Pencarian

Hantu Tangan Empat 1

Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
Sumber Kitab: Thresna
Cover: kelapalima
EBook: kiageng80
"CREDIT TO SAMKASKUS AND RHOEL"
WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
1 I BALIK curahan air terjun Air Lajatuh tampak dua sosok mendekam tak bergerak.
Mereka telah berada Ddi tempat itu sebelum sang surya muncul menerangi bumi
Latanahsilam. Dari sikap keduanya dapat diduga kalau mereka tengah menunggu
sesuatu. Di langit awan pagi berarak biru. Dari arah timur serombongan burung
melayang ke jurusan barat.
Sosok di sebelah kanan mengusap wajahnya. Orang ini bertubuh besar kekar. Di
pertengahan keningnya
menempel sebuah benda menyerupai kaca sebesar kuku ibu jari kaki.
"Lagandrung, sejak dini hari kita berada di sini. Saat ini matahari sudah mulai
tinggi. Orang yang kita tunggu belum juga muncul. Apa kau yakin dia akan datang
ke sini?" "Wahai adikku Lagandring! Jangan kau ragukan apa yang kuketahui dan kukerjakan.
Sejak puluhan tahun, setiap pertengahan bulan ganjil Hantu Tangan Empat selalu
datang ke tempat ini untuk membersihkan diri, berlangir bersiram air bunga.
Sabarkan hatimu, kita tunggu saja. Dia pasti datang." menjawab orang di samping
kiri Lagandring. Muka dan sosok tubuhnya sangat menyerupai Lagandrung karena
mereka berdua memang adalah
saudara kembar. Satu-satunya tanda yang membedakan sang kakak dari adiknya ialah
kalau di kening Lagandring menempel kaca berwarna merah maka di kening
Lagandrung melekat kaca berwarna putih.
"Yang membuat aku tidak sabar adalah hadiah yang menunggu kita di Istana
Kebahagiaan. Si Luhsariam itu!
Wahai! Wajahnya memang tidak seberapa cantik. Tapi belum pernah aku melihat
gadis memiliki tubuh padat dan kencang seperti dia. Sewaktu penguasa Istana
Kebahagiaan menyuruhku mengintai gadis itu ketika dia sedang mandi, rasanya mau
kuterkam dia saat itu juga!"
Lagandrung tertawa mengekeh mendengar kata-kata
adiknya itu. "Kalau urusan kita selesai dan kita membawa kepala orang itu ke
hadapan penguasa Istana
Kebahagiaan, jangankan satu Luhsariam, sepuluh gadis seperti dia bakal bisa kau
dapatkan! Belakangan ini sang penguasa banyak gembiranya dan murah hati. Sebelum
kita pergi aku sempat melihat sekitar selusin perempuan cantik, kebanyakan masih
gadis-gadis diturunkan dari sebuah kereta besar di pintu gerbang Istana..."
Lagandring menyeringai dan basahi bibirnya dengan ujung lidah. "Nasib kita
memang sedang baik. Diangkat penguasa Istana Kebahagiaan menjadi orang-orang
kepercayaannya. Aku..."
Ucapan Lagandring terputus ketika dia melihat
kakaknya membuat isyarat dengan gerakan tangan kanan.
"Aku mendengar suara sesuatu..."
Lagandring pasang telinganya. Matanya menatap
menembus curahan air terjun. "Aku belum melihat apa-apa. Tapi telingaku memang
menangkap sesuatu. Suara orang bersiul-siul. Agaknya orang itu bersiul sambil
bergerak menuju ke arah air terjun ini. Wahai! Apakah orang yang kita tunggu
punya kebiasaan bersiul-siul seperti itu?"
Lagandrung pasang telinganya baik-baik lalu gelengkan kepala. "Siulan itu bukan
siulan biasa..."
"Membawakan nyanyian tidak karuan nada iramanya,"
kata Lagandring.
"Bukan itu yang aku maksudkan. Siulan itu
mengandung tenaga dalam tinggi. Apa kau tidak
merasakan gendang-gendang telingamu bergetar dan semilir angin seperti berubah
arah?" "Kau benar kakakku. Telingaku mulai terasa bergetar.
Malah ada rasa sakit..." kata Lagandring pula lalu kembali dia memandang ke
depan menembus curahan air terjun Air Lajatuh.
"Siapapun orangnya, dia bukan orang yang kita
tunggu!" berucap Lagandrung.
"Lihat! Ada orang berkelebat di atas batu sana!"
Lagandring berseru sambil menunjuk ke arah deretan batu-batu yang mengelilingi
telaga besar di depan air terjun.
Sang kakak juga sudah melihat sosok orang yang
melayang dan tegak di atas batu. Orang itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dia
memandang berkeliling sembari bersiul-siul. Rambutnya yang gondrong melambai-
lambai tertiup angin.
"Apa kataku!" ujar Lagandrung. "Yang datang memang bukan orang yang kita tunggu.
Orang itu bukan Hantu Tangan Empat!"
"Mungkin dia sengaja muncul dengan merubah wajah?"
ujar Lagandring.
"Aku tahu wajah asli Hantu Tangan Empat. Menurut penguasa Istana Kebahagiaan,
Hantu Tangan Empat
memang bisa merubah wajah, tapi jelas bukan wajah seperti orang yang berdiri di
atas batu itu. Orang itu bertubuh kekar. Masih muda dan berambut gondrong. Kau
lihat sikapnya yang aneh. Sambil bersiul dia cengar-cengir dan sesekali
menggaruk kepala..."
"Cuma seorang pemuda tolol. Mengapa ambil peduli!"
kata Lagandring.
"Kehadiran pemuda itu bisa merusak urusan kita!
Adikku Lagandring lekas kau usir pemuda itu dari tempat ini!" Walau agak malas-
malasan tapi Lagandring lakukan juga perintah kakaknya itu. Sekali lompat saja
dia menembus air terjun. Demikian cepat gerakannya hingga dia tidak sampai basah
kuyup oleh jatuhan air. Sesaat kemudian dia sudah berada empat langkah di
hadapan pemuda berambut gondrong.
Belum sempat membentak, pemuda di hadapan
Lagandring malah menegur lebih dulu.
"Astaga! Kukira tidak ada orang di sekitar sini. Sahabat yang jidatnya ada kaca
warna merah, apakah kau penghuni di kawasan air terjun ini?"
"Pertama!" Lagandring membentak yang membuat
pemuda berambut gondrong pencongkan mulut
keheranan. Dalam hati Wiro memaki. "Sialan! Apa pertama yang dimaksudkan makhluk berkaca di
jidatnya ini!"
"Pertama! Kita tidak bersahabat...!"
"Oh, begitu"! Tidak bersahabat boleh-boleh saja. Aku tidak rugi, kau juga
mungkin tidak untung!"
"Kedua!"
"Kedua! Huh...! Apa yang kedua"!" si gondrong kembali pencongkan mulutnya dan
garuk-garuk kepala.
"Kedua! Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Walah! Aku baru saja sampai di sini! Sudah disuruh pergi! Apa-apaan ini!
Memangnya tempat ini termasuk telaga dan air terjun itu milikmu?"
"Aku menghitung sampai tiga! Jika pada hitungan ke tiga kau tidak angkat kaki
berarti kau minta mati!" hardik Lagandring.
Pemuda berambut gondrong tertawa gelak-gelak. "Kau jago berhitung rupanya! Coba
ini berapa!" Si gondrong lalu acungkan satu jari tangan kanannya.
"Satu!" teriak Lagandring. Tentu saja dia berteriak bukan menyahuti pertanyaan
si pemuda tapi sebagai memberi tanda bahwa dia sudah mulai dengan hitungan
pertama. "Pintar!" memuji pemuda di hadapan Lagandring sambil senyum-senyum. "Sekarang
ini berapa!" Lalu pemuda itu acungkan dua jari tangan kanan.
"Dua!" berseru Lagandring. Mukanya mulai kaku
mengetam. Kaca merah di keningnya memancarkan sinar aneh.
"Hebat!" seru pemuda gondrong. "Nah, kalau ini
berapa"!" Dia kini acungkan tiga jari tangan kanan.
"Tiga!" teriak Lagandring.
Kembali si gondrong tertawa gelak-gelak sambil tepuk-tepuk tangan. Tapi tawanya
langsung lenyap ketika dengan didahului suara menggembor marah tiba-tiba
Lagandring menerjangnya dengan satu serangan dahsyat. Tangan kanan memukul ke
dada, kaki kanan ikut menyusul
menendang ke bawah perut. Belum lagi dua serangan itu melesat setengah jalan,
anginnya saja sudah menghantam laksana dorongan dua batu besar!
Melihat datangnya dua serangan ganas itu tanpa ayal si pemuda cepat melompat ke
udara. Lagandring sampai di atas batu tepat di bawah lawan yang diserang. Begitu
dua serangannya gagal, dia segera menghantam ke atas.
Wussss! Angin sedahsyat topan prahara melabrak. Pemuda
gondrong berseru keras. Dia berjumpalitan di udara. Lalu turun dan berusaha
jejakkan dua kaki di atas batu di tepian telaga. Dia tidak menduga batu yang
satu itu demikian licinnya karena terselimut lumut. Walau dia berusaha imbangi
diri namun tak urung tubuhnya limbung dan mencebur masuk ke dalam air telaga.
Untungnya telaga itu hanya sedalam dada. Dengan cepat si pemuda bergerak menuju
tepian. Lagandring tidak memberi kesempatan. Kepalanya digoyangkan. Selarik
sinar merah menyembur keluar dari kaca merah yang melekat di keningnya.
Melihat datangnya sambaran sinar merah yang pasti sangat berbahaya pemuda rambut
gondrong hantamkan kaki kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring, jatuh
tiga tombak dari tempatnya semula. Walau dia bisa menyelamatkan diri, namun saat
itu terjadilah satu hal yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam si
pemuda, mendarat di permukaan telaga. Air telaga serta merta berubah menjadi
merah dan bergejolak
mengeluarkan suara seperti mendidih. Si pemuda berteriak kaget ketika merasakan
air telaga yang tadinya sejuk kini berubah panas luar biasa. Sebelum sekujur
tubuhnya matang direbus, pemuda ini segera melompat ke bagian tepi telaga yang
terdekat. Lagandring tidak tinggal diam. Dia bertindak cepat.
Baru saja si gondrong menjejakkan kaki di tepi telaga dengan sekujur tubuh
mengepulkan asap panas,
Lagandring telah berada di hadapannya. Lelaki ini goyangkan kepalanya. Dan,
wussss! Kembali sinar merah melesat ganas dari kaca merah yang menempel di
keningnya! "Kurang ajar! Jahanam satu ini benar-benar tidak memberi kesempatan padaku!"
memaki si gondrong. Dua lututnya ditekuk. Tenaga dalam dialirkan ke tangan
kanan. Lagandring tidak sempat memperhatikan bagaimana
tangan lawannya kini sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih berkilauan
laksana perak sampai ke ujung-ujung kuku! Lagandring baru sadar dan berteriak
keras ketika melihat satu cahaya putih disertai hawa panas luar biasa berkiblat
menghantam ke arahnya!
Satu letusan dahsyat menggema di tepi telaga air terjun Air Lajatuh. Tepian
telaga sepanjang sepuluh tombak runtuh. Air telaga muncrat tinggi ke atas.
Lagandring terpental empat tombak, jatuh terhenyak di dekat sebuah batu besar
lalu muntahkan darah segar. Sebagian
pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu hangus
mengepulkan asap. Tubuhnya di sisi kanan termasuk tangan kanan bergetar dan
berubah kemerah-merahan seperti terpanggang. Di bagian lain pemuda berambut
gondrong terguling-guling di tanah. Walau dia berhasil bangun namun nampak
lututnya agak goyah dan mukanya pucat tak berdarah. Sepasang matanya memandang
mendelik pada Lagandring.
"Untung tubuhku sudah berubah besar begini. Kalau masih cebol seperti dulu,
bentrokan pukulan sakti tadi pasti akan membuatku konyol!" Si pemuda membatin.
Dari kata-kata yang diucapkan dalam hati ini serta melihat kepada ciri-cirinya
sudah bisa diduga si pemuda bukan lain adalah pendekar kita, murid Eyang Sinto
Gendeng Wiro Sableng yang jalan hidupnya telah membawa dirinya terpesat ke
Negeri Latanahsilam, satu negeri 1200 tahun silam.
Tiba-tiba Lagandring berdiri. Matanya menyala laksana api. Tangan kanannya
bergerak mencabut kaca merah yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit
seperti membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam
genggamannya mengepulkan asap. Di saat yang sama tubuhnya berubah menjadi besar
dan tinggi. "Astaga! Dia berubah menjadi dua kali lebih besar!"
Pendekar 212 tercekat. Kalau tadi dia masih mengerahkan setengah saja dari
tenaga dalamnya, kini dia alirkan seluruh hawa sakti yang ada dalam tubuhnya ke
tangan kanan. "Akan kuhantam selangkangannya! Masakan tidak amblas!" kata Wiro
dalam hati. Tangan kanannya segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada
saat dia siap menghantam tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat sesosok
tubuh. Menyusul suara orang berseru.
"Lagandring! Tinggalkan pemuda itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!"
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
2 AGANDRING menyeringai buruk. "Kau masih untung
anak muda! Kalau tidak ada urusan lain yang lebih Lpenting pasti sudah
kupanggang kau dengan Sinar Darah Merah!"
Wiro Sableng menyeringai lalu menjawab. "Sebenarnya kau yang lebih beruntung!
Tadinya aku sudah siap merubah perabotan di bawah perutmu menjadi lontong basi
dan telor rebus busuk!"
"Pemuda jahanam! Kali ini kau kulepas hidup-hidup!
Tapi jika sekali lagi kau berani unjukkan diri dan bertingkah di hadapanku,
wahai..., kupanggang habis tubuhmu mulai dari kepala sampai kaki!"
Lagandring batuk-batuk lalu meludah ke tanah.
Ludahnya bercampur darah tanda bentrokan pukulan sakti yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi tadi telah menyebabkan dirinya terluka di dalam. Kaca merah
yang tadi ditanggalkannya kini dipasangnya kembali ke keningnya. Saat itu juga
tubuhnya kembali menjadi sebesar dan setinggi semula.
Diam-diam Wiro Sableng menarik nafas lega juga walau sebenarnya dia tidak merasa
takut untuk meneruskan pertarungan. "Ilmunya aneh. Dia bisa merubah diri menjadi
dua kali lebih besar. Seperti raksasa! Melihat gelagatnya dia bukan bangsa
makhluk baik-baik. Dia bicara segala macam urusan penting. Lalu siapa tadi yang
berseru padanya dan melesat dari balik air terjun sana?"
Wiro ikuti kepergian Lagandring dengan pandangan mata. Ternyata orang itu
berkelebat ke arah timur air terjun. Air terjun itu mengingatkan Wiro pada
tempat kediaman Hantu Tangan Empat yang dulu pernah
dikunjunginya bersama Peri Angsa Putih. Di situ telah menunggu seseorang yang
bentuk sosok serta wajahnya sangat mirip dengan Lagandring. Kedua orang itu
tampak bicara cepat lalu menyelinap ke balik sebuah batu besar di belakang
batang kayu yang tumbuh miring di tepi telaga.
"Agaknya akan terjadi sesuatu di tempat ini. Sementara aku menunggu teman-teman,
tak ada salahnya mencari tahu apa yang hendak dikerjakan dua orang itu. Mereka
seperti kembar!" Lalu Wiro menyelinap ke balik
serumpunan semak belukar. Tanpa suara dia melesat naik ke atas pohon berdaun
rindang. Tak lama menunggu, dari balik pepohonan di sebelah kiri air terjun Wiro melihat
sosok seorang kakek berambut putih panjang riap-riapan. Kumis serta janggutnya
juga putih panjang. Jidat, hidung dan pipi sama rata. Di bahu kirinya tergantung
sebuah kantung jerami. Walau cukup jauh namun Wiro segera bisa mengenali kakek
itu bukan lain adalah Hantu Tangan Empat.
"Dicari-cari susah bertemu. Kini kakek itu tahu-tahu muncul dekat air terjun.
Apa yang hendak dilakukannya di tempat ini..."
Memandang ke kiri Wiro melihat sepasang manusia
kembar yang jidatnya dipasangi kaca putih dan merah berkelebat dari balik pohon
ke pohon lainnya, mendekati arah di mana Hantu Tangan Empat berdiri tengah
menikmati pemandangan indah sekitar telaga dan air terjun. Wiro berpikir-pikir.
"Jangan-jangan urusan penting yang tadi dikatakan orang itu ada sangkut pautnya
dengan Hantu Tangan Empat..." Wiro terus memperhatikan.
Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat mengambil sesuatu dari dalam kantung
jerami. Ternyata yang dikeluarkannya dari dalam kantung itu adalah segenggam
bunga berbagai rupa dan warna. Bunga-bunga itu
kemudian ditebarnya di permukaan air sambil melangkah sekeliling tepi telaga. Di
satu tempat mendadak langkah si kakek tertahan. Sepasang matanya menatap ke


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian atas telaga. Segenggam bunga terakhir yang barusan dilempar ditebarkannya
ke dalam telaga tidak luruh jatuh ke atas air, tetapi tergantung di udara,
sepuluh jengkal dari permukaan air telaga!
"Wahai... Bagaimana mungkin bunga-bunga itu
melayang di udara, jatuh tidak bergerak pun tidak," si kakek membatin. Dia
memandang berkeliling. Lalu tampak dia tersenyum dan usap-usap janggut putihnya.
"Ada orang yang sengaja hendak unjukkan kehebatan tenaga dalam.
Sengaja menahan jatuhnya bunga ke atas air. Satu peragaan yang hebat. Apakah di
balik kehebatan ini tersembunyi maksud baik atau maksud buruk...?"
Di atas pohon Wiro juga telah melihat apa yang terjadi.
Dia melirik ke kiri di mana dua orang kembar tadi terus berkelebat mendekati
Hantu Tangan Empat. Tidak seperti tadi kali ini sambil bergerak mereka angkat
tangan kiri ke samping, sama datar dengan tingginya bunga-bunga yang tergantung
di permukaan telaga. Tak selang berapa lama ke duanya melintas di bawah pohon di
atas mana Wiro berada. Di sini mereka mendekam sesaat. Tegak tak bergerak sambil
dua tangan direntang ke samping sama tinggi dengan bunga-bunga yang menggantung
di atas air telaga.
Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat kelihatan terus saja mengusap-usap
janggutnya dengan tangan kanan. Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat lalu
ditempelkan menyilang di atas dada. Bunga-bunga di atas telaga yang tadinya diam
menggantung di udara perlahan-lahan bergerak turun ke bawah. Dari sini sudah
bisa dinilai bagaimana tingkat tenaga dalam Lagandrung yang
digabung dengan Lagandring masih kalah dengan yang dimiliki si kakek berjuluk
Hantu Tangan Empat itu.
"Lagandring! Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak adu
kekuatan. Kita berdua dia sendiri masakan kalah!"
Mendengar ucapan kakaknya itu Lagandring segera
salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan.
Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya
pengerahan tenaga dalam dua saudara kembar itu,
sepasang kaki mereka sampai amblas setengah jengkal dan tanah yang mereka pijak
kelihatan kepulkan asap!
Di atas batu di tepi telaga kakek berjuluk Hantu Tangan Empat melihat bunga di
atas air telaga bergoyang-goyang.
Lalu perlahan-lahan dia merasakan pula dua kakinya mulai bergetar. Getaran itu
turun ke batu yang dipijaknya! Hantu Tangan Empat adalah seorang tokoh disegani
yang memiliki kesaktian tinggi serta tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya.
Namun diserang gabungan dua
kekuatan lawan begitu rupa tak urung dia mengalami kesulitan.
Hantu Tangan Empat memandang ke arah bunga-bunga di atas permukaan telaga.
"Sebentar lagi bunga-bunga itu akan hancur jadi bubuk. Kalau aku tidak sanggup
bertahan, kekuatan tenaga dalam yang menyerang bisa mencelakai diriku..." Si
kakek lalu kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Namun dia tak bisa
bertahan lama. Apa yang barusan diduganya menjadi kenyataan sesaat kemudian.
Deessss! Dessss! Dessss! Terdengar suara
berkepanjangan menyusul suara byaar... byaarr... byaaar!
Belasan bunga yang menggantung di atas telaga hancur menjadi bubuk. Di atas
batu, Hantu Tangan Empat
merasakan tekanan sangat hebat melanda dadanya.
Wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
Sementara itu di atas pohon Wiro yang menyaksikan apa yang terjadi mulai merasa
khawatir. "Aku tidak suka pada dua cecunguk kembar ini. Apalagi dia hendak
mencelakai Hantu Tangan Empat, orang yang pernah menolongku. Kakek Peri Angsa
Putih..." Habis berkata begitu Wiro lalu turunkan ke bawah celana putihnya.
Lalu, serrrr... Enak saja dia kencingi dua orang yang ada di bawah pohon.
Lagandrung dan Lagandring yang tengah memusatkan kekuatan tenaga dalam dan
hampir dapat menghantam Hantu Tangan Empat sama-sama berseru kaget ketika dari
atas ada kucuran air menyirami kepala dan sebagian tubuh mereka.
"Hujan aneh! Mengapa hanya terjadi di sini!" seru Lagandring.
"Ini bukan hujan!" teriak Lagandrung. "Air hujan tidak hangat begini!"
Lagandrung lalu dekatkan lengan kirinya yang basah ke hidung. "Sial kurang ajar!
Air bau! Ini air kencing!"
Lagandring tiru perbuatan abangnya dan mengendus air yang membasahi bahunya.
"Memang air kencing!
Jahanam! Siapa yang berani melakukan pekerjaan gila ini!"
Dua kakak adik itu mendongak ke atas pohon. Mereka tidak melihat siapa-siapa
karena sebelumnya Wiro Sableng telah melompat ke pohon di sebelahnya lalu
menyelinap turun dan lari ke arah tepi telaga di mana Hantu Tangan Empat tegak
berdiri. "Anak muda! Siapa kau"!" Hantu Tangan Empat
menegur penuh curiga.
"Kek, masakan kau lupa pada saya" Saya Wiro
Sableng, sahabat cucumu Peri Angsa Putih. Orang yang kau tolong tempo hari..."
Si kakek kerenyitkan kening. "Wahai! Aku ingat
sekarang! Kau muncul pada saat yang salah, anak muda dari jagat seribu dua ratus
tahun mendatang. Tapi, jangan-jangan kau yang barusan memamerkan kekuatan
mengajak aku bertanding kehebatan tenaga dalam!" Si kakek pelototi Wiro dari
kepala sampai ke kaki dengan perasaan curiga.
"Kek, masakan saya berani berlaku kurang ajar
padamu. Lagi pula dibanding dengan dirimu, saya ini punya kepandaian apa"!" ujar
Wiro. "Heeee..." Hantu Tangan Empat masih saja
memperhatikan Wiro dengan seksama dan curiga.
"Kek, orang yang patut kau curigai adalah sepasang manusia kembar yang jidatnya
ditempel kaca. Satu kaca merah satu kaca putih. Mereka sudah sejak lama ada di
sini menunggu kehadiranmu. Jika dugaan saya tidak salah pasti sebentar lagi
mereka akan muncul di sini..."
Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba dua sosok berkelebat dan tegak di
hadapan Hantu Tangan Empat.
"Anak muda, jika dua orang ini yang kau maksudkan rasanya aku tidak perlu
khawatir. Mereka adalah dua sahabat lama yang puluhan tahun tidak pernah
berjumpa!"
kata Hantu Tangan Empat pula begitu mengenali siapa yang datang. "Wahai
sahabatku Lagandrung dan
Lagandring sungguh hatiku senang melihat kau muncul di sini. Kabar gembira
apakah yang bisa kita perbincangkan setelah sekian lama tidak bertemu" Tetapi,
apakah kalian berdua bisa menunggu sampai aku selesai mandi di telaga?"
Sementara dia berkata begitu di dalam hati Hantu Tangan Empat diam-diam kembali
merasa curiga terhadap Wiro. Bagaimana pemuda itu tadi mengatakan bahwa dua
orang inilah yang telah mengajaknya bertanding kekuatan tenaga dalam hingga
bunga-bunga di atas telaga hancur menjadi bubuk. "Jangan-jangan pemuda ini
memutar balik kenyataan. Jangan-jangan dia merasa sakit hati karena dulu aku
tidak menolongnya sepenuh hati bahkan tidak mampu membuat dirinya dan dua
temannya menjadi
sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam." Selagi Hantu Tangan Empat membatin
seperti itu, Lagandring dan Lagandrung saling pandang lalu sama-sama
menyeringai. "Wahai Hantu Tangan Empat," Lagandrung angkat
bicara. "Kedatangan kami tidak membawa berita
menyenangkan. Kami muncul tidak pula dengan niat gembira berbincang-bincang..."
"Wahai! Kalian masih seperti dulu saja. Serba kesusu, selalu sibuk hingga tidak
bisa berbagi waktu dengan para teman."
Lagandrung gelengkan kepala. "Ketahuilah wahai
Hantu Tangan Empat, kami datang membawa berita sedih.
Jangan terkejut. Kami diperintahkan untuk mengambil kepalamu!"
Wiro tersentak kaget. Sebaliknya Hantu Tangan Empat tidak tampak terkejut. Malah
dia tertawa bergelak.
"Lagandrung! Sejak kapan kau pandai melawak!"
"Kami tidak melawak!" membentak Lagandring. Sang adik memang punya sifat lekas
naik darah. Tawa Hantu Tangan Empat langsung terputus.
Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak percaya.
Maka dia bertanya. "Kalau kalian tidak sedang membanyol, lalu siapakah yang
memerintahkan kalian mengambil kepalaku"!"
"Hantu Muka Dua!" jawab dua lelaki kembar itu
berbarengan. *** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
3 ENDEKAR 212 menyumpah dalam hati begitu
mendengar nama yang disebutkan dua lelaki kembar Pitu. Hantu Tangan Empat
sendiri selain kaget juga cepat menilai keadaan. Tadi dia hampir sempat
dirobohkan oleh dua orang itu dalam adu kekuatan tenaga dalam.
Walau dia jauh dari rasa takut tapi naga-naganya jika terjadi pertarungan antara
dia dengan Lagandrung dan Lagandring, tidak akan mudah baginya menghadapi dua
orang itu. "Lagandrung dan Lagandring, aku merasa kurang
percaya kalau kalian berdua diberi perintah oleh Hantu Muka Dua untuk
membunuhku! Mungkin kalian tidak tahu, tapi sampai saat ini aku sendiri berada
di bawah kekuasaan orang yang merasa dirinya sebagai Raja Diraja Segala Hantu di
Negeri Latanahsilam ini..."
"Hantu Muka Dua punya alasan minta nyawa dan
kepalamu, wahai Hantu Tangan Empat..."
"Dia mengatakan pada kalian alasannya itu?" tanya Hantu Tangan Empat.
"Hantu Muka Dua marah besar. Kau menghilang
setelah gagal melakukan perintahnya!" jawab Lagandrung pula.
"Perintahnya yang mana?" tanya Hantu Tangan Empat.
"Jangan berpura-pura tidak tahu!" sentak Lagandring.
Lagandrung menyambung. "Kau diperintahkan ke
negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Untuk
membunuh tiga orang dan mendapatkan Batu Sakti
Pembalik Waktu. Kau gagal malah menghilang tidak berani menghadap Hantu Muka
Dua. Lalu ada yang memberi tahu pada penguasa Istana Kebahagiaan itu bahwa kau
justru telah membantu tiga orang yang seharusnya dibunuh itu..."
"Betul! Membuat mereka jadi lebih besar dari sosok aslinya!" kata Lagandring.
"Kalau kini Hantu Muka Dua minta kami mengambil
kepalamu, apa kau berani melawan" Seharusnya hal ini sudah dilakukannya begitu
kau kembali menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini."
"Wahai apa kalian berdua tahu, aku terpaksa tunduk pada Hantu Muka Dua karena
dia menguasai istriku Luhbarini. Sekarang terbukti jahatnya! Setelah menculik
dan menguasai Luhbarini dia masih mau memerintah kalian untuk membunuhku!"
"Kalau begitu, selain kau pasrahkan istrimu, kau juga pasrahkan diri sendiri
untuk kami bunuh!" kata Lagandrung pula sambil menyeringai.
"Wahai! Kalau sebagai sahabat kalian tega
melakukannya, kalian tunggu apa lagi" Cepat saja turun tangan. Apa aku pasrah
atau bagaimana lihat saja nanti!
Namun sebelum kalian bertindak izinkan aku mandi di telaga ini untuk terakhir
kali!" Habis berkata begitu Hantu Tangan Empat mengeruk kantung jerami yang
tergantung di bahunya, mengeluarkan segenggam bunga. Bunga
aneka warna ini kemudian ditebarkannya di permukaan air telaga sambil mulai
melangkah seolah Lagandrung dan Lagandring tidak ada di tempat itu.
Melihat diri mereka dipandang enteng marahlah dua lelaki kembar itu. Keduanya
segera menyerbu.
"Tahan!" tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru dan melompat ke tengah
kalangan. "Pemuda keparat! Berani-beraninya kau masih ada di tempat ini!" hardik
Lagandring. "Jangan-jangan dia yang tadi mengencingi kita dari atas pohon!" ujar Lagandrung
dengan muka beringas penuh berang.
"Kalian pernah bersahabat, mengapa sekarang mau
saja disuruh Hantu Muka Dua membunuh kakek ini,
sahabat sendiri"!"
"Itulah kehidupan, wahai anak muda. Hari ini teman, besok lawan. Hari ini
saudara besok jadi seteru..."
"Oh, begitu...?" ujar Wiro sambil angguk-angguk dan garuk-garuk kepala. "Kurasa
kehidupan macam itu hanya bisa terjadi karena ada manusia-manusia culas munafik
atau karena tergoda sesuatu. Melihat tampang-tampang kalian, jangankan teman,
kalau Hantu Muka Dua menyuruh bunuh istri atau ibu kalian sendiri, pasti kalian
lakukan! Iya, kan"!"
"Jahanam! Lagandring lekas kau bunuh bangsat satu ini!" teriak Lagandrung pada
adiknya. Lalu tanpa menunggu lebih lama Lagandrung melompat menyerang Hantu
Tangan Empat. Lagandring sendiri sudah lebih dulu menyergap Wiro.
"Aku sudah memberi ingat! Kalau kau berani lagi unjuk diri dan bertingkah di
depanku akan kupanggang sekujur tubuhmu! Mulai dari kepala sampai kaki! Kau
keras kepala. Aku mau tahu sampai di mana kerasnya kepalamu,
pemuda tolol!"
Lagandring goyangkan kepalanya. Dari kaca merah
yang menempel di keningnya berserabutan keluar sinar merah angker. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Sinar Darah Merah.
Seperti tadi murid Sinto Gendeng hendak hadapi
serangan lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Namun di saat terakhir dia
putuskan menghantam dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Ini adalah
jurus atau ilmu pukulan sakti inti pertama yang berasal dari Kitab Putih Wasiat
Dewa yang berisi Delapan Sabda Dewa dan disebut Enam Inti Kekuatan Dewa (Baca
serial Wiro Sableng "Wasiat Iblis" s/d "Kiamat Di Pangandaran" terdiri dari 8
episode). Lagandring tersentak dan berseru kaget ketika melihat bagaimana satu gelombang
angin dahsyat membuat sinar merah yang keluar dari kaca sakti di keningnya
mencelat ke atas. Dia kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnya tubuhnya ikut
terangkat ke atas. Sambil membentak garang Lagandring kembali goyangkan
kepalanya. Sinar merah dari dalam kaca di kening menyapu keluarkan suara seperti
seratus ular mendesis.
Wiro tak tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya, dua telapak tangan didorong ke
atas. Laksana disambar halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan
mengeluarkan beberapa kali suara letusan yang
menggetarkan seantero telaga. Air terjun seolah berhenti mengalir untuk
sepersekian kejapan mata!
Di tepi telaga Lagandring terkapar dengan mata
mendelik, mulut ternganga dan tubuh seperti lumpuh.
Darah mengucur dari sela bibir dan hidungnya.
Sebelumnya sewaktu bertarung melawan Wiro, orang ini sempat menderita luka di
dalam. Bentrokan yang terjadi barusan membuka lukanya bertambah parah. Kalau
saja bukan Lagandring mungkin saat itu sudah megap-megap meregang nyawa!
Beberapa belas langkah di sebelah kanan telaga,
Pendekar 212 Wiro Sableng terduduk di tanah dengan tubuh tergontai-gontai. Di
pelupuk matanya dia seolah masih melihat sinar merah darah pukulan sakti yang
dilepaskan lawan. Walau dia memejamkan mata sekalipun untuk beberapa saat
lamanya sinar merah itu masih menyelubungi pemandangannya. Dadanya berdegup
keras tanda jantung dan jalan darahnya berada dalam keadaan tidak wajar. Murid
Sinto Gendeng cepat duduk bersila, atur jalan darah dan pernafasannya. Perlahan-
lahan dia kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang
dirasakannya cidera. Selagi keadaannya belum pulih betul, di depan sana
dilihatnya Lagandring dengan terhuyung-huyung bangkit berdiri. Tangan kanannya
bergerak mencabut kaca merah di keningnya.
"Dia hendak merubah dirinya menjadi raksasa
kembali!" Wiro sadar apa yang akan segera terjadi.
Terhuyung-huyung dia bangkit pula berdiri. Sebelum kaca merah di tangan lawan
mengepulkan asap, Wiro segera melabrak Lagandring dengan jurus Kilat Menyambar
Puncak Gunung! Ini adalah jurus silat yang dipelajarinya dari seorang tokoh
beken di Pulau Andalas dikenal dengan panggilan Tua Gila (Siapa adanya Tua Gila
harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Tua Gila Dari Andalas").
Lagandring berseru kaget ketika laksana kilat, tangan kanan lawan menyambar ke
arah batok kepalanya. Kalau tidak cepat dia rundukkan badan pasti kepalanya kena
dihajar Wiro. Mukanya pucat dan tengkuknya menjadi dingin.
Ternyata jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung yang dikeluarkan Wiro hanya tipuan


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belaka. Karena yang diincar murid Sinto Gendeng ini adalah kaca merah di tangan
kanan lawan. Dia menyadari kesaktian benda aneh itulah yang menjadi andalan
Lagandring dan sanggup merubah dirinya menjadi raksasa dengan bobot dua kali
lebih besar aslinya. Karenanya begitu tangan kanan lancarkan serangan ganas,
Wiro pergunakan tangan kiri untuk merampas kaca merah di tangan lawan.
Tapi Lagandring rupanya cepat membaca maksud sang pendekar. Begitu tangan kiri
Wiro berkelebat dia ayunkan kaki kanan kirimkan tendangan menyilang. Karena
tidak mau tangannya cidera dihantam kaki lawan, murid Sinto Gendeng angkat
tangan kirinya sebatas dada lalu dengan tangan itu dia menghantam sisi kanan
tubuh Lagandring.
Untungnya Lagandring telah bersurut mundur satu langkah, kalau tidak, hantaman
Wiro akan mendarat telak di barisan tulang-tulang iganya sebelah kanan! Walau
selamat dari cidera berat tak urung pukulan Wiro membuat Lagandring terpental
tiga langkah dan sesak nafasnya.
Sambil menahan sakit Lagandring usap-usap kaca
merah dengan jari-jari tangan kanan.
Wiro tak mau membuang waktu. Sebelumnya dia telah melihat Lagandring melakukan
hal itu dan tubuhnya kemudian berubah menjadi besar serta tinggi. Sebelum kaca
merah mengeluarkan kepulan asap dia kembali menghantam. Kali ini Wiro lepaskan
pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Kembali Lagandring keluarkan teriakan kaget.
Tubuhnya terangkat ke udara sampai dua jengkal. Cepat dia kerahkan tenaga dalam.
Sambil lepaskan pukulan dengan tangan kiri dia teruskan mengusap kaca merah di
tangan kanan. "Celaka! Aku tak berhasil mencegah!" ujar Wiro sewaktu melihat bagaimana sosok
lawannya berubah menjadi besar dan tambah tinggi hampir menyandak cabang pohon
di atasnya! Wiro merasa dirinya seolah kembali ketika dirinya setinggi lutut.
Sambil menyeringai Lagandring maju mendekati Wiro.
Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara keras dan menggetarkan tanah
walau tidak sehebat langkah kaki batu Lakasipo (Baca "Bola Bola Iblis").
Wutttt! Tiba-tiba kaki kanan Lagandring menderu. Belum lagi tendangannya sampai, angin
sudah menyambar laksana topan prahara. Semak belukar hancur rambas
beterbangan, pohon-pohon di kiri kanan berderak patah.
"Mati aku!" jerit Wiro ketika tubuhnya ikut tersapu.
Begitu jatuh di antara semak belukar dia segera
menyelinap. Tapi Lagandring bergerak cepat sekali. Belum sempat Wiro bangkit
berdiri, kaki Lagandring sudah berada di depannya dan kembali menendang. Wiro
jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Dia masih bisa selamatkan diri walau angin
tendangan membuat tubuhnya melesak
tertelungkup satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Wiro sempat keluarkan dirinya
dari dalam lobang, kaki kanan Lagandring telah menghunjam ke punggungnya. Selain
itu dari kaca merah yang ada di tangan kanan lawan
menyambar keluar pukulan Sinar Darah Merah. Sekali ini nyawa murid Sinto Gendeng
tidak tertolong lagi. Kalaupun ada keajaiban menyelamatkan dirinya dan
membuatnya masih bisa bernafas maka dia akan hidup dengan tubuh bungkuk cacat
karena patah tulang punggung. Selain itu sinar merah yang keluar dari kaca sakti
Lagandring akan memanggang sebagian tubuhnya.
Dalam kesulitan seperti itu apalagi keadaannya
tertelungkup membelakangi lawan, Wiro ambil keputusan untuk lepaskan pukulan Di
Balik Gunung Memukul Halilintar dengan tangan kiri sedang tangan kanan dengan
tenaga dalam penuh dia hendak melepas Pukulan Sinar Matahari.
Di saat yang benar-benar menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
mengekeh. Menyusul suara orang berucap. Dari suaranya jelas dia adalah seorang
kakek-kakek. "Anak tolol! Percuma kau punya ilmu Belut Menyusup Tanah! Mengapa tidak
pergunakan ilmu itu untuk selamatkan diri"!"
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
4 ENDEKAR 212 Wiro Sableng terkejut setengah mati
mendengar ucapan itu. Dia memang punya ilmu atau Pjurus yang barusan disebut
orang yaitu warisan Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung
Gede. Selama ini hampir tidak pernah dikeluarkan karena memang mungkin belum
menemukan keadaan yang
cocok. Kini dia tidak mau berpikir lebih lama. Dua kakinya serta merta lurus
lalu bergelung. Tangannya di sebelah atas lurus lalu menekuk. Begitu dia membuat
gerakan dengan pengerahan tenaga dalam di bagian perut maka secara aneh sosoknya
laksana seekor belut licin melesat di atas tanah, menembus semak belukar.
Braaakkk! Bummmm! Kaki kanan Lagandring menghantam tanah hingga
menguak lubang sedalam dua jengkal. Pukulan Sinar Darah Merah melabrak akar
pohon besar hingga berserabutan dan terpanggang hangus. Tapi Pendekar 212
Wiro Sableng lenyap entah ke mana!
"Jahanam! Ke mana perginya pemuda keparat itu!"
Maki Lagandring. Dengan geram dia memandang
berkeliling. Dia bukan saja mencari ke mana lenyapnya Wiro tapi sekaligus
menyelidik siapa yang barusan bicara memberi bisikan pada si pemuda hingga
lawannya itu bisa lolos!
Tapi Lagandring tidak melihat siapa-siapa. Selagi dia tertegak geram seperti itu
tiba-tiba dari atas pohon melayang sesosok tubuh. Lagandring cepat balikkan diri
begitu dia merasa ada sambaran angin. Namun terlambat.
Dua tangan yang meskipun kecil dibanding dengan
tangannya menggelung lehernya. Sebuah tumit menekan urat besar di lehernya
hingga tubuhnya seperti setengah kaku. Nafasnya megap-megap dan lidah terjulur
sementara tulang lehernya seperti mau berderak patah.
"Jahanam! Kukunyah tubuhmu!" teriak Lagandring.
Dicekalnya sosok yang mencekik tubuhnya lalu, bukkk!
Dibantingnya ke tanah. Namun akibat gerakannya itu, kaca merah yang ada dalam
genggamannya terlepas jatuh ke tanah, menggelinding ke dekat orang yang barusan
dibantingnya. Orang ini ternyata adalah Wiro Sableng.
Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah murid Sinto Gendeng berjumpalitan lalu siap
menyelinap ke balik pohon selamatkan diri. Ketika hendak melompat dia sempat
melihat kaca merah milik Lagandring menggelinding di tanah dan menyusup masuk ke
dalam semak belukar. Wiro cepat sambar benda itu, lalu sembunyikan di balik
pakaiannya. Karena tidak lagi memegang kaca merah sakti, sosok Lagandring perlahan-lahan
mengecil seperti semula Mukanya pucat tubuhnya miring seperti layangan singit.
Dia memandang kian kemari mencari-cari kaca merahnya.
Melihat lawan tidak lagi sebesar tadi tanpa tunggu lebih lama Wiro berkelebat
keluar dari balik pohon langsung menyerang.
Diterjang secara tiba-tiba Lagandring berseru kaget. Dia balas menyerang hingga
terjadilah perkelahian hebat.
Setelah sepuluh jurus berlalu terlihatlah bahwa ilmu silat tangan kosong
Lagandring berada jauh di bawah Wiro.
Apalagi jurus-jurus yang dimainkan Wiro serba asing baginya. Maka tak urung
Lagandring menjadi bulan-bulanan. Untungnya Wiro tidak punya niat jahat.
Serangannya lebih banyak mempermainkan lawan seperti menggelitik, menjewer,
menendang bokong dan paling akhir, di puncak kejahilannya, Wiro tarik lepas
celana Lagandring yang terbuat dari kulit kayu hingga orang ini kalang kabut.
"Lagandring! Lekas tinggalkan tempat ini!" Tiba-tiba terdengar seruan
Lagandrung. Dalam keadaan seperti itu tentu saja Lagandring tidak pikir panjang.
Tanpa banyak bicara dia menghambur lari mengikuti kakaknya walau untuk itu dia
masih ketiban nasib sial karena pantatnya sempat ditendang Wiro!
Apa yang terjadi dengan Lagandrung"
Setelah memerintahkan adiknya menyerang Wiro,
Lagandrung langsung menyerbu Hantu Tangan Empat yang acuh tak acuh terus saja
menebar kembang di atas permukaan air telaga. Pukulan-pukulan Lagandrung datang
laksana air bah. Hantu Tangan Empat pergunakan bunga dalam genggamannya untuk
menangkis serangan lawan.
Walau cuma bunga lembut namun karena sudah diisi tenaga dalam, bunga-bunga itu
berubah laksana menjadi batu dan melesat menyambar bersiuran ke arah
Lagandrung. Orang lain mungkin akan sulit menghindari serangan belasan bunga itu. Tapi
Lagandrung dengan mudah bisa mengelak. Ketika dia kembali hendak menyerbu, di
hadapannya Hantu Tangan Empat angkat tangan seraya berkata.
"Kita pernah bersahabat! Jangan kau termakan
perintah jahat Hantu Muka Dua! Habisi semua kegilaan ini sampai di sini!" Hantu
Tangan Empat memandang ke langit. "Wahai! Matahari sudah tinggi. Aku perlu
cepat-cepat mandi!"
Lagandrung meludah dan menjawab dengan seringai
mengejek. "Kau boleh mandi kalau air telaga sudah kucampur dengan darahmu!"
Habis berkata begitu Lagandrung goyangkan kepalanya.
Dari kaca putih yang menempel di keningnya menderu sinar putih sangat panas.
Hantu Tangan Empat lemparkan kantung jerami yang ada di bahunya. Benda ini
hancur lebur berantakan. Sinar putih panas terus menyambar ke arah curahan air
terjun. Terdengar berkepanjangan suara seperti besi panas dicelup ke dalam besi sewaktu
sinar putih menembus curahan air terjun. Lalu dinding batu di belakang air
terjun kelihatan terkuak, sesaat kemudian hancur berantakan!
"Hantu Tangan Empat! Kau lari ke mana"! Jangan
harap bisa lolos dari tanganku!" Lagandrung berteriak ketika dia tidak lagi
melihat si kakek.
"Aku berada di sini, Lagandrung! Himbauan seorang teman tidak kau dengar.
Apalagi harus kulakukan" Aku terpaksa mengajarkan adab bersopan santun padamu
wahai Lagandrung!"
Lagandrung kertakkan rahang. Dia balikkan tubuh.
Hantu Tangan Empat dilihatnya duduk bersila di atas sebuah batu besar di tepi
telaga, menatap menyeringai ke arahnya. Ketika dia memperhatikan ternyata si
kakek sebenarnya tidak duduk bersila di atas batu itu karena sosoknya
menggantung di udara satu jengkal di atas batu!
Dari apa yang disaksikannya itu sebenarnya Lagandrung menyadari bahwa ilmu dan
tenaga dalam Hantu Tangan Empat berada jauh di atasnya. Namun karena sudah
kepalang tanggung, untuk mundur begitu saja tentu dia merasa malu.
"Hantu Tangan Empat, bicaramu sombong amat.
Hendak mengajarkan tata cara bersopan santun padaku!
Padahal sebelum kita dilahirkan adab sopan santun itu sudah ada di Negeri
Latanahsilam ini! Karenanya biar aku saja yang memberi pelajaran padamu. Kau tak
lebih dari seorang kacung yang tidak becus melakukan perintah tuan besarnya!
Jadi pantas kepalamu kucopot dari tubuhmu!"
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. "Ingin aku
melihat bagaimana caramu mencopot leherku!" katanya.
Lalu dia ulurkan kepalanya. Lehernya mendadak berubah panjang. Selagi Lagandrung
keheranan tahu-tahu muka Hantu Tangan Empat sudah berada hanya satu jengkal di
depan wajahnya!
"Jahanam! Kau kira aku takut dengan segala ilmu setan yang kau pamerkan! Putus
lehermu!" Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari cermin putih yang ada di keningnya tiba-
tiba melesat sinar putih menyilaukan. Anehnya sinar ini berbentuk demikian rupa
menyerupai sosok sebilah pedang. Cepat sekali pedang jejadian itu menabas leher
Hantu Tangan Empat yang telah berubah menjadi panjang! Inilah ilmu pukulan Sinar
Darah Putih! "Ilmu sihir picisan! Siapa takut!" kata Hantu Tangan Empat lalu tertawa
mengekeh. Sesaat lagi pedang cahaya itu akan menabas leher si kakek tiba-tiba dua tangan
berkelebat. Satu mencekal hulu pedang, satu menangkap bagian badan. Dua tangan
itu tampak mengepulkan asap. Hantu Tangan Empat
mengerenyit menahan panas luar biasa sinar putih yang dicekalnya. Ketika tangan
itu memuntir, sinar putih meliuk.
Kepala Lagandrung ikut meliuk. Lagandrung menjerit kesakitan. Sambil melompat
mundur dia terpaksa tarik kembali serangan sinar putih. Ketika dia memandang ke
depan nyali Lagandrung nyaris leleh.
Di hadapannya sosok Hantu Tangan Empat yang
tadinya berupa seorang kakek berwajah rata kini telah berubah menjadi satu
makhluk menyeramkan. Rambutnya berubah warna menjadi merah dan lurus naik ke
atas. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Sepasang matanya yang besar
memberojol merah, bergoyang-goyang seperti mau jatuh. Menggidikkan. Bibirnya
berwarna biru aneh.
Hidung panjang membengkok sedang gigi mencuat
panjang keluar dari mulut. Tangannya yang tadi dua kini kelihatan ada empat dan
bergerak kian kemari tak bisa diam. Dua dari empat tangan inilah tadi yang
berhasil menahan serangan pedang Sinar Darah Putih yang dilancarkan Lagandrung.
Selama ini Lagandrung hanya mendengar tentang sosok Hantu Tangan Empat namun
baru sekali ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Tak urung tengkuknya
menjadi dingin! Untuk meneruskan niatnya nyalinya sudah putus. Dia maklum, kalau
tidak mampu menghadapi Hantu Tangan Empat bagaimana
mungkin dia bisa membawa kepala makhluk itu kepada Hantu Muka Dua. Selain itu
ketika dia melirik ke kalangan pertarungan antara adiknya dengan Pendekar 212
hatinya bertambah kecut karena sang adik tengah berada dalam keadaan terdesak
hebat hingga menjadi bulan-bulanan dipermainkan lawan bahkan diselomoti
celananya hingga kelihatan bugil! Melihat gelagat yang tidak baik ini Lagandrung
lalu berteriak agar si adik mengikutinya melarikan diri.
Hantu Tangan Empat tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat dua saudara kembar itu
lari lintang pukang.
Lagandrung di sebelah depan. Adiknya di sebelah belakang sambil pegangi pantat
celananya yang robek dibetot Wiro!
Murid Eyang Sinto Gendeng sendiri memperhatikan kedua orang itu sambil tertawa-
tawa, satu tangan menunjuk pantat Lagandring yang tersingkap tak karuan, satu
tangan lagi menggaruk-garuk kepala!
Begitu Lagandrung dan Lagandring lenyap, Pendekar 212 segera mendatangi Hantu
Tangan Empat yang saat itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang kakek
bermuka rata. "Kek, kau tak apa-apa...?" tanya Wiro.
Hantu Tangan Empat usap matanya yang basah oleh air mata karena tertawa
terpingkal-pingkal tadi. "Kau sendiri bagaimana?"
"Hampir celaka! Untung ada seseorang menolong..."
jawab Wiro. "He..." Hantu Tangan Empat hanya manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa
adanya orang yang
menolong Wiro tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada Wiro. "Anak
muda, kau jangan ke mana-mana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!" Laju enak
saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya setelah ditunggu sekian
lama sosok Hantu Tangan Empat tak kunjung muncul. Mau tak mau Pendekar 212 jadi
agak gelisah. "Kek! Hantu Tangan Empat!" Wiro memanggil.
Tak ada jawaban. Air telaga kelihatan tenang.
"Jangan-jangan dia jatuh pingsan di dalam air..." pikir Wiro. Dia segera hendak
terjun ke dalam telaga tapi, byuuurrr! Hantu Tangan Empat muncul sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Tua bangka brengsek..." maki Wiro dalam hati. Dia memutar tubuhnya.
"Hai! Kau mau ke mana"!" Terdengar Hantu Tangan
Empat berteriak.
"Tidak ke mana-mana. Hanya mencari orang yang
barusan menolongku!" jawab Wiro. Lalu dia berkelebat ke arah sebuah pohon besar
dari arah mana tadi dia
mendengar suara kakek-kakek yang memberi petunjuk agar dia mengeluarkan ilmu
Belut Menyusup Tanah.
Wiro bolak-balik mengitari pohon besar sampai lima kali. Dia bahkan memanjat
naik ke atas pohon itu. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa.
"Ah, sayang sekali. Menyesal aku tidak bertindak cepat.
Orang yang menolongku itu mungkin sudah pergi tanpa aku sempat menemui dan
mengucapkan terima kasih!"
Wiro melihat ke arah air terjun. Di dalam telaga Hantu Tangan Empat masih asyik
berkecimpung mandi. Sambil garuk-garuk kepala Wiro akhirnya dudukkan diri di
bawah pohon besar. Belum lama duduk mendadak dia mendengar suara gemerisik semak
belukar. Lalu ada suara orang menyanyi.
"Na... na... na... Ni... ni... ni. Na... na... na... Ni... ni... ni."
"Eh, orang gila dari mana kesasar dan menyanyi di tempat ini"!" pikir pendekar


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita sambil bangkit berdiri dan celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi.
Tapi dia tidak melihat siapa-siapa. "Aneh, suaranya begitu dekat tapi orangnya
tidak kelihatan." Wiro melangkah ke kiri, berputar ke kanan, membelok lagi ke
kiri. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa.
"Na... na... na... Ni... ni... ni. Na... na... na. Ni... ni... ni."
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
5 IRO memandang berkeliling. Hatinya mulai was-
was. "Jangan-jangan tempat ini ada hantu
Wpelayangannya..." katanya dalam hati. Mendadak
sudut matanya menangkap sesuatu. Dia berpaling ke kiri.
Astaga! "Benar-benar aneh! Tadi aku mundar-mandir berulang kali di tempat itu.
Tak ada siapa-siapa. Kini ada orang itu!" Wiro cepat melangkah ke balik satu
pohon kayu. Dari sini dia memperhatikan.
Sepuluh langkah di hadapannya ada seorang kakek-
kakek memegang payung dari daun-daun kering. Sambil bernyanyi na-na-na ni-ni-ni
dia melangkah setengah menari-nari mengelilingi sepokok pohon keladi hutan. Di
punggungnya si kakek membekal sebuah kantong panjang.
Murid Sinto Gendeng tekap mulutnya menahan ketawa.
Banyak hal yang membuat Wiro ingin tertawa terpingkal.
Kakek itu bermuka jelek selangit tembus. Pipinya keriput kempot. Hidungnya pesek
dan matanya belok. Lalu bibirnya mencuat karena deretan gigi-giginya yang
tonggos. "Berarti seumur hidup dia tidak pernah bisa
mengatupkan mulutnya!" kata Wiro, geli dalam hati. Lalu sambil bernyanyi si
kakek goyang-goyangkan pinggulnya.
Sesekali tubuhnya sebelah bawah didorong dilejang-lejangkannya ke depan. Dan
kini yang paling gila! Kakek ini mengenakan celana dari kulit kayu yang bagian
belakangnya sengaja dirorotkan ke bawah hingga
pantatnya yang hitam kasap tersingkap jelas!
"Tidak meleset dugaanku! Kalau tidak sinting pasti gila alias kurang waras!"
kata Wiro dalam hati. Lalu sambil batuk-batuk Wiro keluar dari balik pohon.
Mendengar ada suara orang batuk, si kakek aneh
tampak terkejut. Suara nyanyiannya lenyap. Langkah dan tariannya langsung
berhenti. Lalu dengan gaya malu-malu lucu dia cepat-cepat angkat ke atas
celananya yang tersingkap. Tapi ketika dia melihat Wiro, kakek ini tertawa lebar
dan berkata. "Wahai! Kukira perempuan. Ternyata laki-laki juga. Sama tanduknya
dengan tandukku! Sama-sama di depan! Buat apa malu-malu! Hik... hik!" Lalu enak
saja celananya yang tadi sudah dibetulkan kini
didodorkannya kembali, malah lebih bawah dari
sebelumnya. Wiro tertawa geli. Di sebelah sana si kakek kembali menyanyi-nyanyi,
menari memutari pohon keladi hutan. Payung di tangan kirinya diputar-putar
demikian rupa hingga mengeluarkan suara berdesing keras. Setiap ujung payung
yang berputar itu mengenai daun atau rerantingan maka daun dan ranting-ranting
itu putus, melayang tinggi ke atas.
"Memutus ranting dengan daun kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang
berkepandaian luar biasa mampu melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini
pasti bukan makhluk sembarangan!" Baru saja Wiro membatin seperti itu tiba-tiba
si kakek sudah ada di depannya. Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol
keluar. "He, Buyung! Kau tentu menduga aku ini sinting! Iya, kan"!"
"Walah, jangan-jangan dia bisa mendengar suara
hatiku!" kata Wiro. Lalu dia balas menyengir. "Tidak, Kek.
Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang
mendengar nyanyianmu!" kata Wiro pula.
"He, begitu" Terima kasih! Yang betul saja Buyung!"
"Betul, nyanyianmu sangat sedap didengar," kata Wiro.
Si kakek menyengir. "Terima kasih!" katanya lagi. Lalu,
"Sekarang tolong kau pegangkan tangkai payung ini!"
Karena payung langsung disodorkan kepadanya terpaksa Wiro pegang payung daun
itu. Dari dalam kantong
panjangnya si kakek keluarkan sebuah tambur terbuat dari batang pohon yang
dilubangi lalu ditutup dengan kulit kering binatang. Dia juga mengeluarkan
sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi benda bulat. Sebelum berkata dia lebih
dulu menyengir. "Kalau nyanyianku memang sedap didengar, berarti kau harus ikut
menari bersamaku! Aku menyanyi sambil memukul tambur. Kau memayungi aku dan ikut
melangkah menari memutari pohon keladi itu.
Setuju..."!"
"Anu Kek..."
"He, anu artinya memang setuju. Terima kasih Buyung!"
"Maksudku..."
"Aku lupa!" Si kakek aneh tidak pedulikan ucapan Wiro.
"Sebelum ikut menari aku perlu memberi tahu lebih dulu.
Benda bulat yang ada di ujung pemukul tambur ini! Kau tahu benda apa ini
sebenarnya?"
Wiro garuk-garuk kepala. "Sulit aku menduga, Kek."
Si kakek menyengir. "Coba kau cium! Mungkin kau bisa menerka!" Lalu enak saja
ujung pemukul tambur
disodorkannya ke bawah lobang hidung Wiro. Bau sangit yang tidak enak menyambar
pernafasannya hingga murid Sinto Gendeng ini bersin sampai tiga kali.
Si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Lalu tangan kanannya dikembangkan, diletakkan
di pinggir mulut.
"Benda bulat ini adalah potongan biji sapi yang
dikeringkan! Hik... hik... hik!" Waktu berucap si kakek seperti berbisik. Tapi
ketika menyebutkan kata 'biji'
suaranya sengaja dikeraskan, hampir berteriak. Lalu dia tertawa cekikikan.
"Untung biji sapi. Bukan biji manusia! Ha... ha... ha!" Si kakek menyambung
ucapannya tadi lalu tertawa gelak-gelak. "Sudah... sudah! Dari tadi kita tertawa
saja! Ayo mulai menari! Payungi aku!"
Si kakek tonggos melangkah lucu. Sesekali berjingkat-jingkat. Sambil tiada henti
memukul tambur. Dari mulutnya terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni.
Pinggul dan pantatnya diogel-ogel, mulutnya senyum-senyum tonggos. Matanya
sesekali dikedip-kedip genit. Lalu lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir.
Wiro yang memegang payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti si kakek
mengelilingi pohon keladi hutan. Sambil melangkah berputar-putar diam-diam Wiro
menghitung. "Gila! Sudah dua ratus kali aku berputar mengikutinya mengelilingi pohon
keladi!" kata Wiro dalam hati. Kakinya mulai pegal. Tangannya yang memegang
payung terasa capai. Tapi di depannya si kakek terus saja menari.
Semakin cepat dia menabuh tambur kecilnya semakin cepat pula langkah dan
tarinya. Tubuhnya meliuk-liuk.
Memandang ke depan Wiro melihat sosok kakek aneh itu seolah berputar siam
mengelilingi pohon keladi seperti sebuah gasing! Akhirnya Wiro memilih tegak
saja berdiam diri. "Hai! Baru segitu saja kau sudah capai keletihan! Tapi kalau
menari dengan gadis cantik semalam suntuk pasti kau lakoni! Begitu, kan"! Hik...
hik... hik! Terima kasih kau sudah memayungiku!"
Kakek itu jatuhkan dirinya di tanah. Tambur dan
pemukulnya dimasukkannya ke dalam kantong panjang.
Lalu dia ulurkan tangan mengambil payungnya. Payung ini tidak diletakkannya di
tanah atau dilipatnya tetapi diletakkannya di atas kepala. Lalu acuh tak acuh
seperti tidak ada apa-apa di kepalanya dia berpaling pada Wiro.
Matanya jelalatan memandangi pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Hidungnya
yang pesek kembang kempis.
"Wahai! Baru aku sadar! Kau orang asing. Bukan orang sini! Kau pasti datang dari
jauh!" Si kakek tiba-tiba berkata.
"Bagaimana kau bisa tahu Kek?" tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Dari baumu!" jawab si kakek tonggos.
"Walah! Memangnya bauku bagaimana"!" tanya
pendekar kita. "Orang-orang asing di Negeri Latanahsilam ini baunya bau rayap. Tapi kau kucium
bau amis! Hik... hik... hik!"
"Ah, jangan-jangan hidungmu yang pesek salah cium Kek!" kata Wiro agak sewot.
Kakek tonggos tertawa bergelak. "Terima kasih, atas pujianmu terhadap hidungku
yang mancung!" kata si kakek sambil usap-usap hidungnya yang memang pesek. "Aku
memperhatikan, sejak tadi sudah berapa kali kau
menggaruk kepala. Yang aku ingin tahu, sudah berapa minggu kau tidak pernah
mandi anak muda?"
Murid Sinto Gendeng jadi cemberut. "Saya mandi setiap hari. Setiap ketemu kali
atau telaga..."
"Kurasa kau dusta anak muda! Kurasa kau mandi
hanya setiap hujan turun! Hik... hik... hik! Tapi jangan marah anak muda. Aku
senang. Terima kasih kau mau bersenda gurau denganku! Sekarang aku mau tanya..."
"Tidak, saya duluan yang tanya padamu Kek!"
"Wahai! Pasti kau menanya mengapa aku pakai celana didodorkan di bagian
pantatnya!"
"Tidak, bukan itu pertanyaanku..."
"Terima kasih kau tidak menanyakan pantatku! Hik...
hik... hik. Apa yang mau kau tanyakan anak muda?" Si kakek tertawa gelak-gelak.
Payung di atas kepalanya mumbul turun naik.
"Sebelum kau muncul di sini, mungkin waktu kau
tengah menuju ke sini, apakah kau berpapasan atau melihat seorang lain?" Wiro
bertanya begitu karena dia ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang menolongnya
waktu berkelahi melawan Lagandring tadi. Yaitu yang memberi tahu agar dia
mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah yang selama bertahun-tahun tak pernah
dipergunakannya.
"Memang, aku ada melihat orang lain selain dirimu!"
Kakek tonggos menjawab sambil pentang wajah
bersungguh-sungguh.
"Siapa" Di mana?" tanya Wiro.
"Dia! Di sana!" jawab si kakek seraya goyangkan kepala ke arah Hantu Tangan
Empat yang asyik mandi air
kembang di dalam telaga di bawah air terjun.
Wiro memaki dalam hati. "Bukan dia yang
kumaksudkan. Tapi orang lain..."
"Heee... Ya... ya. Memang ada. Ada dua orang. Tapi sudah pada kabur. Itu, dua
kembar yang tadi berkelahi denganmu dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu!
Lagandring dan Lagandrung!"
Wiro garuk-garuk kepala menahan jengkel.
Si kakek tertawa lebar lalu berkata. "Terima kasih kau hanya menggaruk kepala
yang di atas, tidak kepala yang di bawah! Hik... hik... hik! Awas bisa
berterbangan segala kutu dan tuma yang ada di tubuhmu! Hik... hik... hik!"
Wiro yang biasanya suka menggoda orang kini merasa mati kutu. Walau jengkel
mendengar ucapan si kakek namun sambil tertawa dia berkata. "Kakek tukang
banyol, kalau kau hanya melihat kakek yang sedang mandi itu, lalu melihat
Lagandrung dan Lagandring berarti tidak ada orang lain. Berarti kaulah tadi yang
telah menolongku..."
"Aku datang membawa payung dan tambur. Aku datang menyanyi dan menari. Bagaimana
mungkin aku menolongmu. Lagi pula pertolongan apa yang kuberikan padamu wahai anak muda"
Tapi aku tak lupa
mengucapkan terima kasih kau telah menganggap aku melakukan sesuatu yang baik.
Menolong orang lain bukankah itu sesuatu yang baik?"
Wiro mengangguk. "Kau yang memberi bisikan agar
saya mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Hingga saya selamat dari serangan
maut yang dilancarkan Lagandring..."
"Ilmu Belut Menyusup Tanah. Aneh nama ilmu itu. Baru sekali ini aku mendengar.
Memangnya kau punya ilmu itu?" Si kakek bertanya dengan unjukkan tampang tolol.
Wiro garuk-garuk kepala lagi. Untuk sesaat lamanya dia pandangi orang tua di
hadapannya itu. Lalu sambil nyengir dia berkata. "Kau tak mau mengaku tak jadi
apa. Tapi saya yakin kau yang tadi menolong saya. Suaramu sama dengan suara
orang yang memberikan bisikan itu."
"Terima kasih kau berkata begitu. Tapi wahai anak muda. Belutku saja aku tidak
bisa mengurus, bagaimana aku mengurusi belutmu!" Sambil berkata begitu si kakek
monyongkan mulutnya yang tonggos ke arah bawah perut Wiro lalu tertawa gelak-
gelak. "Menolong orang tanpa ingin diketahui orang yang ditolong, itu artinya tulus
tanpa pamrih. Tapi membuat bingung orang bisa mengurangi pahala!"
Tiba-tiba terdengar orang berucap. Anehnya suaranya terdengar bergema di empat
penjuru! Kakek tonggos dongakkan muka ke langit, mulutnya bergerak-gerak seperti
mau ditutup tapi tak pernah bisa karena deretan gigi-giginya yang menjorok
tonggos. "Sekali bicara mengumandang empat kali di empat
penjuru! Siapa lagi yang punya ilmu seperti itu kalau bukan sobatku Hantu Tangan
Empat! Wahai! Apakah kau sudah selesai mandi wahai kerabatku"! Terima kasih atas
pujimu. Terima kasih juga atas cemoohmu!"
Wiro palingkan kepala. Di dekat air terjun Hantu Tangan Empat baru saja keluar
dari dalam telaga. Jarak antara kakek itu dengan tempatnya berada terpisah
belasan tombak. Tapi suara ucapannya terdengar seolah-olah dia berada di situ,
dan di empat tempat sekaligus! Inilah ilmu kepandaian yang hanya dimiliki Hantu
Tangan Empat, disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Lima tingkat lebih
tinggi dari ilmu memindahkan suara yang selama ini dikenal oleh Wiro. Hal ini
mengingatkan murid Sinto Gendeng pada peristiwa ketika pertama kali dia dan
kawan-kawan bertemu dengan Hantu Tangan Empat di tanah Jawa (Baca riwayat
pertemuan Wiro dengan Hantu Tangan Empat dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Bola-Bola Iblis").
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
6 ESAAT kemudian Hantu Tangan Empat sudah berada
di hadapan ke dua orang itu. Wajahnya yang rata
Skelihatan segar. Dia menatap ke arah kakek mulut tonggos. Si kakek yang
dipandang tertawa lebar lalu menjura memberi hormat. Tapi caranya memberi hormat
Pedang Keadilan 13 Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis Raja Kera Iblis 2
^