Api Di Bukit Menoreh 4
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 4
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun karena Sekar Mirah memang sudah mengetahui serba sedikit tentang hubungan persoalan antara Tanah Perdikan Menoreh dengan Mataram, maka Agung Sedayu-pun telah memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Ia percaya bahwa orang-orang seisi rumahnya itu tidak akan membocorkan rahasia itu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, maka persoalannya akan berbeda."
"Itulah sebabnya sampai saat ini aku masih belum bertindak dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya aku-pun seakan-akan berdiri di persimpangan jalan. Jika aku bersungguh-sungguh dan menangkap orang-orang itu, mungkin langkah orang-orang yang akan memasuki Mataram itu akan berbeda. Tetapi jika aku membiarkannya saja, maka kerusakan dan kegelisahan akan berkembang di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, para prajurit berkuda dari Mataram itu-pun telah mendapat perintah untuk sekedar melakukan pencegahan. Tetapi mereka tidak mendapat perintah untuk menangkap orang-orang yang telah mengacaukan Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, seolah-olah Tanah Perdikan ini sudah dikorbankan untuk satu kepentingan yang dianggap lebih besar dari kerugian yang timbul di Tanah Perdikan sepanjang tidak timbul korban jiwa." Agung Sedayu menjelaskan.
"Jika demikian kita memang harus menunggu" berkata Sekar Mirah, "tetapi begitu kepentingan Mataram selesai, maka kita akan dapat mengambil langkah-langkah penting."
"Agaknya memang demikian" jawab Agung Sedayu, "tetapi sementara ini, kita akan menerima keadaan seperti ini. Kita tidak usah tersinggung karena kehadiran pasukan Mataram. Hal ini memang perlu dijelaskan kepada para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Tetapi nanti, setelah semuanya lewat."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan demikian, maka tugas kakang tentu hanya sekedar menunggu di rumah Ki Gede atau berada di gardu-gardu bersama para pengawal."
"Ya" sahut Agung Sedayu, "para pengawal akan meronda bersama para prajurit dari Mataram. Jika perondaan itu ketat, maka orang-orang itu tentu tidak akan mendapat kesempatan untuk menelan korban berikutnya. Apakah itu sawah, pategalan atau bendungan."
Sebenarnyalah, sejak kehadiran para prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka orang-orang yang bersembunyi itu seakan-akan tidak pernah mendapat kesempatan lagi. Di seluruh Tanah Perdikan dalam kelompok-kelompok kecil mengelilingi seluruh lingkungan Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka sulit bagi sepuluh orang itu untuk menyusup dan melakukan satu pengacauan tanpa dilihat oleh para peronda itu.
Tetapi orang-orang itu tidak juga kehabisan akal. Apa saja yang dapat mereka lakukan telah mereka lakukan. Bahkan mereka yang kehilangan kesempatan itu telah dengan tanpa malu-malu memasukkan jenu ke dalam sungai yang melalui Tanah Perdikan. Mereka telah berada di tepi sungai itu di pinggir hutan sambil membawa beberapa onggok jenu. Kemudian jenu itu telah dicairkan dan dituangkan ke dalam sungai.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh terkejut ketika mereka melihat bangkai ikan yang mengambang di sungai itu. Tidak hanya beberapa ekor, tetapi terlalu banyak.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh hanya dapat pengumpat-umpat saja. Namun Agung Sedayu masih berkata, "Untunglah, mereka tidak menaburkan racun."
"Tetapi pada suatu ketika mungkin sekali hal itu terjadi" berkata Sekar Mirah.
Namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kemudian telah meronda di sepanjang sungai itu pula.
Tetapi orang-orang yang mendapat tugasuntuk mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata sudah puas dengan hasil kerja mereka. Pemimpin mereka-pun kemudian berkata, "Kita sudah dua pekan berada disini."
"Aku kira yang kita lakukan sudah cukup menarik perhatian orang-orang Tanah Perdikan. Kita sudah cukup membuat mereka kebingungan sehingga mereka terpaksa minta perlindungan Mataram. Sepasukan prajurit Mataram itu-pun tidak mampu menangkap kita. Namun agaknya prajurit-prajurit itu akan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama." sahut seorang kawannya. "Nama Agung Sedayu agaknya tidak lebih dari sebutan di dalam mimpi. Jika benar ia berilmu tinggi, maka ia tentu akan dapat menemukan kita dimanapun kita bersembunyi" berkata pemimpin kelompok itu.
"Aku sebenarnya ingin bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu itu" desis seseorang di antara mereka.
Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan nada datar ia berkata, "Jangan mencari perkara."
"Kenapa" Aku ingin membuktikan bahwa di Tanah Perdikan ini tidak ada kekuatan yang perlu dicemaskan kecuali Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh-pun tidak mampu menemukan persembunyian kita dan tidak mampu mencegah tingkah laku kita."
"Tetapi itu tidak termasuk tugas kita" berkata pemimpinnya, "tetapi jika kau akan melakukan, itu bukan tanggung jawabku. Dan sebaiknya kau lakukan setelah kita melaporkan diri kepada para pemimpin kita."
Orang itu nampaknya kecewa sekali. Namun ia tidak dapat melanggar perintah pemimpin kelompoknya.
Sementara itu, di Mataram, persiapan orang-orang yang ingin memasuki istana itu-pun menjadi semakin masak. Bahwa Mataram mengirimkan sepasukan ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi pertanda, bahwa perhatian para pemimpin di Mataram justru tertuju ke arah Tanah Perdikan Menoreh:
Karena itu, maka mereka-pun telah bersiap untuk memasuki istana itu setelah utusan mereka menghadap guru dari para pemimpin kelompok itu telah kembali.
"Guru mempercayakan kepada kita" berkata saudara seperguruan mereka yang menghadap gurunya.
"Apa maksudnya?" bertanya salah seorang saudara seperguruannya.
"Guru yakin bahwa kita akan dapat menyelesaikan persoalan tanpa kehadiran guru. Kita, tiga orang terbaik, akan dapat menyelesaikan Panembahan Senapati menurut penilaian guru. Tetapi menurut guru, kita tidak bertiga dalam keseluruhan, memasuki bilik Panembahan Senapati. Jika kita bertiga, maka seorang harus mengawasi keadaan di luar istana, seorang mengawasi keadaan di dalam istana dan yang seorang lagi akan memasuki bilik Panembahan Senapati." berkata orang yang telah menghadap gurunya itu.
"Apakah itu sudah cukup" Bukankah Panembahan Senapati termasuk orang yang memiliki ilmu yang luar biasa?" bertanya saudara seperguruannya, "pada umurnya yang masih sangat muda, ia telah mampu membunuh Adipati Arya Penangsang."
"Bukan karena ilmu Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati" jawab saudara seperguruannya yang telah menghadap gurunya, "tetapi karena kekuatan tombak Kangjeng Kiai Pleret dan kelengahan Arya Penangsang sendiri. Tanpa tombak Kangjeng Kiai Pleret, Sutawijaya tidak akan mampu melukai kulit Arya Penangsang. Bahkan seandainya Arya Penangsang tidak lengah dengan menyangkutkan ususnya yang keluar itu ke wrangka kerisnya, sehingga ketika ia menarik kerisnya, justru ususnya telah putus, maka Arya Penangsang tidak akan mati jika tidak tergores oleh kerisnya sendiri."
Yang lain-pun mengangguk-angguk. Tetapi ada juga seorang di antara mereka yang meskipun hanya ditunjukkan kepada diri sendiri berkata, "Itu hanya lantaran. Seandainya bukan karena goresan kerisnya sendiri, jika saat itu telah tiba, maka tentu ada sebab lain yang mengantarkannya ke kematian.
Tetapi orang itu tidak mengatakannya, karena tanggapan orang lain mungkin akan berbeda.
Dalam pada itu, saudara seperguruannya yang telah menghadap gurunya itu-pun kemudian berkata, "Mungkin ilmuku memang masih kalah selapis dari Panembahan Senapati. Tetapi guru memberi aku bekal. Betapa tinggi ilmu Panembahan Senapati, namun Panembahan Senapati tidak akan dapat melawan pusaka ini."
Saudara-saudara seperguruannya-pun memperhatikan sepucuk senjata yang dipegang oleh saudaranya yang telah menghadap gurunya itu. Sebilah keris. Perlahan-lahan keris itu ditariknya dari wrangkanya. "
"Pusaka guru" desis seseorang.
"Ya" sahut orang yang memegang keris itu, "Kiai Sarpasri. Keris yang tidak ada duanya."
Yang melihat keris itu rasa-rasanya memang menjadi silau. Keris itu memang berbentuk naga sebagaimana keris Nagasasra, Naga Kumala dan Naga Geni. Tetapi Keris Sarpasri ujudnya lurus, tidak luk sama sekali. Ujung ekor naga dari keris itu terbuat dari emas dan beberapa butir permata nampak menghiasi tubuh naga itu diantara ukiran sisik-sisiknya. Dua buah matanya terbuat dari sepasang intan, sementara di antara giginya yang tajam juga terdapat butir-butir intan.
"Nah, apa kata kalian tentang pusaka ini. Tidak ada seorang-pun yang akan mampu melawan kekuatan keris ini. Panembahan Senapati-pun tidak" jawab orang yang telah menghadap gurunya itu.
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang membawa keris itu meneruskan, "Bukan saja goresannya akan berakibat maut, tetapi cahaya pamornya sudah mempengaruhi lawan. Bahkan ada orang yang dapat menjadi lumpuh hanya melihat cahaya pamor keris ini. Namun karena agaknya Senopati memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak akan menjadi lumpuh, tetapi separo dari ilmunya akan lenyap. Dengan demikian, maka aku akan melawan Panembahan Senapati yang hanya memiliki separo ilmunya yang sebenarnya itu.
"Tetapi ingat" tiba-tiba seorang di antara saudara seperguruannya berkata, "Di Mataram tersimpan tombak Kangjeng Kiai Pleret yang telah membunuh Arya Penangsang seperti yang kau katakan, karena kematian Arya Penangsang bukan karena kemampuan ilmu Raden Sutawijaya."
"Jangan bodoh" sahut saudara seperguruannya yang mendapat keris dari gurunya itu, "aku tidak akan memberi kesempatan Panembahan Senapati menggapai tombaknya atau pusakanya yang manapun juga. Aku harus langsung berdiri dihadapannya dengan keris telanjang. Baru kemudian aku tantang ia berperang tanding."
Saudara-saudara seperguruannya itu-pun mengangguk-angguk mengiakan.
Sementara itu orang yang mendapat pusaka keris Kiai Sarpasri itu berkata, "Aku harus menemukan cara untuk berbuat demikian. Aku akan membuka atap tepat di atas bilik Panembahan Senapati dan turun langsung di depan bilik pembaringannya., Panembaham Senapati akan dengan tergesa-gesa bangun. Namun ia tidak akan sempat memungut pusakanya apa-pun juga."
"Tetapi apakah kau tidak memperhitungkan gedung perbendaharaan dan gedung pusaka" Jika kau berada di atas bangsal pusaka itu, mungkin kau akan mengalami sesuatu yang dapat menggagalkan rencanamu."
"Aku dapat mengetahui dimana bangsal pusaka itu berada. Aku mempunyai kemampuan untuk melihatnya. Tidak dengan mata kewadagan. Karena aku secara khusus sudah mempelajarinya."
Saudara-saudara seperguruannya mengerutkan keningnya. Ternyata saudara seperguruannya yang satu itu telah mendapat ilmu yang khusus dari gurunya. Bahkan mungkin tidak hanya satu jenis ilmu itu. Bahkan orang itu telah mendapat kepercayaan yang sangat besar dengan dipercayakannya pusaka keris Kiai Sarpasri kepadanya. Pusaka yang sebelumnya tidak pernah diberikan kepada, siapa-pun juga.
Namun mereka-pun berkata di dalam hati, "Sebagai murid tertua ia memang berhak mendapatkan ilmu dan kepercayaannya yang lain."
Sementara itu orang yang memegang keris pusaka itu-pun berkata, "Aku kira waktunya-pun sudah tiba. Selagi perhatian Mataram tertuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan memasuki Mataram. Kalian semuanya harus menyesuaikan diri. Demikian Panembahan Senapati terbunuh, maka seluruh pasukan harus mulai bergerak. Termasuk pasukan yang sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Mataram yang kehilangan pemimpinnya akan bertambah bingung. Nah, pada saat yang demikian kekuatan yang sesungguhnya akan menghancurkan Mataram."
Saudararsaudara seperguruannya mengangguk-angguk, sementara saudara yang tertua itu berkata, "Nah, kalian tahu tugas kalian masing-masing. Kalian harus menguasai kelompok-kelompok yang sudah dipercayakan kepada kalian masing-masing: Agaknya kelompok yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun akan segera datang kembali. Mereka ternyata telah melakukan tugas mereka dengan berhasil, sehingga pasukan berkuda dari Mataram yang terkenal itu telah diperbantukan ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Baiklah" berkata salah seorang saudara seperguruannya, "kita akan melakukan tugas kita masing-masing sebaik-baiknya. Tetapi apakah kau yakin kau akan dapat melakukan tugasmu bertiga seperti yang kau katakan?"
"Aku yakin" jawab orang itu, "orang yang berhadapan dengan keris Sarpasri tidak akan mampu menolak pengaruhnya, kecuali orang-orang yang khusus, yang memiliki ilmu di luar batas kewajaran. Namun aku tahu, bahwa Panembahan Senapati mendapatkan ilmunya dengan laku yang berat sebagaimana orang lain. Jika ilmunya mumpuni dan jumlahnya tidak terhitung, karena masa mudanya sebelum memegang tanggung jawab pemerintahan. Panembahan Senapati menelusuri lereng-lereng pegunungan, pantai dan tempat-tempat tersembunyi lainnya sebagaimana dilakukan Adipati Pajang yang sekarang, Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa adalah orang yang lemah hati. Meskipun ilmunya bertimbun di dalam dirinya, tetapi ia tidak berani memegang pimpinan tertinggi pemerintahan, sehingga kemudian dipegang oleh Senapati. Dengan demikian maka ilmunya adalah ilmu yang wajar berada di dalam dirinya. Bahkan Senapati itu pernah menjalani tiga laku sekaligus. Laku yang jarang dapat dilakukan oleh orang lain. Bergantung, berendam dan pati geni. Ia bergantung pada cabang kayu yang berada di atas sebuah kolam yang tersembunyi, sekaligus pati geni tiga hari tiga malam. Namun justru karena itu, maka ilmunya tidak akan dapat mengatasi kemampuan pusaka guru, Kiai Sarpasri. Ilmunya akan susut separo atau lebih, sehingga aku akan menguasainya dalam perang tanding."
"Bagaimana jika ia menolak perang tanding?" bertanya salah seorang saudara seperguruannya.
"Itu tidak mungkin. Senapati terlalu percaya kepada ilmunya. Dan aku akan memanfaatkan kepercayaannya yang berlebihan itu. Dengan demikian maka ia tidak akan mempergunakan pusaka Kangjeng Kiai Pleret." jawab saudara tertuanya itu. _
Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya saudara seperguruannya yang tertua itu sudah terlalu banyak mengetahui tentang Panembahan Senapati meskipun sebelumnya ia tidak tahu seluk beluk serta lingkungan istana.
Mataram. Namun ia telah berhasil melihatnya sekaligus membuktikan kerja orang-orang yang diupahnya.
Ketika semua persiapan telah selesai, maka mereka-pun telah menentukan hari yang paling baik yang akan mereka pergunakan untuk memasuki Mataram. saudara seperguruan yang tertua itu telah menunjuk dua orang saudara sepergurannya yang paling dipercayainya serta dianggap memiliki ilmu yang paling tinggi.
"Kita akan melakukannya pada saat malam kelam. Malam ini menjelang pagi masih nampak bulan di langit. Karena itu, kita akan melakukannya dua malam lagi. Malam akan tetap gelap sampai matahari membayangi di langit." berkata saudara tertua itu.
Dalam pada itu, sepuluh orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun merasa bahwa tugas mereka telah selesai. Karena itu, maka mereka telah bersiap-siap untuk kembali ke landasan tugas mereka menghadap ke Mataram, meskipun mereka tidak jelas, tugas apakah yang harus mereka lakukan.
Namun demikian, sebelum mereka meninggalkan Tanah Perdikan, mereka masih akan melakukan satu kerja lagi yang akan dapat membuat Tanah Perdikan itu semakin kacau.
"Kita akan meninggalkan Tanah Perdikan ini sambil membakar hutan" berkata pemimpinnya, "sementara orang-orang Tanah Perdikan itu kebingungan, kita akan menjadi semakin jauh. Dan kita akan melihat langit yang kemerah-merahan dari jarak beberapa ratus tonggak."
Ternyata yang lain-pun sependapat. Meskipun ada yang merasa kecewa bahwa pemimpinnya tidak membenarkannya untuk dapat bertemu dengan Agung Sedayu.
Kesepuluh orang itu telah menunggu malam turun di Tanah Perdikan. Semalam sebelum rencana pemimpinnya di Mataram dilaksanakan, maka mereka akan melakukan rencana mereka untuk membakar hutan.
"Kita persiapkan sebaik-baiknya agar api tidak padam sebelum benar-benar hutan ini menyala" berkata pemimpinnya, "kita akan mencari tempat yang paling baik. Kita akan mengumpulkan sampah-sampah kering dan kekayuan. Baru kita akan menyalakannya menjelang tengah malam. Setelah kita yakin api akan berkobar dan membakar hutan ini, maka kita akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh yang telah pernah menjadi sasaran dendam kita. Meskipun kita tidak membunuh seorang-pun di Tanah Perdikan ini, namun dendam kita sudah tersalur sepenuhnya."
"Itulah yang mengecewakaan" berkata seorang yang ingin bertemu dengan Agung Sedayu, "tentu orang itu yang telah membunuh seorang diantara kita pada saat ia memeriksa dan memaksa seorang diantara kita itu, mengaku."
"Jangan sebut lagi" berkata pemimpinnya, "sudah aku katakan. Kita jangan terjerumus ke dalam langkah-langkah yang dapat menyeret kita sendiri."
Orang yang benar-benar mendendam itu tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia dan beberapa orang masih belum puas dengan melepaskan dendam sebagaimana telah mereka lakukan.
Pemimpinnya yang melihat ketidak puasan itu-pun berkata pula, "Kita harus mengakui kelemahan kita. Kita hanya sepuluh orang di sini. Sementara itu, Tanah Perdikan ini telah bersiap-siap sepenuhnya. Bahkan seperti kita ketahui, Mataram telah membantu pula dengan sepasukan prajurit untuk ikut mengamankan Tanah Perdikan ini. Karena itu kita tidak perlu membunuh diri. Kita sudah memberikan kesan tentang langkah-langkah kita. Ternyata bahwa suami istri yang rumahnya terbakar itu tidak mati sebagaimana kita harapkan. Mereka tentu dapat berceritera tentang tujuan kita mengacau Tanah Perdikan ini."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka memang melihat kenyataan bahwa mereka tidak mempunyai banyak kesempatann untuk berbuat lebih banyak lagi di Tanah Perdikan itu.
Namun dalam pada itu, maka mereka-pun telah mempersiapkan rencana mereka untuk membakar hutan. Mereka kemudian hanya menyalakan onggokan-onggokan dedaunan dan kekayuan kering yang telah mereka timbun di bawah batang-batang pohon yang besar, sehingga jika pohon-pohon besar itu menyala, hutan akan benar-benar terbakar dan sulit untuk dikuasai. Sementara itu mereka-pun telah menyiapkan arah yang akan mereka tempuh untuk meninggalkan Tanah Perdikan agar tidak mudah dicari jejaknya oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi dalam pada itu, Glagah Putih yang sedang berada antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh di sebuah gardu di padukuhan yang berada di pinggir Tanah Perdikan, itu, ternyata telah mengalami sesuatu. Ketika ia sedang berkelakar dengan anak-anak muda di depan gardu itu, tiba-tiba saja ia merasa sesuatu menyentuh punggungnya.
Glagah Putih, mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Meskipun demikian ia berusaha untuk mengetahui, siapakah yang telah menyentuh punggungnya itu.
Namun kemudian ia merasakan lagi sentuhan itu. Lebih keras. Bahkan ia merasa satu sentuhan yang menyakitinya.
Karena ia mulai memperhatikannya, maka ia-pun segera mengetahui bahwa sebuah krikil kecil yang dilontarkan dengan kekuatan yang luar biasa telah mengenainya.
Ketika sentuhan kerikil itu sekali lagi menyakitinya, maka ia-pun yakin, bahwa ada seseorang di luar sekelompok anak-anak muda dan pengawal di gardu itu telah memanggilnya. Tetapi Glagah Putih tidak tahu, apakah maksud orang itu.
Meskipun demikian, Glagah Putih berniat untuk menemui orang itu. Ia pun sadar, bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia mampu mendekati tempat itu tanpa diketahui oleh seorang-pun. Dan ia-pun mampu melontarkan kerikil kecil tepat mengenainya, sedangkan ia berada di depan gardu itu bersama-sama dengan beberapa orang anak muda lainnya.
Tetapi Glagah Putih tidak akan membuat anak-anak muda itu gelisah. Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata kepada seorang pengawal didekatnya, "Aku akan minta diri. Aku akan pergi ke padukuhan berikutnya."
"Untuk apa?" bertanya pengawal itu.
"Kenapa untuk apa" Bukankah tugasku datang kesetiap gardu dan mencicipi makanan yang disediakan?" jawab Glagah Putih.
Pengawal serta anak-anak muda yang mendengarnya tertawa. Sementara itu Glagah Putih-pun melambaikan tangannya kepada anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu sambil berkata, "Nanti, jika ketan serundeng kalian masak, aku akan kembali."
Anak-anak muda itu tertawa pula. Seorang di antaranya menjawab, "Kami tidak mempunyai serundeng. Kami akan membuat ketan sirkaya."
"Ah, enak sekali" sahut Glagah Putih sambil melangkah kegelapan.
Namun, demikian ia terlepas dari pandangan anak-anak muda di gardu itu, ia-pun telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa orang yang menyentuhnya dengan kerikil itu tentu berada di tempat yang tidak jauh dari gardu itu serta kemudian berjalan di balik dinding sebelah, mengikutinya.
Sebenarnyalah, demikian Glagah Putih berada ditempat yang sepi, sesosok tubuh telah meloncat ke tengah jalan dihadapannya. Glagah Putih surut selangkah. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Glagah Putih-pun segera menarik nafas dalam-dalam. prang yang berdiri dihadapannya itu sudah terlalu dikenalnya.
"Raden Rangga" Glagah Putih berdesis.
Tetapi nampaknya Raden Rangga agak tergesa-gesa. Tiba-tiba saja ia melangkah maju menggapai tangan Glagah Putih. Sambil menariknya Raden Rangga berkata, "Ikut Aku. Cepat."
"Kemana?" bertanya Glagah Putih sambil berlari-lari mengikuti Raden Rangga yang menarik tangannya.
"Pergunakan tenaga cadanganmu. Kita berlari cepat" berkata Raden Rangga tanpa menjawab pertanyaan Glagah Putih, "mudah-mudahan kita tidak terlambat."
Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh. Ia sadar, bahwa Raden Rangga tentu tidak akan menjawabnya. Karena itu, maka seperti yang dikatakan Raden Rangga, maka Glagah Putih pun telah mempergunakan tenaga cadangannya untuk mendorong kecepatan larinya.
Keduanya telah berlari cepat sekali menuju kesebuah hutan yang terletak justru di sisi lain dari Tanah Perdikan.
"Aku cari kau kemana-mana" desis Raden Rangga.
Glagah Putih tidak menjawab. Namun mereka berlari semakin cepat menyusuri jalan-jalan sempit dan pemathng. Mereka mencari jalan memintas, namun yang tidak perlu melalui padukuhan-padukuhan agar anak-anak muda di gardu-gardu tidak menyapa dan menghentikan mereka.
Dengan kecepatan yang tinggi akhirnya keduanya memasuki sebuah hutan yang lebat masih di daerah Tanah Perdikan Menoreh. Dengan nada datar Raden Rangga berkata, "Kita masih tempat mencegahnya."
"Apa sebenarnya yang terjadi?" bertanya Glagah Putih ketika mereka mulai memperlambat langkah mereka.
"Mereka berada beberapa puluh langkah di hadapan kita" desis Raden Rangga.
"Siapa?" desak Glagah Putih.
"Orang-orang yang akan membakar hutan" jawab Raden Rangga, "aku mengamati mereka sejak mereka memasuki hutan ini. Namun aku mendengar pembicaraan mereka. Mereka akan membakar hutan ini. Tetapi agaknya mereka tidak langsung melakukannya. Mereka telah mengumpulkan dedaunan kering dan ranting-ranting di bawah batang-batang pohon yang besar, agar pohon yang hidup itu dapat terbakar dan menjalar pada pepohonan disekitarnya. Aku kemudian mencarimu. Ampat gardu sudah aku lihat. Baru di gardu ke lima aku menemukanmu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih saja mengikuti Raden Rangga yang memasuki hutan yang gelap gulita. Hanya karena ketajaman penglihatan dan pendengaran mereka, maka keduanya tidak menempuh jalan yang salah.
Namun mereka-pun terkejut ketika beberapa puluh langkah dihadapan mereka, keduanya melihat obor yang mulai dinyalakan. Agaknya orang-orang yang akan membakar hutan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka akan segera mulai membakar hutan untuk membuat orang-orang Tanah Perdikan Menoreh merasa bersalah, karena mereka telah membunuh orang-orang yang ternyata memilild kekuatan di belakangnya.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh harus menyesali perbuatan mereka, karena dengan membunuh dua orang, Tanah Perdikan mereka telah menjadi kacau. Rumah terbakar; bendungan rusak, sawah-sawah menjadi berserakan dan parit-parit pun menjadi kering.
"Marilah" berkata Raden Rangga, "jangan terlambat.
Glagah Putih-pun mengikuti langkah Raden Rangga yang semakin cepat di antara pepohonan hutan.
Agaknya Raden Rangga dengan sengaja tidak menghindari desir kakinya yang menyentuh dedaunan kering di hutan itu. Karena itu, maka orang-orang yang telah menyalakan obor itu-pun telah mendengarnya pula, sehingga serentak mereka telah menghadap kearah suara itu.
"Siapa?" terdengar seorang di antara kesepuluh orang itu bertanya.
Beberapa langkah dari orang-prang itu Raden Rangga berhenti. Katanya, "Bagus sekali. Jadi kalian benar-benar akan membakar hutan?"
"Siapakah kalian?" bertanya pemimpin kelompok itu. Raden Rangga maju selangkah sambil menjawab, "Kami adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
"Kebetulan sekali" geram seorang di antara sepuluh orang itu, "apakah salah seorang di antara kalian bernama Agung Sedayu?"
"Bukan" jawab Raden Rangga, "Agung Sedayu adalah pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Kami adalah pengawal Tanah Perdikan, dua di antara para pengawal yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu."
"Kenapa Agung Sedayu sendiri tidak datang kemari?" bertanya orang itu.
"Kenapa mesti Agung Sedayu" Bukankah para pengawal ini akan dapat menyelesaikan tugas dengan baik" Kami berdua ditugaskan oleh Agung Sedayu untuk menangkap kalian." jawab Raden Rangga.
"Persetan" geram pemimpin kelompok itu, "apakah kau mengigau atau bahkan sudah menjadi gila" Kau tahu bahwa jumlah kami berlipat ganda daripada hanya dua orang. Sementara itu, kami yang memiliki pengalaman dalam tugas-tugas yang berat serta perang di berbagai medan dibekali dengan ilmu dari perguruan kami, harus menyerah kepada dua orang pengawal Tanah Perdikan yang masih ingusan seperti kalian berdua ini?"
"Bagaimanapun juga kalian telah melakukan banyak kesalahan dan pelanggaran paugeran di Tanah Perdikan ini. Bahkan kesengajaan menimbulkan bencana yang lebih buruk dari pembunuhan. Antara lain adalah membakar hutan seperti yang akan kalian lakukan." jawab Raden Rangga, "karena itu maka kalian memang harus ditangkap." "Jangan. banyak bicara. Agaknya kalian memang tidak hanya berdua. Mungkin tempat ini sudah dikepung. Tetapi aku tidak akan gentar. Marilah datanglah semua pengawal Tanah Perdikanmu."
Raden Rangga berpaling kearah Glagah Putih yang melangkah mendekat. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, "Katakan kepada mereka, tidak ada orang lain kecuali kita."
"Persetan" geram pemimpin kelompok itu, "jangan menunggu terlalu lama. Pekerjaan tidak hanya menunggu kalian di sini."
Glagah Putih maju selangkah. Katanya, "Kami memang hanya berdua Ki Sanak. Sekarang, menyerahlah. Tidak ada gunanya kalian melawan."
"Kalian memang sedang membunuh diri" geram pemimpin kelompok itu. Lalu katanya kepada orang yang membawa obor, "jangan kau bakar dahulu onggokan kayu kering itu. Tancapkan obor itu di tanah. Nyalakan lagi obor yang lain. Biarlah hutan ini menjadi terang dan kita akan dapat melihat dengan jelas, yang manakah lawan kita dan yang manakah kawan kita."
Orang yang membawa obor itu-pun melakukannya. Ia-pun ingin berbuat sesuatu atas orang yang dengan sombong telah datang kepada kelompok itu hanya berdua. Bahkan seorang yang lain-pun telah menyalakan obor pula dan menancapkannya di tanah.
Sementara itu, justru diluar dugaan, Raden Rangga telah berkata, "Nah, sekarang lakukanlah jika kalian ingin membalas dendam. Kami berdua jugalah yang telah membunuh kawan-kawanmu di Tanah Perdikan ini. Sekarang kami datang untuk menangkap kalian. Tetapi jika kalian melawan, maka kami-pun akan membunuh kalian."
Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Jadi kalianlah yang telah membunuh itu" Selama ini dendam kami tetap tersimpan. Kami hanya menumpahkannya kepada bendungan, sawah dan parit-parit. Tetapi adalah kebetulan bahwa kau sendiri datang mengantarkan nyawamu."
"Kenapa kau tidak mencari kami" Kenapa kau puas dengan merusak bendungan, pematang-pematang sawah dan parit-parit. Kemudian justru yang lebih keji dari segalanya, kau akan membakar hutan ini?" bertanya Raden Rangga.
"Kami tidak mengingkari kenyataan. Kalian mendapat bantuan dari prajurit Mataram yang mempunyai kekuatan berlipat dari kami sekelompok ini" jawab pemimpin kelompok itu, "karena itu kami tidak mendapat kesempatan. Namun kami sudah memberikan peringatan kepada Tanah Perdikan ini, agar Tanah Perdikan ini tidak melakukan lagi hal yang serupa, karena kami bukan saja dapat menghancurkan sawah, parit dan bendungan, bahkan hutan. Tetapi kami akan dapat menghancurkan Tanah Perdikan ini dari semua segi sumber kehidupannya."
"Bukankah itu perbuatan licik dan pengecut?" bertanya Raden Rangga.
"Aku tidak peduli" jawab pemimpin kelompok itu, "yang akan kalian alami adalah bencana sebagai pembalasan dendam kami, karena kalian telah berbuat sewenang-wenang atas kawan-kawan kami."
Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya, "Baiklah. Sekarang kalian harus membelakangi aku dan mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Kami akan mengikat kalian satu demi satu."
"Gila" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam di antara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu."
"Marilah" berkata Raden Rangga, "siapakah yang akan membunuh disini. Kalian atau kami berdua."
Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan yang menyala. Karena itu, maka katanya, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian di antara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung."
"Tidak" sahut Raden Rangga, "tidak ada yang mengepung tempat ini. Yang mendapat tugas dari Agung Sedayu memang hanya kami berdua, sekaligus untuk mendadar kami. Jika kami berhasil, maka kanu akan diterima menjadi pengawal penuh Tanah Perdikan ini. Jika kami tidak berhasil menangkap atau membunuh kalian, maka biarlah kami tidak kembali kepadanya."
Pemimpin kelompok itu tidak dapat menahan diri lagi. Ia-pun segera mencabut senjatanya. Demikian pula orang-orang yang lain. Sementara itu, mereka membiarkan obor mereka menyala dan tertancap di tanah.
Sejenak kemudian, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah dihadapi oleh masing-masing dua orang, sedangkan yang lain agaknya masih belum melibatkan diri mereka, karena mereka menganggap bahwa dua orang itu akan dapat menyelesaikan persoalannya dengan kedua anak-anak muda itu. Sebagian di antara mereka telah mengamati keadaan. Sebagaimana dikatakan oleh pemimpinnya, mungkin tempat itu memang sudah dikepung.
Raden Rangga yang melihat dua orang datang kepadanya tertawa. Katanya, "Jangan bermain-main. Marilah, datanglah lebih banyak lagi agar kalian tahu, bagaimana anak-anak muda Tanah Perdikan ini mengalami pendadaran."
Pemimpin kelompok yang menggeggam pedang di tangan itu-pun berteriak, "Cepat. Bunuh. Aku sudah muak melihat tampangnya dan muak pula mendengar suaranya."
Keempat orang yang menghadapi Raden Rangga dan Glagah Putih itu-pun kemudian telah meloncat maju. Senjata mereka teracu kearah dada lawan-lawan mereka masing-masing.
Namun Raden Rangga dan Glagah Putih-pun mampu bergerak cepat, melampaui kecepatan ujung-ujung senjata itu. Karena itulah, maka ujung-ujung senjata itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Sementara itu, Raden Rangga yang melenting kedekat Glagah Putih sempat berdesis, "Kau bawa ikat pinggang itu."
"Aku memakainya" jawab Glagah Putih.
"Kita harus bergerak cepat, sebelum mereka menyadari kelemahan mereka dan berusaha benar-benar membakar hutan ini" bisik Raden Rangga.
Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih banyak. Lawan-lawan mereka-pun telah datang pula, menyerang dengan garangnya, sehingga keduanya telah meloncat berpencaran.
Glagah Putih yang meloncat menghindar ke sebelah sebatang pohon yang besar telah mengurai ikat pinggangnya. Ia mengerti maksud Raden Rangga, agar lawan-lawan mereka tidak sempat menyalakan onggokan daun-daun kering dan kekayuan yang mereka timbun di pokok-pokok barang kayu yang besar-besar.
Namun demikian, Glagah Putih masih ingin memancing lebih banyak lawan lagi, agar mereka terikat dalam pertempuran. Dengan demikian maka tidak seorang-pun di antara mereka yang akan mempunyai kesempatan membakar onggokan kayu-kayu kering itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Glagah Putih berteriak sebagaimana Raden Rangga, "Marilah. Kenapa hanya empat crang yang melibatkan diri kedalam perkelahian ini" Kenapa tidak semuanya?"
"Persetan" geram pemimpinnya sambil mengacu-acukan pedangnya, "Sebentar lagi mulutmu akan dikoyak dengan pedang."
Namun kedua orang lawan Glagah Putih sama sekali tidak mampu berbuat banyak. Meskipun Glagah Putih masih berusaha memancing lawan-lawannya yang lain, namun ia sudah mulai mendesak kedua orang yang melawannya itu. Ikat pinggangnya yang berputar telah membentur senjata-senjata lawannya. Seorang diantara mereka mengumpat karena senjatanya hampir saja terlepas.
Kawannya dengan cepat telah meloncat menyerang Glagah Putih agar orang yang hampir kehilangan senjatanya itu mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Kawannya itu memang sempat memperbaiki genggaman senjatanya. Namun dengan demikian orang itu menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi karena senjata yang dipergunakan tidak lebih dari ikat pinggang kulit, sementara senjatanya adalah sebilah pedang yang sangat tajam.
"Senjatanya itu memang aneh" berkata lawannya itu di dalam hatinya. Tetapi justru karena itu, hampir saja ia kehilangan pedangnya.
Kenyataan itu telah membuat kedua lawannya semakin bersungguh-sungguh. Mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih seorang anak muda yang sombong dan tidak tahu diri. Kenyataan yang mereka hadapi telah membuktikan, bahwa benturan yang terjadi telah menggoyahkan pegangan lawan-lawannya atas senjata masing-masing.
Pemimpin kelompok itu-pun kemudian memang melihat, baik Glagah Putih maupun Raden Rangga ternyata tidak mudah dapat dikuasai. Mereka berdua memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga dua orang yang mendapat tugas untuk menghadapi setiap anak muda itu tidak mampu berbuat banyak.
Karena itu, maka pemimpin kelompok itu-pun telah memanggil dua orang lagi untuk bergabung dengan kawan-kawannya, sehingga baik Raden Rangga maupun Glagah Putih harus melawan masing-masing tiga orang.
Raden Rangga yang melihat upaya Glagah Putih memancing lawannya itu-pun dapat mengerti pula. Ia pun berusaha untuk berbuat sesuai dengan yang dilakukan oleh Glagah Putih, sehingga semua orang yang ada di tempat itu harus diserapnya ke dalam pertempuran.
Karena itu, maka Raden Rangga tidak segera mengakhiri lawan-lawannya. Tetapi seperti Glagah Putih, ia-pun berusaha untuk bertempur terus meskipun ia selalu mendesak lawannya.
Lawannya menjadi heran bahwa anak-anak muda itu ternyata sangat liat. Seorang di antaranya bersenjata ikat pinggang, sementara yang lain sama sekali tidak mempergunakan senjata.
Namun akhirnya Raden Rangga itu telah memungut sepotong kayu sebesar pergelangan tangannya sepanjang tiga jengkal yang terdapat dalam onggokan kayu di bawah sebatang pohon yang besar. Dengan kayu itu, ia-pun telah melawan ujung-ujung senjata yang mengerumuninya.
Ternyata sepotong kayu yang kering dan lapuk itu ditangan Raden Rangga telah berubah menjadi senjata yang mendebarkan. Kayu lapuk itu mampu membentur sebilah pedang yang sangat tajam. Bahkan sepotong kayu itu seakan-akan telah berubah menjadi sebuah bindi yang sangat berbahaya.
Demikianlah, seorang demi seorang, orang-orang yang akan membakar hutan itu telah masuk ke dalam arena. Dengan demikian maka baik Glagah Putih, maupun Raden Rangga telah bertempur melawan lima orang.
Dalam keadaan yang demikian, maka Raden Rangga-pun berkata, "Nah, sekarang kalian telah melihat kemampuan para calon pengawal Tanah Perdikan. Menyerahlah, agar kami berdua segera diterima dan ditetapkan menjadi pengawal karena kami telah lulus dalam pendadaran ini."
"Persetan" geram pemimpin kelompok yang juga telah ikut serta bertempur melawan Raden Rangga, "kalian harus dibunuh."
Tetapi tidak mudah untuk membunuh Raden Rangga dan Glagah Putih. Bahkan mereka berlima tidak banyak mempunyai kesempatan dalam pertempuran itu.
Meskipun kelima orang itu mampu bertempur dalam pasangan yang baik saling mengisi, tetapi lawan mereka memang seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.
Dalam keadaan yang demikian, maka pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa mereka harus menghadapi kenyataan tentang kedua anak muda itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu-pun berteriak, "Tahan mereka. Aku akan melakukannya."
Raden Rangga dan Glagah Putih-pun terkejut. Namun mereka menyadari, bahwa orang itu tentu akan benar-benar membakar hutan itu.
Sebenarnyalah pemimpin kelompok itu-pun telah meloncat meninggalkan arena, sementara keempat orang kawannya berusaha untuk mengepung Raden Rangga. Dengan loncatan panjang pemimpin kelompok itu berusaha untuk menggapai obor yang tertancap ditanah.
Dengan demikian, maka baik Raden Rangga maupun Glagah Putih harus bertindak cepat untuk mencegah orang itu berhasil mencapai satu di antara obor-obor yang tertancap di tanah dan melemparkannya kearah onggokan daun-daun dan ranting-ranting kering yang teronggok di bawah sebatang pohon yang besar.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang bertempur melawan keduanya benar-benar berusaha untuk mencegah agar keduanya tidak terlepas dari ikatan pertempuran itu dan memberi kesempatan kepada pemimpin kelompoknya untuk membakar hutan.
Glagah Putih yang bersenjata ikat pinggangnya yang memiliki kemampuan yang mendebarkan itu, tidak sempat berpikir lebih panjang. Ia tidak lagi mengekang diri karena pemimpin kelompok itu telah meloncat mendekat obor yang tertancap di tanah.
Karena itulah, maka dengan segenap kemampuannya, Glagah Putih telah mendera lawan-lawannya. Ikat pinggangnya berputaran dengan cepatnya. Setiap sentuhan dengan senjata lawannya telah melemparkan senjata lawannya itu.
Namun ternyata bahwa kelima orang lawannya itu-pun memiliki ketrampilan mempermainkan senjatanya. Ternyata bahwa dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, seorang di antara kelima lawannya itu berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih dengan ujung pedangnya.
Kemarahan telah memuncak di dada Glagah Putih. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ikat pigngangnya telah menyambar pedang yang mengenainya itu. Ketika pedang itu meloncat dari tangan yang kesakitan, Glagah Putih telah mengayunkan senjatanya lagi langsung mengenai lawannya.
Terdengar lawannya itu mengaduh Kemudian ia terlempar beberapa langkah dan jatuh di tanah. Namun orang itu tidak akan dapat bangun kembali.
Dua orang diantara lawan Glagah Putih telah mampu menggapai senjatanya lagi. Bersama-sama mereka menyerang. Namun keduanya sama sekali tidak berhasil mengenainya. Bahkan sambil menghindari serangan ujung senjata itu, Glagah Putih sempat memutar ikat pinggang lawannya itu-pun telah terpelanting jatuh. Demikian kerasnya kepalanya membentur sebatang pohon kayu serta demikian kerasnya ikat pinggang kulit itu menghantam tubuhnya, maka orang itupun ternyata telah kehilangan nyawanya.
Namun masih ada tiga orang yang menghalanginya. Sementara itu ia melihat obor yang tertancap di tanah itu telah berhasil dipungut oleh pemimpin kelompok itu.
Namun dalam pada itu, ketika ia sempat berpaling, ia melihat Raden Rangga telah meloncat ke arah pemimpin kelompok itu. Namun Raden Rangga itu telah terlambat. Pemimpin kelompok itu tidak menyulut dedaunan kering dan ranting-ranting kayu yang teronggok di bawah batang-batang kayu yang besar, tetapi ia telah melemparkannya.
Karena itu, ketika Raden Rangga mencapai orang itu dengan serangan kaki mendatar, obor itu sudah tidak berada di tangannya. Meskipun demikian orang itu telah terlempar dengan teriakan nyaring. Punggung orang itu ternyata telah patah, sehingga orang itupun kemudian telah mati seketika.
Sementara itu, api obor itu-pun telah menyambar dedaunan kering serta ranting-ranting kecil sehingga api pun segera menjalar.
Ketika Raden Rangga memburu ke arah api itu, dua orang lawannya masih sempat mengejarnya seperti orang orang yang kehilangan akal. Keduanya tidak lagi sempat mempergunakan nalarnya. Mereka sudah terbiasa berada di dalam lingkungan yang terikat erat dalam paugeran yang keras sekali.
Raden Rangga menggeram. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali melayani kedua orang lawannya itu. Dengan nada keras Raden Rangga berkata, "Kenapa kalian tidak melarikan diri he" Aku memberimu kesempatan. Tetapi dengan bodoh kaliah memburuku."
"Persetan" teriak lawannya, "kau harus aku bunuh. Bukan saja karena kesombonganmu, tetapi kau sudah membunuh kawanku."
"Pergi" teriak Raden Rangga, "Aku akan memadamkan api itu."
Tetapi kedua orang itu menyerang terus. Bahkan semakin cepat dan keras.
Akhirnya Raden Rangga kehabisan kesabaran. Untuk beberapa lama ia sudah berusaha mengekang dirinya. Tetapi kedua orang itu sangat menjengkelkannya.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga kemudian adalah menghentikan serangan-serangan kedua orang itu.
Demikian kedua orang itu terlempar dan membentur pepohonan, maka Raden Rangga mengumpat dengan marah. Api sudah berkobar semakin besar.
Dalam pada itu, Glagah Putih-pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Raden Rangga. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya-pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar, terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan Menoreh. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng Pegunungan Menoreh, sehingga pegunungan itu-pun akan menyala dart api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang lama.
Sejanak kemudian Glagah Putih telah berlari-lari pula mendekati Raden Rangga yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Raden, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menj alar lebih luas."
"Terlambat" jawab Raden Rangga, "betapapun cepatnya orang-orang Tanah Perdikan itu berkumpul, mereka tidak akan dapat mendahului api itu menjalar.
"Lalu, apakah yang harus kita lakukan" Membiarkan hutan ini terbakar dan bencana menimpa Tanah Perdikan?" desak Glagah Putih.
Raden Rangga termangu mangu sejenak. Namun api-pun benar-benar telah mulai membakar sebatang pohon raksasa, sementara di bawah, api itu menjadi semakin menebar dan meluas.
Raden Ranggapun menjadi semakin tegang melihat api yang semakin menjalar. Karena itu, maka tiba-tiba ia-pun menggeram, "Mundurlah. Kita harus memadamkan api itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian telah bergeser mundur.
Raden Rangga pun mundur selangkah. Dipandanginya api yang telah membakar batang kayu yang besar itu. Dengan tegang Raden Rangga memusatkan kemampuan ilmunya. Ia harus berusaha agar ia dapat mencegah hutan itu terbakar.
Sejenak kemudian, maka Raden Rangga itu-pun telah mengacukan kedua belah tangannya dengan telapak tangan mengemang menghadap ke arah api itu. Dengan satu hentakkan, maka dari kedua belah telapak tangan Raden Rangga itu seakan-akan telah memancar cahaya yang menyambar api yang telah berkobar.
Sesuatu agaknya telah terjadi. Kekuatan yang memancar dari tangan Raden Rangga itu bagaikan sentuhan udara yang dingin membe.ku. Api yang sudah mulai berkobar itu perlahan-lahan mulai surut.
Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan tegang. Sementara itu dari telapak tangan Raden Rangga seakan-akan masih tetap berhembus udara dingin yang basah mengandung air. Dengan demikian, maka api yang sudah mulai merambat naik pada pokok sebatang pohon raksasa itu-pun telah menjadi padam, sementara yang membakar dedaunan kering dan ranting-ranting serta kekayuan itu-pun telah mati pula.
"Luar biasa" desis Glagah Putih, "kekuatan apakah yang telah tersimpan di dalam diri anak itu."
Namun Glagah Putih-pun menjadi terkejut ketika ia melihat Raden Rangga. Anak muda itu nampak menggigil. Bahkan kemudian keseimbangannya-pun mulai terganggu.
Dengan cepat Glagah Putih meloncat menangkap tubuh yang hampir jatuh itu. Namun sekali lagi Glagah Putih terkejut. Tubuh Raden Rangga itu-pun menjadi sangat dingin. Melampaui dinginnya malam di musim bediding.
"Raden" desis Glagah Putih yang hampir saja melepaskan tubuh itu oleh sengatan rasa dingin membeku. Namun untunglah Glagah Putih tetap menyadari bahwa tubuh itu tentu akan terjatuh jika dilepaskannya.
Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi ia-pun kemudian dibantu oleh Glagah Putih telah duduk di atas tanah sambil berdesah.
"Bagaimana keadaan Raden?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga-pun kemudian duduk dengan menyilangkan tangannya didadanya. Terdengar suaranya perlahan-lahan dan gemetar, "Bantu aku, agar darahku tidak beku"
Glagah Putih yang juga memiliki ilmu kanuragan itu-pun mengerti maksudnya. Ia-pun kemudian duduk di belakang Raden Rangga. Kedua telapak tangannya telah melekat di punggung anak muda yang segera memusatkan sisa kemampuannya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya.
Sejenak keduanya berdiam diri dalam pemusatan nalar budi. Ternyata bahwa usaha itu memberikan pengaruh yang baik bagi tubuh Raden Rangga. Udara panas terasa mengalir dari tubuh Glagah Putih melalui sentuhan tangannya, sehingga darah Raden Rangga yang seakan-akan berhenti mengalir itu-pun mulai merambat kembali lewat urat-uratnya.
Raden Rangga perlahan-lahan menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Lepaskan tanganmu Glagah Putih. Aku sudah dapat mengatasinya sendiri setelah kau membebaskan darahku dari kebekuan."
Glagah Putih mendengar kata-kata itu. Ia pun kemudian melepaskan tangannya dan beringsut beberapa tapak surut.
Namun agaknya tubuhnya-pun telah terasa menjadi dingin meskipun tidak membeku. Sebagian unsur panas di dalam dirinya telah dihisap oleh darah Raden Rangga yang beku. Namun Glagah Putih masih belum sampai pada satu keadaan yang sulit.
Sementara itu, maka Raden Rangga-pun berkata, "Aku akan berusaha membebaskan tubuhku dari kebekuan ini, setelah kau berhasil membantu mengedarkan darahku kembali."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya memandang saja Raden Rangga yang meneruskan pemusatan nalar budinya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia-pun kemudian telah duduk pula di belakang Raden Rangga. Meskipun tidak sedalam Raden Rangga, namun Glagah Putih-pun telah mempergunakan waktu sesaat untuk menghapus perasaan dingin di dalam dirinya, meskipun tidak terlalu mengganggunya.
Beberapa saat kemudian, terasa Glagah Putih telah terbebas dari pengaruh dingin di dalam dirinya, karena unsur panas yang dialirkannya kedalam tubuh Raden Rangga. Namun agaknya Raden Rangga memerlukan waktu yang agak lama untuk memulihkan kembali keadaannya setelah ia berjuang memadamkan api yang hampir saja merambat dan menelan hutan yang luasnya beribu-ribu patok dan membuat lereng pegunungan Menoreh menjadi gundul.
Namun Glagah Putih masih saja menungguinya. Sementara itu ia sempat memperhatikan tubuh-tubuh yang terkapar di sekitarnya. Tubuh-tubuh yang sudah membeku pula.
Glagah Putih itu-pun menjadi berdebar-debar. Ia telah membunuh lima orang sekaligus dan Raden Rangga-pun telah melakukannya pula.
"Apa yang harus aku katakan kepada kakang Agung Sedayu" bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri, "ia sudah banyak memberikan pesan kepadaku dalam hubungan dengan Raden Rangga itu pula. Dan sekarang, aku bersama anak muda itu telah membunuh sepuluh orang."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun keadaan memang telah memaksanya melakukan pembunuhan itu. Kemarahan karena luka yang tergores di tubuhnya meskipun tidak mengganggu dan tidak berbahaya, bahkan titik-titik darahnya telah pampat, kebingungan dan bahkan seakan-akan ia telah kehilangan akal karena api yang berkobar.
Selagi Glagah Putih dicengkam oleh kegelisahan, maka Raden Rangga-pun telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia mengurai tangannya yang bersilang di dadanya.
Glagah Putih yang melihat keadaan Raden Rangga itu-pun mendekatinya sambil bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Raden?"
"Aku sudah baik, Glagah Putih" jawab Raden Rangga sambil bangkit berdiri, "agaknya aku telah melakukan sesuatu melampaui batas kemampuanku. Hampir saja darahku membeku dan mungkin aku akan kehilangan kesempatan berikutnya. Untunglah kau berhasil membantu aku membebaskan darahku dari kekekuatan yang akan dapat berakibat gawat itu."
"Aku melakukannya atas petunjuk Raden sendiri" jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Kita telah membunuh orang-orang itu. Mungkin kita dapat dianggap melakukan kesalahan. Tetapi jika orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu melihat apa yang terjadi, mereka tidak akan menimpakan kesalahan itu kepada kita. Karena itu, mumpung keadaan ini belum berubah, laporkan peristiwa ini kepada pimpinan Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Raden. Aku akan menyampaikannya kepada kakang Agung Sedayu. Biarlah kakang Agung Sedayu menghadap Ki Gede."
"Baiklah" jawab Raden Rangga. Namun kemudian ia-pun bertanya, "tetapi apakah Tanah Perdikan atau barangkali kau, dapat menjelaskan tentang orang-orang ini" Selain dendamnya kepada Tanah Perdikan ini."
"Aku tidak begitu mengerti Raden" jawab Glagah Putih, "namun menurut pendengaranku dalam pembicaraan kakang Agung Sedayu, bahwa yang dilakukan oleh orang-orang itu ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di Mataram. Tetapi nampaknya semuanya serba rahasia, sehingga tidak banyak yang dapat aku ketahui."
"Aku mengerti" berkata Raden Rangga, "tetapi bagaimana pikiranmu, bahwa yang terjadi sekarang adalah semacam perang perhitungan?"
"Maksud Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Yang terjadi di Tanah Perdikan ini sekedar usaha untuk memancing perhatian saja. Sementara itu ayahanda Panembahan Senapati yang juga menduga demikian, berpura-pura melakukan sebagaimana dikehendaki. Ayahanda mengirimkan pasukan ke Tanah Perdikan ini, agar orang-orang yang memancing perhatian itu menganggap bahwa ayahanda benar-benar menjadi lengah karena perhatiannya tertuju ke Tanah Perdikan" berkata Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu. Ia tidak dapat mengiakan atau-pun membantahnya. Yang dikatakan oleh Agung Sedayu adalah serba rahasia. Meskipun Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati, tetapi ia mempunyai sikap tersendiri, sehingga mungkin rencananya berbeda dengan apa yang akan dilakukan oleh ayahandanya.
Raden Rangga melihat keragu-raguan pada Glagah Putih. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Mungkin kau terikat kepada pesan-pesan kakak sepupunya. Tetapi aku mengerti, sebagian dari peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Sebagian karena aku memang mendengar, sebagian yang lain atas kata-kata orang-orang yang terbunuh itu sendiri dan sebagian lagi adalah karena penglihatanku atas peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Aku tahu, bahwa beberapa orang telah memasuki halaman istana. Dan aku-pun tahu bahwa para pengawal khusus juga melihat orang-orang yang masuk itu tetapi mereka tidak berbuat sesuatu. Bahkan yang terjadi kemudian, orang-orang yang agaknya lebih berilmu telah datang untuk meyakinkan jalan menuju ke bilik ayahanda." Raden Rangga tertawa pendek. Lalu katanya, "Tetapi sebagaimana yang rahasia, maka yang aku katakan ini juga rahasia. Agung Sedayu-pun tidak boleh tahu, agar ia tidak melaporkannya kepada ayahanda, sehingga aku akan dimarahinya, nya, karena aku telah mencampuri persoalan ini."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Raden Rangga telah mengetahui banyak tentang persoalan yang dihadapi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu Raden Rangga-pun berkata, "Pergilah kepada kakak sepupumu. Laporkan apa yang terjadi sebelum ada perubahan, agar mereka mendapat gambaran dari peristiwa yang sebenarnya. Mudah-mudahan mereka tidak akan menghukummu dan melaporkan aku kepada ayahanda, karena jika hutan ini benar-benar terbakar, maka Tanah Perdikan ini akan menderita untuk waktu yang lama."
Glagah Putih-pun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan pergi. Tetapi apakah Raden akan menunggu di sini?"
"Aku akan menunggu disini" jawab Raden Rangga.
Demikianlah, maka Glagah Putih pun kemudian meninggalkan hutan itu dan dengan cepat berlari ke padukuhan induk. Ia telah menelusuri jalan-jalan setapak dan pematang agar lebih cepat mencapai rumahnya.
Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat Glagah Putih datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia-pun bertanya, "Ada apa Glagah Putih. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya-pun menjadi agak tenang.
Sementara itu Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga-pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Glagah Putih tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan.
"Membakar hutan?" bertanya Agung Sedayu dengan nafas tinggi.
"Ya. Membakar hutan" jawab Glagah Putih yang kemudian menceriterakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?"
"Di hutan tidak jauh dari lereng Bukit. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng bukit itu dijamah api, maka akibatnya akan parah sekali bagi Tanah Perdikan ini untuk waktu yang lama." berkata Glagah Putih dengan suara yang mulai gagap.
"Kita pergi ke hutan itu. Kita akan melihat peristiwa itu terjadi." berkata Agung Sedayu.
"Kita pergi bersama-sama" sahut Kiai Jayaraga.
Sekar Mirah-pun tidak mau ketinggalan. Sejenak kemudian mereka telah selesai berbenah diri. Dengan cepat mereka-pun menyiapkan kuda. Dengan berkuda, mereka akan segera sampai ke tempat tujuan.
Sejenak kemudian ampat ekor kuda telah berpacu. Derap kakinya memang menimbulkan berbagai tanggapan atas mereka yang kebetulan terbangun dan mendengarnya. Terutama mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan.
Jilid 204 " " KETIKA mereka keluar dari ujung lorong, maka Agung Sedayu mendahului para peronda, "Kami akan mengajari kuda Glagah Putih menjelajahi daerah ini dimalam hari."
Para peronda itu tertawa. Namun kemudia mereka menjadi bertanya-tanya juga. Sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih agak lain.
"Tampaknya mereka tergesa-gesa" berkata salah seorang peronda.
"Mungkin." jawab seorang yang lain, "tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang tidak akan teratasi oleh siapapun juga."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Meskipun demikian nampaknya kepergi Agung Sedayu berempat itu telah menarik perhatian. Demikian juga jika mereka melewati gardu-gardu yang lain. Rasa-rasanya mereka berempat memang agak tergesa-gesa.
Seorang diantara para pengawal Tanah Perdikan itupun telah menyampaikannya kepada perwira yang memimpin sepasukan prajurit Mataram di Tanah Perdikan Na"mun karena keterangan itu tidak cukup lengkap, maka yang dilakukan oleh pasukan itupun hanyalah sekedar mernpersiapkan diri. Jika diperlukan setiap saat, pasukan itu mampu bergerak cepat.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah membawa ketjga orang yang bersamanya itu memasuki hutan yang pekat. Tetapi pengenalannya yang tajam telah membawanya melalui jalan yang benar. Namun kuda-kuda mereka tidak dapat berlari kencang sebagaimana mereka berpacu di jalan-jalan bulak yang cukup lebar.
Untunglah bahwa mereka berempat memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga betapapun gelapnya, namun mereka masih mampu menembusnya dengan ketajaman penglihatan mereka. Namun akhirnya Glagah Putih mampu menemukan tempat yang telah ditinggalkannya dalam keadaannya.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, terdengar suara lirih bernada rendah, "Selamat datang ditempat yang sepi ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dan iapun telah menyahut, "Selamat malam Raden."
Tetapi Raden Rangga itu berkata pula, "Malam telah lewat. Kita sudah memasuki dini hari. Sebentar lagi fajar akan menyingsing."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya perlahan, "Ya Raden. Agaknya langit sudah mulai menjadi merah."
"Marilah, duduklah." berkata Raden Rangga yang ternyata duduk bersandar sebatang pohon.
Keempat orang itupun kemudian mendekatinya. Merekapun duduk pula di antara pepohonan dalam gelapnya sisa malam menjelang pagi.
"Apakah Glagah Putih sudah menceriterakan semuanya?" bertanya Raden Rangga.
"Ya." jawab Agung Sedayu, "ia sudah berceritera banyak tentang hutan yang mulai terbakar dan pembunuhan yang telah dilakukannya."
"Aku mohon kalian menilai dengan wajar." berkata Raden Rangga, "akupun dibayangi kecemasan jika ayahanda mengetahuinya. Aku sudah dianggap terlalu banyak membunuh. Pada waktu-waktu lampau mungkin aku memang sering melakukannya, bahkan sekedar untuk bermain-main tanpa menghiraukan nilai jiwa seseorang. Tetapi aku sudah banyak mendengar petunjuk Eyang Mandaraka, sehingga agaknya aku sudah mampu sedikit demi sedikit menilai tingkah lakuku sendiri. Hanya mungkin kadang-kadang aku masih kambuh kehilangan nalar. Tetapi itu sudah jarang terjadi. Kali inipun aku sudah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelumnya. Namun aku dan Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain."
Agung Sedayu menarik mafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya, "Kalian akan dapat melihat bekas-bekas dari peristiwa itu. Mayat kesepuluh orang itupun belum aku sentuh sama sekali Bahkan aku telah menungguinya disini, jika ada binatang buas yang mendekat. Agaknya memang terjadi demikian. Darah dan bau mayat telah mengundang dua ekor harimau mendekati tempat ini. Yang seekor dapat aku usir. Tetapi yang seekor agaknya sudah terlalu kelaparan sehingga harimau itu justru menyerang aku. Karena itu kalian akan melihat bahwa diantara sepuluh mayat itu terdapat bangkai seekor harimau. Aku sekarang masih lebih menghargai mayat seseorang daripada nyawa seekor harimau."
"Baiklah Raden." berkata Agung Sedayu, "kita akan melihat bekas-bekas dari peristiwa yang telah terjadi itu. Aku nanti harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun jika kematian dua orang itu sudah membawa dendam dari lingkungannya, bagaimana dengan sepuluh orang."
"Apakah benar begitu" Apakah yang dilakukan oleh orang-orang ini hanya karena dendam atas kematian dua orang kawannya di Tanah Perdikan ini, meskipun seorang diantaranya tidak benar-benar mati?" bertanya Raden Rangga.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Raden Rangga yang nakal itu mengetahui terlalu banyak tentang persoalan yang masih dirahasiakan itu.
Karena itu maka Agung Sedayupun kemudian jawab, "Raden. Agaknya Raden sudah mengetahui apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan peristiwa di Mataram, yang menurut Raden telah Raden ketahui itu. Namun karena itu, maka aku mohon agar Raden lebih banyak menyesuaikan diri dengan rencana-rencana ayahanda Raden. Dengan demikian maka semua rencana itu akan dapat berjalan rancak sebagaimana dikehendaki oleh ayahanda Raden sendiri Bukankah sudah beberapa kali Raden menerima teguran dan bahkan hukuman dari ayahanda Raden?"
Raden Rangga mengangguk. Katanya, "Aku mengerti. Aku tidak akan banyak berbuat dalam hal ini. Namun yang terjadi disini benar-benar diluar kehendakku. Seperti dilakukan oleh Glagah Putih, maka semuanya memang harus terjadi demikian, jika Tanah Perdikan Menoreh tidak ingin kehilangan hutannya di lereng-lereng bukit, sehingga akibatnya akan sangat parah bagi Tanah ini untuk waktu yang lama."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Diluar sadarnya ia telah berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Glagah Putih sebagai tempat peristiwa yang diceriterakan itu terjadi.
Raden Ranggapun kemudian bangkit sambil berkata, "Marilah. Kita akan mendekat."
Merekapun kemudian beringsut mendekat. Sambil menuntun kudanya Glagah Putih berjalan didepan Agung Sedayu bersama Raden Rangga, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga berada dibelakang.
Sementara itu, langit memang sudah nenjadi merah. Cahaya fajar menjadi semakin terang, sehingga orang-orang yang berada didalam hutan itu tidak lagi harus merayap didalam kelamnya malam.
Ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah melihat apa yang telah ter"jadi ditempat itu. Dedaunan dan ranting-ranting serta kekayuan kering yang teronggok. Namun mereka sudah melihat bekas api yang mulai menjalar membakar sebatang pohon raksasa serta menjalar meluas dibawah pohon itu
Kiai Jayaraga yang berdiri disebelah Sekar Mirah itupun berdesis, "Memang tidak ada kesempatan untuk mempergunakan nalar sebaik-baiknya."
Sekar Mirah berpaling kearah Kiai Jayaraga. Namun orang itu sedang mengamati bekas-bekas api yang menghitam dengan sungguh-sungguh. Namun Sekar Mirah itupun tersenyum dan berkata kepada diri sendir, "Kiai Jayaraga agaknya membela sikap muridnya."
Namun Sekar Mirah sendiri dapat menilai apa yang ter jadi, sementara ketika ia memandang berkeliling, ia mulai melihat sosok-sosok tubuh yang membeku.
Agung Sedayulah yang kemudian berkata, "Agaknya telah terjadi perkelahian yang seru."
"Kami berusaha mencegah mereka membakar hutan." jawab Raden Rangga, "tetapi orang-orang itu bagaiKan menjadi gila, sementara api mulai menjalar."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sejenak kemu"dian iapun telah melangkah mendekati orang-orang yang terbaring diam itu setelah mengikat kudanya pada seba"tang pohon perdu. Demikian pula yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Bahkan Glagah Putih sendiri, karena Glagah Putih belum sempat mempernatikan mereka.
"Sepuluh orang." desis Agung Sedayu. Lalu, "Dan seekor harimau."
Raden Rangga mengangguk. "Baiklah Raden." berkata Agung Sedayu, "aku harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun agaknya peristiwa ini justru harus disebar luaskan."
"Agung Sedayu." berkata Raden Rangga dengan sungguh-sungguh, "apakah kau mau sedikit melindungi namaku" Aku tidak tahu apakah ayahanda akan marah kepadaku atau tidak. Tetapi lebih baik hal ini tidak didengar oleh ayahanda."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah Raden. Aku akan mengambil alih tanggung jawub Raden. Biarlah disebut aku dan Glagah Putih yang telah membunuh orang-orang ini. Tetapi kematian orang-orang ini akan sedikit mengurangi kemungkinan urungnya usaha-usaha yang dilakukan di Mataram."
"Jika demikian, apakah memang sudah seharusnya orang-orang ini ditumpas?" bertanya Raden Rangga.
"Sebenarnya tidak perlu Raden." jawab Agung Se"dayu, "seandainya kita menangkap merekapun akan dapat mempunyai akibat yang sama jika kita sebut mereka sudah terbunuh dan kita kuburkan dihutan ini. Sementara orang-orang yang tertangkap itu dengan diam-diam disembunyikan di rumah Ki Gede sampai persoalan yang sebenarnya selesai."
"Kenapa harus berbelit-belit begitu" Bukankah dengan kematian mereka kita justru telah terbebas dari segala macam tanggung jawab?" bertanya Raden Rangga.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun mengerutkan keningnya.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba katanya dalam nada rendah, "Maaf, aku sudah mulai kambuh lagi."
"Beruntunglah Raden menyadari langkah-langkah yang sudah Raden ambil." berkata Agung Sedayu.
"Ada juga gunanya aku tinggal bersama eyang Mandaraka." berkata Raden Rangga. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Sebenarnya aku hanya ingin melihat-lihat apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan ini, sehingga sepasukan prajaurit Mataram harus berada disini, meskipun aku tahu latar belakang dari pengiriman pasukan itu. Namun ternyata aku harus mengotori tanganku lagi dengan kematian beberapa orang."
"Tetapi Raden sudah mampu menilai apa yang terjadi." berkata Agung Sedayu.
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Aku minta diri, justru sebelum peristiwa ini didengar oleh Ki Gede Menoreh."
Tetapi Agung Sedayu kemudian berkata, "Tidak apa-apa Raden. Ki Gede harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Ki Gedepun akan bersikap seperti kami dan mengiakan bahwa aku dan Glagah Putihlah yang bertanggung jawab atas kematian orang-orang itu, sehingga Raden tidak akan mendapat hukuman dari ayahanda."
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Terima kasih. Tetapi biarlah aku tidak terlalu lama dicari eyang Mandaraka karena aku tidak ada di rumah. Salamku buat Ki Gede."
Agung Sedayu tidak dapat lagi mencegah Raden Rangga yang tergesa-gesa meninggalkan hutan itu. Langit yang sudah menjadi cerah telah mendorongnya untuk segera kembali ke Mataram.
Karena itu, maka sejenak kemudian anak muda itupun telah hilang dibalik dedaunan dan pepohonan di hutan yang pekat itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian iapun telah mulai mengamati keadaan. Sebenarnyalah bahwa keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Raden Rangga dan Glagah Putih tidak sempat membuat perhitungan-perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawannya yang ternyata tidak berusaha untuk melarikan diri.
Orang-orang yang berada dihutan itu memang menjadi sangat kagum mendengar ceritera Glagah Putih tentang kemampuan Raden Rangga yang mampu memadamkan api.
"Dari tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, yang membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Raden Rangga sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." berkata Glagah Putih.
"Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Agung Sedayu, "sehingga orang lain tidak dapat mengertinya. Apalagi cara Raden Rangga menguasai ilmunya itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Memang anak muda itu adalah anak muda yang aneh.
Sementara itu, Agung Sedayu agaknya telah selesai mengamati keadaan. Iapun kemudian berkata kepada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah, "Aku akan menemui Ki Gede. Aku harus melaporkan apa yang telah terjadi dan menyebar luaskan, sehingga jika kawan-kawan dari sepuluh orang ini mendengar peristiwanya, mereka menganggap bahwa kematian mereka berarti bahwa rahasia mereka tidak didengar oleh orang-orang Tanah Perdikan."
"Apakah kami harus menunggu disini?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya. Aku akan membawa beberapa orang untuk menguburkan mayat-mayat itu." jawab Agung Sedayu.
"Apakah aku harus ikut, kakang?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Kau tinggal disini bersama Kiai Jayaraga dan mbokayumu. Mungkin kau diperlukan disini." jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih hanya mengangguk saja, sementara itu Agung Sedayupun telah menuntun kudanya meninggakan tempat itu.
Sejenak kemudian Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede Menoreh. Perjalanan Agung Sedayu yang nampak tergesa-gesa memang menarik perhatian. Seorang anak muda yang melihat Agung Sedayu menjelang dini hari berkuda bersama tiga orang lainnya ketika ia berada digardu dan kemudian melihat lagi Agung Sedayu berkuda seorang diri, merasa heran. Tetapi anak muda itu tidak sempat bertanya sesuatu.
Kedatangan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa dirumah Ki Gedepun memang agak mengejutkan. Karena itu, maka Ki Gede dengan berdebar-debar menerimanya di pendapa. Hampir tidak sabar Ki Gede bertanya, "Ada apa?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mulai melaporkan apa yang terjadi sesuai dengan peristiwanya sendiri. Baru kemudian ia berkata, "Tetapi Raden Rangga minta, agar namanya tidak disebut-sebut dalam peristiwa itu, karena jika ayahandanya atau barangkali Ki Mandaraka mendengarnya, mungkin sekali ia akan menerima hukuman."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam, "Tetapi Raden Rangga sudah menyelamatkan Tanah Perdikan ini dari peristiwa yang dapat menimbulkan bencana."
"Ya, Ki Gede. Tetapi Raden Rangga minta dengan sangat." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Seterusnya kita akan pergi ke tempat itu." berkata Ki Gede, "aku akan berkemas."
"Bersama beberapa orang Ki Gede, mayat itu harus dikuburkan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya. "Baiklah. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk menyusul kita dengan membawa alat-alat yang diperlukan."
Demikianlah, Ki Gede telah membenahi dirinya sesaat. Kemudian bersama beberapa anak muda dan bebahu Tanah Perdikan, merekapun telah berkuda menuju ke tempat kejadian, sementara beberapa orang diperintahkannya un"tuk menyusul dengan ancar-ancar sebagaimana disebutkan oleh Agung Sedayu.
Peristiwa yang mendebarkan itupun segera tersebar di Tanah Perdikan Menorah. Namun yang disebut-sebut kemudian adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Aku melihat malam itu, menjelang dini, Agung Sedayu berkuda berempat dengan tergesa-gesa. Apakah saat itu orang-orang yang akan membakar hutan itu sudah terbunuh?" bertanya seorang anak muda kepada kawannya.
"Kita sama-sama digardu." jawab kawannya.
"O, ya," desis yang pertama.
"Tetapi aku tidak tahu, kapan peristiwa itu terjadi. Sebelum atau sesudahnya." berkata kawannya itu.
Merekapun kemudian terdiam. Tidak seorangpun yang mengetahuinya. Apa yang sebenarnya terjadi. Namun mereka mendengar bahwa sepuluh orang sudah terbunuh ketika orang-orang itu mencoba membakar hutan.
Dalam pada itu, Ki Gede dan sekelompok orang-orang Tanah Perdikan itupun telah memasuki hutan menuju ke tempat kejadian.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mere"kapun segera turun dari kuda-kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon perdu yang bertebaran, sementara Ki Gede dengan jantung yang berdebaran mengikuti Agung Sedayu mendekati tempat yang disebut oleh Agung Sedayu itu.
Sekar Mirah dan Kiai Jayaragapun telah menyambut kedatangan Ki Gede, sementara Glagah Putih berdiri termangu-mangu beberapa puluh langkah disebelah pohon yang mulai terbakar itu.
Ki Gede menjadi tegang melihat bekas jilatan api yang telah mulai memanjat sebatang pohon raksasa itu, serta bekasnya yang merayap melebar disekitar pohon itu. Bahkan dengan nada berat Ki Gede itupun berkata, "Seandainya hutan itu terbakar, aku tidak tahu, apa yang bakal terjadi dengan Tanah Perdikan Menoreh."
"Bencana." jawab seseorang bebahu yang menyertainya.
"Ya." jawab Ki Gede, "untunglah bahwa hal ini dapat diatasi."
"Kita memang wajib bersukur." desis Agung Sedayu, "ternyata bahwa Yang Maha Agung masih selalu melindungi Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Ya. Kita wajib mengucap sukur." Ki Gede mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, maka Ki Gedepun telah meiihat sosok-sosok tubuh yang terbaring diam. Iapun segera mengerti, bahwa orang-orang itulah yang telah berusaha untuk membakar hutan dan yang telah dicegah oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.
Sambil melihat-lihat keadaan ditempat itu, Ki Gede pun menunggu beberapa orang yang sudah diperintahnya untuk menyusul sambil membawa peralatan untuk mengubur mereka yang telah terbunuh ditempat itu.
Namun dalam pada itu, tiga orang prajurit dari pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itupun telah datang pula ketempat itu bersama beberapa orang yang sedang ditunggu-tunggu oleh Ki Gede.
Ketiga orang perwira itupun melihat bekas-bekas peristiwa itu dengar hati yang berdebar-debar. Merekapun dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika pembakaran hutan itu tidak dapat dicegah.
"Nampaknya mereka tidak sekedar bermain-main Ki Gede." berkata salah seorang prajurit itu.
"Ya." jawab Ki Gede, "mereka agaknya memang bersungguh-sungguh."
"Karena itu, sesudah mereka terbunuh semuanya disi"ni, mungkin masih akan datang orang-orang berikutnya yang membawa dendam berlipat ganda." jawab perwira itu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bahwa semua orang yang terlibat itu terbunuh, mereka tidak akan mendapat keterangan, apakah orang-orang itu benar-benar mendendam, atau seperti yang diperhitungkan, sekedar menarik perhatian.
Setelah meiihat peristiwa itu dengan seksama serta mempunyai gambaran yang lengkap menilik tempat-tempat mayat yang berserakar itu, maka Ki Gedepun telah memerintahkan orang-orang yang datang kemudian dengar membawa alat-alat secukupnya itu untuk menguburkannya.
Dalam pada itu, Ki Gede yang sudah merasa cukup melihat dan mengamati keadaan itupun telah meninggalkan tempat itu bersama para bebahu. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga pun telah menyertainya pula. Demikian pula para perwira prajurit Mataram yang telah datang pula ketempat itu.
Hanya Glagah Putihlah yang tinggal menunggui orang-orang yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka. Karena Agung Sedayu sudah mengisyaratkan, agar orang-orang itu tidak ditinggalkan begitu saja. Jika kemungkinan masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu berkeliaran, mereka akan sangat berbahaya bagi mereka yang ditinggalkan.
Namun ternyata bahwa tidak ada gangguan sama sekali terhadap orang-orang yang sedang menguburkan mayat-mayat itu. Bahkan ketika mereka kembali ke padukuhan, mereka telah membawa tubuh harimau yang telah terbunuh oleh Raden Rangga, karena kulitnya akan merupakan barang yang berharga.
Sementara itu, Agung Sedayu ternyata langsung menuju kerumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga kembali kerumah mereka. Masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan dengan Ki Gede. Terutama mengenai kematian orang-orang itu.
"Apakah hal itu perlu segera dilaporkan kepada Panembahan Senapati atau tidak. Sebenarnya Panembahan Senapati perlu segera mengetahui pesoalan ini." berkata Ki Gede, "mungkin Panembahan Senapati yang memiliki pengamatan yang tajam serta perhitungan yang mapan karena kecerdasan daya penalarannya, mempunyai pendapat tertentu."
"Tetapi apakan harus dilakukan perjalanan dengan diam-diam." desis Agung Sedayu, "bukankah wajar jika kita melaporkan persoalan ini kepada Panembahan Senapati, apalagi Panembahan Senapati memang telah menempatkan pasukannya disini. Bahkan seandainya masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu di Tanah Perdikan ini, maka iapun tentu sudah akan memberi tahukan kepada kawan-kawannya yang lain, yang mungkin memang ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mataram."
Ki Gede mangangguk-angguk. Namun kemudian kata"nya, "Baiklah Agung Sedayu. Kita memang harus segera menghubungi Mataram. Bahkan kau akan dapat pergi dengan seorang diantara prajurit Mataram. Kami tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil jika perjalanan kali"an nanti diketahui oleh orang-orang yang masih diselubungi rahasia itu. Namun menurut perhitungan kita, kedatanganmu di Mataram bersama perwira itu tidak akan berpengaruh atas rencana besar mereka. Bahkan mereka tentu mengharap bahwa perhatian Panembahan Senapati akan lebih tertuju ke Tanah Perdikan ini."
"Ya Ki Gede. Tetapi entah pula sikap mereka, jika orang-orang yang terbunuh itu benar-benar sekelompok orang yang mendendam karena kematian kawan-kawannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan rencana yang disusun dan dihadapkan kepada Mataram."
Ki Gede Menoreh mengangguk kecil. Bahwa semua orang yang terlibat dalam pembakaran hutan itu telah terbunuh semuanya, maka mereka tidak dapat lagi menelusuri, apakah yang sebenarnya sedang mereka lakukan.
Namun dengan demikian, maka baik Ki Gede sendiri maupun Agung Sedayu berpendapat, bahwa mereka harus segera menghubungi Mataram.
"Biarlah Kiai Jayaraga berada di Tanah Perdikan." berkata Ki Gede, "jika benar terjadi sesuatu, maka Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah akan dapat mengatasinya ber"sama dengan Glagah Putih bersama para pengawal Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Ki Gede. Aku akan segera berangkat. Sebaiknya Ki Gede memanggil Senapati Mataram yang ber"ada di Tanah Perdikan ini dan minta agar ditunjuk salah seorang diantara mereka untuk pergi bersamaku menghadap Panembahan Senapati."
Sementara Ki Gede menghubungi para perwira prajurit Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah memerlukan kembali pulang sejenak untuk berkemas dan minta diri kepada Sekar Mirah.
Sejenak kemudian, maka dua orang telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Mataram. Kuda-kuda mereka berpacu diatas jalan-jalan berbatu. Meskipun tidak dengan kecepatan penuh, namun kuda-kuda itu berlari mendahului beberapa orang berkuda yang melintasi jalan itu pula.
Diperjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itu melihat bahwa kehidupan di Tanah Perdikan itu memang agak terpengaruh oleh peristiwa yang baru terjadi semalam. Pasar-pasar terasa susut, meskipun banyak juga orang yang tetap mempercayakan keselamatannya kepada para pengawal yang dirasanya cukup kuat.
"Tidak ada kekuatan yang dapat menembus pertahanan Tanah Perdikan ini." berkata seorang pedagang yang tetap menjajakan dagangannya dipasar kepada kawannya yang ragu-ragu.
"Tetapi menurut pendengaranku, mereka sudah mem"bakar hutan." jawab kawannya itu.
"Siapa bilang" jawab yang pertama, "sepuluh orang telah dibunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka tidak sempat membakar hutan meskipun mereka sudah menimbun seonggok dedaunan dan kayu-kayu kering dibawah sebatang pohon raksasa. Jika pohon raksasa itu terbakar, maka pohon-pohon sebelah menyebelahnyapun akan terbakar juga. Apalagi pohon-pohon perdu dan barang-barang yang lebih kecil, sebangsa batang ilalang."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang pertama berkata selanjutnya, "karena itu, aku percaya kepada para pengawal, kepada Agung Sedayu, isterinya dan Glagah Putih serta orang tua yang tinggal bersama mereka itu. Selain mereka masih ada juga Ki Gede sendiri."
"Ya. Kau benar." jawab kawannya. Namun masih juga nampak keragu-raguannya. Katanya, "Tetapi biarlah besok saja aku menjajakan seluruh daganganku, hari ini aku memang tidak bersedia."
Yang pertama tertawa. Katanya, "Kau memang penakut."
Kawannya mengerutkan keningnya Namun iapun tersenyum sambil berkata, "Bukan karena penakut. Tetapi anakku sepuluh orang. Jika terjadi sesuatu dengan aku bagaimana nasib anak-anakku itu."
Orang yang pertama masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menyahut lagi, karena iapun telah sibuk melayani para pernbeli. Justru karena jumlah penjual pasar itu susut, pedagang itu tidak terlalu banyak mempunyai saingan, sehingga pembelipun menjadi lebih banyak.
Dalam pada itu, perjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itupun semakin lama menjadi semakin jauh Mereka telah melewati padukuhan demi padukuhan menuju tempat penyeberangan di Kali Praga.
Tidak ada hambatan sama sekali yang menghalangi perjalanan mereka. Anak-anak muda yang bertemu di perjalananpun bertanya, "apakah yang akan mereka lakukan?"
Agung Sedayu tidak menjawab dengan jelas, meskipun ia berkata juga, "Memberikan laporan tentang peristiwa semalam ke Mataram."
Tetapi anak-anak itu pada umumnya tidak sempat bertanya lebih lanjut karena Agung Sedayu tidak menghentikan kudanya.
Beberapa saat kemudian. kedua orang itupun telah sampai di penyeberangan. Mereka tidak perlu menunggu terlalu iama. karena beberapa rakit hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang kesebelah Timur atau kesebelah Barat Kali Praga.
Ketika mereka memasuki Mataram, maka mereka tidak meiihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu aadang roengambang diatas langit Kota Raja yang menjadi semakin ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasarpun ramai dikunjungi orang. Di jaian-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.
Tanpa mendapat kesulitan apapun, maka Agung Sedayu dan perwira prajurit dari pasukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu telah masuk ke istana. Namun ternyata bahwa yang diterima oleh Panembahan Senapati justru hanyalah Agung Sedayu saja.
Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Raden Rangga, ia sama sekali tidak menyebut nama Raden Rangga dalam peristiwa itu.
Sebenarnyalah, bagi Panembahan Senapati siapapun yang melakukannya, agaknya memang tidak penting. Tetapi peristiwa itu memang perlu mendapat perhatian.
Namun Senapatipun juga memperhitungkan kemungkinan, bahwa yang melakukan pengacauan di Tanah Perdikan itu benar-benar orang yang mendendam. Tetapi firasatnya mengatakan kepadanya. bahwa kemungkinan yang terbesar adalah, bahwa yang terjadi itu ada hubungannya langsung dengan kehadiran beberapa orang di dalam lingkungan istana Mataram. Karena itu, maka laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu itu dianggapnya sangat berarti baginya.
"Agung Sedayu." berkata Panembahan Senapati kemudian, "kalian harus berusaha untuk mengatasi persoalan kalian sebaik-baiknya. Para prajurit Mataram di Tanah Perdikan itu dapat kalian manfaatkan benar-benar. Bukan sekedar permainan sebagaimana kita lakukan. Namun jika keadaan menuntutnya, maka mereka dapat diberi beban yang sesuai dengan tugas keprajuritan mereka."
"Hamba Panembahan." berkata Agung Sedayu, "kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Namun sebenarnyalah yang terjadi di Tanah Perdikan itu masih tetap gelap bagi kami."
"Kita sama-sama dihadapkan kepada satu masalah yang masih harus dipecahkan. Itulah sebabnya kita berusaha menjebak mereka, agar kita mendapat sedikit keterangan tentang mereka. Meskipun mungkin orang-orang itu tidak akan memberikan banyak keterangan atau bahkan keterangan yang menyesatkan. Tetapi dengan berbagai cara mungkin pada suatu saat kita menemukan titik-titik terang dari kabut yang samar ini." berkata Panembahan Senapati.
Agung Sedayu mengangguk hormat. Setelah menerima beberapa pesan, maka Agung Sedayupun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan.
"Kau tidak bermalam disini?" bertanya Panembahan Senapati.
"Terima kasih Panembahan. Hamba mohon diri. Mungkin ada tugas yang harus hamba lakukan malam nanti di Tanah Perdikan." jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapati tidak dapat menahannya. Iapun kemudian melepaskan Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan.
Sepeninggal Agung Sedayu, Panembahan Senapati telah memanggil Ki Mandaraka. Setelah diuraikan segala sesuatunya, dengan nada dalam Panembahan berkata, "Kita tidak dapat menemukan garis yang tegas dari peristiwa di Tanah Perdikan itu dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki istana ini paman. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang telah menggelitik hati. Seakan-akan yang terjadi di Tanah Perdikan itu merupakan pertanda, bahwa kitapun harus bersiaga sepenuhnya. Aku masih tetap merahasiakan kehadiran orang-orang itu selain terhadap para prajurit Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam. Mudah-mudahan segalanya cepat berlangsung sehingga kita tidak selalu dibayangi oleh ketegangan-ketegangan."
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Kadang-kadang firasat didalam diri kita merupakan petunjuk yang pantas kita perhatikan. Jika demikian, kita memang harus bersiap. Pembakaran hutan adalah puncak perbuatan kasar."
"Baiklah paman. Aku mohon kita benar-benar bersiap." berkdta Panembahan Senapati, "sebab aku yakin bahwa peristiwa ini merupakan bagian dari lakon vang panjang yang telah disusun oleh sekelompok orang yang tidak menyukai pemerintahanku. Jika kita berhasil mendapat sedikit keterangan, maka kita akan dapat merubah susunan lakon itu."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Peristiwa di Tanah Perdikan itu merupakan isyarat. Kita memang harus berhati-hati. Para prajurit yang mendapat kepercayaan Panembahan harus mendapat perintah-perinah baru untuk menyegarkan sikap mereka. Mungkin beberapa orang diantara mereka justru menjadi lengah karena selama ini tidak terjadi sesuatu."
"Baiklah paman." jawab Panembahan, "aku akan berbicara dengan Panglima Pasukan Pengawal itu."
Ketika Panembahan Senapati memangggil Panglima Pasukan Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam, maka Agung Sedayu dan seorang perwira prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh sudah keluar dari gerbang Kota Raja.
Namun langkah kuda mereka tertegun ketika mereka melihai seorang anak muda berdiri diatas tanggul parit di pinggir jaian.
"Raden Rangga."
Agung Sedayu dan perwira itupun telah meloncat turun dari kuda mereka, sementara Raden Rangga tersenyum, sambil berkata, "Ternyata Kau memerlukan seorang pengawal."
"Maksudku, aku memang memerlukan seorang kawan Raden. Bukan pengawal." jawab Agung sedayu.
"Ya. Ya." Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Kau sudah melaporkannya kepada ayahanda"
"Sudah." jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu agaknya masih akan bertanya lagi. Tetapi karena ada seorang pengawal yang hadir. maka Raden Rangga menjadi segan mengucapkannya.
Namun agaknya Agung Sedayu dapat menangkapnya. Lalu katanya, "Aku sudah melaporkan kepada ayahanda Raden, bahwa aku dan Glagah Putih dengan terpaksa membunuh sepuluh orang itu tanpa dapat menangkap seorang pun yang masih hidup untuk didengar keterangannya."
Raden Rangga mengeruikan keningnya. Namur iapun kemudian mengangguk-angguk.
"Baiklah." berkata Raden Rangga, "salamku kepada Glagah Putih. Mudah-mudahan aku masih akan dapat bertemu lagi."
Wajah Agung Sedayu menegang. Namun kemudian katanya, "Jangan berkata begitu Raden. Apakah sebabnya Raden mengatakannya?"
Wajah Raden Rangga tiba-tiba menjadi muram. Katanya, "Yang ada padaku bukanlah milikku."
"Apa maksud Raden?" bertanya Agung Sedayu.
"Dalam keadaan yang cukup lelah, aku telah tertidur sebentar. Semuanya nampak asing didalam mimpi. Jalan itu nampak kembali terbentang dihadapanku. Panjang sekali. Dan perempuan dalam kereta yang mewah dalam pakaian yang gemerlapan dengan wajah ibuku itu melambaikan tangannya dari atas ombak yang bertebaran diujung jalan yang sangat panjang itu." Raden Rangga tertunduk. Lalu katanya, "sampaikan kepada Glagah Putih tentang mimpiku. Aku sudah banyak berceritera kepadanya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Ranggapun kemudian berkata, "Selamat jalan. Langit cerah dan udara terasa segar."
Agung Sedayu dan perwira itu tidak menjawab. Mereka kemudian melihat Raden Rangga berkisar dan melangkah meninggalkan mereka.
"Anak yang aneh." berkata perwira itu.
Agung Sedayu memandang langkah anak muda itu. Semakin lama semakin jauh. Bahkan seakan-akan langkah itu tidak akan berhenti lagi.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika perwira itu kemudian berkata, "Marilah. Kita tidak terlalu dirisaukan lagi oleh anak itu. Pada saat-saat terakhir ia sudah mulai tenang setelah ia tinggal bersama Ki Patih Mandaraka."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Ya. Memang sudah nampak ada perubahan padanya."
Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Namun tanpa disadari, perjalanan mereka menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Agung Sedayu ingin segera berbicara dengan Glagah Putih tentang pesan Raden Rangga.
Perwira yang pergi bersama Agung Sedayu itu hanya menyesuaikan dirinya saja. Kudanyapun berlari semakin cepat pula. Karena itu, maka keduanya seakan-akan telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga. Sehingga perwira itu kemudian bertanya, "Apakah ada hadiahnya bagi kita yang lebih dahulu mencapai pedukuhan induk?"
"O" Agung Sedayu tersadar. Iapun mengurangi kecepatan kudanya. Namun perlahan-lahan diluar sadarnya, perjalanan mereka menjadi semakin cepat kembali.
Ketika mereka sampai di padukuhan induk, dan setelah Agung Sedayu melaporkan pertemuannya dengan Panembahan itu kepada Ki Gede, maka Agung Sedayupun segera minta diri.
"Baiklah Agung Sedayu." berkata Ki Gede, "tidak urung kau jugalah yang akan melaksanakan. Lakukanlah sebaik-baiknya agar ketenangan Tanah Perdikan ini tidak terlalu terganggu."
"Baik Ki Gede. Aku akan melakukannya bersama para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini." berkata Agung Sedayu yang menghadap Ki Gede seorang diri, sebagaimana pesan itu disampaikan oleh Panembahan Senapati. Sedangkan perwira yang menyertainya berada di pendapa menikmati hidangan yang telah disuguhkan.
Ketika Agung Sedayu kemudian keluar dari rumah dalam, maka perwira itupun minta diri pula untuk kembali ke induk pasukannya.
"Untunglah, aku seorang prajurit." berkata perwira itu.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Seandainya aku bukan seorang prajurit, aku tentu merasa tersinggung karena dalam perjalanan ini aku sama sekali tidak mengetahui persoalan yang kalian bicarakan. Baik di Tanah Perdikan ini maupun di Mataram, meskipun aku seorang perwira prajurit Mataram."
"Maaf." sahut Agung Sedayu, "bukan maksudku."
"Aku mengerti." jawab prajurit itu sambil tertawa, "seperti aku katakan, aku adalah seorang prajurit."
Keduanyapun berpisah. Sementara Agung Sedayu dengan tergesa-gesa kembali pulang. Untunglah baginya, bahwa Glagah Putih sedang ada dirumah. Karena itu, maKa iapun dapat langsung berceritera tentang Raden Rangga itu.
Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia sudah sering berbincang tentang hidup dan kehidupan Raden Rangga. Karena itu, ia memang merasa cemas mendengar pesan itu. Ada sesuatu yang menggelitiknya untuk pergi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan pergi kakang."
"Kemana?" Sekar Mirahlah yang bertanya pertama-tama meskipun ia sudah menangkap maksudnya.
"Aku akan menemuinya." jawab Glagah Putih.
"Kau akan ke Mataram?" bertanya Agung Sedayu menegaskan.
"Ya." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah Glagah Putih. Tetapi berhati-hatilah. Kemelut yang terjadi nampaknya cukup panas meskipun masih terselubung. Kau merupakan orang yang tentu menjadi sasaran jika benar-benar ada tuntutan pembalasan dendam karena kau sudah dua kali melakukan pembunuhan."
Glagah Putih mengangguk. Sementara itu Kiai Jayaraga bertanya, "Bukan maksudku memperkecil pribadimu. Tetapi aku ingin bertanya, apakah kau akan pergi sendiri atau bersama orang lain."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, "Sulit bagi Raden Rangga untuk dapat menerima kehadiran orang lain."
"Baiklah." berkata Kiai Jayaraga, "kau memang sudah pantas untuk pergi sendiri, dan kaupun telah pernah melakukannya dan ternyata kau berhasil mengatasi kesulitan yang terjadi di perjalanan. Namun kali ini kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik, justru karena persoalan yang timbul di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Karena itu, siapkan semua bekal, termasuk ikat pinggang yang pernah kau terima dari Mataram itu."
"Baiklah Kiai." jawab Glagah Putih, "aku mohon restu."
Demikianlah. maka Glagah Putihpun telah mohon diri dan mohon restu kepada kakak sepupunya serta mbokayunya pula. Kemudian dengan kudanya yang tegap tegar pemberian Raden Rangga, Glagah Putihpun berpacu menuju Mataram.
Ternyata kudanya benar-benar seekor kuda yang luar biasa. Kuda itu berpacu seperti angin. Sehingga karena itu, maka kepergian Glagah Putih telah banyak menarik perhatian. Apalagi Glagah Putih tidak memperlambat kudanya jika ia berpapasan dengan kawan-kawannya meskipun anak muda itu tetap mengangguk, tersenyum dan bahkan menyapa mereka.
Sebagaimana Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun tidak menemui hambatan apapun diperjalanan, sehingga ia telah mencapai tepian Kali Praga. Iapun tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, iapun telah berada diatas sebuah rakit yang akan membawanya menyeberang.
Namun ternyata bahwa kudanya memang telah menarik perhatian orang-orang yang bersamanya dalam satu rakit. Seorang yang mengaku sebagai seorang saudagar ternak dan kuda, memperhatikan kuda Glagah Putih itu dengan saksama. Sambil tersenyum-senyum ia berkata, "Kuda yang sangat bagus anak muda. Berapa kau membelinya?"
"Aku tidak membelinya, Ki Sanak." jawab Glagah Putih, "pamanku memberikannya sebagai hadiah."
"Hadiah apa?" bertanya saudagar itu, "apakah kau sudah melakukan sesuatu yang sangat berat bagi pamanmu itu, sehingga kau mendapatkan hadiah yang sangat berharga ini?"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya membantu paman bekerja disawah. Mungkin karena aku bekerja dengan tekun maka aku telah mendapat hadiah itu ketika aku meninggaikan rumah paman dan kembali kepada orang tuaku." jawab Glagah Putih.
"Kenapa kau tinggalkan pamanmu yang baik itu?" bertanya saudagar itu.
"Orang tuaku menjadi semakin tua dan tidak dapat lagi mengurusi sawah ladangnya. Aku telah dipanggil pulang, karena aku adalah satu-satunya anak laki-laki." jawab Glagah Putih asal saja.
Tetapi saudagar itu masih juga bertanya, "Apakah kau tidak mempunyai saudara perempuan?"
"Ya." jawab Glagah Putih, "saudaraku ada tujuh. Semua perempuan."
"O" orang itu mengangguk-angguk. Narnun iapun bergumam, "Tujuh orang. Jadi anaknya semua ada delapan."
Glagah Putih tidak menghiraukan lagi. Rakit yang ditumpanginya sudah semakin dekat dengan tepian di seberang. Dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian, ia memperhatikan tukang-tukang satang itu. Untunglah bahwa mereka bukannya orang yang pernah membawanya menyeberang pada saat ia mengaku sebagai anak seorang saudagar kaya.
Sejenak kemudian, rakit itupun menepi. Setelah memberikan upah sewajarnya, karena ia bukan anak saudagar kaya raya, maka Glagah Putihpun telah menuntun kudanya ditepian. Namun iapun harus berpaling dan berusaha membelakanginya ketika ia melihat seorang diantara tukang satang dari rakit yang lain adalah orang yang mirip dengan tukang satang yang pernah menyeberangkannya.
"Jika benar orang itu tukang satang yang pernah membawaku, mudah-mudahan ia tidak melihatku dan menyapa aku, atau justru sudah melupakannya." berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Namun Glagah Putih terkejut ketika saudagar yang bersamanya dalam rakit itu berjalan disebelahnya sambil berkata, "Kau tidak ingin menjadikan kudamu modal untuk kerja daripada sekedar menjadi kebanggaan" Hanya orang-orang kaya sajalah yang pantas mempunyai seekor kuda sebagus kudamu itu."
Glagah Putih memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Kuda ini adalah pemberian pamanku. Aku tidak akan berani menjualnya."
"Kau tukar dengan seekor kuda yang lebih kecil. Kau akan mempunyai sisa uang cukup untuk modal berdagang kecil-kecilan di padukuhanmu atau dipasar terdekat." ber"kata saudagar itu.
Tetapi sekali lagi Glagah Putih menjawab, "Aku tidak berani melepaskannya dari tanganku."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Namun iapun masih juga menepuk kuda itu sambil berdesis, "Kuda yang sangat bagus. Selamat anak muda. Kau telah memiliki tunggangan yang dapat kau jadikan kebanggaan."
Glagah Putihpun kemudian minta diri untuk mendahului saudagar itu. Namun demikian pengalamannya telah mendorongnya untuk tetap berhati-hati. Justru karena kuda itu, maka banyak peristiwa telah terjadi. Juga yang menyangkut persoalan yang terjadi di Mataram. Justru karena kuda itu, maka ia sempat mendengar keterangan tentang sesuatu yang akan terjadi atas Panembahan Senapati.
Namun agaknya yang mengagumi kudanya itu benar-benar seorang penggemar kuda. Ternyata tidak ada peristiwa yang mengikutinya ketika ia meninggalkan tepian menuju ke Mataram.
Namun Glagah Putih tidak memacu kudanya cepat-cepat sebagaimana dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh. Ia tidak mau menarik perhatian, apalagi para prajurit Mataram yang bertugas. Bahkan menurut perhitungan Glagah Putih, Panembahan Senapati tentu telah menyebarkan para prajurit dalam tugas sandi, meskipun terbatas pada kesatuan yang sangat dipercaya.
Kuda Glagah Putih memang menarik perhatian. Rasa-rasanya tidak seimbang ditilik dari penunggangnya. Na"mun ternyata Glagah Putih tidak mengalami gangguan apapun sehingga ia mendekati istana Ki Patih Mandaraka dengan selamat.
Glagah Putih memang ragu-ragu. Namun akhirnya diberanikannya dirinya menghampiri pengawal di gerbang istana Ki Patih. Untung sekali Glagah Putih, bahwa pengawal itu pernah mengenalnya ketika ia datang ke Kepatihan sebelumnya. Karena itu, maka Glagah Putih itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan.
"Aku akan menyampaikannya kepada Raden Rangga," berkata pengawal itu, "tunggulah, mudah-mudahan ia ada di biliknya."
"Menurut penglihatanku, baru saja ia kembali. Tetapi kadang-kadang penglihatan kami, para pengawal, keliru. Kami melihatnya kembali, tetapi ternyata Raden Rangga tidak ada, tetapi justru kami melihatnya pergi, ia berada didalam istana Kepatihan ini." jawab pengawal itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menunggunya diserambi regol bersama seorang pengawal yang lain, sementara seorang pengawal mencari Raden Rangga di biliknya. Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Baru sejenak kemudian pengawal itu datang kembali keregol.
"Ternyata Raden Rangga ada di dalam biliknya." ber"kata pengawal itu, "Raden telah memerintahkan kepadaku, agar mempersilahkan kau masuk."
"Terima kasih." jawab Glagah Putih yang kemudian menuntun kudanya memasuki halaman dan menambatkan kudanya itu pada patok-patok yang memang tersedia.
Glagah Putih memang telah mengetahui letak bilik Raden Rangga. Namun ia ragu-ragu untuk masuk. Sehingga karena itu, maka seorang pelayan yang melihatnya bertanya kepadanya, "Siapakah yang kau cari?"
"Raden Rangga." jawab Glagah Putih.
"Raden Rangga" Siapakah kau?" bertanya pelayan itu.
Agaknya percakapan itu didengar oleh pengawal yang telah menyampaikan kedatangan Glagah Putih kepada Raden Rangga. Karena itu maka iapun telah mendekatinya sambil berkata, "Bawa tamu ini kepada Raden Rangga. Aku telah menyampaikannya dan Raden Rangga telah memerintahkannya untuk datang ke biliknya."
"O" desis pelayan itu, "aku tidak tahu. Kenapa kau tidak mengantarnya?"
"Kaulah yang harus mengantarnya." jawab pengawal itu.
Pelayan itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, "Marilah, ikut aku."
Ternyata pelayan itu tidak membawanya melalui ruang dalam. Tetapi pelayan itu telah membawa Glagah Putih memasuki seketheng sebelah kanan. Melalui longkangan dan serambi maka akhirnya Glagah Putih telah memasuki ruang samping menghadap kepintu bilik Raden Rangga.
"Itulah. Masuklah." berkata pelayan itu.
Glagah Putih itupun kemudian melangkah mendekati pintu itu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu yang tertutup itu.
"Siapa?" terdengar suara dari dalam.
"Aku Raden, Glagah Putih." jawab Glagah Putih.
"O. Marilah." jawab yang di dalam.
Sejenak kemudian, pintu itupun telah terbuka. Raden Rangga berdiri sambil tersenyum. Dengan nada dalam ia mempersilahkan, "Masuklah. Aku sudah menduga, bahwa kau akan datang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga mengulanginya, "Jika pesanku lewat Agung Se"dayu sampai, kau tentu akan datang. Dan waktunyapun tidak jauh dari perhitunganku. Marilah."
Glagah Putihpun kemudian telah melangkah masuk. Dengan ragu-ragu iapun duduk di sebuah amben. Setelah menutup pintu biliknya, maka Raden Ranggapun telah duduk pula disebelahnya.
"Pesan Raden membuat aku berdebar-debar." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun wajahnyapun kemudian menunduk. Dengan nada dalam ia berkata "Aku memang dalam keadaan gelisah Glagah Putih. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Sebenarnya aku tidak cemas apapun yang akan terjadi atasku. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang belum selesai. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi atasku nanti, besok atau dalam batasan waktu yang manapun. Namun sementara itu bahaya benar-benar sedang mengancam ayahanda."
"Tetapi menurut pesan yang sampai kepadaku, agaknya Raden menjadi gelisah karena mimpi yang Raden lihat di dalam tidur. Seakan-akan Raden sedang menuju ke tempat yang tidak terbatas, kereta diatas lautan dan perempuan dalam pakaian gemerlapan." sahut Glagah Putih.
"Ya. Jika aku boleh berterus terang, aku telah menterjemahkan isyarat dengan akhir perjalanan hidupku, karena ibuku, yang melahirkan aku telah mengajakku pergi ke tempat yang tidak dikenal." jawab Raden Rangga, "tetapi itu tidak menggelisahkan. Aku siap menerima panggilan itu. Tetapi kenapa justru pada saat ayahanda sedang dibayangi oleh kesulitan yang belum dapat dijajagi, seberapa besarnya."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Tetapi bukankah ayahanda Raden seorang yang pilih tanding. Sementara itu Ki Patih Mandarakapun seorang yang jarang ada duanya. Seandainya ada seseorang yang berani memasuki istana ini dan langsung berhadapan dengan Panembahan Senapati, apakah orang itu tidak akan mengalami kesulitan karena tingkah lakunya sendiri, bagaikan sulung masuk kedalam api."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tahu, ayahanda memiliki tingkat ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin sejajar dengan ilmu orang-orang terpilih diseluruh Demak sekarang ini. Namun setiap orang memiliki kelemahannya masing-masing. Tidak ada seorangpun yang mampu mengatasi segala-galanya di atas dunia ini. Pada suatu saat seseorang akan sampai pada satu batas kelemahannya dan hal itu akan dapat saja terjadi atas ayahanda, karena ayahanda tidak lebih dari manusia biasa."
Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, "Namun seandainya orang yang mengembara, maka ayahanda Raden sudah menyiapkan bekal secukupnya. Memang mungkin yang tidak diharapkan dapat saja terjadi. Tetapi kita mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan."
"Kau benar Glagah Putih." jawab Raden Rangga, "tetapi yang menentukan bukannya kita. Ketentuan yang berada diluar jangkauan kita itulah yang aku cemaskan. Meskipun ilmuku dibandingkan dengan ilmu ayahanda tidak berarti apa-apa, namun rasa-rasanya betapa pahitnya jika aku harus pergi justru ayahanda berada didalam bahaya. Ini mungkin hadir di dalam hatiku sebagai ujud dari kesombonganku. Tetapi aku tidak dapat mengelak dari perasaan itu, sementara mimpi yang mengerikan itu membayangiku."
Rahasia 180 Patung Mas 11 Pendekar Naga Geni 15 Pendekar Gagak Cemani Pedang Tanpa Perasaan 5
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun karena Sekar Mirah memang sudah mengetahui serba sedikit tentang hubungan persoalan antara Tanah Perdikan Menoreh dengan Mataram, maka Agung Sedayu-pun telah memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Ia percaya bahwa orang-orang seisi rumahnya itu tidak akan membocorkan rahasia itu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, maka persoalannya akan berbeda."
"Itulah sebabnya sampai saat ini aku masih belum bertindak dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya aku-pun seakan-akan berdiri di persimpangan jalan. Jika aku bersungguh-sungguh dan menangkap orang-orang itu, mungkin langkah orang-orang yang akan memasuki Mataram itu akan berbeda. Tetapi jika aku membiarkannya saja, maka kerusakan dan kegelisahan akan berkembang di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, para prajurit berkuda dari Mataram itu-pun telah mendapat perintah untuk sekedar melakukan pencegahan. Tetapi mereka tidak mendapat perintah untuk menangkap orang-orang yang telah mengacaukan Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, seolah-olah Tanah Perdikan ini sudah dikorbankan untuk satu kepentingan yang dianggap lebih besar dari kerugian yang timbul di Tanah Perdikan sepanjang tidak timbul korban jiwa." Agung Sedayu menjelaskan.
"Jika demikian kita memang harus menunggu" berkata Sekar Mirah, "tetapi begitu kepentingan Mataram selesai, maka kita akan dapat mengambil langkah-langkah penting."
"Agaknya memang demikian" jawab Agung Sedayu, "tetapi sementara ini, kita akan menerima keadaan seperti ini. Kita tidak usah tersinggung karena kehadiran pasukan Mataram. Hal ini memang perlu dijelaskan kepada para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Tetapi nanti, setelah semuanya lewat."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan demikian, maka tugas kakang tentu hanya sekedar menunggu di rumah Ki Gede atau berada di gardu-gardu bersama para pengawal."
"Ya" sahut Agung Sedayu, "para pengawal akan meronda bersama para prajurit dari Mataram. Jika perondaan itu ketat, maka orang-orang itu tentu tidak akan mendapat kesempatan untuk menelan korban berikutnya. Apakah itu sawah, pategalan atau bendungan."
Sebenarnyalah, sejak kehadiran para prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka orang-orang yang bersembunyi itu seakan-akan tidak pernah mendapat kesempatan lagi. Di seluruh Tanah Perdikan dalam kelompok-kelompok kecil mengelilingi seluruh lingkungan Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka sulit bagi sepuluh orang itu untuk menyusup dan melakukan satu pengacauan tanpa dilihat oleh para peronda itu.
Tetapi orang-orang itu tidak juga kehabisan akal. Apa saja yang dapat mereka lakukan telah mereka lakukan. Bahkan mereka yang kehilangan kesempatan itu telah dengan tanpa malu-malu memasukkan jenu ke dalam sungai yang melalui Tanah Perdikan. Mereka telah berada di tepi sungai itu di pinggir hutan sambil membawa beberapa onggok jenu. Kemudian jenu itu telah dicairkan dan dituangkan ke dalam sungai.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh terkejut ketika mereka melihat bangkai ikan yang mengambang di sungai itu. Tidak hanya beberapa ekor, tetapi terlalu banyak.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh hanya dapat pengumpat-umpat saja. Namun Agung Sedayu masih berkata, "Untunglah, mereka tidak menaburkan racun."
"Tetapi pada suatu ketika mungkin sekali hal itu terjadi" berkata Sekar Mirah.
Namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kemudian telah meronda di sepanjang sungai itu pula.
Tetapi orang-orang yang mendapat tugasuntuk mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata sudah puas dengan hasil kerja mereka. Pemimpin mereka-pun kemudian berkata, "Kita sudah dua pekan berada disini."
"Aku kira yang kita lakukan sudah cukup menarik perhatian orang-orang Tanah Perdikan. Kita sudah cukup membuat mereka kebingungan sehingga mereka terpaksa minta perlindungan Mataram. Sepasukan prajurit Mataram itu-pun tidak mampu menangkap kita. Namun agaknya prajurit-prajurit itu akan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama." sahut seorang kawannya. "Nama Agung Sedayu agaknya tidak lebih dari sebutan di dalam mimpi. Jika benar ia berilmu tinggi, maka ia tentu akan dapat menemukan kita dimanapun kita bersembunyi" berkata pemimpin kelompok itu.
"Aku sebenarnya ingin bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu itu" desis seseorang di antara mereka.
Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan nada datar ia berkata, "Jangan mencari perkara."
"Kenapa" Aku ingin membuktikan bahwa di Tanah Perdikan ini tidak ada kekuatan yang perlu dicemaskan kecuali Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh-pun tidak mampu menemukan persembunyian kita dan tidak mampu mencegah tingkah laku kita."
"Tetapi itu tidak termasuk tugas kita" berkata pemimpinnya, "tetapi jika kau akan melakukan, itu bukan tanggung jawabku. Dan sebaiknya kau lakukan setelah kita melaporkan diri kepada para pemimpin kita."
Orang itu nampaknya kecewa sekali. Namun ia tidak dapat melanggar perintah pemimpin kelompoknya.
Sementara itu, di Mataram, persiapan orang-orang yang ingin memasuki istana itu-pun menjadi semakin masak. Bahwa Mataram mengirimkan sepasukan ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi pertanda, bahwa perhatian para pemimpin di Mataram justru tertuju ke arah Tanah Perdikan Menoreh:
Karena itu, maka mereka-pun telah bersiap untuk memasuki istana itu setelah utusan mereka menghadap guru dari para pemimpin kelompok itu telah kembali.
"Guru mempercayakan kepada kita" berkata saudara seperguruan mereka yang menghadap gurunya.
"Apa maksudnya?" bertanya salah seorang saudara seperguruannya.
"Guru yakin bahwa kita akan dapat menyelesaikan persoalan tanpa kehadiran guru. Kita, tiga orang terbaik, akan dapat menyelesaikan Panembahan Senapati menurut penilaian guru. Tetapi menurut guru, kita tidak bertiga dalam keseluruhan, memasuki bilik Panembahan Senapati. Jika kita bertiga, maka seorang harus mengawasi keadaan di luar istana, seorang mengawasi keadaan di dalam istana dan yang seorang lagi akan memasuki bilik Panembahan Senapati." berkata orang yang telah menghadap gurunya itu.
"Apakah itu sudah cukup" Bukankah Panembahan Senapati termasuk orang yang memiliki ilmu yang luar biasa?" bertanya saudara seperguruannya, "pada umurnya yang masih sangat muda, ia telah mampu membunuh Adipati Arya Penangsang."
"Bukan karena ilmu Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati" jawab saudara seperguruannya yang telah menghadap gurunya, "tetapi karena kekuatan tombak Kangjeng Kiai Pleret dan kelengahan Arya Penangsang sendiri. Tanpa tombak Kangjeng Kiai Pleret, Sutawijaya tidak akan mampu melukai kulit Arya Penangsang. Bahkan seandainya Arya Penangsang tidak lengah dengan menyangkutkan ususnya yang keluar itu ke wrangka kerisnya, sehingga ketika ia menarik kerisnya, justru ususnya telah putus, maka Arya Penangsang tidak akan mati jika tidak tergores oleh kerisnya sendiri."
Yang lain-pun mengangguk-angguk. Tetapi ada juga seorang di antara mereka yang meskipun hanya ditunjukkan kepada diri sendiri berkata, "Itu hanya lantaran. Seandainya bukan karena goresan kerisnya sendiri, jika saat itu telah tiba, maka tentu ada sebab lain yang mengantarkannya ke kematian.
Tetapi orang itu tidak mengatakannya, karena tanggapan orang lain mungkin akan berbeda.
Dalam pada itu, saudara seperguruannya yang telah menghadap gurunya itu-pun kemudian berkata, "Mungkin ilmuku memang masih kalah selapis dari Panembahan Senapati. Tetapi guru memberi aku bekal. Betapa tinggi ilmu Panembahan Senapati, namun Panembahan Senapati tidak akan dapat melawan pusaka ini."
Saudara-saudara seperguruannya-pun memperhatikan sepucuk senjata yang dipegang oleh saudaranya yang telah menghadap gurunya itu. Sebilah keris. Perlahan-lahan keris itu ditariknya dari wrangkanya. "
"Pusaka guru" desis seseorang.
"Ya" sahut orang yang memegang keris itu, "Kiai Sarpasri. Keris yang tidak ada duanya."
Yang melihat keris itu rasa-rasanya memang menjadi silau. Keris itu memang berbentuk naga sebagaimana keris Nagasasra, Naga Kumala dan Naga Geni. Tetapi Keris Sarpasri ujudnya lurus, tidak luk sama sekali. Ujung ekor naga dari keris itu terbuat dari emas dan beberapa butir permata nampak menghiasi tubuh naga itu diantara ukiran sisik-sisiknya. Dua buah matanya terbuat dari sepasang intan, sementara di antara giginya yang tajam juga terdapat butir-butir intan.
"Nah, apa kata kalian tentang pusaka ini. Tidak ada seorang-pun yang akan mampu melawan kekuatan keris ini. Panembahan Senapati-pun tidak" jawab orang yang telah menghadap gurunya itu.
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang membawa keris itu meneruskan, "Bukan saja goresannya akan berakibat maut, tetapi cahaya pamornya sudah mempengaruhi lawan. Bahkan ada orang yang dapat menjadi lumpuh hanya melihat cahaya pamor keris ini. Namun karena agaknya Senopati memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak akan menjadi lumpuh, tetapi separo dari ilmunya akan lenyap. Dengan demikian, maka aku akan melawan Panembahan Senapati yang hanya memiliki separo ilmunya yang sebenarnya itu.
"Tetapi ingat" tiba-tiba seorang di antara saudara seperguruannya berkata, "Di Mataram tersimpan tombak Kangjeng Kiai Pleret yang telah membunuh Arya Penangsang seperti yang kau katakan, karena kematian Arya Penangsang bukan karena kemampuan ilmu Raden Sutawijaya."
"Jangan bodoh" sahut saudara seperguruannya yang mendapat keris dari gurunya itu, "aku tidak akan memberi kesempatan Panembahan Senapati menggapai tombaknya atau pusakanya yang manapun juga. Aku harus langsung berdiri dihadapannya dengan keris telanjang. Baru kemudian aku tantang ia berperang tanding."
Saudara-saudara seperguruannya itu-pun mengangguk-angguk mengiakan.
Sementara itu orang yang mendapat pusaka keris Kiai Sarpasri itu berkata, "Aku harus menemukan cara untuk berbuat demikian. Aku akan membuka atap tepat di atas bilik Panembahan Senapati dan turun langsung di depan bilik pembaringannya., Panembaham Senapati akan dengan tergesa-gesa bangun. Namun ia tidak akan sempat memungut pusakanya apa-pun juga."
"Tetapi apakah kau tidak memperhitungkan gedung perbendaharaan dan gedung pusaka" Jika kau berada di atas bangsal pusaka itu, mungkin kau akan mengalami sesuatu yang dapat menggagalkan rencanamu."
"Aku dapat mengetahui dimana bangsal pusaka itu berada. Aku mempunyai kemampuan untuk melihatnya. Tidak dengan mata kewadagan. Karena aku secara khusus sudah mempelajarinya."
Saudara-saudara seperguruannya mengerutkan keningnya. Ternyata saudara seperguruannya yang satu itu telah mendapat ilmu yang khusus dari gurunya. Bahkan mungkin tidak hanya satu jenis ilmu itu. Bahkan orang itu telah mendapat kepercayaan yang sangat besar dengan dipercayakannya pusaka keris Kiai Sarpasri kepadanya. Pusaka yang sebelumnya tidak pernah diberikan kepada, siapa-pun juga.
Namun mereka-pun berkata di dalam hati, "Sebagai murid tertua ia memang berhak mendapatkan ilmu dan kepercayaannya yang lain."
Sementara itu orang yang memegang keris pusaka itu-pun berkata, "Aku kira waktunya-pun sudah tiba. Selagi perhatian Mataram tertuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan memasuki Mataram. Kalian semuanya harus menyesuaikan diri. Demikian Panembahan Senapati terbunuh, maka seluruh pasukan harus mulai bergerak. Termasuk pasukan yang sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Mataram yang kehilangan pemimpinnya akan bertambah bingung. Nah, pada saat yang demikian kekuatan yang sesungguhnya akan menghancurkan Mataram."
Saudararsaudara seperguruannya mengangguk-angguk, sementara saudara yang tertua itu berkata, "Nah, kalian tahu tugas kalian masing-masing. Kalian harus menguasai kelompok-kelompok yang sudah dipercayakan kepada kalian masing-masing: Agaknya kelompok yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun akan segera datang kembali. Mereka ternyata telah melakukan tugas mereka dengan berhasil, sehingga pasukan berkuda dari Mataram yang terkenal itu telah diperbantukan ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Baiklah" berkata salah seorang saudara seperguruannya, "kita akan melakukan tugas kita masing-masing sebaik-baiknya. Tetapi apakah kau yakin kau akan dapat melakukan tugasmu bertiga seperti yang kau katakan?"
"Aku yakin" jawab orang itu, "orang yang berhadapan dengan keris Sarpasri tidak akan mampu menolak pengaruhnya, kecuali orang-orang yang khusus, yang memiliki ilmu di luar batas kewajaran. Namun aku tahu, bahwa Panembahan Senapati mendapatkan ilmunya dengan laku yang berat sebagaimana orang lain. Jika ilmunya mumpuni dan jumlahnya tidak terhitung, karena masa mudanya sebelum memegang tanggung jawab pemerintahan. Panembahan Senapati menelusuri lereng-lereng pegunungan, pantai dan tempat-tempat tersembunyi lainnya sebagaimana dilakukan Adipati Pajang yang sekarang, Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa adalah orang yang lemah hati. Meskipun ilmunya bertimbun di dalam dirinya, tetapi ia tidak berani memegang pimpinan tertinggi pemerintahan, sehingga kemudian dipegang oleh Senapati. Dengan demikian maka ilmunya adalah ilmu yang wajar berada di dalam dirinya. Bahkan Senapati itu pernah menjalani tiga laku sekaligus. Laku yang jarang dapat dilakukan oleh orang lain. Bergantung, berendam dan pati geni. Ia bergantung pada cabang kayu yang berada di atas sebuah kolam yang tersembunyi, sekaligus pati geni tiga hari tiga malam. Namun justru karena itu, maka ilmunya tidak akan dapat mengatasi kemampuan pusaka guru, Kiai Sarpasri. Ilmunya akan susut separo atau lebih, sehingga aku akan menguasainya dalam perang tanding."
"Bagaimana jika ia menolak perang tanding?" bertanya salah seorang saudara seperguruannya.
"Itu tidak mungkin. Senapati terlalu percaya kepada ilmunya. Dan aku akan memanfaatkan kepercayaannya yang berlebihan itu. Dengan demikian maka ia tidak akan mempergunakan pusaka Kangjeng Kiai Pleret." jawab saudara tertuanya itu. _
Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya saudara seperguruannya yang tertua itu sudah terlalu banyak mengetahui tentang Panembahan Senapati meskipun sebelumnya ia tidak tahu seluk beluk serta lingkungan istana.
Mataram. Namun ia telah berhasil melihatnya sekaligus membuktikan kerja orang-orang yang diupahnya.
Ketika semua persiapan telah selesai, maka mereka-pun telah menentukan hari yang paling baik yang akan mereka pergunakan untuk memasuki Mataram. saudara seperguruan yang tertua itu telah menunjuk dua orang saudara sepergurannya yang paling dipercayainya serta dianggap memiliki ilmu yang paling tinggi.
"Kita akan melakukannya pada saat malam kelam. Malam ini menjelang pagi masih nampak bulan di langit. Karena itu, kita akan melakukannya dua malam lagi. Malam akan tetap gelap sampai matahari membayangi di langit." berkata saudara tertua itu.
Dalam pada itu, sepuluh orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun merasa bahwa tugas mereka telah selesai. Karena itu, maka mereka telah bersiap-siap untuk kembali ke landasan tugas mereka menghadap ke Mataram, meskipun mereka tidak jelas, tugas apakah yang harus mereka lakukan.
Namun demikian, sebelum mereka meninggalkan Tanah Perdikan, mereka masih akan melakukan satu kerja lagi yang akan dapat membuat Tanah Perdikan itu semakin kacau.
"Kita akan meninggalkan Tanah Perdikan ini sambil membakar hutan" berkata pemimpinnya, "sementara orang-orang Tanah Perdikan itu kebingungan, kita akan menjadi semakin jauh. Dan kita akan melihat langit yang kemerah-merahan dari jarak beberapa ratus tonggak."
Ternyata yang lain-pun sependapat. Meskipun ada yang merasa kecewa bahwa pemimpinnya tidak membenarkannya untuk dapat bertemu dengan Agung Sedayu.
Kesepuluh orang itu telah menunggu malam turun di Tanah Perdikan. Semalam sebelum rencana pemimpinnya di Mataram dilaksanakan, maka mereka akan melakukan rencana mereka untuk membakar hutan.
"Kita persiapkan sebaik-baiknya agar api tidak padam sebelum benar-benar hutan ini menyala" berkata pemimpinnya, "kita akan mencari tempat yang paling baik. Kita akan mengumpulkan sampah-sampah kering dan kekayuan. Baru kita akan menyalakannya menjelang tengah malam. Setelah kita yakin api akan berkobar dan membakar hutan ini, maka kita akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh yang telah pernah menjadi sasaran dendam kita. Meskipun kita tidak membunuh seorang-pun di Tanah Perdikan ini, namun dendam kita sudah tersalur sepenuhnya."
"Itulah yang mengecewakaan" berkata seorang yang ingin bertemu dengan Agung Sedayu, "tentu orang itu yang telah membunuh seorang diantara kita pada saat ia memeriksa dan memaksa seorang diantara kita itu, mengaku."
"Jangan sebut lagi" berkata pemimpinnya, "sudah aku katakan. Kita jangan terjerumus ke dalam langkah-langkah yang dapat menyeret kita sendiri."
Orang yang benar-benar mendendam itu tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia dan beberapa orang masih belum puas dengan melepaskan dendam sebagaimana telah mereka lakukan.
Pemimpinnya yang melihat ketidak puasan itu-pun berkata pula, "Kita harus mengakui kelemahan kita. Kita hanya sepuluh orang di sini. Sementara itu, Tanah Perdikan ini telah bersiap-siap sepenuhnya. Bahkan seperti kita ketahui, Mataram telah membantu pula dengan sepasukan prajurit untuk ikut mengamankan Tanah Perdikan ini. Karena itu kita tidak perlu membunuh diri. Kita sudah memberikan kesan tentang langkah-langkah kita. Ternyata bahwa suami istri yang rumahnya terbakar itu tidak mati sebagaimana kita harapkan. Mereka tentu dapat berceritera tentang tujuan kita mengacau Tanah Perdikan ini."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka memang melihat kenyataan bahwa mereka tidak mempunyai banyak kesempatann untuk berbuat lebih banyak lagi di Tanah Perdikan itu.
Namun dalam pada itu, maka mereka-pun telah mempersiapkan rencana mereka untuk membakar hutan. Mereka kemudian hanya menyalakan onggokan-onggokan dedaunan dan kekayuan kering yang telah mereka timbun di bawah batang-batang pohon yang besar, sehingga jika pohon-pohon besar itu menyala, hutan akan benar-benar terbakar dan sulit untuk dikuasai. Sementara itu mereka-pun telah menyiapkan arah yang akan mereka tempuh untuk meninggalkan Tanah Perdikan agar tidak mudah dicari jejaknya oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi dalam pada itu, Glagah Putih yang sedang berada antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh di sebuah gardu di padukuhan yang berada di pinggir Tanah Perdikan, itu, ternyata telah mengalami sesuatu. Ketika ia sedang berkelakar dengan anak-anak muda di depan gardu itu, tiba-tiba saja ia merasa sesuatu menyentuh punggungnya.
Glagah Putih, mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Meskipun demikian ia berusaha untuk mengetahui, siapakah yang telah menyentuh punggungnya itu.
Namun kemudian ia merasakan lagi sentuhan itu. Lebih keras. Bahkan ia merasa satu sentuhan yang menyakitinya.
Karena ia mulai memperhatikannya, maka ia-pun segera mengetahui bahwa sebuah krikil kecil yang dilontarkan dengan kekuatan yang luar biasa telah mengenainya.
Ketika sentuhan kerikil itu sekali lagi menyakitinya, maka ia-pun yakin, bahwa ada seseorang di luar sekelompok anak-anak muda dan pengawal di gardu itu telah memanggilnya. Tetapi Glagah Putih tidak tahu, apakah maksud orang itu.
Meskipun demikian, Glagah Putih berniat untuk menemui orang itu. Ia pun sadar, bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia mampu mendekati tempat itu tanpa diketahui oleh seorang-pun. Dan ia-pun mampu melontarkan kerikil kecil tepat mengenainya, sedangkan ia berada di depan gardu itu bersama-sama dengan beberapa orang anak muda lainnya.
Tetapi Glagah Putih tidak akan membuat anak-anak muda itu gelisah. Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata kepada seorang pengawal didekatnya, "Aku akan minta diri. Aku akan pergi ke padukuhan berikutnya."
"Untuk apa?" bertanya pengawal itu.
"Kenapa untuk apa" Bukankah tugasku datang kesetiap gardu dan mencicipi makanan yang disediakan?" jawab Glagah Putih.
Pengawal serta anak-anak muda yang mendengarnya tertawa. Sementara itu Glagah Putih-pun melambaikan tangannya kepada anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu sambil berkata, "Nanti, jika ketan serundeng kalian masak, aku akan kembali."
Anak-anak muda itu tertawa pula. Seorang di antaranya menjawab, "Kami tidak mempunyai serundeng. Kami akan membuat ketan sirkaya."
"Ah, enak sekali" sahut Glagah Putih sambil melangkah kegelapan.
Namun, demikian ia terlepas dari pandangan anak-anak muda di gardu itu, ia-pun telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa orang yang menyentuhnya dengan kerikil itu tentu berada di tempat yang tidak jauh dari gardu itu serta kemudian berjalan di balik dinding sebelah, mengikutinya.
Sebenarnyalah, demikian Glagah Putih berada ditempat yang sepi, sesosok tubuh telah meloncat ke tengah jalan dihadapannya. Glagah Putih surut selangkah. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Glagah Putih-pun segera menarik nafas dalam-dalam. prang yang berdiri dihadapannya itu sudah terlalu dikenalnya.
"Raden Rangga" Glagah Putih berdesis.
Tetapi nampaknya Raden Rangga agak tergesa-gesa. Tiba-tiba saja ia melangkah maju menggapai tangan Glagah Putih. Sambil menariknya Raden Rangga berkata, "Ikut Aku. Cepat."
"Kemana?" bertanya Glagah Putih sambil berlari-lari mengikuti Raden Rangga yang menarik tangannya.
"Pergunakan tenaga cadanganmu. Kita berlari cepat" berkata Raden Rangga tanpa menjawab pertanyaan Glagah Putih, "mudah-mudahan kita tidak terlambat."
Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh. Ia sadar, bahwa Raden Rangga tentu tidak akan menjawabnya. Karena itu, maka seperti yang dikatakan Raden Rangga, maka Glagah Putih pun telah mempergunakan tenaga cadangannya untuk mendorong kecepatan larinya.
Keduanya telah berlari cepat sekali menuju kesebuah hutan yang terletak justru di sisi lain dari Tanah Perdikan.
"Aku cari kau kemana-mana" desis Raden Rangga.
Glagah Putih tidak menjawab. Namun mereka berlari semakin cepat menyusuri jalan-jalan sempit dan pemathng. Mereka mencari jalan memintas, namun yang tidak perlu melalui padukuhan-padukuhan agar anak-anak muda di gardu-gardu tidak menyapa dan menghentikan mereka.
Dengan kecepatan yang tinggi akhirnya keduanya memasuki sebuah hutan yang lebat masih di daerah Tanah Perdikan Menoreh. Dengan nada datar Raden Rangga berkata, "Kita masih tempat mencegahnya."
"Apa sebenarnya yang terjadi?" bertanya Glagah Putih ketika mereka mulai memperlambat langkah mereka.
"Mereka berada beberapa puluh langkah di hadapan kita" desis Raden Rangga.
"Siapa?" desak Glagah Putih.
"Orang-orang yang akan membakar hutan" jawab Raden Rangga, "aku mengamati mereka sejak mereka memasuki hutan ini. Namun aku mendengar pembicaraan mereka. Mereka akan membakar hutan ini. Tetapi agaknya mereka tidak langsung melakukannya. Mereka telah mengumpulkan dedaunan kering dan ranting-ranting di bawah batang-batang pohon yang besar, agar pohon yang hidup itu dapat terbakar dan menjalar pada pepohonan disekitarnya. Aku kemudian mencarimu. Ampat gardu sudah aku lihat. Baru di gardu ke lima aku menemukanmu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih saja mengikuti Raden Rangga yang memasuki hutan yang gelap gulita. Hanya karena ketajaman penglihatan dan pendengaran mereka, maka keduanya tidak menempuh jalan yang salah.
Namun mereka-pun terkejut ketika beberapa puluh langkah dihadapan mereka, keduanya melihat obor yang mulai dinyalakan. Agaknya orang-orang yang akan membakar hutan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka akan segera mulai membakar hutan untuk membuat orang-orang Tanah Perdikan Menoreh merasa bersalah, karena mereka telah membunuh orang-orang yang ternyata memilild kekuatan di belakangnya.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh harus menyesali perbuatan mereka, karena dengan membunuh dua orang, Tanah Perdikan mereka telah menjadi kacau. Rumah terbakar; bendungan rusak, sawah-sawah menjadi berserakan dan parit-parit pun menjadi kering.
"Marilah" berkata Raden Rangga, "jangan terlambat.
Glagah Putih-pun mengikuti langkah Raden Rangga yang semakin cepat di antara pepohonan hutan.
Agaknya Raden Rangga dengan sengaja tidak menghindari desir kakinya yang menyentuh dedaunan kering di hutan itu. Karena itu, maka orang-orang yang telah menyalakan obor itu-pun telah mendengarnya pula, sehingga serentak mereka telah menghadap kearah suara itu.
"Siapa?" terdengar seorang di antara kesepuluh orang itu bertanya.
Beberapa langkah dari orang-prang itu Raden Rangga berhenti. Katanya, "Bagus sekali. Jadi kalian benar-benar akan membakar hutan?"
"Siapakah kalian?" bertanya pemimpin kelompok itu. Raden Rangga maju selangkah sambil menjawab, "Kami adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
"Kebetulan sekali" geram seorang di antara sepuluh orang itu, "apakah salah seorang di antara kalian bernama Agung Sedayu?"
"Bukan" jawab Raden Rangga, "Agung Sedayu adalah pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Kami adalah pengawal Tanah Perdikan, dua di antara para pengawal yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu."
"Kenapa Agung Sedayu sendiri tidak datang kemari?" bertanya orang itu.
"Kenapa mesti Agung Sedayu" Bukankah para pengawal ini akan dapat menyelesaikan tugas dengan baik" Kami berdua ditugaskan oleh Agung Sedayu untuk menangkap kalian." jawab Raden Rangga.
"Persetan" geram pemimpin kelompok itu, "apakah kau mengigau atau bahkan sudah menjadi gila" Kau tahu bahwa jumlah kami berlipat ganda daripada hanya dua orang. Sementara itu, kami yang memiliki pengalaman dalam tugas-tugas yang berat serta perang di berbagai medan dibekali dengan ilmu dari perguruan kami, harus menyerah kepada dua orang pengawal Tanah Perdikan yang masih ingusan seperti kalian berdua ini?"
"Bagaimanapun juga kalian telah melakukan banyak kesalahan dan pelanggaran paugeran di Tanah Perdikan ini. Bahkan kesengajaan menimbulkan bencana yang lebih buruk dari pembunuhan. Antara lain adalah membakar hutan seperti yang akan kalian lakukan." jawab Raden Rangga, "karena itu maka kalian memang harus ditangkap." "Jangan. banyak bicara. Agaknya kalian memang tidak hanya berdua. Mungkin tempat ini sudah dikepung. Tetapi aku tidak akan gentar. Marilah datanglah semua pengawal Tanah Perdikanmu."
Raden Rangga berpaling kearah Glagah Putih yang melangkah mendekat. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, "Katakan kepada mereka, tidak ada orang lain kecuali kita."
"Persetan" geram pemimpin kelompok itu, "jangan menunggu terlalu lama. Pekerjaan tidak hanya menunggu kalian di sini."
Glagah Putih maju selangkah. Katanya, "Kami memang hanya berdua Ki Sanak. Sekarang, menyerahlah. Tidak ada gunanya kalian melawan."
"Kalian memang sedang membunuh diri" geram pemimpin kelompok itu. Lalu katanya kepada orang yang membawa obor, "jangan kau bakar dahulu onggokan kayu kering itu. Tancapkan obor itu di tanah. Nyalakan lagi obor yang lain. Biarlah hutan ini menjadi terang dan kita akan dapat melihat dengan jelas, yang manakah lawan kita dan yang manakah kawan kita."
Orang yang membawa obor itu-pun melakukannya. Ia-pun ingin berbuat sesuatu atas orang yang dengan sombong telah datang kepada kelompok itu hanya berdua. Bahkan seorang yang lain-pun telah menyalakan obor pula dan menancapkannya di tanah.
Sementara itu, justru diluar dugaan, Raden Rangga telah berkata, "Nah, sekarang lakukanlah jika kalian ingin membalas dendam. Kami berdua jugalah yang telah membunuh kawan-kawanmu di Tanah Perdikan ini. Sekarang kami datang untuk menangkap kalian. Tetapi jika kalian melawan, maka kami-pun akan membunuh kalian."
Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta merta salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, "Jadi kalianlah yang telah membunuh itu" Selama ini dendam kami tetap tersimpan. Kami hanya menumpahkannya kepada bendungan, sawah dan parit-parit. Tetapi adalah kebetulan bahwa kau sendiri datang mengantarkan nyawamu."
"Kenapa kau tidak mencari kami" Kenapa kau puas dengan merusak bendungan, pematang-pematang sawah dan parit-parit. Kemudian justru yang lebih keji dari segalanya, kau akan membakar hutan ini?" bertanya Raden Rangga.
"Kami tidak mengingkari kenyataan. Kalian mendapat bantuan dari prajurit Mataram yang mempunyai kekuatan berlipat dari kami sekelompok ini" jawab pemimpin kelompok itu, "karena itu kami tidak mendapat kesempatan. Namun kami sudah memberikan peringatan kepada Tanah Perdikan ini, agar Tanah Perdikan ini tidak melakukan lagi hal yang serupa, karena kami bukan saja dapat menghancurkan sawah, parit dan bendungan, bahkan hutan. Tetapi kami akan dapat menghancurkan Tanah Perdikan ini dari semua segi sumber kehidupannya."
"Bukankah itu perbuatan licik dan pengecut?" bertanya Raden Rangga.
"Aku tidak peduli" jawab pemimpin kelompok itu, "yang akan kalian alami adalah bencana sebagai pembalasan dendam kami, karena kalian telah berbuat sewenang-wenang atas kawan-kawan kami."
Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya, "Baiklah. Sekarang kalian harus membelakangi aku dan mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Kami akan mengikat kalian satu demi satu."
"Gila" teriak seorang diantara kelompok itu, "seandainya tidak ada dendam di antara kami, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu."
"Marilah" berkata Raden Rangga, "siapakah yang akan membunuh disini. Kalian atau kami berdua."
Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan yang menyala. Karena itu, maka katanya, "Bunuh anak-anak itu. Sebagian di antara kalian harus mengamati keadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung."
"Tidak" sahut Raden Rangga, "tidak ada yang mengepung tempat ini. Yang mendapat tugas dari Agung Sedayu memang hanya kami berdua, sekaligus untuk mendadar kami. Jika kami berhasil, maka kanu akan diterima menjadi pengawal penuh Tanah Perdikan ini. Jika kami tidak berhasil menangkap atau membunuh kalian, maka biarlah kami tidak kembali kepadanya."
Pemimpin kelompok itu tidak dapat menahan diri lagi. Ia-pun segera mencabut senjatanya. Demikian pula orang-orang yang lain. Sementara itu, mereka membiarkan obor mereka menyala dan tertancap di tanah.
Sejenak kemudian, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah dihadapi oleh masing-masing dua orang, sedangkan yang lain agaknya masih belum melibatkan diri mereka, karena mereka menganggap bahwa dua orang itu akan dapat menyelesaikan persoalannya dengan kedua anak-anak muda itu. Sebagian di antara mereka telah mengamati keadaan. Sebagaimana dikatakan oleh pemimpinnya, mungkin tempat itu memang sudah dikepung.
Raden Rangga yang melihat dua orang datang kepadanya tertawa. Katanya, "Jangan bermain-main. Marilah, datanglah lebih banyak lagi agar kalian tahu, bagaimana anak-anak muda Tanah Perdikan ini mengalami pendadaran."
Pemimpin kelompok yang menggeggam pedang di tangan itu-pun berteriak, "Cepat. Bunuh. Aku sudah muak melihat tampangnya dan muak pula mendengar suaranya."
Keempat orang yang menghadapi Raden Rangga dan Glagah Putih itu-pun kemudian telah meloncat maju. Senjata mereka teracu kearah dada lawan-lawan mereka masing-masing.
Namun Raden Rangga dan Glagah Putih-pun mampu bergerak cepat, melampaui kecepatan ujung-ujung senjata itu. Karena itulah, maka ujung-ujung senjata itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Sementara itu, Raden Rangga yang melenting kedekat Glagah Putih sempat berdesis, "Kau bawa ikat pinggang itu."
"Aku memakainya" jawab Glagah Putih.
"Kita harus bergerak cepat, sebelum mereka menyadari kelemahan mereka dan berusaha benar-benar membakar hutan ini" bisik Raden Rangga.
Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih banyak. Lawan-lawan mereka-pun telah datang pula, menyerang dengan garangnya, sehingga keduanya telah meloncat berpencaran.
Glagah Putih yang meloncat menghindar ke sebelah sebatang pohon yang besar telah mengurai ikat pinggangnya. Ia mengerti maksud Raden Rangga, agar lawan-lawan mereka tidak sempat menyalakan onggokan daun-daun kering dan kekayuan yang mereka timbun di pokok-pokok barang kayu yang besar-besar.
Namun demikian, Glagah Putih masih ingin memancing lebih banyak lawan lagi, agar mereka terikat dalam pertempuran. Dengan demikian maka tidak seorang-pun di antara mereka yang akan mempunyai kesempatan membakar onggokan kayu-kayu kering itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Glagah Putih berteriak sebagaimana Raden Rangga, "Marilah. Kenapa hanya empat crang yang melibatkan diri kedalam perkelahian ini" Kenapa tidak semuanya?"
"Persetan" geram pemimpinnya sambil mengacu-acukan pedangnya, "Sebentar lagi mulutmu akan dikoyak dengan pedang."
Namun kedua orang lawan Glagah Putih sama sekali tidak mampu berbuat banyak. Meskipun Glagah Putih masih berusaha memancing lawan-lawannya yang lain, namun ia sudah mulai mendesak kedua orang yang melawannya itu. Ikat pinggangnya yang berputar telah membentur senjata-senjata lawannya. Seorang diantara mereka mengumpat karena senjatanya hampir saja terlepas.
Kawannya dengan cepat telah meloncat menyerang Glagah Putih agar orang yang hampir kehilangan senjatanya itu mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Kawannya itu memang sempat memperbaiki genggaman senjatanya. Namun dengan demikian orang itu menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi karena senjata yang dipergunakan tidak lebih dari ikat pinggang kulit, sementara senjatanya adalah sebilah pedang yang sangat tajam.
"Senjatanya itu memang aneh" berkata lawannya itu di dalam hatinya. Tetapi justru karena itu, hampir saja ia kehilangan pedangnya.
Kenyataan itu telah membuat kedua lawannya semakin bersungguh-sungguh. Mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih seorang anak muda yang sombong dan tidak tahu diri. Kenyataan yang mereka hadapi telah membuktikan, bahwa benturan yang terjadi telah menggoyahkan pegangan lawan-lawannya atas senjata masing-masing.
Pemimpin kelompok itu-pun kemudian memang melihat, baik Glagah Putih maupun Raden Rangga ternyata tidak mudah dapat dikuasai. Mereka berdua memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga dua orang yang mendapat tugas untuk menghadapi setiap anak muda itu tidak mampu berbuat banyak.
Karena itu, maka pemimpin kelompok itu-pun telah memanggil dua orang lagi untuk bergabung dengan kawan-kawannya, sehingga baik Raden Rangga maupun Glagah Putih harus melawan masing-masing tiga orang.
Raden Rangga yang melihat upaya Glagah Putih memancing lawannya itu-pun dapat mengerti pula. Ia pun berusaha untuk berbuat sesuai dengan yang dilakukan oleh Glagah Putih, sehingga semua orang yang ada di tempat itu harus diserapnya ke dalam pertempuran.
Karena itu, maka Raden Rangga tidak segera mengakhiri lawan-lawannya. Tetapi seperti Glagah Putih, ia-pun berusaha untuk bertempur terus meskipun ia selalu mendesak lawannya.
Lawannya menjadi heran bahwa anak-anak muda itu ternyata sangat liat. Seorang di antaranya bersenjata ikat pinggang, sementara yang lain sama sekali tidak mempergunakan senjata.
Namun akhirnya Raden Rangga itu telah memungut sepotong kayu sebesar pergelangan tangannya sepanjang tiga jengkal yang terdapat dalam onggokan kayu di bawah sebatang pohon yang besar. Dengan kayu itu, ia-pun telah melawan ujung-ujung senjata yang mengerumuninya.
Ternyata sepotong kayu yang kering dan lapuk itu ditangan Raden Rangga telah berubah menjadi senjata yang mendebarkan. Kayu lapuk itu mampu membentur sebilah pedang yang sangat tajam. Bahkan sepotong kayu itu seakan-akan telah berubah menjadi sebuah bindi yang sangat berbahaya.
Demikianlah, seorang demi seorang, orang-orang yang akan membakar hutan itu telah masuk ke dalam arena. Dengan demikian maka baik Glagah Putih, maupun Raden Rangga telah bertempur melawan lima orang.
Dalam keadaan yang demikian, maka Raden Rangga-pun berkata, "Nah, sekarang kalian telah melihat kemampuan para calon pengawal Tanah Perdikan. Menyerahlah, agar kami berdua segera diterima dan ditetapkan menjadi pengawal karena kami telah lulus dalam pendadaran ini."
"Persetan" geram pemimpin kelompok yang juga telah ikut serta bertempur melawan Raden Rangga, "kalian harus dibunuh."
Tetapi tidak mudah untuk membunuh Raden Rangga dan Glagah Putih. Bahkan mereka berlima tidak banyak mempunyai kesempatan dalam pertempuran itu.
Meskipun kelima orang itu mampu bertempur dalam pasangan yang baik saling mengisi, tetapi lawan mereka memang seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.
Dalam keadaan yang demikian, maka pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa mereka harus menghadapi kenyataan tentang kedua anak muda itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu-pun berteriak, "Tahan mereka. Aku akan melakukannya."
Raden Rangga dan Glagah Putih-pun terkejut. Namun mereka menyadari, bahwa orang itu tentu akan benar-benar membakar hutan itu.
Sebenarnyalah pemimpin kelompok itu-pun telah meloncat meninggalkan arena, sementara keempat orang kawannya berusaha untuk mengepung Raden Rangga. Dengan loncatan panjang pemimpin kelompok itu berusaha untuk menggapai obor yang tertancap ditanah.
Dengan demikian, maka baik Raden Rangga maupun Glagah Putih harus bertindak cepat untuk mencegah orang itu berhasil mencapai satu di antara obor-obor yang tertancap di tanah dan melemparkannya kearah onggokan daun-daun dan ranting-ranting kering yang teronggok di bawah sebatang pohon yang besar.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang bertempur melawan keduanya benar-benar berusaha untuk mencegah agar keduanya tidak terlepas dari ikatan pertempuran itu dan memberi kesempatan kepada pemimpin kelompoknya untuk membakar hutan.
Glagah Putih yang bersenjata ikat pinggangnya yang memiliki kemampuan yang mendebarkan itu, tidak sempat berpikir lebih panjang. Ia tidak lagi mengekang diri karena pemimpin kelompok itu telah meloncat mendekat obor yang tertancap di tanah.
Karena itulah, maka dengan segenap kemampuannya, Glagah Putih telah mendera lawan-lawannya. Ikat pinggangnya berputaran dengan cepatnya. Setiap sentuhan dengan senjata lawannya telah melemparkan senjata lawannya itu.
Namun ternyata bahwa kelima orang lawannya itu-pun memiliki ketrampilan mempermainkan senjatanya. Ternyata bahwa dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, seorang di antara kelima lawannya itu berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih dengan ujung pedangnya.
Kemarahan telah memuncak di dada Glagah Putih. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ikat pigngangnya telah menyambar pedang yang mengenainya itu. Ketika pedang itu meloncat dari tangan yang kesakitan, Glagah Putih telah mengayunkan senjatanya lagi langsung mengenai lawannya.
Terdengar lawannya itu mengaduh Kemudian ia terlempar beberapa langkah dan jatuh di tanah. Namun orang itu tidak akan dapat bangun kembali.
Dua orang diantara lawan Glagah Putih telah mampu menggapai senjatanya lagi. Bersama-sama mereka menyerang. Namun keduanya sama sekali tidak berhasil mengenainya. Bahkan sambil menghindari serangan ujung senjata itu, Glagah Putih sempat memutar ikat pinggang lawannya itu-pun telah terpelanting jatuh. Demikian kerasnya kepalanya membentur sebatang pohon kayu serta demikian kerasnya ikat pinggang kulit itu menghantam tubuhnya, maka orang itupun ternyata telah kehilangan nyawanya.
Namun masih ada tiga orang yang menghalanginya. Sementara itu ia melihat obor yang tertancap di tanah itu telah berhasil dipungut oleh pemimpin kelompok itu.
Namun dalam pada itu, ketika ia sempat berpaling, ia melihat Raden Rangga telah meloncat ke arah pemimpin kelompok itu. Namun Raden Rangga itu telah terlambat. Pemimpin kelompok itu tidak menyulut dedaunan kering dan ranting-ranting kayu yang teronggok di bawah batang-batang kayu yang besar, tetapi ia telah melemparkannya.
Karena itu, ketika Raden Rangga mencapai orang itu dengan serangan kaki mendatar, obor itu sudah tidak berada di tangannya. Meskipun demikian orang itu telah terlempar dengan teriakan nyaring. Punggung orang itu ternyata telah patah, sehingga orang itupun kemudian telah mati seketika.
Sementara itu, api obor itu-pun telah menyambar dedaunan kering serta ranting-ranting kecil sehingga api pun segera menjalar.
Ketika Raden Rangga memburu ke arah api itu, dua orang lawannya masih sempat mengejarnya seperti orang orang yang kehilangan akal. Keduanya tidak lagi sempat mempergunakan nalarnya. Mereka sudah terbiasa berada di dalam lingkungan yang terikat erat dalam paugeran yang keras sekali.
Raden Rangga menggeram. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali melayani kedua orang lawannya itu. Dengan nada keras Raden Rangga berkata, "Kenapa kalian tidak melarikan diri he" Aku memberimu kesempatan. Tetapi dengan bodoh kaliah memburuku."
"Persetan" teriak lawannya, "kau harus aku bunuh. Bukan saja karena kesombonganmu, tetapi kau sudah membunuh kawanku."
"Pergi" teriak Raden Rangga, "Aku akan memadamkan api itu."
Tetapi kedua orang itu menyerang terus. Bahkan semakin cepat dan keras.
Akhirnya Raden Rangga kehabisan kesabaran. Untuk beberapa lama ia sudah berusaha mengekang dirinya. Tetapi kedua orang itu sangat menjengkelkannya.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga kemudian adalah menghentikan serangan-serangan kedua orang itu.
Demikian kedua orang itu terlempar dan membentur pepohonan, maka Raden Rangga mengumpat dengan marah. Api sudah berkobar semakin besar.
Dalam pada itu, Glagah Putih-pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Raden Rangga. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya-pun telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjalar naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar, terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan Menoreh. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng Pegunungan Menoreh, sehingga pegunungan itu-pun akan menyala dart api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian menjadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang lama.
Sejanak kemudian Glagah Putih telah berlari-lari pula mendekati Raden Rangga yang memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian bertanya, "Apa yang harus kita lakukan Raden, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamkan api mumpung belum menj alar lebih luas."
"Terlambat" jawab Raden Rangga, "betapapun cepatnya orang-orang Tanah Perdikan itu berkumpul, mereka tidak akan dapat mendahului api itu menjalar.
"Lalu, apakah yang harus kita lakukan" Membiarkan hutan ini terbakar dan bencana menimpa Tanah Perdikan?" desak Glagah Putih.
Raden Rangga termangu mangu sejenak. Namun api-pun benar-benar telah mulai membakar sebatang pohon raksasa, sementara di bawah, api itu menjadi semakin menebar dan meluas.
Raden Ranggapun menjadi semakin tegang melihat api yang semakin menjalar. Karena itu, maka tiba-tiba ia-pun menggeram, "Mundurlah. Kita harus memadamkan api itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian telah bergeser mundur.
Raden Rangga pun mundur selangkah. Dipandanginya api yang telah membakar batang kayu yang besar itu. Dengan tegang Raden Rangga memusatkan kemampuan ilmunya. Ia harus berusaha agar ia dapat mencegah hutan itu terbakar.
Sejenak kemudian, maka Raden Rangga itu-pun telah mengacukan kedua belah tangannya dengan telapak tangan mengemang menghadap ke arah api itu. Dengan satu hentakkan, maka dari kedua belah telapak tangan Raden Rangga itu seakan-akan telah memancar cahaya yang menyambar api yang telah berkobar.
Sesuatu agaknya telah terjadi. Kekuatan yang memancar dari tangan Raden Rangga itu bagaikan sentuhan udara yang dingin membe.ku. Api yang sudah mulai berkobar itu perlahan-lahan mulai surut.
Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan tegang. Sementara itu dari telapak tangan Raden Rangga seakan-akan masih tetap berhembus udara dingin yang basah mengandung air. Dengan demikian, maka api yang sudah mulai merambat naik pada pokok sebatang pohon raksasa itu-pun telah menjadi padam, sementara yang membakar dedaunan kering dan ranting-ranting serta kekayuan itu-pun telah mati pula.
"Luar biasa" desis Glagah Putih, "kekuatan apakah yang telah tersimpan di dalam diri anak itu."
Namun Glagah Putih-pun menjadi terkejut ketika ia melihat Raden Rangga. Anak muda itu nampak menggigil. Bahkan kemudian keseimbangannya-pun mulai terganggu.
Dengan cepat Glagah Putih meloncat menangkap tubuh yang hampir jatuh itu. Namun sekali lagi Glagah Putih terkejut. Tubuh Raden Rangga itu-pun menjadi sangat dingin. Melampaui dinginnya malam di musim bediding.
"Raden" desis Glagah Putih yang hampir saja melepaskan tubuh itu oleh sengatan rasa dingin membeku. Namun untunglah Glagah Putih tetap menyadari bahwa tubuh itu tentu akan terjatuh jika dilepaskannya.
Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi ia-pun kemudian dibantu oleh Glagah Putih telah duduk di atas tanah sambil berdesah.
"Bagaimana keadaan Raden?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga-pun kemudian duduk dengan menyilangkan tangannya didadanya. Terdengar suaranya perlahan-lahan dan gemetar, "Bantu aku, agar darahku tidak beku"
Glagah Putih yang juga memiliki ilmu kanuragan itu-pun mengerti maksudnya. Ia-pun kemudian duduk di belakang Raden Rangga. Kedua telapak tangannya telah melekat di punggung anak muda yang segera memusatkan sisa kemampuannya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya.
Sejenak keduanya berdiam diri dalam pemusatan nalar budi. Ternyata bahwa usaha itu memberikan pengaruh yang baik bagi tubuh Raden Rangga. Udara panas terasa mengalir dari tubuh Glagah Putih melalui sentuhan tangannya, sehingga darah Raden Rangga yang seakan-akan berhenti mengalir itu-pun mulai merambat kembali lewat urat-uratnya.
Raden Rangga perlahan-lahan menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Lepaskan tanganmu Glagah Putih. Aku sudah dapat mengatasinya sendiri setelah kau membebaskan darahku dari kebekuan."
Glagah Putih mendengar kata-kata itu. Ia pun kemudian melepaskan tangannya dan beringsut beberapa tapak surut.
Namun agaknya tubuhnya-pun telah terasa menjadi dingin meskipun tidak membeku. Sebagian unsur panas di dalam dirinya telah dihisap oleh darah Raden Rangga yang beku. Namun Glagah Putih masih belum sampai pada satu keadaan yang sulit.
Sementara itu, maka Raden Rangga-pun berkata, "Aku akan berusaha membebaskan tubuhku dari kebekuan ini, setelah kau berhasil membantu mengedarkan darahku kembali."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya memandang saja Raden Rangga yang meneruskan pemusatan nalar budinya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia-pun kemudian telah duduk pula di belakang Raden Rangga. Meskipun tidak sedalam Raden Rangga, namun Glagah Putih-pun telah mempergunakan waktu sesaat untuk menghapus perasaan dingin di dalam dirinya, meskipun tidak terlalu mengganggunya.
Beberapa saat kemudian, terasa Glagah Putih telah terbebas dari pengaruh dingin di dalam dirinya, karena unsur panas yang dialirkannya kedalam tubuh Raden Rangga. Namun agaknya Raden Rangga memerlukan waktu yang agak lama untuk memulihkan kembali keadaannya setelah ia berjuang memadamkan api yang hampir saja merambat dan menelan hutan yang luasnya beribu-ribu patok dan membuat lereng pegunungan Menoreh menjadi gundul.
Namun Glagah Putih masih saja menungguinya. Sementara itu ia sempat memperhatikan tubuh-tubuh yang terkapar di sekitarnya. Tubuh-tubuh yang sudah membeku pula.
Glagah Putih itu-pun menjadi berdebar-debar. Ia telah membunuh lima orang sekaligus dan Raden Rangga-pun telah melakukannya pula.
"Apa yang harus aku katakan kepada kakang Agung Sedayu" bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri, "ia sudah banyak memberikan pesan kepadaku dalam hubungan dengan Raden Rangga itu pula. Dan sekarang, aku bersama anak muda itu telah membunuh sepuluh orang."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun keadaan memang telah memaksanya melakukan pembunuhan itu. Kemarahan karena luka yang tergores di tubuhnya meskipun tidak mengganggu dan tidak berbahaya, bahkan titik-titik darahnya telah pampat, kebingungan dan bahkan seakan-akan ia telah kehilangan akal karena api yang berkobar.
Selagi Glagah Putih dicengkam oleh kegelisahan, maka Raden Rangga-pun telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia mengurai tangannya yang bersilang di dadanya.
Glagah Putih yang melihat keadaan Raden Rangga itu-pun mendekatinya sambil bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Raden?"
"Aku sudah baik, Glagah Putih" jawab Raden Rangga sambil bangkit berdiri, "agaknya aku telah melakukan sesuatu melampaui batas kemampuanku. Hampir saja darahku membeku dan mungkin aku akan kehilangan kesempatan berikutnya. Untunglah kau berhasil membantu aku membebaskan darahku dari kekekuatan yang akan dapat berakibat gawat itu."
"Aku melakukannya atas petunjuk Raden sendiri" jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Kita telah membunuh orang-orang itu. Mungkin kita dapat dianggap melakukan kesalahan. Tetapi jika orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu melihat apa yang terjadi, mereka tidak akan menimpakan kesalahan itu kepada kita. Karena itu, mumpung keadaan ini belum berubah, laporkan peristiwa ini kepada pimpinan Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Raden. Aku akan menyampaikannya kepada kakang Agung Sedayu. Biarlah kakang Agung Sedayu menghadap Ki Gede."
"Baiklah" jawab Raden Rangga. Namun kemudian ia-pun bertanya, "tetapi apakah Tanah Perdikan atau barangkali kau, dapat menjelaskan tentang orang-orang ini" Selain dendamnya kepada Tanah Perdikan ini."
"Aku tidak begitu mengerti Raden" jawab Glagah Putih, "namun menurut pendengaranku dalam pembicaraan kakang Agung Sedayu, bahwa yang dilakukan oleh orang-orang itu ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di Mataram. Tetapi nampaknya semuanya serba rahasia, sehingga tidak banyak yang dapat aku ketahui."
"Aku mengerti" berkata Raden Rangga, "tetapi bagaimana pikiranmu, bahwa yang terjadi sekarang adalah semacam perang perhitungan?"
"Maksud Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Yang terjadi di Tanah Perdikan ini sekedar usaha untuk memancing perhatian saja. Sementara itu ayahanda Panembahan Senapati yang juga menduga demikian, berpura-pura melakukan sebagaimana dikehendaki. Ayahanda mengirimkan pasukan ke Tanah Perdikan ini, agar orang-orang yang memancing perhatian itu menganggap bahwa ayahanda benar-benar menjadi lengah karena perhatiannya tertuju ke Tanah Perdikan" berkata Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu. Ia tidak dapat mengiakan atau-pun membantahnya. Yang dikatakan oleh Agung Sedayu adalah serba rahasia. Meskipun Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati, tetapi ia mempunyai sikap tersendiri, sehingga mungkin rencananya berbeda dengan apa yang akan dilakukan oleh ayahandanya.
Raden Rangga melihat keragu-raguan pada Glagah Putih. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Mungkin kau terikat kepada pesan-pesan kakak sepupunya. Tetapi aku mengerti, sebagian dari peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Sebagian karena aku memang mendengar, sebagian yang lain atas kata-kata orang-orang yang terbunuh itu sendiri dan sebagian lagi adalah karena penglihatanku atas peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Aku tahu, bahwa beberapa orang telah memasuki halaman istana. Dan aku-pun tahu bahwa para pengawal khusus juga melihat orang-orang yang masuk itu tetapi mereka tidak berbuat sesuatu. Bahkan yang terjadi kemudian, orang-orang yang agaknya lebih berilmu telah datang untuk meyakinkan jalan menuju ke bilik ayahanda." Raden Rangga tertawa pendek. Lalu katanya, "Tetapi sebagaimana yang rahasia, maka yang aku katakan ini juga rahasia. Agung Sedayu-pun tidak boleh tahu, agar ia tidak melaporkannya kepada ayahanda, sehingga aku akan dimarahinya, nya, karena aku telah mencampuri persoalan ini."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Raden Rangga telah mengetahui banyak tentang persoalan yang dihadapi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu Raden Rangga-pun berkata, "Pergilah kepada kakak sepupumu. Laporkan apa yang terjadi sebelum ada perubahan, agar mereka mendapat gambaran dari peristiwa yang sebenarnya. Mudah-mudahan mereka tidak akan menghukummu dan melaporkan aku kepada ayahanda, karena jika hutan ini benar-benar terbakar, maka Tanah Perdikan ini akan menderita untuk waktu yang lama."
Glagah Putih-pun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan pergi. Tetapi apakah Raden akan menunggu di sini?"
"Aku akan menunggu disini" jawab Raden Rangga.
Demikianlah, maka Glagah Putih pun kemudian meninggalkan hutan itu dan dengan cepat berlari ke padukuhan induk. Ia telah menelusuri jalan-jalan setapak dan pematang agar lebih cepat mencapai rumahnya.
Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat Glagah Putih datang dengan wajah yang tegang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia-pun bertanya, "Ada apa Glagah Putih. Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. Ketika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya-pun menjadi agak tenang.
Sementara itu Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga-pun telah hadir pula untuk mendengarkan keterangan Glagah Putih tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan.
"Membakar hutan?" bertanya Agung Sedayu dengan nafas tinggi.
"Ya. Membakar hutan" jawab Glagah Putih yang kemudian menceriterakan segala yang terjadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku telah membunuh kakang. Tidak kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata, "Dimana hal itu kau lakukan?"
"Di hutan tidak jauh dari lereng Bukit. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng bukit itu dijamah api, maka akibatnya akan parah sekali bagi Tanah Perdikan ini untuk waktu yang lama." berkata Glagah Putih dengan suara yang mulai gagap.
"Kita pergi ke hutan itu. Kita akan melihat peristiwa itu terjadi." berkata Agung Sedayu.
"Kita pergi bersama-sama" sahut Kiai Jayaraga.
Sekar Mirah-pun tidak mau ketinggalan. Sejenak kemudian mereka telah selesai berbenah diri. Dengan cepat mereka-pun menyiapkan kuda. Dengan berkuda, mereka akan segera sampai ke tempat tujuan.
Sejenak kemudian ampat ekor kuda telah berpacu. Derap kakinya memang menimbulkan berbagai tanggapan atas mereka yang kebetulan terbangun dan mendengarnya. Terutama mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan.
Jilid 204 " " KETIKA mereka keluar dari ujung lorong, maka Agung Sedayu mendahului para peronda, "Kami akan mengajari kuda Glagah Putih menjelajahi daerah ini dimalam hari."
Para peronda itu tertawa. Namun kemudia mereka menjadi bertanya-tanya juga. Sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih agak lain.
"Tampaknya mereka tergesa-gesa" berkata salah seorang peronda.
"Mungkin." jawab seorang yang lain, "tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang tidak akan teratasi oleh siapapun juga."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Meskipun demikian nampaknya kepergi Agung Sedayu berempat itu telah menarik perhatian. Demikian juga jika mereka melewati gardu-gardu yang lain. Rasa-rasanya mereka berempat memang agak tergesa-gesa.
Seorang diantara para pengawal Tanah Perdikan itupun telah menyampaikannya kepada perwira yang memimpin sepasukan prajurit Mataram di Tanah Perdikan Na"mun karena keterangan itu tidak cukup lengkap, maka yang dilakukan oleh pasukan itupun hanyalah sekedar mernpersiapkan diri. Jika diperlukan setiap saat, pasukan itu mampu bergerak cepat.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah membawa ketjga orang yang bersamanya itu memasuki hutan yang pekat. Tetapi pengenalannya yang tajam telah membawanya melalui jalan yang benar. Namun kuda-kuda mereka tidak dapat berlari kencang sebagaimana mereka berpacu di jalan-jalan bulak yang cukup lebar.
Untunglah bahwa mereka berempat memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga betapapun gelapnya, namun mereka masih mampu menembusnya dengan ketajaman penglihatan mereka. Namun akhirnya Glagah Putih mampu menemukan tempat yang telah ditinggalkannya dalam keadaannya.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, terdengar suara lirih bernada rendah, "Selamat datang ditempat yang sepi ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dan iapun telah menyahut, "Selamat malam Raden."
Tetapi Raden Rangga itu berkata pula, "Malam telah lewat. Kita sudah memasuki dini hari. Sebentar lagi fajar akan menyingsing."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya perlahan, "Ya Raden. Agaknya langit sudah mulai menjadi merah."
"Marilah, duduklah." berkata Raden Rangga yang ternyata duduk bersandar sebatang pohon.
Keempat orang itupun kemudian mendekatinya. Merekapun duduk pula di antara pepohonan dalam gelapnya sisa malam menjelang pagi.
"Apakah Glagah Putih sudah menceriterakan semuanya?" bertanya Raden Rangga.
"Ya." jawab Agung Sedayu, "ia sudah berceritera banyak tentang hutan yang mulai terbakar dan pembunuhan yang telah dilakukannya."
"Aku mohon kalian menilai dengan wajar." berkata Raden Rangga, "akupun dibayangi kecemasan jika ayahanda mengetahuinya. Aku sudah dianggap terlalu banyak membunuh. Pada waktu-waktu lampau mungkin aku memang sering melakukannya, bahkan sekedar untuk bermain-main tanpa menghiraukan nilai jiwa seseorang. Tetapi aku sudah banyak mendengar petunjuk Eyang Mandaraka, sehingga agaknya aku sudah mampu sedikit demi sedikit menilai tingkah lakuku sendiri. Hanya mungkin kadang-kadang aku masih kambuh kehilangan nalar. Tetapi itu sudah jarang terjadi. Kali inipun aku sudah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelumnya. Namun aku dan Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain."
Agung Sedayu menarik mafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya, "Kalian akan dapat melihat bekas-bekas dari peristiwa itu. Mayat kesepuluh orang itupun belum aku sentuh sama sekali Bahkan aku telah menungguinya disini, jika ada binatang buas yang mendekat. Agaknya memang terjadi demikian. Darah dan bau mayat telah mengundang dua ekor harimau mendekati tempat ini. Yang seekor dapat aku usir. Tetapi yang seekor agaknya sudah terlalu kelaparan sehingga harimau itu justru menyerang aku. Karena itu kalian akan melihat bahwa diantara sepuluh mayat itu terdapat bangkai seekor harimau. Aku sekarang masih lebih menghargai mayat seseorang daripada nyawa seekor harimau."
"Baiklah Raden." berkata Agung Sedayu, "kita akan melihat bekas-bekas dari peristiwa yang telah terjadi itu. Aku nanti harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun jika kematian dua orang itu sudah membawa dendam dari lingkungannya, bagaimana dengan sepuluh orang."
"Apakah benar begitu" Apakah yang dilakukan oleh orang-orang ini hanya karena dendam atas kematian dua orang kawannya di Tanah Perdikan ini, meskipun seorang diantaranya tidak benar-benar mati?" bertanya Raden Rangga.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Raden Rangga yang nakal itu mengetahui terlalu banyak tentang persoalan yang masih dirahasiakan itu.
Karena itu maka Agung Sedayupun kemudian jawab, "Raden. Agaknya Raden sudah mengetahui apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan peristiwa di Mataram, yang menurut Raden telah Raden ketahui itu. Namun karena itu, maka aku mohon agar Raden lebih banyak menyesuaikan diri dengan rencana-rencana ayahanda Raden. Dengan demikian maka semua rencana itu akan dapat berjalan rancak sebagaimana dikehendaki oleh ayahanda Raden sendiri Bukankah sudah beberapa kali Raden menerima teguran dan bahkan hukuman dari ayahanda Raden?"
Raden Rangga mengangguk. Katanya, "Aku mengerti. Aku tidak akan banyak berbuat dalam hal ini. Namun yang terjadi disini benar-benar diluar kehendakku. Seperti dilakukan oleh Glagah Putih, maka semuanya memang harus terjadi demikian, jika Tanah Perdikan Menoreh tidak ingin kehilangan hutannya di lereng-lereng bukit, sehingga akibatnya akan sangat parah bagi Tanah ini untuk waktu yang lama."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Diluar sadarnya ia telah berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Glagah Putih sebagai tempat peristiwa yang diceriterakan itu terjadi.
Raden Ranggapun kemudian bangkit sambil berkata, "Marilah. Kita akan mendekat."
Merekapun kemudian beringsut mendekat. Sambil menuntun kudanya Glagah Putih berjalan didepan Agung Sedayu bersama Raden Rangga, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga berada dibelakang.
Sementara itu, langit memang sudah nenjadi merah. Cahaya fajar menjadi semakin terang, sehingga orang-orang yang berada didalam hutan itu tidak lagi harus merayap didalam kelamnya malam.
Ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah melihat apa yang telah ter"jadi ditempat itu. Dedaunan dan ranting-ranting serta kekayuan kering yang teronggok. Namun mereka sudah melihat bekas api yang mulai menjalar membakar sebatang pohon raksasa serta menjalar meluas dibawah pohon itu
Kiai Jayaraga yang berdiri disebelah Sekar Mirah itupun berdesis, "Memang tidak ada kesempatan untuk mempergunakan nalar sebaik-baiknya."
Sekar Mirah berpaling kearah Kiai Jayaraga. Namun orang itu sedang mengamati bekas-bekas api yang menghitam dengan sungguh-sungguh. Namun Sekar Mirah itupun tersenyum dan berkata kepada diri sendir, "Kiai Jayaraga agaknya membela sikap muridnya."
Namun Sekar Mirah sendiri dapat menilai apa yang ter jadi, sementara ketika ia memandang berkeliling, ia mulai melihat sosok-sosok tubuh yang membeku.
Agung Sedayulah yang kemudian berkata, "Agaknya telah terjadi perkelahian yang seru."
"Kami berusaha mencegah mereka membakar hutan." jawab Raden Rangga, "tetapi orang-orang itu bagaiKan menjadi gila, sementara api mulai menjalar."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sejenak kemu"dian iapun telah melangkah mendekati orang-orang yang terbaring diam itu setelah mengikat kudanya pada seba"tang pohon perdu. Demikian pula yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Bahkan Glagah Putih sendiri, karena Glagah Putih belum sempat mempernatikan mereka.
"Sepuluh orang." desis Agung Sedayu. Lalu, "Dan seekor harimau."
Raden Rangga mengangguk. "Baiklah Raden." berkata Agung Sedayu, "aku harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun agaknya peristiwa ini justru harus disebar luaskan."
"Agung Sedayu." berkata Raden Rangga dengan sungguh-sungguh, "apakah kau mau sedikit melindungi namaku" Aku tidak tahu apakah ayahanda akan marah kepadaku atau tidak. Tetapi lebih baik hal ini tidak didengar oleh ayahanda."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah Raden. Aku akan mengambil alih tanggung jawub Raden. Biarlah disebut aku dan Glagah Putih yang telah membunuh orang-orang ini. Tetapi kematian orang-orang ini akan sedikit mengurangi kemungkinan urungnya usaha-usaha yang dilakukan di Mataram."
"Jika demikian, apakah memang sudah seharusnya orang-orang ini ditumpas?" bertanya Raden Rangga.
"Sebenarnya tidak perlu Raden." jawab Agung Se"dayu, "seandainya kita menangkap merekapun akan dapat mempunyai akibat yang sama jika kita sebut mereka sudah terbunuh dan kita kuburkan dihutan ini. Sementara orang-orang yang tertangkap itu dengan diam-diam disembunyikan di rumah Ki Gede sampai persoalan yang sebenarnya selesai."
"Kenapa harus berbelit-belit begitu" Bukankah dengan kematian mereka kita justru telah terbebas dari segala macam tanggung jawab?" bertanya Raden Rangga.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun mengerutkan keningnya.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba katanya dalam nada rendah, "Maaf, aku sudah mulai kambuh lagi."
"Beruntunglah Raden menyadari langkah-langkah yang sudah Raden ambil." berkata Agung Sedayu.
"Ada juga gunanya aku tinggal bersama eyang Mandaraka." berkata Raden Rangga. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Sebenarnya aku hanya ingin melihat-lihat apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan ini, sehingga sepasukan prajaurit Mataram harus berada disini, meskipun aku tahu latar belakang dari pengiriman pasukan itu. Namun ternyata aku harus mengotori tanganku lagi dengan kematian beberapa orang."
"Tetapi Raden sudah mampu menilai apa yang terjadi." berkata Agung Sedayu.
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Aku minta diri, justru sebelum peristiwa ini didengar oleh Ki Gede Menoreh."
Tetapi Agung Sedayu kemudian berkata, "Tidak apa-apa Raden. Ki Gede harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Ki Gedepun akan bersikap seperti kami dan mengiakan bahwa aku dan Glagah Putihlah yang bertanggung jawab atas kematian orang-orang itu, sehingga Raden tidak akan mendapat hukuman dari ayahanda."
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Terima kasih. Tetapi biarlah aku tidak terlalu lama dicari eyang Mandaraka karena aku tidak ada di rumah. Salamku buat Ki Gede."
Agung Sedayu tidak dapat lagi mencegah Raden Rangga yang tergesa-gesa meninggalkan hutan itu. Langit yang sudah menjadi cerah telah mendorongnya untuk segera kembali ke Mataram.
Karena itu, maka sejenak kemudian anak muda itupun telah hilang dibalik dedaunan dan pepohonan di hutan yang pekat itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian iapun telah mulai mengamati keadaan. Sebenarnyalah bahwa keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Raden Rangga dan Glagah Putih tidak sempat membuat perhitungan-perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawannya yang ternyata tidak berusaha untuk melarikan diri.
Orang-orang yang berada dihutan itu memang menjadi sangat kagum mendengar ceritera Glagah Putih tentang kemampuan Raden Rangga yang mampu memadamkan api.
"Dari tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, yang membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Raden Rangga sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi." berkata Glagah Putih.
"Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya." desis Agung Sedayu, "sehingga orang lain tidak dapat mengertinya. Apalagi cara Raden Rangga menguasai ilmunya itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Memang anak muda itu adalah anak muda yang aneh.
Sementara itu, Agung Sedayu agaknya telah selesai mengamati keadaan. Iapun kemudian berkata kepada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah, "Aku akan menemui Ki Gede. Aku harus melaporkan apa yang telah terjadi dan menyebar luaskan, sehingga jika kawan-kawan dari sepuluh orang ini mendengar peristiwanya, mereka menganggap bahwa kematian mereka berarti bahwa rahasia mereka tidak didengar oleh orang-orang Tanah Perdikan."
"Apakah kami harus menunggu disini?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya. Aku akan membawa beberapa orang untuk menguburkan mayat-mayat itu." jawab Agung Sedayu.
"Apakah aku harus ikut, kakang?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Kau tinggal disini bersama Kiai Jayaraga dan mbokayumu. Mungkin kau diperlukan disini." jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih hanya mengangguk saja, sementara itu Agung Sedayupun telah menuntun kudanya meninggakan tempat itu.
Sejenak kemudian Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede Menoreh. Perjalanan Agung Sedayu yang nampak tergesa-gesa memang menarik perhatian. Seorang anak muda yang melihat Agung Sedayu menjelang dini hari berkuda bersama tiga orang lainnya ketika ia berada digardu dan kemudian melihat lagi Agung Sedayu berkuda seorang diri, merasa heran. Tetapi anak muda itu tidak sempat bertanya sesuatu.
Kedatangan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa dirumah Ki Gedepun memang agak mengejutkan. Karena itu, maka Ki Gede dengan berdebar-debar menerimanya di pendapa. Hampir tidak sabar Ki Gede bertanya, "Ada apa?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mulai melaporkan apa yang terjadi sesuai dengan peristiwanya sendiri. Baru kemudian ia berkata, "Tetapi Raden Rangga minta, agar namanya tidak disebut-sebut dalam peristiwa itu, karena jika ayahandanya atau barangkali Ki Mandaraka mendengarnya, mungkin sekali ia akan menerima hukuman."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam, "Tetapi Raden Rangga sudah menyelamatkan Tanah Perdikan ini dari peristiwa yang dapat menimbulkan bencana."
"Ya, Ki Gede. Tetapi Raden Rangga minta dengan sangat." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Seterusnya kita akan pergi ke tempat itu." berkata Ki Gede, "aku akan berkemas."
"Bersama beberapa orang Ki Gede, mayat itu harus dikuburkan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya. "Baiklah. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk menyusul kita dengan membawa alat-alat yang diperlukan."
Demikianlah, Ki Gede telah membenahi dirinya sesaat. Kemudian bersama beberapa anak muda dan bebahu Tanah Perdikan, merekapun telah berkuda menuju ke tempat kejadian, sementara beberapa orang diperintahkannya un"tuk menyusul dengan ancar-ancar sebagaimana disebutkan oleh Agung Sedayu.
Peristiwa yang mendebarkan itupun segera tersebar di Tanah Perdikan Menorah. Namun yang disebut-sebut kemudian adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Aku melihat malam itu, menjelang dini, Agung Sedayu berkuda berempat dengan tergesa-gesa. Apakah saat itu orang-orang yang akan membakar hutan itu sudah terbunuh?" bertanya seorang anak muda kepada kawannya.
"Kita sama-sama digardu." jawab kawannya.
"O, ya," desis yang pertama.
"Tetapi aku tidak tahu, kapan peristiwa itu terjadi. Sebelum atau sesudahnya." berkata kawannya itu.
Merekapun kemudian terdiam. Tidak seorangpun yang mengetahuinya. Apa yang sebenarnya terjadi. Namun mereka mendengar bahwa sepuluh orang sudah terbunuh ketika orang-orang itu mencoba membakar hutan.
Dalam pada itu, Ki Gede dan sekelompok orang-orang Tanah Perdikan itupun telah memasuki hutan menuju ke tempat kejadian.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mere"kapun segera turun dari kuda-kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon perdu yang bertebaran, sementara Ki Gede dengan jantung yang berdebaran mengikuti Agung Sedayu mendekati tempat yang disebut oleh Agung Sedayu itu.
Sekar Mirah dan Kiai Jayaragapun telah menyambut kedatangan Ki Gede, sementara Glagah Putih berdiri termangu-mangu beberapa puluh langkah disebelah pohon yang mulai terbakar itu.
Ki Gede menjadi tegang melihat bekas jilatan api yang telah mulai memanjat sebatang pohon raksasa itu, serta bekasnya yang merayap melebar disekitar pohon itu. Bahkan dengan nada berat Ki Gede itupun berkata, "Seandainya hutan itu terbakar, aku tidak tahu, apa yang bakal terjadi dengan Tanah Perdikan Menoreh."
"Bencana." jawab seseorang bebahu yang menyertainya.
"Ya." jawab Ki Gede, "untunglah bahwa hal ini dapat diatasi."
"Kita memang wajib bersukur." desis Agung Sedayu, "ternyata bahwa Yang Maha Agung masih selalu melindungi Tanah Perdikan Menoreh ini."
"Ya. Kita wajib mengucap sukur." Ki Gede mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, maka Ki Gedepun telah meiihat sosok-sosok tubuh yang terbaring diam. Iapun segera mengerti, bahwa orang-orang itulah yang telah berusaha untuk membakar hutan dan yang telah dicegah oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.
Sambil melihat-lihat keadaan ditempat itu, Ki Gede pun menunggu beberapa orang yang sudah diperintahnya untuk menyusul sambil membawa peralatan untuk mengubur mereka yang telah terbunuh ditempat itu.
Namun dalam pada itu, tiga orang prajurit dari pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itupun telah datang pula ketempat itu bersama beberapa orang yang sedang ditunggu-tunggu oleh Ki Gede.
Ketiga orang perwira itupun melihat bekas-bekas peristiwa itu dengar hati yang berdebar-debar. Merekapun dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika pembakaran hutan itu tidak dapat dicegah.
"Nampaknya mereka tidak sekedar bermain-main Ki Gede." berkata salah seorang prajurit itu.
"Ya." jawab Ki Gede, "mereka agaknya memang bersungguh-sungguh."
"Karena itu, sesudah mereka terbunuh semuanya disi"ni, mungkin masih akan datang orang-orang berikutnya yang membawa dendam berlipat ganda." jawab perwira itu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bahwa semua orang yang terlibat itu terbunuh, mereka tidak akan mendapat keterangan, apakah orang-orang itu benar-benar mendendam, atau seperti yang diperhitungkan, sekedar menarik perhatian.
Setelah meiihat peristiwa itu dengan seksama serta mempunyai gambaran yang lengkap menilik tempat-tempat mayat yang berserakar itu, maka Ki Gedepun telah memerintahkan orang-orang yang datang kemudian dengar membawa alat-alat secukupnya itu untuk menguburkannya.
Dalam pada itu, Ki Gede yang sudah merasa cukup melihat dan mengamati keadaan itupun telah meninggalkan tempat itu bersama para bebahu. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga pun telah menyertainya pula. Demikian pula para perwira prajurit Mataram yang telah datang pula ketempat itu.
Hanya Glagah Putihlah yang tinggal menunggui orang-orang yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka. Karena Agung Sedayu sudah mengisyaratkan, agar orang-orang itu tidak ditinggalkan begitu saja. Jika kemungkinan masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu berkeliaran, mereka akan sangat berbahaya bagi mereka yang ditinggalkan.
Namun ternyata bahwa tidak ada gangguan sama sekali terhadap orang-orang yang sedang menguburkan mayat-mayat itu. Bahkan ketika mereka kembali ke padukuhan, mereka telah membawa tubuh harimau yang telah terbunuh oleh Raden Rangga, karena kulitnya akan merupakan barang yang berharga.
Sementara itu, Agung Sedayu ternyata langsung menuju kerumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga kembali kerumah mereka. Masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan dengan Ki Gede. Terutama mengenai kematian orang-orang itu.
"Apakah hal itu perlu segera dilaporkan kepada Panembahan Senapati atau tidak. Sebenarnya Panembahan Senapati perlu segera mengetahui pesoalan ini." berkata Ki Gede, "mungkin Panembahan Senapati yang memiliki pengamatan yang tajam serta perhitungan yang mapan karena kecerdasan daya penalarannya, mempunyai pendapat tertentu."
"Tetapi apakan harus dilakukan perjalanan dengan diam-diam." desis Agung Sedayu, "bukankah wajar jika kita melaporkan persoalan ini kepada Panembahan Senapati, apalagi Panembahan Senapati memang telah menempatkan pasukannya disini. Bahkan seandainya masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu di Tanah Perdikan ini, maka iapun tentu sudah akan memberi tahukan kepada kawan-kawannya yang lain, yang mungkin memang ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mataram."
Ki Gede mangangguk-angguk. Namun kemudian kata"nya, "Baiklah Agung Sedayu. Kita memang harus segera menghubungi Mataram. Bahkan kau akan dapat pergi dengan seorang diantara prajurit Mataram. Kami tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil jika perjalanan kali"an nanti diketahui oleh orang-orang yang masih diselubungi rahasia itu. Namun menurut perhitungan kita, kedatanganmu di Mataram bersama perwira itu tidak akan berpengaruh atas rencana besar mereka. Bahkan mereka tentu mengharap bahwa perhatian Panembahan Senapati akan lebih tertuju ke Tanah Perdikan ini."
"Ya Ki Gede. Tetapi entah pula sikap mereka, jika orang-orang yang terbunuh itu benar-benar sekelompok orang yang mendendam karena kematian kawan-kawannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan rencana yang disusun dan dihadapkan kepada Mataram."
Ki Gede Menoreh mengangguk kecil. Bahwa semua orang yang terlibat dalam pembakaran hutan itu telah terbunuh semuanya, maka mereka tidak dapat lagi menelusuri, apakah yang sebenarnya sedang mereka lakukan.
Namun dengan demikian, maka baik Ki Gede sendiri maupun Agung Sedayu berpendapat, bahwa mereka harus segera menghubungi Mataram.
"Biarlah Kiai Jayaraga berada di Tanah Perdikan." berkata Ki Gede, "jika benar terjadi sesuatu, maka Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah akan dapat mengatasinya ber"sama dengan Glagah Putih bersama para pengawal Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Karena itu, maka katanya, "Baiklah Ki Gede. Aku akan segera berangkat. Sebaiknya Ki Gede memanggil Senapati Mataram yang ber"ada di Tanah Perdikan ini dan minta agar ditunjuk salah seorang diantara mereka untuk pergi bersamaku menghadap Panembahan Senapati."
Sementara Ki Gede menghubungi para perwira prajurit Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah memerlukan kembali pulang sejenak untuk berkemas dan minta diri kepada Sekar Mirah.
Sejenak kemudian, maka dua orang telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Mataram. Kuda-kuda mereka berpacu diatas jalan-jalan berbatu. Meskipun tidak dengan kecepatan penuh, namun kuda-kuda itu berlari mendahului beberapa orang berkuda yang melintasi jalan itu pula.
Diperjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itu melihat bahwa kehidupan di Tanah Perdikan itu memang agak terpengaruh oleh peristiwa yang baru terjadi semalam. Pasar-pasar terasa susut, meskipun banyak juga orang yang tetap mempercayakan keselamatannya kepada para pengawal yang dirasanya cukup kuat.
"Tidak ada kekuatan yang dapat menembus pertahanan Tanah Perdikan ini." berkata seorang pedagang yang tetap menjajakan dagangannya dipasar kepada kawannya yang ragu-ragu.
"Tetapi menurut pendengaranku, mereka sudah mem"bakar hutan." jawab kawannya itu.
"Siapa bilang" jawab yang pertama, "sepuluh orang telah dibunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka tidak sempat membakar hutan meskipun mereka sudah menimbun seonggok dedaunan dan kayu-kayu kering dibawah sebatang pohon raksasa. Jika pohon raksasa itu terbakar, maka pohon-pohon sebelah menyebelahnyapun akan terbakar juga. Apalagi pohon-pohon perdu dan barang-barang yang lebih kecil, sebangsa batang ilalang."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang pertama berkata selanjutnya, "karena itu, aku percaya kepada para pengawal, kepada Agung Sedayu, isterinya dan Glagah Putih serta orang tua yang tinggal bersama mereka itu. Selain mereka masih ada juga Ki Gede sendiri."
"Ya. Kau benar." jawab kawannya. Namun masih juga nampak keragu-raguannya. Katanya, "Tetapi biarlah besok saja aku menjajakan seluruh daganganku, hari ini aku memang tidak bersedia."
Yang pertama tertawa. Katanya, "Kau memang penakut."
Kawannya mengerutkan keningnya Namun iapun tersenyum sambil berkata, "Bukan karena penakut. Tetapi anakku sepuluh orang. Jika terjadi sesuatu dengan aku bagaimana nasib anak-anakku itu."
Orang yang pertama masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menyahut lagi, karena iapun telah sibuk melayani para pernbeli. Justru karena jumlah penjual pasar itu susut, pedagang itu tidak terlalu banyak mempunyai saingan, sehingga pembelipun menjadi lebih banyak.
Dalam pada itu, perjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itupun semakin lama menjadi semakin jauh Mereka telah melewati padukuhan demi padukuhan menuju tempat penyeberangan di Kali Praga.
Tidak ada hambatan sama sekali yang menghalangi perjalanan mereka. Anak-anak muda yang bertemu di perjalananpun bertanya, "apakah yang akan mereka lakukan?"
Agung Sedayu tidak menjawab dengan jelas, meskipun ia berkata juga, "Memberikan laporan tentang peristiwa semalam ke Mataram."
Tetapi anak-anak itu pada umumnya tidak sempat bertanya lebih lanjut karena Agung Sedayu tidak menghentikan kudanya.
Beberapa saat kemudian. kedua orang itupun telah sampai di penyeberangan. Mereka tidak perlu menunggu terlalu iama. karena beberapa rakit hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang kesebelah Timur atau kesebelah Barat Kali Praga.
Ketika mereka memasuki Mataram, maka mereka tidak meiihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu aadang roengambang diatas langit Kota Raja yang menjadi semakin ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasarpun ramai dikunjungi orang. Di jaian-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.
Tanpa mendapat kesulitan apapun, maka Agung Sedayu dan perwira prajurit dari pasukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu telah masuk ke istana. Namun ternyata bahwa yang diterima oleh Panembahan Senapati justru hanyalah Agung Sedayu saja.
Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Raden Rangga, ia sama sekali tidak menyebut nama Raden Rangga dalam peristiwa itu.
Sebenarnyalah, bagi Panembahan Senapati siapapun yang melakukannya, agaknya memang tidak penting. Tetapi peristiwa itu memang perlu mendapat perhatian.
Namun Senapatipun juga memperhitungkan kemungkinan, bahwa yang melakukan pengacauan di Tanah Perdikan itu benar-benar orang yang mendendam. Tetapi firasatnya mengatakan kepadanya. bahwa kemungkinan yang terbesar adalah, bahwa yang terjadi itu ada hubungannya langsung dengan kehadiran beberapa orang di dalam lingkungan istana Mataram. Karena itu, maka laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu itu dianggapnya sangat berarti baginya.
"Agung Sedayu." berkata Panembahan Senapati kemudian, "kalian harus berusaha untuk mengatasi persoalan kalian sebaik-baiknya. Para prajurit Mataram di Tanah Perdikan itu dapat kalian manfaatkan benar-benar. Bukan sekedar permainan sebagaimana kita lakukan. Namun jika keadaan menuntutnya, maka mereka dapat diberi beban yang sesuai dengan tugas keprajuritan mereka."
"Hamba Panembahan." berkata Agung Sedayu, "kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Namun sebenarnyalah yang terjadi di Tanah Perdikan itu masih tetap gelap bagi kami."
"Kita sama-sama dihadapkan kepada satu masalah yang masih harus dipecahkan. Itulah sebabnya kita berusaha menjebak mereka, agar kita mendapat sedikit keterangan tentang mereka. Meskipun mungkin orang-orang itu tidak akan memberikan banyak keterangan atau bahkan keterangan yang menyesatkan. Tetapi dengan berbagai cara mungkin pada suatu saat kita menemukan titik-titik terang dari kabut yang samar ini." berkata Panembahan Senapati.
Agung Sedayu mengangguk hormat. Setelah menerima beberapa pesan, maka Agung Sedayupun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan.
"Kau tidak bermalam disini?" bertanya Panembahan Senapati.
"Terima kasih Panembahan. Hamba mohon diri. Mungkin ada tugas yang harus hamba lakukan malam nanti di Tanah Perdikan." jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapati tidak dapat menahannya. Iapun kemudian melepaskan Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan.
Sepeninggal Agung Sedayu, Panembahan Senapati telah memanggil Ki Mandaraka. Setelah diuraikan segala sesuatunya, dengan nada dalam Panembahan berkata, "Kita tidak dapat menemukan garis yang tegas dari peristiwa di Tanah Perdikan itu dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki istana ini paman. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang telah menggelitik hati. Seakan-akan yang terjadi di Tanah Perdikan itu merupakan pertanda, bahwa kitapun harus bersiaga sepenuhnya. Aku masih tetap merahasiakan kehadiran orang-orang itu selain terhadap para prajurit Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam. Mudah-mudahan segalanya cepat berlangsung sehingga kita tidak selalu dibayangi oleh ketegangan-ketegangan."
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Kadang-kadang firasat didalam diri kita merupakan petunjuk yang pantas kita perhatikan. Jika demikian, kita memang harus bersiap. Pembakaran hutan adalah puncak perbuatan kasar."
"Baiklah paman. Aku mohon kita benar-benar bersiap." berkdta Panembahan Senapati, "sebab aku yakin bahwa peristiwa ini merupakan bagian dari lakon vang panjang yang telah disusun oleh sekelompok orang yang tidak menyukai pemerintahanku. Jika kita berhasil mendapat sedikit keterangan, maka kita akan dapat merubah susunan lakon itu."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Peristiwa di Tanah Perdikan itu merupakan isyarat. Kita memang harus berhati-hati. Para prajurit yang mendapat kepercayaan Panembahan harus mendapat perintah-perinah baru untuk menyegarkan sikap mereka. Mungkin beberapa orang diantara mereka justru menjadi lengah karena selama ini tidak terjadi sesuatu."
"Baiklah paman." jawab Panembahan, "aku akan berbicara dengan Panglima Pasukan Pengawal itu."
Ketika Panembahan Senapati memangggil Panglima Pasukan Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam, maka Agung Sedayu dan seorang perwira prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh sudah keluar dari gerbang Kota Raja.
Namun langkah kuda mereka tertegun ketika mereka melihai seorang anak muda berdiri diatas tanggul parit di pinggir jaian.
"Raden Rangga."
Agung Sedayu dan perwira itupun telah meloncat turun dari kuda mereka, sementara Raden Rangga tersenyum, sambil berkata, "Ternyata Kau memerlukan seorang pengawal."
"Maksudku, aku memang memerlukan seorang kawan Raden. Bukan pengawal." jawab Agung sedayu.
"Ya. Ya." Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Kau sudah melaporkannya kepada ayahanda"
"Sudah." jawab Agung Sedayu.
Anak muda itu agaknya masih akan bertanya lagi. Tetapi karena ada seorang pengawal yang hadir. maka Raden Rangga menjadi segan mengucapkannya.
Namun agaknya Agung Sedayu dapat menangkapnya. Lalu katanya, "Aku sudah melaporkan kepada ayahanda Raden, bahwa aku dan Glagah Putih dengan terpaksa membunuh sepuluh orang itu tanpa dapat menangkap seorang pun yang masih hidup untuk didengar keterangannya."
Raden Rangga mengeruikan keningnya. Namur iapun kemudian mengangguk-angguk.
"Baiklah." berkata Raden Rangga, "salamku kepada Glagah Putih. Mudah-mudahan aku masih akan dapat bertemu lagi."
Wajah Agung Sedayu menegang. Namun kemudian katanya, "Jangan berkata begitu Raden. Apakah sebabnya Raden mengatakannya?"
Wajah Raden Rangga tiba-tiba menjadi muram. Katanya, "Yang ada padaku bukanlah milikku."
"Apa maksud Raden?" bertanya Agung Sedayu.
"Dalam keadaan yang cukup lelah, aku telah tertidur sebentar. Semuanya nampak asing didalam mimpi. Jalan itu nampak kembali terbentang dihadapanku. Panjang sekali. Dan perempuan dalam kereta yang mewah dalam pakaian yang gemerlapan dengan wajah ibuku itu melambaikan tangannya dari atas ombak yang bertebaran diujung jalan yang sangat panjang itu." Raden Rangga tertunduk. Lalu katanya, "sampaikan kepada Glagah Putih tentang mimpiku. Aku sudah banyak berceritera kepadanya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Ranggapun kemudian berkata, "Selamat jalan. Langit cerah dan udara terasa segar."
Agung Sedayu dan perwira itu tidak menjawab. Mereka kemudian melihat Raden Rangga berkisar dan melangkah meninggalkan mereka.
"Anak yang aneh." berkata perwira itu.
Agung Sedayu memandang langkah anak muda itu. Semakin lama semakin jauh. Bahkan seakan-akan langkah itu tidak akan berhenti lagi.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika perwira itu kemudian berkata, "Marilah. Kita tidak terlalu dirisaukan lagi oleh anak itu. Pada saat-saat terakhir ia sudah mulai tenang setelah ia tinggal bersama Ki Patih Mandaraka."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Ya. Memang sudah nampak ada perubahan padanya."
Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Namun tanpa disadari, perjalanan mereka menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Agung Sedayu ingin segera berbicara dengan Glagah Putih tentang pesan Raden Rangga.
Perwira yang pergi bersama Agung Sedayu itu hanya menyesuaikan dirinya saja. Kudanyapun berlari semakin cepat pula. Karena itu, maka keduanya seakan-akan telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga. Sehingga perwira itu kemudian bertanya, "Apakah ada hadiahnya bagi kita yang lebih dahulu mencapai pedukuhan induk?"
"O" Agung Sedayu tersadar. Iapun mengurangi kecepatan kudanya. Namun perlahan-lahan diluar sadarnya, perjalanan mereka menjadi semakin cepat kembali.
Ketika mereka sampai di padukuhan induk, dan setelah Agung Sedayu melaporkan pertemuannya dengan Panembahan itu kepada Ki Gede, maka Agung Sedayupun segera minta diri.
"Baiklah Agung Sedayu." berkata Ki Gede, "tidak urung kau jugalah yang akan melaksanakan. Lakukanlah sebaik-baiknya agar ketenangan Tanah Perdikan ini tidak terlalu terganggu."
"Baik Ki Gede. Aku akan melakukannya bersama para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini." berkata Agung Sedayu yang menghadap Ki Gede seorang diri, sebagaimana pesan itu disampaikan oleh Panembahan Senapati. Sedangkan perwira yang menyertainya berada di pendapa menikmati hidangan yang telah disuguhkan.
Ketika Agung Sedayu kemudian keluar dari rumah dalam, maka perwira itupun minta diri pula untuk kembali ke induk pasukannya.
"Untunglah, aku seorang prajurit." berkata perwira itu.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Seandainya aku bukan seorang prajurit, aku tentu merasa tersinggung karena dalam perjalanan ini aku sama sekali tidak mengetahui persoalan yang kalian bicarakan. Baik di Tanah Perdikan ini maupun di Mataram, meskipun aku seorang perwira prajurit Mataram."
"Maaf." sahut Agung Sedayu, "bukan maksudku."
"Aku mengerti." jawab prajurit itu sambil tertawa, "seperti aku katakan, aku adalah seorang prajurit."
Keduanyapun berpisah. Sementara Agung Sedayu dengan tergesa-gesa kembali pulang. Untunglah baginya, bahwa Glagah Putih sedang ada dirumah. Karena itu, maKa iapun dapat langsung berceritera tentang Raden Rangga itu.
Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia sudah sering berbincang tentang hidup dan kehidupan Raden Rangga. Karena itu, ia memang merasa cemas mendengar pesan itu. Ada sesuatu yang menggelitiknya untuk pergi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan pergi kakang."
"Kemana?" Sekar Mirahlah yang bertanya pertama-tama meskipun ia sudah menangkap maksudnya.
"Aku akan menemuinya." jawab Glagah Putih.
"Kau akan ke Mataram?" bertanya Agung Sedayu menegaskan.
"Ya." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah Glagah Putih. Tetapi berhati-hatilah. Kemelut yang terjadi nampaknya cukup panas meskipun masih terselubung. Kau merupakan orang yang tentu menjadi sasaran jika benar-benar ada tuntutan pembalasan dendam karena kau sudah dua kali melakukan pembunuhan."
Glagah Putih mengangguk. Sementara itu Kiai Jayaraga bertanya, "Bukan maksudku memperkecil pribadimu. Tetapi aku ingin bertanya, apakah kau akan pergi sendiri atau bersama orang lain."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, "Sulit bagi Raden Rangga untuk dapat menerima kehadiran orang lain."
"Baiklah." berkata Kiai Jayaraga, "kau memang sudah pantas untuk pergi sendiri, dan kaupun telah pernah melakukannya dan ternyata kau berhasil mengatasi kesulitan yang terjadi di perjalanan. Namun kali ini kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik, justru karena persoalan yang timbul di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Karena itu, siapkan semua bekal, termasuk ikat pinggang yang pernah kau terima dari Mataram itu."
"Baiklah Kiai." jawab Glagah Putih, "aku mohon restu."
Demikianlah. maka Glagah Putihpun telah mohon diri dan mohon restu kepada kakak sepupunya serta mbokayunya pula. Kemudian dengan kudanya yang tegap tegar pemberian Raden Rangga, Glagah Putihpun berpacu menuju Mataram.
Ternyata kudanya benar-benar seekor kuda yang luar biasa. Kuda itu berpacu seperti angin. Sehingga karena itu, maka kepergian Glagah Putih telah banyak menarik perhatian. Apalagi Glagah Putih tidak memperlambat kudanya jika ia berpapasan dengan kawan-kawannya meskipun anak muda itu tetap mengangguk, tersenyum dan bahkan menyapa mereka.
Sebagaimana Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun tidak menemui hambatan apapun diperjalanan, sehingga ia telah mencapai tepian Kali Praga. Iapun tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, iapun telah berada diatas sebuah rakit yang akan membawanya menyeberang.
Namun ternyata bahwa kudanya memang telah menarik perhatian orang-orang yang bersamanya dalam satu rakit. Seorang yang mengaku sebagai seorang saudagar ternak dan kuda, memperhatikan kuda Glagah Putih itu dengan saksama. Sambil tersenyum-senyum ia berkata, "Kuda yang sangat bagus anak muda. Berapa kau membelinya?"
"Aku tidak membelinya, Ki Sanak." jawab Glagah Putih, "pamanku memberikannya sebagai hadiah."
"Hadiah apa?" bertanya saudagar itu, "apakah kau sudah melakukan sesuatu yang sangat berat bagi pamanmu itu, sehingga kau mendapatkan hadiah yang sangat berharga ini?"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya membantu paman bekerja disawah. Mungkin karena aku bekerja dengan tekun maka aku telah mendapat hadiah itu ketika aku meninggaikan rumah paman dan kembali kepada orang tuaku." jawab Glagah Putih.
"Kenapa kau tinggalkan pamanmu yang baik itu?" bertanya saudagar itu.
"Orang tuaku menjadi semakin tua dan tidak dapat lagi mengurusi sawah ladangnya. Aku telah dipanggil pulang, karena aku adalah satu-satunya anak laki-laki." jawab Glagah Putih asal saja.
Tetapi saudagar itu masih juga bertanya, "Apakah kau tidak mempunyai saudara perempuan?"
"Ya." jawab Glagah Putih, "saudaraku ada tujuh. Semua perempuan."
"O" orang itu mengangguk-angguk. Narnun iapun bergumam, "Tujuh orang. Jadi anaknya semua ada delapan."
Glagah Putih tidak menghiraukan lagi. Rakit yang ditumpanginya sudah semakin dekat dengan tepian di seberang. Dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian, ia memperhatikan tukang-tukang satang itu. Untunglah bahwa mereka bukannya orang yang pernah membawanya menyeberang pada saat ia mengaku sebagai anak seorang saudagar kaya.
Sejenak kemudian, rakit itupun menepi. Setelah memberikan upah sewajarnya, karena ia bukan anak saudagar kaya raya, maka Glagah Putihpun telah menuntun kudanya ditepian. Namun iapun harus berpaling dan berusaha membelakanginya ketika ia melihat seorang diantara tukang satang dari rakit yang lain adalah orang yang mirip dengan tukang satang yang pernah menyeberangkannya.
"Jika benar orang itu tukang satang yang pernah membawaku, mudah-mudahan ia tidak melihatku dan menyapa aku, atau justru sudah melupakannya." berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Namun Glagah Putih terkejut ketika saudagar yang bersamanya dalam rakit itu berjalan disebelahnya sambil berkata, "Kau tidak ingin menjadikan kudamu modal untuk kerja daripada sekedar menjadi kebanggaan" Hanya orang-orang kaya sajalah yang pantas mempunyai seekor kuda sebagus kudamu itu."
Glagah Putih memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Kuda ini adalah pemberian pamanku. Aku tidak akan berani menjualnya."
"Kau tukar dengan seekor kuda yang lebih kecil. Kau akan mempunyai sisa uang cukup untuk modal berdagang kecil-kecilan di padukuhanmu atau dipasar terdekat." ber"kata saudagar itu.
Tetapi sekali lagi Glagah Putih menjawab, "Aku tidak berani melepaskannya dari tanganku."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Namun iapun masih juga menepuk kuda itu sambil berdesis, "Kuda yang sangat bagus. Selamat anak muda. Kau telah memiliki tunggangan yang dapat kau jadikan kebanggaan."
Glagah Putihpun kemudian minta diri untuk mendahului saudagar itu. Namun demikian pengalamannya telah mendorongnya untuk tetap berhati-hati. Justru karena kuda itu, maka banyak peristiwa telah terjadi. Juga yang menyangkut persoalan yang terjadi di Mataram. Justru karena kuda itu, maka ia sempat mendengar keterangan tentang sesuatu yang akan terjadi atas Panembahan Senapati.
Namun agaknya yang mengagumi kudanya itu benar-benar seorang penggemar kuda. Ternyata tidak ada peristiwa yang mengikutinya ketika ia meninggalkan tepian menuju ke Mataram.
Namun Glagah Putih tidak memacu kudanya cepat-cepat sebagaimana dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh. Ia tidak mau menarik perhatian, apalagi para prajurit Mataram yang bertugas. Bahkan menurut perhitungan Glagah Putih, Panembahan Senapati tentu telah menyebarkan para prajurit dalam tugas sandi, meskipun terbatas pada kesatuan yang sangat dipercaya.
Kuda Glagah Putih memang menarik perhatian. Rasa-rasanya tidak seimbang ditilik dari penunggangnya. Na"mun ternyata Glagah Putih tidak mengalami gangguan apapun sehingga ia mendekati istana Ki Patih Mandaraka dengan selamat.
Glagah Putih memang ragu-ragu. Namun akhirnya diberanikannya dirinya menghampiri pengawal di gerbang istana Ki Patih. Untung sekali Glagah Putih, bahwa pengawal itu pernah mengenalnya ketika ia datang ke Kepatihan sebelumnya. Karena itu, maka Glagah Putih itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan.
"Aku akan menyampaikannya kepada Raden Rangga," berkata pengawal itu, "tunggulah, mudah-mudahan ia ada di biliknya."
"Menurut penglihatanku, baru saja ia kembali. Tetapi kadang-kadang penglihatan kami, para pengawal, keliru. Kami melihatnya kembali, tetapi ternyata Raden Rangga tidak ada, tetapi justru kami melihatnya pergi, ia berada didalam istana Kepatihan ini." jawab pengawal itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menunggunya diserambi regol bersama seorang pengawal yang lain, sementara seorang pengawal mencari Raden Rangga di biliknya. Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Baru sejenak kemudian pengawal itu datang kembali keregol.
"Ternyata Raden Rangga ada di dalam biliknya." ber"kata pengawal itu, "Raden telah memerintahkan kepadaku, agar mempersilahkan kau masuk."
"Terima kasih." jawab Glagah Putih yang kemudian menuntun kudanya memasuki halaman dan menambatkan kudanya itu pada patok-patok yang memang tersedia.
Glagah Putih memang telah mengetahui letak bilik Raden Rangga. Namun ia ragu-ragu untuk masuk. Sehingga karena itu, maka seorang pelayan yang melihatnya bertanya kepadanya, "Siapakah yang kau cari?"
"Raden Rangga." jawab Glagah Putih.
"Raden Rangga" Siapakah kau?" bertanya pelayan itu.
Agaknya percakapan itu didengar oleh pengawal yang telah menyampaikan kedatangan Glagah Putih kepada Raden Rangga. Karena itu maka iapun telah mendekatinya sambil berkata, "Bawa tamu ini kepada Raden Rangga. Aku telah menyampaikannya dan Raden Rangga telah memerintahkannya untuk datang ke biliknya."
"O" desis pelayan itu, "aku tidak tahu. Kenapa kau tidak mengantarnya?"
"Kaulah yang harus mengantarnya." jawab pengawal itu.
Pelayan itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, "Marilah, ikut aku."
Ternyata pelayan itu tidak membawanya melalui ruang dalam. Tetapi pelayan itu telah membawa Glagah Putih memasuki seketheng sebelah kanan. Melalui longkangan dan serambi maka akhirnya Glagah Putih telah memasuki ruang samping menghadap kepintu bilik Raden Rangga.
"Itulah. Masuklah." berkata pelayan itu.
Glagah Putih itupun kemudian melangkah mendekati pintu itu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu yang tertutup itu.
"Siapa?" terdengar suara dari dalam.
"Aku Raden, Glagah Putih." jawab Glagah Putih.
"O. Marilah." jawab yang di dalam.
Sejenak kemudian, pintu itupun telah terbuka. Raden Rangga berdiri sambil tersenyum. Dengan nada dalam ia mempersilahkan, "Masuklah. Aku sudah menduga, bahwa kau akan datang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga mengulanginya, "Jika pesanku lewat Agung Se"dayu sampai, kau tentu akan datang. Dan waktunyapun tidak jauh dari perhitunganku. Marilah."
Glagah Putihpun kemudian telah melangkah masuk. Dengan ragu-ragu iapun duduk di sebuah amben. Setelah menutup pintu biliknya, maka Raden Ranggapun telah duduk pula disebelahnya.
"Pesan Raden membuat aku berdebar-debar." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun wajahnyapun kemudian menunduk. Dengan nada dalam ia berkata "Aku memang dalam keadaan gelisah Glagah Putih. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Sebenarnya aku tidak cemas apapun yang akan terjadi atasku. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang belum selesai. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi atasku nanti, besok atau dalam batasan waktu yang manapun. Namun sementara itu bahaya benar-benar sedang mengancam ayahanda."
"Tetapi menurut pesan yang sampai kepadaku, agaknya Raden menjadi gelisah karena mimpi yang Raden lihat di dalam tidur. Seakan-akan Raden sedang menuju ke tempat yang tidak terbatas, kereta diatas lautan dan perempuan dalam pakaian gemerlapan." sahut Glagah Putih.
"Ya. Jika aku boleh berterus terang, aku telah menterjemahkan isyarat dengan akhir perjalanan hidupku, karena ibuku, yang melahirkan aku telah mengajakku pergi ke tempat yang tidak dikenal." jawab Raden Rangga, "tetapi itu tidak menggelisahkan. Aku siap menerima panggilan itu. Tetapi kenapa justru pada saat ayahanda sedang dibayangi oleh kesulitan yang belum dapat dijajagi, seberapa besarnya."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Tetapi bukankah ayahanda Raden seorang yang pilih tanding. Sementara itu Ki Patih Mandarakapun seorang yang jarang ada duanya. Seandainya ada seseorang yang berani memasuki istana ini dan langsung berhadapan dengan Panembahan Senapati, apakah orang itu tidak akan mengalami kesulitan karena tingkah lakunya sendiri, bagaikan sulung masuk kedalam api."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tahu, ayahanda memiliki tingkat ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin sejajar dengan ilmu orang-orang terpilih diseluruh Demak sekarang ini. Namun setiap orang memiliki kelemahannya masing-masing. Tidak ada seorangpun yang mampu mengatasi segala-galanya di atas dunia ini. Pada suatu saat seseorang akan sampai pada satu batas kelemahannya dan hal itu akan dapat saja terjadi atas ayahanda, karena ayahanda tidak lebih dari manusia biasa."
Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, "Namun seandainya orang yang mengembara, maka ayahanda Raden sudah menyiapkan bekal secukupnya. Memang mungkin yang tidak diharapkan dapat saja terjadi. Tetapi kita mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan."
"Kau benar Glagah Putih." jawab Raden Rangga, "tetapi yang menentukan bukannya kita. Ketentuan yang berada diluar jangkauan kita itulah yang aku cemaskan. Meskipun ilmuku dibandingkan dengan ilmu ayahanda tidak berarti apa-apa, namun rasa-rasanya betapa pahitnya jika aku harus pergi justru ayahanda berada didalam bahaya. Ini mungkin hadir di dalam hatiku sebagai ujud dari kesombonganku. Tetapi aku tidak dapat mengelak dari perasaan itu, sementara mimpi yang mengerikan itu membayangiku."
Rahasia 180 Patung Mas 11 Pendekar Naga Geni 15 Pendekar Gagak Cemani Pedang Tanpa Perasaan 5