Pencarian

Mawar Merah Menuntut Balas 1

Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas Bagian 1


SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
1 ANAK perempuan berumur delapan
tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada
hentinya menyanyi. Di tangan
kanannya tergenggam lebih dari
selusin tangkai bunga yang baru
dipetiknya di dalam hutan. Saat itu
matahari pagi telah naik tinggi. Si
anak mempercepat larinya. Dia takut
kalau kalau orang tuanya mengetahui
bahwa dia telah pergi ke hutan lagi.
Tentu dia akan dilecut seperti
kemarin. Baru saja dia memasuki jalan kecil yang akan menuju keperkampungan, anak
perempuan ini dikejutkan oleh derap kaki kuda yang banyak dan riuh sekali. Dia
tak ingin mendapat celaka diterjang kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan
berlindung di balik sebatang pohon.
Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat dengan cepat. Si anak tak
tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas amat banyak dan semua
berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis melintang serta cambang bawuk
yang lebat. Tampang-tampang mereka buas bengis. Dan masing-masing membawa
sebilah golok besar di pinggang. Meski rombongan penunggang kuda itu telah
berlalu jauh namun debu jalanan masih beterbangan menutupi pemandangan. Setelah
debu itu sirna barulah si anak keluar dari balik pohon dan berlari
sepanjangjalan menuju ke kampungnya.
Kampung itu terletak di sebuah lembah subur yang dialiri sungai kecil berair
jernih. Sekeliling perkampungan terbentang sawah ladang yang luas. Saat itu padi
tengah menguning hingga kemanapun mata memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus lari. Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar
tidak kelihatan oleh orang tuanya. Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan
menyembunyikan bunga-bunga itu dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya
lagi .... KARYA 1 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Jalan pikiran si kecil itu terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya
terdengar suara hiruk pikuk. Suara itu bercampur aduk. Ada suara ringkikan kuda,
suara teriakan orang laki-laki, pekik jerit orang-orang perempuan dan anak-anak,
lalu suara beradunya senjata yang sekali-kali diseling oleh suara ringkik kuda
yang membuat kecutnya hati anak perempuan itu.
Ada apakah di kampung" Begitu si anak berpikir. Hatinya yang kecut membuat
larinya terhenti-henti. Satu perasaan takut memperingatkannya agar jangan pergi
ke kampung, jangan pulang. Namun kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak
meskipun dalam langkah-langkah perlahan.
Dilewatinya kebun di belakang rumah dan sampai di sebuah gubuk reyot. Gubuk ini
adalah tempat ayahnya menyimpan segala barang-barang rongsokan.
Justru di sini anak tersebut menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya
gemetaran, parasnya yang tadi kemerahan karena berlari saat itu berubah menjadi
pucat pasi karena ketakutan. Dia ingin berteriak, dia ingin menangis tapi
mulutnya terkancing oleh rasa takut yang amat sangat.
Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak laki-lakinya tengah berkelahi
melawan dua orang berpakaian serba hitam. Agaknya kedua orang berpakaian hitam
itu tidak sanggup menghadapi ayah dan kakaknya karena dalam waktu yang singkat
keduanya roboh mandi darah, Namun pada saat itu muncullah tiga orang penunggang
kuda bertubuh kekar bertampang ganas.
Salah seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari punggung kuda, langsung
menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul dan saat itu juga terjadilah
perkelahian dua lawan tiga.
Tiga manusia bertampang ganas itu ternyata amat tinggi ilmu silatnya karena tak
berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan ayahnya. Senjata di tangan salah
seorang lawan telah membabat dada ayahnya hingga laki-laki itu tersungkur dan
tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya bagaimana kakaknya menjadi kalap oleh
kematian ayahnya lalu mengamuk hebat. Tapi nasibnya juga malang karena dua
senjata lawan berbarengan mampir di perut serta di pundak kakaknya.
Salah seorang dari manusia-manusia jahat itu lalu membakar rumah orang tuanya.
Pada saat api berkobar hebat, dari pintu belakang keluar dua orang perempuan.
Mereka lari ke arah kebun.
Keduanya adalah ibu dan kakak perempuan anak kecil yang berdiri disamping gubuk.
Si anak hendak berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi. Salah seorang dari tiga
manusia jahat itu rupanya berhasil melihat kakak perempuan dan ibunya, lalu
berseru keras dan mengejar.
"Ha-ha! Ternyata ada isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang
kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri dia segera
ikut menyusul mengejar.
KARYA 2 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Bagianku yang muda, Tunjung!" seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja
dia berhasil mengejar si gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu.
Gadis itu menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun
tubuhnya sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti
anaknya, diapun diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan kalian!" satu bentakan terdengar. Yang membentak
ternyata adalah laki-laki ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan
kecil di dekat gubuk reyot. "Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung
ini menjadi milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling, seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata!
Sudah lebih dari selusin perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan
pada sobat sendiri yang dua ini masih hendak kau ambil"!"
"Heh, sejak kapan kau berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung"!"
gertak lakilaki yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot
garang. Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh
padat si gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi Bayunata cepat
mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga paras mereka saling
berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer Tunjung! Ini adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau
hendak mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak.
Kawannya yang bemama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke tanah.
"Kalau tidak dia biar yang ini saja untukku!" kata Sawer Tunjung seraya menunjuk
pada perempuan berumur sekitar tigapuluh lima tahun yang tengah didekap oleh
kawannya yang bemama Singgil Murka.
"Tidak bisa!" Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini aku
belum dapat satu perempuanpun!"
"Kalian berdua tak perlu berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!"
kata Bayunata. Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar yang tak
boleh melihat perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin dimilikinya sekalipun
saat itu lebih selusin dari perempuan-perempuan kampong telah diambilnya.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya
malah tertawa. "Kelak kalau aku sudah mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang
lumayan. Jadi tak perlu menggerutu!"
KARYA 3 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Kau keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!" Bayunata membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau
berani mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam dekapannya
yang saat itu masih menjerit dan meronta.
"Kau ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup
senang! Mari ...!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku marah," kata Bayunata. Tapi si gadis terus meronta dan memaki.
"Kau ingin aku berbuat kasar sebelum waktunya"! Baik!" Tangan kanan Bayunata
bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya tersingkap
lebar. Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada yang padat putih itu. Dilumatnya
dada itu dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari mulutnya keluar ucapan, "Dada
bagus .... dada bagus ... uh ... uh!"
"Lepaskan aku! Manusia dajal ....!"
Bayunata tertawa mengekeh dan memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas
kuda. Pada saat itulah anak kecil yang berdiri di samping gubuk berteriak.
"Ibu .... kakak!" Namun suara teriakannya itu sama sekali tidak keluar karena
satu telapak tangan berwarna amat hitam dan berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau
dibunuh! Kau tahu tak satu anak kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung
ini!" Gadis kecil itu berpaling dan dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras
orang yang menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras setan-
setan yang pernah diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur! Paras itu cuma
punya satu mata yaitu di sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya merupakan
lobang hitam yang dalam. Manusia bermuka hitam itu cekung sekali kedua pipinya
sedang hidungnya melesak penyet!
"Jangan takut anak, jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya
ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya tangannya yang
menekap mulut si gadis cilik.
"Mari ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang
sepertimu ini yang kucari-cari!"
'Tidak!" si gadis cilik meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau lari ke mana, anak"!"
KARYA 4 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Ibu ... ibu ... aku akan mengejar ibu!" jawab si anak.
"Ah ... akan mengejar ibumu dan melawan perampok-perampok jahat itu"!"
"Ya!"
Manusia bermuka hitam seram yang temyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa
mengekeh. "Sekecil ini kau telah menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku
harus bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si muka hitam lalu mendukung gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan tempat
tersebut. Tapi satu bayangan putih memapas larinya dan satu bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam! Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main dan menghentikan larinya.
"Bangsat! Setan alas dari mana yang berani mengumbar mulut seenaknya
terhadapku"!"
KARYA 5 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
2 DI HADAPAN si nenek yang mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang kakek-
kakek berpakaian putih. Kumis dan janggutnya panjang menjulai, melambai-lambai
ditiup angin. Mengenali orang yang berdiri di depannya si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau rupa-rupanya yang berani-beranian bicara seenak perutmu
terhadapku! Lekas menyingkir sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang lehermu!"
Si kakek tertawa perlahan dan ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan
kanannya ke tanah. Meski tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar jari
tangan, namun hebatnya tanah yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan bocah itu padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata
Munding Wirya. Si nenek yang ternyata bernama Camperenik menggembung kedua pipinya yang cekung
lalu menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan melesak!
Sekaligus si nenek hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya tidak kalah hebat
dengan tenaga dalam si kakek.
"Enak betul bicaramu! Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang
baik. Sesudah dapat ada yang mau memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu juruspun
aku bersedia mempertahankannya!"
"Aku tak punya waktu untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak itu
secara baik-baik padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa gelak-gelak.
"Kau mengancam aku, Munding" Ya"! Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa
dipaksa"!"
"Lantas apa sangkut pautmu"!" tukas si nenek. "Sudahlah. Kataku serahkan anak
itu. Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas
dan ketus. Munding Wirya usut-usut janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala.
"Otak tololmu sekeras batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas
jadi muridmu! Turunan baik-baik tak boleh dijadikan murid orang golongan hitam macammu!"
"Menyingkir dari hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot,
hati-hatilah KARYA
6 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
kepalamu!"
"Begini saja, Camperenik. Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah
seorang dari kita.
Kalau dia mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk seram tentu saja tidak mau menerima usul itu
karena dia yakin si anak pasti tidak akan memilihnya.
"Dalam urusan ini tak ada segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari
hadapanku!"
Munding Wirya mengusut lagi janggutnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkan anak itu secara baik-baik"!"
"Tidak! Dan kau mau apa"!" tantang Camperenik.
"Kau akan menyesal!" desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah.
Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke arah
kedua kaki Camperenik. Si nenek berteriak marah dan melompat setengah tombak.
Selagi melayang di udara kaki kanannya ditendangkan ke muka. Tongkat kuning di
tangan Munding Wirya cepat berputar memapas. Si nenek terkejut. Tak disangkanya
gerakan lawan demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti
menyerang dengan satu cengkeraman dahsyat ke muka lawan. Namun lagi-lagi dia
harus membatalkan serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu
memapaki tangannya!
Maklum bahwa sulit baginya untuk menyerang secara langsung, Camperenik merubah
siasat. Dia mulai melepaskan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima
langkah. Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu
kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya
merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap
menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian kemari menyambar ke tabuh
lawan! Pertempuran antara si kakek dan si nenek telah berjalan hampir seratus jurus.
Keduanya sama-sama hebat, lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil
bertempur dia masih terus mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya.
Munding Wirya tiba-tiba berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si
nenek mendadak sontak merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar. Dalam


Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penasarannya dia berpikir ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang
demikian asing dan hebat" Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama hujan
serangan Munding Wirya, Camperenik segera mencabut senjatanya dari balik
pinggang. Senjatanya ini yaitu seekor ular yang telah dikeringkan menjadi
tongkat dan bisa menyemburkan racun jahat. Di tangan Camperenik ular yang sudah
KARYA 7 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
keras kaku itu bisa dibuat demikian rupa laksana hidup dan menyambar kian
kemari! Munding Wirya sekitar dua tahun yang lalu telah pernah bertempur dengan
Camperenik, karenanya dia sudah tahu kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat
menutup jalan pernafasannya.
Betul saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan senjata ularnya,
Camperenik tiba-tiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun kuning dari
mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi amat penasaran melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun
tongkat ularnya. Dengan geram dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku
tongkat yang amat seru.
Lima puluh jurus lagi berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu silat simpanan.
Serangan di balas serangan. Tipu daya dibalas tipu daya pula. Masing-masing
mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!" Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus
ke tujuh puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu
padaku"!"
"Sekali aku bilang tidak, sampai nyawaku terbang kenerakapun aku tetap bilang
tidak!" jawab si nenek seraya hantamkan tongkat ularnya ke batok kepala Munding
Wirya. Si kakek miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu
adalah peraduan yang keenam puluh dua kalinya!
Masing-masing pihak melompat mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus
di muka Munding Wirya keluar dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu kuningnya
dimelintangkan di depan dada. Sepasang matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk penghabisan kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak
itu"!"
Camperenik meludah ke tanah.
"Jilatlah ludah itu! Baru aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah wajah Munding Wirya. Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan
kiri. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang jari-jari tangan kanan dikepalkan. Sesaat
kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru pekat.
Paras Camperenik kontan berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan
lawan. Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana, Camperenik"!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan
mati konyol dilabrak pukulan buana biru ini"!"
KARYA 8 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Mulut Camperenik komat-kamit. Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia
tak bakal sanggup menerima pukulan buana biru itu. Laripun percuma. Tiba-tiba
dia membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan pukulan itu"! Baik! Lakukanlah cepat!"
Habis berkata begitu Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di
depan tubuhnya! Munding Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun tak
mungkin baginya untuk meneruskan melepaskan pukulan buana biru. Meski Camperenik
bakal menemui kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri pasti akan ikut mati
bersama-sama si nenek!
"Keparat betul si Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir
Munding Wirya geram.
"Ayo Munding! Kau tokh mau bikin mampus aku"! Silahkan lakukan!" Camperenik
berteriak dengan sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya tambah
geram. '"Kalau kau tak mampu melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan
tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari samping. Munding Wirya tersentak
kaget. Camperenik mengeluarkan seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak perempuan yang
diacungkannya terbetot lepas dari pegangan kedua tangannya! Sesosok tubuh
berpakaian putih sementara itu dengan sebat berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!" jerit Camperenik marah lalu hendak mengejar. Namun dari
samping satu sinar biru menderu laksana topan prahara. Nenek-nenek ini terkejut.
Munding Wirya temyata telah melepaskan pukulan "buana biru" begitu si nenek
bersikap lengah. Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang.
Nyawanya selamat tapi angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat
nenek-nenek ini roboh dan terguling pingsan! Munding Wirya tak menunggu lebih
lama, segera dia angkat kaki mengejar orang yang telah merampas anak perempuan
tadi dari tangan Camperenik!
Di tepi lembah Munding Wirya masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke
jurusan timur. Dengan mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus
mengejar. Tapi bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat
jarak sampai tiga puluh langkah. Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan
anak yang berada di tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan pukulan
buana biru saking gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik berpaling ke
belakang seolah-olah mengejeknya.
KARYA 9 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Munding Wirya tidak ingat sudah berapa lama dia mengejar orang itu sementara
matahari sudah condong ke barat dan hari hampir senja. Dan sampai saat itu dia
masih belum mampu mengejar orang yang melarikan anak perempuan itu. Si penculik
sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri dari pemandangan kedua mata Munding
Wirya dan masih terus juga berpaling sekali-kali ke belakang. Ini menimbulkan
tanda tanya besar di hati si orang tua. Siapakah gerangan adanya orang itu yang
demikian hebat ilmu larinya"!
Tepat pada saat matahari tenggelam diufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar
Munding Wirya lenyap dari pemandangan!
Kakek-kakek itu menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak
kelihatan, lenyap laksana di telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar edan ... !" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi
diselidikinya tempat sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin
belum jodohku anak itu. Tapi betul-betul aneh dan hebat. Siapakah orang yang
telah melarikannya itu?"
Dengan hati kecewa Munding Wirya menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat
tersebut. Namun satu langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang tua kemarilah!"
Munding Wirya terkesiap. Dia mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya,
disebuah cabang pohon besar di bawah mana dia berdiri, duduk sesosok tubuh
berpakaian putih tengah memangku anak perempuan yang hendak diambilnya jadi
murid! Dengan serta merta Munding Wirya menjejakkan kedua kakinya ke tanah.
Tubuhnya melesat dan di lain kejap dia sudah berada di atas cabang pohon besar
di mana orang yang melarikan anak perempuan itu duduk. Terkejutlah Munding Wirya
ketika dia melihat bahwa orang yang menculik si anak adalah seorang perempuan
tua berambut putih jarang. Pada kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde.
Kulitnya yang hitam kelihatan lebih hitam karena selempang kain putih yang
dikenakannya, ditambah lagi oleh kegelapan senja yang datang.
"Pantas ... pantas. Engkau rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup
mengejarmu!". Habis berkata begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam.
Perempuan tua di depannya tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat
itu telah tertidur nyenyak.
"Empat puluh tahun tidak bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh
satu hal yang menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya. "Kalau
aku boleh tahu, urusan apakah KARYA
10 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
yang membuat kau meninggalkan puncak gunung Gede" Kudengar kabar kau sudah
bertekad untuk mengundurkan diri dari dunia yang penuh kotor ini."
"Betul ... itu betul sahabatku Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di
puncak gunung Gede tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku
kesal dan kesepian!
Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya
perempuan tua itu melarikan si anak perempuan, apakah hendak mengambilnya
sebagai murid pula, tetapi si kakek kemudian membatalkan maksudnya karena dia
kawatir perempuan tua itu akan tersinggung.
Siapakah sebenarnya perempuan tua itu" Dia bukan lain Eyang Sinto Gendeng, guru
pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat yang pernah merajai dunia
persilatan selama berpuluh tahun!
Sambil mengusap kepala si anak perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat golongan
hitam. Karenanya kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya. Namun demikian sebagai basa-basi dan peradatan dia
berkata, "Jika kau ingin mengambilnya jadi murid, silahkan kau bawa ke gunung Gede."
Sinto Gendeng tertawa,
"Aku memang mau kembali ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh
serta bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk cuma punya
satu murid. Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau akan mendidik dan
menggemblengnya menjadi gadis pendekar yang hebat agar dapat membalaskan sakit
hati atas apa yang telah menimpa orang tua dan saudara-saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?"
Sinto Gendeng mengangguk perlahan.
"Kekotoran-kekotoran macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak
yang bakal menuntut balas!" Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu
sekali lagi lalu menyerahkannya pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut
sekali karena baru saja si anak berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng tahu-
tahu telah berkelebat lenyap dari cabang pohon.
Munding Wirya gelengkan kepala dan tarik nafas panjang. "Tak dapat kuukur betapa
tingginya ilmu kepandaian manusia itu!" Setelah memandang berkeliling sesaat,
kakek-kakek inipun melompat turun dari cabang pohon dan lenyap dalam kegelapan
malam. KARYA 11 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
3 HUTAN Bludak merupakan hutan yang paling lebat di daerah selatan Jawa Barat.
Penduduk yang diam dibeberapa desa sekitar hutan tersebut menganggapnya sebuah
hutan angker yang jarang di datangi manusia. Menurut penduduk disitu, selain
penuh dengan bindtang buas juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus. Di
samping itu hutan Bludak juga merupakan sarang manusia-manusia jahat.
Di pertengahan hutan yang angker lebat itulah gerombolan rampok Bayunata
mendirikan markas mereka. Rumah-rumah mereka atau lebih tepat dikatakan pondok-
pondok didirikan di atas pohonpohon raksasa dalam hutan yang keseluruhannya
berjumlah hampir dua puluh buah.
Bayunata sengaja mendirikan pondok di atas-atas pepohonan agar jangan diganggu
oleh binatang-binatang buas. Disamping itu juga untuk menjaya jika sewaktu-waktu
terjadi penggrebekan oleh pasukan kerajaan Banten atau Pajajaran. Selama
bertualang malang melintang memimpin gerombolan rampok bersama Singgil Murka dan
Sawer Tunjung, telah dua kali Bayunata diserang oleh orang-orang kerajaan.
Pertama dari Pajajaran dan yang terakhir dari Banten. Meski anak buahnya banyak
yang jatuh menjadi korban, namun Bayunata dan kawan-kawannya berhasil menghalau
prajurit-prajurit penyerang.
Saat itu baru saja memasuki malam. Di dalam sebuah pondok di atas pohon
terdengar sedu sedan tangis dua orang perempuan. Mereka adalah Galuh Asih dan
Ratih, ibu dan kakak perempuan anak perempuan kecil yang dibawa oleh Munding
Wirya. Di dalam pondok itu juga terdapat lima orang perempuan yang rata-rata
berparas cantik. Namun dibalik paras cantik masing-masing, jelas kelihatan sikap
dengki dan bengis.
Salah seorang dari kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri dan membentak,
"Kalian ibu dan anak sama-sama keblingernya! Kalian harus berterima kasih tidak
dibunuh oleh Bayunata! Kalian harus bersyukur diambil jadi istri!"
Galuh Asih menyusut air matanya dan memandang tepat-tepat pada perempuan yang
membentak itu, lalu berkata dengan suara pelahan tapi menusuk tajam.
"Aku dan anakku menangis karena kami bukanlah manusia-manusia macam kau dan
lain-lainnya! Kalian bersyukur jadi perempuan-perempuan peliharaan Bayunata itu
urusan kalian. KARYA 12 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Jangan coba-coba mempengaruhi kami!"
"Ho-oo! Kau ibu dan anak mau mengandalkan apakah hendak menolak kehendak
Bayunata" Lebih baik menurut saja! Kalian akan dapat uang, pakaian dan harta perhiasan!"
"Enyahlah dari tempat ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan yang dibentak cuma tertawa sinis.
Dikeluarkannya sebuah botol berisi cairan hitam lalu melangkah kehadapan Galuh
Asih. "Perempuan macammu ini biasanya mempunyai jalan pikiran lebih baik mati daripada
jadi peliharaan seorang kepala rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau memang
mau mati!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka lebar-lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam
seraya membentak.
"Perempuan bangsat! Berani kau menyuruh Galuh Asih minum racun"!"
Perempuan itu menjerit. Tubuhnya terbanting ke lantai pondok. Di hadapannya
berdiri Bayunata dengan bertolak pinggang dan mata membeliak.
"Warinah! Sudah sejak lama kudengar kau berperangai buruk! Menghasut, memfitnah
bahkan main gila dengan beberapa orang anak buahku! Berdiri!"
Warinah, demikian nama perempuan itu berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat
kertas. "'Bawa sini botol itu!" bentak Bayunata lalu merampas botol racun dari tangan
Warinah dan membuka tutupnya.
"Sekarang kau sendiri yang harus meneguk racun ini! Ayo, teguk!" perintah
Bayunata. "Ampun ... ampun Bayunata. Aku, aku tidak bermaksud ..."
"Minum cepat!" teriak Bayunata sementara empat orang perempuan lainnya kawan-
kawan Warinah berdiri di satu sudut dengan ketakutan.
Warinah mundur beberapa langkah.
"Minum kataku!" teriak Bayunata lagi lalu melompat dan, menjambak rambut
Warinah. Racun dalam botol dituangkannya ke mulut Warinah tetapi perempuan itu
lebih cepat menutup bibirnya rapat-rapat!
"Oo ... kau tak mau mampus cara begini hah"! Baik! Aku memang sudah bosan
padamu, sudah muak! Lihat, kau akan mampus dengan cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata menangkap pinggang Warinah lalu melemparkan tubuh perempuan itu keluar
pintu pondok! Pondok itu terletak di atas pohon raksasa yang hampir duapuluh
tombak tingginya. Di luar terdengar pekik ngeri Warinah lalu sunyi tanda
tubuhnya telah menemui kematian di bawah KARYA
13 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
sana! Di dalam pondok Bayunata memandang pada empat perempuan kawan Warinah lalu
membentak mereka agar meninggalkan pondok itu! Keempatnya berebutan cepat keluar


Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan lari sepanjang jembatan gantung kecil yang terbuat dari tali yang
menyambungkan pondok itu dengan pondok lainnya.
Kepala rampok Bayunata memutar tubuh dan memandang ganti berganti pada Galuh
Asih dan Ratih.
"Walau bagaimanapun," katanya, "bunuh diri adalah perbuatan paling tolol!"
"Kami mernang tak ingin bunuh diri! Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!"
menyahut Galuh Asih.
"Itu tindakan yang lebih tolol lagi!" kata Bayunata pula.
"Kau telah memiliki perempuan-perempuan peliharaan berlusin-lusin. Apakah itu
belum cukup" Masih kurang" Demi Tuhan lepaskan kami!"
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!" teriak Bayunata marah. "Setiap ada yang
menyebut Tuhan selalu saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan kami!"
"Tidak bisa! Kau harus jadi istriku! Jadi peliharaanku, tahu"! Memang aku punya
lusinan perempuan di sini. Aku sudah bosan dengan mereka semua! Kau musti tahu
setiap perempuan berbeda! Punya keistimewaan sendiri-sendiri!" Dan habis berkata
begitu Bayunata tertawa gelak-gelak. Dia melangkah ke pintu dan berteriak.
Seorang anak buahnya datang dengan cepat.
"Bawa gadis itu ke pondokku! Usir perempuan-perempuan yang ada di sana dan jaga
dia baik-baik! Awas kalau kau berani berbuat kurang ajar!"
Dalam keadaan menjerit-jerit Ratih dipanggil oleh anggota rampok itu. Ketika
hendak dibawa pergi Galuh Asih cepat menghadang.
"Lepaskah dia! Lepaskan anakku!"
"Jangan tolol Galuh Asih!" bentak Bayunata seraya menarik lengan perempuan itu
kemudian sekaligus dirangkulnya. Galuh Asih memekik dan menangis keras sewaktu
anak gadisnya lenyap diluar pintu.
Bayunata menutup pintu pondok dan tegak menunggu sampai tangis Galuh Asih
mereda. Bila perempuan itu tampak agak tenangan sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau tak usah kawatir akan keselamatan diri anakmu ..."
KARYA 14 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan jamah tubuhku!"
"Oh, begitu" Apakah kau mau aku memanggil sepuluh anak buahku dan menjamah
sekujur tubuhmu sekaligus"!"
"Bangsat! Demi Tuhan matilah kau!" teriak Galuh Asih lalu melompat dan
memukulkan kedua tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan mudah kepala rampok hutan Bludak itu menangkap kedua lengan Galuh Asih
dan dilain kejapperempuan itu sudah tenggelam dalam rangkulannya.
Ciumannya bertubi-tubi. Galuh Asih melejang meronta-ronta berusaha melepaskan
diri namun sia-sia saja malah lambat laun tenaganya semakin mengendur dan dia
tak berdaya apa-apa sewaktu Bayunata membaringkannya di atas kasur jerami
kering. Kekuatan perempuan ini timbul kembali sewaktu Bayunata mulai
menanggalkan pakaiannya dengan kasar. Keduanya bergumul berguling-guling dan
pada akhirnya Galuh Asih kembali menyerah kehabisan daya! Dia hanya meramkan
mata, tak bisa menolak sewaktu Bayunata meneduhi tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba
menjerit keras ketika dirasakannya bulu-bulu dada kepala rampok itu
menggeremangi buah dadanya. Dia menjerit sekali lagi, sekali lagi lalu pingsan
di bawah tindihan tubuh laki-laki terkutuk itu!
Sepeminuman teh lewat.
Bayunata dengan tubuh keringatan dan terhuyung-huyung melangkah ke pintu.
Dibukanya pintu itu. Untuk beberapa lamanya dia berdiri memandangi kegelapan.
Disekanya peluh yang berciciran dikeningnya. Dia berpaling kebelakang. Galuh
Asih terbujur diatas kasur jerami dalam keadaan tak berpakaian. Sepasang matanya
terpejam. Dada dan perutnya jelas kelihatan turun naik.
Betapa bagusnya tubuh telanjang itu dipandang demikian rupa. Dan tentu tubuh
anaknya yang, masih perawan jauh lebih bagus dari itu, pikir Bayunata..
Kepala rampok hutan Bludak ini memalingkan kepalanya, kembali memandang keluar
pondok. Dia kemudian berteriak memanggil dua orang tangan kanannya. Tak lama
muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Bola-bola mata kedua manusia ini
membesar sewaktu mereka memandang ke dalam pondok dan melihat tubuh Galuh Asih
yang terbaring telanjang diatas kasur jerami.
"Sobat-sobatku, kau lihat pemandangan di dalam sana"!" ujar Bayunata sambil
menyeringai dan menunding dengan ibu jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku
temahak perempuan! Kalian berdua boleh perbuat apa saja sekarang terhadapnya!
Tapi ... jangan main serobotan. Dia masih KARYA
15 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
letih ....!" Habis berkata begitu Bayunata tertawa mengekeh lalu meninggalkan
ambang pintu, meniti jembatan tali yang menuju kepondok lainnya.
Sawer Tunjung cepat-cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya
dipegang oleh Singgil Murka.
"Mau kemana Sawer" Aku tokh lebih tua darimu" Aku yang lebih dulu!"
Sawer Tunjung mengeluarkan suara menggerutu.
"Lagi-lagi soal umur kau gunakan untuk lebih dulu dapat mencicipi perempuan itu!
Sekali-sekali aku tokh boleh saja lebih dulu dari kau"! Aku tak ingin selalu
jadi tukang cuci mangkok!"
Singgil Murka menyeringai memperlihatkan barisan gigi-giginya yang besar, hitam
kotor tak pernah digosok.
"Yang sekali ini lain, sobat! Betul-betul lain!" desis Singgil Murka tanpa
melepaskan bahu kawannya.
Sawer Tunjung jadi penasaran. Ditepiskannya lengan Singgil Murka dan berkata
keras. "Justru karena yang sekali ini lain maka aku yang musti lebih dulu!"
Sementara kedua kawanan rampok itu bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih
membuka kedua matanya. Dia sadar apa yang telah terjadi atas diri nya. Mendengar
pertengkaran Singgil Murka dan Sawer Tunjung dia sadar pula apa yang bakal
menimpa dirinya. Noda kotor baru saja menimpa dirinya dan kini kembali kekotoran
itu akan jatuh. Galuh Asih se-olah-olah mendapat kekuatan gaib. Tidak saja
perempuan ini bangkit dan berdiri tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia
menjerit keras lalu secepat kilat lari ke ambang pintu.
"Hai!" Singgil Murka dan Sawer Tunjung berseru hampir bersamaan. Keduanya
melompat ke pintu tapi terlambat. Tubuh Galuh Asih melayang dalam kegelapan
malam. Jeritannya mengumandang mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan serta
merta berhenti sewaktu tubuh perempuan tersebut jatuh dengan keras ke tanah!
Kepalanya rengkah, lehernya patah!
KARYA 16 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
4 BAYUNATA tengah meniti jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar,
menuju ke pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak buahnya. Pada
saat itulah didengarnya lengking jerit yang mengejutkan di malam pekat itu. Dia
membalikkan tubuh dan samar-samar di kegelapan malam dilihatnya sesosok tubuh
berambut panjang tanpa pakaian melayang jatuh dari pondok di seberang sana.
Lamat-lamat terdengar suara tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi.
Dipondok seberang sana Singgil Murka dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan
memandang ke bawah. Bayunata berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi"!" tanya Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang
barusan terjadi.
"Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh diri hah"!"
"Kami ... kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan
lari sangat cepat ke pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata berkeretakan. "Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang
tidak tahu diri! Berlalu dari hadapanku!" sentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung segera meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke
tanah untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih dan juga mayat Warinah yang
sebelumnya telah dilemparkan oleh Bayunata.
Bila kedua pembantunya itu telah berlalu, Bayunata meneruskan meniti jembatan
gantung dari tali menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang
mengawal dipintu.
Bila Bayunata membuka pintu pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut
ruangan tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat kediaman
Bayunata. Selain paling besar juga di dalamnya terdapat perabotan-perabotan yang
serba mewah. "Hentikan tangismu. Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan."
kata Bayunata seraya menutupkan pintu pondok.
Dari sebuah rak kayu jati diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu
diisinya sampai setengahnya dengan anggur harum.
KARYA 17 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
"Minumlah, kau tentu haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang
di tangan kanannya ke muka Ratih.
Si gadis memandang seloki itu seketika lalu mengambilnya dan dengan tiba-tiba
anggur di dalam seloki disiramkannya ke muka Bayunata.
Kepala rampok itu undur beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang
tersiram anggur terasa perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu beberapa
lama sehingga rasa perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk
pertama kalinya dia tidak menjadi beringas marah diperlakukan seperti itu.
Dipandangnya Ratih dengan kedua matanya yang merah dan perlahan-lahan diteguknya
anggur dalam seloki.
"Gadis galak, kau memang pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!"
Bayunata tertawa perlahan.
"Setiap perempuan yang kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta
dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak mungkin keluar, tak
mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan tolol bunuh diri!" Dan Bayunata hendak
menerangkan tentang kematian Galuh Asih kepada gadis itu, tetapi maksudnya itu
kemudian dibatalkan.
"Hentikan tangismu. Jangan bikin aku muak dan marah." Bayunata berkata bilamana
Ratih masih dilihatnya menangis.
Sebagai jawaban Ratih melemparkan seloki di tangan kananpya. Dengan tangan
kirinya Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu seketika
lalu berkata, "Aku berjanji tidak akan memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya.
Aku tidak akan menyakitimu."
"Persetan dengan ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali Bayunata tertawa perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di
atas sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si gadis
cepat-cepat menjauh.
"Seorang penjahat memang tak dapat dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti
percaya dengan ucapanku," dan Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai
tubuhnya tertahan oleh pondok.
"Aku tak akan menyakitimu. Siapa namamu gadis... ?"
Ratih memepet ke dinding. Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan
besar dari kuningan. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan
dilemparkannya ke kepala KARYA
18 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Bayunata. Melihat sikap Ratih yang keras demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya
dengan lembut, kini naiklah darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan
besar itu hancur berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!"
bentak Bayunata beringas.
Ratih kaget bukan main.
"A ... apa"! Ibuku bunuh diri ..."!" tanyanya membeliak.
"Bunuh diri dan mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua tangannya
telah mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke tempat tidur dan
ditindihnya sekaligus.
Ratih berguling-guling, meronta dan menerjang untuk melepaskan tubuhnya dari
rangkulan kepala penjahat itu. Namun ini hanya menghabiskan tenaganya sementara
setiap kesempatan yang ada dipergunakan oleh Bayunata untuk merenggut dan
merobek pakaian yang melekat di tubuh sang dara hingga dalam waktu yang sihgkat
pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah tak karuan rupa lagi. Penuh robek dan
terbuka di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil menindih tubuh gadis itu. Namun dengan sisa-sisa
tenaganya yang ada Ratih masih sanggup menerjangkan kaki kanan menghantam perut
Bayunata. Kepala rampok itu mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih.
Keduanya terguling dan jatuh di lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang
kepalanya dilantai membuat pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya
semakin lemah sedang jambakan Bayunata masih lengket dirambutnya dengan keras.
Ratih tahu dia tak dapat bertahan lebih lama.
Mungkin sudah menjadi takdir bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk
begitu rupa. Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus panas diwajahnya.
Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu membuka lilitan kain ditubuhnya.
Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata menjalar meremas dadanya. Ratih
menangis keras. Usaha terakhir yang bisa dilakukannya ialah merapatkan kedua
kakinya sedapat-dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata dengan mudah sekali
menyibakkan kedua kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan Tuhan benar-benar datang!
KARYA 19 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Pintu pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara sesosok
tubuh bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua pergelangan
kakinya dicengkeram.
Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, mendadak sontak tubuhnya telah
dibantingkan ke lantai pondok!
KARYA 20 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
5 BAYUNATA adalah seorang kepala rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya
terbanting keras ke lantai dia sanggup bangun kembali dengan gerakan kilat
seraya melepaskan satu tendangan ke arah mana sudut matanya melihat sosok
bayangan putih yang barusan masuk. Yang diserang nyatanya bukan seorang yang
berkepandaian rendah pula, karena tendangan kilat Bayunata berhasil dielakkannya
dengan miringkan tubuh ke samping kiri. Di lain kejap kedua orang itu telah
berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa kau"!" bentak Bayunata.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak
dikancing hingga kelihatan dadanya yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri
bertolak pinggang. Rambutnya yang menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin
yang berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu,
Bayunata!"
kata si pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang.
lniiah gerakar; yany -dinamakan "sepasang lengan baja meminta jiwa." Selain
cepat serangan ini menimbulkan angin yang luar biasa derasnya.
Pemuda ditengah ruangan cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari
lawan dengan amat cepat menyambar ke batang lehernya. Namun tak terduga begitu
dia berhasil mengelak, sepasang lengan lawan laksana palu godam tiba-tiba
membabat ke kepala dan pinggang!


Wiro Sableng 015 Mawar Merah Menuntut Balas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si pemuda membuang diri ke samping. Tangan kiri menekan lantai sedang kaki kanan
berkelebat ke atas menendang ke arah salah satu lengan Bayunata! Ini adalah satu
gerakan yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-olah gerakan itu
adalah gerakan main-main! Ini memb'uat Bayunata penasaran setengah mati. Dia
bertekad untuk membuntoh pemuda tak dikenal itu saat itu juga. Disambarnya golok
besar di kaki tempat tidur. Sesaat kemudian senjata yang beratnya hampir
duapuluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar putih yang berkiblat ganas ke arah
tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda yang diserang amat terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok
yang demikian hebat. Selain golok itu besar dan berat serta mendatangkan angin
deras, sekali berkiblat KARYA
21 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
senjata ini telah menebar tiga tabasan dan empat tusukan ke arah tujuh bagian
tubuh si pemuda!
Dalam tempo yang singkat pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok
lawan menyambar berputar menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat dirinya
celaka. Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda menyambar pakaian Bayunata
yang tercampak di lantai.
Pakaian itu diputar-putarnya dan digunakan untuk menghadapi lawan. Bayunata
merasa dianggap enteng, apalagi pakaian yang tangan si pemuda adalah miliknya
sendiri. Permainan goloknya diperhebat namun dia harus berhatihati karena
meskipun cuma sehelai pakaian namun di tangan si pemuda benda itu berobah
menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke dada, membalik memapas ke lambung kiri pemuda
berambut gondrong. Di lain pihak pakaian di tangan si pemuda meluncur berputar-
putar, menyusup di bawah golok lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh
badan golok tahu-tahu telah terlibat!
Bayunata berseru kaget. Cepat-cepat goloknya dibetot. Tapi apa yang terjadi
ialah senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas dari tangannya! Bayunata berteriak
marah. Dia menerjang ke muka dengan melepaskan satu pukulan sakti. Namun sebelum
hal itu sempat dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan telapak
tangan kanannya ke kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata
terpelanting dan jatuh punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang
bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di situ tertera pula tiga barisan angka
berwarna putih, angka 212!
"Pergunakanlah seperai tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda
berambut gondrong pada Ratih.
Bila si gadis sudah menutupi tubuhnya yang hampir keseluruhannya bertelanjang
bulat itu dengan kain seperai maka si pemuda berkata lagi, "Kita harus
meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng.
"Aku dipesan untuk tidak melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau begitu aku sendiri yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia
membungkuk mengambil golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya bergerak
hendak melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak melarangku! Lepaskan tanganku!"
Si pemuda mengambil golok besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut
kamar. "Mari KARYA
22 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
ikut aku!"
"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih
mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau terlalu banyak cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya
leher gadis itu.
Dalam keadaan kaku tegang Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai di
ambang pintu, dua orang rampok muncul dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak
cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus, marilah lebih dekat!"
Rampok yang pertama berteriak keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya mental
keluar pintu. Rampok yang kedua melengak kaget. Jika begini naga-naganya lebih
baik dia angkat kaki.
Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah kena dijambak. Di
lain detik terdengar kepalanya diadu dengan sanding pintu pondok yang keras.
Rampok itu melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih sesaat
kemudian telah lenyap dari tempat itu.
*** Bukit itu berbentuk bulat. Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang muncung
ke atas, juga berbentuk bulat. Karena bentuknya yang demikian itulah bukit
tersebut kemudian dinamakan bukit Gong.
Pada tanah yang muncung dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah
bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu"
Sebelum kita mencari tahu siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut
marilah kita ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda
berambut gondrong dari hutan Bludak yang menjadi sarang rampok Bayunata.
Sewaktu fajar menyingsing di timur, kedua orang itu berada di sebuah anak sungai
berair jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang dipanggulnya dan menyandarkannya
di sebuah batu besar di tebing sungai. Begitu totokannya dilepaskan Ratih
berkata dengan keras.
"Aku tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?" si pemuda menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan
Bludak"!"
"Aku tidak percaya padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kzmpungku!"
KARYA 23 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
Si pemuda tertawa perlahan.
"Kalau kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk
menyelamatkanmu, lain tidak."
"Siapa yang memesan?"
"Seorang kakek-kakek. Adikmu berada di tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia
persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar ucapan itu.
Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng si pendekar 212 berdiri.
"Aku akan mandi di tepian sebelah sana," katanya pada Ratih. "Jika kau hendak
melarikan diri, silahkan!"
Ratih tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng
melangkah sepanjang tepi sungai dan menghilang di balik rerumpunan pohon pohon
bambu. Walau bagaimanapun hatinya masih diselimuti kebimbangan. Pemuda itu telah
menyelamatkannya dari tangan kepala rampok Bayunata di hutan Bludak. Dia tak
kenal siapa pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek memesannya untuk
menyelamatkan dirinya. Dan si pemuda menerangkan bahwa adiknya ada bersama si
kakek. Siapa gerangan adanya si kakek" Dan ke mana dia hendak dibawa"
Dia tak bisa mempercayai pemuda itu begitu saja. Ratih mendengar suara orang
terjun ke dalam sungai. Dia menghela nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri
barulah disadarinya bahwa saat itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai
seperai. Bagaimana mungkin dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa"
Dengan mengomel dalam hati dia duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari
pada menunggu kembalinya si pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa.
Mudah-mudahan saja pemuda berambut gondrong itu bukan manusia jahat seperti yang
dicurigainya. Tengah dia melamuni nasib dirinya, Ratih melihat semak-semak di depannya
terseruak. Di lain saat dari seruakan semak belukar itu muncullah seorang
pemuda. Pemuda ini bertampang cakap.
Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak sehat. Baju dan
celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan kain hitam yang
berbentuk kasut. Dia berdiri KARYA
24 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala, memandang pada Ratih, tersenyum
dan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah! Inilah!" katanya sambil mengusapusap mukanya, "Inilah gadis yang
kucari-cari! Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin dengan gadis
yang berpakaian aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi! Aku akan kawin!
Asyiik...!"
Pada mulanya Ratih merasa takut terhadap pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang
aneh serta edan itu hatinya jadi geli. Dan pura-pura marah dan membentak.
"Setan gila dari mana ini muncul pagi-pagi buta"!"
"Amboi! Suaramu merdu amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu
keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger. Tapi aku
bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis. Aku manusia, sama
dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki. Bedanya kau berotak sehat,
aku gila. Nah, kau mengerti .... ?"
Mau tak mau Ratih tertawa mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang.
"Bagus! Memang calon istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon
istriiiiiii ... !!"
"Pemuda! Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon
istrimu! Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau
tidak itu urusan nanti. Kau mengerti"!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa panjang-
panjang. "Berlalulah dari hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-
pura marah. "Soal muak atau tidak tak usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu hal
lagi. Tadi kau bilang aku setan gila yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu ...
dengar, aku akan terangkan.
Pagi adalah nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang bukan malam. Pagi nama waktu,
bukan binatang bukan manusia, bukan makhluk hidup. Jadi pagi itu tak mungkin
punya mata. Apalagi KARYA
25 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Mawar Merah Menuntut Balas
kalau matanya buta. Pagi buta ... lucu sekali! Memangnya ada pagi yang tidak
buta" Pagi ya pagi.
Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi kau tertawa! Kau tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah!
Dan betapa nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu itu!
Amboi!" Kalau tadi dia tertawa tapi kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih
menjadi marah. "Lancang amat mulutmu! Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat, masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia
melangkah maju.
Pedang Naga Kemala 18 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum 9
^