Bencana Di Kuto Gede 1
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede Bagian 1
credit to : Dani
(http://212.solgeek.org/pdf)
Kiageng80@gmail.com
1 KUTO GEDE sudah jauh di belakang mereka.
Malam tambah gelap dan dinginnya udara
semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara
tampak kilat menyambar beberapa kali.
"Turunkan aku di sini!" teriak gadis di atas
panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Tenang sajalah dan jangan banyak bicara.
Berhenti di tempat ini masih cukup besar
bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!"
"Aku tidak takut pada mereka!" sahut
Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja
diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam. Di
atas bahu sang pendekar, dara itu berada
dalam keadaan tertotok sementara tangan
kanannya patah dan mendenyut sakit tiada
henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan
keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan
ketuar dari mulutnya.
Melihat si pemuda terus melarikannya,
Nawang Suri berkata: "Jika kau tak mau
menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah
Maturwangi di selatan!"
"Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?"
bertanya Wiro. Semula Nawang Suri tak mau menjawab.
Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia
menerangkan: "Aku harus menemui pasukanku
di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak.
Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin
penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah
kubunuh, tapi sebelum tahta berada di
tanganku belum puas hatiku!"
Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro
Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar sebatang pohon
besar. "Lepaskan totokanku!" meminta Nawang
Suri. Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk
menjelepok di tanah di hadapan sang dara.
Untuk beberapa saat sepasang mata mereka
saling memandang tak berkedip.
"Seumur hidup baru kali ini aku menemui
gadis nekad sepertimu!" kata Wiro pula.
Ucapan itu membuat sang dara jadi panas
hatinya dan menjawab dengan suara keras.
"Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku
lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua
orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta
kerajaan yang mereka rampas! Demi masa
depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau
jangan coba menghalangi!"
"Siapa bilang aku menghalangi!" sahut Wiro
sambil garuk kepala. "Kau sudah membunuh
raja! Apa itu tidak cukup"!"
"Memang tidak cukup! Tujuan utamaku
adalah tahta kerajaan!"
"Mungkin itu memang belum jadi rejekimu
"Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak..."
"Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak
sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
"Jangan bersyair di depanku!" bentak
Nawang Suri. Wiro menyeringai kecut. Dan berkata:
"Dalam keadaan terluka begini, tangan patah,
kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja.
Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta
panglima perang yang tangguh?"
"Aku dan orang-orangku memiliki semangat..."
"Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup
untuk memenangkan peperangan.
"Pemuda tolol macammu mana tahu soal
perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi
pelajaran dan latihan untuk perang!"
"Tapi kau bukan mau perang!" kata Wiro
dengan pandangan mengejek.
"Maksudmu aku ini mau apa?"
"Mau bunuh diri!"
Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena
totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli
atau menampar Wiro Sableng saat itu.
"Bunuh diri atau apapun aku tak takut
mati..." "Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal
saja kau sendirian di sini!" kata Wiro seraya
berdiri dan pura-pura hendak pergi.
"Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu
totokan di tubuhku!"
"Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar
banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau
dijadikan mangsa mereka!" Lalu Wiro melangkah. "Hai! Jangan tinggalkan aku!" seru Nawang
Suri. Kecut juga hatinya.
"Nah, nah... Kau harus begitu. Harus
mengikuti apa yang aku bilang.
"Tapi kau bukan ayah atau majikanku!
Jangan anggap budi pertolonganmu membuat
dirimu merasa berkuasa atas diriku!" kembali
Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
"Apa untungku menguasaimu...?"
"Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa
kau melarikan diriku?"
"Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa
yang kulakukan adalah menolongmu. Heran,
bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro
hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh
Nawang Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya
menelungkup sama rata dengan tanah.
"Jangan keluarkan suara" bisik Wiro yang
mendengar suara orang mendekat.
Baru saja pendekar itu selesai bicara,
dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan
dan berhenti sejarak beberapa langkah dari
pohon besar di mana mereka sebelumnya
berada. "Heran!" terdengar salah seorang pendatang
berkata pada temannya. Dia mengenakan
pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan
kanannya ada sebilah golok besar. Wiro
maupun Nawang Suri segera mengenali orang
ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain
Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton
Kuto Gede. "Aku yakin sekali mereka pasti
kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak
menemukan keduanya"!
Pemuda itu tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa
beban sosok tubuh gadis pemberontak!"
Kawannya terdengar menarik nafas panjang
lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia
adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
"Bagiku sama sekali tidak mengherankan.
Pemuda itu bukan manusia sembarangan.
Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya
bisa saja seperti sekantong kapas baginya.
Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir
keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang
aku tak perdaya pada si tua bangka Wulung
Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!"
"Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja
melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat
mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke
dalam istana. "Ya, akupun melihat. Gerakannya agak
mencurigakan".
"Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui
belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia
tak lebih dari seorang penjilat nomer satu!
Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!"
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan
lenyap dalam kegelapan malam. Di balik
rerumputan semak belukar Wiro membantu
Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk
sang dara langsung bertanya setengah mendamprat. "Kenapa tidak kau hantam kedua
bangsat itu?"
Wiro geleng-gelengkan
kepala dan menjawab: "Aku tak punya permusuhan dengan
mereka." "Gila!"
"Eh, siapa yang gila...?" tanya Wiro melotot
tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
"Kowe!"
sahut Nawang Suri setengah berteriak. Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-
gelak. "Hanya orang gila yang masih bisa ketawa
dalam keadaan seperti ini...!" menyentak Nawang Suri dengan pandangan mata dan air
muka sangat jengkel.
"Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?"
"Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Aku
harus bergabung dengan pasukanku sebelum
terlambat!"
"Benakmu masih saja dipenuhi oleh kehendak balas dendam dan pertumpahan
darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas
dengan kematian raja yang tanganmu sendiri
membunuhnya"!"
"Tidak!", jawab Nawang Suri.
"Nawang Suri, kalau kau hanya mendasarkan jalan hidupmu pada balas dendam dan darah, kau akan celaka!"
"Biar, aku memang sudah celaka!" suara
sang dara
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersendat lalu terdengar sesunggukannya.
"Eh, tidak kusangka dara dengan hati
sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga
menangis..." ujar Wiro Sableng menggoda.
"Pemuda edan! Aku bersumpah menampar
mulutmu seratus kali!"
"Sumpah edan!" tukas Wiro. Lalu dia
beringsut mendekati, hingga tubuh dan wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu.
"Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang
hendak kau perbuat"!"
"Pertama, aku akan menolong mengobati
lengan kananmu yang patah. Setelah itu
totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu...
terserah padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan
pergi!" "Lalu dengan gerakan cepat - yang membuat
Nawang Suri terpekik - Wiro Sableng merobek
ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia
mematahkan sebatang ranting besar, meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan
yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan
kain. "Beres..." ujar Wiro. Lalu tangannya
bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal
leher Nawang Suri beberapa kali mengurut
gadis itu merasakan totokan yang membuat
tubuhnya kaku tegang menjadi sirna.
"Nah, kau sudah bebas sekarang," kata
Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat-
dekat ke hadapan sang dara.
"Pemuda gila! Apa maumu...?"
"Eh, bukankah tadi kau hendak menamparku seratus kali" Mengapa tidak
segera kau lakukan"!"
Nawang Suri hampir menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya
siap untuk menampar. Namun tamparan itu
tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak
kuasa untuk melakukan hal itu.
"Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa
menamparmu!" berkata Nawang Suri sambil
berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi
Wiro. "Benci itu ada dua arti..." terdengar suara
sang pendekar. "Benar-benar benci atau benar-
benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih...?"
"Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga
ceriwis! Siapa yang cinta padamu!" Habis
berkata begitu Nawang Suri dorong dada si
pemuda lalu dengan gerakan cepat dia tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk
garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu"
Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke
Kuto Gede saja.
2 Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang
Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda
itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu
bintang itu seperti dikejar setan, karena
memang dia harus sampai di lembah sebelum
tengah malam. Namun gadis itu terperangah
ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia
dapati hanya bekas-bekas perkemahan. Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai berkumpul di sana tak ada lagi disitu. "Celaka,
aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran
berada di antara mereka...?" Nawang Suri
berpikir sesaat. "Aku harus kembali ke Kotaraja..." katanya dalam hati mengambil
keputusan. Lalu kuda yang sudah letih itu
diputar dan dibedalnya menuju ke utara.
Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus
kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk
berganti pakaian. Dia akan bergabung dengan
pasukan yang akan menyerbu istana, lalu
mencari dan mendapatkan kembali Keris
Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan.
Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri
kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali
dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya. Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta
kerajaan dirampas, Nawang Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang
berkuasa diselamatkan dan di pelihara oleh
Empu Andiko Pamesworo. Mereka bersembunyia di sebuah pondok kayu di hutan
dekat teluk yang sangat sepi. Di tempat itu sang
Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan
kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang Sari
sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang
memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu
secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo
menyusun perebutan kekuasaan. Dengan mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur
untuk mendekati orang-orang penting istana.
Begitu mereka terjebak, riwayat masing-masing
akan segera dihabisi. Sasaran paling utama dan
paling penting tentunya adalah Sri Baginda
sendiri. Dengan berbekal sebilah keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar
sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu
Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang
tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil
membunuh sang empu. Di pihak penyerbu, satu
orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak
Celeng dan Buto Celeng berusaha mengejar
sang dara dan berhasil menghadangnya di
daerah pesawahan. Dengan keris sakti di
tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada saat itu muncul seorang
tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian
tinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan
julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang
Datuk berhasil membuat mental keris di tangan
Nawang Suri. Penyamarannya terbuka. Nyawanya terancam. Saat itulah muncul Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan
menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko
Geni sempat pula terhindar dari rampasan
Datuk Tongkat. Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti
orang kurang waras itu membuat Nawang Suri
tidak mempercayainya. Dara itu kemudian
melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede.
Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia
akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu
Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto
Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang-
barang perak dengan memakai nama Gama
Manyar. Bersama Soka Panaran rencana dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul dan disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota
raja. Orang yang pertama menjadi korban adalah
Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota
Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di
sebuah telaga sepi.
Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan
di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri
sengaja datang melayat. Perangkap mereka
mengena. Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara.
Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk
mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya
gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama
sekali tidak diduga oleh Empu Soka Panaran.
Maka diatur gerak cepat. Sementera Nawang
Suri dibawa ke istana malam harinya, sang
Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan
penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri
di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat
itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan
dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh
hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor
dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang
Suri, Datuk
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tongkat dituduh sebagai penghianat yang berserikat dengan kaum
pemberontak. Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka
sementara Datuk Tongkat menemui ajal di
tangan para pengeroyoknya, Nawang Suri
melihat tak ada jalan lain dari pada harus
membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah,
ketika Seri Baginda yang tergila-gila padanya
menyongsong kedatangannya di tangga istana
Nawang Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan
menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu
juga! Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi
bulan-bulanan, ditangkap hidup atau mati
sedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental
akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor
berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terdesak dan tangan kanan
patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk jelasnya
kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul
Petaka Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota Gede.
Beberapa orang perwira termasuk kepada
Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera
menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya
ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak
memisahkan diri ketika melihat patih Wulung
Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil
membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat
Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua.
Kejadian yang serba cepat ini masih sempat
terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia
hendak mengajak kambratnya Imo Gantra
untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun
saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu
gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212
Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri.
Karena menangkap gadis pemberontak itu lebih
penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti
Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur
bersama boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki ruangan
khusus di mana disimpan barang-barang dan
senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia
mencari sarung keris yang dapat dipergunakan
untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang
dan masih berlumuran darah Sri Baginda.
Karena di situ memang banyak disimpan
berbagai macam keris, dalam waktu cepat sang
patih telah mendapatkan sarung yang cocok
untuk Mustiko Geni. Tanpa membersihkan
darah di badan keris, Wulung Kerso menyarungkan senjata sakti itu. Lalu menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
"Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang
kau perbuat di sini?"
Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika
membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak
di ambang pintu ruangan dengan pandangan
mata penuh selidik.
"Raden Cokro, bukankah seharusnya kau
menolong Sri Baginda?"
"Orang yang sudah mati tak mungkin lagi
ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa
Keris Mustiko Geni.....
Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun
dia maklum, ketika berhasil menangkap Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang
Suri, puluhan mata menyaksikannya. Jadi
hampir semua orang tahu kalau senjata
mustika lambang tahta Kerajaan itu ada
padanya. Dalam gugupnya patih Wulung Kerso
sekaligus coba menempelak.
"Raden, tak seharusnya kau berada dalam
ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah
mata-mata kita memberi tahu bahwa ada
serombongan pasukan tak dikenal bergerak
menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan
pemberontak yang datang untuk menyerbu.
Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera
mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum
pemberontak yang muncul setiap saat..."
Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti.
"Soal pasukan musuh, pasukan pemberontak, apapun namanya tak usah
dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul
pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan
Keris Mustiko Geni itu, paman patih?"
"Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah
khawatir..."
"Mengapa paman yang harus menyimpan
senjata itu" Jika ada musuh menyelinap dan
merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu
padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat
yang aman......"
Patih Wulung Kerso tersenyum tawar
mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan
itu. "Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku
tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata
itu tak akan muncul sebelum Raja baru
diangkat!"
"Dengar paman patih," kata Cokro Ningrat
pula. "Saya tahu dengan kepandaian yang
paman miliki, paman bisa menyimpan dan
menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan
lupa. Istana penuh dengan musuh dalam
selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di
mana-mana. Keselamatan paman dan senjata
itu bisa terancam... Saya tetap meminta agar
Mustiko Geni diserahkan pada saya....."
"Hal itu tak bisa ku-kabulkan Raden Cokro.
Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja
baru yang diangkat dan duduk di kursi besar
sana....."
Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang.
Namun dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Dia melangkah mendekati sebuah patung terbuat dari batu.
Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata
: "Baiklah, kalau paman menganggap mampu
menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman
yang menyimpan.....". Lalu Kepala Pasukan
Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun
tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih
Wulung Kerso. Orang tua itu tersungkur ke
lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan
sementara kepala dan mukanya berlumuran
darah mengerikan.
"Keparat terkutuk. Kau... kau nyatanya juga
seorang musuh dalam selimut..." Dari balik
pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko
Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro
Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah
itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun
sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk
angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali
Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke
kepala Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terluka parah di kepala,
patih yang juga memiliki kepandaian silat dan
kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah
begitu saja. Sambil merundukkan kepala
menghindarkan hantaman patung batu, Wulung
Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat
menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun
tidak begitu telak dan keras akibat luka yang
dideritanya namun jotosan tersebut cukup
membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke
belakan dengan perut mual dan dada terasa
sesak sakit. Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini
dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada
lalu menyergap dengan dua tangan terpentang.
Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan
kanannya hanya mampu merobek pakaian
kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam
Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu
menggores kulit dadanya, nyawanya tak akan
tertolong! Darah yang membasahi kepala dan muka
Wulung Kerso menutup pemandangan kedua
matanya. Berulang kali dia mengusap wajah
dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik
bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih
tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat
gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh
Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri
hingga orang tua ini terkapar di lantai ruangan.
Dari mulut Wulung Kerso keluar suara
rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit
sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang
memancarkan sinar merah angker itu. Namun
darah yang terlalu banyak tertumpah membuat
Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya
goyah, pemandangannya semakin kabur, tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu
menghajar keningnya, dia tak punya daya lagi
untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai,
darah dan cairan otak berceceran. Keris
Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan
tercampak di lantai.
Raden Cokro Ningrat cepat mengambil
senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam
sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung
Kerso, lalu meninggalkan mangan itu. Pintu
kamar sengaja dikuncinya dari luar.
Ketika dia sampai di bagian depan istana,
Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut Serombongan pasukan berjumlah sekitar tiga
ratus orang tampak berada di seberang sana,
siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang
bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda
dan tak dikenal sedang yang seorang lagi
dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang tua
yang diketahui sebagai juru ukur barang-
barang perak. "Pemberontak keparat! Datang juga mereka
akhirnya!"
serapah Cokro Ningrat. Pada beberapa orang perwira yang ada di situ dia
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera berteriak memberi perintah. Sejumlah
pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk
menyambut serangan. Namun karena pasukan
yang ada di situ hanya merupakan pengawal
istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih
sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan
pemberontak tidak tertahankan.
"Kurang ajar!" kertak Cokro Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana.
"Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur
dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua
kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!"
"Siap Raden!" jawab si perwira lalu tinggalkan tempat itu.
Memandang berkeliling Raden Cokro menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun
tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak
dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini
segera menuruni tangga istana menyongsong
serbuan pasukan dengan sebilah pedang di
tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan
taman istana, dua penunggang kuda yang
bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu
menghadangnya. "Bangsat pemberontak! Kalian mencari
mampus!" teriak Cokro Ningrat.
"Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah
rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau
ganti dengan darahmu sendiri!" Balas berteriak
salah seorang penunggang kuda. Sekali goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke
arah kepala Cokro Ningrat.
3 Tampaknya lelaki muda yang menyerang
Kepala Pasukan itu memang memiliki kepandaian. Namun dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat,
meskipun dia menggempur bersama seorang
kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan
Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan
sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kura
tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu
merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa
melompat ke tanah.
Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung
sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di
sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan
pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus
dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua
menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat
pada pangkal lehernya.
"Bangsat pemberontak! Kalian mundur
kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan
senjata dan menyerah!" teriak Cokro Ningrat.
Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal
rasa takut itu merangsak terus. Puluhan di
antara mereka sudah mendekati tangga istana
sementara puluhan prajurit di kedua belah
pihak tampak berkaparan di taman dan tangga
istana. Saat itulah serombongan pasukan kerajaan
yang berjumlah hampir dua ratus orang muncul
dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu
tertahan. Se-mangat balatentara Kerajaan yang
tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro
terdengar kembali berteriak.
"Jika kalian tidak menyerah kalian akan
mampus percuma! Kalian sudah terkurung!"
"Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah
saatnya ditutup!"
Terdengar suara membentak.
Satu bayangan putih berkelebat. Angin
serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar
dan cepat bertindak mundur, memandang ke
depan dia melihat orang itu itu tegak dengan
sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
"Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau
adalah seorang gembong pemberontak!" bentak
Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya
orang tua di hadapannya.
Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap
dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip. "Namaku bukan Gama Manyar. Akulah
yang dikenal dengan nama Empu Soka Panaran!" berkata orang tua itu dengan suara
lantang lalu wut... wut! Tongkat besi kuning di
tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok
tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning
yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning
yang amat cepat.
Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak
mau memperlihatkan perubahan pada air
mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka
Panaran" Di masa Kerajaan lama dia dalah
seorang ahli pembuat barang-barang ukiran
istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan
orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi
dan kesaktian mengagumkan.
"Kau terkejut setelah mengetahui siapa
aku" Takut..."! Lalu mengapa tak lekas
menyerah"!" mengejek Empu Soka Panaran.
"Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja
mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk
mencapai tujuan kotor!"
Soka Panaran tertawa mengekeh.
"Buka matamu lebar-lebar, pasang telingamu baik-baik dan tanyai hati sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor!
Siapa di antara kita yang telah menumpahkan
darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan"
Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan
ratusan pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas
picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu
yang syah hanya untuk mendapatkan kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah
senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu
yang penuh lumuran darah itu...?"
Merah padam wajah Raden Cokro dan
berdesing panas telinganya mendengar kata-
kata Empu Soka Panaran itu.
"Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan
mata masih saja bicara tak karuan!" Habis
membentak begitu Cokro Ningrat menyerang
dengan pedangnya. Sementara itu pasukan
Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha
prajurit dan beberapa perwira mengelilingi
kalangan pertempuran antara pemimpin mereka
melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum
orang tua itu memiliki kepandaian tinggi
karenanya perlu berjaga-jaga agar jangan
sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan
mereka mengalami cidera atau sampai tumbang
di tangan orang tua itu.
Ternyata memang Empu Soka Panaran
bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu.
Setelah menggempur habis-habisan selama
enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro
Ningrat mendapat serangan balik yang gencar.
Tongkat besi kuning di tangan sang empu
menderu laksana titiran, menekan dan mengemplang, menggebuk dan menusuk, membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan
berseru keras sewaktu akhirnya pedang di
tangannya dihantam mental oleh pukulan keras
ujung tongkat. Raden Cokro Ningrat melompat
mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang
mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro
Ningrat sempat membuang diri ke samping
kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam
tongkat. Meskipun selamat namun ujung
senjata lawan menoreh pelipis dan pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka
yang cukup dalam dan mengucurkan darah.
Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa
perwira segera bertindak maju. Menyaksikan
hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak
mengejek. "Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang
berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan
kalian agar tidak mampus lebih cepat!"
Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada
orang-orangnya.
"Semua mundur! Menghadapi tikus tua
macam ini aku tak butuh bantuan kalian!"
Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan
Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar
merah berkiblat dalam gelapnya malam di
taman istana itu.
Terkejutlah Empu Soka Panaran alias Gama
Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta
Kerajaan itu berada di tangan Cokro Ningrat.
Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena
tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu
setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri
Baginda" 'Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin
mati lebih cepat?" membentak Cokro Ningrat.
"Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas!
Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan
padaku...!"
"Ha... ha...! Kau takut menemui kematian di
tangan senjata sakti ini"!" ejek Cokro Ningrat.
"Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu
dan aku tidak takutkan mati!" Hardik Empu
Soka Panaran. Wut!. Sinar kuning berkiblat ketika tongkat
besinya diputar sebat.
Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran
tongkat lawan. Trang...!! Kliing...!! Empu Soka Panaran berseru kaget dan
melompat mundur. Tongkat besi kuningnya
putung sewaktu keris sakti itu membabat
hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya
bergetar dan terasa panas.
"Ah, senjata sakti itu... Mengapa bisa
berada di tangan musuh..." keluh Empu Soka
Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata
yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi
Keris Mustiko Geni. Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam
dan akal untuk menghadapi lawan.
"Tua bangka pemberontak!" Cokro Ningrat
berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni
tinggi-tinggi ke atas. "Jika kau bersedia
menyerah maka kau akan digantung secara
terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu
akan gosong oleh keris sakti ini!"
"Aku lebih suka mati di ujung Mustiko
Geni!" jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya
yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula
meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika
keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk
menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa
tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah
pinggang dan lagi-lagi berbahaya setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis. Gerakan yang serba cepat membuat Cokro
Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini
cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera
cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan
adalah tegak di kalangan pertempuran dan
melindungi diri dari setiap serangan dengan
Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada dia kirimkan serangan
balasan. Setelah berkelahi lebih dari dua puluh
jurus, nafas Empu Soka Panaran mulai
tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus
berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan
serangannya akan mengendur. Hal ini disadari
sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun
merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia
berusaha menghantam tubuh, kepala atau
bagian badan lain dari Cokro Ningrat maka kini
serangannya dipusatkan pada tangan kanan
lawan. Apapun yang terjadi dia harus dapat
membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris
Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya
apa yang ada dalam benak si orang tua,
diketahui pula oleh lawan! Kini tampak Cokro
Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau
sebelumnya dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil
mengelakkan satu serangan dia langsung
tusukkan keris ke arah bagian tubuh lawan. Dia
tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena
sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit
atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa
ganas yang ada pada senjata itu akan
menewaskannya. Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka
Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa
kali Keris Mustiko Geni hampir mendarat di
tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang
datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian
ini jadi leleh semangat mereka. Semua hanya
tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas
di tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka
mereka yang hidup hanya ada satu pilihan.
Menyerah atau melarikan diri!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba seekor
kuda menerjang masuk ke dalam? kalangan
pertempuran sambil meringkik keras. Dua
orang prajurit tergelimpang roboh kena terjangan kaki depan. Seorang perwira tersungkur ke samping. Satu perwira lagi
berseru kaget ketika pedang yang sejak tadi
dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam
suasana yang bertambah kacau terdengar
seruan. "Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan
manusia-manusia
perampok tahta dan pengkhianat busuk!"
Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas
punggung binatang ini tampak menyambar
sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro
Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini
dalam kejutnya untuk melompat mundur.
Begitu selamat dari tebasa pedang dengan
beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke
arah penunggang kuda. Namun dari samping
Empu Soka Panaran datang membabatkan
tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat
sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat.
Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu
kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh
ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang
perwira. Memandang ke depan Cokro Ningrat segera
mengenali siapa adanya penunggang kuda itu.
Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu.
Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas
dan ikat kepala warna merah.
"Bagus! Aku tak perlu susah payah
mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk
menyerahkan nyawa!" kertak Cokro Ningrat. Dia
memberi isyarat pada para pembantunya. Dua
perwira yang barusan menolongnya bersama-
sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang
Suri yang masih tetap berada di punggung
kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain
sedang tangan kiri memegang pedang rampasan. Meskipun kehadiran Nawang Suri menyelamatkan dirinya dari serangan lawan,
namun Empu Soka Panaran merasa sangat
kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang
Sari yang cedera tangan kanan dan hanya
mengandalkan tangan kiri. Sementara itu
jumlah pasukan kerajaan semakin banyak.
Sulita bagi mereka untuk memenangkan pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian
tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru
mengkhawatirkan
keselamatan putri junjungannya itu!.
"Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya!
Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu!
berseru Empu Soka Panaran.
"Tidak!" sahut Nawang Suri tegas dan tanpa
takut. "Bukankah kita sudah memilih mati dari
pada hidup dinista"!"
Cokro Ningrat tertawa bergolak.
"Kalau sudah masuk ke sarang harimau
mana mungkin keluar dengan selamat"! Bersiaplah menerima kematian!"
Tangan kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko
Geni berkiblat ke arah sang empu sementara
Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua
perwira dan tujuh prajurit.
4 "Bunuh dulu kudanya!" teriak salah seorang
perwira. Lebih dari selusin prajurit datang
menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka
melayani Nawang Suri. Prajurit-prajurit itu
memusatkan serangan pada kuda tunggangan
sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang
berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri
berusaha menyelamatkan kudanya namun
akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah,
penuh luka "Bangsat rendah! Mampus kalian semua!"
teriak Nawang Suri. Dia melompat dari punggung kuda sebelum binatang ini tergelimpang di halaman istana. Pedangnya
diputar deras. Dua prajurit menjerit dan roboh
mandi darah. Dua perwira cepat berteriak memberi aba-
aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu.
Kini ada delapan belas prajurit dan dua perwira
mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di
tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di
jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu
Soka Panaran habis-habisan. Orang tua yang
kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat
banyak. Beberapa kali tongkat besi kuningnya
buntung di babat keris Mustiko Geni hingga
potongan kecil yang masih tersisa di tangannya
tak ada gunanya lagi lalu di lempar kearah
Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan
itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun
potongan tongkat ini melesat dan menancap di
leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang
Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh
ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!.
Perwira yang kedua terkejur dan tercekat
melihat kematian kawannya yang berlaku
lengah. Hal ini harus dibayarnya dengan mahal.
Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam
di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena
kehilangan dua pemimpin mereka sekaligus,
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belasan prajurit yang mengeroyok Nawang SUri
menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui
benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar
serangan maut dengan leluasa.
Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi
korban keganasan pedang sang dara lebih
banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua
orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya telah
berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan
kedua kakek ini membuat sang dara seperti
terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa
melompat mundur dan memandang dengan
beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri
segera mengenali mereka yakni bukan lain
adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua
hulubalang utama istana.
"Hemmm... kalian rupanya! Apa sudah siap
untuk mampus"!" mengejek Nawang Suri
sementara sepasang matanya bergerak liar
memperhatikan gerakan belasan prajurit yang
kini mengurungnya dengan rapat.
Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor
memandang dingin tak berkesip.
"Gadis tolol!" mengejek Imo Gantra. "Setelah
lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah
kembali muncul mencari kematian!"
"Akan kita lihat siapa yang mampus duluan,
kau atau aku!" sahut Nawang Suri.
"Pasti kau! Bukankah kad ingin lekas-lekas
menyusul kedua orang tuamu..."!" mengejek
Imo Gantra. Mendengar orang tuanya disebut-sebut,
Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya
menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana
nomor dua itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh
dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran
yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya
tinggal menunggu kematian di ujung Keris
Mustiko Geni. Bala tentara yang tadi hampir
tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga
istana kini terpukul dan didesak mundur
sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan
korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru.
Dan nasib Nawang Suri jelas tidak menguntungkan. Dengan tangan kanan patah,
hanya dengan mengandalkan pedang di tangan
kiri sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh
silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo
Gatra dan Ki Rawe Jembor. Meskipun kedua
kakek itu tidak memegang senjata namun
dalam beberapa jurus saja sudah berhasil
mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan
hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu
menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor
asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan
pedang di tangan kirinya.
Buk! Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di
dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang
yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra
ternyata menemui kegagalan karena sambil
menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe
Jembor pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini
selamat dari kematian!
Nawang Suri terhuyung-huyung
ke belakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri
dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini
dipergunakan untuk mendekap dadanya yang
sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa
melesak. Iga-iganya seperti remuk berantakan.
Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan-
lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh
terduduk di tanah. Saat itulah dilihatnya di
kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas di
tangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena
tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko
sakti lambang kerajaan yang hendak dibelanya
tapi justru dia sendiri yang menemui kematian
di ujung keris itu.
Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang
tak bergerak lagi. Kulitnya tampak menghitam
hangus! "Bagus! Pemberontak tua sudah mampus!
Sekarang giliran gadis tolol ini menemui
ajalnya!" teriak Ki Rawe Jembor. Sekali lompat
saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri
yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini
angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan
maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat
itu pemandangannya menjadi kabur namun
Nawang Suri masih sempat melihat datangnya
bahaya maut. Sambil jatuhkan diri ke tanah
gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut
patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya
ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan
tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang
Suri terguling di tanah beberapa kali. Gulingan
tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan
dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda
dengan batu besar hingga dadanya yang sakit
semakin terasa sakit seperti remuk berantakan.
Dia tak kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun
hanya tinggal satu-satu. Dia memandang ke
langit gelap. Lalu pada orang yang menginjak
tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra
Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan
membunuh Empu Soka Panaran.
"Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa
lagi" Bunuh aku saat ini juga!" Suara sang dara
bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu
mendadak menjadi sunyi sementara pasukan
penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang
perlahan itu masih dapat terdengar jelas.
"Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak
bagimu! Kau akan kami gantung di tanah
lapang! Biar semua orang menyaksikan hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!"
berkata Cokro Ningrat.
"Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu-
nunggu" Bunuh saja saat ini juga. Habis
perkara. Semua urusan beres sudah!"
Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor.
Raden Cokro Ningrat menyeringai mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo
Gantra seakan minta pendapat. Imo Gantra
yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan
Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju.
Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro
Ningrat membungkuk dan tusukkan keris
Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang
Suri. Saat itulah terdengar satu suitan nyaring.
Disusul dengan deru angin laksana topan
prahara datang menyambar dari langit malam
yang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu
merasakan tubuh masing-masing bergetar.
Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar.
Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh
Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko
Geni hampir terlepas dari tangannya. Dengan
sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah
sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar
merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit
dengan cepat tapi bahu kanannya tampak
bengkak besar. Seseorang telah melepaskan
tendangan kilat. Masih untung tendangan itu
meleset. "Keparat! Dia lagi!" terdengar teriakan Imo
Gantra. "Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar
sinting!" menyusul suara bentakan Ki Rawe
Jembor. Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat
melihat seorang pemuda berambut gondrong
sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan
kaki merenggang. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya
tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot
tampak tersebul barisan tiga angka yang telah
menggetarkan rimba persilatan.
"Pendekar 212..." desis Cokro Ningrat. Lidah
nya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram
embun pagi! "Aku sudah memberi peringatan pada
semua Kalian di sini. Jangan berani mengganggu gadis ini! Ternyata kalian mengabaikan peringatan itu..."
Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar
kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang
jelas-jelas menantang dan sekaligus merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia
maju satu langkah dan membuka mulut dengan
suara lantang. "Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga
lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan
kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang
lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh
orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan
bahwa pembalasan kami lebih kejam dari siksa
neraka..."!"
"Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira
kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu
apakah kau bisa menunjukkan jalan ke
neraka"!" Habis berkata begitu Wiro Sableng
lalu umbar tawa bergelak. Karena suara
tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang
tinggi maka semua orang yang ada di sana
merasakan telinga masing-masing mengiang
memekakkan sedang jantung seperti berguncang! Wiro melangkah mendekati Nawang Suri.
"Sahabat, kau tak apa-apa...?" Pendekar ini
menegur. Dalam hatinya sang dara memaki panjang
pendek. "Aku sudah hampir mampus dikatakan
tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar
sableng!" Walaupun dalam hati memaki, namun
entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad
dan siap menerima kematian, kini muncul
harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam
saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu,
seperti sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro memandang berkeliling.
Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata.
"Jangan harap kali ini kami memberi
ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi
hidup-hidup!"
"Begitu...?" tukas Wiro. "Kita akan lihat.
Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!"
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede ini gerakkan tangan kanannya ke
pinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga
Geni 212. Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah
melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki
Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro
Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di
tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu
ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan
satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
"Manusia tolol!" teriak Wiro. Tubuhnya
dirun-dukkan. Keris Mustiko Geni menukik
mengikuti gerakannya, membeset dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong.
Nawang Suri terpekik dan semburkan darah
dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa.
Orang lain menderita luka seperti itu mungkin
sudah pingsan. Gerakan tangan Wiro untuk mencabut
Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan
tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor
yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu
pemandangan yang luar biasa.
Dengan masih memanggul tubuh Nawang
Suri di bahu kanannya, mustahil bagi murid
Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari
dua serangan tangan kosong dan satu tikaman
keris yang disusulkan oleh Raden Cokro
Ningrat. Tanpa perdulikan keadaan sang dara,
Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara.
Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo
Gantra yang datang dari sebelah kanan sedang
tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke
arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro
Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping
kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang
ke bawah perut lawan.
Selagi Cokro Ningrat melompat mundur
selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra
terpekik karena tiga jari tangannya yang dipakai
menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras
dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor
terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri, maka
Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk
menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung
memanggulnya kembali di bahu kanan!
Para prajurit kerajaan yang menyaksikan
kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah
dan berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa
bahwa pendekar yang mereka kagumi itu
adalah musuh besar mereka!
Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung
masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah
berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian
tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak
selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di
lain kejap dia telah menggenggam sebilah
tombak pendek bermata tiga terbuat dari perak
berkilat. Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak
bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira
telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra
kemudian tampak pula meloloskan senjatanya
dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi
pendek yang ujungnya diganduli lima keping
mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada
kepingan pisau yang bisa menyerang serentak
sekaligus pada satu sasaran atau menebar
menghantam lima sasaran!
Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi
menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak
mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia
menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212
sudah berada dalam genggamannya. Sinar
perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya
malam. "Kalian semua memang minta mampus!
Majulah serentak agar lekas kupesiangi!" teriak
Wiro. Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih
menyambar. Rantai besi berpisau lima mata
bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur
hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni
ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran.
Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di
tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu,
namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan
senjata paling berbahaya yang harus diperhatikannya.
Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di
depan dada. Suara seperti ribuan tawon
mengamuk terdengar menderu disertai kilauan
sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar
hampir berbarengan sementara puluhan prajurit dan beberapa perwira yang ada di dekat
kalangan pertempuran menyingkir dengan perasaan ngeri.
Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo
Gantra sama melompat mundur. Rantai besi
berpisau lima bergoyang-goyang.
Tombak bermata tiga bergetar keras ketika terkena
hantaman angin kapak sakti. Hanya Keris
Mustiko Geni yang tampak masih membersitkan
sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa
senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan
dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni
212. Melihat tiga lawannya jelas bergeming
menghadapi senjatanya, Wiro Sableng melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan
untuk mundur segera meninggalkan tempat itu
karena hati kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan.
Tetapi celakanya ata perinta Cokro Ningrat,
puluhan prajurit dan beberapa perwira bergerak
merapatkan kurungan sementara itu Kepala
Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat
pada dua hulubalang istana. Bersama Imo
Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali
menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya
menyusun taktik yakni walaupun tampak
bergerak berbarengan namun serangan tidak
dilancarkan secara bersamaan.
Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe
Jembor dengan tombak berkepala tiganya.
Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang
tua ini cepat melompat mundur, begitu
hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke
depan sambil hantamkan rantai besi bergandul
lima pisau berkilat. Sekali lagi Pendekar 212
babatkan kapaknya untuk menghantam serangan kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe
Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat
mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke
dalam kalangan dengan menyusupkan satu
tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng.
Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai
dua sasaran. Pertama memang dada wiro,
namun jika terpaksa meleset maka ujung keris
akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang
Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari
Gunung Gede itu!
5 "Wong edan!" maki Pendekar 212. Terpaksa
dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang
Suri dan pergunakan tangan kiri untuk
melepaskan pukulan kunyuk melempar buah.
Tinju kiri dihantamkan lurus-lurus ke depan ke
arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk
garis lurus lima jari terkembang membuka.
Serangkum angin dahsyat menggebu. Kepala
Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada
batu besar yang menggelinding menghantam ke
arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad
menruskan tusukan ke arah kepala Nawang
Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret
dia terpaksa menarik pulang tusukannya,
melompat ke samping menghindari angin
pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap
dadanya yang terasa sakit dan sesak, di
belakang sana terdengar pekik jerit menggemparkan. Enam prajurit dan seorang
perwira yang terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah mencelat bermentalan.
Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di
dekat tembok depan halaman istana, empat
orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi.
Dua lainnya merintih berkelojotan, siap menyusul empat kawannya, sementara si
perwira terduduk sambil memuntahkan darah
kental Kejadian yang menggemparkan ini membuat
Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah.
Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan
tombak dan lima pisau berantai mereka lipat
gandakan dengan pengerahan tenaga dalam
penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang
dalam gelapnya malam sedang tombak tiga
mata mengeluarkan deru angin dingin menggetarkan. Ketika Wiro dengan kertakkan rahang
memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis
dua serangan yang datang, celakanya Nawang
Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si
pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba-
tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe
Jembor, padahal saat itu dari samping lima
pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebat tepat membelintang di arah pertengahan
lengan Nawang Suri yang memukul!
Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat
menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor
namun ke dudukannya tidak memungkinkan
menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra.
Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau
tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan
menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru
selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata.
Namun baru saja dia menggerakkan kapak
ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro
Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan
pertempuran dengan tikaman Keris Mustiko
Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro
Sableng benar-benar menghadapi kesulitan
yang membahayakan jiwanya!
Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa
ber-gelak. "Pendekar sableng! Akhirnya kau harus
tinggalkan nyawamu di sini!" kata hulubalang
istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu
akan menemui kematian dihantam tusukan
tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni.
Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan
gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa
terancam tapi tetap saja menyahuti dengan
nada menantang.
"Mana mau aku mati sendirian! Salah satu
dari kalian harus ikut bersama!" Lalu Kapak
Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak
di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk
dekat sekali ke wajah pendekar ini.
Di saat yang menegangkan di mana Wiro
sudah siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba
murid Sinto Gendeng merasakan ada yang
berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu
tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya
tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya.
Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan
bermaksud menangkap Nawang Suri hidup-
hidup, Wiro berusaha menendang seperti seekor
kuda menlenjangkan kaki belakangnya.
Justru saat itu terdengar suara seseorang
seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
"Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan
lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!"
Begitu suara mengiang lenyap, mendadak
bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni
melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo
Gantra yang seharusnya membabat lengan
Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu
jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata
ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga
Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak tiga
mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun
agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras
tadi, tetap saja salah satu matanya sempat
mengiris pipi kanan pemuda itu. Dengan pipi
mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi
tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke
belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh
Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul
menarik gadis itu dari bahunya.
Di samping kanan terdengar teriakan Cokro
Ningrat. "Kejar bangsat penculik berpakaian hitam
itu!" Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga
orang kepala regu dan dua orang perwira
bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya
Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan,
dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit
kematian. Dari sekian banyak yang melakukan
pengejaran, dua orang kembali ke halaman
istana. Yang pertama seorang kepala regu,
datang terseok-seok karena salah satu tulang
kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi
perwira berwajah penuh darah karena sebuah
matanya tampak pecah!
"Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat
itu!" kertak Imo Gantra marah dan bertindak
hendak mengejar meskipun tangannya masih
terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata
dengan Kapak Naga Geni 212 tadi.
Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu
kawannya ini dan berbisik.
"Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di
sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu
tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki
kepandaian seperti dewa!"
"Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti
dewa di dunia ini!" tukas Imo Gantra.
"Kataku jangan dimas!" Ki Rawe Jembor
Akhirnya membentak. "Kau tahu siapa orang
berpakaian hitam itu"!"
Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra
menjawab dengan menggelengkan kepala.
"Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh
kerajaan terdahulu.
Mendengar keterangan itu Imo Gantra
berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki.
Rawe Jembor. "Kangmas Jembor. Ternyata
manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya
bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun
rencana menumpasnya habis-habisan..."
"Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat
ini yang penting adalah menamatkan riwayat
pemuda sableng satu ini!"
Wiro yang diam-diam mendengarkan pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-
garuk kepala. Setelah mengusap darah yang
keluar dari luka di pipi kanan dia mengangkat
tangan kiri seraya berkata.
"Orang yang kalian ingin tangkap atau
bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada
urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku
mau pergi..."
Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang
istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa
gelak-gelak. "Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat
kami akan menangkap gadis pemberontak itu.
Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih
dulu!" berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
"Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan
dulu!" ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali
karena senjata rantai berpisau lima miliknya
musnah di hantam kappa Naga Geni 212.
Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya
menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin
puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja
dihantamkan ke tanah di depannya. Tanah
halaman istana berlobang besar. Bongkahan
tanah dan pasir beterbangan ke udara menutup
pemandangan. "Keparat! Jangan biarkan dia lolos!" teriak
Imo Gantra. Tapi orang-orang di situ tak dapat
melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup
begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di
pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba
menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak
menghantam dengan Kapak Naga Geni 212,
semuanya langsung buyar ketakutan. Tapi dari
sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar.
Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan
kanan ke dalam sebuah kantong yang tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika
dia memukulkan tangannya ke depan maka
berhamburanlah lebih dari selusin senjata
rahasia berbentuk paku hitam. Benda-benda ini
melesat di udara hampir tanpa suara dan
mengandung racun sangat jahat.
Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan suara namun pendengaran Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu.
Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala.
Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku
maut itu hancur dan luruh ke tanah, beberapa
di antaranya sempat menerpa anggota pasukan
yang ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak
terluka parah, tapi racun senjata rahasia yang
jahat membuat merasakan nyeri di seluruh
peredaran darah lalu akhirnya menemui ajal
setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karen tak
kuat menahan rasa sakit.
Sewaktu tadi menghantam luruh serangan
paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra dengan
Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus
menekan sebuah tombol rahasia pada bagian
hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-
merta dari lubang-lubang pada gagang kapak
yang berjumlah enam buah mencuat keluar
enam buah jarum halus yang meskipun malam
masih pekat kelam tapi jarum-jarum itu
memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya
menyambar ke arah Imo Gantra.
"Dimas awas senjata rahasia!" teriak Ki
Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan
pukulan tangan kosong. Imo Gantra sendiri
cepat membuang diri ke samping namun kasip.
Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental
oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya
sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang
kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka
cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya
sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya
seperti ada besi menyala di sebelah dalam.
Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe
Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu
lalu berteriak agar beberapa orang menolong
menggotong Imo Gatra ke dalam istana. Ketika
dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor
tidak melihat lagi Raden Cokro Ningrat di
tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu
mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap
bengitu saja "
6 WIRO SABLENG tidak tahu di mana
letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa
anta ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung
Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama
Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat
yang disebutkan oleh orang yang telah melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri.
Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang
tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang
tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun
sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu
cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat
membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti
tentang orang itu. Yakni dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para
tokoh silat istana kelihatannya agak gentar
terhadapnya. Benarkah dia sesepuh kerajaan
lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor
ketika berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan
sempat terdengar oleh Wiro" Berarti sang resi
mempunyai hubungan sangat dekat dengan
Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia
muncul menyelamatkan gadis itu.
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa
Selarong" Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari
dia berusaha mengobati luka pada pipinya
dengan obat bubuk yang selalu di bawanya.
Agaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun
tampak angker ternyata tidak mengandung
racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti
telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan
pendekar itu menelan sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju kearah timur.
Menjelang tengah hari keesokannya Wiro
sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh
mata memandang yang tampak hanyalah batu-
batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian
batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di
makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada
pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa.
Wiro menarik nafas kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
"Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di
daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu
hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu
luar biasa hingga orang lain tak dapat
mendengar. Berarti pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud
mempermainkan..."
Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya terasa kering. Bajunya basah
oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
"Gila!"
kata pendekar ini lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar matahari menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya
terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya
pemuda ini mendapat akal. Dari pada susah-
susah mencari mengapa tidak berteriak saja"
Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan
berteriak keras-keras.
"Resi Mandra Botama! Aku Wiro, orang yang
kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana
kau berada!"
Suara teriakan Wiro membahana di lembah
batu kapur itu. Bergema panjang berulang-
ulang membuat sang pendekar merasa ngeri
sendiri mendengarnya.
Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak
terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali
lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada
jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
"Sialan!" maki pemuda ini. Dia memutuskan
menunggu selama sepeminuman teh di tempat
itu. Jika tetap tak ada seseorang yang muncul
dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada
tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ
maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang
di udara. Berputar-putar beberapa kali di atas
lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu
menukik laksana sebuah anak panah, menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap
tak kelihatan lagi.
"Aneh..."
membatin Wiro. "Bagaimana
burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi"
Mungkin..." Wiro Melompat dari duduknya. Lalu
pendekar ini lari ke pertengahan lembah, ke
arah mana tadi dilihatnya burung menukik
turun dari udara dan lenyap.
Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana
sebelumnya dengan pasti tampak burung
menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala
dan memaki. Di situ memang terdapat sebuah
lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk
satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi
memang ada dalam lobang itu. Binatang ini
segera terbang ke udara ketika Wiro datang
lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang
berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu
ditendangnya. Tiba-tiba tiga buah lobang
seukuran tubuh manusia menganga aneh di kiri
kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar.
Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu
perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar
tujuh sampai delapan tahun. Masing-masing
berpakaian seperti prajurit-prajurit kerajaan,
membawa tombak dan perisai. Tombak dan
perisai itu adalah yang biasa dipergunakan oleh
prajurit-prajurit
kerajaan dalam ukuran sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi
ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak
menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa
tombak panjang dan perisai besar itu.
"Kalian bertiga keluar dari dalam tanah!
Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau
manusia benar "!" bertanya Wiro keheranan.
Anak perempuan di samping kanan tampak
membesarkan bola matanya.
"Tua bangka tidak tahu peradatan!" Anak
perem--puan itu membentak. "Sebagai tamu
kau tak layak bertanya tapi justru harus
memperkenalkan diri!"
"Aha... Ini baru hebat!" seru Wiro lalu dia
berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si
anak perempuan. Setengah melucu Wiro berkata: "Nah, sekarang kita sama-sama tinggi
kawan! Bagaimana pendapatmu?"
Anak perempuan itu tidak menjawab
apalagi tertawa. Matanya memandang tak
berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit.
Terdengar suaranya mendesis.
"Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk
menerima kematian?"
"Heh...?" Wiro berpaling dan jadi terkejut
ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah
tegak di samping kanannya dengan ujung
tombak hampir melekat di batang lehernya!
"Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat
gerakannya dan tahu-tahu kini sudah membokong?"
"Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!" Si
anak perempuan berkata.
Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua
ternyata juga sudah menodongkan ujung
tombak besarnya ke batang leher bagian kiri!
"Hai! Apa-apaan ini"!" tanya Wiro Sableng.
Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk
kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau
tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga
dia tidak bisa bergerak. Benar-benar mengherankan. Bagaimana dua anak kecil
begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga
dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak
dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan
adu kekuatan. Namun Wiro tak tega kalau dua
anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun
hanya diam dan berteriak bertanya. Anak
perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat
dengan jari kelingking kiri. Demikian dekatnya
hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
"Lekas katakan siapa namamu. Datang dari
mana dan apa kepentinganmu datang ke
lembah ini!"
"Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik
aku akan menjawab pertanyaanmu!" sahut Wiro
sambil menyengir. "Namaku Wiro Sableng! Aku
barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang
kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus
dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa
diterima"!"
"Soal kau haus atau lapar bukan urusan
krmi! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa
Selarong?" Anak perempuan itu bertanya.
Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia
memang tidak main-main.
"Seseorang menyuruhku datang ke goa itu,"
menjelaskan Wiro.
"Seseorang siapa" Setan" Hantu... Tuyul"
Rampok atau pengemis?" bertanya lagi si anak
perempuan yang membuat Pendekar 212
mengulum senyum menahan tawa.
"Orang itu bernama Resi Mandra Botama..."
"Ada apa kau mencari resi itu" Urusan baik
atau urusan jahat?"
"Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang
meminta aku datang." Berdasarkan pertanyaan
terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro
segera maklum bahwa daerah sekitar situ,
walaupun dia masih belum melihat adanya goa,
pastilah daerah kediaman orang yang telah
menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri.
Hatinya puas dan kini dia akan mempermainkan dan mengganggu ketiga anak
kecil itu. Tertama si gadis yang di depannya.
Maka diapun berkata "Mengenai urusanku
dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak
perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga
permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti
mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!"
Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro
menyeringai. "Kami harus menggeledah tubuhmu!" Si
gadis tiba-tiba memutuskan.
"Boleh saja!" sahut Wiro. "Tapi buat apa
susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru
kalian puas!"
"Dan aku juga membawa tiga ekor tikus
besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk
kalian. Seorang satu!"
"Ih...!" Kini ketiga bocah itu sama-sama
menunjukkan sikap jijik.
"Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa
Selarong" Di mana aku bisa menemukan Resi
Mandra Botama?"
"Kau membawa barang busuk dan kotor.
Maksud
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatanganmu terselubung tanda membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi
dari sini!"
"Begitu" Baiklah. Tapi sebelum pergi aku
akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan
kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!"
"Ternyata maksudmu memang jahat! Biar
kau kami bunuh saat ini juga!" Habis berkata
begitu si gadis memberi isyarat pada dua
kawannya. Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro
segera tusukkan tombak masing-masing ke
leher pendekar itu.
Saat itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan
kiri kanan mendorong keras ke samping,
menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak
lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak
jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental,
keduanya tampak jungkir balik, mendarat di
tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu
langsung menyerbu. Si anak gadis cilik tak
tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan
satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng
"Hebat!" seru Wiro memuji polos karena
kagum melihat gerakan ketiga anak itu.
Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal
saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat.
Meskipun gerakan tersebut belum disertai
kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku
lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya.
Wiro sendiri yang semula hendak melayani
Istana Pulau Es 2 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pedang Tanpa Perasaan 2
credit to : Dani
(http://212.solgeek.org/pdf)
Kiageng80@gmail.com
1 KUTO GEDE sudah jauh di belakang mereka.
Malam tambah gelap dan dinginnya udara
semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara
tampak kilat menyambar beberapa kali.
"Turunkan aku di sini!" teriak gadis di atas
panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Tenang sajalah dan jangan banyak bicara.
Berhenti di tempat ini masih cukup besar
bahayanya. Bukan mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!"
"Aku tidak takut pada mereka!" sahut
Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja
diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam. Di
atas bahu sang pendekar, dara itu berada
dalam keadaan tertotok sementara tangan
kanannya patah dan mendenyut sakit tiada
henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan
keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan
ketuar dari mulutnya.
Melihat si pemuda terus melarikannya,
Nawang Suri berkata: "Jika kau tak mau
menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah
Maturwangi di selatan!"
"Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?"
bertanya Wiro. Semula Nawang Suri tak mau menjawab.
Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia
menerangkan: "Aku harus menemui pasukanku
di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak.
Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin
penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah
kubunuh, tapi sebelum tahta berada di
tanganku belum puas hatiku!"
Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro
Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar sebatang pohon
besar. "Lepaskan totokanku!" meminta Nawang
Suri. Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk
menjelepok di tanah di hadapan sang dara.
Untuk beberapa saat sepasang mata mereka
saling memandang tak berkedip.
"Seumur hidup baru kali ini aku menemui
gadis nekad sepertimu!" kata Wiro pula.
Ucapan itu membuat sang dara jadi panas
hatinya dan menjawab dengan suara keras.
"Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku
lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua
orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta
kerajaan yang mereka rampas! Demi masa
depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau
jangan coba menghalangi!"
"Siapa bilang aku menghalangi!" sahut Wiro
sambil garuk kepala. "Kau sudah membunuh
raja! Apa itu tidak cukup"!"
"Memang tidak cukup! Tujuan utamaku
adalah tahta kerajaan!"
"Mungkin itu memang belum jadi rejekimu
"Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak..."
"Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak
sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
"Jangan bersyair di depanku!" bentak
Nawang Suri. Wiro menyeringai kecut. Dan berkata:
"Dalam keadaan terluka begini, tangan patah,
kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja.
Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta
panglima perang yang tangguh?"
"Aku dan orang-orangku memiliki semangat..."
"Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup
untuk memenangkan peperangan.
"Pemuda tolol macammu mana tahu soal
perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi
pelajaran dan latihan untuk perang!"
"Tapi kau bukan mau perang!" kata Wiro
dengan pandangan mengejek.
"Maksudmu aku ini mau apa?"
"Mau bunuh diri!"
Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena
totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli
atau menampar Wiro Sableng saat itu.
"Bunuh diri atau apapun aku tak takut
mati..." "Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal
saja kau sendirian di sini!" kata Wiro seraya
berdiri dan pura-pura hendak pergi.
"Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu
totokan di tubuhku!"
"Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar
banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau
dijadikan mangsa mereka!" Lalu Wiro melangkah. "Hai! Jangan tinggalkan aku!" seru Nawang
Suri. Kecut juga hatinya.
"Nah, nah... Kau harus begitu. Harus
mengikuti apa yang aku bilang.
"Tapi kau bukan ayah atau majikanku!
Jangan anggap budi pertolonganmu membuat
dirimu merasa berkuasa atas diriku!" kembali
Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
"Apa untungku menguasaimu...?"
"Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa
kau melarikan diriku?"
"Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa
yang kulakukan adalah menolongmu. Heran,
bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro
hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh
Nawang Suri lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya
menelungkup sama rata dengan tanah.
"Jangan keluarkan suara" bisik Wiro yang
mendengar suara orang mendekat.
Baru saja pendekar itu selesai bicara,
dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan
dan berhenti sejarak beberapa langkah dari
pohon besar di mana mereka sebelumnya
berada. "Heran!" terdengar salah seorang pendatang
berkata pada temannya. Dia mengenakan
pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan
kanannya ada sebilah golok besar. Wiro
maupun Nawang Suri segera mengenali orang
ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain
Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton
Kuto Gede. "Aku yakin sekali mereka pasti
kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak
menemukan keduanya"!
Pemuda itu tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa
beban sosok tubuh gadis pemberontak!"
Kawannya terdengar menarik nafas panjang
lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia
adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
"Bagiku sama sekali tidak mengherankan.
Pemuda itu bukan manusia sembarangan.
Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya
bisa saja seperti sekantong kapas baginya.
Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir
keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang
aku tak perdaya pada si tua bangka Wulung
Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!"
"Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja
melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat
mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke
dalam istana. "Ya, akupun melihat. Gerakannya agak
mencurigakan".
"Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui
belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia
tak lebih dari seorang penjilat nomer satu!
Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!"
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan
lenyap dalam kegelapan malam. Di balik
rerumputan semak belukar Wiro membantu
Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk
sang dara langsung bertanya setengah mendamprat. "Kenapa tidak kau hantam kedua
bangsat itu?"
Wiro geleng-gelengkan
kepala dan menjawab: "Aku tak punya permusuhan dengan
mereka." "Gila!"
"Eh, siapa yang gila...?" tanya Wiro melotot
tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
"Kowe!"
sahut Nawang Suri setengah berteriak. Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-
gelak. "Hanya orang gila yang masih bisa ketawa
dalam keadaan seperti ini...!" menyentak Nawang Suri dengan pandangan mata dan air
muka sangat jengkel.
"Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?"
"Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Aku
harus bergabung dengan pasukanku sebelum
terlambat!"
"Benakmu masih saja dipenuhi oleh kehendak balas dendam dan pertumpahan
darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas
dengan kematian raja yang tanganmu sendiri
membunuhnya"!"
"Tidak!", jawab Nawang Suri.
"Nawang Suri, kalau kau hanya mendasarkan jalan hidupmu pada balas dendam dan darah, kau akan celaka!"
"Biar, aku memang sudah celaka!" suara
sang dara
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersendat lalu terdengar sesunggukannya.
"Eh, tidak kusangka dara dengan hati
sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga
menangis..." ujar Wiro Sableng menggoda.
"Pemuda edan! Aku bersumpah menampar
mulutmu seratus kali!"
"Sumpah edan!" tukas Wiro. Lalu dia
beringsut mendekati, hingga tubuh dan wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu.
"Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang
hendak kau perbuat"!"
"Pertama, aku akan menolong mengobati
lengan kananmu yang patah. Setelah itu
totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu...
terserah padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan
pergi!" "Lalu dengan gerakan cepat - yang membuat
Nawang Suri terpekik - Wiro Sableng merobek
ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia
mematahkan sebatang ranting besar, meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan
yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan
kain. "Beres..." ujar Wiro. Lalu tangannya
bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal
leher Nawang Suri beberapa kali mengurut
gadis itu merasakan totokan yang membuat
tubuhnya kaku tegang menjadi sirna.
"Nah, kau sudah bebas sekarang," kata
Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat-
dekat ke hadapan sang dara.
"Pemuda gila! Apa maumu...?"
"Eh, bukankah tadi kau hendak menamparku seratus kali" Mengapa tidak
segera kau lakukan"!"
Nawang Suri hampir menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya
siap untuk menampar. Namun tamparan itu
tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak
kuasa untuk melakukan hal itu.
"Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa
menamparmu!" berkata Nawang Suri sambil
berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi
Wiro. "Benci itu ada dua arti..." terdengar suara
sang pendekar. "Benar-benar benci atau benar-
benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih...?"
"Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga
ceriwis! Siapa yang cinta padamu!" Habis
berkata begitu Nawang Suri dorong dada si
pemuda lalu dengan gerakan cepat dia tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk
garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu"
Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke
Kuto Gede saja.
2 Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang
Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda
itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu
bintang itu seperti dikejar setan, karena
memang dia harus sampai di lembah sebelum
tengah malam. Namun gadis itu terperangah
ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia
dapati hanya bekas-bekas perkemahan. Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai berkumpul di sana tak ada lagi disitu. "Celaka,
aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran
berada di antara mereka...?" Nawang Suri
berpikir sesaat. "Aku harus kembali ke Kotaraja..." katanya dalam hati mengambil
keputusan. Lalu kuda yang sudah letih itu
diputar dan dibedalnya menuju ke utara.
Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus
kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk
berganti pakaian. Dia akan bergabung dengan
pasukan yang akan menyerbu istana, lalu
mencari dan mendapatkan kembali Keris
Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan.
Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri
kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali
dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya. Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta
kerajaan dirampas, Nawang Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang
berkuasa diselamatkan dan di pelihara oleh
Empu Andiko Pamesworo. Mereka bersembunyia di sebuah pondok kayu di hutan
dekat teluk yang sangat sepi. Di tempat itu sang
Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan
kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang Sari
sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang
memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu
secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo
menyusun perebutan kekuasaan. Dengan mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur
untuk mendekati orang-orang penting istana.
Begitu mereka terjebak, riwayat masing-masing
akan segera dihabisi. Sasaran paling utama dan
paling penting tentunya adalah Sri Baginda
sendiri. Dengan berbekal sebilah keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar
sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu
Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang
tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil
membunuh sang empu. Di pihak penyerbu, satu
orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak
Celeng dan Buto Celeng berusaha mengejar
sang dara dan berhasil menghadangnya di
daerah pesawahan. Dengan keris sakti di
tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada saat itu muncul seorang
tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian
tinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan
julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang
Datuk berhasil membuat mental keris di tangan
Nawang Suri. Penyamarannya terbuka. Nyawanya terancam. Saat itulah muncul Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan
menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko
Geni sempat pula terhindar dari rampasan
Datuk Tongkat. Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti
orang kurang waras itu membuat Nawang Suri
tidak mempercayainya. Dara itu kemudian
melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede.
Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia
akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu
Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto
Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang-
barang perak dengan memakai nama Gama
Manyar. Bersama Soka Panaran rencana dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul dan disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota
raja. Orang yang pertama menjadi korban adalah
Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota
Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di
sebuah telaga sepi.
Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan
di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri
sengaja datang melayat. Perangkap mereka
mengena. Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara.
Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk
mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya
gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama
sekali tidak diduga oleh Empu Soka Panaran.
Maka diatur gerak cepat. Sementera Nawang
Suri dibawa ke istana malam harinya, sang
Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan
penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri
di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat
itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan
dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh
hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor
dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang
Suri, Datuk
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tongkat dituduh sebagai penghianat yang berserikat dengan kaum
pemberontak. Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka
sementara Datuk Tongkat menemui ajal di
tangan para pengeroyoknya, Nawang Suri
melihat tak ada jalan lain dari pada harus
membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah,
ketika Seri Baginda yang tergila-gila padanya
menyongsong kedatangannya di tangga istana
Nawang Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan
menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu
juga! Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi
bulan-bulanan, ditangkap hidup atau mati
sedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental
akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor
berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terdesak dan tangan kanan
patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk jelasnya
kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul
Petaka Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota Gede.
Beberapa orang perwira termasuk kepada
Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera
menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya
ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak
memisahkan diri ketika melihat patih Wulung
Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil
membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat
Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua.
Kejadian yang serba cepat ini masih sempat
terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia
hendak mengajak kambratnya Imo Gantra
untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun
saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu
gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212
Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri.
Karena menangkap gadis pemberontak itu lebih
penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti
Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur
bersama boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki ruangan
khusus di mana disimpan barang-barang dan
senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia
mencari sarung keris yang dapat dipergunakan
untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang
dan masih berlumuran darah Sri Baginda.
Karena di situ memang banyak disimpan
berbagai macam keris, dalam waktu cepat sang
patih telah mendapatkan sarung yang cocok
untuk Mustiko Geni. Tanpa membersihkan
darah di badan keris, Wulung Kerso menyarungkan senjata sakti itu. Lalu menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
"Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang
kau perbuat di sini?"
Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika
membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak
di ambang pintu ruangan dengan pandangan
mata penuh selidik.
"Raden Cokro, bukankah seharusnya kau
menolong Sri Baginda?"
"Orang yang sudah mati tak mungkin lagi
ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa
Keris Mustiko Geni.....
Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun
dia maklum, ketika berhasil menangkap Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang
Suri, puluhan mata menyaksikannya. Jadi
hampir semua orang tahu kalau senjata
mustika lambang tahta Kerajaan itu ada
padanya. Dalam gugupnya patih Wulung Kerso
sekaligus coba menempelak.
"Raden, tak seharusnya kau berada dalam
ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah
mata-mata kita memberi tahu bahwa ada
serombongan pasukan tak dikenal bergerak
menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan
pemberontak yang datang untuk menyerbu.
Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera
mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum
pemberontak yang muncul setiap saat..."
Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti.
"Soal pasukan musuh, pasukan pemberontak, apapun namanya tak usah
dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul
pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan
Keris Mustiko Geni itu, paman patih?"
"Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah
khawatir..."
"Mengapa paman yang harus menyimpan
senjata itu" Jika ada musuh menyelinap dan
merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu
padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat
yang aman......"
Patih Wulung Kerso tersenyum tawar
mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan
itu. "Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku
tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata
itu tak akan muncul sebelum Raja baru
diangkat!"
"Dengar paman patih," kata Cokro Ningrat
pula. "Saya tahu dengan kepandaian yang
paman miliki, paman bisa menyimpan dan
menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan
lupa. Istana penuh dengan musuh dalam
selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di
mana-mana. Keselamatan paman dan senjata
itu bisa terancam... Saya tetap meminta agar
Mustiko Geni diserahkan pada saya....."
"Hal itu tak bisa ku-kabulkan Raden Cokro.
Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja
baru yang diangkat dan duduk di kursi besar
sana....."
Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang.
Namun dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Dia melangkah mendekati sebuah patung terbuat dari batu.
Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata
: "Baiklah, kalau paman menganggap mampu
menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman
yang menyimpan.....". Lalu Kepala Pasukan
Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun
tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih
Wulung Kerso. Orang tua itu tersungkur ke
lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan
sementara kepala dan mukanya berlumuran
darah mengerikan.
"Keparat terkutuk. Kau... kau nyatanya juga
seorang musuh dalam selimut..." Dari balik
pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko
Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro
Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah
itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun
sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk
angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali
Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke
kepala Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terluka parah di kepala,
patih yang juga memiliki kepandaian silat dan
kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah
begitu saja. Sambil merundukkan kepala
menghindarkan hantaman patung batu, Wulung
Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat
menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun
tidak begitu telak dan keras akibat luka yang
dideritanya namun jotosan tersebut cukup
membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke
belakan dengan perut mual dan dada terasa
sesak sakit. Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini
dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada
lalu menyergap dengan dua tangan terpentang.
Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan
kanannya hanya mampu merobek pakaian
kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam
Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu
menggores kulit dadanya, nyawanya tak akan
tertolong! Darah yang membasahi kepala dan muka
Wulung Kerso menutup pemandangan kedua
matanya. Berulang kali dia mengusap wajah
dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik
bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih
tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat
gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh
Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri
hingga orang tua ini terkapar di lantai ruangan.
Dari mulut Wulung Kerso keluar suara
rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit
sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang
memancarkan sinar merah angker itu. Namun
darah yang terlalu banyak tertumpah membuat
Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya
goyah, pemandangannya semakin kabur, tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu
menghajar keningnya, dia tak punya daya lagi
untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai,
darah dan cairan otak berceceran. Keris
Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan
tercampak di lantai.
Raden Cokro Ningrat cepat mengambil
senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam
sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung
Kerso, lalu meninggalkan mangan itu. Pintu
kamar sengaja dikuncinya dari luar.
Ketika dia sampai di bagian depan istana,
Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut Serombongan pasukan berjumlah sekitar tiga
ratus orang tampak berada di seberang sana,
siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang
bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda
dan tak dikenal sedang yang seorang lagi
dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang tua
yang diketahui sebagai juru ukur barang-
barang perak. "Pemberontak keparat! Datang juga mereka
akhirnya!"
serapah Cokro Ningrat. Pada beberapa orang perwira yang ada di situ dia
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera berteriak memberi perintah. Sejumlah
pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk
menyambut serangan. Namun karena pasukan
yang ada di situ hanya merupakan pengawal
istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih
sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan
pemberontak tidak tertahankan.
"Kurang ajar!" kertak Cokro Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana.
"Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur
dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua
kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!"
"Siap Raden!" jawab si perwira lalu tinggalkan tempat itu.
Memandang berkeliling Raden Cokro menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun
tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak
dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini
segera menuruni tangga istana menyongsong
serbuan pasukan dengan sebilah pedang di
tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan
taman istana, dua penunggang kuda yang
bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu
menghadangnya. "Bangsat pemberontak! Kalian mencari
mampus!" teriak Cokro Ningrat.
"Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah
rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau
ganti dengan darahmu sendiri!" Balas berteriak
salah seorang penunggang kuda. Sekali goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke
arah kepala Cokro Ningrat.
3 Tampaknya lelaki muda yang menyerang
Kepala Pasukan itu memang memiliki kepandaian. Namun dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat,
meskipun dia menggempur bersama seorang
kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan
Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan
sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kura
tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu
merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa
melompat ke tanah.
Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung
sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di
sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan
pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus
dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua
menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat
pada pangkal lehernya.
"Bangsat pemberontak! Kalian mundur
kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan
senjata dan menyerah!" teriak Cokro Ningrat.
Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal
rasa takut itu merangsak terus. Puluhan di
antara mereka sudah mendekati tangga istana
sementara puluhan prajurit di kedua belah
pihak tampak berkaparan di taman dan tangga
istana. Saat itulah serombongan pasukan kerajaan
yang berjumlah hampir dua ratus orang muncul
dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu
tertahan. Se-mangat balatentara Kerajaan yang
tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro
terdengar kembali berteriak.
"Jika kalian tidak menyerah kalian akan
mampus percuma! Kalian sudah terkurung!"
"Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah
saatnya ditutup!"
Terdengar suara membentak.
Satu bayangan putih berkelebat. Angin
serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar
dan cepat bertindak mundur, memandang ke
depan dia melihat orang itu itu tegak dengan
sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
"Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau
adalah seorang gembong pemberontak!" bentak
Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya
orang tua di hadapannya.
Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap
dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip. "Namaku bukan Gama Manyar. Akulah
yang dikenal dengan nama Empu Soka Panaran!" berkata orang tua itu dengan suara
lantang lalu wut... wut! Tongkat besi kuning di
tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok
tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning
yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning
yang amat cepat.
Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak
mau memperlihatkan perubahan pada air
mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka
Panaran" Di masa Kerajaan lama dia dalah
seorang ahli pembuat barang-barang ukiran
istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan
orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi
dan kesaktian mengagumkan.
"Kau terkejut setelah mengetahui siapa
aku" Takut..."! Lalu mengapa tak lekas
menyerah"!" mengejek Empu Soka Panaran.
"Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja
mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk
mencapai tujuan kotor!"
Soka Panaran tertawa mengekeh.
"Buka matamu lebar-lebar, pasang telingamu baik-baik dan tanyai hati sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor!
Siapa di antara kita yang telah menumpahkan
darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan"
Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan
ratusan pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas
picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu
yang syah hanya untuk mendapatkan kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah
senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu
yang penuh lumuran darah itu...?"
Merah padam wajah Raden Cokro dan
berdesing panas telinganya mendengar kata-
kata Empu Soka Panaran itu.
"Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan
mata masih saja bicara tak karuan!" Habis
membentak begitu Cokro Ningrat menyerang
dengan pedangnya. Sementara itu pasukan
Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha
prajurit dan beberapa perwira mengelilingi
kalangan pertempuran antara pemimpin mereka
melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum
orang tua itu memiliki kepandaian tinggi
karenanya perlu berjaga-jaga agar jangan
sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan
mereka mengalami cidera atau sampai tumbang
di tangan orang tua itu.
Ternyata memang Empu Soka Panaran
bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu.
Setelah menggempur habis-habisan selama
enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro
Ningrat mendapat serangan balik yang gencar.
Tongkat besi kuning di tangan sang empu
menderu laksana titiran, menekan dan mengemplang, menggebuk dan menusuk, membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan
berseru keras sewaktu akhirnya pedang di
tangannya dihantam mental oleh pukulan keras
ujung tongkat. Raden Cokro Ningrat melompat
mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang
mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro
Ningrat sempat membuang diri ke samping
kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam
tongkat. Meskipun selamat namun ujung
senjata lawan menoreh pelipis dan pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka
yang cukup dalam dan mengucurkan darah.
Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa
perwira segera bertindak maju. Menyaksikan
hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak
mengejek. "Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang
berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan
kalian agar tidak mampus lebih cepat!"
Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada
orang-orangnya.
"Semua mundur! Menghadapi tikus tua
macam ini aku tak butuh bantuan kalian!"
Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan
Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar
merah berkiblat dalam gelapnya malam di
taman istana itu.
Terkejutlah Empu Soka Panaran alias Gama
Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta
Kerajaan itu berada di tangan Cokro Ningrat.
Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena
tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu
setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri
Baginda" 'Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin
mati lebih cepat?" membentak Cokro Ningrat.
"Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas!
Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan
padaku...!"
"Ha... ha...! Kau takut menemui kematian di
tangan senjata sakti ini"!" ejek Cokro Ningrat.
"Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu
dan aku tidak takutkan mati!" Hardik Empu
Soka Panaran. Wut!. Sinar kuning berkiblat ketika tongkat
besinya diputar sebat.
Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran
tongkat lawan. Trang...!! Kliing...!! Empu Soka Panaran berseru kaget dan
melompat mundur. Tongkat besi kuningnya
putung sewaktu keris sakti itu membabat
hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya
bergetar dan terasa panas.
"Ah, senjata sakti itu... Mengapa bisa
berada di tangan musuh..." keluh Empu Soka
Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata
yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi
Keris Mustiko Geni. Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam
dan akal untuk menghadapi lawan.
"Tua bangka pemberontak!" Cokro Ningrat
berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni
tinggi-tinggi ke atas. "Jika kau bersedia
menyerah maka kau akan digantung secara
terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu
akan gosong oleh keris sakti ini!"
"Aku lebih suka mati di ujung Mustiko
Geni!" jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya
yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula
meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika
keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk
menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa
tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah
pinggang dan lagi-lagi berbahaya setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis. Gerakan yang serba cepat membuat Cokro
Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini
cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera
cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan
adalah tegak di kalangan pertempuran dan
melindungi diri dari setiap serangan dengan
Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada dia kirimkan serangan
balasan. Setelah berkelahi lebih dari dua puluh
jurus, nafas Empu Soka Panaran mulai
tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus
berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan
serangannya akan mengendur. Hal ini disadari
sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun
merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia
berusaha menghantam tubuh, kepala atau
bagian badan lain dari Cokro Ningrat maka kini
serangannya dipusatkan pada tangan kanan
lawan. Apapun yang terjadi dia harus dapat
membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris
Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya
apa yang ada dalam benak si orang tua,
diketahui pula oleh lawan! Kini tampak Cokro
Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau
sebelumnya dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil
mengelakkan satu serangan dia langsung
tusukkan keris ke arah bagian tubuh lawan. Dia
tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena
sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit
atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa
ganas yang ada pada senjata itu akan
menewaskannya. Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka
Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa
kali Keris Mustiko Geni hampir mendarat di
tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang
datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian
ini jadi leleh semangat mereka. Semua hanya
tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas
di tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka
mereka yang hidup hanya ada satu pilihan.
Menyerah atau melarikan diri!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba seekor
kuda menerjang masuk ke dalam? kalangan
pertempuran sambil meringkik keras. Dua
orang prajurit tergelimpang roboh kena terjangan kaki depan. Seorang perwira tersungkur ke samping. Satu perwira lagi
berseru kaget ketika pedang yang sejak tadi
dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam
suasana yang bertambah kacau terdengar
seruan. "Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan
manusia-manusia
perampok tahta dan pengkhianat busuk!"
Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas
punggung binatang ini tampak menyambar
sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro
Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini
dalam kejutnya untuk melompat mundur.
Begitu selamat dari tebasa pedang dengan
beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke
arah penunggang kuda. Namun dari samping
Empu Soka Panaran datang membabatkan
tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat
sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat.
Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu
kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh
ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang
perwira. Memandang ke depan Cokro Ningrat segera
mengenali siapa adanya penunggang kuda itu.
Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu.
Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas
dan ikat kepala warna merah.
"Bagus! Aku tak perlu susah payah
mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk
menyerahkan nyawa!" kertak Cokro Ningrat. Dia
memberi isyarat pada para pembantunya. Dua
perwira yang barusan menolongnya bersama-
sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang
Suri yang masih tetap berada di punggung
kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain
sedang tangan kiri memegang pedang rampasan. Meskipun kehadiran Nawang Suri menyelamatkan dirinya dari serangan lawan,
namun Empu Soka Panaran merasa sangat
kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang
Sari yang cedera tangan kanan dan hanya
mengandalkan tangan kiri. Sementara itu
jumlah pasukan kerajaan semakin banyak.
Sulita bagi mereka untuk memenangkan pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian
tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru
mengkhawatirkan
keselamatan putri junjungannya itu!.
"Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya!
Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu!
berseru Empu Soka Panaran.
"Tidak!" sahut Nawang Suri tegas dan tanpa
takut. "Bukankah kita sudah memilih mati dari
pada hidup dinista"!"
Cokro Ningrat tertawa bergolak.
"Kalau sudah masuk ke sarang harimau
mana mungkin keluar dengan selamat"! Bersiaplah menerima kematian!"
Tangan kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko
Geni berkiblat ke arah sang empu sementara
Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua
perwira dan tujuh prajurit.
4 "Bunuh dulu kudanya!" teriak salah seorang
perwira. Lebih dari selusin prajurit datang
menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka
melayani Nawang Suri. Prajurit-prajurit itu
memusatkan serangan pada kuda tunggangan
sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang
berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri
berusaha menyelamatkan kudanya namun
akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah,
penuh luka "Bangsat rendah! Mampus kalian semua!"
teriak Nawang Suri. Dia melompat dari punggung kuda sebelum binatang ini tergelimpang di halaman istana. Pedangnya
diputar deras. Dua prajurit menjerit dan roboh
mandi darah. Dua perwira cepat berteriak memberi aba-
aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu.
Kini ada delapan belas prajurit dan dua perwira
mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di
tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di
jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu
Soka Panaran habis-habisan. Orang tua yang
kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat
banyak. Beberapa kali tongkat besi kuningnya
buntung di babat keris Mustiko Geni hingga
potongan kecil yang masih tersisa di tangannya
tak ada gunanya lagi lalu di lempar kearah
Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan
itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun
potongan tongkat ini melesat dan menancap di
leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang
Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh
ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!.
Perwira yang kedua terkejur dan tercekat
melihat kematian kawannya yang berlaku
lengah. Hal ini harus dibayarnya dengan mahal.
Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam
di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena
kehilangan dua pemimpin mereka sekaligus,
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belasan prajurit yang mengeroyok Nawang SUri
menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui
benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar
serangan maut dengan leluasa.
Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi
korban keganasan pedang sang dara lebih
banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua
orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya telah
berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan
kedua kakek ini membuat sang dara seperti
terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa
melompat mundur dan memandang dengan
beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri
segera mengenali mereka yakni bukan lain
adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua
hulubalang utama istana.
"Hemmm... kalian rupanya! Apa sudah siap
untuk mampus"!" mengejek Nawang Suri
sementara sepasang matanya bergerak liar
memperhatikan gerakan belasan prajurit yang
kini mengurungnya dengan rapat.
Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor
memandang dingin tak berkesip.
"Gadis tolol!" mengejek Imo Gantra. "Setelah
lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah
kembali muncul mencari kematian!"
"Akan kita lihat siapa yang mampus duluan,
kau atau aku!" sahut Nawang Suri.
"Pasti kau! Bukankah kad ingin lekas-lekas
menyusul kedua orang tuamu..."!" mengejek
Imo Gantra. Mendengar orang tuanya disebut-sebut,
Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya
menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana
nomor dua itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh
dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran
yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya
tinggal menunggu kematian di ujung Keris
Mustiko Geni. Bala tentara yang tadi hampir
tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga
istana kini terpukul dan didesak mundur
sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan
korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru.
Dan nasib Nawang Suri jelas tidak menguntungkan. Dengan tangan kanan patah,
hanya dengan mengandalkan pedang di tangan
kiri sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh
silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo
Gatra dan Ki Rawe Jembor. Meskipun kedua
kakek itu tidak memegang senjata namun
dalam beberapa jurus saja sudah berhasil
mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan
hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu
menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor
asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan
pedang di tangan kirinya.
Buk! Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di
dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang
yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra
ternyata menemui kegagalan karena sambil
menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe
Jembor pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini
selamat dari kematian!
Nawang Suri terhuyung-huyung
ke belakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri
dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini
dipergunakan untuk mendekap dadanya yang
sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa
melesak. Iga-iganya seperti remuk berantakan.
Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan-
lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh
terduduk di tanah. Saat itulah dilihatnya di
kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas di
tangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena
tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko
sakti lambang kerajaan yang hendak dibelanya
tapi justru dia sendiri yang menemui kematian
di ujung keris itu.
Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang
tak bergerak lagi. Kulitnya tampak menghitam
hangus! "Bagus! Pemberontak tua sudah mampus!
Sekarang giliran gadis tolol ini menemui
ajalnya!" teriak Ki Rawe Jembor. Sekali lompat
saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri
yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini
angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan
maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat
itu pemandangannya menjadi kabur namun
Nawang Suri masih sempat melihat datangnya
bahaya maut. Sambil jatuhkan diri ke tanah
gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut
patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya
ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan
tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang
Suri terguling di tanah beberapa kali. Gulingan
tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan
dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda
dengan batu besar hingga dadanya yang sakit
semakin terasa sakit seperti remuk berantakan.
Dia tak kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun
hanya tinggal satu-satu. Dia memandang ke
langit gelap. Lalu pada orang yang menginjak
tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra
Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan
membunuh Empu Soka Panaran.
"Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa
lagi" Bunuh aku saat ini juga!" Suara sang dara
bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu
mendadak menjadi sunyi sementara pasukan
penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang
perlahan itu masih dapat terdengar jelas.
"Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak
bagimu! Kau akan kami gantung di tanah
lapang! Biar semua orang menyaksikan hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!"
berkata Cokro Ningrat.
"Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu-
nunggu" Bunuh saja saat ini juga. Habis
perkara. Semua urusan beres sudah!"
Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor.
Raden Cokro Ningrat menyeringai mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo
Gantra seakan minta pendapat. Imo Gantra
yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan
Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju.
Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro
Ningrat membungkuk dan tusukkan keris
Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang
Suri. Saat itulah terdengar satu suitan nyaring.
Disusul dengan deru angin laksana topan
prahara datang menyambar dari langit malam
yang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu
merasakan tubuh masing-masing bergetar.
Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar.
Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh
Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko
Geni hampir terlepas dari tangannya. Dengan
sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah
sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar
merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit
dengan cepat tapi bahu kanannya tampak
bengkak besar. Seseorang telah melepaskan
tendangan kilat. Masih untung tendangan itu
meleset. "Keparat! Dia lagi!" terdengar teriakan Imo
Gantra. "Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar
sinting!" menyusul suara bentakan Ki Rawe
Jembor. Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat
melihat seorang pemuda berambut gondrong
sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan
kaki merenggang. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya
tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot
tampak tersebul barisan tiga angka yang telah
menggetarkan rimba persilatan.
"Pendekar 212..." desis Cokro Ningrat. Lidah
nya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram
embun pagi! "Aku sudah memberi peringatan pada
semua Kalian di sini. Jangan berani mengganggu gadis ini! Ternyata kalian mengabaikan peringatan itu..."
Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar
kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang
jelas-jelas menantang dan sekaligus merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia
maju satu langkah dan membuka mulut dengan
suara lantang. "Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga
lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan
kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang
lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh
orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan
bahwa pembalasan kami lebih kejam dari siksa
neraka..."!"
"Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira
kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu
apakah kau bisa menunjukkan jalan ke
neraka"!" Habis berkata begitu Wiro Sableng
lalu umbar tawa bergelak. Karena suara
tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang
tinggi maka semua orang yang ada di sana
merasakan telinga masing-masing mengiang
memekakkan sedang jantung seperti berguncang! Wiro melangkah mendekati Nawang Suri.
"Sahabat, kau tak apa-apa...?" Pendekar ini
menegur. Dalam hatinya sang dara memaki panjang
pendek. "Aku sudah hampir mampus dikatakan
tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar
sableng!" Walaupun dalam hati memaki, namun
entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad
dan siap menerima kematian, kini muncul
harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam
saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu,
seperti sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro memandang berkeliling.
Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata.
"Jangan harap kali ini kami memberi
ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi
hidup-hidup!"
"Begitu...?" tukas Wiro. "Kita akan lihat.
Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!"
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede ini gerakkan tangan kanannya ke
pinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga
Geni 212. Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah
melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki
Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro
Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di
tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu
ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan
satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
"Manusia tolol!" teriak Wiro. Tubuhnya
dirun-dukkan. Keris Mustiko Geni menukik
mengikuti gerakannya, membeset dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong.
Nawang Suri terpekik dan semburkan darah
dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa.
Orang lain menderita luka seperti itu mungkin
sudah pingsan. Gerakan tangan Wiro untuk mencabut
Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan
tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor
yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu
pemandangan yang luar biasa.
Dengan masih memanggul tubuh Nawang
Suri di bahu kanannya, mustahil bagi murid
Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari
dua serangan tangan kosong dan satu tikaman
keris yang disusulkan oleh Raden Cokro
Ningrat. Tanpa perdulikan keadaan sang dara,
Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara.
Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo
Gantra yang datang dari sebelah kanan sedang
tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke
arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro
Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping
kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang
ke bawah perut lawan.
Selagi Cokro Ningrat melompat mundur
selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra
terpekik karena tiga jari tangannya yang dipakai
menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras
dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor
terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri, maka
Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk
menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung
memanggulnya kembali di bahu kanan!
Para prajurit kerajaan yang menyaksikan
kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah
dan berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa
bahwa pendekar yang mereka kagumi itu
adalah musuh besar mereka!
Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung
masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah
berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian
tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak
selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di
lain kejap dia telah menggenggam sebilah
tombak pendek bermata tiga terbuat dari perak
berkilat. Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak
bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira
telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra
kemudian tampak pula meloloskan senjatanya
dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi
pendek yang ujungnya diganduli lima keping
mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada
kepingan pisau yang bisa menyerang serentak
sekaligus pada satu sasaran atau menebar
menghantam lima sasaran!
Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi
menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak
mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia
menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212
sudah berada dalam genggamannya. Sinar
perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya
malam. "Kalian semua memang minta mampus!
Majulah serentak agar lekas kupesiangi!" teriak
Wiro. Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih
menyambar. Rantai besi berpisau lima mata
bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur
hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni
ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran.
Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di
tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu,
namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan
senjata paling berbahaya yang harus diperhatikannya.
Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di
depan dada. Suara seperti ribuan tawon
mengamuk terdengar menderu disertai kilauan
sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar
hampir berbarengan sementara puluhan prajurit dan beberapa perwira yang ada di dekat
kalangan pertempuran menyingkir dengan perasaan ngeri.
Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo
Gantra sama melompat mundur. Rantai besi
berpisau lima bergoyang-goyang.
Tombak bermata tiga bergetar keras ketika terkena
hantaman angin kapak sakti. Hanya Keris
Mustiko Geni yang tampak masih membersitkan
sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa
senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan
dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni
212. Melihat tiga lawannya jelas bergeming
menghadapi senjatanya, Wiro Sableng melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan
untuk mundur segera meninggalkan tempat itu
karena hati kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan.
Tetapi celakanya ata perinta Cokro Ningrat,
puluhan prajurit dan beberapa perwira bergerak
merapatkan kurungan sementara itu Kepala
Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat
pada dua hulubalang istana. Bersama Imo
Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali
menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya
menyusun taktik yakni walaupun tampak
bergerak berbarengan namun serangan tidak
dilancarkan secara bersamaan.
Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe
Jembor dengan tombak berkepala tiganya.
Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang
tua ini cepat melompat mundur, begitu
hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke
depan sambil hantamkan rantai besi bergandul
lima pisau berkilat. Sekali lagi Pendekar 212
babatkan kapaknya untuk menghantam serangan kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe
Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat
mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke
dalam kalangan dengan menyusupkan satu
tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng.
Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai
dua sasaran. Pertama memang dada wiro,
namun jika terpaksa meleset maka ujung keris
akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang
Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari
Gunung Gede itu!
5 "Wong edan!" maki Pendekar 212. Terpaksa
dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang
Suri dan pergunakan tangan kiri untuk
melepaskan pukulan kunyuk melempar buah.
Tinju kiri dihantamkan lurus-lurus ke depan ke
arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk
garis lurus lima jari terkembang membuka.
Serangkum angin dahsyat menggebu. Kepala
Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada
batu besar yang menggelinding menghantam ke
arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad
menruskan tusukan ke arah kepala Nawang
Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret
dia terpaksa menarik pulang tusukannya,
melompat ke samping menghindari angin
pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap
dadanya yang terasa sakit dan sesak, di
belakang sana terdengar pekik jerit menggemparkan. Enam prajurit dan seorang
perwira yang terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah mencelat bermentalan.
Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di
dekat tembok depan halaman istana, empat
orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi.
Dua lainnya merintih berkelojotan, siap menyusul empat kawannya, sementara si
perwira terduduk sambil memuntahkan darah
kental Kejadian yang menggemparkan ini membuat
Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah.
Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan
tombak dan lima pisau berantai mereka lipat
gandakan dengan pengerahan tenaga dalam
penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang
dalam gelapnya malam sedang tombak tiga
mata mengeluarkan deru angin dingin menggetarkan. Ketika Wiro dengan kertakkan rahang
memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis
dua serangan yang datang, celakanya Nawang
Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si
pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba-
tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe
Jembor, padahal saat itu dari samping lima
pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebat tepat membelintang di arah pertengahan
lengan Nawang Suri yang memukul!
Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat
menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor
namun ke dudukannya tidak memungkinkan
menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra.
Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau
tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan
menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru
selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata.
Namun baru saja dia menggerakkan kapak
ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro
Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan
pertempuran dengan tikaman Keris Mustiko
Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro
Sableng benar-benar menghadapi kesulitan
yang membahayakan jiwanya!
Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa
ber-gelak. "Pendekar sableng! Akhirnya kau harus
tinggalkan nyawamu di sini!" kata hulubalang
istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu
akan menemui kematian dihantam tusukan
tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni.
Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan
gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa
terancam tapi tetap saja menyahuti dengan
nada menantang.
"Mana mau aku mati sendirian! Salah satu
dari kalian harus ikut bersama!" Lalu Kapak
Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak
di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk
dekat sekali ke wajah pendekar ini.
Di saat yang menegangkan di mana Wiro
sudah siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba
murid Sinto Gendeng merasakan ada yang
berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu
tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya
tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya.
Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan
bermaksud menangkap Nawang Suri hidup-
hidup, Wiro berusaha menendang seperti seekor
kuda menlenjangkan kaki belakangnya.
Justru saat itu terdengar suara seseorang
seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
"Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan
lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!"
Begitu suara mengiang lenyap, mendadak
bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni
melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo
Gantra yang seharusnya membabat lengan
Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu
jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata
ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga
Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak tiga
mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun
agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras
tadi, tetap saja salah satu matanya sempat
mengiris pipi kanan pemuda itu. Dengan pipi
mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi
tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke
belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh
Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul
menarik gadis itu dari bahunya.
Di samping kanan terdengar teriakan Cokro
Ningrat. "Kejar bangsat penculik berpakaian hitam
itu!" Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga
orang kepala regu dan dua orang perwira
bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya
Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan,
dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit
kematian. Dari sekian banyak yang melakukan
pengejaran, dua orang kembali ke halaman
istana. Yang pertama seorang kepala regu,
datang terseok-seok karena salah satu tulang
kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi
perwira berwajah penuh darah karena sebuah
matanya tampak pecah!
"Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat
itu!" kertak Imo Gantra marah dan bertindak
hendak mengejar meskipun tangannya masih
terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata
dengan Kapak Naga Geni 212 tadi.
Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu
kawannya ini dan berbisik.
"Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di
sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu
tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki
kepandaian seperti dewa!"
"Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti
dewa di dunia ini!" tukas Imo Gantra.
"Kataku jangan dimas!" Ki Rawe Jembor
Akhirnya membentak. "Kau tahu siapa orang
berpakaian hitam itu"!"
Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra
menjawab dengan menggelengkan kepala.
"Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh
kerajaan terdahulu.
Mendengar keterangan itu Imo Gantra
berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki.
Rawe Jembor. "Kangmas Jembor. Ternyata
manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya
bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun
rencana menumpasnya habis-habisan..."
"Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat
ini yang penting adalah menamatkan riwayat
pemuda sableng satu ini!"
Wiro yang diam-diam mendengarkan pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-
garuk kepala. Setelah mengusap darah yang
keluar dari luka di pipi kanan dia mengangkat
tangan kiri seraya berkata.
"Orang yang kalian ingin tangkap atau
bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada
urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku
mau pergi..."
Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang
istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa
gelak-gelak. "Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat
kami akan menangkap gadis pemberontak itu.
Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih
dulu!" berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
"Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan
dulu!" ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali
karena senjata rantai berpisau lima miliknya
musnah di hantam kappa Naga Geni 212.
Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya
menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin
puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja
dihantamkan ke tanah di depannya. Tanah
halaman istana berlobang besar. Bongkahan
tanah dan pasir beterbangan ke udara menutup
pemandangan. "Keparat! Jangan biarkan dia lolos!" teriak
Imo Gantra. Tapi orang-orang di situ tak dapat
melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup
begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di
pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba
menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak
menghantam dengan Kapak Naga Geni 212,
semuanya langsung buyar ketakutan. Tapi dari
sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar.
Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan
kanan ke dalam sebuah kantong yang tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika
dia memukulkan tangannya ke depan maka
berhamburanlah lebih dari selusin senjata
rahasia berbentuk paku hitam. Benda-benda ini
melesat di udara hampir tanpa suara dan
mengandung racun sangat jahat.
Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan suara namun pendengaran Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu.
Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala.
Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku
maut itu hancur dan luruh ke tanah, beberapa
di antaranya sempat menerpa anggota pasukan
yang ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak
terluka parah, tapi racun senjata rahasia yang
jahat membuat merasakan nyeri di seluruh
peredaran darah lalu akhirnya menemui ajal
setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karen tak
kuat menahan rasa sakit.
Sewaktu tadi menghantam luruh serangan
paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra dengan
Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus
menekan sebuah tombol rahasia pada bagian
hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-
merta dari lubang-lubang pada gagang kapak
yang berjumlah enam buah mencuat keluar
enam buah jarum halus yang meskipun malam
masih pekat kelam tapi jarum-jarum itu
memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya
menyambar ke arah Imo Gantra.
"Dimas awas senjata rahasia!" teriak Ki
Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan
pukulan tangan kosong. Imo Gantra sendiri
cepat membuang diri ke samping namun kasip.
Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental
oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya
sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang
kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka
cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya
sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya
seperti ada besi menyala di sebelah dalam.
Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe
Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu
lalu berteriak agar beberapa orang menolong
menggotong Imo Gatra ke dalam istana. Ketika
dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor
tidak melihat lagi Raden Cokro Ningrat di
tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu
mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap
bengitu saja "
6 WIRO SABLENG tidak tahu di mana
letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa
anta ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung
Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama
Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat
yang disebutkan oleh orang yang telah melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri.
Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang
tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang
tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun
sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu
cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat
membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti
tentang orang itu. Yakni dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para
tokoh silat istana kelihatannya agak gentar
terhadapnya. Benarkah dia sesepuh kerajaan
lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor
ketika berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan
sempat terdengar oleh Wiro" Berarti sang resi
mempunyai hubungan sangat dekat dengan
Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia
muncul menyelamatkan gadis itu.
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa
Selarong" Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari
dia berusaha mengobati luka pada pipinya
dengan obat bubuk yang selalu di bawanya.
Agaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun
tampak angker ternyata tidak mengandung
racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti
telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan
pendekar itu menelan sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju kearah timur.
Menjelang tengah hari keesokannya Wiro
sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh
mata memandang yang tampak hanyalah batu-
batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian
batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di
makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada
pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa.
Wiro menarik nafas kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
"Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di
daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu
hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu
luar biasa hingga orang lain tak dapat
mendengar. Berarti pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud
mempermainkan..."
Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya terasa kering. Bajunya basah
oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
"Gila!"
kata pendekar ini lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar matahari menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya
terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya
pemuda ini mendapat akal. Dari pada susah-
susah mencari mengapa tidak berteriak saja"
Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan
berteriak keras-keras.
"Resi Mandra Botama! Aku Wiro, orang yang
kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana
kau berada!"
Suara teriakan Wiro membahana di lembah
batu kapur itu. Bergema panjang berulang-
ulang membuat sang pendekar merasa ngeri
sendiri mendengarnya.
Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak
terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali
lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada
jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
"Sialan!" maki pemuda ini. Dia memutuskan
menunggu selama sepeminuman teh di tempat
itu. Jika tetap tak ada seseorang yang muncul
dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada
tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ
maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang
di udara. Berputar-putar beberapa kali di atas
lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu
menukik laksana sebuah anak panah, menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap
tak kelihatan lagi.
"Aneh..."
membatin Wiro. "Bagaimana
burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi"
Mungkin..." Wiro Melompat dari duduknya. Lalu
pendekar ini lari ke pertengahan lembah, ke
arah mana tadi dilihatnya burung menukik
turun dari udara dan lenyap.
Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana
sebelumnya dengan pasti tampak burung
menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala
dan memaki. Di situ memang terdapat sebuah
lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk
satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi
memang ada dalam lobang itu. Binatang ini
segera terbang ke udara ketika Wiro datang
lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang
berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu
ditendangnya. Tiba-tiba tiga buah lobang
seukuran tubuh manusia menganga aneh di kiri
kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar.
Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu
perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar
tujuh sampai delapan tahun. Masing-masing
berpakaian seperti prajurit-prajurit kerajaan,
membawa tombak dan perisai. Tombak dan
perisai itu adalah yang biasa dipergunakan oleh
prajurit-prajurit
kerajaan dalam ukuran sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi
ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak
menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa
tombak panjang dan perisai besar itu.
"Kalian bertiga keluar dari dalam tanah!
Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau
manusia benar "!" bertanya Wiro keheranan.
Anak perempuan di samping kanan tampak
membesarkan bola matanya.
"Tua bangka tidak tahu peradatan!" Anak
perem--puan itu membentak. "Sebagai tamu
kau tak layak bertanya tapi justru harus
memperkenalkan diri!"
"Aha... Ini baru hebat!" seru Wiro lalu dia
berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si
anak perempuan. Setengah melucu Wiro berkata: "Nah, sekarang kita sama-sama tinggi
kawan! Bagaimana pendapatmu?"
Anak perempuan itu tidak menjawab
apalagi tertawa. Matanya memandang tak
berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit.
Terdengar suaranya mendesis.
"Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk
menerima kematian?"
"Heh...?" Wiro berpaling dan jadi terkejut
ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah
tegak di samping kanannya dengan ujung
tombak hampir melekat di batang lehernya!
"Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat
gerakannya dan tahu-tahu kini sudah membokong?"
"Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!" Si
anak perempuan berkata.
Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua
ternyata juga sudah menodongkan ujung
tombak besarnya ke batang leher bagian kiri!
"Hai! Apa-apaan ini"!" tanya Wiro Sableng.
Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk
kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau
tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga
dia tidak bisa bergerak. Benar-benar mengherankan. Bagaimana dua anak kecil
begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga
dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak
dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan
adu kekuatan. Namun Wiro tak tega kalau dua
anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun
hanya diam dan berteriak bertanya. Anak
perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat
dengan jari kelingking kiri. Demikian dekatnya
hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
"Lekas katakan siapa namamu. Datang dari
mana dan apa kepentinganmu datang ke
lembah ini!"
"Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik
aku akan menjawab pertanyaanmu!" sahut Wiro
sambil menyengir. "Namaku Wiro Sableng! Aku
barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang
kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus
dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa
diterima"!"
"Soal kau haus atau lapar bukan urusan
krmi! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa
Selarong?" Anak perempuan itu bertanya.
Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia
memang tidak main-main.
"Seseorang menyuruhku datang ke goa itu,"
menjelaskan Wiro.
"Seseorang siapa" Setan" Hantu... Tuyul"
Rampok atau pengemis?" bertanya lagi si anak
perempuan yang membuat Pendekar 212
mengulum senyum menahan tawa.
"Orang itu bernama Resi Mandra Botama..."
"Ada apa kau mencari resi itu" Urusan baik
atau urusan jahat?"
"Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang
meminta aku datang." Berdasarkan pertanyaan
terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro
segera maklum bahwa daerah sekitar situ,
walaupun dia masih belum melihat adanya goa,
pastilah daerah kediaman orang yang telah
menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri.
Hatinya puas dan kini dia akan mempermainkan dan mengganggu ketiga anak
kecil itu. Tertama si gadis yang di depannya.
Maka diapun berkata "Mengenai urusanku
dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak
perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga
permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti
mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!"
Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro
menyeringai. "Kami harus menggeledah tubuhmu!" Si
gadis tiba-tiba memutuskan.
"Boleh saja!" sahut Wiro. "Tapi buat apa
susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru
kalian puas!"
"Dan aku juga membawa tiga ekor tikus
besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk
kalian. Seorang satu!"
"Ih...!" Kini ketiga bocah itu sama-sama
menunjukkan sikap jijik.
"Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa
Selarong" Di mana aku bisa menemukan Resi
Mandra Botama?"
"Kau membawa barang busuk dan kotor.
Maksud
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatanganmu terselubung tanda membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi
dari sini!"
"Begitu" Baiklah. Tapi sebelum pergi aku
akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan
kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!"
"Ternyata maksudmu memang jahat! Biar
kau kami bunuh saat ini juga!" Habis berkata
begitu si gadis memberi isyarat pada dua
kawannya. Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro
segera tusukkan tombak masing-masing ke
leher pendekar itu.
Saat itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan
kiri kanan mendorong keras ke samping,
menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak
lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak
jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental,
keduanya tampak jungkir balik, mendarat di
tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu
langsung menyerbu. Si anak gadis cilik tak
tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan
satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng
"Hebat!" seru Wiro memuji polos karena
kagum melihat gerakan ketiga anak itu.
Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal
saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat.
Meskipun gerakan tersebut belum disertai
kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku
lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya.
Wiro sendiri yang semula hendak melayani
Istana Pulau Es 2 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pedang Tanpa Perasaan 2