Petaka Gundik Jelita 2
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Bagian 2
perlahan. "Saya berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Yang bernama Gagak Celeng.
Tapi kemudian muncul seorang tua berbelangkon beludru. Dia mengaku tokoh atau
hulubalang istana tingkat ketiga. Buto Celeng menyebut namanya Sindu Kalasan.
Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan...."
Paras Gama Manyar alias Empu Soka Panaran berubah ketika Nawang Suri menyebutkan
nama itu. "Apa yang kemudian yang terjadi Den Ayu?" tanyanya degan nada cemas.
"Dia hampir saja berhasil merampas Keris Mustiko Geni kalau saja tidak muncul
seorang penolong....."
"Keris itu, apakah tetap berada padamu?"
Nawang Suri mengangguk dan menepuk pinggang pakaiannya di balik mana Keris
Mustiko Geni tersisip.
"Syukur Gusti...." Kata Gama Manyar lega. "Senjata itu bukan saja merupakan
senjata mustika sakti. Tapi yang paling penting itu adalah pelambang tahta
kerajaan. Pewaris dan pemegang hanya dialah yang berhak atas tahta, berarti
hanya dia yang boleh menjadi Raja atau Ratu!" Gama Manyar diam sebentar. Lalu
dia berkata "Tadi Den Ayu menyebut tentang seorang penolong...."
"Ya, dia menyelamatkan Mustiko Geni dari tangan Datuk Tongkat. Sebelum saya
disuruh pergi masih sempat saya melihat dia menghajar Buto Celeng sampai
setengah mati...."
"Siapakah orang itu Den Ayu" Apakah dia ada meninggalkan nama?"
"Seorang pemuda edan berambut gondrong....."
"Pemuda edan.....?"
"Katanya namanya Wiro Sableng dan dia pemuda luntang-lantung
pengangguran dari gunung Gede....."
Mendengar disebutnya nama itu Gama Manyar tertegak dari kursinya dan menatap
tajam pada Nawang Suri.
"Ada apakah empu?" tanya sang dara. Dia agak heran melihat sikap orang tua itu.
"Wiro Sableng katamu Den Ayu. Benar?"
"Benar. Memangnya kenapa empu?"
"Ah...ah....ah...." Gama Manyar geleng-gelengkan kepala lalu perlahan-lahan duduk
kembali ke kursinya. "Den Ayu, ketahuilah sebenarnya kau sudah sangat beruntung
ditolong oleh pemuda itu. Tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya dan
mendapat pertolongannya. Dia memang muncul dan malang melintang secara tiba-tiba
dan seenaknya...."
"Siapa pemuda itu sebenarnya empu?" tanya Nawang Suri.
"Dia murid seorang nenek sakti di Gunung Gede. Dia seorang pendekar dengan nama
besar. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ilmu silat dan kesaktiannya
luar biasa. Betapapun tingginya kepandaian Datuk Tongkat, tetap saja dia tak
bakal menang menghadapi pendekar nomor satu itu."
Karena memang belum pernah nama besar Wiro Sableng maka Nawang Suri berkata
"Siapapun pemuda itu adanya saya tak suka padanya, empu!"
"Eh, kenapa kau berkata begitu Den Ayu" Bukankah dia telah menanam budi
pertolongan padamu?"
"Soal budi pertolongannya yang besar tentu saja saya tak akan melupakan dan
kelak akan saya balas. Tetapi dia menganggap remeh saya!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Menganggap remeh bagaimana...."' Tanya Empu Sok Panaran yang dalam penyamarannya
telah berganti nama menjadi Gama Manyar.
"Dia menyebut saya sebagai gadis ingusan! Keterlaluan!"
Si orang tua itu tertawa panjang."Itu tentu saja karena dia tidak mengetahui
siapa kau adanya Den Ayu. Seperti katamu tadi, pendekar itu memang suka edan-
edanan. Konyol. Tapi sebenarnya dia adalah seorang berhati polos. Suka menolong.
Nama besarnya muncul dalam dunia persilatan setelah dia menghancurkan manusia-
manusia dan memusnahkan perserikatan-perserikatan jahat. Menghantam tokoh-tokoh
silat golongan hitam!"
"Apakah dia berada di pihak kita atau bagaimana?" tanya Nawang Suri pula.
"Setahuku dia tidak pernah berpihak pada satu golongan. Pegangan hidupnya adalah
berpihak pada kebenaran dan keadilan...."
"Kalau begitu apakah ada kemungkinan kita meminta bantuannya?"
"Sulit bagi saya untuk mengatakan ya. Saya tahu betul. Pendekar semacam dia
sering kali bersikap aneh. Jika dia ingin menolong, dia akan turun tangan tanpa
diminta. Tapi kalau diminta justru malah belum tetu dilakukannya...."
"Jika demikian tak usah kita membicarakannya lebih panjang."
"Den Ayu betul. Sebelum kemari apakah sahabat tuaku Empu Andiko ada memberi
petunjuk apa yang akan kita lakukan untuk menghancurkan kerajaan dan pada
akhirnya membunuh Sri Baginda?"
Nawang Suri mengangguk. "Sebetulnya cara yang hendak ditempuh itu kurang
berkenan di hati saya, empu. Namun mengingat kita tidak mempunayi kekuatan,
tidak memiliki bala tentara dan para pendukung terpecah-pecah serta saling
berjauhan tanpa ada pimpinan, maka untuk sementara saya bersedia menempuh cara
itu. pada saatnya nanti tetap kita harus menggalang kekuatan berupa bala
tentara...."
"Saya mengerti maksud Den Ayu. Dan saya menurut serta setuju sekali. Saya telah
menghubungi beberapa orang tertentu di Kuto Gede. Tapi selagi masa hangat begini
rupa, Den Ayu tahu sendiri bagaimana besarnya bahaya menghubungi orang-orang
itu. Karenanya rencana yang sudah kita tetapkan harus terlebih dahulu
dijalankan....."
"Kapan kita mulai Empu?"
"Dua hari lagi Den Ayu. Seorang penting akan datang kemari. Dia adalah korban
kita yang pertama."
"Siapakah dia empu?"
"Pangeran Onto Wiryo. Putera Sri Baginda dari istrinya yang kedua. Saat ini dia
memegang jabatan Kepala Pasukan Kuto Gede. Ada kabar dia akan diangkat jadi
Kepala Pasukan Kerajaan....."
Nawang Suri mengusap-usap dagunya yang halus. "Dia memang cukup pantas untuk
jadi korban pertama...." Katanya perlahan. Jari-jari tangannya tampak terkepal.
Tanda tekadnya sangat bulat dan kukuh.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Siang itu rombongan orang berkuda memasuki halaman rumah Gama Manyar, ahli ukir
barang-barang perak terkenal di seluruh Kuto Gede. Di depan sekali seorang
lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian mentereng, lengkap
dengan sebilah keris tersisip di pinggang. Lima orang lainnya berpakaian pasukan
kerajaan bertindak sebagai pengiring dan pengawal.
Lelaki muda berpakaian mewah itu turun dari kudanya diikuti oleh lima pengawal.
"Kalian tunggu di luar sini. Aku tak akan lama....." kata si lelaki muda.
Kelima pengirngnya menjura patuh. Dengan langkah besar dan tegap lelaki tadi
masuk ke dalam rumah. Di pintu depan Gama Manyar keluar menyongsong.
"Paman Gama, apakah pesananku tempo hari sudah selesai?" sang tamu ajukan
pertanyaan. Gama Manyar menjura hormat sebelum menjawab.
"Sudah siap Raden. Hanya menurut saya kalau mungkin bisa diberi satu hari lagi
saya akan memperhalus beberapa bagian yaitu pada bagian sayap dan ekornya.
Tapi silahkan Pangeran masuk dahulu...."
"Ya, ambillah barang itu. Aku perlu melihatnya dahulu!"
Gama Manyar memberi jalan pada tamunya lalu menutup pintu kembali.
Setelah mempersilahkan sang tamu masuk maka diapun melangkah ke tengah ruangan,
memanjangkan lehernya ke pintu ruang tengah seraya berseru.
"Ratih....! Bawa kemari pesanan Pangeran Onto Wiryo. Beliau sudah datang untuk
melihatnya...."
Pangeran Onto Wiryo hendak menanyakan sesuatu namun mulutnya terkancing ketika
di pintu ruangan tengah muncul sesosok tubuh yang elok, dilengkapi paras cantik
jelita mempesona. Kedua bahunya yang tidak tertutup sangat halus dan putih,
dihias uraian rambut hitam berkilat dan menebar bau harum. Yang muncul ini
datang membawa sebuah ukiran perak berbentuk seekor burung garuda mengembangkan
sayap. Di punggung binatang ini duduk dengan sikap gagah seorang berpakaian
perwira tinggi dengan tangan kanan memegang sebilah tombak. Melihat paras
perwira pada ukiran perak itu jelaslah mirip Pangeran Onto Wiryo, sang tamu.
Sepasang mata sang pangeran tidak tertuju pada ukiran burung garuda dan patung
dirinya di atas punggung binatang itu, tetapi tertancap pada sang dara yang
membawanya. "Ratih...." Kata Gama Manyar. "Ini Pangeran Onto Wiryo. Kepala pasukan Kotaraja.
Beri hormat padanya....."
Sang dara yang dipanggil dengan nama Ratih, yang bukan lain adalah Nawang Suri
membungkuk dalam-dalam. Ketika hendak mengambil sikap duduk di lantai, sang
pangeran yang sejak tadi terpana terpesona cepat membungkuk, memegang bahunya
dan menyuruhnya berdiri kembali. Ketika Pangeran Onto Wiryo berpaling pada Gama
Manyar, orang tua ini segera maklum akan arti pandangan itu. maka diapun memberi
keterangan. "Harap maafkan Pangeran. Saya tak pernah menerangkan kalau saya masih memiliki
seorang anak keponakan. Dia baru saja datang dari pantai utara. Saat ini dia
hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya dan seorang adik lelakinya menemui ajal
sebulan yang lalu akibat gunung longsor. Itulah sebabnya saya memintanya datang
kemari dan tinggal di sini sambil membantu pekerjaan saya...."
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Onto Wiryo mengangguk-angguk. Kedua matanya hampir tak berkesip.
"Apakah Pangeran tidak hendak melihat dulu ukiran itu...."'
Sang pangeran yang hampir terlupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu
seperti tersentak lalu cepat-cepat mengambil ukiran perak dari tangan Ratih.
Sewaktu mengambil benda itu, Gama Manyar jelas melihat bagaimana jari-jari tangan sang pangeran sengaja mengelus jari-jari
Nawang Suri. Pangeran Onto Wiryo memperhatikan ukiran burung garuda dan dirinya hanya
sebentar saja. "Bagus! Sangat bagus! Tak perlu diperhatikan lagi paman Gama! Aku cukup senang
menerimanya!" Lalu mata sang pangeran kembali mengerling Ratih. Sesaat kemudian
dia berkata "Paman Gama, aku ingin berbicara sesuatu denganmu...."
Orang tua juru ukir sudah maklum maksud sang pangeran. Dia memberi isyarat pada
Nawang Suri sambil berkata "Masuklah Ratih...."
Ratih menjura hormat pada sang pangeran lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
"Paman Gama, kau yakin keponakanmu itu belum bersuami. Betul?"
"Betul pangeran....."
"Bagus! Kalau begitu tak ada halangan bagiku untuk mengambilnya jadi istri.....!"
Gama Manyar tempak terkejut. Walau ini sebenarnya lebih merupakan satu kepura-
puraan belaka. "Pangeran bergurau agaknya....."
"Aku tidak bergurau paman!"
Orang tua itu tertawa. "Dengar pangeran. Keponakanku hanya seorang turunan
rakyat jelata. Bahkan tidak berayah dan tidak beribu lagi. Mana pantas dirinya
dijadikan istri pangeran?"
"Soal pantas atau tidak bukan urusan. Lagi pula bagiku itu merupakan hal yang
pantas. Lebih dari pantas. Terus terang baru sekali ini aku melihat gadis
secantik dia....."
"Ah, pengeran baru sekali ini saja melihatnya. Belum tentu dia bisa menjadi
istri yang baik....."
"Paman...." Kata Pangeran Onto Wiryo. "Sebagai seorang perajurit mataku sangat
tajam. Aku tahu dan yakin sekali, keponakanmu itu seorang yang baik.
Katakan padanya aku akan mengambilnya jadi istri!"
"Secepat itukah pangeran?"
"Lebih cepat lebih baik!"
"Ah, saya tak berani mengatakan pada Ratih....." ujar Gama Manyar lalu pura-pura
termenung. "Jika begitu biar aku yang bilang padanya!"
"Pangeran terlalu mendesak. Berilah waktu dua hari pada saya. Di saat yang baik
akan saya sampaikan pada gadis itu maksud pangeran....."
"Dua hari terlalu lama. Satu hari saja! Besok, siang seperti ini aku akan datang
lagi kemari...." Dari dalam sabuk besar di pinggangnya Pangeran Onto Wiryo
mengeluarkan empat keping mata uang perak dan menyerahkannya pada si orang tua.
"Ini untuk pembayar ukiran....."
"Tapi ongkosnya hanya dua keping uang perak pangeran."
"Aku tahu. Yang dua keping adalah sekedar pemberian dariku."
"Terima kasih. Pangeran baik sekali...."
"Nah, aku pergi sekarang. Ingat paman Gama. Besok siang aku akan datang lagi
kemari....."
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sebelum pangeran pergi saya ada beberapa permintaan....."
"Ah, katakanlah. Kau ingin pinjam uang atau apa?"
Si orang tua mengeleng. "Permintaan saya, apakah pangeran bisa datang besok
seorang diri saja?"
"Tentu ! kenapa harus begitu paman?" tanya Pangeran Onto Wiryo.
"Saya tak ingin orang lain ikut tahu akan maksud pangeran....."
"Itu soal mudah. Aku akan datang sendiri ke mari. Tanpa pengawal. Kalau perlu
dengan pakaian biasa!"
"Itu lebih baik pangeran. Ketahuilah, sebenarnya Ratih sudah pernah dicalonkan
oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda di Kemukus....."
"Lupakan pemuda itu paman. Aku ini jelas sejuta kali lebih baik dari dia....."
"Saya tahu pangeran. Satu lagi, tentunya kalau nanti Pangeran jadi mengawini
keponakan saya, urusan dengan dua istri pangeran yang sekarang janganlah sampai
menjadi pangkal silang sengketa di antara keluarga."
"Ha....ha.....ha.....! Sampai berapa aku punya istri tak ada yang bisa ikut campur.
Baik Sri Baginda, apalagi kedua istriku ....."
"Kalau bagitu senang hati saya mendengarnya," kata Gama Manyar pula lalu
mengantarkan Pangeran Onto Wiryo sampai di pintu pagar halaman.
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Keesokan harinya, tepat pada saat sang surya mencapai titik tertingginya di atas
bumi, Kepala Pasukan Kotaraja Pangeran Onto Wiryo muncul di rumah juru ukir Gama
Manyar. Sesuai permintaan si orang tua, Pangeran ini datang berkuda seorang diri
dan tidak mengenakan pakaian keperwiraan.
"Paman Gama, aku sudah datang. Mana keponakanmu. Tentunya saat ini aku akan
menerima berita menggembirakan!" kata Pangean Onto Wiryo begitu berhadapan
dengan Gama Manyar.
"Tak lama setelah pangeran pergi hari kemarin, saya telah menemui Ratih dan
menceritakan apa yang menjadi maksud pangeran. Dia tidak memberikan kata putus.
Tapi percayalah pangeran, Ratih pasti bersedia menjadi istri pangeran. Hanya
saja katanya dia ingin bicara langsung dengan pangeran....."
"Kalau begitu panggil dia kemari agar segala pembicaraan dapat dilakukan secara
cepat," kata Pangeran Onto Wiryo pula penuh tidak sabar.
"Gadis itu tidak ada di sini," menjelaskan Gama Manyar.
Kedua mata Pangeran Onto Wiryo membesar dan alisnya naik terjungkat.
"Apa maksudmu Paman" Keponakanmu tak ada di sini"'
"Betul.... Menjelang siang tadi dia pergi ke telaga Tegal Parang di timur Kuto
Gede. Dia menunggu di sana dan berpesan agar pangeran datang menemuinya di situ.
Dia sengaja memilih tempat tersebut karena bisa bicara bebas. Tak ada yang
melihat, tak ada yang mendengar.....Apakah pangeran berkenan datang ke situ
menemuinya?"
Pangeran Onto Wiryo tertawa lebar.
"Tentu saja! Tentu saja aku akan menemuinya di telaga itu!" jawabnya. Lalu tanpa
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunggu lebih lama dia cepat-cepat meninggalkan rumah Gama Manyar, membedal
kudanya kencang-kencang menuju ke timur.
Tegal Parang merupakan sebuah telaga kecil tetapi dalam. Di sekelilingnya
terdapat batu-batu besar berwarna hitam, lali pohon-pohon tinggi berdaun lebat.
Daun-daun yang aneka warna dari pepohonan memantul ke dalam air hingga air
telaga itu terlihat seperti berwarna-warni.
Ketika sampai di sana, Pangeran Onto Wiryo segera melihat sesosok tubuh yang
elok duduk di atas sebuah batu, membelakanginya. Pengeran ini melompat turun
dari kudanya, langsung mendapatkan perempuan yag duduk di atas batu.
"Sudah lamakah kau menungguku di sini Ratih.....?" pangeran menegur.
Orang di atas baru yang memang adalah Ratih alias Nawang Suri menjura hormat,
namun dia tidak turun dari batu besar itu. Pangeran Onto Wiryo ikut duduk di
atas batu, dekat sekali dengan Ratih hingga dia dapat mencium bau harum yang
keluar dan menebar dari tubuh serta rambut sang dara.
"Indah sekali pemandangan di telaga ini," kata sang pangeran.
"Apakah pangeran sering datang kemari?" tanya Ratih.
"Aku sering lewat di sekitar sini namun tak pernah mampir, apalagi duduk-duduk
di batu seperti saat ini..."
"Apakah pangeran tidak marah karena berlancang diri menyuruh pangeran datang
kemari?" "Kalau aku marah, aku tak akan datang. Lagi pula yang akan kutemui adalah calon
istriku sendiri!"
Ratih tersenyum, membuat sang pangeran tambah mabuk kepayang. "Jadi pangeran
rasa pasti kalau saya suka dan bersedia menjadi istri pangeran yang ketiga?"
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku merasa pasti. Eh, memang kenapa sampai kau bertanya begitu"
Mungkin....?" Pangeran Onto Wiryo merasa tak enak. Matanya memandang tak berkedip
lalu tangannya menjamah bahu putih halus Ratih.
Kembali sang dara tersenyum. "Saya ingin memperlihatkan sesuatu.
Bolehkan....."'
"Tentu, tentu saja. Apa ang ingin kau perlihatkan Ratih?" mendadak saja darah
sang pangeran terasa panas dan dadanya berdebar. Tangannya yang memegang bahu
turun mengusap bagian bawah leher Ratih.
Tangan kanan Ratih saat itu turun ke pinggang memegang setagennya, makin keras
debar jantung sang pangeran. Gadis ini hendak membuka pakaiannya.
Lalu.....ingin memperlihatkan auratnya" Namun Ratih sama sekali tidak membuka
gulungan setagen itu dia mengeluarkan sebilah keris. Lalu diperlihatkan pada
Pangeran Onto Wiryo seraya bertanya "Tahukah pangeran, apa yang ada di tangan
saya ini?"
"Keris! Sebilah keris!" sahut Pangeran Onto Wiryo.
"Maksudnya saya keris apa" Biasanya setiap senjata itu selalu diberi
nama.....dapatkah pangeran menerangkannya?"
Pangeran Onto Wiryo memang pernah mendengar tentang Keris Mustiko Geni.
Tapi seumur hidup dia belum pernah melihatnya. Karenanya tentu saja diatak tahu
nama keris yang diperihatkan Ratih.
"Sulit bagiku menerka keris itu. Apakah itu penting" Dan ada hubungannya dengan
maksudku mengambilmu jadi istri?"
"Betul sekali pangeran. Senjata ini ada hubungannya dengan maksud pangeran
itu...." "Kau....kau akan memberikannya padaku atau bagaimana?" tanya Pangeran Onto Wiryo.
Makin lama makin tak mengerti dia apa yang sedang dituju oleh gadis jelita itu.
"Apakah pangeran ingin memilikinya"' bertanya Ratih.
"Ah....kau baik sekali. Aku benar-benar sangat terkesan akan sifat pribadi dirimu,
Ratih. Tapi aku tak menginginkan keris itu. aku menginginkan dirimu....."
jari-jari tanan sang pangeran yang mengelus-elus leher sang dara bergerak turun,
menyapu di bagian dada yang membusung lembut.
"Pangeran belum melihat badan keris ini. Akan saya perlihatkan pada pangeran,"
kata Ratih lalu perlahan-lahan mencabut keris Mustiko Geni dari sarungnya.
Begitu keris keluar dari sarangnya, sinar merah memancar menyilaukan dan hawa
panas membersit membuat Pangeran Onto Wiryo terkesiap dan bergerak mundur,
menatap senjata itu dengan pandangan kagum.
"Senjata luar biasa!" katanya memuji. Ini pasti senjata sakti....."
"Benar pangeran. Ini memang senjata sakti. Dan akan saya buktikan kesaktiannya!"
selesai berkata begitu, tiba-tiba Ratih alias Nawang Suri menusukkan Keris
Mustika Geni ke dada Pangeran Onto Wiryo. Pangeran ini berseru kaget dan cepat
menepis dengan tangan kanannya. Meskipun dia dapat menyelamatkan dada namun
lengannya tersayat dalam. Darah mengucur deras. Hawa sangat panas seperti
memenggang tubuhnya. Pangeran ini menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya perlahan-
lahan tampak menghitam. Pakaiannya berubah kecoklatan seperti hangus. Pangeran
Onto Wiryo menjerit terus. Karena tak sanggup lagi menahan hawa panas yang
membakar tubuhnya, dia lari menceburkan diri ke dalam telaga Tegal Parang. Namun
air telaga yang sejuk itu tak dapat melenyapkan hawa panas tersebut. Tubuh sang
pangeran nempak menggeliat. Tangan dan kakinya melejang-lejang. Asap mengepul
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dari tubuh itu tak beda sebuah benda panas dicelupkan ke dalam air. Tak lama
kemudian tubuh itu tak bergerak lagi dan perlahan-lahan tenggelam lenyap dari
permukaan telaga.
Ratih alias Nawang Suri jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga seraya
mengacungkan Keris Mustiko Geni yang masih terbungkus darah. Dari mulutmya
terdengar ucapan.
"Ayah.....ibu! Korban pertama jatuh sudah! Doakan agar anakmu dapat melanjutkan
pembalasan agar sakit hati dan dendam berkesumat terbalaskan. Agar tahta
Kerajaan kembali ke tangan kita......"
Masih ada beberapa patah kata lagi sebenarnya akan diucapkan gadis itu.
namun telinganya yang tajam mendengar suara semak belukar terkuat, disusul oleh
langkah-langkah kaki datang mendekat. Nawang Suri melompat bangkit dan membalik.
Keris Mustiko Geni siap di tangan.
"Kau!" seru gadis itu ketika melihat siapa yang tegak di depannya.
"Kau juga!" balas orang yang barusan datang. "Apa yang kau perbuat di sini....."'
"Kau tak layak bertanya yang bukan urusanmu!" Dalam hatinya Nawang Suri
bertanya-tanya apakah pemuda di hadapannya itu tahu atau menyaksikan apa yang
terjadi. "Kau betul. Aku tak layak mencampuri urusanmu. Hanya saja tadi aku mendengar
suara orang menjerit-jerit..... dari arah sekitar sini."
"Mungkin hanya pendengaranmu yang menipu diri sendiri. Tak ada yang menjerit di
sini. Barangkali juga suara setan yang kau dengar. Lagi pula bukankah kau
sendiri mengaku berotak miring. Jadi apapu yang kau dengar hanya perasaan
belaka!" Pemuda di hadapan Nawang Suri yang bukan lain adalah Wiro Sableng tertawa
bergelak. "Ya, beginilah nasib orang sableng. Tapi aku melihat darah di keris mustika itu.
Eh, kau masih saja main-main dengan benda itu. Bukankah sudah kukatakan agar
disimpan baik-baik.....?"
Nawang Suri memasukkan Keris Mustiko Geni ke dalam sarungnya tanpa membersihkan
noda darah. Lalu menyimpannya di balik setagen.
"Nah, sudah kusimpan!" katanya. "Sekarang kau pergilah dari sini. Antara kita
tidak ada apa-apa lagi!"
"Eh, mentang-mentang kau kini berdandan dan berpakaian cantik bagus....."
Nawang Suri tak lagi mengacuhkan Wiro. Dia melangkah ke balik serumpun semak
belukar. Dari balik semak-semak ini dia mengambil sebuah buntalan. Dari buntalan
dikeluarkannya sehelai pakaian dan celana putih, juga sehelai sapu tangan besar
berwarna putih yang biasa dipakai untuk ikatan atau penutup kepala. Dengan cepat
Nawang Suri mengenakan pakaian putih itu. Lalu menyingsingkan kainnya tinggi-
tinggi sehinga kakinya sampai sebatas pertengahan paha terlihat jelas dan
membuat sepasang mata Wiro Sableng terbuka lebar-lebar menyaksikan pemandangan
ini. Sebaliknya seperti tak acuh Nawang Suri terus saja mengenakan celana
panjang putih. Selesai berpakaian dia menutupi kepalanya dengan sapu tangan.
Lalu dari kantong baju putih diambilnya sebuah kumis palsu, langsung dipasangnya
di bawah hidung.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro Sableng berkata "Kau ini mestinya seorang pemain
sandiwara yang cekatan!"
"Dengar sableng.....!" kata Nawang Suri. Sikapnya tegas tapi justru membuat Wiro
tak dapat menahan tawa. "Aku akan meninggalkan tempat ini. Awas kalau kau berani
mengikuti!"
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kau benar-benar gadis aneh! Apa arti semua ini......"!" tanya Wiro.
Tapi dia tak mendapat jawaban. Sang dara berkelebat dan lenyap di balik belukar
tinggi. Ketika Wiro bergerak hendak mengejar, sebuah benda laksana anak panah
melesat menyambar ke arah kepalanya. Cepat-cepat pendekar ini merunduk
selamatkan diri. Benda itu ternyata patahan sebuah ranting kayu.
"Gadis aneh tapi nekad!" desis Wiro.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Hari pertama lenyapnya Pangeran Onto Wiryo mulai mendatangkan keresahan di
kalangan istana, termasuk Sri Baginda, Kepala Pasukan Kerajaan dan tentu saja
anak istrinya. Siang hari kedua ketika sang pangeran masih juga belum muncul,
keresahan itu berubah menjadi kecurigaan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi
dengan dirinya.
Lalu hal ini dihubungkan dengan keadaan kerajaan yang masih belum aman karena
diketahui ada kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha menimbulkan kekacauan.
Sembilan kelompok pasukan segera dibentuk untuk melakukan pencarian.
Pagi hari ketiga mayat pangeran Onto Wiryo diketemukan terapung di telaga Tegal
Parang. Kotaraja dan seluruh kerajaan menjadi gempar.
Mayat sang pangeran ditemukan dalam keadaan rusak menggembung namun masih dapat
dikenali. Apalagi di tepi telaga kemudian ditemukan pula kuda tunggangannya.
Yang menjadi pertanyaan mengapa saat itu Pangeran Onto Wiryo hanya mengenakan
pakaian biasa. Lalu bekas luka pada tangannya menguatkan dugaan bahwa pangeran
ini menemui ajal bukan karena kecelakaan biasa, tapi seseorang telah
membunuhnya, lalu melemparkan mayatnya ke dalam telaga.
Kerajaan berkabung selama dua minggu!
Sebelum jenazah dimakamkan keesokan harinya, terlebih dahulu disemayamkan di
pendopo besar istana. Ratusan pejabat tinggi kerajaan termasuk para adipati dari
berbagai penjuru datang melayat. Bahkan di bawah penjagaan ketat rakyat jelata
juga diberikan kesempatan untuk menyatakan rasa duka cita mereka.
Sementara itu para pimpinan pasukan dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana secara
diam-diam melakuan penyelidikan sebab musabab kematian Pangeran Onto Wiryo.
Larut malam sebelum Sri Baginda masuk ke peraduannya Patih Kerajaan diminta
datang menghadap. Sesuai dengan suasana yang dihadapi sang patih menduga bahwa
pemanggilan itu tentu saja ada seluk beluknya dengan upacara pemakaman besok.
Namun alangkah terkejutnya patih ini karena Sri Baginda hanya bicara sedikit,
lalu menanyakan sesuatu.
"Paman Patih, sewaktu orang banyak diberi kesempatan melayat, aku melihat
seorang tua berpakaian serba putih, yang kukenal dengan nama Gama Manyar. Ahli
ukir barang-barang perak. Apakah kau melihatnya siang tadi....."'
Patih Wulung Kerso yang sudah berusia lanjut mengangguk. "Tentu saja saya
melihatnya, Sri Baginda."
"Apakah kau juga melihat gadis berparas cantik yang datang bersamanya"'
tanya Sri Baginda lagi.
"Ya, saya melihat gadis itu."
"Siapakah gadis itu Paman Patih?"
"Tak sempat saya selidiki. Kehadirannya memang menarik banyak perhatian karena
kejelitaan parasnya dan kehalusan kulitnya. Apakah Sri Baginda menaruh
kecurigaan terhadap gadis itu atau terhadap Gama Manyar?"
Raja tersenyum dan mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar.
"Jauh dari itu paman. Baru kali ini aku melihat perawan secantik itu. Kurasa dia
merupakan perempuan tercantik di seluruh kerajaan..... Apa pendapatmu Paman?"
"Saya rasa begitu Sri Baginda," menjawa sang patih.
"Aku ingin menambah perbendaharaan isi keputren."
Mendengar kata-kata sang raja, Patih Wulung Kerso angkat kepala. Kini dia tahu
apa sebenarnya maksud Sri Baginda memanggilnya. Sungguh tidak habis pikir
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
patih tua ini. Dalam suasana berkabung begitu rupa, malah jenazah Pangeran Onto
Wiryo masih belum dimakamkan, sang ayah, Raja di kerajaan itu telah memikirkan
bahkan tertarik pada seorang gadis dan bermaksud mengawininya. Dunia hampir
kiamat agaknya!
"Kenapa kau terdiam Paman Patih?" Sri Baginda bertanya.
"Ah..... Saya perlu petunjuk lebih lanjut Sri Baginda." Kata Patih Wulung Kerso.
"Aku ingin mengambil gadis itu. Apa kau masih belum jelas?"
"Sebagai istri atau gundik, Sri Baginda?"
Raja tertawa lebar. "Menurutmu bagaimana?"
"Sebagai istri tentu saja tidak mungkin. Karena maaf Sri Baginda. Sri Baginda
sudah punya empat istri. Berarti sebagai gundik saja....."
"Bagus kalau kau mengerti begitu. Sekarang kau kutugaskan untuk emnghubungi Gama
Manyar, menyelidiki siapa adanya gadis itu dan sekaligus mengatakan maksudku
mengambilnya sebagai gundik......"
"Saya akan melakukannya Sri Baginda. Namun harap maaf mengingat kita masih dalam
suasana berkabung, apa maksud itu tidak bisa ditunda sampai empat belas hari"'
"Empat belas hari terlalu lama Paman patih. Besok selesai upacara pemakaman kau
utus seseorang untuk memanggil Gama Manyar dan sampaikan maksudku. Katakan pada
orang tua itu, apapun hubungan gadis itu dengan dirinya itu satu kehormatan
baginya. Kelak dia akan kuangkat jadi juru ukir istana. Berarti dia akan
menerima sejumlah tunjangan setiap bulan dari istana....."
"Kalau begitu titah Baginda, saya akan melaksanakannya. Saya mohon diri.
Hari hampir pagi......"
Sebagai seorang patih ternyata Wulung Kerso bukan seorang yang bisa menahan
rahasia. Maksud Sri Baginda hendak mengambil gadis yang datang bersama Gama
Manyar sebagai gundik dituturkannya pada beberapa pejabat istana. Salah seoerang
yang akhirnya mengetahui hal itu adalah Sindu Kalasan, tokoh silat yang dikenal
dengan gelar Datuk Tongkat Dari Selatan.
"Sebagai seorang Raja tentu saja Sri Baginda bisa berbuat begitu," kata Datuk
Tongkat berbisik-bisik pada Patih Wulung Kerso. Saat itu mereka bersama yang
lain-lainnya berada di pendopo di mana jenazah Pangeran Onto Wiryo bafu saja
selesai dimandikan. "Hanya, apakah tidak perlu asal usul gadis itu diselidiki
lebih dulu?"
"Seharusnya memang demikian. Namun mengingat dia datang bersama Gama Manyar,
orang tua yang termasuk dalam daftar bersih, maka hal itu rasanya bisa
dilupakan. Hanya menurutku waktunya yang kurang tepat. Terlalu tergesa-gesa
memikirkan gundik jelita. Padahal puteranya dikuburpun belum!"
Datuk Tongkat hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata sang patih.
Sebentar-sebentar dia meraba pinggangnya.
"Kelihatannya kau kurang sehat......"
"Sakit pinggangku kambuh lagi," jawab sang datuk. Padahal rasa sakit di
pinggangnya itu adalah bekas hantaman pukulan Wiro Sableng beberapa hari lalu.
Setelah berpikir-pikir sejenak Datuk Tongkat berkata "Terus terang gadis itu
memang cantik sekali. Kulitnya halus luar biasa. Rambutnya yang hitam tebal dan
panjang membuat mata lelaki tak bisa lepas dari memandangi wajah dan auratnya.
Tak salah kalau Sri Baginda sangat terpikat. Aku rasa-rasanya pernah melihat
gadis itu sebelumnya. Tapi sulit kuingat di mana dan kapan......"
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Patih Wulung Kerso menepuk-nepuk bahu sang datuk seraya berkata "Itu hanya rasa-
rasamu Datuk. Begitu sifat lelaki jika melihat perempuan cantik. Aku kawatir
kaupun terpikat....."
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau betul. Tapi siapa yang berani bersaing dengan Sri Baginda"'
Menjelang rembang petang setelah siangnya dilakukan pemakaman jenazah Pangeran
Onto Wiryo, seorang utusan Ptih Kerajaan datang ke tempat kediaman juru ukir
Gama Manyar. "Pak juru ukir, kau diminta datang menghadap Patih Wulung Kerso sekarang juga,"
sang utusan menyampaikan pesan. Diam-diam Nawang Suri ikut mendengarkan
pembicaraan dari ruangan sebelah.
"Jika Patih Kerajaan menyuruh menghadap pasti ada sesuatu yang penting.
Mungkin menyangkut soal ukir-mengukir. Apakah sebagai utusan kau mengetahui
maksud Patih Kerajaan memanggilku?" bertanya Gama Manyar. Baginya pemanggilan
dirinya hanya berarti dua. Dirinya dicurigai. Atau jeratnya sewaktu membawa
Nawang Suri melayat ke istana sudah tepat mengenai diri Sri Baginda yang
diketahuinya memang seorang lelaki mata keranjang.
"Saya hanya seorang suruhan pak juru ukir. Mana saya tahu maksud Patih.
Harap bapak ikut saya sekarang. Kereta sudah disiapkan di luar......"
"Kereta?" membatin Gama Manyar. "Hmmmmm....... Kalau begitu mungkin sekali jeratku
sudah mengena. Jika bukan untuk satu berita yang kutunggu-tunggu mana mungkin
patih mengirimkan keret untuk menghormatiku. Jika aku dicurigai pasti
serombongan pasukan sudah mengurung rumah ini!"
Gama Manyar menganggukkan kepala pada utusan yang datang. "Baiklah, sebelum
pergi aku akan memberitahukan keponakanku dulu," katanya.
Beberapa saat sebelum matahari terbenam, Gama manyar kembali, diantar dengan
sebuah kereta. Begitu masuk ke rumah, Nawan Suri langusng menemuinya. Si orang
tua mengintai dari balik jendela. Setelah memastikan orang yang tadi
mengantarnya telah pergi jauh baru dia membalik dan berkata "Sungguh tidak
kusangka. Rencana kita akan terlaksana lebih cepat dari yang diduga. Jerat yang
kita pasang telah mengena!"
"Apa yang telah terjadi Empu?"
"Sri Baginda melihat Den Ayu sewaktu melayat kemarin. Tadi sore Patih Wulung
Kerso meminta saya menghadap. Memberi tahu kalau Sri Baginda telah memutuskan
mengambil Den Ayu sebagai gundiknya......"
"Kalau begitu kita harus menyusun rencana lebih terperinci. Pertama mengatur
saat yang tepat kapan saya harus membunuh Raja. Lalu kapan orang-orang kita
menyerbu istana mengambil alih kekuasaan......" Nawang Suri nampak sangat
bersemangat. "Karena waktu hanya sedikit, kita harus bertindak cepat Den Ayu. Malam ini juga
saya akan menemui orang-orang kita di Susukan. Sri Baginda akan memboyong Den
Ayu ke istana dua hari di muka. Pada malam pertama dia memasuki kamar Den Ayu,
itulah saatnya dia harus dibunuh. Saya nanti akan membuatkan peta istana hingga
Den Ayu bisa mudah menyelinap melarikan diri. Menjelang pagi Den Ayu sudah harus
muncul kembali memimpin orang-orang kita merebut istana....."
"Bagaimana dengan tugas juru masak rahasia" Apakah dia mampu menyiapkan racun
untuk tokoh-tokoh istana?"
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Orang kita yang satu ini tampaknya penggugup. Saya sudah menarik dia dari
istana sebelum kedoknya terbuka. Berarti kita tetap mulai dengan membunuh Raja
lebih dulu."
"Pasukan yang akan menyerbu istana. Apakah jumlahnya cukup kuat?"
"Jumlah pasukan kita memang tidak besar Den Ayu. Namun unsur dadakan selagi
mereka berada dalam suasana geger akibat kematian Raja membuat kita berpeluang
besar untuk mengambil alih kekuasaan...."
"Kalau begitu empu segera saja berangkat ke Susukan."
"Memang saya akan segera berangkat saat ini juga. Menurut Patih Wulung Kerso,
atas kehendak Raja dia akan mengirim beberapa orang petugas untuk menjaga rumah
dan sekitarnya malam ini. Saya pergi sekarang Den Ayu...."
"Baik empu. Hati-hatilah...." Kata Nawang Suri. Secepatnya orang tua itu keluar,
dia segera menutup pintu. Di dalam kamarnya Nawang Suri mengambil Keris Mustiko
Geni danmencabut senjata ini dari sarungnya. Sinar merah menerangi kamar.
"Keris sakti, kau akan mendapat tugas besar. Setelah itu kau akan kembali
menjadi lambang dan tumbal tahta kerajaan!"
Gadis itu cepat sarungkan senjata mustika itu kembali ketika di luar didengarnya
suara derap kaki-kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan
di pintu. Nawang Suri menyelipkan Mustiko Geni di pinggang lalu keluar dari
kamar. Ketika pintu depan dibuka, sesosok tubuh tinggi besar tegak di hadapan Nawang
Suri. Orang ini langsung menjura hormat dan dengan kepala agak tertunduk dia
berkata. "Gusti Ayu.... Saya diperintahkan Patih Kerajaan untuk memimpin penjagaan di sini
malam ini. Saya Buto Celeng, datang bersama dua orang bawahan...."
Selesai berkata begitu baru orang tersebut mengangkat kepalanya. Setelah jelas-
jelas dia melihat wajah gadis di hadapannya maka Buto Celeng berseru kaget
seraya mundur "Bukankah..... bukankah gusti ayu.... Kau....! Kau gadis pemberontak
malam itu! Kau Nawang Suri.....!"
Kata-kata Buto Celeng hanya sampai di situ. Pada detik Buto Celeng mengetahui
siapa dirinya, Nawang Suri mencabut Mustiko Geni dan secepat kilat menusukkannya
ke dada kiri tokoh silat istana kelas tiga itu. dua orang perajurit yang ikut
bersama Buto Celeng dan berada di tangga rumah tentu saja terkejut menyaksikan
kejadian itu. Keduanya melompati tangga memburu. Namun merekapun disambut dengan
tusukan-tusukan senjata sakti hingga menemui ajal menyusul Buto Celeng. Mayat
ketiga orang itu dinaikkan ke atas kuda tunggangan masing-masing.
Setelah berganti pakaian Nawang Suri menunggu sampai malam turun lebih gelap,
lalu dalam kegelapan malam tiga kuda bersama tiga mayat itu dibawanya ke arah
timur di mana terdapat sebuah jurang di tepi belantara.
Sebelum Buto Celeng dilemparkannya ke dalam jurang ersama mayat dua perajurit
itu, Nawang Suri menyelipkan sepucuk kertas ke dalam saku pakaian Buto Celeng.
Dengan seringai puas gadis ini kemudian tinggalkan tempat itu. Di kejauhan
terdengar suara anjing melolong. Dinginnya udara mulai menucucuk persendian.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Ketika malam itu Patih Wulung Kerso melaporkan pada Sri Baginda bahwa seorang
pencari kayu menemukan mayat Buto Celeng dan dua perajurit di dalam jurang di
tepi hutan belantara Jatilameh, sang raja tampaknya tak begitu tertarik. Dia
yang sedang kasmaran malah menanyakan keadaan Ratih calon gundiknya itu.
sewaktu diberitahu Ratih tak kurang suatu apa, Sri Baginda tertawa cerah.
"Syukur calon gundikku itu berada dalam keadaan baik-baik. Kuharap agar kau
mengatur membawanya malam ini juga ke istana....."
"Sri Baginda," ujar Wulung Kerso. "Apakah itu tidak terlalu cepat" Kita masih
belum menujuh hari atas berpulangnya putera Sri Baginda Pangeran Onto Wiryo....."
"Soal gundikku dan puteraku tak ada sangkut pautnya. Lakukan apa yang
kuperintahkan. Atau kau ingin membantah Paman Patih?"
"Maafkan saya Sri Baginda. Bukan maksud saya berani membantah. Saya hanya
menyampaikan sesuatu yang saya rasa baik. Saya hanya menurut perintah.
Bagaimana dengan mayat Buto Celeng dan dua perajurit itu......?"
"Bagaimana apa lagi" Urus penguburannya. Habis perkara. Kurasa mereka bertiga
berkeluyuran malam tadi. Bukannya berjaga-jaga di rumah Gama Manyar......"
"Menurut Den Ayu Ratih mereka tak pernah sampai ke rumahnya....."
"Jelas itu satu bukti lagi. Mereka keluyuran. Dihadang para pemberontak yang
menyelinap ke dalam Kotaraja dan dibunuh!"
"Mungkin begitu Sri Baginda. Namun orang-orang kita masih terus melakukan
penyelidikan apa sebenarnya yang terjadi. Ada sesuatu ditemukan dalam saku
pakaian Buto Celeng."
"Sesuatu apa?" "Sepucuk surat. Agaknya dalam istana banyak musuh dalam selimut. Untuk jelasnya
silahkan Sri Baginda membaca surat yang ditemukan dalam saku Buto Celeng ini....."
Lalu Patih Wulung Kerso menyerahkan sepucuk surat yang sudah lecak dan kotor.
Mendapatkan dimas Sindu Kalasan.
Dengan tewasnya Empu Andiko Pamesworo kekuatan kita jelas berkurang.
Karenanya kita harus bergerak cepat sesuai dengan rencana. Sebelum aku mati, aku
ingin Raja perampas tahta kerajaan itu menemui ajalnya. Harap dimas segera
menghubungi orang-orang kita untuk menentukan hari penyerbuan. Jangan lupa
mencari tambahan kekuatan baru, terutama dari pihak tokoh-tokoh silat istana.
Jabatan patih tetap menjadi bagian dimas kelak
Tertanda Resi Mulyorejo.
Kedua mata Sri Baginda terbelalak dan memandang tak berkedip pada Wulung Kerso.
"Jadi......Jadi...."
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sri Baginda sudah membaca semua. Saya tinggal menunggu perintah....."
kata Patih Wulung Kerso ketika melihat Sri Baginda gagap dan merah wajahnya.
"Panggil hulubalang pertama dan kedua. Bawa dua lusin perajurit! Tangkap keparat
itu sekarang juga. Dan besok pagi gantung dia di alun-alun agar semua melihat
apa akibat bagi seseorang yang menjadi musuh dalam selimut!"
"Perintah saya lakukan Sri Baginda. Saya mohon diri!" kata Patih Wulung Kerso.
"Tunggu dulu!" seru Raja. "Resi keparat bernama Mulyorejo itu! Kukira sudah
mampus dia! Ternyata masih hidup. Apa sampai saat ini orang-orangmu masih belum
mengetahui di mana tempat persembunyiannya?"
"Manusia satu itu sulit dilacak. Licin seperti belut....."
"Sudah! Sudah! Pergi lakukan tugasmu paman Patih. Aku tak mau dengar cerita
panjag lebar tentang kehebatan Resi keparat itu. yang perlu menangkap dan
memancungnya! Lalu satu hal jangan lupa! Ratih, gadis yang akan jadi gundik
baruku harus berada di istana malam ini juga. Aku sudah memerintahkan kepala
rumah tangga istana menyiapkan sebuah kamar baru di ujung kanan keputrenan...."
"Baik Sri Baginda. Semua perintah akan saya lakukan...." Kata Patih Wulung Kerso
lalu menjura dan berlalu dari hadapan sang raja.
Sebagai tokoh silat tingkat tinggi istana Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat Dari
Selatan mendapat tempat kediaman dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
Rumahnya, sebuah gedung kecil tapi mewah terletak di sebelah timur pintu
gerbang. Dia tengah duduk berangin-angin di langkan gedeung sambil mendengar
nyanyian seorang kawula ketika rombongan utusan Patih Wulung Kerso muncul,
langsung menyerahkan surat yang ditemukan dalam saku pakaian Buto Celeng.
"Ini fitnah busuk keparat!" teriak Datuk Tongkat seraya menggebrak meja kayu di
hadapannya hingga hancur berkeping-keping. Surat itu diremasnya lalu
dibantingnya ke lantai. Sepasang matanya membelalak menatap dua orang yang tegak
di hadapannya sambil melipat sepasang tangan masing-masing di depan dada.
"Kalian berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalian pasti tidak mau mempercayai isi
surat itu bukan.....?" kembali sang datuk bicara.
"Apa yang tersirat itulah yang nyata dimas Sindu." Menjawab kakek berpakaian
biru berikat pinggang putih yang tegak memegang seuntai tasbih hijau.
Muluntya senantiasa komat-kamit melafalkan sesuatu. Dia adalah Ki Rawe Jembor,
hulubalang barisan pertama yang memiliki kepandaian dua tingkat di atas Datuk
Tongkat dan merupakan pimpinan dari seluruh tokoh silat istana yang mengabdikan
diri pada kerajaan.
Di sebelah Ki Rawe Jembor berdiri seorang lelaki berwajah pucat angker.
Kedua pipi dan rongga matanya sangat cekung. Dia dikenal dengan nama Imo Gantra,
merupakan hulubalang barisan kedua dan memiliki kepandaian satu tingkat di bawah
Ki Rawe Jembor atau satu tingkat di atas Datuk Tongkat.
Perlahan-lahan Sindu Kalasan tegak dari kursi yang didudukinya. Dadanya turun
naik tanda perasaannya berkobar. Dia memandang berganti-ganti pada kedua tokoh
di hadapannya lalu berkata. "Kalian tidak bicara banyak. Jadi.....apakah kalian
datang untuk menangkapku" Menangkap sahabat sendiri"!"
"Antara kita tetap sebagai sahabat-sahabat tak terpisahkan dimas Sindu,"
menyahuti Imo Gantra. "Hanya dalam soal tugas harap kau suka memisahkan
persahabatan dan kenyataan."
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kami harap kau ikut secara baik-baik. Di hadapan Sri Baginda kau akan berusaha
membelamu."
Datuk Tongkat menyeringai sinis mendengar kata-kata Ki Rawe Jembor itu.
"Jika kalian berniat membelaku, kalian tak akan sampai datang kemari! Tidak
kusangka, sahabat-sahabat yang kukira sejati malam ini menunjukkan belangnya.
Jika kalian hendak menangkapku silahkan!"
Habis berkata begitu Datuk Tongkat berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas,
meelwati antara bahu Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor dan sampai di taman gedung.
Dua lusin perajurit yang sejak tadi berjaga-jaga segera mengurung sementara Imo
Gantra dan Ki Rawe Jembor sudah berkelebat dan tegak mengapit sang datuk.
"Dimas Sindu. Aku anjurkan agar kau menyerah secara baik agar tak ada darah yang
tertumpah!"
Datuk Tongkat tertawa panjang. "Mulutmu sungguh manis. Tapi hatimu palsu! Aku
lebih suka memilih mati bergenang darah dari pada menyerah!" Sepasang mata Datuk
Tongkat membelalak liar. Pada saat itulah dia melihat sebuah kereta terbuka
memasuki pintu gerbang dikawal oleh enam perajurit di bwah pimpinan seorang
perwira. Ketika melihat gadis cantik yang duduk di atas kereta terbuka itu, entah
bagaimana mendadak saja ingatan sang datuk kembali pada peristiwa perkelahian di
malam hari di daerah pesawahan. Darah sang datuk tersirap. Wajahnya menunjukkan
rasa kaget amat sangat. Kalau pada malam sang dara melayat dia masih belum ingat
siapa adanya dara itu tapi saat ini mendadak saja ingatannya pulih kembali.
Gadis di atas kereta itu, yang diketahuinya hendak diambil gundik oleh Sri
Baginda, sesungguhnya adalah musuh besar kerajaan yang sedang dicari-cari. Yaitu
bukan lain ratu pemberontak Nawang Suri!
Nawang Suri sendiri merasakan dadanya berdebar sewaktu melihat Datuk Tongkat
memandang tak berkedip ke arahnya.
"Celaka kalau dia sampai mengenaliku," membathin Nawang Suri. "Aku datang kemari
terlalu cepat. Ternyata datuk itu belum ditangkap. Surat palsu yang kuselipkan
di kantong Buto Celeng pasti datang terlambat ke tangan raja....."
Nawang Suri palingkan wajahnya, menghindari pandangan Datuk Tongkat.
Namun jalan pikiran sang datuk justru tampak jernih. Dia ingat ketika memeriksa
mayat Buto Celeng dan dua anak buahnya, ketiga orang itu menemui ajal dengan
badan hangus hitam. Berarti luka-luka yang dideritanya akibat tikaman senjata
sakti. Dan kini dia tahu. Senjata sakti apalagi kalau bukan Keris Mustiko Geni"!
"Gadis pemberontak! Kau mau kemana!" berteriak Datuk Tongkat lalu melompat ke
arah kereta. Tentu saja para perajurit dan hulubalang istana yang mengurung
cepat memapaki gerakannya.
"Kalian semua dengar! Gadis ini adalah Nawang Suri, ratu pemberontak! Kita harus
menangkapnya!" berteriak Datuk Tongkat.
Imo Gantra mendengus. "Jangan coba mengalihkan perhatian dimas Sindu!
Justru kaulah yang harus kami tangkap detik ini juga!"
"Tolol! Kalian tidak kenal siapa dia! Aku pernah bentrokan dengan dia. Gadis ini
adalah Nawang Suri, ratu pemberontak yang dicari-cari. Dia memiliki Mustiko
Geni!" Ki Rawe Jembor tertawa sinis. "Pemberontak tak menuduh pemberontak!
Dimas Sindu, kau tahu siapa gadis itu" Dia adalah calon gundik Sri Baginda.
Kuharap mulutmu jangan ketelepasan bicara yang tidak-tidak!"
"Kalian boleh mencincang aku! Tapi tangkap dulu gadis itu!" teriak Datuk Tongkat
marah dan sangat penasaran karena ucapannya.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ki Rawe Jembor memberi isyarat. Belasan perajurit dan Imo Gantra kembali
menyerbu. Terpaksa Datuk Tongkat menghadapi orang-orang ini dan putar tongkat
bambunya dengan sebat. Dua perajurit terpekik dan terjengkang. Seorang roboh
dengan dada mengucurkan darah akibat tusukan tongkat bambu, satunya lagi
merangkak di tanah sambil mengerang karena tulang selangkangannya patah.
Meskipun orang-orang yang ada di situ tidak mempercayai kata-kata Datuk Tongkat,
namun dalam hatinya Nawang Suri yang duduk di atas kereta merasa tak enak.
Keadaannya kini sangat terancam. Dia harus mengambil satu keputusan. Selagi para
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tokoh silat itu sibuk hendak menangkap Datuk Tongkat dia harus mengambil
keputusan, sekaligus melakukannya. Tangannya bergerak perlahan ke arah pinggang.
Di situ tersembunyi keris sakti Mustiko Geni.
Di saat itu pula di pintu gerbang pekarangan istana terdengar suara siulan.
Sesosok tubuh berkelebat lalu laksana seekor burung hinggap di atas tembok
istana, duduk berjuntai menyaksikan perkelahian seru antara para tokoh silat
istana. Menurut orang yang duduk di atas tembok ini, dalam waktu singkat sang
datuk pasti akan konyol dilabrak sereangan-serangan yang begitu banyak. Ketika
berpaling ke arah kiri diapun tampak tercengang melihat siapa dara yang duduk di
atas kereta terbuka.
"Gadis itu! kini dia ada pula di sini! Kalau dia benar pemberontak, berarti dia
berada di sarang harimau! Nekad! Berani betul dia! Apa yang hendak dilakukannya
di sini. Tapi eh, dia duduk di atas kereta diiringi para pengawal. Bagaimana
mungkin.....?" Karena tak habis pikir orang yang duduk di atas tembok itu geleng-
gelengkan kepala lalu garuk rambutnya beberapa kali. Inilah ciri-ciri Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Sri Baginda duduk terkantuk-kantuk di atas kursi sambil menyedot pipa panjang.
Bau tembakau yang dibakar memenuhi ruangan besar. Di sebelah kirinya duduk Patih
Wulung Kerso. Di sebelah kanan berdiri Raden Cokroningrat, Kepala Pasukan
Kerajaan. "Gundikku itu masih belum juga datang. Dan aku mendengar suara ribut-ribut di
luar sana....." kata Sri Baginda pula setelah labih dulu menghembuskan asap
pipanya jauh-jauh ke udara.
"Sebentar lagi Den Ayu gundik Sri Baginda itu pasti sampai," menjawab Cokro
Ningrat. "Dan suara ribut-ribut di luar itu adalah suara perkelahian mereka yang
sedang menangkap Datuk Tongkat."
"Hanya menangkap seekor monyet pengkhianat saja mengapa begitu riuhnya seperti
tontonan pasar malam!" kata Sri Baginda. Dengan rasa tak sabar dia menyerahkan
pipanya pada seorang ponggawa lalu bangkit dari kursi, melangkah ke langkan
depan istana diikuti oleh Wulung Kerso dan Cokro Ningrat.
Sewaktu Sri Baginda sampai di tangga depan istana perkelahian tengah berlangsung
seru. Datuk Tongkat Dari Selatan tampak berlumuran darah di wajahnya sebelah
kanan akibat hantaman tasbih hijau KI Rawe Jembor yang tepat menghantam mata
kanannya hinnga pecah dan mengucurkan darah. Dalam keadaan terluka begini sang
datuk mengamuk seperti harimau kemasukan setan. Dia sudah maklum tak bakal bisa
lolos dari kepungan dua tokoh silat dan delapan perajurit itu. karenanya dia
berjibaku. Mati tak jadi apa asal paling tidak salah seorang dari dua tokoh
silat istana itu juga harus meregang nyawa di tangannya. Tongkat sang datuk
menderu ganas. Menusuk dan memukul ke pelbagai penjuru. Namun di jurus itu dia hanya mampu
menghantam dua orang perajurit saja sementara gempuran serangan atas dirinya
semakin membahayakan. Pada saat itulah dengan mata kirinya yang masih utuh Datuk
Tongkat melihat Sri Baginda muncul di tangga istana sementara kereta yang
membawa Nawang Suri juga sampai di depan tangga dan berhenti di hadapan sang
raja. "Sri Baginda!" berteriak Datuk Tongkat seraya melompat mendekati tangga istana.
"Awas! Gadis di atas kereta itu adalah Nawang Suri! Pemberontak yang selama ini
dicari-cari.....!"
Ucapan Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat hanya sampai di situ. Untuk kedua
kalinya tasbih hijau di tangan Ki Rawe Jembor berdesing ganas, menghantam batok
kepala Dauk Tongkat hingga manusia yang pernah membaktikan dirinya pada istana
ini harus menemui ajal di tangan kawannya sendiri! Datuk Tongkat terkapar di
ujung tangga istana denan kepala pecah! Serta merta perkelahianpun berhenti.
Kejadian yang mengerikan itu agaknya sama sekali tidak begitu menarik perhatian
sang raja. Dia memalingkan kepala ke arah perawan cantik jelita yang duduk di
atas kereta, yang sebentar lagi akan diboyongkan ke dalam kamar istana. Dia
sendiri yang akan memegang rangan Ratih, membantunya turun dari kereta lalu
membawanya masuk ke dalam istana. Namun maksud sang raja tak pernah kesampaian.
Dari atas kereta terdengar suara pekik menggelegar, mengejutkan semua orang.
Selagi semua orang terkesiap kaget, tubuh Nawang Suri tampak melompat.
Sinar merah tiba-tiba membersit di sertai hawa panas menebar angker.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Keris Mustiko Geni!" teriak Imo Gantra, Raden Cokro Ningrat dan Patih Wulung
Kerso, juga Ki Rawe Jembor ketika semua mereka melihat benda yang tergenggam di
tangan Ratih, calon gundik yang sebenarnya adalah Nawang Suri, musuh besar
kerajaan. Semua orang memburu. Namun jarak mereka dari raja terpisah cukup jauh.
Selagi Sri Baginda tercekat tak mengerti apa yang sebenarnya telah dan akan
terjadi, keris sakti di tangan Nawang Suri telah menghujam dalam di pertengahan
dadanya! "Gusti Allah! Celakalah Kerajaan!" seru Ki Rawe Jembor menyaksikan raja
berlumuran darah sambil memegangi dada, tertegak gontai lalu roboh di anak
tangga kedua. "Sri Baginda tewas!" berseru Imo Gantra.
Semua yang menyaksikan bagaimana tubuh Sri Baginda sesaat berkelojotan, matanya
membeliak. Dari mulutnya keluar ludah membuih lalu sekujur tubuhnya tampak
menghitam seperti hangus!
Dalam keadaan seperti itu Nawang Suri membalikkan diri menghadap orang-orang itu
seraya mengacungkan Keris Mustiko Geni yang berlumuran darah ke atas.
"Kalian semua dengar!" teriak gadis ini. wajahnya buas dan matanya berapi-api.
"Keris Mustiko Geni dalam genggamanku! Berarti tahta kerajaan ada dalam
tanganku! Tahta memang menjadi hakku karena raja kalian sebelumnya telah
merampas dari ayahku! Kalian harus tunduk semua padaku! Aku Nawang Suri ratu
penguasa di negeri ini!"
"Gadis nekad!" terdengar seruan dari tembok istana. Nawang Suri melirik dan
melihat Wiro Sableng duduk di atas tembok itu. gadis ini mengomel dalam hati
namun dia kembali menghadapi orang-orang itu. dia harus menguasai keadaan dengan
cepat. Hanya saja Ki Rawe Jembor dan Imo Gantra merupakan orang tokoh pertama
yang tak bisa dibuat tunduk. Dengan tasbih diputar di tangan kanan Ki Rawe
Jembor maju mendekat seraya berkata "Gadis pemberontak! Kau telah membunuh raja!
Nyawamu tak bisa diampuni!"
Wutt!! Tasbih hijau berkelebat. Sinar hijau berkiblat, membuat Nawang Suri terhuyung
dan cepat mundur seraya menangkis dengan Keris Mustiko Geni. Di kakek yang
maklum akan kehebatan senjata di tangan lawan tak berani melakukan bentrokan.
Dengan cerdik dia berkelit lalu menggempur lagi dari samping. Sementara itu Imo
Gantra, Cokro Ningrat, sembilan perwira dan puluhan perajurit telah melakukan
pengurungan lalu mulai merangsak maju. Betapapun tingginya kepandaian Nawang
Suri, sekalipun senjata sakti tergenggam dalam tangannya namun menghadapi sekian
banyak musuh benar-benar bukan tandingannya. Apalagi pakaian yang dikenakannya
saat itu yakni kebaya dan kain panjang tidak memungkinkannya untuk bergerak
leluasa. Dalam waktu dua jurus saja gadis ini sudah terdesak hebat.
Dalam jurus ketiga Keris Mustiko Geni terlepas dari tangannya. Senjata mustika
sakti ini cepat disambar Patih Wulung Kerso. Nawang Suri sendiri melompat mundur
sambil pegangi tulang lengan kanannya yang patah dihantam tasbih Ki Rawe Jembor!
"Kalian mau membunuhku"!" teriak Nawang Suri sambil bersandar ke tiang besar
langkan istana. "Aku tidak takut mati! Matipun bukan satu kesia-siaan bagiku!
Yang penting aku telah membalaskan sakit hati ayah bundaku! Membunuh raja
kalian! Perampas tahta kerajaan milik syah ayahku!"
Dua buah pedang, satu tombak, satu jotosan berkekuatan tenaga dalam tinggi
ditambah satu hantaman tasbih sakti berebut cepat melabrak tubuh Nawang Suri.
Sang dara yang memang nekad dan merasa tidak takut malah sengaja menghadang
kematian dengan tabah.
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Gadis nekad! Benar-benar nekad! Gila!"
Terdengar teriakan jengkel dari arah tembok halaman istana. Bersamaan dengan itu
menderu suara aneh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar putih perak menyilaukan
berkiblat. Traang.....trang.....trang!
Dua pedang dan satu tombak terbabat putus. Masing-masing pemegangnya terpental
dan terpaksa lepaskan senjata mereka yang telah puntung karena gagang-gagang
senjata itu mendadak sontak terasa panas seperti terbakar! Imo Gantra kucurkan
keringat dingin. Kalau dia tak lekas menarik pulang pukulannya, tangan kanannya
akan cacat putus seumur hidup! Ki Rawe Jembor berseru tegang. Wajahnya pucat
ketika dapatkan tasbih saktinya kini tinggal seutas benang. Butiran-butiran
tasbih hijau melayang ke udara, jatuh bertebaran di langkan istana.
Di depan sosok tubuh Nawang Suri kini tegak seorang pemuda berambut gondrong
sambil memegang sebilah senjata aneh yakni sebilah kapak bermata dua.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor. Mereka
berdua belum pernah bertemu dengan Wiro Sableng. Tetapi melihat senjata yang ada
dalam genggaman murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini keduanya segera maklum
siapa adanya pemuda itu. kalau tadi mereka hendak bertindak garang maka kini
terpaksa menahan diri.
"Pendekar 212! Tidak disangka seorang bernama besar sepertimu ternyata membantu
pemberontak!" menegur Ki Rawe Jembor.
"Aku tidak merasa dibantu oleh siapapun!" berteriak Nawang Suri.
Wir menyeringai dan melirik sekilas pada sang dara, lalu menimpali. "Aku memang
tidak membantunya!"
"Lalu mengapa muncul dan mencampuri urusan kami orang-orang kerajaan"!"
kertak Imo Gantra.
Wiro garuk-garuk kepala. "Itulah susahnya jadi manusia seperti aku ini. aku
bertindak tanpa memperdulikan siapa adanya gadis ini. Aku hanya tak ingin
melihat darah tertumpah dalam ketidak adilan. Seorang gadis ingusan seperti ini
hendak kalian bunuh beramai-ramai!"
"Pemuda lancang! Berani kau mengatakan aku!"
Wutt Nawang Suri hantamkan jotosan tangan kiri ke punggung Wiro Sableng.
Pendekar ini cepat berkelit ke samping. Tangan kirinya bergerak mengirimkan satu
totokan. Detik itu juga Nawang Suri merasakan tubuhnya kaku tegang.
"Gadis itu bukan gadis ingusan pendekar," kata Ki Rawe Jembor dengan pelipis
bergerak-gerak dan suara bergetar. "Dia adalah gembong pemberontak! Dia telah
membunuh raja kami!"
"Kalau begitu kalian uruslah jenazah Sri Baginda!" sahut Wiro pula. Lalu dengan
gerakan cepat dia mendukung tubuh Nawang Suri di bahu kirinya, sementara sang
dara tidak hentinya berteriak-teriak marah.
"Hendak kau bawa ke mana gadis pemberontak itu.....?" kata Ki Rawe Jembor.
"Kemana aku ingin membawanya itu bukan urusan kalian. Aku minta jalan dengan
segala hormat!"
Imo Gantra mendengus. "Nama besarmu kami hormati. Tapi jangan kira kami takut
untuk melakukan sesuatu!" Habis berkata begitu Imo Gantra memberi isyarat.
Bersama Ki Rawe Jembor, sembilan perwira tinggi termasuk kepala pasukan Cokro
Ningrat, ditambah lagi lusinan perajurit, segera menyerbu. Wiro sapukan Kapak
Maut Naga Geni 212 ke depan. Semua yang menyerang jadi kalang kabut dan
berserabut BASTIAN TITO
43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mundur. Namun sebatang tombak sempat menusuk bahu kiri Nawang Suri hingga gadis
ini menjerit kesakitan lalu pingsan melihat darahnya sendiri.
"Kalau kalian bersikeras dan tak mau menahan diri, darah akan lebih banyak
mengucur di langkan istana ini!"
Ancaman Wiro itu membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor saling pandang.
Akhirnya Ki Rawe Jembor berkata "Kau boleh pergi. Tapi gadis pemberontak itu
tetap harus kau tinggalkan di sini!"
"Kalian orang-orang kerajaan mau menang sendiri! Ayah dan Ibu gadis ini telah
kalian bunuh! Tahta kerajaan kalian rampas! Apa itu masih belum cukup"!"
"Jika kau berpendapat demikian maka biar aku mengadu jiwa denganmu!"
Imo gantra tak dapat menahan diri lagi dan siap melompati Pendekar 212 Wiro
Sableng. Namun Ki Rawe Jembor cepat memegang bahunya dan membisikkan sesuatu.
Imo Gantra meskipun masih penasaran tampak agak kendur amarahnya.
"Pendekar 212!" kata Ki Rawe Jembor. "Saat ini kami perbolehkan kau dan gadis
itu pergi. Tapi ingat satu hal. Kami tak akan tinggal diam. Kalian berdua tak
bisa lari jauh! Pembalasan kami labih kejam dari siksa neraka!"
Wiro Sableng manggut-manggut sambil menyeringai. "Aku akan ingat baik-baik
ucapanmu itu, orang tua. Tapi satu hal dariku, kalian ingat pula baik-baik
ucapanku ini. apa yang telah terjadi hari ini kuanggap selesai dan berakhir
sampai di sini. Tak ada silang sengketa baru atau segala dendam kesumat. Tapi
jika kalian kelak melakukan sesuatu terhadap salah satu dari kami, berarti
kalian membuka pintu neraka untuk kalian sendiri!" Habis berkata begitu Pendekar
212 Wiro Sableng keluarkan siulan panjang, membuat beberapa kali lompatan dan
lenyap dari halaman istana.
TAMAT BASTIAN TITO 44 Liang Pemasung Sukma 1 Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Tangan Berbisa 14
perlahan. "Saya berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Yang bernama Gagak Celeng.
Tapi kemudian muncul seorang tua berbelangkon beludru. Dia mengaku tokoh atau
hulubalang istana tingkat ketiga. Buto Celeng menyebut namanya Sindu Kalasan.
Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan...."
Paras Gama Manyar alias Empu Soka Panaran berubah ketika Nawang Suri menyebutkan
nama itu. "Apa yang kemudian yang terjadi Den Ayu?" tanyanya degan nada cemas.
"Dia hampir saja berhasil merampas Keris Mustiko Geni kalau saja tidak muncul
seorang penolong....."
"Keris itu, apakah tetap berada padamu?"
Nawang Suri mengangguk dan menepuk pinggang pakaiannya di balik mana Keris
Mustiko Geni tersisip.
"Syukur Gusti...." Kata Gama Manyar lega. "Senjata itu bukan saja merupakan
senjata mustika sakti. Tapi yang paling penting itu adalah pelambang tahta
kerajaan. Pewaris dan pemegang hanya dialah yang berhak atas tahta, berarti
hanya dia yang boleh menjadi Raja atau Ratu!" Gama Manyar diam sebentar. Lalu
dia berkata "Tadi Den Ayu menyebut tentang seorang penolong...."
"Ya, dia menyelamatkan Mustiko Geni dari tangan Datuk Tongkat. Sebelum saya
disuruh pergi masih sempat saya melihat dia menghajar Buto Celeng sampai
setengah mati...."
"Siapakah orang itu Den Ayu" Apakah dia ada meninggalkan nama?"
"Seorang pemuda edan berambut gondrong....."
"Pemuda edan.....?"
"Katanya namanya Wiro Sableng dan dia pemuda luntang-lantung
pengangguran dari gunung Gede....."
Mendengar disebutnya nama itu Gama Manyar tertegak dari kursinya dan menatap
tajam pada Nawang Suri.
"Ada apakah empu?" tanya sang dara. Dia agak heran melihat sikap orang tua itu.
"Wiro Sableng katamu Den Ayu. Benar?"
"Benar. Memangnya kenapa empu?"
"Ah...ah....ah...." Gama Manyar geleng-gelengkan kepala lalu perlahan-lahan duduk
kembali ke kursinya. "Den Ayu, ketahuilah sebenarnya kau sudah sangat beruntung
ditolong oleh pemuda itu. Tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya dan
mendapat pertolongannya. Dia memang muncul dan malang melintang secara tiba-tiba
dan seenaknya...."
"Siapa pemuda itu sebenarnya empu?" tanya Nawang Suri.
"Dia murid seorang nenek sakti di Gunung Gede. Dia seorang pendekar dengan nama
besar. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ilmu silat dan kesaktiannya
luar biasa. Betapapun tingginya kepandaian Datuk Tongkat, tetap saja dia tak
bakal menang menghadapi pendekar nomor satu itu."
Karena memang belum pernah nama besar Wiro Sableng maka Nawang Suri berkata
"Siapapun pemuda itu adanya saya tak suka padanya, empu!"
"Eh, kenapa kau berkata begitu Den Ayu" Bukankah dia telah menanam budi
pertolongan padamu?"
"Soal budi pertolongannya yang besar tentu saja saya tak akan melupakan dan
kelak akan saya balas. Tetapi dia menganggap remeh saya!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Menganggap remeh bagaimana...."' Tanya Empu Sok Panaran yang dalam penyamarannya
telah berganti nama menjadi Gama Manyar.
"Dia menyebut saya sebagai gadis ingusan! Keterlaluan!"
Si orang tua itu tertawa panjang."Itu tentu saja karena dia tidak mengetahui
siapa kau adanya Den Ayu. Seperti katamu tadi, pendekar itu memang suka edan-
edanan. Konyol. Tapi sebenarnya dia adalah seorang berhati polos. Suka menolong.
Nama besarnya muncul dalam dunia persilatan setelah dia menghancurkan manusia-
manusia dan memusnahkan perserikatan-perserikatan jahat. Menghantam tokoh-tokoh
silat golongan hitam!"
"Apakah dia berada di pihak kita atau bagaimana?" tanya Nawang Suri pula.
"Setahuku dia tidak pernah berpihak pada satu golongan. Pegangan hidupnya adalah
berpihak pada kebenaran dan keadilan...."
"Kalau begitu apakah ada kemungkinan kita meminta bantuannya?"
"Sulit bagi saya untuk mengatakan ya. Saya tahu betul. Pendekar semacam dia
sering kali bersikap aneh. Jika dia ingin menolong, dia akan turun tangan tanpa
diminta. Tapi kalau diminta justru malah belum tetu dilakukannya...."
"Jika demikian tak usah kita membicarakannya lebih panjang."
"Den Ayu betul. Sebelum kemari apakah sahabat tuaku Empu Andiko ada memberi
petunjuk apa yang akan kita lakukan untuk menghancurkan kerajaan dan pada
akhirnya membunuh Sri Baginda?"
Nawang Suri mengangguk. "Sebetulnya cara yang hendak ditempuh itu kurang
berkenan di hati saya, empu. Namun mengingat kita tidak mempunayi kekuatan,
tidak memiliki bala tentara dan para pendukung terpecah-pecah serta saling
berjauhan tanpa ada pimpinan, maka untuk sementara saya bersedia menempuh cara
itu. pada saatnya nanti tetap kita harus menggalang kekuatan berupa bala
tentara...."
"Saya mengerti maksud Den Ayu. Dan saya menurut serta setuju sekali. Saya telah
menghubungi beberapa orang tertentu di Kuto Gede. Tapi selagi masa hangat begini
rupa, Den Ayu tahu sendiri bagaimana besarnya bahaya menghubungi orang-orang
itu. Karenanya rencana yang sudah kita tetapkan harus terlebih dahulu
dijalankan....."
"Kapan kita mulai Empu?"
"Dua hari lagi Den Ayu. Seorang penting akan datang kemari. Dia adalah korban
kita yang pertama."
"Siapakah dia empu?"
"Pangeran Onto Wiryo. Putera Sri Baginda dari istrinya yang kedua. Saat ini dia
memegang jabatan Kepala Pasukan Kuto Gede. Ada kabar dia akan diangkat jadi
Kepala Pasukan Kerajaan....."
Nawang Suri mengusap-usap dagunya yang halus. "Dia memang cukup pantas untuk
jadi korban pertama...." Katanya perlahan. Jari-jari tangannya tampak terkepal.
Tanda tekadnya sangat bulat dan kukuh.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Siang itu rombongan orang berkuda memasuki halaman rumah Gama Manyar, ahli ukir
barang-barang perak terkenal di seluruh Kuto Gede. Di depan sekali seorang
lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian mentereng, lengkap
dengan sebilah keris tersisip di pinggang. Lima orang lainnya berpakaian pasukan
kerajaan bertindak sebagai pengiring dan pengawal.
Lelaki muda berpakaian mewah itu turun dari kudanya diikuti oleh lima pengawal.
"Kalian tunggu di luar sini. Aku tak akan lama....." kata si lelaki muda.
Kelima pengirngnya menjura patuh. Dengan langkah besar dan tegap lelaki tadi
masuk ke dalam rumah. Di pintu depan Gama Manyar keluar menyongsong.
"Paman Gama, apakah pesananku tempo hari sudah selesai?" sang tamu ajukan
pertanyaan. Gama Manyar menjura hormat sebelum menjawab.
"Sudah siap Raden. Hanya menurut saya kalau mungkin bisa diberi satu hari lagi
saya akan memperhalus beberapa bagian yaitu pada bagian sayap dan ekornya.
Tapi silahkan Pangeran masuk dahulu...."
"Ya, ambillah barang itu. Aku perlu melihatnya dahulu!"
Gama Manyar memberi jalan pada tamunya lalu menutup pintu kembali.
Setelah mempersilahkan sang tamu masuk maka diapun melangkah ke tengah ruangan,
memanjangkan lehernya ke pintu ruang tengah seraya berseru.
"Ratih....! Bawa kemari pesanan Pangeran Onto Wiryo. Beliau sudah datang untuk
melihatnya...."
Pangeran Onto Wiryo hendak menanyakan sesuatu namun mulutnya terkancing ketika
di pintu ruangan tengah muncul sesosok tubuh yang elok, dilengkapi paras cantik
jelita mempesona. Kedua bahunya yang tidak tertutup sangat halus dan putih,
dihias uraian rambut hitam berkilat dan menebar bau harum. Yang muncul ini
datang membawa sebuah ukiran perak berbentuk seekor burung garuda mengembangkan
sayap. Di punggung binatang ini duduk dengan sikap gagah seorang berpakaian
perwira tinggi dengan tangan kanan memegang sebilah tombak. Melihat paras
perwira pada ukiran perak itu jelaslah mirip Pangeran Onto Wiryo, sang tamu.
Sepasang mata sang pangeran tidak tertuju pada ukiran burung garuda dan patung
dirinya di atas punggung binatang itu, tetapi tertancap pada sang dara yang
membawanya. "Ratih...." Kata Gama Manyar. "Ini Pangeran Onto Wiryo. Kepala pasukan Kotaraja.
Beri hormat padanya....."
Sang dara yang dipanggil dengan nama Ratih, yang bukan lain adalah Nawang Suri
membungkuk dalam-dalam. Ketika hendak mengambil sikap duduk di lantai, sang
pangeran yang sejak tadi terpana terpesona cepat membungkuk, memegang bahunya
dan menyuruhnya berdiri kembali. Ketika Pangeran Onto Wiryo berpaling pada Gama
Manyar, orang tua ini segera maklum akan arti pandangan itu. maka diapun memberi
keterangan. "Harap maafkan Pangeran. Saya tak pernah menerangkan kalau saya masih memiliki
seorang anak keponakan. Dia baru saja datang dari pantai utara. Saat ini dia
hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya dan seorang adik lelakinya menemui ajal
sebulan yang lalu akibat gunung longsor. Itulah sebabnya saya memintanya datang
kemari dan tinggal di sini sambil membantu pekerjaan saya...."
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Onto Wiryo mengangguk-angguk. Kedua matanya hampir tak berkesip.
"Apakah Pangeran tidak hendak melihat dulu ukiran itu...."'
Sang pangeran yang hampir terlupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu
seperti tersentak lalu cepat-cepat mengambil ukiran perak dari tangan Ratih.
Sewaktu mengambil benda itu, Gama Manyar jelas melihat bagaimana jari-jari tangan sang pangeran sengaja mengelus jari-jari
Nawang Suri. Pangeran Onto Wiryo memperhatikan ukiran burung garuda dan dirinya hanya
sebentar saja. "Bagus! Sangat bagus! Tak perlu diperhatikan lagi paman Gama! Aku cukup senang
menerimanya!" Lalu mata sang pangeran kembali mengerling Ratih. Sesaat kemudian
dia berkata "Paman Gama, aku ingin berbicara sesuatu denganmu...."
Orang tua juru ukir sudah maklum maksud sang pangeran. Dia memberi isyarat pada
Nawang Suri sambil berkata "Masuklah Ratih...."
Ratih menjura hormat pada sang pangeran lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
"Paman Gama, kau yakin keponakanmu itu belum bersuami. Betul?"
"Betul pangeran....."
"Bagus! Kalau begitu tak ada halangan bagiku untuk mengambilnya jadi istri.....!"
Gama Manyar tempak terkejut. Walau ini sebenarnya lebih merupakan satu kepura-
puraan belaka. "Pangeran bergurau agaknya....."
"Aku tidak bergurau paman!"
Orang tua itu tertawa. "Dengar pangeran. Keponakanku hanya seorang turunan
rakyat jelata. Bahkan tidak berayah dan tidak beribu lagi. Mana pantas dirinya
dijadikan istri pangeran?"
"Soal pantas atau tidak bukan urusan. Lagi pula bagiku itu merupakan hal yang
pantas. Lebih dari pantas. Terus terang baru sekali ini aku melihat gadis
secantik dia....."
"Ah, pengeran baru sekali ini saja melihatnya. Belum tentu dia bisa menjadi
istri yang baik....."
"Paman...." Kata Pangeran Onto Wiryo. "Sebagai seorang perajurit mataku sangat
tajam. Aku tahu dan yakin sekali, keponakanmu itu seorang yang baik.
Katakan padanya aku akan mengambilnya jadi istri!"
"Secepat itukah pangeran?"
"Lebih cepat lebih baik!"
"Ah, saya tak berani mengatakan pada Ratih....." ujar Gama Manyar lalu pura-pura
termenung. "Jika begitu biar aku yang bilang padanya!"
"Pangeran terlalu mendesak. Berilah waktu dua hari pada saya. Di saat yang baik
akan saya sampaikan pada gadis itu maksud pangeran....."
"Dua hari terlalu lama. Satu hari saja! Besok, siang seperti ini aku akan datang
lagi kemari...." Dari dalam sabuk besar di pinggangnya Pangeran Onto Wiryo
mengeluarkan empat keping mata uang perak dan menyerahkannya pada si orang tua.
"Ini untuk pembayar ukiran....."
"Tapi ongkosnya hanya dua keping uang perak pangeran."
"Aku tahu. Yang dua keping adalah sekedar pemberian dariku."
"Terima kasih. Pangeran baik sekali...."
"Nah, aku pergi sekarang. Ingat paman Gama. Besok siang aku akan datang lagi
kemari....."
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sebelum pangeran pergi saya ada beberapa permintaan....."
"Ah, katakanlah. Kau ingin pinjam uang atau apa?"
Si orang tua mengeleng. "Permintaan saya, apakah pangeran bisa datang besok
seorang diri saja?"
"Tentu ! kenapa harus begitu paman?" tanya Pangeran Onto Wiryo.
"Saya tak ingin orang lain ikut tahu akan maksud pangeran....."
"Itu soal mudah. Aku akan datang sendiri ke mari. Tanpa pengawal. Kalau perlu
dengan pakaian biasa!"
"Itu lebih baik pangeran. Ketahuilah, sebenarnya Ratih sudah pernah dicalonkan
oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda di Kemukus....."
"Lupakan pemuda itu paman. Aku ini jelas sejuta kali lebih baik dari dia....."
"Saya tahu pangeran. Satu lagi, tentunya kalau nanti Pangeran jadi mengawini
keponakan saya, urusan dengan dua istri pangeran yang sekarang janganlah sampai
menjadi pangkal silang sengketa di antara keluarga."
"Ha....ha.....ha.....! Sampai berapa aku punya istri tak ada yang bisa ikut campur.
Baik Sri Baginda, apalagi kedua istriku ....."
"Kalau bagitu senang hati saya mendengarnya," kata Gama Manyar pula lalu
mengantarkan Pangeran Onto Wiryo sampai di pintu pagar halaman.
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Keesokan harinya, tepat pada saat sang surya mencapai titik tertingginya di atas
bumi, Kepala Pasukan Kotaraja Pangeran Onto Wiryo muncul di rumah juru ukir Gama
Manyar. Sesuai permintaan si orang tua, Pangeran ini datang berkuda seorang diri
dan tidak mengenakan pakaian keperwiraan.
"Paman Gama, aku sudah datang. Mana keponakanmu. Tentunya saat ini aku akan
menerima berita menggembirakan!" kata Pangean Onto Wiryo begitu berhadapan
dengan Gama Manyar.
"Tak lama setelah pangeran pergi hari kemarin, saya telah menemui Ratih dan
menceritakan apa yang menjadi maksud pangeran. Dia tidak memberikan kata putus.
Tapi percayalah pangeran, Ratih pasti bersedia menjadi istri pangeran. Hanya
saja katanya dia ingin bicara langsung dengan pangeran....."
"Kalau begitu panggil dia kemari agar segala pembicaraan dapat dilakukan secara
cepat," kata Pangeran Onto Wiryo pula penuh tidak sabar.
"Gadis itu tidak ada di sini," menjelaskan Gama Manyar.
Kedua mata Pangeran Onto Wiryo membesar dan alisnya naik terjungkat.
"Apa maksudmu Paman" Keponakanmu tak ada di sini"'
"Betul.... Menjelang siang tadi dia pergi ke telaga Tegal Parang di timur Kuto
Gede. Dia menunggu di sana dan berpesan agar pangeran datang menemuinya di situ.
Dia sengaja memilih tempat tersebut karena bisa bicara bebas. Tak ada yang
melihat, tak ada yang mendengar.....Apakah pangeran berkenan datang ke situ
menemuinya?"
Pangeran Onto Wiryo tertawa lebar.
"Tentu saja! Tentu saja aku akan menemuinya di telaga itu!" jawabnya. Lalu tanpa
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunggu lebih lama dia cepat-cepat meninggalkan rumah Gama Manyar, membedal
kudanya kencang-kencang menuju ke timur.
Tegal Parang merupakan sebuah telaga kecil tetapi dalam. Di sekelilingnya
terdapat batu-batu besar berwarna hitam, lali pohon-pohon tinggi berdaun lebat.
Daun-daun yang aneka warna dari pepohonan memantul ke dalam air hingga air
telaga itu terlihat seperti berwarna-warni.
Ketika sampai di sana, Pangeran Onto Wiryo segera melihat sesosok tubuh yang
elok duduk di atas sebuah batu, membelakanginya. Pengeran ini melompat turun
dari kudanya, langsung mendapatkan perempuan yag duduk di atas batu.
"Sudah lamakah kau menungguku di sini Ratih.....?" pangeran menegur.
Orang di atas baru yang memang adalah Ratih alias Nawang Suri menjura hormat,
namun dia tidak turun dari batu besar itu. Pangeran Onto Wiryo ikut duduk di
atas batu, dekat sekali dengan Ratih hingga dia dapat mencium bau harum yang
keluar dan menebar dari tubuh serta rambut sang dara.
"Indah sekali pemandangan di telaga ini," kata sang pangeran.
"Apakah pangeran sering datang kemari?" tanya Ratih.
"Aku sering lewat di sekitar sini namun tak pernah mampir, apalagi duduk-duduk
di batu seperti saat ini..."
"Apakah pangeran tidak marah karena berlancang diri menyuruh pangeran datang
kemari?" "Kalau aku marah, aku tak akan datang. Lagi pula yang akan kutemui adalah calon
istriku sendiri!"
Ratih tersenyum, membuat sang pangeran tambah mabuk kepayang. "Jadi pangeran
rasa pasti kalau saya suka dan bersedia menjadi istri pangeran yang ketiga?"
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku merasa pasti. Eh, memang kenapa sampai kau bertanya begitu"
Mungkin....?" Pangeran Onto Wiryo merasa tak enak. Matanya memandang tak berkedip
lalu tangannya menjamah bahu putih halus Ratih.
Kembali sang dara tersenyum. "Saya ingin memperlihatkan sesuatu.
Bolehkan....."'
"Tentu, tentu saja. Apa ang ingin kau perlihatkan Ratih?" mendadak saja darah
sang pangeran terasa panas dan dadanya berdebar. Tangannya yang memegang bahu
turun mengusap bagian bawah leher Ratih.
Tangan kanan Ratih saat itu turun ke pinggang memegang setagennya, makin keras
debar jantung sang pangeran. Gadis ini hendak membuka pakaiannya.
Lalu.....ingin memperlihatkan auratnya" Namun Ratih sama sekali tidak membuka
gulungan setagen itu dia mengeluarkan sebilah keris. Lalu diperlihatkan pada
Pangeran Onto Wiryo seraya bertanya "Tahukah pangeran, apa yang ada di tangan
saya ini?"
"Keris! Sebilah keris!" sahut Pangeran Onto Wiryo.
"Maksudnya saya keris apa" Biasanya setiap senjata itu selalu diberi
nama.....dapatkah pangeran menerangkannya?"
Pangeran Onto Wiryo memang pernah mendengar tentang Keris Mustiko Geni.
Tapi seumur hidup dia belum pernah melihatnya. Karenanya tentu saja diatak tahu
nama keris yang diperihatkan Ratih.
"Sulit bagiku menerka keris itu. Apakah itu penting" Dan ada hubungannya dengan
maksudku mengambilmu jadi istri?"
"Betul sekali pangeran. Senjata ini ada hubungannya dengan maksud pangeran
itu...." "Kau....kau akan memberikannya padaku atau bagaimana?" tanya Pangeran Onto Wiryo.
Makin lama makin tak mengerti dia apa yang sedang dituju oleh gadis jelita itu.
"Apakah pangeran ingin memilikinya"' bertanya Ratih.
"Ah....kau baik sekali. Aku benar-benar sangat terkesan akan sifat pribadi dirimu,
Ratih. Tapi aku tak menginginkan keris itu. aku menginginkan dirimu....."
jari-jari tanan sang pangeran yang mengelus-elus leher sang dara bergerak turun,
menyapu di bagian dada yang membusung lembut.
"Pangeran belum melihat badan keris ini. Akan saya perlihatkan pada pangeran,"
kata Ratih lalu perlahan-lahan mencabut keris Mustiko Geni dari sarungnya.
Begitu keris keluar dari sarangnya, sinar merah memancar menyilaukan dan hawa
panas membersit membuat Pangeran Onto Wiryo terkesiap dan bergerak mundur,
menatap senjata itu dengan pandangan kagum.
"Senjata luar biasa!" katanya memuji. Ini pasti senjata sakti....."
"Benar pangeran. Ini memang senjata sakti. Dan akan saya buktikan kesaktiannya!"
selesai berkata begitu, tiba-tiba Ratih alias Nawang Suri menusukkan Keris
Mustika Geni ke dada Pangeran Onto Wiryo. Pangeran ini berseru kaget dan cepat
menepis dengan tangan kanannya. Meskipun dia dapat menyelamatkan dada namun
lengannya tersayat dalam. Darah mengucur deras. Hawa sangat panas seperti
memenggang tubuhnya. Pangeran ini menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya perlahan-
lahan tampak menghitam. Pakaiannya berubah kecoklatan seperti hangus. Pangeran
Onto Wiryo menjerit terus. Karena tak sanggup lagi menahan hawa panas yang
membakar tubuhnya, dia lari menceburkan diri ke dalam telaga Tegal Parang. Namun
air telaga yang sejuk itu tak dapat melenyapkan hawa panas tersebut. Tubuh sang
pangeran nempak menggeliat. Tangan dan kakinya melejang-lejang. Asap mengepul
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dari tubuh itu tak beda sebuah benda panas dicelupkan ke dalam air. Tak lama
kemudian tubuh itu tak bergerak lagi dan perlahan-lahan tenggelam lenyap dari
permukaan telaga.
Ratih alias Nawang Suri jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga seraya
mengacungkan Keris Mustiko Geni yang masih terbungkus darah. Dari mulutmya
terdengar ucapan.
"Ayah.....ibu! Korban pertama jatuh sudah! Doakan agar anakmu dapat melanjutkan
pembalasan agar sakit hati dan dendam berkesumat terbalaskan. Agar tahta
Kerajaan kembali ke tangan kita......"
Masih ada beberapa patah kata lagi sebenarnya akan diucapkan gadis itu.
namun telinganya yang tajam mendengar suara semak belukar terkuat, disusul oleh
langkah-langkah kaki datang mendekat. Nawang Suri melompat bangkit dan membalik.
Keris Mustiko Geni siap di tangan.
"Kau!" seru gadis itu ketika melihat siapa yang tegak di depannya.
"Kau juga!" balas orang yang barusan datang. "Apa yang kau perbuat di sini....."'
"Kau tak layak bertanya yang bukan urusanmu!" Dalam hatinya Nawang Suri
bertanya-tanya apakah pemuda di hadapannya itu tahu atau menyaksikan apa yang
terjadi. "Kau betul. Aku tak layak mencampuri urusanmu. Hanya saja tadi aku mendengar
suara orang menjerit-jerit..... dari arah sekitar sini."
"Mungkin hanya pendengaranmu yang menipu diri sendiri. Tak ada yang menjerit di
sini. Barangkali juga suara setan yang kau dengar. Lagi pula bukankah kau
sendiri mengaku berotak miring. Jadi apapu yang kau dengar hanya perasaan
belaka!" Pemuda di hadapan Nawang Suri yang bukan lain adalah Wiro Sableng tertawa
bergelak. "Ya, beginilah nasib orang sableng. Tapi aku melihat darah di keris mustika itu.
Eh, kau masih saja main-main dengan benda itu. Bukankah sudah kukatakan agar
disimpan baik-baik.....?"
Nawang Suri memasukkan Keris Mustiko Geni ke dalam sarungnya tanpa membersihkan
noda darah. Lalu menyimpannya di balik setagen.
"Nah, sudah kusimpan!" katanya. "Sekarang kau pergilah dari sini. Antara kita
tidak ada apa-apa lagi!"
"Eh, mentang-mentang kau kini berdandan dan berpakaian cantik bagus....."
Nawang Suri tak lagi mengacuhkan Wiro. Dia melangkah ke balik serumpun semak
belukar. Dari balik semak-semak ini dia mengambil sebuah buntalan. Dari buntalan
dikeluarkannya sehelai pakaian dan celana putih, juga sehelai sapu tangan besar
berwarna putih yang biasa dipakai untuk ikatan atau penutup kepala. Dengan cepat
Nawang Suri mengenakan pakaian putih itu. Lalu menyingsingkan kainnya tinggi-
tinggi sehinga kakinya sampai sebatas pertengahan paha terlihat jelas dan
membuat sepasang mata Wiro Sableng terbuka lebar-lebar menyaksikan pemandangan
ini. Sebaliknya seperti tak acuh Nawang Suri terus saja mengenakan celana
panjang putih. Selesai berpakaian dia menutupi kepalanya dengan sapu tangan.
Lalu dari kantong baju putih diambilnya sebuah kumis palsu, langsung dipasangnya
di bawah hidung.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro Sableng berkata "Kau ini mestinya seorang pemain
sandiwara yang cekatan!"
"Dengar sableng.....!" kata Nawang Suri. Sikapnya tegas tapi justru membuat Wiro
tak dapat menahan tawa. "Aku akan meninggalkan tempat ini. Awas kalau kau berani
mengikuti!"
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kau benar-benar gadis aneh! Apa arti semua ini......"!" tanya Wiro.
Tapi dia tak mendapat jawaban. Sang dara berkelebat dan lenyap di balik belukar
tinggi. Ketika Wiro bergerak hendak mengejar, sebuah benda laksana anak panah
melesat menyambar ke arah kepalanya. Cepat-cepat pendekar ini merunduk
selamatkan diri. Benda itu ternyata patahan sebuah ranting kayu.
"Gadis aneh tapi nekad!" desis Wiro.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Hari pertama lenyapnya Pangeran Onto Wiryo mulai mendatangkan keresahan di
kalangan istana, termasuk Sri Baginda, Kepala Pasukan Kerajaan dan tentu saja
anak istrinya. Siang hari kedua ketika sang pangeran masih juga belum muncul,
keresahan itu berubah menjadi kecurigaan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi
dengan dirinya.
Lalu hal ini dihubungkan dengan keadaan kerajaan yang masih belum aman karena
diketahui ada kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha menimbulkan kekacauan.
Sembilan kelompok pasukan segera dibentuk untuk melakukan pencarian.
Pagi hari ketiga mayat pangeran Onto Wiryo diketemukan terapung di telaga Tegal
Parang. Kotaraja dan seluruh kerajaan menjadi gempar.
Mayat sang pangeran ditemukan dalam keadaan rusak menggembung namun masih dapat
dikenali. Apalagi di tepi telaga kemudian ditemukan pula kuda tunggangannya.
Yang menjadi pertanyaan mengapa saat itu Pangeran Onto Wiryo hanya mengenakan
pakaian biasa. Lalu bekas luka pada tangannya menguatkan dugaan bahwa pangeran
ini menemui ajal bukan karena kecelakaan biasa, tapi seseorang telah
membunuhnya, lalu melemparkan mayatnya ke dalam telaga.
Kerajaan berkabung selama dua minggu!
Sebelum jenazah dimakamkan keesokan harinya, terlebih dahulu disemayamkan di
pendopo besar istana. Ratusan pejabat tinggi kerajaan termasuk para adipati dari
berbagai penjuru datang melayat. Bahkan di bawah penjagaan ketat rakyat jelata
juga diberikan kesempatan untuk menyatakan rasa duka cita mereka.
Sementara itu para pimpinan pasukan dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana secara
diam-diam melakuan penyelidikan sebab musabab kematian Pangeran Onto Wiryo.
Larut malam sebelum Sri Baginda masuk ke peraduannya Patih Kerajaan diminta
datang menghadap. Sesuai dengan suasana yang dihadapi sang patih menduga bahwa
pemanggilan itu tentu saja ada seluk beluknya dengan upacara pemakaman besok.
Namun alangkah terkejutnya patih ini karena Sri Baginda hanya bicara sedikit,
lalu menanyakan sesuatu.
"Paman Patih, sewaktu orang banyak diberi kesempatan melayat, aku melihat
seorang tua berpakaian serba putih, yang kukenal dengan nama Gama Manyar. Ahli
ukir barang-barang perak. Apakah kau melihatnya siang tadi....."'
Patih Wulung Kerso yang sudah berusia lanjut mengangguk. "Tentu saja saya
melihatnya, Sri Baginda."
"Apakah kau juga melihat gadis berparas cantik yang datang bersamanya"'
tanya Sri Baginda lagi.
"Ya, saya melihat gadis itu."
"Siapakah gadis itu Paman Patih?"
"Tak sempat saya selidiki. Kehadirannya memang menarik banyak perhatian karena
kejelitaan parasnya dan kehalusan kulitnya. Apakah Sri Baginda menaruh
kecurigaan terhadap gadis itu atau terhadap Gama Manyar?"
Raja tersenyum dan mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar.
"Jauh dari itu paman. Baru kali ini aku melihat perawan secantik itu. Kurasa dia
merupakan perempuan tercantik di seluruh kerajaan..... Apa pendapatmu Paman?"
"Saya rasa begitu Sri Baginda," menjawa sang patih.
"Aku ingin menambah perbendaharaan isi keputren."
Mendengar kata-kata sang raja, Patih Wulung Kerso angkat kepala. Kini dia tahu
apa sebenarnya maksud Sri Baginda memanggilnya. Sungguh tidak habis pikir
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
patih tua ini. Dalam suasana berkabung begitu rupa, malah jenazah Pangeran Onto
Wiryo masih belum dimakamkan, sang ayah, Raja di kerajaan itu telah memikirkan
bahkan tertarik pada seorang gadis dan bermaksud mengawininya. Dunia hampir
kiamat agaknya!
"Kenapa kau terdiam Paman Patih?" Sri Baginda bertanya.
"Ah..... Saya perlu petunjuk lebih lanjut Sri Baginda." Kata Patih Wulung Kerso.
"Aku ingin mengambil gadis itu. Apa kau masih belum jelas?"
"Sebagai istri atau gundik, Sri Baginda?"
Raja tertawa lebar. "Menurutmu bagaimana?"
"Sebagai istri tentu saja tidak mungkin. Karena maaf Sri Baginda. Sri Baginda
sudah punya empat istri. Berarti sebagai gundik saja....."
"Bagus kalau kau mengerti begitu. Sekarang kau kutugaskan untuk emnghubungi Gama
Manyar, menyelidiki siapa adanya gadis itu dan sekaligus mengatakan maksudku
mengambilnya sebagai gundik......"
"Saya akan melakukannya Sri Baginda. Namun harap maaf mengingat kita masih dalam
suasana berkabung, apa maksud itu tidak bisa ditunda sampai empat belas hari"'
"Empat belas hari terlalu lama Paman patih. Besok selesai upacara pemakaman kau
utus seseorang untuk memanggil Gama Manyar dan sampaikan maksudku. Katakan pada
orang tua itu, apapun hubungan gadis itu dengan dirinya itu satu kehormatan
baginya. Kelak dia akan kuangkat jadi juru ukir istana. Berarti dia akan
menerima sejumlah tunjangan setiap bulan dari istana....."
"Kalau begitu titah Baginda, saya akan melaksanakannya. Saya mohon diri.
Hari hampir pagi......"
Sebagai seorang patih ternyata Wulung Kerso bukan seorang yang bisa menahan
rahasia. Maksud Sri Baginda hendak mengambil gadis yang datang bersama Gama
Manyar sebagai gundik dituturkannya pada beberapa pejabat istana. Salah seoerang
yang akhirnya mengetahui hal itu adalah Sindu Kalasan, tokoh silat yang dikenal
dengan gelar Datuk Tongkat Dari Selatan.
"Sebagai seorang Raja tentu saja Sri Baginda bisa berbuat begitu," kata Datuk
Tongkat berbisik-bisik pada Patih Wulung Kerso. Saat itu mereka bersama yang
lain-lainnya berada di pendopo di mana jenazah Pangeran Onto Wiryo bafu saja
selesai dimandikan. "Hanya, apakah tidak perlu asal usul gadis itu diselidiki
lebih dulu?"
"Seharusnya memang demikian. Namun mengingat dia datang bersama Gama Manyar,
orang tua yang termasuk dalam daftar bersih, maka hal itu rasanya bisa
dilupakan. Hanya menurutku waktunya yang kurang tepat. Terlalu tergesa-gesa
memikirkan gundik jelita. Padahal puteranya dikuburpun belum!"
Datuk Tongkat hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata sang patih.
Sebentar-sebentar dia meraba pinggangnya.
"Kelihatannya kau kurang sehat......"
"Sakit pinggangku kambuh lagi," jawab sang datuk. Padahal rasa sakit di
pinggangnya itu adalah bekas hantaman pukulan Wiro Sableng beberapa hari lalu.
Setelah berpikir-pikir sejenak Datuk Tongkat berkata "Terus terang gadis itu
memang cantik sekali. Kulitnya halus luar biasa. Rambutnya yang hitam tebal dan
panjang membuat mata lelaki tak bisa lepas dari memandangi wajah dan auratnya.
Tak salah kalau Sri Baginda sangat terpikat. Aku rasa-rasanya pernah melihat
gadis itu sebelumnya. Tapi sulit kuingat di mana dan kapan......"
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Patih Wulung Kerso menepuk-nepuk bahu sang datuk seraya berkata "Itu hanya rasa-
rasamu Datuk. Begitu sifat lelaki jika melihat perempuan cantik. Aku kawatir
kaupun terpikat....."
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau betul. Tapi siapa yang berani bersaing dengan Sri Baginda"'
Menjelang rembang petang setelah siangnya dilakukan pemakaman jenazah Pangeran
Onto Wiryo, seorang utusan Ptih Kerajaan datang ke tempat kediaman juru ukir
Gama Manyar. "Pak juru ukir, kau diminta datang menghadap Patih Wulung Kerso sekarang juga,"
sang utusan menyampaikan pesan. Diam-diam Nawang Suri ikut mendengarkan
pembicaraan dari ruangan sebelah.
"Jika Patih Kerajaan menyuruh menghadap pasti ada sesuatu yang penting.
Mungkin menyangkut soal ukir-mengukir. Apakah sebagai utusan kau mengetahui
maksud Patih Kerajaan memanggilku?" bertanya Gama Manyar. Baginya pemanggilan
dirinya hanya berarti dua. Dirinya dicurigai. Atau jeratnya sewaktu membawa
Nawang Suri melayat ke istana sudah tepat mengenai diri Sri Baginda yang
diketahuinya memang seorang lelaki mata keranjang.
"Saya hanya seorang suruhan pak juru ukir. Mana saya tahu maksud Patih.
Harap bapak ikut saya sekarang. Kereta sudah disiapkan di luar......"
"Kereta?" membatin Gama Manyar. "Hmmmmm....... Kalau begitu mungkin sekali jeratku
sudah mengena. Jika bukan untuk satu berita yang kutunggu-tunggu mana mungkin
patih mengirimkan keret untuk menghormatiku. Jika aku dicurigai pasti
serombongan pasukan sudah mengurung rumah ini!"
Gama Manyar menganggukkan kepala pada utusan yang datang. "Baiklah, sebelum
pergi aku akan memberitahukan keponakanku dulu," katanya.
Beberapa saat sebelum matahari terbenam, Gama manyar kembali, diantar dengan
sebuah kereta. Begitu masuk ke rumah, Nawan Suri langusng menemuinya. Si orang
tua mengintai dari balik jendela. Setelah memastikan orang yang tadi
mengantarnya telah pergi jauh baru dia membalik dan berkata "Sungguh tidak
kusangka. Rencana kita akan terlaksana lebih cepat dari yang diduga. Jerat yang
kita pasang telah mengena!"
"Apa yang telah terjadi Empu?"
"Sri Baginda melihat Den Ayu sewaktu melayat kemarin. Tadi sore Patih Wulung
Kerso meminta saya menghadap. Memberi tahu kalau Sri Baginda telah memutuskan
mengambil Den Ayu sebagai gundiknya......"
"Kalau begitu kita harus menyusun rencana lebih terperinci. Pertama mengatur
saat yang tepat kapan saya harus membunuh Raja. Lalu kapan orang-orang kita
menyerbu istana mengambil alih kekuasaan......" Nawang Suri nampak sangat
bersemangat. "Karena waktu hanya sedikit, kita harus bertindak cepat Den Ayu. Malam ini juga
saya akan menemui orang-orang kita di Susukan. Sri Baginda akan memboyong Den
Ayu ke istana dua hari di muka. Pada malam pertama dia memasuki kamar Den Ayu,
itulah saatnya dia harus dibunuh. Saya nanti akan membuatkan peta istana hingga
Den Ayu bisa mudah menyelinap melarikan diri. Menjelang pagi Den Ayu sudah harus
muncul kembali memimpin orang-orang kita merebut istana....."
"Bagaimana dengan tugas juru masak rahasia" Apakah dia mampu menyiapkan racun
untuk tokoh-tokoh istana?"
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Orang kita yang satu ini tampaknya penggugup. Saya sudah menarik dia dari
istana sebelum kedoknya terbuka. Berarti kita tetap mulai dengan membunuh Raja
lebih dulu."
"Pasukan yang akan menyerbu istana. Apakah jumlahnya cukup kuat?"
"Jumlah pasukan kita memang tidak besar Den Ayu. Namun unsur dadakan selagi
mereka berada dalam suasana geger akibat kematian Raja membuat kita berpeluang
besar untuk mengambil alih kekuasaan...."
"Kalau begitu empu segera saja berangkat ke Susukan."
"Memang saya akan segera berangkat saat ini juga. Menurut Patih Wulung Kerso,
atas kehendak Raja dia akan mengirim beberapa orang petugas untuk menjaga rumah
dan sekitarnya malam ini. Saya pergi sekarang Den Ayu...."
"Baik empu. Hati-hatilah...." Kata Nawang Suri. Secepatnya orang tua itu keluar,
dia segera menutup pintu. Di dalam kamarnya Nawang Suri mengambil Keris Mustiko
Geni danmencabut senjata ini dari sarungnya. Sinar merah menerangi kamar.
"Keris sakti, kau akan mendapat tugas besar. Setelah itu kau akan kembali
menjadi lambang dan tumbal tahta kerajaan!"
Gadis itu cepat sarungkan senjata mustika itu kembali ketika di luar didengarnya
suara derap kaki-kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan
di pintu. Nawang Suri menyelipkan Mustiko Geni di pinggang lalu keluar dari
kamar. Ketika pintu depan dibuka, sesosok tubuh tinggi besar tegak di hadapan Nawang
Suri. Orang ini langsung menjura hormat dan dengan kepala agak tertunduk dia
berkata. "Gusti Ayu.... Saya diperintahkan Patih Kerajaan untuk memimpin penjagaan di sini
malam ini. Saya Buto Celeng, datang bersama dua orang bawahan...."
Selesai berkata begitu baru orang tersebut mengangkat kepalanya. Setelah jelas-
jelas dia melihat wajah gadis di hadapannya maka Buto Celeng berseru kaget
seraya mundur "Bukankah..... bukankah gusti ayu.... Kau....! Kau gadis pemberontak
malam itu! Kau Nawang Suri.....!"
Kata-kata Buto Celeng hanya sampai di situ. Pada detik Buto Celeng mengetahui
siapa dirinya, Nawang Suri mencabut Mustiko Geni dan secepat kilat menusukkannya
ke dada kiri tokoh silat istana kelas tiga itu. dua orang perajurit yang ikut
bersama Buto Celeng dan berada di tangga rumah tentu saja terkejut menyaksikan
kejadian itu. Keduanya melompati tangga memburu. Namun merekapun disambut dengan
tusukan-tusukan senjata sakti hingga menemui ajal menyusul Buto Celeng. Mayat
ketiga orang itu dinaikkan ke atas kuda tunggangan masing-masing.
Setelah berganti pakaian Nawang Suri menunggu sampai malam turun lebih gelap,
lalu dalam kegelapan malam tiga kuda bersama tiga mayat itu dibawanya ke arah
timur di mana terdapat sebuah jurang di tepi belantara.
Sebelum Buto Celeng dilemparkannya ke dalam jurang ersama mayat dua perajurit
itu, Nawang Suri menyelipkan sepucuk kertas ke dalam saku pakaian Buto Celeng.
Dengan seringai puas gadis ini kemudian tinggalkan tempat itu. Di kejauhan
terdengar suara anjing melolong. Dinginnya udara mulai menucucuk persendian.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Ketika malam itu Patih Wulung Kerso melaporkan pada Sri Baginda bahwa seorang
pencari kayu menemukan mayat Buto Celeng dan dua perajurit di dalam jurang di
tepi hutan belantara Jatilameh, sang raja tampaknya tak begitu tertarik. Dia
yang sedang kasmaran malah menanyakan keadaan Ratih calon gundiknya itu.
sewaktu diberitahu Ratih tak kurang suatu apa, Sri Baginda tertawa cerah.
"Syukur calon gundikku itu berada dalam keadaan baik-baik. Kuharap agar kau
mengatur membawanya malam ini juga ke istana....."
"Sri Baginda," ujar Wulung Kerso. "Apakah itu tidak terlalu cepat" Kita masih
belum menujuh hari atas berpulangnya putera Sri Baginda Pangeran Onto Wiryo....."
"Soal gundikku dan puteraku tak ada sangkut pautnya. Lakukan apa yang
kuperintahkan. Atau kau ingin membantah Paman Patih?"
"Maafkan saya Sri Baginda. Bukan maksud saya berani membantah. Saya hanya
menyampaikan sesuatu yang saya rasa baik. Saya hanya menurut perintah.
Bagaimana dengan mayat Buto Celeng dan dua perajurit itu......?"
"Bagaimana apa lagi" Urus penguburannya. Habis perkara. Kurasa mereka bertiga
berkeluyuran malam tadi. Bukannya berjaga-jaga di rumah Gama Manyar......"
"Menurut Den Ayu Ratih mereka tak pernah sampai ke rumahnya....."
"Jelas itu satu bukti lagi. Mereka keluyuran. Dihadang para pemberontak yang
menyelinap ke dalam Kotaraja dan dibunuh!"
"Mungkin begitu Sri Baginda. Namun orang-orang kita masih terus melakukan
penyelidikan apa sebenarnya yang terjadi. Ada sesuatu ditemukan dalam saku
pakaian Buto Celeng."
"Sesuatu apa?" "Sepucuk surat. Agaknya dalam istana banyak musuh dalam selimut. Untuk jelasnya
silahkan Sri Baginda membaca surat yang ditemukan dalam saku Buto Celeng ini....."
Lalu Patih Wulung Kerso menyerahkan sepucuk surat yang sudah lecak dan kotor.
Mendapatkan dimas Sindu Kalasan.
Dengan tewasnya Empu Andiko Pamesworo kekuatan kita jelas berkurang.
Karenanya kita harus bergerak cepat sesuai dengan rencana. Sebelum aku mati, aku
ingin Raja perampas tahta kerajaan itu menemui ajalnya. Harap dimas segera
menghubungi orang-orang kita untuk menentukan hari penyerbuan. Jangan lupa
mencari tambahan kekuatan baru, terutama dari pihak tokoh-tokoh silat istana.
Jabatan patih tetap menjadi bagian dimas kelak
Tertanda Resi Mulyorejo.
Kedua mata Sri Baginda terbelalak dan memandang tak berkedip pada Wulung Kerso.
"Jadi......Jadi...."
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sri Baginda sudah membaca semua. Saya tinggal menunggu perintah....."
kata Patih Wulung Kerso ketika melihat Sri Baginda gagap dan merah wajahnya.
"Panggil hulubalang pertama dan kedua. Bawa dua lusin perajurit! Tangkap keparat
itu sekarang juga. Dan besok pagi gantung dia di alun-alun agar semua melihat
apa akibat bagi seseorang yang menjadi musuh dalam selimut!"
"Perintah saya lakukan Sri Baginda. Saya mohon diri!" kata Patih Wulung Kerso.
"Tunggu dulu!" seru Raja. "Resi keparat bernama Mulyorejo itu! Kukira sudah
mampus dia! Ternyata masih hidup. Apa sampai saat ini orang-orangmu masih belum
mengetahui di mana tempat persembunyiannya?"
"Manusia satu itu sulit dilacak. Licin seperti belut....."
"Sudah! Sudah! Pergi lakukan tugasmu paman Patih. Aku tak mau dengar cerita
panjag lebar tentang kehebatan Resi keparat itu. yang perlu menangkap dan
memancungnya! Lalu satu hal jangan lupa! Ratih, gadis yang akan jadi gundik
baruku harus berada di istana malam ini juga. Aku sudah memerintahkan kepala
rumah tangga istana menyiapkan sebuah kamar baru di ujung kanan keputrenan...."
"Baik Sri Baginda. Semua perintah akan saya lakukan...." Kata Patih Wulung Kerso
lalu menjura dan berlalu dari hadapan sang raja.
Sebagai tokoh silat tingkat tinggi istana Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat Dari
Selatan mendapat tempat kediaman dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
Rumahnya, sebuah gedung kecil tapi mewah terletak di sebelah timur pintu
gerbang. Dia tengah duduk berangin-angin di langkan gedeung sambil mendengar
nyanyian seorang kawula ketika rombongan utusan Patih Wulung Kerso muncul,
langsung menyerahkan surat yang ditemukan dalam saku pakaian Buto Celeng.
"Ini fitnah busuk keparat!" teriak Datuk Tongkat seraya menggebrak meja kayu di
hadapannya hingga hancur berkeping-keping. Surat itu diremasnya lalu
dibantingnya ke lantai. Sepasang matanya membelalak menatap dua orang yang tegak
di hadapannya sambil melipat sepasang tangan masing-masing di depan dada.
"Kalian berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalian pasti tidak mau mempercayai isi
surat itu bukan.....?" kembali sang datuk bicara.
"Apa yang tersirat itulah yang nyata dimas Sindu." Menjawab kakek berpakaian
biru berikat pinggang putih yang tegak memegang seuntai tasbih hijau.
Muluntya senantiasa komat-kamit melafalkan sesuatu. Dia adalah Ki Rawe Jembor,
hulubalang barisan pertama yang memiliki kepandaian dua tingkat di atas Datuk
Tongkat dan merupakan pimpinan dari seluruh tokoh silat istana yang mengabdikan
diri pada kerajaan.
Di sebelah Ki Rawe Jembor berdiri seorang lelaki berwajah pucat angker.
Kedua pipi dan rongga matanya sangat cekung. Dia dikenal dengan nama Imo Gantra,
merupakan hulubalang barisan kedua dan memiliki kepandaian satu tingkat di bawah
Ki Rawe Jembor atau satu tingkat di atas Datuk Tongkat.
Perlahan-lahan Sindu Kalasan tegak dari kursi yang didudukinya. Dadanya turun
naik tanda perasaannya berkobar. Dia memandang berganti-ganti pada kedua tokoh
di hadapannya lalu berkata. "Kalian tidak bicara banyak. Jadi.....apakah kalian
datang untuk menangkapku" Menangkap sahabat sendiri"!"
"Antara kita tetap sebagai sahabat-sahabat tak terpisahkan dimas Sindu,"
menyahuti Imo Gantra. "Hanya dalam soal tugas harap kau suka memisahkan
persahabatan dan kenyataan."
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kami harap kau ikut secara baik-baik. Di hadapan Sri Baginda kau akan berusaha
membelamu."
Datuk Tongkat menyeringai sinis mendengar kata-kata Ki Rawe Jembor itu.
"Jika kalian berniat membelaku, kalian tak akan sampai datang kemari! Tidak
kusangka, sahabat-sahabat yang kukira sejati malam ini menunjukkan belangnya.
Jika kalian hendak menangkapku silahkan!"
Habis berkata begitu Datuk Tongkat berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas,
meelwati antara bahu Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor dan sampai di taman gedung.
Dua lusin perajurit yang sejak tadi berjaga-jaga segera mengurung sementara Imo
Gantra dan Ki Rawe Jembor sudah berkelebat dan tegak mengapit sang datuk.
"Dimas Sindu. Aku anjurkan agar kau menyerah secara baik agar tak ada darah yang
tertumpah!"
Datuk Tongkat tertawa panjang. "Mulutmu sungguh manis. Tapi hatimu palsu! Aku
lebih suka memilih mati bergenang darah dari pada menyerah!" Sepasang mata Datuk
Tongkat membelalak liar. Pada saat itulah dia melihat sebuah kereta terbuka
memasuki pintu gerbang dikawal oleh enam perajurit di bwah pimpinan seorang
perwira. Ketika melihat gadis cantik yang duduk di atas kereta terbuka itu, entah
bagaimana mendadak saja ingatan sang datuk kembali pada peristiwa perkelahian di
malam hari di daerah pesawahan. Darah sang datuk tersirap. Wajahnya menunjukkan
rasa kaget amat sangat. Kalau pada malam sang dara melayat dia masih belum ingat
siapa adanya dara itu tapi saat ini mendadak saja ingatannya pulih kembali.
Gadis di atas kereta itu, yang diketahuinya hendak diambil gundik oleh Sri
Baginda, sesungguhnya adalah musuh besar kerajaan yang sedang dicari-cari. Yaitu
bukan lain ratu pemberontak Nawang Suri!
Nawang Suri sendiri merasakan dadanya berdebar sewaktu melihat Datuk Tongkat
memandang tak berkedip ke arahnya.
"Celaka kalau dia sampai mengenaliku," membathin Nawang Suri. "Aku datang kemari
terlalu cepat. Ternyata datuk itu belum ditangkap. Surat palsu yang kuselipkan
di kantong Buto Celeng pasti datang terlambat ke tangan raja....."
Nawang Suri palingkan wajahnya, menghindari pandangan Datuk Tongkat.
Namun jalan pikiran sang datuk justru tampak jernih. Dia ingat ketika memeriksa
mayat Buto Celeng dan dua anak buahnya, ketiga orang itu menemui ajal dengan
badan hangus hitam. Berarti luka-luka yang dideritanya akibat tikaman senjata
sakti. Dan kini dia tahu. Senjata sakti apalagi kalau bukan Keris Mustiko Geni"!
"Gadis pemberontak! Kau mau kemana!" berteriak Datuk Tongkat lalu melompat ke
arah kereta. Tentu saja para perajurit dan hulubalang istana yang mengurung
cepat memapaki gerakannya.
"Kalian semua dengar! Gadis ini adalah Nawang Suri, ratu pemberontak! Kita harus
menangkapnya!" berteriak Datuk Tongkat.
Imo Gantra mendengus. "Jangan coba mengalihkan perhatian dimas Sindu!
Justru kaulah yang harus kami tangkap detik ini juga!"
"Tolol! Kalian tidak kenal siapa dia! Aku pernah bentrokan dengan dia. Gadis ini
adalah Nawang Suri, ratu pemberontak yang dicari-cari. Dia memiliki Mustiko
Geni!" Ki Rawe Jembor tertawa sinis. "Pemberontak tak menuduh pemberontak!
Dimas Sindu, kau tahu siapa gadis itu" Dia adalah calon gundik Sri Baginda.
Kuharap mulutmu jangan ketelepasan bicara yang tidak-tidak!"
"Kalian boleh mencincang aku! Tapi tangkap dulu gadis itu!" teriak Datuk Tongkat
marah dan sangat penasaran karena ucapannya.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ki Rawe Jembor memberi isyarat. Belasan perajurit dan Imo Gantra kembali
menyerbu. Terpaksa Datuk Tongkat menghadapi orang-orang ini dan putar tongkat
bambunya dengan sebat. Dua perajurit terpekik dan terjengkang. Seorang roboh
dengan dada mengucurkan darah akibat tusukan tongkat bambu, satunya lagi
merangkak di tanah sambil mengerang karena tulang selangkangannya patah.
Meskipun orang-orang yang ada di situ tidak mempercayai kata-kata Datuk Tongkat,
namun dalam hatinya Nawang Suri yang duduk di atas kereta merasa tak enak.
Keadaannya kini sangat terancam. Dia harus mengambil satu keputusan. Selagi para
Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tokoh silat itu sibuk hendak menangkap Datuk Tongkat dia harus mengambil
keputusan, sekaligus melakukannya. Tangannya bergerak perlahan ke arah pinggang.
Di situ tersembunyi keris sakti Mustiko Geni.
Di saat itu pula di pintu gerbang pekarangan istana terdengar suara siulan.
Sesosok tubuh berkelebat lalu laksana seekor burung hinggap di atas tembok
istana, duduk berjuntai menyaksikan perkelahian seru antara para tokoh silat
istana. Menurut orang yang duduk di atas tembok ini, dalam waktu singkat sang
datuk pasti akan konyol dilabrak sereangan-serangan yang begitu banyak. Ketika
berpaling ke arah kiri diapun tampak tercengang melihat siapa dara yang duduk di
atas kereta terbuka.
"Gadis itu! kini dia ada pula di sini! Kalau dia benar pemberontak, berarti dia
berada di sarang harimau! Nekad! Berani betul dia! Apa yang hendak dilakukannya
di sini. Tapi eh, dia duduk di atas kereta diiringi para pengawal. Bagaimana
mungkin.....?" Karena tak habis pikir orang yang duduk di atas tembok itu geleng-
gelengkan kepala lalu garuk rambutnya beberapa kali. Inilah ciri-ciri Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Sri Baginda duduk terkantuk-kantuk di atas kursi sambil menyedot pipa panjang.
Bau tembakau yang dibakar memenuhi ruangan besar. Di sebelah kirinya duduk Patih
Wulung Kerso. Di sebelah kanan berdiri Raden Cokroningrat, Kepala Pasukan
Kerajaan. "Gundikku itu masih belum juga datang. Dan aku mendengar suara ribut-ribut di
luar sana....." kata Sri Baginda pula setelah labih dulu menghembuskan asap
pipanya jauh-jauh ke udara.
"Sebentar lagi Den Ayu gundik Sri Baginda itu pasti sampai," menjawab Cokro
Ningrat. "Dan suara ribut-ribut di luar itu adalah suara perkelahian mereka yang
sedang menangkap Datuk Tongkat."
"Hanya menangkap seekor monyet pengkhianat saja mengapa begitu riuhnya seperti
tontonan pasar malam!" kata Sri Baginda. Dengan rasa tak sabar dia menyerahkan
pipanya pada seorang ponggawa lalu bangkit dari kursi, melangkah ke langkan
depan istana diikuti oleh Wulung Kerso dan Cokro Ningrat.
Sewaktu Sri Baginda sampai di tangga depan istana perkelahian tengah berlangsung
seru. Datuk Tongkat Dari Selatan tampak berlumuran darah di wajahnya sebelah
kanan akibat hantaman tasbih hijau KI Rawe Jembor yang tepat menghantam mata
kanannya hinnga pecah dan mengucurkan darah. Dalam keadaan terluka begini sang
datuk mengamuk seperti harimau kemasukan setan. Dia sudah maklum tak bakal bisa
lolos dari kepungan dua tokoh silat dan delapan perajurit itu. karenanya dia
berjibaku. Mati tak jadi apa asal paling tidak salah seorang dari dua tokoh
silat istana itu juga harus meregang nyawa di tangannya. Tongkat sang datuk
menderu ganas. Menusuk dan memukul ke pelbagai penjuru. Namun di jurus itu dia hanya mampu
menghantam dua orang perajurit saja sementara gempuran serangan atas dirinya
semakin membahayakan. Pada saat itulah dengan mata kirinya yang masih utuh Datuk
Tongkat melihat Sri Baginda muncul di tangga istana sementara kereta yang
membawa Nawang Suri juga sampai di depan tangga dan berhenti di hadapan sang
raja. "Sri Baginda!" berteriak Datuk Tongkat seraya melompat mendekati tangga istana.
"Awas! Gadis di atas kereta itu adalah Nawang Suri! Pemberontak yang selama ini
dicari-cari.....!"
Ucapan Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat hanya sampai di situ. Untuk kedua
kalinya tasbih hijau di tangan Ki Rawe Jembor berdesing ganas, menghantam batok
kepala Dauk Tongkat hingga manusia yang pernah membaktikan dirinya pada istana
ini harus menemui ajal di tangan kawannya sendiri! Datuk Tongkat terkapar di
ujung tangga istana denan kepala pecah! Serta merta perkelahianpun berhenti.
Kejadian yang mengerikan itu agaknya sama sekali tidak begitu menarik perhatian
sang raja. Dia memalingkan kepala ke arah perawan cantik jelita yang duduk di
atas kereta, yang sebentar lagi akan diboyongkan ke dalam kamar istana. Dia
sendiri yang akan memegang rangan Ratih, membantunya turun dari kereta lalu
membawanya masuk ke dalam istana. Namun maksud sang raja tak pernah kesampaian.
Dari atas kereta terdengar suara pekik menggelegar, mengejutkan semua orang.
Selagi semua orang terkesiap kaget, tubuh Nawang Suri tampak melompat.
Sinar merah tiba-tiba membersit di sertai hawa panas menebar angker.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Keris Mustiko Geni!" teriak Imo Gantra, Raden Cokro Ningrat dan Patih Wulung
Kerso, juga Ki Rawe Jembor ketika semua mereka melihat benda yang tergenggam di
tangan Ratih, calon gundik yang sebenarnya adalah Nawang Suri, musuh besar
kerajaan. Semua orang memburu. Namun jarak mereka dari raja terpisah cukup jauh.
Selagi Sri Baginda tercekat tak mengerti apa yang sebenarnya telah dan akan
terjadi, keris sakti di tangan Nawang Suri telah menghujam dalam di pertengahan
dadanya! "Gusti Allah! Celakalah Kerajaan!" seru Ki Rawe Jembor menyaksikan raja
berlumuran darah sambil memegangi dada, tertegak gontai lalu roboh di anak
tangga kedua. "Sri Baginda tewas!" berseru Imo Gantra.
Semua yang menyaksikan bagaimana tubuh Sri Baginda sesaat berkelojotan, matanya
membeliak. Dari mulutnya keluar ludah membuih lalu sekujur tubuhnya tampak
menghitam seperti hangus!
Dalam keadaan seperti itu Nawang Suri membalikkan diri menghadap orang-orang itu
seraya mengacungkan Keris Mustiko Geni yang berlumuran darah ke atas.
"Kalian semua dengar!" teriak gadis ini. wajahnya buas dan matanya berapi-api.
"Keris Mustiko Geni dalam genggamanku! Berarti tahta kerajaan ada dalam
tanganku! Tahta memang menjadi hakku karena raja kalian sebelumnya telah
merampas dari ayahku! Kalian harus tunduk semua padaku! Aku Nawang Suri ratu
penguasa di negeri ini!"
"Gadis nekad!" terdengar seruan dari tembok istana. Nawang Suri melirik dan
melihat Wiro Sableng duduk di atas tembok itu. gadis ini mengomel dalam hati
namun dia kembali menghadapi orang-orang itu. dia harus menguasai keadaan dengan
cepat. Hanya saja Ki Rawe Jembor dan Imo Gantra merupakan orang tokoh pertama
yang tak bisa dibuat tunduk. Dengan tasbih diputar di tangan kanan Ki Rawe
Jembor maju mendekat seraya berkata "Gadis pemberontak! Kau telah membunuh raja!
Nyawamu tak bisa diampuni!"
Wutt!! Tasbih hijau berkelebat. Sinar hijau berkiblat, membuat Nawang Suri terhuyung
dan cepat mundur seraya menangkis dengan Keris Mustiko Geni. Di kakek yang
maklum akan kehebatan senjata di tangan lawan tak berani melakukan bentrokan.
Dengan cerdik dia berkelit lalu menggempur lagi dari samping. Sementara itu Imo
Gantra, Cokro Ningrat, sembilan perwira dan puluhan perajurit telah melakukan
pengurungan lalu mulai merangsak maju. Betapapun tingginya kepandaian Nawang
Suri, sekalipun senjata sakti tergenggam dalam tangannya namun menghadapi sekian
banyak musuh benar-benar bukan tandingannya. Apalagi pakaian yang dikenakannya
saat itu yakni kebaya dan kain panjang tidak memungkinkannya untuk bergerak
leluasa. Dalam waktu dua jurus saja gadis ini sudah terdesak hebat.
Dalam jurus ketiga Keris Mustiko Geni terlepas dari tangannya. Senjata mustika
sakti ini cepat disambar Patih Wulung Kerso. Nawang Suri sendiri melompat mundur
sambil pegangi tulang lengan kanannya yang patah dihantam tasbih Ki Rawe Jembor!
"Kalian mau membunuhku"!" teriak Nawang Suri sambil bersandar ke tiang besar
langkan istana. "Aku tidak takut mati! Matipun bukan satu kesia-siaan bagiku!
Yang penting aku telah membalaskan sakit hati ayah bundaku! Membunuh raja
kalian! Perampas tahta kerajaan milik syah ayahku!"
Dua buah pedang, satu tombak, satu jotosan berkekuatan tenaga dalam tinggi
ditambah satu hantaman tasbih sakti berebut cepat melabrak tubuh Nawang Suri.
Sang dara yang memang nekad dan merasa tidak takut malah sengaja menghadang
kematian dengan tabah.
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Gadis nekad! Benar-benar nekad! Gila!"
Terdengar teriakan jengkel dari arah tembok halaman istana. Bersamaan dengan itu
menderu suara aneh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar putih perak menyilaukan
berkiblat. Traang.....trang.....trang!
Dua pedang dan satu tombak terbabat putus. Masing-masing pemegangnya terpental
dan terpaksa lepaskan senjata mereka yang telah puntung karena gagang-gagang
senjata itu mendadak sontak terasa panas seperti terbakar! Imo Gantra kucurkan
keringat dingin. Kalau dia tak lekas menarik pulang pukulannya, tangan kanannya
akan cacat putus seumur hidup! Ki Rawe Jembor berseru tegang. Wajahnya pucat
ketika dapatkan tasbih saktinya kini tinggal seutas benang. Butiran-butiran
tasbih hijau melayang ke udara, jatuh bertebaran di langkan istana.
Di depan sosok tubuh Nawang Suri kini tegak seorang pemuda berambut gondrong
sambil memegang sebilah senjata aneh yakni sebilah kapak bermata dua.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor. Mereka
berdua belum pernah bertemu dengan Wiro Sableng. Tetapi melihat senjata yang ada
dalam genggaman murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini keduanya segera maklum
siapa adanya pemuda itu. kalau tadi mereka hendak bertindak garang maka kini
terpaksa menahan diri.
"Pendekar 212! Tidak disangka seorang bernama besar sepertimu ternyata membantu
pemberontak!" menegur Ki Rawe Jembor.
"Aku tidak merasa dibantu oleh siapapun!" berteriak Nawang Suri.
Wir menyeringai dan melirik sekilas pada sang dara, lalu menimpali. "Aku memang
tidak membantunya!"
"Lalu mengapa muncul dan mencampuri urusan kami orang-orang kerajaan"!"
kertak Imo Gantra.
Wiro garuk-garuk kepala. "Itulah susahnya jadi manusia seperti aku ini. aku
bertindak tanpa memperdulikan siapa adanya gadis ini. Aku hanya tak ingin
melihat darah tertumpah dalam ketidak adilan. Seorang gadis ingusan seperti ini
hendak kalian bunuh beramai-ramai!"
"Pemuda lancang! Berani kau mengatakan aku!"
Wutt Nawang Suri hantamkan jotosan tangan kiri ke punggung Wiro Sableng.
Pendekar ini cepat berkelit ke samping. Tangan kirinya bergerak mengirimkan satu
totokan. Detik itu juga Nawang Suri merasakan tubuhnya kaku tegang.
"Gadis itu bukan gadis ingusan pendekar," kata Ki Rawe Jembor dengan pelipis
bergerak-gerak dan suara bergetar. "Dia adalah gembong pemberontak! Dia telah
membunuh raja kami!"
"Kalau begitu kalian uruslah jenazah Sri Baginda!" sahut Wiro pula. Lalu dengan
gerakan cepat dia mendukung tubuh Nawang Suri di bahu kirinya, sementara sang
dara tidak hentinya berteriak-teriak marah.
"Hendak kau bawa ke mana gadis pemberontak itu.....?" kata Ki Rawe Jembor.
"Kemana aku ingin membawanya itu bukan urusan kalian. Aku minta jalan dengan
segala hormat!"
Imo Gantra mendengus. "Nama besarmu kami hormati. Tapi jangan kira kami takut
untuk melakukan sesuatu!" Habis berkata begitu Imo Gantra memberi isyarat.
Bersama Ki Rawe Jembor, sembilan perwira tinggi termasuk kepala pasukan Cokro
Ningrat, ditambah lagi lusinan perajurit, segera menyerbu. Wiro sapukan Kapak
Maut Naga Geni 212 ke depan. Semua yang menyerang jadi kalang kabut dan
berserabut BASTIAN TITO
43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mundur. Namun sebatang tombak sempat menusuk bahu kiri Nawang Suri hingga gadis
ini menjerit kesakitan lalu pingsan melihat darahnya sendiri.
"Kalau kalian bersikeras dan tak mau menahan diri, darah akan lebih banyak
mengucur di langkan istana ini!"
Ancaman Wiro itu membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor saling pandang.
Akhirnya Ki Rawe Jembor berkata "Kau boleh pergi. Tapi gadis pemberontak itu
tetap harus kau tinggalkan di sini!"
"Kalian orang-orang kerajaan mau menang sendiri! Ayah dan Ibu gadis ini telah
kalian bunuh! Tahta kerajaan kalian rampas! Apa itu masih belum cukup"!"
"Jika kau berpendapat demikian maka biar aku mengadu jiwa denganmu!"
Imo gantra tak dapat menahan diri lagi dan siap melompati Pendekar 212 Wiro
Sableng. Namun Ki Rawe Jembor cepat memegang bahunya dan membisikkan sesuatu.
Imo Gantra meskipun masih penasaran tampak agak kendur amarahnya.
"Pendekar 212!" kata Ki Rawe Jembor. "Saat ini kami perbolehkan kau dan gadis
itu pergi. Tapi ingat satu hal. Kami tak akan tinggal diam. Kalian berdua tak
bisa lari jauh! Pembalasan kami labih kejam dari siksa neraka!"
Wiro Sableng manggut-manggut sambil menyeringai. "Aku akan ingat baik-baik
ucapanmu itu, orang tua. Tapi satu hal dariku, kalian ingat pula baik-baik
ucapanku ini. apa yang telah terjadi hari ini kuanggap selesai dan berakhir
sampai di sini. Tak ada silang sengketa baru atau segala dendam kesumat. Tapi
jika kalian kelak melakukan sesuatu terhadap salah satu dari kami, berarti
kalian membuka pintu neraka untuk kalian sendiri!" Habis berkata begitu Pendekar
212 Wiro Sableng keluarkan siulan panjang, membuat beberapa kali lompatan dan
lenyap dari halaman istana.
TAMAT BASTIAN TITO 44 Liang Pemasung Sukma 1 Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Tangan Berbisa 14