Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 13

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 13


Kemudian Raden Ranggapun berkata pula, "Mudah-mudahan ibu Ki Demangpun akan selalu sehat. Akupun berharap agar adik Ki Demang itu cepat sembuh luka-luka bakar dipipinya."
Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih segera meninggalkan Kademangan Sempulur. Namun keduanya tidak ingin meninggalkan Kademangan ini terlalu jauh. Mereka sebenarnya masih akan berada di sekitar Kademangan itu untuk beberapa saat.
Namun sepeninggal Raden Rangga dan Glagah Putih, maka telah tersebar berita, bahwa kedua anak muda itu yang seorang adalah Putera Panembahan Senapati di Mataram sedang yang seorang lagi adalah adik sepupu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh.
Berita itu telah diterima dengan perasaan kagum oleh orang-orang Kademangan Sempulur. Mereka merasa kecewa bahwa mereka mengetahui hal itu setelah kedua orang anak muda itu meninggalkan Kademangan.
"Kita tidak sempat memperhatikan kedua anak muda itu secara khusus, terutama putera Panembahan Senapati." berkata anak-anak muda Kademangan Sempulur.
Yang merasa paling kehilangan adalah anak Ki Demang. Ia baru saja merasa mendapat kawan yang akrab dan sekaligus kawan yang akan banyak memberikan petunjuk kepadanya. Namun dalam waktu yang pendek kawan-kawan yang akrab itu harus pergi dengan tergesa-gesa.
Namun ia sudah mendapat beberapa petunjuk permulaan sebagai persiapan untuk mempelajari olah kanuragan. Meskipun petunjuk itu sekedar persiapan, tetapi anak Ki Demang itu berniat untuk melakukannya. Sebelum ia memasuki latihan-latihan yang sebenarnya, maka ia merasa wajib mempersiapkan tubuhnya untuk melakukan langkah pertama menuju ke arah penuntutan ilmu itu sendiri.
Karena itulah, maka anak Ki Demang itu dihari-hari berikutnya telah pergi ke sungai, ditempat yang tidak banyak dikunjungi orang, Ia berusaha untuk meningkatkan ketrampilan kaki dan tangannya, bahkan berusaha untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanannya. Hampir setiap hari ia telah memerlukan waktu untuk berloncatan dari atas batu kebatu yang lain disungai yang sepi serta memperkuat kemampuan jari-jari tangannya dengan bermain-main pada pasir tepian.
Dihari-hari pertama, beberapa kali anak Ki Demang itu tergelincir dan jatuh kedalam air. Tetapi ia tidak menjadi jera. Ia mengulangi dan mengulanginya lagi. Bahkan sehari kadang-kadang lebih dari sekali.
Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berada diluar Kademangan Sempulur. Namun sebenarnyalah keduanya masih belum meninggalkan Kademangan itu. Mereka masih mengamati Kademangan itu dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Meskipun mereka sudah meninggalkan kesan, bahwa semua tanggung jawab terletak pada Raden Rangga dan Glagah Putih, namun mereka masih juga menganggap bahwa kemungkinan lain masih akan dapat terjadi. Jika orang-orang yang mendendam itu tidak bersifat jantan, maka mereka akan dapat berbuat terlalu buruk.
Namun untuk beberapa saat, di Kademangan Sempulur tidak terjadi sesuatu. Bahkan beberapa orang telah hampir melupakan yang pernah terjadi. Tetapi Ki Jagabaya masih tetap menempatkan adik Ki Demang disebuah ruang tahanan karena Ki Demang yang masih sakit belum dapat memberikan keputusan apapun juga. Tetapi adik Ki Demang itu sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah menerima keadaannya dengan ikhlas.
Namun dalam pada itu, luka bakar dipipinya sudah menjadi kering meskipun masih nampak bekasnya dengan jelas. Demikian juga luka pada tangannya dan pada tangan pengawal yang disentuh oleh jari Raden Rangga dan orang yang masih tetap belum dikenal dengan pasti itu.
Ki Demang sendiri memang sudah berangsur baik sehingga ia sudah dapat bangkit dari pembaringannya. Berjalan-jalan dihalaman dan melakukan pembicaraan-pembicaraan pendek dengan Ki Jagabaya serta para bebahu yang lain. Tetapi Ki Demang masih belum dapat melakukan tugasnya sepenuhnya.
Karena itu, iapun masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan persoalan adik kandungnya. Namun Ki Demang sudah mendengar apa yang dilakukan oleh adiknya. Ki Demangpun mengerti bahwa adiknya sudah benar-benar menyesali sesuatu tingkah lakunya.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Kademangan Sempulur masih belum terlepas sepenuhnya dari perhatian orang yang tidak dikenal itu. Orang-orang yang tidak dikenal itu akhirnya memang mendengar bahwa tanggung jawab atas kematian seorang diantara mereka terletak pada putera Panembahan Senapati di Mataram serta seorang kawannya yang disebut bernama Glagah Putih dari Tanah Perdikan Menoreh.
"Apakah kita akan membiarkan saja hal itu terjadi?" bertanya salah seorang diantara mereka.
Orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga itu berkata. "Anak-anak muda itu memang memiliki ilmu yang luar biasa."
"Bagimu, mereka memang tidak akan terkalahkan." berkata seorang yang sudah melampui setengah abad, yang rambutnya sudah mulai berwarna rangkap.
"Jadi apa yang harus kita lakukan?" bertanya orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga itu. "Aku kira tidak ada gunanya kita melepaskan dendam pada orang orang padukuhan ini. Mereka adalah kambing-kambing yang tidak berdaya. Sementara itu serigala yang sebenarnya telah meninggalkan Kademangan ini."
Orang yang berambut mulai bercampur putih itu mengangguk-angguk. Katanya, "Sasaran kita memang Mataram. Jika kita menyentuh Kademangan ini, sebenarnyalah tidak lebih dari sekedar usaha membuat landasan-landasan untuk meloncat ke Mataram."
"Tetapi apakah kita masih akan dapat menemukan kedua anak muda itu?" bertanya orang yang pernah menjadi tawanan itu.
"Ada dua kemungkinan." berkata yang lain, "anak-anak itu pergi ke Mataram atau pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sebab menurut ceritera dari banyak orang di Kademangan ini, bahkan di warung-warung dan di pasar-pasar, yang seorang memang bernama Raden Rangga putera Panembahan Senapati dan yang seorang bernama Glagah Putih, saudara sepupu Agung Sedayu. Panembahan Senapati kita semuanya sudah mengetahuinya. Sulit bagi kita untuk dapat melakukan langkah-langkah langsung atasnya. Kegagalan yang pahit itu menjadi pengalaman bagi kita. Tetapi mungkin kita dapat berbuat sesuatu atas Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh. Kita dapat minta kepadanya untuk berbuat sesuatu atas saudara sepupunya itu, karena ia telah membunuh seorang diantara kita dan membuat seorang lagi tidak berdaya. Untunglah bahwa kita sempat membebaskannya."
Orang-orang yang sedang berbincang itu mengangguk-angguk. Yang dilakukan oleh anak muda itu memang satu penghinaan. Persoalannya tidak lagi dalam hubungan mereka dengan Mataram. Tetapi sebagai satu kelompok yang besar dan kuat, yang mempunyai hubungan dengan beberapa orang Adipati di Bang Wetan dalam persoalan mereka dengan Mataram, telah dihinakan oleh anak-anak muda. Seorang diantara mereka adalah kebetulan, memang Putera Panembahan Senapati yang menjadi sasaran gerakan mereka. Sedangkan yang lain hanyalah seorang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka memang harus memperhitungkan dengan cermat untuk dapat membalas sakit hati atas putera Panembahan Senapati yang memiliki kekuatan yang besar pula. Namun mereka tentu tidak akan banyak menemui kesulitan jika mereka mengarahkan dendam mereka kepada anak muda yang satu lagi.
"Kita dapat datang ke Tanah Perdikan Menoreh, yang aku tahu letaknya, diseberang Kali Praga." berkata seorang diantara mereka.
"Kali Praga atau Opak?" bertanya yang lain.
"Kali Praga. Di seberang Kali Opak adalah Bogem. Kemudian Candisari sebelum kita memasuki Cupu Watu, Sarageni dan kemudian memaduki Tambak Baya yang terkenal itu." jawab orang yang mengaku telah mengetahui Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita akan mendekati Mataram." desis yang lain.
"Ya. Karena itu, Tanah Perdikan Menoreh terletak disebelah Barat Kali Praga, bukan Kali Opak." jawab kawannya itu. "Justru setelah kita melampaui jalan ke Mataram. Kita tidak berbelok kekiri, tetapi kita berjalan terus, meskipun kita akan dapat juga pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lewat Mataram."
"Kau mengenal daerah itu dengan baik." berkata seorang kawannya.
"Aku adalah seorang pengembara meskipun sudah lama sekali." jawab orang yang telah mengenal Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikianlah, maka orang-orang itupun kemudian memutuskan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Nama yang disebut-sebut adalah Agung Sedayu, kakak sepupu Glagah Putih. Agung Sedayu harus dapat menyerahkan Glagah Putih kepada mereka, atau Agung Sedayulah yang akan dijadikan ganti. Jika Glagah Putih tidak mau menyerahkan diri.
Dalam pada itu, empat orang telah siap untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, ditambah dengan seorang lagi. Seorang yang menjadi kebanggaan mereka berempat. Orang itu adalah guru mereka, yang mereka sebut dengan Ki Ajar Laksana. Menurut keempat orang itu, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan Ki Ajar Laksana itu di Tanah Perdikan Menoreh.
"Persoalan ini menyimpang dari rencana." berkata Ki Ajar Laksana.
"Ya guru." jawab orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga, "tetapi bukankah para Adipati itu juga belum akan bergerak. Sementara usaha orang-orang Nagaraga untuk menempuh jalan pintas telah gagal. Mereka tidak berhasil membunuh Panembahan Senapati dengan caranya. Agaknya orang-orang Nagaraga ingin mendapat pujian dari para Adipati, atau untuk mendapatkan kedudukan yang paling tinggi diantara mereka. Bukankah dengan demikian kita masih mempunyai waktu untuk menegakkan harga diri kita dengan melepaskan dendam kematian saudara kita" Aku kira waktu yang kita perlukan tidak terlalu lama. Kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita temui Agung Sedayu. Mudah-mudahan Glagah Putih itu sudah ada dirumah. Jika belum maka Agung Sedayu akan kita jadikan tanggungan dan memberi kesempatan Glagah Putih untuk menyerahkan diri barang satu dua pekan."
Ki Ajar Laksana nampaknya memang tidak berkeberatan. Ia memang merasa tersinggung karena kematian seorang muridnya. Namun iapun kemudian berkata, "Tetapi kalian jangan menganggap persoalan ini terlalu mudah. Kalian tahu, bahwa anak muda yang bernama Glagah Putih itu memiliki ilmu yang tinggi. Itu tentu tidak akan datang begitu saja padanya. Karena itu, mungkin ia telah berguru kepada seseorang yang juga berada di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak mustahil bahwa kita akan berbadapan dengan satu perguruan."
"Mudah-mudahan." berkata seorang muridnya, "kita akan menunjukkan kepada perguruan itu, bahwa perguruan kita memiliki kelebihan daripada perguruan Glagah Putih yang sombong."
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah. Kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Demikianlah, seperti yang mereka setujui, maka orang-orang itupun telah meninggalkan Kademangan Sempulur. Seperti pada saat mereka berada disekitar dan didalam Kademangan itu tanpa diketahui oleh orang-orang Kademangan itu, maka kepergian merekapun sama sekali tidak menarik perhatian.
Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian menganggap bahwa ternyata tidak timbul akibat yang parah bagi Kademangan Sempulur karena kematian orang yang tidak dikenal itu. Dengan demikian, maka setelah menunggu beberapa hari sehingga keduanya yakin benar bahwa Sempulur tidak akan mengalami bencana, maka merekapun telah sepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Tetapi seperti yang harus mereka lakukan, bahwa mereka sama sekali tidak kembali ke Mataram atau ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi keduanya telah melanjutkan perjalanan mereka ke Timur untuk menelusuri gerak orang-orang dari perguruan Nagaraga.
Namun satu hal yang tidak diketahui bahwa orang-orang yang berada di Kademangan Sempulur dan seorang diantaranya terbunuh itu, bukan orang Nagaraga, atau orang-orang yang berhubungan langsung dengan perguruan Nagaraga.
Dengan demikian, maka dua kelompok orang yang merasa saling berkepentingan telah menempuh perjalanan yang justru bertolak belakang. Mereka tidak akan dapat bertemu, bahkan justru jarak diantara mereka akan menjadi semakin jauh.
Demikianlah maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah melanjutkan perjalanan dalam tugas mereka menuju ke Timur. Mereka merasa bahwa tugas pokok mereka itu harus dapat mereka selesaikan, meskipun Raden Rangga tetap pada pendiriannya untuk melakukan Tapa Ngrame. Memberikan pertolongan kepada siapapun yang memerlukan pertolongannya.
Namun kedua anak muda itu sadar sepenuhnya bahwa jalan yang mereka tempuh memang panjang dan penuh dengan bahaya yang mengancam. Tetapi mereka sudah bertekad bulat. Tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati itu harus mereka lakukan, betapapun rumit dan beratnya, karena petunjuk-petunjuk tentang sasaran yang mereka tuju ternyata sangat sedikit.
Namun disepanjang perjalanan, Raden Rangga sempat memberikan tuntunan kepada Glagah Putih tentang olah kanuragan. Dengan caranya yang khusus Raden Rangga mampu meningkatkan kemampuan Glagah Putih, bahkan kadang-kadang Raden Rangga telah menunjukkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak dikenali oleh Glagah Putih.
Dengan demikian pengenalan Glagah Putih terhadap olah kanuragan dan ilmu jaya kawijayan menjadi semakin luas. Berlandaskan dengan kemampuan yang memang sudah ada didalam dirinya, maka Glagah Putih mampu mengembangkan pengenalannya itu sehingga menjadikan dirinya semakin matang.
"Aku tidak kehilangan apapun juga dengan memberikan pengetahuan dan pengenalan itu kepadamu." berkata Raden Rangga, "tetapi sebaliknya, jika tidak ada orang lain yang mengenalinya, maka jika saatnya aku kembali, maka semuanya itu akan lenyap bersama tubuhku yang hancur didalam pelukan bumi."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menyahut Raden Rangga sudah mendahului, "Jangan cegah aku berbicara tentang hari-hari yang pasti bakal datang itu. Perjalanan ke Timur ini rasa-rasanya sebagai jalan pulang kepada asalku."
"Aku bukannya mencegah Raden Rangga berangan-angan tentang sesuatu yang kurang kita kenali." jawab Glagah Putih, "tetapi kadang-kadang terasa jantung ini berdegup semakin keras. Aku sadari, jika memang hal itu harus terjadi, tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya, bahkan menundanya meskipun hanya sesisir bawang. Tetapi juga tidak ada seorangpun yang dekat dengan dirinya sampai pada batas yang tidak dapat dihindari itu."
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Glagah Putih. Semakin dewasa seseorang, maka ia akan menjadi semakin mapan mempergunakan nalarnya dalam keseimbangannya dengan perasaannya. Karena itu, maka hidupnya akan menjadi mapan karena keseimbangan jiwanya itu menghadapi persoalan apapun juga."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Ranggapun meneruskan, "Namun segala sesuatu memang harus dikembalikan kepada Sumber dari kehidupan ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia merasa seakan-akan sedang berbicara dengan gurunya atau orang yang sebaya dengan gurunya. Ketika ia berpaling dan dilihatnya sekilas anak yang masih terlalu muda berjalan disampingnya, maka ia memang merasakan kejanggalan itu. Namun Glagah Putih sudah mengenal Raden Rangga dengan baik. Seorang yang mempunyai sisi kehidupan rangkap.
Demikianlah sambil berjalan menuju ke Timur, Glagah Putih sempat menempa diri. Bahkan kadang-kadang mereka harus berhenti sehari penuh di dalam hutan jika Raden Rangga didera oleh keinginannya untuk memberitahukan dan menunjukkan sesuatu kepada Glagah Putih.
Sementara Raden Rangga dan Glagah Putih menyusuri jalan ke arah Timur, maka Ki Ajar Laksana justru menuju ke Barat. Perjalanan Ajar Laksana dan murid-muridnya justru lebih cepat dari perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih yang kadang-kadang bahkan berhenti.
Namun Ki Ajar Laksana juga tidak dengan serta merta menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka telah melihat-lihat pula padukuhan dan bulak-bulak. Bahkan daerah yang miring di kaki Gunung Merapi. Dalam perjalanan itu sekaligus mereka mengamati kemungkinan untuk mendapatkan landasan menuju ke Mataram.
Orang-orang itu sudah tahu bahwa di Jati Anom terdapat sepasukan prajurit yang kuat. Itulah sebabnya maka kelima orang itu justru ingin berjalan melalui Jati Anom. Mungkin mereka akan mendapat sedikit keterangan tentang pasukan Mataram itu.
Ki Ajar Laksana telah memerintahkan tiga orang diantara mereka berjalan agak didepan beberapa puluh langkah, agar mereka tidak nampak berjalan dalam kelompok yang besar yang dapat menarik perhatian orang lain.
Ketika Ki Ajar Laksana lewat didepan sebuah padepokan kecil ditempat yang terpisah dari Kademangan Jati Anom, ia telah tertarik kepada seorang tua yang berjalan sendiri menuju padepokan. Karena itu, maka ketika mereka berpapasan Ki Ajar sempat bertanya, "Ki Sanak. Kau akan pergi ke mana diterik panasnya matahari seperti ini?"
"Aku justru dari sawah Ki Sanak." jawab orang tua itu, "siapakah Ki Sanak dan Ki Sanak akan pergi ke mana?"
Orang yang disebut Ki Ajar Laksana itu termangu-mangu. Tetapi ia masih bertanya, "Dimana rumahmu?"
"Dipadukuhan sebelah." jawab orang itu sambil menunjuk sebuah padukuhan, yang justru terletak di belakang padepokan kecil itu berantara sebuah bulak meskipun tidak terlalu panjang.
"O." Ki Ajar menangguk-angguk. Namun ia bertanya pula, "Siapakah yang tinggal di padepokan itu" Aku kira kau juga tinggal di padepokan itu."
"Aku memang akan pergi ke padepokan." jawab orang tua itu, "tetapi untuk mengembalikan cangkul ini. Aku telah dipinjami oleh seorang cantrik dari padepokan itu di sawah tadi ketika cangkulku sendiri patah."
Ki Ajar Laksana mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Namun justru orang tua itulah yang bertanya, "Siapakah Ki Sanak berdua" Agaknya Ki Sanak bukan orang Jati Anom."
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku bukan siapa-siapa. Tetapi pada saat-saat pengembaraanku, aku belum melihat padepokan ini ada disini."
Orang tua yang membawa cangkul itu masih juga berTanya, "Ki Sanak akan pergi kemana?"
Ki Ajar Laksana memandang orang itu sekilas. Namun kemudian jawabnya, "Sekedar melihat-lihat lingkungan yang pernah aku lihat dahulu. Ternyata sudah banyak terjadi perubahan. Tetapi dibagian lain apa yang nampak masih seperti dahulu pernah aku lihat."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak meneruskan pembicaraan karena Ki Ajar Laksana itu meneruskan perjalanannya. Sejanak orang tua itu memperhatikan kedua orang ang berjalan menjauh. Ia tidak melihat tiga orang yang telah berjalan lebih dahulu.
Orang tua itu terkejut ketika seorang cantrik menyapanya, "Kau lihat apa kek?"
"O" orang tua itu menarik nafas. Katanya kemudian, "Aku akan mengembalikan cangkul ini."
"Kau perhatikan orang lewat itu?" bertanya cantrik itu.
"Ya." jawab orang tua yang akan mengembalikan cangkul itu, "tetapi orang tua itu juga memperhatikan padepokan ini. Katanya, ia belum pernah melihat sebelumnya."
"Apakah kau perkenalkan Kiai Gringsing kepada orang itu?" bertanya cantrik itu.
"O, aku tidak menyebut nama siapapun. Apakah itu baik jika aku menyebut nama Kiai Gringsing?" bertanya orang tua itu.
"Bukan begitu. Mungkin orang itu sudah pernah saling mengenal. Tetapi jika tidak, memang tidak ada salahnya." jawab cantrik itu.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku akan mengembalikan cangkul ini."
"Pakai saja dahulu kek. Bukankah cangkulmu patah. Besok jika kau sudah memiliki yang baru, kau kembalikan cangkul itu kemari."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih. Jika demikian, biarlah cangkul ini aku bawa pulang."
"Silahkan." berkata cantrik itu.
Demikianlah maka orang tua itupun meninggalkan regol padepokan itu sambil menjinjing cangkul yang tidak jadi dikembalikan ke padepokan. Sementara itu cantrik yang menyapanya itupun telah memasuki regol.
Namun langkahnya tertegun ketika ia melihat Kiai Gringsing berdiri dibelakang regol. Ketika Kiai Gringsing melihat cantrik itu agak gugup, maka Kiai Gringsing itupun berkata, "Aku mendengar percakapan itu. Tidak ada yang menarik bagiku."
"O " cantrik itupun kemudian melintasi halaman dan pergi ke belakang bangunan induk padepokan kecil itu.
Ketika cantrik itu meninggalkannya, Kiai Gringsing justru pergi keregol. Ketika ia melangkah keluar, maka orang yang berhenti dan berbicara dengan orang tua yang akan mengembalikan cangkul itu sudah menjadi terlalu jauh untuk dapat dikenal ujudnya.
Namun Kiai Gringsing tidak banyak memperhatikannya lagi meskipun memang ada keinginan untuk mengetahui serba sedikit tentang orang itu yang tentu pernah berada atau mengembara sampai ke Jati Anom. Namun hal itu sudah lama dilakukannya.
Tetapi ketika kemudian Kiai Gringsing masuk kembali ke halaman padepokannya, tiba-tiba saja ia teringat kepada Raden Rangga dan Glagah Putih yang sedang pergi ke Timur, sementara menurut dugaan Kiai Gringsing orang itu justru datang dari arah Timur.
Tiba-tiba terbersit satu pertanyaan, "Apakah ada hubungan antara kepergian Raden Rangga dan Glagah Putih dengan orang itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada diri sendiri, "Jalan didepan padepokan itu adalah jalan yang dilalui oleh banyak orang. Termasuk orang yang berbicara dengan orang tua itu."
Kiai Gringsingpun kemudian berusaha untuk melupakannya. Ia tidak mau melihat hubungan antara orang itu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih hanya karena keresahan dihatinya sendiri.
Namun ia justru berkata kepada diri sendiri, "Seandainya aku mempunyai kemampuan mengurai arti dari satu isyarat didaiam diri ini, mungkin aku dapat melihat apa yang mungkin terjadi pada getar isyarat ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin melupakannya saja. Karena itu, maka iapun telah pergi ke kebun dan melihat-lihat ikan yang berenang dikolam yang berair jernih. Tetapi terasa getaran perasaannya itu masih saja membelitnya. Bahkan muncul pula tiba-tiba satu keinginan untuk melihat keluarga Glagah Putih yang ditinggalkan. Bukan di BanyU Asri, tetapi di Tanah Perdikan Menoreh.
"Sudah lama aku tidak pergi ke Menoreh." berkata Kiai Gringsing, "Agung Sedayupun sudah agak lama tidak datang ke padepokan ini. Seharusnya ia sudah waktunya untuk bergantian membawa kitab yang masih saja ada pada Swandaru."
Namun Kiai Gringsingpun mengerti, bahwa jika Agung Sedayu mengambil kitab tentang ilmu yang sebagian telah dikuasainya, sebenarnya tidak banyak artinya, karena Agung Sedayu memiliki kurnia kemampuan mengingat sangat tajam atas apa yang perrah menjadi perhatiannya, meskipun untuk hal lain ia masih juga dihinggapi sifat kebanyakan orang, lupa.
"Tetapi Agung Sedayu ingat semua pengertian yang tergores didalam kitab itu." berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Yang kemudian tergetar dihatinya adalah kerinduan seorang guru kepada muridnya yang sudah agak lama tidak dilihatnya. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing ingin menyisihkan untuk sementara perasaan rindunya kepada kaluarga di Tanah Perdikan Menoreh, namun rasa-rasanya keinginan itu justru semakin mendesak.
Namun tiba-tiba saja ia berdesis, "Apa salahnya jika aku berjalan-jalan ke Tanah Perdikan Menoreh barang satu atau dua pekan" Padepokan ini tidak akan mengalami kesulitan apapun jika aku tinggalkan untuk sementara. Anak-anak sudah dapat mengurus sawah dan pategalan. Sementara itu tidak ada persoalan dengan siapapun juga yang sedang berlangsung."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keinginan itu begitu mendesaknya, sehingga ia berkata kepada diri sendiri, "Inilah sifat orang-orang yang menjadi semakin tua. Keinginannya kadang-kadang muncul tanpa alasan dan sulit untuk dicegah."
Karena itu maka Kiai Gringsingpun kemudian justru kembali kebangunan induk padepokan kecilnya. Dipanggilnya cantrik yang tertua diantara kawan-kawannya.
"Besok aku akan pergi." berkata Kiai Gringsing.
"Kemana Kiai?" bertanya cantrik itu.
" Aku akan pergi ke Sangkal Putung, dan terus ke Tanah
Perdikan Menoreh. " jawab Kiai Gringsing.
Cantrik itu mengangguk-angguk. " Tetapi terlontar pula
pertanyaan " Apakah Kiai akan pergi seorang diri" "
" Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya " Ya. Bukankah aku
terbiasa mengembara seorang diri" "
" Tetapi pada saat Kiai masih muda " jawab cantrik itu.
Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak mengelak. Juga
teradap perasaan sendiri. Ia memang sudah menjadi semakin
tua. Namun justru karena itu, maka ia ingin segera menemui
murid-muridnya. Ia ingin sedikit memacu agar murid-muridnya
menguasai ilmunya sebanyak-banyak sebelum saatnya ia
harus dipanggil kembali. Karena Kiai Gringsing sadar, bahwa
tidak ada seorangpun yang luput dari perjalanan kembali ke
Sumbernya. Demikianlah, maka Kiai Gringsing itu telah mempersiapkan
dirinya. Memang tidak banyak yang akan dibawanya
sebagaimana masa-masa sebelumnya jika ia pergi.
Sebungkus kecil ganti pakaian yang hanya sepenga-deg.
Seperti yang dikatakannya, maka dipagi hari berikutnya,
Kiai Gringsing sudah siap untuk berangkat ke Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi seperti yang dikatakannya, maka ia akan
singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung.
Seekor kuda telah disiapkan oleh cantrik yang tertua di
Padepokan itu. Bahkan ketika Kiai Gringsing siap untuk
berangkat cantrik itu masih juga bertanya " Apakah tidak ada
seorangpun yang Kiai perintahkan untuk ikut" "
Kiai Gringsing menggeleng sambil tersenyum " Sudahlah.
Aku titip saja padepokan ini. Jaga baik-baik dan pelihara
semua tanaman dengan sungguh-sungguh. Juga tanaman
yang ada disawah dan dipategalan.
Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah Kiai.
Kami akan melakukannya dengan baik. Tetapi bahwa Kiai
pergi seorang diri agaknya akan merasa sepi di jalan. Juga
jika Kiai memerlukan sesuatu, tidak ada yang dapat
membantu Kiai. " Kiai Gringsing memandang Cantrik itu dengan tatapan
mata seorang tua. Katanya " Terima kasih. Tetapi perjalanan
kali ini adalah perjalanan yang pendek, sehingga agaknya aku
tidak akan mengalami kesulitan apapun di perjalanan.
Perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah
Perdikan adalah perjalanan yang dekat, melalui jalan yang
sudah menjadi ramai. "
Demikianlah maka Kiai Gringsing pun kemudian telah
meninggalkan padepokannya. Seorang diri diatas punggung
kuda. Beberapa orang cantrik yang melihatnya ternyata telah
disentuh oleh perasaan yang aneh. Mereka melihat seorang
tua yang pergi seorang diri diatas punggung kuda.
Namun mereka telah menenangkan hati mereka sendiri "
tetapi orang tua itu adalah Kiai Gringsing. "
Sebenarnya bahwa Kiai Gringsing telah meninggalkan
padepokan itu. Kudanya tidak berlari terlalu cepat.
Perjalanannya memang tidak terlalu berat, karena jalan ke
Sangkal Putung dan ke Tanah Perdikan Menoreh telah
merupakan jalan yang ramai dan semakin baik.
Seandainya Kiai Gringsing tidak ingin singgah di Sangkal
Putung, maka ia dapat menempuh jalan yang lebih pendek.
Melalui jalan yang melingkari lambung Merapi itu akan dapat
menempuh jalan pintas. Dan ternyata jalan itu pulalah yang
dilalui oleh Ki Ajar Laksana yang menuju pula ke Tanah
Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, selagi sekelompok orang menuju ke Tanah
Perdikan Menoreh, serta Kiai Gringsing yang akan singgah
lebih dahulu ke Sangkal Putung untuk selanjutnya juga
menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, Raden Rangga dan
Glagah Putih telah meneruskan perjalanannya ke Timur.
Mereka berusaha untuk sampai ke daerah yang akan dapat
menjadi pencatatan mendekati sasaran. Perguruan Nagaraga
yang tidak begitu dikenalnya.
Namun pada saat keduanya menjadi semakin jauh dari
Mataram, justru sekelompok orang telah mencari Glagah Putih
ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Kiai Gringsingpun telah melintasi jalan-jalan
bulak menuju ke Sangkal Putung. Tidak ada kesulitan di
perjalanan. Karena itu, maka jalan menuju ke Sangkal
Putung itu ditempuhnya dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Apalagi hari masih pagi. Udara terasa segar, sementara
ujung batang jagung di sawah masih basah digayuti titik-titik
embun. Ternyata jalan menuju Sangkal Putung sudah menjadi
demikian ramai. Tetapi Kiai Gringsing telah memilih jalan yang
justru agak sepi, menelusuri tepi hutan. Namun ternyata
banyak juga orang yang memilih jalan itu.
Meskipun jalan itu berada dipinggir hutan yang masih
dihuni binatang buas, namun agaknya binatang-binatang buas
lebih senang memburu mangsanya jauh kebagian yang lebih
dalam lagi. Karena itu maka jarang sekali terjadi, seekor
harimau nampak oleh orang-orang yang lewat, meskipun jalan
sepi. Tetapi biasanya orang yang lewatpun jarang sekali yang
seorang diri. Ketika Kiai Gringsing sampai di Sangkal Putung, kebetulan
Swandaru tidak ada dirumah. Ki Demang dan Pandang
Wangilah yang menyambutnya dan mempersilahkannya naik
kependa-pa, sementara Pandan Wangi telah memerintahkan
seorang pengawal untuk menyusulnya.
"Kakang Swandaru sedang berada di padukuhan sebelah "
berkata Pandan Wangi " padukuhan itu sedang merencanakan
memperluas jaringan parit yang membelah bulak panjang
yang kadang-kadang memang mengalami kekurangan air. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Jika
memang sedang sibuk, aku kira Swandaru tidak perlu
dijemput. " Kakang hanya menunggui saja " berkata Pandan Wangi.
Kiai Gringsing mengangguk. Katanya " Sebenarnyalah aku
hanya singgah sebentar. "
" Kiai akan pergi kemana" " bertanya Ki Demang.
" Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh " jawab
Kiai Gringsing. " Apakah ada keperluan yang penting Kiai" " bertanya
Ki Demang pula. Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
bertanya : "Guru, apakah kokang Agung Sedayu sudah jemu
mempelajari ilmu yang guru wariskan kepada kami berdua?"
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya sambil tersenyum "
Tidak Ki Demang. Tidak ada apa-apa. Hanya tiba-tiba saja
aku j ingin menengok Agung Sedayu. Atau barangkali lebih
tepat, I aku sudah terlalu lama terkungkung dipadepokanku.
Sementara itu kebiasaanku mengembara masih juga
mempengaruhi perasaanku. Itulah agaknya salah satu sebab
bahwa aku untuk satu dua pekan ingin keluar dari padepokan.
" Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Pandan
Wangi bertanya " Apakah maksud Kiai, Kiai akan membawa
kakang Swandaru untuk menyertai Kiai" "
" Aku hanya akan menawarkannya " berkata Kiai Gringsing
" tetapi jika Swandaru sedang sibuk, maka tidak ada salahnya
jika aku pergi sendiri. "
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, sementara itu Kiai
Gringsing berkata sambil tersenyum " Agaknya perasaanmu
tidak ubahnya dengan beberapa orang cantrik di padepokan.
Agaknya mereka tidak sampai hati melepaskan seorang tua
untuk menempuh perjalanan seorang diri. "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Maaf
Kiai. Agaknya Kiai benar. Aku memang merasa demikian jika
aku hanya sekedar melihat ujud kewadagan Kiai, meskipun
aku harus mempercayai penalaranku, bahwa orang tuffitu
adalah Kiai Gringsing. "
Kiai Gringsing tertawa. " Katanya " Bukan apa-apa. Tetapi
aku memang sudah berpengalaman menempuh
pengembaraan yang panjang, apalagi! hanya keTanah
Perdikan Menoreh yang sudah aku jalani berpuluh bahkan
beratus kali. " Pandan Wangi mengangguk-angguk. Iapun menyadari,
bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang lain dari orang
- kebanyakan. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Swandarupun
telah datang pula. Iapun bergegas naik kependapa. Demikian
ia duduk, iapun langsung bertanya " Apakah ada perintah guru


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untukku" " Kiai Gringsing tersenyum sambil menggeleng " Tidak
Swandaru. Tidak ada apa-apa. "
" O " Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian " sokurlah. Aku kira ada sesuatu yang penting yang
harus aku lakukan. "
Kiai Gringsing masih menggeleng. Namun iapun kemudian
menyatakan niatnya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
" Aku hanya ingin singgah dan menanyakan kepadamu,
apakah kau juga ingin pergi ke Tanah Perdikan " berkata Kiai
Gringsing. Swandaru mengerutkan keningnya. Ia memang berpikir
sejenak. Namun kemudian katanya " Sebenarnya aku ingin
mengantar guru. Tetapi aku sedang mempersiapkan satu
kerja besar dipadukuhan sebelah yang kadang-kadang
mengalami kekeringan, "
" Tetapi bukankah tugas itu untuk sepekan dua pekan
dapat dilakukan oleh anak-anak" " Pandan Wangi menyela.
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun katanya " Jika
perencanaannya sudah selesai, justru aku dapat
meninggalkannya. Kini kami justru sedang menyusun
perencanaannya. " Pandan Wangi agaknya masih ingin mengatakan sesuatu.
Namun Kiai Gringsing mendahuluinya " Baiklah. Jika kau sibuk
Swandaru, aku akan pergi sendiri, Perjalanan ke Tanah
Perdikan bukan perjalanan yang berat. Jika aku singgah,
bukan semata-mata ingin mencari kawan diperjalanan. Tetapi
barangkali ada pesan Pandan Wangi untuk ayahnya. "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun tibatiba
ia berkata kepada Swandaru " Kakang. Aku sudah agak
lama tidak datang ke tanah Perdikan. Sebenarnyalah bahwa
aku memang rindu kepada ayah. Apakah kakang mengijinkan
jika aku menyertai Kiai Gringsing untuk pergi barang sepekan"
." Swandaru mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk. Katanya " Jika kau ingin,
baiklah. Ada juga baiknya bagi guru yang sudah semakin tua
untuk menemaninya diperjalanan. Meskipun hanya sekedar
kawan berbincang. " Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun nampaknya
Swandaru memang tidak berkeberatan. Sementara itu Ki
Demangpun berkata " Tetapi bukankah Kiai tidak akan terlalu
lama di Tanah Perdikan" "
" Tidak Ki Demang " jawab Kiai Gringsing " mungkin hanya
sepekan. Paling lama dua pekan. Hanya sekedar melepas
kerinduan. " Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
bertanya " Guru, apakah kakang Agung Sedayu sudah jemu
mempelajari ilmu yang guru wariskan kepada kami berdua. "
Kiai Gringsing justru termangu-mangu. Ia tidak segera
mengetahui maksud Swandaru. Namun kemudian Swandaru
berkata " Tetapi sebenarnya bagiku kebetulan sekali, karena
kitab guru untuk waktu yang jauh lebih panjang ada padaku.
Dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk
mempelajarinya lebih banyak dari kakang Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya " Mungkin
bukan karena jemu. Agung Sedayu mempunyai kebiasaan
yang aku kenal. Jika ia sedang menekuni sesuatu, maka ia
baru akan selesai jika ia menganggap bahwa yang dilakukan
itu sudah cukup. Demikian pula dengan ilmu yang diwarisinya
dari kitab itu. Ia tentu sedang menekuni salah satu
diantaranya. Ia baru akan datang meminjamnya lagi jika ia
merasa bahwa yang satu itu sudah cukup di pahami. "
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Ada juga
baiknya sifat kakang Agung Sedayu. Tetapi nampaknya ia
tidak begitu bergairah. Meskipun ia menekuni salah satu bab
diantara berjenis ilmu itu, bukankah kadang-kadang ia masih
juga memerlukan tuntunan. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Ya.
Agaknya ia memang masih memerlukannya. Memang
sebaiknya jika ia menekuni ilmu itu dengan menghadapi
tuntunannya. " " Jika demikian, apakah guru akan membawa kitab itu"
Tetapi pada saatnya aku akan mengambilnya atau sokurlah
jika kakang Agung Sedayu sempat menengok. Kiai sambil
membawa kitab itu. Sebenarnya akupun sedang mempelajari
satu hal yang ingin aku sempurnakan. Tetapi aku tidak mau
disangka ingin menyimpan kitab itu tanpa memberi
kesempatan kepada kakang Agung Sedayu mengalami
kelambatan, akulah yang dianggap bersalah dan
menghambatnya " berkata Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa
sebenarnya Swandaru menginginkan kitab itu untuk
seterusnya ada padanya. Tetapi ia ingin menunjukkan bahwa
ia adalah seorang saudara seperguruan yang baik, yang tidak
mementingkan diri sendiri.
Namun Kiai Gringsing tidak menolak. Katanya " Baiklah.
Biarlah aku membawanya dan meninggalkan kitab itu di
Tanah Perdikan untuk beberapa bulan.
" Jika demikian Kiai " berkata Pandan Wangi " sebaiknya
Kiai berangkat besok. Dengan demikian aku mendapat
kesempatan untuk dengan tidak tergesa-gesa membenahi diri
dan barangkali selembar dua lembar pakaian. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Baiklah. Aku tahu, biasanya seorang perempuan lebih lama
memerlukan waktu untuk bersiap-siap jika akan bepergian,
meskipun perempuan itu Pandan Wangi. "
Pandan Wangi tertawa. Katanya " Jika perlu, aku dapat
pergi sekarang juga. Tetapi bukankah Kiai tidak tergesa-gesa"
" " Ya, Aku tidak tergesa-gesa "- jawab Kiai Gringsing.
Dengan demikian Kiai Gringsing telah bermalam semalam
di Sangkal Putung. Sementara itu Pandan Wangi telah
membenahi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga memberikan
beberapa pesan kepada pembantunya di Kademangan,
bagaimana ia harus melayani Swandaru. Kesenangannya jika
ia makan dan kebiasaannya untuk minum justru jangan terlalu
panas. Meskipun pembantunya itu juga sudah melakukannya
untuk waktu yang cukup lama, tetapi Pandan Wangi tidak mau
Swandaru dike-cemaskannya.
Dalam pada itu, Swandaru dapat memanfaatkan kehadiran
gurunya yang hanya semalam. Swandaru memper-silahkan
Kiai Gringsing untuk berada disanggarnya. Swandaru ingin
mendapat tuntunan dari perkembangan ilmunya yang
menggetarkan. Kemampuan Swandaru untuk membangkitkan tenaga
dalam ternyata sulit dicari bandingnya. Kekuatannya bagaikan
mekar berlipat ganda. Meskipun tanpa disadarinya
sepenuhnya, ternyata Swandaru juga telah memanfaatkan
kekuatan getar disekitar dirinya yang dihisapnya dan
dibentuknya dengan kemampuan ilmunya menjadi tenaga
pendorong pada tenaga cadangannya, sehingga kekuatannya
melampaui kekuatan yang dapat dicapai oleh kebanyakan
orang. Ujung cambuk Swandaru benar-benar mampu membelah
dan menghancurkan batu hitam. Apalagi kulit daging
seseorang. Kiai Gringsing yang menyaksikannya mengangguk-angguk.
Katanya " Dahyat sekali Swandaru. Kau tekuni ilmumu yang
mampu mengungkat kekuatan yang jarang ada bandingnya.
Tetapi kau dapat mencobanya tidak mempergunakan
cambukmu, tetapi dengan tanganmu. Namun tentu saja tidak
dengan serta merta. Aku yakin, bahwa kekuatan wadagmu
melampaui kekuatan wadag orang kebanyakan. Tetapi kau
dapat membentuk wadagmu, untuk kepentingan itu. Kau
bentuk sisi telapak tanganmu yang akan mampu kau
pergunakan sebagaimana ujung cambukmu. Sebab
bagaimanapun juga lekatnya cambuk itu padamu, ada kalanya
cambuk itu terpisah juga daripadamu.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Aku mengerti
guru. Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan aku berhasil. "
" Usaha itu dapat kau lakukan bersamaan dengan usaha
untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu. Meskipun kau tidak
sampai pada tingkat kekebalan, namun kau tidak akan cepat
menjadi goyah karena benturan-benturan yang keras dengan
orang-orang berilmu tinggi. Agaknya ilmu kini semakin mekar,
dan orang berilmupun menjadi semakin banyak. Namun
sayang bahwa perkembangan ilmu itu tidak dibarengi dengan
perkembangan peradaban, sehingga justru yang terjadi adalah
sebaliknya dari pemanfaatan ilmu itu bagi kemanusiaan. "
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya " Aku mengerti
guru. Aku akan meningkatkan kemampuanku dan mencoba
untuk membentuk unsur-unsur kewadaganku sebagaimana
guru katakan. " " Mudah-mudahan kau berhasil. Sementara itu kaupun
harus melihat gejala perkembangan ilmu Pandan Wangi. Ia
mulai dengan kekuatan yang barangkali mempunyai ungkapan
yang berbeda dengan kau " berkata Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk kecil. Ia memang melihat
perkembangan ilmu Pandan Wangi yang berbeda dengan
cara dan sifat dari perkembangan ilmunya. Namun dalam
pada itu ia menjawab " Dasar dari ilmu kami memang
berbeda. Sifat Pandan Wangi sebagai seorang perempuan
dan aku sebagai laki-laki menurut kodratnya memang
berbeda. Karena itu, perkembangan ilmu kami juga berbeda.
Aku memang melihat usaha Pandan Wangi untuk
mengimbangi kekurangannya pada kekuatan khususnya
mengenai bentuk dan kemampuan wadagnya dengan
dukungan kekuatan lewat getaran yang dilontarkan dari
wadagnya meniti kekuatan yang ada disekitarnya, menggapai
sasaran. " Kiai Grinsing mengangguk-angguk. Ternyata Swandaru
telah mengamati ilmu Pandan Wangi meskipun hanya dari
segi ujudnya saja. Namun itu sudah merupakan satu hal yang
baik. Apalagi apabila keduanya dapat berlatih bersama untuk
dapat saling memperngaruhi dan saling menyadap.
Namun untuk melakukannya diperlukan pertimbangan,
pengamatan dan usaha yang hati-hati. Jika hal itu dilakukan
dengan serta merta tanpa memperhitungkan imbangan dari
ilmu keduanya, maka akibatnya akan dapat terjadi tidak
sebagaimana diharapkan. Demikianlah, malam itu Swandaru mendapat beberapa
petunjuk dari gurunya. Perkembangan ilmunya yang memang
pesat akan menjadi semakin mapan.
Lewat tengah malam, Swandaru mempersilahkan gurunya
untuk beristirahat.' Besok gurunya masih akan menempuh
perjalanan yang meskipun tidak terlalu jauh. Sementara itu,
didalam sanggar dan latihan-latihan yang pendek itu,
Swandaru seakan-akan memang merasakan, bahwa
bagaimanpun juga unsur wadag ikut menentukan. Betapa
tinggi ilmu seseorang, namun jika datang saatnya kemampuan
wadagnya menjadi susut, maka ilmunyapun akan menjadi
susut pula. Dipagi hari berikutnya, sebelum matahari terbit Pandan
Wangi telah bersiap. Demikian pula dengan Kiai Gringsing.
Keduanya akan menempuh perjalanan sebelum panas
matahari mulai menyengat.
Ki Demang dan Swandaru mengantar keduanya sampai
kegerbang Kademangan. Kemudian setelah sekali lagi -
mereka minta diri, maka keduanyapun meninggalkan
Kademangan Sangkal Putung menuju ke Tanah Perdikan
Menoreh. Karena hari masih remang-remang, maka belum banyak
orang yang keluar dari halaman rumah mereka, sehingga tidak
banyak pula orang yang melihat kepergian Pandan Wangi
bersama Kiai Gringsing menuju ke Tanah Perdikan Menoreh
itu. Dalam pada itu, keduanya setuju untuk menempuh
perjalanan tanpa melalui Mataram, sehingga mereka tidak
akan perlu berhenti apabila mereka bertemu dengan orangorang
yang kebetulan pernah mereka kenal.
Sebenarnyalah perjalanan menuju ke Tanah Perdikan
Menoreh bukan perjalanan yang jauh. Apalagi mereka sudah
terbiasa hilir mudik. Karena itu, maka Kiai Gringsing dan
Pandan Wangipun tidak merasakan bahwa mereka sedang
dalam perjalanan yang melelahkan.
Keduanya ternyata tidak mengalami gangguan diperalanan.
Meskipun demikian jika mereka berpapasan dengan
orang-orang berkuda lainnya, orang-orang itu sempat juga
berpaling kearah Pandan Wangi. Agaknya seorang
perempuan yang berkuda dengan pakaian sebagaimana
dikenakan oleh Pandan Wangi memang belum banyak
dilakukan orang. Meskipun demikian, tidak ada juga yang menyampa-nya.
Orang-orang yang berpapasan itu hanya memandanginya
sekilas. Memang ada yang tertarik bukan saja melihat pakaian
Pandan Wangi, tetapi juga sebagai seorang perempuan yang
cantik. Dua orang anak muda yang berkuda justru telah
berhenti. Mereka memandang Pandan Wangi dengan hampir
tidak berkedip. Bahkan seorang diantara-nya tiba-tiba saja
telah bersiul panjang. Pandan Wangi memang berpaling sekilas. Tetapi iapun
kemudian tidak menghiraukan lagi ketika dilihatnya dua orang
anak muda yang berhenti dipinggir jalan.
Namun anak muda itupun telah meneruskan perjalanan
mereka kearah yang berlawanan meskipun keduanya masih
juga membicarakan seorang perempuan cantik yang berkuda
dengan mengenakan pakaian yang tidak banyak dipakai.
" Perempuan itu mengenakan pakaian laki-laki " berkata
salah seorang. " Tetapi perempuan yang aneh-aneh begitu biasanya
berbahaya " berkata kawannya.
"Tetapi aku ingin mengetahui, siapakah perempuan itu",
berkata saudagar itu. "Cucuku!" jawab Kiai Gringsing,
"perempuan ini adalah cucuku'" "Ya cucumu". Tetapi apakah
perempuan ini punya keluarga yang lain yang "..,....",
" Ia hanya dikawani oleh seorang laki-laki tua -* desis anak
muda yang pertama. " Yang kita lihat memang demikian, tetapi siapa tahu,
bahwa ada orang lain yang siap untuk menjebak kita " jika


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekatinya " sahut kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun terasa tengkuk
mereka meremang. Mereka memang pernah mendengar, .
bahwa kadang-kadang seorang perempuan dengan sengaja
telah menarik perhatian orang. Namun jika orang yang tertarik
kepadanya, berusaha untuk mengganggunya, maka tiba-tiba
saja beberapa orang laki-laki kasar dan bersenjata telah
mengepung dan kemudian menuntut sesuatu yang tidak
masuk akal. Sementara itu, Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah
menjadi semakin mendekati Kali Praga. Mereka telah
melintasi jalan yang berbelok We Mataram ketika matahari
sudah memanjat semakin tinggi dilangit. Namun mereka justru
mengambil jalan kearah yang lain, yang langsung menuju ke
penyeberangan Kali Praga.
Ketika matahari berada dipuncak, maka mereka telah
menyusuri jalan yang langsung sampai ketempat
penyeberangan. Sejenak Kiai Gringsing memandang
kedepan. Dilihatnya Kali Praga mengalir dengan arusnya yang
tenang, namun nampak betapa besar tenaga air yang
terkandung di dalamnya. " Kita sudah sampai ke Kali Praga " berkata Kiai Gringsing.
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Perjalanan mereka
termasuk perjalanan yang lambat. Namun justru karena itu.
rasa-rasanya Pandan Wangi telah mendapatkan kesegaran
baru. Untuk waktu yang agak lama ia tidak melihat keluar
batas dari Kademangannya. Karena itu maka perjalanannya
itupun memberikan suasana yang berbeda dari suasana yang
dihadapinya sehari-hari. Meskipun Pandan Wangi merasa kecewa juga, bahwa ia
tidak dapat pergi bersama suaminya yang sedang sibuk,
namun ia akan dapat bertemu dengan keluarganya di Tanah
Perdikan. " Bukankah aku tidak akan lama pergi" " berkata Pandan
Wangi didalam hatinya. Sejenak kemudian mereka sudah berada ditepian. Sebuah
rakit baru saja berangkat dari tepian Timur menyeberang ke
Barat. Karena itu, maka mereka harus menunggu rakit
berikutnya. Rakit yang beberapa saat menunggu sampai
mendapat penumpang yang cukup untuk dibawa
menyeberang. Kiai Gringsing dan Pandan Wangipun kemudian telah naik
kesebuah rakit, meskipun rakit itu tidak akan segera
berangkat. Satu dua orang yang lain berturut-turut telah naik
pula. Namun mereka masih harus dengan sabar menunggu.
Dalam pada itu, seorang yang berpakaian lebih baik dari
orang-orang lain nampaknya tidak senang melihat dua ekor
kuda di atas rakit. Karena itu, kepada tukang satang yang
masih menunggu itupun bertanya " He, siapakah yang
membawa kuda itu" "
Tukang satang itupun termangu-mangu. Namun diluar
sadarnya ia memandang kearah Kiai Gringsing dan Pandan
Wangi yang telah duduk disebeiah kuda mereka itu.
" O, agaknya kalian berdua" " desis orang itu. Lalu katanya
" Aku adalah saudagar emas berlian yang setiap kali melintasi
kali Praga untuk pergi ke Mataram. Aku tidak senang naik rakit
bersama-sama dengan dua ekor kuda. "
Kiai Gringsing dan Pandan Wangi sama sekali tidak
menjawab. Mereka justru memandang tukang satang yang
bertanggung-jawab atas para penumpang.
Tetapi sebelum tukang satang itu menjawab, saudagar
itupun telah berkata " Sebaiknya kalian tidak naik rakit
bersamaku. Meskipun seorang diantara kalian berdua adalah
seorang perempuan yang cantik, yang mula-mula aku
kira seorang laki-laki menilik pakaian yang kau pakai itu. "
" Ki Sudagar " berkata tukang satang " mereka telah naik
lebih dahulu dari Ki Sudagar. Dan bukankah hal seperti ini
merupakan hal yang wajar saja. Bukankah rakit-rakit yang lain
juga sering membawa kuda, bahkan bukan kuda tunggangan
sekalipun. " " Ya " jawab Ki Sudagar " tetapi aku ingin tidak naik rakit
bersama dua ekor kuda. Kalau pemiliknya, boleh saja naik
rakit bersamaku. Tetapi kudanya tidak. "
Tukang satang itu menjadi bingung. Sementara Ki Sudagar
itu dengan wajah tengadah berkata " Jika kau merasa
dirugikan, maka biarlah aku mengganti berupa upahmu
membawa dua ekor kuda. "
Tukang satang itu memandang Kiai Gringsing, Pandan
Wangi dan Sudagar itu berganti-ganti. Ia benar-benar tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak dapat mengusir kedua
orang yang membawa dua ekor kuda itu. Namun iapun
merasa cemas melihat sikap saudagar yang agaknya keras
kepala itu. Namun adalah diluar dugaan, bahwa Kiai Gringsing tibatiba
telah bangkit dan berkata kepada tukang satang
" Baiklah Ki Sanak. Jika kuda kami mengganggu, kami
akan turun saja. Kami akan ikut rakit yang berikutnya. "
" O " tukang satang itu justru termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya " terima kasih atas sikap Ki Sanak.
Bukan maksudku mengusir Ki Sanak. Tetapi sikap Ki Sanak
telah meringankan bebanku. "
Kiai Gringsingpun kemudianbangkit bersama! Pandan
Wangi yang menjadi cemberut. Pandan Wangi agaknya
mempunyai pendirian yang berbeda. Tetapi ia tidak berani
menentang maksud Kiai Gringsing, Sehingga karena itu,
ketika Kiai Gringsing menuntun kudanya turun dan meloncat
ketepian, Pandan Wangipun berbuat serupa.
Tetapi ketika keduanya sudah ditepian saudagar itu
meloncat turun pula sambil berkata " He, anak manis. Biarlah
kakekmu saja yang membawa kedua ekor kuda itu dengan
rakit berikutnya. Kau dapat bersamaku ikut dalam rakit itu. Aku
akan membayar semua upah kalian termasuk kuda kalian, di
rakit ini dan di rakit berikutnya. "
Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Namun ia berusaha
menguasai dirinya, sementara Kiai Gringsinglah yang
menjawab. " Maaf Ki Sanak. Cucuku ini memang seorang
pemalu dan barangkali penakut. Biarlah ia berada dirakit
bersamaku. Silahkan Ki Sudagar menyeberang lebih dahulu. "
" Jangan bodoh " berkata saudagar itu " aku akan
membayar upah bagi kalian. Atau barangkali kau ingin lebih
dari itu" " Saudagar itu maju selangkah mendekati Pandan Wangi.
Namun Pandan Wangi bergeser surut dan bahkan kemudian
sambil menuntun kudanya Pandan Wangi berada dibelakang
Kiai Gringsing. " He, kakek. Katakan kepada cucumu. Jika ia ingin sesuatu,
aku adalah saudagar emas dan permata " berkata saudagar
itu. " Ah " desis Kiai Gringsing " Ki Sudagar telah membuka
rahasia sendiri. Apakah Ki Sudagar tidak takut terdengar oleh
barangkali orang-orang jahat. Bukankah dengan demikian
mereka akan dapat merampok Ki Sudagar"*"
Tetapi saudagar itu tertawa. Katanya " Aku tidak gentar
seandainya aku bertemu dengan lima orang perampok yang
paling garang sekalipun. Seorang yang telah berani menyebut
dirinya saudagar emas, intan dan permata, adalah orang yang
telah berani menghadapi akibat dari sebutan itu. Jika tidak,
lebih baik berdagang sambil bersem-bunyi-sembunyi. "
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ketika ia berpaling
kearah Pandan Wangi dilihatnya wajah Pandan Wangi
menjadi merah. Sementara itu Ki Sudagar itu berkata pula "
Kau tidak saja menarik karena wajahmu. Tetapi juga
pakaianmu. Menilik pakaianmu kau tentu bukan perempuan
sebagaimana perempuan kebanyakan. Namun justru karena
itu, aku ingin mengenalmu lebih banyak. Mungkin kau muri
sebuah perguruan, atau mungkin kau hanya sekedar ingin
dianggap aneh. " " Sudahlah Ki Sanak " berkata Kiai Gringsing " rakit itu
sudah hampir penuh. Silahkan Ki Sanak naik. Nanti aku akan
naik rakit berikutnya, karena Ki Sanak tidak mau berakit
bersama kuda-kuda kami. "
" Tetapi aku ingin mengetahui, siapakah perempuan itu. "
berkata saudagar itu. " Cucuku " jawab Kiai Gringsing " perempuan ini adalah
cucuku. " " Ya, cucumu. Tetapi apakah perempuan ini punya keluarga
yang lain yang barangkali dapat memberikan satu ciri
kepadaku" " bertanya saudagar itu.
" Ki Sudagar " berkata Kiai Gringsing " Ki Sudagar tentu
sudah menjelajahi daerah yang luas. Apakah Ki Sudagar
pernah sampai ke Sangkal Putung" "
"Sangkal Putung" " ulang saudagar itu " hampir setiap hari
aku lewati Sangkal Putung. Aku sudah menjelajahi Kudus,
Demak, Pati dan daerah pesisir Utara. Juga daerah Madiun,
Panaraga dan daerah Timur yang lain. "
" Barangkah Ki Sanak mengenal satu dua orang terpenting
di Sangkal Putung" " bertanya Kiai Gringsing pula.
" Siapa" " bertanya Ki Sudagar dengan kerut di dahi.
" Perempuan ini. cucuku, adalah istri anak Demang
Sangkal Putung " jawab Kiai Gringsing.
"Swandaru" " bertanya Ki Sudagar dengan wajah yang
tegang. " Ya. Perempuan ini adalah isterinya " jawab Kiai Gringsing.
" O " tiba-tiba sikap orang itu berubah " aku sudah pernah
sedikit mengenal Swandaru. Namanya yang sudah sering aku
dengar. Aku memang sudah pernah bertemu satu kali. Tetapi
aku tidak terlalu akrab. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya "
Sementara itu, siapakah nama Ki Sudagar. "
" O, aku kira tidak perlu " jawab saudagar itu. Namun
kemudian " baiklah, jika kau tidak mau berakit bersamaku, aku
akan mendahului. Salamku buat Swandaru Geni dari Sangkal
Putung itu. " Ki Sudagar tidak menunggu jawaban Kiai Gringsing. Iapun
dengan cepat meloncat keatas rakit dan berkata kepada
tukang satang " berangkat sekarang. "
" Masih dapat memuat beberapa orang lagi Ki Sudagar "
jawab tukang satang. " Aku akan memberi upah lipat " jawab Ki Sudagar itu.
Tukang satang itu menjadi bingung. Tetapi karena
saudagar itu bersedia membayar lipat, maka meskipun
rakitnya masih dapat memuat dua tiga orang lagi, tetapi rakit
itupun segera saja meninggalkan tepian setelah tali
penambatnya dilepas. Beberapa orang tukang satang mendorong rakit itu dengan
satangnya, sehingga rakit itu segera bergeser kete-ngah,
mengikuti arah yang condong menyilang arus air Kali Praga.
Ki Sudagar yang berdebar-debar itu menarik nafas dalamdalam.
Kepada dirinya sendiri ia berkata " Jika perempuan itu
isteri Swandaru, tentu perempuan itulah yang disebut Pandan
Wangi." Tiba-tiba saja ia mengingat-ingat, apakah perempuan itu
membawa pedang rangkap sebagaimana sering dikatakan
orang tentang isteri Swandaru menantu Ki Demang Sangkal
Putung itu. Terasa bulu tengkuk Ki Sudagar itu meremang. Perempuan
itu tidak nampak membawa sepasang pedang.
Tetapi mungkin disembunyikan dibalik kain panjangnya
yang .dikenakannya sebagaimana seorang laki-laki
mengenakan kain panjang dengan celana komprang
didalamnya. Untunglah perempuan itu belum berbuat sesuatu. Menurut
pendengarannya sebagai seorang saudagar yang sering
menjelajahi berbagai tempat, maka Pandan Wangi adalah
seorang perempuan yang memiliki kemampuan yang jarang
ada bandingnya. Bahkan laki-laki yang berilmu tinggipun
mampu ditundukkannya. Sementara itu rakit yang ditumpangi oleh Ki Sudagar itupun
menjadi semakin jauh ketengah. Sementara itu Kiai Gringsing
dan Pandan Wangi masih menungggu rakit berikutnya yang
akan membawanya menyeberang.
" Kenapa dengan orang itu " tiba-tiba saja Pandan Wangi
bertanya kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya " Entahlah. Tetapi
orang itu tentu pernah mendengar nama suamimu, sehingga
ia terpengaruh juga oleh nama Swandaru. "'
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
menyadari, bahwa Ki Sudagar itu selain menjadi silau oleh
nama Swandaru, iapun menjadi berdebar-debar karena
menurut pengertiannya, perempuan yang dihadapinya itu
adalah Pandan Wangi. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Pandan Wangi-pun
telah berada dirakit berikutnya. Bersama beberapa orang yang
lain, maka merekapun telah menyeberangi Kali Praga menuju
ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka sampai diseberang, maka mereka sudah
tidak melihat lagi Ki Sudagar yang menolak naik rakit bersama
dengan dua ekor kuda milik Kiai Gringsing dan Pandan Wangi.
Agaknya Ki Sudagar itu telah meninggalkan tepian dengan
tergesa-gesa. Meskipun ia mengatakan, bahwa ia tidak gentar
menghadapi lima orang perampok yang garang, tetapi
mendengar nama Swandaru, orang itu menjadi pucat. ,
Tetapi ternyata yang telah mendengar Kiai Gringsing
menyebut anak Demang Sangkal Putung bukan hanya Ki
Sudagar itu saja. Seorang yang berdiri meskipun agak jauh
daripadanya, mendengar nama itu dan melihat sikap Sudagar
setelah mendengar nama itu disebut.
" Siapakah Swandaru itu " bertanya orang itu kepada
seorang yang berdiri disebelahnya.
" Aku belum mengenalnya Ki Ajar " jawab orang yang
berdiri disebelahnya itu " tetapi menurut orang tua itu,
Swandaru adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. "
" Orang yang menyebut dirinya sebagai saudagar itu tibatiba
menjadi ketakutan " berkata orang itu.
" Kita akan dapat bertanya kepada Ki Sudagar serba sedikit
tentang kedua orang yang agaknya juga akan pergi ke Tanah
Perdikan itu. Meniliknya pakaiannya, perempuan yang disebut
isteri Swandaru itu tentu juga seorang yang memiliki sesuatu "
berkata orang itu. Sebenarnyalah mereka telah naik pula ke rakit yang


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditumpangi oleh Ki Sudagar sementara tiga orang lainnya
/telah ikut bersama rakit yang ditumpangi oleh Kiai Gringsing
dan Pandan Wangi. Mereka telah berjanji untuk bertemu lagi
diatas tanggul rendah ditepian Kali Praga itu.
Dalam pada itu, ketika Ki Sudagar turun dari rakit dan
berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi Kali Praga, maka dua
orang telah mengikutinya. Mereka tidak segera menyapanya.
Tetapi mereka menunggu sampai jarak yang cukup dari Kali
Praga. Sambil berjalan disisinya, Ki Ajar itupun telah menyapanya
" Selamat bertemu Ki Sudagar. "
Sudagar itu terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya orang
yang belum pernah dikenalnya. Karena itu, Ki Sudagar itupun
menarik nafas dalam-dalam. Orang itu bukan orang tua yang
berkuda bersama cucunya, Pandan Wangi,
" Apakah aku boleh memperkenalkan diri " berkata Ki Ajar.
"Siapa kau" " bertanya Ki Sudagar. Sikapnya justru
menunjukkan sikapnya sehari-hari. Pandangannya agak
tengadah dan hampir tanpa mengacuhkan orang yang
berjalan disebelahnya. " Ki Sanak " berkata Ki Ajar " sebenarnya aku hanya ingin
mendapat keterangan sedikit saja. Siapakah Swandaru itu dan
kenapa Ki Sudagar tiba-tiba menjadi ketakutan. "
" Persetan " geram Ki Sudagar " tidak ada orang yang aku
takuti dimuka bumi ini. "
" Tetapi setelah Ki Sudagar mendengar nama Swandaru, Ki
Sudagar dengan serta merta telah meninggalkan orang tua
dan cucu perempuan itu. Apakah itu bukan berarti bahwa
nama Swandaru itu benar-benar telah mencengkam hati Ki
Sanak" " Wajah Ki Sudagar itu menjadi merah. Bahkan ia telah
berhenti sambil bertolak pinggang " Apa maumu sebenarnya"
" " Jangan marah Ki Sanak " berkata Ki Ajar " aku hanya
ingin mengetahui serba sedikit tentang Swandaru. Itu saja.
Aku tidak akan mengganggu Ki Sanak. "
Sudagar itu memandang Ki Ajar dengan tajamnya. Namun
Ki Ajar itu berkata " Jika kita terlalu banyak berbincang disini,
sebentar lagi orang tua dan cucu perempuannya itu tentu akan
segera lewat. Karena itu, marilah kita berbicara sambil
berjalan. Bahkan kita dapat berbelok lewat jalan kecil. Setelah
aku mendengar serba sedikit tentang Swandaru, aku tidak
akan mengganggu Ki Sanak lagi.
Ki Sudagar itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
ia berkata " Marilah kita berjalan terus. "
Merekapun kemudian meneruskan langkah mereka.
Sementara itu Ki Sudagarpun berkata "Yang aku ketahui
tentang Swandaru adalah, bahwa ia adalah anak Demang
Sangkal Putung. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukan
Swandaru saja, tetapi juga isterinya itu. Namanya Pandan
Wangi. Menurut pendengaranku, ia adalah anak perempuan
Ki Gede Menoreh, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. "
Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun iapun telah
bertanya lagi " Apakah Ki Sanak mengenal Agung Sedayu dari
Tanah Perdikan Menoreh" "
" Aku pernah mendengar namanya. Seperti Swandaru, aku
tidak banyak mengenalnya secara pribadi. " jawab Ki Sudagar.
" Siapakah Agung Sedayu yang tinggal di Tanah Perdikan
Menoreh itu" " bertanya Ki Ajar.
" Menurut pendengaranku, ia adalah seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi pula. Ia memiliki kelebihan dari kebanyakan
orang. Dan kata orang, Agung Sedayu dan Swandaru itu
adalah saudara seperguruan " berkata Ki Sudagar.
Ki Ajar menangguk-angguk. Katanya " kemudian " Apakah
ada hal-hal yang lain yang Ki Sanak ketahui, justru yang
menarik perhatian" "
Ki Sudagar menggeleng. Katanya " Aku tidak tahu banyak.
Tetapi nama itu banyak dikenal disini. Apakah kau mempunyai
persoalan dengan mereka" Maksudku Swandaru atau Agung
Sedayu" " Ki Ajar menarik nafas. Katanya " Tidak. Aku hanya ingin
mendengar tentang mereka. "
Tinggallah di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari.
Berbicara tentang Agung Sedayu di pasar-pasar atau di
warung-warung. Meskipun keterangannya juga hanya terbatas
seperti yang aku katakan, tetapi semua orang disini
mengenalnya, karena Agung Sedayu merupakan orang yang
dianut oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Ia tidak
saja dikagumi karena ilmunya. Tetapi Agung Sedayu telah
berbuat banyak disini. Bendungan, parit, jalan-jalan dan tekad
anak-anak muda untuk berbuat sesuatu bagi tanah
kelahirannya. " " Luar biasa " desis Ki Ajar " pantas Ki Sanak cemas
mendengar nama Swandaru, saudara seperguruan Agung
Sedayu. Wajah Ki Sudagar itu menjadi merah. Tetapi Ki Ajar itu
justru tersenyum. Katanya " Jika kau menghindari nama
Swandaru dan isterinya, maka biarlah aku memberitahukan
kepadamu, bahwa aku memang mempunyai persoalan
dengan saudara seperguruannya yang bernama Agung
Sedayu itu. " Ki Sudagar menjadi tegang. Namun Ki Ajar berkata "
Jangan, cemaskan aku. Aku akan dapat menghancurkan nya
seperti menghancurkan buah rantai. "
" Kau jangan bermimpi " berkata Ki Sudagar " menurut
pendengaranku, Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang
tidak terbatas. " " Tidak ada orang yang memiliki kemampuan tidak terbatas
" berkata Ki Ajar " karena itu aku akan mencoba apakah nama
yang besar itu sesuai dengan kenyataannya.
" Kau jangan membunuh diri " berkata Ki Sudagar. Tetapi Ki
Ajar itu tersenyum pula. Katanya " Apakah kau meragukan
kemampuanku" " Ki Sudagar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata " Kita baru saja berkenalan. Bagaimana
mungkin aku dapat mengetahui, apakah kau akan mampu
mengimbangi kemampuan Agung Sedayu, sementara itu
kemampuan Agung Sedayu yang sebenarnyapun belum
pernah aku lihat. " Ki Ajar justru tertawa. Katanya " Kau jujur Ki Sudagar.
Karena itu, aku ingin menunjukkan kepadamu, Pemimpinnya
telah kehilangan kemungkinan untuk dapat melakukan
kejahatan lagi, karena dalam pertempuran dengan Raden
Rangga tubuhnya telah menjadi cacat. bahwa aku akan dapat
mengatasinya betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu. "
Ki Sudagar termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat menolak
ketika Ki Ajar itu membawanya berbelok kejalan sempit,
menuju ke hutan perdu. " Untuk apa kau bawa aku kemari" " bertanya Ki Sudagar.
" Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku
memiliki sesuatu yang dapat aku pergunakan sebagai bekal
untuk menghancurkan Agung Sedayu.
Ki Sudagar itu bagaikan dicengkam oleh kuasa yang tidak
dapat ditolaknya. Ia menurut saja ketika Ki Sudagar itu
membawanya semakin ketengah diantara gerumbul-gerumbul
perdu. Sejenak kemudian. Ki Ajarpun berhenti. Ki Sudagar dan
seorang murid Ki Ajar itupun berhenti pula.
Ki Ajarpun kemudian berkata kepada muridnya " Tunjukkan
kekuatanmu, agar orang ini yakin, bahwa kita akan berhasil. "
" Siapakah orang itu" " bertanya Ki Sudagar.
" Muridku. Itupun bukan Putut yang tertua diantara saudarasaudara
seperguruannya. " jawab Ki Ajar.
Ki Sudagar termangu-mangu. Namun jantungnya menjadi
berdebaran ketika ia melihat orang itu mendekati sebongkah
batu padas. Kemudian dengan kekuatannya yang luar biasa orang itu
berhasil mengangkat batu padas itu. Sejenak batu itu terayun
diatas kepalanya, namun sesaat kemudian batu itu terlempar
dari tangannya menghantam batu padas yang lain.
Ki Sudagar itu rasa-rasanya bagaikan membeku. Ia melihat
batu padas yang dilontarkan dan yang dikenainya itu samasama
hancur, pecah berserakkan.
Ki Aijar tersenyum melihat wajah Ki Sudagar yang pucat.
Dengan nada rendah orang itu berkata " Ki Sudagar,
bagaimana sekiranya batu itu menimpa kepalamu. Atau
katakan kepala. Agung Sedayu. Kau tahu, yang melakukan itu
adalah muridku. Belum aku sendiri. "
Ki Sudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
sesuatu yang luar biasa. Meskipun sebagai seorang pedagang
yang berkeliling ia sudah melihat banyak sekali peristiwa dan
mengalami banyak sekali kejadian, namun orang yang akan
mencari Agung Sedayu itu agaknya memang orang yang
berilmu tinggi. Ternyata muridnya mampu melakukan sesuatu
yang mendebarkan. Meskipun demikian, orang itu berkata didalam hatinya " Aku
menjadi gemetar melihat permainan ini. Tetapi aku kira Agung
Sedayu bersikap lain. "
Tetapi orang itu tidak mengatakannya. Ia tidak ingin terlibat,
langsung atau tidak langsung.
" Nah, sudahlah Ki Sanak " berkata Ki Ajar " silahkan
melanjutkan perjalanan. Aku tidak akan mengganggumu. "
Demikianlah, maka Ki Ajar membiarkan Ki Sudagar
melangkah kembali meninggalkan hutan perdu untuk kembali
memasuki jalan yang semula dilaluinya.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Dan bahkan iapun
telah berlindung dibalik semak-semak ketika ia melihat
Pandan Wangi dan laki-laki tua yang mengaku kakeknya itu
lewat. " Lebih baik berada dibelakangnya " berkata Ki Sudagar "
dengan berkuda, mereka akan berjalan lebih cepat."
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Kiai Gringsing dan
Pandan Wangi itu telah meninggalkan Ki Sudagar semakin
jauh. Namun Ki Sudagar itu menarik nafas dalam-dalam, ketika
tiba-tiba saja dibelakangnya ia mendengar suara " Kau sempat
juga bersembunyi Ki Sudagar. "
Ki Sudagar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
kemudian tersenyum. Katanya " Aku tidak ingin terlibat dalam
persoalan dengan orang-orang itu. "
" Bukankah mereka hanya lewat" " bertanya Ki Ajar.
" Ah " Ki Sudagar tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.
Ki Ajar memandanginya sambil tersenyum. Namun ia tidak
berkata apapun juga tentang Ki Sudagar itu.
Namun demikian, Ki Ajar itu telah mengajak muridnya untuk
beristirahat saja di hutan perdu itu. Mereka masih harus
menemui kawan-kawannya yang lain justru ditanggul Kali
Praga. " Mereka akan terlalu lama menunggu " desis murid Ki Ajar.
" Merekapun perlu beristirahat " berkata Ki Ajar " atau
barangkali kau saja pergi ke tanggul. Bawa mereka kemari. "
Muridnya mengangguk-angguk. Iapun kemudian
meninggalkan gurunya untuk menjemput saudara-saudara
seperguruannya, sehingga kemudian, mereka telah berkumpul
beristirahat disebuah hutan perdu yang jarang dilalui orang.
Sementara itu, Ki Sudagar telah berjalan semakin jauh dari
tempat itu, apalagi Kiai Gringsing dan Pandan Wangi yang
berkuda. Mereka telah melewati jalan-jalan bulak di Tanah
Perdikan Menoreh. Menuju ke padukuhan induk.
Jika mereka memasuki padukuhan, kehadiran mereka
justru telah mengejutkan. Seperti bermimpi orang-orang
Tanah Perdikan tiba-tiba saja telah melihat Pandan Wangi dan
Kiai Gringsing lewat dijalan padukuhan.
Dengan serta merta mereka telah menyapa sambil
mengangguk hormat. Kiai Gringsing dan Pandan Wangipun telah menangguk
pula sambil tersenyum Sekali-sekali mereka menjawab sapa
orang-orang yang berpapasan di jalan. Bahkan kadangkadang
Pandan Wangi dan Kiai Gringsing harus berhenti
barang sejenak, jika mereka melihat sekelompok orang yang
keheran:heranan melihat keduanya tiba-tiba sudah ada
dihadapan mereka. Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi
lambat. Namun demikian, akhirnya mereka telah memasuki
padukuhan induk pula. "Aku antar kau langsung kerumah Ki Gede " berkata Kiai
Gringsing " baru kemudian aku pergi kerumah Agung Sedayu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Terima
kasih Kiai. Atau barangkali Kiai akan bermalam saja di-rumah
ayah. " Kiai Gringsing tersenyum. Katanya " Terima, kasih. Tetapi
agaknya lebih baik bagiku bermalam dirumah Agung Sedayu
saja. " ' Pandan Wangipun tersenyum pula. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu, karena mereka telah menghampiri regol
halaman rumah Ki Gede. Kedatangan Pandan Wangi dan Kiai Gringsing tanpa
Swandaru memang mengejutkan. Ki Gede dengan serta merta telah menyambutnya. Yang pertama-tama diper tanyakannya adalah Swandaru.
" Kenapa kau pergi sendiri" Dimana suamimu" " bertanya
Ki Gede dengan nada mendesak.
Tetapi Pandan Wangi tersenyum. Katanya " Kakang
Swandaru sedang sibuk. Ayah, aku memang datang bersama
Kiai Gringsing. Tetapi atas ijin kakang Swandaru. "
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "
Marilah, silahkan masuk. "
Pandang Wangi dan Kiai Gringsing telah dipersilahkan
masuk. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka, maka merka
langsung naik ke ruang dalam.
Sejenak kemudian mereka telah duduk sambil berbincang.
Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Ki Gede telah
menyatakan kecemasan yang mencengkam. Namun ternyata
bahwa ia harus tertawa menerima kedatangan anak
perempuannya tanpa suaminya, karena diantara mereka tidak
terjadi sesuatu. " Semula aku menjadi cemas. Barangkali telah terjadi
sesuatu dengan Swandaru, sehingga kau harus datang sendiri
untuk memberitahukan hal itu kepadaku sehingga kau telah
diantar oleh Kiai Gringsing. " berkata Ki Gede sambil tertawa.
Pandan Wangipun tertawa pula. Katanya kemudian "Kiai


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gringsing yang mula-mula berniat pergi ke Tanah Perdikan.
Akulah yang kemudian menyatakan diri untuk mengikutinya.
Karena kakang Swandaru sedang sibuk, maka kakang
Swandaru tidak berkeberatan jika aku pergi bersama Kiai
Gringsing, karena aku memang sudah agak lama tidak melihat
kampung halaman ini. "
Dengan demikian maka pertemuan itupun menjadi cerah
dan tidak dibayangi oleh perasaan cemas tentang persoalan
yang menyangkut anak perempuannya yang datang sendiri
tanpa suaminya. Kiai Gringsing untuk beberapa saat berada di rumah Ki
Gede. Namun kemudian, setelah dihidangkan minuman dan
makanan, maka Kiai Gringsingpun minta diri untuk pergi
kerumah Agung Sedayu. " Kenapa tergesa-gesa" " bertanya Ki Gede.
" Sudah agak lama aku tidak bertemu dengan anak itu "
jawab Kiai Gringsing " rasa-rasanya ingin juga segera
menemuinya. " Ki Gede dan Pandan Wangipun kemudian tidak
menahannya lagi. Mereka telah mengantar Kiai Gringsing
sampai keregol halaman, dan kemudian melepaskan Kiai
Gringsing berkuda ke rumah Agung Sedayu.
Seperti Ki Gede,. Agung Sedayu yang kebetulan sedang
berada dirumahnyapun telah terkejut pula. Namun setelah Kiai
Gringsing duduk diruang dalam bersama Sekar Mirah dan Ki
Jagaraga pula, maka ternyata bahwa tidak ada persoalan
penting yang mereka hadapi.
" Aku hanya tiba-tiba saja ingin melihat apa yang telah agak
lama tidak aku lihat disini " berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Terima
kasih guru, bahwa guru telah memerlukan datang untuk
melihat keadaan kami disini. Agaknya kami disini baik-baik
saja, selain sedikit kegelisahan karena kepergian Glagah
Putih. - Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian menceriterakan serba sedikit tentang dorongan
yang telah membawanya ke Tanah Perdikan.
" Sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan Tanah
Perdikan ini. Tetapi tiba-tiba saja aku ingin datang kemari "
berkata Kiai Gringsing. Tetapi Agung Sedayu menyahut. Kadang-kadang sesuatu
telah terjadi didalam diri kita. Tetapi kita tidak tahu bagaimana
kita harus mengurainya. "
" Kau benar " berkata Kiai Gringsing " aku memang sedang
memikirkan Glagah Putih pula. Entahlah, apakah ada
hubungannya atau tidak. "
" Bagaimanapun juga kita berdoa bagi Glagah Putih "
berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk mengiakannya.
Sejenak mereka terdiam. Mereka justru membayangkan
perjalanan Glagah Putih kearah Timur untuk melakukan tugas
yang dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada
puteranya Raden Rangga. Namun agaknya karena saat
terjadinya peristiwa yang dianggap bersalah itu Raden
Rangga bersama dengan Glagah Putih, maka Glagah
Putihpun telah ikut pula menanggung beban tugas sebagai
hukumannya. Tetapi ternyata bahwa Panembahan Senapati telah
memperlunak hukumannya. Keduanya mendapat waktu tanpa
batas, sehingga keduanya tidak terikat pada satu keharusan
untuk menyelesaikan tugas itu pada jangka waktu tertentu.
Glagah Putih sendiri pada saat itu telah berjalan semakin
jauh. Tetapi seperti yang dilakukan Raden Rangga
sebelumnya, mereka terlalu sering berhenti di padukuhanpadukuhan.
Kadang-kadang keduanya telah melakukan kerja
orang-orang padukuhan itu, ditempat mereka singgah. Namun
kadang-kadang keduanya telah membuat orang-orang
padukuhan menjadi terheran-heran atas kemampuan mereka.
Sekelompok penyamun yang kebetulan menjumpai anakanak
muda itu benar-benar telah dibuat jera. Pemimpinnya
telah kehilangan kemungkinan untuk dapat melakukan
kejahatan lagi, karena dalam pertempuran dengan Raden
Rangga tubuhnya telah menjadi cacat.
Dengan demikian maka perjalanan kedua anak muda itu
memang bagaikan siput yang merangkak lamban sekali.
Namun seperti yang telah dikatakan, Raden Rangga telah
memasuki keadaan Tapa Ngrame. Sehingga mau tidak mau
Glagah Putih harus ikut melakukannya juga, menyatakan atau
tidak menyatakan dirinya memasuki keadaan itu.
Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jagaraga
berkata " Kita anggap saja perjalanan itu sebagai ujian
mereka. Setelah kita memberi bekal secukupnya kepada
Glagah Putih serta bekal yang telah dimiliki sendiri oleh Raden
Rangga, maka kita lepas keduanya mengenali dunia ini
dengan segala macam isi dan warnanya. "
" Ya " Kiai Gringsing mengangguk-angguk " semoga
mereka berhasil. " " Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu " ber^ kata Ki
Jagaraga " kita harus selalu berdoa bagi keduanya.
Demikianlah, maka pembicaraan merekapun kemudian
telah bergeser dari Glagah Putih dan Raden Rangga kepada
keadaan mereka sehari-hari. Keadaan Tanah Perdikan
Menoreh dan usaha Agung Sedayu untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup Tanah Perdikan itu sendiri.
Namun akhirnya mereka berbicara pula tentang Sangkal
Putung yang telah menjadi semakin baik dibawah tuntun
Swandaru meskipun dengan cara yang agak lebih keras dari
yang ditempuh oleh Agung Sedayu, tetapi manfaat kerja
mereka yang didorong oleh sikap-sikap Swandaru yang lebih
keras dari Agung Sedayu itu nampak berhasil, sehingga
orang-orang Kademangan Sangkal Putung tidak meny%
salinya. Bahkan mereka telah didorong oleh kerja yang lebih
keras untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Tetapi pembicaraan itupun kemudian sampai juga pada
usaha Swandaru dan Pandan Wangi meningkatkan ilmu
mereka. Bagaimanapun juga, bagi seorang pemimpin seperti
Swandaru, ilmu akan menjadi modal yang sangat berharga-
Dengan pembicaraan yang bergeser kesana kemari, maka
mereka telah sampai pada waktu untuk makan.' Kemudian
setelah makan,,Kiai Gringsing telah mendapatkan waktu
khusus berbicara dengan Agung Sedayu tentang kitab yang
dibawanya. " O " Agung Sedayu mengangguk-angguk " terima kasih
guru. Kemudian kitab itu akan aku kembahkan kepada
Swandaru. " " Baiklah. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Pergunakan
waktu yang menjadi hakmu. Agaknya Swandaru menilaimu
keliru. Ia menganggap bahwa kau tidak tertarik lagi pada isi
kitab itu dan puas dengan apa yang telah kau miliki sekarang.
" " Baik guru " jawab Agung Sedayu " namun agaknya
dugaan Swandaru itu ada juga benarnya. Aku memang
menjadi malas untuk meningkatkan ilmu. Kehadiran guru
besar artinya bagiku, karena guru telah memperbaharui
tekadku untuk meningkatkan ilmuku yang terhenti. "
" Tetapi kau telah berada ditataran yang lebih tinggi dari
yang diduga oleh Swandaru " berkata Kiai Gringsing "
meskipun demikian, aku ingin melihat, tingkat-tingkat ilmu
yang sudah kau miliki sekarang. "
" Kita akan dapat pergi ke Sanggar Kiai " berkata Agung
Sedayu " disanggar guru akan dapat melihat dan barangkah
memberikan arah yang lebih baik bagiku. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Besok
malam kita akan melihat. Tidak ada salahnya jika Ki Jagaraga
dan Sekar Mirah ikut pula bersama-sama dengan kita.
Sebenarnyalah hari itu Kiai Gringsing benar-benar
beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum senja, Kiai
Gringsing sempat melihat-lihat jalan padukuhan yang semakin
sepi. Kemudian dimalam hari, setelah makan malam dan
berbicara serba sedikit tentang bermacam-macam persoalan,
maka mereka cepat pergi ke pembaringan.
Namun pembantu rumah itulah yang kemudian pergi ke
sungai untuk melihat pliridannya. Setiap hari ia mengeluh,
karena ia harus melakukannya sendiri. Kadang-kadang ia
berniat untuk membiarkan saja pliridannya terbuka. Tetapi
rasa-rasanya sayang juga bahwa ikannya tidak terjaring
kedalam wuwu. Untunglah bahwa kadang-kadang ia turun ke sungai
bersamaan dengan kawannya yang juga membuka pliridan
tidak terlalu jauh dari pliridannya, sehingga kadang-kadang
mereka dapat bersama-sama menunggui pliridannya dini hari
menjelang dibuka. Tetapi sementara itu, ternyata bahwa rumah Agung Sedayu
telah diamati oleh dua orang yang lewat pada malam hari
dijalan padukuhan tidak melalui regol yang ditunggui oleh para
peronda dari padukuhan itu.
Bagi kedua orang itu, sama sekali tidak ada kesulitan untuk
memasuki padukuhan induk dengan meloncati dinding
padukuhan. Ternyata seperti yang/dikatakan oleh Ki Sudagar, maka
tidak ada kesulitan apapun untuk mengetahui keadaan Agung
Sedayu menurut gelar kewadagannya. Semua orang Tanah
Perdikan mengetahui siapakah Agung Sedayu. Apa pula yang
sudah dilakukan bagi Tanah Perdikan itu.
Ki Ajar Laksanapun telah mendengar pula siapakah isteri
Agung Sedayu, seorang perempuan yang memiliki ilmu yang
tinggi, sebagaimana anak perempuan Kepala Tanah Perdikan
itu, yang kemudian kawin dengan anak Ki Demang Sangkal
Putung. Kepada muridnya Ki Ajar itu berkata " Tentu perempuan
yang lewat menyeberangi Kali Praga bersama kakeknya itu. "
Muridnya mengangguk- Katanya " Ternyata di Tanah
Perdikan ini terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi.
"Ya " jawab Ki Ajar " tetapi kita belum tahu, seberapa
tataran ketinggian ilmu itu. "
" Kita dapat menduganya Ki Ajar " jawab muridnya "
saudara sepupu Agung Sedayu itu mampu membunuh
seorang diantara kita. "
Jilid 212 "IA bersama dengan Raden Rangga pada waktu itu, putera Panembahan Senapati." jawab Ki Ajar.
"Tetapi keduanya masih sangat muda." berkata muridnya, "karena itu, aku klra setidak tidaknya kemampuan Agung Sedayu setingkat atau bahkan lebih tinggi dari saudara sepupunya yang masih muda itu."
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga kemampuan mereka adalah kemampuan anak-anak. Mereka masih aku anggap pada tataran muridku. Apakah kau gentar seandainya tiba-tiba saja kau berhadapan dengan Agung Sedayu, saudara sepupu dari anak muda yang pernah membunuh saudara seperguruanmu?"
"Tentu tidak guru." jawab orang itu, "saudaraku yang terbunuh itu adaiah terhitung saudara muda bagiku .Aku yakin, bahwa seandainya pada waktu itu, bukan dua orang saudara mudaku yang masih belurn banyak berpengalaman itu yang hadir dipadukuhari itu, maka kedua orang anak ingusan itu tentu sudah binasa."
"Nah, bukankah dengan demikian dugaanmu dan dugaanku tidak berbeda bahwa Agung Sedayu itu bukan orang yang harus ditakuti. Demikian pula dengan isterinya dan anak perempuan Ki Gede itu. Bahkan mungkin Ki Gede sendiri." berkata Ki Ajar.
Muridnya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia sependapat dengan gurunya.
Malam itu, Ki Ajar dan seorang muridnya telah melihat-lihat rumah Agung Sedayu. Mereka memang masih belum akan berbuat sesuatu. Mereka hanya sekedar ingin melihat dan sedikit mengamati sikap para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Apakah mereka siap untuk melakukan langkah yang cepat atau tidak. Tetapi Ki Ajar Laksana tidak banyak memperhitungkan para pengawal. Ia ingin menyelesaikan persoalannya diluar keikut sertaan para pengawal.
"Kecuali jika ternyata Agung Sedayu itu pengecut." berkata Ki Ajar.
Demikianlah, malam itu Ki Ajar telah melihat-lihat rumah Agung Sedayu tanpa melihat isinya. Dirumah itu tinggal Agung Sedayu, isterinya Sekar Mirah, Ki Jagaraga dan seorang tamu, Kiai Gringsing.
Namun Ki Ajar itu terkejut ketika ia melihat sesosok tubuh memasuki regol halaman. Dengan serta merta bersama muridnya ia berlindung pada sebatang pohon perdu yang menjadi salah satu bagian tanaman hias di halaman rumah Agung Sedayu. Serumpun pohon ceplok piring yang rimbun.
Ternyata yang memasuki halaman adalah anak yang masih remaja. Dipundaknya disandang cangkul dan dijin-jingnya kepis berisi ikan.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu baru saja turun ke silngai untuk mencari ikan,
Meskipun demikian, Ki Ajar dan muridnya terpaksa menunggu anak itu masuk lewat pintu belakang.
Sejenak kemudian rumah itu menjadi sepi kembali. Agaknya para penghuni yang lain tidak terbangun oleh suara derik pintu yang dibuka oleh anak itu.
Demikianlah maka Ki Ajar itupun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu dan kembali ketempat persembunyian mereka, Kepada murid-muridnya Ki Ajar memberitahukan, bahwa ia sudah melihat rumah Agung Sedayu. Mudah-mudahan yang dilihatnya itu benar. Bukan sasaran yang salah.
"Lalu apakah yang akan kita lakukan?" bertanya se"orang muridnya.
"Besok aku akan menemuinya dan menanyakan kepadanya apakah Glagah Putih ada dirumah." berkata Ki Ajar.
"Jika belum?" bertanya muridnya yang lain.
"Jika belum atau ada kesengajaan untuk menyembunyikan, maka kita dapat mengambil langkah-langkah yang kita anggap perlu. Jika perlu kita ambil Agung Se"dayu. Sebelum anak yang bersama Glagah Putih itu menyerahkan dirinya kepada kita, maka Agung Sedayu tidak akan kita lepaskan."
"Dan kita akan memelihara Agung Sedayu itu sampai kapan" Jika benar ia berilmu tinggi, maka untuk menjaganya diperlukan orang-orang tertentu agar orang itu tidak melarikan diri." berkata seorang muridnya.
"Tentu dengan batas waktu tertentu." berkata Ki Ajar, "jika dalam batas waktu tertentu anak yang bersama Glagah Putih itu tidak datang, maka kita akan benar-benar membunuh Agung Sedayu sebagai ganti kematian seorang keluarga kita. Bahkan kita masih akan tetap memburu anak yang bersama Glagah Putih, bahkan jika ada kesempatan, anak Panembahan Senapati itupun akan kita selesaikan pula."
Murid-muridnya mengangguk-angguk. Mereka terlalu yakin akan kemampuan gurunya, sehingga dengan demi"kian maka mereka sama sekali tidak menjadi ragu-ragu un"tuk bertindak. Mereka merasa sekelompok murid dan bahkan bersama gurunya, dari sebuah perguruan yang be"sar dan berpengaruh, sehingga mereka benar-benar merasa terhina bahwa seorang diantara mereka telah terbunuh.
Dihari berikutnya, setelah berbenah diri, maka Ki Ajar bersama seorang muridnya telah dengan tanpa ragu-ragu pula pergi kerumah Agung Sedayu. Sebagai seorang guru dari sebuah perguruan yang besar maka ia tidak ingin merunduk seperti seekor kucing yang ingin menangkap tikus, Ki Ajar akan datang dengan mengetuk pintu dan masuk ke rumah Agung Sedayu dengan dada tengadah.
Demikianlah, ketika matahari baru saja naik, selagi Agung Sedayu berkemas untuk pergi ke rumah Ki Gede Menoreh untuk merencanakan perbaikan ujung sebuah jalan padukuhan, dua orang telah memasuki regol halaman rumahnya. Agung Sedayu yang merasa belum mengenal orang itu, telah menyongsongnya sambil mempersilahkannya masuk.
"Kami ingin bertemu dengan Agung Sedayu." ber"kata. Ki Ajar Laksana.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, "Akulah Agung Sedayu. Marilah, silahkan naik ke pendapa."
Orang itu mengerutkan keningnya. Agung Sedayu memang masih muda. Tetapi ia tidak nampak garang. Bahkan sikapnya wajar dan tidak lebih dari sikap orang-orang Tanah Perdikan yang lain.
Tetapi setiap orang di Tanah Perdikan itu, orang-orang di pasar dan waning-warung terlalu mengaguminya karena ilmunya yang tinggi, sikapnya yang ramah dan kemampuannya bekerja yang sangat besar bagi Tanah Perdikan itu, tanpa pamrih pribadi. Karena ternyata hidupnyapun sederhana, la tidak menjadi kaya karenanya dan tidak memiliki sesuatu yang berlebihan.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah duduk di pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak besar. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya, "Siapakah Ki Sanak sebenarnya. Dan apakah barangkali ada persoalan yang penting sehingga Ki Sanak telah mencari aku di padukuhan ini?"
"Agung Sedayu." berkata. Ki Ajar, "aku adalah seorang yang tinggal di sebuah padepokan. Aku memimpin sebuah perguruan yang besar yang dapat aku kerahkan setiap saat jika aku kehendaki. Bahkan pengikutku bukan saja mund-muridku dari perguranku, tetapi beberapa orang Kademangan di sekitar padepokanku ternyata mempunyai sikap dan pendirian yang sama dengan aku, atau katakan mereka telah menjadi pengikutku."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la merasa bahwa sesuatu agaknya telah terjadi. Orang itu mulai membicarakannya dengan pengantar yang mendebarkan jantung.
Namun Agung Sedayu tidak memotongnya dibiarkan nya orang itu berkata selanjutnya, "Nah, setelah kau mendapat sedikit gambaran tentang aku, dan latar belakang kehidupanku, maka aku akan berbicara tentang keperluanku datang kemari." orang itu berhenti sejenak, lalu, "Agung Sedayu, benarkah bahwa Glagah Putih itu saudara sepupumu?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Ada apa dengan Glagah Putih Ki Sanak. Anak itu memang saudara sepupuku."
"Bagus." berkata Ki Ajar, "sebenarnya aku berkepentingan dengan Glagah Putih, tidak dengan kau. Tetapi karena. yang kami ketahui tentang Glagah Putih ter"lalu sedikit, yaitu bahwa Glagah Putih adalah saudara sepupu Agung Sedayu, maka aku datang untuk menemuimu."
Agung Sedyu mengangguk-angguk. Namun ia sudah merasa bahwa telah terjadi persoalan yang gawat antara Glagah Putih dengan orang-orang dari perguruan yang telah datang kepadanya itu.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu kemudian, "persoalan apakah yang telah timbul antara kalian dengan Glagah Putih?"
"Baiklah aku langsung pada persoalannya. Glagah Putih telah membunuh salah seorang diantara murid-muridku. Memang bukan muridku yang cukup baik. Muridku yang baru mulai meningkatkan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi. Karena itu, kami datang untuk membuat perhitungan dengan Glagah Putih."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Glagah Putih telah menempuh perjalanan bersama Raden Rangga, sehingga kemungklnan-kemungkinan yang bermacam-macam dapat mereka lakukan. Bahkan agaknya Glagah Putih dan sudah barang tentu bersama-sama Raden Rangga telah terlibat kedalam satu pertengkaran sehingga mereka telah membunuh lagi.
"Agung Sedayu." berkata orang itu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, "Kau jangan menyembunyikan anak itu agar kau tidak kami libatkan kedalam kesalahannya. Panggil Glagah Putih dan biarlah kami mem"buat perhitungan dengan anak itu."
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "Glagah Putih sekarang tidak ada di rumah. Sebagaimana kau katakan, peristiwa itu terjadi di satu tempat, dan barangkali Ki Sanak nanti dapat memberitahukan kepadaku, dimana. Sampai sekarang anak itu masih belum kembali."
"Jangan berbohong." berkata Ki Ajar, "aku yang menyusulnya sudah sampai di sini. Padahal aku berangkat lewat beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi. Apalagi aku menempuh perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Nah, jangan mencoba melindungi anak itu. Anak itu tentu sudah kembali dan menceriterakan apa yang dilakukan. Kemudian anak itu bersembunyi. Agung Sedayu, ceriterakan kepada kami dimana anak itu bersembunyi atau kau sendirilah yang memanggilnya dan menyerahkannya kepadaku."
"Ki Sanak. Anak itu belum kembali. Akupun belum mendengar peristiwa sebagaimana kau ceriterakan itu. Karena itu, bagaimana mungkin aku melindunginya. Jika benar sepupuku itu bersalah, maka aku tentu akan membiarkannya menerima hukuman yang pantas baginya." jawab Agung Sedayu.
Tetapi orang itu agaknya tidak memepercayainya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemu"dian dengan suara yang dalam orang itu berkata, "Aku me"mang sudah mengira Agung Sedayu. Kau tentu akan melin"dungi saudara sepupumu. Tetapi ketahuilah, bahwa kami menuntut hutang sepupumu itu terbayar. Karena sepu"pumu tidak ada maka kaulah yang wajib membayarnya. Atau kau dapat menunjukkan siapa ayah Glagah Putih dan dimana rumahnya. Jika kau ingin melepaskan tanggung jawabmu dan melemparkannya kepada ayahnya, maka aku akan datang kepada ayahnya. Mengambil anak itu atau ayahnya jika ia melindungi anaknya, sebagaimana sikapku kepadamu. Atau kau mungkin akan membebankan tang"gung jawab kepada siapapun juga, jika kau sendiri tidak berani menanggungkannya."
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, "Jangan begitu Ki Sanak. Sebaiknya kita berbicara dengan baik. Kita ingin memecahkan suatu persoalan. Karena itu, kita harus menelusuri persoalan itu dengan cermat."
Ki Ajar tersenyum. Katanya, "Agung Sedayu. Aku tidak terbiasa bersikap dengan lemah lembut dan dengan berbagai macam basa basi, Aku adalah seorang yang lebih senang berbicara langsung kepada persoalannya. Karena itu, sebaiknya katakan dimana Glagah Putih. Di rumah ayahnya, di rumah pamannya atau bersembunyi di goa-goa di lereng perbukitan atau bersembunyi di Mataram, ber"sama Raden Rangga."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. "Baiklah Jika kau ingin langsung pada persoalannya. Sekali lagi aku beritahukan, bahwa sejak anak itu pergi, Glagah Putih belum pernah kembali Akupun tidak tahu seandainya ia memang berada di Mataram bersama Raden Rangga. Nah, barangkali jawabanku cukup jelas."
"Bagus." Ki Ajar itu mengangguk-angguk, "jika demikian maka aku akan menempuh cara yang kedua. Mengambil kau sebagai gantinya untuk waktu tertentu. Jika dalam dua pekan Glagah Putih belum menyerahkan dirinya kepadaku, maka kau akan mengalami nasib yang buruk. Kau akan menjadi pengganti seorang diantara keluarga kami yang terbunuh itu. Karena kami telah berjanji di dalam diri kami, bahwa darah yang menitik harus ditebus dengan darah pula."
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "kau belum menyelidiki siapa yang bersalah dalam hal ini. Bagaimanakah jika sepupuku itu hanya sekedar mempertahankan dirinya" Apakah dalam hal ini kau juga berpegang pada janji didalam dirimu, bahwa darah yang menitik harus ditebus dengan darah."
"Seberapa kesalahan seseorang, tetapi apakah sepupumu berhak mengadilinya dan membunuh muridku?" bertanya Ki Ajar.
"Bukan mengadili. Tetapi sekedar membela diri, karena muridmulah yang menimbulkan pertengkaran dan kemudian perkelahian diantara mereka." berkata Agung Sedayu.
"Aku tidak peduli pada sebabnya. Tetapi aku melihat pada kenyataan yang terjadi. Glagah Putih sudah mem"bunuh muridku. Kami, seperguruan akan menuntut balas."
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu kemudian, "jika muridmu itu terbunuh, apakah itu bukan salah muridmu sendiri. Itu berarti bahwa muridmu kalah dari sepupuku itu. Jika ia memiliki kemampuan untuk mempertahankan hidupnya, maka muridmu itu tentu tidak akan mati. Karena itu, untuk apa sebenarnya Ki Sanak membela kematian murid Ki Sanak itu. Seharusnya Ki Sanak berterima kasih kepada sepupuku, karena sepupuku sudah ikut menyaring murid-murid Ki Sanak."
"Hem." orang itu menggeram, "ternyata kata-katamu membuat telingaku merah. Tetapi aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ternyata kau tidak gentar melihat kehadiran kami."
"Aku tidak merasa perlu untuk saling menakuti." berkata Agung Sedayu. "Sebenarnya aku masih mengharap bahwa persoalannya akan dapat diselesaikan dengan baik."
"Baiklah Agung Sedayu." berkata Ki Ajar, "aku memberimu waktu dalam sepekan. Aku akan kembali lagi kemari dan minta anak itu kau serahkan kepadaku. Jika tidak, maka kau akan aku bawa. Sementara itu siapapun diantara keluargamu harus memberitahukan hal itu kepada sepupumu. Aku hanya akan memberi waktu kepadanya un"tuk dua pekan. Jika dalam dua pekan anak itu tidak datang, maka kau akan bernasib buruk. Kau akan mati tanpa arti apapun di padepokanku kelak."
Agung Sedyu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Aku tidak dapat mengatakannya, apakah dalam waktu sepekan ini anak itu kembali atau tidak."
"Semuanya tergantung kepadanya." jawab Ki Ajar, "aku sudah mengatakan apa yang mungkin terjadi atasmu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia menjawab Ki Ajar itu berkata, "Aku minta diri. Aku akan datang lagi sepekan lagi. Selama ini aku akan berkeliaran di sekitar Tanah Perdikan ini. Namun ingat. Kau tidak perlu mencoba mengerahkan anak-anak muda dan para pengawal untuk melindungimu. Cara itu tidak akan menolongmu. Bahkan mungkin hanya akan menambah korban saja. Seandainya para pengawal untuk melindungimu, sampai kapan hal itu akan dilakukan dan apakah setiap kau bergeser dari rumahmu, sepasukan pengawal akan selalu mengikutimu, meskipun sebenarnya sepasukan pengawal itupun tidak berarti apa-apa bagi kami."
Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjawab, "Pintuku selalu terbuka Ki Sanak. Sepekan lagi atau bahkan besok pagi. Regol itu tidak pernah diselarak siang dan malam."
"Ternyata kau adalah seorang yang sangat sombong. Mungkin karena kau belum mengenali aku. Aku adalah Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung." geram orang itu, "Jika kau mengenal seorang saja dari orang-orang berilmu tinggi yang sudah berusia lewat pertengahan, kau akan mendengar daripadanya, siapakah Ki Ajar Laksana itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja kedua orang tamunya yang turun dari pendapa dan melintasi halaman. Namun Agung Sedayupun kemudian turun pula dari pendapa ketika ia melihat seorang yang memasuki regol dan berpapasan dengan kedua orang yang meninggalkan halaman itu.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemu"dian kedua orang itu melangkah terus dan keluar dari ha"laman. Orang yang baru masuk itu mendekati Agung Sedayu sambil bertanya, "Siapakah mereka?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "Orang itu mengaku bernama Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung."
Ki Jayaraga yang baru datang itu mengerutkan kening"nya. Dengan nada ragu ia berkata, "Ki Ajar Laksana" Apa"kah benar orang itu Ki Ajar Laksana?"
"Menurut pengakuannya, orang itu memang Ki Ajar Laksana." sahut Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan kerut dikening dipandanginya pintu regol yang terbuka itu. Tetapi kedua orang yang meninggalkan halaman itu sudah tidak nampak lagi.
"Aku pernah mendengar namanya." berkata Ki Jaya"raga, "tetapi baru kali ini aku melihat orangnya. Ternyata bayanganku tentang Ki Ajar Laksana agak berbeda dengan ujudnya jika benar orang itu Ki Ajar Laksana."
"Ia memang mengaku Ki Ajar Laksana dari per"guruan Watu Gulung." jawab Agung Sedayu.
"Kenapa orang itu datang kemari?" bertanya Ki Jayaraga.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berpaling ketika ia mendengar pintu pringgitan ter"buka. Ia melihat Sekar Mirah dan Kiai Gringsing keluar dan langsung mendekatinya.
"Kami mendengar pembicarakan kalian." berkata Sekar Mirah.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O" Agung Sedayu tersenyum. Katanya kemudian, "apakah itu satu kebiasaan baru untuk mendengarkan orang berbincang?"
"Ah, kau." desis Sekar Mirah, "Aku bersungguh-sungguh. Aku mula-mula tidak sengaja mendengarkan. Ka"rena ada tamu di pendapa maka aku ingin melihat, apakah aku sudah mengenalnya atau belum. Mungkin aku harus menyediakan minuman atau tidak. Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, aku memang melihat dua orang yang belum aku kenal sama sekali. Namun rasa-rasanya pembicaraan yang tidak begitu ramah telah terjadi. Karena itu, aku justru telah mendengarkannya. Bahkan aku telah mengajak Kiai Gringsing untuk ikut mendengarkan pula."
"Apakah Kiai pernah mengenal perguruan Watu Gulung?" bertanya Ki Jayaraga.
"Aku pernah mendengarnya." jawab Kiai Gringsing, "tetapi aku belum pernah secara langsung berhubungan. Menurut penilaianku, perguruan Watu Gulung termasuk perguruan yang menyusul kemudian. Bukan satu perguruan yang termasuk perguruan yang tua."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Tentu seorang yang pernah berguru pada perguruan yang lebih tua dan kemudian mendirikan pergu"ruan sendiri."
"Menurut pendengaranku, perguruan Watu Gulung adalah perguruan yang besar menurut pengakuan Ki Ajar Laksana." berkata Sekar Mirah.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi apakah keperluannya datang kemari" Tentu bukannya sekedar menengok yang bernama Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Marilah, kita berbicara di dalam."
Keempat orang itu kemudian masuk keruang dalam. Agung Sedayupun kemudian menceriterakan semua pembicaraannya dengan tamunya yang mengaku bernama Ki Ajar Laksana.
Ki Jayaraga yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia ber"kata, "jadi masalahnya adalah seorang guru yang merasa kehilangan muridnya."
"Ya." berkata Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Sebe"narnya aneh jika Ki Ajar Laksana sendiri yang menangani persoalannya."
"Tetapi ia adalah gurunya. Guru dari orang yang telah terbunuh oleh Glagah Putih dan Raden Rangga." berkata Agung Sedayu.
"Baiklah." berkata Ki Jayaraga, "jika anak-anak berkelahi dan orang tuanya ikut campur, maka biarlah yang tua menghadapi yang tua, Jika Ki Ajar Laksana merasa dirinya guru orang yang terbunuh itu, maka akupun merasa bahwa Glagah Putih adalah muridku meskipun barangkali hubungan antara guru dan murid di perguruan Watu Gulung berbeda dengan hubungan guru dan murid diperguruan yang tidak punya nama lagi. Atau aku harus membuat nama dalam saat yang tiba-tiba ini."
"Ki Jayaraga." berkata Agung Sedayu, "yang dicari disini bukan guru Glagah Putih, tetapi aku, sepupunya dan bernama Agung Sedayu. Aku mempunyai waktu sepekan untuk menemukan Glagah Putih. Jika tidak, maka aku akan diambilnya dan menjadi semacam taruhan. Jika dua pekan kemudian Glagah Putih tidak menyerah, maka aku akan dibunuhnya."
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "Seperti membunuh seekor jengkerik saja. Agaknya orang yang bernama Ki Ajar Laksana itu belum mengenali nama-nama yang sudah banyak didengar di Mataram. Agaknya orang itu tidak per"nah memperhatikan pergolakan yang timbul sejak berdirinya Pajang sampai saat Mataram bangkit. Sehingga orang itu tidak mengenali nama-nama yang banyak disebut orang seperti Kiai Gringsing misalnya."
"Ah" sahut Kiai Gringsing, "nama yang tidak punya arti apa-apa bagi Mataram. Apa yang sudah aku lakukan?"
Ki Jagaraga tertawa. Yang lainpun tertawa juga. Bahkan Kiai Gringsingpun tersenyum pula sambil berkata selanjutnya, "Agaknya namaku hanya dikenal di Jati Anom, karena para cantrikku memelihara itik cukup banyak."
"Apa hubungannya nama Kiai dengan itik?" ber"tanya Ki Jagaraga heran.
"Orang mengenalku sebagai Kiai Gringsing telur itik." jawab Kiai Gringsing tertawa.
Yang lain tertawa semakin keras, sehingga pembantu dirumah Agung Sedayu itu menjengukkan kepalanya ke"dalam bilik itu.
Katanya, "Tidak usah Ki Gede. Persoalannya akan aku batasi, antara aku dan orang-orang itu. Jika hal ini melibatkanpara pengawal maka korbannya tentu akanjadi terlalu hanyak."
Namun dalam pada itu, ketika suara tertawa itu mereda, Sekar Mirahlah yang berkata, "Tetapi agaknya per"soalan yang kita hadapi bukan sekedar persoalan telur itik. Orang-orang itu bersungguh-sungguh untuk mengambil kakang Agung Sedayu jika sepekan ini Glagah Putih tidak datang."
"Mudah-mudahan anak itu tidak datang dalam waktu dekat." desis Agung Sedayu, "mungkin orang-orang itu telah berusaha untuk menjebaknya dijalan masuk Tanah Perdikan ini."
"Ya. Bagaimanapun juga Glagah Putih masih terlalu muda. Apalagi orang-orang dari perguruan Watu Gulung itu tentu tidak hanya berdua." berkata Ki Jagaraga.
"Tetapi kehadiran orang itu harus dilaporkan kepada Ki Gede." berkata Agung Sedayu kemudian, "bagaimana"pun juga Ki Gede adalah Kepala Tanah Perdikan ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ki Gede memang harus tahu, bahwa di Tanah Perdikan ini telah berkeliaran beberapa orang dari perguruan Watu Gulung untuk mencari Glagah Putih."
Demikianlah Agung Sedayupun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede. Bahkan kemudian ia tidak akan pergi sendiri, ia akan pergi bersama Sekar Mirah, ka"rena dirumah Ki Gede ada Pandan Wangi. Agaknya banyak hal yang akan dapat mereka percakapkan setelah untuk waktu yang agak lama mereka tidak bertemu.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berkuda menuju kerumah Ki Gede. Meskipun jaraknya terlalu dekat untuk naik kuda, tetapi mereka berdua kemudian berniat untuk mengelilingi Tanah Perdikan. memberikan pesan-pesan kepada anak-anak muda, khususnya para pemimpin pengawal.
Ketika mereka memasuki rumah Ki Gede, maka Sekar Mirahpun dengan tergesa-gesa telah turun dari kudanya, menambatkannya dan berlari menghambur ke ruang dalam lewat butulan untuk langsung menemui Pandan Wangi.
Di pendapa Agung Sedayu telah berbicara dengan Ki Gede. Agung Sedayu langsung melaporkan kehadiran orang-orang dari perguruan Watu Gulung yang mencari Glagah Putih di Tanah Perdikan karena dalam perjalanannya ke Timur, Glagah Putih telah dituduh membunuh seorang murid dari perguruan Watu Gulung.
"Jadi apakah sebaiknya kita mengerahkan para pengawal untuk mencari orang-orang itu diseluruh Tanah Perdikan?"
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Tidak usah Ki Gede. Persoalannya akan aku batasi, antara aku dan orang-orang itu. Jika hal ini melibatkan para pengawal, maka korbannya tentu akan menjadi terlalu banyak. Orang-orang yang mendendam itu tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh."
"Lalu, bagaimana menurut angger Agung Sedayu?" bertanya Ki Gede.
"Biarlah orang-orang itu menemui aku dalam waktu yang sudah ditentukan." jawab Agung Sedayu, "jika kemudian aku akan menemui para pemimpin pengawal, aku justru hanya minta agar mereka mengawasi keadaan. Mere"ka tidak perlu bertindak langsung, karena orang-orang yang datang itu berilmu tinggi. Meskipun dengan jumlah penga"wal yang banyak sekali mereka mungkin akan dapat ditundukkan, tetapi korbannyapun menjadi tidak terhitung jumlahnya. Setiap mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, maka biarlah mereka dengan segera menghubungi aku atau jika keadaan mendesak, mereka dapat memanggil aku dengan isyarat."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Tanah Per"dikan ini sudah mulai nampak berkembang. Namun agak"nya masih harus ada persoalan yang menghambat. Besar atau kecil. Kali ini persoalan yang terjadi jauh dari Tanah Perdikan ini telah memasuki Tanah Perdikan ini pula."
"Mudah-mudahan tidak terlalu rumit Ki Gede." ber"kata Agung Sedayu, "namun kita tidak boleh lengah. Nam"paknya orang-orang Watu Gulung itu memang meyakinkan."
"Baiklah aku serahkan semuanya kepadamu. Namun jika kau memerlukan sesuatu, katakan saja agar kita bersama-sama dapat mengatasinya." berkata Ki Gede.
Dengan demikian maka persoalan orang-orang Watu Gulung itu telah diserahkan sepenuhnya kepada Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu memang tidak ingin menyeret orang lain kedalam persoalan yang menyangkut saudara sepupunya yang juga muridnya itu. Tetapi agak"nya Ki Jagaraga tidak akan melepaskan dirinya dari sikap seorang guru. Apalagi ia tahu, bahwa persoalan yang sebe"narnya terjadi antara Glagah Putih dengan murid orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Laksana itu. Dengan demi"kian, jika gurunya ikut melibatkan diri, iapun merasa berhak pula untuk ikut campur.
Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah keluar pula kependapa. Untuk beberapa saat mereka masih berbicara hilir mudik. Namun kemudian Agung Se"dayu dan Sekar Mirahpun telah minta diri.
Jurus Tanpa Bentuk 6 Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian Bidadari Dari Sungai Es 9
^