Pencarian

Nyi Wungkuk Bendo Growong 2

Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong Bagian 2


Pusparini yang penasaran ingin tahu tentang kisah
asmara Ki Megatruh.
"Sejak dulu dia tahu perasaanku. Tapi hatinya telah tertambat oleh Adipati Agung
Sedayu itu. Kami pernah seperguruan ketika masih remaja. Lalu dia dipersunting
oleh Adipati itu. Untuk beberapa waktu, kami berpisah. Perkawinannya dengan
Adipati Agung Sedayu
hanya membuahkan seorang putra. Tapi anak itu pada
usia tiga tahun diculik oleh gerombolan pengacau yang didedengkoti oleh Simbar
Menjangan. Karena tidak
mendapat putra lagi, maka Adipati Agung Sedayu
mempersunting wanita lagi. Dialah Nyi Blengoh. Wani-ta ini pun berasal dari
suatu perguruan. Jadi boleh di-
kata, Adipati Agung Sedayu selalu mendambakan wa-
nita yang paling tidak bisa menguasai ilmu bela diri.
Dari perkawinannya dengan Nyi Blengoh, sang Adipati mendapat dua orang
keturunan. Seorang putra dan seorang putri. Kini masing-masing telah 'jadi
orang' dan memegang jabatan penting di jajaran Kadipaten Sedayu."
"Tapi bagaimana kisahnya tentang Nyi Saraswati
yang sampai tersingkirkan dari kadipaten?" tanya Pusparini setelah untuk
beberapa saat Ki Megatruh ber-
diam diri. "Sifat dengki ternyata bercokol di lubuk hati Nyi
Blengoh. Rupanya dia ingin menghaki peranannya se-
bagai permaisuri tunggal di Kadipaten Sedayu. Dia benar-benar berupaya untuk
itu...!" kata Ki Megatruh
dengan batuk-batuk kecil.
Ternyata batuk-batuk kecil ini hanya suatu tipuan
saja untuk menghentikan ceritanya. Ki Megatruh tahu bahwa ada seseorang yang
datang ke sana yang tiada
lain Nyi Wungkuk yang sedang jadi bahan pembicara-
annya. Pusparini cepat berdiri dari tempatnya ketika meli-
hat tokoh wanita tua berpunggung bungkuk itu. Seki-
las hatinya terharu kalau teringat pengakuan Ki Me-
gatruh tentang wanita itu.
"Rupanya kau telah menceritakannya," terdengar
suara Nyi Wungkuk dengan menghela napas panjang.
"Maafkan aku," kata Ki Megatruh.
"Tak ada yang perlu dimaafkan," jawab Nyi Wung-
kuk. "Aku telah memanggil Pusparini yang tujuannya
memang untuk itu. Aku juga ingin menceritakan latar belakang semua peristiwa
yang membuatku begini. Karena kini tiba saatnya aku akan bertindak mengada-
kan perhitungan."
"Jadi benar yang telah diceritakan oleh Ki Mega-
truh?" kata Pusparini.
"Jadi kau tadi masih meragukan?" tanya Nyi Wung-
kuk dengan suara iba.
"Tt... tidak! Hanya saja hampir-hampir tak percaya
ada nasib begitu malang menimpa diri Nyi Saraswa-
ti...!" jawab Pusparini dengan nada kelu. Terasa ada kabut keprihatinan menyapu
wajah si Walet Emas ini.
"Hsstt...! Jangan panggil namaku yang itu. Saras-
wati telah mati. Saraswati yang dulu dicintai oleh pemuda bernama Megatruh,
telah mati. Saraswati yang
tidak mengindahkan cinta pemuda Megatruh telah tia-
da....! Oh, alangkah sakit penyesalan itu. Aku hanya memburu kedudukan dan
sanjungan. Suatu impian
setiap gadis di Pedukuhan Klampis. Siapa yang tidak gandrung dengan hidup yang
serba gemerlapan" Tapi semua tidak selanggeng yang kuimpikan. Malapetaka
itu datang dengan rentetan peristiwa yang tak ku-
bayangkan. Dan akhirnya inilah aku, terhempas sam-
pai di sini...!" ucapan ini meluncur dari suara Nyi Wungkuk dengan nada
bergetar. Jelas terasa ada nada kesedihan yang diperam dalam panas api dendam
yang membara. "Beberapa hari yang lalu saya telah kehilangan pe-
dang. Seseorang telah mengambilnya dengan sosok pe-
nampilan bagai Nyi Wungkuk. Apakah ini bukan ulah
seseorang yang ingin mencemarkan nama Nyi Wung-
kuk?" kata Pusparini.
"Mulanya aku tak percaya dengan penjelasan Ki Me-
gatruh bahwa ada orang yang menyamar seperti pe-
nampilanku. Hal ini telah menimbulkan kecurigaanku, pasti keberadaanku di sini telah tercium oleh Nyi Blengoh," kata
Nyi Wungkuk. "Tapi Ki Megatruh pernah menjelaskan kepada saya
bahwa ada musuh-musuh Nyi Wungkuk di sini. Me-
reka adalah Jrangkong Langit, Klabang Ireng dan Sa-
wer Jenar. Yang saya ingin tahu, sampai berapa jauh permusuhan itu terhadap Nyi
Wungkuk?" tanya Pusparini dengan menumpuk kayu api unggun agar nya-
lanya berkobar kembali.
"Belum sampai pada tingkat yang parah. Tapi me-
reka telah lama menyatroni aku. Mungkin keberada-
annya di desa ini hanya untuk menyelidiki siapa aku sebenarnya. Dugaanku, pasti
mereka dikirim oleh Nyai Blengoh. Dan di sini mereka menyamar diri sebagai
jagoan yang dipelihara oleh Jayenglaga, si tuan tanah itu."
"Kalau begitu, masalahnya tinggal siapa yang terle-
bih dulu menggebrak dengan tindakan. Memang sulit
diramal, apakah Tiga Serangkai itu telah tahu siapa Nyai sebenarnya," kata
Pusparini mencoba memberi
pandangan sambil mengawasi Ki Megatruh yang sejak
kehadiran Nyi Wungkuk, laki-laki itu tetap membisu.
"Aku pernah bentrok dengan salah seorang di an-
tara mereka, yaitu si Sawer Jenar. Lambungnya per-
nah terluka oleh senjataku. Itu sebabnya sampai saat ini perutnya selalu dibalut
dengan ketat," terdengar suara Ki Megatruh mengisi percakapan. "Siasatmu sewaktu
melumpuhkan dia sangat jempol. Memang di
bagian lambung kelemahan dirinya sekarang."
"Jadi kalau mereka suatu ketika berpapasan de-
ngan Ki Megatruh, pasti terjadi bentrokan, bukankah begitu?" tanya Pusparini
memancing. Sebab kalau saja Tiga Serangkai mau klayapan di kawasan Bendo
Growong, pasti dengan mudah bisa berhadapan dengan Ki
Megatruh, dan bentrokan terjadi.
Ternyata penilaian Pusparini keliru.
"Tidak," jawab Ki Megatruh. "Sampai demikian jauh
mereka tak berani memulai lagi untuk bikin kericuhan terlebih dulu. Aku sendiri
mulanya tidak tahu apa sebabnya. Tapi akhirnya sikap mereka bisa kulacak. Itu
karena perintah Nyi Blengoh! Jelas sudah bahwa mereka adalah mata-mata yang
dipanjer oleh Nyi Blengoh untuk mengawasi Nyi Wungkuk. Yang bisa kuraba,
pasti Nyi Blengoh sedang mempersiapkan diri untuk
bisa menindak Nyi Wungkuk. Saat ini mungkin dia
masih ragu-ragu, apakah Nyi Wungkuk adalah Nyi Sa-
raswati yang dahulu pernah disingkirkan."
"Suatu rahasia yang sebenarnya dengan mudah bi-
sa dilacak," kata Pusparini.
"Ini soal harga diri, Nduk," sela Ki Megatruh. "Akan tercela kalau dia sampai
bertindak gegabah. Di Kadipaten Sedayu, putranya yang bernama Basunanda men-
jadi adipati pengganti ayahnya. Sedangkan anak pu-
trinya, Pandansari, menjadi wakil adipati. Sampai saat ini anak gadisnya tetap
tidak berniat disanding oleh pria. Memang tak ada seorang pria pun yang berani
mendekatinya. Dia dikenal seorang wanita yang judes dan tinggi hati."
"Rupanya mereka sedang menanamkan trah kelu-
arga agar langgeng dalam lingkungan kadipaten. Tapi satu hal yang saya belum
tahu, bagaimana Nyi Wungkuk bisa tersingkir" Apakah hal itu tidak bisa
ditanggulangi sejak awal?" tanya Pusparini yang semakin
menggebu ingin tahu.
"Kalau itu suatu pengkhianatan, pastilah telah di-
rencanakan dengan matang. Dan benar-benar terjadi
menimpaku. Aku difitnah sehingga Adipati Agung Se-
dayu murka. Aku dikatakan punya niat untuk menying-
kirkan kedua anak mereka. Tentu saja aku mengelak
tuduhannya. Tapi si Blengoh bersikeras bisa membuk-
tikan fitnahan itu. Aku diadili dengan tuduhan yang
dibuat-buat. Aku dipaksa meminum minuman yang
beracun. Aku nekad membuktikan bahwa itu bukan
kerjaku. Itu cuma fitnah. Tapi sang Adipati yang telah mabuk kepayang dengan
cumbu rayu si Blengoh, tetap
menghendaki pengadilan itu. Akhirnya aku meminum
minuman beracun itu sebagai bukti bahwa aku tak
bersalah."
"Lalu?" tanya Pusparini tidak sabar lagi karena Nyi Wungkuk menghentikan
kisahnya. "Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian setelah
minuman itu kuminum. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku sadar, telah kulihat Ki Megatruh berada di sampingku. Aku telah
berada di tempat lain...!" terdengar ucapan Nyi Wungkuk memberi penjelasan.
"Nyi Saraswati dibuang ke dalam jurang...!" sela Ki Megatruh. "Seorang pertapa
menemukan dirinya tersangkut di pepohonan. Pertapa itu bekas guruku. Na-
manya Ki Ageng Lejar Manyura. Dia menghubungi aku.
Nyawa Nyi Saraswati berhasil kami selamatkan. Hanya cacat punggungnya itu yang
tetap menandai seumur
hidupnya, sebagai kenangan atas peristiwa tersebut...!"
*** ENAM Pusparini terbaring di tempat tidurnya. Sesaat yang lalu telah berlangsung
pertemuannya dengan Nyi
Wungkuk yang mengungkapkan masa lampaunya. Se-
benarnya hal semacam itu bisa saja terjadi pada setiap orang. Keterlibatannya,
karena dia akan mencari siapa yang mencuri Pedang Merapi Dahana.
Malam yang semakin larut bahkan tidak bisa mem-
buat Pusparini tidur. Timbul firasatnya bahwa akan
ada sesuatu yang terjadi. Dan itu tidak seperti biasanya meskipun hampir sehari
semalam tenaganya be-
lum mengalami istirahat. Siang tadi dia berhadapan
dengan Tiga Serangkai. Malam harinya bergadang se-
bentar dengan Nyi Wungkuk yang mengungkap masa
lampaunya. Ketika malam semakin bergeser, dia baru
kembali ke tempat penginapannya.
Seperti firasatnya yang terasa terusik, maka Puspa-
rini mempertajam indranya untuk mendengarkan
langkah-langkah lembut yang dicurigai menapak di
atas atap rumah. Dia segera beranjak dengan langkah lembut. Jendela dibuka
dengan pelan, lalu melesat keluar dengan gerakan ringan. Dari tempatnya
berpijak, dia melihat sosok tubuh berambut putih mengendap di atas atap rumah.
"Nyi Wungkuk"!" pikir Pusparini ragu-ragu.
Prasangkanya lalu timbul bahwa itu bukan Nyi
Wungkuk yang baru saja ditemui. Kalaulah Nyi Wung-
kuk datang lagi untuk menemui, mustahil dengan cara dan saat seperti ini.
Didorong oleh prasangka buruk-nya, maka Pusparini segera melesat dengan
terjangan ke arah sosok tubuh berambut pulih itu.
Tapi rupanya sasaran yang dituju cukup waspada
dengan serangan itu. Sebelum kakinya menghunjam
ke arah sasaran, maka sosok tubuh berambut putih
telah berkelit sambil mengirim pukulan.
Mendapat sambutan semacam ini Pusparini tak bi-
sa berkutik untuk mengatasi diri. Betisnya kena gampar karena tak sempat
mengubah gerak. Tapi tak be-
rarti harus menyerah begitu saja. Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, dia
mencoba bergulir ke kiri,
sebab peluang ini yang tampak bisa diandalkan.
Tapi mendadak arah ini dikunci oleh lawannya, se-
hingga untuk kedua kalinya Pusparini kehilangan daya
menangkal serangan.
Melihat Pusparini kedodoran sikap, sang lawan te-
rus mendesak dengan terjangan-terjangan yang mema-
tikan. Pusparini terus melemparkan tubuhnya ke ba-
wah. Medan laga kini beralih di darat. Di sini Pusparini mendapat kesempatan untuk
membenahi posisinya.
"Kau bukan Nyi Wungkuk!" seru Pusparini sambil
memberi gebrakan serangan. Sekilas terlihat bahwa
orang itu memakai topeng dengan wajah seorang tua.
"Kau yang mencuri pedangku!".
Pusparini terus ngomel dengan memberi serangan.
Perasaan menggelegak ini sangat membantu dirinya
dalam melancarkan serangan. Paling tidak ingin mele-mahkan mental lawan yang
penyamarannya telah di-
ketahui. Tapi siapa di balik kedok itu, memerlukan
waktu dan tenaga untuk menyingkapnya.
Dan tekad Pusparini malam ini diharapkan sudah
bisa disingkap tabir penyamaran itu.
"Dengan penyamaranmu, menunjukkan betapa pe-
ngecut dirimu!" seru Pusparini lagi.
Kali ini lawannya benar-benar kehilangan kesempa-
tan untuk menanggulangi serangan si Walet Emas
yang makin menggila. Jurus 'Walet Terbang Malam'
sangat mengecoh lawan, sebab serangan ini dilancar-
kan dengan gerak tipu liukan tubuh yang sulit dipan-tau. Apalagi dalam suasana
malam, jurus itu sangat
cocok dalam suasana seperti ini. Dan sasaran Puspa-
rini hanya ingin menjambret kedok itu. Tapi alangkah sulitnya.
"Kalau kau klayapan kemari pasti punya tujuan ter-
tentu! Katakan apa maumu!" gertak Pusparini lagi.
Baru saat inilah, sosok tubuh yang menyamar se-
bagai Nyi Wungkuk menghentikan serangannya. Agak-
nya kata-kata itu meyakinkan dirinya. Ditambah sikap Pusparini sendiri yang
tidak melanjutkan serangan,
maka orang bertopeng itu membuka kedoknya.
Pusparini mencoba menyimak wajah yang kini ter-
buka.... Wajah seorang laki-laki.
"Siapa kau sebenarnya" Mengapa menyamar seba-
gai Nyi Wungkuk?" tanya Pusparini.
"Jadi kita bisa bicara baik-baik ?" terdengar ucapan laki-laki itu.
"Kau boleh jadi tamuku. Ayo masuk. Tidak baik
berbicara di luar, asal kau tidak kurang ajar lagi!"
Aneh! Ketegangan itu telah mencair jadi keramah-
tamahan. Tapi Pusparini tetap waspada.
"Terus terang saja, bukankah kau yang mencuri pe-
dang dan pakaianku"!" tuduh Pusparini.
"Ya! Dan aku bermaksud mengembalikan," kata la-
ki-laki itu. "Apa aku tidak salah dengar?" sela Pusparini.
Semula dia memang menghendaki bisa menemukan
pedangnya kembali. Tapi ketika mendengar pengakuan
laki-laki itu, maka kecurigaannya timbul.
"Lalu apa maksud semua tindakanmu" Kau telah
merepotkan aku sehingga terlibat dalam urusan Nyi
Wungkuk. Siapa kau sebenarnya, hah"!"
"Namaku Biyantara!" jawab laki-laki itu.
"Biyantara"!" kata Pusparini mengulang.


Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan sebut namamu. Aku telah tahu namamu,"
kata laki-laki bernama Biyantara.
"Oh, ya"! Jadi sudah tahu" Tentunya kau banyak
menyelidiki tentang diriku."
"Sejak kau memasuki kawasan ini, kau telah ku-
buntuti. Bahkan ketika petir menyambar sehingga kau terlempar dari kudamu, aku
berada tak jauh darimu."
Tiba-tiba Pusparini merasa tidak enak dengan peng-
akuan itu. Rasa-rasanya dirinya telah dimata-matai
oleh seorang yang tidak dikenal tanpa alasan yang jelas. "Mengapa kau memata-
matai aku" Apa yang kau
lakukan ketika aku tertidur setelah sambaran petir
itu?" tanya Pusparini penasaran.
"Hanya memandangimu saja," jawab Biyantara.
"Cuma itu?"
"Ya. Hanya memandangimu saja. Menikmati roman
mukamu yang lelah, terpejam."
"Kalau begitu kau kurang ajar," sela Pusparini.
"Apa ada undang-undang yang melarang meman-
dangi orang lagi tidur?"
"Itu tidak sopan!"
"Aku tidak berbuat apa-apa. Menyentuhmu pun ti-
dak." "Kemudian kau berniat mencuri pedangku" Me-
ngapa tidak kau lakukan pada saat itu juga?"
"Belum terpikir olehku untuk mencuri pedangmu!"
"Lalu mengapa kau lakukan di kala aku sedang
mandi" Kau curi pula bajuku. Itu namanya sudah ke-
terlaluan," kata Pusparini menggebu. "Kini kuminta
pedangku. Pakaianku kurelakan seandainya telah kau
rombengkan!"
"Semua masih wutuh!" kata Biyantara dengan membenahi punggungnya yang menyerupai
orang bungkuk. Ketika jubah itu dibuka, ternyata ada sebuntal bungkusan di punggungnya. "Ini
pakaianmu. Masih seperti semula."
Pusparini geleng-geleng melihat perbuatan laki-laki itu. Sejenak dia mengawasi
laki-laki bernama Biyantara. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi enak dilihat.
Raut mukanya mencerminkan seseorang yang keras
hati yang terselubung sifat lembut. Alisnya tebal. Da-
gunya terlihat jelas tempat persemaian cambang yang tidak dicukur bersih. Dan
melihat penampilannya, Biyantara adalah seorang laki-laki yang umurnya hampir
mencapai kepala empat. Jauh di atas usia Pusparini.
Tapi gayanya masih ' mbocahi'.
"Di mana pedangku?" tanya Pusparini setelah meli-
hat pakaiannya diserahkan kembali oleh Biyantara.
"Justru itu yang membuat aku datang ke tempat ini
untuk menemuimu," jawab laki-laki itu.
"Oh, kata-katamu mencemaskan aku. Kau ingin
berkata bahwa pedang itu tidak di tanganmu lagi alias hilang?" kata Pusparini
menderas ingin tahu.
"Pedang itu... telah jatuh ke tangan Adipati Basu-
nanda!" jawab Biyantara dengan suara berat.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" meluncur kata-
kata Pusparini dengan nada heran. Dia tahu siapa
Adipati Basunanda. Kalau benar senjata itu telah berada di tangan Adipati itu,
berarti dirinya benar-benar akan terlibat dengan urusan Nyi Wungkuk.
"Katakan, bagaimana Adipati itu bisa mengambil
pedang tersebut?"
"Karena dia tahu keampuhannya ketika kupergu-
nakan untuk menjajal pedang lawan tandingku!"
"Gila! Sedang apa kau saat itu" Bertanding dan dilihat oleh Adipati itu?" tanya
Pusparini yang makin penasaran.
"Aku adalah seorang Abdi Bhayangkara Kadipaten
Sedayu. Ketika ada para begal yang hendak merampok
iring-iringan Sang Adipati, kami, Abdi Bhayangkara segera bertindak. Aku
mempergunakan pedangmu...
yang ternyata sangat mengejutkan aku ketika kucabut dari sarungnya. Pedang itu
memancarkan cahaya merah. Dan senjata para begal berhasil kurontokkan sehingga
mereka bercerai-berai. Saat itu Sang Adipati
memanggil aku dan menanyakan soal pedang itu. Ku-
jawab, senjata itu adalah warisan leluhurku. Tapi dia tidak percaya. Dia
menyebut pedang itu Pedang Merapi Dahana! Ternyata dia mengenal ciri-cirinya."
"Dan pedang itu kau serahkan kepadanya?"
"Ya! Karena dia menghendaki dengan imbalan uang.
Tapi aku menolaknya. Aku hanya memohon jabatanku
bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi. Kini pangkatku adalah Perwira Tamtama
Kadipaten yang membawahi
Laskar Bhayangkara," kata Biyantara.
"Itu jabatan yang kau capai dengan cara kotor!" cela Pusparini. "Itu tak berarti
kau kini harus sudah lepas dari tanggung jawabmu. Aku tetap akan menuntut
kembalinya pedang itu!"
"Dengar, Pusparini! Aku kemari didorong oleh rasa
tanggung jawab pula. Aku benar-benar menyesal kare-
na pedang itu telah jatuh ke tangan sang Adipati. Kalau tidak, pasti aku tidak
akan kemari," tangkis Biyantara.
"Sikapmu memang aneh! Aku jadi curiga kepada-
mu. Tindakanmu perlu diadili. Kau telah bersalah ter-hadapku dan bersalah kepada
Nyi Wungkuk. Tahukah
kamu, bahwa dengan penyamaranmu sebagai Nyi
Wungkuk, maka orang akan berpikir lain terhadap
orang tua yang bernasib malang itu?" sergap Pusparini dengan tuduhan yang
menyudutkan. "Apakah kau berpikir bahwa Nyi Wungkuk itu ha-
nya seorang tua yang loyo?" kini ganti Biyantara yang mencoba memancing
pertanyaan. "Dia adalah tokoh
yang terselubung, dan aku hanya ingin memancing
perhatian orang-orang, terutama orang yang mungkin
mengerti dengan keberadaannya di Bendo Growong
itu." Pusparini menatap tajam kepada Biyantara. Tiba-
tiba banyak yang ingin diketahui dari laki-laki yang agaknya menyimpan rencana
yang terselubung itu.
"Siapa sebenarnya kau ini, Biyantara" Mengapa
mencoba membangkitkan Nyi Wungkuk dari 'tidur-
nya'" Pasti kau tahu tentang masa lampau wanita tua itu!"
"Aku adalah anak Simbar Menjangan! Apakah nama
ini punya arti bagimu?" kata Biyantara dengan tegas.
"Anak Simbar Menjangan?" ulang Pusparini dengan
nada terperangah. Sebab seberapa saat yang lalu nama Simbar Menjangan pernah
didengarnya dari pengakuan Ki Megatruh.
"Apakah kau juga mengenal nama Ki Megatruh yang
selama ini mendampingi Nyi Wungkuk" Ketahuilah,
nama Simbar Menjangan beberapa saat yang lalu ku-
dengar dari pengakuan Ki Megatruh."
"Oh, ya" Apa yang dikatakannya?" desak Biyantara
yang ganti penasaran ingin tahu.
"Aku telah banyak tahu tentang masa lampau Nyi
Wungkuk. Dikatakannya, bahwa Nyi Wungkuk pernah
kehilangan putranya yang berusia tiga tahun, diculik oleh gerombolan pengacau
bernama Simbar Menjangan."
Hening. Tak ada percakapan lagi. Biyantara sebe-
narnya bisa terkejut mendengar penjelasan Pusparini.
Tapi karena dia telah menjaga semua kemungkinan
yang diketahui orang lain, maka dicoba meredam perasaannya untuk tidak terkejut.
"Kuharap semua ini tidak menjadi masalah yang
terselubung lagi," sambung Pusparini. "Apakah dengan penjelasan ini kau merasa
lega" Atau... ada hal yang kau ingin jelaskan lagi?"
"Kukira... kau akan menjadi orang pertama yang
memberi pandangan bahwa aku adalah anak yang
pernah diculik oleh Simbar Menjangan. Beginikah yang kau pikirkan?" kata
Biyantara. Tapi ternyata Pusparini tidak cepat menanggapi
bahwa hal itu mungkin benar, mungkin juga tidak.
"Kau berpikir bahwa aku adalah anak yang diculik
itu?" ulang Biyantara ketika diketahui Pusparini tetap membisu.
"Kuncinya terletak pada perasaanmu sendiri! Ini
bukan masalahku. Masalahku hanya mengupayakan
agar pedang itu kembali lagi kepadaku!" jawab Pusparini tegas.
"Cobalah memberi pandangan," terdengar suara Bi-
yantara dengan nada penuh harap.
"Kedengarannya kau putus asa. Tidak imbang sama
sekali dengan penampilanmu yang pertama kali ben-
trok denganku," kata Pusparini yang sebenarnya me-
nyimpan rasa terkejut ketika Biyantara mengaku sebagai anak Simbar Menjangan.
"Ini menjadi masalah yang terselubung bagiku sete-
lah kematian Simbar Menjangan dalam suatu bentro-
kan dengan sesama para pengacau. Ketika dia tewas,
aku masih berumur sepuluh tahun. Kemudian aku di-
asuh oleh salah seorang anak buahnya yang kemudian
menjadi petani. Kalau aku dianggap menjadi seorang
anak hasil dari penculikan, rasanya hal itu tak akan begitu sulit untuk
dibuktikan. Yang membuat ragu
adalah, bahwa ada anak lain dari Simbar Menjangan
yang juga diselamatkan oleh salah seorang anak
buahnya. Hal itu kuketahui setelah aku menginjak de-wasa."
"Hm! Rumit juga kedengarannya. Kalau begitu kau
tidak tahu bahwa Simbar Menjangan mempunyai anak
lain selain dirimu?" tanya Pusparini.
"Tidak! Sebab aku pun selama itu tak pernah dekat
dengan Simbar Menjangan. Aku diasuh di desa lain.
Tapi selalu diberitahu bahwa aku adalah anak Simbar Menjangan. Paling akhir anak
Simbar Menjangan yang
lain itu kuketahui telah menjadi orang terkenal di desa ini, namanya
Jayenglaga!"
"Jayenglaga, tuan tanah itu"!" sela Pusparini.
"Yha!!"
"Benar-benar tak kuduga kalau ada masalah rumit
seperti itu. Jadi kehadiranmu kemari untuk mengung-
kap masalah ini kepadaku?" tanya Pusparini. "Me-
ngapa aku yang kau datangi" Mengapa tidak kepada Ki Megatruh, atau langsung
mengungkap hal ini kepada
Nyi Wungkuk?"
"Sementara ini memang ada kecurigaan, bahwa Nyi
Wungkuk diduga sebagai bekas istri dari Adipati Agung Sedayu yang telah tewas.
Yang meragukan hanya, bagaimana dia bisa dinyatakan hidup lagi!" kata Biyantara.
"Kini aku mengerti!" kata Pusparini. "Kau mempunyai masalah tentang kerinduan
terhadap seorang
ibu!" "Yha! Sebab sampai begitu jauh, selama aku diang-
gap sebagai anak Simbar Menjangan, tak pernah ku-
temukan sosok seorang ibu, kecuali seorang wanita
yang mengasuhku, istri anak buahnya!"
"Seharusnya kau menemui Jayenglaga si tuan ta-
nah itu untuk mengungkap masalah ini!" saran Puspa-
rini. "Sudah! Tapi aku dianggap orang tidak waras. Ra-
sanya dia merasa terhina kalau dianggap keturunan
Simbar Menjangan yang kesohor sebagai dedengkot
pengacau masa lalu!"
"Keterlibatanku dengan dia karena aku pernah me-
mergoki anak buahnya membunuh seseorang. Pasti
orang itu memegang rahasia yang tak boleh diketahui orang lain." sela Pusparini
untuk memberi penjelasan kepada Biyantara yang tampaknya membutuhkan keterangan
sampai berapa jauh pengetahuannya menge-
nal Jayenglaga. "Rupanya dia tetap mengincar nya-
waku. Sayang, aku tak tahu peranan orang yang ter-
bunuh itu."
"Begini! Dari pihak Bhayangkara Kadipaten Sedayu
telah tahu akan hal itu. Kami menyelidiki bahwa orang tua asuh Jayenglaga telah
dibunuh orang. Dan sak-sinya adalah laki-laki bernama Klungsur."
"Klungsur?" sela Pusparini.
"Ya, Klungsur, orang yang kau lihat dibunuh di tepi sungai itu!" jawab
Biyantara. "Ohh," gumam Pusparini lirih, yang agaknya telah
dapat mengambil kesimpulan dari mata rantai semua
peristiwa yang terkait. "Kini persoalannya siapa di antara kalian berdua yang
benar-benar putra Nyi Wung-
kuk yang pernah diculik oleh Simbar Menjangan!"
Biyantara tetap membisu.
Pusparini mengawasi laki-laki itu dengan berbagai
penilaian. Kiranya laki-laki bernama Biyantara ini telah menguntit dirinya sejak
dia memasuki desa itu.
Herannya, dia sampai tak bisa tahu.
Kini teka-teki tentang korban pembunuhan di tepi
sungai telah diketahui. Yang jelas, Tuan Tanah Ja-
yenglaga pasti tetap mencari kesempatan untuk mem-
bunuhnya agar rahasia tersebut tidak menyebar dari
mulut orang itu.
"Aku akan mengungkapkan hal ini kepada Nyi
Wungkuk," kata Pusparini kemudian.
"Kuharap jangan kau lakukan. Biar aku yang meng-
ungkapkannya. Aku khawatir dia bahkan tidak per-
caya dengan semua cerita yang didengarnya. Lagipula,
aku masih ragu apakah aku ini anaknya yang pernah
hilang diculik oleh Simbar Menjangan," kata Biyantara dengan nada lesu.
"Kalau bukan kau... pasti si Jayenglaga!" terka Pusparini.
Biyantara mengangguk pelan. "Yang penting, akan
kuusahakan bagaimana pedangmu bisa kembali lagi
ke tanganmu!"
"Pasti tak akan begitu mudah. Terima kasih atas ke-
jujuranmu!" kata Pusparini. "Tapi aku pun akan men-
cari jalan sendiri untuk mendapatkannya. Kuharap
kau membantuku. Maksudku, kalau aku sampai bisa
masuk ke Kadipaten, perlonggarlah penjagaan di sa-
na." Biyantara tersenyum. "Aneh rasanya. Sikapku jadi
seperti layang-layang putus. Aku seperti kehilangan pegangan. Yang kudambakan
hanya satu, apakah Nyi
Wungkuk itu ibuku atau bukan. Itu saja. Nah, sampai di sini dulu. Aku akan
kembali ke tempatku."
Mereka berpisah. Biyantara melesat meninggalkan
tempat itu sementara fajar mulai merekah di ufuk ti-mur.
Pusparini menghela napas panjang ketika sosok tu-
buh laki-laki bernama Biyantara itu lenyap di tikungan sana.
Baru pada saat inilah rasa kantuk itu tiba-tiba me-
nyerang dirinya. Dia berniat untuk merebahkan diri-
nya di balai-balai. Dia bertekad untuk mbangkong hari itu, bangun pada siang
hari. Tubuhnya terlalu lemah...!
*** TUJUH

Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di Kadipaten Sedayu terlihat lengang. Hujan sema-
kin membekukan suasana di sana. Senja kian tema-
ram. Di sebuah ruangan keluarga, terjadi pertemuan da-
lam percakapan yang tegang.
"Aku sudah tidak tahan lagi untuk menunda-nunda
tindakan ini," kata seorang wanita yang sangat ber-
pengaruh di kadipaten itu. Dia tiada lain adalah Nyi Blengoh, janda Adipati
Agung Sedayu. Di sana hadir
pula kedua putranya, Basunanda dan Pandansari.
"Ibu harus dapat menahan diri. Apa jadinya kalau
orang yang kita curigai itu bukan Nyi Saraswati?" kata Basunanda, putranya yang
kini menjabat adipati di
Kadipaten Sedayu.
"Apa susahnya menindak dia seandainya dia benar-
benar Nyi Saraswati" Kuharap Ibu jangan khawatir.
Kedudukan kita semakin kuat. Maksudku... aku telah
memiliki senjata andalan. Apakah Ibu pernah mende-
ngar Pedang Merapi Dahana?"
"Pedang Merapi Dahana?" kata Nyi Blengoh. "Bu-
kankah itu pedang yang sering jadi dongengan?"
"Bukan dongengan lagi. Pedang itu telah berada di
tanganku!" kata Basunanda dengan membuka sebuah
bungkusan yang berbentuk panjang. Setelah kain yang membungkusnya dibuka, kini
terlihat sebilah pedang
yang sarung dan hulunya diukir dengan indah. "Inilah Pedang Merapi Dahana yang
dibuat pada zaman Raja
Samaratungga, pendiri Candi Borobudur!"
Nyi Blengoh dan Pandansari terperangah menyaksi-
kan pedang itu.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan pedang ini"
Mungkin kau terkecoh oleh bentuk-bentuk yang mirip.
Katakanlah, pedang ini palsu dan kau lelah membe-
linya dari seseorang. Begitu?" kata Nyi Blengoh dengan merenggut pedang itu dari
tangan anaknya. Lalu dengan tidak srantan, pedang itu dikeluarkan dari
sarungnya. "Pedang ini akan memancarkan cahaya merah apa-
bila tertimpa sinar matahari," kata Basunanda membe-ri wawasan. "Kalau sudah
begitu, tak akan ada logam yang bisa menandingi!"
"Hm! Tampaknya begitu. Tapi kini dengan perpa-
duan mantera, seseorang telah bisa menciptakan pe-
dang untuk menandinginya," kata Nyi Blengoh sambil
menyarungkan pedang tersebut.
"Kita memiliki Pedang Merapi Dahana atau tidak,
maka wanita yang bernama Nyi Wungkuk itu harus
kita tindak sekarang!" sela Pandansari.
Tampak wajah judesnya yang membuat setiap lelaki
enggan mendekatinya, sehingga menjadi perawan kasep.
Meskipun kedudukannya sebagai Wakil Adipati Ka-
dipaten Sedayu, tapi kekuasaan ini tak bisa membuatnya bahagia apabila sudah
berfikir tentang laki-laki pendamping. Oleh sebab itu, dicarinya cara lain untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan apabila hasrat bi-rahinya menggelegak. Dia
'membeli' laki-laki. Umum-
nya pemuda-pemudi yang berusia pancaroba. Dan ini
bukan menjadi rahasia umum lagi. Hanya saja tak ada seorang pun yang berani
mencemoohkan tindakannya
secara terang-terangan.
Sedangkan Adipati Basunanda juga begitu. Sampai
sekarang belum ada seorang wanita yang dijadikan istrinya. Tapi sudah berapa
banyak setiap gadis yang ja-di korbannya, hanya dia yang tahu. Dan penduduk
cuma bisa bungkam saja. Dan di kadipaten itu, kebejatan moral mendapat porsi
utama! "Aku ingin tahu dari mana kau mendapatkan pe-
dang itu!" tanya Nyi Blengoh.
Basunanda tersenyum. Tampak senyum ini men-
cerminkan senyum orang yang berkuasa di mana tak
seorang pun boleh menantang kehendaknya.
"Ibu tahu orang bernama Biyantara yang kini men-
duduki jabatan Perwira Tamtama Kadipaten" Dialah
yang memiliki pedang tersebut. Hal itu kuketahui ketika dalam perjalananku ada
sekelompok pengacau
hendak membegal aku. Biyantara bertindak dengan
mengeluarkan pedangnya. Pedang itu bercahaya me-
rah ketika ditimpa sinar matahari, dan semua pedang lawan berantakan semua!"
"Kau semborono! Bagaimana seseorang yang memi-
liki pedang seampuh itu kau beri jabatan tinggi"!" sela Nyi Blengoh dengan nada
sengol. "Sabar, Bu! Ini semua menjadi tanggung jawabku.
Itu adalah imbalan yang dia harapkan. Dan rupanya
dia cukup bahagia dengan jabatannya," kata Basu-
nanda. Nyi Blengoh memandang tajam kepada anaknya
yang baru saja memberi wawasan.
"Baik! Untuk urusan Kadipaten ini memang tugas-
mu. Tapi kau jangan lagi mencegahku untuk me-
nyatroni Nyi Wungkuk itu," kata Nyi Blengoh. "Kalau saja aku tidak mendapat
berita dari seorang murid dari Perguruan Cempaka Putih yang dipimpin oleh Ki
Ageng Lejar Manyura, aku tidak penasaran seperti ini. Sayang, orang itu tak
kuketahui ke mana perginya, se-
hingga aku tak dapat menyelidiki dengan pasti tentang omongannya itu. Sebab,
kalau kuselidiki, jangan-jangan ada pihak lain yang tahu rahasia tersebut."
"Nah, Ibupun punya perasaan was-was juga. Kita
jangan gegabah. Kelihatannya selama ini belum ada
tanda-tanda yang menimbulkan kecurigaan. Ibu telah
memasang mata-mata yang kini jadi kaki tangan Ja-
yenglaga. Dari laporan mereka pun belum ada yang bi-sa meyakinkan bahwa orang
yang kita curigai adalah
orang yang dulu bernama Nyi Saraswati. Hanya saja si Sawer Jenar pernah bentrok
dengan laki-laki bernama Ki Megatruh yang selalu mendampingi wanita tua itu,"
kata Pandansari yang mulai buka suara dengan gen-
car. Sejak tadi dia hanya bicara seperlunya, karena telah bosan membicarakan
masalah ibunya.
"Apa kau bilang" Coba, kau tadi menyebut nama
siapa?" tanya Nyi Blengoh.
"Ki Megatruh!" jawab Pandansari tegas.
"Astaga! Orang itu yang pernah memberitahu aku
tentang Nyi Saraswati yang masih hidup!" kata Nyi Blengoh. "Ya, dialah murid Ki
Lejar Manyura yang pernah bertemu dengan aku beberapa belas tahun yang lalu.
Dikatakannya, bahwa Nyi Saraswati sedang memper-
tinggi ilmunya untuk membalas dendam. Itu sebabnya
aku pun tidak tinggal diam. Kusempurnakan ilmu ka-
nuraganku untuk menjaga sewaktu-waktu Nyi Saras-
wati muncul!"
"Kalau begitu kita cari laki-laki bernama Ki Mega-
truh itu!" Basunanda memberi sara. "Kalau dia pernah bentrok dengan Sawer Jenar,
kukira tak begitu sulit untuk melacak jejaknya!"
*** Nama Ki Megatruh kini jadi tumpuan perhatian. E-
sok harinya Basunanda dan Pandansari menuju ke
rumah Ki Jayenglaga, si tuan tanah.
Tentu saja kedatangan dua orang penting dari Ka-
dipaten Sedayu ini sangat mengejutkannya.
"Tumben sang Adipati sepagi ini hadir di pondok
saya. Angin apa gerangan yang meniupkan langkah
paduka berdua?" sambut Jayenglaga dengan penuh
keramah-tamahan.
"Ada sesuatu yang sangat penting. Itu sebabnya aku
berkenan hadir sendiri kemari," kata Adipati Basunan-da. "Aku hanya ingin
bertemu dengan anak buah ke-
percayaanmu, si Tiga Serangkai itu. Terutama dengan Sawer Jenar!"
"Ah! Ini benar-benar menyesalkan kalau hari ini pa-
duka menanyakan mereka," jawab Jayenglaga. "Sudah
beberapa hari ini mereka bertiga tidak muncul di sini sejak kami mengadakan
pertunjukan adu pertandingan tempo hari."
"Ki Jayenglaga, kau tahu bahwa aku tak pernah
gagal dalam mencari seseorang" Kuharap hal ini tidak menimbulkan kesulitanku.
Aku menghendaki mereka
hadir di hadapanku secepatnya!" kata Basunanda de-
ngan suara mantap.
Jayenglaga yang mengerti sifat adipati itu segera
memerintahkan anak buahnya untuk mencari Tiga Se-
rangkai. *** "Mohon paduka sabar. Tidak biasanya mereka se-
perti ini. Biasanya mereka selalu hadir di sini setiap harinya," kata Jayenglaga
dengan memberi isyarat kepada pelayannya agar mengeluarkan hidangan yang le-
bih semarak. Tapi belum berapa lama mereka menanti kedata-
ngan Tiga Serangkai, tiba-tiba utusan yang disuruh
mencari Tiga Serangkai telah kembali dengan napas te-rengah-engah.
"Ketiwasan, Ki Jayeng! Mmm... me... reka... tt... telah tewas semua!"
"Apa katamu"!" seru Jayenglaga.
"Mm... mer.. mereka saya dapati terkapar di pon-
doknya! Rupanya mereka telah tewas beberapa hari
yang lalu!" kata utusan itu dengan nada bergelut.
Mendengar laporan seperti itu, tanpa pikir panjang
Adipati Basunanda berangkat agar diantar ke tempat
Tiga Serangkai.
Ki Jayenglaga mengiringi dengan mengerahkan
anak buahnya agar mencari sisik-melik berita tentang kejadian tersebut.
Tak berapa lama kemudian, mereka telah tiba di
tempat yang dituju. Mereka langsung memeriksa isi
rumah. Bau tak sedap menyebar. Karena rumah itu terpen-
cil letaknya dari pemukiman penduduk yang lain, jadi hal seperti itu tak
diketahui oleh orang lain. Lagipula jarang ada penduduk yang berani klayapan ke
tempat itu karena perangai Tiga Serangkai yang galak.
Tapi mengapa sampai mereka bisa jadi korban se-
perti itu" Inilah teka-teki yang ingin mereka ungkap!
"Kau pikir siapa yang melakukannya?" tanya Adipa-
ti Basunanda dengan memeriksa luka yang merobek
tubuh ketiga pendekar yang disebut Tiga Serangkai.
Luka mereka nyaris sama, yaitu sabetan pedang
pada arah leher yang dengan cermat telah memutus-
kan urat nadinya.
"Aku punya dugaan bahwa ini perbuatan pendekar
yang mempunyai gelar Walet Emas!" kata Jayenglaga.
"Apa"!" tanya Pandansari, sementara kakaknya
yang adipati itu juga tertarik dengan ucapan Jayenglaga. "Walet Emas?"
"Ya, Walet Emas! Beberapa hari yang lalu dia ber-
hadapan dengan ketiga pendekar ini dalam acara adu
pertandingan. Pertandingan itu sendiri belum tuntas
karena adanya kebakaran," kata Jayenglaga.
"Namanya sendiri Pusparini. Sewaktu saya undang
untuk hadir dalam adu pertandingan, ternyata dia
muncul memenuhi undangan. Dia telah menuliskan
namanya dan nama kependekarannya di buku tamu."
"Wale Emas" Jadi dia seorang wanita?" tanya Pan-
dansari dengan perasaan terpancing. Sebab kalau ada
'betina' yang dianggap jagoan, kontan perasaannya
merasa tersaingi. "Apakah kau yakin bahwa ini perbu-atannya?"
"Hanya prakiraan saja. Sebab siapa lagi yang bikin
ulah terhadap Tiga Serangkai dengan alasan adu per-
tandingan yang tidak terselesaikan itu" Ketika saya lihat masing-masing
meninggalkan gelanggang, tampak-
nya di antara mereka memendam dendam!" kata Ja-
yenglaga dengan memberi perintah anak buahnya agar
membenahi mayat ketiga pendekar itu.
Adipati Basunanda keluar dari pondok itu diiringi
adiknya, Pandansari.
"Aku ingin ketemu si Walet Emas," kata Pandansari
kepada Jayenglaga. "Pasti kau tahu tempatnya. Panggil dia agar datang ke
rumahmu!" "Bagaimana, Jeng Sari?" tanya Jayenglaga pura-
pura tidak mendengar perintah tadi. Jayenglaga ini sebenarnya pernah naksir
terhadap Pandansari. Bahkan
sering memberikan upeti-upeti hadiah kepadanya. Tapi sampai sebegitu jauh hanya
dianggap angin oleh Pandansari.
"Undang dia ke rumahmu!" kata Pandansari lagi.
"Kau tahu di mana dia, bukan?"
"Dia bertempat tinggal di rumah Man Ndoplang,"
jawab Jayenglaga.
"Man Ndoplang" Jangan buang waktu. Aku ingin
menjajal dia di arena pertandinganmu! Panggil dia ke
sini!" kata Pandansari.
"Baik. Baik, akan saya panggil dia!" jawab Jayeng-
laga. *** Pusparini yang mendapat undangan agar datang ke
tempat Jayenglaga untuk melanjutkan adu pertandi-
ngan, segera minta pertimbangan kepada Ki Megatruh
yang kebetulan berada di sana.
"Jelas tidak mungkin kalau kau harus bertemu lagi
dengan Tiga Serangkai itu," kata Ki Megatruh.
"Mengapa?"
"Tiga Serangkai itu telah tewas!" jawab Ki Megatruh.
"Aku yang membunuh mereka!"
"Apa"!"
"Aku tak bisa membiarkan adanya banyak pihak
yang dipasang oleh Nyi Blengoh untuk memata-matai
Nyi Wungkuk. Dulu, aku pernah mencoba mengacau-
kan ketenangan Nyi Blengoh dengan mengatakan bah-
wa Nyi Saraswati masih hidup dan akan menuntut ba-
las. Tidak tahunya bahwa tindakanku itu telah mem-
buat dirinya mempertinggi ilmunya untuk menjaga
munculnya Nyi Saraswati," kata Ki Megatruh. "Seha-
rusnya aku tidak mengatakan hal itu. Tempo hari aku hanya ingin kepastian,
apakah peristiwa tersingkirnya Nyi Saraswati merupakan fitnah yang dilakukan
oleh Nyi Blengoh. Kalau dia berhati mulia, pasti tidak sepe-nasaran seperti itu
ketika kuberitahu bahwa Nyi Sa-
raswati masih hidup berkat pertolongan seseorang."
Pusparini hanya terdiam. Kata-kata yang baru saja
diungkapkan oleh Ki Megatruh menimbulkan pikiran
tentang keberadaan laki-laki itu terhadap peristiwa yang sedang berkembang di
Kadipaten Sedayu ini. Ki
Megatruh ternyata banyak berperan dalam peristiwa
ini. Kalau Tiga Serangkai berhasil dibunuhnya, bukan tidak mungkin Ki Megatruh
ini adalah tokoh persilatan yang tangguh.


Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi mengapa Jayenglaga mengundang saya?"
tanya Pusparini menghendaki agar Ki Megatruh mem-
berikan pandangan.
"Aku belum mendapat gambarannya. Tapi kalau
kau ke sana, jaga dirimu baik-baik. Mungkin mereka
telah mendapati mayat Tiga Serangkai itu."
"Apakah mereka mencurigai saya?"
"Mungkin saja. Sebab kau adalah orang terakhir
yang pernah berhadapan dengan mereka dalam suatu
bentrokan, walaupun dilakukan dalam adu pertandi-
ngan," kata Ki Megatruh sambil memberikan sesuatu
kepada Pusparini.
"Benda apa ini?"
"Kau bisa menggunakannya untuk menghindarkan
diri dari hadapan lawanmu! Lemparkan benda itu, dan segera meledakkan asap
tebal. Itu ramuan yang pernah diajarkan oleh Pendeta Budha dari Cina ketika
berkelana di Jawadwipa," kata Ki Megatruh.
Pusparini mengawasi lima butir ramuan peledak se-
besar buah jambe yang kini berada di tangannya.
"Kalau begitu saya akan berangkat sekarang," kata
Pusparini. "Apakah Mbak Rini memerlukan tenaga saya?" ta-
nya si Thole yang sejak tadi mendengarkan pembica-
raan. "Tak usah. Ini mungkin sangat membahayakan,"
jawab Pusparini yang kemudian mempersiapkan pera-
latannya. Sejenak dia teringat Pedang Merapi Dahana yang ti-
dak ada di sampingnya lagi. Tapi kini dia tahu di mana senjata itu berada.
Kali ini keberangkatan ke tempat Ki Jayenglaga di-
lakukan dengan berkuda, dan sekalian pamit kepada
Man Ndoplang. "Lho, Nduk" Jadi nanti kau tidak kembali kemari
lagi?" kata Man Ndoplang.
"Mudah-mudahan saja bisa. Tapi kalau nasib meng-
hendaki lain, mungkin ini pertemuan kita yang ter-
akhir," kata Pusparini dengan menghentakkan kakinya agar kudanya bergerak
meninggalkan tempat itu.
Kepergian Pusparini dilepas oleh pandangan si Tho-
le, Man Ndoplang beserta isterinya. Sedang Ki Mega-
truh telah melesat pergi begitu Pusparini berangkat menuju ke tempat Ki
Jayenglaga. *** DELAPAN Ketika Pusparini tiba di tempat Ki Jayenglaga, sua-
sana sepi di sana. Tak ada seorang pun yang tampak.
Cuaca pun tidak menunjang kehadirannya. Awan
kelabu merata di langit. Tanpa memperdulikan keada-
an di sana, Pusparini terus memasuki halaman utama dari pelataran rumah
Jayenglaga yang luas bagai alun-alun.
Sesampai di tengah halaman, Pusparini menghenti-
kan kudanya. Dia menunggu perkembangan suasana
dengan harapan ada yang muncul di sana.
Sesaat kemudian harapannya terkabul. Dia melihat
seseorang muncul dengan gerak cepat menuju ke
arahnya. Pusparini waspada.
Sebelum orang itu tepat melancarkan serangannya,
Pusparini telah menangkis dengan sabetan pukulan.
Akibatnya dua kekuatan beradu, sehingga Pusparini
sendiri terpental dari kudanya. Si kuda melonjak dengan liar dan lari menjauhi
tempat itu. Sedangkan pihak penyerang yang juga terpental, kini berhasil
menapakkan kakinya ke tanah.
Seorang wanita dengan pakaian serba mewah ber-
kacak pinggang dengan sikap menantang.
"Siapa kau maka menggali permusuhan denganku?"
tanya Pusparini.
"Kalau diurut kejadiannya memang kau tak ada
sangkut pautnya dengan masalah kami. Tapi aku tak
suka kalau ada betina lain yang unjuk kebolehan di
kawasan Kadipaten Sedayu. Namaku Pandansari. Apa-
kah nama ini punya arti bagimu?"
"Pandansari" Jadi kau yang disebut orang sebagai
wakil adipati di sini" Kau adalah adik Basunanda?"
berkata Pusparini dengan nada tegar yang ingin me-
nunjukkan sikap bahwa dia tidak takut menghadapi
bahaya apapun di tempat itu.
"Hm! Jadi pengetahuanmu cukup lumayan telah
mengetahui keadaan orang-orang di Kadipaten Se-
dayu," Pandansari mengimbangi dengan ketegarannya
pula. Dadanya yang padat itu dibusungkan seolah me-
nantang tanpa banyak omong.
Pusparini tak mau membuang waktu lagi. Jelas ke-
datangannya telah ditunggu oleh Pandansari, walau-
pun alasannya belum diketahui.
Yang pasti, Pandansari merasa tersaingi kalau ada
jagoan wanita lain yang agaknya membayangi na-
manya di daerah itu.
Seperti ada wasit yang memberi aba-aba, maka ke-
duanya serentak saling melesat maju. Perang tanding berkembang dengan seru.
Boleh dikata semua anggota
badan mereka tak ada yang tidak berfungsi. Anggota
badan mulai dari tangan sampai kaki memerankan tu-
gas masing-masing untuk menggojlok lawan. Saling
tonjok, saling menangkis, menendang, menggampar,
semua berkembang mengisi jurus-jurus yang dis-
erangkan terhadap lawan.
Selama perang tanding itu berlangsung, ternyata
banyak mata yang menyaksikan. Mereka berada di ba-
lik persembunyian di dalam bangunan-bangunan. Te-
rutama Adipati Basunanda yang dengan cermat men-
gawasi sepak terjang saudaranya dalam menghadapi
pendekar yang punya gelar Walet Emas. Sayang Basu-
nanda belum menyadari bahwa Pedang Merapi Dahana
yang berada di tangannya adalah milik si Walet Emas ini. Di sisi lain, sebagai
penonton adalah Ki Jayenglaga sendiri. Dalam hati kecilnya benar-benar mengagumi
Pusparini yang terlihat bergerak lincah dalam menghadapi Pandansari. Apalagi
pertarungan kedua pendekar wanita itu telah berkembang mempergunakan senjata
tajam. Mereka masing-masing telah mencabut pedang-
nya. Dentang dari beradunya senjata mereka bergema
memantul di antara tembok-tembok bangunan yang
ada di sana. Medan laga pun berkembang ke segenap
penjuru. Kadang-kadang terpaksa menerobos rumah,
dan sekali-kali melesat ke atas atap, dan kerusakan pun tak terhindarkan lagi.
Tapi pada saat itulah, ketika mulai terlihat tanda-
tanda bahwa Pandansari mulai keteter oleh serangan
Pusparini, maka Basunanda tampi keluar. Hal itu me-
narik perhatian Pusparini. Apalagi dengan kemuncu-
lannya itu Basunanda mencabut Pedang Merapi Daha-
na. Hanya sayang, saat itu cuaca mendung, sehingga
pedang itu tidak dapat memancarkan sinar merah.
Tersitanya perhatian Pusparini membuat Pandansa-
ri mempergunakan kesempatan ini untuk menjegal ju-
rus yang kosong. Pusparini terjengkal ke tanah. Me-
lihat hal itu, dengan nafsu membunuh yang meluap
Pandansari terus melancarkan serangannya.
Tapi Pusparini tidak selengah yang diduga. Begitu
Pandansari menubruk dengan tusukan pedang, maka
Pusparini telah terlebih dulu membabatkan pedangnya ke arah lawan.
Serangan fatal ini berhasil menembus jantung Pan-
dansari! "Sariiiiii!!!" seruan ini meledak dari bibir Basunan-da. Langsung dia melesat
untuk menindak Pusparini.
Dengan mencabut pedangnya yang menghunjam
dari dada Pandansari, maka Pusparini berancang-
ancang menghadapi munculnya laki-laki itu. Sekilas
dilihatnya Pedang Merapi Dahana berada di tangan
orang yang baru muncul itu.
"Ini pasti yang bernama Basunanda, Adipati Se-
dayu," pikir Pusparini sambil berkelit karena tahu terjangan lawan akan langsung
menuju arahnya.
Ternyata gerakan Basunanda hanya untuk melihat
keadaan adiknya yang dadanya bersimbah darah.
Pandansari tak tertolong lagi. Tak ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan
terakhir. Tusukan Puspa-
rini telah mengoyak jantung wanita itu.
"Kau harus membayar dengan nyawamu!" kata Ba-
sunanda sambil menghunuskan pedang yang dipe-
gangnya ke arah Pusparini.
Pedang Merapi Dahana itu untuk sejenak mence-
ngangkan Pusparini. Dia sendiri hampir-hampir tak
percaya kalau pedang miliknya berada di tangan orang lain, dan akan merenggut
nyawanya. "Untung matahari terhalang mendung. Kalau tidak,
senjata itu akan merontokkan pedang di tanganku!"
pikir Pusparini sambil menangkis serangan Basunan-
da. Serangan Basunanda dilakukan dengan kalap.
Hampir-hampir Pusparini tidak mendapat peluang un-
tuk menghindarkan diri. Dan pikirannya selalu was-
was kalau-kalau sinar matahari tiba-tiba muncul dari balik mendung yang kelabu.
Dalam keadaan ini, tanpa diduga tiba-tiba muncul
sesosok tubuh yang lain dan menerjang ke arah Basu-
nanda. Tentu saja keadaan yang tidak diduga ini membuat Basunanda terjerembab
dari posisinya yang de-
ngan gencar menyerang Pusparini.
"Biyantara!" seru Pusparini setelah tahu siapa yang mendobrak serangan
Basunanda. Dan laki-laki ini terus bertindak untuk mengambil alih peluang
Puspari- ni. Tentu saja kehadiran Biyantara sangat mengejutkan Basunanda.
"Tunggu! Apa-apaan ini"! Apa kau sudah edan"!
Aku Basunanda, adipatimu! Mengapa kau serang aku,
hah"!" seru Basunanda dengan mata melotot ke arah
lawannya itu. "Maaf! Saya tidak ingin pedang itu paduka gunakan
untuk menghadapi gadis itu!" kata Biyantara yang ka-ta-katanya masih mengandung
rasa hormat. "Senjata ini telah menjadi milikku, dan kau tak berhak melarang-larangku. Lagi
pula kau ini siapa, hah"!
Kau bawahanku! Berani benar menentang kehendak-
ku. Apakah kau sudah tidak sayang dengan jabatan-
mu"!" seru Basunanda semakin berang.
"Pedang Merapi Dahana adalah milik gadis itu!" ka-
ta Biyantara dengan tenang. Tapi di balik ketenangannya ini dia menyimpan sikap
waspada yang siap meng-
hadapi tindakan Basunanda.
"Jangan nglindur! Kau akan mengacaukan perhati-anku mentang-mentang dia
cantik"!" kata Basunanda.
"Kau sudah kasmaran dengannya" Sejak kapan kau
mengenalnya, hah"!"
"Maaf! Antara kita tak ada hubungan lagi. Jangan
anggap aku sebagai bawahanmu lagi!" kata Biyantara
yang bicaranya telah mengesampingkan tata-krama
antara tuan dan bawahannya.
"Berapa gadis itu telah membayarmu sehingga kau
berpaling kepadanya, hah"!" seru Basunanda dengan
nada lebih keras.
Keadaan ini membuat munculnya Jayenglaga dari tem-
patnya. Kemunculan Jayenglaga diikuti anak buahnya.
"Apakah ada yang bisa saya bantu?" katanya den-
gan memandang tajam ke arah dua orang yang sedang
bersitegang kata itu.
"Minggir saja kalian! Urusan ini bisa kuselesaikan
sendiri!" hardik Basunanda kepada Jayenglaga.
"Begitukah" Apakah sang Adipati tidak melihat sia-
pa yang di atas atap rumah itu?" kata Jayenglaga dengan menunjuk dua sosok tubuh
yang baru saja mun-
cul. Basunanda mengekor telunjuk Jayenglaga. Di sana
tegak dua orang dengan sikap tegar, walaupun yang
seorang bertubuh bungkuk. Mereka tiada lain adalah
Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh.
"Jahanam!" kata Basunanda. "Kiranya di sini jadi
ajang pertemuan. Bukankah yang berambut putih itu
Nyi Wungkuk?"
"Ya! Tapi saya tidak tahu siapa orang satunya.
Orang bercapil itu sering kulihat, tapi siapa gerangan dia, tidak saya ketahui,"
jawab Jayenglaga.
Dan suasana jadi bertambah gerah ketika tiba-tiba
pula muncul seseorang yang melesat dengan cepat ke
arah Nyi Wungkuk!
"Ibu!" seru Basunanda ketika melihat siapa yang
muncul lagi di sana. Ternyata Nyi Blengoh, dengan
kemunculannya ini langsung menggebrak dengan se-
rangan yang ditujukan kepada Nyi Wungkuk.
"Awas, Nyi!" seru Ki Megatruh memberi peringatan
kepada Nyi Wungkuk.
Tanpa diberitahu, Nyi Wungkuk telah siap pula.
Memang sejak tadi dia bersama Ki Megatruh telah me-
nyatroni tempat itu dengan cara sembunyi-sembunyi.
Pada saat itu, dia melihat pula kehadiran Nyi Blengoh yang tidak mempedulikan
keadaan Pandansari yang
diketahui telah tewas di tangan Pusparini. Rupanya
wanita ini hatinya telah membara, sehingga nasib
anaknya yang malang tidak diratapi lagi. Pikirannya hanya pada Nyi Saraswati
yang dicurigai telah tampil sebagai Nyi Wungkuk!
Terjangannya ke arah Nyi Wungkuk mendapat
tangkisan hebat. Nyi Blengoh merasakan betul bagaimana gempurannya mendapat
tangkisan yang begitu
dahsyat dari Nyi Wungkuk.
Dua kekuatan ilmu kanuragan telah saling berben-
turan, dan masing-masing terpental dari titik temu
gempuran itu. Sedangkan Ki Megatruh yang berada
dekat tempat itu merasakan pula imbasannya. Dia
mencoba menjauh.
Sekilas Nyi Blengoh sempat melihat dengan nyata
wajah seorang lelaki yang pernah dikenalnya dan
memberi tahu bahwa Nyi Saraswati masih hidup.
"Kau" Kaukah itu, Megatruh"!" kata Nyi Blengoh
sambil mengawasi dengan tajam ke arah laki-laki yang dikenalnya walaupun
peristiwa itu telah berlangsung lama. "Katakan dengan jujur! Diakah Nyi


Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saraswati?"
"Kukira hati nuranimu telah meyakinkan daripada
aku harus membuka mulut!" kata Ki Megatruh.
"Kurang ajar!!" seru Nyi Blengoh sambil mengirim-
kan angin pukulan, dan... dinding itu jebol kena imbas pukulan ketika Ki
Megatruh melompat menghindari.
Ini membuat Nyi Blengoh semakin penasaran. Tapi dia tidak lagi menyerang Ki
Megatruh. Kini serangannya ditujukan kepada Nyi Wungkuk
yang telah diyakini sebagai Nyi Saraswati. Dia menerjang ke arah wanita
berpunggung bungkuk itu.
Barulah sekarang keduanya terlibat baku hantam
dengan saling menerjang ke arah peluang yang diduga bisa melumpuhkan lawan. Tapi
kenyataannya keduanya belum mampu merontokkan lawannya.
Untuk beberapa jurus pertarungan Nyi Wungkuk
dan Nyi Blengoh menjadi tontonan orang-orang yang
berada di sana.
Tapi Pusparini yang melihat peluang ini, tidak mem-
biarkan hasratnya yang semula ingin merebut kembali Pedang Merapi Dahana yang
kini berada di tangan Basunanda. Dia langsung melesat ke arah Basunanda.
Sayangnya si lawan ini sempat tahu gerakannya.
Pedang Merapi Dahana segera diayunkan ke arah Pus-
parini. Untung Pusparini menangkis dengan senja-
tanya. Dan masih untung pula bahwa Pedang Merapi
Dahana belum menunjukkan keampuhannya karena
tiadanya cahaya matahari saat itu. Cuaca masih dili-puti mendung. Tapi ada
tanda-tanda bahwa kea-
daannya akan bisa cerah, karena angin dengan pelan
mulai mengikis awan kelabu yang menutupi sinar ma-
tahari. Pusparini agak berdebar melihat perkembangan cu-
aca itu. "Ayoh, bertahanlah terus! Kau tahu sendiri keadaan
pedang ini, bukan?" kata Basunanda sambil terus me-
nyerang ke arah Pusparini.
Didorong oleh semangat bahwa dia tak boleh mem-
biarkan Pedang Merapi Dahana jatuh ke tangan orang
lain, maka semangat Pusparini kian menggebu. Basu-
nanda sendiri heran dengan keadaan lawan yang se-
perti kesurupan setan tak mempan jurus mematikan.
Di lain pihak, Jayenglaga sudah gatal ingin meli-
batkan diri ke tengah bahu hantam. Tapi kepada siapa dia akan berpihak"
Sebagai tuan tanah tentu saja dia menghendaki
kemudahan-kemudahan dalam melaksanakan kehen-
daknya apabila harus berhadapan dengan pihak pe-
nguasa. Oleh sebab itu diputuskan untuk membantu
Adipati Basunanda. Tapi rasanya tidak ksatria kalau harus nimbrung dan mengroyok
Pusparini. Untuk
mengambil muka, dia tahu apa yang harus dilakukan,
maka diperintahkan semua anak buahnya untuk me-
nindak laki-laki bercapil lebar itu, yang tiada lain Ki Megatruh.
Tahu bahwa anak buah Jayenglaga dengan diam-
diam bergerak ke arahnya, maka Ki Megatruh tak tinggal diam. Dia segera meladeni
serangan itu. Baku hantam semakin melebar. Suasana semakin riuh.
Melihat hal itu Biyantara pun tak tinggal diam. Perhatiannya ditujukan kepada
Jayenglaga yang masih
mengawasi anak buahnya mengroyok Ki Megatruh.
"Jayenglaga!" seru Biyantara. "Kini kita lanjutkan
urusan kita sendiri!"
"Apa maumu, Biyantara"!"
"Tantanganku tempo hari belum kau jawab. Kita ini
pernah dianggap sebagai anak dedengkot pengacau
bernama Simbar Menjangan!" seru Biyantara.
"Senangnya kau mengungkit-ungkit masalah basi
seperti itu! Apakah kau ingin menjatuhkan martabatku bahwa aku anak dedengkot
pengacau?"
"Bukan itu! Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya
anak Simbar Menjangan yang asli. Kau tahu, aku pun
merasa sebagai anak Simbar Menjangan!"
"Apa" Kau anak Simbar Menjangan" Lucu! Di lain
pihak tentunya tak ada orang yang sudi dianggap se-
bagai anak Simbar Menjangan yang pengacau itu, ma-
lah kau mengaku sebagai anaknya!"
"Dengar dan pasang telingamu baik-baik! Almar-
hum Simbar Menjangan dikabarkan orang punya anak
dua orang. Yang satu hasil penculikan anak seorang
tokoh di Kadipaten Sedayu. Anak itu putra Adipati
Agung Sedayu yang kini juga telah mangkat. Tapi se-
lanjutnya anak itu diasuh oleh anak buah Simbar
Menjangan. Kau pun tentu tahu bahwa kau sejak ke-
cilmu diasuh oleh anak buah Simbar Menjangan. Ter-
sebar berita bahwa istri Simbar Menjangan meninggal setelah melahirkan anak
laki-lakinya. Kemudian anak itu diasuh oleh pembantunya. Aku hanya ingin tahu,
siapa sebenarnya anak adipati yang diculik itu!" kata Biyantara dengan nada
menggebu. Baru saat itulah Jayenglaga mengerti duduk persoa-
lannya. Tentu saja kesempatan ini akan dipergunakan untuk mengangkat derajat
dirinya. "Alangkah tololnya kau berkata begitu. Dari kea-
daanku saja orang akan tahu bahwa akulah yang di-
pandang sebagai putra Adipati Agung Sedayu yang se-
masa kecilnya pernah diculik Simbar Menjangan!" kata Jayenglaga bangga.
Omongan itu sempat didengar oleh Basunanda yang
sedang menghadapi Pusparini. Tentu saja hal itu sa-
ngat menyengat perasaannya. Bagi Basunanda, kebe-
radaan putra Nyi Saraswati dipandang sebagai ganja-
lan, lebih berbahaya ketimbang saat itu menghadapi
Pusparini. Maka tanpa direncanakan, Basunanda
membelokkan perhatiannya kepada Jayenglaga yang
sedang membanggakan diri bahwa dialah putra Adipati Agung Sedayu.
Jayenglaga benar-benar tak menduga bahwa tiba-
tiba napasnya jadi sesak ketika dirasakan sebuah ben-da tajam menembus
punggungnya! Lalu disusul teba-
san lagi pada arah leher ketika dia sempat melihat siapa yang melakukan!
"Mampuslah kau, anak yang terculik!!" seru Basu-
nanda dengan mengawasi tubuh Jayenglaga roboh ke
tanah. Tak kalah terkejutnya adalah Biyantara! Secepatnya
dia menjaga jarak agar tidak terlibat serangan Basunanda yang kelihatan mata
gelap. Pusparini sendiri sangat digelisahkan oleh tersibaknya awan kelabu di langit
yang secara pelan mulai me-nampakkan cahaya matahari. Begitu cahaya matahari
bersinar cerah, maka memancarlah cahaya merah dari
Pedang Merapi Dahana.
"Hahahahahaha... lihat! Inilah pancaran Pedang
Merapi Dahana! Dia mendapat tenaganya dari sinar
matahari!" seru Basunanda sambil melirik ke arah
Pusparini. "Kau akan dibantai oleh pedangmu sendiri, Walet Emassss!!!" Basunanda
mengakhiri ucapannya
dengan melesat ke arah Pusparini.
Sejenak Pusparini berpikir untuk menghadapi se-
rangan Basunanda dengan tangkisan pedangnya. Tapi
niat itu dibatalkan dengan tindakan cepat yang lain.
Dia melemparkan butiran yang diberikan oleh Ki Megatruh kepadanya. Dan....
Bhusshhh...! Ledakan asap menghalangi pandangan Basunanda.
Kemudian disusul lemparan kedua, sehingga peman-
dangan semakin menyulitkan Basunanda.
Pada saat itulah Pusparini melesat maju. Dia berte-
kad merebut pedang itu dari tangan lawannya.
Basunanda masih mencoba mengatasi asap yang
menyerang pandangannya ketika tiba-tiba dirasakan
renggutan tangan yang mencoba merampas Pedang
Merapi Dahana dari tangannya. Dia mencoba memper-
tahankan. Pergumulan terjadi. Hulu Pedang Merapi
Dahana tercekam oleh dua pasang tangan. Di antara
keduanya saling merebut. Sungguh sulit untuk meng-
awasi keadaan ini.
Pada suatu kesempatan Basunanda berbuat cu-
rang. Tapi bukankah berbuat curang itu dihalalkan dalam berkelahi" Dan itulah
yang dilakukan Basunanda.
Dia menyikat payudara Pusparini! Oh..., alangkah sakit rasanya.
Pusparini menyeringai menahan sakit. Tapi sesaat
kemudian akalnyapun berkembang. Dia ganti mener-
jang kemaluan Basunanda dengan ujung lututnya.
Basunanda mengaduh. Pada saat itulah Pusparini
mempertinggi hentakan tangannya untuk merebut pe-
dang yang saling dicekam. Untuk ini dia mengulangi
menerjang kemaluan Basunanda untuk kedua kalinya.
Tapi Basunanda menjaga kemungkinan ini, membuat
serangan Pusparini ini luput dari sasaran.
Justru ketika Basunanda mencoba menggagalkan
serangan Pusparini, malahan perutnya yang kena. Un-
tuk sesaat Basunanda menyeringai dan dicoba menga-
tasi dengan mengatur pernapasannya.
Tentu saja hal ini merupakan kesempatan untuk
menggalakkan serangan. Sikut Pusparini melesat ke
dagu Basunanda sehingga laki-laki ini tersentak ke belakang.
Pegangan yang dirasa renggang pada hulu Pedang
Merapi Dahana, cepat dihentakkan oleh Pusparini
dengan tambahan terjangan kaki ke dada Basunanda
yang tubuhnya merenggang dari himpitan!
Tindakan ini membuat pegangan Basunanda terle-
pas. Pedang Merapi Dahana berhasil direbut Pusparini!
"Hah"!" hanya ini yang keluar dari mulut Basunan-
da. Melihat Pedang Merapi Dahana yang memancarkan
cahaya merah, membuat Basunanda kehilangan se-
mangat. Pada saat inilah tanpa diduga Biyantara me-
nerjang ke arah Basunanda!
"Aku bukan bawahanmu lagi!" teriak Biyantara
sambil menggampar dagu Basunanda dengan tumit
kakinya. Basunanda terguling. Justru gerakannya ini mem-
buat dirinya berhasil meraih sebilah pedang dekat mayat adiknya, Pandansari.
Pedang itu dipergunakan untuk mempertahankan diri.
"Hadapi dia, Biyantara! Aku akan menjadi wasit da-
lam masalah ini!" seru Pusparini.
Biyantara melesat ke arah Basunanda. Keduanya
terlibat perang tanding dengan pedang.
Karena Basunanda telah mengerahkan tenaganya
dalam menghadapi Pusparini, maka menghadapi Bi-
yantara dia agak kedodoran. Serangannya banyak yang meleset.
Tapi Basunanda dapat meraih serangan yang nyaris
menerbangkan nyawa Biyantara. Tebasan pedang Ba-
sunanda merobek rompi Biyantara sehingga tersibak
punggungnya. Rompi yang koyak itu direnggutkan sehingga terli-
hat telanjang dadanya. Sedangkan punggungnya telah
mengalir darah karena sabetan pedang Basunanda.
Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat penasaran Biyantara untuk
mengadakan balasan.
Selama semua terlibat bentrokan, Pusparini kini
hanya sebagai penonton. Di seberang sana terlihat Ki Megatruh masih sibuk
menghadapi anak buah Jayenglaga. Di sisi lain Nyi Wungkuk dan Nyi Blengoh masih
gencar dengan serangan masing-masing.
Tak berapa lama kemudian, terjadi perkembangan
lagi. Anak buah Jayenglaga banyak yang menyerah.
Sebagian lagi ada yang melarikan diri. Mereka merasa tidak tahu lagi bertempur
untuk siapa setelah diketahui juragannya telah tewas.
"Kelihatannya kau asyik sekali melihat pertarungan
mereka!" terdengar suara yang membuat Pusparini
mengalihkan pandangan dari mana datangnya teguran
itu. Ternyata Ki Megatruh telah berada di dekatnya.
"Saya merasa tidak berhak lagi mencampuri. Saya
telah menemukan senjata saya," kata Pusparini de-
ngan menimang Pedang Merapi Dahana.
"Apa pikiranmu tentang Biyantara?" tanya Ki Mega-
truh. "Saya belum tahu. Tampaknya dia ingin suatu ke-
pastian siapa dirinya yang sebenarnya," jawab Pusparini sambil mengawasi
Biyantara yang terus melancarkan serangan terhadap Basunanda.
"Dia adalah putra Nyi Saraswati yang terculik!" kata Ki Megatruh.
"Bagaimana Ki Megatruh bisa yakin begitu?"
"Lihatlah tanda hitam di punggung Biyantara. Itu
' toh' yang sejak lahir dimiliki oleh putra Nyi Saraswati.
Hal itu pernah diceritakannya kepadaku oleh Nyi Sa-
raswati, bahwa anaknya yang terculik memiliki ' toh'
seperti bunga mawar!"
"Mudah-mudahan Nyi Saraswati sempat melihat
tanda itu selagi sedang berhadapan dengan Nyi Ble-
ngoh," kata Pusparini. Tentu saja harapannya agar Nyi Saraswati yang dikenal
sebagai Nyi Wungkuk dapat
memenangkan pertarungan itu.
Sementara itu keadaan Basunanda telah semakin
payah. Dia benar-benar tak kuasa lagi menangkis se-
rangan Biyantara. Sampai akhirnya serangan yang cu-
kup fatal harus diterima dari lawannya. Pedang Biyantara berhasil menebas
lehernya, lalu disusul tusukan pada dada, tepat di arah jantungnya. Basunanda
roboh! Pada saat peristiwa itu terjadi, Nyi Blengoh sempat melihat adegan tersebut.
Baru kali ini dia tersendat dan hatinya merasa terguncang...! Dua orang anaknya
telah tewas! Bagaimana itu semua bisa terjadi dalam waktu singkat" Rasanya
seperti karma yang harus di-bayar mahal pada hari itu juga.
Pada saat yang lengah ini, Nyi Wungkuk tidak me-
nyia-nyiakan peluang. Pukulan yang diisi tenaga dalam dihunjamkan ke tubuh
lawannya. Kontan tubuh Nyi Blengoh terpental dengan me-
nyemburkan darah segar dari mulutnya. Dan tubuh
itu akhirnya terpaku pada sebuah ujung kayu yang
runcing, tembus dari punggung sampai ke dada!
Nyi Saraswati tercekam oleh peristiwa itu. Pada ak-
hirnya dia memenangkan pertikaian yang berkembang
lebih dari tiga puluh tahun!
"Semua sudah berakhir...!" terdengar suara di de-
katnya. Nyi Saraswati menoleh. Dilihatnya Pusparini yang
didampingi Ki Megatruh telah berada di sampingnya,
lalu, tak berapa lama kemudian Biyantara mendekati
mereka. "Nyi!" kata Ki Megatruh. "Masih ingatkah dengan


Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapanmu tentang anakmu yang hilang" Kau pernah
berkata tentang ' toh' di punggung anakmu yang menyerupai bentuk bunga mawar.
Sekarang kau bisa me-
lihat seseorang yang memiliki tanda seperti itu. Terse-rah kau mempercayainya
atau tidak."
"Nyi! Biyantara ini telah lama mencari siapa ibunya yang sebenarnya. Lihatlah
tanda itu di punggungnya,"
tambah Pusparini.
Nyi Saraswati mengawasi Biyantara.
"Rasanya tanpa melihat ' toh' itu, akupun melihat sinar mata Kangmas Agung pada
matanya. Tapi namamu dulu bukan Biyantara, tapi Bawaleksana...!" ka-ta Nyi
Saraswati. "Kukira orang yang menculikmu ti-
dak tahu nama itu...!"
"Jadi... Ibu yakin bahwa aku adalah Bawaleksana
anak Ibu yang hilang itu?" terdengar suara Biyantara dengan nada ragu.
"Perasaanku mengatakan bahwa kau anakku yang
hilang...!" kata Nyi Saraswati dengan suara tertelan memendam kebahagiaan yang
sulit dicetuskan.
Biyantara lalu memeluk wanita tua itu...!
*** Beberapa hari kemudian... terlihat Pusparini telah
dalam perjalanan meninggalkan Kadipaten Sedayu.
Dalam perjalanan ini masih terngiang suara Biyantara yang tiada henti-hentinya
mengucap syukur atas bantuan Pusparini dalam memulihkan suasana di Kadipa-
ten Sedayu. "Jangan bersyukur kepada saya. Ini semua telah
dikehendaki Sang Hyang Widhi!" kata Pusparini. "Saya hanya pelengkap saja dalam
peristiwa itu."
"Mengapa kau tidak tinggal di kadipaten ini saja"
Sampai berapa lama kau harus menuruti kata hatimu
untuk mengembara?" kata Biyantara alias Bawaleksa-
na yang kini menjabat adipati di Kadipaten Sedayu,
sebagai pewaris trah dari almarhum Adipati Agung Sedayu.
"Suatu saat pasti saya akan menetap di suatu tem-
pat," kata Pusparini sambil menghentakkan tali ke-
kang kudanya. Semua mata mengawasi keberangkatan Pusparini
yang punya gelar kependekaran Walet Emas. Nyi Sa-
raswati melepas keberangkatan itu dengan linangan air mata. Sedangkan Ki
Megatruh dengan tatapan mata
sendu. Dan Biyantara sendiri mengantar dengan doa...!
Dan Pusparini terus menghentakkan lari kudanya
untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Dia belum berniat untuk tinggal di
suatu tempat...!
*** SELESAI EPISODE INI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
SATU *** *** DUA *** *** *** TIGA *** *** *** EMPAT *** *** LIMA *** *** ENAM *** TUJUH *** *** *** *** DELAPAN *** *** SELESAI EPISODE INI
Pendekar Muka Buruk 5 Pendekar Rajawali Sakti 90 Rajawali Murka Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15
^