Singa Gurun Bromo 1
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo Bagian 1
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Singa Gurun Bromo
SATU Warung nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai
malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang
bersantap di sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan
pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi
begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini
sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka
tunggu dan hendak mereka saksikan.
"Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!" berkata
seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-
dalam dia melanjutkan "Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini. Ah,
mengapa dia berlaku setolol itu."
"Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan.
Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin
dia melupakan Kuto Inggil!" menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara. "Enam tahun dia menghilang. Kalau dia berani
muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam
tahun lalu" Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati
Dirgo Sampean?"
Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata.
"Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di
dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka" Dulu kalau dia
memang tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!"
"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena
bersalah. Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu
sendiri kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah
terjelaskan itu....."
"Yah ..... Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak."
Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu
yang duduk menikmati makan siang terdepat enam orang berpakaian petani. Yang
dua bertubuh tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua
orang perwira tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di
balik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung
masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak
jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar
lima puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka
adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo
Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan
muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan
tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan
beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Lihat! Singa Gurun datang!" Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung
jalan. Semua mata serta merta memandang ke arah yang ditunjuk.
"Dia benar-benar berani mati!"
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian
dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan
kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu
warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih
kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata
"Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang
sengaja mengatur."
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah
bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar
meja berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul
suara bentakan-bentakan.
"Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!"
"Berani melawan amblas nyawamu!"
Pemuda yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan
memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di
tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan
ujung golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si
pemuda. Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. "Sobat!
Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang
manusia miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?"
Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda
menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan
senjatanya hingga kulit leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara
bergetar. "Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan.
Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu."
"Eh, hebat! Lalu apa mau kalian" Hendak menyembelihku"! Aku bukan singa,
apalagi kambing!"
"Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau
sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-
setan kuburan!"
"Eh, kau menyebut aku buronan" Kau tadi menyebut namaku apa" Singa
Gurun....."
"Panji Argomanik! Jangan kau berpura-pura!" bentak orang yang menodong
dengna ujung goloknya ke perut si pemuda.
"Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh-
aneh saja! Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan
sandiwara konyolmu ini!"
"Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara!" bentak salah seorang
dari perwira tinggi itu. "Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah
aku bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau
mampus di tiang gantugnan!"
"Mencincangku" Memangnya aku daging perkedel"!" semprot si pemuda lalu
menyeringai lebar.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Setan alas!" maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat
menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu
angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto
Areng. "Orang gila!" desis pemuda itu. "Siapapun kau adanya, aku muak melihat
tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!" si
pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan
kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh. Tahu-tahu
tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng
keluar suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan
goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalah cepat. Si pemuda sudah dapat
menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia
sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan
pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan
balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
"Bretttt!"
Pinggang baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi
dirinya sendiri selamat. Warung nasi itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto
Areng yang masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia
memberi isyarat pada empat perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih
itu dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru.
Si pemuda yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya
mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia
berhasil menjotos keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit
ini terpental dengan muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah
dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti,
namun si pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya.
Dia berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan
gerakan keras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya.
Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja
dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka
para pengeroyok.
"Kawan-kawan!" Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir telur bercabe
menghantam mata kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan.
"Aku perintahkan kalian untuk mencincang manusia satu ini!" Lalu dia memberi
isyarat pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan
goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini
memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan
mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani lagi
petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya
terkuntung- kuntung. Selain itu masih ada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah
beratnya tekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai
saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah
keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga perajurit yang
berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat
menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
"Kunto......" berkata jalak Toga. "Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang
dimainkan pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan......."
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mengapa musti ragu!" balas Kunto Areng. "Enam tahun menghilang bukan
mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus terang kita belum pernah
melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak
menghadapi orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!"
Baru saja kedua orang itu selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka
keroyok kembali melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak
pinggang sambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok
kian kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali
dia melompat sambil tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah
diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para
pengeroyok terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan
justru dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk
dirobohkan. Malah dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala
seorang perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di
atas salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya
menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun
tercekat melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
"Para sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!" Satu
suara terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo. BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Sebenarnya baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima
bantuan itu karena hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau
meringkus si pemuda. Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka
mungkin akan mendapat malu lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima
bantuan kedua tokoh silat itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng
sengaja berkata dengan suara dikeraskan "Memang tugas kita semua untuk
membekuk cacing tanah ini! Tapi aku ingin dia dicincang di tempat ini juga!"
Ki Bumi Wirasulo menyeringai. "Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap
hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan
kematiannya d tiang gantungan"!"
"Perintah atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku
mengikuti apa mau kalian berdua saja!" berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya
perkelahian kini menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok
tetap saja cengar cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum
tersentuh tangan atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya
semakin terjepit. Di satu sudut warung dia harus bertahan mati-matian dengan hanya
mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam waktu singkat kursi kayu ini musnah
berantakan dibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
"Sialan!" maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan
hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandung
kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat.
Tangan mereka tampak bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang
seutas tali halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat
atau mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap
kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada sesuatu
yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan
kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!
"Celaka!" keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskan atau
memutuskan ikatan tali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha
membebaskan diri, Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari
belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik
ataupun bersuara! "Gotong dia! Lemparkan ke dalam gerobak!" perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu di halaman depan
warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai
di luar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo. "Sesuai pesan begitu tertangkap
Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalau kita langsung
berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalau kita
mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah Adipati juga ingin lebih dulu
menghajar pemuda keparat itu?"
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng
seolah minta pendapat. Mangku Sanggreng kemudian berkata "Tangkapan besar
sudah kita dapat. Rasa tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita
perlu BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sedikit istirahat. Bagaimana kalau kita menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap
di sana lalu pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!" Habis berkata begitu mangku
Sanggreng mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
"Aku sudah beberapa bulan tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni,
perempuan penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula
menemui pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana......?"
Ki Bumi Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan
dan berkata. "Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi
sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja."
Tepat dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama
Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar
Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja
jatuh rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi
dingin. Waktu rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah
terletak Lumajang yang menjadi tujuan.
"Percepat jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!" berteriak Mangku
Sanggreng. Setiap anggota rombongan menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais
gerobak mencambuk dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu
menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang berkuda di sebelah depan tiba-tiba
berseru. "Lihat! Ada nyala api di dalam hutan sana!"
"Rombongan berhenti!" teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama
memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi kiri jalan.
"Aneh," kata Ki Bumi Wirasulo.
"Ya, memang aneh!" menyahuti Jalak Toga. "Setahuku hutan ini jarang
didatangi orang. Hari gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu" Kelihatannya
seperti api unggun."
"Mungkin kelompok penjahat pimpinan Warok Keling!" ikut bicara Kunto
Areng. Saat itu tercium bau daging panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini
membuat setiap anggota rombongan seolah baru menyadari bahwa perut mereka
memang minta diisi.
"Hemmmmm, dugaanmu kurasa betul, Kunto." Kata Ki Bumi Wirasulo.
"Gembong penjahat itu justru sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat
ini berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu
sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?"
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya lalu menghirup udara malam
yang gerimis itu dalam-dalam. "Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi
hati- hati. Warok Keling memiliki kepandaian tidak lebih rendah dari Singa Gurun
Bromo!" Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu
keadaan bahu dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa
Gurun Bromo waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap
pengecut Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dan dua tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka
turun dari kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja
ditinggal untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau
daging panggang. Tak lama kemudian enam orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka melihat ada binatang yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala
api. Mungkin kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun
di tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk
tidur. "Aneh, daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!"
kata Ki Bumi Wirasulo.
"Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain....." kata Jalak
Toga. "Tak masuk akal," sahut Mangku Sanggreng. "Sama sekali tidak ada tanda-
tanda orang berkemah di tempat ini!"
"Lalu bagaimana" Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul" Kurasa
sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!" berkata Kunto Areng yang memang ingin
cepat-cepat pergi saja.
"Kita tunggu sebentar. Kalau memang tidak ada yang muncul kita akan
pergi!" jawab Mangku Sanggreng. "Tapi daging panggang itu tak ada salahnya kita
sikat dulu untuk mengganjal perut!" lalu dia mendekati nyala api. Dengan
sepotong ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya
ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit
yang tidak ikut makan. Selesai menghabiskan daging panggang orang-orang itu lalu
bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto
Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. "Bagaimana?" tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. "Ya sudah. Kita kembali
saja melanjutkan perjalanan ke Kadipaten." Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan
gerobak. Begitu sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru
tegang! BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang
di tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang
dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat itu.
hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam
gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
"Kita tertipu!" teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat
tampang mereka. Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
"Celaka! Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap
begitu saja!" ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan
sepotong ucapanpun tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi.
Singa Gurun Bromo berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri.
Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu" Orang yang menyalakan
api dan membakar daging hanya untuk sekedar menipu"
"Begitu mudahnya kita tertipu....!" Kunto Areng membuka mulut. "Kalau saja
kita tidak menyelidiki apa yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa
melarikan diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!"
"Jelas memang begitu. Tapi siapa orangnya"!" tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
"Gara-gara ingin tahu beginilah jadinya!" gerutu Jalak Toga. "Apa yang akan
kita lakukan sekarang" Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja.
Memberi laporan bahwa kita kebobolan" Kita semua pasti akan didamprat habis-
habisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu....."
"Tutup mulutmu Jalak!" bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. "Tak ada
gunanya memaki dan menggerutu panjang lebar. Semua salah kita....."
"Siapa tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan"!" memotong
Kunto Areng. "Dia yang bertanggung jawab!"
Semua mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi
yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu.
Paras tokoh silat Istana itu jadi berubah mengelam. "Jadi kalian menuduh aku
yang salah dan harus bertanggung jawab" Bangsat! Aku memang mengajak tapi
kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!"
"Sudah tak perlu kita bertengkar di tempat ini!" Mangku Sanggreng
menengahi. "Adipati dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita
harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda
penarik gerobak itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat!
Kalian agaknya terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi....."
"Kau memilih enakmu saja!" memotong Jalak Toga. "Kalau kami harus jalan
kaki semua harus jalan kaki!" Lalu dia cabut goloknya. Dengna senjata ini
diputuskan tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang
itu hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
"Keparat kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu"!" bentak Ki
Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah
siap BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menyambuti sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan
cepat menengahi.
"Kalian tolol semua! Mengapa bertengkar dan saling gebuk" Kita berangkat
sama-sama, sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!" lalu dengan
langkah terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng
melangkah lebih dulu.
Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada
Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. "Kalian
perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih
memperhatikan kami tokoh-tokoh silat Istana. Itu semua karena ketololan kalian
sendiri yang mabuk pangkat....."
Jalak Toga menyeringai. "Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi.
Apakah Sri Baginda akan tetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya
lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa
main perempuan!"
"Kurang ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!" teriak Mangku Sanggreng marah lalu
melompat ke hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. "Teruskan gerakanmu. Kutebas
putus tangan celakamu!"
Rahang Mangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang
bahunya. "Sudah Mangku. Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi
pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!"
"Aku bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu
peradatan!" kata Mangku Sanggreng pula.
Jalak Toga menjawab dengan meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan
melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
"Aku ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!" kata Mangku Sanggreng
begitu Jalak Toga berlalu.
"Sama, aku juga!" jawab Ki Bumi Wirasulo. "Tapi jangan sekarang. Kita
harus mencari saat yang baik......"
Apa sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota
rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api"
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam
rimba belantara, dari balik sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu
bayangan putih. Sosok ini bergerak cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang
dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak
melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan
berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok
di tanan. Orang yang hendak melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda
berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
"Siapa kau"!" hardik salah seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
"Krak!" perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi.
Mukanya hancur dimakan tendangan!
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tentu saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam
keadaan cidera juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan
ikut membantu kawannya mengeroyok si pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu melompat
ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya berkelebat menebar
maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan kakinya yang memang luar
biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera muntah darah, namun
agaknya nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang
pecah. Setelah menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa
Gurun Bromo yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan
kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo
dengan cepat lalu membalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian
lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
"Terima kasih! Kau siapa"!" tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
"Nanti saja kujawab pertanyaanmu," jawab si pemuda. "Kita tak ada waktu
banyak. Harus lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!"
"Sesudah kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin
aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!"
Pemuda penolong tersenyum. "Kau mau ikut aku atau tidak?"
"Tidak! Kecuali kau terangkan siapa dirimu!"
"Baiklah. Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun
Bromo!" kata pemuda itu pada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat.
"Sialan! Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!"
"Aku sudah tahu apa ang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku
menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan
memanggang seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke
dalam hutan aku segera keluar dari persembunyian!"
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan
kau"!"
"Usia kita sebaya. Potongan tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu
tidak pernah mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku
menghilang!"
"Sialan!" maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
"Dari tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!"
"Aku Wiro Sableng!"
"Namamu boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!" kata Panji
Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang asli.
"Kenapa kau menolongku?" tanya Wiro.
"Aku tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka
mencari aku tapi menyangka kaulah Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai
hati membiarkan kau digantung tanpa salah dan dosa!"
"Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!" kata Wiro
"Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan kembali ke tempat
ini!" Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
"Gila! Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak
kau tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!"
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sudah jangan mengoceh juga. Mari!" Singa Gurun Bromo berrkelebat turun
dari atas gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro
bertanya. "Apa dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu"!"
"Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus
menemui seseorang dulu di Kuto Inggil!"
"Orang tuamu?"
Singa Gurun Bromo menggeleng. "Mereka sudah meninggal."
"Hemmmm..... Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan.
Kekasihmu! Betul"!"
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Mudah saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih
memerlukan menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!"
"Rupanya dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!" kata Panji Argomanik
pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Astaga! Janagn kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang
itu bisa berbahaya....."
"Siapa takutkkan mereka" Terus terang aku penasaran hendak menjajal
kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu
kedua tanganku sudah terikat!"
"Dua orang yang muncul kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi
Wirasulo dan Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka
berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi.
Namun mereka memiliki kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya
Benang Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!"
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu
sanggup ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid
Sinto Gendeng tidak ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain
menyukainya, Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan
sahabat barunya itu berlari di sebelah depan.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Dua pemuda yang baru saling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana
terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
"Hatiku tidak enak...." Kata Panji Argomanik begitu mereka memasuki
pinggiran kampung. "Lihat ada kepulan asap di sebelah sana.....?"
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk. "Sepertinya
barusan saja ada kebakaran." Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka
masuk ke Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah
kayu dalam keadaan gelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk
kosong Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya
yang merah karena berlari tampak berubah pucat.
"Ya Tuhan....." Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang
dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
"Rumah kekasihmu....?"
Panji tak menjawab. Dia lari sambil berteriak. "Larasati.....!"
Panji Argomanik tegak dengan tubuh gemetar di depan puing-puing rumah
yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu
yang dimakan api berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang
masih dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
"Jangan lakukan. Semua sudah musnah!"
"Aku kawatir Larasati ikut terbakar....." kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling. "Aneh," katanya dalam hati. "Rumah satu ini
terbakar. Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar
untuk memberikan pertolongan ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang
kampung!" Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
"Aku yakin ini bukan kebakaran biasa!" kata pemuda berambut coklat itu.
"Rumah ini sengaja dibakar! Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk
menolong, pasti ada yang mereka takutkan!"
"Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?"
"Tak dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya
disebabkan oleh satu orang!"
"Siapa?"
"Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!"
"Kalau begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten."
Panji mengangguk. "Aku memang sudah bersumpah untuk mematahkan
batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatku
harus kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia
juga yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati..... Di mana kau Larasati....." Keparat!
Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama rumah ini!" Panji Argomanik
melompat berdiri. Rahangnya menggembung. "Aku harus memastikan dulu!" katanya.
Lalu dia mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba
terdengar teriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
"Ada apa......?"
"Lihat di balik gedek yan masih terbakar itu....."
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir
musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang
perempuan. "Mereka membakar Larasati! Mereka membunuh kekasihku!" teriak Panji
Argomanik seperti gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang
terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-
erat. "Kita bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan
menyabung nyawa melompat masuk ke dalam api!" Wiro lalu ambil sebatang bambu
yang tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang
dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat
salah satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi
nyala api yang menyengat panas. Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh keringat
Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang.
Lalu dengan tengkuk masih merinding, disaksikan dengan tegang oleh Panji Argomanik,
murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan
perlahan- lahan. Sedikit demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula kelihatan sepasang betis yang sudah hangus hitam. Lalu..... Wiro
mengerenyit. Panji pejamkan kedua matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke
pinggang bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak
dapat dikenali lagi.
"Demi Tuhan..... Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku
ingin melihat bagian kepalanya....." kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok
yang terbakar mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang
dipakai untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk.
Panji Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
"Wiro lakukan sesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!" teriak Panji
seperti mau gila.
"Kalau sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kau masih bisa mengenali
tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi debu"!"
"Tidak! Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu
atau aku akan melompat ke dalam api itu!" teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahan dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri,
melangkah dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan
ujung bambu dicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali, dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa
langkah. Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan
yang ada dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding
kajang yang terbakar terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke
atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu
kepala yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih
tersisa sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
"Ya Tuhan..... Ya Tuhan.....!" Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya
turun naik. "Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih..... aku
yakin itu mayat Bibi kanoman yang selama ini memelihara Larasati...."
Wiro menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih
sahabat barunya itu" Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
"Kalau penjahat yang melakukan hal ini pasti Larasati diculik...."
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mungkin kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia
dalam keadaan selamat."
"Tak dapat kupastikan Wiro.... Aku harus menyelidikinya. Aku harus
mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean! Biadab!"
Wiro memandang berkeliling. "Aku yakin ada satu atau dua tetangga di
sekitar sini yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai
mereka!" Pendekar 212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah
itu dengan keras. Digedor berulang kali tak ada yang menjawab apalagi muncul
membuka pintu. "Sialan!" Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke
rumah di sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah
kaki di sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat
ketakutan. "Kami.... Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang
berharga yang bisa kuserahkan pada kalian....."
"Sialan! Aku bukan perampok!" hardik Wiro seraya menjambak sarung orang
itu lalu menariknya keluar. "Tapi aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau
tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!"
"Saya......saya....."
"Plak!" Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu
Panji Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat
pemuda ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya
pemuda ini. "Kau..... Panji.... Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau
akan kembali ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini.
Tapi begitu mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu
Kanoman....."
"Bagaimana dengan Larasati"!" tanya Panji memotong.
"Mereka menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak
berani menolong. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang...."
"Kau mengenali siapa mereka....?" Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
"Gerombolan rampok Warok Keling?" tanya Panji Argomanik.
"Tidak bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain.....
Mereka menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati....."
Panji Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
"Kalau.... Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di
dalam anak istriku setengah mati ketakutan...."
Wiro menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat
itu. "Kita harus mencari petunjuk siapa orang-orang yang menculik kekasihmu,
Panji." "Kalau mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali"!" ujar Panji hampir
putus asa. "Apa silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?"
"Aku dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada
Larasati dan ingin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah
atas kejadian itu karena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku
karena ingin berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran
dan Sri Baginda!"
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku ingat keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena
menyangka kau ada di rumah kekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang
Pangeran atau petugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati
Lumajang yang menyuruh mereka untuk turun tangan!"
"Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain
segala" Berati mereka takut wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!"
menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada
sebuah benda yag tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya
lalu memperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah
ladam kuda. "Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengusutan....." kata Wiro.
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panji tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. "Aku akan menyelidik
ke gedung Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa
sampai ke sana."
"Aku ikut bersamamu," kata Wiro pula.
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Karena mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung
menuju gedung Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja
datang dari bagian belakang gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana
mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik
jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu
di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara
orang bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan
terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima
orang ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka
berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja
menunggu di halaman depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak
meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
"Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang
membakar rumah dan menculik Larasati...." Kata Panji Argomanik pada Wiro.
"Dugaanmu mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa
mengambil dua kuda tunggangan dan mengejar rombongan tadi...."
"Aku setuju. Kita harus bergerak cepat!" kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tiba-
tiba di halaman depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat
penjaga ini masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul
kembali dan mempersilahkan masuk empat dari enam orang yang datang. Keempat
orang yang masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu
Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang ini yang datang tanpa kuda dan pakaian
serta tubuh basah oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo
Sampean yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa
mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu
wajah keempat orang itu dengan pandangan tajam.
"Ada apa"!"
"Waktu hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan
serombongan orang. Apaah mereka barusan datang dari sini?" yang membuka mulut
adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampak menggembung. "Ki Bumi! Kau seperti orang
yang tidak tahu peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya
menjawab malah balik bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau
menanyaiku!"
"Harap maafkan saya, Adipati," jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah
merah. "Bukan maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu
rata-rata berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir......"
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Siapa adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili
kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau tak enak
saat ini!" kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng
dan berkata. "Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi."
Mangku Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
"Kami mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil
meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung
nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanan kemari kami melihat ada nyala api yang
mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil
gerombolan Warok Keling yang berkemah di tempat itu....." Mangku Sanggreng
kemudian menuturkan apa yang terjadi selanjutnya.
Tampang Adipati Lumajang itu tampak kelam membesi begitu mendengar
seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang
memandang melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan
kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"C....c....c...! Bukan main!" kata Dirgo Sampean pula. "Dua orang tokoh
silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah
delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu
orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda.
Kalian harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!"
Keempat orang itu terdiam.
"Kalau begitu perintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan
bicara terlalu keras!" berkata mangku Sanggreng.
"Apa maksudmu"!" tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
"Kami bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati
mengeluarkan kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini
silahkan saja. Menggebuk merekapun kami tidak mau tahu karena memang bekerja untuk
kerajaan dan berada di bawah pimpinan Adipati.....!"
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. "Jika kalian berdua berkata begitu,
silahkan angkat kaki dari gedung ini saat ini juga!" Lalu Adipati Lumajang itu
bergegas ke pintu. Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat
dengan goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga
dan Kunto Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka.
Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua
perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
"Kalian berdua tidak usah takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya
melepaskan kebencianku pada dua orang tadi."
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan
berdarah kembali wajah masing-masing.
"Mereka sedikit bekerja tapi hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana.
Kita yang telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak
diperhatikan. Kaum penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!"
"Ah, rupanya bukan kami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau
Adipati mengetahui hal itu...." kata Jalak Toga.
"Kalian boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!"
"Terima kasih, Adipati masih mempercayai kami!" kata Kunto Areng seraya
membungkuk. BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kita orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja
sama," kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitu melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku
Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
"Itu mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan
keduanya!"
"Baik bagimu tidak bagiku sobat!" kata Panji seraa menarik celana sang
pendekar. "Apa yang hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut di
mana Larasati saat ini berada dan siapa yang telah menculiknya."
"Ingat ladam kuda yang kita temui itu" ujar Wiro. "Tunggu saja sampai pagi .
Kau hanya tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki
atau memasang ladam kudanya....."
"Cuma ada satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu." Jawab Panji.
"Bagus kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu
menyelidik ke mana-mana."
Kedua orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan
penjagaan keliling lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju
halaman belakang, memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malan dan udara dingin
menjelang pagi itu.
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Di bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala
keperluan yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,
tali kekang, pelana dan juga ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan
perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di
bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh
tahun. Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh.
Seperti namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo Lugu menyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia
mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua
ini. "Pak Lugu....."kata Panji, begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu. "Kau
kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan"!"
"Anak muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?"
"Rupanya kau sudah mendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung
Mbok Sinem," kata Panji pula dengan tersenyum.
"Tentu saja. Berita itu tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan
dibawa ke Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?"
"Kau tak usah merisaukan hal itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat
saja...." "Siapa anak muda ini?" tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
"Sahabatku," jawab Panji.
"Panji, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat
dan melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka....."
"Ada hal penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu." Kata Wiro
pula. "Eng....." pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
"Pak Lugu," kata Panji. "Semasa hidupnya kau bersahabat baik dengan
ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan begitu saja
persahabatan dengan ayahku?"
"Tentu saja bukan begitu. Tapi kau adalah orang buronan. Jika ada yang....
Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja." Orang tua itu menunjuk ke arah
pintu. Panji dan Wiro segea masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu
memandang dulu ke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila
dirasakannya aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di
dalam dia bertanya pada kedua pemuda itu.
"Hal penting apa yang hendak kalian tanyakan?"
Wiro yang menjawab. "Tadi malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini
dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat
terbakar hangus...."
"Ya Tuhan, belum kudengar berita itu......." seru Karjo Lugu.
"Larasati lenyap diculik orang....."
"Gusti Allah!" mengucap Karjo Lugu.
Wiro meneruskan. "Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang
melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah
yang terbakar."
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo
Lugu. "Apa hubungan ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan
itu?" Yang menjawab kini adalah Panji Argomanik. "Kami yakin ladam kuda ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan
menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada
seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam.
Lalu minta dipasangkan ladam baru....."
Paras Karjo Lugu jadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya
menunggu. "Pagi buta tadi...." Kata Karjo Lugu. "Ada orang menggedor bengkelku.
Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya. Tampang-
tampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah seorang
dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya sebelah kiri
belakang. Aku bilang besok saja kalau bengkel sudah buka. Tapi orang-orang itu
mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya malam itu juga.
Masih dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang
yang punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan......"
"Berpesan" Pesan apa?" tanya Panji.
"Agar aku tidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke
bengkelku.....!"
"Hemmmmmm," Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala. Kalau begitu
mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka
menutupi wajah masing-masing dengan kain..... Coba kau ingat-ingat Pak Lugu.
Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau
pada kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka
sebenarnya."
Karjo Lugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek
berwarna putih. "Rasan-rasanya memang ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan.
Tapi setelah kau mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga
yang datang itu mengenakan baju berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas,
dekat bahu ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah
mengembangkan sayapnya....."
"Itu rajah tanda komplotan rampok Warok Keling" kata Paji hampir berteriak.
"Terima kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga." Pemuda bergelar Singa
Gurun Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan
tempat itu. "Aku tahu sarang penjahat keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga!
Larasati pasti berada di tangan mereka!"
"Mendatangi sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya,
Panji?" "Aku sudah siap mati untuk menyelamatkan Larasati"! jawab Panji
Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula. "Kalau kau takut kau boleh saja tidak
ikut dan kita berpisah sampai di sini."
Wiro menyeringai. "Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat
ada satu rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia
ini!" Hanya beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo
Lugu, tiga orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika
memperhatikan. Ternyata mereka adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo
Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
"Ah, kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu"'
Lelaki yang lengan sebelah atasnya memiliki rajah turun dari kudanya.
"Malam tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya.
Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya."
"Wah, kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal
kita bisa jadi langganan." Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia
menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang seperti layaknya orang hendak
mengambil uang. Tetapi ketika tangan itu keluar lagi dari balik pakaian, yang
kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilah pisau berkilat yang panjang matanya
hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang
itu, tiba-tiba pisau sudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi
lehernya cepat dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
"Tua bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah
memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar"!"
"Ha....h...ha....hu!" Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih
dicekik sementara perutnya yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang.
Lelaki berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang
tua itu mengeluh tingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru
putus! BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Dua pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki
Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah
dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang
segala binatang buas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat
mendekam dan bersarang di tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling
menjadi raja di raja perampok yang memiliki anak buah hempir seratus orang.
Bersama kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu
juga buah serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya
meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di
puncak kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat
dari batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di
atas pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga
mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu
satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh
orang muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siap dibidikkan ke
arah kedua pemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika
berpaling mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon.
Di cabang-cabang terendah mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula
panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
"Kita terkurung!" kata Wiro.
"Tenang saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anak-
anak panah dan sumpritan itu beracun!" kata Panji. Lalu dia membawa kudanya
mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu
meupun di atas pohon dapat melihatnya dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke
samping Panji. Panji Argomanik kemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. "Aku
Panji Argomanik dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!"
Dari atas rumah penjaggan terdengar jawaban. "Dua cacing tanah seperti
kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!"
"Keparat!" maki Wiro.
"Diam saja!" tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. "Kami memohon sekali lagi!
Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!"
"Bicaralah dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera
meninggalkan tempat ini atau tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah
beracun!" "Edan!" Kini Panji yang keluarkan suara makian. "Kalau kita tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam
hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu
memakan waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati......"
"Agaknya kita tak ada pilihan lain. Mari....." kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sementara itu di atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa,
berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam
sorban berwarna merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah
penjagaan. "Aku mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang
terjadi?" tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember.
Inilah manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa
itu. Seorang anak buahnya segera menerangkan.
"Ada dua pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok...."
"Ah, begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini.
Dua pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau
gelar?" "Gelar tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji
Argomanik!"
"Panji Argomanik....." mengulang Warok Keling samgil mengusap dagunya
yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok
dan kumis tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan
wajahnya yang hitam cukup keren. "Panji Argomanik.... Aku rasa-rasa pernah
mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu..... Hem..... Jangan-jangan.....
Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanik itu. apakah dia
orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?"
"Keduanya sudah pergi Warok."jawab si anak buah.
"Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang
itu kembali."
Anggota penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali
lagi. Di dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling
meluncur turun dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan
Panji sambil membidikkan panah-panah beracun.
"Pimpinan kami meminta kalian kembali!" kata salah seorang di antara
mereka. Wiro dan Panji saling pandang.
"Ada apa kami disuruh kembali"!" bertanya Panji Argomanik.
"Apa kau orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun
Bromo?" Panji mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
"Kalau begitu kau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia
tidak cukup layak menginjakkan kaki di tempat kami!"
"Sialan! Aku lagi yang dihinanya!" maki Wiro.
Saat itu pintu gerbang kayu tampak terbuka.
"Kau masuklah. Aku biar menunggu di sini," kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat tangannya. "Aku tidak akan masuk kalau
temanku ini tidak diperbolehkan ikut serta!"
Dari atas rumah penjagaan terdengar orang bertanya. "Siapa nama kawanmu
itu. apa dia punya julukan"!"
"Namanya Wiro Sableng!" berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak,
bertanya. "Apa orang gila itu punya julukan"!"
Panji Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. "Tidak! Dia tidak....."
Wiro tekap mulut Panji Argomanik lalu dia sendiri berteriak. "Gelarku
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kedua mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan
tangannya pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu berseru. "Kau.....! Jadi kau
pendekar dari Gunung Gede yang terkenal itu"!"
"Aku tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!"
"Jangan merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!"
Wiro tertawa. "Orang selalu menambah bumbu dalam setiap cerita....."
katanya. Dari atas rumah penjagaan tiba-tiba terdengar suaa teriakan. "Kalian berdua
boleh masuk!"
Pintu gerbang terbuka. Kaliini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam.
Pintu menutup kembali. Begitu masuk ke dalam dua orang bertubuh besar
menghampiri mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu
binatang-binatang itu dibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang
lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak
tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk
di bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di tempat itu bukan seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan
kampung biasa. Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada
dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang
lebih besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu.
Tak lama kemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban
merahnya. Tapi dia kini telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari
kain sangat tebal yang beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat
orang pengawal bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat
pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka
sang Warok lantas berkata. "Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!"
Mendengar ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji
merasa heran karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
"Dua sahabat muda. Kuucapkan selamat daang di tempatku yang buruk ini.
seumur hidup baru kali ini ada dua orang tokoh silat yang punya nama besar
menyambangiku di sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?"
"Kami orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji," kata Panji.
"Terus terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu."
"Kau bagaimana?" tanya Warok Keling pada Wiro.
"Aku memang haus sekali. Aku tiak malu-malu minta minum apa saja.
Kawanku juga....."
Warok Keling tertawa lebar.
"Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!" Warok
Keling lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. "Ini
puteriku, Jayengsari....." Warok Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata. "Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini
rupa punya puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang
bidadari yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!"
"Anakku. Ita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis
dan jangan lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!"
Jayengsaru Mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk
ke dalam dengan langkah-langkah lincah.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang
ceriakan apa hal penting yang hendak kau bicarakan denganku!" kata Warok Keling.
"Kami, maksudku aku mengalami kesulitan....."
Warok Keling tersenyum "Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun
kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo...."
"Bagaimana kau bisa tahu Warok?" tanya Panji heran.
"Aku dan anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata
dan telinga di mana-mana.... Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!"
"Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini
aku butuh bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.
Rumahnya dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!"
"Larasati diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari" Eh, tadi kudengar
kau meminta aku agar bersedia mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau
kira...." "Maafkan aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada
orang memberi kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan
menculik gadis itu memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!"
Warok Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu
dia memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. "Rajah seperti ini?"
"Kira-kira begitu Warok."
"Seperti ini?" Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi
sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah semakin hitam. "Singa Gurun Bromo....."
katanya dengan suara bergetar. "Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan
kulempar ke luar pagar tanpa kepala!" Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. "Kau
juga!" hardiknya sehingga pendekar 212 tersentak kaget. "Siapa yang memberikan
kesaksian padamu?"
"Karjo Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil."
"Aku akan perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang
perlu kuceritakan pada kalian!" Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman
tak dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.
"Aku tahu kalian pasti haus danjuga lapar...."
Wiro ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling
segera mengepret tangannya.
"Aku tidak akan menyuruh kalian minum dan makan sebelum kalian
mendengar dulu keteranganku." Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. "Aku
sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini.
Selama aku malang melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habis-
habisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian
ingat baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau
memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang kekayaannya
seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal
kekayaan itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang terlalu rakus mencari
keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun mereka berada. Tapi
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagi baik-
baik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak istri orang! Waktu datang
kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.
Orang-orang perempuan duduk merenda atau melakukan pekerjaan lain sambil
ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawin sah
oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu bukan anak-anak haram! Ini memang
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini kehidupan lebih baik dari pada di
luar sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang culik apalagi tukang perkosa orang-orang
perempuan., jika anak buahku bertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan
mengajaknya baik-baik dan tinggal di sini. Jika mereka menolak, mreeka dilepas
dengan aman. Bahkan diantar pulang sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena
cara-cara kami itulah maka tidak ada orang dari dunia persilatan yang memusuhi
kami. Tapi mereka juga sungkan untuk mendekati kami, tidak seperti yang saat ini
kalian lakukan. Kalian orang-orang muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak
kerajaanpun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi
sebenarnya kami lebih cocok dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit
harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!"
Panji terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala!
"Aku tidak bisa percaya akan penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat
penculikan Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku
dia akan kuhukum berat dan Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang
kalian boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!"
Wiro dan Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak
masing-masing. Tapi ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak
bergerak sedikitpun. Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga
untuk mengangkatnya semakin melekat keras kedua tabung bambu itu. Wiro dan
Panji segera maklum bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi
mereka hanya mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam
keduanya mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi
tampak duduk sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi
percikan keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar. "Hem.... Dua anak muda
ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!" kata sang Warok dalam
hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambu itu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji
merasakan tangan mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap
bertahan. Di samping mereka perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas
sampai setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda
ini tiba-tiba secara serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong
maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar
biasa terbanting jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
"Brak!"
Kursi kayu yang kokoh itu patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh
tinggi besar Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok
dan siap untuk menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan
tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
"Pergi saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah
aku kursi baru!"
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi
membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.
Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalian orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa
mengirimku ke akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari
silang sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!"
Wiro dan Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi
tuak. Setealh meneguk minuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus
yang dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke
dalam perut mereka, kedua pemuda itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal.
Makin digaruk makin gatal.
"Bibirmu bengkak besar!" kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
"Mulutmu juga bengkak!" ujar Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan
menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawa gelak-gelak.
"Warok, apa yang kau perbuat terhadap kami"!" tanya Wiro sambil mengusap
lagi bibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakin keras. "Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama
kali makan talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama
Kisah Pedang Di Sungai Es 18 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Tujuh Pembunuh 2
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Singa Gurun Bromo
SATU Warung nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai
malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang
bersantap di sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan
pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi
begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini
sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka
tunggu dan hendak mereka saksikan.
"Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!" berkata
seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-
dalam dia melanjutkan "Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini. Ah,
mengapa dia berlaku setolol itu."
"Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan.
Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin
dia melupakan Kuto Inggil!" menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara. "Enam tahun dia menghilang. Kalau dia berani
muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam
tahun lalu" Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati
Dirgo Sampean?"
Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata.
"Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di
dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka" Dulu kalau dia
memang tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!"
"Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena
bersalah. Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu
sendiri kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah
terjelaskan itu....."
"Yah ..... Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak."
Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu
yang duduk menikmati makan siang terdepat enam orang berpakaian petani. Yang
dua bertubuh tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua
orang perwira tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di
balik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung
masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak
jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar
lima puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka
adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo
Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan
muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan
tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan
beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Lihat! Singa Gurun datang!" Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung
jalan. Semua mata serta merta memandang ke arah yang ditunjuk.
"Dia benar-benar berani mati!"
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian
dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan
kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu
warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih
kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata
"Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang
sengaja mengatur."
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah
bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar
meja berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul
suara bentakan-bentakan.
"Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!"
"Berani melawan amblas nyawamu!"
Pemuda yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan
memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di
tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan
ujung golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si
pemuda. Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. "Sobat!
Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang
manusia miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?"
Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda
menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan
senjatanya hingga kulit leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara
bergetar. "Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan.
Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu."
"Eh, hebat! Lalu apa mau kalian" Hendak menyembelihku"! Aku bukan singa,
apalagi kambing!"
"Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau
sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-
setan kuburan!"
"Eh, kau menyebut aku buronan" Kau tadi menyebut namaku apa" Singa
Gurun....."
"Panji Argomanik! Jangan kau berpura-pura!" bentak orang yang menodong
dengna ujung goloknya ke perut si pemuda.
"Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh-
aneh saja! Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan
sandiwara konyolmu ini!"
"Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara!" bentak salah seorang
dari perwira tinggi itu. "Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah
aku bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau
mampus di tiang gantugnan!"
"Mencincangku" Memangnya aku daging perkedel"!" semprot si pemuda lalu
menyeringai lebar.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Setan alas!" maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat
menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu
angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto
Areng. "Orang gila!" desis pemuda itu. "Siapapun kau adanya, aku muak melihat
tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!" si
pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan
kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh. Tahu-tahu
tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng
keluar suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan
goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalah cepat. Si pemuda sudah dapat
menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia
sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan
pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan
balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
"Bretttt!"
Pinggang baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi
dirinya sendiri selamat. Warung nasi itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto
Areng yang masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia
memberi isyarat pada empat perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih
itu dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru.
Si pemuda yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya
mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia
berhasil menjotos keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit
ini terpental dengan muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah
dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti,
namun si pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya.
Dia berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan
gerakan keras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya.
Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja
dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka
para pengeroyok.
"Kawan-kawan!" Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir telur bercabe
menghantam mata kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan.
"Aku perintahkan kalian untuk mencincang manusia satu ini!" Lalu dia memberi
isyarat pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan
goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini
memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan
mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani lagi
petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya
terkuntung- kuntung. Selain itu masih ada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah
beratnya tekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai
saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah
keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga perajurit yang
berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat
menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
"Kunto......" berkata jalak Toga. "Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang
dimainkan pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan......."
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mengapa musti ragu!" balas Kunto Areng. "Enam tahun menghilang bukan
mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus terang kita belum pernah
melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak
menghadapi orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!"
Baru saja kedua orang itu selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka
keroyok kembali melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak
pinggang sambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok
kian kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali
dia melompat sambil tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah
diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para
pengeroyok terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan
justru dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk
dirobohkan. Malah dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala
seorang perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di
atas salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya
menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun
tercekat melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
"Para sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!" Satu
suara terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo. BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Sebenarnya baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima
bantuan itu karena hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau
meringkus si pemuda. Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka
mungkin akan mendapat malu lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima
bantuan kedua tokoh silat itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng
sengaja berkata dengan suara dikeraskan "Memang tugas kita semua untuk
membekuk cacing tanah ini! Tapi aku ingin dia dicincang di tempat ini juga!"
Ki Bumi Wirasulo menyeringai. "Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap
hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan
kematiannya d tiang gantungan"!"
"Perintah atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku
mengikuti apa mau kalian berdua saja!" berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya
perkelahian kini menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok
tetap saja cengar cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum
tersentuh tangan atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya
semakin terjepit. Di satu sudut warung dia harus bertahan mati-matian dengan hanya
mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam waktu singkat kursi kayu ini musnah
berantakan dibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
"Sialan!" maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan
hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandung
kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat.
Tangan mereka tampak bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang
seutas tali halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat
atau mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap
kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada sesuatu
yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan
kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!
"Celaka!" keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskan atau
memutuskan ikatan tali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha
membebaskan diri, Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari
belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik
ataupun bersuara! "Gotong dia! Lemparkan ke dalam gerobak!" perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu di halaman depan
warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai
di luar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo. "Sesuai pesan begitu tertangkap
Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalau kita langsung
berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalau kita
mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah Adipati juga ingin lebih dulu
menghajar pemuda keparat itu?"
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng
seolah minta pendapat. Mangku Sanggreng kemudian berkata "Tangkapan besar
sudah kita dapat. Rasa tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita
perlu BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sedikit istirahat. Bagaimana kalau kita menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap
di sana lalu pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!" Habis berkata begitu mangku
Sanggreng mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
"Aku sudah beberapa bulan tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni,
perempuan penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula
menemui pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana......?"
Ki Bumi Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan
dan berkata. "Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi
sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja."
Tepat dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama
Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar
Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja
jatuh rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi
dingin. Waktu rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah
terletak Lumajang yang menjadi tujuan.
"Percepat jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!" berteriak Mangku
Sanggreng. Setiap anggota rombongan menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais
gerobak mencambuk dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu
menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang berkuda di sebelah depan tiba-tiba
berseru. "Lihat! Ada nyala api di dalam hutan sana!"
"Rombongan berhenti!" teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama
memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi kiri jalan.
"Aneh," kata Ki Bumi Wirasulo.
"Ya, memang aneh!" menyahuti Jalak Toga. "Setahuku hutan ini jarang
didatangi orang. Hari gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu" Kelihatannya
seperti api unggun."
"Mungkin kelompok penjahat pimpinan Warok Keling!" ikut bicara Kunto
Areng. Saat itu tercium bau daging panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini
membuat setiap anggota rombongan seolah baru menyadari bahwa perut mereka
memang minta diisi.
"Hemmmmm, dugaanmu kurasa betul, Kunto." Kata Ki Bumi Wirasulo.
"Gembong penjahat itu justru sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat
ini berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu
sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?"
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya lalu menghirup udara malam
yang gerimis itu dalam-dalam. "Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi
hati- hati. Warok Keling memiliki kepandaian tidak lebih rendah dari Singa Gurun
Bromo!" Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu
keadaan bahu dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa
Gurun Bromo waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap
pengecut Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dan dua tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka
turun dari kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja
ditinggal untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau
daging panggang. Tak lama kemudian enam orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka melihat ada binatang yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala
api. Mungkin kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun
di tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk
tidur. "Aneh, daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!"
kata Ki Bumi Wirasulo.
"Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain....." kata Jalak
Toga. "Tak masuk akal," sahut Mangku Sanggreng. "Sama sekali tidak ada tanda-
tanda orang berkemah di tempat ini!"
"Lalu bagaimana" Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul" Kurasa
sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!" berkata Kunto Areng yang memang ingin
cepat-cepat pergi saja.
"Kita tunggu sebentar. Kalau memang tidak ada yang muncul kita akan
pergi!" jawab Mangku Sanggreng. "Tapi daging panggang itu tak ada salahnya kita
sikat dulu untuk mengganjal perut!" lalu dia mendekati nyala api. Dengan
sepotong ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya
ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit
yang tidak ikut makan. Selesai menghabiskan daging panggang orang-orang itu lalu
bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto
Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. "Bagaimana?" tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. "Ya sudah. Kita kembali
saja melanjutkan perjalanan ke Kadipaten." Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan
gerobak. Begitu sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru
tegang! BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang
di tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang
dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat itu.
hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam
gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
"Kita tertipu!" teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat
tampang mereka. Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
"Celaka! Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap
begitu saja!" ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan
sepotong ucapanpun tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi.
Singa Gurun Bromo berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri.
Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu" Orang yang menyalakan
api dan membakar daging hanya untuk sekedar menipu"
"Begitu mudahnya kita tertipu....!" Kunto Areng membuka mulut. "Kalau saja
kita tidak menyelidiki apa yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa
melarikan diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!"
"Jelas memang begitu. Tapi siapa orangnya"!" tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
"Gara-gara ingin tahu beginilah jadinya!" gerutu Jalak Toga. "Apa yang akan
kita lakukan sekarang" Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja.
Memberi laporan bahwa kita kebobolan" Kita semua pasti akan didamprat habis-
habisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu....."
"Tutup mulutmu Jalak!" bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. "Tak ada
gunanya memaki dan menggerutu panjang lebar. Semua salah kita....."
"Siapa tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan"!" memotong
Kunto Areng. "Dia yang bertanggung jawab!"
Semua mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi
yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu.
Paras tokoh silat Istana itu jadi berubah mengelam. "Jadi kalian menuduh aku
yang salah dan harus bertanggung jawab" Bangsat! Aku memang mengajak tapi
kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!"
"Sudah tak perlu kita bertengkar di tempat ini!" Mangku Sanggreng
menengahi. "Adipati dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita
harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda
penarik gerobak itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat!
Kalian agaknya terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi....."
"Kau memilih enakmu saja!" memotong Jalak Toga. "Kalau kami harus jalan
kaki semua harus jalan kaki!" Lalu dia cabut goloknya. Dengna senjata ini
diputuskan tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang
itu hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
"Keparat kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu"!" bentak Ki
Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah
siap BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menyambuti sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan
cepat menengahi.
"Kalian tolol semua! Mengapa bertengkar dan saling gebuk" Kita berangkat
sama-sama, sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!" lalu dengan
langkah terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng
melangkah lebih dulu.
Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada
Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. "Kalian
perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih
memperhatikan kami tokoh-tokoh silat Istana. Itu semua karena ketololan kalian
sendiri yang mabuk pangkat....."
Jalak Toga menyeringai. "Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi.
Apakah Sri Baginda akan tetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya
lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa
main perempuan!"
"Kurang ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!" teriak Mangku Sanggreng marah lalu
melompat ke hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. "Teruskan gerakanmu. Kutebas
putus tangan celakamu!"
Rahang Mangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang
bahunya. "Sudah Mangku. Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi
pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!"
"Aku bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu
peradatan!" kata Mangku Sanggreng pula.
Jalak Toga menjawab dengan meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan
melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
"Aku ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!" kata Mangku Sanggreng
begitu Jalak Toga berlalu.
"Sama, aku juga!" jawab Ki Bumi Wirasulo. "Tapi jangan sekarang. Kita
harus mencari saat yang baik......"
Apa sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota
rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api"
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam
rimba belantara, dari balik sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu
bayangan putih. Sosok ini bergerak cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang
dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak
melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan
berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok
di tanan. Orang yang hendak melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda
berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
"Siapa kau"!" hardik salah seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
"Krak!" perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi.
Mukanya hancur dimakan tendangan!
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tentu saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam
keadaan cidera juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan
ikut membantu kawannya mengeroyok si pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu melompat
ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya berkelebat menebar
maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan kakinya yang memang luar
biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera muntah darah, namun
agaknya nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang
pecah. Setelah menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa
Gurun Bromo yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan
kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo
dengan cepat lalu membalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian
lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
"Terima kasih! Kau siapa"!" tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
"Nanti saja kujawab pertanyaanmu," jawab si pemuda. "Kita tak ada waktu
banyak. Harus lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!"
"Sesudah kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin
aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!"
Pemuda penolong tersenyum. "Kau mau ikut aku atau tidak?"
"Tidak! Kecuali kau terangkan siapa dirimu!"
"Baiklah. Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun
Bromo!" kata pemuda itu pada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat.
"Sialan! Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!"
"Aku sudah tahu apa ang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku
menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan
memanggang seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke
dalam hutan aku segera keluar dari persembunyian!"
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan
kau"!"
"Usia kita sebaya. Potongan tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu
tidak pernah mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku
menghilang!"
"Sialan!" maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
"Dari tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!"
"Aku Wiro Sableng!"
"Namamu boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!" kata Panji
Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang asli.
"Kenapa kau menolongku?" tanya Wiro.
"Aku tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka
mencari aku tapi menyangka kaulah Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai
hati membiarkan kau digantung tanpa salah dan dosa!"
"Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!" kata Wiro
"Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan kembali ke tempat
ini!" Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
"Gila! Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak
kau tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!"
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sudah jangan mengoceh juga. Mari!" Singa Gurun Bromo berrkelebat turun
dari atas gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro
bertanya. "Apa dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu"!"
"Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus
menemui seseorang dulu di Kuto Inggil!"
"Orang tuamu?"
Singa Gurun Bromo menggeleng. "Mereka sudah meninggal."
"Hemmmm..... Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan.
Kekasihmu! Betul"!"
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Mudah saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih
memerlukan menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!"
"Rupanya dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!" kata Panji Argomanik
pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Astaga! Janagn kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang
itu bisa berbahaya....."
"Siapa takutkkan mereka" Terus terang aku penasaran hendak menjajal
kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu
kedua tanganku sudah terikat!"
"Dua orang yang muncul kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi
Wirasulo dan Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka
berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi.
Namun mereka memiliki kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya
Benang Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!"
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu
sanggup ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid
Sinto Gendeng tidak ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain
menyukainya, Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan
sahabat barunya itu berlari di sebelah depan.
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Dua pemuda yang baru saling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana
terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
"Hatiku tidak enak...." Kata Panji Argomanik begitu mereka memasuki
pinggiran kampung. "Lihat ada kepulan asap di sebelah sana.....?"
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk. "Sepertinya
barusan saja ada kebakaran." Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka
masuk ke Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah
kayu dalam keadaan gelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk
kosong Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya
yang merah karena berlari tampak berubah pucat.
"Ya Tuhan....." Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang
dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
"Rumah kekasihmu....?"
Panji tak menjawab. Dia lari sambil berteriak. "Larasati.....!"
Panji Argomanik tegak dengan tubuh gemetar di depan puing-puing rumah
yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu
yang dimakan api berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang
masih dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
"Jangan lakukan. Semua sudah musnah!"
"Aku kawatir Larasati ikut terbakar....." kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling. "Aneh," katanya dalam hati. "Rumah satu ini
terbakar. Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar
untuk memberikan pertolongan ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang
kampung!" Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
"Aku yakin ini bukan kebakaran biasa!" kata pemuda berambut coklat itu.
"Rumah ini sengaja dibakar! Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk
menolong, pasti ada yang mereka takutkan!"
"Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?"
"Tak dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya
disebabkan oleh satu orang!"
"Siapa?"
"Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!"
"Kalau begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten."
Panji mengangguk. "Aku memang sudah bersumpah untuk mematahkan
batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatku
harus kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia
juga yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati..... Di mana kau Larasati....." Keparat!
Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama rumah ini!" Panji Argomanik
melompat berdiri. Rahangnya menggembung. "Aku harus memastikan dulu!" katanya.
Lalu dia mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba
terdengar teriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
"Ada apa......?"
"Lihat di balik gedek yan masih terbakar itu....."
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir
musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang
perempuan. "Mereka membakar Larasati! Mereka membunuh kekasihku!" teriak Panji
Argomanik seperti gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang
terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-
erat. "Kita bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan
menyabung nyawa melompat masuk ke dalam api!" Wiro lalu ambil sebatang bambu
yang tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang
dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat
salah satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi
nyala api yang menyengat panas. Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh keringat
Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang.
Lalu dengan tengkuk masih merinding, disaksikan dengan tegang oleh Panji Argomanik,
murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan
perlahan- lahan. Sedikit demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula kelihatan sepasang betis yang sudah hangus hitam. Lalu..... Wiro
mengerenyit. Panji pejamkan kedua matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke
pinggang bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak
dapat dikenali lagi.
"Demi Tuhan..... Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku
ingin melihat bagian kepalanya....." kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok
yang terbakar mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang
dipakai untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk.
Panji Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
"Wiro lakukan sesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!" teriak Panji
seperti mau gila.
"Kalau sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kau masih bisa mengenali
tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi debu"!"
"Tidak! Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu
atau aku akan melompat ke dalam api itu!" teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahan dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri,
melangkah dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan
ujung bambu dicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali, dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa
langkah. Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan
yang ada dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding
kajang yang terbakar terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke
atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu
kepala yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih
tersisa sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
"Ya Tuhan..... Ya Tuhan.....!" Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya
turun naik. "Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih..... aku
yakin itu mayat Bibi kanoman yang selama ini memelihara Larasati...."
Wiro menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih
sahabat barunya itu" Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
"Kalau penjahat yang melakukan hal ini pasti Larasati diculik...."
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mungkin kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia
dalam keadaan selamat."
"Tak dapat kupastikan Wiro.... Aku harus menyelidikinya. Aku harus
mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean! Biadab!"
Wiro memandang berkeliling. "Aku yakin ada satu atau dua tetangga di
sekitar sini yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai
mereka!" Pendekar 212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah
itu dengan keras. Digedor berulang kali tak ada yang menjawab apalagi muncul
membuka pintu. "Sialan!" Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke
rumah di sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah
kaki di sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat
ketakutan. "Kami.... Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang
berharga yang bisa kuserahkan pada kalian....."
"Sialan! Aku bukan perampok!" hardik Wiro seraya menjambak sarung orang
itu lalu menariknya keluar. "Tapi aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau
tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!"
"Saya......saya....."
"Plak!" Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu
Panji Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat
pemuda ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya
pemuda ini. "Kau..... Panji.... Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau
akan kembali ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini.
Tapi begitu mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu
Kanoman....."
"Bagaimana dengan Larasati"!" tanya Panji memotong.
"Mereka menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak
berani menolong. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang...."
"Kau mengenali siapa mereka....?" Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
"Gerombolan rampok Warok Keling?" tanya Panji Argomanik.
"Tidak bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain.....
Mereka menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati....."
Panji Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
"Kalau.... Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di
dalam anak istriku setengah mati ketakutan...."
Wiro menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat
itu. "Kita harus mencari petunjuk siapa orang-orang yang menculik kekasihmu,
Panji." "Kalau mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali"!" ujar Panji hampir
putus asa. "Apa silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?"
"Aku dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada
Larasati dan ingin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah
atas kejadian itu karena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku
karena ingin berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran
dan Sri Baginda!"
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku ingat keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena
menyangka kau ada di rumah kekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang
Pangeran atau petugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati
Lumajang yang menyuruh mereka untuk turun tangan!"
"Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain
segala" Berati mereka takut wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!"
menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada
sebuah benda yag tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya
lalu memperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah
ladam kuda. "Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengusutan....." kata Wiro.
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panji tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. "Aku akan menyelidik
ke gedung Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa
sampai ke sana."
"Aku ikut bersamamu," kata Wiro pula.
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Karena mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung
menuju gedung Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja
datang dari bagian belakang gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana
mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik
jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu
di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara
orang bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan
terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima
orang ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka
berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja
menunggu di halaman depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak
meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
"Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang
membakar rumah dan menculik Larasati...." Kata Panji Argomanik pada Wiro.
"Dugaanmu mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa
mengambil dua kuda tunggangan dan mengejar rombongan tadi...."
"Aku setuju. Kita harus bergerak cepat!" kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tiba-
tiba di halaman depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat
penjaga ini masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul
kembali dan mempersilahkan masuk empat dari enam orang yang datang. Keempat
orang yang masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu
Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang ini yang datang tanpa kuda dan pakaian
serta tubuh basah oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo
Sampean yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa
mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu
wajah keempat orang itu dengan pandangan tajam.
"Ada apa"!"
"Waktu hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan
serombongan orang. Apaah mereka barusan datang dari sini?" yang membuka mulut
adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampak menggembung. "Ki Bumi! Kau seperti orang
yang tidak tahu peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya
menjawab malah balik bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau
menanyaiku!"
"Harap maafkan saya, Adipati," jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah
merah. "Bukan maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu
rata-rata berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir......"
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Siapa adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili
kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau tak enak
saat ini!" kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng
dan berkata. "Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi."
Mangku Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
"Kami mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil
meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung
nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanan kemari kami melihat ada nyala api yang
mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil
gerombolan Warok Keling yang berkemah di tempat itu....." Mangku Sanggreng
kemudian menuturkan apa yang terjadi selanjutnya.
Tampang Adipati Lumajang itu tampak kelam membesi begitu mendengar
seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang
memandang melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan
kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"C....c....c...! Bukan main!" kata Dirgo Sampean pula. "Dua orang tokoh
silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah
delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu
orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda.
Kalian harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!"
Keempat orang itu terdiam.
"Kalau begitu perintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan
bicara terlalu keras!" berkata mangku Sanggreng.
"Apa maksudmu"!" tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
"Kami bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati
mengeluarkan kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini
silahkan saja. Menggebuk merekapun kami tidak mau tahu karena memang bekerja untuk
kerajaan dan berada di bawah pimpinan Adipati.....!"
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. "Jika kalian berdua berkata begitu,
silahkan angkat kaki dari gedung ini saat ini juga!" Lalu Adipati Lumajang itu
bergegas ke pintu. Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat
dengan goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga
dan Kunto Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka.
Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua
perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
"Kalian berdua tidak usah takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya
melepaskan kebencianku pada dua orang tadi."
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan
berdarah kembali wajah masing-masing.
"Mereka sedikit bekerja tapi hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana.
Kita yang telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak
diperhatikan. Kaum penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!"
"Ah, rupanya bukan kami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau
Adipati mengetahui hal itu...." kata Jalak Toga.
"Kalian boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!"
"Terima kasih, Adipati masih mempercayai kami!" kata Kunto Areng seraya
membungkuk. BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kita orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja
sama," kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitu melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku
Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
"Itu mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan
keduanya!"
"Baik bagimu tidak bagiku sobat!" kata Panji seraa menarik celana sang
pendekar. "Apa yang hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut di
mana Larasati saat ini berada dan siapa yang telah menculiknya."
"Ingat ladam kuda yang kita temui itu" ujar Wiro. "Tunggu saja sampai pagi .
Kau hanya tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki
atau memasang ladam kudanya....."
"Cuma ada satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu." Jawab Panji.
"Bagus kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu
menyelidik ke mana-mana."
Kedua orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan
penjagaan keliling lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju
halaman belakang, memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malan dan udara dingin
menjelang pagi itu.
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Di bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala
keperluan yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,
tali kekang, pelana dan juga ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan
perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di
bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh
tahun. Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh.
Seperti namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo Lugu menyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia
mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua
ini. "Pak Lugu....."kata Panji, begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu. "Kau
kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan"!"
"Anak muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?"
"Rupanya kau sudah mendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung
Mbok Sinem," kata Panji pula dengan tersenyum.
"Tentu saja. Berita itu tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan
dibawa ke Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?"
"Kau tak usah merisaukan hal itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat
saja...." "Siapa anak muda ini?" tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
"Sahabatku," jawab Panji.
"Panji, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat
dan melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka....."
"Ada hal penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu." Kata Wiro
pula. "Eng....." pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
"Pak Lugu," kata Panji. "Semasa hidupnya kau bersahabat baik dengan
ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan begitu saja
persahabatan dengan ayahku?"
"Tentu saja bukan begitu. Tapi kau adalah orang buronan. Jika ada yang....
Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja." Orang tua itu menunjuk ke arah
pintu. Panji dan Wiro segea masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu
memandang dulu ke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila
dirasakannya aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di
dalam dia bertanya pada kedua pemuda itu.
"Hal penting apa yang hendak kalian tanyakan?"
Wiro yang menjawab. "Tadi malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini
dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat
terbakar hangus...."
"Ya Tuhan, belum kudengar berita itu......." seru Karjo Lugu.
"Larasati lenyap diculik orang....."
"Gusti Allah!" mengucap Karjo Lugu.
Wiro meneruskan. "Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang
melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah
yang terbakar."
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo
Lugu. "Apa hubungan ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan
itu?" Yang menjawab kini adalah Panji Argomanik. "Kami yakin ladam kuda ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan
menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada
seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam.
Lalu minta dipasangkan ladam baru....."
Paras Karjo Lugu jadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya
menunggu. "Pagi buta tadi...." Kata Karjo Lugu. "Ada orang menggedor bengkelku.
Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya. Tampang-
tampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah seorang
dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya sebelah kiri
belakang. Aku bilang besok saja kalau bengkel sudah buka. Tapi orang-orang itu
mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya malam itu juga.
Masih dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang
yang punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan......"
"Berpesan" Pesan apa?" tanya Panji.
"Agar aku tidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke
bengkelku.....!"
"Hemmmmmm," Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala. Kalau begitu
mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka
menutupi wajah masing-masing dengan kain..... Coba kau ingat-ingat Pak Lugu.
Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau
pada kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka
sebenarnya."
Karjo Lugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek
berwarna putih. "Rasan-rasanya memang ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan.
Tapi setelah kau mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga
yang datang itu mengenakan baju berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas,
dekat bahu ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah
mengembangkan sayapnya....."
"Itu rajah tanda komplotan rampok Warok Keling" kata Paji hampir berteriak.
"Terima kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga." Pemuda bergelar Singa
Gurun Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan
tempat itu. "Aku tahu sarang penjahat keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga!
Larasati pasti berada di tangan mereka!"
"Mendatangi sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya,
Panji?" "Aku sudah siap mati untuk menyelamatkan Larasati"! jawab Panji
Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula. "Kalau kau takut kau boleh saja tidak
ikut dan kita berpisah sampai di sini."
Wiro menyeringai. "Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat
ada satu rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia
ini!" Hanya beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo
Lugu, tiga orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika
memperhatikan. Ternyata mereka adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo
Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
"Ah, kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu"'
Lelaki yang lengan sebelah atasnya memiliki rajah turun dari kudanya.
"Malam tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya.
Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya."
"Wah, kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal
kita bisa jadi langganan." Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia
menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang seperti layaknya orang hendak
mengambil uang. Tetapi ketika tangan itu keluar lagi dari balik pakaian, yang
kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilah pisau berkilat yang panjang matanya
hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang
itu, tiba-tiba pisau sudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi
lehernya cepat dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
"Tua bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah
memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar"!"
"Ha....h...ha....hu!" Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih
dicekik sementara perutnya yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang.
Lelaki berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang
tua itu mengeluh tingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru
putus! BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Dua pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki
Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah
dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang
segala binatang buas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat
mendekam dan bersarang di tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling
menjadi raja di raja perampok yang memiliki anak buah hempir seratus orang.
Bersama kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu
juga buah serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya
meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di
puncak kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat
dari batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di
atas pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga
mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu
satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh
orang muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siap dibidikkan ke
arah kedua pemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika
berpaling mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon.
Di cabang-cabang terendah mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula
panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
"Kita terkurung!" kata Wiro.
"Tenang saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anak-
anak panah dan sumpritan itu beracun!" kata Panji. Lalu dia membawa kudanya
mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu
meupun di atas pohon dapat melihatnya dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke
samping Panji. Panji Argomanik kemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. "Aku
Panji Argomanik dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!"
Dari atas rumah penjaggan terdengar jawaban. "Dua cacing tanah seperti
kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!"
"Keparat!" maki Wiro.
"Diam saja!" tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. "Kami memohon sekali lagi!
Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!"
"Bicaralah dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera
meninggalkan tempat ini atau tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah
beracun!" "Edan!" Kini Panji yang keluarkan suara makian. "Kalau kita tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam
hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu
memakan waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati......"
"Agaknya kita tak ada pilihan lain. Mari....." kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sementara itu di atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa,
berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam
sorban berwarna merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah
penjagaan. "Aku mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang
terjadi?" tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember.
Inilah manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa
itu. Seorang anak buahnya segera menerangkan.
"Ada dua pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok...."
"Ah, begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini.
Dua pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau
gelar?" "Gelar tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji
Argomanik!"
"Panji Argomanik....." mengulang Warok Keling samgil mengusap dagunya
yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok
dan kumis tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan
wajahnya yang hitam cukup keren. "Panji Argomanik.... Aku rasa-rasa pernah
mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu..... Hem..... Jangan-jangan.....
Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanik itu. apakah dia
orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?"
"Keduanya sudah pergi Warok."jawab si anak buah.
"Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang
itu kembali."
Anggota penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali
lagi. Di dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling
meluncur turun dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan
Panji sambil membidikkan panah-panah beracun.
"Pimpinan kami meminta kalian kembali!" kata salah seorang di antara
mereka. Wiro dan Panji saling pandang.
"Ada apa kami disuruh kembali"!" bertanya Panji Argomanik.
"Apa kau orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun
Bromo?" Panji mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
"Kalau begitu kau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia
tidak cukup layak menginjakkan kaki di tempat kami!"
"Sialan! Aku lagi yang dihinanya!" maki Wiro.
Saat itu pintu gerbang kayu tampak terbuka.
"Kau masuklah. Aku biar menunggu di sini," kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat tangannya. "Aku tidak akan masuk kalau
temanku ini tidak diperbolehkan ikut serta!"
Dari atas rumah penjagaan terdengar orang bertanya. "Siapa nama kawanmu
itu. apa dia punya julukan"!"
"Namanya Wiro Sableng!" berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak,
bertanya. "Apa orang gila itu punya julukan"!"
Panji Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. "Tidak! Dia tidak....."
Wiro tekap mulut Panji Argomanik lalu dia sendiri berteriak. "Gelarku
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kedua mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan
tangannya pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu berseru. "Kau.....! Jadi kau
pendekar dari Gunung Gede yang terkenal itu"!"
"Aku tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!"
"Jangan merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!"
Wiro tertawa. "Orang selalu menambah bumbu dalam setiap cerita....."
katanya. Dari atas rumah penjagaan tiba-tiba terdengar suaa teriakan. "Kalian berdua
boleh masuk!"
Pintu gerbang terbuka. Kaliini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam.
Pintu menutup kembali. Begitu masuk ke dalam dua orang bertubuh besar
menghampiri mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu
binatang-binatang itu dibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang
lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak
tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk
di bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di tempat itu bukan seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan
kampung biasa. Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada
dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang
lebih besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu.
Tak lama kemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban
merahnya. Tapi dia kini telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari
kain sangat tebal yang beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat
orang pengawal bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat
pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka
sang Warok lantas berkata. "Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!"
Mendengar ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji
merasa heran karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
"Dua sahabat muda. Kuucapkan selamat daang di tempatku yang buruk ini.
seumur hidup baru kali ini ada dua orang tokoh silat yang punya nama besar
menyambangiku di sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?"
"Kami orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji," kata Panji.
"Terus terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu."
"Kau bagaimana?" tanya Warok Keling pada Wiro.
"Aku memang haus sekali. Aku tiak malu-malu minta minum apa saja.
Kawanku juga....."
Warok Keling tertawa lebar.
"Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!" Warok
Keling lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. "Ini
puteriku, Jayengsari....." Warok Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata. "Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini
rupa punya puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang
bidadari yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!"
"Anakku. Ita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis
dan jangan lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!"
Jayengsaru Mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk
ke dalam dengan langkah-langkah lincah.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang
ceriakan apa hal penting yang hendak kau bicarakan denganku!" kata Warok Keling.
"Kami, maksudku aku mengalami kesulitan....."
Warok Keling tersenyum "Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun
kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo...."
"Bagaimana kau bisa tahu Warok?" tanya Panji heran.
"Aku dan anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata
dan telinga di mana-mana.... Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!"
"Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini
aku butuh bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.
Rumahnya dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!"
"Larasati diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari" Eh, tadi kudengar
kau meminta aku agar bersedia mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau
kira...." "Maafkan aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada
orang memberi kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan
menculik gadis itu memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!"
Warok Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu
dia memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. "Rajah seperti ini?"
"Kira-kira begitu Warok."
"Seperti ini?" Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi
sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah semakin hitam. "Singa Gurun Bromo....."
katanya dengan suara bergetar. "Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan
kulempar ke luar pagar tanpa kepala!" Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. "Kau
juga!" hardiknya sehingga pendekar 212 tersentak kaget. "Siapa yang memberikan
kesaksian padamu?"
"Karjo Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil."
"Aku akan perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang
perlu kuceritakan pada kalian!" Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman
tak dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.
"Aku tahu kalian pasti haus danjuga lapar...."
Wiro ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling
segera mengepret tangannya.
"Aku tidak akan menyuruh kalian minum dan makan sebelum kalian
mendengar dulu keteranganku." Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. "Aku
sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini.
Selama aku malang melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habis-
habisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian
ingat baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau
memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang kekayaannya
seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal
kekayaan itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang terlalu rakus mencari
keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun mereka berada. Tapi
Wiro Sableng 066 Singa Gurun Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagi baik-
baik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak istri orang! Waktu datang
kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.
Orang-orang perempuan duduk merenda atau melakukan pekerjaan lain sambil
ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawin sah
oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu bukan anak-anak haram! Ini memang
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini kehidupan lebih baik dari pada di
luar sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang culik apalagi tukang perkosa orang-orang
perempuan., jika anak buahku bertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan
mengajaknya baik-baik dan tinggal di sini. Jika mereka menolak, mreeka dilepas
dengan aman. Bahkan diantar pulang sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena
cara-cara kami itulah maka tidak ada orang dari dunia persilatan yang memusuhi
kami. Tapi mereka juga sungkan untuk mendekati kami, tidak seperti yang saat ini
kalian lakukan. Kalian orang-orang muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak
kerajaanpun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi
sebenarnya kami lebih cocok dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit
harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!"
Panji terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala!
"Aku tidak bisa percaya akan penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat
penculikan Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku
dia akan kuhukum berat dan Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang
kalian boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!"
Wiro dan Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak
masing-masing. Tapi ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak
bergerak sedikitpun. Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga
untuk mengangkatnya semakin melekat keras kedua tabung bambu itu. Wiro dan
Panji segera maklum bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi
mereka hanya mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam
keduanya mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi
tampak duduk sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi
percikan keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar. "Hem.... Dua anak muda
ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!" kata sang Warok dalam
hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambu itu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji
merasakan tangan mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap
bertahan. Di samping mereka perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas
sampai setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda
ini tiba-tiba secara serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong
maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar
biasa terbanting jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
"Brak!"
Kursi kayu yang kokoh itu patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh
tinggi besar Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok
dan siap untuk menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan
tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
"Pergi saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah
aku kursi baru!"
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi
membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.
Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalian orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa
mengirimku ke akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari
silang sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!"
Wiro dan Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi
tuak. Setealh meneguk minuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus
yang dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke
dalam perut mereka, kedua pemuda itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal.
Makin digaruk makin gatal.
"Bibirmu bengkak besar!" kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
"Mulutmu juga bengkak!" ujar Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan
menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawa gelak-gelak.
"Warok, apa yang kau perbuat terhadap kami"!" tanya Wiro sambil mengusap
lagi bibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakin keras. "Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama
kali makan talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama
Kisah Pedang Di Sungai Es 18 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Tujuh Pembunuh 2