Badai Di Parangtritis 2
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis Bagian 2
tangannya, mencekal leher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah
Tumenggung Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!"
teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang tampak kaku sekujur tubuhnya.
Mukanya seputih kertas. Suaranya tercekik ketlka bicara. "Lepaskan!
Jangan! Kau salah tuduh! Aku bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru
untuk bergabung! Bukankah aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang
sakitnya Raja...."!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara
menggereng. Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang
dilemparkannya ke atas meja besar.
Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki
kuku sekuat dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerlnda. Terjadilah
satu pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-
hempaskan tubuhhya sementara kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka
dikelupas oleh kuku-kuku maut itu!
Hanya beberapa kejapan mata saja kepala itu kini tinggal tengkorak berselimut
darah! Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti Allah..." bisik Wiro dalam hati dan membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini
dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si
Tapak Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya
yang bersimbah darah. Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata, "Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-
mata Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya
berada dalam penjara!"
Wiro tidak perduli apa yang diucapkan oleh orang itu. Ingin sekali dia
meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak bergerak bangkit tiba-tiba Si Tapak
Api berseru. "Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh
Tumenggung Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat
yang mulal tenggelam dalam gelapnya malam yang baru turun.
*** 5 YANG DATANG ternyata ada dua orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar
berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan
kanannya. Di samping orang ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis
berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di
dada kirinya. Gadis ini tampak agak ragu-ragu untuk melangkah lebih dekat ke
arah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya.
"Tak ada yang harus ditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman
seperjuangan..."
"Aha! Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum
dimulai!" Si Tapak Api berseru. Sesaat matanya jelalatan menatap wajah cantik
gadis di samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi,
Kepala Desa Parangtritis.
"Harap maafkan.... "sahut Ki Demang Wesi sambil menjura.
"Aku terlambat karena harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita
adalah perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik
begitu perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia
adalah puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku
sudah menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap aku sebagal
ayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah memutuskan untuk menyumbang
kekayaannya bagi perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si Tapak Api.
Pangeran Adi Bintang Sasoko tiba-tiba bangkit dari kursinya.
Matanya memandang tak berkesip pada Winayu Tindi. Tangan kanannya diangkat. Jari
telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik.
"Cantik! Cantik sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan
sangat besar! Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si
cantik jelita ini..."!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro
berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi
permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah"! Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju.
Di antara tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara
seperti nyamuk mengiang dikedua telinganya, "Anak tolol!
mengapa mulutmu selancang itu mengatur perjodohan orang"!
Sableng!" Wiro merasakan mukanya jadi merah dan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-
cari siapa diantara yang hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit
baginya untuk menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si Tapak Api.
Atau mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa"
Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap, terdengar suara Winayu Tindi. Wajah
gadis ini tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuh
ayah dan ibu saya...!"
"Oh begitu" Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh
orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!"
berkata Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuh rendah oleh orang banyak.
Ki Demang Wesi membimbing Winayu lalu keduanya duduk di bagian meja yang masih
kosong ini adalah di samping Wiro. Begitu melihat si pemuda kening Ki Demang
Wesi jadi berkerut.
"Eh, anak muda! Kau..."
"Rupanya kita orang-orang satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang
melakukan...?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak
mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro
memandang padanya gadis ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu lancang
benar! Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi..."
Untuk kedua kalinya Wiro merasa wajahnya menjadi merah.
Sadar kalau mulutnya ketelepasan.
"Maafkan aku sahabat. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi kata-kataku tadi memang
tidak pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing
betina yang bengekpun tidak mau jadi istri Pangeran gila itu...!"
Suto Gunoro sang calon patih Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah
menghisap pipanya panjang-panjang diapun menyatakan bahwa pembicaraan rahasia
segera dimulai. Adapun pembicaraan itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari
tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu orang. Lalu melakukan penculikan
terhadap Sri Baginda dan menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro yakni
Pangeran yang diduga akan diangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri
Baginda mangkat. Setelah itu dilakukan penggantian terhadap pucuk pimpinan
Kerajaan, termasuk para Adipatl, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu
Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa penyerbuan akan dilakukan dua harl dimuka, dinihari
menjelang subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam akan dilakukan pembunuhan
terhadap para tokoh silat Istana.
Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala, Pengemis Kaki
Kayu dan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang tengah malam pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk
tuak sampaii sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekali tidak menyentuh minuman
ini, dan juga tidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun
mematikan yang ada dalam minuman.
Selain bangunan panjang tanpa dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu,
ternyata masih ada tiga bangunan lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan
merupakan rumah-rumah kecil. Salah Satu rumah itu ditempatl oleh Pangeran Adi
Bintang Sasoko bersama Si Tapak Api. Rumah kedua dan ketiga tadinya dibagi-bagi
untuk para anggota komplotan pemberontak itu namun yang satu kemudian harus
diberikan pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan
mereka malam itu ke tempat itu, tidak satu orangpun diperkenankan meninggalkan
tempat rahasia itu. Penjagaan ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkur di bangku panjang.
Udara dingin sekali dan suara deburan ombak di pantai terdengar mengerikan.
Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api
dan Ki Demang Wesi melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah
kecil di sebelah kanan. Murid Sinto Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika dilihatnya gelagat baik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap
di kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya
menjuntai tepat di atas rumah di mana ketiga orang itu berada. Dari atas pohon
Wiro dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantik
itu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang
tuanya. Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika
Pangeran memang menyukainya..." Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu saja aku menyukainya! Ha..ha...ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang
goreng dan kopi hangat pada pagi hari! Ha.. ha.. ha.. !"
"Ki Dernang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan
diberikannya dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang
tuanya. Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikan dengan
tuntas?" Yang bicara adalah Si Tapak Api.
"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak
tahu kalau pemuda asing yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng,
orang kita sendiri.... "
"Terus terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya
keblinger dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh
bersih dari golongan putih...."
"Dunia bisa berubah, apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi.
"Tapi tak ada salahnya untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam
kelompok kita..."
Melihat hal ini Ki Demang Wesi minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum
Ki Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jaga baik-baik
Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan aku lakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu hal lagi haruss kau jaga baik-baik, Ki Demang!"
"Apa itu...?"
"Jangan sampai dara itu mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya..."
Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengar
kata-kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata,
"Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya aku tidak akan mau berlaku sekeji itu
Sumo... Lagi pula dia menolak untuk diajak serta.
Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kita ke Istana!"
"Memang manusia seperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah
dirusak kehormatannya sebelum dibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan Ki Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan
itu terlalu cantik dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu
dari suaminya tentang komplotan kita. Juga kusir kereta.... "
"Aku tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukan terhadap
istri Ageng Lontar! Ha... ha...ha.... ! Ceritakan saja saja Ki Demang.... "
"Aku memang dirasuk nafsu. Perempuan itu kutiduri baru kubunuh. Untuk menutup
rahasia kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami!
Ha...ha.... ha....!"
"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan
saja akan terus jadi Kepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri...."
Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutupkan kembali.
Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget seperti disengat
kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang terakhir.
"Manusia setan haram jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-
benar dajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat
itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluar dari dalam rumah dia
segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan amarahmu! Belum saatnya! Belum saatnya untuk
memamerkan kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang
berkeliling. Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas
dibawah pohon. Saat itu pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu tampak Si
Tapak Api keluar dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti
di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya. Apakah tuak itu benar-benar kau campur racun?"
"Seperti yang kita rencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan
mampus! Putus dan hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan mereka lagi!
Juga tidak Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas berikan padaku obat penawar racun itu! Aku tidak mau mati
konyol!" S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam
saku pakalannya dan diserahkan pada Ki Demang.
Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki
Demang bertanya.
"Bukankah itu yang kita rencanakan" Aku jadi Raja, kau menjadi Patih...! Nah,
hari hampir pagi. Kau pergilah tidur. Mudah-mudahan mimpi enak..." Si Tapak Api
menepuk bahu Ki Demang Wesi.
Keduanya berpisah.
"Jahanam! Benar-benar manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu.
Minuman itu ternyata beracun!"
Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih sempat mendengar
ada suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Dia
hanya sempat melihat bayangan dalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu
lenyap! Tapi dari sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisa menduga
siapa adanya orang itu. Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah
meronda. Dilihatnya tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi
tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu
tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ" Wiro melangkah
mendekati orang ini.
Memperhatikannya sejenak. Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah
Tatata Tititi. Lalu diperhatikannya tangan sendiri.
Noda yang sama juga terdapat pada kedua telapak tangannya. Kotoran Itu adalah
lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212 tersenyum.
Dalam hati dia berkata, "Hemmm... Jadi dia rupanya!" Wiro manggut-manggut dan
diam-diam merasa lega.
Paling tidak dia tahu kalau dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya
itu.Ada seorang teman bersamanya walau dia masih tidak dapat memastikan siapa
adanya orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di
mana dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan
suara mengorok tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya yang
celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata,
"Ah, pemuda itu sudah tahu rupanya..."
*** 6 SEJAK SIANG hujan turun terus. Menjelang sore reda sebentar tetapi begitu
matahari menggelincir ke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut
bergelombang menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk bergulung-
gulung setinggi rumah. Di kejauhan terdengar suara angin menderu mengerikan.
Tampak kilat sambar-menyambar lalu suara guntur menggelegar seperti hendak
membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patah berderak, tumbang
ke laut. Ringkik kuda yang ketakutan terdengar berulang kali.
Di dalam rumah kecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir sementara
Pangeran Adi tegak di sudut sambil tersenyum-senyum lalu menyanyi-nyanyi kecil
seolah-olah mengiringkan deru hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tombak Dewa berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil
permainkan kaki kayunya. Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu
rumah, memegang sehelai kapas berwana merah.
Tengah berhias rupanya si banci ini! Si Tapak Api diam-diam memaki melihat
tingkah laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi
dan Tatata Tititi.
"E... Hujan celaka !" akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Buto Gunoro
sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kita siap
bergerak!"
"Tenang saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu berhenti kita
segera bergerak menuju Kotaraja," berkata Pengemis Kaki Kayu.
"Kalau segera berhenti, kalau tidak..." Kita bisa terlambat dan kesiangan sampai
di sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?"
bertanya Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlu kita takuti di dunia ini, tapi jangan tolol.
Cuaca bisa membuat kacau gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa
sebenarnya yang terjadi di luar sana" Siapa yang pandai melihat cuaca"! Tatata
Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar, apakah hujan akan reda
atau tidak"!"
Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahi wajahnya dengan bedak
merah itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum.
Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan keluar, bedakku, gincuku, alisku...
semua akan luntur! Hik...hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh
saja yang lain..."
Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa.
Dia menjangkau sebuah caping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata
Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan!
Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi ada pada Pangeran Adi. Dan aku
mewakilinya. Jadi jangan ada yang berani menolak perintah..."
Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksa
disambutnya dan dikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat
itu udara di luar mulai gelap. Hujan lebat seperti tidak bisa ditembus dengan
pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan menuju
bagian bukit yang agak tinggi. Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan
laut. Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat pemandangannya
terbatas hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigil kedinginan Tatata Tititi
memandang berkeliling, mencari-cari pohon yang baik dan mudah untuk dipanjat.
Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengan cabang-cabang yang
berdekatan satu sama lain. Sekali lagi orang yang mengaku banci ini memandang
berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun melayang ke atas
cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas pohon, tetap saja dia tidak papat
melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya sambaran-sambaran kilat lalu
suara guntur yang seperti hendak merobek langit. Namun sebenarnya bukan untuk
dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka celemong ini untuk naik ke atas
pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah benda bulat panjang sebesar
ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya sedang sebelah bawah ditancapi
sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang lain dia mengeluarkan
sepasang batu api.
"Celaka, batu api ini basah...!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu
kepakaiannya agar kering. Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api
terdengar marah-marah karena sepasang batu apinya lenyap entah kemana. Padahal
yang kini berada di tangan Tatata Tititi itulah batu api miliknya, dicuri oleh
si muka seronok!
Setelah sepasang batu api kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi
benda bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai
menggosok sepasang batu api itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan
ketakutan kuat dan keras maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah
api didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras
mematikanya. "Setan alas!" maki Tatata Tititi. Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru
sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain
yang cepat dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut ke bagian
benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan
pegangannya pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang keras,
dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat ke udara. Siapapun yang
berada di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya, walaupun
hanya seketika yakni sebelum padam diterpa air hujan dan udara dingin. Tatata
Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak
mempergunakan ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pasti akan
menenggelamkan goa...."
Lalu dia turun dari atas pohon kembali ke dalam rumah.
"agaimana" Apa yang bisa kau laporkan..."!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu
Tatata Tititi muncul di pintu.
"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badai besar berkecamuk di laut. Dalam
waktu cepat air laut akan pasang dan goa panjang satu-satunya jalan menuju ke
pantai akan terendam air!"
Mendengar keterangan Tatata Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan
memegang lengan Si Tapak Api kuat-kuat.
Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau mati ditabrak badai!
Aku tak mau mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus hidup karena aku harus
jadi Raja! Dan permaisuriku itu.... Dia yang nomor satu harus diselamatkan...!"
"Tenang Pangeran... tenang! Semua akan kita atur dengan cepat.
Kita akan segera meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua
tokoh silat dan para Adipati yang ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambil kedudukan dan
tanggung jawab sesuai yang sudah diberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa
Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran
Adi dan Winayu Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh Sitomulyo,
mereka harus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di
sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itu bersama Ki
Demang Wesi..."
Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlari di bawah hujan menuju rumah
kecil di mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon
Kepala Pegawal Raja ini kembali dengan muka pucat.
"Ada apa.... " Mana kedua orang itu..."!" tanya Si Tapak Api.
"Gadis itu tak ada di dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan
tertotok. Aku berusaha melepaskan totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso keluarkan suara seperti meraung menangis lalu lari
menghambur keluar, diikuti oleh yang lain-lain.
Ketika sampai di rumah sebelah memang di situ hanya ditemul Ki Demang Wesi tegak
kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke dinding membelakangi pintu.
Winayu Tindi sama sekali tak ada di tempat itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung
jari tangan kanannya ke punggung untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu.
Tapi gagal. Totokan itu tidak musnah. Paras Si Tapak Api tampak berubah.
"Ini bukan totokan sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu
melarikan diri! Ada pengkhlanat di antara kita!
Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata calon Patih itu dengan mata berapi-api
lalu menatap semua orang yang ada di situ satu persatu.
"Ka1au begitu pendapatmu, berarti calon permaisuri telah diculik orang!" kata
Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke
lantai lalu menangis seperti anak kecil.
"Manusia gila! Sedeng!" maki Si Tapak Api dalam hati. Dia sama sekali tidak
memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di
tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol dan banci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititl. Dia maju
mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik
celana Kepala Desa Parangtritis itu hingga melorot ke bawah. Di sebelah muka
tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya
yang jelek hitam.
"Manusia banci! Apa yang kau lakukan ini"!" teriak Si Tapak Api sementara yang
lain-lain tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat pengunci totokan
aneh ini ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki Demang Wesi kuat-
kuat dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
Duuutttt! Angin busuk keluar dari bagian bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang
menyumpah dan menekap hidung karena baunya yang seperti hendak meruntuhkan bulu
hidung. Namun di saat itu pula Ki Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat
dan akhirnya membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari
totokan aneh luar biasa itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi "!" tanya Si Tapak Api.
"Aku mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhku terdorong ke depan dan ketika
aku sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisa bersuara.
Winayu Tindi lenyap!"
"Kau sama sekali tidak melihat siapa yang melakukan?" tanya Dewa Tongkat Kedua.
Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku... Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita pasti menemukan gadis itu...." kata Tatata Tititi.
Tapi sang Pangeran terus meraung seperti anak kecil.
Tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Dia adalah salah seorang yang ditugasi
memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa"!" membentak Si Tapak Api.
"Saya datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut
goa. Badai dari laut mulai menerjang tepi pantai.
Pohon-pohon bertumbangan. Banyak kuda yang terlepas dan lari.
Anggota pasukan mulai resah..."
Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-
bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu.
Beritahu semua orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat
ini. Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing!
Aryo Ladam, kuminta kau pergi bersama orang ini... "
Aryo Ladam mengangguk lalu tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap
berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu hal penting terjadi di luar sanal Dua orang
pengintai melihat ada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari
timur, utara dan barat, menuju ke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Suasana berubah tegang sementara
Pangeran Adi masih terus meraung-raung sambil jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagalmana ini bisa terjadi kalau tidak ada ponghianatan diantara
kita! Musuh dalam selimut! Penyusup keparat...!" teriak Si Tapak Api sambil
kepalkan kedua tangannya.
"Lekas mengaku! Siapa di antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa
di antara kalian yang jadi mata-mata Kerajaan!
Kalau tidak ada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar
teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah bersembunyi di
luar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-api dan suara
bergetar saking marahnya. "Tidak apa kalau tidak ada yang mau mengaku! Tapi
dengar kalian semua! Malam lalu kalian telah berpesta pora dengan tuak harum!
Tapi tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalau tidak dapat obat
penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa!
Siapa yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan tahta
Kerajaan direbut, jangan harap akan kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang ada di situ
jadi terkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si
Tapak Api. Si Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur
selangkah. Sambil menyeringai dia berkata, "Aku tidak takut mati! Kalian boleh
membunuhku sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian!
Silahkan pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar
atau kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut
dan darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu.
"Kami sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipu dan
mencelakai kami dengan racun dalam minuman"!"
"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap
kita! Jangan-jangan kita hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata
Tititi. "Tidak satupun di antara kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku
akan memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang
telah dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara
panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini... "
Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu.
Bangunan kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara
gemuruh ketika atap rumah itu terbang dihantam angin bersama sebagian dinding
bangunan. Beberapa pohon di sekitar tempat itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampai di sini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang
Sasoko. Dia masih saja menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat
angkat tubuhnya namun sang Pangeran meronta sambil berteriak-teriak. "Aku tidak
mau pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi bersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus
tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di
bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!"
berkata Si Tapak Api.
Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu menyerang
Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi. Begitu sang
Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknya hingga kaku dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu memanggul tubuh calon Raja kita!"
memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah tugasku bersama Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat
duluan menuju Kotaraja untuk menghabisi tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab
Wlro. "Jangan toloi! Jangan berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan
mata mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira
para tokoh itu masih buta tidak mengetahul apa yang terjadi" Apa kau kira mereka
enak-enakan tidur dan ngorok"! Jalankan perintahku!"
Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi.
"Bebanku berat! Aku tak bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar
murid Sinto Gendeng pula.
Ketika orang-orang itu berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa
panjang menuju ke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran
lalu menyandarkannya ke sebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro
mengikat tubuh pangeran itu ke pohon tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro lari ke bagian timur bukit, menyelinap ke
balik serumpun semak belukar. Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah
kuyup oleh air hujan, tampak dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam.
Perempuan ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh
Wiro untuk diselamatkan lalu disembunyikan di semak belukar itu.
Dengan tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi.
Kedua mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap
untuk menjerit. Wiro cepat menutup mulut sang dara.
"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-
tangan pemberontak itu asalkan kau mau menuruti nasihatku..."
"Kau! Kau menyebut mereka pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!"
tukas Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau tidak beda dariku, anak manis..."
"Jangan sebut aku anak manis! Aku bukan anak-anak..."
Tapi kalau orang-orang Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan
lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua
orang tuamu dan kusir delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiri dengan cepat. "Siapa"!"
tanyanya menjerit di antara deru hujan dan angin. Sementara malam tambah gelap
dan udara dingin bukan main.
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan katakan itu nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi ketika Wiro menarik tangannya.
Ketika melewati pohon di mana Pangeran Adi terikat sang dara berbunyi. "Apa yang
terjadi dengan Pangeran gila itu"!"
"Dia sedang mimpi jadi raja! Dan kau permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau sama saja saja sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini
masih bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu merengut jengkel tapi dalam hati dia
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengan susah payah Wiro berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang
sebelumnya memang ditambatkan di sekitar situ.
"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah
belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh
silat itu punya mata setajam setan!
Jangan sampai kau terlihat oleh mereka!"
*** 7 WIRO MEMACU kudanya meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai mereda
tetapi tiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air laut naik
terus. Di bagian tepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di
sebelah depan ratusan pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam
dan tiga orang Adipati. Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang
kuda adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang
ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala. Sedang
Tatata Tititi yang memakai caping menunggang kuda agak jauh di ujung kanan
pasukan. Pasukan pemberontak bergerak perlahan. Bukan saja karena hujan dan angin badai
tetapi juga karena semuanya kini diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal
pada apa yang kini mereka katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar
pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan.
Padahal sebelumnya mereka penuh semangat den harapan untuk menyerbu Kotaraja
dengan serangan mendadak di mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini
sebaliknya malah pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbu di pusat
markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai
alam berupa hujan dan angin serta pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang basah oleh air hujan lalu memacu kudanya mendekati
Tatata Tititi. Sejarak lima belas langkah dari banci berbaju gombrang merah itu
mendadak Wiro mendengar suara mengiang. "Dalam setiap urusan dan kesempatan,
selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana
Pangeran Gila itu" Hik...hik...hik..."
"Eh, suara itu lagi..." desis Wiro. Dia memandang ke arah orang bercaping itu
lalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat yang terdekat denganku..."
Begitu berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak
sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu! Dan aku
yakin kau bukan banci!
Siapa kau ini sebenarnya badut celemongan"!"
Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu bret-bret-
breettt dia merobeki pakaian merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau menelanjangi diri sendiri"!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata,
"Lain pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja merobeki pakaiannya lalu mencampakkan pakaian itu ke
tanah yang telah digenangi air laut. Ternyata di balik pakaian merah yang ada
sulaman mahkota dan keris bersilang itu dia masih mengenakan sehelai pakaian
berwarna hitam. Selagi Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka
celemongan angkat capingnya dari atas kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari
bambu ini dilemparkannya ke arah kiri. Benda ini melesat deras di udara,
menembus hujan dan angin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh. Ternyata
lemparan caping itu merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu
menghantam punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa
orang-orang di sekitarnya menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat sang
Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata
Tititi membuat luntur bedak tebal, gincu dan alis yang celemongan itu. Kini
kelihatanlah wajah yang asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berseru kaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas!
Tapi mengapa gigi-gigimu tampak putih"!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari
tangannya ke dalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan
kenyal tipis berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatan barisan
gigi-giginya yang terbuat dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang, si nenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang
Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan
keris bersilang itu, kau akan mereka cincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan
pakaian itu!"
"Hem mm... Jadi itu sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek...!" Wiro
berkata. "Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya
saja yang aku robek!" Wiro angkat bagian dada kiri pakaian ke mulutnya, lalu
menggigit sulaman benang merah dan sekalipus menariknya. Breeett! Dada kiri
pakaian itu kini bolong sebesar telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris
bersilang lenyap.
"Aku tak mau kedinginan...." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang
dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang
lalu, apakah kau bukannya salah seorang dari pentolan pemberontak itu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh
silat Istana yang berhasil menyusup ke dalam komplotan dan markas pemberontak.
Kita sama satu haluan.
Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang" Sebentar lagi dua pasukan akan
bertemu muka dan beradu senjata!"
"Kita harus berusaha menangkap hidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang
dari pemberontakan ini. Dia punya rencana keji.
Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila itu, padahal begitu dia menang,
Pangeran itu akan dibunuhnya lalu mengangkat diri sebagai Raja..."
"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalu kau ikut mencuri dengar
pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang
lain .... Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan
Si Tapak Api. Yang lain-lainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana dua ujung tombak pasukan sudah saling bertamu.
Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi.
Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama baku hantam. Suara beradu senjata,
pekik kesakitan dan kematlan ditimpal oleh ringkikan kuda serta deru hujan dan
angin. Darah mengucur, membuat genangan air laut tampak merah dalam kegelapan
malam. Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk
ganas. Belasan prajurit Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda
bertubuh tinggi besar merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia
membentak, "Manusia pengkhianat, kau kuberi kesempatan menyerah, kecuali kalau
menginginkan mampus dengan noda memalukan!"
Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai! Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkan kau
menyebrang ke pihakku atau akan mampus percuma!"
Majurai si perwira tinggi mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangan
kanannya. Bekas bawahan dan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu
lawan satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat
menandingi kehebatan atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas
kuda. Kelewang Majurai mercbek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena
mengharapkan jabatan dan pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan
dada bersimbah darah lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara
erangannya, sesudah itu nafasnyapun berhenti!
Majurai putar kudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok
panjang mengurungnya. Tanpa memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung
menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapi keroyokan salah
seorang dari tiga lawannya namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan
parah, membuatnya menjadi korban pertama berpankat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengan
sebat. Satu di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyok si
perwira tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat
menyongsong. Dua hantamkan tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat
membabat dengan golok. Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam
kegelapan berkilat sinar biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu
suara senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh
mereka sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi
tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkan di dada, leher, perut dan
kepala. Darah mengucur.
Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh dan jatuh ke tanah yang digenangi
air laut. "Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali
siapa adanya penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu
gebrakan saja! "Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan
berada di pihak Kerajaan..."!"
Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi
melesat ke depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ.
Melihat dua orang itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi
bukan tokoh silat Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang
sama sekali tidak diduga akan muncul di pihak Kerajaan. Mereka adalah Si Benang
Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk
persilatan inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika
memandang ke jurusan lain, Si Tapak Apt melihat dua tokoh silat Istana muncul
dengan membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi
bertongkat hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang
memiliki rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat potongan besi
berbentuk mata tombak! Si Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua tokoh silat
Istana ini. Tapl kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya
harus memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang Wesi. Kepala
Desa Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun dari tokoh
silat Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada Sepasang Tombak
Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas Kepala.
"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokoh silat
Istana. Ki Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi
begitu dia menghampiri pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan
keras menghantam pangkai lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu
menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas.
Lalu perempuan ini tarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini
menghadap ke arah pantai. "Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si nenek
usap kepala binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah
itu, si kuda berlari menuju ke pantai, tepat dari arah mana Winayu Tindi
mendatangi. "Tapak Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!"
terdengar suara Pengemis Kaki Kayu.
"Apa maksudmu"!" tanya Si Tapak Api.
"Aku tidak takut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan
justru dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka, bagaimana dengan obat penawar
racun itu! Kami tidak ingtn mati konyol di hari ke tiga belas sedangkan kau
sudah mampus duluan!"
"Aku tidak akan mati lebth cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu!
Mari kita serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah
suara kuku-kuku jari SI Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besi
tipis dan tajam.
"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Sf Pengupas Kepala.
"Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu!
Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya
maksud busuk tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi
adalah sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan membunuh Pangeran itu
lalu mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah
kau racuni secara keji akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si Tapak Api berubah. "Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang
tukang fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak. Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212
beserta seseorang yang sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"Sahabatku Tatata Tititi tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam
lalu aku turut mencuri dengar rencana kejimu itu waktu kau bicarakan dengan Ki
Demang Wesi seusai pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini!
Mana manusia banci Tatata Tititi itu!"
Si nenek di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia bukan banci.
Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana!
Dan akulah orangnya"
"Penyusup pengkhianat! Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka
hitam itu! Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula
aku memang sudah curiga padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si
Tapak Apt gosokkan kedua tangannya keras-keras. Terdengar suara meletup. Lidah
api keluar dari sela kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar ke arah
Wiro Sableng! Murid Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent
212. Terdengar kuda yang tadi ditungganginya meringkik keras, disusul bau daging
hangus terbakar.
Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus dihantam lidah api
serangan Si Tapak Api!
Sepasang Tombak Dewa sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam
Bergigi Emas, maka begitu menyerang, keduanya sudah pergunakan tombak pendek
masing-masing. Tiga tokoh silat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku
Beracun tampak terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan
pemberontak saat itu terjadi saling serang!
Lain halnya dengan dua tokoh silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka
sudah mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke
dalam komplotan pemberontak, namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda
yang saat itu diserang Si Tapak Api dengan lidah apinya yang ganas.
Iblis Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kuda lalu
meniupnya kuat-kuat. Mendengar tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan
hentikan pertempuran dan cepat mundur sampai sejarak lima tombak dari pasukan
pemberontak, membuat pasukan pemberontak terheran-heran.
"Kalian akan diberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblls Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demiklah
sambung menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengar dan diam-diam
mereka merasa gembira. Saat itu sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari
tiga arah. Semangat hampir patah, apalagi ketika melihat para pimpinan mereka kini malah
baku hantam satu sama lain! Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang
Biru memberi isyarat pada kawan-kawannya.
Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama belasan perwira langsung membentuk
lingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang oleh
Sepasang Tombak Dewa.
"Pengkianat-pengkhianat tolol! Apakah kalian tidak punya senjata lain hingga
menyerangku dengan ular-ular laut"!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapil terlambat. Sepasang Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat
pada pedang masing-masing. Justru inilah kesalahan mereka karena di situ
kekuatan sihir si nenek muka hitam.
Tombak itu sebenarnya tidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan
adiknya Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak benar-benar seperti seekor ular
laut. Panjang hijau dan licin berkilat!
Keduanya sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing.
Begitu senjata itu jatuh ke air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk
astinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepat-cepat keduanya melompat dari
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alas kuda untuk mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat. Sebilah
pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua
dapatkan dirinya tergulung oteh benang putih halus tapi semakin dicobanya
membebaskan diri, semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata
tokoh silat bergelar Si Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak itu jadi tak
berdaya. Beberapa perwira Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru
menotok keduanya.
Kini semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku
Beracun siapa adanya pemuuda tanpa pakaian yang bersenjatakan kapak tengah
menghadapi SI Tapak Api itu.
"Apa kau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali
siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilat di tangan
kanannya...!"
"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu...!"
berucap Iblis Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di sini dan ikut berbakti
pada Kerajaan...!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan
atau jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya maka lidah api yang panas
berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat
kian kemari dan menyadari kalau dia tak bisa bertahan lebih lama maka pendekar
ini segera putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan membelah kegelapan
malam. Terdengar suara bergaung seperti seribu lebah mengamuk. Lidah api
serangan SI Tapak Api terpental dan membalik menghantam ke arah Si Tapak Api
sendiri. Orang ini berteriak kaget dan kesakitan. Lidah api membakar muka dan
sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke tanah dan celupkan kepala serta tubuhnya
ke air laut saking tidak sanggup menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu
terkena air lout, rasa sakitnya malah semakin menggila.
Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi dia tidak dapat melihat
apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri ternyata kini telah
menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalu lari menghambur merancah air laut.
Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala.
Melihat isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk saku pakalannya.
Gerakan ini terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya
yang kawatirkan ancaman maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak
mendapatkan obat penawar, padahal obat itu ada pada Si Tapak Api, Mereka sama-
sama berteriak, "Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buah paku beracun sudah keburu melesat.
Satu menacap di batok kepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya.
Orang ini tersungkur ke dalam genangan air laut. Racun paku membuat tubuhnya
serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya
melompat ke arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledah pakaiannya. Tapi mereka
tidak menemukan obat itu!
"Celaka!" seru Pengemis Kaki Kayu.
"Apakah ini yang kalian cari...?" terdengar orang bertanya disusul suara tawa
mengekeh. . Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling.
Dia melihat Nenek Hitam Bergigl Emas menimang dua benda bulat berwarna putih.
Keduanya jadi beringas lalu melompati si nenek. Tapi maksud mereka mengambil
obat-obat penawar itu tidak berhasil karena si nenek cepat tarik tangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!" teriak
Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!" berteriak SI Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang
obat penawar"!"
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si
Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini" Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi
lima belas butir! Hik..hik..hik...!
Aku akan berikan obat ini pada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus
menyerahkan diri pada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai
dengan dosa-dosa kalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu
dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas.
Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketika
berkelebat menyambar ke arah batok kepala si nenek.
Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akan
terkelupas dan kepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat
ituu menyambar sinar putih yang sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat
Wiro menghantamkan kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kini
diarahkan untuk menangkap tangan dan lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng
putar kapaknya.
Tring-tring-tring.... Si Pengupas Kepala berseru kaget dan melompat mundur. Tiga
kuku jarinya yang sekeras besi itu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas
kelapa ini! Ha...ha...hah....!" Yang berseru adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-
putar gulungan benang halus berwarna putih. Melihat ada lagi yang hendak
menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika melihat
benang halus di tangan Si kakek berambut putih bergulung-gulung ke arahnya. Si
Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku jarinya yang masih
utuh. Des ...des...des...
Ujung benang sakti berputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang dan
yakin dapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kini
diulur dan tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan
kedua tangannya.
Sekali ini serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah dan tahu-
tahu kedua tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan sampai ke
bawah bahu! "Setan haram jadah!" maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan
ikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dan darah mulal mengucur. Sadar
kalau dirinya tak bisa lolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan duduk
menjelepok di tanah tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini
mengingatkannya pada benang sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat
berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok
tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawa ke
Kotaraja. Tapi tidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya,
tubuh yang duduk menjelepok di tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya
menendang dengan deras.
Dukk! Tendangan keras itu menghantam dada si Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini
sempat mengelak. Tubuhnya terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya
menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!" teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung
membabat. Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala
Si Pengupas Kepala menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu
banyak tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk
menghadapi mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin
dilakukannya. Maka diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Jika kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk
ini dan melupakan semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang sengketa katamu"!" si nenek tertawa
"Ini bukan silang sengketa kaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau
berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda!
Memimpin pembunuhan terhadap prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokoh silat
Kerajaan. Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada
kami"!" Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta"!"
sentaknya. "Satu tanganmu dan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku memilih bertempur melawanmu sampai ada yang mati di antara kita!"
Sebagal jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat
turun dari kuda. Pengemis Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan
lawan, kaki kayunya yang terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung
ditusukkan ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya ke
bawah. Traang! Pedang dan kaki kayu beradu keras. Sungguh hebat, pedang sakti dan tajam itu
tidak sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu!
Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidak bisa dianggap sepele.
Maka diapun mengirimkan serangan kilat pada titik kelemahan lawan yakni tubuh
sebelah kiri yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis Kaki Kayu. Berkelahi di alas
pasir yang digenangi air laut ternyata bukan hal yang mudah bagi Pengemis Kaki
Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki
kirinya yang menjadi tumpuan bobot tubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkan
kaki kayunya beberapa kali terseok akibat lekatan pasir dan genangan air. Ketika
lawannya mengajak bertempur berputar-putar, tokoh silat yang ikut terbujuk
memberontak ini jadi kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang
melukai pinggul kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan
diri. Hal ini membuatnya menjadi nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan
dan kemampuan yang ada. Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung
pedang oleh Iblis Pedang Biru.
Pengemis Kaki Kayu hanya sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka
bahkan sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak
tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal dengan jiwanya sendiri. Ujung
pedang menembus dada kirinya, tepat di arah jantung!
Teluk yang gelap kini diselimuti kesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai
mulai mereda. Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan
puluhan korban. Mulai dari prajurit rendah sampal perwira dan tokoh silat.
Pendekar 212 melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah Nenek Hitam Bergigi Emas
dan para tokoh silat Istana.
"Ada satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri.
Dan kau nek, aku sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu...!"
"Hai! Kau mau ke mana pendekar gagah" Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis
Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat dia! Di mana Pangeran pemberontak itu"!" berseru Iblis
Pedang Biru. Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia
telah menotok lalu mengikat Pangeran itu pada sebatang pohon di bukit tak berapa
jauh dari mulut goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naik lebih tinggi,
sebelum goa terendam, kita harus mengirimkan orang untuk menyelamatkannya.
Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh Si
Tapak Api dan Ki Demang Wesi...."
"Kepala Desa Pemberontak itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis
Pedang Biru. Si nenek muka hitam mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar
212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan...."
Semula Winayu Tindi berniat hendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang
yang terbujur menelungkup bergerak mendekatunya. Namun ketika tinggal beberapa
langkah saja lagi dan dia mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas
punggung binatang itu, kagetlah gadis ini.
"Pakde!" teriak si gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalu lari ke arah
orang di atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana...?"
Tubuh dan wajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak
dan dipanggil-panggil tetap tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi
menurunkan tubuh Ki Demang Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapai
ketinggian di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang
dianggapnya sebagai ayah sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu
membaringkannya di situ. Kebetulan ada sebatang pohon kelapa.
Punggung dan kepala Ki Demang Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali
dia berusaha membangunkan orang yang disangkanya pingsan itu karena dia tidak
melihat adanya bekas-bekas luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga
berhasil akhirnya Winayu Tindi mulai keluarkan suara sesenggukan menahan tangis.
Winayu Tindi tidak tahu entah berapa lama dia tegak menangis di tempat itu
ketika di kejauhan dilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu
kudanya ke arah tempat dia berada.
Yang datang ternyata adalah pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan
yang sebelumnya juga telah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran.
Wiro melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakah kau menangisi orang itu" Dia cuma
pingsan karena ditotok."
"Saudara lekas kau tolong dia. Lepaskan totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaanmu pada Ki Demang Wesi besar sekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri!"
sahut sang dara.
"Justru dia adalah manusia paling keji dan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar
Wiro. "Maksudmu.... ?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat, aku berjanji akah menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu
dan juga kusir delman itu" Dialah orangnya!"
Winayu Tindi seperti disambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku
tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap seperti ayah
sendiri" Pakdeku!"
"Jika kau tidak percaya kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara
Ki Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam keadaan tertotok.
"Pakde...Benar kau yang membunuh ayah dan ibu...?" Winayu Tlndi bertanya begitu
melihat Ki Demang Wesi gerakkan mulut.
"Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong besar itu, anakku?"
Winayu Tindi menuding ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi
pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak kupercaya sejak semula! Dialah yang
membunuh ke dua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo hari
tapi berhasil melarikan diri!"
"Keparat kalau begitu...!"
"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya
sang dara menjadi galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika
kau tidak percaya padaku.
Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka menolak untuk bergabung dengan
komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu mengancam akan melaporiaan
kamplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu, juga ibumu dan
kusir delman itu untuk menutup rahasa. Bahkan ibumu... dia merusak kehormatan
Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling
busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadi saksi atas apa yang diucapkan
Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itu telah muncul Nenek Hitam Bergigi
Emas. "Winayu anakku! Jangan percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan
pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi.
Si nenek ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya
berkata, "Bacalah! Itu surat Perintah dari Sri Baginda untuk menangkap Ki Demang
Wesi. Surat itu sudah lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku
mengeluarkannya lebih cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ.
Di sebelah bawah terdapat cap Kerajaan.
Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang jatuh ke
dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke hadapan Wiro. Sebelum
pendekar itu sadar apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212
yang terselip tersibak di pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar putih
berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!" seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke
batok kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis
itu. Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannya tertahan.
Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya
yang hampir terbelah.
Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusan
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukannya. Lalu gadis ini berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah,
tangan yang lain melepaskan Kapak Naqa Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata
mustika itu sebelum jatuh ke air lalu menopang tubuh sang dara agar tidak
terjungkal. Pasang semakin naik. Malam bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro
menuntun gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda. Jiwa yang tergoncang
membuat Winayu menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke
punggung kuda dan duduk di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar jangan
sampai jatuh. Tiba-tiba ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis
cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik...
hik...hik...!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu.
Tapi pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid
Sinto Gendeng hanya bisa menyerigai.
Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkan kepalanya ke
dadanya. TAMAT Bara Diatas Singgasana 12 Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Kisah Para Penggetar Langit 2
tangannya, mencekal leher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah
Tumenggung Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!"
teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang tampak kaku sekujur tubuhnya.
Mukanya seputih kertas. Suaranya tercekik ketlka bicara. "Lepaskan!
Jangan! Kau salah tuduh! Aku bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru
untuk bergabung! Bukankah aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang
sakitnya Raja...."!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara
menggereng. Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang
dilemparkannya ke atas meja besar.
Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki
kuku sekuat dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerlnda. Terjadilah
satu pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-
hempaskan tubuhhya sementara kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka
dikelupas oleh kuku-kuku maut itu!
Hanya beberapa kejapan mata saja kepala itu kini tinggal tengkorak berselimut
darah! Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti Allah..." bisik Wiro dalam hati dan membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini
dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si
Tapak Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya
yang bersimbah darah. Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata, "Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-
mata Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya
berada dalam penjara!"
Wiro tidak perduli apa yang diucapkan oleh orang itu. Ingin sekali dia
meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak bergerak bangkit tiba-tiba Si Tapak
Api berseru. "Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh
Tumenggung Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat
yang mulal tenggelam dalam gelapnya malam yang baru turun.
*** 5 YANG DATANG ternyata ada dua orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar
berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan
kanannya. Di samping orang ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis
berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di
dada kirinya. Gadis ini tampak agak ragu-ragu untuk melangkah lebih dekat ke
arah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya.
"Tak ada yang harus ditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman
seperjuangan..."
"Aha! Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum
dimulai!" Si Tapak Api berseru. Sesaat matanya jelalatan menatap wajah cantik
gadis di samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi,
Kepala Desa Parangtritis.
"Harap maafkan.... "sahut Ki Demang Wesi sambil menjura.
"Aku terlambat karena harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita
adalah perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik
begitu perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia
adalah puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku
sudah menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap aku sebagal
ayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah memutuskan untuk menyumbang
kekayaannya bagi perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si Tapak Api.
Pangeran Adi Bintang Sasoko tiba-tiba bangkit dari kursinya.
Matanya memandang tak berkesip pada Winayu Tindi. Tangan kanannya diangkat. Jari
telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik.
"Cantik! Cantik sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan
sangat besar! Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si
cantik jelita ini..."!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro
berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi
permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah"! Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju.
Di antara tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara
seperti nyamuk mengiang dikedua telinganya, "Anak tolol!
mengapa mulutmu selancang itu mengatur perjodohan orang"!
Sableng!" Wiro merasakan mukanya jadi merah dan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-
cari siapa diantara yang hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit
baginya untuk menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si Tapak Api.
Atau mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa"
Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap, terdengar suara Winayu Tindi. Wajah
gadis ini tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuh
ayah dan ibu saya...!"
"Oh begitu" Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh
orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!"
berkata Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuh rendah oleh orang banyak.
Ki Demang Wesi membimbing Winayu lalu keduanya duduk di bagian meja yang masih
kosong ini adalah di samping Wiro. Begitu melihat si pemuda kening Ki Demang
Wesi jadi berkerut.
"Eh, anak muda! Kau..."
"Rupanya kita orang-orang satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang
melakukan...?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak
mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro
memandang padanya gadis ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu lancang
benar! Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi..."
Untuk kedua kalinya Wiro merasa wajahnya menjadi merah.
Sadar kalau mulutnya ketelepasan.
"Maafkan aku sahabat. Aku tidak bermaksud lancang. Tapi kata-kataku tadi memang
tidak pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing
betina yang bengekpun tidak mau jadi istri Pangeran gila itu...!"
Suto Gunoro sang calon patih Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah
menghisap pipanya panjang-panjang diapun menyatakan bahwa pembicaraan rahasia
segera dimulai. Adapun pembicaraan itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari
tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu orang. Lalu melakukan penculikan
terhadap Sri Baginda dan menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro yakni
Pangeran yang diduga akan diangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri
Baginda mangkat. Setelah itu dilakukan penggantian terhadap pucuk pimpinan
Kerajaan, termasuk para Adipatl, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu
Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa penyerbuan akan dilakukan dua harl dimuka, dinihari
menjelang subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam akan dilakukan pembunuhan
terhadap para tokoh silat Istana.
Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala, Pengemis Kaki
Kayu dan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang tengah malam pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk
tuak sampaii sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekali tidak menyentuh minuman
ini, dan juga tidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun
mematikan yang ada dalam minuman.
Selain bangunan panjang tanpa dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu,
ternyata masih ada tiga bangunan lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan
merupakan rumah-rumah kecil. Salah Satu rumah itu ditempatl oleh Pangeran Adi
Bintang Sasoko bersama Si Tapak Api. Rumah kedua dan ketiga tadinya dibagi-bagi
untuk para anggota komplotan pemberontak itu namun yang satu kemudian harus
diberikan pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan
mereka malam itu ke tempat itu, tidak satu orangpun diperkenankan meninggalkan
tempat rahasia itu. Penjagaan ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkur di bangku panjang.
Udara dingin sekali dan suara deburan ombak di pantai terdengar mengerikan.
Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api
dan Ki Demang Wesi melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah
kecil di sebelah kanan. Murid Sinto Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika dilihatnya gelagat baik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap
di kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya
menjuntai tepat di atas rumah di mana ketiga orang itu berada. Dari atas pohon
Wiro dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantik
itu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang
tuanya. Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika
Pangeran memang menyukainya..." Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu saja aku menyukainya! Ha..ha...ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang
goreng dan kopi hangat pada pagi hari! Ha.. ha.. ha.. !"
"Ki Dernang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan
diberikannya dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang
tuanya. Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikan dengan
tuntas?" Yang bicara adalah Si Tapak Api.
"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak
tahu kalau pemuda asing yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng,
orang kita sendiri.... "
"Terus terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya
keblinger dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh
bersih dari golongan putih...."
"Dunia bisa berubah, apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi.
"Tapi tak ada salahnya untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam
kelompok kita..."
Melihat hal ini Ki Demang Wesi minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum
Ki Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jaga baik-baik
Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan aku lakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu hal lagi haruss kau jaga baik-baik, Ki Demang!"
"Apa itu...?"
"Jangan sampai dara itu mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya..."
Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengar
kata-kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata,
"Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya aku tidak akan mau berlaku sekeji itu
Sumo... Lagi pula dia menolak untuk diajak serta.
Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kita ke Istana!"
"Memang manusia seperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah
dirusak kehormatannya sebelum dibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan Ki Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan
itu terlalu cantik dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu
dari suaminya tentang komplotan kita. Juga kusir kereta.... "
"Aku tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukan terhadap
istri Ageng Lontar! Ha... ha...ha.... ! Ceritakan saja saja Ki Demang.... "
"Aku memang dirasuk nafsu. Perempuan itu kutiduri baru kubunuh. Untuk menutup
rahasia kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami!
Ha...ha.... ha....!"
"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan
saja akan terus jadi Kepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri...."
Terdengar suara pintu dibuka lalu ditutupkan kembali.
Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget seperti disengat
kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang terakhir.
"Manusia setan haram jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-
benar dajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat
itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluar dari dalam rumah dia
segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan amarahmu! Belum saatnya! Belum saatnya untuk
memamerkan kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang
berkeliling. Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas
dibawah pohon. Saat itu pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu tampak Si
Tapak Api keluar dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti
di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya. Apakah tuak itu benar-benar kau campur racun?"
"Seperti yang kita rencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan
mampus! Putus dan hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan mereka lagi!
Juga tidak Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas berikan padaku obat penawar racun itu! Aku tidak mau mati
konyol!" S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam
saku pakalannya dan diserahkan pada Ki Demang.
Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki
Demang bertanya.
"Bukankah itu yang kita rencanakan" Aku jadi Raja, kau menjadi Patih...! Nah,
hari hampir pagi. Kau pergilah tidur. Mudah-mudahan mimpi enak..." Si Tapak Api
menepuk bahu Ki Demang Wesi.
Keduanya berpisah.
"Jahanam! Benar-benar manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu.
Minuman itu ternyata beracun!"
Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih sempat mendengar
ada suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Dia
hanya sempat melihat bayangan dalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu
lenyap! Tapi dari sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisa menduga
siapa adanya orang itu. Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah
meronda. Dilihatnya tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi
tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu
tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ" Wiro melangkah
mendekati orang ini.
Memperhatikannya sejenak. Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah
Tatata Tititi. Lalu diperhatikannya tangan sendiri.
Noda yang sama juga terdapat pada kedua telapak tangannya. Kotoran Itu adalah
lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212 tersenyum.
Dalam hati dia berkata, "Hemmm... Jadi dia rupanya!" Wiro manggut-manggut dan
diam-diam merasa lega.
Paling tidak dia tahu kalau dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya
itu.Ada seorang teman bersamanya walau dia masih tidak dapat memastikan siapa
adanya orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di
mana dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan
suara mengorok tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya yang
celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata,
"Ah, pemuda itu sudah tahu rupanya..."
*** 6 SEJAK SIANG hujan turun terus. Menjelang sore reda sebentar tetapi begitu
matahari menggelincir ke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut
bergelombang menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk bergulung-
gulung setinggi rumah. Di kejauhan terdengar suara angin menderu mengerikan.
Tampak kilat sambar-menyambar lalu suara guntur menggelegar seperti hendak
membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patah berderak, tumbang
ke laut. Ringkik kuda yang ketakutan terdengar berulang kali.
Di dalam rumah kecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir sementara
Pangeran Adi tegak di sudut sambil tersenyum-senyum lalu menyanyi-nyanyi kecil
seolah-olah mengiringkan deru hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tombak Dewa berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil
permainkan kaki kayunya. Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu
rumah, memegang sehelai kapas berwana merah.
Tengah berhias rupanya si banci ini! Si Tapak Api diam-diam memaki melihat
tingkah laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi
dan Tatata Tititi.
"E... Hujan celaka !" akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Buto Gunoro
sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kita siap
bergerak!"
"Tenang saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu berhenti kita
segera bergerak menuju Kotaraja," berkata Pengemis Kaki Kayu.
"Kalau segera berhenti, kalau tidak..." Kita bisa terlambat dan kesiangan sampai
di sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?"
bertanya Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlu kita takuti di dunia ini, tapi jangan tolol.
Cuaca bisa membuat kacau gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa
sebenarnya yang terjadi di luar sana" Siapa yang pandai melihat cuaca"! Tatata
Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar, apakah hujan akan reda
atau tidak"!"
Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahi wajahnya dengan bedak
merah itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum.
Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan keluar, bedakku, gincuku, alisku...
semua akan luntur! Hik...hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh
saja yang lain..."
Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa.
Dia menjangkau sebuah caping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata
Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan!
Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi ada pada Pangeran Adi. Dan aku
mewakilinya. Jadi jangan ada yang berani menolak perintah..."
Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksa
disambutnya dan dikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat
itu udara di luar mulai gelap. Hujan lebat seperti tidak bisa ditembus dengan
pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan menuju
bagian bukit yang agak tinggi. Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan
laut. Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat pemandangannya
terbatas hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigil kedinginan Tatata Tititi
memandang berkeliling, mencari-cari pohon yang baik dan mudah untuk dipanjat.
Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengan cabang-cabang yang
berdekatan satu sama lain. Sekali lagi orang yang mengaku banci ini memandang
berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun melayang ke atas
cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas pohon, tetap saja dia tidak papat
melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya sambaran-sambaran kilat lalu
suara guntur yang seperti hendak merobek langit. Namun sebenarnya bukan untuk
dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka celemong ini untuk naik ke atas
pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah benda bulat panjang sebesar
ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya sedang sebelah bawah ditancapi
sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang lain dia mengeluarkan
sepasang batu api.
"Celaka, batu api ini basah...!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu
kepakaiannya agar kering. Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api
terdengar marah-marah karena sepasang batu apinya lenyap entah kemana. Padahal
yang kini berada di tangan Tatata Tititi itulah batu api miliknya, dicuri oleh
si muka seronok!
Setelah sepasang batu api kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi
benda bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai
menggosok sepasang batu api itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan
ketakutan kuat dan keras maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah
api didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras
mematikanya. "Setan alas!" maki Tatata Tititi. Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru
sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain
yang cepat dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut ke bagian
benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan
pegangannya pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang keras,
dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat ke udara. Siapapun yang
berada di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya, walaupun
hanya seketika yakni sebelum padam diterpa air hujan dan udara dingin. Tatata
Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak
mempergunakan ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pasti akan
menenggelamkan goa...."
Lalu dia turun dari atas pohon kembali ke dalam rumah.
"agaimana" Apa yang bisa kau laporkan..."!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu
Tatata Tititi muncul di pintu.
"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badai besar berkecamuk di laut. Dalam
waktu cepat air laut akan pasang dan goa panjang satu-satunya jalan menuju ke
pantai akan terendam air!"
Mendengar keterangan Tatata Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan
memegang lengan Si Tapak Api kuat-kuat.
Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau mati ditabrak badai!
Aku tak mau mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus hidup karena aku harus
jadi Raja! Dan permaisuriku itu.... Dia yang nomor satu harus diselamatkan...!"
"Tenang Pangeran... tenang! Semua akan kita atur dengan cepat.
Kita akan segera meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua
tokoh silat dan para Adipati yang ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambil kedudukan dan
tanggung jawab sesuai yang sudah diberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa
Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran
Adi dan Winayu Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh Sitomulyo,
mereka harus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di
sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itu bersama Ki
Demang Wesi..."
Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlari di bawah hujan menuju rumah
kecil di mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon
Kepala Pegawal Raja ini kembali dengan muka pucat.
"Ada apa.... " Mana kedua orang itu..."!" tanya Si Tapak Api.
"Gadis itu tak ada di dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan
tertotok. Aku berusaha melepaskan totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso keluarkan suara seperti meraung menangis lalu lari
menghambur keluar, diikuti oleh yang lain-lain.
Ketika sampai di rumah sebelah memang di situ hanya ditemul Ki Demang Wesi tegak
kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke dinding membelakangi pintu.
Winayu Tindi sama sekali tak ada di tempat itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung
jari tangan kanannya ke punggung untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu.
Tapi gagal. Totokan itu tidak musnah. Paras Si Tapak Api tampak berubah.
"Ini bukan totokan sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu
melarikan diri! Ada pengkhlanat di antara kita!
Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata calon Patih itu dengan mata berapi-api
lalu menatap semua orang yang ada di situ satu persatu.
"Ka1au begitu pendapatmu, berarti calon permaisuri telah diculik orang!" kata
Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke
lantai lalu menangis seperti anak kecil.
"Manusia gila! Sedeng!" maki Si Tapak Api dalam hati. Dia sama sekali tidak
memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di
tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol dan banci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititl. Dia maju
mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik
celana Kepala Desa Parangtritis itu hingga melorot ke bawah. Di sebelah muka
tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya
yang jelek hitam.
"Manusia banci! Apa yang kau lakukan ini"!" teriak Si Tapak Api sementara yang
lain-lain tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat pengunci totokan
aneh ini ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki Demang Wesi kuat-
kuat dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
Duuutttt! Angin busuk keluar dari bagian bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang
menyumpah dan menekap hidung karena baunya yang seperti hendak meruntuhkan bulu
hidung. Namun di saat itu pula Ki Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat
dan akhirnya membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari
totokan aneh luar biasa itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi "!" tanya Si Tapak Api.
"Aku mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhku terdorong ke depan dan ketika
aku sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisa bersuara.
Winayu Tindi lenyap!"
"Kau sama sekali tidak melihat siapa yang melakukan?" tanya Dewa Tongkat Kedua.
Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku... Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita pasti menemukan gadis itu...." kata Tatata Tititi.
Tapi sang Pangeran terus meraung seperti anak kecil.
Tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Dia adalah salah seorang yang ditugasi
memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa"!" membentak Si Tapak Api.
"Saya datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut
goa. Badai dari laut mulai menerjang tepi pantai.
Pohon-pohon bertumbangan. Banyak kuda yang terlepas dan lari.
Anggota pasukan mulai resah..."
Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-
bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu.
Beritahu semua orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat
ini. Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing!
Aryo Ladam, kuminta kau pergi bersama orang ini... "
Aryo Ladam mengangguk lalu tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap
berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu hal penting terjadi di luar sanal Dua orang
pengintai melihat ada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari
timur, utara dan barat, menuju ke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Suasana berubah tegang sementara
Pangeran Adi masih terus meraung-raung sambil jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagalmana ini bisa terjadi kalau tidak ada ponghianatan diantara
kita! Musuh dalam selimut! Penyusup keparat...!" teriak Si Tapak Api sambil
kepalkan kedua tangannya.
"Lekas mengaku! Siapa di antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa
di antara kalian yang jadi mata-mata Kerajaan!
Kalau tidak ada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar
teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah bersembunyi di
luar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-api dan suara
bergetar saking marahnya. "Tidak apa kalau tidak ada yang mau mengaku! Tapi
dengar kalian semua! Malam lalu kalian telah berpesta pora dengan tuak harum!
Tapi tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalau tidak dapat obat
penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa!
Siapa yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan tahta
Kerajaan direbut, jangan harap akan kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang ada di situ
jadi terkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si
Tapak Api. Si Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur
selangkah. Sambil menyeringai dia berkata, "Aku tidak takut mati! Kalian boleh
membunuhku sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian!
Silahkan pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar
atau kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut
dan darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu.
"Kami sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipu dan
mencelakai kami dengan racun dalam minuman"!"
"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap
kita! Jangan-jangan kita hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata
Tititi. "Tidak satupun di antara kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku
akan memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang
telah dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara
panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini... "
Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu.
Bangunan kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara
gemuruh ketika atap rumah itu terbang dihantam angin bersama sebagian dinding
bangunan. Beberapa pohon di sekitar tempat itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampai di sini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang
Sasoko. Dia masih saja menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat
angkat tubuhnya namun sang Pangeran meronta sambil berteriak-teriak. "Aku tidak
mau pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi bersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus
tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di
bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!"
berkata Si Tapak Api.
Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu menyerang
Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi. Begitu sang
Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknya hingga kaku dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu memanggul tubuh calon Raja kita!"
memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah tugasku bersama Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat
duluan menuju Kotaraja untuk menghabisi tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab
Wlro. "Jangan toloi! Jangan berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan
mata mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira
para tokoh itu masih buta tidak mengetahul apa yang terjadi" Apa kau kira mereka
enak-enakan tidur dan ngorok"! Jalankan perintahku!"
Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi.
"Bebanku berat! Aku tak bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar
murid Sinto Gendeng pula.
Ketika orang-orang itu berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa
panjang menuju ke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran
lalu menyandarkannya ke sebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro
mengikat tubuh pangeran itu ke pohon tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro lari ke bagian timur bukit, menyelinap ke
balik serumpun semak belukar. Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah
kuyup oleh air hujan, tampak dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam.
Perempuan ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh
Wiro untuk diselamatkan lalu disembunyikan di semak belukar itu.
Dengan tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi.
Kedua mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap
untuk menjerit. Wiro cepat menutup mulut sang dara.
"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-
tangan pemberontak itu asalkan kau mau menuruti nasihatku..."
"Kau! Kau menyebut mereka pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!"
tukas Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau tidak beda dariku, anak manis..."
"Jangan sebut aku anak manis! Aku bukan anak-anak..."
Tapi kalau orang-orang Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan
lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua
orang tuamu dan kusir delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiri dengan cepat. "Siapa"!"
tanyanya menjerit di antara deru hujan dan angin. Sementara malam tambah gelap
dan udara dingin bukan main.
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan katakan itu nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi ketika Wiro menarik tangannya.
Ketika melewati pohon di mana Pangeran Adi terikat sang dara berbunyi. "Apa yang
terjadi dengan Pangeran gila itu"!"
"Dia sedang mimpi jadi raja! Dan kau permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau sama saja saja sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini
masih bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu merengut jengkel tapi dalam hati dia
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengan susah payah Wiro berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang
sebelumnya memang ditambatkan di sekitar situ.
"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah
belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh
silat itu punya mata setajam setan!
Jangan sampai kau terlihat oleh mereka!"
*** 7 WIRO MEMACU kudanya meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai mereda
tetapi tiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air laut naik
terus. Di bagian tepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di
sebelah depan ratusan pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam
dan tiga orang Adipati. Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang
kuda adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang
ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala. Sedang
Tatata Tititi yang memakai caping menunggang kuda agak jauh di ujung kanan
pasukan. Pasukan pemberontak bergerak perlahan. Bukan saja karena hujan dan angin badai
tetapi juga karena semuanya kini diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal
pada apa yang kini mereka katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar
pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan.
Padahal sebelumnya mereka penuh semangat den harapan untuk menyerbu Kotaraja
dengan serangan mendadak di mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini
sebaliknya malah pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbu di pusat
markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai
alam berupa hujan dan angin serta pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang basah oleh air hujan lalu memacu kudanya mendekati
Tatata Tititi. Sejarak lima belas langkah dari banci berbaju gombrang merah itu
mendadak Wiro mendengar suara mengiang. "Dalam setiap urusan dan kesempatan,
selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana
Pangeran Gila itu" Hik...hik...hik..."
"Eh, suara itu lagi..." desis Wiro. Dia memandang ke arah orang bercaping itu
lalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat yang terdekat denganku..."
Begitu berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak
sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu! Dan aku
yakin kau bukan banci!
Siapa kau ini sebenarnya badut celemongan"!"
Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu bret-bret-
breettt dia merobeki pakaian merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau menelanjangi diri sendiri"!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata,
"Lain pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja merobeki pakaiannya lalu mencampakkan pakaian itu ke
tanah yang telah digenangi air laut. Ternyata di balik pakaian merah yang ada
sulaman mahkota dan keris bersilang itu dia masih mengenakan sehelai pakaian
berwarna hitam. Selagi Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka
celemongan angkat capingnya dari atas kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari
bambu ini dilemparkannya ke arah kiri. Benda ini melesat deras di udara,
menembus hujan dan angin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh. Ternyata
lemparan caping itu merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu
menghantam punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa
orang-orang di sekitarnya menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat sang
Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata
Tititi membuat luntur bedak tebal, gincu dan alis yang celemongan itu. Kini
kelihatanlah wajah yang asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berseru kaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas!
Tapi mengapa gigi-gigimu tampak putih"!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari
tangannya ke dalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan
kenyal tipis berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatan barisan
gigi-giginya yang terbuat dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang, si nenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang
Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan
keris bersilang itu, kau akan mereka cincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan
pakaian itu!"
"Hem mm... Jadi itu sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek...!" Wiro
berkata. "Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya
saja yang aku robek!" Wiro angkat bagian dada kiri pakaian ke mulutnya, lalu
menggigit sulaman benang merah dan sekalipus menariknya. Breeett! Dada kiri
pakaian itu kini bolong sebesar telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris
bersilang lenyap.
"Aku tak mau kedinginan...." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang
dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang
lalu, apakah kau bukannya salah seorang dari pentolan pemberontak itu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh
silat Istana yang berhasil menyusup ke dalam komplotan dan markas pemberontak.
Kita sama satu haluan.
Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang" Sebentar lagi dua pasukan akan
bertemu muka dan beradu senjata!"
"Kita harus berusaha menangkap hidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang
dari pemberontakan ini. Dia punya rencana keji.
Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila itu, padahal begitu dia menang,
Pangeran itu akan dibunuhnya lalu mengangkat diri sebagai Raja..."
"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalu kau ikut mencuri dengar
pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang
lain .... Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan
Si Tapak Api. Yang lain-lainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana dua ujung tombak pasukan sudah saling bertamu.
Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi.
Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama baku hantam. Suara beradu senjata,
pekik kesakitan dan kematlan ditimpal oleh ringkikan kuda serta deru hujan dan
angin. Darah mengucur, membuat genangan air laut tampak merah dalam kegelapan
malam. Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk
ganas. Belasan prajurit Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda
bertubuh tinggi besar merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia
membentak, "Manusia pengkhianat, kau kuberi kesempatan menyerah, kecuali kalau
menginginkan mampus dengan noda memalukan!"
Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai! Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkan kau
menyebrang ke pihakku atau akan mampus percuma!"
Majurai si perwira tinggi mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangan
kanannya. Bekas bawahan dan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu
lawan satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat
menandingi kehebatan atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas
kuda. Kelewang Majurai mercbek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena
mengharapkan jabatan dan pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan
dada bersimbah darah lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara
erangannya, sesudah itu nafasnyapun berhenti!
Majurai putar kudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok
panjang mengurungnya. Tanpa memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung
menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapi keroyokan salah
seorang dari tiga lawannya namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan
parah, membuatnya menjadi korban pertama berpankat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengan
sebat. Satu di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyok si
perwira tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat
menyongsong. Dua hantamkan tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat
membabat dengan golok. Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam
kegelapan berkilat sinar biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu
suara senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh
mereka sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi
tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkan di dada, leher, perut dan
kepala. Darah mengucur.
Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh dan jatuh ke tanah yang digenangi
air laut. "Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali
siapa adanya penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu
gebrakan saja! "Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan
berada di pihak Kerajaan..."!"
Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi
melesat ke depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ.
Melihat dua orang itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi
bukan tokoh silat Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang
sama sekali tidak diduga akan muncul di pihak Kerajaan. Mereka adalah Si Benang
Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk
persilatan inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika
memandang ke jurusan lain, Si Tapak Apt melihat dua tokoh silat Istana muncul
dengan membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi
bertongkat hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang
memiliki rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat potongan besi
berbentuk mata tombak! Si Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua tokoh silat
Istana ini. Tapl kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya
harus memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang Wesi. Kepala
Desa Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun dari tokoh
silat Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada Sepasang Tombak
Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas Kepala.
"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokoh silat
Istana. Ki Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi
begitu dia menghampiri pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan
keras menghantam pangkai lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu
menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas.
Lalu perempuan ini tarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini
menghadap ke arah pantai. "Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si nenek
usap kepala binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah
itu, si kuda berlari menuju ke pantai, tepat dari arah mana Winayu Tindi
mendatangi. "Tapak Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!"
terdengar suara Pengemis Kaki Kayu.
"Apa maksudmu"!" tanya Si Tapak Api.
"Aku tidak takut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan
justru dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka, bagaimana dengan obat penawar
racun itu! Kami tidak ingtn mati konyol di hari ke tiga belas sedangkan kau
sudah mampus duluan!"
"Aku tidak akan mati lebth cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu!
Mari kita serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah
suara kuku-kuku jari SI Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besi
tipis dan tajam.
"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Sf Pengupas Kepala.
"Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu!
Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya
maksud busuk tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi
adalah sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan membunuh Pangeran itu
lalu mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah
kau racuni secara keji akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si Tapak Api berubah. "Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang
tukang fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak. Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212
beserta seseorang yang sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"Sahabatku Tatata Tititi tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam
lalu aku turut mencuri dengar rencana kejimu itu waktu kau bicarakan dengan Ki
Demang Wesi seusai pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini!
Mana manusia banci Tatata Tititi itu!"
Si nenek di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia bukan banci.
Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana!
Dan akulah orangnya"
"Penyusup pengkhianat! Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka
hitam itu! Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula
aku memang sudah curiga padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si
Tapak Apt gosokkan kedua tangannya keras-keras. Terdengar suara meletup. Lidah
api keluar dari sela kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar ke arah
Wiro Sableng! Murid Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent
212. Terdengar kuda yang tadi ditungganginya meringkik keras, disusul bau daging
hangus terbakar.
Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus dihantam lidah api
serangan Si Tapak Api!
Sepasang Tombak Dewa sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam
Bergigi Emas, maka begitu menyerang, keduanya sudah pergunakan tombak pendek
masing-masing. Tiga tokoh silat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku
Beracun tampak terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan
pemberontak saat itu terjadi saling serang!
Lain halnya dengan dua tokoh silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka
sudah mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke
dalam komplotan pemberontak, namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda
yang saat itu diserang Si Tapak Api dengan lidah apinya yang ganas.
Iblis Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kuda lalu
meniupnya kuat-kuat. Mendengar tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan
hentikan pertempuran dan cepat mundur sampai sejarak lima tombak dari pasukan
pemberontak, membuat pasukan pemberontak terheran-heran.
"Kalian akan diberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblls Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demiklah
sambung menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengar dan diam-diam
mereka merasa gembira. Saat itu sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari
tiga arah. Semangat hampir patah, apalagi ketika melihat para pimpinan mereka kini malah
baku hantam satu sama lain! Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang
Biru memberi isyarat pada kawan-kawannya.
Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama belasan perwira langsung membentuk
lingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang oleh
Sepasang Tombak Dewa.
"Pengkianat-pengkhianat tolol! Apakah kalian tidak punya senjata lain hingga
menyerangku dengan ular-ular laut"!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapil terlambat. Sepasang Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat
pada pedang masing-masing. Justru inilah kesalahan mereka karena di situ
kekuatan sihir si nenek muka hitam.
Tombak itu sebenarnya tidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan
adiknya Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak benar-benar seperti seekor ular
laut. Panjang hijau dan licin berkilat!
Keduanya sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing.
Begitu senjata itu jatuh ke air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk
astinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepat-cepat keduanya melompat dari
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alas kuda untuk mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat. Sebilah
pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua
dapatkan dirinya tergulung oteh benang putih halus tapi semakin dicobanya
membebaskan diri, semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata
tokoh silat bergelar Si Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak itu jadi tak
berdaya. Beberapa perwira Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru
menotok keduanya.
Kini semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku
Beracun siapa adanya pemuuda tanpa pakaian yang bersenjatakan kapak tengah
menghadapi SI Tapak Api itu.
"Apa kau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali
siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilat di tangan
kanannya...!"
"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu...!"
berucap Iblis Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di sini dan ikut berbakti
pada Kerajaan...!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan
atau jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya maka lidah api yang panas
berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat
kian kemari dan menyadari kalau dia tak bisa bertahan lebih lama maka pendekar
ini segera putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan membelah kegelapan
malam. Terdengar suara bergaung seperti seribu lebah mengamuk. Lidah api
serangan SI Tapak Api terpental dan membalik menghantam ke arah Si Tapak Api
sendiri. Orang ini berteriak kaget dan kesakitan. Lidah api membakar muka dan
sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke tanah dan celupkan kepala serta tubuhnya
ke air laut saking tidak sanggup menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu
terkena air lout, rasa sakitnya malah semakin menggila.
Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi dia tidak dapat melihat
apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri ternyata kini telah
menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalu lari menghambur merancah air laut.
Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala.
Melihat isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk saku pakalannya.
Gerakan ini terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya
yang kawatirkan ancaman maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak
mendapatkan obat penawar, padahal obat itu ada pada Si Tapak Api, Mereka sama-
sama berteriak, "Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buah paku beracun sudah keburu melesat.
Satu menacap di batok kepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya.
Orang ini tersungkur ke dalam genangan air laut. Racun paku membuat tubuhnya
serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya
melompat ke arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledah pakaiannya. Tapi mereka
tidak menemukan obat itu!
"Celaka!" seru Pengemis Kaki Kayu.
"Apakah ini yang kalian cari...?" terdengar orang bertanya disusul suara tawa
mengekeh. . Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling.
Dia melihat Nenek Hitam Bergigl Emas menimang dua benda bulat berwarna putih.
Keduanya jadi beringas lalu melompati si nenek. Tapi maksud mereka mengambil
obat-obat penawar itu tidak berhasil karena si nenek cepat tarik tangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!" teriak
Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!" berteriak SI Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang
obat penawar"!"
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si
Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini" Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi
lima belas butir! Hik..hik..hik...!
Aku akan berikan obat ini pada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus
menyerahkan diri pada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai
dengan dosa-dosa kalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu
dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas.
Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketika
berkelebat menyambar ke arah batok kepala si nenek.
Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akan
terkelupas dan kepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat
ituu menyambar sinar putih yang sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat
Wiro menghantamkan kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kini
diarahkan untuk menangkap tangan dan lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng
putar kapaknya.
Tring-tring-tring.... Si Pengupas Kepala berseru kaget dan melompat mundur. Tiga
kuku jarinya yang sekeras besi itu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas
kelapa ini! Ha...ha...hah....!" Yang berseru adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-
putar gulungan benang halus berwarna putih. Melihat ada lagi yang hendak
menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika melihat
benang halus di tangan Si kakek berambut putih bergulung-gulung ke arahnya. Si
Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku jarinya yang masih
utuh. Des ...des...des...
Ujung benang sakti berputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang dan
yakin dapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kini
diulur dan tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan
kedua tangannya.
Sekali ini serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah dan tahu-
tahu kedua tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan sampai ke
bawah bahu! "Setan haram jadah!" maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan
ikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dan darah mulal mengucur. Sadar
kalau dirinya tak bisa lolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan duduk
menjelepok di tanah tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini
mengingatkannya pada benang sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat
berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok
tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawa ke
Kotaraja. Tapi tidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya,
tubuh yang duduk menjelepok di tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya
menendang dengan deras.
Dukk! Tendangan keras itu menghantam dada si Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini
sempat mengelak. Tubuhnya terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya
menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!" teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung
membabat. Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala
Si Pengupas Kepala menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu
banyak tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk
menghadapi mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin
dilakukannya. Maka diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Jika kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk
ini dan melupakan semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang sengketa katamu"!" si nenek tertawa
"Ini bukan silang sengketa kaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau
berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda!
Memimpin pembunuhan terhadap prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokoh silat
Kerajaan. Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada
kami"!" Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta"!"
sentaknya. "Satu tanganmu dan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku memilih bertempur melawanmu sampai ada yang mati di antara kita!"
Sebagal jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat
turun dari kuda. Pengemis Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan
lawan, kaki kayunya yang terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung
ditusukkan ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya ke
bawah. Traang! Pedang dan kaki kayu beradu keras. Sungguh hebat, pedang sakti dan tajam itu
tidak sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu!
Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidak bisa dianggap sepele.
Maka diapun mengirimkan serangan kilat pada titik kelemahan lawan yakni tubuh
sebelah kiri yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis Kaki Kayu. Berkelahi di alas
pasir yang digenangi air laut ternyata bukan hal yang mudah bagi Pengemis Kaki
Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki
kirinya yang menjadi tumpuan bobot tubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkan
kaki kayunya beberapa kali terseok akibat lekatan pasir dan genangan air. Ketika
lawannya mengajak bertempur berputar-putar, tokoh silat yang ikut terbujuk
memberontak ini jadi kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang
melukai pinggul kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan
diri. Hal ini membuatnya menjadi nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan
dan kemampuan yang ada. Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung
pedang oleh Iblis Pedang Biru.
Pengemis Kaki Kayu hanya sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka
bahkan sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak
tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal dengan jiwanya sendiri. Ujung
pedang menembus dada kirinya, tepat di arah jantung!
Teluk yang gelap kini diselimuti kesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai
mulai mereda. Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan
puluhan korban. Mulai dari prajurit rendah sampal perwira dan tokoh silat.
Pendekar 212 melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah Nenek Hitam Bergigi Emas
dan para tokoh silat Istana.
"Ada satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri.
Dan kau nek, aku sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu...!"
"Hai! Kau mau ke mana pendekar gagah" Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis
Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat dia! Di mana Pangeran pemberontak itu"!" berseru Iblis
Pedang Biru. Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia
telah menotok lalu mengikat Pangeran itu pada sebatang pohon di bukit tak berapa
jauh dari mulut goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naik lebih tinggi,
sebelum goa terendam, kita harus mengirimkan orang untuk menyelamatkannya.
Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh Si
Tapak Api dan Ki Demang Wesi...."
"Kepala Desa Pemberontak itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis
Pedang Biru. Si nenek muka hitam mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar
212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan...."
Semula Winayu Tindi berniat hendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang
yang terbujur menelungkup bergerak mendekatunya. Namun ketika tinggal beberapa
langkah saja lagi dan dia mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas
punggung binatang itu, kagetlah gadis ini.
"Pakde!" teriak si gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalu lari ke arah
orang di atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana...?"
Tubuh dan wajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak
dan dipanggil-panggil tetap tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi
menurunkan tubuh Ki Demang Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapai
ketinggian di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang
dianggapnya sebagai ayah sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu
membaringkannya di situ. Kebetulan ada sebatang pohon kelapa.
Punggung dan kepala Ki Demang Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali
dia berusaha membangunkan orang yang disangkanya pingsan itu karena dia tidak
melihat adanya bekas-bekas luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga
berhasil akhirnya Winayu Tindi mulai keluarkan suara sesenggukan menahan tangis.
Winayu Tindi tidak tahu entah berapa lama dia tegak menangis di tempat itu
ketika di kejauhan dilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu
kudanya ke arah tempat dia berada.
Yang datang ternyata adalah pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan
yang sebelumnya juga telah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran.
Wiro melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakah kau menangisi orang itu" Dia cuma
pingsan karena ditotok."
"Saudara lekas kau tolong dia. Lepaskan totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaanmu pada Ki Demang Wesi besar sekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri!"
sahut sang dara.
"Justru dia adalah manusia paling keji dan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar
Wiro. "Maksudmu.... ?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat, aku berjanji akah menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu
dan juga kusir delman itu" Dialah orangnya!"
Winayu Tindi seperti disambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku
tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap seperti ayah
sendiri" Pakdeku!"
"Jika kau tidak percaya kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara
Ki Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam keadaan tertotok.
"Pakde...Benar kau yang membunuh ayah dan ibu...?" Winayu Tlndi bertanya begitu
melihat Ki Demang Wesi gerakkan mulut.
"Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong besar itu, anakku?"
Winayu Tindi menuding ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi
pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak kupercaya sejak semula! Dialah yang
membunuh ke dua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo hari
tapi berhasil melarikan diri!"
"Keparat kalau begitu...!"
"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya
sang dara menjadi galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika
kau tidak percaya padaku.
Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka menolak untuk bergabung dengan
komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu mengancam akan melaporiaan
kamplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu, juga ibumu dan
kusir delman itu untuk menutup rahasa. Bahkan ibumu... dia merusak kehormatan
Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling
busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadi saksi atas apa yang diucapkan
Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itu telah muncul Nenek Hitam Bergigi
Emas. "Winayu anakku! Jangan percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan
pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi.
Si nenek ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya
berkata, "Bacalah! Itu surat Perintah dari Sri Baginda untuk menangkap Ki Demang
Wesi. Surat itu sudah lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku
mengeluarkannya lebih cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ.
Di sebelah bawah terdapat cap Kerajaan.
Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang jatuh ke
dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke hadapan Wiro. Sebelum
pendekar itu sadar apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212
yang terselip tersibak di pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar putih
berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!" seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke
batok kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis
itu. Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannya tertahan.
Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya
yang hampir terbelah.
Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusan
Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukannya. Lalu gadis ini berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah,
tangan yang lain melepaskan Kapak Naqa Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata
mustika itu sebelum jatuh ke air lalu menopang tubuh sang dara agar tidak
terjungkal. Pasang semakin naik. Malam bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro
menuntun gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda. Jiwa yang tergoncang
membuat Winayu menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke
punggung kuda dan duduk di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar jangan
sampai jatuh. Tiba-tiba ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis
cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik...
hik...hik...!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu.
Tapi pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid
Sinto Gendeng hanya bisa menyerigai.
Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkan kepalanya ke
dadanya. TAMAT Bara Diatas Singgasana 12 Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Kisah Para Penggetar Langit 2