Pencarian

Telaga Emas Berdarah 2

Wiro Sableng 035 Telaga Emas Berdarah Bagian 2


kulit kayu menempel sama rata seolah-olah tak pernah dipotong atau dicungkil.
Mata awam pasti tak akan mampu melihat batasan cungkilan.
"Istriku, mari kita tinggalkan bukit ini! Kalau memang ada yang berjodoh dengan
peta itu, biar itu menjadi rezeki mereka. Aku tak ingin melibatkan diri lagi
dengan segala macam harta itu!"
"Anom..."
"Tua bangka tolol! Ingat pesanku!" bentak kakek Anom ketika istrinya membuka
mulut. Lalu lengan si nenek ditariknya. Keduanya segera lari menuruni bukit
jati. Belum lagi sepasang kakek nenek ini lenyap di kejauhan, dari balik dua pohon
jati besar berkelebat keluar dua sosok tubuh. Yang berpakaian tanpa kancing dan
berikat kepala merah ternyata bukan lain adalah Gaok Srenggi, Raja Lanun Pantai
Selatan. Tangan kanannya tampak dibalut kain putih. Yang muncul bersamanya saat
itu adalah seorang kakek berpakaian kotor compang camping berambut panjang tapi
sangat jarang hingga kepalanya nyaris botak.
Gaok Srenggi langsung memukul batang pohon jati di mana tadi kakek Anom
menyembunyikan peta kain. Kepingan kulit kayu mencelat mental. Lembaran kain
tampak melekat di batang pohon.
Raja Lanun tertawa lebar. Dia berpaling pada kakek kumal. "Mana mungkin dua tua
bangka itu bisa menipu kita! Akhirnya peta telaga emas menjadi milik kita juga!
Ha . . ha . . ha ..!"
Kakek kumal ikut tertawa gembira.
"Kita menemukannya tanpa aku harus melelahkan diri menghadapi lawan-lawan
tangguh yang kau takutkan itu Gaok!" kata si kakek pula.
"Mungkin mereka tak berani mengusik dan sudah pada lari ketakutan ketika melihat
kau muncul bersamaku Gembel Cakar Hantu!" ujar Gaok Srenggi pula.
Si kakek tertawa mengekeh dan angkat kedua tangannya ke atas. Ternyata manusia
ini memiliki sepuluh jari berkuku panjang berwarna hitam pekat!
Gaok Srenggi ulurkan tangan kanannya untuk mengambil peta kain yang melekat di
batang pohon. Tapi tiba-tiba ada angin deras menyambar.
Wuuuuttt! Gaok Srenggi terjajar tiga langkah ke belakang, hampir jatuh karena seseorang
mendorong bahunya. Peta kain di batang pohon direnggut dan lenyap!
"Bangsat kurang ajar! Berani mati!" teriak Gaok Srenggi. Lalu Raja Lanun ini
melompat mengejar.
Kakek bergelar Gembel Cakar Hantu juga membentak marah dan berkelebat cepat
menghadang orang yang barusan menyambar peta telaga emas.
Karena terkurung rapat, walaupun tadi gerakannya cepat laksana kilat, si
perampas peta kain tidak sempat melarikan diri lebih jauh.
"Pesolek Agung!" sew Gembel Cakar Hantu ketika dia mengenali siapa adanya orang
yang tegak antara dia dan Gaok Srenggi. "Tidak sangka kaupun tertarik pada peta
emas itu!"
Gaok Srenggi alias Raja Lanun Pantai Selatan terkesiap kaget ketika mengetahui
siapa adanya orang yang barusan mendahuluinya merampas peta telaga emas. Nama
Pesolek Agung merupakan satu momok yang sering membuat geger di pesisir selatan,
bahkan sampai jauh ke daratan Jawa Tengah. Kepandaian manusia satu ini tinggi
sekali. Kabarnya malah sukar dijajagi. Diam-diam Gaok Srenggi merasa beruntung
bahwa dia muncul di tempat itu bersama Gembel Cakar Hantu, seorang tokoh silat
golongan hitam yang ikut menyandang nama besar di wilayah selatan.
Orang yang ditegur tertawa dingin. Pesolek Agung ternyata adalah seorang lelaki
berusia hampir setengah abad. Pakaiannya rapi dan sangat bagus. Gerak geriknya
sepeti kebancian-bancian.
Apa yang menarik pada manusia ini ialah, walaupun dia seorang lelaki tetapi
memakai bedak tebal, penebal alis lengkap dengan sipat mata serta pemerah pipi.
Bibirnya dipoles dengan gincu merah mencoreng.
Rambutnya dicat hitam dan diponi. Telinga sebelah kiri memakai giwang panjang!
"Sama-sama hidup di kolong langit, masakan tidak tahu menahu apa yang terjadi di
dunia persilatan. Tujuan kita agaknya sama Gembel Cakar Hantu. Hanya saja kau
terlambat. Sayang sekali.
Aku lebih cepat darimu!" Kata-kata itu diucapkan Pesolek Agung sambil sedikit
mendongakkan kepala dan usap-usap rambutnya di sebelah belakang, persis seperti
seorang perempuan genit.
"Kami sejak lima hari lalu menguntit Ratu dan Raja Bengawan Sala untuk
mendapatkan peta itu. Kami harap peta itu diserahkan pada kami!" Gaok Srenggi
membuka mulut. Kembali Pesolek Agung tertawa dingin.
"Di atas dunia ini berlaku hukum siapa cepat dia yang dapat! Peta rahasia ini
tidak berjodoh denganmu! Heh, bukankah kau Raja Lanun Pantai Selatan yang
terkenal itu?"
"Kalau kau sudah mengenali diriku, berarti kau tahu kita orang satu golongan.
Mengapa tega merampas peta itu?" ujar Gaok Srenggi pula.
"Ini bukan soal tega atau tidak tega, Gaok Srenggi. Seperti aku bilang tadi ..."
Pesolek Agung usap pipinya sebpntar, raba-raba bibirnya yang bergincu lalu
meneruskan: "Seperti aku bilang tadi, ini adalah persoalan siapa cepat siapa
dapat .." Gembel Cakar Hantu batuk-batuk beberapa kali.
"Sobatku Pesolek Agung," kata manusia berpakaian kumal dan compang-camping ini.
"Mengingat kita sama satu golongan, mengingat pula kita sama-sama bersusah payah
dalam mendapatkan peta itu bagaimana,kalau kita berunding?"
"Hemmm ... Berunding katamu" Boleh saja sobat ku. Tapi putusan tetap padaku.
Katakan apa yang ingin kau rundingkan!"
"Kita sama-sama memecahkan isi peta rahasia. Sama-sama pergi ke tempat di mana
terletaknya telaga emas lalu membagi hasil. Kau seperdua, kami berdua biarlah
sisanya." "Hemm... Usul baik untuk bahan perundingan. Tapi jawabannya adalah tidak!" sahut
si Pesolek Agung pula.
"Kau dua pertiga, kami yang sepertiga!" berkata Gaok Srenggi.
Pesolek Agung tertawa panjang lalu lagi-lagi usap-usap bibirnya seolah-olah
merapikan gincu-nya.
"Banyak orang menyangka, kalau aku seperti perempuan, hatiku tentu penuh welas
asih seperti perempuan juga.. Sangkaan yang salah! Justru aku lebih tegas dari
kaum lelaki. Sekali aku bilang tidak, sampai matipun tetap tidak!"
Selesai berkata begitu sepasang mata Pesolek Agung yang memakai sipat mata
menatap tajam-tajam pada Gembel Cakar Hantu dan Gaok Srenggi. Ketika dia hendak
balikkan tubuh untuk pergi terdengar seruan Gaok Srenggi.
"Tunggu dulu!"
Pesolek Agung hentikan langkahnya. "Hari sudah tinggi. Orang sepertiku tak layak
berada lama-lama di tempat ini!"
"Jika kau bersikeras tak mgu membagi rezeki, terpaksa kami melakukan hal-hal
yang tak di-ingini!" Gembel Cakar Hantu mengancam.
"Bagus... kau berani mengancam Gembel Cakar Hantu! Berani mengancam berani mem-
buktikan ancaman!"
Kedua kaki Pesolek Agung bergeser mengembang. Kedua tangannya digosok-gosok
tiada henti sementara peta telaga emas sudah sejak tadi disimpannya di balik
pakaiannya yang bagus.
"Kalian mau menyerang satu-satu atau mengeroyok sekaligus bagiku tak ada
masalah...!"
Gaok Srenggani yang tahu urusan bakal jadi kapiran tentu saja tak berani
menyerang. Sebaliknya Gembel Cakar Hantu yang sudah terlanjur mengeluarkan kata-
kata ancaman tentu saja merasa malu besar bilamana dia tidak melayani tantangan
orang. Tanpa banyak menunggu lagi Gembel Cakar Hantu membentak, "Lihat serangan!"
Sepuluh jari tangannya terkembang lurus laksana sepuluh potong besi runcing.
Kesepuluh jari itu bertengger dan tampak ada sinar redup berwarna kehitaman pada
ujung kuku-kukunya yang panjang runcing berwarna hitam itu.
Tangan kanan menyambar ke depan, ke arah dada. Pesolek Agung menunggu sampai
serangan berupa cakaran ganas iru datang lebih dekat. Begitu sambaran lima kuku
hitam hanya tinggal sejengkal dari dadanya, secepat kilat Pesolek Agung gerakkan
tangan kanannya ke pinggang.
Mendadak sontak ada cahaya berkilau berkilat menyambar ke arah tangan kanan
Gembel Cakar Hantu. Orang ini cepat tarik pulang serangannya, ganti kini tangan
kiri yang berkelebat ke arah muka si Pesolek Agung.
"Aih! Kau hendak merusak wajahku yang mulus!" seru Pesolek Agung.
Sekali lagi Pesolek Agung gerakkan tangannya. Kembali ada sinar menyilaukan
berkiblat ke arah tangan tangan kiri Gembel Cakar Hantu. Sinar menyilaukan ini
rnengantar hawa oanas luar biasa.
Sekali ini Gembel Cakar Hantu tidak mau menarik pulang serangannya seperti tadi.
Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas. Dari atas dua jari
tangannya menusuk deras ke arah ubun-ubun Pesolek Agung!
"Aih, hendak kau apakan batok kepalaku!" terdengar seruan Si Pesolek Agung.
Tangan kanannya dikibaskan ke atas. Sinar menyilaukan yang menebar hawa panas
menerpa ke arah Gembel Cakar Hantu. Sekali ini mau tak mau Gembel Cakar Hantu
harus membuat gerakan untuk selamatkan diri. Selagi dia melemparkan diri ke
samping untuk menghindar tebasan lawan, tiba-tiba sinar menyilaukan kembali
berkiblat dan sekali ini menghantam ke arah matanya!
Gembel Cakar Hantu menjerit kaget. Bukan saja kedua matanya terasa sangat panas,
tapi pemandangannyapun serta merta menjadi gelap, seolah-olah kini kedua matanya
telah menjadi buta! Selagi dia kelagapan mengucak-ucak matanya, satu jotosan
melanda dadanya dengan keras.
Gembel Cakar Hantu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental satu tombak. Ketika
jatuh pemandangan matanya mulai jernih. Penuh amarah orang ini gulingkan tubuh.
Tangan kanannya menyambar ke arah kaki Pesolek Agung. Tapi serangannya luput dan
hanya menghantam bagian bawah sebatang pohon jati. Kulit pohon yang terkena
sambaran cakaran kuku hitam tampak terkelupas dan batang pohon itu kini
kelihatan berlubang kehitam hitaman!
Ketika Gembel Cakar Hantu berpaling, dilihatnya Pesolek Agung tegak tenang-
tenang saja . Ditangan kanannya dia memegang sebuah kaca hias bertangkai rotan. Dia asyik
melihati wajahnya sendiri di dalam kaca sambil mengusap-usap pipi dan keningnya
seperti layaknya seorang perempuan tengah berhias! Kaca itulah tadi yang membuat
Gembel Cakar Hantu kepanasan dan kesilauan.
Hawa amarah yang menggelegak membuat bekas pukulan di dada Gembel Cakar Hantu
menjadi tambah sakit. Ketika dia coba berdiri sambil kerahkan tenaga dalam untuk
kembali melancarkan serangan, mendadak dari mulutnya menyembur darah segar.
Gembel Cakar Hantu menjadi lemas melihat darahnya sendiri. Kedua lututnya goyah.
Tubuhnya terkulai lalu jatuh terkapar di depan kaki Gaok Srenggi!
"Kau juga ingin kubuat seperti itu"!" ujar Pesolek Agung.
Gaok Srenggi yang sudah lumer nyalinya tak berani menjawab ataupun bergerak.
Pesolek Agung merapikan poni rambutnya lalu sambil tertawa panjang dia
tinggalkan tempat itu.
Gembel Cakar Hantu berusaha bangkit sambil pegangi dada. Tapi tubuhnya lemas dan
dadanya sakit sekali. Dia kembali tergeletak di tanah.
"Gaok.... tolong aku. Dudukkan aku di bawah pohon sana, Gaok..." terdengar Gembef
Cakar Hantu merintih.
"Manusia tak berguna!" mengomel Gaok Srenggi. "Susah payah aku mengajakmu
memburu peti itu. Ternyata kau hanya pantas dimasukkan tong sampah....!"
Setelah mengucapkan caci maki itu Gaok Srenggi putar tubuhnya.
"Gaok ! Jangan tinggalkan aku di sini..."
Raja Lanun Pantai Selatan tidak perdulikan ratapan orang itu. Dia melangkah
pergi meneruskan perjalanan menuju puncak bukit jati. Di puncak bukit dia
hentikan langkah dan memandang berkeliling. Walaupun selama ini dia malang
melintang di lautan, tapi sebagai seorang tokoh hitam di pesisir selatan Gaok
Srenggi cukup tahu seluk beluk daerah di mana dia berada saat itu.
Jika Ratu dan Raja Bengawan Sala mengadakan perjalanan ke jurusan ini, satu-
satunya gunung terdekat adalah Gunung Perahu. Berarti telaga itu berada di
sekitar situ. Aku akan menyelidiki ke sana..." begitu Gaok Srenggi berpikir.
Sementara itu sambil bernyanyi nyanyi kecil karena sudah memiliki peti telaga
emas, Pesolek Agung berjalan santai saja. Di satu tempat dia berhenti dan
keluarkan peti kain putih kumal polos!
Sama sekali tidak ada peti atau gambar apapun di atas kain itu!
"Kurang ajar! Aku tertipu!" ujar Pesolek Agung sambil banting-banting kaki. Kain
kecil dalam genggamannya diremas hingga lumat. "Bangsat! Aku akan lihat apakah
dua tua bangka itu masih bisa menipuku kalau nyawa sudah kucabut dari tubuh
merekal Keparat! Jangan kira aku tidak tahu ke mana tujuan kalian!"
*** 6 = KARENA MELAKUKAN perjalanan menyusuri anak Kali Bogowonto, satu hari kemudian
akhirnya kakek Anom dan nenek Amini sampai di kaki Gunung Perahu. Saat itu pagi
hari. Matahari belum tinggi. Puncak gunung tampak gagah disaputi awan putih yang
berarak seperti kapas.
"Menurut peta ..." kata kakek Anom pula sambil meneliti peta kain yang
dikeluarkannya.
"Sungai yang kita ikuti sejak sehari lalu bentuk dan likunya persis dengan yang
tergambar di sini.
Namun di sini ada gambar rumah kecil. Kita sama sekali tidak menemui rumah atau
bangunan apapun di sekitar hulu sungai. . . ."
"Di keliling kaki Gunung Perahu kurasa terdapat lebih dari selusin hulu sungai.
Belum tentu sungai yang kita ikuti benar-benar seperti yang dimaksudkan dalam
peta. Berarti kita harus mengelilingi kaki gunung ini sampai menemukan tanda
yang lebih jelas ...." memberi pendapat nenek Amini.
"Mengelilingi gunung ini... paling tidak akan menghabiskan waktu lima hari,
mungkin seminggu ... "ujar sang suami.
"Apa boleh buat. Kita sudah sampai disini. Kalau kita tidak meneruskan, orang
lain akan mendapatkan harta itu! Mari!" Si nenek memberi semangat.
Menjelang tengahari sepasang kakek nenek itu menemukan sebuah lembah kecil. Di
dasar lembah terdapat daerah berbatu-batu dan disitu ada sebuah cegukan dalam
tapi sama sekali tidak ditemukan air atau telaga. Keduanya meneliti batu-batu
yang ada di tempat itu, mencungkil-cungkil bahkan beberapa kali memecah batu-
batu yang ada di situ. Sampai menjelang sore mereka tidak melihat tanda-tanda
adanya emas atau harta terpendam di situ. Dengan tubuh letih tapi masih
bersemangat tinggi kakek Anom dan nenek Amini melanjutkan penyelidikan ke arah
timur, sampai akhirnya mereka menemukan pedataran tinggi yang di sebelah atasnya
tampak sebuah bukit batu kecil.
"Aneh... Aku yakin di manapun daerah di kaki gunung pasti akan subur dan hijau.
Mengapa bagian kaki gunung disebetah sihi begini tandus, hampir tidak ditumbuhi
pohon..." "Aku juga berpikir begitu..." menyahuti nenek Amini. "Dan kau lihat di sana ada
tumpukan batu-batu aneh. Ada yang berbentuk seperti tubuh manusia sebatas
pinggang ke atas. Ada yang seperti kursi. Juga ada yang berbentuk meja ...."
Kakek Anom pegang erat-erat tangan istrinya. "Amini," bisik si kakek agak
bergetar."Aku me-naruh firasat kita akan menemukan telaga emas itu. Mari kita
naik ke arah tumpukan batu-batu di puncak bukit tandus itu!"
Ternyata pendataran tinggi yang mereka daki memiliki tanah lembut sehingga
meskipun sepasang kakek nenek itu memiliki kepandaian dan ilmu meringankan tubuh
yang tinggi tetap saja mereka seperti menginjak tumpukan pasir. Setiap melangkah
kaki mereka pasti tenggelam sedalam setengah sampai satu jengkal.
"Aneh tanah di tempat ini ..." berkata Anom. Sesaat dia berhenti menunggu
istrinya yang agak tertinggal di betakang. Memandang berkeliling kakek Anom
melihat guratan-guratan besar dan panjang di beberapa tempat. Guratan-guratan
itu ada yang mulai dari kaki pedatarah dan menuju ke arah bukit batu. Ada juga
yang membelintang menuju keberbagai arah.
"Apa yang kau perhatikan Anom.... ?"
Kakek Anom menuju ke arah guratan-guratan panjang. Nenek Amini ikut ikut
memperhatikan. "Apa yang menyebabkan tanah pedataran tinggi ini tergurat-gurat seperti itu.
Kelihatannya bekas dilalui sesuatu. Jelas bukan kaki manusia..."
"Kita teruskan saja perjalanan ke atas. Mungkin di atas sana kita bisa menemukan
jawabnya ..."
ujar nenek Amini. Kedua orang itu kembali melanjutkan perjalanan. Kakek Anom
lebih dulu, istrinya mengikuti dari belakang. Karena itu si kakek sampai lebih
dulu di puncak pedataran di mana terdapat tumpukan batu-batu berwarna hitam yang
memberikan bentuk berbagai rupa. Ada yang seperti manusia, ada seperti kursi
meja, ada pula seperti binatang mendekam dan sebaginya.
Namun semua ujud batu-batu itu sama sekali tidak diperhatikan kakek Amon.
Matanya tertancap pada sebuah telaga kecil yang terletak due puluh langkah di
depannya, dikelilingi oleh batu-batu hitam beraneka bentuk itu.
"Amini!" seru kakek Anom tak dapat lagi menahan gembiranya. "Ini pasti telaga
emas itu!"
Mendengar teriakan suaminya nenek Amini melesat ke atas bukit. Begitu melihat


Wiro Sableng 035 Telaga Emas Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telaga si nenek langsung merangkul suaminya.
"Kita akan jadi kaya raya Anom! Lebih kaya dari Raja! Lebih kaya dari
Sultan ...!"
Kakek Anom juga gembira. Namun orang tua satu ini tidak terus terbawa hanyut
kegembiraan. Sambil mengusap bahu istrinya dia berkata. "Nek, mari kita menyelidik telaga
itu. Kulihat airnya berwarna aneh, Tidak biru tidak kehijauan. Tapi butek hitam...
Lagi pula belum kulihat bayangan emas di tempat ini..."
Nenek Amini menunjuk ke arah selatan. "Aku merasa pasti emas itu tersembunyi di
sini Anom. Lihat ke arah yang kutunjuk. Di situ ada hulu sebuah sungai. Likunya
sama seperti dalam peta kain. Dan di sebelah sana lagi ada air terjun kecil."
"Tapi di mana rumah kecil yang ada dalam peta ... ?"
Si nenek memandang berkeliling.
"Memang tidak tampak rumah atau gubuk di sekitar sini. Namun bukan mustahil si
pembuat peta melakukan kesalahan. Air terjun itu digambarkannya sebagai rumah
kecil. Atau mungkin juga dia sengaja melakukan itu agar peta itu tidak terlalu
mudah dipecahkan . . . ."
Kakek Anom angguk-anggukkan kepalanya. Kedua orang tua itu kemudian melangkah
menuju telaga. Telaga ini tidak terlalu luas. Lebih mirip sebuah kolam besar
karena mulai dari bibir telaga sampai ke dinding sebelah bawah terbuat dari
batu. Dan seperti yang dikatakan kakek Anom tadi, air telaga berwarna hitam
butak hingga tidak dapat dilihat dasarnya, padahal tampaknya air telaga itu
dangkal-dangkal saja.
Kakek Anom memperhatikan dasar telaga dengan teliti. Gelap pekat, tapi...
beberapa kilas dia seperti melihat pantulan-pantulan kecil berwarna keputihan.
Si kakek berjongkok di tepi telaga. Tangan kanannya diulurkan dalam-dalam.
Ketika sebagian bahunya ikut tenggelam basah dalam air, dia berhasil menyentuh
dasar telaga. "Telaga ini dangkal sekali nek. Dasarnya terasa dingin tapi agak lembut. Aku
seperti menyentuh sesuatu yang agak kasap.... Eh, di mana tersembunyinya emas
itu?" Kakek Anom masih meraba-raba beberapa lamanya sambil memandang
berkeliling. "Aneh..." katanya kemudian.
"Apa yang aneh Anom?" bertanya si nenek.
"Dasar telaga ini seperti mengeluarkan denyutan-denyutan halus...." Kakek Anom
keluarkan tangannya dari dalam air lalu mencium ujung jari-nya yang tadi dipakai
meraba-raba. "Bau amis..."
katanya. Setelah berpikir sejenak kakek ini kemudian berkata, "Mari kita coba
pecahkan batu-batu hitam ini. Kita lihat bekas pecahannya apakah mengandung emas atau
tidak..." Dengan susah payah mereka mencari beberapa buah balu sebesar kepalan, setelah
menemukan kedua kakek nenek itu pergunakan batu-batu itu untuk menumbuk dan
menghancurkan batu-batu hitam yang ada di situ. Mereka mulai dengan sebuah batu
hitam berbentuk punggung gajah.
Dengan mengerahkan tenaga dalam, batu yang lebih kecil dihantamkan ke punggung
batu lebih besar.
Braak...! Batu kecil dan sebagian batu besar sama-sama hancur. Sepasang kakek nenek cepat
memeriksa pecahan batu besar. Mereka tidak melihat atau menemukan apa-apa.
Bagian dalam pecahan batu sama saja hitamnya dengan bagian luarnya.
Kakek Anom tampak kecewa. Tapi si nenek memberi semangat. "Kita coba yang
lain ...."
Begitulah, sementara matahari mulai menggelincir ke tempat tenggelamnya,
sepasang kakek nenek itu sibuk memecah batu-batu hitam yang berada di sekeliling
telaga. Hasilnya nihil. Batu-batu itu tidak ada bedanya dengan yang pertama kali
mereka selidiki. Hitam pekat, tak ada bagian yang menunjukkan terpadunya emas!
Ketika matahari tenggelam dan tempat itu menjadi gelap, kakek Anom dan nenek
Amini duduk kelelahan di tepi telaga. Telapak tangan dan jari-jari mereka terasa
pedas, ada yang mengelupas dan berdarah.
"Rejeki kita masih jelek Amini .... Ini bukan telaga yang ada dalam peta. Aku
khawatir, jangan-jangan telaga itu sebenarnya tak pernah ada ...."
Nenek Amini duduk terdiam. Meskipun semangatnya sedikit mengendur namun dia
begitu yakin bahwa telaga yang ada di hadapan mereka dalam gelap itu adalah
benar-benar telaga emas yang ada dalam peta kain, yang selama puluhan tahun
menjadi rahasia tak terpecahkan dalam dunia persilatan.
Perlahan-lahan si nenek mengingsut duduknya ke tepi telaga. Di sini, dalam
gelapnya malam dia membuka kembali peti kain itu. Setelah beberapa saat
dimasukkannya ke balik pakaian seraya berkata, "Aku yakin ini memang telaga yang
dimaksudkan dalam peta!"
"Tapi kau saksikan sendiri nek! Kita sudah menyelidik, memecah seluruh batu yang
ada di tempat ini. Jangankan emas, tembaga pun tidak ada di sini!"
"Kita belum mencoba batu yang menjadi bagian langsung telaga ini..." berkata
nenek Amini. Dia mengambil sebongkah pecahan batu lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan
dan braak! Dia menghantamkan bongkahan batu itu ke pinggiran batu telaga! Batu di tangan si
nenek hancur berantakan sedangkan pecahan pinggiran telaga terpental dekat kaki
si nenek. Parempuan tua ini cepat mengambii kepingan batu tepi telaga,
mendekatkannya ke matanya agar dapat meneliti lebih jelas. Sesaat kemudian
terdengar pekik si nenek.
"Apa yang kau lihat nek"!" ikut menjerit kakek Anom.
"Emas...! Anom! Lihat! Sebelah dalam batu telaga berwarna kuning berkilat! Emas
Anom... Emas...!" Kakek Anom terlonjak kaget dan rebut kepingan batu dari tangan si nenek lalu
menelitinya. Benar! Bagian dalam kepingan batu, seolah-olah ditutup denqan suatu lapisan
tipis di sebelah luar, tampak berwarna kuning pekat. Si kakek masih kurang
percaya. Dia membungkuk meneliti bekas sumbingan tepi telaga. Dan batu di situ
pun jelas tampak berwarna kuning emas!
Si kakek langsung peluk istrinya.
Keduanya berangkulan gembira dan menarinari.
"Tiga tahun lebih membuang waktu ternyata tidak percuma .... Kita betul-betul
akan jadi kaya raya! Lebih kaya dari Raja seperti katamu tadi!"
Si nenek peluk suaminya dan berteriak girang tiada henti. Tiba-tiba perempuan
ini ingat sesuatu lalu berkata, "Tapi kita tidak boleh serakah kek..."
"Eh, apa maksudmu?"
"Emas yang ada di sini harus kita sisihkan sebagian untuk murid Sinto
Gendeng ...."
"Ya... ya... Aku setuju. Pendekar 212 itu yang membuka jalan menunjukkan letak
tempat rahasia ini! Kita berdua akan mencarinya dan memberikan sebagian emas
yang ada di sini ...."
"Kita harus mengambil semua emas yang ada di sini malam ini juga, Anom!"
"Ya... malam ini juga. Sebelum ada lagi manusia-manusia biang celaka muncul di
sini. Hanya saja... aku berpikir-pikir bagaimana kita membawa semua emas yang ada
di sini" Kita perlu gerobak besar dengan kuda-kuda yang kuat. Lalu lusinan
karung. Kita harus mencari linggis dan pentungan besi!"
"Kalau begitu biar malam ini kita tidur di sini. Besok pagi kita mulai kerja
keras dan mengatur semuanya..."
"Aku kurang setuju!" ujar kakek Anom. "Kau tetap di sini. Aku akan turun ke desa
terdekat, mencari kereta, karung, kuda... semuanya! Menjelang pagi aku pasti
sudah ada di sini. Kau berani kutinggal sendiri di sini Amini ...."
"Masakan tidak berani! Kau pergilah...."
"Ya . . . ya, aku akan pergi sekarang juga!" kata kakek Anom.
Justru pada saat itulah sepasang kakek nenek ini mendengar suara air telaga
bergemericik. Menyusul suara mendesis. Bau amis menebar. Nenek Amini yang kebetulan memeluk
suaminya dengan muka menghadap telaga tiba-tiba berteriak keras.
"Amon. . . Anom. . . Lihatlah. . . Ada hantu keluar dari telaga itu....!"
*** 7 = KAKEK ANOM tersentak kaget, terlebih karena memang dia juga mendengar suara
menggemuruh keluar dari dalam telaga. Ketika dia berpaling, terloncatlah kakek
irti saking terkejutnya.
Dari dalam telaga melesat keluar sesosok mahluk berkepala dan bertubuh panjang
besar luar biasa. Meskipun gelap tapi tubuhnya kelihatan seperti memiliki
bagian-bagian yang berkilauan.
Mahluk ini memiliki sepasang mata berwarna hijau. Mulutnya yang menganga
menjulurkan lidah panjang bercabang dua yang juga berwarna hijau.
"Ul... ullar ... Ular hantu raksasa...!" teriak Kakek Anom gagap dan takut.
Mahluk yang keluar dari dalam telaga ternyata memang sejenis sanca raksasa yang
mengerikan. Sisik di tubuhnya sangat tebal dan bagian-bagian sisik inilah yang memantulkan
sinar berkilauan.
Binatang ini, entah ular benaran entah mahtuk jejadian, keluarkan suara
mendesis. Desisan ini menyebar bau amis dan udara dingin menegakkan bulu roma.
Tiba-tiba mahluk ini melesat ke kiri ke arah nenek Amini yang tegak dengan tubuh
gemetaran. "Amini, selamatkan dirimu! Lekas melompat!" teriak Kakek Anom.
Tapi terlambat. Hanya beberapa kejapan saja, begitu mahluk seperti ular raksasa
itu membuka mulutnya, tubuh nenek Amini seperti tersedot, amblas lenyap masuk ke
dalam mulut itu. Sesaat masih terdengar jerit si nenek, setelah itu lenyap.
Kraak! Mahluk dalam telaga katupkan mulutnya. Sepasang kaki nenek Amini laksana
dipotong pisau besar. Buntung den tercampak di tepi telaga. Darah membasahi
batu-batu, tepi telaga dan air telaga.
Betapapun takutnya kakek Anom, namun melihat kematian istrinya mengenaskan
seperti itu maka rasa takut berganti dengan amarah.
"Mahluk biadab! Kupecahkan kepalamu!" Si kakek berteriak lalu melompat. Tangan
kanannya menderu ke arah kepala mahluk berbentuk ular.
Bukkk! Kakek Anom seperti memukul tembok besi.
Tangan kanannya remuk hingga dia menjerit kesakitan sebaliknya mahluk menyerupai
sanca taksasa itu sedikitpun tidak bergeming.
Dia mendesis, lalu dari dalam telaga dangkal melesat keluar bagian tubuhnya yang
berbentuk ekor. Ekor ini menyambar deras ke arah kakek Anom. Dalam keadaan
kesakitan setengah mati si kakek masih sempat melihat datangnya bahaya maut. Dia
jatuhkan diri. Ekor mahluk menghantam batu berbentuk tubuh manusia. Batu hitam
ini hancur berkeping-keping. Kembali mahluk ini mendesis. Bau anyir dan hawa
dingin membersit. Sebelum kepala si mahluk dengan mulutnya yang terbuka datang
menyambar, kakek Anom cepat berguling jauh selamatkan diri.
Mulut mahluk menghantam tanah berlapis batu.gatu den tanah ambruk, meninggalkan
lobang besar! Begitu berhasil selamatkan diri, kakek Anom cepat berdiri lalu
tanpa tunggu lebih lama lari meninggalkan tempat itu secepat yang bisa
dilakukannya sambil tiada henti meneriakkan nama istrinya.
"Amlni .. . Amini .... !"
Mahluk dalam telaga sorotkan pandangan mata mengikuti arah larinya kakek Anom.
Tapi dia tak bergerak, agaknya tak hendak mengejar orang tua itu. Perlahan-lahan
dia rundukkan. dan ulurkan kepalanya ke arah tepi telaga dimana tercampak
kepingan batu yang mengandung emas.
Kepingan batu ini langsung disedot dan ditelannya. Kemudian dia merundukan
kepalaanya ke bagian tepi telaga yang batunya gompal. Dengan lidahnya yang hijau
mahluk ini mengusap tepi telaga yang pecah dan menonjolkan emas kuning.
Begitu terkena usapan lidahnya yang bau yang berwarna kuning berkilat itu
berubah menjadi gelap hitam, tidak beda dengan keadaan sebelumnya!
Lalu perlahan-lahan mahluk menyerupai ular sanca raksasa itu turunkan tubuh dan
kepalanya, masuk kembali ke dalam telaga. Malam di puncak pedataran tinggi itu
kembali sunyi senyap. Air telaga sebagian telah berubah warna kemerahan,
bercampur dengan darah nenek Amini yang malang.
*** Meskipin Gaok Srenggi berhasil mencapai kaki Gunung Perahu namun sulit baginya
untuk mencari dimana letak telaga emas itu.. Apalagi saat dia tiba di sana hari
masih malam, menjelang dinihari. Udara dingin bukan kepalang. Raja Lanun Pantai
Selatan ini memutuskan untuk menunggu sampai pagi datang. Selagi dia mencari
tempat yang baik untuk tidur, lapat-lapat dia mendengar suara orang berteriak
tiada henti. Gaok Srenggi cepat pasang telinga. Dia mendengarkan sambil
berlindung di balik serumpun pohon-pohon kelapa.
Makin lama suara teriakan itu semakin jelas.
"Amini .... Amini..."
"Heh, itu nama Ratu Bengawan Sala ...." membatin Gaok Srenggi."Siapa yang
berteriak terus menerus menyebut nama itu. Orang itu berteriak sambil berlari..."
Dengan gerakan cepat tapi sangat hati-hati Gaok Srenggi bergerak dan berpindah
dari balik pepohonan atau semak belukar, menyongsong dan mendekati suara orang
yang berteriak. Tak selang berapa lama dia melihat seseorang berlari dari
jurusan barat. Orang inilah yang meneriakkan nama Amini itu. Dalam jarak
beberapa belas tombak Gaok Srenggi segera dapat mengenali orang itu. Bukan lain
adalah kakek Anom alias Raja Bengawan Sala.
"Apa yang terjadi dengan tua bangka keparat itu" Dia lari seperti dikejar setan!
Istrinya tidak kelihatan. Dan dia tidak terus menerus meneriakkan nama
istrinya..."
Gaok Srenggi melompat keluar dari persembunyiannya ketika kakek Anom hanya
tinggal beberapa tombak di hadapannya.
"Hai! Berhenti!' seru Gaok Srenggi.
Kakek Anom tampak kaget, hentikan larinya lalu kembali berteriak: "Amini ...
Amini . . ."
"Mana istrimu"! Mana peta telaga emas?" menghardik Gaok Srenggi. Namun dia tidak
berani datang lebih dekat. Bukan saja karena dia sudah mendapat pelajaran dari
si kakek sewaktu terjadi perkelahian sepuluh hari lalu, tapi si kakek yang
kelihatan aneh itu mungkin jauh lebih berbahaya.
"Mana peta"!" teriak Gaok Srenggi kembali.
"Amini... Amini....!" seru kakek Anom berulang kali. Dan kini dia berseru sambil
tangannya menunjuk-nunjuk ke arah barat, dari jurusan mana dia tadi muncul.
"Hai! Berikan peta telaga emas padaku!" kembali Gaok Srenggi membentak.
Namun lagi-lagi kakek Anom menjawab dengan menyebut nama istrinya sedang
tangannya menunjuk ke arah barat. Sesaat kemudian orang tua ini lari dari tempat
itu meninggalkan Gaok Srenggi yang tidak habis heran.
"Tua bangka itu sudah jadi gila agaknya!" pikir Gaok Srenggi. Setelah kakek Anom
lenyap di-kegelapan malam dia berpaling ke arah barat, arah yang terus-terusan
ditunjuk si kakek. "Ada apa di jurusan itu..." Aku harus menyelidik." Sesaat Gaok
Srenggi berpikir-pikir sambil urut-urut tangannya yang dibalut.
Sreett! Gaok Srenggi cabut senjatanya. Sebilah golok pendek berwarna hitam tanda
mengandung racun jahat. Sebelumnya Raja Lanun Pantai Selatan ini memiliki sebiah
kelewang bergerigi yang juga megandung racun jahat. Klewang itu terjatuh di
Bengawan Sala sewaktu terjadi perkelahian antara dia dengan Ratu dan Raja
Bengawan Sala beberapa waktu yang lalu.
Dengan menggenggam golok di tangan kiri, Gaok Srenngi melangkah ke jurusan
barat. Dia yakin pasti sesuatu yang hebat terjadi di jurusan itu. Hebat berarti
mengandung sesuatu bahaya.
Karena itulah dia melangkah sambil bersiap siaga dengan senjata andalannya.
Ketike langit di timur mulai tampak kemerahan tanda sebentar lagi siang surya
akan terbit menerangi jagat, Gaok Srenggi sampai di bagian kaki Gunung Perahu di
mana dia dapat melihat pedataran tinggi yang puncaknya terdapat batu-batu hitam
aneka bentuk. Dalam kepekatan malam yang tengah beralih menuju siang ditambah
seputan sinar kemerahan dari arah timur, batu-batu di puncak pedataran tandus
itu tampak angker.
Sesaat Gaok Srenggi memandang berkeliling. Sepi dan dingin menyungkup daerah
itu. Ada de-baran aneh terasa di dadanya, namun Gaik Srenggi dapat menetapkan
hati, dengan langkah tegap dan tabah dia mulai mendaki pedataran tinggi bertanah
gembur. Tetapi ketika sang surya muncul di timur, Gaok Srenggi sampai di puncak
pedataran, langsung dia melihat telaga yang dikelilingi bebatuan itu.
"Telaga..." desis Gaok Srenggi. Dia melangkah lebih dekat. "Inikah telaga emas
itu... ?" Dia memandang berkeliling. Mendadak mukanya jadi pucat, darahnya
tersirap. Sepanjang matanya melotot. Di salah satu tepian telaga batu berair
hitam tampak menggeletak dua potong kaki manusia! Darah yang telah kering
berceceran dimana mana. Ketika memperhatikan air telaga ternyata air yang hitam
aneh itu juga berwarna merah sebagiannya!
"Tempat apa ini..." Telaga yang mengandung emas" Tapi..." Meskipun ngeri, Gaok
Srenggi kembali perhatikan sepasang kaki itu. Sepasang kaki yang kurus kering
dengan kulit keriputan.
Berdiri bulu kuduk Gaok Srenggi. "Jangan-jangan kakek gila itu telah membunuh


Wiro Sableng 035 Telaga Emas Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menguntungi tubuh istrinya sendiri!" pikir Gaok Srenggi. "Tapi mana bagian
tubuh yang lain..." Dilemparkan ke dalam telaga?"
Dengan hati-hati orang itu melangkah mendekati tepi telaga. Diperhatikan air
telaga. Dia tak melihat apa-apa walau air telaga jelas tampak dangkal. Ada
sesuatu yang sesekali berkilauan di dasar telaga.
"Emas... emas! Di mana emas itu!" Gaok Srenggi memandang berkeliling. Mengawasi
setiap sudut telaga, mengawasi batu-batu hitam berbentuk aneh yang bertebaran di
sekeliling telaga.
Gaok Srenggi ayunkan goloknya.
Traang! Sosok batu berbentuk sapi kecil somplak berantakan ketika golok Gaok Srenggi
menghantam ujung batu. Raja Lanun ini pungut salah satu kepingan batu. Saat dia
membungkuk itulah dia melihat ada pecahan-pecahan batu sangat kecil, hampir
berbentuk pasir bertebaran di tanah. Benda-benda itu berwarna kuning dan
berkilauan terkena cahaya matahari yang baru terbit.
Gaok Srenggi meraup tanah dan mendekatkan tanah itu ke matanya.
"Emas... ini emas..." katanya dengan suara gemetar ketika dia merasa yakin pasir-
pasir sangat halus itu adalah bubuk emas! Gaok Srenggi pegang goloknya erat-erat
di tangan kiri. Lalu seperti orang mengamuk senjata itu dipergunakannya untuk
membacok batu-batu yang bertebaran di tepi telaga. Namun dia tidak menemukan
apa-apa. "Edan! Di mana emas itu bersembunyi?" Gaok Srenggi menatap ke arah air telaga.
"Mungkin di dasar telaga..." Aku harus menyelidik...."
Lalu Raja Lanun yang dadanya penuh bulu ini turun ke dalam telaga. Ketika kedua
kakinya menginjak dasat telaga, ada rasa aneh yang membuat tengkuknya merinding.
Golok di tangan kiri digenggam erat-erat.
"Aneh .... Dasar telaga ini lembut dan agak membal. Licin seperti ditutupi lumut
.... Astaga, dasar telaga bergerak...!"
Saking kagetnya Gaok Srenggi melompat ke atas. Tapi dia merasa heran. Sebelum
dia membuat lompatan tiba-tiba saja kedua kakinya seperti dihantam ke atas! Ada
satu gerakan keras di dasar telaga yang membuat tubuhnya bisa mencelat demikian
rupa. Dalam keadaan masih terlontar di udara, sebelum mengetahui apa yang terjadi
tiba-tiba Gaok Srenggi mendengar suara air telaga menyibak deras, disusul oleh
desisan keras. Udara serta merta terasa dingin dan bau amis menebar. Saat itulah
Gaok Srenggi melihat kepala sebuah mahluk mengerikan melesat keluar dari dasar
telaga, langsung menyambar tubuhnya. Raja Lanun hanya sempat mengeluarkan
jeritan panjang. Kakinya dilahap mahluk berbentuk ular sanca raksasa. Dia
meronta dan menjerit-jerit tapi tubuhnya semakin dalam tertelan dan masuk ke
dalam mulut mahluk. Tepat ketika tubuh itu masuk sebatas leher, si mahluk
katupkan mulutnya.
Putuslah leher Gaok Srenggi. Darah muncrat. Kepalanya menggelinding di tepi
telaga batu! *** 8 = SEJAK MEMBERI TAHU kepada Sepasang Ratu dan Raja Bengawan Sala bahwa gunung yang
tergambar dalam peta rahasia adalah berbentuk Gunung Perahu, sejak itu pula
Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia selalu ingat pada kedua orang
kakek nenek itu yang jelas pasti menuju ke sana untuk menemukan telaga emas.
Karenanya setelah setengah hari berpisah dengan kakek nenek itu Wiro yang tengah
meneruskan perjalanan menuju selatan memutar haluan, kembali menuju utara.
Karena dia tidak menyusuri sungai maka pendekar ini terpisah semakin jauh dengan
kakek Anom dan nenek Amini yaitu sekitar satu hari perjalanan.
Setelah pertemuan dengan Gaok Srenggi, kakek Anorn terus berlari sampai akhirnya
kedua kakinya tidak kuat lagi dilangkahkan dan kakek ini tergelimpang setengah
pingsan di tepi sebuah fiutan kecil. Meskipun dalam keadaan seperti itu namun
istrinya tiada hentinya diucapkan.
Dalam keadaan seperti itulah dua sosok tubuh tiba-tiba muncul di tempat itu.
Ternyata mereka adalah Sepasang Setan Bermata Api.
"Nah... nah .. nah! Akhirnya kita temui juga tua bangka sialan ini!" Kakek Bermata
Api membuka mulut.
Kawannya manggut-manggut. Sambil menyepak tubuh kakek Anom dia berkata, "Apa
yang terjadi dengan kambing tua ini! Hai mengapa kau seperti ini"! Mana istrimu
yang besar mulut itu"!"
Kakek Anom tidak menjawab pertanyaan orang tapi terus saja menyebut-nyebut nama
istrinya seperti orang mengigau.
"Sudah gila dia rupanya! Biarlah dia mampus dalam kegilaan!" Yang bicara adalah
nenek Bermata Api. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi, siap dihunjamkan ke
batang leher kakek Anom.
"Mana kawanmu pemuda keparat bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu"
Kali ini dia tak akan muncul menolongmu!"
Kaki nenek Bermata Api menghunjam ke bawah. Saat itulah terdengar suara
membentak. "Aku di sini tua bangka pengecut! Membunuh orang dalam keadaan tak berdaya!
Jangan harap hari ini aku akan mengampunimu!"
Bersamaan dengan lenyapnya suara bentakan itu satu gelombang angin menerpa tubuh
nenek Bermata Api. Perempuan tua ini terhuyung-huyung dan pasti roboh kalau si
kakek tidak lekas menolong dan menopang bahunya.
"Pemuda iblis! Aku sudah bersumpah untuk menguliti tubuhmu! Hari ini aku akan
melakukannya!"
"Nenek edan! Bicara seenaknya. Apa kau kira aku kambing, enak saja hendak
mengulitiku! Apa kau kira aku tidak bisa menguliti pakaianmu" Mau aku telanjangi ya"!"
"Nama besar membuat kau sombong dan takabur! Menghina seenaknya! Biar kami yang
tua bangka ini memberi, pelajaran agar kau cepat-cepat menghadap iblis penunggu
neraka!" Wiro tertawa gelak-gelak mendengar ucapan kakek Bermata Api itu. Selagi dia
tertawa kakek dan nenek Bermata Api berkelebat menyergap. Satu datang dari kiri,
satu dari kanan.
"Hai! Kalian menyerang dengan tangan kosong! Mana rebana kalian"! Rupanya sudah
dijual karena tidak laku ngamen!"
Kakek Bermata Api menggerung marah. Si nenek menjerit keras. Mereka lipat
gandakan tenaga dalam yang ada pada tangan masing-masing. Lalu menghantam.
Meskipun bersikap seperti main-main dan mentertawai dua lawan berkepandaian
tinggi itu namun sejak tadi murid Eyang Sinto Gendeng sudah siapkan pukulan
sinar matahari di tangannya kiri kanan. Begitu sepasang lawan menggebrak dia
segera memukul.
"Ini untuk kalian berdua!"
Wuss! Wusss! Bummm! Bummm! Pukulan sinar matahari melesat dari tangan kanan dan kiri Pendekar 212. Kakek
dan nenek Bermata Api berseru kaget ketika hawa panas membuat keduanya merasa
seperti dipanggang.
Bersamaan dengan itu dua pukulan yang mereka lepaskan seperti menghantam tembok
baja. Ketika keduanya memaksa maka terjadilah benturan yang hebat. Dua lobang
terlihat di tanah. Pendekar 212 Wiro Sableng jatuh terduduk di tanah. Mukanya
pucat. Sebaliknya nenek dan kakek Bermata Api terpental satu tombak lalu roboh.
Mereka berusaha bangun tapi ketika tegak jelas mereka tampak terhuyung
kesakitan. Setelah mengatur jalan darahnya yang terguncang hebat akibat
bentrokan tadi, meskipun dadanya masih mendenyut sakit, Wiro berdiri dan dekati
sosok tubuh kakek Anom. Ternyata orang tua ini sudah tak bernafas lagi. Kakek
ini mati sangat mengenas bukan saja karena akibat kematian istrinya tetapi juga
akibat terkena hantaman angin pukulan. Sebagian tubuhnya tampak hangus
kehitaman. "Manusia-manusia keparat! Kubunuh kalian!" teriak Wiro. Namun ketika dia
berpaling Sepasang Setan Bermata Merah sudah tak ada lagi di tempat itu.
Wiro memaki panjang pendek. Dia membungkuk dan memeriksa pakaian kakek Anom.
Namun tak ditemukannya peta rahasia telaga emas.
Seperti diketahui peta telaga emas itu berada pada nenek Amini dan ikut ditelan
mahluk berbentuk ular sanca raksasa ketika si nenek-yang malang dilahap mahluk
itu. Wiro merenung sambil garuk-garuk kepala.
"Sesuatu, agaknya telah terjadi dengan si nenek. Ketika aku muncul di sini masih
sempat kulihat dia menunjuk-nunjuk ke arah barat dan menyebut-nyebut nama
istrinya. Kasihan kakek Anom. Aku akan menyelidik ke jurusan barat. Eh...
bukankah itu arah Gunung Perahu" Letak telaga emas itu...?"
*** Matahari bersinar sangat terik walau saat itu masih jauh dari tengah hari.
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di kaki pedataran tinggi bertanah gembur.
Banyak sekali jejak kaki manusia dilihatnya di tanah pedataran yang aneh itu.
Namun ada satu jejak yang tidak dapat diduganya. Jejak itu ialah jejak-jejak
yang memanjang dari kaki pedataran menuju ke puncak dan juga ada yang malang
melintang. Ketika dia mulai melangkah mendaki pedataran tinggi itu, murid Sinto Gendeng
kerahkan kepandaiannya untuk meringankan tubuh. Tapi tetap saja kedua kakinya
tenggelam sampai sepertiga jengkal ke dalam tanah gembur!
Di puncak pedataran tinggi yang penuh dengan batu-batu hitam udara terasa agak
sejuk hingga sinar matahari yang panas tidak lagi seperti membakar jagat. Wiro
memperhatikan keadaan sekelilingpya. Pandangannya serta merta tertuju pada
telaga berair hitam. Tapi ada lagi hal lain yang membuat kedua matanya sesaat
terpaku. Ada darah berceceran di mana-mana. Juga darah yang mengambang di atas
permukaan air telaga. Lalu ada potongan kaki manusia. Dan di sebelah sana ....
Wiro belum sempat memastikan apa yang dilihatnya itu benar-benar kutungan kepala
manusia ketika tiba-tiba sudut matanya melihat sesuatu bergerak di kaki
pedataran sebelah timur. Wiro cepat berkelebat dan mendekam di balik sebuah batu
hitam berbentuk kerbau besar yang sedang duduk.
Matanya memperhatikan ke jurusan timur. Ada seseorang berlari mendaki pedataran
dari arah itu. Larinya cepat sekali, tanda dia memiliki kepandaian luar biasa. Namun tetap saja
setiap menginjak tanah kakinya tenggelam ke dalam tanah yang gembur itu.
Sesaat kemudian orang itu sampai di puncak pedataran dan tegak di samping sebuah
batu besar. Jaraknya dengan Wiro hanya terpisah beberapa tombak. Murid Sinto
Gendeng menahan nafas hampir tidak dapat menahan senyum.
Orang yang datang itu berpakaian sangat bagus dan rapi. Tapi gaya dan terutama
wajahnya! Inilah yang membuat Pendekar 212 hampir tidak dapat menahan tawa. Orang ini
jelas-jelas lelaki.
Tapi sikapnya, dan gerak geriknya seperti perempuan. Wajahnya dirias mencolok
dengan gincu., bedak, pemerah pipi, lengkap pula dengan penebal alis dan sipat
mata! Lalu rambutnya yang diponi di sebelah depan!
"Geblek! Manusia macam spa pula yang satu ini!"
Baru saja Wiro berkata begitu dalam hati, orang di sebelah sana keluarkan sebuah
cermin dari balik pakaiannya lalu dia meneliti parasnya di kaca itu sambil
merapikan poni, gincu di bibirnya dan anting-anting di telinga kiri. Tanpa
memasukkan cermin itu ke tempatnya semula orang itu melangkah menuju tepian
telaga. Di sini dia berhenti dan menatap ke dalam telaga berair hitam lama
sekali. Setelah itu barulah dia membagi perhatian pada sepasang kaki yang
menggeletak di tepi telaga. Lalu sebuah benda lainnya tak berapa jauh dari situ.
Orang ini pergunakan kakinya yang memakai kasut hitam untuk menggulingkan benda
itu yang bukan lain adalah potongan kepala manusia.
"Hemmm... Gaok Srenggi! Mampus juga manusia satu ini akhirnya! Siapa yang
membunuhnya...?" Orang itu bertanya-tanya dalam hati serata usap-usap pipinya
yang merah. Kemudian dia permainkan potongan dua buah kaki dengan ujung kasutnya.
"Kepala dan kaki. Mana bagian tubuh lainnya?" kembali orang ini membatin. Lalu
dia permainkan kaca di tangan kanannya. Sinar matahari yang jatuh di atas kaca
itu dipantulkannya pada setiap batu hitam yang ada di tempat itu. Ketika dia
memantulkan sinar matahari ke arah batu besar berbentuk kerbau duduk, sesaat
orang ini sipitkan kedua matanya, lalu tampak dia tersenyum.
"Kalau tidak bermaksud jahat mengapa bersembunyi" Apakah mukamu jelek hingga
malu dilihat aku si Pesolek Agung"!" orang yang memegang cermin keluarkan
ucapan. Menyadari kalau dirinya yang mendekam di balik batu besar sudah diketahui orang,
sambil menyeringai dan garuk-garuk kepala Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari
balik batu. "Aih, ternyata wajahmu tidak buruk. Tampan cuma. . . ."
"Cuma bagaimana?" Wiro jadi bertanya penasaran.
"Cuma membersitkan bayangan kekonyolan dan ketololan!" jawab lelaki seperti
banci yang ternyata adalah si Pesolek Agung.
"Kau benar. Aku memang petani dan penggembala tolol..." jawab Wiro.
"Aku percaya! Yang aku tidak percaya mana ada petani atau penggembala tolol bisa
datang ke telaga ini!"
"Suatu ketika orang tolol bisa berbuat lebih baik dari orang pandai...."
Pesolek Agung tersenyum lebar dan rapikan rambutnya beberapa kali lalu memandang
wajahnya di cermin.
"Kau sudah cakep, kenapa musti bercermin terus-terusan ... ?" ujar Wiro pula.
"Sampean ini siapa sebenarnya?" bertanya si Pesolek Agung.
"Kukatakan aku petani dan penggembala kau tidak percaya. Baiklah, anggap saja
aku ini pengemis yang malang melintang mencari rejeki.... "
"Ah... ah... ah! Kau tentu pengemis istimewa. Pengemis luar biasa. Pengemis yang
biasa tentunya mencari rejeki di pasar-pasar atau di tempat ramai. Kau seorang
pengemis yang mencari rejeki besar. Bukankah begitu...?"
"Maksudmu?"
"Kau salah seorang dari sekian banyak tokoh dunia persilatan yang mencari telaga
emas ini! Betul kan ... "!"
"Tidak kan!" sahut Wiro pula.
Si Pesolek Agung tertawa panjang. "Eh, aku jadi senang bicara dengan orang
konyol tapi lucu seperti sampean. Tapi aku tidak munafik sepertimu. Terus terang
saja aku datang kemari untuk mencari telaga yang katanya mengandung ratusan kilo
emas murni... Dan inilah telaganya!"
"Bagaimana kau tahu kalau ini telaga emas itu?" bertanya Wiro.
"Ah, sampean hendak memancing kan" Kau pasti mengira aku yang membunuh nenek
bernama Amini, atau membunuh Gaok Srenggi ...."
"Tidak, aku tidak mengira begitu karena aku tahu bukan kau yang melakukannya!"
"Lalu apakah situ tahu siapa yang membunuh kedua orang itu" Hingga si nenek
hanya tinggal tersisa sepasang kakinya saja. Sedang si Raja Lanun tersisa
kepalanya saja?"
Wiro gelengkan kepala.
"Kalau sampean tidak tahu, aku juga tidak tahu berarti ada yang tidak beres di
tempat ini. Biar kuteruskan penyelidikanku."
"Apa yang kau setidiki?"
"Tempat ini! Apa benar mengandung dan menyembunyikan emas atau tidak. Batu
sekeliling sini sudah kuselidiki. Tak satupun mengandung emas. Kini aku akan
menyelidiki telaga berair hitam butek itu!"
Pesolek Agung melangkah dekat-dekat ke tepi telaga. Cermin di tangan kanannya
dipegang demikian rupa dan digoyang-goyangkan hingga sinar matahari memantul ke
beberapa sudut telaga.
Wiro memperhatikan sambil rangkapkan tangan di depan dada. Sesaat kemudian dia
bertanya. "Bagaimana hasil penyelidikanmu, Pesolek Agung?"
"Kau akan terkejut jika kuberi tahu! Dan aku tidak akan memberi tahu padamu!"
"Tidak apa-apa! Kau beri tahu atau tidak akupun sudah tahu! Kau telah menemukan
emas itu bukan"!"
Pesolek Agung menyembunyikan rasa terkejutnya dengan tertawa lebar. Dalam hati
dia membatin. "Pemuda konyol ini ternyata tidak tolol! Dia seperti membaca dan
mengetahui apa yang telah aku ketahui!"
Dengan mempergunakan cermin hiasnya sebenarnya Pesolek Agung memang telah
mengetahui bahwa telaga itu ada emasnya. Ketika pantulan sinar matahari lewat
cermin mengenai batu-batu yang membatasi tepian telaga, mata si Pesolek Agung
melihat batu-batu hitam itu balik memantulkan cahaya. Sebenarnya cahaya yang
dipantulkan adalah putih atau hitam yakni putihnya sinar matahari aiau hitamnya
warna batu. Tapi ada sinar dengan warna lain yang ikut memantul.
Warna itu adalah warna kuning!
Tiba-tiba ada suara mendesis keluar dari dasar telaga. Bersamaan dengan itu air
telaga tampak bergoyang keras lalu bergemercik. Kemudian jelas tampak ada yang
bergerak. "Awas!" Pesolek Agung berteriak. Dia melompat ke balik sebuah batu besar. Wiro


Wiro Sableng 035 Telaga Emas Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berdiri di tepi telaga, memandang terheran-heran ketika dari dalam air
mencuat keluar sebuah kepala ular raksasa dengan mulut ternganga. Sepasang mata
mahluk ini dan juga lidahnya yang terjulur dan bercabang berwarna hijau. Mahluk
ini mendesis lagi. Bau amis dan hawa sangat dingin menebar. Pendekar 212
merasakan kengerian luar biasa. Sepasang kakinya seperti tidak mampu bergerak.
Bahkan ketika mahluk itu meluncurkan kepalanya ke arahnya, murid Sinto Gendeng
ini masih saja terkesiap dalam rasa kaget dan tidak percaya!
"Manusia tolol! Apa kau ingin dilalap mahluk raksasa itu"!" teriak Pesolek
Agung. Tangan kirinya yang memegang cermin digerakkan dengan cepat. Sinar
matahari memantul ke arah kedua mata mahluk berbentuk ular raksasa. Mahluk ini
menggeliat dan tarik kepalanya yang tadinya siap untuk melahap tubuh Wiro.
"Lekas lari!" teriak Pesolek Agung. Sekali ini Wiro seperti disentakkan. Dia
melompat menjauhi telaga. Saat itu mahluk luar biasa di dalam telaga tampak
menarik kepalanya ke belakang, seperti memasang ancang-ancang. Yang hendak
diserangnya kini adalah Pesolek Agung. Orang ini cepat menghantam dengan
cerminnya. Untuk kedua kalinya mahluk berupa ular sanca raksasa itu menggeliat
dan mundur. Tapi tiba-tiba sekali tidak terduga ekornya melesat keluar dari
dalam air. Wuutt! Ekor itu menyambar ke arah Pesolek Agung. Yang diserang putar cerminnya.
Pantulan sinar matahari yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam ekor
mahluk raksasa. Tapi mahluk ini tidak mengalami cidera. Ekornya masih terus
menderu ke arah Pesolek Agung. Ini satu pertanda bahwa hanya bagian mata mahluk
itu saja yang merupakan kelemahan dan tak dapat melawan kerasnya hantaman
pantulan sinar matahari yang bukan saja menyilaukan tetapi mempunyai tenaga
membakar! Pendekar 212 yang segera dapat membaca kelemahan mahluk raksasa itu segera
menghantam dengan pukulan sinar matahari, ditujukan tepat ks arah sepasang mata
hijau mahluk raksasa.
Begitu pukulan sinar matahari mengenai kedua matanya, mahluk ini mendesis keras.
Tetapi ekornya tetap saja melesat ke arah Pesolek Agung. Orang ini berteriak
keras. Dengan gugup dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
sangat tinggi! Tapi tidak ada gunanya.
Satu-satunya bagian terlemah dari mahluk berupa ular itu adalah dibagian kedua
matanya. Terdengar jeritan Pesolek Agung ketika sambaran ekor menghancurkan tangan
kirinya sampai lengan. Selagi tubuhnya terbungkuk-bungkuk kesakitan, ekor maut
itu kembali berbalik menghantam tubuhnya. Pesolek Agung terpental. Cerminnya
jatuh. Tubuhnya tergelimpang di atas sebuah batu berbentuk meja. Sebagian dari
tubuh itu hancur luluh! Nyawanya tidak tertolong lagi.
Mahluk di dalam telaga yang kini menjadi buta perlahan-lahan rundukkan kepalanya
lalu masuk ke dalam telaga, tidak muncul lagi, tetapi tidak mati.
Wiro tarik nafas lega. Diambilnya cermin milik Pesolek Agung lalu dipandanginya
wajahnya sendiri dalam kaca itu.
"Wajah seganteng ini masakan dikatakan konyol dan tolol!" ujar sang pendekar
pada dirinya sendiri sambil senyum-senyum. Dia memandang pada mayat Pesolek
Agung, menatap ke tengah telaga dan memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Emas!" katanya perlahan. "Kini aku tak percaya kalau telaga ini menyembunyikan
emas. Siapa yang ingin serakah boleh datang kemari jadi santapan mahluk
mengerikan itu! "
Pendekar 212 tinggalkan tempat itu.
TAMAT Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Pedang Keadilan 18 Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut Golok Yanci Pedang Pelangi 7
^