Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 2

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 2


Cou Leng, totiang yang berwajah panjang, juga membuka suara
"Kami sudah mendengar cerita dari A Pao. Bahwa dia mengajak kau berlatih ilmu totokan. Setelah bertanding beberapa lama, kau terdesak oleh
serangannya dan mulai menangis. Apa benar?" tanyanya
Terdiam sebentar, Cio San menjawab, "Benar totiang"
"Huh..." itu suara Yo Ang
Kali ini Lau-ciangbunjin yang membuka suara,
"Cio San apakah kau paham arti perbuatanmu itu?" tanyanya
"Teecu paham sekali suhu. Bahwa seorang laki-laki tidak pantas menangis di dalam pertarungan. Apalagi laki-laki itu mengaku sebagai murid Butongpay.
Perbuatan teecu membuat malu seluruh anggota Butongpay. Dan teecu siap bertanggung jawab atas perbuatan teecu"
"Bagus. Kau tahu hukuman apa yang harus kau hadapi?" tanya Lau-
ciangbunjin lagi "Setahu teecu, hukuman paling ringan bagi ketidakdisipilinan di dalam peraturan Butongpay adalah diasingkan ke atas pondok bambu di puncak tertinggi Butong san. Sedangkan hukuman terberat adalah dikeluarkan dari Butongpay"
"Bagus jika kau tahu. Para totiang, apakah menurut totiang sekalian, Cio San melakukan pelanggaran berat atau ringan?"
"Berat!" tukas Yo Ang
Sedangkan para totiang lain masih diam dan berfikir
Oey Tang Wan berkata, "Menurut saya, kejadian itu memang pelanggaran
berat. Tapi kita bisa memberi hukuman yang lebih mendidik kepada Cio San.
Saya melihat masih ada kebaikan dalam diri Cio San"
"Kebaikan macam apa?" sahut Yo Ang, "Ilmu silatnya saja tidak maju-maju.
Padahal dia itu anggota 15 naga muda. Menjadi murid 'biasa' Butongpay saja ia sudah tidak pantas. Apalagi masuk dalam kelompok unggulan seperti 15 naga muda"
Suara cemprengnya seperti menusuk tulang.
Oey Tang Wan masih tersenyum, sambil manggut-manggut ia berkata,
"Bukankah dalam Butongpay, tidak hanya melulu belajar silat" Penguasaan sastra dan ilmu pengobatan juga sangat penting. Menurut saya bakat sastra Cio San sangat besar. Toh kita dulu sepakat memasukkannya dalam
kelompok naga muda berdasarkan pertimbangan bakat sastranya?"
Yo Ang yang manggut-manggut kali ini.
Walaupun kedua orang ini sering silang pendapat. Tapi mereka sangat
legawa dalam menghormati pendapat yang dianggap benar.
"Tan Hoat, guru pengawas dari Cio San mohon ijin untuk mengutarakan
pendapat" terdengar suara Tan Hoat dari luar pintu.
"Masuk saja Tan Hoat" jawab Lau-ciangbunjin
Setelah masuk dan memberi hormat, Tan Hoat berkata,
"Mohon maaf karena teecu berani lancang dalam urusan ini. Tetapi ada satu hal yang ingin teecu sampaikan yang mungkin bisa menjadi bahan
pertimbangan bagi suhu dan totiang sekalian" kata Tan Hoat
"Katakanlah" sahut Lau-ciangbunjin
"Tadi pagi, teecu tidak sengaja melihat sebuah keanehan. Cio San, yang pelajaran pernafasan dasar hanya baru tingkat ke 5. Sudah bisa melakukan jurus ke 8 Thay Kek Kun"
Tredengar suara kaget dari sekalian orang di dalam ruangan
"Lanjutkan" kata Lau-ciangbunjin
"Setelah teecu tanya, dari siapa ia mempelajari jurus itu, Cio San mengaku belum pernah diajari oleh siapapun. Pada awalnya teecu tidak percaya
kepada jawabannya itu. Tapi setelah teecu berpikir, memang tidak mungkin orang yang belum menguasai seluruh tingkatan pernafasan dasar bisa
melakukan jurus Thay Kek Kun, maka teecu anggap ini memang suatu
kebetulan belaka" "Cio San, apa benar yang dikatakan gihumu itu" Coba ceritakan dari awal?"
kata Lau-ciangbunjin Cio San pun mulai bercerita. Seluruh kejadian itu ia ceritakan tanpa ia kurangi dan tambahi.
Selesai bercerita terdengar keempat totiang saling berpandang satu sama lain, dan berdiskusi. Terdengar perbedaan pendapat, dan pada akhirnya Lau-ciangbunjin lah yang berkata,
"Begini saja," kata sang ketua,
"Kejadian ini memang aneh dan ajaib. Tapi juga bukan berarti tidak masuk akal. Kedalaman ilmu Thay Kek Kun memang sangat dalam, sehingga
semakin dalam kau pelajari, semakin juga terasa kecil dirimu di hadapan ilmu yang sangat luas."
"Melihat bahwa ternyata Cio San sanggup melakukan hal seperti itu, ini menandakan ia sebenarnya mempunyai bakat dalam ilmu silat. Cuma
mungkin ketertinggalannya itu disebabkan oleh kemalasan, dan
kekurangpahamannya sendiri."
"Aku memberikan 2 pilihan kepada Cio San. Pilihan pertama, kau tidak akan dihukum dalam pengasingan, namun kau harus mundur dari kelompok 15
naga, dan menjadi anggota murid 'biasa'. Atau pilihan kedua, kau boleh tetap menjadi anggota 15 naga muda, tetapi kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu dengan diasingkan ke pondok
bambu. Selain itu disana kau harus rajin berlatih sehingga ketika turun kembali, kau harus bisa mengalahkan A Pao. Jika kau tidak mampu
mengalahkan A Pao, maka dengan sukarela kau harus keluar dari 15 naga muda dan menjadi murid biasa. Bagaimana Cio San?"
Setelah berpikir sebentar, Cio San berkata, "Teecu memilih pilihan kedua, suhu"
Ada senyum yang tersungging di bibir Lau Tian Long, ia lalu berkata,
"Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulut seorang murid Butongpay.
Berani bertanggung jawab dan menerima hukuman. Jika tadi kau memilih
pilihan pertama. Aku akan langsung mengeluarkanmu dari Butongpay"
"Karena kau adalah murid termuda yang dihukum dalam pengasingan. Maka aku memberi keringanan padamu. Jika biasanya hukumannya harus setahun dalam pengasingan, kau cukup menjalaninya selama 3 bulan. Siapa saja
boleh menjengukmu setiap saat, tapi kau tidak diperbolehkan turun, atau keluar dari puncak. Selama disana kau harus rajin berlatih, sehingga begitu turun, kau harus sanggup mengalahkan A Pao. Siapkah kau?"
"Teecu siap suhu" kata Cio San sambil menunduk khidmat
"Bagus. Bersiap-siaplah sekarang. Hari ini juga begitu siap, kau harus sudah berangkat ke pondok bambu"
"Teecu siap menjalankan perintah.
Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus
belakangan ini. Tan Hoat sambil tersenyum berkata,
"Sudah siap" aku akan mengantarkanmu ke pondok bambu"
"Sudah gihu, tapi anak ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?"
"Pergilah, aku menanti di pohon Yang Liu dekat kolam gedung utama.
Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman"
"Terima kasih gihu" sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.
Pertama-tama ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus
tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.
Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.
"Ah kau.., bagaimana" sudah bertemu ciangbunjin" Apa kata beliau?" tanya Liang-lopek
"Sudah lopek. Kata beliau, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan"
sambil berkata begitu ia membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya
hukuman seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio San.
"Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan" Tak ada orang yang
mengganggumu disana kan?"
"Iya Lopek, haha"
"Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang
mengganggumu" goda Liang-lopek sambil membuat mimik muka seram
"Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung juga lebih baik" tawa Cio San
"Hus, jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar silat terus, tidak boleh makan dan tidak boleh tidur"
Mereka berdua tertawa lagi,
Tiba-tiba Liang-lopek berkata,
"Eh aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana"
"Apa itu, lopek?"
"Tunggu sebentar"
Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama ia keluar membawa beberapa barang.
"Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana.
Memang aku tahu biasanya setiap beberapa hari sekali ada murid yang
mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi ku pikir kau mungkin ingin
memasak sendiri, sambil mencoba-coba resep yang kuajarkan tadi"
"Ah terima kasih lopek" Cio San tertawa senang
"Ngomong-ngomong tentang resep, ini kukasih juga buku resep khusus. Di dalamnya selain ada resep-resep masakan kuno, juga ada penjelasan
tentang bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.
"Terima kasih lopek. Saya pasti mempelajari buku itu"
"Nah ini yang terakhir, ku bawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi) kecil untuk menemanimu bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha"
"Hahaha, lopek jangan bergurau. Saya kan tidak bisa bermain khim.
Walaupun ayah saya mahir sekali bermain, saya sama sekali belum pernah mencobanya"
"Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Coba-coba saja lah."
"Huh bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar masak.
Pelajaran silat bisa terlupa semua. Bahaya" wajah Cio San membuat mimik lucu lagi
Tiba-tiba ia melanjutkan,
"Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya saya sama sekali tidak belajar silat kan". Supaya jika saya kalah dengan A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi anak buah lopek?"
"Hahahahah" Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati mereka saat bergurau. Memang tidak ada perasaan yang lebih
menyenangkan selain berkumpul bersama temanmu, dan bergurau
bersama. Rasanya seperti semua beban dalam hatimu terlupakan untuk
beberapa saat. "Eh kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan sering-sering mengunjungimu jika diijinkan oleh gurumu"
"Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang tidak boleh meninggalkan tempat itu"
"Hmmm baguslah. Kalau ada waktu senggang aku akan sering-sering naik
kesana. Kau jaga diri baik-baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti kalau aku kesana, kau yang memasak untukku"
"Baik lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil"
"Baik-baik" Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada
perasaan haru dalam hati Liang-lopek ketika menerima penghormatan
seperti itu. Selama ini, tidak ada murid Butongpay yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru.
Itulah kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.
Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan di dalam hatinya. Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak tertinggi Butongsan yang sebenarnya. Cio San pergi dengan riang tanpa rasa berat dihatinya.
Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek
membatin dalam hati, "Mudah-mudahan Butongpay menjadi lebih jaya karena anak ini"
Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para 15 naga muda berlatih. Karena saat ini memang
masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.
Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu
tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Butongpay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.
Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan
mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai 15 naga muda yang paling berbakat.
Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya.
Ia berbalik lalu tersenyum kepada Cio San.
"Hey kau datang San-te (adik San)"
"Iya Liong-heng, aku ingin berpamitan kepadamu"
"Memangnya kau mau kemana, San-te?"
"Aku disuruh tinggal sebentar di pondok bambu. Selama 3 bulan"
Beng Liong sudah mengerti bahwa maksuda 'tinggal sebentar' adalah
dihukum "Wah, kau harus tabah ya San-te. Semoga disana kau lebih tenang dalam belajar silat. Kalau ada waktu luang aku ingin pergi kesana. Kata orang pemandangan di sana indah. Kita juga bisa berlatih silat bersama-sama"
"Terima kasih Liong-heng. Doakan semoga sute mu ini berhasil ya"
Keduanya lalu bersalaman dan Cio San pun bergegas pergi.
Beng Liong pun menatap punggung yang sedang bergegas itu. Ia tersenyum sebentar dan melanjutkan latihannya.
"Semoga berhasil San-te" katanya dalam hati.
Letak ruang latihan utama memang tidak jauh dari tempat Tan Hoat
menunggu. Tidak berapa lama Cio San sudah sampai disana. Saat istirahat siang begini, memang Butongpay terasa sepi. Karena waktu-waktu ini
dipakai para murid untuk memulihkan tenaga mereka setelah seharian
mereka berlatih. "Sudah?" tanya Tan Hoat begitu melihat kedatangan Cio San
"Sudah gihu. Sekarang anak siap berangkat" kata Cio San mantap.
"Baguslah. Ayo" kata Tan Hoat sambil tersenyum
Mereka lalu berjalan menuju pondok bambu, di puncak tertinggi Butongsan.
Sepanjang perjalanan, pemandangan memang indah sekali. Cio San
menikmati sekali perjalanan ini. Kadang-kadang ia bertanya kepada gihunya tentang tempat apa saja yang dilihatnya itu. Gihunya dengan sabar
menjelaskan. Tapi tak berapa lama Cio San mulai terlihat ngos-ngosan dan wajahnya
mulai pucat. Tan Hoat pun paham bahwa Cio San memang tidak terbiasa
mendaki jalan tebing-tebing curam seperti ini sehingga kehabisan nafas.
Ia pun lalu memberi sedikit pelajaran pernafasan kepada Cio San sambil jalan. Ternyata ada teknik nafas khusus sehingga jika melakukan pendakian, seseorang tidak kehabisan nafas.
Pada awalnya Cio San memang kesulitan untuk melakukan yang diajarkan
gurunya itu, namun setelah hampir satu jam lebih mencoba, dan mendapat petunjuk terus dari gurunya, Cio San akhirnya berhasil. Nafasnya mulai teratur dan tidak terengah-engah lagi seperti semula. Kondisi organ-organ tubuhnya yang kurang baik, memang membuat Cio San cepat sekali letih
dan kehilangan tenaga. Baru setelah nafasnya teratur dan tubuhnya mulai terasa kuat, wajah Cio San sudah terlihat memerah lagi. Keringatnya pun mengalir deras. Orang biasa yang jika melakukan pekerjaan fisik lalu tidak berkeringat, maka pasti ada yang salah dalam tubuhnya. Kini setelah keringatnya keluar, Cio San malah merasa segar.
Ia sudah bisa mulai bercakap-cakap kembali dengan gihunya,
"Cio San," kata Tan Hoat, "Sebenarnya dalam hal ini, gihu merasa sangat bersalah kepadamu"
"Ada apa gihu?"
"Gihu sering meninggalkanmu, jadi tidak bisa terus memberi pelajaran
kepadamu. Memang diantara ke 15 guru yang menangani 15 naga muda,
gihulah yang paling sering meninggalkan kau dan membiarkanmu latihan
sendiri. Gihu mohon maaf kepadamu Cio San..."
"Gihu jangan meminta maaf, semua ini adalah kesalahan anak karena
memang tidak memiliki bakat dalam silat. Anak juga malas belajar."
"Tapi sudah menjadi tanggung jawab gihumu ini untuk mendidikmu, tapi
aku malah memarahimu saat kau menghadapi masalah seperti ini. Padahal sudah salahku bahwa aku jarang sekali mendampingimu"
"Bagaimana mungkin anak menyalahkan gihu" Bukankah kepergian gihu
karena menjalankan tugas perguruan?"
Tan Hoat hanya tersenyum. Memang Cio San ini pintar sekali berbicara.
"Gihu, sebenarnya tugas apakah yang gihu jalankan" Sejauh yang anak
perhatikan, hanya gihu seorang yang sering sekali naik-turun gunung.
Sedangkan murid-murid Butongpay yang lain semuanya dipusatkan berada
di Butongsan" "Hmmm, sebenarnya gihu tidak boleh menceritakan ini kepadamu, tapi
sebagai bentuk penyesalan gihu terhadapmu. Gihu akan bercerita sedikit saja"
Tan Hoat bercerita bahwa ia ditugaskan oleh Lau-ciangbunjin untuk
menyelidiki keberadaan kitab silat terhebat tang ditulis oleh Tat-mo. Kitab ini sangat hebat, karena ditulis langsung oleh pencipta ilmu silat, yaitu sang Tat-Mo sendiri.
Keberadaan kitab itu sangat misterius, dan hanya beberapa orang saja yang tahu keberadaan kitab itu. Bahkan thay suhu Thio Sam Hong saja tidak tahu keberadaan kitab itu.
Ditakutkan, jika keberadaan kitab itu tersebar luas, akan terjadi malapetaka besar yang timbul karena setiap orang dalam bu lim akan memperebutkan kitab itu.
"Lalu jika gihu menemukan kitab itu, apa yang akan gihu lakukan?"
Tan Hoat tersenyum mendengar pertanyaan bagus yang keluar dari
muridnya itu, "Tiga perguruan terbesar yaitu, Siau Lim pay, Butong pay, dan Gobipay, sepakat untuk bersatu dan melindungi kitab itu. Jika ketiga partai sudah bersatu, maka siapakah lagi yang berani melawan kita?"
"Tapi bukankah jika partai-partai kecil bersatu, jumlah mereka pun akan menyamai jumlah 3 partai besar ini guru?"
"Partai-partai kecil pun sudah kita dekati dan kita beri pengertian untuk menjaga keutuhan dunia Kang ouw. Memang pasti ada perebutan besar,
maka itulah ketiga partai besar sekarang sudah bersiap-siap menyatukan kekuatan, jika sewaktu-waktu kitab itu ditemukan, dan terjadi perebutan besar"
"Wah berarti akan ada perang besar lagi?" Cio San berkata sambil
menggeleng-geleng. "Kenapa kau mengelang Cio San?"
"Anak hanya heran, mengapa orang mau begitu berkorban untuk menjadi
ahli silat" Padahal kalau dia menjadi ahli silat, hidupnya hanya dihabiskan untuk berkelahi"
"Kau harus paham bahwa di dunia ini orang punya kesenangan bermacam-
macam. Jika ada yang suka sastra, suka mancing, suka musik, suka
makanan yang enak-enak, banyak juga yang suka berkelahi"
"Haha, betul juga gihu"
"Oh iya, ada satu hal lagi Cio San....."
"Apa itu gihu?"
"Aku juga melacak para perampok yang dulu membunuh ayah ibumu...."
Cio San hanya diam. Tan Hoat pun melanjutkan,
"Kelompok perampok ini sebenarnya bukanlah perampok biasa. Tersiar
kabar jika ada kelompok rahasia yang berdiri beberapa tahun yang lalu dalam dunia kang ouw. Tujuan mereka sampai saat ini masih belum
diketahui dengn jelas. Tapi mereka sering sekali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu. Biasanya korban mereka adalah pejabat-pejabat kerajaan, atau pendekar-pendekar ternama.
Mereka ini mempunyai ilmu silat yang sangat hebat. Tapi gerak geraik
mereka sangat rahasia. Sampai sekarang para pendekar kang ouw masih
belum mengetahui maksud para perampok ini sebenarnya. Apakah korban-
korban mereka ini terbunuh secara acak, ataukah memang ada maksud
tertentu" "Kalau menurut gihu?" tanya Cio San
"Menurutku, pasti ada tujuan tertentu. Aku merasa pergerakan mereka itu pasti ada hubungan dengan perebutan kitab itu"
"Gihu, apa nama kitab itu sebenarnya?"
"Namanya Kitab Inti Semesta"
"Wah dari namanya saja sudah terdengar hebat" tukas Cio San
"Cio San, apakah sewaktu orang tua mu meninggal, kau tidak
mendengarkan mereka membicarakan tentang Kitab Inti Semesta?"
"Sejauh yang anak ketahui, ayah dan ibu tidak pernah membicarakan hal itu gihu. Mereka pada akhir-akhir hayat mereka hanya membahas kekisruhan di Gobipay saja"
"Hmmm..." Tan Hoat tidak berkata apa-apa lagi.
Hampir 3 jam mereka mendaki, akhirnya sampai juga mereka ke pondok
bambu. Setelah beristirahat sebentar, Tan Hoat mengajak Cio San
berkeliling daerah sekitar situ. Ternyata hampir semua kebutuhan sehari-hari bisa di dapatkan disitu.
Ada sungai mengalir yang airnya jernih sekali. Bisa dipakai untuk minum dan mandi. Ikan-ikannya ternyata banyak juga disitu. Di seberang sungai terdapat hutan kecil yang walau tidak terlalu lebat, mempunyai pohon-pohon yang mempunyai banyak buah yang bisa dimakan.
Bagian tertinggi Butong san itu ternyata sangat indah. Di sebelah kanan sungai dan hutan, di sebelah kiri tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat
menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.
Pondok bambu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Butongsan.
Di dalam pondok, ternyata suasanyanya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan ada meja kecil dan sebuah kursi.
Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau juga
membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh. Ada juga lampu minyak,
sekalian beserta minyaknya.
Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-
main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga.
Dalam hati ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.
Tan Hoat rupanya berencana untuk menemani Cio San selama satu malam.
Buntalan kecil yang ia bawa ternyata berisi beberapa bahan makanan seperti beras, dan bumbu.
"Bahan-bahan ini cukup untuk satu bulan. Nanti jika habis ku bawakan lagi"
Cio San lalu mengucapkan terima kasih kepada gihunya itu.
Setelah malam tiba mereka lalu menyalakan lampu minyak. Suasana di situ walaupun hening, ternyata tidak begitu menyeramkan bagi Cio San.
Mungkin karena ia sekarang ditemani oleh Tan Hoat. Seseorang jika
mengalami hal berat, tapi mempunyai kawan orang yang ia senangi dan


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hormati, maka sedikit banyak hal berat itu menjadi lumayan ringan.
Mereka mengobrol agak lama. Tan Hoat memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat. Cio San mendengarkan dengan seksama. Bertanya saat ia
bertemu bagian yang belum ia mengerti. Tan Hoat merasa pemahaman Cio
San itu sangat dalam, dan anak itu cerdas sekali.
"Kau tidurlah Cio San. Besok pagi-pagi sekali kita bangun dan melatih semua yang tadi sudah kuajarkan"
"Baik Gihu" Pagi-pagi sekali, ketika langit masih kelabu, Cio San dan Tan Hoat sudah berlatih. Cio San mulai melakukan gerak-gerak silat, dan Tan Hoat mulai memberi petunjuk-petunjuk lagi. Lama sekali mereka berlatih, sampai hari sudah terang. Lalu mereka beristirahat.
"Cio San, mengapa kau susah sekali melakukan seperti yang kuperintahkan"
Bukankah semalam kau sudah paham?"
"Anak sudah paham gihu, teecu juga sudah coba melakukan seperti yang
gihu perintahkan, tapi entah kenapa hasilnya tidak seperti yang gihu
harapkan. "Apakah mungkin karena organ-organ tubuhmu itu yang tidak bekerja
sempurna" Sayang sekali, padahal kecerdasanmu luar biasa, dan kau cepat paham......" Tan Hoat hanya termangu-mangu
"Mungkin...mungkin teecu memang dilahirkan tidak dengan bakat silat
gihu....." "Ahhh...." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Tan Hoat. Matanya seperti menerawang.
Ia mengelus-elus kepala Cio San, sambil berkata, "Kau bersabarlah, jikalah memang kau tidak mempunyai bakat silat, kau mempunyai bakat
kecerdasan yang besar. Kau bisa belajar ilmu pengobatan Butongpay, dan sastra. Aku memang terlambat memahami dan menerima kenyataan ini.
Tapi untuk sekarang, kau hadapilah dulu hukumanmu ini..., kuatkan hatimu Cio San..."
"Ada gihu yang menyayangi teecu, rasanya anak berani menghadapi apa
saja gihu.... Setelah beristirahat, mereka berdua lalu mandi di sungai. Sambil mandi mereka ,menangkap ikan. Ternyata ikannya besar-besar. Ada 2 ekor yang mereka tangkap. Setelah mandi, mereka menanak nasi dan ikan itu
kemudian mereka bakar dan santap.
Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya makan di alam
terbuka bersama orang-orang yang kau sayangi.
"Cio San, sekarang aku harus turun. Mungkin dalam satu-dua hari, aku
harus turun Butongsan pula. Tugas penyelidikan sudah harus ku mulai lagi.
Mudah-mudahan tidak lama lagi, kita bisa dapat bikin terang masalah
kelompok perampok ini."
Setelah memberi sedikit pesan dan petunjuk, Tan Hoat lalu bergegas turun.
Cio San sangat merasa berat, namun ia menahan diri untuk tidak menangis.
Air mata mengambang di pelupuk matanya. Entah kenapa ia memang
mudah menangis. Hatinya memang lembut. Tapi dia bukan orang yang
cengeng, ia hanya orang yang mudah terharu.
Berkali-kali ia mengalami kejadian yang menyedihkan. Kehilangan orang tua, kehilangan kakek dan seluruh keluarganya. Namun ia selalu berusaha menahan kesedihan hatinya. Tapi mata memang tidak bisa berbohong.
Sering sekali matanya itu berair. Jangankan terhadap hal-hal besar,
terhadap hal-hal kecil saja ia sering terharu.
Setelah sendirian seperti ini, Cio San mulai melamun. Ia melamunkan
banyak hal. Kejadian ia kehilangan kedua orang tua, dan seluruh keluarga besarnya. Perlakuan buruk kawan seperguruannya, dan juga hukuman di
atas gunung ini. Ia berfikir, penderitaannya malah mungkin tidak hanya dimulai saat ia kehilangan orang tua. Penderitaannya bahkan sudah dimulai sejak ia lahir.
Ia lahir dengan usia kandungan yang kurang dari 9 bulan. Organ-organ
tubuhnya bekerja tidak sempurna. Jantungnya lemah, paru-parunya lemah, hampir semua organ tubuhnya lemah. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan.
Kalau bukan karena ibunya yang menguasai ilmu pengobatan Gobipay,
belum tentu ia bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Selain memberi pengobatan ramuan, dan tusuk jarum. Ibunya pun masih
sering menyalurkan tenaga dalam kepadanya. Bahkan dulu ia sempat
mempelajari ilmu pernafasan Gobipay untuk membantu kerja paru-paru dan jantungnya.
Aliran darahnya mengalir tidak normal. Kadang-kadang malah sakit kepala hebat sering menyerangnya. Singkat kata, hampir semua rasa sakit yang ada di dunia ini pernah dialami Cio San. Untungnya memang ibunya selalu berada di dekatnya dan mengobatinya terus menerus.
Beberapa tahun ini, setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak ada lagi yang mengobati Cio San. Ketika sakit kepala, atau sesak nafas
menyerangnya, ia menyembunyikannya rapat-rapat. Itulah kenapa ia tidak bisa dengan sempurna menggunakan ilmu silatnya.
Beberapa petinggi Butongpay bukan tidak mengerti tentang keadaan tubuh Cio San. Mereka pun berusaha untuk menyembuhkannya. Tapi ilmu
pengobatan Butongpay yang hebat itu, sama sekali tidak menurun kepada murid-murid dan petinggi Butongpay yang sekarang. Keasyikan mempelajari ilmu silat, membuat mereka sedikit menganaktirikan ilmu pengobatan yang sebenarnya sangat penting itu.
Mungkin kitab-kitab pengobatan peninggalan Thio Sam Hong masih
tersimpan, namun tidak ada seorang pun yang tertarik mendalaminya lagi.
Keadaan Butongpay setelah ditinggal mati oleh banyak murid-murid
berbakat, dan juga ditinggal Thio Sam Hong, membuat Butongpay benar-
benar lemah saat ini. Itulah mereka sekarang mengutamakan berlatih ilmu silat dengan sungguh-sungguh.
Keadaan ini tentu saja menyulitkan Cio San, yang pada awalnya masuk
Butongpay untuk mempelajari sastra dan juga ilmu pengobatan. Karena
guru-guru Butongpay sekarang memiliki kemampuan sastra yang sangat
mengecewakan. Bahkan bisa dibilang Cio San lebih mengerti sastra daripada guru-guru itu sendiri.
Ayahnya yang memang ahli sastra kenamaan, sudah mengajarkan banyak
sekali huruf-huruf kuno kepada Cio San. Sejak umur 4 tahun, ia sudah
sanggup membaca kitab-kitab kuno. Hal ini memang menjadi kebanggaan
tersendiri bagi keluarga Cio. Sejak dari jaman leluhur keluarga Cio, mereka memang terkenal sebagai ahli-ahli sastra yang hebat-hebat.
Kemenangan mengusir penjajah Goan dulu, sebenarnya tidak terlepas dari pengetahuan sastra keluarga Cio ini. Cio Hong Lim, kakek Cio San, bisa menjadi ahli strategi dari tentara pembebas, karena ia faham kitab-kitab kuno. Ia mempelajari strategi-strategi perang jaman dulu, dan
menerapkannya pada saat perang dulu. Ditambah lagi ia mampu
menerjemahkan sebuah kitab perang jaman dahulu kala yang dulunya
tersimpan di dalam sebuah golok sakti.
Kitab perang kuno itulah yang membuat perjuangan itu berhasil, dan
membawa Kaisar Beng pertama mendirikan kekaisarannya. Cio Hong Lim
sendiri mundur dari jabatannya sebagai ahli strategi begitu kemenangan perjuangan berhasil diraih. Padahal kaisar baru itu sudah menawarkan
berbagai jabatan kepadanya. Namun Cio Hong Lim memilih membangun
desanya, hingga akhirnya dia sekeluarga terbunuh oleh kawanan perampok.
Mengingat cerita tentang kitab kuno, Cio San jadi teringat sebuah 'kitab', yang diberikan Liang-lopek kepadanya. Bergegas Cio San mengambil kitab itu. Kitab yang tebal itu memang membahas tentang berbagai resep. Dan ternyata banyak sekali huruf kuno di dalamnya. Untunglah Cio San bisa membaca semuanya.
Buku itu menarik sekali baginya. Ada resep-resep masakan, ada juga
ramuan-ramuan pengobatan. Ada penjelasan tentang berbagai bahan-
bahan, mulai dari sederhana sampai bahan-bahan yang baru dikenalnya.
Seseorang yang gemar sekali membaca, jika diberikan bacaan yang menarik hatinya, maka seluruh perhatiannya akan tercurahkan hanya kepada buku itu. Semua tak dihiraukannya lagi. Bahkan mungkin anak istri sekalipun.
Cio San pun mempunyai sifat semacam ini yang menurun dari ayahnya.
Dengan 'rakus' ia membaca halaman demi halaman kitab itu. Daya ingatnya pun kuat sekali. Sekali baca saja ia sudah paham. Keasyikan membaca ini mengalihkannya dari rasa sepi karena sendirian saja di pondok bambu itu.
Tak terasa sudah siang, dan perut Cio San sudah keroncongan dari tadi.
Akhirnya ia 'mengalah' dan memilih untuk makan. Nasi dan ikan tadi pagi masih tersisa. Tapi sambil makan pun Cio San masih 'melahap' kitab
pemberian Liang-lopek itu.
Sampai malam, hampir sepertiga kitab itu sudah selesai ia baca. Karena selain membaca, Cio San mencoba menghafal-hafal isi bacaannya. Dan
herannya, ia memang sudah hafal seluruh yang ia baca tadi. Melihat sendiri pun seseorang tidak akan percaya bahwa ada orang yang bisa menghafal
apapun dalam sekali baca.
Namun begitulah Tuhan yang maha adil. Cio San mungkin mempunyai
kekurangan fisik, namun daya ingat dan daya pikir otaknya jauh diatas rata-rata orang lain.
Setelah malam, Cio San memutuskan untuk beristirahat dan melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan
seperguruannya. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan
karena kekurangfahamannya, namun karena organ-organ dalam tubuhnya
yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.
Cio San pun mengerti dan faham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja latihan cara Butongpay ini ditujukan kepada mereka yang
memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.
Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguh lah tepat. Karena pada
dasarnya ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik
seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, mnaka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.
Hal inilah yang melahirkan berbagai macam ilmu silat yang ada di dunia ini.
Semua disesuaikan dengan keadaan fisik, bahkan mungkin juga keadaan
alam sekitar. Cio San mencapai pemahaman ini dalam waktu sebentar saja, di dalam
umur yang sedemikian muda, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Memang daya pikirnya yang tajam membuatnya sanggup memikirkan
hal-hal yang tidak dipikirkan orang.
Keadaan ini memang diciptakan Tuhan untuk 'menyeimbangkan' kekurangan fisik yang dimilikinya.
Setelah memahami keadaan dan kenyataan bahwa ilmu Butongpay yang
diajarkan kepadanya itu sebenarnya kurang cocok, Cio San mulai
memikirkan hal baru lagi. Yaitu bagaimana cara agar ilmu itu menjadi cocok baginya!!
Anak sekecil ini sudah berani mengotak-atik ilmu silat adalah merupakan sesuatu yang berbahaya. Karena jika salah berlatih bisa menyebabkan
kegilaan, cacat seumur hidup, bahkan juga kematian. Herannya, Cio San pun juga memahami hal ini walaupun tidak ada seorang pun yang
menjelaskan kepadanya. " Jika seseorang menggerakan aliran darah, dan aliran tenaga melalui
tempat yang tidak seharusnya, maka hal ini akan menyebabkan seluruh
kerja tubuhnya akan menjadi kacau. Ini pasti sangat berbahaya bagi orang itu" begitu pikir Cio San dalam hati,
"Maka sebelum menggerakan aliran darah dan tenaga, seseorang harus
mengerti dulu arah gerak normal aliran itu. Kemana seharusnya aliran itu bergerak, bagaimana cara kerjanya, dan lain-lain"
"Sebelum aku bisa merubah ilmu silat Butongpay ini agar sesuai dengan tubuhku, maka sebelumnya aku harus memahami tubuhku sendiri dulu".
Pemahaman ini adalah pemahaman terbesar dari para ahli silat. Seorang yang mengenal tubuhnya sendiri, pasti akan mampu mengendalikan tubuh
itu sseperti yang ia mau.
Memang hebat daya pikir Cio San yang sampai pada pemahaman ini tanpa
seorang pun menunjukkan kepadanya. Selama ini di Butongpay, ia hanya
diajarkan teori gerak. Ia diharuskna meniru apa yang sudah ditunjukkan oleh gurunya. Sebab mengapa harus bergerak seperti ini, atau seperti itu, mengapa begini, mengapa begitu, tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.
Jika banyak bertanya maka ia akan dimarahi karena terlalu banyak
bertanya. Kenyataan bahwa ia tidak sanggup menguasai apa yang diajarkan kepadanya, adalah lahir dari hal seperti ini. Bahwa ia hanya diajarkan bergerak, tanpa mengetahui makna gerakan-gerakan itu. Padahal fisiknya berkembang berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Memahami hal ini, Cio San bertekad untuk mempelajari dulu keadaan
tubuhnya sendiri. Jika ia sudah benar-benar faham cara kerja organ
tubuhnya, maka ia bisa saja 'merubah' sedikit ilmu silat Butongpay yang diajarkan kepadanya agar sesuai dengan keadaan tubuhnya.
Buku pemberian A Liang itu sebenarnya adalah kumpulan buku-buku unik.
Ada mengenai resep masakan dan obat-obatan. Bab yang membahas obat-
obatan juga memiliki pembahasan tentang tubuh manusia. Tentang aliran darah dan berbagai macam fungsi organ tubuh.
Hal ini membuat Cio San semakin bersemangat mempelajari isi buku yang diberikan A Liang kepadanya. Karena ternyata di dalamnya berisi
pengetahuan tentang tubuh manusia juga. Cio San membaca kitab itu
dengan lahap sampai ia tertidur.
Pagi-pagi Cio San terbangun. Ia lalu berlatih silat sebentar, sesuai dengan yang dipesankan gurunya. Memang waktu terbaik untuk berlatih silat adalah saat pagi-pagi sekali. Sinar matahari sangat membantu untuk menguatkan tulang, dan menyehatkan tubuh.
Setelah berlatih, dia mulai menanak nasi, kemudian ia tinggal pergi mandi dan menangkap ikan. Setelah nasi sudah masak dan ikan sudah diolah, ia pun makan pagi.
Sambil makan, buku pemberian Liang-lopek itu tidak lepas darinya.
Semangat sekali Cio San mempelajari isi buku. Sampai siang ia terus
membaca isi buku itu. Kadang-kadang ia memperaktekkan apa yang ada di dalam buku itu. Berfikir sebentar, memperhatikan titik-titik yang ada pada tubuhnya. Mengingat-ingat fungsi titik-titik.
Kegiatan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Tak terasa Cio San sudah melalap habis isi buku itu dalam waktu 3 hari!
Hari keempat, setelah berlatih silat, Cio San melihat bayangan orang dari kejauhan. "Rupanya akan ada tamu", pikir Cio San.
Tak berapa lama bayangan itu semakin jelas, tampaklah Beng Liong.
Cio San senang sekali bahwa kakak seperguruannya ini datang
mengunjunginya. Dari jauh mereka saling tersenyum.
"Ah Liong-heng, selamat datang di gubuk derita ini" teriak Cio San sambil tertawa
"San-te, bagaimana keadaanmu?"
Mereka berbasa-basi sebentar menanyakan kabar dan bercanda. Rasanya
memang nikmat jika ada sahabat yang mengunjungimu di kala kau sedang
kesepian. Cio San yang saat sedang menanak nasi, meminta ijin sebentar untuk
mandi. Tidak lama kemudian dia pulang membawa dua ekor ikan yang
lumayan besar. Sambil menikmati nasi dan ikan bakar itu. Kedua sahabat kecil itu mulai saling bercerita. Beng Liong menceritakan keadaan perguruan sedangkan Cio San menceritakan kegiatannya 'melahap' buku yang diberikan A Liang kepadanya.
"Pasti menarik sekali buku itu, San-te. Kuharap banyak manfaat yang bisa kau ambil"
"Iya Liong-heng. Di buku ini banyak sekali pengetahuan tentang bahan-
bahan alam, dan ramuan-ramuan. Awalnya aku mengira hanya berisi resep masakan, ternyata isinya lebih dari itu. Liang-lopek juga mungkin tidak tahu karena kebanyakan isi buku ini dari huruf-huruf kuno" kata Cio San sambil menunjukkan buku itu.
Beng Liong melihat-lihat isi buku itu kemudian berkata,
"Ah benar. Ternyata banyak huruf-huruf kuno. Kau bisa mengenal seluruh huruf-huruf ini, San-te?"
"Bisa Liong-heng..."
"Seluruhnya?" "Seluruhnya" "Wah hebat sekali kau San-te"
"Tidak juga, Liong-heng. Kebetulan saja aku memiliki ayah seorang siucai (sastrawan), sehingga sejak kecil aku memang sudah dikenalkan huruf-huruf itu" tukas Cio San sambil tersenyum
Lama mereka membahas isi buku itu, sampai kemudian Beng Liong berkata,
"Eh San-te, bagaimana kalau kita berlatih silat?"
"Boleh Liong-heng, tapi beri aku petunjuk ya. Ilmu silat ku buruk sekali, Hahahaha"
Kedua orang itu lalu bersilat. Terlihat sekali bahwa memang Beng Liong sangat berbakat dalam ilmu silat. Gerakannya lincah dan mantap.
Serangannya bertenaga, dan cepat sekali. Tidak percuma dia dianggap
sebagai murid Butongpay yang paling berbakat.
Cio San jelas kelabakan dalam menghadap serangan-serangan Beng Liong.
Untunglah Beng Liong sendiri menahan diri sehingga tidak mendesak Cio San.
Sambil bersilat, kadang-kadang Beng Liong memberikan petunjuk-petunjuk tentang serangan dan tipuan-tipuan.
Cukup lama mereka bersilat, sampai kemudian Cio San mulai terlihat
terengah-engah. Mengetahui kondisi ini Beng Liong mulai melemahkan
serangan-serangannya, sehingga lama-lama mereka sepakat untuk berhenti silat.
"Kau hebat sekali, Liong-heng. Baru 3-4 hari kita berpisah, kemajuannya sudah pesat sekali"
"Benarkah?" "Benar Liong ko. Serangan-seranganmu bertambah cepat. Bukankah tadi
kau memainkan jurus-jurus yang baru saja kau latih 3 hari yang lalu?"
"Iya. Bagaimana kau bisa tahu"...oh aku ingat. Saat aku melatih jurus-jurus itu, kamu datang untuk berpamitan ya?"
"Benar Liong-heng. Hehe."
Mereka lalu beristirahat.
"San-te, gerakmu tadi kurang cepat, sehingga gerakan-gerakanmu tadi
mudah dibaca. Cobalah untuk berlatih meningkatkan kecepatan
seranganmu." "Baik Liong-heng, terima kasih atas petunjuknya"
"Jangan lupa jurus-jurus itu harus kau hafal luar kepala. Sehingga ketika bersilat, kau bisa langsung menggunakannya dengan bebas. Jika kau
menghafal seluruh jurus-jurusnya, perubahan serangan macam apapun dari lawan kita, bisa dihadapi dengan mudah. Ilmu silat Butongpay memang
hebat sekali. Jurus-jurus dasarnya saja sudah bisa menghadapi serangan-serangan dahsyat ilmu lawan"
"Benarkah Liong-heng?"
"Benar San-te. Makanya kau jangan malas berlatih. Jika kita semua rajin berlatih, aku yakin nama Butongpay akan semakin gagah di mata orang-orang Kang-ouw"
"Baik Liong-heng" kata Cio San tersenyum.
Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali,
"Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja, rupanya ia sudah mulai
mempelajari ilmu meringankan tubuh Butongpay" kata Cio San dalam hati.
Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Butongpay. Namun sambil berlatih silat,otaknya terus menerus mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya nafas terengah-engah dan ia cepat merasa capai. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.
Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil
mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Butongpay dan pengetahuan tentang tubuh
manusia. Saat ilmu Butongpay mengajarkannya untuk menyalurkan energi ke kaki, ia mulai merasa terengah-engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya
lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke jantung, bukan ke kaki.
Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan
energi "Im" ke dalamnya.
Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
Namun entah kenapa ilmu silat Butongpay itu sangat cocok dengan teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar ini mungkin karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali paham tentang ilmu
silat. Tetapi sebagian besar juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya untuk mencoba hal yang baru. Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu Butongpay.
Ini terjadi dari hari ke hari setiap kali ia berlatih ilmu silat. Jika ia merasa terengah-engah atau capai, cepat-cepat ia merubah gerakan atau
penyaluran energi ke tempat-tempat di mana ia pikir sesuai dengan
kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja ilmu Cio San sudah maju
sangat-sangat pesat. Suatu hari ketika ia sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi. Kali ini ia mengenalnya dari kejauhan. "Itu pasti Liang-Lopek. Ah akhirnya ia datang juga" Ujarnya sambil tersenyum.
"Hoy, Cio San" A Liang berteriak dari jauh. "Bagaimana kabarmu".
Hahahahahaha" "Liang-Lopek apa kabar" Kata Cio San sambil memberi salam.
"Hey buat apa kau banyak aturan seperti ini" Pakai salam Butongpay segala.
Aku kan bukan murid Butongpay"
"Haha, Liang-lopek memang bukan murid Butongpay. Tapi Liang-Lopek
adalah 'tetua' Butongpay"
"Huah" Gila kau. Jika di dengar 4 tetua Butongpay, kau pasti dihajar
mereka. Hahaha" Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena
kedua orang ini memang sudah seperti sahabat. Padahal umur mereka
berdua sudah seperti kakek dan cucu.
Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka
berdua duduk menikmati makanan sambil bercerita. Lama sekali mereka
bercerita. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari diatas gunung selama hampir sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan
perguruan. "Eh ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan?"
tanya A Liang "Sudah lopek. Sudah saya tamatkan"
"Heh" Sudah tamat" Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di
buku itu?" "Bisa lopek. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang ayah pernah mengajarkan huruf-huruf kuno kepada saya"
"Masak sih" Aku lupa...ahhahahhahaha" lanjutnya, "Coba kau ceritakan apa saja isinya. Mungkin saja aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha"
"Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga pengetahuan tentang obat-obatan" Sambil berkata begitu Cio San bangkit dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di dalam gubuknya.
"Coba kau ceritakan padaku tentang isinya" pinta A Liang
Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik.
Buku itu memang selain berisi tulisan aksara Tionggoan juga memuat huruf-huruf asing. Sehingga memang A Liang tidak pernah menguasai isinya.
"Sebenarnya ini huruf apa sih" Apa memang huruf kuno Tionggoan?"
"Sebenarnya ini huruf gabungan tionggoan dan huruf dari daerah barat.
Jaman dulu dari sebuah negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh
seorang Nabi. Setelah nabi itu wafat, pengikutnya lalu menyebarkan agama itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu perbintangan, dan lain-lain. Mereka juga menciptakan ilmu silat yang sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga menyebarkan ilmu-ilmu
ciptaan mereka itu." Jelas Cio San
"Ah kau seperti seorang guru saja. Haha. Tapi aku pernah mendengar cerita itu. Jadi menurutmu apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf dalam aksara mereka?"
"Bukan Lopek. Ini adalah huruf gabungan aksara Tionggoan dan aksara
kaum barat itu. Kaum barat itu adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana. Mereka berkelana menyebarkan agama baru itu sampai ke Tionggoan. Mereka lalu tinggal
menetap dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka
menganggap diri mereka sebagai orang Tionggoan. Sehingga mereka pun
menggabungkan aksara Tionggoan dengan aksara asli daerah asal mereka.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka terciptalah aksara yang ada di buku ini"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mendiang ayah. Beliau yang bercerita kepada saya" lanjutnya, "Kata ayah, ilmu mereka tinggi sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit diukur. Musuh-musuh mereka pun juga ikut mempelajari ilmu-ilmu mereka.
Sehingga untuk menjaga kerahasian, mereka menyimpan ilmu-ilmu mereka
ke dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerti."
"Benarkah katamu itu?" tanya A Liang
"Itu kata ayah." jawab, "Dan sebenarnya kakek dan ayah sendiri adalah penganut agama dari barat itu" lanjut Cio San
"Benarkah" Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?"
"Sedikit-sedikit saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun bacaan dengan aksara asli agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali."
"Wah hebat sekali kau ini" A Liang berkata sambil tersenyum dan gelenggeleng kepala.
"Sudahlah aku turun dulu yah, kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman dan terlambat mengurus makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah
dirimu baik-baik" kata A Liang
"Baik lopek , terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di sini"
"Alah, aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau dikirim ke sini."
"Terima kasih banyak lopek, saya baik-baik saja disini, kalau nanti lopek ada waktu berkunjung, mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi"
"Hahaha, aku suka itu. Nah aku pulang dulu, kau baik-baik lah. Selamat tinggal" Ia menepuk pundak Cio San, lalu bergegas pergi.
"Selamat jalan, lopek. Sampaikan salam buat para suhu, dan para suheng dan sute"
A Liang BAB 5 Pelajaran di Puncak Gunung
Cio San terus berlatih dengan giat, kini rasa lemas dan capek yang
dirasakannya setiap berlatih silat telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya terasa selalu segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah melatih silat selama 5 tahun.
Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh
gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan
dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Butongpay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.
Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan capek. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak
cepat kadang-kadang menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga
ke tempat-tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa sakit itu.
Selain melatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai berbagai resep yang ada di buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang
dulu. Di atas puncak Butong San, hampir semua bahan untuk resep-resep bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu memang ada-ada. Kadang-kadang, dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang tidak ada dengan bahan-bahan lain.
Ia berburu rusa, dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk di masak. Ia memetik daun-daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang
malah ia mencampur-campur sendiri resepnya. Hasilnya kadang enak,
kadang mengecewakan. Kalau sudah begitu Cio San hanya bisa tertawa-
tawa sendiri memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.
Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan.
Kadang-kadang ia malah mencampurkan resep obat dan resep masakan.
Walaupun rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya hal itu bisa membuat tubuhnya lebih sehat.
Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan
membuat tenaga semakin bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata
sangat berkhasiat sekali.
Beberapa hari kemudian A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincang-bincang sambil makan, A Liang mengajarkan cara bermain Khim. Awalnya Cio San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari sebentar saja sudah bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin memang menurun dari ayahnya, yang memang mahir sekali.
Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan petunjuk dan pengarahan, "Nah di bagian ini jangan terlalu keras,
lembutkan sedikit", atau "Kurang cepat, ikuti hentakan iramanya".
Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A Liang. "Aduh, susah sekali lagu ini lopek, kita beristirahat sebentar" keluh Cio San
"Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal tadi, pintar juga kau" puji A Liang.
"Yang pintar itu gurunya, mulai sekarang saya akan memanggil lopek
sebagai 'suhu'.." "Hush ngawur..murid Butongpay tidak boleh mengambil guru luar
seenaknya. Walaupun aku sudah lama mengabdi di Butongpay, aku hanya
tukang masak, mana boleh dipanggil guru" sahut A Liang.
"Tapi bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain sudah sepantasnya dipanggil 'suhu'?" kata Cio San sambil tersenyum
"Halah, tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu" kata A Liang ketus
"Baiklah, lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap lopek sebagai suhu, dan akan mengabdi layaknya murid terhadap suhu. Walaupun lopek
tidak mau dipanggil sebagai suhu. Terimalah salam teecu yang tidak bisa berbakti ini...." dengan tulus Cio San berlutut dan sujud.
Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya,
"Hey jangan terlalu banyak aturan seperti inilah, terserahlah kau
menganggapku apa. Tapi ku minta, jangan berlaku seperti ini jika ada orang lain. Hukuman Butongpay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini" Ia
berkata sambil tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.
Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang
memiliki watak yang menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh
murid-murid Butongpay yang lain, sebenarnya bukanlah karena wataknya.
Melainkan posisinya sebagai anggota 15 naga muda Butongpay lah yang
membuatnya dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan
silatnya tidak pantas untuk menjadi anggota 15 naga muda.
Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur katanya sopan dan
menyenangkan. Ironisnya, sering kali tutur kata kita yang sopan bisa
membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita, akan semakin tidak suka.
A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini menjadi sayang, dan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun
mereka baru-baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A Liang serasa memiliki cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya.
Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di
hatinya yang tidak pernah memiliki anak atau cucu.
Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi.
"Kali ini kau harus memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi kini harus kau bagi untuk memainkan khim, dan mendengarkan syair. Ini lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa" kata A Liang
"Baiklah lopek"
A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia memperhatikan liriknya. Pertama-tama petikannya menjadi kacau saat ia membagi
konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa mengiringi. Saat
mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.
Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang dirindukan. Tak terasa perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia teringat kedua orang tuanya. Air matanya pun meleleh.
Petikan khim dan suara nyanyian yang syahdu di atas gunung. Daun-daun berguguran. Suara pohon bergesek-gesek. Timbul keheningan dari suara-suara ini.
Entah tebing terjal ini memang sepi atau hati yang sepi. Dua orang
berhadap-hadapan namun pikiran dan kenangan bergerak sendiri.
Seorang tua, dan seorang anak belasan tahun. Masing-masing meneteskan airmata karena kenangan yang berbeda. Entah apa yang mereka pikirkan.
Ketika nyanyian dan petikan berhenti. Maka serasa pohon dan angin juga ikut berhenti.
Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis dijatuhkan, maka yang tersisa adalah senyum ketulusan. Mereka berdua tidak sedang saling tersenyum. Mereka berdua sedang tersenyum kepada kenangan-kenangan
mereka. Jika kesepian datang melanda di tengah dinginnya puncak tebing yang
tinggi, maka apa lagi yang bisa menghangatkan hati kecuali kenangan
indah. Cio San sedang mengenang ayah bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu indah, dan tiupan seruling yang merdu sang ayah. Teringat dia kepada
belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang menggendongnya, yang menghiburnya.
Entah A liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya jelas tidak mungkin tidak terisi oleh kenangan indah.
Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liong lah yang memecah kebisuan,
"Aku belum pernah mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin
ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru belajar beberapa jam saja, kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu"
"Menangis karena terlalu jelek, lopek?" Cio San bercanda namun air
matanya masih tetap mengalir.
"Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama.
Kau mungkin akan dipanggil ke istana hanya untuk bermain khim" kata A Liong
"Benarkah, lopek" Wah teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin lopek"
"Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana
menontonmu bermain. Hahaha" ia melanjutkan, "Ingat, jangan sebut dirimu
'teecu' kalau ada orang lain ya. Bahaya" mimik mukanya bersungguh-
sungguh. "Baik, lopek" "Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi.
Kita belajar lagu baru. Siap?"
"Siap, lopek" jawab Cio San.
"Baiklah, sampai jumpa" A Liang pergi dengan riang.
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari.
Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain
khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah
lagu-lagu itu terdengar lebih indah.
Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu.
Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya
sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Butongpay.
Hanya 2 bulan dia di puncak Butongsan, kemajuan dirinya sudah sangat
mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya
bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga
membuat obat-obatan. Dia pula telah pandai bermain khim.
Kemajuan seperti ini memang agaknya tidak dirasakan oleh si bersangkutan.
Namun seringkali orang lain lah yang bisa melihat kemajuan ini. Terkadang sering kita melihat orang yang ahli melakukan sesuatu. Dan
menganggapnya hebat. Tapi jarang sekali kita sadar bahwa orang yang ahli itu telah melewati latihan dan tempaan yang keras. Juga kedisiplinan yang tinggi.
Untuk menjadi seorang ahli silat, tentulah harus memiliki hal-hal seperti itu.
Kemauan keras, kerja keras, dan sikap diri yang disiplin. Bagi orang lain ini seperti sesuatu yang susah. Tapi bagi mereka yang mencintai apa yang
didalaminya, maka semua dilakukan dengan riang.
Belajar silat, memang sukar. Harus melatih tubuh dan pikiran dengan keras.
Orang lain yang tidak mengerti silat akan merasa ngeri dan beratnya latihan itu. Tapi bagi mereka yang mencintai ilmu silat, latihan berat dan keras, serta pengorbanan seperti itu adalah hal yang sangat kecil. Bahkan ada sebagian orang yang merasa latihan keras dan berat itu bagaikan sebuah kesenangan.
Maka bagi orang yang sudah mencintai sesuatu, tidak ada lagi yang
namanya susah payah, pengorbanan, atau kerja keras dan berat. Yang ada hanyalah kecintaannya terhadap sesuatu hal itu.
Begitu pula jika kita mencintai seseorang. Semua akan kita lakukan demi cinta terhadap orang itu. Tidak ada lagi pengorbanan. Karena mereka
menganggap pengorbanan itu adalah cinta.
Jadi, sesungguhnya kita belum bisa dibilang mencintai sesuatu atau
seseorang sebelum kita bisa menganggap pengorbanan yang kita lakukan
sebagai sebuah kesenangan. Jika seseorang masih merasa 'berkorban' maka sesungguhnya dia belum mencintai. Karena dalam cinta tidak ada
pengorbanan. Yang ada hanya ketulusan.
"Berkorban" berarti merelakan sesuatu yang dianggap penting demi sesuatu hal. Namun "mencintai" berarti menganggap tidak ada yang lebih penting dari yang dicintai itu.
Cinta tidak memerlukan pengorbanan, karena sesungguhnya cinta hanya
memerlukan ketulusan. Dalam apapun di dalam hidup ini, sepertinya itulah yang sering dilupakan orang. "Ketulusan".
Bahkan dalam ilmu silat pun, ketulusan ini sering dilupakan. Cio San merasa ketika dulu berlatih di perguruan, ia harus mengorbankan waktu dan
tenaganya untuk bisa menguasai ilmu silat yang diajarkan. Oleh sebab itu kemajuannya sangat sedikit sekali.
Beng Liong mungkin berbeda. Ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan ilmu silat, sehingga berlatih silat sudah merupakan kesenangan dan
kebahagiannya. Dia tidak lagi harus merasa berkorban. Karena tenaga yang dikeluarkan, serta waktu yang digunakan untuk berlatih, bukanlah sebuah pengorbanan. Tetapi merupakan kecintaan.
Ketika diatas gunung, Cio San mulai mengutak-atik sendiri ilmu silatnya.
Digabungkannya ilmu itu dengan bacaan yang ia baca. Ketika timbul suatu hasil, maka kegembiraan lah yang muncul. Kegembiran itu menimbulkan
kesenangan. Kesenangan bisa menimbulkan cinta.
Maka jika kecintaan terhadap silat sudah tumbuh, bakat menjadi hal yang tidak penting. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih tanpa perduli ia akan bisa atau menjadi mahir atau tidak. Ia berlatih demi kesenangan dan
kegembiraan bukan untuk BISA.
Sesungguhnya pemahaman seperti inilah yang akan membuat seseorang
mencapai tahap tertinggi dalam apapun yang dijalaninya.
Sudah tak terasa berapa banyak tenaga, pikiran, dan tenaga yang dia
curahkan. Kemajuannya pun ia sendiri tidak tahu. Namun satu yang ia tahu, ia kini sangat senang belajar silat. Bukan karena ingin menjadi hebat dan sanggup mengalahkan A Po yang dulu sempat membuatnya 'menangis'. Tapi karena ia merasa bahagia dan senang melakukan gerakan-gerakan itu.
Mencurahkan pikirannya untuk menemukan hal-hal baru dari ilmu silat itu.
Itulah keunikan ilmu silat. Kadang-kadang kau harus mempelajari semua gerakan dan teorinya. Namun kadang-kadang justru dengan melanggar teori dan rumusnya, malah kau bisa menemukan ilmu yang lebih hebat. Cio San di umurnya yang baru belasan tahun malah sudah bisa menciptakan variasi dari ilmu Butongpay. Bahkan bisa dibilang juga ia telah menciptakan ilmu silat baru. Kejadian seperti ini memang bukan barang langka di dalam dunia kang ouw, tapi juga bukan kejadian yang sering terjadi.
Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Sesuai janjinya ia mengjarkan lagu baru kepada Cio San. Kali ini lagunya bernada riang gembira. Mereka bermain musik sambil bernyanyi dan tertawa. Siang itu memang cerah.
Membuat suasana hati senang dan bahagia.
"Eh Cio San, aku membawa sesuatu untukmu..." kata A Liang
"Wah apa lagi lopek, kalau dihitung-hitung dengan barang-barang
pemberian lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi" canda Cio San
"Ah bisa saja kau, aku membawa ini" sambil berkata begitu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya
"Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?" kata Cio San
"Hey kau tau juga tentang arak Cio San?"
"Kalau perkara arak, sejuk kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk
dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai
macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu"
"Heh" Wah hebat juga kau" A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala.
Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San.
Namun memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan
terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menurun kepada anaknya. Apalagi ibu Cio San adalah juga salah seorang pendekar terkemuka Gobipay.
"Kalau ayah lebih hebat lagi lopek, beliau bisa mengetahui berapa usia arak itu hanya dengan baunya saja. Beliau juga mengajarkan kepada teecu
khasiat arak-arak itu. Memang beliau juga tidak lupa mengingatkan bahwa terlalu banyak arak justru malah berbahaya jika kita tidak mempunyai chi (tenaga dalam) yang tinggi"
"kau hafal khasiat segala arak?" Tanya A Liang
"Hafal lopek, bahkan ayah juga mengajarkan bahwa masing-masing arak
harus diminum dengan cara berbeda. Masing-masing arak jika diminum
sesuai takaran, dan caranya akan membawa khasiat yang sempurna"
"Bagaimana itu cara minum arak" Bukankah hanya tinggal buka mulut dan telan saja" Hahahaha"
"Masing-masing arak punya kecocokan dengan bahan penyimpanannya. Ada
arak yang rasanya lebih enak jika disimpan di guci porselen. Ada yg lebih enak jika disimpan di guci dari tanah liat. Ada juga yang lebih enak jika disimpan dalam guci batu atau juga tembaga dan emas." jelas Cio San
"Hah, lama-lama aku yang memanggilmu lopek. Cara bicaramu ini membuat rasa-rasanya kau jauh lebih tua dari aku. Hahaha" tawa A Liang
"Kebetulan saja teecu memang punya ayah yang punya kesenangan seperti itu. Jika tidak, mana mungkin teecu bisa, lopek"
"Jadi, kau mau menemani aku minum?" tanya A Liang
"Teecu sebenarnya kurang suka arak lopek, tapi ini merupakan suatu
kehormatan bisa menemani lopek minum arak"
Sepertinya aneh anak berusia belasan sudah minum arak. Tapi memang di jaman itu, apalagi di dalam dunia Kang Ouw, arak tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Apalagi budaya Tionggoan di jaman memang tidak
"melarang" arak untuk di minum anak kecil. Biasanya sehabis makan, atau di malam hari, arak disajikan dalam porsi yang sangat sedikit untuk anak-anak. Biasanya untuk menghangatkan badan dan juga untuk kesehatan.
Yang aneh justru dari cara kedua orang itu berbicara. Tata krama Tionggoan sangat ketat. Dan dalam dunia Kang Ouw, justru lebih ketat lagi. Jika Cio San membahasakan dirinya sebagai "teecu" (murid), maka ia harus
memanggil A Liang sebagai "Suhu"(guru). Tapi ia justru memanggilnya
sebagai "Lopek" (orang tua). Hal ini bisa dianggap sebagai kekurangajaran besar. Tapi A Liang sendiri memang tidak mau dipanggil sebagai "suhu".
Kedua orang itu minum arak dengan khidmat dan tenang. Udara meskipun
cerah, namun tetap terasa dingin karena mereka berada di puncak tertinggi gunung Butongsan. Dengan arak yang menghangatkan dan persahabatan
yang sejati, apalagi yang dicari seorang laki-laki di dunia ini"
Sebenarnya orang hanya mencari "kehangatan" di dalam hidup ini. Anak
mencari kehangatan dari kedua orang tuanya. Kekasih mencari kehangatan dari pasangannya. Maka segala masalah di dunia ini, bukankah disebabkan oleh hilangnya "kehangatan" itu"
Anak yang besar di dalam rumah yang penuh kemarahan, penuh
pertengkaran orang tua, kemungkinan besar akan tumbuh menjadi anak
yang penuh kemarahan juga. Kemarahan ini akan ia tularkan kepada siapa saja.
Begitu juga hati yang patah karena kehilangan kehangatan cinta. Ia akan menjadi pendiam dan sedih. Bahkan yang dipenuhi kebencian. Di atas bumi ini yang bisa membuat kasih berubah drastis menjadi benci tak lain
hanyalah cinta belaka. Cinta ada untuk menghangatkan. Maka ketika ia pergi, teramat sering hati menjadi rapuh, lunglai, dan bahkan mati. Orang yang tubuhnya masih hidup tapi hatinya mati, apakah masih pantas disebut sebagai manusia"
Cinta itu menghidupkan. Tetapi teramat jarang cinta itu hidup lama. Ia bagai hujan. Datang setelah ditandai mendung. Namun juga sering sekali datang tiba-tiba. Berhenti dan pergi juga dengan tiba-tiba.
Cinta, sedemikian juga hujan, adalah perkara yang hanya Tuhan bisa
mengerti. Manusia hanya meraba-raba dalam ketidakpastian. Apa itu cinta" Apa itu kasih". Manusia sebenarnya buta. Dan dalam kebutaannya, ia mencari
sesuatu yang sama sekali tidak ia pahami. Akhirnya timbul lah luka dan duka karena cinta.
Maka bukankah bisa dibilang segala macam perkara di muka bumi ini
terjadi karena cinta"
Tapi mereka yang telah menemukannya dan memahaminya, akan terus
bahagia. Cinta tak harus terhadap kekasih. Cinta bisa terhadap siapa saja, terhadap apa saja.
Cinta A Liong dan Cio San ini bukan saja cinta orang tua kepada anak, dan anak kepada oprang tua. Tapi cinta diantara sahabat. Jika sahabatmu bisa menjadi seperti orang tuamu, dan orang tuamu bisa menjadi sahabatmu,
maka boleh dibilang kau adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.
Dan Cio San yang dirundung kesedihan setelah ditinggal mati seluruh
keluarganya dan cara yang tragis, dimusuhi oleh teman-teman
seperguruannya, dan di hukum oleh gurunya, bukankah bisa sedikit
berbahagia". Karena memang di muka bumi ini, jika ada sahabat yang
menemanimu dalam suka dan duka, maka kau memang bisa harus
berbahagia. Setelah selesai minum arak mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang
Ouw. A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar karena ia telah puluhan tahun hidup di Butongpay. Segala sesuatu yang terjadi di dunia kangOuw tentu menjadi bahan pembicaran di Butongpay.
"Lopek, menurut lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?"
"Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-
masing orang punya ehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-Tayhiap, Yo-Tayhiap. Di jamanku dulu yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama,...ah kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang
semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi
mengasingkan diri beserta istrinya. Sampai sekarang tidak tahu lagi dimana ia berada."
"Kenapa kita dilarang menyebut namanya lopek?" tanya Cio San
"Dulu Thio-thaysuhu melarang kita menyebut namanya karena beliau selalu sedih jika teringat cucu murid yang paling disayanginya itu. Sekarang walaupun beliau telah meninggal, kita tetap menghormati beliau dengan tidak menyebut-nyebut hal hal yang membuat beliau sedih"
"Keagungan, kehalusan budi, perilaku dan wibawa beliau memang tiada
yang bisa menandingi Teecu walaupun tidak pernah bertemu, mendengar
cerita orang-orang saja, sudah menunduk hormat. Apalagi jika bertemu
langsung..." kata Cio San. Matanya menerawang mencoba membayangkan
seperti apa Thio Sam Hong itu.
"Ilmu Thay-kek kun beliau sudah mencapai tahap sempurna. Bahkan dengan ketinggian ilmu silatnya, bisa memanjangkan umur beliau." lanjut A Liang
"Menurut lopek, ilmu-ilmu apa saja yang paling hebat dalam dunia Kang Ouw?" tanya Cio San
"Di dunia Kang Ouw, banyak sekali ilmu hebat. Karena setiap ilmu
sebenarnya memiliki inti yang sama saja. Itu kata para ahli silat jaman dulu.
Yang membuat ilmu itu hebat adalah yang menggunakannya. Tapi di jaman dulu ada ilmu yang sangat hebat seperti "18 Tapak Naga" milik mendiang Kwee-tayhiap. Atau "Tapak Duka Nestapa" milik mendiang Yo-taihiap.
Sayangnya kedua ilmu itu belum pernah di adu sehingga kita tidak tahu mana yang lebih kuat. Tetapi seperti yang kubilang tadi, bukan ilmu yang kuat melainkan penggunanya."
Ia melanjutkan lagi, "Setelah Kwee-tayhiap dan Yo-tayhiap meninggal,
kedua ilmu hebat itu juga ikut menghilang dari dunia Kang-ouw. Sekitar seratus tahun kemudian ada seorang murid murtad Butongpay yang
menguasai "18 Tapak Naga", namun ia mati terbunuh di pertarungan. Lalu setelah itu tidak ada lagi yang menguasai ilmu itu."
"Nah beberapa tahun kemudian setelah pengkhianat itu meninggal, Thio-
thaysuhu baru berhasil menyempurnakan ilmu Thay Kek Kun nya. Sehingga kedua ilmu itu, "18 Tapak naga" dan "Thay Kek Kun" belum pernah
'bertemu'". "Dunia Kang-ouw mulai terasa sepi semenjak saat itu, karena kita berhasil mengusir penjajah Goan dari tanah air kita. Saat itu dunia Kang-ouw hampir seluruhnya bersatu."
"Lalu beberapa tahun kemudian, secara tiba-tiba muncul seorang tokoh
muda baru yang ilmunya sangat tinggi. Ia menantang banyak ahli silat kelas dan mengalahkan mereka semua. Malah yang lebih gila lagi, ia naik ke
puncak Butongsan, dan menantang Thio-thaysuhu. "
"Apa" Lalu bagaimana kemudian?" Cio San kaget.
"Pada awalnya Thio thaysuhu tidak meladeni. Namun si tokoh muda itu
sanggup mengalahkan murid-murid golongan satu. Melihat ilmunya yang
hebat, serta tindak tanduknya yang berbahaya, Thio thaysuhu akhirnya
menerima tantangannya itu"


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, Thio thaysuhu pasti menang bukan?"
"Beliau memang menang, tapi pertarungan itu sendiri tidak jelas. Karena pertarungan itu dilaksanakan di ruang latihan pribadi Thio thaysuhu sendiri.
Dan tidak boleh disaksikan orang lain."
"Mengapa begitu lopek?"
"Menurut kabar, ternyata Thio thaysuhu sedang menciptakan ilmu baru yang lebih hebat dari Thay Kek Kun. Dan karena belum sempurna, beliau tidak ingin memperlihatkannya di depan orang lain."
"Lalu kenapa lopek bilang hasil pertarungan itu tidak jelas?"
"Karena walaupun Thio Sam Hong thay suhu sendiri memang menang,
kabarnya beliau sangat kagum dengan ilmu silat si tokoh muda itu. Konon katanya jika Thio thaysuhu tidak memiliki ilmu Thay Kek Kun yang
sempurna dan digabungkan dengan ilmu baru ciptannya itu, belum tentu
Thio thaysuhu bisa mengalahkannya. Dan beliau sangat menyesal terpaksa harus membunuh anak muda itu. Padahal sudah puluhan tahun beliau tidak pernah membunuh orang."
Lanjutnya lagi, "Saking kagumnya, beliau membuatkan kuburan khusus
untuk anak muda itu di tanah pekuburan Butongpay. Kuburan anak muda itu bahkan hampir berdekatan dengan lahan kuburan yang disiapkan Thio-thaysuhu untuk dirinya sendiri"
"Hmmm, sebegitu kagumnya Thio-thaysuhu terhadap pemuda itu sampai-
sampai memberikan penghormatan setinggi itu terhadap. Lalu siapa nama sebenarnya pemuda berilmu tinggi itu, lopek?" tanya Cio San
"Aku masih ingat nama pemuda itu, Kam Ki Hsiang" ada cahaya kagum di
mata A Liang ketika menyebut nama itu.
"Apakah lopek sudah ada di Butongpay ketika kejadian itu berlangsung?"
tanya Cio San lagi "Tidak. Aku datang beberapa hari ketika mayat Kam Ki Hsiang dikuburkan"
"Sebenarnya asal-usul Kam Ki Hsiang itu darimana" Di mana dia belajar ilmu yang hebat itu?"
"Menurut kabar yang beredar, dan itu diakui Thio thaysuhu sendiri, ternyata Kam Ki Hsiang telah menemukan sebuah gua kuno. Dan di gua itu ia
menemukan berbagai kitab kuno yang sangat tebal. Kitab-kitab itu berisi ilmu silat yang sangat sakti. Karena kabarnya kitab itu ditulis sendiri oleh pencipta ilmu silat, rahib Tat-Mo" jawab A Liang, lalu ia melanjutkan,
"Kitab itu juga kini tidak diketahui keberadaannya setelah Kam Ki Hsiang meninggal. Dunia kang ouw sejak beberapa tahun yang lalu diributkan dengan pencarian kitab itu, tapi tidak ada seorang pun yang tahu
keberadaannya yang sebenarnya".
"Aaaahhh...begitu rupanya" Cio San menjadi teringat ucapan Tan Hoat, Gihu sekaligus suhunya, yang ditugaskan mencari kitab tulisan Tat-Mo itu.
Rupanya kitab itu adalah kitab yang membuat Kam Ki Hsiang seperti tidak terkalahkan.
"Kau pernah mendengar kitab itu, Cio San?" tanya A Liang
"Teecu sempat mendengar sekilas dari suhu bahwa memang ada kitab
semacam itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia kang-ouw,
ternyata memang benar-benar ada"
"Di dunia ini banyak sekali kitab-kitab sakti yang menjadi rebutan dunia kang ouw. Mulai dai kita "9 matahari" dan "9 Bulan" yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam pedang, atau juga kitab
"Pedang sakti" yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia kang-ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama." ujar A Liang
"Teecu akan mengingat baik-baik pesan lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat dan rasa letih dan lemas yang biasa teecu rasakan semakin menghilang"
"Bagaimana bisa begitu?" tanya A Liang heran. Ia memang sudah tahu
bahwa Cio San memiliki kekurangan pada fungsi organ tubuh bagian
dalamnya. "Teecu belajar sedikit ilmu organ tubuh di dalam buku yang lopek
pinjamkan. Di situ dijelaskan cara mengalirkan chi. Ternyata setelah teecu coba gabungkan dengan ilmu silat perguruan, rasa letih dan lemas teecu hilang semua. Padahal biasanya baru beberapa jurus saja, teecu sudah
lemas" jelas Cio San
"Hey hebat sekali kau bisa menngabungkan seperti itu. Kau harus hati-hati, karena tidak boleh sembarangan menggabungkan ilmu. Karena bisa
berbahaya" "Teecu mengerti lopek. Terima kasih atas peringatannya. Setelah teecu baca dan pikirkan, ternyata ilmu di dalam buku itu sejalan dengan ilmu
Butongpay sehingga tidak bertabrakan"
"Kau ternyata sangat berbakat dan cerdas Cio San. Orang-orang di
perguruan salah mengerti terhadapmu" puji A Liang sambil mengelus-elus kepala Cio San
"Teecu tidak berani lopek..." Cio San tertunduk.
"Hey aku ingin melihat engkau bersilat. Walaupun tidak mengerti silat. Tapi mata awamku ini juga sudah bisa membedakan silat Butongpay yang mahir dengan yang tidak"
"Ah ilmu silat teecu memalukan lopek,..."
"Sudahlah jangan terlalu banyak adat. Ayo tunjukan..." perintah A Liang
"Baik Liang-lopek..."
Setelah berkata begitu Cio San mulai bersilat. Gerakannya tidak begitu indah, malah terlalu sederhana untuk ukuran silat Butongpay. Tapi A Liang melihatnya dengan mata kagum dan keheranan. Mungkin karena
keawamannya, ia sudah menganggap jurus-jurus yang diperagakan Cio San itu sebagai ilmu yang hebat.
"Kau..kau, darimana kau mempelajari jurus-jurus itu?" tanyanya dengan rasa heran bercampur kagum."Apakah dari buku yang kuberikan kepadamu
itu?" "Kalau dari buku tidak ada jurus-jurus silatnya lopek. Hanya ilmu tentang sedikit pengobatan, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan juga
pengaliran Chi. Jurus-jurus silat ini hanyalah jurus Butongpay yang teecu sederhanakan menurut kebutuhan dan pengetahuan teecu saja." jawab Cio San
"Luar biasa...luar biasa...Kau benar-benar berbakat...." Ia berkata begitu sambil meneteskan air mata.
Melihat A Liang meneteskan airmata, Cio San juga ikut-ikutan meneteskan airmata. Hatinya memang halus. Ia mengerti bahwa dalam ketidakpahaman A Liang terhadap ilmu silat, A Liang menganggap bahwa jurus-jurus
sederhana Cio San tadi sudah sangat hebat. Padahal bagi Cio San, ilmu itu sangat sederhana sekali, bahkan mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan jurus-jurus pemula Butongpay.Cio San merasa terharu juga melihat ketulusan A Liang ini.
"Terima kasih lopek. Teecu akan belajar lebih keras supaya bisa membuat lopek bangga dan senang" katanya sambil tersenyum.
A Liang menatap Cio San lama sekali.
Lalu kemudian dia tersenyum dan berkata, "Jika ada yang bisa membuat
Butongpay berjaya kembali, pastilah kau orangnya, Cio San:"
Setelah itu mereka bercakap-cakap lagi sebentar. A Liong sekalian pamit dan berkata bahwa ia akan turun gunung Butongpay. Karena beberapa
minggu lagi akan ada perayaan beberapa tahun meninggalnya Thio Sam
Hong, sehingga perguruan akan menerima kunjungan tamu-tamu dari
golongan Kang-ouw. Jadi mungkin dalam beberapa hari ini ia tidak akan mengunjungi Cio San
Bab 6 Berlarilah Mencari Kebenaran
Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak
Butongsan ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar
membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai
mengembangkan ilmu baru lagi.
Suatu saat ketika ia bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori teori bermain khim. Seperti
bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.
Tak terasa Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikirannya dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil
bersilat kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira.
Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.
Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum atas apa yang terjadi.
"Apa yang terjadi ini" Darimana semua gerakan ini berasal?" ia bertanya di dalam hati.
"Aku sempat mengalami hal seperti ini ketika berlatih di perguruan beberapa waktu yang lalu. Mengapa setiap aku bersilat tapi tidak berfikir tentang ilmu silat, aku malah bisa menghasilkan gerakan-gerakan aneh seperti ini?"
Pikirannya bekerja. Memang daya pikirnya luar biasa sekali. Tuhan sungguh adil dengan segala kekurangan fisik Cio San, Tuhan memberkatinya dengan daya pikir yang cerdas sekali.
Cio San menyadari bahwa ia bisa memainkan gerakan-gerakan yang tadi
jika ia mengacuhkan segala teori tentang ilmu silat. Justru dengan berfikir sederhana dan mengalirkan segala pikirannya ke satu fokus, maka ia bisa memainkan jurus-jurus itu.
"Hmmmm..., apakah gerakan-gerakan ini akan berguna di pertarungan yang sesungguhnya" Ataukah ini hanya gerakan biasa yang timbul karena aku
mengosongkan pikiran. Jika ini hanya gerakan biasa, mengapa tubuhku
serasa dipenuhi oleh chi (energi)?"
Ia lalu memutuskan untuk mencoba lagi. Pada awalnya susah untuk
mengosongkan pikiran dan melakukan hal yang sama. Karena gerakan-
gerakan tadi mengalir dengan spontan tanpa dipikrkan sebelumnya. Jika dipikirkan sebelumnya malah gerakan itu tidak akan mengalir keluar. Cio San rupanya paham dengan teori ini.
Dengan segala upaya dia mengosongkan pikiran dan mencoba untuk
melakukan hal yang seperti tadi. Akhirnya setelah mencoba ia berhasil menemukan gerakan-gerakan itu kembali. Chi-nya mengalir dengan lancar, tubuhnya terasa kuat lagi.
Senangnya Cio San menemukan jurus-jurus baru itu, "Sayang Liang-lopek tidak bisa datang akhir-akhir ini. Ia pasti senang melihat jurus-jurus ini."
pikirnya. Cio San lalu menghabiskan waktunya berhari-hari untuk membiasakan diri dengan jurus-jurus baru itu. Kadang ia gagal, kadang ia berhasil. Ternyata jurus-jurus itu tidak boleh diingat. Semakin diingat, ia malah semakin bingung dan gerakannya tidak mengalir dengan lancar.
Jika ia mengosongkan pikiran dan tidak memikirkan tentang gerakan-
gerakan itu, malah jurus-jurusnya akan semakin mengalir lancar. Pengertian ini akhirnya semakin dipahaminya. Sehingga ia merasa cara terbaik untuk melatih jurus-jurus itu adalah dengan tidak mengingat-ingatnya sama
sekali. Tak terasa waktu hukumannya dipuncak Butongsan sudah mendekati
selesai. Dalam beberapa hari lagi, ia sudah diperbolehkan turun gunung.
Setelah berhari-hari melatih jurus silat barunya itu, ia memutuskan untuk berburu rusa. Ia ingin memasak enak, sekaligus mencoba resep-resep baru yang pernah ia baca di buku A Liang itu.
Ia lalu berkeliling hutan di sekitar situ. Hutan di situ memang penuh dengan berbagai macam hewan yang bisa diburu. Lama mencari tak terasa Cio San sudah jauh dari gubuknya. Berburu rusa seperti ini dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan tersendiri. Untung setiap murid Butongpay sudah diajari berburu hewan sejak awal mereka masuk perguruan.
Hampir 3 jam ia berburu, tidak satupun rusa atau hewan buruan yang bisa ditemuinya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang, dan menangkap ikan
saja untuk makan siangnya.
Di tengah jalan, ia malah bertemu A Liang, "Lopek, kenapa disini" Bukankah 3 hari lagi sudah perayaan peringatan mendiang Thay suhu?" Cio San heran bertemu A Liang dalam perjalanannya pulang ke gubuk.
"Sudah hampir 2 jam aku mencarimu, cepat kita turun gunung sekarang..."
"Ada apa lopek?" tanya Cio San keheranan,
"Sudahlah, ayo ikuti aku. kita harus cepat, nanti aku jelaskan semuanya"
kata A Liang Cio San menurut saja. Agak kaget juga ketika A Liang memegang tangannya dan mengajaknya berlari. Kencang sekali larinya A Liang bagaikan terbang.
Seperti seorang ahli silat kelas atas. Banyak sekali pertanyaan yang timbul di hati Cio San, namun ia menahan diri. A Liang pasti akan menjelaskan semuanya.
Mereka berlari tanpa berhenti menuruni gunung. Hampir separuh
perjalanan, mereka dikagetkan oleh bunyi petasan diatas langit. Ada warna merah yang terang sekali. Padahal saat itu siang hari. Cio san mengetahui bahwa itu adalah tanda bahaya khusus bagi perguran Butongpay. Jika
berwarna merah berarti yang menyalakannya adalah murid golongan ketiga.
Cio San melihat ke langit dan merasa bahwa tanda bahaya itu berasal dari puncak gunung. Siapa sebenarnya yang menyalakannya" Ada kejadian apa
di puncak gunung sana" Apakah A Liang mengajaknya turun dengan
terburu-buru ada hubungannya dengan kejadian di sana"
Cio San tidak mau bertanya karena ia yakin sepenuhnya pada A Liang. Pasti ada alasannya. Mereka berdua terus berlari turun. Tapi jiwa pendekar yang tumbuh di hatinya itu sudah tidak tahan lagi, "Lopek, tanda bahaya sudah dibunyikan, kita seharusnya pergi kesana. Ada murid Butongpay yang
membutuhkan pertolongan" kata Cio San.
"Percayalah kepadaku Cio San. Akan ku jelaskan semua" jawab A Liang
Mereka terus berlari namun tidak berapa lama kemudian, mereka
berpapasan dengan puluhan murid Butongpay yang naik ke puncak gunung.
Rupanya 2 orang dari 4 tetua Butongpay sendiri yang memimpin rombongan itu Oey Tang Wan yang wajahnya ramah dan sabar, dan Yo Ang yang
tubuhnya kecil namun bermata mencorong.
Yo Ang yang menegur mereka berdua lebih dulu, "Kalian mau kemana"
Siapa yang menyalakan tanda bahaya?"
A Liang yang menjawab, "Kami tidak tahu siapa yang menyalakannya,
totiang.." "Lalu kenapa kalian malah turun dan bukan memeriksanya?" kata Yo Ang
ketus, "Ayo kalian berdua ikut rombongan dan naik ke atas!"
A Liang tidak menjawab dan hanya diam, nampaknya ia ragu-ragu untuk
mengikuti perintah Yo Ang. Yo Ang pun mengetahui keraguan itu. Ia lalu berkata, "Kenapa ragu, ayo ikut sekarang" perintahnya dengan mata yang semakin mencorong.
Malah Cio San yang gantian memegang tangan A Liang untuk mengajaknya
ikut rombongan. "Ayo lopek, kita ikut saja, Jangan membuat Yo totiang marah.". Akhirnya A Liang menurut saja diajak Cio San.
Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling
depan karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid.lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti
kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.
A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus
memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.
Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan.
Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk.
Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.
Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!
Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa
yang terjadi, dan siapa mayat itu langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan
meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.
"suhu...suhu...." hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.
Semua orang yang menyaksikan kejadian ini semakin bersedih. Memang
siapapun yang melihat kejadian seperti ini dan tidak menangis, boleh
dibilang bukan manusia. "A Liang apakah kau tahu apa yang terjadi disini?" selidik Yo Ang.
"Tidak totiang..." jawab A Liang
"Bukankah hanya kalian berdua yang ada di atas sini" Mengapa bisa tidak tahu" Mengapa juga kalian lari tergesa-gesa menuruni gunung"
A Liang tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya terdiam.
"Ayo jawab!" bentak Yo Hang.
Lanjutnya, "Atau jangan-jangan kau ada hubungannya dengan pembunuhan
ini?" tanya Yo Hang, tangannya sudah mulai mengambang, akan ada jurus yang ia keluarkan melalui tangan ini.
"Percayalah, saya tidak ada hubungannya dengan ini semua totiang..."
jawab A Liang. Suasana mulai menegang. Oey Tang Wan, orang yang paling sabar dari
keempat totiang Butongpay lalu berkata; "Murid-murid Butongpay, kalian berpencar. Cari apakah ada orang lain di atas bukit ini. Seujung rumput pun jangan kalian biarkan tidak terperiksa. Ayo laksanakan" Begitu perintahnya keluar seluruh murid yang ada disitu bergerak dengan ringkas.
Sedangkan Yo Ang berkata, "A Liang kau tetap disini sampai semua murid kembali lagi"
Para murid mencari. Hampir satu jam mereka menyebar dan memeriksa
tidak ada satu pun petunjuk yang mereka temukan.
Dengan marah Yo Ang berteriak, "Ayo A Liang cepat katakan mengapa kau lari turun dengan terburu-buru?"
Melihat A Liang diam saja, memuncaklah kemarahan Yo Ang. Ia lalu
menyerang tukang masak Butongpay itu.
Dan yang mengherankan adalah A Liang bisa menghindari serangan itu
hanya dengan satu gerakan.
Bertambah marahlah Yo Ang, dilancarkannya jurus-jurus Butongpay.
Serangannya semakin menghebat dari jurus ke jurus. Namun kesemuanya
bisa dihindai oleh A Liang.
"Katakan siapa kau sebenarnya" Mengapa tukang masak seperti engkau bisa menghindari pukulan-pukulanku?" kalimat ini diucapkan berbarengan
dengan puluhan pukulan hebat. Namun A Liang terus menghindarinya.
Murid-murid Butongpay yang terheran-heran dengan kejadian ini tidak
berani membantu Yo Ang, karena mereka tahu bantuan mereka dalam
pertempuran tingkat seperti itu hanya akan mengacaukan jurus orang yang mereka bantu.
Melihat kehebatan A Liang dalam menghindari jurus-jurus itu, Yo Ang mulai mengeluarkan jurus andalan Bu Tong pay. Jurus-jurus hebat itu walaupun lembut namun sebenarnya sangat ganas. A Liang walau bagaimanapun juga akhirnya terdesak juga, karena ia tidak pernah membalas atau menangkis satu pukulan pun.
Jurus-jurus gubahan Thio Sam Hong itu sangat hebat sehingga A Liang
akhirnya terdesak terus. Ia hanya menghindar dan menghindar.
Selain itu semakin banyak juga murid yang berdatangan dari bawah gunung memenuhi gunung dan menutupi ruang gerak A Liang. Bahkan salah satu
murid dari bawah gunung membawa berita baru yang sangat
menggemparkan, "Totiang, kuburan Kam Ki Hsiang telah terbongkar.
Bahkan mayatnya pun kini hilang"
Mendengar ini kagetlah semua orang.
Jika A Liang mengaku tidak membunuh Tan Hoat, apakah arwah Kam Ki
Hsiang bangkit dari kubur dan kini membalaskan dendamnya dengan
membunuh murid-murid Butongpay"
Pikiran seperti ini timbul dalam benak Yo Ang, sehingga ia agak
mengendurkan serangannya.
Tapi setelah berfikir lagi, ia merasa teorinya tentang arwah membalas dendam itu mengada-ada. Iya malah semakin yakin bahwa A Liang ada
hubungannya dengan kejadian itu. Serangannya semakin ganas, hingga
suatu saat ia mengeluarkan jurus andalah Butongpay "Naga Meminta
rembulan". Jurus ini sangatlah hebat sehingga mereka yang menonton pertarungan itu saja bisa merasakan angin pukulannya. A Liang sudah terdesak mundur
sehingga tidak ada jalan keluar lagi, karena di belakangnya murid-murid Butong sudah mengerumuninya dengan hunusan pedang.
Ia menanti saja datangnya pukulan itu.
Tepat ketika pukulan itu akan mengenai dadanya, seseorang menangkisnya.
Tapi bukan A Liang atau Oey Tang Wan karena merekalah orang yang paling mampu ilmunya untuk menangkis pukulan itu.
Tapi Cio San lah yang menangkisnya.
Bahkan tangkisan itu mampu membuat Yo Ang terlempar beberapa tombak,
dan memuntahkan darah. Semua orang terbelalak kaget. Tidak menyangka anak sekecil itu bisa
menangkis pukulan "Naga Meminta Rembulan" yang sangat dahsyat itu.
Apalagi bisa sampai menghempaskan Yo Ang dan melukainya.
Cio San sendiri terkaget-kaget dengan hasil tindakannya tadi.
Puluhan murid yang ada di situ dalam kekagetan mereka membuat mereka
menjadi ganas. Dalam pikiran mereka, Cio San yang sudah berani melukai totiang Butongpay, pastilah juga berani membunuh Tan Hoat. Mereka
dengan berbarengan menyerang dengan bersama-sama.
Cio san yang kebingungan menerima serangan ini sudah hampir pasrah
dengan nasibnya. Tak disangka A Liang menariknya dan membawanya
terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ terkesima.
Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.
"Ayo kejar" terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang terjal itu.
Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di
pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, "Percayalah padaku Cio
San..." Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu, membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu
mengajaknya lari turun gunung sebelum 'tertangkap' rombongan murid
Butongpay yang naik ke atas.
Melihat kenyataan bahwa ternyata A Liang menyembunyikan kemampuan
silatnya selama puluhan tahun. Apa maksudnya" Apakah selama ini A Liang adalah mata-mata musuh Butongpay" Ataukah dia bermaksud menyusup ke
Butongpay dengan maksud mencuri ilmu Butongpay". Tapi menyadari
kenyataan bahwa A Liang telah tinggal di Butongpay hampir selama
setengah abad, Cio San masih tidak bisa memahaminya. Pikiran anak sekecil Cio San yang bisa menjangkau sejauh itu adalah sebuah keanehan yang
nyata. Memang banyak sekali anak-anak cerdas yang hidup di antara
manusia. Dan saat ia melihat A Liang diserang terus menerus oleh Yo-totiang tanpa membalas, hati Cio San mulai berbisik bahwa A Liang telah berkata
sebenarnya. Itulah sebabnya hatinya menyuruhnya bergerak untuk
menangkis serangan dahsyat Yo Ang kepada A Liang.
Mimpi pun Cio San sendiri tidak pernah menyangka bahwa akibat
tangkisannya bisa sedahsyat itu. Saat itu ia bergerak secara spontan dan hanya mengikuti kata hati. Hasil latihan jurus-jurus baru ciptaannya itu terlihat sangat jelas. Dia sendiri terheran-heran. Padahal usahanya
menangkis pukulan itu sudah dibarengi dengan niat mengorbankan diri. Ia tahu bahwa ia tidak mungkin menangkis pukulan itu. Bahwa ia pasti akan mati. Tapi kenyataan berkata lain. Yo Ang sendiri terlempar dan muntah darah.
Rasa percayanya terhadap A Liang jugalah yang menyebabkan ia mau saja dibawa lari oleh A Liang. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti ada rahasia di balik semua itu. Apalagi saat itu terdengar berita kuburan Kam Ki Hsiang baru saja dibobol orang. Kejadian di puncak Butongsan itu pasti ada hubungannya dengan pencurian mayat itu.
Dan jika A Liang adalah pelakunya, buat apa dia menanti sampai 50 tahun hanya untuk mencuri mayat itu. Padahal setiap saat dia bisa saja
melakukannya. Cio San juga sadar bahwa tindakannya menangkis pukulan Yo Ang dan
secara tidak sengaja malah melukainya juga adalah pelanggaran yang berat.
Hal inilah yang menyebabkan ia hampir dikeroyok oleh puluhan murid
Butongpay tadi. Pada keadaan yang terjepit seperti itu, tidak ada jalan lain selain melarikan diri untuk sementara.
Pelarian itu terasa lama sekali padahal A Liang sudah seperti terbang saja.
Para pengejar malah sudah tidak keliahatan. Hanya gema suara mereka saja yang ramai terdengar.
Begitu sampai di perguruan, sudah terlihat banyak murid Butongpay yang bersiaga. Mereka yang menunggu dibawah ini masih belum tahu apa yang
terjadi. Suara dan teriakan dari atas yang memerintahkan para murid untuk menangkap A Liang dan Cio San juga tidak terdengar jelas.
Murid-murid yang kaget hanya melihat bayangan seorang yang terbang
tanpa bisa melihat jelas wajahnya. Ada yang berinisiatif menangkap ada juga yang duduk bengong diam saja. Baru setelah bayangan A Liang
meninggalkan mereka jauh sekali, mereka baru mendengar suara-suara
para pengejar yang memerintahkan mereka untuk menangkap 'bayangan'
itu. Tapi itu semua sudah sangat terlambat. Bayangan itu sangat cepat bahkan sudah keluar dari gerbang depan Butongpay. Gerbang 'Tanpa Senjata".
Karena siapa yang melewati gerbang itu, tidak boleh membawa senjata


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apapun. Beberapa ratus tombak dari gerbang itu ada sebuah hutan yang sangat
lebat. A Liang memilih memasukinya, walaupun sering tersiar kabar bahwa hutan itu sangat angker. Bahkan para murid Butongpay saja jarang ada
yang berani memasuki hutan itu.
Setelah memasuki hutan itu, A Liong lalu menurunkan Cio San, kemudian berkata, "Cio San, terima kasih telah menolongku. Percayalah aku tidak ada hubungannya dengan kematian suhumu. Justru aku datang bersama
suhumu mencarimu" "Ada apa lopek dan suhu mencariku?" tanya Cio San
"Aku tidak bisa menjawab sekarang, ini permasalahan yang rumit yang tidak bisa dibicarakan sambil lalu. Sekarang ini bahkan mungkin pohon-pohon bisa mendengar" jawab A Liang. Lanjutnya, "Mari kita cari tempat yang aman untuk membicarakannya"
Cio San mengangguk tanda mengerti. Menghadapi hal-hal rahasia semacam ini dia jelas mengerti. Ia telah mengalami hal ini saat kecil dulu. Saat orangtuanya dibantai. Kini dia diam dan tak bertanya-tanya lagi.
Mereka berdua memasuki hutan dengan tetap berlari. Tak lama kemudian
hari menjadi gelap dan malam pun menjelang. Sayup-sayup masih
terdengar suara-suara para pengejar. Dari jauh terlihat mereka telah
menyalakan obor. Kedua orang pelarian mulai masih tetap berlari walaupun sudah tidak
sekencang tadi. "Jangan pernah berhenti Cio San"
Tiba-tiba setelah berkata seperti itu A Liang jatuh tertelungkup,
"Ah racunnya sudah menyebar..." A Liang berkata dengan lirih.
"Lopek keracunan" Sejak kapan" Bagaimana bisa"Apakah karena makanan"
tanya Cio San dengan panik.
"Waktu kita hampir dikeroyok, seseorang melemparkan Am Gi (senjata
rahasia) ke punggungku." jawab A Liang dengan lemah
"Tidak tahu malu. Masa ada murid Butongpay yang berbuat memalukan
seperti itu..." Cio San marah sekali. Membokong lawan memang adalah
tindakan memalukan di kalangan Kang Ouw yang hanya pantas dilakukan
kaum Hek (hitam). Partai lurus seperti Butongpay amat sangat
mengharamkan cara-cara seperti itu.
"Mari kuperiksa lopek lukanya" dalam hutan gelap di tengah malam seperti itu mana bisa memeriksa luka. Bahkan melihat tangan sendiri pun tidak bisa.
"Di kantongku ada batu api Cio San." Memang seorang ahli masak tidak jauh dari pisau dan api.
Setelah menyalakan api, Cio San lalu memeriksa punggung A Liang. Ia
meminta A Liang membuka baju agar lebih leluasa memeriksa. Tidak usah lama mencari karena punggung A Liang yang terkena senjata beracun sudah terlihat sangat menghitam. Hitam yang pekat. Lalu tepat di tengah-tengah bagian yang menghitam itu terdapat satu titik perak yang memantulkan
cahaya dari api yang dipegang Cio San.
"Hmmmm...jarum beracun..." gumamnya.
"Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku Cio San, awas kau jangan sampai terkena" kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan
tenaganya sendiri. Kenapa tidak sejak tadi saja A Liang tidak mengeluarkan jarum itu dengan cara ini, itu disebabkan karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk terbang seperti itu. Di dunia ini mungkin hanyalah A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengarahan tenaga yang besar.
Ditambah lagi ia harus menggunakan Chi nya untuk melindungi supaya
racun itu tidak menyebar luas.
Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya
menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih atau menjaga chi-nya.
Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obat
berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengingat-ingat tindakan apa yang harus dia lakukan. Di tengah kejadian seperti ini, ditinggal mati salah satu orang yang disayangi, lalu dituduh terlibat dalam kematian itu, lalu dikejar-kejar, lalu harus menyembuhkan racun...Semua itu memang terasa terlalu berat untuk anak seumur dia, se"ajaib" dan secerdas apapun anak itu.
Untung ingatannya masih tajam sehingga dia ingat dengan jelas tumbuhan-tumbuhan apa saja yang harus ia cari untuk menetralkan racun. Inipun
masih penuh tanda tanya, karena Cio San sendiri tidak paham jenis racun apa yang menyerang A Liang.
Memang di buku yang diberikan A Liang itu terdapat banyak jenis obat
untuk melawan hampir segala macam racun. Namun di situ tidak dijelaskan begaimana mengetahui jenis racun yang menyerang itu. Dan Cio San sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang ketabiban.
Hanya dengan menerka-nerka saja ia mengumpulkan beberapa tanaman
yang ada dalam hutan yang lebat itu. Itu pun seadanya saja, karena
sungguh amat sukar mencari sesuatu di dalam hutan lebat segelap ini.
Setelah mencamuprkan daun-daun obat itu dengan batu, dan sedikit
membakarnya untuk memanaskan daun itu, Cio San menempelnya di bagian
tubuh A Liang yang menghitam itu. Sebagian obat itu ia berikan kepada A Liang untuk ditelan.
"Jangan terlalu mengerahkan tenaga dulu lopek, takutnya malah nanti racun itu menyebar". Katanya
Sebenarnya ucapan ini sangat terlambat, karena racun sudah menyebar.
Penggunaan tenaga besar untuk 'terbang' tadi malah membuat racun itu
bekerja semakin cepat. Untunglah sisa chi yang ada di dalam tubuh A Liang masih mampu menahan racun itu, walaupun akhirnya gagal juga.
Ditambah lagi dengan pengerahan tenaga untuk mendorong keluar jarum
itu. Semakin membuat racun itu menyebar.
Pengetahuan Cio San tentang penggunanaan chi (tenaga dalam) untuk
pengobatan juga sudah lumayan berkembang. Tapi ia tidak berniat
menggunakannya, karena menurut sepengetahuannya sebagian racun ada
yang berkembang cepat karena penggunaan tenaga dalam dari luar tubuh
sang pengidap racun. Bab 7 Kebenaran di dalam Kegelapan
A Liang Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa
enakan, "Hebat juga obatmu Cio San, kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua nanti." Katanya sambil tertawa.
"Nah sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal"
"Biarlah lopek teecu gendong saja" pinta Cio San.
Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang menurut saja. Sambil digendong, A Liang mulai bercerita,
"Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia
bertanya tentang Lau-ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit."
"Sakit" Apakah parah?" tanya Cio San kaget
"Parah sekali. Para totiang bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada yang menyusupkan racun ke dalam makanan beliau"
"Ahhhhh...." hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San
A Liang melanjutkan "Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia
sebenarnya mencariku"
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 2 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Golok Halilintar 13
^