Pencarian

Muslihat Para Iblis 2

Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis Bagian 2


Lidah belakangan. Aku masih ingin mendengar jeritanmu. Salah satu matamu akan
kukorek lebih dulu. Setelah itu...
hik... hik... hik! Ini yang sedap dan lucu! Kau pasti akan menikmatinya. Bijimu
akan kupencet, kulepas, kupencet. Lepas... pencet... lepas... pencet! Ha...
ha... ha... Kalau suaramu sudah serak karena menjerit baru kuremas hancur bijimu
itu! Ha... ha... ha... ha!"
Selagi Makhluk Pembawa Bala bicara sambil tiada hentinya tertawa Raja Obat
Delapan Penjuru Angin diam-diam merasakan bahwa pinggul Wiro yang bersentuhan
dengan pinggulnya terasa hangat. Lalu ada denyutan-denyutan halus pada sisi
perut si pemuda. Dari tanda-tanda ini si Raja Obat segera maklum kalau pemuda
itu sebenarnya belum menemui kematian tapi cuma pingsan dengan luka dalam
teramat parah. Hati orang tua ini menjadi lega, Otaknya segera bekerja.
Saat itu Makhluk Pembawa Bala telah keluarkan sebuah catut besi dari balik jubah
dekilnya. Benda ini ditimang-timangnya beberapa kali lalu dia berlutut di ujung
kaki Raja Obat.
"Aku masih memberi kesempatan padamu. Memilih mati tersiksa atau kau lekas
memberi tahu dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu!"
"Kalau hendak membunuhku mengapa tidak langsung saja" Mengapa masih bertanya-
tanya"! Aku sudah bilang tidak tahu menahu soal segala kitab dewa itu!
Kalaupun tahu tak bakal kukatakan pada makhluk durjana macammu."
Makhluk Pembawa Bala tertawa gelak-gelak.
"Rupanya kau memilih menyusul pemuda ini. Kupikir-pikir dalam usiamu yang
seratus tahun ini apa perlunya kau hidup lebih lama! Baik! Jika kau ingin mampus
aku tuan besarmu segera membuka pintu neraka untukmu!"
Makhluk Pembawa Bala lalu tempelkan ujung catut besi ke kuku ibu jari kaki kanan
Raja Obat. Mulutnya yang korengan bernanah menyeringai, "Umur sudah bangkotan.
Lobang neraka sudah menunggu! Masih tidak tahu diri! Rasakan siksaanku!"
Dua ujung catut menjepit kuku. Ketika siap untuk disentakkan tiba-tiba Raja Obat
berseru. "Tunggu!"
"Hemmm. Apa kau mau bicara"!" tanya Makhluk Pembawa Bala pula.
"Ya... ya... Aku menyerah!" jawab Raja Obat.
"Kalau begitu lekas bicara! Katakan dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa
itu!" "Ba... baik... Tapi untuk mengetahuinya tak bisa diterangkan begitu saja. Aku
harus melakukan sesuatu. Aku harus melihat di alam gaib baru bisa membaca dan
mengatakan..."
"Jangan berani menipu!"
"Terserah padamu! Jika tidak percaya aku tak bisa melakukan apa yang kau
minta..." "Apa yang hendak kau lakukan" Apa kau tidak bisa langsung mengatakan"!"
"Tidak... Aku harus minta petunjuk dari alam gaib lewat asap batu merah..."
"Apa itu asap batu merah?"
"Jika dibacakan mantera dan ditebarkan bubuk batu merah ke udara maka akan
kudapat petunjuk dimana beradanya kitab sakti itu. Petunjuk tak bisa didapat
cepat, tergantung bagaimana alam gaib menerimanya..."
"Aku tidak percaya!" kata Makhluk Pembawa Bala seraya berdiri lalu melangkah
mundar-mandir. "Kalau begitu bunuh aku sekarang saja!" Raja Obat seolah benar-benar pasrah dan
tidak takut sama sekali.
"Setan!" memaki Makhluk Pembawa Bala seraya tendang rusuk Raja Obat hingga orang
tua ini mengeluh tinggi dan mengerenyit kesakitan. "Baik, aku akan lepaskan
totokanmu. Tapi jika kau berani memuslihatiku kau akan mampus lebih cepat!"
Ancam Makhluk Pembawa Bala lalu dia membungkuk dan lepaskan totokan di tubuh si
orang tua. Begitu totokan di tubuhnya lepas Raja Obat bangkit dan duduk bersila. Dengan
sehelai kecil kain putih ditutupnya auratnya sebelah bawah lalu dia rangkapkan
dua tangan di depan dada. Sebelum pejamkan matanya dia memberi tahu.
"Aku akan bersemadi sambil merapal mantera..."
"Cepat lakukan!" bentak Makhluk Pembawa Bala seraya berkacak pinggang dan
mengawasi. Raja Obat lalu pejamkan kedua matanya. Mulutnya yang berisi sirih dan tembakau
berkomat-kamit tiada henti. Makhluk Pembawa Bala menunggu tidak sabaran.
Tak selang berapa lama orang tua ini buka kedua matanya. Orang di depannya
segera menghardik.
"Kau sudah tahu dimana letak kitab sakti itu"!"
"Harap bersabar..." jawab Raja Obat pendek. Lalu tangan kanannya diulurkan ke
depan. Dengan dua jari tangannya dicungkilnya batu merah di hadapannya. Pecahan
batu ini kemudian diremasnya hingga hancur menjadi bubuk. Selagi perhatian
Makhluk Pembawa Bala tertuju pada tangan kanannya, perlahan-lahan Raja Obat
turunkan tangan kirinya ke bawah. Dua jari mencungkil batu merah di ujung
lututnya. Seperti dengan tangan kanan tadi, pecahan batu diremasnya hingga
berubah jadi bubuk sementara mulutnya terus berkomat kamit.
"Pertunjukan apa yang hendak diperlihatkan jahanam ini padaku!" rutuk Makhluk
Pembawa Bala semakin tidak sabar.
Mulut si orang tua tiba-tiba terbuka. Lalu terdengar suaranya berucap. "Alam
gaib akan kusebar persembahan! Sebagai imbalan beri petunjuk padaku. Beri
petunjuk padaku dimana letaknya Kitab Putih Wasiat Dewa. Persembahan harap
dibalas dengan petunjuk agar seimbang budi di alam gaib..."
Perlahan-lahan Raja Obat angkat tangan kanannya. Bubuk batu merah yang ada dalam
genggamannya disebarkan ke udara. Maka di tempat itu bertebarlah bubuk yang
berubah menjadi asap merah. Untuk beberapa lamanya ada bau aneh yang menindih
bau busuk tubuh Makhluk Pembawa Bala. Untuk beberapa lamanya pula pemandangan si
makhluk tertutup oleh lapisan asap merah. Pada saat itulah dengan cepat Raja
Obat gerakkan tangan kirinya ke samping. Begitu dia berhasil menyentuh mulut
Pendekar 212, bubuk batu merah yang ada dalam genggamannya disumpalkannya ke
dalam mulut sang pendekar. Lalu dengan dua ujung jarinya ditotoknya urat besar
di leher si pemuda.
"Hekkk!"
Bubuk batu merah larut dan masuk ke dalam tenggorokan Wiro terus masuk ke dalam
perutnya. "Aku mendengar suara orang tercekik!" Tiba-tiba Makhluk Pembawa Bala berteriak.
Dia mulai curiga.
"Itu suaraku batuk karena kemasukan debu batu merah. Jangan berani buka suara
lagi dan jangan bergerak dari tempatmu. Kalau tidak semua bisa buyar dan aku tak
dapat petunjuk dari alam gaib!"
Makhluk Pembawa Bala meskipun marah terpaksa menutup mulut dan tak bergerak dari
tempatnya berdiri yakni sekitar lima langkah di hadapan Raja Obat yang duduk
bersila di atas batu merah.
*** BAB VII PADA saat bubuk batu merah masuk ke dalam tubuhnya terjadilah hal yang luar
biasa. Tubuh Pendekar 212 yang saat itu menderita luka dalam yang amat parah dan
keadaannya tak beda dengan orang yang sedang sekarat diserang oleh satu aliran
sakti hawa sejuk. Setelah mengalir ke seluruh jalan darahnya hawa ini berkumpul
di bagian dada yakni pada bagian yang kena hantaman Makhluk Pembawa Bala. Saat
itulah Wiro perlahan-lahan kembali siuman. Pipi kanan dan dadanya mendenyut
sakit. Lalu dirasakannya hawa sejuk aneh menyengat dadanya. Rasa sejuk mendadak
berubah menjadi sengatan hawa panas luar biasa. Mulut Pendekar 212 terbuka lebar
hendak berteriak karena kesakitan. Tapi tak ada suara yang keluar. Dia coba
menggerakkan tangan untuk memegang dada. Tak bisa. Sadarlah murid Sinto Gendeng
kalau saat itu dirinya berada dalam keadaan tertotok. Dia coba melirik ke
samping. Di udara dilihatnya ada tebaran asap merah menutupi pemandangan. Lalu
telinganya mendengar suara orang meracau seperti membaca mantera.
"Aku ingat betul. Makhluk Pembawa Bala menghantamku dengan tiba-tiba. Aku
pingsan. Sekarang berada di mana diriku ini" Asap aneh apa di depanku itu. Siapa
pula yang sedang membaca mantera?" Berbagai pertanyaan muncul dalam hati
Pendekar 212. Perlahan-lahan sengatan hawa panas lenyap. Hawa sejuk kembali muncul di sekitar
dada. Tapi tidak lama karena hawa sejuk ini bergerak mengalir menuju ke atas, naik ke
kepala Wiro mengarah pipi kanannya yang saat itu bengkak besar hingga matanya
hampir tertutup. Di sebelah dalam ada bagian tulang pipinya yang retak.
Wiro merasa kepalanya seperti dipanggang ketika tiba-tiba hawa sejuk lenyap
berganti dengan hawa panas yang menghantam laksana sambaran petir. Kalau saja
dirinya tidak tertotok saat itu niscaya jeritannya setinggi langit.
"Gila! Apa yang terjadi dengan diriku! Siapa yang punya pekerjaan ini"!" rutuk
Pendekar 212 dalam hati.
Ketika hawa panas hilang berganti dengan hawa sejuk Wiro merasakan sakit di
kepalanya lenyap, bengkak besar di mukanya sebelah kanan telah berkurang walau
matanya masih agak menggembung.
"Ada seseorang mengobati diriku. Siapa...?" Wiro berusaha membalikkan badan dan
memutar kepala tapi tidak mampu karena dirinya masih berada dalam keadaan
tertotok. Pada saat itulah tiba-tiba murid Sinto Gendeng mendengar suara halus seperti
nyamuk mengiang di telinganya.
"Ada orang sakti menyampaikan sesuatu padaku..." ujar Wiro dalam hati.
"Anak muda... Sebentar lagi asap merah di depanmu akan pupus. Kau akan melihat
seorang memakai caping di kepalanya, mengenakan jubah kotor tegak beberapa
langkah di depanmu. Kau harus membunuh manusia itu. Pergunakan ilmu kesaktianmu
yang paling hebat. Kau harus mampu membunuhnya dengan sekali menghantam. Kalau
tidak kau dan juga aku akan celaka besar!"
Wiro hendak menjawab tapi tak mampu. Sesuai petunjuk yang didengarnya murid
Sinto Gendeng ini segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan
kanan. Saat itu juga sepasang lengannya sampai ke ujung kuku berubah menjadi
seputih perak. Ini satu pertanda bahwa Pendekar 212 siap melancarkan pukulan
"Sinar Matahari" dengan tenaga dalam penuh!
"Tua bangka keparat!" tiba-tiba. Wiro mendengar suara orang membentak. "Apa kau
sudah mendapat petunjuk"! Aku sudah tidak sabaran! Aku punya firasat kau hendak
menipuku! Lebih baik kau kubunuh saat ini juga!"
"Kalau kau bersabar sedikit lagi, aku segera mendapat petunjuk. Di hadapanku
sudah terlihat sesuatu. Aku akan mengatakan padamu apa yang aku lihat. Aku
melihat seorang nenek dengan wajah seseram setan. Di kepalanya ada satu mahkota
memancarkan sinar kehijauan. Di tangan kanannya dia memegang sebuah tongkat besi
berwarna kuning. Aku lihat dia berucap mengatakan sesuatu. Aku dengar dia
mengatakan... mengatakan..."
"Mengatakan apa"!" sentak Makhluk Pembawa Bala.
Saat itu asap merah bubuk batu merah perlahan-lahan mulai menipis. Seperti yang
dikatakan ngiangan suara di telinganya, walau dengan sudut matanya Wiro dapat
melihat sesosok tubuh berdiri beberapa langkah di hadapannya. Orang ini memakai
caping di kepalanya, mengenakan sehelai jubah butut. Tangan dan mukanya
mengerikan karena dipenuhi cacar air bernanah dan menebar bau busuk.
"Makhluk Pembawa Bala!" kata Wiro dalam hati.
Amarah langsung naik ke kepalanya. "Aku sudah menduga..." Maka Pendekar 212
segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangan kanan kiri.
"Nenek bermuka setan mengatakan..." kembali terdengar suara Raja Obat sambil
tangan kirinya dengan cepat bergerak ke arah punggung dan pangkal leher Pendekar
212. "Nenek itu mengatakan siapa yang ingin mengetahui dimana tersembunyinya Kitab
Putih Wasiat Dewa maka dia harus mendengarkan dengan telinga terpentang dan mata
terpejam. Makhluk Pembawa Bala harap kau buka telingamu baik-baik dan pejamkan
kedua matamu!"
Makhluk Pembawa Bala yang tegak beberapa langkah dari hadapan si Raja Obat
segera pasang telinga baik-baik. Ketika dia hendak memejamkan mata, di balik
asap merah yang semakin menipis tiba-tiba dia melihat sosok tubuh Pendekar 212.
Lalu pandangannya membentur wajah si pemuda dan samar-samar melihat sepasang
mata Wiro yang terbuka.
"Eh... Pemuda itu bukankah dia tadi sudah mati..."!" Makhluk Pembawa Bala angkat
tangan kanannya dan maju selangkah. "Jahanam! Tua bangka keparat! Kau menipuku!"
teriak Makhluk Pembawa Bala marah. Tangan kanannya dihantamkan pada Raja Obat.
Justru pada saat itu pula sosok Pendekar 212 melompat ke hadapannya. Dari jarak
hanya tiga langkah murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan "Sinar Matahari"
dengan tangan kiri kanan. Dua larik sinar panas menyilaukan berkiblat.
Suara Jeritan Makhluk Pembawa Bala tenggelam oleh gemuruh dua pukulan
"Sinar Matahari" yang menghantam dirinya. Tubuh orang ini mencelat ke udara
dalam keadaan cerai berai, hangus dan mengepulkan bau menggidikkan!
Sepasang kaki yang hancur hangus melesat ke timur. Potongan badan dengan isi
perut berbusaian mencelat ke barat. Dua tangan terlepas entah kemana. Bagian
dada dan kepala yang hancur melesat ke utara ke arah lautan lepas!
Di tengah laut selatan yang saat itu ombaknya mulai besar akibat tiupan angin
kencang dari utara, sebuah jukung kelihatan meluncur pesat membelah ombak.
Perahu kecil ini ditumpangi oleh seorang nenek berdandan aneh yang mengingatkan
kita pada Iblis Tua Ratu Pesolek. Meskipun sudah tua keriputan namun si nenek
berdandan mencorong. Bibir dan pipi dicat merah. Bedak putih kekuningan hampir
setebal dempul menutupi wajahnya. Sepasang alis hitam mencuat ke atas.
Sanggulnya rapi dan bagus.
Dia mengenakan sehelai baju panjang berwarna hitam dengan bunga-bunga putih.
Selagi enak-enak di dalam perahu yang dihantam gelombang itu tiba-tiba dia
melihat satu benda melayang di udara.
"Burung bukan, kampret juga bukan! Makhluk apa yang melayang itu...?" si nenek
membatin seraya berdiri tegak di atas jukung dan terus mendongak memperhatikan
benda yang melayang di udara. Alisnya yang mencuat mengernyit. Dia tidak dapat
memastikan benda apa itu adanya. "Tak puas kalau aku tidak tahu benda apa yang
melayang itu!" katanya dalam hati. Ketika benda di udara hampir lewat di atas
kepalanya, si nenek angkat tangan kanannya. Terjadilah satu hal yang hebat.
Benda yang melayang di udara seolah-olah tertahan. Ketika si nenek memutar-
mutarkan tangannya benda itu ikut berputar.
Begitu si nenek gerakkan tangannya perlahan-lahan ke bawah, benda yang di udara
seolah-olah tersedot ikut tertarik ke bawah. Sesaat kemudian "braakkk!" Benda
itu jatuh bergedebuk di lantai perahu di hadapan si nenek. Bau busuk bercampur
bau sangitnya daging yang terpanggang melanda hidungnya.
Sepasang mata perempuan tua berdandan mencorong itu mendelik besar. Yang
dilihatnya saat itu adalah potongan tubuh manusia mulai dari dada sampai ke
kepala dalam keadaan terpanggang hangus mengerikan!
"Oo ladalah! Seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan pemandangan begini rupa!
Manusia atau binatang yang menggeletak di hadapanku ini?" ujar si nenek. Sambil
menekap hidungnya dia coba meneliti lalu geleng-gelengkan kepala. "Tak bisa
kukenali..." katanya. "Aku tak mau ketumpangan makhluk busuk seperti ini.
Pergilah!"
Sekali kaki kirinya menendang maka potongan tubuh dan kepala yang mengerikan
itu, yang bukan lain adalah potongan tubuh dan kepala Makhluk Pembawa Bala
mencelat mental sampai beberapa tombak dan jatuh ke dalam laut, dilamun ombak
dan amblas tenggelam tak kelihatan lagi.
*** BAB VIII PENDEKAR 212 jatuhkan diri ke atas batu datar merah. Berlutut dengan dada turun
naik. Wajahnya yang masih bengkak tampak agak pucat. Perlahan-lahan dia duduk
bersila, atur jalan napas, darah dan tenaga dalam. Ketika dia berpaling ke kiri pandangannya membentur orang
tua bermuka biru itu. Wiro segera bangkit berdiri, melangkah mendekati lalu
berlutut di hadapannya. Untuk beberapa lamanya dia memandangi wajah berbelang
biru, rambut, janggut dan kumis panjang memutih itu.
"Orang tua, aku berterima kasih padamu. Kalau tidak dengan pertolonganmu aku
pasti sudah menemui ajal di tangan Makhluk Pembawa Bala itu. Aku berhutang budi
dan nyawa padamu dan tak tahu bagaimana harus membalasnya..." Wiro membungkuk
hormat sampai tiga kali.
"Makhluk Pembawa Bala itu memang jahat busuk, ganas dan licik. Sejak satu tahun
belakangan ini dia malang melintang di laut selatan. Pasti ada sesuatu yang
dicarinya. Sekaligus menunggu seseorang untuk dibunuh... Mungkin sekali ada yang
menyuruhnya."
"Pasti diriku yang diarahnya. Siapa yang menyuruhnya apakah kau tahu orangnya?"
tanya Wiro. Yang ditanya menggeleng.
"Ada permusuhan apa antara kau dengan dirinya hingga dia inginkan nyawamu"!"
"Aku tidak tahu. Dua kali dia menghadangku di tengah lautan. Aku berhasil lolos.
Kali yang ketiga dia memuslihati diriku dengan menyamar menjadi..."
Si orang tua tersenyum. "Dia menyamar menyerupaiku dan berhasil mengelabuimu..."
"Sekali lagi aku berterima kasih atas pertolonganmu," kata Wiro pula.
"Pertolonganku belum selesai. Putar dudukmu. Hadapkan punggungmu ke arahku..."
Walau tidak mengerti apa maksud orang tua itu namun Wiro memutar duduknya
membelakangi. Pada saat itulah tanpa suara dan tanpa disadari oleh Wiro tiba-
tiba orang tua di belakangnya mengangkat tangan kanan dan menghantam


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggungnya. "Bukkk!"
Wiro Sableng menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai satu tombak, terbanting
menelungkup di atas batu merah. Punggungnya laksana hancur luluh. Bersamaan
dengan teriakannya tadi dari mulutnya menyembur darah hitam berbuku-buku.
Wiro mencoba bangkit. Terhuyung-huyung sambil menyeka darah yang membasahi
pinggiran mulutnya dia mendatangi si orang tua lalu jatuhkan diri di hadapannya
dan membentak dengan mata melotot.
"Orang tua, kau hendak membunuhku..."!"
"Aku hanya membersihkan sisa-sisa darah beku yang masih bersarang di dadamu
akibat pukulan Makhluk Pembawa Bala itu. Jika darah beku itu terus mendekam di
tubuhmu, kau akan menemui ajal dalam waktu dekat setelah disiksa oleh penyakit
yang sulit disembuhkan..."
"Terima kasih, lagi-lagi kau telah menolongku," kata Wiro begitu menyadari bahwa
apa yang dilakukan orang tua itu tadi adalah menolongnya. Sesaat Wiro pandangi
orang yang duduk di hadapannya itu lalu berkata. "Orang tua, melihat pada ciri-
cirimu aku yakin bukankah kau orang yang digelari Raja Obat Delapan Penjuru
Angin itu?"
Yang ditanya tersenyum lalu menjawab.
"Kau sudah tahu siapa diriku. Sekarang katakan siapa dirimu."
"Namaku Wiro Sableng. Aku murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede..."
"Gunung Gede jauh sekali dari tempat ini. Jika kau menyabung nyawa untuk
menyeberangi daratan mengarungi lautan berarti ada sesuatu yang sangat penting
menjadi tujuanmu."
Wiro lalu menceritakan pengalamannya ditolong pertama kali oleh anak buah Ratu
Duyung (baca Episode II: Wasiat Dewa). "Ketika aku dilepas pergi oleh Ratu
Duyung, di tengah laut mendadak muncul dua orang berkulit hitam yang tubuhnya
bersirip seperti ikan. Mereka bermaksud membunuhku tapi aku berhasil lolos.
Belum lama selamat dari dua makhluk keparat itu tiba-tiba Makhluk Pembawa Bala
muncul pula. Nasibku masih untung. Sebelum ajalku sampai di tangan makhluk busuk
itu enam orang anak buah Ratu Duyung walaupun dalam keadaa samar-samar kulihat
datang menolongku. Rupanya Makhluk Pembawa Bala tidak punya nyali melawan mereka
lalu melarikan diri..."
"Cerita dan pengalamanmu luar biasa! Tapi kau belum mengatakan apa tujuanmu
datang ke pulau ini..."
"Aku mendapat petunjuk dari Ratu Duyung bahwa sebuah pulau yang keseluruhannya
terdiri dari batu merah terletak di tenggara. Aku harus menuju ke pulau itu.
Namun seperti yang kututurkan tadi, di tengah laut aku dihadang oleh orang-orang
yang hendak membunuhku. Dalam keadaan pingsan perahuku mungkin sekali terombang
ambing ke pulau ini. Lalu entah apa yang terjadi aku dapatkan diriku berada di
sebuah batu datar miring berwarna merah. Baru saja aku siuman tiba-tiba ada satu
benda bersinar melayang jatuh dari angkasa, menembus ke dalam batok kepalaku.
Setelah itu aku seperti ditelan waktu. Aku melihat satu jalinan kisah seperti
satu mimpi yang panjang..."
"Hebat sekali... Hebat sekali apa yang kau tuturkan tadi," kata Raja Obat
Delapan Penjuru Angin. "Tapi mengapa kau masih belum mengatakan apa tujuanmu
mencari pulau batu merah ini?"
"Aku mendapat tugas dari guruku Eyang Sinto Gendeng serta dua tokoh silat yaitu
Si Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Mereka menyuruh aku mencari dan
mendapatkan sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut mereka
kau satu-satunya orang yang mengetahui di mana beradanya kitab itu."
Raja Obat Delapan Penjuru Angin tertawa. "Aku hanya seorang tukang obat tak
berguna. Kemampuanku serba terbatas termasuk pengetahuanku. Bagaimana mungkin
mereka bisa menduga bahwa aku satu-satunya orang yang mengetahui dimana
beradanya kitab sakti itu?"
"Ketika bertemu dengan Ratu Duyung, perempuan sakti itu juga memberi tahu bahwa
memang hanya kau yang mengetahui hal kitab sakti itu."
"Hemmmmm.. Ratu Duyung. Dia memang manusia luar biasa. Cantik dan memiliki
kepandaian tinggi," kata si orang tua pula. "Anak muda. Orang-orang yang
menyuruhmu itu benar-benar memberikan tugas maha berat padamu. Kau tahu mengapa
mereka inginkan kitab itu?"
"Menurut mereka dalam dunia persilatan akan muncul sebuah kitab sakti yakni
Kitab Wasiat Iblis. Barang siapa yang memilikinya akan menjadi raja di raja
dunia persilatan. Karena kitab ini berdasarkan pada ajaran hitam yang sesat maka
harus dimusnahkan. Hanya ilmu yang terkandung dalam Kitab Putih Wasiat Dewa yang
sanggup mengalahkan kesaktian Kitab Wasiat Iblis. Kini kitab iblis itu kabarnya
sudah jatuh ke tangan seorang sakti sesat dan jahat yaitu Pangeran Matahari."
Untuk pertama kalinya Raja Obat Delapan Penjuru Angin meludah membuang cairan
sirih dan tembakau yang ada di mulutnya ke atas batu merah di sampingnya.
Anehnya cairan itu seolah meresap ke dalam batu, sesaat kemudian lenyap tak
berbekas. "Anak muda, selama tujuh puluh tahun aku memencilkan diri di pulau ini..."
"Tujuh puluh tahun?" mengulang Wiro sambil menatap lekat-lekat ke wajah si orang
tua. Lalu dia memandang sekeliling pulau. Sejauh mata memandang hanya batu,
bebukitan dan pegunungan merah yang tampak. Sama sekali tak satu tetumbuhanpun
yang kelihatan. Tujuh puluh tahun memencilkan diri" Siapa sebenarnya si Raja
Obat ini" Pemberontak yang dikejar-kejar lalu lari ke sini?" Begitu Wiro membatin. Dia
tidak tahu kalau sebenarnya si orang tua adalah seorang Pangeran.
"Makhluk Pembawa Bala dan dirimu adalah dua manusia terakhir yang mendatangi
pulau ini setelah tujuh puluh tahun. Kau bisa membayangkan. Sekian lama aku tak
pernah meninggalkan pulau. Bagaimana mungkin aku mengetahui segala urusan dunia
persilatan di luar sana, termasuk kitab yang kau katakan itu..."!"
"Jadi"!" seru Wiro lalu terdiam. Hanya matanya saja yang memandang besar dan tak
berkesip pada Raja Obat yang duduk bersila di depannya dengan air muka tidak
berubah. "Jadi kau sama sekali... benar-benar kau tidak mengetahui tentang Kitab
Putih Wasiat Dewa itu?"
"Mendengarnyapun baru sekali ini"' jawab Raja Obat.
Wiro menarik napas panjang. Lalu "plaakk!" Dia menepuk jidatnya sendiri dengan
telapak tangan kanan. Dia seperti terhenyak di atas batu merah yang didudukinya.
Dalam hati dia setengah mengeluh setengah menyumpah. "Celaka! Percuma aku jauh-
jauh menyabung nyawa! Lebih baik mati saja agar tidak kecewa sebesar ini!"
Saking kesalnya Wiro lalu garuk-garuk kepalanya hingga rambutnya yang gondrong
awut-awutan. Kemudian dia memandang pada si Raja Obat tak berkesip. Satu hal
teringat dalam benaknya. "Jangan-jangan si muka belang ini Raja Obat palsu pula
dan hendak memuslihatiku!" pikir Pendekar 212.
"Raja Obat," ujar Wiro pula. "Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di pulaumu
ini aku mendengar suara orang menyanyi. Bukankah kau yang menyanyi itu?"
Si Raja Obat tidak menjawab. Hanya menatap Wiro dengan air muka tidak berubah.
Namun sesaat kemudian dia bertanya. "Mengapa kau bertanya begitu?"
"Ah, tidak apa-apa!" jawab murid Sinto Gandeng. "Suara yang menyanyi jelek tak
enak didengar. Lebih bagus suara kaleng rombeng diberi batu lalu digoyang-
goyang..." Wiro melirik. Dilihatnya paras belang si orang tua agak berubah
sedikit. Dalam hati Wiro tertawa. "Rasakan kau. Kena batunya aku sindir!" Lalu dia
meneruskan. "Tapi bait-bait dalam nyanyiannya itu mengingatkan aku akan sesuatu!"
"Sesuatu apa?" tanya Raja Obat.
"Bahwa berdusta atau memuslihati orang itu hanyalah pekerjaan manusia-manusia
culas seperti Makhluk Pembawa Bala yang sudah kojor itu. Tak layak dilakukan
oleh orang-orang yang dianggap mempunyai kepentingan untuk berbaik budi dan
menolong sesamanya..."
"Ah, aku ingat pada seorang Biksu di Kotaraja. Ucapanmu hampir bersamaan dengan
Biksu itu. Kau punya bakat jadi Biksu!" Raja Obat lalu tertawa gelak-gelak.
"Menjadi Biksu, menjadi pemuka agama atau tokoh silat ataupun hanya seorang
rakyat jelata sepertiku sama saja. Seseorang tidak dipandang dari siapa dirinya.
Tapi dari apa yang dikatakannya dan apa yang dilakukannya!" jawab Wiro pula.
Lalu dia melirik lagi. Kembali dilihatnya tampang si Raja Obat yang belang biru
itu berubah. "Rasakan!"
maki Wiro lagi dalam hati.
"Anak muda, bait-bait dalam nyanyian itu setahuku tak ada sangkut pautnya dengan
apa yang kau ucapkan..."
"Nah, nah!" kata Wiro dalam hati seraya menyeringai. "Secara tidak langsung dia
mengakui bahwa memang dialah si penyanyi. Tapi biar saja aku tak mau membuatnya
malu." Sambil menggaruk kepalanya Wiro kemudian berkata.
"Raja Obat, nyanyian yang kudengar itu seolah Menceritakan tentang seorang tua
renta yang telah puluhan tahun menunggu kedatangan seorang budak malang.
Pertemuan dengan budak itu adalah akhir penantian datangnya satu harapan bahwa
dia akan kembali menghadap Yang Kuasa tanpa beban batin. Aku berharap, akulah
budak malang dalam nyanyian itu dan kaulah orang tua gagah yang melakukan
penantian!"
Raja Obat Delapan Penjuru Angin menatap wajah Pendekar 212 beberapa ketika lalu
tertawa gelak-gelak.
"Wiro, dalam sikap bodohmu ternyata kau adalah seorang cerdik. Memang aku telah
menunggumu sejak tujuh puluh tahun yang lalu..."
"Tujuh puluh tahun yang lalu?" ulang Wiro dengan nada tidak percaya dan mata
membesar. "Gila! Saat itu aku masih belum lahir. Jadi anginpun rasanya belum!"
Raja Obat tertawa.
"Tujuh puluh tahun lalu ada dua kejadian yang tak pernah kulupakan. Pertama,
kedatangan seorang utusan Kerajaan bernama Lawunggeni. Meminta obat untuk puteri
Sri Baginda yang adalah juga adikku lain ibu..."
Terkejutlah Wiro mendengar keterangan Raja Obat itu.
"Jadi, kalau begitu kau adalah seorang Pangeran!" katanya.
Si orang tua hanya tersenyum kecil. "Sri Baginda mengucilkan diriku karena malu
mempunyai seorang anak bermuka cacat seperti ini... Selama bertahun-tahun aku
dibuang di sebuah hutan. Aku hidup sendirian hanya berteman alam. Tetumbuhan dan
binatang. Ibuku jatuh sakit. Jiwanya terguncang hebat. Diam-diam dia meninggalkan kawasan
Istana tanpa seorangpun mengetahui. Saat ini kurasa dia sudah tak ada lagi."
"Aku ikut sedih mendengar kisahmu. Lalu bagaimana kau bisa menjadi seorang ahli
dalam ilmu pengobatan...?" tanya Wiro pula.
"Tuhan memberi petunjuk, alam memberi jalan. Selama di hutan aku mengetahui dan
mempelajari bahwa akar pepohonan, kulit dan daun tetumbuhan, darah dan daging
serta kulit binatang masing-masing mempunyai daya pengobatan yang ajaib..."
"Di hutan, aku bisa memaklumi karena hutan mengandung seribu satu macam obat
jika manusia memang mau menyelidiki. Tapi di pulau batu ini. Seperti yang aku
lihat sama sekali tidak ada pohon, tetumbuhan, apa lagi binatang!"
"Tuhan menjadikan obat bukan hanya dari tetumbuhan dan hewan. Tapi juga dari
batu! Dengan batu merah di pulau inilah aku menyembuhkan adik perempuanku dari
kelumpuhan. Juga dengan batu merah pula aku menolongmu hingga luka dalammu yang
parah bisa sembuh dan tulang pipimu yang retak bisa bertaut kembali..."
"Luar biasa! Batu bisa dijadikan obat... Bagaimana caranya?" tanya Wiro terheran
heran. "Kalau tidak melihat sendiri memang sulit mempercayai," sahut Raja Obat. Lalu
dengan dua tangan kanannya ditusuknya batu di depannya hingga pecah berkeping-
keping. Diambilnya satu kepingan batu yang lancip tajam. Dengan gerakan tak
terduga Raja Obat lalu menorehkan batu itu ke lengan Pendekar 212 hingga Wiro
berseru kaget dan kesakitan. Darah mengucur dari daging lengannya yang terkoyak.
"Apa yang kau lakukan ini"!" teriak Wiro.
"Kau ingin membuktikan bahwa batu bisa dijadikan obat. Bukan begitu"!"
"Tapi kau bukan mengobatiku. Malah mencelakai!" teriak Wiro lagi.
Tenang saja si Raja Obat ambil dua pecahan batu merah. Lalu diremasnya hingga
kepingan-kepingan batu itu menjadi hancur sehalus bubuk. Bubuk batu merah ini
kemudian ditebarnya di atas goresan luka pada lengan Wiro. Asap tipis mengepul
dari luka itu. Ketika asap lenyap luka di lengan Wiro telah bertaut kembali.
Yang terlihat hanya tebaran bubuk merah. Begitu si orang tua menyapu bubuk itu
maka terlihat keadaan lengan Wiro seperti semula seolah tak pernah terluka
sedikitpun! "Bukan main. Kau memang hebat dan pantas menyandang gelar Raja Obat Delapan
Penjuru Angin!" memuji Wiro seraya garuk-garuk kepala. "Sekarang, apakah kau
masih tak mau menceritakan perihal Kitab Putih Wasiat Dewa itu?"
Orang tua di hadapan Wiro tersenyum. "Kau pandai mengatur jalan percakapan.
Tapi akhirnya kau tetap pada tujuan semula. Aku suka padamu anak muda. Aku hanya
berkisah satu kali. Jadi kau dengar baik-baik."
*** BAB IX TUJUH puluh tahun yang silam, menurut Raja Obat Delapan Penjuru Angin sesosok
tubuh buntung tanpa tangan dan kaki terdampar ke pulau batu merah lewat sebuah
terowongan di bawah pulau.
"Menurut taksiranku, orang itu berusia hampir sama denganku, yaitu sekitar tiga
puluh tahun. Melihat kepada kulit dan wajahnya aku yakin dia berasal dari
Tiongkok. Orang Cina..."
Wiro yang ingat pada penuturan Ratu Duyung langsung saja memotong. "Ratu Duyung
pernah mengatakan padaku, orang Cina itu adalah Ki Hok Kui, murid Kanjeng Sri
Ageng Musalamat yang bergelar Tiat Thouw Houw alias Harimau Kepala Besi!"
Raja Obat tersenyum. "Selain keterangan Ratu Duyung apakah kau ingat dengan apa
yang terjadi dengan dirimu sebelumnya" Di luar sadarmu kau tenggelam ke dalam
alam gaib masa tujuh puluh tahun yang lalu itu..."
"Betul sekali. Dalam alam aneh itu aku melihat segala sesuatunya seolah-olah aku
berada di dalamnya. Bahkan aku melihat Jenderal Suma bercinta polos-polosan
dengan kekasih gelapnya yang bernama Louw Bin Nio bergelar Tjui-hun Hui-mo alias
Iblis Terbang Pencabut Nyawa..."
"Hal-hal yang agak seronok rupanya melek baik-baik dalam benakmu, anak muda!"
menyindir Raja Obat hingga Wiro hanya bisa mesem-mesem sambil garuk kepala.
Si orang tua lantas melanjutkan penuturannya.
"Aku berusaha mengobati luka pada empat anggota badannya yang buntung dan
memasukkan bubuk batu merah ke dalam mulutnya. Satu hal menarik perhatianku.
Pada dada orang Cina ini ada terikat sebuah kitab. Mungkin terbuat dari daun
lontar. Aku sempat membaca tulisan pada sampul kitab. Di situ tertulis Kitab
Putih Wasiat Dewa..."
Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar keterangan si Raja Obat. "Apa
yang terjadi kemudian" Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Sesuatu yang tak terduga terjadi dengan sekonyong-konyong. Aku belum sempat
turun memasuki lobang di ujung terowongan itu. Tiba-tiba terjadi satu gempa
dahsyat. Batu merah di dasar lubang terowongan rengkah. Sosok Ki Hok Kui itu amblas ke
bawah. Setahuku di bawah sana ada sebuah terowongan lagi. Dia pasti jatuh ke
sana..." "Raja Obat," kata Wiro dengan suara bergetar, "Jadi kau tak sempat mengambil
Kitab Putih Wasiat Dewa yang kau lihat terikat di dada Ki Hok Kui"!"
Orang tua itu menggeleng. "Aku juga tak mungkin menolong Ki Hok Kui karena
setelah dia amblas celah batu di dasar lobang terowongan secara aneh bertaut
kembali setelah terjadi gempa berikutnya..."
"Jadi kitab sakti itu ikut amblas bersama sosok Ki Hok Kui?" tanya Wiro dan dia
tak perlu menunggu jawaban. Untuk kedua kalinya murid Sinto Gendeng ini seperti
terhenyak. "Raja Obat, selama tujuh puluh tahun mendekam di pulau ini apakah kau
mengetahui kalau Hok Kui masih hidup atau sudah mati di dasar terowongan batu
sana" Apa kau tak pernah menyelidik dengan masuk ke dalam laut lalu mencari terowongan
kedua itu?"
"Sebentar lagi aku akan membawamu ke mulut terowongan yang bermuara di dalam
lautan itu. Kau akan saksikan sendiri apa penghalangnya. Di laut sekitar
terowongan atas maupun bawah siang malam selalu berkeliaran ikan-ikan hiu
penyantap daging manusia!"
"Jangan-jangan orang itu sudah menemui ajalnya..." kata Wiro perlahan. Putuslah
harapannya untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Tubuhnya terasa lemas.
Pandangannya kosong. Lalu dia berpaling pada Raja Obat. "Orang tua, seperti
kusaksikan tak ada pohon tak ada tetumbuhan pulau ini. Selama tujuh puluh tahun
berada di sini kau hidup makan apa...?"
"Rezeki dari Tuhan selalu ada bagi setiap hambaNya," Jawab Raja Obat. "Ombak
melempar berbagai macam ikan ke mulut terowongan. Binatang-binatang itulah yang
jadi santapanku."
"Maksudmu kau panggang dulu atau bagi mana?"
"Tak ada api di pulau ini. Tak ada kayu untuk pemanggang..."
"Jadi kau makan mentah-mentah?"
Raja Obat tersenyum. "Tak ada makanan paling sedap di dunia ini selain ikan
mentah yang segar."
Tenggorokan Pendekar 212 jadi turun naik mendengar ucapan itu.


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, kulihat tenggorokanmu turun naik. Seleramu menitik rupanya mendengar
nikmatnya ikan mentah..."
"Justru aku seperti mau muntah!" jawab Wiro polos.
Raja Obat tertawa mengekeh. "Justru kau akan segera mencobanya, anak muda.
Kecuali kalau kau ingin berpuasa selama kau berada di sini."
"Aku akan berusaha mencapai terowongan tempat Ki Hok Kui berada..."
Raja Obat menarik napas dalam lalu berkata, "Puluhan tahun berada di sini aku
telah berulang kali mencoba hal itu. Lewat mulut terowongan di dalam laut selalu
gagal karena terhalang oleh ikan-ikan hiu buas. Pernah pula kucoba untuk
membobol dari atas sini agar ada jalan tembus ke terowongan di bawah sana namun
sia-sia saja. Jari-jari tanganku tak mampu melakukannya. Setiap kucungkil batu
merah di atas terowongan dengan jari-jari tanganku secara aneh beberapa hari
kemudian batu itu membentuk lapisan baru di atasnya."
"Menurutmu apakah Ki Hok Kui masih hidup di bawah sana?" tanya Wiro.
"Itulah yang aku masygulkan..." sahut Raja Obat.
"Apakah kau pernah mencium bau busuknya mayat manusia?"
Raja Obat menggeleng.
"Kalau orang itu masih hidup tentu dia sudah tua renta sepertimu. Kalau ternyata
dia sudah meninggal lama, berarti sia-sia semua apa yang telah aku lakukan!"
"Kau memiliki ilmu pukulan yang hebat. Bagaimana kalau kau coba membobolkan
terowongan sebelah atas agar bisa tembus ke terowongan sebelah bawah?"
"Aku akan coba! Baiknya sekarang juga. Tapi... Raja Obat, apakah kau tidak
kedinginan hanya menutupi tubuhmu dengan sehelai kain sekecil itu?"
"Aku sudah terbiasa dengan alam di pulau ini. Namun untuk sopannya biar aku
mengambil pakaian dulu. Aku tahu kau tak suka memandangi tubuh tua kurus kering
seperti jerangkong ini. Lain halnya kalau aku seorang gadis berwajah cantik dan
punya badan mulus. Ha... ha... ha... !"
Raja Obat membawa Wiro ke sebuah lekukan batu. Di dalam lekukan batu ini
terletak sebuah peti terbuat dari besi yang bagian luarnya sudah karatan.
Terdengar suara berkereketan ketika penutup peti dibuka. Dari dalam peti ini
Raja Obat mengeluarkan sebuah jubah putih yang langsung dikenakannya. Dari sini
dia membawa Wiro ke pertengahan pulau batu di mana terdapat satu lobang yang
merupakan ujung sebuah terowongan. Dasar lobang digenangi air dan beberapa ekor
ikan sebesar ibu jari kaki kelihatan berkeliaran kian kemari.
"Itu makananku..." kata Raja Obat sambil menunjuk pada ikan-ikan itu. "Nah kau
sudah siap?"
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Wiro.
"Kerahkan tenaga dalam penuh. Lepaskan pukulan saktimu yang paling hebat.
Hantam dasar lobang itu. Di bawah sana ada sebuah lobang yang merupakan ujung
terowongan di mana Ki Hok Kui berada. Jika kau mampu menjebol dasar terowongan
ini, kita akan bisa melihat apakah Ki Hok Kui masih hidup dan apakah Kitab Putih
Wasiat Dewa Hu masih ada padanya..."
Wiro segera melangkah lebih dekat ke tepi lobang. Tangan kanannya diangkat.
Tenaga dalam dialirkan penuh. Tangan kanan itu segera berubah menjadi seputih
perak, panas dan menyilaukan.
"Raja Obat..." tiba-tiba Wiro berpaling dan turunkan tangannya.
"Ada apa?" tanya si orang tua heran.
"Jika lobang itu kuhancurkan, kau akan kehilangan tempat penampungan ikan-ikan
yang jadi santapanmu sehari-hari..."
Raja Obat jadi terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 itu. "Eh, anak muda. Kau
benar juga. Tapi... Hemmm! Ya sudah! Hantam saja! Soal makananku biar kita
pikirkan nanti saja!" kata orang tua itu akhirnya.
Wiro lalu angkat tangan kanannya. Tapi mendadak dia turunkan tangannya kembali
dan memandang pada Raja Obat.
"Eh, ada apa lagi?" tanya orang tua itu.
"Bagaimana kalau pukulan saktiku bukan saja menghancurkan lobang itu tapi
menciderai bahkan bisa membunuh Ki Hok Kui di bawah sana...?"
"Ah, ini susahnya!" ujar Raja Obat sambil usap-usap dagunya yang berjanggut
putih panjang. Tiba-tiba Wiro ingat akan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu
Duyung. "Biar kucoba..." katanya. Lalu matanya diarahkan tepat-tepat pada lobang
batu merah. Tenaga dalam dialirkan ke kepala. Sepasang matanya kemudian
dikedipkan dua kali.
"Eh, apa yang tengah dilakukan anak ini," bertanya Raja Obat dalam hati.
Samar-samar Wiro melihat sebuah lobang lain di bawah lobang yang ada di
hadapannya. Namun hanya itu yang mampu dilihatnya. Setelah itu seperti ada satu
kekuatan dahsyat menerpa ke arahnya membuat kepalanya terhuyung ke belakang dan
kedua matanya sakit laksana dicucuk.
"Kau barusan melakukan apa"!" tanya Raja Obat.
Wiro hanya menggelengkan kepala. Hatinya bimbang. Namun saat itu didengarnya
Raja Obat berkata. "Kau mau melakukan atau tidak" Tak ada jalan lain untuk
mengetahui apakah orang itu ada di terowongan kedua atau tidak. Terserah padamu
anak muda... Tugasku sudah selesai memberi petunjuk..."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Tadi aku memang tidak melihat apa-apa di dalam
lubang kedua. Namun mungkin saja Ki Hok Kui berada di dalam terowongan, tak jauh
dari lobang itu..."
"Bagaimana Wiro"!" Raja Obat bertanya dengan nada mendesak.
"Baiklah. Aku terpaksa melakukan. Kalau orang Cina itu sampai mati oleh pukulan
saktiku, dosanya biar kau yang tanggung!"
"Apa"! Tunggu dulu! seru Raja Obat. "Enak saja kau bicara!"
Wiro menyeringai.
"Kalau kau tak mau menanggung sendirian, baik. Kita bagi dua. Kau menanggung
separuh, dosa yang separuh lagi aku yang tanggung. Adil 'kan"!"
"Gila!" maki Raja Obat.
"Dunia ini memang sudah gila Raja Obat. Suka atau tidak kita sebenarnya telah
ikut larut dalam kegilaan itu!" jawab Wiro pula.
"Kalau begitu kau hantamlah!" kata Raja Obat akhirnya.
"Tidak, sebelum kau mengatakan setuju dosa pembunuhan ini dibagi dua!"
Raja Obat menggerutu panjang pendek. "Sukamulah! Aku menurut saja!"
*** BAB X DIDAHULUI satu bentakan keras Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam lobang.
Sinar putih menyilaukan berkiblat. Satu dentuman keras menggelegar. Pulau batu
merah itu bergetar laksana dilanda gempa. Baik Wiro maupun Raja Obat sama-sama
terpelanting dan jatuh duduk beberapa tombak jauhnya dari lobang terowongan.
"Kau tak apa-apa, Raja Obat?" tanya Wiro.
"Aku baik-baik saja, cuma pantatku terasa geli-geli!" jawab Raja Obat yang
membuat Wiro tergoncang-goncang menahan tawa. "Ayo kita lihat apa hasil
hantamanmu!"
Kedua orang itu segera bangkit berdiri dan melangkah ke tepi lobang batu merah.
Dua pasang mata memandang terperangah dan melotot ke dalam lobang batu lalu
saling pandang satu sama lain.
"Kau saksikan sendiri Wiro. Ada kekuatan aneh yang tak bisa kita tembus..."
Wiro garuk-garuk kepala dan terduduk di tepi lobang. "Tidak mungkin... Tidak
mungkin!" katanya berulang kali.
"Apa yang tidak mungkin?" tanya si Raja Obat.
Wiro tak menjawab. Dia berdiri dan melangkah cepat ke arah satu gundukan batu
merah setinggi manusia yang terletak kira-kira lima tombak dari tempat mereka
berada. Dua tombak dari gundukan batu itu Wiro berhenti. Tangan kanannya diangkat ke
atas. Tenaga dalam dikerahkan. Lalu "wuusss!"
Sinar putih panas berkiblat.
"Braaakkk! Byaaarr!"
Satu dentuman keras menggelegar.
Gundukan batu di depan sana hancur berantakan. Setiap kepingan yang mencelat ke
udara seolah berubah menjadi bara menyala dan mengepulkan asap!
Raja Obat terkesiap menyaksikan kejadian itu. Sebaliknya seperti tak percaya
Wiro memandang hancuran batu lalu perhatikan tangan kanannya.
"Orang tua, kau saksikan sendiri pukulan Sinar Matahari yang baru kulepaskan
sanggup menghancurkan gundukan batu besar, tebal dan tinggi itu. Lalu..." Wiro
berpaling ke arah lobang terowongan. Penasaran, dengan langkah cepat dia
mendatangi, berdiri di tepi lobang lalu menghantam.
Untuk kesekian kalinya pulau batu merah itu dilanda gelegar dentuman dan
bergetar hebat. Wiro yang berada di tepi lobang terbanting jatuh punggung. Raja
Obat tergontai-gontai lalu roboh!
Tak perduli tulang punggung dan tulang pantatnya sakit murid Sinto Gendeng cepat
berdiri dan melangkah ke tepi lobang batu. Si Raja Obat mengikut dari belakang.
Ketika keduanya memandang ke bawah, masing-masing sama keluarkan seruan
tertahan. Seperti tadi, lobang batu itu tidak mengalami kerusakan sedikitpun. Air laut
tergenang jernih dan ikan kecil-kecil masih berenang kian kemari!
Raja Obat pegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. "Wiro, ada satu kekuatan yang
tak bisa kita kalahkan. Mungkin ini membawa pada satu petunjuk..."
"Bagiku petunjuknya sudah jelas," kata Pendekar 212 pula.
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak berjodoh dengan Kitab Putih Wasiat Dewa itu!"
"Jangan cepat berputus asa..."
"Raja Obat, aku bukan orang yang mudah menyerah. Tapi kalau kenyataan begitu
rupa kurasa tak ada gunanya..."
"Dengar anak muda! Dengar dulu ucapanku! Tujuh puluh tahun silam. Sehari setelah
Ki Hok Kui amblas ke dalam terowongan kedua, pada malam harinya aku bermimpi.
Tidak... Bukan bermimpi! Tapi ada yang datang padaku. Mula-mula aku dengar suara
tiupan seruling. Tak lama kemudian menyusul gelegar suara auman binatang buas
yang menggetarkan seantero pulau. Setelah itu muncul bayangan seorang tua
bertubuh sangat tinggi. Mengenakan selempang kain putih. Bola matanya berwarna
biru angker. Dia memegang sebatang tongkat kayu putih. Di pinggangnya tersisip
sebuah salung, yakni seruling khas orang seberang. Dia tidak datang sendiri tapi
membawa seekor binatang besar. Seekor harimau putih yang memiliki mata hijau
menggidikkan. Sosok tubuh mereka antara ada dan tiada, seolah terbuat dari asap atau kabut
tipis. Namun apa yang diucapkannya cukup jelas masuk ke telingaku. Aku masih ingat
kata-katanya. "Pangeran Soma, anak manusia bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Aku Datuk
Rao Basaluang Ameh dan sahabatku ini adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Hari ini
sesuatu telah terjadi di pulau dan kau tahu apa yang terjadi itu.
Seorang anak manusia yang datang dari negeri jauh atas kehendak Yang Kuasa telah
tersesat ke pulau ini dan mendekam dalam terowongan batu yang menjadi sumber
kehidupanmu. Dia datang membawa sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat
Dewa. Kitab ini berusia ratusan tahun dan dititipkan secara turun temurun pada
orang-orang tertentu. Kitab ini mengandung satu ilmu kesaktian yang mampu
membendung angkara murka disebabkan oleh perbuatan manusia-manusia iblis. Hanya
ilmu dalam kitab inilah yang akan sanggup menumpas ilmu jahat dan segala ilmu
hitam yang hendak menguasai dunia secara keji.
Namun kitab ini hanya berjodoh pada satu orang yang telah ditentukan oleh
takdir. Tujuh puluh tahun dari sekarang orang itu akan muncul di pulau ini.
Kepadanyalah kau harus memberi tahu di mana kitab itu berada. Kau berada di
bawah satu amanat. Jika kau memberitahukan hal ihwal kitab itu pada orang lain
yang tidak berhak, maka malapetaka akan jatuh atas dirimu..."
Raja Obat memandang pada Wiro dan berkata. "Waktu itu entah aku sadar entah
tidak, aku bertanya pada orang tua yang muncul membawa harimau putih itu. Datuk
Rao, tujuh puluh tahun bukan kurun waktu yang pendek. Apakah aku masih akan
hidup selama itu" Sang Datuk menjawab. Pangeran Soma soal umur, soal hidup dan
mati manusia hanya Tuhan yang tahu. Kau tak usah pertanyakan hal itu Aku masih
belum puas. Lalu aku bertanya lagi. Siapa adanya orang yang akan muncul itu"
Bagaimana aku tahu bahwa dialah orangnya" Datuk Rao menjawab. Lihatlah ke
samping kirimu Pangeran.
Perhatikan baik-baik. Kau akan melihat bayangan orang yang kumaksudkan itu. Aku
lalu berpaling ke kiri. Tiba-tiba saja seperti dalam kabut, aku melihat sosok
seorang pemuda kekar, berambut gondrong, mengenakan pakaian serba hitam. Bajunya
tidak berkancing. Tiupan angin menyingkapkan pakaiannya dan aku melihat ada tiga
rajah di dadanya. Angka 212! Sosok yang kulihat itu ternyata adalah dirimu,
Wiro! Ketika tadi pertama kali aku melihat kau aku tahu bahwa memang kaulah
orang yang aku tunggu selama kurun waktu tujuh puluh tahun itu. Sebelum pergi
Datuk Rao Basaluang Ameh mengajarkan sebait nyanyian padaku. Aku menyanyikan
lagu itu pada saat aku mengetahui kedatanganmu di pulau ini."
"Bagaimana kau bisa mengetahui kedatanganku?" tanya Wiro ingin tahu.
"Datuk Rao juga memberikan sebuah benda aneh padaku. Katanya pada saat aku
mengetahui kau akan datang batu itu harus aku letakkan demikian rupa lalu
merapal satu bacaan. Lalu berseru begini: Terbanglah tinggi membubung angkasa.
Melayanglah turun menukik bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan
Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk
menangkal malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di
delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan itu berpulang menjadi
satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk. Terbanglah tinggi membubung angkasa.
Melayanglah turun menukik bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan
Sabda Dewa"
Wiro ternganga mendengar ucapan si orang tua. Sambil memegang lengan Raja Obat
dia berkata. "Aku Ingat! Waktu itu hari baru berganti malam dan aku baru saja
sadar dari pingsan. Sebelumnya memang aku mendengar ada nyanyian aneh. Kau yang
bernyanyi. Lalu belum sempat aku berdiri tiba-tiba di angkasa aku melihat ada
sebuah benda bercahaya melayang turun cepat sekali. Laksana kilat! Kukira
bintang jatuh! Aku jadi kaget setengah mati ketika menyadari benda bercahaya itu
jatuh ke arahku, masuk ke dalam batok kepalaku! Aku menjerit. Sekujur tubuhku
terasa dingin bukan kepalang seolah aku dipendam di dalam gunung es. Ketika aku
siuman ada beberapa keanehan.
Luka di keningku sembuh dengan sendirinya. Lalu aku sadari penuh dalam pingsanku
aku melihat apa yang terjadi di daratan Tiongkok masa tujuh puluh tahun lalu
sampai akhirnya Ki Hok Kui dibantai secara keji dan mencebur masuk ke dalam laut
tak jauh dari pulau ini."
Raja Obat anggukkan kepalanya beberapa kali lalu berkata. "Kedatanganmu telah
kuketahui dalam mimpiku malam tadi. Aku melihat satu ombak besar bergulung
menuju pulau batu merah ini. Di atas ombak aku lihat sosok dirimu. Dari mimpi
itu aku sudah maklum bahwa kau akan segera datang ke tempat ini. Itu sebabnya
dari pagi aku sudah duduk menunggu sambil melantunkan nyanyian yang diajarkan
Datuk Rao Basaluang Ameh..." Raja Obat hentikan keterangannya. Dia menatap pada
pemuda yang duduk di hadapannya. Sejurus kemudian dia berkata lagi. "Kau tadi
menyebut Delapan Sabda Dewa. Dalam kemunculannya tujuh puluh tahun lalu Datuk
Rao pernah menyebutnya...
Apa kau ingat unsur-unsur delapan sabda itu?"
Wiro mengangguk.
"Coba kau sebutkan," kata Raja Obat pula ingin menguji.
"Tanah, air, api, udara, bulan, matahari, kayu dan batu..."
Si orang tua tersenyum lalu mengangguk-angguk. "Hebat! Kau bisa mengingat semua.
Datuk Rao pernah memberi tahu padaku. Tapi otakku tidak setajam otakmu. Aku
selalu lupa delapan sabda itu. Apalagi kalau disuruh menyebut sesuai urut-
urutannya..."
Wiro menghela napas panjang.
"Anak muda, kau tampak gelisah, tapi juga masih ada bayangan putus asa pada
wajahmu..."
"Kau berulang kali mengatakan kitab itu berjodoh padaku. Tapi buktinya aku
ataupun kau tak mampu berbuat apa-apa. Rasanya lebih baik aku meninggalkan
tempat ini. Mungkin aku perlu minta petunjuk lebih jauh dari tua-tua dunia
persilatan. Mungkin juga menemui Ratu Duyung untuk bertanya..."
Raja Obat Delapan Penjuru Angin terdiam.
"Aku tidak tahu bagaimana harus mencegahmu. Aku yakin sekali bahwa Kitab Putih
Wasiat Dewa memang sudah ditakdirkan jatuh ke tanganmu, sesuai dengan petunjuk
gurumu dan dua tokoh silat yang kau katakan itu, juga sesuai amanat Datuk Rao.
Yang kau perlukan hanyalah bersabar dan mencari jalan mencari akal..."
"Bersabar telah jadi bagianmu. Kau telah bersabar selama tujuh puluh tahun
menunggu kedatanganku. Mencari jalan dan mencari akal ada baiknya juga menjadi
bagianmu..."
"Wiro, apa jadinya kalau kitab sakti itu sampai jatuh ke tangan orang lain"
Tugasmu adalah mendapatkan kitab itu untuk menyelamatkan dunia persilatan...."
"Apa yang kau ucapkan barusan memang betul orang tua. Tapi aku dapat mengukur
kemampuan sendiri. Aku tak mungkin mendapatkan kitab itu. Jika sampai jatuh ke
tangan orang lain maka itu adalah takdir yang sebenarnya. Aku mohon maaf dan aku
merasa lebih baik pergi saja...."
Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba ada satu suara merdu terdengar di udara


Wiro Sableng 087 Muslihat Para Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di antara desau angin laut.
"Kita belum saling bertemu bertatap muka. Mengapa buru-buru hendak meninggalkan
pulau yang indah ini"!"
Raja Obat dan Wiro sama-sama terkejut. Serta merta keduanya palingkan kepala.
*** BAB XI Kalau Raja Obat Delapan Penjuru Angin terkesiap dan tak percaya melihat ada
seseorang tahu-tahu muncul di pulau batu merah itu maka sebaliknya murid Sinto
Gendeng keluarkan seruan lalu bersiul panjang.
"Aaaaahhhhh.... Mungkin yang ini yang berjodoh denganku!" kata Wiro sambil
pentang matanya lebar-lebar.
Di hadapan mereka saat itu berdiri seorang gadis mengenakan baju panjang hitam
berbunga-bunga putih. Wajahnya cantik sekali dan sikapnya genit. Dia berdiri
sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dan senyum bermain di mulut. Kecantikan
dan sikap genitnya inilah yang membuat Wiro tadi sampai keluarkan siulan
panjang. "Gadis cantik aku menghormatimu sebagai tetamu. Katakan siapa dirimu...." Raja
Obat menegur. Gadis tak dikenal itu masih memandang pada Wiro. Tanpa mengalihkan matanya dia
menjawab pertanyaan Raja Obat.
"Orang tua kau menganggap aku sebagai tetamu. Rupanya kau merasa diri jadi
pemilik dan tuan rumah di pulau batu gersang tak berpenghuni ini. Kalau begitu
mengapa kau tidak segera menyuguhkan minuman untuk tamu agungmu ini?" Habis
berkata begitu si gadis tertawa ha-ha hi-hi.
"Aha!" ujar Wiro. "Suaramu semerdu kicau burung, tawamu semerdu buluh perindu.
Kalau aku boleh bertanya naik apa kau datang kemari?"
Si gadis tersenyum dan kedipkan matanya.
"Hemmm... Jelas aku ke sini tidak jalan kaki! Hik...hik...hik! Maunya aku ke
sini digendong olehmu! Hik... hik... hikk! Aku bukan burung jadi tak bisa
terbang! Pemuda ganteng tapi tolol! Tentu saja aku ke sini naik perahu!"
Mendengar jawaban orang Wiro jadi garuk-garuk kepala. "Aku senang dengan gadis
sepertimu. Cantik dan pandai bergurau..."
Raja Obat memotong ucapan Wiro. "Kau kemari tidak secara kebetulan, bukan?"
"Apa kau kira aku sengaja ke sini untuk menyambangi dirimu dan melihat tampangmu
yang jelek ini" Hik...hik...hik. Masih banyak pemuda gagah di dunia ini yang
sedap untuk dipandang. Terus terang aku menyesal tersesat ke tempat ini. Masih
untung ada seorang pemuda gagah di sini! Hik...hik...hik... Kalau tidak kacau
sudah pemandanganku! Hik...hik...hik!
"Kau belum menerangkan siapa dirimu..." kata Wiro lalu bangkit berdiri dan
melangkah ke arah si gadis. Terpisah tinggal tiga langkah dari hadapan gadis itu
tiba-tiba Wiro mendengar ada suara mengiang di telinganya.
"Wiro, jaga jarakmu dan hati-hatilah. Aku melihat siapa gadis ini sesungguhnya.
Di balik wajahnya yang cantik aku melihat wajah seorang nenek berdandan
mencorong..."
"Eh"!" Wiro berpaling ke arah Raja Obat karena dia tahu orang tua itulah yang
barusan menyampaikan ucapan itu padanya. Dalam hati Wiro berkata. "Aku tidak
buta. Yang kulihat jelas seorang gadis cantik jelita. Tapi Raja Obat tak mungkin
berdusta. Apakah gadis ini siluman laut yang menampakkan diri sebagai gadis cantik?" Wiro
lalu amati sepasang kaki si gadis. Tapi pakaiannya yang dalam menjala batu
tempatnya berdiri membuat Wiro tak bisa melihat kaki si gadis. Penasaran Wiro
maju mendekat. "Maafkan kalau aku sedikit jahil!" kata Wiro. Lalu dengan cepat tangan kirinya
menyingkap bagian bawah pakaian panjang gadis itu.
Wiro melihat sepasang kaki berkasut menginjak batu dan dua betis putih bagus.
"Dia bukan setan bukan siluman!" kata murid Sinto Gendeng dalam hati. "Bagaimana
Raja Obat bisa bicara begitu tadi..." Lalu Wiro turunkan kembali pakaian si
gadis. Gadis di hadapannya dongakkan kepala dan tertawa panjang. "Kau sudah melihat
betisku yang putih dan bagus. Mengapa tanggung-tanggung. Apakah kau tidak ingin
melihat bagian tubuhku yang lain-lain?"
Paras belang Raja Obat Delapan Penjuru Angin berubah. Sebaliknya Wiro Sableng
tertawa lebar. Enak saja mulutnya nyeplos bicara. "Kalau rejeki kami memang
besar mengapa tidak ingin" Bukankah menolak rejeki termasuk salah satu dosa?"
"Hik...hik... hik! Pemuda ganteng, aku suka cara bicaramu. Kau suka bergurau,
aku juga. Rupanya kita punya sifat dan selera sama. Hemm. Kau bisa jadi
kekasihku..."
Gadis cantik itu keluarkan lidahnya yang merah basah dan beberapa kali membasahi
bibirnya dengan ujung lidah. "Kalau kau memang jujur mau melihat tubuhku, aku
tidak akan menutup rejekimu. Tapi bagaimana dengan sahabatmu orang tua berjubah
putih itu?"
Bagian putih wajah Raja Obat kelihatan menjadi merah. Lalu Wiro enak saja
menjawab. "Tua atau muda sama saja. Yang namanya laki-laki tidak ada beda.
Sekarang terserah kau..."
Si gadis tersipu-sipu. Dia berpaling pada Raja Obat lalu berkata. "Orang tua,
kalau kau memang tidak suka tutup saja matamu. Atau menoleh ke belakang. Tapi
lebih aman kalau kau angkat kaki meninggalkan tempat ini..."
"Sudah, tak usah perdulikan dia!" ujar Wiro. "Apa yang hendak kau pertunjukkan
padaku?" Si gadis melirik ke arah Raja Obat. Orang tua itu tidak beranjak dari tempatnya.
Juga tidak menoleh ke belakang atau memejamkan matanya.
"Kau benar!" kata si gadis tiba-tiba pada Wiro.
"Benar apa?" tanya Pendekar 212.
"Tadi kau bilang laki-laki itu tua atau muda sama saja. Sahabatmu orang tua itu
ternyata tidak berpaling, tidak memejamkan mata dan juga tidak pergi dari sini.
Berarti dia juga suka! Hik... hik... hik..."
"Wiro..." tiba-tiba mengiang suara Raja Obat di telinga Pendekar 212. "Aku
memang tidak berpaling, tidak memejamkan mata dan juga tidak pergi dari sini.
Ada satu keanehan pada gadis itu. Aku sudah melihat. Cuma sayang kau tidak
percaya. Apapun pendapatmu aku tetap di sini dengan mata terpentang. Aku
khawatir dia tadi telah mencuri dengar apa yang kita bicarakan."
Wiro sesaat garuk kepalanya sambil menatap wajah cantik di depannya.
"Kau sudah siap?" tanya si gadis.
Wiro mengangguk.
Gadis berpakaian hitam berkembang putih itu gerakkan kedua tangannya ke bawah
menyingsingkan pakaian ke atas. Makin ke atas, makin ke atas dan lalu dengan
gerakan cepat tahu-tahu pakaian itu sudah tanggal dari tubuhnya!
Sepasang mata Pendekar 212 terpentang lebar. Darahnya mengalir lebih cepat dan
sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi panas menyaksikan gadis cantik tanpa
selembar benangpun kini menutupi auratnya, tegak hanya dua langkah di hadapannya
dengan kaki terkembang dan tangan bertolak pinggang. Sikapnya benar-benar
menantang. Lain halnya dengan Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Walau sepasang matanya
menatapi tubuh telanjang itu namun pandangannya tampak kosong dan di balik
kebugilan si gadis itu justru dia melihat sesuatu yang membuat hatinya diam-diam
merasa cemas. "Pemuda ganteng! Sekarang aku menantangmu!" kata si gadis sambil kembali ulurkan
lidahnya yang merah.
"Menantang bagaimana maksudmu...?" tanya Wiro.
Si gadis tertawa cekikikan. "Kau pura-pura tidak tahu padahal aku tahu nafsumu
sudah sampai di tenggorokan! Hik...hik...hik. Dengar aku sudah menanggalkan
seluruh pakaian. Sekarang kutantang agar kau juga membuka semua pakaianmu.
Bukankah kita punya selera sama"!"
"Ah..." Wiro garuk-garuk kepala. "Kalau sekedar melihatmu begini siapa saja
suka. Aku paling nomor satu. Tapi kalau kau suruh aku membuka pakaian, walah!
Kisah Para Pendekar Pulau Es 2 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Sepasang Pedang Iblis 5
^