Pencarian

Hantu Tangan Empat 2

Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat Bagian 2


membuat orang bisa jengkel. Kepalanya memang
ditundukkan, tangan dibuai di depan dada tapi pantatnya sekaligus disonggengkan.
Padahal saat itu celananya masih didodorkan ke bawah!
"Pelawak Sinting, wahai! Puluhan tahun kau
menghilang. Hari ini kau muncul apa gerangan maksud niat dan tujuanmu"!" Hantu
Tangan Empat menegur sambil rangkapkan tangan di atas dada. Seringainya pencong
dan kaku. Sesaat si kakek tonggos yang dipanggil dengan nama Pelawak Sinting tersenyum
lebar dan pantatnya masih saja disonggengkan. Perlahan-lahan dia luruskan
badannya lalu berkata sambil tangannya diangkat ke atas, dilambaikan ke langit.
Ketika dia bicara menjawab ucapan Hantu Tangan Empat maka suaranya seperti orang
membaca puisi. "Wahai Hantu Tangan Empat, terima kasih atas tegur sapamu yang menawan hati.
Lihat ke atas. Pandanglah langit. Tiada berawan tiada mendung. Di sebelah sana
serombongan burung terbang melintas udara. Angin bertiup lembut menyejuk jangat.
Layangkan mata ke kiri.
Air terjun jatuh menderu, bagus bentuk dan sedap suaranya sampai di telinga.
Lihat dalam telaga, bunga-bunga aneka warna sesajian bekas mandimu
mengambang elok menebar bau harum. Pagi seindah ini jarang terjadi. Salahkah
diriku jika aku muncul untuk melihat dan merasakan keindahan alam ini" Kalau
nanti mataku sudah mulai lamur, apa gunanya lagi. Bukankah begitu cara kita
menikmati berkah yang melimpah wahai sahabatku Hantu Tangan Empat?"
Wiro garuk-garuk kepala menunggu apa jawaban Hantu Tangan Empat. Dalam hati dia
berkata. "Jadi kakek geblek satu ini bernama Pelawak Sinting. Cocok dengan
kelakuannya yang serba konyol... Tapi ucapannya tadi sungguh bagus!"
Hantu Tangan Empat sesaat masih tegak berdiam diri.
Setelah melirik Wiro, selang berapa lama kemudian baru dia berkata. "Tak ada
yang menyalahkan kehadiranmu wahai sahabatku Pelawak Sinting. Namun terbetik
berita bahwa kau kabarnya telah bergabung dengan Hantu Muka Dua, membangun satu
tempat bernama Istana
Kebahagiaan, lalu ikut menjadi salah satu pembantu tangan kanannya... Mungkin
kau bisa memberi
keterangan?"
Si Pelawak Sinting mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh. "Terima kasih
namaku tersebar dalam berita begitu rupa! Terima kasih kau memberi tahu padaku!
Sebenarnya siapa aku ini maka dikabarkan bergabung dengan Hantu Muka Dua
membangun Istana Kebahagiaan!
Gubuk reot saja aku tak mampu membangun, buktinya aku tidak punya rumah. Apalagi
membangun Istana
Kebahagiaan! Amboi! memangnya aku ini tukang
bangunan apa" Ha... ha! Lagi pula aku tidak suka jadi pembantu. Diriku sendiri
tak bisa kubantu, bagaimana bisa membantu orang lain. Ha... ha... ha! Kalaupun
aku jadi pembantu, Hantu Muka Dua mau memberi aku upah
berapa" Ha... ha... ha! Aku ini cuma seorang kakek sinting.
Mana mungkin Hantu Muka Dua mau dekat-dekat dengan diriku" Sahabatku Hantu
Tangan Empat, hidup di alam ini paling enak seorang diri! Tidak ada yang
mengikat. Ke mana mau pergi tidak ada yang melarang! Dada lapang pikiran lepas.
Ha... ha... ha! Kau sendiri apakah selama ini baik-baik saja wahai sahabatku?"
Ketika bicara si kakek yang bernama Pelawak Sinting itu gerak-gerakkan tangan,
bahu dan pinggulnya secara lucu.
Yang ditanya tersenyum. Si Pelawak Sinting kembali berucap.
"Wahai, wajahmu yang datar tersenyum. Tapi aku tahu di hatimu ada ganjalan!
Malah sebetulnya akulah yang layak bertanya, siapa tahu aku bisa menolong..."
"Apapun yang terjadi dengan diriku, adalah tanggung jawabku sendiri," kata Hantu
Tangan Empat pula.
"Belakangan ini semua orang di Negeri Latanahsilam hidup seolah nafsi-nafsian.
Memikir dan mengurus diri sendiri, tidak mau peduli pada diri dan keadaan orang
lain..." "Wahai, jangan begitu Hantu Tangan Empat. Karena kita bersahabat jadi wajib
saling tolong jika salah satu mempunyai kesulitan..."
"Kau tidak akan bisa menolong. Jangankan kau, Dewa dan para Peri-pun sepertinya
tidak mempedulikan diriku..."
"Wahai! Hantu Tangan Empat, jangan bersikap hidup seperti itu. Aku tahu hal
ihwalmu dengan Hantu Muka Dua.
Jika kau..."
Hantu Tangan Empat gelengkan kepalanya. Dia melirik pada Wiro lalu berkata.
"Pelawak Sinting, aku tidak suka membicarakan hal ihwal yang satu itu!" Wajah
datar Hantu Tangan Empat tampak keras membesi.
"Kalau begitu halnya, wahai apa gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Aku
ingin menolong tapi yang punya diri malah menolak. Jadi aku ini jelas bukan
termasuk orang yang nafsi-nafsian seperti katamu tadi. Aku mau pergi dulu.
Tapi wahai Hantu Tangan Empat, ada sesuatu aku mau bilang padamu..." kata
Pelawak Sinting.
"Apa?" tanya Hantu Tangan Empat pula.
"Habis mandi wajah dan tubuhmu kelihatan segar. Tapi apa gunanya kesegaran itu
kalau habis mandi kau tidak berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau
apek! Ha... ha... ha!"
Wajah Hantu Tangan Empat tampak merah.
Pelawak Sinting lambaikan tangannya lalu sambil putar tubuh dan melangkah dia
mulai menyanyi. "Na... na... na...
Ni... ni... ni..."
Melihat orang hendak pergi Wiro cepat menyusul dan menghadang di depan si kakek.
"Kek, sebelum kau pergi, kau harus mengakui dulu.
Benar kau yang tadi menolong saya" Lalu bagaimana kau bisa tahu saya memiliki
Ilmu Belut Menyusup Tanah itu?"
"Anak muda, lagi-lagi urusan belut yang kau bicarakan!
Sudah kubilang belut di bawah perutku ini susah aku urusi, apalagi belutmu!"
Entah jengkel atau marah payung di atas kepala si kakek kelihatan turun naik
beberapa kali. "Jangan terlalu bawel. Jangan salahkan aku kalau nanti aku pencet belutmu!"
Wiro garuk-garuk kepala. Si Pelawak Sinting hendak melangkah. Pendekar 212
kembali menghadang.
"Tapi Kek, saya merasa berhutang budi dan nyawa.
Selain itu mungkinkah ada hubungan antara kau dengan..."
"Hutang budi dan nyawa itu tidak ada di alam ini wahai anak muda. Yang ada hanya
hutang uang atau harta!
Hutang budi dan hutang nyawa hanya basa basi orang geblek agar dianggap beradab!
Ha... ha... ha!" Si kakek lalu melangkah hendak lanjutkan perjalanan sambil
mulutnya kembali bernyanyi "Na... na... na... Ni... ni... ni." Tapi Wiro cepat
mencegat hingga Pelawak Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Matanya yang belok
memandang lebar-lebar namun dia tidak marah malah tersenyum. "Wahai anak muda,
kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau meninggal lusa. Mari
kuperlihatkan sesuatu padamu..."
Wuttt! Payung daun yang sejak tadi bertengger di atas
kepalanya melesat ke atas, lalu melayang melewati kepala Wiro. Selagi Wiro
mengangkat kepala, mengikuti payung yang melesat dengan pandangan matanya tiba-
tiba dia merasa ada sambaran angin lewat di bawah
selangkangannya. Begitu dia memandang ke bawah dia hanya melihat satu bayangan
melesat cepat sekali lalu lenyap. Di depan sana waktu dia memperhatikan kembali
ternyata payung daun milik Pelawak Sinting tak ada lagi. Si kakek sendiri juga
seolah gaib entah ke mana!
"Kakek konyol itu..." kata Wiro setengah termangu. "Dia menyelinap di celah
sempit antara dua kakiku! Satu hal yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau dia
mempunyai dan mempergunakan Ilmu Belut Menyusup Tanah.
Sungguh aneh!"
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian.
"Na... na... na. Ni... ni... ni..."
Wiro berkelebat ke arah sederetan pohon-pohon besar dari arah mana terdengarnya
suara nyanyian itu. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.
"Kakek bernama Pelawak Sinting!" teriak Wiro. "Kalau saya ketemu kau lagi akan
saya dodorkan celanamu sampai ke lutut!"
"Terima kasih kau mau berbuat begitu!" terdengar jawaban si kakek di kejauhan.
"Jangan marah wahai anak muda! Kalau aku sudah melakukan hal itu lebih dulu pada
dirimu!" Wiro terkejut. Dia memandang ke bawah. Astaga!
Ternyata celananya di bagian belakang telah merosot sampai mendekati lutut!
"Kapan dia melakukannya"! Bagaimana caranya"!
Gila!" Wiro mencak-mencak sendiri dan cepat-cepat tarik celananya ke atas.
"Pasti dilakukannya waktu tadi dia menyelinap di celah dua kakiku! Huh! Benar-
benar sinting dan konyol!" Wiro memandang ke arah suara si kakek.
Ingin sekali dia mengejar.
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh lalu berkata.
"Tak perlu kau kejar kakek itu. Apakah kau tidak mengerti arti ucapannya tadi
yang mengatakan kelak dia bakal menemuimu lagi?"
Pendekar kita garuk kepala. "Ucapannya yang mana Kek?" tanya Wiro.
"Wahai! Tadi dia bilang, Wahai anak muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau
mati besok dan aku mau meninggal lusa..."
Wiro menarik nafas dalam. "Terima kasih atas
petunjukmu. Mudah-mudahan saya bisa bertemu lagi dengan kakek itu. Walau otaknya
mungkin kurang beres tapi kelihatannya dia baik dan hatinya polos. Bagaimana kau
tadi bisa mengatakan bahwa dia adalah kaki tangan pembantu Hantu Muka Dua?"
"Anak muda, aku tahu kau punya permusuhan besar
dengan Hantu Muka Dua. Tapi hal menyangkut urusan Si Pelawak Sinting itu tak
perlu kita bicarakan. Aku ingin tanya. Apa betul kau pemuda yang dulu dibawa
oleh cucuku Peri Angsa Putih untuk dibuat besar tubuhnya?"
"Memang betul Kek..."
"Tapi saat itu aku hanya mampu merubah tubuhmu dan dua kawanmu sampai setinggi
lutut. Bagaimana kau sekarang bisa jadi sebesar ini?"
Wiro tersenyum. "Sebenarnya saat itu kau juga mampu merobah kami jadi sebesar
seperti saya sekarang ini Kek.
Hanya saja kalau tidak salah kau... Kau terganggu gara-gara melihat Peri Sesepuh
yang gembrot itu duduk ngongkong. Pahanya yang putih gembul tersingkap ke mana-
mana. Mungkin juga kau sempat melihat..."
"Jangan bicara kurang ajar anak muda!" bentak Hantu Tangan Empat dengan muka
merah padam sedang Wiro berusaha agar tawanya tidak menyembur (Mengenai
riwayat bagaimana Hantu Tangan Empat berusaha
menolong membesarkan Wiro baca serial Wiro Sableng berjudul "Peri Angsa Putih").
"Wiro, bagaimana sekarang tubuhmu bisa jadi sebesar ini. Siapa yang menolongmu"
Apakah kau telah bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
"Belum Kek. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab susah dicarinya. Yang menolong saya
adalah seorang sakti yang disebut dengan nama Hantu Raja Obat. Orangnya gemuk.
Di kepalanya ada sorban dan belanga tanah..."
"Aku tahu dan kenal makhluk satu itu. Dia angin-
anginan. Beruntung besar kau mendapat pertolongan dari dia. Biasanya dia suka
membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Lalu isi perut orang itu dibedolnya
dan dimasukkan ke dalam belanga di atas kepalanya..."
"Hueekkk!" Wiro tercekik dan seperti mau muntah
mendengar ucapan Hantu Tangan Empat itu hingga si kakek mengerenyit heran.
Sebelum ditanya Wiro sudah menerangkan. "Anu Kek... Saya... Justru saya bisa
jadi besar begini setelah minum air godokan yang ada dalam belanga itu... Huek!"
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh.
"Untuk mendapatkan sesuatu seseorang memang
harus berkorban. Itulah hidup. Kau masih untung cuma disuruh minum air godokan,
bukannya digodok masuk ke dalam belanganya oleh Hantu Raja Obat. Bagaimana
dengan dua temanmu yang lain. Di mana mereka
sekarang?"
"Mereka kurang beruntung..." Lalu Wiro menceritakan apa yang dialami Naga Kuning
dan Si Setan Ngompol (sebagaimana yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng
berjudul "Rahasia Bayi Tergantung").
"Sekarang dua sahabat saya itu masih dalam saat-saat penantian sampai mereka
berdua diperbolehkan meneguk obat dalam cangkir tanah itu..."
"Rahasia hidup memang pelik. Tapi jika kita bisa menyelami dengan hati bersih
dan kepala sehat pasti lebih banyak manfaat yang bisa kita dapati..."
Wiro hanya manggut-manggut mengiyakan. Lalu dia
ingat akan ucapan Si Pelawak Sinting tadi. "Kek, bagaimanapun kau pernah
menolong saya dan kawan-kawan. Sebagai tanda terima kasih..."
"Aku tidak pernah memberikan pertolongan disertai pamrih. Lagi pula aku
menolongmu mengingat cucuku sendiri, Peri Angsa Putih yang meminta. Sebenarnya
aku telah menghadang satu bahaya sangat besar dengan melakukan hal itu..."
"Itu sebabnya, maksud saya Kek, kalau ada sesuatu yang bisa saya lakukan
untukmu..."
"Tak ada yang bisa kau lakukan wahai anak muda. Juga tidak ada yang aku minta
padamu... Kecuali, ada satu pertanyaanku..."
"Silakan saja kau bertanya. Siapa tahu aku memang bisa menjawab." kata Wiro
pula. "Di mana beradanya batu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu
itu..." Wiro pandangi wajah datar Hantu Tangan Empat
beberapa lamanya. Dalam hati dia berkata, "Kakek ini agaknya masih menginginkan
batu itu. Berarti dia masih berada di bawah perintah Hantu Muka Dua..."
"Maafkan saya Kek. Saya tak dapat memberikan
jawaban. Terakhir sekali batu itu berada di tangan kakek sahabat saya bernama Si
Setan Ngompol. Batu kemudian hilang lenyap. Tidak diketahui di mana
beradanya..."
"Apakah batu sakti itu hilang ketika kalian masih berada di negeri seribu dua
ratus tahun mendatang atau di Negeri Latanahsilam ini..." tanya Hantu Tangan
Empat. "Batu itu hilang di sini Kek. Belum lama setelah kami berada di negeri ini..."
Hantu Tangan Empat termenung. Wiro tak dapat
menduga apa yang ada dalam benak orang ini. Maka diapun berkata. "Kek, harap kau
tidak marah. Dari ucapan Si Pelawak Sinting tadi kau agaknya mempunyai satu
masalah besar yang kau tak sudi saya mendengarnya. Lalu kalau setelah kau menolong saya masalahmu
menjadi tambah besar, rasanya pantas-pantas saja kalau saya kini ingin membalas
budi..." Hantu Tangan Empat tertawa tawar. "Di negerimu
memang ada ujar-ujar Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Tapi Negeri
Latanahsilam lain. Di sini memang ada ubi tapi tak ada talas. Yang ada hanya
tuba. Berarti seseorang yang berbuat budi, bisa saja mendapatkan tuba sebagai
balasannya!"
"Tapi Kek, saya dan juga kawan-kawan tidak akan
berlaku sejahat itu. Malah..." Wiro hentikan kata-katanya.
Dia bertanya-tanya dalam hati apa ada perlunya
meneruskan bicara dengan kakek satu ini"
Melihat Wiro memutus ucapannya, Hantu Tangan
Empat malah bertanya. "Wahai! Mengapa kau tidak
meneruskan kata-katamu?"
"Kek, saya tidak mengungkit cerita lama. Tapi jika kita bisa bicara dengan hati
bersih dan kepala sehat seperti katamu tadi, segala ganjalan yang ada pasti bisa
dihadapi..."
"Anak muda, usiamu baru seumur tempurung..."
"Di negeriku orang biasa menyebut seumur jagung!"
memotong Wiro sambil menyeringai.
"Di sana jagung berarti tiga sampai empat tahun. Di sini tempurung berarti tujuh
belas sampai dua puluh lima tahun. Bukankah usiamu sekitar usia tempurung itu
wahai anak muda?"
Murid Sinto Gendeng jadi terdiam sesaat. "Kakek Hantu Tangan Empat, kalau kau
tak mau dibantu, rasanya tidak ada yang ingin memaksa. Namun jika saya ingat
sewaktu muncul di tanah Jawa kau punya niat hendak membunuh saya dan dua kawan
saya, lalu sesampainya di sini kau ternyata malah berbuat baik menolong kami,
rasanya ada sesuatu yang tak bisa saya mengerti..."
"Hari ini berbuat jahat, besok berbuat baik. Atau sebaliknya. Hari ini melakukan
kebaikan, lusa melakukan kejahatan. Bukankah memang begitu hidupnya manusia?"
ujar Hantu Tangan Empat.
"Benar Kek, tapi rasanya tidak begitu dengan keadaan dirimu. Kau melakukan niat
buruk dan perbuatan baik karena ada sesuatu yang memaksamu berbuat begitu..."
"Anak muda, kau tahu apa soal hidup. Apa lagi soal hidupku. Yang penting aku
tidak jadi membunuhmu, malah menolongmu. Kau harus bersyukur..."
"Saya dan kawan-kawan memang bersyukur dan


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berterima kasih padamu... Kek, apakah semua ini gara-gara Hantu Muka Dua?"
"Jangan hubungkan diriku dengan makhluk satu itu!"
hardik Hantu Tangan Empat tapi sambil membuang muka, memandang ke jurusan lain.
"Kek, kau membuat aku tambah tidak mengerti. Dulu jelas-jelas sekali kau bilang
kau diperintah Hantu Muka Dua untuk membunuh kami bertiga dan mencari batu sakti
tujuh warna itu. Sikap dan ucapanmu membuat saya tidak tahu apa sebenarnya
hubunganmu dengan Hantu Muka Dua..."
Karena Hantu Tangan Empat tak memberikan jawaban maka Wiro melanjutkan ucapannya
tadi. "Kek, ketahuilah jika ada kesempatan menemui Hantu Muka Dua saya akan
membuat perhitungan dengan makhluk satu itu! Kalau tidak dia akan mendahului
membunuh saya dan kawan-kawan. Di negeri saya ada seorang tokoh silat bernama
Pangeran Matahari. Dia manusia sejuta jahat yang dijuluki Pendekar Segala
Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak. Tapi ternyata
Hantu Muka Dua jauh lebih jahat dari Pangeran Matahari. Sesuai dengan julukannya
Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.
Dia bukan saja menyuruhmu membunuh saya dan kawan-kawan, tapi juga pernah
menugaskan seorang penghuni pulau bernama Tringgiling Liang Batu dan anak
angkatnya bernama Hantu Jatilandak untuk mempesiangi kami
bertiga. Begitu nyawa kami dihabisi, darah kami akan dipakai untuk merendam
sebilah senjata. Untung kami bisa selamat. Lalu terakhir kali dia menugaskan
Lagandrung dan Lagandring untuk membunuhmu, sekaligus
menghabisi saya..."
"Jangan kau berani menyentuh Hantu Muka Dua wahai anak muda bernama Wiro..."
"Aneh, mengapa kau berkata begitu Hantu Tangan
Empat?" tanya Wiro keheranan.
"Makhluk itu menguasai..."
Di tanah tiba-tiba ada satu bayang-bayang besar
bergerak berputar-putar. Hantu Tangan Empat mendongak ke atas Wiro ikut-ikutan
memandang ke langit. Tinggi di udara tampak sebuah benda putih melayang
berputar-putar. Makin lama makin rendah.
"Angsa raksasa. Siapa lagi penunggangnya kalau bukan Peri Angsa Putih.
Kelihatannya dia hendak menuju ke sini..." kata Wiro dalam hati begitu dia
mengenali angsa putih bernama Laeputih yang jadi tunggangan Peri Angsa Putih
itu. "Kakek Hantu Tangan Empat, kebetulan sekali cucumu Peri Angsa Putih muncul di
sini..." Wiro berucap sambil berpaling ke samping. Tapi kakek muka datar yang
hati dan jalan pikirannya susah diraba itu ternyata tidak ada lagi di
sebelahnya. *** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
7 ERI BUNDA sejak tadi diam-diam memperhatikan
tingkah laku Peri Angsa Putih. Sambil tersenyum
Pakhirnya dia menegur. "Wahai Peri Angsa Putih, Peri tercantik dari segala Peri.
Lain sekali kulihat tingkah lakumu hari ini..."
"Wahai Peri Bunda, lain bagaimana maksudmu?" tanya Peri Angsa Putih sementara
matanya terus saja menatap ke dalam cermin di dinding batu, memperhatikan
wajahnya sambil sesekali mengusap pipi kiri dan kanan.
"Sejak pagi kau bangun, kau telah pergi ke telaga.
Mandi sambil menyongsong terbitnya sang surya. Dalam telaga kau bernyanyi ceria
sambil menggosok tubuhmu dengan bunga Sri Melati. Bunga langka yang hanya
dipergunakan para gadis yang hendak melangsungkan perkawinan..."
Peri Angsa Putih tertawa panjang. "Lucu kedengarannya ucapanmu wahai Peri Bunda.
Apa kau menduga aku ini hendak pergi kawin" Hik... hik... hik. Kawin dengan
siapa, wahai Peri Bunda?"
"Aku tidak mengatakan kau akan kawin wahai Peri
Angsa Putih. Kelainan sikapmu hari ini sungguh membuat aku heran. Sehabis mandi
kau berganti pakaian. Kau mengenakan pakaian panjang sutera putih
kesenanganmu. Tapi sekali ini kau tambah dengan sehelai selendang sutera biru
sebiru bola matamu. Lalu kau berdiri di cermin berlama-lama, berhias bersenyum-
senyum..."
"Wahai! Tidak kusangka kau memperhatikan aku
sampai begitu teliti wahai Peri Bunda. Tak ada yang lain pada diriku. Kalau aku
mandi di telaga berlama-lama, berlangir bunga Sri Melati, lalu berpakaian dengan
hiasan selendang sutera biru, lalu berhias di depan cermin mematut diri, itu
karena hari ini aku ingin turun ke Negeri Latanahsilam..."
"Wahai! Justru itulah yang menjadi tanda tanya besar bagiku, Peri Angsa Putih.
Biasanya setiap pergi ke Negeri Latanahsilam, kau berdandan apa adanya. Aku
khawatir ada seseorang yang menunggumu di Latanahsilam. Dewa muda dan gagah yang
manakah dia wahai Peri Angsa Putih?"
Peri Angsa Putih tertawa kembali. "Kau ini ada-ada saja wahai Peri Bunda. Jika
ada Peri yang ditunggu Dewa maka kaulah Perinya..." Peri Angsa Putih melangkah
mendekati Peri Bunda. Sambil memegang lengan Peri Bunda, Peri Angsa Putih
berkata. "Bukankah dulu kita pernah
berbincang betapa jenuhnya hidup di alam kita ini. Betapa kita merindukan
sesuatu yang lain. Betapa kita ingin berada dalam satu alam bebas tanpa ikatan,
tanpa aturan yang terasa menekan kepala menjepit kaki..."
"Wahai Peri Angsa Putih, teruskan bicaramu. Tapi lebih perlahan. Jangan sampai
ada Peri lain yang mendengar.
Terutama Peri Sesepuh. Bisa celaka kita berdua..."
Peri Angsa Putih memandang berkeliling. Bila
dirasakannya aman maka diapun berkata. "Aku berani bicara karena bukankah dulu
kita telah pernah berbincang tentang makin menipisnya batas antara kita para
Peri dengan manusia di bawah langit?"
"Ya, aku ingat hal itu. Tapi apa hubungannya dengan sikapmu yang aneh hari ini"
Apakah secara diam-diam kau telah membina hubungan tertentu dengan seseorang di
bawah sana?"
Peri Angsa Putih mengulum senyum yang membuat Peri Bunda menjadi berdebar.
"Wahai kerabatku Peri Angsa Putih. Jangan kau berani berbuat menyalahi aturan.
Kau pasti tahu betul apa yang terjadi dengan Luhmintari, peri yang melanggar
larangan dan melakukan perkawinan dengan Lahambalang hingga melahirkan seorang
anak dijuluki Hantu Jatilandak. Apa kau ingin menerima nasib seperti Luhmintari
itu wahai kerabatku?" (Mengenai Hantu Jatilandak baca serial Wiro Sableng
sebelum ini berjudul
"Hantu Jatilandak").
"Luhmintari..." ujar Peri Angsa Putih dengan suara perlahan dan bergetar.
"Kerabat kita yang malang itu menemui ajal dengan perut pecah ketika melahirkan
bayinya si Jatilandak. Dan kini dia mendekam menjadi patung batu akibat kutukan
para Dewa serta Peri. Tidak, wahai Peri Bunda, aku tidak ingin mengalami nasib
seperti Luhmintari..."
"Lalu siapakah yang hendak kau jelang di negeri
Latanahsilam?" tanya Peri Bunda pula.
"Terus terang, aku terbuai dan tergoda oleh mimpi..."
kata Peri Angsa Putih.
"Wahai!" kata Peri Bunda setengah berseru. "Maukah kau menceritakan apa mimpimu
itu wahai Peri Angsa Putih?"
Peri Angsa Putih kembali pegang dua lengan Peri
Bunda. Dengan tersenyum dia berkata. "Mimpi adalah kembangnya tidur yang
terkadang tidak pernah menjadi kenyataan. Terus terang, sebenarnya, ngggg... Aku
pergi ke Negeri Latanahsilam untuk menemui..."
"Kalau kau bukan menemui seorang pemuda, wahai
apakah kau berhajat hendak bersua dengan seorang duda?" Peri Bunda memotong.
"Duda" Siapa maksudmu Peri Bunda?" tanya Peri
Angsa Putih. Wajahnya merona kemerahan.
"Maaf kalau aku salah menduga. Tapi bukankah kau sejak lama jatuh hati terhadap
Lakasipo, lelaki gagah kematian istri dan memiliki ilmu sangat tinggi itu?" Peri
Bunda perhatikan wajah kerabatnya itu. "Wahai! Parasmu kulihat menjadi merah.
Pertanda dugaanku tidak meleset!"
Peri Angsa Putih berusaha tersenyum. Peri Bunda
lantas peluk sosok kerabatnya itu seraya berkata perlahan.
"Wahai Peri Angsa Putih. Walau sosok kita adalah sosok Peri, tapi memang tak
bisa dipungkiri hati nurani dan jiwa rasa kita tak banyak bedanya dengan manusia
para penghuni Negeri Latanahsilam. Namun berhati-hatilah dalam bertindak. Jangan
hati dan perasaanmu menipu jalan sehat akal pikiranmu. Pikirkan pula tantangan
serta akibat yang akan terjadi jika sampai kau jatuh cinta pada orang yang tidak
satu darah dengan turunan kita.
Renungkan contoh akibat yang telah terjadi. Akupun kadang-kadang sulit keluar
dari perasaan seperti ini walau sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Tapi
sampai kapan...?"
Peri Angsa Putih sangat terharu mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Dipeluknya
erat-erat kerabatnya itu seraya berkata. "Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari
Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Terima kasih atas semua
ucapan dan nasihatmu. Tapi ketahuilah, aku turun ke Negeri Latanahsilam bukan
untuk menemui Lakasipo. Aku berhasrat mencari kakekku, Hantu Tangan Empat.
Seperti kau ketahui sampai saat ini dia masih berada dalam kesulitan. Dan setiap
kutanya dia tidak pernah menjelaskan apa kesulitannya itu. Hanya dari sikap dan
tindakannya yang aneh-aneh aku menduga dia seolah berada di bawah satu tekanan
yang sulit dilepaskan."
"Oh... Begitu" Jadi kau sebenarnya berniat mencari kakekmu sendiri. Kalau
demikian pergilah selagi hari masih pagi." kata Peri Bunda pula walau diam-diam
hatinya berdetak bahwa Peri Angsa Putih yang cantik dan bermata biru itu
berdusta padanya.
"Aku pergi wahai Peri Bunda."
"Selamat jalan Peri Angsa Putih. Jangan terlalu lama di Latanahsilam. Aku
khawatir Peri Sesepuh memerlukan sesuatu dan mencarimu..."
"Aku tidak akan berlama-lama. Sebelum senja
menjelang aku pasti sudah kembali ke sini." Peri Angsa Putih putar tubuhnya dan
tinggalkan Peri Bunda.
Sesaat setelah Peri Angsa Putih berlalu, Peri Bunda tegak merenung. Tapi tidak
lama. Seolah tidak sadar Peri Bunda bicara sendirian. "Dari sikap dan caranya
berdandan, sekali ini aku tidak yakin kalau dia turun ke Latanahsilam untuk
menemui kakeknya Hantu Tangan Empat. Lalu jika kuhubung-hubungkan ucapannya
menyangkut hubungan antara manusia dengan para Peri, aku menaruh curiga. Jangan-
jangan dia menemui
seseorang. Dia tidak mengaku menemui Lakasipo. Padahal sewaktu Luhjelita muncul
dan merayu Lakasipo dia kecewa setengah mati. Lalu siapa sebenarnya yang hendak
ditemui gadis itu" Aku harus menyelidik..."
Tanpa menunggu lebih lama Peri Bunda segera pula tinggalkan tempat itu tanpa
mengetahui bahwa di balik sehelai tirai tebal dalam ruangan tersebut sejak tadi
Peri Sesepuh yang gemuk putih bermuka gembrot dan selalu keringatan
memperhatikan kelakuannya dan mendengar apa yang diucapkan.
*** Laeputih, si angsa raksasa putih tunggangan Peri cantik bermata biru melayang
berputar dua kali di udara. Sambil melayang dan perlahan-lahan merendah Peri
Angsa Putih perhatikan sosok tegap di tepi telaga.
"Dewa Agung!" kata sang Peri. "Mimpiku benar adanya.
Wahai! Orang itu adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Ke
mana lenyapnya kakekku Hantu Tangan Empat tidak aku pikirkan. Yang aneh
bagaimana tahu-tahu sosoknya telah berubah sebesar sosok orang-orang di Negeri
Latanahsilam. Apakah dia telah menemui Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan
berhasil mendapat pertolongan" Wahai, banyak cerita yang akan kutanyakan
padanya... Laeputih angsa tungganganku, terbanglah lebih rendah. Turun di tepi
air terjun sebelah timur."
Angsa putih raksasa tunggangan Peri Angsa Putih
keluarkan suara menguik panjang tanda mengerti ucapan sang Peri lalu perlahan-
lahan binatang ini melayang turun ke arah timur Air Lajatuh.
Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu dekat air terjun tiba-tiba
sepasang mata biru Peri Angsa Putih membesar. Wajahnya berubah.
"Laeputih, jangan turun ke tanah. Melayang ke balik batu sebelah sana. Aku
melihat seseorang berusaha mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu..."
Di tepi telaga Pendekar 212 Wiro Sableng tampak
heran ketika tiba-tiba angsa putih raksasa lenyap dari pemandangan. Lalu tahu-
tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat di udara. Di lain kejap makhluk ini
telah mendarat tujuh langkah di hadapannya.
Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura
raksasa berwarna coklat yang memiliki dua sayap lebar hingga mampu melayang
terbang di udara. Di atas
punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang
rambutnya digulung di atas kepala.
Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias
dengan kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu
menatap tajam ke arah Wiro. Lalu lontarkan senyum yang sangat memikat. Barisan
gigi-giginya putih, rata berkilat. Sesaat dia rapikan gulungan rambutnya.
Senyumnya masih belum pupus ketika tiba-tiba dia melompat dari punggung kura-
kura raksasa dan sesaat kemudian telah berdiri di hadapan Wiro dengan gaya yang
benar-benar mempesona.
"Luhjelita..." desis Peri Angsa Putih dengan suara bergetar, "Aku keduluan..."
Hawa cemburu serta merta menjalari diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik
kelihatan menjadi merah. "Bagaimana dia tahu-tahu bisa muncul di sini. Dulu
ketika aku berusaha mendekati Lakasipo, dia juga yang mendahului. Malah memikat
lelaki itu hingga bisa dibawa ke tempat kediamannya di Goa Pualam
Lamerah. Sekarang dia lagi yang menghambat jalanku.
Apakah dia" Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini..."
Peri Angsa Putih gigit bibirnya. Matanya tak berkesip memperhatikan gadis cantik
penunggang kura-kura
terbang bernama Luhjelita itu. Dalam kecemburuan, hatinya juga merasa sangat
risau. "Aku khawatir dia sengaja menemui pemuda itu untuk melakukan sesuatu.
Bukankah dia tengah mencari satu ilmu" Bukan mustahil pemuda itu berada dalam
bahaya. Wahai, apa yang harus aku lakukan?" Peri Angsa Putih kepal-kepalkan
sepuluh jari tangannya.
"Pemuda gagah berambut panjang berwajah tampan!
Kau pasti lupa padaku! Tapi aku tidak lupa padamu!"
Luhjelita berkata sambil terus mengulum senyum dan melangkah melenggak-lenggok
mendekati Wiro. Ketika dia berhenti, jarak mereka hanya terpisah kurang dari dua
langkah. Di balik lamping batu Peri Angsa Putih kelihatan asam parasnya. Dalam hati dia
berkata. "Huh! Gadis bernama Luhjelita! Siapa yang tidak tahu sifatmu! Semua
lelaki hendak kaujadikan korban kegenitanmu! Bermain senyum di bibir,
menyembunyikan keculasan di lubuk hati!"
Di hadapan gadis cantik berpakaian jingga itu murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. Coba mengingat-ingat. Di tempat perlindungannya Peri Angsa Putih
diam-diam berkata setengah berdoa. "Kau harus ingat! Kau harus tahu siapa adanya
gadis itu! Wahai! Jangan sampai kau tertipu!"
Wiro berhenti menggaruk-garuk kepala. Kini jari-jari tangan kanannya dipakai
untuk memijit-mijit keningnya.
Lalu mulutnya tersenyum lebar. "Aku ingat siapa adanya kau, gadis cantik
bertubuh elok..."
"Wahai jangan keliwat memuji. Wajahku tidak cantik dan tubuhku buruk!" kata
gadis di hadapan Wiro tapi sambil tersenyum dan lemparkan kerlingan mata. Dia
maju sedikit dan berjingkat hingga dia bisa dekatkan wajahnya ke muka Wiro.
"Kalau kau benar ingat siapa diriku, coba kau katakan."
"Kau bernama Luhjelita. Kita bertemu pertama kali di tepi telaga Lasituhitam.
Waktu itu aku bersama dua temanku dan seorang saudara angkat bernama Lakasipo.
Kami terpaksa berpisah dengan Lakasipo karena dia harus menolong seorang gadis
bernama Luhtinti dan juga karena kau memintanya untuk datang ke sebuah goa.
Kalau tidak salah goa itu bernama Goa Pualam Lamerah!"
"Wahai! Ingatanmu ternyata sangat cerah! Secerah fajar menyingsing di pagi
hari!" memuji Luhjelita. Namun diam-diam dia merasa khawatir apakah pemuda gagah
berambut gondrong itu tahu apa yang kemudian terjadi di dalam goa"
Murid Sinto Gendeng memang tidak suka dengan
pujian itu. Dia mendengar dari Lakasipo gara-gara mendatangi Luhjelita di goa
tersebut Lakasipo hampir menemui ajal di tangan Hantu Muka Dua. Luhtinti sendiri
mendapat celaka (Baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul "Peri
Angsa Putih").
"Luhjelita, apa kemunculanmu ini hendak bertanyakan hal ihwal menyangkut
Lakasipo?" Wiro ajukan pertanyaan.
"Wahai, memang banyak yang hendak kubicarakan
dengan lelaki gagah berkaki batu itu. Tapi aku tak tahu dia entah berada di
mana..."

Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku menduga Lakasipo adalah kekasihmu. Kalau
benar masakan tidak tahu sang kekasih berada di mana?"
Paras Luhjelita menjadi bersemu merah.
"Kena batunya kau wahai Luhjelita!" kata Peri Angsa Putih yang masih terus
mengintai di balik lamping batu.
Walau dia merasa jengah dengan ucapan Wiro tadi
namun Luhjelita keluarkan suara tawa merdu. "Orang sehebat dan segagah Lakasipo,
masakan sudi menjatuhkan hati terhadapaku gadis jelek begini rupa" Dia hanya pantas untuk
pasangan para Peri di atas langit sana!" Habis berucap begitu kembali Luhjelita
tertawa panjang dan merdu.
Di balik lamping batu, kini Peri Angsa Putih yang menjadi tidak enak. "Jangan-
jangan gadis liar itu tahu kalau aku bersembunyi di tempat ini. Apa yang harus
kulakukan" Pergi saja dari tempat ini?" Sang Peri sesaat merasa bingung dan juga
jengkel. Kalau belum bertemu dan bertegur sapa dengan Wiro rasanya belum puas
hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tetap saja mendekam di balik batu
ini. "Itu tidak mungkin, Luhjelita. Peri tidak mungkin kawin dengan manusia biasa.
Aku tahu benar hal itu... Kalau itu sampai terjadi akibatnya sungguh luar
biasa..." "Wahai sahabat muda berambut panjang! Belum
berbilang tahun kau berada di Negeri Latanahsilam ini, banyak hal yang sudah kau
ketahui. Namun jangan kau menduga bahwa makhluk bernama Peri itu selalu berada
dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara mereka yang tersesat dan
melanggar pantangan. Salah satu di antaranya adalah peri yang kawin dengan
seorang manusia biasa bernama Lahambalang hingga melahirkan seorang anak
kutukan. Berbentuk manusia tapi tubuhnya penuh dengan duri seperti landak! Dan
kurasa saat ini atau di masa mendatang semakin banyak para Peri yang
menjadi liar dan memilih jalan sesat karena tidak bisa bertahan terhadap
tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil kau sendiri bisa-bisa sudah menjadi
incaran mereka. Hati-hatilah kau wahai Wiro..."
Baru saja Luhjelita selesai berucap tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih
disertai bentakan menggeledek.
"Gadis bernama Luhjelita! Jahat sekali mulutmu! Bisa apa yang ada di hatimu
hingga berani menghina kami bangsa Peri dari atas langit"!"
Wiro terkejut dan cepat melompat mundur karena
mendadak ada angin yang menyapu hebat. Luhjelita sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda kaget. Pertanda dia memang sudah tahu kehadiran orang yang barusan
berkelebat dari balik lamping batu sana. Itu sebabnya malah dia sengaja
mengeluarkan ucapan melecehkan tadi.
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
8 ALAU tidak kaget tapi Luhjelita tetap berlaku
waspada. Begitu angin dahsyat menerpa, gadis ini Wsegera melompat mundur.
Sosoknya melayang
setengah jengkal di udara. Begitu turun injakkan kaki di tanah dia keluarkan
suara tawa. "Wahai! Tidak disangka! Ada Peri yang sengaja
menyelinap sembunyikan diri untuk mencuri dengar pembicaraan orang! Itu satu
bukti bahwa bangsa Peri memang tidak berhati polos dan berjiwa berani!"
Peri Angsa Putih tegak rangkapkan dua tangan di depan dada. Walau mukanya merah
dan hati serta telinganya panas mendengar ucapan Luhjelita bahkan sebelumnya
sengaja menghantam dengan dorongan angin
mengandung tenaga dalam tinggi, namun saat itu dia masih mampu menekan hawa
amarah yang menguasai
dirinya. Dengan suara tenang sambil permainkan ujung selendang biru yang
melingkar di lehernya dia berkata.
"Kepolosan hati dan keberanian juga tidak menjadi milik satu golongan. Tapi
tergantung pada diri orang masing-masing. Belakangan ini banyak sekali orang
yang pandai bermanis mulut padahal menyimpan hati culas
menyembunyikan maksud jahat. Luhjelita siapa dirimu banyak orang yang sudah
tahu. Kalau boleh aku bertanya, siapa lagi yang telah menjadi korban bujuk
rayumu setelah terakhir kau mendapatkan sesuatu dari Lakasipo lalu meninggalkan
lelaki itu begitu saja?"
Berubahlah paras Luhjelita mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Gadis
berpakaian warna jingga ini melirik sekilas pada Wiro yang berdiri memandang
saling berganti pada dua gadis cantik itu sambil garuk-garuk kepala.
"Wajahmu berubah pucat! Wahai! Satu pertanda bahwa ucapanku tadi tepat
menghunjam di lubuk hatimu!" Peri Angsa Putih sambung ucapannya.
"Peri Angsa Putih, sungguh kau tidak bermalu. Kau tergila-gila pada Lakasipo!
Namun lelaki itu tidak mempedulikanmu. Buktinya dia meninggalkanmu begitu saja
dan ikut aku ke Goa Pualam Lamerah! Apakah di atas langit sana tidak ada pemuda
yang cocok menjadi
pasanganmu hingga kau mengejar-ngejar Lakasipo. Kali ini kau turun ke
Latanahsilam pasti tengah mengintai mangsa baru!" Lalu Luhjelita berpaling pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. "Sahabatku pemuda gagah, berhati-hatilah.
Bukan mustahil kau yang ada dalam incarannya!"
"Bermanis mulut, berminyak kata. Menyebar fitnah menyembunyikan keculasan.
Itulah salah satu sifat buruk di Negeri Latanahsilam. Semula kusangka hanya kaum
lelakinya saja yang berbuat seperti itu. Ternyata kau perempuan dan para gadis
sudah ikut ketularan. Sungguh malang dirimu wahai Luhjelita! Kau yang dikenal
dengan gadis puluhan kekasih, apakah perlu aku sebutkan satu persatu siapa saja
mereka itu" Apakah masih belum puas hingga kini memutar balik kenyataan. Padahal
sebenarnya kau tengah berusaha agar pemuda asing itu jatuh di tanganmu" Aku
tidak ada hubungan apa-apa dengan
pemuda bernama Wiro Sableng itu. Jika kau merasa mampu merayu dan ingin
memilikinya silakan saja. Akan kulihat apakah dia mau ikut bersamamu!"
Ditantang seperti itu panaslah hati Luhjelita. Dalam hati timbul tekadnya,
apapun yang terjadi Wiro harus bisa diajaknya pergi.
"Peri dari atas langit! Jangan keliwat takabur karena merasa diri paling sakti
dan paling cantik! Aku akan buktikan padamu sebentar lagi bahwa pemuda ini akan
sudi ikut bersamaku. Tapi sebelum itu kulakukan, aku ingin memberi pelajaran
bersopan santun padamu!"
Habis berkata begitu Luhjelita dorongkan tangan
kanannya ke arah Peri Angsa Putih. Selarik sinar berwarna jingga menggebubu.
Peri Angsa Putih berseru kaget dan cepat menghindar sembari kibaskan lengan
pakaiannya yang berupa gulungan sutera putih.
Dessss! Sinar jingga serangan Luhjelita laksana menghantam bantalan kapas lalu buyar.
Tahu bahwa dalam kekuatan hawa sakti dia tak bakal dapat mengungguli sang Peri,
Luhjelita menyergap ke depan, lancarkan serangan tangan kosong. Cepat dan
beruntun tak berkeputusan. Mendapat serangan sangat gencar begitu rupa Peri
Angsa Putih tetap berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng.
Namun karena kalah cepat dengan serangan berantai yang dilancarkan lawan, jurus
demi jurus sang Peri akhirnya tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini
Pendekar 212 Wiro Sableng segera berteriak.
"Hentikan perkelahian!"
Tapi tak satupun dari dua gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau murid
Sinto Gendeng terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban
nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada saat Peri Angsa Putih
lancarkan satu pukulan kilat ke arah Luhjelita. Namun karena sosok Wiro
melintang di depan maka hantaman Peri Angsa Putih mendarat telak di dada kanan
sang Pendekar. Bukkkk! Wiro terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan
tubuhnya hampir roboh kalau dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk
bertopang ke tanah. Peri Angsa Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang
terjadi. Saat itu justru tamparan tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan.
Plaaakkk! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Peri Angsa Putih.
Peri bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah mengucur di sudut kiri mulutnya.
Meski menahan sakit akibat pukulan yang kesalahan menghantam dadanya, namun
melihat darah yang mengucur di sudut pipi Peri Angsa Putih, Wiro jadi memelas.
Selain itu dia merasa ikut bersalah. Peri Angsa Putih berlaku lengah karena tadi
telah kesalahan tangan memukul dirinya. Dengan cepat dia robek lengan kiri baju
putihnya lalu menyeka darah di pipi sang Peri. Belum sempat darah itu disapunya
tiba-tiba Luhjelita menarik tangan kiri Wiro seraya berkata.
"Wiro! Tak ada gunanya berbaik hati pada Peri bermata biru itu. Apa kau tidak
tahu kalau Hantu Tangan Empat kakeknya adalah kaki tangan Hantu Muka Dua!
Kematianmu dan kawan-kawan sudah masuk dalam
rencana mereka!"
"Aku sudah tahu siapa Hantu Tangan Empat, siapa pula Hantu Muka Dua!" jawab Wiro
seraya berusaha menarik tangannya yang dibetot.
Namun entah apa yang dilakukan Luhjelita saat itu mendadak Wiro merasakan
tubuhnya sebelah kiri menjadi lemas. Di lain saat dia sudah ditarik naik ke atas
punggung kura-kura raksasa. Binatang ini segera mengepakkan dua sayapnya.
Melihat apa yang terjadi Peri Angsa Putih cepat
berteriak. "Wiro! Jangan dengar kata-katanya! Jangan ikut bersama dia! Dia
justru adalah kekasih Hantu Muka Dua!"
Di atas kura-kura raksasa bernama Laecoklat itu
Pendekar 212 jadi bingung. Dia berusaha hendak
melompat turun. Namun gerakan kura-kura raksasa sebat sekali. Begitu mengepakkan
sayap binatang ini sudah berada hampir dua puluh tombak di udara. Murid Sinto
Gendeng tak bisa berbuat apa-apa selain mendekam duduk di atas punggung kura-
kura sambil pinggangnya dipegangi oleh Luhjelita.
"Hendak kau bawa ke mana aku?" tanya Wiro.
"Tenangkan hatimu. Tak usah takut! Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku hanya
ingin membicarakan
beberapa hal. Untuk itu kau akan kubawa ke tempat kediamanku di Goa Pualam
Lamerah." Mendengar disebutnya nama goa itu, otak sang
Pendekar bekerja cepat. Menurut cerita Lakasipo ketika dia dibawa Luhjelita ke
goa itu, justru di tempat itulah dia hampir terbunuh di tangan Hantu Muka Dua.
"Luhjelita, jika kau memang hanya punya maksud
membicarakan sesuatu, mengapa harus ke Goa Pualam Lamerah" Turun saja di lereng
bukit sana!" Wiro menunjuk ke arah lereng sebuah bukit sambil diam-diam kerahkan
tenaga dalamnya ke bagian tubuh sebelah kiri yang tadi mendadak terasa lemas.
"Aku ingin memperlihatkan padamu betapa indahnya tempat kediamanku. Lagi pula
jika sewaktu-waktu kau butuh tempat berteduh, apa salahnya kau menetap di
sana..." "Aku berterima kasih pada tawaranmu. Tapi aku lebih suka kita turun di lereng
bukit itu. Kita bicara di sana!"
"He... Kalau aku tidak mau memenuhi permintaanmu, apa yang hendak kau lakukan
wahai pemuda gagah?"
bertanya Luhjelita sambil tangan kanannya menggelung pinggang Wiro lebih erat
dan hembusan nafasnya
menghangati tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng itu.
"Kalau kau tidak mau mendengar permintaanku, berarti kau memilih mati berdua!"
"Wahai! Apa maksudmu Wiro?" tanya Luhjelita seraya kerenyitkan kening.
"Akan kuhancurkan kepala kura-kura coklat ini!"
"Kau tak akan tega melakukan hal itu," kata Luhjelita pula menganggap enteng.
"Kau benar-benar ingin menyaksikan sendiri"!" kata Wiro seraya kepalkan tinju
kanannya dan kerahkan ilmu pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Ini adalah
ilmu kesaktian yang didapat Wiro dari Tua Gila di Pulau Andalas.
Jangankan kepala kura-kura raksasa itu, batu karangpun bisa hancur jika kena
dihantam. Luhjelita tertawa merdu. Sambil mengusap punggung Wiro dia berkata.
"Mati berdua dengan seorang pemuda gagah! Wahai
betapa indahnya!" ujar Luhjelita. "Tapi siapa yang inginkan mati" Hik... hik...
hik...! Baiklah Wiro. Kuturuti maumu. Kita turun di lereng bukit yang kau tunjuk
tadi!" Luhjelita mengetuk punggung kura-kura raksasa. Binatang ini berputar lalu
melayang ke arah lereng bukit di sebelah barat.
*** DI TEPI telaga Peri Angsa Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura
raksasa melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar
lalu menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang
bisa menyembur dari dua matanya.
Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Wiro, tak ada gunanya. Penuh kesal gadis
ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan kedua
tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia masih memegang robekan
lengan baju si pemuda yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut
bibir akibat tamparan Luhjelita.
"Aku memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali.
Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera yang kualami akibat
tamparan gadis liar itu. Wahai! Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha
mengusap darah di sudut bibirku. Wahai... Kalau saja aku bisa membaca isi
hatinya..." Peri Angsa Putih tekapkan robekan baju Wiro itu ke wajahnya.
Sepasang matanya berkaca-kaca. "Aku khawatir akan keselamatannya. Aku harus bisa
mengejar kura-kura terbang itu dan membuat perhitungan dengan Luhjelita..."
Peri Angsa Putih cepat memutar tubuhnya untuk segera menemui Laeputih si angsa
raksasa. Tapi begitu dia membalik, begitu dia terkejut. Karena tepat di
hadapannya tegak berdiri Peri Bunda. Menatap ke arahnya dengan pandangan sayu
seraya berkata.
"Kau benar, kau turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo..."
"Peri Bunda, tentunya kau sudah sejak tadi berada di sini. Mungkin juga
berkesempatan melihat apa yang terjadi. Wahai, saat ini tak dapat aku bicara
berpanjang lebar. Aku harus pergi. Aku harus melakukan sesuatu..."
Lalu Peri Angsa Putih melangkah melewati Peri Bunda, melompat naik ke atas angsa
raksasa. Sesaat setelah Laeputih lenyap di batas pemandangan, Peri Bunda masih tegak di
tempatnya. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan menatap ke arah air terjun.
Air terjun yang menggemuruh jatuh seolah terasa seperti gemuruh hatinya.
"Tidak bisa kusalahkan kalau gadis itu bersikap aneh akhir-akhir ini. Rupanya
telah terjadi sesuatu dengan pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang
itu. Ternyata dia memang gagah, jauh lebih gagah dari semua pemuda yang ada di negeri
ini. Bahkan Lakasipo bukan apa-apa dibanding dengan dirinya. Apakah Peri Angsa
Putih telah jatuh hati pada pemuda itu" Apakah akan terjadi lagi pelanggaran
yang bisa membawa akibat besar" Kegegeran lahirnya Hantu Jatilandak masih belum
pupus. Kutuk masih belum berakhir. Sekarang agaknya akan terjadi lagi satu
masalah yang jauh lebih hebat. Kalau semua akan berakhir seperti itu lalu
bagaimana dengan diriku sendiri..."
Luhjelita bukan gadis sembarangan. Ilmunya tinggi.
Mampukah Peri Angsa Putih menghadapinya dan
menyelamatkan pemuda itu" Wahai, mungkin dia
membutuhkan bantuanku..."
Peri Bunda melangkah ke tepi telaga lalu menatap wajahnya dalam ke permukaan air
yang mengalun lembut.
"Usiaku memang tidak semuda Peri Angsa Putih. Tapi kecantikan wajahku tidak
kalah walau dia memiliki sepasang mata biru. Kedudukanku yang lebih tinggi
darinya mungkin bisa membendung hasrat yang
tersembunyi di hati sanubarinya..."
"Peri Bunda, apa maksud ucapanmu barusan?"
Tiba-tiba ada suara menegur. Peri Bunda tersentak kaget dan cepat berpaling.
Lalu buru-buru dengan wajah mendadak pucat dia menjura dan letakkan dua tangan
yang dirapatkan di atas kepala.
"Peri Sesepuh..." kata Peri Bunda pula. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia
tidak berani menatap wajah Peri gemuk yang mengenakan pakaian merah itu. Dalam
hati dia bertanya-tanya, bagaimana pimpinan tertinggi dari segala Peri yang ada
di atas langit ini tahu-tahu bisa berada di tempat itu. "Jangan-jangan dia telah
mengetahui dan mendengar pembicaraanku dengan Peri Angsa
Putih..." "Peri Bunda, saat ini aku terpaksa menegurmu dengan keras. Masalah yang
ditimbulkan Luhmintari dan
Lahambalang hingga melahirkan Jatilandak masih belum terselesaikan. Apakah kau
hendak menambah masalah baru wahai Peri Bunda?"
Peri Bunda hanya bisa tundukkan kepala, tak bisa menjawab.


Wiro Sableng 107 Hantu Tangan Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan berdiam diri saja Peri Bunda. Aku ingin
mendengar penjelasanmu!"
"Maafkan saya Peri Sesepuh. Sebenarnya saya turun ke Negeri Latanahsilam ini
hendak mengikuti Peri Angsa Putih. Sejak beberapa hari ini saya lihat sikap dan
bicaranya aneh..."
"He... Lalu sikap dan bicaramu sendiri bagaimana?"
tanya Peri Sesepuh pula yang kembali membuat Peri Bunda menjadi tak bisa
menjawab. "Peri Bunda, aku minta kau segera kembali ke Negeri Atas Langit..."
"Tapi bagaimana dengan Peri Angsa Putih" Saya
khawatir dia berada dalam keadaan bahaya..."
"Diri Peri Angsa Putih tak perlu kau khawatirkan. Biar aku yang mengurusi. Hanya
harap katakan padaku ke mana kira-kira perginya orang-orang itu. Termasuk Peri
Angsa Putih..."
"Kemungkinan besar mereka menuju ke Goa Pualam
Lamerah," menjelaskan Peri Bunda.
"Kalau begitu biar aku yang mengejar ke sana. Kau kembali sekarang juga!"
"Baik wahai Peri Sesepuh..." Peri Bunda memberi
hormat lalu tinggalkan tempat itu.
Peri Sesepuh usap wajahnya yang selalu keringatan.
Lalu sambil gelengkan kepala dia berkata sendiri. "Pemuda asing bernama Wiro
Sableng, tidak ditolong salah, ditolong juga salah. Apa yang harus kulakukan
terhadapmu?"
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
9 I LERENG bukit yang sejuk dan sunyi, Pendekar 212
Wiro Sableng tegak berdiri sementara Luhjelita enak Dsaja membaringkan diri di
tanah di atas rerumputan.
Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah si pemuda sedang senyum terus bermain
di bibirnya yang merah.
Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.
"Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau
bicarakan?" bertanya Wiro.
Luhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya
ditopangkan ke dagu. Dari
tempatnya berdiri Wiro bisa melihat sosok tubuh bagian atas si gadis, putih dan
kencang. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. "Aku banyak mendengar sifat
aneh gadis ini dari Lakasipo. Aku harus berhati-hati..."
"Wahai Wiro," Luhjelita berkata. "Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun
mata dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru
membicarakan segala urusan?"
Wiro tersenyum. "Kau membawaku karena katamu ada yang hendak kau bicarakan. Jika
kau tidak mau segera bicara biar aku yang bicara duluan."
"He... Bicaralah, aku ingin mendengarkan," kata
Luhjelita pula sambil melontarkan senyum dan kedipkan matanya.
"Apa betul kau kekasih Hantu Muka Dua?"
Sepasang alis mata Luhjelita menjungkat ke atas. Dua matanya dibesarkan. Lalu
suara tawanya yang panjang dan merdu mengumandang di lereng bukit itu. "Kau
rupanya keliwat mempercayai kata-kata Peri Angsa Putih..."
"Lakasipo pernah menceritakan padaku tentang
kejadian di Goa Pualam Lamerah, tempat kediamanmu..."
"Wahai! Coba jelaskan apa yang diceritakannya..."
"Di goa itu kau melakukan sesuatu terhadapnya..."
"Sesuatu apa?"
"Lakasipo sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas kau meninggalkannya begitu saja
di goa itu dan tahu-tahu muncul Hantu Muka Dua. Apa tujuanmu" Kau mengundang
Lakasipo ke goamu. Di saat yang bersamaan Hantu Muka Dua muncul di situ! Kalau
tak ada hubungan apa-apa bagaimana Hantu Muka Dua bisa datang ke Goa Pualam
Lamerah" Lalu pada Lakasipo, Hantu Muka Dua sendiri mengatakan bahwa kau adalah
kekasihnya!"
Luhjelita keluarkan suara berdecik berulang kali dari mulutnya. Kepalanya
digeleng-gelengkan dan matanya dibesarkan memandang ke langit. "Hantu Muka Dua
makhluk gila basa! Aku hanya memberi senyum dan bicara ramah. Dia telah
menganggap aku kekasihnya! Wahai!
Sungguh gila! Aku memang bukan manusia apa-apa.
Kecantikanku tidak ada artinya dibanding Peri Angsa Putih yang kau kagumi itu!
Tetapi aku tidak terlalu tolol untuk mau jadi kekasih Hantu Muka Dua..."
"Kau mengharapkan sesuatu dari makhluk itu. Sebagai imbalannya...:"
"Kujual diriku padanya"! Begitu bukan terusan
ucapanmu" Hik... hik... hik! Aku belum buta, aku belum pikun dan tidak picik.
Jika di usia semuda ini aku harus jatuh cinta, masakan aku jatuh cinta pada
Hantu Muka Dua, sementara masih banyak pemuda gagah di Negeri Latanahsilam ini"
Aku tidak malu-malu mengatakan bahwa aku kagum terhadapmu. Tapi aku juga maklum
dan tahu diri siapa diriku!"
"Luhjelita, dengar dulu. Aku..."
"Sudahlah Wiro, tadinya memang ada beberapa hal
yang hendak aku tanyakan padamu. Tetapi sebaiknya kubatalkan saja. Aku mendengar
suara aliran air di kejauhan. Aku ingin mandi. Pertemuan kita cukup sampai di
sini saja..."
"Tunggu dulu!" seru Wiro.
Tapi Luhjelita seperti merajuk dan melompat ke balik pohon. Sebelum itu dia
memberi tanda pada Laecoklat agar kura-kura raksasa itu terbang mengikutinya
dari udara. Ternyata Luhjelita memiliki ilmu lari bukan
sembarangan. Walau Wiro kerahkan kepandaian tetap saja dia tertinggal belasan
tombak di belakang.
Di kejauhan kelihatan sebuah telaga kecil di tempat ketinggian. Dari sebuah
celah bebatuan air telaga mengalir ke tempat rendah membentuk sungai kecil.
Luhjelita lari menuju telaga di tempat ketinggian itu. Wiro yang hendak mengejar
mendadak hentikan larinya ketika dilihatnya di tepi telaga Luhjelita
menanggalkan pakaian lalu mencebur masuk ke dalam air.
Mau tak mau sang pendekar terpaksa hentikan
pengejarannya. Malah dia melangkah berbalik surut dan akhirnya duduk di balik
serumpun semak belukar,
mencelupkan ke dua kakinya ke dalam sungai kecil yang airnya berasal dari
telaga, tak berani memandang ke jurusan telaga.
Setelah menimbang-nimbang sesaat akhirnya Wiro
memutuskan untuk tinggalkan tempat itu. "Daripada cari perkara dengan gadis itu,
lebih baik aku pergi saja. Aku harus segera menemui Naga Kuning dan Si Setan
Ngompol. Bagaimana keadaan mereka. Apa mereka telah mendapat tanda untuk meneguk
obat yang bisa membesarkan tubuh mereka?" Baru saja Wiro mengangkat kakinya dari dalam sungai
kecil tiba-tiba pandangannya membentur sekuntum bunga mawar berwarna kuning
dihias dua helai daun hijau, meluncur di permukaan air sungai menuju ke arahnya.
"Bunga mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti
ini..." kata Wiro. Lalu dia membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan
orang begitu bunga dipegang murid Eyang Sinto Gendeng ini langsung dekatkan ke
hidungnya lalu mengendus bunga itu. "Heiii... harum sekali," kata Wiro pula.
"Bunga sebagus ini dari mana datangnya?" Pendekar 212 memandang ke arah telaga.
"Eh...!" Kening Wiro mengerenyit. Dikedip-kedipkannya matanya. Lalu diusapnya.
"Aneh, apa yang teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur.
Lebih aneh lagi, dadaku sesak. Kepalaku seperti pusing!"
Wiro pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan
matanya namun dia tak bisa melihat dengan jelas. "Ada yang tidak beres! Bunga
mawar kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!"
Wiro mulai huyung. "Menurut Eyang Sinto Gendeng aku kebal segala macam racun.
Tapi racun bunga itu pasti jahat sekali..."
Dalam keadaan seperti itu, sebelum tubuhnya roboh Wiro segera susupkan tangannya
ke balik pakaian. Dengan cepat dia memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212
lalu mengatur jalan nafas dan kerahkan tenaga dalam menolak racun jahat yang
memasuki jalan pernafasan dan peredaran darahnya. Tubuhnya terasa hangat sesaat.
Hawa sakti yang ada dalam senjata mustika itu berusaha mendorong keluar racun
jahat yang tersedot Wiro. Namun racun dalam bunga jauh lebih hebat. Setelah
megap-megap berusaha menarik nafas dalam Wiro akhirnya roboh tertelentang di
tepi sungai kecil. Walau dia tidak pingsan dan ingatannya tidak hilang sama
sekali, namun pemandangannya sangat kabur dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan guram tegak
di hadapannya. Bayangan ini diam sesaat lalu membungkuk dan berlutut di
sampingnya. Wiro merasa ada seseorang meraba tubuhnya. Tengkuknya merinding namun dia tak
bisa bergerak tak mampu
bersuara. Lalu rabaan itu turun ke bawah. Terasa ada tangan-tangan yang dengan
cepat membuka ikatan celana yang dikenakannya.
"Heeee... Ada senjata aneh. Berbentuk kapak bermata dua. Ini apa lagi... Sebuah
batu hitam... Aku tidak butuh dua benda ini..."
Wiro sempat mendengar suara orang berucap. Tapi
tidak pasti apa itu suara lelaki atau suara perempuan.
Datangnya seolah dari jauh sekali.
"Gila... Apa yang dilakukan makhluk berbentuk
bayangan ini!" Wiro masih bisa membatin. Lalu lapat-lapat seolah berada di
kejauhan Wiro mendengar suara
seseorang keluarkan pekik kejut perlahan dan tertahan.
Kemudian celananya ditarik orang ke bawah. Pada saat itulah mendadak kesunyian
di tepi sungai kecil di lereng bukit itu dirobek oleh suara tambur.
Orang yang tengah menggerayangi Pendekar 212
tersentak kaget. Dia berusaha bertindak cepat namun si pemukul tambur sudah
muncul di balik pohon sana. Di atas kepalanya dia menjunjung sebuah payung
terbuat dari daun kering. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian.
"Na... na... na... Ni... ni... ni! Ada apa di sana, ada apa di sini! Meraba ke
balik celana. Pasti tersentuh si pundi-pundi! Na... na... na! Ni... ni... ni!"
"Celaka! Aku tak punya kesempatan! Bagaimana tua bangka sinting itu bisa muncul
di sini!" Baru saja orang itu berkata begitu tiba-tiba sebuah benda yang bukan lain adalah
payung daun kering
menyambar ke arahnya. Tahu gelagat tidak baik, orang yang tengah menggerayangi
Wiro tak berani menghantam payung aneh itu. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke
tanah, bergulingan lalu lenyap di balik semak belukar di bagian bawah sungai
kecil. Sesaat kemudian sebuah benda tiba-tiba memukul bagian tengah perut
Pendekar 212 Wiro Sableng. Tepat di bagian pusar! Benda itu bukan lain adalah
ujung tangkai payung daun kering yang tadi menyambar di udara seolah hendak
menyerang sosok yang berada di dekat Pendekar 212.
*** WIRO SABLENG HANTU TANGAN EMPAT
10 ENDEKAR 212 Wiro Sableng pulih keadaannya
seperti semula. Terheran-heran dia duduk
Pmenjelepok di tanah di tepi sungai kecil itu. "Apa yang terjadi dengan diriku?"
Dia bertanya dalam hati.
Memandang ke kiri dilihatnya Kapak Maut Naga Geni 212
serta pasangan batu hitam tergeletak di tanah. Cepat dua senjata mustika ini
disimpannya ke balik bajunya. Saat itulah dia menyadari bahwa ikatan tali celana
putihnya terbuka dan celana itu sendiri merosot sampai ke pangkal paha. "Gila!
Apa yang telah aku lakukan" Bagaimana mungkin celana ini bisa lepas begini rupa"
Aku ingat betul... walau tadi seperti mau pingsan, lemas dan tidak bisa melihat,
tapi aku tidak membuka celana ini!" Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.
Matanya membentur mawar kuning yang tercampak di tebing
sungai. Otaknya berpikir lagi. Pada saat itulah telinganya menangkap suara
gendang dibarengi suara orang
menyanyi na-na-na ni-ni-ni!
"Kakek Si Pelawak Sinting!" ujar Wiro setengah berseru.
Sesaat kemudian seorang kakek bermuka kempot,
memiliki dua mata belok dan hidung pesek serta mulut monyong tonggos telah
berdiri di hadapan Wiro sambil memukul sebuah tambur dan bernyanyi-nyanyi. Di
atas ubun-ubun kepalanya menclok sebuah payung terbuat dari daun-daun kering.
"Pelawak Sinting! Pasti kau yang melakukan! Pasti kau yang punya pekerjaan!"
Pedang Kiri 21 Dewi Ular 84 Racun Kecantikan Senja Jatuh Di Pajajaran 2
^