Peti Mati Dari Jepara 2
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara Bagian 2
berlari kencang.Tapi mereka kecele.
Si orang tua yang bukan lain adalah Kioro Mertan membuat gerakan jungkir balik,
menyentuh tanah dengan kedua telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya dia
bergulingan di tanah. Di lain saat dia sudah melompat tegak dan sebilah parang
tergenggam di tangannya. Kedua matanya tampak berkilat-kilat.
"Hemmm... Tua bangka ini boleh juga!" berkata orang yang bertindak selaku
pimpinan. "Lekas kalian bereskan dia agar kita bisa bergabung dengan teman-
teman!" Dua anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing ke arah Kioro Mertan. Yang
satu mendatangi dari kanan, kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan
keduanya tampak berputarputar hingga mengeluarkan suara
menderu. Di dahului satu bentakan, dua ganco itu berkelebat deras. Yang di
sebelah kanan menderu ke arah leher sedang yang dari kiri menyambar ke pelipis.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
4 IORO Mertan sabatkan parangnya ke atas untuk
menangkis serangan ke arah leher. Sambil tunduk-Kkan kepala dia berusaha
mengelakkan serangan
ganco menderu ke kepalanya.
Trang! Di atas kuda, anggota komplotan yang bentrokan
senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika merasakan tangannya bergetar
keras. Dia cepat mundur sambil menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi
Kioro Mertan memang sudah mengincar lawan yang satu ini, begitu ganco yang
menyambar kepala lewat di atasnya, orang tua ini memburu ke depan.
Parangnya berkelebat.
Orang di atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro Mertan bersarang dalam di
paha kanannya. Darah
mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera berat ini sentakkan kudanya
menjauh tapi binatang yang sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan
berputar ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh bergedebuk ke tanah.
Sebelum dia sempat bangun tendangan kaki kiri Kioro Mertan mendarat di
kepalanya. Tak ampun lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsan tak
berkutik. "Tua bangka jahanam!" membentak anggota Ganco Item yang bertindak sebagai
pimpinan. Kalau tadi dia hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan.
Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya menyambar ke dada Kioro
Mertan. Si orang tua cepat sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang
satu tendangan menghantam punggungnya.
Kioro Mertan terbanting ke depan.
Trang! Orang tua ini masih sempat menangkis ganco yang menyambar ke dadanya. Selagi
lawan di atas kuda terhuyung dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang tua
itu cepat balikkan diri tepat pada saat lawan yang tadi menendangnya dari
belakang hendak mengait lehernya dengan ujung besi berkeluk!
Kioro Mertan tusukkan parangnya ke perut lawan.
Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas. Kedua tangannya dipakai
menekap perut yang ditembus senjata Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu
roboh dan tergelimpang di tanah. Sesaat orang ini tampak megap-megap dan
melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya putus.
Satu-satunya anggota komplotan yang masih berada di atas punggung kudanya mau
tak mau menjadi terkesiap melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidak bisa dibuat
main," katanya dalam hati.
Meski rasa was-was kini menyelinapi dirinya namun kematian kawannya tadi membuat
darahnya mendidih.
"Orang tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah kau ayah mertua Ranalegowo?"
Kioro Mertan menyeringai. "Bagus! Sebelum mampus kau sudah tahu siapa diriku!
Kau dan komplotan
membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga menculik Sumiati cucuku!
Susul kawanmu!"
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Parang
menderu ke arah pinggang anggota komplotan. Karena merasa tidak leluasa
menghadapi lawan dari atas kuda maka anggota komplotan Ganco Item segera
melompat ke tanah. Kioro Mertan tak mau memberi kesempatan. Begitu lawan
menjejak tanah parangnya segera berkelebat.
Serangan-serangan orang tua ini benar-benar ganas.
Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan anak buah Ganco Langit
ini berseru tegang ketika senjata terpukul lepas. Sambil mundur dia keluarkan
sebuah belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan panjang dia tidak sanggup
menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya dengan mengandalkan pisau seperti itu.
Beberapa kali saja menerima serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya bisa
keluarkan seruan pendek dan terbelalak ketika parang di tangan kanan orang tua
bungkuk itu menembus perlengahan dadanya!
Anggota komplotan yang pertama kali menerima
hajaran Kioro Mertan dan masih tergelimpang di tanah, sebenarnya telah siuman
dari pingsannya. Luka di pahanya sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur.
Kepalanya yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, membuat
pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar ternyata dia sempat menyaksikan
kematian kedua kawannya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lari selamatkan
diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya akan jadi korban yang ke tiga.
Dengan cerdik akhirnya dia memutuskan berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur
kalau orang tua itu menyangkanya sudah mati.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Seperti yang di-harapkan anggota komplotan
Ganco Item yang masih hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah mati.
Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini mendekati salah seekor dari tiga
kuda anggota penjahat lalu melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-
kan tempat itu.
Setelah merasa aman, penjahat yang luka pahanya berusaha berdiri. Dia harus
segera menuju keperkemahan untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini
serta merta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba dia mendengar ada
suara derap kaki kuda mendatangi.
Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat seorang pemuda berpakaian dan
berikat kepala putih muncul di tempat itu menunggang kuda coklat. Di atas bahu
kirinya, dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda itu, ada seekor
monyet yang tiada hentinya mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga.
"Tenang Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan kakekmu itu..." kata
pemuda di atas kuda lalu mengelus monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini
berhenti berteriak, hanya kepalanya saja yang berputar-putar kian kemari tak
bisa diam. "Hemmm... Siapa yang punya pekerjaan ini?" terdengar pemuda itu kembali berkata
sambil menggaruk rambutnya yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling.
Memperhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu persatu. Penjahat yang
masih hidup merasa nafasnya seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya
dipejamkan. Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia menahan nafas sedapat-
dapatnya. Ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu menjauh tanda pemuda tadi sudah
meninggalkan tempat itu baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini
berani membuka mata dan perlahan-lahan mencoba
bangkit. Dia menggigit bibir melihat luka besar di paha kanannya. Dirobeknya
bajunya lalu dengan robekan baju itu dibalutnya luka yang menganga dan masih
berdarah itu. Dengan terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang menahan sakit dia melangkah
lalu naik ke atas kudanya.
Jauh di sebelah depan Pendekar 212 Wiro Sableng memacu kuda coklat yang
ditungganginya. Tujuannya adalah Kudus di mana didengarnya gerombolan Ganco Item
berada. Dia tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapi dia yakin orang tua yang
juga merupakan kakeknya itu telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak
mengetahui apa yang diandalkannya orang tua lanjut usia dan bungkuk itu hingga
nekad mengejar para penjahat. Apapun kehebatan yang dimilikinya mendatangi
markas gerombolan sama saja dengan mendatangi sarang macan. Orang tua itu harus
ditolong. Ini dirasakan sebagai satu kewajiban besar bagi Pendekar 212. Apalagi
cucunya yang masih ada hubungan darah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik
oleh orang-orang jahat itu.
Wiro menggebrak kuda coklatnya agar lari lebih
kencang. Namun dia tidak menyadari bahwa arah yang ditempuhnya menyimpang cukup
jauh dari tujuannya hingga ketika akhirnya dia sampai di markas komplotan Ganca
Item malapetaka besar telah menimpa Kioro Mertan dan Sumiati.
*** Rombongan pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari lima orang. Empat orang
prajurit dan seorang bintara bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan.
Dari cara mereka memacu kuda demikian cepat agaknya
pasukan ini mempunyai satu urusan penting. Saat itu mereka tengah bergerak
menuju ke timur sementara sinar matahari yang menggelincir ke ufuk tenggelamnya
mulai terasa meredup.
Di sebuah kali kecil rombongan berhenti untuk memberi minuman dan
mengistirahatkan kuda sebentar. Ketika hendak melanjutkan perjalanan bintara
yang bertindak sebagai pimpinan mengangkat tangan memberi tanda.
"Ada orang datang!" katanya.
Empat perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata masing-masing. Di
seberang kali, dari arah mana tadi mereka datang kelihatan seorang penunggang
kuda berambut putih. Penunggang kuda ini rupanya juga sudah melihat rombongan
pasukan Kadipaten itu karena dia sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan
berada di tepi kali. Sebelum orang berambut putih datang dekat, baik bintara
maupun empat perajurit itu segera mengenali siapa adanya orang yang datang itu.
"Bintoro Anggoro!" tiba-tiba orang berambut putih itu berseru. "Aku gembira bisa
bertemu denganmu di tempat ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke
Kadipaten. Tapi aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan."
Anggoro memandang pada keempat bawahannya se-
saat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah sampai dan berhenti di
depannya. ; "Pak tua Kioro Mertan, aku tidak menyangka akan bertemu kau di tempat sejauh
ini! Sedang menuju ke mana-kah pak tua gerangan?"
"Jadi betul dugaanku kau dan rombongan tidak tahu apa yang telah terjadi di
Jatingaleh!?"
Bintoro Anggoro menggeiengkan kepala. "Lekas katakan apa yang terjadi. Eh,
kulihat ada bercak-bercak darah di pakaianmul"
"Gerombolan Ganco Item menyerbu desa menjelang siang tadi. manusia-manusia
biadab itu merampok dan membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku Sumiati
diculik. Saat ini aku tengah melakukan pengejaran.
Para penjahat itu membuat markas sementara di luar Kudus. Aku bersyukur menemui
kalian di sini. Aku perlu bantuan kalian!" kata orang tua berambut putih yang
ternyata adaiah Kioro Mertan.
"Kurang ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah meng-ganas pula. Bahkan berani
menyerbu Jatingaleh!" Bintara Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan
kemarahan. "Kita tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku perlu bantuan kaliani!"
kata Kioro Mertan yang ingin segera melanjutkan pengejaran.
"Kami akan membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan gerombolan itu cukup besar.
Selain tiga pimpinan mereka yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itu
memiliki lebin dari dua lusin anggota."
"Kita bisa menyusun rencana seperti ini," sahut Kioro Mertan pula. "Kau dan tiga
orangmu bersamaku langsung menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak
buahmu yang keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus untuk meminta bantuan.
Begitu bantuan datang kita terus menyerbu."
Sesaat Anggoro tidak berkata apa-apa.
Kioro Mertan jadi jengkel dan berkata.
"Bintoro, urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika kau merasa ragu-ragu aku
tidak takut melakukan
penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak cucuku!"
"Jangan salah menduga pak tua," kata Anggoro pula.
"Aku setuju pendapatmu. Mari kita berangkat sekarang juga."
Lalu Bintara ini berkata pada salah seorang anak buahnya. "Kau langsung menuju
Kudus. Laporkan apa yang terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana kita."
Prajurit itu mengangguk sambil menunjukkan sikap siap. Dia juga melihat
bagaimana Bintara Anggoro atasan-nya itu mengedipkan mata kirinya ketika
memberikan perintah.
*** Hutan belantara itu terang benderang oleh cahaya obor.
Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota gerombolan Ganco Item bisa
makan dan minum sepuasnya serta bersenang-senang dengan perempuan-perempuan yang
ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini adalah perempuan-perempuan
penghibur yang datang dari pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang
diculik dan dilarikan dari desa atau kampung yang pernah diserbu oleh gerombolan
Ganco Item. Ganco Langit tegak di depan tenda sambil mengenakan baju hitamnya. Dia mengusap
keringat yang membasahi dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi dan
Ganco Laut duduk memperhatikannya sambil
menyeringai. Kepala gerombolan penjahat itu balas menyeringai.
Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut mendatangi, Ganco Langit berkata setengah
berbisik. "Tidak mengecewakan. Tubuh bagus, semua serba keras. Betul-betul tidak
mengecewakan walau aku cuma dapat bekas kalian! Ha.... ha... ha... ha ...!"
"Seperti rencana, menjelang pagi kita segera akan meninggalkan hutan ini menuju
ke selatan. Bagaimana dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?"
bertanya Ganco Laut.
"Aku sudah cukup puas menikmati tubuhnya tadi. Lagi pula aku masih punya
Jaminten yang hebat itu. Terserah kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa
membawanya. Saat ini kurasa dia masih setengah pingsan."
Ganco Laut yang masih dikuasai nafsu, apalagi barusan habis meneguk banyak
minuman keras menyibakkan kain penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati
tergeletak tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuhnya. Dari mulut
gadis malang anak kepala desa Jatingaleh itu terdengar suara erangan. Manusia
beradab akan luluh hati dan perasaannya melihat keadaan dan mendengar erangan
yang memilukan itu. Tetapi manusia durjana seperti Ganco Laut justru merasa
terbakar nafsunya.
"Puaskan dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak waktu. Tapi ingat, besok
kita ada pekerjaan besar di Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa
menduga apa yang akan dilakukan sobatnya itu.
Ganco Laut menyeringai. Dia memegang bahu Ganco Langit lalu melangkah masuk
dalam tenda. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada seorang anggota komplotan muncul
dan berkata. "Ganco Langit, anggota pengintai melihat ada serombongan orang berkuda bergerak ke jurusan sini!"
"Sudah diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?"
tanya Ganco Langit.
"Mereka berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro Mertan, ayah kepala Desa
Jatingaleh. lalu seorang bintara dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit
anak buahnya."
"Hemmm... " Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari Ganco Lout sesaat lalu berkata,
"Kioro Mertan pasti hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan cucunya.
Orang tua itu ternyata punya nyali. Biarkan mereka datang ke mari! Rapatkan
penjagaan di titik-titik rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak diundang
berani muncul di sini!"
Dari bagian hutan yang gelap lima penunggang kuda muncul. Kioro Mertan di depan
sekali. Meski sadar keadaan dirinya berada di bawah ancaman besar namun dengan
berani orang tua bungkuk ini melompat dari kudanya dan melangkah cepat ke arah
tenda. Sebilah parang tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi
isyarat, mengikuti langkah Kioro dengan cepat. Dia juga telah menghunus
senjatanya yakni sebatang pedang yang ujungnya berkeluk.
Diam-diam Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan Ganco Item lainnya jadi
bertanya-tanya ketika melihat parang bernoda darah kering yang dipegang oleh
Kioro Mertan.
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang telah dilakukan orang tua in!?" tanya Ganco Bumi dalam hati.
Kioro Mertan dan Bintoro Anggoro sampai di depan tenda. Sepasang mata orang tua
itu berapi-api. Dia tahu tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para
pemimpin gerombolan biadap Ganco Item tapi tidak tahu yang mana Ganco Langit.
Maka dia pun membentak.
"Mana di antara kalian yang bernama Ganco Langit"!"
"Tua bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan menjual lagak di hadapan
kami"!" hardik Ganco Laut lalu tangannya bergerak hendak menjambak rambut putih
orang tua itu. Ganco Langit menghalangi dan berkata, "Aku Ganco Langit! Kau punya nyali besar
berani datang ke mari Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah
mantu kepala desa Jatingaleh" Apa perlumu menyasarkan diri datang kemari"!"
"Aku tidak datang menyasarkan diri. Aku sengaja mencarimu! Kau manusia iblis
masih bisa bertanya apa keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak
menantuku! Kau juga membunuh lebih dari selusin penduduk Jatilengah. Perempuan
dan anak-anak! Merampok!
Menculik cucuku Sumiati!"
"Penjelasanmu cukup lengkap. Sekarang katakan saja apa maumu Kioro Mertan"!"
"Bebaskan cucuku! Jika sesuatu terjadi atas dirinya akan kugorok batang lehermu!
Lihat! Darah di parang ini masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak
buahmu yang sudah kuhabisi!"
Tampang tiga pimpinan Ganco Item tampak berubah sesaat. Tanda tanya parang
berdarah itu telah terjawab.
"Kalau kau datang untuk meminta cucumu, itu soal kecil. Kau bisa mendapatkannya
kembali!" "Ganco Langit.... "
Ucapan Ganco Laut tertahan. Ganco Langit memberi tanda agar dia diam lalu
berpaling pada Kioro Mertan.
"Kau akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua."
"Mendapatkannya kembali dalam keadaan selamat. Tak kurang suatu apapuni Jika..."
"Kau akan mendapatkannya seperti kataku tadi. Hanya saja rnungkin ada yang
kurang sedikit. Mungkin dia ku-kembalikan dalam keadaan tidak berpakaian
lagi..." Ganco Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa sedang
Ganco Laut hanya bisa menyeringai. Jika Ganco Langit benar-benar hendak
mengembalikan gadis itu berarti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi
maksud bejatnya. Ganco Laut tak dapat menerka apa sebenarnya yang ada di benak
kepalanya itu. Ganco Langit menjetikkan jari-jari tangannya dan anggukkan kepala pada Ganco
Bumi. Melihat isyarat ini Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar
kelihatan dia memapah sesosok tubuh tanpa pakaian, Kioro Mertan seperti disambar
petir melihat pemandangan yang menusuk mata itu.
"Sumi!" teriak orang tua ini.
"Ka... kakek..." suara Sumiati sehalus bisikan. Gadis malang telah dirusak
kehormatannya ini secara keji ber-gantian tegak terhuyung-huyung.
"Kau mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!"
kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati didorongnya keras-keras.
Kioro Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum jatuh ke tanah. Dia menyambar
kain tirai penutup pintu tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat
itu terguling tak berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka lebar, tapi dia
seperti tidak melihat apapun kecuali bayangan-bayangan menyeramkan yang
gentayangan di depannya.
Dari tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara menggembor. Dari keadaan Sumiati
saat itu dia sudah tahu malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu.
"Iblis durjana!" teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke hadapan Ganco Langit.
Parang di tangannya membabat ke arah leher kepala gerombolan itu.
Trang! Sebilah senjata disorongan dari samping menangkis bacokan parang si orang tua.
Kioro Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah dan berpaling lalu
membentak keras.
"Bintoto Anggoro! Apa-apan kau ini!" Kedua mata Kioro Mertan seperti hendak
melompat dari sarangnya saking marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau
menangkis seranganku! Menolong durjana keparat ini"!"
Bintoro Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem beberapa kali sementara Ganco
Bumi dan Ganco Laut mulai keluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Apa yang tidak dimengertinya dia mendapatkan
jawaban sesaat kemudian ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang
membuatnya laksana dipanggang api amarah.
"Orang tua pikun! Kau terlalu tolol untuk mengetahui bahwa kita sebenarnya bukan
di pihak sama!"
"Bangsat! Jadi maksudmu...."
"Maksudku ini!" jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa terduga sama sekali bintara
Kadipaten Jepara ini tusukkan pedangnya ke perut Kioro Mertan.
. Dalam keterkejutannya orang tua itu jadi berlaku lengah. Dia baru sadar ketika
ujung pedang Anggoro masuk ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal!
"Pengkhianat keparat!" teriak Kioro Mertan sementara darah mulai mengucur dari
perutnya. Anggoro terpaksa menarik tangan tak berani meneruskan tusukannya karena dengan
ganas, setelah keluarkan suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan
parangnya. Dengan perut terluka dan darah mengucur orang tua ini terus menerjang kalap.
Parangnya menderu mengurung bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan
kematian dirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu.
Dalam waktu singkat bintara itu terdesak hebat.
Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali tidak mengetahui kalau
Kioro Mertan yang dikenalnya sebagai petani dan peternak biasa ternyata memiliki
kepandaian tidak sembarangan. Dia bertahan mati-matian dan keluarkan jurus-jurus
tipuan mematikan. Namun ternyata kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di
atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan, dari kiri tendangan kaki
orang tua bungkuk itu tak dapat dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan
dikejapan itu pula parang lawan membabat ke lehernya!
"Tua bungkuk ini boleh juga!" kata Ganco Langit. Seperti Bintoro Anggoro dan
juga dua pimpinan komplotan Ganco Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau
Kioro Mertan bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandaian. Melihat
bintara itu terancam keselamatannya, dia memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini berkelebat ke depan. Dia
masuk ke kalangan perkelahian hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara
ketiga pimpinan komplotan Ganco Item, Ganco Laut memang menguasai ilmu silat
tangan kosong paling tinggi.
Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi yang besar dan berat namun dia
lebih senang membunuh lawan-lawannya dengan tangan telanjang.
Kedua tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan deru angin yang keras dan
dingin. Hal ini sudah cukup membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan
kosong Ganco Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan Bintoro Anggoro.
Nasib Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut pertama yang bersarang
tepat diperutnya yang luka. Darah muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam
Ganco Laut. Selagi orang tua itu terhuyung-huyung kaki kanan Ganco Laut melesat
ke udara, mendarat dengan tepat di rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu
terpelanting. Bersamaan dengan itu pedang Bintoro Anggoro menetak di
punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting menelungkup di tanah.
Ganco Langit siap untuk menginjak kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro
sudah mengangkat tangan untuk meletakkan pedangnya ke batang leher lawan yang
sudah tidak berdaya.
"Cukup!" tiba-tiba terdengar Ganco Langit berseru.
"Tidak kalian hajarpun umurnya tak bakal lama. Seret tubuhnya dari depan tenda!"
Dua orang anggota komplotan segera menggotong
tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat itu ke tepi perkemahan.
Ganco Langit tengah memandangi tubuh Sumiati yang terbujur di tanah bertutupkan
kain ketika Bintoro Anggoro mendatanginya.
Ganco Langit tertawa lebar dan tepuk-tepuk bahu Bintara itu.
"Aku memang sudah lama ingin bertemu denganmu sobatku. Kau datang membawa kabar
apa?" "Aku dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan ke mari ketika di jalan
bertemu dengan Kioro Mertan.
Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan.
Tapi aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwa kita selama ini selalu punya
kerjasama yang baik."
Ganco Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Bintara Kadipaten Jepara
itu. "Sejak dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu, Bintoro Anggoro. Nah, ada
kabar apa saja yang bisa kau berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kita
bicara di dalam tenda sana"'
"Di sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco Langit. Apa yang terjadi
di Jatingaleh sudah sampal di Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap
Adipati Moro Gantolo. Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi kita harus
berjaga-jaga terhadap Perwira Muda yang menjadi tangan kanannya."
"Maksudmu Ario Gelem?"
"Betul," jawab Anggoro.
"Perwira keparat itu! Kenapa kita tidak pernah bisa menariknya agar bergabung?"
Ganco Langit mengkepal-kepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke
telapak tangan kirinya.
"Kita sudah mencoba membujuknya secara halus berulang kali. Tapi hasilnya nihil.
Kurasa sudah saatnya kita menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin
susah kita!" kata Ganco Bumi pula.
"Mungkin kau benar Bumi. Sudah saatnya kita menyingkirkan kutu busuk itu. Malam
ini akan kita bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu."
Lalu Ganco Bumi berpaling pada Anggoro dan bertanya kalau ada hal lain yang
hendak dikatakannya.
"Aku menyarankan agar saat ini juga meninggalkan tempat ini. Ario Gelem bisa
melakukan hal-hal yang tidak terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya
tidak seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali ter-siar di Kotaraja kita
semua bisa celaka..."
Ganco Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Kau yang bakal celaka Bintoro
Anggoro! Bukan aku! Tapi nasihatnya memang perlu diperhatikan."
"Hanya itu saja yang kau katakan Bintoro?"
"Saat ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku harus kembali ke Jepara sebelum
matahari terbit.
"Baiklah," kata Ganco Langit. Dia masuk ke dalam tenda. Ketika keluar di
tangannya ada sebuah kantong kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang
Anggoro. Bintara itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu kembali ke tempat dia
meninggalkan kudanya. Bersama tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari
hutan itu. Ganco Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco Laut. "Pesta kita hentikan
sampai di sini. Beri tahu anak-anak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang
juga. Tanganku sudah gatal untuk memegang barang-barang antik yang terbuat dari tempat
itu!" "Ganco Langit," Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak ke selatan lebih dahulu,
apakah kita masih punya waktu untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah
di Rembang?"
"Tak usah kawatir, aku sudah mengirimkan utusan memberi tahu Tengkorak Darah.
Jika satu hari setelah mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan
berikutnya adalah di pantai Demak. Soal makanan dari perempuan yang perlu
dikirimkan padanya sudah diatur oleh orang di Tanjung Bugel."
"Kalau begitu tak ada yang dikawatirkan. Kita bisa berangkat saat ini juga,"
kata Ganco Langit, "Aku akan perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap."
"Sebentar!" menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya berdiam diri, "Aku masih
ingin mempertanyakan si cantik itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam
rombongan kita?"
Ganco Langit tertawa lebar. "Rupanya kau masih belum melupakan kekerasan tubuh
anak gadis Ranalegowo itu.
Kau bisa membawanya ke mana kau suka. Mungkin
sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus dibumbui dengan selingan.
Bukankah begitu" Ha... ha...
ha..." Suara tawa Ganco Langit terhenti ketika ada satu tangan memegang dan meremas
bahunya. Lalu ada suara perempuan terdengar ketus.
"Saya tidak mau lihat gadis itu berada dalam rombongan kita!"
Ganco laut gelengkan kepala. Mukanya tampak
cemberut. Ganco langit membalik dan berhadapan dengan
Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya tergila-gila dan kadang-
kadang jadi tak berkutik.
Saat itu Jaminten hanya mengenakan sehelai baju panjang yang tipis. Cahaya api
obor yang menembus pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat
jelas. Nafsu Ganco Langit jadi terbakar.
"Kau tak usah kawatir dia akan menyaingimu Jaminten,"
kata Ganco Langit membujuk sambil membelai pipi Jaminten.
"Gadis itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan teman-teman, tapi ada satu
rencana yang harus dijalankan."
"Siapa percaya pada dirimu. Siang tadi Ganco mengatakan lebih suka menggeluti
tubuh saya. Tapi ternyata malam ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya
tidak tahu!"
Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco Langit tersenyum lalu menciumi wajah Jaminten.
"Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap pasangan yang tak bakal kulepaskan!
Mereka tidak memiliki apa yang kau miliki! Mereka dingin seperti barang pisang!
Tak ada yang pandai menggigit dan menggerung sepertimu!"
Jaminten melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langit lalu berkata. "Sebelum
pergi aku ingin pergi ke kali lebih dulu."
"Ya, sebaiknya kau membersihkan diri baik-baik. Dalam perjalanan ke selatan
mungkin kau tak punya kesempatan melakukan hal itu."
Jaminten melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco Laut dia kedipkan matanya.
Ganco Laut kemudian
terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu anak buah agar segera
bersiap-siap."
"Lakukan dengan cepat Laut. Bumi, siapkan seekor kuda untuk membawa gadis itu."
Tak berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah terdapat sebuah kali kecil
berair jernih. Jaminten melangkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat
yang kelindungan dia berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam air untuk mandi
atau membersihkan dirinya. Dia berdiri dalam gelap seperti menunggu seseorang.
Tak lama kemudian dia mendengar suara orang mendatangi.
"Kenapa lama betul! Aku sudah tidak sabaran!" kata Jaminten.
"Sstt, jangan keras-keras. Nanti terdengar orang," menjawab lelaki yang barusan
datang. "Lekas tanggalkan pakaianmu. Kita turun ke air."
Jaminten melepas baju tipisnya.
"Tidak di tebing saja?"
"Aku ingin di dalam air. Sudah lama kubayangkan.
Sekalian aku bisa membersihkan diri," bisik perempuan bertubuh gemuk tapi padat
itu. "Terserah, aku hanya mengikuti apa maumu."
Tanpa pakaian kedua orang yang berlainan jenis itu turun ke dalam kali. Air kali
terasa sejuk sekali. Jaminten memagut leher lelaki itu lalu menempelkan tubuhnya
rapat-rapat. Mulutnya bertanya, "Kau ingin kuremas sampai pingsan?"
"Eh, apa maksudmu?"
"Kenapa kau tadi kudengar Ingin membawa gadis itu dalam rombongan?"
"Aku hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidak curiga."
Jaminten tertawa kecil. "Kau memang cerdik."
"Pujian itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari Ganco Langit seperti
katamu tempo hari?"
"Yang satu itu memang tidak tertandingi oleh Ganco langit. Nafsunya besar tapi
kekuatannya seperti lilin yang meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten lalu
turunkan tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di dalam air.
Di balik serumpun semak belukar di tepi kali, pada bagian yang sangat gelap
sepasang mata menyaksikan kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan
penuh geram. "Keparat! Aku memang sudah lama mencium perbuatan mereka ini! Kalian berdua akan
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mati secara tersiksa. Tapi tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu
sampai urusan di selatan selesai."
Ketika orang ini hendak beranjak dari balik semak belukar tempat dia mengintai
didengarnya suara Jaminten menggerung dari arah kali.
"Bangsat! Perempuan bangsat!" kutuk serapah meledak keluar dari mulut orang itu.
*** Dinginnya udara malam menambahkan siksaan bagi
Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup, tergeletak di antara
semak belukar, dibungkus kegelapan.
Di antara suara erangannya terdengar dia berulang kali memanggil nama Tuhan.
"Tuhan... kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!
Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku Sumiati. Apapun nasib
buruk yang telah menimpa dirinya selamatkan dia..." kata-kata itu diucapkan
Kioro Mertan berulang kali dalam hatinya.
Ketika tubuhnya terasa sangat lemah dan nafasnya mulai megap-megap mendadak
telinganya sayup-sayup mendengar langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan
pemandangan yang samar-samar dicobanya menembus kegelapan. Hutan belantara itu
sunyi senyap sejak gerombolan Ganco Item meninggalkan tempat itu beberapa waktu
lalu. Masih ada dua buah obor yang menyala, mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk hidup. Darahnya terlalu
banyak mengucur. Namun rasa ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu
membuat orang tua ini berusaha keras membuka kedua matanya. Dalam kegelapan
kemudian dilihatnya kuda bersama penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua
matanya masih bisa mengenali orang itu. Dia membuka mulut hendak berseru
memanggil, tetapi yang keluar hanya suara erangan.
Mulutnya bergerak. "Wiro...! Aku di sini! Wiro...! Aku di sini!" namun ucapan
itu hanya menggema dalam hatinya.
Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa tenaganya dia berusaha
menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar dia berusaha menggerakkan kaki,
menggoyang semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara gemerisik semak
belukar yang tergeser kakinya menarik perhatian Pendekar 212. Semula Wiro merasa
kecewa karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan.
Gerombolan Ganco Item pasti telah meninggalkan tempat itu selagi dia bersesat
menempun jalan.
Ken Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di lehernya keluarkan suara memekik
tiada henti. Wiro berpaling ke arah semak belukar dalam kegelapan.
"Siapa di situ"!" Wiro membentak dan memandang tajam ke arah semak belukar yang
bergoyang-goyang itu.
Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga segala kemungkinan.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
6 EMAK belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro mendengar suara erangan. Murid
Sinto Gendeng dari S Gunung Gede ini segera melompat dari atas kuda, melangkah
mendekati rumpunan semak belukar. Ketika matanya berhasil menembus kegelapan
malam terkejutlah pemuda ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik semak
belukar itu. "Pak tua Kioro Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua itu lalu melompat dan
jatuhkan diri merangkul tubuh Kioro Merton. "Pak tua, katakan apa yang terjadi!"
Dari mulut orang tua itu hanya terdengar suara mengerang. Wiro melihat luka
besar di perut Kioro Merton.
Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini tak akan bertahan
lama. Wiro segera mendukung Kioro Merton ke arah salah satu obor yang masih
menyala. Di tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua yang tengah sekarat
ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di dua tempat. Orang tua in merasakan
sakit pada luka di perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk
mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak tangannya di kepala.
Perlahan-lahan orang tua ini bisa membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa ada
sedikit kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan kata-kata walaupun
terputus-putus.
"Wiro... tolong... Selamatkan Sumiati. Dia... dilarikan orang-orang Ganco Item..."
"Kakek tahu kemana mereka membawa cucumu itu?"
tanya Wiro. "Aku tidak tahu... Aku mendengar mereka me... menuju ke sela... tan. Kau...
harus membalaskan sakit hati ini, Wiro..."
"Saya bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi semua penduduk Jatingaleh
yang jadi korban keganasan Ganco Item..."
"Kau harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti...
tidak bergerak sendirian..."
Wiro diam, menunggu ucapan orang tua itu lebih lanjut.
Tapi Kioro Mertan juga diam.
"Kakek apa maksudmu mereka tidak sendirian"'
Wiro cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua mata Kioro Mertan hendak
terpejam kembali.
"Ger.... gerombolan itu dibantu oleh orangorang Kadipaten Jepara. Seorang
Bintara bernama Anggoro secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku..."
"Keparat itu tak akan kulepaskan. Begitu juga tiga pimpinan Ganco item!"
"Yang penting selamatkan Sumiati. Dari Anggoro kau bisa mengorek keterangan
kemana cucuku dibawa. Hati-hati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten
Jepara saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar di kotaraja.
Gerombolan itu punya banyak kaki tangan.
Aku..." Terdengar suara seperti tercekik. Lalu tak terdengar lagi suara ucapan Kioro
Mertan. Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman
dan bibi-nya. Kini orang tua yang dianggapnya sebagai kakek sendiri itu menemui
kematian di depan matanya.
*** Sebuah papan besar tergantung di depan bangunan beratap seng yang pintu-pintunya
masih tertutup. Di atas papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji
Yan. Penjual Peti Mati kayu Jati Asli.
Ketika jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang, tampak papan-papan depan
bangunan terbuka satu
persatu. Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan berkumis jarang,
berkulit kuning dan bermata sangat sipit sibuk menyusun papan-papan yang
dibukanya satu persatu dan menyandarkannya di sebelah luar bangunan. Kini
kelihatan ruangan dalam yang penuh dengan tumpukan petipeti mati. Semuanya
terbuat dari kayu jati.
Orang berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik tempat penjualan peti
mati itu. Kakek moyangnya sudah tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan
mencari hidup dengan menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupakan turunan yang
keempat. Meskipun lahir dan dibesarkan di situ namun kalau bicara dialek tanah
leluhurnya tak pernah berubah.
Yan Siu Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara asli dan memeluk agama Islam.
Beberapa tahun lalu dia naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini
lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan.
Baru saja Haji Tan selesai membuka seluruh papan di bagian depan bangunan,
seorang pemuda berambut
gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya turun dari kuda, langsung
menemui Haji Tan. Binatang di bahunya memekik tiada henti lalu melompat ke atas
sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali.
"Hayyya..." kata Haji Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada tamu aneh. Mau bikin
susah atawa mau kasih untung!"
Meski hatinya agak was-was melihat potongan tamu yang datang membawa monyet ini
namun sebagai pedagang yang baik haji Tan membungkuk sambil memberi salam.
"Saya mau pesan peti mati," berkata pesan tamu yang bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Pesan..." Buat apa pesan" Yang sudah jadi ada banyak. Situ silakan pilih..."
Haji Tan menunjuk pada susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang
berjumlah tidak kurang dari dua puluh buah.
Wiro perhatikan peti-peti itu sebentar lalu gelengkan kepala. "Peti-peti itu
terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali lebih besar."
Tentu saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan tamunya itu. "Hayya... Peti
mati begitu besal buat isi apa"
Manusia mati atawa kalebo?"
"Haji Tan, kau tak usaha banyak tanya. Siapkan sebuah peti mati tiga kali ukuran
biasa. Aku juga membutuhkan sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati
besar itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk penangkal bau
busuk mayat. Ini bayarannya!"
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini
dilemparkannya ke arah Haji Tan.
Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar suara berdering. Haji Tan
cepat membuka tali kain pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat
sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah uang perak yang ada dalam
kantong itu. Banyak sekali.
Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang di-minta tamunya itu.
Setelah berdecak beberapa kali Haji Tan berkata. "Anak muda, soal semua yang
situ pesan situ tidak usah kawatil.
Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu besal..."
Wiro cepat memotong. "Haji Tan, kau siapkan saja apa yang aku pesan. Aku datang
lagi tiga hari di muka untuk mengambilnya!"
"Hayya! Apa..."! Tiga Hali"! Mana wole hah" Paling tidak owe pelu sepuluh
hali..." "Lima hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi batal itu pesanan!" kata
Wiro dengan menirukan dialek Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-
pura hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang peti mati itu.
"Oooo jangan kasi watal. Hayyaa... Lima hali. Owe telima!" Lalu Haji Tan cepat-
cepat masukkan kantong uang ke dalam saku baju putihnya.
"Ken Cilikl" Wiro memanggil monyet yang masih enak-enak duduk di salah satu peti
mati. binatang ini menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat
melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku, Haji Tan berteriak
memanggil istinya.
"Tumini! Tumini!"
Sang istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur keluar tergopoh-gopoh. Tan
Siu Kong acungkan dan goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istrinya.
Sang istri ikut goyang-goyangkan kepala menuruti ayunan kantong uang.
"Saya lagi banyak kerjaan di dapur. Pagi-pagi sudah bercanda. Apa-apaan ini?"
"Eeee, ini bukan becanda Tumini," kata Haji Tan pula.
"Ada olang gila datang! Pesan peti mati, satu buah gelobak, dua ekol kuda tamba
bumbu mayat! Kasih uang begini banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal.
Ini ambil. Simpan baik-baik!" Haji Tan serahkan kantong uang pada istrinya. Setelah
memberikan beberapa pesan pedagang peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia
berjalan sambil senyum-senyum karena memperoleh untung yang tidak terduga.
Tetapi dia juga tidak habis pikir. Pemuda gondrong yang tidak dikenalnya itu,
muncul menunggang kuda, membawa seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.
Untuk apa" Sampai saat itu dia sama sekali tidak mendengar kabar ada keluarga di
Jepara yang kematian sanak keluarganya memerlukan peti mati.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
7 UBUK itu terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari Undaan yaitu antara Kudus
dan Demak. Ganco
G Langit duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan Ganco Laut. Di salah satu sudut
gubuk tergolek sosok tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya sehingga
sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah tersingkap. Saat itu walau kedua
matanya terpejam tapi Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan pem-
bicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalanan jauh sepanjang siang tadi membuat sekujur badannya terasa letih.
Namun dia tak bisa memincingkan mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik
padanya bahwa malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan besar besok siang,
dia ingin Jaminten melayaninya.
"Ganco Bumi, apa kau sudah siap berangkat malam ini?" terdengar suara Ganco
Langit bertanya pada adiknya.
Ganco Bumi mendehem beberapa kali lalu menjawab.
"Sudah. Aku membawa serta lima orang anak buah.
Sebetulnya aku lebih suka jika tugas ini dilakukan oleh Ganco Laut."
Ganco Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam saja. Hanya kedua matanya saja
yang melirik ke arah Ganco Langit.
"Ganco Laut bakal dapat tugas lain.." kata Ganco Langit.
"Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kita bergabung di lembah sebelah timur Kuto
Ulir pada tengah hari besok."
Ganco Bumi mengangguk perlahan lalu berdiri dan tinggalkan gubuk itu. Setelah
mereka tinggal berdua Ganco Laut bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain
untukku. Tugas apa Ganco Langit?"
"Itu masih kupikirkan. Aku ingin istirahat dulu..."
Jawaban Ganco Langit itu cukup membuat maklum apa yang akan dilakukan oleh Ganco
Langit. Ganco Laut berdiri.
Dia melirik sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring mengangkang kemudian
keluar dari gubuk.
Ganco Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkan diri di samping Jaminten.
Perempuan itu membalik. Nafas mereka saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit
mulai bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini menambah rangsangan
Ganco Langit. Dipeluknya tubuh gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten
membalas seperti penuh bernafsu. Tapi dalam hatinya perempuan ini berkata,
"Puaskan hatimu! Kalau barang-barang pusaka itu sudah didapat, berarti ajalmu
sudah dekat Ganco Langitl"
*** Pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap gerobak tertutup itu sudah masuk ke
dalam halaman sebuah rumah di luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi
sangat bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin orang lelaki rata-
rata bertubuh kekar tampak melakukan pengawalan.
Lima orang anggota gerombolan yang bertindak menjadi pengawal dengan tubuh letih
melompat dari atas kuda masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak
meneguk tuak dari dalam sebuah bumbung bambu lalu melompat turun.
Dua orang berbadan kekar yang agaknya telah
mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong.
Keduanya memberi hormat Ganco Bumi lalu salah
seorang memberi tahu bahwa Adipati Demak, Bando Wiseso sudah siap menunggu
kedatangannya di dalam rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada anak buahnya.
Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang gerobak. Sesaat kemudian
tampak kedua orang itu menggotong sebuah usungan kayu di atas mana terbaring
sesosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher.
Wajah yang tersembul dari balik selimut itu adalah wajah seorang gadis. Walaupun
parasnya tampak pucat dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan
paras itu cantik sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu Kioro Mertan,
puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang telah diculik dan dirusak
kehormatannya secara keji oleh Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada
apakah kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut" Dimana telah menunggu seorang
pejabat tinggi Kerajaan yaitu Adipati Bandoro Wiseso"
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
8 EDUA lelaki berbadan kekar melangkah mendahuiui memasuki rumah, diikuti oleh due
anggota Kgerombolan yang mengusung Sumiati lalu Ganco
Bumi di sebelah belakang. Gadis malang itu diusung memasuki sebuah kamar. Disitu
telah menunggu Adipati Bandoro yang hanya mengenakan pakaian tidur, bertubuh
kerempeng tapi jangkung dan memelihara kumis tebal melintang yang tidak sesuai
dengan tampangnya yang kecil panjang dan cekung pada kedua pipinya. Giginya yang
tonggos menambah keburukan tampangnya. Dia menyeringai ketika melihat paras
gadis di atas usungan lalu berpaling pada Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan
di atas pembaringan. Setelah due pengusung keluar, lelaki tinggi kurus ini
melangkah mendekai Ganco Bumi dan menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu.
"Cantik sekali. Tapi kenapa wajahnya agak pucat?"
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ganco Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di depannya itu. "Perjalanan jauh
membuat tubuhnya sangat letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali
berusaha melarikan diri, Kami terpaksa menotoknya."
"Ah...." Bandoro Wiseso mengangguk. "Aku mengucapkan terima kasih. Kalian selalu
memberikan yang terbaik untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?"
Ganco Bumi menggeieng. "Dia menitip pesan padamu Adipati. Dia berharap Adipati
bisa bersenang-senang sepanjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta
agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang Kadipaten bertugas di
sekitar tenggara kita siang ini."
"Hemm... apakah yang hendak kalian lakukan?" tanya Adipati Demak pula.
Ganco Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dengan
pertanyaan tadi. Adipati Bandoro Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
"Ah, maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku tak boleh terlalu banyak
tanya dan ingin tahu. Namun sepanjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan
pernah keberatan. Daerah tenggara memang kediaman orangorang bangsawan dan
orang-orang kaya. Itukah sasaran kalian kali ini?"
Ganco Bumi menjawab sambil tersenyum. "Dugaanmu tepat Adipati. Demak sudah
dipenuhi oleh bangsawan-bangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin
banyak akibat tanahnya dirampas secara halus. Sudah saatnya kekayaan mereka itu
kita ambil dan dibagi kembali kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?"
"Betul! Betul sekali Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro Wiseso. "Aku setuju agar
sebagian harta kekayaan orangorang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi
kuharap jangan melupakan perjanjian kita, Jika kalian berbuat sesuatu di luar
Demak tapi masih dalam kawasan
kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau kalian menjarah dalam kota Demak,
maka bagianku adalah empat perlima. Katakan itu pada Ganco Langit!"
Ganco Bumi mengangguk. "Tak usah kawatir. Kami orang-orang Ganco Item selalu
menepati perjanjian asalkan ada bantuan timbal balik."
Dari dalam saku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan sebuah kantong berisi uang
lalu dimasukkannya ke dalam genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
"Itu pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya minta diri." kata Ganco Bumi. Lalu
dia menoleh ke arah sosok Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi
masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis itu. Tadi dia hendak
melakukannya di tengah jalan. Namun rencana besar yang akan dilakukannya bersama
kakaknya lebih penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro Wiseso kembali dan
berkata. "Dia masih sangat hijau Adipati. Jangan terlalu galak. Beberapa saat
lagi totokan di tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa saja
terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan menjemputnya."
"Dua hari katamu Ganco Bumi" Dua hari" Ah! Untuk gadis secantik ini paling tidak
lima hari!" kata Bandoro Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya
memandang berkilat-kilat ke arah tempat tidur.
"Jika begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu minggu!"
"Kau benar-benar kawan yang hebat!" kata Bandoro Wiseso dengan tawa lebar.
Seperti tadi kembali dia menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
"Siapa nama gadis itu Ganco?"
"Sumiati."
"Sumiati... Sumiati," kata Bandoro Wiseso mengulang beberapa kali. Dia
mengantarkan pimpinan gerombolan itu sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco
Bumi dan orang-orangnya keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini sudah
menutup pintu dan setengah berlari dia masuk kembali ke dalam kamar. Selimut
yang menutupi tubuh Surniati disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia enam
puluh tahun ini seperti silau ketika melihat bahwa di balik selimut itu tak ada
apapun yang menutupi tubuh bagus si gadis.
Meski sudah diberi tahu bahwa totokan di tubuh
Sumiati akan terlempas dengan sendirinya dalam waktu tak berapa lama lagi, namun
saat itu Bandoro Wiseso mana bisa sabar. Ditelitinya sekujur tubuh gadis itu.
Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati ini akhirnya berhasil
mengetahui di bagian mana Sumiati ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia
mengurut urat besar dekat ketiak kiri si gadis. Sesaat kemudian tubuh Sumiati
tampak bergerak. Kedua matanya perlahan-lahan membuka.
Melihat tampang Adipati itu Sumiati seperti melihat setan. Mendengar suara
bisikannya Sumiati seolah mendengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit
keras! *** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
9 DIPATI Bandoro Wiseso cepat menutup mulut
Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi sekujur Atubuhnya lemah lunglai tak
bertenaga. Dia hanya bisa menggulingkan diri ke samping kiri tempat tidur.
Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggalkan pakaian tidurnya. Lalu
sekali lompat saja diterkamnya tubuh gadis itu.
Namun seperti mendengar suara petir begitu kagetnya sang Adipati ketika pintu
kamar tiba-tiba hancur berantakan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut
seperti melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur.
Di hadapannya bergerak mendekat seorang pemuda berambut gondrong yang tidak
dikenalnya. Rahang pemuda ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan.
Kedua tangannya terpentang seolah slap hendak men-cekiknya.
Dua belas pengawal yang bertebaran di sekitar rumah terheran-heran ketika
melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak
kusir atau sais ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor monyet
coklat, duduk di bagian depan kereta. Lalu ini yang membuat semua orang di situ
dari heran menjadi terkejut.
Selagi perhatian semua pengawal itu tertuju pada kereta tersebut, tanpa mereka
ketahui sesosok bayang putih berkelebat masuk ke dalam rumah!
Di atas kereta ada sebuah peti mati kayu jati berwarna hitam, berukuran besar
luar biasa. Pada dinding-dinding peti mati itu terdapat angka 212 yang tidak
mereka mengerti apa artinya.
Kayu di sebelah atas atau penutup peti mati tampak terbuka. Ketika kereta itu
akhirnya berhenti di tengah halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah
mengelilingi kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka sama
berserabutan untuk melihat dari dekat apa isi peti mati itu. Begitu mereka
mengulurkan kepala, serentak kepala masing-masing seperti disentak setan. Paras
mereka menjadi berubah. Ada yang merasa jijik, tetapi lebih banyak yang merasa
mengkirik! "Ada mayat dalam peti itu..." desis salah seorang dari mereka.
"Mayat siapa...?" yang lain bertanya dengan suara agak gemetar.
Ada seorang diantara mereka yang berani dan coba melorigok kedalam peti mati
kembali. Lalu kepalanya cepat-cepat dipalingkan. "Aku rasa-rasa pernah melihat
mayat ini..." katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat.
"Astagal ini mayat Anggoro! Bintara di Kadipaten Jepara!"
"Berarti peti mati ini datang dari Jepara!"' kata yang lain.
"Siapa yang mengirimkannya..." Tidak mungkin kereta ini bisa menempuh jarak
sejauh itu tanpa ada kusirnya!
Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang lain.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba ada suara menjawab dari arah rumah. "Peti
mati itu memang datang dari Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak
melihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa berbuat kejahatan
dan kebejatan akan menerima pembalasan setimpal!"
Serempak kedua belas orang pengawal palingkan
kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian membuat semuanya jadi melotot.
Seorang pemuda berpakaian serba putih dan berambut gondrong tegak di depan rumah
sambil mendukung dua sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi tadi
dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh gadis itu berada dalam keadaan
tidak bergerak di bahu kiri si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok.
Dia mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas pengawal itu terkejut dan
terbelalak, ialah sosok tubuh Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya
mengenakan celana tidur. Kepalanya terkulai ke bawah. Leher itu patah!
Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur darah!
"Pemuda itu membunuh Adipati Bandoro!" seorang pengawal berteriak. Semuanya
menjadi gempar. Lalu sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya
serentak menyerbu!
Kita kembali ke kamar di dalam rumah untuk mengetahui apa yang terjadi sebelum
Pendekar 212 keluar dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
"Manusia keparat!" teriak Wiro begitu dia menerobos masuk ke dalam kamar dan
mendapatkan Adipati tinggi kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam
keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia merasa bersyukur telah
mengambil keputusan yang tepat.
Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan mencegat Ganco Bumi dan
orang-orangnya yang barusan dari Demak atau langsung menuju Demak guna
menyelamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih untuk melakukan yang kedua.
Ternyata dia datang pada saat yang tepat.
"Kurang ajar! Siapa kau"!" balas membentak Adipati Bandoro Wiseso.
"Tua bangka bejat!" kembali Wiro mendamprat. "Tubuh sudah bau tanah masih saja
berbuat keji!"
"Bangsat! Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani masuk membobol pintu"!"
bentak Bandoro Wiseso.
Si gondrong menyeringai. "Namaku Wiro Sableng! Tapi aku datang sebagai Malaikat
Maut! Perbuatan kejimu selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau menerima
hukuman. Hari ini adalah hari kematianmu."
"Malaikat Maut"!" belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak tertawa bergelak namun saat
itu dia baru sadar kalau dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dia cepat menyambar celana tidurnya. Wiro biarkan orang itu mengenakan
celananya. Selesai mengenakan celana dengan tampak beringas dia melangkah ke
hadapan Wiro. Sementara itu Sumiati berusaha menutupi tubuhnya dengan kain alas
tempat tidur. "Orang gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Lebih dari tahu!" jawab Wiro sambil sunggingkan senyum mengejek. "Aku
berhadapan dengan seorang Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi
malah bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai rakyat! Kau makan
uang sogokan! Malah sampai hati hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya
yang diberikan oleh komplotan Ganco item!"
"Bangsat! Berani kau memfitnah diriku!"
"Manusia jahanam! Bukti di depan mata masih bisa kau bilang fitnah! Manusia
bejat sepertimu pantas segera disingkirkan!" kertak Wiro.
"Pengawal!" teriak Adipati Bandoro Wiseso. Namun teriakannya hanya keluar
sepotong karena saat itu Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan satu
jotosan ke muka Adipati Demak ini.
Bandoro Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya susupkan satu jotosan ke
perut Wiro. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati
Demak ini menguasai ilmu silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu Wiro mengelak
dia kembali memburu dengan serangan bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak
perut dan dada murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya seolah melesak. Dia tidak
punya banyak waktu untuk melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar
Ganco Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua kambratnya.
Ketika Bandoro Wisese kembali menggempurnya
dengan serangan berantai Pendekar 212 langsung menyongsong dengan jurus "Di
balik gunung memukul halilintar!" tangan kirinya diangkat untuk menangkis.
Bersamaan dengan itu tangan kanan yang sudah dialiri kekuatan tenaga dalam
tinggi lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang
diwarisi-nya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika ada angin yang mendahului pukulan tangan kanan lawan, Bandoro Wiseso
maklum kalau Wiro hendak menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati Demak
yang cukup punya pengalaman ini cepa-cepat melompat ke samping kiri. Lima jari
tangannya membuat gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan balasan sang Adipati ternyata mampu men-capai sasaran lebih dulu dari
hantaman tangan kanan yang hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak
mau harus menarik serangannya seraya membuat gerakan menjatuhkan lehernya dari
Pedang Angin Berbisik 2 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Durjana Dan Ksatria 1
berlari kencang.Tapi mereka kecele.
Si orang tua yang bukan lain adalah Kioro Mertan membuat gerakan jungkir balik,
menyentuh tanah dengan kedua telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya dia
bergulingan di tanah. Di lain saat dia sudah melompat tegak dan sebilah parang
tergenggam di tangannya. Kedua matanya tampak berkilat-kilat.
"Hemmm... Tua bangka ini boleh juga!" berkata orang yang bertindak selaku
pimpinan. "Lekas kalian bereskan dia agar kita bisa bergabung dengan teman-
teman!" Dua anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing ke arah Kioro Mertan. Yang
satu mendatangi dari kanan, kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan
keduanya tampak berputarputar hingga mengeluarkan suara
menderu. Di dahului satu bentakan, dua ganco itu berkelebat deras. Yang di
sebelah kanan menderu ke arah leher sedang yang dari kiri menyambar ke pelipis.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
4 IORO Mertan sabatkan parangnya ke atas untuk
menangkis serangan ke arah leher. Sambil tunduk-Kkan kepala dia berusaha
mengelakkan serangan
ganco menderu ke kepalanya.
Trang! Di atas kuda, anggota komplotan yang bentrokan
senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika merasakan tangannya bergetar
keras. Dia cepat mundur sambil menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi
Kioro Mertan memang sudah mengincar lawan yang satu ini, begitu ganco yang
menyambar kepala lewat di atasnya, orang tua ini memburu ke depan.
Parangnya berkelebat.
Orang di atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro Mertan bersarang dalam di
paha kanannya. Darah
mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera berat ini sentakkan kudanya
menjauh tapi binatang yang sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan
berputar ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh bergedebuk ke tanah.
Sebelum dia sempat bangun tendangan kaki kiri Kioro Mertan mendarat di
kepalanya. Tak ampun lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsan tak
berkutik. "Tua bangka jahanam!" membentak anggota Ganco Item yang bertindak sebagai
pimpinan. Kalau tadi dia hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan.
Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya menyambar ke dada Kioro
Mertan. Si orang tua cepat sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang
satu tendangan menghantam punggungnya.
Kioro Mertan terbanting ke depan.
Trang! Orang tua ini masih sempat menangkis ganco yang menyambar ke dadanya. Selagi
lawan di atas kuda terhuyung dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang tua
itu cepat balikkan diri tepat pada saat lawan yang tadi menendangnya dari
belakang hendak mengait lehernya dengan ujung besi berkeluk!
Kioro Mertan tusukkan parangnya ke perut lawan.
Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas. Kedua tangannya dipakai
menekap perut yang ditembus senjata Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu
roboh dan tergelimpang di tanah. Sesaat orang ini tampak megap-megap dan
melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya putus.
Satu-satunya anggota komplotan yang masih berada di atas punggung kudanya mau
tak mau menjadi terkesiap melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidak bisa dibuat
main," katanya dalam hati.
Meski rasa was-was kini menyelinapi dirinya namun kematian kawannya tadi membuat
darahnya mendidih.
"Orang tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah kau ayah mertua Ranalegowo?"
Kioro Mertan menyeringai. "Bagus! Sebelum mampus kau sudah tahu siapa diriku!
Kau dan komplotan
membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga menculik Sumiati cucuku!
Susul kawanmu!"
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Parang
menderu ke arah pinggang anggota komplotan. Karena merasa tidak leluasa
menghadapi lawan dari atas kuda maka anggota komplotan Ganco Item segera
melompat ke tanah. Kioro Mertan tak mau memberi kesempatan. Begitu lawan
menjejak tanah parangnya segera berkelebat.
Serangan-serangan orang tua ini benar-benar ganas.
Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan anak buah Ganco Langit
ini berseru tegang ketika senjata terpukul lepas. Sambil mundur dia keluarkan
sebuah belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan panjang dia tidak sanggup
menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya dengan mengandalkan pisau seperti itu.
Beberapa kali saja menerima serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya bisa
keluarkan seruan pendek dan terbelalak ketika parang di tangan kanan orang tua
bungkuk itu menembus perlengahan dadanya!
Anggota komplotan yang pertama kali menerima
hajaran Kioro Mertan dan masih tergelimpang di tanah, sebenarnya telah siuman
dari pingsannya. Luka di pahanya sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur.
Kepalanya yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, membuat
pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar ternyata dia sempat menyaksikan
kematian kedua kawannya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lari selamatkan
diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya akan jadi korban yang ke tiga.
Dengan cerdik akhirnya dia memutuskan berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur
kalau orang tua itu menyangkanya sudah mati.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Seperti yang di-harapkan anggota komplotan
Ganco Item yang masih hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah mati.
Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini mendekati salah seekor dari tiga
kuda anggota penjahat lalu melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-
kan tempat itu.
Setelah merasa aman, penjahat yang luka pahanya berusaha berdiri. Dia harus
segera menuju keperkemahan untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini
serta merta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba dia mendengar ada
suara derap kaki kuda mendatangi.
Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat seorang pemuda berpakaian dan
berikat kepala putih muncul di tempat itu menunggang kuda coklat. Di atas bahu
kirinya, dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda itu, ada seekor
monyet yang tiada hentinya mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga.
"Tenang Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan kakekmu itu..." kata
pemuda di atas kuda lalu mengelus monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini
berhenti berteriak, hanya kepalanya saja yang berputar-putar kian kemari tak
bisa diam. "Hemmm... Siapa yang punya pekerjaan ini?" terdengar pemuda itu kembali berkata
sambil menggaruk rambutnya yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling.
Memperhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu persatu. Penjahat yang
masih hidup merasa nafasnya seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya
dipejamkan. Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia menahan nafas sedapat-
dapatnya. Ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu menjauh tanda pemuda tadi sudah
meninggalkan tempat itu baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini
berani membuka mata dan perlahan-lahan mencoba
bangkit. Dia menggigit bibir melihat luka besar di paha kanannya. Dirobeknya
bajunya lalu dengan robekan baju itu dibalutnya luka yang menganga dan masih
berdarah itu. Dengan terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang menahan sakit dia melangkah
lalu naik ke atas kudanya.
Jauh di sebelah depan Pendekar 212 Wiro Sableng memacu kuda coklat yang
ditungganginya. Tujuannya adalah Kudus di mana didengarnya gerombolan Ganco Item
berada. Dia tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapi dia yakin orang tua yang
juga merupakan kakeknya itu telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak
mengetahui apa yang diandalkannya orang tua lanjut usia dan bungkuk itu hingga
nekad mengejar para penjahat. Apapun kehebatan yang dimilikinya mendatangi
markas gerombolan sama saja dengan mendatangi sarang macan. Orang tua itu harus
ditolong. Ini dirasakan sebagai satu kewajiban besar bagi Pendekar 212. Apalagi
cucunya yang masih ada hubungan darah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik
oleh orang-orang jahat itu.
Wiro menggebrak kuda coklatnya agar lari lebih
kencang. Namun dia tidak menyadari bahwa arah yang ditempuhnya menyimpang cukup
jauh dari tujuannya hingga ketika akhirnya dia sampai di markas komplotan Ganca
Item malapetaka besar telah menimpa Kioro Mertan dan Sumiati.
*** Rombongan pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari lima orang. Empat orang
prajurit dan seorang bintara bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan.
Dari cara mereka memacu kuda demikian cepat agaknya
pasukan ini mempunyai satu urusan penting. Saat itu mereka tengah bergerak
menuju ke timur sementara sinar matahari yang menggelincir ke ufuk tenggelamnya
mulai terasa meredup.
Di sebuah kali kecil rombongan berhenti untuk memberi minuman dan
mengistirahatkan kuda sebentar. Ketika hendak melanjutkan perjalanan bintara
yang bertindak sebagai pimpinan mengangkat tangan memberi tanda.
"Ada orang datang!" katanya.
Empat perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata masing-masing. Di
seberang kali, dari arah mana tadi mereka datang kelihatan seorang penunggang
kuda berambut putih. Penunggang kuda ini rupanya juga sudah melihat rombongan
pasukan Kadipaten itu karena dia sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan
berada di tepi kali. Sebelum orang berambut putih datang dekat, baik bintara
maupun empat perajurit itu segera mengenali siapa adanya orang yang datang itu.
"Bintoro Anggoro!" tiba-tiba orang berambut putih itu berseru. "Aku gembira bisa
bertemu denganmu di tempat ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke
Kadipaten. Tapi aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan."
Anggoro memandang pada keempat bawahannya se-
saat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah sampai dan berhenti di
depannya. ; "Pak tua Kioro Mertan, aku tidak menyangka akan bertemu kau di tempat sejauh
ini! Sedang menuju ke mana-kah pak tua gerangan?"
"Jadi betul dugaanku kau dan rombongan tidak tahu apa yang telah terjadi di
Jatingaleh!?"
Bintoro Anggoro menggeiengkan kepala. "Lekas katakan apa yang terjadi. Eh,
kulihat ada bercak-bercak darah di pakaianmul"
"Gerombolan Ganco Item menyerbu desa menjelang siang tadi. manusia-manusia
biadab itu merampok dan membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku Sumiati
diculik. Saat ini aku tengah melakukan pengejaran.
Para penjahat itu membuat markas sementara di luar Kudus. Aku bersyukur menemui
kalian di sini. Aku perlu bantuan kalian!" kata orang tua berambut putih yang
ternyata adaiah Kioro Mertan.
"Kurang ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah meng-ganas pula. Bahkan berani
menyerbu Jatingaleh!" Bintara Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan
kemarahan. "Kita tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku perlu bantuan kaliani!"
kata Kioro Mertan yang ingin segera melanjutkan pengejaran.
"Kami akan membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan gerombolan itu cukup besar.
Selain tiga pimpinan mereka yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itu
memiliki lebin dari dua lusin anggota."
"Kita bisa menyusun rencana seperti ini," sahut Kioro Mertan pula. "Kau dan tiga
orangmu bersamaku langsung menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak
buahmu yang keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus untuk meminta bantuan.
Begitu bantuan datang kita terus menyerbu."
Sesaat Anggoro tidak berkata apa-apa.
Kioro Mertan jadi jengkel dan berkata.
"Bintoro, urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika kau merasa ragu-ragu aku
tidak takut melakukan
penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak cucuku!"
"Jangan salah menduga pak tua," kata Anggoro pula.
"Aku setuju pendapatmu. Mari kita berangkat sekarang juga."
Lalu Bintara ini berkata pada salah seorang anak buahnya. "Kau langsung menuju
Kudus. Laporkan apa yang terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana kita."
Prajurit itu mengangguk sambil menunjukkan sikap siap. Dia juga melihat
bagaimana Bintara Anggoro atasan-nya itu mengedipkan mata kirinya ketika
memberikan perintah.
*** Hutan belantara itu terang benderang oleh cahaya obor.
Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota gerombolan Ganco Item bisa
makan dan minum sepuasnya serta bersenang-senang dengan perempuan-perempuan yang
ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini adalah perempuan-perempuan
penghibur yang datang dari pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang
diculik dan dilarikan dari desa atau kampung yang pernah diserbu oleh gerombolan
Ganco Item. Ganco Langit tegak di depan tenda sambil mengenakan baju hitamnya. Dia mengusap
keringat yang membasahi dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi dan
Ganco Laut duduk memperhatikannya sambil
menyeringai. Kepala gerombolan penjahat itu balas menyeringai.
Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut mendatangi, Ganco Langit berkata setengah
berbisik. "Tidak mengecewakan. Tubuh bagus, semua serba keras. Betul-betul tidak
mengecewakan walau aku cuma dapat bekas kalian! Ha.... ha... ha... ha ...!"
"Seperti rencana, menjelang pagi kita segera akan meninggalkan hutan ini menuju
ke selatan. Bagaimana dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?"
bertanya Ganco Laut.
"Aku sudah cukup puas menikmati tubuhnya tadi. Lagi pula aku masih punya
Jaminten yang hebat itu. Terserah kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa
membawanya. Saat ini kurasa dia masih setengah pingsan."
Ganco Laut yang masih dikuasai nafsu, apalagi barusan habis meneguk banyak
minuman keras menyibakkan kain penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati
tergeletak tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuhnya. Dari mulut
gadis malang anak kepala desa Jatingaleh itu terdengar suara erangan. Manusia
beradab akan luluh hati dan perasaannya melihat keadaan dan mendengar erangan
yang memilukan itu. Tetapi manusia durjana seperti Ganco Laut justru merasa
terbakar nafsunya.
"Puaskan dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak waktu. Tapi ingat, besok
kita ada pekerjaan besar di Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa
menduga apa yang akan dilakukan sobatnya itu.
Ganco Laut menyeringai. Dia memegang bahu Ganco Langit lalu melangkah masuk
dalam tenda. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada seorang anggota komplotan muncul
dan berkata. "Ganco Langit, anggota pengintai melihat ada serombongan orang berkuda bergerak ke jurusan sini!"
"Sudah diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?"
tanya Ganco Langit.
"Mereka berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro Mertan, ayah kepala Desa
Jatingaleh. lalu seorang bintara dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit
anak buahnya."
"Hemmm... " Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari Ganco Lout sesaat lalu berkata,
"Kioro Mertan pasti hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan cucunya.
Orang tua itu ternyata punya nyali. Biarkan mereka datang ke mari! Rapatkan
penjagaan di titik-titik rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak diundang
berani muncul di sini!"
Dari bagian hutan yang gelap lima penunggang kuda muncul. Kioro Mertan di depan
sekali. Meski sadar keadaan dirinya berada di bawah ancaman besar namun dengan
berani orang tua bungkuk ini melompat dari kudanya dan melangkah cepat ke arah
tenda. Sebilah parang tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi
isyarat, mengikuti langkah Kioro dengan cepat. Dia juga telah menghunus
senjatanya yakni sebatang pedang yang ujungnya berkeluk.
Diam-diam Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan Ganco Item lainnya jadi
bertanya-tanya ketika melihat parang bernoda darah kering yang dipegang oleh
Kioro Mertan.
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang telah dilakukan orang tua in!?" tanya Ganco Bumi dalam hati.
Kioro Mertan dan Bintoro Anggoro sampai di depan tenda. Sepasang mata orang tua
itu berapi-api. Dia tahu tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para
pemimpin gerombolan biadap Ganco Item tapi tidak tahu yang mana Ganco Langit.
Maka dia pun membentak.
"Mana di antara kalian yang bernama Ganco Langit"!"
"Tua bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan menjual lagak di hadapan
kami"!" hardik Ganco Laut lalu tangannya bergerak hendak menjambak rambut putih
orang tua itu. Ganco Langit menghalangi dan berkata, "Aku Ganco Langit! Kau punya nyali besar
berani datang ke mari Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah
mantu kepala desa Jatingaleh" Apa perlumu menyasarkan diri datang kemari"!"
"Aku tidak datang menyasarkan diri. Aku sengaja mencarimu! Kau manusia iblis
masih bisa bertanya apa keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak
menantuku! Kau juga membunuh lebih dari selusin penduduk Jatilengah. Perempuan
dan anak-anak! Merampok!
Menculik cucuku Sumiati!"
"Penjelasanmu cukup lengkap. Sekarang katakan saja apa maumu Kioro Mertan"!"
"Bebaskan cucuku! Jika sesuatu terjadi atas dirinya akan kugorok batang lehermu!
Lihat! Darah di parang ini masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak
buahmu yang sudah kuhabisi!"
Tampang tiga pimpinan Ganco Item tampak berubah sesaat. Tanda tanya parang
berdarah itu telah terjawab.
"Kalau kau datang untuk meminta cucumu, itu soal kecil. Kau bisa mendapatkannya
kembali!" "Ganco Langit.... "
Ucapan Ganco Laut tertahan. Ganco Langit memberi tanda agar dia diam lalu
berpaling pada Kioro Mertan.
"Kau akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua."
"Mendapatkannya kembali dalam keadaan selamat. Tak kurang suatu apapuni Jika..."
"Kau akan mendapatkannya seperti kataku tadi. Hanya saja rnungkin ada yang
kurang sedikit. Mungkin dia ku-kembalikan dalam keadaan tidak berpakaian
lagi..." Ganco Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa sedang
Ganco Laut hanya bisa menyeringai. Jika Ganco Langit benar-benar hendak
mengembalikan gadis itu berarti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi
maksud bejatnya. Ganco Laut tak dapat menerka apa sebenarnya yang ada di benak
kepalanya itu. Ganco Langit menjetikkan jari-jari tangannya dan anggukkan kepala pada Ganco
Bumi. Melihat isyarat ini Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar
kelihatan dia memapah sesosok tubuh tanpa pakaian, Kioro Mertan seperti disambar
petir melihat pemandangan yang menusuk mata itu.
"Sumi!" teriak orang tua ini.
"Ka... kakek..." suara Sumiati sehalus bisikan. Gadis malang telah dirusak
kehormatannya ini secara keji ber-gantian tegak terhuyung-huyung.
"Kau mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!"
kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati didorongnya keras-keras.
Kioro Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum jatuh ke tanah. Dia menyambar
kain tirai penutup pintu tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat
itu terguling tak berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka lebar, tapi dia
seperti tidak melihat apapun kecuali bayangan-bayangan menyeramkan yang
gentayangan di depannya.
Dari tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara menggembor. Dari keadaan Sumiati
saat itu dia sudah tahu malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu.
"Iblis durjana!" teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke hadapan Ganco Langit.
Parang di tangannya membabat ke arah leher kepala gerombolan itu.
Trang! Sebilah senjata disorongan dari samping menangkis bacokan parang si orang tua.
Kioro Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah dan berpaling lalu
membentak keras.
"Bintoto Anggoro! Apa-apan kau ini!" Kedua mata Kioro Mertan seperti hendak
melompat dari sarangnya saking marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau
menangkis seranganku! Menolong durjana keparat ini"!"
Bintoro Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem beberapa kali sementara Ganco
Bumi dan Ganco Laut mulai keluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro Mertan memandang berkeliling. Apa yang tidak dimengertinya dia mendapatkan
jawaban sesaat kemudian ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang
membuatnya laksana dipanggang api amarah.
"Orang tua pikun! Kau terlalu tolol untuk mengetahui bahwa kita sebenarnya bukan
di pihak sama!"
"Bangsat! Jadi maksudmu...."
"Maksudku ini!" jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa terduga sama sekali bintara
Kadipaten Jepara ini tusukkan pedangnya ke perut Kioro Mertan.
. Dalam keterkejutannya orang tua itu jadi berlaku lengah. Dia baru sadar ketika
ujung pedang Anggoro masuk ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal!
"Pengkhianat keparat!" teriak Kioro Mertan sementara darah mulai mengucur dari
perutnya. Anggoro terpaksa menarik tangan tak berani meneruskan tusukannya karena dengan
ganas, setelah keluarkan suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan
parangnya. Dengan perut terluka dan darah mengucur orang tua ini terus menerjang kalap.
Parangnya menderu mengurung bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan
kematian dirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu.
Dalam waktu singkat bintara itu terdesak hebat.
Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali tidak mengetahui kalau
Kioro Mertan yang dikenalnya sebagai petani dan peternak biasa ternyata memiliki
kepandaian tidak sembarangan. Dia bertahan mati-matian dan keluarkan jurus-jurus
tipuan mematikan. Namun ternyata kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di
atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan, dari kiri tendangan kaki
orang tua bungkuk itu tak dapat dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan
dikejapan itu pula parang lawan membabat ke lehernya!
"Tua bungkuk ini boleh juga!" kata Ganco Langit. Seperti Bintoro Anggoro dan
juga dua pimpinan komplotan Ganco Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau
Kioro Mertan bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandaian. Melihat
bintara itu terancam keselamatannya, dia memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini berkelebat ke depan. Dia
masuk ke kalangan perkelahian hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara
ketiga pimpinan komplotan Ganco Item, Ganco Laut memang menguasai ilmu silat
tangan kosong paling tinggi.
Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi yang besar dan berat namun dia
lebih senang membunuh lawan-lawannya dengan tangan telanjang.
Kedua tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan deru angin yang keras dan
dingin. Hal ini sudah cukup membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan
kosong Ganco Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan Bintoro Anggoro.
Nasib Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut pertama yang bersarang
tepat diperutnya yang luka. Darah muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam
Ganco Laut. Selagi orang tua itu terhuyung-huyung kaki kanan Ganco Laut melesat
ke udara, mendarat dengan tepat di rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu
terpelanting. Bersamaan dengan itu pedang Bintoro Anggoro menetak di
punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting menelungkup di tanah.
Ganco Langit siap untuk menginjak kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro
sudah mengangkat tangan untuk meletakkan pedangnya ke batang leher lawan yang
sudah tidak berdaya.
"Cukup!" tiba-tiba terdengar Ganco Langit berseru.
"Tidak kalian hajarpun umurnya tak bakal lama. Seret tubuhnya dari depan tenda!"
Dua orang anggota komplotan segera menggotong
tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat itu ke tepi perkemahan.
Ganco Langit tengah memandangi tubuh Sumiati yang terbujur di tanah bertutupkan
kain ketika Bintoro Anggoro mendatanginya.
Ganco Langit tertawa lebar dan tepuk-tepuk bahu Bintara itu.
"Aku memang sudah lama ingin bertemu denganmu sobatku. Kau datang membawa kabar
apa?" "Aku dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan ke mari ketika di jalan
bertemu dengan Kioro Mertan.
Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan.
Tapi aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwa kita selama ini selalu punya
kerjasama yang baik."
Ganco Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Bintara Kadipaten Jepara
itu. "Sejak dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu, Bintoro Anggoro. Nah, ada
kabar apa saja yang bisa kau berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kita
bicara di dalam tenda sana"'
"Di sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco Langit. Apa yang terjadi
di Jatingaleh sudah sampal di Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap
Adipati Moro Gantolo. Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi kita harus
berjaga-jaga terhadap Perwira Muda yang menjadi tangan kanannya."
"Maksudmu Ario Gelem?"
"Betul," jawab Anggoro.
"Perwira keparat itu! Kenapa kita tidak pernah bisa menariknya agar bergabung?"
Ganco Langit mengkepal-kepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke
telapak tangan kirinya.
"Kita sudah mencoba membujuknya secara halus berulang kali. Tapi hasilnya nihil.
Kurasa sudah saatnya kita menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin
susah kita!" kata Ganco Bumi pula.
"Mungkin kau benar Bumi. Sudah saatnya kita menyingkirkan kutu busuk itu. Malam
ini akan kita bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu."
Lalu Ganco Bumi berpaling pada Anggoro dan bertanya kalau ada hal lain yang
hendak dikatakannya.
"Aku menyarankan agar saat ini juga meninggalkan tempat ini. Ario Gelem bisa
melakukan hal-hal yang tidak terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya
tidak seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali ter-siar di Kotaraja kita
semua bisa celaka..."
Ganco Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Kau yang bakal celaka Bintoro
Anggoro! Bukan aku! Tapi nasihatnya memang perlu diperhatikan."
"Hanya itu saja yang kau katakan Bintoro?"
"Saat ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku harus kembali ke Jepara sebelum
matahari terbit.
"Baiklah," kata Ganco Langit. Dia masuk ke dalam tenda. Ketika keluar di
tangannya ada sebuah kantong kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang
Anggoro. Bintara itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu kembali ke tempat dia
meninggalkan kudanya. Bersama tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari
hutan itu. Ganco Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco Laut. "Pesta kita hentikan
sampai di sini. Beri tahu anak-anak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang
juga. Tanganku sudah gatal untuk memegang barang-barang antik yang terbuat dari tempat
itu!" "Ganco Langit," Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak ke selatan lebih dahulu,
apakah kita masih punya waktu untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah
di Rembang?"
"Tak usah kawatir, aku sudah mengirimkan utusan memberi tahu Tengkorak Darah.
Jika satu hari setelah mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan
berikutnya adalah di pantai Demak. Soal makanan dari perempuan yang perlu
dikirimkan padanya sudah diatur oleh orang di Tanjung Bugel."
"Kalau begitu tak ada yang dikawatirkan. Kita bisa berangkat saat ini juga,"
kata Ganco Langit, "Aku akan perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap."
"Sebentar!" menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya berdiam diri, "Aku masih
ingin mempertanyakan si cantik itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam
rombongan kita?"
Ganco Langit tertawa lebar. "Rupanya kau masih belum melupakan kekerasan tubuh
anak gadis Ranalegowo itu.
Kau bisa membawanya ke mana kau suka. Mungkin
sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus dibumbui dengan selingan.
Bukankah begitu" Ha... ha...
ha..." Suara tawa Ganco Langit terhenti ketika ada satu tangan memegang dan meremas
bahunya. Lalu ada suara perempuan terdengar ketus.
"Saya tidak mau lihat gadis itu berada dalam rombongan kita!"
Ganco laut gelengkan kepala. Mukanya tampak
cemberut. Ganco langit membalik dan berhadapan dengan
Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya tergila-gila dan kadang-
kadang jadi tak berkutik.
Saat itu Jaminten hanya mengenakan sehelai baju panjang yang tipis. Cahaya api
obor yang menembus pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat
jelas. Nafsu Ganco Langit jadi terbakar.
"Kau tak usah kawatir dia akan menyaingimu Jaminten,"
kata Ganco Langit membujuk sambil membelai pipi Jaminten.
"Gadis itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan teman-teman, tapi ada satu
rencana yang harus dijalankan."
"Siapa percaya pada dirimu. Siang tadi Ganco mengatakan lebih suka menggeluti
tubuh saya. Tapi ternyata malam ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya
tidak tahu!"
Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco Langit tersenyum lalu menciumi wajah Jaminten.
"Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap pasangan yang tak bakal kulepaskan!
Mereka tidak memiliki apa yang kau miliki! Mereka dingin seperti barang pisang!
Tak ada yang pandai menggigit dan menggerung sepertimu!"
Jaminten melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langit lalu berkata. "Sebelum
pergi aku ingin pergi ke kali lebih dulu."
"Ya, sebaiknya kau membersihkan diri baik-baik. Dalam perjalanan ke selatan
mungkin kau tak punya kesempatan melakukan hal itu."
Jaminten melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco Laut dia kedipkan matanya.
Ganco Laut kemudian
terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu anak buah agar segera
bersiap-siap."
"Lakukan dengan cepat Laut. Bumi, siapkan seekor kuda untuk membawa gadis itu."
Tak berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah terdapat sebuah kali kecil
berair jernih. Jaminten melangkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat
yang kelindungan dia berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam air untuk mandi
atau membersihkan dirinya. Dia berdiri dalam gelap seperti menunggu seseorang.
Tak lama kemudian dia mendengar suara orang mendatangi.
"Kenapa lama betul! Aku sudah tidak sabaran!" kata Jaminten.
"Sstt, jangan keras-keras. Nanti terdengar orang," menjawab lelaki yang barusan
datang. "Lekas tanggalkan pakaianmu. Kita turun ke air."
Jaminten melepas baju tipisnya.
"Tidak di tebing saja?"
"Aku ingin di dalam air. Sudah lama kubayangkan.
Sekalian aku bisa membersihkan diri," bisik perempuan bertubuh gemuk tapi padat
itu. "Terserah, aku hanya mengikuti apa maumu."
Tanpa pakaian kedua orang yang berlainan jenis itu turun ke dalam kali. Air kali
terasa sejuk sekali. Jaminten memagut leher lelaki itu lalu menempelkan tubuhnya
rapat-rapat. Mulutnya bertanya, "Kau ingin kuremas sampai pingsan?"
"Eh, apa maksudmu?"
"Kenapa kau tadi kudengar Ingin membawa gadis itu dalam rombongan?"
"Aku hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidak curiga."
Jaminten tertawa kecil. "Kau memang cerdik."
"Pujian itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari Ganco Langit seperti
katamu tempo hari?"
"Yang satu itu memang tidak tertandingi oleh Ganco langit. Nafsunya besar tapi
kekuatannya seperti lilin yang meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten lalu
turunkan tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di dalam air.
Di balik serumpun semak belukar di tepi kali, pada bagian yang sangat gelap
sepasang mata menyaksikan kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan
penuh geram. "Keparat! Aku memang sudah lama mencium perbuatan mereka ini! Kalian berdua akan
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mati secara tersiksa. Tapi tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu
sampai urusan di selatan selesai."
Ketika orang ini hendak beranjak dari balik semak belukar tempat dia mengintai
didengarnya suara Jaminten menggerung dari arah kali.
"Bangsat! Perempuan bangsat!" kutuk serapah meledak keluar dari mulut orang itu.
*** Dinginnya udara malam menambahkan siksaan bagi
Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup, tergeletak di antara
semak belukar, dibungkus kegelapan.
Di antara suara erangannya terdengar dia berulang kali memanggil nama Tuhan.
"Tuhan... kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!
Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku Sumiati. Apapun nasib
buruk yang telah menimpa dirinya selamatkan dia..." kata-kata itu diucapkan
Kioro Mertan berulang kali dalam hatinya.
Ketika tubuhnya terasa sangat lemah dan nafasnya mulai megap-megap mendadak
telinganya sayup-sayup mendengar langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan
pemandangan yang samar-samar dicobanya menembus kegelapan. Hutan belantara itu
sunyi senyap sejak gerombolan Ganco Item meninggalkan tempat itu beberapa waktu
lalu. Masih ada dua buah obor yang menyala, mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk hidup. Darahnya terlalu
banyak mengucur. Namun rasa ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu
membuat orang tua ini berusaha keras membuka kedua matanya. Dalam kegelapan
kemudian dilihatnya kuda bersama penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua
matanya masih bisa mengenali orang itu. Dia membuka mulut hendak berseru
memanggil, tetapi yang keluar hanya suara erangan.
Mulutnya bergerak. "Wiro...! Aku di sini! Wiro...! Aku di sini!" namun ucapan
itu hanya menggema dalam hatinya.
Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa tenaganya dia berusaha
menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar dia berusaha menggerakkan kaki,
menggoyang semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara gemerisik semak
belukar yang tergeser kakinya menarik perhatian Pendekar 212. Semula Wiro merasa
kecewa karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan.
Gerombolan Ganco Item pasti telah meninggalkan tempat itu selagi dia bersesat
menempun jalan.
Ken Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di lehernya keluarkan suara memekik
tiada henti. Wiro berpaling ke arah semak belukar dalam kegelapan.
"Siapa di situ"!" Wiro membentak dan memandang tajam ke arah semak belukar yang
bergoyang-goyang itu.
Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga segala kemungkinan.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
6 EMAK belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro mendengar suara erangan. Murid
Sinto Gendeng dari S Gunung Gede ini segera melompat dari atas kuda, melangkah
mendekati rumpunan semak belukar. Ketika matanya berhasil menembus kegelapan
malam terkejutlah pemuda ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik semak
belukar itu. "Pak tua Kioro Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua itu lalu melompat dan
jatuhkan diri merangkul tubuh Kioro Merton. "Pak tua, katakan apa yang terjadi!"
Dari mulut orang tua itu hanya terdengar suara mengerang. Wiro melihat luka
besar di perut Kioro Merton.
Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini tak akan bertahan
lama. Wiro segera mendukung Kioro Merton ke arah salah satu obor yang masih
menyala. Di tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua yang tengah sekarat
ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di dua tempat. Orang tua in merasakan
sakit pada luka di perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk
mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak tangannya di kepala.
Perlahan-lahan orang tua ini bisa membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa ada
sedikit kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan kata-kata walaupun
terputus-putus.
"Wiro... tolong... Selamatkan Sumiati. Dia... dilarikan orang-orang Ganco Item..."
"Kakek tahu kemana mereka membawa cucumu itu?"
tanya Wiro. "Aku tidak tahu... Aku mendengar mereka me... menuju ke sela... tan. Kau...
harus membalaskan sakit hati ini, Wiro..."
"Saya bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi semua penduduk Jatingaleh
yang jadi korban keganasan Ganco Item..."
"Kau harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti...
tidak bergerak sendirian..."
Wiro diam, menunggu ucapan orang tua itu lebih lanjut.
Tapi Kioro Mertan juga diam.
"Kakek apa maksudmu mereka tidak sendirian"'
Wiro cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua mata Kioro Mertan hendak
terpejam kembali.
"Ger.... gerombolan itu dibantu oleh orangorang Kadipaten Jepara. Seorang
Bintara bernama Anggoro secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku..."
"Keparat itu tak akan kulepaskan. Begitu juga tiga pimpinan Ganco item!"
"Yang penting selamatkan Sumiati. Dari Anggoro kau bisa mengorek keterangan
kemana cucuku dibawa. Hati-hati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten
Jepara saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar di kotaraja.
Gerombolan itu punya banyak kaki tangan.
Aku..." Terdengar suara seperti tercekik. Lalu tak terdengar lagi suara ucapan Kioro
Mertan. Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman
dan bibi-nya. Kini orang tua yang dianggapnya sebagai kakek sendiri itu menemui
kematian di depan matanya.
*** Sebuah papan besar tergantung di depan bangunan beratap seng yang pintu-pintunya
masih tertutup. Di atas papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji
Yan. Penjual Peti Mati kayu Jati Asli.
Ketika jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang, tampak papan-papan depan
bangunan terbuka satu
persatu. Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan berkumis jarang,
berkulit kuning dan bermata sangat sipit sibuk menyusun papan-papan yang
dibukanya satu persatu dan menyandarkannya di sebelah luar bangunan. Kini
kelihatan ruangan dalam yang penuh dengan tumpukan petipeti mati. Semuanya
terbuat dari kayu jati.
Orang berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik tempat penjualan peti
mati itu. Kakek moyangnya sudah tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan
mencari hidup dengan menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupakan turunan yang
keempat. Meskipun lahir dan dibesarkan di situ namun kalau bicara dialek tanah
leluhurnya tak pernah berubah.
Yan Siu Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara asli dan memeluk agama Islam.
Beberapa tahun lalu dia naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini
lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan.
Baru saja Haji Tan selesai membuka seluruh papan di bagian depan bangunan,
seorang pemuda berambut
gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya turun dari kuda, langsung
menemui Haji Tan. Binatang di bahunya memekik tiada henti lalu melompat ke atas
sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali.
"Hayyya..." kata Haji Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada tamu aneh. Mau bikin
susah atawa mau kasih untung!"
Meski hatinya agak was-was melihat potongan tamu yang datang membawa monyet ini
namun sebagai pedagang yang baik haji Tan membungkuk sambil memberi salam.
"Saya mau pesan peti mati," berkata pesan tamu yang bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Pesan..." Buat apa pesan" Yang sudah jadi ada banyak. Situ silakan pilih..."
Haji Tan menunjuk pada susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang
berjumlah tidak kurang dari dua puluh buah.
Wiro perhatikan peti-peti itu sebentar lalu gelengkan kepala. "Peti-peti itu
terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali lebih besar."
Tentu saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan tamunya itu. "Hayya... Peti
mati begitu besal buat isi apa"
Manusia mati atawa kalebo?"
"Haji Tan, kau tak usaha banyak tanya. Siapkan sebuah peti mati tiga kali ukuran
biasa. Aku juga membutuhkan sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati
besar itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk penangkal bau
busuk mayat. Ini bayarannya!"
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini
dilemparkannya ke arah Haji Tan.
Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar suara berdering. Haji Tan
cepat membuka tali kain pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat
sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah uang perak yang ada dalam
kantong itu. Banyak sekali.
Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang di-minta tamunya itu.
Setelah berdecak beberapa kali Haji Tan berkata. "Anak muda, soal semua yang
situ pesan situ tidak usah kawatil.
Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu besal..."
Wiro cepat memotong. "Haji Tan, kau siapkan saja apa yang aku pesan. Aku datang
lagi tiga hari di muka untuk mengambilnya!"
"Hayya! Apa..."! Tiga Hali"! Mana wole hah" Paling tidak owe pelu sepuluh
hali..." "Lima hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi batal itu pesanan!" kata
Wiro dengan menirukan dialek Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-
pura hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang peti mati itu.
"Oooo jangan kasi watal. Hayyaa... Lima hali. Owe telima!" Lalu Haji Tan cepat-
cepat masukkan kantong uang ke dalam saku baju putihnya.
"Ken Cilikl" Wiro memanggil monyet yang masih enak-enak duduk di salah satu peti
mati. binatang ini menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat
melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku, Haji Tan berteriak
memanggil istinya.
"Tumini! Tumini!"
Sang istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur keluar tergopoh-gopoh. Tan
Siu Kong acungkan dan goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istrinya.
Sang istri ikut goyang-goyangkan kepala menuruti ayunan kantong uang.
"Saya lagi banyak kerjaan di dapur. Pagi-pagi sudah bercanda. Apa-apaan ini?"
"Eeee, ini bukan becanda Tumini," kata Haji Tan pula.
"Ada olang gila datang! Pesan peti mati, satu buah gelobak, dua ekol kuda tamba
bumbu mayat! Kasih uang begini banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal.
Ini ambil. Simpan baik-baik!" Haji Tan serahkan kantong uang pada istrinya. Setelah
memberikan beberapa pesan pedagang peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia
berjalan sambil senyum-senyum karena memperoleh untung yang tidak terduga.
Tetapi dia juga tidak habis pikir. Pemuda gondrong yang tidak dikenalnya itu,
muncul menunggang kuda, membawa seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.
Untuk apa" Sampai saat itu dia sama sekali tidak mendengar kabar ada keluarga di
Jepara yang kematian sanak keluarganya memerlukan peti mati.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
7 UBUK itu terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari Undaan yaitu antara Kudus
dan Demak. Ganco
G Langit duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan Ganco Laut. Di salah satu sudut
gubuk tergolek sosok tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya sehingga
sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah tersingkap. Saat itu walau kedua
matanya terpejam tapi Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan pem-
bicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalanan jauh sepanjang siang tadi membuat sekujur badannya terasa letih.
Namun dia tak bisa memincingkan mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik
padanya bahwa malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan besar besok siang,
dia ingin Jaminten melayaninya.
"Ganco Bumi, apa kau sudah siap berangkat malam ini?" terdengar suara Ganco
Langit bertanya pada adiknya.
Ganco Bumi mendehem beberapa kali lalu menjawab.
"Sudah. Aku membawa serta lima orang anak buah.
Sebetulnya aku lebih suka jika tugas ini dilakukan oleh Ganco Laut."
Ganco Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam saja. Hanya kedua matanya saja
yang melirik ke arah Ganco Langit.
"Ganco Laut bakal dapat tugas lain.." kata Ganco Langit.
"Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kita bergabung di lembah sebelah timur Kuto
Ulir pada tengah hari besok."
Ganco Bumi mengangguk perlahan lalu berdiri dan tinggalkan gubuk itu. Setelah
mereka tinggal berdua Ganco Laut bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain
untukku. Tugas apa Ganco Langit?"
"Itu masih kupikirkan. Aku ingin istirahat dulu..."
Jawaban Ganco Langit itu cukup membuat maklum apa yang akan dilakukan oleh Ganco
Langit. Ganco Laut berdiri.
Dia melirik sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring mengangkang kemudian
keluar dari gubuk.
Ganco Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkan diri di samping Jaminten.
Perempuan itu membalik. Nafas mereka saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit
mulai bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini menambah rangsangan
Ganco Langit. Dipeluknya tubuh gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten
membalas seperti penuh bernafsu. Tapi dalam hatinya perempuan ini berkata,
"Puaskan hatimu! Kalau barang-barang pusaka itu sudah didapat, berarti ajalmu
sudah dekat Ganco Langitl"
*** Pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap gerobak tertutup itu sudah masuk ke
dalam halaman sebuah rumah di luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi
sangat bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin orang lelaki rata-
rata bertubuh kekar tampak melakukan pengawalan.
Lima orang anggota gerombolan yang bertindak menjadi pengawal dengan tubuh letih
melompat dari atas kuda masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak
meneguk tuak dari dalam sebuah bumbung bambu lalu melompat turun.
Dua orang berbadan kekar yang agaknya telah
mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong.
Keduanya memberi hormat Ganco Bumi lalu salah
seorang memberi tahu bahwa Adipati Demak, Bando Wiseso sudah siap menunggu
kedatangannya di dalam rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada anak buahnya.
Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang gerobak. Sesaat kemudian
tampak kedua orang itu menggotong sebuah usungan kayu di atas mana terbaring
sesosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher.
Wajah yang tersembul dari balik selimut itu adalah wajah seorang gadis. Walaupun
parasnya tampak pucat dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan
paras itu cantik sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu Kioro Mertan,
puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang telah diculik dan dirusak
kehormatannya secara keji oleh Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada
apakah kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut" Dimana telah menunggu seorang
pejabat tinggi Kerajaan yaitu Adipati Bandoro Wiseso"
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
8 EDUA lelaki berbadan kekar melangkah mendahuiui memasuki rumah, diikuti oleh due
anggota Kgerombolan yang mengusung Sumiati lalu Ganco
Bumi di sebelah belakang. Gadis malang itu diusung memasuki sebuah kamar. Disitu
telah menunggu Adipati Bandoro yang hanya mengenakan pakaian tidur, bertubuh
kerempeng tapi jangkung dan memelihara kumis tebal melintang yang tidak sesuai
dengan tampangnya yang kecil panjang dan cekung pada kedua pipinya. Giginya yang
tonggos menambah keburukan tampangnya. Dia menyeringai ketika melihat paras
gadis di atas usungan lalu berpaling pada Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan
di atas pembaringan. Setelah due pengusung keluar, lelaki tinggi kurus ini
melangkah mendekai Ganco Bumi dan menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu.
"Cantik sekali. Tapi kenapa wajahnya agak pucat?"
Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ganco Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di depannya itu. "Perjalanan jauh
membuat tubuhnya sangat letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali
berusaha melarikan diri, Kami terpaksa menotoknya."
"Ah...." Bandoro Wiseso mengangguk. "Aku mengucapkan terima kasih. Kalian selalu
memberikan yang terbaik untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?"
Ganco Bumi menggeieng. "Dia menitip pesan padamu Adipati. Dia berharap Adipati
bisa bersenang-senang sepanjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta
agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang Kadipaten bertugas di
sekitar tenggara kita siang ini."
"Hemm... apakah yang hendak kalian lakukan?" tanya Adipati Demak pula.
Ganco Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dengan
pertanyaan tadi. Adipati Bandoro Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
"Ah, maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku tak boleh terlalu banyak
tanya dan ingin tahu. Namun sepanjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan
pernah keberatan. Daerah tenggara memang kediaman orangorang bangsawan dan
orang-orang kaya. Itukah sasaran kalian kali ini?"
Ganco Bumi menjawab sambil tersenyum. "Dugaanmu tepat Adipati. Demak sudah
dipenuhi oleh bangsawan-bangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin
banyak akibat tanahnya dirampas secara halus. Sudah saatnya kekayaan mereka itu
kita ambil dan dibagi kembali kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?"
"Betul! Betul sekali Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro Wiseso. "Aku setuju agar
sebagian harta kekayaan orangorang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi
kuharap jangan melupakan perjanjian kita, Jika kalian berbuat sesuatu di luar
Demak tapi masih dalam kawasan
kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau kalian menjarah dalam kota Demak,
maka bagianku adalah empat perlima. Katakan itu pada Ganco Langit!"
Ganco Bumi mengangguk. "Tak usah kawatir. Kami orang-orang Ganco Item selalu
menepati perjanjian asalkan ada bantuan timbal balik."
Dari dalam saku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan sebuah kantong berisi uang
lalu dimasukkannya ke dalam genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
"Itu pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya minta diri." kata Ganco Bumi. Lalu
dia menoleh ke arah sosok Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi
masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis itu. Tadi dia hendak
melakukannya di tengah jalan. Namun rencana besar yang akan dilakukannya bersama
kakaknya lebih penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro Wiseso kembali dan
berkata. "Dia masih sangat hijau Adipati. Jangan terlalu galak. Beberapa saat
lagi totokan di tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa saja
terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan menjemputnya."
"Dua hari katamu Ganco Bumi" Dua hari" Ah! Untuk gadis secantik ini paling tidak
lima hari!" kata Bandoro Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya
memandang berkilat-kilat ke arah tempat tidur.
"Jika begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu minggu!"
"Kau benar-benar kawan yang hebat!" kata Bandoro Wiseso dengan tawa lebar.
Seperti tadi kembali dia menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
"Siapa nama gadis itu Ganco?"
"Sumiati."
"Sumiati... Sumiati," kata Bandoro Wiseso mengulang beberapa kali. Dia
mengantarkan pimpinan gerombolan itu sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco
Bumi dan orang-orangnya keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini sudah
menutup pintu dan setengah berlari dia masuk kembali ke dalam kamar. Selimut
yang menutupi tubuh Surniati disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia enam
puluh tahun ini seperti silau ketika melihat bahwa di balik selimut itu tak ada
apapun yang menutupi tubuh bagus si gadis.
Meski sudah diberi tahu bahwa totokan di tubuh
Sumiati akan terlempas dengan sendirinya dalam waktu tak berapa lama lagi, namun
saat itu Bandoro Wiseso mana bisa sabar. Ditelitinya sekujur tubuh gadis itu.
Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati ini akhirnya berhasil
mengetahui di bagian mana Sumiati ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia
mengurut urat besar dekat ketiak kiri si gadis. Sesaat kemudian tubuh Sumiati
tampak bergerak. Kedua matanya perlahan-lahan membuka.
Melihat tampang Adipati itu Sumiati seperti melihat setan. Mendengar suara
bisikannya Sumiati seolah mendengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit
keras! *** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
9 DIPATI Bandoro Wiseso cepat menutup mulut
Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi sekujur Atubuhnya lemah lunglai tak
bertenaga. Dia hanya bisa menggulingkan diri ke samping kiri tempat tidur.
Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggalkan pakaian tidurnya. Lalu
sekali lompat saja diterkamnya tubuh gadis itu.
Namun seperti mendengar suara petir begitu kagetnya sang Adipati ketika pintu
kamar tiba-tiba hancur berantakan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut
seperti melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur.
Di hadapannya bergerak mendekat seorang pemuda berambut gondrong yang tidak
dikenalnya. Rahang pemuda ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan.
Kedua tangannya terpentang seolah slap hendak men-cekiknya.
Dua belas pengawal yang bertebaran di sekitar rumah terheran-heran ketika
melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak
kusir atau sais ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor monyet
coklat, duduk di bagian depan kereta. Lalu ini yang membuat semua orang di situ
dari heran menjadi terkejut.
Selagi perhatian semua pengawal itu tertuju pada kereta tersebut, tanpa mereka
ketahui sesosok bayang putih berkelebat masuk ke dalam rumah!
Di atas kereta ada sebuah peti mati kayu jati berwarna hitam, berukuran besar
luar biasa. Pada dinding-dinding peti mati itu terdapat angka 212 yang tidak
mereka mengerti apa artinya.
Kayu di sebelah atas atau penutup peti mati tampak terbuka. Ketika kereta itu
akhirnya berhenti di tengah halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah
mengelilingi kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka sama
berserabutan untuk melihat dari dekat apa isi peti mati itu. Begitu mereka
mengulurkan kepala, serentak kepala masing-masing seperti disentak setan. Paras
mereka menjadi berubah. Ada yang merasa jijik, tetapi lebih banyak yang merasa
mengkirik! "Ada mayat dalam peti itu..." desis salah seorang dari mereka.
"Mayat siapa...?" yang lain bertanya dengan suara agak gemetar.
Ada seorang diantara mereka yang berani dan coba melorigok kedalam peti mati
kembali. Lalu kepalanya cepat-cepat dipalingkan. "Aku rasa-rasa pernah melihat
mayat ini..." katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat.
"Astagal ini mayat Anggoro! Bintara di Kadipaten Jepara!"
"Berarti peti mati ini datang dari Jepara!"' kata yang lain.
"Siapa yang mengirimkannya..." Tidak mungkin kereta ini bisa menempuh jarak
sejauh itu tanpa ada kusirnya!
Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang lain.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba ada suara menjawab dari arah rumah. "Peti
mati itu memang datang dari Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak
melihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa berbuat kejahatan
dan kebejatan akan menerima pembalasan setimpal!"
Serempak kedua belas orang pengawal palingkan
kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian membuat semuanya jadi melotot.
Seorang pemuda berpakaian serba putih dan berambut gondrong tegak di depan rumah
sambil mendukung dua sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi tadi
dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh gadis itu berada dalam keadaan
tidak bergerak di bahu kiri si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok.
Dia mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas pengawal itu terkejut dan
terbelalak, ialah sosok tubuh Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya
mengenakan celana tidur. Kepalanya terkulai ke bawah. Leher itu patah!
Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur darah!
"Pemuda itu membunuh Adipati Bandoro!" seorang pengawal berteriak. Semuanya
menjadi gempar. Lalu sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya
serentak menyerbu!
Kita kembali ke kamar di dalam rumah untuk mengetahui apa yang terjadi sebelum
Pendekar 212 keluar dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
"Manusia keparat!" teriak Wiro begitu dia menerobos masuk ke dalam kamar dan
mendapatkan Adipati tinggi kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam
keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia merasa bersyukur telah
mengambil keputusan yang tepat.
Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan mencegat Ganco Bumi dan
orang-orangnya yang barusan dari Demak atau langsung menuju Demak guna
menyelamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih untuk melakukan yang kedua.
Ternyata dia datang pada saat yang tepat.
"Kurang ajar! Siapa kau"!" balas membentak Adipati Bandoro Wiseso.
"Tua bangka bejat!" kembali Wiro mendamprat. "Tubuh sudah bau tanah masih saja
berbuat keji!"
"Bangsat! Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani masuk membobol pintu"!"
bentak Bandoro Wiseso.
Si gondrong menyeringai. "Namaku Wiro Sableng! Tapi aku datang sebagai Malaikat
Maut! Perbuatan kejimu selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau menerima
hukuman. Hari ini adalah hari kematianmu."
"Malaikat Maut"!" belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak tertawa bergelak namun saat
itu dia baru sadar kalau dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dia cepat menyambar celana tidurnya. Wiro biarkan orang itu mengenakan
celananya. Selesai mengenakan celana dengan tampak beringas dia melangkah ke
hadapan Wiro. Sementara itu Sumiati berusaha menutupi tubuhnya dengan kain alas
tempat tidur. "Orang gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Lebih dari tahu!" jawab Wiro sambil sunggingkan senyum mengejek. "Aku
berhadapan dengan seorang Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi
malah bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai rakyat! Kau makan
uang sogokan! Malah sampai hati hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya
yang diberikan oleh komplotan Ganco item!"
"Bangsat! Berani kau memfitnah diriku!"
"Manusia jahanam! Bukti di depan mata masih bisa kau bilang fitnah! Manusia
bejat sepertimu pantas segera disingkirkan!" kertak Wiro.
"Pengawal!" teriak Adipati Bandoro Wiseso. Namun teriakannya hanya keluar
sepotong karena saat itu Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan satu
jotosan ke muka Adipati Demak ini.
Bandoro Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya susupkan satu jotosan ke
perut Wiro. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati
Demak ini menguasai ilmu silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu Wiro mengelak
dia kembali memburu dengan serangan bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak
perut dan dada murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya seolah melesak. Dia tidak
punya banyak waktu untuk melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar
Ganco Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua kambratnya.
Ketika Bandoro Wisese kembali menggempurnya
dengan serangan berantai Pendekar 212 langsung menyongsong dengan jurus "Di
balik gunung memukul halilintar!" tangan kirinya diangkat untuk menangkis.
Bersamaan dengan itu tangan kanan yang sudah dialiri kekuatan tenaga dalam
tinggi lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang
diwarisi-nya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika ada angin yang mendahului pukulan tangan kanan lawan, Bandoro Wiseso
maklum kalau Wiro hendak menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati Demak
yang cukup punya pengalaman ini cepa-cepat melompat ke samping kiri. Lima jari
tangannya membuat gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan balasan sang Adipati ternyata mampu men-capai sasaran lebih dulu dari
hantaman tangan kanan yang hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak
mau harus menarik serangannya seraya membuat gerakan menjatuhkan lehernya dari
Pedang Angin Berbisik 2 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Durjana Dan Ksatria 1