Wasiat Dewa 3
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa Bagian 3
Wasiat Dewa "Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas
sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!" kata Wiro pula.
Dia berpaling pada nelayan di sampingnya. "Apa ada hal lain yang aku tidak
ketahui dan ingin kau beritahu?"
Nelayan pemilik perahu tertawa lebar. "Memang ada," jawabnya. "Kalau kau
beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau
mengantarmu ke laut..."
"Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?"
"Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa
saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak
ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!"
"Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?"
"Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah
sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan
manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa
lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan...1" Sambil tertawa-tawa pemilik
perahu tinggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. "Kalau memang dia yang mau dan
tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia
muncul." Lima hari berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar
nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu
hari lagi berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari
ketujuh. Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan
memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang.
Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya."Aku akan menunggu
sampai sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari
sini. Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini,
urusan nantilah!"
Wiro menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak
pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke
tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang
besar. Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.
Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak
menembus gelombang menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali
lalu terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro
bahwa benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar.
Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur
pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.
Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan
sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak
menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di
samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian
kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara
gemuruh gelombang.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!"
Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun
kelapa. Hujan rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan
tangannya sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di
samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya
tiba-tiba berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah
gelombang besar muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana
Wiro berada. "Astaga! Hai! Awas! " teriak Wiro.
Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap
saja perahu itu pun lenyap.
"Pasti amblas ke dalam laut!" pikir Wiro. "Orang gendeng! Mungkin dia sengaja
mencari mati. Bunuh diri!" Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah
laut terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.
"Eh...." Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-
tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu,
berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya
basah kuyup. "Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan
seperti anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di
kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!"
Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul
menderu satu gelombang besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat
tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke
udara setinggi lima tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh
ke dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!
"Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!" membatin murid Sinto
Gendeng. Mendadak. "Hai!" Wiro berseru kaget.
Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di
permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri
kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut
mengikuti yang dialun ombak.
Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih
melesat menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu
ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro
berseru kaget dan jatuhkan diri ke pasir.
"Wusss!"
Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar
suara braaakk! Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih
dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur
berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
"Eh, di mana orang bercaping itu?" Tanya Wiro dalam hati seraya memandang
berkeliling. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa
kali. Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia
dibuat terkejut.
Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa,
duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya
ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin
bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.
Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti
seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!
"Hancur kepalamu!" seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang
bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir
pantai. Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting
dan di lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan
gubuk. "Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus
buru-buru pergi...." Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari
reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto
Gendeng dengan cepat perhatikan orang itu.
"Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya...astaga! Dia menderita penyakit
kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!"
Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat
di depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.
"Bapak bercadar...Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa
Bala. Kalau betul..."
Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah
menyeret perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu
berkata. "Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau
melihatnya! Hik...hik...!" Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah.
Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu
berwarna merah dan basah di bagian mulut.
"Tak pelak lagi! Memang dia!" kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang
itu walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk
dan bernanah! "Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang
berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa
Pertolongan. Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu... Mari kubantu menyeret perahumu ke
laut..." "Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!"
Orang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan
sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.
"Aku butuh pertolonganmu... Kau pasti bisa menolongku!"
"Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu"!"
Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu. "Apa maksudmu?" tanya Pendekar
212. "Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku
tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian"!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!"
Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak
basah dan warna merah.
"Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak
manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya
adalah kau sendiri!"
"Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk
menyelamatkan dunia persilatan!" kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan
bicara. "Oh begitu...." Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya" Huh! Hik..hik!
Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!"
Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu.
Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam
laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping
langsung melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat.
Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.
"Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku"!"
"Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh
pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru
Angin!" "Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!" hardik
orang bercaping.
"Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau
membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!"
Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada
lalu tertawa gelak-gelak. "Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana
kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!"
Hilang sabarnya Wiro berteriak. "Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol
perahumu!"
Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu.
"Braak!"
Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro
sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian
tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid
Sinto Gendeng ini jadi terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja
tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.
"Celaka! Bagaimana bisa begini"!" ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping.
Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang
lain sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang
penuh koreng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha
mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan
kedua kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.
"Gila! Tanganku!" teriak Wiro.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ha..ha...!" Orang bercaping tertawa. "Setahuku laut sekitar sini banyak ikan
buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut
runcing seperti tombak"! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan.
Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak"
Ha...ha...ha!"
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku"!" teriak Pendekar 212.
Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyang-
goyangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih
itu melesat tambah cepat.
"Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan
sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!" teriak Wiro mengancam.
"Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau
mampu menggerakan tanganmu sebelah kiri"!"
"Mengapa tidak"!" jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan
sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti.
Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan
tenaga penuh dia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin
bertiup. Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu
dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih
menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
"Ha...ha...ha! Ha...ha...ha...!" Orang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin
kencang. Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah!
Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut.
Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu
terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua
perahu meluncur bersisi-sisian.
Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro
berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah sana.
"Heh... penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang...!
Astaga!" Wiro terkejut tapi juga gembira. "Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari
Angin Timur!"
Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba
berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang
sedikitpun! "Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!" Wiro merutuk
setengah mati. "Kuharap gadis itu bisa melihatku... Nah, perahunya agak mendekat.
Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh
pertolonganmu!"
Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa
tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.
"Celaka! Kenapa menjauh" Gadis itu pasti tadi terus saja pergi"! Sial betul!"
Wiro sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. "Mustahil dia tidak melihat!
Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi..." Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat
itu hitam legam Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasiat Dewa mulai dari kepala sampai ke kaki. "Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak
mengenali dan terus saja pergi" Hik...hik!"
"Jahanam!" maki murid Sinto Gendeng. "Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia
bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu"!"
Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samar-
samar di kejauhan.
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa SEBELAS Dalam keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu
sementara matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah
dipanggang. Yang membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping
perahu enak-enak saja duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi
kecil. Laut luas menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.
"Hendak dibawa kemana aku ini...?" pikir Wiro."Orang ini benar-benar menjadi bala
bagiku!" Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
"Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!"
Wiro merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja
kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar
menjadi kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan
hiu sebesar manusia!
Wiro membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala.
Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya
tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur
tubuhnya dingin. "Tanganku..." kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya
yang terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut. "Sekali ikan-ikan
itu menyambar pasti bunting!"
"Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut" Ikan-ikan
itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah.
Ha...ha...ha...!"
Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. "Kalau ikan-ikan itu
menyerang apa kau sendiri bisa selamat"!" ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari
dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang
berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk
memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut. "Tanganku luka! Warna
merah itu pasti darahku...! Celaka!
Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku..." Wiro jadi gemetar
membayangkan apa yang akan segera terjadi.
Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam laut telah
melihat dan mencium bau darah . Beberapa di antara mereka menjadi liar dan
menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin lama goncangan
makin keras. Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik
saja. "Selamat tinggal anak muda!"
"Heh! Mau kemana makhluk celaka ini"!"
Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah
benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar
cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu
pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada
Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala. "Sekali lagi, selamat tinggal anak
muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat!
Ha...ha...ha!" Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu
melompat ke dalam laut. Papan Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti
mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!
"Jahanam betul!" rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang
sudah dekat di depan matanya. "Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik
aku selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di
dasar laut. Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku...!" Begitu Wiro berkata setengah
meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang paling
dekat muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul
Si Raja Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti,
disusul dengan Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada
bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. "Bidadari
Angin Timur... Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya..."
"Braaaakk!-Braaakk!"
Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu
pecah, terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro
yang terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya
saat itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya.
Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor
ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip.
Binatang-binatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!
Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang
beberapa kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja
lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut,
terdengar suara menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha
mempertahankan nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam
dan hilang kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat.
Tabir itu ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua
sampai tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak
seperti takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan
kacau balau ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan
akhirnya lenyap. Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena
tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar
laut. Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi
yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka
ternyata adalah makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian
atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa PERTAMA sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua
matanya ialah alunan suara petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya mencium
bau harum semerbak.
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Memandang ke atas lalu melihat
berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.
"Ruangan apa ini...?" pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. "Eh, kakiku bisa
bergerak..." Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia
mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan itu. "Dimana aku
ini?" Ruangan dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-
langit kamar terbuat dari bahan aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh
tempat. Wiro angkat tangan kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering pada pangkal
lengan. Dia coba berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa
yang telah dialaminya sebelumnya. "Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam
ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara menggemuruh. Muncul tabir
kelabu aneh..." Wiro pandangi lagi lengan kanannya. "Luka di tanganku di taburi
sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku..."
"Srett...srett...srett...srettt!"
Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid
Sinto Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar
tak berkesip. "Jangan-jangan aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga... Buktinya saat ini
aku dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus.
Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya
aku ini betulan di sorga?" Wiro garuk-garuk kepalanya. "Dosaku bertumpuk.
Masakan aku bisa masuk sorga semulus ini...?" Wiro memandang berkeliling.
Perhatikan gadis-gadis cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam
yang ketat, terbelah di bagian sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul,
lalu terbelah lagi di bagian dada sebelah atas.
"Cantik semua. Kalian ini siapa...Aku berada dimana?" tanya Wiro lalu perlahan-
lahan dia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. "Jangan-jangan para
gadis ini makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu..." Selintas pikiran muncul dan
membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.
"Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi...?"
Wiro memperhatikan berkeliling.
Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah
maju seorang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang sangat
besar. Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala, juga terbuat dari kain hitam.
Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu membungkuk. Karena dada pakaiannya
terbelah dalam, ketika membungkuk sepasang payudaranya yang putih kencang
seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang Sinto Gendeng merasa jantungnya
seperti mau tanggal menyaksikan!
"Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang
kami bawa ini." Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Wiro jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga
kotor dan bau. "Kalian gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan
berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat ini..."
Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik...
hik! Mereka sama-sama tertawa.
"Kenapa tertawa?" Tanya Wiro heran. "Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam.
Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah
dengan kulit kalian itu...!"
Ruangan itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat
berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-dada putih montok para gadis
berguncang-guncang sewaktu mereka tertawa.
Salah seorang dari para gadis lalu berkata. "Pemuda dari daratan. Kami akan
membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian
butut dan kotor serta bau itu..."
"Ratu ...Ratu...apa...?" Wiro jadi heran.
"Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti
pakaian," gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.
"Ya... ya aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat
ini..." kata murid Sinto Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam
yang ada di atas nampan kerang.
"Kami tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti
pakaian di depan kami..."
"Hah ! Apa"!" Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. "Kalau begitu
biar aku tidak jadi ganti pakaian!"
"Kau tamu yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah.
Jangan membuat Ratu menunggu terlalu lama..."
"Walah! Siapa Ratu kalian" Kalian ini siapa sebenarnya" Manusia sungguhan,
makhluk jejadian, sebangsa peri atau apa"!"
"Sekali lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak.
Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala
penderitaanmu..."
"Gila!" Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.
"Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu" Bagiku lebih
menderita membuka pakaian di hadapan kalian!"
"Aturan mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!" kata salah seorang dari
dua belas dara cantik.
"Ah, bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan"!"
Dua belas wajah cantik kelihatan menjadi merah.
Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang.
"Dengar pemuda jahat! Kau tinggal memilih..."
"Aku suka kalau kalian mengeroyokku..." ujar Wiro masih bergurau.
Gadis pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk.
Melihat isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa terkembang diarahkan pada Wiro. Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke
arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan
Wiro. Tubuhnya laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.
Wusss... wusss... wussss.
Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan
dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget. Dia
memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di
tubuhnya tapi tak berhasil menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke
aurat sebelah bawah. Dua belas gadis cantik tertawa cekikian. Yang membawa
nampan berisi pakaian hitam berkata. "Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian
hitam ini?"
"Kalian ini... Ah!" Wiro jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya.
Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya.
Ketika dia sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu
ramai lagi dengan suara tawa para gadis!
"Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!"
Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar Wiro. Dia mengenakan sambil
berbalik, maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis
itu. Tapi percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi
kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-
gadis cantik itu.
Wiro merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil memakai
destar dia bertanya. "Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana...bagus"!"
"Hitam semua!" celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di
ruangan itu. Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian
yang tadi dikenakannya.
"Jangan khawatir," jawab gadis yang berjalan di depannya. "Kelak jika kau
meninggalkan tempat ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap
dengan segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu
dalam saku pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?"
Wiro tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu.
Yang dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias
Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang
sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia
sewaktu-waktu ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).
"Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan," kata Wiro sambil melangkah mengikuti
gadis-gadis cantik itu. Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah
memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari
belahan pakaian. Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro lalu
teruskan maksudnya bertanya.
"Kita ini berada dimana..." Di daratan atau di dasar laut?"
"Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang," seorang gadis kemudian
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjawab. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ini yang aku tidak mengerti. Seingatku aku jatuh ke dalam laut...Mengapa kini kau
katakan berada di awang-awang" Mana mungkin aku bisa berjalan di udara..."
"Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia
biasa sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti..."
"Lalu kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?"
"Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu
menunggu."
"Ratu..." mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu
bertemu dengan perempuan sakti bergelar Ratu Pantai Utara. "Di laut utara ada
Ratu, ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan
mana yang paling cantik antara keduanya..." kata murid Sinto Gendeng konyol.
(Harap baca serial Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa DUA BELAS Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau
bangunan itu berada di awang-awang. Sementara itu suara petikan kecapi merdu
terdengar semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.
Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-
cahaya redup hingga mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan, mulai dari
pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke
ruangan itu. Di ujung ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar
yang sandarannya berbentuk seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi
seseorang yang duduk di bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari
manik-manik berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya,
baju yang dikenakannya juga dibelah di bagian dada dan pinggul. Kecantikan yang
satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis
lain banyak senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak
menunjukkan air muka ramah. Orang ini mengenakan anting, kalung dan gelang
terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah
ketika memandang mata orang itu. Sepasang bola matanya berwarna biru dan
memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker.
Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.
"Ini rupanya Sang Ratu..." kata Wiro dalam hati.
Dua belas gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi
penghormatan. Ketika salah seorang dari mereka melihat Wiro dan berkata,
"Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung
penguasa Pulau pantai laut selatan..."
Didorong dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke
depan. "Ratu Duyung..." Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia.
Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan..."
"Kalau kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan
pentungan tulang ikan hiu sampai tujuh puluh kali!" Satu cara mengancam di
belakang Wiro. Murid Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke
hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk matanya
yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang
tersingkap. Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat
bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu. Di atas
meja ini terletak sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum. Di
samping pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab.
Karena jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu.
Namun mendadak saja dadanya berdebar.
Salah seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu.
Setelah membungkuk dia berkata.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Penghormatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan.
Perintah telah kami jalankan. Orang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami
antarkan ke hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut."
Orang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada
Wiro lalu jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu
digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.
Murid Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat
kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari
memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan.
Karena dia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat
Dewa! Lupa dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja
bulat. Beberapa orang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda
berkulit hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika
jari-jari tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping
pendupaan, Ratu Duyung menekan salah satu bagian tangan kursi batu. Terdengar
suara desingan halus.
Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212
jatuh terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher. Kini hanya kepalanya saja
yang tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi mengerikan empat dinding
lantai batu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan
diri keluar dari lobang itu!
Perlahan-lahan Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang
terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas kursi batu. Lalu dia melangkah
anggun mendekati lobang tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang
itu. Dalam keadaan lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu
pemandangan menggiurkan bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh
dan tak mampu keluar selamatkan diri.
"Kadang-kadang kecerobohan bisa membawa celaka seseorang..." kata Ratu Duyung.
"Ratu, demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!" ujar Wiro.
"Sumpah anak manusia tidak berlaku di tempat ini!"
Sang Ratu sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah
tombol di bawah meja bulat. Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun
perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika
bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala
Pendekar 212 yang berada di lobang batu lantai ruangan. Wiro maklum bahaya maut kini kembali
mengancamnya. "Ratu! Aku akan jelaskan..."
"Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi
petunjuk bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu..."
"Kau benar dan aku tidak berdusta, " jawab Wiro. "Tadi aku begitu terkejut dan
lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang
aku cari. Bukan untuk mengambilnya!"
Ratu Duyung tertawa. "Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol!
Jika kau memang mencari kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil!
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya
menyadari budi orang malah hedak mencuri!"
"Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut
melihat kitab itu ada di tempat ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu
seharusnya berada di tempat lain....!"
"Begitu"!" Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi
runcing panas membara perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro.
Jarak ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal
sekitar lima belas jengkal.
"Aku tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada
kelompok manusia-manusia jahat atau termasuk dalam golongan orang-orang putih
yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan...."
"Jangan berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua
golongan yang kau katakan!" Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali
ke kursi batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia
memberi tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu. "Lekas bawa masuk tamu
kita yang datang malam tadi!"
Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama dia
muncul kembali. Di belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata
sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia
mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu
dikenakan Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap langkah yang
dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil
tiada hentinya tertawa-tawa.
Wiro melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru
memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan
dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir
akan keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing
turun semakin mendekati kepalanya!
Sampai di hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada
sang Ratu. "Tamu terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting
yang kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana"!
Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan."
Orang tua gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk.
Pada saat si gemuk memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan
matanya. "Apa ini orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu" Pendekar yang katamu siap
mengarungi segala bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat
Dewa itu....?"
Si Gemuk kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum.
Lalu dia melihat si gendut menggeleng dan berkata. "Bukan, bukan dia orangnya...
Ha...ha.. ha!"
"Jadi kau tidak mengenalinya?" Tanya Ratu Duyung.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Tidak, aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!" Lalu kembali orang
ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
"Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!" maki Wiro dalam hati. "Apa matanya sudah
lamur tidak mengenali diriku lagi"! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka
gosong. Tapi eh...!"
"Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu"!" bertanya
Ratu Duyung. "Perduli apa dengan nyawanya!" jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. "Kau boleh
kembali ke tempat peristirahatanmu!" kata Ratu Duyung pula.
Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. "Dewa Ketawa!
Jangan pergi dulu! Kau harus menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau
tidak kenal diriku!"
Si gendut yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan
tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki. "Anak
setan muka hitam itu tahu darimana namaku!" Dia menatap tak berkesip dengan
matanya yang sipit. "Siapa kau"!" tanyanya sambil tertawa-tawa.
"Aku Wiro Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak
mengenali diriku"!"
"Puah!" si gendut tertawa gelak-gelak. "Wiro Sableng Pendekar 212"!"
"Betul! Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!" sambung Wiro. Dia mendongak ke
atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari
kepalanya. Orang yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga
matanya yang sipit kucurkan air mata. "Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak
gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku
sudah buta"!"
"Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!" teriak Wiro.
"Manusia bermuka hitam!" membentak Ratu Duyung. "Jangan lancang berani menghina
tetamuku!"
"Aku tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku.
Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang
milik Keraton yang dicuri orang"!"
Si gendut sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir. "Ya aku ingat! Waktu itu
kau masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua
sudah jadi mayat hidup...!"
"Nah, kau ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat
waktu kau ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan...."!"
"Eh!" si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa
gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa
cekikikkan. "Sekarang kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng,
Pendekar 212 yang tengah menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa...."
"Tidak bisa..." kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa"!" ujar Wiro hampir berteriak
karena di atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal
dari batok kepalanya.
"Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha
mengelabui diriku!"
"Sesuatu terjadi dengan diriku!" jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa
perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan
seorang yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang
parah. Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan
wajahnya menjadi hitam legam.
Orang tua gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya
hendak meninggalkan tempat itu.
"Dewa Ketawa!" teriak Wiro.
Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata. "Pendekar 212 yang aku
kenal memiliki satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal
dengan sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata
itu padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu!"
"Aku tak menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti
pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!"
"Hemmm... Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?" ujar Dewa Ketawa seraya
tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu. "Hemmm...Aku ingat ada rajahan angka 212
di dadamu. Itu mungkin bisa menolong...."
"Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!"
"Sayang sekali. Agaknya kau memang harus menemui ajal secara mengenaskan di
dalam liang batu itu!" kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari
tempat itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.
"Jahanam gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!"
Wiro merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat
jengkal! "Ada satu cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar
212..." "Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus
batok kepalaku!" teriak Wiro.
"Waktu pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celaka itu apa sebutanku memanggilmu" Nah ayo lekas kau jawab!"
"Sobatku Muda!" teriak Wiro. "Begitu kau memanggil diriku!"
"Eh, memang benar!" kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia
hentikan tawanya dan berkata. "Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang
Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Gila! Apa lagi maumu"!" teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala
hanya tinggal tiga jengkal.
"Kau masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu"!" tanya Dewa Ketawa.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Apa sulitnya mengingat!" jawab Wiro. "Kau kupanggil Sobatku Gendut!"
Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!"
"Ha...ha...ha...!" tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu
bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.
"Sekarang aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha...ha...ha!"(Siapa
adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro
Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)
"Kalau begitu!" ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi
runcing hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya, "Lekas minta pada tuan
rumah untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!"
"Ratu Duyung..." ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah
ketakutan setangah mati, "Aku minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan
benda kematian itu!"
Ratu Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya
lebih dulu. "Jadi sekarang kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar
Pendekar 212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke
sini?" "Ya...ya...ya! Memang dia!" jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu
tertawa gelak-gelak.
Ratu Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol di
bawah meja. Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti
meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro.
Murid Sinto Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam
maka akan jelas kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
"Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!" kata
Dewa Ketawa. "Aku belum seluruhnya selamat!"teriak Wiro.
"Eh, apa maksudmu"!" Tanya Dewa Ketawa.
"Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah
dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!"
Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. "Ratu Duyung,
kurasa kau juga tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi
pergedel!"
Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya
menekan salah satu bagian lengan kursi batu. Empat dinding batu yang menggencet
tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan
Wiro segera melompat keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu
mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada
di atas meja. "Pendekar 212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat"
Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!" terdengar Ratu Duyung
berucap. Sesaat Wiro merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa
Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik seperti
itu si Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati
meja bulat. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ternyata kitab sakti ini berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek
Segala Tahu..." Dengan tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia
tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.
"Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!" kata Wiro. Tawa bergelak. "Pendekar
212," ujar Sang Ratu. "Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama
kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar.
Kedua, perasaan hati yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat
melihat kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah
pangkal segala keselamatan!"
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.
"Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih
padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini
pasti aku sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya
ada beberapa hal yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan
diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu
dan juga berdasarkan keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana
tiruan Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana
adanya kitab yang asli" Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau sebagai
tamu seperti si Gendut itu..."
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
"Sejak kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan
di tempat ini," berucap Ratu Duyung.
"Tapi karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadis-
gadis cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba berbuat macam-macam!" Yang
bicara adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.
Wiro garuk-garuk kepala.
Ratu Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata."Pertemuan hari ini cukup sampai di
sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok.
Harap antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!"
Seorang gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya.
Sebelum melangkah pergi Wiro membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Duyung.
Lalu dia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar dia
ditunggui oleh Dewa Ketawa.
"Sobatku Muda. Kau beruntung bisa selamat....Ha...ha...ha...!"
"Dewa Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara.
Di awang - awang?"
"Memangnya kau tak percaya?" balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar
biasa itu. "Akalku tak bisa menerima..."
"Ha...ha...ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan
pikiran bagi kita manusia biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila
jika terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak
malam nanti....Ha...ha...ha!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu
sebagai tamu di tempat ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa...
Betul?" Dewa Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.
"Apa yang kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?" Tanya Pendekar 212.
"Tidak banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu.
Yaitu sang kitab berasal dari daratan Tiongkok...."
Wiro tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di
satu tempat gadis pengantar membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke
kanan. Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
"Sobatku Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku.
Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi....Apakah kau juga
disuruh mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?"
Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang
dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha...ha...ha...! Cuma denganmu
mereka lebih untung!"
Apa maksudmu?"Tanya Wiro.
"Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis
cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan
peralatanmu masih kencang....! Ha...ha...ha!"
Pendekar 212 pencongkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala
memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.
TAMAT Ikuti serial : WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT
NAGA GENI 212 Berikutnya berjudul:
WASIAT SANG RATU
SEMUA HAK CIPTA DAN COPY RIGHT
ADA PADA PENGARANG (ALM. BASTIAN TITO)
Komentar dan saran : mrcnry_007@yahoo.com atau pada thread Wiro Sableng di
www.kaskus.us sub forum Book Review.
Tusuk Kondai Pusaka 12 Mustika Lidah Naga 4 Iblis Sungai Telaga 23
Wasiat Dewa "Ah, ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas
sebesar bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!" kata Wiro pula.
Dia berpaling pada nelayan di sampingnya. "Apa ada hal lain yang aku tidak
ketahui dan ingin kau beritahu?"
Nelayan pemilik perahu tertawa lebar. "Memang ada," jawabnya. "Kalau kau
beruntung kau akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau
mengantarmu ke laut..."
"Dimana aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?"
"Dia muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa
saja satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak
ini menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!"
"Eh, kenapa kalian memberi nama begitu padanya?"
"Karena dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah
sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan
manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa
lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan...1" Sambil tertawa-tawa pemilik
perahu tinggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. "Kalau memang dia yang mau dan
tahu kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia
muncul." Lima hari berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar
nelayan berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu
hari lagi berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari
ketujuh. Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan
memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang.
Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya."Aku akan menunggu
sampai sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki dari
sini. Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini,
urusan nantilah!"
Wiro menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak
pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke
tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera gelombang
besar. Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.
Di tengah laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak
menembus gelombang menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali
lalu terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro
bahwa benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar.
Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur
pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.
Lalu Wiro melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan
sebuah caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak
menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai di
samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan kian
kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara
gemuruh gelombang.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Orang aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!"
Berpikir begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun
kelapa. Hujan rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan
tangannya sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di
samping kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya
tiba-tiba berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah
gelombang besar muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana
Wiro berada. "Astaga! Hai! Awas! " teriak Wiro.
Namun gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap
saja perahu itu pun lenyap.
"Pasti amblas ke dalam laut!" pikir Wiro. "Orang gendeng! Mungkin dia sengaja
mencari mati. Bunuh diri!" Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah
laut terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.
"Eh...." Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-
tiba muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu,
berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya
basah kuyup. "Aneh, kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan
seperti anak kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di
kepalanya! Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!"
Saat itu sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul
menderu satu gelombang besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat
tangan kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke
udara setinggi lima tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh
ke dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!
"Sekarang jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!" membatin murid Sinto
Gendeng. Mendadak. "Hai!" Wiro berseru kaget.
Didorong oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di
permukaan laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri
kanan perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut
mengikuti yang dialun ombak.
Laksana sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih
melesat menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu
ternyata melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro
berseru kaget dan jatuhkan diri ke pasir.
"Wusss!"
Perahu putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar
suara braaakk! Dalam keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih
dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur
berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam keadaan utuh!
"Eh, di mana orang bercaping itu?" Tanya Wiro dalam hati seraya memandang
berkeliling. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Tiba-tiba ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa
kali. Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia
dibuat terkejut.
Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon kelapa,
duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya. Wajahnya
ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika angin
bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.
Sosok di atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti
seekor tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!
"Hancur kepalamu!" seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang
bergulung itu jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir
pantai. Tapi dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting
dan di lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan
gubuk. "Sedap sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus
buru-buru pergi...." Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari
reruntuhan gubuk. Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto
Gendeng dengan cepat perhatikan orang itu.
"Tubuhnya bau busuk, amis! Tangan dan kakinya...astaga! Dia menderita penyakit
kulit. Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!"
Wiro teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat
di depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.
"Bapak bercadar...Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa
Bala. Kalau betul..."
Belum sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah
menyeret perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu
berkata. "Buseett! Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau
melihatnya! Hik...hik...!" Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah.
Ketika diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu
berwarna merah dan basah di bagian mulut.
"Tak pelak lagi! Memang dia!" kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang
itu walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk
dan bernanah! "Walau kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang
berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa
Pertolongan. Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu... Mari kubantu menyeret perahumu ke
laut..." "Jangan berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!"
Orang berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan
sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.
"Aku butuh pertolonganmu... Kau pasti bisa menolongku!"
"Untuk urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu"!"
Wiro jadi tertegun mendengar ucapan orang itu. "Apa maksudmu?" tanya Pendekar
212. "Aku tahu kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku
tanya apa kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian"!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Soal mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!"
Orang bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak
basah dan warna merah.
"Kau betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak
manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya
adalah kau sendiri!"
"Aku tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk
menyelamatkan dunia persilatan!" kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan
bicara. "Oh begitu...." Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya" Huh! Hik..hik!
Malaikat mana ada yang hitam gosong sepertimu!"
Dalam hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu.
Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam
laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping
langsung melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat.
Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.
"Siapa mengizinkanmu naik ke atas perahuku"!"
"Memang tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh
pertolonganmu. Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru
Angin!" "Kau mau kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!" hardik
orang bercaping.
"Jika kau mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau
membawaku, akan kuhancurkan perahu ini!"
Diancam seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada
lalu tertawa gelak-gelak. "Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana
kau akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!"
Hilang sabarnya Wiro berteriak. "Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol
perahumu!"
Habis berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu.
"Braak!"
Lantai perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro
sendiri jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian
tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid
Sinto Gendeng ini jadi terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja
tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.
"Celaka! Bagaimana bisa begini"!" ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping.
Orang bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang
lain sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang
penuh koreng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha
mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan
kedua kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.
"Gila! Tanganku!" teriak Wiro.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ha..ha...!" Orang bercaping tertawa. "Setahuku laut sekitar sini banyak ikan
buasnya. Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut
runcing seperti tombak"! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan.
Kalaupun tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak"
Ha...ha...ha!"
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku"!" teriak Pendekar 212.
Yang ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyang-
goyangkan kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih
itu melesat tambah cepat.
"Kalau kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan
sakti! Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!" teriak Wiro mengancam.
"Pemuda muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau
mampu menggerakan tanganmu sebelah kiri"!"
"Mengapa tidak"!" jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan
sinar matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti.
Orang bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan
tenaga penuh dia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin
bertiup. Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu
dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih
menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
"Ha...ha...ha! Ha...ha...ha...!" Orang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin
kencang. Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah!
Saat itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut.
Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun begitu
terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa lama dua
perahu meluncur bersisi-sisian.
Dalam keadaan tangan kanannya masih terjepit di dalam lubang perahu Wiro
berusaha melihat siapa adanya penumpang tunggal perahu di sebelah sana.
"Heh... penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang...!
Astaga!" Wiro terkejut tapi juga gembira. "Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari
Angin Timur!"
Wiro lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba
berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang
sedikitpun! "Jahanam! Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!" Wiro merutuk
setengah mati. "Kuharap gadis itu bisa melihatku... Nah, perahunya agak mendekat.
Pasti dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh
pertolonganmu!"
Perahu yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa
tombak. Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.
"Celaka! Kenapa menjauh" Gadis itu pasti tadi terus saja pergi"! Sial betul!"
Wiro sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. "Mustahil dia tidak melihat!
Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi..." Wiro baru sadar keadaan dirinya yang saat
itu hitam legam Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasiat Dewa mulai dari kepala sampai ke kaki. "Kulitku! Mungkin ini sebabnya dia tidak
mengenali dan terus saja pergi" Hik...hik!"
"Jahanam!" maki murid Sinto Gendeng. "Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia
bisa tahu ada gadis cantik di perahu itu"!"
Perahu putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samar-
samar di kejauhan.
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa SEBELAS Dalam keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu
sementara matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah
dipanggang. Yang membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping
perahu enak-enak saja duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi
kecil. Laut luas menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.
"Hendak dibawa kemana aku ini...?" pikir Wiro."Orang ini benar-benar menjadi bala
bagiku!" Tiba-tiba suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
"Lihat berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!"
Wiro merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja
kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar
menjadi kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor ikan
hiu sebesar manusia!
Wiro membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala.
Ternyata walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya
tetap saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur
tubuhnya dingin. "Tanganku..." kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya
yang terjepit di lantai perahu dan berada di dalam air laut. "Sekali ikan-ikan
itu menyambar pasti bunting!"
"Anak muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut" Ikan-ikan
itu sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah.
Ha...ha...ha...!"
Wiro putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. "Kalau ikan-ikan itu
menyerang apa kau sendiri bisa selamat"!" ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari
dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya yang
berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk
memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut. "Tanganku luka! Warna
merah itu pasti darahku...! Celaka!
Manusia jahanam ini benar-benar hendak membunuhku..." Wiro jadi gemetar
membayangkan apa yang akan segera terjadi.
Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras. Ikan-ikan hiu di dalam laut telah
melihat dan mencium bau darah . Beberapa di antara mereka menjadi liar dan
menabrak perahu dengan kepala atau tubuh masing-masing. Makin lama goncangan
makin keras. Air laut mulai masuk. Perahu putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik
saja. "Selamat tinggal anak muda!"
"Heh! Mau kemana makhluk celaka ini"!"
Dari salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah
benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar
cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu
pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada
Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala. "Sekali lagi, selamat tinggal anak
muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di akhirat!
Ha...ha...ha!" Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu
melompat ke dalam laut. Papan Bastian Tito
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa injakkannya mengapung di atas air. Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti
mengayuh maka papan yang dipijaknya meluncur ke depan!
"Jahanam betul!" rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang
sudah dekat di depan matanya. "Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik
aku selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di
dasar laut. Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku...!" Begitu Wiro berkata setengah
meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang paling
dekat muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu. Menyusul
Si Raja Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak Sakti,
disusul dengan Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat. Lalu ada
bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari. "Bidadari
Angin Timur... Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya..."
"Braaaakk!-Braaakk!"
Dua ekor ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu
pecah, terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro
yang terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya
saat itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya.
Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor
ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip.
Binatang-binatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!
Di saat yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang
beberapa kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja
lagi dari tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut,
terdengar suara menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha
mempertahankan nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam
dan hilang kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat.
Tabir itu ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua
sampai tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak
seperti takut melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan
kacau balau ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan
akhirnya lenyap. Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena
tubuhnya yang berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar
laut. Dia tidak sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi
yang ujungnya memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka
ternyata adalah makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian
atas sedang di sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa PERTAMA sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua
matanya ialah alunan suara petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya mencium
bau harum semerbak.
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Memandang ke atas lalu melihat
berkeliling dia dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.
"Ruangan apa ini...?" pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. "Eh, kakiku bisa
bergerak..." Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia
mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan itu. "Dimana aku
ini?" Ruangan dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-
langit kamar terbuat dari bahan aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh
tempat. Wiro angkat tangan kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering pada pangkal
lengan. Dia coba berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu mengingat apa
yang telah dialaminya sebelumnya. "Perahu putih pecah berantakan. Aku tenggelam
ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada suara menggemuruh. Muncul tabir
kelabu aneh..." Wiro pandangi lagi lengan kanannya. "Luka di tanganku di taburi
sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada yang telah menyelamatkan diriku..."
"Srett...srett...srett...srettt!"
Tiba-tiba tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid
Sinto Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar
tak berkesip. "Jangan-jangan aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga... Buktinya saat ini
aku dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus.
Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya
aku ini betulan di sorga?" Wiro garuk-garuk kepalanya. "Dosaku bertumpuk.
Masakan aku bisa masuk sorga semulus ini...?" Wiro memandang berkeliling.
Perhatikan gadis-gadis cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna hitam
yang ketat, terbelah di bagian sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke pinggul,
lalu terbelah lagi di bagian dada sebelah atas.
"Cantik semua. Kalian ini siapa...Aku berada dimana?" tanya Wiro lalu perlahan-
lahan dia turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. "Jangan-jangan para
gadis ini makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu..." Selintas pikiran muncul dan
membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.
"Hai! Tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi...?"
Wiro memperhatikan berkeliling.
Tiba-tiba dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah
maju seorang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang sangat
besar. Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala, juga terbuat dari kain hitam.
Si gadis ulurkan nampan ke hadapan Wiro lalu membungkuk. Karena dada pakaiannya
terbelah dalam, ketika membungkuk sepasang payudaranya yang putih kencang
seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang Sinto Gendeng merasa jantungnya
seperti mau tanggal menyaksikan!
"Tamu dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang
kami bawa ini." Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Wiro jadi tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga
kotor dan bau. "Kalian gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan
berganti pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat ini..."
Gadis pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik...
hik! Mereka sama-sama tertawa.
"Kenapa tertawa?" Tanya Wiro heran. "Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam.
Kalian tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah
dengan kulit kalian itu...!"
Ruangan itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat
berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-dada putih montok para gadis
berguncang-guncang sewaktu mereka tertawa.
Salah seorang dari para gadis lalu berkata. "Pemuda dari daratan. Kami akan
membawamu menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian
butut dan kotor serta bau itu..."
"Ratu ...Ratu...apa...?" Wiro jadi heran.
"Kami tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti
pakaian," gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.
"Ya... ya aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat
ini..." kata murid Sinto Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam
yang ada di atas nampan kerang.
"Kami tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti
pakaian di depan kami..."
"Hah ! Apa"!" Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. "Kalau begitu
biar aku tidak jadi ganti pakaian!"
"Kau tamu yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah.
Jangan membuat Ratu menunggu terlalu lama..."
"Walah! Siapa Ratu kalian" Kalian ini siapa sebenarnya" Manusia sungguhan,
makhluk jejadian, sebangsa peri atau apa"!"
"Sekali lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak.
Silahkan berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala
penderitaanmu..."
"Gila!" Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.
"Maafkan ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu" Bagiku lebih
menderita membuka pakaian di hadapan kalian!"
"Aturan mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!" kata salah seorang dari
dua belas dara cantik.
"Ah, bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan"!"
Dua belas wajah cantik kelihatan menjadi merah.
Gadis pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang.
"Dengar pemuda jahat! Kau tinggal memilih..."
"Aku suka kalau kalian mengeroyokku..." ujar Wiro masih bergurau.
Gadis pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk.
Melihat isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa terkembang diarahkan pada Wiro. Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke
arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan
Wiro. Tubuhnya laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.
Wusss... wusss... wussss.
Tubuh Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan
dirinya tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget. Dia
memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di
tubuhnya tapi tak berhasil menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke
aurat sebelah bawah. Dua belas gadis cantik tertawa cekikian. Yang membawa
nampan berisi pakaian hitam berkata. "Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian
hitam ini?"
"Kalian ini... Ah!" Wiro jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya.
Lupa kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya.
Ketika dia sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu
ramai lagi dengan suara tawa para gadis!
"Kalian benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!"
Pakaian di atas nampan kerang cepat disambar Wiro. Dia mengenakan sambil
berbalik, maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis
itu. Tapi percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi
kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata gadis-
gadis cantik itu.
Wiro merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil memakai
destar dia bertanya. "Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana...bagus"!"
"Hitam semua!" celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di
ruangan itu. Sebelum tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian
yang tadi dikenakannya.
"Jangan khawatir," jawab gadis yang berjalan di depannya. "Kelak jika kau
meninggalkan tempat ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap
dengan segala isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu
dalam saku pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?"
Wiro tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu.
Yang dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias
Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang
sanggup menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia
sewaktu-waktu ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).
"Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan," kata Wiro sambil melangkah mengikuti
gadis-gadis cantik itu. Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah
memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari
belahan pakaian. Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro lalu
teruskan maksudnya bertanya.
"Kita ini berada dimana..." Di daratan atau di dasar laut?"
"Kita berada di atas permukaan laut. Di awang-awang," seorang gadis kemudian
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjawab. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ini yang aku tidak mengerti. Seingatku aku jatuh ke dalam laut...Mengapa kini kau
katakan berada di awang-awang" Mana mungkin aku bisa berjalan di udara..."
"Bangunan ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia
biasa sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti..."
"Lalu kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?"
"Hentikan semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu
menunggu."
"Ratu..." mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu
bertemu dengan perempuan sakti bergelar Ratu Pantai Utara. "Di laut utara ada
Ratu, ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan
mana yang paling cantik antara keduanya..." kata murid Sinto Gendeng konyol.
(Harap baca serial Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)
* * * Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa DUA BELAS Dalam setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau
bangunan itu berada di awang-awang. Sementara itu suara petikan kecapi merdu
terdengar semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.
Pendekar 212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-
cahaya redup hingga mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan, mulai dari
pintu masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke
ruangan itu. Di ujung ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar
yang sandarannya berbentuk seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi
seseorang yang duduk di bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari
manik-manik berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya,
baju yang dikenakannya juga dibelah di bagian dada dan pinggul. Kecantikan yang
satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis
lain banyak senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak
menunjukkan air muka ramah. Orang ini mengenakan anting, kalung dan gelang
terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah
ketika memandang mata orang itu. Sepasang bola matanya berwarna biru dan
memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker.
Di pangkuannya ada sebuah cermin besar berbentuk bulat.
"Ini rupanya Sang Ratu..." kata Wiro dalam hati.
Dua belas gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi
penghormatan. Ketika salah seorang dari mereka melihat Wiro dan berkata,
"Jangan berlaku kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung
penguasa Pulau pantai laut selatan..."
Didorong dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke
depan. "Ratu Duyung..." Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia.
Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan..."
"Kalau kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan
pentungan tulang ikan hiu sampai tujuh puluh kali!" Satu cara mengancam di
belakang Wiro. Murid Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke
hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk matanya
yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang
tersingkap. Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat
bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu. Di atas
meja ini terletak sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum. Di
samping pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab.
Karena jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab itu.
Namun mendadak saja dadanya berdebar.
Salah seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu.
Setelah membungkuk dia berkata.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Penghormatan untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan.
Perintah telah kami jalankan. Orang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami
antarkan ke hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut."
Orang yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada
Wiro lalu jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu
digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.
Murid Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat
kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari
memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan.
Karena dia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat
Dewa! Lupa dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja
bulat. Beberapa orang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda
berkulit hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika
jari-jari tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping
pendupaan, Ratu Duyung menekan salah satu bagian tangan kursi batu. Terdengar
suara desingan halus.
Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi Pendekar 212
jatuh terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher. Kini hanya kepalanya saja
yang tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi mengerikan empat dinding
lantai batu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212 tidak mampu selamatkan
diri keluar dari lobang itu!
Perlahan-lahan Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang
terletak di pangkuannya dipindahkan ke atas kursi batu. Lalu dia melangkah
anggun mendekati lobang tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang
itu. Dalam keadaan lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu
pemandangan menggiurkan bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh
dan tak mampu keluar selamatkan diri.
"Kadang-kadang kecerobohan bisa membawa celaka seseorang..." kata Ratu Duyung.
"Ratu, demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!" ujar Wiro.
"Sumpah anak manusia tidak berlaku di tempat ini!"
Sang Ratu sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah
tombol di bawah meja bulat. Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun
perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca. Jika
bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala
Pendekar 212 yang berada di lobang batu lantai ruangan. Wiro maklum bahaya maut kini kembali
mengancamnya. "Ratu! Aku akan jelaskan..."
"Kau tak perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi
petunjuk bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu..."
"Kau benar dan aku tidak berdusta, " jawab Wiro. "Tadi aku begitu terkejut dan
lupa diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang
aku cari. Bukan untuk mengambilnya!"
Ratu Duyung tertawa. "Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol!
Jika kau memang mencari kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil!
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya
menyadari budi orang malah hedak mencuri!"
"Terserah kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut
melihat kitab itu ada di tempat ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu
seharusnya berada di tempat lain....!"
"Begitu"!" Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi
runcing panas membara perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro.
Jarak ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal
sekitar lima belas jengkal.
"Aku tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada
kelompok manusia-manusia jahat atau termasuk dalam golongan orang-orang putih
yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan...."
"Jangan berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua
golongan yang kau katakan!" Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali
ke kursi batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia
memberi tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu. "Lekas bawa masuk tamu
kita yang datang malam tadi!"
Gadis yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama dia
muncul kembali. Di belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata
sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala. Dia
mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang saat itu
dikenakan Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap langkah yang
dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia melangkah sambil
tiada hentinya tertawa-tawa.
Wiro melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru
memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan
dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih khawatir
akan keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi runcing
turun semakin mendekati kepalanya!
Sampai di hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada
sang Ratu. "Tamu terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting
yang kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana"!
Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan."
Orang tua gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk.
Pada saat si gemuk memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan
matanya. "Apa ini orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu" Pendekar yang katamu siap
mengarungi segala bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat
Dewa itu....?"
Si Gemuk kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum.
Lalu dia melihat si gendut menggeleng dan berkata. "Bukan, bukan dia orangnya...
Ha...ha.. ha!"
"Jadi kau tidak mengenalinya?" Tanya Ratu Duyung.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Tidak, aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!" Lalu kembali orang
ini tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
"Sialan si gendut Kerbau Bunting itu!" maki Wiro dalam hati. "Apa matanya sudah
lamur tidak mengenali diriku lagi"! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka
gosong. Tapi eh...!"
"Kalau begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu"!" bertanya
Ratu Duyung. "Perduli apa dengan nyawanya!" jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. "Kau boleh
kembali ke tempat peristirahatanmu!" kata Ratu Duyung pula.
Ketika si gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. "Dewa Ketawa!
Jangan pergi dulu! Kau harus menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau
tidak kenal diriku!"
Si gendut yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan
tawanya. Dia berpaling. Menatap tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki. "Anak
setan muka hitam itu tahu darimana namaku!" Dia menatap tak berkesip dengan
matanya yang sipit. "Siapa kau"!" tanyanya sambil tertawa-tawa.
"Aku Wiro Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak
mengenali diriku"!"
"Puah!" si gendut tertawa gelak-gelak. "Wiro Sableng Pendekar 212"!"
"Betul! Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!" sambung Wiro. Dia mendongak ke
atas. Dua batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari
kepalanya. Orang yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga
matanya yang sipit kucurkan air mata. "Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak
gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira aku
sudah buta"!"
"Buta mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!" teriak Wiro.
"Manusia bermuka hitam!" membentak Ratu Duyung. "Jangan lancang berani menghina
tetamuku!"
"Aku tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku.
Dewa Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang
milik Keraton yang dicuri orang"!"
Si gendut sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir. "Ya aku ingat! Waktu itu
kau masuk ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua
sudah jadi mayat hidup...!"
"Nah, kau ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat
waktu kau ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan...."!"
"Eh!" si gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa
gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa
cekikikkan. "Sekarang kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng,
Pendekar 212 yang tengah menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa...."
"Tidak bisa..." kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Gila! Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa"!" ujar Wiro hampir berteriak
karena di atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal
dari batok kepalanya.
"Pendekar 212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha
mengelabui diriku!"
"Sesuatu terjadi dengan diriku!" jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa
perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan
seorang yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya yang
parah. Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit tubuh dan
wajahnya menjadi hitam legam.
Orang tua gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya
hendak meninggalkan tempat itu.
"Dewa Ketawa!" teriak Wiro.
Si gendut hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata. "Pendekar 212 yang aku
kenal memiliki satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal
dengan sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata
itu padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu!"
"Aku tak menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti
pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!"
"Hemmm... Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?" ujar Dewa Ketawa seraya
tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu. "Hemmm...Aku ingat ada rajahan angka 212
di dadamu. Itu mungkin bisa menolong...."
"Sudah kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!"
"Sayang sekali. Agaknya kau memang harus menemui ajal secara mengenaskan di
dalam liang batu itu!" kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari
tempat itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.
"Jahanam gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!"
Wiro merutuk dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat
jengkal! "Ada satu cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar
212..." "Apa itu! Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus
batok kepalaku!" teriak Wiro.
"Waktu pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang
Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
celaka itu apa sebutanku memanggilmu" Nah ayo lekas kau jawab!"
"Sobatku Muda!" teriak Wiro. "Begitu kau memanggil diriku!"
"Eh, memang benar!" kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia
hentikan tawanya dan berkata. "Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang
Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Gila! Apa lagi maumu"!" teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala
hanya tinggal tiga jengkal.
"Kau masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu"!" tanya Dewa Ketawa.
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Apa sulitnya mengingat!" jawab Wiro. "Kau kupanggil Sobatku Gendut!"
Terkadang kupanggil kau Kerbau Bunting!"
"Ha...ha...ha...!" tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu
bergetar. Apa lagi semua anak buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.
"Sekarang aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha...ha...ha!"(Siapa
adanya Bujang Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro
Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)
"Kalau begitu!" ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi
runcing hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya, "Lekas minta pada tuan
rumah untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!"
"Ratu Duyung..." ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah
ketakutan setangah mati, "Aku minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan
benda kematian itu!"
Ratu Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya
lebih dulu. "Jadi sekarang kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar
Pendekar 212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke
sini?" "Ya...ya...ya! Memang dia!" jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu
tertawa gelak-gelak.
Ratu Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol di
bawah meja. Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti
meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro.
Murid Sinto Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam
maka akan jelas kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
"Pendekar 212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!" kata
Dewa Ketawa. "Aku belum seluruhnya selamat!"teriak Wiro.
"Eh, apa maksudmu"!" Tanya Dewa Ketawa.
"Kau lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah
dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!"
Dewa Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. "Ratu Duyung,
kurasa kau juga tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi
pergedel!"
Untuk pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya
menekan salah satu bagian lengan kursi batu. Empat dinding batu yang menggencet
tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan
Wiro segera melompat keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu
mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada
di atas meja. "Pendekar 212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat"
Silahkan saja! Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!" terdengar Ratu Duyung
berucap. Sesaat Wiro merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa
Ketawa yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik seperti
itu si Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati
meja bulat. Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Ternyata kitab sakti ini berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek
Segala Tahu..." Dengan tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia
tersentak. Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.
"Kitab palsu! Hanya terbuat dari lilin!" kata Wiro. Tawa bergelak. "Pendekar
212," ujar Sang Ratu. "Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama
kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar.
Kedua, perasaan hati yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat
melihat kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah
pangkal segala keselamatan!"
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.
"Terimakasih atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih
padamu dan semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini
pasti aku sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya
ada beberapa hal yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan
diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu
dan juga berdasarkan keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana
tiruan Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana
adanya kitab yang asli" Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau sebagai
tamu seperti si Gendut itu..."
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
"Sejak kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan
di tempat ini," berucap Ratu Duyung.
"Tapi karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadis-
gadis cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba berbuat macam-macam!" Yang
bicara adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.
Wiro garuk-garuk kepala.
Ratu Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata."Pertemuan hari ini cukup sampai di
sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok.
Harap antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!"
Seorang gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya.
Sebelum melangkah pergi Wiro membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Duyung.
Lalu dia cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar dia
ditunggui oleh Dewa Ketawa.
"Sobatku Muda. Kau beruntung bisa selamat....Ha...ha...ha...!"
"Dewa Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara.
Di awang - awang?"
"Memangnya kau tak percaya?" balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar
biasa itu. "Akalku tak bisa menerima..."
"Ha...ha...ha! Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan
pikiran bagi kita manusia biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila
jika terlalu memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak
malam nanti....Ha...ha...ha!"
Bastian Tito Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Wasiat Dewa "Satu lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu
sebagai tamu di tempat ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat Dewa...
Betul?" Dewa Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.
"Apa yang kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?" Tanya Pendekar 212.
"Tidak banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu.
Yaitu sang kitab berasal dari daratan Tiongkok...."
Wiro tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di
satu tempat gadis pengantar membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke
kanan. Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
"Sobatku Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku.
Pasti ini pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi....Apakah kau juga
disuruh mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?"
Dewa Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang
dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha...ha...ha...! Cuma denganmu
mereka lebih untung!"
Apa maksudmu?"Tanya Wiro.
"Tubuh gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis
cantik. Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan
peralatanmu masih kencang....! Ha...ha...ha!"
Pendekar 212 pencongkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala
memperhatikan Dewa Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.
TAMAT Ikuti serial : WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT
NAGA GENI 212 Berikutnya berjudul:
WASIAT SANG RATU
SEMUA HAK CIPTA DAN COPY RIGHT
ADA PADA PENGARANG (ALM. BASTIAN TITO)
Komentar dan saran : mrcnry_007@yahoo.com atau pada thread Wiro Sableng di
www.kaskus.us sub forum Book Review.
Tusuk Kondai Pusaka 12 Mustika Lidah Naga 4 Iblis Sungai Telaga 23