Pencarian

Muslihat Para Iblis 1

Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
MUSLIHAT PARA IBLIS
BAB I WALAU saat itu masih sangat pagi dan sang surya belum muncul namun Lawunggeni
merasa batu di atas mana dia duduk bersila tak ubahnya seperti bara. Untuk
beberapa lamanya orang tua ini memandang dengan mata mendelik tak berkesip pada
lelaki separuh baya yang duduk di depannya.
Keadaan Lawunggeni baik pakaian maupun tubuhnya sungguh mengenaskan.
Dulu pakaian yang dikenakannya adalah pakaian bagus terbuat dari bahan mahal.
Kini pakaian itu hanya tinggal potongan-potongan kain compang-camping, kotor dan
bau. Kulit muka dan tubuhnya hitam melepuh padahal dulu dia memiliki kulit kuning
bersih. Keganasan laut telah merubah orang tua ini seperti jerangkong hidup.
Orang yang dipandang bersikap tenang. Balas memandang seolah tanpa rasa. Hal ini
membuat Lawunggeni menjadi geram. Pelipisnya bergerak-gerak dan rahangnya
menggembung tanda dia berusaha menahan amarah.
"Pangeran Soma!" tegur Lawunggeni. Suaranya perlahan tapi tajam mendesis.
"Harap kau mau memakai pikiran dan perasaan. Hampir enam bulan aku mengarungi
laut selatan untuk mencarimu. Kulitku melepuh hangus, pakaian di badan hancur
luluh, kulitku hitam terbakar sengatan matahari. Tubuhku berubah seolah
jerangkong hidup!
Dan kau menyambut kedatanganku seolah aku ini cuma patung hidup atau batu tanpa
nyawa! Padahal sudah kukatakan. Aku mengarung lautan menyabung nyawa untuk
mencarimu demi kesembuhan adik perempuanmu satu ayah!"
Lelaki separuh baya yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Soma sama sekali
tidak bergerak bahkan wajahnya yang setengah putih setengah biru tidak bergeming
menunjukkan perubahan. Sepasang matanya sama sekali tidak memantulkan perasaan
apa-apa. Di dalam mulutnya gigi-giginya bergerak mengunyah sirih campur
tembakau. "Kau tahu aku datang tapi kau buta. Kau mendengar apa yang kusampaikan namun kau
seperti tuli! Hatimu telah berubah menjadi batu! Mungkin kau sudah bukan manusia
lagi Pangeran. Kau sama sekali tidak punya perasaan...!"
Perlahan-lahan lelaki separuh baya itu angkat kepalanya, menengadah memandang ke
langit yang masih dibungkus kegelapan. Mulutnya bergerak me-nyunggingkan
seringai lalu terbuka.
"Aku ingin tanya padamu wahai utusan Sri Baginda yang datang dari jauh dan
katanya menyabung nyawa demi kesembuhan seorang gadis. Ketika Sri Baginda
menyuruh orang membuang sosok bayiku dari istana karena malu mempunyai seorang
putera yang cacat muka, apakah dia memakai pikiran dan punya perasaan"! Dia
mendengar nasehat para abdi dalem tapi telinganya tertutup seolah tuli. Hatinya
seolah batu! Ucapanmu barusan mengingatkan aku pada banyak hal di masa silam.
Kau tahu dimana ibuku kini berada ki Lawunggeni" Mengalami nasib dibuang atau
mungkin juga telah disingkirkan dari muka bumi"!! Atas perintah Sri Baginda yang
mengutusmu datang kemari!"
"Pangeran Soma, apa yang telah terjadi tiga puluh tahun silam tak perlu
diungkit. Lagi pula Sri Baginda telah memesan. Selain meminta obat padamu juga aku diminta
membawamu ke Kotaraja. Hanya saja mengenai Ibumu... aku tidak tahu menahu.
Perempuan itu melenyapkan diri sehari setelah dia tahu bahwa kau dibuang."
"Ki Lawunggeni, kau melakukan perjalanan percuma. Kau mengarungi laut selatan
menyabung nyawa sia-sia. Pulanglah, aku tak bisa menolongmu!"
"Pangeran, aku taitu kemampuanmu. Semua tabib di Puri Agung mengatakan hanya kau
yang bisa menolong adik perempuanmu dari sakit lumpuh yang dideritanya..."
"Aku tak bisa menolong apa-apa Ki Lawunggeni. Kembalilah ke Kotaraja dan
berdoalah. Hanya Tuhan yang bisa menolong gadis itu..."
"Hatimu dicekam dendam Pangeran. Aku tahu hanya kau yang bisa mengobatinya.
Kalau tidak aku tak akan bersusah payah datang ke sini. Kami semua yakin gelarmu
Raja Obat Delapan Penjuru Angin bukan nama kosong belaka. Kalau orang lain kau
tolong masa kau tidak mau menyelamatkan diri adikmu sendiri walau dia hanya adik
satu ayah"!"
Perlahan-lahan Pangeran Soma turunkan kepalanya. Sepasang matanya menatap pada
orang tua utusan Kerajaan itu. Dipandang begitu rupa Ki Lawunggeni menjadi
gelisah. "Ki Lawunggeni, apakah kau melihat topan mengamuk malam tadi di lautan"!"
Ki Lawunggeni menjadi heran. "Aneh," katanya dalam hati. "Lain yang dibicarakan
lain yang ditanyakannya! Jangan-jangan manusia satu ini sudah tidak waras lagi
pikirannya!"
"Aku bertanya Ki Lawunggeni!"
"Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu Pangeran. Tapi aku ingat betul malam
tadi tidak ada topan mengamuk di tengah laut."
"Hemmm... itu berarti alam tidak menyukai kehadiranmu di tempat ini!" ujar
Pangeran Soma. "Sekali lagi kukatakan kembalilah ke kora saja. Bawa kembali
hadiah yang kau bawa ini! Pangeran Soma goyangkan kepala ke arah seperangkat
poci-poci tempat sirih terbuat dari emas yang diletakkan di atas batu di
hadapannya. "Aku hidup di alam, berteman dan menyatu dengan alam. Aku tidak
butuh benda-benda itu."
Lama Ki Lawunggeni terdiam. Semakin ditatap wajah Pangeran Soma yang biru
sebelah itu semakin berkobar rasa jengkelnya. Dengan sikap kasar perlengkapan
tempat sirih itu dimasukkannya ke dalam kantong kain. Lalu dia berdiri. Sebelum
memutar tubuh dia berkata. "Ternyata aku menemui seseorang yang tidak seperti
aku perkirakan. Tugas sebagai seorang tabib penyembuh tidak mengenal kebencian.
Sekalipun musuh wajib ditolong. Aku datang ke tempat yang salah. Kasih sayang
sejati ternyata belum menjamah hati sanubarimu Pangeran. Selamat tinggal!"
"Tunggu dulu Ki Lawunggeni!" ujar Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru
Angin tiba-tiba. Dua jari tangannya diluruskan lalu ditusukkan ke batu merah di
hadapannya. Dua jari tembus ke dalam batu. Ketika ditarik, dua keping batu yang
pecah ikut terangkat. Pangeran Soma cepat menggenggam dua keping batu merah yang
lalu meremasnya.
"Ulurkan tanganmu Ki Lawunggeni!"
Walau terkesiap Ki Lawunggeni ulurkan tangan kanannya.
"Kembangkan telapak tanganmu."
Kembali Lawunggeni melakukan apa yang dikatakan orang. Telapak tangan kanannya
dikembangkan lebar-lebar.
Pangeran Soma buka tangan kanannya yang menggenggam. Dari tangan yang terbuka
itu mengucur keluar batu merah yang tadi diremasnya dan telah berubah menjadi
bubuk. "Minumkan bubuk batu merah itu pada orang yang sakit. Ampasnya jadikan lulur
untuk kedua kaki yang lumpuh."
"Bubuk batu..." ujar Ki Lawunggeni dalam hati. "Baru kali ini aku mengetahui
bubuk batu dijadikan obat. Apakah bisa mujarab?" Ada keraguan dalam diri suruhan
Sri Baginda dari Kotaraja ini.
"Aku dapat membaca apa yang ada dalam pikiranmu, Ki Lawunggeni," tiba-tiba Raja
Obat Delapan Penjuru Angin berkata. "Jika ada keraguan dalam hatimu silahkan kau
buang saja bubuk itu. Kembali ke Kotaraja dengan berhampa tangan!"
Ki Lawunggeni seperti disentakkan mendengar ucapan Pangeran Soma itu. "Luar
biasa. Bagaimana dia bisa membaca apa yang ada dalam benakku!" Namun sadar kalau
orang telah memberikan obat yang dimintanya, maka dia cepat-cepat membungkuk.
"Maafkan diriku. Aku telah salah menduga. Perjalananku ke sini ternyata tidak
sia-sia. Terima kasih Pangeran. Terima kasih banyak..."
"Pergilah..."
Ki Lawunggeni kembali membungkuk. "Kalau begitu biar kutinggalkan benda ini..."
Si orang tua letakkan kantong kain berisi seperangkat tempat sirih dari emas itu
di atas batu. Pangeran Soma menggeleng. "Aku tidak membutuhkan benda itu. Bawa saja..."
"Terima kasih... Aku pergi sekarang..."
Sesaat setelah Ki Lawunggenl meninggalkan tempat itu Pangeran Soma alias Raja
Obat Delapan Penjuru Angin bangkit berdiri. Dia tegak tepat di atas batu merah
yang tadi dicungkilnya hingga berlubang. Mulutnya komat-kamit beberapa kali.
Ketika mulut itu dibukanya cairan merah meluncur jatuh. Sesaat kemudian lobang
batu yang tadi pecah tertutup, rata utuh seperti semula.
Pangeran Soma menarik napas panjang. Dia menatap ke tengah laut sementara di
kejauhan ada sinar kuning seolah mencuat keluar dari dasar samudera. Itulah
sinar pertama sang surya yang mulai terbit.
Mendadak Pangeran Soma pejamkan kedua matanya. Telinganya dihadapkan ke arah
lautan lepas. "Ada anak manusia tenggelam di dalam laut. Pusaran air tidak membuatnya mati.
Arus dasar laut selatan menggiringnya ke dalam terowongan sebelah atas. Kalau
saja aku bisa menghadangnya sebelum jatuh ke dalam terowongan sebelah bawah,
mungkin aku bisa menyelamatkannya... Tiga mimpiku secara beruntun rupanya
menjadi kenyataan.
Aku melihat perahu besar dan perahu kecil. Aku mendengar suara jeritan seolah
membelah langit. Agaknya aku akan mendapat kawan penghuni pulau batu merah ini.
Samakah malang nasibnya dengan diriku?"
Manusia bermuka biru sebelah ini, yang punya kesaktian mengobati dengan remasan
batu merah melangkah cepat menuju ke bagian selatan pulau batu itu.
*** BAB II SOSOK tubuh Ki Hok Kui tenggelam ke dasar laut. Empat jalur darah yang keluar
dari dua tangan dan dua kakinya yang buntung kelihatan mengerikan. Adalah aneh
belasan ikan hiu ganas yang ada di sekitar situ tak seekorpun memburu dan
menjadikannya mangsa. Hanya beberapa saat lagi tubuh Ki Hok Kui akan sampai di
dasar laut tiba-tiba satu pusaran air menyedotnya. Tubuh buntung itu tertarik ke
atas lalu diseret ke arah pulau batu merah. Kejadiannya cepat sekali. Di lain
kejap sosok Ki Hok Kui lenyap!
Apa yang telah terjadi"
Dalam keadaan tidak sadar diri Ki Hok Kui terseret masuk ke dalam sebuah
terowongan batu. Di satu tempat ketika air laut tidak lagi menggenangi
terowongan, kalau tadi tubuhnya seperti melayang dalam air laut maka kini tubuh
itu berguling-guling seperti bola.
"Braaakk!"
Sosok Ki Hok Kui melabrak dinding batu. Ternyata terowongan itu buntu. Namun
tepat di bagian yang buntu, sebelah atasnya terdapat satu lobang besar. Di
sebelah atasnya lagi lobang itu dikelilingi oleh gundukan batu-batu merah tinggi
dan runcing. Seseorang yang berada di luar sana tidak akan mudah mengetahui kalau di tempat
itu ada sebuah lobang batu.
Sepasang kaki tersembul dari balik jubah putih yang berkibar-kibar ditiup angin
laut. Itulah kaki Pangeran Soma alias Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Dia
berdiri di bagian datar yang sempit di tepi lobang batu.
Sinar matahari yang baru terbit menerangi pinggiran lobang dan menyeruak ke
bawah. Ketika Pangeran Soma memperhatikan ke dalam lobang berubahlah parasnya.
Sesaat matanya terpejam dan mulutnya berucap. "Ini orang Cina yang aku lihat
dalam mimpiku. Ternyata anak manusia ini bernasib jauh lebih malang dari diriku.
Gusti Allah, mengapa malapetaka begitu berat kau timpakan pada dirinya"
Tantangan apakah yang hendak kau berikan padaku ya Allah?"
Pangeran Soma membuka kembali kedua matanya dan memperhatikan ke dalam lobang
batu merah. "Dua tangan dan dua kaki buntung. Seperti ditebas senjata tajam.
Mukanya tak bisa kulihat jelas, bergelimang dengan darah. Ada sesuatu melekat...
ada sesuatu terikat di dadanya..." Pangeran Soma merunduk. Kepalanya diturunkan
sampai masuk sejauh dua jengkal ke datam lobang batu. "Sebuah kitab..." desis
lelaki ini. Dia membuka matanya lebar-lebar. Berusaha membaca tulisan yang
tertera di sampul kitab.
Hanya sebagian yang bisa dibacanya karena sebagian lagi tertutup oleh bayangan
gelap batu goa yang tidak tersentuh sinar matahari. Namun Pangeran Soma sudah
bisa menduga. "Kitab Putih Wasiat Dewa..." ucapnya dengan suara bergetar.
Kembali dia teringat pada tiga kali mimpi yang dialaminya. "Tuhan Maha Benar.
Petunjuk dalam mimpi jelas adanya. Gusti Allah... Apa yang harus aku lakukan"
Beri aku petunjuk lebih lanjut."
Lama Pangeran Soma menatap sosok tubuh Ki Hok Kui yang terlentang di dasar
lobang pada ujung terowongan buntu. "Lukanya akan membusuk... dia akan mati.
Tuhan, dengan kuasaMu aku ingin menolongnya. Dengan kuasaMu selamatkan nyawa
orang ini."
Tangan kanan Pangeran Soma bergerak ke arah satu gundukan batu merah runcing di
samping kirinya.
"Traakkk!"
Ujung runcing itu dipatahkannya. Lalu tangannya meremas. Perlahan-lahan tangan
itu diturunkan sedalam mungkin ke dalam lobang batu. Lalu lima kali berturut-
turut genggamannya dibuka. Pada genggaman pertama batu merah yang telah jadi
bubuk jatuh bertabur dan masuk ke dalam mulut Ki Hok Kui. Taburan kedua dan
ketiga jatuh pada buntungan luka di tangan kiri kanan. Bubuk-bubuk batu merah
keempat dan kelima menyiram di atas luka buntung dua kaki Ki Hok Kui. Dari mulut
dan empat bagian tubuh yang kejatuhan bubuk batu merah itu kelihatan keluar
kepulan asap. Pangeran Soma menarik napas lega. "Tuhan, Kau tolong orang ini..."
Namun kelegaan Raja Obat Delapan Penjuru Angin ini hanya sesaat. Tiba-tiba dia
merasakan batu merah tempatnya berpijak bergetar keras. Tubuhnya tergontai-
gontai. Pemandangannya nanar. Sepasang lututnya bergoyang goyah.
Makin lama getaran itu semakin keras.
"Gempa!" seru Pangeran Soma.
"Rrrrrkkkk... Kraaaakkkk!"
Pangeran Soma cepat membuang diri ke samping agar tidak terjerembab masuk ke
dalam lobang batu. Untuk beberapa lamanya dia duduk terhenyak di antara dua
gundukan batu merah. Ketika getaran lenyap tanda gempa berakhir perlahan-lahan
dia berdiri. Yang diperhatikannya pertama kali adalah lubang batu itu. Begitu
dia memandang ke dalam berubahlah paras sang Pangeran.
Sosok tubuh Ki Hok Kui tidak ada lagi di dasar lobang. Dasar lobang itu sendiri
kini kelihatan terbelah rengkah.
"Tubuh orang itu pasti jatuh ke dalam terowongan sebelah bawah. Aku tak mungkin
menolongnya. Hanya kuasa Tuhan yang mampu menyentuhnya..."
Perlahan-lahan Pangeran Soma bangkit berdiri. Sambil melangkah mundur melewati
celah dua batu runcing kedua matanya masih terus memandangi lobang batu itu.
*** BAB III DUA kuda hitam berlari kencang menembus kabut dini hari. Kegelapan perlahan-
lahan sirna begitu sang surya muncul menyapu permukaan lereng gunung. Kabut pun
menghilang. Butiran-butiran embun di dedaunan menguap pupus.
Dua penunggang kuda seolah berpacu agar lebih dulu sampai di puncak gunung
Merapi. Bau busuk aneh membersit mengikuti kemana mereka pergi. Bila seseorang
tidak tahu siapa adanya mereka atau tidak pernah melihat tampang-tampang
keduanya pastilah akan menduga bahwa jangan-jangan dua orang ini bukan manusia
tetapi sebangsa setan atau jin yang gentayangan sejak pagi buta.
Penunggang kuda di sebelah kanan mengenakan jubah hitam. Mata kanannya besar
mendelik sedang mata kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah licin di bagian
kiri tapi berambut tebal awut-awutan di sebelah kanan. Pada keningnya orang ini
memiliki tiga guratan aneh. Wajahnya yang garang seram menyerupai setan tertutup
kumis dan cambang bawuk lebat.
Temannya yang memacu tunggangannya di sebelah kiri mengenakan pakaian terbuat
dari kain tebal kotor dan rombeng. Mukanya tak kalah mengerikan dari kawannya
karena penuh cacat seperti daging dicacah. Selain itu bagian bawah kelopak kedua
matanya menggembung merah dan selalu basah. Antara dua mata yang seram tapi juga
menjijikkan ini terpancang satu hidung tinggi bengkok seperti paruh burung
elang. Kedua lengannya penuh bulu. Jari-jarinya bukan seperti jari manusia
karena berbentuk cakar dengan kuku-kuku hitam panjang mengandung racun. Di
punggungnya tergantung satu kantong kain yang tadinya berwarna putih tapi kini
kelihatan merah oleh noda darah yang mulai mengering. Entah apa isinya bungkusan
ini tapi yang jelas dari bungkusan itulah membersit sumber bau sangat busuk itu!
Dari ciri-ciri dua orang ini jelas mereka bukan lain adalah dua bersaudara
sumpah darah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
Seperti dituturkan dalam Episode II (Wasiat Dewa) mereka ditipu oleh Pangeran
Matahari sehingga menenggak racun yang akan membunuh mereka dalam tempo 300
hari. Sang Pangeran tidak percaya bahwa dua kaki tangannya itu telah benar-benar
berhasil membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng kecuali jika
mereka mampu membawa ke hadapannya kepala Pendekar 212. Selama hal itu tidak
mereka laksanakan maka Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tidak akan
mendapatkan obat pemusnah racun. Jadi mereka hanya tinggal menunggu mati saja.


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudaraku Elang Setan!" berseru Tiga Bayangan Setan. "Bagaimana kalau Pangeran
celaka itu tidak memberikan obat pemusnah racun tiga ratus hari yang mendekam
dalam tubuh kita"!"
Elang Setan menyeringai. "Kali ini kurasa dia tidak punya alasan. Kalaupun dia
mungkir aku sudah nekad untuk mengadu jiwa! Bagaimana dengan kau"!"
"Aku akan bertindak lebih cerdik darimu!" jawab Tiga Bayangan Setan.
"Hemmm... apa maksudmu"!"
"Aku akan berusaha mencuri Kitab Wasiat Iblis yang dimilikinya terlebih dulu.
Selama kitab sakti itu berada di tangannya sulit bagi kita untuk membunuhnya.
Ingat peristiwa di dekat sumur batu di bukit itu waktu dia membunuh Iblis Tua
Ratu Pesolek"
Kitab iblis itu tidak bisa dibuat main!"
"Kau betul," kata Elang Setan pula. "Kita harus memancingnya demikian rupa.
Kalau dia sudah dibikin mampus pada salah satu kantong pakaiannya pasti akan
kita temui obat pemusnah racun itu!"
Jalan menuju ke puncak gunung semakin mendaki tajam, penuh dengan batu-batu
terjal. Di satu tempat kedua orang ini turun dari kuda masing-masing,
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Mereka sama sekali tidak memperdulikan
indahnya pemandangan di kejauhan. Yang mereka pikirkan saat itu adalah
secepatnya mencapai puncak gunung Merapi tempat kediaman Pangeran Matahari guna
menyelesaikan urusan.
Sementara itu di puncak gunung, tak berapa jauh dari sebuah bangunan dua orang
gadis asyik bermain air di telaga dangkal berair jernih dan sejuk. Rambut mereka
yang panjang basah riap-riapan di punggung mereka yang putih. Tiba-tiba gadis di
sebelah kanan berbisik pada gadis satunya.
"Pangeran datang..."
"Hemmmm...Kalau begitu kau pergilah. Bukankah hari ini giliranku untuk
bersenang-senang dengannya?"
"Jangan berkata begitu. Apa kau lupa sang Pangeran seorang lelaki kuat
perkasa"!"
"Gila, aku tak suka bercumbu kalau ada gadis lain di dekatku!"
Gadis di sebelah kanan tertawa geli. "Apa kau lupa kita ini sebenarnya sudah
bukan gadis lagi" Kita telah memberikan semua yang kita miliki pada pangeran
itu!" "Terserah kau mau bicara apa. Tapi aku tidak sudi dia mencumbu kita berdua
sekaligus..."
"Jangan bodoh, mengapa kau sengaja melewatkan pengalaman yang sangat hebat
ini"!"
Pemuda bertubuh kekar, berambut tebal hitam yang melangkah cepat menuju telaga
sunggingkan senyum lalu berseru.
"Kekasih-kekasihku cantik! Mengapa kalian mendahului mandi di telaga?"
"Maafkan kami Pangeran." jawab gadis yang berada di tepi telaga. "Pangeran kami
lihat masih tidur nyenyak. Mana kami berani membangunkan."
"Pangeran tampak letih. Kami sengaja membiarkan agar Pangeran bisa istirahat..."
menambahkan gadis satunya.
"Aku Pangeran Matahari letih?" Lelaki itu tertawa gelak-gelak lalu buka mantel
hitamnya. "Akan aku buktikan pada kalian berdua saat ini juga bahwa aku tidak
pernah mengenal letih!"
Gadis di pinggir telaga tersenyum genit sedang kawannya tampak bersemu merah
wajahnya. Pangeran Matahari buka mantel hitamnya. Ketika bajunya ditanggalkan dua gadis
melihat sebuah kitab hitam terikat di dadanya yang tegap berotot dan berbulu.
"Pangeran... Kau selalu membawa kitab itu kemana kau pergi. Rupanya kitab itu
sangat penting bagimu..."
"Kitab ini merupakan nyawa kedua bagiku!" jawab Pangeran Matahari seraya
meletakkan pakaiannya di tepi telaga. Kitab Wasiat Iblis diletakkannya hati-hati
sekali di atas bajunya lalu dibungkusnya dengan baju itu.
Air telaga muncrat menyiprat ke atas ketika pemuda itu melompat masuk ke dalam
telaga. Dua gadis berpekikan. Yang satu merasa gembira dan langsung mendekati
sang Pangeran. Gadis kedua tertegun di tengah telaga dengan muka merah. Tiba-
tiba dia melihat dua sosok mendatangi dari arah kiri telaga.
"Pangeran, ada yang datang..." Si gadis memberi tahu.
Pangeran Matahari palingkan kepala. "Jahanam-jahanam itu datang pada waktu yang
salah!" rutuk Pangeran Matahari. Lalu hidungnya mencium bau busuk.
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan nampak terkejut ketika mendapatkan orang
yang mereka cari ternyata tidak sendirian berada di telaga itu. Walau ada
firasat sang Pangeran akan marah besar namun mereka tidak mau melepaskan
pandangan mata dari dua sosok tubuh bagus dua gadis yang ada dalam telaga, yang
satu malah berada dalam dekapan Pangeran Matahari.
"Bangsat! Siapa yang menyuruh kalian kemari"!" bentak Pangeran Matahari.
"Kami tidak menemuimu di rumah sana lalu datang ke sini. Mohon maafmu Pangeran
karena tidak mengira kalau kau tidak sendirian di sini..." jawab Elang Setan.
"Jangan berani melangkah lebih dekat! Kembali ke rumah dan tunggu aku di sana!"
"Kami akan menunggu sesuai perintahmu Pangeran," jawab Elang Setan seraya
membungkuk. Tiga Bayangan Setan juga ikut membungkuk memberi hormat.
"Tunggu dulu! Apa kalian datang membawa berita baik"!"
Elang Setan mengangguk. Dia angkat bungkusan kain yang dipanggulnya di bahu
kiri. Bau busuk menyengat membuat dua gadis cepat menutup hidung.
"Hemmmmm..." Pangeran Matahari menyeringai. "Kalau begitu kalian lekas ke rumah.
Aku segera menyusul!"
"Pangeran! Kita belum mandi bersama. Kita belum..." berkata gadis dalam
rangkulan Pangeran Matahari.
Sang Pangeran lepaskan rangkulannya. Setelah membenamkan hidungnya di celah dada
si gadis dia berbisik.
"Ada urusan sangat penting. Aku tak akan lama. Kalian berdua tetap di sini. Aku
segera kembali!"
Si gadis mengikuti kepergian Pangeran Matahari dengan pandangan kecewa. Dia
berpaling pada temannya di tengah telaga. Lalu dengan muka cemberut dia berkata.
"Dua manusia bermuka setan dan bau busuk itu rupanya lebih penting daripada kita
berdua." "Aku punya firasat sesuatu yang mengerikan akan terjadi," jawab gadis di tengah
telaga lalu berenang menuju ke tepian. "Bagaimana kalau kita tinggalkan saja
tempat ini."
"Tinggalkan tempat ini" Jangan bertindak bodoh sahabatku. Kita belum sempat
bersenang-senang. Belum menerima hadiah... Kalau Pangeran membatalkan janjinya
malanglah nasib kita!"
"Terus terang aku tidak percaya pada janji pemuda itu. Selain kita dia punya
beberapa perempuan peliharaan dan kekasih gelap. Salah satu diantaranya gadis
cantik berbadan harum yang mengenakan pakaian tipis warna biru itu."
"Sebagian dari ucapanmu ada betulnya. Kalaupun kita tidak dikawini kurasa sudah
kepalang tanggung untuk mundur. Sasaran kita sekarang adalah uang perhiasan dan
harta lainnya. Dan dengar... Jangan sekali-kali kau berani meninggalkan tempat
ini. Kalau Pangeran bilang tunggu di sini kita harus menunggu. Nyawa manusia baginya
tidak lebih berharga dari nyawa seekor lalat..."
Ketika Pangeran Matahari sampai di bangunan di puncak gunung Merapi, Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan yang duduk di tangga depan segera berdiri. Sang
Pangeran memperhatikan bungkusan yang dipanggul Elang Setan sesaat lalu
bertanya. "Berita baik apa yang kalian bisa sampaikan padaku" Kalian berhasil mendapatkan
kepala musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng?"
"Kami bernasib mujur Pangeran. Perintah Pangeran telah kami laksanakan dengan
baik!" jawab Tiga Bayangan Setan lalu memberi isyarat pada Elang Setan dengan
anggukkan kepala.
Elang Setan turunkan kantong kain yang dipanggulnya lalu meletakkannya di lantai
bangunan. Bau busuk memancar santar. Perlahan-lahan Elang Setan membuka ikatan
kantong, ketika kantong ditunggingkannya menggelindinglah potongan kepala
manusia di atas lantai. Bau busuk menghampar bukan olah-olah.
"Pangeran saksikan sendiri...!" kata Elang Setan sambil menyeringai sementara
Tiga Bayangan Setan lantas saja tegak sambil berkacak pinggang.
Sepasang mata Pangeran Matahari membuka besar besar. Di lantai dua langkah di
hadapannya tergeletak potongan kepala manusia berlumuran darah. Rambutnya
panjang hitam awut-awutan. Pada keningnya ada ikatan kain putih. Sang Pangeran
membungkuk sedikit agar dapat meneliti lebih jelas. Satu seringai tersungging di
mulutnya. Perlahan-lahan dia berpaling pada Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
"Kalian manusia-manusia hebat!" memuji Pangeran Matahari. Lalu tertawa bergelak.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan ikut-ikutan tertawa.
"Ini memang kepala si keparat Pendekar 212 itu!" ujar Pangeran Matahari pula
dengan wajah berseri. "Sekarang siapa yang bisa menandingiku dalam rimba
persilatan"!"
"Tak seorangpun Pangeran! Kau sekarang jadi raja di raja dunia persilatan!" kata
Elang Setan. Pangeran Matahari kembali memandang pada potongan kepala di lantai. "Aku percaya
itu memang kepala pendekar bangsat itu! Aku kenal betul wajahnya!"
"Kami gembira kalau kini Pangeran bisa percaya bahwa Pendekar 212 sudah tamat
riwayatnya! Mati di tangan kami dua bersaudara!"
"Ya... ya aku percaya!" kata Pangeran Matahari pula seraya mengusap-usap telapak
tangannya satu sama lain.
Elang Setan melirik pada Tiga Bayangan Setan lalu mendehem beberapa kali.
"Pangeran, turut perjanjian saat ini tentunya kami akan menerima obat pemusnah
racun tiga ratus hari itu..." kata Tiga Bayangan Setan pula.
Pangeran Matahari menyeringai. "Kalian rupanya benar-benar takut mati! Tak usah
khawatir, janji akan kutepati. Malah kalian akan kuberi hadiah besar!"
"Terima kasih Pangeran! Terima kasih!" kata Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan
berbarengan sambil membungkuk berulang kali.
Sang Pangeran meraba ke balik mantel hitamnya. Dari sebuah tabung kecil terbuat
dari bambu dikeluarkannya dua butir obat berwarna merah lalu satu demi satu
diserahkannya pada kedua orang bermuka setan di hadapannya itu.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat menyambut! Namun setelah memegang obat
itu mereka tidak segera menelannya. Ada keraguan pada tampang masing-masing.
"Kalian tidak mempercayai diriku"!" Pangeran Matahari membentak.
"Ka... kami tidak bermaksud begitu Pangeran. Cuma mengingat telah dua kali kau
menjalankan muslihat..."
"Keparat! Muslihat adalah permainan iblis! Aku bukan iblis! Kalau kalian mau
mampus buang saja obat itu!" Pangeran Matahari membentak dengan mata membeliak.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan serta merta menelan obat yang ada dalam
genggaman mereka. Keduanya tampak pucat ketika mendadak merasa ada hawa panas
menjalar di saluran tenggorokan terus merambat ke perut. Namun perlahan-lahan
hawa panas itu lenyap berganti dengan rasa sejuk.
"Terima kasih Pangeran..." kata Elang Setan.
"Mengenai hadiah yang tadi kau katakan itu..." berucap Tiga Bayangan Setan.
Pangeran Matahari menyeringai. "Hemmm....Ada dua gadis cantik bertelanjang dalam
telaga. Kalian telah melihatnya, betul...?"
"Benar, kami telah melihatnya Pangeran!"
"Itu hadiah besar buat kalian! Kalian boleh memperlakukan apa saja terhadap
mereka. Termasuk membunuhnya! Kalau kalian tega... Ha... ha... ha...!"
Habis berkata begitu Pangeran Matahari jambak rambut potongan kepala Pendekar
212 lalu melangkah menuruni tangga. Akan halnya Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan tidak tunggu lebih lama lagi segera menghambur lari menuju telaga. Dua
gadis di dalam telaga tentu saja menjerit ketakutan begitu dua manusia bermuka
setan ini muncul, membuka pakaian dengan cepat lalu menceburkan diri ke dalam
air dan langsung menubruk mereka dan menyeretnya ke tepi telaga.
Sekonyong-konyong ada bayang-bayang jatuh di sekitar mereka. Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan memandang ke langit.
"Dia!" teriak Elang Setan seraya menunjuk ke atas.
*** BAB IV TIGA Bayangan Setan tak kalah kagetnya. Di udara saat itu tampak tujuh buah
payung melayang dalam keadaan terkembang. Pada gagang payung warna merah
bergantung seorang gadis cantik berpakaian biru berkembang-kembang kuning.
Payung merah melayang turun lebih cepat sementara enam payung lainnya menebar
seolah melindungi payung merah dan si gadis.
"Dia berani muncul! Benar-benar minta mampus!" kata Tiga Bayangan Setan.
Rahangnya menggembung dan gerahamnya bergemeletakan. Sejak dirinya dibuat cidera
pada perkelahian beberapa waktu lalu di muara Kali Opak dendam manusia setan ini
terhadap gadis berpayung itu memang bukan main-main. Begitu juga sobatnya si
Elang Setan. Tapi saat itu Elang Setan yang biasanya berangasan entah mengapa
bisa berpikiran lebih jernih. Dia cepat memegang bahu sahabatnya seraya
berbisik. "Kalau mengikuti dendam kita berdua memang harus memperkosanya lalu menggebuknya
sampai hancur luluh! Tapi lebih baik saat ini kita menghindari..."
"Jangan bicara ngaco Elang Setan!" hardik Tiga Bayangan Setan.
"Tenang sobatku! Pakai pikiran sehat! Dua gadis cantik yang sudah ada di tangan
ini belum sempat kita nikmati. Mengapa merepotkan diri mencari urusan dengan
gadis berpayung itu"! Jangan lupa Pangeran Matahari masih berada di puncak
gunung ini. Mendadak dia tahu kita memuslihatinya urusan bisa kapiran!"
Pelipis Tiga Bayangan Setan bergerak-gerak.
"Kau betul. Baik, mari kita boyong gadis-gadis ini lalu tinggalkan tempat ini!"
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan yang dalam keadaan bugil yang segera
memanggul dua gadis yang juga tanpa pakaian sama sekali. Keduanya bergerak cepat
meninggalkan telaga setelah terlebih dulu menyambar pakaian masing-masing. Dua
gadis yang mereka panggul menjerit-jerit tiada hentinya.
"Dua setan telanjang! Jangan pergi dulu!" seru gadis yang bergelantungan di
payung merah yang tentu saja adalah Puti Andini bergelar Dewi Payung Tujuh.
"Jahanam!" maki Tiga Bayangan Setan dan cepat menyusup di antara semak belukar.
"Hai! Aku hanya ingin bertanya!" teriak Puti Andini.
"Bertanyalah pada iblis telaga!" teriak Elang Setan.
"Apakah kalian telah menemukan mayat Pendekar 212"!"
"Hah! Itu yang hendak kau tanyakan!" jawab Tiga Bayangan Setan. "Ketahuilah kami
bukan cuma menemukan mayat pemuda itu tapi juga telah menebas batang lehernya
dan menyerahkan potongan kepalanya pada seseorang!"
Paras Puti Andini berubah, hatinya berguncang, tapi pikirannya tak lekas
terpengaruh. "Mungkin dua bangat itu tidak berdusta. Ah, celaka kalau begini.
Makin berat dan besar urusanku! Bagaimana caranya sekarang aku mencari jejak
Kitab Putih Wasiat Dewa itu!" Si gadis memandang ke bawah. Sosok Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan masih terlihat di sela-sela pepohonan dan semak belukar.
Maka dia berteriak kembali. "Kepada siapa kalian serahkan kepala Pendekar 212"!"
"Kau punya kepandaian tinggi! Silahkan menyelidik sendiri!" jawab Tiga Bayangan
Setan. "Atau tanya pada setan neraka!" teriak Elang Setan.
"Gadis sakti! Tolong kami!" Gadis yang berada di panggulan Elang Setan tiba-tiba
berteriak minta tolong.
"Kalian gadis-gadis sesat! Memilih hidup jadi pelacur! Perlu apa aku merepotkan
diri menolong kalian!" jawab Dewi Payung Tujuh yang jadi jengkel oleh jawaban
dua bersaudara sumpah darah tadi. Lalu dia kembali berseru pada Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan. "Jika kalian tidak mau memberi tahu tentang Pendekar 212
tak jadi apa. Jawab pertanyaanku yang satu ini! Apakah puncak gunung int tempat kediaman orang
sakti bergelar Pangeran Matahari"!"
"Ha... ha! Kau rupanya hendak bergendak dengan sang Pangeran!" berseru Elang
Setan. "Kau memang cocok jadi peliharaannya!"
"Tapi hati-hati! Sekali dia sudah bosan padamu, kau akan dipesianginya mentah-
mentah!" menimpali Tiga Bayangan Setan. "Walau kau punya tujuh nyawa dan
kepandaian setinggi langit, jangan harap bisa menghadapi keganasan Kitab Wasiat
Iblis yang dimilikinya!"
"Hemmm... jadi benar kabar yang kusirap. Kitab Wasiat Iblis itu telah jatuh ke
tangan Pangeran Matahari," Kata Puti Andini dalam hati. "Aku punya dugaan
mungkin sekali Pangeran Matahari yang memerintah mereka menebas kepala Pendekar
212 lalu diserahkan padanya. Dua manusia setan itu tidak punya daya karena
mereka berada dalam kekuasaan sang Pangeran. Bukankah waktu di pantai tempo hari
aku lihat ada tanda keracunan di bibir mereka?"
Tak lama kemudian Puti Andini melayang turun menjejakkan kedua kakinya yang
berkasut kulit di tepian telaga. Enam payung sengaja dibiarkannya mengambang
berputar-putar di udara. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tak kelihatan lagi.
Sayup-sayup masih terdengar jeritan-jeritan dua gadis yang mereka boyong namun
Puti Andini tidak peduli.
Sambil memegangi payung merah di atas kepala dia memandang berkeliling.
"Sunyi... tenang, serba hijau dan segar..." katanya dalam hati. "Tapi di balik
semua itu aku mencium sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang mengerikan di tempat


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini... Hemm, jika keterangan dua manusia setan itu bahwa Pendekar 212 benar-benar sudah
tewas dapat dipercaya, berarti aku akan kehilangan jejak penuntun. Sebenarnya
dia bisa kujadikan sahabat untuk mendapatkan kitab sakti itu. Kini putus
harapanku menyusuri jejak Kitab Putih Wasian Dewa, apalagi mendapatkannya. Guru
pasti akan memarahiku setengah mati. Ah, mengapa dia memberi tugas begini berat
padaku" Tuhan, cobaan apa lagi yang akan aku hadapi...?"
Selagi dia memandang berkeliling sekali lagi sekonyong-konyong terdengar suara
bentakan-bentakan di kejauhan. "Ada orang lain di tempat ini. Pangeran
Matahari...?"
desis Puti Andini dalam hati. Lalu dia mendongak. Seolah bicara pada manusia
saja, dia berkata pada enam payung yang mengambang dan berputar-putar di udara.
"Kalian jangan tertipu angin. Jangan berani kemana mana. Tunggu tanda atau
tunggu sampai aku datang!" Habis berkata begitu gadis ini cepat berkelebat ke
arah datangnya suara bentakan tadi. Dia hentikan langkahnya di balik serumpunan
semak belukar lebat. Bau busuk menghampar menusuk hidung.
Memandang ke depan dilihatnya sebuah bangunan. Di hadapan bangunan ini terdapat
halaman dan di tengah halaman terpampang satu pemandangan yang membuat Puti
Andini mendelik, berubah pucat wajahnya dan dingin tengkuknya!
Sebatang tiang bambu menancap di tengah halaman. Pada ujung atas tiang ini
menancap potongan kepala manusia. Inilah rupanya sumber bau busuk yang menyengat
itu. Walau wajahnya tertutup rambut gondrong awut-awutan serta noda darah yang
telah membeku namun Puti Andini masih bisa mengenali. Wajah itu adalah wajah
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Mendadak saja si gadis merasakan dadanya berdebar keras dan sesak. "Dua manusia
setan itu tidak berdusta! Mereka memang benar-benar telah memenggal kepala
Pendekar 212...!" Puti Andini terduduk terhenyak di tanah di balik semak
belukar. "Walau guru menyuruh aku membunuhnya, sebetulnya aku tidak ada permusuhan dengan
pemuda itu Belakangan ini aku selalu ingat padanya. Wajahnya sering muncul dalam
bayanganku..." Puti Andini menarik nafas dalam berulang kali. Tanpa disadarinya
sepasang matanya berkaca-kaca. "Untuk terakhir kali aku ingin mengurus
jenazahnya. Aku hanya melihat kepalanya. Dimana gerangan badannya..." Mungkin di dalam
bangunan" Milik siapa bangunan itu" Tempat kediaman Pangeran Matahari?"
Selagi berpikir seperti itu tiba-tiba bayangan hitam berkelebat keluar dari
dalam bangunan. Sesaat kemudian Puti Andini melihat seorang pemuda gagah
bertubuh tinggi kekar berdiri di tengah halaman. Tampangnya yang keras kelihatan
merah mengelam, Pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang matanya menyorotkan hawa
amarah. Orang ini mengenakan mantel hitam. Pada baju hitamnya yang tersingkap di
balik mantel terpampang gambar gunung biru dan matahari kuning.
"Pangeran Matahari... Pasti dia!" membatin Puti Andini.
"Bangsat! Jahanam keparat! Berani dia memuslihati diriku!" orang bermantel yang
bukan lain Pangeran Matahari adanya membentak sambil hantamkan kaki kanannya ke
tanah. Puti Andini terkesiap ketika melihat bagaimana tanah yang terkena hempasan kaki
melesak sampai setengah jengkal dan berwarna kehitaman.
"Manusia ini memiliki tenaga dalam tidak di bawah tingkat yang dimiliki guru..."
kata Puti Andini dalam hati.
"Tiga Bayangan Setan! Elang Setan! Kalian bisa kabur dari puncak Merapi! Tapi
kalian tidak bisa lolos dari kematian! Akan kukelupas kulit tubuhmu! Kucincang
daging serta tulang kalian! Bangsat! Setan! Kurang ajar! Mengapa aku sampai
berlaku bodoh! Seharusnya obat penawar racun tiga ratus hari itu tidak aku berikan pada
mereka!" Pada puncak kemarahannya Pangeran Matahari melompat ke atas. Tangan kanannya
menyambar rambut potongan kepala yang menancap di ujung bambu. Dengan geram
potongan kepala Pendeka 212 itu dibantingkan ke tanah.
"Praaakkk!"
Potongan kepala rengkah lalu menggelinding ka arah semak belukar di balik mana
Puti Andini mendekam bersembunyi. Gadis ini merasakan tubuhnya menggigil berada
sedekat itu dengan potongan kepala. Dia menekap mulutnya agar tidak mengeluarkan
suara. Matanya membeliak memandangi potongan kepala Pendekar 212
itu. Untuk beberapa lamanya Pangeran Matahari masih menyumpah sambil melangkah mundar
mandir di halaman bangunan. Tiba-tiba dia ingat.
"Dua bangsat itu! Mereka pasti masih berada di telaga. Bersenang-senang dengan
dua gadis yang kuhadiahkan! Jahanam! Kalian akan rasakan tanganku! Sekarang
kalian dapat sorga, sebentar lagi akan kusumpalkan neraka ke pantat dan sekujur
tubuh kalian!"
Dengan beringas Pangeran Matahari berkelebat menuju ke telaga. Sampai di telaga
dia bukan saja tidak menemukan Tiga Bayangan Setan dan dua gadis itu tapi justru
disambut oleh satu pemandangan. Sepasang alis mata Pangeran Matahari berjingkrak
ke atas. Keningnya mengernyit dan dua matanya membeliak. Di atas tepian telaga
enam buah payung berbagai warna melayang berputar-putar.
"Enam payung warna-warni..." desis sang Pangeran. Lalu satu persatu menyebut
warna payung itu. "Hitam, hijau, kuning, biru, putih, ungu... Mana satu lagi
yang berwarna merah..." Dia memandang berkeliling. "Jadi betul keterangan yang
kudapat tempo hari. Dewi Payung Tujuh berada di tempat ini..."
Pangeran Matahari memandang berkeliling dengan mata membeliak tajam. Lalu dia
berteriak. "Dewi Maling Tujuh! Aku tahu kau ada di tempat ini! Harap perlihatkan
diri! Jadi tamu jangan menyelinap seperti tikus comberan!"
Tak ada jawaban. Pangeran Matahari berteriak sekali lagi. Tetap tak ada jawaban.
"Jahanam!" makinya. Lalu dia berlari kembali ke tempat kediamannya. Di halaman
bangunan hanya kesunyian menyambutnya. Tak kelihatan siapapun. Namun dia
merasakan suatu kelainan. Dekat potongan kepala Pendekar 212 yang tercampak di
tanah tergeletak satu benda lain seperti kertas.
Begitu Pangeran Matahari tadi meninggalkan tempat itu, Puti Andini menyibak
semak belukar agar lebih jelas melihat potongan kepala itu. Tidak syak lagi itu
memang kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun! Matanya yang tajam melihat
sesuatu. Dia teringat pada caci maki Pangeran Matahari yang menyumpahi Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan yang dituduh telah memuslihati menipunya.
"Ada keanehan pada bagian leher itu. Sepertinya kulit luar tidak menyatu dengan
daging di sebelah dalam..." Puti Andini memandang ke jurusan lenyapnya Pangeran
Matahari tadi lalu dengan cepat keluar dari semak-semak. Sambil menahan napas
tangannya yang gemetaran diulurkannya. Matanya dipejamkan begitu jari-jarinya
menyentuh kulit leher pada bagian yang terpotong. Tengkuknya terasa dingin dan
jantungnya berdegup keras menahan rasa ngeri.
Puti Andini sentakkan jari-jari tangannya dua kali.
"Sreettt! Srettt!"
Terdengar dua kali suara seperti benda robek. Ketika kemudian dia membuka
matanya terbeliaklah gadis ini. Sebagian dari kulit leher dan kulit wajah
potongan kepala yang tadi disentakkannya kini terkelupas. Kelupasannya berada
dalam pegangannya! Dan wajah asli potongan kepala itu walau tidak tersibak
keseluruhannya tapi cukup jelas terlihat.
"Bukan wajah Pendekar 212..." desis Puti Andini. Matanya lalu memandangi
kelupasan kulit muka yang dirobeknya. "Topeng tipis. Dua manusia setan itu
ternyata memang benar memuslihati Pangeran Matahari. Potongan kepala orang lain
diberi topeng tipis menyerupai wajah Pendekar 212..."
Puti Andini campakkan robekan topeng tipis lalu secepat kilat menyelinap
meninggalkan tempat itu. Hanya beberapa saat saja setelah dia berkelebat pergi
Pangeran Matahari muncul kembali. Dia mengobrak abrik semak belukar di sekitar
halaman. Berkelebat menyelidik kian kemari.
"Kurang ajar! Aku yakin tadi dia pasti ada di sini!" maki sang Pangeran.
Kemudian diperhatikannya potongan kepala yang menggeletak di tanah. Di dekat
potongan kepala itu ada secarik benda seperti kertas atau kulit. Pangeran
Matahari melangkah mendekati. "Dia merobek topeng tipis di potongan kepala.
Hemm. Agaknya Dewi Payung Tujuh tengah melakukan satu penyelidikan. Mungkin dia
tengah mencari Kitab Wasiat Iblis" Tapi mengapa tidak berani unjukkan diri.
Malah kabur" Akan aku hancurkan enam payungnya yang ditinggal di tepi telaga!"
Pangeran Matahari cepat kembali ke telaga namun dia kecewa dan marah besar.
Saat itu dia mendengar suara suitan keras enam kali berturut-turut. Datangnya
dari udara. Ketika dia mendongak enam payung yang tadi mengambang di sekitar telaga kini
kelihatan membubung cepat ke udara. Payung ke tujuh berwarna merah berada paling
atas dan pada tangkai payung bergantung gadis cantik berpakaian biru berkembang-
kembang. Si gadis melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa mengejek.
Dalam marahnya Pangeran Matahari hantamkan kedua tangannya ke udara lepaskan
pukulan "Telapak Matahari". Terdengar dua suara mendesis berbarengan.
Bersamaan dengan itu dua rangkum angin menebar hawa panas menderu ke udara.
Sudah dapat dibayangkan oleh Pangeran Matahari bahwa enam payung akan hancur
lebur dihantam pukulan saktinya dan si gadis akan cidera berat. Namun dugaannya
meleset. Sang Pangeran lupa memperhitungkan jarak yang terpisah antara dia dengan
sasaran. Saat itu tujuh payung dan Puti Andini sudah terlalu jauh di udara. Walaupun dua
serangan saktinya masih sanggup mencapai sasaran namun daya kekuatannya tak
mampu menciderai. Malah secara luar biasa enam buah payung tiba-tiba berputar
lalu menukik ke bawah membentengi payung merah dan Puti Andini.
"Kurang ajar! Dewi Payung Tujuh! Apa kau kira bisa lolos dari kematian"!"
teriak Pangeran Matahari.
Lalu dia busungkan dada dan kerahkan tenaga dalam ke tempat terletaknya Kitab
Wasiat Iblis. "Bunuh!" perintah Pangeran Matahari.
Dada dan Kitab Wasiat Iblis sesaat menjadi panas namun hawa panas itu cepat
meredup dan lenyap. Dari kitab sakti di dadanya sama sekali tidak keluar sinar
sakti yang diharapkan. Pangeran Matahari lipat gandakan tenaga dalamnya. Malah
sambil menepuk-nepuk kitab itu dia berteriak berulang kali.
"Bunuh! Bunuh!"
Tidak terjadi apa-apa. Tak ada sinar maut mencuat keluar dari dada sang
Pangeran. "Kitab Wasiat Iblis!" desis Pangeran Matahari dengan suara bergetar. "Apa yang
terjadi"! Apa kitab ini telah hilang kesaktiannya?" Saking geramnya
disibakkannya mantel hitamnya lalu dirobeknya baju hitamnya. Kitab Wasiat Iblis
yang diikatkannya di dada tersingkap. Sekali lagi dia mengerahkan tenaga dalam
penuh dan berteriak.
"Bunuh!"
Tetap saja tidak terjadi apa-apa!
Tampang sang Pangeran menjadi gelap. Rahangnya menggembung. Kitab Wasiat Iblis
direnggutkannya dari dadanya. Kalau mengikuti kemarahannya mau dia merobek dan
membanting kitab sakti itu ke tanah. Dengan tubuh bergetar akhirnya dia terduduk
di sebuah batu di tepian telaga. Kitab Wasiat Iblis diletakkannya di pangkuannya
dan dipandanginya dengan mata melotot. Sebelumnya sang Pangeran telah beberapa
kali menyaksikan bagaimana Kitab Wasiat Iblis itu secara luar biasa mengeluarkan
sinar maut yang sanggup membunuh. Beberapa orang tokoh silat kawakan telah
menjadi korbannya.
Diantaranya Iblis Tua Ratu Pesolek (Episode I: Wasiat Iblis) dan Datuk Sengkang
Makale alias Hantu Tinggi Pelebur Jiwa (Episode II: Wasiat Dewa) tanpa dia
berbuat suatu apapun. Sinar kematian itu keluar dari Kitab Wasiat Iblis begitu
saja menghantam mati lawan-lawannya. Sekarang mengapa kesaktian kitab itu tidak
keluar" Sang Pangeran tidak mengetahui bahwa walau kitab itu memiliki kesaktian
dan kekuatan membunuh luar biasa namun jika dirinya tidak diserang maka
kesaktian yang terkandung dalam kitab itu tidak akan keluar! Sekali seseorang
menyerang dan siapa saja yang memegang Kitab Wasiat Iblis terancam
keselamatannya maka barulah kekuatan sakti yang ada di dalam kitab dengan
sendirinya akan keluar mendahului membunuh lawan! Penuh kecewa sang Pangeran
duduk termenung sambil sekali-sekali menjambak rambutnya yang tebal.
"Mungkin ini disebabkan aku tidak melakukan puasa selama tiga kali malam Jum'at
Kliwon seperti yang dikatakan dalam kitab..." pikir Pangeran Matahari. Namun
hatinya meragu. "Pada saat kitab itu aku dapatkan, tanpa puasa kesaktiannya
telah sanggup membunuh Iblis Tua Ratu Pesolek. Sekarang mengapa bisa jadi
begini...?"
Inilah kali pertama dalam hidupnya Pangeran Matahari menjadi sangat bingung.
Perlahan-lahan dia berdiri tinggalkan telaga. Kitab Wasiat Iblis dimasukkannya
kembali ke balik baju hitamnya yang robek.
*** BAB V SUARA seorang bernyanyi itu datang dari salah satu bukit batu di sebelah timur
pulau. Cukupi jauh dari tempat Wiro berada saat itu. Dia memasang telinga baik-
baik, berusaha mendengar jelas setiap bait nyanyian yang dilantunkan.
Laut selatan tak pernah tenang j
Gelombang selalu datang menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan Hanya kepada Yang
Kuasa tertambat seluruh harapan Agar tubuh tua ini bisa lepas menempuh jalan
abadi menghadap Sang Pencipta Murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.
Dia coba mencerna arti nyanyian itu. "Menunggu ribuan pagi ribuan petang,
berarti ada seorang tua bangka di puncak bukit sana. Yang ditunggu budak malang.
Eh, apa aku yang ditunggunya" Apa dia kenal pada diriku. Yang jelas nasibku saat
ini buka cuma malang tapi juga melintang!
Ha... ha... ha!" Pendekar 212 tertawa sendiri. "Bait akhir nyanyian aneh itu
seolah si penyanyi ingin buru-buru mati. Aneh!" Wiro percepat langkahnya.
Karena ingin cepat-cepat melihat siapa adanya orang yang menyanyi maka Wiro
pergunakan ilmu "Menembus Pandang" yang didapatnya dari Ratu Buyung (baca
Episode III: Wasiat Sang Ratu) Tenaga dalamnya dialirkan ke matanya kiri kanan.
Dia mendongak memandang ke puncak bukit batu di sebelah Timur. Lalu mata itu
dikedipkan dua kali.
Mula-mula Wiro melihat warna merah berkepanjangan pertanda dimana-mana di atas
sana hawa batu-batu merah yang ada. Kemudian samar-samar dia melihat sesosok
tubuh berjubah putih. Wajahnya tak terlihat jelas karena membelakangi. Kalau dia
ingin melihat bagian depan orang itu berarti dia harus berputar setengah pulau.
"Daripada menghabiskan waktu lebih baik aku terus saja menempuh jalan ini,"
pikir murid Sinto Gendeng.
Suara nyanyian itu diulang-ulang beberapa kali. Namun pada ulangan keempat
mendadak suara nyanyian lenyap di bait pertengahan.
"Hemm... Orang tua di puncak bukit sana pasti sudah kecapaian menyanyi," pikir
Wiro. Tak lama kemudian dia sampai di kaki bukit batu merah di sebelah timur. Di sini
Wiro baru menyadari satu keanehan.
Pulau ini usianya pasti sudah ratusan bahkan ribuan tahun. Tapi tak satu
bagianpun batu-batu di sini diselimuti lumut. Semua bersih, batu merah asli. Tak
terpengaruh oleh cuaca.
Karena batu merah itu tidak licin, meskipun bukit yang didakinya cukup terjal
namun Wiro tidak mengalami kesulitan naik ke atas. Begitu sampai di puncak bukit
batu merah Wiro segera melihat sosok orang berjubah putih itu, duduk di atas
sebuah batu merah pada puncak bukit yang tak seberapa luasnya. Orang ini
membungkus kepalanya dengan sehelai kain putih menyerupai selendang.
Mengira orang tengah bersemadi maka Wiro melangkah dengan hati-hati, berputar
dan sesaat kemudian sampai di hadapan orang itu. Ternyata selendang putih di
kepalanya menutupi hampir seluruh wajahnya. Hanya sepasang matanya saja yang
kelihatan terpejam. Bagian selendang di bagian mulut kelihatan basah dan
berwarna merah. Sepasang tangan dan kaki orang itu tersembunyi di balik
jubahnya. Wiro mencium bau sirih dan tembakau. Tapi hidungnya yang tajam mencium
bau lain. Karena tiba-tiba orang di hadapannya mengeluarkan suara maka Wiro tak
berkesempatan untuk mengingat-ingat dimana sebelumnya dia pernah mencium bau
itu. "Ribuan pagi ribuan petang... Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan... Yang
menunggu tua renta malang... Yang ditunggu budak malang..."
Perlahan-lahan Wiro duduk bersila di hadapan orang berjubah dan berselendang
putih itu. "Orang tua, maaf kalau kehadiranku mengganggumu. Apakah kau yang dijuluki Raja
Obat Delapan Penjuru Angin?"
Yang ditanya menghela napas panjang lalu menjawab. "Kau telah bertemu dengan
orang yang kau cari. Giliran diriku yang bertanya ada keperluan apa kau
mencariku anak manusia" Sebelum kau menjawab pertanyaan itu jawab dulu


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan ini. Apa kau manusianya yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212?" "Aku belum menerangkan siapa diriku bagamana dia bisa menerka" Orang tua ini
benar-benar berkepandaian sangat tinggi," kata Wiro dalam hati. Maka diapun
menjawab. "Aku memang yang oleh orang-orang tolol diberi gelar begitu padahal aku hanya
anak manusia bernama Wiro Sableng!"
Si orang tua tertawa mengekeh. Bau aneh kembali menusuk hidung Wiro. Dalam hati
dia membatin. "Menurut keterangan orang tua ini memiliki wajah biru sebelah. Tapi wajahnya
ditutup begitu rupa, sulit bagiku untuk melihat"
"Anak manusia, jika kau benar-benar Pendekar 212, perlihatkan padaku Kapak Maut
Naga Geni 212!" tiba-tiba orang di hadapan Wiro berkata.
Wiro terkesiap. "Bertemu baru sekarang. Bagaimana orang tua ini tahu kalau aku
Pendekar 212 dan punya senjata Kapak Maut Naga Geni 212! Ah, pengetahuannya
tentu luas sekali padahal... Dari tadi dia tak pernah mengeluarkan kedua
tangannya dari balik jubah. Jangan jangan si Raja Obat ini buntung!"
"Aku menunggu jawabanmu anak muda!"
Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum. "Jangan cengengesan di hadapanku!
Kalau kau berani memuslihati diriku berarti umurmu tidak bakal panjang. Kau tak
akan pernah meninggalkan pulau ini..."
"Nasibku jelek. Senjata mustika itu dan pasangannya sebuah batu hitam sakti
lenyap dicuri orang..."
Si orang tua geleng-gelengkan kepalanya. "Seperti dalam nyanyianku tadi, kau
ternyata memang seorang budak malang. Apa kau tahu siapa yang telah mencuri dua
senjata saktimu itu"'
"Dua orang berjuluk Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan..." jawab Wiro.
"Hemmm... Mereka memang iblis-iblis berkepandaian tinggi. Tapi aku tidak begitu
saja percaya omonganmu. Setahuku Pendekar 212 tidak pernah mengenakan pakaian
serba hitam seperti yang kau kenakan saat ini. Dia selalu pakai baju dan celana
putih. Aku ingin melihat dadamu. Kabarnya di situ ada rajahan angka 212. Jika
kau memang memiliki baru aku bisa percaya!"
"Sialan! Sulit juga rupanya membuat urusan dengan tua bangka ini!" rutuk Wiro
dalam hati. Lalu dia buka baju hitam pemberian Ratu Duyung di bagian dada.
Sepasang mata Raja Obat Delapan Penjuru Angin melihat rajah angka 212 pada dada
Wiro. "Kau sudah saksikan sendiri?" tanya Wiro.
Orang tua itu anggukkan kepala.
"Nah sekarang giliranku bertanya..."
"Tunggu dulu!" memotong Raja Obat Delapan Penjuru Angin. "Ada hubungan apa
antara kau dengan Ratu Duyung"!"
"Eh, orang ini benar-benar tahu banyak tentang diriku," pikir Wiro. "Aku
berhutang budi dan nyawa pada penguasa laut itu. Itu saja..."
"Hemm... Sekarang aku masih ingin satu kepastian. Ulurkan kedua tanganmu.
Telapak dibuka ke atas!"
"Ah orang tua. Kau rupanya menyuruh aku menirukan lagak pengemis. Tapi mengapa
dua tangan sekaligus?" tanya Wiro sambil tertawa.
"Jangan berani bergurau padakul* menyentak orang tua. "Lekas ulurkan kedua
tanganmu!"
Walau kini dia mulai jengkel dengan sikap orang tua itu namun Wiro ulurkan juga
kedua tangannya ke depan. Telapak tangan dikembangkan ke atas.
Pada saat itulah tanpa diduga sepasang tangan si orang tua yang sejak tadi
mendekam di balik jubah tiba-tiba melesat keluar dari balik jubah putih.
"Bukk!"
"Bukk!"
Dua jotosan laksana palu godam menghantam ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
*** BAB VI JERITAN keras meledak keluar dari mulut murid Sinto Gendeng ketika dua jotosan
yang dihantamkan orang tua berjubah dan bertutup kepala putih itu mendarat di
dada dan pipi kanannya. Kepalanya seolah terlempar pecah, dadanya laksana remuk.
Tubuhnya mencelat sampai dua tombak, menggelinding ke lereng bukit, tertahan
pada satu gundukan batu merah runcing! Darah menyembur dari mulutnya. Tubuh Wiro
tergeletak tak berkutik lagi!
Di atas sana terdengar suara tawa mengekeh lalu satu bayangan putih berkelebat,
melayang turun dan berdiri di hadapan sosok Pendekar 212. Dengan ujung kakinya
orang ini membalikkan tubuh Wiro.
"Ha... ha... ha! Mampus juga kau akhirnya!" Habis berkata begitu orang ini buka
jubah putih dan selendang penutup wajahnya. Di balik jubah itu ternyata orang
ini mengenakan jubah lain yang kotor dekil serta bau. Tangannya yang tersembul
dari balik jubah penuh dengan koreng bernanah dan menebar bau busuk. Wajahnya
lebih mengerikan lagi karena hancur penuh oleh koreng cacar air busuk yang sama!
Tiga jari kanannya yang tersembul di balik jubah tampak buntung kehitaman. Salah
satu bagian bawah jubahnya hangus seperti pernah terbakar.
Pada punggungnya tergantung sebuah caping bambu. Dari mulutnya dia menyemburkan
cairan merah sirih dan tembakau. Ketika caping itu dikenakannya di atas
kepalanya dan sehelai kain ditutupkannya ke wajahnya jelaslah sudah orang tua
ini bukan lain adalah si Makhluk Pembawa Bala! Makhluk iblis yang sebelumnya
telah dua kali mencoba membunuh Wiro!
Sambil tertawa-tawa dia menjambak rambut gondrong Pendekar 212 lalu enak saja
dia menyeret Wiro ke arah timur pulau. Hampir lima puluh tombak menyeret,
Makhluk Pembawa Bala hentikan langkahnya di satu bagian pulau dimana terdapat
satu batu rata berukuran dua kali dua tombak. Di atas batu warna merah ini
tergeletak sesosok tubuh kurus kering seorang tua berambut, berkumis dan
berjanggut putih. Wajahnya sebelah kanan berwarna biru. Saat itu boleh dikatakan
orang tua ini nyaris telanjang karena hanya secarik kain putih kecil yang
terselempang di aurat sebelah bawah perutnya. Melihat keadaannya saat itu yang
tak bisa bergerak maupun bersuara kecuali hanya sepasang matanya saja yang
bergerak-gerak nyatalah dirinya berada dalam keadaan tertotok. Orang tua yang
malang ini bukan lain adalah si Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Makhluk Pembawa Bala hempaskan tubuh Wiro di samping sosok si orang tua.
Pinggul mereka saling bersentuhan. Wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin berubah
pucat ketika melihat pemuda yang tergeletak di sampingnya.
Makhluk Pembawa Bala mendongak ke langit lalu tertawa gelak-gelak. Dengan kaki
kanannya ditendangnya tulang kering Raja Obat.
"Ini anak manusia yang kau tunggu dalam nyanyianmu itu"! Ha... ha... ha..!
Nasibnya memang malang! Dia keburu mampus sebelum sempat melihat tampangmu!"
Makhluk Pembawa Bala kembali tertawa mengakak. "Eh, kau diam saja! Ah, biar aku
berbaik hati sedikit membuka jalan suaramu agar aku bisa mendengar apa saja
uneg-uneg yang hendak kau keluarkan!"
Makhluk Pembawa Bala membungkuk lalu menotok pangkal leher sebelah kiri Raja
Obat. Saat itu juga punahlah totokan yang menutup jalan suaranya.
"Kau bukan manusia tapi iblis! Apa salah pemuda itu hingga kau membunuhnya"!"
Begitu jalan suaranya terbuka Raja Obat langsung membentak.
"Ha... ha... ha! Mentang-mentang sudah bisa bicara omonganmu tidak sedap masuk
ke telingaku. Kau tidak melihat kenyataan Raja Obat! Kalau aku tega membunuh
kecoak satu ini apa kau kira aku tidak tega mencabut nyawamu"!"
"Tadipun aku sudah bilang agar kau segera membunuhku! Kau tak bakal mendapatkan
keterangan apa-apa dariku!" jawab Raja Obat.
"Kita akan lihat! Kita akan lihat!" kata Makhluk Pembawa Bala pula.
"Silahkan kau mau membunuh aku cara bagaimana! Menghancurkan kepalaku!
Mematahkan batang leherku atau menjebol isi perutku!"
"Ah! Rupanya kau tahu juga banyak cara mati yang enak! Ha... ha... ha! Tidak...
semua cara yang kau sebutkan itu tidak akan kejadian. Aku punya cara lain yang
lebih sedap... Pertama, satu persatu kuku jari tangan dan kakimu akan kubetot
lepas. Lalu kulit kepalamu akan kukupas. Setelah itu lidahmu... Oh tidak...
Geger Rimba Persilatan 3 Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat Pendekar Pemanah Rajawali 26
^