Pencarian

Gajah Kencana 29

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 29


Majapahit kearah kejayaan"
"Ah" patih Dipa menengadah dan menghela napas "
bagaimana mungkin Dipa seorang mampu melaksanakan
tugas besar itu apabila tiada mendapat bantuan seluruh
narapraja, rakyat Majapahit dan terutama kawan2 Gajah
Kencana pimpinan paman brahmana"
"Suatu kesadaran yang baik, Dipa" sambut brahmana
Anuraga "demikian seharusnya laku seorang pemimpin. Tanpa
dukungan rakyat, pemimpin akan kehilangan daya
kepemimpinannya, bagaikan ikan tanpa air. Dukungan rakyat
hanya dapat diperoleh apabila pemimpin itu benar2 jujur,
bersungguh-sungguh, mengayomi dan dapat menjaga
kepercayaan rakyat. Cintailah rakyat dan rakyat akan
mencintaimu. Demikian berlaku pada segala bidang kehidupan
ini" "Terima kasih, paman brahmana" kata patih Dipa "tetapi
tentulah paman brahmana takkan membiarkan aku berjuang
tanpa petunjuk dan bantuan paman brahmana, bukan?"
Anuraga tertawa. "Asal engkau berpijak pada kebenaran dan keadilan, pada
kepentingan negara dan rakyat Majapahit, apa yang engkau
anggap baik, putuskan dan lakukanlah hal itu. Ingat,
kuumpamakan Gajah Kencana itu seperti bayangan. Apabila
engkau berjalan ditempat gelap, bayangan itu akan hilang,
takkan menyertaimu. Tetapi apabila engkau berjalan di tempat
yang terang, bayangan itu akan selalu mengikutimu"
Patih Dipa pejamkan mata, menghayati ucapan paman
brahmana yang dihormatinya itu.
"Semisal yang telah engkau lakukan ketika engkau
melakukan semedhi di candi makam Antahpura. Karena
engkau menganggap hal itu demi kepentingan raja dan
kerajaan, kamipun menyetujui tindakanmu"
"Mohon paman suka memberi petunjuk,
pendapat paman dalam peristiwa aneh itu"
bagaimana "Telah kukatakan kepadamu tadi, jangan menyerahkan dan
mempercayakan kepercayaanmu pada sesuatu yang belum
datang. Yang terutama lakukan sebaik-baiknya usahamu hari
ini. Apakah engkau masih kurang yakin akan dirimu sendiri
Dipa?" "Baik, paman brahmana. Hamba akan berjalan menurut
petunjuk paman" Tanpa terasa pertemuan antara patih Dipa dengan
brahmana Anuraga itu telah berlangsung sampai larut malam.
Dan saat itu cuacapun sudah mulai merekah-kan percik2
cerah. Suatu pertanda bahwa saat itu sudah hampir menjelang
dinihari. Karena pembicaraan sudah mencangkum berbagai soal,
akhirnya patih Dipa minta agar paman brahmana itu suka
beristirahat di kediamannya. Tetapi brahmana itu menolak.
"Bukan, karena aku menolak Dipa, tetapi karena aku
hendak melanjutkan perjalananku lagi"
"Pada saat selarut ini, paman?"
"Siang dan malam hanya suatu perjalanan waktu yang
ditandai dengan matahari dan rembulan. Tetapi sesungguhnya
tiadalah perbedaan yang besar antara waktu yang satu itu
dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kebiasaan dan
perasaan" "Tetapi adakah paman brahmana tak perlu tidur ?"
"Sudah tentu perlu" sahut Anuraga "tetapi yang penting itu
menidurkan perasaan dan pikiran. Maka cukup dengan
bersemedhi beberapa saat saja, aku sudah merasa segar lagi"
"Paman, mengapa paman bergegas hendak pergi lagi"
Apakah itu suatu keharusan bagi paman?"
"Aku hendak melanjutkan ayun langkah kakiku. Tiada yang
mengharuskan aku melainkan hanya menuruti apa yang
menjadi suara hatiku"
"Apakah tujuan paman yang sesungguhnya" Tidakkah
sudah tiba saatnya bahwa paman harus beristirahat dan
memberi bimbingan secara tegas pada Dipa dalam
melaksanakan cita2 kita itu?" Anuraga tertawa.
"Dipa, bukan di pemerintahan tempat Anuraga, bukan, pula
di gedung mentri. Aku sudah terlanjur menyatukan diriku
dengan alam bebas. Karena disitulah aku dekat dengan apa
yang hendak kucari" "O, apakah yang paman cari?"
"Aku hendak mencari diriku, Dipa"
Patih Dipa terbeliak"Apa maksud paman brahmana ?"
"Aku hendak mencari diriku"
"Paman brahmana, Dipa benar2 tak mengerti apa yang
paman brahmana maksudkan"
"Engkau kenal aku sebagai brahmana Anuraga.
Demikianpun aku merasa diriku ini Anuraga, seorang
brahmana. Tetapi aku sendiri sebenarnya belum mengenal
siapakah diriku yang sebenarnya ini " Ini" ia menepuk dada
"hanya tubuhku. Yang bicara ini" Hanyalah getar2
pernapasanku, yang digerakkan oleh pikiran dan peiasaan
hatiku. Keseluruhan manusiaku yang hidup ini, itu hanya
nyawaku. Tetapi mana sebenarnya aku yang sejati itu" Aku
belum mengenal Aku-ku itu. Seperti halnya aku merasakan
debaran angin, pengaruh hawa yang dibawanya, tetapi aku
belum pernah berhasil melihat bagaimana sesungguhnya ujut
angin itu" "Ah" patih Dipa menghela napas seraya gelengkan kepala.
"Ya, engkau benar Dipa. Mengapa sedang negara masih
menghadapi banyak persoalan, mengapa dikala negara sedang
membutuhkan tenaga2 yang cakap, aku menyiksa diri untuk
mencari sesuatu yang aneh dan moka!"
Patih Dipa terkejut karena isi hatinya dapat diungkap oleh
paman brahmana Anuraga. "Aku tak pernah melupakan dharmaku sebagai
seorang insan manusia. Aku Anuraga manembah kepada keagungan
Hyang Widdhi. Aku mengabdi kepada kepentingan negara,
kepada manusia dan perikemanusiaan. Kepada hidup dan
penderitaannya, kepada a-lam dan isinya. Maka sekarang aku
hendak mengabdi kepada diriku. Bukan demi kepentinganku
melainkan untuk mengenal Aku yang memiliki diriku"
"Mungkin usahaku itu takkan tercapai sampai akhir hayatku.
Tetapi tidaklah berarti aku harus menghentikan usaha untuk
mengenal Aku diriku "katanya pula.
"Adakah selama ini usaha paman sudah membuahkan
sesuatu kesimpulan?"
"Belum" kata Anuraga "yang baru tercapai adalah suatu
perasaan bahwa diriku ini merupakan kesatuan dari alam
semesta. Tetapi bagaimana sifat Aku dan letak Aku dalam
kesatuan raya itu, aku belum dapat menemukan. Hal itu
memang sukar dan mungkin takkan berhasil. Karena
sebelumnya aku tak pernah mengetahui bagaimana Aku itu.
Maka bagaimana mungkin aku dapat mencari Aku yang tak
pernah kuketahui itu"
"Jika demikian mengapa paman tak menghentikan saja
usaha paman brahmana itu ?"
"Jika kuhentikan, tentu masih terdapat endapan sesuatu
dalam hatiku. Karena tekanan kehendak maka endapan itu
tenang. Tetapi bukan berarti hilang. Setiap waktu yang
tertentu pasti akan meluap lagi. Oleh karena itu aku tak mau
menindasnya tetapi kuturutkan suara hatiku"
"Paman brahmana, sukalah paman brahmana mengabulkan
permohonanku agar paman suka beristirahat di tempat ini"
"Sampai jumpa, Dipa ..." dan sekali melangkah, brahmana
Anuraga itu sudah berada diambang pintu lalu melintas keluar.
"Paman ..." patih Dipa memburu tetapi brahmana itu sudah
tak tampak bayangannya. 0o"dw"o0 II Esok harinya patih Dipa terkejut ketika menerima laporan
bahwa jurukunci candimakam Simping mohon menghadap.
Ia menyuruh pengawal membawa masuk juru kunci itu.
"Ampun gusti patih" jurukunci serempak
dihadapan patih Dipa dan menghaturkan sembah.
bersimpuh "Mengapa tampaknya begitu tegang, ki juru ?" tegur patih
Dipa. "Benar, gusti patih" juru kunci gemetar "ada suatu peristiwa
yang mengejutkan hati hamba gusti maka hamba gopoh
menghadap gusti patih"
"Ceritakanlah "seru patih Dipa.
"Gusti patih, arca Hyang Syiwa di candi makam Simping itu
telah mengucurkan airmata lagi .."
Patih Dipa terbelalak. "Mengucurkan airmata darah?" ia menegas.
"Benar, gusti patih"
"Ah ... " desah patih Dipa "benarkah engkau melihatnya
sendiri ?" "Benar gusti, hamba telah memeriksanya sendiri"
"Jika demikian, mari kita kesana"
Dengan diiring jurukunci, patih Dipa segera menuju ke
candimakam Simping. Tampak patung Hyang Syiwa masih
terselubung kain. "Ki jurukunci" kata patih Dipa berdiri dihadapan patung itu
"cobalah engkau buka kain selubungnya"
Jurukuncipun segera melakukan perintah. Tetapi pada saat
kain selubung terungkap, diapun menjerit nyaring "Hai ..."
"Mengapa ki juru ?" tegur patih Dipa mendengar jeritan
jurukunci tua itu. Tetapi jurukunci masih terlongong-longong
mengamati patung Hyang Syiwa.
"Mengapa ki juru" kata patih Dipa menghampiri dan
menepuk bahu jurukunci itu.
"Airmata itu sudah lenyap, gusti patih" seru jurukunci
seraya masih mengungkap kain selubung seperti hendak
meminta patih Dipa melihatnya sendiri.
Patih Dipapun melihat keadaan wajah patung itu. Bersih
dan tak tampak barang setitik bekas percik darah.
"Engkau menghaturkan laporan palsu, jurukunci" kata patih
Dipa. Jurukunci tua itu gemetar dan serta merta menyembah
dihadapan patih Dipa "Tidak, gusti patih. Memang apa yang
hamba saksikan tadi, benar2 terdapat percikan darah pada
wajah patung Hyang Syiwa ini"
"Tetapi nyatanya saat itu tak ada" tukas patih Dipa.
"Itulah gusti patih, yang hamba herankan"
"Engkau berkhayal barangkali?"
"Tidak, gusti patih "kata jurukunci bersuhgguh.
"Bagaimana kalau besok atau lusa engkau menghadap aku
lagi dan menghaturkan laporan tentang arca Hyang Syiwa
meneteskan airmata darah pula?"
"Tetapi apabila memang demikian, adakah hamba harus
diam ?" "Engkau memang wajib melaporkan" sahut patih Dipa "asal
benar2 terjadi kenyataan. Tetapi bagaimana apabila tidak
nyata seperti yang terjadi saat ini?"
"Hamba .." "Engkau tahu apa pidana orang yang menghaturkan
laporan palsu itu, kijuru?"
"Maksud gusti patih, hamba harus menerima pidana ?"
jurukunci berdebar. "Adakah maksudmu, engkau bebas untuk menghaturkan
laporan yang tiada nyata kepadaku atau kepada gusti mentri
lain ?" Jurukunci termenung lalu mengangguk.
"Baik, gusti patih" akhirnya ia berkata "hamba rela
menerima pidana apabila nanti hamba melapor tetapi tiada
terbukti kenyataannya"
"Itu bukan soal kerelaan hatimu. Undang2 kerajaan tidak
menginginkan orang menerima pidana karena rela menerima"
kata patih Dipa "rela atau tak rela, orang yang bersalah wajib
di hukum" Akhirnya jurukunci itupun menerima apa yang dikatakan
patih Dipa. "Jagalah baik2 patung Hyang Syiwa itu. Jangan idinkan
setiap orang datang melihatnya" pesan patih Dipa sebelum
pulang. Ketika pulang, seorang prajurit telah menyongsong patih
Dipa dan menyerahkan sepucuk surat.
"Dari siapa engkau terima surat ini ?"
"Orang itu tak mau menyebutkan namanya, gusti patih"
Patih Dipa terus melangkah masuk ke pendapa dalam dan
mulai membuka surat itu. Seketika ia terbelalak.
"Penjagal" teriaknya memanggil penjaga. Penjaga bergegas
menghadap "panggil penjaga gapura itu"
Tak berapa lama penjaga pintupun menghadap.
"Bagaimana busana orang yang memberikan surat ini
kepadamu?" tegur patih Dipa.
"Dia mengenakan busana seperti seorang brahmana, masih
muda dan tampan, berwibawa"
"Oh" patih Dipa mendesah. Ia memberi isyarat agar
penjaga gapura itu enyah. Setelah berada seorang diri baru
patih Dipa berkata "ah, memang paman brahmana seorang
yang aneh benar ..."
Ternyata surat itu berasal dari brahmana Anuraga. Isinya
memberitahu patih Dipa bahwa ketika dinihari ia keluar dari
tempat kediaman patih Dipa, ia melihat sesosok tubuh
manusia menuju ke candimakam Simping. Karena curiga akan
tingkah laku orang itu, diam2 brahmana Anuraga
mengikutinya. Ternyata orang yang mengenakan pakaian warna hitam dan
kepalanyapun memakai selubung kain hitam, langsung menuju
ke muka patung Hyang Syiwa. Saat itu suasana di
candimakam Sirnping sunyi senyap. Jurukunci masih tidur
nyenyak. Orang itu membuka kain selubung patung dan
melumurkan tangannya pada muka patung itu. Kemudian ia
masuk kedalam candi dan membangunkan jurukunci.
"Hai, jurukunci, bangunlah. Periksa patung Hyang Syiwa
lagi ..." Jurukunci gelagapan dan bangun. Tetapi ia tak melihat
barang seorangpun juga. Namun ia masih ingat jelas akan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara tadi "Adakah Hyang Syiwa yang menjagakan aku?"
pikirnya. Segera jurukunci itu keluar dan membuka selubung patung.
Dia menjerit ketika melihat muka patung Hyang Syiwa itu
terdapat percik airmata darah lagi.
Sementara jurukunci bergegas menghadap patih Dipa,
brahmana Anuraga muncul dan menghapus percikan darah
pada patung Hyang Syiwa itu.
Ternyata brahmana Anuraga menghadang jalan orang itu
dan bertanya apa maksudnya membuka selubung patung
Hyang Syiwa dan melumuri mukanya. Girang itu tak mau
mengaku bahkan terus menyerang brahmana Anuraga. Tetapi
brahmana Anuraga dengan mudah dapat mengatasi orang itu.
Atas pertanyaan, orang itu mengaku sebagai penga-lasan
Arya Kembar yang dititahkan untuk melumur darah pada muka
patung Hyang Syiwa oleh Arya Kembar.
"Apa maksud tuanmu" tegur Anuraga.
"Hamba tak tahu. Hamba hanya dititahkan melakukan hal
itu tetapi tak diberitahu tujuannya"
"Hyang Syiwa adalah dewa yang agung dan keramat.
Engkau berani menghinanya tentu mendapat kutukan. Hyang
Syiwa telah mengirim aku untuk mencabut nyawamu" ancam
Anuraga. Pengalasan itu gemetar dan mohon supaya jangan dibunuh.
"Jika engkau mohon ampun, engkau harus menuruti
perintahku. Pertama, engkau harus bersumpah takkan
melakukan perbuatan itu sekalipun Arya Kembar yang
menitahkan. Kedua, haturkan kepada Arya Kembar, bahwa
rencananya yang busuk itu telah diketahui. Sekali lagi dia
berani berbuat, jika tak kucabut nyawanya, tentu akan
kulaporkan kepada seri baginda"
Orang itu serta merta mengucapkan sumpah kemudian
bertanya "Siapakah tuan ini ?"
"Katakan kepada Arya Kembar, aku adalah utusan Hyang
Syiwa untuk menjaga patung Hyang Syiwa di candimakam
Simping sini. Siapa yang akan berbuat tak baik terhadap
patung Hyang Syiwa tentu akan kutumpas"
Demikian bunyi surat itu. Ringkas dan jelas.
Tiada terhingga rasa kagum dan terima kasih patih Dipa
terhadap paman brahmananya. Ia tak tahu bagaimana cara
membalas budi paman brahmana itu.
"Aku tak mengharap balas darimu, Dipa. Jika engkau dapat
melaksanakan semua pesanku, sama artinya engkau telah
membalas budi kepadaku" dulu brahmana Anuraga pernah
berkata demikian. "Ya, untuk membalas budi paman brahmana, a-ku harus
benar2 melaksanakan segala pesannya" akhirnya patih Dipa
membulatkan hatinya. Sesaat kemudian ia teringat akan Arya Kembar.
"Tiada putus-putusnya Arya itu hendak memusuhi aku"
pikirnya "apakah sesungguhnya yang mendorong dja
melakukan hal itu ?"
Renungan patih Dipa singgah pada sifat batin manusia,
terutama manusia semacam Arya Kembar dan beberapa arya
lainnya. "Rasanya sumber dari perbuatan mereka itu, tak lain karena
didorong oleh rasa iri dan dengki. Perasaan itu memang
merupakan nafsu jahat dalam batin manusia" pikirnya.
"Arya Kembar tak boleh diabaikan. Aku harus menaruh
perhatian terhadap gerak geriknya. Mungkin dia lebih
berbahaya dari dari Dharmaputera. Karena sebagai sanak raja,
dia dapat membangkitkan perbedaan kasta. Bukan mustahil
apabila dia dapat mempengaruhi gusti ratu Indreswari agar
golongan arya sebagai kasta yang tinggi, mendapat
kedudukan dalam pemerintahan. Dan diriku, ah . . "
Patih Dipa cepat menyadari kelemahannya. Bahwa dirinya
jelas bukan dari keturunan kasta ksatrya. Dan hal itu dapat
dijadikan dalih oleh golongan Arya untuk menghalangi dia naik
ke puncak tangga kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
kerajaan. 0o"dw"o0 III Sepulaag patih Dipa ke Daha, maka Rani Daha segera
menitahkan menghadap. "Memang hamba juga akan menghadap paduka, gusti Rani.
Untuk menghaturkan laporan tentang peristiwa yang telah,
terjadi di pura Majapahit" kata patih Dipa.
Patih Dipa lalu menuturkan tentang peristiwa patung Jina di
candi makam Antatipara daa patung Hyang Syiwa di
candimakam Simping, Rani Daha mengangguk. "Mungkin sedata ditakdirkan dewata bahwa kerajaan
Majapahit akan mengalami ujian yang gawat, kakang patih"
Dipa terkesiap, "Bagaimana maksud ucapan gusti Rani ?"
"Ramanda rahyang ramuhun Kertarajasa pernah, bercerita
kepada kami berdua. Bahwa setiap akan terjadi perobahan
jaman, tentu timbul peristiwa2 yang aneh"
"O, maksud paduka, peristiwa seaneh yang terjadi pada
kedua candimakam itu, gusti?"
"Benar, kakang patih" sahut Rani Daha "itu-pun memang
termasuk keanehan jaman. Masakan arca Jina dan Hyang
Syiwa dapat menitikkan airmata darah " Tidakkah itu mokal
dan ajaib namun nyata juga?"
"Ah, mudah-mudahan keanehan itu hanya terbatas pada
keanehan dan kesaktian dayagaib dari Jina dan Syiwa. Dan
mudah-mudahan pula hanya sebagai peringatan kepada titah
manusia dan kawula Majapahit agar supaya jangan melupakan
kewajiban mereka untuk menunaikan wajib persembahannya
kepada Jina dan Syiwa, gusti"
"Engkau boleh mengharap, aku dan seluruh kawula
Majapahit pun demikian. Tetapi apa yang telah digariskan
Hyang Widdhi, rasanya tak mungkin dihindari lagi, kakang
patih" "Ah" patih Dipa menghela napas. Panjang dan rawan.
"Cerita ramanda rahyang ramuhun Kertarajasa itu adalah
begini, kakang patih" Rani Daha melanjutkan penuturannya.
Tampak patih Dipa mencurah perhatian.
"Menjelang serangan raja Jayakatwang dari Daha kepada
Singasari, terjadilah suatu berita yang menggemparkan
seluruh rakyat Singasari. Peristiwa aneh itu cepat tersiar ke
seluruh negeri. Bahwa seekor kambing milik seorang
penduduk desa telah menanduk harimau yang hendak
memangsanya. Usus harimau
Harimau kalah dengan kambing"
itu berhamburan keluar. "Oh" patih Dipa terbeliak.
"Dan kemudian terjadi pula suatu keanehan lain. Pohon
brahmastana yang sudah berumur puluhan tahun di alun-alun,
tiada hujan tiada angin tiba-tiba tumbang ..."
Kembali patih Dipa mendesuh.
"Dan. tak berapa lama kemudian Jayakatwang mengerahkan pasukan Daha menyerang Singasari. Karena
lengah, karena pasukan Singasari banyak yang dikirim ke
Pamalayu sehingga pura kosong, maka dapatlah Daha
mengalahkan Singasari. Baginda Kertanagara gugur"
Patih Dipa mengangguk. "Setelah peristiwa itu maka orangpun segera menyesuaikan
tafsirannya pada peristiwa aneh itu. Kambing dapat
mengalahkan harimau. Peristiwa itu tepat sekali seperti yang
terjadi pada Singasari. Kerajaan Singasari yang besar dan
kuat, diibaratkan sebagai seekor harimau. Sedang Daha yang
di bawah kekuasaan Singasari diumpamakan sebagai kambing.
Tetapi akhirnya Daha tetap dapat mengalahkan Singasari"
"Benar, gusti Rani" kata patih Dipa "memang setiap
peristiwa aneh, ramalan atau perlambang2, baru dapat
dipecahkan setelah terjadi"
"Kakang patih" ujar Rani Daha "tidakkah peristiwa aneh di
candimakam Antahpura dan Simping itu juga suatu alamat
yang bersangkutan dengan nasib kerajaan Majapahit?"
"Maafkan hamba apabila hamba agak melampaui batas
dalam ucapan hamba ini, gusti" kata patih Dipa "tetapi hamba
mohon petunjuk gusti, mengapa gusti dapat mengaitkan
peristiwa itu dengan nasib kerajaan Majapahit ?"
"Ah" Rani Daha menghela napas dan tersipu-sipu merah
wajahnya "tidakkah kakang patih ingat akan peristiwa .... di
keraton ?" Patih Dipa mengangguk. "Itulah yang menjadi keperihatinanku, kakang patih"
"Semoga keluhuran budi paduka dan gusti Rani Kahuripan
akan dapat mencemerlangkan awan yang mungkin akan
mengabut kerajaan Majapahit, gusti" kata patih Dipa.
"Memang selama ini aku lebih menggenturkan persembahan doaku kepada dewata. Tiap malam aku selalu
memohon kepada arwah rahyang ramuhun ra-mar.da dan
dewata Agung, agar kerajaan Majapahit selamat dari segala
coba" "Semoga permohonan paduka dikabulkan dewata agung,
gusti" kata patih Dipa "marilah kita serahkan segala harapan,
permohonan, doa dan apapun yang akan terjadi kehadirat
dewata agung" Rani Daha pejamkan mata, memanjatkan doa. Beberapa
saat kemudian baru Rani berkata pula.
"Kakang patih" ujarnya "puji doa, harapan dan permohonan
telah kita panjatkan kehadapan dewata agung. Tetapi dalam
pada itu, wajiblah kita berusaha untuk mengatasi hal2 yang
terjadi dalam kehidupan kita, kakang patih"
"Keluhuran titah paduka, gusti Rani" kata patih Dipa "lalu
bagaimanakah yang paduka hendak titahkan kepada hamba?"
"Kakang patih" kata Rani Daha "aku dan tentu ayunda Rani
Kahuripan juga, tak ingin peristiwa seperti di keraton itu akan
terulang kembali. Kita wajib mengusahakan supaya hal2 yang
memalukan itu jangan sampai terulang pula"
Patih Dipa terkesiap. Ia teringat apa yang telah terjadi pada
diri Rani Daha dan Rani Kahuripan ketika berada di keraton
Tikta-Sripala. Benar. Memang hal itu harus dicegah supaya
jangan terulang lagi. Tetapi ia tak tahu bagaimana cara untuk
mencegahnya. "Hamba rasa, gusti" katanya "hendaknya paduka
menghindari peristiwa2 yang akan menuju kearah seperti
peristiwa di keraton Majapahit itu, gusti"
"Maksud kakang patih?"
"Bila tiada kepentingan yang sangat mutlak akan kehadiran
paduka, hendaknya janganlah paduka berkunjung ke pura
kerajaan" "Ya" kata Rani Daha "itu memang salah satu cara. Tetapi
bagaimana kalau baginda menitahkan aku ke Majapahit ?"
"Dalam hal itu" jawab patih Dipa "memang sukar untuk
menolak. Tetapi gusti masih dapat menitahkan agar beberapa
dayang dan pengawal selalu siap menjaga keputren"
"Kurasa yang paling tepat adalah engkau sendiri kakang
patih. Karena apabila engkau yang menjaga, hatiku tak kuatir
apa2 lagi" Patih Dipa menghaturkan terima kasih atas kepercayaan
Rani Daha. "Tetapi masih ada hal yang mungkin tak kita duga, kakang
patih Yalah bagaimana andai baginda berkunjung ke Daha ?"
"Tiada lain jalan kecuali pengawalan pada diri paduka harus
lebih diperketat, gusti"
Rani Daha merenung. "Disamping cara2 yang telah engkau kemukakan itu" ujar
Rani pula "kurasa masih terdapat sebuah cara lain lagi yang
mungkin lebih aman" "Mohon gusti suka melimpahkan petunjuk kepada hamba"
kata patih Dipa. Wajah Rani Daha bertebar merah. Kemudian menghela
napas. Sampai beberapa saat tak juga Rani itu berkata.
Patih Dipa heran tetapi ia tak berani mendesak melainkan
menunggu dengan sabar. "Kakang patih" ujar Rani setelah lama berdiam diri
"sesungguhnya tak layak aku sebagai seorang Rani akan
mengucapkan hal ini"
"Tetapi gusti" sambut patih Dipa "gusti adalah Rani Daha
yang menjadi junjungan para kawula. Apapun halnya, apabila
demi kepentingan negara, hamba rasa gusti tak perlu harus
berberat hati untuk menitahkan"
Rani hendak membuka suara tetapi tak jadi. Ia diam lagi.
"Kakang patih" akhirnya Rani berkata juga "kurasa Hyang
Widdhi menciptakan titahnya dalam jenis pria dan wanita
tentulah mempunyai tujuan, bukan ?"
"Benar, gusti" kata patih Dipa "agar para titah itu dapat
berkembang biak, menghuni, mengusahakan dan memelihara
bumi ciptaanNYA" "Kiranya engkau dapat menangkap maksudku, kakang
patih" ujar Rani Daha "dalam hubungan itu, tidakkah sudah
tiba waktunya ayunda Rani Kahuripan itu mendapat jodoh
sesuai yang diidam-idamkannya ?"
Kini patih Dipa menyadari mengapa Rani begitu berat untuk
mengucapkan hal itu. Memang selayaknya kalau seorang
puteri merasa malu membicarakan soal jodoh. Diam2 ia
memuji bahwa Rani itu dapat menempatkan diri pada
kedudukannya sebagai seorang Rani memikirkan kepentingan
negara. "Hamba rasa memang demikian, Gusti. Ayunda paduka
gusti Rani Kahuripan memang sudah waktunya untuk
mendapat pasangan hidup yang sesuai. Tetapi..."
"Engkau tentu menguatirkan seri baginda akan murka dan
menghalangi hal itu, bukan" "cepat Rani menukas.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang demikianlah pikiran hamba"
"Tetapi justeru hal itulah yang kuanggap sebagai salah satu
cara untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa seperti
yang terjadi di keraton Majapahit itu, kakang patih"
Patih Dipa tertegun. Memang benar. Apabila kedua Rani itu
sudah bersuami, tentulah baginda Jaya-nagara tak dapat
mengganggu lagi. Tetapi hal itu tak begitu mudah
dilaksanakan karena baginda tentu akan berusaha untuk
mencegahnya. "Apa yang paduka titahkan itu memang tepat dengan
pikiran hamba" kata patih Dipa beberapa saat kemudian. Ia
tahu bahwa sebagai seorang Rani, seorang puteri dan seorang
wanita utama, tentulah Rani Daha itu memiliki perasaan
kewanitaan yang halus. Seperti pada waktu hendak mengutarakan hal itu tadi,
betapa sarat seolah tersekat kerongkongan sang Rani.
Tidakkah hal itu menunjukkan betapa halus sifat keputerian
Rani itu" Dan waktu mengatakannya, pun, Rani Daha menunjukkan
persoalan itu pada diri ayundanya, Rani Kahuripan. Rani tidak
mau mengatakan tentang dirinya. Tetapi sekalipun begitu,
karena Rani Dahapun tersangkut dalam peristiwa di keraton
Majapahit, maka akan samalah tanggung jawab kemungkinannya akan menghadapi g angguan2 seperti itu lagi.
Kedua, Rani Kahuripan dan Rani Daha, tidaklah banyak beda
usianya. Kedua puteri agung itu sudah sama2 menjenjang
alam kedewasaan, bahkan lebih meningkat lagi dalam alam
yang disebut manusia lengkap. Atau manusia yang sudah
mempunyai pasangan hidup, seorang suami atau seorang
isteri. Dengan demikian, secara tak langsung pula Rani Daha telah
mengutarakan hal yang bersangkutan dengan dirinya sendiri.
Pikir patih Dipa. Maka berkelanjutan pula renungan patih itu. Ia teringat
bahwa puteri Mahadewi yang kini menjadi Rani Daha, agaknya
telah condong menumpahkan perhatiannya pada raden Kuda
Amreta, pangeran dari Wengker. Hubungan antara kedua
remaja agung itu tampak makin meresap dan makin semarak.
Demikian pula dengan puteri Tribuanatunggadewi atau Rani
Kahuripan. Juga sudah mempunyai ikatan batin dengan raden
Kertawardana, seorang pangeran dari Singasari.
Memang agak mengherankan ketika beberapa waktu yang
lalu baginda Jayanagara mengeluarkan titah, agar semua
pangeran dan ksatrya2 dari luar telatah Majapahit tak
diperkenankan datang ke Daha dan Kahuripan. Kiranya
baginda jauh2 sudah mengandung tujuan tertentu. Tujuan
yang tak dapat dibenarkan oleh segenap lapisan kerajaan
Majapahit. Dari fihak keraton, mentri2, narapraja dan para
kawula. Dimanakah terjadi seorang raja diraja dari sebuah kerajaan
yang sedang mekar dan tumbuh jaya seperti Majapahit, akan
menikahi saudaranya sendiri " Tidakkah hal itu akan
mencemarkan keluhuran nama dan kewibawaan kerajaan
Majapahit " Apabila karena keadaan jasmaniah yang terdapat kelainan
maka baginda Jayanagara gemar akan wanita. Apabila dalam
kegemarannya terhadap wanita itu baginda sampai lupa diri
sehingga sering mengganggu isteri beberapa mentri. Itu masih
dapat dimaafkan. Karena raja berkuasa untuk menghendaki
suatu pengorbanan dari para mentri dan kawulanya.
Tetapi apabila hal itu melangkah pada garis yang lebih
lanjut, dimana baginda akan mempersunting a-yundanya
sendiri. Hal itu benar2 tak dapat dibenarkan. Baik dari hukum
agama, adat, keluarga dan apa saja. Dan disamping bebarapa
hukum itu, masih terdapat pula sebuah hukum yang dapat
mengakibatkan merosotnya kewibawaan negara dan kerajaan.
Yani hukum martabat. Seorang raja, adalah junjungan seluruh kawula.
Kewibawaannya bagaikan sinar Hyang Arka yang gilang
gemilang menerangi seluruh bumi kerajaan. Jika sinar itu
tercemar awan hitam, mampukah menerangi bumi"
Mampukah memancarkan kesejahteraan dan kesentausaanjagad raya "
"Tidak" akhirnya patih Dipa berseru. Dan seketika ia
gelagapan kaget. Penolakan yang terjadi dalam batinnya itu,
tanpa disadari telah menimbulkan luapan perasaan dan
meluncurkan kata2 di mulutnya.
"Mengapa, kakang patih"
"Oh, tidak apa2, gusti"
"Tetapi bukankah engkau menggeramkan kata tidak tadi"
Apa maksudmu?" desah Rani Daha.
Karena sudah terlanjur terdengar oleh Rani, maka patih
Dipapun mengaku "Maaf, gusti, hamba tadi sendang
merenung dan, karena sesuatu maka tercetuslah kata2 itu dari
mulut hamba" "Apa yang engkau renungkan, kakang patih?"
"Hamba merenungkan tentang masalah yang paduka
kemukakan tadi, gusti"
"O, lalu mengapa engkau mengatakan tidak?"
"Hamba tidak dapat membenarkan peristiwa itu akan
terulang lagi pada diri paduka dan gusti Rani Kahuripan.
Hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi hal itu.
Karena pada hemat hamba, hal itu akan membawa akibat
yang tak baik bagi keluhuran dan kewibawaan kerajaan
Majapahit. Tidakkah hal itu akan menggoncangkan daerah2
yang sekarang bernaung dibawah pengayoman Majapahit?"
"Lalu?" "Titik tolak pandangan hamba, adalah dari segi kepentingan
negara Majapahit, gusti. Hamba sebagai patih paduka, hamba
sebagai narapraja Majapahit, wajib untuk mencegah hal itu.
Sekalipun karena itu, hamba harus kehilangan segala apa.
Pangkat, kedudukan dan jiwa raga hamba"
Percik terang memancar pada sinar mata Rani Daha. Ia
tahu bahwa patih itu seorang yang teguh dan setya
melaksanakan janjinya. "Bagaimana rencana dalam usahamu" Adakah engkau
sudah membayangkan sesuatu kakang patih?"
"Apa yang paduka titahkan tadi, gusti, memang amat sesuai
dan tepat. Maaf, gusti, apabila kata2 hamba ini agak
melanggar susila" "Tidak apa, kakang patih"
"Bukan saja sudah tiba masanya gusti Rani Kahuripan harus
memenuhi wajib sebagai puteri utama dalam menunaikan
dharma hidup. Pun bagi paduka juga demikian, gusti ..."
Patih Diapa berhenti sejenak untuk mengetahui sikap Rani
Daha. Diperhatikannya wajah Rani itu tersipu-sipu merah "Ah,
kakang patih, ayunda Rani Kahuripan lebih dahulu harus
menemui wajib dharmanya sebagai seorang wanita dewasa"
"Benar gusti" sahut patih Dipa "tetapi padukapun demikian.
Karena hal itu, seperti titah paduka tadi, akan dapat
mencegah terulangnya kembali tindakan seri baginda kepada
paduka" "Dan hamba mempersembahkan doa puji yang setulustulusnya, agar hal itu segera terlaksana. Karena bukan hanya
hamba seorang gusti, tetapi seluruh kawula Majapahit yang
amat mencintai paduka berdua dengan gusti Rani Kahuripan,
pasti akan bergembira memanjatkan puji syukur kepada
dewata agung, apabila paduka dan gusti Rani Kahuripan telah
.... menikah dengari seorang pangeran yang luhur"
Wajah Rani Daha makin bertebar merah.
"Gusti Rani" kata patih Dipa pula "tidakkah paduka dulu
pernah menganjurkan dan mendorong hamba untuk segera
memangku seorang wanita " Dan bukankah paduka dan gusti
Rani Kahuripan yang telah menjodohkan hamba dengan nyi
Dipa ?" "Wajibmu sebagai seorang patih, wajibmu sebagai pria
yang sudah dewasa, harus engkau perlengkapi dengan wanita
yang mendampingi hidupmu, kakang patih"
"Oleh karena itu gusti Rani" kata patih Dipa "hambapun
mohon agar paduka dan gusti Rani Kahuripan juga berkenan
memenuhi wajib itu. Percayalah gusti, seluruh kawula
memang sangat mengharapkan akan terlaksananya peristiwa
yang bahagia itu" Cerahlah wajah Rani Daha. Patih Dipa ikut gembira. Ia
dapat menduga isi hati puteri itu.
"Gusti" katanya "apabila gusti memperkenankan, hamba
akan melaksanakan dua buah rencana"
"Engkau sudah mempunyai rencana, kakang patih"
"Demikianlah gusti" kata patih Dipa "pertama sebagai
pelaksanaan dari titah paduka tadi, hamba hendak berkunjung
ke daerah Wengker" "Kakang patih" cepat Rani menukas "apa tujuanmu ?"
"Hamba menaruh perindahan dan rasa hormat terhadap
raden Kuda Amreta. Selain keturunan bangsawan, raden Kuda
Amretapun memiliki sifat2 sebagai seorang ksatrya luhur.
Ramah dan halus budi bahasa terhadap siapapun. Gagah dan
digdaya. Seorang ksatrya yang benar2 memiliki watak
keutamaan yang tinggi. Adapun kunjungan hamba ke
Wengker, tak lain akan hamba haturkan undangan kepada
raden Amreta agar berkenan berkunjung ke Daha untuk ikut
serta dalam perburuan"
"Kakang patih" seru Rani "seri baginda tentu murka atas
tindakanmu itu. Apa alasanmu hendak mengundang Kuda
Amreta ikut dalam perburuan itu?"
"Gusti" kata patih Dipa "paduka adalah Rani yang berkuasa
di Daha, sedangkan hamba telah paduka limpahi kepercayaan
sebagai patih yang melaksanakan titah paduka untuk
melaksanakan pemerintahan Daha. Perburuan yang akan
hamba selenggarakan bukan hanya sekedar bercengkerama
tetapi akan himba tingkatkan sebagai suatu latihan dari
keberanian dan ketangkasan para prajurit. Dalam perburuan
itu, akan hamba adakan sayembara, siapa yang paling banyak
mendapat hasil perburuan binatang yang paling buas, dialah
yang akan mendapat hadiah. Kiranya dengan latihan
keberanian dan keprajuritan itu tentulah pangeran dari
Wengker raden Kuda Amreta akan meluluskan undangan
hamba" kata patih Dipa lalu melanjut "Soal kemurkaan
baginda, baiklah hamba yang akan mempertanggungjawabkan, gusti"
"Bagaimana alasanmu, kakang patih ?"
"Kepada baginda hamba akan menghaturkan laporan
bahwa jiwa dan semangat prajurit harus terus dibangkitkan
dengan latihan2. Perburuan itupun hamba maksudkan untuk
menggairahkan semangat keprajuritan"
Rani Daha mengangguk. "Mengadakan latihan perburuan, cukup dilingkungan
prajurit2 Daha, mengapa kakang patih harus mengundang
raden Amreta" Patih Dipa tertawa. Tampaknya tak dapat menjawab
pertanyaan Rani. Melihat itu diam2 Rani pun ikut gelisah.
Tentulah baginda akan murka apabila patih Dipa ini tak dapat
menghaturkan jawaban yang beralasan. Pikirnya.
"Gusti" kata patih Dipa "hamba akan dapat menghaturkan
kata. Dengan diundangnya raden Kuda Amreta dan beberapa
pemuda yang dianggap mempunyai syarat untuk ikut dalam
perburuan itu, tentulah akan dapat membangkitkan semangat
prajurit2 Daha lebih menyala. Akan hamba tanamkan suatu
pengertian kepada setiap prajurit Daha, bahwa mereka harus
malu apabila sayembara itu jatuh ke tangan orang luar, dan
bukan seorang prajurit. Nama baik prajurit Daha tentu akan
merosot apabila kalah dalam sayembara itu. Itulah sebabnya
hamba mengundang beberapa orang luar termasuk raden
Kuda Amreta. Adakah dengan alasan itu seri baginda akan
murka kepada hamba?"
Wajah Rani Daha cerah pula.
"Jika demikian, terserahlah kakang patih melaksanakannya" akhirnya Rani memaserahkan.
akan "Dan rencana hamba yang kedua" kata patih Dipa pula
"adalah mengarah pada diri seri baginda sendiri. Hamba akan
berusaha untuk membujuk secara langsung maupun secara
tak langsung dengan melalui beberapa orang yang hamba
pandang dapat menimbulkan kesan pada seri baginda, agar
baginda mengakhiri masa hidup membujang dan menentukan
pilihan pada seorang puteri yang layak sebagai permaisuri
baginda" "Hamba rasa, apabila baginda sudah mempunyai
permaisuri, tentulah akan reda atau berkurang tindakantindakannya seperti yang telah kita alami pada masa2 ini"
patih Dipa menambah keterangannya pula.
Rani Daha mengangguk. "Bagus sekali rencana itu, kakang patih. Kurasa dengan
pelaksanaan yang serempak itu, apa yang kita cemaskan
selama ini, akan dapat dihindari"
"Demikian harapan hamba. Semoga dewata agung
melimpahkan berkah kepada kerajaan Majapahit supaya tetap
berdiri tegak sampai akhir jaman"
Demikian setelah selesai menghadap Rani Daha, patih Dipa
segera pulang ke kediamannya. Ia menemui beberapa mentri
dan senopati untuk melaksanakan rencana membuka
sayembara perburuan itu. Selesai menyerahkan segala persiapan, ia segera menuju ke
Wengker untuk menemui raden Kuda Amreta.
Raden Kuda Amreta gembira sekali
mendengar persembahan kata patih Dipa. Dia memang sangat
mengharapkan kesempatan untuk berkunjung ke Daha. Tetapi
karena mendengar tentang larangan dari kerajaan Majapahit,
maka diapun terpaksa menahan diri.
Demikian usaha patih Dipa untuk mendekatkan
hubungan Rani Daha dengan raden Kuda Amreta.
tali Dalam perjalanan pulang ke Daha, ia bertemu dengan suatu
peristiwa yang amat berkesan. Disebuah lembah, ia melihat


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa anak desa sedang berkerumun ditanah lapang yang
berumput subur. Anak2 bermain di lapangan rumput, sudah jamak. Tetapi
ada suatu hal yang menarik perhatian patih Dipa adalah,
anak2 itu sedang bertepuk sorak mengelilingi dua orang anak
yang sedang bergumul. Seketika timbul keinginan hati patih
Dipa untuk melihat apa yang terjadi di lapangan itu.
"Mari kita lihat" katanya kepada prajurit pengawalnya.
Prajurit itu heran ketika mendengar ucap patih Dipa. Namun ia
menurut juga, mengikuti langkah patih Dipa.
Saat itu patih Dipa tidak mengenakan busana yang mewah
sebagai patih, melainkan sebagai rakyat biasa. Demikian puladengan pengawalnya itu, juga berpakaian orang biasa.
Tak kurang dari duapuluh anak yang tegak berjajar jajar di
kedua arah. Sekelompok berdiri di sebelah barat dan
sekelompok berdiri di sebelah timur. Sedang ditengah
lapangan, dua anak lelaki sedang bergumul dengan seru.
"Hai, ada orang datang" seru seorang anak kepada kawankawannya ketika melihat patih Dipa dan pengiringnya
menghampiri. Anak2 itu serempak berpaling. Salah seorang
yang paling besar dan tinggi, segera menyongsong
kedatangan patih Dipa. "Mau apa kalian" hardiknya dengan bercekak pinggang dan
pandang menantang. Patih Dipa terkejut melihat sikap anak itu. Tetapi dia cepat
dapat memaklumi sifat anak2. Mungkin mereka tak senang
karena permainan mereka akan diganggu.
"Tidak, apa2" kata patih Dipa tenang "kami juga ingin
menyaksikan saja. Apakah yang sedang berlangsung disini "
Mengapa kedua anak itu bergumul?"
Sikap dan ucapan patih Dipa yang ramah, menghapus
kecurigaan anak itu "Kami sedang menyelesaikan permusuhan" "Hah?" patih Dipa terbeliak "menyelesaikan permusuhan?"
ulangnya menegas. "Ya" kata anak laki itu "kedua rombongan anak2 disini
berasal dari barat lembah dan timur lembah. Sering terjadi
keributan dan perkelahian karena berebut lembah ini"
"O" desuh patih Dipa makin terkejut "berebut soal apa?"
"Lembah ini amat subur rumputnya. Kami semua ini
memelihara kambing dan kerbau. Kami menggembalakan
binatang2 itu ke lembah ini. Tetapi anak2 dari barat lembah
juga datang ke sini menggembala. Lalu terjadi keributan dan
berakhir dengan perkelahian. Akhirnya hari ini kami sepakat
untuk menyelesaikan pertikaian itu dengan berkelahi. Siapa
yang menang, berhak untuk menggembalakan ternaknya di
lembah ini" "O" patih Dipa mengangguk "bagaimana kalian mengatur
tantangan tempur itu?"
"Kedua fihak telah setuju untuk mengajukan jagonya. Tak
perlu harus berkelahi secara keroyokan"
"Jadi yang berkelahi itu jago dari kedua belah fihak ?" patih
Dipa terbeliak dan memandang kearah kedua anak yang
sedang bergumul itu. Dahinya mengerut.
"Benar" "Tetapi perkelahian itu tak seimbang. Yang seorang tinggi
besar dan yang satu lebih kecil"
"Itu urusan mereka, anak2 dari barat lembah" kata anak
laki itu "mereka telah mengajukan seorang anak kecil sebagai
jagonya. Sedang wakil kami, anak2 dari timur lembah, adalah
anak yang lebih besar itu"
Patih Dipa membelalak. Ia mendekat ke gelanggang perkelahian, agar dapat
menyaksikan pertandingan yang tak seimbang itu.
Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar2 menarik
perhatiannya. Karena kalah besar dan tinggi, selalu si kecil itu
dapat dicengkam dan ditindih oleh lawannya. Tetapi beberapa
saat kemudian, tentu si kecil dapat lolos dari jepitan atau
tindihan lawannya. Rupanya anak yang lebih besar itu panas hatinya. Setelah
berhasil melingkarkan tangannya ke leher lawan, ia segera
mengencangkan jepitannya. Dia hendak mengunci leher anak
kecil itu agar tak dapat bernapas.
"Hai, berbahaya" diam2 patih Dipa terkejut. Ia tahu bahwa
anak kecil itu tentu tak dapat bernapas, sekurang kurangnya
tulang lehernya tentu patah. Menilik kerut wajah anak yang
besar ketika mengepitkan lengannya ke leher anak kecil itu,
begitu tegang sehingga merah padam, jelas anak yang besar
itu sedang mengerahkan seluruh tenaganya.
"Tak dapat kubiarkan dia dicekik mati" patih Dipa terus
hendak bertindak melerai. Tetapi sebelum ia sempat
mengayunkan langkah, tiba2 terdengar tepuk sorak yang
gegap gempita dari kelompok anak2 barat lembah.
Patih Dipa terbeliak. 0odwoo0 Jilid 50 Tamat I. Masa kanak2 merupakan lembaran yang sukar dilupakan
dalam sejarah kehidupan seseorang. Buruk atan baik,gembira
atau sedih bahagia atau menderita seka lipun, tetap
merupakan kenang-kenangan.
Kenangan masa kanak2 itu menjadi sebagian milik dari
hidup seseorang. Adakah dia kini seorang kaya atau miskin,
berpangkat atau orang biasa, baik atau jahat.
Demikian yang dirasakan patih Dipa. Ia tertarik kepada
anak laki kecil yang sedang berkelahi melawan seorang anak
laki yang lebih besar. Seketika ia terkenang akan masa
kanak2nya dahulu. Ketika masih kanak2 dan hidup di desa ia sering mengalami
hal2 begitu. Pernah berkelahi dengan anak yang lebih besar
juga. Bahkan pernah dikeroyok oleh beberapa anak besar.
Ia tertarik akan keberanian anak kecil itu sebagai mana
dahulu dia pernah merasakan. Ia senang melihat tenaga anak
kecil itu, sebagaimana dahulu diapun demikian. Penyentuhan
hati timbul karena adanya suatu kesamaan antara anak laki
kecil itu dengan dirinya dahulu.
Namun ada sepercik perasaan lain yang member-tik dalam
pikiran patih Dipa. Dahulu ketika ia sering berkelahi, atau
tepatnya sering dibina dan diganggu oleh anak2 yang lebih
besar, ia memang tak mempunyai perasaan takut apa2. Tetapi
kiri setelah ia sudah menjadi orang-dewasa, tiba2 saja timbul
rasa kuatir akan keadaan anak kecil itu. Ia tak tahu adakah hal
itu timbul karena beda keadaan antara yang melihat dan yang
berkelahi. Ataukah karena pendewasaan yang terjadi dalam
dirinya saat itu. Yang jeljis, bukan anak laki kecil itu yang takut
melawan anak yang lebih besar, tetapi dia yang melihat
perkelahian tak seimbang itu menjadi kuatir. Yang berkelahi
tidak takut, yang melihat malah kuatir.
Rasa kuatir itu makin merekah dalam hati patih Dipa
sehingga ia segera memutuskan untuk menghentikan
perkelahian itu. Tetapi sebelum ia sempat ayunkan langkah
tiba2 terdengar kelompok anak2 itu bersorak sorai gegap
gempita. Patih Dipa terbeliak kaget. Ia mengerti bahwa sorak sorai
itu tentu diperuntukkan menyongsong suatu penyelesaian
dalam perkelahian itu. Tentu ada yang kalah dan yang
menang. Cepat ia curahkan pandang mata ke tengah
gelanggang. Dan apa yang dilihatnya, makin membuat
matanya membelalak lebar-lebar.
"Hai.." ia mendesuh dan membelalak. Ingin ia memperjelas
pandang matanya akan sesuatu yang hampir tak dapat
dipercayainya. Anak laki kecil itu tegak berdiri bercekak pinggang. Sebelah
kakinya menginjak tubuh lawannya yang terbaring di tanah.
Yang terbaring itu tak lain adalah anak laki yang lebih
besar. Dan yang menginjak si anak laki kecil tadi. Hanya itu
yang dapat dilihat patih Dipa. Ia tak sempat melihat betapa
kencang urat2 yang menegang di dahi anak kecil itu ketika ia
mencekal, kedua tangan lawannya lalu dengan mengerahkan
segenap tenaga, ia mengangkat tubuh lawan keatas lalu
membantingnya. Itulah yang menyebabkan anak pada
kelompok sebelah barat menjadi kalap melantangkan sorak
sorai yang menggebu2 gebu.
Kelompok anak2 di sebelah timurpun berteriak. Tetapi
bukan teriak gembira melainkan teriakan kejut seperti
disambar halilintar "Lompong ..." mereka terus akan maju
untuk menolong jagonya yang terbaring di tanah itu. Tetapi
saat itu juga anak2 disebelah baratpun bergerak maju. Mereka
akan menghalangi tindakan anak2 kelompok timur.
Anak2 kelompok timur terpaksa berhenti. Tetapi tiba2
terjadi suatu peristiwa yang tak disangka-sangka. Anak laki
yang bertubuhlebih besar dan yang sedang terbaring di tanah
itu, menyambar kaki anak kecil yang menginjak dadanya.
Sambil melenting bangun ia menarik kaki anak laki kecil itu.
Bluk .... Anak laki kecil itu terpelanting dan terbanting ke tanah lalu
diinjak oleh anak yang lebih besar itu. Kini terdengar sorak
sorai yang gegap gempita dari anak2 di kelompok timur.
"Crang!" teriak mereka dan beberapa anak segera lari
menyerbu anak laki yang menginjak anak laki kecil itu.
Tiba2 anak laki yang besar itu membungkuk dan
menyambar sebuah batu "Berhenti, jika kalian berani maju,
jagomu ini pasii kuhantam mukanya" serunya seraya
mengancamkan batu itu ke muka anak laki kecil.
Beberapa anak dari kelompok barat itu berhenti.
Melihat peristiwa itu, tahulah patih Dipa apa yang telah
terjadi. Anak laki yang lebih besar itu telah berlaku curang.
Diluar persangkaan, mungkin juga melanggar perjanjian, anak
laki yang lebih besar itu telah melakukan perbuatan yang
merugikan lawan. Dan kini rupanya anak laki yang lebih besar
itu tengah melangsungkan rencananya yang tak baik terhadap
lawannya, anak yang lebih kecil itu.
Patih Dipa segera melangkah, menghampiri ketengah
gelanggang "Hai. nak, lawan sekalipun, apabila sudah kalah,
jangan dicelakai" Anak laki yang besar itu mengeliar pandang, memandang
patih Dipa dengan mata merentang tebar
"Siapa engkau!" serunya.
"Aku kebetulan lalu disini dan
perkelahianmu tadi" sahut patih Dipa.
ikut "Lalu?" "Kuminta engkau suka melepaskan anak itu"
menyaksikan "Hm" dengus anak yang besar itu "engkau hendak
membantunya" Apakah engkau keluarganya" Ini urusan
anak2, mengapa engkau orang tua ikut campur?"
Agak terkesiap patih Dipa mendengar kata2 anak itu. Kasar
dan congkak. Namun segera patih itu menyadari akan
kedudukannya saat itu. Karena mengenakan pakaian biasa,
tentulah anak itu mengira dia seorang rakyat biasa. Dalam hal
itu, patih Dipa tidak marah bahkan malah senang. Karena
dalam menyelesaikan soal anak2, memang tak layak apabila
kedudukan patih dibawa-bawa. la akan mengatasi persoalan
itu menurut kadar persoalan itus sehingga apabila selesai akan
benar2 membuahkan penyelesaian yang wajar, bukan karena
tekanan dari kekuasaan pangkatnya.
"Benar" sahut patih Dipa dengan nada tenang "walaupun
aku bukan keluarganya tetapi aku hendak membantu. Bukan
membantu anak yang menjadi lawanmu, tetapi membantu
untuk mendamaikan urusan ini,. Tidakkah seorang tua berhak
ikut campur dalam peristiwa semacam ini ?"
"Perkelahian ini telah disetujui kedua belah fihak. Orang
luar tidak berhak ikut campur!" seru anak itu pula.
"Dia curang, paman!" seru seorang anak laki2 yang
bersama beberapa kawannya hendak maju menolong
kawannya si anak kecil itu.
"Lompong, jika Wreku sampai terluka, kita akan berkelahi
habis-habisan!" teriak kawannya yang seorang.
Anak besar yang menginjak itu tertawa mengejek "Aku dan
kawan2 senang sekali melangsungkan pertempuran habishabisan itu"
Cepat sekali patih Dipa dapat menduga bahwa anak laki2
besar yang tengah menginjak itu bernama Lompong. Sedang
anak laki2 yang lebih kecil yang tengah diinjak itu bernama
Wreku. "Lompong" serunya kepada anak laki2 besar itu "benarkah
engkau curang?" Memang anak laki2 yang bertubuh besar itu bernama
Lompong. Bertenaga kuat dan berani. Itulah sebabnya dia
diangkat sebagai jago dari kelompok timur lembah.
Lompong hanya merentang mata tetapi tak menyahut
pertanyaan patih Dipa. "Benar, paman, dia curang" seru anak tadi.
"Bagaimana kecurangannya?" tanya patih Dipa yang makin
tertarik. "Dia sudah dapat dibanting jatuh oleh Wreku. Menurut
peraturan, dia harus kalah. Tetapi dia menarik kaki Wreku ..."
"Diam!" bentak Lompong "jagomu terlalu menghina aku.
Mengapa tak membiarkan aku berdiri untuk memberi
pernyataan tetapi terus menginjak dadaku?"
"Ya" seru membalasnya. kekalahanmu" anak tadi "sekarang Cukuplah. Engkau engkaupun sudah harus mengakui "Tidak" teriak Lompong "karena dia yang berbuat lebih du'u
maka semua peraturan perkelahian itu tak berlaku lagi.
Sekarang akulah yang menang"
"Lompong" seru patih Dipa "kurasa engkau lebih besar dari
Wreku. Kalau engkau menang, itu sudah wajar. Tetapi
hendaknya rebutlah kemenangan itu secara jujur dan wajar"
"Aku tak kenal padamu" sahut Lompong "dan tak
membutuhkan bantuanmu untuk menyelesaikan urusan ini. Ini
urusan kami antar anak2"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang benar, Lompong" kata patih Dipa "ini urusan
kalian antar anak. Tetapi kulihat ada gejala yang tak benar.
Aku wajib meluruskan. Aku tak kenal dengan anak yang
menjadi lawanmu itu dan akupun tak berniat hendak
membantunya. Tetapi aku hanya akan bertindak untuk
meluruskan yang tidak sesuai"
"Tidak" seru Lompong makin
membutuhkan bantuanmu. Pergilah!"
berang "aku tak Hampir tersinggung perasaan patih Dipa mendengar kata
Lonpong. Tetapi pada lain kejab, ia dapat mengendapkan diri
lagi. Andaikata dahulu dia tak menyelami kehidupan anak2 di
desa, mungkin tidak secepat itu dia dapat mengendapkan
pikirannya. Ia mengetahui bahwa Lompong itu masih anak
dan tentu kurang pendidikan. Lingkungan hidupnyapun jauh
dari keadaan yang memungkinkan dia memperoleh pengertian
tentang tata-krama, sopan-santun dan tata-susila. Ia harus
menilai diri Lompong menurut kadar ukuran seperti waktu dia
masih kanak2 di desa dahulu, tidak dapat menurut alam
pikirannya yang sekarang sebagai seorang patih.
"Lompong" serunya dengan nada yang telah terkendali oleh
endapan perasaan "aku tak menghendaki apa2 kecuali minta
supaya engkau melepaskan pijakanmu dan mulailah engkau
berkelahi lagi. Aku bersedia menjadi saksi. Siapa yang
menang, dialah yang berhak atas lembah rumput"
"Tidak" kembali Lompong menolak "saat ini akulah yang
menang. Kecuali mereka berjanji takkan menggembalakan
ternak ke lembah lagi, barulah akan kulepaskan anak ini"
"Lompong, engkau penge ..." gemparlah anak2 sebelah
barat memekik marah, tiba2 terjadilah suatu hal yang
mengejutkan sekalian anak. Mereka serentak berhenti dan
terbelalak. Tiba2 Lompong menjerit dan ter-tatih2 mundur lalu
membungkuk dan mendekap kakinya dengan kedua tangan.
Dan di hadapannya tegak si kecil Wreku yang memandangnya
dengan tajam. "Bagus, Wreku, bagus!" teriak rombongan anak2 sebelah
barat seraya lari maju hendak menyerbu Lompong.
"Jangan kakang sekalian!" teriak Wreku seraya memberi
isyarat dengan tangan. "Tetapi dia tadi telah menginjak dadamu" seru anak2 itu.
Wreku gelengkan kepala "Biarlah. Akupun juga menginjak
perutnya" Sementara itu rombongan anak2 sebelah timur segera
menghampiri Lompong untuk menolong "Lompong, kenapa
engkau?" seru mereka.
"Keparat anak itu" teriak Lompong seraya masih mendekap
dan rneng-elus2 tulang betisnya "nih, lihatlah" la membuka
dan menunjukkan betisnya. Tarnyata betisnya telah berhias
dengan sebuah benjolan sebesar telur itik, warnanya kebiruan,
gelap. "Hai, kenapa Lompong?" teriak kawan2nya.
"Dia menghantam betisku dengan batu" teriak Lompong.
"Hajar monyet kecil menghampiri Wreku. itu" teriak kawan2nya maja Melihat itu patih Dipa segera melangkah ke hadapan Wreku
dan menghadang anak2 itu "Jangan bertindak menghakimi
sendiri.. Mau apa kalian ini?"
"Menghajar binatang kecil itu!"
"Apa sebab kalian hendak menghajar?"
"Dia curang!" Patih Dipa tertawa "Bagaimana peraturan perkelahian yang
kalian sepakatkan dengan mereka ?"
Anak2 kelompck timur itu tak menjawab. Tiba2 dari
kelompok anak2 lembah barat berseru "Perjanjian dan
peraturan yang kita sepakati. Apabila jatuh dan rebah di
tanah, dialah yang kalah"
"Hm" patih Dipa mendesuh "dan ternyata kawanmu
Lomponglah yang jatuh lebih dulu. Dia seharusnya yang
kalah" "Tetapi si Wreku menginjak perut kakang Lompong!" kali ini
seorang anak dari kelompok lembah timur berteriak.
"Ya. Dan kawanmu Lompongpun
menginjak dada si kecil" kata patih Dipa.
sudah membalas "Tetapi mengapa babi kecil itu menghantam kaki kakang
Lompong dengan batu?"
"Karena Lompong hendak mempergunakan kecurangan itu
untuk merampas kemenangan secara paksa"
"Curang harus dilawan curang!"
"Benar" sahut patih Dipa "dan sekarang segala kecurangan
sudah terbalas. Apakah kalian masih hendak melanjutkan
perkelahian ini?" Anak2 kelompck lembah timur saling berpandang kemudian
mencurah kearah Lompong. Lompong masih mengelus-elus
tulang betisnya. Dia diam saja. Rupanya kakinya masih sakit
dan tak mau dia memberi pernyataan apa2.
Patih Dipa berpaling "Wreku,
sanggup berkelahi lagi ?"
apakah engkau masih "Terserah saja kepada mereka" sahut Wreku.
Kemudian patih tiba bertanya pula kepada anak2 kelompok
lembah timur. Tetapi mereka diam saja. Rupanya Lompong
merupakan anak yang paling diandalkan. Karena dia diam,
merekapun diam. "Anak-anak sekalian" seru patih Dipa "kalian adalah berasal
dari satu daerah, satu kebuyutan. dan satu negara, satu
kerajaan. Dengan demikian kalian ini sedesa dan sebangsa.
Pun senasib karena sama2 menuntut kehidupan menggembalakan ternak"
Anak2 dari kelompok barat maupun timur lembah sama
diam mendengarkan. Mereka terpesona melihat wajah patih
Dipa yang berwibawa. "Adakah orang yang senasib dan sebangsa itu harus
berkelahi ?" seru patih Dipa dengan suara nyaring "mengapa
kalian berkelahi" Berebut rumput di lembah untuk makanan
ternak kalian?" Terdengar beberapa suara pelahan dari kedua kelompok.
Tetapi tak jelas. "Lembah itu bukan milik kalian, baik yang tinggal di sebelah
barat maupun timur" kata patih Dipa "tetapi milik negara,
kerajaan Majapahit. Dan ketahuilah anak2 sekalian, aku ini
bekerja pada kerajaan Majapahit. Aku akan memberi
keputusan, siapa yang berhak menggembalakan ternaknya ke
lembah itu" Hening seketika suasana di tanah lapang itu. Anak2 itu
cepat sekali mempercayai keterangan patih Dipa. Mereka
seperti terpengaruh oleh daya kewibawaan patih itu.
"Kalian anak2 dari lembah barat dan anak2 dari lembah
timur, kuidinkan untuk menggembalakan ternak di lembah itu.
Karena ternak harus mendapat makanan rumput dan ternak
merupakan rajakaya dari kawula di desa. Tetapi kalian harus
dapat memenuhi syarat yang kukatakan ini"
Sekalian anak2 itu terbeliak.
"Apakah kalian sanggup?" seru patih Dipa pula.
"Sanggup! Sanggup!" teriak mereka serempak.
"Pertama, dilarang berkelahi dan bermusuhan. Karena
permusuhan itu hanya menimbulkan perpecahan. Kedua,
kalian harus dapat mengatur dan merawat sedemikian rupa
agar rumput2 itu tetap tumbuh subur untuk makanan ternak
kalian" Anak2 itu bersorak menyambut dengan gembira, Mereka
menganggap syarat itu lunak sekali dan tentu dapat di
laksanakan. "Barangsiapa melanggar syarat itu" kata patih Dipa pula
"tentu akan kubawa ke pura kerajaan supaya di hukum"
Anak2 itu bergema hiruk pikuk. Entah apa yang di
bicarakan. "Paman" tiba2 terdengar suara nyaring.
Patih Dipa cepat berputar tubuh dan ternyata yang berkata
itu si kecil Wreku. "O, engkau Wreku" seru patih Dipa "apa katamu?"
"Bagaimana paman dapat menghukum anak2 di sini yang
melanggar peraturan paman itu?" seru Wreku.
Patih Dipa mengangguk-angguk tertawa. Diam2 ia memuji
kecerdasan anak itu "Pertanyaanmu tepat sekali, nak. Tiap
tahun, aku akan datang ke lembah ini dan memanggil kalian
untuk mendengarkan laporan kalian. Jika aku tak dapat
datang maka akan kukirim orang sebagai wakilku"
Kembali anak2 itu gegap gempita menyambut pernyataan
patih Dipa. Mereka tidak merasa ragu2 lagi. Atas penegasan
patih Dipa, baik anak2 kelompok lembah barat maupun
lembah timur, semua menyatakan se tuju dan akan mentaati
keputusan patih Dipa. Patih Dipa gembira. Serasa ia menghayati pula suasana
kehidupannya semasa kanak2 dulu. Ia tahu bagaimana silat
anak-anak di desayang masih murni dan jujur serta
sederhana. Kenakalan mereka lain dari kenakalan anak-anak
di pura. Kemudian ia membubarkan meieka dan suruh mereka
pulang. Hanya seorang yang ia minta supaya jangan terburuburu pulang dulu yani si kecil Wreku.
"Nak" tegur patih Dipa dengan ramah "di manakah
rumahmu" "Jauh dari sini, paman, di kaki gunung"
"Nak, aku hendak menemui orangtuamu. Maukah engkau
mengantar aku ke rumahmu?"
Tiba2 Wreku kerutkan dahi "Maaf, paman, aku tak dapat
mengantar paman ke rumahku"
Patih Dipa terkesiap "Mengapa" Apakah engkau tak suka
menerima kedatanganku?"
Anak itu gelengkan kepala, menghela napas "Bukan karena
tak suka menyambut kedatangan paman melainkan karena
ibuku memberi pesan begitu kepadaku"
"O" patih Dipa mendesuh kaget "ibumu memberi pesan
apa?" "Aku di pesan supaya jangan memberi tahu tempat tinggal
ibu dan jangan membawa orang pulang ke rumah"
Patih Dipa makin terkejut "Begitu pesan ibumu" Siapakah
nama ibumu?" "Maaf, paman, ibu juga pesan
memberitahukan namanya kepada orang"
supaya jangan Patih Dipa makin bertumbuh keherannya. Mengapa ibu
anak itu bersikap sedemikian aneh" Sejenak merenung, dia
mentmukan kesimpulan bahwa tentu ada suatu rahasia pada
diri wanita yang menjadi ibu dari anak itu.
Patih Dipa menatap wajah Wreku. Tajam dan lama. Tiba2 ia
teringat akan seseorang yang memiliki wajah seperti Wreku.
Dan penemuan itu hanya memperbesar rasa kejut dan
keinginan tahu dalam hatinya.
"Wreku" katanya dengan nada agak gemetar "dengan siapa
engkau tinggal?" "Bersama ibuku"
"Siapa lagi?" "Tidak ada lainnya"
"Ayahmu?" "Sudah meninggal?"
"Apakah engkau tahu?"
"Tidak. Ibu yang mengatakan begitu"
"O, bukankah ibumu masih muda?"
"Ya" Wreku mengangguk. Patih Dipa makin berdebar.
"Wreku, bawalah aku ke rumahmu"
"Mengapa paman berkeras hendak ke rumahku ?"
"Wreku, mungkin aku kenal dengan ibumu. Bawalah aku ke
sana, nak" "Tidak, paman. Ibu memesan aku dengan wanti2. Apakah
paman menginginkan ibu marah kepadaku ?"
Patih Dipa terkesiap. Jawaban anak itu benar2 menyentuh
hatinya "-Apakah ibumu sayang kepadamu, nak?"
"Ibu keras sekali terhadap aku. Apabila aku bersalah, ibu
tentu menghajar aku"
"O" "Tetapi aku sayang kepada ibu"
"Mengapa" Bukankah ibumu bengis kepadamu?"
"Dia bengis karena dia cinta kepadaku. Kata ibu, aku harus
menjadi seorang anak yang keras hati, tahan derita dan kuat.
Aku disuruh menggembalakan ternak, pagi2 harus mencari air
ke sumber, cari kayu bakar ke hutan. Tak peduli hari hujan,
aku harus berangkat"
"Ah, sungguh tega sekali ibumu"
"Tidak! Ibu memang keras tetapi amat sayang kepadaku"
"Bagaimana engkau tahu?"
"Hanya secara kebetulan saja. Karena cari kayu dan malam
hari baru pulang, ibu marah lalu memukuli aku. Malam itu aku
tak diberi makan. Besok harinya aku sakit, badanku panas.
Ketika malam baru aku terjaga, kulihat ibu belum tidur dan
tengah memijati kakinya dan menangis"
Patih Dipa terpukau dalam lamunan. Ah, betapa bahagia
anak itu mempunyai seorang ibu yang begitu keras mendidik
puteranya. Dan didikan itu telah membuahkan seorang Wreku
yang keras hati, berani dan setya mentaati perinlah.
"Wreku" kata patih Dipa pula "aku tak bermaksud apa2,
melainkan hendak berkunjung ke rumahmu. Mudah-mudahan
aku dapat memberi apa2 untuk meringankan kehidupan
keluarga mu, nak" "Tidak!" anak itu melengking agak tinggi "ibu tak mau
menerima bantuan orang"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, baiklah" kata patih Dipa "aku hendak memberi
kepadamu saja" "Tidak!" Wreku berteriak lebih keras "ibu pun melarang aku
menerima pemberian orang"
Patih Dipa terkesiap. Sedemikian besar pengaruh seorang
ibu terhadap puteranya. Pikiran patih Dipa melayang-layang.
Pernah ia menerima nasehat dari orang2 tua didesanya
dahulu, bahwa ibu bapak itu harus dihormati dan disujuti.
Orangtua adalah dewa-katon atau dewa yang tampik, yang
mengejawantah. Manembah pada Hyang Widdhi sang Maha
Pencipta, wajib pula sujut kepada ayahbunda sebagai yang
melahirkan, merawat dan memanusiakan. Terutama kepada
ibu yang lebih berat tugas pengorbanannya terhadap anak.
Hampir patih Dipa terlelap dalam kenangan derita. Betapa
bahagia si kecil Wreku mempunyai seorang ibu yang
sedemikian bijaksana. Dan rasa yang dicurahkan kepada anak
kecil itu hanya membangkitkan rasa kepedihan dalam hatinya
sendii. Ia tak pernah mengenyam kebahagian belaian kasih
ibunya. "Ah, aku harus menumbuhkan rasa bahagia itu" kata patih
Dipa dalam hati "walaupun tak pernah merasakan sendiri
tetapi dapat merasakan perasaan itu pada Wreku"
"Wreku" katanya "aku bukan bermaksud menghina ibumu
dan engkau. Apa yang hendak kuberikan memang timbul dari
kemurnian hatiku. Tak ada lain pamrih"
"Terima kasih paman" sahut Wreku "tetapi aku harus
mentaati pesan ibuku. Karena siapa lagi yang akan mencintai,
mentaati dan menghormati ibu kecuali aku seorang?"
Terharu patih Dipa mendengar ucapan anak yang sekecil
ku. Tak pernah dia terlintas dalam hatinya bahwa apa yang
pernah ia lakukan terhadap Rani Kahuripan ketika memberi
hadiah kepadanya, kini di ucapkan Wreku kepadanya. Diam2
ia malu hati. Ia menolak pembelian Rani Kahuripan adalah
ketika ia sudah dewasa, sudah dapat menimbang dan
mengetahui persoalan. Tetapi Wreku jauh lebih kecil dari
dirinya. Tidakkah hal itu menunjukkan bahwa Wreku itu kelak
akan tumbuh sebagai seorang manusia yang berwatak"
"Baiklah, nak" akhirnya ia berkata "aku tak kan memaksa
engkau menerima bantuanku. Aku akan bertanya lagi
kepadamu. Apabila tidak benar, engkau gelengkan kepala.
Tetapi jika benar, engkau tak perlu menjawab apa2, cukup
diam sajalah" Wreku heran tetapi dia mengangguk juga.
"Bukankah ibumu itu bernama lndu?"
Wreku gelengkan kepala. "Lalu bagaimana engkau memanggil ibumu?"
"Cukup menyebut ibu saja"
Patih Dipa geleng2 dalam hati. Ia hampir putus daya untuk
menyelidiki diri ibu anak itu walaupun ia sudah memiliki
dugaan keras. Sampai lama ia tertegun diam.
"Paman" tiba2 Wreku bertanya "apakah pertanyaan paman
sudah selesai?" Patih Dipa tersadar. Ia mengangguk "Sudah, nak. Silahkan
engkau pulang" Tetapi anak itu tetap tak berkisar dari tempatnya. Rupanya
ada sesuatu yang di tunggu.
"Wreku" seru patih Dipa pula "pulanglah, bari sudah sore.
Ibumu tentu cemas mengharap-harap di rumah"
"Ya" sahut Wreku tetapi dia tetap berada disitu.
Patih Dipa heran "Mengapa engkau tak pulang?" tegurnya.
"Tak apa" Patih Dipa merenung dan cepat mengetahui apa yang
terkandung dalam hati anak kecil itu "O, engkau takut aku
mengikuti jejakmu?" ia tertawa.
Merah muka Wreku. "Wreku" katanya "ketahuilah. Oleh karena ibumu sudah
memberi pesan dan engkaupun harus taat pada pesan ibumu
itu, akupun takkan memaksa berkunjung ke rumahmu. Aku
menghormati pendirianmu dengan kehormatanku juga.
Apabila aku mengatakan tak kan berkunjung, tentu aku
benar2 akan melaksanakan ucapanku itu. Aku takkan secara
bersembunyi mengikuti langkahmu pulang"
Wreku tersipu-sipu. "Baiklah, nak" akhirnya patih Dipa berkata "aku akan
melanjutkan perjalananku. Maukah engkau menerima dua
buah pesanku. Ingat, Wreku, apa yang akan kuberikan ini
bukan berupa benda atau uang tetapi hanya kata2. Maukah
engkau menerimanya" Bukankah hal itu tidak termasuk dalam
larangan yang di pesan ibumu?"
Merenung sejenak Wreku mengiakan.
"Pertama" kata patih Dipa "sebelum aku pergi, aku hendak
minta tolong kepadamu untuk menceritakan semua peristiwa
yang engkau alami di tempat ini. Katakan bahwa engkau telah
bertemu dengan aku. Namaku Dipa dan sekarang menjadi
abdi ke keraton Daha"
Wreku terbeliak memandang patih Dipa.
"Kedua" kata patih Dipa pula "aku hendak memberi
tambahan nama kepadamu. Apabila engkau suka, pakailah.
Tetapi kalau tidak menyukai, tak perlu engkau pakai. Pun
engkau h Arus minta persetujuan ibumu dulu"
Wreku terkesiap. "Melihat watak dan peribadimu yang sekokoh batu maka
kuberimu nama tambahan Seta. Wreku Seta. Dengan harapan
kelak engkau akan menjadi manusia yang sekokoh batu. Tak
lapuk di landai hujan derita, tak usai di goiok dalam lautan
kehidupan yang berombak besar. Nah, hanya itu, nak?"
Wreku memandang dengan terlongong-longong ketika patih
Dipa bersama pengiringnya meninggalkan tempat itu. Entah
apa yang dipikirkan anak itu. Yang jelas ia mempunyai kesan
baik dan rasa suka terhadap patih itu.
Selama dalam perjalanan, masih patih Dipa terkenang akan
peristiwa tadi. Sebenarnya ia ingin sekali bertemu dengan ibu
dari Wreku. Ia duga wanita itu tentulah lnduu, cucu diri
demang Surya yang pernah hidup bersama selama beberapa
waktu di dalam hutan. Mengenang Indu, terungkaplah sekelumit kissah dalam
hidupnya. Kenangan yang pernah menguntum indah, mesar
meriah tetapi akhirnya dihancurkan o.eh sebuah tangan yang
tak layak. Namun sekalipun berlalu, keharuman kenangan kuntum
indah itu tetap menyerbakkan keharuman dalam taman
hatinya. Tak pernah ia dapat melupakan kuntum pertama
yang pernah mekar berbunga dalam tamansari nuraninya.
Sekalipun dia sudah menukas perasaannya dengan suatu
penyerahan bahwa jodoh itu di tangan dewata, namun bekas2
dari keharuman kuntum yang pertama yang pernah bersemi
dan mekar dalam lubuk hatinya itu, tetap akan bersemayam
dalam kalbunya. Tak pernah usai dilayu masa dan peristiwa.
Ia tahu dan yakin bahwa Indupun tentu menderita juga.
Namun gadis itu berani menghadapi segala derita hidup, demi
puteranya. Adakah dia sebagai seorang pria, tak mempunyai
keberanian sedemikian juga "
Jika lala bertahan hidup demi kepentingan puteranya, iapun
harus berani menghadapi hidap demi mengabdi kepada
negara dan rakyat. "Duh, Batara Agung. Berikanlah berkahMU kepada wanita
yang bernasib malang itu. Berikanlah tuntunanMU kepada
kami dalam pengabdian hidup kami ... " ia berdoa dalam batin.
(OodwkzoO) Demikian patih Dipa berhasil melaksanakan rencananya
untuk mendekatkan hubungan raden Kuda Amreta dari
kerajaan Wengker dengan Rani Daha. Pun dia berusaha juga
untuk hal yang serupa antara raden Kertawardana dari
Singasari dengan Rani Kahuripan.
Patih Dipa mendapat kesan bahwa kedua pangeran itu
memang layak menjadi suami kedua Rani. Karena kesibukan2
itu agak lama juga patih Dipa tak datang ke pura Majapahit.
Setelah rencana2 telah dilaksanakan sesuai dengan
keinginannya maka pada suatu hari teringatlah patih Dipa
akan pura Majapahit. Dia merasa sudah agak lama tak
menghadap baginda. Hal itu dapat menimbulkan pertanyaan
dan kemungkinan baginda akan mengutus pengatasan untuk
mcniiahkaunya ke pura Majapahit.
"Lebih baik aku mendahului
menimang-nimang dalam hati
mengirim utusan tentu utusan
laporan teutang peristiwa2 yang
maupun Kahuripan." menghadap baginda" ia
"apabila baginda sampai
itu dapat menghaturkan terjadi di keranian Daha Demikian ia segera menuju ke pura Majapahit dan
menghadap baginda di keraton Tikta-Sripala.
Memang bagindapun menanyakan mengapa sampai
beberapa waktu patih Dipa tidak datang menghadap. Dan
patih Dipa sudah mempersiapkan jawabannya. Ia mengatakan
bahwa selama ini ia sibuk membangun tempat pemujaan dan
memperbaikan jalan2 di pedesaan.
"Mengapa jalan2 di pedesaan harus dibangun?" ujar
baginda. "Gusti" sembah patih Dipa "desa merupakan sumber
penting dalam kehidupan negara. Dari desalah dihasilkan
bahan makanan dan bahan2 yang menjadi sumber kehidupan.
Oleh karena itu desa sebagai sumber kehidupan negara, harus
dibangun dan dikembangkan agar maju. Kemajuan dan tingkat
perkembangan desa menjadi ukuran bagi kemajuan negara.
Itulah sebabnya hamba menanam perhatian untuk
membangun sarana2 jalan agar lalu lintas pengangkutan dan
perdagangan lebih ramai dan leluasa"
"Telatah kerajaan Majapahit amat luas, bagaimana mungkin
dapat membangun keseluruhannya dengan berhasil ?"
"Gusti" kata patih Dipa pula "pembangunan adalah suatu
gerak Kehidupan negara. Apabila gerak itu berhenti,
Kehidupanpun akan berhenti pula. Pembangunan bukan hanya
berhenti pada apa yang telah dibangun, pun juga meliputi apa
yang belum dibangun. Bahkan mungkin sampai hamba mau,
pembaugunan itu masih dan harus tetap ada. Anak dan cucu
kitalah yang akan melanjutkan usaha pembangunan itu.
Betapapun banyak dan jauh sasaran pembangunan yang akan
kita capai, tetapi kita harus memulai dengan langkah yang
pertama. Dewata telah mengaruniai Kerajaan Majapahit
dengan bumi yaug subur dan hasil bumi yang melimpahlimpah. Tetapi hasil itu baru dapat kua nikmati apabila kita
mau mengusahakan. Kemakmuran dan kejayaan takkan
dijatuhkan dari dirgantara begitu saja oleh dewata agung
melainkan harus Kita cari dan cipta-kan dengan usaha kita.
Dan setiap usaha yang baik, pasti akan direstui oleh dewata"
Baginda Jayanegara mengangguk-angguk.
"Tetapi patih Dipa" ujar baginda "adakah keadaan dalam
kerajaan Majapanit sudah tenang sehingga kita harus berganti
arah ke pembangunan?"
"Gusti" sembah patih Dipa pula "negara ibarat
rumahtangga. Rumahtangga ibarat diri orang. Setiap hari
tentu bergerak, tentu menghadapi persoalan dan mempunyai
masalah. Tak mungkin manusia hidup tanpa bergerak. Tak
ada gerak yang tak menimbulkan masalah akibat. Demikian
dengan rumahtangga, demikian pula dengan negara. Adakah
ketenangan dulu baru mengadakan pembangunan ataukah
pembangunan dulu baru timbal ketenangan" Hamba rasa,
kedua2nya harus sering dan sejalan. Keamanan dan
pembangunan harus sama sama di tingkatkan untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan"
Demikian setiap kali menghadap baginda, patih Dipa tentu
membicarakan masalah pemerintahan dan negara. Baginda
mendapat kesan bahwa patih yang masih muda itu
mempunyai pandangan yang jelas dan tegas akan perjuangan
kerajaan Majapahit dalam hubungan dengan keadaan dalam
negeri maupun tertuju pada lain2 kerajaan di nuswantara.
Bahkan mencangkum sampai ke luar seberang benua.
Dan patih Dipapun memiliki kesimpulan bahwa baginda
Jayanagara itu sebenarnya seorang raja yang mengandung
cita2 besar. Tetapi melihat pertumbuhan dan perkembangan
keadaan dalam negeri, baginda lebih menitik beratkan pada
usaha2 untuk memulihkan kelestarian keamanan. Hal itu dapat
dimengerti patih Dipa karena sejak baginda naik tahta, maka
tak henti2nya kerajaan Majapahit dilanda oleh badai
pemberontakan dan taufan persekutuan-persekutuan jahat
yang hendak merongrong kewibawaan baginda dan kerajaan.
Patih Dipa memisahkan pertumbuhan kerajaan Majapahit
dalam dua masa. Masa pertama, yalah masa kelahiran
Majapahit. Masa masa yang penuh penderitaan dan kepahitan
perjuangan oleh rahyang ramuhun Kertarajasa atau Wijaya.
Menumbangkan kekuasaan Daha dan dari luar, menghalau
pasukan Kubilai Khan. Masa kedua, yalah masa pemerintahan baginda Jayanagara
yang sekarang. Merupakan masa pengukuhan dan
pengelestarian kedudukan baginda di atas tahta kerajaan.
Masalahnya berkisar pada diri baginda sendiri. Sebagai putera
mahkota yang berasal dari ibu puteri Malayu, maka peribadi
baginda menimbulkan persoalan dan menciptakan suasana
pertentargan di antara golongan yang mendukung dan yang
menentang. Golongan yang mendukung berpijak pada pendirian bahwa
baginda Jayanagara itu merupakan satu2nya keturunan lelaki
dari rahyang ramuhun Kertarajasa. Oleh karena itu, raden Kala
Gemet demikian nama Jayanagara semasa masih menjadi
pangeran adipati, berhak menggantikan sebagai raja
Majapahit. Golongan ini terdiri dari para kerabat keraton dari keluarga
ratu Indreswari, yalah para arya dari Malayu. Di tambah pula
dengan mereka2 yang berasal dari keturunan kasta ksatrya,
mentri, seropati dan para priagung. Mempertahankan dan
mendukung kedudukan baginda Jayanagara, sama dengan
mendukung dan mem pertahankan kedudukan mereka di
pemerintahan Majapahit. Dan golongan inilah yang giat untuk
memajukan aliran agama Syiwa sampai sedemikian rupa
sehingga kerajaan lebih mengutamakan perhatiannya ke arah
aliran agama itu. Dari susunan dharmadhyaksa, dapat
diketahui betapa lebih banyak perhatian kerajaan Majapahit
kepada aliran agama Syiwa daripada Buddba.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerajaan Majapahit mempunyai dua orang dharmadhyaksa
yani Dharmadhyaksa ring Kasyiwan atau kepala urusan agama
Syiwa yalah Dang Acarya Samaranata. Dharmadhyaksa ring
Kasogatan atau kepala bagian urusan agama Baddha di
pegang oleh Dang Acarya Kanakamuni. Hakim Dharmadikarana mempunyai lima orang anggauta yang terdiri
dari ulama2 agama Syiwa yani Dang Acarrya Ragawijaya Panji
Sahasa, Dang Acarrya Wisyuwanata Panji Paragat", Dang
Acarrya Hanata, Dang Acarrya Darmaraja dan Dang Acarrya
Syiwanata. Memang mengherankan dan tentu ada suatu tujuan
mengapa golongan2 pendukung raja Jayanagara itu lebih
kukuh mempertahankan agama Syiwa daripada Buddha2
Padahal baginda Jayanagara sendiri lebih cenderung pada
aliran Bnddha. Memang sejak kerajaan baginda Kertanagara di Singasari,
tiada lagi atau hampir terbaurlah antara ketiga aliran agama
yani Syiwa, Buddha dan Brahma yang kemudian dipertemukan
dalam sebuah wadah Tripaksa. Demikian pula di makam
baginda Kertancgara telah didirikan patung Syiwa-Buddha
untuk mengabdikan kebesaran baginda.
Golongan yang menentang baginda, tetap berlandaskan
pada pendirian bahwa yang berhak menduduki tahta kerajaan
Majapahit, hanyalah putera puteri rahyang rarnuhun
Kertarajasa dari puteri Singasari, sekalipun mereka hanya
puteri tetapi mereka dianggap berasal dari darah keturunan
yang rrumi, bukan dari lain kerajaan.
Golongan ketiga terdiri dari mereka2 yang tidak mempunyai
pendirian tegas kecuali hanya melihat angin dan kesempatan
untuk mencari keuntungan diri sendiri. Golongan ini antara lain
yalah golongan ra Kuti Dharmaputera yang telah
memberontak untuk merebut kekuasaan dan akan
mengangkat diri sebagai raja.
Sejak naik tahta, baginda Jayanagara memang harus
menghadapi beberapa persoalan dalam pucuk pemerintahan.
Baginda merasakan suatu sikap yang tak berkenan dalam hati
baginda dari para kadehan almarhum bagtn la^K-rtar^jasa
dahulu. Dari sumber itulah baginda mulai bertindak untuk
menggunakan cara gitik pentung atau tangan besi untuk
membersihkan mereka2, baik para kadehan maupun rnentri2
tua dari pemerintahan yang lalu. Mahapatih Nambi dan
beberapa mentri senopati tua, terkena pembersihan yang di
jalankan baginda Jayanagara.
Selama memegang tampuk kerajaan, baginda Jayanagara
lebih mengutamakan ketenangan kedudukan dan kelestarian
kewibawaannya di singgasana, dengan mengadakan pembersihan, pergantian dan pemindahan pada beberapa
mentri narapraja. Dari titik tolak pandangan itulah patih Dipa menilai bahwa
baginda Jayanagara terlalu sibuk akan Urusan negeri sehingga
tak sempat mencurahkan perhatiannya keluar. Hal itu memang
agak kurang sesuai dengan citarasa patih Dipa. Sejak
mengepalai pasukan Majapahit ke Bali-Beduiu, terbukalah
suatu pandangan yang lebih luas dari patih itu. Bahwa
kerajaan Majapahit bukanlah hanya sekedar seluas yang
sekarang ini tetapi masih meliputi nuswantara yang luas. Dan
untuk mengatur hubungan antar pemerintahan di seluruh
nuswantara itu tak lain hanyalah dengan memiliki suatu
armada laut yang kuat. Bagi patih Dipa, kurang dapat menaruh perhatian tentang
siapa yang harus duduk disinggasana kerajaan. Ia anggap baik
baginda Jayanegara maupun kedua puteri Tribuanatunggadewi dan Mahadewi yang menjadi Rani di
Kahuripan dan di Daha itu sama mempunyai hak pada tahta.
Yang penting, siapapun yang duduk di tahta itu harus benar2
memikirkan kepentingan negara dan para kawula. Ia
mengadakan penilaian itu dari segi kepeningan kerajaan,
bukan dari segi kepentingan golongan ataupun peribadi.
Dalam rangka untuk menenangkan dan melestarikan
kelancaran pemerintahan yang penting harus dimulai dari
manusianya. Manusia yang merjalankan roda pemerintahan
dan memegang kekuasaan pemerintahan. Mereka harus bersih
dan jujur, bebas dari pamrih mencari keuntungan golongan
dan peribadi. Dalam rangka itulah patih Dipa mulai meninjau
perkembangan kebudayaan dan pengetahuan yang telah
berkembang di kerajaan Majapahit selama ini. Disamping itu
pula, ia menaruh perhatian akan pertumbuhan agama.
Kebudayaan mencerminkan kemajuan peradaban rakyat
Majapahit. Pengetahuan merupakan sarana penting untuk
rnemajukan negara. Tetapi kedua hal itu masih belum cukup
apabila tak disertai dengan pengembangan agama. Karena
falsafah ajaran agama itulah yang mengisi dan membersihkan
batin dan pikiran manusia seirama dengan kemajuan
kebudayaan dan pengetahuan.
Dan hal terakhir yang mutlak bagi patih Dipa yalah
menanamkan rasa Cinta tanah air, Cinta tugas pekerjaan.
Bertanggung jawab, sujut pada agama dan hormat pada
pimpinan. Hanya dengan rasa itu, dapatlah kesadaran para
kawula ditingkatkan. Dan kesadaran itu akan membangkitkan
rasa persatuan dan kesatuan yang merupakan dasar yang
kokoh kearah kejayaan negara.
Selama berada di pura kerajaan, ia selalu memerlukan
mengunjungi kediaman para mentri wreddha, senopati dan
para narapra. Terutama ia mewajibkan diri untuk menghadap
mahapatih Arya Tadah. Ia mendapat kesan mahapatih yang
sudah berusia lanjut itu, seorang yang jujur dan setya.
Walaupun karena usianya, pandangan2 mahapatih Arya Tadah
itu lebih condong dengan tindakan baginda untuk lebih dulu
menenangkan kelestarian dalam negeri tetapi tidaklah hal itu
mengurangi pandangan2 yang luas dan tajam tentang
kerajaan Majapahit yang dicita-citakannya.
"Aku sudah tua, patih" pernah sekali dalam pembicaraan
mahapatih Arya Tadah berkata kepada patih Dipa "mungkin
semangatku sudah tak mampu untuk melaksanakan cita2 itu.
Engkau patih Dipa, masih muda dan kuat. Kesetyaanmu
kepada raja dan kerajaan, telah diakui. Kecakapanmu dalam
mengatur pemerintahan, telah dikenyam oleh para kawula
yang dapat hidup tentram sejahtera. Kepandaian memimpin
pasukaan waktu engkau diutus baginda ke Bedulu, telah
menunjukkan hasil yang gemilang. Aku menaruh harapan
pada dirimu kelak" "Ah, gusti rakryan patih" kata patih Dipa tersipu sipu
"gemetar tubuh hamba menerima pujian paduka. Apakah arti
diri hamba bagi kerajaan Majapahit" Bukankah di kerajaan
Majapahit banyak terdapat mentri2 dan senopati yang lebih
pandai, lebih berpengalaman dari diri hamba ?"
Patih amangkubumi Arya Tadah tertawa.
"Benar katamu, patih Dipa" kata patih amangkubumi
"memang kerajaan Majapahit penuh dengan orang pandai,
senopati digdaya dan mentri2 yang berpengalaman. Tetapi
agaknya Hyang Jaeadnata telah memilih engkau, untuk
membawa kerajaan Majapahit kearah kejayaan"
"Ah, gusti, bagaimana mungkin orang seperti hamba dapat
memenuhi harapan paduka"
"Dipa" seru patih amangkubumi Arya Tadah dengan nada
bersungguh "tiada dosa yang lebih besar daripada orang yang
tak percaya pada dirinya sendiri"
"Tetapi gusti patih" tersipu sipu patih Dipa menyusuli kata
katanya "rasa tak percaya pada diri hamba itu karena rasa
tanggung jawab hamba terhadap apa yang menjadi beban
kewajiban hamba. Hamba pasti akan berdosa terhadap
kerajaan, baginda dan seluruh kawula apabila hamba karena
kekurangan2 pada diri hamba, sampai tak dapat
melaksanakan tugas hamba"
"Jika demikian yang engkau maksudkan, memang lain" kata
patih amangkubumi "engkau terlalu hati2 dan merendah diri.
Tatapi janganlah sekali-kali engkau tak percaya pada dirimu
sendiri. Engkau berdosa terhadap Hyang Jagadnata yang telah
menjatuhkan pilihan kepada dirimu"
Patih Dipa terkesiap. "Mohon paduka suka memberi petunjuk tentang maksud
ucapan paduka itu" "Patih Dipa" kata patih amangkubumi Arya Tadah "siapa
yang mengawal baginda ketika di pura timbul huru hara
Dharrnaputera yang lalu?"
"O, hanya secara kebetulan belakalah hamba bertugas di
keraton pada malam itu"
"Tidak patih Dipa" seru patih amaegkubumi "tidak ada hal
yang disebut kebetulan itu. Karena semua hal dalam
kehidupan ini telah digariskan oleh ketentuan Hyang Widdhi.
Mengapa tidak lain bekel bhayangkara tetapi engkau yang
jaga pada malam itu" Itulah karena engkau telah digariskan
oleh Hyang Jagadnata untuk menyelamatkan kerajaan
Majapahit" "Ah" patih Dipa mengeluh kesah.
"Andaikata bekel lain, sanggupkah dia mengawal baginda
hingga dapat meloloskan diri ?"
Patih Dipa terpukau. Seketika ia teringat akan peristiwa
pada malam itu. Apabila tiada bantuan dari paman brahmana
Anuraga yang muncul dan membantu untuk menyesatkan
perhatian kaum pemberontak yang telah mengepung istana,
kemungkinan memang sukar untuk meloloskan diri.
Ia hendak mengunjukkan jasa paman brahmana Anuraga
kehadapan patih amaugkubumi tetapi pada lain kilas ia
teringat. Hal itu tentu menimbulkan pertanyaan yang lebih
lanjut dan luas. Bukankah hal itu hanya akan menyulitkan
kedudukan Gajah Kencana" Dan bukankah pula bahwa paman
brahmana Anuraga tak menginginkan Suatu imbalan apa2 atas
bantuannya itu" Patih Dipa batal untuk mempersembahkan kata2 tentang
jasa2 brahmana Anuraga. "Ah, gusti patih" katanya kepada patih amang-kubumi
"benar2 paduka hendak menimbun diri hamba dengan sanjung
pujian" "Andaikata pula, bukan engkau tetapi bekel bhayangkara
lain yang mengawal baginda di Bedander, dapatkah bekel itu
menyelesaikan karya besar seperti yang telah engkau
lakukan?" "Apakah itu, gusti?" Dipa makin heran.
"Dapatkah bekel lain melaksanakan tugas yang dilimpahkan
baginda untuk menyelidiki keadaan dalam pura Majapahit"
Dapatkah dia memiliki penciuman yang tajam tentang suasana
dalam pura saat itu kemudian bertindak dengan tepat dirapat
besar yang diadakan ra Kuti" Mampukah orang lain
melantangkan pidatonya yang dapat merobah suasana, alam
pikiran dan perasaan rakyat terhadap baginda" Dapatkah
hanya dengan rangkaian kata2 dalam pidato, orang dapat
mengalihkan kemarahan rakyat kepada ra Kuti, kecuali
engkau" Ya, hanya engkau patih Dipa, yang mampu
melakukan karya besar itu. Ketika itu aku masih berada di
Kahuripan. Hampir aku tak percaya akan peristiwa itu bahwa
engkau, seorang bekel bhayangkara, memiliki kemampuan
yang sedemikian luar biasa, dapat menumpas pemberentakan
Dharmaputera tanpa menggunakan pasukan" Patih Dipa
termangu-maugu. Saat itu ia membayangkan juga peristiwa
huru hara di pura Majapahit beberapa tahun yang lalu. Sesaat
ngeri rasa hatinya manakala membayangkan suasana pada
waktu itu. Diam2 dia sendiripun heran mengapa ia mempunyai
keberanian yang begitu besar untuk menghadapi Dharmaputera dalam rapat besar yang telah dijaga ketat oleh
prajurit2 yang telah dikuasai Dharmaputera.
"Hamba sendiri juga heran dan tak menyangka mengapa
pada saat itu hamba seolah mempunyai keberanian dan
ketangkasan bicara, gusti"
"Itulah patih Dipa yang kumaksudkan bahwa engkau telah
dipilih oleh Hyang Jagadnata untuk menyelamatkan kerajaan
Majapahit. Ketahuilah, Dipa, bahwa atas kehendakNYA semua
yang tak mungkin terjadi akan terjadi"
Demikian pembicaraan yang pernah dilakukan patih Dipa
pada suatu hari dengan patih amangkubumi. Dari patih sepuh
itu banyaklah Dipa menerima petunjuk dan bimbingan
bagaimana dharma seorang mentri terhadap raja, seorang
narapraja terhadap pemerintah.
Patih Dipa menaruh perindahan terhadap patih amangkubumi itu bukan karena patih amangkubumi itu
menaruh perhatian dan harapan kepada dirinya, melainkan
karena ia mengagumi peribadi Arya Tadah yang jujur dan
setya. Patih Dipa mendapat kesimpulan bahwa rebah tegaknya
sebuah kerajaan, runtuh jayanya negara itu bukan tergantung
pada raja seorang semata-mata, pun karena mentri2 senopati
yang setya dan jujur. Bukan hanya tergantung yang
memimpin, pun yang dipimpin. Oleh karena itu, diam2 patih
Dipa makin tambah pendalaman bahwa dalam memegang
pimpinan pemerintahan itu, harus dapat roenciptakan suatu
kesatuan batin antara gusti dan kawula, yang diatas dengan
yang dibawah. (OodwkzoO) II SELAMA beberapa hari berada di pura Majapahit, patih Dipa


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menangkap berita2 yang tersiar di kalangan narapraja.
Berita yang menyiarkan tentang tingkah ulah baginda yang tak
senonoh terhadap isteri beberapa mentri dan bahkan terhadap
kedua ayunda-nya, Rani Kahuripan dan Rani Daha.
Patih Dipa terkejut sekali. Ia harus cepat mengambil
tindakan. Hasil penyelidikan yang di lakukannya, ia
memperoleh keterangan bahwa yang menyiarkan berita itu
bukan lain adalah nyi Tanca, isteri rakryan Tanca.
"Hm, sebelum berita itu tersiar luas di kalangan para
kawula, harus lekas kuberantas" patih Dipa mengambil
keputusan. Ia segera menuju ke rumah kediaman ra Tanca,
"Ah, gerangan apakah yang tuan hendak berikan kepadaku
dalam kunjangan tuan kemari?" raTanca yang kebetulan
berada di rumah segera menyambut kedatangan patih Dipa.
Setelah mempersilahkan tetamu nya duduk, ia mulai membuka
pembicaraan. Dengan terus terang, secara langsung patih Dipa
menuturkan apa yang di dengarnya di luar tentang beritaberita yang memburukkan nama baginda.
"Tiada kusangka bahwa berita itu berasal dari nyi rakryan
Tanca " patih Dipa menutup kata2nya.
Ra Tanca terkesiap. "Rakryan tentu maklum" kata patih Dipa "bahwa hal itu
mempunyai pengaruh yang tak baik bagi kewibawaan
baginda. Apabila hal itu terdengar di kerajaan-kerajaan yang
bernaung dalam kekuasaan Majapahit, bahkan apabila
terdengar juga sampai ke seberang laut, tidakkah kerajaan
Majapahit akan tercemar?"
"Dalam hal ini" ra Tanca mengangguk "pendapat ki patih
memang tepat. Baiklah, ki patih, akan kutegur isteriku apabila
benar dia yang menyiarkan berita itu"
Ra Tanca menutup kata2nya dengan menghela napas.
"Sesungguhnya ki patih" katanya selang bebe rapa saat
kemudian "cemar baginda itu masih kalah besar dengan cemar
yang menimpa diriku. Apabila nyi Tanca benar yang
menyiarkan berita itu, kemungkinan dia hanya melampiaskan
dendam kemarahannya atas apa yang di deritanya dari
baginda" "Ya, kutahu" kata patih Dipa "tetapi hendaknya kita
memandang persoalan itu dari segi kepentingan kerajaan
Majapahit" Ra Tanca mengangguk. "Memang kepentingan kerajaan Mijipahit, wajib kita jaga
dan lindungi" katanya "tetapi kurasa hal itu kurang adil apabila
kita mau berbicara soal keadilan. Lepas dari pandangan
kepentingan kerajaan. Jika apa yang ditindakkan baginda itu
menyangkut nama kerajaan, tidakkah apa yang di derita oleh
seorang isteri itu juga menyankut nama baik suami dan
keluarga?" "O, apakah rakryan masih belum rela menghapus peristiwa
nyi Tanca yang lalu ?"
Ra Tanca menghela napas "Ra Tanca merelakan tetapi rasa
keadilan masih merintihkan tuntutan. Kukatakan kepada
rintihan hati, bahwa Keadilan hanya muncul di tengah
kalangan rakyat, tidak pada kalangan atas terutama, raja"
Patih Dipa terkesiap. Nuraninya tersinggung. Apa yang
dikatakan ra Tanca itu memang suatu kenyataan. Ia sendiri
mengalami pertentangan batin. Antara wajib seorang
narapraja terhadap junjungan dengan tuntutan rasa keadilan.
"Rakryan" katanya selang beberapa saat "jangan tuan putus
asa. Kukatakan keadilan masih ada. Jika manusia gagal untuk
mengundangnya maka Keadilan itu akan turun sendiri apabila
sudah tiba waktunya. Dan apabila Keadilan sudah tiba, tak
seorang manusia baik dia itu hina atau mulia, lemah atau
kuat, jelata atau berpangkat, papa atau raja, pasti akan
menerima pembagian keadilan. Tak mungkin akan menolak
lagi, tak mungkin menghalaunya dengan kekuatan apapun
jua" "Engkau maksudkan Karma?"
"Adakah rakryan tak percaya akan hal itu ?"
"Percaya tetapi tidak seluruhnya menyerahkan segala apa
kepada karma" "Bagaimana maksud rakryan ?"
"Kita titah manusia telah diberkahi oleh sang Maha Penclpta
dengan segala kelengkapan yang sempurna. Jiwa, otak dan
kekuatan. Diwenangkan pula oleh sang Maha Pencinta untuk
melindungi diri kita dari segala gangguan, baik dari dalam
maupun luar. Aku ra Tanca telah berjuang hampir seluruh
hidupku untuk melawan gangguan dari dalam. Sebagai tabib
aku telah berhasil menemukan berbagai ramuan obat untuk
membebaskan orang dari gangguan dalam yani penyakit di
tubuh mereka. Tetapi tak kusangka, aku sendiri telah
menderita gangguan dari luar, dari manusia. Dan justeru yang
mengganggu diriku itu seorang maha manusia, manusia yang
bebas dari peradilan dunia. Termasuk ki patih, orang2
mengharuskan aku merelakan hal itu. Bhakti kepada raja,
demikian kata2 manis untuk menghibur hatiku ..."
Patih Dipa terdiam. Diam2 ia memang merasakan titik2
kebenaran dalam ucapan tabib itu. Sebagai manusia bebas, ia
tak dapat membantah pernyataan ra Tanca. Tetapi sebagai
seorang narapraja, seorang patih, dia harus setya kepada raja,
harus menitik-beratkan kepentingan kerajaan.
"Kutahu apa yang ki patih pikirkan" tiba2 pula ra Tanca
berkata "aku pun takkan menyesalkan sikap ki patih. Juga
terhadap nyi Tanca isieriku. Sebagai seorang hamba kerajaan,
aku harus menegur tindakannya. Tetapi sebagai seorang
suami, aku dapat memaklumi isi hatinya"
Patih Dipa seperti terbenam dalam kisaran air yang deras.
Makin lama dia hampir makin tenggelam dalam putaran air,
antara yang keruh dan yang jernih. Tetapi sesaat kemudian ia
dapat membedakan mana air yang jernih yang harus menjadi
tempat ia menempatkan diri. Selekas ia meluncur kebagian air
jernih itu maka dapatlah ia timbul ke permulaan air lagi.
Demikian apa yang dihadapinya saat itu. Kini ia dapat
menempatkan persoalan pada tempat yang sebenarnya.
"Rakryan" serunya seperti orang yang baru terjaga dari
tidur "saat ini aku datang sebagai seorang narapraja yang
berpangkat patih dan mendapat kepercayaan baginda untuk
menjaga keenam dan keselamatan kerajaan. Kunasehatkan
kepada tuan, janganlah tuan mengobarkan lelatu dalam hati
tuan itu menjadi api yang membara. Karena api itu panas dan
mudah membakar. Setiap kebakaran tentu akan menimbulkan
bencana. Dan setiap bencana wajib ditumpas. Hendak-rakryan
suka mendahar omonganku ini"
"Terima kasih, ki patih" kata ra Tanca tersenyum penuh arti
yang sukar diketahui maksudnya "ra Tanca sudah tua. Tidak
banyak pula yang kucita2 citakan. Sudah lebih dari separoh
hidupku kupersembahkan untuk mengabdi kepada kepentingan manusia. Haruskah aku masih memberatkan
kematianku?" Patih Dipa terkejut. Rupanya tabib itu telah memiliki suatu
keputusan terhadap peristiwa yang lalu. Peristiwa baginda
telah mencemarkan kehormatan nyi Tanca.
"Rakryan Tanca" kata patih Dipa "maafkan jika sekiranya
aku hendak menghaturkan peringatan kepada rakryan"
"Silahkan ki patih" seru tabib itu "bagi ra Tanca sekarang
ini, tiada hal2 lagi yang memberatkan pikiranku. Aku merasa
diriku seringan burung terbang di angkasa, selapang langit
yang hampa" "Rakryan" kata patih Dipa pula "kutahu mungkin
peringatanku ini tuan anggap sebagai angin lalu. Mungkin tuan
takkan berkenan menerimanya. Tetapi bagiku, hal itu
kupandang sebagai suatu wajib. Wajib dari seorang narapraja
dan wajib dari seorang rekan terhadap kawan"
"Baik" kata ra Tanca "silahkan ki patih mengatakan"
"Rakryan termasuk salah seorang dari Dharma-putera yang
telah memberontak baginda. Dan rakryanlah satu2nya
anggauta Dharmaputera yang di beri ampun oleh baginda.
Budi baginda itu harap rakryan camkan dalam hati rakryan"
Ra Tanca mengangguk. "Engkau benar, ki patih" serunya "memang aku harus
mengukir budi kebaikan baginda itu selama hidup. Bukan
manusia luhur apabila tak kenal budi"
Diam2 patih Dipa girang karena kata2nya dapat menyusup
ke dalam kalbu ra Tanca. "Tetapi tahukah ki patih apa sebab baginda berkenan
melimpahkan ampun kepada diriku?"
Patih Dipa gelengkan kepala.
"Pertama" kata ra Tanca "karena terbukti aku tak ikut
langsung dalam gerakan Dharmaputera kala itu. Aku sedang
berada di Daha ketika terjadi peristiwa dalam pura kerajaan.
Oleh karena itu akupun tak terbukti ikut memberontak ..."
Patih Dipa mengangguk. Diam.
"Kedua" kata ra Tanca pula "baginda masih membutuhkan
tenagaku sebagai tabib keraton. Membunuh aku, berarti pula
suatu penderitaan di kala baginda sedang gering. Padahal
baginda sering benar mengidap penyakit. Kiranya engkaupun
tahu bahwa ketika masih menjadi pangeran adipati anom,
baginda bergelar pangeran Kala Gemet. Tahukah engkau apa
artinya nama itu?" Patih Diha menyatakan tak tahu.
"Nama itu tak lain berarti pangeran yang sering sakitsakitar. Karena bertubuh lemah sehingga sampai dewasa
bagindapun masih sering mengidap penyakit. Apalagi baginda
berkemanjaan menurutkan nefsu kegemarannya terhadap
wanita" Patih Dipa mengangguk juga walaupun dia sudah tahu
keadaan itu. "Itulah sebabnya aku telah di bebaskan dari pidana.
Pembebasan itu tidak mutlak secara Cuma2 melainkan dengan
kegunaan tertentu" "Maksud rakryan" sambut patih Dipa "rakryan tak merasa
berterima kasih atas pembebasan pidana itu?"
"Aku tidak mengatakan begitu" jawab ra Tanca "melainkan
perasaan terima kasihku itupun harus di beri warna pula, tidak
sekosong terima kasih yang putih"
Patih Dipa menganggap bahwa tabib itu pandai sekali
merangkai alasan untuk menghias pendirian hatinya.
"Rakryan" katanya "sekali lagi kuminta tuan dapat menarik
garis yang jelas antara wajib seorang narapraja terhadap
kerajaan dan raja, dengan wajib seorang manusia terhadap
diri peribadi" "O, itukah sebabnya maka ki patih rela menghapus
peristiwa yang menimpa diri nyi patih?"
"Aku mempunyai pendirian tersendiri" Sekalipun mulut
mengucapkan begitu, tetapi perasaan hati patih Dipa bersuara
lain. Ra Tanca tertawa. "Aku takkan memaksakan ki patih harus menulad
pendirianku. Tiap orang bebas memiliki pendirian masing2.
Kedudukan, suasana dan kepentingan, memang membagi
pendirian orang dalam tempat2 yang berbeda. Tetapi suasana
hati seorang lelaki tentu seirama nadanya"
Patih Dipa tersentuh hatinya. Namun setelah mendapat
wejangan dari paman brahmana Anuraga, ia sudah
mengesampingkan segala kepentingan peribadi. Dia telah
mendapat kepercayaan dari persekutuan Gajah Kencana untuk
menjaga kelestarian tegaknya kerajaan Majapahit
Demikian setelah bercakap-cakap lagi beberapa saat
akhirnya patih Dipa mohon diri. Sebelum pergi sekali lagi dia
memberi peringatan kepada ra Tanca agar jangan bertindak
menurut kemauan hatinya sendiri.
"Baik. ki patih" sahut Tanca "apapun yang menjadi
keputusanku, tidaklah mengurangi rasa terima kasihku atas
nasehat dan peringatan yang tuan berikan kepadaku. Ra
Tanca sudah tua, apapun yang akan kuputuskan tentu sudah
melalui pertimbangan yang masak. Dan sudah tentu telah
kuperhitungkan juga tentang pertanggungan jawabnya. Yang
jelas, dapatlah kiranya ki patih memaklumi, siapa diri ra Tanca
ini. Tua sekalipun ra Tanca ini namun dia masih seorang lelaki
sejati..." Patih Dipa masih membawa gema kata2 ra Tanca itu dalam
perjalanan pulang ketempat kediamannya. Oleh baginda, dia
telah diberi sebuah tempat di pura Majapahit. Sampai malam
ia masih merenungkan kata2 tabib itu.
"Jelas ra Tanca masih mengandung dendam kesumat yang
tak kunjung padam" pikirnya "ah, memang baginda
Jayanagara kurang layak tindakannya. Selama ini baginda
memang selalu membuat ulah yang menghebohkan dan
menyedihkan. Banyak peristiwa yang diakibatkan tindakan
baginda sendiri " . Ia segera teringat akan peristiwa mahapatih Nambi.
Memang biangkeladi dari terjadinya peristiwa yang
menyedihkan itu adalah patih Aluyuda. Tetapi patih itu dapat
melaksanakan rencananya karena dapat melihat dan
memanfaatkan kelemahan baginda. Antara lain diri wanita
yang bernama Rara Sindura itu tentu dikaitkan patih Aluyuda
untuk membangkitkan kemurkaan
baginda terhadap mahapatih Nambi. "Jangan ..." tiba2 patih Dipa teringat akan wajah anak kecil
Wreku "bukankah ibu anak itu menderita nasib buruk karena
tindakan baginda" Hm, tidakkah anak kecil itu harus menerima
karma karena perbuatan orangtuanya" Diakui atau tidak,
tetapi memang suatu kenyataan bahwa baginda Jayanagara
hidup bergelimangan dalam kebesaran dan kemewahan hidup.
Tetapi si kecil Wreku harus hidup menderita sebagai seorang
gembala yang serba kekurangan"
Membayangkan hal itu timbullah rasa ngeri dalam hati patih
Dipa. Tetapi sesaat kemudian bangkitkan rasa tak puas
terhadap keadaan2 yang tak wajar itu. Entah bagaimana,
tiba2 saja ia mempunyai keinginan keras untuk mencari ibu
dari si Wreku lagi. "Aku harus melihat bagaimana keadaan hidupnya saat ini.
Jika dia menderita, aku harus menolongnya. Dan apabila
mungkin, akan kuusahakan agar baginda mengetahui bahwa
perbuatannya terhadap dayang yang menjadi juru-tebah


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat peraduannya telah membuahkan seorang putera yang
saat ini hidup sebagai seorang gembala ..."
Hampir bulat keputusannya untuk berangkat mencari
tempat ibu Wreku yang diduga keras tentulah Indu. Tetapi
segera ia teringat akan sikap fihak keraton terutama ratu
Indreswari yang telah menitahkan orang supaya membunuh
Indu. Apabila ratu Indreswari mendengar berita tentang Indu
dan puteranya, tentulah akan menitahkan orang mungkin
pasukan kerajaan untuk mencari dan membunuh Indu dan
puteranya. Bagi kerajaan Wreku itu merupakan seorang
Lembu-peteng atau putera gelap yang harus dilenyapkan.
"Ah" ia menghela napas dan merenung sampai jauh malam
hingga tak terasa telah tertidur di kursi.
Keesokan harinya ketika bangun dari tidur ia segera teringat
kembali akan peristiwa yang direnungkan semalam.
Indu, cucu dari demang Suryanata, yang selalu dirundung
dengan nasib malang dalam kehidupannya. Betapa menderita
hidup gadis itu. Dalam hidupnya mungkin gadis itu hanya
pernah mengenyam masa2 indah ketika bersama-sama dia
berada di pondok di tengah hutan. Kemudian setelah itu dia
ditangkap oleh kaki tangan Dharmaputera dan sejak itu
menghilang tak terdengar beritanya.
Bertahun tahun Dipa mencari jejak gadis itu. Ia berhasil
berjumpa dengan demang Surya, tetapi ternyata Indu sudah
terkungkung dalam lingkaran tembok keraton Majapahit. Dan
beberapa tahun kemudian, ia hanya mendengar berita tentang
nasib malang yang menimpa gadis itu.
Apabila mengenangkan nasib Indu, seketika meluap pula
rasa tidak puas yang telah mengendap dalam hati patih Dipa.
Rasa tak puas terhadap tindakan baginda Jayanagara.
Memang setiap kali badai melanda, bertebaran pula
endapan2 tak puas itu dari lubuk hati patih Dipa. Perbuatan
yang tak layak dari baginda terhadap kedua Rani, Kahuripan
dan Daha, kepada nyi Dipa dan nyi Tanca, makin menambah
lapisan2 ketidakpuasan hati patih Dipa. Dan apa yang
dicetuskan ra Tanca tentang keadilan, memang bukan sesuatu
yang mengada-ada. Jika benar2 mau bicara tentang Keadilan,
maka keadilan itu harus berlaku untuk siapapun saja.
Ia tahu bahwa masih ada kekurangan dalam kitab undang2
kerajaan Majapahit kala itu. Tetapi apa daya. Dia hanya
seorang bekel, seorang patih Kahuripan dan kini seorang patih
Daha. Tak mungkin dia mempunyai kekuasaan yang sebesar
itu untuk menyempurnakan undang2 pidana demi menegakkan keadilan. Namun ia terhibur juga karena ia sudah
mengetahui, bahkan merasakan, hal2 yang masih belum
sesuai dengan keadilan. Setelah jauh berkelana dalam alam lamunan dan kenangan,
akhirnya berlabuhlah pikiran patih Dipa pada tepi kenyataan.
Tak perlu dia memikirkan hal2 yang diluar jangkau
kekuatannya. Yang penting dia harus bertindak untuk
menolong yang jelas dapat dilaksanakannya. Indu jelas tentu
hidup menderita. Harus ditolong.
Mantaplah keputusan patih Dipa. Segera ia memanggil
prajurit yang pernah mengiringnya beberapa hari yang lalu.
Keduanya segera berkuda menuju ke Daha.
Setelah sehari dua hari berada di Daha, patih Dipa lalu
melanjutkan perjalanan pula ke barat. Beberapa hari kemudian
tibalah dia di lembah tempat anak2 dari lembah barat dan
lembah timur berkelahi. Patih Dipa girang karena melihat suasana damai dalam
lembah itu. D lihatnya ternak berkeliaran bebal makan rumput.
Anak2 pun sibuk bermain-main.
Kedatangan patih Dipa segera disambut oleh anak2,
diantaranya Lompong anak yang bertubuh besar lawan
berkelahi dari Wreku dahulu.
"Bagaimana kalian semua" Apakah masih
berkelahi?" tegur patih Dipa dengan ramah.
ada yang "Tidak, paman" sahut Lompong "kami tak berkelahi lagi.
Kami taat akan nasehat paman"
"Hm, bagus" puji patih Dipa. Setelah ber-cakap2 beberapa
saat ia mengatakan hendak menemui anak2 dari lembah
barat. Lompong dan kawan kawannya terkesiap diam.
"Mengapa?" tegur patih Dipa.
"Sejak paman pergi" kata Lompong "telah terjadi suatu
perobahan pada anak2 dilembah barat. Bermula mereka masih
menggembalakan ternak ke lembah ini tetapi makin lama
makin jarang dan sudah beberapa hari ini mereka tak datang"
"O, apakah terjadi sesuatu dengan mereka?"
Anak2 itu menyatakan tak tahu apa sebabnya. "Apakah
kalian masih mengancam mereka" " tegur patih Dipa dengan
nada bengis. A nak itu menyangkal keras.
"Baiklah" kata patih Dipa "akan kutemui mereka. Jika
ternyata kalian yang menyebabkan mereka takut menggembala ke lembah ini, maka kalianlah yang akan
kutangkap" Patih Dipa segera menuju ke barat lembah. Namun dia tak
bersua dengan seorang anak penggembalapun juga. Diam2 ia
merasa heran. Beberapa saat kemudian ia mendengar suara
teriakan anak2 sedang ber-main2. Ternyata serombongan
anak2 laki tengah mandi di sebuah sungai sambil memandikan
kerbaunya. Gempar anak2 itu ketika melihat kedatangan patih Dipa.
Serempak mereka naik ke daratan dan berbondong-bondong
lari menghampiri patih Dipa.
"Paman, engkau datang lagi?" teriak mereka dengan
gembira. Patih Dipa mengangguk "Benar, anak2. Bagaimana keadaan
kamu sekalian?" "Baik2 semua, paman"
"Tetapi mengapa kamu tak menggembalakan ternak ke
lembah?" "Tidak, paman, Kami pindah ke lain padang rumput yang
lebih dekat" "Apakah anak2 dari lembah timur itu yang me ngancam
kamu tak boleh menggembala ke lembah?"
"Tidak" sahut salah seorang anak "mereka tak mengancam
kami" Patih Dipa mengangguk. "Diantara kalian ini, mengapa tak kulihat si Wreku"
Dimanakah dia?" tiba2 ia bertanya.
Mendengar pertanyaan itu sekalian anak diam. Ada yang
menundukkan kepala. Ada pula yang berlinang-linang.
"Mengapa anak itu?" patih Dipa makin heran.
"Wreku tak berada dengan kami lagi ...." akhirnya seorang
anak memberi keterangan dengan nada rawan.
"Kenapa dia" Adakah terjadi sesuatu pada diri anak itu?"
patih Dipa mulai cemas. "Entah, paman, kamipun tak tahu"
Makin heran patih Dipa di buatnya. Bukankah Wreku kawan
sedesa dan sepermainan dengan mereka" Mengapa mereka
tak tahu keadaan anak itu"
"Katakan terus terang" suara patih Dipa mulai keras "di
mana anak itu!" Anak yang memberi keterangan itu rupanya mempunyai
keberanian bicara dan berhadapan dengan orang "Paman,
kami sendiri juga terkejut. Dua hari setelah paman pergi
secara tiba2 Wreku tak muncul. Kami kira dia sakit atau
sedang sibuk. Tetapi hari ke dua dia juga tak muncul. Lalu
kami be-ramai2 mengunjungi rumahnya. Tetapi alangkah kejut
kami ketika mendapatkan rumahnya sudah kosong ...."
"Kosong?" patih Dipa berteriak kaget "apakah sudah tak
ada penghuninya?" "Ya, rumah itu memang sudah kosong. Penghuninya pun
tak tampak lagi" "Apakah mereka pindah ke lain tempat?"
"Mungkin" sahut anak itu "tetapi kami tak tahu"
"Apakah engkau tak melihat tanda2 yang mencurigakan
dalam rumah itu, misalnya bekas darah atau lain-lain bekas
yang menunjukkan bahwa rumah itu ha bis terjadi
pembunuhan atau perampokan?"
Anak itu gelengkan kepala.
"Hm" kata patih Dipa "mari bawa aku ke sana"
Dengari di antar oleh rombongan anak-anak itu patih Dipa
segera menuju ke rumah kediaman Wreku dan ibunya.
Ternyata rumah itu memang sudah kosong. Dan setelah
melakukan pemeriksaan, patih Dipa mendapat kesimpulan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
bahwa penghuninya memang telah pindah. Bukan karena
terjadi pembunuhan atau perkelahian.
Patih Dipa menghela napas. Ia terharu. Tentulah Wreku
menyampaikan kepada ibunya bahwa dia bertemu dengan
seorang lelaki dari Daha yang bernama Dipa. Ibu Wreku tentu
terkejut dan cepat2 berkemas-kemas pindah ke lain tempat.
"Ah, Indu .... engkau salah duga. Kutahu betapa hancur
hatimu, betapa berat penangggungan nasibmu selama ini.
Engkau malu bertemu dengan aku. Tetapi engkau keliru
apabila menduga bahwa aku tentu marah dan akan
menghinamu. Tidak, Indu, tidak. Aku kasihan kepadamu.
Akupun menyadari apa yang telah terjadi itu bukan
kesalahanmu melainkan garis yang telah ditentukan oleh
Hyang Widdhi. Kita harus menerimanya dengan hati lapang
dan Bujur hati. Marilah kita panjatkan doa kepada Hyang
Jagadnata agar kelak dalam penitisan kita yang akan datang,
dapatlah kita menjadi kawan hidup ...."
Demikian sambil pejamkan mata, diam2 patih Dipa telah
memanjatkan doa. Ia merasa kasihan kepada wanita itu tetapi
diam2 iapun menaruh rasa kagum dau hormat.
"Dipa seorang wanita yang utama" katanya dalam hati "dia
rela menanggung segala derita hidup. Dia menolak bantuan
orang lain. Dia tentu merasa beisaiah dan untuk menebus
kesalahanku dia akan hidup diatas kaki sendiri. Dia muak akan
Lodra Si Ular Sanca Beracun 1 Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo Ratu Cadar Jenazah 2
^