Wasiat Malaikat 1
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat Bagian 1
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya : Bastian Tito Episode WASIAT MALAIKAT
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU Setan Ngompol pegang lengan nenek di sebelahnya seraya berkata. "Aku melihat ada
dinding batu di bawah sana. Mari kita selidiki...." sinenek yang bukan lain
adalah Sinto Gendeng guru Pendekar 212 langsung mengomel.
"Aku kemari mencari Pedang Naga Suci 212! Buat mengobati muridku yang sedang
kapiran! Bukan untuk menyelidiki segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa.
Sepasang naga kuning pasti berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa
jadi mangsa mereka!"
"Memang kita harus hati-hati," ikut bicara Panji. "Selain sepasang naga dan
Makhluk Api Liang Neraka bukan mustahil Kiai Gede Tapa Pamungkas memiliki
makhluk peliharaan lain...."
Ketiga orang tersebut saat itu berada dalam Telaga Gajahmungkur. Berkat ilmu
yang diberikan Ratu Duyung mereka bukan saja sanggup berenang sampai jauh ke
dasar telaga tapi luar biasanya juga mampu bernapas dan bicara dalam air tidak
beda seolah mereka berada di daratan terbuka.
Seperti diketahui sebagai penguasa salah satu kawasan laut selatan Ratu Duyung
memiliki berbagai kesaktian antara lain hidup di dalam air. Sehabis geger besar
di Pangandaran dia pernah membawa Wiro ke dasar laut. Karenanya tidak sulit
baginya untuk menyirap memberi kekuatan pada Sinto Gendeng, Panji dan Setan
Ngompol hingga ketiga orang ini mampu berada dalam air. Malah ilmunya jauh lebih
hebat dari yang dimiliki oleh tokoh rimba persilatan lainnya yakni Sika Sure
Jelantik. Nenek satu ini telah menolong dan memberikan ilmu serupa pada Puti
Andini, namun hanya berkekuatan selama 100 hari.
"Sinto, jangan kau menakut-nakuti aku. Nanti aku ngompol lagi!" berkata Setan
Ngompol yang sudah punya rasa tidak enak.
"Siapa menakuti tua bangka sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!"
teriak Sinto Gendeng.
Setan Ngompol lakukan apa yang dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh.
Begitu Setan Ngompol memperhatikan ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya
membentur satu sosok aneh bergelung yang bukan lain adalah naga kembar betina
peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu
masih berada di tepi telaga.
"Kau benar Sinto! Celaka kita bertiga!" kata Setan Ngompol. Kakek ini langsung
tekap bagian bawah perutnya. Tapi karena takut dia tak bisa menahan kencingnya.
Begitu air kencing si kakek mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar
suara menggemuruh. Air telaga menggelombang.
Naga betina yang memang sudah tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga,
segera bergerak menggeliat. Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan
keras yang membuat air telaga laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto
Gendeng, Setan Ngompol dan Panji hingga ketiga orang ini terpental beberapa
tombak. Naga betina ini siap menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah
melihat cairan kuning mengambang di hadapannya binatang ini keluarkan ringkikan
aneh dan panjang menggidikkan lalu bersurut menjauh.
"Ha... ha...! Naga itu takut melihat air kencingku!" kata Setan Ngompol tertawa
mengekeh sambil menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi suara tawanya serta
merta Wasiat Malaikat
1 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
lenyap dan berubah menjadi jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang
sebelumnya mendekam diam tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya lalu meluncur ke
arah tiga orang itu.
Kini bukan cuma Setan Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut.
Sinto Gendeng juga ikut basah kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya.
Cairan kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat
dan mencium air larangan yang keluar dari tubuh Setan Ngompol dan Sinto Gendeng,
naga jantan meringkik aneh dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.
Di dasar telaga untuk kesekian kalinya muncul suara menggemuruh disertai
goncangan keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi
pemandangan. "Nek! Nenek Sinto Gendeng!"
Tiba-tiba ada teriakan memanggil Sinto Gendeng.
"Edan! Siapa yang memanggil diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada
hantunya"!" ujar Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih
keruh. Si nenek tak bisa melihat dengan jelas.
"Suaranya seperti suara anak kecil!" kata Setan Ngompol seraya celingak-celinguk
ikut mencari. "Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul
berkeliaran dalam air"!"
Sinto Gendeng pentang dua matanya besar-besar.
"Nek! Saya di bawah sini!"
Setan Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih.
Begitu dia memandang ke bawah dia melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana
sebuah tonggak raksasa. Lalu pada bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu
sosok terpentang seolah menempel ke dalam batu. Setan Ngompol pegang lengan
Sinto Gendeng lalu menunjuk ke bawah sana. "Kau lihat dinding batu itu" Lihat di
sebelah bawahnya. Ada patung anak kecil!"
Saat itu air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang,
"itu bukan patung! Itu manusia!" ujar Sinto Gendeng. "Kalau patung mana mungkin
bisa bicara!"
"Kalau manusia mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak berg era k-g era k!
Aku baru yakin itu manusia kalau mendengar dia kentut!" Habis berkata begitu
Setan Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.
"Biar saya berenang ke bawah," berkata Panji.
"Ya, mari kita turun menyelidiki!" kata Sinto Gendeng yang jadi penasaran. Lalu
mendahului melesat ke bawah.
Sejarak lima tombak dari dasar telaga Sinto Gendeng keluarkan seruan yang
membuat Setan Ngompol kaget dan buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
"Astaga! Anak itu kiranya!"
"Heh, anak itu anak siapa"!" tanya Setan Ngompol.
Sinto Gendeng tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik
ke arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang Setan
Ngompol berhenti berenang karena dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang
tertera di dinding batu.
Wasiat Malaikat
2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Di sebelah atas tertulis besar kata-kata "Liang Lahat". Namun belum sempat dia
membaca seluruh tulisan yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu
tiba-tiba di bawah sana Sinto Gendeng berteriak memanggil. Si kakek segera
berenang ke dasar telaga.
"Kau lihat sendiri! Yang ada dalam batu itu manusia atau patung!" kata Sinto
Gendeng begitu Setan Ngompol sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke
arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. "Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya
bisa kedap kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam
dinding batu!"
"Dia memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal
betul anak ini!" kata Sinto Gendeng pula. "Naga Kuning, aku tahu kawasan ini ada
di bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau per-
lihatkan padaku saat ini!"
Anak kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab.
"Ini bukan permainan. Saya dihukum pendam ke dalam batu oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas."
"Heh, apa orang tua itu masih ada di sekitar sini?" bertanya Sinto Gendeng
sambil melirik berkeliling.
"Dia sudah pergi. Tidak tahu pergi ke mana!"
"Ceritakan apa yang terjadi atas dirimu! Mengapa kau dihukum begini rupa"!"
"Nanti akan saya jelaskan Nek. Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya dari
dalam batu ini."
"Kalau kesalahanmu tidak besar pasti hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau
lakukan bocah sial" Kau mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana" Hik...
hik... hik!"
"Sinto! Jangari membanyol! Aku bisa kencing!" berkata Setan Ngompol.
"Tubuhnya tak bisa bergerak. Mungkin dia ditotok Nek," kata Panji pula.
"Hemmm.... Kalau benar kau ditotok cepat beri tahu bagian tubuhmu sebelah mana
yang ditotok agar aku bisa menolong," kata Sinto Gendeng.
"Saya tidak ditotok. Tapi dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas
dari pendaman..." menerangkan Naga Kuning.
"Kalau begitu biar aku tarik tangan dan kakimu!" kata Sinto Gendeng pula. Lalu
nenek ini cekal tangan kiri dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali
menarik pasti anak itu bisa dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi sampai
mukanya mengerenyit keriputan dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak
bisa dikeluarkan. Tubuh anak ini menempel laksana jadi satu dengan dinding batu
Liang Lahat. Sinto Gendeng tak mau mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh Naga
Kuning tidak bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari bagian tubuh
bawah sebelah belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali
disertai suara merepet berkepanjangan. Lalu air laut di sekitar situ mendadak
menjadi bau: "Sialan kau Sinto! Kau kentut ya!" teriak Setan Ngompol seraya berenang menjauh
sedang Panji tutup hidungnya dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan
tangan kanan untuk mendorong air di sekitarnya yang menjadi bau akibat kentut si
nenek. Di dinding batu Naga Kuning tertawa gelak-gelak.
Sebaliknya Sinto Gendeng hanya menyengir.
"Baru kentut saja kalian sudah kelabakan! Belum lagi menghadapi bahaya besar!"
kata si nenek pula.
"Nek...!" Naga Kuning ikut bersuara.
Wasiat Malaikat
3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Bocah sialan! Diam sajalah! Dan kau tua bangka tukang ngompol jangan diam saja!
Bantu aku mengeluarkan anak ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan pura-
pura jadi orang geblek! tarik pinggang anak ini!"
"Menurut penglihatanku anak ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda
yang menarik tubuhnya!" kata Setan Ngompol pula.
"Kau cuma bicara. Bantu saja. Tarik pinggangnya!" bentak Sinto Gendeng.
"Nek...."
"Kau! Nak - Nek.... Nak - Nek! Diam!" bentak Sinto Gendeng jengkel.
"Dengar dulu Nek.... Kakek ini benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa
mengeluarkan tubuh saya dari dalam dinding batu Liang Akhirat ini...."
"Kalau begitu nasibmu benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat!
Hik... hik... hik! Sudah! Aku hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di
dasar telaga ini!"
"Saya tahu apa yang kau cari. Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau
menolong akan saya katakan padamu!"
"Naga Kuning, kalau kau memang tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek
ini, mengapa kau tidak lekas mengatakan?" berkata Panji. Pemuda ini yang mulai
tahu sifat si nenek yang gampang naik darah berusaha membujuk, Sinto Gendeng
pelototkan mata.
"Hemmm.... Dulu aku menolongmu waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku tidak
mengharapkan pamrih. Tapi hari ini keadaan lain. Baik, aku akan menolongmu.
Sudah kulakukan. Tapi tidak bisa. Lalu apa lagi"!"
"Ada caranya Nek..." kata Naga Kuning pula.
"Coba kau bilang!"
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, Telaga Gajahmungkur dan segala apa yang telah
dibangun oleh sang Kiai di tempat ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat
termasuk Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Lahat, mempunyai satu
pantangan besar, Tidak boleh terkena air larangan. Semuanya bisa musnah!"
"Air larangan! Sebut saja air kencing!" tukas Sinto Gendeng sambil menyeringai
buruk. "Tapi air kencing itu tidak air kencing orang sembarangan Nek," ujar Naga
Kuning. "Hanya mempan kalau air kencingnya adalah air kencing orang yang telah berusia
lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan dan tujuh hari.... Air kencing temanmu
pemuda beranting-anting ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!"
"Ada-ada saja...!" ujar Setan Ngompol lalu tertawa terbahak-bahak dan tentu saja
sambil ngompol lagi. Sementara Panji hanya bisa melongo mendengar kata-kata Naga
Kuning itu. "Kau bicara panjang lebar. Tapi belum mengatakan bagaimana caranya kami
menolongmu!" kata Sinto Gendeng. "Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk
konde yang ada di kepalaku!" Si nenek langsung hendak mencabut dua buah tusuk
konde perak di kepalanya.
"Saya tahu tusuk konde itu sakti mandraguna. Bisa menembus batu gunung sebesar
apapun. Tapi kesaktiannya tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada
satu cara Nek. Tubuh saya hanya bisa bebas jika diguyur dengan air larangan!"
Wasiat Malaikat
4 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
* * * Wasiat Malaikat
5 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA Sinto gendeng pelototkan mata mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia
berpaling pada Setan Ngompol yang saat itu memandang melongo ke arahnya. Dua
kakek nenek ini lalu tertawa gelak-gelak sementara Panji diam-diam merasa tidak
enak. Dia tidak melihat ada hal yang lucu. Pemuda ini maklum kalau telaga itu
diselimuti berbagai macam keanehan yang terkadang mengandung keangkeran dan
sekaligus bahaya maut.
Karena tertawa begitu rupa Setan Ngompol dan Sinto Gendeng sama-sama terkencing-
kencing. Akibatnya Telaga Gajahmungkur kembali tercemar air larangan. Suara
menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang kembali menggoncang.
Sepasang naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan di telaga diselimuti
kegelapan. Begitu keadaan tenang dan air yang keruh jernih kembali Sinto Gendeng berkata.
"Gila! Masakan air kencing lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari
kekuatan tenaga dalam!"
"Nek, kau menyaksikan sendiri setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing
keadaan di sini laksana mau kiamat. Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga
ini laksana mau terjungkir balik!"
"Nek, saya rasa anak ini tidak bicara dusta..." berbisik Panji pada Sinto
Gendeng. Sinto Gendeng terdiam sejurus. "Naga Kuning, kalau memang air kencing yang bisa
membebaskan dirimu dari pendaman batu itu baiklah. Mari kita lihat! Setan
Ngompol cepat kau kencingi bocah itu!"
"Eh, mengapa aku"!" seru Setan Ngompol sambil memandang dengan sepasang matanya
yang jereng mendelik pada si nenek.
"Apa susahnya mengencingi anak itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak
persediaan air larangan! Sudah! Ayo kau kencingi dia! Hik... hik... hik!"
"Tunggu dulu!" Naga Kuning tiba-tiba berseru. "Yang mempan dan sanggup
membebaskan diri saya dari pendaman batu Liang Lahat ini hanyalah air kencing
perempuan yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air larangan itu harus jatuh langsung dari atas. Tidak boleh mengucur lewat
tubuh atau pakaian...."
"Nah... nah... nah!" Setan Ngompol berseru keras lalu tertawa gelak-gelak dan
kencing lagi. "Sinto! Berarti hanya kau yang bisa menolongnya!"
Nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu pen-tang wajah marah dan untuk beberapa
lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku tidak mau!" kata Sinto Gendeng akhirnya. "Kau cuma mau mengerjaiku!"
"Kalau tidak mau bocah itu tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda
yang kau cari itu.,." kata Setan Ngompol yang membuat Sinto Gendeng tambah
marah, "Perduli setan! Dulu aku sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa
mengira-ngira dimana letaknya! Aku pasti bisa mendapatkannya tanpa pertolongan
setan kecil ini!"
"Jangan tolol Sinto. Kejadian itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah.
Sampai tubuhmu bongkok lalu lempang lalu bongkok lagi belum tentu kau bisa
menemukan!" ujar Setan Ngompol.
W asi at Malaikat 6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Bocah setan! Kau benar-benar mengerjaiku!" kata Sinto Gendeng pada Naga Kuning
dengan mata melotot.
"Sinto! Pertolongan itu mudah sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan dirimu
di atas kepala anak itu. Lalu menyingsingkan kain bututmu, menungging sedikit
dan serrr.... Beres sudah!".
"Sialan kau Setan Ngompol! Kau bisa berkata begitu karena bukan kau yang
melakukan!" Menggerendeng Sinto Gendeng.
"Nek, untuk kebaikan mungkin sekali ini kau terpaksa mengalah..." berkata Panji.
Sambil terus mengomel panjang pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya
dia naik ke atas. "Aku peringatkan pada kalian semua!" kata Sinto Gendeng.
"Setan Ngompol! Kau lekas mendekam di belakang dinding batu sana! Jangan berani
mengintip auratku! Kau juga Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!"
"Sinto.... Sinto! Aurat gadis saja aku tidak doyan mengintip. Apalagi kayu hitam
lapuk yang sudah; dimakan rayap sepertimu!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak.
Namun dia melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik
dinding Liang La hat sambil tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan.
Panji berenang mengikuti di belakangnya. Sinto Gendeng kembali memaki panjang
pendek lalu bergerak mendekati dinding batu , tepat di atas kepala Naga Kuning.
"Bocah setan! Aku akan menolongmu! Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau
mengintip ke atas! Kalau itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan aku
korek dan seumur hidup kau akan terpendam dalam batu celaka itu!"
Naga Kuning mencibir.
"Nek, sepasang mata ini memang sudah puluhan tahun tidak melihat aurat
terlarang. Tapi kau tahu siapa diri saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat
terhadap orang yang hendak menolong"!" Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga
Cilik atau Naga Kecil ini sebenarnya adalah seorang kakek berusia jauh lebih tua
dari Sinto Gendeng atau Setan Ngompol.
"Sudah! Kau bocah tua bangka pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup
matamu!" Sinto Gendeng lalu tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke
dinding Liang Lahat tepat di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam
dinding batu itu.
Naga Kuning segera pejamkan ke dua matanya. Tapi setelah menunggu cukup lama
tidak terjadi apa-apa.
"Nek, kau masih berada di atas atau bagaimana"!" Naga Kuning bertanya.
"Diam! Aku masih di dekat dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya
membuyarkan perhatianku!" Terdengar bentakan Sinto Gendeng.
Naga Kuning tak berani berkata apa-apa lagi. Tapi setelah kembali menunggu cukup
lama dan tetap tak terjadi apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua matanya
dibuka. "Nek...."
"Tutup mulutmu! Tutup matamu! Atau kutusuk sampai kau buta!"
"Saya sudah menunggu lama! Tapi kau tidak kencing-kencing juga!" jawab Naga
Kuning. Walau sesaat tapi anak ini masih sempat melihat si nenek di atasnya,
menempel ke dinding batu menungging.
Wasiat Malaikat
7 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Dia berusaha menahan diri agar tidak tersenyum apalagi sampai tertawa cekikikan.
Dalam hati anak ini berkata, "Seumur hidup baru sekali ini aku melihat nenek-
nenek. Ternyata menyerupai ikan pepes kering kejemur matahari!"
Dari sebelah atas terdengar suara Sinto Gendeng.
"Aku sudah berusaha kencing. Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak
mau. Biasanya sebentar-sebentar aku kencing!"
Di balik dinding batu Liang Lahat Setan Ngompol dan Panji tertawa cekikikan
mendengar ucapan Sinto Gendeng tadi. Sebaliknya Sinto Gendeng keluarkan suara
menggerendeng lalu mengedan-edan sekuat tenaga agar bisa kencing hingga tubuhnya
tambah bungkuk hampir terlipat. Setelah berusaha setengah mati tiba-tiba
beerrrrr.... Naga Kuning merasa ada air hangat laksana mancur mengucur membasahi kepalanya.
Air hangat dan bau pesing ini turun ke muka terus membasahi tubuhnya. Si bocah
seperti mau muntah ketika ada air kencing membasahi mukanya mengalir ke bawah
hidung, turun ke bibirnya dan hampir tertelan!
Pada saat yang sama Naga Kuning merasa dinding batu dimana dia terpendam menjadi
panas. Tiba-tiba didahului suara menggemuruh seolah datang dari dasar telaga
yang membuat dinding batu Liang Lahat itu bergoncang keras, tubuh Naga kuning
terpental keluar. Ada hawa aneh mendera keras membuat Sinto Gendeng tersapu
sampai beberapa tombak.
"Hai! Apa yang terjadi"!" Terdengar suara Setan Ngompol berseru. Kakek ini dalam
keadaan terkencing-kencing keluar dari balik dinding batu bersama Panji. Wajah
mereka tampak pucat. Dilihatnya
Naga Kuning melayang dalam air sedang Sinto Gendeng tengah berenang mendekati
anak itu. "Bocah setan! Kau sudah kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda yang
kucari!" Tahu-tahu si nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang saat itu
tengah mengusap mukanya berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air kencing
Sinto Gendeng yang tadi ikut, membasahi mukanya.
"Nek, terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi
diri saya akan terpendam selamanya di Liang Lahat itu.... Sebelum saya memberi
keterangan saya mau bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan
saya yang patah"
Dan siapa kakek satu ini" Apa pacarmu yang baru"!"
Panji tersentak mendengar ucapan si bocah yang begitu berani. Setan Ngompol
sesaat melongo lalu tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya Sinto
Gendeng langsung naik darah.
"Bocah kurang ajar! Naga Kuning! Kau minta aku gebuk"!"
"Harap maafkan, bukan maksud saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja, itu
tanda saya suka padamu dan juga pada orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu
itu..." "Bocah sialan! Kalau kau memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang
suka padaku! Apa kau tidak sadar sudah berapa umurmu"!
"Ah, maafkan saya. Saya memang tidak tahu diri!''
kata Naga Kuning pula tersipu-sipu lalu ketika si nenek tidak melihat ke arahnya
dia mencibirkan bibirnya.
Setan Ngompol mendekati Sinto Gendeng dan bertanya. "Menurutku anak ini paling
bantar baru berusia dua belas tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi.
Wasiat Malaikat
8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Memangnya bocah itu berapa usianya?"
"Kau tak perlu mengerti. Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau
mengerti cuma beser alias ngompol!" jawab Sinto Gendeng membentak saking
kesalnya. Dibentak begitu rupa dalam air Setan Ngompol melayang mundur dan unjukkan muka
sedih. Dalam keadaan seperti itu tetap saja dia kembali ngompol.
"Apa kataku! Sedih saja kau masih ngompol!" kata si nenek. Dia berpaling pada
Naga Kuning. "Kau tunggu apa lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang
aku cari itu!"
"Nek, di dasar telaga ini tersimpan berbagai benda rahasia. Belasan orang coba
mencarinya. Mereka bukan saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi
mereka hanya mencari kematian. Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau
cari." "Bocah geblek!" maki Sinto Gendeng. "Kau mau menipuku atau bagaimana"! Tadi kau
bilang tahu apa yang aku cari. Sekarang malah bertanya!"
"Maafkan saya Nek. Soalnya seperti saya bilang tadi ada beberapa benda sangat
berharga dicari orang di Telaga Gajahmungkur ini. Saya takut memberi keterangan
keliru...."
Setelah menggerendeng lebih dulu baru si nenek memberi tahu.
"Aku mencari sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 212. Senjata ini tidak
bersarung. Bentuknya bergulung seperti ikat pinggang. Puluhan tahun lalu pedang
itu aku sembunyikan di satu tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu
harus segera kutemukan untuk mengobati muridku!"
"Maksudmu mengobati Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Naga Kuning.
"Betul!" jawab Sinto Gendeng. Lalu tidak sabaran dia berkata. "Ayo lekas kau
terangkan dimana pedang itu beradanya!"
"Naga Kuning," tiba-tiba Panji berkata. "Aku punya seorang sahabat, gadis
bernama Puti Andini. Berpakaian serba merah.... Katanya dia ke sini mau mencari
sesuatu. Sebuah batu...."
"Setan alas!" teriak Sinto Gendeng. "Gadis hantu siapa yang kau tanya! Jangan
berani bicara memotong ucapan orang! Kau tahu aku tidak suka kau ikut ke tempat
ini! Kalau bukan gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap...."
"Sinto! Jangan membentak terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing
terus!" Setan Ngompol berkata.
Tadinya si nenek juga hendak mendamprat kakek satu ini. Tapi dia akhirnya
berpaling pada Naga Kuning dan berkata. "Kau masih belum mau bicara mengatakan
di mana pedang sakti itu"!"
Naga Kuning menghela napas dalam. Wajahnya tampak murung.
"Nek, sebenarnya kau datang terlambat...."
Mata Sinto Gendeng membeliak. Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. Setan
Ngompol yang merasa tegang mendengar percakapan kedua prang itu diam-diam
kembali terkencing di celana.
"Bocah setan! Apa kau bilang"! Aku terlambat" Memangnya pedang sakti itu sudah
diambil orang lain" Siapa"!"
* * * Wasiat Malaikat
9 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA Senjata itu masih ada dalam telaga ini, Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi
berada di perut naga kembar yang betina itu...." Menerangkan Naga Kuning seraya
menunjuk pada naga kuning betina yang mendekam di kejauhan.
Sinto Gendeng menatap sejurus ke arah naga betina. "Aku tidak percaya. Bagaimana
pedang itu bisa berada dalam perut naga. Mana ada ular doyan pedang!"
"Kau betul Sinto," menimpali Setan Ngompol. "Bocah ini hendak menipu kita!"
"Nenek Sinto, kau tahu siapa diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas
padamu. Dua kali dengan ini kau menolong diri saya. Walau cuma seorang tua
bangka bertampang bocah buruk tapi saya bukan bangsa manusia yang tidak mengerti
budi orang. Saya sudah memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum dapat saya
balas namun saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu banyak di
tempat ini. Bukan mustahil sebentar lagi telaga ini akan amblas musnah. Lebih baik kalian
cepat-cepat pergi dari sini...."
"Sebelum aku menemukan pedang itu aku tidak akan keluar dari Telaga Gajahmungkur
ini!" jawab Sinto Gendeng. "Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru ngambek! Apa
yang barusan kau bilang tidak masuk akal...."
"Nek, kau hidup sudah puluhan tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama Setan
Ngompol ini pasti juga sudah lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba
persilatan. Saya jauh lebih tua dari kalian. Apa di usia kalian yang begini tua
masih tidak menyadari kalau hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal"
Bahwa untuk menghadapi semua yang tidak masuk akal itu manusia harus punya
seribu akal" Satu contoh, kita manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air
begini dalam, apa masuk akal"!
Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah manusia setengah roh. Sepasang naga
kembar bukan ular besar biasa. Di luar langit masih ada langit lain. Di luar
akal masih ada akal lain! Siapa berani melupakan kekuasaan Gusti Allah"!"
Walau jadi terdiam mendengar ucapan Naga Kuning tapi tak urung Sinto Gendeng
tetap saja unjukkan wajah cemberut.
"Nek," kata Naga Kuning lagi. "Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang
sakti bergulung itu ditelan oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci
212. Ada seorang gadis cantik bernama Puti Andini ikut ditelan naga dan kini
mendekam di dalam perut binatang jejadian itu!"
Sinto Gendeng keluarkan seruan tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata
melotot sementara Setan Ngompol lag Magi terkencing karena kaget mendengar
keterangan si bocah yang mengejutkan, sementara itu Panji menjadi pucat pasi.
"Puti Andini.... Puti...."
Pemuda ini menyebut nama si gadis berulang kali.
"Kalau keteranganmu betul, apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pedang
yang ada dalam perut naga itu...."
"Juga menolong gadis yang kau bilang cantik itu!" ujar Setan Ngompol. Lalu dia
berkata pada Sinto Gendeng. "Turut ceritamu bukankah gadis itu yang kau katakan
sebagai cucu Sukat Tandika, bekas kekasihmu di masa muda?"
Wasiat Malaikat
10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kembali Sinto Gendeng unjukkan muka cemberut. "Urusan utama ku mendapatkan
Pedang Naga Suci 212. Soal cucu Tua Gila itu kalau memang bisa kutolong akan
kulakukan. Tapi jika orang ditelan ular menurutmu apa masih bisa hidup?"
"Ah, menyedihkan sekali kalau gadis yang katanya cantik itu sampai menemui ajal
ditelan ular..." kata Setan Ngompol pula. "Naga Kuning, kau pasti tahu caranya
bagaimana mendapatkan pedang dan menyelamatkan gadis itu." . "Naga Kuning, kau
harus menolong kami!" ujar Panji.
"Saya tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu...."
"Kami tidak punya waktu lama. Selain hanya bisa bertahan sampai tengah malam
nanti, juga muridku perlu cepat disembuhkan. Satu peristiwa besar yang menebar
nyawa dan darah agaknya akan terjadi di Gajahmungkur ini.... Kami harus bergerak
cepat sebelum orang-orang Lembah Akhirat menimbulkan bencana lebih besar...."
"Naga itu takut dengan air kencing!" berkata Panji. "Bagaimana kalau kalian
berdua mengguyur-nya dengan air larangan itu. Begitu dia mampus kita bedol
perutnya!"
"Kau betul Panji!" ujar Sinto Gendeng pertama kali menyetujui ucapan si pemuda.
"Setan Ngompol! Ayo lekas siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga
betina itu!" kata Sinto Gendeng.
"Nenek Sinto dan Kakek Setan Ngompol, naga itu bukan binatang biasa. Air
larangan memang bisa membunuhnya. Namun kalau dia mati setahuku tubuhnya akan
lenyap berubah menjadi pasir kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir
bersama rohnya dia akan membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan gadis bernama
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puti Andini itu..."
Mendengar keterangan Naga Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga Kuning
menjadi bingung.
ini urusan gila! Pasti ada cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan
kulakukan untuk menolong muridku...."
"Seandainya pedang itu sudah kau dapat dan Pendekar 212 berhasil disembuhkan,
lalu apa yang akan kau lakukan dengan Pedang Naga Suci 212 itu Nek?"
Pertanyaan Naga Kuning yang tiba-tiba itu membuat Sinto Gendeng sesaat terdiam.
Tapi tiba-tiba dia membentak marah yang membuat Setan Ngompol tersembur air
kencingnya. "Bocah setan! Aku sekarang tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau
menolongku. Karena kau khawatir aku akan mengambil dan menguasai pedang itu!"
"Saya memang ditugaskan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala
sesuatu yang ada di Telaga Gajahmungkur. Setelah sang Kiai meninggalkan telaga
tanggung jawab lebih besar berada di pundak saya...."
"Kau bocah tolol, tua bangka geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menghukummu,
mengapa kau masih perdulikan orang yang sudah tidak ada itu"!"
Menukas Sinto Gendeng.
'Nek, Kiai Gede menghukum saya karena memang saya bersalah. Walau dia tidak ada
lagi di tempat ini tapi beban tugas yang diberikannya tetap menjadi tanggung
jawab saya. Saya hanya ingin mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya untuk
menyembuhkan muridmu, siapa yang mau mencegah. Tetapi, setelah muridmu sembuh
kau masih ingin menguasai senjata mustika sakti tersebut maka itu berarti
menyalahi maksud dan tujuan, menyalahi adat dan aturan...."
Wasiat Malaikat
11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Bocah pintar ngomong!" semprot Sinto Gendeng. "Katamu dalam hidup ini manusia
harus memakai seribu akal! Apa salahnya kalau aku mengikuti kata-katamu itu dan
memiliki Pedang Naga Suci 212"! Dulu pun senjata itu sudah berada di
tanganku.... Daripada jatuh ke tangan orang jahat bukankah lebih baik aku yang menguasainya"!
Perduli setan dengan segala adat dan aturan. Maksud dan tujuan bisa berubah
sesuai keadaan! Itu baru namanya hidup memakai akal!"
Naga Kuning tersenyum. "Manusia memang harus memakai seribu akal dalam
menghadapi tantangan hidup. Tapi akal yang mana" Ada akal yang sepenuhnya datang
dari otak atau alam pikiran. Ada akal yang memadu otak dengan perasaan hati.
Lalu ada akal yang mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang
datang dari bawah pusar. Saya tidak tahu kau memakai akal yang mana Nek.... Jika
maksudmu mendapatkan Pedang Naga Suci bukan semata karena hendak menolong
muridmu, saya khawatir kau akan menghadapi urusan besar. Karena Kiai telah
menceritakan riwayat pedang itu. Senjata mustika itu hanya boleh dimiliki oleh
seseorang. Terserah orang itu nanti mau memberikan kepada siapa. Saya rasa kau
sudah tahu hal itu Nek, jadi tak perlu saya beberkan."
Dari wajah si nenek Naga Kuning maklum kalau Sinto Gendeng masih tidak puas.
Maka dia menunjuk ke atas ke arah dinding batu Liang Lahat. "Nek, sebelum kita
meneruskan bicara, ada baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding batu
itu...." "Perlu apa aku mengikuti nasihatmu! Membaca segala tulisan bobrok di atas batu
sialan!" bentak Sinto Gendeng.
Naga Kuning tidak perduli. Dia berenang ke atas. Setan Ngompol ikut berenang ke
atas karena sebelumnya memang dia sudah membaca sedikit rangkaian tulisan di
atas batu itu. Sesampainya di atas dan melihat Sinto Gendeng masih tetap berada
di bawah sana, Naga Kuning berseru.
"Nek, jika kau tak mau membaca sendiri tulisan di batu ini, biaraku bacakan dan
kau silahkan pasang kuping mendengarkan!"
Lalu Naga Kuning membaca keras-keras rangkaian tulisan yang ada di batu.
LIANG LAHAT Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah
Namun mengapa manusia menjadi lupa
Bersikap sombong membusung dada
Bersikap angkuh besar kepala
insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa Tapi mengapa insan berani
menantang Sang Pencipta Berani tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi
jujur Wasiat Malaikat
12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa
tapi serakah! Liang lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi
tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar
desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran Yang kuasa dan Sang
Pencipta adalah tempat bertanya, tempat meminta Adakah manusia bertanya dengan
segala kebersihan hati" Adakah insan meminta dengan kejujuran jiwa....
Naga kuning belum sempat mengakhiri membaca bait-bait tulisan yang ada di atas
batu. Masih tertinggal satu bait lagi. Namun Sinto Gendeng yang merasa semua
yang dibacakan si bocah sengaja untuk menyindir dirinya, kembali menjadi marah
dan membentak. "Naga Kuning! Kau boleh membaca tulisan itu sampai seribu kali. Mulai dari pagi
sampai pagi lagi tujuh hari tujuh malam! Jangan harap aku akan terpengaruh!
Kalau saja kau. bukan orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku,
sudah dari tadi-tadi kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan
kulakukan nanti dengan Pedang Naga Suci 212 adalah urusanku sendiri! Jika kau
coba menghalangi aku terpaksa akan melupakan segala macam budi...."
"Kalau memang begitu Nek, urusan lebih baik diselesaikan sekarang sebelum
semuanya menjadi kapiran! Saya akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu!
Kalaupun kau berhasil mendapatkan pertama kali, saya bersumpah untuk
merampasnya!"
Merasa ditantang marahlah Sinto Gendeng. Dia tidak perduli lagi siapa adanya
Naga Kuning. Melihat ketegangan yang terjadi Setan Ngompol sudah ter-kencing-
kencing. Dia berusaha mencegah terjadinya bentrokan namun saat itu didahului
satu pekikan keras nenek sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah si anak.
"Bocah Setan! Aku tidak meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi
adalah tolol dan kurang ajar kalau kau mencoba menghalangiku!"
Tangan kanan si nenek bergerak ke arah kepala.
Setan Ngompol maklum apa yang dilakukan si nenek. Cepat-cepat dia tekap perutnya
sebelah bawah. Panji yang juga sudah bisa memperkirakan apa yang hendak
diperbuat Sinto Gendeng segera berseru. "Nek! Jangan serang anak itu! Kita
memerlukan dia!" Yang dikhawatirkan pemuda ini adalah kalau dia sampai
kehilangan jejak Puti Andini.
Namun Sinto Gendeng yang sudah khilaf karena nekad dan marah gerakkan tangannya.
Dua tusuk konde perak laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya melesat
berkilauan di dalam air. Tusuk konde pertama mencari sasaran tepat di mata kiri
si bocah, satunya lagi mengarah dada kiri tepat di jurusan jantung. Jelas Sinto
Gendeng bertekad menghabisi anak ini!
Lima tusuk konde yang selalu menancap di kepala Sinto Gendeng bukanlah tusuk
konde biasa karena merupakan senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun
mematikan. Kini dua dari lima tusuk konde itu dipakai untuk menyerang dan
membunuh Naga Kuning.
Wasiat Malaikat
13 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Naga Kuning yang mendapat serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau
si nenek benar-benar hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak
sempat bergerak mengelak atau pun menangkis.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang
sesaat menerangi seantero dasar telaga. Air telaga yang dingin berubah menjadi
panas. Tusuk konde perak yang melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental ke atas
sewaktu ujung tusuk konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari sasaran!
Seseorang telah turun tangan menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang
mengarah jantung tidak mungkin dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip
menghantam telak dada kiri Naga Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak
senjata itu tidak mampu melukai apalagi menancap tembus dan menusuk sampai ke
jantung. Seolah menghantam satu permukaan licin dan atos tusuk konde itu
terpental ke samping.
"Kurang ajar! Bocah itu ternyata memang benar telah memiliki ilmu lumba-lumba
putih yang membuat tubuhnya licin seperti kulit ikan!" mengomel Sinto Gendeng.
"Tapi siapa yang barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya.
Padahal aku tahu betul kedua mata anak ini adalah dua titik terlemah segala
kesaktian yang dimilikinya!"
Sinto Gendeng memandang berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik
berapi-api. Rahangnya menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam
marahnya dia melihat dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua
orang itu maka meledaklah dampratannya.
* * * Wasiat Malaikat
14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT Sebelum kita melanjutkan apa yang terjadi di dasar Telaga Gajahmungkur mari kita
ikuti dulu apa yang berlangsung di salah satu tepian telaga.
Setelah gurunya Eyang Sinto Gendeng dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga
bersama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tan if,
di tepi telaga hanya tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng berdua dengan Ratu
Duyung. Untuk beberapa lama kedua orang ini hanya berdiam diri. Sesekali Wiro
melirik. Gadis di sebelahnya dilihatnya memandang ke arah telaga terus-terusan.
Murid Sinto Gendeng ini mendehem beberapa kali lalu membuka pembicaraan dengan
bertanya. "Menurutmu apakah guruku akan berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu?"
"Kau khawatir mereka gagal dan kau tidak bisa ditolong?" Ratu Duyung malah balik
bertanya. "Soal diriku sudah nasib jadi begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang aku
khawatirkan adalah mendadak terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan aku tidak
bisa berbuat apa. Apalagi Kapak Naga Geni 212 milikku entah di mana beradanya.
Guruku pasti marah besar kalau...." Wiro tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang
dimiliki Ratu Duyung.
"Mana cermin saktimu. Mungkin kau bisa melihat melalui cermin itu di mana
beradanya Kapak Naga Geni 212.
Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian
dan pandangan mata ke permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin
bergetar. Wiro mendekat dan coba melihat. Tapi dia tidak melihat apa-apa dalam cermin itu.
"Kau melihat sesuatu Ratu..,?" bertanya Wiro.
"Cermin bergetar...." kata Ratu Duyung perlahan. , Wiro memperhatikan. Cermin
bulat itu memang tampak bergetar dalam pegangan gadis sakti bermata biru. "Ada
daya tolak dari satu kekuatan sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning.
Bergerak sangat cepat. Tidak jelas apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki
atau perempuan...."
"Maksudmu kalau itu adalah sosok manusia maka dia mengenakan pakaian serba
kuning?" "Mungkin.... Aku tak berani memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam
cermin. Aku tak bisa memantau lebih jauh...."
Wiro termenung sambil garuk-garuk kepala. "Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya
rig kau lihat dalam cermin adalah sosok orang berpakaian dan bercadar kuning.
Waktu terjadi pertempuran di teluk dia muncul menolong. Jangan-jangan senjata
itu ada padanya....'
"Aku menduga demikian. Kau tak usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang
aman...." "Aku tetap khawatir. Soalnya siapa bisa menduga sifat manusia.... Di luar bisa
saja baik. Di dalam mungkin penuh maksud tertentu...."
Ratu Duyung terdiam. Pandangan matanya masih terus ke arah telaga. Sejak
peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu dia selalu memendam rasa bersalah tak
berkeputusan. Walau sebelumnya masalah itu sempat mereka bicarakan dan Wiro telah menganggap
selesai namun di lubuk hati gadis ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit
Wasiat Malaikat
15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dilupakannya. Karena itu setiap Wiro mengatakan sesuatu dia seolah merasa bahwa
ucapan pemuda itu seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan
peristiwa lama.
Melihat sang Ratu berhening diri, diam-diam Wiro menduga mungkin gadis itu
tersinggung dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang jari-jari tangan kiri
Ratu Duyung, Wiro berkata. "Ratu, jangan kau merasa tersinggung. Segala ucapanku
polos belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri kita berdua atau apapun yang
pernah terjadi antara kita berdua...."
"Aku tahu..." jawab Ratu Duyung dengan suara setengah berbisik. "Tapi sulit
bagiku melenyapkan rasa bersalah dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu
bagaimana perasaanku terhadap diriku sendiri dan terhadap dirimu. Aku...."
Ratu Duyung tersendat. Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak
basah. Wiro meremas jari-jari tangan gadis itu. Malah dengan tangannya yang lain
dia merangkul bahu sang Ratu seraya berbisik.
"Ratu, jangan menangis...."
"Kalau tidak menangis rasanya hati ini belum lega Wiro. Dada ini serasa sesak
berkepanjangan. Tekanan batin mengikuti kemana pun aku pergi...."
"Kau gadis gagah. Kau mampu menyingkirkan semua itu...."
"Aku manusia biasa. Manusia biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain...."
"Jangan menyalahi dirimu. Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau adalah kau dan aku
senang serta bangga melihat kau apa adanya...."
"Betul ucapanmu itu Wiro?" tanya Ratu Duyung seraya menatap dalam-dalam ke mata
Pendekar 212. Dua pasang mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua
jantung berdegup penuh cinta.
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
Entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah tenggelam
dalam pelukan mesra.
"Wiro..." bisik Ratu Duyung sambil membelai kuduk pemuda itu.
"Hemmm...." Wiro bergumam.
"Seringkali rasa bahagia seperti yang kualami saat ini menipu diriku sendiri.
Membuat aku lupa siapa diriku sebenarnya'...."
"Bukankah kukatakan tadi kau adalah kau. Dan aku bangga melihat kau apa
adanya..." kata Pendekar 212 balas membelai punggung Ratu Duyung dengan usapan
jari-jari tangan yang lembut. Ratu Duyung pejamkan kedua matanya. Wajahnya
disandarkan di dada kiri Wiro. "Aku suka mendengar kata-katamu itu Wiro. Tapi
aku sadar hatiku tak bisa ditipu oleh jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak
pula dapat ditipu oleh suara hati.
Sesuatu i di lubuk hati ini mendekam sejak lama, tak kuasa aku utarakan. Bahkan
mungkin terpaksa harus ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh". Lebih dalam dari
pusat bumi. Lebih jauh dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang
tetap hidup dalam alam-i ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu
dengan alammu...."
Wiro mendekap pipi Ratu Duyung dengan dua tangannya lalu mengangkat kepala gadis
itu. Se-pasang mata biru Ratu Duyung tampak berkaca-kaca. Walau basah oleh air
mata tapi di balik segala kedukaan yang ada masih terbayang cahaya bahagia dan
mesra. Sudah sejak lama gadis ini membayangkan betapa indah dan mesranya jika berada
dalam pelukan Wiro. Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan. Namun sampai
berapa lama kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya"
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasiat Malaikat
16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Tuhan.... Jangan kau pupus dan sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku...."
Suara yang muncul di lubuk hati Ratu Duyung lebih merupakan bayangan ketakutan
daripada permintaan. Lehernya yang putih jenjang bergerak-gerak pertanda dia
berusaha menahan gelora hatinya. Wiro merunduk. Dengan permukaan bibirnya
ditelusurinya leher dan tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu
Duyung merasakan kehangatan yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat
terbayang kembali olehnya peristiwa di Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-
dua berada di atas ketiduran tanpa sehelai benang pun menutupi aurat.
Ratu Duyung mendesah halus. Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba mengencang
seolah Wiro tak akan dilepaskannya untuk selama-lamanya. Wiro merasakan dada
basah keringatan berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir dia terlupa
dan hendak membenamkan wajahnya di belahan dada gadis itu tiba-tiba Wiro ingat,
perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu Duyung memerah.
Sepasang matanya terpejam, bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping
hidungnya bergerak-gerak.
Wiro ingin sekali mengecup bibir yang bagus dan basah itu. Namun pemuda ini
masih dapat menahan diri. Dalam gelora yang membakar darahnya dia masih ingat
untuk tidak berbuat lebih jauh. Jangan sampai dorongan hatinya mempengaruhi
jalan pikiran. "Ratu," bisik Wiro di antara desah napasnya yang panas clan menderu. "Tadi kau
mengatakan alammu masih berbeda dengan alamku. Padahal setelah peristiwa di Puri
itu, bukankah kutukan yang menimpa dirimu telah sirna" Kau bukan lagi makhluk
setengah manusia setengah ikan" Kau benar-benar telah menjadi seorang anak
manusia, seorang gadis dengan segala kecantikan, keanggunan dan kesucian yang
ada." Sepasang mata Ratu Duyung yang basah masih terpejam. Dua tangannya masih
merangkul lembut punggung dan belakang kepala pemuda itu. "Kau betul. Diriku dan
juga diri semua anak buahku telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu.
Namun dalam kebahagiaan itu aku juga menyadari. Sekian lama hidup di dasar
samudera dalam alam yang berbeda telah menjadikan diriku bersatu men-darah
daging dengan alam yang serba aneh itu. Membuat diriku asing di tengah alammu
walau wujud diriku tidak beda dengan manusia lainnya. Aku merasa diri ini tidak
punya tempat dalam dunia ini...."
"Itu hanya perasaanmu saja Ratu. Perlahan-lahan tapi pasti kau akan terbiasa.
Kau kelak akan merasakan betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala
masalahnya baik suka maupun duka..."
Ratu Duyung gelengkan kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah
barisan bulu matanya yang panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada
ucapan yang sanggup dikeluarkannya. Hanya suara hatinya yang berkata dan tak
mungkin terdengar oleh Wiro. "Kau tidak tahu Wiro, bukan hidup di alammu itu
yang menakutkan diriku. Tapi hidup tanpa dirimu di sampingku yang membuat aku
seolah merasa mati dalam hidup ini.
Aku boleh tahu besarnya kasih sayang kecintaanku padamu. Tapi aku tidak tahu
apakah kau memiliki dan berapa besarnya kasih sayang dan rasa cintamu
terhadapku. Yang aku tahu adalah aku tak bakal dapat memiliki dirimu. Ini
seperti sudah menjadi takdir. Kau tak akan pernah menjadi milikku. Hati ini
tahu, perasaan ini-mengerti, ada seorang iain yang kau kasihi dan kau cintai
dengan seputih hatimu. Wiro, setinggi gunung kasih sayangku, sedalam lautan
cintaku padamu tapi aku sadar bahwa aku hanya akan meratap dalam kebahagiaanmu
bersama gadis lain itu...."
Wasiat Malaikat
17 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Ratu Duyung berusaha menahan sengguk tangis hingga bahunya terguncang-guncang.
Wiro peluk gadis ini erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu Duyung menyentuh
dadanya. "Ratu, kau harus berani menghadapi kenyataan. Hidup yang sebenarnya hidup adalah
hidup di alam ini, bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan
berdampingan dalam suka maupun susah...."
Ratu Duyung angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap lembut
penuh mesra. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. "Semua yang kau ucapkan
itu pancaran suara hatimu yang tulus. Tapi Wiro. Tidak mungkin kita bersama-
sama, berjalan berdampingan dalam suka maupun susah. Karena aku tahu kau bukan
milikku. Ada gadis lain yang lebih baik dan cocok untuk dirimu...."
Wiro hendak menggaruk kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu tapi si
gadis tersenyum dan pegangi tangan sang pendekar.
"Kau tahu hal itu Wiro. Kau tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang aku pinta
saat ini hanyalah izinkan diri ini sedikit lebih lama berada dalam keadaan
seperti ini, bermesra berdua-dua dengan dirimu. Karena mungkin ini kesempatanku
yang pertama dan yang terakhir...."
"Eh, memangnya kau mau ke mana" Mau melakukan apa?" tanya Wiro.
"Kau bukan milikku tapi milik gadis lain. Cintamu bukan milikku tapi milik
seorang lain. Kau harus mengakui itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadis
itu...." "Aku...." Wiro gelengkan kepala dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan
kanannya. "Kalau kau sudah tahu.... Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang
pernah menyukai dan mencintai seorang gadis...."
Ratu Duyung pejamkan sepasang matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah
ada sembilu menyayat perih. Bibirnya bergetar.
"Tapi aku hanya bertepuk sebelah tangan," terdengar kembali suara Wiro. "Aku
senang orang tak suka. Aku sayang orang tak cinta...."
Ratu Duyung perlahan-lahan buka kedua matanya. Gadis ini berusaha menguatkan
hatinya untuk bisa berucap.
"Wiro, cinta tak selalu seperti apa yang kita lihat. Bagi seorang gadis cinta
yang ada dalam hatinya terhadap seorang pemuda tidak ubahnya seperti gunung es
yang kelihatan hanya secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat
besar disimpan dan disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam laut hati
sanubarinya. Dipeliharanya baik-baik...."
"Ah, aku tidak mengerti..." ujar Wiro. Kembali dia hendak menggaruk kepala tapi
lagi-lagi tangannya dipegang oleh Ratu Duyung.
"Gila! Kepalaku mau pecah rasanya karena gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan
peganganmu Ratu."
Ratu Duyung tersenyum. Sambil terus pegangi tangan Wiro dia berkata.
"Sebagian dari keindahan cinta justru adalah pada ketidakmengertian itu
Wiro...," Perlahan-lahan Ratu Duyung angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 212.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi kelagapan ketika bibir gadis itu menyentuh
permukaan bibirnya. Tapi kegelapan si pemuda hanya sebentar. Dilain saat dua
insan ini tenggelam dalam kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Wasiat Malaikat
18 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Wiro..." suara Ratu Duyung bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan
ke pundak si pemuda dan sepasang matanya melirik ke arah timur, ke balik
serumpunan semak belukar. "Sudah pergi.... Dia sudah pergi.... Pasti hatinya
akan tersayat perih menyaksikan aku dan pemuda yang dicintainya dalam keadaan
begini rupa. Apakah dia bisa mengerti, apakah gadis itu mau memahami. Bahwa
hanya ini kebahagiaan hidup yang bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku
hanya meminta secuil kebahagiaan ini. Kalau ini satu dosa semoga kau mau
memaafkan dan Tuhan mau mengampuni. Sahabat, aku tidak akan menodai diriku dan
diri pemuda yang kau kasihi. Kau akan mendapatkan nya sebagai seorang kekasih
yang bersih. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua...."
"Ratu, aku mendengar seperti kau bicara sendirian..." kata Wiro seraya mendekap
wajah Ratu Duyung dengan dua tangannya,
"Wiro, kita sudah terlalu lama di tempat ini. Kau tahu kawasan ini kurang amah.
Orang-orang Lembah Akhirat bisa muncul setiap saat. Lagipula aku punya firasat
ada sesuatu bakal terjadi di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang
itu masuk ke dalam telaga...."
"Tap! Eyang Sinto Gendeng meminta kita berjaga-jaga di sini...."
"Jika sesuatu akan terjadi pasti akan terjadi walau kita berjaga-jaga
bagaimanapun. Mari...." Ratu Duyung memegang lengan Pendekar 212, siap mengajaknya terjun ke
dalam air. "Ratu, kau tahu aku tak mungkin masuk ke dalam air sepertimu, Kecuali kau
mendekap dan menyirap diriku seperti yang kau lakukan terhadap orang-orang itu."
"Hemmm...." Sang Ratu meragu sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Wiro
yakni memberikan ilmu kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap,
mungkin lain yang akan terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa
diri. "Guruku ada di dalam telaga. Dia pasti marah besar kalau diketahuinya aku ikut
masuk. Padahal dia sudah berpesan agar kita tetap berada di sini untuk berjaga-
jaga." "Aku tahu sifat gurumu. Gampang marah gampang pula baiknya."
"Tapi Ratu mungkin bahaya lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga
sana. Walau aku masih mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan juga memiliki ilmu
tidur yang diberikan Si Raja Penidur tapi aku khawatir...."
"Celaka bisa terjadi di mana-mana. Kalau dihadang, malapetaka malah tak datang.
Kalau lengah celaka malah jatuh menimpa."
Wiro terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu.
"Apa yang kau pikirkan Wiro" Kau takut mati tenggelam dalam air" ingat kejadian
setelah geger besar di Pangandaran" Kau dan aku naik kereta kuda. La lu kita
sama-sama masuk ke dalam samudera...."
"Ah!" Wiro gerakkan tangan kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu Duyung lalu
menggaruk kepala sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu Duyung
menarik tangannya untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga
Gajahmungkur. Wasiat Malaikat
19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA Ketika Wiro dan Ratu Duyung bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke
balik serumpunan semak belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-
mudi itu berada. Orang ini mengenakan pakaian biru, berambut panjang pirang. Bau
tubuh dan pakaiannya- yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang
membuat Ratu buyung menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari
tempat itu. Wiro sendiri karena telah hilang kesaktiannya tidak mampu mencium
bau harum tersebut. Dari bau wangi tersebut Ratu Duyung sudah bisa memperkirakan
siapa adanya orang tersebut.
Sambil terus bercakap-cakap dengan Wiro, Ratu Duyung menyelidik, Memandang
berkeliling akhirnya dia mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik
serumpunan semak belukar. Rasa berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu
Duyung. Tapi sebagai manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh perasaan,
apalagi perasaan seorang perempuan yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa
ingin memiliki seseorang, maka Ratu Duyung tidak memberitahukan kehadiran orang
itu pada Wiro. Dia juga tak mau memutus percakapan dan buru-buru pergi dari
tempat itu. Apa salahnya kalau saat itu dia boleh mereguk sedikit kebahagiaan,
berdua-dua bermesraan dengan orang kepada siapa dia berhutang budi dan kepada
siapa cinta kasihnya tercurah.
Lain halnya dengan orang yang bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain
Bidadari Angin Timur adanya. Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar
laksana dipanggang menyaksikan Wiro bermesraan dengan Ratu Duyung. Jari-jari
tangannya terkepal dan dua matanya menyorotkan sinar marah penuh cemburu! Kalau
dia tidak berpikir panjang saat itu juga mau dia melompat keluar dan melabrak
kedua orang itu.
Tetapi begitu pikiran jernih memasuki kepalanya maka perlahan-lahan gadis ini
bisa menguasai dirinya. Malah diam-diam dia menyadari mungkin semua itu terjadi
karena kesalahannya sendiri. Selama ini dia mengambil sikap curiga dan selalu
menjauhi Wiro. Apa yang harus disesalinya kalau kini pemuda itu jatuh ke tangan
gadis lain" Namun bagaimanapun dia ingin berpikir jernih, rasa mementingkan diri
sendiri tidak mungkin dipupusnya sama sekali.
"Ratu Duyung, ternyata kau adalah gadis gampangan. Dan kau Wiro, kau tak lebih
dari seorang pemuda mata keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan
tega melukai hati setiap gadis..."
Bidadari Angin timur bersimpuh di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang
tangannya yang berjari-jari halus. "Apa yang harus aku lakukan" Menangis"
Berteriak marah! Atau lebih baik kupukul sendiri kepala ini hingga pecah"! Aku
mencarinya ke teluk.
Dari kabar yang kudapat katanya dia dalam bahaya. Ternyata kini dia berada di
tepi telaga. Bercinta dengan Ratu murahan itu!"
Bidadari Angin Timur turunkan kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah.
Dua matanya laksana kobaran api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan
lain. Tak sanggup dia menyaksikan bagaimana Ratu Duyung dan Wiro Sableng saling
berkecupan. "Mesum.... Hidup ini ternyata penuh kemesuman!" jerit Bidadari Angin Timur.
Tinjunya kiri kanan dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba dia mendengar suara
sesuatu masuk ke dalam telaga. Ketika dia menoleh Ratu Duyung dan Pendekar 212
Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu.
Wasia t Malai kat 20 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Mereka masuk ke dalam telaga. Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan.
Jangan-jangan Ratu itu memiliki istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua
bisa berbuat apa saja. Aku harus masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak
mungkin.... Walau aku bisa berenang tak mungkin mampu bertahan lama dalam telaga
itu!" Kembali si gadis dibuncah perasaan marah dan cemburu. Dia melangkah
mondar-mandir. Dia berpikir keras apa yang harus dilakukannya agar kedua orang
itu segera keluar dari dalam telaga. "Aku tak mungkin membakar telaga ini! Aku
juga tak punya racun untuk ditebar hingga mereka sesak napas dan terpaksa keluar
dari dalam air. Apa yang harus kulakukan! Apa!!!"
Selagi dia melangkah mondar-mandir di tepi telaga seperti itu tiba-tiba saja
sesosok tubuh berjubah hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan
berkuku panjang.
Lalu dia mendengar suara tawa cekikikan.
"Gadis cantik berlesung pipit! Kita bertemu lagi! Hik... hik... hik!"
Bidadari Angin Timur angkat kepalanya. Dia melihat satu wajah bundar putih penuh
keriput. Rambut putih yang dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini tergerai lepas
riap-riapan. Orang ini semakin jauh lebih tua daripada ketika pertama kali
ditemuinya. "Nenek Sika Sure jelantik..." ujar Bidadari Angin Timur.
Si nenek tertawa panjang. "Aku senang kau masih ingat namaku. Padahal aku tak
pernah tahu siapa namamu! Hik..; hik... hik!"
"Nenek Sika aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke Telaga
Gajahmungkur ini?" bertanya si gadis.
"Justru aku yang ingin bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini!
Hik... hik... hik! Dari cahaya matamu, dari rona air mukamu aku menduga keras
kau berada dalam gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul
kan..."! Hik... hik... hik!"
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Gadis ini cuma menatap dengan tersenyum
pada si nenek. "Ah, kau tersenyum. Sepasang lesung pipit itu masih ada di kedua pipimu. Anakku,
kau ingat pertemuan kita pertama kali, dulu. Aku menemuimu, dalam keadaan
menangis berurai air mata. Sekarang pun kulihat sepasang matamu yang bagus basah
oleh air mata. Wajahmu menunjukkan adanya pukulan hati yang sangat berat. Sinar matamu seolah
menyembunyikan satu dendam kesumat. Anakku, apakah ini menyangkut persoalan dulu
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga" Masih ada hubungannya dengan pemuda yang kau bilang bernama Wiro Sableng
bergelar Pendekar 212 itu" (Mengenal pertemuan pertama Sika Sure jelantik dengan
Bidadari Angin Timur harap lihat Episode Asmara Darah Tua Gila) Bidadari Angin
Timur mengangguk perlahan. "Kau tentu masih ingat Nek, waktu itu kukatakan terus
terang padamu ada satu ganjalan yang membuat aku tak mau berterus terang pada
pemuda itu bahwa aku mencintainya. Aku mengambil sikap rnenjauhinya. Aku tak mau
menjadi bahan permainan cinta murahnya. Karena aku tahu banyak gadis cantik
mengelilinginya. Semua menaruh hati pada pemuda itu. Dan barusan saja aku
melihat dia bercinta bermesra dengan salah satu dari gadis itu. Di depan mataku.
Mereka berpegangan tangan, saling berangkulan. Ma lah aku saksikan sendiri
mereka...." Si gadis tidak sanggup lanjutkan ucapannya. Kepalanya digelengkan
beberapa kali. Air mata menggelinding jatuh ke pipinya yang merah.
Sika Sure Jelantik usap kepala Bidadari Angin Timur. Seperti diketahui nenek
satu ini adalah seorang berhati keras dan kejam. Namun bagaimanapun juga dia
adalah seorang Wasiat Malaikat
21 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
perempuan yang ikut merasa pilu melihat kesedihan yang diderita perempuan iain.
Apalagi terhadap Bidadari Angin Timur yang sudah dianggapnya sebagai cucu atau
anak sendiri. "Anakku, seperti yang aku bilang dulu. Kau menanam pohon beracun dalam tubuhmu
sendiri. Semakin jauh hari berlalu semakin tinggi pohon itu mencuat ke kepalamu
dan semakin dalam akarnya menghunjam ke kakimu. Kau harus segera mengambil
keputusan. Menemui pemuda itu dan mengatakan terus terang bahwa kau
mencintainya...."
"Aku tak sanggup melakukan itu Nek. Tidak ada seorang gadis pun yang mau berbuat
begitu bagaimanapun besar cintanya terhadap seorang pemuda..."
"Kalau begitu kau mungkin terpaksa harus meninggalkannya...."
"Itu sama saja dengan bunuh diri!"
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. "Anakku, itulah kehebatan cinta! Bisa
membunuh orang secara pelan-pelan bahkan bisa secara cepat! Nasib diriku sebagai
contohnya. Sampai saat ini tanganku sudah gatal untuk membunuh bekas kekasihku
yang serong dimasa muda!
Tapi belum juga kesampaian!"
"Nek, kalau seandainya kau bertemu dengan dia dan dia meminta maaf dengan
setulus hati, bagaimana jawabmu"!"
"Pertanyaan gila sekali!" tukas Sika Sure Jelantik. "Dia memang pernah
Munculnya Ratu Siluman Darah 2 Dewa Arak 55 Perintah Maut Sepasang Pedang Iblis 21
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya : Bastian Tito Episode WASIAT MALAIKAT
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU Setan Ngompol pegang lengan nenek di sebelahnya seraya berkata. "Aku melihat ada
dinding batu di bawah sana. Mari kita selidiki...." sinenek yang bukan lain
adalah Sinto Gendeng guru Pendekar 212 langsung mengomel.
"Aku kemari mencari Pedang Naga Suci 212! Buat mengobati muridku yang sedang
kapiran! Bukan untuk menyelidiki segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa.
Sepasang naga kuning pasti berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa
jadi mangsa mereka!"
"Memang kita harus hati-hati," ikut bicara Panji. "Selain sepasang naga dan
Makhluk Api Liang Neraka bukan mustahil Kiai Gede Tapa Pamungkas memiliki
makhluk peliharaan lain...."
Ketiga orang tersebut saat itu berada dalam Telaga Gajahmungkur. Berkat ilmu
yang diberikan Ratu Duyung mereka bukan saja sanggup berenang sampai jauh ke
dasar telaga tapi luar biasanya juga mampu bernapas dan bicara dalam air tidak
beda seolah mereka berada di daratan terbuka.
Seperti diketahui sebagai penguasa salah satu kawasan laut selatan Ratu Duyung
memiliki berbagai kesaktian antara lain hidup di dalam air. Sehabis geger besar
di Pangandaran dia pernah membawa Wiro ke dasar laut. Karenanya tidak sulit
baginya untuk menyirap memberi kekuatan pada Sinto Gendeng, Panji dan Setan
Ngompol hingga ketiga orang ini mampu berada dalam air. Malah ilmunya jauh lebih
hebat dari yang dimiliki oleh tokoh rimba persilatan lainnya yakni Sika Sure
Jelantik. Nenek satu ini telah menolong dan memberikan ilmu serupa pada Puti
Andini, namun hanya berkekuatan selama 100 hari.
"Sinto, jangan kau menakut-nakuti aku. Nanti aku ngompol lagi!" berkata Setan
Ngompol yang sudah punya rasa tidak enak.
"Siapa menakuti tua bangka sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!"
teriak Sinto Gendeng.
Setan Ngompol lakukan apa yang dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh.
Begitu Setan Ngompol memperhatikan ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya
membentur satu sosok aneh bergelung yang bukan lain adalah naga kembar betina
peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu
masih berada di tepi telaga.
"Kau benar Sinto! Celaka kita bertiga!" kata Setan Ngompol. Kakek ini langsung
tekap bagian bawah perutnya. Tapi karena takut dia tak bisa menahan kencingnya.
Begitu air kencing si kakek mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar
suara menggemuruh. Air telaga menggelombang.
Naga betina yang memang sudah tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga,
segera bergerak menggeliat. Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan
keras yang membuat air telaga laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto
Gendeng, Setan Ngompol dan Panji hingga ketiga orang ini terpental beberapa
tombak. Naga betina ini siap menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah
melihat cairan kuning mengambang di hadapannya binatang ini keluarkan ringkikan
aneh dan panjang menggidikkan lalu bersurut menjauh.
"Ha... ha...! Naga itu takut melihat air kencingku!" kata Setan Ngompol tertawa
mengekeh sambil menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi suara tawanya serta
merta Wasiat Malaikat
1 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
lenyap dan berubah menjadi jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang
sebelumnya mendekam diam tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya lalu meluncur ke
arah tiga orang itu.
Kini bukan cuma Setan Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut.
Sinto Gendeng juga ikut basah kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya.
Cairan kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat
dan mencium air larangan yang keluar dari tubuh Setan Ngompol dan Sinto Gendeng,
naga jantan meringkik aneh dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.
Di dasar telaga untuk kesekian kalinya muncul suara menggemuruh disertai
goncangan keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi
pemandangan. "Nek! Nenek Sinto Gendeng!"
Tiba-tiba ada teriakan memanggil Sinto Gendeng.
"Edan! Siapa yang memanggil diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada
hantunya"!" ujar Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga masih
keruh. Si nenek tak bisa melihat dengan jelas.
"Suaranya seperti suara anak kecil!" kata Setan Ngompol seraya celingak-celinguk
ikut mencari. "Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul
berkeliaran dalam air"!"
Sinto Gendeng pentang dua matanya besar-besar.
"Nek! Saya di bawah sini!"
Setan Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih.
Begitu dia memandang ke bawah dia melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana
sebuah tonggak raksasa. Lalu pada bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu
sosok terpentang seolah menempel ke dalam batu. Setan Ngompol pegang lengan
Sinto Gendeng lalu menunjuk ke bawah sana. "Kau lihat dinding batu itu" Lihat di
sebelah bawahnya. Ada patung anak kecil!"
Saat itu air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang,
"itu bukan patung! Itu manusia!" ujar Sinto Gendeng. "Kalau patung mana mungkin
bisa bicara!"
"Kalau manusia mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak berg era k-g era k!
Aku baru yakin itu manusia kalau mendengar dia kentut!" Habis berkata begitu
Setan Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.
"Biar saya berenang ke bawah," berkata Panji.
"Ya, mari kita turun menyelidiki!" kata Sinto Gendeng yang jadi penasaran. Lalu
mendahului melesat ke bawah.
Sejarak lima tombak dari dasar telaga Sinto Gendeng keluarkan seruan yang
membuat Setan Ngompol kaget dan buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
"Astaga! Anak itu kiranya!"
"Heh, anak itu anak siapa"!" tanya Setan Ngompol.
Sinto Gendeng tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik
ke arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang Setan
Ngompol berhenti berenang karena dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang
tertera di dinding batu.
Wasiat Malaikat
2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Di sebelah atas tertulis besar kata-kata "Liang Lahat". Namun belum sempat dia
membaca seluruh tulisan yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu
tiba-tiba di bawah sana Sinto Gendeng berteriak memanggil. Si kakek segera
berenang ke dasar telaga.
"Kau lihat sendiri! Yang ada dalam batu itu manusia atau patung!" kata Sinto
Gendeng begitu Setan Ngompol sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke
arah yang ditunjuk Sinto Gendeng. "Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya
bisa kedap kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam
dinding batu!"
"Dia memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal
betul anak ini!" kata Sinto Gendeng pula. "Naga Kuning, aku tahu kawasan ini ada
di bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau per-
lihatkan padaku saat ini!"
Anak kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab.
"Ini bukan permainan. Saya dihukum pendam ke dalam batu oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas."
"Heh, apa orang tua itu masih ada di sekitar sini?" bertanya Sinto Gendeng
sambil melirik berkeliling.
"Dia sudah pergi. Tidak tahu pergi ke mana!"
"Ceritakan apa yang terjadi atas dirimu! Mengapa kau dihukum begini rupa"!"
"Nanti akan saya jelaskan Nek. Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya dari
dalam batu ini."
"Kalau kesalahanmu tidak besar pasti hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau
lakukan bocah sial" Kau mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana" Hik...
hik... hik!"
"Sinto! Jangari membanyol! Aku bisa kencing!" berkata Setan Ngompol.
"Tubuhnya tak bisa bergerak. Mungkin dia ditotok Nek," kata Panji pula.
"Hemmm.... Kalau benar kau ditotok cepat beri tahu bagian tubuhmu sebelah mana
yang ditotok agar aku bisa menolong," kata Sinto Gendeng.
"Saya tidak ditotok. Tapi dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas
dari pendaman..." menerangkan Naga Kuning.
"Kalau begitu biar aku tarik tangan dan kakimu!" kata Sinto Gendeng pula. Lalu
nenek ini cekal tangan kiri dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali
menarik pasti anak itu bisa dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi sampai
mukanya mengerenyit keriputan dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak
bisa dikeluarkan. Tubuh anak ini menempel laksana jadi satu dengan dinding batu
Liang Lahat. Sinto Gendeng tak mau mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh Naga
Kuning tidak bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari bagian tubuh
bawah sebelah belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali
disertai suara merepet berkepanjangan. Lalu air laut di sekitar situ mendadak
menjadi bau: "Sialan kau Sinto! Kau kentut ya!" teriak Setan Ngompol seraya berenang menjauh
sedang Panji tutup hidungnya dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan
tangan kanan untuk mendorong air di sekitarnya yang menjadi bau akibat kentut si
nenek. Di dinding batu Naga Kuning tertawa gelak-gelak.
Sebaliknya Sinto Gendeng hanya menyengir.
"Baru kentut saja kalian sudah kelabakan! Belum lagi menghadapi bahaya besar!"
kata si nenek pula.
"Nek...!" Naga Kuning ikut bersuara.
Wasiat Malaikat
3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Bocah sialan! Diam sajalah! Dan kau tua bangka tukang ngompol jangan diam saja!
Bantu aku mengeluarkan anak ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan pura-
pura jadi orang geblek! tarik pinggang anak ini!"
"Menurut penglihatanku anak ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda
yang menarik tubuhnya!" kata Setan Ngompol pula.
"Kau cuma bicara. Bantu saja. Tarik pinggangnya!" bentak Sinto Gendeng.
"Nek...."
"Kau! Nak - Nek.... Nak - Nek! Diam!" bentak Sinto Gendeng jengkel.
"Dengar dulu Nek.... Kakek ini benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa
mengeluarkan tubuh saya dari dalam dinding batu Liang Akhirat ini...."
"Kalau begitu nasibmu benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat!
Hik... hik... hik! Sudah! Aku hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di
dasar telaga ini!"
"Saya tahu apa yang kau cari. Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau
menolong akan saya katakan padamu!"
"Naga Kuning, kalau kau memang tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek
ini, mengapa kau tidak lekas mengatakan?" berkata Panji. Pemuda ini yang mulai
tahu sifat si nenek yang gampang naik darah berusaha membujuk, Sinto Gendeng
pelototkan mata.
"Hemmm.... Dulu aku menolongmu waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku tidak
mengharapkan pamrih. Tapi hari ini keadaan lain. Baik, aku akan menolongmu.
Sudah kulakukan. Tapi tidak bisa. Lalu apa lagi"!"
"Ada caranya Nek..." kata Naga Kuning pula.
"Coba kau bilang!"
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, Telaga Gajahmungkur dan segala apa yang telah
dibangun oleh sang Kiai di tempat ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat
termasuk Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Lahat, mempunyai satu
pantangan besar, Tidak boleh terkena air larangan. Semuanya bisa musnah!"
"Air larangan! Sebut saja air kencing!" tukas Sinto Gendeng sambil menyeringai
buruk. "Tapi air kencing itu tidak air kencing orang sembarangan Nek," ujar Naga
Kuning. "Hanya mempan kalau air kencingnya adalah air kencing orang yang telah berusia
lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan dan tujuh hari.... Air kencing temanmu
pemuda beranting-anting ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!"
"Ada-ada saja...!" ujar Setan Ngompol lalu tertawa terbahak-bahak dan tentu saja
sambil ngompol lagi. Sementara Panji hanya bisa melongo mendengar kata-kata Naga
Kuning itu. "Kau bicara panjang lebar. Tapi belum mengatakan bagaimana caranya kami
menolongmu!" kata Sinto Gendeng. "Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk
konde yang ada di kepalaku!" Si nenek langsung hendak mencabut dua buah tusuk
konde perak di kepalanya.
"Saya tahu tusuk konde itu sakti mandraguna. Bisa menembus batu gunung sebesar
apapun. Tapi kesaktiannya tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada
satu cara Nek. Tubuh saya hanya bisa bebas jika diguyur dengan air larangan!"
Wasiat Malaikat
4 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
* * * Wasiat Malaikat
5 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA Sinto gendeng pelototkan mata mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia
berpaling pada Setan Ngompol yang saat itu memandang melongo ke arahnya. Dua
kakek nenek ini lalu tertawa gelak-gelak sementara Panji diam-diam merasa tidak
enak. Dia tidak melihat ada hal yang lucu. Pemuda ini maklum kalau telaga itu
diselimuti berbagai macam keanehan yang terkadang mengandung keangkeran dan
sekaligus bahaya maut.
Karena tertawa begitu rupa Setan Ngompol dan Sinto Gendeng sama-sama terkencing-
kencing. Akibatnya Telaga Gajahmungkur kembali tercemar air larangan. Suara
menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang kembali menggoncang.
Sepasang naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan di telaga diselimuti
kegelapan. Begitu keadaan tenang dan air yang keruh jernih kembali Sinto Gendeng berkata.
"Gila! Masakan air kencing lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari
kekuatan tenaga dalam!"
"Nek, kau menyaksikan sendiri setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing
keadaan di sini laksana mau kiamat. Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga
ini laksana mau terjungkir balik!"
"Nek, saya rasa anak ini tidak bicara dusta..." berbisik Panji pada Sinto
Gendeng. Sinto Gendeng terdiam sejurus. "Naga Kuning, kalau memang air kencing yang bisa
membebaskan dirimu dari pendaman batu itu baiklah. Mari kita lihat! Setan
Ngompol cepat kau kencingi bocah itu!"
"Eh, mengapa aku"!" seru Setan Ngompol sambil memandang dengan sepasang matanya
yang jereng mendelik pada si nenek.
"Apa susahnya mengencingi anak itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak
persediaan air larangan! Sudah! Ayo kau kencingi dia! Hik... hik... hik!"
"Tunggu dulu!" Naga Kuning tiba-tiba berseru. "Yang mempan dan sanggup
membebaskan diri saya dari pendaman batu Liang Lahat ini hanyalah air kencing
perempuan yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air larangan itu harus jatuh langsung dari atas. Tidak boleh mengucur lewat
tubuh atau pakaian...."
"Nah... nah... nah!" Setan Ngompol berseru keras lalu tertawa gelak-gelak dan
kencing lagi. "Sinto! Berarti hanya kau yang bisa menolongnya!"
Nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu pen-tang wajah marah dan untuk beberapa
lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku tidak mau!" kata Sinto Gendeng akhirnya. "Kau cuma mau mengerjaiku!"
"Kalau tidak mau bocah itu tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda
yang kau cari itu.,." kata Setan Ngompol yang membuat Sinto Gendeng tambah
marah, "Perduli setan! Dulu aku sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa
mengira-ngira dimana letaknya! Aku pasti bisa mendapatkannya tanpa pertolongan
setan kecil ini!"
"Jangan tolol Sinto. Kejadian itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah.
Sampai tubuhmu bongkok lalu lempang lalu bongkok lagi belum tentu kau bisa
menemukan!" ujar Setan Ngompol.
W asi at Malaikat 6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Bocah setan! Kau benar-benar mengerjaiku!" kata Sinto Gendeng pada Naga Kuning
dengan mata melotot.
"Sinto! Pertolongan itu mudah sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan dirimu
di atas kepala anak itu. Lalu menyingsingkan kain bututmu, menungging sedikit
dan serrr.... Beres sudah!".
"Sialan kau Setan Ngompol! Kau bisa berkata begitu karena bukan kau yang
melakukan!" Menggerendeng Sinto Gendeng.
"Nek, untuk kebaikan mungkin sekali ini kau terpaksa mengalah..." berkata Panji.
Sambil terus mengomel panjang pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya
dia naik ke atas. "Aku peringatkan pada kalian semua!" kata Sinto Gendeng.
"Setan Ngompol! Kau lekas mendekam di belakang dinding batu sana! Jangan berani
mengintip auratku! Kau juga Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!"
"Sinto.... Sinto! Aurat gadis saja aku tidak doyan mengintip. Apalagi kayu hitam
lapuk yang sudah; dimakan rayap sepertimu!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak.
Namun dia melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik
dinding Liang La hat sambil tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan.
Panji berenang mengikuti di belakangnya. Sinto Gendeng kembali memaki panjang
pendek lalu bergerak mendekati dinding batu , tepat di atas kepala Naga Kuning.
"Bocah setan! Aku akan menolongmu! Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau
mengintip ke atas! Kalau itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan aku
korek dan seumur hidup kau akan terpendam dalam batu celaka itu!"
Naga Kuning mencibir.
"Nek, sepasang mata ini memang sudah puluhan tahun tidak melihat aurat
terlarang. Tapi kau tahu siapa diri saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat
terhadap orang yang hendak menolong"!" Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga
Cilik atau Naga Kecil ini sebenarnya adalah seorang kakek berusia jauh lebih tua
dari Sinto Gendeng atau Setan Ngompol.
"Sudah! Kau bocah tua bangka pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup
matamu!" Sinto Gendeng lalu tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke
dinding Liang Lahat tepat di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam
dinding batu itu.
Naga Kuning segera pejamkan ke dua matanya. Tapi setelah menunggu cukup lama
tidak terjadi apa-apa.
"Nek, kau masih berada di atas atau bagaimana"!" Naga Kuning bertanya.
"Diam! Aku masih di dekat dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya
membuyarkan perhatianku!" Terdengar bentakan Sinto Gendeng.
Naga Kuning tak berani berkata apa-apa lagi. Tapi setelah kembali menunggu cukup
lama dan tetap tak terjadi apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua matanya
dibuka. "Nek...."
"Tutup mulutmu! Tutup matamu! Atau kutusuk sampai kau buta!"
"Saya sudah menunggu lama! Tapi kau tidak kencing-kencing juga!" jawab Naga
Kuning. Walau sesaat tapi anak ini masih sempat melihat si nenek di atasnya,
menempel ke dinding batu menungging.
Wasiat Malaikat
7 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Dia berusaha menahan diri agar tidak tersenyum apalagi sampai tertawa cekikikan.
Dalam hati anak ini berkata, "Seumur hidup baru sekali ini aku melihat nenek-
nenek. Ternyata menyerupai ikan pepes kering kejemur matahari!"
Dari sebelah atas terdengar suara Sinto Gendeng.
"Aku sudah berusaha kencing. Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak
mau. Biasanya sebentar-sebentar aku kencing!"
Di balik dinding batu Liang Lahat Setan Ngompol dan Panji tertawa cekikikan
mendengar ucapan Sinto Gendeng tadi. Sebaliknya Sinto Gendeng keluarkan suara
menggerendeng lalu mengedan-edan sekuat tenaga agar bisa kencing hingga tubuhnya
tambah bungkuk hampir terlipat. Setelah berusaha setengah mati tiba-tiba
beerrrrr.... Naga Kuning merasa ada air hangat laksana mancur mengucur membasahi kepalanya.
Air hangat dan bau pesing ini turun ke muka terus membasahi tubuhnya. Si bocah
seperti mau muntah ketika ada air kencing membasahi mukanya mengalir ke bawah
hidung, turun ke bibirnya dan hampir tertelan!
Pada saat yang sama Naga Kuning merasa dinding batu dimana dia terpendam menjadi
panas. Tiba-tiba didahului suara menggemuruh seolah datang dari dasar telaga
yang membuat dinding batu Liang Lahat itu bergoncang keras, tubuh Naga kuning
terpental keluar. Ada hawa aneh mendera keras membuat Sinto Gendeng tersapu
sampai beberapa tombak.
"Hai! Apa yang terjadi"!" Terdengar suara Setan Ngompol berseru. Kakek ini dalam
keadaan terkencing-kencing keluar dari balik dinding batu bersama Panji. Wajah
mereka tampak pucat. Dilihatnya
Naga Kuning melayang dalam air sedang Sinto Gendeng tengah berenang mendekati
anak itu. "Bocah setan! Kau sudah kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda yang
kucari!" Tahu-tahu si nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang saat itu
tengah mengusap mukanya berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air kencing
Sinto Gendeng yang tadi ikut, membasahi mukanya.
"Nek, terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi
diri saya akan terpendam selamanya di Liang Lahat itu.... Sebelum saya memberi
keterangan saya mau bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan
saya yang patah"
Dan siapa kakek satu ini" Apa pacarmu yang baru"!"
Panji tersentak mendengar ucapan si bocah yang begitu berani. Setan Ngompol
sesaat melongo lalu tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya Sinto
Gendeng langsung naik darah.
"Bocah kurang ajar! Naga Kuning! Kau minta aku gebuk"!"
"Harap maafkan, bukan maksud saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja, itu
tanda saya suka padamu dan juga pada orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu
itu..." "Bocah sialan! Kalau kau memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang
suka padaku! Apa kau tidak sadar sudah berapa umurmu"!
"Ah, maafkan saya. Saya memang tidak tahu diri!''
kata Naga Kuning pula tersipu-sipu lalu ketika si nenek tidak melihat ke arahnya
dia mencibirkan bibirnya.
Setan Ngompol mendekati Sinto Gendeng dan bertanya. "Menurutku anak ini paling
bantar baru berusia dua belas tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi.
Wasiat Malaikat
8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Memangnya bocah itu berapa usianya?"
"Kau tak perlu mengerti. Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau
mengerti cuma beser alias ngompol!" jawab Sinto Gendeng membentak saking
kesalnya. Dibentak begitu rupa dalam air Setan Ngompol melayang mundur dan unjukkan muka
sedih. Dalam keadaan seperti itu tetap saja dia kembali ngompol.
"Apa kataku! Sedih saja kau masih ngompol!" kata si nenek. Dia berpaling pada
Naga Kuning. "Kau tunggu apa lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang
aku cari itu!"
"Nek, di dasar telaga ini tersimpan berbagai benda rahasia. Belasan orang coba
mencarinya. Mereka bukan saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi
mereka hanya mencari kematian. Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau
cari." "Bocah geblek!" maki Sinto Gendeng. "Kau mau menipuku atau bagaimana"! Tadi kau
bilang tahu apa yang aku cari. Sekarang malah bertanya!"
"Maafkan saya Nek. Soalnya seperti saya bilang tadi ada beberapa benda sangat
berharga dicari orang di Telaga Gajahmungkur ini. Saya takut memberi keterangan
keliru...."
Setelah menggerendeng lebih dulu baru si nenek memberi tahu.
"Aku mencari sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 212. Senjata ini tidak
bersarung. Bentuknya bergulung seperti ikat pinggang. Puluhan tahun lalu pedang
itu aku sembunyikan di satu tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu
harus segera kutemukan untuk mengobati muridku!"
"Maksudmu mengobati Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Naga Kuning.
"Betul!" jawab Sinto Gendeng. Lalu tidak sabaran dia berkata. "Ayo lekas kau
terangkan dimana pedang itu beradanya!"
"Naga Kuning," tiba-tiba Panji berkata. "Aku punya seorang sahabat, gadis
bernama Puti Andini. Berpakaian serba merah.... Katanya dia ke sini mau mencari
sesuatu. Sebuah batu...."
"Setan alas!" teriak Sinto Gendeng. "Gadis hantu siapa yang kau tanya! Jangan
berani bicara memotong ucapan orang! Kau tahu aku tidak suka kau ikut ke tempat
ini! Kalau bukan gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap...."
"Sinto! Jangan membentak terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing
terus!" Setan Ngompol berkata.
Tadinya si nenek juga hendak mendamprat kakek satu ini. Tapi dia akhirnya
berpaling pada Naga Kuning dan berkata. "Kau masih belum mau bicara mengatakan
di mana pedang sakti itu"!"
Naga Kuning menghela napas dalam. Wajahnya tampak murung.
"Nek, sebenarnya kau datang terlambat...."
Mata Sinto Gendeng membeliak. Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. Setan
Ngompol yang merasa tegang mendengar percakapan kedua prang itu diam-diam
kembali terkencing di celana.
"Bocah setan! Apa kau bilang"! Aku terlambat" Memangnya pedang sakti itu sudah
diambil orang lain" Siapa"!"
* * * Wasiat Malaikat
9 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA Senjata itu masih ada dalam telaga ini, Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi
berada di perut naga kembar yang betina itu...." Menerangkan Naga Kuning seraya
menunjuk pada naga kuning betina yang mendekam di kejauhan.
Sinto Gendeng menatap sejurus ke arah naga betina. "Aku tidak percaya. Bagaimana
pedang itu bisa berada dalam perut naga. Mana ada ular doyan pedang!"
"Kau betul Sinto," menimpali Setan Ngompol. "Bocah ini hendak menipu kita!"
"Nenek Sinto, kau tahu siapa diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas
padamu. Dua kali dengan ini kau menolong diri saya. Walau cuma seorang tua
bangka bertampang bocah buruk tapi saya bukan bangsa manusia yang tidak mengerti
budi orang. Saya sudah memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum dapat saya
balas namun saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu banyak di
tempat ini. Bukan mustahil sebentar lagi telaga ini akan amblas musnah. Lebih baik kalian
cepat-cepat pergi dari sini...."
"Sebelum aku menemukan pedang itu aku tidak akan keluar dari Telaga Gajahmungkur
ini!" jawab Sinto Gendeng. "Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru ngambek! Apa
yang barusan kau bilang tidak masuk akal...."
"Nek, kau hidup sudah puluhan tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama Setan
Ngompol ini pasti juga sudah lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba
persilatan. Saya jauh lebih tua dari kalian. Apa di usia kalian yang begini tua
masih tidak menyadari kalau hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal"
Bahwa untuk menghadapi semua yang tidak masuk akal itu manusia harus punya
seribu akal" Satu contoh, kita manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air
begini dalam, apa masuk akal"!
Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah manusia setengah roh. Sepasang naga
kembar bukan ular besar biasa. Di luar langit masih ada langit lain. Di luar
akal masih ada akal lain! Siapa berani melupakan kekuasaan Gusti Allah"!"
Walau jadi terdiam mendengar ucapan Naga Kuning tapi tak urung Sinto Gendeng
tetap saja unjukkan wajah cemberut.
"Nek," kata Naga Kuning lagi. "Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang
sakti bergulung itu ditelan oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci
212. Ada seorang gadis cantik bernama Puti Andini ikut ditelan naga dan kini
mendekam di dalam perut binatang jejadian itu!"
Sinto Gendeng keluarkan seruan tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata
melotot sementara Setan Ngompol lag Magi terkencing karena kaget mendengar
keterangan si bocah yang mengejutkan, sementara itu Panji menjadi pucat pasi.
"Puti Andini.... Puti...."
Pemuda ini menyebut nama si gadis berulang kali.
"Kalau keteranganmu betul, apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pedang
yang ada dalam perut naga itu...."
"Juga menolong gadis yang kau bilang cantik itu!" ujar Setan Ngompol. Lalu dia
berkata pada Sinto Gendeng. "Turut ceritamu bukankah gadis itu yang kau katakan
sebagai cucu Sukat Tandika, bekas kekasihmu di masa muda?"
Wasiat Malaikat
10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kembali Sinto Gendeng unjukkan muka cemberut. "Urusan utama ku mendapatkan
Pedang Naga Suci 212. Soal cucu Tua Gila itu kalau memang bisa kutolong akan
kulakukan. Tapi jika orang ditelan ular menurutmu apa masih bisa hidup?"
"Ah, menyedihkan sekali kalau gadis yang katanya cantik itu sampai menemui ajal
ditelan ular..." kata Setan Ngompol pula. "Naga Kuning, kau pasti tahu caranya
bagaimana mendapatkan pedang dan menyelamatkan gadis itu." . "Naga Kuning, kau
harus menolong kami!" ujar Panji.
"Saya tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu...."
"Kami tidak punya waktu lama. Selain hanya bisa bertahan sampai tengah malam
nanti, juga muridku perlu cepat disembuhkan. Satu peristiwa besar yang menebar
nyawa dan darah agaknya akan terjadi di Gajahmungkur ini.... Kami harus bergerak
cepat sebelum orang-orang Lembah Akhirat menimbulkan bencana lebih besar...."
"Naga itu takut dengan air kencing!" berkata Panji. "Bagaimana kalau kalian
berdua mengguyur-nya dengan air larangan itu. Begitu dia mampus kita bedol
perutnya!"
"Kau betul Panji!" ujar Sinto Gendeng pertama kali menyetujui ucapan si pemuda.
"Setan Ngompol! Ayo lekas siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga
betina itu!" kata Sinto Gendeng.
"Nenek Sinto dan Kakek Setan Ngompol, naga itu bukan binatang biasa. Air
larangan memang bisa membunuhnya. Namun kalau dia mati setahuku tubuhnya akan
lenyap berubah menjadi pasir kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir
bersama rohnya dia akan membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan gadis bernama
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puti Andini itu..."
Mendengar keterangan Naga Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga Kuning
menjadi bingung.
ini urusan gila! Pasti ada cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan
kulakukan untuk menolong muridku...."
"Seandainya pedang itu sudah kau dapat dan Pendekar 212 berhasil disembuhkan,
lalu apa yang akan kau lakukan dengan Pedang Naga Suci 212 itu Nek?"
Pertanyaan Naga Kuning yang tiba-tiba itu membuat Sinto Gendeng sesaat terdiam.
Tapi tiba-tiba dia membentak marah yang membuat Setan Ngompol tersembur air
kencingnya. "Bocah setan! Aku sekarang tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau
menolongku. Karena kau khawatir aku akan mengambil dan menguasai pedang itu!"
"Saya memang ditugaskan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala
sesuatu yang ada di Telaga Gajahmungkur. Setelah sang Kiai meninggalkan telaga
tanggung jawab lebih besar berada di pundak saya...."
"Kau bocah tolol, tua bangka geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menghukummu,
mengapa kau masih perdulikan orang yang sudah tidak ada itu"!"
Menukas Sinto Gendeng.
'Nek, Kiai Gede menghukum saya karena memang saya bersalah. Walau dia tidak ada
lagi di tempat ini tapi beban tugas yang diberikannya tetap menjadi tanggung
jawab saya. Saya hanya ingin mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya untuk
menyembuhkan muridmu, siapa yang mau mencegah. Tetapi, setelah muridmu sembuh
kau masih ingin menguasai senjata mustika sakti tersebut maka itu berarti
menyalahi maksud dan tujuan, menyalahi adat dan aturan...."
Wasiat Malaikat
11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Bocah pintar ngomong!" semprot Sinto Gendeng. "Katamu dalam hidup ini manusia
harus memakai seribu akal! Apa salahnya kalau aku mengikuti kata-katamu itu dan
memiliki Pedang Naga Suci 212"! Dulu pun senjata itu sudah berada di
tanganku.... Daripada jatuh ke tangan orang jahat bukankah lebih baik aku yang menguasainya"!
Perduli setan dengan segala adat dan aturan. Maksud dan tujuan bisa berubah
sesuai keadaan! Itu baru namanya hidup memakai akal!"
Naga Kuning tersenyum. "Manusia memang harus memakai seribu akal dalam
menghadapi tantangan hidup. Tapi akal yang mana" Ada akal yang sepenuhnya datang
dari otak atau alam pikiran. Ada akal yang memadu otak dengan perasaan hati.
Lalu ada akal yang mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang
datang dari bawah pusar. Saya tidak tahu kau memakai akal yang mana Nek.... Jika
maksudmu mendapatkan Pedang Naga Suci bukan semata karena hendak menolong
muridmu, saya khawatir kau akan menghadapi urusan besar. Karena Kiai telah
menceritakan riwayat pedang itu. Senjata mustika itu hanya boleh dimiliki oleh
seseorang. Terserah orang itu nanti mau memberikan kepada siapa. Saya rasa kau
sudah tahu hal itu Nek, jadi tak perlu saya beberkan."
Dari wajah si nenek Naga Kuning maklum kalau Sinto Gendeng masih tidak puas.
Maka dia menunjuk ke atas ke arah dinding batu Liang Lahat. "Nek, sebelum kita
meneruskan bicara, ada baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding batu
itu...." "Perlu apa aku mengikuti nasihatmu! Membaca segala tulisan bobrok di atas batu
sialan!" bentak Sinto Gendeng.
Naga Kuning tidak perduli. Dia berenang ke atas. Setan Ngompol ikut berenang ke
atas karena sebelumnya memang dia sudah membaca sedikit rangkaian tulisan di
atas batu itu. Sesampainya di atas dan melihat Sinto Gendeng masih tetap berada
di bawah sana, Naga Kuning berseru.
"Nek, jika kau tak mau membaca sendiri tulisan di batu ini, biaraku bacakan dan
kau silahkan pasang kuping mendengarkan!"
Lalu Naga Kuning membaca keras-keras rangkaian tulisan yang ada di batu.
LIANG LAHAT Sesungguhnya insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah ke tanah
Namun mengapa manusia menjadi lupa
Bersikap sombong membusung dada
Bersikap angkuh besar kepala
insan hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa Tapi mengapa insan berani
menantang Sang Pencipta Berani tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi
jujur Wasiat Malaikat
12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Bukankah itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa
tapi serakah! Liang lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi
tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar
desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran Yang kuasa dan Sang
Pencipta adalah tempat bertanya, tempat meminta Adakah manusia bertanya dengan
segala kebersihan hati" Adakah insan meminta dengan kejujuran jiwa....
Naga kuning belum sempat mengakhiri membaca bait-bait tulisan yang ada di atas
batu. Masih tertinggal satu bait lagi. Namun Sinto Gendeng yang merasa semua
yang dibacakan si bocah sengaja untuk menyindir dirinya, kembali menjadi marah
dan membentak. "Naga Kuning! Kau boleh membaca tulisan itu sampai seribu kali. Mulai dari pagi
sampai pagi lagi tujuh hari tujuh malam! Jangan harap aku akan terpengaruh!
Kalau saja kau. bukan orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku,
sudah dari tadi-tadi kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan
kulakukan nanti dengan Pedang Naga Suci 212 adalah urusanku sendiri! Jika kau
coba menghalangi aku terpaksa akan melupakan segala macam budi...."
"Kalau memang begitu Nek, urusan lebih baik diselesaikan sekarang sebelum
semuanya menjadi kapiran! Saya akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu!
Kalaupun kau berhasil mendapatkan pertama kali, saya bersumpah untuk
merampasnya!"
Merasa ditantang marahlah Sinto Gendeng. Dia tidak perduli lagi siapa adanya
Naga Kuning. Melihat ketegangan yang terjadi Setan Ngompol sudah ter-kencing-
kencing. Dia berusaha mencegah terjadinya bentrokan namun saat itu didahului
satu pekikan keras nenek sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah si anak.
"Bocah Setan! Aku tidak meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi
adalah tolol dan kurang ajar kalau kau mencoba menghalangiku!"
Tangan kanan si nenek bergerak ke arah kepala.
Setan Ngompol maklum apa yang dilakukan si nenek. Cepat-cepat dia tekap perutnya
sebelah bawah. Panji yang juga sudah bisa memperkirakan apa yang hendak
diperbuat Sinto Gendeng segera berseru. "Nek! Jangan serang anak itu! Kita
memerlukan dia!" Yang dikhawatirkan pemuda ini adalah kalau dia sampai
kehilangan jejak Puti Andini.
Namun Sinto Gendeng yang sudah khilaf karena nekad dan marah gerakkan tangannya.
Dua tusuk konde perak laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya melesat
berkilauan di dalam air. Tusuk konde pertama mencari sasaran tepat di mata kiri
si bocah, satunya lagi mengarah dada kiri tepat di jurusan jantung. Jelas Sinto
Gendeng bertekad menghabisi anak ini!
Lima tusuk konde yang selalu menancap di kepala Sinto Gendeng bukanlah tusuk
konde biasa karena merupakan senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun
mematikan. Kini dua dari lima tusuk konde itu dipakai untuk menyerang dan
membunuh Naga Kuning.
Wasiat Malaikat
13 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Naga Kuning yang mendapat serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau
si nenek benar-benar hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak
sempat bergerak mengelak atau pun menangkis.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang
sesaat menerangi seantero dasar telaga. Air telaga yang dingin berubah menjadi
panas. Tusuk konde perak yang melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental ke atas
sewaktu ujung tusuk konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari sasaran!
Seseorang telah turun tangan menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang
mengarah jantung tidak mungkin dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip
menghantam telak dada kiri Naga Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak
senjata itu tidak mampu melukai apalagi menancap tembus dan menusuk sampai ke
jantung. Seolah menghantam satu permukaan licin dan atos tusuk konde itu
terpental ke samping.
"Kurang ajar! Bocah itu ternyata memang benar telah memiliki ilmu lumba-lumba
putih yang membuat tubuhnya licin seperti kulit ikan!" mengomel Sinto Gendeng.
"Tapi siapa yang barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya.
Padahal aku tahu betul kedua mata anak ini adalah dua titik terlemah segala
kesaktian yang dimilikinya!"
Sinto Gendeng memandang berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik
berapi-api. Rahangnya menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam
marahnya dia melihat dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua
orang itu maka meledaklah dampratannya.
* * * Wasiat Malaikat
14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT Sebelum kita melanjutkan apa yang terjadi di dasar Telaga Gajahmungkur mari kita
ikuti dulu apa yang berlangsung di salah satu tepian telaga.
Setelah gurunya Eyang Sinto Gendeng dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga
bersama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tan if,
di tepi telaga hanya tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng berdua dengan Ratu
Duyung. Untuk beberapa lama kedua orang ini hanya berdiam diri. Sesekali Wiro
melirik. Gadis di sebelahnya dilihatnya memandang ke arah telaga terus-terusan.
Murid Sinto Gendeng ini mendehem beberapa kali lalu membuka pembicaraan dengan
bertanya. "Menurutmu apakah guruku akan berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu?"
"Kau khawatir mereka gagal dan kau tidak bisa ditolong?" Ratu Duyung malah balik
bertanya. "Soal diriku sudah nasib jadi begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang aku
khawatirkan adalah mendadak terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan aku tidak
bisa berbuat apa. Apalagi Kapak Naga Geni 212 milikku entah di mana beradanya.
Guruku pasti marah besar kalau...." Wiro tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang
dimiliki Ratu Duyung.
"Mana cermin saktimu. Mungkin kau bisa melihat melalui cermin itu di mana
beradanya Kapak Naga Geni 212.
Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian
dan pandangan mata ke permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin
bergetar. Wiro mendekat dan coba melihat. Tapi dia tidak melihat apa-apa dalam cermin itu.
"Kau melihat sesuatu Ratu..,?" bertanya Wiro.
"Cermin bergetar...." kata Ratu Duyung perlahan. , Wiro memperhatikan. Cermin
bulat itu memang tampak bergetar dalam pegangan gadis sakti bermata biru. "Ada
daya tolak dari satu kekuatan sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning.
Bergerak sangat cepat. Tidak jelas apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki
atau perempuan...."
"Maksudmu kalau itu adalah sosok manusia maka dia mengenakan pakaian serba
kuning?" "Mungkin.... Aku tak berani memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam
cermin. Aku tak bisa memantau lebih jauh...."
Wiro termenung sambil garuk-garuk kepala. "Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya
rig kau lihat dalam cermin adalah sosok orang berpakaian dan bercadar kuning.
Waktu terjadi pertempuran di teluk dia muncul menolong. Jangan-jangan senjata
itu ada padanya....'
"Aku menduga demikian. Kau tak usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang
aman...." "Aku tetap khawatir. Soalnya siapa bisa menduga sifat manusia.... Di luar bisa
saja baik. Di dalam mungkin penuh maksud tertentu...."
Ratu Duyung terdiam. Pandangan matanya masih terus ke arah telaga. Sejak
peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu dia selalu memendam rasa bersalah tak
berkeputusan. Walau sebelumnya masalah itu sempat mereka bicarakan dan Wiro telah menganggap
selesai namun di lubuk hati gadis ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit
Wasiat Malaikat
15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dilupakannya. Karena itu setiap Wiro mengatakan sesuatu dia seolah merasa bahwa
ucapan pemuda itu seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan
peristiwa lama.
Melihat sang Ratu berhening diri, diam-diam Wiro menduga mungkin gadis itu
tersinggung dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang jari-jari tangan kiri
Ratu Duyung, Wiro berkata. "Ratu, jangan kau merasa tersinggung. Segala ucapanku
polos belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri kita berdua atau apapun yang
pernah terjadi antara kita berdua...."
"Aku tahu..." jawab Ratu Duyung dengan suara setengah berbisik. "Tapi sulit
bagiku melenyapkan rasa bersalah dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu
bagaimana perasaanku terhadap diriku sendiri dan terhadap dirimu. Aku...."
Ratu Duyung tersendat. Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak
basah. Wiro meremas jari-jari tangan gadis itu. Malah dengan tangannya yang lain
dia merangkul bahu sang Ratu seraya berbisik.
"Ratu, jangan menangis...."
"Kalau tidak menangis rasanya hati ini belum lega Wiro. Dada ini serasa sesak
berkepanjangan. Tekanan batin mengikuti kemana pun aku pergi...."
"Kau gadis gagah. Kau mampu menyingkirkan semua itu...."
"Aku manusia biasa. Manusia biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain...."
"Jangan menyalahi dirimu. Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau adalah kau dan aku
senang serta bangga melihat kau apa adanya...."
"Betul ucapanmu itu Wiro?" tanya Ratu Duyung seraya menatap dalam-dalam ke mata
Pendekar 212. Dua pasang mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua
jantung berdegup penuh cinta.
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
Entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah tenggelam
dalam pelukan mesra.
"Wiro..." bisik Ratu Duyung sambil membelai kuduk pemuda itu.
"Hemmm...." Wiro bergumam.
"Seringkali rasa bahagia seperti yang kualami saat ini menipu diriku sendiri.
Membuat aku lupa siapa diriku sebenarnya'...."
"Bukankah kukatakan tadi kau adalah kau. Dan aku bangga melihat kau apa
adanya..." kata Pendekar 212 balas membelai punggung Ratu Duyung dengan usapan
jari-jari tangan yang lembut. Ratu Duyung pejamkan kedua matanya. Wajahnya
disandarkan di dada kiri Wiro. "Aku suka mendengar kata-katamu itu Wiro. Tapi
aku sadar hatiku tak bisa ditipu oleh jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak
pula dapat ditipu oleh suara hati.
Sesuatu i di lubuk hati ini mendekam sejak lama, tak kuasa aku utarakan. Bahkan
mungkin terpaksa harus ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh". Lebih dalam dari
pusat bumi. Lebih jauh dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang
tetap hidup dalam alam-i ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu
dengan alammu...."
Wiro mendekap pipi Ratu Duyung dengan dua tangannya lalu mengangkat kepala gadis
itu. Se-pasang mata biru Ratu Duyung tampak berkaca-kaca. Walau basah oleh air
mata tapi di balik segala kedukaan yang ada masih terbayang cahaya bahagia dan
mesra. Sudah sejak lama gadis ini membayangkan betapa indah dan mesranya jika berada
dalam pelukan Wiro. Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan. Namun sampai
berapa lama kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya"
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasiat Malaikat
16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Tuhan.... Jangan kau pupus dan sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku...."
Suara yang muncul di lubuk hati Ratu Duyung lebih merupakan bayangan ketakutan
daripada permintaan. Lehernya yang putih jenjang bergerak-gerak pertanda dia
berusaha menahan gelora hatinya. Wiro merunduk. Dengan permukaan bibirnya
ditelusurinya leher dan tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu
Duyung merasakan kehangatan yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat
terbayang kembali olehnya peristiwa di Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-
dua berada di atas ketiduran tanpa sehelai benang pun menutupi aurat.
Ratu Duyung mendesah halus. Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba mengencang
seolah Wiro tak akan dilepaskannya untuk selama-lamanya. Wiro merasakan dada
basah keringatan berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir dia terlupa
dan hendak membenamkan wajahnya di belahan dada gadis itu tiba-tiba Wiro ingat,
perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu Duyung memerah.
Sepasang matanya terpejam, bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping
hidungnya bergerak-gerak.
Wiro ingin sekali mengecup bibir yang bagus dan basah itu. Namun pemuda ini
masih dapat menahan diri. Dalam gelora yang membakar darahnya dia masih ingat
untuk tidak berbuat lebih jauh. Jangan sampai dorongan hatinya mempengaruhi
jalan pikiran. "Ratu," bisik Wiro di antara desah napasnya yang panas clan menderu. "Tadi kau
mengatakan alammu masih berbeda dengan alamku. Padahal setelah peristiwa di Puri
itu, bukankah kutukan yang menimpa dirimu telah sirna" Kau bukan lagi makhluk
setengah manusia setengah ikan" Kau benar-benar telah menjadi seorang anak
manusia, seorang gadis dengan segala kecantikan, keanggunan dan kesucian yang
ada." Sepasang mata Ratu Duyung yang basah masih terpejam. Dua tangannya masih
merangkul lembut punggung dan belakang kepala pemuda itu. "Kau betul. Diriku dan
juga diri semua anak buahku telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu.
Namun dalam kebahagiaan itu aku juga menyadari. Sekian lama hidup di dasar
samudera dalam alam yang berbeda telah menjadikan diriku bersatu men-darah
daging dengan alam yang serba aneh itu. Membuat diriku asing di tengah alammu
walau wujud diriku tidak beda dengan manusia lainnya. Aku merasa diri ini tidak
punya tempat dalam dunia ini...."
"Itu hanya perasaanmu saja Ratu. Perlahan-lahan tapi pasti kau akan terbiasa.
Kau kelak akan merasakan betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala
masalahnya baik suka maupun duka..."
Ratu Duyung gelengkan kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah
barisan bulu matanya yang panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada
ucapan yang sanggup dikeluarkannya. Hanya suara hatinya yang berkata dan tak
mungkin terdengar oleh Wiro. "Kau tidak tahu Wiro, bukan hidup di alammu itu
yang menakutkan diriku. Tapi hidup tanpa dirimu di sampingku yang membuat aku
seolah merasa mati dalam hidup ini.
Aku boleh tahu besarnya kasih sayang kecintaanku padamu. Tapi aku tidak tahu
apakah kau memiliki dan berapa besarnya kasih sayang dan rasa cintamu
terhadapku. Yang aku tahu adalah aku tak bakal dapat memiliki dirimu. Ini
seperti sudah menjadi takdir. Kau tak akan pernah menjadi milikku. Hati ini
tahu, perasaan ini-mengerti, ada seorang iain yang kau kasihi dan kau cintai
dengan seputih hatimu. Wiro, setinggi gunung kasih sayangku, sedalam lautan
cintaku padamu tapi aku sadar bahwa aku hanya akan meratap dalam kebahagiaanmu
bersama gadis lain itu...."
Wasiat Malaikat
17 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Ratu Duyung berusaha menahan sengguk tangis hingga bahunya terguncang-guncang.
Wiro peluk gadis ini erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu Duyung menyentuh
dadanya. "Ratu, kau harus berani menghadapi kenyataan. Hidup yang sebenarnya hidup adalah
hidup di alam ini, bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan
berdampingan dalam suka maupun susah...."
Ratu Duyung angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap lembut
penuh mesra. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. "Semua yang kau ucapkan
itu pancaran suara hatimu yang tulus. Tapi Wiro. Tidak mungkin kita bersama-
sama, berjalan berdampingan dalam suka maupun susah. Karena aku tahu kau bukan
milikku. Ada gadis lain yang lebih baik dan cocok untuk dirimu...."
Wiro hendak menggaruk kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu tapi si
gadis tersenyum dan pegangi tangan sang pendekar.
"Kau tahu hal itu Wiro. Kau tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang aku pinta
saat ini hanyalah izinkan diri ini sedikit lebih lama berada dalam keadaan
seperti ini, bermesra berdua-dua dengan dirimu. Karena mungkin ini kesempatanku
yang pertama dan yang terakhir...."
"Eh, memangnya kau mau ke mana" Mau melakukan apa?" tanya Wiro.
"Kau bukan milikku tapi milik gadis lain. Cintamu bukan milikku tapi milik
seorang lain. Kau harus mengakui itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadis
itu...." "Aku...." Wiro gelengkan kepala dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan
kanannya. "Kalau kau sudah tahu.... Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang
pernah menyukai dan mencintai seorang gadis...."
Ratu Duyung pejamkan sepasang matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah
ada sembilu menyayat perih. Bibirnya bergetar.
"Tapi aku hanya bertepuk sebelah tangan," terdengar kembali suara Wiro. "Aku
senang orang tak suka. Aku sayang orang tak cinta...."
Ratu Duyung perlahan-lahan buka kedua matanya. Gadis ini berusaha menguatkan
hatinya untuk bisa berucap.
"Wiro, cinta tak selalu seperti apa yang kita lihat. Bagi seorang gadis cinta
yang ada dalam hatinya terhadap seorang pemuda tidak ubahnya seperti gunung es
yang kelihatan hanya secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat
besar disimpan dan disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam laut hati
sanubarinya. Dipeliharanya baik-baik...."
"Ah, aku tidak mengerti..." ujar Wiro. Kembali dia hendak menggaruk kepala tapi
lagi-lagi tangannya dipegang oleh Ratu Duyung.
"Gila! Kepalaku mau pecah rasanya karena gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan
peganganmu Ratu."
Ratu Duyung tersenyum. Sambil terus pegangi tangan Wiro dia berkata.
"Sebagian dari keindahan cinta justru adalah pada ketidakmengertian itu
Wiro...," Perlahan-lahan Ratu Duyung angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 212.
Murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi kelagapan ketika bibir gadis itu menyentuh
permukaan bibirnya. Tapi kegelapan si pemuda hanya sebentar. Dilain saat dua
insan ini tenggelam dalam kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
Wasiat Malaikat
18 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Wiro..." suara Ratu Duyung bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan
ke pundak si pemuda dan sepasang matanya melirik ke arah timur, ke balik
serumpunan semak belukar. "Sudah pergi.... Dia sudah pergi.... Pasti hatinya
akan tersayat perih menyaksikan aku dan pemuda yang dicintainya dalam keadaan
begini rupa. Apakah dia bisa mengerti, apakah gadis itu mau memahami. Bahwa
hanya ini kebahagiaan hidup yang bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku
hanya meminta secuil kebahagiaan ini. Kalau ini satu dosa semoga kau mau
memaafkan dan Tuhan mau mengampuni. Sahabat, aku tidak akan menodai diriku dan
diri pemuda yang kau kasihi. Kau akan mendapatkan nya sebagai seorang kekasih
yang bersih. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua...."
"Ratu, aku mendengar seperti kau bicara sendirian..." kata Wiro seraya mendekap
wajah Ratu Duyung dengan dua tangannya,
"Wiro, kita sudah terlalu lama di tempat ini. Kau tahu kawasan ini kurang amah.
Orang-orang Lembah Akhirat bisa muncul setiap saat. Lagipula aku punya firasat
ada sesuatu bakal terjadi di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang
itu masuk ke dalam telaga...."
"Tap! Eyang Sinto Gendeng meminta kita berjaga-jaga di sini...."
"Jika sesuatu akan terjadi pasti akan terjadi walau kita berjaga-jaga
bagaimanapun. Mari...." Ratu Duyung memegang lengan Pendekar 212, siap mengajaknya terjun ke
dalam air. "Ratu, kau tahu aku tak mungkin masuk ke dalam air sepertimu, Kecuali kau
mendekap dan menyirap diriku seperti yang kau lakukan terhadap orang-orang itu."
"Hemmm...." Sang Ratu meragu sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Wiro
yakni memberikan ilmu kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap,
mungkin lain yang akan terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa
diri. "Guruku ada di dalam telaga. Dia pasti marah besar kalau diketahuinya aku ikut
masuk. Padahal dia sudah berpesan agar kita tetap berada di sini untuk berjaga-
jaga." "Aku tahu sifat gurumu. Gampang marah gampang pula baiknya."
"Tapi Ratu mungkin bahaya lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga
sana. Walau aku masih mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan juga memiliki ilmu
tidur yang diberikan Si Raja Penidur tapi aku khawatir...."
"Celaka bisa terjadi di mana-mana. Kalau dihadang, malapetaka malah tak datang.
Kalau lengah celaka malah jatuh menimpa."
Wiro terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu.
"Apa yang kau pikirkan Wiro" Kau takut mati tenggelam dalam air" ingat kejadian
setelah geger besar di Pangandaran" Kau dan aku naik kereta kuda. La lu kita
sama-sama masuk ke dalam samudera...."
"Ah!" Wiro gerakkan tangan kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu Duyung lalu
menggaruk kepala sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu Duyung
menarik tangannya untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga
Gajahmungkur. Wasiat Malaikat
19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA Ketika Wiro dan Ratu Duyung bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke
balik serumpunan semak belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-
mudi itu berada. Orang ini mengenakan pakaian biru, berambut panjang pirang. Bau
tubuh dan pakaiannya- yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang
membuat Ratu buyung menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari
tempat itu. Wiro sendiri karena telah hilang kesaktiannya tidak mampu mencium
bau harum tersebut. Dari bau wangi tersebut Ratu Duyung sudah bisa memperkirakan
siapa adanya orang tersebut.
Sambil terus bercakap-cakap dengan Wiro, Ratu Duyung menyelidik, Memandang
berkeliling akhirnya dia mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik
serumpunan semak belukar. Rasa berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu
Duyung. Tapi sebagai manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh perasaan,
apalagi perasaan seorang perempuan yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa
ingin memiliki seseorang, maka Ratu Duyung tidak memberitahukan kehadiran orang
itu pada Wiro. Dia juga tak mau memutus percakapan dan buru-buru pergi dari
tempat itu. Apa salahnya kalau saat itu dia boleh mereguk sedikit kebahagiaan,
berdua-dua bermesraan dengan orang kepada siapa dia berhutang budi dan kepada
siapa cinta kasihnya tercurah.
Lain halnya dengan orang yang bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain
Bidadari Angin Timur adanya. Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar
laksana dipanggang menyaksikan Wiro bermesraan dengan Ratu Duyung. Jari-jari
tangannya terkepal dan dua matanya menyorotkan sinar marah penuh cemburu! Kalau
dia tidak berpikir panjang saat itu juga mau dia melompat keluar dan melabrak
kedua orang itu.
Tetapi begitu pikiran jernih memasuki kepalanya maka perlahan-lahan gadis ini
bisa menguasai dirinya. Malah diam-diam dia menyadari mungkin semua itu terjadi
karena kesalahannya sendiri. Selama ini dia mengambil sikap curiga dan selalu
menjauhi Wiro. Apa yang harus disesalinya kalau kini pemuda itu jatuh ke tangan
gadis lain" Namun bagaimanapun dia ingin berpikir jernih, rasa mementingkan diri
sendiri tidak mungkin dipupusnya sama sekali.
"Ratu Duyung, ternyata kau adalah gadis gampangan. Dan kau Wiro, kau tak lebih
dari seorang pemuda mata keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan
tega melukai hati setiap gadis..."
Bidadari Angin timur bersimpuh di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang
tangannya yang berjari-jari halus. "Apa yang harus aku lakukan" Menangis"
Berteriak marah! Atau lebih baik kupukul sendiri kepala ini hingga pecah"! Aku
mencarinya ke teluk.
Dari kabar yang kudapat katanya dia dalam bahaya. Ternyata kini dia berada di
tepi telaga. Bercinta dengan Ratu murahan itu!"
Bidadari Angin Timur turunkan kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah.
Dua matanya laksana kobaran api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan
lain. Tak sanggup dia menyaksikan bagaimana Ratu Duyung dan Wiro Sableng saling
berkecupan. "Mesum.... Hidup ini ternyata penuh kemesuman!" jerit Bidadari Angin Timur.
Tinjunya kiri kanan dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba dia mendengar suara
sesuatu masuk ke dalam telaga. Ketika dia menoleh Ratu Duyung dan Pendekar 212
Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu.
Wasia t Malai kat 20 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Mereka masuk ke dalam telaga. Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan.
Jangan-jangan Ratu itu memiliki istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua
bisa berbuat apa saja. Aku harus masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak
mungkin.... Walau aku bisa berenang tak mungkin mampu bertahan lama dalam telaga
itu!" Kembali si gadis dibuncah perasaan marah dan cemburu. Dia melangkah
mondar-mandir. Dia berpikir keras apa yang harus dilakukannya agar kedua orang
itu segera keluar dari dalam telaga. "Aku tak mungkin membakar telaga ini! Aku
juga tak punya racun untuk ditebar hingga mereka sesak napas dan terpaksa keluar
dari dalam air. Apa yang harus kulakukan! Apa!!!"
Selagi dia melangkah mondar-mandir di tepi telaga seperti itu tiba-tiba saja
sesosok tubuh berjubah hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan
berkuku panjang.
Lalu dia mendengar suara tawa cekikikan.
"Gadis cantik berlesung pipit! Kita bertemu lagi! Hik... hik... hik!"
Bidadari Angin Timur angkat kepalanya. Dia melihat satu wajah bundar putih penuh
keriput. Rambut putih yang dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini tergerai lepas
riap-riapan. Orang ini semakin jauh lebih tua daripada ketika pertama kali
ditemuinya. "Nenek Sika Sure jelantik..." ujar Bidadari Angin Timur.
Si nenek tertawa panjang. "Aku senang kau masih ingat namaku. Padahal aku tak
pernah tahu siapa namamu! Hik..; hik... hik!"
"Nenek Sika aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke Telaga
Gajahmungkur ini?" bertanya si gadis.
"Justru aku yang ingin bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini!
Hik... hik... hik! Dari cahaya matamu, dari rona air mukamu aku menduga keras
kau berada dalam gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul
kan..."! Hik... hik... hik!"
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Gadis ini cuma menatap dengan tersenyum
pada si nenek. "Ah, kau tersenyum. Sepasang lesung pipit itu masih ada di kedua pipimu. Anakku,
kau ingat pertemuan kita pertama kali, dulu. Aku menemuimu, dalam keadaan
menangis berurai air mata. Sekarang pun kulihat sepasang matamu yang bagus basah
oleh air mata. Wajahmu menunjukkan adanya pukulan hati yang sangat berat. Sinar matamu seolah
menyembunyikan satu dendam kesumat. Anakku, apakah ini menyangkut persoalan dulu
Wiro Sableng 099 Wasiat Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga" Masih ada hubungannya dengan pemuda yang kau bilang bernama Wiro Sableng
bergelar Pendekar 212 itu" (Mengenal pertemuan pertama Sika Sure jelantik dengan
Bidadari Angin Timur harap lihat Episode Asmara Darah Tua Gila) Bidadari Angin
Timur mengangguk perlahan. "Kau tentu masih ingat Nek, waktu itu kukatakan terus
terang padamu ada satu ganjalan yang membuat aku tak mau berterus terang pada
pemuda itu bahwa aku mencintainya. Aku mengambil sikap rnenjauhinya. Aku tak mau
menjadi bahan permainan cinta murahnya. Karena aku tahu banyak gadis cantik
mengelilinginya. Semua menaruh hati pada pemuda itu. Dan barusan saja aku
melihat dia bercinta bermesra dengan salah satu dari gadis itu. Di depan mataku.
Mereka berpegangan tangan, saling berangkulan. Ma lah aku saksikan sendiri
mereka...." Si gadis tidak sanggup lanjutkan ucapannya. Kepalanya digelengkan
beberapa kali. Air mata menggelinding jatuh ke pipinya yang merah.
Sika Sure Jelantik usap kepala Bidadari Angin Timur. Seperti diketahui nenek
satu ini adalah seorang berhati keras dan kejam. Namun bagaimanapun juga dia
adalah seorang Wasiat Malaikat
21 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
perempuan yang ikut merasa pilu melihat kesedihan yang diderita perempuan iain.
Apalagi terhadap Bidadari Angin Timur yang sudah dianggapnya sebagai cucu atau
anak sendiri. "Anakku, seperti yang aku bilang dulu. Kau menanam pohon beracun dalam tubuhmu
sendiri. Semakin jauh hari berlalu semakin tinggi pohon itu mencuat ke kepalamu
dan semakin dalam akarnya menghunjam ke kakimu. Kau harus segera mengambil
keputusan. Menemui pemuda itu dan mengatakan terus terang bahwa kau
mencintainya...."
"Aku tak sanggup melakukan itu Nek. Tidak ada seorang gadis pun yang mau berbuat
begitu bagaimanapun besar cintanya terhadap seorang pemuda..."
"Kalau begitu kau mungkin terpaksa harus meninggalkannya...."
"Itu sama saja dengan bunuh diri!"
Sika Sure Jelantik tertawa panjang. "Anakku, itulah kehebatan cinta! Bisa
membunuh orang secara pelan-pelan bahkan bisa secara cepat! Nasib diriku sebagai
contohnya. Sampai saat ini tanganku sudah gatal untuk membunuh bekas kekasihku
yang serong dimasa muda!
Tapi belum juga kesampaian!"
"Nek, kalau seandainya kau bertemu dengan dia dan dia meminta maaf dengan
setulus hati, bagaimana jawabmu"!"
"Pertanyaan gila sekali!" tukas Sika Sure Jelantik. "Dia memang pernah
Munculnya Ratu Siluman Darah 2 Dewa Arak 55 Perintah Maut Sepasang Pedang Iblis 21