Pencarian

Munculnya Ratu Siluman Darah 2

Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah Bagian 2


senyum genit memikat. Matanya mengedip pada
Senggara yang nampak hanya balas senyum
hambar. "Ya, aku orangnya. Masihkah kalian hendak
melarang aku ikut nginap di sini?"
"Oh, jelas tidak. Malah kami sangat suka
kau mau nginap di sini, apalagi bila...." Gadis Liar berbaju orange tak
meneruskan ucapannya. Ia
tampak menggeliat manja, menjadikan Senggara
hanya gelengkan kepala.
"Jadi kalian mengijinkan aku nginap di sini?"
"Ya, asalkan kau mau tidur dengan kami,"
kembali gadis berpakaian orange berkata.
"Bukan begitu adik-adikku?"
Keempat Gadis Liar lainnya mengangguk
sambil lemparkan senyumnya yang memikat ke
arah Senggara. Senggara tak hiraukan ucapan
mereka, dan dengan segera berlalu masuk ke da-
lam salah satu kamar. Hal itu menjadikan kelima
Gadis Liar tersebut marah. Mereka seperti diang-
gap angin saja oleh Senggara. Tanpa dapat di-
cegah, kemarahan mereka pun seketika meledak.
Dengan menggeram keras kelimanya segera
memburu dan hendak mencengkeram Senggara.
Senggara tanpa menoleh segera kibaskan tangan-
nya. Tanpa ampun, kelima Gadis Liar itu mental
terhantam angin pukulan yang dilontarkan oleh
Senggara. "Brak!"
Pintu kamar itu ditutupnya, lalu dengan tak
hiraukan caci maki kelima Gadis Liar Senggara
langsung rebahkan tubuhnya untuk melepas le-
lah. "Macam-macam saja kehidupan," desisnya
seraya gelengkan kepala demi mengingat kejadian
yang baru saja terjadi. Sementara caci maki keli-ma Gadis Liar itu masih
menggema, namun nam-
paknya kelima gadis itu tak berani menerobos
masuk. Mungkin mereka menyadari bahwa ilmu
mereka belum seberapa bila dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki oleh Senggara.
"Siapa adanya engkau hai manusia som-
bong!" geretak gadis baju orange. "Katakan siapa adanya kau, biar kami nanti
dapat membalas per-lakuanmu malam ini!"
"Kenapa mesti menunggu nanti" Kalau ka-
lian ingin melakukan pembalasan karena kalian
tak senang padaku, lakukanlah! Aku Senggara
atau Cobra Merah atau Datuk Putih! Nah, kalian
dengar!" Tersentak kelima gadis-gadis itu demi men-
dengar nama orang yang telah membuat mereka
kecewa. "Pantas...." gumam mereka bareng dengan penuh kelesuan, seorang tokoh
silat dari Ku- lon yang ilmunya bukan alang kepalang. Dengan
wajah lesu dan tak berani berkoar lagi, kelimanya segera masuk ke kamar masing-
masing dan menutup pintu. Tinggallah pemilik penginapan yang
bengong melihat tingkah laku kelimanya sembari
gelengkan kepala.
*** 5 Malam telah larut, ketika nampak enam
orang berjalan dengan langkah cepat menuju ke
desa Slawi. Wajah keenam orang itu nampak
kuyu, sepertinya keenam orang tersebut memen-
dam ketakutan yang teramat sangat. Langkah-
langkah mereka jelas merupakan langkah-
langkah yang memburu waktu. Keenam orang
tersebut tak lain Jalak Sakti adanya. Mereka bergerak begitu terburu-buru karena
mereka kini da-
lam kecemasan karena hari telah begitu larut ma-
lam. "Inilah akibat engkau menyepelekan waktu!"
Jalak Kuning ngedumel yang ditujukan kepada
adiknya Jalak Ungu. Memang Jalak Ungu yang
masih muda tersebut telah membuang-buang
waktu dengan bermesra ria bersama wanita-
wanita penghibur.
"Lagi pula, apa kau tidak takut terkena pe-
nyakit kelamin kalau saban hari main melulu,
Ungu!" timpal Jalak Merah.
"Bagaimana kalau kita terlambat memberi-
kan korban?" tanya Jalak Hitam seakan pada diri sendiri. "Bukankah kita yang
akan mendapat murka sang Raja Iblis?"
"Ah, sudahlah. Kini aku mengakui salah,
yang penting sekarang kita harus cepat-cepat
agar kita tak terlambat. Mungkin orang-orang de-
sa telah menanti kedatangan kita." Jalak Ungu yang merasa disudutkan dengan
segala tetek ben-gek kesalahan segera mencoba mengalihkan
pembicaraan. Kembali mereka melangkah dengan bisu,
hampir dapat dikatakan mereka itu lari. Ya, me-
reka nampak berlari-lari dengan harapan dapat
mengejar waktu yang tinggal beberapa jam lagi.
Bulan bersinar dengan terangnya, menjadi-
kan bayang-bayang mereka seperti bayang-ba-
yang hantu yang panjang bergerak-gerak seirama
dengan gerakan lari mereka. Sesosok tubuh den-
gan mata tajam terus mengawasi mereka dari ja-
rak yang agak jauh. Tubuh orang itu sesekali berkelebat, lalu berhenti manakala
jarak antara-nya dengan keenam Jalak Sakti agak dekatan.
"Apa yang akan mereka lakukan?" tanya
orang tersebut pada dirinya sendiri. "Sepertinya mereka adalah Jalak Sakti. Ya,
mereka tak lain
Jalak Sakti adanya. Hem, rupanya mereka tak
kapok-kapok dengan apa yang telah mereka te-
rima. Tapi biarlah apa yang akan mereka laku-
kan, biar aku awasi dulu mereka."
Tubuh lelaki muda yang ternyata Jaka Ndab-
leg adanya perlahan-lahan melangkah meng-ikuti
langkah-langkah keenam Jalak Sakti yang terus
menuju ke desa tanpa hiraukan bahwa mereka
ada yang menguntitnya.
"Dengar, nampaknya orang-orang desa su-
dah tak sabar menunggu kedatangan kita," yang berkata Jalak Kuning.
"Ya, mari kita percepat langkah kita," Jalak Merah menimpali.
Dengan segera keenam Jalak Sakti pun seke-
tika melesat berlari dengan ilmu lari yang mereka miliki. Maka tak lama kemudian
mereka pun te- lah sampai di tempat yang seperti biasanya mere-
ka gunakan untuk pertemuan.
"Maaf saudara-saudara kami terlambat," Jalak Kuning segera membuka kata meminta
maaf karena kedatangan mereka yang terlambat. "Semoga kalian semua mau memakluminya.
Nah, apakah sekarang kita akan langsung menuju ke
sana" Sudahkah ada korban yang telah kalian
persiapkan"!"
"Sudah! Kami sudah mempersiapkannya.
Bukankah setelah kami menjadi pengikut Pengu-
asa Jurang Gunung Kapur hidup kami makin ten-
tram" Kami juga merasakan rejeki kami makin
bertambah!" seseorang di antara penduduk berkata. "Maka sebagai ungkapan rasa
terima kasih dan rasa kesetiaan kami, kami setiap malam
Jum'at telah merelakan korban. Dan yang menja-
di korban pun kini mau merelakan tubuhnya un-
tuk menjadi santapan Raja Agung!"
"He, apa pula dengan mereka?" gumam Jaka demi mendengar disebut-sebut oleh
mereka korban. "Apa yang sebenarnya yang dijadikan korban" Lalu pada siapa
korban itu diberikan"
Sungguh merupakan teka teki."
Jaka segera menyelinap bersembunyi, ma-
nakala dilihatnya orang-orang tersebut berjalan
melewati tempat yang ada dirinya. Lebih kaget
Jaka manakala melihat seorang gadis dengan ta-
tapan mata hampa berjalan di depan mereka yang
lelaki semua. Tubuh-tubuh mereka menggunakan
tudung tinggi, menutupi kepala dan hanya muka
mereka yang tak tertutup. Mereka berjalan laksa-
na robot, tiada berpaling-paling sedikit pun, lurus tanpa suara yang keluar dari
mulut mereka. "Apa yang sesungguhnya telah terjadi di desa ini" Sepertinya mereka memang
hendak mengorbankan gadis itu. Pada siapa gadis itu hendak
mereka korbankan" Baiklah, aku akan mengikuti
mereka." Jaka segera melangkah perlahan menjaga ja-
rak di belakang mereka yang terus berjalan den-
gan kebisuan. Langkah mereka bagaikan sudah
teratur rapi, tak seorang pun mereka berjalan serabutan. Sebenarnya mereka
bukannya membisu,
namun rasa tercekam karena takut telah berhasil
mempengaruhi mereka untuk diam seribu kata.
Pandangan mereka pun seperti diperintahkan
oleh sesuatu kekuatan, sehingga pandangan mata
mereka hanya lurus ke muka itu pun pandangan
kosong tanpa gairah. Wajah mereka walau ma-
lam, nampak pucat, putih seperti tak berdarah
setetes pun *** Orang-orang itu terus melangkah, makin la-
ma makin jauh meninggalkan kampung dan terus
berjalan menuju ke Selatan di mana Gunung Ka-
pur menjulang tinggi. Warnanya yang putih, me-
mantulkan sinar rembulan, menjadikan bias yang
indah. Namun bila tahu apa sebenarnya yang ter-
kandung di sana, kita akan melupakan keinda-
han warna tersebut.
Jaka Ndableg yang terus mengikuti langkah
mereka seketika tercengang manakala melihat
bahwa mereka berjalan menuju ke Gunung Ka-
pur. Ingatan Jaka kembali melayang pada keja-
dian lima bulan yang lalu di mana ia telah menjatuhkan seorang tokoh persekutuan
Iblis Rengga- na ke dalam jurang.
"Mungkinkah mereka menuju ke jurang ter-
sebut?" Jaka bertanya pada diri sendiri. Ia belum percaya bahwa orang-orang
tersebut hendak menuju ke jurang tersebut. "Memang aku mendengar sejak kematian
Renggana tempat ini terkenal
angker. Kabarnya ada pernah seorang musyafir
menjadi korban di tempat ini. Hem, apakah se-
mua itu cerita benar bukan cerita isapan jempol belaka" Kalau memang benar
adanya, jadi Renggana tidak mati. Ah, lebih baik aku ikuti mereka saja." Dengan
melesat cepat Jaka segera menguntit mereka di belakang. Perlahan-lahan Jaka
melangkah, lalu bersembunyi di balik pepohonan
yang ada di sekitar tempat itu manakala mereka
menengok ke arahnya.
Orang-orang itu terus melangkah mengham-
piri pinggir jurang. Dan mereka hentikan langkah manakala mereka benar-benar
telah berada di sisi jurang. Sementara gadis yang diam tanpa kata
dengan wajah pucat pasi itu mereka dirikan di
pinggir jurang. Mereka terdiam tanpa kata, tun-
dukkan kepala seperti mengheningkan cipta.
Keenam Jalak Sakti duduk menyiku di deretan
paling muka, di belakang gadis yang berdiri me-
matung tanpa ada reaksi. Tiba-tiba dari mulut
orang-orang tersebut keluar lantunan lagu-lagu
pujian yang entah ditujukan pada siapa.
Jaka kerutkan kening demi mendengar nya-
nyian yang tampaknya sudah diatur sedemikian
rupa. Sambil nyanyi-nyanyi, nampak tubuh me-
reka meliuk-liuk. Semakin keras alunan lagu,
semakin kencang tarian tubuh mereka.
"Pengikut Iblis!" maki Jaka dalam hati.
"Sungguh mereka orang-orang yang harus dis-
adarkan. Tapi aku tak mau mengusik mereka le-
bih dulu. Aku ingin melihat apa yang bakal terjadi setelah nyanyian orang-orang
itu habis."
Orang-orang pengikut Penguasa Jurang Gu-
nung Kapur masih menyanyi. Kini tangannya di-
angkat ke angkasa, diputar-putarkan tangannya
bagaikan hendak meminta sesuatu dengan mu-
lutnya tidak henti-hentinya menyanyi.
"Alur-alur Kembang Jambu,
Kembang Putri Kencana,
Siapa mau menjadi hambamu,
Kelak ia akan bahagia.... "
Bait-bait lagu itu yang mereka lantunkan,
berulang-ulang seperti tak puas-puasnya. Mereka
berbuat begitu sambil menunggu kemunculan Ib-
lis Sedayu yang dianggap oleh mereka penolong.
Memang sejak mereka mengabdi pada Iblis terse-
but, mereka mendapatkan kebahagiaan. Dialah
rejeki mereka gampang datang, juga desa mereka
kini jarang tertimpa bencana.
"Benar-benar manusia-manusia sirik," gu-
mam Jaka. Tengah Jaka tercenung dalam ketidakme-
ngertian dengan apa yang tengah dilakukan oleh
orang-orang tersebut, tiba-tiba Jaka dikagetkan oleh suara gelak tawa seseorang.
Bersamaan dengan gelak tawa tersebut, sesosok tubuh yang
mengerikan mencelat dari dalam jurang dan ber-
diri dengan congkaknya menghadang mereka.
"Gusti Allah! Ternyata benar apa yang diceri-takan oleh orang-orang, bahwa
Renggana atau Ib-
lis Sedayu masih hidup. Hem, walau ajian Tapak
Bahana telah menghancurkan tubuhnya, ternyata
Iblis itu masih mampu bertahan!" pekik Jaka li-rih, matanya melotot tak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Dikucaknya kedua mata dengan
tangan, ia berharap ia tengah dalam mimpi. Tapi
nyatanya ia tidak bermimpi. Dicubitnya tangan,


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa sakit. "Heh, tak aku sangka kalau dia mampu hidup dengan tubuh amburadul
begitu rupa!" "Hua, ha, ha...! Bagus-bagus! Kalian ternyata hamba-hambaku yang setia! Kalian
akan selalu aku lindungi, aku jaga dan aku berikan kebaha-
giaan. Apakah ini korban untukku?" tanya Iblis Sedayu yang dijawab serentak oleh
orang-orang yang mengaku sebagai hamba-hambanya.
"Benar, Baginda!"
Iblis Sedayu pandangkan mata pada gadis
yang masih mematung berdiri. Ditatapnya dari
ujung kaki ke ujung rambut si gadis yang masih
terdiam. Keringat dingin nampak mengalir dari
pelipis si gadis yang menahan rasa takut yang
amat sangat. Tengah Iblis Sedayu memandangi
gadis tersebut, gadis itu seketika memekik.
"Aaaah...!"
Tersentak Iblis Sedayu seketika, demi meli-
hat tubuh si gadis terkulai pingsan. Mata Iblis
Sedayu seketika menyapu segenap tempat terse-
but, mencari siapa adanya orang yang telah bera-
ni mencampuri urusannya.
"Bangsat! Siapa yang telah berani membuat
ulah di sini! Tunjukkan mukamu!" pekik Iblis Sedayu marah.
"Aku di sini, Sedayu!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan orang
tersebut, seketika melompat sesosok bayangan
berkelebat dan menghadang Iblis Sedayu yang
terjengah melompat mundur.
"Kau...!"
"Ya, masih ingat denganku, Iblis busuk!"
maki orang tersebut.
"Mengapa kau datang menggangguku lagi,
Senggara!"
"Karena tindakanmu sudah keterlaluan! Kau
sesatkan manusia untuk mengikutimu. Kalau
kau memang tak menggunakan tubuh kakakku,
aku tak akan ambil perduli. Tapi kau telah meng-
gunakan tubuh kakakku yang hancur itu, yang
seharusnya telah tenang di alamnya hingga aku
harus perduli."
Sedayu nampak menggeretak marah demi
mendengar omongan Senggara. Mulutnya me-
nyeringai, lalu terdengar suara menggelegar ba-
gaikan suara gertakan: "Hoar...! Kau rupanya tak
mau tahu bahwa kau tak akan mampu membu-
nuhku!" "Aku tahu, tapi demi ketentraman dunia,
maka aku terpaksa pura-pura tak tahu. Aku telah
siap untuk engkau jadikan wadal bila memang
harus begitu!"
"Jadi kau mencari mampus, Senggara!"
Senggara nampak tenang, tersenyum bagaikan
sebuah sunggingan yang berarti. Sunggingan bi-
birnya, nampak sebuah sunggingan yang me-
ngandung seribu makna. Entah itu ejekan atau
senyum kecut atas ucapan Sedayu.
"Kau bukan Tuhan, maka kau tak berhak
menentukan mati hidupnya seseorang termasuk
diriku. Walau kau Iblis, atau raja Iblis sekalipun, kalau memang harus mati kau
pun mati!"
"Bedebah! Jangan kau sebut-sebut nama
Tuhan! Serang...!"
Bagaikan orang-orang yang terkena sihir, se-
rentak semua yang ada di situ serentak bangkit
dari duduknya. Mereka bagaikan monster menye-
rang keroyokan Senggara. Mulut mereka diam,
hanya pandangan mereka saja yang menyala ba-
gaikan mengandung percikan-percikan api pem-
bunuhan. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan
Senggara murid Dewa Ilmu gentar atau takut.
Dengan hanya bergerak cepat Senggara mampu
menghindari serangan-serangan mereka.
"Kalian orang-orang sirik. Kalian telah terpengaruh oleh iblis hingga melupakan
pada Tu- han kalian! Minggatlah dari sini!" Senggara me-
maki-maki marah. Tangan dan kakinya berkele-
bat cepat, dan setiap kelebatannya menjadikan
pekikan kesakitan orang yang terkenanya. Orang
yang terkena pukulan dan tendangan Senggara
sesaat menggelepar-gelepar, lalu terkulai lemah
dengan nyawa melayang terbang dari raganya.
Melihat para pengikutnya banyak yang mati,
Iblis Sedayu seketika lupa tubuh gadis yang ter-
kulai itu. Sejenak Iblis Sedayu memandang pada
Senggara yang masih sibuk dikeroyok oleh para
pengikutnya, lalu dengan nada mengejek ia berse-
ru: "Senggara, bermain-mainlah engkau dengan para pengikutku! Bila nanti engkau
ternyata menang, aku tunggu dirimu di bawah jurang!"
"Iblis busuk! Jangan lari!" Senggara memaki-maki marah melihat Iblis Sedayu
hendak mening- galkannya. Namun secepat kilat sesosok tubuh
berkelebat dari balik pohon dan langsung meng-
hadang Iblis tersebut sembari berseru pada Seng-
gara. "Senggara, kau urusi dulu keroco-keroco Iblis itu, biar aku mengurus Iblis
ini!" "Jaka Ndableg, kebetulan kau datang!" seru Senggara dengan mata berbinar-binar
penuh ketenangan. Bagaimanapun juga dengan kedatan-
gan Jaka sedikit banyaknya bebannya untuk me-
numpas Iblis-iblis itu akan agak ringan.
"Kau...!" Iblis Sedayu memekik kaget, Jom-patkan tubuh ke belakang. "Kau pun
rupanya su-ka usil dengan apa yang dilakukan orang lain,
Jaka!" "Aku tak akan usil, asalkan engkau tidak
menuntun mereka pada jalanmu yang sesat!" Ja-ka tersenyum dingin menghadapi
Iblis yang su- dah ia ketahui betapa ilmunya ternyata tinggi.
"Hem, aku jadi tak habis pikir, mengapa iblis ini sanggup menghadapi ajian Tapak
Bahanaku. Padahal ajian itu adalah ajian yang dahsyat!" gumam hati Jaka penuh
ketidakmengertian. "Apakah ia mampu menghadapi Pedang Siluman Da-
rah,?" Mata Iblis itu nampak menyala, memakukan
pandangannya pada Jaka yang juga memandang-
nya dengan penuh kesiagaan. Jaka menyadari
bahwa bagaimanapun juga Iblis di hadapannya
bukanlah Iblis sembarangan. Bagaimana bentuk
Iblis apa pun, bila terhantam ajian Tapak Bahana akan luluh lantak, tapi Iblis
Sedayu sepertinya
tak mempan ajian tersebut. Kedua musuh be-
buyutan itu saling pandang, sepertinya hendak
menancapkan sorot mata masing-masing ke ulu
hati musuh. "Jaka Ndableg, seharusnya kau sadar bahwa
ilmu yang engkau miliki tiada arti bagiku. Aku sa-rankan, jadilah pengikutku!"
"Hem, jangan kau bermimpi. Lebih baik aku
mati daripada harus menjadi budakmu!" Jaka
membalas dengan sengit.
"Manusia tak mau diuntung! Bersiaplah kau
aku kirim ke akherat sana. Hiat...!" Iblis Sedayu tiba-tiba berkelebat
menyerang. Serangannya kini tak tanggung-tanggung, langsung dengan segala
ajian yang ia miliki.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Iblis di
hadapannya segera berkelebat mengelakkannya.
Dengan segera Jaka pun balas menyerang dengan
ajian-ajian yang ia miliki.
"Getih Sakti. Hiat...!"
"Wuss...! Crooot...!"
"Duar! Duar...!"
Terdengar ledakan manakala dua kekuatan
itu beradu di udara di tengah-tengah tubuh me-
reka. Keduanya seketika terpental ke belakang.
Namun dengan segera Iblis Sedayu bangkit, lalu
tanpa menunggu Jaka bangkit ia hantamkan
ajiannya. "Lulur Iblis. Hiat...!"
"Ah... mati aku!" Jaka mengeluh, segera ia pun dengan cepat tanpa pikir panjang
lagi hantamkan Petir Sewunya untuk memapaki serangan
tersebut. "Petir Sewu. Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Ledakan-ledakan petir seketika membahana,
menjadikan semua orang yang saat itu tengah
mengeroyok Senggara tersentak dan bagaikan ba-
ru tersadar dari sihir mereka memekik. Telinga
mereka yang tak tahan langsung mengeluarkan
darah. Mereka seketika menggelepar-gelepar se-
saat, sebelum akhirnya ambruk dengan darah ke-
luar membasahi hidung, mulut dan telinga mere-
ka. Hanya enam Jalak Sakti yang tidak langsung
mati, tapi keadaan mereka pun cukup parah. Kini
ringanlah Senggara, yang segera melesat ke arah
di mana Jaka dan Iblis Sedayu tengah bertarung.
"Jaka, mari kita serang bareng! Iblis itu su-
kar untuk dibinasakan!"
"Aku pun menyadari itu, Senggara! Biarlah,
lebih baik aku mati daripada Iblis ini merajalela di depan hidungku. Hiat...!"
Jaka Ndableg telah kembali mencelat menyerang.
"Hiat...!" Begitu pula dengan Senggara. Maka kini Iblis Sedayu dikeroyok oleh
dua orang musuh-musuhnya. Dua orang yang telah membuat
tubuhnya hancur berantakan.
Nampak Iblis Sedayu menyeringai demi me-
lihat kedua orang yang dianggapnya akan meng-
halangi segala tindakannya menyerang. Hal itu
memang telah ditunggu-tunggunya. Maka dengan
segera Iblis Sedayu pun berkelebat memapakinya.
"Hiat...!"
"Tapak Prahara. Hiat...!"
"Cobra Api. Hiat...!"
Bareng keduanya hantamkan ajian yang me-
rupakan ajian pamungkas mereka. Api menyala-
nyala dari tangan keduanya, seperti hendak mem-
bakar apa saja yang ada di sekitar tempat itu.
Dan manakala Iblis Sedayu menyerang, secepat
kilat keduanya hantamkan ajian mereka masing-
masing. Tak ayal lagi, seketika api yang keluar
dari tangan keduanya membakar tubuh Iblis Se-
dayu, rapat menutupi tubuh Iblis Sedayu. Kedua-
nya nampak agak sedikit tenang, menyaksikan
api yang mereka ciptakan melalap habis tubuh Ib-
lis tersebut. Tapi baru saja mereka merasa se-
nang, tiba-tiba mereka membeliak kaget manaka-
la melihat kejadian yang tidak masuk akal. Tubuh Iblis Sedayu yang kini tinggal
kerangka hitam,
masih mampu menghadapi mereka.
"Gusti Allah, apakah aku tidak tengah ber-
mimpi?" keluh Jaka kaget. Bagaimana mungkin, tubuh yang sudah menjadi arang
masih dapat bangkit dan menyerang mereka.
"Edan! Ini jelas-Jelas kelakuan Iblis!" maki Senggara.
Namun keduanya tak sempat berkata-kata
lama, sebab tiba-tiba saja keduanya telah dike-
jutkan oleh hantaman yang dilontarkan oleh ma-
nusia tulang-belulang tersebut.
"Awas serangan!" Jaka memekik, melemparkan tubuhnya ke samping. Begitu juga
Senggara, dengan sigap lemparkan tubuh ke samping hing-
ga larikan sinar yang keluar dari tulang-tulang
tangan orang yang hangus itu membersit di ten-
gah-tengah. Sinar itu terus melesat, lalu meng-
hantam tubuh orang-orang yang masih tergeletak.
Seketika tubuh orang yang terkena hantaman itu
langsung meleleh. Dan dari sinar tersebut, nam-
pak mahluk-mahluk menyeramkan berupa kepala
manusia beterbangan.
"Gusti Allah, ini tidak bisa dibuat main-
main!" Jaka mendengus demi melihat ratusan kepala hidup beterbangan dan menuju
ke arahnya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Pedang Siluman Darah tiba-tiba muncul,
terbang melayang-layang dan langsung tanpa dipegang oleh
Jaka berkelebat-kelebat menyerang kepala-kepala
hidup tersebut. Seketika memekiklah kepala-
kepala itu lalu lenyap menjadi serpihan-serpihan debu. Pedang Siluman Darah
segera kembali me-
lesat dan hinggap di tangan Jaka yang langsung
menerimanya. Senggara masih terus berusaha menyerang
Iblis Sedayu, namun serangannya seperti tak ber-
arti sama sekali bagi Iblis tersebut. Bahkan kini Iblis Sedayu malah balik
menyerang. Senggara
yang marah tanpa sungkan-sungkan lagi han-
tamkan ajiannya kembali. "Cobra Api. Hiat...!"
Api kembali membakar tulang-tulang terse-
but. Tulang-tulang itu berantakan dan berserak-
an copot dari sel-selnya. Tersenyum Senggara
menyangka Iblis itu telah mati. Ya, memang tu-
lang-tulang itu telah berserakan. Namun benar-
kah Iblis Sedayu telah mati" Kedua pendekar itu
berdiri mematung memandang pada tulang-
tulang yang berserakan. Mereka tak menyadari
bahwa bahaya telah siap mengancam jiwa mere-
ka. Salah seorang dari Jalak Sakti yang tengah
pingsan, tiba-tiba bangkit dan...
Pedang Siluman Darah seperti berontak dari
tangan Jaka, menjadikan Jaka tersentak. Pedang
itu selalu mengacungkan ujungnya ke belakang
seperti ada yang ingin dikatakan pada tuannya.
Dan manakala Jaka mengikuti arah Pedang Silu-
man Darah, seketika Jaka memekik.


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awas!" Ternyata Jalak Ungu telah dekat dan sebentar saja bila Pedang Siluman
Darah tidak menunjukkan padanya niscaya dirinya dan Seng-
gara telah jadi korban. Keduanya segera loncat ke muka, menghindari cengkeraman
Jalak Ungu. "Bangsat! Ternyata kau masih hidup, Iblis!"
maki Senggara. "Hua, ha, ha...! Sudah aku katakan, bahwa
aku tak akan kalah oleh kalian!"
"Sombong! Terimalah ini. Hiat...!"
Bersamaan Jaka berkelebat dengan Pedang
Siluman Darahnya, berkelebat pula Senggara
dengan senjatanya Pecut Cobra Merah. Dua sen-
jata itu bagaikan menyala-nyala, lalu dengan berbarengan keduanya hantamkan
senjata masing-
masing. "Cros...!"
"Bletar!"
Hancur lebur tubuh Jalak Ungu, terbelah
dan terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Da-
rah. Tubuhnya hancur, tercambuk oleh Cambuk
Cobra Merah. Namun sungguh tak keduanya sa-
dar. Manakala keduanya menghantamkan senjata
mereka, ternyata Iblis tersebut telah meninggal-
kan tubuh Jalak Ungu. Tanpa ayal lagi, tubuh Ja-
lak Ungulah yang jadi sasaran. Dan manakala Ib-
lis Sedayu hantamkan pukulan, keduanya tak
mampu untuk melayang menghindar. Tanpa da-
pat dihindari keduanya pun seketika melayang
bagaikan ditiup angin. Tubuh keduanya mental,
lalu melayang ke dalam jurang. Berbarengan den-
gan keduanya menjerit, dua buah bayangan ber-
kelebat dengan entengnya menangkap tubuh ke-
duanya dengan cepat sebelum keduanya jatuh ke
dasar jurang. "Wess...!"
"Suit...!"
Tap! Tap!"
Kedua orang pemilik tubuh itu hanya saling
pandang sesaat dengan senyum, lalu keduanya
melesat membawa tubuh Jaka dan Senggara ke
tujuan masing-masing.
*** "Hua, ha, ha...! Kini tak ada lagi penghalang-ku. Kini akulah yang paling
berkuasa di dunia.
Akan aku jadikan semua manusia sebagai abdi-
ku. Akan aku jadikan dunia ini sebagai istanaku.
Istana Raja Iblis!" Iblis Sedayu tertawa bergelak-gelak, lalu dengan ilmu
iblisnya dia bangkitkan
tubuh-tubuh anak buahnya yang terdiri dari em-
pat Jalak Sakti dan warga desa Slawi. Sementara
dia sendiri menggunakan jasad Jalak Kuning se-
bagai pengganti jasad Renggana yang telah han-
cur berantakan.
"Kalian telah aku hidupkan kembali. Maka
kalian mulai sekarang harus menjadi pengikut-
pengikutku. Akan aku bangun kerajaan di muka
bumi ini, kerajaan Iblis Penguasa Gunung Kapur!
Kalian harus memanggilku, Sri Baginda Raja Di-
raja Iblis Sedayu Mukti. Hua, ha, ha...!"
"Daulat, Sri Baginda Raja Diraja Sedayu
Mukti...." serentak mereka menyembah. "Hamba mohon ampun bila hamba telah
melakukan segala kesalahan!"
"Hua, ha, ha...! Tidak! Kalian tidak salah. Ki-ni kalian aku perintahkan untuk
makin perba- nyaklah korban-korban yang kalian persembah-
kan pada rajamu ini!"
"Daulat, Sri Baginda...!"
Makin bergelak tawa Sedayu melihat manu-
sia-manusia bonekanya yang nampak menurut
dan patuh. Memang, sejak saat itu pula resmilah
Sedayu mengangkat dirinya sebagai Raja Iblis
yang memerintahkan manusia. Ke manakah Jaka
dan Senggara" Apakah ia mati" Marilah kita ikuti terus bab demi bab selanjutnya.
*** 6 KERAJAAN SILUMAN DARAH....
Kerajaan Siluman Darah nampak sepi. Para
pengawal istana nampak terdiam bisu dengan
senjata siap selalu di tangan mereka masing-
masing. Mereka nampaknya tengah menunggu se-
seorang yang bakal datang. Dan memang tak be-
rapa lama kemudian sesosok bayangan merah
berkelebat menuju ke arah istana. Bayangan ter-
sebut adalah milik seorang wanita, dialah Ratu
Siluman Darah. Di tangan sang Ratu yang cantik
jelita itu, tergeletak sesosok tubuh muda beram-
but gondrong dan berwajah tampan pingsan, pe-
muda itu tak lain Jaka Ndableg si Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Pedang Siluman Darah
nampak masih tergenggam di tangan kanannya.
Memang Jaka waktu tiba-tiba terhantam
oleh pukulan tenaga dalam yang dilontarkan oleh
Iblis Sedayu, tak mampu mengelakkannya karena
Jaka tak sadar bahwa orang yang dibelah dengan
pedangnya tak lain adalah jasad yang telah ko-
song ditinggal oleh Iblis Sedayu yang sudah me-
mikirkan bahwa Jaka dan Senggara pasti akan
menyerang dengan senjata pusaka masing-
masing. Maka ketika Jaka membabatkan pedang-
nya, si Iblis Sedayu telah berkelebat ke luar dan telah siaga di belakang kedua
orang penyerang-nya. Maka tak ayal lagi dengan mudah Iblis Se-
dayu mampu menjatuhkan dua pendekar sekali-
gus. "Bukakan pintu!" Ratu Siluman Darah memerintah pada pengawalnya yang dengan
segera membuka pintu gerbang tabir alam siluman.
Dengan cepat Ratu Siluman Darah pun berkele-
bat masuk menuju ke sebuah ruangan pengoba-
tan. "Panggil Nenek Darah Biru ke mari!" kembali ia memerintah.
Dengan tanpa membantah orang yang disu-
ruh itu segera berkelebat pergi meninggalkan
sang Ratu yang telah membaringkan Jaka di ka-
sur untuk memanggil Nenek Darah Biru. Tak la-
ma kemudian Nenek Darah Biru pun datang ber-
samaan Siluman yang tadi diutus. Nenek Darah
Biru segera menyembah, lalu dengan suara tua-
nya ia berkata: "Sri Ratu memanggil hamba?"
"Benar! Tolong kau rawat Jaka. Dia mende-
rita luka dalam."
"Daulat, Sri Ratu," jawab Nenek Darah Biru.
Sri Ratu Siluman Darah tanpa hiraukan Ne-
nek Darah Biru segera meninggalkannya dan me-
langkah menuju ke kamar pribadinya di mana bi-
asanya ia akan mengurung diri selama tiga hari
tiga malam untuk melakukan Tapa Brata. Namun
ternyata kali ini ia tidak hendak melakukan Tapa Brata, tapi ia tengah melakukan
sebuah upacara adat yang hanya dilakukan oleh dirinya sendiri.
Matanya terpejam, tangan bersilang dengan kaki
dilipat menyila.
Sementara di ruang pengobatan Nenek Da-
rah Biru terus berusaha mengobati luka-luka Ja-
ka. Jaka masih pingsan, nampaknya ia benar-
benar terpukul manakala melayang ke jurang
Gunung Kapur. "Pemuda ini sungguh sangat hebat. Jarang
orang yang memiliki tulang-tulang serapi dan se-
kokoh ini. Hem, pantas kalau Sri Ratu mau men-
gangkatnya menjadi murid sekaligus anak," gumam Nenek Darah Biru manakala
tangannya me- mijit tubuh Jaka. Jaka nampak menggeliat dan
meringis setiap kali tangan Nenek Darah Biru
memijit dan mengurutnya.
Sebenarnya pijitan dan urutan si Nenek Da-
rah Biru bukanlah pijitan dan urutan biasa, teta-pi urutan dan pijitan itu
mengandung sebuah ke-
kuatan magis yang mampu membuat bertambah
kekuatan Jaka, sebab secara tak langsung si Ne-
nek Darah Biru telah menyalurkan tenaga ke tu-
buh Jaka. Dan pada waktu pijitan yang terakhir,
Jaka seketika menjerit keras. Jaka merasakan
bagaikan hawa panas menyengat sendi-sendi tu-
buhnya. "Aaah...!"
"Tenang Jaka, kau tak akan apa-apa," Nenek Darah Biru berkata menghibur:
"Setelah kau di-
urut dan dipijit, niscaya tubuhmu akan seperti
sedia kala."
Jaka menurut diam, tak berkata-kata lagi.
Pijitan dan urutan tangan Nenek Darah Biru te-
rus menyelusuri tubuhnya. Pijitan itu sangat ke-
ras, menekan-nekan pada sendi-sendi yang dira-
sakan perlu. Setelah beberapa lama kemudian
dan di-rasa cukup, Nenek Darah Biru berkata:
"Sudah! Kini engkau telah sempurna tulang dan aliran darahnya."
"Sebenarnya aku ini berada di mana. Nek?"
Jaka bertanya ingin mengetahui keberadaannya.
Matanya memandang sekeliling tempat itu, tem-
pat yang indah dengan mutiara dan permata yang
serba gemerlapan mewarnai tempat tersebut.
"Sepertinya aku pernah singgah di tempat
ini. Kapankah" Dan di manakah?" Jaka mere-
nung dalam hati, merasakan bahwa dia merasa
pernah singgah di tempat tersebut. Matanya tera-
sa memandang sekeliling, lalu setelah sekian la-
ma ia berbuat begitu Jaka pun akhirnya mengin-
gat bahwa dia memang pernah berada di tempat
tersebut. "Ya, aku ingat. Aku memang pernah di tempat ini manakala aku bertarung
dengan Pra-hista. Oh, di manakah ayah dan ibu?"
"Nek, bukankah ini kerajaan Siluman Da-
rah?" tanyanya pada Nenek Darah Biru yang
mengangguk sembari tersenyum. "Di manakah
ayah dan emakku, Nek?"
"Ayah dan ibumu ada di sini, mungkin se-
bentar lagi akan datang bersama Sri Ratu."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Ne-
nek Darah Biru, sebab tak lama kemudian dari
ruangan lain nampak tiga orang berjalan menuju
ke ruangan di mana Jaka berbaring istirahat. Tiga orang itu tak lain dua orang
wanita cantik dan
seorang lelaki tampan yang wajahnya persis se-
perti Jaka. Dua orang wanita itu tak lain Ratu Siluman Darah dan ibunya Jaka.
Sementara yang lelaki tidak lain adalah ayahnya Eka Bilawa. Ke-
tiga orang tersebut nampak mengurai senyum di
bibir mereka, dan terkadang bercakap-cakap.
"Sampurasun...!" ketiganya menyapa.
"Rampes...!" Jaka dan Nenek Darah Biru membalas. Nenek Darah Biru segera menjura
hormat, lalu menyingkir menepi memberikan ja-
lan pada ketiganya untuk menghampiri Jaka.
"Ayah, Ibu...! Oh, benarkah itu ibu, Ayah?"
tanya Jaka terheran-heran melihat ibunya nam-
pak masih begitu muda dan cantik.
"Benar, Anakku. Akulah ibumu," wanita cantik itu menjawab mendahului si lelaki
yang hanya tersenyum. "Kau sungguh sudah dewasa, Anakku." Dengan rasa haru
dipeluknya tubuh Jaka yang segera membalas memeluk ibunya.
Suasana di tempat itu kini nampak sahdu,
penuh rasa haru, bungah dan macam-macam ra-
sa yang tak dapat diurai kata-kata. Ketiga sanak beranak itu terus saling
melepas kerinduan yang
sekian lama tak pernah bertemu. Jaka bagaikan
anak kecil, menangis dalam pelukan ibunya.
"Ayah, Jaka ingin tinggal di sini saja. Jaka sudah bosan di dunia ramai yang
selalu diwarnai
oleh banyak masalah yang rumit. Sepertinya Jaka
hendak tak mampu untuk menghadapinya," Jaka berkata seperti putus asa,
menjadikan sang ayah
dan Ratu Siluman Darah gelengkan kepala tak
menyetujui akan permintaan Jaka.
"Tidak, Anakku. Kau harus tetap di dunia
ramai. Ketahuilah, bahwa dirimu memang sudah
dikodratkan harus menjadi seorang pendekar
yang memerangi kejahatan. Dan sebagai seorang
pendekar maka sudah selayaknya mendapat rin-
tangan, karena kau manusia juga. Manusia itu
kadang jaya, kadang pula harus kalah. Kau harus
ingat bahwa di atas segalanya hanya Yang Maha
Kuasa saja yang paling mampu berbuat sega-
lanya. Tak ada mahluk apa pun yang dapat me-
nandingi-Nya." Ayahnya menuturi.
"Benar Jaka. Memang apa yang dikatakan
oleh ayahmu benar adanya. Kembalilah kau ke
sana lagi, jangan kau putus asa hanya karena
kau menderita kalah. Ingat, kekalahan bukan se-
lamanya berpihak pada dirimu. Kekalahan se-
baiknya jadikanlah pelajaran atau guru yang
utama untukmu," Ratu Siluman Darah yang berkata. "Aku akan memberikan padamu
bekal, bek-al yang nantinya dapat engkau gunakan. Tapi un-
tuk menghadapi musuhmu yang sekarang, maka
aku akan ikut membantu. Aku akan muncul di
alam manusia."
"Mengapa Sri Ratu hendak ke alam manu-
sia?" "Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu itu bukanlah mahluk sembarangan. Dia tak
akan dapat mati oleh tangan manusia, sebab Yang Ku-
asa memang mentakdirkan begitu. Musuhmu
adalah orangku, maka hanya akulah yang akan
mampu menghancurkannya," Ratu Siluman Da-
rah berkata berapi-api, sepertinya dalam kata-
katanya mengandung sesuatu yang besar. "Dia adalah Panglima Perangku. Dia
melarikan diri setelah pemberontakan yang dilakukan olehnya be-


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serta beberapa anak buahnya dapat kami tum-
pas. Ternyata dia nekad lari ke alam manusia.
Sebenarnya ia tak dapat hidup lama kalau saja ia tidak segera menemukan
Renggana. Tapi sudahlah tak usah dipikirkan masalah itu. Kini yang
penting kau akan aku gembleng untuk menam-
bah ilmu yang engkau miliki. Bila kau telah ram-
pung, maka kau pun akan menjadi manusia yang
berilmu Siluman."
"Oh, benarkah itu, Sri Ratu?" Jaka bertanya.
"Sungguhkah aku akan memiliki ilmu-ilmu Siluman?"
"Ya, mengapa" Kau tak suka, Jaka?" Sri Ra-tu bertanya.
"Suka! Saya memang ingin menambah ilmu
yang ada pada diri saya, Sri Ratu."
"Nah, mulai saat ini kau harus rajin belajar dengan ayahmu, sebab ayahmulah yang
akan mendidikmu mengenai ilmu-ilmu mahluk silu-
man!" Ratu Siluman Darah melirik pada Eka Bilawa dengan bibir terurai senyum,
sepertinya ia tidak cemburu sama sekali kalau Eka Bilawa se-
karang telah bersanding dengan istrinya. Namun
malah sebaliknya ia bangga, sebab Eka Bilawa ti-
dak membedakan istri-istrinya. Eka Bilawa ber-
tindak adil dan bijaksana. Wajah Eka Bilawa yang tampan memang persis Jaka,
sehingga menjadikan Ratu Siluman Darah menyayangi Jaka sam-
pai-sampai ke mana pun Jaka selalu didampingi.
Sejak saat itu Jaka untuk sementara menja-
di penghuni Kerajaan Siluman Darah. Sejak saat
itu juga Jaka harus berlatih apa yang diajarkan
oleh ayahnya Eka Bilawa dalam hal ilmu-ilmu Si-
luman yang hanya dimiliki oleh para siluman be-
laka. Hal itu dimaksudkan agar Jaka makin
mampu menangani segala apa yang menjadi rin-
tangan, juga agar Jaka dapat melakukan kewaji-
bannya sebagai seorang pendekar untuk menum-
pas segala kejahatan.
*** 7 Sejak menghilangnya Jaka Ndableg dari du-
nia entah ke mana, maka kejahatan yang kini di-
pimpin oleh Iblis Sedayu yang mengangkat dirinya sebagai Raja Diraja Iblis makin
merajalela. Kini Iblis Sedayu yang telah menggunakan jasa Jalak
Kuning, tak segan-segan melakukan tindakan te-
lengas pada umat manusia.
Pada umumnya, para anggota Raja Diraja Ib-
lis bertindak dengan tanpa mengenal belas ka-
sihan. Memang bukannya mereka merampok har-
ta, namun mereka merampok bahkan yang lebih
dari itu yaitu merampok nyawa seseorang untuk
dijadikan korban.
Bukan itu saja, cita-cita Iblis Sedayu untuk
menjadikan seorang Raja Iblis pertama yang me-
mimpin manusia perlahan namun pasti dijalan-
kan... "Untuk mendapatkan segala cita-citaku, ma-
ka aku harus menundukkan kerajaan-kerajaan di
tanah Jawa ini. Aku akan mengutus abdiku un-
tuk melakukannya. Aku sebentar lagi akan men-
jadi Raja Diraja Iblis yang mampu me-mimpin
manusia untuk mengikuti jalanku. Seperti janjiku pada Tuhan, maka aku pun akan
berusaha mengajak sebanyak-banyaknya anak cucu Adam un-
tuk menjadi sahabatku yang kelak akan mene-
maniku di neraka. Hua, ha ha...!" bergelak tawa Iblis Sedayu bila mengingat hal
itu, sementara keempat Jalak Sakti lainnya yang ia angkat seba-
gai patih serta penasehatnya nampak tundukan
kepala duduk bersila di hadapannya.
"Jalak Merah!"
"Daulat, Baginda Raja Diraja," jawab Jalak Merah sembari menyembah
"Aku perintahkan padamu untuk kumpulkan
tentara guna menyerang kerajaan Sebrang Gu-
nung!" Jalak Merah terdiam tanpa kata mendengar-
kan ucapan Rajanya. Hati kecilnya sebenarnya
tak suka, sebab ia tahu sendiri bahwa kerajaan
Sebrang Gunung banyak tokoh-tokoh silat yang
berilmu tinggi. Namun untuk menolaknya, jelas ia tak berani karena tidak mungkin
tidak rajanya akan murka. Dan apa bila rajanya telah murka
pasti dirinyalah yang menjadi korban. Maka den-
gan segala ketakutan itu Jalak Merah pun berka-
ta: "Daulat, Baginda Raja Diraja yang mulia, kami akan melaksanakan segala titah
paduka." "Bagus! Sekarang juga persiapkan para pra-
jurit!" "Daulat, Yang Mulia!" Jalak Merah kembali menyembah, lalu dengan
beringsut ia pun segera
berlalu meninggalkan tempat tersebut untuk me-
nemui para prajuritnya yang dihimpun dari ma-
syarakat desa Slawi. Langkahnya nampak tak
bersemangat, sepertinya langkah itu sedikit di-
paksa hingga nampak terseret. Jalak Merah terus
melangkah meninggalkan keraton menuju ke la-
pangan yang telah dijadikan alun-alun. Di situ
Jalak Merah hentikan langkah, lalu dengan
menggunakan tenaga dalam ia berseru.
"Para prajurit, berkumpul...!"
Ternyata seruan Jalak Merah sungguh ken-
cang, sehingga dari jarak yang cukup jauh pun
dapat didengar. Maka seketika berbondong-bon-
dong para prajurit yang terdiri dari warga desa
Slawi tersebut berdatangan menuju ke lapangan
di mana Jalak Merah telah menunggu berdiri di
tengah-tengah lapangan itu.
"Para prajurit, berkumpulah! Ada berita penting...!"
"Berita apakah, Tuan Patih"!" Warga yang sudah mendekat bertanya: "Adakah berita
yang membuat bencana" Atau berita kegembiraan"!"
"Kalian berkumpul dulu, jangan banyak ber-
tanya!" Warga desa itu menurut diam, sepertinya
mereka merasakan ketakutan. Mata mereka me-
mandang hampa, tak berani menatap pandang
pada Jalak Merah yang telah dianggap oleh mere-
ka sebagai patihnya. Mereka terus melangkah,
makin dekat dan dekat menuju ke lapangan di
mana Jalak Merah berada. Dan tak lama kemu-
dian, mereka pun telah berkumpul membentuk
sebuah lingkaran mengelilingi Jalak Merah.
"Sri Baginda Raja Diraja memerintahkan kita untuk mengadakan peperangan. Kita
akan menyerang kerajaan Sebrang Gunung. Apakah ka-
lian telah siap!" terdengar suara Jalak Merah berseru, memberitahukan. Seketika
semua yang ha- diir terdiam, sedangkan diri mereka tak menghen-
daki perang. Dalam hati mereka bertanya-tanya,
mengapa harus berperang" Bukankah sekarang
telah tentram dan damai" Mereka tak tahu apa
sebenarnya yang dikehendaki oleh raja mereka
sesungguhnya. Sebenarnya mereka ingin meno-
lak, namun mereka tak berani. Di samping kare-
na raja mereka sakti dan telah mampu mengalah-
kan dua pendekar yang tiada tanding itu, juga
mereka merasa berhutang budi pada raja mereka
yang telah memberikan segala apa yang mereka
pinta. Tengah mereka tercenung diam, dari ke-
jauhan tepatnya dari kerajaan berjalan dengan
langkah-langkah bagaikan terbang seseorang
yang mengenakan pakaian kebesaran. Dialah raja
mereka, yaitu Raja Diraja Sedayu. Karena Sedayu
berlari dengan menggunakan ilmu larinya, maka
dalam beberapa kejap saja tubuhnya telah sampai
di tempat tersebut. Mata Sedayu seketika me-
mandang pada para prajuritnya yang seketika itu
pula tundukan muka sembari menyembah.
"Terimalah sembah kami, Yang Mulia...!"
"Hua, ha, ha...! Bagus! Sembah kalian aku
terima!" Sedayu nampak senang dan katanya kemudian: "Apakah kalian telah tahu
mengapa kalian dikumpulkan di tempat ini?"
"Daulat, Yang Mulia, kami telah mengetahui-
nya!" "Kalian jangan takut, sebab kalian akan aku bantu dengan prajurit-prajurit
lelembutku. Nah,
kini di samping-samping kalian telah muncul me-
reka." Tersentak semuanya manakala menengok-
kan kepala ke samping kirinya telah ada mahluk
serupa dengan dirinya. Mereka seperti tak per-
caya, menjadikan mereka terus memandang pada
mahluk-mahluk yang bagi mereka adalah bayan-
gan mereka sendiri. Tapi ternyata bukan. Mahluk-
mahluk itu bukan bayangan mereka, terbukti
mahluk-mahluk itu tidak memandang balik me-
lainkan diam mematung dengan wajah terus tegar
memaku ke muka.
"Nah, itulah teman kalian untuk menyerang
kerajaan Sebrang Gunung. Mereka akan menuru-
ti apa yang kalian perintahkan! Tapi mereka akan dapat mengadu bila ternyata
kalian tidak menuruti segala perintahku! Maka apabila ada teman
kalian yang mengadu padaku bahwa kalian ada
yang tidak menurut, kalian tentunya tahu apa
hukumannya" Hukumannya adalah teman kalian
sendiri yang akan menghisap darah kalian sampai
kering kerontang!"
Bergidik juga orang-orang itu mendengar pe-
nuturan rajanya. Mereka tahu bahwa ucapan ra-
janya bukanlah ucapan penakut anak kecil be-
laka, tetapi ucapan yang benar-benar akan ter-
laksana bila mereka membangkang.
"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"
"Nah, berangkatlah kalian! Tegarkan hati kalian dengan semangat bahwa kalian
akan mampu menundukkan kerajaan Sebrang Gunung!"
"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"
"Ampun, Baginda Yang Mulia, saya menja-
lankan tugas!" Jalak Merah menyembah, lalu dengan melangkah mundur ia pun segera
menuju ke barisan prajurit dan berjalan paling muka. Melihat para prajuritnya telah
melangkah, segera
Iblis Sedayu berkelebat pergi tinggalkan lapangan kembali ke istananya.
*** Para prajurit itu bagaikan monster yang sela-
lu dikendalikan oleh pemiliknya. Mereka berjalan dengan bisu, sepertinya tak ada
gairah untuk berkata-kata. Di setiap seorang prajurit, nampak sesuatu mahluk yang menyerupai
mereka berjalan mengiringi. Mahluk-mahluk tersebut adalah
ciptaan Iblis Sedayu yang diambil dari darah ke-
hidupan mereka, sehingga wajar kalau mahluk-
mahluk tersebut menyerupai mereka. Mahluk-
mahluk itulah yang akan mengantar mereka dan
membantu mereka dalam menyerbu ke kerajaan
Sebrang Gunung.
Sebenarnya warga desa yang dijadikan pra-
jurit itu merasakan takut untuk menghadapi pra-
jurit-prajurit Sebrang Gunung. Walau mereka da-
lam pengaruh Iblis Sedayu, namun mereka masih
dapat sadar dan mengingat-ingat segalanya. Me-
reka tahu bahwa di kerajaan Sebrang Gunung
banyak berkumpul para tokoh persilatan yang ti-
dak berilmu rendah. Namun bila mereka ingat
akan ancaman dan karena jasa raja yang telah
membantu mereka selama ini, mereka pun den-
gan takut dan jeri menurut.
Barisan prajurit yang terdiri dari manusia
dan duplikatnya yang tak lain bangsa Iblis terus melangkah. Barisan itu panjang,
hampir menyerupai kelokan-kelokan ular naga bila dilihat dari kejauhan. Mereka
berjalan menyusuri lereng gunung, menuruni sungai dan lembah, seakan tiada
rasa lelah sedikit pun.
*** "Heh, seperti ada iring-iringan menuju ke
mari!" teriak seseorang warga kerajaan Sebrang Gunung yang bekerja sebagai
pencari kayu berkata pada temannya.
"Benar! Ya, sepertinya mereka itu para pra-
jurit!" "Mereka seperti hendak berperang!"
"Mereka menuju ke mari! Ayo kita tinggal-
kan tempat ini untuk memberitahukan pada Pa-
man Patih Sungkar!"
Dengan segera ketiga orang pencari kayu itu
berlari meninggalkan hutan itu. Mereka berlari
bagai kesetanan, sehingga tak mereka hiraukan
segala apa yang menghalangi mereka diterobos-
nya. Mereka juga, nampak berlari kencang, ham-
pir dapat dikatakan mereka yang hanya seorang
petani pencari kayu mampu menggunakan tenaga
mereka untuk menyalurkan ke kaki-kaki mereka
hingga mereka, bagai terbang.
"Ada musuh...! Musuh datang...!" Mereka berteriak-teriak bagaikan kesetanan,
menjadikan orang-orang yang saat itu berada di pasar berse-
rabutan lari tunggang langgang sembari me-
neruskan teriakan ketiga orang pencari kayu, se-
hingga dengan sendirinya riuhlah mereka dengan
teriakan-teriakan yang sama.
Ketiga orang pencari kayu itu terus berlari
dengan cepat sambil berseru-seru menyebut-
nyebut musuh datang. Mereka terus menuju ke
arah Utara di mana kerajaan berada.
"Musuh datang...! Musuh datang...!" Walau jarak kerajaan sudah dekat, namun
mereka terus berlari dengan kencang, sepertinya mereka tak
ingin dapat ditangkap oleh musuh yang datang
masih jauh. Hal itu menjadikan seorang prajurit
yang melihatnya seketika menghentikan lari me-


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka! "Ki Sanak sekalian, kenapa kalian berteriak-teriak?"
"Musuh datang, Tuan Prajurit!" jawab seo-
rang dari mereka dengan napas ngos-ngosan,
menjadikan prajurit itu kerutkan kening meman-
dang mereka satu persatu seperti belum mau per-
caya begitu saja pada apa yang dikatakan ketiga
tukang kayu itu.
"Benarkah...?"
"Benar, Tuan Prajurit, kami melihat musuh
datang dengan ribuan prajurit yang siap bertem-
pur," Yang berkata tukang kayu yang nampak
masih muda di antara kedua orang lainya.
"Baiklah, kalian ikut aku!"
Dengan tak menghiraukan orang-orang yang
masih serabutan untuk lari, keempat orang itu
pun segera melesat menuju ke istana kerajaan.
Langkah mereka begitu lebar, seakan mereka tak
ingin didahului dengan kedatangan musuh yang
sudah berada di gunung. Tak begitu lama kemu-
dian mereka pun telah sampai di kerajaan.
"Ada apa, Sasongko" Sepertinya ada hal yang penting?" Seorang penjaga pintu
istana bertanya pada Sasongko, yaitu prajurit yang membawa ketiga tukang kayu
itu. "Paman patih ada?"
"Ada. Dia ada di dalam bersama Baginda Ra-
ja." "Aku dan ketiga orang ini ingin menghadap."
Penjaga pintu istana kerutkan kening me-
mandang pada Sasongko dan ketiga tukang kayu
itu sesaat. Kemudian salah seorang dari penjaga
pintu itu pun berkelebat masuk ke dalam istana.
Tak lama kemudian ia kembali keluar menemui
Sasongko dan berkata: "Kalian dipersilahkan ma-
suk!" Sasongko dan ketiga tukang kayu yang
nampak gemetaran sebab tak biasa memasuki is-
tana segera menuju ke dalam. Di sana nampak
Sri Baginda dengan dihadapi oleh para tokoh per-
silatan dan patih serta pembesar istana lainnya
tengah berbincang-bincang. Sasongko dan ketiga
tukang kayu itu segera menyembah.
"Ada gerangan apa kalian menghadapku?"
"Ampun, Yang Mulia Baginda Raja sesem-
bahan hamba. Kami menghadap untuk mengha-
dapkan ketiga tukang kayu ini yang hendak
memberikan kabar pada Yang Mulia," Sasongko berkata, dengan terlebih dahulu
menyembah. "Ada kabar apa yang kalian bawa, Pak?"
Ketiga pencari kayu itu nampak menelan lu-
dah, seperti sukar untuk berkata-kata. Keringat dingin keluar membasahi pelipis
mereka. Mereka begitu tegang, maklum mereka baru pertama kali
menginjakkan kaki dan menghadap rajanya. Wa-
lau mereka tahu bahwa raja mereka adalah seo-
rang raja yang bijaksana, namun sebagai seorang
rakyat jelata jelas mereka merasakan hawa lain.
Rasa takut dan kaku pun menyelimuti ketiganya.
Hal itu diketahui oleh Sri Baginda yang dengan
segera kembali berkata: "Kenapa" Kalian tak perlu takut. Aku rajamu, aku juga
abdi kalian. Kata-kanlah apa yang menjadi unek-unek kalian."
"Mu-musuh menuju ke mari, Baginda," jawab salah seorang dari ketiganya,
menjadikan Sri Baginda dan orang-orang yang berada di situ seketika terperanjat
kaget. "Musuh!"
"Ya, mereka telah sampai di gunung Kidul."
Tengah mereka dalam keterkejutan, tiba-tiba
di luar terdengar suara seruan rakyat yang lari
serabutan sambil berteriak-teriak: "Musuh datang...! Musuh Datang...!"
Serta merta semua yang hadir di situ berke-
lebat ke luar. Semuanya kini dengan tergesa-gesa mempersiapkan para prajurit
untuk segera me-nanggulangi musuh yang sudah tak mungkin da-
pat dibendung. Dan memang benar, musuh telah
tiba. Maka tanpa dapat berkata-kata lagi, praju-
rit-prajurit Kerajaan Sebrang Gunung pun segera
memapaki hingga terjadilah pertempuran. Namun
karena mereka tak mempersiapkan segalanya, ju-
ga karena di pihak musuh dibantu oleh para Iblis yang sukar untuk dikalahkan,
mereka dari pihak
kerajaan Sebrang Gunung pun nampak keteter.
Tak ada arti sama sekali para tokoh persilatan
yang ikut turun menyerang musuh.
Pertarungan terus berkobar, sepertinya ke-
dua prajurit dua kerajaan itu tak mau ada yang
kalah dan mundur. Kedua prajurit kerajaan itu
seperti ganas, membabi buta dalam setiap se-
rangannya. Darah telah membanjir di alun-alun,
diselingi oleh jerit kematian.
Melihat bahwa para prajuritnya nampak tak
dapat membendung musuh, dengan dibantu oleh
ponggawa istana raja dan keluarganya segera me-
ninggalkan istana untuk mengungsi. Dan me-
mang benar bahwa prajurit-prajurit kerajaan Se-
brang Gunung tak mampu menghalau musuh,
apalagi ketika Iblis Sedayu tiba-tiba muncul. Ma-ka makin kacaulah para prajurit
kerajaan Se- brang Gunung. Dalam sekejap saja mereka den-
gan cepat dapat ditaklukkan.
"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang bakal menjadi Raja Diraja! Akulah yang mampu
memban- gun sebuah kerajaan di tanah Jawa ini! Akulah
Raja Iblis yang mampu membuat anak cucu
Adam menuruti apa yang menjadi perintahku.
Hua, ha, ha...!" Iblis Sedayu seketika bergelak ta-wa. Tampak kebahagiaan
menyelimuti sorot ma-
tanya yang menyala-nyala. Ya, sejak itu Kerajaan Sebrang Gunung resmilah di
bawah cengkraman
Iblis. *** 8 Dengan menyerang ke kerajaan Sebrang Gu-
nung, maka makin terkenal saja nama Iblis Se-
dayu. Namanya begitu ditakuti, tersebar di mana-
mana. Nama Iblis Sedayu Mukti, kini menjadi
momok bagai orang mendengar nama Tuhan Yang
Maha Kuasa saja. Bagi orang yang memang suka
berbuat jahat, jelas hal itu merupakan sebuah
lampu hijau untuk kembali menampakkan diri
mereka dan berkecimpung di dunia kejahatan.
Tapi bagi orang yang mencintai ketentraman dan
kedamaian, jelas nama Iblis Sedayu merupakan
nama yang harus sebisa mungkin dilenyapkan.
Siang itu di daerah pesisir Utara nampak se-
seorang bercadar putih ala ninja melangkah me-
nyusuri pesisir yang panas terik. Kakinya begitu ringan menapak, sehingga pasir-
pasir yang diin-jaknya bagaikan tak amblas semili pun. Yang le-
bih aneh adalah cadar penutup kepalanya. Apa-
kah ia tidak merasakan kepanasan" Padahal hari
begitu teriknya. Ternyata cadar itu juga bukan
hanya sebatas kepala saja, tapi kain putih pem-
bungkus itu membungkus segenap tubuhnya. Di-
lihat dari pakainnya yang begitu aneh, kita dapat mengetahui siapa adanya dia.
Dialah Murid Su-nan Kali Jaga, yang bergelar Maling Siluman.
"Aku tidak mendengar adanya Jaka. Mung-
kinkah Jaka telah mengetahui kejadian yang kini
menimpa dunia persilatan?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. "Atau barangkali
Jaka tak mendengarnya" Ah, itu tidak mungkin, sebab Jaka se-
lalu berkelana ke mana saja. Sungguh-sungguh
sebuah bencana bila hal ini tidak segera dihentikan." Maling Siluman terus
melangkah menyusuri pantai laut Jawa menuju ke Selatan. Tengah ia
berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
mendahuluinya berlari. Hal itu menjadikan Mal-
ing Siluman tersentak kaget, segera ia pun me-
ngejarnya. "Hoi...! Jangan lari!"
Maling Siluman terus mengejar, dan nam-
paknya orang tersebut yang ternyata seorang wa-
nita menghentikan langkah larinya. Wanita muda
yang tak lain Miranti si Bidadari Selendang Ungu
membalikkan mukanya memandang pada Maling
Siluman. "Ada apa engkau menyuruhku berhenti?"
"Apakah boleh aku tahu, ke mana tujuan Ni
Sanak?" "Aku hendak ke Kerajaan Sebrang Gunung.
Aku ingin menjajaki ilmu yang dimiliki oleh Iblis Sedayu yang kabarnya mampu
mengalahkan Ja-ka Ndableg," Miranti berkata, menjadikan Maling Siluman seketika
tersentak kaget seraya memekik
tertahan. "Ah...! Benarkah, Ni Sanak"!"
"Untuk apa aku berdusta. Aku adalah.... Oh, sudahlah!"
"Kenapa Ni Sanak" Sepertinya kau ragu un-
tuk mengatakannya?"
Miranti terdiam didesak pertanyaan begitu
rupa oleh Maling Siluman. Wajahnya seketika re-
dup, seakan ia tengah memendam sebuah pera-
saan tersendiri pada Jaka. Dan memang begitulah
adanya. Sejak ia bertemu dengan Jaka, hati Mi-
ranti seperti diselimuti oleh perasaan rindu yang mendayu-dayu seperti rindunya
tak dapat dihi-langkan atau dihibur.
"Aku, aku... aku mencintainya," Miranti berkata polos, menjadikan Maling Siluman
yang te- lah tua mengerti akan perasaan yang berkecamuk
di dada gadis ini.
"Ah, tidak engkau saja yang sedih, Ni Sa-
nak," hibur Maling Siluman. "Aku pun begitu.
Kami adalah dua sahabat, seiring sejalan yang rasanya sukar untuk dipisahkan."
"Aku telah sebatang kara. Maka apabila Jaka benar-benar telah mati, maka lebih
baik aku pun ikut mati saja."
"Ah...." Maling Siluman mendesah. Ia sadar bahwa cinta Miranti sungguh tulus dan
suci pada Jaka. Maling Siluman hanya mampu terpaku di-
am, tak tahu apa yang harus dibuatnya. Tengah
kedua orang pendekar itu berdiri mematung da-
lam diam, seseorang berjalan menuju ke arahnya.
Orang itu nampak bukan orang-orang tanah Ja-
wa. Kulit orang itu kuning langsat, menjadikan
pemuda itu nampak seperti orang Cina. Dan me-
mang, pemuda itu yang tak lain Daeng Surih
adanya adalah keturunan Cina-Jawa. Bapaknya
adalah Amangkurat, yaitu seorang Jawa, sedang
ibunya adalah Nan-Cin-Cu putri kerajaan Cina.
Daeng Surih menghampiri keduanya, lalu
dengan menjura hormat terlebih dahulu ia pun
bertanya: "Ki Sanak dan Ni Sanak, dapatkah kalian berdua menunjukkan pada kami
untuk me- nemui tempat Kerajaan Sebrang Gunung?"
"Siapakah adanya, Ki Sanak" Dan dari ma-
nakah Ki Sanak sebenarnya, serta ada keperluan
apakah hendak menuju ke Kerajaan Sebrang Gu-
nung?" tanya Maling Siluman.
"Hamba yang rendah ini bernama Daeng Su-
rih. Orang sering menjuluki hamba dengan se-
butan Pendekar Suling Kematian. Hamba datang
dari tanah Andalas tepatnya di Gunung Kerinci ke mari semata-mata ingin mengecek
kebenaran tentang kalahnya sahabat hamba yang bernama Ja-
ka Ndableg oleh seorang Iblis. Kalau memang sa-
habatku kalah dan mati, maka hamba akan tu-
rut berperang dengan Iblis tersebut sampai ham-
ba atau Iblis itu mati."
"Jadi Ki Sanak adalah sahabat Jaka?" tiba-tiba Miranti menanya.
"Ya, hamba adalah sahabatnya."
"Kalau begitu kita setujuan."
"Setujuan bagaimana maksudmu, Nona?"
"Kami berdua juga sahabat Jaka, bahkan no-
na ini adalah kekasihnya," Maling Siluman menerangkan, menjadikan Miranti
tersipu-sipu meme-
rah pipinya. Sementara Daeng Surih yang telah
tahu siapa adanya Miranti, segera menjura penuh
hormat seraya kembali berkata:
"Oh, kalau begitu hambalah yang terlalu bo-
doh tak mau tahu siapa adanya Nona. Maafkan
segala kelancangan hamba."
"Tidak mengapa. Kau tidak bersalah. Kita
adalah sahabat yang patut saling bantu. Marilah
kita selekasnya ke sana. Aku merasa bahwa kita
belum terlambat untuk mencegah perbuatannya
yang telengas."
"Baiklah, Nona! Mari, Ki Sanak Daeng Su-
rih!" Maling Siluman mengajak. Dengan segera ketiganya pun berkelebat
meninggalkan pesisir
Utara yang kembali sepi dengan desahan gelom-
bang yang bergulung-gulung menepiskan pasir-
pasir dan sampah-sampah yang akhirnya menepi
di pantai. Angin pantai semilir bertiup, menam-
bah kesejukan dan rasa tenang.
*** Ternyata tidak hanya para pendekar saja
yang merasa gundah dengan hilangnya Jaka yang
menurut desas-desus jatuh ke jurang Gunung
Kapur, akan tetapi para tokoh masyarakat dan
para pimpinan perguruan-perguruan yang berali-
ran putih pun merasakan hal yang serupa. Juga
para kerajaan yang pernah merasa berhutang bu-
di pada Jaka Ndableg, seketika menjadi panas
oleh desas-desus tersebut.
Maka sebagai pelampiasan kemarahan me-
reka pada Iblis Sedayu yang kini berkuasa di Ke-
rajaan Sebrang Gunung, mereka pun mengirim
pasukan dengan maksud membumi hanguskan
kerajaan Sebrang Gunung dan apabila mampu
membunuh rajanya.


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari beberapa kerajaan itu langsung dipim-
pin oleh patih utamanya, sementara dari pergu-
ruan-perguruan seperti Rajawali, Teratai, Tangan Dewa, dan perguruan lainnya
langsung dipimpin
oleh pimpinan sekaligus guru mereka.
Dari arah Selatan, Barat, Utara, dan Timur
nampak rombongan-rombongan itu berjalan me-
nuju ke satu arah yaitu Kerajaan Sebrang Gu-
nung di mana Iblis Sedayu menjadi rajanya.
Ketiga orang yang juga bertujuan sama seke-
tika tersentak manakala ketiganya mendengar se-
ruan-seruan dari belakang yang keluar dengan
nada marah dan dendam yang dilontarkan untuk
mencaci maki Iblis Sedayu Mukti.
"Kita ganyang Iblis laknat itu!"
"Kita lumatkan dengan tanah!"
Berbagai macam caci maki keluar dari para
prajurit dan orang-orang persilatan yang berjalan dari sebelah Utara di mana
ketiga pendekar itu
juga berasal. "Nampaknya berita hilangnya Jaka telah
menjadikan beberapa kerajaan dan perguruan
yang pernah dibantunya marah. Apakah kita
akan bergabung dengan mereka?" tanya Maling Siluman pada kedua rekannya.
"Sebaiknya menurutmu, bagaimana?" Miran-ti balik bertanya.
"Kita bergabung saja?"
"Ya, kita bergabung dengan mereka saja,"
jawab Daeng Surih.
Maka setelah mengambil keputusan begitu
ketiganya segera berkelebat menuju ke arah di
mana mereka datang. Dan tanpa mengalami ke-
sulitan ketiga pendekar tersebut akhirnya diteri-ma bergabung dengan mereka.
Mereka terus berjalan menapak demi seta-
pak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung. Da-
lam hati mereka ada satu tujuan yang sama, yai-
tu menghancurleburkan kerajaan Sebrang Gu-
nung beserta rajanya.
*** Kehadiran para tokoh persilatan, kerajaan-
kerajaan, serta perguruan-perguruan yang datang
dari empat penjuru itu menjadikan hirup pikuk
rakyat kerajaan Sebrang Gunung. Mereka ada
yang senang karena merasa akan datang ke-
bebasan dari cengkraman raja mereka yang selalu
meminta korban setiap Jum'at hingga gadis-gadis
di situ sudah hampir habis. Ya, setelah kerajaan dipimpin oleh Raja Iblis
Sedayu, maka sudah
menjadi kebiasaan bagi rakyatnya untuk selalu
mengorbankan seorang gadis untuk tumbal ra-
janya. Tak terkecuali tokoh-tokoh persilatan di wi-
layah kerajaan, mereka menyambut kedatangan
para prajurit persatuan itu dengan hati bungah,
sebab tidak mungkin tidak bahwa kebebasan me-
reka untuk kembali mendirikan perguruan akan
kembali muncul. Maka sebelum para penyerbu
itu sampai, para tokoh persilatan di kerajaan Sebrang Gunung segera menyambut
mereka. Makin bertambah banyak saja jumlah mere-
ka dengan menggabungnya banyak warga kera-
jaan Sebrang Gunung. Kini kekuatan mereka be-
nar-benar sebuah kekuatan dahsyat. Namun
apakah mereka akan mampu membunuh Iblis
Sedayu Mukti"
Orang-orang yang datang dari empat penjuru
itu kini makin mendekat ke wilayah Kerajaan Se-
brang Gunung. Hal itu menjadikan amarah Se-
dayu yang dengan segera menyiapkan pasukan-
nya untuk memapaki mereka. Pasukan yang ter-
diri dari bangsa manusia dan bangsa Iblis itu segera menuju ke alun-alun,
menanti kedatangan
para pemberontak yang jumlahnya hampir sera-
tus kali jumlah mereka. Sebenarnya hati prajurit manusia Kerajaan Sebrang Gunung
ciut juga melihat hal tersebut, namun karena tugasnya seba-
gai prajurit mau tak mau ia harus menjalankan-
nya. "Serang...! Hancur leburkan Iblis laknat!"
Tanpa ayal lagi, mereka pun segera terlibat
dalam pertempuran. Nampaknya para prajurit-
prajurit yang bercampur baur dengan tokoh-
tokoh persilatan itu tanpa mengenal adanya takut mati. Di hati mereka hanya ada
satu pilihan, lebih baik mati demi membela kebenaran dan keadilan
daripada hidup harus nantinya terkekang oleh Ib-
lis. Sebaliknya para prajurit Kerajaan Sebrang
Gunung, walau jumlah mereka kecil namun dika-
renakan mereka mendera rasa takut pada rajanya
hingga keberanian mereka pun seperti api. Di-
tambah lagi dengan bantuan prajurit-prajurit Ib-
lis, makin ramailah perang besar itu.
"Trang! Trang!"
"Aaaah...!"
Senjata saling beradu, yang akhirnya harus
diakhiri dengan lengkingan kematian dari salah
seorang di antara yang bertarung. Dan bila mu-
suhnya telah mati, maka orang yang menang se-
gera mencari musuh yang lain.
Tiga pendekar terdiri dari Maling Siluman,
Daeng Surih dan Miranti nampak mengamuk
membabi buta. Setiap hantaman tangan dan kaki
mereka seketika menjadikan kematian bagi yang
terkena. Apalagi Miranti, dengan Selendang Un-
gunya yang setiap kali dikibaskan menjadikan
bunyi ledakan yang mampu menghancurkan gu-
nung tanpa ayal lagi mengamuk menghantamkan
selendangnya. Sepuluh orang musuh mati dengan
tubuh hancur, terkena sabetan Selendang Ungu.
Dalam sekejap saja prajurit-prajurit kerajaan
Sebrang Gunung dapat terdesak mundur. Tengah
keadaan genting menyelimuti prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung, tiba-tiba
terdengar suara bentakan membahana. Bersamaan dengan itu,
sesosok tubuh berkelebat menghadang ketiga
pendekar tersebut.
"Mundurlah kalian semua! Biar aku yang
menghadapi mereka!"
"Iblis Sedayu! Memang engkaulah yang aku
tunggu-tunggu!" bentak Miranti marah.
"Hua, ha, ha...! Kalian mau mengantar nya-
wa rupanya! Jangankan kalian, Jaka Ndableg
yang kalian anggap manusia dewa pun dengan
mudah aku bunuh!" Iblis Sedayu bergelak tawa sombong, menjadikan ketiga pendekar
tersebut melototkan mata marah. Hati mereka bagaikan
dibakar api. Ya, ketiganya kini telah dibakar oleh api amarah pada Iblis
tersebut. Sementara para
prajurit dua kekuatan itu telah mundur, mereka
hanya diam untuk menyaksikan apa yang bakal
terjadi. "Sombong kau, Iblis! Kami datang untuk me-
musnahkan nyawa busukmu!" yang membentak
ini Maling Siluman. "Serang...!"
Dengan segera ketiganya pun berkelebat me-
nyerang bergantian. Namun demikian, sepertinya
Iblis Sedayu tak merasakan apa-apa di-serang
oleh tokoh-tokoh persilatan kelas wahid.
Pertempuran antara ketiga tokoh utama per-
silatan mengeroyok Iblis Sedayu terus berjalan.
Miranti dengan Selendang Ungunya tanpa segan-
segan mencerca dengan jurus-jurus yang dahsyat.
Dan Maling Siluman dengan pedangnya terus
membabatkan pedang di tangannya ke arah yang
mematikan. Sementara Daeng Surih dengan Su-
ling Kematiannya dengan enaknya meniup seru-
ling yang ditujukan langsung ke arah musuh. Aki-
bat tiupan seruling itu, seketika prajurit-prajurit kerajaan Sebrang Gunung
hancur berantakan.
Dan prajurit-prajurit manusianya seketika ber-
buat aneh. Mereka mencekik leher mereka sendiri
hingga mati melotot dengan lidah menjulur ke-
luar. "Hiat...!" suara Miranti menggelegar.
"Hiat...!" Maling Siluman.
"Hiat...!" Daeng Surih. Ketiganya bersama-sama hantamkan ilmu yang mereka
miliki, dan... "Duar...!"
Meledak seketika tubuh Jalak Kuning, han-
cur berantakan terhantam oleh ajian-ajian yang
mereka miliki. Seketika bersorak giranglah para
prajurit yang menonton. Namun belum juga hi-
lang rasa bahagia mereka, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana memecahkan
keramaian. "Kalian jangan bungah dulu, aku masih hi-
dup! Hua, ha, ha...!"
Tersentak semuanya yang berada di situ ter-
masuk ketiga pendekar itu. Mata mereka tak per-
caya demi melihat apa yang kini berjalan ke arah mereka. Sebuah mahluk yang
terdiri dari darah
belaka berjalan menuju ke arah ketiga pendekar
tersebut. "Inilah ujudku! Kalian tak akan mampu
membunuhku. Hua...!"
Mahluk itu segera berkelebat menyerang ke-
tiga pendekar tersebut yang dengan segera ber-
maksud menghindar. Namun cipratan darah itu
begitu cepat, hampir saja dapat mengenai tubuh
mereka, ketika nampak dua buah bayangan ber-
kelebat memapakinya.
"Wuuuttt...!"
"Desst...!"
"Kau....'" pekik mahluk itu demi melihat siapa adanya yang datang. Tak kalah
kaget dan se- nangnya ketiga pendekar itu demi melihat siapa
yang kini tengah tersenyum menghadapi mahluk
menyeramkan. Dia adalah Jaka Ndableg yang di-
gegerkan telah mati.
"Jaka...." seru ketiganya demi melihat Jaka telah ada bersamaan dengan seorang
wanita cantik jelita di sisinya. Miranti nampak mengkerut, melengos cemburu.
Namun segera Jaka yang ta-hu hal itu kedipkan mata, sehingga Miranti kini
tahu siapa adanya wanita di sisi Jaka.
"Dia adalah gurunya!"
"Gurunya..."!" terheran-heran Maling Siluman dan Daeng Surih mendengar penuturan
Mi- ranti. "Bagaimana mungkin gadis semuda itu adalah guru Jaka?"
Namun pertanyaan Daeng Surih dan Maling
Siluman tak terjawab ketika dengan segera terpe-
cah oleh sebuah bentakan yang dilontarkan oleh
gadis cantik bak bidadari yang berdiri di samping Jaka.
"Sedayu! Kau ternyata telah membuat nama
kerajaan cemar! Masihkah engkau akan mela-
wanku! Masihkah engkau akan menentangku! Ka-
lau memang begitu jangan salahkan aku ber-
tindak!" Ratu Siluman Darah nampak ngotot marah. "Aku kini bukan wargamu! Maka
engkau minggirlah!"
"Hem, kau kira kau mudah untuk menjadi-
kan dirimu sebagai Raja bagi manusia. Sayang
Sedayu, ternyata usahamu akan mengalami ke-
siasiaan, sebab anakku inilah yang akan men-
gakhiri petualanganmu." Ratu Siluman Darah ci-birkan bibirnya. "Nah Jaka,
hadapilah dia. Gunakan ilmu yang ayahmu ajarkan. Hanya dengan
ilmu itu dia akan mati."
"Baik, Ibunda Ratu. Segala apa yang dis-
arankan ibunda akan Jaka laksanakan."
Tengah Jaka bersiap-siap, tiba-tiba Iblis Se-
dayu telah berkelebat menyerangnya. Dengan se-
gera Jaka pun rapalkan ajian yang telah di-
ajarkan oleh ayahnya yaitu ajian Penghalau Ber-
kala Iblis. "Ajian Penghalau Iblis. Hiat...!" Tersentak Iblis Sedayu melihat Jaka
mengeluarkan ajian yang
hanya dimiliki oleh bangsa Siluman Darah saja.
Sayang ia tidak memilikinya, menjadikan Iblis Sedayu tak dapat berbuat banyak.
Larikan sinar merah, kuning, hijau, perak dan lainnya seperti
pelangi bergerak cepat. Bersamaan dengan lari-
kan sinar pelangi itu, segera Jaka ambil Pedang
Siluman Darah yang tergantung di punggungnya
dan diarahkan ke tubuh mahluk darah tersebut.
Sinar pelangi itu seperti menyedot tubuh da-
rah mahluk itu, semakin dekat dan dekat ke arah
Jaka. Dan manakala jarak mereka tinggal bebera-
pa jengkal, Jaka segera kiblatkan Pedang Siluman Darah. Maka dalam sekejap saja
darah yang berada di tubuh mahluk itu tersedot masuk ke da-
lam pedang. Tinggallah mata mahluk itu mengge-
letak tak berdaya.
Jaka kembali hantamkan ajiannya, seketika
mata itu hancur berantakan ditimpa sinar pelan-
gi. Lenyaplah sudah Iblis Sedayu. Sorak sorai kegembiraan pun mewarnai tempat
itu. Mereka se-
gera memburu pada Jaka yang masih terpaku
memegangi Pedang Siluman Darah. Setelah me-
nyaksikan muridnya mampu menunaikan tugas,
dengan segera Ratu Siluman Darah pun lenyap,
menjadikan semua yang ada di situ terheran-
heran. Miranti nampak tersenyum, lalu dengan
manja merebahkan kepalanya di dada bidang Ja-
ka yang berjalan membawanya melangkah me-
ninggalkan kerumunan massa.
"Siapakah adanya gadis cantik tadi, Jaka?"
tanya Miranti manja, manakala keduanya terus
melangkah. "Kau cemburu rupanya, Sayang?"


Pedang Siluman Darah 18 Munculnya Ratu Siluman Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miranti bersungut, dicubitnya pinggang Ja-
ka. "Aku sangat mencintaimu, Jaka."
"Aku juga. Tapi jangan terlalu cemburu be-
gitu, Sayang. Dia adalah ibuku."
"Ibumu..."!" membeliak mata Miranti mendengar penuturan Jaka. Bagaimana mungkin
ibu- nya semuda itu" Jaka yang melihat keragu-
raguan di mata Miranti dengan segera menerang-
kan. "Dia ibuku. Ibuku adalah bangsa Siluman, jadi selamanya masih muda saja,
bukan?" Ucapan Jaka yang konyol, seketika mengun-
dang rasa gemes di hati Miranti yang dengan se-
gera mencium bibirnya. Daeng Surih dan Maling
Siluman hanya gelengkan kepala, seakan menger-
ti perasaan kedua sejoli itu....
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Suling Naga 22 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Misteri Dewi Pembalasan 3
^