebut
Panggillah aku kakang Pengasih, nini"
ki tumenggung. "Kakang Pengasih ...."
"Nini, adakah kita sedang bermimpi?"
"Tidak, kakang Pengasih"
"Benarkah, nini ?"
"Benar" "Mengapa hal ini dapat terjadi nini?"
"Kita harus memanjatkan doa syukur kepada dewa yang
telah mengabulkan kehendak kakang Pengasih"
Tumenggung Kuda Pengasih makin membenamkan
kepalanya menelungkupi selebar wajah ayu dari ni Saraswati.
"Nini, malam makin dingin, marilah kuangkat engkau ke
pembaringan" "Hm" ni Saraswati menyusupkan wajahnya ke relung dada
Kuda Pengasih dan tumenggung itupun dengan hati2 seperti
seorang ibu yang membawa anak bayinya yang masih lembut,
mengangkat tubuh si dara ke atas pembaringan.
Malam makin hening. Kemelut asap pedupaan masih
menebarkan asap wangi. Di dinding, sepasang cicak yang
sedang bergelut memadu kasih, tiba2 bergeliat memencar diri
karena terkejut mendengar suara menderu-deru bagai angin
keras. Kedua binatang itu mengeliarkan pandang kian kemari
dan melekatkan pandang matanya kearah pembaringan yang
tertutup rapat. Deru angin keras itu berasal dari dalam
pembaringan. Mereka tahu bahwa yang berada dalam
pembaringan tentu orang yang tidur. Tetapi mereka heran
mengapa napas orang yang tidur sekeras kuda berpacu ....
Kedua cicak itu berdecak-decak geli.
0o-dwkz-mch-ismo-o0 Bagai disambar petir kejut tumenggung Kuda Pengasih
pagi itu ketika ia mendapatkan seorang gadis cantik berbaring
disisinya. "Engkau ...." tiba2 tumenggung itu hentikan kata2 ketika
gadis itu tergolek dan membuka mata, Tampak gadis itu
membeliak heran ketika melihat wajah tumenggung Kuda
Pengasih mengerut kejut kegelisahan.
"Kakang tumenggung, mengapa engkau ngeri melihat
aku?" tegur gadis itu dengan lembut.
"Engkau .... engkau ..... siapa?" seru tumenggung Kuda
Pengasih terbeliak. Gadis itu serentak berbangkit. "Masakan
tumenggung lupa kepadaku, aku Saraswati"
kakang Tumenggung Kuda Pengasih mengebaskan kepala dan
mengusap kelopak mata. "Ni Saraswati" Bukankah engkau
yang ikut menari tadi malam?"
Ni Saraswati mengiakan. "Tetapi" tumenggung Kuda Pengasih mengedarkan mata
memandang ke segenap sudut pembaringan, "mengapa
engkau berada disini ?"
Kali ini benar2 ni Saraswati yang terkejut sekali. Ia tak
Kisah Si Pedang Kilat 5 Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Antara Benci Dan Rindu 3
^