Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 5

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 5


Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya dengan suara ragu, "Raden, apakah ibunda Raden sudah tidak ada lagi?"
Pertanyaan itu mengejutkannya. Namun sambil mengerutkan keningnya Raden Rangga menjawab, "Ibuku masih ada. Tetapi tidak berada di istana ini. Ibu lebih senang tetap berada di Pajang."
"Dan Raden sering juga mengunjunginya?" bertanya Glagah Putih.
"Jarang sekali Glagah Putih. Aku jarang sekali mengunjungi ibunda." jawab Raden Rangga.
"Nah, bukankah dengan demikian Raden tidak usah mencemaskan mimpi Raden. Hanya orang-orang yang sudah tidak ada sajalah yang perlu dicemaskan jika ia hadir didalam mimpi dan mengajak kita pergi."
"Kau benar Glagah Putih." jawab Raden Rangga, "tetapi itu bagi orang lain. Aku memang memiliki kelainan itu. Ibunda memang bukan seorang yang memiliki sesuatu. Baik ilmu maupun kebanggaan lain. Namun yang hadir di"dalam mimpiku sejak semula adalah seorang perempuan dalam ujud ibundaku yang memiliki segala-galanya. Ilmu, kemewahan, keajaiban dan yang tidak terjangkau oleh nalar sekalipun. Dan perempuan itulah, dalam ujud ibunda, memanggilku. Mungkin orang lain tidak dapat merasakannya. Tetapi isyarat itu terasa olehku."
"Apakah Raden tidak pernah memikirkannya, bahwa dugaan Raden itu salah?" bertanya Glagah Putih.
"Memang mungkin aku keliru, karena aku bukan se"orang yang mampu melihat peristiwa yang belum terjadi. Tetapi sentuhan itu mengatakan kepadaku dan tangkapanku yang pertama adalah, bahwa aku memang harus pergi." jawab Raden Rangga.
"Tetapi Raden tidak akan dapat menyebut waktu." jawab Glagah Putih, "bukankah isyarat seperti itu sudah Raden rasakan beberapa waktu sebelumnya?"
"Ya. Dan agaknya yang datang terakhir begitu meyakinkan." jawab Raden Rangga.
"Raden telah menganyam angan-angan itu didalam diri Raden, sehingga seakan-akan segalanya itu meyakinkan." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menggelengkan kepalanya. Katanya, "Duniaku memang agak lain dengan duniamu Glagah Putih."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Agaknya ia akan sulit sekali untuk merubah tanggapan Raden Rangga atas mimpi-mimpinya. Glagah Putihpun menyadari, bahwa mimpi bagi Raden Rangga dapat berakibat dan berarti lain dari mimpinya. Yang terjadi dalam mimpi agaknya dapat berbekas dalam kehidupan wajar Raden Rangga, sebagaimana ia menerima ilmunya. Karena itu, mimpi baginya memang mempunyai arti tersendiri.
Karena Glagah Putih tidak menjawab lagi, maka Raden Rangga itupun kemudian berkata, "Glagah Putih, aku min"ta kau tidak segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sebaiknya kau tinggal disini untuk beberapa hari."
"Tetapi aku tidak minta ijin untuk tinggal disini Raden." jawab Glagah Putih, "apalagi Tanah Perdikan Menoreh kini sedang dibayangi oleh peristiwa-peristiwa yang sebagaimana Raden saksikan."
"Setiap kali kita akan pergi ke Tanah Perdikan." ber"kata Raden Rangga, "tetapi kita akan kembali lagi kemari. Sore hari kita dapat mengamati Tanah Perdikan itu. Jika tidak nampak sesuatu yang mencurigakan, maka kita segera kembali ke istana ayahanda."
"Bukankah dengan demikian kita hanya akan membuang waktu saja Raden. Sekali lagi aku berpendapat, bahwa ayahanda Raden memiliki semuanya yang diperlukan untuk melakukan rencananya. Bukankah ayahanda Raden justru berusaha memancing orang itu memasuki istana" Sementara itu, disekitar ayahanda Raden terdapat para pengawal terpilih disamping Ki Patih Mandaraka yang mumpuni." sahut Glagah Putih.
"Bukankah di Tanah Perdikan juga ada Ki Gede, ada Agung Sedayu dan isterinya Sekar Mirah, ada gurumu dan ada sepasukan prajurit Mataram disana." berkata Raden Rangga pula.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak permintaan Raden Rangga agar ia tinggal untuk sementara di Mataram.
"Kenapa kau terdiam?" desak Raden Rangga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat mempergunakan alasan, bahwa yang ditinggalkannya tentu akan menjadi gelisah, sebagaimana pernah diajukannya beberapa waktu yang lalu, ketika ia juga harus tinggal bahkan pergi bersama Raden Rangga untuk merendam di sebuah belumbang.
Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Baiklah Raden, aku akan tinggal. Tetapi tidak terlalu lama. Mungkin hanya semalam saja." jawab Glagah Putih.
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi kau harus tinggal. Jika tidak, maka kudamu akan aku minta kembali."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun Raden Rangga itupun berkata, "Baiklah, biarlah seorang pelayan membawa kudamu kebelakang."
"Biarlah aku sendiri membawanya Raden." jawab Glagah Putih.
"Akulah tuan rumah disini." desis Raden Rangga sambil berdiri untuk memanggil pelayan agar membawa kuda Glagah Putih kebelakang istana itu.
Ketika Raden Rangga itu kembali, maka iapun berkata, "Nanti aku akan memberimu satu permainan yang tentu kau senangi, sebagaimana kau senang bermain macanan atau bengkat di halaman."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengerti maksud Raden Rangga yang sebenarnya.
"Nah, kau mempunyai waktu sedikit untuk beristirahat. Sebentar lagi, langit akan menjadi suram dan malam akan turun. Mungkin kau akan mandi agar tubuhmu menjadi segar. Jika kau memerlukan ganti pakaian, kau dapat mempergunakan pakaianku." berkata Raden Rangga kemudian.
Glagah Putih tidak segera menyahut. Namun ketika Raden Rangga membuka pintu samping biliknya, maka nampak bahwa halaman samping itupun sudah menjadi buram. Seorang yang membawa lampu minyak kemudian memasuki bilik itu dan menempatkannya diatas sebuah ajug-ajug. Karena di dalam bilik dan ruang-ruang diistana itu sudah menjadi gelap.
"Mandilah." berkata Raden Rangga, "pakailah pakaianku."
"Terima kasih Raden." jawab Glagah Putih, "pakai"anku masih cukup bersih untuk aku pergunakan malam ini."
"Besok kau belum tentu dapat kembali. Aku mungkin masih akan menahanmu." berkata Raden Rangga sambil tersenyum.
Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun kemudian melangkah keluar menuju kepakiwan yang sudah diketahuinya letaknya. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Glagah Putihpun telah duduk kembali bersama Raden Rangga menghadapi hidangan bagi mereka berdua.
"Minumlah." berkata Raden Rangga, "jangan risaukan Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang yang akan dapat menyelesaikan semua masalahnya."
Glagah Putih mengangguk. Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak dapat melepaskannya seluruhnya dari pikirannya.
"Glagah Putih." berkata Raden Rangga, "malam nanti kau ikut aku melihat-lihat halaman istana. Beberapa malam aku kurang memperhatikannya, bahkan semalam aku justru berada di Tanah Perdikan. Aku tidak tahu, kapan akan terjadi sesuatu di istana ayahanda. Namun peristiwa di Tanah Perdikan itu seakan-akan telah memperingatkan aku dan barangkali juga orang-orang lain yang mendapat kepercayaan dari ayahanda untuk bangkit kembali dan memperhatikan keadaan dengan lebih saksama, karena dalam beberapa hari terakhir, rasa-rasanya pengawasan lingkungan istana ayahanda itu memang menjadi hambar."
Glagah Putih termangu-mangu. Dengan ragu ia menyahut, "Raden. Apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya?"
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Sejak kapan kau takut akan bahaya?"
"Raden." jawab Glagah Putih, "bahaya ini agak berbeda dengan bahaya yang datang dari pihak lain. Bahaya ini datangnya dari para petugas diistana ayahanda Raden sendiri. Jika para petugas itu melihat dan mengetahui kehadiran kita, apakah hal ini tidak akan dilaporkan kepada ayahanda Raden?"
"Mungkin sekali memang dapat terjadi demikian. Tetapi aku tidak akan merasa tenang jika aku tidak melakukannya." berkata Raden Rangga kemudian, "bukannya aku merasa diriku lebih baik dari para pengawal, dari eyang Mandaraka dan dari ayahanda sendiri, tetapi aku tidak dapat mengingkari gejolak perasaanku sendiri. Sekali lagi, mungkin itu merupakan pancaran dari kesombonganku, seolah-olah aku akan dapat melindungi ayahanda. Tetapi biarlah kali ini aku menuruti perasaanku."
"Itulah yang sering Raden lakukan. Mengikuti perasaan Raden. Bukankah Raden sudah belajar mengekangnya?" bertanya Glagah Putih.
Wajah Raden Rangga menjadi tegang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kau benar Glagah Putih. Tetapi kali ini aku tidak mampu menguasainya. Aku merasa wajib melakukannya."
Glagah Putih tidak dapat mengatasinya lagi. Ia tidak mampu pula menolak ajakan Raden Rangga untuk melihat-lihat keadaan istana dimalam hari.
Sementara itu Raden Rangga berkata, "Bersiap-siaplah. Kau akan melakukan satu pekerjaan seperti yang kau katakan, sangat berbahaya. Kau harus mampu menyerap bunyi yang mungkin kau pancarkan lewat pernafasanmu, mungkin sentuhan-sentuhan tubuhmu atau karena gerak yang lain."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu Raden Rangga mendahuluinya, "Kau harus dapat melakukannya. Modal ilmumu sudah cukup. Jika kau mampu mengolah didalam dirimu maka kau akan menemukan laku yang dapat kau pergunakan untuk melindungi dirimu dengan menyerap bunyi itu. Tentu saja bunyi lembut. Jika kau melanggar setumpuk mangkuk dan jatuh berserakan, siapapun tidak akan mampu menyerap bunyinya."
Glagah Putih tersenyum juga mendengar kata-kata Raden Rangga. Meskipun ia belum mencobanya, tetapi iapun telah mengangguk mengiakan.
"Nah, bersiaplah. Kita akan pergi setelah mendekati tengah malam. Atau mungkin kau akan tidur lebih dahulu?" bertanya Raden Rangga.
"Tentu tidak Raden." jawab Glagah Putih.
"Jika tidak, maka kita isi waktu kita dengan berjalan-jalan di Kota Raja ini. Aku tidak telaten menunggu sambil duduk dan berbicara tanpa ujung dan pangkal. Lebih baik kita berbicara di sepanjang jalan saja." berkata Raden Rangga.
Sekali lagi Glagah Putih tidak dapat menolak. Tetapi sebenarnya iapun merasa lebih baik berjalan-jalan daripada duduk sambil menunggu waktu yang merambat lamban sekali sampai mendekati tengah malam.
Karena itulah, maka keduanyapun kemudian telah ber"siap. Ternyata Raden Rangga kemudian bertanya, "Kau membawa ikat pinggangmu?"
"Aku selalu memakainya Raden." jawab Glagah Putih.
"Bagus." jawab Raden Rangga, "mungkin kita memerlukan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa dengan demikian Raden Rangga memperhitungkan satu kemungkinan untuk melakukan tindak kekerasan.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah meninggalkan istana Kepatihan. Seperti biasanya, jika Raden Rangga tidak ingin diketahui kepergiannya, ia telah meloncati dinding diluar pengawasan para pengawal. Demikian pula yang dilakukannya saat itu bersama Glagah Putih. Raden Rangga tidak keluar halaman lewat regol, tetapi meloncati dinding samping dan turun ke jalan kecil disebelah istana Kepatihan itu. Menyusuri jalan kecil, maka keduanyapun seakan-akan telah menghilang didalam gelapnya malam yang semakin dalam.
Sejenak kemudian keduaya telah berada di jalan raya Kota Raja Mataram. Keduanya berjalan didalam kegelapan yang sepi. Rumah-rumah sudah tertutup dan halaman-halaman rumahpun tidak lagi diramaikan oleh anak-anak yang bermain-main, karena langit nampak gelap meskipun bintang berkeredipan dari ujung langit sampai keujung yang lain. Tetapi bulan sama sekali tidak akan nampak disepanjang malam.
Satu dua masih ada orang yang duduk-duduk di depan regol sebuah rumah dan sekelompok anak-anak muda ber"ada digardu didepan banjar sebuah padukuhan. Tetapi mereka sama sekali tidak tertarik kepada dua orang anak muda yang berjalan seenaknya menyusuri jalan raya.
"Kita masih mempunyai waktu banyak." berkata Raden Rangga, "kita akan pergi ke istana menjelang tengah malam seperti sudah aku katakan."
"Jadi kita akan kemana?" bertanya Glagah Putih.
"Kemana saja." jawab Raden Rangga, "apakah kau masih letih karena perjalananmu dari Tanah Perdikan?"
"Tidak." jawab Glagah Putih, "perjalanan yang pendek. Aku sama sekali tidak merasa letih. Apalagi dengan kuda yang Raden berikan itu."
"Bagus." jawab Raden Rangga, "jika demikian kita pergi saja kesungai. Kita isi waktu kita dengan sebuah permainan."
"Permainan apa?" bertanya Glagah Putih.
"Marilah." ajak Raden Rangga.
Keduanyapun kemudian pergi ke sungai yang tidak terlalu besar, meskipun tebingnya cukup dalam. Ditempat yang sepi Raden Rangga berkata, "Kita duduk disini. Kau menghadap kepadaku pada jarak dua lengan."
"Apa yang akan kita lakukan?" bertanya Glagah Putih.
"Bermain." jawab Raden Rangga, "cepatlah, waktu kita hanya tinggal sedikit."
Glagah Putihpun kemudian duduk dihadapan Raden Rangga. Keduanya menyilangkan kakinya pada jarak dua lengan.
"Julurkan kedua lenganmu. Buka telapak tanganmu." perintah Raden Rangga.
Glagah Putih melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Raden Rangga. Namun sementara itu Raden Ranggapun telah berbuat serupa pula, sehingga keempat telapak tangan yang terbuka itu, berpasangan hampir bersentuhan.
"Jangan sentuh telapak tanganku dengan telapak tanganmu." berkata Raden Rangga.
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera mengetahui maksud Raden Rangga.
Beberapa saat mereka keduanya masih berada dalam keadaannya. Sejenak kumudian, maka Raden Ranggapun berkata, "Glagah Putih, seperti kau ketahui, bahwa beberapa orang mampu bertempur dalam jarak tertentu dengan melontarkan serangan-serangan tanpa harus mendekat dan tanpa sentuhan wadag. Seorang mampu menyerang dengan sorot matanya, sementara orang lain melontarkan serangannya dengan lontaran dari telapak tangannya yang terbuka seperti sikapmu sekarang ini. Nah, cobalah. Usahakan agar kau mampu melontarkan kekuatan ilmumu lewat telapak tanganmu yang terbuka itu."
Glagah Putih menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Bagaimana mungkin tiba-tiba saja aku dapat melakukan Raden. Aku tahu, untuk mencapai satu tataran kemampuan ilmu diperlukan laku. Juga kemampuan seperti yang Raden katakan. Bukan dengan tiba-tiba saja. Mungkin hal seperti itu dapat terjadi atas Raden. Tetapi tentu tidak padaku."
"Glagah Putih." berkata Raden Rangga, "pada saat aku dalam kesulitan, setelah aku berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Tanah Perdikan Menoreh, kau mampu menyalurkan kekuatan ilmumu sehingga darahku yang serasa membeku itu dapat mengalir lagi. Apakah sebelumnya kau pernah mempelajarinya?"
"Serba sedikit aku pernah mendapatkan petunjuk untuk melakukannya." berkata Glagah Putih ragu-ragu.
"Baiklah." desis Raden Rangga kemudian, "kau dapat melakukannya seperti yang kau lakukan itu. Tetapi dengan hentakkan yang lebih kuat. Sementara itu, tanganku akan aku pergunakan untuk menampung kekuatan ilmumu yang tentu masih terlalu lemah. Tetapi jika kau berhasil, maka hal ini akan merupakan laku untuk membuka satu tataran baru bagimu dalam olah kanuragan."
Glagah Putih termangu-mangu. Memang jauh berbeda tuntunan yang diberikan oleh Raden Rangga dengan apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Keduanya memberikan petunjuk untuk mulai dengan satu laku yang tahap demi tahap mencapai satu kekuatan yang dapat dibanggakan. Namun Raden Rangga melakukannya dengan cara lain. Tiba-tiba segalanya harus didorong dan diungkapkan dari kemampuan yang ada didalam dirinya sendiri.
"Cobalah." berkata Raden Rangga, "seandainya tidak berhasil, bukankah tidak ada ruginya" Kita harus berani mencoba, apalagi tanpa menimbulkan akibat buruk sama sekali."
Glagah Putih mengangguk kecil. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga, ia harus berani mencoba.
"Marilah." berkata Raden Rangga, "lakukan sebagaimana kau menyalurkan kekuatan ilmumu untuk membantu mencairkan darahku yang membeku."
Glagah Putihpun mengangguk kecil. Sejenak kemudian iapun telah memusatkan nalar budinya, sebagaimana dilakukan pada saat ia membantu Raden Rangga pada saat dalam kesulitan.
"Nah." berkata Raden Rangga kemudian, "hentakkan alas ilmumu sebagaimana kau lakukan setelah kau pusatkan kekuatan ilmumu itu dan kau salurkan pada lenganmu dan kemudian pada telapak tanganmu yang terbuka itu. Aku akan menampungnya dengan telapak tanganku yang akan membantumu melepaskan seranganmu. Aku akan mempergunakan kemampuan ilmuku untuk menarik lontaran ilmumu."
Rasa-rasanya memang seperti satu permainan yang menarik sebagaimana permainan macanan atau bengkat dihalaman saja.
Glagah Putih tidak menjawab. Ia telah sampai kepuncak pemusatan nalar budinya. Dengan kemampuan yang ada pada dirinya, maka iapun telah menyalurkan kekuatan ilmunya ke lengannya dan kemudian ke telapak tangannya. Namun bukan kekuatan ilmunya yang tertinggi, karena bagaimanapun juga ia masih memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Raden Rangga.
Sejenak kemudian terasa kekuatan ilmunya itu memang mengalir. Glagah Putih menahan nafasnya. Ia mulai ancang-ancang untuk menghentakkan ilmunya itu. Beberapa saat ia merasakan kemampuan ilmunya telah berada di telapak tangannya. Seperti yang dilakukan pada saat ia membantu mengatasi kebekuan darah Raden Rangga, maka Glagah Putihpun telah berusaha untuk mele"paskan kekuatan ilmunya itu dengan satu hentakan yang kuat.
Raden Rangga yang memperhatikan wajah Glagah Putihpun menangkap gerak di dalam diri anak muda itu. Meskipun di malam hari, tetapi ketajaman penglihatan Raden Rangga itu mampu melihat saat hentakan wajah Glagah Putih.
Pada saat yang demikian maka Raden Rangga telah membantu Glagah Putih, melepaskan segala hambatan yang terdapat didalam dirinya, dengan melepaskan segala kekuatan yang mungkin terdapat ditelapak tangannya. Dengan demikian maka yang terjadi adalah sebagaimana dike hendaki oleh Raden Rangga.
Seakan-akan getaran yang bergejolak telah meloncat dari telapak tangan Glagah Putih kearah telapak tangan Raden Rangga yang jaraknya kurang dari sejengkal.
Loncatan itu hanya terjadi dalam sekejap. Namun terasa sesuatu telah terhempas dari tekanan didalam diri Glagah Putih. Lepasnya getaran dari telapak tangannya meloncat ketelapak tangan Raden Rangga telah melepaskan keragu-raguannya pula bahwa ia mampu melakukannya.
Ternyata bahwa Raden Rangga tersentak oleh loncatan getaran itu. Kekuatan Glagah Putih yang masih belum mapan dalam loncatan getaran ilmu yang diragukannya itu, lebih besar dari yang diperkirakan.
Namun kekuatan Raden Rangga memang luar biasa. Getaran yang membentur telapak tangannya dan merambat kelengannya itu terhenti tanpa menyakiti dadanya.
Meskipun demikian Raden Rangga itu kemudian berdesis " Luar biasa. Ternyata kau memiliki kekuatan lebih besar dari yang aku duga. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasakan tubuhnya menjadi lelah. Tetapi hanya untuk waktu yang pendek, karena setelah meletakkan kedua tangannya dipangkuannya, maka rasa-rasanya kekuatan-nyapun telah pulih kembali.
" Bagus Glagah Putih " berkata Raden Rangga " lakukan sekali lagi. Perhatikan apa yang telah terjadi didalam dirimu dan pada saat-saat getaran itu meloncat dari telapak tanganmu. Aku tahu, kau tidak mempergunakan
segenap kekuatan ilmu yang tersimpan didalam dirimu. Itu tidak apa-apa. Jika kau mampu, melakukannya atas satu jenis ilmumu, maka kau akan dapat melakukannya pada jenis ilmumu yang lain. Apalagi kau memiliki kemampuan yang kau sadap dari Kiai Jayaraga, untuk menyadap kekuatan bumi, udara, api dan bahkan air. Bukankah dengan kemampuanmu melontarkan getaran ilmumu tanpa sentuhan wadag akan sangat berarti" Apalagi jika pada saatnya nanti kau mendapat tuntunan dari Agung Sedayu untuk mempergunakan pandangan matamu. Maka kau akan mampu menjadikan dirimu seorang yang pilih tanding. Meskipun menurut eyang Mandaraka, sebagaimana pernah dikatakan, bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna. Yang sempurna hanyalah Yang Sempurna itu saja. Yang menjadikan langit dan bumi serta segala isinya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang memiliki kemampuan untuk menyadap dan mempergunakan kekuatan bumi, udara, air dan api sebagaimana diajarkan oleh Kiai Jayaraga. Namun penggunaannya agak berbeda dari apa yang dilakukannya itu. Meskipun ia masih belum melihat langsung hubungan antara ilmu yang diperolehnya dari Kiai Jayaraga dengan apa yang disebut sebagai permainan oleh Raden Rangga itu, namun tiba-tiba saja tumbuh satu keyakinan didalam dirinya bahwa ia akan dapat memanfaatkannya, apabila Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga itu tidak berkeberatan.
" Marilah " tiba-tiba saja Raden Rangga berdesis " lakukan sekali lagi. Masih ada waktu sedikit menjelang tengah malam. "
Glagah Putih tidak membantah. Iapun telah bersiap pula untuk melakukannya sekali lagi. Namun jarak antara dirinya dan Raden Rangga menjadi lebih jauh.
Ternyata Glagah Putihpun telah berhasil pula. Bahkan ternyata kekuatannya terasa menjadi semakin besar, sehingga tubuh Raden Rangga itu terguncang karenanya. Namun seperti yang pertama, getaran yang terloncat itu tidak menyakiti isi dadanya.
" Bagus " berkata Raden Rangga " kita pergunakan waktu yang sedikit ini untuk meyakinkan kemampuanmu. Arahkan getaran kekuatanmu pada sebongkah padas yang lunak itu. "
Glagah Putihpun melakukannya seperti yang dikehendaki oleh Raden Rangga. Diarahkannya getaran kekuatannya kepada sebongkah batu padas yang lunak yang diletakkannya diatas sebuah batu hitam di tepian itu.
Glagah Putihpun kemudian telah memusatkan kekuatan didalam dirinya. Dipandanginya batu padas itu sambil menahan nafasnya. Kemudian disalurkan getaran kekuatan didalam dirinya pada lengannya dan kemudian telapak tangannya. Dengan segenap kekuatan yang ada didalam dirinya, dihentakkannya ilmunya menghantam batu padas yang oleh Raden Rangga memang dipilih batu padas yang lunak saja.
Ketika getaran yang terlontar dari telapak tangan Glagah Putih itu membentur sasaran, maka Raden Rangga itupun telah bertepuk tangan. Katanya " Luar biasa. Baru saja kau mulai permainan ini. Ternyata kau dapat melakukannya dengan baik. "
Ternyata bahwa batu padas itu telah pecah meskipun tidak hancur berkeping-keping.
Glagah Putih justru termangu-mangu. Ia memang melihat batu padas itu pecah.
" Baiklah Glagah Putih " berkata Raden Rangga " jangan kau renungkan sekarang. Anggap bahwa kau telah memecahkan satu batas dari dinding ilmumu, sehingga dengan demikian kau telah membuka satu lagi pintu bagi pelepasan ilmumu itu. Meskipun demikian, jika kau kembali ke Tanah Perdikan, kau harus minta ijin kepada kedua orang gurumu, apakah mereka setuju kau mempergunakan permainan itu untuk seterusnya, bahkan mengembangkannya didalam dirimu sesuai dengan bekal yang telah kau miliki. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sudah tidak banyak lagi terpengaruh oleh pelepasan ilmu nya itu. Karena itu, maka Glagah Putihpun merasa, bahwa ia akan mampu melakukannya dengan sungguh-sungguh jika ia kelak menekuninya. Bukan sekedar bermain-main.
Namun satu pertanyaan telah tumbuh didalam hatinya " Apakah orang lain dapat menuntunnya seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga itu. "
Dalam pada itu, maka Raden Ranggapun berkata " Berbenahlah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Ingat-ingatlah apa yang telah kau lakukan dalam permain an ini. Mungkin kau akan dapat mempergunakannya sebagai bekal dimasa datang dengan seijin kedua gurumu. "
Glagah Putih mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya " Ada yang kurang aku mengerti Raden. Bagaimana mungkin tataran ini dapat aku daki dengan ser ta merta tanpa laku apapun juga. "
Raden Rangga tertawa. Katanya " Jangan cemas, bahwa yang kau miliki itu sekedar pinjaman seperti yang aku miliki. Yang kau lakukan bukannya tanpa laku. Laku itu telah kau jalani dan tidak harus setiap kali kau maju selangkah, kau jalani laku yang lain.
Ancang-ancang itu telah ada didalam dirimu. Yang belum kau ketahui, bagaimana kau lepaskan kakimu untuk meloncat. Bukankah itu tidak terjadi dengan serta merta" Kau sudah melakukan ancang-ancang sebagai laku. Dan kau hanya memberitahukan kepadamu bagaimana kau harus meloncat. Selebihnya segala sesuatunya telah kau lakukan sendiri. "
Glagah Putih mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnyalah ia merasa bahwa yang dicapainya itu adalah dari dirinya sendiri yang didorong oleh kamauan yang sangat kuat karena perasaannya yang digelitik oleh Raden Rangga.
Meskipun nampaknya Raden Rangga memang hanya bermain-main saja, tetapi pengarahannya benar-be-
nar telah menghasilkan satu langkah maju yang akan sangat berarti bagi Glagah Putih.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah berbenah diri. Malam menjadi semakin larut mendekati tengah malam. Malam yang gelap dan sama sekali tidak disentuh oleh sinar bulan diujung maupun dipangkalnya.
Beberapa saat kemudian keduanya telah menyusuri jalan menuju keistana. Namun kemudian Raden Rangga itu berkata " Kita mamasuki jalan kecil. Aku tidak tahu, apakah kehadiran kita diistana malam ini ada gunanya. Mungkin tidak ada apa-apa. Tetapi rasa-rasanya ada dorongan untuk melihat-lihat.
Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu nada suara Raden Rangga menurun " Glagah Putih. Aku akan merasa senang sekali jika kedua gurumu tidak berkeberatan kau mempergunakan hasil permainanmu itu, justru membantu memperkembang-kannya. Mungkin aku tidak akan dapat memberimu permainan apa-apa lagi. Waktuku tidak mengijinkan. "
" Raden Rangga telah menyebutnya lagi " potong Glagah Putih " sebaiknya Raden melupakannya. "
" Ya. Aku akan melupakannya. Tetapi rasa-rasanya aku memang sudah tidak diperlukan lagi. " Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Sayang, aku tidak dapat membantumu untuk menyerap ilmu kebal. Tetapi kakak sepupumu itu memilikinya. Aku kira ia akan membantumu. Namun kau sudah mempunyai perisai yang cukup untuk melindungi dirimu sendiri. Kau sudah mampu berdiri sekokoh batu karang yang berakar sampai kejan-tung bumi, kau mampu menggulung lawan-lawanmu dengan kekuatan bagaikan banjir bandang, dan kau dapat menyerang dengan kekuatan taufan dan prahara. Yang paling dahsyat adalah bahwa kau mampu menyadap kekuatan api yang panasnya melampaui panasnya bara. Sementara itu, kau sudah mempunyai dasar-dasar kekuatan menyerap
daya tarik bumi yang berlawanan dengan kekuatanmu menghunjamkan ilmumu sampai kedasar bumi, namun yang nilainya sebanding, yang dasar-dasarnya baru diletakkan oleh Agung Sedayu, kau mempunyai ketajaman penglihatan dan pendengaran, penciuman dan juga firasat yang juga telah diletakkan dasarnya oleh kakak sepupumu, namun masih belum di bentuk ujudnya dalam ilmu yang mandiri.
Namun semuanya itu telah ada didalam dirimu sehingga kau mempunyai kekuatan, kemampuan dan alas ilmu yang luar biasa. Pada saatnya kau memang akan menjadi seorang yang mengagumkan, sebagaimana kakak sepupumu itu. "
" Darimana Raden tahu" " bertanya Glagah Putih " aku sendiri belum mengetahuinya. "
" Kakak sepupumu sebagaimana gurumu mempergunakan pola mewariskan ilmunya setapak demi setapak. Memang dengan demikian kau akan memilikinya dengan lebih baik dan mantap. Aku sudah melihat ilmu itu didalam dirimu. Tetapi kakak sepupumu dan Kiai Jayaraga berpendapat, bahwa kau masih terlalu muda untuk menguasainya dalam sosok ilmu yang mandiri. "
Glagah Putih menggelengkan kepalanya diluar sadarnya. Raden Rangga memang menjadi semakin aneh baginya. Apalagi ketika kemudian Raden Rangga itu berkata " Tetapi kau tidak lagi terlalu muda. Kau lebih tua dari aku dalam hitungan umur yang wajar. Karena itu sudah waktunya kau memiliki ilmu kebal seutuhnya dan mandiri.
Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan Sapta Panggraita, bahkan kemampuan meringankan tubuh dan ilmu-ilmu kakak sepupumu yang lain, termasuk tawar akan bisa yang sudah kau dapatkan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa didalam diri Agung Sedayu memang tersimpan ilmu-ilmu yang dahsyat. Namun iapun sadar, bahwa Agung Sedayu tidak akan dengan serta merta menurunkan ilmunya itu kepadanya. Agung Sedayu memang terlalu hati-hati un-
tuk melakukan satu pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang penting. Namun Glagah Putihpun menyadari, bahwa Agung Sedayu tengah mempersiapkannya untuk mencapai satu tataran yang tinggi. Glagah Putihpun mengetahui bahwa ia telah menguasai alas sebagaimana dimaksudkan oleh Agung Sedayu. Bahkan ilmu yang mengalir lewat jalur ayahnya dari pamannya, Ki Sadewa, telah dikuasainya tuntas, yang juga dituntun oleh Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu sendiri menjadi besar melalui jalur yang lain, karena ia menjadi murid orang bercambuk yang menyebut dirinya Kiai Gringsing, juga seorang yang ahli didalam ilmu obat-obatan.
Glagah Putih terkejut ketika ia merasa Raden Rangga menggamitnya " Kita sudah mendekati lingkungan istana ayahanda. "
" " Glagah Putih mengangguk.
Keduanya menjadi semakin berhati-hati. Bahkan kemudian Raden Rangga berkata " Kita tidak akan melalui jalan atau lorong-lorong sempit lagi. Kita akan bergerak lewat halaman-halaman rumah. "
Glagah Putih tidak membantah. Ketika Raden Rangga menyelinap, maka Glagah Putihpun telah mengikutinya pula.
Demikianlah dengan sangat berhati-hati keduanya merayap mendekati istana Panembahan Senapati. Ketika mereka mencapai jarak tertentu. Raden Rangga berkata perlahan-lahan " Glagah Putih, sebelumnya aku pernah melihat bagaimana orang-orang itu masuk. Karena itu aku mengetahui kira-kira dimana mereka akan memasuki lingkungan istana seandainya mereka akan datang. Mungkin hari ini, mungkin besok atau saat-saat lain. "
" Apakah kita akan mengawasi tempat itu" " bertanya Glagah Putih.
" Tetapi kita harus masuk kelingkungan istana melalui jalan lain. " jawab Raden Rangga " aku tahu, bahwa din-
ding istana ini mendapat pengawasan yang sangat ketat oleh para prajurit Pengawal Khusus. Karena itu, kita harus mampu menerobos celah-celah pengamatan mereka. "
" Bukankah itu sangat berbahaya Raden" " bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk. Namun katanya " Memang sangat berbahaya. Tetapi kita tidak boleh mengelakkan diri dari kewajiban ini. Meskipun kewajiban yang kita bebankan dipundak kita atas kehendak kita sendiri. "
Glagah Putih termangu-mangu. Namun Raden Rangga tidak menghiraukannya lagi. Perhatiannya sepenuhnya ter tuju kearah istana Panembahan Senapati.
Raden Rangga yang memang putera Panembahan Senapati itu mengenali segala sudut istana itu dengan baik. Karena itu, maka iapun sama sekali tidak merasa canggung untuk mencari jalan, memasuki lingkungan istana itu. Namun Raden Rangga memang harus berhati-hati.
Dan itu disadarinya sepenuhnya.
Ketika mereka semakin mendekati dinding lingkungan istana, maka ia memberi isyarat agar Glagah Putih tinggal ditempatnya untuk sesaat. Ia akan melihat apakah jalan yang akan dilaluinya cukup aman.
Ternyata sejenak kemudian keduanya telah berhasil meloncati dinding dan bersembunyi dibelakang gerumbul perdu yang rimbun.
" Kita bersembunyi disini. Jika menjelang dini kita tidak melihat seseorang masuk lingkungan ini, maka kita akan kembali. Sudah dua tiga Kali hal seperti itu aku lakukan sehingga aKu menjadi jemu dan memerlukan seorang kawan " bisik Raden Rangga.
Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, tengah malampun telah lewat. Lingkungan istana itu menjadi sepi. Beberapa orang prajurit
memang masih nampak berjaga-jaga diregol dan di beberapa bagian yang penting. Dua orang diantaranya meronda berkeliling.
Namun Raden Rangga berbisik pula " Bukan mereka pengamat yang sebenarnya. Mereka adalah petugas-petugas yang sehari-hari melakukan tugas seperti itu. Tetapi disekitar tempat ini ada beberapa petugas khusus. Tetapi mereka tidak melihat kita.
Glagah Putih mengangguk kecil.
Namun dalam pada itu, Raden Rangga itupun telah menggamit Glagah Putih sambil menunjuk ke sudut istana dibalik sebatang pohon bunga. Seorang sedang menyelinap masuk kedalam bayangannya, sementara yang lain bergeser dan kemudian menghilang didalam gelap.
" Kau mempunyai ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan " desis Raden Rangga kau sudah mempunyai dasar ilmu Sapta Pandulu meskipun belum mandiri. Karena itu kau tentu melihatnya. "
" Agaknya mereka sedang berganti tugas " berkata Raden Rangga di telinga Glagah Putih " untuk menjaga kejemuan. Para penjaga yang melakukan tugas sehari-hari itu tidak mengetahui mereka. "
Sekali lagi Glagah Putih mengangguk. Ia tidak mau berbicara, karena ia tidak dapat melakukannya sebagaima na dilakukan Raden Rangga. Suaranya dapat didengar oleh lawan bicaranya, tetapi tidak oleh orang lain. Perlahan sekali, tetapi jelas. "
Beberapa saat mereka menunggu. Rasa-rasanya sudah semalam suntuk. Meskipun Glagah Putih tidak mengantuk, tetapi rasa-rasanya ia tidak telaten melakukannya.
" Nampaknya kehadiran kita sia-sia " desis Raden Rangga " tetapi jika demikian, kau tidak akan pulang besok. "
Glagah Putih hanya mengerutkan keningnya saja. Ia masih juga belum menjawab
Tetapi keduanya masih menunggu. Malam masih cukup panjang. Banyak hal yang masih mungkin terjadi. Apalagi dalam malam yang gelap tanpa bulan sejak matahari terbe nam sampai matahari terbit.
Sebenarnyalah saat seperti itulah yang ditunggu oleh orang-orang yang memang ingin bertemu langsung dengan Panembahan Senapati. Malam gelap tanpa bulan sama sekali. Orang-orang yang merasa mengemban satu tugas untuk menyingkirkan Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram.
Pada lewat tengah malam, maka tiga orang telah berangkat dari persembunyiannya menuju ke istana Panembahan Senapati. Ternyata mereka masih belum mendengar apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena sepuluh orang yang ditugaskan di Tanah Perdikan semuanya telah terbunuh, sehingga tidak seorangpun yang dapat menyampaikan laporan tentang hal itu.
Sementara itu petugas yang lain yang tidak langsung berada di Tanah Perdikan, memang sudah mendengar usaha untuk membakar hutan. Merekapun menduga bahwa hal itu dilakukan oleh kawan-kawan mereka. Tetapi semuanya belum jelas bagi mereka, sehingga dua orang telah berusaha menghubungi sepuluh orang kawannya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi usaha mereka tidak berhasil. Bahkan merekapun mendengar berita bahwa sepuluh orang telah terbunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Tetapi justru karena sepuluh orang itu telah terbunuh, maka dua orang itu tidak lagi tergesa-gesa memberikan laporan. Ia menganggap bahwa dengan demikian semua jalur keterangan yang menyangkut persoalan mereka dengan Mataram tidak akan terucapkan. Karena itu, maka mereka justru ingin mendapat keterangan yang lebih lengkap tentang sepuluh orang yang terbunuh itu.
Merekapun akhirnya yakin, bahwa yang sepuluh orang itu memang kawan-kawan mereka yang berusaha untuk membakar
hutan, tetapi diketahui oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tidak seorangpun di Tanah Perdikan Menoreh yang menyebut-nyebut nama Raden Rangga sebagaimana dipesankan oleh Raden Rangga sendiri.
Karena itulah maka peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu tidak mempengaruhi rencana para pemimpin kelompok itu untuk memasuki halaman istana dan bertemu langsung dengan Panembahan Senapati, dan menyelesaikan sampai kematian Panembahan Senapati itu.
Betapapun tinggi ilmu dan kemampuan Panembahan Senapati, tetapi orang yang siap menghadapinya memiliki pusaka yang luar biasa, yang akan dapat langsung mempengaruhi lawannya sehingga ilmunya seakan-akan menjadi jauh susut, sehingga Panembahan Senapati itu tidak akan lagi memiliki ketangguhan dan tingkat ilmu sebagaimana Panembahan Senapati.
Malam yang gelap itu memang telah ditunggu oleh mereka. Karena itu, maka seperti yang mereka rencanakan, tiga orang telah menyusuri lorong-lorong sempit menuju ke lingkungan istana Panembahan Senapati, yang mereka ketahui tentu dijaga dengan ketat. Namun yang tidak mereka ketahui oleh para prajurit lari Pasukan Pengawal khusus yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.
Panembahan Senapati sendiri ^elah bersiap-siap pula Jika orang yang diharapkan datang itu pada saatnya datang, ia sendiri akan menerimanya. Ia ingin tahu benar, siapakah orang itu dan mereka bekerja untuk kepentingan siapa. Mungkin dendam yang sudah lama terpendam, tetapi mungkin ada hubungannya dengan pemerintahannya. Mungkin ada pihak yang tidak menghendakinya berkuasa terus di Mataram atau mungkin salah satu daerah yang berada dalam lingkungan Mataram yang ingin memindahkan pusat pemerintahan.
Panembahan Senapati memang tidak menutup kemungkinan itu terjadi, la sadar sepenuhnva, sebagai manusia ia mempunyai banyak kekurangan. Karena itu, maka ketidak puasan itu mungkin saja terjadi. Dan langkah-langkah yang diambil
oleh orang-orang yang tidak puas itu dapat bermacam-macam.
" Mungkin seseorang beranggapan bahwa tanpa Panembahan Senapati, Mataram sama sekali tidak berarti "berkata Panembahan Senapati itu kepada diri sendiri.
Meskipun Panembahan Senapati itu merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama, namun ia tidak menjadi lengah. Apalagi setelah ia mendapat laporan tentang peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Maka seolah-olah ia telah tergugah kembali untuk lebih berhati-hati.
Namun Panembahan Senapati tidak keluar dari biliknya. Ia menunggu orang itu datang. Dan iapun telah memerintahkan kepada para prajuritdalam Pasukan Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam untuk mengamati saja mereka dan memberikan isyarat jika orang itu benar-benar datang. Panembahan Senapati sendiri akan menemuinya.
Dalam pada itu, ketiga orang yang mendatangi istana itu-pun telah menjadi semakin dekat. Yang tertua diantara ketiga orang saudara seperguruan itupun berdesis " Berhati-hatilah. Mataram adalah satu lingkungan yang sangat berbahaya bagi kita. Jika Panembahan Senapati telah aku selesaikan, maka kita akan dapat mengacaukan seluruh Mataram dengan pasukan yang ada meskipun tidak dalam benturan gelar. Namun Mataram tentu akan menjadi ringkih dan pada saatnya Mataram akan digulung menjadi rata dengan tanah tanpa bekas. Maka bangkitlah satu kerajaan baru yang akan jauh lebih baik dan lebih berkuasa dari Mataram. Kerajaan yang akan melampaui kejayaan Pajang, Demak bahan Majapahit sekalipun. "
Kedua saudara seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi keduanya tidak mengerti bahwa dengan hapusnya Panembahan Senapati dari pimpinan pemerintahan, maka akan timbul satu kekuasaan yang akan lebih besar dari Mataram Demikianlah mereka bertiga semakin lama menjadi semakin mendekati istana Menurut pengamatan mereka, keadaan istana itu sama sekali tidak berubah. Tidak ada kesibukan yang meningkat untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi diluar tugas mereka sehari-hari. Sehingga dengan
demikian mereka menganggap bahwa Mataram benar-benar belum mencium rencana mereka untuk langsung memasuki istana dan bertemu dengan Panembahan Senapati.
Namun dalam pada itu. Raden Rangga yang sudah menunggu terlalu lama, ternyata benar-benar telah dicengkam oleh kejemuan. Karena itu, maka katanya kepada Glagah Putih perlahan-lahan " Kita akan melihat keluar dinding istana. Aku sudah tidak telaten menunggu. "
Glagah Putih mengangguk saja. Ia memang tidak mempunyai sikap apapun selain mengikuti saja langkah-langkah Raden Rangga yang gelisah. Mungkin kegelisahan itu tumbuh dari dalam dirinya dan oleh bayangan-bayangan yang mekar dari mimpinya.
Dengan sangat berhati-hati sebagaimana mereka masuk, maka merekapun telah keluar lagi. Tetapi demikian mereka bebas dari kemungkinan penglihatan para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus maka Raden Rangga itupun berkata " Kita akan menunggu di jalan yang mungkin dilaluinya jika mereka akan datang. Jika sampai dini hari kita belum melihatnya, maka kita akan perg, ke sungai itu lagi. "
Mandi dan barangkali tidur ditepian. "
Glagah Putih mengangguk kecil. Namun ia bertanya juga " Dari mana Raden Rangga mengetahui jalan yang akan dilewatinya" "
" Aku tahu dimana mereka meloncat masuk " jawab Raden Rangga " karena itu, kitapun akan dapat memperhitungkan, dari mana mereka akan datang. "
Glagah Putih masih saja mengangguk kecil Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Ketika mereka berada di halaman rumah dihadapan dinding yang lengang, Raden Rangga berbisik " Kau lihat pohon yang rimbun itu" "
" Ya Raden " jawab Glagah Putih.
" Pergunakan kemampuanmu melihat dengan tajam, alas dari ilmu Sapta Pandulu yang pada saatnya akan kau warisi juga " berkata Raden Rangga.
" Aku sudah melihatnya " jawab Glagah Putih.
" Disana mereka akan meloncat masuk seperti pernah aku katakan padamu " berkata Raden Rangga selanjutnya " menurut pendapatmu, untuk mencapai tempat itu, jalan manakah yang akan dilewatinya" "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya kemudian " Ada banyak kemungkinan Raden. Mungkin mereka akan mendekat melalui halaman disebelah. Mungkin menyusuri lorong sempit di tengah padukuhan ini. Mungkin lewat lorong disepanjang dinding istana itu. "
" Apakah mungkin mereka melewati lorong disepanjang dinding itu" " bertanya Raden Rangga.
Glagah Putih merenung sejenak Namun kemudian iapun menggeleng " agaknya tidak Raden Jalan itu terlalu terbuka. "
" Nah jika demikian, kau tentu dapat memperhitungkan, jalan manakah yang mungkin akan dilalui. " berkata Raden Rangga kemudian Glagah Putih mengerti, bahwa Raden Ranggapun berpendapat, orang yang akan memasuki istana itu agaknya akan melewati lorong di tengah-tengah padukuhan dissebelah istana itu. Lorong yang tidak terlalu besar , tetapi tidak terlalu terbuka sebagaimana lorong yang melekat dinding istana dan melingkarinya itu. Apalagi mulut lorong yang tidak terbuka karena dilindungi oleh pepohonan yang rimbun di halaman sebelah menyebelah itu hampir tepat dibawah pohon yang daunnya menggapai dinding istana dan merupakan tempat yang telah dipilih oleh orang yang tidak dikenal itu untuk memasuki istana.
" Marilah " berkata Raden Rangga tanpa menyebut arah Namun agaknya Glagah Putihpun telah mengetahui maksudnya
Keduanyapun kemudian mulai bergerak mendekati lorong yang dimaksudkan oleh Raden Rangga. Sambil merayap. Raden Rangga berkata " Kesalahan para prajurit dari Pengawal Khusus itu adalah, bahwa mereka menunggu didalam istana. Mereka tidak melihat keluar dan menyong song tamu-tamu itu. Agaknya ayahanda memang memerintahkan demikian, agar orang itu dapat langsung sampai kebilik. Tetapi bukankah hal itu sangat berbahaya bagi ayahanda, karena kita belum tahu tingkat kemampuan orang itu. Mungkin disisi ayahanda terdapat Kangjeng Kiai Pleret yang membuat ayahanda tenang. Tombak yang telah pernah menyayat lambung Arya Penangsang. Namun segala kemungkinan masih akan mungkin terjadi. "
Glagah Putih tidak menyahut. Namun ia menyadari, bahwa Raden Rangga benar-benar mencemaskan nasib ayahandanya, meskipun anak muda itu menyadari, bahwa ayahandanya adalah orang yang pilih tanding.
Sebenarnyalah, bahwa para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu telah mendapat perintah untuk mengawasi bagian dalam istana saja, terutama disekitar bilik peraduan Panembahan Senapati dan beberapa bilik yang penting lainnya. Memang mungkin orang itu salah pilih. Namun Panembahan Senapati sengaja memberikan ciri bagi biliknya dengan memberikan bau ratus yang wangi lebih tajam dari bilik-bilik yang lain. Kemudian membiarkan seseorang mampu mengintip lewat celah-celah din ding dan atap.
Tetapi Panembahan Senapatipun telah memerintahkan, jika para Pangawal Khusus atau Pelayan Dalam benar-benar melihat seseorang mendekati biliknya, maka mereka harus memberikan isyarat dengan menarik tali yang memang sudah dipasang sebelumnya, menggerakkan tirai. Namun tirai itu akan menyentuh tubuh Panembahan Senapati seandainya Panembahan Senapati itu sedang tertidur nyenyak, karena menurut perhitungan, untuk mencapai langsung bilik Panemahan Senapati itu hanya dapat dicapai melalui atap.
Beberapa saat lamanya Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Sementara itu, malampun telah mendekati dini hari. Didalam istana, para prajurit yang menunggupun mulai ragu-ragu. Agaknya seperti malam-malam sebelumnya, mereka tidak melihat apapun juga yang memasuki istana, sehingga karena itu, maka merekapun mulai disentuh oleh perasaan kantuk. Meskipun mereka masih tetap berusaha melakukan tugas mereka sebaik-baiknya,tetapi seperti malam sebelumnya, beberapa orang mulai menyandarkan tubuhnya ditempat mereka menunggu pada dinding atau pepohonan.
Diluar dinding istana Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah menjadi letih menunggu. Apalagi Raden Rangga yang telah melakukannya beberapa kali dan menjumpai keadaan serupa. Menunggu dan tidak ada apa-apa.
Namun pada saat kejemuan itu memuncak. Raden Rangga telah mendengar suara lembut berdesir disepanjang jalan padukuhan itu. Karena itu, maka iapun telah menggamit Glagah Putih dan memberikan isyarat agar ia berhati-hati.
Glagah Putih telah berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan pernafasannyapun seakan-akan telah terhenti karenanya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Raden Rangga, maka ia harus berusaha untuk mampu menyerap bunyi yang terjadi dari sentuhan tubuhnya meskipun tidak mutlak.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah lewat dilorong itu tiga orang. Tiga orang yang menurut penilaian Raden Rangga dan Glagah Putih tentu orang-orang pilih tanding.
Ketika ketiga orang itu mendekati mulut lorong, maka yakinlah Raden Rangga, bahwa ketiga orang itu tentu akan memasuki halaman istana.
Sejenak Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Dari tempat mereka yang telah mereka persiapkan sebelumnya, mereka mampu mengamati orang-orang yang bergerak dibawah sebatang pohon yang rimbun, yang daunnya menggapai dinding halaman istana.
Glagah Putih memang telah berusaha mempertajam penglihatannya. Dengan segenap kemampuan dan pengetahuan yang ada didalam dirinya. Hampir diluar dugaannya sendiri, bahwa tiba-tiba saja seolah-olah pandangannya menjadi semakin bening, meskipun masih tetap dalam kegelapan malam menjelang dini hari.
Dalam kegelapan itu Glagah Putih mampu melihat jelas gerak ketiga orang yang bersiap untuk melakukan sesuatu dibawah pohon yang rimbun itu. Bukan malam yang terasa menjadi terang. Malam tetap gelap. Apalagi dibawah pohon yang rimbun itu. Tetapi ia mampu melihat dengan jelas.
Glagah Putih menjadi agak bimbang atas kemampuan sendiri. Namun tiba-tiba saja ia teringat, bahwa ia pernah berendam dibelumbang, yang menurut Raden Rangga, akibatnya akan dapat mempercepat perkembangan yang terjadi didalam dirinya, terutama mengenai perkembangan ilmu. la memang belum pernah memusatkan diri dalam kemampuan pengamatan seperti yang dilakukan saat itu, sehingga ia belum pernah mencapai satu batas tertinggi dari kemampuan penglihatannya. Pada saat ia berada didalam hutan, ia memang sudah berusaha mempertajam penglihatannya dan memang hal itu terjadi. Tetapi ia tidak sempat memusatkan segenap kemampuannya khusus untuk mempertajam penglihatannya seperti yang di lakukannya saat itu.
Tetapi Glagah Putih tidak sempat memikirkannya lebih jauh. Ia melihat ketiga orang itu mulai bergerak. Dua orang dengan tangkasnya telah meloncat keatas dinding tepat dibawah rimbunnya dedaunan, sehingga keduanya seolah-olah telah hilang ditelan bayangan yang gelap, justru tanpa menimbulkan bunyi apapun juga. Dedaunan vang rimbun itupun sama sekali tidak berguncang oleh sentuhan itu.
Namun demikian, ketajaman penglihatan Glagah Putih masih tetap dapat menangkap bayangan itu. Ia melihat dengan jelas dalam gelap yang pekat dibawah bayangan dedaunan dua orang itu Lelah menyelinap dan hilang masuk kedalam lingkungan dinding istana.
Ketika Raden Rangga kemudian menggamitnya. Glagah Putih berpaling kearahnya sambil mengangguk kecil.
" Tinggal seorang diri " berkata Raden Rangga perlahan-lahan.
" Ya " desis Glagah Putih.
" Nasibnya ternyata jelek sekali " bisik Raden Rangga pula.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia bertanya " Kenapa Raden" "
" Ia akan mati ditempat itu " sahut Raden Rangga berbisik pula.
" Kenapa" " desak Glagah Putih.
" Kita harus mengurangi bahaya yang mungkin dapat mencelakai ayahanda. Dua orang itu agaknya akan memasuki bilik ayahanda dan langsung membuat perhitungan dengan caranya. Aku tidak tahu. Tetapi kitapun akan melihat, apa yang terjadi. Namun orang itu harus diselesaikan dahulu. " jawab Raden Rangga.
" Tetapi, apakah Raden Rangga sudah mendapat wewenang untuk melakukannya" " bertanya Glagah Putih pula.
" Wewenang apa dan dari siapa" Jika kita melihat seorang pencuri, apakah kita harus menunggu ijin dari pemilik rumah untuk menangkapnya" " Raden Rangga ganti bertanya.
" Tetapi keadaannya berbeda Raden " jawab Glagah Putih " mungkin ada persoalan lain yang menyangkut orang itu, sehingga ada cara lain untuk menindaknya. "
" Mungkin bagi mereka yang masuk " jawab Raden Rangga " tetapi orang itu berada diluar dinding. Orang itu tentu tidak masuk hitungan. Justru karena itu akan dapat menumbuhkan bahaya yang tidak terduga. "
Glagah Putih masih mencoba berkata " Jika demikian, marilah kita mencoba menangkapnya "
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian " Baiklah. Tetapi jika orang itu menjengkelkan, mungkin ia akan terbunuh juga. "
" Bukankah Raden tidak akan membunuh lagi" " bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga termangu-mangu. Namun kemudian katanya " Tidak. Aku memang tidak akan membunuh lagi jika tidak diperlukan. "
" Apakah Raden mengetahui batas antara diperlukan atau tidak diperlukan" " beranya Glagah Putih pula.
Raden Rangga menggeleng. Jawabnya dengan nada rendah sekali, sehingga hampir tidak terdengar " Aku memang tidak mengetahuinya. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia berkata selanjutnya " Nah, jika demikian, apakah tidak lebih baik jika Raden tidak melakukannya lagi terhadap sasaran yang meragukan" "
Raden Rangga termenung sejenak. Namun kemudian katanya " Aku tidak berniat untuk membunuhnya. Aku akan menangkapnya. Tetapi jika ia mati, itu adalah salahnya sendiri. "
Glagah Putih tidak dapat mencegahnya lagi. Tiba-tiba saja Raden Rangga sudah meloncat keluar dari persembunyiannya.
Orang yang tinggal seorang diri, yang sedang bergeser untuk menyelinap kehalaman disebelah lorong yang meling kari istana itupun terkejut. Ternyata kehadirannya telah diketahui oleh seseorang.
Karena itu, maka iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Raden Ranggapun mendekatinya. Tetapi Raden Rangga itu terkejut ketika ia melihat orang itu telah melepaskan seekor burung dan yang kemudian terbang menghilang kedalam gelap.
Namun Raden Rangga sadar, bahwa sejenak kemudian telah terdengar suara burung bence yang seolah-olah ber putar-putar diatas istana itu.
" Hem " desis Raden Rangga " orang itu telah melepaskan isyarat kepada kedua orang kawannya yang telah berhasil memasuki halaman.
Sebenarnyalah suara burung bence itu telah mengejutkan kedua orang kawannya yang telah berada didalam halaman. Mereka menyadari, bahwa dengan demikian, maka kawannya yang berada di luar istana memberikan isyarat, agaknya ada orang diluar istana yang melihat kehadirannya.
" Cepat " berbisik orang yang berniat bertemu dengan Panembahan Senapati " biarlah ia menyelesaikan orang itu. Kaupun harus berhati-hati. Jika saudara kita gagal maka ada kemungkinan yang pahit yang terjadi pada tugas yang kita lakukan. Kita harus mampu mencari jalan keluar. Tetapi sebaiknya aku segera memasuki bilik Panembahan Senapati. Jika aku sudah berada didalam bilik itu, aku tidak peduli apa yang terjadi diluar. Aku akan membunuhnya, meskipun kemudian seisi istana ini akan mengeroyokku . Tanpa Panembahan Senapati, aku tentu akan berhasil melepaskan diri. Kau harus mencari jalanmu sendiri, jika kau juga menemui kesulitan. "
Saudara seperguruannya itu mengangguk. Iapun memiliki kepercayaan kepada kemampuan sendiri, sehingga jika saudara seperguruan itu sudah mencapai bilik Panembahan Senapati, maka ia akan dapat mengambil langkah-langkah sendiri.
Isyarat itu telah mempercepat gerak kedua orang yang berada didalam lingkungan istana. Mereka masih berharap bahwa saudaranya yang berada diluar dapat menyelesaikan orang atau mungkin prajurit yang melihatnya. Bahkan keduanya yakin, bahwa saudara seperguruannya itu tidak akan membuka rahasia kehadiran mereka berdua jika orang yang mengetahui kehadirannya itu, tidak melihat sendiri keduanya yang memasuki istana itu.
Ketika keduanya sampai di sekat dinding halaman, maka yang tertua diantara mereka berkata " Kau berada
disini. Jika seseorang melihat kehadiranmu, kau harus memberi isyarat juga sebagaimana kita sepakati agar aku tahu, apa yang harus aku lakukan. "
Saudara seperguruannya yang lebih muda itu mengangguk. Iapun segera menempatkan dirinya, sementara yang tertua diantara mereka telah meloncat didalam kege lapan menuju kearah yang sudah dikenalinya.
Sejenak kemudian orang itupun telah berada disudut istana. Seperti yang direncanakan maka orang itupun segera meloncat keatas atap istana itu.
Menurut dugaan kedua orang itu, tidak seorangpun melihat kehadiran mereka didalam istana itu. Karena itu, maka setelah saudara seperguruannya yang tertua itu sudah berada diatas atap istana, maka rasa-rasanya tugas-nyapun telah selesai. Ia yakin, bahwa saudaranya akan dapat mencapai tujuannya, bilik Panembahan Senapati.
Sebenarnyalah orang itu memiliki ketajaman pengamatan. Ketika ia berada diatas atap, maka penglihatannya yang melampaui ketajaman penglihatan wadag telah melihat cahaya yang nampak pada atap istana itu, sehingga dengan demikian maka orang itupun segera mengetahui bahwa dibawah cahaya yang dilihatnya dengan penglihatan batinnya itu, tentu bangsal Perbendaharaan Pusaka Mataram.
Karena itu, maka ia harus menemukan bilik yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati.
Pengamatan sebelumnya telah memberikan ancar-ancar kepadanya, dimana ia harus mencarinya.
Namun ternyata bahwa orang itu memiliki ketajaman penglihatan dan perhitungan. Ketika ia melihat cahaya teja dari sebuah pusaka yang tidak berada di bangsal Perbendaharaan Pusaka, maka iapun berdesis " Tentu di tempat itu Panembahan Senapati beradu. Cahaya itu tentu berasal dari teja Kangjeng Kiai Pleret. "


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tangkas dan kemampuan ilmu yang sangat
tinggi, maka orang itupun merayap diatas atap langsung menuju keatas bilik Panembahan Senapati.
Ternyata orang itu tidak perlu mencari. Ketika ia berusaha mencari lubang yang mungkin untuk dapat melihat kedalam, maka orang itupun akhirnya menemukannya. Di-antara dinding kayu dan atap memang terdapat celah-celah yang dapat dipergunakannya untuk melihat.
" Panembahan Senapati sedang tidur " berkata orang itu didalam hatinya " aku tidak akan memberinya kesempatan meraih pusakanya Kangjeng Kiai Pleret. "
Dengan sangat hati-hati beralaskan ilmunya, termasuk diantaranya kemampuannya menyerap bunyi yang timbul dari sentuhan dirinya, sebagaimana disebut oleh Raden Rangga kepada Glagah Putih, orang itu berusaha untuk membuka atap bilik peraduan Panembahan Senapati.
Pada saat yang demikian, Raden Rangga tengah berusaha untuk menangkap orang yang ditinggalkan diluar dinding istana itu.
Namun orang itu yang merasa juga berilmu tinggi, tentu saja tidak membiarkan diri menjadi orang tangkapan. Karena itu, orang itu justru berkata " Salahmu bahwa kau berusaha mencampuri persoalan kami dengan Panembahan Senapati. Tetapi karena kau sudah terlanjur melihat aku, maka kau memang harus mati. Dengan demikian maka aku tidak akan merasa terganggu lagi.
" Jika aku mencampuri persoalan kalian dengan Panembahan Senapati, itu bukan berarti bahwa persoalan itu persoalan orang lain bagiku " jawab Raden Rangga, dan iapun kemudian berkata apa adanya " Aku berhak untuk mencampurinya. -
" Anak ingusan " berkata orang itu " kau memang dititahkan dengan umur yang pendek. Tidak ada kesempatan lagi bagimu untuk tetap hidup. Sekali lagi, salahmu atas sifatmu yang selalu ingin tahu."
" He, apakah kau tuli " bentak Raden Rangga " aku berhak mencampuri persoalan ini. Aku adalah putera Panembahan Senapati. "
" He " orang itu terkejut. Namun kemudian ia berkata " Aku tidak tahu, langkah apakah yang telah membawamu kemari. Nampaknya kau memang dengan sengaja melibatkan diri karena kau merasa bahwa kau adalah anak Panembahan Senapati. Jika demikian, Mataram memang akan terhapus dari muka bumi. Panembahan Senapati akan mati, dan anak laki-lakinya akan mati juga.
" Aku bukan anak laki-laki yang berhak untuk menggantikan kedudukannya. Aku merasa, bahwa ibuku bukan permaisuri sebagaimana sudah diketahui oleh orang-orang Mataram. " jawab Raden Rangga " karena itu kematianku tidak berarti apa-apa bagi Mataram dan kelangsungan keturunan Panembahan Senapati yang akan memerintah. Namun adalah menjadi kewajiban seorang anak untuk menunjukkan baktinya kepada orang tuanya. Dan aku akan melakukannya sekarang. Menangkapmu. Jika kau menolak dan melawan, mungkin kau akan mati. Dan itu bukan salahku. "
Orang itu menggeram. Namun ia tidak mau banyak kehilangan waktu. Jika anak itu benar-benar anak Panembahan Senapati, maka agaknya ia tidak sendiri. Atau jika ia sendiri, mungkin akan segera datang pengawalnya untuk mencarinya.
" Tetapi anak ini memang gila. Ia memasuki arena tanpa mengetahui siapa lawannya dengan tidak membawa seorang pengawalpun. " berkata orang itu didalam hatinya. Namun kemudian katanya " Aku tidak peduli. Aku harus membunuh nya. "
Sejenak kemudian orang itu sudah menyerang Raden Rangga. Ia benar-benar ingin membunuh anak muda itu, karena anak itu akan dapat menjadi sangat berbahaya baginya.
Namun yang diserangnya adalah Raden Rangga yang sudah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan itupun sama sekali tidak mengenainya.
Dengan demikian, maka pertempuranpun telah mulai menyala. Orang yang tidak dikenal itu telah menyerang Raden Rangga dengan garangnya. Ia berpendapat, bahwa perkelahian
tidak akan berlangsung lama. Anak muda itu tentu akan segera diselesaikannya meskipun ia anak Senapati. Seberapa jauh anak seumurnya mampu menyerap ilmu dari seorang guru yang betapapun tuntas pengetahuan dan ilmu olah kanuragannya. Bahkan dua atau tidak orang guru sekalipun yang mengajarinya bersama-sama.
Tetapi orang itu mulai menjadi gelisah ketika ternyata serangan-serangannya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Anak muda itu mampu bergerak cepat sekali. Berloncatan seperti burung sikatan menyambar bilalang. Menukik dalam sekejap dan kemudian melenting tinggi. Berputar dan menyambar dengan cepatnya mematuk mangsanya
Dalam waktu yang pendek ternyata bahwa anggapan orang yang tidak dikenal itu terhadap Raden Rangga keliru.
Kerena itu, maka orang itupun mulai menyadari, bahwa anak Panembahan Senapati itu tentu bukan anak muda kebanyakan. Seusia anak muda itu maka ia tidak akan mampu bertahan dua tiga kejap menghadapi ilmunya pada tataran itu.
Namun ternyata ia berhadapan dengan anak muda yang
lain. Dengan demikian maka iapun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak bertahan pada tataran itu atas ilmunya. Setapak demi setapak ditingkatkannya kemampuan ilmunya menuju kepuncaknya.
Tetapi orang itu memang menjadi sangat heran. Meskipun ilmunya sudah meningkat semakin tinggi, namun ia tidak segera mampu mengalahkan, apalagi membunuh anak muda itu. Bahkan anak muda itupun telah meningkatkan ilmunya pula seimbang dengan tataran ilmu lawannya.
" Apakah anak Panembahan Senapati ini mempunyai ilmu iblis " geram orang itu didalam hatinya.
Karena itulah, maka orang itu tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu. Bahkan orang itu akhirnya menganggap perlu untuk mengerahkan segenap kemampuan ilmunya.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya mampu bergerak cepat dan tenaga merekapun menjadi sangat besar. Dilindungi oleh bayangan rimbunnya dadaunan, maka keduanya bertempur dengan sengitnya.
Namun Glagah Putih mampu mengikuti pertempuran itu dengan jelas. Sekali-sekali ia menahan nafasnya melihat kecepatan gerak keduanya. Sekali-sekali ia menggeretakkan giginya. Namun setiap kali Glagah Putih itupun menarik nafas dalam-dalam. Raden Rangga memang seorang anak muda yang sulit dicari bandingannya.
Sementara itu, seorang yang lain, yang berada didalam dinding istana menganggap bahwa saudaranya yang tertua tentu sudah menemukan bilik Panembahan Senapati, karena tidak ada isyarat kegagalan apapun yang didengarnya. Karena itu, maka iapun telah beringsut surut. Dengan sangat berhati-hati ia berusaha untuk tanpa menimbulkan kemungkinan memancing perhatian siapapun juga, meninggalkan tempat itu. Justru karena isyarat burung bence yang didengarnya, maka iapun telah meningkatkan kewaspadaannya.
Orang itu bukannya tidak dapat berpikir sama sekali. Jika saudara seperguruannya di luar dapat diketahui oleh seseorang, maka iapun tentu dapat juga dilihat oleh seseorang. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk meninggalkan tempatnya. Tetapi ia berusaha untuk mengambil jalan lain. Itulah sebabnya, maka pada satu saat ia telah terlepas dari pengawasan dua orang prajurit dari pasukan Pengawal Khusus.
Tetapi sebagaimana perintah Panembahan Senapati, maka yang terpenting adalah justru orang yang akan mene muinya Karena itu, ketika para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus melihat seseorang mengambil arah yang benar menuju ke bilik Panembahan Senapati, maka perhati an mereka hampir seluruhnya tertuju kepada orang itu. Orang itu tidak boleh lolos dari lingkungan istana. Ia harus tertangkap dan dari padanya akan dapat disadap keterangan tentang kelompoknya atau gerombolannya atau
mungkin salah seorang Adipati yang tidak sesuai dengan pemerintahan Panembahan Senapati.
Namun agaknya bahwa orang yang berada di halaman itu bagaikan lenyap dari penglihatan kedua orang prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu, telah membuat keduanya kebingungan.
" Kita harus mencarinya " desis yang seorang. Keduanya berusaha untuk beringsut agar mereka dapat melihat kearah yang berbeda dari halaman itu.
Tietapi justru karena itulah, maka orang yang mereka awasi itu telah melihat keduanya.
Orang yang memasuki lingkungan istana itupun orang yang berilmu tinggi. Itulah sebabnya, maka ia mampu menembus pengawasan kedua orang prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Dengan sangat berhati-hati melalui jalan lain, orang itu telah meninggalkan tempatnya.
Ketika sudah melewati waktu yang ditentukan tanpa adanya satu isyarat apapun, maka orang itu telah memastikan bahwa saudaranya yang tertua yang membawa pusaka yang paling dihormati di padepokannya telah berhasil menemukan dan bahkan mungkin memasuki bilik Panembahan Senapati.
Karena itu, maka timbullah niatnya untuk meninggalkan lingkungan dan kembali melihat saudaranya yang ditinggalkannya diluar dinding dan yang telah memberikan isyarat kepadanya bahwa seseorang telah melihatnya.
Dengan kemampuannya yang tinggi, maka orang itu berhasil lolos dari pengamatan kedua orang dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Apalagi sebagian besar dari pengamatan Pasukan Pengawal Khusus ditujukan kepada orang yang menuju ke bilik Panembahan Senapati itu dan bahkan kemudian telah mengepungnya.
Karena orang yang menunggu itu dianggap kurang penting, maka akhirnya orang itu berhasil meloloskan diri. Karena ia telah melihat-lihat suasana istana itu, maka iapun
telah berhasil menghindari para prajurit dalam tugas me reka sehari-hari. Apalagi para prajurit itu memang tidak mengetahui, bahwa ada beberapa orang yang telah menyusup kedalam lingkungan istana.
Karena itu ketika dua orang Pengawal Khusus datang kepada prajurit yang berada di regol, maka para prajurit diregol itupun telah melaporkan, bahwa malam itu keadaannya tenang dan tidak ada sesuatu kelainan dari malam-malam sebelumnya.
Kedua Pengawal Khusus itupun tidak dapat bertanya lebih banyak. Mereka memang tidak mengetahui, bahwa malam itu telah terjadi sesuatu yang menegangkan di bagian dalam istana.
Kedua Pengawal Khusus itupun kemudian telah melaporkan kepada Senapati yang memimpin pengamatan itu dalam keseluruhan. Wajah Senapati itu memang menjadi tegang. Bahkan Senapati itu telah menjadi marah.
" Cari orang itu sampai ketemu. Kalian harus bertanya kepada Pengawal Khusus yang mengamati jalan yang dilalui pada saat mereka memasuki lingkungan istana ini " perintah Senapatinya.
Tetapi dua orang Pengawal Khusus yang mengamati lorong di longkangan dalam di lingkungan istana itu belum melihat seorangpun yang keluar setelah dua orang memasuki tempat itu.
" Jika demikian mereka kedua-duanya tentu masih ada didalam " berkata salah seorang Pengawal Khusus yang kehilangan buruannya.
Karena itulah, maka kemudian telah diperintahkan beberapa orang untuk melakukan pengintaian didalam ling kungan istana.
Tetapi orang itu ternyata telah meloncat keluar. Tidak melalui jalan saat ia masuk. Tetapi ia telah mengambil jalan lain.
Ketika orang itu sudah berada diluar dinding istana.
dengan tergesa-gesa ia telah mencari kawannya. Namun ia tidak menemukan kawannya itu ditempatnya.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun dengan teliti ia telah mengamati keadaan. Dedaunan dan dinding halaman disekitar tempat itu. Gerumbul-gerumbul dan jejak ditanah. Ternyata bahwa ia dapat menelusuri jalan yang benar, menuju ketempat yang dicarinya.
Akhirnya orang itu tertegun. Ia melihat pertempuran yang sengit disebuah kebun kosong yang luas yang sudah menjadi agak jauh dari dinding istana. Agaknya baik Raden Rangga maupun lawannya menghendaki perkelahian itu bergeser menjauh, sehingga akhirnya keduanya telah terperosok kedalam halaman kosong yang luas yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar, rumpun-rumpun bambu dan pepohonan yang tidak teratur.
Orang yang telah menemukan kawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mendekati arena dan berkata " Bagus. Agaknya kau telah mendapat lawan yang berilmu mapan. "
" Anak Panembahan Senapati " berkata saudara seperguruannya.
" Pantas. Agaknya ia berilmu tinggi " sahut yang baru datang.
Namun dalam pada itu Raden Rangga menjawab " Aku memang sedang menjajagi ilmu kawanmu ini. Jika aku sudah yakin, baru aku akan membunuhnya. Aku tidak tergesa-gesa, apalagi setelah kami menjauhi dinding istana. "
Lawan Raden Rangga itu menggeram. Ia merasa terhina oleh jawaban itu. Karena itu, maka iapun telah menghentakkan ilmunya menyerang Raden Rangga.
Raden Rangga meloncat menghindar Namun ternyata bahwa sekejap kemudian ialah yang telah menyerang lawannya.
Ternyata lawannyapun mampu bergerak cepat, dengan tangkas iapun telah menghindar.
Dalam pada itu, orang yang baru keluar dari istana itupun kemudian berkata " Waktu kita tidak banyak. Jika kau ingin membunuh anak itu, bunuhlah. Sebentar lagi fa jar akan menyingsing. "
" Baiklah " berkata orang itu " aku akan membunuhnya sebelum fajar. Mudah-mudahan Panembahan Senapati-pun terbunuh pula sebelum fajar. "
" Aku yakin " jawab yang lain.
Sementara itu Raden Rangga menyahut " He, siapakah yang menentukan akhir dari pertempuran ini" Aku atau kau" Menurut aku, kaulah yang akan terbunuh. Bukan aku. "
Persetan " geram lawan Raden Rangga itu.
Namun ketika ia meningkatkan kemampuannya, ternyata bahwa ia tidak segera mampu mengatasi kemampuan anak muda itu. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu masih belum nampak tanda-tanda akan berakhir.
Dengan demikian maka orang yang baru datang itu menjadi gelisah. Jika para prajurit didalam istana menjadi ribut karena kematian Panembahan Senapati, serta saudaranya itu berusaha melepaskan diri dan meninggalkan istana, maka para prajurit itu tentu akan mencarinya keseluruh sudut kota. Jika perkelahian di halaman kosong itu masih belum berakhir, maka justru merekalah yang akan terjebak oleh kegiatan para prajurit Mataram itu. Bahkan mungkin mereka berdua tidak akan dapat melepaskan diri sebagaimana dilakukan oleh saudaranya yang tertua yang memegang pusaka tertinggi dari padepokannya.
Karena itu, maka katanya " Kenapa kau tidak segera melakukannya" "
Saudara seperguruannya itu mengumpat didalam hati. Bukan karena ia tidak segera melakukan. Tetapi ia tidak mampu berbuat sebagaimana dikehendaki. Ternyata bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki ilmu yang tinggi.
Bahkan ketika ia sudah sampai pada puncak kemampuannya, ternyata bahwa ia masih belum mampu mendesak lawannya. Anak yang masih sangat muda itu mampu mengimbangi tingkat ilmunya. Bahkan terasa beberapa kelebihan yang membuatnya menjadi gelisah pula.
Beberapa saat kemudian saudara seperguruannya yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya " Baiklah. Jika kau tidak sampai hati membunuh anak Panembahan Senapati itu, biarlah aku yang melakukannya. "
" Biarkan aku membunuhnya " berkata orang yang sedang bertempur itu.
" Jika demikian cepat lakukan " sahut saudara seperguannya.
Jantung orang yang bertempur melawan Raden Rangga itu akan meledak oleh perasaan yang bercampur baur didalam dadanya. Ia memang merasa bahwa ilmu anak itu terlalu tinggi. Pengakuan itu membuatnya semakin gelisah. Sementara itu iapun menyadari bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Namun untuk menyerahkan anak itu dibunuh bersama-sama, harga dirinya agaknya telah tersinggung.
Namun dalam keadaan yang demikian, justru terdengar Raden Rangga tertawa. Katanya " Jangan menjadi bingung. Karena itu menyerah sajalah. Kau akan tetap hi dup dan barangkali sekali-sekali dipukuli agar kau mengatakan siapakah kau sebenarnya.
" Persetan " teriak orang itu sambil meloncat menyerang. Namun lawannya yang masih sangat muda itu mampu mengelak sambil berkata " Uh, kau sangka seranganmu ini cukup berarti" "
Orang itu menjadi semakin marah. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu lawannya itu memang sangat tinggi.
Saudara seperguruannya yang tidak terlibat kedalam pertempuran itupun memang melihat, bahwa ilmu anak
muda itu memang sangat tinggi. Karena itu, maka katanya " Biarlah kita segera menyelesaikannya. Jika kau memang tidak sampai hati, biarlah aku yang melakukannya.
Orang yang sedang bertempur itu tidak menolak lagi. Karena itu katanya " Lakukanlah. Ia masih terlalu muda untuk dibunuh.
" Nah, sebaiknya kau serahkan kepadaku agar perkelahian ini tidak berkepanjangan, sementara langit akan segera menjadi merah. " sahut saudara seperguruannya sambil bergerak selangkah maju.
Namun tiba-tiba saja langkahnya tertegun ketika ia mendengar desir kaki melangkah mendekat. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya seseorang berdiri didalam bayangan dedaunan.
" Siapa kau" " bertanya orang itu.
"Aku bukan putera Panembahan Senapati. Tetapi aku seorang anak padesan yang kebetulan mendapat kesempatan mengikuti putera Panembahan Senapati itu. " jawabnya.
" Siapa namamu" " bertanya orang itu.
Hampir saja Glagah Putih menyebut namanya. Tetapi Raden Rangga telah mendahului " Anak padesan tidak pernah punya nama. Siapa saja dapat dipergunakan untuk memanggilnya. "
" Anak setan " geram orang yang bertanya itu " lalu kau, mau apa" "
Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya Raden Rangga yang masih bertempur itu, seakan-akan minta pertimbangannya. Ternyata Raden Ranggapun sempat memperhatikannya dan berkata " Lakukanlah. Bukankah kau minta ijin untuk menghadapinya" Bukan karena aku tidak mampu membunuh mereka berdua. Tetapi sebaiknya kau ikut dalam permainan ini agar kau tidak menjadi kedinginan. "
Glagah Putih memang agak ragu-ragu. Tetapi justru
karena kata-kata Raden Rangga itu, hatinya memang telah digelitik untuk melakukannya.
Orang yang baru keluar dari lingkungan istana itu menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa telah hadir seseorang yang lain yang akan ikut campur pula dalam persoalan itu. Seorang yang juga masih muda sekali.
Dalam pada itu Glagah Putihpun telah maju selangkah sambil berkata " Ki Sanak. Aku telah mendapat ijin. Karena itu, biarlah kau tidak usah mencampuri pertempur an antara putera Panembahan Senapati itu dengan kawanmu. Jika kau merasa kedinginan dan ingin berkelahi untuk menghangatkan tubuhmu, marilah, lawanlah aku. "
" Anak setan " geram orang itu " kau kira kau ini siapa he" " Kau kira kau akan mampu melawan aku" "
" Entahlah " jawab Glagah Putih " aku tidak tahu, apakah aku mampu atau tidak. Tetapi aku ingin mencobanya. Aku akan berkelahi. "
Orang itu benar-benar menjadi marah. Apalagi menurut perhitungannya, langitpun akan menjadi merah oleh cahaya fajar.
Karena itu, maka ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Iapun segera menyingsingkan lengan baju dan berkata " Baiklah. Jangan menyesal disaat Kematianmu tiba. "
*** Jilid 205 TERNYATA Glagah Putih tidak sempat menjawab. Orang yang marah itupun telah meloncat dan menyerangnya. Ia benar-benar ingin segera membunuh Glagah Putih, agar iapun dengan cepat membunuh putera Panembahan Senapati itu pula. Menurut perhitungannya maka anak itu tidak akan memiliki kemampuan setinggi anak Panembahan Senapati yang tidak segera dapat dikalahkan oleh saudara seperguruannya.
Glagah Putih mernang agak terkejut. Tetapi ia masih sempat menghindari serangan itu, meskipun hampir saja ia terjatuh.
Orang yang menyerang itu memang menjadi semakin marah, bahwa ia tidak dapat langsung melumpuhkan anak yang dengan sombong mencoba mengganggunya itu.
Dengan cepat orang itu telah bersiap untuk menyerang. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putihpun telah bersiap pula. Justru ia menjadi semakin berhati-hati menghadapi lawannya itu.
Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ketika orang itu menyerang dengan segenap kemampuannya, agar segera dapat mem"bunuh Glagah Putih, maka Glagah Putihpun telah mengimbanginya. Meskipun agak terkejut juga karena tiba-tiba saja lawannya telah berada dipuncak kemampuan, maka Glagah Putihpun telah menghentakkan ilmunya pula.
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang telah memiliki dasar kemampuan yang mumpuni. Dalam permaiannya yang khusus dengan Raden Rangga, maka setiap kali Glagah Putih telah terpaksa menghentakkan kemampuannya dengan sepenuh daya kekuatan di dalam dirinya untuk memancarkan kemampuannya itu melampaui kewajaran dan tataran yang sedang dititinya. Namun setiap kali ia berhasil membuat loncatan-loncatan yang tidak diperolehnya dengan latihan yang wajar.
Setiap kali ia berlatih bersama Raden Rangga, maka setiap kali ia haras memaksa diri untuk melakukan sesuatu diatas tataran kemampuannya. Namun ternyata bahwa dengan memaksa diri itu ia selalu berhasil meningkan ilmunya walau hanya selapis.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara Glagah Putih dengan lawannya itupun langsung berada pada tataran tertinggi dari ilmu masing-masing. Lawan Glagah Putih itu ternyata mampu membuat Glagah Putih menjadi agak kebingungan karena kecepatannya bergerak. Namun akhirnya Glagah Putihpun mampu menyesuaikan dirinya. Ia menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati. Ia mencoba mengamati setiap perubahan sikap kaki dan gerak. Dengan demikian maka Glagah Putih mulai dapat membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putihpun mampu menyesuaikan dirinya.
Lawannya memang benar-benar menjadi heran. Bahwa anak muda yang bukan putera Panembahan Senapati itupun mampu mengimbangi ilmunya. Karena itu, maka akhirnya orang yang memang ingin dengan cepat membunuh Glagah Putih itu telah memutuskan untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya.
Ketika Glagah Putih dengan tangkas melenting menghindari serangannya, maka orang itupun telah mengetrapkan ilmunya itu. Kakinya telah dihentakkannya ke tanah sehingga tanahpun bagaikan tersirat memancar kearah Glagah Putih, seperti air saja yang ditepuk dengan kerasnya kesatu arah tertentu.
Glagah Putih terkejut sekali. Ia sadar, bahwa tanah itu tentu bukan sekedar tanah yang dibaurkan begitu saja, karena dilakukan atas landasan ilmu tertentu. Karena itu, maka sekali lagi Glagah Putih telah melenting dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada didalam dirinya.
Ternyata Glagah Putih mampu melenting jauh lebih panjang dari yang diperkirakannya sendiri, keluar dari taburan tanah yang menghambur karena kaki lawannya.
Namun lawannya telah melakukannya sekali lagi. Sambil meloncat maju ia telah menghentakkan kakinya diatas tanah. Dan segumpal tanahpun telah menghambur lagi kearahnya. Dengan demikian maka sekali lagi Glagah Putih harus melenting untuk menghindar.
Tanah yang terhambur yang menghantam rumpun bambu dan pepohonan itupun telah menimbulkan suara bagaikan prahara. Ranting-ranting dan carang-carang, bahkan beberapa batang bambupun telah berpatahan.
Yang kemudian terdengar adalah suara Raden Rangga lantang dari lingkaran pertempuran yang terpisah. "Dahsyat sekali. He, kau belajar dari siapa?"
"Persetan." geram lawan Glagah Putih itu. Namun sebenarnyalah hatinya telah terguncang melihat lawannya yang masih muda itu mampu menghindari serangannya yang dilakukan sampai dua kali. Ia tidak menyangka bahwa seseorang, apalagi yang masih sangat muda, mampu meloncat sedemikian jauhnya.
Dalam pada itu, lawan Raden Rangga, yang juga seperguruan dengan lawan Glagah Putih itupun mampu pula melakukan sebagaimana dilakukan oleh saudara seperguruannya itu. Namun ternyata bahwa ia masih belum mempergunakannya, bahkan ragu-ragu.
"Suara gemeresak itu akan dapat mengundang perhatian." berkata orang itu di dalam hatinya.
Namun ternyata saudara seperguruannya yang baru datang itu telah melakukannya.
"Kau dapat memanggil para prajurit." desis lawan Raden Rangga.
"Persetan." geram saudara seperguruannya, "jika mereka segera terbunuh, maka kita akan dengan cepat meninggalkan tempat ini. Tetapi jika kau tidak sampai hati melakukannya atas anak itu, akulah yang akan melakukannya."
Saudara seperguruannya yang bertempur melawan Raden Rangga itu masih saja ragu-ragu. Ia mengakui bahwa lawannya benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Jika ia melakukannya, maka justru akan merugikannya. Suara gemeresak dan lawannya akan dapat menghindar sebagaimana ternyata pada anak muda yang seorang itu.
Menurut perhitungannya, lebih baik melarikan diri meninggalkan arena itu daripada dikepung oleh prajurit Mataram dan kemudian menjadi tangkapan.
Namun saudara seperguruannya masih juga berusaha menyerang Glagah Putih. Sekali lagi ia menjejakkan kakinya ditanah dan membaurkan tanah yang menghantamnya.
Tetapi sekali lagi Glagah Putih menghindar. Ia memang mampu meloncat beberapa langkah lepas dari sen tuhan serangan lawannya walau hanya sebutir kerikil kecil sekalipun.
Namun Glagah Putih tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan yang berbahaya itu. Ketika terdengar suara prahara karena tanah yang memancar itu menghantam pepohonan dan rumpun-rumpun babu sehingga berpatahan, Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya.
Sementara itu, lawan Raden Ranggapun agaknya terdorong pula untuk melakukannya. Ia tidak dapat melarikan diri sendiri dan meninggalkan saudara seperguruannya. Sementara itu ia mengerti benar sifat saudara seperguruannya itu, bahwa ia tentu tidak akan mau meninggalkan arena itu sebelum membunuh lawannya.
Meskipun lawan Raden Rangga itu menyadari, bahwa serangannya akan sia-sia, namun iapun melakukannya juga. Dihentakannya kakinya di tanah dan berbaurlah tanah bagaikan dilontarkan menebar kearah Raden Rangga.
"O" suara Raden Rangga melengking, bahkan kemudian terdengar ia tertawa, "kau juga ikut bermain-main seperti itu."
"Gila." geram lawannya. Namun ia tidak melakukannya lagi. Ia justru mengerahkan kemampuannya pada kecepatan gerak yang memungkinkannya menghindari serangan-serangan anak muda itu. Bahkan setiap kali ia telah didorong satu keinginan untuk melarikan diri. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan pertempurannya dengan anak yang masih terlalu muda yang menyebut dirinya putera Panembahan Senapati itu.
Namun sementara itu, saudara seperguruannya masih saja melakukannya. Ia masih saja menyerang Glagah Putih dengan ilmunya yang bagaikan menimbulkan prahara. Bukan karena guncangan angin yang deras memutar dedaunan, tetapi karena semburan tanah yang berbaur menghantam pepohonan. Meskipun pepohonan itu memang terguncang, tetapi karena batang-batangnyalah yang berpatahan.
Dalam keadaan yang demikian, Glagah Putihpun telah bertekad untuk membalas serangan itu. Karena itulah, maka dalam kesempatan yang terbuka, Glagah Putih tidak berusaha menjauhi lawannya. Tetapi ia justru meloncat dengan cepatnya mendekatinya. Menurut pengamatannya, lawannya memerlukan waktu untuk mempersiapkan serangan berikutnya dari serangan sebelumnya. Dan waktu itu dapat dipergunakan oleh Glagah Putih.
Lawannya terkejut melihat kecepatan gerak Glagah Putih yang seperti bayangan yang terbang mendekat. Sebelum ia sempat melakukan serangan berikutnya, Glagah Putih telah berada disebelahnya mengayunkan ikat pinggangnya.
Dengan gugup lawannya itu terpaksa meloncat menghindar. Namun orang itupun telah dikejutkan karena ikat pinggang anak muda itu hanya tidak mengenainya telah membentur sebatang pohon. Pohon yang tidak terlalu besar itu telah terguncang. Bahkan pohon itupun kemudian telah roboh hampir menimpa dirinya.
Glagah Putih tidak membiarkannya lawannya mendapat kesempatan. Justru karena Glagah Putih berusaha melindungi dirinya dari serangan yang sangat berbahaya itu, maka iapun telah kehilangan kendali atas pelepasan ilmunya, lewat ayunan ikat pinggangnya.
Karena itulah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih telah melenting menyusul orang yang sedang menghindarkan diri dari batang yang roboh itu. Satu ayunan yang keras mengarah kelambung lawannya.
Lawannya memang berusaha mengelak. Tetapi malang baginya, ujung ikat pinggang itu masih menyentuhnya. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Bahkan kemudian umpatan kasar. Yang terkena ujung ikat pinggang Glagah Putih adalah lambung orang itu meskipun hanya segores dan justru tangannya sebelah kiri. Tulang tangannya itu bagaikan telah menjadi remuk karenanya, sementara itu lambungnyapun telah terkoyak.
Orang itu meloncat surut untuk mengambil jarak, tetapi Glagah Putih justru telah memburunya. Sekali lagi Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya. Dan sekali lagi Glagah Putih mengenainya meskipun lawannya berusaha menggeliat menghindar. Ujung ikat pinggang Glagah Putih telah menyentuh dada orang itu.
Di dada orang itupun telah menganga luka sejengkal. Tetapi yang paling parah adalah, hentakan itu bagaikan telah menghimpit dadanya dan menyumbat pernafasannya.
Saudara seperguruan orang itupun melihat apa yang terjadi padanya. Karena itu maka iapun yakin, bahwa tidak akan dapat mengalahkan kedua orang anak-anak muda itu. Jika saudara seperguruannya itu akan dapat dilumpuhkan dan tidak mampu lagi melawan, maka ia tidak akan membiarkan dirinya ikut tersekap sebagai tangkapan.
Karena itu, maka iapun telah berniat untuk meninggalkan arena itu. Ia tidak sempat memikirkan saudara seperguruannya dan tidak ada kesempatan untuk mempertanyakannya.
Dalam pada itu, orang yang terluka itupun agaknya menyadari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka saat terakhir selagi ia masih mampu berbuat sesuatu, maka iapun berteriak, "Tinggalkan tempat ini. Cepat." Suaranya melengking keras, seakan-akan sekaligus orang itu ingin melepaskan satu teriakan kesakitan
Glagah Putih yang sudah meloncat mendekat sambil mengangkat ikat pinggangnya justru tertegun melihat keadaan lawannya itu masih berdiri diatas lututnya, berpegangan sebatang pohon gayam. Karena itu, melihat lawannya yang sudah tidak berdaya, Glagah Putih mengurungkan niatnya untuk sekali lagi menyerang lawannya dengan ikat pinggangnya.
Namun Glagah Putih terlambat menyadari kemenangannya. Lawannya benar-benar dalam keadaan yang gawat. Ketika pegangannya telah terlepas maka tubuhnya itupun terguling jatuh ditanah. Nafasnya yang sendat satu-satu meloncat lewat lubang hidungnya yang bagaikan tertutup itu.
Ternyata Raden Rangga sempat memperhatikannya dan berkata,"Lakukanlah! Bukankah kau minta izin untuk menghadapinya" Bukan karena aku tidak mampu membunuh mereka berdua. Tetapi sebaiknya."
Glagah Putih mendekatinya dengan ragu-ragu. Dengan ketajaman penglihatannya ia melihat betapa orang itu menahan sakit. Ada semacam penyesalan terbersit dihatinya. Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi.
Dalam pada itu, lawan Raden Ranggapun menyadari apa yang telah terjadi sepenuhnya. Iapun mendengar sau"dara seperguruannya itu berteriak memberi tahukan kepadanya, agar ia melarikan diri saja.
"Memang tidak ada jalan lain." katanya didalam hati.
Karena itulah, maka iapun telah memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat dilakukannya untuk membebaskan diri. Ketika ia mendapat kesempatan, maka iapun telah berusaha untuk membuat jarak dari lawannya. Karena itulah, maka iapun telah menghentakkan kakinya mengham burkan tanah kearah Raden Rangga. Namun seperti yang telah terjadi, serangan itu memang tidak ada gunanya. Raden Rangga mampu melenting dengan cepat dan panjang melepaskan diri dari hamburan serangan lawannya.
Namun lawannya memang menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengenainya. Yang penting baginya adalah kesempatan untuk melepaskan diri. Tetapi ia melihat lawannya yang muda itu dengan cepat menempatkan dirinya. Karena itulah, maka sekali lagi ia haras berusaha mencari kesempatan. Ia tidak dapat berbuat lain, kecuali dengan caranya sebagaimana telah dilakukannya. Karena itu, maka iapun telah bersiap. Ia berniat untuk menghentakkan segenap kemampuannya. Ia akan melepaskan ilmunya dengan kekuatan tertinggi yang dapat dilakukannya.
Pada saat Raden Rangga siap untuk menyerang, maka orang itupun siap pula melakukannya. Kesempatan yang ada padanya dipergunakan sejauh dapat dilakukan. Dikerahkannya kemampuan dan ilmu di dalam dirinya dan dilontarkannya lewat kakinya yang menjejak tanah sebaimana menepuk air yang tergenang.
Pada saat Raden Rangga mulai bergerak, maka orang itupun telah melakukannya. Dengan loncatan kecil, maka kakinyapun telah menghentakkan tanah didorong oleh segenap kekuatan dan kemampuan yang ada didalam dirinya.
Tetapi yang terjadi adalah malapetaka bagi orang itu. Raden Rangga justru meloncat maju sambil mengembangkan kedua telapak tangannya lurus kedepan menghadap keadaan lawannya. Satu kekuatan ilmu yang tidak dapat dimengerti, telah membentangkan perisai yang melindunginya tanpa kasat mata. Bahkan perisai itu mempunyai kekuatan kewadagan, sehingga tanah yang terhambur dengan derasnya itu telah membenturnya dan terlontar kembali ketubuhnya sendiri.
Orang itu mengaduh panjang.Tubuhnya terlempar oleh dorongan hamburan tanah yang keras yang memantul dan kekuatan ilmu Raden Rangga.
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Raden Rangga sendiri telah terkejut karenanya.
Karena itu ketika orang itu kemudian terbanting jatuh dengan luka arang keranjang, Raden Rangga berdiri termangu-mangu. Sambil memandangi tubuh yang diam itu, penyesalan telah menghentak didadanya.
Glagah Putih yang juga terkejut itupun dengan serta merta telah berloncatan mendekatinya. Sejenak ia tercenung diam. Namun kemudian ia berdesis, "Raden telah membunuhnya."
Raden Rangga mengangguk kecil. Wajahnya nampak suram dan dengan nada dalam ia berkata, "Aku tidak tahu, bahwa akibatnya akan seperti ini. Aku kira aku dapat sekedar bermain-main. Tanah itu akan dapat masuk kematanya dan orang itu akan menjadi kesakitan karena debu dimatanya itu. Tetapi ternyata bahwa debu itu tidak sekedar membuat matanya pedih. Tetapi melukainya dan bahkan membunuhnya."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata pula, "Lawanku juga dalam keadaan yang gawat. Mungkin jiwanya tidak tertolong lagi."
Wajah Raden Rangga menegang. Katanya dengan gagap, "Jadi orang itu masih hidup?"
"Ya. Orang itu masih hidup." jawab Glagah Putih, "tetapi dalam keadaan gawat."
Raden Rangga tiba-tiba saja telah meloncat berlari menuju ketempat lawan Glagah Putih terbaring.
Tetapi ketika Raden Rangga menyentuh tubuh orang itu dan meraba dadanya dibawah lukanya, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ketika Glagah Putih datang kepadanya, maka Raden Rangga itupun menggeleng sambil berkata, "Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Apakah orang itu akan mati?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga terdiam. Namun kemudian katanya, "Perhatikanlah."
Glagah Putihpun kemudian berjongkok. Dan ternyata orang itu sudah tidak bernafas lagi. Glagah Putihpun menjadi gelisah. Sementara itu langitpun menjadi merah.
Namun seperti yang dicemaskan oleh lawan Raden Rangga, yang terjadi itu telah mengundang banyak perhatian. Suara prahara dan pepohonan yang terguncang-guncang telah menakut-nakuti orang yang tinggal disekitar tempat itu. Sementara itu para prajurit dari Satuan Pengawal Khusus yang melacak jejak salah seorang yang meninggalkan istana itupun telah berada diluar dinding istana pula.
Ketika mereka mendengar suara prahara dan melihat pepohonan terguncang, maka merekapun telah dengan hati-hati mengamatinya. Pengalaman merekapun segera memberitahukan kepada mereka, bahwa telah terjadi pertempuran antara kekuatan-kekuatan yang sangat tinggi dari orang-orang berilmu. Karena itulah maka merekapun harus sangat berhati-hati.
Dengan demikian maka pemimpin dari sekelompok prajurit yang sedang mencari jejak itupun telah memerintahkan untuk memanggil beberapa orang kawan mereka untuk mengepung arena pertempuran itu.
Sejenak kemudian maka arena pertempuran itupun telah terkepung meskipun para prajurit itu belum bertindak. Mereka tidak mau menanggung akibat yang sangat buruk untuk bertindak dengan tergesa-gesa.
Namun sejenak kemudian ternyata kebun kosong itu telah menjadi lengang. Mereka tidak mendengar lagi suara prahara dan pepohonan tidak lagi terguncang-guncang. Karena itulah maka pemimpin mereka telah memerintahkan para prajurit itu mulai bergerak maju perlahan-lahan. Mereka mendapat perintah agar tidak seorangpun yang boleh lolos dari arena.
Ternyata Raden Rangga dan Glagah Putihpun mengetahui kehadiran para prajurit itu. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri di tempatnya sambil menunggu. Bahkan Raden Ranggapun telah duduk sambil memeluk lututnya, sementara Glagah Putih berdiri termangu-mangu.
Sebenarnyalah, ketika langit menjadi semakin terang, maka kepungan itupun menjadi kian rapat. Beberapa orang prajurit dari pasukan Pengawal Khusus telah nampak muncul diantara rumpun-rumpun bambu dan pepohonan perdu.
Para prajurit itupun terkejut ketika mereka melihat dua orang anak muda yang termangu-mangu. Ketika mereka melihat anak muda yang duduk sambil memeluk lututnya itu, maka pemimpin kelompok itupun berdesis, "Raden Rangga."
Para prajurit itupun tertegun. Apalagi sejenak kemudian ada diantara mereka yang menemukan tubuh-tubuh yang terbaring.
Pemimpin kelompok yang mendapat laporan tentang tubuh-tubuh yang membeku itupun telah melihatnya pula. Seorang dengan luka-luka dibeberapa bagian tubuhnya, sedangkan yang lain telah terluka arang kranjang.
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sudah berdiri dihadapan Raden Rangga yang duduk termenung itupun ialbertanya, "Apa yang sudah terjadi Raden."
"Aku tidak jelas." jawab Raden Rangga, "tiba-tiba saja semuanya sudah terjadi."
Pemimpin kelompok itu mengenal Raden Rangga dengan baik. Karena itu, maka merekapun mengetahui apa yang mungkin dilakukannya. Namun demikian pemimpin kelompok itupun bertanya, "Apa yang sudah Raden lakukan terhadap lawan Raden yang seorang itu. Lukanya membingungkan kami Nampaknya bukan bekas senjata sewajarnya."
"Ia telah membunuh dirinya sendiri dengan ilmunya yang dahsyat." jawab Raden Rangga.
Pemimpin kelompok itupun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Raden. Maaf, bahwa kami harus melaporkan peristiwa ini. Sementara itu kami memang sedang mencari orang yang lepas dari pengamatan kanu. Mungkin orang yang kami cari itulah yang telah Raden bunuh ditempat ini."
"Aku telah membunuh orang yang telah bersama-sama dengan orang-orang yang memasuki halaman istana itu," berkata Glagah Putih, "orang itu menunggu diluar dinding. Namun kemudian seorang yang lain telah datang lagi untuk membantunya. Namun ternyata bahwa kami berdua telah membunuh mereka. Sengaja atau tidak disengaja."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Agaknya orang itulah yang dicarinya atau setidak tidaknya mempunyai hubungan dengan orang yang dicarinya.
Namun dalam pada itu, sebelum ia berkata apapun, Raden Rangga telah bangkit dan berkata, "Rawatlah orang-orang itu. Aku akan pulang ke Kepatihan. Aku letih sekali."
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Ia justru mendapat pekerjaan yang tidak menyenangkan. Namun demikian ia berkata, "Raden, kematian itu haras dipertanggung jawabkan."
"Aku akan bertanggung jawab." jawab Raden Rangga, "bukankah aku tahu bahwa aku tidak akan lari" Jika kalian memerlukan aku, aku berada di Kepatihan. Bukankah aku sekarang tinggal di Kepatihan" Seharusnya kau mengetahui."
"Ya, ya. Aku tahu Raden." jawab pemimpin kelompok itu.
"Nah, jika demikian terserahlah tubuh-tubuh itu. Aku akan pergi. Semalaman aku tidak tidur." berkata Raden Rangga yang kemudian mengajak Glagah Putih, "marilah."
Para prajurit itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika Raden Rangga kemudian pergi bersama Glagah Putih meninggalkan tempat itu. Mereka termangu-mangu melihat kedua anak muda itu berjalan diantara gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu di kebun yang kosong itu.
Pemimpin dan sekelompok prajurit itu hanya dapat berdesah dan menjadi cemas melihat perkembangan keadaan, sementara segala sesuatunya seharusnya masih tetap dirahasiakan.
Dalam pada itu, orang-orang padukuhan disebelah istana itupun menjadi bertanya-tanya, apakah yang telah terjadi. Mereka mendengar bagaikan prahara yang bertiup. Namun tidak di halaman rumah mereka.
"Kita akan melaporkan semuanya ini kepada Panglima." berkata pemimpin sekelompok prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi kita akan membawa kedua sosok tubuh itu masuk kedalam istana. Mungkin ada gunanya."
Ketika para prajurit itu membawa dua sosok tubuh yang sudah membeku itu kedalam istana, agaknya memang menarik perhatian. Namun mereka yang melihatnya masih belum mendapat penjelasan yang pasti tentang peristiwa yang telah terjadi diluar dinding istana itu. Namun istana Mataram pada malam itu memang sedang dicengkam oleh peristiwa-peristiwa yang diselimuti oleh takbir rahasia Karena itu beberapa orang pemimpin prajurit diluar lingkungan Pasukan Pengawal Khusus masih menunggu perintah dan penjelasan untuk selanjutnya. Mereka masih belum dapat mengambil langkah-langkah tertentu karena persoalannya tidak begitu jelas bagi mereka.
Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus telah membawa dua sosok mayat itu langsung ke bagian dalam istana. Merekapun mencoba untuk berhubungan dengan Panglimanya dan untuk selanjutnya menyampaikannya kepada Panembahan Senapati.
Sementara itu Panembahan Senapati sendiri duduk merenungi sesosok mayat pula. Mayat dari seseorang yang dengan beraninya telah memasuki biliknya, kemudian langsung berusaha membunuhnya.
Namun ternyata orang itu salah menilai kemampuan Panembahan Senapati. Betapapun tuah dan saktinya keris yang dibawanya, namun ternyata bahwa Panembahan Senapati bukanlah lawannya.
Tetapi ternyata orang yang berhasil memasuki bilik Panembahan Senapati itu sempat menunjukkan bahwa iapun seorang yang berilmu sangat tinggi. Ternyata bahwa ia sempat bertempur untuk beberapa lama, bahkan mampu memaksa Panembahan Senapati kemudian meraih pusaka terbesar dari Mataram, Kangjeng Kiai Pleret.
Ketika Panembahan Senapati mulai menyadari pengaruh keris lawannya yang nggegirisi, maka ia tidak dapat membiarkan persoalannya akan menjadi semakin rumit. Sementara itu Ki Patih Mandaraka menyaksikan pertempuran itu dengan cemas pula setelah ia melihat pusaka yang dibawa oleh lawan Panembahan Senapati itu.
Dalam keadaan yang mendebarkan, maka Panembahan Senapati merasa perlu untuk mengimbangi pusaka lawannya dengan pusaka Mataram. Karena itulah, maka Panembahan Senapati memutuskan untuk mempergunakan Kangjeng Kiai Pleret untuk menghabisi perlawanan orang yang berusaha untuk membunuhnya itu.
"Pusaka itu mempunyai pengaruh yang khusus." berkata Panembahan Senapati kepada Ki Patih Mandaraka.
"Ya Panembahan." jawab Ki Patih, "hamba juga merasakannya. Orang itu sendiri mungkin tidak memiliki tingkat ilmu sebanding dengan Panembahan. Tetapi keris yang dibawanya memang merupakan keris yang luar biasa. Jika lawannya bukan Panembahan, maka pengaruh keris itu sudah dapat melumpuhkannya. Untunglah bahwa Panembahan memiliki kateguhan jiwani yang mampu mengatasinya."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia kemudian berkata, "Paman Mandaraka, yang mendebarkan adalah justru ujud yang nampak pada setiap gerak keris itu. Seakan-akan keris itu telah berubah menjadi seekor naga yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi bagaikan mampu menyemburkan api dari mulutnya. Agaknya semburan api beracun itulah yang mampu mempengaruhi lawan-lawannya sehingga sulit untuk mengadakan perlawanan."
Ki Mandaraka mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Luar biasa. Jadi menurut penglihatan Raden, keris itu seakan-akan telah berubah menjadi seekor naga yang tidak besar tetapi memiliki kekuatan yang nggegirisi?"
"Ya. Dan aku merasa sulit untuk melawannya. Atau mungkin memerlukan waktu yang terlalu panjang atau bahkan pengaruhnya akan dapat menekan kemampuanku. Karena itulah maka aku memutuskan untuk mengakhirinya dengan Kangjeng Kiai Pleret." berkata Panembahan Senapati.
Ternyata lawan Panembahan Senapati tidak mampu mencegah Panembahan itu mengambil pusakanya. Panem"bahan yang memancingnya bertempur keluar dari biliknya, telah mempergunakan satu kesempatan yang tidak diduga oleh lawannya untuk meloncat memasuki biliknya kembali. Ketika lawannya menyusulnya, maka ditangan Panembahan Senapati telah digenggamnya tombak yang memiliki kekuatan yang tidak ada taranya.
Dengan tombak itulah akhirnya Panembahan Senapati mengakhiri perlawanan orang itu. Namun Panembahan Senapati tidak berhasil menangkapnya hidup, karena goresan Kangjeng Kiai Pleret pada tubuh orang itu telah membunuhnya.
Tetapi Panembahan Senapati masih mengharapkan kawan dari orang itu dapat ditangkap hidup-hidup. Orang itu akan dapat menjadi sumber keterangan, darimana mereka datang dan untuk siapa mereka melakukan perbuatan itu.
Namun Panembahan Senapati itu terkejut ketika ia mendapat laporan bahwa seorang pemimpin kelompok dari Pasukan Pengawal Khusus telah menemukan dua sosok mayat dikebun kosong di luar istana.
"Panggil orang itu." perintah panembahan Senapati kepada Panglimanya.
Panglima itupun kemudian telah memanggil pemimpin kelompok prajurit yang menemukan dua sosok mayat yang terbunuh di kebun kosong itu.
Dihadapan Panembahan Senapati, orang itu tidak dapat mengatakan apapun selain apa yang dilihatnya.
"Jadi Ranggalah yang telah membunuhnya?" bertanya Panembahan Senapati.
Sebenarnya sama sekali tidak ada maksud untuk menyudutkan Raden Rangga tetapi prajurit itu tidak dapat mengelak untuk mengatakan bahwa Raden Rangga dan seorang kawannya telah membunuh dua orang tidak dikenal.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Dengan segera ia menghubungkan kematian kedua orang itu dengan orang yang telah dibunuhnya. Apalagi setelah ia mendapat laporan, bahwa seorang diantara orang-orang yang memasuki istana itu telah hilang dari pengamatan. Karena itulah, maka Panembahan Senapatipun telah memerintahkan untuk memanggil Raden Rangga di Kepatihan.
Ketika seorang utusan telah berangkat ke Kepatihan, maka Ki Mandaraka telah berkata, "Ampun Panembahan. Hamba mohon Panembahan memperhatikan keadaan cucunda Rangga. Pada saat terakhir, keadaannya sudah berangsur baik. Jika ia terlibat kedalam persoalan yang sebenarnya bukan persoalannya, semata-mata karena ia ingin berbuat sesuatu dengan maksud baik. Memang mungkin kenakalannya kadang-kadang mewarnai langkah-langkahnya. Namun agaknya ia mempunyai alasannya sendiri jika benar ia telah membunuh orang-orang yang tidak dikenal itu."
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Patih Mandaraka berbicara selanjutnya meskipun sekedar didengar oleh Panembahan Senapati sendiri, "Panembahan. Hamba mohon ampun. Agaknya kesibukan Panembahan telah membuat Panem"bahan tidak sempat memperhatikan putera Pangeran itu. Karena itu, maka kadang-kadang ia telah berbuat sesuatu untuk menarik perhatian. Sementara itu. Cucunda Rangga memang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia mpergunakannya untuk sekedar menarik perhatian ayahandanya."
Panembahan Senapati tidak membantah. Namun kemu"dian katanya, "Mungkin pamun benar. Tetapi bagaimanapun juga ia tidak boleh berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Ia tidak boleh mementingkan dirinya sendiri dengan melakukan sesuatu yang mungkin mengganggu dan bahkan sangat merugikan, hanya untuk sekedar mendapat perhatian."
Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Demikianlah maka sejenak kemudian Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah menghadap. Keduanya menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara itu jantung Glagah Putih terasa bergetar dan degupnya menjadi semakin cepat dan keras.
Ketika kemudian terdengar suara Panembahan Sena"pati, maka rasa-rasanya jantungnya itu akan terlepas dari tangkainya.
"Rangga." berkata Panembahan Senapati, "apa yang telah kau lakukan?"
Patung Emas Kaki Tunggal 3 Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba Halloween Tanpa Kepala 1
^