Pencarian

Munculnya Sinto Gendeng 2

Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng Bagian 2


membuat Malaikat Serba Biru dan Si Tangan Besi jadi menelan ludah.
"Boleh kuminta daging burungmu?" Si Tangan Besi bertanya tapi langsung ulurkan
tangan hendak mengambil.
"Eit . . .Boleh boleh saja! Tapi tunggu dulu kumis melintang! Cicipi dulu kopi
hangatku ini. Rasanya seperti kopi di sorga!"
"Lagakmu seperti sudah pernah ke sorga saja! Tapi baik, aku memang haus!" kata
Si Tangan Besi. Lalu mengambil kaleng kopi dan meneguk isinya. Kaleng kemudian
diserahkan pada Malaikat Serba Biru yang sudah menunggu tidak sabaran.
"Kopimu memang enak!" memuji Si Tangan Besi sambil seka bibirnya dengan belakang
tangannya yang hitam. "Nah, sekarang apa kami boleh minta daging burung panggang
ini"!"
"Tentu saja!" jawab si pemuda berambut gondrong acak-acakan. "Kalian boleh ambil
yang besar. Bagi berdua. Aku cukup yang kecilan saja!"
Maka Si Tangan Besi dan Malaikat Serba Biru mengambil burung panggang yang
besar, membagi dua dan melahapnya.
"Kau anak muda. Siapa namamu . . ?" Malaikat Serba Biru bertanya sambil
mengunyah daging panggang.
"Namaku Tekukur . . . "
"Tekukur?" Mangulang si kakek. "Nama aneh! Itu kan nama burung!"
"Memang itulah namaku! Orang sekampung yang memberikan karena aku pandai
menirukan suara burung tekukur. Kalian dengarlah . . " Lalu pemuda itu
runcingkan mulutnya. Sesaat kemudian dari mulutnya terdengar suara persis suara
burung tekukur.
Si Tangan Besi dan Malaikat Serba Birtu tertawa gelak-gelak. "Luar biasa. Sama
benar dengan suara burung sungguhan!"
"Tapi malam-malam begini, mengapa kau berada dalam hutan, Tekukur?" bertanya Si
Tangan Besi. "Pekerjaanku menangkap burung tekukur. Siang hari di hutan ini banyak sekali
tekukur. Tapi aku sedang sial. Tak seekorpun kali ini dapat kutangkap. Untuk
mengisi perut terpaksa aku menangkap apa saja dan memangganggnya. Besok pagi aku
akan melanjutkan mencari burung itu. Di Kotaraja harganya bisa mahal!"
"Kenapa matamu kau tutup sebelah?" bertanya si kakek berambut biru.
"Oh, mata satu ini sakit!" jawab si pemuda. Lalu disingkapkannya kain kepala
yang menutupi mata kirinya. Bersamaan dengan itu kelopak matanya dibeliakkannya
dengan jari-jari tangan hingga kelopak itu tampak terbuka lebar dan merah!
"Mataku merah, bukan . . . ?"
"Ya, merah sekali!" sahut Si Tangan Besi percaya saja tanpa menyadari kalau
kelopak mata semua orang memang berwarna merah, apalagi jika dibeliakkan begitu
rupa. "Ah, benar-benar enak daging panggangmu!" kata Si Tangan Besi sambil menancapkan
tulang burung ke tanah.
"Kalau kalian ke Kotaraja, carilah aku! Kalian bisa menemuiku di pasar burung".
"Tentu . . . tentu kami akan mencarimu! Kami tidak akan melupakan kebaikanmu
malam ini! Astaga! Aku lupa!" kata Si Tangan Besi tiba-tiba.
"Apa?" bertanya Malaikat Serba Biru.
"Bukankah nenek itu memesan gara kita membawakan daging panggang untuknya?"
"Kau benar! Tapi daging kita sudah habis!" sahut Malaikat Serba Biru. Matanya
memandang pada daging burung yang dipegang Tekukur dan baru dimakan setengahnya.
"Ah . . . kau pasti hendak mengatakan agar aku membagi daging ini. Untuk
kawanmu. Nenek-nenek ya . . .?"
"Jika kau tidak keberatan, anak muda . . "
"Ambillah!" Tekukur berikan daging panggang itu pada si kakek yang langsung
membungkusnya dengan sehelai daun.
"Perut kami sudah kenyang! Kami minta diri sekarang!" kata Malaikat Serba Biru.
Lalu berdiri, diikuti oleh Si Tangan Besi.
"Jangan lupa mencariku di pasar burung!" Kata si pemuda lagi.
"Tentu . . . tentu!" jawab dua orang itu hampir bersamaan. Mereka lalu lenyap di
dalam kegelapan malam. Pemuda berambut kusut masai menyeringai penuh arti. Kopi
di dalam kaleng diguyurkannya ke atas perapian. Api padam. Tempat itu serta
merta diselimuti gelap gulita.
Kembali ke tempat perkemahan mereka, kedua orang itu dapatkan si nenek masih
berkelumun kain seperti tadi. Tapi kali ini matanya terbuka lebar. Sebelum
mulutnya bergerak bertanya Malaikat Serba Biru lemparkan daging panggang dalam
bungkusan daun ke pangkuan si nenek.
"Sesuai pesanmu! Silahkan menyantap daging panggang itu!"
Si nenek turunkan kain hitamnya. Buka bungkusan daun lalu tanpa banyak bicara,
dengan mata juling yang berkilat-kilat potongan daging burung panggang itu
segera disantapnya. Selagi dia asyik menyantap didengarnya Si Tangan Besi bicara
pada Malaikat Serba Biru bahwa perutnya agak mulas dan hendak membuang hajat
besar. "Kau terlalu rakus menyantap daging panggang tadi! Tidak salah kini pingin
berak!" kata Malaikat Serba Biru sambil tertawa mengekeh.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Memang enak daging burung panggang ini . . ." kata
Kelabang Merah sambil seka-seka mulutnya yang gincunya kini tampak berlepotan,
mencelemong sampai ke pipi. "Siapa nama anak muda itu katamu . . . ?"
"Tekukur!"
"Nama aneh!" ujar si nenek. Dia memandang berkeliling. "Eh, mana Si Tangan Besi
tadi" Lama benar dia membuang hajat!"
"Mungkin sulit mencari air untuk cebok. Ha . . ha . . ha!" Malaikat Serba Biru
tertawa mengekeh. "Itulah kalau terlalu rakus! Biar kita tunggu saja . . "
Beberapa waktu berlalu. Nenek Kelabang Merah kembali memandang berkeliling
dengan sepasang matanya yang juling.
"Masih belum muncul juga dia! Coba kau selidiki . . ."
"Ah! Si Tangan Besi itu ada-ada saja. Aku sudah siap untuk tidur. Biar kucari.
Tapi omong-omong perutkupun terasa tak enak . . "
"Puah!" si nenek mengomel. "Kalian berdua sama saja!"
Lama menunggu si nenek mulai gelisah. Si Tangan Besi tidak muncul. Malaikat
Serba Biru yang disuruh mencaripun ikut-ikutan menghilang!
"Manusia-manusia brengsek!" Kelabang Merah ambil tongkat bercagaknya. Tubuhnya
yang kurus tinggi, masih berkelumun kain hitam melangkah ke jurusan lenyapnya
Malaikat Serba Biru.
Malam gelap sekali. Si nenek hampir tak dapat melihat apa-apa. Jengkel dan
sambil mengomel dia kembali ke perapian dan mengambil sebatang kayu berapi.
Dengan api kayu sebagai penerangan dia kembali memeriksa ke arah lenyapnya
Malaikat Serba Biru tadi. Beberapa belas langkah melewati serumpunan semak
belukar, si nenek merasakan kaki kirinya menginjak sesuatu yang hangat di tanah.
Dia hentikan langkah dan turunkan kayu api ke bawah. Jelas kini apa yang
dipijaknya. Kotoran manusia!
"Bangsat haram jadah!" maki Kelabang Merah."Pasti kotoran Si Tangan Besi! Mana
manusia celaka itu sekarang"!" Si nenek hentakkan kaki kirinya berkali-kali.
Kayu api ditinggikannya kembali.
Dia memandang berkeliling. Maju ke kiri beberapa langkah. Membelok ke kanan
beberapa langkah lagi. Menyibakkan serumpun keladi hutan dengan tangan kiri.
Saat itulah kedua matanya yang juling jadi terpentang!
BAB 7 Tepat di bawah rerumpunan pohon keladi hutan berdaun lebar terbujur sosok tubuh
Si Tangan Besi. Sepasang tangannya yang hitam penuh luka-luka bahkan lengan
kirinya hampir putus.
"Aneh! Setahuku tak satu senjata tajampun mampu melukai kedua tangannya! Senjata
sakti macam apa yang dapat menciderainya . . .?" membatin Kelabang Merah. Tapi
yang membuat mata si nenek itu terpentang bukan lengan-lengan yang luka
melainkan kepala Si Tangan Besi. Kepala itu hampir terbelah dua. Otak dan darah
berhamburan mengerikan dan menjijikkan!
"Kematiannya seperti kematian yang dialami Bergola Ijo! Pasti pembunuhnya orang
yang sama! Keparat haram jadah! Siapa pelakunya!"
Melihat keadaan mayat Si Tangan Besi agaknya sebelum kepalanya dihantam terlebih
dulu telah terjadi perkelahian antara dia dengan si pembunuh. Luka-luka di kedua
tangannya pastilah karena dia berusaha menangkis senjata lawan. Tapi mengapa
sama sekali dia tidak mengeluarkan suara" Sama sekali tidak ada bentakan atau
jeritan" Kelabang Merah mendekatkan kayu berapi ke sekitar leher Si Tangan Besi. Apa yang
diduganya tidak meleset. Salah satu urat besar di leher Si Tangan Besi, yakni
urat jalan suara tampak berwarna merah tanda leher itu sebelumnya telah kena
ditotok! Ini juga berarti si pembunuh tidak membokong, tapi memberi kesempatan
bagi Si Tangan Besi untuk melawan walaupun jalan suaranya lebih dulu ditotok!
Kelabang Merah memandang berkeliling. Gelap.
"Bangsat pembunuh! Perlihatkan tampangmu! Jangan sembunyi dalam kegelapan!" Si
nenek tak dapat lagi menahan kemarahannya langsung berteriak. Suara teriakannya
menggema dahsyat dan mengerikan. Tetapi tak ada jawaban.
"Manusia pengecut!" teriak Kelabang Merah lagi. Tongkat bercagak di tangan
kirinya diputar-putar. Angin deras menderu disusul oleh suara berderakan. Tiga
cabang pohon patah. Semak belukar berserabutan.
"Bangsat! Kaluar kau dari tempat persembunyianmu!" berteriak lagi si nenek.
Gelap dan sunyi.
Namun mendadak lapat-lapat terdengar suara berkereketan seperti ada sesuatu
benda berat berayun-ayun.
"Iblis!" bentak Kelabang Merah. Nenek ini berkelebat ke arah datangnya suara
tadi. Tapi dia kecele. Dia tidak menemui siapa-siapa.
"Keparat!" memaki lagi nenek bermata juling ini. "Eh . . ! Mendadak nafasnya
seperti tertahan.
Ada sesuatu yang menetes-netes, sejenis cairan kental hangat, jatuh tepat di
pipi kirinya. Bersamaan dengan itu tercium bau busuk. Bau busuk kotoran manusia!
Kelabang Merah mendongak ke atas sambil tinggikan kayu api di tangan kirinya!
"Kurang ajar haram jadah!" Rutukan itu keluar dari mulut si nenek lalu melompat
satu langkah ke belakang.
Di atas sana, bergoyang-goyang pada sebuah cabang pohon, tampak tergantung sosok
tubuh Malaikat Serba Biru. Sepasang matanya yang biru membeliak mengerikan.
Lidahnya terjulur! Seutas akar hutan menjirat lehernya. Dari celana birunya yang
merosot ke bawah menetes kotoran! Tetesan kotoran inilah yang jatuh tepat di
pipi si nenek tadi!
Setelah puas memaki, si nenek tiba-tiba mendekam diam!
Kematian dua kawannya yang berekepandaian tinggi yang boleh dikatakan hanya
dalam beberapa kejap saja tiba-tiba membuatnya tercekat. Ada rasa dingin kini
menggerayangi tengkuknya.
Selagi diam mendekam seperti itu mendadak terdengar suara tertawa bekakaan.
Nenek ini sampai terlompat saking kagetnya.
"Nenek jelek bermata juling! Kalau kau tidak bertobat dan meninggalkan jalan
sesat sebagai pentolan pemberontak. Nasibmu akan lebih buruk dari dua kawanmu
itu! Ha . . ha . . ha . . !"
"Setan atau iblis! Tunjukkan tampangmu1" teriak Kelabang Merah. Tongkat kayu
bercagak di tangan kirinya dipukulkan ke atas, yakni ke arah pohon besar dari
mana tadi muncul suara dan tawa bergelak.
Sinar merah laksana pancuran api melesat. Kelabang merah yang sejak tadi
melingkar di pertengahan cagak tongkat ikut melesat dan memancarkan sinar lebih
terang hingga bentuk binatang itu terlihat jelas.
Braak! Sebuah cabang pohon putus dan roboh ketika kelabang menghantamnya. Bagian-bagian
yang terpapas langsung tampak hangus! Kelabang terus melesat ke arah datangnya
suara tertawa tadi, menerobos dedauanan lalu menghantam udara kosong di atas
pohon. Terdengar suara suitan lalu suara tawa mengejek. Lalu sepi.
"Anakku! Bangsat itu sudah kabur! Kembali ke tempatmu!" si nenk berseru.
Terjadilah hal yang hebat dan aneh. Kelabang yang tadi melesat membalik dan
menukik. Sekejap kemudian binatang ini telah melingkar kembali di cagak tongkat! Tinggal
kini nenek Kelabang Merah tegak sendirian dalam gelap karena api di ujung kayu
telah padam. Sendirian berteman dua sosok mayat yang menemui kematian dengan
cara mengerikan. Lama perempuan tua ini tegak termangu. Apa yang akan
dilakukannya sekarang" Hendak mengurus dua mayat itu tak ingin dilakukannya.
Hendak melanjutkan pengejaran rombongan Sri Baginda ke bukit Wonosegoro, dia
tidak tahu jalan. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Kotaraja guna menemui
Raden Jingga. >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Turonggo Wesi memberi isyarat pada selir Sri
Baginda, lalu menyelinap ke balik tembok candi.
Saat itu baru saja memasuki malam. Di langit tampak bulan sabit tersapu awan.
Keadaan di candi diselimuti kegelapan yang temaram karena Patih Aryo Culo tidak
memperkenankan memasang pelita atau membuat api ungun.
Sri Baginda berbaring bersama permaisuri dalam sebuah ruangan candi. Tiga
perajurit mengawal berpencaran. Ketika selir muda dan jelita itu sampai di
dekatnya, Perwira Tinggi itu cepat berbisik.
"Besok rombongan para pangeran dan para puteri akan sampai di sini. Akan lebih
banyak pengawal. Akan lebih banyak orang. Racun itu harus kau minumkan malam ini
juga Rumini. Secepat Raja tewas kau ambil Kiyai Panca Sona dan lari ke jurusan
timur. Di situ aku menunggu bersama dua ekor kuda. Malam ini juga Rumini!
Harus!" "Aku sudah mengusahakannya sejak malam tadi Turonggo. Tapi permaisuri tidak
pernah lepas dari Sri Baginda . . ." menjawab selir bernama Rumini.
"Bukankah malam ini giliranmu melayani Raja?"
"Dalam keadaan biasa memang seperti itu. Tapi di saat seperti ini Sri Baginda
tidak akan mengikuti aturan. Aku lebih suka kau saja yang menikamnya!"
"Jangan bodoh. Jika ditikam pasti Raja akan mengeluarkan suara kesakitan. Jika
hal itu terjadi berarti celaka bagiku! Bagimu juga . . . Racun lebih ampuh dan
tepat dalam keadaan seperti ini . . ."
"Kalau begitu, akan kuusahakan malam ini juga, Turonggo!"
"Bagus. Hati-hati dan jangan lupa! Begitu Raja tewas, ambil Kiyai Panca Sona
lalu lari ke timur. Mengerti?"
"Aku mengerti Turonggo. Doakan agar aku berhasil!"
"Kau pasti berhasil. Kau kukenal sangat berani. Karena itu aku mau mengambilmu
jadi istri kelak . . . "
"Sebetulnya aku rindu akan dekap dan ciumanmu Turonggo . . . "
"Sama. Aku juga . . ."
"Kalau begitu bisa kita menyingkir sebentar dari sini . . .?"
Turonggo tahu adalah pekerjaan gila jika dia memenuhi ajakan Rumini saat itu.
Tapi entah mengapa birahinya tiba-tiba saja menggelegak.
"Sebaiknya beritahu dulu Sri Baginda bahwa kau hendak membasuh muka di mata air.
Menjaga agar tak ada yang curiga . . ."
"Kita kan hanya sebentar. Tak usah memberitahu segala . . ." jawab Rumini.
Turonggo memandang berkeliling. Lalu ditariknya tangan selir Sri Baginda itu.
Keduanya lenyap ke balik semk belukar lebat.
Ternyata yang dikatakan sebentar oleh perempuan muda itu menjadi berkepanjangan.
Keduanya terbuai oleh nafsu dan sempat melakukan hubungan badan tanpa mengetahui
kalau sepasang mata mengintip dari kegelapan.
"Rapikan pakaianmu cepat!" bisik Turonggo agak kawatir. "Jangan lupa malam ini
Rumini. Raja harus tewas malam ini juga! Minumkan racun itu padanya . . ."
Rumini mengangguk. Sebelum berpisah keduanya berpagutan dulu. Di pintu candi
Patih Aryo Culo memandang penuh selidik ketika Rumini muncul dari kegelapan.
Sebelum ditegur perempuan ini cepat berkata bahwa dia barusan dari mata air.
Lalu dia mempersibuk diri menjerang air untuk minum Sri Baginda, yaitu air panas
campur jahe dan gula aren, di saat itulah Rumini mempergunakan kesempatan untuk
menabur sejenis racun ke dalam minuman kesukaan Sri Baginda.
Masuk ke dalam ruangan, Rumini dapatkan permaisuri telah tertidur nyenyak
sementara Sri Baginda duduk bersandar ke dinding candi.
"Dari mana saja kau Rumini . . ." Sri Baginda menegur.
"Maafkan saya Baginda. Saya ke mata air, lalu menjerang dan menyiapkan minuman
untuk Baginda. Biasa . . . air jahe kesukaan Baginda . . ."
"Malam ini aku tak seberapa haus. Kau saja yang menghabiskan minuman itu
Rumini . . ."
Sang selir merasakan tengkuknya sedingin es. Parasnya berubah. Untung saja gelap
hingga Raja tidak melihat perubahan itu. Dalam hatinya perempuan muda ini
bertanya apakah Sri Baginda tahu kalau dirinya hendak diracuni"!
"Air jahe dan gula aren bukan hanya sekedar pelepas haus Baginda. Tapi juga obat
yang selalu Baginda minum tiap malam. Saya tak ingin besok Baginda masuk angin
lalu sakit. Jika Baginda sakit dalam keadan seperti ini, siapa lagi yang menjadi
panutan" "Ah . . . kau selir yang baik. Sangat memperhatikan diriku. Itu sebabnya kau
yang paling pertama kuajak mengungsi. Mendekatlah kemari . . ."


Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumini beringsut menghampiri Sri Baginda lalu menyodorkan cangkir tanah.
"Letakkan dulu minuman itu. Kemari lebih dekat. Sejak dalam pelarian ini aku
seperti melupakan kecantikan dan keindahan tubuhmu . . . "
Sri Baginda lalu merangkul dan mengusap dada selirnya itu. "Eh, tubuhmu
keringatan Rumini .
. ?" "Apakah Sri Baginda perlu heran" Bukankah saya selalu keringatan dan jantung
berdegup keras setiap kali Baginda berada di dekat saya" Saya bahagia dalam
rangsangan".
"Layani aku malam ini Rumini . . . "
"Saya milik Baginda dan akan melayani Baginda sampai mati karena itu memang
tugas saya . ."
Selir itu melirik pada permaisuri yang tertidur nyenyak. Lalu sambungnya: "Tapi
saya juga tak ingin Baginda sakit. Sebaiknya minum dulu air jahe ini selagi
masih panas . . . "
Rumini mengambil kembali cangkir tanah yang tadi diletakkannya lalu mendekatkan
bibir cangkir ke bibir Raja. Sri Baginda menyeringai. Selagi dua tangannya
menggeluti dada selirnya, Sri Baginda buka bibirnya siap meneguk air jahe
beracun! BAB 8 Sesaat lagi minuman beracun yang sangat mematikan itu akan direguk oleh Sri
Baginda tiba-tiba sebuah batu sebesar ujung ibu jari melesat dalam kegelapan.
Tring . . . byaar!
Cangkir tanah dalam pegangan Rumini pecah berantakan. Air jahe hangat tumpah
membasahi pangkuan Sri Baginda. Selir itu terpekik. Sri Baginda sendiri
keluarkan seruan tertahan. Permaisuri tersentak bangun dan duduk.
"A . . . . apa yang terjadi . . .?" bertanya Permaisuri.
Raja tak menjawab tapi cepat turun dari pembaringan kayu seraya menggenggam
Keris Kiyai Panca Sona. Patih Aryo Culo saat itu tampak berkelebat dan muncul di
ruangan ketiduran.
"Ada apa Sri Baginda" Saya mendengar selir menjerit dan Baginda berseru!"
"Seseorang melemparkan sesuatu, memecahkan cangkir tanah berisi air jahe yang
hendak kuminum!" menerangkan Raja. Sepasang matanya memandang berkeliling,
berusaha menembus kegelapan yang temaram. Aryo Culo juga melakukan hal yang
sama. Saat itulah suara seseorang dari sudut ruangan.
"Mohon maafmu Sri Baginda. Sayalah yang tadi sengaja melempar dan memecahkan
cangkir minuman itu!"
Raja dan Patih sama berpaling ke sudut ruangan yang gelap. Samar-samar tampak
sesosok tubuh berpakaian putih tegak di situ bersidakap lengan di depan dada.
"Penyelusup kurang ajar! Kau pasti kaki tangan pemberontak!" bentak patih Aryo
Culo. Dia melangkah mendekati orang itu. Tapi orang yang didatangi cepat
mengangkat tangannya. Patih tua itu merasakan seperti ada angin yang menyambar
dan gerakan tubuh serta kakinya serta merta tertahan.
"Sabar, Patih! Minuman dalam cangkir tanah itu mengandung racun pembunuh! Kalau
sampai terminum oleh Sri Baginda dalam beberapa saat pasti akan tewas!"
Paras Sri Baginda dan Patih Aryo Culo berubah total. Perubahan wajah juga
terjadi atas diri selir Rumini namun tak satu orangpun yang memperhatikan.
"Minuman itu mengandung racun katamu . . .?" Sri Baginda bertanya dengan mata
melotot, penuh rasa tidak percaya.
Yang ditanya anggukkan kepala sambil menyeringai.
"Kau pasti berdusta!" Raja membentak marah.
"Siapa kau sebenarnya!" Patih Aryo Culo ikut membentak. Lalu dia berpaling pada
Rumini dan berkata: "Mana Turonggo Wesi. Lekas panggil dia kemari . . .!"
"Tunggu dulu! Perempuan muda itu biar saja tetap di sini. Tak usah
mengkawatirkan Turonggo Wesi. Dia telah saya ringkus dan berada dalam keadaan
tertotok tak berapa jauh dari sini. Dia bersama selir itu adalah sepasang musuh
dalam selimut. Mereka yang mengatur rencana pembunuhan atas diri Sri Baginda
dengan jalan memasukkan racun dalam air jahe . . . !"
"Bohong! Dusta! Kita tidak kenal orang ini! Dia pasti kaki tangan pemberontak!"
Selir Rumini berteriak.
Orang berpakaian putih tersenyum. Dia melangkah memungut sepotong pecahan
cangkir tanah yang masih ada sisa minumannya.
"Baginda, untuk membuktikan bahwa minuman ini benar-benar beracun atau tidak,
harap Baginda memerintahkan selir ini meminum sisa air jahe ini . . . ."
Pucatlah paras Rumini.
Si baju putih tertawa perlahan lalu melangkah keluar dari kegelapan. Tampak
wajahnya yang masih muda, selalu tersenyum dan rambutnya gondrong.
"Dia pasti tak mau meneguk sisa minuman itu! Karena sama saja dengan bunuh
diri!" berkata si pemuda. "Satu lagi untuk membenarkan apa yang saya katakan,
perintahkan tiga orang perajurit ke arah timur. Di situ akan ditemui Turonggo
Wesi dalam keadaan tertotok. Bawa dia kemari. Baginda bisa menanyainya!"
Sri Baginda dan Patih Aryo Culo sesaat saling pandang. Masih antara percaya dan
tidak. Akhirnya Permaisuri membuka mulut, memerintahkan tiga orang perajurit yang ada
di situ untuk pergi ke timur mencari Turonggo Wesi. Sampai di situ Rumini tak
dapat menahan rasa takutnya lagi. Selir jelita ini melompat ke kiri untuk
menghambur kabur. Tapi mudah saja bagi Patih Aryo Culo untuk mencekal lengannya.
Selir ini menjerit-jerit, jatuhkan diri di hadapan Sri Baginda.
Tak berapa lama kemudian tiga perajurit muncul menggotong tubuh Turonggo Wesi
yang berada dalam keadaan tertotok. Raja dan Patih segera menanyai Perwira
Tinggi kepercayaannya ini.
Menyadari tak mungkin utnuk berkilah apalagi meloloskan diri akhirnya Turonggo
Wesi membuka mulut membuka rahasia.
"Saya menyesali semua ini Sri Baginda. Saya dan Rumini mohon ampunmu. Kami
berdua adalah orangnya Pangeran Jingga. Kami memang ditugaskan untuk membunuh
Sri Baginda dan merampas Kiyai Panca Sona . . " Kata Turonggo Wesi. Rumini
menangis sambil terus berlutut.
Rahang Sri Baginda tampak menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Dia mengambil
pecahan cangkir tanah yang berisi sisa minuman beracun dari tangan pemuda
berpakaian putih lalu berkata.
"Kalian berdua adalah orang-orang kesayangan dan kepercayaanku! Tapi kalian
telah berserikat untuk membunuhku secara keji. Sulit bagiku untuk memberi
pengampunan! Kalian telah memilih jalan salah, berarti harus siap menghadapi
segala akibat dan hukumannya! Kalian berdua kupersilahkan membagi sisa minuman
ini. Minumlah!"
"Baginda . . .!" pekik Rumini. Turonggo Wesi tertegun pucat.
"Minum kataku!"
Perwira Tinggi itu hanya bisa membeliak ketika pecahan cangkir disusupkan ke
mulutnya. Sadar tak ada jalan pengampunan bagi dirinya. Turonggo Wesi akhirnya teguk
setengah dari sisa minuman beracun. Melihat hal ini Rumini melompat, merebut
cangkir tanah dari tangan Sri Baginda lalu mereguk habis minuman yang masih ada.
Hanya beberapa saat ketika setelah meneguk minuman beracun itu, Rumini dan
Turonggo Wesi nampak terhuyung limbung. Keduanya menjerit. Rumini pegangi
dadanya. Turonggo langsung roboh.
Rumini masih menjerit sekali lagi lalu ikut roboh saling tumpang tindih dengan
Turonggo Wesi. Ada darah mengucur keluar dari mulut, hidung dan telinga.
Keduanya mati dengan mata mendelik.
Sri Baginda menarik nafas panjang. Patih Aryo Culo memberi isyarat pada tiga
perajurit. Mayat Turongggo Wesi dan Rumini digotong keluar dari candi.
Sri Baginda melangkah mendekati si baju putih berambut gondrong. Menyadari bahwa
orang ini memang telah menyelamatkan dirinya dan berada di pihaknya Raja
memegang bahunya seraya bertanya.
"Anak muda, kau menyelamatkan diriku. Berarti menyelamatkan Kerajaan. Siapa kau
sebenarnya . . .?"
"Maaf, saya tak dapat mengatakan siapa saya Sri Baginda".
"Namamu juga tak akan kau beritahukan?" tanya Raja lagi.
"Nama saya Tekukur . . ." jawab pemuda itu.
Sri Baginda terdiam sesaat. Lalu tersenyum dan tiba-tiba meledak tawanya. "Dunia
ini memang penuh orang-orang pandai bersifat aneh. Salah satu di antaranya
adalah kau anak muda. Aku tahu itu nama palsu yang kau sebutkan tadi. Tapi aku
tidak akan memaksamu untuk memberi tahu namamu sebenarnya . . ."
Si pemuda balas tersenyum sambil garuk-garuk kepalanya.
"Hutang nyawa dan jasamu terhadap Kerajaan besar sekali. Katakan imbalan apa
yang kau inginkan dariku . . ."
Yang ditanya tampak menyeringai sambil lagi-lagi garuk kepala. "Saya tidak ingin
minta apa-apa . . . "
"Nah . . .nah, ini lagi satu keanehan orang-orang dunia persilatan. Eh, anak
muda, apakah kau sudah beristri?"
Tekukur menggeleng.
"Kalau begitu, kau boleh memilih salah seorang dari puteriku. Mereka akan muncul
di sini besok. Ada sembilan semuanya. Dan aku tidak sombong anak muda, semua
anak gadisku cantik-cantik
. . " Si pemuda tertawa lebar.
"Sri Baginda, terima kasih atas semua tawaran baikmu. Saya tetap tidak berani
meminta atau menerima apa-apa. Hanya saya ingin bertanya, sebelumnya ada
sepasang kakek nenek ikut bersama rombongan Sri Baginda ke tempat ini . . . "
"Tunggu dulu," Patih Aryo Culo menyelak. "Bagaimana kau tahu kalau kami berada
di tempat paling rahasia ini?".
Tekukur lalu menceritakan pertemuannya dengan rombongan nenek Kelabang Merah.
Bahwa dia juga sempat mendengarkan ucapan Si Tangan Besi yang mengetahui dan
menyebut letak tempat rahasia.
"Hemm . . . jadi tiga tokoh silat itu ternyata ikut bergabung dengan Pengeran
Jingga". Patih Aryo Culo tampak agak risau.
"Si Tangan Besi dan Malaikat Serba Biru tidak perlu dipikirkan lagi. Keduanya
sudah menghadap setan akhirat . . "
"Maksudmu?" tanya sang Patih tidak mengerti.
Sebagai jawaban pemuda mengaku bernama Tekukur itu acungkan jempol kirinya ke
atas lalu dibalikkan ke bawah. Patih dan Raja serta merta mengetahui apa maksud
gerakan tangan si pemuda.
"Satu hal ingin kutanyakan. Bagaimana kau tahu kalau minuman dalam cangkir tanah
itu beracun. Juga bagaimana kau tahu bahwa Turonggo Wesi dan selirku itu
berserikat hendak meracuniku"' bertanya Sri Baginda.
"Hanya satu kebetulan saja, Sri Baginda" sahut Tekukur. Lalu dia menerangkan
pengintaiannya atas diri kedua orang itu yang bermesraan di balik semak belukar
serta berbisik-bisik mengenai rencana pembunuhan.
Untuk kesekian kalinya Raja menghela nafas panjang. "Mereka memang pantas mati .
." desis Sri Baginda. "Mengenai pertanyaanmu tadi anak muda. Memang sepasang
kakek nenek itu mengawal kami sampai ke sini. Namun kemudian mereka pergi dan
aku tidak tahu. Entah ke Kotaraja entah kemana . . ."
"Kalau begitu izinkan saya mohon diri untuk segera berangkat ke Kotaraja".
"Aku lebih suka kau membantu kami di sini," ujar Patih Aryo Culo.
"Saya ingin sekali melakukan hal itu. Hanya saja saya harus mematuhi pesan guru.
Saya ditugaskan ke Kotaraja. Lagi pula untuk sementara tak ada yang perlu
dikawatirkan di tempat ini".
Sri Baginda dan Patih Aryo Culo agak kecewa.
"Siapa gurumu, anak muda?" tanya Sri Baginda pula. "Kakek bernama Ki Rana Wulung
sahabatku itu?"
Tekukur menggeleng.
"Kalau begitu nenek kurus bermuka cekung itu . . .?"
Tak ada jawaban. Memandang ke depan orang-orang yang ada di situ terkesiap
kaget. Pemuda berambut gondrong bernama Tekukur tadi tak ada lagi di dalam
candi. Seperti lenyap amblas ditelan bumi yang gelap!
BAB 9 Di pagi yang masih diselimuti angin dingin dan berembun itu Kotaraja dilanda
kegemparan. Boleh dikatakan hampir seluruh penduduk menghambur keluar dari rumah masing-
masing dan bergegas menuju alun-alun yang telah penuh sesak dijejali manusia.
Sementara itu dari berbagai arah terdengar suara kentongan dipukul tiada henti.
Semua orang yang ada di alun-alun memusatkan pandangan pada sebuah gerobak besar
yang ditarik oleh seekor kuda hitam dan berhenti di tengah alun-alun. Ada
keanehan pada kuda penarik gerobak itu. Binatang ini sama sekali tidak bergerak
sedikitpun seolah-olah telah berubah menjadi patung. Namun keanehan itu tidak
terpikirkan oleh penduduk karena mereka lebih memusatkan perhatian pada hal
mengerikan yang terlihat di atas gerobak.
Lima sosok mayat menggeletak dalam gerobak. Walaupun saling tumpang tindih dan
dalam keadaan rusak serta menebar bau busuk, namun tidak sulit bagi penduduk
untuk mengenali siapa mereka.
Mayat pertama adalah seorang yang memiliki sepasang lengan berwarna hitam,
berbadan kekar.
Mukanya yang berkumis melintang terbelah ngeri. Darah membeku membuat wajah itu
tambah menyeramkan. Orang ini bukan lain adalah salah seorang tokoh silat
pentolan pemberontak yang dikenal dengan julukan Si Tangan Besi.
Sosok mayat kedua dikenal sebagai Perwira Tinggi Kerajaan bernama Turonggo Wesi.
Ada darah menggumpal di kedua telinga, lobang hidung dan sela mulutnya.
Mayat ketiga ini yang membuat semua orang tercekat - adalah mayat perempuan muda
yang dikenal sebagai selir kesayangan Sri Baginda bernama Rumini. Kematiannya
sama dengan Turonggo Wesi. Ada darah beku di telinga, hidung dan mulut.
Yang ke empat adalah mayat lelaki bermuka hijau yang serta merta dikenali
sebagai Bergola Ijo. Dia mengalami kematian dengan keadaan sama seperti Si
Tangan Besi. Terbelah kepalanya!
Mayat terakhir, mayat seorang kakek berpakaian serba biru, dan berambut juga
biru. Matanya yang berwarna biru mendelik mengerikan, lidahnya terjulur kaku dan
di lehernya masih menjirat akar gantung yang liat dan keras. Inilah Malaikat
Serba Biru! Rakyat tahu betul kalau Bergola Ijo, Si Tangan Besi dan Malaikat Serba Biru
adalah tokoh-tokoh silat yang membantu pemberontakan hingga Raja dan keluarganya
terpaksa meninggalkan Kotaraja, mengungsi ke suatu tempat yang tidak diketahui.
Tetapi Turonggo Wesi dan selir bernama Rumini itu, mengapa keduanya ikut menjadi
mayat dan ditumpuk jadi satu dalam gerobak" Apakah mereka juga kaki tangan
pemberontak di bawah pimpinan Pangeran Jingga"
Meskipun lima mayat itu menebar bau busuk bukan alang kepalang, tetapi sambil
menekap hidung penduduk berdesakan untuk membaca serangkaian tulisan yang
tertera pada dua helai kertas dan ditempel pada sisi gerobak kiri kanan.
Pada kertas yang ditempelkan di sisi gerobak sebelah kiri terbaca tulisan
berbunyi: UNTUK KAUM PEMBERONTAK
Kalian tidak akan menang dalam melawan kebenaran, kekuasaan syah dari Raja dan
menjadi peringatan agar kalian menyerah dan kembali berbakti pada Kerajaan.
Kertas yang menempel di sisi kanan gerobak dibubuhi tulisan berbunyi : PESAN
UNTUK RAKYAT Raja dan Permaisuri serta Patih Kerajaan berada dalam keadaan selamat, mereka
akan segera datang untuk menyelamatkan rakyat yang setia dan Kerajaan dari
cengkeraman kaum pemberontak. Diharapkan agar semuanya bersatu menghancurkan
pemberontak dan kaki tangannya yang sesat. Rakyat pasti menang karena berada di
jalan yang benar dan mendapat lindungan serta kekuatan dari Tuhan!
Selagi orang banyak di alaun-alun diselimuti kengeraian dan juga tanda tanya
siapa yang telah melakukan semua itu, siapa yang membawa gerobak berisi mayat
dan siapa pula yang membuat tulisan di atas dua helai kertas itu, mendadak
serombongan pasukan berjumlah hampir tiga ratus orang muncul dan langsung
mengepung alun-alun.
"Pasukan pemberontak muncul . . .!" seru penduduk.
Orang banyak di tengah alun-alun segera menyingkir. Menghindar dengan rasa
gelisah tetapi bukannya takut karena apa yang mereka saksikan dan apa yang
mereka barusan baca telah menimbulkan semangat keberanian untuk ikut bertindak
membela Kerajaan. Semua orang menyingkir ke pinggir alun-alun dan menunggu apa
yang akan terjadi.
Beberapa penunggang kuda nampak memacu kuda masing-masing menuju pertengahan
alun-alun di mana gerobak berisi lima mayat berhenti.
Penunggang kuda pertama adalah Pangeran Jingga, keponakan Sri Baginda yang
menjadi pimpinan tertinggi kaum pemberontak.
Orang kedua di sebelahnya, seorang kakek berambut merah ternyata adalah tokoh
silat yang dikenal dengan nama Suto Abang. Yang ketiga seorang lelaki berpakaian
Perwiran Tinggi yang dikenali oleh penduduk bukan lain adalah Raden Aryo Braja,
Kepala Balatentara Kerajaan. Ah!
Ternyata orang yang dikabarkan lenyap ini sudah menjadi salah seorang tokoh
pemberontak pula!
Tiga penunggang kuda itu tertegun di hadapan gerobak dan berusaha menutup jalan
nafas masing-masing dari bau busuk lima mayat dalam gerobak.
Pangeran Jingga diam-diam merasa kecut. Apalagi setelah sempat membaca tulisan


Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sisi kiri gerobak. Raden Aryo Braja berusaha menutupi kegelisahannya sambil
mengusap-usap dagu. Sedang Suto Abang satu-satunya yang tampak tenang.
"Ini pekerjaan hebat tapi tak perlu ditakutkan!" berkata Suto Abang. "Lihat kuda
penarik gerobak. Binatang itu seperti kaku. Jelas seseorang telah menotoknya
sebelum ditinggalkan di tengah alun-alun ini . . . ."
"Yang aku tidak mengerti . . . ." kata Pangeran Jingga. "Kotaraja penuh dengan
mata-mata, orang-orang kita. Bagaimana gerobak berisi lima mayat itu bisa masuk
ke dalam kota dan sampai di sini" Orang-orang kita telah bertindak lengah!"
Raden Aryo Braja tak dapat berkata apa-apa karena sebenarnya tanggung jawab
pengamanan kota berada di tangannya. Mungkin karena malu, mungkin juga karena
marah Kepala Balatentara yang memberontak ini turun dari kudanya, lalu merobek
kertas besar yang menempel di sisi gerobak sebelah kiri. Ketika dia hendak
merobek pula kertas besar yang menempel di sisi gerobak sebelah kanan, tiba-tiba
sebuah tangan menyelusup keluar dari bawah gerobak. Dua jari terpentang lurus
menusuk. Aryo Braja terkejut dan cepat hindarkan diri. Tapi dua jari itu melesat cepat
sekali. Tubuh Kepala Balatentara ini terjengkang begitu totokan dahsyat melanda
dada kirinya. Tubuhnya terguling di tanah dan dia tak kuasa bergerak ataupun
membuka mulut. Suto Abang lebih dahulu melihat kejadian itu dari pada Pangeran Jingga sementara
ratusan rakyat dan perajuirt pemberontak yang berada di pinggiran alun-alun
hanya bisa menyaksikan dari jauh dengan terheran-heran.
"Raden Aryo! Apa yang terjadi!" seru Suto Abang seraya melompat turun dari kuda.
Saat itu pula dari bawah gerobak besar sesosok tubuh berpakaian putih
menjatuhkan diri, bergulingan di tanah lalu melompat bangun dan melesat tegak di
bagian depan gerobak besar sambil berkacak pinggang dan sunggingkan seringai
mengejek. "Raden Aryo Braja! Peranmu sebagai pentolan pemberontak sudah tamat hari ini!
Bersiaplah untuk menerima hukuman dari Raja!" Pemuda di atas gerobak berseru.
"Bedebah jahanam! Kau berani mati!" satu bentakan datang dari samping. Bersamaan
dengan itu terdengar suara wuuut! Dan sinar merah berkiblat laksana tabasan
pedang, menyambar ke arah sepasang kaki pemuda berpakaian putih!
Yang membentak sambil menyerang itu bukan lain adalah Suto Abang. Senjata
andalannya yakni rambutnya yang panjang dan berwarna merah menyambar ganas.
Pemuda yang diserang bersuit keras, membuat lompatan setengah tombak, sambil
melayang turun dia hantamkan tangan kanannya ke arah Suto Abang.
Kakek rambut merah ini tersentak kaget ketika merasakan datangnya sambaran angin
yang melanda laksana gulungan batu besar. Serangan angin seperti inilah yang
tempo hari membuatnya terjungkal sewaktu terjadi pertempuran dalam rimba
belantara tempat Sri Baginda bersembunyi.
Secepat kilat Suto Abang menyingkir. Angin pukulan menghantam tanah di
sampingnya. Tanah alun-alun muncrat ke atas dan di situ tampak sebuah lobang
sedalam setengah jengkal. Meskipun hatinya jadi tergetar melihat dan mengalami
kejadian ini, namun Suto Abang tidak mau memperlihatkan rasa jerih. Setelah
umbar suara tertawa dia menatap tak berkesip dan bertanya: "Orang muda berani
mencari mampus! Siapa kau"!"
"Namaku Tekukur! Aku datang untuk membasmi manusia semacammu. Juga seperti kau!"
Si pemuda tudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Pangeran Jingga yang masih
duduk terkesiap di atas kuda.
"Mulutmu sombong! Lagakmu congkak! Jadi kau kaki tangan Raja yang melarikan diri
itu! Bersiaplah untuk mampus!"
"Kakek tolol! Apa matamu buta tidak melihat lima pengkhianat yang bergeletakan
dalam gerobak?"
"Apa kau yang membunuh mereka"!"
Si pemuda menyeringai lebar. "Aku tidak akan menjawab ya atau tidak, tapi kau
bisa tanya sendiri nanti pada mereka jika kau memang ingin menyusul mereka!"
Marahlah Suto Abang. Didahului bentakan garang tubuhnya melesat ke depan. Dua
tangannya membuat gerakan mendorong. Tapi hebatnya, setengah jalan tahu-tahu
kedua tangan itu menyentak ke depan dan seperti bertambah panjang, mencengkeram
ke arah leher pemuda berambut gondrong bernama Tekukur.
Yang diserang balas membentak tak kalah galak. Sebelumnya dia telah melihat Suto
Abang berkelahi karenanya sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat kehebatan
kakek ini. Tanpa ragu-ragu si pemuda angkat kedua tangannya ke atas. Perutnya
mengempis. Tenaga dalamnya menjalar ke lengan. Lalu di menggebrak ke depan
menyongsong serangan lawan yang hendak mencengkeram lehernya.
Melihat lawan begitu nekad memapaki serangannya Suto Abang menjadi bimbang. Jika
lawan tidak memiliki kekuatan di atasnya tidak nanti pemuda itu berani berlaku
seperti itu. Menyadari hal ini dan tidak berani untuk melakukan bentrokan
sepasang lengan Suto Abang tarik pulang kedua tangannya. Bersamaan dengan itu
dia tekuk sepasang lutut. Begitu tubuhnya turun, kepalanya segera disentakkan.
Rambutnya yang panjang berkelebat seperti batang pedang, menyambar ke perut si
pemuda. Breet! Pakaian putih si pemuda robek besar di bagian perut. Pemuda itu melompat kaget
dan cepat usap perutnya yang terasa panas.
Suto Abang tertawa mengejek.
"Ilmu baru sejengkal berani jual lagak di hadapanku! Apakah kau sudah siap
menerima kematian"!"
"Kakek jelek! Malaikat maut gentayangan bukan mencariku, tapi mencarimu!'
"Budak keparat! Mampuslah!"
Suto Abang menghantam dengan kedua tangannya. Kali ini dia benar-benar lepaskan
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dan kesaktian. Dua larik angin
menderu deras, menebar hawa dingin.
"Ha . . ha . . .! Tua bangka jelek! Rupanya kau senang bermain-main dalam hawa
dingin! Coba kulihat apakah kau betul-betul tahan terhadap udara dingin! Seru
Tekukur. Lalu pemuda berambut gondrong itu angkat kedua tangannya tinggi-tinggi
ke atas. Telapak tangan terkembang ke depan dan diputar-putar perlahan-lahan.
Melihat sikap lawan yang sangat empuk untuk diserang itu, Suto Abang lipat
gandakan kekuatan serangannya. Namun mendadak kedua tangannya menggeletar. Dari
arah depan menghambur hawa sangat dingin, bergabung dengan hawa pukulan yang
dilepaskannya sehingga dia merasakan sepasang tangannya seperti diselimuti es
dan kaku! Kakek ini mulai merasakan tubuhnya ikut menggeletar dan kedinginan
setengah mati! Dia menjerit keras. Melompat dua tombak ke atas hingga keluar
dari lingkaran hawa dingin. Tapi kakek ini keliru kalau menyangka dirinya telah
selamat dari serangan atau ilmu pukulan "Angin Es" yang dilepaskan si pemuda.
Karena begitu kedua kakinya yang tadi melompat kembali menginjak tanah, hawa
dingin itu kembali datang menyambar, kali ini lebih dahsyat lagi! Agaknya di
sinilah kehebatan pukulan "Angin Es". Selama lawan masih menginjak bumi, hawa
dingin yang menjalar dari atas lewat udara dan dari bawah lewat tanah akan terus
mengejarnya. Jika lawan tidak memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan hawa dingin itu maka
kematian tak dapat dihindari. Dan inilah yang akan terjadi atas diri Suto Abang!
Tubuh kakek itu mulai keluarkan kepulan asap berwarna putih. Setiap dia
menghembuskan nafas, tampak seperti ada uap dingin membersit keluar. Rahangnya
menggembung bergemeletak.
Lututnya bergetar keras. Dadanya seperti ditusuk dan pernafasannya sesak.
Rambutnya yang merah seperti basah diguyur air. Mukanya mengerenyit. Dari
mulutnya kemudian terdengar suara jeritan. Di saat kematian hendak merenggut
nyawa Suto Abang, dari selatan alun-alun tiba-tiba melesat sinar merah. Hawa
dingin yang mengungkung tempat itu serta merta musnah. Kini udara berubah panas.
Si pemuda tersentak kaget dan turunkan kedua tangannya. Dari samping mendadak
seseorang datang menyerbu dengan bacokan golok besar. Memaki jengkel si pemuda
cepat berkelit selamatkan diri. Yang menyerang ternyata adalah Pangeran Jingga!
"Hemm . . . Kau pasti Pangeran Jingga! Keponakan yang tidak tahu diuntung!
Inginkan kekuasaan paman sendiri! Manusia sesat seperti kau layak dihukum!"
Si pemuda lalu menyergap. Pangeran Jingga sambut serangan lawan dengan pukulan
kosong di tangan kiri dan tusukan golok di tangan kanan. Tapi di jurus itu juga
terdengar jeritan sangan pangeran.
Satu tendangan melabrak tangan kanannya. Tiga jari tangannya remuk. Goloknya
mental! "Pangeran Jingga, mundurlah! Manusia itu bukan lawanmu!" Satu suara terdengar
dari samping kanan. Tubuh Pengran Jingga terdorong menjauhi pemuda lawannya.
Berpaling ke kiri pemuda bernama Tekukur dapatkan dirinya berhadap-hadapan
dengan seorang nenek berwajah aneh bermata juling!
BAB 10 Nenek ini mengenakan pakaian merah. Mukanya yang keriputan tertutup oleh bedak
dan gincu sangat tebal hingga wajah tua itu menyerupai sebuah topeng. Sepasang
matanya yang juling tidak bisa diam, bergerak-gerak kian kemari. Di tangan
kanannya dia memegang sebuah tongkat kayu. Salah satu ujungnya menekan ke tanah,
satunya lagi berbentuk cagak. Di pertengahan cagak melingkar seekor kelabang
berwarna merah.
"Anak muda berambut gondrong! Jelas kau adalah kaki tangan suruhan Raja yang
kehilangan singgasananya itu! Siapa namamu . . ."!"
"Kalau kuberi tahu namaku, lantas apa yang akan kau lakukan?" si pemuda balas
bertanya. Sungguh aneh sikap kedua orang ini. Dalam suasana tegang berbau darah dan maut
itu keduanya bercakap-cakap seperti dua kawan yang bercengkerama.
"Mungkin . . . siapa tahu aku mengenalmu sebelumnya atau mungkin ada sangkut
paut dengan para sahabat. Lantas mungkin aku akan mempertimbangkan pengampunan
bagimu . . . ."
"Ah . . . itu rupanya!" sahut si pemuda ."Tadinya aku menyagka kau akan
mengambilku sebagai kekasihmu . . ." Pemuda itu tersenyum lebar.
Si nenek nampak merah. Matanya yang juling membersitkan sinar aneh. Tapi
mulutnya tiba-tiba tersenyum. "Mengapa kau menyangka begitu anak muda?"
"Karena kulihat kau masih memiliki jiwa muda. Buktinya kau berdandan sangat
menyolok. Bedakmu tebal benar. Bibirmu diberi warna merah berselemotan . . . ."
Si nenek ketuk-ketukkan tongkatnya ke tanah lalu tertawa mengekeh. Si pemuda
terkejut ketika mersakan ketukan tongkat si nenek membuat tanah yang dipijaknya
bergetar keras!
"Mulutmu agak kurang ajar anak muda! Tapi aku suka kau bicara polos-polosan. Kau
belum menyebutkan namamu . . . ."
"Namaku Tekukur. Kau pasti tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi aku
tahu siapa kau. Kau pernah menyantap kiriman burung panggangku, suatu malam
beberapa waktu yang lalu.
Si Tangan Besi yang membawakannya untukmu . . . ."
"Ah! Jadi kau si tukang panggang burung itu! Berarti kau juga yang membelah
kepala Si Tangan Besi. Lalu menggantung sahabatku Malaikat Serba Biru!
Sayang . . . sayang . . .sayang . . ."
"Kau sayang padaku nek . . .?" tanya si pemuda.
"Bangsat rendah haram jadah! Siapa bilang aku sayang padamu!'
"Tadi kau bilang begitu . . ."
"Aku mengatakan sayang bahwa kau harus mati muda di tanganku!" bentak si nenek
yang dikenal dengan julukan Kelabang Merah.
"Ah . . . kalau begitu akupun jadi merasa sayang. Sayang . . . sayang . . ." Si
pemuda berkata sambil geleng-geleng kepala.
"Sayang apa maksudmu"!" Kini si nenek ganti bertanya.
"Tadinya sebetulnya. Hik . . . hik . . ."
"Sebetulnya apa"!" bentak si nenek.
"Sebetulnya aku hampir terlanjur jatuh cinta padamu. Soalnya wajah dengan
dandanan medok begini rupa sulit dicari duanya . . . Hik . . Hik . . hik!"
Wajah si nenek merah seperti saga. Jelas pemuda itu bukan menyukainya tapi
terang-terangan menghinanya.
"Pemuda edan! Sudah mau mampus masih berani bergurau!" Nenek Kelabang Merah
gerakkan tangan kanannya ke arah roda kereta. Tongkat bercagak berputar beberapa
kali. Terdengar suara berderak dan empat jari-jari kayu roda kereta patah
berantakan terputar ujung tongkat yang bercagak sedang kelabang merah yang
melingkar di situ tetap bergelung tak bergerak!
"Sesaat lagi lehermu akan patah seperti kayu-kayu itu!" Kelabang Merah
menyeringai lalu melangkah mendekati si pemuda. Dari jarak tiga langkah tiba-
tiba tongkatnya melesat ke depan, mengarah batang leher Tekukur. Mendapat
serangan ini si pemuda cepat mengelak dan membalas.
Maka terjadilah perkelahian hebat.
Tongkat bercagak si nenek berulang kali menusuk sambil berputar, berusaha
mematahkan lengan, leher, ataupun tulang kaki si pemuda. Meskipun semua serangan
ganas itu dapat dielakkan Tekukur namun tampak pemuda ini dibikin kewalahan
hingga akhirnya dia memutuskan balas menggebrak dengan lepaskan pukulan-pukulan
sakti untuk menghantam lawan. Tetapi luar biasanya, seperti mengetahui maksud
lawan, si nenek kirimkan serangan yang membuat si pemuda tidak berkesempatan
untuk menggerakkan tangan ataupun kakinya. Setiap dia hendak memukul, tongkat
bercagak tahu-tahu sudah menghampiri pergelangan tangannya siap untuk menusuk
dan mematahkan lengan. Setiap dia hendak menendang, tahu-tahu tongkat lawan
sudah sampai di depan tulang keringnya! Menyadari hal ini si pemuda terpaksa
mengatur jarak agar tidak terlalu dekat tetapi dengan cerdik si nenek datang
memburu mendekati hingga lagi-lagi dia tak mampu untuk memukul.
"Nenek gila!" maki si pemuda. Dia melompat setinggi dua tombak. Si nenek cepat
sekali ikut melesat ke atas. Tapi sekali ini dia kecele karena gerakan pemuda
tadi ternyata hanya tipuan belaka.
Begitu tubuh si nenek melesat ke atas, si pemuda jungkir balik di udara, melesat
ke kanan. Pada saat jaraknya terpisah cukup jauh maka secepat kilat dia lepaskan
pukulan sakti dengan tangan kanan.
Terdengar suara angin deras seperti topan menderu. Debu dan tanah di alun-alun
beterbangan. Tubuh si nenek tampak bergoyang-goyang. Melihat lawan tidak roboh oleh pukulan
saktinya yang bernama "Benteng Topan Melanda Samudera" si pemuda lipat gandakan
kekuatan tenaga dalamnya.
Tapi si nenek hanya tampak bergoyang-goyang malah tertawa tinggi.
"Kau boleh kuras seluruh tenaga dalammu anak muda! Lihat ini!"
Nenek Kelabang Merah keluarkan pekik keras. Lalu tusukkan tongkat kayunya ke
depan. Satu sinar merah panjang melesat. Sinar merah inilah yang memusnahkan
pukulan "Angin Es" yang tadi dilepaskan si pemuda.
Tekukur tersentak kaget ketika dapatkan angin pukulan sakti yang diperkirakannya
akan dapat merobohkan lawan tahu-tahu kena ditembus sinar merah yang keluar dari
tongkat bercagak. Sinar itu kini malah menyambar ke arah tubuhnya!
Si pemuda kertakkan rahang. Matanya tak berkesip. Tangan kanan diangkat dan
mulut terkatup rapat. Begitu tangannya berubah menjadi putih perak, pemuda ini
segera menghantam ke depan.
Sinar putih menyilaukan berkiblat menghantam larikan sinar merah. Terdengar
suara seperti petir menggelegar. Sinar merah dan putih buyar. Si pemuda
terpental tujuh langkah sedang si nenek tegak dengan tubuh tergontai-gontai dan
lutut menekuk. Dari mulutnya terdengar suara tawa mengekeh.
"Pukulan Sinar Matahari!" ujar si nenek. Ternyata dia mengenali pukulan yang
barusan dilepaskan oleh pemuda bernama Tekukur itu. "Jadi kau adalah murid
tunggal nenek edan dari puncak Gunung Gede itu! Gurumu memang punya sengketa
lama denganku. Tidak dapat membunuh tua bangka keparat itu, membunuh muridnya
pun cukup membuatku puas!"
Habis berkata begitu nenek Kelabang Mearah melompat ke depan sementara Tekukur
masih tergeletak di tanah, belum sempat bangkit akibat kena hantaman bentrokan
dua pukulan sakti. Melihat serangan lawan datang dengan ganas yaitu tusukan
tongkat bercagak ke arah lehernya, Tekukur jatuhkan dirinya sama rata dengan
tanah, berguling ke kanan sambil lepaskan pukulan "Tameng Sakti Menerpa Hujan".
Pukulan ini selain untuk melindungi diri, sekaligus berupa serangan balasan.
Tetapi alangkah kagetnya si pemuda ketika dengan hanya memutarkan ujung tongkat
bercagak dan mendorong dengan tangan kirinya, si nenek membuat buyar pukulan si
pemuda! Terdengar bentakan Kelabang Merah. Tongkatnya ditusukkan ke jurusan lawan. Untuk
ke sekian kalinya sinar merah menderu panjang. Tapi kali ini kelabang merah yang
sejak tadi bergelung di pertengahan cagak ikut melesat. Sebelumnya pemuda itu
telah menyaksikan kedahsyatan binatang beracun itu yang sanggup menerobos cabang
pohon dan menghanguskannya. Tanpa pikr panjang dia gerakkan tangan ke pinggang
untuk menghunus senjata saktinya. Tapi gerakannya tertahan karena si nenek
berusaha menjerat lengannya dengan tongkat bercagak!
"Nayawamu! Aku minta nyawa busukmu anak muda!" teriak si nenek gembira karena
sudah dapat memastikan kelabang merahnya akan menghantam tembus batok kepala dan
sekaligus tongkatnya akan mematah remuk lengan si pemuda!"
BAB 11 Tak ada kesempatan untuk mengirimkan pukulan balasan. Taka ada kemungkinan untuk
mengelak menyelamatkan diri dari dua serangan ganas itu. Si pemuda seperti putus
asa hanya menatap pada kelabang merah yang melesat ke arah kepalanya.


Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akhirnya mampus juga diri buruk ini!" katanya membatin.
Di saat maut menjelang begitu rupa, dari arah timur alun-alun terdengar pekik
keras seperti membelah langit. Lima orang perajurit dan empat orang lainnya
terpental dan jatuh bergelimpangan di tanah. Bersamaan dengan itu ada cahaya
putih menyambar ke arah nenek Kelabang Merah. Di lain kejap pemuda bernama
Tekukur merasakan tubuhnya dibetot keras hingga mencelat ke udara dan berputar-
putar seperti kitiran. Ada seseorang yang memegang lengannya. Perlahan-lahan
tubuhnya turun ke tanah kembali. Wajahnya pucat. Tidak menyangka bakal selamat
dari kematian, pemuda ini berusaha berdiri walaupun sempoyongan dan menoleh ke
kiri. Saat itulah dia mendengar suara bentakan.
"Dasar sableng! Menghadapi si tukang dandan itu saja kowe tidak mampu! Jika aku
tidak lekas muncul sudah bolong batok kepalamu ditembus kelabang jahanam itu!"
"Eyang!" si pemuda berseru gembira ketika melihat siapa yang bediri di
hadapannya. Seorang nenek kurus tinggi berkulit hitam dan lima buah tusuk kundai
perak menancap di batok kepalanya.
"Eyang . . . Eyang! Menyingkir kau ke sana. Kau memalukan aku saja Wiro!"
Pemuda bernama Tekukur garuk-garuk kepalanya.
"Setan tua itu hebat sekali Eyang! Tak pernah aku menghadapi musuh seperti dia!"
menjawab Tekukur alias Wiro Sableng.
Ketika sinar putih menderu dari timur dan kelabang merahnya hanya menghantam
angin sedang tongkatnya juga tak mampu mematahkan lengan lawan, kaget Kelabang
Merah bukan alang kepalang.
Jelas sinar pukulan tadi adalah sama dengan pukulan yang dilepaskan oleh si
pemuda sebelumnya yaitu pukulan "Sinar Matahari", tetapi yang menyambar kali ini
tidak menyebar lebar melainkan hanya berupa selarik sinar sebesar jari
kelingking yang menyambar seperti petir dan luar biasa panasnya hingga dia
terpaksa menyingkir selamatkan diri!
Kelabang merah yang hanya mengahntam tempat kosong berputar di udara lalu
melesat kembali ke ujung tongkat bercagak. Sepasang mata juling nenek Kelabang
Merah tampak berkilat-kilat.
"Tujuh tahun dicari-cari! Akhirnya kau muncul sendiri Sinto Gendeng!" Nenek
Kelabang Merah menegur dengan pandangan wajah membesi.
Nenek kurus hitam di hadapannya menyeringai buruk.
"Dulu kowe jadi momok nomor satu! Kini muncul mencari harta dan jabatan dengan
merangkul kaum pemberontak! Padahal sudah bau tanah, masih saja berbuat keonaran
di muka bumi!"
"Tua bangka bau pesing! Mengurus badan saja kau tidak mampu, hendak mengurus
diriku pula!" maki nenek Kelabang Merah.
"Hik . . . hik . . . hik!" Sinto Gendeng ganti tertawa mendengar makian yang
pedas dan mengejek serta menghinakan itu. "Penciumanmu ternyata masih cukup
tajam Kelabang Merah hingga mampu mencium kainku yang bau pesing. Hanya sayang
otakmu tidak setajam penciumanmu. Otakmu tumpul dan kelakuanmu bejat!
Kesalahanmu kali ini sangat besar tua bangka gila dandan! Kau bersekutu dengan
kaum pemberontak untuk menggulingkan Raja!"
"Kalau kau sudah mengetahui hal itu apakah kau punya kemampuan menghukumku"
Hik . . . hik . . . hik?"
"Hik . . . hik . . . hik! Sinto Gendeng balas tertawa. "Aku datang bukan untuk
menghukummu saja Kelabang Merah. Tapi juga untuk menyuruhmu mencucikan kainku
yang bau pesing ini!"
"Tua bangka gila! Kau akan mampus dalam kegilaanmu!" teriak Kelabang Merah.
Tongkat bercagak di tangan kanannya ditusukkan ke arah leher Sinto Gendeng. Maka
dua nenek sakti itupun sudah memulai pertempuran. Pendekar 212 Wiro Sableng,
murid Sinto Gendeng menyadari bahwa jika dua tokoh silat tingkat tinggi dengan
kesaktian dan tingkat tenaga dalam yang sudah sampai ke puncaknya seperti mereka
itu saling berhadapan, tidak dapat tidak salah satu di antara keduanya akan
menemui kematian! Nenek Kelabang Merah itu luar biasa sekali. Sanggupkah gurunya
menghadapinya"
Melihat lawan sudah mulai menyerang, Sinto Gendeng tak tinggal diam. Mulutnya
seperti meniup ke depan dan bersamaan dengan itu tangannya sebelah kanan
mendorong. Sinar putih panjang mencuat dan saling bertemu dengan sinar merah
yang dilepaskan Kelabang Merah. Laksana dua ekor ular dua sinar itu bergelung
satu sama lain sementara dua nenek tampak tegak tak bergerak. Jelas keduanya
masih terus mengerahkan tenaga dalam masing-masing.
Buntalan sinar merah dan putih tiba-tiba meledak dan bertebar buyar di udara.
Sinto Gendeng tampak tergontai-gontai. Sebaliknya Kelabang Merah tegak
terbungkuk sambil pegangi dada dengan tangan kiri.
"Tua bangka tukang dandan, kau masih ingin meneruskan perkelahian ini . . .?"
Sinto Gendeng menegur.
Nenek Kelabang Merah kertakkan geraham. Dia maklum kalau tingkat tenaga dalam
dan kesaktian lawan berada hampir dua tingkat di atasnya. Dari hal itu saja dia
sudah menyadari tidak akan menang melawan Sinto Gendeng. Tetapi untuk menyerah
kalah tentu saja dia tidak mau. Maka dia pun berkata.
"Aku menantangmu berkelahi seratus jurus. Dengan senjata atau tangan kosong!
Tapi sama sekali tidak mempergunakan tenaga dalam. Hanya mengandalkan ilmu silat
luar dan tenaga kasar! Apa kau punya nyali Sinto Gendeng?"
Sinto Gendeng tertawa perlahan. "Kau memang cerdik Kelabang Merah! Jangankan
seratus jurus, seribu juruspun akan kulayani!"
"Bagus! Terima jurus pertama!" seru Kelabang Merah. Lalu dia melompat sambil
menggeprak dengan tongkat bercagaknya.
Sinto Gendeng yang tahu betul siapa adanya lawannya itu tak mau berlaku ayal.
Dengan tangan kanan dia cabut salah satu dari lima tusuk kundai yang menancap di
kulit kepalanya. Lalu dengan benda ini sebagai senjata dia melayani tongkat
lawan. Sesuai perjanjian tidak satu orangpun di antara dua nenek sakti itu yang
mengerahkan tenaga dalam. Perkelahian benar-benar hanya mengandalkan kelihayan
silat luar. Dua nenek berkelebat gesit kian kemari. Dua senjata saling bentrokan dengan
mengeluarkan suara aneh. Kelabang merah yang bergelung di tongkat bercagak tidak
bergerak seperti menempel menjadi satu dengan kayu tongkat.
Lima jurus berlalu sangat cepat. Lalu lima jurus lagi. Kelabang Merah kertakkan
rahang dan mempercepat serangannya. Dengan senjata berupa tongkat yang lebih
panjang dan lebih leluasa digerakkan kian kemari ternyata dia tidak sanggup
menerobos pertahanan Sinto Gendeng yang hanya mengandalkan sebuah tusuk kundai
dari perak dengan panjang tidak lebih dari satu jengkal.
"Belum sampai dua puluh jurus seranganmu sudah mengendur!" mengejek Sinto
Gendeng. "Apakah sudah habis semua ilmu simpananmu" Hik . . . hik . . ."
"Jangan takabur tua bangka edan! Sebentar lagi kepalamu akan kugebuk pecah
dengan tongkatku ini!"
"Hik . . hik . . hik. Aku tidak takabur. Soalnya kalau kau sampai kalah berarti
kau benar-benar harus mencuci kainku yang bau pesing ini!"
"Iblis tua! Lihat tongkat!" teriak Kelabang Merah. Tongkat bercagak di tangan
kanannya menderu berputar-putar. Sinto Gendeng seperti melihat sebuah terowongan
aneh yang hendak melahap tubuhnya. Maka nenek ini cepat pentang tusuk kundai
peraknya, menusuk beberapa kali, sengaja mengarah pada bagian tepi terowongan
karena disitulah sebenarnya ujung tongkat lawan berada.
Tring . . . tring . . . tring . . .!
Tusuk kundai dan tongkat kayu saling beradu beberapa kali. Nenek Kelabang Merah
merasakan tangannya bergetar dan seperti kesemutan. Sebaliknya Sinto Gendeng
merasa seolah-olah tusuk kundai dan lengan kanannya hendak dilahap oleh putaran
senjata lawan. Jika hal ini dibiarkan dia pasti akan menemui kesulitan. Dengan
berlaku cerdik Sinto Gendeng pergunakan tangan kiri untuk mengacaukan gerakan
tongkat lawan. Dan ternyata dia berhasil. Nenek Kelabang Merah mulai
kebingungan. Setiap kali dia memutar tongkat, gerakannya tertahan oleh
serempetan tusuk kundai. Bila dia mengelakkan terjadinya benturan, tangan kiri
lawan datang menggeprak batang tongkat dari samping. Terlebih ketika Sinto
Gendeng mulai merubah gerakan silatnya. Tubuhnya sebentar-sebentar mencelat ke
udara seperti bola karet yang membal. Serangan tusuk kundainya kini bukan saja
diarahkan ke ujung tongkat, tetapi berulang kali secara tidak terduga menyambar
ke arah muka atau kepala Kelabang Merah dan satu kali sempat menyerempet bahunya
hingga pakaian merahnya robek besar. Sebagian dadanya tersingkap lebar. Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. "Wajahmu tertutup dandanan mencorong seperti gadis
muda. Tapi melihat dadamu ternyata rata dan peot keriput! Hik . . . hik . . hik!"
Panas dan marahnya nenek Kelabang Merah bukan main. Dia berteriak keras. "Lihat
tongkat!" teriaknya. Bersamaan dengan itu tongkat bercagak ditusukkannya ke depan. Tetapi
ada sinar merah yang menyambar tanda tusukan itu disertai dengan kekuatan tenaga
dalam. Dan bukan itu saja.
Bersamaan dengan melesatnya sinar merah, kelabang merah yang sejak tadi
bergelung di pertengahan cagak tiba-tiba melesat ke arah batok kepala Sinto
Gendeng! "Curang!" teriak Sinto Gendeng marah.
Tusuk kundai di tangan kanannya dilemparkan ke arah lawan. Serentak dengan itu
dia jatuhkan diri ke tanah. Kelabang merah berdesing satu jari di pelipis
kanannya. Terdengar ada yang memekik.
Kelabang merah yang tadi menghantam tempat kosong membalik dan kembali menyerang
Sinto Gendeng. Nenek ini lepaskan pukulan "Sinar Matahari"! Tapi sungguh luar
biasa! Pukulan sakti yang panas itu tidak membawa akibat apa-apa pada kelabang
merah. Binatang ini menerobos di antara kilauan sinar putih perak, terus melesat
ke arah kepala Sinto Gendeng! Si nenek melompat jauh-jauh ke belakang. Kelabang
terus memburu. Sinto Gendeng katupkan mulutnya rapat-rapat. Sepasang matanya
memandang nyalang tak berkesip pada kelabang merah yang menderu ke arahnya.
Tiba-tiba ada sinar biru mencuat keluar dari kedua mata nenek sakti itu. Begitu
dua larik sinar biru membentur kelabang merah terdengar pekik nenek Kelabang
Merah. "Anakku . . . . Anakku . . . !"
Kelabang merah tampak mengambang di udara seperti mengumpulkan kekuatan untuk
menahan serangan dua sinar biru. Namun binatang ini tak sanggup bertahan lama.
Satu persatu bagian tubuhnya rontok bertanggalan. Bersamaan dengan itu sinar
merah panas yang menyertainya menjadi redup.
"Anakku . . . . Anakku . . . !" masih terdengar suara nenek Kelabang Merah tapi
suaranya mulai tersendat antara terdengar dan tiada.
Keseluruhan tubuh kelabang merah hancur berantakan.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Kematian nenek Kelabang Merah mendatangkan
kegemparan di kalangan ratusan perajurit pemberontak. Apalagi mereka tadi
melihat Kepala Balatentara Aryo Braja sudah lebih dulu jatuh dalam keadaaan tak
berdaya. Rakyat mulai berteriak-teriak dan bergerak ke arah ratusan perajurit
itu. Satu persatu perajurit pemberontak membuang senjata mereka lalu menusukkan
diri di tanah tanda menyerah. Pekik rakyat semakin gegap gempita. Sebagian dari
mereka menyerbu ke tengah alun-alun, mengurung Pangeran Jingga yang berusaha
hendak melarikan diri. Gebukan, tendangan bahkan tusukan-tusukan senjata tak
dapat dihindarkan lagi. Pangeran pemberontak itu menemui ajalnya dalam keadaan
mengerikan. Sinto Gendeng cabut tusuk kundai yang menancap di dada kiri nenek Kelabang Merah
lalu memberi isyarat pada muridnya.
"Eyang . . . Kemarahan rakyat itu harus dicegah. Kita . . ."
"Anak sableng! Tolol!" hardik Sinto Gendeng. "Jangan campuri urusan rakyat!
Kerajaan ini adalah Kerajaan rakyat. Kekuasaan dan hukum tertinggi berada ada di
tangan rakyat. Mari ikut aku tinggalkan tempat ini!"
Guru dan murid lalu berkelebat pergi.
Rakyat banyak kini berteriak-teriak menghampiri Aryo Braja.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Di sebuah sungai kecil ketika sang guru memperlambat
larinya, Wiro Sableng berkata: "Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak
ada guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada muridnya!"
Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah dan
membentak: "Apa maksudmu anak sableng?"
"Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar
dari mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti . . .!"
"Hemm . . begitu?" si nenek bergumam. "Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku
mau tanya. Berapa usiamu sekarang anak sableng . . .?"
"Dua . . . dua puluh satu Eyang!"
"Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk
dapat menguasai ilmu itu!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Mengapa begitu Eyang?"
"Selama sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu
masih suka melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau
masih suka melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu
pula kau tak bakal dapat menguasai ilmu itu!"
Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil
garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru
ternyata sudah lenyap dari hadapannya.
"Ah . . . nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik,
melihat dada kencang dan paha putih. Ha . . . ha . . . ha . . .Biarlah aku tidak
menguasai ilmu itu! Ha . .ha . . .!"
TAMAT Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 15 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Maling Romantis 4
^