Teluk Akhirat 2
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat Bagian 2
Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana
Arya Penangsang berada?"
"Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di selatan Demak. Namun seorang
mata-mata memberi
tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di Welahan, satu desa di
kawasan barat Kudus. Saya akan mengirim seseorang menda-
hului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Penangsang sudah bersiap-siap
menerimanya."
"Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil,"
kata Sultan pula. "Namun harap berhati-hati. Arya Penangsang kalap mendadak
melihat mayat ayahanda!
Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat ter-
hadap Ki Dalem."
"Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat
begitu. Saya akan berhati-hati."
"Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan.
Dan atas jasa besarmu ini aku akan memberi tahu
Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santu-
nan bulanan atas nama Ki Dalem...."
"Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan
imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Semua yang saya
lakukan adalah menjadi tugas dan tanggung jawab semata."
Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ke-
tatkan pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan ke-
kuatan prajurit di seluruh Kerajaan dan sebar matamata sebanyak mungkin. Aku
punya firasat, tewasnya
Pangeran Tua akan mendatangkan hal-hal yang tidak
kita inginkan. Terutama dari pihak yang tidak menyu-
kai tahta Kerajaan berada di tanganku."
Perwira Brajanala mengangguk. Setelah mem-
bungkuk memberi hormat dia segera meninggalkan
tempat itu. Tapi Sultan berkata.
"Satu hal lagi Perwira. Harap dikirim seorang
utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda
mangkat dia seperti menghilang begitu saja. Sebagai
menantu ayahanda, dia tidak layak berbuat begitu.
Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu
kesaktian di satu tempat terpencil. Cari dia, minta dia segera datang ke
Kotaraja menemuiku. Kita perlu bantuan tenaga dan pikirannya."
"Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Brajanala. Sesaat setelah Perwira
Tinggi Kerajaan itu berlalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan
segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar
Seda Lepen. Namun yang pertama sekali dilakukannya
adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia berhasil mengejar Perwira
itu. Keduanya saling berca-kap berbisik-bisik.
"Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi
dengar baik-baik Brajanala. Apapun yang terjadi jan-
gan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar
Sultan itu di dalam Keraton sama saja dengan menda-
tangkan seekor harimau berbahaya bagi kita dan te-
man-teman. Bisa mendatangkan bencana!"
"Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau
tak usah khawatir," jawab Brajanala. "Sekembalinya kau menemui Arya Penangsang,
kita segera mengadakan pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau in-
gat baik-baik Ki Dalem. Kepandaianmu bicara akan
sangat menentukan. Kita semua berharap bisa mena-
rik putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke
dalam barisan kita!"
Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Ba-
nyak orang akan meratap di atas genangan darah. Tapi kita dan teman-teman
mungkin masih bisa menari di
atas genangan darah itu."
"Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan
kita mengeruk keuntungan. Mengeruk uang, harta dan
jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil mengulum senyum.
* * * TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua
tangannya terkepal laksana batu. Dua mata terpejam.
Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun
di atas kepalanya mengepul asap tipis. Dada berge-
lombang dan tenggorokannya turun naik. Di kiri ka-
nannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa
saudara sekandung, keluarga terdekat dan teman-
teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh den-
gan orang-orang yang datang untuk menyampaikan
rasa duka cita atas tewasnya Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen. Dua tangan Arya Penangsang bergerak, meme-
gang pinggiran peti jenazah yang penutupnya sengaja
dibuka. Di seberang peti, di depan Arya Penangsang
tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya ber-
diri Gedeng Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah dis-elamatkannya ikut menemani
Ki Dalem Sleman men-
gantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen.
Selain itu masih ada beberapa orang prajurit. Namun
di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki Dalem
Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala ini yang telah
diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem
Sleman. Dua tangan Arya Penangsang bergetar. Peti je-
nazah yang dipegangnya ikut bergetar.
"Orang-orang Demak! Kalian harus membayar
mahal atas kematian ayahanda ku! Aku akan menjadi-
kan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu
di Keraton Prawoto!"
Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin ke-
ras begitu semua orang mendengar ucapan Arya Pe-
nangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak
sanggup menahan amarah, seperti kalap berteriak ke-
ras. Pinggiran peti jenazah hancur berkeping-keping.
"Orang-orang Demak keparat! Mana orang De-
mak! Mana!"
Orang-orang perempuan berpekikan, orang-
orang lelaki keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba Arya Penangsang
menyambar golok besar seorang teman yang berdiri di dekatnya.
"Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau
juga!" Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke hadapan Gedeng Kemitir.
Golok di tangannya berkelebat ganas ke arah leher prajurit Demak itu.
Sesaat lagi leher Gedeng Kemitir akan tertabas
putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat. Pergelangan tangan kanan Arya
Penangsang tahu-tahu su-
dah berada dalam satu cekalan kuat.
"Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta
mampus!" Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang
menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi dua kali ber-
turut-turut. "Bukkk!"
"Bukkk!"
Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana pal-
ing disegani. Tingkat ilmu silat dan kesaktiannya dika-gumi teman ditakuti
lawan. Tidak mudah untuk bisa
menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia
sama sekali tidak menduga kalau Arya Penangsang
akan menghantamnya demikian rupa.
Ki Dalem Sleman terlempar sampai beberapa
langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah. Jelas
dia menderita luka dalam
cukup parah akibat hantaman tangan kiri Arya Pe-
nangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit
dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang ba-
lingkan golok besar berhasil dirampasnya dari tangan Arya Penangsang. Golok
dimelintangkannya di depan
dada lalu berucap.
"Raden Arya, harap tenang. Kendalikan ama-
rah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan perkara.
Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah
karena kami sangat menghormati mendiang Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen....."
Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh benta-
kan Arya Penangsang.
"Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Untuk kedua kalinya Arya Penangsang
melompat kirim-
kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.
"Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem
Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak rela menerima
hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang
dia kebutkan lengan jubah sebelah kanan.
"Wutttt!"
Satu gelombang angin deras menderu ke arah
Arya Penangsang. Membuatnya terdorong walau dia
sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam ma-
rahnya dia coba memukul dengan dua tangan sekali-
gus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki Dalem Sleman sudah
bersarang di dadanya sebelah ki-ri. Sesaat jalan darahnya terhenti. Ketika darah
kembali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi ko-
koh itu telah berubah menjadi patung kaku!
Suasana di dalam rumah besar itu menjadi
hening. Keheningan yang disertai cengkaman ketegan-
gan. Tiba-tiba ada satu suara menggema.
"Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan ha-
timu! Jika kau mampu melaksanakan aku akan me-
minta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk mem-
bebaskan mu dari totokan..."
Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sen-
diri sama palingkan kepala ke arah datangnya suara.
Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpa-
kaian slempang kain putih. Melihat siapa yang berdiri di depannya, Ki Dalem
Sleman segera rangkapkan dua
tangan di depan dada lalu membungkuk hormat.
"Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka
kita bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti ini. Harap maafkan. Aku
tidak tahu menahu kalau
kau...." "Arya Penangsang adalah menantuku," mene-
rangkan orang tua bernama Mantre Jembrana.
"Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maaf-
kan diriku."
"Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang
tidak dapat mengendalikan diri."
"Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam,
"Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tangan kasar. Maafkan diriku. Biar
aku lepaskan dulu totokan di tubuh menantumu."
Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Pe-
nangsang lalu tusukkan dua jari tangan kanannya te-
pat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya
Penangsang. Begitu totokan punah, Arya Penangsang mera-
sakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman tidak
lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu akan jatuh terhenyak ke
lantai. "Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem
Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan main-main.
Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar
nyawanya sendiri. Apakah keberanian, kebaikan dan
keikhlasannya itu hendak kau balas dengan menye-
rangnya membabi buta" Ingin membunuhnya?"
"Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang pula. "Jangan minta maaf padaku.
Minta maaf pada Ki Dalem Sleman."
"Ki Dalem, maafkan saya."
Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu
Arya Penangsang.
"Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana.
"Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana kejadiannya sampai Pangeran Tua
Sekar Seda Lepen me-
nemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau
kami menanam dendam, kami tahu dan tidak kesala-
han tangan kepada siapa dendam itu akan kami tum-
paskan." Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sle-
man kepada semua orang yang ada di tempat itu, Ki
Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya
Pangeran Tua Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di
bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih.
Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceritakan kalau sebenarnya
dirinya turut ambil bagian dalam penangkapan Pangeran Sekar.
Setelah mendengar penuturan Ki Dalem Sle-
man, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia melirik
pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil
memandang pada Ki Dalem Sleman orang tua ini ber-
kata. "Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang telah kau lakukan. Rasanya
banyak hal yang masih in-
gin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan
beberapa petunjuk dari dirimu yang
begitu banyak pengalaman. Kami mengun-
dangmu untuk bermalam satu dua hari di tempat ini.
Sudikah kau menerimanya?"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya ma-
sih banyak urusanku di Demak. Tapi aku mana berani
menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana.
Cuma, aku tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimana kalau aku menginap cukup satu
malam saja?"
"Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," jawab Mantre Jembrana. Orang tua ini
memberi isyarat
pada seorang pengawal. Pengawal ini segera menda-
tangi. Dengan suara setengah berbisik Mantre Jem-
brana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk ta-mu kita. Beri tahu pelayan
kepala agar meminta Nyi
Werda bersedia menjadi teman tidur Ki Dalem Sleman
malam ini."
* * * 17 PENGADILAN DUNIA
SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kera-
jaan termasuk Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala
tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak bebe-
rapa waktu belakangan ini dilaporkan tentang adanya
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan-gerakan beberapa kelompok besar pasukan di
kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya.
Perwira Tinggi Brajanala tengah berbicara keti-
ka seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang
kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah pe-
ti. "Orang itu masih muda, mengaku bernama
Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa Mijen..."
"Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tem-
pat kediaman Arya Penangsang. Mungkin...."
Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sul-
tan yang bertanya pada pengawal. "Kau sudah memeriksa atau bertanya apa isi peti
itu dan siapa pengi-rimnya?"
"Kami tidak berani melakukan pemeriksaan se-
belum dapat perintah. Kami hanya bertanya. Ketika ditanya, pemuda petani itu
berkata dia tidak tahu apa isi peti itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah
gerobak untuk membawa peti itu ke sini. Lalu membe-
rinya upah besar...."
Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini
segera bangkit dari tempat duduknya. "Biar saya menemui orang itu," kata
Brajanala. "Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Pu-
tih yang menghabisi Pangeran Tua itu masih belum di-
ketahui dimana beradanya?"
"Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk
menyidik. Tapi masih belum di dapat keterangan. Bah-
kan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwira Brajanala.
"Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Dalem Sleman.
"Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia lalu menganggukkan kepala pada
Brajanala. Perwira
ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pe-lapor. Tak lama kemudian
Brajanala muncul kembali
bersama pengawal tadi yang membawa sebuah peti
seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berja-
lan seorang pemuda yang kelihatan lugu dan melang-
kah sambil memandang kian kemari. Seumur hidup
baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana.
Tak heran kalau dia memandangi segala sesuatunya
terkagum-kagum.
Pengawal meletakkan peti bagus berwarna cok-
lat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan.
Setelah memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira Brajanala bertanya pada
pemuda lugu di dekatnya.
"Kau datang dari Mijen?"
Pemuda yang ditanya mengangguk.
"Namamu Tunggul Kebuti?"
Yang ditanya kembali anggukkan kepala.
"Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan pertanyaan. Tidak seperti yang
lain-lainnya, orang tua satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak memasuki
rongga pernafasannya. Seperti bau anyir.
"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi peti itu..."
"Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti
ke sini?" tanya Brajanala.
"Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang
Mijen. Dia memberikan sebuah gerobak, lengkap den-
gan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata
antarkan peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada
Sultan. Itu saja. Saya anggap itu pekerjaan mudah,
apa lagi upahnya besar."
Semua orang pandangi pemuda petani dari Mi-
jen itu. Lalu terdengar Sultan berkata. "Pengawal, buka peti itu."
Pengawal yang tadi membawa peti segera ber-
tindak. Tapi dia jadi bingung sendiri. Peti itu ternyata terkunci. Ada lobang
kunci tapi tak ada anak kunci
pembukanya. Melihat pengawal kebingungan, pemuda
bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu. Dia men-
geruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak
kunci. "Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh saya mengantarkan peti
memberikan anak kunci ini.
Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka peti." Brajanala segera
mengambil anak kunci itu.
Dia sendiri yang memasukkan ke dalam lobang kunci,.
memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti.
Begitu peti terbuka bau tidak sedap menyam-
bar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak dis-
ertai seruan terkejut yang tidak dapat ditahan.
Di dalam peti yang terbuka itu, mengerikan se-
kali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak se-
perti ketakutan. Walau kutungan kepala itu penuh
lumuran darah namun semua orang mengenali itu
adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang
tempo hari menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen. Beberapa orang yang ada di ruangan itu kelua-
rkan suara seperti mau muntah. Sultan palingkan ke-
pala dengan wajah jijik lalu melambaikan tangan. Brajanala cepat menutup peti
kembali, memerintahkan
pengawal membawa peti itu keluar lalu menjambak
rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang tak tahu
apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati.
"Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang
yang menyuruhmu mengantarkan peti ini!" Perwira Brajanala menyambar sebilah
pedang lalu ditempel-kannya ke leher si pemuda yang menjadi pucat pasi
seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang lehermu!"
Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan.
Masih untung tidak sampai terkencing. Dalam kea-
daan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar suara jawaban. Lalu tangan
kanannya tergesa-gesa
mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari balik
pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Den-
gan suara gagap dan gemetar dia memberitahu. "Or...
orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini.
Katanya harus diserahkan pada Sultan...."
Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang
sudah dapat dipastikan adalah sepucuk surat, lalu
memandang ke arah Sultan.
"Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sultan.
Perwira Brajanala segera membuka gulungan
kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia memba-
ca tulisan yang tertera di atas kertas keras-keras.
Prawoto, Tak ada rasa hormatku untuk menyebut mu se-
bagai Sultan. Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku akan segera kau terima
balasannya. Kau akan
menghadapi Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak main-main, aku sampaikan
satu hadiah yang membuatmu tidak bisa tidur nyenyak.
Arya Penangsang
Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri
dari kursi, mengambil surat yang dipegang Perwira
Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-
robeknya. "Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara lantang. Ketika kau membawa jenazah
Pangeran Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap
satu malam di sana. Menurutmu kau berhasil mere-
dam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta
Mantre Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang
terjadi! Jahanam anak pemberontak itu membunuh
Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku!
Keji biadab!"
"Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat
menduga apa yang terjadi Pada saat saya berada di
sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda akan melakukan sesuatu. Bahkan dia
sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke perba-
tasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada yang menghasutnya..."
Brajanala memanggil pengawal, menyuruh ba-
wa Tunggul Kebuti dan menjebloskan petani malang
itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata.
"Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasukan. Dua hari di muka kita serbu
Welahan untuk me-
nangkap Arya Penangsang hidup atau mati!"
"Mengapa musti menunggu sampai dua hari"
Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukan-
mu sudah bergerak! Namun ingat satu hal. Hindari ja-
tuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang
kita cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana
dan kaki tangannya."
"Kalau itu perintah Sultan saya akan segera la-
kukan," kata Perwira Brajanala.
"Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpul-
kan sahabatmu para tokoh persilatan untuk berga-
bung dengan pasukan Demak. Aku yakin
Arya Penangsang tidak sendirian. Aku menyirap
kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus
terdiri dari para tokoh rimba persilatan."
"Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk.
"Saya dan Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesua-
tu yang diperlukan. Kami berdua mohon diri."
"Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwi-ra Brajanala biar tetap di sini
dulu. Aku perlu membicarakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton
Demak." Semua orang yang berada di tempat itu kecuali
Perwira Brajanala meninggalkan ruangan. Setelah
tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata.
"Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja
memintamu untuk memperhatikan pengamanan Kota-
raja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada sa-
tu hal lain yang perlu akan dibicarakan denganmu.
Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat kalau kukatakan
mencurigakan..."
"Jika saya boleh mengetahui yang Sultan mak-
sudkan," ujar Brajanala.
"Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia men-
gantar jenazah Pangeran Tua ke Welahan, dan juga tu-
rut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak
mengetahui siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa
tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih dikirimkannya ke
sini" Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem
Sleman telah menceritakan kejadian yang sesungguh-
nya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa Perwira Muda
itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen." "Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali ji-ka Sultan memerintahkan
untuk menyelidiki," kata Brajanala pula.
"Itu memang yang aku inginkan. Aku perintah-
kan agar kau melakukan penyelidikan. Selain itu
memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa saja yang dihubunginya.
Beri tahu padaku segera jika kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi, harap
perhatikan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Ke-
mitir. Dia sangat dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa tahu ada hubungan yang
tidak terduga antara dua
orang itu."
"Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala lalu membungkuk, kemudian bergegas
Perwira Tinggi Demak ini meninggalkan tempat itu.
Setelah berada sendiri di ruangan itu Sultan
Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembica-
raannya dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan
Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono membicarakan
tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan
terselubung antara beberapa tokoh dalam Keraton
Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem Sleman.
Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya
sendirian menghadapi kelompok Ki Dalem Sleman. Ki
Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan
diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian ter-
betik kabar bahwa orang tua itu telah dituduh mencuri salah satu pusaka Keraton
yakni bendera keramat
bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan
Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman
dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro
Gusti Bendoro. Namun setelah sekian lama berlalu Ki
Suro tak kunjung berhasil ditemukan.
* * * 18 BANJIR DARAH MALAM itu udara terasa dingin sekali karena
sorenya hujan lebat turun mengguyur Kotaraja. Di luar tembok Keraton, puluhan
prajurit terdiri dari empat
kelompok besar melakukan penjagaan dan perondaan
ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi. Bukan saja para pengawal yang melakukan
penjagaan, tetapi beberapa
tokoh silat Istana kelihatan turut bertugas mengamankan Keraton, menjaga
keselamatan Sultan serta ke-
luarganya. Lewat tengah malam dinginnya udara bukan
kepalang. Banyak pengawal Keraton menjalankan tu-
gas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan sekitar Keraton tampak aman
walau diselimuti kesu-
nyian. Saat itulah di sudut timur kelihatan ada kabut mengambang. Kabut yang
sama kemudian muncul di
ujung barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan akhirnya menyusul di
sebelah utara. Perlahan-lahan
kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu berge-
rak ke arah bangunan Keraton.
"Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas mengawal di bagian timur
Keraton. "Belasan tahun bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada
kabut sekitar Keraton..."
"Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat
bukan main. Udara dingin luar biasa. Kalau kemudian
muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan
prajurit tua yang berdiri di sampingnya.
Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar
bukan saja ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman luas dimana para pengawal
lapisan ketiga bertugas.
"Ini baru aneh," berkata pengawal di samping prajurit tua. "Tidak biasanya aku
mengantuk. Heran, mataku terasa berat..."
"Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi hukuman berat," kata prajurit
tua pula. Tapi habis berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya terasa
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepa-
lanya terasa berat. "Kurasa aku sudah ketularan dirimu, ikut-ikutan
mengantuk..." Prajurit tua itu berucap lalu berpaling pada kawannya. Tapi sang
kawan ternyata sudah menjelepok di tanah, bersandar ke tem-
bok halaman Keraton, tertidur pulas!
"Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana
nanti kalau sudah setua usiaku! Hai, bangun!" Prajurit tua itu pergunakan
kakinya menggoyang paha temannya. Tapi dia sendiri kemudian merasa lemas, berpe-
gangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit tua ini jatuh dekat temannya,
melosoh di tanah, entah pingsan entah tidur!
Di bagian lain halaman Keraton, untuk mela-
wan udara dingin, seorang prajurit menghidupkan se-
batang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap
ke atas. Prajurit ini terkejut, serta merta mencampakkan rokoknya ke tanah lalu
lari ke arah rumah jaga di sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak
ada lima sampai tujuh pengawal sementara yang lain-lainnya berkeliling seputar
halaman. Kejut prajurit ini
bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah ja-
ga, ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan
tumpang tindih di lantai. Di goyang-goyangnya tubuh
enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak.
Mati" Di dekapkannya telinganya ke dada beberapa
orang prajurit. Ada degup jantung. Berarti tidak mati.
Lalu pingsan" prajurit satu ini segera berdiri. Memandang ke arah wuwungan
Keraton. Seperti tadi dia me-
lihat ada bayangan orang bergerak di atas atap bangunan. Tadi cuma dua orang.
Kini malah dilihatnya ada empat orang!
"Aku harus memberi tahu kepala pengawal.
Aku harus segera melapor ke dalam Keraton!" kata prajurit itu. Lalu dengan cepat
dia lari ke arah bangunan Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba
sebuah benda melesat di udara. Di lain kejap prajurit itu keluarkan keluhan
tinggi, pegangi anak panah yang menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah.
Tak selang berapa lama di atas atap Keraton
terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh suitan lain dari arah
selatan. Lalu terdengar lagi suitan-suitan nyaring dari tiga arah yakni utara,
barat dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar de-rap kaki kuda ke
arah pintu gerbang
Keraton, yang saat itu sudah berada dalam
keadaan terpentang lebar. Padahal biasanya pintu gerbang itu selalu berada dalam
keadaan tertutup. Entah siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh
pengawal yang bertugas di tempat itu telah bergeletakan tanpa sadarkan diri.
Dua belas penunggang kuda menembus pintu
gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng ber-
warna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu me-
reka tak bedanya kelihatan seperti setan gentayangan!
Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan pe-
nunggang kuda bertopeng muncul pula rombongan
penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan
jelas mereka adalah pasukan Kerajaan. Di depan sekali seorang Perwira Muda
sambil mencekal pedang berteriak memberi tahu anak buahnya.
"Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki
halaman Keraton! Lekas menyebar! Satu orang segera
mencari bantuan!"
Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin
prajurit itu segera menyebar. Satu orang memisahkan
diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun
maksudnya tidak kesampaian karena sesaat kemudian
sebatang panah menancap tepat di kuduknya, tembus
ke tenggorokannya!
Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dila-
kukan pengurungan. Dua belas penunggang kuda ber-
topeng putih terjepit di tengah-tengah.
Perwira Muda yang memimpin pasukan berte-
riak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan topeng di malam hari! Buka
topeng kalian dan lekas
serahkan diri!" Sambil membentak Perwira Muda itu menghunus senjatanya yaitu
sebilah golok panjang
berbentuk segi empat.
Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-
tih yang dikurung rapat angkat tangan kanannya ke
atas. Saat itu juga udara malam dipenuhi suara ber-
desing. "Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda.
Goloknya diputar di atas kepala,
"Traak....traak!" Dua anak panah yang diarahkan ke kepala dan dadanya patah lalu
mental ke uda- ra. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya enam orang anak buahnya
kena ditembus panah, jatuh terguling dari atas kuda masing-masing.
"Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbu
bertopeng putih memberi perintah. Dari sosok tubuh-
nya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertin-
dak selaku pimpinan orang-orang bertopeng.
Mendengar perintah itu, empat orang bergerak
maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tom-
bak besi yang bagian kepalanya diikat sehelai bendera segi tiga berwarna kuning.
Orang ini menyerbu ke arah Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhadapan
langsung dia tusukkan tombak besinya ke dada
lawan. "Traangg!"
Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira
Kerajaan menangkis dengan golok. Kejut Perwira ini
bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat
tangannya bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas
dan tangan kanannya terasa linu kesemutan. Sadar
kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di atasnya, sang Perwira
pelototi lawan dengan pandangan menyelidik. Dia memang tidak dapat melihat wa-
jah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa tombak di tangan lawan
rasa-rasa dia pernah melihat
sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak bisa ber-
pikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya
kembali dengan serangan tombak. Hanya beberapa ge-
brakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu ki-
rinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tubuhnya melayang di udara,
tombak besi menderu dan
craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai
ke punggung. Pada saat orang bertombak maju ke hadapan
Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut bergerak. Dua
bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan ko-
song. Lebih dari dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak berdaya. Semua menemui
ajal dalam waktu singkat.
Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memiliki
ilmu tinggi, tidak mudah untuk merobohkan belasan
prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu cepat.
Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpi-
nan kembali mengangkat tangan kanannya. Kali ini
tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Se-
habis memberi tanda orang tadi mendahului mengge-
brak kuda ke arah Keraton.
Saat itu di sekitar bangunan Keraton kabut
aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang
kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka
tangga batu. Lalu berpaling pada arah pengikut di belakangnya dan berkata.
"Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak
ingin bangsat itu menemui ajal dalam keadaan tidak
sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana
ngerinya kematian!"
Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-
tih yang mengenakan jubah hitam berambut panjang
awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak
maju ke depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia
melompat, tegak berdiri di atas punggung kudanya
sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan
sepasang mata. Dari mulut orang ini keluar suara racauan ha-
lus. Perlahan-lahan dua tangan yang dirangkapkan,
dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tan-
gan dan telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang memanggil. Terjadilah satu
hal luar biasa. Semua kabut yang mengambang di halaman dan sekitar bangu-
nan Keraton secara aneh bergerak ke arah tangan yang melambai lalu naik ke atas
kepala. Secara aneh pula
kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang
itu. Semakin cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua telapak tangannya, semakin
cepat pula kabut itu amblas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkat
semua kabut yang tadi memenuhi seantero tempat sir-
na tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di atas
kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia sudah duduk kembali di
punggung kudanya.
Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi
jadi pimpinan penyerbu mengangkat tangan sambil
berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur ma-
suk ke dalam Keraton!
* * * DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan
Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton oleh enam
orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri, anak-anak, dua saudara
sepupunya, seorang abdi da-lem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan sikap
berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas berada dalam ketakutan amat
sangat dan tiada hen-tinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai ke
ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Kera-
ton yang dipenuhi dengan tebaran mayat para pen-
gawal dan beberapa tokoh silat Istana.
Di ruang tengah Istana ada enam orang berto-
peng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda berke-
liaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari
bentuk tubuh, pakaian yang dikenakan atau senjata
yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui
beberapa di antara mereka.
"Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Ka-
lian membunuh orang-orang yang tak berdosa!" Sultan Prawoto yang tak dapat
menahan hatinya lagi berteriak marah. "Aku
perintahkan kalian untuk menyerah!"
Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu
meledak tawa bergelak di ruangan itu. Salah seorang
di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah
mendekati Sultan lalu membuka topeng putihnya.
Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus
begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana
kobaran api. "Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah per-
buatan jahatmu! Arya Penangsang! Atas nama Kera-
jaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!"
Orang yang barusan membuka topeng putih
ternyata adalah Arya Penangsang, pimpinan rombon-
gan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar
Seda Lepen. Wajahnya tampak garang, dipenuhi ku-
mis, cambang bawuk dan jenggot meranggas.
"Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang na-
manya Kerajaan Demak sudah tidak ada lagi! Yang
namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hi-
dup yang siap mampus! Kau sudah membaca suratku!
Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia!
Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung
segala dosa!"
Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang
hendak dilakukan oleh Arya Penangsang. Maka dia
berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan
diriku! Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut ba-
las kematian ayahmu, mari kita bertempur satu lawan
satu secara kesatria!"
Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan
mata lalu tertawa bergelak. "Di saat-saat malaikat maut hendak mengambil
nyawamu, kau masih bisa
bersyair menunjukkan jiwa kesatria palsu menutupi
kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin pertempu-
ran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!"
Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga
mengeluarkan suara keras. Seorang bertopeng segera
menghampirinya, menyerahkan sebuah benda ter-
bungkus kain putih. Dengan cepat Arya Penangsang
membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan ter-
nyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke
pertengahan berwarna hitam. Warna hitam ini adalah
noda darah yang telah mengering.
"Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh!
Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak
akan tergenang darah! Darah itu berpangkal dari Keraton ini! Kau menginginkan
pertempuran secara jantan!
Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu lawan satu!"
"Aku akan menghadapimu dengan tangan ko-
song! Silahkan menyerang!" jawab Sultan Prawoto pula sambil kertakkan rahang
sementara jerit tangis terdengar semakin menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali ku-
da-kuda yang ada di situ keluarkan suara ringkikan.
"Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus
secara pengecut! Jangan kira aku akan berbe-
las kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan teriakan dahsyat Arya
Penangsang melompat. Golok
besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su-
ara deru mengerikan.
Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk
anak-anaknya yang bertangisan. Kuda meringkik. Para
pelayan ikut berteriak.
Sultan Prawoto menghindar ke kiri sambil le-
paskan satu pukulan tangan kosong mengandung ha-
wa sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-
goyang dan sambaran goloknya tidak mengenai sasa-
ran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan ke-
ras. Tangan kirinya ikut bekerja melepas pukulan ja-
rak jauh untuk menahan serangan tangan kosong Sul-
tan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana cu-
rahan hujan. Berkiblat ganas mengerikan.
Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu.
Sosok Sultan Prawoto mencelat ke belakang.
Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari
tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit,
menghambur coba menghampiri. Namun seorang ber-
topeng putih menjambak rambutnya lalu melempar-
kannya hingga terguling di lantai.
* * *
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar be-
sar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang di bantai
bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan ter-sebar luas dengan cepat.
Rakyat bersedia namun tak
berani menunjukkan rasa berkabung terang-terangan.
Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap
masih mendukung Sultan yang lama akan dihabisi se-
cara semena-mena.
Dalam suasana seperti itu Arya Penangsang
mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan
Demak baru. Beberapa petinggi dan para tokoh silat
yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang lama di-
beri kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini
mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Hingga
mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat atau membantu Arya Penangsang
dalam peristiwa berdarah
di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek
Ular Si Lidah Bangkai. Tumenggung Pakubumi alias
Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok
Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Bra-
janala serta beberapa orang lainnya yang belum sem-
pat diketahui karena sengaja merahasiakan diri.
Selama satu hari mayat-mayat yang bergeleta-
kan di ruang tengah keraton sengaja dibiarkan begitu saja. Malah rakyat diminta
untuk menyaksikan kematian Sultan Prawoto dan keluarganya itu yang oleh
Arya Penangsang dianggap sebagai pengkhianat. Na-
mun tak seorangpun yang mau datang untuk menyak-
sikan. Rakyat sama maklum siapa sebenarnya yang
jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang
Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto mengadakan pertemuan
rahasia dipimpin oleh Adipati
Japara. * * * 19 PENCULIKAN DI PAGI BUTA
DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu,
di penghujung malam yang dingin, ketika kebanyakan
orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam
tidur nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari suaranya jelas yang mengaji
itu adalah seorang anak la-ki-laki. Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit
kecil pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara dua orang terlihat
membimbing kuda masing-masing.
Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu.
"Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya orang yang berjalan di sebelah
kanan. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sehitam arang.
"Cuma menangkap seorang bocah saja, apa
perlu senjata sakti itu?" jawab sang teman, seorang kakek berjubah kuning tebal.
Dua orang itu melangkah ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk.
Di sini keduanya berhenti dulu.
Yang berpakaian jubah kuning tebal berbisik
pada teman sebelahnya. "Kau mendengar suara orang mengaji?"
"Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam legam, berbadan besar kokoh.
"Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia
anak yang kita cari. Anak yang konon disebut-sebut
dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno."
"Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi
membacanya. Jadi sangkut paut si anak dengan kitab
itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-
benar ada" Jangan-jangan cuma karangan belaka.
Disampaikan dari mulut ke mulut hingga akhirnya
orang percaya kitab itu benar-benar ada."
"Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak per-
caya pada cerita Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug dan Tumenggung Pakubumi.
Dua diantara mereka
pernah berusaha merampas kitab itu dari tangan Ki
Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning. Tapi
gagal..." "Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari apa yang hendak kita
lakukan terhadapnya?" bertanya orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira
Kerajaan. Dia bukan lain adalah Brajanala yang kini men-
gabdi di bawah tahta Arya Penangsang Sultan Demak
yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa da-
lam waktu dekat dia akan diangkat menjadi Patih Ke-
rajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka banyak
ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Kera-
ton Demak sebagai imbal bantuannya menumbangkan
tahta Sultan Prawoto.
"Sesuai perintah Sultan Arya, anak itu harus
kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terha-
dapnya kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki Dalem Sleman.
"Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan,
Satu hal yang bagiku tidak masuk akal," ujar Brajanala. "Kalau memang dia
berbahaya, mengapa tidak dihabisi saja. Lemparkan ke jurang atau ke dalam sun-
gai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah menguru-
sinya?" "Sobatku, jangan berpikiran pendek. Pergunakan sedikit akalmu! Justru
anak inilah yang diduga
punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak
sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat
Keraton Kuno..."
"Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pekerjaan seperti ini seharusnya
tidak kita yang menangani. Cukup dua tiga orang prajurit saja."
"Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi semakin ku kaji persoalannya
semakin tertarik aku un-
tuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru juga punya jalan pikiran
sepertiku. Jika tidak ada apa-apanya, mana mungkin Sultan Arya menugasi kita
berdua." "Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat
yang aku dengar bukan anak Ki Suryo Pabelan..."
"Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah
dipelihara Ki Suryo sejak ke dua orang tuanya lenyap tak tentu rimbanya,"
menerangkan Ki Dalem Sleman.
"Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan masuk ke gubuk dan menculik anak
itu"!" tanya Perwira Tinggi Brajanala.
"Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan
keadaan sekeliling kita." berkata Ki Dalem Sleman.
Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya
melihat pepohonan, semak belukar dan kegelapan.
"Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata Perwira ini kemudian.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai
lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin terlalu
banyak hidup enak di Keraton...."
Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya
itu sang Perwira bertanya. "Apa maksudmu Ki Dalem?"
"Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap
gubuk," bisik Ki Dalem Sleman.
Mendengar ucapan orang, Brajanala segera pa-
lingkan kepala, memandang ke bagian atas gubuk ka-
jang atap rumbia.
"Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!"
Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut
kasar di dagunya. Di atas atap gubuk yang gelap, ternyata mendekam satu sosok
yang menghitam dalam
kegelapan. "Orang itu, siapapun dia adanya pasti punya niat sama dengan kita.
Hendak menculik anak
di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum
kedahuluan orang!"
"Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa
lagi"!" Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera keluar dari balik pohon.
Tapi sesaat langkah mereka
tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk menjebol atap lalu lenyap
masuk ke dalam gubuk! "Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala.
Saat itu bagian dalam gubuk yang tadinya diterangi
lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji
ikut lenyap! "Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap!
Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas
atap!" Tanpa banyak bicara Perwira Brajanala segera
melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini memiliki tubuh tinggi
besar. Atap gubuk yang terbuat dari rumbia lapuk itu mana mungkin menahan
tubuhnya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor bu-
rung enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mendekam menunggu waspada.
Ternyata Perwira Kerajaan
ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam maupun meringankan tubuh.
Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar
suara orang berkelahi disertai bentakan-bentakan ke-
ras. "Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!"
Itu adalah suara Ki Dalem Sleman.
Terdengar suara tawa bergelak.
"Maling berteriak penculik! Jika kau mau men-
gambil anak ini silakan saja!" Orang yang tertawa menjawab ucapan Ki Dalem
Sleman. Lalu... bukkk! Ter-
dengar suara beradunya dua pukulan Dua sosok sa-
ma-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding se-
belah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap
melesat keluar dari gubuk sambil memanggul sosok
seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun
yang berada keadaan tertotok.
Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem
Sleman mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang
berada di atas atap segera melesat turun ke bawah,
melakukan penghadangan.
Orang yang memanggul anak kecil di bahunya
tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek membawa kawan yang lebih jelek!
Ha...ha...ha! Walau kalian berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!"
"Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela,
kami tidak segan-segan membuatmu menjadi mayat
penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman.
Dia memberi isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini
segera menyerbu.
Waktu di dalam gubuk keadaan gelap setelah
lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak
kecil tidak bisa melihat jelas siapa adanya kakek berjubah kuning itu. Di luar
gubuk walaupun malam tapi
keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian
dan wajah si kakek berjubah kuning tebal, barulah
orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih lagi ketika dia juga mengenali orang ke
dua yang jadi pengeroyoknya.
"Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan
Demak. Perwira Tinggi Brajanala, sama busuknya den-
gan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat dalam urusan bocah ini"
Lawanku tidak enteng. Lebih
baik mencari jalan kabur dari pada membahayakan
keselamatan anak ini!"
Berpikir seperti itu, orang yang memboyong
anak kecil di bahunya segera melancarkan serangan
gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua
lawan berlaku lengah, dia akan serta merta kabur me-
larikan diri. Tetapi Ki Dalem Sleman dan Brajanala
yang punya segudang pengalaman mana bisa diper-
dayakan. Dari jurus gerakan orang, kedua tokoh Ista-
na Demak ini sudah bisa membaca apa yang hendak
dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman men-
genai siapa adanya si penculik anak. Kakek ini segera menegur dengan suara
lantang. "Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka,
jauh-jauh tinggal di Madura muncul di tanah Jawa jadi penculik bocah!"
Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si
penculik seorang kakek berpakaian biru gelap, memili-ki rambut, alis, kumis dan
janggut kelabu menyeringai lalu berbatuk-batuk.
"Kalian berdua, bukankah punya maksud sa-
ma" Hendak menculik anak ini" Cuma sayang aku
mendapatkannya lebih dulu!"
Habis berkata begitu kakek bernama Manding
Kalianget hentakkan kaki kanannya ke tanah. Bukit
kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan itu di tanah mencuat
kepulan asap hitam menutup
pemandangan. "Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu
kami!" teriak Brajanala.
"Mau lari kemana" Jalan lolos mu cuma satu!
Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki Dalem Sle-
man. Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Ka-
lianget memang lenyap tak kelihatan tertutup kepulan asap hitam. Tapi begitu dua
orang itu melesat tinggi ke udara, dari atas mereka segera melihat di mana
beradanya si penculik. Saat itu Datuk Manding Kalianget
telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali membuat lesatan, dua tokoh Istana
Demak ini berhasil mengha-
dang Manding Kalianget, membuat si penculik terkejut besar. Brajanala dan Ki
Dalem Sleman tidak member!
kesempatan lagi. Keduanya langsung menyerang. Per-
kelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus saja Datuk Manding
Kalianget mulai terdesak. Dengan
beban anak di atas bahu kiri yang harus disela-
matkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian
tinggi memang tidak mudah bagi Manding Kalianget.
Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini
cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru.
Senjata ini memiliki rongga hampa dan pada ujungnya
ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu berkelebat, menderu suara seperti
lengkingan angin puting beliung di malam buta!
Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan
tombak saktinya di pelana kuda. Gempuran clurit
Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya lak-
sana curahan hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di ujung clurit menyembur
asap hitam menebar bau aneh
pertanda mengandung racun jahat!
Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Braja-
nala. Perwira Tinggi Demak itu segera mencabut pe-
dangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung se-
rangan clurit lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman
menghantam dengan kebutkan ujung jubah kuning-
nya. Dua rangkum gelombang angin menderu meng-
hantam kepulan asap hitam beracun yang keluar dari
lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempu-
ran berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu
silat Datuk Manding Kalianget, bagaimanapun ganas
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan cluritnya namun dua lawan yang dihada-
pinya bukan sembarangan.
"Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan
anak itu atau kau memang ingin dibantai lebih dulu"!"
Ki Dalem Sleman berseru.
Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak
namun Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut.
Malah sambil tertawa dia berkata. "Kau terlalu banyak bicara! Jaga batang
lehermu!" "Wuuuttt!"
Sinar biru melesat di udara. Clurit besar mem-
babat ke arah perut Ki Dalem Sleman. Selagi kakek ini melompat mundur tiba-tiba
clurit di tangan lawan melesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki
Dalem Sleman tertipu! Untungnya Brajanala segera
melompat sambil sorongkan pedang.
"Traangg!"
Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan
suara berdentrangan dan percikan bunga api di udara.
Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan
senjata tadi membuat tangannya tergetar hebat dan
ada hawa panas menyerang telapak tangannya hingga
dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang
senjata. "Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nyawa, anak ini tak mungkin
kuselamatkan. Dua lawan
yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu
cara untuk menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal,
aku memilih mati bersama anak ini!"
Setelah membatin begitu rupa Manding Kalian-
get keluarkan seruan keras. Clurit di tangannya dibabatkan berputar membentuk
lingkaran. Selagi dua la-
wan bergerak menghindar Manding Kalianget perguna-
kan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari keting-
gian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tan-
gan kirinya ke bawah sambil mulutnya merapal sesua-
tu. Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba
melesat keluar satu bayangan besar hitam, memben-
tuk makhluk bermuka raksasa. Kejut Ki Dalem Sleman
dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Kedua-
nya memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi jelas-jelas mengenai makhluk besar hitam itu.
Tapi seperti membal, dua
pukulan itu berbalik kembali, malah menghantam ke
arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman.
"Bummm! Bummm!"
Tanah terbongkar membentuk dua lobang be-
sar. Untungnya dua tokoh Istana itu masih sempat se-
lamatkan diri. Brajanala berdiri dengan muka agak pucat.
Tangannya yang memegang pedang terasa bergetar.
"Perwira, kau gempur kakek jahanam itu den-
gan pedangmu. Aku akan menggasak makhluk jeja-
dian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat ping-
gang jubahnya yang terbuat dari gulungan kawat len-
tur berlapis kain kuning. Dengan kesaktiannya ikat
pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak,
cemeti atau tali penjirat.
Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala
segera keluarkan jurus-jurus maut ilmu pedangnya.
Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding
Kalianget sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clurit untuk menghadapi pedang
lawan. Kakek ini cepat-
cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk
menyerang Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang
kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai ambil pera-
nan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-
turut, menusuk ke lambung makhluk hitam, lalu ber-
kelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding Kalianget tersentak kaget ketika
melihat satu kali bergerak saja lawan telah mampu menjirat leher makhluk hitam
besar jejadian. Dia segera merapal habis-habisan. Tapi tak ada gunanya. Makhluk
jejadian hitam besar keluarkan suara menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah
tali kuning yang masih menjulai panjang tiba-tiba
menggelung ke arah lehernya!
Manding Kalianget gerakkan tangan yang me-
megang clurit untuk menabas tali kuning tapi senja-
tanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya.
Lidah tokoh silat dari Madura ini mulai terjulur keluar.
Ludah membusah. Matanya mendelik merah. Jiratan
tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak
ada kemungkinan lagi baginya untuk selamatkan diri
dari kematian. "Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membu-
nuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan anak ini hi-
dup-hidup!"
Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget
gebukkan tinju kanannya ke batok kepala si bocah di
bahu kirinya! * * * BERSAMBUNG KE BAGIAN - 5
KUNGFU SABLENG PENDEKAR SPIRITUS
1 PEMUDA she Ngak berlutut di samping tubuh
gurunya yang tergelimpang penuh luka bekas bacokan.
Orang tua berusia 99 tahun lewat 13 hari itu tengah
sekarat meregang nyawa. Sulit sekali baginya men-
gumpulkan sisa tenaga yang ada agar dapat membuka
mulutnya yang kempot dan ompong.
"Muridku Ngak Ngik Ngok... Rohku bakal tidak
tenteram di alam akhirat sebelum kau membalas sakit
hati kematianku...."
"Suhu..." suara sang murid tersendat menahan isak. "Siapa yang melakukan
perbuatan durjana ini"!"
"Manusianya she Tong. Bernama Bo Long.
Dia... dia dikenal dengan julukan Pendekar Bop karena mukanya bopeng. Kau harus
cari dia dan ambil nyawanya penebus nyawaku!"
"Suhu, aku muridmu Ngak Ngik Ngok bersum-
pah akan mencari dan membunuh manusia bernama
Tong Bo Long itu sampai ke laut yang tidak ada airnya
sekalipun! Bahkan sampai ke Planet Crypton bekas
kontrakannya Superman..."
"Bagus, aku gembira mendengar kata-katamu
itu. Tapi ingat, jangan sampai mencari manusia itu ke Planet Senen. Karena
disitu banyak WTS, copet, jamb-ret dan tukang todong..."
"Terima kasih atas petunjuk suhu..."
"Ngik Ngok, ajal ku sudah dekat. Rasanya su-
dah di depan hidung. Lekas ambilkan dot-ku. Aku mau
menghisapnya, agar bisa menghadap Thian dengan te-
nang." Mendengar ucapan gurunya Ngak Ngik Ngok mengambil sebuah dot bayi yang
terletak di atas meja kecil lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam mulut
gurunya. Terkempot-kempot sang guru hisap dot itu
beberapa kali. Kemudian mulutnya tak bergerak lagi.
Sepasang matanya mendelik kosong. Orang tua ini
menghembuskan nafas terakhir sambil nyengir!
Ngak Ngik Ngok menangis tanpa suara. Ketika
dia keluar rumah untuk memberi tahu tetangga terde-
kat atas kematian gurunya itu, mendadak pandangan-
nya membentur secarik kain putih, menempel di pintu.
Dia terkejut dan heran. Karena sebelumnya kain putih itu tidak ada di tempat
itu! Di atas kain tertera gambar tengkorak bopeng.
Lalu di bawah gambar tengkorak itu ada tulisan ber-
bunyi: "Jika kau memang pendekar sejati, bukan wa-dam kalengan, ingin menuntut
balas kematian kau
punya guru, datanglah ke puncak gunung Labu Putih.
Tapi jangan lupa membawa nyawa serep karena sekali
kau sampai di puncak gunung kau tak bakal bisa
mundur atau atret. Tertanda Pendekar Bop."
"Keparat sialan!" maki Ngak Ngik Ngok seraya membetot robek kain putih di pintu,
mengucalnya, membantingnya ke lantai, diludahi lalu diinjak-injak.
Masih belum puas dia songgengkan pantatnya dan
brut! Kain bergambar tengkorak bopeng itu dikentu-
tinya. Sambil kepalkan tinju Ngak Ngik Ngok berkata.
"Tong Bo Long! Kau tunggu pembalasanku! Isi perutmu akan aku korek habis agar
kau jadi tong bolong
benaran! Pendekar Bop! Mukamu akan aku cucuk
dengan seribu totokan agar tambah bopeng!"
* * * 2 GUNUNG Labu Putih cukup jauh letaknya.
Dengan mengerahkan ilmu lari warisan gurunya yang
bernama "Di atas angin membonceng awan" tiga hari kemudian, di satu siang
mendung sampailah pemuda
Ngak Ngik Ngok di gunung Labu Putih.
Kira-kira setengah lie menjelang puncak gu-
nung, Ngak Ngik Ngok melihat ribuan buah labu putih
berhamparan menutupi tanah pegunungan. Buah labu
ini aneh sekali. Selain warnanya yang putih, bentuk-
nya hampir menyerupai payudara wanita. Ngak Ngik
Ngok tak habis pikir. Dari mana datangnya labu aneh
begini banyak, siapa yang menanam dan memeliha-
ranya" Tepat di puncak gunung terlihat satu pondok
kayu. Kira-kira berada dua tombak dari hadapan ban-
gunan ini. tiba-tiba pintu pondok terbuka dan keluarlah sesosok tubuh yang
membuat Ngak Ngik Ngok ter-
perangah kaget campur heran.
Di hadapan Ngak Ngik Ngok saat itu berdiri
seorang perempuan super ultra gemuk bermuka bo-
peng. Pakaiannya hanya sehelai celana bikini dan ku-
tang sangat besar tapi masih tidak sanggup mem-
bungkus buah dadanya yang dua kali lebih besar.
Rambutnya disanggul tinggi ke atas, ditancapi sumpit hitam. Pada pinggang
kirinya terselip sepasang pedang. Sepasang kakinya mengenakan sepatu bot ber-
hak tinggi warna hitam selutut.
Dua mata Ngik Ngok memandang tak berkesip,
terutama pada payudara yang menggelembung luar bi-
asa besarnya itu.
"Tak pernah kuduga," membatin Ngik Ngok.
"Musuh besar pembunuh guruku yang berjuluk Pen-
dekar Bop ini ternyata adalah seorang perempuan!"
Pendekar Bop yang bernama asli Tong Bo Long
sunggingkan senyum sinis. "Pemuda kuaci yang masih bau kencur! Akhirnya kau
sampai juga di puncak gunung Labu Putih. Seperti yang aku ada pesan, apakah
kau datang lengkap membawa nyawa serep?"
Ngak Ngik Ngok balas menyeringai.
"Perempuan gembrot muka bopeng! Aku me-
mang tidak membawa nyawa cadangan. Bagaimana
kalau aku pinjam dulu nyawa busukmu"!"
Mendengar ucapan si pemuda Pendekar Bop
bukannya marah, malah tertawa gelak-gelak hingga
dadanya yang besar kelihatan seolah berjingkrak-
jingkrak. "Tidak kusangka kadal jelek macammu pandai
juga bicara! Hik...hik! Apa kau sudah siap menghadapi kematian"!"
"Perempuan bermuka simpang siur! Urusan
nyawa manusia adalah Thian punya urusan. Yang je-
las guruku sudah menunggu kedatanganmu di pintu
akherat! Hari ini aku akan balaskan sakit hati dendam kesumat kematian guruku!"
"Kurang ajar! Berani kau mengatakan mukaku
simpang siur! Memangnya wajahku sama dengan per-
simpangan jalan yang macet total karena lampu lalu
lintasnya mati dan polisinya sembunyikan diri"!"
Dua orang yang tidak dapat menahan kemara-
han masing-masing segera berbaku hantam. Ngak Ngik
Ngok mencabut senjatanya sebilah golok tipis. Sedang Pendekar Bop loloskan
pedang di pinggang. Tanpa banyak cerita lagi pertempuran hebat berkecamuk di
puncak gunung Labu Putih itu.
Ngak Ngik Ngok berkelebat gesit. Serangannya
datang bertubi-tubi. Sebaliknya Pendekar Bop yang
bertubuh gemuk kelihatan lamban. Namun bagaima-
napun Ngak Ngik Ngok berusaha menumbangkan la-
wannya malah keadaan jadi terbalik. Entah ilmu pe-
dang apa yang dimiliki perempuan gembrot itu. Yang
jelas Ngak Ngik Ngok bukan saja tidak mampu menci-
derai lawan malah bajunya berhasil dibikin robek
ujung pedang lawan dan kulit tubuhnya tergores luka
di beberapa tempat. Ngak Ngik Ngok menggigit bibir
menahan amarah dan rasa sakit.
* * * 3 "PEMUDA kuaci! Sekarang kau baru tahu rasa!
Sebentar lagi kepalamu kubikin menggelinding. Kau
bakal menghadap setan akhirat dan bertemu gurumu!
Hik...hik...hik!"
"Perempuan gila! Aku belum kalah!" teriak Ngak Ngik Ngok. Dia bacokkan goloknya
ke arah batok kepala lawan. Pendekar Bop menangkis dengan pedangnya.
"Trang!"
Dua senjata bentrokan di udara memercikkan
bunga api. Ngak Ngik Ngok tersurut dua langkah. Tan-
gannya bergetar hebat dan wajahnya tampak pucat!
Pendekar Bop kembali tertawa bergelak.
"Pemuda dungu! Kau boleh punya sepuluh ke-
pala dua puluh tangan dua puluh golok! Tapi jangan
mimpi bisa mengalahkanku! Ajalmu hanya tinggal be-
berapa hitungan saja. Tapi aku tuan besarmu ini ber-
sedia mengampuni selembar nyawamu jika kau mau
berlutut minta ampun lalu berjanji untuk mau mencu-
ci kutang serta celana dalamku dan menemaniku di
atas ranjang selama tujuh puluh hari tujuh puluh ma-
lam! Hik...hik! Apa jawabanmu"!"
"Perempuan mesum! Kau kira aku ini jongos
mu atau kau anggap aku ini Pendekar Playboy"!" bentak Ngak Ngik Ngok. "Aku rela
mati dari pada hidup terhina!"
"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mam-
pus!" Pendekar Bop lalu kirimkan serangan gencar. Ketika dua senjata beradu
untuk kesekian kalinya si gemuk ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya.
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Golok tipis di tangan Ngak Ngik Ngok terlepas mental.
"Celaka!" keluh Ngak Ngik Ngok. Tong Bo Long alias Pendekar Bop tertawa
bergelak. "Ajalmu sudah ti-ba pemuda tolol!"
"Mana mungkin! Kepalamu yang bakal pecah!"
jawab Ngak Ngik Ngok. Mendadak saja dia dapat akal.
"Paman guruku yang berjuluk Pendekar Pulang Pagi Pie Koen siap membokongmu dari
belakang! Satu langkah saja kau berani bergerak, kepalamu akan di-
pukulnya hancur! Paman guru, bunuh perempuan
durjana ini!"
Pendekar Bop Tong Bo Long sesaat jadi terke-
siap. Dia memang pernah mendengar nama Pie Koen
sebagai pendekar cabang atas yang mendapat julukan
Pendekar Pulang Pagi. Di antara para tokoh silat yang dianggap jadi dedengkot
dan disegani karena ilmunya
yang tinggi adalah manusia satu ini. Mau tak mau
Pendekar Bop jadi terkejut juga mendengar ucapan la-
wan yang mengatakan Pie Koen adalah paman gu-
runya dan saat itu berada di belakangnya! Namun se-
saat hati kecilnya meragu. Mungkin saja lawan hendak menipunya.
Ngak Ngik Ngok rupanya tahu apa yang ada da-
lam benak si gemuk. Maka dia kembali berteriak. "Paman guru! Tunggu apa lagi!
Hancurkan kepala iblis
bopeng ini! Dia telah membunuh suhu!"
Mau tak mau Pendekar Bop palingkan kepala
juga ke belakang. Dia kena tertipu! Ternyata di belakangnya memang tidak ada
siapa-siapa! "Setan alas! Kau berani menipuku! Jangan ha-
rap kau bisa lolos dari kematian!"
Tong Bo Long tidak selesaikan ucapannya ka-
rena ketika dia berpaling ke depan kembali, Ngak Ngik Ngok sudah lenyap dari
tempat itu. Sadar kalau dirinya memang sudah kena ditipu si gendut ini hanya
bisa memaki panjang pendek! Setelah puas mengelua-
rkan kutuk serapah, Pendekar Bop keluarkan satu ko-
tak kecil yang diselipkannya di balik kutang. Ternyata kotak alat kecantikan
merek Rev Long, lengkap dengan kacanya. Dengan sikap genit Pendekar Bop mulai
me-rapikan dandanannya yang kacau balau berlepotan ke-
ringat. * * * 4 NGAK NGIK NGOK sakit hati dan sedih bukan
main karena tidak dapat membalaskan dendam kesu-
mat kematian gurunya. Dalam menuruni gunung Labu
Putih dia tidak tahu lagi entah menuju kemana. Ketika pada akhirnya dia
menghentikan Sari dan berjalan biasa didapatinya dirinya berada di sebuah desa
berna- ma Spie Ing Rie Tus. Hampir keseluruhan penduduk
desa ini mempunyai mata pencaharian sebagai pem-
buat spiritus. Cairan ini bukan saja untuk dijual tapi juga dijadikan minuman
sehari-hari oleh penduduk,
pengganti arak yang mahal harganya. Konon spiritus
keluaran desa Spie Ing Rie Tus ini sangat tinggi kadar alkoholnya dan merupakan
merek nomor satu di daratan Tionggoan (daratan Tiongkok)
Ngik Ngok sampai di hadapan sebuah kedai. Le-
tih dan haus membuat dia arahkan langkahnya ke ke-
dai ini. Dia memesan segelas teh dan menjadi heran
ketika orang kedai dan para tetamu mentertawainya.
"Kau pasti orang asing!" kata pemilik kedai.
"Ketahuilah, di desa ini satu-satunya minuman yang ada hanyalah spiritus. Jangan
harapkan segelas teh,
apalagi susu atau arak! Kau cobalah spiritus desa Spie Ing. Rasanya lebih sedap
dari arak Shantung!"
Mula-mula Ngik Ngok hendak jengkel tapi keti-
ka dia memandang berkeliling dilihatnya semua tamu
memang memesan dan minum spiritus yang berwarna
biru berkilauan. Mau tak mau akhirnya pemuda ini
anggukkan kepala. Tapi ketika pertama kali minuman
itu diteguknya, dia menjerit dan terlonjak dari bangku.
Mulutnya seperti disulut api. Spiritus dalam mulutnya disemburkan keluar.
Mukanya merah padam. Semua
orang mentertawainya. Karena kesal Ngak Ngik Ngok
duduk memencilkan diri di satu sudut kedai.
Duduk sendirian kembali Ngik Ngok ingat pada
musuh besarnya si Pendekar Bop. Lama dia terme-
nung memikirkan bagaimana caranya menghadapi dan
mengalahkan pembunuh suhunya itu. Dalam keadaan
seperti itu tidak sengaja matanya melihat seekor anjing kampung sedang kencing
di bawah pohon. Binatang
ini tidak tahu kalau didekat pohon tersebut ada seekor kodok sedang mangkal.
Begitu sekujur tubuhnya terkena siraman air kencing hangat dan bau, sang kodok
menggelepar megap-megap lalu lari pontang-panting.
Ngak Ngik Ngok tertawa sendirian. Tiba-tiba sa-
tu akal menyelinap masuk ke dalam benaknya. Mu-
suhnya si Tong Bo Long alias Pendekar Bop walau
memiliki gerakan lamban namun ilmu pedangnya he-
bat luar biasa. Jika dia bisa mengacaukan perhatian
lawan bukan mustahil dia bisa mempecundangi si ge-
muk itu. Ngak Ngik Ngok terus merenung. Kemudian
dia bangkit berdiri. Dia mendekati pemilik kedai. Sambil menyerahkan sejumlah
uang dia berkata.
"Berikan aku lima buli spiritus!" (buli = sema-cam kendi tanah berbentuk botol
kuno) Tentu saja pemilik kedai dan orang-orang yang
ada di situ heran semua. Tadi mereka saksikan sendiri pemuda itu menyemburkan
spiritus yang dicicipinya.
Dia hampir kelojotan. Kini malah memesan lima buli
sekaligus! * * * 5 SANG surya muncul di ufuk timur tepat pada
saat Ngak Ngik Ngok sampai di puncak gunung Labu
Putih. Begitu sampai di hadapan pondok langsung saja dia tendang daun pintu
sambil berteriak.
"Pendekar Bopeng perempuan keparat! Lekas
keluar! Aku datang kembali untuk minta nyawamu!"
Saat itu si gemuk Tong Bo Long masih tertidur
pulas dan mendengkur keras. Suara dengkurannya
putus. Matanya terbuka dan tubuhnya yang gembrot
duduk di atas ranjang. Tangannya cepat menyambar
kutang ukuran raksasa, bikini antik dan sepatu bot.
Tak ketinggalan kotak kecil berisi alat kecantikan. Setelah mengenakan kutang
dan bikini serta sepatunya,
Pendekar Bop melompat keluar.
"Setan alas kurang ajar! Kau berani merusak
pintu istanaku! Kau kembali ke sini minta mampus
atau memang kangen dan ingat-ingat diriku!
Hemm...Jangan-jangan kau termimpi-mimpi dan kebe-
let mau tidur denganku! Hik...hik...hik!" Sambil tertawa Pendekar Bop cepat
merias wajahnya.
"Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya
dandan. Tapi tak jadi apa. Memang harus begitu su-
paya setan neraka tidak pangling padamu!" kata Ngak Ngik Ngok pula.
Pendekar Bop selipkan kotak alat kecantikan-
nya di balik kutang lalu tanpa banyak cerita lagi dia segera hunus pedang dan
menerjang pemuda di hadapannya. Ngak Ngik Ngok sudah pula menyiapkan golok
tipisnya. Hanya kali ini tangan kirinya berbarengan
mengambil satu dari lima buli-buli spiritus yang bergelantungan di pinggangnya
lalu meneguk isinya. Den-
gan mulut gembung penuh spiritus dia hadapi seran-
gan Pendekar Bop.
"Pemuda keparat! Kali ini jangan harap aku
mau memberi hati ataupun tulang padamu!" Pedang Pendekar Bop berkiblat.
Pertempuran seru berkecamuk. Dalam tiga jurus saja Ngak Ngik Ngok sudah ter-
desak. Pendekar Bop terus menggebrak sambil lontar-
kan seringai sinis. Ujung pedangnya bertabur me-
nyambar ganas. Dia yakin paling lama dua jurus di-
muka akan sanggup membantai si pemuda. Tiba-tiba
tidak disangka-sangka mulut gembung Ngak Ngik Ngok
menyembur. Cairan spiritus menderu menghantam
muka bopeng Pendekar Bop.
Perempuan gemuk berdandan tebal itu tidak
menyangka akan mendapat serangan begitu rupa. Un-
tung saja dia berlaku waspada. Namun walaupun mu-
kanya selamat, cipratan spiritus masih sempat menge-
nai dadanya. Tak urung kutang besarnya menjadi ber-
lubang-lubang dan payudaranya seperti ditusuk-tusuk
jarum! Menggelegaklah amarah Pendekar Bop. Didahu-
lui satu pekikan keras seperti pekik penyanyi yang ke-setanan di disko "Le Go
Yang" dia putar pedangnya dengan sebat hingga saat itu juga sekujur tubuh lawan
terkurung sambaran senjata tajam itu.
Namun kali ini Ngak Ngik Ngok berhasil mem-
babat putus salah satu tali kutang lawan. Pendekar
Bop terpekik. Dia cepat pergunakan tangan kiri untuk menunjang dan menutupi
dadanya yang melorot turun
ke bawah seperti kelapa menggelantung. Namun na-
sibnya rupanya sudah sampai pada saat menentukan.
Sambaran berikutnya memutus tali kutang yang satu
lagi! "Jahanam keparat! Kau berani menghinaku!
Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!"
Pedang di tangan Pendekar Bop berkiblat ga-
nas. Tapi semburan spiritus dari mulut lawan mem-
buat gerakannya tertahan.
"Lihat celana!" Ngak Ngik Ngok berseru. Lalu goloknya menyambar ke bawah. Tali
celana bikini Pen-
dekar Bop putus! Kembali si gemuk ini menjerit. Ketika dengan kalap dia coba
mengejar lawan dengan pedangnya, Ngak Ngik Ngok babatkan lagi senjatanya
dan menyembur dengan spiritus. Pendekar Bop terpe-
kik. Luka besar menguak di perutnya yang gendut ber-
lemak. Darah mengucur!
"Oh bikini ku! Kubeli mahal-mahal di Paris. Ro-
bek... kau merobeknya....! "Pendekar Bop bukan khawatirkan luka di perutnya tapi
malah lebih mengkha-
watirkan bikininya yang robek dimakan ujung golok!
"Dasar perempuan otak miring!" kata Ngak Ngik Ngok. Selagi lawan kalang kabut goloknya kembali
membabat. Jeritan mengenaskan keluar berulang kali
dari mulut Pendekar Bop, Tubuhnya yang gemuk ak-
hirnya tergelimpang bergedabukan di depan pondok. Si gemuk ini menemui ajal
dengan mata mendelik dan
dua tangan memegangi bikininya.
Ngak Ngik Ngok jatuhkan diri berlutut. Terbata-
bata dia berkata.
"Suhu, sakit hatimu sudah murid balaskan!
Pembunuh mu telah aku habisi! Ternyata murid tidak
perlu susah-susah harus pergi ke Planet Crypton atau ke Planet Senen.. Juga
tidak perlu mengarungi lautan luas yang penuh dengan pukat harimau. Tidak perlu
memasuki hutan belantara yang kayu-kayunya sudah
pada habis di trondoli orang-orang kota. Hari ini murid sudah bunuh Pendekar Bop
Tong Bo Long. Semoga
arwah suhu kini bisa tenteram di alam baka!"
Ngak Ngik Ngok manggut-manggut tujuh kali
lalu bangkit berdiri dan tinggalkan puncak gunung La-bu Putih. Sejak itu dia
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Spiritus.
T A M A T E-Book by Abu Keisel Si Pedang Tumpul 3 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas 4 Warriors Karya Wen Rui An Telapak Kematian 1
Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana
Arya Penangsang berada?"
"Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di selatan Demak. Namun seorang
mata-mata memberi
tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di Welahan, satu desa di
kawasan barat Kudus. Saya akan mengirim seseorang menda-
hului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Penangsang sudah bersiap-siap
menerimanya."
"Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil,"
kata Sultan pula. "Namun harap berhati-hati. Arya Penangsang kalap mendadak
melihat mayat ayahanda!
Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat ter-
hadap Ki Dalem."
"Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat
begitu. Saya akan berhati-hati."
"Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan.
Dan atas jasa besarmu ini aku akan memberi tahu
Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santu-
nan bulanan atas nama Ki Dalem...."
"Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan
imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Semua yang saya
lakukan adalah menjadi tugas dan tanggung jawab semata."
Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ke-
tatkan pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan ke-
kuatan prajurit di seluruh Kerajaan dan sebar matamata sebanyak mungkin. Aku
punya firasat, tewasnya
Pangeran Tua akan mendatangkan hal-hal yang tidak
kita inginkan. Terutama dari pihak yang tidak menyu-
kai tahta Kerajaan berada di tanganku."
Perwira Brajanala mengangguk. Setelah mem-
bungkuk memberi hormat dia segera meninggalkan
tempat itu. Tapi Sultan berkata.
"Satu hal lagi Perwira. Harap dikirim seorang
utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda
mangkat dia seperti menghilang begitu saja. Sebagai
menantu ayahanda, dia tidak layak berbuat begitu.
Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu
kesaktian di satu tempat terpencil. Cari dia, minta dia segera datang ke
Kotaraja menemuiku. Kita perlu bantuan tenaga dan pikirannya."
"Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Brajanala. Sesaat setelah Perwira
Tinggi Kerajaan itu berlalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan
segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar
Seda Lepen. Namun yang pertama sekali dilakukannya
adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia berhasil mengejar Perwira
itu. Keduanya saling berca-kap berbisik-bisik.
"Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi
dengar baik-baik Brajanala. Apapun yang terjadi jan-
gan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar
Sultan itu di dalam Keraton sama saja dengan menda-
tangkan seekor harimau berbahaya bagi kita dan te-
man-teman. Bisa mendatangkan bencana!"
"Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau
tak usah khawatir," jawab Brajanala. "Sekembalinya kau menemui Arya Penangsang,
kita segera mengadakan pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau in-
gat baik-baik Ki Dalem. Kepandaianmu bicara akan
sangat menentukan. Kita semua berharap bisa mena-
rik putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke
dalam barisan kita!"
Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Ba-
nyak orang akan meratap di atas genangan darah. Tapi kita dan teman-teman
mungkin masih bisa menari di
atas genangan darah itu."
"Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan
kita mengeruk keuntungan. Mengeruk uang, harta dan
jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil mengulum senyum.
* * * TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua
tangannya terkepal laksana batu. Dua mata terpejam.
Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun
di atas kepalanya mengepul asap tipis. Dada berge-
lombang dan tenggorokannya turun naik. Di kiri ka-
nannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa
saudara sekandung, keluarga terdekat dan teman-
teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh den-
gan orang-orang yang datang untuk menyampaikan
rasa duka cita atas tewasnya Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen. Dua tangan Arya Penangsang bergerak, meme-
gang pinggiran peti jenazah yang penutupnya sengaja
dibuka. Di seberang peti, di depan Arya Penangsang
tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya ber-
diri Gedeng Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah dis-elamatkannya ikut menemani
Ki Dalem Sleman men-
gantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen.
Selain itu masih ada beberapa orang prajurit. Namun
di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki Dalem
Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala ini yang telah
diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem
Sleman. Dua tangan Arya Penangsang bergetar. Peti je-
nazah yang dipegangnya ikut bergetar.
"Orang-orang Demak! Kalian harus membayar
mahal atas kematian ayahanda ku! Aku akan menjadi-
kan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu
di Keraton Prawoto!"
Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin ke-
ras begitu semua orang mendengar ucapan Arya Pe-
nangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak
sanggup menahan amarah, seperti kalap berteriak ke-
ras. Pinggiran peti jenazah hancur berkeping-keping.
"Orang-orang Demak keparat! Mana orang De-
mak! Mana!"
Orang-orang perempuan berpekikan, orang-
orang lelaki keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba Arya Penangsang
menyambar golok besar seorang teman yang berdiri di dekatnya.
"Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau
juga!" Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke hadapan Gedeng Kemitir.
Golok di tangannya berkelebat ganas ke arah leher prajurit Demak itu.
Sesaat lagi leher Gedeng Kemitir akan tertabas
putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat. Pergelangan tangan kanan Arya
Penangsang tahu-tahu su-
dah berada dalam satu cekalan kuat.
"Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta
mampus!" Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang
menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi dua kali ber-
turut-turut. "Bukkk!"
"Bukkk!"
Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana pal-
ing disegani. Tingkat ilmu silat dan kesaktiannya dika-gumi teman ditakuti
lawan. Tidak mudah untuk bisa
menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia
sama sekali tidak menduga kalau Arya Penangsang
akan menghantamnya demikian rupa.
Ki Dalem Sleman terlempar sampai beberapa
langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah. Jelas
dia menderita luka dalam
cukup parah akibat hantaman tangan kiri Arya Pe-
nangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit
dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang ba-
lingkan golok besar berhasil dirampasnya dari tangan Arya Penangsang. Golok
dimelintangkannya di depan
dada lalu berucap.
"Raden Arya, harap tenang. Kendalikan ama-
rah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan perkara.
Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah
karena kami sangat menghormati mendiang Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen....."
Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh benta-
kan Arya Penangsang.
"Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Untuk kedua kalinya Arya Penangsang
melompat kirim-
kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.
"Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem
Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak rela menerima
hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang
dia kebutkan lengan jubah sebelah kanan.
"Wutttt!"
Satu gelombang angin deras menderu ke arah
Arya Penangsang. Membuatnya terdorong walau dia
sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam ma-
rahnya dia coba memukul dengan dua tangan sekali-
gus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki Dalem Sleman sudah
bersarang di dadanya sebelah ki-ri. Sesaat jalan darahnya terhenti. Ketika darah
kembali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi ko-
koh itu telah berubah menjadi patung kaku!
Suasana di dalam rumah besar itu menjadi
hening. Keheningan yang disertai cengkaman ketegan-
gan. Tiba-tiba ada satu suara menggema.
"Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan ha-
timu! Jika kau mampu melaksanakan aku akan me-
minta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk mem-
bebaskan mu dari totokan..."
Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sen-
diri sama palingkan kepala ke arah datangnya suara.
Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpa-
kaian slempang kain putih. Melihat siapa yang berdiri di depannya, Ki Dalem
Sleman segera rangkapkan dua
tangan di depan dada lalu membungkuk hormat.
"Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka
kita bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti ini. Harap maafkan. Aku
tidak tahu menahu kalau
kau...." "Arya Penangsang adalah menantuku," mene-
rangkan orang tua bernama Mantre Jembrana.
"Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maaf-
kan diriku."
"Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang
tidak dapat mengendalikan diri."
"Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam,
"Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tangan kasar. Maafkan diriku. Biar
aku lepaskan dulu totokan di tubuh menantumu."
Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Pe-
nangsang lalu tusukkan dua jari tangan kanannya te-
pat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya
Penangsang. Begitu totokan punah, Arya Penangsang mera-
sakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman tidak
lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu akan jatuh terhenyak ke
lantai. "Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem
Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan main-main.
Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar
nyawanya sendiri. Apakah keberanian, kebaikan dan
keikhlasannya itu hendak kau balas dengan menye-
rangnya membabi buta" Ingin membunuhnya?"
"Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang pula. "Jangan minta maaf padaku.
Minta maaf pada Ki Dalem Sleman."
"Ki Dalem, maafkan saya."
Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu
Arya Penangsang.
"Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana.
"Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana kejadiannya sampai Pangeran Tua
Sekar Seda Lepen me-
nemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau
kami menanam dendam, kami tahu dan tidak kesala-
han tangan kepada siapa dendam itu akan kami tum-
paskan." Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sle-
man kepada semua orang yang ada di tempat itu, Ki
Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya
Pangeran Tua Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di
bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih.
Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceritakan kalau sebenarnya
dirinya turut ambil bagian dalam penangkapan Pangeran Sekar.
Setelah mendengar penuturan Ki Dalem Sle-
man, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia melirik
pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil
memandang pada Ki Dalem Sleman orang tua ini ber-
kata. "Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang telah kau lakukan. Rasanya
banyak hal yang masih in-
gin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan
beberapa petunjuk dari dirimu yang
begitu banyak pengalaman. Kami mengun-
dangmu untuk bermalam satu dua hari di tempat ini.
Sudikah kau menerimanya?"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya ma-
sih banyak urusanku di Demak. Tapi aku mana berani
menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana.
Cuma, aku tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimana kalau aku menginap cukup satu
malam saja?"
"Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," jawab Mantre Jembrana. Orang tua ini
memberi isyarat
pada seorang pengawal. Pengawal ini segera menda-
tangi. Dengan suara setengah berbisik Mantre Jem-
brana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk ta-mu kita. Beri tahu pelayan
kepala agar meminta Nyi
Werda bersedia menjadi teman tidur Ki Dalem Sleman
malam ini."
* * * 17 PENGADILAN DUNIA
SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kera-
jaan termasuk Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala
tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak bebe-
rapa waktu belakangan ini dilaporkan tentang adanya
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan-gerakan beberapa kelompok besar pasukan di
kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya.
Perwira Tinggi Brajanala tengah berbicara keti-
ka seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang
kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah pe-
ti. "Orang itu masih muda, mengaku bernama
Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa Mijen..."
"Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tem-
pat kediaman Arya Penangsang. Mungkin...."
Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sul-
tan yang bertanya pada pengawal. "Kau sudah memeriksa atau bertanya apa isi peti
itu dan siapa pengi-rimnya?"
"Kami tidak berani melakukan pemeriksaan se-
belum dapat perintah. Kami hanya bertanya. Ketika ditanya, pemuda petani itu
berkata dia tidak tahu apa isi peti itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah
gerobak untuk membawa peti itu ke sini. Lalu membe-
rinya upah besar...."
Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini
segera bangkit dari tempat duduknya. "Biar saya menemui orang itu," kata
Brajanala. "Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Pu-
tih yang menghabisi Pangeran Tua itu masih belum di-
ketahui dimana beradanya?"
"Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk
menyidik. Tapi masih belum di dapat keterangan. Bah-
kan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwira Brajanala.
"Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Dalem Sleman.
"Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia lalu menganggukkan kepala pada
Brajanala. Perwira
ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pe-lapor. Tak lama kemudian
Brajanala muncul kembali
bersama pengawal tadi yang membawa sebuah peti
seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berja-
lan seorang pemuda yang kelihatan lugu dan melang-
kah sambil memandang kian kemari. Seumur hidup
baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana.
Tak heran kalau dia memandangi segala sesuatunya
terkagum-kagum.
Pengawal meletakkan peti bagus berwarna cok-
lat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan.
Setelah memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira Brajanala bertanya pada
pemuda lugu di dekatnya.
"Kau datang dari Mijen?"
Pemuda yang ditanya mengangguk.
"Namamu Tunggul Kebuti?"
Yang ditanya kembali anggukkan kepala.
"Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan pertanyaan. Tidak seperti yang
lain-lainnya, orang tua satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak memasuki
rongga pernafasannya. Seperti bau anyir.
"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi peti itu..."
"Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti
ke sini?" tanya Brajanala.
"Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang
Mijen. Dia memberikan sebuah gerobak, lengkap den-
gan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata
antarkan peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada
Sultan. Itu saja. Saya anggap itu pekerjaan mudah,
apa lagi upahnya besar."
Semua orang pandangi pemuda petani dari Mi-
jen itu. Lalu terdengar Sultan berkata. "Pengawal, buka peti itu."
Pengawal yang tadi membawa peti segera ber-
tindak. Tapi dia jadi bingung sendiri. Peti itu ternyata terkunci. Ada lobang
kunci tapi tak ada anak kunci
pembukanya. Melihat pengawal kebingungan, pemuda
bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu. Dia men-
geruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak
kunci. "Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh saya mengantarkan peti
memberikan anak kunci ini.
Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka peti." Brajanala segera
mengambil anak kunci itu.
Dia sendiri yang memasukkan ke dalam lobang kunci,.
memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti.
Begitu peti terbuka bau tidak sedap menyam-
bar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak dis-
ertai seruan terkejut yang tidak dapat ditahan.
Di dalam peti yang terbuka itu, mengerikan se-
kali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak se-
perti ketakutan. Walau kutungan kepala itu penuh
lumuran darah namun semua orang mengenali itu
adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang
tempo hari menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen. Beberapa orang yang ada di ruangan itu kelua-
rkan suara seperti mau muntah. Sultan palingkan ke-
pala dengan wajah jijik lalu melambaikan tangan. Brajanala cepat menutup peti
kembali, memerintahkan
pengawal membawa peti itu keluar lalu menjambak
rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang tak tahu
apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati.
"Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang
yang menyuruhmu mengantarkan peti ini!" Perwira Brajanala menyambar sebilah
pedang lalu ditempel-kannya ke leher si pemuda yang menjadi pucat pasi
seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang lehermu!"
Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan.
Masih untung tidak sampai terkencing. Dalam kea-
daan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar suara jawaban. Lalu tangan
kanannya tergesa-gesa
mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari balik
pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Den-
gan suara gagap dan gemetar dia memberitahu. "Or...
orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini.
Katanya harus diserahkan pada Sultan...."
Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang
sudah dapat dipastikan adalah sepucuk surat, lalu
memandang ke arah Sultan.
"Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sultan.
Perwira Brajanala segera membuka gulungan
kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia memba-
ca tulisan yang tertera di atas kertas keras-keras.
Prawoto, Tak ada rasa hormatku untuk menyebut mu se-
bagai Sultan. Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku akan segera kau terima
balasannya. Kau akan
menghadapi Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak main-main, aku sampaikan
satu hadiah yang membuatmu tidak bisa tidur nyenyak.
Arya Penangsang
Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri
dari kursi, mengambil surat yang dipegang Perwira
Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-
robeknya. "Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara lantang. Ketika kau membawa jenazah
Pangeran Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap
satu malam di sana. Menurutmu kau berhasil mere-
dam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta
Mantre Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang
terjadi! Jahanam anak pemberontak itu membunuh
Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku!
Keji biadab!"
"Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat
menduga apa yang terjadi Pada saat saya berada di
sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda akan melakukan sesuatu. Bahkan dia
sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke perba-
tasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada yang menghasutnya..."
Brajanala memanggil pengawal, menyuruh ba-
wa Tunggul Kebuti dan menjebloskan petani malang
itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata.
"Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasukan. Dua hari di muka kita serbu
Welahan untuk me-
nangkap Arya Penangsang hidup atau mati!"
"Mengapa musti menunggu sampai dua hari"
Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukan-
mu sudah bergerak! Namun ingat satu hal. Hindari ja-
tuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang
kita cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana
dan kaki tangannya."
"Kalau itu perintah Sultan saya akan segera la-
kukan," kata Perwira Brajanala.
"Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpul-
kan sahabatmu para tokoh persilatan untuk berga-
bung dengan pasukan Demak. Aku yakin
Arya Penangsang tidak sendirian. Aku menyirap
kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus
terdiri dari para tokoh rimba persilatan."
"Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk.
"Saya dan Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesua-
tu yang diperlukan. Kami berdua mohon diri."
"Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwi-ra Brajanala biar tetap di sini
dulu. Aku perlu membicarakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton
Demak." Semua orang yang berada di tempat itu kecuali
Perwira Brajanala meninggalkan ruangan. Setelah
tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata.
"Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja
memintamu untuk memperhatikan pengamanan Kota-
raja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada sa-
tu hal lain yang perlu akan dibicarakan denganmu.
Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat kalau kukatakan
mencurigakan..."
"Jika saya boleh mengetahui yang Sultan mak-
sudkan," ujar Brajanala.
"Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia men-
gantar jenazah Pangeran Tua ke Welahan, dan juga tu-
rut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak
mengetahui siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa
tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih dikirimkannya ke
sini" Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem
Sleman telah menceritakan kejadian yang sesungguh-
nya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa Perwira Muda
itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda
Lepen." "Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali ji-ka Sultan memerintahkan
untuk menyelidiki," kata Brajanala pula.
"Itu memang yang aku inginkan. Aku perintah-
kan agar kau melakukan penyelidikan. Selain itu
memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa saja yang dihubunginya.
Beri tahu padaku segera jika kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi, harap
perhatikan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Ke-
mitir. Dia sangat dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa tahu ada hubungan yang
tidak terduga antara dua
orang itu."
"Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala lalu membungkuk, kemudian bergegas
Perwira Tinggi Demak ini meninggalkan tempat itu.
Setelah berada sendiri di ruangan itu Sultan
Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembica-
raannya dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan
Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono membicarakan
tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan
terselubung antara beberapa tokoh dalam Keraton
Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem Sleman.
Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya
sendirian menghadapi kelompok Ki Dalem Sleman. Ki
Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan
diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian ter-
betik kabar bahwa orang tua itu telah dituduh mencuri salah satu pusaka Keraton
yakni bendera keramat
bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan
Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman
dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro
Gusti Bendoro. Namun setelah sekian lama berlalu Ki
Suro tak kunjung berhasil ditemukan.
* * * 18 BANJIR DARAH MALAM itu udara terasa dingin sekali karena
sorenya hujan lebat turun mengguyur Kotaraja. Di luar tembok Keraton, puluhan
prajurit terdiri dari empat
kelompok besar melakukan penjagaan dan perondaan
ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi. Bukan saja para pengawal yang melakukan
penjagaan, tetapi beberapa
tokoh silat Istana kelihatan turut bertugas mengamankan Keraton, menjaga
keselamatan Sultan serta ke-
luarganya. Lewat tengah malam dinginnya udara bukan
kepalang. Banyak pengawal Keraton menjalankan tu-
gas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan sekitar Keraton tampak aman
walau diselimuti kesu-
nyian. Saat itulah di sudut timur kelihatan ada kabut mengambang. Kabut yang
sama kemudian muncul di
ujung barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan akhirnya menyusul di
sebelah utara. Perlahan-lahan
kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu berge-
rak ke arah bangunan Keraton.
"Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas mengawal di bagian timur
Keraton. "Belasan tahun bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada
kabut sekitar Keraton..."
"Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat
bukan main. Udara dingin luar biasa. Kalau kemudian
muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan
prajurit tua yang berdiri di sampingnya.
Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar
bukan saja ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman luas dimana para pengawal
lapisan ketiga bertugas.
"Ini baru aneh," berkata pengawal di samping prajurit tua. "Tidak biasanya aku
mengantuk. Heran, mataku terasa berat..."
"Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi hukuman berat," kata prajurit
tua pula. Tapi habis berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya terasa
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepa-
lanya terasa berat. "Kurasa aku sudah ketularan dirimu, ikut-ikutan
mengantuk..." Prajurit tua itu berucap lalu berpaling pada kawannya. Tapi sang
kawan ternyata sudah menjelepok di tanah, bersandar ke tem-
bok halaman Keraton, tertidur pulas!
"Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana
nanti kalau sudah setua usiaku! Hai, bangun!" Prajurit tua itu pergunakan
kakinya menggoyang paha temannya. Tapi dia sendiri kemudian merasa lemas, berpe-
gangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit tua ini jatuh dekat temannya,
melosoh di tanah, entah pingsan entah tidur!
Di bagian lain halaman Keraton, untuk mela-
wan udara dingin, seorang prajurit menghidupkan se-
batang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap
ke atas. Prajurit ini terkejut, serta merta mencampakkan rokoknya ke tanah lalu
lari ke arah rumah jaga di sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak
ada lima sampai tujuh pengawal sementara yang lain-lainnya berkeliling seputar
halaman. Kejut prajurit ini
bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah ja-
ga, ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan
tumpang tindih di lantai. Di goyang-goyangnya tubuh
enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak.
Mati" Di dekapkannya telinganya ke dada beberapa
orang prajurit. Ada degup jantung. Berarti tidak mati.
Lalu pingsan" prajurit satu ini segera berdiri. Memandang ke arah wuwungan
Keraton. Seperti tadi dia me-
lihat ada bayangan orang bergerak di atas atap bangunan. Tadi cuma dua orang.
Kini malah dilihatnya ada empat orang!
"Aku harus memberi tahu kepala pengawal.
Aku harus segera melapor ke dalam Keraton!" kata prajurit itu. Lalu dengan cepat
dia lari ke arah bangunan Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba
sebuah benda melesat di udara. Di lain kejap prajurit itu keluarkan keluhan
tinggi, pegangi anak panah yang menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah.
Tak selang berapa lama di atas atap Keraton
terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh suitan lain dari arah
selatan. Lalu terdengar lagi suitan-suitan nyaring dari tiga arah yakni utara,
barat dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar de-rap kaki kuda ke
arah pintu gerbang
Keraton, yang saat itu sudah berada dalam
keadaan terpentang lebar. Padahal biasanya pintu gerbang itu selalu berada dalam
keadaan tertutup. Entah siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh
pengawal yang bertugas di tempat itu telah bergeletakan tanpa sadarkan diri.
Dua belas penunggang kuda menembus pintu
gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng ber-
warna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu me-
reka tak bedanya kelihatan seperti setan gentayangan!
Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan pe-
nunggang kuda bertopeng muncul pula rombongan
penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan
jelas mereka adalah pasukan Kerajaan. Di depan sekali seorang Perwira Muda
sambil mencekal pedang berteriak memberi tahu anak buahnya.
"Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki
halaman Keraton! Lekas menyebar! Satu orang segera
mencari bantuan!"
Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin
prajurit itu segera menyebar. Satu orang memisahkan
diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun
maksudnya tidak kesampaian karena sesaat kemudian
sebatang panah menancap tepat di kuduknya, tembus
ke tenggorokannya!
Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dila-
kukan pengurungan. Dua belas penunggang kuda ber-
topeng putih terjepit di tengah-tengah.
Perwira Muda yang memimpin pasukan berte-
riak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan topeng di malam hari! Buka
topeng kalian dan lekas
serahkan diri!" Sambil membentak Perwira Muda itu menghunus senjatanya yaitu
sebilah golok panjang
berbentuk segi empat.
Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-
tih yang dikurung rapat angkat tangan kanannya ke
atas. Saat itu juga udara malam dipenuhi suara ber-
desing. "Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda.
Goloknya diputar di atas kepala,
"Traak....traak!" Dua anak panah yang diarahkan ke kepala dan dadanya patah lalu
mental ke uda- ra. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya enam orang anak buahnya
kena ditembus panah, jatuh terguling dari atas kuda masing-masing.
"Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbu
bertopeng putih memberi perintah. Dari sosok tubuh-
nya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertin-
dak selaku pimpinan orang-orang bertopeng.
Mendengar perintah itu, empat orang bergerak
maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tom-
bak besi yang bagian kepalanya diikat sehelai bendera segi tiga berwarna kuning.
Orang ini menyerbu ke arah Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhadapan
langsung dia tusukkan tombak besinya ke dada
lawan. "Traangg!"
Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira
Kerajaan menangkis dengan golok. Kejut Perwira ini
bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat
tangannya bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas
dan tangan kanannya terasa linu kesemutan. Sadar
kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di atasnya, sang Perwira
pelototi lawan dengan pandangan menyelidik. Dia memang tidak dapat melihat wa-
jah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa tombak di tangan lawan
rasa-rasa dia pernah melihat
sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak bisa ber-
pikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya
kembali dengan serangan tombak. Hanya beberapa ge-
brakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu ki-
rinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tubuhnya melayang di udara,
tombak besi menderu dan
craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai
ke punggung. Pada saat orang bertombak maju ke hadapan
Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut bergerak. Dua
bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan ko-
song. Lebih dari dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak berdaya. Semua menemui
ajal dalam waktu singkat.
Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memiliki
ilmu tinggi, tidak mudah untuk merobohkan belasan
prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu cepat.
Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpi-
nan kembali mengangkat tangan kanannya. Kali ini
tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Se-
habis memberi tanda orang tadi mendahului mengge-
brak kuda ke arah Keraton.
Saat itu di sekitar bangunan Keraton kabut
aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang
kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka
tangga batu. Lalu berpaling pada arah pengikut di belakangnya dan berkata.
"Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak
ingin bangsat itu menemui ajal dalam keadaan tidak
sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana
ngerinya kematian!"
Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-
tih yang mengenakan jubah hitam berambut panjang
awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak
maju ke depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia
melompat, tegak berdiri di atas punggung kudanya
sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan
sepasang mata. Dari mulut orang ini keluar suara racauan ha-
lus. Perlahan-lahan dua tangan yang dirangkapkan,
dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tan-
gan dan telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang memanggil. Terjadilah satu
hal luar biasa. Semua kabut yang mengambang di halaman dan sekitar bangu-
nan Keraton secara aneh bergerak ke arah tangan yang melambai lalu naik ke atas
kepala. Secara aneh pula
kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang
itu. Semakin cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua telapak tangannya, semakin
cepat pula kabut itu amblas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkat
semua kabut yang tadi memenuhi seantero tempat sir-
na tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di atas
kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia sudah duduk kembali di
punggung kudanya.
Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi
jadi pimpinan penyerbu mengangkat tangan sambil
berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur ma-
suk ke dalam Keraton!
* * * DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan
Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton oleh enam
orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri, anak-anak, dua saudara
sepupunya, seorang abdi da-lem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan sikap
berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas berada dalam ketakutan amat
sangat dan tiada hen-tinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai ke
ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Kera-
ton yang dipenuhi dengan tebaran mayat para pen-
gawal dan beberapa tokoh silat Istana.
Di ruang tengah Istana ada enam orang berto-
peng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda berke-
liaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari
bentuk tubuh, pakaian yang dikenakan atau senjata
yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui
beberapa di antara mereka.
"Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Ka-
lian membunuh orang-orang yang tak berdosa!" Sultan Prawoto yang tak dapat
menahan hatinya lagi berteriak marah. "Aku
perintahkan kalian untuk menyerah!"
Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu
meledak tawa bergelak di ruangan itu. Salah seorang
di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah
mendekati Sultan lalu membuka topeng putihnya.
Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus
begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana
kobaran api. "Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah per-
buatan jahatmu! Arya Penangsang! Atas nama Kera-
jaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!"
Orang yang barusan membuka topeng putih
ternyata adalah Arya Penangsang, pimpinan rombon-
gan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar
Seda Lepen. Wajahnya tampak garang, dipenuhi ku-
mis, cambang bawuk dan jenggot meranggas.
"Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang na-
manya Kerajaan Demak sudah tidak ada lagi! Yang
namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hi-
dup yang siap mampus! Kau sudah membaca suratku!
Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia!
Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung
segala dosa!"
Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang
hendak dilakukan oleh Arya Penangsang. Maka dia
berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan
diriku! Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut ba-
las kematian ayahmu, mari kita bertempur satu lawan
satu secara kesatria!"
Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan
mata lalu tertawa bergelak. "Di saat-saat malaikat maut hendak mengambil
nyawamu, kau masih bisa
bersyair menunjukkan jiwa kesatria palsu menutupi
kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin pertempu-
ran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!"
Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga
mengeluarkan suara keras. Seorang bertopeng segera
menghampirinya, menyerahkan sebuah benda ter-
bungkus kain putih. Dengan cepat Arya Penangsang
membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan ter-
nyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke
pertengahan berwarna hitam. Warna hitam ini adalah
noda darah yang telah mengering.
"Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh!
Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak
akan tergenang darah! Darah itu berpangkal dari Keraton ini! Kau menginginkan
pertempuran secara jantan!
Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu lawan satu!"
"Aku akan menghadapimu dengan tangan ko-
song! Silahkan menyerang!" jawab Sultan Prawoto pula sambil kertakkan rahang
sementara jerit tangis terdengar semakin menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali ku-
da-kuda yang ada di situ keluarkan suara ringkikan.
"Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus
secara pengecut! Jangan kira aku akan berbe-
las kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan teriakan dahsyat Arya
Penangsang melompat. Golok
besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su-
ara deru mengerikan.
Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk
anak-anaknya yang bertangisan. Kuda meringkik. Para
pelayan ikut berteriak.
Sultan Prawoto menghindar ke kiri sambil le-
paskan satu pukulan tangan kosong mengandung ha-
wa sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-
goyang dan sambaran goloknya tidak mengenai sasa-
ran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan ke-
ras. Tangan kirinya ikut bekerja melepas pukulan ja-
rak jauh untuk menahan serangan tangan kosong Sul-
tan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana cu-
rahan hujan. Berkiblat ganas mengerikan.
Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu.
Sosok Sultan Prawoto mencelat ke belakang.
Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari
tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit,
menghambur coba menghampiri. Namun seorang ber-
topeng putih menjambak rambutnya lalu melempar-
kannya hingga terguling di lantai.
* * *
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar be-
sar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang di bantai
bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan ter-sebar luas dengan cepat.
Rakyat bersedia namun tak
berani menunjukkan rasa berkabung terang-terangan.
Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap
masih mendukung Sultan yang lama akan dihabisi se-
cara semena-mena.
Dalam suasana seperti itu Arya Penangsang
mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan
Demak baru. Beberapa petinggi dan para tokoh silat
yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang lama di-
beri kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini
mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Hingga
mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat atau membantu Arya Penangsang
dalam peristiwa berdarah
di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek
Ular Si Lidah Bangkai. Tumenggung Pakubumi alias
Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok
Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Bra-
janala serta beberapa orang lainnya yang belum sem-
pat diketahui karena sengaja merahasiakan diri.
Selama satu hari mayat-mayat yang bergeleta-
kan di ruang tengah keraton sengaja dibiarkan begitu saja. Malah rakyat diminta
untuk menyaksikan kematian Sultan Prawoto dan keluarganya itu yang oleh
Arya Penangsang dianggap sebagai pengkhianat. Na-
mun tak seorangpun yang mau datang untuk menyak-
sikan. Rakyat sama maklum siapa sebenarnya yang
jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang
Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto mengadakan pertemuan
rahasia dipimpin oleh Adipati
Japara. * * * 19 PENCULIKAN DI PAGI BUTA
DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu,
di penghujung malam yang dingin, ketika kebanyakan
orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam
tidur nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari suaranya jelas yang mengaji
itu adalah seorang anak la-ki-laki. Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit
kecil pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara dua orang terlihat
membimbing kuda masing-masing.
Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu.
"Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya orang yang berjalan di sebelah
kanan. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sehitam arang.
"Cuma menangkap seorang bocah saja, apa
perlu senjata sakti itu?" jawab sang teman, seorang kakek berjubah kuning tebal.
Dua orang itu melangkah ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk.
Di sini keduanya berhenti dulu.
Yang berpakaian jubah kuning tebal berbisik
pada teman sebelahnya. "Kau mendengar suara orang mengaji?"
"Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam legam, berbadan besar kokoh.
"Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia
anak yang kita cari. Anak yang konon disebut-sebut
dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno."
"Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi
membacanya. Jadi sangkut paut si anak dengan kitab
itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-
benar ada" Jangan-jangan cuma karangan belaka.
Disampaikan dari mulut ke mulut hingga akhirnya
orang percaya kitab itu benar-benar ada."
"Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak per-
caya pada cerita Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug dan Tumenggung Pakubumi.
Dua diantara mereka
pernah berusaha merampas kitab itu dari tangan Ki
Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning. Tapi
gagal..." "Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari apa yang hendak kita
lakukan terhadapnya?" bertanya orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira
Kerajaan. Dia bukan lain adalah Brajanala yang kini men-
gabdi di bawah tahta Arya Penangsang Sultan Demak
yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa da-
lam waktu dekat dia akan diangkat menjadi Patih Ke-
rajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka banyak
ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Kera-
ton Demak sebagai imbal bantuannya menumbangkan
tahta Sultan Prawoto.
"Sesuai perintah Sultan Arya, anak itu harus
kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terha-
dapnya kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki Dalem Sleman.
"Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan,
Satu hal yang bagiku tidak masuk akal," ujar Brajanala. "Kalau memang dia
berbahaya, mengapa tidak dihabisi saja. Lemparkan ke jurang atau ke dalam sun-
gai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah menguru-
sinya?" "Sobatku, jangan berpikiran pendek. Pergunakan sedikit akalmu! Justru
anak inilah yang diduga
punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak
sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat
Keraton Kuno..."
"Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pekerjaan seperti ini seharusnya
tidak kita yang menangani. Cukup dua tiga orang prajurit saja."
"Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi semakin ku kaji persoalannya
semakin tertarik aku un-
tuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru juga punya jalan pikiran
sepertiku. Jika tidak ada apa-apanya, mana mungkin Sultan Arya menugasi kita
berdua." "Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat
yang aku dengar bukan anak Ki Suryo Pabelan..."
"Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah
dipelihara Ki Suryo sejak ke dua orang tuanya lenyap tak tentu rimbanya,"
menerangkan Ki Dalem Sleman.
"Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan masuk ke gubuk dan menculik anak
itu"!" tanya Perwira Tinggi Brajanala.
"Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan
keadaan sekeliling kita." berkata Ki Dalem Sleman.
Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya
melihat pepohonan, semak belukar dan kegelapan.
"Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata Perwira ini kemudian.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai
lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin terlalu
banyak hidup enak di Keraton...."
Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya
itu sang Perwira bertanya. "Apa maksudmu Ki Dalem?"
"Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap
gubuk," bisik Ki Dalem Sleman.
Mendengar ucapan orang, Brajanala segera pa-
lingkan kepala, memandang ke bagian atas gubuk ka-
jang atap rumbia.
"Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!"
Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut
kasar di dagunya. Di atas atap gubuk yang gelap, ternyata mendekam satu sosok
yang menghitam dalam
kegelapan. "Orang itu, siapapun dia adanya pasti punya niat sama dengan kita.
Hendak menculik anak
di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum
kedahuluan orang!"
"Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa
lagi"!" Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera keluar dari balik pohon.
Tapi sesaat langkah mereka
tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk menjebol atap lalu lenyap
masuk ke dalam gubuk! "Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala.
Saat itu bagian dalam gubuk yang tadinya diterangi
lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji
ikut lenyap! "Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap!
Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas
atap!" Tanpa banyak bicara Perwira Brajanala segera
melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini memiliki tubuh tinggi
besar. Atap gubuk yang terbuat dari rumbia lapuk itu mana mungkin menahan
tubuhnya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor bu-
rung enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mendekam menunggu waspada.
Ternyata Perwira Kerajaan
ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam maupun meringankan tubuh.
Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar
suara orang berkelahi disertai bentakan-bentakan ke-
ras. "Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!"
Itu adalah suara Ki Dalem Sleman.
Terdengar suara tawa bergelak.
"Maling berteriak penculik! Jika kau mau men-
gambil anak ini silakan saja!" Orang yang tertawa menjawab ucapan Ki Dalem
Sleman. Lalu... bukkk! Ter-
dengar suara beradunya dua pukulan Dua sosok sa-
ma-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding se-
belah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap
melesat keluar dari gubuk sambil memanggul sosok
seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun
yang berada keadaan tertotok.
Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem
Sleman mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang
berada di atas atap segera melesat turun ke bawah,
melakukan penghadangan.
Orang yang memanggul anak kecil di bahunya
tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek membawa kawan yang lebih jelek!
Ha...ha...ha! Walau kalian berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!"
"Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela,
kami tidak segan-segan membuatmu menjadi mayat
penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman.
Dia memberi isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini
segera menyerbu.
Waktu di dalam gubuk keadaan gelap setelah
lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak
kecil tidak bisa melihat jelas siapa adanya kakek berjubah kuning itu. Di luar
gubuk walaupun malam tapi
keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian
dan wajah si kakek berjubah kuning tebal, barulah
orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih lagi ketika dia juga mengenali orang ke
dua yang jadi pengeroyoknya.
"Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan
Demak. Perwira Tinggi Brajanala, sama busuknya den-
gan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat dalam urusan bocah ini"
Lawanku tidak enteng. Lebih
baik mencari jalan kabur dari pada membahayakan
keselamatan anak ini!"
Berpikir seperti itu, orang yang memboyong
anak kecil di bahunya segera melancarkan serangan
gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua
lawan berlaku lengah, dia akan serta merta kabur me-
larikan diri. Tetapi Ki Dalem Sleman dan Brajanala
yang punya segudang pengalaman mana bisa diper-
dayakan. Dari jurus gerakan orang, kedua tokoh Ista-
na Demak ini sudah bisa membaca apa yang hendak
dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman men-
genai siapa adanya si penculik anak. Kakek ini segera menegur dengan suara
lantang. "Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka,
jauh-jauh tinggal di Madura muncul di tanah Jawa jadi penculik bocah!"
Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si
penculik seorang kakek berpakaian biru gelap, memili-ki rambut, alis, kumis dan
janggut kelabu menyeringai lalu berbatuk-batuk.
"Kalian berdua, bukankah punya maksud sa-
ma" Hendak menculik anak ini" Cuma sayang aku
mendapatkannya lebih dulu!"
Habis berkata begitu kakek bernama Manding
Kalianget hentakkan kaki kanannya ke tanah. Bukit
kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan itu di tanah mencuat
kepulan asap hitam menutup
pemandangan. "Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu
kami!" teriak Brajanala.
"Mau lari kemana" Jalan lolos mu cuma satu!
Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki Dalem Sle-
man. Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Ka-
lianget memang lenyap tak kelihatan tertutup kepulan asap hitam. Tapi begitu dua
orang itu melesat tinggi ke udara, dari atas mereka segera melihat di mana
beradanya si penculik. Saat itu Datuk Manding Kalianget
telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali membuat lesatan, dua tokoh Istana
Demak ini berhasil mengha-
dang Manding Kalianget, membuat si penculik terkejut besar. Brajanala dan Ki
Dalem Sleman tidak member!
kesempatan lagi. Keduanya langsung menyerang. Per-
kelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus saja Datuk Manding
Kalianget mulai terdesak. Dengan
beban anak di atas bahu kiri yang harus disela-
matkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian
tinggi memang tidak mudah bagi Manding Kalianget.
Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini
cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru.
Senjata ini memiliki rongga hampa dan pada ujungnya
ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu berkelebat, menderu suara seperti
lengkingan angin puting beliung di malam buta!
Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan
tombak saktinya di pelana kuda. Gempuran clurit
Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya lak-
sana curahan hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di ujung clurit menyembur
asap hitam menebar bau aneh
pertanda mengandung racun jahat!
Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Braja-
nala. Perwira Tinggi Demak itu segera mencabut pe-
dangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung se-
rangan clurit lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman
menghantam dengan kebutkan ujung jubah kuning-
nya. Dua rangkum gelombang angin menderu meng-
hantam kepulan asap hitam beracun yang keluar dari
lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempu-
ran berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu
silat Datuk Manding Kalianget, bagaimanapun ganas
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan cluritnya namun dua lawan yang dihada-
pinya bukan sembarangan.
"Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan
anak itu atau kau memang ingin dibantai lebih dulu"!"
Ki Dalem Sleman berseru.
Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak
namun Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut.
Malah sambil tertawa dia berkata. "Kau terlalu banyak bicara! Jaga batang
lehermu!" "Wuuuttt!"
Sinar biru melesat di udara. Clurit besar mem-
babat ke arah perut Ki Dalem Sleman. Selagi kakek ini melompat mundur tiba-tiba
clurit di tangan lawan melesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki
Dalem Sleman tertipu! Untungnya Brajanala segera
melompat sambil sorongkan pedang.
"Traangg!"
Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan
suara berdentrangan dan percikan bunga api di udara.
Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan
senjata tadi membuat tangannya tergetar hebat dan
ada hawa panas menyerang telapak tangannya hingga
dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang
senjata. "Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nyawa, anak ini tak mungkin
kuselamatkan. Dua lawan
yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu
cara untuk menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal,
aku memilih mati bersama anak ini!"
Setelah membatin begitu rupa Manding Kalian-
get keluarkan seruan keras. Clurit di tangannya dibabatkan berputar membentuk
lingkaran. Selagi dua la-
wan bergerak menghindar Manding Kalianget perguna-
kan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari keting-
gian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tan-
gan kirinya ke bawah sambil mulutnya merapal sesua-
tu. Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba
melesat keluar satu bayangan besar hitam, memben-
tuk makhluk bermuka raksasa. Kejut Ki Dalem Sleman
dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Kedua-
nya memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi jelas-jelas mengenai makhluk besar hitam itu.
Tapi seperti membal, dua
pukulan itu berbalik kembali, malah menghantam ke
arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman.
"Bummm! Bummm!"
Tanah terbongkar membentuk dua lobang be-
sar. Untungnya dua tokoh Istana itu masih sempat se-
lamatkan diri. Brajanala berdiri dengan muka agak pucat.
Tangannya yang memegang pedang terasa bergetar.
"Perwira, kau gempur kakek jahanam itu den-
gan pedangmu. Aku akan menggasak makhluk jeja-
dian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat ping-
gang jubahnya yang terbuat dari gulungan kawat len-
tur berlapis kain kuning. Dengan kesaktiannya ikat
pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak,
cemeti atau tali penjirat.
Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala
segera keluarkan jurus-jurus maut ilmu pedangnya.
Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding
Kalianget sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clurit untuk menghadapi pedang
lawan. Kakek ini cepat-
cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk
menyerang Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang
kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai ambil pera-
nan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-
turut, menusuk ke lambung makhluk hitam, lalu ber-
kelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding Kalianget tersentak kaget ketika
melihat satu kali bergerak saja lawan telah mampu menjirat leher makhluk hitam
besar jejadian. Dia segera merapal habis-habisan. Tapi tak ada gunanya. Makhluk
jejadian hitam besar keluarkan suara menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah
tali kuning yang masih menjulai panjang tiba-tiba
menggelung ke arah lehernya!
Manding Kalianget gerakkan tangan yang me-
megang clurit untuk menabas tali kuning tapi senja-
tanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya.
Lidah tokoh silat dari Madura ini mulai terjulur keluar.
Ludah membusah. Matanya mendelik merah. Jiratan
tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak
ada kemungkinan lagi baginya untuk selamatkan diri
dari kematian. "Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membu-
nuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan anak ini hi-
dup-hidup!"
Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget
gebukkan tinju kanannya ke batok kepala si bocah di
bahu kirinya! * * * BERSAMBUNG KE BAGIAN - 5
KUNGFU SABLENG PENDEKAR SPIRITUS
1 PEMUDA she Ngak berlutut di samping tubuh
gurunya yang tergelimpang penuh luka bekas bacokan.
Orang tua berusia 99 tahun lewat 13 hari itu tengah
sekarat meregang nyawa. Sulit sekali baginya men-
gumpulkan sisa tenaga yang ada agar dapat membuka
mulutnya yang kempot dan ompong.
"Muridku Ngak Ngik Ngok... Rohku bakal tidak
tenteram di alam akhirat sebelum kau membalas sakit
hati kematianku...."
"Suhu..." suara sang murid tersendat menahan isak. "Siapa yang melakukan
perbuatan durjana ini"!"
"Manusianya she Tong. Bernama Bo Long.
Dia... dia dikenal dengan julukan Pendekar Bop karena mukanya bopeng. Kau harus
cari dia dan ambil nyawanya penebus nyawaku!"
"Suhu, aku muridmu Ngak Ngik Ngok bersum-
pah akan mencari dan membunuh manusia bernama
Tong Bo Long itu sampai ke laut yang tidak ada airnya
sekalipun! Bahkan sampai ke Planet Crypton bekas
kontrakannya Superman..."
"Bagus, aku gembira mendengar kata-katamu
itu. Tapi ingat, jangan sampai mencari manusia itu ke Planet Senen. Karena
disitu banyak WTS, copet, jamb-ret dan tukang todong..."
"Terima kasih atas petunjuk suhu..."
"Ngik Ngok, ajal ku sudah dekat. Rasanya su-
dah di depan hidung. Lekas ambilkan dot-ku. Aku mau
menghisapnya, agar bisa menghadap Thian dengan te-
nang." Mendengar ucapan gurunya Ngak Ngik Ngok mengambil sebuah dot bayi yang
terletak di atas meja kecil lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam mulut
gurunya. Terkempot-kempot sang guru hisap dot itu
beberapa kali. Kemudian mulutnya tak bergerak lagi.
Sepasang matanya mendelik kosong. Orang tua ini
menghembuskan nafas terakhir sambil nyengir!
Ngak Ngik Ngok menangis tanpa suara. Ketika
dia keluar rumah untuk memberi tahu tetangga terde-
kat atas kematian gurunya itu, mendadak pandangan-
nya membentur secarik kain putih, menempel di pintu.
Dia terkejut dan heran. Karena sebelumnya kain putih itu tidak ada di tempat
itu! Di atas kain tertera gambar tengkorak bopeng.
Lalu di bawah gambar tengkorak itu ada tulisan ber-
bunyi: "Jika kau memang pendekar sejati, bukan wa-dam kalengan, ingin menuntut
balas kematian kau
punya guru, datanglah ke puncak gunung Labu Putih.
Tapi jangan lupa membawa nyawa serep karena sekali
kau sampai di puncak gunung kau tak bakal bisa
mundur atau atret. Tertanda Pendekar Bop."
"Keparat sialan!" maki Ngak Ngik Ngok seraya membetot robek kain putih di pintu,
mengucalnya, membantingnya ke lantai, diludahi lalu diinjak-injak.
Masih belum puas dia songgengkan pantatnya dan
brut! Kain bergambar tengkorak bopeng itu dikentu-
tinya. Sambil kepalkan tinju Ngak Ngik Ngok berkata.
"Tong Bo Long! Kau tunggu pembalasanku! Isi perutmu akan aku korek habis agar
kau jadi tong bolong
benaran! Pendekar Bop! Mukamu akan aku cucuk
dengan seribu totokan agar tambah bopeng!"
* * * 2 GUNUNG Labu Putih cukup jauh letaknya.
Dengan mengerahkan ilmu lari warisan gurunya yang
bernama "Di atas angin membonceng awan" tiga hari kemudian, di satu siang
mendung sampailah pemuda
Ngak Ngik Ngok di gunung Labu Putih.
Kira-kira setengah lie menjelang puncak gu-
nung, Ngak Ngik Ngok melihat ribuan buah labu putih
berhamparan menutupi tanah pegunungan. Buah labu
ini aneh sekali. Selain warnanya yang putih, bentuk-
nya hampir menyerupai payudara wanita. Ngak Ngik
Ngok tak habis pikir. Dari mana datangnya labu aneh
begini banyak, siapa yang menanam dan memeliha-
ranya" Tepat di puncak gunung terlihat satu pondok
kayu. Kira-kira berada dua tombak dari hadapan ban-
gunan ini. tiba-tiba pintu pondok terbuka dan keluarlah sesosok tubuh yang
membuat Ngak Ngik Ngok ter-
perangah kaget campur heran.
Di hadapan Ngak Ngik Ngok saat itu berdiri
seorang perempuan super ultra gemuk bermuka bo-
peng. Pakaiannya hanya sehelai celana bikini dan ku-
tang sangat besar tapi masih tidak sanggup mem-
bungkus buah dadanya yang dua kali lebih besar.
Rambutnya disanggul tinggi ke atas, ditancapi sumpit hitam. Pada pinggang
kirinya terselip sepasang pedang. Sepasang kakinya mengenakan sepatu bot ber-
hak tinggi warna hitam selutut.
Dua mata Ngik Ngok memandang tak berkesip,
terutama pada payudara yang menggelembung luar bi-
asa besarnya itu.
"Tak pernah kuduga," membatin Ngik Ngok.
"Musuh besar pembunuh guruku yang berjuluk Pen-
dekar Bop ini ternyata adalah seorang perempuan!"
Pendekar Bop yang bernama asli Tong Bo Long
sunggingkan senyum sinis. "Pemuda kuaci yang masih bau kencur! Akhirnya kau
sampai juga di puncak gunung Labu Putih. Seperti yang aku ada pesan, apakah
kau datang lengkap membawa nyawa serep?"
Ngak Ngik Ngok balas menyeringai.
"Perempuan gembrot muka bopeng! Aku me-
mang tidak membawa nyawa cadangan. Bagaimana
kalau aku pinjam dulu nyawa busukmu"!"
Mendengar ucapan si pemuda Pendekar Bop
bukannya marah, malah tertawa gelak-gelak hingga
dadanya yang besar kelihatan seolah berjingkrak-
jingkrak. "Tidak kusangka kadal jelek macammu pandai
juga bicara! Hik...hik! Apa kau sudah siap menghadapi kematian"!"
"Perempuan bermuka simpang siur! Urusan
nyawa manusia adalah Thian punya urusan. Yang je-
las guruku sudah menunggu kedatanganmu di pintu
akherat! Hari ini aku akan balaskan sakit hati dendam kesumat kematian guruku!"
"Kurang ajar! Berani kau mengatakan mukaku
simpang siur! Memangnya wajahku sama dengan per-
simpangan jalan yang macet total karena lampu lalu
lintasnya mati dan polisinya sembunyikan diri"!"
Dua orang yang tidak dapat menahan kemara-
han masing-masing segera berbaku hantam. Ngak Ngik
Ngok mencabut senjatanya sebilah golok tipis. Sedang Pendekar Bop loloskan
pedang di pinggang. Tanpa banyak cerita lagi pertempuran hebat berkecamuk di
puncak gunung Labu Putih itu.
Ngak Ngik Ngok berkelebat gesit. Serangannya
datang bertubi-tubi. Sebaliknya Pendekar Bop yang
bertubuh gemuk kelihatan lamban. Namun bagaima-
napun Ngak Ngik Ngok berusaha menumbangkan la-
wannya malah keadaan jadi terbalik. Entah ilmu pe-
dang apa yang dimiliki perempuan gembrot itu. Yang
jelas Ngak Ngik Ngok bukan saja tidak mampu menci-
derai lawan malah bajunya berhasil dibikin robek
ujung pedang lawan dan kulit tubuhnya tergores luka
di beberapa tempat. Ngak Ngik Ngok menggigit bibir
menahan amarah dan rasa sakit.
* * * 3 "PEMUDA kuaci! Sekarang kau baru tahu rasa!
Sebentar lagi kepalamu kubikin menggelinding. Kau
bakal menghadap setan akhirat dan bertemu gurumu!
Hik...hik...hik!"
"Perempuan gila! Aku belum kalah!" teriak Ngak Ngik Ngok. Dia bacokkan goloknya
ke arah batok kepala lawan. Pendekar Bop menangkis dengan pedangnya.
"Trang!"
Dua senjata bentrokan di udara memercikkan
bunga api. Ngak Ngik Ngok tersurut dua langkah. Tan-
gannya bergetar hebat dan wajahnya tampak pucat!
Pendekar Bop kembali tertawa bergelak.
"Pemuda dungu! Kau boleh punya sepuluh ke-
pala dua puluh tangan dua puluh golok! Tapi jangan
mimpi bisa mengalahkanku! Ajalmu hanya tinggal be-
berapa hitungan saja. Tapi aku tuan besarmu ini ber-
sedia mengampuni selembar nyawamu jika kau mau
berlutut minta ampun lalu berjanji untuk mau mencu-
ci kutang serta celana dalamku dan menemaniku di
atas ranjang selama tujuh puluh hari tujuh puluh ma-
lam! Hik...hik! Apa jawabanmu"!"
"Perempuan mesum! Kau kira aku ini jongos
mu atau kau anggap aku ini Pendekar Playboy"!" bentak Ngak Ngik Ngok. "Aku rela
mati dari pada hidup terhina!"
"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mam-
pus!" Pendekar Bop lalu kirimkan serangan gencar. Ketika dua senjata beradu
untuk kesekian kalinya si gemuk ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya.
Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Golok tipis di tangan Ngak Ngik Ngok terlepas mental.
"Celaka!" keluh Ngak Ngik Ngok. Tong Bo Long alias Pendekar Bop tertawa
bergelak. "Ajalmu sudah ti-ba pemuda tolol!"
"Mana mungkin! Kepalamu yang bakal pecah!"
jawab Ngak Ngik Ngok. Mendadak saja dia dapat akal.
"Paman guruku yang berjuluk Pendekar Pulang Pagi Pie Koen siap membokongmu dari
belakang! Satu langkah saja kau berani bergerak, kepalamu akan di-
pukulnya hancur! Paman guru, bunuh perempuan
durjana ini!"
Pendekar Bop Tong Bo Long sesaat jadi terke-
siap. Dia memang pernah mendengar nama Pie Koen
sebagai pendekar cabang atas yang mendapat julukan
Pendekar Pulang Pagi. Di antara para tokoh silat yang dianggap jadi dedengkot
dan disegani karena ilmunya
yang tinggi adalah manusia satu ini. Mau tak mau
Pendekar Bop jadi terkejut juga mendengar ucapan la-
wan yang mengatakan Pie Koen adalah paman gu-
runya dan saat itu berada di belakangnya! Namun se-
saat hati kecilnya meragu. Mungkin saja lawan hendak menipunya.
Ngak Ngik Ngok rupanya tahu apa yang ada da-
lam benak si gemuk. Maka dia kembali berteriak. "Paman guru! Tunggu apa lagi!
Hancurkan kepala iblis
bopeng ini! Dia telah membunuh suhu!"
Mau tak mau Pendekar Bop palingkan kepala
juga ke belakang. Dia kena tertipu! Ternyata di belakangnya memang tidak ada
siapa-siapa! "Setan alas! Kau berani menipuku! Jangan ha-
rap kau bisa lolos dari kematian!"
Tong Bo Long tidak selesaikan ucapannya ka-
rena ketika dia berpaling ke depan kembali, Ngak Ngik Ngok sudah lenyap dari
tempat itu. Sadar kalau dirinya memang sudah kena ditipu si gendut ini hanya
bisa memaki panjang pendek! Setelah puas mengelua-
rkan kutuk serapah, Pendekar Bop keluarkan satu ko-
tak kecil yang diselipkannya di balik kutang. Ternyata kotak alat kecantikan
merek Rev Long, lengkap dengan kacanya. Dengan sikap genit Pendekar Bop mulai
me-rapikan dandanannya yang kacau balau berlepotan ke-
ringat. * * * 4 NGAK NGIK NGOK sakit hati dan sedih bukan
main karena tidak dapat membalaskan dendam kesu-
mat kematian gurunya. Dalam menuruni gunung Labu
Putih dia tidak tahu lagi entah menuju kemana. Ketika pada akhirnya dia
menghentikan Sari dan berjalan biasa didapatinya dirinya berada di sebuah desa
berna- ma Spie Ing Rie Tus. Hampir keseluruhan penduduk
desa ini mempunyai mata pencaharian sebagai pem-
buat spiritus. Cairan ini bukan saja untuk dijual tapi juga dijadikan minuman
sehari-hari oleh penduduk,
pengganti arak yang mahal harganya. Konon spiritus
keluaran desa Spie Ing Rie Tus ini sangat tinggi kadar alkoholnya dan merupakan
merek nomor satu di daratan Tionggoan (daratan Tiongkok)
Ngik Ngok sampai di hadapan sebuah kedai. Le-
tih dan haus membuat dia arahkan langkahnya ke ke-
dai ini. Dia memesan segelas teh dan menjadi heran
ketika orang kedai dan para tetamu mentertawainya.
"Kau pasti orang asing!" kata pemilik kedai.
"Ketahuilah, di desa ini satu-satunya minuman yang ada hanyalah spiritus. Jangan
harapkan segelas teh,
apalagi susu atau arak! Kau cobalah spiritus desa Spie Ing. Rasanya lebih sedap
dari arak Shantung!"
Mula-mula Ngik Ngok hendak jengkel tapi keti-
ka dia memandang berkeliling dilihatnya semua tamu
memang memesan dan minum spiritus yang berwarna
biru berkilauan. Mau tak mau akhirnya pemuda ini
anggukkan kepala. Tapi ketika pertama kali minuman
itu diteguknya, dia menjerit dan terlonjak dari bangku.
Mulutnya seperti disulut api. Spiritus dalam mulutnya disemburkan keluar.
Mukanya merah padam. Semua
orang mentertawainya. Karena kesal Ngak Ngik Ngok
duduk memencilkan diri di satu sudut kedai.
Duduk sendirian kembali Ngik Ngok ingat pada
musuh besarnya si Pendekar Bop. Lama dia terme-
nung memikirkan bagaimana caranya menghadapi dan
mengalahkan pembunuh suhunya itu. Dalam keadaan
seperti itu tidak sengaja matanya melihat seekor anjing kampung sedang kencing
di bawah pohon. Binatang
ini tidak tahu kalau didekat pohon tersebut ada seekor kodok sedang mangkal.
Begitu sekujur tubuhnya terkena siraman air kencing hangat dan bau, sang kodok
menggelepar megap-megap lalu lari pontang-panting.
Ngak Ngik Ngok tertawa sendirian. Tiba-tiba sa-
tu akal menyelinap masuk ke dalam benaknya. Mu-
suhnya si Tong Bo Long alias Pendekar Bop walau
memiliki gerakan lamban namun ilmu pedangnya he-
bat luar biasa. Jika dia bisa mengacaukan perhatian
lawan bukan mustahil dia bisa mempecundangi si ge-
muk itu. Ngak Ngik Ngok terus merenung. Kemudian
dia bangkit berdiri. Dia mendekati pemilik kedai. Sambil menyerahkan sejumlah
uang dia berkata.
"Berikan aku lima buli spiritus!" (buli = sema-cam kendi tanah berbentuk botol
kuno) Tentu saja pemilik kedai dan orang-orang yang
ada di situ heran semua. Tadi mereka saksikan sendiri pemuda itu menyemburkan
spiritus yang dicicipinya.
Dia hampir kelojotan. Kini malah memesan lima buli
sekaligus! * * * 5 SANG surya muncul di ufuk timur tepat pada
saat Ngak Ngik Ngok sampai di puncak gunung Labu
Putih. Begitu sampai di hadapan pondok langsung saja dia tendang daun pintu
sambil berteriak.
"Pendekar Bopeng perempuan keparat! Lekas
keluar! Aku datang kembali untuk minta nyawamu!"
Saat itu si gemuk Tong Bo Long masih tertidur
pulas dan mendengkur keras. Suara dengkurannya
putus. Matanya terbuka dan tubuhnya yang gembrot
duduk di atas ranjang. Tangannya cepat menyambar
kutang ukuran raksasa, bikini antik dan sepatu bot.
Tak ketinggalan kotak kecil berisi alat kecantikan. Setelah mengenakan kutang
dan bikini serta sepatunya,
Pendekar Bop melompat keluar.
"Setan alas kurang ajar! Kau berani merusak
pintu istanaku! Kau kembali ke sini minta mampus
atau memang kangen dan ingat-ingat diriku!
Hemm...Jangan-jangan kau termimpi-mimpi dan kebe-
let mau tidur denganku! Hik...hik...hik!" Sambil tertawa Pendekar Bop cepat
merias wajahnya.
"Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya
dandan. Tapi tak jadi apa. Memang harus begitu su-
paya setan neraka tidak pangling padamu!" kata Ngak Ngik Ngok pula.
Pendekar Bop selipkan kotak alat kecantikan-
nya di balik kutang lalu tanpa banyak cerita lagi dia segera hunus pedang dan
menerjang pemuda di hadapannya. Ngak Ngik Ngok sudah pula menyiapkan golok
tipisnya. Hanya kali ini tangan kirinya berbarengan
mengambil satu dari lima buli-buli spiritus yang bergelantungan di pinggangnya
lalu meneguk isinya. Den-
gan mulut gembung penuh spiritus dia hadapi seran-
gan Pendekar Bop.
"Pemuda keparat! Kali ini jangan harap aku
mau memberi hati ataupun tulang padamu!" Pedang Pendekar Bop berkiblat.
Pertempuran seru berkecamuk. Dalam tiga jurus saja Ngak Ngik Ngok sudah ter-
desak. Pendekar Bop terus menggebrak sambil lontar-
kan seringai sinis. Ujung pedangnya bertabur me-
nyambar ganas. Dia yakin paling lama dua jurus di-
muka akan sanggup membantai si pemuda. Tiba-tiba
tidak disangka-sangka mulut gembung Ngak Ngik Ngok
menyembur. Cairan spiritus menderu menghantam
muka bopeng Pendekar Bop.
Perempuan gemuk berdandan tebal itu tidak
menyangka akan mendapat serangan begitu rupa. Un-
tung saja dia berlaku waspada. Namun walaupun mu-
kanya selamat, cipratan spiritus masih sempat menge-
nai dadanya. Tak urung kutang besarnya menjadi ber-
lubang-lubang dan payudaranya seperti ditusuk-tusuk
jarum! Menggelegaklah amarah Pendekar Bop. Didahu-
lui satu pekikan keras seperti pekik penyanyi yang ke-setanan di disko "Le Go
Yang" dia putar pedangnya dengan sebat hingga saat itu juga sekujur tubuh lawan
terkurung sambaran senjata tajam itu.
Namun kali ini Ngak Ngik Ngok berhasil mem-
babat putus salah satu tali kutang lawan. Pendekar
Bop terpekik. Dia cepat pergunakan tangan kiri untuk menunjang dan menutupi
dadanya yang melorot turun
ke bawah seperti kelapa menggelantung. Namun na-
sibnya rupanya sudah sampai pada saat menentukan.
Sambaran berikutnya memutus tali kutang yang satu
lagi! "Jahanam keparat! Kau berani menghinaku!
Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!"
Pedang di tangan Pendekar Bop berkiblat ga-
nas. Tapi semburan spiritus dari mulut lawan mem-
buat gerakannya tertahan.
"Lihat celana!" Ngak Ngik Ngok berseru. Lalu goloknya menyambar ke bawah. Tali
celana bikini Pen-
dekar Bop putus! Kembali si gemuk ini menjerit. Ketika dengan kalap dia coba
mengejar lawan dengan pedangnya, Ngak Ngik Ngok babatkan lagi senjatanya
dan menyembur dengan spiritus. Pendekar Bop terpe-
kik. Luka besar menguak di perutnya yang gendut ber-
lemak. Darah mengucur!
"Oh bikini ku! Kubeli mahal-mahal di Paris. Ro-
bek... kau merobeknya....! "Pendekar Bop bukan khawatirkan luka di perutnya tapi
malah lebih mengkha-
watirkan bikininya yang robek dimakan ujung golok!
"Dasar perempuan otak miring!" kata Ngak Ngik Ngok. Selagi lawan kalang kabut goloknya kembali
membabat. Jeritan mengenaskan keluar berulang kali
dari mulut Pendekar Bop, Tubuhnya yang gemuk ak-
hirnya tergelimpang bergedabukan di depan pondok. Si gemuk ini menemui ajal
dengan mata mendelik dan
dua tangan memegangi bikininya.
Ngak Ngik Ngok jatuhkan diri berlutut. Terbata-
bata dia berkata.
"Suhu, sakit hatimu sudah murid balaskan!
Pembunuh mu telah aku habisi! Ternyata murid tidak
perlu susah-susah harus pergi ke Planet Crypton atau ke Planet Senen.. Juga
tidak perlu mengarungi lautan luas yang penuh dengan pukat harimau. Tidak perlu
memasuki hutan belantara yang kayu-kayunya sudah
pada habis di trondoli orang-orang kota. Hari ini murid sudah bunuh Pendekar Bop
Tong Bo Long. Semoga
arwah suhu kini bisa tenteram di alam baka!"
Ngak Ngik Ngok manggut-manggut tujuh kali
lalu bangkit berdiri dan tinggalkan puncak gunung La-bu Putih. Sejak itu dia
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Spiritus.
T A M A T E-Book by Abu Keisel Si Pedang Tumpul 3 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas 4 Warriors Karya Wen Rui An Telapak Kematian 1