Kembalinya Pendekar Rajawali 15
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 15
Sampai akhirnya Nyo Ko mulai bisa ke-tawa2 lagi, sejak perpisahannya dengan Siao-liong-li, agaknya untuk pertama kali inilah ia merasakan perlakuan yang hangat.
Di lain pihak, sesudah bicara panjang ini, Ui Yong merasakan perutnya rada sakit, maka pe-lahan2 ia berdiri.
"Marilah kita pulang" ajaknya kemudian.
Lalu ia gandeng tangan Nyo Ko dan berjalan pelahan.
"Kwe-pekbo, ada sesuatu urusan penting ingin kuberitahukan padamu," kata Nyo Ko sambil berjalan ia pikir berita tentang kematian Ang Chit-kong pantasnya diberitahukan lebih dahulu kepada bibinya ini.
Akan tetapi Ui Yong merasakan perutnya makin lama makin meliiit, maka napasnya menjadi rada terganggu.
"Katakan saja besok, aku.
. . aku rada kurang enak badan.
" katanya sambil mengkerut kening.
Melihat wajah orang putih lesi, Nyo Ko menjadi kuatir, ia merasa tangan orang rada dingin, maka diam2 ia kumpulkan tenaga dalam, ia salurkan semacam hawa hangat ke tangan orang yang menggandengnya itu.
Dahulu waktu melatih Giok-li-sim-keng bersama Siao-liong-li di Cong-lam-san, kepandaian cara menyalurkan ilmu melalui telapak tangan sudah dilatihnya dengan apal sekali, Tetapi kuatir kalau Lwekang yang Ui Yong pelajar bertentangan dengan apa yang diapalkannya, mula2 ia hanya gunakan sedikit tenaga saja, sesudah merasa tiada halangan barulah ia tambah tenaga dalamnya.
Ketika mendadak merasa tenaga tangan Nyo Ko menyalurkan hawa hangat yang terus-menerus, sungguh heran sekali Ui Yong, tetapi akibat hawa hangat itu, segera pula rasa sakit dan napasnya menjadi teratur kembali.
Dalam herannya ia hanya tersenyum pada Nyo Ko sebagai tanda terima kasihnya.
Dan selagi ia hendak tanya orang darimana mendapatkan ilmu itu, tiba2 dilihatnya Kwe Hu sedang berlari mendatang.
"Mak, mak, coba terka siapa yang telah datang?" demikian gadis itu ber-teriak2 sembari berlari.
"Hari ini tidak sedikit kesatria dari seluruh jagat yang hadir, dari mana aku tahu siapa dia yang datang," sahut Ui Yong tertawa, Tetapi tiba2 tergerak pikirannya, ia sambung lagi : "Ah, tentu para Susiok dan Supek kedua saudara Bu, Hayo, lekas, sudah lama kita tak bertemu dengan mereka.
" "Baik. kau sungguh hebat, sekali tebak lantas kena.
" kata Kwe Hu. "Apanya yang sukar?" sahut Ui Yong tertawa, "Kedua saudara Bu itu selamanya tak pernah meninggalkan kau, kini tiba2 tiada di sampingmu, tentunya ada sanak saudaranya yang datang," Selamanya Nyo Ko anggap dirinya sendiri cerdik dan pintar, kini melihat Ui Yong bisa berpikir seperti dewa dan masih jauh di atas dirinya, sungguh ia menjadi amat kagumnya.
"Hu-ji, selamat padamu, kau bakal tambah semacam ilmu kepandaian yang hebat lagi," tiba2 Ui Yong berkata pula.
"Ilmu kepandaian apa?" tanya Kwe Hu.
"lt-yang Ci !" mendadak Nyo Ko menyela.
"Kau mengerti apa?" omel Kwe Hu, kata2 Nyo Ko tak digubrisnya: "Mak, kau bilang ilmu apa?" "Bukankah Nyo-koko sudah bilang tadi," sahut Ui Yong tertawa.
"Ha, kiranya ibu sudah bilang padamu," ujar Kwe Hu pada Nyo Ko.
Tetapi Nyo Ko dan Ui Yong hanya tersenyum.
Dalam hati Ui Yong memikir: "Ko-ji ini sungguh berpuluh kali lebih pintar dan cerdik dari pada Bu-si Hengte, Hu-ji juga goblok, lebih2 tak masuk hitungan.
" Akan tetapi Kwe Hu masih tetap heran sebab apa ibunya memberitahukan Nyo Ko tentang hal itu.
Kiranya It-teng Taysu yang berjuluk Lam-te atau raja dari selatan, yang namanya sejajar dengan Ui Yok-su, Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, seluruhnya ia mempunyai empat murid yang disebut "Hi-Jiau-Keng-Thok" atau nelayan, tukang kayu, petani dan sastrawan Ayah Bu-si Hengte, Bu Sam-thong adalah si petani dari urut2an nomor tiga itu.
Sejak ia terluka waktu menempur Li Bok-chiu, sampai kini tak pernah kelihatan bayangannya hingga mati-hidup-nya tak diketahui.
Sekali ini yang datang menghadiri Eng-hiong-yan adalah Hi-jin dan Su-seng atau si nelayan dan si sastrawan berdua.
Setiap kali si sastrawan itu bertemu Ui Yong segera ingin adu mulut dan ukur kepandaian, kini berjumpa pula setelah berpisah hampir dua puluh tahun, sudah tentu mereka ingin unjuk kepandaian masing2 lagi dan berdebat.
Sedang si nelayan itu betul saja lantas mencari satu kamar dan menurunkan ilmu lt-yang-ci kepada Bu-si Hengte.
Sehabis makan siang, lalu kawanan pengemis anggota Kay-pang be-ramai2 berkumpul -di depan Liok-keh-ceng.
Sekali ini dilakukan timbang-terima jabatan Pangcu baru dan lama, hal ini merupakan upacara yang paling tinggi dalam kalangan Kay-pang, maka kecuali semua anak murid dari seluruh penjuru diundang hadir, ada pula jago2 dari aliran lain dan perkumpulan lain yang diundang sebagai "peninjau" Selama belasan tahun ini, Loh Yu-ka selalu mewakili Ui Yong mengatur segala urusan Kay-pang dan berlaku sangat adil, berani bertindak berani bertanggung jawab, dua golongan dalam Kay-pang, yakni yang disebut Ut-ih-pay dan Ceng-ih-pay," golongan baju kotor dan golongan baju bersih, semuanya tunduk dan percaya penuh padanya, maka upacara penyerahan jabatan yang dilakukan hari ini sebenarnya hanya upacara resmi saja.
Kemudian menurut peraturan, Ui Yong lantas umumkan penyerahan jabatan itu, lalu ia serahkan Pa-kau-pang atau pentung pemukul anjing, yakni bambu hijau yang menjadi pusaka Pangcu turun temurun itu kepada Loh Yu-ka, disusul segera para anak murid meludahi Yoh Yu-ka masing2 sekali, hingga pengemis tua ini seluruh muka dan kepala penuh air lendir, dengan begitu selesailah upacara timbang-terima jabatan Pangcu lama kepada yang baru.
Melihat cara penggantian Pangcu yang aneh ini, diam2 Nyo Ko ter-heran2.
Dan selagi ia hendak tampil ke muka untuk mengumumkan berita tentang wafat nya Ang Chit-kong, tiba2 dilihatnya seorang pengemis tua telah melompat ke atas sebuah batu besar, tangan kirinya menyunggih tinggi2 sebuah Holo besar yang berwarna coklat.
Nampak benda ini, seketika hati Nyo Ko tergetar dapat dikenalnya Holo ini bukan lain adalah benda pengisi araknya Ang Chit-kong, waktu bertemu di atas Hoa-san, dengan jelas ia lihat barang ini selalu menggemblok di punggung pengemis tua itu, belakangan waktu ia pendam mayat pengemis tua itu, iapun tanam Hiolo itu disamping tubuhnya, tetapi mengapa mendadak bisa muncul lagi di sini" Apa mungkin ada sebuah Hiolo lain yang secorak dan serupa" Sementara itu didengarnya sorak-sorai gegap gempita para pengemis demi nampak Hiolo simboI Pangcu tua mereka itu.
Selagi Nyo Ko ragu2. terdengar si pengemis tua itu sudah membuka suara lagi dengan keras: "Ada perintah dari Ang-lopangcu, aku disuruh menyampaikan nya kepada para hadirin!" Mendengar itu, sorak-surai para pengemis itu menjadi lebih hebat lagi.
Memangnya mereka sudah belasan tahun tak pernah menerima kabar berita pangcu tua mereka itu, kini mendadak dengar ada perintahnya, sudah tentu semuanya terbangun semangatnya.
"Pujikan Ang-lopangcu selamat dan panjang umur!" segera terdengar seruan salah seorang pengemis diantara orang banyak itu.
Seketika suara sorak gemuruh berkumandang lagi hingga mengguncangkan bumi.
Maklumlah Ang Chit-kong adalah seorang kesatria, seorang gagah perkasa di jaman itu, dari aliran apa dan lapisan apapun tiada seorangpun yang tak kagum padanya, lebih2 anggota Kay-pang, cinta mereka padanya boleh dikatakan melebihi orang tua sekandung sendiri.
Setelah sorak-sorai seminuman teh, suara gemuruh itu pe-lahan2 baru mereda kembali.
Melihat setiap anggota Kay-pang itu sangat bersemangat dan terharu, bahkan ada yang mengalirkan air mata, diam2 Nyo Ko pikir sendiri: "Seorang laki2 kalau bisa begini barulah tidak percuma hidup di dunia ini.
Semua orang sedang riang gembira, mana aku tega memberitahukan mereka tentang wafatnya Ang-lo-cianpwe?" Sementara itu ia dengar si pengemis tua tadi telah berkata lagi : "Tiga hari yang lalu, di Liong-ki-ce aku telah bertemu dengan Ang-lopangcu.
. . " Luar biasa kejut Nyo Ko oleh kata2 orang, "Ang-lopangcu sudah lama meninggal cara bagaimana ia bisa bertemu dengan beliau tiga hari yang lalu?" demikian Nyo Ko tidak habis mengerti Dalam pada itu pengemis tua itu telah meneruskan: "Waktu beliau tahu Ui-pangcu hendak menyerahkan jabatannya kepada Loh-pangcu, ia bilang keputusan ini sangat baik dan sangat cocok dengan maksudnya.
. . " Sampai di sini mendadak Loh Yu-ka berlutut ke hadapan pengemis itu sambil berkata dengan suara gemetar: "Tecu pasti akan lakukan sepenuh tenaga untuk membalas budi kebaikan Lopangcu, asal pekerjaan itu berpaedah bagi perkumpulan kita, sekalipun mati tak gentar.
" Pengemis tua itu sudah tentu tingkatannya lebih rendah daripada Loh Yu-ka, Pangcu yang baru ini, tetapi ia membawa Hiolo milik Ang Chit-kong, maka Loh Yu-ka berlutut terhadap Hiolo yang menjadi simbolnya Chit-kong dan bukan berlutut kepada pengemis itu.
"Ang-lopangcu bilang," demikian pengemis tua itu melanjutkan lagi, "dalam keadaan negara kacau balau ini, bangsa Mongol lambat laun mulai menjajah ke selatan hendak caplok negeri Song-raya kita, maka diharap semua anggota perkumpulan kita hendaklah berhati setia dan bernyali berani, harus bersumpah akan membunuh musuh dan melawan penjajah dari luar.
" Serentak anggota2 Kay-pang itu berteriak lagi menyatakan akur, semangat mereka sangat tinggi dan sikap mereka berani.
"Pemerintah dalam keadaan kacau, pembesar dorna berkuasa, kalau kita cuma percaya para pembesar busuk itu akan melindungi rakyat, itu sekali-kali tak bisa terlaksana," demikian pengemis tua itu bicara lagi, "Kini negara dalam bahaya, setiap orang hendaklah berjiwa patriot, sedia korban untuk nusa dan bangsa, Sayang Lopangcu lagi ada sesuatu keperluan ke daerah Utara dan tak bisa datang ke pertemuan ini, maka aku disuruh menganjurkan kalian hendaklah ingat baik2 dua huruf, yakni Tiong Gi".
Seketika para pengemis bergemuruh menyambut anjuran itu, be-ramai2 mereka berteriak: "Kami bersumpah menerima petunjuk Ang-lopangcu itu !" Sejak kecil Nyo Ko tak mendapatkan pendidikan, maka ia tak tahu apa arti "Tiong Gi" atau setia dan berbakti itu betapa besar hubungannya dengan negara, tetapi bila dilihatnya anggota2 Kay-pang itu bersikap gagah berani, tanpa terasa iapun merasakan sesuatu, ia menjadi menyesal tempo hari telah permainkan beberapa anak murid Kay-pang.
Mengenai kematian Ang Chit-kong dengan mata kepala sendiri ia saksikan betul2 terjadi malahan dia sendiri yang mengubur jenazah orang, kenapa pengemis tua ini bisa bilang tiga hari yang lalu pernah bertemu dengan dia" jika perintah itu palsu, tetapi perintah ini justru mengenai tugas yang mulia" Begitulah Nyo Ko menjadi curiga dan tak mengerti ia pikir hal ini terpaksa dibicarakan pada Ui Yong nanti.
Sehabis itu, lantas diteruskan dengan urusan2 Kay-pang tentang kenaikan pangkat dan lain2 bagi para anggota, dan karena tiada sangkut pautnya dengan orang luar, para tetamu lantas pada undurkan diri.
Malamnya, luar maupun dalam Liok-keh-ceng telah dihias dengan lampu2 lampion yang indah seperti orang punya hajat saja, meja2 perjamuan memenuhi seluruh ruangan gedung dari depan sampai belakang, seluruhnya lebih 200 meja, semua kesatria dan orang gagah dari seluruh jagat tampaknya ada separah yang hadir.
Hendaklah diketahui bahwa Eng-hiong-yan atau perjamuan kaum kesatria ini dalam beberapa puluh tahun sukar diketemukan barang sekali saja, kalau bukan tuan rumahnya luas bergaul, tidak nanti bisa mengundang tetamu yang begini banyak.
Sampai saatnya, Kwe Cing dan Ui Yong keluar mengawani tetamu utama mereka yang berada di ruangan tengah.
Tempat Nyo Ko sudah diatur oleh Ui Yong dan duduk di samping mejanya, sebaliknya Kwe Hu dan Bu-si Hengte malah sangat jauh tempat duduknya.
Semula Kwe Hu rada heran, ia pikir orang toh tak bisa ilmu silat, untuk apa dia hadiri Eng-hiong-yan ini" Tetapi bila terpikir lagi olehnya, seketika hatinya terkesiap.
"Haya, celaka, bukanlah ayah bilang mau menjodohkan aku padanya, jangan2 ibu sudah setuju lengan maksud ayah?" demikian ia membatin.
Sebab itu, makin dipikir Kwe Hu semakin takut, apalagi teringat olehnya betapa hangatnya hubungan mereka ketika ibunya menggandeng tangan Nyo Ko.
selamanya ayah-bundanya saling hormat menghormati dan harga-menghargai, kalau ayahnya berkeras dengan maksudnya, pasti ibunya tak bisa memgelak.
Karena itu, berulang kali ia melirik si Nyo Ko dengan sorot mata yang penuh marah.
KebetuIan waktu itu Bu Siu-Bun bertanya padanya: "Hu-moay, lihat itu bocah she Nyo juga duduk di situ, ia terhitung Enghiong darimana sih?" "Entah," sahut Kwe Hu mendongkol "Jika kau mampu, boleh kau mengusirnya !" Tadinya Bu-si Hetigte hanya pandang rendah pada Nyo Ko, tetapi sesudah mendengar Kwe Cing bilang hendak jodohkan puterinya padanya, tanpa terasa dalam hati mereka timbul rasa permusuhan hal ini memang bisa terjadi antara saingan rebut pacar, maka tak bisa mengalahkan mereka.
Kini mendengar kata2 Kwe Hu tadi, segera Siu-bun berpikir: "Kenapa aku tidak bikin malu dia di hadapan orang banyak ini" Subo adalah seorang yang suka unggul, kalau bocah she Nyo terjungkal di bawah tanganku, pasti ia tak akan mau terima dia sebagai menantunya.
" Setelah ambil keputusan itu, dengan It-yang-ti yang baru saja ia pelajari dari paman gurunya itu kebetulan bisa digunakan Nyo Ko sebagai kelinci percobaan.
Maka segera berkatalah Siu-bun: "la mengaku Enghiong, mengusirnya rasanya susah, adalah lebih baik naikkan dia sekalian supaya dia bisa dikenal orang banyak.
" Habis berkata, ia menuang dua cawan arak dan segera didekatinya Nyo Ko.
"Nyo-toako, marilah kusuguh kau secawan," demikian ia berkata.
Kecerdasan Nyo Ko jauh sekali di atasnya Bu-si Hengte, waktu dilihatnya orang mendekati dirinya dengan mata memandang Kwe Hu, sedang air mukanya mengunjuk rasa senang yang aneh, ia menduga orang pasti akan pakai akal licik ia pikir "Tentu dia tidak bermaksud baik dengan menyuguh arak padaku ini, Tetapi taruh racun di dalam arak rasanya iapun tidak berani.
" Maka suguhan orang tak ditolaknya, ia berdiri dan terima pemberian itu terus diminum.
Siapa duga, pada saat itu juga mendadak Siu-bun ulur jarinya dan menutuk ke pinggangnya, Siu-bun sengaja tutupi pandangan orang lain dengan tubuhnya, ia pikir asal sekali tutuk kena "Jiau-yao-hiat" tentu Nyo Ko akan ber-teriak2 dan ter-tawa2 tak keruan di hadapan orang banyak.
Namun waktu ia mendekati lebih dulu Nyo Ko sudah memperhatikan gerak-geriknya, jangankan Nyo Ko sudah ber-jaga2, sekalipun mendadak musuh membokong, dalam tingkat kepandaian Nyo Ko sekarang juga sukar hendak merobohkannya, jika turuti watak Nyo Ko yang tak mau kalah sedikitpun dengan orang lain, pasti kontan dia batas hantam orang, kalau tidak bikin Siu-bun tersungkur, tentu pula "Jiau-yao-hiat" ia tutuk balik.
Cuma sesudah percakapannya dengan Ui Yong itu, hatinya sedang gembira, maka ia menddak tak enak merobohkan orang di hadapan orang banyak, ia pikir jeIek2" Bu-si Hengte adalah anak murid paman dan bibinya.
Sebab itu, diam2 ia hanya jalankan darahnya secara terbalik menurut ilmu ajaran Auwyang Hong.
Betul saja, ketika jari Siu-bun ditutukkan, meski Hiat-to yang diarah sangat jitu, tetapi Nyo to anggap seperti tak terjadi apa2 saja.
Sekali kena, bukannya Nyo Ko roboh atau tertawa seperti yang diharapkan, bahkan pemuda ini hanya tersenyum terus duduk kembali ke tempatnya tadi.
Keruan saja Bu Siu bun ter-heran2.
terpaksa iapun kembali kemejanya.
"Koko, kenapa ilmu ajaran Supek tidak manjur?" demikian ia tanya saudaranya dengan suara tertahan.
"Apa" Tak manjur?" sahut Bu Tun-si bingung Lalu Siu-bun menceritakan pengalamannya tadi "Ah, tentu jarimu tak benar atau Hiat-to yang kau arah menceng," ujar Tun-si.
"Menceng" Mana bisa, lihat nih," bantah Siu-bun.
Berbareng ia angkat jarinya terus bergaya menutuk ke pinggang sang kakak, baik gayanya mau pun tenaganya, semuanya tepat dan jitu, sedikitpun tidak salah seperti apa yang diajarkan Supek mereka.
"Ha, tadinya aku kira It-yang-ci tentu permainan yang amat lihay, huh agaknya juga tak berguna," terdengar Kwe Hu mencemoohkan dengan mulut menjengkit.
Karena sindiran ini. Tun-si merasa penasaran mendadak ia berdiri dan menuang dua cawan arak, iapun mendekati Nyo Ko.
"Nyo-toako, sudah lama kita tak bertemu kini bersua kembali, sungguh harus dibuat girang, maka siaute juga ingin suguh kau secawan," demikian ia kata.
Diam2 Nyo Ko tertawa geli, adiknya sudah ke bentur batu, apa sang kakak juga ingin ketumbuk tembok" Maka iapun tak menolak, dengan sumpit jepit dulu sepotong daging dan tangan yang lain ia sambut arak suguhan orang sambil ucapkan terima kasih.
Tun-si lebih kasar lagi dari pada sang adik, tanpa tedeng aling2 lagi mendadak ia ulur tangan kanan dan secepat kilat menjojoh ke pinggang Nyo Ko.
Sekali ini Nyo Ko tak perlu jalankan darahnya secara terbalik lagi, dengan tenang saja ia luruskan tangannya yang memegang sumpit itu, ia gunakan potongan daging sampi yang dia cepit tadi sebagai tameng di pinggangnya yang diarah.
Saking cepatnya Nyo Ko bertindak, maka sama sekali Tun-si tak berasa, ketika jarinya kena menjojoh, dengan tepat menembus potongan daging sampi itu.
"Minum arak dengan jojoh daging sampi paling enak," kata Nyo Ko tertawa sambil meletakkan sumpitnya.
Waktu Tun-si angkat tangannya, ia lihat daging sampi itu masih mencantol di jarinya dengan air kuwah masih menetes, ia menjadi serba salah, dibuang sayang, tak dibuang bikin malu saja, ia pelototi Nyo Ko dengan gemas, lalu cepat2 kembali ke mejanya.
Melihat jari orang bertambah sepotong daging, Kwe Hu menjadi heran.
"Apakah itu?" demikian ia tanya.
Tentu saja Tun-si merah jengah tak bisa menjawab.
Begitulah selagi pemuda ini serba salah kehilangan muka, tiba2 terlihat seorang pengemis tua telah angkat cawan arak sambil berdiri.
Nyata pengemis tua ini bukan lain adalah Loh Yu-ka, pangcu baru Kay-pang.
"Seperti saudara2 sudah mendengar tadi, Ang-lopangcu telah mengirim perintah bahwa bangsa Mongol semakin nyata akan menjajah ke selatan, maka para saudara diminta berjuang mati2an untuk melawan musuh," demikian ia angkat bicara sesudah ajak minum para kesatria.
"Kini para kesatria dari seluruh jagat hampir semua berkumpul di sini semua orang berhati setia negara, maka kita harus merundingkan suatu daya-upaya untuk mencegah penjajah bangsa asing itu, dan supaya peristiwa Ong-Khong (maksudnya kedua raja Song yang ditawan negeri Kim) tak terulang lagi.
" Karena beberapa patah kata ini, keadaan hadirin seketika ramai lagi dan sama menyatakan akur.
Dalam pada itu terlihat seorang tua dengan jenggot putih perak telah berdiri juga.
"Kata pribahasa, ular tanpa kepala tak bisa berjalan, percuma saja kalau kita hanya ber-cita2 tinggi, tetapi tiada seorang pemimpin yang bijaksana, tentu pekerjaan kita akan sia2," demikian ia kata, suaranya lantang bagai genta, "Kini para kesatria berkumpul di sini, harus kita angkat seorang yang bernama tinggi, seorang gagah yang dihormati semua orang untuk menjadi pemimpin dan kita semua akan mendengar perintahnya.
" Seketika suara sorak-sorai riuh gemuruh lagi, segera pula ada yang berteriak: "Baiklah, engkau orang tua saja yang menjadi pemimpinnya !" "Ya, tak perlu lagi angkat yang lain !" sambung yang lain.
Tetapi orang tua itu bergelak tertawa.
"Haha, aku si tua bangka ini terhitung manusia macam apa?" ,demikian katanya, "Selama ini di kalangan Kangouw mengakui ilmu silat lima tokoh : Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay, Tiong-sin-thong adalah yang paling tinggi Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang sudah lama meninggal Tang-sia dan Se-tok bukan orang golongan kita, sedang Lam-te jauh di negeri Tay-li, dengan sendirinya ketua serikat ini kecuali Pak-kay Ang-locianpwe tiada yang lebih sesuai lagi.
" Memang Ang Chit-kong adalah jago utara yang tertinggi dan betul2 memenuhi harapan semua orang, maka tepuk tangan segera gemuruh lagi tanpa ada yang berlainan pendapat.
"Ya, Ang-locianpwe sudah pasti cocok untuk menjadi Ketua serikat para kesatria ini, kecuali dia, siapa lagi yang bisa taklukkan semua orang dengan ilmu silatnya dan melebihi orang Iain dengan budi pekertinya?" Demikian tiba2 di antara orang banyak itu ada seorang lagi yang berteriak, meski suaranya sangat keras, tetapi waktu pandangan orang diarahkan ke tempat datangnya suara, orangnya ternyata tidak kelihatan.
Kitanya orang itu adalah seorang cebol yang sangat pendek hingga tertutup oleh orang di sekitarnya.
"Siapakah itu yang bicara ?" segera ada yang bertanya.
Dengan cepat si cebol itu melompat ke atas meja, maka tertampaklah perawakannya yang tingginya tiada satu meter, umurnya dekat setengah abad, sebaliknya wajahnya bercahaya penuh semangat.
Sebenarnya banyak yang hendak tertawai si cebol ini, tetapi demi nampak sinar matanya yang tajam, suara tertawa mereka telah tertelan kembali mentah2.
"Cuma tindak-tanduk Ang-lopangcu sangat aneh, dalam sepuluh tahun sukar untuk ketemu dia sekali kalau dia orang tua tak di tempat, lalu jabatan Ketua serikat ini harus dipegang siapa?" demikian si cebol itu berkata pula.
Betul juga pikir semua orang.
"Scgala apa yang kita perbuat kini seluruhnya adalah untuk membela tanah air, sedikitpun kita tak punya kepentingan pribadi, maka kita harus angkat seorang Ketua muda, supaya kalau Ang-lopangcu tidak ada, kita lantas tunduk pada wakilnya ini.
" "Bagus, bagus !" demikian terdengar sorak-sorai lagi dengan ramai.
Lalu banyak lagi yang ber-teriak2 mengemukakan calonnya, "Kwe Cing, Kwe-tayhiap saja!" "Paling baik Loh-pangcu !" "Liok-cengcu, tuan rumah ini saja!" "Tidak, sebaiknya Ma-kaucu dari Coan-cin-kau!" "Atau Pangcu dari Thi-cio-pang saja!" Begitulah terdengar seruan yang simpang-siur, Selagi suasana rada kacau, tiba2 dari luar ruangan kelihatan bayangan orang berkelebat, empat tojin telah lari masuk dengan cepat, ternyata mereka adalah Hek Tay-thong, Sun Put-ti, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat.
Melihat mereka sudah pergi dan mendadak kembali lagi, Nyo Ko menjadi heran, sebaliknya Kwe Cing dan Liok Khoan-eng girang luar biasa.
Lekas2 mereka meninggalkan meja dan menyambutnya.
"Ada musuh hendak mengacau ke sini, kami sengaja datang memberi kabar, hendaklah kalian berlaku waspada dan ber-jaga2," demikian Hek Tay-thong bisiki Kwe Cing.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong dalam Coan-cin kau terhitung jagoan kelas terkemuka, di kalangan Kangouw orang yang berilmu silat lebih tinggi dari dia bisa dihitung dengan jari, kini cara mengucapkan berita itu kedengarannya rada gemetar dan kuatir, maka Kwe Cing pikir tentu yang akan datang ini pasti musuh tangguh adanya.
"Apa Auwyang Hong?" demikian Kwe Cing tanya dengan suara rendah.
"Bukan, tetapi orang Mongol yang aku sendiri pernah jatuh ditangannya itu," sahut Hek Tay-thong.
"Pangeran Hotu?" kata Kwe Cing dengan hati lega.
Dan sebelum Hek Tay-thong buka suara lagi, mendadak di luar terdengar suara tiupan tanduk yang ber-talu2, menyusul mana diselingi pula oleh suara genta yang ter-putus2 nyaring.
"Sambut tetamu agung!" segera Liok Khoan-eng berteriak.
Baru saja berhenti suaranya, tahu2 di depan ruangan pendopo itu sudah berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam lagaknya, ada yang tinggi besar, ada yang pendek kecil.
Para kesatria yang hadir ini sebenarnya lagi sorak-sorai dalam pesta pora yang ria, kini mendadak nampak munculnya orang begitu banyak, mereka rada heran, tetapi mereka sangka orang juga hendak menghadiri Eng-hiong-yan ini, setelah melihat tiada kenalan di antara orang2 itu, kemudianpun tak diperhatikan lebih jauh.
Berlainan dengan Kwe Cing yang sudah tinggi ilmu silatnya dan tajam penglihatannya, segera ia tahu gelagat tidak sewajarnya.
"Jang datang ini terlalu keras, mereka tidak mengandung maksud baik," demikian ia bisiki sang isteri Ui Yong.
Habis itu iapun berbangkit suami isteri mereka bersama Liok Khoan-eng lantas menyambut keluar.
Kwe Cing mengenali orang yang bermuka cakap berdandan sebagai putera bangsawan itu adalah Pengeran Hotu dari Mongol, sedang padri yang berjubah merah dan berkopiah emas, mukanya kurus, adalah Ciangkau atau ketua Bit-cong dari Tibet, Darba namanya.
Kedua orang ini dahulu sudah pernah dijumpainya di Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san, meski mereka terhitung jago kelas satu, tetapi ilmu silatnya masih lebih rendah dari pada dirinya, maka tak perlu ditakuti.
Cuma di tengah2 kedua orang ini masih berdiri lagi seorang padri Tibet yang juga tinggi kurus dan berjubah merah pula, kepalanya gundul licin berminyak, ubun2 atau mercu kepala tampak dekuk ke dalam.
Melihat macamnya orang, Kwe Cing dan Ui Yong telah saling pandang, pernah mereka dengar dari Ui Yok-su yang berbicara tentang ilmu silat aneh kaum Lama sekte Bit-cong di Tibet bahwa kalau sudah terlatih sampai tingkatan yang sangat tinggi, mercu kepala bisa sedikit dekuk ke dalam, kini melihat ubun2 orang ini begitu dalam dekuk-nya, apa mungkin ilmu silatnya sudah sampai tingkatan yang sukar diukur" Tetapi di kalangan Kang-ouw kenapa selama ini hanya terdengar Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, sebaliknya tak pernah dengar bahwa di Tibet terdapat seorang jago seperti dia ini" Karena itulah, mereka berdua diam2 berlaku waspada, lalu mereka membungkuk memberi hormat sambil mengucapkan selamat datang dan menyilakan duduk.
Segera Liok Khoan-eng memberi tanda perintah, para centeng segera sibuk menyediakan meja baru dan daharan2.
Bu-si Hengte sudah biasa membantu bapak dan ibu guru mereka mengurusi pekerjaan rumah tangga, Iebih2 Bu Siu-bun yang serba cepat dan giat, maka kedua saudara Bu segera pimpin para centeng itu mengatur tempat dan sediakan beberapa meja yang terhormat buat tamu agung, mereka pun minta maaf pada tetamu yang duluan supaya suka menggeser sedikit tempat luang.
Dalam pada itu, melihat Nyo Ko ikut2 hadir dalam perjamuan ini, dalam pandangan Kwe Hu rasanya kurang senang, "Hm, kau terhitung Eng-hiong macam apa" Meski Enghiong seluruh jagat mati ludas juga tidak bergilir pada dirimu?" demikian ia membatin.
Habis ini ia kedipi Bu Siu-bun sambil mulutnya merot2 ke jurusan Nyo Ko.
Maka tahulah Siu-bun maksud si gadis, segera Nyo Ko didekatinya, "Nyo-toako, tempat ini hendaklah digeser sedikit," demikian ia kata.
Habis ini, tanpa menunggu apa Nyo Ko bilang boleh atau tidak, segera ia suruh centeng memindahkan mangkok sumpit si Nyo Ko ke suatu tempat di pojok.
Tentu saja hati Nyo Ko terbakar, tetapi iapun tidak bicara, melainkan diam2 ia tertawa dingin.
Sementara itu terdengar Pengeran Hotu telah buka suara.
"Suhu, ini kuperkenalkan engkau kepada dua Enghiong dari Tionggoan yang namanya gilang-gemilang.
. . " Kwe Cing terkejut, pikirnya: "Oh, kiranya paderi Tibet tinggi kurus ini adalah gurunya.
" Dalam pada itu dilihatnya paderi Tibet itu sedang manggut2, kedua matanya melek tidak meram tidak, pangeran Hotu lantas menyambung lagi: "dan yang ini adalah Kwe Cing, Kwe-tayhiap yang pernah menjadi Ceng-se-goanswe di negeri Mongol kita, Dan yang ini lagi adalah Ui-pangcu.
" Ketika mendengar Hotu menyebut "Ceng-se-goanswe" mendadak paderi itu pentang kedua matanya hingga menyorotkan sinar tajam, ia pandang beberapa saat pada Kwe Cing, habis itu kelopak matanya menurun pula setengah menutup, sebaliknya terhadap Pangcu dari Kay-pang ternyata sama sekali tak diperhatikannya.
"lni adalah guruku, orang Tibet menyebutnya Kim-lun Hoat-ong dan oleh Hong-thayhou (ibusuri) negeri MongoI sekarang diangkat dengan gelar Houkok Taysu," demikian Pangeran Hotu berkata lagi dengan suara lantang, (Houkok Taysu = imam besar pelindung negara) Karena kerasnya suara, seluruh hadirin dengan jelas dapat mendengarnya hingga semua orang merasa heran dan saling pandang, kata mereka dalam hati: "Baru saja kita berunding untuk melawan penjajahan Mongol ke selatan, kenapa mendadak lantas datang seorang Koksu (iman negara) dari Mongol?" Kwe Cing sendiri karena memang kurang cerdas, maka seketika ia menjadi bingung cara bagaimana harus melayani tetamu yang tak diundang ini, tiada jalan lain ia hanya menuang arak dan mengajak minum pada mereka seorang demi seorang sambil mengucapkan selamat datang dan kata2 kagum.
Setelah tiga keliling menyuguh arak, tiba2 Pangeran Hotu berdiri, waktu kipas lempitnya ia pentang, tertampaklah pada kipasnya terlukiskan setangkai bunga Bo-tan yang indah sekali.
"Kedatangan kami guru dan murid hari ini untuk menghadiri Eng-hiong-yan ini walaupun dilakukan dengan muka tebal karena tidak diundang, tetapi mengingat bisa berkumpul dengan para kesatria begini banyak, terpaksa kamipun tak pikirkan lagi malu atau tidak," demikian ia bicara.
"Perjamuan demikian ini memang susah diadakan, waktunya pun susah dicari, kini kebetulan kesatria dari seluruh jagat berkumpul di sini, menurut pendapatku harus diangkat seorang Beng-cu (ketua serikat) dari para kesatria untuk memimpin Bu-Iim dan menjadi kepala para orang gagah di bumi ini, entah bagaimana pikiran kalian dengan pendapatku ini?" "Usulmu memang tepat," seru si cebol tadi, "Tadi kami baru saja angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu dan kini sedang pilih wakil ketuanya, bagaimana pendapat saudara tentang soal ini?" "Ang Chit-kong sudah lama mati, kini pilih setan sebagai Beng-cu, apa kau anggap kami ini setan juga?" sela Darba tiba2 sambil berdiri Karena kata2nya ini, seketika para kesatria itu menjadi gempar, lebih2 para anggota Kay-pang luar biasa gusarnya, mereka pada ber-teriak2.
"Baikiah, jika Ang Chit-kong belum mati, sekarang juga silakan dia tampil ke muka untuk bertemu," kata Darba pula.
Loh Yu-ka tak bisa kuasai dirinya lagi, sambil angkat tinggi2 tongkat bambu "Pak-kau-pang", segera ia berdiri.
"Selamanya Ang-pangcu berkelana dengan tiada tentu kediamannya, kau bilang mau bertemu dengan dia, apa kau anggap gampang permintaan mu ini?" demikian debatnya.
"Hm," tiba2 Darba menjengek "Jangankan mati-hidupnya Ang Chit-kong sekarang sukar diketahui, sekalipun dia berada di sini sekarang juga dengan ilmu silatnya maupun namanya, apa bisa dia memadai Suhuku Kim-Iun Hoat-ong?" Hendaklah dengarkan para kesatria yang hadir ini, Beng-cu pilihan Eng-hiong-yan hari ini, kecuali Kim-lun Hoat-ong tiada orang lain lagi yang bisa menjabatnya.
" Sampai di sini, para kesatria menjadi tahulah maksud tujuan kedatangan orang2 ini, terang mereka mendapat tahu bahwa Eng-hiong-yan ini bakal mengambil keputusan yang tidak menguntungkan pihak Mongol, maka mereka sengaja datang mengacau dan ikut berebut kedudukan Beng-cu, jika dengan ilmu silatnya Kim-lun Hoat-ong berhasil merebut kedudukan Beng-cu, meski para orang gagah perkasa dari Tionggoan tak takluk pada perintahnya, namun sedikitnya sudah melemahkan kekuatan bangsa Han, dalam perlawanannya terhadap Mongol.
Dalam keadaan demikian, seketika mereka sama memandang Ui Yong, mereka kenal kepandaian Ui Yong yang banyak tipu akalnya, mereka pikir walaupun tetamu berpuluh orang ini setinggi langit ilmu silatnya, tetapi menghadapi lawan ribuan orang yang hadir ini, tak peduli satu lawan satu ataupun secara keroyokan, pasti pihak kita tak ikan terkalahkan Maka biarlah dengarkan saja perintah Ui-pangcu serta menurut petunjuknya.
Melihat gelagatnya, Ui Yong sendiri sudah tahu utusan ini sukar diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan, maka segera iapun mulai bicara.
"Para kesatria yang hadir di sini memang sudah angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu, sebaiknya Taysu (maksudnya Darba) ini mendukung Kim-lun Hoat-ong sebagai calonnya, Kalau Ang-lopangcu ada di sini, sebenarnya bisa saksikan beliau mengukur tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong! tetapi beliau justru pergi-datang tiada ketentuan tempatnya, pula tak menyangka bahwa hari ini bakal kedatangan tamu agung hingga tak bisa menunggu di sini sebelumnya, kelak kalau beliau tahu akan kejadian ini, pasti dia akan menyesal tak terhingga.
Baiknya di antara Ang-lopangcu maupun Kim-lun Hoat-ong masing2, sudah menurunkan anak murid.
Nah, sekarang biarlah murid kedua belah pihak saja yang mewakilkan guru mereka untuk bertanding?" Sebagian besar para kesatria dari Tionggoan ini cukup kenal kepandaiannya Kwe Cing yang maha tinggi, pula umurnya sedang kuat2nya, jago2 tertinggi pada jaman ini agaknya tiada lagi yang bisa menangkan dia, sekalipun Ang Chit-kong sendiri yang datang juga belum pasti bisa lebih kuat dari pada Kwe Cing, kini kalau bertanding dengan murid Kim-lun Hoat-ong, maka kemenangan sudah pasti dalam genggaman sendiri, tidak nanti bakal kalah, maka seketika mereka sama berseru akur, hingga genteng rumah tergetar oleh suara sorak gemuruh mereka.
Tetamu yang duduk di ruangan belakang ketika mendapat kabar itu, ber-duyun2 membanjir keluar juga hingga seluruh ruangan pendopo sampai keluar pintu penuh orang.
Karena pihaknya kalah suara, maka Kim-lun Hoat-ong menjadi terdesak oleh suasana itu.
Pangeran Hotu sendiri sudah pernah saling gebrak dengan Kwe Cing di Tiong-yang-kiong dahulu, ia insaf kepandaiannya masih dibawah orang.
Begitu pula silat Suhengnya, Darba, juga sebaya dengan dirinya, tidak peduli siapa diantara mereka yang maju pasti akan dikalahkan Tetapi bila menolak usul Ui Yong itu, kedudukan Beng-cu terang tak bisa lagi direbut.
Karena itu, ia menjadi bingung tak berdaya.
"Baik, Hotu, kau boleh maju coba bertanding dengan murid Ang Chit-kong," tiba2 Kim-Iun Hoat-ong berkata.
Ternyata paderi yang jauh tinggal di Tibet ini menyangka muridnya, Pangeran Hotu pasti jarang ada tandingannya, paling banyak hanya kalah terhadap Tang-sia, Se-tok dan lain jago angkatan tua saja, sama sekali tak diketahuinya bahwa muridnya itu justru pernah terjungkal di bawah tangannya Kwe Cing.
Karena perintah sang guru itu, mau-tak-mau pangeran Hotu mengiakan, namun ia toh belum berdiri.
"Suhu," demikian ia berbisik, "murid Ang Chit-kong itu terlalu hebat, Tecu mungkin sukar mengalahkan dia, jangan2 akan bikin malu nama baik Suhu saja.
" Karena penuturan ini, Kim-lun Hoat-ong rada kurang senang.
"Hm, masakah murid orang itu kau tak bisa mengalahkannya?" demikian jengeknya, "Lekas maju sana !" Hotu betul2 serba salah, ia jadi menyesal juga, tadinya tidak bilang terus terang pada sang guru tentang pengalamannya dahulu, ia menyangka dengan kepandaian gurunya yang tiada tandingannya di kolong langit, menghadiri perjamuan Eng-hiong-yan, kedudukan Beng-cu pasti akan direbutnya dengan mudah saja, siapa tahu ia sendiri justru disuruh maju melawan Kwe Cing.
Begitulah, sedang ia ragu2, tiba2 seorang laki2 gemuk dengan pakaian bangsa Mongol telah mendekatinya dan bisik2 beberapa kata di telinganya, Karena kisikan ini, seketika Hotu menjadi girang, tiba2 ia berdiri, ia pentang kipasnya dan meng-kipas-kipas.
"Selama ini kudengar Kay-pang memiliki semacam kepandaian pusaka yang disebut Pak-kau-pang-hoat, bahwa ilmu itu adalah kepandaian paling lihay yang menjadi kebanggaan Ang-Iopangcu," demikian ia berkata dengan lantang.
"Kini Siau-ong (pangeran yang rendah) yang tak becus ini ingin gunakan sebuah kipas untuk mematahkannya.
Kalau aku bisa patahkan ilmu pusakanya itu, suatu tanda kemahiran Ang Chit-kong tidak lebih hanya sebegitu saja !" Waktu orang itu kisiki Hotu mula2 Ui Yong, tak memperhatikan, tetapi mendadak orang menyinggung tentang Pak-kau-pang-hoat dan hanya beberapa patah kata saja, Kwe Cing yang ilmu silatnya paling kuat di pihak sendiri segera dikesampingkan, ia menjadi heran siapa yang kemukakan tipu-daya itu.
Waktu ia menegas, maka tahulah dia, kiranya laki2 gemuk itu bukan lain adalah Peng- tianglo, satu diantara empat Tianglo atau tertua, dalam Kay-pang.
Kini Peng-tianglo memihak Mongol hingga sudah tukar dandanan bangsa Mongol puIa, hanya dia ini saja yang tahu bahwa Pa kau-pang-hoat tidak pernah diturunkan kepada orang Iain kecuali Pangcu dari Kay-pang sendiri, sedangkan Kwe Cing meski tinggi kepandaiannya, Pak-kau-pang-hoat ini ia justru tak paham.
Kini Hotu singgung2 Pak-kau-pang-hoat, terang ia menantang terhadap dirinya yang menjadi pangcu lama dan Loh Yu-ka yang menjadi Pangcu baru, Loh Yu-ka belum lengkap mempelajari ilmu permainan pentung itu dan belum dapat dipergunakan menghadapi musuh, dengan sendirinya ia sendirilah yang harus maju.
Kwe Cing cukup tahu Pak-kau-pang-hoat sang isteri tiadatandingannya di kolong langit ini, menduga dan yakin pasti bisa kalahkan Hotu, cuma beberapa bulan paling akhir ini semangat sang isteri selalu lesu dan tenaga kurang, kandungannya baru tumbuh, Se-kali2 tak-boleh bergebrak dengan orang.
Karena itu, segera ia melangkah maju ke tengah.
"Pak-kau-pang-hoat Ang-lopangcu selamanya tak sembarangan digunakan, baiknya kau belajar kenal saja dengan Hang-liong-sip-pat-ciang ajaran beliau ini," segera ia menantang.
Melihat langkah Kwe Cing kuat bertenaga, diam2 Kim-Iun Hoat-ong terkejut, meski matanya kelihatan meram tidak melek tidak "Orang ini memang nyata bukan lawan lemah," demikian ia membatin.
Sementara itu Hotu telah bergelak ketawa.
"Haha, di Cong lam-san dahulu Siau-ong sudah pernah berjumpa sekali denganmu, tatkala itu kau mengaku anak murid Ma Giok dan Khu Ju-It, kenapa sekarang memalsukan diri sebagai muridnya Ang Chit-kong lagi?" tegurnya pada Kwe Cing.
Dan sebelum orang menjawab, Hotu mendahului menyambung lagi: "Ya, satu orang angkat beberapa guru juga lumrah Cuma hari ini adalah gilran Kim-lun Hoat-ong bertanding dengan Ang Chit-kong, meski tinggi ilmu silatmu, tapi kau dapat dari beberapa perguruan, rasanya sukar memperlihatkan ilmu kepandaian sejati dari Ang-lopangcu.
" Demikian debatnya panjang lebar dan beralasan juga, dasar Kwe Cing memang tak pandai bicara, ia menjadi Iebih tergagap tak bisa menjawab, sebaliknya para kesatria lain seketika menjadi ramai sambil ber-teriak2.
"Kalau berani, hayo, bertanding saja dengan Kwe-tayhiap! Kalau tak berani boleh lekas kempit ekor dan enyah dari sini!" "Kwe-tayhiap adalah anak murid lurus Ang-lopangcu, kalau dia tak bisa mewakilkan gurunya siapa lagi yang cocok mewakili ?" "Kau boleh coba rasakan enak tidaknya Hangliong-sip-pat-ciang, habis itu baru kau cicipi lagi Pak-kau-pang-hoat juga belum terlambat!" Begitulah teriakan mereka yang simpang-siur.
Namun pangeran Mongol itu tiba2 tertawa mengadah, waktu ia tertawa diam2 ia kerahkan tenaga dalamnya hingga suara "hahaha" yang kera2 lantang bikin genting rumah se-akan2 tergetar dan suara ribut para kesatria itu sama terdesak tenggelam.
Tentu saja semut orang sangat terkejut sungguh mereka tidak nyana dengan umur semuda orang dan berdandan sebagai bangsawan, ternyata memiliki Lwekang begini lihay.
Karena itu seketika mereka bungkam dan tenang kembali.
"Suhu, agaknya kita telah kecewaan orang.
" kata Hotu tiba2 pada Kim-lun Hoat-ong.
"Tadinya "kita menyangka hari ini benar2 diadakan Eng-hiong-yan, maka tanpa kenal capek datang dari jauh untuk ikut serta, siapa tahu yang ada di sini tidak lebih hanya manusia2 yang tamak hidup dan takut mati.
Lebih baik kita lekas pergi saja, kalau sial sampai menjadi Beng-cu manusia ini kelak diketahui oleh orang2 gagah di seluruh jagad dan mentertawai kau sudi menjadi pemimpin kawanan "kantong nasi" ini, bukankah cuma bikin noda nama baik engkau saja?" Semua orang tahu Hotu sengaja memancing agar Ui Yong mau tampil ke muka sendiri, cuma kata2nya yang terlalu menghina itu membikin semua orang sangat marah.
Tanpa pikir lagi, sekali geraki pentungnya, segera Loh Yu-ka melangkah maju.
"Cayhe adalah Pangcu bara dari Kay-pang, Loh Yu-ka," demikian ia perkenalkan diri, "Pak-kau-pang-hoat belum ada 1/10 bagian yang kupahami maka sesungguhnya belum mampu untuk di pergunakan Tetapi kau berkeras ingin cicipi rasanya pentung, baiklah, biar kupentung kau beberapa kali.
" Sebenarnya ilmu silat Loh Yu-ka sangat bagus, tetapi Pak-kau-pang-hoat atau ilmu pentung pemukul anjing biar lengkap dipelajarinya, namun tidaknya sudah menambah tidak sedikit kekuatannya," kini dilihatnya umur Hotu baru 30-an tahun, ia menduga orang sekalipun mendapatkan ajaran guru kosen, belum tentu latihannya sudah cukup ulet, ditambah iapun tahu kesehatan Ui Yong terganggu, tidak peduli kalah atau menang, tidak nanti Ui Yong disuruh maju untuk menghadapi bahaya itu.
Di lain pihak Hotu hanya berharap tidak bergebrak dengan Kwe Cing, orang lain boleh dikatakan tiada yang dia takuti karena itu, segera ia sambut baik majunya Loh Yu-ka.
"Selamat, selamat, Loh-pangcu," demikian ia pun memberi hormat.
Sementara itu centeng Liok-keh-ceng sudah menyingkirkan meja2 hingga merupakan suatu kalangan pertandingan di tengah, mereka menambahi lilin pula hingga keadaan terang benderang bagai siang hari.
"Silakanlah !" seru Hotu segera.
Berbareng itu tiba2 kipasnya mengebas, seketika angin kipasnya menyamber ke muka Loh Yu-ka, di antara angin kipasnya ternyata, membawa bau wangi.
Kuatir kalau angin itu membawa hawa beracun, lekas2 Loh Yu-ka mengegos.
Namun Hotu cepat luar biasa, mendadak kipasnya dilempit kembali hingga berwujud sebatang potlot peranti Tiam-hiat yang panjangnya 7-8 dim, terus ditutukannya ke iga lawan.
Tetapi tutukan ini ternyata tak dihiraukan Loh Yu-ka, sebaliknya ia angkat pentung bambunya terus menyabet kaki orang.
Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus luar biasa, arah yang dituju juga sama sekali tak bisa diduga orang, maka ketika pangeran Hotu melompat enteng hendak berkelit, tak terduga pentung bambu itu mendadak memutar balik secepat kilat hingga betisnya kena tersabet, ia ter-huyung2 dan lekas2 melompat mundur, dengan begitu baru ia bisa berdiri tegak lagi.
Senang sekali para kesatria melihat Loh Yu-ka berhasil hajar orang.
"Ha, anjingnya kena gebuk, tuh !" "Nah, biar kau rasakan enaknya Pak-kau-pang-hoat !" Begitulah mereka bersorak memberi semangat pada Loh Yu-ka.
Di lain pihak Hotu menjadi merah jengah karena kekalahan itu, ketika dengan enteng ia membalik tubuh, cepat sekali ia balas hantam orang dengan tangan kirinya.
Namun tahu2 Loh Yu-ka telah menendang habis itu pentungnya menyamber kian kemari dengan perubahan2 yang sukar ditangkap.
"Nyata Pak-kau-pang-hoat memang bukan omong kosong belaka !" diam2 Hotu terperanjat oleh ilmu permainan pentung itu.
Maka tak berani lagi ia pandang rendah lawannya, ia kumpulkan seluruh semangat dan tempur orang sungguh2.
Betapapun juga memang belum masak betul Loh Yu-ka mempelajari ilmu permainan pentung itu, beberapa kali dengan gampang saja sebenarnya ia bisa jungkalkan lawan, tetapi karena kalah ulat hingga serangannva gagal di tengah jalan.
Menyaksikan itu, diam2 Ui Yong dan Kwe Cing meraba sayang, Sesudah belasan jurus lagi, lambat laun kelemahan Loh Yu-ka menjadi tertampak lebih terang, Meski Nyo Ko duduk di pojok ruangan itu, tapi setiap gerak tipu orang dapat dilihatnya semua.
Kini nampak keadaan toh Yu-ka itu, diam2 ia ikut kuatir, Untung pangeran Hotu kena dihajat betisnya pada permulaan ia menjadi jeri terhadap, Pak-kau-pang-hoat yang aneh ini, maka tak berani ia terlalu mendesak kalau tidak, sejak tadi Loh Yu-ka tentu sudah dirobohkan.
Melihat gelagatnya makin jelek, Ui Yong menjadi kuatir, selagi ia hendak teriaki Loh Yu-ka undurkan diri mendadak Loh Yu-ka menggunakan suatu tipu yang disebut "sia-ta-kau-pwe" "atau menggebuk punggung anjing dari samping, begitu pentung bambu berkelebat, dengan sengit ia hantam dan tepat kena pipi kiri Hotu.
Tentu saja pangeran Mongol itu malu tercampur sakit, tanpa pikir ia pegang pentung orang, menyusul mana sebelah tangannya terus menghantam, maka terdengarlah suara "bluk" yang keras, tepat dada Loh Yu-ka kena dipukul sekali.
Habis itu, sebelah kaki Hotu menyerampang pula, segera terdengar lagi suara "krak", nyata tulang kaki Loh-Yu-ka telah patah, darah segar menyembur pula dari mulutnya, orangnya terus terguling roboh.
Dua anak murid Kay-pang berkantong delapan lekas2 menubruk maju untuk membangunkan Pangcu mereka.
Melihat cara turun tangan Hotu begitu keji, semua orang merasa gusar sekali.
Sementara itu dengan memegang pentung bambu hijau mengkilap yang baru dapat merampas itu, Pangeran Hotu tampak ber-seri2 saking senangnya.
"Ha, Pak-kau-pang-hoat yang menjadi pusaka kebanggaan Kay-pang ternyata tidak lebih hanya begini saja," demikian ia menyindir.
Karena maksudnya ingin hina perkumpulan kaum jembel pembela keadilan ini, segera ia pegang kedua ujung tongkat bambu itu, segera penting bambu itu hendak ditekuk patah di hadapan orang banyak Tak ia duga, se-konyong2 pandangannya menjadi silau, tahu2 seorang wanita muda lemah lembut telah berdiri di hadapannya.
"Nanti dulu !" terdengar wanita itu berseru.
Nyata, ia bukan lain daripada Ui Yong adanya.
Nampak gerak tubuh orang begitu cepat.
Hotu kaget. "Kau. . . " demikian baru ia buka mulut mendadak Ui Yong ulur tangannya dan kedua matanya hendak dicoloknya.
Lekas Hotu menangkis, karena itu dengan enteng pentung bambu itu telah berpindah tangan direbut kembali Ui Yong.
Tipu gerakan yang dipakai Ui Yong ini disebut "Kau-go-toat-theng" atau merebut tongkat dari mulut anjing, termasuk satu di antara tipu Pak-kau-pang-hoat yang paling lihay, tipu ini bisa berubah tanpa bisa diraba sebelumnya hingga betapa hebat lawannya pasti tak dapat hindarkan diri.
Begitulah, diiringi suara sorak sorai para kesatria, kemudian Ui Yong kembali ke tempatnya semula dan taruh tongkat bambu di sampingnya, Hotu yang ditinggalkan sendirian terpaku di tengah kalangan dengan rasa kikuk dan serba salah.
Sungguh, meski ilmu silatnya sudah terhitung-tingkat tertinggi, tetapi dengan cara bagaimana sebenarnya Ui Yong dapat merebut pentung bambu dari tangannya, hal ini bikin dia tetap bingung, ia pikir apakah wanita ini bisa ilmu sihir.
Dalam pada itu suara orang menyindir mencemoohkan yang riuh ramai, wajah gurunya lama kelamaan pun bersungut, sungguh gusar Hotu sukar dikatakan.
Tetapi iapun seorang sangat cerdik, dengan suara keras segera ia berseru: "Ui-pangcu, tongkat-mu itu sudah kukembalikan, sekarang silakan maju lagi buat coba-coba.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Dengan kata2nya ini, betul saja ada orang menyangka tadi bukannya Ui Yong yang merebut, tetapi Hotu yang kembalikan tongkat bambu itu untuk minta bertanding secara teratur.
Hanya beberapa orang yang sangat tinggi kepandaiannya yang dapat melihat sebenarnya Ui Yong telah merebut pentung itu dengan ilmu silat yang maha tinggi.
------------ Gambar --------------Sementara Kwe Cing dan lain2 berunding jago2 mana yang akan mereka ajukan dalam pertandingan tiga babak, di sana Bu-si Hengte sudah lolos pedang melabrak pangeran Hotu.
------------------------------------Di samping sana Kwe Hu menjadi dongkol mendengar kata2 Hotu itu, selamanya belum pernah gadis ini melihat seorang berani berlaku kurangajar terhadap ibunya, maka tanpa pikir, dengan cepat pedangnya telah dilolosnya.
"Hu-moay, biar aku gantikan kau maju," kata Siu-bun tiba-tiba.
Tun-si juga berpikir sama, tanpa janji kedua saudara Bu itu telah melompat ke tengah berbareng.
"lbu guruku adalah orang terhormat," demikian kata yang satu, lalu yang lain menyambung: "mana sudi dia bergebrak dengan manusia liar seperti kau ini ?" Dan yang duluan segera sambung lagi: "Kau boleh coba dulu ilmu kepandaian Siauya (tuan muda) ini!" Melihat umur kedua saudara Bu ini meski muda, tetapi gerak-geriknya tangkas dan kuat, tampaknya pernah mendapat ajaran guru pandai, diam-diam Hotu berpikir: "Kedatangan kami hari ini memang bertujuan pamer kepandaian untuk jatuhkan nama jago silat bangsa Han, kalau bisa bertarung beberapa babak adalah lebih baik.
Cuma mereka berjumlah lebih banyak, kalau terjadi keroyokan pasti sukar untuk menang.
" Karena pikiran itu, segera iapun berkatalah: "Para Enghiong yang hadir, kedua anak bawang ini ingin bertanding dengan aku, jika Siau-ong terima tantangannya, mungkin orang akan bilang aku orang tua akali anak kecil, tetapi bila tak bertanding, rasanya seperti jeri terhadap dua bocah saja, baiknya begini saja, kita janji dulu bertanding tiga babak, pihak mana bisa menangkan dua babak, itu berarti menang dan memperoleh kedudukan Beng-cu.
pertandingan Siau-ong tadi dengan Loh-pangcu boleh tak usah dihitung, sekarang juga kita mulai pertandingan yang baru, bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini ?" Beberapa kata2 itu diucapkan dengan mengagulkan kedudukannya dan menonjolkan pihaknya yang suka mengalah.
Maka Kwe Cing dan Ui Yong lantas bisik2 berunding dengan para tetamunya, mereka mengusulkan Kwe Cing, Hek Tay-thong dan si Su-seng, sastrawan murid It-teng Taysu itu sebagai tiga jago mereka, si Su-seng maju dalam babak pertama melawan Hotu, Hek Tay-thong babak kedua menempur Darba dan Kwe Cing terakhir menandingi Kim-lun Hoat-ong.
Dengan barisan jago mereka ini apa pasti menang atau tidak, sesungguhnya merekapun belum yakin, jika ilmu silat Kim-lun Hoat-ong benar2 tinggi luar biasa hingga Kwe Cing tak mampu menandingi boleh jadi tiga babak akan kalah semua, hal ini benar2 suatu kekalahan yang mengenaskan.
" Karena itu semua orang menjadi ragu2 tak berani ambil keputusan.
"Aku ada suatu akal dan pasti akan menang.
" tiba2 Ui Yong berkata.
Girang sekali Kwe Cing, selagi ia mau tanya, tiba2 didengarnya angin senjata sudah samber menyamber, ia lihat Bu-si Hengte dengan pedang mereka sudah mulai menempur Hotu dengan serunya.
Kwe Cing, Ui Yong dan si Su-seng murid It-teng Taysu merasa kuatir atas keselamatan murid mereka, mau-tak-mau mereka mengikuti pertandingan seru itu dengan penuh perhatian.
Kiranya setelah mendengar Hotu menghina mereka sebagai bocah vang masih ingusan, Bn-si Hengte menjadi tidak kepalang murkanya, lebih2 karena kata2 itu diucapkan di hadapan "si dia", bukankah hal itu membikin mereka sangat malu" Maka tanpa pikir lagi segera mereka lolos pedang terus merangsang maju.
Nyata mereka sangka ilmu silat Hotu tidak seberapa lihaynya, buktinya dengan gampang saja ibu gurunya telah dapat merebut tongkat bambu dari tangannya, mereka pikir meski Loh Yu-ka kena dikalahkan olehnya, hal ini mungkin ilmu silat Loh Yu-ka yang tak berguna, mereka juga mengunggulkan sudah mendapatkan pelajaran silat dari Kwe Cing, seorang diri mungkin bukan tandingannya, tetapi kalau dua orang maju bersama, se-kali2 tidak terkalahkan.
Siapa tahu, baru beberapa jurus saja, kedua pedang mereka sudah terkurung oleh kipasnya Hotu hingga tak bisa berkutik Hotu sengaja pamerkan kepandaiannya di depan orang banyak ia tunggu waktu Bu Siu-bun menusuk, tiba2 jari telunjuk kirinya menahan batang pedang orang ke atas, berbareng itu kipasnya mendadak diayun dari samping dan menghantam pedang orang, maka terdengarlah suara nyaring sekali, tahu2 pedang panjang itu patah menjadi dua.
Kaget sekali Bu-si Hengte, lekas2 Siu-bun melompat pergi, sebaliknya Tun-si kuatir adiknya di lukai, dari belakang segera ia tusuk punggung orang untuk memaksa musuh tak sempat mengejar Diluar dugaannya, tipu serangannya ini sudah diperhitungkan Motu sebelumnya, tanpa berpaling sedikitpun, kipas lempitnya tahu2 diputar ke belakang, dengan tepat sekali pedang Tun-si kena terkacip, berbareng itupun Hotu puntir dengan jarinya.
Kalau Tun-si memutar mengikuti puntiran kipas Hotu maka tulang pundaknya sudah pasti akan keseleo, Karena itu terpaksa ia lepaskan pedang dan melompat ke belakang, Maka tertampak-lah pedangnya mencelat ke udara sembari mengeluarkan sinar yang gemilapan untuk kemudian baru jatuh kembali.
Terkejut sekali Bu-si Hengte tercampur gusar, Tun-si siapkan telapak tangan kiri di depan dan pasang kuda2 gaya Hang-liong-sip ciang, sebaliknya Siu-bun meluruskan tangan kanan ke bawah dengan jari telunjuk menjengkit sedikit, ia menunggu bila musuh berani merangsang maju segera akan dilayaninya dengan It-yang-ci.
Melihat kuda2 kedua pemuda yang kukuh, agaknya Hotu tak berani juga memandang ringan ia pikir kemenangannya sudah cukup, lebih baik disudahi saja untuk menjaga segala kemungkinan.
Hendaklah diketahui bahwa Hang-liong-sip-pat-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) ajaran Ang Chit-kong dan It-yang-ci (ilmu jari betara surya) ajaran It-teng Taysu yang berjuluk Lam-tie atau raja dari selatan itu, kedua ilmu itu terhitung ilmu kelas wahid dalam dunia silat, meski latihan Bu-si Hengte masih cetek, tetapi kuda2 yang mereka pasang sudah begitu kuat untuk orang biasa mungkin tak mengetahui di mana letak kelihayannya, tetapi bagi Hotu tergolong ahli, diinsafinya tidak mudah untuk mengalahkannya.
"Hahaha," demikian ia bergelak ketawa, "kalian berdua silakan kembali saja, kita hanya tentukan unggul dan asor sampai di sini, tetapi tidak perlu adu jiwa !" Nyata lagu suaranya sudah banyak lebih halus daripada tadi.
Bu-si Hengte juga insaf bila menempur orang dengan tangan kosong, kekalahan mereka pasti akan lebih menyedihkan, maka dengan muka merah terpaksa mereka undurkan diri dengan lesu, mereka menyingkir ke samping, tetapi tidak berdiri di se-keliling Kwe Hu lagi.
"Bu-keh Koko, mari kita bertiga tempur dia lagi," mendadak Kwe Hu berteriak sambil mendekat mereka.
Semua orang jadi ketarik oleh teriakan si gadis, sedang Kwe Hu dengan cepat sudah lolos pedangnya.
"Hu-ji, jangan sembrono !" lekas2 Kwe Cing membentak.
Memang Kwe Hu paling takut pada sang ayah, terpaksa ia mundur kembali sambil pelototi Hotu dengan marah.
Melihat rupa si gadis yang cantik molek, dengan tersenyum Hotu memanggut.
Tetapi sekali lagi Kwe Hu pelototi orang, habis ini ia berpaling dan tak menggubrismu.
Tadinya Bu-si Hengte kuatir ditertawai Kwe Hu karena kekalahan mereka, kini melihat si gadis membela mereka dengan sesungguh hati, suatu tanda hati si gadis menaruh simpatik juga pada mereka, tentu saja mereka sangat terhibur.
"Pertandingan tadi dengan sendirinya tak terhitung juga," sementara Hotu membuka suara lagi sambil pentang kipasnya, "Kwe-tayhiap, pihak kami adalah guruku, suhengku dan Cayhe sendiri bertiga ilmu silatku paling rendah, maka babak pertama juga aku yang maju dahulu, dari pihakmu siapakah yang sudi turun kalangan memberi petunjuk sedikit padaku" Cuma harus diingat, siapa yang bakal menang atau kalah, sekarang bukan main2 lagi.
" Karena tadi mendengar Ui Yong bilang "ada akal" yang pasti akan menang, Kwe Cing yakin sang isteri yang pintar cerdik dan banyak akal, walau pun benar, diketahui apa tipu daya yang hendak di aturnya, namun dalam hati ia sudah tak takluk: "Baik," segera iapun menjawab tantangan-orang, "kita lantas tentukan unggul dan asor dalam tiga babak, pihak mana yang kalah, selanjutnya harus tunduk pada perintah Beng-cu, se-kali2 tak boleh menolak.
" Hotu tahu ilmu silat yang paling tinggi di pihak lawan adalah Kwe Cing, tetapi gurunya yakin bisa menangkannya.
Ada lagi Ui Yong, mesl tadi gunakan tipu aneh merebut tongkat dari tangannya, tetapi melihat gaya orang yang lemah lembut, kalau betul2 saling gebrak, belum tentu akan begitu lihay, sedang yang lain2 sama sekali tak terpikir olehnya.
"Baiklah, apa para hadirin yang lam ada usul pula, silakan berkata lekas," begitulah ia menanya sembari matanya memandang sekeliling ruangan "Dan nanti kalau unggul atau asor sudah diputuskan, hendaklah kalian juga tunduk pada perintah Beng-cu.
" Sebenarnya banyak kesatria2 yang hendak menjawab tantangannya, tetapi menyaksikan Loh Yu-ka dan Bu-si Hengte dikalahkan dia secara gampang saja, agaknya kepandaiannya juga belum dikeluarkan semua hingga tak diketahui masih berapa banyak ilmu silatnya yang tersimpan, maka seorangpun segan buka mulut, mereka hanya memandang Kwe Cing dan Ui Yong dan pasrah saja kepada suami isteri ini.
"Kau bilang mau maju pada bahak pertama, lalu suhengmu babak kedua dan akhirnya gurumu babak ketiga, apakah acara ini sudah pasti dan tak digeser lagi bukan?" tiba2 Ui Yong menanya.
"Ya, betul. " sahut Hotu. "Kemenangan pasti berada pada kita sudah," kata Ui Yong, tetapi bukan kepada Hotu melainkan membisiki orang2 yang berada disampingnya.
"Tipu akal apakah yang kau atur?" tanya Kwe Cing bingung.
"Jangan kuatir," sahut Ui Yong pelahan.
"Kita pasang kuda rendahan untuk menandingi kuda bagus mereka.
. . " berkata sampai disini, tiba2 Ui Yong pandang si Su-seng dari Tay-li, karena itu, dengan tersenyum Su-seng itu menyambung dengan pelahan: "dengan kuda bagus kita menandingi kuda tengahannya dan dengan kuda tengahan kita menandingi kuda jeleknya.
jika tiga babak berakhir maka tanpa susah2 Dian Ki- mendapatkan hadiah seribu emas dari raja.
" Kwe Cing tak pandai dalam hal kesusastraan, ia menjadi bingung entah apa yang mereka maksudkan.
Melihat sang suami masih belum paham, segera Ui Yong membisikinya: "Cing-koko, kau pandai dalam ilmu militer, kenapa kau melupakan tipu akal bagus dari kakek-moyang ilmu militer Sun-cu?" Karena peringatan ini barulah Kwe Cing ingat pada kitab militer yang dahulu pernah dibacanya, dimana Ui Yong pernah ceritakan suatu kisah padanya bahwa di jaman Cian-kok, panglima dari negeri Ce, Dian Ki, berlomba kuda dengan raja Ce sendiri dengan taruhan seribu tail emas.
Untuk ini Sun-cu telah ajarkan suatu akal yang pasti menang pada Dian Ki, yakni gunakan kuda paling jelek buat lawan kuda terpilih raja Ce, sebaliknya gunakan kuda pilihan sendiri untuk melawan kuda terjelek lawan dan kuda cukupan buat menandingi kuda jelek sang raja, dengan demikian hasilnya yalah menang 2 kalah l, maka hadiah 1000 tahil emas telah digondol Dian Ki.
Kini maksud Ui Yong juga mencontoh siasat Sun-cu itu.
"Cu-suheng, dengan ilmu kepandaianmu It-yang-ci, untuk mengalahkan pangeran Mongol ini tentunya tidak sulit," demikian kata Ui Yong.
Su-seng dari negeri Tay-li itu she Cu bernama Cu-liu, dahulu ilmu sastranya menjagoi negerinya dan terpilih sebagai Conggoan (suatu gelar kebesaran dlm ujian kestssasteraan tertinggi di hadapan raja dan pernah juga menjabat sebagai Caysiang (perdana menteri negeri Tayli daerah Hunlam), dengan sendirinya kepintarannya dan kecerdasannya melebihi orang biasa.
Waktu mula2 ia masuk perguruan It-teng Taysu (yang tadinya adalah Sri Bagindanya), diantara empat saudara seperguruan ber-turut2" direbut "Hi-Jiau-Keng-Tok" atau si Nelayan, si Tukang Kayu, si Petani dan si Sastrawam jadi ilmu silatnya terhitung paling rendah.
Akan tetapi sepuluh tahun kemudian ia sudah menanjak sebagai orang kedua diantara empat saudara perguruan itu, Dan kini, ilmu silatnya malah sudah jauh di atas sesama saudara seperguruan yang lain.
Lebih2 ilmu It-yang-ci boleh dikatakan sudah mewariskan seluruh kemahiran It-teng Taysu, Diambil secara rata2 ilmu silatnya meski belum setingkat dengan Kwe Cing, tetapi sudah jauh melebihi jago segolongan Ong Ju-it, Hek Tay-thong, Loh Yu-ka dan lain2.
Begitulah, maka demi mendengar kata2 sang isteri, Kwe Cing yang selamanya berpikir sederhana dan bicara terus terang, segera ia menyambung ucapan Ui Yong tadi: "Ya, Cu-suheng pasti bisa menangkan orang Mongol ini, akupun dapat mengalahkan padri Tibet Darba itu, tetapi Hek-susiok yang harus melawan Kim-lun Hoat-ong, inilah yang terlalu berbahaya, meski kalah-menang tidak banyak hubungannya lagi dengan keadaan seluruhnya, tetapi dikuatirkan musuh terlalu keji hingga Hek-susiok sukar melawannya.
" Namun Hek Tay-thung adalah seorang berjiwa besar, ia tahu pertandingan ini berhubungan dengan soal nasib negara, berbeda sama sekali dari pada perebutan nama dan keuntungan diri sendiri seperiti umumnya terjadi di kalangan Bu-lim, kalau pertandingan ini sampai dimenangkan imam negara MongoI, hal ini bukan saja dunia persilatan bangsa Han kehilangan muka, bahkan susah juga untuk bersatu padu buat melawan musuh dan membela nasib negara.
Karena itu, dengan keras segera iapun berkata.
"Soal diriku tak perlu dikuatirkan, asal bermanfaat bagi negara.
sekalipun aku harus mati di tangan musuh tidaklah menjadikan pikiranku.
" "Soal itu jangan kuatir," kata Ui Yong, "Bila dalam pertandingan tiga babak kita sudah menangkan dua babak, maka babak ketiga dengan sendirinya tak perlu dilangsungkan lagi.
" Kwe Cing menjadi girang oleh penjelasan ini, berulang kali ia menyatakan benar.
"Jika begitu tugas Cayhe nyata tidak ringan kalau tidak bisa menangkan pangeran Mongol itu tentu bakal dicaci maki oleh kesatria seluruh jagat buat selamanya," kata Cu Cu-liu dengan tertawa.
"Jangan kau merendah diri, silakan majulah," ujar Ui Yong.
Lalu Cu Cu-liu majulah ke tengah, ia kiong-chiu memberi salam kepada Hotu lebih dulu.
"Babak pertama, biarlah aku yang belajar kenal dengan Tianhe (Putera Pengeran)" demikian ia berkata, "Aku she Cu bernama Cu-iiu.
asal orang Kimbeng, Hunlam, murid It-teng Taysu, hidupku paling suka bersyair dan membaca, maka soal ilmu silat banyak yang- terlantar, hal ini hendaklah Tianhe suka banyak memberi petunjuk.
" Habis berkata, ia membungkuk memberi hormat pula, lalu dari bajunya ia keluarkan sebatang pit, ia menggores2 beberapa kali di udara, lagaknya tepat sekali sebagai seorang terpelajar.
"Semakin aneh orangnya, semakin tinggi kepandaiannya.
agaknya tidak boleh pandang enteng padanya," demikian pikir Hotu: Karena itu, iapun balas memberi hormat dan membuka suara: "Siau-ong minta belajar sedikit pada Cianpwe, silakan keluarkan senjata saja !" "Mongol adalah negeri yang masih biadab dan belum mendapat ajaran Nabi, kalau Tiante minta belajar, sudah tentu akan kuberi petunjuk seperlunya," sahut Cu-liu.
Mendongkol sekali hati Hotu oleh kata2 orang yang menghina negerinya.
"Baiklah, dan ini adalah senjataku, kau memakai golok atau pedang ?" tantangnya segera sembari kebas-kebas kipasnya.
Cu-liu tidak lantas menjawab, ia angkat dulu pit-nya dan menulis di udara satu huruf "pit", lalu dengan tertawa ia menyahut: "Selama hidupku selalu berdampingan dengan batang pit, senjata apa yang bisa kugunakan?" Waktu Hotu menegasi, ia lihat alat tulis orang memang benar2 sebatang pit yang terbuat dari garan bambu dengan ujung bulu kambing, pada bagian ujung bulu masih berlepotan tinta bak pula, sama sekali berlainan dengan Boan-koan-pit atau potlot jaksa yang terbikin dari baja yang biasa digunakan untuk Tiam-hiat oleh jago silat Dan karena merasa heran, selagi ia hendak menanya, mendadak matanya terbeliak, tahu2 dan depan dilihatnya berjalan masuk seorang gadis berbaju putih.
Setelah masuk gadis itu berdiri di depan pintu, sinar matanya mengerling pelahan pada setiap orang, agaknya ada seseorang yang sedang di-carinya.
Waktu itu sebenarnya pandangan semua orang lagi dicurahkan pada Cu-liu dan Hotu yang hampir saling gebrak itu, tetapi begitu si gadis baju putih itu masuk, tanpa tertahan sinar mata semua orang beralih kepadanya, wajah gadis itu kelihatan putih lesi seperti orang habis sakit, dibawah sinar lilir yang terang benderang, wajahnya sedikitpun tiada warna darah, namun hal ini semakin menunjukkan kehalusan si gadis yang lain dari pada yang lain, wajahnya pun cantik luar biasa.
Biasanya orang suka menggunakan kata2 "secantik bidadari" sebagai bahasa hiasan untuk wanita cantik tetapi betapa cantiknya bidadari sebenarnya, siapapun tiada yang tahu.
Kini demi nampak si gadis, tanpa terasa dalam hati semua orang lantas timbul kesan seperti apa yang dikatakan ?"secantik bidadari" itu.
Dalam pada itu, demi nampak si gadis baju putih itu, girang Nyo Ko bukan buatan, dadanya se-akan2 mendadak dipukul sekali dengan palu, bagaikan orang gila saja ia melompat keluar dari pojok ruangan itu terus merangkul erat2 gadis itu.
"Kokoh! Kokoh! O! Kokoh!" demikian ia berteriak-teriak.
Kiranya gadis ini memang betul Siao-Iiong-li adanya.
Setelah meninggalkan Nyo Ko di gunung Cong-lam-san, seorang diri ia telah kembali ke kamar batu dalam kuburan kuno itu dengan selulup lagi melalui lorong di bawah sungai itu.
Dahulu waktu ia masih tinggal dalam kuburan itu bersama Sun-popoh, hatinya waktu itu boleh dikatakan setenang air berhenti, sedikitpun tak berbuat tetapi sejak bertemu Nyo Ko dan sesudah mengalami banyak rintangan, hendak kembali lagi kepada ketentraman batinnya yang dulu itu ternyata sudah tidak mungkin lagi Asai dia berlatih di atas ranjang batu pualam, segera ia ingat Nyo Ko pernah tidur juga diatas ranjang itu, bila ia sedang makan menyanding meja, segera ia ingat pula si Nyo Ko selalu mendampinginya makan.
Karena itulah, ia menjadi uring2an sendiri, tidak seberapa lama ia berlatih, segera ia merasa hatinya menjadi gelisah dan sukar melatih diri lagi.
Keadaan begitu dapat dilewatkan sebulan, akhirnya ia tak tahan lagi, ia ambil keputusan buat pergi mencari Nyo Ko, kalau ketemu, cara bagaimana ia akan hadapi pemuda itu, hal ini ia sendiripun tidak tahu.
Setelah turun gunung, ia melihat segalanya serba baru baginya, sudah tentu ia tak kenal jalan pula, apalagi ke mana harus mencari si Nyo Ko" Dan karena kurang pergaulan, iapun tidak kenal tata-krama segala, siapa yang dia ketemukan segera ia tanya: "Kau melihat Nyo Ko tidak?" Bila perutnya lapar, ia ambil saja milik orang dan dimakan, ia tidak kenal apa harus membayar atau tidak.
karena itu tidak sedikit keonaran dan lelucon yang terjadi sepanjang perjaIanannya.
Baiknya semua orang melihat rupanya begitu cantik molek, siapa saja suka mengalah padanya dan tidak menarik panjang persoalannya.
Suatu hari, tanpa sengaja di dalam hoteI ia mendengar percakapan dua lelaki bahwa para kesatria dari seluruh jagat hendak pergi menghadiri Eng-hiong-yan di Liok-keh-ceng, ia menduga boleh jadi Nyo Ko berada di sana juga, maka sesudah menanya arah jalannya iapun berangkatlah menuju Liok-keh-ceng.
Diantara para kesatria yang hadir itu, kecuali Hek Tay-thong, In Ci-peng dan Thio Ci-keng bertiga, tiada orang lain lagi yang mengetahui dari mana asal usulnya Slao liong-li, cuma melihat kecantikannya sungguh luar biasa, dalam hati mereka timbul kesan yang aneh.
Dalam pada itu demi kenali Siao-liong-li, muka In Ci-peng mendadak menjadi pucat bagai mayat, tubuhnya pun gemetar, sebaliknya Ci-keng me-lirik2 sang Sute sambil tertawa dingin.
Kwe Cing dan Ui Yong juga rada heran.
"Ko-ji, nyata kau memang berada di sini, sungguh susah payah aku mencari kau," demikian kata Siao-liong-li.
Saking terharunya, Nyo Ko mengalirkan air mata.
"Kau. . . kau tak akan meninggalkan aku lagi bukan?" tanyanya dengan terguguk-guguk.
"ltulah aku tak tahu," sahut Siao-liong-li sambil geleng kepala.
"Kemana kau pergi, ke sana juga aku ikut kau," kata Nyo Ko pasti.
Begitulah, meski dalam ruangan pendopo itu ber-jubel2 dengan tetamu yang ribuan jumlahnya, tetapi kedua muda-mudi itu se-akan2 berada berduaan saja dan ber-cakap2 dengan seenaknya.
Siao-liong-li memegangi tangan Nyo Ko, hatinya entah lagi suka atau duka waktu itu.
Melihat Siao-liong-ii yang menggiurkan, meski Hotu terguncang juga hatinya, tetapi ia tidak tahu gadis ini bukan lain adalah orang yang dahulu pernah dilamarnya ke Cong-lam-san itu, ia lihat pakaian Nyo Ko compang-camping berbau busuk, tetapi sikapnya begitu kasih sayang pada si gadis, tanpa terasa timbul rasa cemburunya dan dongkoI pula.
"Hai, kami hendak adu kepandaian, kalian hendaklah menyingkir dahulu," demikian ia lantas berseru.
Tak sempat lagi Nyo Ko menjawab, iapun tidak banyak cingcong, ia gandeng tangan Siao-liong-li dan diajaknya duduk di samping kalangan untuk menceritakan pengalaman masing2 sesudah berpisah selama ini.
Nampak orang sudah minggir, lalu Hotu berpaling dan berkata lagi pada Cu Cu-liu: "Baiklah, jika kau tak pakai senjata, boleh juga kita bertanding dengan tangan kosong.
" "Bukan begitu maksudku," sahut Cu-liu se-akan2 sedang bersanjak.
"Negeri Tionghoa kami adalah negeri bermartabat tinggi dan berlainan dengan negeri Mongol yang masih liar, laki2 sejati hanya bicara secara halus, pertemuan antara sobat cukup dengan pakai pit, kini milikku hanya pit saja, buat apa harus pakai senjata?" "Kalau begitu, awas, serangan!" kata Hotu mendadak, kipasnya terpentang, segera ia menyabet ke depan.
Lekas2 Cu-liu melangkah ke samping sambil geleng2 kepala, sedang tangan kiri mendadak meraba ke depan dengan tangan kanan yang memegang pit terus mencoret ke muka Pangeran Hotu.
Melihat gerak-gerik orang enteng gesit, tipu serangannya aneh, Hotu tak berani main merangsang, ia ingin pahami dulu cara bersilat orang barulah mengambil siasat perlawanannya.
"Awas, Tianhe, pit-ku ini biasanya menjapu bersih beribu perajurit!" kata Cu-liu tertawa, berbareng itu ujung pit-nya lantas menutul lagi ke depan.
Ilmu silat Hotu meski dipelajari di daerah Tibet, tetapi gurunya, yaitu Kim-lun Hoat-ong luas sekali pengalamannya, setiap cabang, setiap aliran persilatan di daerah Tionggoan tiada yang tak dipahaminya, dan karena mulai belajar Hotu sudah ber-cita2 mau tonjolkan nama besarnya ke daerah Tionggoan, maka Kim-lun Hoat-ong pernah memberikan perincian semua tipu2 serangan lihay dari berbagai cabang dan aliran silat pada muridnya ini.
Tak terduga Cu-liu pakai senjata aneh, tipu serangannya juga lain dari yang lain, gerak-geriknya bebas, ujung pit-nya menggores ke sana dan mencoret ke sini di udara, tampaknya seperti lagi menulis saja, tetapi tempat dimana ujung pit-nya mengarah justru adalah Hiat-to atau jalan darah berbahaya di tubuh lawan.
Kiranya Cu Cu-liu ini adalah ahli seni-tulis (disamping seni-lukis, di Tiongkok dikenal juga seni-tulis, yakni mengutamakan tulisan bagus dengan gaya tersendiri yang indah dan bertenaga, ada yang disebut "Cau-su", yakni tulisan yang mendekati "coretan" secara bebas dan ada lagi yang disebut "thay-su" yang ditulis secara lugu dan orisinil) di daerah selatan, meski ia belajar silat, tetapi ilmu sastranya tak pernah dikesampingkan semakin tinggi ilmu silatnya.
akhirnya ia malah menciptakan sendiri semacam kepandaian yang dia lebur antara It-yang-ci dengan seni-tulisnya.
Karena itu, kalau lawannya tidak cukup punya dasar ilmu sastra, sungguh susah hendak melawan ilmu silatnya yang aneh ini.
Baiknya Pengeran Hotu suka berlagak terpelajar sejak kecil iapun pernah bersekolah dengan guru sastra bangsa Han, karena itu ia masih bisa menahan serangan Cu-liu, ia lihat diantara gaya tulisan orang terseling pula gaya menutuk dan di antara menutuk bergaya pula menuIis, sehingga diantara kegagahannya tercampur juga gaya lembutnya orang terpelajar.
Kwe Cing tidak paham ilmu sastra, dengan sendirinya ia ter-heran2 oleh permainan silat itu.
sebaliknya Ui Yong keturunan keluarga cendekia-wan, baik silat maupun surat lengkap dipelajari semua, kini dilihatnya ilmu silat Cu-liu yang aneh tetapi hebat ini, ia menjadi kagum tak terhingga.
Dalam pada itu, Kwe Hu yang ikut saksikan pertarungan itu agaknya merasa bingung, ia mendekati sang ibu dan menanya: "Mak, ia corat-coret dengan pit-nya kian-kemari, permainan apakah ini?" Karena seluruh perhatiannya lagi dicurahkan ke kalangan pertempuran, maka sekenanya Ui Yong menjawab : "Pang-hian-ling-pi.
" "Pang-hian-ling-pi apakah itu?" tanya lagi Kwe liu semakin bingung.
Tetapi Ui Yong lagi terpesona oleh pertarungan itu maka tak dijawabnya pertanyaan Kwe Hu.
Kiranya "Pang-hian-ling-pi" adalah suatu judul karangan yang ditulis pada suatu pilar oleh pembesar ahala Tong yang bernama di Sui-liong, tulisan itu dilakukan dengan gaya "Khay-su" yang amat bagusnya.
Dan sekarang Cu-liu telah mencemooh karangan itu dengan menulisnya pakai "It-yang-su" atau tulisan dengan It-yang-ci, ia gunakan ujung pit sebagai gantinya jari, maka setiap coretan, setiap goresan, dilakukan dengan menurut aturan dan mirip sekali seperti lagi menitis secara "Khay-su".
Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci, tetapi sedikitnya ia masih paham setiap huruf dalam karangan "Pang-hian-ling-pi", maka sebelum alat tulis orang bergerak, ia sudah bisa menduga ke mana goresan dan coretan hendak dilakukan, dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat dan belum tertampak tanda2 bakal kalah.
"Bagus!" seru Cu-liu demi nampak kepandaian Hotu memang tinggi "Dan sekarang datanglah "Chau-su", awas sedikit!" Habis ini mendadak ia copot kopiahnya terus dilempar ke lantai, lalu iapun berlari cepat ke sana kemari hingga lengan bajunya yang besar lebat ikut beterbangan, tipu2 serangan yang dilontarkan juga secara bebas di luar aturan.
Karena itu, tampaknya ia menjadi seperti orang linglung, seperti orang mabuk dan bagai orang keranjingan padahal pit-nya menggores terus sambung menyambung tak berhenti bagai ular laga yang me-lingkar2.
"Mak, apa dia sudah gendeng?" tiba2 Kwe Hu menanya lagi.
"Ehm," jawab Ui Yong acuh tak acuh, "Kalau tambahi minum arak tiga cawan, tentu gaya tulisannya akan lebih bagus.
" Habis berkata, ia angkat poci arak terus menuangi penuh2 secawan "Cu-toako," teriak Ui Yong, ?"silakan minum tiga cawan buat menambah semangatmu.
" Berbareng itu, tangan kirinya memegang cawan, dengan jari kanan mendadak ia menyentil cawan itu, maka tertampaklah cawan arak itu terbang ke depan dengan antengnya, itu adalah ilmu tenaga jari sakti ajaran ayah Ui Yong yang tak ada bandingannya.
Mendadak Cu-liu tutul sekali pit-nya hingga Hotu terdesak mundur, pada saat itu pula cawan arak itu disambernya terus ditenggak habis, menyusui mana Ui Yong sudah menyentilkan cawan kedua dan ketiga be-runtun2.
Alangkah gusarnya Pangeran Hotu melihat kedua orang itu main suguhkan arak dalam keadaan bertempur, sama sekali tak pandang sebelah mata atas dirinya, segera ia bermaksud sampuk jatuh cawan arak orang, tetapi diwaktu Ui Yong menyentilkan cawannya tadi, selalu ia iringi gaya coretan pit-nya Cu-liu dan selalu menerobos di tempat luang, maka sama sekali Hotu tak mampu menyampuknya.
"Banyak terima kasih," seru Cu-liu sesudah keringkan tiga cawan arak "Sungguh tenaga jari sakti yang hebat!" "Kau juga.
Sweih-tiap yang tajam sekali!" balas Ui Yong memuji dengan tertawa.
Cu-liu tertawa senang, dalam hati iapun kagum sekali terhadap kepintaran Ui Yong, hanya sekali lihat saja sudah dapat mengetahui ilmu silat ciptaannya yang terlatih selama belasan tahun ini.
Di lain pihak sejak tadi Kim-lun Hoat-ong mengikuti juga pertarungan itu dengan cermat, melihat muridnya lambat laun mulai terdesak di bawah angin, mendadak ia berseru: "Akuskintel mimoasten, cilcialci!" -------- gambar ------------Cu Cu-liu kembangkan gaya seni-tulis yang dikombinasikan It-yang-ci menggoda dan mempermainkan Hotu.
------------------------------Semua orang menjadi bingung, tiada yang paham apa arti bahasa Tibet yang diucapkan itu.
sebaliknya Pangeran Hotu tahu bahwa gurunya sedang memperingatkan agar jangan mau bertahan saja, tetapi harus main serobot ikut menyerang dan keras lawan keras dengan ilmu "Hong-hong siok-lui-kang" atau ilmu badai menderu dan petir menyamber.
Karena peringatan itu, Hotu bersuit panjang, diantara suaranya itu se-akan2 membawa suara topan dan guntur yang gemuruh, berbareng kipasnya menyabet dan lengan baju mengebas hingga menerbitkan samberan angin keras, secepat kilat ia tubruk Cu Cu-liu.
Begitu keras tenaga pukulan dan samberan angin yang dikeluarkan serangan Hotu hingga semua orang yang menonton lambat-laun terdesak minggir sedang mulut Hotu masih tiada hentinya mem-bentak2 dengan gelegar untuk menambah semangat.
Kiranya ilmu yang disebut "Hong-liong-siok-lui-kang" ini memang mengutamakan bentakan2 dan gertakan2 keras sebagai salah satu cara mengalahkan musuh yang lihay.
Namun Cu-liu gesit luar basa, ia melompat kian kemari dengan bebas dan tak gentar, kekuatan mereka ternyata sembabat.
Begitulah, setelah ratusan jurus lewat, mendadak Cu-liu ubah lagi gaya menulisnya, tiba2 gerak tangannya menjadi lamban, coretan pit-nya seperti menjadi sempit dan kaku.
Sebaliknya Hotu masih terus gunakan ilmu Hong-hong-siok-lui-kang" untuk melawan, cuma tenaga lawannya makin bertambah kuat, terpaksa iapun kerahkan seluruh tenaga pada kipasnya, suara bentakan2 dan geramannya juga semakin hebat.
Karena itu, penonton2 yang sedikit rendah, ilmu silatnya menjadi tak tahan berdiri terlalu dekat, setindak demi setindak mereka terpaksa mundur terus ke belakang.
Sementara itu, ketika Ui Yong berpaling, ia lihat Nyo Ko sedang duduk berendeng dengan Siao-liong-li di samping sebuah tiang ruangan rumah itu, Meski jarak mereka tidak lebih setombak dari kalangan pertempuran, namun mereka masih tetap ber-cakap2 dengan asyiknya, terhadap pertarungan sengit di samping ternyata tak diperhatikannya sama sekali, bahkan angin pukulan yang diterbitkan oleh Hotu juga sedikitpun tak mengganggu mereka, hanya ujung baju Siao-liong-li saja yang kelihatan rada ber-goyang2 tertiup angin, tetapi gadis ini tetap seperti anggap sepele saja, dengan wajah penuh rasa cinta asmara ia sedang memandang Nyo Ko dengan mesra.
Makin dilihat, Ui Yong menjadi semakin heran, sampai akhirnya ia menjadi lebih banyak memandang si Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua dari pada memperhatikan pertarungan antara Hotu dan Cu-liu.
"Tampaknya anak dara ini memiliki ilmu silat yang maha tinggi, sedang Ko-ji begitu rapat hubungannya dengan dia, entah dia anak murid siapakah ?" demikian ia membatin.
Begitulah, Siao-liong-li dalam pandangan Ui Yong masih dianggap anak dara saja, padahal waktu itu umur Siao-liong-li sudah lebih 20 tahun, cuma karena sejak kecil ia dibesarkan di dalam kuburan kuno yang tak tertembus sinar matahari, maka kulit badannya menjadi halus luar biasa.
Lwekangnya juga tinggi, maka tampaknya menjadi sepandan nona yang berumur 17-18 tahun.
Sebenarnya kalau Siao-liong-li tidak ketemukan Nyo Ko dan turut ajaran gurunya melatih diri tanpa sesuatu gangguan perasaan, bukan saja umur 100 tahun pasti bisa dicapainya, bahkan kalau sudah berumur seabad, badan dan wajahnya serupa saja dengan orang yang berumur 50-an.
Oleh sebab itulah, dalam pandangan Ui Yong tampaknya Siao-liong-li malah lebih muda daripada Nyo Ko, sedang gerak-geriknya, wajahnya yang polos dan masih ke-kanak2an malahan lebih nyata kelihatan dibanding Kwe Hu, pantas kalau Siao-liong-li disangkanya masih anak dara cilik.
Dalam pada itu, goresan pit Cu-liu makin lama makin lambat, tetapi bertambah kuat, diam2 Hotu terkejut dan mulai kewalahan.
"Mamipami, kushis !" tiba2 Kim-lun Hoat-ong membentak.
Meski apa yang dikatakan itu tiada yang paham, namun suara bentakannya itu terlalu keras hingga memekak telinga.
Mendengar Kim-lun Hoat-ong berulang kali memberi petunjuk pada muridnya, akhirnya Cu-liu menjadi gopoh juga, ia pikir kalau orang berganti permainannya lagi, pertandingan ini harus berlangsung sampai kapan" Se-konyong2 ia mendahului ganti corat-coret tulisannya, kini gayanya tidak seperti orang menulis lagi melainkan seperti orang sedang menatah sesuatu di atas batu.
Gaya ini agaknya sekarang dapat dipahami Kwe Hu.
"Mak, apakah Cu-pepek lagi mengukir tulisan ?" demikian ia tanya sang ibu lagi.
"Ha, agaknya anakku toh tidak terlalu bo-doh," sahut Ui Yong tertawa, "Permainan Cu-pepek ini memang tulisan tatah "Ciok-ko-bun" (tulisan batu), ini adalah tulisan di atas batu di jaman Chunchiu.
Coba kau perhatikan, kenal tidak huruf apa yang sedang ditatah Cu-pepe?" Waktu Kwe Hu memperhatikan menurut gaya goresan pit-nya Cu-Iiu, ia lihat setiap huruf kelihatan melingkar dan lebih mirip sebuah gambar, satu huruf saja tak dikenalnya.
"Ya, ini adalah tulisan gambar dari jaman purbakala, jangankan kau, aku sendiripun tak kenal," kata Ui Yong kemudian dengan tertawa.
"Haha, apalagi si tolol orang Mongol itu, sudah tentu ia lebih2 tak paham," sorak Kwe Hu sembari bertepuk tangan, "Mak, lihatlah, bukankah dia sudah mandi keringat dan kerupukan tak keruan.
" Nyata, memang terhadap tulisan gambar jaman kuno ini, Hotu hanya paham satu-dua huruf saja, Dan karena tak mengetahui huruf apa yang bakal ditulis Cu-liu, dengan sendirinya Hotu tak bisa ber-jaga2 lebih dahulu, keruan saja seketika ia terdesak.
Sebaliknya makin lama gaya tulisan Cu-liu semakin beraksi dan bertambah kuat terutama daya tekanan It-yang-ci yang dikombinasikan itu.
Suatu ketika Hotu mengibas kipasnya ke depan dan sedikit terlambat menarik kembali, tahu2 Cu-liu sudah menutulkan pit-nya, seketika di atas kipasnya telah bertambah dengan satu huruf besar.
Ketika Hotu memeriksa tulisan itu, ia menjadi bingung.
"Apakah ini huruf "Bong?"" tanyanya tak paham.
"Bukan," sahut Cu-liu tertawa.
"lni adalah huruf "ni" !" Menyusul mana pit-nya menggores lagi, kembali kipas orang kena ditulis pula satu huruf.
"Dan ini huruf "goat" tentunya?" kata Hotu.
"Salah," ujar Cu-liu menggoyang kepala, "ltu adalah huruf "goan" !" Hotu menjadi lesu dan kewalahan, ia goyangi kipasnya dengan maksud menghindari ujung pit orang supaya jangan menulis lagi, siapa tahu justru Cu-liu mendadak memukul dengan tangan kirinya yang kosong, dan ketika Hotu menangkis, pada kesempatan itu Cu-liu telah ulur pit-nya lagi dan Kembali tambahi dua huruf di atas kipasnya.
Sekali ini benar2 Hotu kenal kedua huruf itu.
"Eh ini adalah "ban-ih" bukan!" serunya tiba-tiba.
"Haha, memang betul "ni-goar-ban-ih" !" sahut Cu-liu dengan gelak tertawa.
Memangnya para kesatria yang hadir ini semuanya benci pada penjajahan bangsa Mongol yang secara kejam membunuh rakyat tak berdosa, kini mendengar Cu-liu memaki Hotu "ni-goan-ban-ih" atau "kau adalah bangsa biadab", keruan suara sorak sorai bergemuruh seketika.
Hotu memang sudah kewalahan melayani daya serangan orang dengan ilmu "lt-yang-su-ci", kini mendengar lagi sorak sorai para kesatria itu, tentut saja semangatnya semakin kacau, selagi ia pikir paling selamat angkat kaki saja, se-konyong2, lututnya terasa kesemutan kaku, kiranya sudah kena ditutuk Cu-liu dengan gagang pit-nya.
Betapapun juga Hotu adalah anak murid tokoh terkemuka, ketika terasa lututnya lemas dan segera bakal berlutut ke hadapan orang, ia pikir jika sampai berlutut pamornya pasti akan lenyap, maka sekuatnya ia coba tarik napas panjang2 menembus Hiat-to lututnya itu, habis ini ia bermaksud melompat pergi dan mengaku kalah, siapa tahu, gerakan pit Cu-liu ternyata secepat kilat, menyusul ia sudah menutuk lagi, ia gunakan pit sebagai jari dan pakai gagang pit untuk menyerang secara berantai dengan ilmu It-yang-ci, maka tak mungkin lagi Hotu bisa menangkisnya, akhirnya iapun jadi berlutut hingga saking malunya mukanya merah padam.
Karena itu, gemuruh lagi suara sorak sorai para kesatria.
"Akalmu telah berhasil," kata Kwe Cing pada sang isteri, Ui Yong tersenyum gembira.
Disamping sana, melihat Susiok mereka begitu hebat dengan ilmu It-yang-cinya, Bu-si Hengte juga kagum luar biasa, meski ilmu jari sakti itu sudah mereka pelajari juga, namun kekuatannya terang berbeda seperti langit dan bumi dibanding sang paman guru, Saking kagumnya segera mereka hendak berseru memuji, tapi mendadak terdengar suara jeritan ngeri Cu Cu-liu, dengan cepat Bu-si Hengte menoleh, tiba2 Susiok mereka sudah menggeletak di lantai dengan kedua kakinya berkelejetan.
Perubahan yang luar biasa dan cepat ini bikin semua orang ikut kaget.
Kiranya tadi sesudah Hotu dikalahkan, Cu-liu yang baik budi bermaksud memunahkan tutukan-nya atas Hotu, sebab tutukan It-yang-ci ajaran It-teng Taysu itu berlainan dengan ilmu Tiam-hiat biasa dan orang lain sukar menolongnya, maka ia telah memijat beberapa kali bagian iga Hotu untuk menjalankan darahnya.
Siapa tahu justru hatinya yang berbudi ini mengakibatkan marabahaya bagi dirinya sendiri, ketika Hiat-tonya lancar kembali, se-konyong2 timbul maksud jahat Hotu, ia pura2 merintih sakit, sesudah berdin, mendadak ia tekan alat rahasia pada kipasnya hingga empat buah paku berbisa menyambar keluar dan menancap semua di atas badan Cu-liu.
Sebenarnya pertandingan diantara jago silat, kalau salah satu pihak sudah terkalahkan tentunya tak boleh turun tangan lagi, apalagi di bawah pandangan orang begitu banyak, siapa yang menduga Hotu mendadak akan membokong " Jika Am-gi atau senjata rahasia itu dilepaskan Hotu waktu bertanding, sekalipun paku berbisa itu tersembunyi diantara ruji2 kipasnya, dapat dipastikan tidak nanti Cu-liu bisa dicelakainya.
Tetapi kini Cu-liu lagi memunahkan Hiat-to yang ditutuknya, jaraknya tidak lebih dari satu kaki, dalam keadaan demikian sungguhpun kepandaian Cu-liu setinggi langit juga sukar menghindarkan pcmbokongan Hotu itu.
Hebatnya keempat paku berbisa itu adalah rendaman dengan lendir beracun semacam ular jahat yang hidup di daerah Tibet, lihay luar biasa kerjanya racun itu.
Begitu terkena paku itu, seketika Cu-liu merasakan seluruh badannya sakit dan gatal luar biasa, saking tak tahan ia ber-gulung2 di lantai Tentu saja gusar sekali para kesatria tercampur terkejut, be-ramai2 mereka menuding Hotu sambil mencaci maki atas perbuatannya yang keji dan tak kenal malu itu.
Namun Hotu tidak kurang alasan.
"Siau-ong dari kalah menjadikannya kemenangan kenapa harus malu?" demikian katanya dengan ketawa, "Toh sebelum bertanding kita tidak berjanji tak boleh menggunakan Am-gi.
jika tadi Cu-heng ini menggunakan Am-gi dan merobohkan Siau-ong dulu, tentu juga aku akan terima kalah dan pasrah nasib.
" Meski merasa alasan Hotu ini terlalu di-cari2 saja, tetapi seketika semua orang juga tiada jalan buat mendebatnya.
Dalam pada itu cepat sekali Kwe Cing telah maju membangunkan Cu-Iiu, ia lihat empat buah paku kecil lembut itu menancap empat segi di atas dadanya, wajah Cu-liu seperti tertawa, tetapi bukan tertawa, Kwe Cing tahu racun paku itu sangat aneh, maka lekas2 ia tutuk dulu tiga tempat Hiat-to orang sebagai pertolongan pertama untuk melambatkan jalannya darah dan menutup nadinya agar hawa racun tidak merembes ke dalam.
"Bagaimana baiknya, Yong-ji?" tanyanya kepada sang isteri.
Ui Yong tak menjawab, ia mengkerut kening, ia tahu kalau hendak memunahkan racun paku ini harus minta obat pada Hotu atau Kim-lun Hoat-ong, tetapi cara begaimana merebut obat pemunahnya, inilah yang seketika membikin dia tak berdaya.
Di samping lain, demi nampak sang Sute terluka oleh racun jahat, si Nelayan menjadi kuatir dan murka, tanpa pikir lagi ia kencangkan bajunya terus hendak melompat maju buat melabrak Hotu.
Syukur sebelum ia bertindak keburu dicegah Ui Yong yang bisa berpikir panjang, ia pertimbangkan kedudukan pihak sendiri dan pihak lawan secara keseluruhannya, ia pikir pihak lawan sudah menang sebabak, kalau si Hi-jin (nelayan) Suheng ini maju melawan Darba, soal menang atau kalah sungguh sukar diduga, karena itulah ia minta si Nelayan suka bersabar.
"Kenapa?" tanya si Nelayan.
Namun Ui Yong tidak menjawab, sungguhpun ia adalah wanita yang pintar luar biasa dengan tipu akalnya yang beraneka macamnya, tetapi sesudah mengalami kekalahan dalam babak pertama, untuk kedua babak selanjutnya betapapun juga telah membikin dia serba sulit.
Di lain pihak setelah merobohkan Cu-liu dengan akal licik, Hotu ber-seri2 berdiri di tengah kalangan sambil matanya menjalang ke sana ke mari dengan lagak yang mentang2 sudah menang.
Tiba2 dilihatnya Siao-liong-li dan Nyo Ko sedang pasang omong dengan asyiknya sambil tangan bergandeng tangan seperti sama sekali tak pandang sebelah mata padanya, keruan hati Hotu menjadi panas.
"Binatang cilik, berdiri!" bentaknya mendadak sambil menuding Nyo Ko dengan kipasnya.
Akan tetapi tatkala itu seluruh perhatian Nyo Ko lagi tercurahkan pada Siao-liong-li seorang, ia merasa dunia ini meski luas, namun tiada sesuatu urusan lain yang bisa membagi pikirannya waktu itu, Oleh karenanya, meski pertarungan Hotu lawan Cu-liu tadi begitu seru dan gempar, namun semua itu seperti tak dilihat dan tak didengar olehnya.
Selama beberapa tahun Nyo Ko tinggal di dalam kuburan kuno itu dengan Siao-liong-li, sesungguhnya ia tak tahu bahwa dirinya sudah begitu mendalam mencintai si gadis dan mengikat sehidup semati, Hari itu waktu Siao-liong-li bertanya apa mau memperisterikan dia atau tidak, karena pertanyaan itu diajukan secara mendadak dan hal mana selamanya belum pernah terbayang dalam benaknya, maka ia menjadi bingung tak bisa menjawab.
Belakangan sesudah Siao-liong-li menghilang, ia menjadi menyesal tak kepalang, pada saat itulah dalam hati beratus kali ia berkata: "Mau, tentu saja aku mau.
sekalipun aku harus mati, pasti aku inginkan Kokoh menjadi isteriku.
" Cinta asmara antara Nyo Ko dan Siao-Iiong-li timbulnya memang dalam keadaan tak terasa antara kedua muda-mudi itu, setelah saling berpisah barulah perasaan itu membakar dan sukar ditahan, Iebih2 Siao-liong-li yang sejak kecil telah mengekang diri dalam hal perasaan dan napsu, tidak punya pikiran senang juga tak pernah marah, tetapi perasaan cinta yang berasal dari pembawaan itu siapapun sukar menghindarinya, maka ketika mendadak jatuh cinta pada Nyo Ko, perasaan itu menjadi lebih hangat berpuluh kali daripada orang biasa.
Nyo Ko sendiri tak pernah kenal takut, sedang Siao-liong-li sedikitpun tak kenal segala macam tatakrama umum, ia pikir kalau aku jatuh cinta, aku boleh main cinta, mau senang boleh senang, ada sangkut paut apa dengan orang lain" Begitulah cara berpikir kedua muda-mudi itu, yang satu tak peduli, yang lain tak mau mengerti, meski berada di tengah2 ribuan orang yang sedang asyik menyaksikan pertarungan sengit itu, mereka pasang omong sendiri dengan mesra.
Bentakan Hotu tadi oleh si Nyo Ko masih tetap tak didengarnya, Keruan saja Hotu semakin murka, segera ia hendak mendamperat lagi ketika tiba2 terdengar Kim-iun Hoat-ong berseru pula dalam bahasa Tibet dengan maksud bahwa pihak sendiri sudah menangkan satu babak, maka babak kedua boleh diteruskan saja.
Sebab itu, Hotu melotot sekali pada Nyo Ko, habis ini iapun undurkan diri ke mejanya sambil berteriak: "Pihak kami sudah menang satu babak, untuk babak kedua ini yang maju adalah suhengku Darba, dan pihak kalian siapa yang akan maju?" Dalam pada itu segerapun Darba melangkah ke tengah, dari kasa (jubah padri) merahnya ia mengeluarkan semacam senjata.
Nampak senjata Darba yang hebat ini, diam2 semua orang terperanjat.
Kiranya senjata yang dia pakai adalah sebatang gada besar yang disebut "Kim-kong-hang-mo-cu" (penggada penakluk iblis) yang biasa dikenal sebagai senjata Hou-hoat Cuncia dalam agama Budha.
Hang-mo-cu senjata Darba ini panjangnya kira-kira empat kaki, pangkal gada itu sebesar mulut mangkok, batang gadanya mengkilap seperti terbikin dari emas murni, maka dapat dibayangkan bobot senjata ini pasti jauh lebih berat dari pada terbikin dari besi baja.
Sesudah berada di tengah kalangan, Darba merangkap tangannya menjalankan penghormatan pada semua orang, lalu gadanya dia lemparkan ke atas, maka terdengarlah suara gedombrangan yang keras, jatuhnya gada itu telah bikin beberapa ubin -besar ruangan pendopo itu pecah berantakan bahkan batang gada itu ambles hampir separuh ke dalam tanah.
Dengan mengunjuk gertakan ini, dapat diketahui betapa hebat berat gada itu, sungguh tidak nyana bahwa seorang Hwesio yang kurus kering seperti Darba ternyata kuat menggunakan senjata seberat itu, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga pukulannya.
"Cing-koko sudah tentu bisa taklukkan Hwesio kasar ini, cuma babak ketiga nanti kalau Hoat-ong turun tangan sendiri dan pihak kita tiada yang sanggup melawannya, maka pertandingan ini pasti kalah.
" demikian Ui Yong berpikir "Tetapi, biarlah aku tempur Hwesio ini dengan akal saja.
" Habis ini, begitu angkat tongkat bambunya Pak-kau-pang, pentung pemukul anjing, segera ia bermaksud maju.
"Jangan. . . jangan," lekas2 Kwe Cing mencegah "Kesehatanmu terganggu, mana bisa kau bergebrak dengan orang?" Sebenarnya Ui Yong sendiri juga tidak yakin pasti akan menang, jika sampai babak kedua ini kalah lagi, maka babak ketiga tidak perlu diteruskan pula, karena itu ia menjadi ragu-ragu.
"Ui-pangcu, biar aku melayani padri jahat ini," Tiba2 Tiam-jong Hi-un atau si Nelayan Pertapa murid pertama It-teng Taysu, telah menyelak maju.
Nyata sejak sutenya terkena jarum berbisa musuh hingga mengenaskan sekali penderitaannya, si Nelayan ini sudah tak sabar lagi dan ingin bisa membalas dendam itu.
Sesungguhnya Ui Yong juga sedang kerupukan tak berdaya, ia pikir tiada jalan lain lagi kecuali adu kekuatan sebisanya, kalau si Nelayan mi bisa menangkan padri Tibet, nanti Cing-koko masih bisa keras lawan keras untuk menentukan rrenang dan kalah dengan Kim-lun Hoat-ong.
"Baiklah, kalau begitu Suheng hendaklah hati2," demikian katanya kemudian.
Dalam pada itu Bu-si Hengte sudah siapkan kedua batang penggayu baja yang merupakan senjata Supek mereka, ketika dengar Ui Yong pertahankan orang maju, dengan cepat sepasang penggayu itu lantas diangsurkan kepada Tiam-gong Ki-un.
Dengan mengempit penggayu itu, majulah nian atau si Nelayan Pertana ini, tetapi ia tidak lantas menyerang, dengan muka yang merah menyala ia kelilingi Darba sekali putaran.
Keruan Darba menjadi bingung, ia tidak tahu apa2an maksud orang ini, ia lihat si Nelayan mengitar, maka iapun ikut memutar Mendadak si Nelayan menggertak sekali, kedua penggayunya diputar terus mengepruk ke atas kepala musuh.
Namun cepat sekali gerak tubuh Darba, sekali angkat tangannya, gada emas telah dia tangkiskan, Maka terdengarlah suara nyaring keras beradunya senjata gada dan penggayu, begitu hebat suaranya hingga anak telinga semua orang se-akan2 pekak.
Seketika tangan kedua belah pihak sama2 terasa pedas karena beradunya senjata itu, mereka pun sama2 tahu telah ketemukan lawan yang bertenaga raksasa, karena itu mereka sama2 melompat mundur.
Tiba2 Darba berkata sekali dalam bahasa tibet, karena tak paham apa yang diucapkan, si nelayan balas memaki orang dengan bahasa daerah Tay-li, kedua orang sama2 tak mengerti kata2 pihak lawan, Mendadak mereka saling menubruk maju lagi, senjata masing2 bergerak dan kembali suara nyaring keras terdengar.
Pertarungan seru sekali ini berlainan lagi dengan cara pertandingan Cu-liu melawan Hotu tadi yang dilakukan secara "halus", Kini boleh dikatakan keras lawan keras, masing2 sama ketemukan tandingan dan saling labrak dengan Gwakang yang lihay, saking serunya pertarungan ini hingga membikin penonton lain sama ber-debar2 dan pada terkejut.
Sebagai anak murid It-teng Taysu yang kerjanya se-hari2 hanya menggayu perahu hilir mudik melawan arus air hingga kedua lengannya terlatih kuat dengan otot2 kelihatan menonjol.
Dan karena wataknya yang polos sederhana, maka biasanya si Nelayan sangat disukai It-teng Taysu, cuma bakatnya kurang baik.
Lwekangnya tidak gampang terlatih seperti Cu Cu-liu yang cerdas, namun soal Gwakang sebaliknya lihay luar biasa.
Kini ia tempur Darba dengan gunakan Gwakang untuk saling labrak, hal ini kebetulan cocok dengan kemahirannya, maka tertampaklah sepasang penggayunya terputar dan merangsak terus secara hebat.
kedua penggayu itu setiap batang beratnya lebih 50 kati, tetapi ia bisa mengangkatnya seperti barang enteng saja bagai orang biasa menggunakan senjata ringan.
Sebenarnya Darba sangat mengagulkan tenaga raksasanya yang tiada bandingan, siapa duga kini ia justru ketemukan seorang "raksasa" juga, bukan saja tenaga lawannya besar, malahan tipu serangannya juga aneh dan hebat.
Karena itu iapun tak berani ayal, ia putar Kim-kong-cu atau gada emasnya untuk menandingi penggayu orang, kedua orang sama2 banyak me-rangsak daripada menjaga diri saja.
Tadi waktu Cu-liu melawan Hotu, para kesatria yang menyaksikan pertandingan itu sudah banyak yang menyingkir mundur karena samberan angin yang terlalu kuat, kini lebih2 lagi, tiga senjata berat saling beradu, jangankan tak tahan akan angin pukulannya, sekalipun suara benturan gada dan penggayu yang nyaring menusuk itupun terasa sukar ditahan.
Karena itu banyak diantaranya tekap kuping mereka dengan tangan untuk menyaksikan pertandingan itu.
Manusia yang bertenaga begitu besar seperti Tiam-jong Hi-un ini sesungguhnya jarang diketemukan apalagi orang yang memiliki tenaga besar yang seimbang diantara kedua tangannya serta seimbang pula dengan ilmu silat yang dipahami lalu bertempur dengan mati2an, hal ini lebih2 susah diketemukan.
Saking serunya pertempuran itu, sampai Kwe Ceng dan Ui Yong juga ikut berkeringat.
"Yong-ji, bagaimana, apa kita ada harapan menang?" tanya Kwe Cing.
"Sekarang masih belum kelihatan," sahut Ui Yong.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padahal Kwe Cing bukannya tidak tahu saat ini masih sukar membeda2kan kalah dan menang, tetapi ia akan merasa lega dan terhibur apabila bisa mendengar jawaban sang isteri yang menyatakan si Nelayan bakal menang.
Ketika berpuluh jurus sudah lewat, tenaga kedua orang itu ternyata sedikitpun tak berkurang sebaliknya semangat mereka bertambah menyala2, setiap kali Tiam-jong Hi-un menghantam dengan penggayunya, selalu diikuti dengan bentakan dan teriakan untuk menambah daya serangannya.
"Kau bilang apa?" tiba-tiba Darba menanya.
Ia berkata dengan basa Tibet, sudah tentu Hi-un tidak paham, karena itu iapun balas menanya: "Kau berkata apa?" Dengan sendirinya Darba juga tak menyaru ucapan orang, maka terjadilah cacimaki tak keruan diantara kedua orang itu sambil senjata mereka beterbangan menyamber hingga meja kursi pecah berantakan tak peduli barang apa saja, asal terkena hantaman gada atau penggayu, maka dapat dipastikan barang itu akan hancur luluh, malahan banyak yang kuatir kalau2 senjata mereka akan menghantam tiang rumah hingga gedung itu akan ambruk karenanya.
Di lain pihak Kim-lun Hoat-ong dan pangeran Hotu tidak urung juga terperanjat diam2.
tampaknya kalau pertarungan sengit itu diteruskan sekalipun Darba nanti bisa menang, namun sedikitpun tidak terhindar dari luka parah.
Tetapi dalam keadaan pertarungan seru itu, seketika sukar hendak memberhentikannya! Pertarungan mati2an itu makin lama semakin hebat, kedua orang sama meloncat ke sini dan melompat ke sana sambil menghantam dibarengi dengan suara bentakan.
Mendadak terdengar suara menggelegar keras, kedua orang sama2 membentak.
lalu ke-dua2nya sama2 melompat mundur.
Kiranya penggayu si Nelayan yang kanan telah membentur keras dengan gada emas orang karena keduanya sama2 memakai tenaga penuh, batang penggayu itu juga sedikit lebih kecil dan tidak sekukuh gada, maka penggayu itu telah patah menjadi dua.
Kutungan penggayu itu mencelat terbang dan terjatuh di hadapan Siao-liong-li hingga mengeluarkan suara nyaring.
Tatkala itu Siao-liong-li sedang bicara dengan Nyo Ko dengan asyiknya, sedikitpun ia tidak perhatikan bahwa ada sepotong besi penggayu jatuh di depannya, ketika kepingan besi itu menindih jari kakinya, dalam kagetnya ia menjerit terus meloncat bangun.
Oleh karena jeritan Siao-liong-li ini barulah Nyo Ko ikut tersadar.
"Apa kau terluka?" tanyanya cepat dan kuatir.
Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya meraba jari kakinya sembari mengunjuk rasa sakit.
Tentu saja Nyo Ko menjadi gusar, segera ia membalik tubuh hendak mencari siapa gerangan berani bikin sakit jari kaki Siao-liong-li tetapi begitu ia berpaling, ia lihat Tiam-jong Hi-tm dengan memegang penggayu patah sedang bertengkar dengan Darba dan masih ingin melanjutkan pertempuran itu dengan sebuah penggayu saja.
Naman Darba terus meng-geleng2 kepala, ia tak mau teruskan pertandingan itu lagi nyata ia tahu tenaga raksasa musuh dengan dirinya adalah setali-tiga-wang alias sama kuat, kalau bertanding terus dirinya sukar memperoleh kemenangan kini dalam hal senjata ia sudah lebih unggul, maka pertandingan ini boleh dihitung atas kemenangannya.
"Nah, dalam tiga bahak pertandingan pihak kami sudah menang dua babak, maka Bu-lim Beng-cu (ketua serikat dunia persilatan) ini dengan sendirinya jatuh atas diri guruku," demikian dengan suara lantang segera Hotu berdiri dan bicara lagi.
"Maka para. . . . " Tetapi belum habis ia berkata, mendadak Nyo Ko menyela dan menegur si Nelayan : "Hai, kenapa kau pukul Kokoh-ku dengan penggayumu?" "Aku.
. . aku ti. . . " demikian si Nelayan itu menjadi tergagap.
"Kau telan menyakiti kakinya lekas kau minta maaf padanya," kata Nyo Ko lagi.
Nampak orang hanya seorang bocah, si Nelayan anggap Nyo Ko hanya mengoceh semaunya saja, maka tidak digubrisnya.
Tak terduga, mendadak Nyo Ko ulur tangannya dan tahu2 penggayu patah itu sudah kena di-rebutnya.
"lekas kau minta maaf pada Kokoh-kui" seru Nyo Ko pula.
Dalam pada itu bukan buatan rasa mendongkolnya Hotu oleh karena pembicaraannya tadi di-bikin terputus oleh Nyo Ko.
"Binntang cilik, lekas minggir !" demikian ia membentak.
"Binatang cilik memaki siapa?" sahut Nyo Ko tiba2 sembari ayun penggayu patah itu dan menghantam.
Mendengar Nyo Ko balas tanya "binatang cilik memaki siapa", tanpa pikir Hotu terus menjawab : "Binatang cilik memaki kau !" Nyata ia telah terjebak, ia tidak tahu bahwa anak2 di daerah selatan suka menggunakan jeratan kata2 itu untuk mengadu mulut, kalau lengah sedikit, dengan sendirinya lantas tertipu.
Karena itu, maka tertawalah Nyo Ko terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, betul, binatang cilik yang memaki aku," demikian katanya geli.
Suasana di ruangan pendopo itu sebenarnya sedang tegang, tetapi karena dikacau oleh majunya Nyo Ko ini, seketika para kesatria itu ikut ketawa.
Tentu saja Hotu bertambah gusar, begitu kipas lempitnya dipentang, segera ia sabet ke atas kepala Nyo Ko.
Para kesatria yang hadir di situ semuanya berhati mulia, tadi mereka sudah menyaksikan ilmu silat Hotu yang sangat lihay, maka dapat diduga bila kipasnya ini betul2 berkenalan dengan kepala Nyo Ko, kalau tidak mampus sedikitnya pemuda ini akan terluka parah, Karena itulah be-ramai2 mereka telah ber-teriak2 : "Jangan berkelahi dengan anak kecil, tak tahu malu, besar melawan kecil !" Di samping sana secepat terbang Kwe Cing juga sudah melompat maju, selagi tangannya benak merebut kipasnya Hotu, tahu2 Nyo Ko telah unduk kepala dan dengan gampang saja menerobos di bawah tangan Hotu, malahan ketika penggayu patah itu ia tarik, dengan gaya "sian" atau menyerempet, suatu gaya istimewa dari Pak-kau-pang-hoat, tiba2 ia menjegal kaki Hotu dengan penggayu patah itu.
Karena tak men-duga2, dengan tepat Hote kesandung, ia ter-huyung2 dan hampir2 terguling jatuh, untung ilmu silatnya memang tinggi luar biasa, tubuh yang sudah kehilangan itnbangan itu secara paksa ia enjot sekuatnya ke atas untuk kemudian turun ke bawah lagi dengan tegak "Bagaimana, Ko-ji.
" "tanya Kwe Cing kuatir dan tercengang atas kejadian itu.
"Tak apa2", sahut Nyo Ko tertawa, "la pandang rendah Ang Chit kong punya Pak-kau-pang-hoat, maka aku lantas banting dia dengan gerak tipu Pak-kau-pang-hoat, biar dia kapok.
" Heran sekali Kwe Cing mendengar jawaban itu.
"Aneh, darimana kau bisa Pak-kau-pang hoat?" tanyanya.
"Tadi waktu Loh-pangcu berkelahi dengan dia, begitu lihat aku lantas berhasil mempelajarinya," demikian Nyo Ko membohong.
Kwe Cing sendiri bakatnya terlalu puntul, tetapi ia percaya tidak sedikit orang pandai di jagat ini, maka terhadap kata2 si Nyo Ko ia hanya setengah percaya setengah sangsi2.
Di lain pihak Hotu yang kena disandung sekali oleh Nyo Ko ia kira dirinya sendiri yang kurang hati2 hingga kejegal sama sekali tak dipikirnya bahwa pemuda yang usianya belum ada 20 tahun bisa memiliki ilmu silat begitu tinggi, ia pikir urusan paling penting sekarang yalah merebut Beng-cu, setelah soal ini selesai barulah bocah ini akan dibereskannya pula.
Istana Pulau Es 2 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 13
Sampai akhirnya Nyo Ko mulai bisa ke-tawa2 lagi, sejak perpisahannya dengan Siao-liong-li, agaknya untuk pertama kali inilah ia merasakan perlakuan yang hangat.
Di lain pihak, sesudah bicara panjang ini, Ui Yong merasakan perutnya rada sakit, maka pe-lahan2 ia berdiri.
"Marilah kita pulang" ajaknya kemudian.
Lalu ia gandeng tangan Nyo Ko dan berjalan pelahan.
"Kwe-pekbo, ada sesuatu urusan penting ingin kuberitahukan padamu," kata Nyo Ko sambil berjalan ia pikir berita tentang kematian Ang Chit-kong pantasnya diberitahukan lebih dahulu kepada bibinya ini.
Akan tetapi Ui Yong merasakan perutnya makin lama makin meliiit, maka napasnya menjadi rada terganggu.
"Katakan saja besok, aku.
. . aku rada kurang enak badan.
" katanya sambil mengkerut kening.
Melihat wajah orang putih lesi, Nyo Ko menjadi kuatir, ia merasa tangan orang rada dingin, maka diam2 ia kumpulkan tenaga dalam, ia salurkan semacam hawa hangat ke tangan orang yang menggandengnya itu.
Dahulu waktu melatih Giok-li-sim-keng bersama Siao-liong-li di Cong-lam-san, kepandaian cara menyalurkan ilmu melalui telapak tangan sudah dilatihnya dengan apal sekali, Tetapi kuatir kalau Lwekang yang Ui Yong pelajar bertentangan dengan apa yang diapalkannya, mula2 ia hanya gunakan sedikit tenaga saja, sesudah merasa tiada halangan barulah ia tambah tenaga dalamnya.
Ketika mendadak merasa tenaga tangan Nyo Ko menyalurkan hawa hangat yang terus-menerus, sungguh heran sekali Ui Yong, tetapi akibat hawa hangat itu, segera pula rasa sakit dan napasnya menjadi teratur kembali.
Dalam herannya ia hanya tersenyum pada Nyo Ko sebagai tanda terima kasihnya.
Dan selagi ia hendak tanya orang darimana mendapatkan ilmu itu, tiba2 dilihatnya Kwe Hu sedang berlari mendatang.
"Mak, mak, coba terka siapa yang telah datang?" demikian gadis itu ber-teriak2 sembari berlari.
"Hari ini tidak sedikit kesatria dari seluruh jagat yang hadir, dari mana aku tahu siapa dia yang datang," sahut Ui Yong tertawa, Tetapi tiba2 tergerak pikirannya, ia sambung lagi : "Ah, tentu para Susiok dan Supek kedua saudara Bu, Hayo, lekas, sudah lama kita tak bertemu dengan mereka.
" "Baik. kau sungguh hebat, sekali tebak lantas kena.
" kata Kwe Hu. "Apanya yang sukar?" sahut Ui Yong tertawa, "Kedua saudara Bu itu selamanya tak pernah meninggalkan kau, kini tiba2 tiada di sampingmu, tentunya ada sanak saudaranya yang datang," Selamanya Nyo Ko anggap dirinya sendiri cerdik dan pintar, kini melihat Ui Yong bisa berpikir seperti dewa dan masih jauh di atas dirinya, sungguh ia menjadi amat kagumnya.
"Hu-ji, selamat padamu, kau bakal tambah semacam ilmu kepandaian yang hebat lagi," tiba2 Ui Yong berkata pula.
"Ilmu kepandaian apa?" tanya Kwe Hu.
"lt-yang Ci !" mendadak Nyo Ko menyela.
"Kau mengerti apa?" omel Kwe Hu, kata2 Nyo Ko tak digubrisnya: "Mak, kau bilang ilmu apa?" "Bukankah Nyo-koko sudah bilang tadi," sahut Ui Yong tertawa.
"Ha, kiranya ibu sudah bilang padamu," ujar Kwe Hu pada Nyo Ko.
Tetapi Nyo Ko dan Ui Yong hanya tersenyum.
Dalam hati Ui Yong memikir: "Ko-ji ini sungguh berpuluh kali lebih pintar dan cerdik dari pada Bu-si Hengte, Hu-ji juga goblok, lebih2 tak masuk hitungan.
" Akan tetapi Kwe Hu masih tetap heran sebab apa ibunya memberitahukan Nyo Ko tentang hal itu.
Kiranya It-teng Taysu yang berjuluk Lam-te atau raja dari selatan, yang namanya sejajar dengan Ui Yok-su, Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, seluruhnya ia mempunyai empat murid yang disebut "Hi-Jiau-Keng-Thok" atau nelayan, tukang kayu, petani dan sastrawan Ayah Bu-si Hengte, Bu Sam-thong adalah si petani dari urut2an nomor tiga itu.
Sejak ia terluka waktu menempur Li Bok-chiu, sampai kini tak pernah kelihatan bayangannya hingga mati-hidup-nya tak diketahui.
Sekali ini yang datang menghadiri Eng-hiong-yan adalah Hi-jin dan Su-seng atau si nelayan dan si sastrawan berdua.
Setiap kali si sastrawan itu bertemu Ui Yong segera ingin adu mulut dan ukur kepandaian, kini berjumpa pula setelah berpisah hampir dua puluh tahun, sudah tentu mereka ingin unjuk kepandaian masing2 lagi dan berdebat.
Sedang si nelayan itu betul saja lantas mencari satu kamar dan menurunkan ilmu lt-yang-ci kepada Bu-si Hengte.
Sehabis makan siang, lalu kawanan pengemis anggota Kay-pang be-ramai2 berkumpul -di depan Liok-keh-ceng.
Sekali ini dilakukan timbang-terima jabatan Pangcu baru dan lama, hal ini merupakan upacara yang paling tinggi dalam kalangan Kay-pang, maka kecuali semua anak murid dari seluruh penjuru diundang hadir, ada pula jago2 dari aliran lain dan perkumpulan lain yang diundang sebagai "peninjau" Selama belasan tahun ini, Loh Yu-ka selalu mewakili Ui Yong mengatur segala urusan Kay-pang dan berlaku sangat adil, berani bertindak berani bertanggung jawab, dua golongan dalam Kay-pang, yakni yang disebut Ut-ih-pay dan Ceng-ih-pay," golongan baju kotor dan golongan baju bersih, semuanya tunduk dan percaya penuh padanya, maka upacara penyerahan jabatan yang dilakukan hari ini sebenarnya hanya upacara resmi saja.
Kemudian menurut peraturan, Ui Yong lantas umumkan penyerahan jabatan itu, lalu ia serahkan Pa-kau-pang atau pentung pemukul anjing, yakni bambu hijau yang menjadi pusaka Pangcu turun temurun itu kepada Loh Yu-ka, disusul segera para anak murid meludahi Yoh Yu-ka masing2 sekali, hingga pengemis tua ini seluruh muka dan kepala penuh air lendir, dengan begitu selesailah upacara timbang-terima jabatan Pangcu lama kepada yang baru.
Melihat cara penggantian Pangcu yang aneh ini, diam2 Nyo Ko ter-heran2.
Dan selagi ia hendak tampil ke muka untuk mengumumkan berita tentang wafat nya Ang Chit-kong, tiba2 dilihatnya seorang pengemis tua telah melompat ke atas sebuah batu besar, tangan kirinya menyunggih tinggi2 sebuah Holo besar yang berwarna coklat.
Nampak benda ini, seketika hati Nyo Ko tergetar dapat dikenalnya Holo ini bukan lain adalah benda pengisi araknya Ang Chit-kong, waktu bertemu di atas Hoa-san, dengan jelas ia lihat barang ini selalu menggemblok di punggung pengemis tua itu, belakangan waktu ia pendam mayat pengemis tua itu, iapun tanam Hiolo itu disamping tubuhnya, tetapi mengapa mendadak bisa muncul lagi di sini" Apa mungkin ada sebuah Hiolo lain yang secorak dan serupa" Sementara itu didengarnya sorak-sorai gegap gempita para pengemis demi nampak Hiolo simboI Pangcu tua mereka itu.
Selagi Nyo Ko ragu2. terdengar si pengemis tua itu sudah membuka suara lagi dengan keras: "Ada perintah dari Ang-lopangcu, aku disuruh menyampaikan nya kepada para hadirin!" Mendengar itu, sorak-surai para pengemis itu menjadi lebih hebat lagi.
Memangnya mereka sudah belasan tahun tak pernah menerima kabar berita pangcu tua mereka itu, kini mendadak dengar ada perintahnya, sudah tentu semuanya terbangun semangatnya.
"Pujikan Ang-lopangcu selamat dan panjang umur!" segera terdengar seruan salah seorang pengemis diantara orang banyak itu.
Seketika suara sorak gemuruh berkumandang lagi hingga mengguncangkan bumi.
Maklumlah Ang Chit-kong adalah seorang kesatria, seorang gagah perkasa di jaman itu, dari aliran apa dan lapisan apapun tiada seorangpun yang tak kagum padanya, lebih2 anggota Kay-pang, cinta mereka padanya boleh dikatakan melebihi orang tua sekandung sendiri.
Setelah sorak-sorai seminuman teh, suara gemuruh itu pe-lahan2 baru mereda kembali.
Melihat setiap anggota Kay-pang itu sangat bersemangat dan terharu, bahkan ada yang mengalirkan air mata, diam2 Nyo Ko pikir sendiri: "Seorang laki2 kalau bisa begini barulah tidak percuma hidup di dunia ini.
Semua orang sedang riang gembira, mana aku tega memberitahukan mereka tentang wafatnya Ang-lo-cianpwe?" Sementara itu ia dengar si pengemis tua tadi telah berkata lagi : "Tiga hari yang lalu, di Liong-ki-ce aku telah bertemu dengan Ang-lopangcu.
. . " Luar biasa kejut Nyo Ko oleh kata2 orang, "Ang-lopangcu sudah lama meninggal cara bagaimana ia bisa bertemu dengan beliau tiga hari yang lalu?" demikian Nyo Ko tidak habis mengerti Dalam pada itu pengemis tua itu telah meneruskan: "Waktu beliau tahu Ui-pangcu hendak menyerahkan jabatannya kepada Loh-pangcu, ia bilang keputusan ini sangat baik dan sangat cocok dengan maksudnya.
. . " Sampai di sini mendadak Loh Yu-ka berlutut ke hadapan pengemis itu sambil berkata dengan suara gemetar: "Tecu pasti akan lakukan sepenuh tenaga untuk membalas budi kebaikan Lopangcu, asal pekerjaan itu berpaedah bagi perkumpulan kita, sekalipun mati tak gentar.
" Pengemis tua itu sudah tentu tingkatannya lebih rendah daripada Loh Yu-ka, Pangcu yang baru ini, tetapi ia membawa Hiolo milik Ang Chit-kong, maka Loh Yu-ka berlutut terhadap Hiolo yang menjadi simbolnya Chit-kong dan bukan berlutut kepada pengemis itu.
"Ang-lopangcu bilang," demikian pengemis tua itu melanjutkan lagi, "dalam keadaan negara kacau balau ini, bangsa Mongol lambat laun mulai menjajah ke selatan hendak caplok negeri Song-raya kita, maka diharap semua anggota perkumpulan kita hendaklah berhati setia dan bernyali berani, harus bersumpah akan membunuh musuh dan melawan penjajah dari luar.
" Serentak anggota2 Kay-pang itu berteriak lagi menyatakan akur, semangat mereka sangat tinggi dan sikap mereka berani.
"Pemerintah dalam keadaan kacau, pembesar dorna berkuasa, kalau kita cuma percaya para pembesar busuk itu akan melindungi rakyat, itu sekali-kali tak bisa terlaksana," demikian pengemis tua itu bicara lagi, "Kini negara dalam bahaya, setiap orang hendaklah berjiwa patriot, sedia korban untuk nusa dan bangsa, Sayang Lopangcu lagi ada sesuatu keperluan ke daerah Utara dan tak bisa datang ke pertemuan ini, maka aku disuruh menganjurkan kalian hendaklah ingat baik2 dua huruf, yakni Tiong Gi".
Seketika para pengemis bergemuruh menyambut anjuran itu, be-ramai2 mereka berteriak: "Kami bersumpah menerima petunjuk Ang-lopangcu itu !" Sejak kecil Nyo Ko tak mendapatkan pendidikan, maka ia tak tahu apa arti "Tiong Gi" atau setia dan berbakti itu betapa besar hubungannya dengan negara, tetapi bila dilihatnya anggota2 Kay-pang itu bersikap gagah berani, tanpa terasa iapun merasakan sesuatu, ia menjadi menyesal tempo hari telah permainkan beberapa anak murid Kay-pang.
Mengenai kematian Ang Chit-kong dengan mata kepala sendiri ia saksikan betul2 terjadi malahan dia sendiri yang mengubur jenazah orang, kenapa pengemis tua ini bisa bilang tiga hari yang lalu pernah bertemu dengan dia" jika perintah itu palsu, tetapi perintah ini justru mengenai tugas yang mulia" Begitulah Nyo Ko menjadi curiga dan tak mengerti ia pikir hal ini terpaksa dibicarakan pada Ui Yong nanti.
Sehabis itu, lantas diteruskan dengan urusan2 Kay-pang tentang kenaikan pangkat dan lain2 bagi para anggota, dan karena tiada sangkut pautnya dengan orang luar, para tetamu lantas pada undurkan diri.
Malamnya, luar maupun dalam Liok-keh-ceng telah dihias dengan lampu2 lampion yang indah seperti orang punya hajat saja, meja2 perjamuan memenuhi seluruh ruangan gedung dari depan sampai belakang, seluruhnya lebih 200 meja, semua kesatria dan orang gagah dari seluruh jagat tampaknya ada separah yang hadir.
Hendaklah diketahui bahwa Eng-hiong-yan atau perjamuan kaum kesatria ini dalam beberapa puluh tahun sukar diketemukan barang sekali saja, kalau bukan tuan rumahnya luas bergaul, tidak nanti bisa mengundang tetamu yang begini banyak.
Sampai saatnya, Kwe Cing dan Ui Yong keluar mengawani tetamu utama mereka yang berada di ruangan tengah.
Tempat Nyo Ko sudah diatur oleh Ui Yong dan duduk di samping mejanya, sebaliknya Kwe Hu dan Bu-si Hengte malah sangat jauh tempat duduknya.
Semula Kwe Hu rada heran, ia pikir orang toh tak bisa ilmu silat, untuk apa dia hadiri Eng-hiong-yan ini" Tetapi bila terpikir lagi olehnya, seketika hatinya terkesiap.
"Haya, celaka, bukanlah ayah bilang mau menjodohkan aku padanya, jangan2 ibu sudah setuju lengan maksud ayah?" demikian ia membatin.
Sebab itu, makin dipikir Kwe Hu semakin takut, apalagi teringat olehnya betapa hangatnya hubungan mereka ketika ibunya menggandeng tangan Nyo Ko.
selamanya ayah-bundanya saling hormat menghormati dan harga-menghargai, kalau ayahnya berkeras dengan maksudnya, pasti ibunya tak bisa memgelak.
Karena itu, berulang kali ia melirik si Nyo Ko dengan sorot mata yang penuh marah.
KebetuIan waktu itu Bu Siu-Bun bertanya padanya: "Hu-moay, lihat itu bocah she Nyo juga duduk di situ, ia terhitung Enghiong darimana sih?" "Entah," sahut Kwe Hu mendongkol "Jika kau mampu, boleh kau mengusirnya !" Tadinya Bu-si Hetigte hanya pandang rendah pada Nyo Ko, tetapi sesudah mendengar Kwe Cing bilang hendak jodohkan puterinya padanya, tanpa terasa dalam hati mereka timbul rasa permusuhan hal ini memang bisa terjadi antara saingan rebut pacar, maka tak bisa mengalahkan mereka.
Kini mendengar kata2 Kwe Hu tadi, segera Siu-bun berpikir: "Kenapa aku tidak bikin malu dia di hadapan orang banyak ini" Subo adalah seorang yang suka unggul, kalau bocah she Nyo terjungkal di bawah tanganku, pasti ia tak akan mau terima dia sebagai menantunya.
" Setelah ambil keputusan itu, dengan It-yang-ti yang baru saja ia pelajari dari paman gurunya itu kebetulan bisa digunakan Nyo Ko sebagai kelinci percobaan.
Maka segera berkatalah Siu-bun: "la mengaku Enghiong, mengusirnya rasanya susah, adalah lebih baik naikkan dia sekalian supaya dia bisa dikenal orang banyak.
" Habis berkata, ia menuang dua cawan arak dan segera didekatinya Nyo Ko.
"Nyo-toako, marilah kusuguh kau secawan," demikian ia berkata.
Kecerdasan Nyo Ko jauh sekali di atasnya Bu-si Hengte, waktu dilihatnya orang mendekati dirinya dengan mata memandang Kwe Hu, sedang air mukanya mengunjuk rasa senang yang aneh, ia menduga orang pasti akan pakai akal licik ia pikir "Tentu dia tidak bermaksud baik dengan menyuguh arak padaku ini, Tetapi taruh racun di dalam arak rasanya iapun tidak berani.
" Maka suguhan orang tak ditolaknya, ia berdiri dan terima pemberian itu terus diminum.
Siapa duga, pada saat itu juga mendadak Siu-bun ulur jarinya dan menutuk ke pinggangnya, Siu-bun sengaja tutupi pandangan orang lain dengan tubuhnya, ia pikir asal sekali tutuk kena "Jiau-yao-hiat" tentu Nyo Ko akan ber-teriak2 dan ter-tawa2 tak keruan di hadapan orang banyak.
Namun waktu ia mendekati lebih dulu Nyo Ko sudah memperhatikan gerak-geriknya, jangankan Nyo Ko sudah ber-jaga2, sekalipun mendadak musuh membokong, dalam tingkat kepandaian Nyo Ko sekarang juga sukar hendak merobohkannya, jika turuti watak Nyo Ko yang tak mau kalah sedikitpun dengan orang lain, pasti kontan dia batas hantam orang, kalau tidak bikin Siu-bun tersungkur, tentu pula "Jiau-yao-hiat" ia tutuk balik.
Cuma sesudah percakapannya dengan Ui Yong itu, hatinya sedang gembira, maka ia menddak tak enak merobohkan orang di hadapan orang banyak, ia pikir jeIek2" Bu-si Hengte adalah anak murid paman dan bibinya.
Sebab itu, diam2 ia hanya jalankan darahnya secara terbalik menurut ilmu ajaran Auwyang Hong.
Betul saja, ketika jari Siu-bun ditutukkan, meski Hiat-to yang diarah sangat jitu, tetapi Nyo to anggap seperti tak terjadi apa2 saja.
Sekali kena, bukannya Nyo Ko roboh atau tertawa seperti yang diharapkan, bahkan pemuda ini hanya tersenyum terus duduk kembali ke tempatnya tadi.
Keruan saja Bu Siu bun ter-heran2.
terpaksa iapun kembali kemejanya.
"Koko, kenapa ilmu ajaran Supek tidak manjur?" demikian ia tanya saudaranya dengan suara tertahan.
"Apa" Tak manjur?" sahut Bu Tun-si bingung Lalu Siu-bun menceritakan pengalamannya tadi "Ah, tentu jarimu tak benar atau Hiat-to yang kau arah menceng," ujar Tun-si.
"Menceng" Mana bisa, lihat nih," bantah Siu-bun.
Berbareng ia angkat jarinya terus bergaya menutuk ke pinggang sang kakak, baik gayanya mau pun tenaganya, semuanya tepat dan jitu, sedikitpun tidak salah seperti apa yang diajarkan Supek mereka.
"Ha, tadinya aku kira It-yang-ci tentu permainan yang amat lihay, huh agaknya juga tak berguna," terdengar Kwe Hu mencemoohkan dengan mulut menjengkit.
Karena sindiran ini. Tun-si merasa penasaran mendadak ia berdiri dan menuang dua cawan arak, iapun mendekati Nyo Ko.
"Nyo-toako, sudah lama kita tak bertemu kini bersua kembali, sungguh harus dibuat girang, maka siaute juga ingin suguh kau secawan," demikian ia kata.
Diam2 Nyo Ko tertawa geli, adiknya sudah ke bentur batu, apa sang kakak juga ingin ketumbuk tembok" Maka iapun tak menolak, dengan sumpit jepit dulu sepotong daging dan tangan yang lain ia sambut arak suguhan orang sambil ucapkan terima kasih.
Tun-si lebih kasar lagi dari pada sang adik, tanpa tedeng aling2 lagi mendadak ia ulur tangan kanan dan secepat kilat menjojoh ke pinggang Nyo Ko.
Sekali ini Nyo Ko tak perlu jalankan darahnya secara terbalik lagi, dengan tenang saja ia luruskan tangannya yang memegang sumpit itu, ia gunakan potongan daging sampi yang dia cepit tadi sebagai tameng di pinggangnya yang diarah.
Saking cepatnya Nyo Ko bertindak, maka sama sekali Tun-si tak berasa, ketika jarinya kena menjojoh, dengan tepat menembus potongan daging sampi itu.
"Minum arak dengan jojoh daging sampi paling enak," kata Nyo Ko tertawa sambil meletakkan sumpitnya.
Waktu Tun-si angkat tangannya, ia lihat daging sampi itu masih mencantol di jarinya dengan air kuwah masih menetes, ia menjadi serba salah, dibuang sayang, tak dibuang bikin malu saja, ia pelototi Nyo Ko dengan gemas, lalu cepat2 kembali ke mejanya.
Melihat jari orang bertambah sepotong daging, Kwe Hu menjadi heran.
"Apakah itu?" demikian ia tanya.
Tentu saja Tun-si merah jengah tak bisa menjawab.
Begitulah selagi pemuda ini serba salah kehilangan muka, tiba2 terlihat seorang pengemis tua telah angkat cawan arak sambil berdiri.
Nyata pengemis tua ini bukan lain adalah Loh Yu-ka, pangcu baru Kay-pang.
"Seperti saudara2 sudah mendengar tadi, Ang-lopangcu telah mengirim perintah bahwa bangsa Mongol semakin nyata akan menjajah ke selatan, maka para saudara diminta berjuang mati2an untuk melawan musuh," demikian ia angkat bicara sesudah ajak minum para kesatria.
"Kini para kesatria dari seluruh jagat hampir semua berkumpul di sini semua orang berhati setia negara, maka kita harus merundingkan suatu daya-upaya untuk mencegah penjajah bangsa asing itu, dan supaya peristiwa Ong-Khong (maksudnya kedua raja Song yang ditawan negeri Kim) tak terulang lagi.
" Karena beberapa patah kata ini, keadaan hadirin seketika ramai lagi dan sama menyatakan akur.
Dalam pada itu terlihat seorang tua dengan jenggot putih perak telah berdiri juga.
"Kata pribahasa, ular tanpa kepala tak bisa berjalan, percuma saja kalau kita hanya ber-cita2 tinggi, tetapi tiada seorang pemimpin yang bijaksana, tentu pekerjaan kita akan sia2," demikian ia kata, suaranya lantang bagai genta, "Kini para kesatria berkumpul di sini, harus kita angkat seorang yang bernama tinggi, seorang gagah yang dihormati semua orang untuk menjadi pemimpin dan kita semua akan mendengar perintahnya.
" Seketika suara sorak-sorai riuh gemuruh lagi, segera pula ada yang berteriak: "Baiklah, engkau orang tua saja yang menjadi pemimpinnya !" "Ya, tak perlu lagi angkat yang lain !" sambung yang lain.
Tetapi orang tua itu bergelak tertawa.
"Haha, aku si tua bangka ini terhitung manusia macam apa?" ,demikian katanya, "Selama ini di kalangan Kangouw mengakui ilmu silat lima tokoh : Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay, Tiong-sin-thong adalah yang paling tinggi Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang sudah lama meninggal Tang-sia dan Se-tok bukan orang golongan kita, sedang Lam-te jauh di negeri Tay-li, dengan sendirinya ketua serikat ini kecuali Pak-kay Ang-locianpwe tiada yang lebih sesuai lagi.
" Memang Ang Chit-kong adalah jago utara yang tertinggi dan betul2 memenuhi harapan semua orang, maka tepuk tangan segera gemuruh lagi tanpa ada yang berlainan pendapat.
"Ya, Ang-locianpwe sudah pasti cocok untuk menjadi Ketua serikat para kesatria ini, kecuali dia, siapa lagi yang bisa taklukkan semua orang dengan ilmu silatnya dan melebihi orang Iain dengan budi pekertinya?" Demikian tiba2 di antara orang banyak itu ada seorang lagi yang berteriak, meski suaranya sangat keras, tetapi waktu pandangan orang diarahkan ke tempat datangnya suara, orangnya ternyata tidak kelihatan.
Kitanya orang itu adalah seorang cebol yang sangat pendek hingga tertutup oleh orang di sekitarnya.
"Siapakah itu yang bicara ?" segera ada yang bertanya.
Dengan cepat si cebol itu melompat ke atas meja, maka tertampaklah perawakannya yang tingginya tiada satu meter, umurnya dekat setengah abad, sebaliknya wajahnya bercahaya penuh semangat.
Sebenarnya banyak yang hendak tertawai si cebol ini, tetapi demi nampak sinar matanya yang tajam, suara tertawa mereka telah tertelan kembali mentah2.
"Cuma tindak-tanduk Ang-lopangcu sangat aneh, dalam sepuluh tahun sukar untuk ketemu dia sekali kalau dia orang tua tak di tempat, lalu jabatan Ketua serikat ini harus dipegang siapa?" demikian si cebol itu berkata pula.
Betul juga pikir semua orang.
"Scgala apa yang kita perbuat kini seluruhnya adalah untuk membela tanah air, sedikitpun kita tak punya kepentingan pribadi, maka kita harus angkat seorang Ketua muda, supaya kalau Ang-lopangcu tidak ada, kita lantas tunduk pada wakilnya ini.
" "Bagus, bagus !" demikian terdengar sorak-sorai lagi dengan ramai.
Lalu banyak lagi yang ber-teriak2 mengemukakan calonnya, "Kwe Cing, Kwe-tayhiap saja!" "Paling baik Loh-pangcu !" "Liok-cengcu, tuan rumah ini saja!" "Tidak, sebaiknya Ma-kaucu dari Coan-cin-kau!" "Atau Pangcu dari Thi-cio-pang saja!" Begitulah terdengar seruan yang simpang-siur, Selagi suasana rada kacau, tiba2 dari luar ruangan kelihatan bayangan orang berkelebat, empat tojin telah lari masuk dengan cepat, ternyata mereka adalah Hek Tay-thong, Sun Put-ti, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat.
Melihat mereka sudah pergi dan mendadak kembali lagi, Nyo Ko menjadi heran, sebaliknya Kwe Cing dan Liok Khoan-eng girang luar biasa.
Lekas2 mereka meninggalkan meja dan menyambutnya.
"Ada musuh hendak mengacau ke sini, kami sengaja datang memberi kabar, hendaklah kalian berlaku waspada dan ber-jaga2," demikian Hek Tay-thong bisiki Kwe Cing.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong dalam Coan-cin kau terhitung jagoan kelas terkemuka, di kalangan Kangouw orang yang berilmu silat lebih tinggi dari dia bisa dihitung dengan jari, kini cara mengucapkan berita itu kedengarannya rada gemetar dan kuatir, maka Kwe Cing pikir tentu yang akan datang ini pasti musuh tangguh adanya.
"Apa Auwyang Hong?" demikian Kwe Cing tanya dengan suara rendah.
"Bukan, tetapi orang Mongol yang aku sendiri pernah jatuh ditangannya itu," sahut Hek Tay-thong.
"Pangeran Hotu?" kata Kwe Cing dengan hati lega.
Dan sebelum Hek Tay-thong buka suara lagi, mendadak di luar terdengar suara tiupan tanduk yang ber-talu2, menyusul mana diselingi pula oleh suara genta yang ter-putus2 nyaring.
"Sambut tetamu agung!" segera Liok Khoan-eng berteriak.
Baru saja berhenti suaranya, tahu2 di depan ruangan pendopo itu sudah berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam lagaknya, ada yang tinggi besar, ada yang pendek kecil.
Para kesatria yang hadir ini sebenarnya lagi sorak-sorai dalam pesta pora yang ria, kini mendadak nampak munculnya orang begitu banyak, mereka rada heran, tetapi mereka sangka orang juga hendak menghadiri Eng-hiong-yan ini, setelah melihat tiada kenalan di antara orang2 itu, kemudianpun tak diperhatikan lebih jauh.
Berlainan dengan Kwe Cing yang sudah tinggi ilmu silatnya dan tajam penglihatannya, segera ia tahu gelagat tidak sewajarnya.
"Jang datang ini terlalu keras, mereka tidak mengandung maksud baik," demikian ia bisiki sang isteri Ui Yong.
Habis itu iapun berbangkit suami isteri mereka bersama Liok Khoan-eng lantas menyambut keluar.
Kwe Cing mengenali orang yang bermuka cakap berdandan sebagai putera bangsawan itu adalah Pengeran Hotu dari Mongol, sedang padri yang berjubah merah dan berkopiah emas, mukanya kurus, adalah Ciangkau atau ketua Bit-cong dari Tibet, Darba namanya.
Kedua orang ini dahulu sudah pernah dijumpainya di Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san, meski mereka terhitung jago kelas satu, tetapi ilmu silatnya masih lebih rendah dari pada dirinya, maka tak perlu ditakuti.
Cuma di tengah2 kedua orang ini masih berdiri lagi seorang padri Tibet yang juga tinggi kurus dan berjubah merah pula, kepalanya gundul licin berminyak, ubun2 atau mercu kepala tampak dekuk ke dalam.
Melihat macamnya orang, Kwe Cing dan Ui Yong telah saling pandang, pernah mereka dengar dari Ui Yok-su yang berbicara tentang ilmu silat aneh kaum Lama sekte Bit-cong di Tibet bahwa kalau sudah terlatih sampai tingkatan yang sangat tinggi, mercu kepala bisa sedikit dekuk ke dalam, kini melihat ubun2 orang ini begitu dalam dekuk-nya, apa mungkin ilmu silatnya sudah sampai tingkatan yang sukar diukur" Tetapi di kalangan Kang-ouw kenapa selama ini hanya terdengar Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, sebaliknya tak pernah dengar bahwa di Tibet terdapat seorang jago seperti dia ini" Karena itulah, mereka berdua diam2 berlaku waspada, lalu mereka membungkuk memberi hormat sambil mengucapkan selamat datang dan menyilakan duduk.
Segera Liok Khoan-eng memberi tanda perintah, para centeng segera sibuk menyediakan meja baru dan daharan2.
Bu-si Hengte sudah biasa membantu bapak dan ibu guru mereka mengurusi pekerjaan rumah tangga, Iebih2 Bu Siu-bun yang serba cepat dan giat, maka kedua saudara Bu segera pimpin para centeng itu mengatur tempat dan sediakan beberapa meja yang terhormat buat tamu agung, mereka pun minta maaf pada tetamu yang duluan supaya suka menggeser sedikit tempat luang.
Dalam pada itu, melihat Nyo Ko ikut2 hadir dalam perjamuan ini, dalam pandangan Kwe Hu rasanya kurang senang, "Hm, kau terhitung Eng-hiong macam apa" Meski Enghiong seluruh jagat mati ludas juga tidak bergilir pada dirimu?" demikian ia membatin.
Habis ini ia kedipi Bu Siu-bun sambil mulutnya merot2 ke jurusan Nyo Ko.
Maka tahulah Siu-bun maksud si gadis, segera Nyo Ko didekatinya, "Nyo-toako, tempat ini hendaklah digeser sedikit," demikian ia kata.
Habis ini, tanpa menunggu apa Nyo Ko bilang boleh atau tidak, segera ia suruh centeng memindahkan mangkok sumpit si Nyo Ko ke suatu tempat di pojok.
Tentu saja hati Nyo Ko terbakar, tetapi iapun tidak bicara, melainkan diam2 ia tertawa dingin.
Sementara itu terdengar Pengeran Hotu telah buka suara.
"Suhu, ini kuperkenalkan engkau kepada dua Enghiong dari Tionggoan yang namanya gilang-gemilang.
. . " Kwe Cing terkejut, pikirnya: "Oh, kiranya paderi Tibet tinggi kurus ini adalah gurunya.
" Dalam pada itu dilihatnya paderi Tibet itu sedang manggut2, kedua matanya melek tidak meram tidak, pangeran Hotu lantas menyambung lagi: "dan yang ini adalah Kwe Cing, Kwe-tayhiap yang pernah menjadi Ceng-se-goanswe di negeri Mongol kita, Dan yang ini lagi adalah Ui-pangcu.
" Ketika mendengar Hotu menyebut "Ceng-se-goanswe" mendadak paderi itu pentang kedua matanya hingga menyorotkan sinar tajam, ia pandang beberapa saat pada Kwe Cing, habis itu kelopak matanya menurun pula setengah menutup, sebaliknya terhadap Pangcu dari Kay-pang ternyata sama sekali tak diperhatikannya.
"lni adalah guruku, orang Tibet menyebutnya Kim-lun Hoat-ong dan oleh Hong-thayhou (ibusuri) negeri MongoI sekarang diangkat dengan gelar Houkok Taysu," demikian Pangeran Hotu berkata lagi dengan suara lantang, (Houkok Taysu = imam besar pelindung negara) Karena kerasnya suara, seluruh hadirin dengan jelas dapat mendengarnya hingga semua orang merasa heran dan saling pandang, kata mereka dalam hati: "Baru saja kita berunding untuk melawan penjajahan Mongol ke selatan, kenapa mendadak lantas datang seorang Koksu (iman negara) dari Mongol?" Kwe Cing sendiri karena memang kurang cerdas, maka seketika ia menjadi bingung cara bagaimana harus melayani tetamu yang tak diundang ini, tiada jalan lain ia hanya menuang arak dan mengajak minum pada mereka seorang demi seorang sambil mengucapkan selamat datang dan kata2 kagum.
Setelah tiga keliling menyuguh arak, tiba2 Pangeran Hotu berdiri, waktu kipas lempitnya ia pentang, tertampaklah pada kipasnya terlukiskan setangkai bunga Bo-tan yang indah sekali.
"Kedatangan kami guru dan murid hari ini untuk menghadiri Eng-hiong-yan ini walaupun dilakukan dengan muka tebal karena tidak diundang, tetapi mengingat bisa berkumpul dengan para kesatria begini banyak, terpaksa kamipun tak pikirkan lagi malu atau tidak," demikian ia bicara.
"Perjamuan demikian ini memang susah diadakan, waktunya pun susah dicari, kini kebetulan kesatria dari seluruh jagat berkumpul di sini, menurut pendapatku harus diangkat seorang Beng-cu (ketua serikat) dari para kesatria untuk memimpin Bu-Iim dan menjadi kepala para orang gagah di bumi ini, entah bagaimana pikiran kalian dengan pendapatku ini?" "Usulmu memang tepat," seru si cebol tadi, "Tadi kami baru saja angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu dan kini sedang pilih wakil ketuanya, bagaimana pendapat saudara tentang soal ini?" "Ang Chit-kong sudah lama mati, kini pilih setan sebagai Beng-cu, apa kau anggap kami ini setan juga?" sela Darba tiba2 sambil berdiri Karena kata2nya ini, seketika para kesatria itu menjadi gempar, lebih2 para anggota Kay-pang luar biasa gusarnya, mereka pada ber-teriak2.
"Baikiah, jika Ang Chit-kong belum mati, sekarang juga silakan dia tampil ke muka untuk bertemu," kata Darba pula.
Loh Yu-ka tak bisa kuasai dirinya lagi, sambil angkat tinggi2 tongkat bambu "Pak-kau-pang", segera ia berdiri.
"Selamanya Ang-pangcu berkelana dengan tiada tentu kediamannya, kau bilang mau bertemu dengan dia, apa kau anggap gampang permintaan mu ini?" demikian debatnya.
"Hm," tiba2 Darba menjengek "Jangankan mati-hidupnya Ang Chit-kong sekarang sukar diketahui, sekalipun dia berada di sini sekarang juga dengan ilmu silatnya maupun namanya, apa bisa dia memadai Suhuku Kim-Iun Hoat-ong?" Hendaklah dengarkan para kesatria yang hadir ini, Beng-cu pilihan Eng-hiong-yan hari ini, kecuali Kim-lun Hoat-ong tiada orang lain lagi yang bisa menjabatnya.
" Sampai di sini, para kesatria menjadi tahulah maksud tujuan kedatangan orang2 ini, terang mereka mendapat tahu bahwa Eng-hiong-yan ini bakal mengambil keputusan yang tidak menguntungkan pihak Mongol, maka mereka sengaja datang mengacau dan ikut berebut kedudukan Beng-cu, jika dengan ilmu silatnya Kim-lun Hoat-ong berhasil merebut kedudukan Beng-cu, meski para orang gagah perkasa dari Tionggoan tak takluk pada perintahnya, namun sedikitnya sudah melemahkan kekuatan bangsa Han, dalam perlawanannya terhadap Mongol.
Dalam keadaan demikian, seketika mereka sama memandang Ui Yong, mereka kenal kepandaian Ui Yong yang banyak tipu akalnya, mereka pikir walaupun tetamu berpuluh orang ini setinggi langit ilmu silatnya, tetapi menghadapi lawan ribuan orang yang hadir ini, tak peduli satu lawan satu ataupun secara keroyokan, pasti pihak kita tak ikan terkalahkan Maka biarlah dengarkan saja perintah Ui-pangcu serta menurut petunjuknya.
Melihat gelagatnya, Ui Yong sendiri sudah tahu utusan ini sukar diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan, maka segera iapun mulai bicara.
"Para kesatria yang hadir di sini memang sudah angkat Ang-lopangcu sebagai Beng-cu, sebaiknya Taysu (maksudnya Darba) ini mendukung Kim-lun Hoat-ong sebagai calonnya, Kalau Ang-lopangcu ada di sini, sebenarnya bisa saksikan beliau mengukur tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong! tetapi beliau justru pergi-datang tiada ketentuan tempatnya, pula tak menyangka bahwa hari ini bakal kedatangan tamu agung hingga tak bisa menunggu di sini sebelumnya, kelak kalau beliau tahu akan kejadian ini, pasti dia akan menyesal tak terhingga.
Baiknya di antara Ang-lopangcu maupun Kim-lun Hoat-ong masing2, sudah menurunkan anak murid.
Nah, sekarang biarlah murid kedua belah pihak saja yang mewakilkan guru mereka untuk bertanding?" Sebagian besar para kesatria dari Tionggoan ini cukup kenal kepandaiannya Kwe Cing yang maha tinggi, pula umurnya sedang kuat2nya, jago2 tertinggi pada jaman ini agaknya tiada lagi yang bisa menangkan dia, sekalipun Ang Chit-kong sendiri yang datang juga belum pasti bisa lebih kuat dari pada Kwe Cing, kini kalau bertanding dengan murid Kim-lun Hoat-ong, maka kemenangan sudah pasti dalam genggaman sendiri, tidak nanti bakal kalah, maka seketika mereka sama berseru akur, hingga genteng rumah tergetar oleh suara sorak gemuruh mereka.
Tetamu yang duduk di ruangan belakang ketika mendapat kabar itu, ber-duyun2 membanjir keluar juga hingga seluruh ruangan pendopo sampai keluar pintu penuh orang.
Karena pihaknya kalah suara, maka Kim-lun Hoat-ong menjadi terdesak oleh suasana itu.
Pangeran Hotu sendiri sudah pernah saling gebrak dengan Kwe Cing di Tiong-yang-kiong dahulu, ia insaf kepandaiannya masih dibawah orang.
Begitu pula silat Suhengnya, Darba, juga sebaya dengan dirinya, tidak peduli siapa diantara mereka yang maju pasti akan dikalahkan Tetapi bila menolak usul Ui Yong itu, kedudukan Beng-cu terang tak bisa lagi direbut.
Karena itu, ia menjadi bingung tak berdaya.
"Baik, Hotu, kau boleh maju coba bertanding dengan murid Ang Chit-kong," tiba2 Kim-Iun Hoat-ong berkata.
Ternyata paderi yang jauh tinggal di Tibet ini menyangka muridnya, Pangeran Hotu pasti jarang ada tandingannya, paling banyak hanya kalah terhadap Tang-sia, Se-tok dan lain jago angkatan tua saja, sama sekali tak diketahuinya bahwa muridnya itu justru pernah terjungkal di bawah tangannya Kwe Cing.
Karena perintah sang guru itu, mau-tak-mau pangeran Hotu mengiakan, namun ia toh belum berdiri.
"Suhu," demikian ia berbisik, "murid Ang Chit-kong itu terlalu hebat, Tecu mungkin sukar mengalahkan dia, jangan2 akan bikin malu nama baik Suhu saja.
" Karena penuturan ini, Kim-lun Hoat-ong rada kurang senang.
"Hm, masakah murid orang itu kau tak bisa mengalahkannya?" demikian jengeknya, "Lekas maju sana !" Hotu betul2 serba salah, ia jadi menyesal juga, tadinya tidak bilang terus terang pada sang guru tentang pengalamannya dahulu, ia menyangka dengan kepandaian gurunya yang tiada tandingannya di kolong langit, menghadiri perjamuan Eng-hiong-yan, kedudukan Beng-cu pasti akan direbutnya dengan mudah saja, siapa tahu ia sendiri justru disuruh maju melawan Kwe Cing.
Begitulah, sedang ia ragu2, tiba2 seorang laki2 gemuk dengan pakaian bangsa Mongol telah mendekatinya dan bisik2 beberapa kata di telinganya, Karena kisikan ini, seketika Hotu menjadi girang, tiba2 ia berdiri, ia pentang kipasnya dan meng-kipas-kipas.
"Selama ini kudengar Kay-pang memiliki semacam kepandaian pusaka yang disebut Pak-kau-pang-hoat, bahwa ilmu itu adalah kepandaian paling lihay yang menjadi kebanggaan Ang-Iopangcu," demikian ia berkata dengan lantang.
"Kini Siau-ong (pangeran yang rendah) yang tak becus ini ingin gunakan sebuah kipas untuk mematahkannya.
Kalau aku bisa patahkan ilmu pusakanya itu, suatu tanda kemahiran Ang Chit-kong tidak lebih hanya sebegitu saja !" Waktu orang itu kisiki Hotu mula2 Ui Yong, tak memperhatikan, tetapi mendadak orang menyinggung tentang Pak-kau-pang-hoat dan hanya beberapa patah kata saja, Kwe Cing yang ilmu silatnya paling kuat di pihak sendiri segera dikesampingkan, ia menjadi heran siapa yang kemukakan tipu-daya itu.
Waktu ia menegas, maka tahulah dia, kiranya laki2 gemuk itu bukan lain adalah Peng- tianglo, satu diantara empat Tianglo atau tertua, dalam Kay-pang.
Kini Peng-tianglo memihak Mongol hingga sudah tukar dandanan bangsa Mongol puIa, hanya dia ini saja yang tahu bahwa Pa kau-pang-hoat tidak pernah diturunkan kepada orang Iain kecuali Pangcu dari Kay-pang sendiri, sedangkan Kwe Cing meski tinggi kepandaiannya, Pak-kau-pang-hoat ini ia justru tak paham.
Kini Hotu singgung2 Pak-kau-pang-hoat, terang ia menantang terhadap dirinya yang menjadi pangcu lama dan Loh Yu-ka yang menjadi Pangcu baru, Loh Yu-ka belum lengkap mempelajari ilmu permainan pentung itu dan belum dapat dipergunakan menghadapi musuh, dengan sendirinya ia sendirilah yang harus maju.
Kwe Cing cukup tahu Pak-kau-pang-hoat sang isteri tiadatandingannya di kolong langit ini, menduga dan yakin pasti bisa kalahkan Hotu, cuma beberapa bulan paling akhir ini semangat sang isteri selalu lesu dan tenaga kurang, kandungannya baru tumbuh, Se-kali2 tak-boleh bergebrak dengan orang.
Karena itu, segera ia melangkah maju ke tengah.
"Pak-kau-pang-hoat Ang-lopangcu selamanya tak sembarangan digunakan, baiknya kau belajar kenal saja dengan Hang-liong-sip-pat-ciang ajaran beliau ini," segera ia menantang.
Melihat langkah Kwe Cing kuat bertenaga, diam2 Kim-Iun Hoat-ong terkejut, meski matanya kelihatan meram tidak melek tidak "Orang ini memang nyata bukan lawan lemah," demikian ia membatin.
Sementara itu Hotu telah bergelak ketawa.
"Haha, di Cong lam-san dahulu Siau-ong sudah pernah berjumpa sekali denganmu, tatkala itu kau mengaku anak murid Ma Giok dan Khu Ju-It, kenapa sekarang memalsukan diri sebagai muridnya Ang Chit-kong lagi?" tegurnya pada Kwe Cing.
Dan sebelum orang menjawab, Hotu mendahului menyambung lagi: "Ya, satu orang angkat beberapa guru juga lumrah Cuma hari ini adalah gilran Kim-lun Hoat-ong bertanding dengan Ang Chit-kong, meski tinggi ilmu silatmu, tapi kau dapat dari beberapa perguruan, rasanya sukar memperlihatkan ilmu kepandaian sejati dari Ang-lopangcu.
" Demikian debatnya panjang lebar dan beralasan juga, dasar Kwe Cing memang tak pandai bicara, ia menjadi Iebih tergagap tak bisa menjawab, sebaliknya para kesatria lain seketika menjadi ramai sambil ber-teriak2.
"Kalau berani, hayo, bertanding saja dengan Kwe-tayhiap! Kalau tak berani boleh lekas kempit ekor dan enyah dari sini!" "Kwe-tayhiap adalah anak murid lurus Ang-lopangcu, kalau dia tak bisa mewakilkan gurunya siapa lagi yang cocok mewakili ?" "Kau boleh coba rasakan enak tidaknya Hangliong-sip-pat-ciang, habis itu baru kau cicipi lagi Pak-kau-pang-hoat juga belum terlambat!" Begitulah teriakan mereka yang simpang-siur.
Namun pangeran Mongol itu tiba2 tertawa mengadah, waktu ia tertawa diam2 ia kerahkan tenaga dalamnya hingga suara "hahaha" yang kera2 lantang bikin genting rumah se-akan2 tergetar dan suara ribut para kesatria itu sama terdesak tenggelam.
Tentu saja semut orang sangat terkejut sungguh mereka tidak nyana dengan umur semuda orang dan berdandan sebagai bangsawan, ternyata memiliki Lwekang begini lihay.
Karena itu seketika mereka bungkam dan tenang kembali.
"Suhu, agaknya kita telah kecewaan orang.
" kata Hotu tiba2 pada Kim-lun Hoat-ong.
"Tadinya "kita menyangka hari ini benar2 diadakan Eng-hiong-yan, maka tanpa kenal capek datang dari jauh untuk ikut serta, siapa tahu yang ada di sini tidak lebih hanya manusia2 yang tamak hidup dan takut mati.
Lebih baik kita lekas pergi saja, kalau sial sampai menjadi Beng-cu manusia ini kelak diketahui oleh orang2 gagah di seluruh jagad dan mentertawai kau sudi menjadi pemimpin kawanan "kantong nasi" ini, bukankah cuma bikin noda nama baik engkau saja?" Semua orang tahu Hotu sengaja memancing agar Ui Yong mau tampil ke muka sendiri, cuma kata2nya yang terlalu menghina itu membikin semua orang sangat marah.
Tanpa pikir lagi, sekali geraki pentungnya, segera Loh Yu-ka melangkah maju.
"Cayhe adalah Pangcu bara dari Kay-pang, Loh Yu-ka," demikian ia perkenalkan diri, "Pak-kau-pang-hoat belum ada 1/10 bagian yang kupahami maka sesungguhnya belum mampu untuk di pergunakan Tetapi kau berkeras ingin cicipi rasanya pentung, baiklah, biar kupentung kau beberapa kali.
" Sebenarnya ilmu silat Loh Yu-ka sangat bagus, tetapi Pak-kau-pang-hoat atau ilmu pentung pemukul anjing biar lengkap dipelajarinya, namun tidaknya sudah menambah tidak sedikit kekuatannya," kini dilihatnya umur Hotu baru 30-an tahun, ia menduga orang sekalipun mendapatkan ajaran guru kosen, belum tentu latihannya sudah cukup ulet, ditambah iapun tahu kesehatan Ui Yong terganggu, tidak peduli kalah atau menang, tidak nanti Ui Yong disuruh maju untuk menghadapi bahaya itu.
Di lain pihak Hotu hanya berharap tidak bergebrak dengan Kwe Cing, orang lain boleh dikatakan tiada yang dia takuti karena itu, segera ia sambut baik majunya Loh Yu-ka.
"Selamat, selamat, Loh-pangcu," demikian ia pun memberi hormat.
Sementara itu centeng Liok-keh-ceng sudah menyingkirkan meja2 hingga merupakan suatu kalangan pertandingan di tengah, mereka menambahi lilin pula hingga keadaan terang benderang bagai siang hari.
"Silakanlah !" seru Hotu segera.
Berbareng itu tiba2 kipasnya mengebas, seketika angin kipasnya menyamber ke muka Loh Yu-ka, di antara angin kipasnya ternyata, membawa bau wangi.
Kuatir kalau angin itu membawa hawa beracun, lekas2 Loh Yu-ka mengegos.
Namun Hotu cepat luar biasa, mendadak kipasnya dilempit kembali hingga berwujud sebatang potlot peranti Tiam-hiat yang panjangnya 7-8 dim, terus ditutukannya ke iga lawan.
Tetapi tutukan ini ternyata tak dihiraukan Loh Yu-ka, sebaliknya ia angkat pentung bambunya terus menyabet kaki orang.
Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus luar biasa, arah yang dituju juga sama sekali tak bisa diduga orang, maka ketika pangeran Hotu melompat enteng hendak berkelit, tak terduga pentung bambu itu mendadak memutar balik secepat kilat hingga betisnya kena tersabet, ia ter-huyung2 dan lekas2 melompat mundur, dengan begitu baru ia bisa berdiri tegak lagi.
Senang sekali para kesatria melihat Loh Yu-ka berhasil hajar orang.
"Ha, anjingnya kena gebuk, tuh !" "Nah, biar kau rasakan enaknya Pak-kau-pang-hoat !" Begitulah mereka bersorak memberi semangat pada Loh Yu-ka.
Di lain pihak Hotu menjadi merah jengah karena kekalahan itu, ketika dengan enteng ia membalik tubuh, cepat sekali ia balas hantam orang dengan tangan kirinya.
Namun tahu2 Loh Yu-ka telah menendang habis itu pentungnya menyamber kian kemari dengan perubahan2 yang sukar ditangkap.
"Nyata Pak-kau-pang-hoat memang bukan omong kosong belaka !" diam2 Hotu terperanjat oleh ilmu permainan pentung itu.
Maka tak berani lagi ia pandang rendah lawannya, ia kumpulkan seluruh semangat dan tempur orang sungguh2.
Betapapun juga memang belum masak betul Loh Yu-ka mempelajari ilmu permainan pentung itu, beberapa kali dengan gampang saja sebenarnya ia bisa jungkalkan lawan, tetapi karena kalah ulat hingga serangannva gagal di tengah jalan.
Menyaksikan itu, diam2 Ui Yong dan Kwe Cing meraba sayang, Sesudah belasan jurus lagi, lambat laun kelemahan Loh Yu-ka menjadi tertampak lebih terang, Meski Nyo Ko duduk di pojok ruangan itu, tapi setiap gerak tipu orang dapat dilihatnya semua.
Kini nampak keadaan toh Yu-ka itu, diam2 ia ikut kuatir, Untung pangeran Hotu kena dihajat betisnya pada permulaan ia menjadi jeri terhadap, Pak-kau-pang-hoat yang aneh ini, maka tak berani ia terlalu mendesak kalau tidak, sejak tadi Loh Yu-ka tentu sudah dirobohkan.
Melihat gelagatnya makin jelek, Ui Yong menjadi kuatir, selagi ia hendak teriaki Loh Yu-ka undurkan diri mendadak Loh Yu-ka menggunakan suatu tipu yang disebut "sia-ta-kau-pwe" "atau menggebuk punggung anjing dari samping, begitu pentung bambu berkelebat, dengan sengit ia hantam dan tepat kena pipi kiri Hotu.
Tentu saja pangeran Mongol itu malu tercampur sakit, tanpa pikir ia pegang pentung orang, menyusul mana sebelah tangannya terus menghantam, maka terdengarlah suara "bluk" yang keras, tepat dada Loh Yu-ka kena dipukul sekali.
Habis itu, sebelah kaki Hotu menyerampang pula, segera terdengar lagi suara "krak", nyata tulang kaki Loh-Yu-ka telah patah, darah segar menyembur pula dari mulutnya, orangnya terus terguling roboh.
Dua anak murid Kay-pang berkantong delapan lekas2 menubruk maju untuk membangunkan Pangcu mereka.
Melihat cara turun tangan Hotu begitu keji, semua orang merasa gusar sekali.
Sementara itu dengan memegang pentung bambu hijau mengkilap yang baru dapat merampas itu, Pangeran Hotu tampak ber-seri2 saking senangnya.
"Ha, Pak-kau-pang-hoat yang menjadi pusaka kebanggaan Kay-pang ternyata tidak lebih hanya begini saja," demikian ia menyindir.
Karena maksudnya ingin hina perkumpulan kaum jembel pembela keadilan ini, segera ia pegang kedua ujung tongkat bambu itu, segera penting bambu itu hendak ditekuk patah di hadapan orang banyak Tak ia duga, se-konyong2 pandangannya menjadi silau, tahu2 seorang wanita muda lemah lembut telah berdiri di hadapannya.
"Nanti dulu !" terdengar wanita itu berseru.
Nyata, ia bukan lain daripada Ui Yong adanya.
Nampak gerak tubuh orang begitu cepat.
Hotu kaget. "Kau. . . " demikian baru ia buka mulut mendadak Ui Yong ulur tangannya dan kedua matanya hendak dicoloknya.
Lekas Hotu menangkis, karena itu dengan enteng pentung bambu itu telah berpindah tangan direbut kembali Ui Yong.
Tipu gerakan yang dipakai Ui Yong ini disebut "Kau-go-toat-theng" atau merebut tongkat dari mulut anjing, termasuk satu di antara tipu Pak-kau-pang-hoat yang paling lihay, tipu ini bisa berubah tanpa bisa diraba sebelumnya hingga betapa hebat lawannya pasti tak dapat hindarkan diri.
Begitulah, diiringi suara sorak sorai para kesatria, kemudian Ui Yong kembali ke tempatnya semula dan taruh tongkat bambu di sampingnya, Hotu yang ditinggalkan sendirian terpaku di tengah kalangan dengan rasa kikuk dan serba salah.
Sungguh, meski ilmu silatnya sudah terhitung-tingkat tertinggi, tetapi dengan cara bagaimana sebenarnya Ui Yong dapat merebut pentung bambu dari tangannya, hal ini bikin dia tetap bingung, ia pikir apakah wanita ini bisa ilmu sihir.
Dalam pada itu suara orang menyindir mencemoohkan yang riuh ramai, wajah gurunya lama kelamaan pun bersungut, sungguh gusar Hotu sukar dikatakan.
Tetapi iapun seorang sangat cerdik, dengan suara keras segera ia berseru: "Ui-pangcu, tongkat-mu itu sudah kukembalikan, sekarang silakan maju lagi buat coba-coba.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Dengan kata2nya ini, betul saja ada orang menyangka tadi bukannya Ui Yong yang merebut, tetapi Hotu yang kembalikan tongkat bambu itu untuk minta bertanding secara teratur.
Hanya beberapa orang yang sangat tinggi kepandaiannya yang dapat melihat sebenarnya Ui Yong telah merebut pentung itu dengan ilmu silat yang maha tinggi.
------------ Gambar --------------Sementara Kwe Cing dan lain2 berunding jago2 mana yang akan mereka ajukan dalam pertandingan tiga babak, di sana Bu-si Hengte sudah lolos pedang melabrak pangeran Hotu.
------------------------------------Di samping sana Kwe Hu menjadi dongkol mendengar kata2 Hotu itu, selamanya belum pernah gadis ini melihat seorang berani berlaku kurangajar terhadap ibunya, maka tanpa pikir, dengan cepat pedangnya telah dilolosnya.
"Hu-moay, biar aku gantikan kau maju," kata Siu-bun tiba-tiba.
Tun-si juga berpikir sama, tanpa janji kedua saudara Bu itu telah melompat ke tengah berbareng.
"lbu guruku adalah orang terhormat," demikian kata yang satu, lalu yang lain menyambung: "mana sudi dia bergebrak dengan manusia liar seperti kau ini ?" Dan yang duluan segera sambung lagi: "Kau boleh coba dulu ilmu kepandaian Siauya (tuan muda) ini!" Melihat umur kedua saudara Bu ini meski muda, tetapi gerak-geriknya tangkas dan kuat, tampaknya pernah mendapat ajaran guru pandai, diam-diam Hotu berpikir: "Kedatangan kami hari ini memang bertujuan pamer kepandaian untuk jatuhkan nama jago silat bangsa Han, kalau bisa bertarung beberapa babak adalah lebih baik.
Cuma mereka berjumlah lebih banyak, kalau terjadi keroyokan pasti sukar untuk menang.
" Karena pikiran itu, segera iapun berkatalah: "Para Enghiong yang hadir, kedua anak bawang ini ingin bertanding dengan aku, jika Siau-ong terima tantangannya, mungkin orang akan bilang aku orang tua akali anak kecil, tetapi bila tak bertanding, rasanya seperti jeri terhadap dua bocah saja, baiknya begini saja, kita janji dulu bertanding tiga babak, pihak mana bisa menangkan dua babak, itu berarti menang dan memperoleh kedudukan Beng-cu.
pertandingan Siau-ong tadi dengan Loh-pangcu boleh tak usah dihitung, sekarang juga kita mulai pertandingan yang baru, bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini ?" Beberapa kata2 itu diucapkan dengan mengagulkan kedudukannya dan menonjolkan pihaknya yang suka mengalah.
Maka Kwe Cing dan Ui Yong lantas bisik2 berunding dengan para tetamunya, mereka mengusulkan Kwe Cing, Hek Tay-thong dan si Su-seng, sastrawan murid It-teng Taysu itu sebagai tiga jago mereka, si Su-seng maju dalam babak pertama melawan Hotu, Hek Tay-thong babak kedua menempur Darba dan Kwe Cing terakhir menandingi Kim-lun Hoat-ong.
Dengan barisan jago mereka ini apa pasti menang atau tidak, sesungguhnya merekapun belum yakin, jika ilmu silat Kim-lun Hoat-ong benar2 tinggi luar biasa hingga Kwe Cing tak mampu menandingi boleh jadi tiga babak akan kalah semua, hal ini benar2 suatu kekalahan yang mengenaskan.
" Karena itu semua orang menjadi ragu2 tak berani ambil keputusan.
"Aku ada suatu akal dan pasti akan menang.
" tiba2 Ui Yong berkata.
Girang sekali Kwe Cing, selagi ia mau tanya, tiba2 didengarnya angin senjata sudah samber menyamber, ia lihat Bu-si Hengte dengan pedang mereka sudah mulai menempur Hotu dengan serunya.
Kwe Cing, Ui Yong dan si Su-seng murid It-teng Taysu merasa kuatir atas keselamatan murid mereka, mau-tak-mau mereka mengikuti pertandingan seru itu dengan penuh perhatian.
Kiranya setelah mendengar Hotu menghina mereka sebagai bocah vang masih ingusan, Bn-si Hengte menjadi tidak kepalang murkanya, lebih2 karena kata2 itu diucapkan di hadapan "si dia", bukankah hal itu membikin mereka sangat malu" Maka tanpa pikir lagi segera mereka lolos pedang terus merangsang maju.
Nyata mereka sangka ilmu silat Hotu tidak seberapa lihaynya, buktinya dengan gampang saja ibu gurunya telah dapat merebut tongkat bambu dari tangannya, mereka pikir meski Loh Yu-ka kena dikalahkan olehnya, hal ini mungkin ilmu silat Loh Yu-ka yang tak berguna, mereka juga mengunggulkan sudah mendapatkan pelajaran silat dari Kwe Cing, seorang diri mungkin bukan tandingannya, tetapi kalau dua orang maju bersama, se-kali2 tidak terkalahkan.
Siapa tahu, baru beberapa jurus saja, kedua pedang mereka sudah terkurung oleh kipasnya Hotu hingga tak bisa berkutik Hotu sengaja pamerkan kepandaiannya di depan orang banyak ia tunggu waktu Bu Siu-bun menusuk, tiba2 jari telunjuk kirinya menahan batang pedang orang ke atas, berbareng itu kipasnya mendadak diayun dari samping dan menghantam pedang orang, maka terdengarlah suara nyaring sekali, tahu2 pedang panjang itu patah menjadi dua.
Kaget sekali Bu-si Hengte, lekas2 Siu-bun melompat pergi, sebaliknya Tun-si kuatir adiknya di lukai, dari belakang segera ia tusuk punggung orang untuk memaksa musuh tak sempat mengejar Diluar dugaannya, tipu serangannya ini sudah diperhitungkan Motu sebelumnya, tanpa berpaling sedikitpun, kipas lempitnya tahu2 diputar ke belakang, dengan tepat sekali pedang Tun-si kena terkacip, berbareng itupun Hotu puntir dengan jarinya.
Kalau Tun-si memutar mengikuti puntiran kipas Hotu maka tulang pundaknya sudah pasti akan keseleo, Karena itu terpaksa ia lepaskan pedang dan melompat ke belakang, Maka tertampak-lah pedangnya mencelat ke udara sembari mengeluarkan sinar yang gemilapan untuk kemudian baru jatuh kembali.
Terkejut sekali Bu-si Hengte tercampur gusar, Tun-si siapkan telapak tangan kiri di depan dan pasang kuda2 gaya Hang-liong-sip ciang, sebaliknya Siu-bun meluruskan tangan kanan ke bawah dengan jari telunjuk menjengkit sedikit, ia menunggu bila musuh berani merangsang maju segera akan dilayaninya dengan It-yang-ci.
Melihat kuda2 kedua pemuda yang kukuh, agaknya Hotu tak berani juga memandang ringan ia pikir kemenangannya sudah cukup, lebih baik disudahi saja untuk menjaga segala kemungkinan.
Hendaklah diketahui bahwa Hang-liong-sip-pat-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) ajaran Ang Chit-kong dan It-yang-ci (ilmu jari betara surya) ajaran It-teng Taysu yang berjuluk Lam-tie atau raja dari selatan itu, kedua ilmu itu terhitung ilmu kelas wahid dalam dunia silat, meski latihan Bu-si Hengte masih cetek, tetapi kuda2 yang mereka pasang sudah begitu kuat untuk orang biasa mungkin tak mengetahui di mana letak kelihayannya, tetapi bagi Hotu tergolong ahli, diinsafinya tidak mudah untuk mengalahkannya.
"Hahaha," demikian ia bergelak ketawa, "kalian berdua silakan kembali saja, kita hanya tentukan unggul dan asor sampai di sini, tetapi tidak perlu adu jiwa !" Nyata lagu suaranya sudah banyak lebih halus daripada tadi.
Bu-si Hengte juga insaf bila menempur orang dengan tangan kosong, kekalahan mereka pasti akan lebih menyedihkan, maka dengan muka merah terpaksa mereka undurkan diri dengan lesu, mereka menyingkir ke samping, tetapi tidak berdiri di se-keliling Kwe Hu lagi.
"Bu-keh Koko, mari kita bertiga tempur dia lagi," mendadak Kwe Hu berteriak sambil mendekat mereka.
Semua orang jadi ketarik oleh teriakan si gadis, sedang Kwe Hu dengan cepat sudah lolos pedangnya.
"Hu-ji, jangan sembrono !" lekas2 Kwe Cing membentak.
Memang Kwe Hu paling takut pada sang ayah, terpaksa ia mundur kembali sambil pelototi Hotu dengan marah.
Melihat rupa si gadis yang cantik molek, dengan tersenyum Hotu memanggut.
Tetapi sekali lagi Kwe Hu pelototi orang, habis ini ia berpaling dan tak menggubrismu.
Tadinya Bu-si Hengte kuatir ditertawai Kwe Hu karena kekalahan mereka, kini melihat si gadis membela mereka dengan sesungguh hati, suatu tanda hati si gadis menaruh simpatik juga pada mereka, tentu saja mereka sangat terhibur.
"Pertandingan tadi dengan sendirinya tak terhitung juga," sementara Hotu membuka suara lagi sambil pentang kipasnya, "Kwe-tayhiap, pihak kami adalah guruku, suhengku dan Cayhe sendiri bertiga ilmu silatku paling rendah, maka babak pertama juga aku yang maju dahulu, dari pihakmu siapakah yang sudi turun kalangan memberi petunjuk sedikit padaku" Cuma harus diingat, siapa yang bakal menang atau kalah, sekarang bukan main2 lagi.
" Karena tadi mendengar Ui Yong bilang "ada akal" yang pasti akan menang, Kwe Cing yakin sang isteri yang pintar cerdik dan banyak akal, walau pun benar, diketahui apa tipu daya yang hendak di aturnya, namun dalam hati ia sudah tak takluk: "Baik," segera iapun menjawab tantangan-orang, "kita lantas tentukan unggul dan asor dalam tiga babak, pihak mana yang kalah, selanjutnya harus tunduk pada perintah Beng-cu, se-kali2 tak boleh menolak.
" Hotu tahu ilmu silat yang paling tinggi di pihak lawan adalah Kwe Cing, tetapi gurunya yakin bisa menangkannya.
Ada lagi Ui Yong, mesl tadi gunakan tipu aneh merebut tongkat dari tangannya, tetapi melihat gaya orang yang lemah lembut, kalau betul2 saling gebrak, belum tentu akan begitu lihay, sedang yang lain2 sama sekali tak terpikir olehnya.
"Baiklah, apa para hadirin yang lam ada usul pula, silakan berkata lekas," begitulah ia menanya sembari matanya memandang sekeliling ruangan "Dan nanti kalau unggul atau asor sudah diputuskan, hendaklah kalian juga tunduk pada perintah Beng-cu.
" Sebenarnya banyak kesatria2 yang hendak menjawab tantangannya, tetapi menyaksikan Loh Yu-ka dan Bu-si Hengte dikalahkan dia secara gampang saja, agaknya kepandaiannya juga belum dikeluarkan semua hingga tak diketahui masih berapa banyak ilmu silatnya yang tersimpan, maka seorangpun segan buka mulut, mereka hanya memandang Kwe Cing dan Ui Yong dan pasrah saja kepada suami isteri ini.
"Kau bilang mau maju pada bahak pertama, lalu suhengmu babak kedua dan akhirnya gurumu babak ketiga, apakah acara ini sudah pasti dan tak digeser lagi bukan?" tiba2 Ui Yong menanya.
"Ya, betul. " sahut Hotu. "Kemenangan pasti berada pada kita sudah," kata Ui Yong, tetapi bukan kepada Hotu melainkan membisiki orang2 yang berada disampingnya.
"Tipu akal apakah yang kau atur?" tanya Kwe Cing bingung.
"Jangan kuatir," sahut Ui Yong pelahan.
"Kita pasang kuda rendahan untuk menandingi kuda bagus mereka.
. . " berkata sampai disini, tiba2 Ui Yong pandang si Su-seng dari Tay-li, karena itu, dengan tersenyum Su-seng itu menyambung dengan pelahan: "dengan kuda bagus kita menandingi kuda tengahannya dan dengan kuda tengahan kita menandingi kuda jeleknya.
jika tiga babak berakhir maka tanpa susah2 Dian Ki- mendapatkan hadiah seribu emas dari raja.
" Kwe Cing tak pandai dalam hal kesusastraan, ia menjadi bingung entah apa yang mereka maksudkan.
Melihat sang suami masih belum paham, segera Ui Yong membisikinya: "Cing-koko, kau pandai dalam ilmu militer, kenapa kau melupakan tipu akal bagus dari kakek-moyang ilmu militer Sun-cu?" Karena peringatan ini barulah Kwe Cing ingat pada kitab militer yang dahulu pernah dibacanya, dimana Ui Yong pernah ceritakan suatu kisah padanya bahwa di jaman Cian-kok, panglima dari negeri Ce, Dian Ki, berlomba kuda dengan raja Ce sendiri dengan taruhan seribu tail emas.
Untuk ini Sun-cu telah ajarkan suatu akal yang pasti menang pada Dian Ki, yakni gunakan kuda paling jelek buat lawan kuda terpilih raja Ce, sebaliknya gunakan kuda pilihan sendiri untuk melawan kuda terjelek lawan dan kuda cukupan buat menandingi kuda jelek sang raja, dengan demikian hasilnya yalah menang 2 kalah l, maka hadiah 1000 tahil emas telah digondol Dian Ki.
Kini maksud Ui Yong juga mencontoh siasat Sun-cu itu.
"Cu-suheng, dengan ilmu kepandaianmu It-yang-ci, untuk mengalahkan pangeran Mongol ini tentunya tidak sulit," demikian kata Ui Yong.
Su-seng dari negeri Tay-li itu she Cu bernama Cu-liu, dahulu ilmu sastranya menjagoi negerinya dan terpilih sebagai Conggoan (suatu gelar kebesaran dlm ujian kestssasteraan tertinggi di hadapan raja dan pernah juga menjabat sebagai Caysiang (perdana menteri negeri Tayli daerah Hunlam), dengan sendirinya kepintarannya dan kecerdasannya melebihi orang biasa.
Waktu mula2 ia masuk perguruan It-teng Taysu (yang tadinya adalah Sri Bagindanya), diantara empat saudara seperguruan ber-turut2" direbut "Hi-Jiau-Keng-Tok" atau si Nelayan, si Tukang Kayu, si Petani dan si Sastrawam jadi ilmu silatnya terhitung paling rendah.
Akan tetapi sepuluh tahun kemudian ia sudah menanjak sebagai orang kedua diantara empat saudara perguruan itu, Dan kini, ilmu silatnya malah sudah jauh di atas sesama saudara seperguruan yang lain.
Lebih2 ilmu It-yang-ci boleh dikatakan sudah mewariskan seluruh kemahiran It-teng Taysu, Diambil secara rata2 ilmu silatnya meski belum setingkat dengan Kwe Cing, tetapi sudah jauh melebihi jago segolongan Ong Ju-it, Hek Tay-thong, Loh Yu-ka dan lain2.
Begitulah, maka demi mendengar kata2 sang isteri, Kwe Cing yang selamanya berpikir sederhana dan bicara terus terang, segera ia menyambung ucapan Ui Yong tadi: "Ya, Cu-suheng pasti bisa menangkan orang Mongol ini, akupun dapat mengalahkan padri Tibet Darba itu, tetapi Hek-susiok yang harus melawan Kim-lun Hoat-ong, inilah yang terlalu berbahaya, meski kalah-menang tidak banyak hubungannya lagi dengan keadaan seluruhnya, tetapi dikuatirkan musuh terlalu keji hingga Hek-susiok sukar melawannya.
" Namun Hek Tay-thung adalah seorang berjiwa besar, ia tahu pertandingan ini berhubungan dengan soal nasib negara, berbeda sama sekali dari pada perebutan nama dan keuntungan diri sendiri seperiti umumnya terjadi di kalangan Bu-lim, kalau pertandingan ini sampai dimenangkan imam negara MongoI, hal ini bukan saja dunia persilatan bangsa Han kehilangan muka, bahkan susah juga untuk bersatu padu buat melawan musuh dan membela nasib negara.
Karena itu, dengan keras segera iapun berkata.
"Soal diriku tak perlu dikuatirkan, asal bermanfaat bagi negara.
sekalipun aku harus mati di tangan musuh tidaklah menjadikan pikiranku.
" "Soal itu jangan kuatir," kata Ui Yong, "Bila dalam pertandingan tiga babak kita sudah menangkan dua babak, maka babak ketiga dengan sendirinya tak perlu dilangsungkan lagi.
" Kwe Cing menjadi girang oleh penjelasan ini, berulang kali ia menyatakan benar.
"Jika begitu tugas Cayhe nyata tidak ringan kalau tidak bisa menangkan pangeran Mongol itu tentu bakal dicaci maki oleh kesatria seluruh jagat buat selamanya," kata Cu Cu-liu dengan tertawa.
"Jangan kau merendah diri, silakan majulah," ujar Ui Yong.
Lalu Cu Cu-liu majulah ke tengah, ia kiong-chiu memberi salam kepada Hotu lebih dulu.
"Babak pertama, biarlah aku yang belajar kenal dengan Tianhe (Putera Pengeran)" demikian ia berkata, "Aku she Cu bernama Cu-iiu.
asal orang Kimbeng, Hunlam, murid It-teng Taysu, hidupku paling suka bersyair dan membaca, maka soal ilmu silat banyak yang- terlantar, hal ini hendaklah Tianhe suka banyak memberi petunjuk.
" Habis berkata, ia membungkuk memberi hormat pula, lalu dari bajunya ia keluarkan sebatang pit, ia menggores2 beberapa kali di udara, lagaknya tepat sekali sebagai seorang terpelajar.
"Semakin aneh orangnya, semakin tinggi kepandaiannya.
agaknya tidak boleh pandang enteng padanya," demikian pikir Hotu: Karena itu, iapun balas memberi hormat dan membuka suara: "Siau-ong minta belajar sedikit pada Cianpwe, silakan keluarkan senjata saja !" "Mongol adalah negeri yang masih biadab dan belum mendapat ajaran Nabi, kalau Tiante minta belajar, sudah tentu akan kuberi petunjuk seperlunya," sahut Cu-liu.
Mendongkol sekali hati Hotu oleh kata2 orang yang menghina negerinya.
"Baiklah, dan ini adalah senjataku, kau memakai golok atau pedang ?" tantangnya segera sembari kebas-kebas kipasnya.
Cu-liu tidak lantas menjawab, ia angkat dulu pit-nya dan menulis di udara satu huruf "pit", lalu dengan tertawa ia menyahut: "Selama hidupku selalu berdampingan dengan batang pit, senjata apa yang bisa kugunakan?" Waktu Hotu menegasi, ia lihat alat tulis orang memang benar2 sebatang pit yang terbuat dari garan bambu dengan ujung bulu kambing, pada bagian ujung bulu masih berlepotan tinta bak pula, sama sekali berlainan dengan Boan-koan-pit atau potlot jaksa yang terbikin dari baja yang biasa digunakan untuk Tiam-hiat oleh jago silat Dan karena merasa heran, selagi ia hendak menanya, mendadak matanya terbeliak, tahu2 dan depan dilihatnya berjalan masuk seorang gadis berbaju putih.
Setelah masuk gadis itu berdiri di depan pintu, sinar matanya mengerling pelahan pada setiap orang, agaknya ada seseorang yang sedang di-carinya.
Waktu itu sebenarnya pandangan semua orang lagi dicurahkan pada Cu-liu dan Hotu yang hampir saling gebrak itu, tetapi begitu si gadis baju putih itu masuk, tanpa tertahan sinar mata semua orang beralih kepadanya, wajah gadis itu kelihatan putih lesi seperti orang habis sakit, dibawah sinar lilir yang terang benderang, wajahnya sedikitpun tiada warna darah, namun hal ini semakin menunjukkan kehalusan si gadis yang lain dari pada yang lain, wajahnya pun cantik luar biasa.
Biasanya orang suka menggunakan kata2 "secantik bidadari" sebagai bahasa hiasan untuk wanita cantik tetapi betapa cantiknya bidadari sebenarnya, siapapun tiada yang tahu.
Kini demi nampak si gadis, tanpa terasa dalam hati semua orang lantas timbul kesan seperti apa yang dikatakan ?"secantik bidadari" itu.
Dalam pada itu, demi nampak si gadis baju putih itu, girang Nyo Ko bukan buatan, dadanya se-akan2 mendadak dipukul sekali dengan palu, bagaikan orang gila saja ia melompat keluar dari pojok ruangan itu terus merangkul erat2 gadis itu.
"Kokoh! Kokoh! O! Kokoh!" demikian ia berteriak-teriak.
Kiranya gadis ini memang betul Siao-Iiong-li adanya.
Setelah meninggalkan Nyo Ko di gunung Cong-lam-san, seorang diri ia telah kembali ke kamar batu dalam kuburan kuno itu dengan selulup lagi melalui lorong di bawah sungai itu.
Dahulu waktu ia masih tinggal dalam kuburan itu bersama Sun-popoh, hatinya waktu itu boleh dikatakan setenang air berhenti, sedikitpun tak berbuat tetapi sejak bertemu Nyo Ko dan sesudah mengalami banyak rintangan, hendak kembali lagi kepada ketentraman batinnya yang dulu itu ternyata sudah tidak mungkin lagi Asai dia berlatih di atas ranjang batu pualam, segera ia ingat Nyo Ko pernah tidur juga diatas ranjang itu, bila ia sedang makan menyanding meja, segera ia ingat pula si Nyo Ko selalu mendampinginya makan.
Karena itulah, ia menjadi uring2an sendiri, tidak seberapa lama ia berlatih, segera ia merasa hatinya menjadi gelisah dan sukar melatih diri lagi.
Keadaan begitu dapat dilewatkan sebulan, akhirnya ia tak tahan lagi, ia ambil keputusan buat pergi mencari Nyo Ko, kalau ketemu, cara bagaimana ia akan hadapi pemuda itu, hal ini ia sendiripun tidak tahu.
Setelah turun gunung, ia melihat segalanya serba baru baginya, sudah tentu ia tak kenal jalan pula, apalagi ke mana harus mencari si Nyo Ko" Dan karena kurang pergaulan, iapun tidak kenal tata-krama segala, siapa yang dia ketemukan segera ia tanya: "Kau melihat Nyo Ko tidak?" Bila perutnya lapar, ia ambil saja milik orang dan dimakan, ia tidak kenal apa harus membayar atau tidak.
karena itu tidak sedikit keonaran dan lelucon yang terjadi sepanjang perjaIanannya.
Baiknya semua orang melihat rupanya begitu cantik molek, siapa saja suka mengalah padanya dan tidak menarik panjang persoalannya.
Suatu hari, tanpa sengaja di dalam hoteI ia mendengar percakapan dua lelaki bahwa para kesatria dari seluruh jagat hendak pergi menghadiri Eng-hiong-yan di Liok-keh-ceng, ia menduga boleh jadi Nyo Ko berada di sana juga, maka sesudah menanya arah jalannya iapun berangkatlah menuju Liok-keh-ceng.
Diantara para kesatria yang hadir itu, kecuali Hek Tay-thong, In Ci-peng dan Thio Ci-keng bertiga, tiada orang lain lagi yang mengetahui dari mana asal usulnya Slao liong-li, cuma melihat kecantikannya sungguh luar biasa, dalam hati mereka timbul kesan yang aneh.
Dalam pada itu demi kenali Siao-liong-li, muka In Ci-peng mendadak menjadi pucat bagai mayat, tubuhnya pun gemetar, sebaliknya Ci-keng me-lirik2 sang Sute sambil tertawa dingin.
Kwe Cing dan Ui Yong juga rada heran.
"Ko-ji, nyata kau memang berada di sini, sungguh susah payah aku mencari kau," demikian kata Siao-liong-li.
Saking terharunya, Nyo Ko mengalirkan air mata.
"Kau. . . kau tak akan meninggalkan aku lagi bukan?" tanyanya dengan terguguk-guguk.
"ltulah aku tak tahu," sahut Siao-liong-li sambil geleng kepala.
"Kemana kau pergi, ke sana juga aku ikut kau," kata Nyo Ko pasti.
Begitulah, meski dalam ruangan pendopo itu ber-jubel2 dengan tetamu yang ribuan jumlahnya, tetapi kedua muda-mudi itu se-akan2 berada berduaan saja dan ber-cakap2 dengan seenaknya.
Siao-liong-li memegangi tangan Nyo Ko, hatinya entah lagi suka atau duka waktu itu.
Melihat Siao-liong-ii yang menggiurkan, meski Hotu terguncang juga hatinya, tetapi ia tidak tahu gadis ini bukan lain adalah orang yang dahulu pernah dilamarnya ke Cong-lam-san itu, ia lihat pakaian Nyo Ko compang-camping berbau busuk, tetapi sikapnya begitu kasih sayang pada si gadis, tanpa terasa timbul rasa cemburunya dan dongkoI pula.
"Hai, kami hendak adu kepandaian, kalian hendaklah menyingkir dahulu," demikian ia lantas berseru.
Tak sempat lagi Nyo Ko menjawab, iapun tidak banyak cingcong, ia gandeng tangan Siao-liong-li dan diajaknya duduk di samping kalangan untuk menceritakan pengalaman masing2 sesudah berpisah selama ini.
Nampak orang sudah minggir, lalu Hotu berpaling dan berkata lagi pada Cu Cu-liu: "Baiklah, jika kau tak pakai senjata, boleh juga kita bertanding dengan tangan kosong.
" "Bukan begitu maksudku," sahut Cu-liu se-akan2 sedang bersanjak.
"Negeri Tionghoa kami adalah negeri bermartabat tinggi dan berlainan dengan negeri Mongol yang masih liar, laki2 sejati hanya bicara secara halus, pertemuan antara sobat cukup dengan pakai pit, kini milikku hanya pit saja, buat apa harus pakai senjata?" "Kalau begitu, awas, serangan!" kata Hotu mendadak, kipasnya terpentang, segera ia menyabet ke depan.
Lekas2 Cu-liu melangkah ke samping sambil geleng2 kepala, sedang tangan kiri mendadak meraba ke depan dengan tangan kanan yang memegang pit terus mencoret ke muka Pangeran Hotu.
Melihat gerak-gerik orang enteng gesit, tipu serangannya aneh, Hotu tak berani main merangsang, ia ingin pahami dulu cara bersilat orang barulah mengambil siasat perlawanannya.
"Awas, Tianhe, pit-ku ini biasanya menjapu bersih beribu perajurit!" kata Cu-liu tertawa, berbareng itu ujung pit-nya lantas menutul lagi ke depan.
Ilmu silat Hotu meski dipelajari di daerah Tibet, tetapi gurunya, yaitu Kim-lun Hoat-ong luas sekali pengalamannya, setiap cabang, setiap aliran persilatan di daerah Tionggoan tiada yang tak dipahaminya, dan karena mulai belajar Hotu sudah ber-cita2 mau tonjolkan nama besarnya ke daerah Tionggoan, maka Kim-lun Hoat-ong pernah memberikan perincian semua tipu2 serangan lihay dari berbagai cabang dan aliran silat pada muridnya ini.
Tak terduga Cu-liu pakai senjata aneh, tipu serangannya juga lain dari yang lain, gerak-geriknya bebas, ujung pit-nya menggores ke sana dan mencoret ke sini di udara, tampaknya seperti lagi menulis saja, tetapi tempat dimana ujung pit-nya mengarah justru adalah Hiat-to atau jalan darah berbahaya di tubuh lawan.
Kiranya Cu Cu-liu ini adalah ahli seni-tulis (disamping seni-lukis, di Tiongkok dikenal juga seni-tulis, yakni mengutamakan tulisan bagus dengan gaya tersendiri yang indah dan bertenaga, ada yang disebut "Cau-su", yakni tulisan yang mendekati "coretan" secara bebas dan ada lagi yang disebut "thay-su" yang ditulis secara lugu dan orisinil) di daerah selatan, meski ia belajar silat, tetapi ilmu sastranya tak pernah dikesampingkan semakin tinggi ilmu silatnya.
akhirnya ia malah menciptakan sendiri semacam kepandaian yang dia lebur antara It-yang-ci dengan seni-tulisnya.
Karena itu, kalau lawannya tidak cukup punya dasar ilmu sastra, sungguh susah hendak melawan ilmu silatnya yang aneh ini.
Baiknya Pengeran Hotu suka berlagak terpelajar sejak kecil iapun pernah bersekolah dengan guru sastra bangsa Han, karena itu ia masih bisa menahan serangan Cu-liu, ia lihat diantara gaya tulisan orang terseling pula gaya menutuk dan di antara menutuk bergaya pula menuIis, sehingga diantara kegagahannya tercampur juga gaya lembutnya orang terpelajar.
Kwe Cing tidak paham ilmu sastra, dengan sendirinya ia ter-heran2 oleh permainan silat itu.
sebaliknya Ui Yong keturunan keluarga cendekia-wan, baik silat maupun surat lengkap dipelajari semua, kini dilihatnya ilmu silat Cu-liu yang aneh tetapi hebat ini, ia menjadi kagum tak terhingga.
Dalam pada itu, Kwe Hu yang ikut saksikan pertarungan itu agaknya merasa bingung, ia mendekati sang ibu dan menanya: "Mak, ia corat-coret dengan pit-nya kian-kemari, permainan apakah ini?" Karena seluruh perhatiannya lagi dicurahkan ke kalangan pertempuran, maka sekenanya Ui Yong menjawab : "Pang-hian-ling-pi.
" "Pang-hian-ling-pi apakah itu?" tanya lagi Kwe liu semakin bingung.
Tetapi Ui Yong lagi terpesona oleh pertarungan itu maka tak dijawabnya pertanyaan Kwe Hu.
Kiranya "Pang-hian-ling-pi" adalah suatu judul karangan yang ditulis pada suatu pilar oleh pembesar ahala Tong yang bernama di Sui-liong, tulisan itu dilakukan dengan gaya "Khay-su" yang amat bagusnya.
Dan sekarang Cu-liu telah mencemooh karangan itu dengan menulisnya pakai "It-yang-su" atau tulisan dengan It-yang-ci, ia gunakan ujung pit sebagai gantinya jari, maka setiap coretan, setiap goresan, dilakukan dengan menurut aturan dan mirip sekali seperti lagi menitis secara "Khay-su".
Meski Hotu tak kenal lihaynya It-yang-ci, tetapi sedikitnya ia masih paham setiap huruf dalam karangan "Pang-hian-ling-pi", maka sebelum alat tulis orang bergerak, ia sudah bisa menduga ke mana goresan dan coretan hendak dilakukan, dengan begitu ia bisa menjaga diri secara rapat dan belum tertampak tanda2 bakal kalah.
"Bagus!" seru Cu-liu demi nampak kepandaian Hotu memang tinggi "Dan sekarang datanglah "Chau-su", awas sedikit!" Habis ini mendadak ia copot kopiahnya terus dilempar ke lantai, lalu iapun berlari cepat ke sana kemari hingga lengan bajunya yang besar lebat ikut beterbangan, tipu2 serangan yang dilontarkan juga secara bebas di luar aturan.
Karena itu, tampaknya ia menjadi seperti orang linglung, seperti orang mabuk dan bagai orang keranjingan padahal pit-nya menggores terus sambung menyambung tak berhenti bagai ular laga yang me-lingkar2.
"Mak, apa dia sudah gendeng?" tiba2 Kwe Hu menanya lagi.
"Ehm," jawab Ui Yong acuh tak acuh, "Kalau tambahi minum arak tiga cawan, tentu gaya tulisannya akan lebih bagus.
" Habis berkata, ia angkat poci arak terus menuangi penuh2 secawan "Cu-toako," teriak Ui Yong, ?"silakan minum tiga cawan buat menambah semangatmu.
" Berbareng itu, tangan kirinya memegang cawan, dengan jari kanan mendadak ia menyentil cawan itu, maka tertampaklah cawan arak itu terbang ke depan dengan antengnya, itu adalah ilmu tenaga jari sakti ajaran ayah Ui Yong yang tak ada bandingannya.
Mendadak Cu-liu tutul sekali pit-nya hingga Hotu terdesak mundur, pada saat itu pula cawan arak itu disambernya terus ditenggak habis, menyusui mana Ui Yong sudah menyentilkan cawan kedua dan ketiga be-runtun2.
Alangkah gusarnya Pangeran Hotu melihat kedua orang itu main suguhkan arak dalam keadaan bertempur, sama sekali tak pandang sebelah mata atas dirinya, segera ia bermaksud sampuk jatuh cawan arak orang, tetapi diwaktu Ui Yong menyentilkan cawannya tadi, selalu ia iringi gaya coretan pit-nya Cu-liu dan selalu menerobos di tempat luang, maka sama sekali Hotu tak mampu menyampuknya.
"Banyak terima kasih," seru Cu-liu sesudah keringkan tiga cawan arak "Sungguh tenaga jari sakti yang hebat!" "Kau juga.
Sweih-tiap yang tajam sekali!" balas Ui Yong memuji dengan tertawa.
Cu-liu tertawa senang, dalam hati iapun kagum sekali terhadap kepintaran Ui Yong, hanya sekali lihat saja sudah dapat mengetahui ilmu silat ciptaannya yang terlatih selama belasan tahun ini.
Di lain pihak sejak tadi Kim-lun Hoat-ong mengikuti juga pertarungan itu dengan cermat, melihat muridnya lambat laun mulai terdesak di bawah angin, mendadak ia berseru: "Akuskintel mimoasten, cilcialci!" -------- gambar ------------Cu Cu-liu kembangkan gaya seni-tulis yang dikombinasikan It-yang-ci menggoda dan mempermainkan Hotu.
------------------------------Semua orang menjadi bingung, tiada yang paham apa arti bahasa Tibet yang diucapkan itu.
sebaliknya Pangeran Hotu tahu bahwa gurunya sedang memperingatkan agar jangan mau bertahan saja, tetapi harus main serobot ikut menyerang dan keras lawan keras dengan ilmu "Hong-hong siok-lui-kang" atau ilmu badai menderu dan petir menyamber.
Karena peringatan itu, Hotu bersuit panjang, diantara suaranya itu se-akan2 membawa suara topan dan guntur yang gemuruh, berbareng kipasnya menyabet dan lengan baju mengebas hingga menerbitkan samberan angin keras, secepat kilat ia tubruk Cu Cu-liu.
Begitu keras tenaga pukulan dan samberan angin yang dikeluarkan serangan Hotu hingga semua orang yang menonton lambat-laun terdesak minggir sedang mulut Hotu masih tiada hentinya mem-bentak2 dengan gelegar untuk menambah semangat.
Kiranya ilmu yang disebut "Hong-liong-siok-lui-kang" ini memang mengutamakan bentakan2 dan gertakan2 keras sebagai salah satu cara mengalahkan musuh yang lihay.
Namun Cu-liu gesit luar basa, ia melompat kian kemari dengan bebas dan tak gentar, kekuatan mereka ternyata sembabat.
Begitulah, setelah ratusan jurus lewat, mendadak Cu-liu ubah lagi gaya menulisnya, tiba2 gerak tangannya menjadi lamban, coretan pit-nya seperti menjadi sempit dan kaku.
Sebaliknya Hotu masih terus gunakan ilmu Hong-hong-siok-lui-kang" untuk melawan, cuma tenaga lawannya makin bertambah kuat, terpaksa iapun kerahkan seluruh tenaga pada kipasnya, suara bentakan2 dan geramannya juga semakin hebat.
Karena itu, penonton2 yang sedikit rendah, ilmu silatnya menjadi tak tahan berdiri terlalu dekat, setindak demi setindak mereka terpaksa mundur terus ke belakang.
Sementara itu, ketika Ui Yong berpaling, ia lihat Nyo Ko sedang duduk berendeng dengan Siao-liong-li di samping sebuah tiang ruangan rumah itu, Meski jarak mereka tidak lebih setombak dari kalangan pertempuran, namun mereka masih tetap ber-cakap2 dengan asyiknya, terhadap pertarungan sengit di samping ternyata tak diperhatikannya sama sekali, bahkan angin pukulan yang diterbitkan oleh Hotu juga sedikitpun tak mengganggu mereka, hanya ujung baju Siao-liong-li saja yang kelihatan rada ber-goyang2 tertiup angin, tetapi gadis ini tetap seperti anggap sepele saja, dengan wajah penuh rasa cinta asmara ia sedang memandang Nyo Ko dengan mesra.
Makin dilihat, Ui Yong menjadi semakin heran, sampai akhirnya ia menjadi lebih banyak memandang si Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua dari pada memperhatikan pertarungan antara Hotu dan Cu-liu.
"Tampaknya anak dara ini memiliki ilmu silat yang maha tinggi, sedang Ko-ji begitu rapat hubungannya dengan dia, entah dia anak murid siapakah ?" demikian ia membatin.
Begitulah, Siao-liong-li dalam pandangan Ui Yong masih dianggap anak dara saja, padahal waktu itu umur Siao-liong-li sudah lebih 20 tahun, cuma karena sejak kecil ia dibesarkan di dalam kuburan kuno yang tak tertembus sinar matahari, maka kulit badannya menjadi halus luar biasa.
Lwekangnya juga tinggi, maka tampaknya menjadi sepandan nona yang berumur 17-18 tahun.
Sebenarnya kalau Siao-liong-li tidak ketemukan Nyo Ko dan turut ajaran gurunya melatih diri tanpa sesuatu gangguan perasaan, bukan saja umur 100 tahun pasti bisa dicapainya, bahkan kalau sudah berumur seabad, badan dan wajahnya serupa saja dengan orang yang berumur 50-an.
Oleh sebab itulah, dalam pandangan Ui Yong tampaknya Siao-liong-li malah lebih muda daripada Nyo Ko, sedang gerak-geriknya, wajahnya yang polos dan masih ke-kanak2an malahan lebih nyata kelihatan dibanding Kwe Hu, pantas kalau Siao-liong-li disangkanya masih anak dara cilik.
Dalam pada itu, goresan pit Cu-liu makin lama makin lambat, tetapi bertambah kuat, diam2 Hotu terkejut dan mulai kewalahan.
"Mamipami, kushis !" tiba2 Kim-lun Hoat-ong membentak.
Meski apa yang dikatakan itu tiada yang paham, namun suara bentakannya itu terlalu keras hingga memekak telinga.
Mendengar Kim-lun Hoat-ong berulang kali memberi petunjuk pada muridnya, akhirnya Cu-liu menjadi gopoh juga, ia pikir kalau orang berganti permainannya lagi, pertandingan ini harus berlangsung sampai kapan" Se-konyong2 ia mendahului ganti corat-coret tulisannya, kini gayanya tidak seperti orang menulis lagi melainkan seperti orang sedang menatah sesuatu di atas batu.
Gaya ini agaknya sekarang dapat dipahami Kwe Hu.
"Mak, apakah Cu-pepek lagi mengukir tulisan ?" demikian ia tanya sang ibu lagi.
"Ha, agaknya anakku toh tidak terlalu bo-doh," sahut Ui Yong tertawa, "Permainan Cu-pepek ini memang tulisan tatah "Ciok-ko-bun" (tulisan batu), ini adalah tulisan di atas batu di jaman Chunchiu.
Coba kau perhatikan, kenal tidak huruf apa yang sedang ditatah Cu-pepe?" Waktu Kwe Hu memperhatikan menurut gaya goresan pit-nya Cu-Iiu, ia lihat setiap huruf kelihatan melingkar dan lebih mirip sebuah gambar, satu huruf saja tak dikenalnya.
"Ya, ini adalah tulisan gambar dari jaman purbakala, jangankan kau, aku sendiripun tak kenal," kata Ui Yong kemudian dengan tertawa.
"Haha, apalagi si tolol orang Mongol itu, sudah tentu ia lebih2 tak paham," sorak Kwe Hu sembari bertepuk tangan, "Mak, lihatlah, bukankah dia sudah mandi keringat dan kerupukan tak keruan.
" Nyata, memang terhadap tulisan gambar jaman kuno ini, Hotu hanya paham satu-dua huruf saja, Dan karena tak mengetahui huruf apa yang bakal ditulis Cu-liu, dengan sendirinya Hotu tak bisa ber-jaga2 lebih dahulu, keruan saja seketika ia terdesak.
Sebaliknya makin lama gaya tulisan Cu-liu semakin beraksi dan bertambah kuat terutama daya tekanan It-yang-ci yang dikombinasikan itu.
Suatu ketika Hotu mengibas kipasnya ke depan dan sedikit terlambat menarik kembali, tahu2 Cu-liu sudah menutulkan pit-nya, seketika di atas kipasnya telah bertambah dengan satu huruf besar.
Ketika Hotu memeriksa tulisan itu, ia menjadi bingung.
"Apakah ini huruf "Bong?"" tanyanya tak paham.
"Bukan," sahut Cu-liu tertawa.
"lni adalah huruf "ni" !" Menyusul mana pit-nya menggores lagi, kembali kipas orang kena ditulis pula satu huruf.
"Dan ini huruf "goat" tentunya?" kata Hotu.
"Salah," ujar Cu-liu menggoyang kepala, "ltu adalah huruf "goan" !" Hotu menjadi lesu dan kewalahan, ia goyangi kipasnya dengan maksud menghindari ujung pit orang supaya jangan menulis lagi, siapa tahu justru Cu-liu mendadak memukul dengan tangan kirinya yang kosong, dan ketika Hotu menangkis, pada kesempatan itu Cu-liu telah ulur pit-nya lagi dan Kembali tambahi dua huruf di atas kipasnya.
Sekali ini benar2 Hotu kenal kedua huruf itu.
"Eh ini adalah "ban-ih" bukan!" serunya tiba-tiba.
"Haha, memang betul "ni-goar-ban-ih" !" sahut Cu-liu dengan gelak tertawa.
Memangnya para kesatria yang hadir ini semuanya benci pada penjajahan bangsa Mongol yang secara kejam membunuh rakyat tak berdosa, kini mendengar Cu-liu memaki Hotu "ni-goan-ban-ih" atau "kau adalah bangsa biadab", keruan suara sorak sorai bergemuruh seketika.
Hotu memang sudah kewalahan melayani daya serangan orang dengan ilmu "lt-yang-su-ci", kini mendengar lagi sorak sorai para kesatria itu, tentut saja semangatnya semakin kacau, selagi ia pikir paling selamat angkat kaki saja, se-konyong2, lututnya terasa kesemutan kaku, kiranya sudah kena ditutuk Cu-liu dengan gagang pit-nya.
Betapapun juga Hotu adalah anak murid tokoh terkemuka, ketika terasa lututnya lemas dan segera bakal berlutut ke hadapan orang, ia pikir jika sampai berlutut pamornya pasti akan lenyap, maka sekuatnya ia coba tarik napas panjang2 menembus Hiat-to lututnya itu, habis ini ia bermaksud melompat pergi dan mengaku kalah, siapa tahu, gerakan pit Cu-liu ternyata secepat kilat, menyusul ia sudah menutuk lagi, ia gunakan pit sebagai jari dan pakai gagang pit untuk menyerang secara berantai dengan ilmu It-yang-ci, maka tak mungkin lagi Hotu bisa menangkisnya, akhirnya iapun jadi berlutut hingga saking malunya mukanya merah padam.
Karena itu, gemuruh lagi suara sorak sorai para kesatria.
"Akalmu telah berhasil," kata Kwe Cing pada sang isteri, Ui Yong tersenyum gembira.
Disamping sana, melihat Susiok mereka begitu hebat dengan ilmu It-yang-cinya, Bu-si Hengte juga kagum luar biasa, meski ilmu jari sakti itu sudah mereka pelajari juga, namun kekuatannya terang berbeda seperti langit dan bumi dibanding sang paman guru, Saking kagumnya segera mereka hendak berseru memuji, tapi mendadak terdengar suara jeritan ngeri Cu Cu-liu, dengan cepat Bu-si Hengte menoleh, tiba2 Susiok mereka sudah menggeletak di lantai dengan kedua kakinya berkelejetan.
Perubahan yang luar biasa dan cepat ini bikin semua orang ikut kaget.
Kiranya tadi sesudah Hotu dikalahkan, Cu-liu yang baik budi bermaksud memunahkan tutukan-nya atas Hotu, sebab tutukan It-yang-ci ajaran It-teng Taysu itu berlainan dengan ilmu Tiam-hiat biasa dan orang lain sukar menolongnya, maka ia telah memijat beberapa kali bagian iga Hotu untuk menjalankan darahnya.
Siapa tahu justru hatinya yang berbudi ini mengakibatkan marabahaya bagi dirinya sendiri, ketika Hiat-tonya lancar kembali, se-konyong2 timbul maksud jahat Hotu, ia pura2 merintih sakit, sesudah berdin, mendadak ia tekan alat rahasia pada kipasnya hingga empat buah paku berbisa menyambar keluar dan menancap semua di atas badan Cu-liu.
Sebenarnya pertandingan diantara jago silat, kalau salah satu pihak sudah terkalahkan tentunya tak boleh turun tangan lagi, apalagi di bawah pandangan orang begitu banyak, siapa yang menduga Hotu mendadak akan membokong " Jika Am-gi atau senjata rahasia itu dilepaskan Hotu waktu bertanding, sekalipun paku berbisa itu tersembunyi diantara ruji2 kipasnya, dapat dipastikan tidak nanti Cu-liu bisa dicelakainya.
Tetapi kini Cu-liu lagi memunahkan Hiat-to yang ditutuknya, jaraknya tidak lebih dari satu kaki, dalam keadaan demikian sungguhpun kepandaian Cu-liu setinggi langit juga sukar menghindarkan pcmbokongan Hotu itu.
Hebatnya keempat paku berbisa itu adalah rendaman dengan lendir beracun semacam ular jahat yang hidup di daerah Tibet, lihay luar biasa kerjanya racun itu.
Begitu terkena paku itu, seketika Cu-liu merasakan seluruh badannya sakit dan gatal luar biasa, saking tak tahan ia ber-gulung2 di lantai Tentu saja gusar sekali para kesatria tercampur terkejut, be-ramai2 mereka menuding Hotu sambil mencaci maki atas perbuatannya yang keji dan tak kenal malu itu.
Namun Hotu tidak kurang alasan.
"Siau-ong dari kalah menjadikannya kemenangan kenapa harus malu?" demikian katanya dengan ketawa, "Toh sebelum bertanding kita tidak berjanji tak boleh menggunakan Am-gi.
jika tadi Cu-heng ini menggunakan Am-gi dan merobohkan Siau-ong dulu, tentu juga aku akan terima kalah dan pasrah nasib.
" Meski merasa alasan Hotu ini terlalu di-cari2 saja, tetapi seketika semua orang juga tiada jalan buat mendebatnya.
Dalam pada itu cepat sekali Kwe Cing telah maju membangunkan Cu-Iiu, ia lihat empat buah paku kecil lembut itu menancap empat segi di atas dadanya, wajah Cu-liu seperti tertawa, tetapi bukan tertawa, Kwe Cing tahu racun paku itu sangat aneh, maka lekas2 ia tutuk dulu tiga tempat Hiat-to orang sebagai pertolongan pertama untuk melambatkan jalannya darah dan menutup nadinya agar hawa racun tidak merembes ke dalam.
"Bagaimana baiknya, Yong-ji?" tanyanya kepada sang isteri.
Ui Yong tak menjawab, ia mengkerut kening, ia tahu kalau hendak memunahkan racun paku ini harus minta obat pada Hotu atau Kim-lun Hoat-ong, tetapi cara begaimana merebut obat pemunahnya, inilah yang seketika membikin dia tak berdaya.
Di samping lain, demi nampak sang Sute terluka oleh racun jahat, si Nelayan menjadi kuatir dan murka, tanpa pikir lagi ia kencangkan bajunya terus hendak melompat maju buat melabrak Hotu.
Syukur sebelum ia bertindak keburu dicegah Ui Yong yang bisa berpikir panjang, ia pertimbangkan kedudukan pihak sendiri dan pihak lawan secara keseluruhannya, ia pikir pihak lawan sudah menang sebabak, kalau si Hi-jin (nelayan) Suheng ini maju melawan Darba, soal menang atau kalah sungguh sukar diduga, karena itulah ia minta si Nelayan suka bersabar.
"Kenapa?" tanya si Nelayan.
Namun Ui Yong tidak menjawab, sungguhpun ia adalah wanita yang pintar luar biasa dengan tipu akalnya yang beraneka macamnya, tetapi sesudah mengalami kekalahan dalam babak pertama, untuk kedua babak selanjutnya betapapun juga telah membikin dia serba sulit.
Di lain pihak setelah merobohkan Cu-liu dengan akal licik, Hotu ber-seri2 berdiri di tengah kalangan sambil matanya menjalang ke sana ke mari dengan lagak yang mentang2 sudah menang.
Tiba2 dilihatnya Siao-liong-li dan Nyo Ko sedang pasang omong dengan asyiknya sambil tangan bergandeng tangan seperti sama sekali tak pandang sebelah mata padanya, keruan hati Hotu menjadi panas.
"Binatang cilik, berdiri!" bentaknya mendadak sambil menuding Nyo Ko dengan kipasnya.
Akan tetapi tatkala itu seluruh perhatian Nyo Ko lagi tercurahkan pada Siao-liong-li seorang, ia merasa dunia ini meski luas, namun tiada sesuatu urusan lain yang bisa membagi pikirannya waktu itu, Oleh karenanya, meski pertarungan Hotu lawan Cu-liu tadi begitu seru dan gempar, namun semua itu seperti tak dilihat dan tak didengar olehnya.
Selama beberapa tahun Nyo Ko tinggal di dalam kuburan kuno itu dengan Siao-liong-li, sesungguhnya ia tak tahu bahwa dirinya sudah begitu mendalam mencintai si gadis dan mengikat sehidup semati, Hari itu waktu Siao-liong-li bertanya apa mau memperisterikan dia atau tidak, karena pertanyaan itu diajukan secara mendadak dan hal mana selamanya belum pernah terbayang dalam benaknya, maka ia menjadi bingung tak bisa menjawab.
Belakangan sesudah Siao-liong-li menghilang, ia menjadi menyesal tak kepalang, pada saat itulah dalam hati beratus kali ia berkata: "Mau, tentu saja aku mau.
sekalipun aku harus mati, pasti aku inginkan Kokoh menjadi isteriku.
" Cinta asmara antara Nyo Ko dan Siao-Iiong-li timbulnya memang dalam keadaan tak terasa antara kedua muda-mudi itu, setelah saling berpisah barulah perasaan itu membakar dan sukar ditahan, Iebih2 Siao-liong-li yang sejak kecil telah mengekang diri dalam hal perasaan dan napsu, tidak punya pikiran senang juga tak pernah marah, tetapi perasaan cinta yang berasal dari pembawaan itu siapapun sukar menghindarinya, maka ketika mendadak jatuh cinta pada Nyo Ko, perasaan itu menjadi lebih hangat berpuluh kali daripada orang biasa.
Nyo Ko sendiri tak pernah kenal takut, sedang Siao-liong-li sedikitpun tak kenal segala macam tatakrama umum, ia pikir kalau aku jatuh cinta, aku boleh main cinta, mau senang boleh senang, ada sangkut paut apa dengan orang lain" Begitulah cara berpikir kedua muda-mudi itu, yang satu tak peduli, yang lain tak mau mengerti, meski berada di tengah2 ribuan orang yang sedang asyik menyaksikan pertarungan sengit itu, mereka pasang omong sendiri dengan mesra.
Bentakan Hotu tadi oleh si Nyo Ko masih tetap tak didengarnya, Keruan saja Hotu semakin murka, segera ia hendak mendamperat lagi ketika tiba2 terdengar Kim-iun Hoat-ong berseru pula dalam bahasa Tibet dengan maksud bahwa pihak sendiri sudah menangkan satu babak, maka babak kedua boleh diteruskan saja.
Sebab itu, Hotu melotot sekali pada Nyo Ko, habis ini iapun undurkan diri ke mejanya sambil berteriak: "Pihak kami sudah menang satu babak, untuk babak kedua ini yang maju adalah suhengku Darba, dan pihak kalian siapa yang akan maju?" Dalam pada itu segerapun Darba melangkah ke tengah, dari kasa (jubah padri) merahnya ia mengeluarkan semacam senjata.
Nampak senjata Darba yang hebat ini, diam2 semua orang terperanjat.
Kiranya senjata yang dia pakai adalah sebatang gada besar yang disebut "Kim-kong-hang-mo-cu" (penggada penakluk iblis) yang biasa dikenal sebagai senjata Hou-hoat Cuncia dalam agama Budha.
Hang-mo-cu senjata Darba ini panjangnya kira-kira empat kaki, pangkal gada itu sebesar mulut mangkok, batang gadanya mengkilap seperti terbikin dari emas murni, maka dapat dibayangkan bobot senjata ini pasti jauh lebih berat dari pada terbikin dari besi baja.
Sesudah berada di tengah kalangan, Darba merangkap tangannya menjalankan penghormatan pada semua orang, lalu gadanya dia lemparkan ke atas, maka terdengarlah suara gedombrangan yang keras, jatuhnya gada itu telah bikin beberapa ubin -besar ruangan pendopo itu pecah berantakan bahkan batang gada itu ambles hampir separuh ke dalam tanah.
Dengan mengunjuk gertakan ini, dapat diketahui betapa hebat berat gada itu, sungguh tidak nyana bahwa seorang Hwesio yang kurus kering seperti Darba ternyata kuat menggunakan senjata seberat itu, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga pukulannya.
"Cing-koko sudah tentu bisa taklukkan Hwesio kasar ini, cuma babak ketiga nanti kalau Hoat-ong turun tangan sendiri dan pihak kita tiada yang sanggup melawannya, maka pertandingan ini pasti kalah.
" demikian Ui Yong berpikir "Tetapi, biarlah aku tempur Hwesio ini dengan akal saja.
" Habis ini, begitu angkat tongkat bambunya Pak-kau-pang, pentung pemukul anjing, segera ia bermaksud maju.
"Jangan. . . jangan," lekas2 Kwe Cing mencegah "Kesehatanmu terganggu, mana bisa kau bergebrak dengan orang?" Sebenarnya Ui Yong sendiri juga tidak yakin pasti akan menang, jika sampai babak kedua ini kalah lagi, maka babak ketiga tidak perlu diteruskan pula, karena itu ia menjadi ragu-ragu.
"Ui-pangcu, biar aku melayani padri jahat ini," Tiba2 Tiam-jong Hi-un atau si Nelayan Pertapa murid pertama It-teng Taysu, telah menyelak maju.
Nyata sejak sutenya terkena jarum berbisa musuh hingga mengenaskan sekali penderitaannya, si Nelayan ini sudah tak sabar lagi dan ingin bisa membalas dendam itu.
Sesungguhnya Ui Yong juga sedang kerupukan tak berdaya, ia pikir tiada jalan lain lagi kecuali adu kekuatan sebisanya, kalau si Nelayan mi bisa menangkan padri Tibet, nanti Cing-koko masih bisa keras lawan keras untuk menentukan rrenang dan kalah dengan Kim-lun Hoat-ong.
"Baiklah, kalau begitu Suheng hendaklah hati2," demikian katanya kemudian.
Dalam pada itu Bu-si Hengte sudah siapkan kedua batang penggayu baja yang merupakan senjata Supek mereka, ketika dengar Ui Yong pertahankan orang maju, dengan cepat sepasang penggayu itu lantas diangsurkan kepada Tiam-gong Ki-un.
Dengan mengempit penggayu itu, majulah nian atau si Nelayan Pertana ini, tetapi ia tidak lantas menyerang, dengan muka yang merah menyala ia kelilingi Darba sekali putaran.
Keruan Darba menjadi bingung, ia tidak tahu apa2an maksud orang ini, ia lihat si Nelayan mengitar, maka iapun ikut memutar Mendadak si Nelayan menggertak sekali, kedua penggayunya diputar terus mengepruk ke atas kepala musuh.
Namun cepat sekali gerak tubuh Darba, sekali angkat tangannya, gada emas telah dia tangkiskan, Maka terdengarlah suara nyaring keras beradunya senjata gada dan penggayu, begitu hebat suaranya hingga anak telinga semua orang se-akan2 pekak.
Seketika tangan kedua belah pihak sama2 terasa pedas karena beradunya senjata itu, mereka pun sama2 tahu telah ketemukan lawan yang bertenaga raksasa, karena itu mereka sama2 melompat mundur.
Tiba2 Darba berkata sekali dalam bahasa tibet, karena tak paham apa yang diucapkan, si nelayan balas memaki orang dengan bahasa daerah Tay-li, kedua orang sama2 tak mengerti kata2 pihak lawan, Mendadak mereka saling menubruk maju lagi, senjata masing2 bergerak dan kembali suara nyaring keras terdengar.
Pertarungan seru sekali ini berlainan lagi dengan cara pertandingan Cu-liu melawan Hotu tadi yang dilakukan secara "halus", Kini boleh dikatakan keras lawan keras, masing2 sama ketemukan tandingan dan saling labrak dengan Gwakang yang lihay, saking serunya pertarungan ini hingga membikin penonton lain sama ber-debar2 dan pada terkejut.
Sebagai anak murid It-teng Taysu yang kerjanya se-hari2 hanya menggayu perahu hilir mudik melawan arus air hingga kedua lengannya terlatih kuat dengan otot2 kelihatan menonjol.
Dan karena wataknya yang polos sederhana, maka biasanya si Nelayan sangat disukai It-teng Taysu, cuma bakatnya kurang baik.
Lwekangnya tidak gampang terlatih seperti Cu Cu-liu yang cerdas, namun soal Gwakang sebaliknya lihay luar biasa.
Kini ia tempur Darba dengan gunakan Gwakang untuk saling labrak, hal ini kebetulan cocok dengan kemahirannya, maka tertampaklah sepasang penggayunya terputar dan merangsak terus secara hebat.
kedua penggayu itu setiap batang beratnya lebih 50 kati, tetapi ia bisa mengangkatnya seperti barang enteng saja bagai orang biasa menggunakan senjata ringan.
Sebenarnya Darba sangat mengagulkan tenaga raksasanya yang tiada bandingan, siapa duga kini ia justru ketemukan seorang "raksasa" juga, bukan saja tenaga lawannya besar, malahan tipu serangannya juga aneh dan hebat.
Karena itu iapun tak berani ayal, ia putar Kim-kong-cu atau gada emasnya untuk menandingi penggayu orang, kedua orang sama2 banyak me-rangsak daripada menjaga diri saja.
Tadi waktu Cu-liu melawan Hotu, para kesatria yang menyaksikan pertandingan itu sudah banyak yang menyingkir mundur karena samberan angin yang terlalu kuat, kini lebih2 lagi, tiga senjata berat saling beradu, jangankan tak tahan akan angin pukulannya, sekalipun suara benturan gada dan penggayu yang nyaring menusuk itupun terasa sukar ditahan.
Karena itu banyak diantaranya tekap kuping mereka dengan tangan untuk menyaksikan pertandingan itu.
Manusia yang bertenaga begitu besar seperti Tiam-jong Hi-un ini sesungguhnya jarang diketemukan apalagi orang yang memiliki tenaga besar yang seimbang diantara kedua tangannya serta seimbang pula dengan ilmu silat yang dipahami lalu bertempur dengan mati2an, hal ini lebih2 susah diketemukan.
Saking serunya pertempuran itu, sampai Kwe Ceng dan Ui Yong juga ikut berkeringat.
"Yong-ji, bagaimana, apa kita ada harapan menang?" tanya Kwe Cing.
"Sekarang masih belum kelihatan," sahut Ui Yong.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Padahal Kwe Cing bukannya tidak tahu saat ini masih sukar membeda2kan kalah dan menang, tetapi ia akan merasa lega dan terhibur apabila bisa mendengar jawaban sang isteri yang menyatakan si Nelayan bakal menang.
Ketika berpuluh jurus sudah lewat, tenaga kedua orang itu ternyata sedikitpun tak berkurang sebaliknya semangat mereka bertambah menyala2, setiap kali Tiam-jong Hi-un menghantam dengan penggayunya, selalu diikuti dengan bentakan dan teriakan untuk menambah daya serangannya.
"Kau bilang apa?" tiba-tiba Darba menanya.
Ia berkata dengan basa Tibet, sudah tentu Hi-un tidak paham, karena itu iapun balas menanya: "Kau berkata apa?" Dengan sendirinya Darba juga tak menyaru ucapan orang, maka terjadilah cacimaki tak keruan diantara kedua orang itu sambil senjata mereka beterbangan menyamber hingga meja kursi pecah berantakan tak peduli barang apa saja, asal terkena hantaman gada atau penggayu, maka dapat dipastikan barang itu akan hancur luluh, malahan banyak yang kuatir kalau2 senjata mereka akan menghantam tiang rumah hingga gedung itu akan ambruk karenanya.
Di lain pihak Kim-lun Hoat-ong dan pangeran Hotu tidak urung juga terperanjat diam2.
tampaknya kalau pertarungan sengit itu diteruskan sekalipun Darba nanti bisa menang, namun sedikitpun tidak terhindar dari luka parah.
Tetapi dalam keadaan pertarungan seru itu, seketika sukar hendak memberhentikannya! Pertarungan mati2an itu makin lama semakin hebat, kedua orang sama meloncat ke sini dan melompat ke sana sambil menghantam dibarengi dengan suara bentakan.
Mendadak terdengar suara menggelegar keras, kedua orang sama2 membentak.
lalu ke-dua2nya sama2 melompat mundur.
Kiranya penggayu si Nelayan yang kanan telah membentur keras dengan gada emas orang karena keduanya sama2 memakai tenaga penuh, batang penggayu itu juga sedikit lebih kecil dan tidak sekukuh gada, maka penggayu itu telah patah menjadi dua.
Kutungan penggayu itu mencelat terbang dan terjatuh di hadapan Siao-liong-li hingga mengeluarkan suara nyaring.
Tatkala itu Siao-liong-li sedang bicara dengan Nyo Ko dengan asyiknya, sedikitpun ia tidak perhatikan bahwa ada sepotong besi penggayu jatuh di depannya, ketika kepingan besi itu menindih jari kakinya, dalam kagetnya ia menjerit terus meloncat bangun.
Oleh karena jeritan Siao-liong-li ini barulah Nyo Ko ikut tersadar.
"Apa kau terluka?" tanyanya cepat dan kuatir.
Siao-liong-li tak menjawab, ia hanya meraba jari kakinya sembari mengunjuk rasa sakit.
Tentu saja Nyo Ko menjadi gusar, segera ia membalik tubuh hendak mencari siapa gerangan berani bikin sakit jari kaki Siao-liong-li tetapi begitu ia berpaling, ia lihat Tiam-jong Hi-tm dengan memegang penggayu patah sedang bertengkar dengan Darba dan masih ingin melanjutkan pertempuran itu dengan sebuah penggayu saja.
Naman Darba terus meng-geleng2 kepala, ia tak mau teruskan pertandingan itu lagi nyata ia tahu tenaga raksasa musuh dengan dirinya adalah setali-tiga-wang alias sama kuat, kalau bertanding terus dirinya sukar memperoleh kemenangan kini dalam hal senjata ia sudah lebih unggul, maka pertandingan ini boleh dihitung atas kemenangannya.
"Nah, dalam tiga bahak pertandingan pihak kami sudah menang dua babak, maka Bu-lim Beng-cu (ketua serikat dunia persilatan) ini dengan sendirinya jatuh atas diri guruku," demikian dengan suara lantang segera Hotu berdiri dan bicara lagi.
"Maka para. . . . " Tetapi belum habis ia berkata, mendadak Nyo Ko menyela dan menegur si Nelayan : "Hai, kenapa kau pukul Kokoh-ku dengan penggayumu?" "Aku.
. . aku ti. . . " demikian si Nelayan itu menjadi tergagap.
"Kau telan menyakiti kakinya lekas kau minta maaf padanya," kata Nyo Ko lagi.
Nampak orang hanya seorang bocah, si Nelayan anggap Nyo Ko hanya mengoceh semaunya saja, maka tidak digubrisnya.
Tak terduga, mendadak Nyo Ko ulur tangannya dan tahu2 penggayu patah itu sudah kena di-rebutnya.
"lekas kau minta maaf pada Kokoh-kui" seru Nyo Ko pula.
Dalam pada itu bukan buatan rasa mendongkolnya Hotu oleh karena pembicaraannya tadi di-bikin terputus oleh Nyo Ko.
"Binntang cilik, lekas minggir !" demikian ia membentak.
"Binatang cilik memaki siapa?" sahut Nyo Ko tiba2 sembari ayun penggayu patah itu dan menghantam.
Mendengar Nyo Ko balas tanya "binatang cilik memaki siapa", tanpa pikir Hotu terus menjawab : "Binatang cilik memaki kau !" Nyata ia telah terjebak, ia tidak tahu bahwa anak2 di daerah selatan suka menggunakan jeratan kata2 itu untuk mengadu mulut, kalau lengah sedikit, dengan sendirinya lantas tertipu.
Karena itu, maka tertawalah Nyo Ko terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, betul, binatang cilik yang memaki aku," demikian katanya geli.
Suasana di ruangan pendopo itu sebenarnya sedang tegang, tetapi karena dikacau oleh majunya Nyo Ko ini, seketika para kesatria itu ikut ketawa.
Tentu saja Hotu bertambah gusar, begitu kipas lempitnya dipentang, segera ia sabet ke atas kepala Nyo Ko.
Para kesatria yang hadir di situ semuanya berhati mulia, tadi mereka sudah menyaksikan ilmu silat Hotu yang sangat lihay, maka dapat diduga bila kipasnya ini betul2 berkenalan dengan kepala Nyo Ko, kalau tidak mampus sedikitnya pemuda ini akan terluka parah, Karena itulah be-ramai2 mereka telah ber-teriak2 : "Jangan berkelahi dengan anak kecil, tak tahu malu, besar melawan kecil !" Di samping sana secepat terbang Kwe Cing juga sudah melompat maju, selagi tangannya benak merebut kipasnya Hotu, tahu2 Nyo Ko telah unduk kepala dan dengan gampang saja menerobos di bawah tangan Hotu, malahan ketika penggayu patah itu ia tarik, dengan gaya "sian" atau menyerempet, suatu gaya istimewa dari Pak-kau-pang-hoat, tiba2 ia menjegal kaki Hotu dengan penggayu patah itu.
Karena tak men-duga2, dengan tepat Hote kesandung, ia ter-huyung2 dan hampir2 terguling jatuh, untung ilmu silatnya memang tinggi luar biasa, tubuh yang sudah kehilangan itnbangan itu secara paksa ia enjot sekuatnya ke atas untuk kemudian turun ke bawah lagi dengan tegak "Bagaimana, Ko-ji.
" "tanya Kwe Cing kuatir dan tercengang atas kejadian itu.
"Tak apa2", sahut Nyo Ko tertawa, "la pandang rendah Ang Chit kong punya Pak-kau-pang-hoat, maka aku lantas banting dia dengan gerak tipu Pak-kau-pang-hoat, biar dia kapok.
" Heran sekali Kwe Cing mendengar jawaban itu.
"Aneh, darimana kau bisa Pak-kau-pang hoat?" tanyanya.
"Tadi waktu Loh-pangcu berkelahi dengan dia, begitu lihat aku lantas berhasil mempelajarinya," demikian Nyo Ko membohong.
Kwe Cing sendiri bakatnya terlalu puntul, tetapi ia percaya tidak sedikit orang pandai di jagat ini, maka terhadap kata2 si Nyo Ko ia hanya setengah percaya setengah sangsi2.
Di lain pihak Hotu yang kena disandung sekali oleh Nyo Ko ia kira dirinya sendiri yang kurang hati2 hingga kejegal sama sekali tak dipikirnya bahwa pemuda yang usianya belum ada 20 tahun bisa memiliki ilmu silat begitu tinggi, ia pikir urusan paling penting sekarang yalah merebut Beng-cu, setelah soal ini selesai barulah bocah ini akan dibereskannya pula.
Istana Pulau Es 2 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 13