Nyi Wungkuk Bendo Growong 1
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong Bagian 1
http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 16 :901 Pendekar Pulau
Neraka - Warisan Kitab Pusaka902 Pendekar Pulau Neraka - Setan Seribu Nyawa903
Pendekar Pulau Neraka - Pendekar TanahSeberang904 Pendekar Slebor - Lembah
Kutukan905 Pendekar Slebor - Dendam dan Asmara906 Pendekar Slebor - Mustika
Putri Terkutuk907 Pendekar Slebor - Geger Ratu Racun908 Pendekar Slebor - Darah
Pembangkit Mayat909 Pendekar Slebor - Bangkitnya Ki Rawa Rontek910 Pendekar
Slebor - Pusaka Langit911 Pendekar Slebor - Pengejaran Ke Cina912 Pendekar
Slebor - Manusia dari Pusat Bumi913 Pendekar Slebor - Pengadilan Perut Bumi914
Pendekar Slebor - Cermin Alam gaib915 Pendekar Slebor - Pendekar Wanita
TanahBuangan916 Pendekar Slebor - Sepasang Bidadari Merah917 Pendekar Slebor -
Bayang-Bayang Gaib918 Pendekar Slebor - Permainan Tiga Dewa919 Pendekar Slebor -
Undangan Ratu Mesir920 Pendekar Slebor - Piramida Kematian921 Pendekar Slebor -
Warisan Ratu Mesir922 Pendekar Slebor - Perompak-Perompak LautCina923 Pendekar
Slebor - Raja Akherat924 Wiro Sableng - Hantu Selaksa Angin925 Wiro Sableng -
Muka Tanah Liat926 Wiro Sableng - Batu Pembalik Waktu927 Wiro Sableng - Istana
Kebahagiaan928 Wiro Sableng - Kembali Ke Tanah Jawa929 Wiro Sableng - Tiga Makam
Setan930 Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton931 Wiro Sableng - Gondoruwo Patah
Hati932 Wiro Sableng - Makam Ke Tiga933 Wiro Sableng - Senandung Kematian934
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah935 Wiro Sableng - Mayat Persembahan936 Wiro
Sableng - Si Cantik Dalam Guci937 Wiro Sableng - Tahta Janda Berdarah938 Wiro
Sableng - Meraga Sukma939 Wiro Sableng - Melati Tujuh Racun940 Wiro Sableng -
Kutukan Sang Badik941 Wiro Sableng - Lorong Kematian942 Wiro Sableng - Nyawa
Kedua943 Wiro Sableng - Rumah Tanpa Dosa944 Pendekar Rajawali Sakti - Darah dan
Asmara945 Pendekar Rajawali Sakti - Setan Pedang Perak946 Pendekar Rajawali
Sakti - Satria Baja Hitam947 Pendekar Rajawali Sakti - Misteri Peramal Tua948
Pendekar Rajawali Sakti - Buronan SingoWulung949 Pendekar Rajawali Sakti - Genta
Kematian950 Pendekar Rajawali Sakti - Gerhana KembangKedaton951 Pendekar
Rajawali Sakti - Tumbal PenguasaSamudra952 Pendekar Rajawali Sakti - Mustika
Kuburan Tua953 Pendekar Rajawali Sakti - Jaringan Hitam954 Pendekar Rajawali
Sakti - Pembalasan Mintarsih955 Pendekar Rajawali Sakti - Siluman Ular Merah956
Pendekar Rajawali Sakti - Pembunuh Misterius957 Pendekar Rajawali Sakti -
Penjagal BukitTengkorak958 Pendekar Rajawali Sakti - Darah Seratus Bayi959
Pendekar Rajawali Sakti - Dewi Goa Ular960 Pendekar Rajawali Sakti - Badai Di
LembahTangkar Jalanan becek membuat Pusparini alias Walet Emas
mengendalikan lari kudanya dengan hati-hati. Hujan
baru saja reda. Dalam gerimis lembut dia nekad untuk melanjutkan perjalanan.
Tapi ketika gerimis itu men-jelma menjadi butiran air hujan sebesar jagung, dia
memutuskan untuk mencari tempat berteduh.
"Tak kulihat sebuah pondok pun. Apalagi gubug,"
pikirnya sambil terus memacu lari kudanya.
Dan di saat itulah tiba-tiba sekilat lidah petir menyambar pohon di depan sana.
Pohon itu langsung
tumbang. Pusparini yang ketika terdengar ledakan petir tak jauh darinya,
langsung terpental dari kuda. Untung dia seorang pendekar. Kalau tidak, nasibnya
jadi lain. Dalam suasana limbung di udara, dia berhasil
menapakkan kakinya di tanah.
Tapi baru saja hal itu terjadi, inderanya segera me-nangkap bahaya lain.
Ternyata pohon yang disambar
petir itu tumbang. Batangnya terlihat nyata roboh ke arah tempat Pusparini
berada. Satu-satunya cara untuk menghindar cuma segera melesat dari sana. Tapi
karena semuanya serba dadakan dalam suasana ribut,
maka gerakannya sulit memperhitungkan keadaan se-
kelilingnya. Ikat pinggangnya yang berbentuk selen-
dang kuning tersangkut pada dahan pohon di mana
dia menjatuhkan diri, dan ini mengakibatkan tubuh-
nya tersendat. Karena hal inilah dirinya merasa bagaikan ditarik oleh kekuatan
besar sehingga terpelanting ke arah yang tidak diperhitungkan.
"Ah!" hanya ini yang keluar dari mulutnya mengiri-
ngi hempasan tubuhnya yang melanda batu besar. Se-
benarnya Pusparini masih bisa untuk bangkit, tapi dia
terlalu payah. Dia sengaja untuk berbaring di sana, sementara air hujan terus
mengguyur tubuhnya...!
*** Suara ringkik kudanya membangunkan Pusparini
dari tidurnya. Hujan telah lama reda. Bahkan telah
kemarin redanya. Saat ini suasananya pagi hari. Dia mencoba mengingat peristiwa
yang telah terjadi. Lalu dia bangkit dan menghampiri kudanya. Beruntung sekali
kuda itu telah jinak terhadapnya. Boleh dikata sudah seperti majikan dan
hambanya. "Aku harus mandi dulu. Apakah kau melihat sungai
atau mata air dekat-dekat sini?" kata Pusparini kepadanya kudanya yang biasa
diajak berdialog di saat-saat sepi.
Tentu saja kuda itu tak mengerti dengan maksud
ucapan tuannya. Pengertiannya hanya terbatas pada
hal-hal tertentu yang menyangkut gerak, datang, pergi, istirahat, merumput. Tapi
entah bagaimana, saat itu sepertinya si kuda mengerti apa yang diharapkan
Pusparini, lalu berjalan pelan seolah memberi isyarat kepada tuannya.
"Hei, ke mana" Kau tahu di sana ada sungai?" kata
Pusparini dengan mengikuti langkah kaki kudanya.
Pandangan Pusparini segera mengarah kepada tempat
yang semakin landai, dan diperkirakan ada sungai di sana.
"Hm, kau benar-benar jeli. Walaupun baru hujan,
sungai itu tetap jernih. Jelas kawasan ini jauh dari pemukiman penduduk.
Biasanya kalau sebuah sungai
terlihat kotor, pasti dekat dengan pemukiman pede-
saan," kata Pusparini sambil terus menuruni tempat
menuju sungai di depannya.
Tapi baru saja dia meneliti mencari tempat di mana
sebaiknya menanggalkan pakaiannya, mendadak ter-
dengar langkah-langkah mendekat ke tempat itu.
Langkah kaki yang terseret, terdengar tergesa-gesa.
Pusparini mendapat firasat ada sesuatu yang tidak
beres dengan kehadiran langkah kaki itu.
Benar saja. Sesaat kemudian terlihat seseorang
yang luka parah berpapasan dengannya. Orang itu
terperangah kaget.
"Oh, bukan aku! Bukan aku yang melakukan.
Sungguh. Ampuni aku...!" terdengar ucapan laki-laki itu dengan nada ketakutan.
"Hei! Apa yang kaukatakan itu" Aku tak tahu apa-
apa!" jawab Pusparini.
"Aahh!" terdengar jeritan orang itu karena tiba-tiba punggungnya dihunjam oleh
sebilah cundrik, keris kecil, dan langsung roboh.
Untung Pusparini cepat menyangga tubuh orang
itu. Kalau tidak, tubuh itu akan meluncur ke sungai.
Belum sempat Pusparini memeriksa dari mana da-
tangnya lemparan cundrik tersebut, muncullah bebe-
rapa orang dengan tampang angker. Melihat pakaian-
nya, mereka jelas dari kelompok orang berpengaruh di wilayah itu.
"Seperti katamu yang kudengar, sebaiknya kau tak
tahu apa-apa," kata seseorang yang terlihat sebagai si pelempar cundrik, sebagai
pula pemimpin dari orang-orang itu.
Pusparini cepat mengambil kesimpulan bahwa diri-
nya merupakan saksi hidup dalam peristiwa itu. Kalau orang-orang itu tidak
menghendaki adanya saksi, pasti mereka akan menindaknya. Kasarnya, membunuhnya!
Dan itu segera terjadi kalau Pusparini tidak waspa-
da. Gebrakan Pusparini segera melanda orang-orang
itu ketika dilihatnya beberapa di antara mereka akan
menindaknya. Beberapa orang di antaranya mencelat
sambil menebah dada ketika dilanda tangan dan siku
pendekar bergelar Walet Emas ini.
"Edan! Sudah kukatakan. Jangan meremehkan pa-
ras wanita ayu!" seru pentolan mereka yang berkumis seperti rambut jagung.
Anak buahnya yang lain segera bertindak memban-
tu mereka yang blingsatan kesakitan. Tapi ini pun se-tali tiga uang, alias sama!
Masing-masing muntah darah ketika Pusparini menghajar dada mereka.
"Tunggu! Aku harus tahu urusannya sebelum aku
bertindak lebih ganas lagi!" ancam Pusparini dengan ketus.
Pemimpin mereka tampil ke depan. "Kau saksi! Se-
tiap saksi hidup harus mati!"
Seakhir dengan ucapan itu dia melompat dengan
garang. Sebagai pimpinan dia menganggap harus di
atas anak buahnya dalam segala tindakan. Termasuk
dalam menangani masalah ini. Maunya pamer, tapi
apa mau dikata. Tubuhnya yang banyak muat lemak
itu tak dapat mulus menghajar Pusparini. Perutnya
kena hajar, ditambah hantaman pada dagu, komplit
sudah untuk mengirim orang itu ke arah sungai.
Senyuman Pusparini yang masam membuat keder
orang-orang lain. Sangkanya Pusparini akan mengam-
bil tindakan terhadap mereka. Ternyata tidak.
"Cepat kalian pergi dari sini. Dan angkat orang yang kalian bunuh itu dari sini.
Kalau membangkang, isi
perut kalian akan kujadikan makanan ikan di sungai
itu!" ancam Pusparini sambil melirik pentolan orang-orang itu yang dengan susah
payah naik ke daratan.
Kemudian dengan pandangan memendam kebencian,
dia memerintahkan orang-orangnya meninggalkan
tempat itu dengan membawa korbannya.
"Kau akan merasakan balasan dari tindakan ini!"
ancam orang itu.
"Mengancam" Itu bukan pertama kali aku harus
berhadapan dengan orang seperti dirimu. Biasanya kalian akan muncul lagi dengan
membawa jago yang le-
bih bandot," sumbar Pusparini dengan mengawasi ke-
pergian orang-orang itu.
"Hm. Pagi-pagi sudah sarapan melihat mayat dan
menghajar orang," pikirnya sambil terus memper-
siapkan mandi. Pusparini melepas pakaiannya. Rupanya kekejaman
seperti itu bukan barang baru baginya. Hidupnya me-
mang diwarnai kekejaman. Semburan darah, otak ber-
ceceran, tulang-belulang manusia, semua tak asing la-gi kalau harus berhadapan
dengan hal-hal seperti itu.
Air sungai yang dingin segera menciumi tubuhnya
yang bugil. Ah, enaknya jadi air sungai. Zat ini dengan bebas menggumuli lekuk-
lekuk tubuhnya.
Pusparini membiarkan tubuhnya hanyut untuk be-
berapa saat. Kemudian dia berenang. Semua dilaku-
kan dengan perasaan ayem. Dia tidak khawatir kalau
ada orang yang lewat di sana. Bahkan tidak cemas
apabila kelompok orang-orang tadi datang lagi. Toh kalau mereka datang lagi,
tidak akan secepat itu. Daerah itu diperkirakan jauh dari pemukiman penduduk.
Tapi dugaan Pusparini salah! Tiba-tiba ada sesosok
tubuh berkelebat. Gerakannya yang cepat membuat
Pusparini tak sempat melihat tampang orang itu de-
ngan jelas. Tapi kalau disuruh mengenali, pasti bisa, sebab tubuhnya dibalut
dengan pakaian compang-camping serta berpunggung bungkuk! Dia pastilah se-
orang wanita. Dan ini ditandai dengan gerai rambutnya yang panjang, berwarna
putih! Itu ciri-ciri orang tersebut yang melekat dalam inga-
tan Pusparini. Maunya Pusparini hanya mengawasi
tanpa curiga. Tapi ketika orang itu melesat lagi, disadari bahwa dia telah
membawa semua perangkat pa-
kaian Pusparini beserta Pedang Merapi Dahana!
"Hei!" hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pus-
parini dengan pandangan tercekam. Mau berbuat apa"
Melesat mengejar orang itu" Gila! Hal inilah yang disadari olehnya, sebab saat
ini dirinya sedang dalam
keadaan bugil berendam dalam air sungai.
Pusparini panik. Dia bisa berhadapan dengan selu-
sin lawan untuk baku hantam. Tapi mengalami nasib
seperti ini sama halnya lehernya digorok tanpa ampun!
"Oh!" hanya keluhan ini yang bisa dilakukan.
Dengan nekad dia naik ke darat. Dilihatnya, ku-
danya bersembunyi di balik semak-semak. Hal ini yang membuat lega. Sebab masih
ada bungkusan yang di-tambatkan pada pelana kudanya. Bungkusan itu ter-
simpan beberapa lembar pakaian cadangannya. Pus-
parini bernafas lega.
*** DUA "Aku harus mencarinya!" pikir Pusparini setelah
mengenakan pakaian cadangannya. Dia memang me-
nyukai warna serba kuning sebagai jati diri Walet
Emas. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kalau
kudanya dicuri pula. Bisa tamat harga dirinya. Betapa tidak. Kalau semua
tercuri, satu-satunya harta miliknya hanya tubuh bugilnya saja. Tak ada lain!
Dari masalah ini dia hanya kehilangan pedangnya saja. Pedang Merapi Dahana!
"Mudah-mudahan firasatku benar," katanya sambil
memacu kudanya sesuai dengan bisikan hatinya. Pe-
doman Pusparini hanya mengikuti jejak-jejak kaki
yang terlihat masih baru di sana. Mengarah ke utara jalan yang ditempuh, entah
kemana sampainya. Seorang wanita tua yang bungkuk, itulah sasarannya se-
karang. Mudah-mudahan ada orang yang mengenal ci-
ri-ciri seperti itu. Semua tindakan yang akan dilakukan direncanakan matang-
matang. Mungkinkah orang
itu tokoh silat di daerah ini" Mengapa begitu penge-cutnya dengan mencuri
pakaian beserta pedangnya"
Belum sirna pikiran itu dari benaknya, tiba-tiba
perhatiannya tertuju pada sekelompok orang yang
muncul dari tikungan jalan, dan langsung mengha-
dangnya. "Itu dia!" seru salah seorang di antara mereka.
Pusparini menghentikan kudanya.
"Hm! Kita ketemu lagi!" kata Pusparini setelah me-
ngenali orang-orang itu. "Benar yang kuduga. Kalian memanggil gaco untuk
melawanku. Diakah orangnya?"
Pusparini menunjuk ke arah seseorang yang tampil
dengan langkah pethitha-pethithi. Orang yang kurus, ceking. Ciri penampilannya
serba panjang. Jidat, hi-dung, roman muka, semua membentuk penampilan
sebagai orang yang memiliki perawakan tinggi.
Tengah mengawasi penampilan orang itu, Pusparini
lengah pada arah lainnya. Ternyata ada pembokong
yang hadir tanpa disadari. Kena tendangannya, tubuh Pusparini mencelat dari
punggung kuda. Tapi kalau
bukan pendekar bergelar Walet Emas, hal yang begitu akan diatasi dengan mencari
ancang-ancang untuk jatuh. Justru yang begini menimpa dia, maka lentikan
tubuh karena hempasan tendangan pembokong mem-
buat dirinya meliuk bagaikan burung, dirinya meliuk
bagaikan burung walet terbang menuju sarang. Dan
sarang yang dimaksud di sini adalah tindakan balik
untuk menyerang lawan.
Sungguh tak terduga kalau Pusparini sampai bisa
meliukkan tubuh dengan meminjam tangan dari salah
seorang penyerang yang lain. Orang yang menambahi
serangan ini tidak menduga kalau Pusparini yang di-
pandang kehilangan penangkal, masih mampu bertin-
dak menguasai dirinya. Akibatnya, si pembokong yang mencoba memberi serangan
ganda, terpaksa merubah
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
posisinya ketika diketahui Pusparini telah menyerang ke arahnya.
Perubahan keadaan ini benar-benar mengawali ben-
trokan yang kian seru. Kini Pusparini harus mengha-
dapi dua orang gaco lawan. Satu si ceking tinggi, dan yang lain berperawakan
sedang. Tempat di mana baku hantam ini terjadi, berlang-
sung di jalan mulut desa. Jadi banyak menarik perhatian dari orang-orang yang
berlalu-lalang di sana. Ini benar-benar suatu kesempatan bagi Pusparini untuk
menarik perhatian orang. Dia ingin agar orang yang telah mencuri pakaian dan
pedangnya bisa melihat dia.
Oleh sebab itu Pusparini sengaja mengulurkan baku
hantam ini walaupun dengan mudah bisa menga-
lahkan serangan dua orang yang berperawakan sedang
itu yang sebenarnya "tak ada apa-apa"-nya. Kalau
ukuran gaco seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana rimpih nya nilai bela diri
di tempat itu. Ataukah yang benar jago yang merupakan gaco andalan belum keluar"
Boleh jadi! Tapi bagaimanapun Pusparini memang sengaja pa-
mer kebolehan, agar orang yang telah mencuri pakaian dan pedangnya jadi tahu
siapa dia. Dan merupakan
ancaman terselubung agar si pencuri mengembalikan
dengan cara baik-baik.
Itu menurut pikiran Pusparini! Kalau saja dia tahu, bahwa sebenarnya si pencuri
itu tanpa sengaja telah berada di sana pula dengan sikap hati-hati agar tidak
kepergok orang yang jadi korbannya, pasti Pusparini telah mengalihkan
perhatiannya dan mengejar si pencuri. Benar! Si pencuri berpunggung bungkuk itu
sege-ra menyelinap di antara orang-orang untuk meng-
hindarkan diri. Lalu dengan lincah dia melesat ke luar desa...!
"Ah, percuma! Aku harus mengakhiri baku hantam
ini," pikir Pusparini dengan mengirimkan pukulan telak. Si ceking menerima bogem
mentah di arah tenggo-rokan sehingga muntah darah. Sedangkan si perawa-
kan sedang kena tonjok lambungnya sehingga sejeng-
kal kotorannya merasa mendapat curahan limpahan
dendam kesumat yang selama ini mereka pendam.
"Tahu rasa mereka sekarang. Nggak tahunya bisa
digojlok oleh pendekar wanita berkulit mulus," seru salah seorang di antara
kerumunan orang-orang di sana.
"Mau rasanya mengambil mantu," komentar yang
lain. "Mantu" Dapat anakmu yang suka main judi itu?"
jawab yang lain. "Ngomong mbok dipikir. Kalau dia itu cocoknya ya dapat anakku,
si Thole! Calon juragan beras seperti bapaknya ini!"
Pusparini mendengar juga omongan-omongan se-
perti itu. Tapi dia tidak menggubris sedikitpun. Dua orang yang berhasil
dikalahkan dengan tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu diikuti yang lainnya.
"Maaf, Pak, siapakah sebenarnya mereka itu?" ta-
nya Pusparini kepada salah seorang penduduk yang
sejak tadi asyik menonton.
"Lho" Bagaimana, to" Den Ayu telah bentrok de-
ngan mereka, tapi tidak tahu siapa mereka?" jawab
orang itu. "Oh, jangan panggil saya 'Den Ayu', Pak. Saya orang biasa. Tidak punya trah
priyayi. Benar, saya tidak tahu siapa mereka. Tahu-tahu mereka mengroyok saya.
Bahkan sejak pertama kali saya ketemu mereka di tepi sungai, sudah menganggap
saya musuhnya karena
menyaksikan orang yang terbunuh," jawab Pusparini
dengan memancing keterangan.
"Enghh... jadi begitu"! Mereka itu orang-orangnya si Jayenglaga. Seorang tuan
tanah paling kaya di Pedukuhan Glagah Jenar," kata orang itu.
Pusparini manggut-manggut sambil membenahi pe-
lana kudanya. Masih ada sedikit uang. Sasarannya ha-ri itu dia akan mencari
sebuah warung murah untuk
sarapan. *** Ternyata Pusparini mendapat makanan cuma-cuma
di warung yang dimasuki.
"Lho, Pak. Bagaimana saya bisa nggak bayar" Saya
sudah kenyang makan di sini, sudah sepantasnya ha-
rus membayar," kata Pusparini.
"Karena kau tadi telah menghajar anak buah tuan
tanah itu, maka anggap saja sebagai imbalan uang lelah dari kami," jawab orang
tua itu. Pusparini termenung. Kesimpulannya, bahwa o-
rang-orang di Glagah Jenar ini punya ganjalan terhadap tuan tanah bernama
Jayenglaga. "Pak, bolehkan saya menitipkan kuda saya di sini?"
kata Pusparini kepada pemilik warung.
"O, silakan! Silahkan, Nduk!" jawab orang tua itu
dengan ramah. Kemudian dia memanggil anaknya agar
membawa kuda Pusparini ke belakang. Kebetulan di
sana ada gubug kosong, dan di sanalah kuda Puspa-
rini dikandangkan.
"Saya akan lama di sini," kata Pusparini kepada pe-
milik warung. "Ah, kami akan senang sekali. Paling tidak jago-jago kepruk Jayenglaga tak akan
sembarangan mengumbar
tingkah di warung saya," kata orang tua itu.
"Oh, Bapak jangan salah sangka dulu. Saya punya
urusan juga. Apakah Bapak pernah melihat orang
bungkuk di sini?" tanya Pusparini.
"Aneh! Tanya kok tentang orang bungkuk. Memang-
nya kenapa, Nduk pendekar?"
"Oh, tidak. Cuma nanya saja, Pak. Mungkin Bapak
pernah melihat, ada berapa orang bungkuk di sini"!"
tanya Pusparini dengan santai tapi sungguh-sungguh.
"Ada tiga!"
"Tiga?"
"Ya, tiga. Itu pun saya tidak mengenal mereka," ja-
wab pemilik warung dengan heran. "Kenapa, Nduk?"
"Yang berambut putih, panjang?"
"Ooo... yang itu"!" jawab pemilik warung. "Namanya
Nyi Wungkuk!"
"Nyi Wungkuk?" kata Pusparini ingin meyakinkan.
"Ya. Nyi Wungkuk. Apa pentingnya berurusan de-
ngan dia" Rumahnya di pohon Bendo Growong."
"Di pohon Bendo Growong?" kata Pusparini semakin
tertarik. "Di mana, Pak"!"
"Di tepi sungai, dekat Kedung Bader," jawab pemilik warung.
Pusparini termenung. Hasrat untuk cepat-cepat ke
sana diendapkan. Dia tak ingin gegabah dalam bertindak. Melihat keterangan yang
diberikan oleh pemilik warung, jelas Nyi Wungkuk ini yang punya ciri-ciri
sebagai pencuri pakaian dan pedangnya.
"Siapa sebenarnya Nyi Wungkuk itu?" tanya Puspa-
rini. "Dia seorang tua yang merana. Tiada sanak. Tiada
kadang. Makannya pun berkat bantuan orang-orang di
desa ini. Kenapa kau mencarinya?" tanya pemilik wa-
rung. Pusparini termenung. Pikirannya terpengaruh pen-
jelasan tentang keadaan Nyi Wungkuk.
"Saya ingin tahu letak Kedung Bader itu, Pak. Bisa
menunjukkan?" tanya Pusparini.
"Si Thole, anak saya, bisa menunjukkan," jawab pe-
milik warung. *** Jalan menuju Kedung Bader ternyata sulit ditem-
puh oleh orang yang tak biasa klayapan ke sana. Si
Thole yang berumur 10 tahun itu dengan mudah me-
napak pada jalan yang licin. Kalau sering dilewati oleh Nyi Wungkuk, pastilah
tokoh yang dicari ini bukan
orang sembarangan. Banyak batu-batu runcing bagai
karang pantai berserakan di sana.
"Masih jauh?" tanya Pusparini.
Si Thole menunjukkan telunjuk jarinya. Di seberang
sana terlihat sebatang pohon bendo yang besar. Pada bagian batang sebelah bawah
terdapat lubang besar.
Orang menyebutnya 'growong'.
"Thole! Tunggu di sini, ya" Nanti kita pulang sama-
sama. Aku harus ketemu dengan Nyi Wungkuk itu,"
kata Pusparini kepada si Thole ketika melihat sesosok tubuh samar-samar di dalam
batang pohon bendo
growong tersebut.
Si Thole mengangguk sambil mengawasi Pusparini
yang menghampiri pohon bendo growong itu. Tapi se-
belum Pusparini memberi uluk sapa, tiba-tiba dirasa-
kan angin pukulan melanda dirinya. Pusparini menco-
ba menangkis kalau serangan itu akan dilakukan ke-
dua kalinya. Dan benar, memang ada serangan kedua
kalinya. Kali ini lebih keras daripada yang pertama, dan membuat Pusparini harus
mengerahkan tenaga
agar tubuhnya tidak mencelat ke arah sungai. Usaha
Pusparini untuk menghindarkan dari serangan jarak
jauh itu akhirnya berhasil ketika dirinya berada di luar jarak enam tombak dari
batang pohon itu.
"Aneh! Kulihat sosok tubuh di dalam itu tidak ber-
gerak melancarkan serangan. Tapi aku mengalami se-
rangan pukulan jarak jauh. Ilmu apa yang dia kerah-
kan?" pikir Pusparini dengan berusaha tegak dari tempatnya.
"Itu karena pagar manteranya," tiba-tiba terdengar
suara dari balik semak-semak.
Pusparini mencari dari mana datangnya suara itu.
Bertepatan dengan berpalingnya pandangan matanya,
maka di sana tegak seseorang dengan penampilan
yang sulit dikenali dengan cepat. Sebab topi lebarnya menutupi seluruh wajahnya.
"Apa katamu" Pagar Mantera" Siapa kau?" tanya
Pusparini. Orang itu menengadahkan wajahnya. Pusparini da-
pat melihat wajah orang itu yang ternyata seorang laki-laki tua sekitar umur
tujuh puluhan. "Sabarlah, Nak. Aku pun ingin menemui Nyi Wung-
kuk itu. Tapi tempat di sekelilingnya telah ditaburi ranjau mantera," kata
lelaki tua itu menjelaskan tanpa diminta.
Pusparini termenung. Pikirannya mencoba meng-
hubungkan peristiwa yang dialami dengan keberadaan
Nyi Wungkuk yang tampak dengan tenang berada di
sarangnya. Dari basa-basi ini Pusparini mencoba me-
ngenalkan namanya kepada lelaki tua itu. Lalu men-
dapat imbalan balik.
"Ki Megatruh!" kata lelaki tua itu mengenalkan na-
manya. "Saya berhubungan dengan Nyi Wungkuk karena
ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan tentang tindakannya," kata Pusparini
ketika Ki Megatruh mena-
nyakan keperluannya datang ke sana.
Lelaki tua itu memandangnya dengan tatapan mata
tajam. "Saya kehilangan barang. Dan Nyi Wungkuk saya
curigai sebagai pengambilnya," kata Pusparini dengan nada ragu. Sebab tidak enak
rasanya menjelekkan
orang lain kepada orang yang baru dikenalnya. Lagi
pula saat ini masih dalam taraf penyelidikan.
"Baru kali ini kudengar berita mengatakan Nyi
Wungkuk sebagai pencuri," kata Ki Megatruh.
"Jadi"!" tanya Pusparini. "Ki Megatruh meragukan
kata-kata saya?"
"Atas dasar apa maka kau bisa menuduh bahwa Nyi
Wungkuk yang mengambil barang-barangmu" Dia te-
lah seminggu ini tidak keluar dari Bendo Growong itu.
Dia sedang menyelesaikan syarat semadinya untuk ti-
dak bercakap-cakap dengan siapapun selama sepuluh
hari," kata Ki Megatruh menjelaskan.
"Jadi... dia telah seminggu tidak keluar dari pohon bendo itu?" tanya Pusparini.
"Demi saksiku terhadap langit dan bumi yang kuin-
jak, semoga bumi menelanku, dan langit menghujani
aku dengan api, kalau aku bohong dengan kata-
kataku!" kata Ki Megatruh dengan mantap. Suatu
sumpah yang puitis. Kata-kata itu benar-benar menu-
suk perasaan Pusparini, yang menumbuhkan keper-
cayaan tulus untuk mempercayai.
"Kalau begitu... saya minta maaf," kata Pusparini
dengan wajah menunduk.
Pusparini beranjak pergi.
"Akan ke mana kau?" tanya Ki Megatruh.
"Mungkin yang saya lihat salah," jawab Pusparini.
"Jangan terpengaruh kata-kataku tadi," kata Ki Me-
gatruh. "Apakah kau lihat dengan jelas bahwa Nyi
Wungkuk mengambil barang-barangmu" Bolehkan
aku tahu macam barang yang diambilnya?"
"Pakaianku, dan sebilah pedang!" jawab Pusparini
tegas tapi penuh hormat. Dia tahu, sikap ini dilakukan karena telah bisa
mengambil kesan bahwa Ki Megatruh adalah orang yang menampilkan sikap membuat
orang lain segan. "Pasti ada orang yang mengkhianati," kata Ki Mega-
truh. "Taruhlah umpama ada orang yang menyamar
sebagai Nyi Wungkuk untuk menjelekkan namanya...."
Pusparini yang sedianya ingin cepat meninggalkan
tempat itu, jadi terkesan oleh ucapan ini.
"Jadi begitu tanggapan Ki Megatruh?"
"Boleh jadi. Itu kalau peristiwa yang kau alami terjadi dalam seminggu ini.
Kalau lebih dari seminggu, saya tak bisa mengambil kesimpulan begitu. Yang
jelas, aku sudah selama seminggu ini menunggu keluar-
nya Nyi Wungkuk dari pohon bendo itu. Dia telah me-
nyebarkan mantera di sekeliling pohon bendo growong sehingga tak seorangpun bisa
mendekat ke sana."
"Kalau begitu urusan ini tidak seremeh yang saya
duga," kata Pusparini. "Saya akan pamit dulu. Mung-
kin hari berikutnya saya akan kemari lagi."
"Tunggu!" cegah Ki Megatruh ketika melihat Puspa-
rini beranjak pergi. "Ada baiknya kau tahu siapa musuh-musuh Nyi Wungkuk."
"Perlukah itu?" tanya Pusparini.
"Jelas tindakan itu adalah fitnah baginya," jawab Ki Megatruh.
Pusparini termenung. Dia mencoba memahami uca-
pan Ki Megatruh.
"Mohon dijelaskan, Ki!"
"Ada tiga orang. Klabang Ireng, Jrangkong Langit,
dan Sawer Jenar!" kata Ki Megatruh menyebut tiga
nama sebagai musuh Nyi Wungkuk. "Itu yang kuketa-
hui. Mungkin berguna bagimu untuk melacak hilang-
nya barang-barangmu."
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas bantuan Ki Megatruh," kata Pus-
parini sambil pamit pergi.
Di seberang sana telah menunggu si Thole, anak
pemilik warung. Kemudian mereka berdua berlalu me-
ninggalkan kawasan Bendo Growong tempat Nyi
Wungkuk. *** TIGA Atas kebaikan pemilik warung, yang biasa dipanggil
Man Ndoplang oleh orang-orang di desa itu, Pusparini mendapat tempat bermalam.
Bahkan dengan bebas diberi tempat di sebuah rumah kosong tak jauh dari warung
itu. Dulu rumah itu dihuni oleh saudara Man
Ndoplang. Tapi sejak pindah ke desa lain, maka tempat itu tidak berpenghuni
lagi, bahkan oleh Man Ndoplang telah dibelinya.
"Biarlah Si Thole menemanimu," kata Man Ndop-
lang. "Terima kasih, Pak. Bapak telah berbuat banyak
untuk saya," kata Pusparini sambil memasuki rumah
yang disediakan untuknya.
"Aku senang bisa menolongmu, Nduk pendekar,"
kata Man Ndoplang yang didampingi istrinya.
"Kami ini sudah lama ingin momong anak perem-
puan. Anak kami cuma si Thole itu. Kami memang ka-
win kasep. Maksudku, aku yang kasep kawin. Sudah
setua ini anakku baru berumur sepuluh tahun," kata
Man Ndoplang sambil memandang istrinya yang ter-
paut umur sekitar lima belas tahun dengan dirinya.
Umur Man Ndoplang sendiri hampir lima puluh tahun.
"Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan memberitahu
kepada si Thole," kata Man Ndoplang sambil berlalu
dari sana disertai istrinya.
"Thole! Kau senang aku berada di sini?" tanya Pus-
parini memancing.
"Oh, senang, Mbakyu! Mbakyu pendekar kan jempo-
lan. Bisa mengalahkan orang-orang jahat," jawab si
Thole bangga. "Ah, jangan panggil aku mbakyu pendekar. Panggil
saja Kak Rini!"
"Kalau saya panggil 'mbak' bagaimana" Mbak Rini
begitu"!"
"Mbak Rini juga boleh," jawab Pusparini sambil
menthowel dagu si Thole yang sigar jambe itu.
Pusparini yang kini hidup sebatang kara, kadang-
kadang sangat merindukan kehadiran seorang adik
seperti si Thole itu. Walaupun umur si Thole baru sepuluh tahun, tapi bentuk
badannya bongsor seperti
anak berumur limabelas tahun. Kekar lagi.
"Kau ini cocok jadi seorang pendekar. Tulang-tulang tubuhmu cocok untuk itu,"
kata Pusparini pada sore
harinya. "Jadi seorang pendekar, Mbak" Mbak Rini bisa nga-
jari saya?" kata si Thole dengan perasaan bangga.
"Ayo kuajari dasar-dasarnya saja. Paling tidak bisa digunakan untuk menggagalkan
pencopet," kata Pusparini.
"Menggagalkan pencopet, Mbak?" kata si Thole.
"Masak saya jadi pendekar pembrantas pencopet"!"
"Lho" Memangnya kenapa" Malu menghadapi pen-
copet" Pencopet itu juga penjahat. Maksudku, menga-
jari dengan tangkisan dan pukulan yang ringan-ringan saja. Kalau sudah mahir,
bisa ke jenjang jurus yang lebih tinggi. Paling tidak dengan ilmu dasar itu kau
sudah bisa menghadapi pencopet atau maling ayam,"
kata Pusparini dengan mengumbar senyum. Dia tahu
bahwa ini akan menimbulkan olok-olok si Thole ketika diberi tahu ilmu dasar itu
bisa juga digunakan untuk menghadapi maling ayam.
"Nah, begini, tirukan sikap ini," kata Pusparini dengan memberi contoh mengambil
sikap awal. Si Thole
mencontoh gerak itu....
*** Sekitar dua jam, Pusparini mengajari si Thole de-
ngan gerakan-gerakan silat dasar. Si Thole cepat me-nangkap pelajaran ala
kadarnya itu. Lalu, tanpa contoh lagi, dibiarkan si Thole mengulangi gerak
jurus-jurus yang diajarkan.
"Besok kita lanjutkan lagi," saran Pusparini sambil masuk rumah.
Si Thole tetap ngotot berlatih. Dia tidak sadar bah-wa ada berpasang-pasang mata
mengawasi sejak Pus-
parini masuk pintu rumah.
Si Thole istirahat. Dia melemaskan ototnya. Ketika
terdengar bunyi "KRESEK" di halaman di balik semak-
semak tanaman hias, kontan dia pasang kuda-kuda
seperti yang diajarkan Pusparini.
"Siapa itu" Ayo, keluar! Kugampar kau nanti!" sum-
bar si Thole. Sesaat kemudian lima orang nongol dari balik se-
mak-semak. Si Thole terperangah kaget. Tidak mendu-
ga kalau ada orang muncul dari sana. Sangkanya sua-
ra tadi suara anjing yang menerobos semak-semak
atau hewan lain.
"Siapa kalian?" tanya si Thole dengan sikap membe-
ranikan diri. Pertanyaan ini sebenarnya tak perlu dia tanyakan, sebab sudah tahu
siapa mereka, yang tak
lain anak buah Tuan Tanah Jayenglaga.
"Panggil gendhuk pendekar ayu itu!" kata salah seo-
rang di antara mereka.
Si Thole sebenarnya akan menjawab bahwa orang
yang mereka cari tidak ada di sana. Maunya berbo-
hong. Tapi niat itu dia urungkan ketika tiba-tiba dilihatnya Pusparini telah
berada di belakang orang-orang itu tanpa diketahui oleh mereka. Entah bagaimana
gerak yang dilakukan oleh Pusparini alias Walet Emas
ini, yang jelas si Thole telah melihatnya berada di belakang orang-orang itu.
"Aku di sini!" kata Pusparini.
Kelima orang itu kaget njenggirat sambil siap-siap mencabut golok.
"Jangan teruskan mencabut golok itu," ancam Pus-
parini. Yang dua orang nekad. Sebelum dia berbalik de-
ngan pas untuk melancarkan serangan, Pusparini te-
lah menggebrak dengan tendangan. Dua orang itu
nggeblag jumpalitan sekitar dua tombak. Yang lain segera mengisi lowongan
serangan. Tampak di sini bah-
wa kedatangan mereka benar-benar tidak bersahabat
alias cari perkara. Kalau hal ini didasari perintah si Tuan Tanah Jayenglaga,
maka buntutnya pasti gede.
"Tunggu!" gertak Pusparini. "Aku harus tahu masa-
lahnya mengapa kalian datang untuk bertindak ke-
kerasan." "Ini perintah Ki Jayenglaga," kata salah seorang di antara mereka.
"Aku belum pernah kenal dengan yang namanya Ki
Jayenglaga. Apakah dia tuan kalian" Apa urusannya
maka dia memerintahkan kalian untuk menindakku?"
"Itu di luar wewenangku untuk menjelaskan," kata
salah seorang di antara mereka dengan memberi isya-
rat temannya untuk menyerang Pusparini.
Bentrokan berkembang lagi. Sampai begitu jauh
Pusparini masih mengandalkan gempuran tangan ko-
song. Paling-paling kalau terpaksa menggunakan sen-
jata tajam, itu dilakukan dengan meminjam gerakan
lawan yang memegang senjata untuk ditandingkan
dengan senjata lainnya. Tindakan ini semakin memberi kesan bagaimana tangguh
Pusparini menghadapi para
penyerangnya. Ada kesan dia masih ngeman nyawa lawannya. Dan itu memang benar.
"Aku ingin tahu alasannya! Katakan kepada tuan
kalian mengapa dia memusuhi aku!" kata Pusparini
sambil mengirimkan suatu pelajaran pada salah seo-
rang di antara mereka. Ternyata 'pelajaran' yang dikirim Pusparini berupa
sayatan telinga salah seorang di antara mereka. "Aku bisa memberi tanda mata itu
pada telinga kalian semua. Untuk kali ini cukup satu saja. Katakan kepada tuan
kalian!" Kontan kelima orang itu ngeri melihat salah seorang temannya yang kehilangan
telinga, walaupun soal darah sudah sering mereka tangani.
"Thole! Malam ini jangan ke mana-mana. Diam saja
dalam kamar. Mbak Rini akan berjaga-jaga. Pantas sa-ja kalau tuan tanah bernama
Ki Jayenglaga punya ba-
nyak musuh di desa ini dan dibenci banyak orang," ka-ta Pusparini dengan
mengawasi kelima orang itu yang menghilang dalam kegelapan malam.
*** Malam semakin larut....
Pusparini tetap berjaga di tempat tersembunyi di
halaman rumah. Dia nangkring di dahan pohon sawo.
"Gara-gara kehilangan pakaian dan pedang, aku ja-
di terlibat urusan begini," pikir Pusparini dalam de-kapan udara malam yang
dingin. Ada nama-nama yang kini bersemayam dalam be-
nak Pusparini. Mereka adalah Klabang Ireng, Jrang-
kong Langit, dan Sawer Jenar. Lalu ditambah nama
tuan tanah si Jayenglaga. Dia tak tahu apakah nama-
nama itu punya hubungan dengan hilangnya barang-
barangnya. Dia berharap agar orang yang mencuri Pe-
dang Merapi Dahana tak tahu dengan keampuhan pe-
dang tersebut. Sampai larut malam tak terjadi apa-apa. Sampai
bosan rasanya dia menunggu. Hal yang begini memang
sudah sering dialami. Sebab dengan menunggu, pihak
lawan akan memanfaatkan keadaan itu untuk mengge-
rogoti mentalnya.
Tengah dalam keheningan malam yang semakin la-
rut, tiba-tiba Pusparini terusik oleh bayangan berkelebat tak jauh darinya.
Sesosok tubuh berambut pan-
jang berwarna putih dengan nyata terlihat nangkring di atas atap rumah. Cahaya
bulan sepotong banyak
membantu Pusparini bisa dengan jelas melihat orang
itu. Orang itulah yang pernah dilihat sewaktu dia mandi
di sungai ketika mencuri pakaian dan Pedang Merapi
Dahananya. "Kalau penampilan itu disebut sebagai Nyi Wung-
kuk, maka pastilah dia Nyi Wungkuk tiruan. Sebab Nyi Wungkuk yang asli saat ini
sedang semadi di 'sarang'nya dalam pohon bendo growong," pikir Pusparini sambil
berancang-ancang untuk menyergap orang itu.
Dan.... Pusparini melesat untuk menubruk orang tersebut.
Gerakan Pusparini dengan paduan ilmu meringankan
tubuh, membuat orang itu tak menduga kalau ada pi-
hak penyerang yang mengincar dirinya.
Tapi segalanya tidak semulus yang diduga Pusparini.
Kurang sejengkal dia berhasil menjambak rambut
itu, tiba-tiba keadaannya berubah. Orang itu menoleh ke arah Pusparini dan
geraknya yang cepat berhasil
menggagalkan renggutan tangan yang menjurus ke
arahnya. Pusparini berhasil menguasai keadaan yang tidak
menguntungkan ini. Karena tekadnya sudah mengge-
bu untuk meringkus orang itu, maka akibat apapun
dia tak peduli. Pusparini menganggap kesempatan inilah satu-satunya jalan untuk
membuka kedok peris-
tiwa yang merugikan dirinya.
Pusparini terus menyerang dengan sabetan kaki.
Harapannya, dengan sabetan pada arah kaki ini bisa
menggoyahkan pertahanan lawan. Perhitungannya, to-
koh-tokoh tua selalu rapuh pada jasmani tulangnya.
Dan gerak kaki adalah sasaran yang fatal apabila bisa dilumpuhkan pada bagian
itu. Tapi kenyataannya lain. Kena sabetan kaki yang be-
gitu fatal, orang itu tetap tegar. Bahkan Pusparini mendapat serangan kilas
balik yang tak terduga.
"Dia tidak setua yang kuduga! Aku harus yakin apa-
kah dia ini Nyi Wungkuk asli atau palsu. Tapi yang jelas kehadirannya sangat
mencurigakan," pikir Puspa-
rini sambil terus menghindar mencari peluang.
Baru pada saat terjadi jarak yang cukup renggang
dan bisa mengawasi satu sama lain dengan jelas, maka orang itu menghentikan
serangannya. "Tunggu!" seru orang itu. "Apakah kau yang kehi-
langan pakaian dan pedang?"
"Apakah aku berhadapan dengan Nyi Wungkuk?"
Pusparini balik bertanya.
"Dia adalah Nyi Wungkuk!" Tiba-tiba terdengar sua-
ra di belakang Pusparini.
Si Walet Emas menoleh dari mana datangnya suara.
Tak jauh darinya, terlihat sosok tubuh bercapil lebar.
"Ki Megatruh"!" tanya Pusparini.
"Dia Nyi Wungkuk yang siang tadi masih melan-
jutkan semadinya. Dia telah kuberitahu masalahmu,
lalu kami memutuskan untuk mencari tempatmu," ka-
ta Ki Megatruh menjelaskan dengan suaranya yang
mantap. "Dia... Nyi Wungkuk?"
Terdengar suara Pusparini sambil mengawasi orang
berambut putih dengan punggung bongkok.
"Ya. Dia perlu turun tangan karena ada orang yang
mencemarkan namanya," kata Ki Megatruh.
Pusparini tak habis pikir. Menurut Man Ndoplang,
Nyi Wungkuk adalah orang yang hidupnya sehari-hari
tergantung dari belas kasih orang-orang di desa itu.
Artinya, Nyi Wungkuk pastilah seseorang yang tua ren-ta tak bisa mengurusi
dirinya sendiri. Tapi mengapa tiba-tiba Nyi Wungkuk malam ini terlihat hadir
dengan ketegarannya" Jelas terlihat oleh Pusparini, bahwa Nyi Wungkuk ini adalah
seorang wanita tua berumur
hampir tujuh puluh tahun. Belum terlalu tua untuk
bisa disebut wanita jompo.
"Bagaimana jika kita berbicara di dalam?"
Pusparini mempersilahkan kedua 'tamu'nya. Atas
pertimbangan agar tidak memancing perhatian orang
lain, maka Ki Megatruh menyetujui tawaran Pusparini.
Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam ruangan
tamu. "Maafkan, kalau saya menuduh Nyai mengambil ba-
rang-barang saya. Kalau tidak ada Ki Megatruh, mungkin saya masih penasaran
dengan tuduhan saya," kata Pusparini mengawali percakapan.
"Tidak apa. Kau orang baru di desa ini," jawab Nyi
Wungkuk. Dalam cahaya lampu minyak yang menerangi rua-
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngan itu, Pusparini mencoba mengawasi dengan teliti wajah orang tua bernama Nyi
Wungkuk itu. Terlihat
bekas garis-garis kecantikan pada masa lampau. Ken-
tara sekali bahwa Nyi Wungkuk adalah seorang wanita yang cantik pada usia
mudanya. Pusparini tak tahu, apakah cacad bongkok pada
punggung Nyi Wungkuk itu cacad sejak lahir atau ka-
rena akibat suatu peristiwa. Tentu saja hal ini tak pantas ditanyakan. Tapi
Pusparini yakin, suatu saat rahasia tersebut akan bisa diketahui. Paling tidak,
peristiwanya pasti menarik, kalau akibat cacad tersebut bisa dikisahkan.
"Nyai merasa punya banyak musuh sehingga ada
pihak yang tega memfitnah Nyai?" tanya Pusparini
sambil memberi isyarat kepada si Thole yang terba-
ngun dari tidurnya agar tetap tenang di tempatnya.
"Kukira Ki Megatruh telah memberitahu kepadamu
tentang nama-nama mereka," jawab Nyi Wungkuk.
Pusparini mengangguk.
"Nah, sekarang bagaimana kalau kau membantu
aku untuk menangani masalah ini" Kita bahu-mem-
bahu, saling menolong," saran Nyi Wungkuk. "Pertama akan kita cari orang yang
telah menyamar sebagai diriku."
"Itu gagasan yang baik," jawab Pusparini dengan
gembira. Paling tidak keberadaannya di desa ini telah mendapat pendukung.
*** EMPAT Untuk mengawali kerja tersebut, Pusparini akan
melacak sendirian dulu. Sedangkan Nyi Wungkuk dan
Ki Megatruh akan bertindak sebagai bayang-bayang
untuk memberi bantuan kalau dipandang peristiwanya
semakin membahayakan Pusparini.
Malam itu juga Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh me-
ninggalkan tempat di mana Pusparini bertempat ting-
gal atas kemurahan hati Man Ndoplang.
Tapi tanpa diduga, seperti yang semalam diha-
rapkan Pusparini, ternyata orang-orang Ki Jayenglaga muncul pada esok harinya.
"Hm! Jadi kalian utusan tuan tanah itu?" tanya
Pusparini. "Ki Jayenglaga mengundangmu. Ini suratnya!" kata
seorang utusan berperawakan gendut.
Pusparini menerima surat undangan itu. "Unda-
ngan apa ini"! Oh, kukira undangan makan. Tidak ta-
hunya undangan pertandingan ketangkasan."
"Kami harap kau bisa datang!" kata orang itu.
"Tentu! Katakan kepada tuanmu!" jawab Pusparini
dengan melepas pandangan mengiringi kepergian utu-
san itu. "Jadi Mbak Rini akan ikut pertandingan itu?" tanya
si Thole. "Iya! Mengapa kau tampak cemas?"
"Itu pertandingan maut, Mbak."
"Pertandingan maut?"
"Ya! Tempo hari banyak yang tewas. Tuan tanah itu
hanya mencari jago-jago agar bisa diperalat menjadi anteknya. Begitu omongan
yang banyak kudengar dari
orang-orang yang sering membicarakan," kata si Thole menjelaskan dengan wajah
serius. "Benar, Nduk. Hati-hati menerima ajakan tuan ta-
nah itu," terdengar suara menimpali, yang ternyata
Man Ndoplang yang muncul.
"Oh, Bapak juga mendengar agaknya," kata Puspa-
rini dengan memberi salam kepada Man Ndoplang yang
baru datang untuk menengok Pusparini.
"Baru kemarin aku mendengar adanya pertandi-
ngan itu. Biasanya dilakukan pada bulan Srada. Tidak tahunya sebulan lebih
cepat. Ini pasti ada sangkut
pautnya dengan kehadiranmu di desa ini," kata Man
Ndoplang yang sepagi itu datang ke sana memang un-
tuk memberitahukan hal itu kepada Pusparini.
"Saya akan berhati-hati. Doakan saja," jawab Pus-
parini. "Aku ikut lihat ya, Mbak"!" pinta si Thole.
"Jangan dekat-dekat panggung. Siapa tahu ada sen-
jata yang nyasar kepada penonton," jawab Pusparini sambil mempersiapkan diri.
Sejenak dia termenung. Bayangan sekilas tertuju
kepada Pedang Merapi Dahananya yang hilang. Kini
tanpa senjata itu, dia akan ikut pertandingan yang di-laksanakan oleh Tuan Tanah
Jayenglaga. Dalam bungkusan yang tersisa di pelana kudanya,
masih ada sebuah senjata lagi sebilah golok miliknya.
Senjata itu dimiliki sebelum dia memperoleh Pedang
Merapi Dahana. "Kini kau kugunakan lagi seperti pertama kali aku
turun dari Padepokan Canggal," kata Pusparini sambil mengelus senjata itu.
"Maafkan aku yang selama ini telah menganak-tirikan padamu. Kau tidak marah, bu-
kan"!"
Senjata itu dibelai seperti boneka. Si Thole melihat perbuatan Pusparini dengan
pandang penuh tanda
tanya. "Apakah senjata bisa diajak berbicara, Mbak?"
tanya si Thole.
"Ya tidak. Ini hanya pendekatan naluri saja. Kalau
ada 'jodo', biasanya senjata itu bisa membantu kita untuk mengatasi segala
kesulitan," jawab Pusparini
dengan pandangan yang terbatas. Sebab hal-hal yang
begini tak bisa diuraikan dengan sekilas ucapan. "Kekuatan alam yang sering kita
lihat adalah sebagian kecil dari pancaran kekuasaan Sang Hyang Widhi. Apabi-la
hal itu terpancar lewat sebuah pusaka, maka itu adalah sebagian kecil dari
kekuatanNya juga. Tapi kadang-kadang kekuatan iblis ikut berperan untuk me-
nyesatkan. Maka jadilah senjata itu sebagai alat pem-binasa tanpa landasan
moral," kata Pusparini lebih
lanjut tanpa peduli apakah si Thole mengerti ulasannya apa tidak.
*** Seperti yang tercantum dalam undangan, maka
Pusparini harus siap di sana sebelum acara utama dimulai. Acara utama adalah
acara pertandingan antar
jago-jago persilatan. Dan sebelum itu, suasana diisi
dengan acara tari untuk menyemarakkan suasana.
Kesempatan inilah yang dipergunakan Pusparini
untuk melihat tampang Ki Jayenglaga lebih dekat.
Gambarannya bahwa tampang Ki Jayenglaga adalah
seorang tokoh tua dengan tampang kejam, ternyata keliru. Setelah dilihat dengan
mata kepala sendiri, ternyata yang dipanggil sebagai tuan tanah ini adalah
seorang laki-laki muda dan tampan. Kulitnya bersih
tanpa cambang dan kumis seperti layaknya tokoh-
tokoh urakan yang bikin sengsara penduduk.
Ki Jayenglaga telah diberitahu tentang kedatangan
Pusparini. Kemudian laki-laki itu mempersilahkan
Pusparini menuju ke tempatnya.
"Maaf, kalau selama ini kau dibuat sibuk oleh anak
buahku," kata Jayenglaga. "Mungkin itu hanya kesa-
lah-pahaman belaka. Apakah kiranya kau berkenan
mengisi acara yang kuselenggarakan?"
"Tentu, kalau aturan mainnya jujur. Artinya, tak
ada niat-niat yang terselubung dari acara ini. Biasanya acara begini
diselenggarakan oleh kelompok perguruan persilatan. Tapi di sini tak kulihat
tanda-tanda bahwa penyelenggaranya adalah suatu kelompok perguruan
silat," kata Pusparini dengan mengumbar pandangan
ke tempat sekelilingnya. Di sana terlihat jago-jago silat yang bisa diketahui
lewat penampilan masing-masing.
"Ini sekedar pertemuan kangen-kangenan saja," ka-
ta Jayenglaga. "Kukira kau tak keberatan kalau ku-
minta untuk meramaikan. Bagaimana?"
"Aku minta pada nomor terakhir saja," kata Puspa-
rini mengajukan syarat.
Jayenglaga tersenyum puas sambil mengangguk.
"Kalau begitu, kupersilahkan duduk di sini dulu
sambil menanti giliranmu."
Pusparini mengambil tempat duduk yang dise-
diakan. Ketika ada hidangan minuman yang disajikan, dia menolak untuk minum. Dia
cukup waspada dengan basa-basi seperti ini. Pengalaman telah cukup
menggembleng dirinya agar waspada dengan tawaran
yang serba manis. Boleh jadi di balik omongan manis itu terpendam racun yang
menggunung. Pertunjukan pertandingan dimulai dengan pemuku-
lan gong besar. Suaranya berkumandang menarik per-
hatian semua orang. Lalu satu persatu adu ketangka-
san bela diri dipertunjukkan. Dari sini Pusparini baru tahu, bahwa semakin
menginjak urutan nomor terakhir, sarananya semakin berat. Artinya, jago-jago
silat itu semakin dituntut mempergunakan senjata paling
andal. Bahkan tokoh-tokohnya pun semakin memiliki
kemampuan tingkat tinggi.
Karena setiap pemenang namanya diumumkan,
Pusparini jadi tahu siapa-siapa mereka yang menjadi pemenang. Sampai pada
tingkat akhir maka muncullah nama-nama Klabang Ireng, Jrangkong Langit, dan
Sawer Jenar! Satu persatu tokoh-tokoh ini berhasil memenang-
kan pertandingan. Akhirnya bisa diketahui oleh Pusparini bahwa pertandingan itu
hanya untuk merebut
nomor pemenang tiga nama besar! Berarti kalau dia
menghendaki termasuk tiga besar, Pusparini harus
mengalahkan salah seorang di antara mereka
Sebelum giliran Pusparini tampil ke depan, tiba-tiba melesat sebuah benda kecil
dan menancap di sisinya.
Semula Pusparini mengira bahwa benda itu adalah
senjata rahasia yang luput mengenai sasaran. Setelah diteliti ternyata ada
buntalan lontar pada benda yang menancap di sampingnya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Pusparini
mengambilnya dengan hati-hati dan mencoba membu-
ka buntalan lontar tersebut. Di sana tertulis: 'Klabang Ireng, Jrangkong Langit,
Sawer Jenar adalah Tiga Serangkai. Hati-hati menghadapinya!'
"Hm! Suatu peringatan yang tampaknya bersaha-
bat. Apakah Ki Megatruh yang mengirimkan?" pikir
Pusparini. Paling tidak pesan itu bisa membuat Pusparini bertindak hati-hati.
Tapi dengan lawan perta-
manya, dia belum tahu.
Ketika nama-nama itu diumumkan sebagai nama
tiga besar yang tetap menduduki kejuaraan, kini Pusparini dinyatakan sebagai
penantang utama.
Tentu saja hal ini menimbulkan protes dari bebe-
rapa pihak karena tampilnya Pusparini dianggap me-
nyalahi ketentuan yang biasa berlaku. Hanya berkat
wewenang Ki Jayenglaga maka semua protes bisa di-
gugurkan. Pusparini dianggap penantang kehormatan.
"Semua seperti telah direncanakan bahwa aku akan
berhadapan dengan ketiga tokoh itu. Tapi mengapa
aku tadi memilih nomor terakhir" Tapi kalau si Ja-
yenglaga punya wewenang seperti itu, tampaknya se-
mua akan berlangsung seperti apa yang dikehendaki,"
pikir Pusparini sambil mempersiapkan dirinya.
Undian pertama ternyata jatuh pada Sawer Jenar
yang harus berhadapan dengan Pusparini.
Sawer Jenar berperawakan seperti orang yang 'tidak
ada apa-apanya'. Tubuhnya biasa saja. Rambutnya se-
bahu berwarna agak kecoklatan. Pandangan matanya
seperti orang yang selalu ngantuk. Tapi dua alisnya yang bertaut itu membuat
penampilannya bisa ditakuti lawan. Ibarat ular, dia bisa menyerang tanpa memberi
tanda bahaya terlebih dahulu.
Ketika berhadapan dengan Pusparini, dia hanya pa-
sang kuda-kuda merenggangkan kaki saja. Kedua tan-
gannya lunglai sejajar dengan pinggangnya. Tapi ketika
Pusparini mencoba menggertak dengan gerak kemban-
gan, kontan si Sawer Jenar mengambil gerakan dengan melebarkan rentangan
tangannya. Kedua tangannya
bergerak gemulai, menggambarkan patukan dua ekor
ular yang siap menghadapi lawan.
Mulanya Pusparini sangat sulit membaca taktik la-
wan. Paling tidak dia akan mengeluarkan jurus waletnya dengan liukan gerak yang
gesit untuk membuka
jurus serangan pertama ini.
Dan itu benar-benar dilakukan Pusparini.
Melihat serangan lawan, maka si Sawer Jenar me-
ngembangkan jebakan agar si penyerang terperangkap
pada jurus 'Belitan Naga Mabuk'.
Tapi si Walet Emas waspada. Sebelum dia masuk
perangkap, maka tendangan kakinya telah menghun-
jam ke dada lawan. Akibatnya, jurus jebakan si Sawer Jenar buyar berantakan
dengan limbungnya tubuh ke
belakang. Untung dia cepat menguasai keadaan dengan me-
maku pijakan di tanah. Rupanya disini dia telah me-
ngerahkan semacam ilmu kanuragan 'paku bumi' agar
tubuhnya tidak berlarut-larut terpental.
Pusparini yang memperkirakan pihak lawan akan
mencelat sekitar tiga tombak kena tendangan kakinya, kini jadi tahu kebolehan
lawan. Untuk tidak memberi kesempatan pada lawan mengatur serangan, maka
Pusparini menggenjot lagi dengan terjangan jurus 'Walet Menukik Mangsa'.
Artinya, dengan gerak me-
lambung ke atas maka rentangan tangan Pusparini
akan menyerang bagaikan sergapan supit urang. Se-
dangkan kedua kakinya siap pula menerjang kalau
sergapan ini dibuyarkan oleh tangkisan lawan.
Melihat jurus serangan macam ini maka Sawer Je-
nar mencoba mengecoh lawan dengan pancingan gerak
tipu. Karena dia menguasai jurus ular dan sebang-
sanya, maka tubuhnya ditekuk ke belakang. Dengan
gerakan ini, maka lawan akan ragu-ragu arah mana
yang akan dilontarkan oleh Sawer Jenar.
Ketika Pusparini sudah terlanjur menukik, maka
Sawer menggerakkan tubuhnya meliuk ke kiri yang se-
lanjutnya mengadakan 'pagutan' lewat sergapan ta-
ngan yang mengarah pada lambung lawan.
Tapi Pusparini yang sudah memperhitungkan se-
mua serangan lawan, maka kakinyalah yang kini ber-
peran. Sergapan Sawer Jenar dibuyarkan dengan terjangan putaran kaki yang
menyabit, sehingga kedua ta-
ngan lawan bergetar karena dilanda hantaman cada-
ngan ini. Setiap orang yang menyaksikan taktik ini sempat
dibuat terperangah. Tidak biasanya Sawer Jenar mengalami keteledoran seperti
itu. Ini yang membuat dia semakin kehilangan kendali. Apalagi dianggapnya
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya kali ini cuma seorang wanita yang masih 'hi-
jau', maka dirinya yang merasa dipecundangi kini
menjadi kalap. Melihat sikap Sawer Jenar ini Pusparini segera
mempersiapkan diri dengan berancang-ancang meng-
ubah jurus serangan dengan mengincar lambung la-
wan. Sebab sejak tadi si Sawer Jenar agaknya selalu melindungi lambung kanannya
yang kelihatan dibalut
ketat. Pusparini memang mempertaruhkan serangannya,
bahwa di bagian tubuh itu terletak kelemahan lawan.
Kalau perhitungannya benar, dia akan bisa memperce-
pat menyelesaikan pertarungan ini.
Serentak dengan berakhirnya perhitungan ini, maka
terlihat Sawer Jenar menegang ke arah Pusparini. Si Walet Emas yang telah
mempersiapkan taktik sera-
ngan segera merobohkan tubuhnya ke depan. Dia akan
melancarkan serangan 'Tukikan Burung Walet ke Atas
Air'. Gerakannya yang akan berkembang dengan li-
ukan ke atas, diharapkan akan mampu 'menyendok'
tubuh Sawer Jenar.
Rencana Pusparini berhasil. Karena semua dilaku-
kan dengan cepat di luar perhitungan lawan, akhirnya Sawer Jenar kena gampar
arah lambungnya sehingga
meliuk ke atas. Belum sempat dia mengatur pertaha-
nan lagi, si Walet Emas telah mengulangi dengan gamparan yang beruntun sehingga
Sawer Jenar menjerit
kesakitan. Memang benar. Pada arah lambung itu terletak ke-
lemahan Sawer Jenar, karena pernah terluka sewaktu
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh.
Dari kejauhan ada seorang penonton yang terse-
nyum menyaksikan keadaan itu, orang yang bercapil
lebar yang tiada lain adalah Ki Megatruh.
"Bagus! Lambung itu memang pernah terluka oleh
golokku," kata Ki Megatruh lirih yang seakan-akan percakapan itu hanya untuk
didengar sendiri.
Tapi orang yang berada di sebelahnya cukup men-
dengar. "Dia memang bisa diandalkan. Mudah-mudahan ini
akan mendobrak jalan yang selama ini sulit kita tembus," kata orang itu yang
tiada lain adalah Nyi Wungkuk. Tampilnya Nyi Wungkuk di sana tidak banyak
menarik perhatian orang, sebab dia tampil dengan penyamaran kerudungnya. "Dia
harus selalu waspada
dengan tindakan-tindakan licik dari Tiga Serangkai
itu." "Aku sudah memperingatkannya. Mudah-mudahan
dia cukup waspada," kata Ki Megatruh.
Kekalahan Sawer Jenar mengharuskan Jrangkong
Langit tampil menggantikannya. Langsung tokoh ini
menggelar sikap dengan serbuan badai gurun. Jrang-
kong Langit memang menguasai angin pukulan yang
bisa menimbulkan semburan pasir.
Melihat keadaan ini, kontan Walet Emas mengeluar-
kan jurus terbangnya. Dia meliuk ke atas lalu bergulir untuk membuyarkan
pertahanan lawan, yang kemudian menerobos ke belakang. Lawan yang kesulitan
mengimbangi gerakan ini, akan dengan mudah bisa di-
lumpuhkan dari belakang.
Tapi ternyata perhitungan Pusparini keliru.
Jrangkong Langit masih mampu menguasai diri
sambil terus mengibaskan pukulan angin pasirnya.
Pusparini mencoba mengatasi dengan berkelit lagi
ke atas. Tapi gerak inipun diburu terus oleh sambaran pukulan Jrangkong Langit.
Pusparini agak kewalahan. Untung ada pikiran un-
tuk menerobos ke samping kanan, suatu peluang yang
dibiarkan kosong oleh Jrangkong Langit ketika menco-ba memberi jebakan ke arah
Pusparini dengan 'Kiba-
san Kupu Tarung'. Pada posisi ini Pusparini mendapat peluang untuk menohok ke
arah dada lawan.
Mendapat serangan macam ini, si Jrangkong Langit
kehilangan kuasa diri. Tapi secepat itu pula dia mencoba menguasai keadaan
dengan mencabut senjatanya
yang bertengger di punggungnya.
Shring! Trang! Dua bilah senjata beradu.
Itu terjadi tatkala Pusparini pun bertindak serupa
ketika dilihatnya lawan telah mencabut senjatanya.
Kemudian terjadilah baku hantam dengan saling tebas dengan pedang.
Keadaan inilah yang paling disenangi para penon-
ton, sebab arena tandingnya akan menjalar ke atas
tonggak-tonggak runcing.
Dalam kesempatan ini Jrangkong Langit benar-be-
nar pamer kebolehan. Setiap orang tahu bahwa yang
begini sangat diharapkannya, karena dengan mudah
akan bisa menundukkan lawannya.
Tapi benarkah akan semudah itu bisa menunduk-
kan si Walet Emas" Ternyata Jrangkong Langit meng-
alami hambatan ketika melakukan serangan gencar
seperti yang lazim dia lakukan. Sepertinya Pusparini dapat membaca setiap
rencana geraknya sehingga semua serangannya bisa digagalkan.
Melihat hal ini Klabang Ireng segera melesat ke te-
ngah gelanggang.
Tentu saja sambutan cemoohan segera meledak.
Tindakan mengroyok dipandang sebagai perbuatan ku-
rang ksatria. Tapi kalau hal itu diperkenankan oleh pihak penyelenggara, maka
semua cemoohan akan di-
anggap angin lalu saja.
Setiap orang tahu bahwa pertandingan ini adalah
tontonan yang tidak bermutu. Mereka tahu bahwa
Tuan Tanah Ki Jayenglaga hanya mencari jago andalan saja yang mungkin bisa
dimasukkan ke dalam kelompok kaki tangannya. Dan sampai begitu jauh, hanya
Klabang Ireng, Jrangkong Langit dan Sawer Jenar yang setia mendampingi.
Selama Pusparini dikeroyok Jrangkong Langit dan
Klabang Ireng, maka Jayenglaga memperhatikan de-
ngan seksama tanpa melewatkan satu juruspun. Hati
kecilnya sangat memuji ketangkasan Pusparini yang
semula dipandang sebagai orang yang harus disingkirkan, karena melihat anak
buahnya membunuh buro-
nannya. Jayenglaga memang memutuskan untuk bertindak
hati-hati dalam menangani kehadiran Pusparini. Pada awalnya telah dikirim anak
buahnya yang cuma kelas
teri untuk menjajagi siapa sebenarnya Pusparini.
Dan pembunuhan itu sendiri seharusnya tak boleh
ada saksi di luar orang-orangnya. Dia telah menindak seorang punggawa pamong
praja sampai terbunuh dalam peristiwa di pinggir sungai tempo hari. Kalau sampai
hal ini tercium oleh pihak pamong praja yang berkuasa di kadipaten, pasti
dirinya akan ditindak. Itulah alasannya mengapa dia harus berhati-hati untuk
menindak Pusparini.
Di sisi lain Pusparini yang belum tahu tujuan akhir dari permainan ini, hanya
meladeni saja. Kalau hal ini sampai terjadi pertumpahan darah dengan renggutan
nyawa, maka akan banyak saksi yang melihat. Tapi
rupanya pertandingan ini tidak akan sampai mengarah ke sana, walaupun senjata
tajam telah mereka pergunakan. Sebab kalau sampai melukai dengan keadaan
parah, maka pertandingan akan dihentikan.
Itu adalah peraturan semula. Soal menghentikan
atau tidak, akan tergantung keputusan Jayenglaga
sendiri. Dia akan melambaikan kain merah sebagai
tanda bahwa yang tak berdaya boleh dibunuh di arena itu. Peraturan seperti itu
telah dipahami oleh Pusparini sebelum dia terjun ke gelanggang. Peraturan yang
tertulis telah dibacanya sambil menyaksikan pertandi-
ngan pemula yang sudah lewat tadi. Itu sebabnya dia merasa lega ketika telah
memutuskan memilih nomor
terakhir pertandingan itu.
"Dia memang tangguh," bisik Ki Jayenglaga kepada
pembantu dekatnya yang duduk di sampingnya. "De-
ngan cara ini kita sulit untuk menyingkirkannya."
"Saya kira ada gagasan lain untuk membuat dia tak
bisa berkutik," saran pembantunya.
"Apa itu?" tanya Jayenglaga tanpa mengalihkan per-
hatiannya terhadap Pusparini yang dengan gencar
menghadapi serangan Jrangkong Langit dan Klabang
Ireng. "Jelas sangat sulit kita menggacokan Tiga Serangkai untuk menindaknya. Kita
harus mencari cara lain. Beberapa waktu yang lalu, saya telah memasang 'telik
sandi' untuk selalu mengikuti gerak-geriknya. Ternyata dia telah berhubungan
dengan Nyi Wungkuk!" kata
pembantu Jayenglaga.
"Apa" Dia telah berhubungan dengan Nyi Wung-
kuk"!" sahut Jayenglaga dengan nada meninggi se-
hingga anak buahnya yang lain menoleh ke arahnya.
"Bagaimana dia bisa melangkah sejauh itu" Selama ini Nyi Wungkuk kita ketahui
sebagai wanita tua yang tidak mau kita rangkul. Kita tahu Nyi Wungkuk punya
kebolehan yang tetap dipendam. Kalau sampai gadis
itu telah berhubungan dengan Nyi Wungkuk, kita akan bertambah kesulitan besar.
Kalian harus cari jalan untuk menyingkirkannya tanpa dicurigai oleh siapa pun!"
Pesan sekilas itu rupanya jadi perintah resmi.
Sementara pertandingan masih berlangsung, tiba-
tiba di suatu bagian dari arena pertunjukan itu timbul kebakaran. Tentu saja hal
ini menimbulkan kepanikan para penonton. Mereka berhamburan untuk menyela-matkan
diri. Para anak buah Jayenglaga yang punya
tugas menjaga keamanan dibuat sibuk karena peris-
tiwa ini. "Kita hentikan pertandingan ini!" seru Klabang Ireng kepada Pusparini.
"Baik! Harap diketahui, aku belum kalian kalahkan.
Bahkan nomor ini masih aku menangkan karena ka-
lian mengroyok aku!" sumbar Pusparini.
"Akan kita lanjutkan dengan cara kita sendiri, tanpa wasit dan penyelenggara!"
tangkis Klabang Ireng. Dengan sekali genjot, maka kepergiannya diikuti oleh dua
rekannya, yakni Jrangkong Langit dan Sawer Jenar.
"Hei, ke mana kalian"!" seru Ki Jayenglaga yang me-
lihat gaconya meninggalkan gelanggang.
Klabang Ireng masih sempat meninggalkan pesan,
"Kami akan menyelesaikan dengan cara kami sendiri.
Maafkan kami!" Lalu Tiga Serangkai itu tidak terlihat sosok tubuhnya lagi.
Kini tinggal Pusparini yang masih tegak di sana
sambil mengawasi Jayenglaga.
"Sayang aku tidak bisa meladeni acaramu. Maaf,
aku harus pergi pula," kata Pusparini sambil melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara anak buahnya sibuk memadamkan ke-
bakaran, maka si tuan tanah ini tegak di tempatnya
sambil memendam kemarahan. Dia segera menaruh
curiga, jangan-jangan kebakaran itu adalah ulah ta-
ngan-tangan jahil yang sengaja mengacaukan pertan-
dingan itu. *** LIMA Pusparini baru tahu bahwa yang menyulut kebaka-
ran itu adalah si Thole. Hal itu diketahui sesampai di rumah Man Ndoplang dan
diceritakan oleh si Thole
sendiri. "Bagaimana kau begitu berani melakukannya?" ta-
nya Pusparini. "Nyi Wungkuk yang menyuruh," jawab si Thole.
Pusparini termenung. Dia sudah menduga. Tapi tak
pernah berpikir kalau hal itu dilakukan lewat tangan si Thole.
"Bagus. Kau telah berjasa," kata Pusparini sambil
menthowel dagu si Thole. "Apakah tidak ada pesan dari Nyi Wungkuk?"
"Mbak Rini disuruh ke Bendo Growong," kata si
Thole. "Baik. Aku segera ke sana," kata Pusparini yang be-
ranjak pergi. "Tidak sekarang, Mbak. Tapi nanti malam."
"Nanti malam" Ah, yang bener. Kau tidak salah
dengar?" "Tidak. Ini benar-benar pesan Nyi Wungkuk," kata
si Thole meyakinkan.
Pusparini termenung lagi. Banyak masalah yang dia
tidak mengerti. Keterlibatannya dengan tokoh bernama Jayenglaga dan Nyi Wungkuk
sendiri belum menimbulkan titik terang di mana dia akan menemukan Pedang
Merapi Dahana yang dicuri orang.
*** Ketika saat yang dinanti telah tiba, maka malam
harinya Pusparini berangkat ke tempat Nyi Wungkuk.
Pergi ke sana pada malam hari memang membuat eng-
gan. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang menguntung-
kan dirinya dengan kedatangannya ke Bendo Growong
itu" Dengan tindak hati-hati Pusparini menapak jalanan yang gelap. Suasana tidak
segelap bayangannya.
Bulan memberi penerangan yang agak lumayan mes-
kipun dirinya berjalan tanpa mempergunakan obor.
Tapi sebelum sampai di tempat yang dituju, tiba-
tiba Pusparini melihat sesosok tubuh menghadang ja-
lannya. Sesaat kecurigaan timbul. Tapi setelah diamati dengan teliti, ternyata
sosok tubuh itu adalah orang yang dikenalnya.
"Ki Megatruh"!" kata Pusparini.
"Hendak ke mana kau malam-malam begini?" tanya
laki-laki itu. "Nyi Wungkuk berpesan agar saya datang ke Bendo
Growong malam ini," jawab Pusparini.
Ki Megatruh agak heran mendengar pesan itu.
"Siang tadi kami memang bersama-sama menyatroni
pertandinganmu," kata Ki Megatruh. "Karena dia tak
ingin dirimu terjebak berlarut-larut dalam kancah pertandingan, maka dilakukan
tindakan seperti itu."
"Dia menyuruh si Thole membakar pondok di bela-
kang panggung itu, bukan?" kata Pusparini untuk me-
yakinkan cerita si Thole.
"Yha!"
"Dan Nyi Wungkuk berpesan agar aku menemuinya
malam ini di Bendo Growong," kata Pusparini lagi.
"Oh, begitu" Pesan yang seperti itu aku tidak men-
dengar. Mungkin saat itu aku agak menjauh darinya,
sehingga tidak kudengar pesan seperti itu," kata Ki Megatruh. "Tapi...
ketahuilah. Aku baru saja ke sana sore tadi. Sampai malam ini pun tak kulihat
Nyi Wungkuk di tempat kediamannya."
"Tidak ada di tempatnya?" kata Pusparini. "Ke ma-
na?" "Aku tak tahu. Selama ini aku memang menjaga ke-
selamatannya. Ini memang mengandung latar belakang
masa lampau yang panjang," kata Ki Megatruh dengan
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara berat, seakan-akan memendam perasaan yang
tertekan. "Saya jadi ingin mengetahui latar belakang riwayat-
nya," kata Pusparini sambil menuruti ajakan Ki Megatruh untuk duduk di bawah
lindungan pohon blinjo.
Tempat itu jauh dari pemukiman. Lalu dibuatnya api
unggun di tempat itu.
"Jadi.... Ki Megatruh ini... pengawal Nyi Wungkuk?"
tanya Pusparini. "Kalau disebut pengawal, pasti ada hubungannya antara abdi dan
tuannya." "Nyi Wungkuk itu masih berdarah biru, masih turu-
nan bangsawan. Hanya nasib buruk saja yang mem-
buat dia tersingkir dari lingkungan priyayi!" kata Ki Megatruh membuka
percakapan. "Dan cacat itu pasti bukan sejak lahir," tanya Pus-
parini memancing, karena dilihatnya Ki Megatruh ma-
sih belum melanjutkan ceritanya.
"Memang bukan! Itu karena penyiksaan yang dila-
kukan oleh Nyi Blengoh."
"Nyi Blengoh" Siapakah Nyi Blengoh itu?"
"Isteri muda Adipati Agung Sedayu," jawab Ki Me-
gatruh dengan suara bergetar.
"Jadi Nyi Wungkuk dulunya istri Adipati Agung Se-
dayu yang pertama?"
"Benar!"
"Astaga! Istri seorang Adipati?" terdengar suara
Pusparini dengan nada kagum. "Kapan terjadinya?"
"Saat ini usia Nyi Wungkuk hampir tujuh puluh ta-
hun. Peristiwa itu sendiri telah berlalu dari empat puluh tahun yang lalu," kata
Ki Megatruh lebih lanjut.
"Dia tersisih dari kalangan ningrat, dan kini memendam dendam. Tapi Nyi Blengoh
sampai saat inipun ti-
dak tinggal diam. Masing-masing sedang menanti saat untuk meledakkan dendamnya."
"Tak kuduga kalau sampai begitu memilukan nasib
yang menimpa Nyi Wungkuk," gumam Pusparini de-
ngan perasaan yang larut dalam kesedihan. "Lalu, di manakah Nyi Blengoh
sekarang?"
"Tentu saja masih berada di Kadipaten Sedayu. Se-
dangkan Adipati Agung Sedayu sendiri telah mangkat
beberapa tahun yang lalu," kata Ki Megatruh. "Nama
Nyi Wungkuk yang kini dikenal banyak orang hanya
sebutan perlindungan saja. Nama sebenarnya adalah
Nyi Saraswati."
"Nyi Saraswati" Nama yang indah. Tentunya Nyi
Wungkuk pada masa mudanya merupakan wanita
yang cantik," sela Pusparini memberi penilaian.
"Ya! Dia memang wanita cantik...!" kata Ki Megatruh pelan.
Hening sesaat. Pusparini mencoba meresapkan ke-
terangan-keterangan itu yang berkaitan dengan kebe-
radaan Nyi Wungkuk, lalu mencoba mengambil kesim-
pulan tentang peranan Ki Megatruh yang tetap setia
mendampingi Nyi Wungkuk.
"Pasti... Ki Megatruh bukan abdi Nyi Wungkuk," ti-
ba-tiba Pusparini memecah kesunyian.
Laki-laki itu menoleh. Bayangan api unggun yang
memberi penerangan antara tampak dan tiada, mem-
beri kesan misterius pada wajah laki-laki ini.
"Apa maksud pertanyaanmu, Nduk?" tanyanya.
Dipanggil 'nduk' yang merupakan singkatan dari
'gendhuk', Pusparini tiba-tiba merasa akrab dengan
laki-laki bernama Ki Megatruh. Sekilas dia teringat akan sosok penampilan
almarhum ayahnya sendiri.
Tegap dan kekar walaupun sudah berusia tujuh pulu-
han. Tak jauh beda dengan Ki Megatruh.
"Maaf, atas kelancangan pertanyaan saya, Ki. Tapi
saya ingin tahu lebih banyak tentang hubungan Ki Megatruh dengan Nyi Wung...
eh... Saraswati itu!" kata Pusparini dengan pandangan tajam seperti ingin
menembus benak Ki Megatruh untuk mengetahui segala
rahasia yang terselubung.
"Pertanyaan nakal," jawab Ki Megatruh sambil ter-
senyum. "Pertanyaanmu terdorong oleh gejolak usia-
mu. Apakah kau sendiri pernah jatuh cinta?"
Pusparini menunduk sambil mengawasi api un-
ggun. Tangannya mempermainkan ujung kembennya
yang terjuntai. Pertanyaan kilas balik dari Ki Megatruh sangat menggigit
perasaannya. Ya! Pernahkah ia jatuh cinta" Pernahkah" Pertanyaan inilah yang
membuat dirinya menunduk menekuri nasibnya sendiri. Dia ta-
hu, wanita seusianya sudah seharusnya membina ru-
mah tangga. Tapi bagaimana pula, kalau hal itu belum memungkinkan untuk berpikir
ke sana" Keadaan yang
digeluti membuat dirinya tak ada kesempatan untuk
merenungkan masalah itu. Walau pada saat-saat sepi
sekalipun. "Wanita selalu malu kalau disuruh mengungkap pe-
rasaannya," terdengar suara Ki Megatruh. "Tapi kalau hal itu kau tanyakan
padaku, aku akan menjawab tanpa tedeng aling-aling, bahwa aku sangat mencintai
Nyi Saraswati, yang dikenal oleh orang-orang kini dengan panggilan Nyi Wungkuk!
Aku mencintai sejak dulu,
pertama kali bertemu sebelum dia dipersunting oleh
Adipati Agung Sedayu, bahkan sampai sekarang dalam
keadaannya yang terbuang itu."
"Lalu... tanggapan Nyi Saraswati bagaimana?" desak
Suling Naga 19 Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Pedang Keadilan 37
http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 16 :901 Pendekar Pulau
Neraka - Warisan Kitab Pusaka902 Pendekar Pulau Neraka - Setan Seribu Nyawa903
Pendekar Pulau Neraka - Pendekar TanahSeberang904 Pendekar Slebor - Lembah
Kutukan905 Pendekar Slebor - Dendam dan Asmara906 Pendekar Slebor - Mustika
Putri Terkutuk907 Pendekar Slebor - Geger Ratu Racun908 Pendekar Slebor - Darah
Pembangkit Mayat909 Pendekar Slebor - Bangkitnya Ki Rawa Rontek910 Pendekar
Slebor - Pusaka Langit911 Pendekar Slebor - Pengejaran Ke Cina912 Pendekar
Slebor - Manusia dari Pusat Bumi913 Pendekar Slebor - Pengadilan Perut Bumi914
Pendekar Slebor - Cermin Alam gaib915 Pendekar Slebor - Pendekar Wanita
TanahBuangan916 Pendekar Slebor - Sepasang Bidadari Merah917 Pendekar Slebor -
Bayang-Bayang Gaib918 Pendekar Slebor - Permainan Tiga Dewa919 Pendekar Slebor -
Undangan Ratu Mesir920 Pendekar Slebor - Piramida Kematian921 Pendekar Slebor -
Warisan Ratu Mesir922 Pendekar Slebor - Perompak-Perompak LautCina923 Pendekar
Slebor - Raja Akherat924 Wiro Sableng - Hantu Selaksa Angin925 Wiro Sableng -
Muka Tanah Liat926 Wiro Sableng - Batu Pembalik Waktu927 Wiro Sableng - Istana
Kebahagiaan928 Wiro Sableng - Kembali Ke Tanah Jawa929 Wiro Sableng - Tiga Makam
Setan930 Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton931 Wiro Sableng - Gondoruwo Patah
Hati932 Wiro Sableng - Makam Ke Tiga933 Wiro Sableng - Senandung Kematian934
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah935 Wiro Sableng - Mayat Persembahan936 Wiro
Sableng - Si Cantik Dalam Guci937 Wiro Sableng - Tahta Janda Berdarah938 Wiro
Sableng - Meraga Sukma939 Wiro Sableng - Melati Tujuh Racun940 Wiro Sableng -
Kutukan Sang Badik941 Wiro Sableng - Lorong Kematian942 Wiro Sableng - Nyawa
Kedua943 Wiro Sableng - Rumah Tanpa Dosa944 Pendekar Rajawali Sakti - Darah dan
Asmara945 Pendekar Rajawali Sakti - Setan Pedang Perak946 Pendekar Rajawali
Sakti - Satria Baja Hitam947 Pendekar Rajawali Sakti - Misteri Peramal Tua948
Pendekar Rajawali Sakti - Buronan SingoWulung949 Pendekar Rajawali Sakti - Genta
Kematian950 Pendekar Rajawali Sakti - Gerhana KembangKedaton951 Pendekar
Rajawali Sakti - Tumbal PenguasaSamudra952 Pendekar Rajawali Sakti - Mustika
Kuburan Tua953 Pendekar Rajawali Sakti - Jaringan Hitam954 Pendekar Rajawali
Sakti - Pembalasan Mintarsih955 Pendekar Rajawali Sakti - Siluman Ular Merah956
Pendekar Rajawali Sakti - Pembunuh Misterius957 Pendekar Rajawali Sakti -
Penjagal BukitTengkorak958 Pendekar Rajawali Sakti - Darah Seratus Bayi959
Pendekar Rajawali Sakti - Dewi Goa Ular960 Pendekar Rajawali Sakti - Badai Di
LembahTangkar Jalanan becek membuat Pusparini alias Walet Emas
mengendalikan lari kudanya dengan hati-hati. Hujan
baru saja reda. Dalam gerimis lembut dia nekad untuk melanjutkan perjalanan.
Tapi ketika gerimis itu men-jelma menjadi butiran air hujan sebesar jagung, dia
memutuskan untuk mencari tempat berteduh.
"Tak kulihat sebuah pondok pun. Apalagi gubug,"
pikirnya sambil terus memacu lari kudanya.
Dan di saat itulah tiba-tiba sekilat lidah petir menyambar pohon di depan sana.
Pohon itu langsung
tumbang. Pusparini yang ketika terdengar ledakan petir tak jauh darinya,
langsung terpental dari kuda. Untung dia seorang pendekar. Kalau tidak, nasibnya
jadi lain. Dalam suasana limbung di udara, dia berhasil
menapakkan kakinya di tanah.
Tapi baru saja hal itu terjadi, inderanya segera me-nangkap bahaya lain.
Ternyata pohon yang disambar
petir itu tumbang. Batangnya terlihat nyata roboh ke arah tempat Pusparini
berada. Satu-satunya cara untuk menghindar cuma segera melesat dari sana. Tapi
karena semuanya serba dadakan dalam suasana ribut,
maka gerakannya sulit memperhitungkan keadaan se-
kelilingnya. Ikat pinggangnya yang berbentuk selen-
dang kuning tersangkut pada dahan pohon di mana
dia menjatuhkan diri, dan ini mengakibatkan tubuh-
nya tersendat. Karena hal inilah dirinya merasa bagaikan ditarik oleh kekuatan
besar sehingga terpelanting ke arah yang tidak diperhitungkan.
"Ah!" hanya ini yang keluar dari mulutnya mengiri-
ngi hempasan tubuhnya yang melanda batu besar. Se-
benarnya Pusparini masih bisa untuk bangkit, tapi dia
terlalu payah. Dia sengaja untuk berbaring di sana, sementara air hujan terus
mengguyur tubuhnya...!
*** Suara ringkik kudanya membangunkan Pusparini
dari tidurnya. Hujan telah lama reda. Bahkan telah
kemarin redanya. Saat ini suasananya pagi hari. Dia mencoba mengingat peristiwa
yang telah terjadi. Lalu dia bangkit dan menghampiri kudanya. Beruntung sekali
kuda itu telah jinak terhadapnya. Boleh dikata sudah seperti majikan dan
hambanya. "Aku harus mandi dulu. Apakah kau melihat sungai
atau mata air dekat-dekat sini?" kata Pusparini kepadanya kudanya yang biasa
diajak berdialog di saat-saat sepi.
Tentu saja kuda itu tak mengerti dengan maksud
ucapan tuannya. Pengertiannya hanya terbatas pada
hal-hal tertentu yang menyangkut gerak, datang, pergi, istirahat, merumput. Tapi
entah bagaimana, saat itu sepertinya si kuda mengerti apa yang diharapkan
Pusparini, lalu berjalan pelan seolah memberi isyarat kepada tuannya.
"Hei, ke mana" Kau tahu di sana ada sungai?" kata
Pusparini dengan mengikuti langkah kaki kudanya.
Pandangan Pusparini segera mengarah kepada tempat
yang semakin landai, dan diperkirakan ada sungai di sana.
"Hm, kau benar-benar jeli. Walaupun baru hujan,
sungai itu tetap jernih. Jelas kawasan ini jauh dari pemukiman penduduk.
Biasanya kalau sebuah sungai
terlihat kotor, pasti dekat dengan pemukiman pede-
saan," kata Pusparini sambil terus menuruni tempat
menuju sungai di depannya.
Tapi baru saja dia meneliti mencari tempat di mana
sebaiknya menanggalkan pakaiannya, mendadak ter-
dengar langkah-langkah mendekat ke tempat itu.
Langkah kaki yang terseret, terdengar tergesa-gesa.
Pusparini mendapat firasat ada sesuatu yang tidak
beres dengan kehadiran langkah kaki itu.
Benar saja. Sesaat kemudian terlihat seseorang
yang luka parah berpapasan dengannya. Orang itu
terperangah kaget.
"Oh, bukan aku! Bukan aku yang melakukan.
Sungguh. Ampuni aku...!" terdengar ucapan laki-laki itu dengan nada ketakutan.
"Hei! Apa yang kaukatakan itu" Aku tak tahu apa-
apa!" jawab Pusparini.
"Aahh!" terdengar jeritan orang itu karena tiba-tiba punggungnya dihunjam oleh
sebilah cundrik, keris kecil, dan langsung roboh.
Untung Pusparini cepat menyangga tubuh orang
itu. Kalau tidak, tubuh itu akan meluncur ke sungai.
Belum sempat Pusparini memeriksa dari mana da-
tangnya lemparan cundrik tersebut, muncullah bebe-
rapa orang dengan tampang angker. Melihat pakaian-
nya, mereka jelas dari kelompok orang berpengaruh di wilayah itu.
"Seperti katamu yang kudengar, sebaiknya kau tak
tahu apa-apa," kata seseorang yang terlihat sebagai si pelempar cundrik, sebagai
pula pemimpin dari orang-orang itu.
Pusparini cepat mengambil kesimpulan bahwa diri-
nya merupakan saksi hidup dalam peristiwa itu. Kalau orang-orang itu tidak
menghendaki adanya saksi, pasti mereka akan menindaknya. Kasarnya, membunuhnya!
Dan itu segera terjadi kalau Pusparini tidak waspa-
da. Gebrakan Pusparini segera melanda orang-orang
itu ketika dilihatnya beberapa di antara mereka akan
menindaknya. Beberapa orang di antaranya mencelat
sambil menebah dada ketika dilanda tangan dan siku
pendekar bergelar Walet Emas ini.
"Edan! Sudah kukatakan. Jangan meremehkan pa-
ras wanita ayu!" seru pentolan mereka yang berkumis seperti rambut jagung.
Anak buahnya yang lain segera bertindak memban-
tu mereka yang blingsatan kesakitan. Tapi ini pun se-tali tiga uang, alias sama!
Masing-masing muntah darah ketika Pusparini menghajar dada mereka.
"Tunggu! Aku harus tahu urusannya sebelum aku
bertindak lebih ganas lagi!" ancam Pusparini dengan ketus.
Pemimpin mereka tampil ke depan. "Kau saksi! Se-
tiap saksi hidup harus mati!"
Seakhir dengan ucapan itu dia melompat dengan
garang. Sebagai pimpinan dia menganggap harus di
atas anak buahnya dalam segala tindakan. Termasuk
dalam menangani masalah ini. Maunya pamer, tapi
apa mau dikata. Tubuhnya yang banyak muat lemak
itu tak dapat mulus menghajar Pusparini. Perutnya
kena hajar, ditambah hantaman pada dagu, komplit
sudah untuk mengirim orang itu ke arah sungai.
Senyuman Pusparini yang masam membuat keder
orang-orang lain. Sangkanya Pusparini akan mengam-
bil tindakan terhadap mereka. Ternyata tidak.
"Cepat kalian pergi dari sini. Dan angkat orang yang kalian bunuh itu dari sini.
Kalau membangkang, isi
perut kalian akan kujadikan makanan ikan di sungai
itu!" ancam Pusparini sambil melirik pentolan orang-orang itu yang dengan susah
payah naik ke daratan.
Kemudian dengan pandangan memendam kebencian,
dia memerintahkan orang-orangnya meninggalkan
tempat itu dengan membawa korbannya.
"Kau akan merasakan balasan dari tindakan ini!"
ancam orang itu.
"Mengancam" Itu bukan pertama kali aku harus
berhadapan dengan orang seperti dirimu. Biasanya kalian akan muncul lagi dengan
membawa jago yang le-
bih bandot," sumbar Pusparini dengan mengawasi ke-
pergian orang-orang itu.
"Hm. Pagi-pagi sudah sarapan melihat mayat dan
menghajar orang," pikirnya sambil terus memper-
siapkan mandi. Pusparini melepas pakaiannya. Rupanya kekejaman
seperti itu bukan barang baru baginya. Hidupnya me-
mang diwarnai kekejaman. Semburan darah, otak ber-
ceceran, tulang-belulang manusia, semua tak asing la-gi kalau harus berhadapan
dengan hal-hal seperti itu.
Air sungai yang dingin segera menciumi tubuhnya
yang bugil. Ah, enaknya jadi air sungai. Zat ini dengan bebas menggumuli lekuk-
lekuk tubuhnya.
Pusparini membiarkan tubuhnya hanyut untuk be-
berapa saat. Kemudian dia berenang. Semua dilaku-
kan dengan perasaan ayem. Dia tidak khawatir kalau
ada orang yang lewat di sana. Bahkan tidak cemas
apabila kelompok orang-orang tadi datang lagi. Toh kalau mereka datang lagi,
tidak akan secepat itu. Daerah itu diperkirakan jauh dari pemukiman penduduk.
Tapi dugaan Pusparini salah! Tiba-tiba ada sesosok
tubuh berkelebat. Gerakannya yang cepat membuat
Pusparini tak sempat melihat tampang orang itu de-
ngan jelas. Tapi kalau disuruh mengenali, pasti bisa, sebab tubuhnya dibalut
dengan pakaian compang-camping serta berpunggung bungkuk! Dia pastilah se-
orang wanita. Dan ini ditandai dengan gerai rambutnya yang panjang, berwarna
putih! Itu ciri-ciri orang tersebut yang melekat dalam inga-
tan Pusparini. Maunya Pusparini hanya mengawasi
tanpa curiga. Tapi ketika orang itu melesat lagi, disadari bahwa dia telah
membawa semua perangkat pa-
kaian Pusparini beserta Pedang Merapi Dahana!
"Hei!" hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pus-
parini dengan pandangan tercekam. Mau berbuat apa"
Melesat mengejar orang itu" Gila! Hal inilah yang disadari olehnya, sebab saat
ini dirinya sedang dalam
keadaan bugil berendam dalam air sungai.
Pusparini panik. Dia bisa berhadapan dengan selu-
sin lawan untuk baku hantam. Tapi mengalami nasib
seperti ini sama halnya lehernya digorok tanpa ampun!
"Oh!" hanya keluhan ini yang bisa dilakukan.
Dengan nekad dia naik ke darat. Dilihatnya, ku-
danya bersembunyi di balik semak-semak. Hal ini yang membuat lega. Sebab masih
ada bungkusan yang di-tambatkan pada pelana kudanya. Bungkusan itu ter-
simpan beberapa lembar pakaian cadangannya. Pus-
parini bernafas lega.
*** DUA "Aku harus mencarinya!" pikir Pusparini setelah
mengenakan pakaian cadangannya. Dia memang me-
nyukai warna serba kuning sebagai jati diri Walet
Emas. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kalau
kudanya dicuri pula. Bisa tamat harga dirinya. Betapa tidak. Kalau semua
tercuri, satu-satunya harta miliknya hanya tubuh bugilnya saja. Tak ada lain!
Dari masalah ini dia hanya kehilangan pedangnya saja. Pedang Merapi Dahana!
"Mudah-mudahan firasatku benar," katanya sambil
memacu kudanya sesuai dengan bisikan hatinya. Pe-
doman Pusparini hanya mengikuti jejak-jejak kaki
yang terlihat masih baru di sana. Mengarah ke utara jalan yang ditempuh, entah
kemana sampainya. Seorang wanita tua yang bungkuk, itulah sasarannya se-
karang. Mudah-mudahan ada orang yang mengenal ci-
ri-ciri seperti itu. Semua tindakan yang akan dilakukan direncanakan matang-
matang. Mungkinkah orang
itu tokoh silat di daerah ini" Mengapa begitu penge-cutnya dengan mencuri
pakaian beserta pedangnya"
Belum sirna pikiran itu dari benaknya, tiba-tiba
perhatiannya tertuju pada sekelompok orang yang
muncul dari tikungan jalan, dan langsung mengha-
dangnya. "Itu dia!" seru salah seorang di antara mereka.
Pusparini menghentikan kudanya.
"Hm! Kita ketemu lagi!" kata Pusparini setelah me-
ngenali orang-orang itu. "Benar yang kuduga. Kalian memanggil gaco untuk
melawanku. Diakah orangnya?"
Pusparini menunjuk ke arah seseorang yang tampil
dengan langkah pethitha-pethithi. Orang yang kurus, ceking. Ciri penampilannya
serba panjang. Jidat, hi-dung, roman muka, semua membentuk penampilan
sebagai orang yang memiliki perawakan tinggi.
Tengah mengawasi penampilan orang itu, Pusparini
lengah pada arah lainnya. Ternyata ada pembokong
yang hadir tanpa disadari. Kena tendangannya, tubuh Pusparini mencelat dari
punggung kuda. Tapi kalau
bukan pendekar bergelar Walet Emas, hal yang begitu akan diatasi dengan mencari
ancang-ancang untuk jatuh. Justru yang begini menimpa dia, maka lentikan
tubuh karena hempasan tendangan pembokong mem-
buat dirinya meliuk bagaikan burung, dirinya meliuk
bagaikan burung walet terbang menuju sarang. Dan
sarang yang dimaksud di sini adalah tindakan balik
untuk menyerang lawan.
Sungguh tak terduga kalau Pusparini sampai bisa
meliukkan tubuh dengan meminjam tangan dari salah
seorang penyerang yang lain. Orang yang menambahi
serangan ini tidak menduga kalau Pusparini yang di-
pandang kehilangan penangkal, masih mampu bertin-
dak menguasai dirinya. Akibatnya, si pembokong yang mencoba memberi serangan
ganda, terpaksa merubah
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
posisinya ketika diketahui Pusparini telah menyerang ke arahnya.
Perubahan keadaan ini benar-benar mengawali ben-
trokan yang kian seru. Kini Pusparini harus mengha-
dapi dua orang gaco lawan. Satu si ceking tinggi, dan yang lain berperawakan
sedang. Tempat di mana baku hantam ini terjadi, berlang-
sung di jalan mulut desa. Jadi banyak menarik perhatian dari orang-orang yang
berlalu-lalang di sana. Ini benar-benar suatu kesempatan bagi Pusparini untuk
menarik perhatian orang. Dia ingin agar orang yang telah mencuri pakaian dan
pedangnya bisa melihat dia.
Oleh sebab itu Pusparini sengaja mengulurkan baku
hantam ini walaupun dengan mudah bisa menga-
lahkan serangan dua orang yang berperawakan sedang
itu yang sebenarnya "tak ada apa-apa"-nya. Kalau
ukuran gaco seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana rimpih nya nilai bela diri
di tempat itu. Ataukah yang benar jago yang merupakan gaco andalan belum keluar"
Boleh jadi! Tapi bagaimanapun Pusparini memang sengaja pa-
mer kebolehan, agar orang yang telah mencuri pakaian dan pedangnya jadi tahu
siapa dia. Dan merupakan
ancaman terselubung agar si pencuri mengembalikan
dengan cara baik-baik.
Itu menurut pikiran Pusparini! Kalau saja dia tahu, bahwa sebenarnya si pencuri
itu tanpa sengaja telah berada di sana pula dengan sikap hati-hati agar tidak
kepergok orang yang jadi korbannya, pasti Pusparini telah mengalihkan
perhatiannya dan mengejar si pencuri. Benar! Si pencuri berpunggung bungkuk itu
sege-ra menyelinap di antara orang-orang untuk meng-
hindarkan diri. Lalu dengan lincah dia melesat ke luar desa...!
"Ah, percuma! Aku harus mengakhiri baku hantam
ini," pikir Pusparini dengan mengirimkan pukulan telak. Si ceking menerima bogem
mentah di arah tenggo-rokan sehingga muntah darah. Sedangkan si perawa-
kan sedang kena tonjok lambungnya sehingga sejeng-
kal kotorannya merasa mendapat curahan limpahan
dendam kesumat yang selama ini mereka pendam.
"Tahu rasa mereka sekarang. Nggak tahunya bisa
digojlok oleh pendekar wanita berkulit mulus," seru salah seorang di antara
kerumunan orang-orang di sana.
"Mau rasanya mengambil mantu," komentar yang
lain. "Mantu" Dapat anakmu yang suka main judi itu?"
jawab yang lain. "Ngomong mbok dipikir. Kalau dia itu cocoknya ya dapat anakku,
si Thole! Calon juragan beras seperti bapaknya ini!"
Pusparini mendengar juga omongan-omongan se-
perti itu. Tapi dia tidak menggubris sedikitpun. Dua orang yang berhasil
dikalahkan dengan tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu diikuti yang lainnya.
"Maaf, Pak, siapakah sebenarnya mereka itu?" ta-
nya Pusparini kepada salah seorang penduduk yang
sejak tadi asyik menonton.
"Lho" Bagaimana, to" Den Ayu telah bentrok de-
ngan mereka, tapi tidak tahu siapa mereka?" jawab
orang itu. "Oh, jangan panggil saya 'Den Ayu', Pak. Saya orang biasa. Tidak punya trah
priyayi. Benar, saya tidak tahu siapa mereka. Tahu-tahu mereka mengroyok saya.
Bahkan sejak pertama kali saya ketemu mereka di tepi sungai, sudah menganggap
saya musuhnya karena
menyaksikan orang yang terbunuh," jawab Pusparini
dengan memancing keterangan.
"Enghh... jadi begitu"! Mereka itu orang-orangnya si Jayenglaga. Seorang tuan
tanah paling kaya di Pedukuhan Glagah Jenar," kata orang itu.
Pusparini manggut-manggut sambil membenahi pe-
lana kudanya. Masih ada sedikit uang. Sasarannya ha-ri itu dia akan mencari
sebuah warung murah untuk
sarapan. *** Ternyata Pusparini mendapat makanan cuma-cuma
di warung yang dimasuki.
"Lho, Pak. Bagaimana saya bisa nggak bayar" Saya
sudah kenyang makan di sini, sudah sepantasnya ha-
rus membayar," kata Pusparini.
"Karena kau tadi telah menghajar anak buah tuan
tanah itu, maka anggap saja sebagai imbalan uang lelah dari kami," jawab orang
tua itu. Pusparini termenung. Kesimpulannya, bahwa o-
rang-orang di Glagah Jenar ini punya ganjalan terhadap tuan tanah bernama
Jayenglaga. "Pak, bolehkan saya menitipkan kuda saya di sini?"
kata Pusparini kepada pemilik warung.
"O, silakan! Silahkan, Nduk!" jawab orang tua itu
dengan ramah. Kemudian dia memanggil anaknya agar
membawa kuda Pusparini ke belakang. Kebetulan di
sana ada gubug kosong, dan di sanalah kuda Puspa-
rini dikandangkan.
"Saya akan lama di sini," kata Pusparini kepada pe-
milik warung. "Ah, kami akan senang sekali. Paling tidak jago-jago kepruk Jayenglaga tak akan
sembarangan mengumbar
tingkah di warung saya," kata orang tua itu.
"Oh, Bapak jangan salah sangka dulu. Saya punya
urusan juga. Apakah Bapak pernah melihat orang
bungkuk di sini?" tanya Pusparini.
"Aneh! Tanya kok tentang orang bungkuk. Memang-
nya kenapa, Nduk pendekar?"
"Oh, tidak. Cuma nanya saja, Pak. Mungkin Bapak
pernah melihat, ada berapa orang bungkuk di sini"!"
tanya Pusparini dengan santai tapi sungguh-sungguh.
"Ada tiga!"
"Tiga?"
"Ya, tiga. Itu pun saya tidak mengenal mereka," ja-
wab pemilik warung dengan heran. "Kenapa, Nduk?"
"Yang berambut putih, panjang?"
"Ooo... yang itu"!" jawab pemilik warung. "Namanya
Nyi Wungkuk!"
"Nyi Wungkuk?" kata Pusparini ingin meyakinkan.
"Ya. Nyi Wungkuk. Apa pentingnya berurusan de-
ngan dia" Rumahnya di pohon Bendo Growong."
"Di pohon Bendo Growong?" kata Pusparini semakin
tertarik. "Di mana, Pak"!"
"Di tepi sungai, dekat Kedung Bader," jawab pemilik warung.
Pusparini termenung. Hasrat untuk cepat-cepat ke
sana diendapkan. Dia tak ingin gegabah dalam bertindak. Melihat keterangan yang
diberikan oleh pemilik warung, jelas Nyi Wungkuk ini yang punya ciri-ciri
sebagai pencuri pakaian dan pedangnya.
"Siapa sebenarnya Nyi Wungkuk itu?" tanya Puspa-
rini. "Dia seorang tua yang merana. Tiada sanak. Tiada
kadang. Makannya pun berkat bantuan orang-orang di
desa ini. Kenapa kau mencarinya?" tanya pemilik wa-
rung. Pusparini termenung. Pikirannya terpengaruh pen-
jelasan tentang keadaan Nyi Wungkuk.
"Saya ingin tahu letak Kedung Bader itu, Pak. Bisa
menunjukkan?" tanya Pusparini.
"Si Thole, anak saya, bisa menunjukkan," jawab pe-
milik warung. *** Jalan menuju Kedung Bader ternyata sulit ditem-
puh oleh orang yang tak biasa klayapan ke sana. Si
Thole yang berumur 10 tahun itu dengan mudah me-
napak pada jalan yang licin. Kalau sering dilewati oleh Nyi Wungkuk, pastilah
tokoh yang dicari ini bukan
orang sembarangan. Banyak batu-batu runcing bagai
karang pantai berserakan di sana.
"Masih jauh?" tanya Pusparini.
Si Thole menunjukkan telunjuk jarinya. Di seberang
sana terlihat sebatang pohon bendo yang besar. Pada bagian batang sebelah bawah
terdapat lubang besar.
Orang menyebutnya 'growong'.
"Thole! Tunggu di sini, ya" Nanti kita pulang sama-
sama. Aku harus ketemu dengan Nyi Wungkuk itu,"
kata Pusparini kepada si Thole ketika melihat sesosok tubuh samar-samar di dalam
batang pohon bendo
growong tersebut.
Si Thole mengangguk sambil mengawasi Pusparini
yang menghampiri pohon bendo growong itu. Tapi se-
belum Pusparini memberi uluk sapa, tiba-tiba dirasa-
kan angin pukulan melanda dirinya. Pusparini menco-
ba menangkis kalau serangan itu akan dilakukan ke-
dua kalinya. Dan benar, memang ada serangan kedua
kalinya. Kali ini lebih keras daripada yang pertama, dan membuat Pusparini harus
mengerahkan tenaga
agar tubuhnya tidak mencelat ke arah sungai. Usaha
Pusparini untuk menghindarkan dari serangan jarak
jauh itu akhirnya berhasil ketika dirinya berada di luar jarak enam tombak dari
batang pohon itu.
"Aneh! Kulihat sosok tubuh di dalam itu tidak ber-
gerak melancarkan serangan. Tapi aku mengalami se-
rangan pukulan jarak jauh. Ilmu apa yang dia kerah-
kan?" pikir Pusparini dengan berusaha tegak dari tempatnya.
"Itu karena pagar manteranya," tiba-tiba terdengar
suara dari balik semak-semak.
Pusparini mencari dari mana datangnya suara itu.
Bertepatan dengan berpalingnya pandangan matanya,
maka di sana tegak seseorang dengan penampilan
yang sulit dikenali dengan cepat. Sebab topi lebarnya menutupi seluruh wajahnya.
"Apa katamu" Pagar Mantera" Siapa kau?" tanya
Pusparini. Orang itu menengadahkan wajahnya. Pusparini da-
pat melihat wajah orang itu yang ternyata seorang laki-laki tua sekitar umur
tujuh puluhan. "Sabarlah, Nak. Aku pun ingin menemui Nyi Wung-
kuk itu. Tapi tempat di sekelilingnya telah ditaburi ranjau mantera," kata
lelaki tua itu menjelaskan tanpa diminta.
Pusparini termenung. Pikirannya mencoba meng-
hubungkan peristiwa yang dialami dengan keberadaan
Nyi Wungkuk yang tampak dengan tenang berada di
sarangnya. Dari basa-basi ini Pusparini mencoba me-
ngenalkan namanya kepada lelaki tua itu. Lalu men-
dapat imbalan balik.
"Ki Megatruh!" kata lelaki tua itu mengenalkan na-
manya. "Saya berhubungan dengan Nyi Wungkuk karena
ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan tentang tindakannya," kata Pusparini
ketika Ki Megatruh mena-
nyakan keperluannya datang ke sana.
Lelaki tua itu memandangnya dengan tatapan mata
tajam. "Saya kehilangan barang. Dan Nyi Wungkuk saya
curigai sebagai pengambilnya," kata Pusparini dengan nada ragu. Sebab tidak enak
rasanya menjelekkan
orang lain kepada orang yang baru dikenalnya. Lagi
pula saat ini masih dalam taraf penyelidikan.
"Baru kali ini kudengar berita mengatakan Nyi
Wungkuk sebagai pencuri," kata Ki Megatruh.
"Jadi"!" tanya Pusparini. "Ki Megatruh meragukan
kata-kata saya?"
"Atas dasar apa maka kau bisa menuduh bahwa Nyi
Wungkuk yang mengambil barang-barangmu" Dia te-
lah seminggu ini tidak keluar dari Bendo Growong itu.
Dia sedang menyelesaikan syarat semadinya untuk ti-
dak bercakap-cakap dengan siapapun selama sepuluh
hari," kata Ki Megatruh menjelaskan.
"Jadi... dia telah seminggu tidak keluar dari pohon bendo itu?" tanya Pusparini.
"Demi saksiku terhadap langit dan bumi yang kuin-
jak, semoga bumi menelanku, dan langit menghujani
aku dengan api, kalau aku bohong dengan kata-
kataku!" kata Ki Megatruh dengan mantap. Suatu
sumpah yang puitis. Kata-kata itu benar-benar menu-
suk perasaan Pusparini, yang menumbuhkan keper-
cayaan tulus untuk mempercayai.
"Kalau begitu... saya minta maaf," kata Pusparini
dengan wajah menunduk.
Pusparini beranjak pergi.
"Akan ke mana kau?" tanya Ki Megatruh.
"Mungkin yang saya lihat salah," jawab Pusparini.
"Jangan terpengaruh kata-kataku tadi," kata Ki Me-
gatruh. "Apakah kau lihat dengan jelas bahwa Nyi
Wungkuk mengambil barang-barangmu" Bolehkan
aku tahu macam barang yang diambilnya?"
"Pakaianku, dan sebilah pedang!" jawab Pusparini
tegas tapi penuh hormat. Dia tahu, sikap ini dilakukan karena telah bisa
mengambil kesan bahwa Ki Megatruh adalah orang yang menampilkan sikap membuat
orang lain segan. "Pasti ada orang yang mengkhianati," kata Ki Mega-
truh. "Taruhlah umpama ada orang yang menyamar
sebagai Nyi Wungkuk untuk menjelekkan namanya...."
Pusparini yang sedianya ingin cepat meninggalkan
tempat itu, jadi terkesan oleh ucapan ini.
"Jadi begitu tanggapan Ki Megatruh?"
"Boleh jadi. Itu kalau peristiwa yang kau alami terjadi dalam seminggu ini.
Kalau lebih dari seminggu, saya tak bisa mengambil kesimpulan begitu. Yang
jelas, aku sudah selama seminggu ini menunggu keluar-
nya Nyi Wungkuk dari pohon bendo itu. Dia telah me-
nyebarkan mantera di sekeliling pohon bendo growong sehingga tak seorangpun bisa
mendekat ke sana."
"Kalau begitu urusan ini tidak seremeh yang saya
duga," kata Pusparini. "Saya akan pamit dulu. Mung-
kin hari berikutnya saya akan kemari lagi."
"Tunggu!" cegah Ki Megatruh ketika melihat Puspa-
rini beranjak pergi. "Ada baiknya kau tahu siapa musuh-musuh Nyi Wungkuk."
"Perlukah itu?" tanya Pusparini.
"Jelas tindakan itu adalah fitnah baginya," jawab Ki Megatruh.
Pusparini termenung. Dia mencoba memahami uca-
pan Ki Megatruh.
"Mohon dijelaskan, Ki!"
"Ada tiga orang. Klabang Ireng, Jrangkong Langit,
dan Sawer Jenar!" kata Ki Megatruh menyebut tiga
nama sebagai musuh Nyi Wungkuk. "Itu yang kuketa-
hui. Mungkin berguna bagimu untuk melacak hilang-
nya barang-barangmu."
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas bantuan Ki Megatruh," kata Pus-
parini sambil pamit pergi.
Di seberang sana telah menunggu si Thole, anak
pemilik warung. Kemudian mereka berdua berlalu me-
ninggalkan kawasan Bendo Growong tempat Nyi
Wungkuk. *** TIGA Atas kebaikan pemilik warung, yang biasa dipanggil
Man Ndoplang oleh orang-orang di desa itu, Pusparini mendapat tempat bermalam.
Bahkan dengan bebas diberi tempat di sebuah rumah kosong tak jauh dari warung
itu. Dulu rumah itu dihuni oleh saudara Man
Ndoplang. Tapi sejak pindah ke desa lain, maka tempat itu tidak berpenghuni
lagi, bahkan oleh Man Ndoplang telah dibelinya.
"Biarlah Si Thole menemanimu," kata Man Ndop-
lang. "Terima kasih, Pak. Bapak telah berbuat banyak
untuk saya," kata Pusparini sambil memasuki rumah
yang disediakan untuknya.
"Aku senang bisa menolongmu, Nduk pendekar,"
kata Man Ndoplang yang didampingi istrinya.
"Kami ini sudah lama ingin momong anak perem-
puan. Anak kami cuma si Thole itu. Kami memang ka-
win kasep. Maksudku, aku yang kasep kawin. Sudah
setua ini anakku baru berumur sepuluh tahun," kata
Man Ndoplang sambil memandang istrinya yang ter-
paut umur sekitar lima belas tahun dengan dirinya.
Umur Man Ndoplang sendiri hampir lima puluh tahun.
"Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan memberitahu
kepada si Thole," kata Man Ndoplang sambil berlalu
dari sana disertai istrinya.
"Thole! Kau senang aku berada di sini?" tanya Pus-
parini memancing.
"Oh, senang, Mbakyu! Mbakyu pendekar kan jempo-
lan. Bisa mengalahkan orang-orang jahat," jawab si
Thole bangga. "Ah, jangan panggil aku mbakyu pendekar. Panggil
saja Kak Rini!"
"Kalau saya panggil 'mbak' bagaimana" Mbak Rini
begitu"!"
"Mbak Rini juga boleh," jawab Pusparini sambil
menthowel dagu si Thole yang sigar jambe itu.
Pusparini yang kini hidup sebatang kara, kadang-
kadang sangat merindukan kehadiran seorang adik
seperti si Thole itu. Walaupun umur si Thole baru sepuluh tahun, tapi bentuk
badannya bongsor seperti
anak berumur limabelas tahun. Kekar lagi.
"Kau ini cocok jadi seorang pendekar. Tulang-tulang tubuhmu cocok untuk itu,"
kata Pusparini pada sore
harinya. "Jadi seorang pendekar, Mbak" Mbak Rini bisa nga-
jari saya?" kata si Thole dengan perasaan bangga.
"Ayo kuajari dasar-dasarnya saja. Paling tidak bisa digunakan untuk menggagalkan
pencopet," kata Pusparini.
"Menggagalkan pencopet, Mbak?" kata si Thole.
"Masak saya jadi pendekar pembrantas pencopet"!"
"Lho" Memangnya kenapa" Malu menghadapi pen-
copet" Pencopet itu juga penjahat. Maksudku, menga-
jari dengan tangkisan dan pukulan yang ringan-ringan saja. Kalau sudah mahir,
bisa ke jenjang jurus yang lebih tinggi. Paling tidak dengan ilmu dasar itu kau
sudah bisa menghadapi pencopet atau maling ayam,"
kata Pusparini dengan mengumbar senyum. Dia tahu
bahwa ini akan menimbulkan olok-olok si Thole ketika diberi tahu ilmu dasar itu
bisa juga digunakan untuk menghadapi maling ayam.
"Nah, begini, tirukan sikap ini," kata Pusparini dengan memberi contoh mengambil
sikap awal. Si Thole
mencontoh gerak itu....
*** Sekitar dua jam, Pusparini mengajari si Thole de-
ngan gerakan-gerakan silat dasar. Si Thole cepat me-nangkap pelajaran ala
kadarnya itu. Lalu, tanpa contoh lagi, dibiarkan si Thole mengulangi gerak
jurus-jurus yang diajarkan.
"Besok kita lanjutkan lagi," saran Pusparini sambil masuk rumah.
Si Thole tetap ngotot berlatih. Dia tidak sadar bah-wa ada berpasang-pasang mata
mengawasi sejak Pus-
parini masuk pintu rumah.
Si Thole istirahat. Dia melemaskan ototnya. Ketika
terdengar bunyi "KRESEK" di halaman di balik semak-
semak tanaman hias, kontan dia pasang kuda-kuda
seperti yang diajarkan Pusparini.
"Siapa itu" Ayo, keluar! Kugampar kau nanti!" sum-
bar si Thole. Sesaat kemudian lima orang nongol dari balik se-
mak-semak. Si Thole terperangah kaget. Tidak mendu-
ga kalau ada orang muncul dari sana. Sangkanya sua-
ra tadi suara anjing yang menerobos semak-semak
atau hewan lain.
"Siapa kalian?" tanya si Thole dengan sikap membe-
ranikan diri. Pertanyaan ini sebenarnya tak perlu dia tanyakan, sebab sudah tahu
siapa mereka, yang tak
lain anak buah Tuan Tanah Jayenglaga.
"Panggil gendhuk pendekar ayu itu!" kata salah seo-
rang di antara mereka.
Si Thole sebenarnya akan menjawab bahwa orang
yang mereka cari tidak ada di sana. Maunya berbo-
hong. Tapi niat itu dia urungkan ketika tiba-tiba dilihatnya Pusparini telah
berada di belakang orang-orang itu tanpa diketahui oleh mereka. Entah bagaimana
gerak yang dilakukan oleh Pusparini alias Walet Emas
ini, yang jelas si Thole telah melihatnya berada di belakang orang-orang itu.
"Aku di sini!" kata Pusparini.
Kelima orang itu kaget njenggirat sambil siap-siap mencabut golok.
"Jangan teruskan mencabut golok itu," ancam Pus-
parini. Yang dua orang nekad. Sebelum dia berbalik de-
ngan pas untuk melancarkan serangan, Pusparini te-
lah menggebrak dengan tendangan. Dua orang itu
nggeblag jumpalitan sekitar dua tombak. Yang lain segera mengisi lowongan
serangan. Tampak di sini bah-
wa kedatangan mereka benar-benar tidak bersahabat
alias cari perkara. Kalau hal ini didasari perintah si Tuan Tanah Jayenglaga,
maka buntutnya pasti gede.
"Tunggu!" gertak Pusparini. "Aku harus tahu masa-
lahnya mengapa kalian datang untuk bertindak ke-
kerasan." "Ini perintah Ki Jayenglaga," kata salah seorang di antara mereka.
"Aku belum pernah kenal dengan yang namanya Ki
Jayenglaga. Apakah dia tuan kalian" Apa urusannya
maka dia memerintahkan kalian untuk menindakku?"
"Itu di luar wewenangku untuk menjelaskan," kata
salah seorang di antara mereka dengan memberi isya-
rat temannya untuk menyerang Pusparini.
Bentrokan berkembang lagi. Sampai begitu jauh
Pusparini masih mengandalkan gempuran tangan ko-
song. Paling-paling kalau terpaksa menggunakan sen-
jata tajam, itu dilakukan dengan meminjam gerakan
lawan yang memegang senjata untuk ditandingkan
dengan senjata lainnya. Tindakan ini semakin memberi kesan bagaimana tangguh
Pusparini menghadapi para
penyerangnya. Ada kesan dia masih ngeman nyawa lawannya. Dan itu memang benar.
"Aku ingin tahu alasannya! Katakan kepada tuan
kalian mengapa dia memusuhi aku!" kata Pusparini
sambil mengirimkan suatu pelajaran pada salah seo-
rang di antara mereka. Ternyata 'pelajaran' yang dikirim Pusparini berupa
sayatan telinga salah seorang di antara mereka. "Aku bisa memberi tanda mata itu
pada telinga kalian semua. Untuk kali ini cukup satu saja. Katakan kepada tuan
kalian!" Kontan kelima orang itu ngeri melihat salah seorang temannya yang kehilangan
telinga, walaupun soal darah sudah sering mereka tangani.
"Thole! Malam ini jangan ke mana-mana. Diam saja
dalam kamar. Mbak Rini akan berjaga-jaga. Pantas sa-ja kalau tuan tanah bernama
Ki Jayenglaga punya ba-
nyak musuh di desa ini dan dibenci banyak orang," ka-ta Pusparini dengan
mengawasi kelima orang itu yang menghilang dalam kegelapan malam.
*** Malam semakin larut....
Pusparini tetap berjaga di tempat tersembunyi di
halaman rumah. Dia nangkring di dahan pohon sawo.
"Gara-gara kehilangan pakaian dan pedang, aku ja-
di terlibat urusan begini," pikir Pusparini dalam de-kapan udara malam yang
dingin. Ada nama-nama yang kini bersemayam dalam be-
nak Pusparini. Mereka adalah Klabang Ireng, Jrang-
kong Langit, dan Sawer Jenar. Lalu ditambah nama
tuan tanah si Jayenglaga. Dia tak tahu apakah nama-
nama itu punya hubungan dengan hilangnya barang-
barangnya. Dia berharap agar orang yang mencuri Pe-
dang Merapi Dahana tak tahu dengan keampuhan pe-
dang tersebut. Sampai larut malam tak terjadi apa-apa. Sampai
bosan rasanya dia menunggu. Hal yang begini memang
sudah sering dialami. Sebab dengan menunggu, pihak
lawan akan memanfaatkan keadaan itu untuk mengge-
rogoti mentalnya.
Tengah dalam keheningan malam yang semakin la-
rut, tiba-tiba Pusparini terusik oleh bayangan berkelebat tak jauh darinya.
Sesosok tubuh berambut pan-
jang berwarna putih dengan nyata terlihat nangkring di atas atap rumah. Cahaya
bulan sepotong banyak
membantu Pusparini bisa dengan jelas melihat orang
itu. Orang itulah yang pernah dilihat sewaktu dia mandi
di sungai ketika mencuri pakaian dan Pedang Merapi
Dahananya. "Kalau penampilan itu disebut sebagai Nyi Wung-
kuk, maka pastilah dia Nyi Wungkuk tiruan. Sebab Nyi Wungkuk yang asli saat ini
sedang semadi di 'sarang'nya dalam pohon bendo growong," pikir Pusparini sambil
berancang-ancang untuk menyergap orang itu.
Dan.... Pusparini melesat untuk menubruk orang tersebut.
Gerakan Pusparini dengan paduan ilmu meringankan
tubuh, membuat orang itu tak menduga kalau ada pi-
hak penyerang yang mengincar dirinya.
Tapi segalanya tidak semulus yang diduga Pusparini.
Kurang sejengkal dia berhasil menjambak rambut
itu, tiba-tiba keadaannya berubah. Orang itu menoleh ke arah Pusparini dan
geraknya yang cepat berhasil
menggagalkan renggutan tangan yang menjurus ke
arahnya. Pusparini berhasil menguasai keadaan yang tidak
menguntungkan ini. Karena tekadnya sudah mengge-
bu untuk meringkus orang itu, maka akibat apapun
dia tak peduli. Pusparini menganggap kesempatan inilah satu-satunya jalan untuk
membuka kedok peris-
tiwa yang merugikan dirinya.
Pusparini terus menyerang dengan sabetan kaki.
Harapannya, dengan sabetan pada arah kaki ini bisa
menggoyahkan pertahanan lawan. Perhitungannya, to-
koh-tokoh tua selalu rapuh pada jasmani tulangnya.
Dan gerak kaki adalah sasaran yang fatal apabila bisa dilumpuhkan pada bagian
itu. Tapi kenyataannya lain. Kena sabetan kaki yang be-
gitu fatal, orang itu tetap tegar. Bahkan Pusparini mendapat serangan kilas
balik yang tak terduga.
"Dia tidak setua yang kuduga! Aku harus yakin apa-
kah dia ini Nyi Wungkuk asli atau palsu. Tapi yang jelas kehadirannya sangat
mencurigakan," pikir Puspa-
rini sambil terus menghindar mencari peluang.
Baru pada saat terjadi jarak yang cukup renggang
dan bisa mengawasi satu sama lain dengan jelas, maka orang itu menghentikan
serangannya. "Tunggu!" seru orang itu. "Apakah kau yang kehi-
langan pakaian dan pedang?"
"Apakah aku berhadapan dengan Nyi Wungkuk?"
Pusparini balik bertanya.
"Dia adalah Nyi Wungkuk!" Tiba-tiba terdengar sua-
ra di belakang Pusparini.
Si Walet Emas menoleh dari mana datangnya suara.
Tak jauh darinya, terlihat sosok tubuh bercapil lebar.
"Ki Megatruh"!" tanya Pusparini.
"Dia Nyi Wungkuk yang siang tadi masih melan-
jutkan semadinya. Dia telah kuberitahu masalahmu,
lalu kami memutuskan untuk mencari tempatmu," ka-
ta Ki Megatruh menjelaskan dengan suaranya yang
mantap. "Dia... Nyi Wungkuk?"
Terdengar suara Pusparini sambil mengawasi orang
berambut putih dengan punggung bongkok.
"Ya. Dia perlu turun tangan karena ada orang yang
mencemarkan namanya," kata Ki Megatruh.
Pusparini tak habis pikir. Menurut Man Ndoplang,
Nyi Wungkuk adalah orang yang hidupnya sehari-hari
tergantung dari belas kasih orang-orang di desa itu.
Artinya, Nyi Wungkuk pastilah seseorang yang tua ren-ta tak bisa mengurusi
dirinya sendiri. Tapi mengapa tiba-tiba Nyi Wungkuk malam ini terlihat hadir
dengan ketegarannya" Jelas terlihat oleh Pusparini, bahwa Nyi Wungkuk ini adalah
seorang wanita tua berumur
hampir tujuh puluh tahun. Belum terlalu tua untuk
bisa disebut wanita jompo.
"Bagaimana jika kita berbicara di dalam?"
Pusparini mempersilahkan kedua 'tamu'nya. Atas
pertimbangan agar tidak memancing perhatian orang
lain, maka Ki Megatruh menyetujui tawaran Pusparini.
Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam ruangan
tamu. "Maafkan, kalau saya menuduh Nyai mengambil ba-
rang-barang saya. Kalau tidak ada Ki Megatruh, mungkin saya masih penasaran
dengan tuduhan saya," kata Pusparini mengawali percakapan.
"Tidak apa. Kau orang baru di desa ini," jawab Nyi
Wungkuk. Dalam cahaya lampu minyak yang menerangi rua-
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngan itu, Pusparini mencoba mengawasi dengan teliti wajah orang tua bernama Nyi
Wungkuk itu. Terlihat
bekas garis-garis kecantikan pada masa lampau. Ken-
tara sekali bahwa Nyi Wungkuk adalah seorang wanita yang cantik pada usia
mudanya. Pusparini tak tahu, apakah cacad bongkok pada
punggung Nyi Wungkuk itu cacad sejak lahir atau ka-
rena akibat suatu peristiwa. Tentu saja hal ini tak pantas ditanyakan. Tapi
Pusparini yakin, suatu saat rahasia tersebut akan bisa diketahui. Paling tidak,
peristiwanya pasti menarik, kalau akibat cacad tersebut bisa dikisahkan.
"Nyai merasa punya banyak musuh sehingga ada
pihak yang tega memfitnah Nyai?" tanya Pusparini
sambil memberi isyarat kepada si Thole yang terba-
ngun dari tidurnya agar tetap tenang di tempatnya.
"Kukira Ki Megatruh telah memberitahu kepadamu
tentang nama-nama mereka," jawab Nyi Wungkuk.
Pusparini mengangguk.
"Nah, sekarang bagaimana kalau kau membantu
aku untuk menangani masalah ini" Kita bahu-mem-
bahu, saling menolong," saran Nyi Wungkuk. "Pertama akan kita cari orang yang
telah menyamar sebagai diriku."
"Itu gagasan yang baik," jawab Pusparini dengan
gembira. Paling tidak keberadaannya di desa ini telah mendapat pendukung.
*** EMPAT Untuk mengawali kerja tersebut, Pusparini akan
melacak sendirian dulu. Sedangkan Nyi Wungkuk dan
Ki Megatruh akan bertindak sebagai bayang-bayang
untuk memberi bantuan kalau dipandang peristiwanya
semakin membahayakan Pusparini.
Malam itu juga Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh me-
ninggalkan tempat di mana Pusparini bertempat ting-
gal atas kemurahan hati Man Ndoplang.
Tapi tanpa diduga, seperti yang semalam diha-
rapkan Pusparini, ternyata orang-orang Ki Jayenglaga muncul pada esok harinya.
"Hm! Jadi kalian utusan tuan tanah itu?" tanya
Pusparini. "Ki Jayenglaga mengundangmu. Ini suratnya!" kata
seorang utusan berperawakan gendut.
Pusparini menerima surat undangan itu. "Unda-
ngan apa ini"! Oh, kukira undangan makan. Tidak ta-
hunya undangan pertandingan ketangkasan."
"Kami harap kau bisa datang!" kata orang itu.
"Tentu! Katakan kepada tuanmu!" jawab Pusparini
dengan melepas pandangan mengiringi kepergian utu-
san itu. "Jadi Mbak Rini akan ikut pertandingan itu?" tanya
si Thole. "Iya! Mengapa kau tampak cemas?"
"Itu pertandingan maut, Mbak."
"Pertandingan maut?"
"Ya! Tempo hari banyak yang tewas. Tuan tanah itu
hanya mencari jago-jago agar bisa diperalat menjadi anteknya. Begitu omongan
yang banyak kudengar dari
orang-orang yang sering membicarakan," kata si Thole menjelaskan dengan wajah
serius. "Benar, Nduk. Hati-hati menerima ajakan tuan ta-
nah itu," terdengar suara menimpali, yang ternyata
Man Ndoplang yang muncul.
"Oh, Bapak juga mendengar agaknya," kata Puspa-
rini dengan memberi salam kepada Man Ndoplang yang
baru datang untuk menengok Pusparini.
"Baru kemarin aku mendengar adanya pertandi-
ngan itu. Biasanya dilakukan pada bulan Srada. Tidak tahunya sebulan lebih
cepat. Ini pasti ada sangkut
pautnya dengan kehadiranmu di desa ini," kata Man
Ndoplang yang sepagi itu datang ke sana memang un-
tuk memberitahukan hal itu kepada Pusparini.
"Saya akan berhati-hati. Doakan saja," jawab Pus-
parini. "Aku ikut lihat ya, Mbak"!" pinta si Thole.
"Jangan dekat-dekat panggung. Siapa tahu ada sen-
jata yang nyasar kepada penonton," jawab Pusparini sambil mempersiapkan diri.
Sejenak dia termenung. Bayangan sekilas tertuju
kepada Pedang Merapi Dahananya yang hilang. Kini
tanpa senjata itu, dia akan ikut pertandingan yang di-laksanakan oleh Tuan Tanah
Jayenglaga. Dalam bungkusan yang tersisa di pelana kudanya,
masih ada sebuah senjata lagi sebilah golok miliknya.
Senjata itu dimiliki sebelum dia memperoleh Pedang
Merapi Dahana. "Kini kau kugunakan lagi seperti pertama kali aku
turun dari Padepokan Canggal," kata Pusparini sambil mengelus senjata itu.
"Maafkan aku yang selama ini telah menganak-tirikan padamu. Kau tidak marah, bu-
kan"!"
Senjata itu dibelai seperti boneka. Si Thole melihat perbuatan Pusparini dengan
pandang penuh tanda
tanya. "Apakah senjata bisa diajak berbicara, Mbak?"
tanya si Thole.
"Ya tidak. Ini hanya pendekatan naluri saja. Kalau
ada 'jodo', biasanya senjata itu bisa membantu kita untuk mengatasi segala
kesulitan," jawab Pusparini
dengan pandangan yang terbatas. Sebab hal-hal yang
begini tak bisa diuraikan dengan sekilas ucapan. "Kekuatan alam yang sering kita
lihat adalah sebagian kecil dari pancaran kekuasaan Sang Hyang Widhi. Apabi-la
hal itu terpancar lewat sebuah pusaka, maka itu adalah sebagian kecil dari
kekuatanNya juga. Tapi kadang-kadang kekuatan iblis ikut berperan untuk me-
nyesatkan. Maka jadilah senjata itu sebagai alat pem-binasa tanpa landasan
moral," kata Pusparini lebih
lanjut tanpa peduli apakah si Thole mengerti ulasannya apa tidak.
*** Seperti yang tercantum dalam undangan, maka
Pusparini harus siap di sana sebelum acara utama dimulai. Acara utama adalah
acara pertandingan antar
jago-jago persilatan. Dan sebelum itu, suasana diisi
dengan acara tari untuk menyemarakkan suasana.
Kesempatan inilah yang dipergunakan Pusparini
untuk melihat tampang Ki Jayenglaga lebih dekat.
Gambarannya bahwa tampang Ki Jayenglaga adalah
seorang tokoh tua dengan tampang kejam, ternyata keliru. Setelah dilihat dengan
mata kepala sendiri, ternyata yang dipanggil sebagai tuan tanah ini adalah
seorang laki-laki muda dan tampan. Kulitnya bersih
tanpa cambang dan kumis seperti layaknya tokoh-
tokoh urakan yang bikin sengsara penduduk.
Ki Jayenglaga telah diberitahu tentang kedatangan
Pusparini. Kemudian laki-laki itu mempersilahkan
Pusparini menuju ke tempatnya.
"Maaf, kalau selama ini kau dibuat sibuk oleh anak
buahku," kata Jayenglaga. "Mungkin itu hanya kesa-
lah-pahaman belaka. Apakah kiranya kau berkenan
mengisi acara yang kuselenggarakan?"
"Tentu, kalau aturan mainnya jujur. Artinya, tak
ada niat-niat yang terselubung dari acara ini. Biasanya acara begini
diselenggarakan oleh kelompok perguruan persilatan. Tapi di sini tak kulihat
tanda-tanda bahwa penyelenggaranya adalah suatu kelompok perguruan
silat," kata Pusparini dengan mengumbar pandangan
ke tempat sekelilingnya. Di sana terlihat jago-jago silat yang bisa diketahui
lewat penampilan masing-masing.
"Ini sekedar pertemuan kangen-kangenan saja," ka-
ta Jayenglaga. "Kukira kau tak keberatan kalau ku-
minta untuk meramaikan. Bagaimana?"
"Aku minta pada nomor terakhir saja," kata Puspa-
rini mengajukan syarat.
Jayenglaga tersenyum puas sambil mengangguk.
"Kalau begitu, kupersilahkan duduk di sini dulu
sambil menanti giliranmu."
Pusparini mengambil tempat duduk yang dise-
diakan. Ketika ada hidangan minuman yang disajikan, dia menolak untuk minum. Dia
cukup waspada dengan basa-basi seperti ini. Pengalaman telah cukup
menggembleng dirinya agar waspada dengan tawaran
yang serba manis. Boleh jadi di balik omongan manis itu terpendam racun yang
menggunung. Pertunjukan pertandingan dimulai dengan pemuku-
lan gong besar. Suaranya berkumandang menarik per-
hatian semua orang. Lalu satu persatu adu ketangka-
san bela diri dipertunjukkan. Dari sini Pusparini baru tahu, bahwa semakin
menginjak urutan nomor terakhir, sarananya semakin berat. Artinya, jago-jago
silat itu semakin dituntut mempergunakan senjata paling
andal. Bahkan tokoh-tokohnya pun semakin memiliki
kemampuan tingkat tinggi.
Karena setiap pemenang namanya diumumkan,
Pusparini jadi tahu siapa-siapa mereka yang menjadi pemenang. Sampai pada
tingkat akhir maka muncullah nama-nama Klabang Ireng, Jrangkong Langit, dan
Sawer Jenar! Satu persatu tokoh-tokoh ini berhasil memenang-
kan pertandingan. Akhirnya bisa diketahui oleh Pusparini bahwa pertandingan itu
hanya untuk merebut
nomor pemenang tiga nama besar! Berarti kalau dia
menghendaki termasuk tiga besar, Pusparini harus
mengalahkan salah seorang di antara mereka
Sebelum giliran Pusparini tampil ke depan, tiba-tiba melesat sebuah benda kecil
dan menancap di sisinya.
Semula Pusparini mengira bahwa benda itu adalah
senjata rahasia yang luput mengenai sasaran. Setelah diteliti ternyata ada
buntalan lontar pada benda yang menancap di sampingnya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Pusparini
mengambilnya dengan hati-hati dan mencoba membu-
ka buntalan lontar tersebut. Di sana tertulis: 'Klabang Ireng, Jrangkong Langit,
Sawer Jenar adalah Tiga Serangkai. Hati-hati menghadapinya!'
"Hm! Suatu peringatan yang tampaknya bersaha-
bat. Apakah Ki Megatruh yang mengirimkan?" pikir
Pusparini. Paling tidak pesan itu bisa membuat Pusparini bertindak hati-hati.
Tapi dengan lawan perta-
manya, dia belum tahu.
Ketika nama-nama itu diumumkan sebagai nama
tiga besar yang tetap menduduki kejuaraan, kini Pusparini dinyatakan sebagai
penantang utama.
Tentu saja hal ini menimbulkan protes dari bebe-
rapa pihak karena tampilnya Pusparini dianggap me-
nyalahi ketentuan yang biasa berlaku. Hanya berkat
wewenang Ki Jayenglaga maka semua protes bisa di-
gugurkan. Pusparini dianggap penantang kehormatan.
"Semua seperti telah direncanakan bahwa aku akan
berhadapan dengan ketiga tokoh itu. Tapi mengapa
aku tadi memilih nomor terakhir" Tapi kalau si Ja-
yenglaga punya wewenang seperti itu, tampaknya se-
mua akan berlangsung seperti apa yang dikehendaki,"
pikir Pusparini sambil mempersiapkan dirinya.
Undian pertama ternyata jatuh pada Sawer Jenar
yang harus berhadapan dengan Pusparini.
Sawer Jenar berperawakan seperti orang yang 'tidak
ada apa-apanya'. Tubuhnya biasa saja. Rambutnya se-
bahu berwarna agak kecoklatan. Pandangan matanya
seperti orang yang selalu ngantuk. Tapi dua alisnya yang bertaut itu membuat
penampilannya bisa ditakuti lawan. Ibarat ular, dia bisa menyerang tanpa memberi
tanda bahaya terlebih dahulu.
Ketika berhadapan dengan Pusparini, dia hanya pa-
sang kuda-kuda merenggangkan kaki saja. Kedua tan-
gannya lunglai sejajar dengan pinggangnya. Tapi ketika
Pusparini mencoba menggertak dengan gerak kemban-
gan, kontan si Sawer Jenar mengambil gerakan dengan melebarkan rentangan
tangannya. Kedua tangannya
bergerak gemulai, menggambarkan patukan dua ekor
ular yang siap menghadapi lawan.
Mulanya Pusparini sangat sulit membaca taktik la-
wan. Paling tidak dia akan mengeluarkan jurus waletnya dengan liukan gerak yang
gesit untuk membuka
jurus serangan pertama ini.
Dan itu benar-benar dilakukan Pusparini.
Melihat serangan lawan, maka si Sawer Jenar me-
ngembangkan jebakan agar si penyerang terperangkap
pada jurus 'Belitan Naga Mabuk'.
Tapi si Walet Emas waspada. Sebelum dia masuk
perangkap, maka tendangan kakinya telah menghun-
jam ke dada lawan. Akibatnya, jurus jebakan si Sawer Jenar buyar berantakan
dengan limbungnya tubuh ke
belakang. Untung dia cepat menguasai keadaan dengan me-
maku pijakan di tanah. Rupanya disini dia telah me-
ngerahkan semacam ilmu kanuragan 'paku bumi' agar
tubuhnya tidak berlarut-larut terpental.
Pusparini yang memperkirakan pihak lawan akan
mencelat sekitar tiga tombak kena tendangan kakinya, kini jadi tahu kebolehan
lawan. Untuk tidak memberi kesempatan pada lawan mengatur serangan, maka
Pusparini menggenjot lagi dengan terjangan jurus 'Walet Menukik Mangsa'.
Artinya, dengan gerak me-
lambung ke atas maka rentangan tangan Pusparini
akan menyerang bagaikan sergapan supit urang. Se-
dangkan kedua kakinya siap pula menerjang kalau
sergapan ini dibuyarkan oleh tangkisan lawan.
Melihat jurus serangan macam ini maka Sawer Je-
nar mencoba mengecoh lawan dengan pancingan gerak
tipu. Karena dia menguasai jurus ular dan sebang-
sanya, maka tubuhnya ditekuk ke belakang. Dengan
gerakan ini, maka lawan akan ragu-ragu arah mana
yang akan dilontarkan oleh Sawer Jenar.
Ketika Pusparini sudah terlanjur menukik, maka
Sawer menggerakkan tubuhnya meliuk ke kiri yang se-
lanjutnya mengadakan 'pagutan' lewat sergapan ta-
ngan yang mengarah pada lambung lawan.
Tapi Pusparini yang sudah memperhitungkan se-
mua serangan lawan, maka kakinyalah yang kini ber-
peran. Sergapan Sawer Jenar dibuyarkan dengan terjangan putaran kaki yang
menyabit, sehingga kedua ta-
ngan lawan bergetar karena dilanda hantaman cada-
ngan ini. Setiap orang yang menyaksikan taktik ini sempat
dibuat terperangah. Tidak biasanya Sawer Jenar mengalami keteledoran seperti
itu. Ini yang membuat dia semakin kehilangan kendali. Apalagi dianggapnya
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya kali ini cuma seorang wanita yang masih 'hi-
jau', maka dirinya yang merasa dipecundangi kini
menjadi kalap. Melihat sikap Sawer Jenar ini Pusparini segera
mempersiapkan diri dengan berancang-ancang meng-
ubah jurus serangan dengan mengincar lambung la-
wan. Sebab sejak tadi si Sawer Jenar agaknya selalu melindungi lambung kanannya
yang kelihatan dibalut
ketat. Pusparini memang mempertaruhkan serangannya,
bahwa di bagian tubuh itu terletak kelemahan lawan.
Kalau perhitungannya benar, dia akan bisa memperce-
pat menyelesaikan pertarungan ini.
Serentak dengan berakhirnya perhitungan ini, maka
terlihat Sawer Jenar menegang ke arah Pusparini. Si Walet Emas yang telah
mempersiapkan taktik sera-
ngan segera merobohkan tubuhnya ke depan. Dia akan
melancarkan serangan 'Tukikan Burung Walet ke Atas
Air'. Gerakannya yang akan berkembang dengan li-
ukan ke atas, diharapkan akan mampu 'menyendok'
tubuh Sawer Jenar.
Rencana Pusparini berhasil. Karena semua dilaku-
kan dengan cepat di luar perhitungan lawan, akhirnya Sawer Jenar kena gampar
arah lambungnya sehingga
meliuk ke atas. Belum sempat dia mengatur pertaha-
nan lagi, si Walet Emas telah mengulangi dengan gamparan yang beruntun sehingga
Sawer Jenar menjerit
kesakitan. Memang benar. Pada arah lambung itu terletak ke-
lemahan Sawer Jenar, karena pernah terluka sewaktu
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh.
Dari kejauhan ada seorang penonton yang terse-
nyum menyaksikan keadaan itu, orang yang bercapil
lebar yang tiada lain adalah Ki Megatruh.
"Bagus! Lambung itu memang pernah terluka oleh
golokku," kata Ki Megatruh lirih yang seakan-akan percakapan itu hanya untuk
didengar sendiri.
Tapi orang yang berada di sebelahnya cukup men-
dengar. "Dia memang bisa diandalkan. Mudah-mudahan ini
akan mendobrak jalan yang selama ini sulit kita tembus," kata orang itu yang
tiada lain adalah Nyi Wungkuk. Tampilnya Nyi Wungkuk di sana tidak banyak
menarik perhatian orang, sebab dia tampil dengan penyamaran kerudungnya. "Dia
harus selalu waspada
dengan tindakan-tindakan licik dari Tiga Serangkai
itu." "Aku sudah memperingatkannya. Mudah-mudahan
dia cukup waspada," kata Ki Megatruh.
Kekalahan Sawer Jenar mengharuskan Jrangkong
Langit tampil menggantikannya. Langsung tokoh ini
menggelar sikap dengan serbuan badai gurun. Jrang-
kong Langit memang menguasai angin pukulan yang
bisa menimbulkan semburan pasir.
Melihat keadaan ini, kontan Walet Emas mengeluar-
kan jurus terbangnya. Dia meliuk ke atas lalu bergulir untuk membuyarkan
pertahanan lawan, yang kemudian menerobos ke belakang. Lawan yang kesulitan
mengimbangi gerakan ini, akan dengan mudah bisa di-
lumpuhkan dari belakang.
Tapi ternyata perhitungan Pusparini keliru.
Jrangkong Langit masih mampu menguasai diri
sambil terus mengibaskan pukulan angin pasirnya.
Pusparini mencoba mengatasi dengan berkelit lagi
ke atas. Tapi gerak inipun diburu terus oleh sambaran pukulan Jrangkong Langit.
Pusparini agak kewalahan. Untung ada pikiran un-
tuk menerobos ke samping kanan, suatu peluang yang
dibiarkan kosong oleh Jrangkong Langit ketika menco-ba memberi jebakan ke arah
Pusparini dengan 'Kiba-
san Kupu Tarung'. Pada posisi ini Pusparini mendapat peluang untuk menohok ke
arah dada lawan.
Mendapat serangan macam ini, si Jrangkong Langit
kehilangan kuasa diri. Tapi secepat itu pula dia mencoba menguasai keadaan
dengan mencabut senjatanya
yang bertengger di punggungnya.
Shring! Trang! Dua bilah senjata beradu.
Itu terjadi tatkala Pusparini pun bertindak serupa
ketika dilihatnya lawan telah mencabut senjatanya.
Kemudian terjadilah baku hantam dengan saling tebas dengan pedang.
Keadaan inilah yang paling disenangi para penon-
ton, sebab arena tandingnya akan menjalar ke atas
tonggak-tonggak runcing.
Dalam kesempatan ini Jrangkong Langit benar-be-
nar pamer kebolehan. Setiap orang tahu bahwa yang
begini sangat diharapkannya, karena dengan mudah
akan bisa menundukkan lawannya.
Tapi benarkah akan semudah itu bisa menunduk-
kan si Walet Emas" Ternyata Jrangkong Langit meng-
alami hambatan ketika melakukan serangan gencar
seperti yang lazim dia lakukan. Sepertinya Pusparini dapat membaca setiap
rencana geraknya sehingga semua serangannya bisa digagalkan.
Melihat hal ini Klabang Ireng segera melesat ke te-
ngah gelanggang.
Tentu saja sambutan cemoohan segera meledak.
Tindakan mengroyok dipandang sebagai perbuatan ku-
rang ksatria. Tapi kalau hal itu diperkenankan oleh pihak penyelenggara, maka
semua cemoohan akan di-
anggap angin lalu saja.
Setiap orang tahu bahwa pertandingan ini adalah
tontonan yang tidak bermutu. Mereka tahu bahwa
Tuan Tanah Ki Jayenglaga hanya mencari jago andalan saja yang mungkin bisa
dimasukkan ke dalam kelompok kaki tangannya. Dan sampai begitu jauh, hanya
Klabang Ireng, Jrangkong Langit dan Sawer Jenar yang setia mendampingi.
Selama Pusparini dikeroyok Jrangkong Langit dan
Klabang Ireng, maka Jayenglaga memperhatikan de-
ngan seksama tanpa melewatkan satu juruspun. Hati
kecilnya sangat memuji ketangkasan Pusparini yang
semula dipandang sebagai orang yang harus disingkirkan, karena melihat anak
buahnya membunuh buro-
nannya. Jayenglaga memang memutuskan untuk bertindak
hati-hati dalam menangani kehadiran Pusparini. Pada awalnya telah dikirim anak
buahnya yang cuma kelas
teri untuk menjajagi siapa sebenarnya Pusparini.
Dan pembunuhan itu sendiri seharusnya tak boleh
ada saksi di luar orang-orangnya. Dia telah menindak seorang punggawa pamong
praja sampai terbunuh dalam peristiwa di pinggir sungai tempo hari. Kalau sampai
hal ini tercium oleh pihak pamong praja yang berkuasa di kadipaten, pasti
dirinya akan ditindak. Itulah alasannya mengapa dia harus berhati-hati untuk
menindak Pusparini.
Di sisi lain Pusparini yang belum tahu tujuan akhir dari permainan ini, hanya
meladeni saja. Kalau hal ini sampai terjadi pertumpahan darah dengan renggutan
nyawa, maka akan banyak saksi yang melihat. Tapi
rupanya pertandingan ini tidak akan sampai mengarah ke sana, walaupun senjata
tajam telah mereka pergunakan. Sebab kalau sampai melukai dengan keadaan
parah, maka pertandingan akan dihentikan.
Itu adalah peraturan semula. Soal menghentikan
atau tidak, akan tergantung keputusan Jayenglaga
sendiri. Dia akan melambaikan kain merah sebagai
tanda bahwa yang tak berdaya boleh dibunuh di arena itu. Peraturan seperti itu
telah dipahami oleh Pusparini sebelum dia terjun ke gelanggang. Peraturan yang
tertulis telah dibacanya sambil menyaksikan pertandi-
ngan pemula yang sudah lewat tadi. Itu sebabnya dia merasa lega ketika telah
memutuskan memilih nomor
terakhir pertandingan itu.
"Dia memang tangguh," bisik Ki Jayenglaga kepada
pembantu dekatnya yang duduk di sampingnya. "De-
ngan cara ini kita sulit untuk menyingkirkannya."
"Saya kira ada gagasan lain untuk membuat dia tak
bisa berkutik," saran pembantunya.
"Apa itu?" tanya Jayenglaga tanpa mengalihkan per-
hatiannya terhadap Pusparini yang dengan gencar
menghadapi serangan Jrangkong Langit dan Klabang
Ireng. "Jelas sangat sulit kita menggacokan Tiga Serangkai untuk menindaknya. Kita
harus mencari cara lain. Beberapa waktu yang lalu, saya telah memasang 'telik
sandi' untuk selalu mengikuti gerak-geriknya. Ternyata dia telah berhubungan
dengan Nyi Wungkuk!" kata
pembantu Jayenglaga.
"Apa" Dia telah berhubungan dengan Nyi Wung-
kuk"!" sahut Jayenglaga dengan nada meninggi se-
hingga anak buahnya yang lain menoleh ke arahnya.
"Bagaimana dia bisa melangkah sejauh itu" Selama ini Nyi Wungkuk kita ketahui
sebagai wanita tua yang tidak mau kita rangkul. Kita tahu Nyi Wungkuk punya
kebolehan yang tetap dipendam. Kalau sampai gadis
itu telah berhubungan dengan Nyi Wungkuk, kita akan bertambah kesulitan besar.
Kalian harus cari jalan untuk menyingkirkannya tanpa dicurigai oleh siapa pun!"
Pesan sekilas itu rupanya jadi perintah resmi.
Sementara pertandingan masih berlangsung, tiba-
tiba di suatu bagian dari arena pertunjukan itu timbul kebakaran. Tentu saja hal
ini menimbulkan kepanikan para penonton. Mereka berhamburan untuk menyela-matkan
diri. Para anak buah Jayenglaga yang punya
tugas menjaga keamanan dibuat sibuk karena peris-
tiwa ini. "Kita hentikan pertandingan ini!" seru Klabang Ireng kepada Pusparini.
"Baik! Harap diketahui, aku belum kalian kalahkan.
Bahkan nomor ini masih aku menangkan karena ka-
lian mengroyok aku!" sumbar Pusparini.
"Akan kita lanjutkan dengan cara kita sendiri, tanpa wasit dan penyelenggara!"
tangkis Klabang Ireng. Dengan sekali genjot, maka kepergiannya diikuti oleh dua
rekannya, yakni Jrangkong Langit dan Sawer Jenar.
"Hei, ke mana kalian"!" seru Ki Jayenglaga yang me-
lihat gaconya meninggalkan gelanggang.
Klabang Ireng masih sempat meninggalkan pesan,
"Kami akan menyelesaikan dengan cara kami sendiri.
Maafkan kami!" Lalu Tiga Serangkai itu tidak terlihat sosok tubuhnya lagi.
Kini tinggal Pusparini yang masih tegak di sana
sambil mengawasi Jayenglaga.
"Sayang aku tidak bisa meladeni acaramu. Maaf,
aku harus pergi pula," kata Pusparini sambil melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara anak buahnya sibuk memadamkan ke-
bakaran, maka si tuan tanah ini tegak di tempatnya
sambil memendam kemarahan. Dia segera menaruh
curiga, jangan-jangan kebakaran itu adalah ulah ta-
ngan-tangan jahil yang sengaja mengacaukan pertan-
dingan itu. *** LIMA Pusparini baru tahu bahwa yang menyulut kebaka-
ran itu adalah si Thole. Hal itu diketahui sesampai di rumah Man Ndoplang dan
diceritakan oleh si Thole
sendiri. "Bagaimana kau begitu berani melakukannya?" ta-
nya Pusparini. "Nyi Wungkuk yang menyuruh," jawab si Thole.
Pusparini termenung. Dia sudah menduga. Tapi tak
pernah berpikir kalau hal itu dilakukan lewat tangan si Thole.
"Bagus. Kau telah berjasa," kata Pusparini sambil
menthowel dagu si Thole. "Apakah tidak ada pesan dari Nyi Wungkuk?"
"Mbak Rini disuruh ke Bendo Growong," kata si
Thole. "Baik. Aku segera ke sana," kata Pusparini yang be-
ranjak pergi. "Tidak sekarang, Mbak. Tapi nanti malam."
"Nanti malam" Ah, yang bener. Kau tidak salah
dengar?" "Tidak. Ini benar-benar pesan Nyi Wungkuk," kata
si Thole meyakinkan.
Pusparini termenung lagi. Banyak masalah yang dia
tidak mengerti. Keterlibatannya dengan tokoh bernama Jayenglaga dan Nyi Wungkuk
sendiri belum menimbulkan titik terang di mana dia akan menemukan Pedang
Merapi Dahana yang dicuri orang.
*** Ketika saat yang dinanti telah tiba, maka malam
harinya Pusparini berangkat ke tempat Nyi Wungkuk.
Pergi ke sana pada malam hari memang membuat eng-
gan. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang menguntung-
kan dirinya dengan kedatangannya ke Bendo Growong
itu" Dengan tindak hati-hati Pusparini menapak jalanan yang gelap. Suasana tidak
segelap bayangannya.
Bulan memberi penerangan yang agak lumayan mes-
kipun dirinya berjalan tanpa mempergunakan obor.
Tapi sebelum sampai di tempat yang dituju, tiba-
tiba Pusparini melihat sesosok tubuh menghadang ja-
lannya. Sesaat kecurigaan timbul. Tapi setelah diamati dengan teliti, ternyata
sosok tubuh itu adalah orang yang dikenalnya.
"Ki Megatruh"!" kata Pusparini.
"Hendak ke mana kau malam-malam begini?" tanya
laki-laki itu. "Nyi Wungkuk berpesan agar saya datang ke Bendo
Growong malam ini," jawab Pusparini.
Ki Megatruh agak heran mendengar pesan itu.
"Siang tadi kami memang bersama-sama menyatroni
pertandinganmu," kata Ki Megatruh. "Karena dia tak
ingin dirimu terjebak berlarut-larut dalam kancah pertandingan, maka dilakukan
tindakan seperti itu."
"Dia menyuruh si Thole membakar pondok di bela-
kang panggung itu, bukan?" kata Pusparini untuk me-
yakinkan cerita si Thole.
"Yha!"
"Dan Nyi Wungkuk berpesan agar aku menemuinya
malam ini di Bendo Growong," kata Pusparini lagi.
"Oh, begitu" Pesan yang seperti itu aku tidak men-
dengar. Mungkin saat itu aku agak menjauh darinya,
sehingga tidak kudengar pesan seperti itu," kata Ki Megatruh. "Tapi...
ketahuilah. Aku baru saja ke sana sore tadi. Sampai malam ini pun tak kulihat
Nyi Wungkuk di tempat kediamannya."
"Tidak ada di tempatnya?" kata Pusparini. "Ke ma-
na?" "Aku tak tahu. Selama ini aku memang menjaga ke-
selamatannya. Ini memang mengandung latar belakang
masa lampau yang panjang," kata Ki Megatruh dengan
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Growong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara berat, seakan-akan memendam perasaan yang
tertekan. "Saya jadi ingin mengetahui latar belakang riwayat-
nya," kata Pusparini sambil menuruti ajakan Ki Megatruh untuk duduk di bawah
lindungan pohon blinjo.
Tempat itu jauh dari pemukiman. Lalu dibuatnya api
unggun di tempat itu.
"Jadi.... Ki Megatruh ini... pengawal Nyi Wungkuk?"
tanya Pusparini. "Kalau disebut pengawal, pasti ada hubungannya antara abdi dan
tuannya." "Nyi Wungkuk itu masih berdarah biru, masih turu-
nan bangsawan. Hanya nasib buruk saja yang mem-
buat dia tersingkir dari lingkungan priyayi!" kata Ki Megatruh membuka
percakapan. "Dan cacat itu pasti bukan sejak lahir," tanya Pus-
parini memancing, karena dilihatnya Ki Megatruh ma-
sih belum melanjutkan ceritanya.
"Memang bukan! Itu karena penyiksaan yang dila-
kukan oleh Nyi Blengoh."
"Nyi Blengoh" Siapakah Nyi Blengoh itu?"
"Isteri muda Adipati Agung Sedayu," jawab Ki Me-
gatruh dengan suara bergetar.
"Jadi Nyi Wungkuk dulunya istri Adipati Agung Se-
dayu yang pertama?"
"Benar!"
"Astaga! Istri seorang Adipati?" terdengar suara
Pusparini dengan nada kagum. "Kapan terjadinya?"
"Saat ini usia Nyi Wungkuk hampir tujuh puluh ta-
hun. Peristiwa itu sendiri telah berlalu dari empat puluh tahun yang lalu," kata
Ki Megatruh lebih lanjut.
"Dia tersisih dari kalangan ningrat, dan kini memendam dendam. Tapi Nyi Blengoh
sampai saat inipun ti-
dak tinggal diam. Masing-masing sedang menanti saat untuk meledakkan dendamnya."
"Tak kuduga kalau sampai begitu memilukan nasib
yang menimpa Nyi Wungkuk," gumam Pusparini de-
ngan perasaan yang larut dalam kesedihan. "Lalu, di manakah Nyi Blengoh
sekarang?"
"Tentu saja masih berada di Kadipaten Sedayu. Se-
dangkan Adipati Agung Sedayu sendiri telah mangkat
beberapa tahun yang lalu," kata Ki Megatruh. "Nama
Nyi Wungkuk yang kini dikenal banyak orang hanya
sebutan perlindungan saja. Nama sebenarnya adalah
Nyi Saraswati."
"Nyi Saraswati" Nama yang indah. Tentunya Nyi
Wungkuk pada masa mudanya merupakan wanita
yang cantik," sela Pusparini memberi penilaian.
"Ya! Dia memang wanita cantik...!" kata Ki Megatruh pelan.
Hening sesaat. Pusparini mencoba meresapkan ke-
terangan-keterangan itu yang berkaitan dengan kebe-
radaan Nyi Wungkuk, lalu mencoba mengambil kesim-
pulan tentang peranan Ki Megatruh yang tetap setia
mendampingi Nyi Wungkuk.
"Pasti... Ki Megatruh bukan abdi Nyi Wungkuk," ti-
ba-tiba Pusparini memecah kesunyian.
Laki-laki itu menoleh. Bayangan api unggun yang
memberi penerangan antara tampak dan tiada, mem-
beri kesan misterius pada wajah laki-laki ini.
"Apa maksud pertanyaanmu, Nduk?" tanyanya.
Dipanggil 'nduk' yang merupakan singkatan dari
'gendhuk', Pusparini tiba-tiba merasa akrab dengan
laki-laki bernama Ki Megatruh. Sekilas dia teringat akan sosok penampilan
almarhum ayahnya sendiri.
Tegap dan kekar walaupun sudah berusia tujuh pulu-
han. Tak jauh beda dengan Ki Megatruh.
"Maaf, atas kelancangan pertanyaan saya, Ki. Tapi
saya ingin tahu lebih banyak tentang hubungan Ki Megatruh dengan Nyi Wung...
eh... Saraswati itu!" kata Pusparini dengan pandangan tajam seperti ingin
menembus benak Ki Megatruh untuk mengetahui segala
rahasia yang terselubung.
"Pertanyaan nakal," jawab Ki Megatruh sambil ter-
senyum. "Pertanyaanmu terdorong oleh gejolak usia-
mu. Apakah kau sendiri pernah jatuh cinta?"
Pusparini menunduk sambil mengawasi api un-
ggun. Tangannya mempermainkan ujung kembennya
yang terjuntai. Pertanyaan kilas balik dari Ki Megatruh sangat menggigit
perasaannya. Ya! Pernahkah ia jatuh cinta" Pernahkah" Pertanyaan inilah yang
membuat dirinya menunduk menekuri nasibnya sendiri. Dia ta-
hu, wanita seusianya sudah seharusnya membina ru-
mah tangga. Tapi bagaimana pula, kalau hal itu belum memungkinkan untuk berpikir
ke sana" Keadaan yang
digeluti membuat dirinya tak ada kesempatan untuk
merenungkan masalah itu. Walau pada saat-saat sepi
sekalipun. "Wanita selalu malu kalau disuruh mengungkap pe-
rasaannya," terdengar suara Ki Megatruh. "Tapi kalau hal itu kau tanyakan
padaku, aku akan menjawab tanpa tedeng aling-aling, bahwa aku sangat mencintai
Nyi Saraswati, yang dikenal oleh orang-orang kini dengan panggilan Nyi Wungkuk!
Aku mencintai sejak dulu,
pertama kali bertemu sebelum dia dipersunting oleh
Adipati Agung Sedayu, bahkan sampai sekarang dalam
keadaannya yang terbuang itu."
"Lalu... tanggapan Nyi Saraswati bagaimana?" desak
Suling Naga 19 Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Pedang Keadilan 37