Dewi Dalam Pasungan 1
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan Bagian 1
BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI 212
Wiro Sableng Episode ke 036 :
DEWI DALAM PASUNGAN
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
Scanning kitab by : Huybee
mailto:22111122@yahoo.com
1 DEWI DALAM PASUNGAN
SATU M ATAHARI baru saja tenggelam. Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan
dipekuburan Jati anom nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang
rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan
tempat itu. Di u jung kanan tanah pekuburan, dibawah sepokok batang Kemboja
kecil tampak seungguk tanah makam yang masih merah ditaburi oieh bunga-bunga
aneka warna. Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya.
Lalu sunyi lagi dan udara semakin geiap.
Pada saat itulah tiga sosok berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah
pekuburan.Ketiganya sesaat tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak
seorangpun kelihatan di tempat itu, ketiganya melangkah bergegas menuju kuburan
baru. Dua dari tiga orang ini memanggul pacul. Satunya membawa linggis.
"Ini kuburannya! Kita harus bekerja cepat!"
terdengar orang yang membawa linggis berucap.
"Tak usah kawatir. Kuburan baru tanahnya masih lembek. Sebentar saja kita pasti
menemukan peti itu!" menjawab pemanggul pacul di sebelah kanan. Lalu bersama
temannya dia mulai memacul dan menggali tanah kuburan. Keduanya bekerja keras
dan cepat, tidak berhenti-henti menggali sampai akhirnya salah satu mata pacul
terasa dari terdengar menghantam benda keras.
"Peti jenazah!" seru orang yang memacul di sebelah kanan. Dengan tangannya dia
menggeser tumpukan tanah, kawannya ikut membantu.
Dalam gelapnya malam kemudian terlihat kayu tutup peti jenazah.
"Berikan linggis!" orang di dalam lobang berteriak.
Lelaki yang memegang linggis menyahuti :
"Biar aku yang membuka tutup peti!" Lalu dia melompat turun ke dalam liatv?
kubur yang barusan dibongkar itu. Dengan uji ng linggis dia mulai mengungkit
tepi penutup peti. Terdengar suara berkereketan ketika kayu penutup peti jenazah
mulai terkuak. "Ganjal dengan paculmu! Aku akan mengungkit ujung sebelah sana!" si tukang
linggis berkata.
Kawannya lalu mengganjalkan paculnya dibawah penutup peti yang terkuak. Ketika
ujung yang lain berhasil diungkit pula maka penutup peti itupun 2 DEWI DALAM
PASUNGAN dengan mudah bisa ditarik lepas.
"Hai!"
Orang yang membuka penutup peti berseru kaget tapi juga keheranan. Dua kawannya
sama-sama besarkan mata, terperangah. Salah seorang dari mereka malah berjongkok
dan memasukkan kedua tangan ke dalam peti, meraba-raba.
"Kosong ...!" desisnya sambil menengadah ke arah kedua temannya. "Petinya
kosong! Kalian lihat sendiri!"
Kami sudah melihat! Ini adalah aneh! Mana jenazah puteri hartawan itu.... "!"
"Edan! Kita kemari bukan untuk mencari mayat!
Tapi mencuri harta yang kabarnya ikut dikuburkan bersama jenazah Yuniarti putri
bungsu hartawan Tampakjati!"
Untuk beberapa lamanya ketiga orang itu tertegun saling pandang.
"Ada suatu rahasia dibalik semua ini! Rahasia yang kita tidak mengerti!"
"Kau betul! Putri hartawan itu diketahui mati.
Lalu dikubur di tempat ini! Tapi ketika dibuka petinya ternyata kosong! Tak ada
jenazah, apa lagi harta!"
"Mungkinkah jenazah itu gaib.... ?"
"Atau seseorang telah mendahului kita. Tapi gila!
Mustahil! Tidak mungkin!"
"Lalu. . . . " Jangan jangan
" Yang berkata
adalah lelaki yang tadi memcongkel penutup peti jenazah dengan linggis. Belum
lagi ucapannya berakhir tiba-tiba terdengar bentakan garang.
"Bagus! Jadi ini kerja kalian! Membongkar makam mencari harta! Kalian tahu makam
siapa yang kalian bongkar"! Benar-benar mencari mampus!"
Tiga lelaki berpakaian serba hitam di dalam lobang sama mendongak ke atas. Di
tepi kuburan mereka melihat seorang lelaki bertubuh jangkung berwajah garang dan
membekal sebatang golok di pinggangnya tegak bertolak pinggang. Mereka segera
mengenali siapa adanya orang ini. Salah seorang dari ketiganya segera menjawab.
"Lancang Item! Kau tidak lebih baik dari kami.
Mengapa mencampuri pekerjaan kawan
segolongan, . . ."!"
Orang yang tegak ditepi kuburan mendengus.
"Aku berhak melakukan apa saja disini karena aku ditugasi mengawasi makam ini!"
"Siapa yang menugasimu?"
"Bangsat! Kau tak layak bertanya!" hardik Lancang Item "Kalian telah melakukan
satu kesalahan besar! Membongkar kuburan dan punya 3 DEWI DALAM PASUNGAN
niat jahat untuk mencuri!"
"Kau linat sendiri! Peti ini kosong! Tak ada mayat apa lagi harta!"
"Sudahlah! Mengapa harus ribut-ribut di tempat ini.
Mari kita pergi saja. ..." Kata lelaki yang memegang linggis.
"Tidak! Kalian akan tetap di lobang itu!" Lancang Item maju satu langkah.
"Apa maksudmu"!" orang dalam kubur bertanya.
Sreett! Lancang item hunus goloknya. Dalam gelapnya malam benda itu masih tampak seperti
berkilau tanda selalu diasah. Melihat gelagat tidak baik ini tiga orang didalam
kubur segera memanjat keatas. Saat itulah golok di tangan Lancang Item
berkelebat. Terdengar dua pekikan berturut-turut.
Dua orang di samping kanan yang tengah berusaha memanjat dan keluar dari dalam
kubur kembali jatuh dengan punggung luka besar dan satu lagi hampir putus
pangkal lehernya. Lelaki ketiga lindungi dirinya dengan linggis besi sewaktu
golok di tangan Lancang Item kembali membabat.
Trang! Bunga api memercik ketika golok tajam dan besi linggis beradu. Yang memegang
linggis merasakan tangannya bergetar keras. Saat itu kembali dilihatnya golok
datang menyambar! Untuk kedua kalinya dia angsurkan linggis ke atas. Tapi sekali
ini Lancang Item tidak mau melakukan bentrokan lagi. Golok ditangannya diputar.
Senjata ini berubah dari membabat menjadi membacok. Terdengar pekik ketiga.
Lelaki yang memegang linggis rubuh ke dalam kubur dengan kepala hampir terbelah!
"Maling-maling picisan mau berlagak melawanku!" ujar Lancang item. Lalu dia
masukkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya ke dalam mulut. Terdengar
suitan nyaring. Sesaat kemudian dua orang bergegas muncul dari arah barat.
"Lekas kalian timbun makam ini!" berkata Lancang Item begitu dua orang tadi
sampai dihadapannya. Keduanya mengangguk. "Kalian bisa pergunakan dua pacul yang
ada di dalam sana!"
Kembali dua orang itu mengangguk. Tapi ketika hendak mengambil pacul mereka
melihat tiga sosok tubuh yang saling timpang tindih di dalam lobang. Dua mungkin
sudah mati, satu masih terdengar mengerang. Lancang item segera maklum keraguan
mereka. Maka diapun menghardik.
4 DEWI DALAM PASUNGAN
"Kalau aku perintahkan kalian menimbun kuburan berarti apapun yang ada
didalamnya harus kalian timbun! Lakukan cepat!" Lancang Item memandang
berkeliling. Dia kawatir kalau-kaiau ada orang lain berada disekitar situ dan
sempat menyaksikan apa yang terjadi.
Mendengar bentakan Lancang Item dua orang tadi segera mengambil dua pacul di
dalam kubur lalu dengan cepat kembali menimbun dan menguruk kuburan yang tadi
sempat digali oleh tiga orang pencuri harta.
"Pekerjaan kami telah selesai Lancang,"
seorang penimbun memberi tahu.
Lancang Item mengangguk. Lalu keluarkan sebuah kantong dari balik pakaiannya.
Kantong itu dilemparkannya pada orang yang tegak disebelah kanan.
"Bagi dua uang itu. Dan mulai saat ini kalian harus meninggalkan daerah ini!
Tidak boleh kembali dengan alasan apapun! Bila rahasia ini tersebar diluaran
berarti kalian yang membuka dan
menyebarkannya! Aku akan mencari dan
membunuh kalian! Mengerti"!"
"Kami mengerti Lancang... "
"Nah pergilah! Bawa pacul-pacul itu, buang di tempat jauh!"
Untuk beberapa lamanya Lancang Item masih tegak di tempat itu memperhatikan
kepergian dua orang yang membawa pacul. Setelah keduanya lenyap dikegelapan
malam baru dia beranjak meninggalkan tempat itu.
* * * TIGA ORANG putera Raden Tambakjati
Kalidiningrat duduk mengelilingi ayah mereka sementara ibunda ketiganya berada
di kamar tidur dalam suasana duka. Ketiga putera yang datang dari jauh ini sama
menyesalkan mengapa adik mereka begitu cepat dimakamkan tanpa menunggu
kedatangan mereka hingga tak dapat melihat si adik untuk penghabisan kali.
"Adik kalian meninggal karena penyakit sampar,"
Raden Tambakjati berkata dengan menundukkan kepala. "Jika tidak segera
dimakamkan 5 DEWI DALAM PASUNGAN
bisa-bisa banyak orang yang akan ketularan, termasuk seisi rumah besar
ini. . . . Kalian putera-puteraku yang kucintai.. . . .Aku dapat merasakan apa
yang ada dilubuk hati kalian. Besok, pagi-pagi sekali kalian bertiga bisa
menyambangi makamnya di pekuburan Jatianom. ..."
"Dua tahun lalu. . . . " yang bicara adalah Tubagus Kalidiningrat, putera tertua
yang datang dari Solotigo, "ketika adik Yuni mencapai usia empat belas tahun,
saya mendengar kabar dirinya menderita semacam penyakit aneh. Penyakit seperti
kurang ingatan " Raden Tambakjati angkat kepalanya dan menatap paras putera sulungnya itu.
"Dari mana kau mendengar kabar itu" Siapa yang mengatakan begitu padamu... ?"
"Saya tidak ingat dengan pasti ayah. Hanya saja.... apakah kabar itu betul?"
"Kabar fitnah! Fitnah busuk yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka
pada kita! Jangan kau percayai hal yang memalukan itu Tubagus ..
"Saya memang tidak pernah mempercayainya ayah," jawab Tubagus Kalidiningrat.
"Kalian bertiga datang dari jauh, tentu, sangat letih. Pergilah beristirahat
dulu. Sehabis ba'dal Isya akan diadakan pengajian. Kuharap kalian bertiga turut
hadir...."
Ketiga putera Tambakjati sama mengiyakan lalu meninggalkan tempat itu, tepat
pada saat Lancang Item datang menghadap. Hartawan Tambakjati menunggu sampai ke
tiga puteranya meninggalkan tempat itu lalu berdiri dan memberi isyarat agar
mengikutinya. "Katakan cepat apa yang menyebabkanmu baru saat ini sampai kemari?" bertanya
Tambakati. Lancang Item lalu menuturkan apa yang terjadi dipekuburan Jatianom
"Apa yang kau lakukan sudah cukup baik.
Hanya saja masih ada yang kurasa mengganjal. .."
"Hal apakah itu Raden?" tanya Lancang Item.
"Dua orang tukang timbun itu seharusnya kau bereskan juga hingga semua rahasia
tidak bisa bocor!"
"Saya sudah memberinya uang, menyuruhnya pergi dari. daerah ini dan
mengancamnya! Mereka tak mungkin akan membocorkan rahasia itu Raden.
Lagi pula saya sudah kenal lama keduanya. Mereka bisa dipercaya...."
Raden Tambakjati tatap merasa tidak enak
didalam hatinya. Lalu dia berkata : "Mulai hari ini, 6 DEWI DALAM PASUNGAN
paling tidak satu kali seminggu kau menjenguk tempat itu Lancang... "
"Itu menjadi tugas saya Raden. Apakah saya juga harus membawa obat-obatan dari
perempuan tua bernama embah Gromboh itu ?"
"Tidak perlu. Sejak lama aku dan istriku sudah menduga perempuan itu tidak mampu
mengobati. Hanya saja selama ini kita memakainya karena mengharapkan ada kebaikan.
Kenyataannya memang tidak.. Tempat yang kau pilih itu benar-benar baik dan aman
Lancang?" Lancang Item mengangguk. "Tempatnya sangat kelindungan. Tak ada manusia yang
pernah mendekati tempat itu. Sama sekali tidak dijejak binatang buas. Sumber air
terdekat tidak jauh dari situ .
"Sewaktu-waktu saya akari mengantarkan Raden, "
ujar Lancang. "Kau boleh pergi. Jangan lupa menyirap-nyirap segala cerita dan desas desus
diluaran. . . . . "
"Akan saya lakukan Raden. "Lancang Item membungkuk hormat lalu tinggalkan
hartawan Tambakjati Kalidiningrat.
7 DEWI DALAM PASUNGAN
DUA B UKIT JATIPADANG hanya merupakan sebuah nama karena tidak pernah dijejaki
penduduk yang tinggal sekitar hutan luas dimana bukit itu terletak. Disitu tidak
ada binatang buas, tidak terdapat sesuatu yang angker. Hanya sulitnya mencapai
bukit yang ditumbuhi sejenis tanaman penuh duri yang terpesat kesana karena
mengejar rusa buruan. Kabarnya memang terdapat banyak rusa di bukit Jatipadang.
Namun binatang-binatang itu tidak menjadi daya tarik orang atau penduduk seki-
tarnya. Di puncak bukit, tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, secara
tidak terduga tampak berdiri sebuah bangunan bertiang bambu hu tan, beratap
rumbia dan sama sekali tidak berdin-ding. Mendapatkan adanya bangunan ini saja
di-tempai itu sudah merupakan suatu keanehan.
Ditambah dengan apa yang terdapat dibawah atap gubuk itu maka tampaklah satu
keluar biasaan.
Dibawah atas rumbia, diatas lembaran-lembaran papan jati kasar tampak duduk
seorang dara berusia sekitar enam belas tahun, berambut tergerai sepanjang bahu,
mengenakan pakaian berbentuk jubah panjang terbuat dari kain kasar tegai dan
berlapis dua. Kelihatannya dara ini duduk terme-nung, tetapi sepasang bola
matanya sesekali tampak berputar aneh. Lalu mulutnya menyunggingkan senyum. Dari
mulut itu acap kali terdengar suara seperti mendesah kedinginan. Ada kalanya
dara ini tertawa melengking-lengking. Kadang-kadang tanpa diketahui sebabnya
dijambaknya rambutnya yang hitam.
Di lantai di hadapannya, sepejangkauan kedua tangannya bertebaran berbagai buah-
buahan. Sebagian telah banyak yang busuk. Lalu ada sebuah kendi tanah berisi air
yang tergoleh dan tumpah sebagian isinya. Dara di dalam gubuk ini hanya mampu
menggeser tubuhnya sedikit saja karena kedua kakinya dijepit pada dua buah
lobang diantara dua balok jati. Kedua balok ini diikat erat dengan dua untai
besi yang ujung-ujungnya dikunci dengan kura-kura besi! Jelas dara ini
diasingkan dan dipasung di bukit terpencil itu. Wajahnya yang pucat jelas
menunjukkan dia kurang makan atau tidak perduli dengan makanan. Tubuhnya kuyu
lemas tanda kurang minum. Kulitnya yang kuning lang-8 DEWI DALAM PASUNGAN
sat tertutup debu dan daki yang mulai menebal.
Semua itu menunjukkan bahwa paling tidak sang dara telah dipasung di tempat itu
lebih dari lima ha-ri lalu.
Siapakah dara yang malang ini, Lalu siapa pula yang begitu sampai hati
membawanya ke puncak bukit Jatipadang dan memasung kedua kakinya dalam balok
jati" Dara berwajah panjang yang tersembunyi kecantikannya dibawah keadaan dan
penderitaan itu adalah Yuniarti Kalidiningrat, putri tunggal atau anak bungsu
hartawan Tambakjati.
Lima hari lalu dia diberitakan meninggal dunia karena menderita penyakit sampar.
Jenazahnya dikuburkan dengan terburu-buru sampai-sampai tiga orang kakaknya
tidak sempat melihatnya untuk penghabisan kali. Namun apa yang terjadi sesung-
guhnya adalah bahwa dara itu tidak pernah meninggal dunia. Acara kematian dan
penguburan semua adalah sandiwara belaka, diatur oleh sang ayah ibu dan orang
kepercayaan hartawan* Tambakjati yaitu Lancang Item.
Sejak dua tahun sebelumnya Yuniarti yang waktu itu berusia empat belas tahun
ditimpa malapetaka mengenaskan. Dara yang beranjak remaja putri ini tiba-tiba
saja menunjukkan kelainan pada sikap dan gerak gerik nya. Sikap dan keadaan
Yuniarti adalah sikap seorang yang kurang waras, kurang ingatan alias gila!
Berbagai usaha telah dilakukan secara diam-diam oleh kedua orang tuannya untuk
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengobati putri tunggal mereka itu. Namun sia-sia belaka. Sang dara tidak dapat
disembuhkan. Sebagai turunan istana, tentu saja Tambakjati Kalidiningrat dan istrinya akan
mendapat malu besar kalau gilanya putri mereka sampai diketahui orang luar.
Karena merasa mereka tidak dapat lagi menjaga dan mengasuh anaknya, ditambah
entah setan dari mana yang datang merasuk, dibantu oleh Lancang Item maka
disusunlah satu rencana diluar batas kemanusiaan. Yuniarti harus keluar dari
rumah besar, disembunyikan disatu tempat dan ditempat itu dia harus dipasung
hingga tidak mungkin melarikan diri. Lancang Item ditugaskan paling tidak satu
kali seminggu mengurus keperluan gadis itu, mengantarkan makanan dan sebagainya.
Agar lengkapnya sang dara tidak menimbulkan kecurigaan, maka disusun lah
sandiwara kematian dan pemakaman Yuniarti. Padahal peti mati tidak berisi apa-
apa alias kosong. Tiga orang pencuri bernasib malang ketika mereka ketahuan
membongkar kuburan dan mendapatkan peti mati dalam keadaan kosong. Agar ra-9
DEWI DALAM PASUNGAN
hasia peti kosong itu tidak sampai diketahui orang Lancang Item yang memang
ditugaskan untuk menjaga segala kemungkinan langsung membunuh ke tiga pencuri
itu! Pada hari ke enam, tak ada lagi buah-buahan atau makanan lain yang bisa dimakan.
Air dalam kendi tanah sudah lama kering. Tetapi sang dara yang tidak waras
pikirannya itu sama sekali tidak acuh. Sepanjang hari dia tertawa atau
mengeluarkan suara seperti menangis hingga suaranya menjadi parau. Pakaian dan
tubuhnya semakin kotor.
Rambutnya berlapis debu pada siang hari dan berlapis embun pada malam hari.
Berkali-kali dia me-nyentak-nyentakkan kedua kakinya seperti berusaha melepaskan
jepitan balok kayu jati tetapi sia-sia saja. Kedua pergelangan kakinya tampak
luka dan lecet. Lantai papan kotor dan menghampar bau amis dan bau kotoran. Dan
karena si dara memba-ringkan tubuhnya di lantai yang sama jika mengantuk maka
pakaiannyapun ikut menjadi kotor dan bau. Sungguh mengenaskan penderitaan gadis
enam belas tahun ini. Tetapi justru dia sendiri tidak menyadari apa sebenarnya yang
tengah dialaminya.
Pada pagi hari ke tujuh, belum lama matahari muncul menerangi bumi, disaat
Yuniarti duduk sambil mengeluarkan suara mencaci maki tiada henti dan tangan
kiri kanan menjambaki rambutnya sendiri, dari rerumpunan semak belukar dekat
mata air tiba-tiba terdengar suara mendesis panjang disusul dengan muncul dan
meluncurnya dua ekor ular hijau berkepala besar pipih. Seperti tertarik oleh bau
busuk yang datang dari gubuk, kedua binatang ini, satu jantan satunya betina,
meluncur cepat ke arah Yuniarti. Di depan gubuk tanpa dinding kedua binatang itu
berhenti. Sebagian tubuhnya sebelah bawah terus menempel ke tanah, sebagian yang
sebelah atas berdiri tegak, lidah ter-julur keluar masuk, mulut membuka
memperli-hatkan gigi dan taring-taring runcing sedang sepasang mata merah pekat
tidak berkedip. Dua ular ini adalah dua kobra hutan yang ganas dan sangat
berbisa. Sekali seseorang atau binatang sempat di-gigit atau dipatuknya pastilah
akan menemui kematian dalam waktu beberapa kejapan mata! Tetapi anehnya di
hadapan gubuk dua ekor ular kobra hutan itu sama sekali tidak menyerang, apalagi
mematuk Yuniarti. Binatang ini tegak lama sekali, tidak bergerak. Sang dara
sendiri dalam ke tidak warasannya sama sekali tidak menyadari bahaya 10 DEWI
DALAM PASUNGAN apa sebenarnya yang dihadapinya saat itu. Malah sambil tertawa cekikikan dia
menjentik-jentikan jari-jari tangan kiri dan kanannya ke arah dua ekor ular
kobra hutan. Binatang-binatang ini menarik kepalanya masing-masing ke belakang,
sikapnya seperti hendak mematuk. Tapi tidak. Setiap jentikan yang dibuat
Yuniarti diikuti kedua ular itu dengan menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri
atau ke kanan, semakin cepat sang dara menjentik, semakin cepat pula goyangan
kepala ular, jika lambat jentikan maka lambat pula gerakan kepala kedua binatang
itu. Yuniarti tertawa pula gerakan selain menjentik-jentik mengeluarkan suara
tlik. . . tlik. . . .
tlik di ujung-ujung jarinya, dara itu juga mengerak-gerakkan tangannya. Dan
terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya. Kedua ekor ular kobra menggerak
gerakkan tubuh mereka sebatas pinggang ke atas kian kemari seperti menari I
Entah berapa lama hal itu berlangsung, sampai akhirnya Yuniarti merasa letih dan
berhenti menjentik-jentik. Dara ini letakkan kedua tangannya diatas paha
tangannya kemudian dipukul-pukulkan ke paha. Mulutnya berucap: "Kawan-kawanku. .
. anak anak manis berkepala besar yang lucu, bermata merah yang bagus mari
mendekat. Mari kita lanjutkan permainan. Aku banyak permainan dan aku akan ajarkan pada
kalian. Mari mendekat, letakkan kepala kalian di telapak tangan ku!"
Aneh sungguh aneh! Seolah-olah mengerti apa yang diucapkan sang dara. Kedua
binatang berbisa dan mematikan itu meluncur mendekat, naik ke atas lantai papan
jati lalu menjulur dan mendekat-kan kepalanya di telapak tangan sang dara. Satu
ditelapak kiri, lainnya di telapak tangan kanan!
"Ah. . . . wajah-wajah kalian ternyata tidak ca-kap! Tapi lucu! Aku suka pada
kalian! Aku mau berteman dengan kalian!" kata Yuniarti pula.
Lalu tangannya kiri kanan mengusap-usap kepala kedua ular kobra hutan itu.
Binatang binatang ini kedip kedipkan kedua mata masing-masing seperti senang dan
keenakan. Ketika Yuniarti berhenti mengusap, kini dua ekor ular kobra itu yang
ganti mengusap tangan sang dara yakni menjilati telapak tangan yang terkembang.
Kedua telapak tangan yang tadinya kotor berdebu dan penuh daki itu, sebentar
saja menjadi putih bersih!
"Hai. . . . Hi. . . . hik
hik . . .! Kalian
mencuci tanganku yang kotor! Hik. . . . hik. . . .
hik. .. Terima kasih. Kalian sahabat yang baik... "
11 DEWI DALAM PASUNGAN
Dua ekor ular kobra mengibas-ngibaskan ekor masing-masing seolah-olah senang
mendengar kata-kata Yuniarti . Kedua binatang ini lalu menjilati bagian tubuh
sang dara yang lain. Lengannya? kedua kaki, lalu leher dan wajahnya. Sesekali
terdengar suara tawa cekikian Yuniarti karena kegelian.
Selagi dua ekor ular itu menyisiri rambut sang dara dengan ujung-ujung ekor
mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah mendatangi. Semak belukar tersibak dan
tampaklah seorang lelaki bertubuh tinggi muncul membawa sebuah buntalan kain.
Orang ini bukan lain adalah Lancang Item yang datang membawa makanan dan buah-
buahan aru untuk Yuniarti. Lancang Item hentikan langkahnya begitu kedua matanya
melihat dua ekor ular kobra berada di dekat sang dara. Yuniarti tak bergerak
dalam duduknya. Matanya memandang tajam ke arah Lancang Item. Dua ekor ular
kobra juga tampak tegak dengan kepala terpentang menghadap Lancang Item kedua
kobra ini berubah memper-lihatkan sikap ganas dan siap menyerang.
Perlahan lahan Lancang Item turunkan bun talan yang dipanggulnya. Matanya tidak
lepas da-ri memperhatikan dua eKor ular yang kfnf terdengar mulai mendesis
desis. Begitu buntalan diturun-kan, tangan kanan Lancang Item cepat menempel ke
hulu golok di pinggang.
"Ra. . . . raden Ayu. ..." suara Lancang Item bergetar karena ketakutan. Dia tak
berani mendekat. "Bagaimana. . kau. . . kau bersahabat dengan ular-ular jahat
dan berbisa itu
" "Manusia gila!" teriak Yuniarti. Lalu dia melengking tinggi. Dua ekor ular
disebelahnya ikut mendesis panjang. Membuat Lancang Item ketakutan dan mundur
satu langkah. "Dua orang berbaju hijau ini sahabat-sahabatku! Mereka tidak
jahat! Mereka tidak seperti kalian manusia-manusia lak-nat!"
"Dua orang berbaju hijau. . . ?" ujar Lancang Item terheran . "Dua orang siapa
maksudmu. . . .
den ayu?" "Mereka! Mereka sahabat-sahabatku!" teriak Yuniarti sambil menunding pada
sepasang ular kobra hutan berwarna hijau.
Lancang Item sesaat terdiam sambil gigit bibirnya. "Kalau . . . kalau mereka
sahabat-sahabatmu suruh mereka pergi dulu. Suruh Keduanya menjauh Aku datang
membawa makanan dan buah-buahan untukmu...."
"Manusia gila!" teriak Yuniarti. Dua ekor ular 12 DEWI DALAM PASUNGAN
kobra kembali keluarkan suara mendesis. "Jangan berani menyuruh pergi mereka!
Kau yang harus pergi! Aku tidak butuh makanan! Pergi... pergi.."
"Raden ayu. . . dengar baik-baik. . . Dua ekor ular itu sangat ganas dan
berbisa. Kau bisa dibunuh nya...."
"Tidak! Mereka tidak akan membunuhku. Tapi akan membunuhmu!" teriak Yuniarti.
Lalu dia berpaling pada kedua binatang itu dan berkata: "Sahabat-sahabatku.
Bunuh manusia jelek itu! Hik. . .hik
.. . hik!"
Dua ekor kobra hutan tarik kepala masing-masing kebelakang. Mulut mendesis. Lalu
laksana terbang kedua binatang itu melompat ke arah Lancang Item. Lancang Item
yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga, melihat dua ekor ular melesat ke
arahnya cepat bertindak mundur sambil mencabut golok dan menyabat ke depan. Tapi
lelaki ini kalah cepat. Goloknya baru mampu keluar setengah badan saja dari
dalam sarung ketika dua ekor ular kobra mematuk tubuhnya, satu di dada, satu
lagi di bagian perut! Lancang Item keluarkan pekik setinggi langit. Golok
dibuang ke tanah. Dia mem-balikkan tubuh lalu lari sekencang yang bisa dila-
kukannya ke bagian lereng bukit dimana dia meninggalkan kudanya. Begitu sampai
di tempat kuda tertambat, lelaki ini langsung melepaskan ikatan kuda, melompat
ke punggung binatang ini dan me-macunya sekencang-kencangnya.
Lancang Item tahu kalau bahaya maut tengah menghadangnya. Meskipun demikian dia
berusaha menyelamatkan diri dengan mengeluarkan bisa ular yang mulai menjalar di
tubuhnya. Dengan sebilah pisau kecil dia menoreh dua patukan ular lalu
memencetnya kuat-kuat hingga darah me-nyembur. Apa yang dilakukan Lancang Item
hanya mampu menunda kematiannya beberapa ketika. Ditengah jalan, jauh sebelum
mencapai ge-dung kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat, lelaki ini
menghembuskan nafas. Ketika kuda sampai di pintu gerbang halaman kediaman
Tambakjati, binatang ini hanya tinggal membawa mayat penunggangnya!
Hartawan Tambakjati jatuh terduduk di kursi nya dengan kedua tangan ditutupkan
ke wajahnya yang pucat. Istrinya telah lebih dulu jatuh pingsan dan dibawa masuk
ke dalam kamar, dibaringkan diatas tempat tidur. Penyebab nya tidak lain ketika
kedua suami istri ini menerima kabar kematian Lancang Item, yang berarti sangat
sulit bagi mereka 13 DEWI DALAM PASUNGAN
untuk dapat menemukan kembali puteri mereka yang dipasung dan dikucilkan. Karena
kecuali Lancang item, tak ada lagi orang lain yang mengetahui dimana Yuniarti
disembunyikan dan diasingkan!
14 DEWI DALAM PASUNGAN
TIGA M ALAM ITU hujan turun lebat sekali menyi-rami bumi. Suaranya menegakkan bulu
roma. Apalagi sesekali terdengar guruh menggelegar disertai kilat menyambar.
Dinginnya udara bukan alang ke-palang terutama di daerah yang tinggi seperti
bukit Jatipadang.
Dalam keadaan cuaca seperti itu lapat-lapat terdengar suara seperti orang
menyanyi. Lagu yang dibawakannya sama sekali tidak berujung pangkal.
Dan nyanyian itu seringkali diseling oleh suara ta wa cekikikan atau suara
seperti orang menangis pi lu. Suara nyanyian ini datang dari arah gubuk tan pa
dinding beratap rumbia. Dan yang nyanyi bu kan lain adalah gadis malang dalam
pasungan. "Hujan. . . hujan air. . . .
Bukan hujan batu. . . .
Bukan hujan duit hik. . . hik. . . hik!
Bukan hujan tai. . . Ha. . . ha. . .ha!
Hujan. . . hujan . . . turun biar lebat. . .
Lebih lebat! Biar hanyut tempat ini
Biar aku sampai ke sorga. Hik. . . hik!
Apa sih sorga.. .. "
Hujan . .. Mengapa hujan air"
Mengapa tidak banjir"
Aduh. . aku ingin kencing. .. !
Mau beser aih . . . Hik.. . hik... hik!"
Yuniarti goyang-goyangkan kedua kakinya yang dijepit balok kayu, lalu kencing di
tempat itu. "Ih. . . panas. . . Kencingku panas!" si dara gila berteriak. Sesaat kemudian
dia kembali berteriak: "Uh. . . . dingin. . . udara dingin! Sedingin di kuburan"
Tapi mati bohong bohongan! Mati pura-pura! Hik. . hik. . hik! Orang orang tolol
itu ber-main sandiwara. Aku dibilang mati. Padahal ini aku! Masih hidup!
Tolol. . . tolol. ..." Sang dara hentikan nyerocosnya dibawah hujan lebat itu.
Dia ingat sesuatu. "Heh. ....?" Di mana mereka
... Dimana mereka.... ?"
Gadis itu garuk-garuk rambutnya dan memandang berkeliling. Lalu dia berseru
sambil bertepuk tangan tiada henti.
"Sahabat-sahabatku! Dimana kalian! Malam celaka ini dingin sekali. Aku
kedinginan! Apa kalian juga kedinginan. ... Hai! Lekas datang kemari.
15 DEWI DALAM PASUNGAN
Mari kita tidur berhimpit-himpitan! Biar hangat
... Sahabat-sahabatku! Dimana kalian"!"
Didalam gelapnya malam, dibawah hujan lebat tiba-tiba meluncur dua sosok tubuh
panjang. Sesaat kemudian dua sosok tubuh yang melata di tanah ini naik ke atas lantai
jati, terus meluncur ke pangkuan Yuniarti.
Sang dara bersorak gembira.
"Aih. . . kalian kebasahan! Hujan jahat! Mari kukeringkan tubuh kalian!"
Dalam gelapnya malam dan dinginnya udara Yuniarti lalu mengusap-usap sosok tubuh
dua ekor ular kobra hutan. Kedua binatang ini merunduk bergelung di pangkuan
sang dara, tak bergerak-gerak, diam kesenangan.
"Nah. . nah! Sekarang kalian berdua pasti sudah enak kehangatan. Sekarang kalian
boleh tidur! Kita boleh tidur sama-sama! Besok bangun pagi...
pagi. Bukankah kita harus ke sekolah. ... "!
Hik. . . hik. . hik! Hanya manusia - manusia tolol-lah yang pergi berguru ke
rumah Romo! Kita tidak mau jadi orang tolol! Jadi tak usah belajar.
Lagi pula . . . hik. . . hik . . hik! Mana ada tempat belajar untuk kalian dua
sahabatku" Tempat penga-jianpun tidak ada bagi kalian berdua. . . ! Hik. . .
hik.. hik! Ha.... ha.. ha... !"
Yuniarti lalu merebahkan tubuhnya diatas lantai kayu jati yang lembab dan kotor.
Kedua matanya dipincingkan. Tapi dari sela bibirnya terdengar suara nyanyian
perlahan. Dua ekor ular kobra hutan bergelung diatas perutnya. Ketika dara ini
hampir tertidur, kedua binatang itu perlahan-lahan bergerak. Satu meluncur
disepanjang tangan kiri sang dara, satunya di sepanjang lengan kanan.
Sampai di ujung tangan, beberapa saat lamanya kedua binatang ini menjilati
telapak tangan Yuniarti hingga membuat gadis ini tambah mengantuk dan mulai
tertidur pulas. Dua ekor ular kobra hutan menggerakkan kepala masing-masing ke
arah jari-jari tangan si gadis. Keduanya mula-mula menjilati ujung-ujung lima
jari Yuniarti. Lalu dengan gerakkan sangat perlahan hingga tidak menjagakan si
gadis dari tidurnya apalagi sampai merasa kesakitan, dua ular kobra ini mematuki
satu demi satu ujung-ujung jari Yuniarti. Demikian dilakukan binatang-binatang
ini berulang kali sampai sepuluh jari tangan si gadis tampak berwarna kehijauan
dan membengkak.
Keesokan paginya ketika si gadis terbangun dua ekor ular itu tak ada lagi di
gubuk. Sang dara 16 DEWI DALAM PASUNGAN
sejenak memperhatikan lima jari tangannya yang membengkak. Pada setiap ujung
jari kini tampak adanya lima titik kecil sebesar ujung lidi berwarna kehijauan.
Karena otaknya tidak waras, gadis ini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi
dengan tangannya. Apakah jari-jari tangan itu sebelumnya memang besar bengkak
seperti mengambang, ringan dan ada hawa panas aneh menjalar dalam pembuluh-
pembuluh darahnya.
Kejadian kedua ular itu mematuki jari-jari Yuniarti berlangsung selama tujuh
malam berturut turut. Keduanya selalu mematuk pada tanda bintik hijau yang sama.
Pada malam ke tujuh, menje-lang pagi, secara aneh sepuluh jari tangan yang
bengkak tampak berubah kempis dan kembali ke bentuk semula. Hanya titik titik
hijau pada masing-masing ujung jari yang tidak mau hilang dan tampak lebih
hijau, lebih jelas. Hawa panas yang selama ini menguasai tubuh Yuniarti tujuh
hari tujuh malam berangsur surut namun suhu badan sang dara kini sedikit tetap
lebih panas dari sebelumnya.
Hawa panas ini membuat sepasang matanya seperti mengeluarkan sorotan aneh yang
akan menggetar-kan setiap siapa saja berani memandangnya.
Pada hari ke delapan, yakni sehari setelah ular-ular itu mematuki jari-jari
tangan sang dara tujuh malam berturut-turut, waktu bangun dari tidurnya Yuniarti
dapatkan kedua "sahabatnya" telah tegak setengah badan di depan gubuk. Sikap dua
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ekor ufar ini agak aneh, tidak seperti biasanya bergerak lincah kian kemari.
Binatang-binatang ini tegak menatap ke jurusan Yuniarti dengan sepasang mata
merah tak berkesip. Kepala melebar pipi dan ditarik kebelakang. Mulut menganga
memperli-hatkan lidah hijau berbisa' dan gigi-gigi runcing mengerikan.
"Hai! Mengapa kalian diam-diam saja disitu"
Apa kalian sudah minum kopi. . . . " Hik. . . hik hik... ! "Yuniarti menegur
lalu tertawa cekikikan.
Dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis Tubuh yang tegak tertarik ke
belakang. Tiba-tiba keduanya melesat ke arah Yuniarti. Jelas kedua binatang ini
melancarkan serangan. Mematuk ke arah dada dan leher sang dara!
Karena otaknya tidak waras Yuniarti sama sekali tidak mengetahui bahaya yang
mengancamnya. Malah gadis ini tertawa-tawa gembira, gerak-gerakkan kedua tangan, goyangkan
kepala seperti menari!
Ketika kepala dua ekor ular yang mematuk hanya tinggal seujung jari dari sasaran
yang diserang, 17 DEWI DALAM PASUNGAN
mendadak dua kepala itu tampak berhenti mematuk dan tertarik jauh ke belakang.
Tapi hanya sesaat saja. Di lain kejap dua ekor ular kobra itu kembali menyerang.
Dan begitu patukan mereka hanya tinggal sedikit saja lagi akan menghunjam di
kepala atau bagian tubuh sang dara, gerakan mereka berhenti, kepala masing-
masing ditarik lagi kebelakang. Demikian berulang kali. Terus menerus.
Semakin lama kelamaan gadis ini merasa letih dan turunkan kedua tangannya.
"Aku capai! Mari kita istirahat sebentar sambil minum kopi hangat dari angin.
Hik.. hik. .. hik.. !
Tapi sepasang ular kobra hutan tidak mau berhenti. Terus saja pulang balik
mendesis dan menyerang.
"Hai! Kalian tidak dengar apa yang aku bilang"
Yuniarti membentak karena mulai jengkel.
Lalu dia jambak-jambak rambutnya sendiri.
Sssssssssss...... I
Sepasang ular mendesis. Uap hijau menyambar.
Lalu keduanya kembali menyerang berulang kali hampir tiada henti.
"Sahabat-sahatku! Kalian pasti sudah gendeng!
Jangan bikin aku marahi"
Ssssssssss....!
Dua ekor ular kembali mendesis dan melanjutkan serangan-serangan,
"Sahabat-sahabat kurang ajar! Kalian tidak ku-gebuk kalian tentu belum kapok!"
Habis berkata begitu Yuniarti kibaskan tangan kanannya. Kali ini lebih keras
karena lebih marah.
Dan seperti tadi lima sinar hijau tampak melesat keluar dari lima jari
tangannya. Sekali ini lebih terang. Yuniarti tertawa cekikikan. Sesaat itu ular
betina disamping kiri terdengar mendesis dan mematuk ganas. Yuniarti meninju
dengan tangan kirinya. Selarik sinar hijau menderu kearah ular kobra betina.
Binatang ini rundukkan kepalanya ke tanah lalu meluncur bergabung dengan ular
kobra jantan. Dari satu arah keduanya kemudian sama-sama menyerang. Yuniarti kibaskan
tangannya kiri kanan.
Sepuluh larik sinar hijau berkiblat!
Dua ekor ular kobra hutan cepat jatuhkan diri.
Larikan sinat hijau melesat menghantam sebatang pohon. Terjadilah satu hal yang
luar biasa. Lima lobang kecil tampak menembus kulit pohon. Dan batang pohon itu
sendiri serta merta berubah menjadi kehijauan! Seperti layaknya orang gembira,
kedua ular kobra meliuk-liukkan tubuh masing-masing ke atas, berputar-putar dan
menggoyangkan 18 DEWI DALAM PASUNGAN
kepala tiada henti. Kedua binatang ini kemudian meluncur kepangkuan Yuniarti,
menggelung tubuh sang dara dan menjilatinya dengan mulut dan lidah-nya.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dan dialami oleh Yuniarti si gadis enam
belas tahun dalam pasungan dan berontak tidak waras itu"
Ternyata dua ekor ular kobra hutan bukanlah ular-ular biasa. Kedua binatang ini
secara aneh dan sulit dipercaya telah memindahkan racun ganas yang ada di dalam
tubuh mereka ke dalam peredaran darah si gadis. Setelah tujuh kali terjadi
pemindahan racun itu maka racun telah menjadi satu dalam da-da Yuniarti dan
setiap saat dia memukul, mengibaskan atau menjentikan jari-jari tangannya maka
larikan-larikan atau gulungan sinar hijau yang me-ngandung racun mematikan akan
melesat ke luar dari tubuhnya melalui sepuluh lobang kecil pada ujung-ujung jari
tangannya! Hal ini tidak mungkin terjadi kalau dua ekor ular kobra hutan hijau
itu bukanlah sepasang binatang sakti!
Yuniarti tertawa cekikikan karena geli ketika sepasang ular kobra menjilati
leher dan mukanya.
Pada saat itulah tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan tak berapa jauh dari
pohon yang kini menjadi mati akibat endapan racun, tersibak dan seorang lelaki
tua bertubuh tinggi semampai, berjanggut, berkumis dan berambut putih muncul
sambil me-napp tajam ke arah Yuniarti.
"Ketika memukul kedua matanya belum kelihatan hijau. ..." orang tua itu
membatin. "Tapi sinar yang keluar dari jari-jari tangannya sudah cukup mantap. Mungkin
seminggu - dua lagi racun itu baru benar-benar dapat berbaur sempurna dalam
darahnya. ..." Sambil terus memandang ke arah sang dara orang tua ini usap-usap
janggutnya. "Anak malang. . . Tak banyak yang dapat kulakukan untukmu. Mudah-
mudahan kau salamat dan ada seseorang yang mampu mengobati penyakitmu. Ya Tuhan,
ya Gusti Allah lindungi anak itu. Aku mohon disembuhkan dia dari segala
penyakitnya " Sehabis berkata begitu orang tua ini tepukkan kedua tangannya. Ternyata seperti
Yuniarti, orang tua ini juga memiliki sepuluh jari tangan yang ujung ujungnya
bertanda titik berwarna hijau!
"Anak-anak. . . ! Tugas kalian sudah selesai!
Kita harus segera pergi dari tempat ini. Jika kalian ingin bertemu dengan gadis
itu hanya sekali-sekali saja bisa kalian lakukan. Ayo ikut aku. . . !"
19 DEWI DALAM PASUNGAN
Orang tua itu berhenti bertepuk lalu angkat kedua tangannya lurus-lurus ke
depan. Dua ekor ular kobra mencium wajah Yuniarti terakhir kali lalu kedua
binatang ini meluncur ke atas si orang tua, naik ke atas kaki dan tubuhnya,
terus bergelung pada lengan kanan. Ketika berjalan pergi orang tua itu tak
ubahnya seperti memakai sepasang gelang hijau.
Melihat dua sahabatnya dibawa pergi, Yuniarti berteriak marah. Dia melompat
bangun. Tapi sepasang kakinya terbelenggu dalam jepitan balok besar.
"Janggut putih
! Hai! Orang tua jelek! Kau
bawa kemana sahabat-sahabatku! Hai... ! Setan. ..
Kambing tua! Mereka bukan anak-anakmu! Mengapa menyebut mereka anak-anak"!
Apakah kau kawin dengan ular"! Hik. . hik! Hai kambing tua!
Bawa kemari sahabat-sahabatku itu!"
Orang tua berjanggut putih tentu saja mendengar teriakan teriakan Yuniarti.
Namun dengan tenang dia melangkah terus ke arah semak belukar di mana tadi dia
menyembul. Ketika dia menyibak semak belukar itu Yuniarti kepalkan jari-jari
tangan kanannya lalu sambil memaki-maki dia tinjukan tangan itu ke arah orang
tua berambut putih.
Wuss! Sinar hijau melesat tebal dan jelas tanda yang memukul mengerahkan tenaga dan
berada dalam keadaan marah. Meskipun tidak melihat tapi orang tua itu tahu kalau
dirinya mendapat serangan sangat berbahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke
tanah. Sinar hijau menghantam semak belukar.
Serta merta semak belukar ini menjadi rambas dan mati setelah terlebih dulu
berubah menjadi hijau!
"Ah, hebat sekali!" memuji si orang tua yang menyaksikan kejadian itu. Lalu dia
gulingkan diri dan dilain kejap tak kelihatan lagi di tempat itu.
Tinggal kini Yuniarti yang terus berteriak-teriak.
Ketika suaranya menjadi parau baru gadis ini berhenti berteriak dan kini ganti
menangis terisak-isak.
20 DEWI DALAM PASUNGAN
EMPAT R ADEN ANCORO MURTI menghisap rokok daun ganja dalam-dalam. Sepasang matanya mere-
dup seperti orang mengantuk. Wajahnya pucat kuyu. Rokok itu membuatnya merasa
nikmat dan mengendurkan rasa dinginnya udara. Sambil menghembuskan asap rokok
dia menatap ke arah tiga ekor kuda yang tertambat dibawah pohon, disirami hujan
lebat yang turun sejak beberapa waktu lalu.
Lalu dia berpaling pada dua orang pengiring yang tegak di sebelah kirinya. Saat
itu mereka berteduh dibawah sebuah teratak reyot di timur hutan dimana bukit
Jatipadang terletak. Lalu sambil mengusap-usap tombak, busur dan bumbung panah
pemuda itu berkata. Suaranya datar lesu karena dirinya lebih banyak dipengaruhi
oleh rokok ganja yang dihisapnya.
"Sial betul nasib kita berburu sekali ini! Jangan kan babi hutan, kecoak
busukpun tidak bertemu!"
Gento, pengiring yang tegak disampingnya menganggukkan kepala. Sambil mengusap
dagu dia menjawab: "Mungkin ini gara-gara cuaca yang buruk Raden
"Aku tidak percaya! Apa sangkut pautnya cuaca buruk dengan segala babi hutan
atau celeng keparat! Bukankah mereka tidak akan keluar dari hutan ini walaupun
ada hujan lebat"! Dan kau Jamaning Kau yang membawa kesialan pertama
kali!" Pengiring bernama Jamaning kerutkan kening.
"Saya tidak mengerti maksud Raden. .. "
"Dua hari lalu aku minta kau menghubungi gadis desa bertubuh sekal bernama
Taminten itu! Kau tak berhasil menemuinya, padahal pondok peristirahatan di Kaliwongso sudah
disiapkan untukku bersenang-senang dengannya! Apa itu nama-nya tidak sial "!"
Jamaning terdiam sesaat. Namun kemudian memberi jawaban. "Waktu saya datangi
kerumah-nya, gadis itu tak ada. Maaf Raden, saya mendengar kabar tidak enak.
Ternyata Taminten tidak hanya pergi dengan Raden, tapi juga sering dibawa lelaki
lain. Maaf Raden, gadis itu tidak lebih dari seorang pelacur. . . . Saya kawatir
nanti Raden terkena penyakit...."
"Sudah lama aku berhubungan secara diam-diam dengan Taminten. Ternyata aku tak
pernah 21 DEWI DALAM PASUNGAN
sakit sampai hari ini!" menyahuti Ancoro Murti.
Jamaning kembali terdiam. Gento kini yang ganti bicara. "Maaf Raden, jika Raden
mau saya bi-sa mencarikan perempuan lain yang tak kalah cantik dan mulus dari
Taminten " "Mengapa baru sekarang kau berkata begitu"
Setelah aku setengah mati kedinginan di tempat celaka ini"!"
"Sebaiknya kita pulang saja Raden. Dalam udara seperti ini kita tak akan
mendapatkan binatang perburuan.
Ancoro Murti diam saja. Dia menghisap dalam-dalam rokok ganjanya yang tinggal
kecil hampir membakar jarinya lalu mencampakkan puntung'
rokok ke tanah. Dia memberi isyarat pada Gento.
"Nyalakan sebatang rokok baru untukku. .. "
"Maaf Raden. . . . Saya dipesan oleh ayah Raden agar mengawasi Raden
"Maksudmu"!" tanya Ancoro Murti. Untuk pertama kalinya kedua matanya yang kuyu
terbuka lebar. "Ayah Raden memesan agar Raden jangan terlalu banyak merokok ganja. Bahaya bagi
Keseha-tan Raden... . "
"Ayahku! Ayahku!" ujar Ancoro Murti sambil bantingkan kakinya ke tanah. "Orang
itu terlalu banyak peraturan. Tetapi tidak dikatakan langsung padaku. Harus
lewat orang lain! Harus lewat kau!
Sudah! Berikan rokok itu!"
"Saya tidak berani melanggar pesan ayamu Raden
" "Jadi kau berani menolak permintaanku Gento"! Saat ini kau berhenti jadi
pembantuku! Kau boleh pergi
!" Mendengar itu Gento jadi kecut. Orang ini bimbang sesaat. Akhirnya dia mengeruk
sakunya, mengeluarkan kelintingan rokok ganja, menyala-kannya lalu memberikannya
pada Raden Ancoro Murti. Ketika pemuda ini siap menyedot rokok ganja itu, tiba-
tiba dilihatnya ada sesuatu bergerak dibalik semak belukar belasan langkah di
hadapannya. "Aku melihat sesuatu! Jangan ada yang bergerak!" pemuda itu berkata setengah
berbisik. Tangannya bergerak menyiapkan tombak. Tapi menurut perhitungannya,
lemparannya tak akan menemui sasaran. Semak belukar itu berada diluar jang-
kaitan lemparan tombak. Maka dia cepat-cepat mengambil anak panah dan busur.
Benda yang bergerak di balik semak belukar 22 DEWI DALAM PASUNGAN
makin lama makin jelas. Dan ternyata adalah se-ekor rusa coklat bertotol-totol
putih. Tanduknya masih pendek tanda binatang ini masih muda.
Raden Ancoro rentangkan busur.
"Bidik yang tepat Raden. Arah bagian lehernya. ..." bisik Jamaning.
Busur di rentang, jari-jari yang menjepit ekor anak panah dilepas. Anak panah
melesat ke arah semak belukar dimana rusa muda tegak mengen-dap-endap. Suara
disingan anak panah yang sampai ke telinga rusa yang berpendengaran cukup tajam
itu, membuat binatang ini sesaat tegakkan kepala lalu melompat. Anak panah hanya
sempat menye-rempet telinga rusa sebelah kiri. Binatang ini mengeluarkan pekik
kesakitan lalu melarikan diri!
'Kurang ajar! Ini gara-garamu Jamaning!
Kalau kau tidak menggangguku dan mengajari segala pasti sudah kutancap leher
binatang itu!"
Raden Ancoro Murti memaki jengkel. Lalu dia melompat keluar dari bawah teratak,
berlari ke arah kudanya. Dia memutuskan untuk mengejar rusa yang lari itu.
"Raden. . . . ! Masih hujan lebat!" berseru Gento. Tapi Ancoro Murti nama mau
mendengar. Pemuda ini sudah duduk di punggung kudanya.
Mau tak mau Gento dan Jamaning terpaksa pula lari ke kuda masing-masing dan
mengejar si pemuda yang telah lebih dulu membedal kudanya ke arah larinya rusa
muda tadi. ******** "Raden! Binatang itu lari ke arah bukit Jatipadang!" berseru Gento ketika
dilihatnya rusa yang mereka kejar melarikan diri ke jurusan barat, memasuki kaki
bukit Jatipadang.
"Aku tahu dan aku akan kejar!" jawab Raden Ancoro Murti.
"Jangan dikejar Raden! Jangan memasuki bukit itu!" berteriak Jamaning.
"Kalian berdua ini terlalu banyak memberikan aturan padaku!" Dengan marah Raden
Ancoro Murti hentikan kuda dan memandang membeliak pada kedua pengiringnya.
"Maaf Raden. Jangan salah sangka," kata Jamaning. "kami tidak bermaksud melarang
ataupun memberikan aturan ini itu. Tapi ketahuilah bukit itu tak pernah
didatangi orang karena angker.
Lagi pula jalan ke atas sana sangat sulit. Banyak 23 DEWI DALAM PASUNGAN
pohon-pohon berduri. ..."
"Kalau kalian takut pada pohon berduri, si-lahkan pulang saja! Aku tidak butuh
manusia-manusia pengecut macam kalian!"
Raden Ancoro siap membedal kudanya kemba-
li. Tapi Gento cepat memegang leher kuda tunggangan si pemuda dan berkata. "Kami
tidak takut pada pohon-pohon berduri itu Raden. Sungguh mati tidak. Tapi yang
kami takutkan ialah bahwa di bukit Jatipadang ada silumannya!"
"Siluman" Aku tidak takut!"
"Betul Raden. Ada silumannya. Siluman perempuan!" menegaskan Jamaning.
"Aku bilang tidak takut! Apalagi cuma siluman perempuan! Aku ingin bertemu
dengannya. Kalau dia cantik malah aku mau tidur bersamanya!"
Pucatlah wajah kedua pengiring itu mendengar ucapan majikan mereka yang dianggap
sangat tabu itu. Karena tak bisa berbuat lain, ketika Ancoro Murti meninggalkan
tempat itu keduanya terpaksa mengikuti. Ketiga orang ini bergerak menuju bukit
Jatipadang. Walaupun hujan sudah mulai reda tapi bukan berarti perjalanan menuju
ke bukit enak dan mudah. Dan rusa yang mereka kejar seperti memberi semangat,
karena sesekali binatang ini terlihat jelas di sebelah depan, lalu lari lagi
menuju atas bukit. Begitu seterusnya. Disatu tempat jejak rusa itu lenyap sama
sekali! "Sialan! Benar-benar sialan!" maki Ancoro Murti. Pakaiannya basah dan kotor
serta robek-robek dibeberapa bagian karena tersangkut duri pepohonan. Kulit
tubuhnya juga tampak tergurat luka. Tapi rokok ganja masih mencantel disela
bibirnya. "Kita tak mungkin lagi mengejar rusa itu Raden. Binatang itu lenyap. Dan jalan
ke sebelah atas bukit semakin sulit. Saya kawatir kalau tidak turun sekarang,
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum senja kita tak akan sampai ke bawah... "
Raden Ancoro Murti tidak perdulikan kata-kata Gento. "Binatang itu terluka! Dia
pasti tak lari jauh dan mendekam disekitar sini. Pasang mata dan telinga kalian
baik-baik! Sekali lagi ada yang mengatakan agar kita turun kebawah atau pulang
saja akan kuhantam dengan tombak!"
Ancaman itu memang membuat kecut Gento
dan Jamaning. Tetapi sebenarnya kedua pengiring ini jauh lebih takut pada cerita
yang mereka dengar bahwa di bukit Jatipadang itu terdapat siluman yang suka
membunuh mati siapa saja seenak perut-24 DEWI DALAM PASUNGAN
nya! "Raden. .. " Gento membuka mulut kembali.
"Bangsat! Diam kau!" hardik Ancoro Murti.
"Aku mendengar suara sesuatu "
Raden Ancoro Murti pasang telinga tajam-tajam. Dua pengiringnya mengikuti dan
wajah mereka tampak semakin pucat. Sayup-sayup mereka mendengar suara orang
menyanyi. Suara perempuan!
"Si. . siluman perempuan itu. ..." bisik Gento.
"Pasti . . . pasti. ..." balas berbisik Jamaning.
Selagi kedua pengiring itu dilanda ketakutan, majikan mereka Raden Ancoro Murti
sudah turun dari kudanya, menyibak semak belukar dan melangkah menuju bukit
sebelah atas. "Raden. . . . Jangan. . . . ! Berhenti!" seru Jamaning'
"Kembali!" berteriak Gento.
Tapi Ancoro Murti melangkah terus bahkan lenyap dibalik semak belukar.
"Kita pulang saja!" ajak Gento.
Mauku begitu " kata Jamaning, "tapi
kalau terjadi apa-apa dengan putra Tumenggung itu kita berdua pasti akan
digantung!"
"Kalau begitu kita harus mengejarnya. . .!"
Akhirnya kedua pengiring itu terpaksa mengikuti Raden Ancoro Murti yang ada di
sebelah depan, dalam keadaan basah kuyup, pakaian serta lengan tergurat duri-
duri pepohonan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk,
membuatnya mual dan hampir muntah.
"Setan, bau busuk apa ini. . . !" maki Ancoro Murti. Saat itu kedua pengiringnya
telah berada di sampingnya. Keduanya menutup hidung tak tahan bau busuk.
Satu tangan menutup hidung, satu lagi menyibak semak belukar, Ancoro Murti
melangkah maju.
Saat itulah terdengar kembali nyanyian tadi. Dekat sekali. Namun bukan suara
nyanyian itu yang membuat si pemuda seperti dipantek kedua kakinya di tanah
hutan yang becek, melainkan apa yang disaksikannya bertebaran beberapa langkah
di hadapannya! 25 DEWI DALAM PASUNGAN
LIMA R " A. . . . RADEN mayat-mayat itu!
Masya Allah! Bau busuk dan mengerikan. Kita segera pergi saja dari sini raden
" bisik Gento
dengan lutut gemetar, tubuh menggigil dan lidah hampir kelu.
Di hadapan ke tiga orang itu berhamparan malang melintang hampir selusin mayat
manusia yang kebayakan sudah sangat rusak, menebar bau busuk luar biasa,
membentang pemandangan mengerikan. Beberapa diantara mayat-mayat itu bahkan
hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak saja. Entah habis digerogoti
binatang hutan, entah dipatuk burung-burung pemakan mayat!
"Betul sekali Raden. Mari kita tinggalkan tempat angker celaka ini. Lihat...
mayat-mayat busuk itu. Daging mereka yang masih utuh tampak berwarna hijau aneh
" Raden Ancoro Murti belum lagi sempat mem-
buka mulut berikan jawaban, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara nyanyian
perempuan. Yang mampus biarlah mampus
Yang sudah mati biarlah mati
Yang barusan datang mencari mati
Hendak lari kaki dipantek
Hutan menjadi saksi kematian
Hutan menjadi pembasuh jenazah
Kaki dipantek tak bisa lari
Hik.. .hik... hik !
"Raden. . . Lekas lari!" bisik Gento lagi. Tapi anehnya dia tak mampu
menggerakkan kedua kakinya. Demikian juga kawannya Jamaning sedang Ancoro Murti
seperti orang kena sirep memandang tak berkedip pada sosok tubuh dara yang duduk
dipasung di dalam gubuk tanpa dinding
'Gento, Jamaning. ..." terdengar suara Ancoro Murti.
"Kalian lihat anak perawan itu. . . ."
"Itu bukan anak perawn Raden! Itulah siluman yang saya katakan tadi, ..." ujar
Gento dengan suara tercekat
"Manusia tolol!" maki ancoro Murti dengan suara perlahan mendesis. "Jelas-jelas
itu seorang anak gadis! Matamu terbalik menyebutnya siluman Lihat! Gadis itu
berparas cantik! Hanya sayang rambut dan pakaiannya sangat kotor. Dan lihat 26
DEWI DALAM PASUNGAN
lagi! Kedua kakinya dipasung pada balok besar!
Kasihan! Aku akan menolongnya! Melepaskan pasungannya lalu memandikannya
disungai! Lalu memboyongnya ke pondok peristirahatan di Kaliwongso...!"
"Raden! Jangan bicara dan berpikir yang bukan-bukan. Ini tempat angker! Siluman
bisa meru-bah diri seperti apa saja! Seperti gadis yang dipa-
'sung itu.... Lekas kita pergi dari sini Raden....!"
"Tidak aku akan melepaskan gadis itu. Lalu memboyongnya.... !"
"Demi Tuhan! Dia tidak pantas bagimu Raden!
Kalaupun dia memang manusia, lihat tubuhnya yang kotor dan baunya sebusuk mayat
yang bertebaran. Kalau Raden masih menganggapnya manusia, maka dia adalah gadis
gila! Perawan edan!"
Dari arah pondok beratap rimba tiba-tiba meledak suara tawa melengking
menggidikkan bulu roma yang diakhiri dengan satu bentakan keras.
"Yang barusan mengatakan tubuhku sebusuk mayat! Yang barusan mengatakan aku
gadis gila, perawan edan! Cepat datang kepadaku!"
Yang membentak adalah sang dara dalam pasungan. Wajahnya yang cantik tapi
terselimuti debu dan pucat nampak bengis. Sepasang matanya berputar liar
Jamaning merasakan nyawanya terbang. Sekujur tubuhnya menggigil, bukan karena
dinginnya udara di tempat itu atau dingin karena dia kehuja-nan, tapi karena
ketakutan. Dialah tadi yang mengatakan gadis itu gila, busuk, perawan edan.
Ketakutan setengah mati Jamaning tak kuasa bergerak dari tempatnya tegak di
balik semak belukar.
"Tidak mau datang!" sang dara mendengus.
Mulutnya menyunggingkan senyum aneh. "Kalau'
begitu biar maut yang menjemputmu!" Habis berkata begitu sang dara jentikkan
jari telunjuk tangan kanannya.
Satu sinar hijau setipis lidi berkiblat. Menerobos udara dingin dengan kecepatan
kilat, meram-bas semak belukar. Di lain kejap terdengar pekik Jamaning. Orang
itu terpental roboh, menggeletak di tanah hutan yang becek tak bergerak lagi.
Sekujur tubuhnya berubah menjadi hijau. Pada keningnya tampak sebuah bintik
hijau pekat! "Gusti Allah!" desis Gento dan jatuh terduduk di samping mayat kawannya saking
takutnya. Mukanya pucat pasi. Ancoro Murti sendiri tak kalah pucat wajahnya. Kalau tadi
dalam hatinya ma-27 DEWI DALAM PASUNGAN
sih ada keinginan yang bukan-bukan terhadap sang dara kini nafsu itu lenyap sama
sekali berubah menjadi rasa ngeri. Ingin dia kabur dari tempat itu detik itu
juga tetapi aneh, seperti yang diucapkan sang dara dalam nyanyiannya, kedua
kakinya laksana dipantek tak bisa bergerak apalagi lari!
Kembali sang dara di dalam pondok keluarkan suara tawa cekikikan. Saat itu hujan
telah reda dan beberapa bagian dari puncak bukit termasuk di dekat-dekat pondok
disaput oleh kabut tipis, membuat tambah seramnya suasana.
"Yang tadi mengatakan aku bukan perawan ta-pi siluman! Giliranmu maju ke
hadapanku!"
Gadis di dalam pondok berteriak.
Ancoro Murti berpaling pada pengiringnya yang masih duduk menjelepok di tanah.
"Celaka kau Gento. . . . Kau tadi yang bilang gadis itu siluman. Padahal "
"Ra. . . Raden. . . Tolong. . . tolong saya.
Si. . siluman itu pasti akan membu
" "Tidak ada yang dapat menolongmu anak manusia!" terdengar suara dari arah
pondok. "Mulut kamu harimau kamu! Mampuslah!"
Belum habis Gento menyelesaikan ucapan keta-kutannya, kembali sinar hijau
berkelebat. Kali ini dua larik sekaligus. Sinar-sinar maut yang ganas ini
melesat hanya satu jengkal dari tubuh Ancoro Murti, terus melabrak tubuh Gento.
Satu menghantam dada, satu lagi menembus leher!
Dua titik hijau tampak pada dua bagian tubuh itu. Gento sendiri terbanting ke
tanah. Ajalnya telah sampai duluan sebelum punggungnya menyen-tuh tanah. Sekujur
badannya sampai pada bagian matanya yang berwarna putih membeliak tampak menjadi
hijau! Melihat kejadian ini Raden Ancoro Murti tak kuasa lagi menahan takutnya. Dia
segera kabur meninggalkan tempat itu tetapi lagi-lagi kedua kakinya tak mau
diajak berkompromi! Kedua kaki itu benar-benar seperti di pantek ke tanah!
Selagi dia dilanda ketakutan setengah mati seperti itu dari arah pondok
kedengaran suara sang dara, menggema tantang.
"Orang muda! Sekarang giliranmu datang keha-dapanku! Ayo jalan!"
Sungguh aneh! Kalau tadi untuk lari Raden Ancoro Murti tidak sanggup
menggerakkan kedua kakinya sedikitpun, tapi kini seolah-olah berada dibawah satu
pengaruh kekuatan gaib, pemuda ini perlahan-lahan melangkah menuju pondok,
datang 28 DEWI DALAM PASUNGAN
ke hadapan sang dara.
"Berhenti disitu!" sang dara memerintah la-lu tertawa dan jambak-jambak
rambutnya. Kedua matanya lagi-lagi berputar liar.
Ancoro Murti berhenti lima langkah di hadapan pondok. Berhadap-hadapan begitu
dekat dengan sang dara yang duduk terpasung, Pemuda ini dapat melihat wajah yang
cantik dibalik semua kekotoran dan bau busuk yang amat sangat.
"Hemm. . . tampangmu lumayan. Lebih bagus dari kucing peliharaanku di rumah
dulu. Hik. . . hik. . . hikl Bukankah kau yang tadi mengatakan ingin memboyongku ke satu pondok
di Kaliwongso.... "!"
Ancoro Murti tak berani membuka mulut.
Tak berani menjawab.
"Ayo jawabi" sentak sang dara dalam pasungan
"Maksud saya tadi. . . . Saya tidak bermaksud jahat.Saya hanya bicara main-main.
.. Maafkan kalau. ..."
Tawa sang dara membuat Ancoro hentikan ucapannya. "Main-main. . . . Kau pasti
sudah terlalu sering mempermainkan orang-orang perempuan! Pasti! Hik. . hik! Aku
dapat melihat nafsu bejat tersembunyi dalam pancaran kedua matamu yang ketakutan
itu! Aku dapat mencium bau aliran darah kotor dalam tubuhmu!" Sang dara
mendongak ke atas sambil mencium-cium lalu kembali dia memandang dengan tajam
pada si pemuda.
"Apakah aku cantik menurutmu !"
"Kau. ... kau memang, memang cantik "
Jawab Ancoro Murti.
"Dan kau suka padaku...."!"
Si pemuda tak berani menjawab.
"Ayo buka mulut berikan jawaban!"
"Terus terang saya heran mendapatkan dirimu dalam keadaan seperti ini, di puncak
bukit terpencil ini. . . "
"Itu bukan jawaban yang kuminta! Pertanya-anku apakah kau suka padaku. ..."!"
"Sa.. . saya memang suka. ..."
"Hik. . hik. . . Kau suka padaku. Dan mau membawaku ke pondok di Kaliwongso itu.
Benar-Ancoro Murti anggukkan kepala. Mendadak sa-ja dia merasakan bulu kuduknya
tambah merinding. Lalu didengarnya dara dalam pondok berkata: "Bagus. . . bagus.
. . Aku suka pergi bersamamu ke pondok itu. Kita bersenang-senang disana. Nah,
kau pergilah duluan!"
Sang dara jentikkan telunjuk tangan kirinya.
29 DEWI DALAM PASUNGAN
Wuut! Ada sinar hijau pekat berkiblat. Raden Ancoro Murti tundukkan kepala. Tapi
terlambat. Sinar lurus hijau itu menyambar pertengahan keningnya.
Satu lobang hijau tampak berbekas di kening.
Pemuda ini terpelanting. Tubuhnya yang jadi mayat kelihatan menghijau begitu
tergelimpang di tanah yang becek.
"Tiga mayat lagi bertambah. . . . Tiga manusia lagi mampus di puncak bukit ini!
Hik. . hik. . hik!"
Dara dalam pasungan bertepuk tangan seperti anak kecil kegirangan. Tiba-tiba dia
berhenti tertawa dan berhenti bertepuk tangan. Kepalanya diputar setengah
lingkaran. Hidungnya kembang kempis.
Dia seperti mencium-cium sesuatu. Sepasang matanya berputar liar, sesekali
pandangannya menyambar ke arah pepohonan tinggi besar berdaun lebat di sekitar
pondok. Tiba-tiba dara ini kembali keluarkan tawa bergelak dan berseru: "Mayat
ke empati Mengapa bersembunyi"!" Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya
sekaligus! Terjadi hal yang dahsyat! Lima sinar hijau berkelebat menyilaukan,
menebar hawa panas, menyambar ke arah pohon paling besar dan tinggi di sebelah
kanan disertai suara menderu mengerikan!
Dari atas pohon terdengar suara seruan! Satu sosok tubuh melayang turun jungkir
balik. Ke-pulan asap membungkus bagian bagian pohon di sebelah atas. Ranting-
rantingnya tampak gosong tetapi berwarna kehijauan. Dedaunannya rontok
berguguran. Sebagian pohon itu kini tampak hijau sampai ke pertengahan batang!
"Hik. . . hikk. hikk. . . . Rasakan! Rasakan!
Itu bagian orang yang suka bersembunyi! Hik. .
hik. . hik! Hai . . Rupanya kau tidak mampus hah! Bersembunyi dimana kau
sekarang"!"
Sang dara angkat tangan kanannya. Siap untuk mengirimkan serangan jentikan lima
jari maut. Tiba tiba dari balik pohon yang kini berada dalam keadaan mati dan
berubah warna menjadi hijau melompat tubuh berpakaian serba putih, berambut
gondrong. "Tahan! Jangan serang! Aku bukan musuhmu!
Aku bukan kawan dari tiga orang yang barusan kau bunuh!" Si rambut gondrong
ternyata seorang pemuda bertampang keren tapi tampak seperti tolol dan jadi
kocak ketika dia garuk-garuk kepalanya.
Namun wajahnya sama sekali tidak dapat me-nyembunyikan rasa cemas.
"Kalau begitu kau siapa"! Setan! Monyet..."!"
30 DEWI DALAM PASUNGAN
"Aku bukan setan! Bukan monyet! Aku manusia seperti mu! Aku sahabatmu!"
"Aku tidak pernah punya sahabat selain dua sahabat berbaju hijau yang sudah lama
tidak muncul di tempat ini! Jangan mengada-ada! Jangan menipu!"
"Aku tidak menipu! Aku...."
"Ah! Kau layak mampus seperti tiga orang tadi!"
Lalu gadis itu jentikkan lima jari tangannya.
Seperti tadi lima larik sinar hijau berkiblat. Pemuda yang diserang berseru
kaget lalu jatuhkan diri ke tanah, berguling ke arah semak belukar. Sebelum dia
mencapai semak belukar, tiga larik sinar maut kembali memburunya.
Terpaksa pemuda itu membuang diri ke jurusan lain sambil pukulkan tangan kanan
ke depan. Satu gelombang angin keras menderu menyongsong tiga serangan sinar
hijau! Wutt. . . ! Wuttt! Wuttt!
"Celaka!" seru si gondrong ketika dia menyaksikan bagaimana pukulan saktinya
yang bernama "benteng topan melanda samudera" berhasil dite-robos oleh tiga sinar hijau yang
kemudian terus menderu ke arahnya! Tidak membuang waktu lagi di gondrong
berguling ke kiri. Di sini dia kembali menghantam dengan tangan kanan. Kali ini
terdengar suara bergaung disertai menyambarnya sinar putih perak menyilaukan dan
menebar hawa panas!
Luar biasa! Sinar-sinar hijau yang menyerang tetap saja tak dapat ditangkis
ataupun dibuat musnah!
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga sinar itu menderu dahsyat menerobos sinar putih perak, lewat hanya dua
jengkal dari batok kepala si pemuda!
"Gila! Aku tak mau mampus konyol!" runtuk si pemuda dalam hati. Tubuhnya
digulingkan lagi.
Dalam satu gerakan sangat cepat, tubuhnya berkelebat lenyap sementara tempat itu
ditebar bau sa-ngit terpanggangnya pepohonan yang terkena han-taman sinar putih
dan larikan sinar hijau!
"Lari kemana kau" Lari kemana kau"! Apa kira kau bisa sembunyi. . . . "!" Si
gadis dalam pondok memandang berkeliling. Kedua tangannya diangkat tanda dia
siap untuk kembali lancarkan serangan maut. Namun sekian lama mencari-cari dia
tak berhasil melihat atau menduga-duga dimana pemuda tadi bersembunyi!
Sebenarnya orang yang dicarinya tidak berada jauh dari situ. Hanya saja si
pemuda kini berlaku 31 DEWI DALAM PASUNGAN
cerdik. Dalam keadaan terpasung seperti itu sang dara tidak akan dapat memandang
berkeliling sampai ke belakang. Karena itulah pemuda tadi kini sengaja
bersembunyi diatas cabang sebatang pohon yang terletak tepat di jurusan punggung
dara di dalam pondok. Lagi pula atap pondok itu tidak terlalu tinggi hingga
menutupi pemandangan-nya.
Di cabang pohon si pemuda geleng-geleng kepala sambil usap keringat dingin yang
membungkus wajahnya yang pucat.
"Benar-benar gila! Tapi sungguh luar biasa!
Belum pernah aku melihat pukulan sinar sakti seperti itu. Sanggup menerobos dan
tak dapat dibikin musnah oleh pukulan yang diajarkan guru! Pukulan
"benteng topan melanda samudera" dan pukulan
"sinar matahari"! Kalau tidak berlaku cepat sudah tadi-tadi aku jadi bangkai!
Gila!" Pemuda itu garuk garuk kepalanya lalu kembali mengusap wajahnya.
"Siapa sebetulnya gadis itu" Dari mana dia mendapatkan kesaktian itu" Siapa yang
memecilkan dan memasungnya di bukit Jatipadang ini. . . . Aku harus menyelidiki!
Aku harus mengintai dirinya terus-terusan
" Sang dara di dalam pondok masih memandang berkeliling, berusaha mencari kemana
lenyapnya pemuda tadi diserangnya. Akhirnya dia letih sendiri.
"Pasti dia sudah kabur! Hebat juga monyet sa-tu itu! Sanggup menyelamatkan diri
dari serangan-ku! Hebat tapi dia bukan kawanku! Aku tidak punya kawan kecuali
dua ekor ular kobra hijau itu.
Ah. . . merekapun sudah lama tidak muncul disini
. . . . Makanan sudah habis. ... Air di kendi sudah kering
Sahabat-sahabatku, dimana kalian. . ."'
Di atas pohon pemuda yang bersembunyi mendengar jelas apa-apa yang barusan
diucapkan dara dalam pasungan.Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengeruk
kebalik pakaiannya dimana dia menyim-pan dua buah ubi rebus sebesar kepalan
tangan. Dua ubi itu ditimang-timangnya beberapa kaii.
Pemuda ini berpikir-pikir bagaimana cara yang baik menyerahkan makanan itu pada
sang dara. "Tujuanku baik! Memberinya makanan pe-nangsal perutnya yang lapar. Kalau
kuserahkan tentu dia tak akan menyerangku. Aku bisa bersahabat padanya dan
mungkin bisa mendapat keterangan siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu maka dengan hati-hati, tanpa mengeluarkan suara si pemuda
meluncur turun 32 DEWI DALAM PASUNGAN
dari atas pohon. Lalu dia melangkah mendekati pondok dari jurusan kanan. Dia
sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun ketika melangkah Tetapi
pendengaran dan perasaan tajam si dara tidak bisa ditipu. Baru saja dia membuat
gerakan dua langkah, dara itu sudah palingkan kepalanya ke kanan.
"Hai! Datang lagi manusia ini! Benar-benar minta mampus!" Sang dara membentak.
Tangan kanannya diangkat ke atas.
"Tahan! Tunggu! Jangan serang! Aku sahabatmu!"
"Sudah kubilang aku tak punya sahabat!
Mampuslah!"
"Tunggu! Tunggu dulu!" si pemuda berteriak.
Karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka teriakannya membawa pengaruh juga
pada sang dara. Gerakan tangan yang diangkat ke atas tertahan setengah jalan.
"Dengar, aku .tahu kalau kau sedang lapar.
Lihat, aku membawa dua buah ubi rebus. Enak dan manis. Ini kuberikan keduanya
untukmu. ..."
Pemuda berambut gondrong itu melangkah ma-ju lebih dekat sambil unjukkan dua ubi
yang dipegangnya di tangan kiri kanan.
"Siapa bilang aku lapar! Aku tak pernah lapar!"
jawab dara dalam pondok. Lalu dia tutup ucapannya dengan menjentikkan lima jari
Senopati Pamungkas I 16 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Kedele Maut 21
BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI 212
Wiro Sableng Episode ke 036 :
DEWI DALAM PASUNGAN
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
Scanning kitab by : Huybee
mailto:22111122@yahoo.com
1 DEWI DALAM PASUNGAN
SATU M ATAHARI baru saja tenggelam. Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan
dipekuburan Jati anom nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang
rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan
tempat itu. Di u jung kanan tanah pekuburan, dibawah sepokok batang Kemboja
kecil tampak seungguk tanah makam yang masih merah ditaburi oieh bunga-bunga
aneka warna. Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya.
Lalu sunyi lagi dan udara semakin geiap.
Pada saat itulah tiga sosok berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah
pekuburan.Ketiganya sesaat tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak
seorangpun kelihatan di tempat itu, ketiganya melangkah bergegas menuju kuburan
baru. Dua dari tiga orang ini memanggul pacul. Satunya membawa linggis.
"Ini kuburannya! Kita harus bekerja cepat!"
terdengar orang yang membawa linggis berucap.
"Tak usah kawatir. Kuburan baru tanahnya masih lembek. Sebentar saja kita pasti
menemukan peti itu!" menjawab pemanggul pacul di sebelah kanan. Lalu bersama
temannya dia mulai memacul dan menggali tanah kuburan. Keduanya bekerja keras
dan cepat, tidak berhenti-henti menggali sampai akhirnya salah satu mata pacul
terasa dari terdengar menghantam benda keras.
"Peti jenazah!" seru orang yang memacul di sebelah kanan. Dengan tangannya dia
menggeser tumpukan tanah, kawannya ikut membantu.
Dalam gelapnya malam kemudian terlihat kayu tutup peti jenazah.
"Berikan linggis!" orang di dalam lobang berteriak.
Lelaki yang memegang linggis menyahuti :
"Biar aku yang membuka tutup peti!" Lalu dia melompat turun ke dalam liatv?
kubur yang barusan dibongkar itu. Dengan uji ng linggis dia mulai mengungkit
tepi penutup peti. Terdengar suara berkereketan ketika kayu penutup peti jenazah
mulai terkuak. "Ganjal dengan paculmu! Aku akan mengungkit ujung sebelah sana!" si tukang
linggis berkata.
Kawannya lalu mengganjalkan paculnya dibawah penutup peti yang terkuak. Ketika
ujung yang lain berhasil diungkit pula maka penutup peti itupun 2 DEWI DALAM
PASUNGAN dengan mudah bisa ditarik lepas.
"Hai!"
Orang yang membuka penutup peti berseru kaget tapi juga keheranan. Dua kawannya
sama-sama besarkan mata, terperangah. Salah seorang dari mereka malah berjongkok
dan memasukkan kedua tangan ke dalam peti, meraba-raba.
"Kosong ...!" desisnya sambil menengadah ke arah kedua temannya. "Petinya
kosong! Kalian lihat sendiri!"
Kami sudah melihat! Ini adalah aneh! Mana jenazah puteri hartawan itu.... "!"
"Edan! Kita kemari bukan untuk mencari mayat!
Tapi mencuri harta yang kabarnya ikut dikuburkan bersama jenazah Yuniarti putri
bungsu hartawan Tampakjati!"
Untuk beberapa lamanya ketiga orang itu tertegun saling pandang.
"Ada suatu rahasia dibalik semua ini! Rahasia yang kita tidak mengerti!"
"Kau betul! Putri hartawan itu diketahui mati.
Lalu dikubur di tempat ini! Tapi ketika dibuka petinya ternyata kosong! Tak ada
jenazah, apa lagi harta!"
"Mungkinkah jenazah itu gaib.... ?"
"Atau seseorang telah mendahului kita. Tapi gila!
Mustahil! Tidak mungkin!"
"Lalu. . . . " Jangan jangan
" Yang berkata
adalah lelaki yang tadi memcongkel penutup peti jenazah dengan linggis. Belum
lagi ucapannya berakhir tiba-tiba terdengar bentakan garang.
"Bagus! Jadi ini kerja kalian! Membongkar makam mencari harta! Kalian tahu makam
siapa yang kalian bongkar"! Benar-benar mencari mampus!"
Tiga lelaki berpakaian serba hitam di dalam lobang sama mendongak ke atas. Di
tepi kuburan mereka melihat seorang lelaki bertubuh jangkung berwajah garang dan
membekal sebatang golok di pinggangnya tegak bertolak pinggang. Mereka segera
mengenali siapa adanya orang ini. Salah seorang dari ketiganya segera menjawab.
"Lancang Item! Kau tidak lebih baik dari kami.
Mengapa mencampuri pekerjaan kawan
segolongan, . . ."!"
Orang yang tegak ditepi kuburan mendengus.
"Aku berhak melakukan apa saja disini karena aku ditugasi mengawasi makam ini!"
"Siapa yang menugasimu?"
"Bangsat! Kau tak layak bertanya!" hardik Lancang Item "Kalian telah melakukan
satu kesalahan besar! Membongkar kuburan dan punya 3 DEWI DALAM PASUNGAN
niat jahat untuk mencuri!"
"Kau linat sendiri! Peti ini kosong! Tak ada mayat apa lagi harta!"
"Sudahlah! Mengapa harus ribut-ribut di tempat ini.
Mari kita pergi saja. ..." Kata lelaki yang memegang linggis.
"Tidak! Kalian akan tetap di lobang itu!" Lancang Item maju satu langkah.
"Apa maksudmu"!" orang dalam kubur bertanya.
Sreett! Lancang item hunus goloknya. Dalam gelapnya malam benda itu masih tampak seperti
berkilau tanda selalu diasah. Melihat gelagat tidak baik ini tiga orang didalam
kubur segera memanjat keatas. Saat itulah golok di tangan Lancang Item
berkelebat. Terdengar dua pekikan berturut-turut.
Dua orang di samping kanan yang tengah berusaha memanjat dan keluar dari dalam
kubur kembali jatuh dengan punggung luka besar dan satu lagi hampir putus
pangkal lehernya. Lelaki ketiga lindungi dirinya dengan linggis besi sewaktu
golok di tangan Lancang Item kembali membabat.
Trang! Bunga api memercik ketika golok tajam dan besi linggis beradu. Yang memegang
linggis merasakan tangannya bergetar keras. Saat itu kembali dilihatnya golok
datang menyambar! Untuk kedua kalinya dia angsurkan linggis ke atas. Tapi sekali
ini Lancang Item tidak mau melakukan bentrokan lagi. Golok ditangannya diputar.
Senjata ini berubah dari membabat menjadi membacok. Terdengar pekik ketiga.
Lelaki yang memegang linggis rubuh ke dalam kubur dengan kepala hampir terbelah!
"Maling-maling picisan mau berlagak melawanku!" ujar Lancang item. Lalu dia
masukkan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya ke dalam mulut. Terdengar
suitan nyaring. Sesaat kemudian dua orang bergegas muncul dari arah barat.
"Lekas kalian timbun makam ini!" berkata Lancang Item begitu dua orang tadi
sampai dihadapannya. Keduanya mengangguk. "Kalian bisa pergunakan dua pacul yang
ada di dalam sana!"
Kembali dua orang itu mengangguk. Tapi ketika hendak mengambil pacul mereka
melihat tiga sosok tubuh yang saling timpang tindih di dalam lobang. Dua mungkin
sudah mati, satu masih terdengar mengerang. Lancang item segera maklum keraguan
mereka. Maka diapun menghardik.
4 DEWI DALAM PASUNGAN
"Kalau aku perintahkan kalian menimbun kuburan berarti apapun yang ada
didalamnya harus kalian timbun! Lakukan cepat!" Lancang Item memandang
berkeliling. Dia kawatir kalau-kaiau ada orang lain berada disekitar situ dan
sempat menyaksikan apa yang terjadi.
Mendengar bentakan Lancang Item dua orang tadi segera mengambil dua pacul di
dalam kubur lalu dengan cepat kembali menimbun dan menguruk kuburan yang tadi
sempat digali oleh tiga orang pencuri harta.
"Pekerjaan kami telah selesai Lancang,"
seorang penimbun memberi tahu.
Lancang Item mengangguk. Lalu keluarkan sebuah kantong dari balik pakaiannya.
Kantong itu dilemparkannya pada orang yang tegak disebelah kanan.
"Bagi dua uang itu. Dan mulai saat ini kalian harus meninggalkan daerah ini!
Tidak boleh kembali dengan alasan apapun! Bila rahasia ini tersebar diluaran
berarti kalian yang membuka dan
menyebarkannya! Aku akan mencari dan
membunuh kalian! Mengerti"!"
"Kami mengerti Lancang... "
"Nah pergilah! Bawa pacul-pacul itu, buang di tempat jauh!"
Untuk beberapa lamanya Lancang Item masih tegak di tempat itu memperhatikan
kepergian dua orang yang membawa pacul. Setelah keduanya lenyap dikegelapan
malam baru dia beranjak meninggalkan tempat itu.
* * * TIGA ORANG putera Raden Tambakjati
Kalidiningrat duduk mengelilingi ayah mereka sementara ibunda ketiganya berada
di kamar tidur dalam suasana duka. Ketiga putera yang datang dari jauh ini sama
menyesalkan mengapa adik mereka begitu cepat dimakamkan tanpa menunggu
kedatangan mereka hingga tak dapat melihat si adik untuk penghabisan kali.
"Adik kalian meninggal karena penyakit sampar,"
Raden Tambakjati berkata dengan menundukkan kepala. "Jika tidak segera
dimakamkan 5 DEWI DALAM PASUNGAN
bisa-bisa banyak orang yang akan ketularan, termasuk seisi rumah besar
ini. . . . Kalian putera-puteraku yang kucintai.. . . .Aku dapat merasakan apa
yang ada dilubuk hati kalian. Besok, pagi-pagi sekali kalian bertiga bisa
menyambangi makamnya di pekuburan Jatianom. ..."
"Dua tahun lalu. . . . " yang bicara adalah Tubagus Kalidiningrat, putera tertua
yang datang dari Solotigo, "ketika adik Yuni mencapai usia empat belas tahun,
saya mendengar kabar dirinya menderita semacam penyakit aneh. Penyakit seperti
kurang ingatan " Raden Tambakjati angkat kepalanya dan menatap paras putera sulungnya itu.
"Dari mana kau mendengar kabar itu" Siapa yang mengatakan begitu padamu... ?"
"Saya tidak ingat dengan pasti ayah. Hanya saja.... apakah kabar itu betul?"
"Kabar fitnah! Fitnah busuk yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka
pada kita! Jangan kau percayai hal yang memalukan itu Tubagus ..
"Saya memang tidak pernah mempercayainya ayah," jawab Tubagus Kalidiningrat.
"Kalian bertiga datang dari jauh, tentu, sangat letih. Pergilah beristirahat
dulu. Sehabis ba'dal Isya akan diadakan pengajian. Kuharap kalian bertiga turut
hadir...."
Ketiga putera Tambakjati sama mengiyakan lalu meninggalkan tempat itu, tepat
pada saat Lancang Item datang menghadap. Hartawan Tambakjati menunggu sampai ke
tiga puteranya meninggalkan tempat itu lalu berdiri dan memberi isyarat agar
mengikutinya. "Katakan cepat apa yang menyebabkanmu baru saat ini sampai kemari?" bertanya
Tambakati. Lancang Item lalu menuturkan apa yang terjadi dipekuburan Jatianom
"Apa yang kau lakukan sudah cukup baik.
Hanya saja masih ada yang kurasa mengganjal. .."
"Hal apakah itu Raden?" tanya Lancang Item.
"Dua orang tukang timbun itu seharusnya kau bereskan juga hingga semua rahasia
tidak bisa bocor!"
"Saya sudah memberinya uang, menyuruhnya pergi dari. daerah ini dan
mengancamnya! Mereka tak mungkin akan membocorkan rahasia itu Raden.
Lagi pula saya sudah kenal lama keduanya. Mereka bisa dipercaya...."
Raden Tambakjati tatap merasa tidak enak
didalam hatinya. Lalu dia berkata : "Mulai hari ini, 6 DEWI DALAM PASUNGAN
paling tidak satu kali seminggu kau menjenguk tempat itu Lancang... "
"Itu menjadi tugas saya Raden. Apakah saya juga harus membawa obat-obatan dari
perempuan tua bernama embah Gromboh itu ?"
"Tidak perlu. Sejak lama aku dan istriku sudah menduga perempuan itu tidak mampu
mengobati. Hanya saja selama ini kita memakainya karena mengharapkan ada kebaikan.
Kenyataannya memang tidak.. Tempat yang kau pilih itu benar-benar baik dan aman
Lancang?" Lancang Item mengangguk. "Tempatnya sangat kelindungan. Tak ada manusia yang
pernah mendekati tempat itu. Sama sekali tidak dijejak binatang buas. Sumber air
terdekat tidak jauh dari situ .
"Sewaktu-waktu saya akari mengantarkan Raden, "
ujar Lancang. "Kau boleh pergi. Jangan lupa menyirap-nyirap segala cerita dan desas desus
diluaran. . . . . "
"Akan saya lakukan Raden. "Lancang Item membungkuk hormat lalu tinggalkan
hartawan Tambakjati Kalidiningrat.
7 DEWI DALAM PASUNGAN
DUA B UKIT JATIPADANG hanya merupakan sebuah nama karena tidak pernah dijejaki
penduduk yang tinggal sekitar hutan luas dimana bukit itu terletak. Disitu tidak
ada binatang buas, tidak terdapat sesuatu yang angker. Hanya sulitnya mencapai
bukit yang ditumbuhi sejenis tanaman penuh duri yang terpesat kesana karena
mengejar rusa buruan. Kabarnya memang terdapat banyak rusa di bukit Jatipadang.
Namun binatang-binatang itu tidak menjadi daya tarik orang atau penduduk seki-
tarnya. Di puncak bukit, tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, secara
tidak terduga tampak berdiri sebuah bangunan bertiang bambu hu tan, beratap
rumbia dan sama sekali tidak berdin-ding. Mendapatkan adanya bangunan ini saja
di-tempai itu sudah merupakan suatu keanehan.
Ditambah dengan apa yang terdapat dibawah atap gubuk itu maka tampaklah satu
keluar biasaan.
Dibawah atas rumbia, diatas lembaran-lembaran papan jati kasar tampak duduk
seorang dara berusia sekitar enam belas tahun, berambut tergerai sepanjang bahu,
mengenakan pakaian berbentuk jubah panjang terbuat dari kain kasar tegai dan
berlapis dua. Kelihatannya dara ini duduk terme-nung, tetapi sepasang bola
matanya sesekali tampak berputar aneh. Lalu mulutnya menyunggingkan senyum. Dari
mulut itu acap kali terdengar suara seperti mendesah kedinginan. Ada kalanya
dara ini tertawa melengking-lengking. Kadang-kadang tanpa diketahui sebabnya
dijambaknya rambutnya yang hitam.
Di lantai di hadapannya, sepejangkauan kedua tangannya bertebaran berbagai buah-
buahan. Sebagian telah banyak yang busuk. Lalu ada sebuah kendi tanah berisi air
yang tergoleh dan tumpah sebagian isinya. Dara di dalam gubuk ini hanya mampu
menggeser tubuhnya sedikit saja karena kedua kakinya dijepit pada dua buah
lobang diantara dua balok jati. Kedua balok ini diikat erat dengan dua untai
besi yang ujung-ujungnya dikunci dengan kura-kura besi! Jelas dara ini
diasingkan dan dipasung di bukit terpencil itu. Wajahnya yang pucat jelas
menunjukkan dia kurang makan atau tidak perduli dengan makanan. Tubuhnya kuyu
lemas tanda kurang minum. Kulitnya yang kuning lang-8 DEWI DALAM PASUNGAN
sat tertutup debu dan daki yang mulai menebal.
Semua itu menunjukkan bahwa paling tidak sang dara telah dipasung di tempat itu
lebih dari lima ha-ri lalu.
Siapakah dara yang malang ini, Lalu siapa pula yang begitu sampai hati
membawanya ke puncak bukit Jatipadang dan memasung kedua kakinya dalam balok
jati" Dara berwajah panjang yang tersembunyi kecantikannya dibawah keadaan dan
penderitaan itu adalah Yuniarti Kalidiningrat, putri tunggal atau anak bungsu
hartawan Tambakjati.
Lima hari lalu dia diberitakan meninggal dunia karena menderita penyakit sampar.
Jenazahnya dikuburkan dengan terburu-buru sampai-sampai tiga orang kakaknya
tidak sempat melihatnya untuk penghabisan kali. Namun apa yang terjadi sesung-
guhnya adalah bahwa dara itu tidak pernah meninggal dunia. Acara kematian dan
penguburan semua adalah sandiwara belaka, diatur oleh sang ayah ibu dan orang
kepercayaan hartawan* Tambakjati yaitu Lancang Item.
Sejak dua tahun sebelumnya Yuniarti yang waktu itu berusia empat belas tahun
ditimpa malapetaka mengenaskan. Dara yang beranjak remaja putri ini tiba-tiba
saja menunjukkan kelainan pada sikap dan gerak gerik nya. Sikap dan keadaan
Yuniarti adalah sikap seorang yang kurang waras, kurang ingatan alias gila!
Berbagai usaha telah dilakukan secara diam-diam oleh kedua orang tuannya untuk
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengobati putri tunggal mereka itu. Namun sia-sia belaka. Sang dara tidak dapat
disembuhkan. Sebagai turunan istana, tentu saja Tambakjati Kalidiningrat dan istrinya akan
mendapat malu besar kalau gilanya putri mereka sampai diketahui orang luar.
Karena merasa mereka tidak dapat lagi menjaga dan mengasuh anaknya, ditambah
entah setan dari mana yang datang merasuk, dibantu oleh Lancang Item maka
disusunlah satu rencana diluar batas kemanusiaan. Yuniarti harus keluar dari
rumah besar, disembunyikan disatu tempat dan ditempat itu dia harus dipasung
hingga tidak mungkin melarikan diri. Lancang Item ditugaskan paling tidak satu
kali seminggu mengurus keperluan gadis itu, mengantarkan makanan dan sebagainya.
Agar lengkapnya sang dara tidak menimbulkan kecurigaan, maka disusun lah
sandiwara kematian dan pemakaman Yuniarti. Padahal peti mati tidak berisi apa-
apa alias kosong. Tiga orang pencuri bernasib malang ketika mereka ketahuan
membongkar kuburan dan mendapatkan peti mati dalam keadaan kosong. Agar ra-9
DEWI DALAM PASUNGAN
hasia peti kosong itu tidak sampai diketahui orang Lancang Item yang memang
ditugaskan untuk menjaga segala kemungkinan langsung membunuh ke tiga pencuri
itu! Pada hari ke enam, tak ada lagi buah-buahan atau makanan lain yang bisa dimakan.
Air dalam kendi tanah sudah lama kering. Tetapi sang dara yang tidak waras
pikirannya itu sama sekali tidak acuh. Sepanjang hari dia tertawa atau
mengeluarkan suara seperti menangis hingga suaranya menjadi parau. Pakaian dan
tubuhnya semakin kotor.
Rambutnya berlapis debu pada siang hari dan berlapis embun pada malam hari.
Berkali-kali dia me-nyentak-nyentakkan kedua kakinya seperti berusaha melepaskan
jepitan balok kayu jati tetapi sia-sia saja. Kedua pergelangan kakinya tampak
luka dan lecet. Lantai papan kotor dan menghampar bau amis dan bau kotoran. Dan
karena si dara memba-ringkan tubuhnya di lantai yang sama jika mengantuk maka
pakaiannyapun ikut menjadi kotor dan bau. Sungguh mengenaskan penderitaan gadis
enam belas tahun ini. Tetapi justru dia sendiri tidak menyadari apa sebenarnya yang
tengah dialaminya.
Pada pagi hari ke tujuh, belum lama matahari muncul menerangi bumi, disaat
Yuniarti duduk sambil mengeluarkan suara mencaci maki tiada henti dan tangan
kiri kanan menjambaki rambutnya sendiri, dari rerumpunan semak belukar dekat
mata air tiba-tiba terdengar suara mendesis panjang disusul dengan muncul dan
meluncurnya dua ekor ular hijau berkepala besar pipih. Seperti tertarik oleh bau
busuk yang datang dari gubuk, kedua binatang ini, satu jantan satunya betina,
meluncur cepat ke arah Yuniarti. Di depan gubuk tanpa dinding kedua binatang itu
berhenti. Sebagian tubuhnya sebelah bawah terus menempel ke tanah, sebagian yang
sebelah atas berdiri tegak, lidah ter-julur keluar masuk, mulut membuka
memperli-hatkan gigi dan taring-taring runcing sedang sepasang mata merah pekat
tidak berkedip. Dua ular ini adalah dua kobra hutan yang ganas dan sangat
berbisa. Sekali seseorang atau binatang sempat di-gigit atau dipatuknya pastilah
akan menemui kematian dalam waktu beberapa kejapan mata! Tetapi anehnya di
hadapan gubuk dua ekor ular kobra hutan itu sama sekali tidak menyerang, apalagi
mematuk Yuniarti. Binatang ini tegak lama sekali, tidak bergerak. Sang dara
sendiri dalam ke tidak warasannya sama sekali tidak menyadari bahaya 10 DEWI
DALAM PASUNGAN apa sebenarnya yang dihadapinya saat itu. Malah sambil tertawa cekikikan dia
menjentik-jentikan jari-jari tangan kiri dan kanannya ke arah dua ekor ular
kobra hutan. Binatang-binatang ini menarik kepalanya masing-masing ke belakang,
sikapnya seperti hendak mematuk. Tapi tidak. Setiap jentikan yang dibuat
Yuniarti diikuti kedua ular itu dengan menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri
atau ke kanan, semakin cepat sang dara menjentik, semakin cepat pula goyangan
kepala ular, jika lambat jentikan maka lambat pula gerakan kepala kedua binatang
itu. Yuniarti tertawa pula gerakan selain menjentik-jentik mengeluarkan suara
tlik. . . tlik. . . .
tlik di ujung-ujung jarinya, dara itu juga mengerak-gerakkan tangannya. Dan
terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya. Kedua ekor ular kobra menggerak
gerakkan tubuh mereka sebatas pinggang ke atas kian kemari seperti menari I
Entah berapa lama hal itu berlangsung, sampai akhirnya Yuniarti merasa letih dan
berhenti menjentik-jentik. Dara ini letakkan kedua tangannya diatas paha
tangannya kemudian dipukul-pukulkan ke paha. Mulutnya berucap: "Kawan-kawanku. .
. anak anak manis berkepala besar yang lucu, bermata merah yang bagus mari
mendekat. Mari kita lanjutkan permainan. Aku banyak permainan dan aku akan ajarkan pada
kalian. Mari mendekat, letakkan kepala kalian di telapak tangan ku!"
Aneh sungguh aneh! Seolah-olah mengerti apa yang diucapkan sang dara. Kedua
binatang berbisa dan mematikan itu meluncur mendekat, naik ke atas lantai papan
jati lalu menjulur dan mendekat-kan kepalanya di telapak tangan sang dara. Satu
ditelapak kiri, lainnya di telapak tangan kanan!
"Ah. . . . wajah-wajah kalian ternyata tidak ca-kap! Tapi lucu! Aku suka pada
kalian! Aku mau berteman dengan kalian!" kata Yuniarti pula.
Lalu tangannya kiri kanan mengusap-usap kepala kedua ular kobra hutan itu.
Binatang binatang ini kedip kedipkan kedua mata masing-masing seperti senang dan
keenakan. Ketika Yuniarti berhenti mengusap, kini dua ekor ular kobra itu yang
ganti mengusap tangan sang dara yakni menjilati telapak tangan yang terkembang.
Kedua telapak tangan yang tadinya kotor berdebu dan penuh daki itu, sebentar
saja menjadi putih bersih!
"Hai. . . . Hi. . . . hik
hik . . .! Kalian
mencuci tanganku yang kotor! Hik. . . . hik. . . .
hik. .. Terima kasih. Kalian sahabat yang baik... "
11 DEWI DALAM PASUNGAN
Dua ekor ular kobra mengibas-ngibaskan ekor masing-masing seolah-olah senang
mendengar kata-kata Yuniarti . Kedua binatang ini lalu menjilati bagian tubuh
sang dara yang lain. Lengannya? kedua kaki, lalu leher dan wajahnya. Sesekali
terdengar suara tawa cekikian Yuniarti karena kegelian.
Selagi dua ekor ular itu menyisiri rambut sang dara dengan ujung-ujung ekor
mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah mendatangi. Semak belukar tersibak dan
tampaklah seorang lelaki bertubuh tinggi muncul membawa sebuah buntalan kain.
Orang ini bukan lain adalah Lancang Item yang datang membawa makanan dan buah-
buahan aru untuk Yuniarti. Lancang Item hentikan langkahnya begitu kedua matanya
melihat dua ekor ular kobra berada di dekat sang dara. Yuniarti tak bergerak
dalam duduknya. Matanya memandang tajam ke arah Lancang Item. Dua ekor ular
kobra juga tampak tegak dengan kepala terpentang menghadap Lancang Item kedua
kobra ini berubah memper-lihatkan sikap ganas dan siap menyerang.
Perlahan lahan Lancang Item turunkan bun talan yang dipanggulnya. Matanya tidak
lepas da-ri memperhatikan dua eKor ular yang kfnf terdengar mulai mendesis
desis. Begitu buntalan diturun-kan, tangan kanan Lancang Item cepat menempel ke
hulu golok di pinggang.
"Ra. . . . raden Ayu. ..." suara Lancang Item bergetar karena ketakutan. Dia tak
berani mendekat. "Bagaimana. . kau. . . kau bersahabat dengan ular-ular jahat
dan berbisa itu
" "Manusia gila!" teriak Yuniarti. Lalu dia melengking tinggi. Dua ekor ular
disebelahnya ikut mendesis panjang. Membuat Lancang Item ketakutan dan mundur
satu langkah. "Dua orang berbaju hijau ini sahabat-sahabatku! Mereka tidak
jahat! Mereka tidak seperti kalian manusia-manusia lak-nat!"
"Dua orang berbaju hijau. . . ?" ujar Lancang Item terheran . "Dua orang siapa
maksudmu. . . .
den ayu?" "Mereka! Mereka sahabat-sahabatku!" teriak Yuniarti sambil menunding pada
sepasang ular kobra hutan berwarna hijau.
Lancang Item sesaat terdiam sambil gigit bibirnya. "Kalau . . . kalau mereka
sahabat-sahabatmu suruh mereka pergi dulu. Suruh Keduanya menjauh Aku datang
membawa makanan dan buah-buahan untukmu...."
"Manusia gila!" teriak Yuniarti. Dua ekor ular 12 DEWI DALAM PASUNGAN
kobra kembali keluarkan suara mendesis. "Jangan berani menyuruh pergi mereka!
Kau yang harus pergi! Aku tidak butuh makanan! Pergi... pergi.."
"Raden ayu. . . dengar baik-baik. . . Dua ekor ular itu sangat ganas dan
berbisa. Kau bisa dibunuh nya...."
"Tidak! Mereka tidak akan membunuhku. Tapi akan membunuhmu!" teriak Yuniarti.
Lalu dia berpaling pada kedua binatang itu dan berkata: "Sahabat-sahabatku.
Bunuh manusia jelek itu! Hik. . .hik
.. . hik!"
Dua ekor kobra hutan tarik kepala masing-masing kebelakang. Mulut mendesis. Lalu
laksana terbang kedua binatang itu melompat ke arah Lancang Item. Lancang Item
yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga, melihat dua ekor ular melesat ke
arahnya cepat bertindak mundur sambil mencabut golok dan menyabat ke depan. Tapi
lelaki ini kalah cepat. Goloknya baru mampu keluar setengah badan saja dari
dalam sarung ketika dua ekor ular kobra mematuk tubuhnya, satu di dada, satu
lagi di bagian perut! Lancang Item keluarkan pekik setinggi langit. Golok
dibuang ke tanah. Dia mem-balikkan tubuh lalu lari sekencang yang bisa dila-
kukannya ke bagian lereng bukit dimana dia meninggalkan kudanya. Begitu sampai
di tempat kuda tertambat, lelaki ini langsung melepaskan ikatan kuda, melompat
ke punggung binatang ini dan me-macunya sekencang-kencangnya.
Lancang Item tahu kalau bahaya maut tengah menghadangnya. Meskipun demikian dia
berusaha menyelamatkan diri dengan mengeluarkan bisa ular yang mulai menjalar di
tubuhnya. Dengan sebilah pisau kecil dia menoreh dua patukan ular lalu
memencetnya kuat-kuat hingga darah me-nyembur. Apa yang dilakukan Lancang Item
hanya mampu menunda kematiannya beberapa ketika. Ditengah jalan, jauh sebelum
mencapai ge-dung kediaman hartawan Tambakjati Kalidiningrat, lelaki ini
menghembuskan nafas. Ketika kuda sampai di pintu gerbang halaman kediaman
Tambakjati, binatang ini hanya tinggal membawa mayat penunggangnya!
Hartawan Tambakjati jatuh terduduk di kursi nya dengan kedua tangan ditutupkan
ke wajahnya yang pucat. Istrinya telah lebih dulu jatuh pingsan dan dibawa masuk
ke dalam kamar, dibaringkan diatas tempat tidur. Penyebab nya tidak lain ketika
kedua suami istri ini menerima kabar kematian Lancang Item, yang berarti sangat
sulit bagi mereka 13 DEWI DALAM PASUNGAN
untuk dapat menemukan kembali puteri mereka yang dipasung dan dikucilkan. Karena
kecuali Lancang item, tak ada lagi orang lain yang mengetahui dimana Yuniarti
disembunyikan dan diasingkan!
14 DEWI DALAM PASUNGAN
TIGA M ALAM ITU hujan turun lebat sekali menyi-rami bumi. Suaranya menegakkan bulu
roma. Apalagi sesekali terdengar guruh menggelegar disertai kilat menyambar.
Dinginnya udara bukan alang ke-palang terutama di daerah yang tinggi seperti
bukit Jatipadang.
Dalam keadaan cuaca seperti itu lapat-lapat terdengar suara seperti orang
menyanyi. Lagu yang dibawakannya sama sekali tidak berujung pangkal.
Dan nyanyian itu seringkali diseling oleh suara ta wa cekikikan atau suara
seperti orang menangis pi lu. Suara nyanyian ini datang dari arah gubuk tan pa
dinding beratap rumbia. Dan yang nyanyi bu kan lain adalah gadis malang dalam
pasungan. "Hujan. . . hujan air. . . .
Bukan hujan batu. . . .
Bukan hujan duit hik. . . hik. . . hik!
Bukan hujan tai. . . Ha. . . ha. . .ha!
Hujan. . . hujan . . . turun biar lebat. . .
Lebih lebat! Biar hanyut tempat ini
Biar aku sampai ke sorga. Hik. . . hik!
Apa sih sorga.. .. "
Hujan . .. Mengapa hujan air"
Mengapa tidak banjir"
Aduh. . aku ingin kencing. .. !
Mau beser aih . . . Hik.. . hik... hik!"
Yuniarti goyang-goyangkan kedua kakinya yang dijepit balok kayu, lalu kencing di
tempat itu. "Ih. . . panas. . . Kencingku panas!" si dara gila berteriak. Sesaat kemudian
dia kembali berteriak: "Uh. . . . dingin. . . udara dingin! Sedingin di kuburan"
Tapi mati bohong bohongan! Mati pura-pura! Hik. . hik. . hik! Orang orang tolol
itu ber-main sandiwara. Aku dibilang mati. Padahal ini aku! Masih hidup!
Tolol. . . tolol. ..." Sang dara hentikan nyerocosnya dibawah hujan lebat itu.
Dia ingat sesuatu. "Heh. ....?" Di mana mereka
... Dimana mereka.... ?"
Gadis itu garuk-garuk rambutnya dan memandang berkeliling. Lalu dia berseru
sambil bertepuk tangan tiada henti.
"Sahabat-sahabatku! Dimana kalian! Malam celaka ini dingin sekali. Aku
kedinginan! Apa kalian juga kedinginan. ... Hai! Lekas datang kemari.
15 DEWI DALAM PASUNGAN
Mari kita tidur berhimpit-himpitan! Biar hangat
... Sahabat-sahabatku! Dimana kalian"!"
Didalam gelapnya malam, dibawah hujan lebat tiba-tiba meluncur dua sosok tubuh
panjang. Sesaat kemudian dua sosok tubuh yang melata di tanah ini naik ke atas lantai
jati, terus meluncur ke pangkuan Yuniarti.
Sang dara bersorak gembira.
"Aih. . . kalian kebasahan! Hujan jahat! Mari kukeringkan tubuh kalian!"
Dalam gelapnya malam dan dinginnya udara Yuniarti lalu mengusap-usap sosok tubuh
dua ekor ular kobra hutan. Kedua binatang ini merunduk bergelung di pangkuan
sang dara, tak bergerak-gerak, diam kesenangan.
"Nah. . nah! Sekarang kalian berdua pasti sudah enak kehangatan. Sekarang kalian
boleh tidur! Kita boleh tidur sama-sama! Besok bangun pagi...
pagi. Bukankah kita harus ke sekolah. ... "!
Hik. . . hik. . hik! Hanya manusia - manusia tolol-lah yang pergi berguru ke
rumah Romo! Kita tidak mau jadi orang tolol! Jadi tak usah belajar.
Lagi pula . . . hik. . . hik . . hik! Mana ada tempat belajar untuk kalian dua
sahabatku" Tempat penga-jianpun tidak ada bagi kalian berdua. . . ! Hik. . .
hik.. hik! Ha.... ha.. ha... !"
Yuniarti lalu merebahkan tubuhnya diatas lantai kayu jati yang lembab dan kotor.
Kedua matanya dipincingkan. Tapi dari sela bibirnya terdengar suara nyanyian
perlahan. Dua ekor ular kobra hutan bergelung diatas perutnya. Ketika dara ini
hampir tertidur, kedua binatang itu perlahan-lahan bergerak. Satu meluncur
disepanjang tangan kiri sang dara, satunya di sepanjang lengan kanan.
Sampai di ujung tangan, beberapa saat lamanya kedua binatang ini menjilati
telapak tangan Yuniarti hingga membuat gadis ini tambah mengantuk dan mulai
tertidur pulas. Dua ekor ular kobra hutan menggerakkan kepala masing-masing ke
arah jari-jari tangan si gadis. Keduanya mula-mula menjilati ujung-ujung lima
jari Yuniarti. Lalu dengan gerakkan sangat perlahan hingga tidak menjagakan si
gadis dari tidurnya apalagi sampai merasa kesakitan, dua ular kobra ini mematuki
satu demi satu ujung-ujung jari Yuniarti. Demikian dilakukan binatang-binatang
ini berulang kali sampai sepuluh jari tangan si gadis tampak berwarna kehijauan
dan membengkak.
Keesokan paginya ketika si gadis terbangun dua ekor ular itu tak ada lagi di
gubuk. Sang dara 16 DEWI DALAM PASUNGAN
sejenak memperhatikan lima jari tangannya yang membengkak. Pada setiap ujung
jari kini tampak adanya lima titik kecil sebesar ujung lidi berwarna kehijauan.
Karena otaknya tidak waras, gadis ini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi
dengan tangannya. Apakah jari-jari tangan itu sebelumnya memang besar bengkak
seperti mengambang, ringan dan ada hawa panas aneh menjalar dalam pembuluh-
pembuluh darahnya.
Kejadian kedua ular itu mematuki jari-jari Yuniarti berlangsung selama tujuh
malam berturut turut. Keduanya selalu mematuk pada tanda bintik hijau yang sama.
Pada malam ke tujuh, menje-lang pagi, secara aneh sepuluh jari tangan yang
bengkak tampak berubah kempis dan kembali ke bentuk semula. Hanya titik titik
hijau pada masing-masing ujung jari yang tidak mau hilang dan tampak lebih
hijau, lebih jelas. Hawa panas yang selama ini menguasai tubuh Yuniarti tujuh
hari tujuh malam berangsur surut namun suhu badan sang dara kini sedikit tetap
lebih panas dari sebelumnya.
Hawa panas ini membuat sepasang matanya seperti mengeluarkan sorotan aneh yang
akan menggetar-kan setiap siapa saja berani memandangnya.
Pada hari ke delapan, yakni sehari setelah ular-ular itu mematuki jari-jari
tangan sang dara tujuh malam berturut-turut, waktu bangun dari tidurnya Yuniarti
dapatkan kedua "sahabatnya" telah tegak setengah badan di depan gubuk. Sikap dua
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ekor ufar ini agak aneh, tidak seperti biasanya bergerak lincah kian kemari.
Binatang-binatang ini tegak menatap ke jurusan Yuniarti dengan sepasang mata
merah tak berkesip. Kepala melebar pipi dan ditarik kebelakang. Mulut menganga
memperli-hatkan lidah hijau berbisa' dan gigi-gigi runcing mengerikan.
"Hai! Mengapa kalian diam-diam saja disitu"
Apa kalian sudah minum kopi. . . . " Hik. . . hik hik... ! "Yuniarti menegur
lalu tertawa cekikikan.
Dua ekor ular kobra keluarkan suara mendesis Tubuh yang tegak tertarik ke
belakang. Tiba-tiba keduanya melesat ke arah Yuniarti. Jelas kedua binatang ini
melancarkan serangan. Mematuk ke arah dada dan leher sang dara!
Karena otaknya tidak waras Yuniarti sama sekali tidak mengetahui bahaya yang
mengancamnya. Malah gadis ini tertawa-tawa gembira, gerak-gerakkan kedua tangan, goyangkan
kepala seperti menari!
Ketika kepala dua ekor ular yang mematuk hanya tinggal seujung jari dari sasaran
yang diserang, 17 DEWI DALAM PASUNGAN
mendadak dua kepala itu tampak berhenti mematuk dan tertarik jauh ke belakang.
Tapi hanya sesaat saja. Di lain kejap dua ekor ular kobra itu kembali menyerang.
Dan begitu patukan mereka hanya tinggal sedikit saja lagi akan menghunjam di
kepala atau bagian tubuh sang dara, gerakan mereka berhenti, kepala masing-
masing ditarik lagi kebelakang. Demikian berulang kali. Terus menerus.
Semakin lama kelamaan gadis ini merasa letih dan turunkan kedua tangannya.
"Aku capai! Mari kita istirahat sebentar sambil minum kopi hangat dari angin.
Hik.. hik. .. hik.. !
Tapi sepasang ular kobra hutan tidak mau berhenti. Terus saja pulang balik
mendesis dan menyerang.
"Hai! Kalian tidak dengar apa yang aku bilang"
Yuniarti membentak karena mulai jengkel.
Lalu dia jambak-jambak rambutnya sendiri.
Sssssssssss...... I
Sepasang ular mendesis. Uap hijau menyambar.
Lalu keduanya kembali menyerang berulang kali hampir tiada henti.
"Sahabat-sahatku! Kalian pasti sudah gendeng!
Jangan bikin aku marahi"
Ssssssssss....!
Dua ekor ular kembali mendesis dan melanjutkan serangan-serangan,
"Sahabat-sahabat kurang ajar! Kalian tidak ku-gebuk kalian tentu belum kapok!"
Habis berkata begitu Yuniarti kibaskan tangan kanannya. Kali ini lebih keras
karena lebih marah.
Dan seperti tadi lima sinar hijau tampak melesat keluar dari lima jari
tangannya. Sekali ini lebih terang. Yuniarti tertawa cekikikan. Sesaat itu ular
betina disamping kiri terdengar mendesis dan mematuk ganas. Yuniarti meninju
dengan tangan kirinya. Selarik sinar hijau menderu kearah ular kobra betina.
Binatang ini rundukkan kepalanya ke tanah lalu meluncur bergabung dengan ular
kobra jantan. Dari satu arah keduanya kemudian sama-sama menyerang. Yuniarti kibaskan
tangannya kiri kanan.
Sepuluh larik sinar hijau berkiblat!
Dua ekor ular kobra hutan cepat jatuhkan diri.
Larikan sinat hijau melesat menghantam sebatang pohon. Terjadilah satu hal yang
luar biasa. Lima lobang kecil tampak menembus kulit pohon. Dan batang pohon itu
sendiri serta merta berubah menjadi kehijauan! Seperti layaknya orang gembira,
kedua ular kobra meliuk-liukkan tubuh masing-masing ke atas, berputar-putar dan
menggoyangkan 18 DEWI DALAM PASUNGAN
kepala tiada henti. Kedua binatang ini kemudian meluncur kepangkuan Yuniarti,
menggelung tubuh sang dara dan menjilatinya dengan mulut dan lidah-nya.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dan dialami oleh Yuniarti si gadis enam
belas tahun dalam pasungan dan berontak tidak waras itu"
Ternyata dua ekor ular kobra hutan bukanlah ular-ular biasa. Kedua binatang ini
secara aneh dan sulit dipercaya telah memindahkan racun ganas yang ada di dalam
tubuh mereka ke dalam peredaran darah si gadis. Setelah tujuh kali terjadi
pemindahan racun itu maka racun telah menjadi satu dalam da-da Yuniarti dan
setiap saat dia memukul, mengibaskan atau menjentikan jari-jari tangannya maka
larikan-larikan atau gulungan sinar hijau yang me-ngandung racun mematikan akan
melesat ke luar dari tubuhnya melalui sepuluh lobang kecil pada ujung-ujung jari
tangannya! Hal ini tidak mungkin terjadi kalau dua ekor ular kobra hutan hijau
itu bukanlah sepasang binatang sakti!
Yuniarti tertawa cekikikan karena geli ketika sepasang ular kobra menjilati
leher dan mukanya.
Pada saat itulah tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan tak berapa jauh dari
pohon yang kini menjadi mati akibat endapan racun, tersibak dan seorang lelaki
tua bertubuh tinggi semampai, berjanggut, berkumis dan berambut putih muncul
sambil me-napp tajam ke arah Yuniarti.
"Ketika memukul kedua matanya belum kelihatan hijau. ..." orang tua itu
membatin. "Tapi sinar yang keluar dari jari-jari tangannya sudah cukup mantap. Mungkin
seminggu - dua lagi racun itu baru benar-benar dapat berbaur sempurna dalam
darahnya. ..." Sambil terus memandang ke arah sang dara orang tua ini usap-usap
janggutnya. "Anak malang. . . Tak banyak yang dapat kulakukan untukmu. Mudah-
mudahan kau salamat dan ada seseorang yang mampu mengobati penyakitmu. Ya Tuhan,
ya Gusti Allah lindungi anak itu. Aku mohon disembuhkan dia dari segala
penyakitnya " Sehabis berkata begitu orang tua ini tepukkan kedua tangannya. Ternyata seperti
Yuniarti, orang tua ini juga memiliki sepuluh jari tangan yang ujung ujungnya
bertanda titik berwarna hijau!
"Anak-anak. . . ! Tugas kalian sudah selesai!
Kita harus segera pergi dari tempat ini. Jika kalian ingin bertemu dengan gadis
itu hanya sekali-sekali saja bisa kalian lakukan. Ayo ikut aku. . . !"
19 DEWI DALAM PASUNGAN
Orang tua itu berhenti bertepuk lalu angkat kedua tangannya lurus-lurus ke
depan. Dua ekor ular kobra mencium wajah Yuniarti terakhir kali lalu kedua
binatang ini meluncur ke atas si orang tua, naik ke atas kaki dan tubuhnya,
terus bergelung pada lengan kanan. Ketika berjalan pergi orang tua itu tak
ubahnya seperti memakai sepasang gelang hijau.
Melihat dua sahabatnya dibawa pergi, Yuniarti berteriak marah. Dia melompat
bangun. Tapi sepasang kakinya terbelenggu dalam jepitan balok besar.
"Janggut putih
! Hai! Orang tua jelek! Kau
bawa kemana sahabat-sahabatku! Hai... ! Setan. ..
Kambing tua! Mereka bukan anak-anakmu! Mengapa menyebut mereka anak-anak"!
Apakah kau kawin dengan ular"! Hik. . hik! Hai kambing tua!
Bawa kemari sahabat-sahabatku itu!"
Orang tua berjanggut putih tentu saja mendengar teriakan teriakan Yuniarti.
Namun dengan tenang dia melangkah terus ke arah semak belukar di mana tadi dia
menyembul. Ketika dia menyibak semak belukar itu Yuniarti kepalkan jari-jari
tangan kanannya lalu sambil memaki-maki dia tinjukan tangan itu ke arah orang
tua berambut putih.
Wuss! Sinar hijau melesat tebal dan jelas tanda yang memukul mengerahkan tenaga dan
berada dalam keadaan marah. Meskipun tidak melihat tapi orang tua itu tahu kalau
dirinya mendapat serangan sangat berbahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke
tanah. Sinar hijau menghantam semak belukar.
Serta merta semak belukar ini menjadi rambas dan mati setelah terlebih dulu
berubah menjadi hijau!
"Ah, hebat sekali!" memuji si orang tua yang menyaksikan kejadian itu. Lalu dia
gulingkan diri dan dilain kejap tak kelihatan lagi di tempat itu.
Tinggal kini Yuniarti yang terus berteriak-teriak.
Ketika suaranya menjadi parau baru gadis ini berhenti berteriak dan kini ganti
menangis terisak-isak.
20 DEWI DALAM PASUNGAN
EMPAT R ADEN ANCORO MURTI menghisap rokok daun ganja dalam-dalam. Sepasang matanya mere-
dup seperti orang mengantuk. Wajahnya pucat kuyu. Rokok itu membuatnya merasa
nikmat dan mengendurkan rasa dinginnya udara. Sambil menghembuskan asap rokok
dia menatap ke arah tiga ekor kuda yang tertambat dibawah pohon, disirami hujan
lebat yang turun sejak beberapa waktu lalu.
Lalu dia berpaling pada dua orang pengiring yang tegak di sebelah kirinya. Saat
itu mereka berteduh dibawah sebuah teratak reyot di timur hutan dimana bukit
Jatipadang terletak. Lalu sambil mengusap-usap tombak, busur dan bumbung panah
pemuda itu berkata. Suaranya datar lesu karena dirinya lebih banyak dipengaruhi
oleh rokok ganja yang dihisapnya.
"Sial betul nasib kita berburu sekali ini! Jangan kan babi hutan, kecoak
busukpun tidak bertemu!"
Gento, pengiring yang tegak disampingnya menganggukkan kepala. Sambil mengusap
dagu dia menjawab: "Mungkin ini gara-gara cuaca yang buruk Raden
"Aku tidak percaya! Apa sangkut pautnya cuaca buruk dengan segala babi hutan
atau celeng keparat! Bukankah mereka tidak akan keluar dari hutan ini walaupun
ada hujan lebat"! Dan kau Jamaning Kau yang membawa kesialan pertama
kali!" Pengiring bernama Jamaning kerutkan kening.
"Saya tidak mengerti maksud Raden. .. "
"Dua hari lalu aku minta kau menghubungi gadis desa bertubuh sekal bernama
Taminten itu! Kau tak berhasil menemuinya, padahal pondok peristirahatan di Kaliwongso sudah
disiapkan untukku bersenang-senang dengannya! Apa itu nama-nya tidak sial "!"
Jamaning terdiam sesaat. Namun kemudian memberi jawaban. "Waktu saya datangi
kerumah-nya, gadis itu tak ada. Maaf Raden, saya mendengar kabar tidak enak.
Ternyata Taminten tidak hanya pergi dengan Raden, tapi juga sering dibawa lelaki
lain. Maaf Raden, gadis itu tidak lebih dari seorang pelacur. . . . Saya kawatir
nanti Raden terkena penyakit...."
"Sudah lama aku berhubungan secara diam-diam dengan Taminten. Ternyata aku tak
pernah 21 DEWI DALAM PASUNGAN
sakit sampai hari ini!" menyahuti Ancoro Murti.
Jamaning kembali terdiam. Gento kini yang ganti bicara. "Maaf Raden, jika Raden
mau saya bi-sa mencarikan perempuan lain yang tak kalah cantik dan mulus dari
Taminten " "Mengapa baru sekarang kau berkata begitu"
Setelah aku setengah mati kedinginan di tempat celaka ini"!"
"Sebaiknya kita pulang saja Raden. Dalam udara seperti ini kita tak akan
mendapatkan binatang perburuan.
Ancoro Murti diam saja. Dia menghisap dalam-dalam rokok ganjanya yang tinggal
kecil hampir membakar jarinya lalu mencampakkan puntung'
rokok ke tanah. Dia memberi isyarat pada Gento.
"Nyalakan sebatang rokok baru untukku. .. "
"Maaf Raden. . . . Saya dipesan oleh ayah Raden agar mengawasi Raden
"Maksudmu"!" tanya Ancoro Murti. Untuk pertama kalinya kedua matanya yang kuyu
terbuka lebar. "Ayah Raden memesan agar Raden jangan terlalu banyak merokok ganja. Bahaya bagi
Keseha-tan Raden... . "
"Ayahku! Ayahku!" ujar Ancoro Murti sambil bantingkan kakinya ke tanah. "Orang
itu terlalu banyak peraturan. Tetapi tidak dikatakan langsung padaku. Harus
lewat orang lain! Harus lewat kau!
Sudah! Berikan rokok itu!"
"Saya tidak berani melanggar pesan ayamu Raden
" "Jadi kau berani menolak permintaanku Gento"! Saat ini kau berhenti jadi
pembantuku! Kau boleh pergi
!" Mendengar itu Gento jadi kecut. Orang ini bimbang sesaat. Akhirnya dia mengeruk
sakunya, mengeluarkan kelintingan rokok ganja, menyala-kannya lalu memberikannya
pada Raden Ancoro Murti. Ketika pemuda ini siap menyedot rokok ganja itu, tiba-
tiba dilihatnya ada sesuatu bergerak dibalik semak belukar belasan langkah di
hadapannya. "Aku melihat sesuatu! Jangan ada yang bergerak!" pemuda itu berkata setengah
berbisik. Tangannya bergerak menyiapkan tombak. Tapi menurut perhitungannya,
lemparannya tak akan menemui sasaran. Semak belukar itu berada diluar jang-
kaitan lemparan tombak. Maka dia cepat-cepat mengambil anak panah dan busur.
Benda yang bergerak di balik semak belukar 22 DEWI DALAM PASUNGAN
makin lama makin jelas. Dan ternyata adalah se-ekor rusa coklat bertotol-totol
putih. Tanduknya masih pendek tanda binatang ini masih muda.
Raden Ancoro rentangkan busur.
"Bidik yang tepat Raden. Arah bagian lehernya. ..." bisik Jamaning.
Busur di rentang, jari-jari yang menjepit ekor anak panah dilepas. Anak panah
melesat ke arah semak belukar dimana rusa muda tegak mengen-dap-endap. Suara
disingan anak panah yang sampai ke telinga rusa yang berpendengaran cukup tajam
itu, membuat binatang ini sesaat tegakkan kepala lalu melompat. Anak panah hanya
sempat menye-rempet telinga rusa sebelah kiri. Binatang ini mengeluarkan pekik
kesakitan lalu melarikan diri!
'Kurang ajar! Ini gara-garamu Jamaning!
Kalau kau tidak menggangguku dan mengajari segala pasti sudah kutancap leher
binatang itu!"
Raden Ancoro Murti memaki jengkel. Lalu dia melompat keluar dari bawah teratak,
berlari ke arah kudanya. Dia memutuskan untuk mengejar rusa yang lari itu.
"Raden. . . . ! Masih hujan lebat!" berseru Gento. Tapi Ancoro Murti nama mau
mendengar. Pemuda ini sudah duduk di punggung kudanya.
Mau tak mau Gento dan Jamaning terpaksa pula lari ke kuda masing-masing dan
mengejar si pemuda yang telah lebih dulu membedal kudanya ke arah larinya rusa
muda tadi. ******** "Raden! Binatang itu lari ke arah bukit Jatipadang!" berseru Gento ketika
dilihatnya rusa yang mereka kejar melarikan diri ke jurusan barat, memasuki kaki
bukit Jatipadang.
"Aku tahu dan aku akan kejar!" jawab Raden Ancoro Murti.
"Jangan dikejar Raden! Jangan memasuki bukit itu!" berteriak Jamaning.
"Kalian berdua ini terlalu banyak memberikan aturan padaku!" Dengan marah Raden
Ancoro Murti hentikan kuda dan memandang membeliak pada kedua pengiringnya.
"Maaf Raden. Jangan salah sangka," kata Jamaning. "kami tidak bermaksud melarang
ataupun memberikan aturan ini itu. Tapi ketahuilah bukit itu tak pernah
didatangi orang karena angker.
Lagi pula jalan ke atas sana sangat sulit. Banyak 23 DEWI DALAM PASUNGAN
pohon-pohon berduri. ..."
"Kalau kalian takut pada pohon berduri, si-lahkan pulang saja! Aku tidak butuh
manusia-manusia pengecut macam kalian!"
Raden Ancoro siap membedal kudanya kemba-
li. Tapi Gento cepat memegang leher kuda tunggangan si pemuda dan berkata. "Kami
tidak takut pada pohon-pohon berduri itu Raden. Sungguh mati tidak. Tapi yang
kami takutkan ialah bahwa di bukit Jatipadang ada silumannya!"
"Siluman" Aku tidak takut!"
"Betul Raden. Ada silumannya. Siluman perempuan!" menegaskan Jamaning.
"Aku bilang tidak takut! Apalagi cuma siluman perempuan! Aku ingin bertemu
dengannya. Kalau dia cantik malah aku mau tidur bersamanya!"
Pucatlah wajah kedua pengiring itu mendengar ucapan majikan mereka yang dianggap
sangat tabu itu. Karena tak bisa berbuat lain, ketika Ancoro Murti meninggalkan
tempat itu keduanya terpaksa mengikuti. Ketiga orang ini bergerak menuju bukit
Jatipadang. Walaupun hujan sudah mulai reda tapi bukan berarti perjalanan menuju
ke bukit enak dan mudah. Dan rusa yang mereka kejar seperti memberi semangat,
karena sesekali binatang ini terlihat jelas di sebelah depan, lalu lari lagi
menuju atas bukit. Begitu seterusnya. Disatu tempat jejak rusa itu lenyap sama
sekali! "Sialan! Benar-benar sialan!" maki Ancoro Murti. Pakaiannya basah dan kotor
serta robek-robek dibeberapa bagian karena tersangkut duri pepohonan. Kulit
tubuhnya juga tampak tergurat luka. Tapi rokok ganja masih mencantel disela
bibirnya. "Kita tak mungkin lagi mengejar rusa itu Raden. Binatang itu lenyap. Dan jalan
ke sebelah atas bukit semakin sulit. Saya kawatir kalau tidak turun sekarang,
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum senja kita tak akan sampai ke bawah... "
Raden Ancoro Murti tidak perdulikan kata-kata Gento. "Binatang itu terluka! Dia
pasti tak lari jauh dan mendekam disekitar sini. Pasang mata dan telinga kalian
baik-baik! Sekali lagi ada yang mengatakan agar kita turun kebawah atau pulang
saja akan kuhantam dengan tombak!"
Ancaman itu memang membuat kecut Gento
dan Jamaning. Tetapi sebenarnya kedua pengiring ini jauh lebih takut pada cerita
yang mereka dengar bahwa di bukit Jatipadang itu terdapat siluman yang suka
membunuh mati siapa saja seenak perut-24 DEWI DALAM PASUNGAN
nya! "Raden. .. " Gento membuka mulut kembali.
"Bangsat! Diam kau!" hardik Ancoro Murti.
"Aku mendengar suara sesuatu "
Raden Ancoro Murti pasang telinga tajam-tajam. Dua pengiringnya mengikuti dan
wajah mereka tampak semakin pucat. Sayup-sayup mereka mendengar suara orang
menyanyi. Suara perempuan!
"Si. . siluman perempuan itu. ..." bisik Gento.
"Pasti . . . pasti. ..." balas berbisik Jamaning.
Selagi kedua pengiring itu dilanda ketakutan, majikan mereka Raden Ancoro Murti
sudah turun dari kudanya, menyibak semak belukar dan melangkah menuju bukit
sebelah atas. "Raden. . . . Jangan. . . . ! Berhenti!" seru Jamaning'
"Kembali!" berteriak Gento.
Tapi Ancoro Murti melangkah terus bahkan lenyap dibalik semak belukar.
"Kita pulang saja!" ajak Gento.
Mauku begitu " kata Jamaning, "tapi
kalau terjadi apa-apa dengan putra Tumenggung itu kita berdua pasti akan
digantung!"
"Kalau begitu kita harus mengejarnya. . .!"
Akhirnya kedua pengiring itu terpaksa mengikuti Raden Ancoro Murti yang ada di
sebelah depan, dalam keadaan basah kuyup, pakaian serta lengan tergurat duri-
duri pepohonan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk,
membuatnya mual dan hampir muntah.
"Setan, bau busuk apa ini. . . !" maki Ancoro Murti. Saat itu kedua pengiringnya
telah berada di sampingnya. Keduanya menutup hidung tak tahan bau busuk.
Satu tangan menutup hidung, satu lagi menyibak semak belukar, Ancoro Murti
melangkah maju.
Saat itulah terdengar kembali nyanyian tadi. Dekat sekali. Namun bukan suara
nyanyian itu yang membuat si pemuda seperti dipantek kedua kakinya di tanah
hutan yang becek, melainkan apa yang disaksikannya bertebaran beberapa langkah
di hadapannya! 25 DEWI DALAM PASUNGAN
LIMA R " A. . . . RADEN mayat-mayat itu!
Masya Allah! Bau busuk dan mengerikan. Kita segera pergi saja dari sini raden
" bisik Gento
dengan lutut gemetar, tubuh menggigil dan lidah hampir kelu.
Di hadapan ke tiga orang itu berhamparan malang melintang hampir selusin mayat
manusia yang kebayakan sudah sangat rusak, menebar bau busuk luar biasa,
membentang pemandangan mengerikan. Beberapa diantara mayat-mayat itu bahkan
hanya tinggal tulang belulang dan tengkorak saja. Entah habis digerogoti
binatang hutan, entah dipatuk burung-burung pemakan mayat!
"Betul sekali Raden. Mari kita tinggalkan tempat angker celaka ini. Lihat...
mayat-mayat busuk itu. Daging mereka yang masih utuh tampak berwarna hijau aneh
" Raden Ancoro Murti belum lagi sempat mem-
buka mulut berikan jawaban, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara nyanyian
perempuan. Yang mampus biarlah mampus
Yang sudah mati biarlah mati
Yang barusan datang mencari mati
Hendak lari kaki dipantek
Hutan menjadi saksi kematian
Hutan menjadi pembasuh jenazah
Kaki dipantek tak bisa lari
Hik.. .hik... hik !
"Raden. . . Lekas lari!" bisik Gento lagi. Tapi anehnya dia tak mampu
menggerakkan kedua kakinya. Demikian juga kawannya Jamaning sedang Ancoro Murti
seperti orang kena sirep memandang tak berkedip pada sosok tubuh dara yang duduk
dipasung di dalam gubuk tanpa dinding
'Gento, Jamaning. ..." terdengar suara Ancoro Murti.
"Kalian lihat anak perawan itu. . . ."
"Itu bukan anak perawn Raden! Itulah siluman yang saya katakan tadi, ..." ujar
Gento dengan suara tercekat
"Manusia tolol!" maki ancoro Murti dengan suara perlahan mendesis. "Jelas-jelas
itu seorang anak gadis! Matamu terbalik menyebutnya siluman Lihat! Gadis itu
berparas cantik! Hanya sayang rambut dan pakaiannya sangat kotor. Dan lihat 26
DEWI DALAM PASUNGAN
lagi! Kedua kakinya dipasung pada balok besar!
Kasihan! Aku akan menolongnya! Melepaskan pasungannya lalu memandikannya
disungai! Lalu memboyongnya ke pondok peristirahatan di Kaliwongso...!"
"Raden! Jangan bicara dan berpikir yang bukan-bukan. Ini tempat angker! Siluman
bisa meru-bah diri seperti apa saja! Seperti gadis yang dipa-
'sung itu.... Lekas kita pergi dari sini Raden....!"
"Tidak aku akan melepaskan gadis itu. Lalu memboyongnya.... !"
"Demi Tuhan! Dia tidak pantas bagimu Raden!
Kalaupun dia memang manusia, lihat tubuhnya yang kotor dan baunya sebusuk mayat
yang bertebaran. Kalau Raden masih menganggapnya manusia, maka dia adalah gadis
gila! Perawan edan!"
Dari arah pondok beratap rimba tiba-tiba meledak suara tawa melengking
menggidikkan bulu roma yang diakhiri dengan satu bentakan keras.
"Yang barusan mengatakan tubuhku sebusuk mayat! Yang barusan mengatakan aku
gadis gila, perawan edan! Cepat datang kepadaku!"
Yang membentak adalah sang dara dalam pasungan. Wajahnya yang cantik tapi
terselimuti debu dan pucat nampak bengis. Sepasang matanya berputar liar
Jamaning merasakan nyawanya terbang. Sekujur tubuhnya menggigil, bukan karena
dinginnya udara di tempat itu atau dingin karena dia kehuja-nan, tapi karena
ketakutan. Dialah tadi yang mengatakan gadis itu gila, busuk, perawan edan.
Ketakutan setengah mati Jamaning tak kuasa bergerak dari tempatnya tegak di
balik semak belukar.
"Tidak mau datang!" sang dara mendengus.
Mulutnya menyunggingkan senyum aneh. "Kalau'
begitu biar maut yang menjemputmu!" Habis berkata begitu sang dara jentikkan
jari telunjuk tangan kanannya.
Satu sinar hijau setipis lidi berkiblat. Menerobos udara dingin dengan kecepatan
kilat, meram-bas semak belukar. Di lain kejap terdengar pekik Jamaning. Orang
itu terpental roboh, menggeletak di tanah hutan yang becek tak bergerak lagi.
Sekujur tubuhnya berubah menjadi hijau. Pada keningnya tampak sebuah bintik
hijau pekat! "Gusti Allah!" desis Gento dan jatuh terduduk di samping mayat kawannya saking
takutnya. Mukanya pucat pasi. Ancoro Murti sendiri tak kalah pucat wajahnya. Kalau tadi
dalam hatinya ma-27 DEWI DALAM PASUNGAN
sih ada keinginan yang bukan-bukan terhadap sang dara kini nafsu itu lenyap sama
sekali berubah menjadi rasa ngeri. Ingin dia kabur dari tempat itu detik itu
juga tetapi aneh, seperti yang diucapkan sang dara dalam nyanyiannya, kedua
kakinya laksana dipantek tak bisa bergerak apalagi lari!
Kembali sang dara di dalam pondok keluarkan suara tawa cekikikan. Saat itu hujan
telah reda dan beberapa bagian dari puncak bukit termasuk di dekat-dekat pondok
disaput oleh kabut tipis, membuat tambah seramnya suasana.
"Yang tadi mengatakan aku bukan perawan ta-pi siluman! Giliranmu maju ke
hadapanku!"
Gadis di dalam pondok berteriak.
Ancoro Murti berpaling pada pengiringnya yang masih duduk menjelepok di tanah.
"Celaka kau Gento. . . . Kau tadi yang bilang gadis itu siluman. Padahal "
"Ra. . . Raden. . . Tolong. . . tolong saya.
Si. . siluman itu pasti akan membu
" "Tidak ada yang dapat menolongmu anak manusia!" terdengar suara dari arah
pondok. "Mulut kamu harimau kamu! Mampuslah!"
Belum habis Gento menyelesaikan ucapan keta-kutannya, kembali sinar hijau
berkelebat. Kali ini dua larik sekaligus. Sinar-sinar maut yang ganas ini
melesat hanya satu jengkal dari tubuh Ancoro Murti, terus melabrak tubuh Gento.
Satu menghantam dada, satu lagi menembus leher!
Dua titik hijau tampak pada dua bagian tubuh itu. Gento sendiri terbanting ke
tanah. Ajalnya telah sampai duluan sebelum punggungnya menyen-tuh tanah. Sekujur
badannya sampai pada bagian matanya yang berwarna putih membeliak tampak menjadi
hijau! Melihat kejadian ini Raden Ancoro Murti tak kuasa lagi menahan takutnya. Dia
segera kabur meninggalkan tempat itu tetapi lagi-lagi kedua kakinya tak mau
diajak berkompromi! Kedua kaki itu benar-benar seperti di pantek ke tanah!
Selagi dia dilanda ketakutan setengah mati seperti itu dari arah pondok
kedengaran suara sang dara, menggema tantang.
"Orang muda! Sekarang giliranmu datang keha-dapanku! Ayo jalan!"
Sungguh aneh! Kalau tadi untuk lari Raden Ancoro Murti tidak sanggup
menggerakkan kedua kakinya sedikitpun, tapi kini seolah-olah berada dibawah satu
pengaruh kekuatan gaib, pemuda ini perlahan-lahan melangkah menuju pondok,
datang 28 DEWI DALAM PASUNGAN
ke hadapan sang dara.
"Berhenti disitu!" sang dara memerintah la-lu tertawa dan jambak-jambak
rambutnya. Kedua matanya lagi-lagi berputar liar.
Ancoro Murti berhenti lima langkah di hadapan pondok. Berhadap-hadapan begitu
dekat dengan sang dara yang duduk terpasung, Pemuda ini dapat melihat wajah yang
cantik dibalik semua kekotoran dan bau busuk yang amat sangat.
"Hemm. . . tampangmu lumayan. Lebih bagus dari kucing peliharaanku di rumah
dulu. Hik. . . hik. . . hikl Bukankah kau yang tadi mengatakan ingin memboyongku ke satu pondok
di Kaliwongso.... "!"
Ancoro Murti tak berani membuka mulut.
Tak berani menjawab.
"Ayo jawabi" sentak sang dara dalam pasungan
"Maksud saya tadi. . . . Saya tidak bermaksud jahat.Saya hanya bicara main-main.
.. Maafkan kalau. ..."
Tawa sang dara membuat Ancoro hentikan ucapannya. "Main-main. . . . Kau pasti
sudah terlalu sering mempermainkan orang-orang perempuan! Pasti! Hik. . hik! Aku
dapat melihat nafsu bejat tersembunyi dalam pancaran kedua matamu yang ketakutan
itu! Aku dapat mencium bau aliran darah kotor dalam tubuhmu!" Sang dara
mendongak ke atas sambil mencium-cium lalu kembali dia memandang dengan tajam
pada si pemuda.
"Apakah aku cantik menurutmu !"
"Kau. ... kau memang, memang cantik "
Jawab Ancoro Murti.
"Dan kau suka padaku...."!"
Si pemuda tak berani menjawab.
"Ayo buka mulut berikan jawaban!"
"Terus terang saya heran mendapatkan dirimu dalam keadaan seperti ini, di puncak
bukit terpencil ini. . . "
"Itu bukan jawaban yang kuminta! Pertanya-anku apakah kau suka padaku. ..."!"
"Sa.. . saya memang suka. ..."
"Hik. . hik. . . Kau suka padaku. Dan mau membawaku ke pondok di Kaliwongso itu.
Benar-Ancoro Murti anggukkan kepala. Mendadak sa-ja dia merasakan bulu kuduknya
tambah merinding. Lalu didengarnya dara dalam pondok berkata: "Bagus. . . bagus.
. . Aku suka pergi bersamamu ke pondok itu. Kita bersenang-senang disana. Nah,
kau pergilah duluan!"
Sang dara jentikkan telunjuk tangan kirinya.
29 DEWI DALAM PASUNGAN
Wuut! Ada sinar hijau pekat berkiblat. Raden Ancoro Murti tundukkan kepala. Tapi
terlambat. Sinar lurus hijau itu menyambar pertengahan keningnya.
Satu lobang hijau tampak berbekas di kening.
Pemuda ini terpelanting. Tubuhnya yang jadi mayat kelihatan menghijau begitu
tergelimpang di tanah yang becek.
"Tiga mayat lagi bertambah. . . . Tiga manusia lagi mampus di puncak bukit ini!
Hik. . hik. . hik!"
Dara dalam pasungan bertepuk tangan seperti anak kecil kegirangan. Tiba-tiba dia
berhenti tertawa dan berhenti bertepuk tangan. Kepalanya diputar setengah
lingkaran. Hidungnya kembang kempis.
Dia seperti mencium-cium sesuatu. Sepasang matanya berputar liar, sesekali
pandangannya menyambar ke arah pepohonan tinggi besar berdaun lebat di sekitar
pondok. Tiba-tiba dara ini kembali keluarkan tawa bergelak dan berseru: "Mayat
ke empati Mengapa bersembunyi"!" Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya
sekaligus! Terjadi hal yang dahsyat! Lima sinar hijau berkelebat menyilaukan,
menebar hawa panas, menyambar ke arah pohon paling besar dan tinggi di sebelah
kanan disertai suara menderu mengerikan!
Dari atas pohon terdengar suara seruan! Satu sosok tubuh melayang turun jungkir
balik. Ke-pulan asap membungkus bagian bagian pohon di sebelah atas. Ranting-
rantingnya tampak gosong tetapi berwarna kehijauan. Dedaunannya rontok
berguguran. Sebagian pohon itu kini tampak hijau sampai ke pertengahan batang!
"Hik. . . hikk. hikk. . . . Rasakan! Rasakan!
Itu bagian orang yang suka bersembunyi! Hik. .
hik. . hik! Hai . . Rupanya kau tidak mampus hah! Bersembunyi dimana kau
sekarang"!"
Sang dara angkat tangan kanannya. Siap untuk mengirimkan serangan jentikan lima
jari maut. Tiba tiba dari balik pohon yang kini berada dalam keadaan mati dan
berubah warna menjadi hijau melompat tubuh berpakaian serba putih, berambut
gondrong. "Tahan! Jangan serang! Aku bukan musuhmu!
Aku bukan kawan dari tiga orang yang barusan kau bunuh!" Si rambut gondrong
ternyata seorang pemuda bertampang keren tapi tampak seperti tolol dan jadi
kocak ketika dia garuk-garuk kepalanya.
Namun wajahnya sama sekali tidak dapat me-nyembunyikan rasa cemas.
"Kalau begitu kau siapa"! Setan! Monyet..."!"
30 DEWI DALAM PASUNGAN
"Aku bukan setan! Bukan monyet! Aku manusia seperti mu! Aku sahabatmu!"
"Aku tidak pernah punya sahabat selain dua sahabat berbaju hijau yang sudah lama
tidak muncul di tempat ini! Jangan mengada-ada! Jangan menipu!"
"Aku tidak menipu! Aku...."
"Ah! Kau layak mampus seperti tiga orang tadi!"
Lalu gadis itu jentikkan lima jari tangannya.
Seperti tadi lima larik sinar hijau berkiblat. Pemuda yang diserang berseru
kaget lalu jatuhkan diri ke tanah, berguling ke arah semak belukar. Sebelum dia
mencapai semak belukar, tiga larik sinar maut kembali memburunya.
Terpaksa pemuda itu membuang diri ke jurusan lain sambil pukulkan tangan kanan
ke depan. Satu gelombang angin keras menderu menyongsong tiga serangan sinar
hijau! Wutt. . . ! Wuttt! Wuttt!
"Celaka!" seru si gondrong ketika dia menyaksikan bagaimana pukulan saktinya
yang bernama "benteng topan melanda samudera" berhasil dite-robos oleh tiga sinar hijau yang
kemudian terus menderu ke arahnya! Tidak membuang waktu lagi di gondrong
berguling ke kiri. Di sini dia kembali menghantam dengan tangan kanan. Kali ini
terdengar suara bergaung disertai menyambarnya sinar putih perak menyilaukan dan
menebar hawa panas!
Luar biasa! Sinar-sinar hijau yang menyerang tetap saja tak dapat ditangkis
ataupun dibuat musnah!
Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga sinar itu menderu dahsyat menerobos sinar putih perak, lewat hanya dua
jengkal dari batok kepala si pemuda!
"Gila! Aku tak mau mampus konyol!" runtuk si pemuda dalam hati. Tubuhnya
digulingkan lagi.
Dalam satu gerakan sangat cepat, tubuhnya berkelebat lenyap sementara tempat itu
ditebar bau sa-ngit terpanggangnya pepohonan yang terkena han-taman sinar putih
dan larikan sinar hijau!
"Lari kemana kau" Lari kemana kau"! Apa kira kau bisa sembunyi. . . . "!" Si
gadis dalam pondok memandang berkeliling. Kedua tangannya diangkat tanda dia
siap untuk kembali lancarkan serangan maut. Namun sekian lama mencari-cari dia
tak berhasil melihat atau menduga-duga dimana pemuda tadi bersembunyi!
Sebenarnya orang yang dicarinya tidak berada jauh dari situ. Hanya saja si
pemuda kini berlaku 31 DEWI DALAM PASUNGAN
cerdik. Dalam keadaan terpasung seperti itu sang dara tidak akan dapat memandang
berkeliling sampai ke belakang. Karena itulah pemuda tadi kini sengaja
bersembunyi diatas cabang sebatang pohon yang terletak tepat di jurusan punggung
dara di dalam pondok. Lagi pula atap pondok itu tidak terlalu tinggi hingga
menutupi pemandangan-nya.
Di cabang pohon si pemuda geleng-geleng kepala sambil usap keringat dingin yang
membungkus wajahnya yang pucat.
"Benar-benar gila! Tapi sungguh luar biasa!
Belum pernah aku melihat pukulan sinar sakti seperti itu. Sanggup menerobos dan
tak dapat dibikin musnah oleh pukulan yang diajarkan guru! Pukulan
"benteng topan melanda samudera" dan pukulan
"sinar matahari"! Kalau tidak berlaku cepat sudah tadi-tadi aku jadi bangkai!
Gila!" Pemuda itu garuk garuk kepalanya lalu kembali mengusap wajahnya.
"Siapa sebetulnya gadis itu" Dari mana dia mendapatkan kesaktian itu" Siapa yang
memecilkan dan memasungnya di bukit Jatipadang ini. . . . Aku harus menyelidiki!
Aku harus mengintai dirinya terus-terusan
" Sang dara di dalam pondok masih memandang berkeliling, berusaha mencari kemana
lenyapnya pemuda tadi diserangnya. Akhirnya dia letih sendiri.
"Pasti dia sudah kabur! Hebat juga monyet sa-tu itu! Sanggup menyelamatkan diri
dari serangan-ku! Hebat tapi dia bukan kawanku! Aku tidak punya kawan kecuali
dua ekor ular kobra hijau itu.
Ah. . . merekapun sudah lama tidak muncul disini
. . . . Makanan sudah habis. ... Air di kendi sudah kering
Sahabat-sahabatku, dimana kalian. . ."'
Di atas pohon pemuda yang bersembunyi mendengar jelas apa-apa yang barusan
diucapkan dara dalam pasungan.Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengeruk
kebalik pakaiannya dimana dia menyim-pan dua buah ubi rebus sebesar kepalan
tangan. Dua ubi itu ditimang-timangnya beberapa kaii.
Pemuda ini berpikir-pikir bagaimana cara yang baik menyerahkan makanan itu pada
sang dara. "Tujuanku baik! Memberinya makanan pe-nangsal perutnya yang lapar. Kalau
kuserahkan tentu dia tak akan menyerangku. Aku bisa bersahabat padanya dan
mungkin bisa mendapat keterangan siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu maka dengan hati-hati, tanpa mengeluarkan suara si pemuda
meluncur turun 32 DEWI DALAM PASUNGAN
dari atas pohon. Lalu dia melangkah mendekati pondok dari jurusan kanan. Dia
sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun ketika melangkah Tetapi
pendengaran dan perasaan tajam si dara tidak bisa ditipu. Baru saja dia membuat
gerakan dua langkah, dara itu sudah palingkan kepalanya ke kanan.
"Hai! Datang lagi manusia ini! Benar-benar minta mampus!" Sang dara membentak.
Tangan kanannya diangkat ke atas.
"Tahan! Tunggu! Jangan serang! Aku sahabatmu!"
"Sudah kubilang aku tak punya sahabat!
Mampuslah!"
"Tunggu! Tunggu dulu!" si pemuda berteriak.
Karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka teriakannya membawa pengaruh juga
pada sang dara. Gerakan tangan yang diangkat ke atas tertahan setengah jalan.
"Dengar, aku .tahu kalau kau sedang lapar.
Lihat, aku membawa dua buah ubi rebus. Enak dan manis. Ini kuberikan keduanya
untukmu. ..."
Pemuda berambut gondrong itu melangkah ma-ju lebih dekat sambil unjukkan dua ubi
yang dipegangnya di tangan kiri kanan.
"Siapa bilang aku lapar! Aku tak pernah lapar!"
jawab dara dalam pondok. Lalu dia tutup ucapannya dengan menjentikkan lima jari
Senopati Pamungkas I 16 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Kedele Maut 21