Pencarian

Wasiat Dewa 2

Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa Bagian 2


belahan lantai goa! Untuk sesaat pandekar segala cerdik segala congkak itu tegak
tersandar ke dinding goa yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Barusan aku hanya menyedot dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu
Pangeran!" kata Datuk Sengkang Makale. "Yang setengah lagi biar kukembalikan
padamu!" Lalu sang Datuk jentikkan telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari.
Sinar hitam berkiblat! Nyawa sang Pangeran terancam oleh pukulan sakti miliknya
sendiri yang diredam lalu dilepas kembali oleh lawan untuk menyerang dan
menghabisi nya!
Sadar bahaya besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal.
Secepat kilat dia angkat kedua tangannya untuk menangkis dan balas menghantam
dengan pukulan "Gerhana Matahari".
Namun sebelum pukulan maut itu sempat dilepas mendadak dia merasakan dadanya dia
merasakan dia merasakan dadanya dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali dari
dada Pangeran Matahari menderu satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya
disertai berkiblatnya sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana di
neraka. Sinar hitam maut yang dijentikkan sang Datuk disapu habis!
Lolongan setinggi langit keluar dari mulut Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya
mencelat keluar goa, sesaat menyangsrang di semak belukar lalu jatuh di atas
rerumputan. Asap mengepul.
Ketika Pengeran Matahari keluar dari goa dia menyaksikan apa yang telah terjadi
dengan nenek sakti berjuluk Ratu Pesolek. Sosok jangkung Datuk Sengkang Makale
yang punya empat julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus
mengeluarkan kepulan asap tipis!
Pangeran Matahari keluarkan Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini
terasa hangat. Perlahan dan hati-hati kitab sakti ini diletakkannya di batu goa
lalu dia jatuhkan diri menyembah.
"Junjunganku Kitab Wasiat Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!"
Lalu kitab itu diciumnya berulang kali, diletakkannya di atas kepalanya kemudian
dia melangkah masuk kembali ke dalam goa.
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa ENAM Tujuh payung warna warni yakni merah, biru, kuning, putih, hitam, hijau dan ungu
melayang turun menuju lereng bukit tak jauh dari sumur batu dimana sosok
Pendekar 212 terkapar. Payung warna merah sampai lebih dulu. Sejengkal lagi kepalanya akan
menyentuh tanah, perempuan yang bergelantungan pada payung itu lalu melompat ke
samping. Di lain kejap dia sudah tegak di tanah bukit. Lalu clep! Gagang lancip
payung merah menancap di tanah. Sekali lagi secara aneh terdengar suara clep!
Payung warna merah yang tadi mengembang kini kuncup dengan sendirinya.
Perempuan yang tegak di samping payung merah ternyata adalah seorang gadis
berwajah sangat cantik. Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun
kedua pipinya kelihatan merah. Begitu juga bibirnya tampak segar merah. Sepasang
alisnya sangat hitam menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia
mengenakan pakaian ringkas warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam,
tergerai lepas dipermainkan angin bukit.
Enam payung yang masih terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu menyusul
turun mengitari payung merah dan gadis cantik itu. Lalu ujung-ujung gagang
payung yang lancip menancap di tanah. Satu persatu pula secara aneh enam payung
yang tadi terkembang menguncup!
Gadis di tengah kelilingan payung memandang berkeliling. Seperti diketahui bukit
di sekitar sumur batu itu dilanda bau busuk beberapa mayat yang bertebaran di
sana-sini. Tapi si gadis seolah tidak menciumnya. Dengan tenang kemudian dia
melangkah kearah sumur batu lalu menatap ke dalam.
"Aku yakin memang ini sumur yang dikatakan guru. Tapi firasatku mengatakan aku
datang terlambat. Benda yang kucari itu sudah tak ada di sini. Tadi aku melihat
ada dua orang meninggalkan bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda
itu. Sebaiknya aku naik ke udara kembali. Mereka tentu belum jauh..."
Gadis cantik itu melangkah kea rah payung merah yang menancap di tanah. Tiba-
tiba dia hentikan langkah dan membalik. Matanya memperhatikan sosok tubuh
Pendekar 212. "Banyak mayat di tempat ini. Yang satu itu masih segar. Pasti belum lama menemui
ajal! Pasti dua orang yang kulihat tadi yang membunuhnya... Hemm...apakah perlu
memeriksa siapa dia adanya?" Berpikir sampai disitu si gadis melangkah mendekati
tubuh Pendekar 212 yang terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya dia balikkan
tubuh pemuda itu hingga terlentang. Sesaat dia pandangi muka Pendekar 212.
"Ada bekas darah di sekitar mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. Orang ini mati
akibat luka dalam yang amat parah. Hemmm... Tak pernah aku melihat dia
sebelumnya." Setelah memperhatikan sesaat lagi, si gadis siap untuk beranjak.
Angin bukit bertiup kencang menyingkapkan pakaian putih Wiro di bagian dada.
Saat itulah dia tak sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera di dada
si pemuda. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Gerakan kaki si gadis yang hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang
matanya yang bening membesar. "Dua satu dua...!" desisnya. "Astaga!" Bukankah
dia..." Gadis ini sesaat tampak meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahan-
lahan dia berlutut. Tangannya diulurkan memegang lengan kiri Wiro. "Tak ada
denyutan nadi....Dia memang benar-benar sudah mati! Ah.... Bagaimana ini" Padahal
menurut guru aku harus..." Si gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212,
menatap terus menerus. Lalu mata itu melihat tanda merah kebiruan di bagian
dada. "Bekas pukulan aneh..." katanya dalam hati. Lalu menyambung. "Nasib manusia
memang di tangan Yang Kuasa. Mana aku menyangka kalau pertemuan dengan dirinya
ternyata dia sudah menjadi mayat begini rupa.... Satu-satunya kebajikan yang bisa
kulakukan adalah mengubur jenazahnya!" Gadis itu kembali memandang berkeliling.
Di lereng bukit sekitar lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang pohon
rindang. "Mungkin di bawah pohon itu kubur yang baik untuknya..." Si gadis bangkit
berdiri lalu membungkuk.
Tangan Wiro kiri kanan dicekalnya. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia
menyeret mayat Pendekar 212 ke arah pohon besar di bawah sana.
Baru enam langkah dia menyeret sosok tubuh itu tiba-tiba terdengar suara orang
terbatuk-batuk.
"Mayat hidup!" Si gadis terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wiro lalu
melompat menjauh dengan wajah berubah. Tubuh Wiro yang tadi terangkat karena
pegangannya dilepas jadi terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat.
Membuat gadis tadi jadi tambah ketakutan.
"Astaga! Jelas tadi dia sudah mati. Bagaimana bisa hidup kembali!" ujar si gadis
dalam hati ketika dilihatnya sosok Wiro berbalik ke kanan lalu dengan susah
payah dia berusaha berdiri. Tapi dalam sikap merangkak tubuhnya kembali
terhempas. Dari mulutnya keluar suara keluhan disertai kucuran darah. Wiro
angkat kepalanya.
Pandangannya kabur. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya.
"Demi Tuhan, siapapun kau adanya to... tolong...."
"Dia benar-benar masih hidup!" ujar si gadis. Ketika kepala Wiro terkulai
kembali dia cepat mendatangi.
* * * DUA mata yang terbuka itu tak dapat mengenali benda-benda apa yang ada di atas
tubuhnya. Dia hanya melihat samar-samar warna hijau, merah, kuning dan entah
warna apa lagi.
Pendekar 212 pejamkan kembali matanya. Beberapa saat kemudian baru dibukanya.
"Aneh, benda-benda apa ini?" otaknya mulai mampu berpikir. "Tubuhku terasa
sakit. Tulang-tulangku seperti luluh. Tenggorokanku kering seperti terbakar.
Mulutku pahit. Dadaku uh... mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh,
berada dimana aku ini...?" Wiro merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik.
"Ada orang Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa melangkah di dekatku... Aku hanya melihat kaki berkasut . Pakaian biru kembang-
kembang itu membungkuk. Wiro melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut itu
bergerak seperti disibakkan.
Kelihatan satu wajah.
Wiro pejamkan kedua matanya. Dibuka lalu dikedip-kedipkan berulang kali.
"Heh... Jangan-jangan aku ini memang sudah mati dan masuk sorga. Buktinya aku
melihat wajah cantik rambut panjang. Pasti itu wajah bidadari..." ujar Wiro
perlahan tapi cukup terdengar oleh orang yang berada di sampingnya.
"Hik... hik... hik..."
Wiro terkejut mendengar ada suara orang perempuan tertawa cekikikan tapi
tertahan-tahan. Matanya berputar memandang kian kemari. "Astaga.... Jangan-jangan
yang kulihat tadi bidadari jejadian alias hantu perempuan!" kata Wiro lalu
berusaha berdiri. Namun dia cuma mampu duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung.
Rambut tergerai dan wajah cantik lenyap, berganti dengan satu sosok utuh mulai
dari kaki sampai kepala yang duduk du hadapan Pendekar 212.
"Si..siapa kau..." Berada dimana aku saat ini?" Wiro bertanya. Kepalanya terasa
berat. Dia kuatkan diri berusaha agar tidak rubuh. Tapi tak bisa.
Gadis di hadapan Wiro menjawab. "Keadaan tubuhmu masih sangat lemah.
Sebaiknya kau berbaring saja dulu..."
"Aku...aku lemah?" Wiro memandang berkeliling sampai matanya kembali menatap
kearah wajah cantik di depannya. "Memangnya aku kenapa...?" Wiro turunkan
kepalanya. Wajahnya langsung berubah ketika nmelihat ada noda darah di baju
serta dadanya yang tersingkap. Dia juga melihat tanda merah kebiruan
membelintang di dadanya. Saat itu kembali rasa sakit menyerang dadanya membuat
dia merintih panjang.
Lalu kembali Wiro menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan.
"Pertama aku menemuimu, kukira kau sudah mati. Aku
berniat hendak mengubur jenazahmu..." si gadis memberitahu.
"Tengkukku merinding mendengar ucapanmu. Apa betul..." Wiro berucap.
Tangan kanannya hendak menggaruk kepala tapi dia masih tak mampu menggerakkan.
Malah saat itu tubuhnya terasa huyung dan akhirnya dia terbaring terlentang di
tanah. "Baiknya kau jangan banyak bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah.
Hanya kekuasaan Allah yang membuatmu masih hidup saat ini... Berbaring seperti itu
lebih baik bagimu."
"Allah memang Maha Besar. Maha Penolong. Apa... apa yang sebenarnya terjadi dengan
diriku. Otakku masih belum mampu mengingat...."
"Jangan banyak berpikir, jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara..."
"Mana mungkin aku berbuat begitu. Itu sama saja seperti mati sungguhan..." kata
Wiro. "Terserah. Kalau kau mau sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak...Jika orang-orang
yang ingin membunuhmu itu muncul kembali dan kau masih dalam keadaan seperti
ini, tamat riwayatmu!"
"Eh, siapa yang ingin membunuhku...?" Wiro ajukan pertanyaan tapi mendadak mukanya
mengernyit. Dadanya mendenyut sakit seperti ada yang meremas di sebelah dalam.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Telan ini..." kata gadis berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda
berwarna hitam sebesar ujung jari kelingking.
"Apa ini..." Tahi kambing?" Tanya Wiro.
Paras si gadis berubah menunjukkan rasa jengkel. "Bergurau memang sehat. Tapi
harus pada tempatnya. Aku memberimu obat tapi kau bicara melantur. Aku akan
simpan saja obat ini! Kau boleh menunggu sembuh sampai seratus hari!"
Murid Sinto Gendeng jadi terkejut mendengar ucapan itu. "Jangan buru-buru marah.
Aku tidak kenal kau. Maksudmu bisa saja baik. Tapi kecurigaan ada kalanya
memperpanjang umur, bukan sebaliknya. Dengar....Di balik pakaian putihku ada
sebuah kantong kecil berisi obat. Tolong ambilkan dan masukkan ke dalam
mulutku..."
Gadis berbaju biru angkat tangannya. "Kantong kain butut dan bau ini"!" ujarnya
seraya memperlihatkan sebuah kantong kain yang memang milik Wiro.
"Jangan menghina! Dalam kantong itu ada obat pemberian guruku!"
Si gadis tersenyum lebar. "Kantongnya saja sudah butut bau begini. Obatnya tentu
lebih buruk lagi!"
"Kau keliwat menghina!" Wiro berteriak tapi tenggorokannya mendadak tercekik hingga dia batuk-batuk sampai keluar air
mata. Dia coba bangkit dan ulurkan tangan mengambil kantong kain di tangan si
gadis. Namun dia hanya mampu bergerak sedikit lalu jatuh lagi ke tanah.
"Apapun obat yang ada dalam kantong ini tak akan mampu menolong dirimu!
Kau bukan menderita luka dalam akibat pukulan manusia. Tapi oleh pukulan iblis.
Hanya obat iblis pula yang mampu menyembuhkanmu..."
"Maksudmu ...?" Wiro melirik pada benda hitam di tangan si gadis. "Berati yang di
tanganmu itu obat iblis!"
"Terserah kau mau menyebutnya apa. Kau mau menelannya atau tidak?"
"Tidak..."
jawab Wiro. "Kalau begitu tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Selamat tinggal.
Selamat bertemu dengan teman-temanmu..."
Eh teman-temanku siapa"!" Tanya Wiro heran.
"Yang sudah meninggal lebih dulu darimu!" jawab si gadis lalu letakkan kantong
kain milik Wiro dan cepat berdiri.
Dalam hati Pendekar 212 seperti mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya
malah muncul senyum lebar. "Tunggu!"
"Aku tak punya waktu melayanimu!" jawab si gadis. Tangannya bergerak mencabut
sebuah tiang yang menancap di tanah. Ketika tiang itu diangkat baru Wiro
mengenali bahwa banda itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wiro
memandang ke atas."Ah, kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas
tubuhku ini adalah payung semua..." piker Wiro. "Tujuh payung terkembang...
Bagaimana dia bisa memakainya semua" Siapa sebenarnya gadis cantik ini. Apa
benar dia hendak menolongku...?"
"Hai, kau betulan mau pergi"!" Wiro bertanya.
"Kau tidak membutuhkan pertolongan..."
"Siapa bilang"!" tukas Wiro.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Si gadis hentikan gerakannya yang hendak melangkah pergi. Dia memandang pada
Wiro dengan pandangan mengkal.
"Baik, aku bersedia menerima pertolonganmu. Aku mengucapkan terima kasih...
Tapi boleh aku tahu dulu siapa dirimu sebenarnya" Kau pasti punya nama dan ...
Hek!" Wiro tercekik. Ternyata si gadis telah melemparkan obat hitam di tangannya ke
dalam mulutnya. Begitu berada dalam mulut obat itu keluarkan letupan halus. Wiro
merasakan mulut dan seluruh kepalanya seperti terbakar. Dia menjerit keras.
Perlahan-lahan kulitnya terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit
mukanya kelihatan menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus ke dada dan
akhirnya turun terus sampai ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wiro merasa
nafasnya sangat sesak.
Matanya perih. Dalam Keadaan seperti itu akhirnya dia hanya melihat kegelapan
lalu tak tahu apa-apa lagi.
* * * Bastian Tito Serial

Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa TUJUH Pendekar 212 sadar akan dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit.
Perlahan-lahan dia buka kedua matanya. Dia coba berpikir. Ternyata daya
ingatannya telah jernih kembali. Bukan itu saja, dia merasakan ada kekuatan lagi
dalam tubuhnya walau rasa sakit masih ada di bagian dada. Masih dalam keadaan
terbaring di tanah dia memutar mata, memandang berkeliling.
"Benda kuning warna-warni itu... Payung-payung itu tak ada lagi... Gadis cantik
berpakaian biru kembang kuning itu..." Wiro bangkit duduk. Lalu berdiri. "Aneh,
kekuatanku sudah pulih. Pasti berkat obat yang diberikan gadis itu. Kemana
dia"!" Ketika dia hendak memandang lagi berkeliling mencari-cari, tiba-tiba Wiro
ingat akan senjata mustikanya. Diperiksanya pinggang pakaian, dia meraba kian
kemari. Jantungnya bergemuruh.
"Kapak Naga Geni 212! Batu hitam sakti!" teriak Wiro keras tapi bergetar.
"Celaka! Dua senjata mustika itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan! Jahanam! Aku bersumpah membunuh dua manusia setan itu!"
Wiro terduduk lemah di tanah.
Saat itulah pertama kalinya Wiro memperhatikan kedua tangannya, lalu kedua
kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.
"Ya Tuhan! Pa yang terjadi dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku
pasti juga!" Wiro usap wajahnya. "Celaka! Jangan-jangan..." Wiro berucap sambil
mengusap-usap ke dua tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah seolah dia
memang sudah hitam sejak dilahirkan!
Udara di atas Wiro tiba-tiba redup seolah ada awan tebal menghalangi cahaya yang
surya. Bersamaan dengan itu terdengar suara perempuan berkata.
"Kau tak usah khawatir. Warna hitam itu nanti akan hilang sendirinya.
Keadaanmu akan pulih jika bulan purnama muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!"
Wiro palingkan kepala dan mendongak. Dia hampir tak bisa percaya dengan apa yang
dilihatnya. Tujuh payung warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan
terkembang. Pada gagang payung warna merah tampak bergantung gadis cantik
berpakaian biru berbunga-bunga.
"Ah dia rupanya! Luar biasa! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga mampu
terbang dengan payung sementara enam payung mengiring seolah mengawalnya!" Wiro
berdecak kagum lalu lambaikan tangan.
"Sahabat, turunlah! Aku ingin bicara banyak denganmu!" seru Wiro.
"Urusanku di tempat ini sudah selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!"
gadis baju biru menjawab. Payung merah yang dipegangnya melayang di atas bukit
lalu perlahan-lahan naik ke atas.
Murid Sinto Gendeng garuk kepalanya. "Ah! Syukur! Sekarang aku bisa garuk
kepala!" murid Sinto Gendeng merasa lega tapi begitu melihat tujuh payung
terbang semakin jauh dia segera berlari mengikuti. Celakanya karena lereng bukit
menurun dengan sendirinya dengan payung-payung itu bertambah jauh.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Kulompati terlalu jauh! Bagaimana caranya..." Tiba-tiba Wiro melihat sebuah pohon
besar dengan cabang-cabangnya yang panjang di bawah sana. "Tujuh payung bakal
melewati pohon itu. Ini kesempatan bagiku..." Secepat kilat Wiro lari ke arah
pohon, memanjatnya dengan cepat lalu merangkak ke salah satu cabang di arah mana
tujuh payung akan lewat. Walau payung-payung itu masih tetap akan melayang di
atasnya namun jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu adalah
payung yang paling dekat dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih lama Wiro
kerahkan tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang pohon. Tubuhnya melesat
ringan ke atas.
Wiro berhasil menangkap gagang payung warna ungu, yakni payung yang berada di
sebelah tengah. Gadis berpakaian biru berada dua payung di sebelah depannya.
"Hai! Apa yang kau lakukan"!" teriak gadis itu ketika melihat Wiro tahu-tahu
sugah bergantungan pada gagang payung ungu.
"Aku mau ikut kemana kau pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak
denganmu!" jawab Wiro. Lalu ketika ada kesempatan dia melesat ke samping dan
berhasil menangkap gagang payung hijau. Kini dia hanya terpisah satu payung dari
si gadis sementara tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang
di atas bukit. Wiro sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa berada di udara
seperti itu dia merasa gamang juga. Di sebelah bawah dia melihat sebuah kali
kecil berair jernih.
"Kau tak bisa mengikutiku! Kau harus turun!" berteriak si gadis.
"Tidak! Kalau kau mau turun aku baru ikut turun! Jawab Wiro.
"Jangan memaksa aku melakukan kekerasan!"
"Ahai! Gadis secantikmu mana tega menjatuhkan tangan keras!" jawab Wiro sambil
tertawa lebar. "Kau mau mengujiku! Baik! Aku akan buat kau tahu rasa!" jawab si gadis dengan
suara keras. Dia tampak marah karena merasa ditantang. Rambutnya yang tergerai
melambai-lambai tertiup angin. Kepalanya digoyangkan. Tiba-tiba clep!
Payung hijau yang digelantungi murid Eyang Sinto Gendeng itu menguncup dengan
keras. Ujungnya memukul tangan dan kepala Wiro. Pendekar 212 mengeluh keras.
Bukan saja karena kesakitan tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit
hingga dia tak bisa bergerak. Japitan itu makin lama makin kencang. Walau payung
cuma terbuat dari kertas dan ruas-ruas bambu namun bagaimanpun dia berusaha
tetap saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas
dia berusaha tetap saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak
sampai-sampai sementara tangan kanannya yang memegang payung selain sakit
terjepit juga terasa mulai lemah hingga tak mungkin baginya bertahan lama.
Di sebelah kiri bawahnya terdengar suara tawa cekikikan.
"Sialan! Dia menertawaiku!" memaki Wiro. "Kalau bukan gidas cantik sudah
kukencingi dia saat ini. Aduh...! Bagaimana ini"!" Jepitan payung di kepala Wiro
semakin keras. Tangan kanannya bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah
Wiro melihat bukit cukup jauh di bawah sana. "Kalau aku harus melepaskan payung
celaka ini lebih baik aku memilih jatuh masuk ke dalam kali sana..." pikir Wiro.
Karena tak sanggup lagi menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung
hijau Wiro akhirnya terpaksa lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika
tubuhnya Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa melayang ke bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di benaknya. Di udara
murid Sinto Gendeng liukkan tubuh membuat gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar
212 melesat ke samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu ketika
Wiro berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!
Payung merah berguncang keras ketika si gadis meronta-ronta coba lepaskan diri
dari pelukan Wiro. Seumur hidup baru kali ini dia dipeluk orang seperti itu.
Oleh laki-laki pula!
"Pemuda kurang ajar! Lepaskan diriku!" teriak si gadis. Sebaliknya Wiro yang
keenakan memeluk gadis cantik itu malah tertawa gelak-gelak.
"Aku sedang keenakan, bodoh dan rugi kalau aku melepaskan pelukan!" jawab Wiro
seenaknya. "Benar-benar manusia kurang ajar!" Si gadis marah sekali. Tangan kirinya
digebukkan. "Bukkk!"
Tubuh Wiro menggeliat ketika gebukan si gadis menghantam bahu kirinya dengan
keras. Sakitnya bukan main. Tulang belikatnya serasa patah. Tapi dasar brengsek
dia bukannya berteriak kesakitan malah berseru.
"Aduh! Enaaak!" Karena beban yang ditahan payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya maka
perlahan-lahan payung itu melayang ke bawah.
"Kau benar-benar tidak mau melepaskan pelukanmu"!" Si gadis kembali berteriak.
"Kita turun saja sama-sama, mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud
kurang ajar!" jawab Wiro dan tambah memperkencang pelukannya.
Si gadis hilang sabarnya. Kaki kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke bawah
perut Pendekar 212. Kali ini Wiro benar-benar kesakitan. Dia berteriak keras.
Lalu tak sadar kalau saat itu dia berada di udara, begitu lepaskan pelukan kedua
tangannya berada dipakai menekap bagian bawah perutnya.
"Hancur keponakanku!"
Tubuh Pendekar 212 melayang jatuh ke bawah. Untung saja saat itu jaraknya ke
tanah tidak terlalu jauh. Lagi pula dia masih bisa memilih jatuh dengan mencebur
masuk ke dalam anak sungai berair jernih!
Dalam keadaan basah kuyup Wiro berenang menuju tebing sungai. Sementara di udara
payung merah tempat gadis cantik bergantung perlahan-lahan kembali melayang naik
ke udara diikuti oleh enam payung warna-warni lainnya.
Bersamaan dengan jatuhnya Wiro ke anak sungai tadi, dari balik pakaian gadis
baju biru melayang jatuh pula secarik kertas. Tepat ketika Wiro mencapai
pinggiran sungai, kertas itu jatuh di atas sebuah batu.
"Eh, kertas apa ini..?" ujar Wiro. Dia mendongak ke atas.
Di udara gadis baju biru tampak sibuk memeriksa pakaiannya. Dia memandang ke
bawah. "Astaga! Kertas itu..." katanya dengan paras berubah. Begitu dilihatnya
Wiro ulurkan tangan hendak ambil kertas yang jatuh di atas batu, dia segera
berteriak. "Jangan sentuh benda itu!" Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua
kakinya digerak-gerakkan.
Tangan kirinya diputar-putar. Secara aneh payung merah yang digelantunginya
melesat Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat sekali dia sudah menjejakkan kaki di
depan batu di mana kertas tadi terjatuh. Namun dia kalah cepat karena saat itu
Wiro telah lebih dulu mengambil kertas itu. Ketika diperhatikannya ternyata
hanya sehelai kertas kosong.
Tak ada tulisan ataupun gambar di atasnya.
"Kembalikan kertas itu padaku!" ujar si gadis di hadapn Wiro
"Aneh, hanya sehelai kertas kosong mengapa dia begitu bersikeras memintanya...?"
pikir Wiro dalam hati lalu membalik-balikkan kertas itu beberapa kali.
"Hai! Kau tuli tidak mendengar orang berkata"!" bentak si gadis.
Wiro tersenyum lalu ulurkan tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi
jari-jari si gadis akan menyentuh kertas itu Wiro tarik tangannya hingga orang
hanya menangkap angin. Murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
Merasa di permainkan gadis baju biru menjadi marah. Dia bukan saja berusaha
merampas kertas itu tapi sekaligus kirimkan serangan.
"Serangannya ganas sekali..." membatin Wiro dan cepat berkelit. Namun tangan kiri
si gadis sempat melabrak ulu hatinya. Selagi tubuh Wiro terkekuk ke depan tangan
kanan lawan menyambar ke arah kertas. Wiro masih sempat berkelit. Tapi entah
bagaimana pegangannya pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar lalu
masuk ke dalam sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan arus namun di satu tempat
tertahan di antara dua buah batu.
Wiro melihat perubahan aneh pada wajah gadis di hadapannya. "Heran , hanya
selembar kertas kosong mengapa dia begitu ngotot"!' pikir Wiro. Sambil pegangi
perutnya yang tadi dihantam dengkul gadis itu Wiro berpaling kearah sungai.
Matanya yang ditujukan pada kertas yang terjepit di antara dua buah batu tiba-
tiba terpentang lebar. " Aneh, tadi kertas itu kosong tak ada apa-apanya. Kini
aku lihat seperti ada sesuatu di situ...." Wiro bergerak menuruni tebing sungai.
"Tetap di tempatmu! Jangan kau berani menyentuh kertas itu!" Gadis di
belakangnya berkata. Suaranya bukan merupakan ancaman kosong karena saat itu
juga melompat ke hadapan Wiro dan dorongkan kedua tangannya dan dada sang
pendekar. Jarak dua tangan dan dada terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin
dingin menyambar tanpa suara sama sekali, membuat murid Sinto Gendeng terlempar
sampai dua tombak. Dia jatuh terbanting di antara tujuh buah payung yang
menancap di tepi sungai, semua dalam keadaan kuncup!
Karena sebelumnya dadanya pernah cidera akibat hantaman makhluk raksasa jejadian
yang keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan dan kini mendapat hantaman di bagian
yang sama, akibatnya Wiro merasakan sakit sekali, membuat dia terhuyung-huyung
ketika coba berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan
darah. Luka dalamnya ternyata kambuh kembali.
"Hanya karena sehelai kertas kau tega mencelakaiku..." desis Wiro. Dia kerahkan
tenaga dalam dan atur jalan nafas serta darah.
Si gadis tak menjawab. Malah balikkan diri lalu menuruni tebing sungai dengan
cepat. Di satu tempat dia siap untuk melompat, mengambil kertas yang tersangkut
di celah dua buah batu sungai.
Pada saat dia membungkuk, dari belakang tiba-tiba menderu satu gelombang angin
deras. Si gadis tak sempat melihat apa yang terjadi. Tapi dia maklum kalau ada
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa orang menyerang dengan satu pukulan sakti. Secepat kilat dia membuang diri ke
samping. Namun tak urung sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya
sebelah kiri. Tak ampun lagi gadis ini terpelintir lalu tubuhnya terjungkal ke
dalam sungai! Wiro yang barusan lepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang" dalam keadaan
menahan sakit pada dadanya cepat pergunakan kesempatan untuk melompat ke atas
salah satu batu dimana lembaran kertas basah itu sebelum dihanyutkan air
melewati celah di antara dua batu.
"Hai!" terdengar seruan gadis baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang
secepatnya sebelum Wiro berhasil mengambil kertas itu. Namun kalah cepat. Dia
masih jauh sewaktu Wiro meletakkan kertas basah itu di atas batu. Sepasang mata
murid Sinto Gendeng terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.
Meskipun air sungai membuat tulisan itu luntur namun Wiro masih bisa
merangkainya satu sama lain dan membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.
Muridku Puti Andini.
Karena keperluan sangat penting di Gunung Singgalang aku tidak dapat menemuimu.
Seperti yang aku pesankan dulu, seterimanya surat ini kau harus segera berangkat
ke tanah Jawa. Cari pemuda bergelar Pendekar 212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu.
Bagaimana caranya terserah padamu. Jangan ragu-ragu membunuhnya jika kau
mengalami kesulitan.
Wiro ambil kertas basah itu dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika
gadis yang berenang sampai di dekat batu dalam keadaan basah kuyup.
"Kau inginkan kertas ini" Ambilah!" kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran kertas
yang basah dan hampir robek itu ke atas batu.
Si gadis usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia
berkata seolah pada diri sendiri. "Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat
membaca apa yang tertulis di kertas itu..."
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa DELAPAN Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak
Gunung Merapi. Namun selewatnya pertengahan lereng, jalan yang buruk tidak
memungkinkan mereka meneruskan perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa
tinggalkan binatang-binatang itu di satu tempat lalu melanjutkan dengan jalan
kaki. "Ini tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita
berdua bakal celaka..." kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat
bahkan setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh
semak belukar dan onak duri.
Hari itu adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun
kematian yang telah mereka telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat
beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui sang
Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.
"Tiga Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita
obat penawar kita intai saat dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat
itu bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia
persilatan..."
"Apa yang ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama


Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kitab Wasiat Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun
dengan cara membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua
Ratu Pesolek..."
"Kalau begitu kita akan celaka seumur-umur!" kata Ekang Setan pula.
"Jangan dulu putus asa, "kata Tiga Bayangan Setan. "Kita harus cari jalan lain
yang ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu..."
"Menjebak bagaimana?" Tanya Elang Setan.
"Setahuku dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari
seorang gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab
Wasiat itu akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan
mengambil kitab tersebut...."
"Rencanamu masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos.
Kalalu tidak dia bisa kita jadikan jebakan..." kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa. "Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu
bengkak sebelah. Singa betina seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita
yang dijebaknya masuk liang kubur..."
Semakin tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh
sedang udara bertambah dingin padahal saat itu tengah hari tepat dan sang surya
bersinar terik terang benderang.
Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur
Gunung Merapi. "Itu bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah
riwayat kita!" kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung
terbuat dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati
sebuah tangga. Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka tanpa kamar.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga. Di pintu depan
Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.
"Pangeran Matahari! Apa kau ada di dalam" Kami datang membawa kabar gembira
untukmu!" Sunyi tak ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan
mengetuk lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.
"Pangeran Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang
menghadapimu! Kami berhasil menjalankan tugas!"
Tetap saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. "Kita sudah mengetuk
dan memanggil. Mungkin dia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk
ke dalam," kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu
pintu terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.
"Celaka! Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari
saja!" kata Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan
mengikuti. Namun baru saja keduanya sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-
tahu menghadang di situ.
"Pangeran Matahari!" seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan
lalu menjura dalam-dalam.
Di ambang pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian
bergambar Gunung Merapi warna biru di bagian dada.
"Hemmm...cara kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan saja!
Lekas berlutut di hadapan Pangeran Matahari!"
Dibentak seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri
berlutut patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka
diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.
"Hemmm... Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah
satu dari kalian mengatakan datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan
tugas! Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga
Bayangan Setan, kau yang menjelaskan!"
Dua orang itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri
keterangan. "Pangeran Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh
Pendekar 212 Wiro Sableng..."
Sepasang mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit.
Rahangnya yang persegi dan dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung.
Kepalanya didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.
"Tiga Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!"
"Aku Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212
Wiro Sableng."
"Dimana dan bagaimana kejadiannya!" ujar Pangeran Matahari.
"Di bukit di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari
menemukan Kitab Wasiat Iblis itu, "jawab Tiga Bayangan Setan. "Nyawanya amblas
setelah terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Hemmm..." Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.
Wajahnya yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja. "Setahuku dari
ubun-ubun di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana
yang katamu telah membunuh Pendekar 212?"
"Yang sebelah kiri, Pangeran, "jawab Tiga Bayangan Setan.
"Bagian mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?" bertanya lagi Pangeran
Matahari. "Kepala atau tubuh"!"
"Tepat di bagian dadanya Pangeran."
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu
perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang
lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa
merinding. "Apa yang ada di benak manusia ini...?" membatin Tiga Bayangan Setan. "Dia seolah
tidak yakin aku telah membunuh musuh besarnya itu!"
"Tiga Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212.
Mengapa kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku"!"
Mendengar kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan
jadi saling pandang.
"Tapi Pangeran," yang menjawab adalah Elang Setan. "Sebelumnya kau tidak pernah
memerintah begitu..."
"Elang Setan, tutup mulutmu!" bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada
Elang Setan. "Tiga Bayangan Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut
lancang kalau tidak ditanya!"
"Maafkan aku Pangeran, "kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.
Pangeran Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.
"Apa jawabanmu"!" bentaknya.
"Aku mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan.
Karena kami tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas... Tapi
kami punya sesuatu yang mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar
212 memang sudah tamat riwayatnya!"
"Apa sesuatu itu"!" Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar.
Dari balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang
memancarkan cahaya terang menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak
tapi juga berseru gembira.
"Kapak Maut Naga Geni 212!"
Elang Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia
keluarkan sebuah batu hitam empat persegi.
Batu mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!" kembali Pangeran Matahari
berseru. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang
tentu saja dengan cepat segera diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata
berkilat-kilat dia perhatikan kapak dan batu hitam.
"Kalian berdua memang hebat!" memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212
dibabatkannya ke udara. Terdengar suara seperti ribuan tawon berdengung disertai
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas.
Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.
"Pangeran, dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar
212 Wiro Sableng telah menemui ajal di tangan kami"!"
Pangeran Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan
kepala. Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua orang di
depannya. Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.
"Aku sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantu-pembantu,
sebagai pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan adalah
satu pekerjaan yang besar!" Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212
di pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia
bertanya: "Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?"
"Memang ada Pangeran," jawab Elang Setan. "Pertama kami mau memberi tahu, waktu
kami berada di bukit Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis
cantik berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih
dahulu. Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada
Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil
meloloskan diri!"
"Hemmm... Itu sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu
cukup keras..." ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai. "Tapi Kalian tak usah
khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada
lagi yang hendak kalian katakan"!"
"Mengenai obat penawar itu, "kata Tiga Bayangan Setan pula. "Bukankah Pangeran
telah berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?"
"Kalian tak usah khawatir. Obat itu memang sudah kusiapkan!"
Wajah Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat
lega. Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran
keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak. "Ambil
seorang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum
kalian sempat menghitung sampai sepuluh!"
Tanpa ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-
masing sebutir obat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari lalu memasukkannya
ke dalam mulut dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa tergelak-
gelak. Mendadak saja dua orang itu merasa syak.
"Pangeran..." Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang
Pangeran memberi isyarat dengan melambaikan tangan kiri.
"Racun seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!"
Kaget dua orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka
mendadak sontak pucat putih sperti kertas.
"Pangeran! Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas...!" ujar Tiga
Bayangan Setan hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya
memandang melotot pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda
dia menahan amarah yang meluap.
"Kau menipu kami Pangeran!" ujar Elang Setan.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Pangeran Matahari semakin keras tawanya.
"Kalian harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai
tiga ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku"!"
"Sesuai perjanjian...."
"Setan alas keparat! Siapa yang berjanji padamu"!" sentak Pangeran Matahari pada
Tiga Bayangan Setan. "Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit
ke luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro
Sableng, bawa kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari
sekarang!"
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga.
Elang Setan beranikan diri membuka mulut. "Pangeran, bukit itu sangat jauh dari
sini. Kalau kami sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak
busuk atau dimakan binatang buas...."
"Plakkkk!"
Satu tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan
jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku
tangannya mencuat lurus.
Pangeran Matahari menyeringai. "Kau berani menyerangku" Aku mau lihat !"
ujar sang Pangeran sambil memandang pada Elang Setan.
Elang Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat
memegang bahunya dan berkata. "Mari kita tinggalkan tempat ini...." Katanya.
Sesaat Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak.
Lalu perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya
menuruni tangga rumah panggung.
"Ingat! Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma
punya umur tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku!
Masih mending aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti
dulu. Ha...ha...ha...!"
"Jahanam keparat!" maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak
menendang. "Krakkkkk!"
Kayu pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran
Matahari tambah keras. Sesaat setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan,
Pangeran Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik
dan berseru. "Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!"
Dari atas atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu
turun ke lantai rumah dia langsung memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran
membalas dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si
gadis. Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si
gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya yang
putih jenjang. * * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa SEMBILAN Gadis bernama Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu.
Untuk beberapa lamanya wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.
Wiro pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. "Dulu Kitab Wasiat Iblis
menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita
sama. Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini."
Sewaktu Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang menengadah
pada Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat cantik itu.
"Aku harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia
ingin membunuhku apa artinya..."
Puti Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu
yang dipegangnya agak licin. Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis
untuk naik keatas batu. Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu.
Akhirnya perlahan-lahan diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling
bersentuhan. Sepuluh jari saling mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran
aneh dalam dirinya. Detak jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar
212 biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis itu berhasil ditolongnya naik ke
atas batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai.
Sebelum menyusul melompat ke tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas
basah yang ada di atas batu. "Kepandaian manusia ada-ada saja. Waktu kering
kertas itu seolah kosong saja. Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan
yang tertera disitu..."
Karena pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat


Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari bahan yang agak tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti
membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk
belahan auratnya.
Puti Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung
hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.
"Kau mau kemana"!" tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut
payung merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia
mampu membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.
"Aku.... Aku harus pergi," jawab si gadis.
"Mencari Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?"
"Apa yang aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!"
"Kau betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi...
Kuharap kau mau..."
"Kau terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!"
"Hemmm... Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!" ujar Wiro mulai jengkel.
Lalu dia berseru. "Lihat batu!"
Meski tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga
kearah batu di tengah sungai. Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan
melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.
"Wussss!"
"Braakkk...byaar!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Batu besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari
dalam keadaan hangus. Sebagian ada yang dikobari api.
"Batu saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!"
Sesaat panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak
perduli akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.
"Mengancam orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!"
Murid Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar ejekan itu. "Gadis tengil...!"
"Apa itu tengil"!" tanya Puti Andini tidak mengerti.
Wiro mau memaki panjang pendek saking kesalnya. "Dengar, aku hanya mau ajukan
beberapa pertanyaan. Tapi jika kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu
seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!"
"Hemmm, begitu..." Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada
ancamanmu. Apa saja yang ingin kau tanyakan?"
"Pertama kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok
menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau
berpayung di atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa
menceritakan apa yang kau lihat?"
"Cuma sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng
bukit. Salah seorang diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan
mengenakan pakian biru...."
"Itu pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah
menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!"
"Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan katamu...?" ujar Puti Andini dengan wajah
berubah. "Kau kenal mereka...?"
Puti Andini menggeleng. "Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus
dimusnahkan!"
"Gurumu yang berkata begitu" Atau memberimu tugas begitu"!"
Si gadis tidak menjawab. "Apa lagi yang ingin kau tanyakan..."
"Jika kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan
terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan
menyelamatkan diriku..."
"Aku membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau
menyerahkan padaku!" jawab Puti Andini.
Wiro menyeringai lebar. Si gadis sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan
apa yang sebenarnya yang harus dilakukannya.
"Siapa gurumu...?"
Puti Andini tidak menjawab.
"Baik, kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan
seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis
Gila Pencabut Jiwa...?"
"Siapa yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang
hanya gara-gara patah hati..."
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Hampir saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga
Tua Gila adalah guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai
siapa adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di
Tambun Tulang) "Kau menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan...."
"Dia memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!"
jawab Puti Andini.
"Aku tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu
memerintahkan agar kau membunuhku"!" tukas Wiro Sableng.
"Kau tak usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab
Wasiat Dewa itu..."
"Sialan... Enak saja kau bicara!" kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.
"Jika kau tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!"
"Tunggu! Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!"
"Bukan cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali!
Kalau tidak percaya coba berkaca di air sungai!" Si gadis lalu tertawa panjang.
Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya ke
tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal!
Si gadis malah tertawa terpingkal-pingkal!
"Puti Andini !" teriak Wiro. 'Jangan kau berani bicara main-main!"
"Wiro Sableng!" balas berteriak si gadis.
"Eh, bagaimana kau tahu namaku"!" Wiro keheranan.
"Waktu kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup
memberi tahu siapa kau adanya...." Jawab Puti Andini pula.
"Waktu aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini.
Saat aku siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi
hitam legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!"
"Kau benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima
keadaan seperti ini" Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat
jahat. Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu, jiwamu
selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada menemui
kematian mengenaskan" Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu hanya
sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai badanmu,
warna hitam itu akan serta merta lenyap..."
"Bagaimana kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung
terus menerus..."
Puti Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. "Kau bicara seperti anak kecil.
Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan
atau udara mendung!"
"Sial! Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!" pikir Wiro lalu garuk-
garuk kepalanya berulang kali.
"Kau masih ada pertanyaan"!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ya...ya! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku.
Kau sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur."
"Selatan," jawab Puti Andini pendek.
"Aku bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!"
"Kau mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama Tiga
Bayangan Setan itu!" kata Puti Andini.
"Aku tahu dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak
punya nyawa rangkap!" jawab Wiro meradang.
"Masalahnya bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak
bisa dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!"
"Lalu apa kau tahu kelemahan manusia setan itu"!" Tanya Wiro menahan gusar.
"Mengenai diri seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!"
"Apa maksudmu"!" Tanya Wiro.
"Untuk mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh
silat golongan hitam yang aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis
Pemabuk. Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah
dibunuhnya lebih dulu!"
"Dimana aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?" Tanya Pendekar 212.
"Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!"
Habis berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas
kepala. Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang
menancap di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan kakinya
ke tanah. Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan tubuh si gadis
terangkat ke udara. Wiro hendak mengejar. "Jangan kau berani mengikuti!"
Wiro tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat
itu sudah naik setinggi kepala.
"Dasr sableng keras kepala!" terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya
bergerak membuat gerakan berputar. Enam buah payung yaitu payung biru, kuning,
hijau, putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru
angin yang dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing
menghantam kearah Pendekar 212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi
menghunjam ke dada dan perut!
Wiro berseru tegang. Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat
jatuh yang paling aman adalah anak sungai berair jernih. Sesaat sosok tubuh
Pendekar 212 lenyap di bawah air. Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan
berenang ke tepi, enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung
merah dimana Puti Andini bergantung.
Wiro geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke
udara dia berkata. "Kau tak mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya
kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!"
Setelah Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung
sendiri. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Apa yang harus kulakukan sekarang" Langsung menuju pulau kecil di pantai laut
selatan" Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu" Mungkin aku harus mencari Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari
Angin Timur... Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!" Murid Sinto
Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa SEPULUH Muara Kali Opak ramai oleh perahu yang baru kembali melaut. Para nelayan sibuk
memunggah ikan. Para tengkulak hilir mudik memborong ikan dengan harga semurah
mungkin yang kadang-kadang membuat jengkel nelayan. Dalam keadaan seperti itu
Wiro berusaha mencari perahu sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak
satu pun pemilik yang mau disewa. Selain mereka letih, rata-rata saat itu mereka
sudah mengantongi uang cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan perahu
pada seorang pemuda tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong tebal,
berkulit dan bermuka hitam jelek pula!
Wiro tegak bersandar pada sebuah perahu kosong. Pemiliknya tengah mengumpulkan
barang - barangnya. Sebelumnya Wiro sudah bicara dengan orang ini.
Melihat Wiro berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya. "Muka
pantat dandang, kau masih belum dapat perahu sewaan?"
Wiro delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan
muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam
akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini.
Meski jengkel Wiro menjawab juga dengan gelengan kepala.
"Anak muda, sebenarnya kemana tujuanmu?"
"Sebuah pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja
Obat Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?"
"Kami para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau
bisa membuktikan bahwa si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau.
Dari sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di
laut selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk
mencari si Raja Obat yang belum tentu ada?"
Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng, Dewa
Tuak dan Kakek Segala Tahu. "Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat
Dewa itu. Tapi kalau begini susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal
menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan dimana
kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus mencari
kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi terpendam
di pantai utara! Celakanya diriku ini!" Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
Dari dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda
berharga ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu tersenyum lalu berkata. "Aku
tidak tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu.
Tak seorang nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal
yang mungkin tidak kau ketahui..."
"Apa"!" Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.
"Saat ini harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul
sebuah pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian
mana dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari.
Jangankan perahu, gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke
dasar samudera!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 10 Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman Pedang Berkarat Pena Beraksara 8
^