Pencarian

Gajah Kencana 7

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 7


Seluruh rakyat, bahkan baginda dan tuan2 puteri telah
berkenan menyaksikan pertandingan ini. Engkau kalah secara
terhormat. Dan kemenangan yang kuperoleh ini hanyalah
karena beruntung saja"
Kuti melirik ke arah bangsal agung di mana baginda dan
para puteri2 baginda menyaksikan pertandingan itu. Ketika
mata Kuti tertumbuk pada puteri Gayatri, seketika itu darah
mendebur keras dan jantung serasa berhenti berdenyut.
Pucatlah wajah Kuti saat itu.
Wijaya seorang pemuda yang tahu juga betapa perasaan
Kuti pada saat itu. Dan dari Bandupoyo iapun mendapat
keterangan bahwa Kuti memang menaruh hati kepada sang
puteri Gayatri yang cantik jelita.
"Kuti" kata raden Wijaya menghibur "jangan engkau
bersedih karena kegagalanmu dalam sayembara ini. Mungkin
hal itu sudah menjadi kehendak Hyang Widdhi. Tetapi aku,
Wijaya, amat menghargai kegagahanmu. Apabila kelak aku
menjadi raja, engkau tentu kuangkat dalam kedudukan yang
tinggi. Dan kelak apabila aku wafat, Gayatri salah seorang
permaisuriku itu, akan kuberikan kepadamu ...."
"Raden ...." "Ucap seorang ksatrya itu, pasti akan ditepati!" cepat
Wijaya memberi penegasan.
Kuti menerima kenyataan itu. Dan memang sebelum turun
gunung memasuki sayembara, gurunya telah memberi pesan,
"Dalam sayembara itu engkau pasti menang. Tetapi hati2
apabila engkau berhadapan dengan anak kerbau. Engkau
harus menerima nasib, karena anak kerbau itu kelak akan
menjadi orang besar dalam sejarah ...."
Teringat akan pesan itu ra Kuti segera berseru, "Raden,
siapakah ayahanda raden?"
Wijaya terkesiap. Ia tak tahu mengapa tiba2 saja Kuti
menanyakan nama ayahnya. Namun ia memberitahukan juga.
"Ah, Dyah Lembu Tal?" Kuti menegas kemudian menghela
napas. "Mengapa?" tanya Wijaya pula.
"Baiklah, raden. Kuti rela menyerah" akhirnya selesailah
sayembara itu. Raden Wijaya telah diangkat sebagai senopati Singasari
dan ditunangkan dengan kedua putri baginda Kertanagara,
yani puteri Tribuana dan Gayatri.
Namun bukan berarti selesai api yang membara dalam
kalbu Kuti. Ia mengabdi juga kepada baginda Kertanagara,
kemudian kepada raden Wijaya yang kemudian dinobatkan
sebagai baginda Kertarajasa Jayawardana, raja Majapahit
yang pertama. Namun pengabdian itu bukan semata kepada
kerajaan belaka, pun karena ia tetap hendak melanjutkan
pengabdian kepada suara hatinya.
"Aku takkan menikah kecuali dengan puteri Gayatri"
demikian tekad yang terpateri dalam hatinya. Bahkan tekad itu
tak pernah dan tak usang dilanda keusaian masa ataupun
kenyataan2 yang terjadi pada diri puteri Gayatri. Baginya
bukan suatu soal adakah puteri Gayatri itu telah menjadi
permaisuri baginda Kertarajasa. Karena rasa asmara kepada
puteri itu, bukan rasa kenafsuan alamiah. Melainkan asmara
yang memancar dari sumber kemurnian rasa. Andai terkabul
keinginannya, tidaklah ia menghiraukan bahwa putri Gayatri
itu masih seorang puteri gadis atau janda. Puteri Gayatri
adalah puteri Gayatri. Puteri yang menjadi sanjungan hati,
pancaran jiwa dan surya kehidupannya.
Lima belas tahun ia memendam bara. Bara dalam sekam,
Bara asmara dalam sekam rasa yang terpendam. Di luar
tampaknya tenang- tenang tetapi di dalam batin.
Sampai tibslah saatnya baginda Kertarajasa wafat maka
menyala pulalah bara dalam hati Kuti. Pada suatu hari, iapun
menghadap puteri Gayatri untuk menagih janji baginda
Kertarajasa. Puteri Gayatri mengangguk anggun.
"Ra Kuti, tidaklah rahyang ramuhun Kertarajasa suamiku,
akan mengingkari janji. Tetapi akupun harus menetapi janji
kepada hatiku. Bahwa Gayatri hanya bersuami seorang raja.
Dahulu, sekarang dan kelak sampai pada akhir hayatku ...."
Ra Kuti benar2 tertikam oleh ucapan puteri itu. Ia
tersinggung. Dalam anggapan puteri, Kuti hanya seorang
rakryan mentri, Dharmaputera sekalipun. Pada hal jelas puteri
Gayatri menghendaki bahwa
suaminya hanyalah raja. pria yang layak menjadi Kuti pulang dengan kepala menunduk, semangat lunglai.
Lima belas tahun, ia mengharap dan berharap bagaikan
seorang musafir ditengah padang pasir yang mengharapkan
air. Lima belas tahun ia tetap memegang ikrar 'brahmacarya'.
Takkan memperisteri wanita apabila bukan puteri Gayatri,
sekalipun puteri itu seorang permaisuri yang sudah menjanda.
Akhirnya tibalah saat yang dinanti-nantikan selama limabelas tahun itu.
Ia percaya bahwa puteri Gayatri sebagai seorang puteri utama, permaisuri dari
seorang raja besar, tentu
akan menetapi janji. Dan ternyata puteri itu mau juga
menetapi janji, asal sesuai
dengan derajat dirinya. Salahkah puteri Gayatri"
Dia puteri baginda Kertanagara yang termasyhur. Dia permaisuri
raja Kertarajasa yang amat
berwibawa dan besar kekuasaannya. Salahkah apabila puteri
menghendaki seorang raja sebagai suaminya yang baru "
"Ah, akulah yang tak tahu diri" akhirnya Kuti menghela
napas "memang akan menjadi buah tawa bahkan akan
menimbulkan kemarahan rakyat apabila aku, seorang mentri,
akan meminang rajpatni permaisuri Gayatri"
"Ah ...." Tiba2 ra Kuti tersentak dari lamunan ketika membayangkan peristiwa itu. Tidak lagi dalam pandang
matanya rembulan itu seindah bidadari. Tidak pula bunga2
dalam taman itu segemulai lentik tarian dayang2 jelita. Dan
tidaklah pula bau harum yang ditebarkan angin malam lembut,
terasa harum. Rembulan, bunga dan bau harum itu, hanya
suatu kegelapan yang hampa dalam pandang mata ra Kuti.
"Enyahlah kalian wahai rembulan dan bunga. Jangan
engkau pancarkan sinarmu yang meluluhkan ragaku. Jangan
pula engkau menari-nari dalam kegemulaian hembusan lembut
sang angin, wahai bunga2. Kuti takkan mau dan ingin
menikmati keindahan kalian apabila belum berhasil
mempersunting putri Gayatri"
Ra Kuti kepalkan tangan erat2. Seerat ketegangan hatinya
yang penuh geram dan dendam. Geram karena merasa
kedudukkannya sebagai Dharmapuiera itu tetap tak memadai
derajat seorang raja. Dendam karena tak dapat
mempersembahkan tuntutan sang puteri.
"Duh tuan putri Gayatri" tiba2 mulutnya mengeluh
"tuanlah yang mendorong Kuti untuk melaksanakan suatu
usaha besar. Nantikanlah, wahai tuan puteri sesembahan hati
Kuti. Tak lama lagi kiranya Kuti akan dapat mempersembahkan tirah tuan puteri itu"
Kembali kepala Dharmaputera itu tertegun dan terlontar
dalam alam renungan pula. Tetapi kali ini tidaklah ia
bercengkerama dalam taman Indraloka yang penuh khayalan
mesra. Melainkan merenungkan apa yang telah dilakukan
selama ini. Ra Kuti merasa telah menempuh suatu petualangan yang
jauh. Bagaikan mendaki gunung, saat itu ia sudah hampir
mencapai puncak. "Hanya selangkah lagi" demikian ia bergumam. "Kuti akan
tiba pada puncak yang tertinggi dari tangga kedudukan yang
paling tinggi di kerajaan Majapahit. Apabila hal itu terlaksana,
dapatkah tuan puteri akan mengingkari ucapannya lagi?"
"Kekuasaan telah diserahkan kepadaku. Dengan demikian
akulah orang yang paling berkuasa saat ini" ia melanjutkan
renungannya "adakah kekuasaan itu harus kuserahkan
kembali?" Ra Kuti berhenti sejenak karena tiba pada simpang
lamunan. Lamunan dari seribu mimpi dan kenyataan.
"Engkau bodoh, Kuti" kata sang Aku dalam peribadi Kuti
"mengapa kekuasaan itu harus engkau serahkan kembali"
Tidakkah berarti penyerahan kekuasaan itu, suatu penyerahan
nasibmu pula" Tidakkah penyerahan kekuasaan itu akan
mengembalikan derajat dirimu kembali sebagai seorang
mentri" Tidakkah penyerahan kekuasaan itu, engkau akan
kehilangan suatu kesempatan yang paling berharga dalam
sejarah hidupmu" Singgasana dan seorang puteri jelita yang
engkau idam-idamkan selama limabelas tahun itu ?"
Ra Kuti tertegun untuk menimang.
"Tidak, Kuti" kembali suara sang A ku melantang "sekarang
inilah saatnya engkau harus melaksanakan cita-citamu yang
telah engkau pendam selama limabelas tahun itu. Barang
siapa dapat memperisteri puteri Gayatri, dia akan teguh kokoh
sebagai raja yang dihormati dan ditaati oleh segenap rakyat
...." Ra Kuti makin memberingas.
"Raden Wijaya, memang direstui dewata sebagai raja
Majapahit. Tetapi tidak demikian dengan Jayanagara. Dia
adalah putera dari puteri Indreswari tanah Malayu. Dan
engkau Kuti, engkau adalah ksatrya dari bumi Jawadwipa.
Engkau harus menduduki tahta kerajaan sebagai dahulu
pernah dilakukan oleh Ken Arok dan raden Wijaya. Kerajaan
Majapahit takkan jaya, aman dan sejahtera selama singgasana
masih diduduki o!eh reja yang bukan, berasal dari keturunan
putera Jawadwipa. Raden Wijaya dahulu telah memperkenankan puteri Gayatri, permaisuri dan puteri dari
baginda Kertanagara, kepadamu. Itu berarti bahwa, raden
Wijaya telah merestui engkau melanjutkan perjuangannya
untuk menjaga tegaknya kewibawaan dan kejayaan negara
Majapahit. Dan engkau Kuti, rasanya telah dikenal rakyat
sebagai seorang yang telah mengabdikan hidupmu kepada
kerajaan. Kesetyaanmu kepada kerajaan Majapahit telah
diketahui seluruh rakyat. Mereka tentu akan patuh dan setya
kepadamu apabila engkau menduduki tahta singgasana....."
Bisikan dari suara hati yang dipancarkan oleh sang Aku
dalam diri peribadi Kuti, makin menggencar dan makin
mencengkam sanubari kepala Dharmaputera itu. Akhirnya
menyerahlah ia. "Baginda Jayanagara tak boleh kembali ke pura. Dia harus
dilenyapkan secara diam2 sehingga rakyat takkan berduka
karena kehilangan rajanya" ketetapan tekad hati Kuti
melahirkan suatu rencana untuk mencegah baginda
Jayanagara kembali ke pura kerajaan lagi.
"Keadaan kini sudah berlarut jauh" katanya dalam hati
"daripada terlanjur sudah basah, lebih baik mandi sekali"
Tiba2 terkilas sesuatu dalam pikirannya. Serentak ia
berbangkit dan memanggil seorang penjaga. "Panggillah Beker
Praswatang menghadap ke mari!"
"Bekel Praswatang, gusti?" penjaga itu menegas.
"Ya" "Pada tengah malam ini juga?"
"Engkau dengar perintahku tadi?"
Penjaga itu tersipu-sipu memberi hormat lalu menuju ke
halaman samping. Tak berapa lama iapun menghadap rakryan
Kuti dengan membawa seorang lelaki bertubuh kekar, gagah
perkasa. "Praswatang" kata rahryan Kuti "janganlah engkau terkejut
karena kupanggil menghadap pada saat tengah malam ini.
Ada suatu tugas penting yang akan kuberikan kepadamu"
"Apapun titah gusti rakryan, hamba tentu melakukan
dengan sepenuh hati"
"Baik, Praswatang. Kelak aku tentu takkan melupakan
pengabdianmu. Pergilah engkau bersama bekel Kadru ke
sebuah desa di sebelah selatan pura. Cari dan bawalah
seorang wanita yang bernama Indu Salupi ke mari."
Bekel Praswatang terkejut heran namun ia tak berani
meminta keterangan. Perintah kepala Dharmaputera hanya
harus dilaksanakan tanpa suatu penjelasan.
"Hm, hanya wanita itulah yang dapat kujadikan sumber
menyelidiki tempat beradanya baginda. Andaikata dia memang
benar2 tak tahu, baginda tentu tetap akan unjuk diri manakala
mendengar selir kesayangannya itu kutawan" demikian
rencana ra Kuti. Dan malam itu berangkatlah kedua pengalasan yang paling
dipercaya oleh ra Kuti ke desa itu.
"Aneh benar perintah gusti rakryan kali ini" kata bekel
Praswatang kepada kawannya.
Bekel Kadru hanya mengangkat bahu. "Kita hanya kepala


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit penjaga gedung rakyan Kuti yang harus melakukan
setiap perintahnya. Sudahlah, tak perlu engkau berbanyak
pikiran. Kita lakukan saja perintah itu. Dan bukankah amat
mudah sekali untuk membawa seorang wanita ke hadapan
gusti rakryan?" Bekel Praswatang hanya mengangguk walaupun terpaksa.
"Tetapi pekerjaan ini tak mudah juga" kata Praswatang
"kita belum tahu dan belum pernah melihat bagaimana wajah
wanita itu. Bagaimana kita dapat menangkapnya?"
"Ah, mudahlah" sahut bekel Kadru "jika sudah tiba di desa
itu dengan mudah kita tentu dapat bertanya kepada
penduduk" Malam makin larut dan makin sunyi. Kedua pengalasan itu
sudah melintasi gapura pura dan mulai menyusur jalan yang
gelap. Sebelum terjadi huru hara walaupun sampai malam,
masih terdapat juga orang yang berjalan. Entah hendak
menuju ke pura atau keluar pura. Tetapi setelah timbul huruhara, jangankan di desa2 atau daerah di luar pura, bahkan di
dalam pura sendiri pun suasana malam berobah sunyi.
Huru-hara memang sudah selesai tetapi akibat2 dari
suasana yang keruh itu masih panjang. Banyak orang
memancing di air keruh. Mengadakan tindakan untuk mencari
keuntungan. Terutama golongan orang jahat. Kesempatan itu
tak disia-siakannya. Pemerasan, penekanan sering di alami
sementara penduduk. Dan golongan2 penjahat kecil, sering
melakukan pembegalan ataupun penggarongan. Mereka
menganggap negara sedang kacau, keamanan terganggu dan
tertib hukum tiada menentu.
Tidak banyak yang dipikirkan oleh kedua pengalasan itu.
Mereka menganggap tugas untuk membawa seorang wanita,
amatlah mudah. Maka bergegaslah mereka mengayunkan
langkah. Makin cepat selesai makin baik agar jangan sampai
diketahui orang. Ada suatu perasaan yang meregangkan bulu kuduk ketika
mereka harus melintas sebuah gerumbul pohon yang
merimbun gelap di sebelah muka. Walaupun keduanya malu
untuk saling mengutarakan rasa yang menghinggapi hati
mereka, namun tangan mereka melekat erat2 pada tangkai
senjatanya. Gelap memang suatu hal yang mudah menimbulkan
berbagai perasaan. Terutama cemas dan rasa takut. Tetapi
sudah beberapa gerumbul dan bulak, hutan kecil dan tikungan
jalan yang sunyi dan gelap. Masakan kali ini mereka harus
takut. Namun betapapun usaha mereka untuk menghibur dan
menyalakan nyali, tetap pikiran mereka merasa gelisah.
Kegelisahan itu terutama disebabkan karena pandang
mereka terganggu oleh suatu bayang2 hitam yang tegak
menghadang di tengah jalan.
"Ah" desuh mereka dalam hati karena sampai saat itu
keduanya tetap malu untuk mengutarakan perasaan masing2.
Dan serempak keduanyapun mengusap-usap kelopak mata.
Tentulah mereka menganggap ada sesuatu yang mengganggu
matanya. Tetapi ketika memandang ke muka pula, tetap
bayang2 hitam masih menggunduk di tengah jalan.
"Kakang Praswatang" tiba2 Kadru yang lebih dahulu tak
dapat menahan ketegangan hatinya. Ia hentikan langkah dan
menggamit lengan kawannya.
"Mengapa?" Praswatang berusaha untuk menyembunyikan
getar suaranya dalam pertanyaan.
"Apakah bayang2 hitam yang tegak di sebelah muka itu ?"
bekel Kadru menunjuk ke muka.
"Ah, hanya bayang2 pohon merebah ditingkahi rembulan"
Tetapi bekel Kadru tetap tak melangkah. "Kakang, cobalah
engkau lihat yang seksama. Tidakkah bayang2 di depan itu
menyerupai tubuh manusia?"
Praswatang merentang mata, melontarkannya ke arah
bayang hitam yang menggunduk di tengah jalan. Tergetarlah
hatinya. Memang apa yang dikatakan Kadru, tidaklah berlebihlebihan. Bayang2 hitam itu memang menyerupai sosok tubuh
manusia yang terbungkus pakaian hitam. Namun ia harus
menjaga agar jangan sampai Kadru pecah nyali. "Ah, tidak
Kadru. Jangan kita takut. Setan sekalipun, kita gempur saja!"
Dan bekel Praswatang pun segera mendahului ayunkan
langkah menghampiri ke muka. Makin dekat hatinya makin
tegang karena makin jelas pula bahwa bayang-bayang hitam
itu bukanlah bayang bayang pohon tertingkah cahaya bulan.
Segera ia mencabut pedang. "Hm, siapa engkau!" tegurnya
seraya berhenti dan siap2 pada jarak tiga empat langkah dari
mahkluk itu. Namun tiada penyahutan dari benda yang menggunduk
bagai patung itu. Dari jarak yang amat dekat itu dapatlah bekel Praswatang
melihat jelas bahwa gunduk hitam itu memang sesosok tubuh
manusia yang berselubung kain hitam. Dari kepala sampai
pada kaki. "Hm, penjahat, janganlah coba-coba untuk menakuti
orang. Kali ini engkau salah alamat" seru bekel Praswatang
pula. Setelah yakin bahwa penghadang itu tentu manusia
biasa, maka bekel itupun segera maju dan menusuknya. Ia
duga orang itu tentu bangsa penyamun yang sering
mengganggu rakyat desa. "Huh" mulut bekel itu mendesis kejut ketika pedangnya
menerpa angin. Sedang mahluk berselubung kain hitam itu
sudah mengisar ke samping.
Saat itu bekel Kadru pun sudah menghampiri. Serta
melihat bayangan itu dapat mengisar dari serangan pedang
Praswatang, Kadru pun hilang ketakutannya. Ia-pun memiliki
dugaan bahwa benda hitam itu tentu sesosok tubuh manusia.
Sebuah loncatan telah diayunkannya untuk menerkam orang
itu. Tetapi apa yang terjadi, benar-benar tak pernah diduga
bekel itu. Bayangan yang jelas berada dalam lingkup terkaman
tangannya, tiba2 lenyap dan tiba-tiba itu pula ia rasakan
kakinya telah terkait oleh sebuah kaki orang sehingga
hilanglah keseimbangan tubuhnya. Bum .... Kadru seperti
dibanting ke tanah. Dan sebelum rasa pening kepala dan
binar-binar matanya mereda, punggungnya terasa amat sakit
sekali. Sedemikian sakit sehingga tulang punggungnya serasa
patah karena tertindih oleh benda yang berat. Apa yang
terjadi kemudian ia tak tahu lagi karena ia merasa seolah telah
terbuai dalam kelelapan yang hampa.
Praswatang terkejut sekali. Ada sesuatu yang cepat
menghinggapi benaknya. Sesuatu yang membayangkan
pertanyaan tentang mahkluk itu. Adakah dia seorang manusia
atau seorang setan. Apabila seorang manusia, tentu sukar
memiliki gerak yang sedemikian cepat. Namun bila setanlah
dia itu, tentu tidak sedemikian jelas perwujutannya.
"Hai, siapa engkau !" untuk menekan perasaan gentar,
pengalasan itu berseru keras. Ia berharap suara itu dapat
membangkitkan semangatnya dan meruntuhkan nyali lawan.
Orang itu tak menyahut melainkan melonjak turun dari
tubuh Kadru yang pingsan. Kemudian tegak mematung pula.
"Mengapa engkau tak menyahut" Gagu?" Praswatang
mengulang. Dikepal-kepal tangkai pedangnya. Matanya
berhamburan menyusur ke tubuh lawan, mencari-cari bagian
lemah yang hendak diserangnya.
Orang itu tetap tak menyahut, tak bergerak.
"Hm, rupanya engkau hanya mengenal dengan bahasa ini
....." Praswatang ayunkan pedang hendak membabat
pinggang. Tetapi sekonyong-konyong ia mendengar derap
langkah orang menderap tiba di belakang. Sebelum ia sempat
berpaling terdengar pendatang itu berseru, "Jangan heran, ki
sanak!" Praswatang cepat berputar tubuh dan berhadapan-lah ia
dengan dua orang lelaki. Yang seorang gagah perkasa
membawa sebatang tombak. Yang seorang agak lebih tua,
membawa sebatang tongkat untuk menyanggah tubuihnya
yang berguncang guncang karena sebelah kakinya pincang.
Jika kawannya yang bertubuh gagah itu, memelihara cabang
bauk yang melingkar lingkar sampai ke dagu, mengenakan
gelang akar bahar yang besar. Adalah kawannya yang agak
lebih tua itu, bertubuh kurus tetapi memiliki sinar mata yang
bersorot tajam sekali. "Siapa kalian?" tegur Praswatang seraya mengepal erat2
tangkai pedang. "Seorang kawan" sahut lelaki yang bertubuh gagah "untuk
menghadapi manusia yang berpura pura gagu ini"
"Tetapi aku belum tahu dan tak kenal siapa ki sanak ini"
masih bekel Praswatang bersangsi.
"Itu tidak penting" sahut lelaki bercabang bauk "yang
penting akan kubantu engkau membunuh orang itu"
Praswatang masih kerutkan dahi.
"Bukankah engkau dititahkan oleh rakryan Kuti untuk
mengambil seorang wanita bernama Salupi!" tanya orang itu.
Praswatang terkesiap, "Bagaimana engkau tahu" Dan apa
maksudmu mengatakan begitu " Apakah engkau orang
sebawahan gusti rakryan yang diutus untuk mengikuti
perjalananku ?" "Salah" seru orang itu "semua dugaanmu itu salah. Aku
bukan pengalasan dari rakryan Kuti. Tetapi aku akan
membantu usahanya" "Aneh" Praswatang mengernyit dahi pula.
"Mengapa aneh?" ulang orang itu "setiap perjuangan yang
mencocoki hatiku, tentu akan kubantu. Bukankah rakryan Kuti
hendak mengatasi kekacauan di pura Wilwatikta ?"
"Setiap mentri, senopati, nayaka dan narapraja bahkan
setiap kawula menginginkan pulihnya keamanan di pura
kerajaan." "Tetapi rakryan Kuti yang paling besar keinginannya" cepat
orang itu menanggapi "sudah, sudahlah, mari kita selesaikan
orang itu dulu" "Siapa dia?" tanya Praswatang "penyamun-kah?"
"Bukan" sahut lelaki gagah itu "kita nanti lihat siapa dia.
Yang jelas dia tentu dari golongan yang menentang gustimu"
Praswatang terkejut "Dengan demikian diapun sudah
mengetahui rencana gusti rakryan malam ini?"
"Sudah tentu. Tetapi untuk jelasnya mari kita paksa dia
bercerita" lelaki gagah itu segera maju ke muka.
"Tak perlu engkau membantu, silahkan menyingkir ke
samping" tiba2 lelaki pincang berseru mencegah Praswatang
yang hendak melangkah maju.
Tetapi Praswatang menjawab, "Aku hendak menolong
kawanku yang pingsan itu"
Anehnya, orang berkerudung kain hitam itu diam saja
ketika Praswatang mengangkat tubuh Kadru ke pinggir, di
bawah sebatang pohon. "Hm, engkau hendak menghalangi rencana rakryan Kuti,
bukan?" seru lelaki bercabang bauk. Namun pertanyaan tak
berjawab. Orang aneh itu tetap diam saja.
"Ya, benar, mulutmu harus dirobek supaya dapat bicara"
kata lelaki bercabang bauk. Tiba2 ia loncat ke muka dan
ayunkan sebuah pukulan keras.
Sebelum mengenai sasaran, tenaga pukulan lelaki
bercabang bauk itu sudah menimbulkan deru angin yang
keras. Dan karena orang aneh itu menggeliat ke samping,
angin pukulan lelaki bercabang bauk melanda gerumbul semak
pohon. Daun dan dahan pohon berderak-derak keras,
menimbulkan kepikukan dalam hutan.
"Hai, jangan curang!" tiba2 Praswatang berteriak kejut
ketika melihat orang aneh itu sudah berada di belakang lelaki
bercabang bauk. Siapa dan apa tujuan kedua pendatang itu, ia
tak tahu. Tetapi karena jelas dia benar2 menyerang orang
aneh itu maka Praswatang pun harus membantunya. Karena
jarak agak jauh dan tak memungkinkan ia menerjang orang
aneh itu maka ia menyambar segenggam batu terus
dilontarkan sekeras keras ke arah kepala orang aneh itu.
Duk ..... Lontaran Praswatang memang tepat sekali mengenai.
Tetapi bukan sasaran yang diinginkan, karena orang aneh itu
sudah menggeliat pula ke samping, sehingga batu itu
meluncur ke punggung lelaki bercabang bauk "Ahhh ..." lelaki
itu mengerang tertahan, terhuyung dua langkah ke muka.
Kemudian selekas berbalik diri ia memaki, "Bedebah, mengapa
engkau melontar aku!"
Praswatang terlongong, tersipu merah dan buru2 minta
maaf. "Hm" lelaki bercabang bauk mendesuh geram. Dan
kegeraman itu segera ditumpahkan kepada orang aneh yang
berkerudung kain hitam. Ia melancarkan serangan yang lebih
dahsyat dan lebih gencar. Pengalaman dalam gebrak
permulaan, memberi pelajaran bahwa dia tak boleh
meremehkan lawan. Dalam pada itu bekel Kadru pun sudah siuman. Ketika
mendengar penuturan Praswatang tentang apa yang
dialaminya dari orang aneh itu, serentak berbangkitlah Kadru
seraya menyambar pedangnya yang tergeletak di tanah.
"Ki sanak, cincang saja manusia jahanam ini" seru Kadru
seraya loncat. Pedang dibabatkan ke pinggang, disapukan ke
kaki, ditabaskan ke kepala dan di tusukkan ke lambung. Dia
hendak menebus kekalahan karena diinjak pingsan tadi.
Namun orang yang tiada diketahui bagaimana raut wajah
yang terbungkus kerudung kain hitam itu, tak pernah
membiarkan tubuhnya bahkan pakaian hitam macam jubah
panjang itu tercium senjata lawan. Bahkan dalam suatu
serangan yang serempak dilakukan dari muka dan belakang
oleh lelaki bercabang bauk serta Kadru hampir saja
menimbulkan akibat yang hebat ketika orang yang diserang
itu, menggelincir ke samping. Pedang melayang akan
membelah muka lelaki bercabang bauk. Untunglah orang itu
amat tangkas. Dia membuang diri ke tanah dan berguling
guling ke samping. Kemudian melenting bangun.
Walaupun tidak menderita luka namun lelaki bercabang
bauk itu mengkal sekali karena pakaian dan mukanya
berlumuran debu. "Dungu engkau" teriaknya kepada Kadru.
Kadru merasa bersalah. Makian itu cukup ringan apabila
dibanding akibat yang mengerikan jika pedangnya sampai
membelah orang itu. "Pakailah tombakmu" seru Kadru "agar engkau jangan
menderita" Lelaki bercambang bauk itu mendesuh untuk menindas
kegeraman hatinya. Namun ia menyambar tombaknya juga.
Dengan tombak ia dapat memberi tusukan maut kepada lawan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disamping dapat menjaga diri apabila terulang kembali
peristiwa yang dilakukan Kadru tadi.
Kini orang aneh itu harus menghadapi dua lawan yang
bersenjata tombak dan yang lain pedang. Selama mengikuti
pertempuran itu, lelaki kurus kaki pincang, mencurahkan
perhatian penuh atas gerak tata langkah dari orang aneh itu.
Tampak lelaki pincang itu kerutkan dahi seperti merenungkan
seseorang. Dan betapalah perawakan tubuh orang aneh itu
menyerupai dengan orang yang dibayangkan itu.
"Jika benar dia, sungguh kebenaran sekali. Pucuk dicinta
ulam tiba" berkata orang itu dalam hati.
Sesaat ia tiba pada pemikiran itu, di gelanggang
pertempuran pun telah berlangsung suatu detik2 yang
menegangkan sekali. Dalam menghadapi tabasan pedang dari
bekel Kadru yang menyambar-nyambar laksana petir serta
menerima tusukan tombak lelaki bercambang bauk yang
memagut-magut bagaikan ular sanca, terpaksa orang
berkerudung muka itu harus memeras tenaga untuk
meningkatkan kelincahan tata gerak langkahnya. Jelas tata
gerak orang aneh itu hanya ditekankan pada gerak langkah.
Karena selama itu tak pernah ia menggerakkan tangan untuk
menghantam atau menerpa. Banyak corak semu dalam tata
langkah yang dimainkan orang aneh itu. Tampaknya hendak
bergerak ke kanan tetapi tiba2 meluncur ke kiri. Tampaknya
hendak menerjang ke muka, tahu2 loncat ke belakang. Ada
kalanya berputar putar sederas angin puyuh atau melingkarlingkar mengelilingi kedua lawannya.
Gerak semu yang sering menghias tata-langkah orang itu
benar2 membingungkan kedua lawannya, Mereka merasa
tusukan pedang ataupun tombak tentu mengenai tetapi
ternyata selalu tiba sejari dari tubuh orang itu.
Kadru merupakan orang kepercayaan dari ra Kuti. Dan
lelaki bercabang bauk itu rupanya juga bukan pendekar
sembarangan. Dia tentu mempunyai latar belakang yang
hebat mengenai perguruannya. Bahwa keduanya maju
serempak dengan menggunakan senjata dan memainkan
kepandaian bermain senjata dengan hebat tetapi tetap tak
mampu merobohkan seorang lawan yang tak dikenai, benar2
membuat darah keduanya mendidih.
Sesungguhnya sesuatu telah menyelimpat dari kesadaran
pikiran Kadru dan lelaki bercabang bauk itu. Dalam
pertempuran secara serempak, baik dua, tiga atau empat
orang, diperlukan suatu tata-gerak yang serasi sehingga tidak
menimbulkan kericuhan. Tetapi Kadru dan lelaki bercabang
bauk itu tak kenal mengenal. Tak tahu pula sumber
kepandaian masing2. Karena mereka menyerang dengan
serempak, timbullah kericuhan dan kekacauan dalam cara
mereka menyerang. Ada kalanya pedang dan tombak mereka
hampir berbentur sendiri. Dalam keadaan demikian, andai
Kadru atau lelaki bercabang bauk itu maju seorang diri,
bahkan jauh lebih berbahaya daripada kalau mereka
menyerang secara berdua. Tetapi mereka kurang menyadari kelemahan itu. Yang
mereka rasakan hanya makin menggeloranya amarah mereka
karena merasa dipermainkan oleh orang aneh itu. Maka makin
gencarlah mereka melancarkan serangannya.
Pada suatu saat tiba2 lelaki bercabang
menggembor keras "Mampuslah engkau ..."
bauk itu Laksana ular menyambar, ujung tombak memagut dada
orang aneh itu. Cret .... tombak menyusup di bawah ketiak kiri
orang itu. Sepintas pandang memberi kesan bahwa tombak
telah menemui sasaran. Melihat lelaki bercambang bauk itu berhasil. Kadru-pun tak
mau kalah. Pedang diayun menabas sekuatnya ke kepala
orang, sring .... Orang aneh itu mengendap ke bawah, selekas pedang
Kadru melayang melalui kepalanya, dengan sebuah gerak
yang amat cepat, orang itu menyambar pergelangan tangan
Kadru dan menekan sekuat-kuatnya.
"Auh ...." seiring mulut Kadru menjerit kesakitan, sesosok
tubuh tiba2 melenting ke udara, menyambar kain kerudung
yang menutupi kepala orang itu.
"Ah ...." terdengar teriak tertahan dan tiga sosok tubuh
berhamburan ke belakang. Orang aneh itu loncat beberapa
langkah ke belakang. Karena gerakan itu maka Kadru dan
lelaki bercambang bauk pun terhuyung-huyung keras sampai
beberapa langkah ke belakang. Tombak yang tampaknya mengenai lengan orang aneh
itu ternyata masuk ke sela
ketiak dan dikepit kencang2.
Karena dilepaskan, lelaki
bercambang bauk yang berusaha menarik tombaknya, telah kehilangan
keseimbangan badan dan terhuyung-huyung bagai layang2 putus tali. Demikian
pula dengan Kadru. Tekanan
orang itu pada pergelangan
tangan memaksa Kadru lepaskan pedang. Dan pada saat orang itu melenting ke
belakang, lebih dahulu ia mendorong Kadru sehingga bekel
itupun terlempar sempoyongan.
"Ah, engkau Anuraga, ternyata apa yang kuduga memang
benar ...." seru lelaki pincang kaki. Tangannya masih
mencekal sehelai kain kerudung hitam. Dialah yang berayun
melayang ke muka untuk menyambar kain kerudung muka
orang aneh itu. Pada saat kedua tangan orang aneh itu tengah
menguasai tombak dan pergelangan tangan Kadru maka lelaki
pincang segera memanfaatkan kesempatan untuk menyambar
kerudung yang menutup muka orang itu.
Orang aneh itu tegak mematung. Kini bukan lagi dia
seorang yang menyeramkan karena wajahnya bertutup kain
hitam. Tetapi seorang muda yang berwajah cakap walaupun
dahinya menggelombang kerut keterkejutan.
"Siapa engkau !" serunya sesaat setelah menemukan
ketenangan kembali. "Engkau lupa padaku, Kuda Anjampiani" Ah, cobalah
engkau pandang diriku dengan seksama" orang pincang itu
berseru dalam nada cerah dan ejek.
Walapun dalam cuaca larut malam menjelang ayam
berkokok, namun cepat pula orangmuda yang disebut Anuraga
atau Kuda Anjampiani itu dapat mengenali orang pincang itu.
"O, engkau Windu Janur ?".."
"Heran?" sahut orang pincang itu "rupanya suatu musibah
bagai kawan-kawanmu gerombolan Gajah Kencana. Aku yang
pernah dilempar ke dalam semak onak oleh Kebo Lembana
dahulu, untuk yang ketiga kalinya masih dapat berhadapan
dengan engkau lagi" Seketika terbayanglah pada benak Anuraga, brahmana
muda yang saat itu sedang mengenakan pakaian jubah hitam,
akan peristiwa beberapa tahun dahulu ketika dalam perjalanan
pulang ke pura Majapahit, dia telah dicegah oleh Windu Janur.
Betapa akhirnya mereka harus bertempur karena Windu Janur
gagal untuk membujuknya masuk menjadi anggauta Wukir
Polaman. Untung pada saat2 yang membahayakan jiwanya,
muncullah bekel Kebo Lembana yang melemparkan Windu
Janur ke dalam semak beronak. Dan kedua kalinya, ia dan
Dipa pernah dianiaya oleh orang2 Wukir Polaman dengan
diikat pada kuda yang dilepas lari kencang dan ditolong
Hesthidono. "Hentikan renunganmu dan hapuslah keheranan. Memang
yang saat ini berdiri dihadapanmu dan bicara ini, benar2
Windu Janur" seru lelaki pincang itu.
"Mengapa engkau berada disini?" tegur Anuraga pula.
"Jawabku sama dengan jawabmu apabila kuajukan
pertanyaan semacam itu kepadamu" sahut Windu Janur.
"Hai, Windu Janur, masih sekeras dahulu nada dan
sikapmu sekarang" tegur Anuraga.
"Watak manusia, sukar dirobah" tanggap Windu Janur,
putera senopati Daha bernama Rangga Janur yang mati dalam
peperangan oleh Rangga Lawe, ayah brahmana Anuraga atau
Kuda Anjampiani. "Memang benar" sambut Anuraga pula "tetapi hanya
manusia2 yang belum mencapai kesadaran batinlah yang
sukar untuk merobah wataknya"
"Ada dua hal yang menyebabkan aku sukar mencapai
kesadaran itu, Kuda Anjampiani."
"O" desuh Anuraga.
"Pertama, hancurnya kerajaan Daha karena dihianati oleh
raden Wijaya, rajakula Majapahit. Kedua, darah yang mengalir
dari jenazah ayahku Rangga Janur karena tikaman senjata
Rangga Lawe. Selama kedua peristiwa itu masih melekat
dalam kenangan sanubariku, watakku tak mungkin akan
berobah" "O, itukah sebabnya sekarang engkau menanggalkan
jubah kepanditaanmu ?" seru Anuraga.
"Bukan karena jalinan rambut, bukan karena keturunan,
bukan pula karena pakaiannya maka seseorang layak disebut
pandita itu" Windu Janur membela diri.
"Tepat sekali" sambut Anuraga "tetapi masih kurang
lengkaplah sabda sang Adi Buddha dalam Dhammapada itu.
Seharusnya begini 'Bukan karena jalinan rambut, bukan
karena keturunan, bukan pula karena kasta yang menentukan
seseorang menjadi brahmana. Seseorang dinamakan
brahmana bila di dalam dirinya bersemayam Kebenaran dan
Kebajikan'" "Akupun berpijak pada Kebenaran" seru Windu Janur.
"Kebenaran yang berpijak pada nafsu dendam bukan
Kebenaran yang murni"
"Seorang manusia biasa" akhirnya Windu Janur mengakhiri
pembelaannya "dan akupun seorang anggauta Wukir Polaman.
Jiwa ragaku kupersembahkan untuk perjuangan yang kucitacitakan."
"Engkau tetap hendak melanjutkan tuntutanmu membalas
dendam itu?" seru Anuraga.
"Wukir Polaman takkan berhenti berjuang sebelum citacitanya terlaksana. Jangan membicarakan soal2 lain. Mari kita
bicara dan bertindak sebagai seorang ksatrya. Aku ingin
melanjutkan pula pertempuran dahulu yang belum selesai itu."
Anuraga terkesiap. Ia masih ingat bahwa Windu Janur
yang dahulu menyamar sebagai seorang pandita memiliki ilmu
Genta Kaleleng yang sakti. Hampir saja ia tercelaka karena
ilmu itu apabila Kebo Lembana tak keburu datang dan
melemparkan ke dalam semak duri.
"Selama beberapa tahun ini dia tentu berlatih lebih
sempurna dalam ilmu Genta Kaleleng" diam2 Anuraga
menimang dalam hati. Demikian pikiran Anuraga, demikian pula pikiran Windu
Janur. Diapua menduga bahwa selama beberapa tahun ini
Anuraga tentu makin digdaya.
Praswatang dan Kadru yang mendengar percakapan itu
tampak terbeliak kejut. Kiranya orang aneh itu seorang warga
Gajah Kencana. Sedang lelaki pincang bersama lelaki
bercambang bauk itu anggauta dari Wukir Polaman.
"Ah" keluh Praswatang. Ia tak menyangka bahwa titah
rakryan Kuti yang dikeluarkan kepadanya itu walaupun sangat
rahasia, tetapi ternyata tak lepas dari pendengaran Gajah
Kencana maupun Wukir Polaman. Diam2 tergetarlah nyali
Praswatang. Tetapi pada lain kejab, ia tertawa girang dalam
hati, "Biarlah mereka bertempur mati-matian. Biarlah ada
salah seorang yang mati terbunuh, syukur kalau kedua-duanya
mati" Demikian keduanya segera mulai serang menyerang.
Sederas hujan, sedahsyat halilintar dan secepat angin meniup.
Demikian pertempuran antara dua orang musuh bebuyutan.
Yang satu, warga dari sebuah himpunan yang menjaga
kerajaan Majapahit. Yang satu, seorang anggauta dari sebuah
himpunan yang hendak merobohkan Majapahit.
Tiba2 Anuraga loncat ke luar dari gelanggang. Tegak
memandang lawan, ia berseru "Windu Janur, mengapa engkau
pura2 pincang " Bukankah kakimu masih lengkap?"
Windu Janur tertawa, "Rupanya engkau dan aku
ditakdirkan harus bertemu dan bertempur entah berapa kali.
Aku tetap hidup walaupun dilemparkan oleh Kebo Lembana.
Dan engkaupun masih bernapas walaupun kami ikat di
punggung kuda. Memang ada kalanya suatu musibah itu
merupakan berkah yang terselubung. Aku sudah dikenal oleh
orang2 di Majapahit, terutama oleh kawan-kawanmu dari
Gajah Kencana. Oleh karena itu, akupun menjelma sebagai
seorang tua yang berkaki pincang"
"O, pandai benar engkau" seru A nuraga "sehingga tadipun
hampir saja aku tak dapat mengenalimu"
"Sayang" gumam Windu Jinur "aku selalu mengenalimu
dalam bentuk penyamaran apapun juga"
"Windu Janur" seru Anuraga pula "engkau hendak
membantu ra Kuti untuk menggulingkan baginda dari tahta
kerajaan?" "Setengahnya benar, setengahnya tidak" sahut Windu
Janur. Anuraga kerutkan dahi "Sejak dahulu nadamu selalu
mengulum rahasia, kata-katamu selalu berselubung. Adakah
demikian sifat2 orang Wukir Polaman?"
Wudu Janur tertawa, "Ya, memang demikian sifat orang2
Wukir Polaman, sesuai dengan sifat perjuangannya yang serba
rahasia itu" "Apa maksud kata-katamu itu?"
"Memang benar aku hendak membantu usaha ra Kuti
menggulingkan raja Jayanagara. Tetapi bukan berarti akan
membiarkan ra Kuti duduk ditahta Majapahit. Kecuali apabila
dia mau tunduk dibawah kekuasaan Daha."


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seperti dengan ra Kuti, engkau dan kawan-kawanmu dari
Wukir Polaman itu hanya akan menemui kekecewaan belaka."
"Anuraga, bersiaplah menerima kematianmu" hardik Windu
Janur seraya berpaling ke arah lelaki bercambang bauk,
memberi sebuah kicupan mata lalu berpaling menghadap
Anuraga pula. "Baik sekali, Windu Janur" seru Anuraga "tak lama lagi
cuaca akan merekah pagi. Suruhlah kawanmu maju sekali
agar pertempuran ini lekas selesai"
Windu Janur agak merah mukanya. Tetapi lelaki gagah
bercambang bauk itupun segera loncat ke samping Anuraga
dengan tombak di tangan. "Anuraga" seru Windu Janur seraya mencabut tangkai
tongkatnya. Sebilah senjata aneh segera terhunus. Mirip
sebilah keris tetapi panjang dan ujungnya runcing.
Ditaburkannya senjata itu sehingga menimbulkan lingkaran
sinar serta desau angin menderu tajam, "loloslah senjatamu"
Belum Anuraga menjawab, ia pun melihat bahwa lelaki
bercambang bauk sudah mengisar ke belakang dan meluluslulus batang tombak. Dan dalam pada itu, bekel Kadru pun
tampil, langsung mengambil tempat di sisi kanan Anuraga.
Pedang dibolang balingkan sekedar melemaskan pergelangan
tangan dan sekalian untuk menambah semangat. Melihat itu
bekel Praswatang pun segera loncat ke sisi kiri Anuraga dan
mencabut pedang. Kini Anuraga harus menghadapi empat orang lawan yang
bersenjata dan akan menyerang dari empat jurusan. Ia
menyadari bahwa di antara keempat lawan itu, Windu Janur
lah yang paling berat. Rupanya Windu Janur sangat bernafsu
sekali untuk membunuhnya. Dia sudah tak menghiraukan sifat
ksatrya lagi. Sekali gus empat orang maju, agar pertempuran
lekas selesai. Brahmana muda itupun menilai lebih lanjut. Di antara
keempat lawannya, yang pernah bertempur dan tahu tingkat
kepandaiannya, adalah bekel Kadru. Da harus mamanfaatkan
kelemahan barisan lawan. "Anuraga, mengapa tak lekas engkau mencabut senjatamu
?" tegur Windu Janur.
"O, kiranya engkau masih mempunyai setitik sisa sifat
seorang ksatrya, Windu Janur" seru Anuraga "ketahuilah, aku
tak pernah membawa senjata. Bukan-kah haram bagi pandita
dan brahmana untuk membunuh orang ?"
"Anuraga, jangan menyinggung-nyinggung soal kepanditaan dan ke-brahmanaan. Kita sekarang berhadapan
sebagai putera2 dari senopati yang pernah bertempur. Engkau
putera Rangga Lawe dan aku putera Rangga Janur. Dahulu
Rangga Lawe berhasil membunuh Rargga Janur, tetapi
sekarang Windu Janur berhasil membunuh Kuda Anjampiani"
"Pacang putih tulyanikang malangliput. Sebagai mendung
putih layaknya mala itu meliputi batin manusia ...."
"Jangan banyak cakap!" hardik Windu Janur mulai tak
sabar lagi "katakan, engkau menghendaki senjata apa, akan
kusediakan !" Anuraga tertawa, "Terima kasih, Windu Janur. Jika engkau
memberi kesempatan, berilah kepadaku dahan pohon kamal
itu" "Baik" Windu Janur lari menghampiri pohon kamal yang
tumbuh agak jauh dari jalan. Memapas salah sebatang
dahannya sebesar lengan orang lalu dibawanya kembali ke
tempat Anuraga dan diserahkannya "Sudah?"
"Cukup" sahut Anuraga lalu mengambil sikap.
Baik bekel Praswatang, Kadru dan lelaki bercambang bauk,
tahu bahwa Windu Janur memilki ilmu yang lebih sakti dari
mereka. Merekapun tak berani bergerak mendahului Windu
Janur. Rupanya Windu Janur sangat bernafsu sekali untuk
membunuh Anuraga. Pedang yang dimainkan itu segera
melayang ke arah Anuraga. Deras dan dahsyat.
Anuraga tampak terkejut dan gugup melihat kedahsyatan
pedang Windu Janur. Ia menyurut mundur selangkah lalu
selangkah lagi. Windu Janur tetap membayangkan pedangnya
untuk membelah kepala lawan. Terpaksa Anuraga mundur
lagi. Melihat itu, Windu Janur makin bernafsu. Ia tidak
melangkah maju melainkan loncat menerjang. Pada saat itulah
sekonyong- konyong Anuraga songsongkan dahan kamal ke
muka dengan sepenuh tenaga. Jarak yang amat dekat tak
memungkinkan Windu Janur untuk menghindar. Terpaksa ia
menabas dengan pedangnya .....
Pada saat Windu Janur sibuk menghalau dahan pohon,
sekonyong konyong Anuraga membuat suatu gerakan yang
tak terduga. Tiba2 ia berputar tubuh dan melenting ke udara,
melayang ke arah Kadru. Kadru terkejut. Bergegas ia ayunkan
pedang hendak menabas. Tetapi sekonyong-konyong Anuraga
menampar. Seketika bekel itu serasa terdorong oleh
segelombang angin yang menyebabkan ia harus langkahkan
sebelah kakinya ke belakang untuk menjaga keseimbangan
tubuh yang terhuyung. Tetapi sebelum ia berdiri tegak,
lengannya sudah dikuasai Anuraga. Dan sebelum ia sempat
menggerakkan tenaga, lengannya pun sudah diteliku ke
belakang. Sebelum tahu apa yang terjadi, tengkuknya
dicengkeram kencang lalu tubuh diangkat dan pandang
matanya bcrputar-putar mengikuti tubuhnya yang melayanglayang ke sekcliling penjuru.
Praswatang dan lelaki bercambang bauk terkesiap
menyaksikan peristiwa itu. Mereka tak pernah membayangkan
bahwa Anuraga dapat bergerak sedemikian pesat.
Membendung Windu Janur dengan lontaran dahan kamal lalu
menguasai Kadru dan memutar-mutar tubuhnya sebagai
senjata. Bahkan kesiap Praswatang dan lelaki bercambang bauk itu
berobah menjadi gugup ketika Anuraga mengayunkan tubuh
Kadru kearah mereka. Praswatang dan lelaki bercambang
bauk serempak loncat mundur.
"Bedebah, engkau licik sekali, Anuraga!" teriak Windu
Janur seraya menyingkir ke samping pada saat Anuraga
mengayunkan tubuh Kadru kearahnya. Jika menghantam atau
menabas, jelas Kadru tentu celaka. Namun apabila tidak
demikian, sukar untuk meroboh-kan Anuraga.
Akhirnya Windu Janur mengambil keputusan. Terpaksa ia
harus mengorbankan Kadru. Cepat ia loncat menabas.
Anuraga lah yang terkejut ketika ia songsong-kan tubuh Kadru
untuk menangkis, ternyata Windu Janur tetap menabas.
Praswatang memekik kejut. Ia tak tahan menyaksikan
tubuh Kadru terbelah dua oleh pedang Windu Janur, "Tahan
...." teriaknya gugup seraya loncat hendak menyabatkan
pedangnya ke senjata Windu Janur.
Serempak itu, Anuraga pun lemparkan tubuh Kadru ke
arah Windu Janur. Windu Janur terkejut dan cepat berkisar ke
samping tetapi pada saat itu pedangnya pun dihantam, oleh
pedang Praswatang, tring ....
"Jangan membunuh kawanku!" teriak Praswatang menatap
Windu Janur dengan pandang memberingas.
Bum .... Karena tak mengenai tubuh Windu Janur, Kadru pun
terhempas ke tanah. Hempasan yang keras itu makin
mempercepat hilangnya kesadaran pikirannya. Bekel yang
sudah sesak napasnya karena diayun-ayunkan Anuraga,
pingsan seketika. Lelaki bercambang bauk hendak loncat menyerang
Anuraga. Tetapi tiba-tiba sesosok bayangan agak pendek,
loncat menerkam baju punggungnya.
Sebelum tahu siapa penyerangnya itu, lelaki yang
bercambang baukpun sudah terlempar ke belakang,
terjerembab membentur sebatang pohon besar. Dia terkapar
dan terkulai tak berkutik.
Sedangkan Praswatang pun mengalami hal yang hampir
serupa dengan lelaki bercabang bauk itu. Seorang pemuda
muncul, menyambar tangan Praswatang yang tengah
mengayunkan pedang lalu dengan sekuat tenaga menelikunya
ke belakang punggung. Sesaat mulut Praswatang mengerang
kesakitan, tengkuknya telah disabat dengan hantaman telapak
tangan yang keras, krek .... bekel pengatasan dari ra Kuti
itupun menggelepar jatuh ke tanah.
Kemunculan kedua pendatang itu memang tak terdugaduga. Garakan mereka pun terlampau cepat untuk
menyempatkan lelaki bercambang bauk dan Praswatang.
Sukar dibayangkan tetapi memang suatu kenyataan telah
berlangsung dimana lelaki bercambang bauk dan bekel
Praswatang harus mengikuti jejak Kadru yang sudah
mendahului rebah di tanah senyenyak orang tidur.
Windu Janur terkesiap menyaksikan peristiwa itu. Lebih
terkejut ketika ia mengenali bahwa salah seorang dari kedua
pendatang yang bertubuh agak pendek, seperti pernah
dikenalnya. "Dipa" tegur Anuraga kepada pemuda itu "lupakah engkau
kepada orang ini?" Pemuda bertubuh agak kekar pendek dan disebut sebagai
Dipa, maju dua langkah, "O, lupa2 ingat paman"
"Masih ingat engkau akan peristiwa dirimu diikat pada
seekor kuda dan kuda itu dilepas lari kencang dalam keadaan
engkau pingsan dahulu ?"
"O, dia" teriak Dipa "orang Wukir Polaman itu?"
Anuraga mengiakan. "Tetapi" kata Dipa mengerut dahi "agaknya bukan waktu
itu saja aku pernah melihatnya. Aneh, mengapa sinar matanya
sama seperti pandita yang pernah menyerang paman di hutan
dahulu?" "Benar" seru Anuraga "ingatanmu tajam benar. Dia
memang yang pernah menyaru sebagai seorang pandita untuk
mencegat perjalananku. Dan dia pula yang berada dalatn
rombongan orang Wukir Polaman dalam guha itu"
"Ah" Dipa mendesah "mengapa tiga kali berjumpa, tiga
macam dandanannya. Jika paman tak mengatakan, tentu
kukira dia seorang lain lagi. Siapakah namanya?"
"Windu Janur, putera Rangga Janur seorang senopati
termasyhur dari raja Jayakatwang di Daha"
"Apakah dia hendak mencegat paman lagi?"
Anuraga rnengiakan "Dia sangat mendendam sekali atas
kematian ayahnya. Dia hendak menuntut balas kepadaku
walaupun yang membunuh ayahnya itu dahulu adalah ayahku.
Dan kebetulan pula, dia warga Wukir Pohman yang
bertentangan tujuan dengan Gajah Kencana"
"Setan kecil" tiba2 Windu Janur melantang mengkal karena
sejak tadi ia dijadikan bahan pembicaraan mereka, "engkau
juga belum mati" "Engkau kecewa?" seru Dipa.
"Tidak" sahut Windu Janur "karena akhirnya tetap akan
mati juga di tanganku"
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda yang seorang atau
Hesthidono "saat ini jiwamu berada di tangan kami, jangan
bicara sesombong itu"
Windu Janur tertawa, "Engkau kira Windu Janur akan
kalah dengan kalian bertiga" Memang anak kambing yang
baru tumbuh tanduk, tak takut kepada harimau"
'"Paman Anuraga" tiba2 Dipa berkisar menghadap ke arah
brahmana itu "orang Wukir Polaman jelas hendak merobohkan
kerajaan Majapahit. Idinkanlah aku menangkapnya"
Sebelum Anuraga sempat membuka mulut, Windu Janur
sudah menghambur tawa. "Kutahu bahwa engkaulah yang
merobohkan Bugel Kamali dan Bagaskara, dua orang warga
himpunan Wukir Polaman yang bertenaga kuat. Tetapi jika
engkau melonjak hendak menghadapi aku, engkau benar tak
tahu diri" Dipa merah mukanya. Tetapi secepat itu Anuraga tenang2
berseru "Windu Janur, katakanlah apa kehendakmu?"
"Aku menghendaki kalian bertiga maju serempak agar
dapat menghemat tenagaku" seru Windu Janur.
Dipa dan Hesthidono memberingas marah. Tetapi Anuraga
hanya mendecak-decak mulut. "Ah, hebat sekali nian orang
Wukir Polaman itu. Tetapi warga Gajah Kencana juga tahu
harga diri, Windu Janur. Walaupun kami bertiga, tetapi kami
tak akan maju serempak seperti yang engkau lakukan tadi"
"Hm" Windu Janur menyeringai.
"Silahkan engkau memilih lawanmu di antara kami bertiga.
Apabila engkau menang, kami akan enyah dari sini dan
terserah engkau hendak melanjutkan perjalanan mengambil
wanita itu." Windu Janur bukan tak menyadari bahwa berhadapan
dengan tiga orang warga Gajah Kencana, lebih berat dari
menghadapi berpuluh prajurit Majapahit. Namun apabila ia
menuntut hal itu, tentulah ketiga orang itu akan mengejeknya.
Maka ia hendak menggunakan siasat membakar kemarahan
mereka agar mereka terangsang untuk memberikan
kelonggaran kepadanya. "Ah, kesombongan hanya akan berakibat penderitaan.
Bukankah kalian bertiga dan aku hanya seorang diri"
Pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya dan turutlah
permintaanku tadi atau engkau akan menyesal nanti" serunya.
"Windu Janur" sahut Anuraga, "jangan engkau
menggunakan siasat untuk merangsang kemarahan. Memang
apa yang kukatakan tadi, suatu kesungguhan hati. Dan takkan
kami menyesal untuk pernyataan itu"
"Hm" dengus Windu Janur pula "jika engkau masih berat
perasaan menjaga kewibawaan dan nama yang sesungguhnya
hampa belaka, terserah"
"Tetapi akupun hendak mengajukan syarat" Windu Janur
menambahkan. "Katakan" "Yang kalah, bukan melainkan enyah dari tempat ini tetapi
pun harus menerima hukuman dahulu menurut sekehendak
hati yang menang" "O" desuh Anuraga.
"Demikian pula kawan dari yang kalah, juga ikut menerima
hukuman. Misalnya aku kalah, Anjak Ladang itupun harus
kalian hukum juga" Dipa terkejut mendengar tuntutan Windu Janur yang
kelewat batas itu. Namun sejenak merenung, ia segera dapat
menyelami miksud di balik kata kata orang Wukir Polaman itu.
Jelas Windu Janur yakin kalau akan menang dalam
pertempuran itu maka dia sengaja mengajukan tuntutan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemikian keras. "Kecongkakannya harus diberantas agar mengurangi
kekejaman hatinya" diam-diam Dipa menimang. Kemudian ia
berpaling memandang Anuraga. Dilihatnya paman brahmana
itu masih mengernyit dahi. Rupanya masih mempertimbangkan tuntutan Windu Janur dengan akibatakibat yang akan diderita oleh mereka bertiga. Dan
sesungguhnya memang demikian. Anuraga mencemaskan
Windu Janur akan memilih Hcsthidono atau Dipa sebagai
lawan. Ia masih ragu-ragu adakah kedua pemuda itu sanggup
untuk menghadapi Windu Janur yang dalam pertempuran tadi
jelas mencapai kemajuan pesat dalam tata ilmu bermain
pedang. "Paman" akhirnya Dipa tak kuasa menahan gejolak
perasaannya, "idinkanlah aku yang menghadapi orang
congkak itu" Sebelum Anuraga menyahut, Windu Janur cepat berseru
mendahului. "Memang kulihat engkau yang paling ingin mati.
Rupanya engkau sudah bosan hidup. Baiklah, akan kuantarkan
engkau ke akhirat" "Engkau menegas. memilih aku sebagai lawan?" teriak Dipa "Bukankah engkau amat bernafsu untuk menghadapi
aku?" Windu Janur balas bertanya. Ia malu langsung memilih
Dipa, seorang anak yang jauh lebih muda dari dirinya, sebagai
lawan. Sudah beberapa tahun Anuraga tak berkumpul dengan
Dipa. Tetapi ketika dalam guha orang2 Wukir Polaman dahulu,
ia pernah menyaksikan betapa Dipa dengan tenaganya yang
luar biasa, berhasil membanting Bugel Kamali dan
melemparkan Baskara. Memang dalam soal tenaga, ia percaya
Dipa memiliki tenaga alam yang hebat. Tetapi yang
dihadapinya itu Windu Janur. Bukan pendekar yang
mengandalkan tenaga, melainkan kesaktian ilmu tata-kelahi.
Seorang yang banyak pengalaman dalam medan perkelahian.
Mampukah Dipa menghadapinya"
Rupanya Dipa dapat menyelami keraguan paman
brahmana itu. "Paman, kutahu betapa perasaan paman. Oleh
karena itu, akan kujunjung pesan paman bahwa kekalahanku
nanti, berarti aku mencelakai paman brahmana dan kakang
Hasthidono ...." "Baiklah, anak kambing" seru Windu Janur "tinggallah
pesan2 yang penting, agar engkau mati dengan mata meram"
"Dipa" bisik Anuraga "jangan termakan perangkapnya. Dia
sengaja hendak merangsang kemarahanmu. Ingat, marah
merupakan pantangan besar dalam pertempuran"
"Terima kasih, paman" Dipa segera berputar tubuh
melangkah maju berhadapan dengan Windu Janur.
Windu Janur menyeringai "Ah, sesungguhnya sayang
sekali apabila pemuda seusia engkau ini harus sudah mati"
"Pernahkah engkau mati?" tiba2 Dipa bertanya.
"Gila engkau" "Mengapa engkau mengataka bahwa mati itu suatu
penderitaan yang amat sengsara dan hidup itu suatu
kenikmatan yang bahagia" kata Dipa "walaupun sekarang
engkau sudah berpakaian sebagai orang biasa tetapi dulu
engkau pernah mengenakan pakaian sebagai seorang pandita.
Tentulah engkau mengerti soal2 Hidup dan Mati itu, bukan ?"
Terkejut Windu Janur menerima pertanyaan itu. Jauh dari
persangkaannya bahwa anak yang semuda itu dapat
mengembalikan ejekannya dengan tajam dan sukar ditangkis.
Ia tersipu-sipu merah. "Hm" ia menggeram "saat ini bukan saat untuk
menguraikan pengertian Hidup dan Mati. Apa yang engkau
tanyakan, sesungguhnya hanya sebagai suatu gema, pantulan
suara dari ajaran pamanmu brahmana Anuraga itu. Adakah
engkau mengerti sungguh2 apa yang engkau katakan itu ?"
"Karena itulah maka aku bertanya kepadamu" cepat Dipa
mengerat. Rupanya tak mau Windu Janur terpojok oleh serangan
lidah lawan maka iapun tertawa. "Baik, nanti apabila di
akhirat, engkau tentu akan mengetahui sendiri. Bukankah
kenyataan itu jauh lebih berbukti daripada segala uraian
orang" "Hm, pandai benar engkau berputar lidah, orang Daha"
sahut Dipa "tetapi dadamu sesempit alam pikiranmu"
"Setan kecil, jangan lancung mulut! Apa arti kata-katamu
itu!" hardik Windu Janur.
"Kukatakan" kata Dipa tenang "dadamu sempit sehingga
tak dapat memuat ajaran2 keagamaan, baik tentang hidup
dalam kelahiran maupun dalam kematian. Pikiranmu pandak,
karena engkau masih mendendam kepada Majapahit. Engkau
hendak membangkitkan bangkai yang sudah lapuk"
Windu Janur terbeliak, "Setan, apa maksudmu?"
"Engkau dan kawan-kawanmu yang bergabung dalam
Wukir Polaman itu. Bukankah kamu hendak membangkit
kerajaan Daha yang sudah lenyap itu ?"
"Keparat!" teriak Windu Janur "aku dan kawan-kawanku
adalah putera Daha, keturunan senopati sang prabu
Jayakatwang. Raja Majapahit dengan licik telah meminjam
tenaga pasukan Tartar untuk menghancurkan Daha. Pada hal
bumi Terik yang sekarang menjadi pura kerajaan Majapahit
itu, adalah sang prabu Jayakatwang yang menghadiahkan
kepada Wijaya. Kami putera2 Daha, hendak mengambil
kembali bumi itu" Bekel Dipa memandang tajam ke arah Windu Janur
sehingga orang Daha itu terkesiap. Rupanya ia terkejut
bertatapan pandang dengan mata Dipa yang memancarkan
sinar penuh kewibawaan. "Orang Wukir Polaman" serunya dengan nada berat
"setiap patah ucapanmu, selalu engkau mengatakan putera
Daha, orang Daha. Pada hal ketika Daha masih berdiri, rakyat
selalu hidup menderita karena diganggu peperangan antara
Daha dengan Singasari. Jika engkau merasa bahwa raden
Wijaya itu licik tak kenal budi, apakah rajamu Jayakatwang itu
tidak lebih licik lagi karena membalas budi prabu Kertanagara
dengan air tuba?" Windu Janur terkesiap. "Balas membalas itu tiada gunanya. Hanya membawa
penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat belaka" kata Dpa
pula "dan kenyataan setelah Majapahit berdiri maka dapatlah
Daha dan Singasari serta seluruh nusantara dipersatukan.
Mengapa engkau hendak membangkitkan bangkai yang hanya
akan membawa malapetaka itu" Mengapa engkau tak mau
melihat kenyataan bahwa Majapahit itu dapat membawa
persatuan dan kesejahteraan bagi seluruh kawula" Tidakkah
kita ini kawula JawaDwipa, tak ada orang Daha, tidak pula
orang Singasari tetapi satu negara Majapahit, satu kawula,
nusantara" "Ho, enak saja engkau mengoceh menurut seenak lidahmu
bergoyang" seru Windu Janur "tetapi andai engkau menjadi
putera2 Daha, tidakkah engkau akan mendukung pendirianku
dan kawan-kawanku?" "Tidak!" sahut Dipa memberingas "aku mencita-citakan
sebuah negara yang bersatu. Tidak terpecah belah. Karena
hanya persatuan yang akan membawa negara ini jaya dan
sentausa!" "Tidak ada manusia yang berpikiran segila engkau. Jika
ada, cobalah engkau sebutkan !"
"Paman brahmana Anuraga itu" ia menunjuk ke arah
brahmana muda yang masih tegak berteliku tangan
mendengarkan pembicaraan mereka "adalah putera dari
Rangga Lawe, adipati Tuban. Adipati Tuban telah terbunuh
oleh kerajaan Majapahit karena dituduh memberontak. Tetapi
paman Anuraga tidak setitik pun mengandung dendam
kesumat. Paman Anuraga tetap akan berjuang untuk
menegakkan kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu. Ah,
memang salah untuk menilai seekor tikus dengan seekor
harimau" "Keparat, jangan banyak bicara" teriak Sindu Janur makin
marah "sekarang katakanlah. Engkau hendak bertempur
dengan senjata atau pukulan?"
"Sebagai seorang yang lebih muda, aku bersedia menurut
apa yang engkau kehendaki"
"Hm, sombong benar anak ini" dengus Windu Janur dalam
hati. Ia membenci Anuraga dan mulai membenci pula Dipa.
Sejak berapa tahun ini dia tekun sekali memperdalam
kepandaian dalam ilmu bermain pedang. Dan pergilah ia
kepada seorang empu untuk memesan sebilah keris panjang
yang menyerupai pedang. Untuk menghilangkan jejaknya
sebagai Windu Janur yang sudah banyak dikenal, ia menyamar
sebagai seorang lelaki pincang yang berjalan dengan sebuah
tongkat. Pada hal, tongkat itu berisi senjata keris panjang.
"Untuk mempercepat waktu" katanya "mari kita adu
kepandaian bermain senjata"
Dipa tertegun. Selama ini dia hanya mencurahkan
perhatian untuk memperdalam ilmu tata-langkah yang
diajarkan brahmana Anuraga, ilmu semedhi menyalurkan
prana dan ilmu Lembu-sekilan.
Dipa menyadari bahwa pertempuran saat itu penting benar
artinya. Windu Janur, salah seorang anggauta pimpinan Wukir
Polaman yang sangat bernafsu hendak menghancurkan Gajah
Kencana, terutama menuntut balas dendam kepada paman
Anuraga. Apabila ia kalah, Windu Janur pasti akan
menjatuhkan hukuman yang berat untuk membuat ia bertiga
cacat seumur hidup. Ia pun tak membekal senjata apa2
sebagaimana dengan brahmana Anuraga maupun Hesthidoro.
Akhirnya dengan sangat terpaksa ia teringat pada gada.
pusaka yang jarang sekali dikeluarkan. Gada Intan, senjata
pusaka yang diperolehnya diri tanah kuburan Wurare dahulu
ketika ia hendak menolak tulah atas bala yang pernah
dijatuhkan oleh empu Barada.
Selama ini belum pernah ia menggunakan gada pusaka itu.
Dan memang tiada seorang pun tahu bahwa ia memiliki
senjata pusaka yang sedemikian ampuh. Ia menyimpannya
baik2. Kini pada saat berhadapan dengan Windu Janur yang
menghendaki pertempuran dengan senjata dan pertaruhan
keselamatan jiwa paman Anuraga dan Hesthidoho, terpaksa
perhatian Dipa bangkit ke arah pusaka. Bukan karena Anuraga
itu, brahmana yang pernah menolong dirinya dan
melimpahkan budi kebaikan kepadanya melainkan karena
Anuraga itu penting artinya pada kelangsungan perjuangan
Gajah Kencana. Kemudian pikiran Dipa pun melayang lebih lanjut-Bahwa
saat itu sebenarnya ia sedang mengemban tugas yang amat
berat dan baginda Jayanagara. Menjelang malam, ia berhasil
masuk kedalam pura langsung menuju ke tempat bekel
Asadha. Ia berjumpa dengan bekel Asadha dan Hesthidono,
putera dari Senopati Mahesa Pawakal.
Bekel Asadha mererangkan bahwa brahmana Anuraga
bersama Parandiman sedang ke luar untuk menyelidiki
keadaan. Terpaksa Dipa menunggu. Tetapi rampai tengah
malam belum juga mereka pulang. Mulailah timbul kecemasan
dalam hati Hesthidono dan Dipa Akhirnya keduanya
bersepakat untuk ke luar mencari mereka.
Pada saat langkah mereka mendekati keraton, Dipa cepat
melihat sesosok bayangan yang mencurigakan gerak-geriknya.
Dikejarnya orang itu dan ternyata hampir terjadi kesalah
fahaman. Orang itu bukan lain Parandiman. Menurut
keterangan Parandiman, putera dari rakryan Pamandana, ia
ditugaskan Anuraga untuk mengamati keadaan keraton Tikta
Sripala. Sedang Anuraga sendiri melakukan penyelidikan ke
gedung kediaman ra Kuti. Bergegas Dipa dan Hesthidono menuju ke gedung
kediaman kepala Darmaputera itu. Mereka tak menemukan
jejak Anuraga. Setelah menunggu sampai beberapa lama
akhirnya mereka bersepalat untuk mencari keterangan melalui
peronda malam. Kedua pemuda itu dapat bekerja cepat dan
sigap sekali untuk menguasai dua orang peronda. Dari mereka
didapat keterangan bahwa malam itu rakryan Kuti telah
menitahkan dua orang pcngalasan menuju ke selatan luar
pura. Dipa dan Hesthidono segera menyusul. Mereka duga
brahmana Anuraga tentu mengikuti perjalanan rahasia dari
pengalasan yang diutus rakryan Kuti pada waktu tengah
malam buta itu. Kemunculan Dipa dan Hesthidono tepat ketika
Anuraga sedang terancam bahaya pengerubutan dari keempat
orang. Demikian perjalanan yang membawa Dipa dan Hesthidono
muncul di desa itu. Dan saat itu Dipa pun terdesak untuk
menggunakan senjata pusaka. Bukan karena ia sayang akan
jiwanya, tetapi apabila terjadi sesuatu pada dirinya, baginda
pun akan gelisah menunggu kedatangannya. Mungkin
membahayakan keselamatan baginda.
"Mengapa engkau tak cepat mengeluarkan senjatamu"
seru Windu Janur yang rupanya tak sabar melihat Dipa
termangu mangu. "Ya, baiklah" sahut Dipa "cukup kugunakan gada ini"
Dipa mencabut sebuah gada yang lebih kecil ukurannya
dengan gada biasa. Dalam kegelapan malam gada itu hanya
tampak berkilat-kilat tetapi tak tampak menarik perhatian
Windu Janur. Penyerangan yang dibuka Windu Janur memang cukup
meremangkan buluroma. Betapa tidak. Keris panjang yang
ditaburkan itu memancarkan sinar berkilau-kilauan bagaikan
ribuan kunang2 bertebaran di udara. Desau angin yang
menderu-deru menggetarkan daun2 semak dan ranting2
pohon. Windu Janur rupanya amat bernapsu sekali untuk
memenangkan pertempuran itu. Karena kemenangan atas diri
Dipa, akan dapat menghukum Anuraga pula.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa terbeliak. Namun teringat akan dua beban yang amat
penting, tugas dari baginda dan keselamatan Anuraga sebagai
pimpinan Gajah Kencana, bulatlah tekad Dipa untuk
menghadapi serangan lawan, betapapun dahsyatnya. Cepat ia
hendak bergerak dalam tata langkah ajaran Anuraga. Tetapi
sebelum sempat ia bergerak, sepercik cahaya berkilat telah
menyambar kepalanya. "Uh ...." seraja terbanglah semangat Dipa ketika hawa
dingin yang dipancarkan senjata Windu Janur itu tiba di
mukanya. Dalam detik2 yang berbahaya itu ia masih belum
kehilangan kesadaran. Serentak ia bergeliat dalam gerak
Lembu Sckilan. Tetapi taburan pedang Windu Janur terlampau
cepat tibanya, mendahului gerak Dipa.
Sring..... Dipa masih sempat menundukkan kepala sehingga
terhindarlah ia dari bahaya maut. Namun pedang Windu Janur
tetap tak sia2. Kain kepala dan segumpal rambut Dipa telah
terpapas berhamburan ke tanah.
Anuraga dan Hesthidono serentak menjerit kejut. Dalam
pandangan mereka, kepala Dipa tentu terpapas senjata Windu
Janur. Kedua orang itu legah perasaannya ketika mendengar
Windu Janur berseru mengejek. "Bagus, setan kecil, masih
untung jika engkau hanya kehilangan kain kepala dan rambut
saja. Tetapi jangan harap engkau akan mampu mencegah
batang lehermu terpisah dari badan"
Dipa cepat menyelinap ke samping dan tegak termangu
dicengkam rasa kejut yang cukup menerbangkan semangatnya. Setitikpun ia tak menyangka bahwa Windu
Janur memiliki ilmu bermain pedang yang sedemikian dahsyat
dan cepat. "Awas, jagalah batang lehermu baik2" tiba2 Windu Janur
berputar arah dan menerjang dengan taburkan pula
pedangnya. Gerak berputar tubuh dan menerjang itu hampir
dilakukan serempak dalam kecepatan yang tak disangka Dipa
sehingga untuk yang kedua kalinya, Dipa terkurung oleh
curahan sinar pedang lawan.
Dipa benar2 tak sempat mengembangkan ilmu tata
langkah, demikian pula ilmu Lembu Sekilan. Gerakan Windu
Janur benar2 secepat angin puyuh. Dipa agak kehilangan
faham untuk menghindar. Anuraga dan Hesthidono terperanjat. Hampir keduanya
serempak loncat hendak menghalangi serangan Windu Janur.
Mereka lupa bahwa hal itu merupakan pantangan dan
akibatnya Windu Janur tentu mempunyai alasan untuk
mengejek, menista dan bahkan akan menghambur kata2 yang
tajam untuk mendesak kedua lawan itu supaya mengakui
kekalahan. Tetapi betapapun halnya, Anuraga dan Hesthidono tetap
merasa terlambat. Saat itu pedang Windu Janur sudah
mengurung Dipa dan pada lain saat meluncur turun bagai kilat
menyambar. Triing...... terdengar dering gemerincing dari dua
benda keras saling berbentur.
"Uh" Windu Janur mendesuh dan loncat ke belakang.
Wajahnya tegang kelam. Bergegas ia memeriksa senjatanya.
Agak melusuh pula kerut2 dahinya ketika mendapatkan
senjatanya tak menderita cidera.
Dipa pun tegak termangu sehingga ia tak sempat
memperhatikan bahwa saat itu pandang mata Anuraga dan
Hesthidono mencurah ruah kepadanya. Sesaat sadarlah Dipa
apa yang telah terjadi. Ketika pedang Windu Janur hampir
menerpa lehernya, Dipa hampir kehilangan daya untuk
menghindar. Untunglah nalurinya amat peka. Ia menundukkah
kepala seraya songsongkan Gada Intan untuk melindungi
leher. Dan berhasillah ia menangkis ujung senjata lawan.
Tiba2 ia dikejutkan oleh dua buah suara helaan napas
yang panjang dan lepas. Cepat ia berpaling ke arah suara itu.
Di lihatnya brahmana Anuraga dan Hesthidono tengah
menghamburkan pandang kecemasan. Kecemasan yang
timbul dari rasa perihatin atas keselamatannya yang terancam
tadi. Suatu rasa sesal segera bertebar dalam bati Dipa.
Menyesal bahwa ia telah melakukan sesuatu yang
menggelisahkan hati mereka berdua.
Untuk menenangkan hati mereka, Dipa menyelimpatkan
sebuah anggukan kepala, anggun dan mantap. Matanya pun
menyertainya dengan pandang memohon restu. Anuraga dan
Hesthidono balas memberi senyum harapan dan kepercayaan.
Walaupun hanya sebuah senyum tetapi besar nian artinya bagi
Dipa. Ia merasa telah menerima kepercayaan dari para
pejuang Gajah Kencana untuk menyelesaikan tugas yang
penting itu. Dan serentak iapun menyadari bahwa pusaka
Gada Intan itu akan mampu melaksanakan tugas yang sedang
dilakukan itu. Ia harus memenangkan pertempuran itu.
Kemantapan hati dan kesadaran pikiran itu memberi
pengaruh besar pada Dipa. Pikirannya mengendap dan
ingatannya pun terang. Teringat ia akan pesan pandita sakti
Padapaduka yang lalu ketika menurunkan ilmu Lembu Sekilan.
Ilmu ini bukan untuk berkelahi melainkan untuk menjaga diri.
Janganlah bimbang untuk melakukan tata gerak Lembu
Sekilan itu, jangan pula gentar menghadapi serangan orang,
betapapun dahsyatnya. Berlaku tenang apabila musuh diam.
Tetapi serempaki dengan gerak Lembu Sekilan manakala orarg
menyerangmu. Demikian pesan pandita Padapaduka dahulu.
Dipa mengendapkan ketenangan hatinya dalam dasar
endapan yang paling hening. Dia tak mengacuhkan teriakan
Windu Janur yang hendak mulai menyerang. Hanya dikala
lawan bergerak, saat itu pula diapun segera melakukan gerak
tata langkah Lembu Sekilan.
Kembali Anuraga dan Hesthidono harus menahan napas
ketika melihat tubuh Dipa telah diselubungi oleh sinar senjata
Windu Janur yang menyambar-nyambar laksana kilat yang
sedang mengamuk. Perasaan cemas mulai merayap-rayap di
hati kedua orang itu. Namun sejauh itu, perasaan cemas itu
hanya terbatas pada tegang menegang. Sampai sekian lama.
kecemasan itu belum meletus menjadi suatu keterkejutan
yang ngeri. Karena jelas kedua orang itu memperhatikan
bahwa walaupun terkurung oleh sambaran pedang lawan,
namun senjata lawan tak pernah bersarang pada tubuh Dipa.
Dipa selalu berada pada jarak sesentuh jari dari senjata lawan.
"Lembu Sekilan" diam2 A nuraga terkejut dalam hati ketika
memperhatikan gerak langkah yang dilakukan Dipa. Rasa kejut
itu meluapkan rasa gembira manakala diperhatikannya pula
bahwa Dipa telah menguasai ilmu Lembu Sekilan dengan baik
sekali. Serentak menurunlah lipat2 kerut yang menghias dahi
brahmana itu. Setelah beberapa saat dapat menghindarkan diri dari
serangan lawan, Dipa memperhatikan bahwa Windu Janur
makin lama makin kalap dan marah. Serangannya makin
gencar dan deras tetapi lebih cenderung mendekati orang
yang mengamuk daripada menyerang secara gerak irama tata
kelahi. Diapun pusatkan segenap semangat dan perhatian untuk
mengembangkan ilmu Lembu Sekilan. Ia hendak menunggu
sampai lawan menurun tenaganya. Dan ia percaya hal itu pasti
terjadi. Sesungguhnya Windu Janur memang sakti. Terutama
dalam ilmu bermain pedang, ia telah mencapai tataran yang
tinggi dalam ilmu Gebyar Sayuta atau sejuta kilatan sinar.
Tetapi saat itu ia terlalu bernafsu dirangsang marah dan ingin
menang secara cepat. Ia mencurahkan segenap tenaga untuk
mencapai keinginannya itu. Dan pemaksaan tenaga itu,
mempercepat habisnya. Seiring dengan napas yang mulai
mengembang kempis maka tenaga serangannyapun makin
menurun. Akhirnya saat yang dinanti-nanti Dipa telah tampak. Dan
pemuda itu telah mengambil suatu keputusan Tiba2 ia
merobah gerak langkahnya. Bukan dalam ilmu Lembu Sekilan
melainkan dengan tata gerak langkah ajaran Anuraga. Ia
mulai berlari-lari mengitari lawan, memaksa lawan untuk
mengikutinya. Gerakan itu makin mempersingkat waktu dari
habisnya napas Windu Janur. Dan pada detik yang dianggap
paling menguntungkan, sekonyong-konyong Dipa menyelinap
ke belakang dan menerkam bahu lawan dengan tangan kiri.
Windu Janur terperanjat. Betapapun ia memang seorang
pendekar yang mampu membedakan hembusan angin biasa
dengan desau angin serangan. Seiring dalam gerak menatar
tubuh, pedang pun ditabaskan untuk membelah kepala Dipa.
Tetapi Dipa sudah bersedia. Dan kemungkinan serangan itu
memang sudah diduganya. Gerakan untuk menerkam bahu
lawan tadi hanya suatu pancingan. Yang dinantikannya adalah
gerakan pedang lawan. Penantian itu disertai dengan seluruh
perhatian. Maka ketika Windu Janur menabaskan pedang,
dengan segenap semangat dan tenaga, Dipa segera
menyongsong dengan menghamtamkan Gada Intan.
Bunga api memercik dan menjeritlah Windu Janur dalam
nada yang sangat terperanjat ketika pedangnya itu kutung
dua. Ujung kutungan melayang ke udara dan meluncur jatuh
ke tengah hutan. Sesaat Windu Janur masih tertegun dalam keterkejutan,
Dipa loncat pula dan menyerempaki menghantamkan Gada
Intan ke tangan Windu Janur. Serasa terbanglah semangat
Windu Janur saat itu. Seperti memegang ular berbisa, cepat ia
lepaskan pedang, menarik tangan dan loncat mundur.
Gerakan itu dilakukan dengan amat cepat sekali namun Dipa
ternyata lebih cepat. Serempak dengan tangkai pedang yang
terhantam mencelat ke udara, Windu Janurpun menjerit lagi
untuk yang kedua kalinya. Ketika loncat mundur, ia berdiri
sambil mendekap tangan kanannya. Wajahnya pucat lesi. Tiga
buah jari tangan kanan telah hancur tulangnya akibat
terlanggar Gada Intan. Walaupun tidak kutung tetapi jari2 itu
sudah lumpuh dan tak dapat digunakan pula. Sakitnya
menusuk sampai ke uluhati.
Ketika Dipa loncat pula untuk mengayunkan Gada Intan ke
arah kepala, Windu Janur sudah tak bergerak lagi. Tenaganya
saat itu serasa lumpuh, tenaga bilang. Ia pejamkan mata
menunggu ajal "Jangan, Dipa" tiba2 brahmana
menghampiri seraya berseru mencegah,
Anuraga loncat "Mengapa, paman?" Dipa hentikan gada pusaka yang
masih diacungkan di atas "bukankah kita pernah disiksa dan
dicelakainya" Tidakkah layak orang ini disenyapkan saja ?"
Brahmana Anuraga menghela napas "Benar, Dipa. Tetapi
nanti lain kali saja apabila kita berjumpa lagi. Kali ini
ampunilah dia ...." "Paman!" "Murah hati adalah sifat dari Hyang Agung yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Seorang ksatrya harus berjiwa
besar, Dipa" "Tetapi dia hendak merobohkan kerajaan dan memusuhi
Gajah Kencana" sanggah Dipa pula,
"Telah kukatakan, kelebihan seorang ksatrya dengan
seorang biasa, adalah karena dia berjiwa besar. Jika engkau
membalas dendam kepadanya, bukankah engkau tak ubah
seperti jiwanya yang engkau katakan sebagai seekor tikus
itu?" Namun Dipa tetap tak puas "Paman brahmana, secara
perseorangan memang aku menyetujui tindakan paman untuk
memberinya ampun, Tetapi demi kepentingan negara dan
perjuangan, tidakkah kita harus bertindak keras untuk
membasmi mereka2 yang menentang dan mengacau ?"
"Maksudmu kita harus dapat membedakan garis antara
persoalan peribadi dengan kepentingan negara ?"
"Demikianlah paman"
"Aku gembira, Dipa, karena engkau kini telah semakin
masak dalam pemikiranmu. Memang antara kepentingan
peribadi dengan kepentingan negara harus ditarik garis yang
berbeda. Kepentingan negara diatas segala kepentingan
peribadi. Tetapi mengapa aku menganjurkan engkau supaya
berjiwa ksatrya untuk memberinya ampun kali ini?"
Dipa hanya termangu. Menyerahkan jawaban kepada yang
bertanya sendiri. "Windu Janur adalah putera Daha yang mendirikan
himpunan Wukir Polaman dengan tujuan hendak membalas
dendam kepada kerajaan Majapahit. Dan kita adalah pejuang2
yang hendak membela kerajaan Majapahit" kata Anuraga
menegaskan pendirian itu pula walaupun ia maklum bahwa
Dipa tentu sudah tahu "tetapi tahukah engkau makna yang
sejati daripada perjuangan Gajah Kencana itu?"
Dipa terbeliak. Ia gelengkan kepala.
"Sesungguhnya hal itu sudah engkau canangkan tadi.
Perjuangan Gajah Kencana adalah untuk menegakkan
kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu. Tiada negara
Daha, tiada negara Singasari tetapi hanya satu, negara
Majapahit. Memberi kebebasan kepada Windu Janur kali ini,
berarti kita bersedia mengulur tangan persaudaraan kepada
orang2 Wukir Polaman, memberi kesempatan kepada mereka
agar sadar dari ketidaksadaran pikiran dan pandangan mereka
terhadap negara Majapahit dan perjuangan kita. Semoga
Windu Janur dapat menyampaikan berita ini kepada kawankawannya bahwa pejuang2 Gajah Kencana bukan pendendam
tetapi mengajak seluruh pejuang2 dimana saja dan tergabung
dalam himpunan apa saja untuk sama2 memperjuangankan
cita2 membangun sebuah negara yang besar dan jaya"
Dipa termangu-mangu mendengar uraian brahmana
Anuraga itu. Makin mantaplah curahan hatinya kepada
himpunan Gajah Kencana yang sesuai dengan cita2
pendiriannya. Makin kagum dan mengindahkan rasa hatinya
terhadap brahmana Anuraga. Namun masih ada setitik
keraguan yang mengilas dalam benaknya.
"Paman, bagaimana kalau Windu Janur dan kawankawannya menolak ajakan kita?" katanya "bukankah kali ini
kita telah melepaskan sebuah kesempatan yang sia2 ?"
"Tidak ada perjuangan yang sia2, tiada pula pengorbanan
yang sia2, Dipa" sahut Anuraga "melepaskan dia mempunyai
dua segi arti. Kita mengunjukkan siapa dan bagaimana
himpunan Gajah Kencana itu sesungguhnya. Jika mereka


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima anjuran kita, akan kita sambut dengan segala
karendahan hati dan kelapangan dada. Namun jika mereka
menolak, kita telah menyatakan bahwa dengan melepas
Windu Janur itu, berarti kita tak gentar menghadapi mereka.
Melepaskan lawan bermakna bahwa kita telah memiliki
kemampuan untuk mengatasinya apabila dia hendak
menentang. Bukankah hanya yang kuat yang berani
melepaskan yang lemah, Dipa?"
"O" seketika Dipa tersadar dari ketegangan nafsu dendam
dan kemarahan. Saat itu ia menyadari betapa luhur dan
perwira alam pikiran brahmana Anuraga, "maafkan paman.
Aku menurut apapun yang paman titahkan"
"Menurut dan menurut ada dua macam, Dipa" sambut
Anuraga pula "menurut karena rasa sungkan takut dan ikutikutan secara membabi buta. Dan menurut yang berlandaskan
percaya. Kepercayaan yang bersumber dari kesadaran dan
pengertian" "Kini aku makin sadar dan mengerti akan cita2 paman
brahmana dan kawan2 Gajah Kencana" Dipa memberi
pernyataan. Walaupun menangkap semua pembicaraan antara Anuraga
dan Dipa, namun Windu Janur tak mau membagi perhatiannya
yang saat itu tengah ia curahkan untuk melakukan ilmu Prana.
Menyalurkan pernapasan agar darah yang membeku karena
kekejangan tubuhnya, segera dapat melancar pula. Dan
serempak ia hampir dapat menggerakkan tubuhnya maka
pembicaraan Anuraga dan Dipa pun selesai.
"Windu Janur, bawalah kawanmu pulang. Kami takkan
mengganggumu" seru A nuraga "Kuharap hendaknya peristiwa
kita yang sudah berlangsung tiga kali in, jangan sampai
terulang untuk yang keempat kali lagi. Semoga kita nanti
bertemu pula dalam suasana yang bersahabat"
Windu Janur terlongong-longong.
"Aku dan kawan kawanku bukan pendendam, bukan pula
pembunuh. Bawalah kawanmu yang mungkin masih pingsan
dalam semak itu. Silahkan pergi dan jangan dilanjutkan jua
rencanamu untuk menuju ke desa itu"
Windu Janur menyadari keadaan saat itu. Kalau ia tetap
bersitegang leher, tentulah ia akan menderita. Seorang
ksatrya harus pandai melihat suasana, menyesuaikan keadaan.
Takkan lari gunung dikejar. Selama surya masih bersinar,
selama itu ia akan memperoleh kesempatan untuk membalas
hinaan yang dideritanya saat itu.
"Baik, Kuda Anjampiani" katanya dengan nada segarang
mungkin, "karena engkau telah melepas aku, akupun akan
meluluskan permintaanmu untuk tak melanjutkan perjalanan
ke desa itu. Dan engkau, anak muda," ia berpaling ke arah
Dipa, "apa yang engkau lakukan kepadaku tadi, takkan
kulupakan sepanjang hidupku. Kelak aku pasti akan
mencarimu untuk menghaturkan kembali pemberianmu kali
ini" Walaupun diselubungi dengan kata2 sedap, namun jelas
Windu Janur tetap mendendam dan bertekad hendak
menuntut balas kepada Dipa. Dipa terkejut. Bukan karena
gentar akan pernyataan Windu Janur itu melainkan ia merasa
menyesal bahwa maksud baik yang diberikan paman
brahmana Anuraga, jelas diabaikan Windu Janur.
"Baiklah, Windu Janur" Dipa tak kuasa pula untuk
menekan kegeraman hatinya, "akan kusambut dengan penuh
kegembiraan kedatanganmu kelak"
"Windu Janur, hari sudah terang tanah. Berangkatlah"
tiba2 Anuraga berseru "kamipun masih mempunyai lain urusan
dan tak dapat menemani engkau di sini lebih lama"
Kemudian dengan langkah lebar, Anuraga mengajak
Hesthidono dan Dipa tinggalkan tempat itu. Setitik-pun
brahmana itu tak menampilkan rasa gentar dan kuatir bahwa
sepeninggalnya dari tempat itu, Windu Janur akan ingkar janji
dan melanjutkan perjalanan ke desa itu. Diam2 makin besar
rasa mengindahkan dalam hati Dipa terhadap brahmana itu.
Tiba di rumah bekel Asadha ternyata Parandiman pun
sudah berada di situ. Atas pertanyaan brahmana Anuraga maka Parandiman pun
menceritakan tentang pengalamannya mengamati kegiatan2
dalam keraton. "Tampaknya ra Kuti amat giat sekali. Siang ia mengundang
empat mentri berkumpul mengadakan rapat. Malamnya ia
menitahkan demung Samaya untuk mengadakan penjagaan
yang ketat di sekitar keraton. Tiada seorangpun dibenarkan
masuk ke luar keraton"
"O, rupanya ra Kuti telah mendapat kepercayaan penuh
dari Dewan Mahkota" seru bekel Dipa.
Tiba2 bekel Asadha menyelutuk "Kurasa" katanya "Dewan
Mahkota yang sekarang ini, tak lebih hanya sebuah nama
tetapi pada hakekatnya hanya dikuasai oleh dua golongan
warhaji atau kerabat keraton. Yakni gusti ratu Indreswari dan
lain golongan yalah gusti ratu Tribuana serta gusti rajapatni
Gayatri. Walaupun termasuk sebagai anggauta Dewan
Mahkota, namun karena berdiam dan diangkat sebagai Rani
maka gusti Rani Kahuripan dan gusti Rani Daha, jarang
berkunjung ke keraton Tikta Sripala kecuali pada waktu waktu
tertentu atau diundang oleh baginda"
"Tetapi bukankah dalam keraton masih terdapat seorang
warhaji yang termasyhur bijak bestari?" brahmana Anuraga
ikut membuka suara. "Adakah yang ki brahmana maksudkan itu Tuan Wurnju
atau empu Adityawarman?" bekel Asadha mengembalikan
pertanyaan. "Ya" "Gasti Adityawarman memang masih mempunyai
hubungan darah dengan gusti ratu Iadreswari, ibunda sang
prabu Jayanagara. Tetapi saat ini gusti Adityawarman sedang
diutus baginda ke tanah Cina yang dahulu pernah diperintah
oleh maharaja Kubilai Khan. Maharaja itu pernah mengirim
pasukan untuk menghukum raja Singasari yang telah
menghina utusannya. Tetapi oleh raden Wijaya atau rahyang
rumuhun Kertarajasa telah dialihkan untuk menyerang akuwu
Jayakatwang di Daha"
"Menurut pandangan kakang Asadha" kata brahmana
Anuraga pula "siapakah kiranya Dewan Mahkota yang telah
memberi kekuasaan kepada rakryan Kuti itu"
"Gusti ratu Indreswari" sahut bekel itu.
"Ah, agak ganjil" kata Anuraga "bukankah sesungguhnya
golongan ra Kuti itu tidak menyukai baginda " Bukankah lebih
tepat apabila gusti ratu Tribuana dan gusti rajapatni Gayatri
yang menyerahkan kepercayaan itu kepada ra Kuti?"
"Tampaknya memang demikian" kata bekel Asadha pula
"tetapi sejak mahapatih Nambi telah dijerumuskan dalam
fitnah hendak memberontak, di Lumajang, maka pendukung2
fihak gusti ratu Tribuana dan gusti rajapatni Gayatri semakin
berkurang. Kebalikannya, tampilnya patih Aluyuda dalam
pucuk pimpinan pemerintahan, telah menambah kekuatan
golongan gusti ratu Indreswari. Dalam huru hara ini, telah
lolos baginda dan lenyap patih Aluyuda. Sudah tentu gusti ratu
Indreswari terkejut sekali. Dharmaputera merupakan orang
kepercayaan yang diangkat sendiri oleh baginda sehingga
tidaklah salah kiranya apabila gusti ratu Indreswari
menitahkan rakryan Kuti untuk mengusahakan kembalinya
baginda dan patih A luyuda"
"Bagaimana penilaian kakang bekel terhadap rakryan Kuti
dan Dharmaputera itu?" tanya Anuraga pula.
Bekel Asadha menghela napas, "Sesungguhnya aku hanya
seorang bekel prajurit penjaga gapura pura. Bodoh dan gelap
akan keadaan keraton. Tetapi sepanjang pendengaran yang
kuperoleh, penampilan gusti patih Aluyuda mengganti
kedudukan mahapatih Nambi, telah menimbulkan kegelisahan
besar pada golongan Dharmaputera. Maka Dharmaputera
sangat giat sekali untuk mengambil hati baginda. Di samping
memperkuat pengaruhnya dalam kalangan mentri narapraja
dan nayaka senopati. Timbulnya huru-hara dengan akibat
hilangnya gusti patih Aluyuda, tentu akan membeli
kesempatan yang seluas-luasnya bagi golongan Dharmaputera
untuk merebut kekuasaan dan pengaruh. Apalagi Dewan
Mahkota telah melimpahkan kepercayaan penuh kepada
rakryan Kuti" Uraian bekel Asadha itu, walaupun hanya merupakan
pandangan peribadi, telah cukup memberi kesan yang
menyibak perasaan hati tetamu2 yang hadir di situ. Brahmana
Anuraga, Hesthidono, Parandiman dan bekel Dipa, tampak
berdiam diri terbenani dalam renungan masing2.
"Memang suatu keanehan yang aneh, kakang bekel" kata
brahmana Anuraga bahwa dalam peristiwa huru-hara besar
baru2 ini, belumlah kerajaan mengumumkan siapa yang
menjadi biangkeladi dan bagaimana sesungguhnya tujuan
huru-hara itu" "Benar, memang janggal benar hal itu" sambut
Parandiman "pada hal peristiwa telah berlangsung sampai
beberapa hari tetapi belum terungkap siapa pelakunya"
"Kurasa" tiba2 bekel Dipa membuka suara "memang
terdapat unsur untuk menyelimuti peristiwa itu agar tetap
gelap" "Engkau benar, Dipa" brahmana Anuragapun serentak
menanggapi "akupun mempunyai pemikiran demikian juga.
Tetapi ingin kudengar, siapakah kiranya menurut pandanganmu, orang yang sengaja hendak mengeruhkan
suasana itu?" "Dharmaputera!"
Jawaban Dipa itu mengejutkan sekalian orang. Mereka
mencurahkan pandang bertanya kepada bekel muda itu.
"Pertama, lenyapnya patih Aluyuda" kata Dipa "mengapa
belum juga dapat diketemukan jejaknya. Salahkah kalau kita
menduga bahwa sesungguhnya patih itu telah dibunuh tetapi
pembunuhan itu dirahasiakan oleh Dharmaputera sehingga
Dharmaputera dapat mendesak kepada Dewan Mahkota untuk
memberi kekuasaan kepadanya. Dan tentang baginda, usaha
ra Kuti mengirim kedua pengatasan untuk menculik wanita di
desa luar pura itu, memang amat mencurigakan. Adakah
rakryan Kuti benar2 bermaksud hendak ..."
"Hendak bagaimana, adi bekel?" tanya bekel A sadha.
"Ah, paman bekel A sadha" kata Dipa "soal ini amat gawat
dan peka. Aku tak berani menetapkan dugaan sebelum
memiliki bukti2 yang nyata"
Brahmana Anuraga mengangguk angguk. Diam2 ia dapat
menyetujui penilaian Dipa. Karena saat itu sudah pagi hari,
merekapun lalu beristirahat.
Ketegangan2 dari peristiwa yang mereka alami dan
persoalan2 yang mereka hendak laksanakan, telah memberi
kesempatan bagi. Dipa terhindar dari pertanyaan2 tentang
dirinya selama dalam menghadapi huru-hara itu.
Hari itu mereka memutuskan untuk melanjutkan
penyelidikan. Telah ditetapkan pula bahwa Anuraga dan
Parandiman menyelidiki keadaan ra Kuti dan lain2
Dharmaputera. Hesthidono ke tempat kediaman demung
Samaya dan Dipa mendapat tugas menyelidiki kepatuhan
dimana tumenggung Nala kini diangkat sebagai pejabat mentri
amancanagara atau walikota pura Majapahit.
0o-dw-kz-mch-o0 JILID 32 I SETIAP tugas atau kewajiban, mengandung keindahan.
Menghayati keindahan itu, memerlukan selera seni. Seni
menghayati. Penghayatan yang lengkap dan menyeluruh, timbul dari
rasa kesungguhan. Rasa kesungguhan yang jernih, bebas dari
kesimpulan, hindar dari prasangka. Karena sesungguhnya
keindahan itu adalah suatu keheningan. Keheningan yang
mengendapkan kekeruhan, kekacauan, gejolak pikiran serta
batin. Keheningan akan menampakkan kewajaran dari bentuk
yang kita hayati. Dan manakala kewajaran telah tampak,
kemurnian pun timbul. Penghayatan bersinar.
Tugas yang terbeban pada bahu Dipa, bukan suatu beban
yang ringan. Bukan pula suatu tugas yang menyenangkan.
Tetapi maha berat dan penuh bahaya.
Tetapi ia menanggapi dengan cara2 berpikir yang hening
dan bersahaja. Hening dari segala prasangka. Bersahaja pada
landasannya. Tidaklah dia memandang tugas itu dari sudut kesenangan
ataupun kesukaran, keselamatan atau penuh bahaya. Karena
pandangan semacam itu hanya suatu pantulan dari
kepentingan pribadi. Tidak pula ia membebaskan diri pada
suatu pamrih. Tetapi mengikatkan diri pada suatu tujuan. Dan
apabila tujuan itu disebut pamrih maka ia pun takkan
menyangkal. Tetapi pamrih yang dikandungnya itu adalah
pamrih untuk menyelamatkan kerajaan dan rakyat Majapahit.
Tidaklah ia menyangkal bahwa setiap hal yang
dilakukannya itu, bebas diri pamrih. Pamrih untuk mengabdi
kepada negara Majapahit. Pamrih untuk menjadikan Majapahit
sebuah negara yang kuat, besar dan jaya.
Memiliki cita2 itu suatu penderitaan. Mengandung tujuan
itu suatu siksa. Menghayati pamrih itupun suatu petaka. Dipa
bercita cita untuk mengabdi pada negara Majapahit. Dia
mempunyai tujuan mengangkat derajat negara Majapahit.
Diapun menghayati pamrih untuk menyaksikan negara
Majapahit yang besar, kuat dan jaya. Dan untuk melaksanakan
cita2, tujuan dan pamrih itu, ia sedia berkorban. Lahir dan
batin. Bagi Dipa, penderitaan dan pengorbanan itu sudah
menjadi alam kehidupannya. Dia dibesarkan dan tumbuh
dalam penderitaan. Dia digembleng dan ditempa dalam
pengorbanan. Karena penghayatan alam dan pertumbuhan
hidupnya itu, tidaklah ia merasakan sesuatu penderitaan atau
pengorbanan dalam melaksanakan titah baginda Jayanagara
itu. Dia menganggap tugas itu sebagai suatu tugas. Tugas
yang harus dilaksanakan sekuat kemampuan, sesuai dengan
cita2 pengabdiannya kepada Majapahit.
Dia pun tidak memandang tugas itu dari sudut keinginan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peribadi. Bahwa apabila ia berhasil mengiring baginda kembali
ke keraton, ia akan menerima hadiah besar ataupun kenaikan
pangkat. Apabila ada keinginan maka keinginan itu hanyalah untuk
menyelamatkan negara dari kekacauan, mengembalikan
keamanan dan memulihkan kesejahteraan rakyat.
Landasan telah jelas, arah pun terang. Maka heninglah
pikiran, penghayatan pun jernih. Dan hilanglah segala
kesangsian serta keraguan, prasangka mau pun pemikiran
lain2. Melangkahlah kaki Dipa, bekel muda belia, yang oleh
perjalanan hidup dan garis Prakitri, telah dipercayakan oleh
raja Jayanagara untuk mengembalikan pura Wilwatikta kepada
keamanan dan keadaan semula.
Pertemuannya dengan brahmana Anuraga dan pejuang2
dari Gajah Kencana, hanyalah menambah semangat dan
keyakinannya. Bahwa perjuangannya itu terletak di garis yang
lurus, garis kebenaran. Menuju ke arah yang terang, arah
kepentingan negara dan rakyat.
Dalam pengamatannya melalui kehidupan para kawula di
perkampungan, jalan2 besar dan lorong2 kecil, ia mendapat
kesan bahwa rakyat masih bingung akan keadaan yang telah
terjadi di pura karajaan. Bahwa mereka masih bertanya-tanya
tentang diri baginda Jayanagara yang telah menghilang secara
tak diketahui itu. Pertanyaan dan keinginan tahu para kawula itu makin
bertumbuh besar karena selama ini mereka tiada menemukan
jawaban yang mengena. Yang diperolehnya hanya kabar2
angin yang bersifat seperti angin. Sebentar meniup, sebentar
hilang. Terasa tetapi tak tampak. Di antara kabar-kabar angin
itu, berhembus juga berita-berita yang mengatakan bahwa
baginda telah wafat. Bahwa baginda telah terbunuh oleh
prajurit-prajurit yang mengiringkan beliau. Bahwa baginda
telah menyamar sebagai seorang brahmana dan berkelana ke
lain negara. Bahwa baginda telah menjadi pertapa yang
mengasingkan diri ke sebuah hutan belantara. Bahkan ada
pula hembusan berita angin yang memberitakan kabar bahwa
baginda menuju ke Daha atau Kahuripan bahkan mungkin kc
Matahun atau Wengker. Kesimpang siuran dan ketidak mantapan berita yang cepat
berobah antara pagi-dengan sore, hari ini dengan kemarin,
makin membingungkan rakyat. Mereka gelisah karena tak
percaya pada berita2 angin itu.
Dipa pun melihat kegelisahan yang mencengkam para
kawula pura Wilwatikta. Dia gembira. Bukan gembira karena
melihat rakyat kegelisah. Melainkan gembira karena
kegelisahan itu dinilainya sebagai suatu gejala bahwa rakyat
masih memikirkan baginda. Masih memikirkan kerajaan dan
negara. Dan pada hakekatnyn, rasa gelisah itu memang
pantulan dari pikiran yang bergolak. Entah karena rasa takut
ataupun memikirkan sungguh2 akan sesuatu. Hanya pemikiran
yang sungguh2, akan melahirkan rata gelisah
Demikian juga keadaan pada narapraja pemerintahan dan
nayaka ketentaraan. Mereka pun tampak tunduk tetapi dalam
kesibukan yang mengunjukkan keperihatinan tentang
keselamatan baginda dan keadaan kerajaan.
Dipa pun mendapat keterangan bahwa yang berkuasa
dalam pucuk pemerintahan saat itu, adalah ra Kuti dan
Dharmaputera. "Hm, memang sesuai dengan keterangan bekel Asadha"
kata Dipa dalam hati. Dan berkata pula ia selanjutnya bahwa
apa yang dibayangkan dalam dugaannya itu memang
mendekati pada kenyataan. Setidak-tidaknya cenderung ke
arah kenyataan itu. Bahwa terdapat "udang di balik batu'
dalam peristiwa huru hara di pura kerajaau itu.
Ia tersentak dari renungan ketika tiba pada sebuah
bangunan gedung yang dilingkungi pagar tembok dan berpintu
regol yaug kokoh. Empat orang prajurit bersenjata tombak,
menjaga di pintu regol itu.
Dipa hentikan langkah. Ia mulai ragu2. Adakah ia harus
langsung menemui para penjaga itu. Tetapi mereka tentu
akan bertanya, siapakah dirinya dan apakah keperluannya
hendak menghadap tumenggung Nala.
"Sebenarnya tiadalah halangan untuk memberi-tahu
kepada mereka. Tetapi bekel Asadha telah memberi
peringatan bahwa rakryan Kuti telah menguasai semua mentri
dan senopati yang penting dengan menempatkan para
penjaga di tempat kediaman mereka. Aku harus percaya pada
keterangan bekel Asadha. Apabila para penjaga itu, orang2
yang ditaruh oleh Dharmaputera, bukankah jejakku akan
ketahuan" Bukankah akan membahayakan keselamatan
baginda ?" Demikian ia menimang-nimang bagaimana langkah yang
hendak ditempuhnya agar dapat menghadap tumenggung
Nala. Adakah ia harus menempuh jalan lain untuk memasuki
gedung tumenggung itu"
Belum sempat ia mencapai suatu keputusan tiba2
terdengar, salah seorang prajurit penjaga itu berseru, "Hai,
siapa engkau " Mengapa engkau berdiri di situ ?"
Bahkan dalam berkata-kata, prajurit penjaga itupun
ayunkan langkah menghampiri Dipa.
Dipa terkejut. Ia merasa memang tingkah lakunya tentu
menimbulkan kecurigaan penjaga itu. Dan ia merasa, adalah
hak serta kewajiban mereka sebagai penjaga gedung seorang
mentri untuk menegur setiap orang yang mencurigakan gerak
geriknya. "Maaf, ki prajurit" katanya gegas "aku hanya kebetulan
lalu di tempat ini dan mengagumi bangunan gedung yang
sekokoh ini. Bukankah gedung ini tempat kediaman gusti
tumenggung Nala" sahutnya disertai pertanyaan.
Prajurit itu kerutkan dahi "Aneh?"
"Mengapa ki prajurit ?" tanya Dipa.
"Kebetulan lalu di tempat ini" Adakah engkau seorang
pengalasan atau seorang hamba dari salah seorang mentri
kerajaan?" tanya prajurit itu pula.
"Bukan" "Jika bukan mengapa engkau katakan kebetulan lalu di
sini" Tahukah engkau bahwa daerah ini merupakan daerah
kediaman para mentri dan pembesar kerajaan ?"
Dipa terkejut mendengar pertanyaan itu. Tepat dan
mengena. Ia tak memikirkan hal itu sebelumnya. Namun
karena sudah berhadapan dengan pertanyaan yang harus di
jawab, maka iapun menyahut. "Aku tinggal di ujung barat dari
pura gapura. Aku ingin melihat-lihat keadaan pura"
"Apa maksudmu hendak melihat lihat itu?"
"Eh, ki prajurit" kata Dipa yang berusaha untuk
menghindari desakan prajurit itu "sejak peristiwa ramai2 di
pura dalam beberapa hari yang lalu, keadaan di daerah
tempat tinggalku jauh lebih sepi dari sebelumnya. Timbul
keinginanku untuk mengetahui apakah di seluruh pura juga
demikian keadaannya?"
Prajurit itu kerutkan dahi. "Apakah kepentinganmu setelah
tahu keadaan itu " Bukankah keadaan dan keamanan pura
telah diurus oleh para gusti mentri dan senopati yang
berwewenang ?" Dipa mulai agak mengkal menderita pertanyaan yang
mengandung kecurigaan itu. "Ki prajurit, kurasa tidaklah
melanggar peraturan ataupun undang2 kerajaan apabila
rakyat ingin mengetahui keadaan tempat kediamannya.
Bahkan hal itu menunjukkan bahwa rakyat menaruh perhatian
dan ikut memikirkan keadaan pura tempat kediamannya"
"Ah, jangan mengada ada" seru prajurit itu pula dalam
nada agak keras "keamanan dan keselamatan pura telah
ditangani oleh mentri yang berwajib. Asal engkau berada di
tempat kediamanmu sendiri, menjaga kampung halamanmu
dan memelihara keamanannya, itu sudah berarti membantu
pekerjaan pemerintah"
Dipa merasa bahwa ia tak boleh menuruti geram hatinya
apabila dia tak mau terlibat dalam perbantahan yang mungkin
akan berakhir dengan hal2 yang tak diinginkan. "Terima kasih,
ki prajurit. Nasihat tuan akan kuperhatikan. Jika begitu, aku
akan pulang saja" Setelah memberi hormat, Dipa terus berputar tubuh
hendak ayunkan langkah. Tiba2 prajurit itu berseru, "Berhenti
!" Dipa terkejut dan hentikan langkah, berputar kembali
menghadap prajurit itu "Mengapa ?"
"Ada suatu keanehan dalam bicaramu" kata prajuii itu.
"Soal apa?" "Engkau mengatakan tinggal di ujung gapura barat pura.
Tetapi mengapa engkau tak tahu akan kediaman gusti
tumenggung Nala " Bukankah sudah bertahun-tahun engkau
tinggal di pura ?" Dipa terkejut namun cepat ia tenangkan hatinya, "Maaf, ki
prajurit, aku memang jarang keluar rumah. Ya, benar apa
yang tuan nasihatkan tadi. Lebih baik aku segera pulang"
"Jangan bergerak !" bentak prajurit
songsongkan ujung tombak ke dada Dipa.
itu seraya Saat itu sebenarnya Dipa hendak berbalik tubuh atau
ujung tombak prajurit itu sudah melekat di dadanya. Ia
terkejut, "Eh, apakah maksud tuan?"
"Engkau harus mengaku terus terang siapa dirimu !"
"Aku bernama Kerta, tinggal di ujung gapura barat"
"Apa pekerjaanmu?"
"Manimpiki" "Minimpiki?" prajurit itu membelalak. Wajahnya mulai
memancar kemarahan. Manimpiki adalah tukang atau pandai
permata manik. Seketika ia menghardik, "Dusta !"
"Dusta?" "Kaum manimpiki di pura kerajaan itu berkumpul dan
tinggal di perkampungan ujung gapura utara. Aku berasal dari
keluarga manimpiki" Seketika berobahlah wajah Dipa. Dalam keadaan itu, ia
benar2 terpojok. Dalam saat yang gawat, terlintas suatu
pemikiran dalam benaknya, "Ah, terserah saja apabila tuan tak
percaya" "Engkau memang mencurigakan. Hayo, ikut!" seru prajurit
itu seraya makin melekatkan ujung tombak ke dada Dipa dan
memberi isyarat kepala supaya Dipa berjalan ke tempat para
penjaga pintu regol. Dipa terpaksa menurut. Ketiga prajurit penjaga
menyambut kedatangan mereka dengan bertanya, "Siapa dia,
Mantra?" Mantra, prajurit yang menggiring Dipa itu menyahut, "Dia
mengaku seorang manimpiki tetapi jelas dia bohong. Keluarga
dan kampung kediamanku semua kaum manimpiki. Dan tak
ada pendatang baru yang tinggal di situ"
"Lalu bagaimana maksudmu?" tanya kawannya pula.
"Gerak gerik dan bicaranya mencurigakan. Kita harus
memaksanya sup"ya mau bicara yang jujur !" sahut Mantra.
"Ah, apakah tidak lebih baik lepaskan dia, agar kita jangan
banyak urusan?" kata kawannya pula.
"Engkau bagaimana, Sakhi" seru Mantra, "kita ditugaskan
di sini memang untuk menangkap setiap orang yang
mencurigakan. Itu memang kewajiban kita, bukan kesulitan."
"Ya, benar kakang Mantra" seru prajurit lain yang
bertubuh gempal dan berwajah bengis lalu menghardik Dipa,
"Hai, siapa engkau" Lekas mengaku saja daripada badanmu
babak belur" "Apa yang harus kujelaskan lagi apabila memang begitu
keadaanku" "Setan!" tiba2 prajurit bengis itu memukul Dipa. Karena
saat itu Dipa masih diancam oleh ujung tombak Mantra dan
karena ia akan menerima pukulan yang jaraknya sedemikian
dekat, dadanya pun terancam. Untunglah ia masih dapat
menggeliatkan tubuh sehingga bahunya yang terkena pukulan,
duk .... Dipa terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Tetapi iapun terlepas dari ancaman ujung tombak Mantra.
Pukulan itu cukup berat dan ia merasa kesakitan. Seketika
timbullah kesimpulan dalam hatinya. Apabila ia diam saja,
tentu ia akan menderita hajaran, yang pasti lebih berat lagi. Ia
mengharap agar dirinya ditangkap dan dihadapkan kepada
tumenggung Nala. Tetapi ternyata harapannya itu kabur. Yang
datang, hanyalah pukulan dan hajaran dari prajurit2 penjaga.
Barurang, prajurit yang memukul Dipa itu, tak puas karena
Dipa tak rubuh. Ia lari menghampiri untuk menghunjamkan
tinjunya pula. Tetapi serentak ia berseru kejut ketika tubuh
Dipa yang jelas akan tertimpah oleh tinjunya ternyata berkisar
ke samping sehingga pukulannya hanya menerpa angin. Dan
teriak kejut itupun meningkat tinggi melengking dalam nada
pekik kesakitan ketika Dipa ayunkan telapak tangan untuk
menebas bahu penyerangnya itu. Barurang terhuyung huyung
tetapi dia tak mampu mempertahankan keseimbangan kakinya
dan jatuhlah ia mencium tanah.
"Hai, engkau berani memukul orang" sesaat tertegun tak
percaya melihat Barurang rubuh, segera Mantra loncat
menerjang Dipa, menusuk perut anakmuda itu.
Mantra memang kepala dari kelompok prajurit penjaga di
situ. Dia seorang yang tegas bicara dan tegas bertindak.
Bahwa seorang yang dicurigai berani memukul prajurit yang
melakukan tugas tidak dapat diberi ampun lagi. Harus dihajar
bahkan dibunuh apabila perlu.
Dipa menghindar dari tusukan tombak, berputar
menyelinap ke samping dan memukul tangan Mantra. Gerakan
yang dilakukan serba cepat itu, menyebabkan Mantra terpukau
sehingga tak sempat pula ia menarik tombaknya. Uutuk
menghindari tebasan orang, terpaksa ia lepaskan tombak dan
loncat ke belakang. Prajurit yang masih dua, serempak bertindak. Yang
seorang lari menolong Barurang dan yang seorang membantu
Mantra untuk menangkap Dipa.
Saat itu Dipa menyadari bahwa ia tak mungkin melepaskan
diri dari perkelahian. Dan makin meningkat pula kesadaran itu,
bahwa dia tak boleh kalah. Kekalahan akan menyebabkan
bermacam kesulitan. Dia tentu akan disiksa, digeledah dan
dipaksa mengaku. Kemungkinan apabila salah langkah dalam
memberi keterangan, jiwanya terancam pula. Dan pada saat
itu, Dipa baru menyadari betapa arti dirinya dalam rangka


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melaksanakan tugas yang dititahkan baginda.
Dalam hal berkelahi, Dipa sudah memiliki pengalaman.
Karena sejak kecil, ia sering dipaksa oleh keadaan untuk
berkelahi walaupun sesungguhnya ia tak ingin dan tak suka
berkelahi. Maka walaupun menghadapi dua orang prajurit, tidaklah ia
cepat gugup atau merasa gentar.
Tekad adalah tenaga pendorong yang dahsyat. Tekad
bahwa dia harus memenangkan pertempuran itu, mendorong
Dipa mencurahkan seluruh perhatian dan tenaga untuk
mengimbangi serangan kedua lawannya. Dan nyatanya kedua
prajurit penjaga itu, berulang kali harus mengeluh karena
hampir hilang keseimbangan tubuhnya.
Sekonyong-konyong Barurang bersama prajurit yang
menolongnya, ikut menyerang. Dengan demikian Dipa harus
menghadapi empat lawan. Dalam pada menggunakan
tatalangkah yang diajarkan brahmana Anuraga, diam2 Dipa
menimang. Apabila ia tak lekas meloloskan diri atau
merubuhkan mereka, kemungkinan akan muncul beberapa
prajurit lagi untuk menangkapnya.
Setelah menetapkan rencana, Dipa pun mulai menilai
kekuatan lawan. Di antara keempat prajurit itu hanya
Barurang yang tampak bernafsu sekali. Dan tampaknya
memang dialah yang paling berbahaya, paling keras
pukulannya dan paling lincah gerakannya. Mungkin dia hendak
membalas kekalahan yang dideritanya tadi. Dipa memutuskan
untuk menguasai prajurit itu lebih dulu agar semangat
prajurit2 yang lain patah dan kekuatannya berkurang.
Pada saat itu Barurang tengah melayangkan tinju dari arah
belakang. Sedang Mantra pun tengah menerjang dari muka.
Dipa memperhitungkan apabila ia menghindar ke kanan, tentu
akan dihantam Sakhi. Sedang jika menghindar ke kiri tentu
akan diserang prajurit yang seorang. Karena dia dikepung dan
diserang dari empat arah.
"Aduh ...." tiba2 Barurang menjerit keras dan mendekap
perut terhuyung-huyung ke belakang. Dipa tak mau
menghindar melainkan mengendapkan tubuh ke bawah,
berputar sambil mandupak perut Barurang. Hasilnya, prajurit
itu terbungkuk bungkuk mendekap perut.
"Hai, berhenti!" sekonyong-konyong terdengar seseorang
berseru nyaring. Nada suara orang itu berpengaruh besar
sekali kepada ketiga prajurit. Saat itu mereka sudah siap
menerjang Dipa. Karena mendengar suara yang penuh
wibawa itu, serempak mereka pun berhenti. Pengaruh itu
disebabkan karena mereka bertiga faham sekali akan nada
suara orang itu. "Apa yang terjadi ini?" seru seorang lelaki yang diiring oleh
dua orang pengawal. Lelaki itu masih belum berapa tua,
mengenakan pakaian kebesaran seorang pembesar kerajaan.
Ketiga prajurit itu serempak memberi sembah "Maaf, gusti,
hamba hendak menangkap anakmuda ini tetapi dia melawan"
"Siapa dia?" tanya orang itu.
"Dia mengaku seorang manimpiki bernama Kerta, tetapi
jelas keterangannya itu bohong. Sejak tadi ia berdiri di depan
pintu dan tak henti hentinya memandang gedung paduka"
Lelaki berpakaian kebesaran itu berpaling ke arah Dipa.
"Mengapa engkau mengamat amati gedung ini" Siapa
engkau?" Dipa menduga bahwa lelaki berpakaian kebesaran seorang
pembesar kerajaan itu, tentulah tumenggung Nala maka iapun
cepat menghaturkan sembah "Hamba bernama Kerta, gusti.
Apakah paduka gusti tumenggung Nala yang mulia?"
"Ya" sahut lelaki itu "apa maksudmu?"
Wajah Dipa memancar seri kegirangan. Bergegas ia
menghaturkan sembah pula "Gusti tumenggung, apabila gusti
berkenan melimpahkan permohonan hamba, hamba hendak
bicara dengan gusti"
Tumenggung Nala kerutkan dahi. "Apa yang hendak
engkau haturkan?" "Maaf, gusti" Dipa memberi sembah pula "hamba mohon
diperkenankan menghadap gusti di dalam gedung paduka"
Tumenggung Nala mengernyit dahi. Tampak ia agak
meragu. Ditatapnya Dipa dengan lekat dan bersualah
tumenggung itu pada suatu kesan bahwa wajah anakmuda itu
mengunjuk suatu pancaran wajah yang jujur. "Baiklah, ikut
aku" sahutnya beberapa saat kemudian.
Tumenggung Nala menerima Dipa dalam ruang pendapa.
Kedua pengawal, masih berdiri di kedua sisi tumenggung.
"Katakanlah keperluanmu menghadapku" tegur tumenggung
Nala. Dipa dapat menyadari bahwa dalam suasana yang masih
gawat seperti saat itu, keselamatan jiwa sukar di jamin. Setiap
saat mungkin terjadi sesuatu yang di luar kemungkinan. Ia
dapat memaklumi apabila tumenggung Nala selalu dikawal
ketat oleh penjaganya. Namun ia merasa kurang tepat apabila
pembicaraannya itu terdengar lain orang.
"Hamba mohon ampun, gusti" Dipa menghaturkan sembah
pula "apabila hamba bersalah dalam kata maupun tata santun"
"O, tak apalah" jawab tumenggung Nala.
"Gasti tumenggung, sebelum hamba memulai pembicaraan
hamba, hamba mohon bertanya, apakah hamba berada di
tempat yang aman?" "Sudah tentu engkau aman disini. Siapa yang berani
mengganggumu?" seru tumenggung Nala.
"Terima kasih, gusti" sembah Dipa "tetapi yang hamba
maksudkan dengan keamanan, bukan keamanan jiwa
melainkan pengamanan dari pembicaraan yang hendak hamba
persembahkan itu" Untuk menjelaskan maksud kata-katanya, Dipa pun
memandang ke arah kedua pengawal tumenggung Nala.
Rupanya tumenggung itu dapat menangkap kata2 Dipa.
"Jangan kuatir, kedua prajurit ini adalah pengawal peribadiku
yang terpercaya" "Tetapi gusti" kata Dipa pula "sepanjang-panjang lorong,
masih panjang jua kerongkong. Hamba mohon gusti
tumenggung melimpahkan pengamanan atas berita yang
hendak hamba haturkan ini"
Tengkorak Maut 1 Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan Panglima Buronan 1
^